Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAM
DALAM QS. ‘ABASA [80]: 1-16
(Kajian Komparatif Interpretasi Tafsir Ibn Katsȋr dan Tafsir
Tabȃtaba`ȋ)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S. Ag.)
Oleh
Bahaluddin Siregar
NIM: 11140340000178
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2019 M
v
ABSTRAK
Bahaluddin Siregar: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA
MASAM DALAM QS. ‘ABASA [80]: 1-16 (Kajian Komparatif
Interpretasi Tafsir Ibn Katsîr dan Tafsir Tabataba’î)
Konsep iṣmah (maksum) terjadi perbedaan di kalangan dalam
mendefinisikannya. Perbedaan ini mempengaruhi sikap dalam
menginterpretasikan ayat-ayat terkait tentang kemaksuman Nabi
Muhammad SAW. Bagi kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Nabi
Muhammad SAW bisa saja terjadi melakukan kesalahan dosa kecil
asalkan tidak melakukan dosa besar. Sedangkan bagi kelompok Syi’ah,
bagi mereka Nabi Muhammad SAW terjaga dari melakukan dosa kecil
maupun dosa besar.
Secara garis besar, penelitian ini membahas tentang komparasi
interpretasi Ibn Katsir dan Tabataba’ī terkait Nabi Muhammad bermuka
masam yang telah dijelaskan di dalam QS. ‘Abasa [80]: 1-16. Alasan
pengambilan kedua tokoh ini yang memiliki karya besar yaitu Ibn
Katsīr Tafsir al-Qur’an al-‘Adzīm dan Tabataba’ī Tafsir al-Mizān
dalam penelitian ini, karena kedua mufasir memiliki ideology yang
berbeda. Ibn Katsir tendensi (condong) dengan Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah, sedangkan Tabataba’ī tendensi (condong) kepada Syi’ah:
Faktor ini yang menyebabkan perbedaan dalam menginterpretasikan
Nabi Muhammad bermuka masam, baik itu periwayatan, argumentasi
maupun substansi penafsiran kedua mufasir.
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka (Library
Research). Sumber data primer dalam penelitian ini adalah penafsiran
ayat al-Qur’an yang ditulis oleh Imam Nawawi yang berjudul Tafsīr al-
Qur’an al-‘Adzīm dan Tabataba’ī yang berjudul al-Mizān fi Tafsīr al-
Qur’an. Sedangkan sumber data sekunder, peneliti mengambil buku-
buku dan jurnal terkait dengan tema judul pembahasan yaitu tentang
iṣmah (maksum), akhlak Nabi Muhammad, dan bibliografi terkait
sosio-historis penulis kedua tafsir di atas.
Setelah melakukan penelitian, penulis mendapatkan inferensi bahwa
kedua mufasir ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan di dalam
menafsirkan QS. ‘Abasa [80]: 1-16. Menurut Ibn Katsir yang bermuka
masam adalah Nabi Muhammad terhadap ‘Abdullah b. Ummi Maktūm.
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر الر بسم للاه
Assalamu’alaikum. Wr. Wb. Segala puji hanya milik Allah,
sang pencipta alam beserta seluruh isi yang ada di dalamnya. Hanya
kepada-Nya penulis meminta petunjuk, arahan, dan memohon
kemudahan di setiap langkah beserta urusan yang sedang dihadapi.
Solawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai junjungan makhluk, penyampai ajaran
untuk menuntun manusia menuju jalan yang diridhoi-Nya.
Skripsi adalah semacam suatu tugas yang menandakan
berakhirnya proses pendidikan di bangku kuliah. Namun, bagi
penulis selesainya skripsi ini menjadi langkah awal penulis untuk
melanjutkan pendidikan lebih lanjut ke jenjang pendidikan di
atasnya, Amin.
Proses penulisan skripsi ini cukup lama mulai awal Bulan Juli
2019 sampai Hari Rabu 20 November 2019, baru mendapat
persetujuan dari dosen pembimbing penulis. Ada banyak rintangan
dan kendala di dalamnya, dari proses kelengkapan administrasi,
mencari rujukan referensi, hingga beberapa kegiatan lainnya. Untuk
referensi, penulis mencari buku-buku di toko online, jurnal- jurnal di
Google Scholar, beberapa Perpustakaan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Perpustakaan Umum, Perpustakaan Fakultas (PF)
Ushuluddin, PF Syariah dan Hukum, Perpustakaan Pasca Sarjana,
Pusat Studi al-Quran, Islamic Culture Center Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, hingga buku-buku koleksi pribadi teman-teman
penulis. Namun, secara efektif dan kontinu proses penulisan skripsi
vii
beserta editannya, ketika dikalkulasikan kurang lebih hanya
memakan waktu dua bulanan lamanya.
Berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung, skripsi ini rampung. Tidak ada
kata lain untuk mereka kecuali ucapan terima kasih, semoga Allah
membalas semua jasa-jasa mereka sehingga penulisan skripsi ini
terselesaikan dengan baik, amin. Penulis mengungkapkan ucapan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Amany Lubis. M.A selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaran, dan stafnya.
3. Dr. Eva Nugraha, MA selaku Ketua Program Studi (Prodi) dan
Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH sebagai Sekretaris Prodi Ilmu al-
Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta meskipun keduanya baru menjabat, terobosan
kebijakannya sangat membantu terhadap percepatan proses
skripsi. Serta tak lupa kepada Dr. Lilik Ummi Kultsum, M.A
dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku ketua dan wakil
Prodi yang menjabat sebelumnya.
4. Dr. Muhammad Zuhdi, M.Ag selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktunya untuk membimbing memberikan
beberapa masukan-masukan, dan koreksi untuk merampungkan
skripsi ini.
5. Dr. Mafri Amir, M.Ag selaku dosen akademik yang
telahmembantu untuk merumuskan proposal skripsi.
6. Seluruh dosen-dosen baik di Fakultas Ushuluddin maupun di
viii
luarnya, yang telah membimbing, membukakan gerbang
khazanah ilmu pengetahuan kepada penulis dari tahun 2014
hingga 2019.
7. Kepada orang tua penulis; Ayahanda Sahram Siregar dan
Ibunda Hasnah Harahap, yang tidak pernah lelah mendoakan
dan memberikan semangat berupa nasihat, masukan untuk tetap
fokus mengerjakan skripsi ini. Kedua wajah mereka semacam
memberikan energi dan optimisme kepada penulis. Tak lupa
juga kepada kedua kakak kandung penulis; Setia Erwin dan
Hamdan Husen Siregar. Tak lupa juga kepada keempat adik;
Ismail Hasan Siregar, Udin Syaputra Siregar, M. Fadhil Siregar,
dan Nur Hamidah Siregar, beserta seluruh keluarga sanak
saudara yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
8. Para Sahabat Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
(DEMA FU) periode 2017, Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Komisariat Fakultas Ushuluddin dan PMII se
cabang Ciputat. Sahabat Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir
Hadis se Indonesia (FKMTHI), Keluarga Besar Etos UIN
Jakarta, Ikatan Mahasiswa Jambi (IKAMAJA) se Jakarta,
Dewan Pemenangan Pusat Persatuan Mahasiswa (DPP-PM)
Cabang Ciputat dan lainnya.
9. Kepada teman-teman angkatan Beasiswa Etos Dompet Dhuafa
angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi,
Salimah Zahro, Fida, Aisyah, Dian dan Syifa.
10. Kepada teman-teman Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014
yang juga sama-sama berjuang menyelesaikan studi di Fakultas
Ushuluddin.
ix
11. Kepada sahabat-sahabat sekontrakan, senasib seperjuangan di
Jakarta; Aprido, Raja Hotlan Harahap, Irfan Hazri, Dadan
Haerudin, Muhammad Alwi, Agung Rif’at, Ach. Sayuthi,
Abdillah, Rido Amran, Efrida Yanti Nasution, Yasep. Nurul
Chusna dan Indah Puji Lestari.
Hanya kepada Allah penulis berharap, siapa pun yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah
membalasnya, memberikan kesehatan, optimisme, kemudahan
segala urusan, dan takdir baik menyertainya, amin.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Ciputat, 04 Desember 2019
Bahaluddin Siregar
NIM: 11140340000178
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan
Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak ا
dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Ṡa ṡ Es (dengan ث
titik di atas)
Jim J Je ج
Ḥa ḥ Ha (dengan ح
titik di bawah)
Kha Kh ka dan ha خ
Dal D De د
Żal ż Zet (dengan ذ
titik di atas)
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy es dan ye ش
Ṣad ṣ es (dengan ص
titik di bawah)
xi
Ḍad ḍ de (dengan ض
titik di bawah)
Ṭa ṭ te (dengan titik ط
di bawah)
Ẓa ẓ zet dengan ظ
titik di bawah)
ain ‘ koma terbalik‘ ع
(di atas)
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Ki ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
ـه Ha H Ha
Hamzah ' Apostrof ء
Ya Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
xii
Dhammah U U
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
ي Fathah dan
ya
Ai a dan i
و Fathah dan
wau
Au a dan u
Contoh:
kaifa- ك ي ف
haula- ه و ل
3. Vokal Panjang/ Maddah
Ketentuan alih aksara vocal panjang (maddah), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Harakat
dan huruf
Nama Huruf dan
tanda
Nama
ا ي... Fathah dan
alif atau ya
Ā a dan garis
di atas
ي ى Kasrah dan
ya
Ī I dan garis
di atas
Dhammah ىـ و
dan wau
Ū u dan garis
di atas
xiii
Contoh:
ال ق -qāla
ىم ر -ramā
ل ي ق -qīla
4. Ta’ Marbūṭah
Transliterasi untuk Ta’ Marbūṭah ada dua:
a. Ta’ Marbūṭah hidup
Ta’ Marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan
ḍommah, transliterasinya adalah “t”.
b. Ta’ Marbūṭah mati
Ta’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah “h”.
c. kalau pada kata terkahir dengan Ta’ Marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah maka
Ta’ Marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
No Kata Arab Alih Aksara
rauḍah al-aṭfāl ر و ض ة األ ط ف ال 1
ل ة 2 د ين ة الف اض al-madīnah al-fāḍilah امل
م ة 3 al-ḥikmah احل ك
xiv
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
rabbanā- ر بـن ا
nazzala- نـ زل
al-birr- الب ر
al-ḥajj– احل ج
Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf kasrah ( ـى ـــــــــــــــ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).
Contoh:
Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)‘ : عل ى
Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)‘ : ع ر ب
xv
6. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال. Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang
ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika dia diikuti oleh huruf
syamsiyah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi
huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-),
Contohnya:
al-rajulu- الرج ل
al-sayyidu- السي د
al-syamsu- الشم ش
al-qalamu- الق ل م
al-badĭ’u- أل ب د ي ع
al-jalālu- ال ال ل
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (') hanya berlaku
bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah
terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia
berupa alif. Contohnya:
xvi
ta'murūna : ت م ر و ن
'al-nau : النـو ء
syai'un : ش ي ئ
umirtu : أ م ر ت
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya
kata Al-Qur’an (dari al-Qur'ān), sunnah, khusus, dan umum. Namun bila
kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka
mereka harus ditransliterasi secara utuh. contoh:
Kata Arab Alih Aksara
Fī Ẓilāl al-Qur'ān ف ظ ال ل الق ر آن
و ي ن Al-Sunnah qabl al-tadwīn الس نة قـ ب ل الت د
الع با ر ة ب ع م و م الل ف ظ ال ب ص و ص السب ب
Al-‘ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi
khuṣūṣ al-sabab
xvii
9. Lafẓ al-jalālah (هللا)
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai mudāf ilaih (frasa nominal),
transliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:
dīnullāh : د ي ن هللا
billāh : ب هللا
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-
jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh :
hum fī rahmatillāh : ه م ف ر ح ة هللا
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All Caps),
dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang
penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia
yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menulis
huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada
permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka
huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi
yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks
maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,CDK, dan DR). Contoh:
xviii
Kata Arab Alih aksara
Wa mā Muḥammadun illā rasūl- و م ا م مد إ ال ر س و ل
ع ل لناس ل لذ ي ب ب كة م با ر كا Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi- إ ن أ ول بـ ي ت و ض
bi Bakkata mubārakan
ر ر م ض ان الذي أ ن ز ل ف ي ه الق ر آن ش ه -Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh
al-Qur'an
ي ي الد ي ن الطرو س Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī- ن ص
Abū Naṣr al-Farābī- أ بـ و ن ص ر الف ر اب
Al-Gazālī- الغ ز ال
ن ق ذ م ن الد ال ل Al-Munqiż min al-Ḍalāl- امل
xix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL. .................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN PENULIS .................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ........................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................. vi
TRANSLITERASI .................................................................................... x
DAFTAR ISI .......................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah. ........................................................... ..5
C. Batasan dan Perumusan Masalah ............................................6
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ........................................ ...6
E. Tinjauan Pustaka ................................................................. ..7
F. Metode Penelitian. ............................................................... .10
G. Sistematika Penulisan. ......................................................... .11
BAB II TINJAUAN UMUM TAFSIR IBN KATSȊR DAN SERTA
AL-MIZAN TABATABA`Ȋ
A. Biografi Ibn Katsir. .............................................................. 13
B. Biografi Tabataba’î ............................................................. 16
C. Karakteristik Tafsir Ibn Katsir dan Tabataba’î ................... 23
1. Metodelogi Tafsir Ibn Katsir dan Tabataba’î .................. 23
2. Corak Tafsir Ibn Katsir dan Tabataba’î. ..........................24
3. Sumber Tafsir Ibn Katsir dan Tabataba’î…. ...................25
4. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ibn Katsir dan
xx
Tabataba’î ................................................................. 27
BAB III TINJAUAN SIFAT IDEAL NABI MUHAMMAD SAW
A. Akhlak Mulia Seorang Nabi ................................................ 30
B. Nabi Muhammad Sebagai Representatif Uswah Hasanah...33
C. Konsep Kemaksuman .......................................................... 37
1. Definisi Maksum ............................................................... 37
2. Ayat-Ayat Tentang Kemaksuman. .................................... 40
3. Klasifikasi Ishmah (Maksum) ........................................... 46
BAB IV INTERPRETASI DALAM KITAB IBN KATSIR DAN
TABATABA’Î
A. Kajian Analisis Ayat. ...........................................................50
1. Identifikasi Ayat ...............................................................50
2. Asbab Al Nuzul ................................................................52
3. Munasabah .......................................................................55
B. Penjelasan Kedua Mufassir Terhadap QS ‘Abasa [80]1-16..56
1. Pola Interpretasi Ibn Katsir Terhadap QS ‘Abasa [80]: 1-
16 ............................................................................. 57
2. Pola Interpretasi Tabataba’î Terhadap QS ‘Abasa [80]: 1-
16 .......................................................................... ..57
C. Argumen Kedua Mufassir Dalam Menginterpretasikan
Bermuka Masam. ........................................................... ..65
1. Perbedaan Dalam Mengkategorisasi Ismah. .............. 65
2. Menentukan Subjek Pada Derivasi ‘Abasa ................ 73
3. Mengaktualisasi Konsep Uswah Hasanah. ................ 73
xxi
4. Perbedaan dan Persamaan Dalam Menginterpretasikan
QS ‘Abasa [80] 1-16. ............................................. .75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan. ........................................................... ..78
B. Saran ......................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammad SAW seorang publik pigur yang menjadi
panutan bukan hanya untuk umat Islam bahkan integral bagi umat
manusia. Ia merupakan repsentatif manusia ideal yang menjadi Uswah
Hasanah bagi umat manusia. Menjadi manusia yang ideal bisa dilihat
dari berbagai aspek terutama menjadi muslim yang ideal yaitu
melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah. Hal ini telah menjadi
tugas edukasi Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia agar bisa
menjadi muslim yang ideal. Bukan hanya menjadi muslim yang ideal
saja, bahkan Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang didelegasikan
sebagai orang pilihan yang memiliki sifat kemaksuman.1 Ketika
kembali sejarah histori sebelumnya, Nabi Muhammad SAW telah
melakukan beberapa kali kesalahan yang ditegur oleh Allah, bahkan
tertulis di beberapa ayat-ayat al-Qur’an. Pada kasus ini banyak kalangan
‘Ulama konservatif menginterpretasikan ayat-ayat mengenai tindakan
kesalahan ini menuai pro dan kontra. Salah satu ayat yang menjelaskan
kesalahan Nabi Muhammad SAW adalah QS. al-Kafi [18]: 23-24
وٱذكر ربك إذا نسیت وقل غدا لك ول ت قولن لشایء إن ی فاعل ذ أن یشاء ٱلل إل
رب من ه ذا رشدا أن ی هدین رب ی لق عسى
yaitu terjaga dari kesalahan. Menurut Ibn عصم asal katanya adalah معصوم 1
Taimiyyah, kema’suman Nabi Muhammad SAW bukan berarti tidak sama sekali
melakukan kesalahan melainkan terjaga dari dosa besar bukan dosa kecil. Lihat,
Taqiyyudīn Abū al-‘Abbās Ahmad bin ‘Abd al-Halīm bin Taimiyyah al-Harānī (728 H),
Majmū’ Fatawa. (al-Mamlaka al-‘Arabiyyah al-‘Su’udiyyah, 2005), juz 4, 319.
2
“Dan janganlah sekali-kali engkau mengucapkan Sesungguhnya aku akan
melakukan hal itu besok. Kecuali (dengan mengucapkan) Insya Allah.
Dan ingatlah Tuhanmu ketika engkau lupa. Dan Ucapkanlah: Semoga
Tuhanku memberikan petunjuk pada jalan terdekat menuju hidayah.”
Pada kasus ini Nabi Muhammad SAW melakukan kesalahan ketika
ditanya beberapa hal mengenai Ashāb al-Kahfi, kemudian Nabi
memberikan pernyataan bahwa jawaban akan diberi besok. Tindakan ini
dinyatakan salah karena sudah mendahului tindakan Allah. Dengan
tindakan ini Nabi Muhammad SAW mendapatkan teguran yaitu wahyu
tidak turun selama 15 hari.2 Hingga turun dengan mendapatkan teguran
melalui QS. al-Kahfi [18]: 23-24.
Dengan melihat teks ayat ini, Nabi Muhammad SAW sendiri
memberikan pernyataan bahwa Ia adalah Manusia biasa. Sebagaimana
dijelaskan pada QS. al-Kahfi [18]: 110
فمن كان ی رجوا لقاء رب هۦ ا إل هكم إل ه و احد لكم یوحى إلی أن
ا أن بشر م ث قل إنا ف لی عمل عمل ص لحا ول یشرك بعبادة رب هۦ أحد
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya".
Dan QS. al-Fussilāt [41] 6
ا إل هكم إل ه و احد ف ٱستقیموا إلیه وٱست غفروه لكم یوحى إلی أنا أن بشر م ث قل إن وویل ل لمشركی
2 Sebagian kelompok mengatakan 40 hari. Lihat, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr
Fakhr al-Rāzi al-Musytahir Bi al-Tafsīr al-Kabīr Wa Mafātih al-Ghaib (Beirut: Dār al-
Fikr, 2008), juz 21, 109.
3
Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang
Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan
mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-
orang yang mempersekutukan-Nya.
Pada kasus teks ayat ini Nabi Muhammad SAW memberikan
pernyataan bahwa beliau hanya manusia biasa yang pastinya tidak
mengetahui hal yang eskatologi (ghaib) maka pertanyaan mengenai
Ashāb al-Kahfi dan Dzulkarnain, Nabi Muhammad SAW tidak bisa
menjawab.3 Ketika Nabi Muhammad SAW memberikan pernyataan
bahwa beliau manusia biasa itu sebabnya Nabi bisa melakukan
kesalahan. Hanya saja para Ulama memberikan klasifikasi bahwa
kesalahan yang dilakukan Nabi hanyalah kesalahan kecil saja.
Dari hasil cerita ini, Nabi Muhammad SAW pernah melakukan
kesalahan dengan alasan Allah memberikan teguran bahwa itu perbuatan
yang salah. maka peneliti mengkorelasikan pada penelitian kajian tafsir
QS. ‘Abasa [80] 1-16, sebagai pijakan untuk melakukan penelitian. Pada
kasus ini Nabi juga mendapat teguran akibat bermuka masam kepada
salah seorang bernama Ibn Maktūm. Ketika itu Nabi Muhammad SAW
sedang duduk berhadapan dengan al-Walīd b. al-Mughīrah beserta
pemuka-pemuka Quraisy. Ketika itu Nabi Muhammad SAW sedang
menjelaskan hakekat ajaran Islam yang didakwahkan kepada mereka. Di
saat Nabi sedang berbicara itulah datang ‘Abdullāh b. Ummi Maktūm
yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tapi sayangnya Nabi
Muhammad SAW tidak merespon pertanyaan ‘Abdullāh b. Ummi
Maktūm sebab Rasulullah tetap larut dalam pembicaraannya menjelaskan
3 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr al-Qursyī al-Dimasyqī Abū al-Fidā’ ‘Imād al-Dīn
(773H), Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm Tafsīr Ibn Katsīr. (t.t: Dār Tayyibah, 2008), juz 9,
205.
