17
KAJIAN ATAS PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN DANA OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA, PAPUA BARAT DAN PROVINSI ACEH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan Otsus Otonomi Khusus mulai diberlakukan di Provinsi Papua pada tahun 2002 berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, kemudian untuk Provinsi Papua Barat pemberlakuan otonomi khusus diberikan melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga dialokasikan dana tambahan infrastruktur. Besaran dana tambahan infrastruktur ini disepakati antara Pemerintah dengan DPR, dan penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur. Dana otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan; yang masing–masing minimal 30% (tiga puluh persen) dan 15% (lima belas persen). Pemerintah juga mengalokasikan dana otonomi khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dilaksanakan mulai tahun 2008, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.Dana otsus tersebut dialokasikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas, yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional, dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh, besarnya setara dengan 1% (satu persen) dari plafon DAU nasional, dan ditujukan untuk membantu daerah dalam rangka membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, kesehatan dan sosial. Dana otsus yang sudah diberikan pemerintah pusat kepada tiga provinsi tersebut sangat besar dan terus meningkat. Berdasarkan data dari 1

kajian atas pengelolaan dan pertanggungjawaban dana otonomi

Embed Size (px)

Citation preview

KAJIAN ATAS PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN DANA

OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA, PAPUA BARAT DAN PROVINSI ACEH

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kebijakan Otsus

Otonomi Khusus mulai diberlakukan di Provinsi Papua pada tahun 2002

berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua, kemudian untuk Provinsi Papua Barat pemberlakuan

otonomi khusus diberikan melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang

Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang. Di samping itu, dalam

rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat juga dialokasikan dana tambahan infrastruktur. Besaran

dana tambahan infrastruktur ini disepakati antara Pemerintah dengan

DPR, dan penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pembangunan

infrastruktur. Dana otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2%

dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, terutama ditujukan

untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan; yang masing–masing

minimal 30% (tiga puluh persen) dan 15% (lima belas persen).

Pemerintah juga mengalokasikan dana otonomi khusus untuk Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dilaksanakan mulai tahun

2008, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh.Dana otsus tersebut dialokasikan untuk jangka

waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama

sampai dengan tahun kelima belas, yang besarnya setara dengan 2%

(dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional, dan untuk

tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh, besarnya

setara dengan 1% (satu persen) dari plafon DAU nasional, dan

ditujukan untuk membantu daerah dalam rangka membiayai

pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,

pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta

pendanaan pendidikan, kesehatan dan sosial.

Dana otsus yang sudah diberikan pemerintah pusat kepada tiga provinsi

tersebut sangat besar dan terus meningkat. Berdasarkan data dari

 

Kementerian Keuangan, dana otsus dan penyesuaian untuk Provinsi

Papua & Papua Barat dari tahun 2002 s.d. 2010 sebesar Rp28,8 triliun,

sedangkan untuk Pemerintah NAD dari tahun 2008 s.d. 2010 sebesar

Rp10,6 triliun. Tetapi kesejahteraan hidup masyarakat papua masih

belum memadai, tingkat pendidikan & kesehatan masih sangat rendah.

Sementara yang terjadi di Aceh adalah realisasi penyerapan dana otsus

yang masih rendah, yaitu sebesar Rp6,9 triliun atau 65% dari total

dana otsus Rp10,6 trliun, dimana sisa dana otsus yang tidak terserap

tersebut berpotensi digunakan tidak sesuai dengan maksud & tujuan

kebijakan otsus.

Dari temuan BPK terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban atas

dana otsus tersebut diketahui adanya berbagai penyimpangan dalam

penggunaannya dan tidak sesuai ketentuan atau menyimpang dari

tujuan kebijakan otsus.

Tujuan

Tulisan ini bertujuan untuk melakukan pendalaman atas temuan BPK

tentang Papua, Papua Barat & NAD, khususnya mengenai Hasil

Pemeriksaan BPK Semester I Tahun 2011 terhadap Pengelolaan &

Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus TA. 2002 – 2010 pada

Provinsi Papua & Papua Barat, dan Hasil Pemeriksaan BPK Semester II

Tahun 2011 terhadap Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana

Otonomi Khusus TA. 2008 s.d. 2010 pada Pemerintah Aceh di Banda

Aceh dan Kabupaten/Kota terkait.

