127
KAJIAN APLIKASI HACCP PADA PROSES PRODUKSI AYAM GORENG DI SALAH SATU RESTORAN CEPAT SAJI DI KOTA BOGOR SKRIPSI YESUA GIFSAN TONDAS DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PETERNAKAN BOGOR 2013

KAJIAN APLIKASI HACCP PADA PROSES PRODUKSI AYAM … · kajian aplikasi haccp pada proses produksi ayam goreng di salah satu restoran cepat saji di kota bogor . skripsi . yesua gifsan

Embed Size (px)

Citation preview

KAJIAN APLIKASI HACCP PADA PROSES PRODUKSI

AYAM GORENG DI SALAH SATU RESTORAN

CEPAT SAJI DI KOTA BOGOR

SKRIPSI

YESUA GIFSAN TONDAS

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PETERNAKAN BOGOR

2013

RINGKASAN

Yesua Gifsan Tondas. D14070005. 2013. Kajian Aplikasi HACCP pada Proses

Produksi Ayam Goreng di Salah Satu Restoran Cepat Saji di Kota Bogor.

Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan.

Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.

Pembimbing Kedua : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.

Konsep pangan siap saji lahir dan berkembang pesat seiring dengan perubahan

dan perkembangan gaya hidup masyarakat modern. Seiring berjalannya waktu,

pangan siap saji dinilai sebagai pangan yang kurang sehat oleh masyarakat, baik di

dunia, maupun di Indonesia. Prosedur penyajian pangan yang harus dilakukan dalam

waktu cepat dengan tingkat penjualan yang cukup tinggi menyebabkan restoran siap

saji memiliki resiko kontaminasi yang cukup tinggi. Restoran siap saji memerlukan

suatu prosedur yang dapat menjamin dan meyakinkan konsumen bahwa produknya

aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan produk pangan siap

saji yang ASUH adalah dengan menerapkan sistem hazard analysis and critical

control point (HACCP) pada proses pengolahan produk pangan. Saat ini restoran

telah menerapkan good manufacturing practice (GMP) dan sanitation standard

operating procedure (SSOP) yang merupakan persyaratan dasar sistem HACCP dan

tengah menyusun dokumentasi untuk program HACCP. GMP adalah cara

memproduksi makanan yang baik dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah

ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan

konsumen. Prosedur SSOP merupakan alat bantu dalam penerapan GMP berupa

prosedur operasi standar sanitasi yang harus dilakukan oleh perusahaan yang bergerak

dalam bidang pengolahan pangan. Hazard analysis and critical control point

(HACCP) adalah suatu sistem jaminan mutu pangan yang diterapkan dalam proses

produksi oleh industri pangan, termasuk restoran, dalam mengendalikan bahaya yang

mungkin timbul pada setiap tahapan produksi.

Kegiatan magang penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran nyata

tentang dunia industri serta permasalahan yang menjadi kendala dalam menghasilkan

produk pangan yang ASUH dan secara khusus mempelajari penerapan sistem HACCP

yang dilakukan pada proses pengolahan produk ayam goreng di salah satu restoran

siap saji di kota Bogor. Kegiatan magang penelitian dilaksanakan di salah satu

restoran cepat saji kota Bogor unit dapur selama 2 bulan, dimulai dari tanggal

1 Februari 2011 sampai dengan 31 Maret 2011. Proses pengumpulan data dan

informasi dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan langsung terkait

penerimaan dan penggunaan bahan baku, proses produksi, penyajian produk,

pengemasan, penyimpanan, serta penanganan produk reject. Data hasil pengamatan

yang diperoleh kemudian diolah untuk selanjutnya dibuatkan HACCP plan.

Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa penerapan GMP dan SSOP oleh

restoran sudah cukup baik, akan tetapi masih perlu mendapat penyempurnaan. Lokasi

restoran serta beberapa aspek pada fasilitas restoran dan persyaratan hygiene sanitasi

pengolahan makanan pada prosedur GMP dinilai masih kurang terpenuhi dengan baik.

Penerapan prosedur SSOP oleh restoran juga dinilai masih perlu disempurnakan,

khususnya pada aspek fasilitas kebersihan dan kesehatan karyawan. Penerapan

prosedur GMP dan SSOP yang dilakukan dengan baik dan benar dapat menunjang

keberhasilan penerapan sistem HACCP.

Proses penyusunan dokumentasi program HACCP tertuang dalam HACCP

plan. HACCP plan dibuat berdasarkan dua belas langkah penerapan sistem HACCP

yang terdiri atas tujuh prinsip HACCP untuk menjamin keamanan pangan pada

rantai pangan yang dipertimbangkan. Pembuatan HACCP plan diawali dengan

pembentukan tim HACCP. Tim HACCP harus terdiri atas personal dengan latar

belakang disiplin ilmu yang beragam serta berkaitan dengan produk dan prosesnya.

Susunan terbaik tim HACCP untuk restoran ini terdiri atas para personal yang berasal

dari departemen quality assurance, research, and development, operation

administration, dan marketing. Tim HACCP selanjutnya akan membuat deskripsi

produk dan rencana penggunaan produk sebelum akhirnya dilakukan pembuatan

diagram alir. Pembuatan diagram alir bertujuan untuk mempermudah tim HACCP

dalam mengetahui tahapan proses yang terjadi dan melaksanakan ketujuh prinsip

HACCP.

Hasil perumusan ketujuh prinsip HACCP menunjukkan bahwa proses

pengolahan produk ayam goreng memiliki 1 titik kendali kritis (CCP), yaitu tahap

penggorengan. Tahap penerimaan bahan baku (ayam segar dan beku) juga dinilai

berpotensi menjadi CCP, akan tetapi dikendalikan sebagai control point (CP) di dalam

penerapan GMP dan SSOP. Proses penggorengan dinilai memiliki resiko bahaya

kimia apabila pelaksanaannya tidak mendapat perhatian khusus. Penetapan kapasitas

maksimum pada setiap periode penggorengan dinilai sebagai langkah yang dilakukan

restoran untuk menanggulangi resiko bahaya kimia. Kapasitas maksimum

penggorengan ditentukan berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan terlebih

dahulu oleh perusahaan pemilik restoran. Kapasitas maksimum penggorengan juga

digunakan sebagai indikator penetapan batas kritis, kegiatan monitoring, dan tindakan

koreksi.

Kesimpulan dari kegiatan magang penelitian ini adalah restoran telah

menerapkan prosedur GMP dan SSOP dengan cukup baik, akan tetapi masih perlu

mendapatkan beberapa penyempurnaan. Hasil perumusan ketujuh prinsip HACCP

menunjukkan bahwa proses pengolahan produk ayam goreng memiliki 1 titik kendali

kritis (CCP), yaitu tahap penggorengan. Restoran juga diharapkan dapat memperketat

kegiatan pemantauan pada proses penggorengan, sebab proses penggorengan yang

dilakukan pada open fryer dan pressure fryer sering melebihi kapasitas maksimum

penggorengan yang diizinkan. Asisstant restaurant manager, selaku pihak yang

bertanggung jawab atas seluruh kegiatan operasional restoran, hendaknya dapat

melakukan kegiatan pemantauan secara langsung dan berkala.

Kata-kata kunci: ayam goreng, HACCP, cepat saji, restoran

ABSTRACT

Study of HACCP Application on Fried Chicken Production at One of Fast Food

Restaurants in Bogor

Tondas, Y. G., T. Suryati and Z. Wulandari

Nowadays, people face so many problems in food sector, for example in 2004 and

2005. 60% of 41 and 72.20% of 53 cases of the disease in Indonesia are foodborne

illness cases. Those cases made industry and restaurant which serve fastfood products

have to concern more and more about the food safety of their food products due to

their short time preparation process. HACCP system is the most appropiate system in

order to help fastfood restaurants to produce food products that save to be consumed.

The objective of this research were to analyze the application of HACCP system on

fried chicken production process. This study conducted in February and March 2011

at one of fast food restaurant in Bogor in a way directly involved in production

process, interview with stakeholders, and related data collection. Restaurant has

applied the principles of GMP and SSOP well, as the pre-requisite program of

HACCP, but still needs to be improved. The result of the seven principles of HACCP

also denoted that frying process is expressed as the CCP. Maximum frying capacity is

used as an indicator for determinating critical limits, monitoring, and correcting.

Assistant of restaurant manager, which is responsible for the entire restaurant

activities, should give more attention to the frying process.

Keywords: fried chicken, HACCP, fastfood, restaurant

KAJIAN APLIKASI HACCP PADA PROSES PRODUKSI

AYAM GORENG DI SALAH SATU RESTORAN

CEPAT SAJI DI KOTA BOGOR

Yesua Gifsan Tondas

D14070005

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

Judul : Kajian Aplikasi HACCP pada Proses Produksi Ayam Goreng di Salah

Satu Restoran Cepat Saji di Kota Bogor

Nama : Yesua Gifsan Tondas

NIM : D14070005

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.) (Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.)

NIP. 19720516 199702 2 001 NIP. 19750207 199802 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)

NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 12 Desember 2012 Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Maret 1989 di Jakarta. Penulis adalah anak

pertama dari dua bersaudara dari pasangan Ir. Handy Tondas dan dr. Maria Nana

Saputra. Penulis mengawali kegiatan pendidikan di Taman Kanak-Kanak Santo Don

Bosco Kelapa Gading, Jakarta Utara pada tahun 1993 hingga 1995. Pendidikan dasar

ditempuh penulis pada tahun 1995 hingga 2001 di Sekolah Dasar Don Bosco I Kelapa

Gading. Pendidikan lanjutan tingkat pertama ditempuh penulis pada tahun 2001

hingga 2004 di Sekolah Menengah Pertama Don Bosco I Kelapa Gading. Penulis

melanjutkan pendidikan tingkat atas di Sekolah Menengah Atas Don Bosco I Kelapa

Gading dan menyelesaikan pendidikan sebagai Juara Umum pada tahun 2007.

Penulis mengawali pendidikan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu

Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2008. Selama

berkuliah, penulis pernah menjadi Mahasiswa Berprestasi Tingkat Departemen periode

2008-2010, runner-up Mahasiswa Berprestasi Tingkat Fakultas periode 2008-2010,

mengikuti Seminar International “Go Organic” di Bangkok, Thailand tahun 2009, dan

mengikuti program pertukaran pelajar di Humboldt University of Berlin, Germany

pada tahun 2011-2012. Penulis juga pernah menjadi anggota Persekutuan Mahasiswa

Kristen Institut Pertanian Bogor (PMK IPB) sebagai anggota Komisi Pelayanan

Khusus (Kopelkhu) tahun 2008-2010 dan anggota Himpunan Mahasiswa Produksi

Peternakan (HIMAPROTER) bidang Kewirausahaan tahun 2009.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih

karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian

Aplikasi HACCP pada Proses Produksi Ayam Goreng di Salah Satu Restoran Cepat

Saji di Kota Bogor”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini

diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dalam dunia peternakan akan

pentingnya penerapan sistem HACCP demi terwujudnya keamanan pangan.

Penelitian dilakukan melalui kegiatan magang di salah satu restoran cepat saji

di kota Bogor. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran salah satu

bentuk usaha pengolahan produk pangan hasil peternakan serta cara berproduksi yang

benar sesuai standar higienis yang berlaku. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih

jauh dari sempurna. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi salah satu sumber

informasi yang bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Januari 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN .................................................................................................. i

ABSTRACT . ................................................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. v

RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv

PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

Latar Belakang ..................................................................................... 1

Tujuan .................................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3

Daging Ayam ....................................................................................... 3

Karkas Ayam Pedaging …… ................................................................ 4

Potensi Cemaran Biologi terhadap Daging Ayam ................................ 5

Salmonella ................................................................................ 5

Campylobacter sp. ................................................................... 6

Arcobacter sp. .......................................................................... 6

E. coli O157:H7 ....................................................................... 6

Clostridium perfringens ............................................................ 7

Listeria monocytogenes ............................................................ 7

Penggorengan ........................................................................................ 8

Deep-fat Frying ......................................................................... 8

Reaksi Oksidasi Selama Proses Penggorengan ........................ 9

Potensi Cemaran Kimia pada Proses Pengolahan Pangan ..................... 10

3-Monochloropropane-1,2-diol (3-MCPD) .............................. 10

Heterocyclic Amines ................................................................. 11

Acrylamide ................................................................................ 11

Good Manufacturing Practice (GMP) ................................................... 12

Persyaratan Umum Hygiene ..................................................... 12

Persyaratan Khusus Golongan .................................................. 16

Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan .................................... 17

Persyaratan Hygiene Sanitasi Pengolahan Makanan ................ 18

Persyaratan Hygiene Sanitasi Penyimpanan Makanan ............. 19

Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) .............................. 20

Keamanan Air ........................................................................... 21

Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan Pangan ... 22

Pencegahan Kontaminasi Silang ............................................... 22

Fasilitas Kebersihan .................................................................. 22

Pencegahan Adulterasi .............................................................. 22

Pelabelan dan Penyimpanan Senyawa Berbahaya .................... 22

Kesehatan Pekerja ..................................................................... 22

Pengendalian Hama .................................................................. 23

Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) ........................ 23

Pembentukan Tim HACCP ....................................................... 26

Deskripsi Produk ....................................................................... 26

Identifikasi Rencana Penggunaan Produk ................................ 28

Penyusunan dan Verifikasi Diagram Alir Produk .................... 28

Identifikasi atau Analisis Bahaya ............................................. 28

Penetapan Titik Kendali Kritis ................................................. 33

Penetapan Batas Kritis untuk Setiap CCP ................................ 34

Penetapan Tindakan Monitoring untuk Setiap CCP ................. 34

Penetapan Tindakan Koreksi .................................................... 35

Penetapan Prosedur Verifikasi .................................................. 35

Penetapan Prosedur Pencatatan dan Penyimpanan Dokumen .. 35

MATERI DAN METODE ............................................................................... 36

Lokasi dan Waktu ................................................................................ 36

Materi ................................................................................................... 36

Alat ............................................................................................ 36

Bahan ...................................................................................... 36

Prosedur ............................................................................................... 36

Analisis Data ........................................................................................ 36

KEADAAN UMUM PERUSAHAAN ............................................................ 38

Sejarah Kentucky Fried Chicken (KFC) .............................................. 38

Sejarah Kentucky Fried Chicken (KFC) di Indonesia ......................... 39

Visi dan Misi Perusahaan .................................................................... 40

Produk Kentucky Fried Chicken (KFC) ............................................... 40

KEADAAN UMUM TEMPAT MAGANG .................................................... 41

Lokasi dan Tata Letak Restoran ........................................................... 41

Fasilitas Restoran .................................................................................. 42

Fasilitas Layanan ...................................................................... 42

Fasilitas Penunjang Proses Produksi ......................................... 42

Fasilitas Produksi ...................................................................... 47

Tenaga Kerja ......................................................................................... 49

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 52

Penerapan Good Manufacturing Practice di Restoran ......................... 52

Persyaratan Umum Hygiene Restoran ...................................... 52

Persyaratan Khusus Golongan Restoran ................................... 53

Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Restoran ..................... 53

Persyaratan Hygiene Sanitasi Pengolahan Makanan Restoran .. 55

Persyaratan Hygiene Sanitasi Penyimpanan Makanan Restoran 55

Penerapan Sanitation Standard Operating Procedure di Restoran ...... 56

Keamanan Air ........................................................................... 56

Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan Pangan ... 56

Pencegahan Kontaminasi Silang ............................................... 57

Fasilitas Kebersihan .................................................................. 57

Pencegahan Adulterasi .............................................................. 57

Pelabelan dan Penyimpanan Senyawa Berbahaya .................... 58

Kesehatan Pekerja ..................................................................... 58

Pengendalian Hama .................................................................. 58

HACCP Plan ......................................................................................... 58

Pembentukan Tim HACCP ....................................................... 59

Deskripsi Produk ....................................................................... 60

Identifikasi Rencana Penggunaan Produk ................................ 61

Penyusunan dan Verifikasi Diagram Alir Produk .................... 61

Identifikasi atau Analisis Bahaya ............................................. 67

Penetapan Titik Kendali Kritis ................................................. 77

Penetapan Batas Kritis untuk Setiap CCP ................................ 79

Penetapan Tindakan Monitoring untuk Setiap CCP ................. 84

Penetapan Tindakan Koreksi .................................................... 84

Penetapan Prosedur Verifikasi .................................................. 84

Penetapan Prosedur Pencatatan dan Penyimpanan Dokumen .. 85

KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 86

Kesimpulan ......................................................................................... 86

Saran ................................................................................................... 86

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 88

LAMPIRAN ................................................................................................... 92

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Data Klasifikasi Daging Ayam ……………………………………......... 3

2. Data Perbandingan Kadar Lemak Daging Ayam dan Ruminansia …....... 4

3. Standar Suhu Penyimpanan Bahan Mentah …..…………….................... 19

4. Langkah-Langkah Penerapan Sistem HACCP dalam Industri Pangan .... 25

5. Daftar Uraian Tugas dan Kewajiban Tim HACCP ….............................. 27

6. Data Sumber Bahaya Biologis pada Pangan …….................................... 29

7. Data Sumber Bahaya Kimia pada Pangan …............................................ 30

8. Data Sumber Bahaya Fisik pada Pangan ……………………………….. 31

9. Data Kelompok Bahaya pada Produk Pangan Berdasarkan Karakteristik

Resiko ………………………………………...........................................

32

10. Data Kelompok Produk Pangan Berdasarkan Tingkat Resiko Bahaya … 32

11. Tabel Penentuan Kategori Resiko Berdasarkan Karakteristik Bahaya ..... 33

12. Tabel Penentuan Tingkat Signifikansi Bahaya………………………….. 33

13. Syarat Mutu Air Minum dalam Kemasan (SNI 01-3553-1996) ………... 44

14. Data Penggunaan Air Restoran Bulan Juli – Desember 2010 ………...... 45

15. Data Penggunaan Listrik Restoran Bulan Juli – Desember 2010 ……..... 45

16. Data Jumlah dan Kualifikasi Tenaga Kerja Operasional Restoran Bulan

Juli – Desember 2010 ……………………………………………….…..

51

17. Data Kriteria Mutu Karkas Ayam Berdasarkan Standarisasi Perusahaan. 54

18. Deskripsi Produk Ayam Goreng Hot & Crispy Chicken Restoran Siap

Saji ............................................................................................................

60

19. Deskripsi Produk Ayam Goreng Original Recipe Chicken Restoran

Siap Saji ………………………………………………………………....

61

20. Data Persentase Kesesuaian Suhu Penerimaan Fresh Chicken dan Fresh

Wing dengan Standar Restoran Selama Bulan Januari hingga Maret

2011 ..........................................................................................................

68

21. Data Persentase Kesesuaian Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan

Frozen Wing dengan Standar Restoran Selama Bulan Januari hingga

Maret 2011 ...............................................................................................

68

22. Data Persentase Kesesuaian Suhu Chiller dengan Standar Restoran

Selama Bulan Februari dan Maret 2011 ...................................................

69

23. Data Persentase Kesesuaian Suhu Freezer dengan Standar Restoran

Selama Bulan Februari dan Maret 2011 ...................................................

69

24. Tabel Identifikasi atau Analisis Bahaya .................................................... 73

25. Data Jumlah Ayam Total yang Digoreng pada Setiap Periode

Penggantian Minyak Selama Bulan Februari dan Maret 2011 ................

78

26. Tabel Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) ............................................ 80

27. Tabel Lembar Kerja Pengendalian Mutu …….......................................... 83

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Diagram Penggunaan Air Restoran Bulan Juli – Desember 2010 ……..... 46

2. Diagram Penggunaan Listrik Restoran Bulan Juli – Desember 2010 ….... 46

3. Palet …………………………………………………………………….... 47

4. Prosedur Penggunaan Palet …………………………………………….... 47

5. Diagram Struktur Organisasi Restoran Siap Saji ……………………....... 51

6. Diagram Alir Proses Pembuatan Ayam Goreng HCC dan ORC di

Restoran Siap Saji …………………………………………………..........

62

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Penggorengan HCC pada Open Fryer 1 dan 2 Bulan Februari 2011 93

2. Data Penggorengan HCC pada Open Fryer 1 dan 2 Bulan Maret 2011 ... 94

3. Data Penggorengan HCC pada Open Fryer 3 Bulan Februari 2011 .......... 95

4. Data Penggorengan HCC pada Open Fryer 3 Bulan Maret 2011 .............. 96

5. Data Penggorengan ORC pada Pressure Fryer 1 Bulan Februari 2011 .... 97

6. Data Penggorengan ORC pada Pressure Fryer 1 Bulan Maret 2011 ........ 98

7. Data Penggorengan ORC pada Pressure Fryer 2 Bulan Februari 2011 .... 99

8. Data Penggorengan ORC pada Pressure Fryer 2 Bulan Maret 2011 ........ 100

9. Data Pengamatan Suhu Chiller Ayam Februari 2011 ................................ 101

10. Data Pengamatan Suhu Freezer Ayam Februari 2011 …........................... 102

11. Data Pengamatan Suhu Chiller Ayam Maret 2011 .................................... 103

12. Data Pengamatan Suhu Freezer Ayam Maret 2011 ……........................... 104

13. Data Suhu Penerimaan Fresh Chicken dan Fresh Wing Januari 2011 ....... 105

14. Data Suhu Penerimaan Fresh Chicken dan Fresh Wing Februari 2011 ..... 106

15. Data Suhu Penerimaan Fresh Chicken dan Fresh Wing Maret 2011 …..... 107

16. Data Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan Frozen Wing Januari 2011 ... 108

17. Data Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan Frozen Wing Februari 2011.. 109

18. Data Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan Frozen Wing Maret 2011 ..... 110

19. Diagram Pohon Penetapan CCP pada Bahan Mentah …………………..... 111

20. Diagram Pohon Penetapan CCP pada Proses Pengolahan ……………..... 112

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat dunia sekarang ini sedang menghadapi begitu banyak

permasalahan pada sektor pangan. Permasalahan yang terjadi pada sektor pangan

sebagian besar disebabkan oleh pencemaran pada makanan yang pada akhirnya akan

membahayakan kesehatan manusia. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa

sebanyak 76 juta dan 9,4 juta kasus penyakit yang terjadi di USA dan Inggris

disebabkan karena keracunan makanan (Tauxe, 2002; Walker et al., 2003). Kasus

penyakit akibat pencemaran pangan yang terjadi di Indonesia juga cukup

memprihatinkan. Djaafar dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa pada tahun 2004

dan 2005, sebanyak 60% dari 41 kasus penyakit dan 72,20% dari 53 kasus penyakit

di Indonesia disebabkan karena keracunan makanan.

Kasus-kasus tentang pencemaran terhadap produk pangan menyadarkan

masyarakat akan pentingnya keamanan pangan. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia mendefinisikan keamanan pangan sebagai suatu kondisi dan upaya yang

diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan

benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan

manusia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1998). Prinsip keamanan

pangan menjadi sangat penting untuk diterapkan di zaman yang semakin modern.

Masyarakat modern cenderung menginginkan segala sesuatu yang bersifat

instan. Gaya hidup masyarakat modern ke arah yang serba instan juga melahirkan

sebuah konsep baru di dalam proses penyediaan pangan. Konsep pangan siap saji

lahir dan berkembang pesat seiring dengan perubahan dan perkembangan gaya hidup

masyarakat modern. Konsep pangan siap saji juga menyebabkan bisnis restoran siap

saji tumbuh subur.

Pangan siap saji, seiring berjalannya waktu, dinilai sebagai pangan yang

kurang sehat oleh masyarakat, baik di dunia, maupun di Indonesia. Prosedur

penyajian pangan yang terjadi dalam waktu cepat dengan tingkat penjualan yang

cukup tinggi seringkali tidak sesuai dengan standar hygiene dan sanitasi.

Pelaksanaan proses produksi yang tidak sesuai dengan standar hygiene dan sanitasi

memiliki resiko kontaminasi yang cukup tinggi. Restoran siap saji memerlukan

suatu prosedur yang dapat menjamin dan meyakinkan konsumen bahwa produknya

2

layak dan aman untuk dikonsumsi. Keamanan pangan menjadi sangat penting untuk

diterapkan oleh restoran siap saji guna menghasilkan produk yang aman, sehat, utuh,

dan halal (ASUH).

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat menghasilkan produk

pangan siap saji yang ASUH adalah dengan menerapkan sistem HACCP dalam

proses pengolahan produk pangan. Hazard analysis and critical control point

(HACCP) adalah suatu sistem jaminan mutu pangan yang diterapkan dalam proses

produksi oleh industri pangan, termasuk restoran, dalam mengendalikan bahaya yang

mungkin timbul pada setiap tahapan produksi. Sistem HACCP pertama kali

diperkenalkan di USA pada tahun 1960 yang selanjutnya dipublikasikan oleh Codex

Alimentarius Commission serta mendapat rekomendasi dari Food and Agriculture

Organization dan National Advisory Committee on Microbiological Criteria for

Foods (Mortimore dan Wallace, 2001; Takenaka, 2005).

Sistem HACCP hanya dapat diterapkan apabila perusahaan atau restoran

yang bersangkutan telah memenuhi prosedur GMP (good manufacturing practice)

dan SSOP (sanitation standard operating procedure) yang merupakan persyaratan

dasar (pre-requisite programme) terlebih dahulu. SSOP dan GMP merupakan dua

prosedur yang saling berhubungan, sebab prosedur SSOP berisi tentang perencanaan

tertulis untuk melaksanakan GMP, syarat agar aplikasi GMP dapat dimonitor, serta

tindakan koreksi yang harus dilakukan apabila terjadi komplain, verifikasi, dan

dokumentasi (Mortimore dan Wallace, 2001).

Tujuan

Magang penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran

nyata tentang dunia industri serta permasalahan yang menjadi kendala dalam

menghasilkan produk pangan yang ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal),

memperoleh pengalaman bekerja di industri pangan, dan meningkatkan kemampuan

mengobservasi, menganalisis, serta memecahkan masalah-masalah yang timbul di

dunia industri dengan pengetahuan ilmiah. Secara khusus, magang penelitian ini

bertujuan untuk mempelajari penerapan sistem HACCP yang dilakukan pada proses

pengolahan produk ayam goreng di salah satu rumah makan cepat saji yang terdapat

di kota Bogor melalui kegiatan observasi lapang, identifikasi, analisis, dan

pemecahan masalah yang terdapat di lapangan.

TINJAUAN PUSTAKA

Daging Ayam

Manusia telah mendomestikasi ayam selama lebih dari 4000 tahun untuk

diambil daging dan telurnya. Seiring dengan perkembangan zaman, popularitas

daging ayam terus mengalami peningkatan dibandingkan daging sapi. Sekarang ini,

daging ayam telah menjadi salah satu jenis daging yang paling banyak dikonsumsi

oleh masyarakat dunia (Brown, 2000). Daging ayam siap konsumsi umumnya

diklasifikasikan berdasarkan tingkatan umur potong. Data klasifikasi daging ayam

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data Klasifikasi Daging Ayam

Kategori Jenis Kelamin Umur (Minggu)

Cornish game hen ♂ / ♀ 5 – 6

Broiler / fryer ♂ / ♀ < 10

Roaster ♂ / ♀ < 12

Capon ♂ kastrasi < 4

Hen, fowl, baking chicken, stewing chicken ♀ > 10

Cock / rooster ♂ > 10

Sumber : Brown (2000)

Badan Standardisasi Nasional (2009) mendefinisikan daging ayam sebagai

otot skeletal dari karkas ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi manusia.

Daging ayam dapat dikatakan sebagai salah satu tempat penimbunan zat-zat gizi

dalam tubuh. Daging ayam terdiri atas serabut-serabut otot atau muscle fibers.

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah serabut-serabut otot yang terdapat dalam daging

sudah lengkap pada saat menetas. Serabut-serabut otot tersebut akan membesar

dengan bertambahnya umur dan masuknya gizi yang cukup (berasal dari pakan). Zat

gizi yang terdapat di dalam daging ayam, antara lain air, protein, lemak, vitamin, dan

mineral (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000).

Sekarang ini, daging ayam lebih diminati oleh masyarakat dibandingkan

daging sapi, kambing, dan domba karena memiliki harga yang relatif lebih murah

dengan kandungan gizi yang tidak jauh berbeda (Abdullah dan Matarneh, 2010).

Daging ayam juga dinilai memiliki kadar lemak dan kolesterol yang lebih rendah

dibandingkan daging sapi, kambing, dan domba. Hal inilah yang menyebabkan

4

daging ayam menjadi aman untuk dikonsumsi oleh semua orang dari berbagai

tingkatan umur tanpa terkecuali. Data perbandingan kadar lemak dan kolesterol pada

daging ayam dan ruminansia (sapi, kambing, dan domba) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Perbandingan Kadar Lemak Daging Ayam dan Ruminansia

Sumber : Brown (2000)

Karkas Ayam Pedaging

Daging ayam yang beredar di pasaran umumnya dipasarkan dalam bentuk

karkas. Badan Standardisasi Nasional (2009) mendefinisikan karkas ayam pedaging

sebagai bagian dari ayam pedaging hidup, setelah dipotong, dibului, dikeluarkan

jeroan dan lemak abdominalnya, dan dipotong bagian kepala, leher, serta kedua

kakinya. Karkas ayam dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan bobot karkas.

Klasifikasi karkas ayam berdasarkan umur terbagi menjadi tiga kelompok umur,

yaitu muda (fryer/broiler) untuk karkas berumur < 6 minggu, dewasa (roaster) untuk

karkas berumur 6 – 12 minggu, dan tua (stew) untuk karkas berumur > 12 minggu.

Klasifikasi karkas ayam berdasarkan bobot karkas juga terbagi menjadi tiga

kelompok, yaitu kecil (< 1 kg), sedang (1,0 – 1,3 kg), dan besar (> 1,3 kg) (Badan

Standarisasi Nasional, 2009).

Jenis Ternak No Bagian Kadar Lemak (g)

Ayam

1. Chicken breast 7

2. Skinless chicken breast 3

3. Chicken drumstick 10

4. Skinless chicken drumstick 5

5. Chicken wing (1 piece) 7

6. Skinless chicken wing (1 peace) 2

Ruminansia

1. Round steak 6

2. Sirloin 6

3. Roast rump 6

4. Lamb loin chop 8

5. Fillet mignon 9

6. Lamb shoulder 17

7. Ground beef (30% fat) 17

5

Proses pemasaran karkas ayam pedaging dapat dilakukan secara langsung

setelah dipotong (karkas panas), maupun setelah dilakukan proses pembekukan

terlebih dahulu (karkas beku). Proses pembekuan yang sebaiknya dilakukan pada

karkas ayam pedaging adalah proses pembekuan cepat yang dilakukan pada suhu

-25 oC hingga suhu dari karkas ayam pedaging tersebut mencapai -10

oC (Badan

Standarisasi Nasional, 1992).