4
Islam kepada para pemuka Quraisy. Secara langsung Nabi Muhammad
SAW terusik oleh suara Abdullāh b. Ummi Maktūm yang berulang-
ulang menyerunya. Seketika itu Nabi Muhammad SAW bermuka masam
kepada Ummi Maktūm. Pada kasus ini turunlah QS. ‘Abasa [80]: 1-16
sebagai teguran Nabi Muhammad SAW. 4 Dari kedua kasus ini, ketika
dikaitkan dengan konsep Ma’ṣūm, ada dua hal yang harus diperhatikan
pertama, bahwa Ma’ṣūm itu bisa tidak terjadi kepada Nabi Muhammad
SAW secara fisik sebab Nabi Muhammad SAW juga manusia biasa yang
bisa saja melakukan kesalahan. Kedua, Nabi tidak akan melakukan
kesalahan diluar ma’sūm lahiriyyah (batin) seperti berubah akidah.
Konsep iṣmah (maksum) terjadi perbedaan di kalangan dalam
mendefinisikannya. Perbedaan ini mempengaruhi sikap dalam
menginterpretasikan ayat-ayat terkait tentang kemaksuman Nabi
Muhammad SAW. Bagi kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Nabi
Muhammad SAW bisa saja terjadi melakukan kesalahan dosa kecil
asalkan tidak melakukan dosa besar. Sedangkan bagi kelompok Syi’ah,
bagi mereka Nabi Muhammad SAW terjaga dari melakukan dosa kecil
maupun dosa besar. Perbedaan ini kemudian penulis melakukan analisis
terhadap kedua tokoh mufasir dari kedua golongan ini terkait ayat Nabi
Muhammad SAW bermuka masam.
4 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr al-Qursyīal-DimasyqīAbū al-Fidā’ ‘Imād al-Dīn
(773H), Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm Tafsīr Ibn Katsīr, (Dār Tayyibah, 2008) juz 14 h.
246. Lihat, Muhammad b. Ahmad al-Anshārīal-QurtubīAbū ‘Abdillah, Jāmi’ li Ahkām
al-Qur’an Tafsīr al-Qurtubī(Mu’assasah al-Risālah 2006) juz 22 h. 69 . lihat, Fakhr al-
Dīn al-Rāzī, Tafsīr Fakhr al-Rāzi al-Musytahir bi al-Tafsīr al-Kabīr Wa Mafātih al-
Ghaib (Beirut: Dār al-Fikr, 2008), juz 31, 55.
5
Pada penelitian ini penulis ingin mengkomparatifkan interpretasi
kedua tafsir yaitu tafsir Ibn Katsīr dan tafsir Ṭabaṭaba’ī. Di dalam tafsir
Ibn Katsīr berpendapat secara implisit bahwa Nabi Muhammad SAW
memang benar bermuka masam dengan argumentasi riwayat dari Ibn
Maktūm5, sedangkan Ṭabaṭaba’ī di dalam tafsir al-Mizan ia lebih tidak
sepakat bahwa Nabi bermuka masam sebab itu bukanlah sifat dari Nabi
Muhammad SAW. Adapun argumen yang dihadirkan adalah riwayat
yang dianut oleh Syi’ah, bahwa yang bermuka masam bukanlah Nabi
tetapi dari seseorang laki-laki yang duduk d sampingnya Ummi Maktūm,
dan argumentasi lainnya yaitu Nabi Muhammad SAW tidak akan
berakhlak yang buruk sebab Nabi Muhammad SAW merupakan makhluk
Allah yang berakhlak yang mulia,6 sebagaimana ditemukan QS. al-
Qalam [68]: 4
وإنك لعلى خلق عظیم Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Pada penelitian ini, akan membahas studi komparatif antara tafsir
Ibn Katsīr yang beargumentasi pro terhadap bahwa Nabi Muhammad
SAW bermuka masam, dan sebaliknya tafsir al-Mizan sebagai
kontradiktif terhadap interpretasi bahwa Nabi Muhammad SAW bermuka
masam.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, terdapat masalah
yang akan dibahas di dalam penelitian ini yaitu:
5 Ismā’il b. ‘Umar b. Katsīr al-Qursyīal-DimasyqīAbū al-Fidā’ ‘Imād al-Dīn
(773H), Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm Tafsīr Ibn Katsīr. (Dār Tayyibah, 2008) juz 14, 246. 6 Al-‘Allāmah al-Sayyid Muhammad Hayyin Ṭabaṭaba’ī, al-Mizan Fī Tafsīr al-
Qur’an. (Libanān-Mu’assasah al-‘’Ama li Matbū’ah, 1997) juz 20, 223.
6
1. Perbedaan pandangan Mufassir dalam menginterpretasikan Nabi
Muhammad bermuka Masam pada QS. ‘Abasa [80]: 1-16
2. Bagaimana kedua mufasir menyikapi Nabi bermuka masam
dalam segi ideologi yang berbeda.
3. Konsep Ma’ṣūm menurut tafsir Ibn Katsīr
4. Konsep Ma’ṣūm menurut tafsir Ṭabaṭaba’ī.
C. Batasan dan Perumusan Masalah
Dari sekian banyak penulisan ilmiah tentang kajian QS. ‘Abasa
[80] 1-16, penulis membatasi dengan membahas tentang kajian tafsir
komparatif ayat-ayat al-Qur’an Nabi Muhammad SAW bermuka masam
pada QS. ‘Abasa [80]: 1-16
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana
penafsiran dalam tafisr Ibn Katsīr dan tafsir al-Mizan Ṭabaṭaba’ī
terhadap QS. ‘Abasa [80]: 1-16?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang
mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Memahami gambaran dari pandangan mufasir mengenai ayat-
ayat Nabi Muhammad SAW bermuka masam pada QS. ‘Abasa
[80]: 1-16.
2. Memahami posisi Muhammad SAW Sebagai Nabi dan sebagai
manusia biasa.
3. Memahami pemikiran kedua tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an
Sedangkan kegunaannya, yaitu sebagai berikut :
1. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan keilmuan
khususnya dalam bidang tafsir
7
2. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-mudahan
dapat dijadikan sebagai kontribusi penulis bagi pengembangan
literatur di bidang kajian tafsir konservatif maupun
kontemporer.
E. Tinjauan Pustaka
Sebelum mengadakan penelitian, maka meninjau kepustakaan perlu
dilakukan agar menjadi jelas sejauh mana pembahasan pustaka tersebut.
selain itu agar penelitian ini terhindar dari plagiasi.
Telaah pustaka yang akan dibahas yaitu literatur-literatur yang
membahas seputar interpretasi dan maksud tujuan dari QS. ‘Abasa [80]:
1-16. Adapun beberapa literatur yang membahas ini, di antaranya:
1. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Sanusi yang berjudul “Pola
Interaksi Guru dengan Murid dalam Al-Qur’an Kajian Tafsir
Surat Abasa Ayat 1-10 Menurut Para Mufassir”. Di dalam
skripsi ini dijelaskan hubungan guru dengan murid dalam proses
belajar mengajar merupakan faktor yang sangat menentukan.
Bagaimana baiknya bahan pelaajran yang diberikan dan
sempurnanya metode yang digunakan, namun jika interaksi guru
dengan murid tidak harmonis, maka dapat menciptakan suatu
hasil yang tidak dinginkan, karena guru harus menjadi contoh
yang baik semua orang, begitu juga sebaliknya dengan Nabi.7
2. Skripsi yang ditulis oleh Sri Widayati berjudul “Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak dalam Al-qur’an (Telaah Surat ‘Abasa Ayat
1-10)”. Dalam pembahasan skripsi ini penulis menjelaskan
bahwa begitu pentingnya memelihara dan memperhatikan
7 Ahmad Sanusi, Pola Interaksi Guru dengan Murid dalam Al-Qur’an Kajian
Tafsir Surat Abasa Ayat 1-10 Menurut Para Mufassir. Skripsi Uin Sunan Ampel
Surabaya.
8
Akhlak terutama di dalam dunia pendidkan, agar setidaknya
manusia terhindar dari dunia-dunia yang tidak baik. Penjabaran
di skripsi ini menjelaskan konsep nilai-nilai pendidikan akhlak
dalam islam dengan mengambil konsep yang di dalam surat
abasa 1-10. Konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat
abasa 1-10 tersebut adalah : 1. Memberikan penghargaan yang
sama. Walau pun yang datang itu adalah seorang kakek yang
buta. 2. Tidak berpikir negatif terhadap orang lain. 3. Bersikap
cermat dan berhati-hati dalam mengambil suatu tindakan.8
3. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Irwan berjudul “Pola Interaksi
Guru Dengan Murid Dalam Al-Qur'an Surat Luqman Ayat 12-19 Dan
Surat ‘Abasa Ayat 1-10” yang menjelaskan bahwa bagaimana pola
interaksi yang benar dilakukan oleh seorang guru kepada murid.
Bahwasanya seorang pendidik seharusnya memiliki kompetensi-
kompetensi (sifat dasar pendidik), antara lain meliputi bijaksana,
penuh kasih sayang, demokratis, mengenal murid dan
memahami kejiwaaannya, berpengetahuan luas, memahami
materi, sabar dan ikhlas. Sedangkang sikap peserta didik yang
harus dimiliki antara lain: Patuh, tabah, sabar, punya kemauan
atau cita-cita yang kuat serta tidak putus asa dan bersungguh-
sungguh dalam mencari ilmu, sopan santun, rendah diri dan
hormat pada guru, dan tugas utama seorang anak didik adalah
belajar. Fokus dalam penulisan skripsi ini adalah kajian tafsir
surat Luqman ayat 12- 19 dan surat ‘Abasa ayat 1-10. Jadi,
pendekatan yang dipergunakan dalam kajian ini adalah
8 Sri Widayati, Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-qur’an (Telaah Surat
‘Abasa Ayat 1-10). Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan IAIN Salatiga 2016
9
pendekatan tafsir. Metode penafsiran yang penulis gunakan
adalah metode maudhui (tematik) dan metode tahlili (telaah).9
4. Dede Hilman Firdaus dkk, yang berjudul “Implikasi Pedagogik
dari al-Qur’an surat abasa 1-10 terhadap tindakan guru dalam
menghadapi heterogonitas Murid”. Dalam pembahasn jurnal
yang dibuat oleh dede dkk, menjelaskan bahwasannnya
bagaiamana prilaku seorang guru yang ingin menjadi seorang
pendidik pada muri-muridnya. Sebagai pendidik guru
merupakan panutan bagi murid sehingga bisa memberikan
teladan yang baik dan panutan kepada siswanya. Oleh karena itu
guru harus bersifat adil terhadap siswanya, terlepas dari status
sosial, ekonomi dan rasial. Dalam hal ini penulis mengambil
esensi dari Surat Abasa ayat 1-10. Dimana disitu disampaikan
bahwa nabi tidak boleh bermuka masam ketika ada orang yang
datang ingin belajar. Dan tidak boleh memilih-milih siapa yang
akan didahului.
5. Skripsi yang ditulis oleh Lilis Mukhlisoh, “Nilai-Nilai
Pendidikan Moral dan Social dalam Al - Qur’an Surat ‘Abasa
1-10”, Penulisan skripsi ini untuk mengetahui nilai-nilai yang
terkandung dalam al qur’an surat A’basa 1-10 yaitu, nilai moral
dan sosial yang dijadikan sebagai tuntunan dalam kehidupan.
Nilai moral dan sosial merupakan nilai yang paling penting bagi
kehidupan, baik sebagai makhluk pribadi, makhluk tuhan,
maupun makhluk sosial. Nilai moral dan sosiala merupakan nilai
yang digunakan dasar sebagai tuntutan dan tujuan dalam
kehidupan manusia, berdasarkan analisis data diperoleh
9 Ahmad Irwan Irfany, Pola Interaksi Guru Dengan Murid Dalam Al-Qur'an
Surat Luqman Ayat 12-19 Dan Surat ‘Abasa Ayat 1-10, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013
10
simpulan bahwa dalam al qur’an surat abasa ayat 1-10 tedapat
nilai-nilai kependidikan moral dan sosial.10
6. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Sanjaya “Nilai-nilai Moral
yang Bisa Diambil dari Surah ‘Abasa”. Di dalam skripsi ini
penulis lebih fokus kepada nilai-nilai moral dalam keseharian
dalam hidup dikaitkan dengan kandungan isi ayat ‘Abasa, dan
penulis juga membahas kandungan ayat 1-10 dan pengaplikasian
nya dalam kehidupan sehari-hari. 11
Setelah menelaah beberapa literatur diatas, penulis belum
menemukan penelitian mengenai kajian tafsir Nabi bermuka masa pada
QS. ‘Abasa [80]: 1-16. Maka penulis ingin meneliti mengenai tema
tersebut.
F. Metode Penelitian
Dalam penulis ini, penulis menguraikan tentang metode yang
digunakan untuk menyelesaikan penelitian. Metode yang digunakan
adalah kualitatif yang di dalamnya berisikan tentang metode pendekatan,
metode pengumpulan data, dan metode pengolahan data serta analisis
data.
1. Metode Pendekatan
Objek penelitian dalam kajian ini adalah ayat al-Qur’an. Oleh
karena itu, penulis menggunakan metode pendekatan
Pemahaman al-Qur’an. Yakni melihat bagaimana interpretasi
10 Lilis Mukhlisoh, “Nilai-Nilai Pendidikan Moral dan Social dalam Al-Qur’an
Surat ‘Abasa 1-10”, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah Unisnu
(Universitas Islam Nahdlatul Ulama’) Jepara Tahun Ajaran 2013-2014. 11 Ahmad Sanjaya, “Nilai-nilai Moral yang Bisa Diambil dari Surah ‘Abasa”
UIN Sunan Ampel Surabaya 2014
11
dan pemahaman tentang QS. ‘Abasa [80]: 1-16 dalam tafsir Ibn
Katsīr dan al-Mizan Tabataba’i
2. Metode Pengumpulan Data
Mengenai pengumpulan data, digunakan penelitian kepustakaan
(library research), yakni menelaah referensi atau literatur-
literatur yang terkait dengan pembahasan, baik yang berbahasa
asing maupun yang berbahasa Indonesia. Penelitian ini
menyangkut ayat al-Qur’an, maka sebagian besar kepustakaan
dalam penelitian ini adalah Kitab Suci al-Qur’an serta kitab
tafsir. Dan beberapa buku serta artikel-artikel terkait sebagai
penunjangnya.
Sebagai dasar rujukan untuk menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an
yang diperlukan dalam membahas skripsi ini penulis
menggunakan tafsir Ibn Katsīr dan Ṭabaṭaba’i
3. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Agar mendapatkan bahasan yang akurat, maka untuk mendapatkan
data yang diperoleh, penulis menggunakan metode pengolahan
dan analisis data yang bersifat deskriptif-analitis dan komparatif,
yaitu penelitian yang menuturkan dan menganalisa yang
pelaksanaannya tidak hanya terbatas pada pengumpulan data,
tetapi meliputi analisis dan interpretasi data kemudian dengan
mengkomparasikan kedua interpretasi data. Pada bagian ini
penulis akan menganalisa interpretasi QS. ‘Abasa [80]: 1-16
dalam tafsir Ibn Katsīr dan tafsir al-Mizan Ṭabaṭaba’ī.
G. Sistematika Penulisan
Sebagaimana layaknya sebuah penelitian ilmiah, maka penelitian
ini penulis susun dengan sistematika sebagai berikut:
12
Bab pertama, Pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang
penelitian, pokok masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua Tafsir Ibn Katsīr serta kitab al-Mizan Ṭabaṭaba’ī. Pada
bab ini membahas tentang profil pengarang, pendidikan, karya-karya,
gambaran umum kedua tafsir, metodologi penafsiran dan corak
penafsiran.
Bab ketiga Tinjauan Sifat-sifat Nabi yang ideal. Pada bab ini
membahasa seputar akhlak mulia seorang Nabi dan moralitas yang
menjadi repsentatif dari Nabi untuk menjadi Uswah Hasanah bagi
umatnya.
Bab keempat Interpretasi dalam kitab Ibn Katsīr dan al-Mizan
Ṭabaṭaba’ī QS. ‘Abasa [80] 1-16. Pada bab ini memaparkan penjelasan
di antara kandungan makna QS. ‘Abasa [80] 1-16, membahas Asbāb al-
Nuzūl, Munāsabah dan membahas kedua mufasīr dan
mengkomparasikan kedua pendapat dengan kesimpulan peneliti.
Bab kelima menjadi akhir pembahasan yaitu penutup. Pada bab ini
akhir dari pembahasan yaitu Kesimpulan dan saran.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TAFSIR IBN KATSĪR SERTA AL-MIZAN
ṬABAṬABA`Ī
A. Biografī Ibn Katsīr
Ibn Katsīr sebagai panggilan populer di kalangan kajian tafsir.
Nama Aslinya adalah al-Imām al-Hāfīdz ‘Imād al-Dīn, Abū Fīdā’
Ismā’il b. ‘Umar b. Katsīr b. Dau’ b. Katsīr b. Zar’i al-Baṣarī Al-Qaisi
Al-Qurasyi Al-Buṡrawi Ad-Dimasyqi Asy-Syafī’i.1 Dari nama ini
beliau bersuku Qurasy yang tinggal di daerah Damaskus dan
bermadzhab fīkih Syafī’ī. Pada masa kanak-kanak, Ibn Katsīr dipanggil
dengan sebutan Ismā’il. Ia lahir di desa Mijdal dalam wilayah Busra
(Basrah), tahun 700 H./1301 M.2 Ayahnya bernama al-Khatib Syihab
al-Din ‘Amr Ibn Katsīr, beliau adalah seorang pemuka agama dalam
bidang fīqih.3
Ia ditinggal ayahnya yang menjadi yatim berumur 4 tahun. Ia juga
merupakan salah satu mufassir dan ahli hadis terbaik di masanya.
Tinggal di keluarga yang religius, sosok ayah bernama ‘Umar b. Katsīr
1 Muhammad b. ‘Alī b. Ahmad al-Dawūdī Syamsyuddīn, Ṭabāqat Al-
Mufassirīn (Libanon: Bairut, Dār al-Kitāb al-‘Alamiyyah), Juz 1, h. 110. Lihat juga
Muhammad Husain al-Dzahabī, Tafsīr wa al-Mufassirūn (Qāhirah: Maktabah
Wahbah), Juz 1, h. 173. Dan Ahmad b. ‘Alī b. Muhammad b. Hajar al-‘Asqalānī
Syihāb al-Dīn, al-Durar al-Kāminah fī A’yān al-Mi’āh al-Sāminah (Dāirah al-Ma’ārīf
al-‘Utsmaniyyah), Juz 1, 399 2 ‘Umar Ridā Kahlah, Mu’jam al-Muallafīn ( Muassasah al-Risālah), Juz 1,
283 3 Nur Faizin Maswan, Tafsir Ibn Katsir, Membedah Khazanah Klasik
(Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), Cet. Ke-1, 35
14
adalah seorang fakih, sastrawan, ahli syair, dan katib.4 Dia tinggal di
Damaskus dan belajar kepada banyak ulama di sana. Ibn Katsīr yang
juga pernah belajar di Mesir ini diakui kealimannya oleh para ulama
sezamannya maupun sesudahnya. Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan
bahwa Ibn Katsīr adalah sosok yang disibukkan dengan hadis, menelaah
matan-matan dan para rijalnya, memiliki ingatan yang sangat kuat dan
melahirkan karya-karya bernas di bidang ilmu al-Quran, tafsir, dan
hadis. Di antara karya yang telah dihasilkannya adalah Tafsīr al-Qur’ān
al-‘Aẓīm; al-Bidāyah Wa an-Nihāyah; Jamī’ Al-Masānid, Ikhtiṣar
‘Ulūm al-Hadīṣ, Risālah Fī al-Jihād, dan lain-lain.
Dalam usia masih kecil, ia pergi ke Damaskus bersama
saudaranya untuk belajar ke beberapa ulama di sana. Di sanalah ia mulai
belajar. Guru pertamanya adalah Bahr al-Din al-Farazi (660-729
H./1261-1328 M.), tidak lama setelah itu ia berada di bawah pengaruh
Ibn Taimiyah (w. 728 H./1328 M.), untuk jangka waktu cukup panjang.
Sebagian ulama menganggap beliau sebagai salah seorang murid Ibn
Taimiyah yang paling setia dan paling gigih mengikuti pandangan
gurunya dalam masalah fīqih dan tafsir, sampai-sampai beliau
mengidentikkan diri dengan gurunya dalam masalah talak tiga dengan
satu lafaz.