BAB II REVIU KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS

A. Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Khusus

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Papua, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008;

2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

3. UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

4. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan atara

Pemerintah Pusat dan daerah;

 

5. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

6. PP No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;

7. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah;

8. Perpres No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan jangka

Menengan Nasional tahun 2004-2009;

9. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Permendagri

No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Permendagri No. 13

tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan daerah.

B. Perbedaan Kebijakan Otonomi Khusus

Dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua merupakan pelaksanaan

UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua. UU ini kemudian direvisi menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008

tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan

atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua menjadi undang-undang yang mengamanatkan pemberian

otonomi khusus dan pengalokasian dana otonomi khusus kepada

Provinsi Papua Barat. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan

otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga

dialokasikan dana tambahan infrastruktur. Besaran dana tambahan

infrastruktur ini disepakati antara Pemerintah dengan DPR, dan

penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pembangunan

infrastruktur.

Sementara, sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, Pemerintah juga mengalokasikan dana otonomi

khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang

dilaksanakan mulai tahun 2008.

1. Tabel dibawah ini menunjukan analisa perbandingan kebijakan

otonomi khusus Provinsi Papua, Papua Barat & Provinsi NAD :

No. Keterangan Prov. Papua & Papua Barat Prov. NAD

1 Landasan Hukum

Undang‐Undang  Nomor  21  Tahun  2001 tentang  Otonomi  Khusus  Bagi  Provinsi Papua,  sebagaimana  diubah  dengan Undang‐Undang  Nomor  35  Tahun  2008 tentang  Penetapan  Peraturan  Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2008;

UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)

 

2 Mulai Berlaku Papua            :  2002 Papua Barat :  2008 NAD   :   2008

3 Jangka Waktu 20 Tahun (UU N.0 21 Thn 2001)

20 Tahun (UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh)

2. Adapun sumber dana, besaran, pemanfaatan dan pembagian

dana otsus bagi Provinsi Papua, Papua Barat dan NAD adalah sbb

:

No. Keterangan Prov. Papua & Papua Barat Prov. NAD

1 Sumber Dana

a) Bagi Hasil Pajak; b) Bagi Hasil Sumber Daya Alam c) Perimbangan  SDA  minyak  bumi 

70%;      d) Perimbangan SDA gas 70%; e) Dana  otsus  2%  plafon  DAU 

nasional  terutama  ditujukan untuk pendidikan dan  kesehatan; dan 

f) Dana  tambahan  otonomi  khusus untuk infrastruktur. 

Sumber Dana Otsus Aceh Dana  perimbangan  bagian  dari  provinsi dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus terdiri atas: A. Dana Bagi Hasil pajak, yaitu: 

1) Bagian dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 90%. 

2) Bagian  dari  penerimaan  Bea Perolehan  Hak  atas  Tanah  dan Bangunan. 

3) Bagian  dari  penerimaan  Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri  dan  PPh  Pasal  21)  sebesar 20%.  

 B. Dana  Bagi  Hasil  yang  bersumber  dari 

hidrokarbon  dan  sumber  daya  alam lain, yaitu: 1) Bagian dari kehutanan sebesar 80%. 2) Bagian dari perikanan sebesar 80%. 3) Bagian  dari  pertambangan  umum 

sebesar 80%. 4) Bagian  dari  pertambangan  panas 

bumi sebesar 80%. 5) Bagian  dari  pertambangan  minyak 

sebesar 15%. 6) Bagian dari pertambangan Gas Bumi 

sebesar 30%. C. Dana  Alokasi  Umum  dan  Dana  Alokasi 

Khusus. D. Pemerintah  Aceh mendapat  tambahan 

Dana  Bagi  Hasil minyak  dan  gas  bumi yang  merupakan  bagian  dari penerimaan Pemerintah Aceh, yaitu: 1) bagian  dari  pertambangan  minyak 

sebesar 55%. 2) bagian dari pertambangan gas bumi 

sebesar 40%. 3) Alokasi  Dana  otonomi  Khusus 

berlaku untuk  jangka waktu 20 (dua puluh)  tahun, dengan  rincian untuk tahun  pertama  sampai  dengan tahun  kelima  belas  yang  besarnya setara  dengan  2%  plafon  Dana Alokasi  Umum  Nasional  (DAU)  dan untuk  tahun  keenam  belas  sampai dengan  tahun  kedua  puluh  yang besarnya  setara  dengan  1%  plafon Dana Alokasi Umum Nasional. 