Potensi Cemaran Biologi terhadap Daging Ayam

Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang mudah

rusak (Mbata, 2005). Daging ayam dapat dengan mudah terkontaminasi, baik oleh

mikroba pembusuk maupun mikroba patogen, karena memiliki berbagai kandungan

zat gizi (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000). Sumber pencemaran pada daging

ayam dapat berupa cemaran fisik, kimia, maupun biologi. Cemaran biologi

merupakan faktor pencemar yang berpotensi paling besar dalam mencemari daging

ayam. Salmonella dan Campylobacter sp. merupakan dua sumber pencemar biologi

yang paling banyak ditemukan pada daging ayam (Mead, 2004). Selain Salmonella

dan Campylobacter sp., Clostridium perfringens, Listeria monocytogenes,

Arcobacter sp., dan E. Coli O157:H7 adalah beberapa jenis mikroorganisme lainnya

yang juga berpotensi mencemari daging ayam (Mead, 2004; Baran dan Gulmez,

2000; Doyle dan Schoeni, 1987).

Salmonella

Salmonella adalah bakteri patogen, berjenis gram negatif, bersifat anaerobik

fakultatif, dan berasal dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella dapat melakukan

dua jenis proses metabolisme dalam tubuhnya, yaitu metabolisme oksidatif dan

fermentatif. Salmonella dapat tumbuh pada rentang suhu 5 oC hingga 45 / 47

oC

dengan rentang suhu optimal 35 – 37 oC. Semua jenis bakteri yang termasuk dalam

famili Enterobacteriaceae sangat sensitif terhadap panas, tidak terkecuali

Salmonella. Proses pasteurisasi pada suhu 72 oC selama 15 detik sudah cukup untuk

membunuh Salmonella. Salmonella dapat tumbuh pada medium dengan kisaran pH

4,5 – 9,0 dengan pH optimal pada kisaran 6,5 – 7,5. Salmonella juga dikenal sebagai

bakteri yang tahan terhadap kadar air (aw). Salmonella dapat tumbuh subuh pada aw

0,945 dan 0,999 serta dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama pada aw

6

0,200. Salmonella juga memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi pada garam (NaCl),

tetapi tahan terhadap nitrit (NO2) (Luning et al., 2006).

Campylobacter sp.

Famili Campylobacteriaceae terdiri dari dua puluh spesies dan subspesies

yang termasuk ke dalam genus Campylobacter dan empat spesies dalam genus

Arcobacter (Vandamme et al., 1991). Sebanyak 95% dari total kasus infeksi

penyakit yang diakibatkan oleh Campylobacter disebabkan oleh C. jejuni dan C. coli

(Nachamkin, 1997). Campylobacter adalah organisme mikroaerofilik yang

membutuhkan 3% – 5% oksigen dan 2% – 10% karbondioksida untuk dapat tumbuh

optimal. Campylobacter sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik dan

tidak dapat tumbuh pada konsentrasi garam 2% atau lebih. Campylobacter juga

tidak dapat tumbuh dan bahkan mati pada pH kurang dari 4,9 (Park, 2002). Kasus

infeksi yang diakibatkan oleh Campylobacter umumnya berasal dari konsumsi bahan

pangan asal ternak yang telah terlebih dahulu terkontaminasi. Daging ayam adalah

bahan pangan asal ternak yang paling sering terkontaminasi oleh Campylobacter.

Survey menunjukkan bahwa 20% – 100% dari ayam yang dipasarkan secara eceran

terkontaminasi oleh Campylobacter dengan tingkat kontaminasi yang bervariasi

antara 102 - 10

5 cfu/karkas. Proses kontaminasi umumnya terjadi pada saat

penyembelihan (Luning et al., 2006).

Arcobacter sp.

Arcobacter adalah genus Campylobacter yang toleran terhadap oksigen

(aerotolerant) (Vandamme et al., 1991). Arcobacter terdiri dari empat spesies, yaitu

A. butzleri, A. cryaerophilus, A. skirrowii, A. nitrofrigilis. Arcobacter memiliki

bentuk morfologi yang sama dengan Campylobacter, hanya bedanya, Arcobacter

dapat tumbuh pada suhu 15 oC tetapi tidak pada suhu 42

oC. Infeksi Arcobacter pada

manusia umumnya terjadi karena mengonsumsi bahan pangan asal unggas,

khususnya daging ayam dan kalkun (Phillips, 2001).

E. coli O157:H7

E. coli O157:H7 adalah bakteri yang sangat toleran terhadap asam dan dapat

hidup pada mayones dengan pH 3,6 – 3,9 pada suhu 5 oC selama 5 – 7 minggu atau

10 – 31 hari pada suhu 8 oC dalam sari apel dengan pH 3,6 – 4,0. Proses pasteurisasi

7

dapat mengurangi jumlah E. coli sebanyak 104 cfu/ml. Suhu pemasakan lebih dari

68,3 oC juga dibutuhkan untuk memastikan bahwa E. coli menjadi tidak aktif pada

semua bahan pangan asal ternak (Doyle et al., 1997). Daging sapi dan hewan

ruminan lain umumnya merupakan sumber penyebab infeksi E. coli yang utama. E.

coli juga dapat mengontaminasi produk pangan asal hewan lainnya melalui air yang

sudah terlebih dahulu terkontaminasi E. coli (Luning et al., 2006).

Clostridium perfringens

Clostridium perfringens adalah bakteri patogen yang sangat agresif. C.

perfringens mampu menghasilkan toksin aktif berupa sel vegetatif yang dapat

berduplikasi setiap 10 menit di dalam saluran pencernaan manusia (Labbé, 1989). C.

perfringens juga akan menghasilkan spora anaerobik yang sangat toleran terhadap

panas dan dapat tumbuh pada kondisi 5% oksigen (Poumeyrol, 1988). Daging dan

produk olahan daging adalah bahan pangan yang paling mudah terkontaminasi C.

perfringens (Center for Food Safety and Applied Nutrition, 2003).

Listeria monocytogenes

Listeria monocytogenes adalah bakteri gram positif, tidak berspora, dan

mikroaerofilik. L. monocytogenes adalah bakteri yang sangat tahan terhadap stres

dan dapat tumbuh pada kondisi lingkungan yang tidak memadai. L. monocytogenes

dapat tumbuh pada suhu 0 – 45 oC dengan suhu optimal pertumbuhan adalah 25 –

30 oC. Fakta ini menunjukkan bahwa L. monocytogenes adalah bakteri psikotrofik

yang dapat berkembang biak pada suhu rendah. L. monocytogenes dapat bertahan

hidup pada suhu -18 oC. L. monocytogenes dapat tumbuh optimal pada pH 7 – 7,5

dan dapat bertahan hidup hingga pH 4,4 pada suhu 30 oC atau pada pH 5,0 dan 9,0

pada suhu 4 oC (Davies dan Adams, 1994). Mikroorganisme ini dapat ditemukan di

tanah dan air serta dapat mengontaminasi tanaman dan hewan. Mikroorganisme ini

juga dapat dengan mudah mengontaminasi bahan pangan, seperti susu murni, susu

pasteurisasi, produk olahan susu dengan kadar lemak tinggi, keju lunak (soft cheese),

sayuran, daging mentah dan matang (termasuk daging unggas). Manusia dapat

terinfeksi mikroorganisme ini apabila mengonsumsi bahan pangan yang telah

terkontaminasi (Food and Drug Administration, 2003).

8

Penggorengan

Salah satu proses pengolahan pangan tertua dan banyak diterapkan adalah

penggorengan (Choe dan Min, 2007). Penggorengan merupakan suatu proses

pemanasan bahan pangan dengan menggunakan medium minyak goreng sebagai

penghantar panas. Tujuan dari proses penggorengan, antara lain melakukan

pemanasan pada bahan pangan, pemasakan, dan pengeringan pada bahan pangan

yang digoreng (Muchtadi, 2008).

Proses penggorengan umumnya hanya berlangsung pada waktu singkat,

sebab selama penggorengan, perubahan pada bahan pangan sangat cepat terjadi

akibat suhu penggorengan yang tinggi. Proses penggorengan bersifat efisien, sebab

energi panas yang diberikan tidak banyak terbuang selama proses penggorengan, dan

media pindah panas (minyak goreng) juga dapat dipakai kembali. Proses

penggorengan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan metode perpindahan panas

yang terjadi selama penggorengan, yaitu shallow / pan frying atau penggorengan

dangkal dan deep-fat frying (Fellows, 2000).

Setiap bahan pangan memiliki waktu penggorengan yang berbeda-beda.

Waktu penggorengan yang dibutuhkan bahan pangan tergantung pada beberapa

faktor, yaitu jenis bahan pangan, suhu minyak goreng, metode penggorengan,

ketebalan bahan pangan, dan tingkat perubahan sesuai dengan mutu makanan yang

diinginkan (Muchtadi, 2008; Fellows, 2000).

Minyak yang digunakan dalam proses penggorengan umumnya akan

mengalami tiga jenis reaksi kimia, yaitu hidrolisis, oksidasi, dan polimerisasi,

sehingga akan menghasilkan senyawa-senyawa volatil dan nonvolatil. Sebagian

besar dari senyawa volatil akan menguap di atmosfer, sedangkan senyawa nonvolatil

akan mengalami reaksi kimia lanjutan atau terserap ke dalam pangan. Senyawa

nonvolatil yang dihasilkan akan mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia dari

bahan pangan maupun minyak itu sendiri. Senyawa nonvolatil juga akan

mempengaruhi kualitas dan stabilitas rasa serta tekstur dari pangan yang digoreng

selama proses penyimpanan (Choe dan Min, 2007).

Deep-fat Frying

Deep-fat frying adalah salah satu metode penyajian makanan yang terkenal di

dunia. Metode deep-fat frying adalah salah satu metode penggorengan yang

9

dilakukan dengan menggunakan minyak goreng dalam jumlah banyak sehingga

bahan pangan yang digoreng akan terendam seluruhnya di dalam minyak goreng.

Proses perpindahan panas dan massa yang terjadi pada metode penggorengan deep-

fat frying merupakan kombinasi antara proses perpindahan panas secara konveksi

melalui media pindah panas minyak goreng dan proses perpindahan panas secara

konduksi melalui bagian dalam bahan pangan yang terjadi secara simultan

(Muchtadi, 2008; Lui-ping et al., 2005).

Proses penggorengan dengan metode deep-fat frying akan menyebabkan

terjadinya beberapa hal, antara lain pembentukan komponen rasa (flavor), perubahan

warna dan tekstur, serta perubahan kualitas nutrisi pada pangan yang digoreng (Choe

dan Min, 2007). Metode deep-fat frying memungkinkan bahan pangan memperoleh

panas secara lebih merata selama proses penggorengan, sehingga akan menghasilkan

hasil gorengan yang masak secara merata dengan warna dan penampakan yang

seragam. Metode deep-fat frying sering digunakan untuk menciptakan rasa dan

tekstur yang unik dalam proses pengolahan pangan (Patterson et al., 2004). Metode

deep-fat frying merupakan metode yang sesuai untuk digunakan dalam proses

penggorengan berbagai jenis bahan pangan, akan tetapi, bahan pangan yang memiliki

bentuk yang tidak merata akan cenderung memerangkap minyak dalam jumlah yang

lebih banyak pada saat produk pangan tersebut diangkat dari penggorengan (Fellows,

2000).

Reaksi Oksidasi Selama Proses Penggorengan

Proses penggorengan umumnya dilakukan secara terbuka pada tekanan

atmosfer. Proses penggorengan yang dilakukan pada keadaan terbuka

memungkinkan terjadinya kontak antara permukaan minyak goreng dengan oksigen.

Minyak yang mengalami kontak dengan oksigen pada saat proses penggorengan

akan mengalami reaksi oksidasi sehingga terjadi penurunan kualitas. Lapisan

minyak yang terpapar langsung oleh oksigen adalah bagian yang paling rentan

mengalami reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi antara minyak dan oksigen terjadi dalam

tiga tahap, yaitu inisiasi (initiation), perambatan (propagation), pembentukan cabang

(branching), dan penghentian (termination). Tahap inisiasi pada reaksi oksidasi

diawali dengan terjadinya pelepasan hidrogen dari asam lemak tidak jenuh secara

homolitik sehingga terbentuk radikal alkil karena adanya inisiator (panas, oksigen

10

aktif, logam, dan cahaya). Radikal alkil kemudian bereaksi dengan oksigen

membentuk radikal peroksi (propagation) yang selanjutnya akan bereaksi dengan

asam lemak tidak jenuh membentuk hidroproksida dan radikal alkil. Radikal alkil

yang baru kemudian akan bereaksi dengan oksigen. Hidroperoksida asam lemak tak

jenuh yang terbentuk dari reaksi oksidasi sangat tidak stabil dan mudah mengalami

pemecahan (dekomposisi) menjadi berbagai senyawa flavor dan produk nonvolatil

(branching). Dekomposisi hidroperoksida akan menyebabkan terjadinya pemutusan

gugus -OOH sehingga terbentuk radikal alkoksi dan radikal hidroksi. Radikal

alkoksi kemudian mengalami pemutusan beta pada rantai C-C sehingga terbentuk

aldehid dan radikal alkil (termination). Berbagai senyawa hasil proses degradasi

lipida, yaitu hidrokarbon, aldehid, keton, asam karboksilat, alkohol, dan heterosiklik.

Oksidasi lipida akan membentuk suatu radikal bebas yang bersifat karsinogen.

Selain reaksi oksidasi, reaksi hidrolisis dan hidrogenasi pada minyak juga dapat

menurunkan kualitas minyak (Wasowicz et al., 2004).

Potensi Cemaran Kimia pada Proses Pengolahan Pangan

Proses pengolahan pangan pasti melibatkan berbagai reaksi kimia. Reaksi

kimia yang terjadi pada saat proses pengolahan dapat menghasilkan senyawa kimia

yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Sebagian besar senyawa kimia yang

tidak diinginkan memiliki tingkat toksisitas yang tinggi. Jumlah keseluruhan

senyawa kimia toksik belum diketahui secara pasti, akan tetapi beberapa diantaranya

telah teridentifikasi. Polycyclicaromatic hydrocarbons (PAH), heterocyclic amines,

nitrosoamines, oxidised sterols, oxidised triacylglycerols, 3-monochloropropane-1,2-

diol (3-MCPD) adalah contoh senyawa-senyawa kimia toksik yang dihasilkan selama

proses pengolahan pangan. Acrylamide juga termasuk dalam kelompok senyawa

kimia toksik, akan tetapi belum teridentifikasi secara sempurna (Luning et al., 2006;

Svejkovska et al., 2006).

3-Monochloropropane-1,2-diol (3-MCPD)

Senyawa 3-monochloropropane-1,2-diol atau 3-MCPD dikenal sebagai

senyawa kimia yang terbentuk dari proses pengolahan bahan pangan kaya akan

acylglycerols, gliserol, dan natrium klorida pada suhu tinggi, yaitu 100 – 230 oC.

Daging dan serealia adalah dua contoh bahan pangan yang kaya akan lemak.

Pembentukan senyawa 3-MCPD umumnya terjadi pada proses pengolahan pangan

11

seperti pemanggangan, penggorengan, maupun pembakaran. Senyawa 3-MCPD

terkait erat dengan peristiwa karsinogenesis (Svejkovska et al., 2006).

Heterocyclic Amines

Proses pengolahan pangan kaya protein hewani pada kondisi normal dapat

memicu terbentuknya senyawa mutagenik yang dikenal sebagai heterocyclic amines.

Sekarang ini, sekitar dua puluh jenis senyawa heterocyclic amines telah

teridentifikasi dengan baik. Beberapa senyawa heterocyclic amines juga telah

terbukti bersifat karsinogenik melalui studi genetik jangka panjang. Dua jenis

senyawa heterocyclic amines yang paling banyak ditemukan adalah 2-amino-3,8-

dimethylimidazo[4,5-f]quinoxaline yang merupakan senyawa imidazoquinoline (IQ)

dan 2-amino-1-metil-6-imidazo[4,5b]piridin yang juga dikenal sebagai senyawa

imidazoquinoxaline. Imidazoquinoxaline atau PhIP umumnya diproduksi pada

jumlah yang lebih tinggi (480 ng/g) dibandingkan imidazoquinoline atau MelQx (50

ng/g). Reaksi Maillard dianggap memiliki kaitan erat dengan produksi senyawa

imidazoquinoline (IQ). Produk samping hasil reaksi Maillard yang dikenal sebagai

degradasi Strecker, seperti pyrazines dan pyridines, diperkirakan bereaksi dengan

senyawa karbonil dan amino sehingga membentuk senyawa heterocyclic amines.

Produksi senyawa heterocyclic amines dapat dihambat melalui penambahan

senyawa-senyawa aditif, seperti asam sulfit, nitrit atau asam sitrat. Produk pangan

yang dimasak umumnya mengandung senyawa heterocyclic amines dalam jumlah

yang sangat rendah dan bahkan tidak terdeteksi (Luning et al., 2006).

Acrylamide

Senyawa acrylamide, meskipun belum lama ditemukan, dinilai memiliki

kaitan yang sangat erat dengan senyawa heterocyclic amines. Kehadiran senyawa

acrylamide dalam produk pangan juga dinilai sebagai hasil dari reaksi Maillard.

Sedikit berbeda dengan heterocyclic amines, senyawa acrylamide umumnya banyak

diproduksi pada produk pangan yang kaya akan karbohidrat, seperti kentang dan

serealia. Selain faktor endogen, proses pengolahan juga berperan dalam

pembentukan senyawa acrylamide, seperti pemasakan, pemanggangan, dan

penggorengan. Proses pengolahan pangan dengan perebusan dinilai akan

menghasilkan senyawa acrylamide yang lebih rendah, karena air dapat menghambat

pembentukan senyawa acrylamide. Proses penggorengan dan pemanggangan dinilai

12

akan menghasilkan senyawa acrylamide dalam jumlah yang cukup besar (Luning et

al., 2006).

Good Manufacturing Practice

Selain SSOP, sistem HACCP juga memiliki persyaratan dasar lain yang harus

dipenuhi, yaitu good manufacturing practice. Good manufacturing practice atau

GMP dapat dikatakan sebagai salah satu pilar penopang sistem HACCP dalam

menjamin praktek pencegahan terhadap kontaminasi yang menyebabkan produk

menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Winarno dan Surono, 2002). Thaheer (2005)

mendefinisikan GMP sebagai suatu pedoman cara memproduksi makanan yang

bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan

untuk menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen.

Setiap restoran maupun industri pangan harus memenuhi persyaratan GMP

apabila ingin memperoleh izin mendirikan usaha. Penerapan GMP dilakukan sesuai

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.715/MENKES/SK/V/2003

tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Penerapan GMP harus memenuhi

lima persyaratan utama, yaitu persyaratan umum hygiene, persyaratan khusus

golongan, persyaratan hygiene sanitasi makanan, persyaratan hygiene sanitasi

pengolahan makanan, dan persyaratan hygiene sanitasi penyimpanan makanan.

Persyaratan Umum Hygiene

Persyaratan pertama adalah persyaratan hygiene secara umum. Persyaratan

ini terdiri dari dua aspek utama, yaitu lokasi serta bangunan dan fasilitas.

Lokasi. Lokasi restoran adalah aspek persyaratan umum hygiene pertama. Jarak

restoran harus terletak minimal 500 m dari sumber pencemaran, seperti tempat

sampah umum, WC umum, bengkel cat, maupun sumber pencemaran lainnya. Jarak

minimal 500 meter ditentukan secara pasti berdasarkan batas terbang lalat rumah.

Bangunan dan Fasilitas. Aspek ini memiliki 15 hal yang harus diperhatikan, yaitu

halaman, konstruksi, lantai, dinding, langit-langit, pintu dan jendela, pencahayaan,

ventilasi, ruang pengolahan makanan, fasilitas pencucian peralatan dan bahan

makanan, tempat cuci tangan, air bersih, jamban dan peturasan, kamar mandi, serta

tempat sampah.

13

a. Halaman

Halaman harus mempunyai papan nama perusahaan serta nomor Izin Usaha dan

Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi. Halaman harus bersih, tidak banyak lalat dan

tersedia tempat sampah yang memenuhi syarat hygiene sanitasi serta tidak

terdapat tumpukan barang-barang yang dapat menjadi sarang tikus.

Pembuangan air kotor (limbah dapur dan kamar mandi) tidak menimbulkan

sarang serangga maupun jalan masuknya tikus dan dipelihara kebersihannya.

Pembuangan air hujan lancar dan tidak menimbulkan genangan air.

b. Konstruksi

Bangunan restoran harus memenuhi persyaratan teknis konstruksi bangunan

yang berlaku. Konstruksi, selain kuat, juga harus dalam keadaan bersih secara

fisik dan bebas dari barang-barang sisa atau bekas yang ditempatkan

sembarangan.

c. Lantai

Aspek selanjutnya adalah lantai. Permukaan lantai harus rapat air, halus,

kelandaian cukup, tidak licin, dan mudah dibersihkan.

d. Dinding

Permukaan dinding sebelah dalam halus, kering / tidak menyerap air, dan mudah

dibersihkan. Permukaan dinding yang mudah terkena percikan air harus dilapisi

bahan kedap air berpermukaan halus hingga ketinggian 2 meter, tidak menahan

debu, dan berwarna terang.

e. Langit – langit

Bidang langit-langit harus menutup atap bangunan. Permukaan langit-langit

ruang pengolahan dan penyimpanan makanan serta ruang pencucian alat

makanan maupun tempat cuci tangan harus dibuat dari bahan yang

permukaannya rata dan mudah dibersihkan, tidak menyerap air, serta berwarna

terang. Tinggi langit-langit tidak kurang dari 2,4 meter di atas lantai.

f. Pintu dan jendela

Pintu-pintu pada ruang pengolahan makanan harus membuka ke arah luar.

Jendela, pintu, dan lubang ventilasi ruang pengolah makanan harus dilengkapi

dengan kassa yang dapat dibuka dan dipasang. Semua pintu ruang pengolahan

14

makanan dibuat menutup sendiri atau dilengkapi peralatan anti lalat, seperti

kassa, tirai pintu rangkap, dan lain-lain.

g. Pencahayaan

Intensitas pencahayaan harus cukup untuk dapat melakukan pemeriksaan,

pembersihan, dan pekerjaan-pekerjaan lain secara efektif. Setiap ruangan

pengolahan makanan dan tempat mencuci tangan harus memiliki intensitas

pencahayaan minimal 10 fc (100 lux) pada titik 90 cm dari lantai. Pencahayaan

tidak boleh menimbulkan silau dan harus sejauh mungkin menghindarkan

bayangan.

h. Ventilasi

Ruangan pengolahan makanan harus dilengkapi dengan ventilasi yang dapat

menjaga kenyamanan. Ventilasi (+ 20% dari luas lantai) harus dapat mencegah

udara dalam ruangan tidak terlalu panas, mencegah terjadinya kondensasi uap air

atau lemak pada lantai, dinding, serta langit-langit, dan membuang bau, asap,

serta pencemar lain dari ruangan.

i. Ruang pengolahan makanan

Luas ruangan pengolahan makanan harus efisien dan memudahkan dalam proses

pelaksanaan untuk menghindari kemungkinan kontaminasi makanan dan

memudahkan pembersihan. Luas lantai dapur yang bebas dari peralatan minimal

2 m2 untuk setiap pekerja. Ruang pengolahan makanan tidak boleh berhubungan

langsung dengan jamban, peturasan, dan kamar mandi. Kegiatan pengolahan

makanan harus dilengkapi dengan meja kerja dan lemari tempat penyimpanan

bahan makanan maupun makanan jadi yang terlindung dari gangguan tikus dan

hewan lainnya.

j. Fasilitas pencucian peralatan dan bahan makanan

Proses pencucian peralatan harus menggunakan bahan pembersih atau deterjen.

Proses pencucian bahan makanan yang tidak dimasak harus menggunakan

larutan kalium permanganat 0,02% atau di dalam rendaman air mendidih selama

beberapa detik. Peralatan dan bahan makanan yang telah dibersihkan harus

disimpan dalam tempat yang terlindung dari kemungkinan pencemaran oleh

tikus dan hewan lainnya.

15

k. Tempat cuci tangan

Tempat cuci tangan harus terpisah dengan tempat cuci peralatan maupun bahan

makanan yang dilengkapi dengan air kran, saluran pembuangan tertutup, bak

penampungan, sabun, dan pengering. Jumlah tempat cuci tangan harus

disesuaikan dengan banyaknya pekerja, 1 tempat cuci tangan hanya boleh

digunakan maksimal 10 orang. Tempat cuci tangan harus diletakkan sedekat

mungkin dengan tempat bekerja.

l. Air bersih

Air bersih harus tersedia cukup untuk seluruh kegiatan penyelenggaraan

restoran. Kualitas air bersih harus memenuhi standar baku mutu air bersih yang

tertuang di dalam SNI 01-3553-1996.

m. Jamban dan peturasan

Restoran harus mempunyai jamban dan peturasan yang memenuhi syarat

hygiene sanitasi. Jumlah jamban harus disesuaikan dengan jumlah pekerja, yaitu

1 – 10 orang: 1 buah; 11 - 25 orang: 2 buah; 26 - 50 orang: 3 buah, dan diikuti

dengan penambahan 1 buah setiap penambahan 25 orang berikutnya. Jumlah

peturasan juga harus mencukupi dan disesuaikan dengan jumlah karyawan yaitu:

1 - 30 orang: 1 buah; 31 - 60 orang: 2 buah, dan diikuti dengan penambahan 1

buah setiap penambahan 30 orang berikutnya.

n. Kamar mandi

Restoran harus dilengkapi kamar mandi dengan air kran mengalir dan saluran

pembuangan air limbah yang memenuhi pedoman plumbing Indonesia. Jumlah

kamar mandi harus mencukupi kebutuhan dan disesuaikan dengan jumlah

pekerja, yaitu 1 buah untuk 1 – 10 orang dengan penambahan 1 buah untuk

setiap 20 orang.

o. Tempat sampah

Tempat sampah, seperti kantong plastik, kertas, maupun bak sampah tertutup

harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan diletakkan sedekat mungkin dengan

sumber produksi sampah, akan tetapi terhindar dari kemungkinan tercemarnya

makanan oleh sampah. Penanggung jawab restoran harus memelihara semua

bangunan dan fasilitas dengan baik untuk menghindari kemungkinan terjadinya

16

pencemaran terhadap makanan, akumulasi debu atau jasad renik, meningkatnya

suhu, akumulasi sampah, serangga, tikus, dan genangan air.

Persyaratan Khusus Golongan

Persyaratan khusus golongan terdiri dari tiga aspek, yaitu restoran golongan

A1, restoran golongan A2, dan restoran golongan A3.

Restoran Golongan A1. Golongan restoran ini melayani kebutuhan masyarakat

umum dengan pengolahan produk menggunakan dapur rumah tangga dan dikelola

oleh keluarga. Restoran golongan ini harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :

restoran harus memenuhi persyaratan umum,

ruang pengolahan makanan tidak boleh dipakai sebagai ruang tidur,

restoran harus menyediakan ventilasi yang dapat memasukkan udara segar

apabila bangunan tidak mempunyai ventilasi alam yang cukup,

pembuangan udara kotor atau asap tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap

lingkungan,

restoran harus menyediakan tempat cuci tangan dengan permukaan yang halus

dan mudah dibersihkan,

restoran harus memiliki minimal 1 buah lemari es untuk menyimpan makanan

yang mudah rusak.

Restoran Golongan A2. Golongan restoran ini melayani kebutuhan masyarakat

umum dengan proses pengolahan yang menggunakan dapur rumah tangga dan

mempekerjakan tenaga kerja. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh restoran

golongan A2, yaitu :

memenuhi persyaratan restoran golongan A1,

ruang pengolahan makanan dan ruangan lain harus dipisahkan dengan dinding

pemisah,

pembuangan asap dari dapur harus dilengkapi dengan alat pembuangan asap

yang membantu proses pengeluaran sehingga tidak mengotori ruangan,

restoran harus memiliki minimal 1 buah lemari es untuk menyimpan makanan

yang mudah rusak,

17

bangunan harus dilengkapi dengan tempat penyimpanan dan ganti pakaian yang

cukup dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga mencegah kontaminasi

terhadap makanan.

Restoran Golongan A3. Golongan restoran ini melayani kebutuhan masyarakat

umum dengan proses pengolahan yang menggunakan dapur khusus dan

mempekerjakan tenaga kerja. Persyaratan restoran golongan A3, yaitu :

memenuhi persyaratan restoran golongan A2,

ruang pengolahan makanan harus terpisah dari bangunan untuk tempat tinggal,

pembuangan asap dari dapur harus dilengkapi dengan alat pembuangan asap dan

cerobong asap,

ruang pengolahan makanan harus terpisah secara jelas dengan ruang penyiapan

makanan matang,

restoran harus memiliki lemari penyimpanan dingin yang dapat mencapai suhu -

5 oC dengan kapasitas yang cukup untuk melayani kegiatan sesuai dengan jenis

bahan makanan yang digunakan,

restoran harus memiliki kendaraan pengangkut makanan khusus dengan

konstruksi tertutup dan hanya digunakan untuk mengangkut makanan matang,

alat atau tempat angkut makanan harus tertutup sempurna, dibuat dari bahan

kedap air, permukaan halus, dan mudah dibersihkan,

setiap kotak wadah makanan sekali pakai harus dicantumkan nama perusahaan,

nomor izin usaha, dan laik hygiene sanitasi,

restoran yang menyajikan makanan tidak dengan kotak harus mencantumkan

nama perusahaan, nomor izin usaha, dan laik hygiene sanitasi di tempat

penyajian yang mudah diketahui umum.

Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan

Persyaratan hygiene sanitasi makanan terdiri dari tiga aspek, yaitu bahan

makanan, makanan terolah, dan makanan jadi.