Di antara guru-gurunya adalah Syaikh Burhanuddīn Ibrāhīm
‘Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) terkenal dengan Ibn al-Farkah,
syaikh Kamāl al-Dīn b. Qādī Syuhbah, Isa b. Muth’im, syekh Ahmad b.
Abī Thālib al-Muammari (w. 730), Ibn Asākir (w. 723), Ibn Syayrazi,
4 Ahmad b. ‘Alī b. Muhammad b. Hajar al-‘Asqalānī Syihāb al-Dīn, al-Durar
al-Kāminah fī A’yān al-Mi’āh al-Sāminah (Dāirah al-Ma’ārīf al-‘Utsmaniyyah), Juz
3, 261
15
Syaikh Syamsuddin al-Dzahabi (w. 748), Syaikh Abū Mūsa al-Qurafī,
Abu al-Fatah al-Dabusi, Syaikh Ishāq b. al-Amadi (w. 725), Syaikh
Muhamad b. Zurad. Kemudian dia juga berguru kepada Syekh
Jamaluddin Yūsuf b. Zaki al-Mizzī (w. 742).
Pada usia muda, ia telah menyelesaikan hafalan al-Qur’an,
dilanjutkan memperdalam ilmu qirā’at, dari studi tafsir dan ilmu tafsir
dari Syaikh al-Islam b. Taimiyah (661-728 H.). Di samping ulama lain,
metode penafsiran Ibn Taimiyah menjadi bahan acuan pada penulisan
tafsir Ibn Katsīr. Dalam bidang tafsir ia diangkat menjadi guru besar
oleh gubernur Mankali Bugha di Masjid Ummayah Damaskus.5
Selama hidupnya Ibn Katsīr didampingi seorang istri yang
dicintainya, bernama Zainab. Ibn Katsīr dinikahkan dengan putrinya al-
Mizzi salah satu gurunya yang mengarang kitab pengarang kitab
“Tahżīb al-kamāl” dan “Aṭrāf al-Kutūbi al-Sittah” dan dikaruniai 5
orang anak, dan seorang puteri.6 Setelah melakukan kegiatan rihlah studi
keilmuan dengan penuh perhatian yang besar dalam berbagai disiplin
dunia keilmuan, akhirnya pada tanggal 26 Sya’ban 744 H/ Februari 1373
M. Ibn Katsīr meninggal dunia di Damaskus dan dimakamkan di
pemakaman sufī, di samping gurunya Ibn Taimiyah.
Sedangkan hasil pemikiran yang dimuat dalam tulisan di
antaranya:
5 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT Ichtiar
Van Hoeve, 1994), 157. 6 Nama putrinya adalah Asmā’ yaitu seorang ahli hadis, lihat. Muhammad
b. ‘Abd al-Rahman al-Sakhāwī Syams al-Dīn, al-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl al-Qur’an al-Tāsi’ (Bairūt: Dār al-Jail, 1992) jilid 12, 6.
16
a. Bidang tafsir : Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, dikenal dengan
sebutan Tafsir Ibn Katsīr yang diterbitkan pertama kalinya di
Kairo pada 1342 H./1923 M. Fada’il al-Qur’an, yang berisi
ringkasan sejarah al-Qur’an.7
b. Bidang hadis: Kitab Jami’ al-Masanad wa al-Sunnah, Takhrij
al-Hadits Adillah al-Tanbih li ’Ulum al-Hadits, al-Kutub al-
Sittah. al-Takmilah fī Ma’rifat al-Sighat wa al-Du’afa wa al-
Mujahil, dan Syarh Sahih al-Bukhari.
c. Bidang fīqih: al-Jihad fī Talab al-Jihad, al-Siyasah al-
Syar’iyyah Kitab al-Ahkam, kitab fīkih yang berisikan referensi
pada al-Qur’an dan al-Hadis. al-Ahkam ’ala Abwab al-Tanbih,
kitab ini merupakan kritik dan komentar dari kitab al- Tanbih
karya al-Syirazi.
B. Biografī Ṭabaṭaba`ī
Ṭabaṭaba’ī adalah nama yang populer bagi penulis kitab al-Mizan
fī Tafsir al-Qur’an seorang ulama terkemuka pada masanya. Nama
lengkapnya adalah Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī.8 Penisbatan
Ṭabaṭaba’ī ini adalah merujuk pada kakeknya, yakni Ibrahim Ṭabaṭaba’ī
bin Ismail al-Dibaj.9 Nasab beliau dari Jalur bapak sampai pada Imam
Hasan al-Mujtaba, sedangkan dari jalur ibu sampai pada saudaranya
Imam Hasan, yakni Imam Husain, oleh karena itu, beliau memiliki
7 Nur Faizin Maswan. Tafsir Ibn Katsir; Membedah Khazanah Klasik
(Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), cet. Ke-1, h. 42 8 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizan fī Tafsir al-Qur’an, hlm. A 9 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizan fī Tafsir al-Qur’an, A.
17
nisbat nama lengkap Muhammad Husain al-Hasani al-Husaini al-
Ṭabaṭaba’ī.10
Beliau lahir pada akhir 1321 H, tepatnya pada 29 Dzulhijjah 1321
H atau bertepatan dengan 1892 M. Beliau asli keturunan Iran ( waktu itu
masih menggunakan nama persia) tepatnya di desa Shadegan, Propinsi
Tibriz atau Tabriz (propinsi yang pernah dijadikan sebagai ibu kota pada
Dinasti Safawi). Beliau lahir dari keluarga ulama keturunan Nabi yang
selama 14 generasi telah menghasilkan ulama-ulama yang terkemuka di
Tibriz, termaksud Ṭabaṭaba’ī sendiri.11
Ṭabaṭaba’ī juga mendalami kulifīkasi fīlsafat Islam tradisional, al-
Sifā oleh Ibnu Sina, Asfār oleh Mulla Shadra dan Tamhīd al-Qawā’id
oleh Ibnu Turkah dan Sayyid Husain Badkuba’i. Ia juga murid dari
Sayyid Abul Hasan Jilwah dan Aqa’ ‘Ali Mudarris Zanusi dari Teheran.
Ia telah mencapai tingkat ilmu Ma’rifah dan Kasyyaf. Beliau
mempelajari ilmu ini dari seorang guru besar Mirza ‘Ali al-Qādhi.12
Kemudian Ṭabaṭaba’ī meninggal dunia di Aban pada tanggal 18
Muharram 1412 H / 1981 M.13
Ia juga mendalami kajian ilmu Fīqih dalm Ushul Fīqih, dalam hal
ini ia berguru kepada Muhammad Husain al-Na’ini dan Syekh
Muhammad Husain al-Kambani, sedang fans ilmu falsafah beliau
10 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, Tafsir al-Bayan fī al-Muwafaqah baina al-
Hadis wa al-Qur’an (Lebanon: Beirut), 21 11 Sayyid Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, Inilah Islam, Upaya Memahami
Seluruh Konsep Islam Secara Mudah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), cet II, 15 12 Sayyid Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, Inilah Islam; Upaya Memahami
Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, 17. 13 Sayyid Husein Nasr, kata pengantar, dalam Thabathaba‟i, Islam Syi’ah,
(Bandung: Mizan, 1990), 8.
18
belajar kepada Sayyid Husain al-Badakubi. Beliau juga belajar ilmu
riyadhoh kepada Sayyid Abi Qasim al-Khunisari, dan fans ilmu akhlaq
kepada Syekh Mirza Ali al-Qadhi.14 Tidak tercatat ada guru lain di luar
Syi’ah yang membimbing keilmuan beliau. Dalam perjalanan
keilmuannya, Ṭabaṭaba’ī tidak pernah jauh dari negerinya Iran. Kota-
kota di Iran seperti Qum, Tibriz dan Teheran adalah di antara kota yang
turut membentuk karakter keilmuannya hingga memiliki pandangan
yang berpengaruh kepada masyarakat Syi’ah di Iran.15 Ṭabaṭaba’ī
mewakili dari golongan ulama dan intelektual dari ulama syiah yang
memiliki pengaruh besar. Ia telah mengabungkan perhatian dalam
bidang fīkih dan tafsir al-Qur’an dengan fīlsafat juga teosofī yang
mewakili satu penafsiran tentang Syi’ah yang lebih universal. Dalam
golongan tradisional, Ṭabaṭaba’ī mempunyai penguasaan yang sangat
menonjol baik mengenai pengetahuan syari’at maupun lahiriyah dan
sekaligus beliau seorang fīlosof muslim tradisional terkemuka.16
Setelah mempelajari ilmu naqliyah dan aqliyah, karena peran dan
pengaruh sangat penting dalam pendidikan maka perlu disebutkan
nama-nama beberapa gurunya. Beliau belajar Fīqh dan Ushul Fīqh
kepada Mirza Muhamad Husain Na’ini dan Syeikh Muhammad Husain
Isfahani. Kepada mereka berdua, Ṭabaṭaba’ī belajar selama sepuluh
tahun sehingga ia sangat menguasai bidang ini. bahkan menjadi seorang
mujtahid yang terkenal dan berpengaruh dalam bidang sosial politik.
14 Ahmad Fauzan, Manhaj Tafsir al-Mizan Fī Tafsir al-Qur’an Karya
Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, Al-Tadabbur, Vol. 03, No. 2 Oktober 2018, 122. 15 Khairunnas Jamal. (2011). Pengaruh Pemikiran Husain Ṭabaṭaba’ī dalam
Tafsir al-Mishbah‛, Jurnal Ushuluddin Vol. XVII, No. 2, 20. 16 Muhammad Husein Ṭabaṭaba’ī. (1993)), Islam Syi’ah; Asal Usul dan
Perkembangannya (Jakarta: PT. Temprint), 19
19
Pada waktu bersamaan Ṭabaṭaba’ī juga mempelajari bidang gramatika,
sintaksis, retorika baik itu ushul fīqh, mantiq, fīlsafat serta teologi.
Sehingga kajian itu menutup kajian bacaannya dalam bidang selain
fīlsafat dan ilmu keruhanian.
Akan tetapi, hal itu bukan jalan hidupnya. Dia sangat tertarik
kepada ilmu ’aqliyah. Dia belajar dengan penuh ketekunan cabang ilmu
ini yang pada jantungnya terdapat fīlsafat Islam. Dia mulai mencari
guru-guru tertbaik dalam bidang ini, yaitu orang-orang yang telah
melestarikan kehidupan fīlsafat Islam di Iran. Dia mengkaji al-Syifā
karya Ibnu Sina, Asfar karya Mulla Shad al-Din al-Syirazi, Tamhīd al-
Qawāid karya Ibnu Turkah dan Tahdzīb al-Akhlāq karya Ibnu
Maskawaih. Literatur fīlsafat tersebut dipelajarinya di bawah bimbingan
seorang fīlosof terkemuka saat itu, Sayyid Husain Badkuba’i. Di
samping itu, dia mengkaji matematika tradisional dengan guru Sayyid
Abu al-Qasim Khawansari.
Bersamaan dengan masa-masa di Tabriz, pecahlah Perang Dunia
II. Perang Dunia ini membawa akibat buruk di Iran. Oleh karena itu,
Ṭabaṭaba’ī pindah ke kota Qum pada tahun 1946, tepatnya desa
Darakah, sebuah desa kecil di sisi pegunungan dekat Teheran, di tempat
inilah Ṭabaṭaba’ī menghabiskan musim panasnya, menyingkir dari
panas. Di kota Qum ini, ia mulai aktif dalam aktivitas keilmuan sampai
dengan wafatnya. Beliau wafat pada waktu subuh hari Ahad tanggal 18
Muharram pada tahun 1402 H, dan dimakamkan di daerah Qum Pada
tahun 1412 H / 1981 M.17 ketika ia pindah ke kota Qum ia menjadi
17 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī. (2006)), Tafsir al-Bayan fī al-Muwafaqah
baina al-Hadis wa al-Qur’an, 24.
20
pengajar di kota suci itu, sebagai seorang mujtahid, ia menitikberatkan
pada pegajaran Tafsir al-Qur‟an, Fīlsafat dan Tasawwuf. Dengan ilmu
yang luas dan penampilannya yang sangat sederhana, membuatnya
mempunyai daya tarik khusus bagi muridnya. Beliau menjadikan ajaran
Mulla Shadra sebagai kurikulum penting.
Aktivitas keilmuan Ṭabaṭaba’ī, memberikan identifīkasi bahwa
dia telah meberikan pengaruh besar bagi kehidupan intelektual di Iran.
Beliau telah mencoba meweujudkan suatu intelektual baru diantara
kelompok- kelompok yang berpendidikan modern. Kelompok elit baru
tersebut akan diperkenalkan dengan intelektualitas Islam seperti juga
dengan dunia modern. Banyak mahasiswanya yang berhasil tampil
sebagai tokoh intelektual gemilang. Sebagai seorang mufassir besar dan
fīlosuf sekaligus sufī, ia telah mencetak murid-muridnya menjadi ulama
yang intelektual seperti Mutahhari seorang Guru Besar di Universitas
Teheran dan Sayyid Jalāluddin Asytiyāni seorang Guru Besar di
Universitas Masyhad.18
Telah diketahui bahwa Ṭabaṭaba’ī merupakan tipe ulama atau
intelektual Syiah kontemporer yang mengusai berbagai cabang ilmu.
Ṭabaṭaba’ī merupakan salah satu ulama yang ahli dalam bidang tafsir
dengan latar belakang ajaran Syi’ah semasa menutut ilmu, maka sedikit
banyak beliau memasukkan dan membawa ajaran Syi’ah ke dalam
tafsirnya.19 Tetapi tafsirnya ini tidak hanya tersebar di kalangan muslim
Syi’ah, namun juga tersebar luas di kalangan muslim Sunni. Di antara
18 Ṭabaṭaba’ī, Tafsir al-Mizan; Mengupas Ayat-Ayat Kepemimpinan, (Jakarta:
CV. Fīrdaus, 1991), I-II 19 Khairunnas Jamal. (2011). Pengaruh Pemikiran Husain Ṭabaṭaba’ī dalam
Tafsir al-Mizan, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII, No. 2, 204.
21
faktor penyebab diterimanya tafsir ini di kalangan muslim Sunni adalah
karena tafsir ini mengutamakan penggunaan sumber bi al-ma’sur
sebagai sumber penafsirannya. Ciri-ciri dalam tafsir Syiah memiliki
penafsiran dan penekanannya yang menjadikan cabang tafsir ini
memiliki khas serta beberapa karakteristik yang menonjol dalam
perkembangannya. Salah satu prinsip penting dalam tafsir Syiah adalah
bahwa al-Qur’an harus terlihat selalu memiliki relevansinya atau
memungkinkan penerapannya bagi orang-orang dan keadaan-keadaan
tertentu. Prinsip lainnya menyiratkan kegandaan makna seperti muhkam
dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, dhahir dan batin, dan ta’wil dan
tanzil.20
Metode dan corak penafsiran Syi’ah juga beragam, apabila
dibatasi membatasi pembicaraan pada cabang Syi’ah maka yang
terpenting seperti Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiah (Syi’ah Itsna
Asyariyah dan Syi’ah Ismailiyah). Kedua kelompok Syi’ah ini masih
memiliki pengikut dan pendukung sampai saat ini. Kaum Syi’ah Itsna
Asyariyah sekalipun menyeleweng, namun memiliki banyak tokoh-
tokoh pengarang tafsir yang kitab-kitabnya memenuhi perpustakaan
Islam. Begitu juga dengan Syi’ah Zaidiyah, mereka juga memiliki
tokoh-tokoh tafsir yang kitab-kitabnya telah diakui oleh Ahlu Sunnah,
seperti kitab tafsir karya Imam Syaukani yaitu Fathul Qadir. Metode
penafsiran yang dilakukan oleh Syi’ah Itsna Asyariyah adalah selalu
berupaya sekuat tenaga untuk menyesuaikan ayat-ayat Allah SWT
dengan prinsip-prinsip mereka. Umpamanya saja tentang masalah
imamah, mereka tidak hanya mencukupkan diri dengan perkataan yang
20 Mahmud Ayub (1991), Qur’an dan Para Penafsirnya (Jakarta: Pustaka
Fīrdaus), 51
22
meyakinkan serta nash-nash dari Rasulullah SAW mengenai keimaman
Ali dan imam-imam selanjutnya, tetapi mereka juga berusaha
menundukkan ayat-ayat Allah s.w.t. kepada pendapat tentang wajibnya
keimaman Ali setelah Rasulullah s.a.w. secara langsung tanpa
terputus.21
Sedangkan pandangan mereka mengenai pengertian tafsir bi al-
ma’tsur adalah keterangan-keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an
itu sendiri, mengenai ayat-ayatnya, apa-apa yang dikutip dari Rasulullah
SAW, serta apa-apa yang dikutip dari imam-imam dua belas. Menurut
mereka, ucapan-ucapan para Imam yang maksum termasuk dalam
kategori sunnah. Ucapan-ucapan para imam dianggap sebagai hujjah
dan tak ubahnya seperti perkataan Nabi Muhammad SAW karena
mereka berbicara dengan bimbingan dari Rasulullah SAW sebagaimana
Nabi berbicara (menyampaikan agama) dan dibimbing oleh Allah
SWT.22 Adapun metode penafsiran yang digunakan oleh Syi’ah
Ismailiyah di dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan menyatakan
bahwa, al-Qur’an itu mempunyai dua makna, yaitu makna lahir dan
makna batin. Sedangkan yang dikehendaki adalah makna batinnya,
karena yang lahir itu sudah cukup dimaklumi dari ketentuan bahasa.
Adapun nisbat antara yang batin dan yang lahir itu adalah seperti isi
dengan kulitnya.23
21 Mahmud Basuni Faudah (1987), Tafsir- tafsir Al- Quran Pengenalan dengan
Metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka), 135 22 Mahmud Basuni Faudah (1987), Tafsir- tafsir Al- Quran Pengenalan dengan
Metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka), 136. 23 Mahmud Basuni Faudah (1987), Tafsir- tafsir Al- Quran Pengenalan dengan
Metodologi Tafsir, 221.
23
Prinsip-prinsip dasar Syi’ah ini meliputi 5 hal, yakni tauhid
(penegasan akan keEsaan Allah), nubuwwah (yang berahir dengan Nabi
Muhammad s.a.w. dan al-Qur’an sebagai Risalah Allah yang terakhir),
ma’ad (kehidupan di akhirat), ‘adl (keadilan Allah), dan imamah.24
Penguasaannya terhadap berbagai cabang ilmu tersebut terlihat
dari berbagai karya-karya yang ditulisnya yang di antaranya
sebagaimana tercamtum dalam muqodimah al-Mizan di antarnya:
1. Ushūl al-Falsafah
2. Bidāyah al-Hikmah fī al-Falsafah
3. Ta’liqāt ‘Ala Kitab al-Asfar fī al-Falsafah li al-Fīlosūf
4. Ta’liqāt ‘ala Kitab Ushul al-Kafīy
5. Risalah fī al-Asmā’ wa al-Shifat
6. Risalah fī al-I’tibarāt
7. Risālah al-I’jaz
8. Risālah fī al-Af’al
9. Risalah fī al-Insan ba’d al-Dunya
10. Risalah fī al-Insān fī al-Dunya
11. Risālah fī al-Insan Qabl al-Dunya
12. Risālah fī al-Burhān, Risālah fī al-Tahlāl
13. Risālah fī al-Tarkīb
14. Risālah fī al-Dzat
15. Risālah fī ‘Ilmu al-Imam
16. Risalah fī al-Quwwah wa al-Fī’l
17. Risālah fī al-Mustaqat
18. Risālah fī al-Mughalatah
24 Waryono Abdul Ghafur (2008), Millah Ibrahim dalam Al-Mizan fī tafsir al-
Qur’an (Yogyakarta: Bidang Akademik), 75.
24
19. Risālah fī al-Nubuat wa al-Manamat
20. Risālah fī Nadmi al-Hukm
21. Risālah fī al-Wahy
22. Risālah fī al-Wasā’it
23. Risālah fī al-Wilāyah
24. Risālah fī al-Islām
25. Al-Qur’an fī al-Islām
26. Al-Mar’ah fī al-Islām
27. Mandzumah fī Qawā’id al-Khath al-Farizy
28. Al-Mizān fī Tafsir al-Qur’an.
Ṭabaṭaba’ī juga seorang pengarang dan penulis berbagai artikel
yang hadir selama dua puluh tahun belakangan dalam jurnal-jurnal
Maktaba Tasyayyu’, Maktab Islāmi, Ma’ārif Islām dan dalam koleksi-
koleksi seperti The Mulla Sadra Commermoration Volume dan
Marja’iyyāt wa Ruhanīyāt.
C. Karakteristik Tafsir Ibn Katsīr dan Ṭabaṭaba’ī
1. Metodologi Tafsir Ibn Katsīr dan Ṭabaṭaba’ī
Dalam kajian tafsir ada beberapa metode yang digunakan
para ulama tafsir, sebagaimana yang diregulasikan oleh al-
Farmawi, metode penafsiran diklasifīkasikan menjadi empat
bagian antaranya: Ijmālī, Tahlilī, Muqaran, dan Maudhū’ī25.