2 Besaran Dana Otsus

2% dari  plafon DAU Nasional (UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, pasal 34 ayat (3) huruf (e) 

Tahun ke‐1 s.d thn ke‐15, 2%  dari DAU Nasional. Tahun ke‐16 s.d. thn ke‐20, 1% dari DAU Nasional. (UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh)

 

3 Pemanfaatan  dana Otsus

Pendidikan 30%,  Kesehatan 15%  (Perda. Provinsi No. 2 tahun 2004 tentang Pembagian Penerimaan Dalam Rangka Otonomi Khusus, Pasal 4 ayat (1) huruf (b))

Mendanai pembangunan & pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.  (UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh)

4 Pembagian  Dana Otsus

Papua : 60% : Kabupaten/Kota dan 40% : Provinsi.  Papua barat : 70% Kabupaten/kota dan 30% Provinsi (Peraturan Daerah Provinsi Papua dan Surat Keputusan Gubernur)

60% : Kabupaten/Kota dan  40% : Provinsi.  (pengalokasiannya didasarkan pada Peraturan Gubernur (Pergub)

BAB III KAJIAN DAMPAK PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS

A. Kajian Sosial Politik

Akar Masalah

Ada beberapa akar masalah di balik kegagalan implementasi otsus di

Papua dan Papua Barat khususnya, serta kegagalan penyelesaian

secara menyeluruh atas berbagai persoalan Tanah Papua pada

umumnya.Tim Kajian Papua LIPI melalui Papua Road Map, pernah

mendeskripsikan 4 (empat) kelompok isu sebagai akar masalah Papua

berikut empat rekomendasi penyelesaiannya.

Pertama, masalah marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli

Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik dan deimigrasi

massal ke Papua sejak tahun 1970.Untuk menjawab masalah ini,

diperlukan adanya kebijakan afirmatif relogvisi untuk pemberdayaan

orang Asli Papua.Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang

pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.Untuk itu

diperlukan paradigma baru pembangunan yang berfokus pada

perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli

Papua.Ketiga, adalah adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi

identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa

diselesaikan melalui dialog seperti yang sudah dilakukan untuk

penyelesaian konflik Aceh. Keempat, pertanggungjawaban atas

kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di

Papua. Tim LIPI menyimpulkan bahwa keempat isu dan agenda

tersebut dapat dirancang sebagai strategi kebijakan yang saling

terkait untuk penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh dalam

jangka panjang.

 

Tidak ada keseriusan pemerintah melaksanakan amanat UU Otsus

secara konsisten. Hal ini tercermin dari tidak kunjung terbentuknya

sejumlah lembaga yang diamanatkan UU Otsus seperti komisi

kebenaran dan rekonsiliasi, komisi hukum ad hoc, parpol local, serta

pengadilan HAM dan peradilan adat. Belum lagi soal tumpang-tindih

antara kebijakan dan peraturan perundangan yang diterbitkan

pemerintah pusat dan peraturan daerah khusus (Perdasus); 1

1. Belum didukung oleh Perangkat Peraturan Yang Memadai &

Lembaga Lain diamanahkan UU; Perdasus mengenai pembagian

dana alokasi khusus pemerintah provinsi dan kabupaten/kota

belum ditetapkan; Evaluasi secara komprehensif terhadap UU No.

21/2001 belum pernah dilaksanakan.