Bahan Makanan. Bahan makanan yang akan diolah, terutama daging, susu, telur,

ikan atau udang, dan sayuran harus baik, segar, dan tidak rusak atau berubah bentuk,

warna, dan rasa, serta berasal dari tempat resmi yang diawasi. Bahan terolah yang

18

dikemas, bahan tambahan, dan bahan penolong harus memenuhi persyaratan

keputusan Menteri Kesehatan yang berlaku.

Makanan Terolah. Makanan yang dikemas harus mempunyai label dan merek,

terdaftar dan mempunyai nomor daftar, memiliki kemasan yang utuh dan tidak cacat,

belum kadaluarsa, dan penggunaan kemasan tidak dilakukan berulang. Makanan

yang tidak dikemas harus baru dan segar, tidak mengandung bahan yang dilarang,

dan tidak basi, busuk, rusak, atau berjamur.

Makanan Jadi. Makanan jadi tidak boleh rusak atau busuk yang ditandai dari

perubahan rasa, warna, dan bau serta berlendir atau berjamur. Makanan harus

memenuhi persyaratan bakteriologis berdasarkan ketentuan yang berlaku. Angka

bakteri E. coli pada makanan dan minuman jadi harus 0/gram contoh makanan dan

minuman. Jumlah kandungan logam berat residu pestisida pada makanan jadi tidak

boleh melebihi ambang batas yang diperkenankan berdasarkan ketentuan yang

berlaku.

Persyaratan Hygiene Sanitasi Pengolahan Makanan

Persyaratan hygiene sanitasi pengolahan makanan terdiri dari aspek karyawan

pengolah makanan, peralatan yang kontak dengan makanan, dan cara pengolahan

makanan.

Karyawan Pengolah Makanan. Karyawan pengolah makanan harus memiliki

sertifikat hygiene sanitasi makanan, berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat

keterangan dokter, tidak mengidap penyakit menular, seperti thypus, kolera, TBC,

dan lain-lain, serta memiliki buku pemeriksaan kesehatan yang berlaku.

Peralatan yang Kontak dengan Makanan. Peralatan yang kontak dengan

makanan harus memiliki permukaan yang utuh dan mudah dibersihkan, memiliki

lapisan permukaan yang tidak terlarut dalam asam, basa, atau garam-garam yang

lazim dijumpai dalam makanan, tidak mengeluarkan logam berat beracun yang

membahayakan, seperti timah hitam (Pb), arsenikum (As), tembaga (Cu), seng (Zn),

cadmium (Cd), dan antimon (Stibium) apabila bersentuhan dengan makanan,

memiliki wadah yang dapat menutup dengan sempurna, serta memiliki angka

kebersihan yang ditentukan dengan angka kuman maksimal 100/cm3 permukaan dan

tidak terdapat bakteri E. coli.

19

Cara Pengolahan Makanan. Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan

dengan cara yang terlindung dari kontak langsung dengan tubuh. Perlindungan

kontak langsung dengan makanan dilakukan dengan menggunakan sarung tangan

plastik sekali pakai, penjepit makanan, dan sendok garpu. Perlindungan pencemaran

terhadap makanan dilakukan dengan menggunakan celemek (apron), tutup rambut

(hair net), dan sepatu dapur. Perilaku karyawan yang harus dipatuhi selama bekerja,

yaitu tidak merokok, tidak makan atau mengunyah, tidak memakai perhiasan kecuali

cincin nikah polos, tidak menggunakan peralatan dan fasilitas yang tidak diperlukan,

selalu mencuci tangan sebelum bekerja dan setelah keluar dari kamar kecil, selalu

memakai pakaian kerja dan pakaian pelindung dengan benar, selalu memakai

pakaian kerja yang bersih, dan tidak diperkenankan memakai pakaian kerja selain di

tempat kerja.

Persyaratan Hygiene Sanitasi Penyimpanan Makanan

Persyaratan hygiene sanitasi penyimpanan makanan terdiri dari empat aspek,

yaitu penyimpanan bahan mentah, penyimpanan makanan terolah, penyimpanan

makanan jadi, dan cara penyimpanan makanan.

Penyimpanan Bahan Mentah. Standar penyimpanan bahan mentah dapat dilihat

pada Tabel 3. Ketebalan dan bahan padat tidak lebih dari 10 cm. Kelembaban dalam

ruang penyimpanan harus berkisar antara 80% – 90%.

Tabel 3. Standar Suhu Penyimpanan Bahan Mentah

Jenis Bahan Makanan Lama Penyimpanan

3 hari atau kurang 1 minggu atau kurang 1 minggu atau lebih

oC

oC

oC

Daging, ikan, udang, dan

olahannya (-5) - 0 (-10) - (-5) > -10

Telur, susu, dan olahannya 5 - 7 (-5) – 0 > -5

Sayur, buah, dan minuman 10 10 10

Tepung dan biji 25 25 25

Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.715 Thn 2003

20

Penyimpanan Makanan Terolah. Makanan kemasan tertutup sebaiknya disimpan

dalam suhu sekitar 10 oC.

Penyimpanan Makanan Jadi. Makanan jadi atau makanan matang harus

terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga, dan hewan. Makanan

dengan masa kadaluarsa yang singkat harus disimpan dalam suhu 65,5 oC atau lebih

atau disimpan dalam suhu 4 oC atau kurang. Makanan dengan masa kadaluarsa

singkat yang ingin digunakan dalam waktu lama (lebih dari 6 jam) harus disimpan

dalam suhu -5 oC sampai -1

oC.

Cara Penyimpanan Makanan. Cara penyimpanan makanan yang baik, yaitu tidak

tercampur antara produk matang dengan bahan mentah serta tidak menempel pada

lantai, dinding, atau langit-langit dengan ketentuan 15 cm untuk jarak makanan

dengan lantai, 5 cm untuk jarak makanan dengan dinding, dan 60 cm untuk jarak

makanan dengan langit-langit.

Sanitation Standard Operating Procedure

Sanitasi pangan, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 7

tentang Pangan (Kementerian Negara Sekretaris Negara, 1996), didefinisikan sebagai

suatu upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya

jasad renik atau mikroorganisme pembusuk dan patogen dalam pangan, minuman,

peralatan, dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia.

Sanitasi sangat diperlukan dalam proses produksi pangan guna menjamin produk

yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi dan tidak menyebabkan keracunan yang

dapat membahayakan kesehatan manusia (foodborne illness). Faktor-faktor yang

dapat menjadi sumber kontaminan, antara lain air, bahan baku produksi, peralatan,

pekerja, dan ruang pengolahan. Pentingnya sanitasi dalam proses produksi pangan

menyebabkan diperlukannya suatu prosedur yang memperhatikan mekanisme

sanitasi produk di dalam pelaksanaannya (Winarno dan Surono, 2002).

Sanitation standard operating procedure atau yang lebih dikenal dengan

SSOP merupakan prosedur operasi standar sanitasi yang umumnya dilakukan oleh

perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan pangan. Menurut Mortimore

dan Wallace (2001), SSOP merupakan suatu komponen program persyaratan teknis

21

dasar (pre-requisite programme) yang harus dipenuhi apabila suatu unit usaha akan

memulai suatu proses produksi dan berencana untuk menerapkan HACCP.

Winarno dan Surono (2002) menyatakan bahwa penerapan SSOP memiliki

tujuan agar setiap karyawan, baik karyawan teknis maupun non teknis, dapat :

1. mengerti bahwa program kebersihan dan sanitasi akan meningkatkan kualitas,

sehingga tingkat keamanan produk akan meningkat seiring dengan menurunnya

kontaminasi mikroorganisme;

2. mengetahui adanya peraturan GMP yang mengharuskan digunakannya zat-zat

tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program sanitasi dan hygiene;

3. mengetahui tahapan-tahapan dalam program hygiene dan sanitasi;

4. mengetahui persyaratan minimum penggunaan sanitasi dengan klorin pada air

pendingin, khususnya pada industri pengolahan makanan;

5. mengetahui adanya faktor-faktor, seperti suhu, pH, dan konsentrasi desinfektan

yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi;

6. mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak

dijalankan dengan cukup.

Prosedur penerapan SSOP mencakup beberapa hal, yaitu kebijakan

perusahaan, tahapan kegiatan, nama petugas, cara pemantauan, dan cara dokumentasi

sebagai pertimbangan dalam melakukan inspeksi. Faktor penting yang harus

diperhatikan dan dipenuhi dalam penyusunan SSOP, yaitu keamanan air; kebersihan

permukaan yang kontak dengan bahan pangan; pecegahan kontaminasi silang;

pemeliharaan fasilitas kebersihan (fasilitas cuci dan sanitizer tangan serta toilet);

pencegahan terhadap pencemaran (adulterasi); pelabelan (labelisasi), penyimpanan,

dan penggunaan senyawa berbahaya; kesehatan pekerja; dan pengendalian hama

(Winarno dan Surono, 2002).

Keamanan Air

Aspek pertama dari delapan kunci SSOP adalah keamanan air. Aspek

keamanan air yang harus diperhatikan, yaitu suplai air bersih untuk air yang kontak

dengan bahan makanan maupun air yang kontak dengan permukaan yang kontak

dengan bahan makanan serta tidak ada kontaminasi silang antara air yang dapat

diminum dengan yang tidak dapat diminum.

22

Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan Pangan

Permukaan yang kontak langsung dengan bahan pangan harus mudah

dibersihkan, tidak bereaksi, tahan karat, tidak menyerap, dan tidak mengandung

toksik. Proses pencucian permukaan yang kontak dengan bahan makanan harus

menggunakan bahan pembersih atau deterjen.

Pencegahan Kontaminasi Silang

Kontaminasi silang umumnya disebabkan oleh human eror. Proses

pencegahan kontaminasi silang dapat dilakukan melalui pemisahan antara bahan

mentah dan produk matang, perlindungan terhadap produk selama pengolahan dan

penyimpanan, serta pelaksanaan proses sanitasi ruangan dan peralatan pengolahan

makanan yang baik dan benar.

Fasilitas Kebersihan

Salah satu aspek penting dalam mewujudkan sanitasi pangan adalah

kebersihan. Restoran harus menjamin ketersediaan, kelengkapan, dan kondisi

fasilitas kebersihan yang dimiliki, yaitu fasilitas cuci tangan, sanitizer, serta toilet.

Pencegahan Adulterasi

Aspek kelima adalah pencegahan adulterasi. Kegiatan pencegahan terhadap

pencemaran dilakukan untuk menjamin produk pangan, bahan pangan, maupun

permukaan yang kontak dengan bahan pangan terhindar dari cemaran fisik, kimia,

dan biologi termasuk pelumas, pestisida, senyawa pembersih, bahan bakar, sanitizer,

serta cipratan dari lantai.

Pelabelan dan Penyimpanan Senyawa Berbahaya

Aspek keenam adalah pelabelan dan penyimpanan senyawa berbahaya.

Proses pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan senyawa berbahaya mencakup jenis

dan tata cara pelabelan, prosedur penggunaan, serta metode penyimpanan bahan-

bahan kimia yang digunakan, baik pada proses produksi, desinfeksi, pembersihan,

dan lain-lain.

Kesehatan Pekerja

Aspek selanjutnya adalah kesehatan pekerja. Restoran harus melakukan

kegiatan pemantauan dan pengelolaan kesehatan pekerja secara rutin guna mencegah

23

terjadinya kontaminasi pada produk pangan, bahan pangan, kemasan, maupun

peralatan pengolahan pangan oleh pekerja yang tidak sehat.

Pengendalian Hama

Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk menjamin dan menghindarkan

unit pengolahan pangan dari intervensi hama. Kegiatan pengendalian hama

mencakup prosedur pencegahan, pemusnahan, dan penggunaan bahan kimia

pembasmi hama (Winarno dan Surono, 2002).

Hazard Analysis and Critical Control Point

Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendefinisikan keamanan pangan

sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari

kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,

merugikan, serta membahayakan kesehatan manusia (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 1998). Keamanan pangan merupakan faktor yang sangat

diperhatikan oleh masyarakat dunia saat ini. Masyarakat dunia menginginkan agar

makanan yang dikonsumsinya terbebas dari segala bentuk kontaminan. Keadaan

inilah yang menyebabkan, baik industri pengolahan pangan maupun restoran, harus

menerapkan suatu sistem pengendalian mutu dalam proses produksi yang

dilakukannya guna menghasilkan produk pangan yang aman untuk dikonsumsi

(Brown, 2000).

Hazard analysis and critical control point (HACCP) adalah suatu sistem

jaminan mutu pangan yang diterapkan dalam proses produksi oleh industri pangan

maupun restoran dan difokuskan terhadap bahaya yang mungkin timbul pada setiap

tahapan produksi. HACCP merupakan alat yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi dan mengevaluasi bahaya serta menetapkan sistem pengendalian

bahaya yang diarahkan pada tindakan pencegahan untuk meminimalkan bahaya

keamanan pangan yang mungkin terjadi sebelum, selama, dan sesudah proses

pengolahan pangan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir

(Badan Standarisasi Nasional, 1998). Penerapan sistem HACCP dalam proses

produksi bertujuan untuk menghasilkan produk pangan yang ASUH (aman, sehat,

utuh, dan halal). Prosedur penerapan sistem HACCP tertuang secara lengkap di

dalam dokumen HACCP plan. HACCP plan merupakan dokumen yang dibuat

24

berdasarkan prinsip HACCP untuk menjamin keamanan pangan pada rantai pangan

yang dipertimbangkan (Badan Standarisasi Nasional, 1998).

Sistem HACCP diperkenalkan pertama kali di USA oleh perusahaan

Pillsbury yang bekerja sama dengan NASA dan laboratorium Research and

Development USA Army Natick pada awal tahun 1960. Sistem HACCP diaplikasi

oleh NASA dan USA Army Natick dalam upaya menciptakan bahan pangan yang

terbebas dari berbagai jenis kontaminasi, baik mikroorganisme patogen, bakteri,

maupun virus yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi para astronot

yang akan bertugas di luar angkasa. Sederetan hasil penelitian dan evaluasi yang

dilakukan oleh NASA dan USA Army Natick menunjukkan bahwa cara terbaik

untuk memperoleh bahan pangan yang terbebas dari kontaminasi adalah dengan

melakukan tindakan pengendalian mutu sedini mungkin pada saat proses produksi

dilakukan. Hasil evaluasi tersebut kemudian melandasi penemuan 7 prinsip utama

sistem HACCP yang dipublikasikan oleh Codex Alimentarius Commission serta

mendapat rekomendasi dari Food and Agriculture Organization dan National

Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (Takenaka, 2005;

Mortimore dan Wallace, 2001). Badan Standardisasi Nasional Indonesia kemudian

mengadopsi prosedur penerapan sistem HACCP yang dikembangkan oleh CAC dan

mencantumkannya di dalam SNI 01-4852-1998.

Badan Standarisasi Nasional (1998) dalam SNI 01-4852-1998 juga

menyatakan bahwa penerapan sistem HACCP pada industri pangan dan restoran

memiliki tujuan umum dan khusus. Tujuan umum penerapan sistem HACCP adalah

meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus

keracunan dan penyakit melalui pangan. Tujuan khusus penerapan sistem HACCP,

yaitu mengevaluasi cara memproduksi pangan untuk mengetahui bahaya yang

mungkin timbul dari makanan, memperbaiki cara memproduksi pangan dengan

memberi perhatian khusus terhadap tahap-tahap proses yang dianggap kritis,

memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan, pengolahan, serta penerapan

sanitasi dalam memproduksi pangan, dan meningkatkan inspeksi mandiri terhadap

industri pangan oleh operator dan karyawan.

Sistem HACCP sangat bermanfaat bagi industri pangan maupun restoran

yang menerapkannya. Keuntungan penerapan sistem HACCP bagi pihak terkait,

25

antara lain meningkatkan jaminan keamanan produk pangan hasil produksi,

memperbaiki fungsi pengendalian, memperkenalkan pendekatan jaminan mutu yang

bersifat preventif, mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul

karena masalah keamanan produk pangan, meningkatkan kepercayaan dan kepuasan

konsumen, mengurangi resiko komplain dari konsumen, serta dapat menjadi alat

promosi dagang yang memiliki daya saing kompetitif (Badan Standarisasi Nasional,

1998). Sistem HACCP hanya dapat diterapkan dalam proses produksi apabila

perusahaan atau restoran yang bersangkutan telah memenuhi dua tahapan pendahulu,

yaitu persyaratan dasar HACCP (GMP dan SSOP) serta proses validasi HACCP plan

(Mortimore dan Wallace, 2001). Penerapan sistem HACCP umumnya didasarkan

pada 7 prinsip dan tertuang di dalam 12 langkah penerapan sistem HACCP (Badan

Standarisasi Nasional, 1998). Langkah-langkah penerapan sistem HACCP yang

dikembangkan oleh CAC dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Langkah-Langkah Penerapan Sistem HACCP dalam Industri Pangan

No. Kegiatan Keterangan

1 Pembentukan tim HACCP Langkah pendahuluan pertama

2 Penyusunan deskripsi produk Langkah pendahuluan kedua

3 Penyusunan deskripsi tujuan penggunaan produk

pangan

Langkah pendahuluan ketiga

4 Penyusunan diagram alir proses produksi secara

lengkap

Langkah pendahuluan

keempat

5 Verifikasi diagram alir proses produksi di lapangan Langkah pendahuluan kelima

6 Identifikasi atau analisis bahaya pada setiap tahapan

proses produksi

Prinsip HACCP pertama

7 Penetapan titik kendali kritis (critical control point) Prinsip HACCP kedua

8 Penetapan batas kritis untuk setiap CCP Prinsip HACCP ketiga

9 Penetapan prosedur pemantauan (monitoring) untuk

setiap CCP

Prinsip HACCP keempat

10 Penetapan tindakan koreksi apabila terjadi

penyimpangan terhadap batas kritis

Prinsip HACCP kelima

11 Penetapan prosedur verifikasi sistem HACCP Prinsip HACCP keenam

12 Penetapan prosedur pencatatan (dokumentasi) dan

penyimpanan dokumen hasil pencatatan

Prinsip HACCP ketujuh

Sumber : Codex Alimentarius Commission (1997)

26

Pembentukan Tim HACCP

Langkah pertama dalam penerapan sistem HACCP adalah pembentukan tim

HACCP. Pembentukan organisasi tim HACCP, sesuai dengan persyaratan SNI 01-

4852-1998, perlu melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat dalam

proses produksi, seperti divisi produksi, divisi pengendalian mutu (QA dan QC),

divisi pembelian dan gudang, serta divisi pemeliharaan (maintenance). Tim HACCP

juga sebaiknya terdiri atas personal dengan latar belakang disiplin ilmu yang

beragam serta berkaitan dengan produk dan prosesnya (Badan Standarisasi Nasional,

1998).

Pembentukan tim HACCP hendaknya disusun berdasarkan struktur organisasi

yang sudah ada dalam badan usaha pemilik restoran terkait, sehingga legalitas dari

tim HACCP tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Tim HACCP harus dipimpin

oleh seorang ketua yang berada langsung di bawah pimpinan tertinggi suatu badan

usaha. Pimpinan tertinggi kemudian akan memberikan mandat kepada ketua tim

HACCP untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya (Sudibyo, 2008).

Ketua tim HACCP harus merupakan personal yang sangat memahami konsep

HACCP dan sudah mempunyai pengalaman dalam penerapan sistem HACCP.

Anggota tim HACCP juga harus multidisiplin atau multidepartemen serta telah

memperoleh pelatihan HACCP yang mencukupi. Pelatihan dan pembekalan tentang

HACCP sangat diperlukan, baik oleh ketua maupun anggota tim HACCP, sebelum

melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Pelatihan yang umumnya

diberikan kepada personal tim HACCP, yaitu pengantar sistem pengendalian

keamanan pangan, GMP, pengenalan dan implementasi sistem HACCP, dokumentasi

GMP dan sistem HACCP, serta workshop penyusunan HACCP plan (Sudibyo,

2008). Setiap personal di dalam tim HACCP, baik ketua maupun anggota, memiliki

tugas dan kewajiban masing-masing. Uraian tugas dan kewajiban dari ketua dan

anggota tim HACCP dapat dilihat pada Tabel 5.

Deskripsi Produk

Langkah kedua dari 12 langkah penerapan HACCP adalah deskripsi produk.

Deskripsi produk dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penentuan jenis produk

yang kemudian akan diimplementasi dengan sistem HACCP. Deskripsi produk

dilakukan untuk mengetahui nama dagang, komposisi utama, kategori proses, cara

27

penyajian atau penggunaan, pengemasan, cara distribusi, masa kadaluarsa, kondisi

penyimpanan, pelabelan, penjualan, dan target konsumen dari suatu produk

(Thaheer, 2005).

Tabel 5. Daftar Uraian Tugas dan Kewajiban Tim HACCP

No. Jabatan Keterangan

1 Ketua Tim HACCP 1. Menyiapkan, membuat, dan mengesahkan dokumen manual

HACCP.

2. Menjamin dan bertanggung jawab penuh atas penerapan sistem

HACCP di dalam organisasi secara menyeluruh.

3. Memberikan program pelatihan kepada semua karyawan.

4. Melakukan verifikasi / audit secara berkala terhadap sistem

HACCP dan tindakan perbaikan serta perubahan yang

diperlukan.

5. Mengadakan dan memimpin rapat Tim HACCP secara berkala.

6. Melakukan dan menjaga hubungan dengan pihak konsultan

HACCP dan LSSM HACCP.

2 Wakil Ketua Tim

HACCP

1. Membantu Ketua Tim HACCP dalam menjalankan tugas

penerapan sistem HACCP.

2. Menjalankan tugas dan fungsi ketua apabila yang bersangkutan

berhalangan.

3. Membantu ketua tim dalam program pelatihan sistem HACCP

kepada karyawan perusahaan.

4. Memberikan program pelatihan kepada karyawan harian

terhadap penerapan sistem HACCP.

5. Memberikan kritik dan saran perbaikan sistem HACCP kepada

ketua tim untuk meningkatkan mutu dari sistem HACCP yang

diterapkan.

6. Membantu Ketua Tim HACCP dalam program pelatihan,

penerapan, dan perbaikan sistem HACCP di dalam perusahaan

atau restoran.

3 Sekretaris Tim HACCP 1. Menyiapkan dan membuat dokumen manual HACCP.

2. Mengendalikan dan mendistribusikan dokumen HACCP serta

menjamin bahwa setiap unit menerima dokumen HACCP yang

benar dan terbaru.

3. Menyimpan semua rekaman dokumen, catatan, dan data-data

yang berkaitan dengan dokumen HACCP dengan baik dan rapi.

4. Melakukan revisi terhadap dokumen sesuai dengan perubahan

yang telah ditetapkan dan mendistribusikan dokumen yang baru

serta menarik dokumen yang lama.

5. Memusnahkan dokumen yang sudah tidak terpakai atau yang

sudah melewati masa simpan dokumen.

4 Anggota Tim HACCP 1. Membantu persiapan dan pembuatan dokumen manual sistem

HACCP.

2. Memberikan kritik dan saran perbaikan sistem HACCP kepada

ketua tim untuk meningkatkan mutu dari sistem HACCP yang

diterapkan.

3. Menjadi fungsi kontrol dalam pelaksanaan sistem HACCP di

dalam lingkungan unit masing-masing.

Sumber : Sudibyo (2008)

28

Identifikasi Rencana Penggunaan Produk

Langkah ketiga dari dua belas langkah penerapan HACCP adalah identifikasi

rencana atau tujuan penggunaan produk. Identifikasi rencana penggunaan produk

dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan deskripsi produk. Identifikasi rencana

atau tujuan penggunaan produk perlu dilakukan karena setiap produk memiliki

tingkat resiko yang berbeda-beda terhadap konsumen. Identifikasi penggunaan

produk bertujuan untuk menginformasikan apakah produk tersebut dapat dikonsumsi

oleh semua populasi atau hanya oleh populasi tertentu saja (Thaheer, 2005).

Penyusunan dan Verifikasi Diagram Alir Produk

Langkah keempat dan kelima adalah penyusunan dan verifikasi diagram alir

produk. Penyusunan dan verifikasi diagram alir merupakan langkah penting dalam

menyusun sebuah HACCP plan. Penyusunan diagram alir dapat dilakukan setelah

terlebih dahulu dilakukan identifikasi rencana penggunaan produk oleh tim HACCP.

Penyusunan diagram alir penting untuk dilakukan guna mengetahui tahapan proses

yang terjadi, mengetahui dan merumuskan permasalahan yang terjadi, menentukan

titik kendali kritis (CCP), menentukan batas kritis, dan menentukan tindakan

pengendalian terhadap masalah (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Diagram alir

yang telah disusun kemudian diverifikasi untuk dilihat kesesuaiannya dengan

pelaksanaan di lapangan.

Identifikasi atau Analisis Bahaya

Analisis bahaya merupakan prinsip pertama dari tujuh prinsip HACCP yang

tertuang di dalam dua belas langkah penerapan sistem HACCP. Analisis bahaya

dilakukan untuk mengidentifikasi potensi-potensi bahaya termasuk penyebabnya

serta menentukan peluang kejadian atau resiko (risk) dan tingkat keparahan

(severity) pada setiap tahapan proses (Brown, 2000). Proses identifikasi bahaya pada

makanan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan guna menghasilkan

produk pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (Badan Standarisasi Nasional,

1998).

Badan Standarisasi Nasional (1998) mendefinisikan bahaya (hazard) sebagai

unsur biologi, kimia, dan fisik dalam pangan atau kondisi dari pangan yang

berpotensi menyebabkan dampak buruk pada kesehatan. Mortimore dan Wallace

(2001) menambahkan definisi bahaya (hazard) adalah perangkat biologis, kimiawi,

29

dan fisik yang dapat menyebabkan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi

manusia dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Bahaya

(hazard) dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan jenis pencemarnya, yaitu

bahaya fisik, kimia, dan biologi.

Brown (2000) menyatakan bahwa bahaya biologi sebagian besar disebabkan

oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, dan patogen. International Commission

of Microbiological Specifications for Food (1992) membagi bahaya biologi menjadi

tiga kelompok berdasarkan tingkat resiko bahayanya. Kelompok bahaya I adalah

kelompok dengan bahaya besar, kelompok bahaya II adalah kelompok dengan

bahaya sedang dan tingkat penyebaran yang luas, sedangkan kelompok bahaya III

adalah kelompok dengan bahaya sedang dan tingkat penyebaran yang terbatas. Data

sumber bahaya biologis dan pengelompokkannya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Data Sumber Bahaya Biologis pada Pangan

Kelompok I

(Bahaya Tinggi)

Kelompok II

(Bahaya Sedang, Penyebaran

Luas)

Kelompok III

(Bahaya Sedang, Penyebaran

Terbatas)

Clostridium botulinum

(tipe A, B, E, dan F) Listeria monocytogenes

Bacillus cereus

Shigella dysenteriae Salmonella sp. Campylobacter jejuni

Salmonella typhii

Salmonella paratyphy A

Salmonella paratyphy B

Shigella sp. Clostridium perfringens

Virus hepatitis A

Virus hepatitis B Enterovirulent Escherichia coli

(EEC)

Staphylococcus aureus

Brucella abortus

Brucella suis

Streptococcus pyrogenes Vibrio cholerae non O1

Vibrio cholerae O1 Rotavirus Vibrioparahaemolyticus

Vibrio vulnivicus Norwalk virus grup Yersinia enterocolotica

Taenia solium Entamoeba histolytica Giardia lamblia

Trichinella spiralis Diphyllobothrium latum Taenia saginata

Ascaris lumbricoides

Cryptosporodium parvum

Sumber : International Commission of Microbiological Specifications for Food (1992)

Bahaya kimia pada pangan juga dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

bahan kimia yang terdapat secara alami di dalam pangan dan bahan kimia yang

ditambahkan ke dalam pangan, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Bahan

30

kimia yang terbentuk secara alami pada bahan pangan berasal dari bahan pangan itu

sendiri. Berbeda dengan bahan kimia alami, bahan kimia yang ditambahkan ke

dalam bahan pangan, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, berasal dari luar

bahan pangan. Bahan kimia yang tidak sengaja ditambahkan umumnya berasal dari

residu bahan kimia yang sengaja ditambahkan untuk keperluan produksi, bahan

mentah yang pada saat penanganan terus terbawa hingga terkonsumsi, bahan pangan

(sedikit atau banyak) akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan

pengemasan, sisa pestisida dan herbisida, pupuk kimia, antibiotik, dan logam berat.

Bahan kimia yang dengan sengaja ditambahkan dapat berasal dari bahan tambahan

pangan (BTP), seperti bahan pengawet, antioksidan, pewarna, pengemulsi dan

penstabil, penguat rasa, humektan, pewangi, pengasam, pemanis, penambah nilai

gizi, dan lain-lain (Cliver, 1992). Data sumber bahaya kimia dapat dilihat pada

Tabel 7.