Dalam tafsir Ibn Katsīr tendensius menggunakan metode
analitis (tahlili). Metode tahlili juga banyak digunakan oleh
karya-karya tafsir yang besar, di antaranya kitab Tafsir al-
Ṭabari, Tafsir Ruh al-Ma’ani, Tafsir al-Maraghi dan lain-lain.
25 Abū al-Hayy Al-Farmawī, al-Bidayah Fī ala Tafsir al-Mauḍu’iy (Mesir :
Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), 25.
25
Penulis berkesimpulan bahwa metodologi tafsir Ibn Katsīr
dipandang dari segi tafsirnya termasuk dalam kategori tahlili,26
yakni, metode analitis yang menginterpretasikan ayat-ayat al-
Qur’an dengan menjelaskan segala aspek yang terkandung di
dalam ayat-ayat yang di tafsirkan serta menerangkan makna-
makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian
hegemoni dan tendensius mufasir yang menafsirkan ayat-ayat
tersebut.27
Sedangkan metodologi yang digunakan dalam tafsir al-
Mizān Ṭabaṭaba’ī tidak jauh beda dengan tafsir Ibn Katsīr.
Penulis menyimpulkan bahwa tafsir al-Mizān karya Ṭabaṭaba’ī
juga tendensius menggunakan metode tahlili. Metode tahlili
yang diterapkan Ṭabaṭaba’ī dalam menafsirkan al- Qur’an
terlihat jelas. Ṭabaṭaba’ī menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam
ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-
makna yang tercakup diantaranya pengertian kosa kata, sebab-
sebab turunnya, konotasi kalimatnya, kaitannya dengan ayat-
ayat yang lain serta kaitannya dengan pendapat sahabat, tabi’in
dan ahli tafsir lainnya.
2. Corak Tafsir Ibn Katsīr dan Ṭabaṭaba’ī
26Metode Tahlili, Berasal dari حلل-يحل ل, Tahlili yang berarti mengurai atau
menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan
bacaan yang terdapat dalam Al-Qur’an Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi’i
(parsial). Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an Al-Karīm, V, (pengantar). 27Nashirudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta:Pustaka
pelajar,2000), Cet. II, 31.
26
Biasanya untuk mengetahu corak penafsiran, terlebih
dahulu kita harus mengetahu isi kandungan ketika menafsirkan
ayat, apakah dihegemonikan dengan Fīqhī, ilmī, Adabī,
Tabiyah, Sufīstik, dan lainnya. Menjadikan hegemonitas ketika
menafsirkan maka akan mempengaruhi di dalam penafsiran.
Tafsir Ibn Katsīr disepakati oleh para ahli termasuk dalam
kategori Tafsir al- Ma’tsur. Kategori atau corak Ma’tsur yaitu
penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadis
Nabi yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasakan
sulit atau penafsiran dengan hasil ijtihad para sahabat, atau
penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in.28
Sedangkan corak dalam tafsir al-Mizan Ṭabaṭaba’ī
adalah Corak penafsiran kajian-kajian falsafī, ilmiah, tarikh
(sejarah), sosial dan moral (akhlak).
3. Sumber Tafsir Ibn Katsīr dan Ṭabaṭaba’ī
Dalam kajian tafsir dalam menentukan sumber tafsir secara
universal diklasifīkasikan menjadi dua bagian di antaranya:
pertama, sumber al-Riwayah yaitu sumber yang merujuk kepada al-
Qur’an, Sunnah, pendapat sahabat, pendapat tabi’in. Kedua, sumber
al-Dirāyah yaitu pendapat yang telah dikutip oleh Ibn Katsīr dalam
penafsirannya. Sumber ini selain dari kitab-kitab kodifīkasi dari
sumber riwayah juga kitab-kitab tafsir dan bidang selainnya dari
para mutaakhkhirin sebelum atau seangkatan dengannya. Terdapat
pula pada sumber ini karya ulama mutaqaddimin.
28 Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawḍu’iy, penterjemah Suryan A.
Jamrah, (Jakarta: Rajawali pers, 1994), 13.
27
Hal ini merupakan keterbukaan Ibn Katsīr terhadap karya-karya
dari ulama mutaakhkhirin yang berorientasi ra’y. Maksudnya dia
tidak membatasi pada kutipan karya tafsir ma’tsur saja, namun juga
memasukkan pendapat para ulama tafsir yang lahir dari pengaruh
perkembangan dan kemajuan perkembangan ilmu dalam Islam.
Sumber-sumber tersebut merupakan sumber primer dalam tafsir
Ibn Katsīr Sebenarnya dapat dikatakan bahwa materi sumber ini
berasal dari sumber kedua (dirayah), karena walaupun Ibn Katsīr
hafīzh dan muhaddis yang mempunyai periwayatan hadis dan
menguasai periwayatan tentang hadis tafsir, dia cenderung mengutip
riwayat-riwayat penafsiran dari kitab-kitab kodifīkasi dari pada
menyampaikan hasil periwayatannya. Namun, karena materi
tersebut identik dengan riwayah, maka sumber-sumber tersebut
adalah sumber riwayah. Sebagai ulama mutaakhkhirin yang sudah
jauh rentang masanya dengan pemilik sumber riwayah adalah suatu
sikap yang berhati-hati dan menjaga diri apabila dia merujukan
riwayat tafsir dengan kitab modifīkasi, sekalipun menguasai
periwayatan.
Beberapa literatur yang digunakan Ṭabaṭaba’ī dalam menyusun
tafsirnya mencapai 135 judul meliputi buku, kamus, majalah dan
koran dan telah dikelompokkan oleh al-Usiy menjadi beberapa
kategori, yaitu:
a. Literatur tafsir yang beliau gunakan meliputi tafsir klasik
hingga modern dari berbagai aliran, seperti tanwirul Miqbas
yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, al-Kasysyāf karyanya
al-Zamakhsyarī, dan kitab-kitab tafsir lainnya dari berbagai
aliran.
28
b. Kamus bahasa seperti al-Shihah karya Ismail bin Hammad
al-Jauhari, Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manḋur, dan kamus-
kamus bahasa lainnya.
c. Kitab-kitab hadis dan rijalul hadis dari kalangan Sunni dan
Syiah seperti, Tahżibu al-Tahżīb karya Ibnu Hajar al-
‘Asqalani, al-Ihtijaj karya Tibrisy, dan lain-lain.
d. Kitab-kitab kitab Suci seperti Injil (perjanjian Lama dan
Baru), Avesta (kitab suci agama Zoroaster), Risalah Paulus,
Taurat, Sawa’i (salah satu kitab suci kristen Ortodok
Romawi), dan Weda.
e. buku-buku sejarah baik yang ditulis oleh orang Islam
maupun non Islam, seperti Tarikh al-Ṭabari karya Ibnu jarir
al-Ṭabari, Tarikh Tamadun Islam karya Kristor Liang, lain-
lainnya.
f. pengetahuan umum, seperti al-Umm karya al-Syafī’i, Ihya
Ulumuddin karya al-Ghazali, dan kitab-kitab lainnya. Dan
ketujuh adalah koran dan majalah yang dikutib Ṭabaṭaba’ī,
terutama mengenai beberapa peristiwa dan informasi ilmiah,
seperti koran Ithila’iyyah al-Iraniyyah, dan lain
sebagainya.29
4. Kelebihan dan kekurangan Tafsir Ibn Katsīr dan
Ṭabaṭaba’ī
Untuk melihat kelebihan dan kekurangan suatu tafsir maka cara
yang paling fundamental adalah melihat pola pikir metodologi yang
29 Ahmad Fauzan, Manhaj Tafsir al-Mizan Fī Tafsir al-Qur’an Karya
Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, Al-Tadabbur, Vol. 03, No. 2 Oktober 2018, 131.
29
diaktualisasikan dalam tafsir masing-masing. Dalam tafsir Ibn
Katsīr kelebihan bisa diklasifīkasikan beberapa poin:
a. Isi substansi tafsir tersebut tidak hanya tafsir yang
memberikan refernsi bi al-ma’tsur, yang mengakumulasikan
riwayat serta khabar. Tapi beliau juga mengakumulasikan
referensi yang lain.
b. Menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan
rahasia yang dalam dengan melihat keserasiannya,
keselarasan lafadznya, kesimetrisan uslubnya serta maksud
tujuan maknanya.
c. Menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat
dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat
tersebut dari ṣahīh dan dha’īf, dengan mengemukakan sanad
serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa
ta’dīl.30 Pada kebiasaannya dia mentarjih aqwal (pendapat)
yang sahih dan menda’ifkan riwayat yang lain.
d. Keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai
kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibn Katsīr ahli tafsir,
tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat
mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia
menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih dan
30 Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi
yang merusak sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak
riwayatnya. Sedangkan al-Adl’ secara terminology yaitu orang yang tidak memiliki
sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperawiannya. Lihat. ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul
Al-Hadits, Terj. Qodirun dan Ahmad Musyafīq. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003),
233.
30
akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat
yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunia
ataupun di akhirat kelak.
e. Jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta
menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal
kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil.
Adapun kekurangan dalam tafsir Ibn Katsīr adalah di antaranya
masih terdapat hadits dha’if dan pengulangan hadits shahih
terdapatnya sejumlah Israilliyat, sekalipun ia mengingatkanya,
namun tanpa penagasan dan penyelidikan. Di dalamnya
disebutkan juga khabar-khabar yang sanadnya tidak shahih,
kemudian tidak dijelaskan bahwa ia tidak shahih. bercampunya
yang shahih dan yang tidak shahih, dan penukilan perkataan dari
para sahabat dan tabiin tanpa isnad dan tidak konfīrmasi.
Sedangkan kelebihan tafsir Tabatab’i di antaranya adalah:
a. Dalam menafsirkan al-Qur’an dengan memberikan referensi
disiplin ilmu yang begitu banyak mulai dari yang
berhubungan dengan agama sampai dengan ilmu-ilmu
umum maka dalam penafsirannya banyak ilmu-ilmu yang
dapat menunjang dalam penafsiran ayat tersebut terhadap
Al-Qur’an itu sendiri.
b. teliti dalam menukil riwayat baik itu yang dinukil dari
Rasulullah, Sahabat, maupun dikalangan tabi’in itu sendiri.
c. mengambil sesuatu yang bermanfaat saja dalam kitab-kitab
yang lain.
31
d. melakukan tarjih atau mengungkapkan posisi pendapat
beliau setiap selesai penafsiran ayat dengan menyebutkan
alasan-alasannya.
e. hegemoni ideologi dipengaruhi oleh Syi’ah akan tetapi
penafsirannya untuk memperkuat posisi syi’ah itu tidak
terlalu karena ia juga membanding-bandingkan dengan
Sunni.
Adapun kelemahan Tafsir al-Mizan di antaranya:
a. tidak menyebutkan sanad hadis secara sempurna akan tetapi
cukup menyebut sumber pertamanya meskipun terkadang
menyebutnya hadis yang terkait dengan fadhilah-fadhilah
surah tidak disebutkan.
b. fanatisme terhadap ideologi aqidah Syi’ah.
c. dalam tafsirnya lebih banyak merujuk kepada pendapat dan
kitab-kitab para ulama Syiah.31
31 Ahmad Fauzan, Manhaj Tafsir al-Mizan Fī Tafsir al-Qur’an, 131-132.
30
BAB III
TINJUAN SIFAT IDEAL NABI MUHAMMAD SAW
A. Akhlak Mulia Seorang Nabi
Derivasi Akhlak berakar kata dari خلق yaitu budi pekerti, tingkah
laku dan moral.1 Secara terminologi (istilah), di dalam ensiklopedi Islam
akhlak didefinsikan sebagai keadaan yang melekat pada jiwa manusia
yang darinya lahir suatu perbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses
pemikiran, pertimbangan, atau penelitian. Menurut Anis Matta, akhlak
adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar
dalam jiwa, kemudian tampak dalam bentuk perbuatan dan perilaku yang
bersifat tetap, natural atau alamiah tanpa dibuat-buat, serta refleks.2
Menurut Imam al-Ghazali (w. 450 H) akhlak diartikan sebagai:
اخللق عبارة عن هيئة يف النفس الراسخة عنها تصدر األفعال بسهولة و يسر من غري حاجة ايل فكر وروية
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan
tindakan-tindakan dengan mudah dan tidak memerlukan pemikiran atau
pertimbangan (terlebih dahulu).3
Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, mendefenisi tentang akhlak
sebagai:
اعتاد ت شيأ فعادهتا عرف بعضهم اخللق أبنه عادة اإلرادة يعين أن اإلرادة اذا هي املسماة ابخللق
Ia mnjelaskan bahwa: sebagaian kelompok mmberikan definisi
akhlak, bahwa yang disebut akhlak merupakan suatu kehendak yang
1 Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), 11. 2 Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam (Jakarta: Al-‘Itishom Offset,
2006), cet.III, 14.
3 Imam al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dūn (Mesir: Isa Bab al-Halaby, tt.), Juz 3, 53.
31
dibiasakan. Artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu
dinamakan akhlak.4
Dari diktum definisi yang dijelaskan sebelumnya, hemat penulis
akhlak adalah tindakan atau perbuatan manusia yang bersumber dari sifat-
sifat yang telah menjadi karakter kebiasaan di dalam jiwanya, baik itu
perbuatan baik (terpuji) atau perbuatan buruk (tercela). Adapun klasifikasi
akhlak terdiri dari dua bagian, di antaranya akhlak karimah atau akhlak
mahmudah (terpuji) dan akhlak mazmumah (tercela). Akhlak mahmudah
merupakan salah satu tanda kesempurnaan iman yang dimanifestasikan ke
dalam perbuatan sehari-hari dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang
sesuai dengan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah. Sifat terpuji, sebagaimana digambarkan dalam beberapa ayat di
dalam al-Qur’an seharusnya menjadi identitas hamba-hamba Allah SWT
pada umat ini. Mereka seharusnya menerima seruan Allah melalui ayat-
ayat al-Qur’an, mendengarkan dan menyaksikan, yang pada gilirannya
dari sanalah titik awal pergerakan mereka.5 Selain itu, dengan
mengaktualisasikan akhlak terpuji ini dapat membantu kita mendapatkan
kesempurnaan hidup, diantaranya mencakup sifat jujur, melakukan
kebaikan, merealisasikan amanah, menepati janji, tawadu, berbakti kepada
orang tua.
Sedangkan akhlak madzmumah merupakan akhlak yang
bertentangan dengan akhlak mahmudah yaitu melakukan perbuatan atau
tindakan yang tercela yang dapat merusak keimanan seseorang dan
menjatuhkan derajatnya sebagai manusia.6
4 Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, 13. 5 Syaikh Muhammad al-Ghazali, Berdialog Dengan Al-Qur’an, terj (Bandung:
Mizan, 1996), cet. I, 16. 6 Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 247.
32
Adapun ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang akhlak yaitu
dalam QS. al-Nahl [16]: 90
هى عن ٱلفحشاء وٱلمنكر و حسـن وإيتاى ذی ٱلقرب ويـنـ مر بٱلعدل وٱإلٱلبـغی إن ٱلل ی
يعظكم لعلكم تذكرون Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Ayat ini memberikan interpretasi tentang akhlak mahmudahi, seperti
berbuat adil (al-adl), melakukan kebajikan (al-ihsān). Sedangkan larangan
melakukan tindakan akhlak madzmumah, seperti larangan membuat
kemungkaran (al-munkar), larangan berbuat dengki (al-Baghy), dan
larangan berbuat keji (al-fahsyā’).
Sedangkan ayat-ayat yang menceritakan tentang karakteristik
akhlak, dijelaskan dalam QS. Alī ‘Imran [3] 159
ن ٱلل لنت لم ولو كنت فظا غليظ ٱلقلب لٱنفضوا من حولك فٱعف فبما رحة مهم وٱستـغفر لم وشاورهم فی ٱألمر فإذا عزمت فـتـوكل على ٱلل إن ٱلل یب عنـ
ٱلمتـوكلی Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya.
Ayat ini memberikan informasi mengenai karakteristik akhlak yang
harus diaktualisasikan, pertama, seseorang hendaknya bersikap lemah
lembut yang diambil dari derivasi لنت yang artinya lemah lembut dan belas
33
kasih. Kedua, saling memaafkan yang diambil dari drivasi ayat هم .فٱعف عنـ
Ketiga, setelah merealisasikan sikap lemah lembut dan saling memaafkan,
maka tindakan setelahnya adalah melakukan musyawarah. Secara
fundamen, melakukan musyawarah adalah suatu sikap yang bisa
menyelesaikan permasalahan secara bersama dalam mengambil keputusan
atau mencari jalan keluar untuk mencapai konsesus atau saling setuju.
Keempat, setelah ketiganya sudah diaktualisasikan, apapun yang terjadi
dengan yang telah kita lakukan makan sikap terakhirnya adalah
bertawakkal kepada Allah.
B. Nabi Muhammad Sebagai Representatif Uswah Hasanah
Uswatun Hasanah merupakan dua derivasi apabila dipisah maka
bentuknya أسوة dan حسنة. Pertama derivasi uswah diartikan sebagai قدوة
yaitu teladan, panutan dan contoh7. Kata uswah bisa dibaca dengan men-
dammah-kan hamzah dan bisa juga dibaca iswah dengan membaca kasrah
pada huruf hamzah. Kedua qira’at ini merupakan mutawattir. Kata ini bisa
jadi merupakan kata jadian (masdar) dari asā-ya’sū-aswan-asan.8 Kedua
derivasi hasanah yang merupakan akumulasi dari huruf ن-س-ح diartikan
sebagai kebaikan yang merupakan antonym dari kata قبح (kejelekan).9
Kedua derivasi ini apabila diakumulasikan dengan bentuk idhāfah,10
maka memiliki makna keteladanan yang baik. Uswah hasanah apabila
dikaitkan dengan kepribadi Nabi Muhammad SAW maka memiliki dua
7 Maqāyis fī al-Lughah, juz. 1, 105. 8 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
juz 7, 639. 9 Maqāyis fī al-Lughah, juz. 2, 57. 10 Idhafah adalah kata yang bersandar. Di dalam gramatika bahasa Indonesia yaitu
sama dengan bentuk kata majemuk campuran. Lihat Muhammad Thalib, Sistem Cepat
Belajar Bahasa Arab (Jogjakarta: Media Hidayah, 2009), 39.
34
fungsi yaitu, pertama dalam arti kepribadian secara totalitasnya adalah
teladan. Kedua, dalam arti terdapat dalam kepribadian yang patut
diteladani. Keteladanan berasal dari kata dasar “teladan” yang berarti
sesuatu atau perbuatan yang patut ditiru atau dicontoh.
Uswah hasanah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW juga
dilakukan pula oleh Nabi Ibrahim dan para pengikutnya. Keteladanan
merupakan bahan utama dalam kehidupan bahkan menumbuh karakter
keteladanan dibidang pendidikan, karena mendidik bukan sebatas
penyampaian materi saja, melainkan membangun karakter dalam setiap
jiwa peserta didik. Dalam al-Qur’an kata teladan direpresentatif dengan
kata uswah yang kemudian diberi sifat di belakangnya seperti sifat
hasanah yang berarti baik sebagai bentuk aktualisasi secara faktual.
Sehingga terdapat ungkapan uswatun hasanah yang artinya teladan yang
baik. Kalau dipandang dari ketokohan yang mendapat predikat uswatun
hasanah adalah Nabi Muhammad SAW yang didelegasikan langsung
dengan pernyataan Allah dalam al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan QS. al-
Ahzab [33] 21
اخر وذكر ٱلل لقد كان لكم فی رسول ٱلل أسوة حسنة لمن كان ـ يـرجوا ٱلل وٱليـوم ٱل كثريا
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dalam hal ini, Ibn Katsīr, menjelaskan bahwa ayat ini merupakan
argumentasi pokok yang paling besar yang menganjurkan kepada semua
umat agar meniru Rasulullah SAW dengan semua ucapan, perbuatan, dan
sepak terjangnya. Karena itulah Allah SWT memerintahkan kepada
kelompok Islam agar meniru sikap Nabi Muhammad SAW dalam perang
35
ahzab, yaitu dalam hal kesabaran, keteguhan hati, kesiagaan, dan
perjuangannya serta tetap menanti jalan keluar dari Allah SWT.