2. Belum ditetapkan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Secara

Berkesinambungan

3. Keterlambatan dalam Evaluasi secara Komprehensif

Hambatan Pelaksanaan Otsus : Sosial Politik

Kecenderungan yang sama berlaku di lingkungan orang-orang dan

para pemimpin Tanah Papua. Para pemimpin atau elite Papua tidak

hanya terbelah secara vertikal, yakni antara mereka yang menikmati

kebijakan otsus (mulai gubernur, para bupati, pejabat dan birokrasi

daerah) dan kalangan yang tidak turut menikmatinya (rakyat pada

umumnya), melainkan juga secara horizontal, yakni di antara sesama

tokoh Papua yang berada di luar pemerintahan. Kepemimpinan lokal

Papua yang sangat fragmentatif merupakan persoalan tersendiri yang

menjadi kendala berbagai upaya penyelesaian atas aneka masalah

Tanah Papua.Realitas Papua seperti inilah yang membedakannya

dengan kenyataan di Aceh yang kepemimpinan lokalnya relatif

terkonsolidasi dibandingkan Papua.

Namun setelah berlangsung lebih dari sepuluh tahun di Provinsi Papua

dan hampir lima tahun di Papua Barat, sulit dipungkiri bahwa dalam

implementasinya kebijakan otsus cenderung berlangsung “setengah

hati”. Banyak faktor yang bisa didaftar yang mengindikasikan

implementasi otsus setengah hati tersebut, di antaranya adalah:

                                                            1 Syamsuddin Haris, Masalah Pengelolaan Dan Akuntabilitas Dana Otsus. LIPI 

 

1. Tak lama setelah kebijakan otsus Papua disetujui pemerintahan

Abdurrahman Wahid dan DPR melalui UU No. 21 Tahun 2001,

pemerintah berikutnya di bawah Megawati Soekarnoputeri justru

mengeluarkan instruksi percepatan pemekaran Papua (Inpres No.

1 Tahun 2003), yang akhirnya menjadi Papua dan Papua Barat.

Padahal sebelumnya, DPRD Irian Jaya pada pertengahan Oktober

1999 telah menolak pemekaran provinsi tersebut menjadi tiga

seperti diinginkan pemerintah dan DPR melalui UU No. 45 Tahun

1999;

2. Penundaan dan tarik-ulur pembentukan Majelis Rakyat Papua

(MRP) akibat kuatnya intervensi pemerintah pusat, termasuk

pembatasan wewenang MRP yang besar, padahal sudah diatur

dalam UU No. 21 Tahun 2001, serta pemberlakuan“litsus” bagi

tokoh-tokoh yang tidak disukai pemerintah. Peraturan Pemerintah

tentang pembentukan MRP baru diterbitkan pemerintah pada akhir

2004. Terakhir, pemerintah bahkan membentuk dua lembaga MRP,

masing-masing di Papua, dan Papua Barat atau Irian Jaya Barat;2

B. Kajian Perkembangan Dana Otonomi Khusus

Pengertian & Mekanisme Penyaluran Dana Otsus & Dana

Penyesuaian

Penyaluran dana otonomi khusus dari pemerintah provinsi kepada

pemerintah kabupaten/kota dilakukan atas dasar nota kesepakatan

antara gubernur dan Bupati/walikota. Pencairan dana otonomi khusus

dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota diatur dalam

peraturan gubernur menyesuaikan dengan pencairan dana otonomi

khusus dari Pemerintah Pusat.

Dana tambahan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus disalurkan

dengan mekanisme sebagai berikut:

1. Dana tambahan infrastruktur yang besarnya ditetapkan antar

pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan provinsi pada setiap

tahunnya;

                                                            2 Syamsuddin Haris, Masalah Pengelolaan Dan Akuntabilitas Dana Otsus. LIPI 

 

 

2. Dana tambahan infrastruktur disalurkan kepada pemerintah

provinsi Papua dan Papua Barat dengan pemindahbukuan ke

rekening kas umum daerah (RKUD).

Dana tambahan Infrastruktur ini digunakan khususnya untuk

pembangunan jalan yang terisolir sehingga membuka akses antar

kampung dan distsrik untuk meningkatan jalur lintasan

perekonomian.