Tabel 7. Data Sumber Bahaya Kimia pada Pangan

Sumber Bahan Kimia Jenis Bahan Kimia Berbahaya

Terbentuk secara alami Mikotoksin

Skrombotoksin (histamin)

Ciguatoksin

Toksin jamur

Toksin kerang : toksin paralitik (PSP), toksin diare (DSP),

neurotoksin (NSP), toksin amnesik (ASP)

Alkaloid pirolizidin

Fitohemaglutinin

PCB (polychlorinated biphenyl)

Ditambahkan secara sengaja

atau tidak sengaja Bahan kimia pertanian : pestisida, fungisida, pupuk, insektisida,

antibiotik, hormon pertumbuhan

Logam-logam berbahaya (Pb, Zn, As, Hg, sianida)

Bahan tambahan pangan (BTP) : pengawet (nitrit dan sulfit),

penambah cita rasa (MSG), penambah gizi (niasin), bahan

pewarna (amaranth, methanyl yellow, dll), pemanis

Bahan bangunan dan sanitasi : lubrikan, pembersih, sanitaizer,

pelapis cat, dll

Sumber : Cliver (1992)

Bahaya fisik didefinisikan sebagai benda asing berbentuk fisik yang secara

normal tidak terdapat dalam pangan dan dapat menimbulkan penyakit (termasuk

trauma psikologis) atau luka terhadap individu (Corlett, 1992). Sumber bahaya fisik

dapat berasal dari peralatan, material gedung, rambut, kotoran, kelupasan cat, karat,

debu, dan kertas (Pierson dan Corlett, 1992). Berbeda dengan bahaya kimia dan

31

biologi, bahaya fisik sangat mudah dikenali dan dihindari oleh konsumen (Thaheer,

2005). Data sumber bahaya fisik dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Data Sumber Bahaya Fisik pada Pangan

Material Bahaya Potensial Sumber

Gelas Terpotong, berdarah, luka, dan mungkin

memerlukan operasi untuk

menghilangkannya

Botol, wadah, lampu, peralatan

pengolahan

Kayu Terpotong, infeksi, tercekik, dan mungkin

memerlukan operasi untuk

menghilangkannya

Pallet, boks, gedung, pohon /

ranting

Batu / kerikil Tercekik dan gigi patah Lapangan dan gedung

Logam Terpotong, infeksi, dan mungkin perlu

operasi untuk menghilangkannya

Mesin pengolahan lapangan,

kawat, dan pekerja

Serangga dan

kotorannya

Penyakit, tercekik, dan trauma psikologis Lapangan, peralatan yang sudah

lama tidak digunakan, dan

gudang

Bahan insulasi Tercekik Penggunaan asbes dalam waktu

lama dan material bangunan

Potongan tulang Tercekik dan trauma Lapangan dan proses

pengolahan (pemisahan tulang)

yang tidak benar

Plastik Tercekik, terpotong, infeksi, dan mungkin

memerlukan operasi untuk

menghilangkannya

Lapangan, bahan pengemas,

pallet, dan pekerja

Bagian tubuh

(kuku, rambut,

bulu, dan lain-lain)

Tercekik, terpotong, gigi patah, dan

mungkin memerlukan operasi untuk

menghilangkannya

Pekerja / karyawan

Sisik dan kulit Tercekik Pembersihan sisik ikan dan

pengulitan hewan secara tidak

benar

Sumber : Corlett (1992)

Produk pangan sangat mudah terkontaminasi oleh bahaya biologi, fisik,

maupun kimia. Karakteristik resiko kontaminasi bahaya yang dimiliki setiap produk

pangan berbeda-beda. Produk pangan dapat dikelompokkan menjadi enam

berdasarkan karakteristik resiko bahaya yang dimilikinya, yaitu bahaya A, B, C, D,

E, dan F (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods,

1990). Data pengelompokkan produk pangan berdasarkan karakteristik resiko yang

dimiliki berikut penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 9.

Produk pangan juga dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat resiko

terhadap bahaya yang dimilikinya. Produk pangan dapat dibagi menjadi tiga

kelompok berdasarkan tingkat resiko terhadap bahayanya, yaitu produk pangan

beresiko tinggi, sedang, dan rendah (Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, 2007).

32

Data pengelompokkan produk pangan berdasarkan tingkat resiko bahaya berikut

penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 9. Data Kelompok Bahaya pada Produk Pangan Berdasarkan Karakteristik

Resiko

Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya

Bahaya A Kelompok produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk dikonsumsi

kelompok tertentu (lansia, bayi, dan immunocompromised).

Bahaya B Produk mengandung bahan (ingridient) yang sensitif terhadap bahaya biologi,

fisik, maupun kimia.

Bahaya C Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali dan secara efektif

membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik.

Bahaya D Produk kemungkinan mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum

pengemasan.

Bahaya E Kemungkinan terdapat potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi

atau oleh konsumen yang menyebabkan produk menjadi berbahaya untuk

dikonsumsi.

Bahaya F Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan konsumen

atau tidak ada pemanasan akhir atau tahap pemusnahan mikroba setelah

pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku) atau tidak ada cara

apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan, atau menghancurkan

bahaya.

Sumber : National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (1990)

Tabel 10. Data Kelompok Produk Pangan Berdasarkan Tingkat Resiko Bahaya

Produk-produk kategori I (resiko tinggi)

I Produk-produk yang mengandung ikan, telur, sayur, serealia, dan / atau berkomposisi susu

yang perlu direfrigerasi.

II Daging segar, ikan mentah, dan produk-produk olahan susu.

III Produk-produk dengan nilai pH 4,6 atau lebih yang disterilisasi dalam wadah yang ditutup

secara hemetis.

Produk-produk kategori II (resiko sedang)

I Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan, daging, telur, sayuran atau

serealia atau yang berkomposisi / penggantinya, dan produk lain yang tidak termasuk

dalam regulasi hygiene pangan.

II Sandwich dan kue pie daging untuk konsumsi segar.

III Produk-produk berbasis lemak, misalnya coklat, margarin, spreads, mayones, dan

dressing.

Produk-produk kategori III (resiko rendah)

I Produk asam (nilai pH < 4,6), seperti acar, buah-buahan, konsentrat buah, sari buah, dan

minuman asam.

II Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas.

III Selai, marinade, dan conserves.

IV Produk konfeksionari berbasis gula.

V Minyak dan lemak makan.

Sumber : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan – Institut Pertanian Bogor (2007)

33

Kegiatan identifikasi atau analisis bahaya dilakukan melalui penentuan

kategori resiko dan tingkat signifikansi bahaya pada setiap tahapan proses yang dapat

dilihat pada Tabel 11 dan 12. Proses penentuan kategori resiko dilakukan

berdasarkan karakteristik resiko bahaya dari suatu produk (Pierson dan Corlett,

1992). Berbeda dengan proses penentuan kategori resiko, proses penentuan

signifikansi bahaya dilakukan dengan dua tahap, yaitu penentuan tingkat peluang

atau resiko terjadinya bahaya (risk) dan penentuan tingkat keparahan atau keakutan

dari bahaya (severity) (Thaheer, 2005).

Tabel 11. Tabel Penentuan Kategori Resiko Berdasarkan Karakteristik Bahaya

Karakteristik

Bahaya

Kategori

Resiko Jenis Bahaya

0 0 Tidak mengandung bahaya A sampai F

(+) I Mengandung 1 bahaya B sampai F

(++) II Mengandung 2 bahaya B sampai F

(+++) III Mengandung 3 bahaya B sampai F

(++++) IV Mengandung 4 bahaya B sampai F

(+++++) V Mengandung 5 bahaya B sampai F

A+ (kategori khusus)

dengan atau tanpa bahaya

B – F

VI Kategori resiko paling tinggi (semua produk

yang mempunyai bahaya A)

Sumber : Pierson dan Corlett (1992)

Tabel 12. Tabel Penentuan Tingkat Signifikansi Bahaya

Tingkat Keparahan (Severity)

Rendah Sedang Tinggi

Peluang

Kejadian

Rendah Tidak signifikan Tidak signifikan Signifikan

Sedang Tidak signifikan Signifikan Sangat signifikan

Tinggi Signifikan Sangat signifikan Sangat signifikan

Sumber : Thaheer (2005)

Penetapan Titik Kendali Kritis

Langkah ketujuh yang sekaligus merupakan prinsip HACCP kedua adalah

penetapan titik kendali kritis. Codex Alimentarius Commission (1997)

mendefinisikan titik kendali kritis (CCP) sebagai suatu titik lokasi atau tahapan atau

34

prosedur yang memerlukan proses pengendalian untuk mencegah, mengurangi,

maupun mengeliminasi bahaya keamanan pangan ke tingkat yang dapat diterima.

Brown (2000) menambahkan bahwa titik kendali kritis (CCP) adalah suatu titik yang

memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya kesehatan apabila tidak ditangani dan

dipantau dengan baik.

Proses penentuan CCP dilakukan dengan menggunakan “diagram pohon

penentuan titik kendali kritis“. Diagram pohon penentuan titik kendali kritis dapat

dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan jenis proses yang diamati, yaitu diagram

pohon penentuan titik kendali kritis untuk bahan baku, formulasi, dan tahapan

proses. Diagram pohon berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang muncul

dalam suatu langkah proses, bahan baku, dan formulasi untuk mengidentifikasi

proses, bahan baku, maupun formulasi yang sensitif terhadap bahaya atau untuk

menghindari terjadinya kontaminasi silang (Badan Standarisasi Nasional, 1998).

Penetapan Batas Kritis untuk Setiap CCP

Penetapan batas kritis adalah prinsip HACCP ketiga yang dilakukan setelah

terlebih dahulu dilakukan penetapan titik kendali kritis (CCP). Batas kritis harus

ditetapkan secara spesifik dan divalidasi, apabila mungkin, untuk setiap CCP. Batas

kritis didefinisikan sebagai suatu kriteria yang memisahkan atau membedakan antara

kondisi produk atau parameter yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima

(Badan Standarisasi Nasional, 1998). Thaheer (2005) menambahkan bahwa batas

kritis merupakan satu atau lebih toleransi mutlak yang harus dipenuhi untuk

menjamin keamanan pangan dari suatu produk.

Penetapan Tindakan Monitoring untuk Setiap CCP

Penetapan prosedur pengendalian (monitoring) adalah prinsip HACCP

keempat yang dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penetapan batas kritis

untuk setiap CCP. Penetapan prosedur pengendalian (monitoring) dilakukan untuk

mencegah keadaan sebuah CCP menjadi tidak terkontrol yang berakibat pada

peningkatan resiko dihasilkannya produk berbahaya, mengidentifikasi masalah

sebelum muncul, menemukan titik sebab suatu masalah, serta membantu proses

verifikasi dan pembuktian kelayakan sistem HACCP (Sudibyo, 2008).

35

Penetapan Tindakan Koreksi

Prinsip HACCP kelima adalah penetapan tindakan koreksi apabila terjadi

penyimpangan pada batas kritis. Tindakan koreksi atau corrective action adalah

setiap tindakan yang harus diambil apabila hasil pemantauan pada titik kendali kritis

menunjukkan hilangnya kendali (Badan Standarisasi Nasional, 1998).

Penetapan Prosedur Verifikasi

Prinsip HACCP keenam adalah penetapan prosedur verifikasi. Prosedur

verifikasi merupakan suatu kegiatan penerapan metode, prosedur pengujian dan

analisis, maupun tindakan evaluasi lainnya sebagai tambahan pada sistem monitoring

(pemantauan) guna mengetahui dan memastikan tingkat kesesuaiannya terhadap

sistem HACCP.

Penetapan Prosedur Pencatatan dan Penyimpanan Dokumen

Penetapan prosedur pencatatan dan penyimpanan dokumen hasil pencatatan

adalah prinsip HACCP ketujuh yang juga merupakan prinsip dan langkah terakhir

dalam penerapan sistem HACCP (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Prosedur

dokumentasi dan penyimpanan dokumen penting untuk dilakukan dalam penerapan

sistem HACCP. Penerapan prosedur dokumentasi bertujuan untuk mempermudah

proses pelaksanaan maupun pembaharuan sistem HACCP yang dilakukan (Sudibyo,

2008). Thaheer (2005) menambahkan bahwa prosedur dokumentasi dan

penyimpanan dokumen memiliki beberapa tujuan, yaitu :

bukti keamanan produk berkaitan dengan prosedur dan proses yang ada;

jaminan pemenuhan terhadap peraturan;

kemudahan pelacakan / penelusuran dan peninjauan catatan;

dokumentasi data pengukuran menuju catatan permanen mengenai keamanan

produk pangan;

sumber tinjauan data yang diperlukan pada proses audit HACCP;

rekaman / catatan HACCP dapat lebih terpusat pada isu keamanan pangan

sehingga mempercepat proses identifikasi masalah;

membantu mengidentifikasi lot ingredient, bahan pengemas, dan produk akhir

apabila timbul masalah keamanan pangan yang memerlukan prosedur penarikan

produk dari pasaran sesegera mungkin.

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Kegiatan magang dilaksanakan selama 2 bulan, dimulai dari tanggal 1

Februari 2011 sampai dengan 31 Maret 2011. Magang dilakukan di salah satu

restoran siap saji yang terdapat di kota Bogor.

Materi

Alat

Beberapa alat digunakan pada kegiatan magang penelitian ini. Alat tulis

secara lengkap sangat dibutuhkan sebagai sarana pengumpulan data yang utama.

Alat perekam, kamera, pakaian kerja secara lengkap, dan lembar pencatatan juga

sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan magang penelitian.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada kegiatan penelitian dan observasi lapang,

yaitu informasi karyawan, narasumber, dan literatur. Literatur yang digunakan,

antara lain jurnal, buku, dokumen perusahaan yang berkaitan dengan bahan baku,

bahan tambahan, proses pengolahan, dan penerapan sistem HACCP, serta

dokumentasi berupa foto-foto.

Prosedur

Kegiatan magang penelitian dilakukan sesuai dengan waktu kerja karyawan

restoran siap saji. Pelaksanaan kegiatan magang ini dilakukan dengan cara terlibat

langsung dalam beberapa kegiatan restoran. Kegiatan utama yang dilakukan selama

proses magang tersebut terdiri atas empat hal, yaitu observasi lapang yang dilakukan

melalui keterlibatan langsung dalam kegiatan operasional restoran siap saji,

wawancara dengan pihak yang terkait, pengumpulan data, dan dokumentasi.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selama kegiatan magang dievaluasi.

Hasil evaluasi akan dianalisis untuk kemudian dijadikan dasar dalam pembuatan

dokumen HACCP plan. Proses pembuatan dokumen HACCP plan mengacu pada 12

langkah penerapan HACCP yang dipublikasikan oleh Codex Alimentarius

Commission, yaitu :

37

1. pembentukan tim HACCP;

2. deskripsi produk;

3. identifikasi rencana penggunaan produk;

4. penyusunan diagram alir produk;

5. verifikasi diagram alir produk;

6. identifikasi atau analisis bahaya;

7. penetapan titik kendali kritis (CCP);

8. penentuan batas kritis untuk setiap CCP;

9. penetapan tindakan pemantauan terhadap pengendalian CCP (monitoring);

10. penetapan tindakan koreksi apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis;

11. penetapan prosedur verifikasi;

12. penetapan prosedur pencatatan (dokumentasi) dan penyimpanan dokumen hasil

pencatatan.

HACCP plan yang telah selesai dirumuskan kemudian akan diserahkan kepada pihak

restoran untuk dikaji dan ditindaklanjut.

KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

Sejarah Kentucky Fried Chicken (KFC)

Kentucky Fried Chicken (KFC) didirikan pada tahun 1930 oleh Harland

Sanders. Harland Sanders lahir di Henryville pada tanggal 9 September 1890.

Restoran pertama KFC yang didirikan oleh Harland Sanders berlokasi di Corbin,

Sanders Court. Harland Sanders kemudian dinobatkan menjadi “Kentucky Colonel”

oleh gubernur negara bagian Kentucky, Amerika Serikat, pada tahun 1935, karena

keberhasilannya menciptakan Original Recipe (OR) “11 Herbs and Spices”.

Harland Sanders kemudian menjual hak kepemilikan KFC franchise pertama

kepada Pete Harmon di Salt Lake City pada tahun 1952. Setelah berhasil menjual

hak kepemilikan franchise pertamanya, Sanders turun ke jalan untuk menjual

franchise-nya pada tahun 1956. Harland Sanders akhirnya berhasil menjual hak

franchise KFC kepada investor Jack Massey dan John Y. Brown Jr. pada tahun 1964.

KFC pun mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi perusahaan publik yang

terdaftar pada bursa saham New York dengan Sanders sebagai pembeli seratus

terbitan saham perdananya pada tahun 1969.

KFC internasional kemudian melakukan merger dengan Hublein Industries

Inc. pada tahun 1971 guna memperbesar skala usahanya. Tidak hanya itu, pada

tahun ini, KFC internasional juga mengembangkan resep baru dari menu ayam

goreng yang dikenal dengan nama “Crispy Chicken”. Hublein Industries Inc.

kemudian melakukan merger yang lebih besar lagi dengan R. J. Reynolds Co.

(sekarang R. J. R. Nibisco) pada tahun 1982. Menyadari bahwa usahanya mulai

mengalami perkembangan yang pesat, perusahaan kemudian mendirikan “Colonel

Sanders Technical Centre” di Louisville pada tahun 1986 untuk meningkatkan

keterampilan karyawan. Pusat pelatihan ini akan membekali karyawan dengan

pelatihan-pelatihan mengenai pengembangan departemen, keteknikan,

pengembangan produk, dan teknologi untuk seluruh pemegang lisensi KFC di

seluruh dunia.

Perkembangan demi perkembangan terus terjadi di tubuh KFC yang

menjadikannya semakin besar dan menarik perhatian dari PEPSICO (pemilik Pizza

Hut). PEPSICO akhirnya membeli seluruh saham KFC dari R. J. Reynolds Co.,

sehingga sejak saat itu, KFC menjadi satu kepemimpinan manajemen dengan

39

restoran Pizza Hut dan Taco Bell. KFC kemudian membuat logo baru yang lebih

didominasi warna merah pada tahun 1991 dengan maksud untuk lebih meningkatkan

brand image KFC. Seiring dengan berjalannya waktu, KFC terus mengalami

perkembangan yang pesat. Perkembangan itu tidak hanya terjadi di dalam negeri,

melainkan sampai di kota-kota besar beberapa negara di dunia, seperti Jepang dan

China. Sebagai contoh, jumlah restoran KFC yang telah berdiri di Jepang pada tahun

1992 sudah mencapai 1.000 unit, sedangkan di Shanghai, China, telah berdiri

sebanyak 9.000 unit pada tahun 1994.

Sejarah Kentucky Fried Chicken (KFC) di Indonesia

PT. Fastfood Indonesia, Tbk. didirikan oleh perusahaan Gelael pada tahun

1978. PT. Fastfood Indonesia, Tbk. adalah satu-satunya perusahaan di Indonesia

yang memperoleh hak waralaba atas restoran KFC dari YUM! Brands Inc. YUM!

Brands Inc., dahulu dikenal sebagai Tricon Global Restaurants, merupakan

perusahaan restoran pemilik sistem unit terbesar di dunia sekaligus pemilik waralaba

untuk merek dagang KFC, Pizza Hut, Taco Bell, A&W, dan Long John Silvers.

Setelah hak waralaba atas restoran KFC diperoleh, PT. Fastfood Indonesia, Tbk.

kemudian mendirikan restoran KFC pertama di Indonesia yang berlokasi di Jalan

Melawai Raya 84 – 85, Jakarta pada bulan Oktober 1979.

Restoran KFC di Indonesia juga mengalami perkembangan yang sangat pesat

seperti di negara-negara lainnya. Keberhasilan KFC membuka restoran pertama di

Jakarta juga diikuti dengan keberhasilan pembukaan restoran di kota-kota besar

lainnya di Indonesia. Hingga akhir 2004, telah berdiri sekitar 208 restoran KFC yang

tersebar pada 45 kota di Indonesia dengan jumlah karyawan sekitar 9.074 orang dan

total penjualan lebih dari 889,4 milyar. Salah satu kunci keberhasilan KFC terletak

pada usaha KFC untuk selalu memberikan pelayanan, produk, dan kenyamanan

terbaik yang tercermin melalui fokusnya pada Quality, Service, dan Cleanliness

(QSC). Keberhasilan yang terus berlanjut hingga kini secara tidak langsung telah

memproklamirkan KFC sebagai pemimpin pasar hidangan cepat saji yang dominan

di Indonesia.

PT. Fastfood Indonesia, Tbk. selaku perusahaan pendiri restoran KFC juga

memperoleh banyak prestasi dan penghargaan dikarenakan berhasilnya PT. Fastfood

Indonesia, Tbk. dalam mengembangkan restoran KFC yang ada di Indonesia. PT.

40

Fastfood Indonesia, Tbk. sempat meraih empat penghargaan internasional sekaligus

pada tahun 1993, yaitu Harland D. Sanders Award of Exellence & Asia Pacific

Operations of the Year 1992, Best Advertising, Most Improving Operational

Standards, dan Best New Restaurant Facility untuk KFC Cinere Mall. Tidak hanya

itu, PT. Fastfood Indonesia, Tbk. juga mendapat pengakuan sebagai merek

terpopuler 2000, Top of Mind, kategori Awareness dari hasil survey majalah SWA

dan penghargaan “The Chain” dari Tricon International Restaurant kategori

Exellence di bidang Supply Chain Management pada tahun 2000.

Visi dan Misi Perusahaan

PT. Fastfood Indonesia, Tbk. memiliki visi menempatkan KFC sebagai

restoran nomor satu serta pemimpin dalam segala bidang pasar industri makan cepat

saji dan misi menjadikan KFC sebagai restoran cepat saji modern yang memberikan

suasana ramah dan menyenangkan melalui kepuasan pelanggan. Segala bentuk

dukungan, baik dari para investor maupun segenap karyawan, melalui sistem

manajemen yang baik dengan tingkat loyalitas yang tinggi, didedikasikan secara

penuh demi memberikan kepuasan dan menanamkan image positif kepada pelanggan

untuk mencapai visi dan misi yang telah dicanangkan.

Produk Kentucky Fried Chicken (KFC)

Produk utama KFC yang juga merupakan objek pada penelitian ini adalah

ayam goreng tepung yang dikenal dalam dua jenis, yaitu Hot & Spicy Crispy Chicken

dan Colonel’s Original Recipe Chicken. Sekarang ini, KFC memiliki variasi menu

produk yang dikembangkan sesuai dengan selera dan kepuasan konsumen serta

diterima baik oleh masyarakat, seperti nasi, nasi organik, perkedel, salad, chicken

soup, cream soup, pudding, soft ice cream, sundae ice cream, waffle ice cream,

Colonel’s yakiniku, spaghetti, french fries, burger deluxe, chicken fillet, fish fillet,

twister, oriental bento, molten cake, dan Colonel’s bento. KFC juga memberikan

penawaran-penawaran tertentu, seperti KFC Attack, KFC Breakfast dan sebagainya

guna memberikan kepuasan kepada pelanggan dari sudut pandang yang berbeda.

KEADAAN UMUM TEMPAT MAGANG

Lokasi dan Tata Letak Restoran

Restoran siap saji tempat dilangsungkannya kegiatan magang terletak di pusat

kota Bogor. Lokasi restoran dinilai sangat strategis, sehingga restoran ini memiliki

peluang yang sangat besar untuk dikunjungi pelanggan, tidak hanya dari dalam kota,

tetapi juga dari luar kota.

Restoran siap saji ini memiliki luas tanah dan luas bangunan sebesar 1.986 m2

dan 995,76 m2. Luas tanah yang dimiliki restoran jauh melebihi luas bangunan yang

didirikan. Luas tanah yang berlebih diperuntukan sebagai lahan parkir mobil dan

motor pengunjung. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa luas lahan yang

dipakai untuk area parkir dan sirkulasi sebesar 1.390 m2. Lahan parkir yang luas

memungkinkan restoran untuk menerima pengunjung dalam jumlah besar. Restoran

juga memanfaatkan sebagian kecil lahan yang dimiliki, yaitu pada bagian belakang

restoran, untuk digunakan sebagai lorong drive through yang memungkinkan

pengunjung untuk memesan makanan dari dalam kendaraan.

Restoran ini hanya memiliki satu bangunan utama yang terbagi menjadi dua

lantai. Lantai bawah terbagi atas tiga ruangan besar, yaitu ruang makan (dining

room), arena bermain anak (play land), dan dapur. Lantai atas hanya terdiri atas dua

ruangan, yaitu aula serba guna dan ruang penyimpanan souvenir. Restoran memiliki

dapur di lantai bawah dan berada satu lantai dengan dining room dan play land.

Ruangan dapur restoran tidak begitu luas dan terpisah dari dining room melalui pintu

yang membuka ke arah dapur. Ruangan dapur juga terbagi menjadi beberapa bagian

tanpa ada sekat pemisah antar bagian. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruangan dapur. Sebagian dari ruangan dapur juga digunakan sebagai

tempat penyimpanan bahan baku produk, seperti bumbu-bumbu, tepung, minyak, dan

lain-lain. Restoran juga memanfaatkan dapur sebagai gudang bahan baku produk

karena restoran hanya memiliki satu buah gudang untuk penyimpanan. Gudang

penyimpanan terletak di lantai atas dan terpisah dari bangunan lantai atas. Gudang

penyimpanan digunakan sebagai tempat penyimpanan dry goods, seperti plastik,

kemasan produk, dan peralatan-peralatan. Restoran juga memanfaatkan ruangan

kecil yang ada di bawah tangga sebagai tempat penyimpanan minuman kaleng dan

saos, karena keterbatasan kapasitas gudang yang dimiliki.

42

Fasilitas Restoran

Restoran siap saji terkait menyediakan berbagai fasilitas dengan tujuan untuk

memberikan kenyamanan kepada pengunjung. Fasilitas yang dimiliki restoran ini

dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu fasilitas layanan, fasilitas penunjang proses

produksi, dan fasilitas produksi.

Fasilitas Layanan

Restoran memiliki fasilitas layanan yang lengkap demi kenyamanan

customer, mulai dari meja dan kursi dine-in bagi para customer yang ingin santap di

tempat, lounge dan barista yang menyediakan snack dan beverages sebagai teman

untuk bersantai, wi-fi dan komputer yang bebas untuk diakses, aula untuk acara

ulang tahun, area play land untuk anak-anak, home delivery, dan layanan drive

through yang memberikan pelayanan kepada customer yang ingin memesan

makanan dari dalam mobil. Penyediaan fasilitas-fasilitas layanan tersebut dilakukan

dengan tujuan untuk memberikan kenyamanan kepada para customer, sehingga

peluang kembalinya customer akan semakin besar.

Fasilitas Penunjang Proses Produksi

Fasilitas penunjang proses produksi merupakan fasilitas yang dimiliki dan

dibutuhkan oleh restoran guna menunjang kegiatan produksi. Fasilitas penunjang

proses produksi yang dimiliki restoran, antara lain instalasi air, tenaga listrik, sarana

penanganan bahan dan transportasi, sarana pendingin, gudang, dan sarana

kebersihan.

Instalasi Air. Instalasi air bersih sangat penting bagi kelangsungan proses produksi.

Air bersih dibutuhkan sebagai pencampur bahan adonan, sarana sanitasi karyawan

dan konsumen, sarana kebersihan alat dan ruangan, serta sarana kebersihan bangunan

dan lingkungan. Sumber air bersih restoran ini berasal dari PDAM kota Bogor dan

sumur air artesis. Kedua sumber air tersebut memasok air bersih secara berkala bagi

kegiatan operasional restoran setiap harinya. Air sumur yang akan digunakan telah

melewati beberapa tahap penyaringan terlebih dahulu. Pengujian terhadap kualitas

air, khususnya air sumur, dilakukan secara berkala oleh pihak PDAM setiap 3 bulan

sekali, sehingga layak untuk digunakan dan memenuhi standar baku air bersih.

Standar baku air bersih yang diterapkan mengacu kepada SNI 01-3553-1996 tentang

syarat mutu air minum dalam kemasan (Badan Standarisasi Nasional, 1996). Data

43

syarat mutu air minum dapat dilihat pada Tabel 13. Rata-rata penggunaan air untuk

kebutuhan operasional restoran ini adalah 30,98 m3/ hari dan 929,4 m

3/ bulan. Data

rincian penggunaan air oleh restoran dapat dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 1.

Tenaga Listrik. Sumber daya listrik utama yang dibutuhkan restoran berasal dari

Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sistem tegangan yang digunakan sesuai dengan

standar PLN. Daya sambungan listrik yang direncanakan pada restoran ini sama

dengan daya yang terpasang, yaitu sebesar 131.000 Watt atau 131 kVA. Data dan

diagram penggunaan listrik restoran siap saji dapat dilihat pada Tabel 15 dan

Gambar 2.

Sarana Penanganan Bahan dan Transportasi. Sarana penanganan bahan baku

sangat penting dalam proses penerimaan dan pendistribusian bahan baku dari lokasi

penerimaan menuju storage. Palet adalah sarana penanganan bahan baku yang

terdapat di restoran. Palet berfungsi untuk melindungi bahan baku dari kerusakan

maupun kontaminasi selama proses distribusi dari lokasi penerimaan menuju

storage. Bentuk dan prosedur penggunaan palet dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Sarana transportasi tidak terlalu berperan dalam kegiatan operasional restoran, hanya

pada kegiatan home delivery. Sarana transportasi yang dimiliki restoran berupa 5 unit

sepeda motor yang masing-masing dilengkapi dengan kotak penyimpanan makanan.

Sarana Pendingin. Restoran yang bergerak di bidang penyediaan pangan asal hewan

sangat membutuhkan sarana pendingin di dalam pelaksanaan kegiatan

operasionalnya. Sarana pendingin yang dimiliki oleh restoran, antara lain 1 unit

chiller, 1 unit freezer, 5 unit cold storage, dan pendingin ruangan (AC). Pendingin

ruangan termasuk ke dalam sarana pendingin yang harus dimiliki oleh KFC sebagai

sebuah restoran, terkait kenyamanan konsumen.

Gudang. Restoran juga memiliki gudang sebagai tempat penyimpanan bahan baku.

Gudang penyimpanan yang dimiliki restoran seluruhnya merupakan gudang kering

dan berada di tiga tempat yang berbeda, yaitu di bawah tangga dining room, di lantai

2 dekat aula ulang tahun, dan di dapur. Gudang kering digunakan untuk menyimpan

bahan baku berupa kemasan produk dan bumbu-bumbu.

Sarana Kebersihan. Sarana kebersihan yang dimiliki restoran, antara lain kain lap,

ember kecil, ember besar, kain pel, tempat cuci tangan, tempat cuci piring, liquid

hand soap, sanitizer, dan pembersih lemak (yellow, kadet, dan titan).