Hemat penulis, keteladanan yang baik dari Nabi Muhammad
dijadikan sebagai metodologi Islam. Metode ini menjadi penting karena
berkaitan dengan tanggung jawab moral khususnya umat Islam. Cara yang
terbaik memberikan edukasi tentang keteladan baik adalah dimulai dari
pendidikan. Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari
sejumlah metode yang paling ampuh dan efektif dalam mempersiapkan
dan membentuk anak secara moral, spiritual, dan sosial. Sebab, seorang
pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah
laku dan sopan santunnya akan ditiru, disadari atau tidak, bahkan semua
keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam
bentuk ucapan, perbuatan, hal yang bersifat material, inderawi, maupun
spiritual. Memang yang mudah bagi pendidik adalah mengajarkan
berbagai teori pendidikan kepada anak, sedangkan yang sulit bagi anak
adalah mengaktualisasikan teori tersebut jika orang yang mengajar dan
mendidiknya tidak pernah meimplementasikan perbuata keteleadanan
yang tidak sesuai dengan ucapannya. Jadi yang dimaksud dengan
keteladanan dalam pengertiannya sebagai uswatun hasanah adalah suatu
cara mendidik, membimbing dengan menggunakan contoh yang5baik
yang diridhai Allah SWT sebagaimana yang tercermin dari prilaku
Rasulullah dalam bermasyarakat dan bernegara. Bukan hanya dilihat dari
pendidikan akademisi antara guru dengan murid tapi orangtua dengan
anak, pemimpin dengan rakyatnya, dan lain sebagainya.11
11 Iskandar, Konsep Uswah Hasanah dalam al-Qur’an (kompetensi Personality),
JIPSA, Vol. 15, No. 30, Desember 2015, 83-85.
36
Perlu diketahui bahwa Allah SWT mendelegasikan Nabi
Muhammad SAW agar menjadi teladan dan panutan bagi seluruh manusia
secara umum dan secara khusus bagi umat Islam dalam merealisasikan
sistem pendidikan Islam. Setiap prilaku Rasulullah SAW dalam kehidupan
sehari-hari merupakan prilaku Islami yang bersumber dari Al-Qur’an
bahkan ucapan yang bersumber dari Nabi Muhammad merupakan wahyu
dan bisa dijadikan pijakan argumentasi agama sebagaimana dijelaskan di
dalam QS. al-Najm [53] 3-4
وما ينطق عن ٱلوى إن هو إل وحی يوحى “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).”
Ayat ini dapat disimpulkan bahwa ucapan Nabi Muhammad SAW
bukanlah hawa nafsu. Melainkan wahyu yang dapat dijadikan sebagai
argumentasi yang dikenal dengan istilah Sunnah.
Bahkan Aisyah r.a. sendiri pernah berkata bahwa akhlak beliau
adalah Al-Qur'an. Dengan demikian sebagai muslim, hendaknya
menjadikan Rasul sebagai suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena keagungan keteladanan yang sempurna hanya dimiliki Rasulullah
pembawa risalah abadi, kesempurnaannya menyeluruh dan universal, baik
yang berhubungan dengan masalah ibadah, atau yang menyangkut
kepatuhan atau kesabaran. Ini semua perlu diteladani dengan harapan agar
kita menjadi manusia yang bermental islami yang seluruh aspek
kejiwaannya didasari dengan nilainilai luhur Al-Qur'an dan Hadits.
Bagaimana tips mendidik ala Nabi saw, setidaknya ada tiga cara
bagaimana mendidik anak menurut Nabi SAW, yaitu: Metode mendidik
dengan memberi keteladanan (perbuatan), metode yang berpengaruh
terhadap akal, metode yang berpengaruh terhadap kejiwaan.
37
Rasulullah merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin
beliau ajarkan melalui tindakannya, kemudian menterjemahkan
tindakannya ke dalam katakata. Bagaimana memuja Allah, bagaimana
bersikap sederhana, apa yang beliau katakan tentang kejujuran, keadilan,
toleransi, bagaimana duduk dalam sholat, do'a, dan lain sebagainya.
Semuanya ini beliau lakukan dulu dan kemudian baru mengajarkannya
kepada orang lain. Sebagai hasilnya, apapun yang beliau ajarkan diterima
dengan segera di dalam keluarganya dan oleh para pengikutnya, karena
ucapan beliau menembus ke dalam hati sanubari mereka.12
C. Konsep Kemaksuman
1. Defenisi Maksum
Untuk mengetahui devinisi maksum secara konkrit, maka
ada dua langkah dalam menentukan maksud dan pengertian dari
derivasi maksum. Pertama, secara etimologi, Kata maksum
merupakan bentuk ism maf’ūl dari kata عصم (‘aṣama).13
kata‘Iṣmah ditasrifkan menjadi kata ‘aṣama-ya’ṣimu-‘aṣman,
kata al-‘iṣmah dalam gramatika orang Arab bermakna mencegah,
menghalangi, menjaga dan memelihara.14 عصمت فالان, berarti aku
memelihara si Fulan. ‘Aṣama al-syai’, berarti menegakkan,
mencegah, melarang sesuatu.15
Sedangkan menurut terminologi atau secara istilah yang
dimaksud dengan ‘iṣmah adalah keterpeliharaan para rasul dari
12 Iskandar, Konsep Uswah Hasanah dalam al-Qur’an, 89. 13 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), 939. 14 Maqāyis al-Lughah, juz 4, h. 331. Lihat pula. Ibnu Manzur, Lisān al-‘Arab
(Beirut: Dār Ṣādir, 1410 H), Juz XII, 403-404. 15 Maqāyis al-Lughah, juz 4, 331.
38
sifat-sifat dan perbuatan yang tercela. Secara umum yaitu
mencegah, berpegang teguh dan memelihara. Jadi Al-‘Ishmah
merupakan penjagaan Allah yang khusus diberikan kepada orang-
orang yang telah mencapai derajat tertentu. Mereka adalah para
Nabi, karena mereka tidak melakukan dosa bahkan tidak tergores
sedikitpun di dalam hati dan pikiran untuk berbuat dosa dan
kesalahan yang dilarang agama.16
Menurut ‘Abd al-Razzāq, ‘iṣmah adalah berpegang teguh
dengan Allah dengan meninggalkan segala hal yang dilarang
oleh-Nya. Sedangkan derivasi ma’ṣum adalah orang yang
berpegang teguh dengan Allah dengan segala hal yang
dilarangnya. Ia juga berpendapat bahwa ‘iṣmah adalah ‘itiṣam
billah yaitu dari segala dilarang olehnya.17
Di antara sikap yang menjadi representatif seorang Nabi
yang memiliki kemaksuman ialah Nabi Muhammad SAW yang
telah dijaga oleh Allah SWT sejak sebelum diangkat menjadi
rasul. Masa Islam datang, kesalahan yang dilakukan oleh orang-
orang masa itu menyembah berhala-berhala. Penyembahan ini
tidak pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW, ini membuktikan
kemaksuman Nabi telah terbukti ketika ia belum diangkat
menjadi Nabi dan Rasul. Semua riwayat menunjukkan pada
kenyataan bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar terpelihara
dari pemujaan berhala hanya saja yang diharapkan Allah SWT
akan melindungi seseorang yang Dia pilih sebagai rasul terakhir-
Nya untuk umat manusia, yang menyampaikan kepada mereka
risalah paripurna yang didasarkan pada keesaan Allah SWT yang
16 Ahsin W. Al-Hafīdz, Kamus Ilmu Alquran (Jakarta: Amzah, 2012), 123. 17 ‘Abd al-Razzāq al-Dhairawī, Bahtsu Fī ‘Iṣmah (Anṣār al-Imām al-Mahdi,
2011), 63.
39
mutlak menentang pemujaan terhadap berhala, bahkan sejak
mudanya.18
Dengan adanya diktum konsep ‘ismah, Nabi Muhammad
SAW dipandang sebagai seorang yang maksum (dilindungi Allah
SWT dari kesalahan). Konsep ini juga memiliki rujukan dari
riwayat-riwayat Salah satu riwayat yang paling populer
mendukung konsep ini adalah cerita di mana Nabi Muhammad
SAW dibelah dadanya lalu disucikan hatinya. Kisah ini
ditemukan dua kali, yaitu ketika Nabi Nuhammad SAW masih
dalam usia kanak-kanak dan sekali lagi ketika Nabi Muhammad
SAW hendak melaksanakan perjalanan Isrā’ Mi’rāj. Sebab, bila
Nabi Muhammad SAW adalah orang yang tidak terpelihara dari
kesalahan dan dosa, bagaimana ia dapat dipastikan
menyampaikan sesuatu yang benar yang bersumber dari yang
Maha Benar. Oleh karena itu, Nabi SAW sudah dipastikan
sebagai figur yang telah diberikan kemaksuman dari keterjagaan
dalam melakukan kesalahan baik itu dosa kecil maupun dosa
besar.19
Menurut Ibn Katsir, iṣmah adalah memelihara, menolong
dan mendukung Nabi sehingga tidak satupun keburukan yang
datang kepada nabi-nabi-Nya. Ibn katsir lebih condong kepada
memelihara dari gangguan fisik sebagaimana ia menafsirkan QS.
al-Mā’idah [5]: 67. Sedangkan pemeliharan dari dosa bagian dari
internal individu lebih menekankan terhindar dari dosa besar
18 M. A. Salahi, Muḥammad Man and Prophet, Terj. M. Sadat Ismail
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2010), 39. 19 Maizuddin, Tipologi Pemikiran Hadis Modern Kontemporer (Banda Aceh: Ar-
Raniry Press dan Lembaga Naskah Aceh, 2012), 95.
40
sebagaimana yang dianut oleh kelompok Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah.20
Sedangkan menurut Tabataba’ī ‘iṣmah adalah
terpeliharanya seorang nabi dari melakukan dosa besar dan dosa
kecil. Perbedaan yang sangat signifikan dari defenisi iṣmah
Tabataba’ī yang dipengaruhi oleh golongan Syi’ah, sehingga
iṣmah tidak hanya berlaku untuk para nabi dan rasul tetapi juga
bagi para imam dan wāsī (pemberi wasiat) mereka. Adapun dalil
yang dijadikan hujjahnya QS. al-Ahzāb [33]: 33. Menurut
Tabataba’ī, ayat ini ditafsirkan bahwa Allah senantiasa
memberikan kamu anugrah ‘iṣmah, dengan menyingkirkan
keyakinan yang batil dan dampak perbuatan yang buruk dari
kamu, wahai ahlul bait. Dan Allah menghendaki sesuatu yang
dapat menghilangkan pengaruh yang jelek, itulah ‘iṣmah.21
2. Ayat-ayat Tentang Kemaksuman
Derivasi kata ‘iṣmah diambil dari akar kata م -ص -ع
ditemukan sebanyak 13 tempat di dalam al-Qur’an dengan makna
yang beragam.22 Penulis menyusun dengan mengkategorikan
berdasarkan periodisasi turunnya ayat-ayat al-Qur’an secara
universal yang diklasifikasikan dengan menjadi dua, yaitu yang
turun di Mekah dan Madinah atau yang disebut dengan istilah
20 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr (Libya:
Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), jilid V, 277-288. 21 Muhammad Husain Tabataba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an (Libanan: Bairut, 1997),
juz 16, 331. 22 Muhammad Fu’ad ‘Abd Baqī’, al-Mu’jām al-Mufahras li al-fādh al-Qur’ān al-
Karīm, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t. tt), 463.
41
Makiyyah dan Madaniyyah. Tentang istilah Makki dan Madani
sendiri, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan batasan
mengenai ayat-ayat makkiyah dan madaniyyah. Ada yang
berpendapat berdasarkan masa turunnya yaitu dengan
berargumentasi ayat-ayat Makiyyah adalah ayat-ayat yang
diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, dan ayat-ayat
Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Rasulullah
hijrah ke Madinah. Adapun yang berpendapat berdasarkan tempat
diturunkannya yaitu Makiyyah adalah ayat-ayat yang turun di
Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah
dan Madaniyyah merupakan ayat-ayat yang turun di Madinah dan
sekitarnya, seperti Uhud, Quba’ dan Sil. Adapun yang
berpendapat berdasarkan sasaran (seruan)nya yang dituju oleh
dialog ayat-ayat al-Qur’an.23
Pertama, kategori priodesasi makkiyah di antaranya:
a. QS. Yunūs [10] 27
ن ٱلل ما لم مات جزاء سيئة بثلها وتـرهقهم ذلة وٱلذين كسبوا ٱلسيـ
ك أصحـب عاصممن ن ٱليل مظلما أولـى ا أغشيت وجوههم قطعا م كأن ٱلنارهم فيها خـلدون
“Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat)
balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak
ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah,
seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan
malam yang gelap gelita. Mereka itulah penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.”
b. QS. Hūd [11] 43
23 Manna Khalil Al-Qattān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Bogor: PT. Pustaka Litera
Antar Nusa, 2013), 83-85.
42
اوی إل جبل يـعصمنی من ٱلماء قال ل عاصم ٱليـوم من أمر ال سـ قنـهما ٱلموج فكان من ٱلمغرقی ٱلل إل من رحم وحال بـيـ
Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke
gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata:
"Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain
Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi
penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk
orang-orang yang ditenggelamkan.
c. QS. Yusūf [12] 32
ن ل يـفعل ودته ۥ عن نـفسه فٱستـعصم ولى لكن ٱلذی لمتـننی فيه ولقد ر قالت فذ
ن ٱلصـغرين ما ءامرهۥ ليسجنن وليكوان م
“Wanita itu berkata: "Itulah dia orang yang kamu cela aku
karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah
menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan
tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati
apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan
dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang
yang hina.”.
d. QS. al-Hajj [22] 78
لة وجـهدوا فی ٱلل حق جهاده ين من حرج م هو ٱجتـبىكم وما جعل عليكم فی ٱلد
ر يم هو سىكم ٱلمسلمی من قـبل وفی هـذا ليكون ٱلرسول شهيدا ه أبيكم إبـ
بٱلل هو وٱعتصموا عليكم وتكونوا شهداء على ٱلناس فأقيموا ٱلصلوة وءاتوا ٱلزكوة
عم ٱلنصري مولىكم فنعم ٱلمول ون
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah
menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi
43
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-
baik Penolong.”
e. QS. Ghāfir [40] 33
فما لهۥ من هاد ن ٱلل من عاصم ومن يضلل ٱلل يـوم تـولون مدبرين ما لكم م
“(yaitu) hari (ketika) kamu (lari) berpaling ke belakang, tidak
ada bagimu seorangpun yang menyelamatkan kamu dari (azab)
Allah, dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada
baginya seorangpun yang akan memberi petunjuk.”
Kedua, kategori priodesasi madaniyyah di antaranya:
a. QS. Alī ‘Imran [3] 101 dan 103
لى عليكم ءايـت ٱلل وفيكم رسولهۥ ومن يـعتصم بٱلل فـقد وكيف تكفرون وأنتم تـتـ
م يمستق ط ل صر هدی إ
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-
ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada
di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh
kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi
petunjuk kepada jalan yang lurus.”
يعا ول تـفرقوا وٱذكروا نعمت ٱلل عليكم إذ كنتم أعداء وٱعتصموا ببل ٱلل ج
ٱلنار فأنقذكم من حفرة شفا على وكنتم ان فألف بی قـلوبكم فأصبحتم بنعمته إخو
ها كذ نـ تدون ك ل م لكم ءايـته لعلكم هت ٱلل يـبی
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
44
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.”
b. QS. Al-Nisā’ [4] 146 dan 175
ك مع ٱلمؤمنی ىإل ٱلذين ت بوا وأصلحوا وٱعتصموا بٱلل وأخلصوا دينـهم لل فأولـ
ٱلمؤمنی أجرا عظيم وسوف يـؤت ٱلل
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan
dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas
(mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu
adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah
akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala
yang besar.
نه وفضل ويـهديهم إليه فأما ٱلذين ءامنوا بٱلل وٱعتصموا به فسيدخلهم فی رحة م
يما مستق طا صر
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan
berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan
memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya
(surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka
kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.”
c. QS. al-Mā’idah [5] 67
يـأيـها ٱلرسول بـلغ ما أنزل إليك من ربك وإن ل تـفعل فما بـلغت رسالتهۥ وٱلل
ل يـهدی ٱلقوم ٱلكـفرين يـعصمك من ٱلناس إن ٱلل
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-
Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang kafir.”
45
d. QS. al-Ahzāb [33] 17
ن ٱلل إن أراد بكم سوءا أو أراد بكم رحة ول ل من ذا ٱلذی يـعصمكم م ق
ا ول نصريا یدون لم من دون ٱلل ولي
“Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari
(takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau
menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik
itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong
selain Allah.”
e. QS. Mumtahanah [60] 10
أعلم بمیـنهن فإن ف ت كم ٱلمؤمنـت مهـجر يـأيـها ٱلذين ءامنـوا إذا جاء ٱمتحنوهن ٱلل
م ول هم یلون لن علمتموهن مؤمنـت فال تـرجعوهن إل ٱلكفار ل هن حل ل
تموهن أجورهن ول وءاتوهم ما أنفقوا ول جناح عليكم أن تنكحوهن إذا ءاتـيـ
ـ لوا ما أنفقتم وليسـ لوا ما أنفقوا ذ كم حكم لكم تسكوا بعصم ٱلكوافر وس ٱلل ی
عل نكم وٱلل يم حكيم بـيـ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-
orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini
mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar
yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar
yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang
46
ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”
3. Klasifikasi iṣmah (maksum)
Perlindungan atau terpeliharanya Nabi bukan hanya
berkaitan dosa tetapi iṣmah (maksum) juga bisa berkaitan yang
lainya di antaranya:
a. berkaitan dengan akidah atau keyakinan. Seluruh aliran dalam
Islam sepakat bahwa seorang Rasul maksum dari berbuat
kekufuran dan melakukan perbuatan bid’ah.24 Namun
sekelompok dari golongan Khawārij berpendapat bahwa
seorang rasul mungkin saja berbuat kekufuran, hal ini karena
dilandasi oleh pendapat mereka bahwa Rasul bisa saja
melakukan dosa dan seluruh dosa menurut mereka adalah
termasuk dalam kekafiran. Di sisi lain, seorang Rasul boleh
menyatakan kekufuran demi sebuah taqiyah menurut golongan
Rafidhah.25 Terpeliharanya mereka dari berbuat syirik dan
kufur (sebelum dan sesudah menjadi Rasul) ini tentu adalah
sesuatu yang harus dimiliki oleh para Rasul, karena jika
sampai seorang Rasul tidak dipelihara oleh Allah dari
kemusyrikan tentu ini akan menjadikan risalah yang diemban
kepada mereka menjadi tidak relevan dengan apa yang mereka
sampaikan kepada umatnya untuk tidak berbuat kesyirikan.
b. Terpelihara dalam menyampaikan risalah. Allah SWT telah
memberikan pemeliharaan kepada para rasul dari sisi ini agar
24 Bid’ah berasal dari akar kata bada’a, yang memiliki berbagai derivasi. Di
antaranya bid’un dengan kata kerja idtada’a artinya, membuat dan memulai sesuatu.
Sedangkan al-bid’atu artinya sesuatu yang baru (al-H}adats). Lihat Ibn Manzūr, Lisān al-
‘Arab (Lebanon: Dār al-Kitab al-Ilmiyah, 2009), 6. 25 Fakhruddīn al-Rāzi,‘Iṣhmah al-‘Anbiyā’ (Kairo: Maktabah al-Saqāfah al-
Diniyyah, 1986), 41.
47
risalah yang disampaikan sempurna, tanpa mengalami
pengurangan dan penyimpangan. Mereka tidak lupa sama
sekali apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka,
kecuali sesuatu yang mansukh dan Allah telah menjamin bagi
Rasul-Nya untuk membacakannya maka ia tidak lupa sama
sekali apa yang telah diwahyukan kepadanya, kecuali yang
dikehendaki oleh Allah untuk melupakannya sebagaimana
dijelaskan di dalam QS. al-‘Ala [87]: 6-7
إنه يـعلم ٱلهر و إل ما شاء ٱلل
فى سنـقرئك فال تنسى ما ی
“Kami akan membacakan kepdamu (wahai rasul), al-qur’an ini
dengan bacaan yang kamu tidak lupa, Kecuali apa yang Allah
kehendaki dimana hikmah-Nya menuntut melupakannya
karena kemashlahatan yang dia ketahui.sesungguhnya allah swt
mengetahui perkataan dan perbuatan yang ditampakkan dan
yang disamarkan.”
Untuk menguat argumentasi ini, ada beberapa ayat yang
mendukung hal ini yaitu dijelaskan di dalam QS. al-Najm [53]:
3-4
وما ينطق عن ٱلوى إن هو إل وحی يوحى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
c. Hal yang berkaitan dengan syari’at dan hukum-hukum Allah.