Kesimpulannya adalah ketika dana otsus dan dana tambahan

infrastruktur dianggarkan kedalam APBD, maka mekanisme

pengelolaam keuangan daerah berlaku sama dengan daerah lain yaitu

mempedomani PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Keuangan Daerah

dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun

2006sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No 59 Tahun

2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Dana Otsus = 2% x DAU Nasional. Alokasi Dana Otsus setiap tahun

meningkat sejalan dengan kenaikan pendapatan negara.

Direncanakan Th 2013 Dana Otsus mengalami kenaikan 10,8% dari

Rp11,9 Triliun menjadi Rp13,2 Triliun. Adapun Besaran Dana

Tambahan Dana Otsus untuk Infrastruktur ditetapkan berdasarkan

kesepakatan Pemerintah dan DPR disesuaikan dengan kemampuan

keuangan Pemerintah, sedangkan tahun 2013 Dana tambahan

infrastruktur tidak mengalami perubahan/tetap seperti tahun

sebelumnya, yakni Rp1,0 Triliun.3

C. Kajian Dampak Dana Otonomi Khusus Terhadap Pembangunan

Sektor

1. Trend Alokasi Dana Otonomi Khusus

                                                            3 Acep, Dana Otonomi Khusus. Kementerian Keuangan 

 

Note : Dana Otsus & Dana Penyeimbang (Tahun 2002 – 2003)

Dana Otsus & Dana Penyesuaian (Tahun 2004 – 2010)

Sumber : diolah dari data Kemenkeu (LHP-Hapsem I/2011)

2. a) Realisasi Dana Otsus Untuk Pendidikan

Menurut aturan Perda Provinsi bahwa alokasi anggaran untuk

pendidikan sebesar 30%, namun berdasarkan Laporan Hasil

Pemeriksaan (LHP) BPK RI (lampiran-Hapsem I Tahun 2011),

realisasinya alokasi dana Otsus untuk bidang Pendidikan tersebut,

baik di Papua maupun Papua Barat masih jauh dibawah ketentuan

Perda, seperti dalam tabel dibawah ini :

No. Entitas  Tahun Anggaran 

Bidang Pendidikan

Nilai  % 30%  (Perda)  Selisih 

1 Kabupaten Jayawijaya

TA. 2007 10.953.903.875 16.94% 30% -13.06%

TA. 2008 5.492.089.462 7.98% 30% -22.02%

TA. 2009 10.502.894.793 17.63% 30% -12.37%

2 Kabupaten Nabire

TA. 2007 9.145.596.175 16.41% 30% -13.59%

TA. 2008 4.592.860.092 7.75% 30% -22.25%

TA. 2009 7.600.516.400 14.80% 30% -15.20%

3 Prov. Papua TA. 2007 82.217.504.400 7.13% 30% -22.87%

 

TA. 2008 73.302.762.786 5.79% 30% -24.21%

Realisasi yang rendah tersebut membawa dampak terhadap

kinerja atas pelayanan pendidikan. Berdasarkan data dari BPS-RI,

Susenas 2003-2010, terhadap Tren pelayanan pendidikan Propinsi

Papua tahun 2003 s.d. 2010, diketahui bahwa laju pertumbuhan

Angka Partisipasi Murni (APM) APM SD justru mengalami

penurunan. Perlu kajian atas tren ini.

Sementara untuk SMP dan SMA relatif baik dengan kenaikan dari

30,11 ke 36,06 sedangkan SMP dari 47,81 ke 49,62 selama 8

tahun pelaksanaan Otsus. Meskipun demikian bila dibandingkan

laju pertumbuhan APM nasional, relatif lebih tinggi.

Sedangkan untuk Papua Barat, laju pertumbuhan Angka Partisipasi

Murni (APM) SD cukup signifikan dengan rata-rata 1,03% pertahun.

Demikian juga untuk APM SMA. Meskipun masih jauh dibanding rata-

rata nasional yang sebesar 0,46 tahun 2010, tetapi selama program

otsus terjadi laju peningkatan APM yang cukup tajam dari 35,31 ke

44,75. Sementara untuk SMP, angka APM relatif tetap di angka 50.

10 

 

Untuk otsus NAD tidak ada aturan tentang pengalokasian anggaran

untuk pendidikan dan kesehatan sebagaimana Propinsi Papua dan

Papua Barat. Salah satunya karena APM NAD relatif bagus.Untuk SD

sudah mendekati 100, SMP 80 dan SMA 60.

Angka-angka ini tidak jauh dari APM nasional baik untuk SD, SMP

dan SMA.

11 

 

b) Kesehatan

Begitupun dengan realisasi dana otsus untuk bidang kesehatan

masih jauh dibawah ketentuan perda yang menetapkan besarnya

dana alokasi otsus untuk bidang kesehatan sebesar 15%.

Berdasarkan data Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI

Semester I Tahun 2011, terdapat selisih antara realisasi & aturan

perda, sebagaimana dapat dapat dilihat dalam table dibawah ini :

 

No.

 

Entitas

 

Tahun 

Anggaran

 Bidang Kesehatan

Nilai % 15%  (Perda)

Selisih

1 Kabupaten Sami TA. 2007 4.057.473.200 6.71% 15% ‐8.29%

TA. 2008 9.346.752.000 14.54% 15% ‐0.46%

TA. 2009 5.442.426.600 9.78% 15% ‐5.22%

2 Kabupaten Waropen

TA. 2007 4.237.135.579 7.20% 15% ‐7.80%

TA. 2008 3.952.926.000 6.31% 15% ‐8.69%

TA. 2009 7.857.215.000 14.49% 15% ‐0.51%

3 Kabupaten Kaimana

TA. 2007 26.538.715.240 11.17% 15% ‐3.83%

TA. 2008 5.911.750.485 9.49% 15% ‐5.51%

TA. 2009 2.880.930.100 3.30% 15% ‐11.70%

4 Provinsi Papua TA. 2007 122.998.261.200 1 0.66% 15% ‐4.34%

TA. 2008 109.137.209.667 8.62% 15% ‐6.38%

TA. 2009 170.862.181.357 6.07% 15% ‐8.93%

12 

 

Realisasi anggaran yang rendah tersebut berdampak pada

Indikator Kesehatan Papua dan Papua Barat. Di Papua misalnya

terjadi penurunan fasilitas kesehatan, seperti dapat dalam tabel

dibawah ini :

Tahun

Posyandu  

 Puskesmas  

Tenaga Medis  

Perawat dan Bidan  

Papua Barat Papua Papua Barat Papua Papua Barat Papua Papua Barat Papua

2006 1055 2648 81 236 69 302 2004 4184

2009 1122 2190 105 266 279 300 2981 4098

Tambah (kurang) 67 (458) 24 30 210 (2) 977 (86)

• Sebagai gambaran tahun 2012 Provinsi Papua masih

membutuhkan 2.524 tenaga bidan, 427 perawat, 241 ahli

kesehatan lingkungan, 280 ahli farmasi dan itu belum termasuk

dokter

• Saat ini angka kematian ibu melahirkan juga cukup besar 362

per 100,000 kelahiran hidup (tergolong tertinggi di Indonesia).

Begitupun kinerja kesehatan di Papua Barat, Persentase Balita

dengan status gizi meningkat

13 

 

Kinerja Kesehatan Papua Barat:

Semakin banyak ibu melahirkan dengan fasilitas kesehatan

c) Infrastruktur

Meskipun belum ada aturan mengenai alokasi dana otsus untuk

bidang infrastruktur dan Ekonomi bagi Provinsi Papua dan Papua

Barat, namun alokasi anggaran untuk bidang tersebut mendapat

porsi terbesar dibanding alokasi anggaran untuk bidang pendidikan

& kesehatan, yaitu pengalokasiannya rata-rata diatas 50%, seperti

dalam table dibawah ini :

 No.

 Entitas

 Tahun Anggaran

Bidang Infrastruktur & Ekonomi

 Nilai

 %

1 Kabupaten Jayawijaya TA. 2007 45.351.205.840 70.14%

TA. 2008 51.672.035.383 75.12%

TA. 2009 28.077.390.559 47.14%

2 Kabupaten Supiori TA. 2008 38.039.982.600 67.19%

TA. 2009 24.787.693.943 50.56%

3 Kabupaten Sorong TA. 2007 49.547.653.950 88.14%

TA. 2008 32.104.656.370 53.68%

TA. 2009 57.810.369.550 60.50%

4 Provinsi Papua TA. 2007 888.102.112.400 76.98%

14 

 

TA. 2008 753.626.298.327 59.53%

TA. 2009 1.548.216.052.863 55.02%

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa alokasi anggaran untuk

infrastruktur sangat besar tetapi dalam kenyataannya kondisi

infrastruktur tidak mengalami peningkatan, yang terjadi justru

sebaliknya, seperti misalnya baik kuantitas maupun kualitas jalan

jauh lebih buruk dibanding sebelum diberlakukannya otsus. Hal ini

dapat dilihat dari grafik tren kondisi jalan di Papua Barat tahun

2005-2010 :

Panjang jalan provinsi dari tahun 2009 ke tahun 2010 mengalami

penurunan, begitu juga jalan nasional pada tahun yang sama

mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini menunjukan

bahwa besarnya alokasi dana otsus untuk infrastruktur tidak

membawa dampak pada peningkatan kuantitas jalan.

Begitupun kualitas jalan di Papua Barat, berdasarkan data dari BPS

Prov. Papua Barat tahun 2007-2009 menunjukan jalan dengan

kondisi rusak mengalami peningkatan yang signifikan dari 0% di

tahun 2007 menjadi 22% di tahun 2008, sedangkan kondisi jalan

rusak berat meningkat dari 26% menjadi 27%

15 

 

3. Sisa Anggaran Dana Otonomi Khusus

No

Keterangan

Papua & Papua Barat

(2002 – 2010)

NAD

(2008 - 2010)

1 Total Alokasi Rp28.842.036.297.420,00,- Rp10.628.710.303.000,00,-

2 Total Realisasi Rp28.842.036.297.420,00,- Rp6.926.290.071.720,00,-

3 Realisasi Penyerapan

100% 65%

Ada beberapa kemungkinan penyebab rendahnya realisasi dana

otsus di NAD:

− Di NAD tidak ada UU atau peraturan dibawahnya yg tegas

mengatur penggunaan dana otsus sebagaimana di Papua &

Papua Barat.

− Dana otsus di NAD masih dilihat hanya dari sisi “sumber

dana”, tetapi belum dari sisi “peruntukan dana”. Sehingga

tidak ada perencanaan secara terpisah.

BAB IV KESIMPULAN & REKOMENDSI

Otsus telah cukup lama dijalankan (tahun 2002 untuk Papua, 2009 untuk

Papua Barat, serta 2008 untuk NAD).

Dana yang telah dialokasikan juga sudah relatif besar yakni (Rp35,4 T

selama 10 tahun). Dana ini akan terus meningkat karena dialokasikan

16 

 

17 

 

mengikuti besaran DAU. Namun demikian dana otsus yg relatif besar blm

memberikan dampak signifikan utk mencapai tujuan otsus.

Ada beberapa temuan menarik dalam pelaksanaan Otsus:

Pertama, kelemahan dukungan aturan perundangan terjadi hingga saat

ini.Masih banyak aturan yang seharusnya ada tetapi belum ada meskipun

Otsus telah dimulai thn 2002.Misal hingga saat ini belum ada Rencana

Induk Percepatan Pembangunan secara berkesinambungan.

Kedua, meski ada aturan alokasi dana Otsus yang sudah diatur dalam

Perda, namun tidak ada aturan yang mengatur sanksi bila tidak

dijalankan.

Ketiga, daerah seolah belum memahami dengan baik tujuan dana

Otsus. Di NAD hanya dipahami sebagai dana tambahan bagi APBD

sehingga tidak ada program-program khusus sebagai implementasi

Otsus.

Keempat, efektifitas dana Otsus berpotensi rendah karena tidak ada

strategi (Renstra), tidak ada sanksi terinci dan tegas (kasus Papua),

sehingga berpotensi diselewengkan karena SiLPA Otsus makin lama

makin besar tanpa aturan dalam pemanfaatannya (NAD).