44

Tabel 13. Syarat Mutu Air Minum dalam Kemasan (SNI 01-3553-1996)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan :

Bau

Rasa

Warna

-

-

Unit Pt.CO

Tidak berbau

Normal

Maks 5

2. pH - 6,5 – 8,5

3. Kekeruhan NTU Maks 5

4. Kesadahan (CaCO3) mg/l Maks 150

5. Zat padat terlarut mg/l Maks 500

6. Zat organik (KmnO4) mg/l Maks 1,0

7. Nitrat (NO3) mg/l Maks 45

8. Nitrit (NO2) mg/l Maks 0,005

9. Ammonia (NH4) mg/l Maks 0,15

10. Sulfat mg/l Maks 200

11. Khlorida (Cl) mg/l Maks 250

12. Flourida (F) mg/l Maks 1

13. Sianida (CN) mg/l Maks 0,05

14. Besi (Fe) mg/l Maks 0,3

15. Mangan (Mn) mg/l Maks 0,05

16. Khlor bebas (Cr) mg/l Maks 0,1

17. Cemaran logam berat :

Timbal (Pb)

Tembaga (Cu)

Kadmium (Cd)

Raksa (Hg)

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

Maks 0,005

Maks 0,5

Maks 0,005

Maks 0,001

18. Cemaran Arsen (As) mg/l Maks 0,05

19. Cemaran mikroba :

Angka lempeng total awal

Angka lempeng total akhir

Bakteri bentuk coli

Clostridium perfringens

Salmonella

Koloni / ml

Koloni / ml

APM / 100 ml

Koloni / ml

-

-

Maks 1,0 x 102

Maks 1,0 x 105

< 2

Nol

Negatif / 100 ml

Negatif / 100 ml

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1996)

45

Tabel 14. Data Penggunaan Air Restoran Bulan Juli – Desember 2010

No. Keterangan Kebutuhan Penggunaan Air

liter/hari m3/hari m

3/bulan

Jumlah karyawan sebanyak : 62 – 80 orang

1. Minum (galon Ades) (5 liter/orang) 310 0,31 9,3

Toilet / WC dll (35 liter/orang) 2.170 2,17 65,1

2. Aktivitas dapur :

masak / produksi 900 0,9 27

aktivitas pencucian 2.700 2,7 81

3. Wudhu / Musholla 900 0,9 27

4. Taman, bersih lantai, dll 1.500 1,5 45

Jumlah pengunjung / pembeli rata-rata sebanyak : 1500 orang/hari

5. Pengunjung (15 liter/orang) 22.500 22,50 675

Total 30.980 30,98 929,4

Sumber : PT. Fastfood Indonesia (2006)

Tabel 15. Data Penggunaan Listrik Restoran Bulan Juli – Desember 2010

No. Peralatan Jumlah (Unit) Daya (Watt) Total Daya (Watt)

Beban daya listrik aktivitas restoran KFC

1. Lampu 20 30 600

2. TV dan AC 3 350 1.050

3. Freezer, chiller, dll 2 1.000 2.000

4. Lain-lain 250 250

Sub Total 3.900

Beban daya listrik untuk penerangan jalan umum dan taman

5. Lampu taman 3 40 120

6. Lampu PJU 3 250 750

Sub Total 870

Total Daya yang Digunakan 4770

Sisa Daya yang Tidak Terpakai 126.230

Sumber : PT. Fastfood Indonesia (2006)

46

Gambar 1. Diagram Penggunaan Air Restoran Bulan Juli – Desember 2010 Sumber : PT. Fastfood Indonesia (2006)

Gambar 2. Diagram Penggunaan Listrik Restoran Bulan Juli – Desember 2010 Sumber : PT. Fastfood Indonesia (2006)

Total

Kebutuhan

Air

30,98

m3/hari

Air Galon (Ades)

0,31 m3/hari

Sumur Bor

3,67 m3/hari

PDAM

27 m3/hari

Minum pegawai

0,31 m3/hari

Toilet & WC

pegawai /

pengunjung

2,17 m3/hari

Taman, bersih

lantai, dll

1,5 m3/hari

Masak dan

Pencucian

3,6 m3/hari

Wudhu /

Musholla

Pengunjung

23,40 m3/hari

Habis terpakai

Septic Tank Rembesan

2 unit

Grease Trap

3,42 m3/hari

Saluran

Drainase

14,96

m3/hari

Saluran Umum

Total Daya

Listrik

131.000 Watt

Lampu, TV, AC, Freezer, Chiller, dll

3.900 Watt

Lampu Taman dan PJU

870 Watt

Kebutuhan Lain-lain

250 Watt

Daya Tak Terpakai

126.230 Watt

Genset

60.000 Watt

47

Gambar 3. Palet

Gambar 4. Prosedur Penggunaan Palet

Fasilitas Produksi

Restoran menggunakan berbagai macam peralatan dalam menjalankan

kegiatan operasional sehari-hari, khususnya dalam kegiatan produksi. Peralatan

memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dalam proses produksi.

48

Kelangsungan dan kelancaran proses produksi juga dipengaruhi oleh kinerja dari

peralatan-peralatan yang digunakan. Peralatan yang digunakan dalam proses

produksi restoran, yaitu mesin marinator putar, open fryer, Henny Penny pressure

fryer, upright holding cabinet, holding cabinet flip up door, chiller, freezer, dan

display holding cabinet.

Mesin Marinator Putar (Rolling Marinator). Marinator putar (rolling marinator)

adalah mesin yang digunakan untuk memberi bumbu Original Recipe Chicken dan

Hot & Crispy Chicken. Marinator putar yang digunakan berbahan dasar stainless

steel.

Open Fryer. Open fryer digunakan untuk menggoreng beberapa produk restoran.

Peralatan ini terdiri atas dua jenis, yaitu single vat (satu wadah minyak) dan split-vat

(dua wadah minyak terpisah). Single vat open fryer digunakan untuk menggoreng

Hot & Crispy Chicken dan Chicken Strips, sedangkan split-vat open fryer digunakan

untuk menggoreng french fries dan patty burger. Proses penggorengan di dalam

single vat open fryer dan split-vat open fryer dilakukan dengan program komputer,

sehingga suhu dan lama penggorengan dapat ditentukan dengan tepat.

Henny Penny Pressure Fryer. Henny Penny Pressure Fryer merupakan mesin

penggoreng yang dilengkapi dengan tekanan. Alat ini dipakai khusus untuk

menggoreng Original Recipe Chicken. Proses penggorengan di dalam pressure fryer

ini juga dilakukan dengan program komputer, sama seperti open fryer.

Upright Holding Cabinet. Upright holding cabinet digunakan untuk menyimpan

produk-produk matang agar tetap panas sampai produk tersebut terjual. Alat ini

mempunyai 2 atau 4 pintu dan dapat memberikan udara panas yang lembab ataupun

kering pada produk siap saji yang disimpan didalamnya. Temperatur makanan akan

dijaga oleh udara panas di dalam holding cabinet yang disirkulasi oleh kipas angin

melalui lubang-lubang yang terdapat di atas, bawah, samping, dan belakang cabinet.

Holding Cabinet Flip Up Door. Holding cabinet flip up door memiliki fungsi yang

sama dengan upright holding cabinet. Perbedaan antara kedua jenis holding cabinet

ini terletak pada pintu flip up pada bagian tengah yang dimiliki oleh holding cabinet

flip up door.

49

Chiller. Chiller merupakan tempat penyimpanan dingin berbentuk cabinet berukuran

besar. Chiller dilengkapi dengan insulator dan digunakan untuk menyimpan ayam

mentah, sayuran, dan produk setengah jadi lainnya. Chiller akan menjaga temperatur

produk antara 1 – 5 oC + 1

oC. Chiller yang dimiliki oleh restoran memiliki dua

kompartmen, yaitu atas dan bawah. Kompartmen bawah digunakan untuk

menyimpan ayam mentah dan ayam marinade, sedangkan kompartmen atas

digunakan untuk menyimpan produk nonayam. Penyimpanan produk nonayam di

dalam chiller harus selalu berada dalam keadaan terbungkus atau diletakan di dalam

wadah yang dapat ditutup, agar produk tersebut tidak menjadi kering karena

kehilangan kelembaban.

Freezer. Freezer digunakan untuk menyimpan produk pada temperatur beku guna

menjaga keaslian bahan dan menghambat pertumbuhan bakteri. Temperatur freezer

harus dijaga pada -23 sampai -12 oC atau -10 sampai 10

oF. Restoran menggunakan

freezer untuk menyimpan ayam beku, dan ice cream.

Display Holding Cabinet. Display holding cabinet atau display cabinet merupakan

alat yang digunakan untuk meletakan produk-produk yang siap dipasarkan. Alat ini

sengaja diletakkan di atas meja pengemasan yang berada di belakang counter depan

agar pembeli dapat melihat dan mengamati produk yang ditawarkan. Display cabinet

memiliki model dua susun dengan pintu tembus pandang yang memudahkan pembeli

maupun karyawan (team member) untuk melihat produk-produk yang dipasarkan.

Pintu display cabinet harus selalu tertutup untuk menjaga temperatur internal cabinet

tidak berubah.

Tenaga Kerja

Restoran memiliki tenaga kerja berjumlah 80 orang yang terdiri atas 1 orang

restaurant manager (RM), 4 orang assistant restaurant manager (ARM), 3 orang

supervisor, 1 orang chief cashier, 5 orang security, dan 66 orang crew (Gambar 5).

Data jumlah karyawan dapat dilihat pada Tabel 16. Setiap karyawan, tanpa

terkecuali, harus mengenakan pakaian kerja saat sedang bekerja. Setiap posisi

memiliki pakaian kerja yang berbeda. RM dan ARM harus mengenakan kemeja

putih polos tangan panjang, celana panjang bahan berwarna abu-abu, dan dasi

berwarna abu-abu yang bergambar logo restoran setiap hari. Berbeda dengan RM

50

dan ARM, masing-masing security dan crew akan diberikan dua jenis pakaian kerja

lengkap dengan warna yang berbeda, yaitu hitam dan putih untuk security serta hitam

dan merah untuk crew. Setiap crew dan security harus mengenakan pakaian kerja

secara lengkap selama bekerja di restoran dan harus menanggalkannya setelah jam

kerja usai. Setiap karyawan juga diwajibkan untuk mengenakan perlengkapan kerja

apabila akan melakukan kontak langsung dengan bahan baku maupun produk, seperti

hand gloves, apron, dan penjepit.

Tenaga kerja di restoran juga digolongkan menjadi dua bagian berdasarkan

fokus pekerjaan yang dilakukan, yaitu FSTM (food service team member) dan

CSTM (customer service team member). Karyawan yang termasuk ke dalam

kelompok FSTM adalah karyawan yang bekerja pada bagian cooking dan kitchen,

sedangkan karyawan yang termasuk ke dalam kelompok CSTM adalah karyawan

dining, back-up, dan cashier. Kegiatan rolling akan dilakukan oleh RM (restaurant

manager) setiap tiga minggu sekali secara teratur kepada seluruh karyawan, sehingga

setiap karyawan akan memperoleh kesempatan yang sama untuk menempati setiap

divisi yang ada. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar setiap karyawan (crew)

restoran dapat memahami dan mahir dalam menjalankan tugas di seluruh bidang

pekerjaan restoran. Rolling system tidak diberlakukan pada posisi tertentu, yaitu

restaurant manager, assistant restaurant manager, supervisor, dan chief cashier,

sebab posisi-posisi tersebut terkait langsung dengan kemajuan dan nama baik

restoran serta berhubungan erat dengan tanggung jawab dan profesionalitas personal.

Restoran memiliki jam kerja operasional yang terbagi ke dalam tiga shift,

yaitu pukul 07.00 – 15.00, 15.00 – 22.00, dan 22.00 – 07.00 WIB. Mengacu pada

jam kerja operasional, restoran kemudian menetapkan sistem rolling shift bagi

seluruh karyawan, terkecuali restaurant manager (RM). Rolling shift bertujuan agar

setiap karyawan, baik pria maupun wanita, memperoleh perlakuan yang sama pada

saat bekerja. Kegiatan rolling shift harus dipatuhi oleh seluruh karyawan dan

tertuang di dalam perencanaan rolling shift yang ditetapkan oleh salah satu ARM

atas perintah langsung dari RM. Ketentuan rolling shift sedikit berbeda antara

karyawan pria dan wanita. Karyawan wanita hanya diizinkan untuk mengikuti shift

pagi dan sore (07.00 – 15.00 dan 15.00 – 22.00 WIB), sedangkan karyawan pria

wajib untuk melakukan semua shift. Ketentuan tersebut ditetapkan dan dirumuskan

51

setelah terlebih dahulu mempertimbangkan aspek norma dan etika pergaulan yang

berlaku.

Tabel 16. Data Jumlah dan Kualifikasi Tenaga Kerja Operasional Restoran Bulan Juli –

Desember 2010

No. Klasifikasi

Jenis Kelamin Daerah Asal Pendidikan

L P Jumlah Lokal Pendatang SMP SMA PT/

Diploma

(Orang)

1. Restaurant Manager 1 - 1 1 - - 1 -

2. Assistant Manager 3 1 4 2 2 - - 4

3. Supervisor 2 1 3 1 2 - 1 2

4. Chief Cashier - 1 1 - 1 - 1 -

5. Crew 40 26 66 66 - - 66 -

6. Security 5 - 5 5 - - 5 -

Jumlah 51 29 80 75 5 - 74 6

Sumber : PT. Fastfood Indonesia (2006)

Customer Service Team Member Food Service Team Member

(CSTM) (FSTM)

Gambar 5. Diagram Struktur Organisasi Restoran Siap Saji Sumber : PT. Fastfood Indonesia (2006)

Restaurant Manager

Assistant Restaurant

Manager

Chief Cashier

Cashier Back-up Dining Cooking Kitchen

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penerapan Good Manufacturing Practice di Restoran

Penerapan Good manufacturing practice oleh restoran dilakukan berdasarkan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.715/MENKES/SK/V/2003

tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Good manufacturing practice atau

GMP merupakan bagian dari proses pemastian mutu guna memastikan produk

diproduksi dan diawasi secara konsisten berdasarkan standar mutu yang sesuai

dengan tujuan penggunaan dan syarat izin edar yang berlaku (WHO, 1997).

Penerapan GMP harus memenuhi lima persyaratan utama, yaitu persyaratan umum

hygiene, persyaratan khusus golongan, persyaratan hygiene sanitasi makanan,

persyaratan hygiene sanitasi pengolahan makanan, dan persyaratan hygiene sanitasi

penyimpanan makanan.

Persyaratan Umum Hygiene Restoran

Persyaratan umum hygiene restoran terdiri atas dua aspek utama, yaitu lokasi

serta bangunan dan fasilitas.

Lokasi. Lokasi restoran terletak tidak jauh dari pemukiman penduduk dan berbatasan

dengan parit besar. Resiko-resiko yang disebabkan oleh parit, secara khusus,

menyebabkan penilaian atas lokasi restoran menjadi kurang sempurna.

Bangunan dan Fasilitas. Persyaratan untuk bangunan dan fasilitas restoran terdiri

atas lima belas aspek yang harus dipenuhi, yaitu halaman, konstruksi, lantai, dinding,

langit-langit, pintu dan jendela, pencahayaan, ventilasi, ruang pengolahan makanan,

fasilitas pencucian peralatan dan bahan makanan, tempat cuci tangan, air bersih,

jamban dan peturasan, kamar mandi, serta tempat sampah. Restoran dinilai telah

memenuhi tiga belas dari lima belas aspek yang harus dipenuhi. Beberapa hal yang

dinilai masih perlu disempurnakan, yaitu aspek pintu dapur, sistem ventilasi, dan

halaman restoran yang masih kurang sempurna. Pintu bagian dapur restoran tidak

membuka ke arah luar meski pintu tersebut dibuat tidak bercelah dan dapat menutup

sendiri. Sistem ventilasi dapur restoran juga dinilai kurang memenuhi syarat

sehingga kondisi dapur menjadi pengap, panas, dan kurang nyaman. Aspek halaman

restoran juga dinilai masih perlu mendapat penyempurnaan terkait faktor lokasi

restoran yang berbatasan dengan parit.

53

Persyaratan Khusus Golongan Restoran

Restoran ini termasuk ke dalam golongan jasaboga atau restoran A3, karena

melayani kebutuhan masyarakat umum melalui proses pengolahan dengan

menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja. Restoran golongan

A3 memiliki persyaratan yang lebih kompleks serta diwajibkan untuk memenuhi

persyaratan restoran golongan A1 dan A2 terlebih dahulu dalam proses

pelaksanaannya. Restoran ini, sebagai restoran golongan A3, dinilai telah memenuhi

semua persyaratan yang diwajibkan dengan baik, yaitu memiliki ruang pengolahan

makanan yang terpisah dengan bangunan tempat tinggal, chiller dan freezer dalam

jumlah yang mencukupi, alat pembuang asap dan cerobong asap yang tidak

mengganggu lingkungan, ruang pengolahan makan yang terpisah dengan ruang

penyajian produk matang, kendaraan dan alat pengangkut makanan khusus dengan

desain tertutup, kedap air, dan mudah dibersihkan, serta mencantumkan nama

perusahaan, nomor izin usaha, dan laik hygiene sanitasi pada setiap kemasan

makanan.

Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Restoran

Persyaratan hygiene sanitasi makanan terdiri atas tiga aspek, yaitu bahan

makanan, makanan terolah, dan makanan jadi. Restoran ini dinilai telah memenuhi

ketiga aspek persyaratan hygiene sanitasi makanan dengan baik. Bahan baku utama

restoran adalah daging ayam. Daging ayam yang digunakan harus memiliki kondisi

yang baik, segar, dan tidak rusak atau berubah bentuk, warna, dan rasa, serta berasal

dari tempat resmi yang diawasi. Kegiatan pengawasan terhadap bahan baku daging

ayam dilakukan oleh perusahaan pemilik restoran secara rutin melalui departemen

Quality Assuarance. Departemen QA menggunakan SNI 01-3924-2009 sebagai

standar mutu acuan untuk bahan baku daging ayam, disamping kriteria kualitas

karkas yang diinginkan oleh perusahaan. Data kriteria kualitas perusahaan untuk

daging ayam dapat dilihat pada Tabel 17. Restoran juga menggunakan bahan baku

selain daging ayam, yaitu kentang, patty, roti burger, sayuran, beras, dan lain-lain

serta bahan tambahan, seperti bumbu-bumbu, minyak, saos, dan lain-lain. Semua

bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan restoran berada dalam kondisi yang

baik dan tidak rusak atau busuk.

54

Produk utama dari restoran ini adalah ayam goreng tepung yang terdiri atas

dua jenis, crispy dan original. Kedua produk ini dapat disajikan untuk disantap

langsung maupun dibawa pulang dengan menggunakan kemasan tertentu. Restoran

ini menyediakan produk ayam goreng yang fresh dengan jangka waktu penyajian

yang juga sangat singkat. Restoran juga menggunakan kemasan khusus sekali pakai

yang dilengkapi dengan label, merk, nama restoran, nomor izin usaha, dan laik

hygiene sanitasi pada setiap kemasan yang digunakan sesuai dengan persyaratan

hygiene restoran.

Tabel 17. Data Kriteria Mutu Karkas Ayam Berdasarkan Standarisasi Perusahaan

Fisik Perlemakan Perdagingan Kulit

Fisik karkas harus

mendekati sempurna.

Tidak menerima

karkas dengan

kondisi :

1. Patah tulang,

2. tulang leher >

1,25 cm,

3. kaki terlalu

pendek,

4. dada atau tulang

sobek > 2 cm,

5. sobekan oleh

tangan atau pisau

pada kulit,

6. terdapat memar >

2 cm,

7. folikel bulu

berbintik merah >

2 cm,

8. terkontaminasi

oleh kotoran atau

sisa makanan dari

tembolok,

9. bulu halus dan

kasar di

permukaan karkas

> 1,25 cm,

10. masih terdapat

organ dalam,

11. terkontaminasi

ingesta > 5 cm.

Perlemakan sedikit

(+ 16%) untuk

setiap potongan

karkas.

Tidak menerima

karkas dengan

lemak berlebihan

di daerah dubur

atau leher.

Daging bersih dan

mengkilat.

Daging berbau

aromatis dan tidak

amis.

Konsistensi daging

kenyal.

Perdagingan penuh

di seluruh

permukaan karkas.

Serabut otot di

sekitar daging

berwarna pucat.

Kondisi kulit

sempurna.

Kerusakan kulit

sayap + 1 cm.

Kulit karkas

berwarna merah

muda.

Hanya boleh

memar pada sayap

0,5 cm.

Sumber : Departemen Logistik PT. Fast Food Indonesia, Tbk. dalam Aprido (2005)

55

Persyaratan Hygiene Sanitasi Pengolahan Makanan Restoran

Persyaratan hygiene sanitasi pengolahan makanan terdiri atas tiga aspek,

yaitu karyawan pengolah makanan, peralatan yang kontak dengan makanan, dan cara

pengolahan makanan. Restoran telah memenuhi aspek kedua dengan baik, akan

tetapi masih perlu mendapat peningkatan dan penyempurnaan dalam pemenuhan

aspek pertama dan ketiga dari persyaratan hygiene sanitasi pengolahan makanan.

Peralatan pengolahan pangan yang digunakan restoran terbuat dari stainless steel anti

karat dan kelupas, memiliki permukaan yang utuh dan mudah dibersihkan, memiliki

lapisan permukaan yang tidak terlarut dalam asam, basa, atau garam-garam yang

lazim dijumpai dalam makanan, serta tidak mengeluarkan logam berat beracun yang

membahayakan, seperti timah hitam (Pb), arsenikum (As), tembaga (Cu), seng (Zn),

cadmium (Cd), dan antimon (Stibium) apabila bersentuhan dengan makanan.

Peralatan pengolahan pangan selalu dibersihkan dan disanitasi sebelum dan setelah

digunakan. Peralatan dibersihkan terlebih dahulu dengan larutan multi purpose sink

detergent dan air hangat (49 – 54 oC) kemudian disanitasi dengan menggunakan

larutan klorin 100 ppm dan air bersuhu (32 – 38 oC). Kegiatan pembersihan dan

sanitasi peralatan dilakukan guna menjamin setiap peralatan pengolahan pangan

terbebas dari faktor-faktor pencemar.

Restoran perlu melakukan sedikit penyempurnaan agar dapat memenuhi

aspek pertama dan ketiga dengan baik. Penerapan perilaku hygiene dan bersih oleh

karyawan pada saat proses pengolahan pangan merupakan faktor yang dinilai masih

perlu mendapat penyempurnaan. Sertifikasi hygiene sanitasi makanan untuk setiap

karyawan dinilai sebagai salah satu cara yang efektif dalam mewujudkan penerapan

perilaku hygiene. Kegiatan pemantauan terhadap proses produksi juga penting untuk

ditingkatkan guna memperkecil kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap

SSOP yang telah ditetapkan.

Persyaratan Hygiene Sanitasi Penyimpanan Makanan Restoran

Persyaratan hygiene sanitasi penyimpanan makanan terdiri atas empat aspek,

yaitu penyimpanan bahan mentah, penyimpanan makanan terolah, penyimpanan

makanan jadi, dan cara penyimpanan makanan. Restoran telah memenuhi semua

aspek persyaratan hygiene sanitasi penyimpanan makanan dengan cukup baik.

Semua bahan mentah maupun produk makanan terolah disimpan di dalam freezer

56

dan chiller bersuhu < 4 oC. Produk matang restoran, khususnya ayam goreng crispy

dan original, disajikan langsung di dalam display holding cabinet bersuhu 65 oC

ataupun disimpan di dalam holding cabinet bersuhu 68 – 82 oC. Proses penyimpanan

dilakukan sesuai persyaratan, yaitu tidak tercampur antara produk matang dengan

bahan mentah serta tidak menempel pada lantai, dinding, dan langit-langit.

Penerapan Sanitation Standard Operating Procedure di Restoran

Program Sanitation standard operating procedure atau SSOP telah

diterapkan oleh pihak restoran dan didokumentasikan dengan baik dalam standard

library. SSOP merupakan suatu komponen program persyaratan teknis dasar (pre-

requisite programme) yang harus dipenuhi apabila suatu unit usaha akan memulai

suatu proses produksi dan berencana untuk menerapkan HACCP (Mortimore dan

Wallace, 2001). Proses pemantauan terhadap pelaksanaan prosedur standar sanitasi

dan kebersihan restoran juga dilakukan secara rutin oleh departemen QA melalui

kegiatan audit. Kegiatan audit oleh QA didasarkan pada delapan kunci SSOP dan

dilakukan setiap tiga bulan sekali tanpa adanya pemberitahuan kepada pihak

restoran.

Keamanan Air

Sumber air bersih restoran berasal dari PDAM kota Bogor dan sumur air

artesis. Air sumur yang akan digunakan telah melewati beberapa tahap penyaringan

terlebih dahulu. Sistem distribusi air sumur juga berbeda dengan air dari PDAM.

Air sumur akan ditampung terlebih dahulu dalam tangki air yang berada di atap

restoran dan kemudian didistribusikan dengan sistem down feed. Pengujian terhadap

kualitas air, khususnya air sumur, dilakukan secara berkala oleh pihak PDAM setiap

tiga bulan sekali, sehingga layak untuk digunakan dan memenuhi standar SNI.

Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan Pangan

Kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan makanan bergantung pada

pemeliharaan kebersihan peralatan pengolahan pangan dan karyawan. Pemeliharaan

kebersihan karyawan dilakukan dengan cara mewajibkan karyawan untuk mencuci

tangan sebelum dan sesudah menangani bahan makanan serta menggunakan gloves.

Pemeliharaan kebersihan peralatan pengolahan pangan dilakukan dengan proses

pembersihan serta sanitasi sebelum dan setelah digunakan. Peralatan dibersihkan

dengan larutan multi purpose sink detergent dan air hangat (49 – 54 oC) kemudian

57

disanitasi dengan menggunakan larutan klorin 100 ppm dan air bersuhu (32 – 38 oC).

Setiap peralatan pengolahan pangan yang terdapat di restoran terbuat dari stainless

steel sehingga mudah dibersihkan, tidak bereaksi, tahan karat, tidak menyerap, dan

tidak mengandung toksik.

Pencegahan Kontaminasi Silang

Kontaminasi silang merupakan hal yang perlu mendapat perhatian dan

pencegahan secara menyeluruh. Bentuk pencegahan terhadap kontaminasi silang

yang dilakukan oleh restoran, yaitu pemisahan tempat penyimpanan antara bahan

mentah dengan produk setengah jadi atau produk jadi, pelaksanaan proses

pengolahan, penyimpanan, dan penyajian pangan sesuai dengan standar sanitasi,

serta pelaksanaan proses sanitasi ruangan dan peralatan pengolahan pangan secara

baik dan benar.

Fasilitas Kebersihan

Ketersediaan dan pemeliharaan fasilitas kebersihan merupakan salah satu

aspek penting dalam mewujudkan sanitasi pangan. Penyediaan fasilitas kebersihan

bagi para pekerja, khususnya fasilitas cuci tangan dan toilet, masih perlu mendapat

peningkatan dan penyempurnaan. Restoran hanya menyediakan 1 buah fasilitas cuci

tangan dan 1 buah toilet untuk para pekerja. Fasilitas cuci tangan terletak di sebelah

pintu masuk dapur, sedangkan toilet untuk para pekerja berada di luar bangunan

restoran. Jumlah fasilitas cuci tangan dan toilet dinilai perlu ditambah guna

mendukung penerapan standar operasional sanitasi. Fasilitas cuci tangan modern

yang dilengkapi alat pengering tangan dan sesuai standar sanitasi serta toilet yang

memadai dan mudah dijangkau dinilai efektif dalam mengurangi resiko terjadinya

pencemaran kembali dan kontaminasi silang (Crammer, 2006).

Pencegahan Adulterasi

Pencegahan terhadap pencemaran dilakukan untuk menjamin produk pangan,

bahan pangan, maupun permukaan yang kontak dengan bahan pangan terhindar dari

cemaran fisik, kimia, dan biologi. Restoran telah melakukan kegiatan pencegahan

terhadap pencemaran dengan baik. Bentuk pencegahan terhadap pencemaran yang

dilakukan restoran, yaitu penyimpanan senyawa pembersih dan sanitizer pada tempat

terpisah dan tertutup, penggunaan tempat sampah yang dapat menutup dengan

sempurna, penempatan gas pada ruangan yang tertutup, serta pemisahan wadah yang

58

digunakan untuk bahan makanan atau peralatan dengan wadah untuk pembersih dan

sanitizer.

Pelabelan dan Penyimpanan Senyawa Berbahaya

Restoran telah melakukan proses pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan,

baik bahan pangan maupun non pangan, dengan baik. Kegiatan pelabelan bahan

pangan maupun non pangan dilakukan dengan menggunakan sistem kartu dan

formulir pencatatan yang dilakukan oleh stock control. Prosedur pencatatan dan

pemberian label dilakukan untuk mempermudah proses penyimpanan, pengawasan,

dan pemeriksaan serta mencegah terjadinya kesalahan penggunaan yang dapat

menimbulkan pencemaran.

Kesehatan Pekerja

Kesehatan pekerja merupakan salah satu faktor penting yang perlu

diperhatikan dalam mewujudkan sanitasi pangan. Kegiatan pemantauan dan

pengelolaan kesehatan pekerja telah dilakukan dengan baik, akan tetapi masih perlu

mendapat penyempurnaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa restoran perlu

memperketat kegiatan pemantauan terhadap kesehatan pekerja guna memperkecil

resiko terjadinya kontaminasi silang.

Pengendalian Hama

Keberadaan hama mutlak tidak dikehendaki dalam mewujudkan sanitasi

pangan. Kegiatan pengendalian hama yang dilakukan oleh restoran mencakup

prosedur pencegahan dan penggunaan bahan kimia pembasmi hama. Penerapan

praktik hygiene, konstruksi restoran, lubang, dan saluran pembuangan dengan desain

khusus dan tertutup, pemeliharaan kebersihan ruang penyimpanan, serta penataan

penyimpanan merupakan bentuk-bentuk pencegahan hama yang dilakukan oleh

restoran. Restoran juga menggunakan jasa pembasmi hama komersil terminix setiap

dua minggu sekali. Prosedur pembasmian hama oleh terminix dilakukan dengan

menyemprotkan bahan kimia pembasmi hama pada malam hari.

HACCP Plan

Penerapan HACCP plan didasarkan pada ketujuh prinsip HACCP yang telah

dipublikasikan oleh Codex Alimentarius Commission dan tertuang di dalam dua

belas langkah penerapan HACCP. Kedua belas langkah penerapan sistem HACCP

59

tersebut, antara lain pembentukan tim HACCP, deskripsi produk, identifikasi rencana

dan tujuan penggunaan produk, penyusunan diagram alir proses produksi, verifikasi

diagram alir proses produksi, identifikasi atau analisis bahaya pada setiap tahapan

proses produksi, penetapan titik kendali kritis (CCP), penetapan batas kritis untuk

setiap CCP, penetapan prosedur monitoring pada setiap CCP, penetapan tindakan

koreksi, penetapan prosedur verifikasi sistem HACCP, serta penetapan prosedur

pencatatan (dokumentasi) dan penyimpanan dokumen hasil pencatatan.

Pembentukan Tim HACCP

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa susunan terbaik tim HACCP yang

tepat untuk restoran siap saji terdiri atas para personal yang berasal dari departemen

quality assurance & research and development, operation administration, dan

marketing. Ketiga departemen tersebut memiliki kaitan yang paling erat dengan

produk dan kegiatan proses produksi. Sudibyo (2008) mengatakan bahwa susunan

utama tim HACCP harus terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota.

QA dan QC yang berasal dari departemen quality assurance & research and

development paling sesuai untuk menempati posisi ketua dan sekretaris tim HACCP

yang memerlukan pengetahuan dan pengertian yang baik terhadap sistem HACCP

dan penerapannya serta prosedur pembuatan dokumen manual HACCP (Sudibyo,

2008). Posisi wakil ketua tim HACCP hendaknya berasal dari departemen yang juga

memiliki pengetahuan akan proses produksi dan sistem HACCP. Personal yang

berasal dari departemen operation administration paling sesuai untuk menempati

posisi wakil ketua tim HACCP, karena memiliki pengetahuan dan keterampilan yang

memadai dalam proses produksi sehingga dapat melengkapi kinerja dari ketua tim.

Anggota tim HACCP dapat berasal dari departemen lain, akan tetapi diharapkan

untuk dapat mengerti tentang penerapan sistem HACCP pada proses produksi.

Personal yang berasal dari departemen marketing cukup kompeten untuk menempati

posisi anggota tim HACCP, karena memiliki informasi-informasi penunjang yang

dapat mendukung penerapan sistem HACCP, seperti informasi tentang pemasok

maupun pihak lain yang bekerja sama dengan pihak restoran. Tim HACCP juga

disarankan untuk memiliki pendamping yang bersifat independen dan bertindak

sebagai tenaga ahli luar yang paham terhadap bahaya potensial fisik, kimia, dan

biologi (Badan Standarisasi Nasional, 1998).

60

Deskripsi Produk

Hasil deskripsi produk menunjukkan bahwa produk yang dikaji adalah ayam

goreng yang terdiri atas dua jenis, yaitu Hot & Crispy Chicken dan Original Recipe

Chicken. Kedua jenis ayam goreng tersebut dimasak dengan metode deep-fat frying

pada suhu dan lama penggorengan yang berbeda. Ayam goreng HCC digoreng pada

suhu 171 oC selama 13 menit, sedangkan ayam goreng ORC digoreng pada suhu

141 oC dengan tekanan tertentu selama 14,5 menit. Bahan dasar yang digunakan

pada dasarnya adalah sama, perbedaannya hanya terletak pada komposisi bumbu

yang digunakan. Hal tersebut menyebabkan kedua jenis produk ayam goreng ini

memiliki masa kadaluarsa yang sama, yaitu 90 menit sejak matang. Perbedaan lain

yang terdapat pada kedua jenis produk ini adalah metode pengemasan. Original

Recipe Chicken menggunakan food paper khusus dan berlabel, sedangkan Hot &

Crispy Chicken hanya dikemas dengan menggunakan food paper biasa. Data

deskripsi produk ayam goreng dari restoran siap saji ini selengkapnya dapat dilihat

pada Tabel 18 dan 19.

Tabel 18. Deskripsi Produk Ayam Goreng Hot & Crispy Chicken Restoran Siap

Saji

Kriteria Deskripsi Keterangan

Nama Dagang Produk Hot & Crispy Chicken

Komposisi Utama Daging ayam serta tepung dan bumbu khusus standar

restoran waralaba

Kategori Proses Deep-fat frying

Cara Penyajian Produk Digoreng secara deep-fat frying pada suhu 171 oC

selama 13 menit

Pengemasan Primer : food paper

Sekunder : kardus makanan

Cara Distribusi Dine-in : disajikan di atas piring

Home delivery : dimasukkan ke dalam kemasan lalu

dimasukkan ke dalam ruang penyimpan makanan yang

ada di motor

Masa Kadaluarsa 1,5 jam (90 menit)

Kondisi Penyimpanan Di dalam display cabinet bersuhu 65 – 72 oC

Di dalam holding cabinet bersuhu 79 – 82 oC

Pelabelan Label halal, label DEPKES, label penunjuk produk,

dan logo restoran

Penjualan Langsung kepada konsumen akhir

Target Konsumen Semua umur, khususnya anak-anak dan remaja

61

Tabel 19. Deskripsi Produk Ayam Goreng Original Recipe Chicken Restoran Siap

Saji

Kriteria Deskripsi Keterangan

Nama Dagang Produk Original Recipe Chicken

Komposisi Utama Daging ayam serta tepung dan bumbu khusus standar

restoran waralaba

Kategori Proses Deep-fat frying

Cara Penyajian Produk Digoreng secara deep-fat frying pada suhu 141 oC dan

tekanan tertentu selama 14,5 menit

Pengemasan Primer : food paper khusus bertanda Original Recipe

Sekunder : kardus makanan

Cara Distribusi Dine-in : disajikan di atas piring

Home Delivery : dimasukkan ke dalam kemasan lalu

dimasukkan ke dalam ruang penyimpan makanan yang

ada di motor

Masa Kadaluarsa 1,5 jam (90 menit)

Kondisi Penyimpanan Di dalam display cabinet bersuhu 65 – 72 oC atau di

dalam holding cabinet bersuhu 79 – 82 oC dengan

wadah khusus yang dilengkapi tempat penampungan

air

Pelabelan Label halal, label DEPKES, label penunjuk produk,

dan logo restoran

Penjualan Langsung kepada konsumen akhir

Target Konsumen Semua umur, khususnya anak-anak dan remaja

Identifikasi Rencana Penggunaan Produk

Identifikasi rencana dan tujuan penggunaan produk adalah langkah ketiga

dalam penerapan sistem HACCP. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa kedua

jenis produk ayam goreng tersebut merupakan produk pangan yang aman, sehat,

utuh, dan halal (ASUH), sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan apabila

dikonsumsi. Restoran menetapkan target penjualan yang seluas-luasnya untuk kedua

jenis produk ayam goreng tersebut. Target penjualan dari kedua jenis produk ayam

goreng ini juga tidak dibatasi oleh kalangan tertentu dan memiliki batasan umur yang

cukup luas, yaitu mulai dari empat tahun ke atas.

Penyusunan dan Verifikasi Diagram Alir Produk

Penyusunan dan verifikasi diagram alir produk merupakan dua langkah

penting yang harus dilakukan dalam penerapan sistem HACCP. Diagram alir

pembuatan ayam goreng Hot & Crispy Chicken (HCC) dan Original Recipe Chicken

(ORC) dapat dilihat pada Gambar 6.

62

Gambar 6. Diagram Alir Proses Pembuatan Ayam Goreng HCC dan ORC di

Restoran Siap Saji

Penerimaan ayam

fresh (< 4 oC) dan

frozen (> -4 oC)

Penyimpanan di chiller

(3 – 4 oC) dan freezer

[(-18) – (-15) oC]

Dress-up

Marinating

Penyimpanan di

chiller (3 – 4 oC)

Breading dan

Penyusunan

Deep-fat frying pada suhu 171 oC

selama 13 menit untuk HCC

Deep-fat frying pada suhu 141 oC

dan tekanan tertentu selama 14,5

menit untuk ORC

Holding di dalam holding

cabinet bersuhu 68 – 82 oC

(+ 5 menit)

Display di dalam display

cabinet bersuhu 65 oC + 3

oC

hingga masa kadaluarsa (1,5

jam sejak selesai digoreng)

Rejecting saat mencapai

masa kadaluarsa (1,5 jam

sejak selesai digoreng)

Dimasukan ke dalam plastik

dan diletakan di dalam

holding cabinet untuk

kemudian dilakukan

deboning untuk side item

Repacking

63

Penerimaan Bahan Baku. Tahap pertama dari rangkaian proses produksi yang

dilakukan oleh restoran adalah penerimaan bahan baku. Kegiatan penerimaan bahan

baku dibagi menjadi tiga tahap, yaitu penerimaan ayam segar (fresh chicken), ayam

beku (frozen chicken), dan bahan kering (dry goods). Kegiatan-kegiatan tersebut

dilakukan pada waktu yang berbeda-beda. Penerimaan ayam segar (fresh chicken)

dilakukan setiap pukul 10.00 WIB, sedangkan penerimaan ayam beku (frozen

chicken) dilakukan setiap pukul 13.00 WIB. Proses penerimaan tidak terjadi setiap

hari untuk ayam segar maupun ayam beku, tergantung dari jumlah ayam yang

dibutuhkan dan persediaan. Berbeda dengan penerimaan ayam segar dan ayam beku,

penerimaan bahan kering (dry goods) dilakukan pada hari Selasa dan Jumat setiap

pukul 16.00 WIB.

Kegiatan penerimaan bahan baku dilakukan oleh stock control restoran.

Restoran memiliki tiga orang stock control yang masing-masing bertugas pada waktu

yang berbeda, yaitu 07.00 – 14.00 WIB, 09.00 – 16.00 WIB, dan 23.00 – 07.00 WIB.

Setiap stock control akan menjalani ketiga waktu kerja tersebut, sebab proses

pertukaran shift (jam kerja) terjadi setiap seminggu sekali.

Kegiatan penerimaan bahan baku, khususnya ayam segar (fresh chicken) dan

ayam beku (frozen chicken) merupakan kegiatan pertama dari rangkaian proses

produksi ayam goreng di restoran. Penerimaan ayam segar dan beku dilakukan pada

bagian belakang dapur yang memiliki pintu keluar. Daging ayam yang dibawa oleh

pemasok (supplier) dengan menggunakan truk berpendingin diturunkan dari truk,

ditempatkan ke dalam palet, lalu didistribusikan ke dalam chiller (fresh chicken) atau

freezer (frozen chicken). Sebelum proses distribusi dilakukan, daging ayam harus

melewati pemeriksaan suhu terlebih dahulu. Pemeriksaan suhu dilakukan dengan

menggunakan termometer oleh stock control yang sedang bertugas pada saat itu.

Suhu ayam yang diperoleh kemudian dicatat di dalam buku laporan penerimaan

barang. Data suhu ayam pada saat penerimaan dapat dilihat pada Lampiran 5, 6, 7,

8, 9, dan 10.

Proses penerimaan ayam, baik segar maupun beku, tidak selalu bebas dari

kendala. Kendala yang paling sering dihadapi dalam proses penerimaan ayam adalah

proses serah terima yang terkadang kurang memperhatikan standar higienitas

64

sehingga menyebabkan persentase tingkat kontaminasi pada daging ayam menjadi

lebih tinggi. Kendala tersebut sebagian besar disebabkan oleh human error.

Penyimpanan. Proses penerimaan ayam diikuti oleh proses pendistribusian dan

penyimpanan ayam ke dalam chiller (fresh chicken) dan freezer (frozen chicken).

Proses penyimpanan dilakukan untuk menjaga suhu ayam berada pada kisaran 1 – 5

oC untuk ayam segar dan (-23) – (-12)

oC untuk ayam beku selama belum diolah.

Suhu chiller dan freezer yang digunakan harus dijaga pada kisaran 3 – 4 oC dan (-18)

– (-15) oC. Pemantauan terhadap suhu chiller dan freezer dilakukan tiga kali sehari,

yaitu pada pukul 07.00, 15.00, dan 23.00 WIB. Data hasil pemantauan suhu

kemudian dicatat pada lembar yang telah disiapkan. Data hasil pemantauan suhu

dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, 3, dan 4.

Dress-up. Dress-up merupakan proses persiapan terhadap daging ayam yang harus

dilakukan sebelum proses marinating. Dress-up memiliki tiga fungsi utama, yaitu

mengurangi lemak-lemak yang menempel pada kulit, menghilangkan jeroan pada

paha atas, dan mematahkan persendian paha atas. Proses dress-up diawali dengan

mengeluarkan ayam dari dalam chiller (ayam segar) atau bak thawing (ayam beku)

dan menempatkannya di dalam wadah. Daging ayam kemudian dikeluarkan dari

kemasan, dipersiapkan (dress-up), dan ditempatkan ke dalam wadah lainnya sebelum

akhirnya dilakukan proses marinating. Penerapan proses dress-up sangat erat

hubungannya dengan proses marinating, oleh sebab itu dalam kesehariannya, proses

dress-up dan marinating merupakan suatu kesatuan proses.

Marinating. Ayam yang telah melewati proses dress-up akan memasuki proses

marinating. Ayam yang telah selesai dipersiapkan (dress-up) kemudian dimasukkan

ke dalam marinator bersama larutan bumbu marinade untuk selanjutnya dilakukan

marinating selama 15 menit. Proses marinating untuk ayam ORC tidak boleh

disatukan dengan ayam HCC, sebab bumbu marinade yang digunakan berbeda.

Proses marinating ayam ORC harus dilakukan terlebih dahulu, karena bumbu

marinade untuk ayam HCC lebih pedas dibandingkan ayam ORC. Kegiatan

marinating dilakukan dengan menggunakan mesin marinator putar (rolling

marinator). Restoran lebih menyukai proses marinating yang dilakukan dengan cara

diputar daripada direndam. Proses marinating dengan cara diputar akan memberikan

65

hasil yang lebih baik dibandingkan dengan proses rendam, sebab bumbu marinade

akan meresap dengan lebih merata (Chen, 1982).

Repacking. Setelah proses marinating selesai, daging ayam ditempatkan ke dalam

suatu wadah khusus untuk kemudian dimasukkan ke dalam plastik. Pengemasan ke

dalam plastik harus dipisah antara ayam ORC dan HCC serta dilakukan dengan

menggunakan hand gloves. Satu plastik harus berisi 9 potong daging ayam yang

terdiri atas 1 buah dada daging, 2 buah dada rusuk, 2 buah paha atas, 2 buah paha

bawah (drum stick), dan 2 buah sayap (wing). Jumlah daging ayam yang dikemas

harus sesuai dengan jumlah daging ayam yang dikeluarkan. Satuan yang digunakan

untuk potongan daging ayam tersebut adalah head. Satu head mewakili 1 ekor ayam

yang akan menghasilkan 9 potongan komersial. Jumlah daging ayam yang

dikeluarkan untuk diproses (dress-up dan marinating) bervariasi, tergantung pada

kebutuhan dan persediaan daging ayam marinade. Daging ayam marinade yang

telah dikemas selanjutnya akan dimasukkan kembali ke dalam chiller selama 24 jam

sebelum diolah pada tahap berikutnya.

Breading. Proses pengolahan berikutnya adalah breading (pembalutan dengan

tepung). Proses breading dilakukan oleh karyawan cook. Proses breading harus

dilakukan sebelum daging ayam digoreng. Proses ini juga harus dilakukan dengan

perhitungan yang pas, sebab daging ayam yang telah dibalut tepung hanya boleh

berada pada keadaan terbuka selama sekitar lima menit. Daging ayam breading yang

berada pada keadaan terbuka dalam waktu lama tidak layak untuk digoreng, karena

akan menghasilkan ayam goreng yang sangat kering. Proses breading hanya boleh

dilakukan pada daging ayam marinade yang telah terlebih dahulu disimpan di dalam

chiller selama 24 jam.

Proses breading diawali dengan mengeluarkan ayam marinade siap breading

dari dalam chiller dan ditempatkan di dalam wadah yang sudah disiapkan

sebelumnya di atas meja breading. Sama seperti proses marinating, proses breading

kedua jenis ayam tersebut tidak boleh disatukan. Hal ini disebabkan karena tepung

yang digunakan untuk breading ayam ORC memiliki campuran khusus dan berbeda

dari tepung yang digunakan untuk breading ayam HCC. Restoran menyediakan dua

buah meja breading (breading table) agar proses breading dapat dilakukan secara

66

terpisah. Proses breading harus dilakukan dengan metode tertentu sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan oleh restoran.

Penggorengan. Daging ayam yang telah melewati proses breading harus segera

digoreng. Metode penggorengan yang digunakan oleh restoran adalah deep-fat

frying. Deep-fat frying merupakan salah satu metode penggorengan yang dilakukan

dengan menggunakan minyak goreng dalam jumlah banyak, sehingga bahan pangan

yang digoreng akan terendam seluruhnya di dalam minyak goreng (Muchtadi, 2008).

Proses penggorengan kedua jenis ayam dilakukan pada penggorengan yang berbeda

dengan waktu dan suhu yang berbeda pula. Ayam HCC digoreng pada open fryer

dengan suhu 171 oC selama 13 menit, sedangkan ayam ORC digoreng pada pressure

fryer dengan suhu 141 oC selama 14,5 menit.

Holding. Proses penggorengan akan dilanjutkan dengan proses penyimpanan di

dalam holding cabinet. Restoran memiliki dua jenis holding cabinet yang digunakan

untuk menyimpan ayam dan produk lainnya, yaitu upright holding cabinet dan

holding cabinet flip up door. Kedua jenis holding cabinet tersebut memiliki fungsi

yang sama, yaitu sebagai tempat penyimpanan produk sementara sebelum

dipasarkan. Suhu di dalam holding cabinet harus berada pada kisaran 68 – 82 oC.

Penyimpanan di dalam holding cabinet tidak harus terjadi. Holding cabinet

umumnya digunakan apabila produk yang dipasarkan belum habis terjual, sedangkan

produk yang baru telah selesai dimasak (telah matang). Penyimpanan di dalam

holding cabinet bertujuan untuk menjaga agar produk tetap hangat, akan tetapi tidak

boleh terlalu lama (+ 5 menit) agar produk tidak kering.

Prosedur penyimpanan yang dilakukan juga sedikit berbeda antara ayam

goreng HCC dan ORC. Ayam goreng HCC disimpan di dalam holding cabinet

dengan menggunakan nampan biasa, sedangkan ayam goreng ORC menggunakan

nampan yang dilengkapi dengan wadah penampungan air. Hal tersebut dilakukan

agar ayam goreng ORC tetap memiliki tekstur yang empuk dan basah. Proses

penyimpanan yang dilakukan di dalam holding cabinet tidak boleh terlalu lama,

sebab suhu internal holding cabinet yang cukup tinggi akan menyebabkan terjadinya

evaporasi pada ayam goreng, baik HCC maupun ORC, sehingga ayam goreng akan

menjadi kering dan keras. Perhitungan yang matang sejak dari proses breading

67

hingga penyajian sangat diperlukan guna memastikan produk ayam goreng tidak

terlalu lama disimpan di dalam holding cabinet.

Pemasaran dan Rejecting. Ayam yang telah digoreng dapat juga langsung

dipasarkan di dalam display holding cabinet. Suhu di dalam display holding cabinet

dijaga pada suhu 65 oC + 3

oC. Bagian display holding cabinet yang digunakan

untuk menyimpan ayam ORC juga dilengkapi dengan nampan berisi wadah

penampung air. Ayam yang telah matang, baik HCC maupun ORC, hanya memiliki

waktu penyajian selama 90 menit dari saat matang sebelum akhirnya ayam tersebut

ditarik dari display holding cabinet (reject) dan dijadikan bahan baku pembuatan side

item (perkedel, cream soup, dan chicken soup).

Identifikasi atau Analisis Bahaya

Identifikasi atau analisis bahaya adalah langkah penerapan sistem HACCP

keenam sekaligus merupakan prinsip HACCP pertama. Kedua jenis produk ayam

goreng dinilai memiliki tingkat resiko bahaya yang tinggi, karena berbahan baku

daging ayam (Departemen ITP, 2007). Produk-produk ayam goreng ini juga

termasuk ke dalam kelompok bahan pangan dengan kategori bahaya III, karena

memiliki karakteristik resiko bahaya B, D, dan E. Produk dengan karakteristik

bahaya B merupakan kelompok bahan pangan yang sensitif terhadap bahaya biologi,

fisik, dan kimia. Bahaya ini sangat mungkin terjadi pada setiap tahapan karena

produk ayam goreng kaya akan kandungan nutrisi. Bahaya D menunjukkan adanya

kemungkinan produk dapat terkontaminasi kembali setelah pengolahan sebelum

pengemasan. Bahaya E merupakan karakteristik bahaya yang dapat terjadi selama

proses penanganan, distribusi, dan pemasaran (National Advisory Committee on

Microbiological Criteria for Foods, 1990; Pierson dan Corlett, 1992).

Proses analisis bahaya diawali pada tahap penerimaan ayam. Data hasil

pengamatan pada proses penerimaan daging ayam, baik ayam segar maupun ayam

beku, dapat dilihat pada Tabel 20 dan 21. Standar suhu penerimaan daging ayam

yang telah ditetapkan oleh restoran adalah maksimum 4 oC untuk ayam segar dan

maksimum -4 oC untuk ayam beku. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa

tingkat kesesuaian suhu penerimaan di lapangan dengan standar suhu penerimaan

restoran sangat rendah untuk ayam segar (fresh chicken) dan sangat tinggi untuk

ayam beku (frozen chicken) pada bulan Januari 2011. Perilaku pekerja yang kurang

68

sesuai dengan standar hygiene dan sanitasi pada saat proses penerimaan daging ayam

segar dinilai sebagai penyebab rendahnya tingkat kesesuaian antara suhu penerimaan

di lapangan dengan standar suhu penerimaan restoran. Tingkat kesesuaian suhu

penerimaan di lapangan dengan standar suhu penerimaan restoran mengalami

peningkatan yang positif untuk kedua jenis daging ayam pada bulan Februari dan

Maret 2011.

Tabel 20. Data Persentase Kesesuaian Suhu Penerimaan Fresh Chicken dan Fresh

Wing dengan Standar Restoran Selama Bulan Januari hingga Maret 2011

No. Bulan Sesuai Tidak Sesuai

1. Januari

29,03 %

70,97 %

2. Februari

75 %

25 %

3. Maret

67,74 %

32,26 %

Tabel 21. Data Persentase Kesesuaian Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan Frozen

Wing dengan Standar Restoran Selama Bulan Januari hingga Maret 2011

No. Bulan Sesuai Tidak Sesuai

1. Januari

100 %

0 %

2. Februari

96,43 %

3,57 %

3. Maret

100 %

0 %

Data hasil pengamatan pada tahap penerimaan juga menunjukkan bahwa

kegiatan penerimaan daging ayam berpotensi cukup besar untuk terkontaminasi

bahaya fisik, kimia, dan biologi apabila tidak dilakukan dengan baik. Bahaya fisik

yang mengancam kegiatan penerimaan ayam berasal dari lingkungan, yaitu debu,

rambut, dan serangga. Hal ini dapat terjadi, karena kegiatan penerimaan ayam

dilakukan di tempat yang kurang tertutup, sehingga memungkinkan faktor-faktor

fisik untuk mengontaminasi produk apabila proses penerimaan tidak dilakukan

dengan baik dan benar. Residu asap kendaraan dan residu antibiotik merupakan dua

faktor pencemar kimiawi yang berpotensi mencemari produk pada tahap ini apabila

69

proses penerimaan yang dilakukan kurang memperhatikan standar hygiene dan

sanitasi. Selain bahaya fisik dan kimiawi, bahaya biologi juga berpotensi mencemari

produk pada proses ini. Mead (2004) menyatakan bahwa Salmonella dan

Campylobacter sp. merupakan dua sumber pencemar biologi yang paling banyak

ditemukan pada daging ayam. Clostridium perfringens, Listeria monocytogenes,

Arcobacter sp., dan E. Coli O157:H7 adalah beberapa jenis mikroorganisme lainnya

yang juga berpotensi mencemari daging ayam (Mead, 2004; Baran dan Gulmez,

2000; Doyle dan Schoeni, 1987). Mikroorganisme-mikroorganisme di atas termasuk

ke dalam kelompok pencemar biologi dengan potensi bahaya sedang dan tingkat

penyebaran yang cukup luas (International Commission of Microbiological

Specification for Foods, 1992).

Tahap berikutnya adalah penyimpanan di dalam chiller dan freezer. Suhu

penyimpanan di dalam chiller dan freezer secara berurutan adalah 3 – 4 oC dan (-18)

– (-15) oC. Penyimpanan di dalam chiller dan freezer dilakukan untuk menjaga suhu

daging ayam berada pada kisaran 1 – 5 oC pada ayam segar dan (-23) – (-12)

oC pada

ayam beku. Hasil pengamatan terhadap data suhu chiller dan freezer dapat dilihat

pada Tabel 22 dan 23.

Tabel 22. Data Persentase Kesesuaian Suhu Chiller dengan Standar Restoran

Selama Bulan Februari dan Maret 2011

No. Bulan Sesuai Tidak Sesuai

1. Februari

92,86 %

7,14 %

2. Maret

91,40 %

8,60 %

Tabel 23. Data Persentase Kesesuaian Suhu Freezer dengan Standar Restoran

Selama Bulan Februari dan Maret 2011

No. Bulan Sesuai Tidak Sesuai

1. Februari

70,24 %

29,76 %

2. Maret

78,49 %

21,51 %

70

Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa pelaksanaan proses penyimpanan

masih perlu mendapat penyempurnaan, khususnya pada freezer. Persentase

ketidaksesuaian suhu di dalam freezer dengan standar suhu yang ditetapkan lebih

besar dibandingkan dengan persentase ketidaksesuaian suhu di dalam chiller.

Frekuensi buka tutup yang terlalu sering dan perilaku pekerja yang terkadang sedikit

kurang sesuai dengan standar hygiene dan sanitasi pada saat melakukan

penyimpanan ke dalam chiller dan freezer diduga menjadi penyebab terjadinya

penyimpangan pada tahap penyimpanan. Fluktuasi suhu dan perilaku pekerja yang

sedikit kurang sesuai dengan standar hygiene dan sanitasi dinilai berkorelasi positif

dengan resiko bahaya biologi yang berpotensi mencemari produk pada tahap ini.

Salmonella, E. Coli O157:H7, dan Listeria monocytogenes adalah faktor pencemar

biologi pada tahap ini. Ketiga bakteri tersebut dapat hidup dan tumbuh pada suhu

rendah hingga 5 oC (Luning et al., 2006). Listeria monocytogenes bahkan dapat

bertahan hidup pada suhu -18 oC sehingga berpotensi mencemari ayam beku (Davies

dan Adams, 1994).

Tahap berikutnya adalah dress-up, marinating, dan repacking yang saling

berhubungan dan harus dilakukan secara berkelanjutan. Data hasil pengamatan

menunjukkan bahwa bahaya fisik dan biologi berpotensi mencemari produk pada

proses dress-up, marinating, dan repacking yang dilakukan di dapur apabila proses

pelaksanaannya kurang sesuai dengan standar hygiene dan sanitasi yang telah

ditetapkan. Data hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa ketiga proses ini

terkadang dilakukan oleh pekerja yang berada dalam kondisi fisik yang kurang

prima. Kondisi fisik yang sedikit kurang prima berdampak pada kurangnya

konsentrasi pada saat bekerja, sehingga berpotensi untuk melakukan kegiatan yang

kurang sesuai dengan standar hygiene dan sanitasi pada saat melakukan ketiga proses

tersebut. Faktor fisik yang berpotensi mencemari adalah rambut, debu, dan serangga,

sedangkan faktor biologi yang berpotensi adalah Salmonella, Campylobacter sp.,

Clostridium perfringens, Listeria monocytogenes, Arcobacter sp., dan E. Coli

O157:H7 (Mead, 2004; Baran dan Gulmez, 2000; Doyle dan Schoeni, 1987).

Tahap selanjutnya adalah penyimpanan ayam marinade di dalam chiller.

Tahap ini hampir sama dengan tahap penyimpanan pada chiller atau freezer.

Frekuensi buka tutup chiller dan perilaku pekerja yang sedikit kurang sesuai dengan

71

standar hygiene dan sanitasi pada saat melakukan penyimpanan ke dalam chiller

menjadi hal yang perlu diperhatikan guna memperkecil resiko bahaya biologi yang

berpotensi mencemari produk pada tahap ini. E. coli O157:H7 dan Listeria

monocytogenes dinilai sebagai faktor pencemar biologi pada tahap ini. Kedua jenis

bakteri ini dapat bertahan hidup pada kondisi yang tidak memadai. Salmonella tidak

dapat bertahan pada tahap ini karena memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi

terhadap garam (Luning et al., 2006).

Proses penyimpanan di chiller diikuti oleh proses breading dan penyusunan.

Bahaya fisik, kimia, dan biologi berpotensi mengontaminasi produk pada tahap ini

apabila tidak dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku. Bahaya fisik pada tahap

ini berasal dari rambut, serangga, dan debu. Proses breading dan penyusunan yang

dilakukan di dapur tanpa dilengkapi dengan wadah penutup dinilai akan

mempermudah faktor-faktor fisik dalam mengontaminasi produk. Bahaya biologi

juga beresiko mengontaminasi produk pada tahap ini melalui medium air. Sumber

air yang digunakan pada proses breading perlu dijaga kualitasnya secara berkala

guna memperkecil dan bahkan menghilangkan kemungkinan terjadinya pencemaran

melalui air yang dilakukan oleh E. coli O157:H7 dan Listeria monocytogenes

(Luning et al., 2006). Selain bahaya fisik dan biologi, bahaya kimia juga berpotensi

mencemari produk pada tahap breading dan penyusunan. Potensi pencemaran oleh

bahaya kimia berasal dari perilaku pekerja yang terkadang kurang cermat dan

bijaksana dalam mengelola remah-remah tepung hasil sisa proses breading, sehingga

kurang sesuai dengan standar hygiene dan sanitasi yang telah ditetapkan. Sisa-sisa

tepung hasil proses breading yang berserakan di sekitar meja breading dinilai

berpotensi terkontaminasi residu klorin yang digunakan pada proses pembersihan

peralatan breading.

Tahap selanjutnya adalah proses penggorengan. Proses penggorengan

dilakukan pada suhu 171 oC untuk ayam HCC dan 141

oC untuk ayam ORC. Proses

penggorengan dinilai terbebas dari resiko bahaya biologi, akan tetapi berpotensi

tercemar bahaya kimia. Suhu penggorengan yang sangat tinggi tidak memungkinkan

mikroorganisme untuk dapat bertahan hidup, akan tetapi berpotensi menghasilkan

senyawa-senyawa kimia yang tidak diinginkan, meskipun dalam jumlah dan

kemungkinan yang kecil. Heterocyclic amines, acrylamide, 3-monochloropropane-

72

1,2-diol (3-MCPD), dan senyawa radikal bebas adalah senyawa-senyawa kimia yang

berpotensi terbentuk pada saat proses pengolahan bahan pangan kaya protein hewani.

Produk samping hasil reaksi Maillard pada proses penggorengan dinilai berkaitan

erat dengan produksi senyawa heterocyclic amines dan acrylamide. Proses

penggorengan juga berkaitan erat dengan produksi senyawa 3-MCPD. Senyawa 3-

MCPD dihasilkan dari proses penggorengan bahan pangan yang mengandung

acylglycerols, gliserol, dan natrium klorida pada suhu 100 – 230 oC, seperti daging

dan serealia. Kegiatan penggorengan yang dilakukan pada keadaan terbuka juga

memungkinkan terjadinya kontak antara minyak goreng dengan oksigen. Minyak

yang bersentuhan dengan oksigen pada saat proses penggorengan akan mengalami

reaksi oksidasi sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan

memungkinkan terjadinya pembentukan senyawa radikal bebas yang bersifat

karsinogen. Kegiatan pencegahan dan pengendalian sangat diperlukan pada tahap ini

guna memperkecil resiko kontaminasi bahaya kimia (Brown, 2000; Luning et al.,

2006; Wasowicz et al., 2004; Svejkovska et al., 2006).

Beberapa tahapan selanjutnya setelah proses penggorengan adalah holding,

pemasaran atau display, dan rejecting. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa

proses holding, display, dan rejecting dinilai tidak memiliki resiko bahaya fisik,

kimia, maupun biologi. Proses penanganan produk matang pada ketiga tahapan

proses tersebut dilakukan dengan menggunakan penjepit khusus serta sesuai dengan

standar hygiene dan sanitasi. Produk matang yang telah selesai digoreng akan

langsung didistribusikan ke dalam holding cabinet atau display cabinet. Produk

ayam goreng yang telah melewati batas penyajian, 90 menit sejak selesai digoreng,

akan langsung ditarik dari display cabinet untuk disimpan sementara di dalam

holding cabinet secara terpisah sebelum dijadikan bahan baku pembuatan side item.

Proses analisis atau identifikasi bahaya dilakukan pada setiap tahapan proses

produksi dan dapat dilihat pada Tabel 24. Jenis bahaya pada tahap penerimaan

bahan baku ditetapkan berdasarkan kegiatan pengamatan di lapangan dan hasil

analisis laboratorium yang dilakukan oleh pihak perusahaan pemilik restoran.

Berbeda dengan jenis bahaya pada saat penerimaan bahan baku, jenis bahaya pada

tahapan proses produksi ditetapkan hanya berdasarkan hasil observasi dan

pengamatan di lapangan.

73

Tabel 24. Tabel Identifikasi atau Analisis Bahaya

ANALISIS BAHAYA

No Tahap Proses Jenis Bahaya Penyebab Bahaya

Signifikansi

Justifikasi Tindakan

Pencegahan Kegawatan Peluang Faktor

Resiko

1 Penerimaan

ayam

Fisik : debu,

rambut, serangga

Kimia : residu

antibiotik, residu

asap kendaraan

Biologi :

Salmonella,

Clostridium

perfringens,

E.coli O157:H7,

Arcobacter sp.,

Listeria

monocytogenes,

Campylobacter

sp.

Prosedur penerimaan

yang sedikit kurang

sesuai dengan standar

hygiene dan sanitasi

Proses penerimaan

dilakukan pada tempat

yang kurang tertutup

Suhu penerimaan yang

kurang sesuai dengan

standar suhu yang telah

ditetapkan

Kontaminasi yang sudah

terjadi sejak berada pada

pihak pemasok

T S T Kotoran, bakteri,

dan residu

kimiawi dapat

menyebabkan

terjadinya

kontaminasi

pada produk

Proses

penerimaan

dilakukan

secara cepat

Proses

penerimaan

dilakukan di

dalam mobil

supplier yang

kemudian

langsung

dimasukkan ke

dalam chiller

Pemantauan

rutin terhadap

pemasok

2 Penyimpanan di

dalam chiller

atau freezer

Biologi :

Salmonella,

E.coli O157:H7,

Listeria

monocytogenes

Fluktuasi suhu chiller

dan freezer

Perilaku pekerja yang

terkadang sedikit kurang

sesuai dengan standar

hygiene dan sanitasi

pada saat melakukan

penyimpanan ke dalam

chiller dan freezer

R R R Fluktuasi suhu

dan perilaku

pekerja yang

kurang sesuai

dengan standar

sanitasi dapat

mencemari

produk di dalam

chiller dan

freezer

Pengurangan

frekuensi buka

tutup chiller

dan freezer

Harus lebih

memperhatikan

standar sanitasi

pada saat proses

penyimpanan

74

ANALISIS BAHAYA

No Tahap

Proses Jenis Bahaya Penyebab Bahaya

Signifikansi

Justifikasi Tindakan Pencegahan Kegawatan Peluang

Faktor

Resiko

3 Dress-up Fisik : rambut,

serangga, debu

Biologi :

E.coli O157:H7,

Arcobacter sp.,

Salmonella,

Clostridium

perfringens,

Listeria

monocytogenes,

Campylobacter

sp.

Dilakukan pada

tempat yang kurang

tertutup

Kondisi fisik

pekerja terkadang

kurang prima

sehingga berpotensi

melakukan kegiatan

yang kurang sesuai

dengan standar

hygiene dan

sanitasi

S T T Tahap ini

memiliki

tingkat

kontaminasi

fisik dan

biologi yang

tinggi, akan

tetapi dapat

ditanggulangi

pada tahap

penggorengan

Selalu menggunakan hand

gloves dan masker saat

melakukan dress-up

Tidak berbicara dan harus

selalu cuci tangan sebelum

melakukan proses dress-up

Melakukan proses dress-up

dengan cepat

Dilakukan pada tempat yang

lebih tertutup

Pekerja yang kurang prima

tidak diizinkan untuk bekerja

4 Marinating Fisik : rambut,

serangga, debu

Biologi :

E.coli O157:H7,

Arcobacter sp.,

Salmonella,

Clostridium

perfringens,

Listeria

monocytogenes,

Campylobacter

sp.

Dilakukan pada

tempat yang kurang

tertutup

Kondisi fisik

pekerja terkadang

kurang prima

sehingga berpotensi

melakukan kegiatan

yang kurang sesuai

dengan standar

hygiene dan

sanitasi

S R S Tahap ini

memiliki

tingkat

kontaminasi

fisik dan

biologi yang

tinggi, akan

tetapi dapat

ditanggulangi

pada tahap

penggorengan

Selalu menggunakan hand

gloves dan masker saat

memasukkan ayam ke dalam

marinator

Tidak berbicara dan harus

selalu cuci tangan sebelum

memasukkan ayam ke dalam

marinator

Memasukkan ayam ke dalam

marinator dengan cepat

Pekerja yang kurang prima

tidak diizinkan bekerja

75

ANALISIS BAHAYA

No Tahap Proses Jenis Bahaya Penyebab Bahaya

Signifikansi

Justifikasi Tindakan Pencegahan Kegawatan Peluang

Faktor

Resiko

5 Repacking Fisik : rambut,

serangga, debu

Biologi :

E.coli O157:H7,

Arcobacter sp.,

Salmonella,

Clostridium

perfringens,

Listeria

monocytogenes,

Campylobacter

sp.

Dilakukan pada

tempat yang kurang

tertutup

Kondisi fisik pekerja

terkadang kurang

prima sehingga

berpotensi

melakukan kegiatan

yang kurang sesuai

dengan standar

hygiene dan sanitasi

T T T Tahap ini

memiliki tingkat

kontaminasi

fisik dan biologi

yang tinggi,

akan tetapi

dapat

ditanggulangi

pada tahap

penggorengan

Selalu menggunakan

masker pada saat

melakukan proses

repacking

Tidak berbicara dan

harus selalu cuci

tangan sebelum

melakukan proses

repacking

Melakukan proses

repacking dengan

cepat

Pekerja yang kurang

prima tidak diizinkan

bekerja

6 Penyimpanan

di dalam

chiller

Biologi :

E.coli O157:H7,

Listeria

monocytogenes

Fluktuasi suhu

chiller

Perilaku pekerja

yang terkadang

sedikit kurang sesuai

dengan standar

hygiene dan sanitasi

pada saat melakukan

penyimpanan ke

dalam chiller

R R R Fluktuasi suhu

dan perilaku

pekerja yang

kurang sesuai

dengan standar

sanitasi dapat

mencemari

produk di dalam

chiller

Pengurangan frekuensi

buka tutup chiller

Pelaksanaan proses

penyimpanan di dalam

chiller harus lebih

memperhatikan

standar sanitasi

76

ANALISIS BAHAYA

No Tahap Proses Jenis Bahaya Penyebab Bahaya

Signifikansi

Justifikasi Tindakan Pencegahan Kegawatan Peluang

Faktor

Resiko

7 Breading dan

penyusunan

Fisik : rambut,

serangga, debu

Kimia : residu

klorin

Biologi :

E.coli O157:H7,

Listeria

monocytogenes

Dilakukan di tempat

yang kurang tertutup

Perilaku pekerja yang

terkadang sedikit kurang

sesuai dengan standar

hygiene dan sanitasi

pada saat melakukan

proses breading

Pekerja terkadang

kurang bijaksana dalam

mengelola sisa tepung

hasil proses breading

T T T Faktor fisik, kimia,

dan biologi dapat

menyebabkan

terjadinya

kontaminasi pada

produk

Selalu menggunakan

masker dan mencuci

tangan sebelum

melakukan proses

breading

Proses breading harus

dilakukan secara cepat

Sisa-sisa tepung harus

langsung dipisahkan

dan dibuang

Selalu menggunakan air

bersih untuk proses

breading

8 Penggorengan Kimia :

heterocyclic

amines,

acrylamide,

senyawa hasil

reaksi oksidasi

Sering terjadi over

cooking capacity

S R S Proses

penggorengan yang

melebihi kapasitas

maksimum dapat

menyebabkan

terjadinya

kontaminasi kimia

Proses penggorengan

tidak boleh melebihi

kapasitas menggoreng

maksimum

Pemantauan terhadap

proses penggorengan

harus sering dilakukan

9 Holding - - - - - - -

10 Display - - - - - - -

11 Rejecting - - - - - - -

77

Penetapan Titik Kendali Kritis

Langkah penerapan sistem HACCP ketujuh yang juga merupakan prinsip

HACCP kedua adalah penetapan titik kendali kritis (critical control point). Proses

penentuan critical control point (CCP) dilakukan dengan menggunakan “diagram

pohon penentuan titik kendali kritis“ yang dapat dilihat pada Tabel 25. Diagram

pohon yang digunakan pada proses penentuan CCP kali ini adalah diagram pohon

untuk bahan baku dan tahapan proses yang dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 20.

Proses penentuan CCP dengan bantuan diagram pohon menghasilkan

keputusan bahwa titik kendali kritis pada proses produksi kedua jenis ayam goreng

tersebut hanya terletak pada tahap penggorengan (frying). Proses penggorengan

dinilai memiliki resiko bahaya kimia apabila pelaksanaannya tidak mendapat

perhatian khusus. Bahaya kimia yang mungkin terjadi pada tahap penggorengan

dinilai perlu mendapat pengendalian di dalam rencana HACCP.

Tahapan penerimaan bahan baku (ayam segar dan beku) juga dinilai

berpotensi menjadi CCP, akan tetapi, mengacu pada panduan penetapan langkah

pengendalian yang tercantum dalam SNI 01-4852-1998, yaitu berdasarkan dampak

langkah pengendalian pada setiap tingkat pengendalian bahaya atau frekuensi

kejadian, tingkat keparahan bahaya pada kesehatan konsumen, dan kebutuhan untuk

pemantauan (monitoring), maka bahaya kimia (residu antibiotik dan asap kendaraan)

yang terdapat pada proses penerimaan bahan baku (ayam segar dan beku) tidak perlu

dikendalikan dalam rencana HACCP, tetapi dikendalikan sebagai control point (CP)

di dalam penerapan GMP dan SSOP. Hal ini disebabkan karena, saat ini, proses

produksi kedua jenis ayam goreng yang diterapkan oleh restoran tidak mendesain

suatu metode tertentu yang dikhususkan untuk menghilangkan residu antibiotik dan

asap kendaraan. Terkait proses pengendalian residu antibiotik, restoran harus

menetapkan spesifikasi bahan baku dengan benar yang mengacu pada regulasi

pemerintah dan melakukan pemeriksaan kesesuaian antara sertifikat hasil pengujian

(certificate of analysis) dengan standar yang sudah ditetapkan pada setiap proses

penerimaan bahan baku (Badan Standarisasi Nasional, 2000). Proses pengendalian

residu asap kendaraan juga dapat ditanggulangi dengan menerapkan prosedur SSOP

yang baik dan benar. Residu asap kendaraan berasal dari proses serah terima yang

tidak dilakukan dengan baik dan berada tepat di belakang kendaraan yang masih

78

Tabel 25. Tabel Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP)

PENETAPAN TITIK KENDALI KRITIS (CCP)

No Tahap Proses Bahaya Signifikan P1 P2 P3 P4 CCP / CP

1 Penerimaan ayam Fisik

Kimia

Biologi

Ya Tidak - - CP

2 Penyimpanan di

chiller atau freezer Biologi Tidak Tidak - - ≠

3 Dress-up Fisik

Biologi Ya Tidak Tidak - ≠

4 Marinating Fisik

Biologi Ya Tidak Tidak - ≠

5 Repacking Fisik

Biologi Ya Tidak Tidak - ≠

6 Penyimpanan di

chiller Biologi Tidak Tidak - - ≠

7 Breading dan

penyusunan

Fisik

Kimia

Biologi

Ya Tidak Tidak - ≠

8 Penggorengan

(frying) Kimia Ya Ya - - CCP

Keterangan :

P : Tahap

CP : Control Point

CCP : Critical Control Point

79

menyala. Proses serah terima yang kurang baik tersebut menyebabkan kemasan

pembungkus ayam menjadi terbuka, sehingga bahan baku akan langsung terpapar

asap kendaraan.

Penetapan Batas Kritis untuk Setiap CCP

Penetapan batas kritis adalah langkah penerapan sistem HACCP kedelapan

sekaligus merupakan prinsip HACCP ketiga. Kegiatan penetapan batas kritis pada

titik kendali kritis yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 26. Proses penetapan batas

kritis untuk bahaya kimiawi pada proses penggorengan dilakukan berdasarkan hasil

pengamatan, standar ketentuan perusahaan pemilik restoran, serta beberapa acuan

publikasi ilmiah dan pustaka, seperti SNI 01-4852-1998, SNI 01-6366-2000, SNI 01-

7388-2009, Thaheer (2005), dan Luning et al. (2006). Indikator yang digunakan

dalam penetapan batas kritis pada tahap penggorengan adalah kapasitas menggoreng

maksimum pada setiap periode penggorengan. Kapasitas menggoreng maksimum

adalah jumlah maksimum potongan daging ayam yang dapat digoreng pada suatu

alat tertentu dengan menggunakan satuan volume minyak goreng tertentu pada setiap

periode penggorengan. Kapasitas menggoreng maksimum ditentukan berdasarkan

hasil pengujian yang dilakukan terlebih dahulu oleh perusahaan pemilik restoran.

Data hasil pengujian yang diperoleh kemudian dijadikan sebagai standar acuan

dalam kegiatan operasional sehari-hari. Penetapan kapasitas menggoreng maksimum

oleh restoran bertujuan untuk memperkecil dan mengendalikan resiko bahaya kimia

pada proses penggorengan. Resiko bahaya kimiawi dinilai akan semakin tinggi

apabila proses penggorengan telah melewati kapasitas maksimum yang telah

ditetapkan.

Restoran juga memiliki standar tertentu pada proses penggorengan. Kegiatan

penggorengan dilakukan pada alat yang disebut open fryer dan pressure fryer. Open

fryer adalah alat yang digunakan untuk menggoreng ayam HCC pada suhu 171 oC

selama 13 menit, sedangkan pressure fryer adalah alat yang digunakan untuk

menggoreng ayam ORC pada suhu 141 oC dengan tekanan tertentu selama 14,5

menit. Restoran memiliki tiga buah open fryer dan dua buah pressure fryer yang

digunakan pada proses produksi ayam goreng HCC dan ORC.

Open fryer memerlukan 36 kg minyak goreng pada setiap periode

penggorengan, sedangkan pressure fryer memerlukan 27 kg minyak goreng pada

80

Tabel 26. Tabel Lembar Kerja Pengendalian Mutu

Sumber : (*) Badan Standarisasi Nasional (2000)

(**) Badan Standarisasi Nasional (2009)

LEMBAR KERJA PENGENDALIAN MUTU (CCP)

No.

CCP Proses Jenis Bahaya Batas Kritis

Monitoring Tindakan

Koreksi

Verifikasi

Dokumentasi Metode Frekuensi P. Jawab Metode

P.

Jawab

1. Penerimaan

ayam

(CP)

Fisik :

debu

rambut

serangga

Kimia :

residu antibiotik

residu asap

kendaraan

Biologi :

Salmonella,

Clostridium

perfringens,

E.coli O157:H7,

Arcobacter sp.,

Listeria

monocytogenes,

Campylobacter

sp.

Fisik :

debu : -

rambut : -

serangga : -

Kimia :

Residu antibiotik (*) :

0,05 mg/kg

Residu asap kendaraan : -

Biologi (*):

Salmonella (**)

: -

Arcobacter sp. : -

C. perfringens : -

E.coli O157:H7 (**)

:

1.101 cfu/g

Campylobacter sp. : -

Listeria

monocytogenes : -

Suhu penerimaan :

maksimum 4oC

Uji

Mikrobiologi

Uji

Organoleptik

Uji residu

kimia

Pemeriksaan

suhu dengan

menggunakan

termometer

yang telah

dikalibrasi

Satu bulan

sekali di

tempat

supplier

terkait

Saat proses

penerimaan

ayam

dilakukan

Asst.

Manager

Kondisi daging

ayam yang

berada di luar

batas kritis pada

saat penerimaan

berhak untuk

dikembalikan

(reject)

Penerimaan

daging ayam

dilakukan di

dalam mobil

pengantar secara

cepat sehingga

terhindar dari

asap kendaraan

Melakukan

kegiatan

pemantauan

secara rutin

QA Berkas

pencatatan QA

81

LEMBAR KERJA PENGENDALIAN MUTU (CCP)

No.

CCP Proses Jenis Bahaya Batas Kritis

Monitoring Tindakan

Koreksi

Verifikasi

Dokumentasi Metode Frekuensi P. Jawab Metode

P.

Jawab

2. Penggorengan

(frying)

(CCP)

Kimia :

Senyawa

heterocyclic

amines

Senyawa

acrylamide

Kapasitas

maksimum

penggorengan :

1000 ekor (head)

HCC

500 ekor (head)

OCC

Pencatatan

jumlah ayam

goreng HCC

dan OCC yang

digoreng pada

setiap proses

penggorengan

Setiap hari Asst.

Manager

Melakukan

penghitungan

kembali

terhadap jumlah

penggorengan

ayam goreng

HCC dan OCC

yang terjadi

setiap hari

Melakukan

kegiatan

pemantauan

dokumen

setiap bulan

dan lapangan

(audit) setiap 3

bulan sekali

secara rutin

QA Berkas

pencatatan QA

82

setiap periode penggorengan. Kedua jenis alat tersebut juga mempunyai kapasitas

menggoreng yang berbeda satu sama lain pada setiap periode penggorengan. Open

fryer memiliki kapasitas menggoreng maksimum sebanyak 1000 head (1 head terdiri

atas 9 potongan daging ayam), sedangkan pressure fryer memiliki kapasitas

menggoreng maksimum sebanyak 500 head. Penggantian minyak akan dilakukan

apabila kapasitas menggoreng maksimum pada masing-masing alat telah tercapai.

Kapasitas menggoreng maksimum masing-masing alat digunakan sebagai

indikator penetapan batas kritis pada tahap penggorengan. Data hasil pengamatan

terhadap kapasitas maksimum penggorengan selama bulan Februari dan Maret 2011

dapat dilihat pada Tabel 27. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa proses

penggorengan yang dilakukan pada open fryer dan pressure fryer melebihi kapasitas

menggoreng yang diizinkan. Proses penggorengan yang melebihi kapasitas

maksimum dinilai memiliki resiko bahaya kimiawi yang cukup tinggi. Senyawa

radikal bebas adalah senyawa yang paling mudah terbentuk pada tahap ini. Proses

penggorengan yang dilakukan pada keadaan terbuka memungkinkan terjadinya

kontak antara oksigen dan minyak. Minyak yang bersentuhan dengan oksigen akan

mengalami reaksi oksidasi yang terjadi dalam tiga tahap, yaitu inisiasi (initiation),

perambatan (propagation), pembentukan cabang (branching), dan penghentian

(termination). Tahap inisiasi (initiation) diawali dengan terjadinya pelepasan

hidrogen dari asam lemak tidak jenuh secara homolitik sehingga terbentuk radikal

alkil karena adanya inisiator (panas, oksigen aktif, logam, dan cahaya). Radikal alkil

kemudian bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (propagation) yang

selanjutnya akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh membentuk hidroproksida

dan radikal alkil. Radikal alkil yang baru kemudian akan bereaksi dengan oksigen.

Hidroperoksida asam lemak tak jenuh yang terbentuk dari reaksi oksidasi sangat

tidak stabil dan mudah mengalami pemecahan menjadi berbagai senyawa flavor dan

produk nonvolatil (branching). Dekomposisi hidroperoksida akan menyebabkan

terjadinya pemutusan gugus -OOH sehingga terbentuk radikal alkoksi dan radikal

hidroksi. Radikal alkoksi kemudian mengalami pemutusan beta pada rantai C-C

sehingga terbentuk aldehid dan radikal alkil yang bersifat karsinogen (termination).

Proses pengendalian lebih lanjut sangat diperlukan guna menghasilkan produk

pangan yang aman untuk dikonsumsi (Luning et al., 2006; Svejkovska et al., 2006).

83

Tabel 27. Data Jumlah Ayam Total yang Digoreng pada Setiap Periode Penggantian Minyak Selama Bulan Februari dan Maret 2011

Penggantian ke- Volume

Minyak Rataan Standar

Deviasi

(+)

1 2 3 4 5

(ekor) (ekor) (ekor) (ekor) (ekor) liter

OF 1 & 2 1.031,18 1.123,68 1.010,54 1.022,51 1.007,99 36 1.039,18 48,154

OF 3 1.003,56 1.048,15 - - - 36 1.025,86 31,530

PF 1 504 532 508 494 - 27 509,5 16,114

PF 2 534 506 520 500 542 27 520,4 17,855

Keterangan :

OF : Open Fryer (1000 ekor)

PF : Pressure Fryer (500 ekor)

84

Penetapan Tindakan Monitoring untuk Setiap CCP

Penetapan tindakan monitoring untuk setiap CCP adalah prinsip HACCP

keempat dan langkah penerapan HACCP kesembilan. Kegiatan yang dilakukan oleh

pihak restoran pada tahap monitoring adalah pencatatan jumlah ayam yang digoreng

pada setiap proses penggorengan. Pencatatan jumlah ayam yang digoreng untuk

setiap proses penggorengan dilakukan pada selembar kertas berukuran besar yang

ditempel pada bagian samping holding cabinet yang berada dekat open fryer dan

pressure fryer. Proses pencatatan dilakukan untuk menghindari kemungkinan

terjadinya kelebihan kapasitas menggoreng (over cooking capacity), baik pada ayam

goreng HCC maupun ayam goreng ORC. Proses pencatatan dilakukan tepat setelah

proses penggorengan selesai dilakukan oleh karyawan bagian cook yang sedang

bertugas. Asisstant restaurant manager adalah pihak yang bertanggung jawab

terhadap keabsahan dari data pencatatan jumlah penggorengan yang dilakukan.

Asisstant restaurant manager juga harus melakukan proses pemantauan secara rutin

dan berkala terhadap proses pencatatan data penggorengan guna memperkecil

kemungkinan terjadinya kesalahan pada proses pencatatan.

Penetapan Tindakan Koreksi

Penetapan tindakan koreksi adalah prinsip HACCP kelima dan langkah

penerapan HACCP kesepuluh. Tindakan koreksi, pada tahap penggorengan selaku

CCP, yang dilakukan oleh pihak restoran adalah menerapkan prosedur penghitungan

kembali terhadap data hasil pencatatan jumlah penggorengan setiap harinya. Stock

control adalah pihak yang bertugas melakukan prosedur penghitungan kembali data

hasil pencatatan jumlah penggorengan. Prosedur penghitungan kembali umumnya

dilakukan pada malam hari. Prosedur penghitungan kembali, selaku tindakan

koreksi, bertujuan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan

perhitungan maupun pencatatan pada data jumlah penggorenggan setiap harinya,

sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya over cooking capacity.

Penetapan Prosedur Verifikasi

Penetapan prosedur verifikasi adalah prinsip HACCP keenam dan langkah

penerapan HACCP kesebelas. Prosedur verifikasi yang dilakukan pada restoran ini

terdiri dari dua jenis, yaitu verifikasi dokumen dan verifikasi kegiatan operasional

yang dapat dilihat pada Tabel 26. Prosedur verifikasi dokumen dilakukan setiap

85

bulan melalui pemeriksaan kembali terhadap berkas-berkas pencatatan harian hasil

dari kegiatan operasional pada bulan tersebut, sedangkan prosedur verifikasi kegiatan

operasional dilakukan setiap tiga bulan sekali melalui proses audit terhadap kegiatan

operasional restoran. Prosedur verifikasi dokumen umumnya dilakukan setiap akhir

bulan, sedangkan prosedur verifikasi kegiatan operasional dilakukan secara tiba-tiba

dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak restoran. Kedua prosedur

verifikasi tersebut dilakukan oleh pihak quality assurance secara langsung. Quality

assurance juga bertindak sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas prosedur

verifikasi yang dilakukan.

Penetapan Prosedur Pencatatan dan Penyimpanan Dokumen

Penetapan prosedur pencatatan dan penyimpanan dokumen adalah prinsip

HACCP ketujuh dan langkah penerapan HACCP terakhir. Penerapan sistem

HACCP pada proses produksi ayam goreng HCC dan ORC di restoran harus diakhiri

atau ditutup dengan prosedur pencatatan (dokumentasi) mengenai penerapan sistem

HACCP dan penyimpanan dokumen hasil pencatatan. Prosedur dokumentasi dan

penyimpanan dokumen hasil pencatatan dilakukan oleh departemen quality

assurance & research and development di bawah pengawasan seorang quality

assurance. Prosedur dokumentasi dan penyimpanan dokumen dilakukan dengan

cara mengumpulkan berkas-berkas pencatatan hasil dari kegiatan operasional harian

untuk kemudian dilakukan proses rekapitulasi hingga diperoleh data pencatatan

bulanan. Dokumen-dokumen hasil proses dokumentasi dan rekapitulasi tersebut

berfungsi sebagai pedoman atau acuan sekaligus bukti otentik dari penerapan sistem

HACCP yang dilakukan oleh restoran. Prosedur ini diharapkan dapat menjamin

bahwa program tersebut terlaksana dengan baik, dapat diperiksa kembali, dan

dipertahankan selama periode tertentu (Sudibyo, 2008).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Restoran telah menerapkan prosedur GMP dan SSOP dengan cukup baik,

akan tetapi masih perlu mendapatkan beberapa penyempurnaan. Hasil perumusan

ketujuh prinsip HACCP menunjukkan bahwa proses pengolahan produk ayam

goreng memiliki satu titik kendali kritis (CCP), yaitu tahap penggorengan.

Saran

Beberapa hal dinilai masih perlu mendapat penyempurnaan, khususnya pada

tahap penerimaan bahan baku dan penggorengan. Prosedur serah terima bahan baku

daging ayam hendaknya lebih disempurnakan menurut acuan standar hygiene, yang

meliputi teknis serah terima yang lebih hati-hati di tempat yang tertutup. Prosedur

serah terima dan pemeriksaan suhu bahan baku daging ayam hendaknya juga

dilakukan secara cepat serta melibatkan tidak hanya stock control agar suhu daging

ayam tidak meningkat melewati batas yang diizinkan. Penetapan kapasitas

maksimum pada setiap periode penggorengan perlu lebih dikendalikan sebagai

langkah yang dilakukan restoran untuk menanggulangi resiko bahaya kimia.

Kapasitas maksimum penggorengan juga digunakan sebagai indikator penetapan

batas kritis, kegiatan monitoring, dan tindakan koreksi. Restoran diharapakan dapat

memperketat kegiatan pemantauan pada proses penggorengan, sebab proses

penggorengan yang dilakukan pada open fryer dan pressure fryer terkadang melebihi

kapasitas maksimum penggorengan yang diizinkan. Asisstant restaurant manager,

selaku pihak yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan operasional restoran,

diharapkan dapat melakukan kegiatan pemantauan secara langsung dan berkala.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segala kasih karunia dan mujizat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi

dengan sangat baik. Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarnya kepada

Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. dan Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. selaku pembimbing

skripsi utama dan anggota atas bimbingan, petunjuk, nasihat, dan kesabarannya

dalam membimbing penulis dari awal penulisan proposal hingga dapat

menyelesaikan tugas akhir dengan baik. Penulis juga menyampaikan terima kasih

yang sebesarnya kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. selaku pembimbing

akademik, Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si., Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc.Agr., Ir. Niken

Ulupi, MS., Dr. Ir. Sumiati, M.Sc., dan kepada seluruh Bapak dan Ibu Dosen IPTP

dan INTP yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas, nasihat, ilmu, perhatian, dan

petunjuk yang telah diberikan kepada penulis selama berada di IPB.

Penulis juga berterima kasih secara khusus kepada Jenita selaku rekan

magang penelitian, keluarga besar IPTP 44, PMK IPB, dan teman-teman

seperjuangan 44 untuk suasana kebersamaan dan semua kenangan selama berkuliah.

Penulis selalu mengharapkan dan mendoakan yang terbaik bagi teman-teman semua.

Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada pihak

restoran cepat saji dan bagian HRD kantor pusat. Penulis menyampaikan terima

kasih kepada Bapak Rodi selaku Head Manager restoran, keempat assistant

manager, dan seluruh karyawan restoran cepat saji. Terima kasih untuk semua

pengalaman baru dan suasana kekeluargaan yang diberikan selama magang

penelitian berlangsung.

Terakhir dan terutama, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar dan sedalamnya kepada kedua orang tua, adik, dan kekasih tercinta, Bapak

Ir. Handy Tondas, Ibu dr. Nana Saputra, Kalmi Yael Tondas, dan Michelle Sufian

untuk semua dukungan dan doa yang telah diberikan sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi di Fakultas Peternakan IPB dengan sangat baik. Akhir kata,

penulis sampaikan terima kasih yang sebesarnya kepada seluruh civitas akademika

Fakultas Peternakan IPB. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi

kemajuan dunia pendidikan dan peternakan di Indonesia. Amin.

88

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. Y. & S. K. Matarneh. 2010. Broiler performance and the effects of

carcass weight, broiler sex, and postchill carcass aging duration on breast

fillet quality characteristics. J. Appl. Poultry Research 19 : 46 – 58.

Aprido, B. 2005. Optimalisasi distribusi dan penyimpanan persediaan karkas ayam

broiler pada PT. Fast Food Indonesia, Tbk. di wilayah Jabotabek. Skripsi.

Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Badan Standarisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia 7388:2009. Batas

Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia 3924:2009. Mutu

Karkas dan Daging Ayam, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia 6366:2000. Batas

Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan

Makanan Asal Hewan, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia 4852:1998. Sistem

Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical

Control Point – HACCP) serta Pedoman Penerapannya, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 1996. Standar Nasional Indonesia 3553:1996. Syarat

Mutu Air Minum dalam Kemasan, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia 3146:1992. Proses

Pengolahan Ayam Beku, Jakarta.

Baran, F. & M. Gulmez. 2000. The occurence of Escherichia coli O157:H7 in the

ground beef and chicken drumsticks. J. Food Safety 2 : 13 – 15.

Brown, A. 2000. Understanding Food : Principles and Preparation. Wadsworth,

USA.

Center for Food Safety and Applied Nutrition. 2003. Foodborne Pathogenic

Microorganisms and Natural Toxins Handbook. In : Luning, P. A., F.

Devlieghere, & R. Verhé (Eds.). Safety in the Agri-food Chain. Wageningen

Academic Publishers, Netherlands.

Chen, T. C. 1982. Studies on the marinating of chicken parts for deep-fat frying. J.

Food Sci. 47 : 1016 – 1017. http://onlinelibrary.wiley.com [23 Maret 2011].

Choe, E. & D. B. Min. 2007. Chemistry of deep-fat frying oils. J. Food Sci. 72 (5) :

77 – 86.

Cliver, D. O. 1992. Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard. In : M.

D. Pierson & D. A. Corlett Jr. (Eds.). HACCP Principles and Applications.

Van Nostrand Reinhold, New York.

Codex Alimentarius Commission. 1997. Food Hygiene Basic Text, Rome.

89

Corlett, D. A. 1992. Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard. In :

M. D. Pierson & D. A. Corlett Jr. (Eds.). HACCP Principles and

Applications. Van Nostrand Reinhold, New York.

Crammer, M. 2006. Food Plant Sanitation, Design, Maintenance, and Good

Manufacturing Practices. CRC Press, New York.

Davies, E. A. & M. R. Adams. 1994. Resistance of Listeria monocytogenes to the

Bacteriocin Nisin. In : Luning, P. A., F. Devlieghere, & R. Verhé (Eds.).

Safety in the Agri-food Chain. Wageningen Academic Publishers,

Netherlands.

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. 2007. Panduan Penyusunan Rencana

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) bagi Industri Pangan.

Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Pedoman Umum Pemeriksaan

Sarana Pengolahan Makanan dan Minuman. Badan POM RI, Jakarta.

Djaafar, T. F. & S. Rahayu. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian,

penyakit yang ditimbulkan, dan pencegahannya. J. Litbang Pertanian 26 (2) :

67 – 75.

Doyle, M. P. & J. L. Schoeni. 1987. Isolation of Escherichia coli O157:H7 from

retail fresh meats and poultry. J. Appl. Environ. Microbiol. 53 (10) : 2394 -

2396.

Doyle, M. P., T. Zhao, J. Meng, & S. Zhao. 1997. Escherichia coli O157:H7. In :

Luning, P. A., F. Devlieghere, & R. Verhé (Eds.). Safety in the Agri-food

Chain. Wageningen Academic Publishers, Netherlands.

Food and Drug Administration. 2003. Risk Assessment Reinforces That Keeping

Ready-To-Eat Foods Cold May be the Key to Reducing Listeriosis. In :

Luning, P. A., F. Devlieghere, & R. Verhé (Eds.). Safety in the Agri-food

Chain. Wageningen Academic Publishers, Netherlands.

Fellows, P. J. 2000. Food Processing Technology. 2nd

ed. Woodhead Publishing

Ltd., England.

Hardjosworo, P. S. & Rukmiasih. 2000. Meningkatkan Produksi Daging Unggas.

Penebar Swadaya, Jakarta.

International Commission of Microbiological Specification for Foods (ICMSF).

1992. Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard. In : M. D.

Pierson & D. A. Corlett Jr. (Eds.). HACCP Principles and Applications. Van

Nostrand Reinhold, New York.

Kementerian Negara Sekretaris Negara. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia

No. 7. Tentang Pangan, Jakarta.

90

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Nomor

715/MENKES/SK/V/2003. Tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga.

Jakarta.

Labbé, R. G. 1989. Clostridium perfringens. In : Luning, P. A., F. Devlieghere, &

R. Verhé (Eds.). Safety in the Agri-food Chain. Wageningen Academic

Publishers, Netherlands.

Lui-ping, F., M. Zhang, G. N. Xiao, J. C. Sun, & Q. Tao. 2005. The optimization of

vacuum frying to dehydrate carrot chips. J. Food Sci. 40 : 911 – 919.

http://onlinelibrary.wiley.com [10 Juli 2011].

Luning, P. A., F. Devlieghere, & R. Verhé. 2006. Safety in The Agri-food Chain.

Wageningen Academic Publishers, Netherlands.

Mbata, T. I. 2005. Poultry meat pathogens and its control. J. Food Safety 7 : 20 –

28.

Mead, G. C. 2004. Microbiological quality of poultry meat : a review. J. Braz.

Poul. Sci. 6 : 135 - 142.

Mortimore, S. & C. Wallace. 2001. Food Industry Briefing Series : HACCP.

Blackwell Science Ltd., England.

Muchtadi, T. R. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. IPB Press, Bogor.

Nachamkin, I. 1997. Campylobacter jejuni. In : Luning, P. A., F. Devlieghere, &

R. Verhé (Eds.). Safety in the Agri-food Chain. Wageningen Academic

Publishers, Netherlands.

National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF).

1990. HACCP Principles for Food Production. In : M. D. Pierson & D. A.

Corlett Jr. (Eds.). HACCP Principles and Applications. Van Nostrand

Reinhold, New York.

Park, S. F. 2002. The Physiology of Campylobacter Species and Its Relevance to

Their Role as Foodborne Pathogens. In : Luning, P. A., F. Devlieghere, & R.

Verhé (Eds.). Safety in the Agri-food Chain. Wageningen Academic

Publishers, Netherlands.

Patterson, S. P., R. D. Phillips, H. M. Kay, H. Yen-con, & S. C. Manjeet. 2004. Fat

reduction affects quality of Akara (fried cowpea paste). J. Food Sci. 6 : 681 -

693. http://onlinelibrary.wiley.com [10 Juli 2011].

Phillips, C. A. 2001. Arcobacter spp in Food : Isolation, Identification, and Control.

In : Luning, P. A., F. Devlieghere, & R. Verhé (Eds.). Safety in the Agri-

food Chain. Wageningen Academic Publishers, Netherlands.

Pierson, M. D. & D. A. Corlett Jr. 1992. HACCP Principles and Applications. Van

Nostrand Reinhold, New York.

91

Poumeyrol, M. 1988. Clostridium perfringens. In : Luning, P. A., F. Devlieghere,

& R. Verhé (Eds.). Safety in the Agri-food Chain. Wageningen Academic

Publishers, Netherlands.

Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. UI

Press, Jakarta.

PT. Fastfood Indonesia. 2006. Makalah seminar presentasi company profile PT.

Fastfood Indonesia, Tbk. Departemen Marketing PT. Fastfood Indonesia,

Jakarta.

Sudibyo, A. 2008. Penyiapan kelayakan persyaratan dasar dan penyusunan rencana

HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) untuk produksi mi

kering pada PT. Kuala Pangan di Citeureup, Bogor. Tesis. Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Svejkovska, B., M. Dolezal, & J. Velisek. 2006. Formation and decomposition of 3-

monochloropropane-1,2-diol esters in models simulating processed foods.

Czech J. Food Sci. 24 : 172 – 179.

Takenaka, S. 2005. Quality Enhancement in Food Processing through HACCP.

Asian Productivity Organization, Tokyo.

Tauxe, R. V. 2002. Surveillance and investigation of foodborne diseases; roles for

public health in meeting objectives for food safety. J. Food Cont. 13 (6 - 7) :

363 - 369. http://www.sciencedirect.com [16 May 2011].

Thaheer, H. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Bumi Aksara, Jakarta.

Vandamme, P., E. Falsen, R. Rossau, P. Segers, R. Tygat, & J. Delay. 1991.

Revision of Campylobacter, Helicobacter, and Woinella Taxonomy :

Emendation of Genetic Descriptions and Proposal for Arcobacter Gen. In :

Luning, P. A., F. Devlieghere, & R. Verhé (Eds.). Safety in the Agri-food

Chain. Wageningen Academic Publishers, Netherlands.

Walker, E., C. Pritchard, & S. Forsythe. 2003. Hazard analysis critical control point

and prerequisite programme implementation in small and rnedium size food

business. J. Food Cont. 14 : 169 – 174. http://www.sciencedirect.com [16

May 2011].

Wasowicz, E., A. Gramza, M. Hes, H. H. Jelen, J. Korczak, M. Matecka, S. M.

Szkudlarz, M. Rudzinska, U. Samotyja, & R. Z. Wojtasiak. 2004. Oxidation

of lipids in food. Pol. J. Food Nut. Sci. 13 (54) : 87 - 100.

Winarno, F. G. & Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan.

M-Brio Press, Bogor.

World Health Organization. 1997. A WHO Guide to Good Manufacturing Practice

(GMP) Requirements Part 2 : Validation. WHO, Geneva.

LAMPIRAN

93

Lampiran 1. Data Penggorengan HCC pada Open Fryer 1 dan 2 Bulan Februari 2011

Tanggal Jumlah Awal (00.00)

(Head)

Jumlah Penggorengan Sehari

(Head)

Jumlah Akhir (24.00)

(Head)

1 278,94 92,20 371,14

2 371,14 98,63 469,77

3 469,77 119,25 589,02

4 589,02 98,22 687,24

5 687,24 87,61 774,85

6 774,85 102,30 877,15

7 877,15 84,28 961,43

8 961,43 69,75 1.031,18 (*)

9 0,00 73,46 73,46

10 73,46 73,80 147,26

11 147,26 92,08 239,34

12 239,34 101,75 341,09

13 341,09 102,80 443,89

14 443,89 101,78 545,67

15 545,67 100,66 646,33

16 646,33 56,53 702,86

17 702,86 101,28 804,14

18 804,14 100,22 904,36

19 904,36 104,86 1.009,22

20 1.009,22 114,46 1.123,68 (*)

21 0,00 143,56 143,56

22 143,56 78,20 221,76

23 221,76 74,34 296,10

24 296,10 116,77 412,87

25 412,87 120,28 533,15

26 533,15 112,59 645,74

27 645,74 119,71 765,45

28 765,45 78,44 843,89

Keterangan :

(*) : ganti minyak

94

Lampiran 2. Data Penggorengan HCC pada Open Fryer 1 dan 2 Bulan Maret 2011

Tanggal Jumlah Awal (00.00)

(Head)

Jumlah Penggorengan Sehari

(Head)

Jumlah Akhir (24.00)

(Head)

1 843,89 81,03 924,92

2 924,92 85,62 1.010,54 (*)

3 0,00 85,51 85,51

4 85,51 111,36 196,87

5 196,87 153,80 350,67

6 350,67 129,43 480,10

7 480,10 84,73 564,83

8 564,83 77,08 641,91

9 641,91 99,33 741,24

10 741,24 89,80 831,04

11 831,04 85,595 916,635

12 916,635 105,87 1.022,505 (*)

13 0,00 88,79 88,79

14 88,79 71,60 160,39

15 160,39 74,43 234,82

16 234,82 82,51 317,33

17 317,33 70,55 387,88

18 387,88 91,22 479,10

19 479,10 125,61 604,71

20 604,71 247,61 852,32

21 852,32 78,27 930,59

22 930,59 77,40 1.007,99 (*)

23 0,00 89,98 89,98

24 89,98 79,86 169,84

25 169,84 88,285 258,125

26 258,125 115,75 373,875

27 373,875 116,06 489,935

28 489,935 84,50 574,435

29 574,435 105,61 680,045

30 680,045 86,33 766,375

31 766,375 114,99 881,365

Keterangan :

(*) : ganti minyak

95

Lampiran 3. Data Penggorengan HCC pada Open Fryer 3 Bulan Februari 2011

Tanggal Jumlah Awal (00.00)

(Head)

Jumlah Penggorengan Sehari

(Head)

Jumlah Akhir (24.00)

(Head)

1 613,31 0,00 613,31

2 613,31 0,00 613,31

3 613,31 73,33 686,64

4 686,64 57,05 743,69

5 743,69 109,82 853,51

6 853,51 76,72 930,23

7 930,23 0,00 930,23

8 930,23 0,00 930,23

9 930,23 0,00 930,23

10 930,23 0,00 930,23

11 930,23 0,00 930,23

12 930,23 73,33 1.003,56 (*)

13 0,00 72,00 72,00

14 72,00 0,00 72,00

15 72,00 82,52 154,52

16 154,52 44,00 198,52

17 198,52 0,00 198,52

18 198,52 0,00 198,52

19 198,52 36,00 234,52

20 234,52 64,00 298,52

21 298,52 0,00 298,52

22 298,52 0,00 298,52

23 298,52 0,00 298,52

24 298,52 4,00 302,52

25 302,52 0,00 302,52

26 302,52 80,00 382,52

27 382,52 104,00 486,52

28 486,52 0,00 486,52

Keterangan :

(*) : ganti minyak

96

Lampiran 4. Data Penggorengan HCC pada Open Fryer 3 Bulan Maret 2011

Tanggal Jumlah Awal (00.00)

(Head)

Jumlah Penggorengan Sehari

(Head)

Jumlah Akhir (24.00)

(Head)

1 486,52 0,00 486,52

2 486,52 0,00 486,52

3 486,52 0,00 486,52

4 486,52 0,00 486,52

5 486,52 82,00 568,52

6 568,52 65,33 633,85

7 633,85 0,00 633,85

8 633,85 0,00 633,85

9 633,85 0,00 633,85

10 633,85 0,00 633,85

11 633,85 0,00 633,85

12 633,85 85,13 718,98

13 718,98 103,85 822,83

14 822,83 0,00 822,83

15 822,83 0,00 822,83

16 822,83 0,00 822,83

17 822,83 0,00 822,83

18 822,83 0,00 822,83

19 822,83 42,00 864,83

20 864,83 56,00 920,83

21 920,83 0,00 920,83

22 920,83 0,00 920,83

23 920,83 0,00 920,83

24 920,83 0,00 920,83

25 920,83 0,00 920,83

26 920,83 60,66 981,49

27 981,49 66,66 1.048,15 (*)

28 0,00 0,00 0,00

29 0,00 0,00 0,00

30 0,00 0,00 0,00

31 0,00 0,00 0,00

Keterangan :

(*) : ganti minyak

97

Lampiran 5. Data Penggorengan ORC pada Pressure Fryer 1 Bulan Februari 2011

Tanggal Jumlah Awal (00.00)

(Head)

Jumlah Penggorengan Sehari

(Head)

Jumlah Akhir (24.00)

(Head)

1 258 60 318

2 318 0 318

3 318 36 354

4 354 0 354

5 354 38 392

6 392 58 450

7 450 54 504 (*)

8 0 0 0

9 0 0 0

10 0 0 0

11 0 60 60

12 60 76 136

13 136 60 196

14 196 82 278

15 278 66 344

16 344 52 396

17 396 44 440

18 440 0 440

19 440 46 486

20 486 46 532 (*)

21 0 0 0

22 0 0 0

23 0 0 0

24 0 0 0

25 0 90 90

26 90 78 168

27 168 60 228

28 228 66 294

Keterangan :

(*) : ganti minyak

98

Lampiran 6. Data Penggorengan ORC pada Pressure Fryer 1 Bulan Maret 2011

Tanggal Jumlah Awal (00.00)

(Head)

Jumlah Penggorengan Sehari

(Head)

Jumlah Akhir (24.00)

(Head)

1 294 56 350

2 350 62 412

3 412 0 412

4 412 0 412

5 412 60 472

6 472 36 508 (*)

7 0 0 0

8 0 0 0

9 0 0 0

10 0 64 64

11 64 76 140

12 140 52 192

13 192 54 246

14 246 0 246

15 246 0 246

16 246 38 284

17 284 0 284

18 284 34 318

19 318 68 386

20 386 44 430

21 430 64 494 (*)

22 0 0 0

23 0 0 0

24 0 0 0

25 0 0 0

26 0 38 38

27 38 70 108

28 108 0 108

29 108 0 108

30 108 0 108

31 108 0 108

Keterangan :

(*) : ganti minyak

99

Lampiran 7. Data Penggorengan ORC pada Pressure Fryer 2 Bulan Februari 2011

Tanggal Jumlah Awal (00.00)

(Head)

Jumlah Penggorengan Sehari

(Head)

Jumlah Akhir (24.00)

(Head)

1 58 0 58

2 58 60 118

3 118 80 198

4 198 74 272

5 272 58 330

6 330 40 370

7 370 0 370

8 370 64 434

9 434 48 482

10 482 52 534 (*)

11 0 0 0

12 0 48 48

13 48 36 84

14 84 0 84

15 84 52 136

16 136 0 136

17 136 12 148

18 148 54 202

19 202 56 258

20 258 40 298

21 298 60 358

22 358 50 408

23 408 44 452

24 452 54 506 (*)

25 0 0 0

26 0 28 28

27 28 66 94

28 94 0 94

Keterangan :

(*) : ganti minyak

100

Lampiran 8. Data Penggorengan ORC pada Pressure Fryer 2 Bulan Maret 2011

Tanggal Jumlah Awal (00.00)

(Head)

Jumlah Penggorengan Sehari

(Head)

Jumlah Akhir (24.00)

(Head)

1 94 0 94

2 94 0 94

3 94 58 152

4 152 76 228

5 228 86 314

6 314 52 366

7 366 46 412

8 412 54 466

9 466 54 520 (*)

10 0 0 0

11 0 0 0

12 0 48 48

13 48 44 92

14 92 48 140

15 140 62 202

16 202 42 244

17 244 62 306

18 306 52 358

19 358 56 414

20 414 38 452

21 452 0 452

22 452 48 500 (*)

23 0 54 54

24 54 74 128

25 128 66 194

26 194 60 254

27 254 44 298

28 298 60 358

29 358 50 408

30 408 66 474

31 474 68 542 (*)

Keterangan :

(*) : ganti minyak

101

Lampiran 9. Data Pengamatan Suhu Chiller Ayam Februari 2011

Tanggal Jam

07.00 (oC) 15.00 (

oC) 23.00 (

oC)

1 4 4 4

2 4 4 4

3 0 4 3

4 4 3 3

5 4 5 3

6 3 4 3

7 3 3 3

8 3 4 3

9 3 3 3

10 3 7 5

11 3 4 3

12 4 4 4

13 4 8 -4

14 4 -3 4

15 4 3 4

16 3 3 8

17 4 7 4

18 3 3 3

19 3 4 3

20 4 3 3

21 4 4 4

22 3 4 4

23 3 3 4

24 3 3 4

25 4 3 3

26 4 3 4

27 3 4 3

28 3 4 4

102

Lampiran 10. Data Pengamatan Suhu Freezer Ayam Februari 2011

Tanggal Jam

07.00 (oC) 15.00 (

oC) 23.00 (

oC)

1 -18 -15 -16

2 -13 -17 -11

3 -13 -16 -17

4 -14 -15 -16

5 -15 -16 -17

6 -16 -18 -18

7 -16 -12 -13

8 -18 -16 -13

9 -19 -15 -5

10 -14 -14 -14

11 -17 -17 -18

12 -17 -16 -16

13 -16 -13 -14

14 -18 -14 -19

15 -19 -19 -14

16 -19 -13 -15

17 -18 -11 -12

18 -19 -11 -16

19 -16 -18 -15

20 -14 -17 -18

21 -15 -17 -14

22 -17 -18 -19

23 -18 -14 -18

24 -18 -18 -19

25 -18 -18 -18

26 -19 -18 -14

27 -15 -16 -14

28 -14 -17 -18

103

Lampiran 11. Data Pengamatan Suhu Chiller Ayam Maret 2011

Tanggal Jam

07.00 (oC) 15.00 (

oC) 23.00 (

oC)

1 3 6 4

2 5 3 3

3 4 3 3

4 3 4 4

5 4 5 4

6 4 4 4

7 5 4 3

8 3 4 6

9 3 3 4

10 3 4 4

11 3 4 3

12 3 3 3

13 3 3 3

14 4 4 3

15 5 4 4

16 3 4 4

17 3 4 4

18 3 4 4

19 3 4 2

20 3 3 3

21 3 4 2

22 2 4 3

23 5 4 3

24 4 4 3

25 4 4 3

26 3 5 4

27 3 3 3

28 3 4 3

29 4 3 3

30 3 4 3

31 4 3 BT

Keterangan :

BT : Belum Tertulis

104

Lampiran 12. Data Pengamatan Suhu Freezer Ayam Maret 2011

Tanggal Jam

07.00 (oC) 15.00 (

oC) 23.00 (

oC)

1 -19 -16 -12

2 -16 -17 -15

3 -18 -16 -16

4 -10 -17 -18

5 -17 -16 -17

6 -18 -17 -17

7 -13 -17 -18

8 -18 -12 -15

9 -12 -16 -18

10 -18 -15 -16

11 -18 -18 -18

12 -19 -18 -18

13 -18 -18 -18

14 -13 -18 -18

15 -16 -16 -17

16 -18 -16 -19

17 -19 -17 -18

18 -14 -18 -16

19 -17 -18 -17

20 -8 -12 -9

21 -6 -12 -13

22 -8 -18 -19

23 -14 -14 -18

24 -14 -17 -18

25 -11 -18 -17

26 -16 -14 -18

27 -16 -12 -16

28 -16 -17 -18

29 -17 -18 -17

30 -18 BT BT

31 BT BT BT

Keterangan :

BT : Belum Tertulis

105

Lampiran 13. Data Suhu Penerimaan Fresh Chicken dan Fresh Wing Januari 2011

Tanggal Suhu Suhu

Maksimum Sesuai Tidak Sesuai

1 5 oC 4

oC √

2 5 oC 4

oC √

3 5 oC 4

oC √

4 5 oC 4

oC √

5 5 oC 4

oC √

6 5 oC 4

oC √

7 5 oC 4

oC √

8 5 oC 4

oC √

9 5 oC 4

oC √

10 5 oC 4

oC √

11 5 oC 4

oC √

12 5 oC 4

oC √

13 5 oC 4

oC √

14 - 4 oC - -

15 - 4 oC - -

16 5 oC 4

oC √

17 - 4 oC - -

18 5 oC 4

oC √

19 5 oC 4

oC √

20 5 oC 4

oC √

21 5 oC 4

oC √

22 5 oC 4

oC √

23 5 oC 4

oC √

24 5 oC 4

oC √

25 1 oC 4

oC √

26 1 oC 4

oC √

27 5 oC 4

oC √

28 3 oC 4

oC √

29 3 oC 4

oC √

30 1 oC 4

oC √

31 0 oC 4

oC √

106

Lampiran 14. Data Suhu Penerimaan Fresh Chicken dan Fresh Wing Februari 2011

Tanggal Suhu Suhu

Maksimum Sesuai Tidak Sesuai

1 1 oC 4

oC √

2 2 oC 4

oC √

3 1 oC 4

oC √

4 1 oC 4

oC √

5 1 oC 4

oC √

6 1 oC 4

oC √

7 1 oC 4

oC √

8 4 oC 4

oC √

9 6 oC 4

oC √

10 4 oC 4

oC √

11 5 oC 4

oC √

12 5 oC 4

oC √

13 1 oC 4

oC √

14 1 oC 4

oC √

15 4 oC 4

oC √

16 1 oC 4

oC √

17 4 oC 4

oC √

18 4 oC 4

oC √

19 4 oC 4

oC √

20 - 4 oC - -

21 5 oC 4

oC √

22 5 oC 4

oC √

23 4 oC 4

oC √

24 4 oC 4

oC √

25 6 oC 4

oC √

26 4 oC 4

oC √

27 - 4 oC - -

28 5 oC 4

oC √

107

Lampiran 15. Data Suhu Penerimaan Fresh Chicken dan Fresh Wing Maret 2011

Tanggal Suhu Suhu

Maksimum Sesuai Tidak Sesuai

1 5 oC 4

oC

2 5 oC 4

oC √

3 5 oC 4

oC √

4 5 oC 4

oC √

5 1 oC 4

oC √

6 1 oC 4

oC √

7 - 4 oC

- -

8 1 oC 4

oC √

9 1 oC 4

oC √

10 1 oC 4

oC √

11 5 oC 4

oC √

12 2 oC 4

oC √

13 - 4 oC - -

14 4 oC 4

oC √

15 5 oC 4

oC √

16 1 oC 4

oC √

17 1 oC 4

oC √

18 - 4 oC - -

19 5 oC 4

oC √

20 1 oC 4

oC √

21 1 oC 4

oC √

22 1 oC 4

oC √

23 1 oC 4

oC √

24 1 oC 4

oC √

25 - 4 oC - -

26 1 oC 4

oC √

27 - 4 oC - -

28 1 oC 4

oC √

29 6 oC 4

oC √

30 5 oC 4

oC √

31 6 oC 4

oC √

108

Lampiran 16. Data Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan Frozen Wing Januari 2011

Tanggal Suhu Suhu

Maksimum Sesuai Tidak Sesuai

1 -5 oC -4

oC √

2 - -4 oC - -

3 - -4 oC - -

4 -5 oC -4

oC √

5 -5 oC -4

oC √

6 -5 oC -4

oC √

7 -5 oC -4

oC √

8 -5 oC -4

oC √

9 - -4 oC - -

10 -5 oC -4

oC √

11 -5 oC -4

oC √

12 - -4 oC - -

13 -5 oC -4

oC √

14 -5 oC -4

oC √

15 -5 oC -4

oC √

16 -5 oC -4

oC √

17 - -4 oC - -

18 -5 oC -4

oC √

19 -5 oC -4

oC √

20 -5 oC -4

oC √

21 -5 oC -4

oC √

22 -5 oC -4

oC √

23 -5 oC -4

oC √

24 -5 oC -4

oC √

25 -5 oC -4

oC √

26 -5 oC -4

oC √

27 -5 oC -4

oC √

28 -5 oC -4

oC √

29 -5 oC -4

oC √

30 -5 oC -4

oC √

31 -12 oC -4

oC √

109

Lampiran 17. Data Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan Frozen Wing Februari

2011

Tanggal Suhu Suhu

Maksimum Sesuai Tidak Sesuai

1 - -4 oC - -

2 -5 oC -4

oC √

3 -6 oC -4

oC √

4 -6 oC -4

oC √

5 -5 oC -4

oC √

6 -5 oC -4

oC √

7 -5 oC -4

oC √

8 - -4 oC - -

9 -4 oC -4

oC √

10 -6 oC -4

oC √

11 -5 oC -4

oC √

12 -5 oC -4

oC √

13 -5 oC -4

oC √

14 - -4 oC - -

15 -5 oC -4

oC √

16 -5 oC -4

oC √

17 -5 oC -4

oC √

18 - -4 oC - -

19 -5 oC -4

oC √

20 - -4 oC - -

21 -5 oC -4

oC √

22 - -4 oC - -

23 -5 oC -4

oC √

24 - -4 oC - -

25 -5 oC -4

oC √

26 -5 oC -4

oC √

27 - -4 oC - -

28 -3 oC -4

oC √

110

Lampiran 18. Data Suhu Penerimaan Frozen Chicken dan Frozen Wing Maret 2011

Tanggal Suhu Suhu

Maksimum Sesuai Tidak Sesuai

1 -5 oC -4

oC √

2 - -4 oC - -

3 - -4 oC - -

4 -5 oC -4

oC √

5 - -4 oC - -

6 -5 oC -4

oC √

7 -4 oC -4

oC √

8 - -4 oC - -

9 -5 oC -4

oC √

10 -5 oC -4

oC √

11 - -4 oC - -

12 - -4 oC - -

13 - -4 oC - -

14 -5 oC -4

oC √

15 -5 oC -4

oC √

16 -12 oC -4

oC √

17 -12 oC -4

oC √

18 -6 oC -4

oC √

19 -6 oC -4

oC √

20 -5 oC -4

oC √

21 -6 oC -4

oC √

22 -5 oC -4

oC √

23 -5 oC -4

oC √

24 -5 oC -4

oC √

25 - -4 oC - -

26 -5 oC -4

oC √

27 - -4 oC - -

28 -5 oC -4

oC √

29 -5 oC -4

oC √

30 -5 oC -4

oC √

31 -4 oC -4

oC √

111

Lampiran 19. Diagram Pohon Penetapan CCP pada Bahan Mentah

Apakah bahan mentah mungkin mengandung

bahan berbahaya (mikrobiologi, kimia, fisik)?

Ya Tidak Bukan CCP

Apakah penanganan/pengolahan (termasuk cara mengkonsumsi)

dapat menghilangkan atau mengurangi bahaya?

Bukan CCP Ya Tidak CCP

112

Lampiran 20. Diagram Pohon Penetapan CCP pada Proses Pengolahan

P1 Apakah ada tindakan pencegahan ?

Ya Tidak

Lakukan modifikasi tahapan

pada proses atau produk

Apakah pengawasan pada tahap

ini diperlukan untuk keamanan ? Ya

Tidak Bukan CCP Berhenti

P2 Apakah tahapan dirancang secara spesifik untuk

menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai Ya

pada batas yang dapat diterima ?

Tidak

P3 Dapatkah kontaminasi oleh bahaya yang diidentifikasi

melebihi batas yang dapat diterima atau dapatkah me-

ningkat sampai batas yang tidak dapat diterima?**

Ya Tidak Bukan CCP Berhenti

P4 Akankah tahapan berikutnya dapat menghilangkan

bahaya atau menguranginya sampai batas yang da-

pat diterima?

Ya Tidak CCP

Bukan CCP Berhenti