Semua aliran dalam Islam sepakat bahwa seorang rasul
terpelihara dari melakukan penyelewengan dan pengkhianatan
terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah baik
secara sengaja ataupun dalam keadaan lupa.26
26 Tesis Maksum, 52.
48
d. Hal yang berkaitan dengan memberikan diktum fatwa. Hal ini
juga disepakati oleh seluruh aliran dalam Islam bahwa seorang
Rasul dipelihara dari memberikan fatwa yang keliru dengan
cara sengaja. Adapun jika kekeliruan tersebut terjadi
dikarenakan lupa maka terdapat perbedaan pendapat dalam
menyikapi hal tersebut.27
e. Terpelihara dari melakukan dosa kecil. Terjadi kontradiktif
perbedaan ulama dari mazhab yang berbeda pada
permasalahan ini. Golongon Syi’ah lah yang paling sepakat
dengan pendapat ini. Seperti apa yang dikonsepkan oleh Al-
Murtadha Nabi dan Rasul itu terlepas dari dosa kecil ataupun
dosa besar sebelum dan sesudah kenabian, konsep inilah
menjadi pijakan Madzhab Syi’ah hingga sekarang. Namun
menurut jumhur ulama Ahlu Sunnah Wa al-Jama’ah (Sunni)
seperti Al- Qurthubi bahwa Rasul mungkin saja melakukan
dosa-dosa kecil sekalipun di masa kerasulannya. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa dalam hal dosa kecil seorang Rasul
masih mungkin melakukannya selama dosa tersebut tidak keji.
Hal ini menurut sebagian besar golongan Mu’tazilah.28
f. Terpelihara dalam melakukan dosa besar. apabila seorang
Rasul melakukan kesalahan, maka ulama berkeyakinan bahwa
Allah SWT tidak menetapkan kesalahan yang dilakukannya,
melainkan memberikan arahan kepada seseuatu yang benar,
dan kadang yang demikian itu menghasilkan celaan.
Kesalahan yang beliau lakukan itu didasari atas ijtihad beliau
bukan karena menyenghaja, oleh karnanya hal itu tidaklah
27 Fakhruddīn al-Rāzī, ‘Iṣmah al-‘Anbiyā’, 41. 28 Fakhruddīn al-Rāzī, ‘Iṣmah al-‘Anbiyā’, 42.
49
dinamakan kemaksiatan. Adapun kelalaian dan lupa maka
kedua hal tersebut mungkin saja terjadi karena secara
fundamental ia adalah basyarī (manusia). akan tetapi ia akan
mendapatakan celaan akibat kelalaian tersebut, karena beliau
memiliki ilmu yang lebih sempurna. Maka mereka diwajibkan
untuk sangat berwaspada. Ini adalah pendapat Abu Ishaq
Ibrahim bin Siar an-Nazam. Tentu pemahaman seperti di atas
berbeda dengan apa yang dipahami oleh para ulama dari
kalangan Syi’ah yang tidak menganggap tidak mungkinnya
seorang Rasul melakukan dosa besar dan kecil secara sengaja
dan tidak juga karena takwil dan tidak juga krena lalai dan
lupa.29
29 Fakhruddīn al-Rāzī, ‘Iṣmah al-‘Anbiyā’, 42.
50
BAB IV
INTERPRETASI DALAM KITAB IBN KATSĪR DAN
ṬABAṬABA`Ī QS. ‘ABASA [80]: 1-16
A. Kajian Analisis Ayat
1. Identifikasi Ayat
Pada penelitian ini, penulis hanya menghadirkan enam
belas ayat dari QS. ‘Abasa [80]. Secara menyeluruh surah ini
memiliki ayat berjumlah 42 ayat. Alasan dinamai dengan QS.
‘Abasa [80], Menurut Wahbah al-Zuhaili dinamai dengan ‘Abasa
sebagai kalimat pembukaan bagi sifat kebiasaan manusia yang
menyelesaikan kesibukannya, kemudian ada masalah yang lain
yang mengakibatkan hilangnya fokus terhadap kesibukan
sebelumnya, maka secara qudrah (kemampuan) manusia
langsung memalingkan dengan bermuka masam.1 Surah ini juga
memiliki beragam nama seperti yang dijelaskan oleh Imam
Nawawi al-Bantani, bukan hanya ‘Abasa tetapi sebagian
kelompok menamai dengan QS. al-‘A’ma (buta) dan QS. Safrah.2
QS. ‘Abasa [80] ini memiliki pesan-pesan berbagai tema di
antaranya : mengenai akidah, pesan hikmah, akhlak, dan QS.
‘Abasa [80] ini juga mengajarkan bahwa manusia itu memiliki
egaliter di hadapan Allah yang tidak memiliki perbedaan baik itu
kaya maupun miskin. QS. ‘Abasa [80] merupakan priodesasi
1 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj (Damaskus: Dār al-FIkr, 2009), juz 15, 423. 2 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-
Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), Juz 2, 603.
51
makkiyah. Terbukti di dalam semua kitab tafsir menyebutkan
surah ini merupakan priodesasi makkiyah.3
Adapun pengertian عبس , kata ini berasal dari fi’il madhi
yaitu عبس-يعبس-عبسا (‘abasa-ya’bisu-‘absan) yang artinya
memberengut, bermuka masam. Surah ‘Abasa ini mengambarkan
bahwa Nabi Muhammad SAW (pendapat Ibn Katsīr) dan al-
‘Abbas al-Mutawāli (pendapat Ṭabaṭaba’ī) bermuka masam dan
memalingkan muka ke arah lain dari orang yang bertanya
kepadanya. Orang yang bertanya itu adalah ‘Adullah b. Ummi
Maktūm, seorang yang buta yang ingin menanyakan sesuatu
kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi karena Nabi Muhammad
SAW sedang menghadapi orang-orang penting yaitu beberapa
tokoh di antaranya: ‘Utbah b. Rabi’ah, Syaibah b. Rabi’ah, Abū
Jahal b. Hisyām, al-‘Abbās b. ‘Abd al-Muthalib, Umayyah b.
Khalaf, dan Walīd b.al-Mughīrah. Mereka ini sangat diharapkan
Nabi Muhammad SAW untuk masuk kedalam Islam agar
memperkuat posisi Islam dalam masyarakat Quraisy. Akan tetapi,
sikap Nabi Muhammad SAW tidak peduli dan memalingkan
muka dari orang dianggap tidak penting ketika berbincang
petinggi-petinggi Quraisy dibanding ‘Abdullah b. Ummi
Maktūm. Sikap Nabi Muhammad kepada Ummi Maktūm
mendapat renspon dari Allah sebagai teguran, karena Nabi
Muhammad SAW harus menjadi contoh yang baik umatnya.
Adapun ayat yang akan diteliti sebagai berikut:
3 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj, 424.
52
وت ولى العمى(1)عبس جاءه ي زىكىى(2)أن لعلىه يدريك 3)وما فعه( ف ت ن يذىكىر أو
ي زىكىى(6)فأنتلهتصدىى(5)أمىامناست غن(4)الذ كرى وأمىامن(7)وماعليكألى
اتذكرة(10)فأنتعنهت لهىى(9)وهويشى(8)جاءكيسعى إنى فمنشاء(11)كلى
كرامب ررة(15)(بيديسفرة14)(مرفوعةمطهىرة13)فصحفمكرىمة(12)ذكره
)(16
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah
datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia
ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (alasan) atasmu
kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang
yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan
pengajaran). sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu
mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya
ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barang
siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di
dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi
disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi
berbakti.”
2. Asbāb al-Nuzūl
Menurut Ibn Katsīr, sebab turunya ayat ini didapati dari
riwayat yang menceritakan Nabi Muhammad SAW sedang
berbicara dengan seorang pembesar Quraisy di antaranya: ‘Utbah
b. Rabi’ah, Syaibah b. Rabi’ah, Abū Jahal b. Hisyām, al-‘Abbās
b. ‘Abd al-Muthalib, Umayyah b. Khalaf, dan Walīd b.al-
Mughīrah. Nabi Muhammad SAW ingin sekali dari salah satu
pembesar Quraisy ini masuk kedalam agama Islam. Ketika Nabi
Muhammad SAW berbicara dengan suara yang perlahan dengan
orang Quraisy itu, tiba-tiba datanglah seorang bernama Ibn
53
‘Ummi Maktūm yang bertanya kepada Rasulullah tentang suatu
pertanyaan yang mendesak. Dan Nabi Muhammad SAW saat itu
menginginkan andaikata Ibn Ummi Maktūm dian dan tidak
menganggunya, agar Nabi Muhammad SAW dapat berbicara
dengan tamunya dari Quraisy. Sebab itulah Nabi Muhammad
SAW bermuka masam terhadap Ibn Ummi Maktūm dan
memalingkan wajah. Setelah kejadian ini maka turunlah ayat ini.4
Asbāb al-nuzūl versi Ṭabaṭaba’ī dalam kitabnya al-Mizān,
ia menghadirkan dua pendapat. Pertama, menurut riwayat
kalangan Ahl Sunnah wa al-Jama’ah ayat ini turun ketika suatu
kisah Ibn Ummi Maktūm seorang buta yang bertemu kepada
Nabi Muhammad SAW. Ketika itu Nabi Muhammad SAW
sedang fokus bicara dengan tokoh Quraisy. Kemudian Nabi
Muhammad SAW bermuka masam. Kedua, menurut riwayat
Syī’ah sebab ayat ini turun ketika seorang laki-laki bernama al-
‘Ābas al-Mutawalī dari suku Umayyah yang duduk di samping
Nabi Muhammad SAW. Kemudian masuk yang bernama Ibn
Ummi Maktūm sehingga membuat laki-laki bernama al-‘Ābas al-
Mutawalī bermuka masam dan memalingkan wajahnya.5
Hemat penulis, Ibn Katsīr lebih tendensi (condong) dengan
periwayatan Ahl Sunnah wa al-Jama’ah (sunni). Tokoh pelaku
bermuka masam adalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan Ibn
Ummi Maktūm sebagai objek. Periwayatan yang dikutip oleh Ibn
Katsīr tidak begitu lengkap. Penulis mencantumkan periwayatan
4 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr
(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 5 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an (Libanan: Bairut,
1997), juz 20, 218.
54
yang lebih lengkap dengan merujuk kepada Tafsir Kementrian
Agama RI.
Adapun penafsiran dalam Tafsir Kementrian Agama RI.
yaitu, surah ini diturunkan sehubungan dengan pristiwa seorang
yang buta bernama ‘Abdullah b. Ummi Maktūm anak paman
Khadijah. Ia termasuk di antara sahabat-sahabat Muhajirin yang
pertama masuk Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW
melaksanakan jihad dan meninggalkan kota Madinah, ia sering
ditunjuk oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjadi sesepuh kota
Madinah, mengimami shalat, dan juga sering melakukan azan
seperti Bilal. Peristiwa ini terjadi di Mekkah yaitu ketika Nabi
Muhammad SAW sedang sibuk melaksanakan seruan dakwah
Islam kepada pembesar suku Quraisy. Nabi Muhammad SAW
dengan sungguh-sungguh mengajak mereka masuk Islam dengan
harapan bahwa jika mereka telah memeluk agama Islam, niscaya
akan membawa pengaruh besar pada orang-orang bawahannya.
Di antara pembesar Quraisy yang sedang dihadapinya itu tedapat:
‘Utbah b. Rabī’ah, Syaibah b. Rabī’ah, Abū Jahal b. Hisyām, al-
‘Abbās b. ‘Abd al-Muṭalib, Umayyah b. Khalaf, dan al-Walīd b.
Al-Mughīrah. Besar sekali keinginan Nabi Muhammad SAW
untuk mengislamkan mereka itu karena melihat kedudukan dan
pengaruh mereka kepada orang-orang bawahannya.
Ketika Nabi Muhammad SAW sedang sibuk menghadapi
para pembesar suku Quraisy itu, tiba-tiba datanglah ‘Abdullah b.
Ummi Maktūm dan menyela pembicaraan itu dengan ucapannya,
“Ya Rasulullah, coba bacakan dan ajarkan kepadaku apa-apa
yang telah diwahyukan oleh Allah kepadamu.” Ucapan itu
55
diulanginya beberapa kali sedang ia tidak mengetahui bahwa
Nabi Muhammad SAW sedang sibuk menghadapi pembesar-
pembesar Quraisy itu. Nabi Muhammad SAW merasa kurang
senang terhadap perbuatan ‘Abdullah b. Ummi Maktūm, yang
seolah-olah menganggu beliau dalam kelancaran tablighnya.
Sehingga beliau memperlihatkan muka masam dan berpaling dari
padanya. Allah menyampaikan teguran kepada Nabi Muhammad
SAW yang bersikap tidak acuh terhadap ‘Abdullah b. Ummi
Maktūm. Bermuka masam dan memalingkan muka dari orang
buta itu bisa menimbulkan perasaan tidak enak dalam hati orang-
orang fakir miskin, padahal Nabi Muhammad SAW
diperintahkan oleh Allah supaya bersikap ramah terhadap
mereka. Kemudian turunlah ayat ini QS.’Abasa [80].6
Adapun Ṭabaṭaba’ī dalam mengutip periwayatan lebih
moderat dengan menghadirkan kedua aliran teologi yaitu Ahlu
Sunnah wa al-Jama’ah (sunni) dan Syī’ah. Tetapi itu hanya
ditemukan di awal pembahasan mengenai sebab turunnya ayat,
sedangkan hegemoni dan tendensius terhadap pendapat Syī’ah itu
terlihat ketika ia dalam menginterpretasi ayat. Dan ini akan
dijelaskan pada subbab berikutnya dalam pola penafsiran kedua
mufasir.
3. Munasabah
Pada akhir surah al-Nazi’āt diterangkan bahwa Nabi
Muhammad SAW hanyalah pemberi peringatan kepada orang-
orang yang takut kepada hari kiamat. Pada permulaan surah ini
dijelaskan bahwa dalam memberikan penghargaan yang sama
6 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), Jilid 10, 546.
56
kepada orang-orang yang diberi peringatan dengan tidak
memandang kedudukan seorang dalam masyarakat, seperti antara
tokoh-tokoh bangsawan Quraisy dengan orang buta yang
bernama ‘Abdullah b. Ummi Maktūm.7
Menurut Wahbah al-Zuhaili, surah ‘Abasa memiliki
hubungan pada ayat sebelumnya yaitu QS. al-Nazi’āt [79], bahwa
Allah mengingatkan Nabi Muhammad SAW tentang hari kiamat.
Peringatan ini juga memiliki kemanfaat bagi Nabi Muhammad
SAW dalam berdakwah mengenai rahasi-rahasia Islam kepada
‘Utbah b. Rabī’ah, Syaibah b. Rabī’ah, Abū Jahal b. Hisyām, al-
‘Abbās b. ‘Abd al-Muṭalib, Umayyah b. Khalaf, dan al-Walīd b.
Al-Mughīrah.8
B. Penjelasan Kedua Mufasir Terhadap QS. ‘Abasa [80] 1-16
Penulis ingin menguraikan penjelasan mengenai surah ‘Abasa dari
kedua mufasir, serta melihat tentang pola penafsiran Ibn Katsīr dan
Ṭabaṭaba’ī dari ayat 1-16. Tujuan adalah untuk melihat persamaan dan
perbedaan dari kedua mufasir yang secara fundamen, hegemoni mereka
dalam menginterpretasikan ayat itu berbeda.
Dalam kitabnya Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm, langkah pertama dalam
menafsirkan yaitu dengan memberikan asbāb al-nuzūl terkait sebab
kejadian turun ayat. Sedangkan dalam tafsir al-Mizān karya Ṭabaṭaba’ī
memiliki dua struktur dalam menafsirkan ayat di antaranya: al-bayān
(penjelasan) ayat dan bahts al-rawā’ī (pembahasan periwayatan). Pada
bagian pertama, penulis membahas mengenai penjelasan QS. ‘Abasa
[80]: 1-16 perspektif Ṭabaṭaba’ī. Agar terstruktur dan mudah dipahami,
7 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, 546. 8 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj, 423-424.
57
penulis menyusun interpretasi kedua mufasir dengan menggunakan table
sebagai berikut:
No Interpretasi Ibn Katsīr Interpretasi Ṭabaṭaba’ī
1. QS. ‘Abasa [80] 1-3: Ia
menafsirkan ayat ini, bahwa
yang datang kepada Nabi
Muhammad SAW adalah
seseorang yang menginginkan
agar dirinya suci dan bersih
dari segala dosa.9
QS. ‘Abasa [80] 1-2: Ayat
pertama, kata وت ولى diartikan عبس
sebagai memalingkan wajah dan
bermuka masam. Ayat kedua,
sebagai ta’līl (pertimbangan)
penyebab untuk memalingkan
wajah yaitu kedatangan orang
buta.
2. QS. ‘Abasa [80] 4: Menurut
Ibn Katsīr, menginginkan
pengajaran dari Nabi
Muhammad SAW untuk
dirinya sendiri, sehingga ia
menahan darinya dari hal-hal
yang diharamkan (dilarang).10
QS. ‘Abasa [80] 3-4: Ayat ketiga
dan keempat, kata ي زىكىى maksudnya adalah يتطهر (suci)
dengan melaksanakan amal-amal
soleh setelah mengingat-Nya,
cara yang tepat yaitu menyakini
kebenaran yang datang dari
Allah. Adapaun manfaat dari
mengingat-Nya (zikir) ialah
memberikan rangsangan untuk
mensucikan jiwa dengan iman
dan perbuatan amal soleh.11
3. QS. ‘Abasa [80] 5-6: Menurut
Ibn Katsīr, ayat ini sebagai
teguran bahwa orang yang
serba cukup (memadai), maka
melayaninya dengan harapan
dia mendapatkan petunjuk.
QS. ‘Abasa [80] 5-6: Ayat
kelima dan keenam, ayat ini
menurut Ṭabaṭaba’ī orang yang
merasa serba cukup itu adalah
‘Utbah dan petinggi Quraisy
lainnya. Kata است غن ia artikan
sebagai orang yang merasa kaya
dan kesombongan.
4. QS. ‘Abasa [80] 7: Maksudnya,
kamu tidak akan bertanggung
jawab mengenai apabila dia
QS. ‘Abasa [80] 7: Ayat ketujuh,
menurut Ṭabaṭaba’ī hurut ما bermakna nafī. Ayat ini
9 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr
(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 14, h. 246. 10 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr,246. 11 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an (Libanan:
Bairut, 1997), juz 20, h. 219
58
tidak mau membersihkan
dirinya (beriman).12
menafikan terhadap petinggi-
petinggi Quraisy yang tidak mau
membersihkan diri (beriman),
sehingga Allah mendelegasi
Muhammad agar mereka-mereka
bisa menerima agama Islam.
Sebagian kelompok mengangap
huruf ما di artikan sebagai
istifhām inkarī maksudnya
kalimat pertanyaan bagi
kelompok ingkar yang tidak mau
membersihkan jiwanya dari
kekafiran.13
5. QS. ‘Abasa [80] 8-9: Menurut
Ibnu Katsir, seseorang yang
dating pada Nabi Muhammad
SAWitu sengaja untuk dating
untuk mendapatkan petunjuk
dari pengarahan Nabi
Muhammad.14
QS. ‘Abasa [80] 8-10: Ayat
kedelapan, kesembilan dan
kesepuluh. Kata يسعى maksudnya
adalah cepat dalam berjalan.
Maka maksudnya ayat ini, siapa
saja yang datang kepada mu,
maka kamu berjalan cepat agar
bisa mengingat dan
membersihkan dia dengan
memberikan pembelajaran
dalam pengenalan agama. Kata
maksudnya takut kepada يشى
Allah dan takut terhadap ayat-
ayat al-Qur’an tentang
peringatannya. Kata ت لهىى maksudnya adalah menyibukkan
dan mengabaikan. Adapun
mendahului kata ganti (damīr)
anta sebagai catatan
peringatan.15
6. QS. ‘Abasa [80] 10: Dari
sepeluh ayat ini Ibn Katsīr
QS. ‘Abasa [80] 11-12: Ayat
kesebelas dan dua belas,
12 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 246. 13 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 220. 14 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 246. 15 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 220-221.
59
mulai membahas secara
panjang lebar terkait peristiwa
Nabi Muhammad SAW
bermuka masam. Menurutnya
setelah kejadian ini Allah
memerintahkan kepada
Rasulullah untuk tidak boleh
mengkhususkan peringatan
terhadap seseorang secara
tertentu, melainkan harus
menyamakan di antara
semuanya. Dalam hal ini tidak
dibedakan antara orang mulia
dan orang lemah, orang miskin
dan orang kaya raya, orang
merdeka dan budak, laki-laki
dan perempuan, serta anak-
anak dan orang dewasa.
Kemudian Allah yang akan
memberikan petunjuk kepada
siapa yang diinginkan-Nya
dengan kebijaksanaan dan
mempunyai alasan yang kuat.16
Setelah itu, Ibn Katsīr
mengutip dari berbagai
periwayatan mengenai sebab
turunnya ayat ini di antaranya
dari al-Hāfidz Abū Ya’la,
Qatadah, Ib Hātim, Imam al-
Turmudzī, Ibn Jarīr, dan Ibn
Māik. Mereka meriwayatkan
secara substansi yang sama
bawah terkait QS. ‘Abasa [80].
Singkat cerita Nabi sedang
berbicara Ubay b. Khalaf,
kemudian datang Ibn Ummi
Maktūm, lalu Nabi Muhammad
SAW bermuka masam dan
berpaling darinya maka
menurut Ṭabaṭaba’ī kata تذكرةإ ا نى
maksudnya adalah semua ayat-
ayat al-Qur’an merupakan
pelajaran, peringatan, dan
nasehat bagi seseorang yang
mengingat-Nya agar bisa
menyakini kebenaran dari Allah.
Kata ذكره شاء ,sebagai isyarat فمن
bahwa dalam berdakwah tidak
ada paksaan untuk
mengingatnya, sehingga tidak
menjadi manfaat bagi mereka
untuk kembali kejalan benar.
Adapaun dakwah yang
bermanfaat adalah berdakwah
atau memperingati mereka,
kemudia biarkan mereka untuk
memilih pilihan mereka masing-
masing.18
16 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 246. 18 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 220-221.
60
turunlah ayat ini. Sesudah
peristiwa ini Nabi Muhammad
SAW selalu menghormati Ibn
Ummi Maktūm setelah ditegur
oleh Allah. Sebagai penutup
pembahasan ia menambahkan
bahwa nama Ibn Maktūm
sebagian kelompok
mengatakan ‘Abdullah,
sedangkan pandangan lain
menamai ‘Amr. Dari beberapa
periwayatan ini, Ibn Katsīr
mengatakan sebagai
kesimpulannya adalah
periwayatan ini memang
demikianlah yang terdapat
dalam kitab al-Muwatta’ Ibn
Mālik.17
7. QS. ‘Abasa [80] 11:
Menurutnya, surah ini atau
perintah ini menyamakan
semua orang dalam
menyampaikan pengetahuan,
tidak dibedakan antara orang
yang terhormat dan orang biasa
dari kalangan mereka yang
menginginkannya. Sebagai
pembeda ia menambahkan
pendapat dari Qatadah, bahwa
yang dimaksud bukanlah surah
ini saja tetapi secara universal
yaitu al-Qur’an sebagai
peringatan.19
QS. ‘Abasa [80] 13-14: Ayat
tiga belas dan empat belas.
Menurut Ṭabaṭaba’ī kata صحف
merupakan jamak (kata plural)
dari kata صحيفة (ṣahīfah), orang
arab biasanya setiap yang ditulis
dalam bentuk buku itu namanya
ṣahīfah. Tulisan-tulisan dalam
bentuk ṣuhuf banyak macamnya
salah satunya di tulis tangan para
malaikat yaitu wahyu. Kata مكرىمة diartikan dengan معظمة (diagungkan). Kata رةمطهى
maksudnya disucikan dari
kotoran-kotoran, kebatilan,
17 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr
(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 14, 247-248. 19 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr
(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 14, 248.
61
perkataan yang ambiguitas, dan
tindakan kontradiktif.20
8. QS. ‘Abasa [80] 12: Menurut
Ibn Katsīr, siapa yang
menghendaki maka ia dapat
mengingat Allah SWT dalam
semua urusan. Kata dhamīr
(kata ganti) di sini merujuk
kepada wahyu karena konteks
pembicaraannya berkaitan
dengannya.21
QS. ‘Abasa [80] 15-16: Ayat
kelima belas dan keenam belas.
Menurut Ṭabaṭaba’ī kata سفرة
merupakan jamak (kata plural)
dari سفري artinya adalah
Rasulullah yang sebagian
kelompok mengartikannya
malaikat. Kata ب ررة كرام
maksudnya adalah sifat-sifat
yang baik dalam melakukan
tindakan. Dari kedua ayat ini
memberikan penjelasan, bahwa
malaikat memiliki kontribusi
dalam membawa suhuf (al-
Qur’an) atas perintah Allah
kepada Jibril.22
9. QS. ‘Abasa [80] 13-14:
Menurutnya, surah in atau
pelajaran ini, kedua-duanya
saling berkaitan bahka al-
Qur’an seluruhnya. Kata فمكرىمة صحف yaitu diagungkan
dan dimuliakan. Kata مرفوعة artinya mempunyai kedudukan
tinggi. Kata مطهىرة yaitu
disucikan dari hal-hal kotor
baik itu penambahan maupun
pengurangan.23
10. QS. ‘Abasa [80] 15: Pada ayat
ini Ibn Katsīr mngutip dari
beberapa periwayatan, menurut
20 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an (Libanan:
Bairut, 1997), juz 20, 222. 21 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 248. 22 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 222. 23 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 248.
62
Ibn ‘Abbās, Mujāhid, al-
Dahhāk, dan Ibn Zaid yang
dimaksud dengan سفرة ialah
para malaikat. Menurut Wahab
b. Munabbih kata سفرة ialah
para sahabat Nabi Muhammad
SAW. Menurut Qatādah kata ialah ahl qurrā’. Menurut سفرة
Ibn Jarīr pendapat yang sahih
ialah kata سفرة diartikan sebagai
para malaikat yang
menghubungkan Allah dengan
makhluk-Nya. Sebagaimana
kata safīr yang diartikan orang
yang menghubungkan di antara
kedua pihak yang bersangkutan
untuk tujuan perdamaian dan
kebaikan.24
11. QS. ‘Abasa [80] 16: Menurut
Ibn Katsīr, yakni fisik mereka
mulia, baik dan terhormat.
Akhlak serta perbuatan mereka
berbakti, suci dan sempurna.
Berangkat dari pengertian ini,
seseorang yang menghafal al-
Qur’an dianjurkan berada
dalam jalan yang lurus dan
benar dalam semua perbuatan
dan ucapannya.25
Setelah menyusun secara sistematis terhadap interpretasi kedua
mufasir, selanjutnya adalah ia membahas mengenai periwayatan tentang
sebab turunnya ayat. Menurutnya periwayatan itu masih terjadi ikhtilāf
(kotradiksi) dari ‘Aisyah, ‘Anas b. Mālik, dan Ibn ‘Abbās yang dikutip
24 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 248-
249. 25 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 249.
63
oleh Imam Suyūti dalam kitab Dār al-Mantsūr. Sikap dan pernyataan
yang dilakukan oleh Ṭabaṭaba’ī adalah sebaliknya, bahwa ayat ini sudah
jelaskan petujuknya yang menjadi ketidakjelasan adalah transmisi (sanad)
yang membawa informasi bahwa yang bermuka masam adalah Nabi
Muhammad SAW. Menurutnya bermuka masam bukanlah bagian dari
sifat Nabi Muhammad SAW baik itu kepada musuh-musuh nabi maupun
orang mukmin. Sifat sebenarnya Nabi Muhammad SAW adalah melayani
orang-orang kaya bahkan orang-orang miskin sekalipun dan tidak ada
perbedaan sekalipun dalam melayaninya.26
Padahal Allah telah mengangungkan akhlak prilaku Nabi
Muhammad SAW, terbukti Allah menyatakan itu di dalam QS. al-Qalam
[68]: 4
وإنىكلعلىخلقعظيم
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung.”
Menurut Ṭabaṭaba’ī, ayat ini sebagian kelompok menamainya
dengan surah ن nun. Perihal periwayatan mengenai turun ayat ini, ulama
sepakat bahwa turunnya setelah QS. al-‘Alaq [96]. Dengan ini Ṭabaṭaba’ī
berlogika, bagaimana bisa mereka beranggapan begitu padahal Allah telah
mendahului mengangungkan akhlak Nabi Muhammad SAW di awal-awal
Nabi Muhammad SAW didelegasi oleh Allah.
Bukan ayat ini aja yang dijadikan argument bagi Ṭabaṭaba’ī, tetapi
ada ayat yang lain bahwa sikap dan sifat Nabi bukanlah bermuka masam,
dijelaskan di dalam QS. al-Syu’arā’ [26]: 215
واخفضجناحكلمنٱت ىب عكمنٱلمؤمنی
26 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 223.
64
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang
mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.”
Ayat ini juga menurut Ṭabaṭaba’ī turun sebelum di awal masa
dakwah Nabi. Itu berarti lebih dahulu turun dari QS. ‘Abasa [80]. Maka
menurut Ṭabaṭaba’ī bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW bermuka
masam padahal ia menghormati orang-orang yang beriman. Adapun
pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak melarang tindakan Nabi
Muhammad SAW bermuka masam karena itu bukan maksiat dan tidak
dilarang karena belum ada hukum yang melarang. Menurut Ṭabaṭaba’ī
mengenai ungkapan ini adalah salah dan menegasikan pernyataan Allah di
dalam QS. al-Qalam [68]: 4, bahwa Allah mengangungkan akhlak Nabi
Muhammad SAW.27
Di akhir pembahasan ia mengutip periwayatan dari Ja’far b.
Muhammad Ṣādiq, bahwa ayat ini turun disebabkan dari seorang laki-
laki dari suku Umayyah bernama al-‘Ābas al-Mutawalī duduk di
samping Nabi Muhammad, kemudia datang Ibn Ummi Maktūm
sehingga membuat al-‘Ābas al-Mutawallī bermuka masam. Bahkan ia
menambahkan periwayatan yang sama dari Ja’far b. Muhammad
Ṣādiq, bahwasanya Rasulullah berkata:
كان رسول هللا صلى هللا عليه وآله إذا رأى عبد هللا بن أم مكتوم قال: مرحبا
مرحبا ال وهللا ال يعاتبين هللا فيك أبدا
“Apabila datang Ibn Ummi Maktūm ucaplah marhabān marhabān
(selamat datang), demi allah, tidaklah allah menyalahkan aku
selamanya”.
Periwayatan ini tidak dijelaskan secara lengkap oleh Tabataba’ī,
bahkan di dalam teks aslinya dalam kitab Ja’far b. Muhammad Ṣādiq
27 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 224.
65
yang berjudul al-ṣahīh min sīrah al-nabī hanya menyebutkan
periwayatn dari Ja’far b. Muhammad Ṣādiq.28
Periwayatan ini ini membuat hatinya menjadi lembut sehingga dia
tidak mau menganggu Nabi Muhammad SAW dalam melakukan
kegiatan. Dari dua periwayatan ini, Tabataba’ī mengatakan ia
berpendapat sebelumnya. Adapun mengenai periwayatan Ṣadiq ini,
Ibn Maktūm tidak ingin menganggu kehadiran Nabi Muhammad SAW
karena banyak prilakunya baik itu menganggu maupun membuat Nabi
malu.29
C. Argumen Kedua Mufasir dalam Menginterpretasikan Bermuka
Masam
1. Perbedaan dalam mengkategorisasi ‘iṣmah
Setelah melakukan pemaparan interpretasi kedua mufasir, maka
pada sub bab ini penulis menjelaskan unsur-unsur iṣmah di dalam
penafsirannya. Pertama, Ibn Katsīr lebih memberikan konsep iṣmah
yang berbeda dengan Ṭabaṭaba’ī dalam menafsiran QS. ‘Abasa [80].
Menurutnya, bermuka masam bukanlah kesalahan yang dikategorikan
sebagai dosa besar, melainkan kesalahan manusiawi, oleh karena itu
Ibn Katsīr beryakinan bahwa ayat ini turun sebagai teguran Nabi
Muhammad SAW terhadap orang buta ynag datang dalam penuh
keikhlasan untuk mengetahui lebih dalam mengenai agama Islam.
Dalam penelitian ini penulis tendensi dengan argumentasi Ibn Katsīr
bahwa Nabi Muhammad SAW bermuka masam. Hemat penulis,
hikmah adanya teguran dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW juga
28 Ja’far al-Muratada al-‘Ulya, al-Ṣahīh min Sirah al-Nabī al-Mustafa min Sirah
al-Mustafa (Iran: Markaz al-Islamī li Dirasāt, 1990), jilid III, h. 160 29 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 224.
66
memberikan bukti bahwa al-Qur’an bukanlah karangan Nabi
Muhammad SAW, tetapi betul-betul firman Allah. Teguran ini
menjadikan bukti bahwa tidak mungkin dikarang sendiri oleh Nabi
Muhammad SAW.30
Kedua, argumentasi Ṭabaṭaba’ī berlandasan kepada iṣmah. Dari
peristiwa ini Nabi Muhammad SAW tidak mungkin melakukan
kesalahan baik itu dosa besar maupun dosa kecil meskipun bermuka
masam. Argumentasi yang dihadirkan di antaranya:
a. menghadirkan periwayatan dari Ṣadīq, bahwa yang bermuka
masam bukan lah Nabi Muhammad SAW, melainkan al-
‘Ābas al-Mutawalī.31
b. menghadirkan argumentasi al-Qur’an berupa QS. al-Qalam
[68]: 4 dan al-Syu’arā’ [26]: 215. Secara substansi, ayat ini
menjelaskan bahwa budi pekerti dan akhlak Nabi Muhammad
SAW sangat agung. Maka tidak mungkin Nabi Muhammad
SAW menyimpang dari pernyataan al-Qur’an ini.
Dari kedua argumentasi yang diberikan oleh kedua mufasir,
pendapat yang lebih banyak dipakai dikalangan mufasir adalah
argumentasi Ibn Katsīr.32 Alasan yang diberikan setiap mufasir
tidak jauh berbeda. Sebenarnya Nabi Muhammad SAW sesuai
dengan skala prioritas sedang menghadapi tokoh-tokoh penting
yang diharapkan dapat masuk Islam karena hal ini akan
mempunyai pengaruh besar pada perkembangan dakwah
30 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya, 547. 31 ‘Abbās al-Mutawalī merupakan sahabat Nabi Muhmmad. Menurut
Ṭabaṭaba’ī, dia lah yang bermuka masam ketika Ummi Maktūm yang bertanya kepada
Nabi Muhammad. Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 219. 32 Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H), Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-
Tafsīr al-Kabīr Wa Mafātiḥ al-Ghaib ( Dar al-Fikr, 1981), Juz 31, 52.
67
selanjutnya. Maka adalah manusiawi jika Nabi Muhammad SAW
tidak memperhatikan pertanyaan ‘Abdullah b. Ummi Maktūm,
apalagi telah ada porsi waktu yang telah disediakan untuk
pembicaraan Nabi dengan para sahabat.
Tetapi Nabi Muhammad SAW sebagai manusia terbaik dan
contoh teladan utama bagi setiap mukmin (uswah hasanah), maka
Nabi Muhammad SAW tidak boleh membeda-bedakan derajat
manusia. Dalam menetapkan skala prioritas juga harus lebih
memberi perhatian kepada orang kecil apalagi memiliki kelemahan
seperti ‘Abdullah b. Ummi Maktūm yang buta dan tidak dapat
melihat. Maka seharusnya Nabi Muhammad SAW lebih
mendahulukan pembicaraan dengan ‘Abdullah b. Ummi Maktūm
daripada dengan para tokoh pembesar Quraish.
Dalam peristiwa ini Nabi Muhammad SAW tidak
mengatakan sepatah katapun kepada ‘Abdullah b. Ummi Maktūm
yang menyebabkan hatinya kecewa, tetapi Allah melihat dari raut
wajahnya yang bermuka masam tidak mengindahkan Ummi
Maktūm yang menyebabkannya dia tersinggung. Pada dasarnya
‘Abdullah b. Ummi Maktūm adalah seorang yang bersih dan
cerdas. Apabila mendengarkan hikmah, ia dapat memeliharanya
dan membersihkan diri dari kebusukan kemusyrikan. Adapun para
pembesar Quraisy itu sebagian besar adalah orang-orang yang kaya
dan angkuh sehingga tidak sepatutnya Nabi terlalu seius
menghadapi mereka untuk diislamkan. Dalam peristiwa ini juga
merupakan hikmah bahwa Nabi Muhammad SAW hanya orang
biasa (manusiawi) sekaligus memperkuat argumentasi bahwa al-
Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad SAW.33
33 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya, 547.
68
Adapun periwayatan yang dipakai oleh Tabtaba’ī bahwa
yang bermuka masam adalah al-‘Ābas al-Mutawalī, periwayatan
ini jarang sekali dikutip oleh tokoh-tokoh mufasir. Sedangkan
periwayatan yang dikutip oleh Ibn Katsīr banyak sekali dipakai
dari kalangan mufasir. Periwayatan yang dipakai oleh Ṭabaṭaba’ī
hemat penulis sebagai memperkuat bahwa Nabi Muhammad SAW
adalah iṣmah. Sedangkan periwayatan yang ditulis oleh Ibn Katsīr
memberikan maksud bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
seorang Nabi satu sisi, dan seorang individu manusiawi di sisi
yang lain.
Maka ketika kasus ini terjadi pada Nabi Muhammad, setelahnya
Nabi Muhammad SAW memperlakukan ‘Abdullah b. Ummi
Maktūm dengan baik, menghormatinya, dan sering
memuliakannya sebagaimana Nabi Muhammad SAW
memuliakannya melalui sabdanya dengan melalui periwayatan
Ja’far b. Muhammad Ṣādiq :
مرحبا مبن عاتبين فيه ريب
“Selamat datang kepada orang yang menyebabkan aku
ditegur oleh Allah”.34
Hemat penulis, Periwayatan yang dibawakan oleh
Tabataba’ī melalu jalur riwayat Ja’far b. Muhammad al-Sādiq
tidak ditemukan periwayatan yang lengkap. Pertama, merujuk
kepada kitab induk tafsir Tabataba’ī tidak ditemukan periwayatan
dan sanad yang lengkap. Kedua, merujuk kepada kitab sejarah
yang ditulis oleh Ja’far b. Muhammad al-Sādiq juga tidak
34 Abī Hafs ‘Umar b. ‘Alī b. ‘Ādil, al-Bāb fī ‘U1)um al-Qur’an (Bairut: Dār al-
Kitab al’Ilmiyyah, 1998), jilid 20, 153.
69
ditemukan periwayatan yang lengkap. Sehingga tidak bisa dilacak
sehingga diasumsi hadits ini adalah da’īf (lemah). Alasan
lainnnyam periwayatan melalui jalur Ja’far b. Muhammad al-Sādiq
juga tidak ditemukan di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
baik itu literatur tafsir maupun sejarah
Argumentasi selanjutnya yang mejadi perbedaan adalah
dalam mengaktegorisasikan tentang iṣmah. Sebab kesalahan yang
dilakukan oleh Nabi bukanlah kesalahan yang bertentangan dengan
akidah, terpelihara dalam menyampaikan risalah, tidak
berhubungan dengan syari’at, tidak dalam keadaan dalam
memberikan fatwa, tetapi melakukan dosa kecil berupa muka
masam. Dalam konsep iṣmah bagi seseorang yang melakukan dosa
kecil menurut pandangan ulama terjadi kotradiktif (ikhtilāf). Bagi
golongon Syi’ah mereka menolak bahwa iṣmah masih toleransi
bagi Nabi yang melakukan dosa kecil. Seperti apa yang
dikonsepkan oleh Al-Murtadha Nabi dan Rasul itu terlepas dari
dosa kecil ataupun dosa besar sebelum dan sesudah kenabian,
konsep inilah menjadi pijakan Madzhab Syi’ah hingga sekarang.
Namun menurut jumhur ulama Ahlu Sunnah Wa al-
Jama’ah (Sunni) seperti Al- Qurthubi bahwa Rasul mungkin saja
melakukan dosa-dosa kecil sekalipun di masa kerasulannya. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa dalam hal dosa kecil seorang
Rasul masih mungkin melakukannya selama dosa tersebut tidak
keji. Hal ini menurut sebagian besar golongan Mu’tazilah.35
Dari beberapa pandangan ini sangatlah jelas bahwa
Ṭabaṭaba`ī tendensi berhegemoni dalam teologi syi’ah maka dalam
35 Fakhruddīn al-Rāzī, ‘Iṣmah al-‘Anbiyā’ (Kairo: Maktabah al-Saqāfah al-
Diniyyah, 1986), 42.
70
kasus ini Nabi Muhammad tidak akan pernah melakukan kesalahan
baik dosa besar maupun dosa kecil berupa bermuka masam.
Sedangkan Ibn Katsīr lebih tendensi yang bergehemoni kepada
diktum Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, bahwa Nabi tidak bisa
terhindar dari melakukan dosa kecil. Maka kasus ini Nabi
Muhammad terbukti melakukan dosa kecil berupa bermuka masam
kepada ‘Abdullah b. Ummi Maktūm.
Setelah memperjelas argumentasi Ibn Katsīr dengan
melihat periwayatannya, maka argumentasi selanjutnya adalah
Allah memberikan teguran supaya mendapatkan hikmah bahwa al-
Qur’an memberikan peringatan dari Allah. Bukan hanya perigatan
untuk Nabi Muhammad SAW saja, melainkan buat seluruh
umatnya. Pada QS. ‘Abasa [80]: 1-10 Allah menjelaskan mengenai
peristiwa sebab Nabi Muhammad SAW bermuka masam,
sedangkan QS. ‘Abasa [80]: 11-16 menjelaskan mengenai Hikmah
dibalik peristiwa itu.
Dalam ayat-ayat ini Allah menegur Rasul-Nya agar tidak
lagi mengulangi tindakan-tindakan seperti itu yaitu ketika ia
menghadapai ‘Abdullah b. Ummi Maktūm dan al-Walīd b. al-
Mughīrah beserta kawan-kawannya. Sesungguhnya pengajaran
Allah itu adalah suatu peringatan dan nasihat untuk menyadarkan
orang-orang yang lupa atau tidak memperharikan tanda-tanda
kebesara dan kekuasaan Tuhannya. Karena derivasi kata tazkirah
diartikan mengingat sesuatu yang sebelumnya diketahui dan
memiliki pengetahuan rasional, maka ketika seseorang lupa maka
perlu adanya tazkirah sebagai pengingat yang sudah lupa.
Pada akhir ayat ini, Allah memperjelaskan bahwa al-Qur’an
diturunkan oleh Allah. Al-Qur’an merupakan salah satu kitab yang
71
diturunkan oleh-Nya kepada para nabi. Al-Qur’an merupakan kitab
yang mulia dan tinggi nilai ajarannya dan disucikannya dari segala
macam bentuk pengaruh setan. Al-Qur’an diturunkan dengan
perantara para penulis yaitu para malaikat yang sangat mulia lagi
berbakti, sebagaimana dijelaskan di dalam QS. al-Tahrīm [66] 6
ماأمرهموي فعلونماي ؤمرون اي عصونٱللى ل
“Dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-
Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”36
Dari penjelasan di atas sangat jelas, bahwa Allah
memberikan teguran kepada Nabi Muhammad SAW mempunyai
hikmah tersendiri yaitu membuktikan kepada kelompok yang
menuduh Nabi Muhammad SAW sebagai pembuat karangan.
Padahal tidak mungkin pengarang bisa salah dalam melakukan
ekspresi terhadap yang ia tulis. Maka inferensinya adalah al-
Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad.
Setelah melakukan analisis mengenai argumentasi kedua
mufasir, maka argumentasi yang dipakai oleh penulis adalah Ibn
Katsīr. Sebagai alasan penulis sebagai berikut:
a. Allah menegur Nabi Muhammad SAW karena bermuka
masam dan berpaling dari ‘Abdullah b. Ummi Maktūm,
seorang sahabat yang buta dan memohon diberi pelajaran oleh
Nabi Muhammad SAW ketika ia sedang sibuk menghadapi
pembesar-pembesar Quraisy untuk diajak masuk ke dalam
Islam. Sedangkan al-‘Abbas al-Mutwālī bukanlah orang
bermuka masan dan bukan orang yang ditegur oleh Allah.
36 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya, 550.
72
b. ‘Abdullah b. Ummi Maktum adalah orang yang mencari
kebersihan diri dengan mengiktui ajaran Islam.
c. Teguran Allah kepada Nabi Muhammad SAW itu karena ia
berpaling dari orang buta yang datang dengan tulus ikhlas
mencari petunjuk, dank arena ia terlalu memperhatikan
pembesar-pembesar Quraisy yang bersikap angkuh hanya
karena mengharapkan mereka masuk Islam.
d. Dengan adanya krtitik dan teguran kepada Nabi Muhammad
SAW menambahkan bukti bahwa al-Qur’an bukanlah
karangan Nabi Muhammad SAW, tetapi betul-betul dari Allah.
e. Pelajaran dari Allah merupakan peringatan bagi Nabi
Muhammad SAW dan manusia yang perlu diperhatikan dan
diamalkan. Orang yang menghendaki hidayah tentu
memperhatikannya karena merasa perlu pada hidayah.
f. Hidayah (peringatan) itu terdapat di dalam al-Qur’an yang
mulia diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
g. Teguran pertama dari Allah adalah “Apa yang
memberitahukan kepadamu tentang keadaan orang buta ini?
Boleh jadi ia ingin membersihkan dirinya dengan ajaran yang
kamu berikan kepadanya atau ingin bermanfaat bagi dirinya
dan ia mendapatkan keridhaan dari Allah. Sedangkan pelajaran
itu belum tentu bermanfaat bagi orang Quraisy”. Teguran
kedua dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW, “Adapaun
orang orang-orang kafir Mekah yang merasa dirinya serba
cukup dan mampu, mereka tidak tertarik untuk beriman
kepadamu, mengapa engkau bersikap terlalu tendensi pada
mereka dan ingin sekali supaya mereka masuk Islam”.
Teguran ketiga dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW,
73
“Adapun orang seperti ‘Abdullah b. Ummi Maktūm yang
datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapatkan
petunjuk dan rahmat dari Tuhannya, sedang ia takut kepada
Allah jika ia jatuh ke dalam lembah kesesatan, maka kamu
bersikap acuh tak acuh dan tidak memperhatikan
permintaanya.
2. Menentukan subjek pada derivasi ‘abasa
Setelah melakukan penjabaran periwayatn masing-masing,
maka sebagai pelaku di dalam teks ‘abasa memiliki perbedaan.
Subjek yang bermuka masam kepada ‘Abdullah b. Ummī
Maktūm adalah tunggal, sehingga tidak terjadi plural dalam
menentukan subjek. Menurut Ibn Katsīr yang menjadi subjek
(fā’il) dalam peristiwa bermuka masam adalah Nabi Muhammad
SAW, berdasarkan periwayatan yang ia jelaskan di dalam kitab
tafsirnya.
Sedangkan pendapat Ṭabaṭaba’ī di dalam tafsīr al-mizān,
bahwa yang menjadi subjek (fā’il) dalam peristiwa bermuka
masam adalah al-‘Ābas al-Mutawallī yang duduk di samping
Nabi Muhammad SAW. Perbedaan ini terjadi dikarenakan
periwayatan yang ditulis memiliki perbedaan yang sangat
signifikan. Dari penjelasan di atas, kedua mufasir tidak
memberikan subjek (fāil) plural melainkan pelaku yang tunggal,
baik itu subjeknya Nabi Muhammad SAW maupun Ibn ‘Ābas al-
Mutawallī.
3. Mengaktualisasi konsep uswah hasanah
Secara defenisi uswah hasanah merupakan teladan yang
baik. Di dalam al-Qur’an derivasi kata uswah hasanah disebut
74
sebanyak tiga kali.37 Di antaranya QS. al-Ahzāb [33]: 21, QS. al-
Mumtahanah [60]: 4 dan 6. Pada dasarnya konsep uswah hasanah
memberikan nilai-nilai positif untuk bisa diaktualisasikan dan
diikuti oleh para umat. Kedua mufasir sepakat mengartikan
uswah hasanah sebagai teladan yang baik bagi Nabi Muhammad.
Hanya saja Ṭabaṭaba’ī memberikan klasifikasi mengenai karakter
yang baik.
Menurut Ṭabaṭaba’ī ada dua hal yang harus diperhatikan
dalam mengartikan uswah hasanah. Pertama, pada diri Nabi
Muhammad memiliki kebaikan yang harus diikuti oleh umat-
umatnya. Kedua, derivasi uswah hasanah diartikan dengan
kebiasaan Nabi untuk diikuti oleh umat-umatnya dan ini
merupakan karakter yang hanya untuk menyenangkan diri Nabi
Muhammad SAW.38 Bagi al-Ṭabaṭaba’ī pengertian yang dipakai
adalah yang pertama. Pengertian yang digunakan oleh Ṭabaṭaba’ī
ini juga dipakai oleh kalangan syi’ah. Bagi mereka semua yang
ada pada diri Nabi Muhammad SAW merupakan teladan yang
baik dan harus diikuti oleh umat-umatnya. Sesuai dengan
pengertian sunnah yaitu:
ماأضيفإلالنيبمنقولأوفعلأوتقريرأوصفةخلقي لةأوخلقية
Pengertian ini memberikan informasi bahwa apa yang adala
di dalam diri Nabi Muhammad SAW baik itu perkataan,
perbuatan, penetapan, karakter, maupun kebiasaan harus diikuti.
Derivasi خلقية diartikan dengan kebiasaan Nabi Muhammad SAW,
37 Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-Qur’an
al-Karīm (al-Qāhirah: Dār al-Kitab al-Misriyyah), h. 34 38 Lihat Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 295.
75
sedangkan خلقية diartikan sebagai moralitas dan akhlak Nabi
Muhammad SAW. Pengertian ini banyak dipakai oleh kelompok
syi’ah dan tentunya dipakai oleh Ṭabaṭaba’ī dalam menafsirkan
QS. al-Ahzāb [33] 21, bahwa maksud dari uswah hasanah adalah
semua yang ada pada diri Nabi Muhammad SAW merupakan
teladan yang baik.
Argumen yang lainnya sebagai penguat bahwa Nabi
Muhammad SAW merupaka teladan yang baik dan mustahil
untuk melakukan keburukan meskipun itu tuduhan bermuka
masam adalah QS. al-Najm [53] 3-4. Secara garis besar ayat ini
memberikan penjelasan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
memberikan pernyatan sesuai keinginan hawa nafsunya
melainkan wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadanya. Pada
kasus Nabi bermuka masam, jelas sekali Ṭabaṭaba’ī menolak
tuduhan Nabi bermuka masam. Sebab dengan analogi yang jelas,
tidak mungkin Nabi Muhammad SAW melakukan tindakan yang
enigma karena Nabi sudah didelegasikan oleh Allah sebagai
teladan, baik itu teladan khuluqiyyah maupun khilqiyyah.
Ditambah lagi bagi Ṭabaṭaba’ī QS. ‘Abasa [80] itu turunya
sesudah QS. al-Najm [53] 3-4, sehingga Nabi Muhammad SAW
mustahil melakukan tindakan seperti itu sedangkan Allah sendiri
sudah memberikan pernyatan bahwa Nabi Muhammad SAW
merupakan suri teladan yang baik bagi umat-umatnya.
4. Perbedaan dan Persamaan dalam Menginterpretasi QS. ‘Abasa
[80] 1-16
76
Setelah mengetahui pola penafsiran dari kedua mufasir maka
langkah selanjutnya adalah penulis melihat titik perbedaan dan
persamaan dari kedua mufasir sebagai berikut:
Perbedaan kedua mufasir dalam menginterpretasi QS. ‘Abasa
[80]: 1-16
a. Ibn Katsīr lebih tendensius kepada periwayatan dari Ahl
Sunnah wa al-Jama’ah, sedangkan Ṭabaṭaba’ī secara tidak
langsung ia memihak kepada syi’ah yang secara fundamen
teologinya banyak dipengaruh oleh syi’ah.
b. Ibn Katsīr mengangap Nabi Muhammad SAW sebagai pelaku
bermuka masam terhadap Ibn Ummi Maktūm, sedangkan
Ṭabaṭaba’ī tidak menyatakan Nabi Muhammad SAW yang
bermuka masam melainkan laki-laki dari suku Umayyah
bernama al-‘Ābas al-Mutawali.
c. Perbedaan maksud kata seperti kata سفرة. Ibn Katsīr
mengartikan itu malaikat, sedangkan Ṭabaṭaba’ī mengartikan
Rasulullah.
d. Ibn Katsīr tidak menjelaskan argumentasinya jika Nabi
Muhammad SAW bermuka masam karena ia melihat
periwayatan sebagai bukti dan argumentasi yang faktual.
Sedangkan Ṭabaṭaba’ī menjelaskan argumentasinya menolak
bahwa Nabi Muhammad SAW bermuka masam.
e. Ibn Katsīr tidak mencantumkan periwayatan syi’ah, tetapi
Ṭabaṭaba’ī menghadirkan kedua periwayatan sebagai
gambaran untuk pengetahuan.
77
f. Ibn Katsīr tidak menjelaskan secara mendetail mengenai
gramatika arab (nahwu), sedangkan Ṭabaṭaba’ī cukup banyak
mencantumkan pembahasan gramatika arab (nahwu).
g. Dalam menyampaikan argumentasi, Ibn Katsīr lebih banyak
menghadirkan periwayatan. Sedangkan Ṭabaṭaba’ī sedikit
bahkan jarang mengutip periwayatan.
Persamaan kedua mufasir dalam menginterpretasi QS. ‘Abasa [80]
1-16
a. Kedua mufasir secara impilisit memiliki kesamaan dalam
membagikan konteks setiap ayat, di antaranya: ayat satu
sampai 10 berkenaan tentang teguran kepada yang bermuka
masam baik itu Nabi Muhammad SAW pendapat Ibn Katsīr,
dan al-‘Ābas al-Mutawallī dari pendapat Ṭabaṭaba’ī.
Sedangkan ayat sebelas sampai enam belas membahas tentang
al-Qur’an pemberi peringatan dari Allah.
b. Memiliki kesamaan dalam memaknai kata di dalam ayat,
misalnya kata تذكرة. Menurut Ibn Katsīr adalah seluruh ayat
dalam al-Qur’an, begitupun Ṭabaṭaba’ī mengartikannya
seluruh ayat al-Qur’an.
c. Memiliki kesamaan objek dari bermuka masam adalah Ibn
Ummi Maktūm.39
39 Ibn Ummī Maktûm memiliki nama lengkap yaitu ‘Abdullah b. Syarīh b.
Mālik b. Rabī’ah, al-Fahrawī dari anak ‘Āmir b. Lu’ai. Lihat Muhammad Husain
Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 222-223 .
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis data di atas, maka dapat disimpulkan
di antaranya:
Ibn Katsir menjelaskan di dalam tafsirnya, bahwa yang bermuka
masam adalah Nabi Muhammad SAW kepada ‘Abdullah b. Ummi
Maktûm. Sedangkan penafsiran Tabataba’î bukanlah Nabi Muhammad
SAW bermuka masam melainkan seseorang yang duduk di sampingnya
yaitu al-’Abbâs al-Mutawâlî.
Argumentasi yang dipakai oleh Ibn Katsir adalah periwayatan yang
dipakai oleh mayoritas mufasir yaitu ‘Â`isyah, ‘Anas b. Mâlik, dan Ibn
‘Abbâs. Kemudian peristiwa ini memberikan hikmah bahwa al-Qur’an
betul-betul bukan dikarang oleh Nabi Muhammad. Sedangkan
argumentasi Tabataba’î di dalam tafsirnya adalah periwayatan dari
Ṣadīq yang selalu dikutip oleh kelompok Syi’ah.
Adapun konsep ismah terhadap peristiwa ini, Ibn Katsîr
mempercayai bahwa Nabi Muhammad SAW kemungkinan bisa
melakukan dosa kecil sebagaimana layaknya manusia biasa. Sedangkan
bagi Tabataba’î Nabi Muhammad SAW tidak mungkin melakukan
kesalahan, karena ma’sûm dari kesalahan baik dosa besar maupun dosa
kecil.
79
B. Saran
Adapun saran-saran penulis setelah melakukan penelitian ini
yaitu:
1. Penelitian ini masih dikategorikan belum maksimal,
dikarenakan penafsiran ayat tentang Nabi Muhammad bermuka
masam hanya fokus kepada studi komparatif dua mufasir.
2. Penelitian terhadap mufasir Ibn Katsir dan Tabataba’î sudah
banyak dilakukan, namun masih banyak ruang untuk dikaji dan
diteliti. Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar ada
kelanjutan mengenai konsep ismah dengan menggunakan ayat-
ayat yang lain
3. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat-ayat yang
menyinggung persoalan teguran Allah terhadap Nabi
Muhammad SAW. Tujuan dari peristiwa terdapat tarbiyah dan
uswah. Perihal ini peneliti menyarankan agar ada kelanjutan
penelitian terkait kasus ini.
80
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, M. Mustamin. “Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi wa
Juhūduhu fī al-Tafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-
Munīr li Ma`ālim al-Tanzīl.” Desertasi Doktor pada Universitas
Al-Azhar Kairo-Mesir. 2000.
Arsyad, M. Mustamin. “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd Terhadap
Perkembangan Studi Tafsir di Nusantara.” Studi Al-Qur’an. Vol.
I, No. 3. 2006.
Arsyad, Sobby. Buku Daras Potret Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia.
Lampung: Bandar Lampung Press. 2007.
al-Asfahānī, al-Rāghib. Mufradāt Alfādz al-Qur’an. t.t: Dār al-Qalam.
2009.
al-‘Asy’arī, Abū al-Hasan ‘Alī b. Ismā’il b. Ishāq b. Sālim b. Ismā’il b.
‘Abdullah b. Mūsa b. Abī Bardah b. Abī Mūsa. Risālah ila Ahli
al-Tsaghri bi bāb al-Abwāb. Madinah: al-Mamlakah al-
‘Arabiyyah al-Su’udiyyah. 2010.
Bahary, Ansor. “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh
Labīd Nawawi al-Bantani.” Ulul AlBab. Vol. 16, No. 2 tahun
2015.
al-Bāqī, Muhammad Fu’ād ‘Abd. Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-
Qur’an al-Karīm. Mesir: Dār al-Hadīts.
81
Burhanuddin, Mamat. Hermeneutika Al-Qur’an ala Pesantren: Analisis
Terhadap Tafsir Marāh Labīd Karya K.H. Nawawi Banten.
Yogyakarta: UII Press. 2006.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan
Hidup Kiyai. Jakarta: LP3S. 1982.
al-Dīnawarī, Abū Muhammad ‘Abdullah b. Muslim b. Qutaibah, Ta’wīl
Muskil al-Qur’an. Beirut: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah. 2010.
al-Dzhahabī, Muhammad Husain. Tafsīr Wa Mufassirūn. T.t: Maktabah
Wahbah. 2000.
Fāris, Zakariyā Abū Husain. Mu’jam Maqāyīs al-Lughah. T.t.: Mufahris
Fihrasah Kāmilah. 2009.
al-Farmawī, Abū al-Hayy. al-Bidayah Fi ala Tafsir al-Maudhu’iy.
Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah. 1977.
Ichwan, M. Nor. Belajar Al-Qur’an, Menyingkap Khasanah Ilmu-ilmu
al-Qur’an melalui pendekatan Histors Metodologis. Semarang:
Rasail 2005.
Miftahudin b. Kamil. Tafsir al-Misbah M.Quraish Shihab Kajian Aspek
Metodologi. Malaysia: Universiti Malaya. 2007.
Kementrian Agama RI, Muqaddimah al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta:
Lentera Abadi. 2010.
Martono, Nanang. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo
Persada. 2010.
82
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Posdakarya. t.t.
Nata, Abudin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islqam di
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo. 2005.
al-Nawawī, Muhammad b. ‘Umar b. al-Jāwī. Marāh Labīd Li Kasyf
Ma’na al-Qur’an al-Majīd. Libanan: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah.
1997.
Parhani, Aan. “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam
Tafsir Marāh Labīd.” Tafsere. Vol. 1. No. 1. 2013.
al-Qattān, Manna Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT. Pustaka
Litera Antar Nusa. 2013.
al-Rahman, ‘Abd. “Nawawi al Bantani; an Intellectual Master of The
Pesantren Tradition.” Studia Islamika. Vol. III. No. 3 1996.
Raziqin, Badiatul. Dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta:
e-Nusantara. 2009.
Said, Hasani Ahmad. Diskusi Munasabah al-Qur’an: Tinjauan Kritis
Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-
Misbah. Jakarta: Lecture Press. 2013.
al-Shiddieqy, M. Hasby. Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta: PT. Bulan
Bintang. 1993.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Ciputat: Lentera Hati. 2003.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 2003.
83
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur’an, Ditinjau Dari Aspek
Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib. Bandung:
Mizan. 2013.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur’an. Ciputat: Lentera Hati. 2007.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B. Bandung:
Alfabeta. 2017.
Sunanto, Musyrifah. Nawawi al Bantani: Ulama Indonesia Pengarang
Tafsir Munir (Hasil Penelitian). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2000.
al-Suyūtī, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahman b. Abī Bakr Abū al-Fadl, al-
Itqān Fī ‘Ulūm al-Qur’an. Madinah: al-Irsyād al-Su’udiyyah.
2008.
al-Syahrastanī, Abī al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm b. Abī Bakr
Ahmad. Al-Milal Wa al-Nihal. Beirut: Dār al-Fikr. 2002.
Tihami. Pemikiran Fiqh al Syaikh Muhammad al Nawawi al Bantani,
Disertasi Program Pascasarjana. Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 1998.
Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Quran. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 1996.
Wartini, Atik. “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-
Mishbah.” Hunafa: Jurnal Studia Islamika. t.t.
al-Zarkasyī, Badr al-Dīn. al-Burhān Fī ‘Ulūm al-Qur’an. T.t.: Dār al-
Turāts. 2008.
84
al-Zarqānī, Muhammad Abd al-‘Adzīm. Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-
Qur’an. Dār al-Kitab al-‘Arabī. t.t.
http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/11/nalar-fiqh-muhammad-
quraish shihab/
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab