Upload
dinhhanh
View
233
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN AUDIT MANAJEMEN PENGETAHUAN PADA
ORGANISASI NON PEMERINTAH
(STUDI KASUS DI RIMBAWAN MUDA INDONESIA)
Oleh
NIA RAMDHANIATY
H 24086030
PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
KAJIAN AUDIT MANAJEMEN PENGETAHUAN
PADA ORGANISASI NON PEMERINTAH
(STUDI KASUS DI RIMBAWAN MUDA INDONESIA)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA EKONOMI
Program Sarjana Pada Alih Jenis Manajemen
Departemen Manajemen
Oleh
NIA RAMDHANIATY
H 24086030
PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Kajian Audit Manajemen Pada Organisasi Non Pemerintah
(Studi Kasus di Rimbawan Muda Indonesia)
Nama : Nia Ramdhaniaty
NIM : H24086030
Menyetujui
Pembimbing
Dr. Ir. Anggraini Sukmawati, MM
NIP 196710201994032001
Mengetahui
Ketua Departemen
Dr. Mukhamad Najib, STP, MM
NIP 197606232006041001
Tanggal Lulus :
RINGKASAN
NIA RAMDHANIATY. H24086030. Kajian Audit Manajemen Pengetahuan Pada
Organisasi Non Pemerintah (Studi Kasus di Rimbawan Muda Indonesia). Di bawah
bimbingan ANGGRAINI SUKMAWATI
Peran manajemen pengetahuan menjadi penting untuk dilakukan dalam
menghadapi tantangan issu dan daya saing yang berkembang serta mampu
beradaptasi dan menciptakan inovasi organisasi, mengingat belum banyak organisasi
non pemerintah (Ornop) yang menerapkan manejemen pengetahuan dalam kerja-
kerja lembaganya. Rimbawan Muda Indonesia (RMI) merupakan salah satu Ornop di
Indonesia (1992) menyadari bahwa pengetahuan merupakan asset penting organisasi
untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi organisasi pembelajar. Usia yang tidak
muda ini tentunya menyimpan pengetahuan yang begitu banyak, oleh karena itu
penting untuk melakukan audit pengelolaan pengetahuan yang ada di RMI. Tujuan
penelitian ini adalah menilai penerapan manajemen pengetahuan organisasi dan
menganalisis penyelarasan sistem knowledge management (KM) dengan strategi
organisasi RMI.
Audit manajemen pengetahuan dilihat dari tiga faktor, yaitu audit kualitas
pengetahuan (Zack, 1999), audit kualitas pembelajaran organisasi, dan audit kualitas
proses pengelolaan pengetahuan (Munir, 2008). Sedangkan penyelarasan sistem KM
dengan strategi organisasi dianalisis melalui metode Analisis Hirarki Proses (AHP)
dengan melihat hubungan faktor-faktor enabler condition yang harus diciptakan
organisasi seperti kondisi sosial, kondisi organisasi, dan kondisi teknologi (Sangkala,
2007), hubungan aktor yang berperan, serta hubungan soft variable dan hard variable
sebagai alternatif strategi organisasi dalam menjalankan pengelolaan pengetahuan
(model 7s Mckinsey).
Hasil penilaian kualitas pengetahuan di RMI dengan menggunakan metode
diskusi terfokus (focus group discussion) menunjukkan bahwa RMI berada pada
posisi pengetahuan lanjut (advanced knowledge). Sedangkan hasil audit kualitas
pembelajaran organisasi RMI diperoleh skor 81 yang menunjukkan bahwa RMI
memiliki karakteristik organisasi pembelajar. Hasil audit kualitas proses pengelolaan
pengetahuan diperoleh skor 53 yang berarti RMI telah memiliki proses-proses
pengelolaan pengetahuan yang baik, dengan komponennya masing-masing adalah
akuisisi pengetahuan memiliki skor 13,62; distribusi dan berbagi pengetahuan dengan
skor 12,85; pengembangan dan pemanfaatan pengetahuan dengan skor 13,31; dan
pemeliharaan dan penyimpanan pengetahuan memiliki skor 13,54. Penyelarasan
sistem KM dan strategi organisasi menunjukkan bahwa faktor kondisi organisasi
dengan skor 0,688 menjadi prioritas RMI untuk pengembangan sistem KM. Jika
dilihat hubungan dengan aktor yang berperan dalam organisasi, Direktur Eksekutif
(DE) memiliki peran penting yang dapat memastikan KM berjalan (0,376). Sebagai
alternatif strategi, skill dengan skor 0,271 menjadi prioritas RMI untuk
dikembangkan. Seluruh gambaran hasil audit KM digunakan RMI sebagai dasar
untuk pencapaian visi dan misi RMI sebagai organisasi pembelajar.
iii
RIWAYAT HIDUP
Tiga puluh tiga tahun yang lalu penulis dilahirkan di sebuah kota yang dikenal
dengan sebutan “Kota Hujan”, yaitu Bogor. Tepat pada tanggal 25 Juli 1980 penulis
terlahir ke dunia sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan (Alm) Wihandi
dan Taty Maryati. Saat ini penulis telah memiliki dua orang putra dan putri dari hasil
pernikahannya pada tahun 2005.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Sempur Kaler pada
tahun 1992 dan lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 11 pada tahun 1995.
Penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum PGRI 1 pada tahun 1998 dan di tahun
yang sama penulis diterima sebagai mahasiswi Program Diploma (D-3) Manajemen
Bisnis Perikanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Seleksi Institut
Pertanian Bogor (USMI). Penulis lulus D-3 pada tahun 2001 dan meneruskan
perkuliahan pada program Alih Jenis Manajemen Institut Pertanian Bogor pada tahun
2008.
Sejak kelulusan program D-3 pada tahun 2001, penulis terlibat secara aktif
pada sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak di issu lingkungan dan
kehutanan serta memperjuangkan hak-hak masyarakat (adat dan lokal). Hingga saat
ini penulis masih terlibat secara aktif sebagai pekerja sosial atau aktivis di Rimbawan
Muda Indonesia (RMI) yang berkedudukan di Bogor.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis hingga saat ini. Mengucap syukur Alhamdulillah,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Audit Manajemen
Pengetahuan Pada Organisasi Non Pemerintah (Studi Kasus di Rimbawan Muda
Indonesia) menjelang berakhirnya masa studi penulis di IPB. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Program
Sarjana pada Alih Jenis Manajemen, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu perbaikan. Oleh karena itu
masukan dan saran masih sangat diperlukan penulis untuk memperoleh gambaran
yang lebih utuh dalam konteks manajemen pengetahuan dan organisasi non
pemerintah. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca
untuk memulai, menata kembali dan terus mengembangkan manajemen pengetahuan
dalam ruang lingkup kerja apapun.
Bogor, Februari 2014
Penulis
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih secara umum kepada semua pihak yang
turut mensukseskan penyelesaian studi serta selama penulisan skripsi berlangsung.
Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya secara khusus kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Anggraini Sukmawati, MM sebagai dosen pembimbing yang dengan
sabar memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan yang konstruktif kepada
penulis
2. Ibu Dra. Siti Rahmawati, M.Pd. dan Bapak R. Dikky Indrawan, SP, MM selaku
dosen penguji yang telah mempertajam dan memperkaya substansi skripsi penulis
3. Keluarga besar Rimbawan Muda Indonesia (RMI) yang selalu memberikan
dukungan penuh kepada penulis untuk segera men`yelesaikan studi ini.
4. Seluruh staf dan pengajar Program Sarjana pada Alih Jenis Manajemen,
Departemen Manajemen, FEM IPB
5. Mamah “Taty Maryati” yang selalu mendoakan dan mendukung penulis agar
dapat menjalankan dan menyelesaikan segala kewajiban penulis dengan baik.
Serta kakak, adik dan ponakan-ponakan ku yang selalu memberi ku semangat luar
biasa.
6. Suamiku “Imam Hanafi” dan kedua anakku tercinta “Deswitha Sadha Fathussari”
dan “Galang Azza Pranata” yang selalu bersabar serta terus memberi semangat,
inspirasi dan perhatian yang luar biasa kepada penulis untuk dapat menyelesaikan
studi
7. Seluruh staf di badan pelaksana harian RMI “Mba Lukmi, Mba Nana, Indra, Tilla,
Fahmi, Candra, Siti, Erik, Didhon, Ceceng, Emon, Kang Rojak” yang bersedia
menjadi teman diskusi dan dilengkapi dengan dokumen lainnya yang dibutuhkan
penulis. Trims guys..
8. Mba Luluk Uliyah yang telah bersedia menjadi teman diskusi penulis untuk
mendalami pengelolaan pengetahuan pada organisasi non pemerintah
9. Semua pihak yang turut membantu proses penyelesaian skripsi ini. Terimakasih
atas segala bentuk dukungan yang diberikan.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN
RIWAYAT HIDUP..…………………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR..………………………………………………………… iv
UCAPAN TERIMAKASIH..………………………………………………….. v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… vi
DAFTAR TABEL……………………………………………………………... viii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….. ix
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. x
I. PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………… 1
1.2. Perumusan Masalah………………………………………………… 5
1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………….….. 6
1.4. Manfaat Penelitian …………………………………………………. 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian………………………………………….. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….. 7
2.1. Manajemen Pengetahuan …………………………………………… 7
2.2. Audit Manajemen …………………………………………………… 10
2.3. Organisasi Non Pemerintah……………………………………......... 14
2.4. Organisasi Berbasis Manajemen Pengetahuan ……………………… 17
2.5. Penelitian Terdahulu ………………………………………………… 24
III. METODE PENELITIAN ………………………………………………… 26
3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ……………………………………… 26
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………… 28
3.3. Metode Pengumpulan Data ……………………………………......... 28
3.4. Metode Pengambilan Contoh (Sampling) ………………………..…. 29
3.5. Pengolahan dan Analisis Data ………………………………........... 29
3.1.1 Focus Group Discussion (FGD) ………..………………..… 29
3.1.2 Analisis Dekriptif …………………………………………... 30
3.1.3 Analisis Hirarki Proses (AHP) …………………………….. 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………….. 35
4.1. Gambaran Umum Organisasi ……………………………………… 35
4.2. Karakteristik Responden ………………………………………….. 37
4.3. Penilaian Persiapan Penerapan Manajemen Pengetahuan
Organisasi ………………………………………………………… 38
vii
4.3.1. Komponen Hasil Audit Kualitas Pengetahuan …………… 38
4.3.2. Komponen Hasil Audit Kualitas Pembelajaran …………… 42
4.3.3. Komponen Hasil Audit Kualitas Proses Pengelolaan
Pengetahuan ………………………………………………. 45
4.4. Penyelarasan Sistem Knowledge Management dengan Strategi
Organisasi ………………………………………………………… 47
4.5. Implikasi Manajerial ……………………………………………….. 52
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………… 54
1. Kesimpulan ………………………………………………………………. 55
2. Saran ……………………………………………………………………… 56
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 57
LAMPIRAN …………………………………………………………………… 59
viii
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Hasil survey pengenalan manajemen pengetahuan …………………….. 2
2. Penyebaran NGO di Indonesia per Propinsi ……………………………. 3
3. Karateristik pengetahuan eksplisit dan pengetahuan tacit ……………… 9
4. Definisi variabel-variabel 7-S McKinsey …………………………....... 21
5. Klasifikasi pengetahuan pada CSO di Indonesia ……………………….. 22
6. Strategi pengelolaan pengetahuan di CSO ………………………………. 23
7. Pemaknaan hasil untuk komponen kualitas pembelajaran ……………… 31
8. Pemaknaan hasil untuk komponen kualitas pengelolaan pengetahuan … 31
9. Pemaknaan dari skala perbandingan berpasangan………………………. 33
10. Komposisi staf berdasarkan tingkat jabatan ……………………………. 37
11. Hasil Focus Group Discussion .…………………….……………………. 39
12. Rumusan strategi RMI berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman ………………...…………………………...…………………... 41
13. Tingkat keterkaitan strategi dan pencapaian visi RMI …………………. 42
14. Kualitas proses pengelolaan pengetahuan ……………………………… 45
15. Hubungan faktor dan aktor dalam pengelolaan pengetahuan ………….. 49
16. Prioritas alternatif strategi pengelolaan pengetahuan RMI …………….. 49
17. Implikasi manajerial …………………………………………………….. 54
ix
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Spiral pengetahuan dari Nonaka ………………………………………… 8
2. Peta kondisi pengetahuan organisasi …………………………………… 11
3. Penyelarasan sistem Knowledge Management dan strategi organisasi.… 20
4. Model 7s McKinsey …………………………………………………...... 21
5. Kerangka penelitian…………….………………………………………… 28
6. Struktur model AHP penyelarasan sistem KM dalam organisasi……….. 34
7. Struktur AHP penyelarasan sistem KM dalam organisasi RMI …………. 50
x
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Struktur fungsional RMI Bogor periode kerja 2012-2016 ……………… 60
2. Hasil komponen audit kualitas pembelajaran ..………………………….. 61
3. Hasil komponen audit kualitas proses pengelolaan pengetahuan ………. 62
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada masa kelahirannya tahun 1945, organisasi non pemerintah lahir untuk
membedakan hak partisipatif badan-badan pemerintah (international agencies) dan
organisasi-organisasi swasta internasional (international private organization).
Istilah Non-Governmental Organization (NGO) pun tercantum di dalam Piagam PBB
Pasal 71 Bab 10 tentang peranan konsultatif non-governmental organization. Sinaga,
2007 menyebutkan bahwa dalam beberapa dekade yang lalu, NGO telah menjadi
pemain utama dalam bidang pengembangan internasional. Peranan NGO sangat
penting untuk membangun suatu masyarakat dan bangsa, mengingat banyak
pembiayaan untuk masyarakat yang disalurkan melalui NGO. Saat ini diperkirakan
lebih dari 15% dari total bantuan dunia untuk pengembangan masyarakat disalurkan
melalui NGO. Maka tak heran jika pertumbuhan NGO di dunia pun terus bertambah.
Sinaga, 2007 mempertegas diperkirakan jumlah NGO di dunia mencapai 6.000
sampai 30.000 NGO nasional yang ada di Negara-negara berkembang. Amerika
Serikat misalnya sudah memiliki sekitar 2 juta NGO yang sebagian besar didirikan 30
tahun yang lalu. Rusia memiliki 400.000 NGO, India diperkirakan mencapai 1
hingga 2 juta NGO, Iran memiliki 20.000 NGO aktif di tahun 2003, dan di Kenya
terbentuk 240 NGO setiap tahun. Kelahiran NGO yang semakin banyak dari
sebelumnya tak lain adalah mencoba untuk mengisi ruang yang tidak akan atau tidak
dapat diisi oleh pemerintah.
Merujuk pada kondisi di Indonesia, dalam tujuh tahun terakhir (1998-2005)
fenomena kelahiran NGO di Indonesia belum diikuti dengan perubahan sosial dan
tidak terjadinya perubahan politik fundamental yang signifikan, terutama di aras lokal
(Laporan Akhir desk study UGM, 2005). Laporan tersebut juga menyebutkan
terdapat 3 faktor yang mempengaruhi yaitu 1) kelangkaan NGO dan masih
terkonsentrasi di Pulau Jawa, 2) kuatnya rasa saling tidak percaya secara timbal balik
antara NGO dan pemerintah, dan 3) perbedaan sejarah dan watak keduanya.
Fenomena lainnya adalah belum berjalannya silang pengetahuan yang dimiliki NGO
2
maupun pemerintah serta lemahnya pengelolaan pengetahuan di kedua pihak tersebut.
Hal ini terlihat dari belum terlihat rekaman data survey pengelolaan pengetahuan
pada NGO maupun pada organisasi pemerintah sendiri. Tabel 1 menunjukkan bahwa
pengelolaan pengetahuan baru dikenal dan diterapkan pada perusahaan dengan jenis
BUMN, swasta nasional skala besar, swasta nasional skala kecil-menegah dan
Multinasional.
Tabel 1 Hasil survey pengenalan manajemen pengetahuan
Jenis
Perusahaan
Jumlah
Perusa-
haan
Tidak
Pernah
Mendengar
Mengenai
Manajemen
Pengetahuan
Pernah
Mendengar
Mengenai
Manajemen
Pengetahuan
Bila Sudah Pernah Mendengar Mengenai
Manajemen Pengetahuan:
Sudah
Memiliki
Manajemen
Pengetahuan
Akan
Memiliki
dalam 1-2
Tahun
Mendatang
Akan
Memiliki
dalam 3-4
Tahun
Mendatang
∑ % ∑ % ∑ ∑ ∑
BUMN 36 4 11 32 89 8 10 14
Swasta Nasional
Skala Besar
86 12 14 74 86 28 31 15
Swasta Nasional
Skala
Menengah-Kecil
61 44 72 17 28 2 2 13
Multinasional 6 - 0 6 100 6
Sumber : Munir (2008)
Organisasi non pemerintah (ORNOP) atau yang sering dikenal dengan istilah
CSO (Civil Society Organization) atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
mengalami perkembangan dan pergeseran yang cukup pesat. Organisasi non
pemerintah merupakan organisasi yang bersifat nirlaba, kelompok masyarakat yang
bekerja secara sukarela, kedudukannya berada di level lokal, nasional maupun
internasional. Orientasi tugas ORNOP didorong oleh orang-orang yang memiliki
kepentingan bersama, performa nya berdasarkan keragaman pelayanan dan fungsi
kemanusiaan. Sejak awal berdirinya tahun 1970an, pergeseran Ornop di Indonesia
terjadi secara kuantitaif maupun yang menyangkut kondisi internal dan eksternal.
Lembaga peneliti SMERU (2004) mengidentifikasi terdapat 2406 NGO dan LP3ES
(2001) menyebutkan ada sekitar 429 NGO yang tersebar di Indonesia (Tabel 2).
3
Tabel 2 Penyebaran NGO di Indonesia per Propinsi
No. Nama Provinsi versi SMERU (Maret 2004)
versi LP3ES (Februari 2001)
1. Aceh 130 29 2. Sumatera Utara 130 15 3. Sumatera Barat 55 6 4. Riau 44 14 5. Jambi 23 6 6. Sumatera Selatan 20 13 7. Bengkulu 27 9 8. Lampung 35 11 9. Bangka Belitung 2 Tidak ada data
10. DKI Jakarta 292 33 11. Jawa Barat 224 25 12. Jawa Tengah 209 27 13. DI Yogyakarta 95 30 14. Jawa Timur 149 17 15. Banten 12 Tidak ada data 16. Bali 24 25 17. Nusa Tenggara Barat 136 28 18. Nusa Tenggara Timur 124 19 19. Kalimantan Barat 59 11 20. Kalimantan Tengah 30 13 21. Kalimantan Selatan 25 9 22. Kalimantan Timur 25 7 23. Sulawesi Utara 36 11 24. Sulawesi Tengah 38 17 25. Sulawesi Selatan 124 12 26. Sulawesi Tenggara 86 23 27. Gorontalo 1 Tidak ada data 28. Maluku 24 5 29. Maluku Utara 2 Tidak ada data 30. Papua 223 14
TOTAL 2406 429
Sumber : SMERU (2004) dan LP3ES (2001)
Perbedaan jumlah yang cukup signifikan tersebut disebabkan karena
perbedaaan dimensi definisi NGO yang digunakan oleh kedua lembaga tersebut. DKI
Jakarta dan Jawa Barat merupakan dua propinsi yang cukup besar pertumbuhan NGO
nya. Laporan akhir desk study yang dikeluarkan oleh UGM (2005) menyebutkan
bahwa terdapat tiga kategori NGO yang berkembang di Indonesia, yaitu Government
Reform, Community Empowerment dan Co-Production.
Organisasi non pemerintah berkembang begitu pesat namun tidak berbanding
lurus dengan perubahan sosial, politik dan lingkungan yang fundamental. Raras
(2010) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa saat ini NGO/organisasi non
pemerintah belum banyak memanfaatkan pengetahuan yang ada sebagai asset
4
intelektual yang harus digunakan dalam melakukan perubahan sosial dan perubahan
politik di Indonesia. Peran manajemen pengetahuan menjadi penting untuk dilakukan
dalam menghadapi tantangan issu dan daya saing yang berkembang serta mampu
beradaptasi dan menciptakan inovasi organisasi, mengingat belum banyak NGO yang
menerapkan manejemen pengetahuan dalam kerja-kerja lembaganya. Begitu pula
dengan Nugroho dan Amalia (2010) yang menjelaskan bahwa strategi pengelolaan
pengetahuan yang dilakukan organisasi non pemerintah masih bersifat personalisasi.
Rimbawan Muda Indonesia (RMI) merupakan salah satu NGO di Jawa Barat
sejak tahun 1992 yang masuk ke dalam kategori Community Empowerment dengan
fokus issu pada lingkungan dan kehutanan. Belum terdapat data khusus berapa
banyak NGO yang memiliki kesamaan ketegori dan fokus issu. Sejak berdiri, RMI
lebih mengedepankan pada strategi Pengorganisasian Masyarakat, Pendidikan
Lingkungan Hidup, Riset Aksi, Kampanye dan Advokasi dengan konstituen
utamanya adalah masyarakat desa hutan. Beragam publikasi pun telah dihasilkan,
baik dalam bentuk laporan, buku, peta, dan publikasi lainnya.
Selama hampir 22 tahun berdiri, tentunya tidak sedikit pengetahuan yang
dihasilkan RMI. Namun pengetahuan tersebut hilang seiring dengan keluar masuknya
staf. Berdasarkan pada dokumen internal RMI (2011) sebanyak 40% staf RMI
menyatakan diri tidak bergabung lagi di RMI pada tahun 2009-2010. Turn over yang
cukup tinggi dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah organisasi non
pemerintah yang memiliki kecenderungan ketergantungan cukup tinggi pada lembaga
donor. Ketergantungan ini membawa dampak pada ketidakpastian jenjang karir serta
berimplikasi pada mekanisme kompensasi organisasi yang tidak stabil. Hal ini
berpotensi pada tingginya turn over pada organisasi non pemerintah, termasuk RMI.
Dokumen hasil audit kelembagaan RMI pada tahun 2010 menyebutkan bahwa
dalam konteks sumberdaya di RMI ditemukan beberapa hal yang terkait dengan
pengelolaan sumberdaya dan proses-proses organisasi di RMI. Diantaranya adalah a)
masih belum terjadi transfer pengetahuan dan keterampilan (termasuk tentang
pengelolaan organisasi) secara maksimal dari staf senior kepada yunior, b)
terbatasnya ruang perdebatan gagasan dan strategi pengembangan kreatifitas
5
pengelolaan organisasi dan program, c) penyempurnaan organisasi (sistem-sistem,
legalitas) tidak berkembang sejalan dengan ekspansi program yang dilakukan. Hal
ini menyebabkan kesenjangan pengetahuan dan keterampilan antara senior dan
yunior, staf yang potensial meninggalkan organisasi, serta memperlemah rasa
memiliki dalam organisasi dan memunculkan pragmatisme di kalangan staf. Kondisi
ini lah yang menyadarkan organisasi bahwa asset pengetahuan menjadi hal penting
yang perlu diperhatikan, baik tacit maupun eksplisit. Sehingga pada awal tahun 2011
RMI merumskan cita-cita sebagai organisasi pembelajar yang tertuang di dalam misi
dan program kerja (2011-2016) RMI serta mengintroduksi Divisi Trancending
Knowledge di dalam struktur fungsional RMI dan berubah menjadi Divisi Knowledge
Management pada awal tahun 2013.
Secara umum kondisi yang dialami RMI juga dialami kebanyakan organisasi
non pemerintah lainnya di Indonesia. Dalam kerangka mewujudkan salah satu cita-
cita RMI sebagai organisasi pembelajar, pengelolaan pengetahuan RMI sebagai aset
intangible organisasi perlu dikelola dengan baik. Sebagai langkah awal diperlukan
pemeriksaan (audit) kesiapan organisasi RMI sebagai organsiasi pembelajar.
1.2. Perumusan Masalah
Pengetahuan organisasi bergantung pada pengetahuan staf didalamnya.
Sangat memungkinkan jika staf keluar dari organisasi, maka hilang pula seluruh
pengetahuan yang seharusnya dimiliki organsiasi tersebut. Maka tak heran jika
organisasi non pemerintah belum berminat dan bahkan belum menerapkan
manajemen pengetahuan didalam kesehariannya. Begitu pula dengan Rimbawan
Muda Indonesia (RMI) yang memiliki persoalan turn over staf yang cukup tinggi
pada tahun 2009-2010 yaitu sebanyak 40%. Hal ini merupakan implikasi dari tata
kepengurusan, sistem organisasi, pengelolaan sumberdaya (manusia dan aset
organisasi), serta budaya dan proses-proses organisasi yang tidak berjalan secara
maksimal dan optimal. Sehingga pada awal tahun 2011 RMI mulai mempersiapkan
diri sebagai organisasi pembelajar yang diterjemahkan kedalam misi dan program
6
kerja 2011-2016. Dalam kerangka mempersiapkan organisasi RMI menjadi organisasi
pembelajar, sebagai langkah awal perlu dilakukan audit manajemen pengetahuan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini akan memfokuskan pada:
1. Bagaimana manajemen pengetahuan yang dilakukan di Rimbawan Muda
Indonesia (RMI)?
2. Bagaimana sistem manajemen pengetahuan dalam organisasi RMI yang dapat
diimplementasikan?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang disebutkan
sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi manajemen pengetahuan yang telah dilakukan oleh RMI
2. Menganalisis sistem knowledge management (KM) dalam organisasi yang dapat
diimplementasikan RMI
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran hasil audit manajemen pengetahuan organisasi serta
membantu organisasi mengidentifikasi strategi manajemen pengetahuan yang
dapat diimplementasikan organisasi
2. Sebagai bahan referensi bagi pihak lain yang membutuhkan untuk melakukan
penelitian lanjutan di bidang yang sama ataupun penelitian lanjutan
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara mendalam untuk mengaudit manajemen
pengetahuan yang dilihat melalui tiga komponen, yaitu audit kualitas pengetahuan,
audit kualitas pembelajaran dan audit kualitas proses pengelolaan pengetahuan
dengan menggunakan kerangka analisis deskriptif dan analisis hirarki proses (AHP)
dari teori yang dikembangkan Munir (2008).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Manajemen Pengetahuan
Manajemen pengetahuan berkembang pesat sejak tahun 2000an.
Kemunculannya memandang bahwa pada dasarnya setiap organisasi yang ingin
berkembang harus dilakukan dengan cara yang cerdas. Yaitu dengan memberi
kesempatan kepada karyawannya untuk belajar mengenai bagaimana melakukan
pekerjaan dengan cara yang lebih baik dan kemudian memastikan bahwa mereka
telah bekerja lebih baik. Manajemen Pengetahuan adalah suatu disiplin yang
memperkenalkan suatu pendekatan terintegrasi dalam mengidentifikasi, menangkap,
mengevaluasi, memberikan dan berbagi informasi untuk kepentingan perusahaan atau
lembaga atau organisasi (Balaji dan Makhija disitasi Yusup, 2012). Definisi ini juga
dibenarkan oleh Bergerson (2003) bahwa manajemen pengetahuan merupakan suatu
pendekatan yang sistemik untuk mengelola asset inetelektual dan informasi lain
sehingga memberikan keunggulan bersaing bagi perusahaan. Beberapa ahli lainnya
pun memberikan beragam definisi. Termasuk Tannebaum (1998) yang memberikan
pemahaman yang lebih komprehensif, yaitu:
1. Manajemen Pengetahuan mencakup pengumpulan, penyusunan,
penyimpanan, dan pengaksesan informasi untuk membangun pengetahuan
2. Manajemen pengetahuan mencakup berbagi pengetahuan (sharing knowledge)
3. Manajemen pengetahuan terkait dengan pengetahuan orang
4. Menajemen pengetahuan terkait dengan peningkatan efektivitas organisasi
Yusup (2012) menambahkan bahwa manajemen pengetahuan juga melingkupi
pola hubungan antara manajemen dengan pengetahuan. Sehingga ruang lingkup
manajemen pengetahuan terletak pada aliran pengetahuan dan interaksi, proses,
siklus, analisis, sistem beserta alur. Tahap berikutnya adalah penciptaan pengetahuan
yang meliputi kemunculan pengetahuan hingga perkembangannya, serta faktor
penyimpanan seperti pendokumentasian pengetahuan, perekaman pengetahuan,
sharing pengetahuan dan distribusi pengetahuan.
8
Jenis pengetahuan terbagi menjadi dua, yaitu jenis pengetahuan yang ada pada
orang dan belum dikodifikasikan atau disimpan dalam media penyimpanan, yang
disebut dengan pengetahuan tacit (tacit knowledge), sedangkan jenis pengetahuan
yang sudah bisa dikodifikasikan atau sudah disimpan dalam dokumen dan media
penyimpanan lainnya disebut sebagai pengetahuan eksplisit (explicit knowledge).
Kedua jenis ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, mereka saling melengkapi,
berinteraksi pada lingkungan hubungan manusia yang disebut dengan proses konversi
pengetahuan. Nonaka dan Takeuchi (1995) dalam Raras (2010) menyebutkan ada 4
jenis proses konversi yang dikenal dengan SECI proses, yaitu Sosialisasi,
Eksternalisasi, Kombinasi dan Internalisasi, seperti yang ditampilkan pada Gambar 1
dibawah ini.
Gambar 1. Sipral pengetahuan dari Nonaka
Yusup (2012) dalam bukunya mempertajam karakteristik pengetahuan tacit
dan pengetahuan eksplisit kedalam beberapa sisi, yaitu sisi proses penerimaan
pengetahuan, bentuk pengetahuan dan model distribusi pengetahuan. Selain itu juga
disampaikan contoh-contoh yang membedakan karakter tacit knowledge dan explicit
knowledge seperti yang disajikan dalam Tabel 3.
Tacit Dialogue Explicit
Socialization Externalization Sharing experience Writing it down
Observing, imitating Creating metaphors
Brainstorming and analogics
without criticsm Modeling
Internalization Combination Access to codified Shorting, adding
Knowledge categorizing
Goal based training Methodology creation
Best Practices
Learning by doing
Explicit
Tacit
Field
Building
Linking
Explicit
Knowledge
9
Tabel 3 Karateristik pengetahuan eksplisit dan pengetahuan tacit
Pengetahuan Eksplisit Pengetahuan Tacit Dipindahkan dari penciptaan atau penggunaan konteks asli
Kurang bisa difahami dan diaplikasikan, sulit atau tidak bisa sepenuhnya difahami oleh orang lain
Diartikulasikan secara lebih précis dan lebih formal. Hasil rekaman, teks naskah dan lain-lain
Sulit diartikulasikan dan dikomunikasin kepada orang lain dengan hasil yang sama
Terdokumentasikan secara baik seperti rekaman tape, dokumen, buku, naskah, dan lain-lain
Dikembangkan dari pengalaman dan kegiatan/aksi secara langsung, demonstrasi oleh ahli, sajian aksi tertentu oleh ahlinya
Dapat di share/dibagikan dengan menggunakan media teknologi seperti computer, contohnya database, system berbagi informasi dengan hasil yang relative sama
Biasanya dishare melalui komunikasi interaktif yang sangat intens dan kontes tinggi, juga bisa di share melalui latihan praktis dengan panduan ahlinya
Contoh: karya sastra, buku pedoman pelatihan, software, computer, dan lain-lain
Contoh: Keahlian dalam memecahkan masalah, kemampuan menemukan masalah, antisipasi dan prediksi, kemampuan lobi, dan kemampuan kognisi, afeksi dan konasi secara integrasi.
Sumber : Yusup (2012)
Aktivitas manajemen pengetahuan menurut Wiig yang dikutip oleh Sangkala
(2007) pada dasarnya dapat dilihat dari tiga perspektif dengan perbedaan dari sisi
horizon dan tujuan, yaitu:
1) Bussiness perspective, yakni lebih berfokus pada mengapa, dimana dan untuk
apa perusahaan harus berinvestasi atau memanfaatkan pengetahuan
2) Management perspective, yakni berfokus pada penentuan, pengorganisasian,
pengarahan, memfasilitasi dan memonitor pengetahuan – terkait dengan
praktik dan aktivitas yang diperlukan untuk mencapai strategi dan tujuan
bisnis yang diinginkan
3) Hands-on operational perspective, yakni berfokus pada penerapan keahlian
untuk menyalurkan explicit knowledge – terkait dengan pekerjaan dan tugas-
tugas
Pendekatan pengetahuan bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu penciptaan
pengetahuan dan pemanfaatan pengetahuan bagi kepentingan kinerja dan
pengembangan organisasi, baik secara individual ataupun secara kolektif, termasuk
implementasi berbagi pengetahuan secara lebih meluas di kalangan anggota-anggota
organisasi.
10
Organisasi modern memandang bahwa pengetahuan manusia yang ada
didalamnya merupakan modal organisasi yang sangat kuat. Dengan modal ada, setiap
organisasi dituntut untuk mampu memainkan peran sebagai pengelola yang baik
untuk mencapai organisasi yang efektif. Modal intelektual terdiri dari beragam
komponen yang berbeda, namun tetap berakar pada manusia pekerja, manusia
berprofesi sebagai karyawan, organisasi, rutinitas kerja organiasai, kekayaan
intelektual, dan hubungan dengan pelanggan, termasuk pemasok, distributor, dan
mitra kerja lainnya.
Sangkala (2007) menyebutkan kategori pengukuran modal intelektual dapat
dilakukan pada:
1. Sumberdaya Manusia, yang mencakup tentang komposisi manajemen dan
kepuasan sumberdaya manusia (karyawan)
2. Pelanggan, yang mencakup pernyataan tentang komposisi manajemen, dan
kepuasan pelanggan
3. Teknologi, yang mencakup tentang ruang lingkup, fungsi, dan penerapan system
teknologi informasi
4. Proses, yang mencakup tentang ruang lingkup, peralatan dan efisensi aktivitas
bisnis
2.2. Audit Manajemen
Munir (2008) menjelaskan audit manajemen pengetahuan adalah kegiatan
memeriksa secara kualitas pengelolaan pengetahuan di suatu organisasi. Adapun
tujuan dari proses audit ini adalah untuk mengecek pengetahun yang dimiliki dan
dibutuhkan suatu organisasi, melihat kesiapan organisasi dalam memfasilitasi
pembelajaran serta melihat kualitas proses-proses pengelolaan pengetahuan. Oleh
karena itu sebaiknya sebelum melakukan audit manajemen setiap organisasi
memahami alasan keinginan untuk mengembangkan manajemen pengetahuan.
Beberapa komponen audit manajemen pengetahuan dalam organisasi yang
dijelaskan oleh Munir (2008) adalah:
11
1. Audit Kualitas Pengetahuan
Audit kualitas pengetahuan ditujukan untuk memperoleh gambaran
mengenai ragam kelompok pengetahuan yang dibutuhkan beserta tingkatannya,
ragam kelompok pengetahuan yang sudah dimiliki beserta tingkatannya, serta
ragam pengetahuan yang perlu diakuisisi, tingkatan dan prioritasnya. Setiap
organisasi mampu memotret kondisi pengetahuan yang dimilikinya dan yang
dibutuhkan dengan menggunakan peta yang dikembangkan oleh Zack (1999)
yang disitasi oleh Munir (2008) seperti pada Gambar 2. Gambar tersebut dapat
menunjukkan kondisi internal organisasi yaitu profil pengetahuan yang
dibutuhkan (pengetahuan strategis), serta menggambarkan kondisi eksternal
organisasi yaitu pengetahuan yang dimiliki organisasi lain. Selain itu juga untuk
melihat tingkat pengetahuan yang dimiliki organisasi sendiri maupun organisasi
lain.
Gambar 2. Peta kondisi pengetahuan organisasi
INOVATOR
PEMIMPIN
PASAR
PESAING
SEIMBANG
TERSESAT
DALAM
MASALAH
Pengetahuan
Inovatif
Pengetahuan
Lanjut
Pengetahuan
Inti Pengetahuan
Lanjut
Pengetahuan
Inovatif
Org
an
isasi
An
da
Organisasi Pesaing/Lain
12
2. Audit Kualitas Pembelajaran di Organisasi
Pembelajaran di organisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor pemungkin
(enabler) yang akan membuat pembelajaran menjadi focus, bermanfaatn, efisien,
mudah dan menyenangkan. Komponen yang kedua ini berfungsi untuk
memperoleh gambaran mengenai kesiapan organisasi dalam memfasilitasi
pembelajaran anggotanya dan kesiapan organisasi dalam memanfaatkan hasil
pembelajaran anggotanya untuk mengubah dan menyempurnakan dirinya.
Menurut Kim (1993) yang disitasi oleh Munir (2008) menyebutkan bahwa
pembelajaran merupakan proses mendapatkan pengetahuan yang dilanjutkan
dengan aktualisasi pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki. Definisi ini
mengandung arti dua hal:
(a) Proses mendapatkan pengetahuan untuk mengetahui bagaimana caranya
yang akan mendasari kemampuan fisik untuk memproduksi suatu tindakan,
dan
(b) Proses mendapatkan pengetahuan untuk mengetahui mengapa demikian
yang menghasilkan kemampuan untuk mengartikulasikan pemahanan
konseptual dari suatu pengalaman
Dengan demikian pembelajaran bisa disebutkan sebagai proses peningkatan
kapasitas manusia untuk melakukan tindakan yang efektif. Siklus OADI
(Observe, Assess, Design dan Implement) disebutkan sebagai aliran proses
pembelajaran individu dari Koffman (1992) yang disitasi oleh Munir (2008) dan
disempurnakan dengan ingatan (memory) sebagai proses mempertahankan
(pengetahuan dan keterampilan) yang diperoleh.
Pembelajaran individu dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu adanya kebutuhan
pengetahuan, adanya akses terhadap pengetahuan, adanya pengetahuan prasyarat,
kemampuan untuk menyerap pengetahuan, dan adanya peluang untuk
menerapkan pembelajaran. Kumpulan pembelajaran individu seharusnya bisa
mejadi pembelajaran organisasi yang digambarkan dengan tindakan individu
didasari oleh keyakinan individu tersebut. Tindakan individu-individu tersebut
13
akan menyebabkan organisasi bertindak dan menghasilkan tanggapan lingkungan
eksternal. Tanggapan lingkungan akan mempengaruhi keyakinan individu tadi.
Karakteristik organisasi pembelajar perlu diketahui untuk keperluan audit
manajemen. Senge (1990) yang dikutip oleh Munir (2008) menyebutkan bahwa
untuk menjadi organisasi pembelajar perlu menerapkan lima disiplin, yaitu:
(a) Penerapan disiplin berfikir sistem
(b) Penerapan disiplin visi bersama
(c) Penerapan disiplin pembelajaran tim
(d) Penerapan disiplin keahlian pribadi
(e) Penerapan disiplin modal mental
3. Audit Kualitas Proses Pengelolaan Pengetahuan
Tujuan dari audit kualitas proses pengelolaan pengetahuan untuk
mendapatkan gambaran mengenai efektivitas proses-proses pengelolaan
pengetahuan di organisasi yang terdiri dari: a) proses akuisisi pengetahuan, b)
proses distribusi dan berbagi pengetahuan, c) proses pengembangan dan
pemanfaatan pengetahuan, dan d) proses penyimpanan dan pemeliharaan
pengetahuan (Munir, 2008).
Akuisisi pengetahuan diperlukan untuk memperoleh pengetahuan-
pengetahuan yang dibutuhkan organisasi. Munir (2008) menambahkan bahwa di
tingkat organisasi, perluasan batas-batas pengetahuan dengan cara mengakuisisi
pengetahuan-pengetahuan lain yang berada di luar organisasi menjadi keharusan.
Setelah melakukan akuisisi, proses selanjutnya adalah penyebarluasan
pengetahuan dimana sasarannya adalah pengetahuan yang dikuasai oleh satu
orang ke sebanyak mungkin orang di organisasi. Pengetahuan yang telah ada
akan lebih bermakna bila terjadi aktualisasi terhadap pengetahuan yang
dimilikinya melalui asimilasi pengetahuan baru dengan pengalaman yang
dimilikinya. Munir (2008) menjelaskan bahwa proses pemanfaatan pengetahuan
bertujuan untuk mengasimilasi atau mengkombinasikan pengetahuan baru
14
dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dalam bentuk cara pandang baru, cara
kerja baru atau kebijakan baru.
Pengetahuan yang telah ada bisa jadi hilang apabila tidak tersimpan dengan
baik. Proses penyimpanan pengetahuan merupakan kegiatan yang ditujukan
untuk memastikan bahwa pengetahuan yang ada di organisasi terpelihara dan
tersimpan dalam bentuk yang mudak diakses oleh yang membutuhkan.
2.3. Organisasi Non Pemerintah
Organisasi adalah suatu sistem yang terdiri dari pola aktivitas kerjasama yang
dilakukan secara teratur dan berulang-ulang oleh sekelompok orang untuk mencapai
suatu tujuan (Gitosudarmo, 1997 yang dikutip oleh Ardana et al (2009).
Setiap organisasi formal cenderung memiliki visi dan misi yang jelas. Visi
menurut Encarta (2009) yang disitasi oleh Yusup (2012) berarti pandangan ke depan,
kemampuan memandang kedepan atau kemampuan mengantisipasi peristiwa dan
perkembangan di masa yang akan datang. Sedangkan misi adalah formal business
statement of aims, yaitu suatu dokumen formal yang menyatakan tujuan yang ingin
dicapai suatu organisasi atau perusahaan.
Praktik organisasi secara keseluruhan dibangun secara sadar sehingga akan
terlihat dalam perilaku budaya organisasi, dimana konsepnya adalah aturan, nilai-
nilai, prinsip dan asumsi dasar yang dapat mengarahkan perilaku organisasi.
Membangun budaya yang sudah menjadi komitmen organisasi setidaknya memiliki
banyak aspek dominan kompetensi manajemen, antara lain proses, kualitas,
perubahan, pengetahuan dan sumberdaya manusia (Yusup, 2012).
World Bank yang dikutip Sinaga, 2007 mendefinisikan NGO sebagai
organisasi swasta yang menjalankan kegiatan untuk meringankan penderitaan,
mengentaskan kemiskinan, memelihara lingkungan hidup, menyediakan layanan
social dasar atau melakukan kegiatan pengembangan masyarakat. Laporan SIPOL
UGM, 2005 menyebutkan NGO atau civil society dapat dipahami dalam tiga kriteria,
nilai, aktor dan ruang. Dalam kriteria ruang, civil society diartikan oleh Stepan (2002)
yang dikutip di dalam laporan tersebut mengandalkan nilai civility untuk kepentingan
15
bersama. Gerakan sosial civil society dibangun berdasarkan kesukarelaan, bersifat
self-generating, self supporting, berorientasi pada pengambilan keputusan dan
pengaturan diri sendiri, dan mengekspresikan diri secara bebas namun mengacu
kepada kualitas civility. Hal itu merupakan syarat penting bagi terwujudnya
harmonisasi dalam relasi antara masyarakat. Civility muncul karena identitas
kebersamaan sebagai warga negara yang memiliki nilai etik berdasarkan hak dan
kewajiban yang sama-sama dihormati untuk sebuah keharmonisan hidup masyarakat.
Civil society dalam kriteria aktor mencakup organisasi-organisasi sukarela
sampai organisasi yang dibentuk negara tetapi berperan sebagai perantara individu
dan negara, pribadi dan publik. Dalam pemahaman ini civil society harus dibedakan
dengan suku, klan, dan jaringan-jaringan klientelis. Hal ini penting karena civil
society mengharuskan adanya sifat publik dan civic yang erat untuk memiliki
kemampuan otonom agar dapat berpartisipasi dalam kepentingan publik untuk dapat
mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka (kultural, ekonomi, politik) secara
publik.
Civil society mensyaratkan adanya ruang publik yang bebas (free public
sphere). Suatu wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses
penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warganegara berhak melakukan kegiatan
secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta
menyiarkan penerbitan yang berkaitan dengan kepentingan umum secara bebas dan
terbuka.
Civil society terepresentasi oleh berbagai jenis organisasi masyarakat sipil
(Civil Society Organisation) yang luas, baik melalui sistem membership ataupun
tidak sebagai berikut (Diamond, 2004 dikutip di dalam Laporan SIPOL UGM, 2005):
(a) Ekonomi: Asosiasi dan jaringan yang produktif dan komersial.
(b) Budaya: Agama, etnik, kelompok komunal, dan institusi dan asosiasi lain
yang mempertahankan hak kolektif, nilai, kepercayaan publik.
(c) Kepentingan: kelompok yang bertujuan memajukan atau melindungi
kepentingan anggotanya seperti perserikatan buruh, asosiasi pensiunan, dan
kelompok profesional.
16
(d) Pembangunan: organisasi yang mengumpulkan resource dan bakat individual
untuk memajukan infrastuktur, institusi dan kualitas kehidupan masyarakat.
(e) Orientasi isu: gerakan perlindungan lingkungan, perlindungan konsumen, hak
perempuan dll.
(f) Civic/kewargaan: kelompok non partisan yang bertujuan memajukan sistem
politik dan membuatnya menjadi demokratis (pengawas pemilu, pembela
HAM dll).
Sinaga, 2007 menambahkan bahwa World Bank mengelompokkan NGO
kedalam dua kelompok yaitu Operasional dan Advokasi.
1. NGO Operasional memiliki tujuan utama perancangan dan implementasi proyek
pengembangan, sehingga biasanya menggerakkan sumberdaya untuk
menjalankan proyek nya. NGO operasional terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu
Organisasi berbasis masyarakat, organisasi nasional maupun organisasi
internasional
2. NGO Advokasi memiliki tujuan mempertahankan atau memelihara suatu isu
khusus dan bekerja untuk mempengaruhi kebijakan dan tindakan pemerintah
untuk atau atas isu tersebut.
NGO bisa dikelompok pula berdasarkan orientasi, seperti orientasi amal,
orientasi pelayanan, orientasi partisipasi dan orientasi pemberdayaan; dan
berdasarkan tingkat operasi, seperti organisasi keagamaan, organisasi perkotaan,
organisasi massa, dan lain sebagainya. NGO memiliki 6 peranan penting yang
dimainkan, yaitu:
1. Pengembangan dan pembangunan infrastruktur
2. Mendukung inovasi, ujicoba dan proyek percontohan
3. Memfasilitasi komunikasi
4. Bantuan teknis dan pelatihan
5. Peneltian, monitoring dan evaluasi
6. Advokasi untuk dan dengan masyarakat miskin
17
2.4. Organisasi Berbasis Manajemen Pengetahuan
Sangkala (2007) menegaskan bahwa dalam kerangka membentuk organisasi
berbasis Knowledge Management, maka terdapat tiga faktor penting yang harus
diprakondisikan di dalam organisasi, yaitu:
(a) Kondisi Sosial (sumberdaya manusia). Pengelolaan pengetahun sebuah organisasi
tergantung pada sumberdaya manusia di organisasi tersebut. Idealya kondisi
sosial mencakup perhatian, penilaian, pemberdayaan, kepercayaan, otonomi,
pengungkitan kompetensi, pekerja atau aktivis pengetahuan.
(b) Kondisi Organisasi. Menjadi organisasi pembelajar bukan hanya menciptakan
pengetahuan yang baru, namun juga mengelola pengetahuan yang telah ada. Oleh
karenanya penting bagi organisasi untuk berkomitmen memberi ruang-ruang
interaksi pengetahuan antar staf serta dan memotivasi untuk menciptakan
pengetahuan yang baru. Beberapa unsur penting lainnya dalam mengkondisikan
sebuah organisasi yang memiliki karakter pembelajar antara lain: fluktuasi dan
kekacauan kreatif; adanya sistem yang terintegrasi pada pekerjaan sehari-hari;
redudansi yaitu informasi yang melampaui keperluan operasional anggota
organisasi; menanamkan visi pengetahuan; mengelola percakapan;
mengglobalkan pengetahuan lokal; pejuang pengetahuan; menciptakan iklim
keterbukaan; keperluan yang beragam; komunitas; kolaborasi dan dialog.
(c) Kondisi Teknologi. Teknologi informasi dan komunikasi adalah untuk
menghubungkan orang dengan orang lain untuk mengeksplisitkan pengetahuan.
Beberapa unsur penting pada kondisi teknologi ini antara lain peta rute
pengetahuan yang mejadi petunjuk sumber informasi dan pengetahuan, baik dari
dalam maupun luar organisasi; dan tercipatanya wahana kolaborasi yaitu
teknologi komunikasi dan informasi yang secara elektronis memfasilitasi
kelompok atau tim kerja berkolaborasi.
Sedangkan Setiarso et al (2009) menambahkan bahwa terdapat penerapan
Knowledge Managemet yang sukses sebaiknya ditinjau dari tiga komponen kritis,
yaitu:
18
a. Alur manajemen yang benar dan sumber yang dilimpahkan ke
organisasi/institusi
b. Teknologi tepat yang disimpan dan dapat mengkomunikasikan knowledge
tersebut
c. Budaya tempat kerja yang benar, sehingga karyawan termotivasi untuk
memanfaatkan knowledge
Penerapan manajemen pengetahuan di dalam organisasi merupakan suatu
proses yang panjang dan lama, yang ditunjang dengan perubahan perilaku semua
karyawan. Setiarso et al (2009) menegaskan dan mempertajam bahwa terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi Organisasi Berbasis
Manajemen Pegetahuan, yaitu:
(a) Menentukan strategi manajemen pengetahuan yang sesuai dengan strategi
organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi.
(b) Menyusun Road Map Pengetahuan. Hal ini dilakukan untuk mengklasifikasikan
pengetahuan yang berbagai jenis, diantaranya jenis hierarkis, klasifikasi pohon,
paradigm dan facet.
(c) Menyusun aspek strategis organisasi sebagai organisasi pembelajar (learning
organization). Organisasi belajar adalah suatu proses dimana angota organisasi
mendeteksi berbagai kesalahan, kemudian mengoreksinya melalui berbagai
tindakan dan atau restrukturisasi organisasi (Argrys dan Schon, 1978 yang
disitasi oleh Setiarso et al (2009). De Gues (1988) yang dikutip Setiarso et al
(2009) mempertajam dengan menambahkan bahwa organisasi belajar adalah
suatu proses yang menunjukkan bahwa tim manajemen mengubah sebagian
model mental organisasi, pasar, dan pesaing mereka.
Setiarso et al (2009) menyebutkan ada beberapa karakteristik organisasi belajar
adalah sebagai berikut:
1) Memiliki manusia bersumber daya, yaitu organisasi yang memiliki potensi
insani yang terpadu (intelektual, social, dan etikal)
2) Memiliki habitat yang kondusif yang dicirikan oleh adanya keterkaitan
diantara kelima disiplin belajar
19
3) Memiliki motivator belajar meliputi fasilitasi structural (teknologi informasi,
system penghargaan dan struktur organisasi) dan katalisator relasional (rasa
saling percaya, budaya transformasional dan kepemimpinan).
(d) Terciptanya model disiplin Organisasi. Wujud nyata dari organisasi belajar
menurut Senge (1990) disitasi Setiarso et al (2009) adalah dengan disiplin dan
sekaligus mengajukan lima disiplin belajar yang mencakup tiga dataran pokok,
yaitu esensi, prinsip dan praktik. Lima disiplin belajar tersebut diantaranya: a)
Disiplin penguasaan pribadi; b) Disiplin model mental; c) Disiplin visi bersama;
d) Disiplin berfikir sistemik; e) Disiplin pembelajaran tim.
(e) Perlunya Identifikasi Informasi dan Pengetahuan. Aspek ini menjadi penting
untuk melihat system knowledge yang akan dikembangkan organisasi yang
seharusnya selaras dengan strategi organisasi. Seperti yang disampaikan oleh
Michael Zack yang disitasi oleh Setiarso et al (2008) pada Gambar 3.
(f) Menyusun Model Organisasi Berbasis Manajemen Pengetahuan. Knowledge
(bahasa Indonesia=Pengetahuan) diterjemahkan oleh Setiarso et al (2009) adalah
gabungan atau fusi antara informasi, pengalaman, nilai, organisasi, dan pendapat
para pakar.
20
Gambar 3. Penyelarasan sistem Knowledge Management dan strategi organisasi
(Setiarso et al, 2009)
Pengelolaan pengetahuan pada organisasi pembelajar diperlukan strategi yang
tepat. Hansen et al (1999) membagi strategi pengelolaan pengetahuan ini kedalam
dua jenis, yaitu strategi kodifikasi dan strategi personalisasi. Strategi Kodifikasi ini
biasanya dalam bentuk visual dengan menggunakan alat bantu seperti komputer dan
teknologi untuk memudahkan siapapun mengaksesnya. Sedangkan strategi
personalisasi sangat dekat dengan membangun karyawan untuk saling berbagi
pengetahuan. Mckinsey yang dikembangkan oleh Perters dan Waterman (1982) yang
dikutip oleh Setiarso et al (2009) membagi dua variable penting yang menentukan
keberhasilan organisasi, yaitu Hard Variable dan Soft Variable.
Analisis Eksternal
Organisasi
Analisis Internal
Organisasi
Faktor Kunci
Sukses
Peluang dan
Ancaman
Kekuatan dan
Kelemahan
Strategi Organisasi
Apa yang harus
dilakukan organisasi
Apa yang harus
diketahui organisasi
Apa yang dapat
dilakukan organisasi
Apa yang sudah
diketahui organisasi
Strategic Gap
Knowledge Gap
Penyusunan Strategi Organisasi
Analisis Knowledge Gap
21
Shared
Values
Gambar 4. Model 7s McKinsey
Hard Variable adalah variabel yang mudah untuk diidentifikasi dari dokumen-
dokumen perusahaan, sedangkan Soft Variable relatif lebih sukar dikenali.
Penjelasan lebih lanjut tergambar pada Tabel 4.
Tabel 4 Definisi variabel-variabel 7-S McKinsey
Variabel Definisi
Hard Variables
Strategy Jalan yang telah dipilih oleh organisasi bagi perkembangan masa
depannya; suatu rencana yang disusun oleh organisasi yang mampu
bertahan (sustainable competitive advantage)
Structure Kerangka kerja aktivitas para anggota organisasi dikoordinasikan
System Prosedur formal dan informal, termasuk system inovasi, system
kompensasi, system informasi manajemen dan system alokasi modal
yang menentukan aktivitas setiap hari
Soft Variables
Style Pendekatan kepemimpinan dari manajemen puncak dan pendekatan
operasi organisasi secara keseluruhan; juga meliputi cara para karyawan
mewakili diri mereka pada dunia luar dan masyarakat
Staff Sumberdaya manusia organisasi, mengacu pada bagaimana manusia
dikembangkan, dilatih, disosialisasikan, diintegrasikan, dimotivasi, dan
bagaimana karies mereka di manage
Skill Kemampuan unik yang membedakan satu organisasi dengan organisasi
lainnya
Share Values Pada awalnya bernama superordinate goals; konsep dan prinsip penuntun
bagi organisasi, nilai-nilai dan aspirasi, biasanya tidak tertulis-yang
berada di luar pernyataan konvensional sasaran organisasi; ide-ide dasar
organisasi dibangun; hal-hal yang mempengaruhi kelompok untuk
bekerjasama untuk tujuan umum bersama.
Sumber: Peters, Waterman (1982) disitasi oleh Setiarso et al (2009)
Strategy System
Structure
Style
Staff
Skills
22
Pengetahuan pada ORNOP sangat dibentuk oleh individu atau aktivis yang
ada di dalamnya. Oleh karenanya pengelolaan pengetahuan di NGO sangat krusial
untuk dilakukan. Hasil penelitian Nugroho dan Amalia (2010) kepada 4 ORNOP di
Indonesia, menghasilkan dua hal yang dapat dilihat dan dilakukan oleh ORNOP
dalam pengelolaan pengetahuan. Pertama, memahami kreasi pengetahuan yang
dilakukan CSO (konversi pengetahuan tacit-explisit) dan merekomendasikan untuk
memperluas spiral pengetahuan Nonaka dan Takaeuchi yang hanya mencakup sumbu
epistemologi dan ontologi, dengan memasukkan sumbu axiologi. Hal ini dikarenakan
pada CSO dimensi gerakan baik advokasi maupun bersifat developmentalist telah
menjadi karakter dan budaya yang dibangun CSO pada umumnya. Kedua,
mengusulkan untuk memilah kategori tipe pengetahuan yang berkembang,
diantaranya 1) pengetahuan umum dan khusus; dan 2) pengetahuan berbasis
metodologi dan proyek terkait. Pengetahuan umum lebih bersifat umum dan
biasanya sebagai acuan untuk menjalankan organisasi, sedangkan pengetahuan
khusus lebih spesifik pada tipe kegiatan yang dijalankan organisasi yang bisa
dilakukan dimana pun pada ruang lingkup pekerjaan advokasi dan developmentalist.
Pengetahuan yang berbasis metodologi pada CSO menjadi tubuh pengetahuan yang
yang dibutuhkan untuk merencanakan dan memutuskan kegiatan yang akan dilakukan
organisasi, sedangkan pengetahuan yang bebasis proyek terkait merupakan dukungan
yang bersifat esensial. Lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi pengetahuan pada CSO di Indonesia
General Knowledge (for running the organisation) General-methodological knowledge
Internal administrative
External engagement
Research & development
General-Project specific knowledge
Alliance-building and networking
Beneficiaries engagement
Particular knowledge (to ensure the success of project execution) Advocacy – related projects/activities
Lobbying
Mobilisation
Development–related projects/activities
Community development
Technical
Micscellaneous knowledge - i.e. Knowledge not obviosly classifiable, but important
- Tacit in nature
Sumber : Nugroho dan Amalia (2010)
23
Seperti halnya pada perusahaan, organisasi non pemerintah juga
membutuhkan strategi pengelolaan pengetahuan untuk menjaga keberlanjutan
pengetahuan serta organisasi memiliki pengetahuan yang inovatif. Nugroho dan
Amalia (2010) dalam penelitiannya mengusulkan bentuk strategi yang dapat
dilakukan CSO atau organisasi masyarakat sipil dengan mengkombinasikan konversi
pengetahuan Nonaka dan Takaeuchi dengan strategi pengelolaan pengetahuan
Hansen, et al, Choi dan Lee. Lebih lengkap tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6 Strategi pengelolaan pengetahuan di CSO
Strategy for managing KM in CSO
Individual Group / Organisational
Explicit Tacit Explicit Tacit
Reporting Know-how Commitment
Manual Statute /
Constitution Topical know-how
System Strategy System Strategy
Externalization Codification Socialisation Internalisation Externalization Codification Socialisation Internalisation
ICT use: document storage;
blogs
Internal
meeting;
external
meeting
Companionshi
p; personal
relationship
with
beneficiaries,
benefactors
ICT Use: electronic libarary;
bulletin; document storage;
websites
Inter
organisational
meeting;
maintaining
link with
donor &
partner CSOs
Companionship
; devising
strategy for
action;
fundraising;
reporting
Sumber: Nugroho dan Amalia (2010)
Tabel 14 menunjukkan bahwa pada CSO pengetahuan tacit individu menjadi
pengetahuan kritis yang harus dikelola, khususnya bentuk-bentuk komitmen dalam
gerakan masyarakat sipil. Pengelolaan pengetahuan akan terukur dan difahami
apabila terjadi konversi pengetahuan tacit menjadi pengetahuan yang terkodifikasi.
CSO berserta mitra kerja dan para pendukung lainnya memiliki strategi yang sangat
fokus dalam mengelola setiap personal dan pengetahuan tacit dibandingkan dengan
mengelola organisasi dengan melakukan kodifikasi pengetahuan. Oleh karena itu
promosi pengelolaan pengetahuan pada CSO harus menjadi strategi besar dan
kebijakan khusus bagi CSO. Selain itu dalam konteks penggunaan teknologi, CSO
juga perlu untuk membangun staf dan aktivis sebagai “human agent” pengelolaan
pengetahuan sekaligus mengunakan dan mengimplementasikan teknologi
pengelolaan pengetahuan yang tersedia.
24
2.5. Penelitian Terdahulu
Raras (2010) dalam skripsi nya yang berjudul Kajian Penerapan Manajemen
Pengetahuan untuk Menjadi Organisasi Pembejalar (Learning Organization) yang
mengambil lokasi studi di sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak di
pelestarian burung liar di Indonesia mengambil dua instrument utama dalam
penelitiannya yaitu kualitas pembelajaran dan kualitas proses pengelolaan
pengetahuan. Raras menggunakan metode analisis deskriptif yang menjabarkan
penilaian manajemen pengetahuan yang dikeluarkan oleh Munir (2008) dan penilaian
Learning Organization dengan referensi Britton (1999) yang meyebutkan delapan
dimensi penilaian. Dalam kesimpulannya Raras menyebutkan bahwa Burung
Indonesia telah memiliki dasar yang baik untuk menjadi organisasi pembelajar serta
telah memiliki karakteristik untuk menjadi organisasi pembelajar. .
Windarti (2010) melakukan penelitian dengan judul Analisis Faktor-faktor
Kunci Kesuksesan Implementasi Manajemen Pengetahuan pada PT Unilever
Indonesia Tbk. yang difokuskan khusus pada lingkungan sosial (lingkungan
sumberdaya manusia) sebagai salah satu aspek penilaian sebagai kondisi pemungkin
dalam penerapan organisasi pembelajar. Metode analisis yang digunakan adalah
menggunakan Uji t dan Regresi Linier Berganda, yaitu untuk mengetahui perbedaan
nilai rata-rata populasi yang digunakan sebagai pembanding dengan rata-rata sebuah
sampel. Kesimpulan yang disampaikan Windarti (2010) bahwa PT Unilever
Indonesia telah mengimplementasikan manajemen pengetahuan dalam lima bentuk
kegiatan yaitu berupa pengembangan sumberdaya manusia, budaya pembelajar,
menjadikan pengetahuan stakeholder sebagai salah satu sumber pengetahuan, edukasi
masyarakat dan penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung. Hasil uji t menunjukkan
bahwa tingkat harapan dengan tingkat aktual tidak berbeda nyata. Analisis regresi
linier berganda menghasilkan kesimpulan bahwa faktor-faktor kunci kesuksesan
implementasi manajemen pengetahuan pada PT Unilever Indonesia Tbk. adalah
kepercayaan, otonomi, pengungkitan kompetensi, keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan.
25
Syahrienda (2011) hanya melihat faktor kualitas pembelajaran organisasi
untuk kesiapan penerapan manajemen pengetahuan yang dilakukan pada PT Dafa
Teknoagro Mandiri. Metode yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif,
analisis perhitungan nilai rataan, korelasi Rank Spearman dan Analisis Jalur (Path
Analysis). Berdasarkan analisis perhitungan nilai rataan diperoleh hasil bahwa
kualitas pembelajaran organisasi secara keseluruhan berada pada penilaian yang baik
dan perusahaan telah memiliki dasar yang baik untuk menjadi organisasi pembelajar.
Hasil analisa korelasi rank spearman menunjukkan bahwa hubungan antar kualitas
pembelajaran organisasi dan kesiaan penerapan manajemen pengetahuan pada PT
Dafa Teknoagro Mandiri yang memiliki nilai 0,897. Sedangkan hasil analisis jalur
menunjukkan bahwa faktor adanya akses terhadap pengetahuan merupakan faktor
yang paling berpengaruh terhadap kesiapan penerapan manajemen pengetahuan pada
perusahaan.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Pengetahuan menjadi kekayaan intelektual organisasi untuk menciptakan
pengetahuan baru (inovasi) serta mampu bersaing dan beradaptasi pada situasi dan
kondisi eksternal yang berkembang. Pengetahuan yang dikelola dengan baik niscaya
organisasi akan memiliki keunggulan tersendiri di bidangnya. Oleh karenanya
pengetahuan yang tersimpan dalam benak individu masing-masing bisa dikelola
secara baik di dalam organisasi.
Rimbawan Muda Indonesia atau yang disingkat RMI sebagai salah satu
organisasi nirlaba yang memfokuskan diri pada bidang lingkungan dan kehutanan
khususnya memfasilitasi model-model pengelolaan hutan berbasis masyarakat serta
memfasilitasi penyelesaian konflik tenurial kehutanan bersama masyarakat. Hal ini
terlihat dalam visi lembaga yang berbunyi “Mewujudkan kedaulatan rakyat,
perempuan dan laki-laki atas tanah dan kekayaan alam untuk penghidupan
berkelanjutan” dan empat misi kerja yang berhasil dirumuskan, yaitu:
1. Memberdayakan kelompok petani, perempuan dan laki-laki dalam
memperjuangkan hak-hak atas tanah & kekayaan alam untuk penghidupan
berkelanjutan
2. Mengawal proses-proses penyusunan kebijakan menuju kebijakan pengelolaan
tanah dan kekayaan alam yang berkeadilan dan menjamin penghidupan
berkelanjutan bagi masyarakat miskin, perempuan dan laki-laki
3. Menggalang aksi kolektif untuk mengakui dan menjamin hak-hak rakyat,
perempuan dan laki-laki atas tanah dan kekayaan alam
4. Mengembangkan sistem pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management
System) melalui proses-proses pembelajaran akseleratif yang mampu melintasi
batas-batas antara pengetahuan dan aksi
Strategi kerja yang dipilih RMI adalah dengan melakukan pendidikan kritis,
riset aksi partisipatif, kampanye, advokasi, penguatan ekonomi masyarakat. Visi,
misi serta strategi kerja tersebut diwujudkan dalam bentuk 3 divisi kerja utama di
27
dalam organisasi, yaitu Pengorganisasian Masyarakat, Kampanye dan Advokasi, serta
Knowledge Management.
Penerapan pengetahuan tentunya bukan hanya kerja satu divisi saja, tapi harus
didukung oleh seluruh elemen organisasi serta komitmen menjalankannya. Maka
penulis mengkerucutkan penelitian ini untuk memeriksa manajemen pengetahuan
serta menganalisis penyelarasan sistem manajemen pengetahuan dengan strategi
organisasi yang dapat diimplementasikan RMI dalam mempersiapkan diri sebagai
organisasi pembelajar. Sebelumnya penulis akan melakukan penilaian persiapan
penerapan manajemen pengetahuan di dalam organisasi. Pemeriksaan akan dilihat
dari tiga komponen utama dalam proses audit manajemen pengetahuan yaitu audit
kualitas pengetahuan, audit kualitas pembelajaran dan audit kualitas proses
pengelolaan pengetahuan. Pemeriksaan untuk komponen audit kualitas pengetahuan
dilakukan dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) untuk
mengidentifikasi faktor-faktor internal organisasi. Sedangkan untuk audit kualitas
pembelajaran dan audit kualitas proses pengelolaan pengetahuan akan dilakuan
dengan analisa deskriptif melalui instrumen kuesioner yaitu berupa pertanyaan-
pertanyaan yang diacu dari Munir (2008). Dalam kerangka penyelarasan sistem KM
dengan strategi yang dapat diimplementasikan RMI akan dianalisis dengan
menggunakan metode AHP (Analisis Hirarki Proses). Pada akhirnya penelitian ini
akan memberikan gambaran strategi yang tepat yang bisa diambil oleh RMI sebagai
bentuk persiapan penerapan manajemen pengetahuan di dalam organisasi RMI.
Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
28
Gambar 5. Kerangka penelitian
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Yayasan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) yang
terletak di Jl. Sempur No. 55. Bogor. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan
September – Nopember 2013.
3.3. Metode Pengumpulan Data
1. Penelitian Lapangan (Field Research)
Pengumpulan data lapangan ini dilakukan dengan melalui diskusi terfokus
(focus group discussion) dan penyebaran kuesioner kepada seluruh staf RMI.
Materi diskusi terfokus lebih banyak menggali tentang kekuatan, kelemahan,
tantangan dan peluang yang dimiliki oleh lembaga RMI. Sedangan materi
kuesioner akan dititikberatkan pada beberapa pertanyaan yang berkaitan
Visi dan Misi RMI
Identifikasi Manajemen Pengetahuan
Organisasi
Audit Kualitas
Pengetahuan
Audit Kualitas
Pembelajaran
Audit Kualitas Proses
Pengelolaan Pengetahuan
Penyelarasan Sistem KM dengan
Strategi Organisasi
Rekomendasi Strategi Organisasi
Focus Group
Discussion Analisis Deskriptif
Analisis Hirarki
Proses (AHP)
29
dengan penilaian kualitas pembelajaran dan kualitas proses pengelolaan
pengetahuan.
2. Penelitian Kepustakaan (Study Literature)
Pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari buku-buku, skripsi,
makalah, jurnal, dokumen lembaga RMI serta literatur lainnya yang
berhubungan dan menunjang topik penelitian.
3.4. Metode Pengambilan Contoh (Sampling)
Metode pengambilan contoh dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian,
yaitu metode diskusi terfokus dan metode sensus. Diskusi terfokus digunakan untuk
memeriksa komponen kualitas pengetahuan yang dilakukan pada top management
RMI yang berjumlah 5 orang yang terdiri dari Direktur Eksekutif (1 orang), Deputi
Keuangan dan Sumberdaya (1 orang) dan 3 orang Manager. Selain itu di level top
management juga dilakukan pengisian kuesioner untuk menganalisis penyelarasan
sistem KM dengan strategi yang dapat diimplementasikan RMI. Sedangkan metode
sensus digunakan untuk memeriksa komponen audit kualitas pembelajaran dan
komponen kualitas proses pengelolaan pengetahuan yang melibatkan seluruh staf
Rimbawan Muda Indonesia (RMI) yang berjumlah 13 orang dengan menyebarkan
daftar kuesioner yang telah disusun.
3.5. Pengolahan dan Analisis Data
3.1.1 Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) merupakan cara untuk mengidentifikasi
faktor-faktor internal organisasi secara sistematis untuk merumuskan strategi
organisasi. Metode ini untuk menilai kualitas pengetahuan yang berkembang di
organisasi untuk menentukan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunities),
dan secara bersamaan menimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats).
Hasil identifikasi seluruh faktor tersebut kemudian dilakukan pemilihan
berdasarkan tingkat kepentingan organisasi dengan memberikan tanda prioritas. Hasil
30
pemberian tanda berkontribusi pada pemilihan 4 - 5 faktor penting bagi organisasi.
Faktor-faktor yang terpilih kemudian menjadi landasan peneliti untuk menyusun dan
menganalisa rancangan strategi serta memetakan posisi organisasi yang sesuai dengan
peta pengetahuan yang dikembangkan oleh Zack (1999).
Rancangan strategi disusun berdasar pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan juga meminimalkan kelemahan dan
ancaman. Seluruh strategi yang berhasil disusun dimasukkan ke dalam matriks
prioritas pilihan strategi yang kemudian dikaitkan dengan visi organisasi yaitu dengan
memberikan bobot penilaian tingkat keterkaitan. Mengukur tingkat keterkaitan
tersebut menggunakan lima interval, yaitu (1) tidak terkait, (2) kurang terkait, (3)
terkait, (4) sangat terkait, (5) netral. Hasil pembobotan kemudian akan dipilih 7
(tujuh) strategi prioritas organisasi.
3.1.2 Analisis Dekriptif
Penilaian manajemen pengetahuan dilakukan untuk mendapatkan persepsi
anggota organisasi terhadap penerapan manajemen pengetahuan yang telah dilakukan
organisasi melalui analisis deskriptif. Analisis deskriptif ini bersifat uraian atau
penjelasan dengan membuat tabel-tabel, mengelompokkan dan menganalisis
berdasarkan pada hasil jawaban kuesioner. Kajian penilaian komponen kualitas
pembelajaran dan komponen kualitas pengelolaan pengetahuan organisasi dilakukan
berdasarkan kuesioner Munir (2008). Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kuesioner tertutup dengan menggunakan skala likert, yaitu dengan memberi
skor pada masing-masing jawaban responden berdasarkan bobot tertentu. Lima
interval yang digunakan kuesioner ini adalah (5) Netral, (4) Sangat Setuju, (3) Setuju,
(2) Kurang Setuju dan (1) Tidak Setuju. Pendapat responden yang tercantum dalam
kuesioner sesuai bobot penilaian kemudian akan dirata-ratakan secara keseluruhan
untuk mendapatkan nilai keseluruhan terhadap masing-masing komponen.
Skor yang sudah diperoleh kemudian akan dibandingkan dengan rentang skor
untuk memperoleh pemaknaan. Munir (2008) menyarankan bahwa untuk komponen
31
kualitas pembelajaran akan dibandingkan dengan rentang skor pemaknaan hasil untuk
komponen kualitas pembelajaran, seperti yang tercantum pada Tabel 7.
Tabel 7 Pemaknaan hasil untuk komponen kualitas pembelajaran
Rentang Skor Pemaknaan
81 – 100 Organisasi telah memiliki karakteristik organisasi pembelajar
61 – 80 Organisasi telah memiliki dasar yang baik untuk menjadi organisasi pembelajar
41 – 60 Organisasi telah memiliki beberapa karakteristik untuk menjadi organisasi pembelajar
21 - 40 Organisasi perlu melakukan pembenahan besar-besaran untuk menjadi organisasi pembelajar
Sumber : Munir (2008)
Sedangkan komponen kualitas pengelolaan pengetahuan akan dibandingkan
dengan rentang skor pemaknaan hasil untuk komponen kualitas pengelolaan
pengetahuan, seperti yang tersaji pada Tabel 8. Selanjutnya dapat diinterpretasikan
dan dianalisis sesuai dengan skor yang diperoleh.
Tabel 8 Pemaknaan hasil untuk komponen kualitas pengelolaan pengetahuan
Rentang Skor Pemaknaan
48 – 64 Organisasi telah memiliki proses-proses pengelolaan pengetahuan yang baik
32 – 47 Organisasi telah memiliki beberapa karakteristik untuk menjadi organisasi pembelajar
16 – 31 Organisasi perlu menyusun rencana pengembangan proses pengelolaan pengetahuan secara lebih rinci
Sumber: Munir (2008)
3.1.3 Analisis Hirarki Proses (AHP)
Metode analisis AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang
dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970an yang menguraikan masalah
multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Saaty (1993)
menyebutkan bahwa hirarki didefinisikasn sebagai suatu representasi dari sebuah
permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level, dimana level pertama
adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria dan seterusnya kebawah
hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki tersebut, suatu masalah yang
kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur
32
menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan lebih terstruktur dan
sistematis.
Dalam implementasinya, penulis akan melakukan serangkaian tahapan
metode analisis AHP, yaitu:
1. Mendefinisikasi masalah dan menentukan solusi yang ingin diselesaikan di dalam
organisasi.
2. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan utama, kemudian dilanjutkan
kebawahnya dengan menentukan kriteria-kriteria yang cocok untuk
mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita berikan. Hirarki dilanjutkan
dengan sub kriteria (jika diperlukan).
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang
menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan
atau kriteria setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgement
dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen
dibanding elemen lainnya.
4. Mendefinisikasi perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgement
seluruhnya sebanyak n x ((n-1)/2) buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang
dibandingkan.
Hasil perbandingan dari masing-masing elemen akan berupa angka 1 sampai 9
yang menunjukkan perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen. Apabila suatu
elemen dalam matriks dibandingkan dengan dirinya sendiri maka hasil perbandingan
diberi nilai 1. Skala 9 telah terbukti dapat diterima dan bisa membedakan intensitas
antar elemen. Skala perbandingan berpasangan dan maknanya yang dipekenalkan
oleh Saaty dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini.
33
Tabel 9 Pemaknaan dari skala perbandingan berpasangan
Skala Pemaknaan
1 Kedua elemen sama pentingnya. Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya. Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting dari pada elemen lainnya, pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya. Satu elemen yang kuat disokong dan dominan dalam praktek
9 Suatu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya. Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan. Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara 2 pilihan
Kebalikan = Jika untuk aktivitas i menjadi satu angka dibandingan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i
Sumber: Saaty (1993)
5. Menghitung nilai eugen dan menguji konsistensinya. Jika nilai tidak konsisten
maka pengambilan data perlu diulangi
6. Mengulangi lagkah 3, 4 dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki
7. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan.
Perhitungan dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai setiap kolom yang
bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks, dan menjumlahkan nilai-
nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan
rata-rata
8. Memeriksa konsistensi hirarki. Yang diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi
dengan melihat index konsistensi. Konsistensi yang diharapkan adalah mendekati
sempurna agar menghasilkan keputusan yang mendekati valid. Rasio konsistensi
yang diharapkan adalah mendekati dari atau sama dengan 10%. Jika nilai nya
lebih dari 10%, maka penilaian data judgement harus diperbaiki
34
Struktur model AHP untuk mengidentifikasi strategi organisasi dalam
penerapan manajemen pengetahuan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur model AHP penyelarasan sistem KM dalam organisasi
Menyelaraskan Sistem Knowledge Management dalam
Organisasi RMI
Sosial/SDM
(Budaya) Organisasi Teknologi
Direktur
Eksekutif Deputi Kantor
dan Sumberdaya Manager Knowledge
Management
Hard Variables Soft Variables
Pakar
Independen
Strategy Stucture System Style Staff Skill Share Values
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Organisasi
Rimbawan Muda Indonesia (RMI) merupakan sebuah organisasi nirlaba yang
bertujuan untuk mendukung konservasi sumberdaya alam di Indonesia dengan
melaksanakan program-program penelitian dan aksi lapangan yang berhubungan
dengan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk
kesejahteraan masyarakat. RMI yang berdiri pada tanggal 18 September 1992 dan
berkedudukan di Bogor. Saat ini RMI beralamatkan di Jl. Sempur No. 55. Bogor.
RMI memiliki status hukum Yayasan dengan Akta Notaris No. 37 dengan Notaris
Muljanie Sjafei, SH. Yayasan menurut UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan, dan tidak mempunyai anggota. Adapun Visi RMI adalah
“Terwujudnya kedaulatan rakyat, perempuan dan laki-laki atas tanah dan kekayaan
alam untuk mewujudkan sistem penghidupan berkelanjutan”. Strategi pencapaian
visi lembaga diterjemahkan kedalam Misi RMI yang terdiri dari:
a. Memberdayakan kelompok petani, perempuan dan laki-laki dalam
memperjuangkan hak-hak atas tanah & kekayaan alam untuk penghidupan
berkelanjutan
b. Mengawal proses-proses penyusunan kebijakan menuju kebijakan pengelolaan
tanah dan kekayaan alam yang berkeadilan dan menjamin penghidupan
berkelanjutan bagi masyarakat miskin, perempuan dan laki-laki
c. Menggalang aksi kolektif untuk mengakui dan menjamin hak-hak rakyat,
perempuan dan laki-laki atas tanah dan kekayaan alam
d. Mengembangkan sistem pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management
System) melalui proses-proses pembelajaran akseleratif yang mampu melintasi
batas-batas antara pengetahuan dan aksi
Roda organisasi Rimbawan Muda Indonesia pada dasarnya dijalankan oleh
seluruh organ Yayasan RMI, yakni Dewan Pembina, Dewan Pengawas dan Dewan
36
Pengurus. Namun dalam kesehariannya Dewan Pengurus mengangkat Badan
Pelaksana Harian untuk menjalankan mandat organisasi. Badan Pelaksana Harian
yang terdiri dari Direktur Eksekutif, Deputi Kantor dan Sumberdaya serta para
Manager diberi kewenangan untuk menyusun rencana strategis pelaksanaan mandat
organisasi secara periodik beserta struktur lembaga yang mampu menjalankan dan
sesuai dengan rencana strategis. Sebagai organisasi yang berbasis gerakan, RMI
merekrut relawan dan asosiate profesional untuk terlibat dalam implementasi kegiatan
yang telah tersusun bersama. Struktur organisasi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Fokus kerja RMI adalah pada issu kehutanan dan lingkungan. RMI
mendukung pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dan program-program
pendidikan lingkungan yang partisipatif. Salah satu program pendidikan lingkungan
yang dikembangkan RMI sejak 1994 adalah REPLING (Rute Pendidikan
Lingkungan) yaitu program pendidikan lingkungan yang melibatkan publik,
khususnya anak muda melalui metode interpretasi. Sejak tahun 1998, RMI mulai
melakukan proses pendampingan ke kawasan hutan, khususnya di Kawasan
Ekosistem Halimun dan kawasan hutan Gede Pangrango yang berada di Kabupaten
Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Hingga tahun 2013, RMI
mencatat bahwa terdapat 15 desa yang tersebar di tujuh Kecamatan yang saat ini
dilakukan pendampingan secara intensif. Strategi pendampingan yang dilakukan
RMI adalah melalui pendidikan-pendidikan kritis, seperti pendidikan hukum kritis,
pendidikan lingkungan, pemetaan partisipatif, perencanaan komunitas, dan lain-lain
yang memperkuat pola-pola pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan berbasis
masyarakat baik penguatan secara ekonomi, ekologis, sosial maupun legalitasnya.
Hal ini terlihat dari empat program besar RMI yang diharapkan dapat terwujud pada
tahun 2016, yaitu:
a. Pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat berkembang di lokasi-lokasi
dampingan untuk mewujudkan keadilan dalam pengelolaan kekayaan alam dan
penghidupan berkelanjutan, menjadi tempat pembelajaran bagi berbagai pihak,
dan menjadi bagian yang terintegrasi dengan pengelolaan ekosistem DAS
37
b. Kelompok-kelompok Masyarakat dampingan memiliki kapasitas memadai untuk
mengembangkan berbagai inovasi dalam pengelolaan kekayaan alam dan dalam
mengembangkan kewirausahaan ramah lingkungan dan berkeadilan
c. Terbit sejumlah kebijakan di berbagai tingkatan yang mendukung dan
memperkuat hak-hak masyarakat atas kekayaan alam (lahan hutan) untuk
mencapai penghidupan berkelanjutan
d. RMI menjadi Organisasi Pembelajar yang memiliki kapasitas dalam mewujudkan
visi praktikal didukung oleh tata kelola organisasi yang bertanggung jawab.
4.2. Karakteristik Responden
Berdasarkan pada data organisasi per 31 Oktober 2013 dan struktur organisasi
yang disahkan pada tanggal 1 Januari 2013, secara keseluruhan jumlah staf mencapai
16 orang (7 perempuan dan 9 laki-laki) dengan kategori jabatan diantaranya Direktur
Eksekutif, Deputi Kantor dan Sumberdaya, Manager dan Staf. Komposisi staf dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Komposisi staf berdasarkan tingkat jabatan
Tingkat Jabatan Jumlah Karyawan Prosentase (%)
Direktur Eksekutif 1 orang 6.25
Deputi Kantor 1 orang 6.25
Manager 4 orang 25
Staf 10 orang 62.5
Jumlah 16 orang 100
Sumber : RMI (2013)
Jika mengacu pada tingkatan usia, sebagian besar staf RMI berada pada
rentang usia 20-40 tahun. Usia produktif bagi setiap organisasi menjadi kunci
keberhasilan, termasuk dalam proses pengalihan maupun pengelolaan pengetahuan
organsiasi. Adapun responden pada penelitian ini berjumlah 13 orang (6 perempuan
dan 8 laki-laki) karyawan RMI dengan komposisi 1 orang Direktur Eksekutif, 1 orang
Deputi Kantor dan Sumberdaya, 4 orang Manager dan 7 orang Staf, serta 1 orang
pakar independen yang turut memberikan pemikirannya. Sebanyak satu orang staf
38
dalam masa cuti melahirkan, dan dua orang staf bukan menjadi target responden,
mengingat bukan sebagai staf inti pada organisasi RMI, yaitu juru masak dan penjaga
kantor. Jika melihat pada tingkat pendidikan responden, senilai 35,7% mengenyam
pendidikan S-1, lulusan Diploma 3 sebanyak 14,3%, dan sisanya (42,9%) lulusan
SMU yang memiliki pengalaman dibidangnya masing-masing.
4.3. Penilaian Persiapan Penerapan Manajemen Pengetahuan Organisasi
4.3.1 Komponen Hasil Audit Kualitas Pengetahuan
Hasil FGD pada penelitian ini diperoleh 8 faktor organisasi sebagai
kekuatan, 5 faktor sebagai kelemahan, 4 faktor sebagai peluang, serta 4 faktor
sebagai ancaman organisasi. Berdasarkan analisa peneliti yang juga merupakan
staf RMI sejak 2003, seluruh data dan informasi yang tersedia menujukkan bahwa
RMI memiliki pengalaman yang cukup tinggi di bidang kehutanan (kawasan
konservasi) dan pendidikan lingkungan, khususnya yang terkait dengan
masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pengalaman
besar ini ditunjang dengan kapasitas SDM RMI yang terus menggeluti kemajuan
issu yang berkembangan dalam dunia kehutanan dan lingkungan. Pengakuan dari
jaringan kerja juga menjadi faktor eksternal sebagai peluang RMI untuk tetap bisa
bertahan di dunia gerakan sosial dan lingkungan. Lebih lengkap tersaji dalam
Tabel 11.
39
Tabel 11 Hasil Focus Group Discussion
KEKUATAN KELEMAHAN
1. Kepercayaan pihak luar terhadap RMI cukup tinggi,
baik dari lembaga donor, jaringan kerja, lembaga
penelitian/akademisi, dan lain-lain
2. Kualitas SDM RMI yang berpotensi dan sesuai
dengan kebutuhan
3. RMI dinyatakan sebagai lembaga yang accountable
oleh auditor eksternal
4. RMI memiliki 39idealism yang kuat dan tetap
dipertahankan, yaitu Eco-populis
5. RMI memiliki lokasi belajar di tingkat basis dengan
pengalaman pengorganisasian sejak tahun 1998
6. RMI memiliki SOP lembaga (keuangan, personalia,
kerumahtanggaan)
7. RMI memiliki jaringan kerja yang luas, baik lokal,
nasional maupun internasional
8. RMI tidak membedakan laki-laki dan perempuan
(perspektif gender)
1. Kerjasama dan koordinasi antar divisi masih
lemah yang berakibat pada tidak terjadinya
pelaksanaan kesepakatan dan komitmen
bersama
2. Proses transfer pengetahuan belum
dilakukan secara optimal yang berpotensi
memperlebar gap pengetahuan antar staf
3. Proses kodifikasi secara eksplisit masih
lemah dan belum tersosialisasikan secara
merata
4. Publikasi dan penggalangan dukungan
39ublic masih lemah
5. Masih terdapat tipe pekerja (bukan aktivis)
PELUANG ANCAMAN
1. Terbukanya akses ruang dialog dengan multipihak
(pemerintah, akademisi, lembaga peneliti, OR, NGO
lain)
2. Kebijakan negara tentang pengelolaan hutan,
lingkungan, tanah, masyarakat adat, desa, yang mulai
mengakomodir kepentingan masyarakat
3. Media (massa dan elektronik) yang mulai banyak
berkonsentrasi pada issu lingkungan dan masyarakat
4. Pengelolaan dana CSR dari industri non-ekstraktif
1. Lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro
pengusaha dan merugikan masyarakat
2. Menurunnya dukungan pendanaan lembaga
donor kepada NGO di Pulau Jawa
3. Krisis global: tingkat ekonomi rendah
sehingga issu lingkungan diabaikan
4. Menurunnya modal sosial masyarakat dan
perubahan gaya hidup masyarakat (perkotaan
maupun pedesaan) akibat pengaruh pasar
beba
Zack (1999) yang disitasi oleh Dewi (2013) menyebutkan bahwa setiap
organisasi akan menemukan link yang unik antara pengetahuan dan strategi,
pengetahuan kompetitif tersebut dapat diklasifikasian pada skala inovasi yang
relatif terhadap seluruh industri sebagai pengetahuan inti (core knowledge),
pengetahuan lanjut (advanced knowledge) atau pengetahuan inovatif (innovative
knowledge). Perkembangan issu global dan nasional mendorong RMI menjadi
organisasi yang mampu beradaptasi dengan melahirkan program-program yang
inovatif dalam konteks kekinian. Rute Pendidikan Lingkungan (REPLING)
sebagai salah satu program unggulan RMI sejak 1995 hingga saat ini masih
menjadi program beberapa sekolah di sekitar Bogor dan Jakarta, meskipun
permintaan atas program menurun dibandingkan sebelum tahun 2005an. Hal ini
seiring dengan bertumbuhnya model-model pendidikan lingkungan yang
dikembangkan oleh NGO lingkungan serta sekolah swasta yang berbasis
lingkungan. Selain itu RMI berhasil menemukan model pengelolaan sumberdaya
40
hutan berbasis masyarakat sebagai bentuk alternatif model pengelolaan kawasan
hutan konservasi yang dikelola oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan pengalaman
pendampingan intensif di lokasi dampingan RMI sejak 1998 hingga saat ini.
Banyak asam garam yang dilalui organisasi ini melahirkan banyak kondisi aktual
yang harus disampaikan kepada publik, baik pada organisasi serupa, akademisi,
pemerintah terkait, maupun publik secara umum. Belum diketahui kepastian
jumlah NGO yang melakukan pendampingan di kawasan konservasi, namun
hanya sedikit organisasi yang menyatakan secara eksplisit juga memperjuangkan
issu ketidakadilan gender di bidang lingkungan dan sumberdaya alam, melibatkan
anak-anak dalam proses pendampingan, dan menjadikan relawan sebagai faktor
kekuatan dalam memperluas gerakan-gerakan lingkungan. Atribut-atribut ini lah
yang juga menjadi kekuatan besar RMI yang memiliki keunggulan kompetitif.
Jika dibandingkan dengan organisasi lain, sebagian besar organisasi non
pemerintah lainnya lebih banyak memfokuskan diri pada satu atau dua
pendekatan kerja, misalnya hanya menggunakan pendekatan pendidikan
lingkungan atau pendekatan pengorganisasian masyarakat. Hal ini lah yang
membedakan RMI dengan organisasi non pemerintah lainnya, dimana pendekatan
yang dilakukan RMI sangat beragam.
Berdasarkan pada definisi yang dibuat Zack (1999), RMI diklasifikasikan
ke dalam pengetahuan lanjut (advanced knowledge), dimana organisasi
memberikan keunggulan kompetitif yang menjadi pembeda dengan organisasi
lain, baik dalam kerangka mengetahui maupun menerapkan pengetahuan dengan
cara berbeda.
Posisi pengetahuan lanjut juga menunjukkan bahwa pengetahuan inti di
internal organisasi terus berlanjut dengan melakukan penyesuaian dan tingkat
adaptasi yang cukup tinggi dengan perkembangan issu lingkungan dan kehutanan
secara global. Sehingga posisi pengetahuan berada pada kondisi yang seimbang
antara organisasi RMI maupun organisasi sejenis lainnya. Dalam kerangka
menaikkan RMI pada skala pengetahuan inovatif, maka dibutuhkan analisa
strategi yang tepat dengan memperhatikan faktor internal dan eksternal serta
41
membaca peluang dan ancaman yang ada. Tabel 12 menunjukkan bahwa dengan
mengidentifikasi faktor-faktor internal sekaligus membaca faktor-faktor eksternal,
RMI berhasil menyusun rumusan strategi kekuatan dan peluang; kelemahan dan
peluang; kekuatan dan ancaman; serta kelemahan dan ancaman. Terdapat 10
rumusan strategi yang menjadi acuan menjalankan organisasi RMI.
Tabel 12 Rumusan strategi RMI berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman
S – O STRATEGY W – O STRATEGY
1. RMI secara terus menerus harus melahirkan produksi pengetahuan hasil-
hasil kerja organisasi dalam beragam bentuk dengan melibatkan pihak
terkait lainnya. Hal ini untuk memperkuat kerja-kerja organisasi, baik
dalam kerangka pendampingan, kampanye maupun maupun advokasi
RMI baik di tingkat lokal maupun nasional.
2. Menjadikan RMI sebagai organisasi pembelajar bagi pihak manapun
sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik sekaligus
penggalangan dukungan publik. Pelibatan media massa, memanfaatkan
sosial media, maupun media alternative lainnya merupakan bagian dari
strategi yang harus dimanfaatkan RMI
3. Membuka ruang kerjasama dengan CSR perusahaan dan atau lembaga
trust fund yang sesuai dengan code of conduct RMI
1. Menyusun dan menjalankan
system dan mekanisme
pengelolaan pengetahuan
organisasi secara tertulis,
jelas dan terukur
2. Melakukan penguatan
kapasitas SDM, baik materi
dasar (seperti materi gerakan
lingkungan dan aktivis,
sejarah organisasi RMI, dll)
maupun materi yang sifatnya
khusus per divisi
S – T STRATEGY W – T STRATEGY
1. RMI perlu untuk segera memulai langkah menuju kemandirian lembaga
melalui pengembangan usaha yang sesuai dengan nilai-nilai organisasi
2. Melakukan penggalangan dukungan publik yang tepat sasaran dan
sesuai dengan konteks lokalitas
3. Melakukan bentuk-bentuk adaptasi terhadap issu-issu global yang sesuai
dengan nilai-nilai organisasi
1. Penguatan kapasitas
substansi dan skill SDM
melalui jaringan kerja RMI
2. RMI perlu melakukan
kerja-kerja berjaringan
yang lebih luas dengan
issu-issu yang beragam
Secara keseluruhan strategi yang berhasil dirumuskan menunjukkan
bahwa posisi pengetahuan organisasi berada pada dimensi eksploitatif, yaitu
memiliki kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya pengetahuan yang ada
dan tetap menggali sumberdaya lainnya yang tersedia. Dimensi lainnya adalah
posisi pengetahuan RMI berada pada ruang lingkup internal pengetahuan, dimana
organisasi sedang membangun pengetahuannya melalui pengalaman yang unik
dan sulit ditiru oleh para pesaing. Zack (1999) dalam Dewi (2013) menyebutkan
bahwa organisasi yang lebih eksploitatif pada pengetahuan internal merupakan
organisasi yang memiliki strategi manajemen pengetahuan yang “Konservatif”.
Hasil pembobotan rumusan strategi dengan Visi RMI, diperoleh 5 strategi
yang sangat terkait secara langsung dan 5 strategi yang dinilai terkait dengan
proses pencapaian Visi RMI (Tabel 13). Hasil tersebut menunjukkan bahwa RMI
42
harus memiliki konsentrasi tinggi untuk menjalankan strategi terpilih yang
diwujudkan melalui rencana strategis dan rencana kerja organisasi.
Tabel 13 Tingkat keterkaitan strategi dan pencapaian visi RMI
Strategi Nilai Keterangan
1. RMI secara terus menerus harus melahirkan produksi pengetahuan
hasil-hasil kerja organisasi dalam beragam bentuk dengan
melibatkan pihak terkait lainnya. Hal ini untuk memperkuat kerja-
kerja organisasi, baik dalam kerangka pendampingan, kampanye
maupun maupun advokasi RMI baik di tingkat lokal maupun
nasional.
4 Sangat Terkait
2. Menjadikan RMI sebagai organisasi pembelajar bagi pihak manapun
sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik sekaligus
penggalangan dukungan publik. Pelibatan media massa,
memanfaatkan sosial media, maupun media alternative lainnya
merupakan bagian dari strategi yang harus dimanfaatkan RMI
4 Sangat Terkait
3. Membuka ruang kerjasama dengan CSR perusahaan dan atau
lembaga trust fund yang sesuai dengan code of conduct RMI
3 Terkait
4. Menyusun dan menjalankan system dan mekanisme pengelolaan
pengetahuan organisasi secara tertulis, jelas dan terukur
4 Sangat Terkait
5. Melakukan penguatan kapasitas SDM, baik materi dasar (seperti
materi gerakan lingkungan dan aktivis, sejarah organisasi RMI, dll)
maupun materi yang sifatnya khusus per divisi
4 Sangat Terkait
6. RMI perlu untuk segera memulai langkah menuju kemandirian
lembaga melalui pengembangan usaha yang sesuai dengan nilai-nilai
organisasi
4 Sangat Terkait
7. Melakukan penggalangan dukungan publik yang tepat sasaran dan
sesuai dengan konteks lokalitas
3 Terkait
8. Melakukan bentuk-bentuk adaptasi terhadap issu-issu global yang
sesuai dengan nilai-nilai organisasi
3 Terkait
9. Penguatan kapasitas substansi dan skill SDM melalui jaringan kerja
RMI
3 Terkait
10. RMI perlu melakukan kerja-kerja berjaringan yang lebih luas dengan
issu-issu yang beragam
3 Terkait
4.3.2 Komponen Hasil Audit Kualitas Pembelajaran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor yang diperoleh dari rataan
jawaban keseluruhan responden adalah 81,38~81. Munir (2008) menyebutkan
bahwa skor tersebut berada pada rentang 81–100 dimana pemaknaannya
menyebutkan bahwa organisasi telah memiliki karakteristik organisasi
pembelajar. Nilai masing-masing responden berikut rataannya dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Sangkala (2007) menyebutkan bahwa organisasi pembelajar mampu
belajar secara terus menerus dan mengubah dirinya agar lebih baik dalam
mengumpulkan, mengelola dan menggunakan pengetahuan bagi kesuksesan
43
organisasi. RMI sejak tahun 2011 secara serius mulai memandang penting untuk
mengelola pengetahuan organisasi. Hal ini terlihat dalam Misi RMI yang keempat
yang secara serius sedang membangun dan menata diri menjadi organisasi
pembelajar. Pencapaian Misi tersebut didukung dan diperkuat dengan adanya
divisi khusus untuk mengelola pengetahuan organisasi, yakni Divisi Knowledge
Management. Sejalan dengan Nugroho dan Amalia di dalam penelitiannya pada
tahun 2010, bahwa dibandingkan dengan perusahaan dan publik sektor lainnya,
sangat sedikit CSO yang memandang penting dalam mengelola pengetahuannya.
Hal ini dikarenakan dua hal, pertama pengetahuan di CSO pada dasarnya
bermacam-macam, ekstensif dan tidak stabil. Kebanyakan CSO hanya menerima
begitu saja dan seringkali tidak memperlakuan pengetahuan sebagai sumberdaya
yang penting di dalam organisasi. Kedua, pengelolaan pengetahuan bukan
menjadi prioritas bagi CSO.
Pencapaian Misi serta visi praktikal lembaga di tahun 2016 menjadi tolok
ukur kesuksesan organisasi RMI. Kesuksesan tersebut tentunya perlu diikuti
dengan kebiasaan-kebiasaan yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan, baik
secara individu maupun secara organsiasi RMI. Secara umum RMI telah
memiliki kebiasaan sharing knowledge baik yang tidak tersistem -- seperti
mengobrol pada jam makan siang, maupun yang tersistem setiap bulannya dalam
bentuk rapat koordinasi. Selain itu setiap karyawan memiliki peluang yang sama
untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan dari beragam sumber, seperti
mengikuti seminar, training, dan lain-lain yang sesuai dengan kebutuhan masing-
masing staf. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Munir (2004) dalam Munir
(2008) yang menyebutkan terdapat lima faktor yang mempengaruhi kualitas
pembelajaran individu, yaitu (1) adanya kebutuhan pengetahuan, (2) adanya akses
terhadap pengetahuan, (3) adanya pengetahuan prasyarat, (4) kemampuan untuk
menyerap pengetahuan, (5) adanya peluang untuk menerapkan pembelajaran.
RMI membuka peluang besar kepada setiap individu yang ingin belajar sesuai
dengan kebutuhannya.
44
Munir (2008) menegaskan bahwa pembelajaran organisasi tidak melulu
kumpulan dari pembelajaran individu-individu yang terdapat dalam organisasi.
Karena pada dasarnya tindakan organisasi akan berasal dari tindakan individu
tersebut. Tindakan individu juga berasal dari keyakinan individu sebelum
bertindak. Tindakan organisasi selanjutnya akan mendapatkan tanggapan dari
lingkungan. Ketika tidak ada reaksi dari lingkungan, maka keyakinan individu,
tindakan individu dan tindakan organisasi pun akan tetap dan tidak berubah.
Namun jika ada tanggapan/reaksi dari lingkungan, keyakinan individu pun belum
tentu langsung berubah. Sebagai sebuah siklus yang berputar secara terus
menerus pembelajaran organisasi akan saling tergantung satu dengan yang lain.
Rimbawan Muda Indonesia sebagai sebuah organisasi non pemerintah
atau CSO yang langsung bergerak di level grass root, memandang penting untuk
melihat tanggapan dari lingkungan atas kerja-kerjanya. Kegiatan berjaringan di
level nasional dan internasional merupakan salah satu bagian untuk melihat
tanggapan lingkungan, baik dalam konteks issu, proses maupun hasil. Secara
kelembagaan, RMI saat ini menjadi anggota di sembilan jaringan nasional dan
internasional. Tanggapan lingkungan pun diperoleh dari hasil diskusi formal
yang dilakukan setiap bulan dalam bentuk rapat koordinasi. Pertukaran informasi
dan pengetahuan terkait dengan kondisi kekinian akan menjadi dasar bagi setiap
individu dan lembaga untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan ini
dapat dilakukan secara bertingkat, seperti di level manajemen RMI oleh Direktur
Eksekutif dan Deputi Kantor, maupun oleh masing-masing divisi dan Koordinator
Proyek.
Senge (1990) yang disitasi Munir (2008) menyebutkan ada lima disiplin
untuk menjadi organisasi pembelajar. Prasyarat disiplin tersebut telah dimiliki
RMI sebagai organisasi pembelajar, yaitu disiplin penerapan visi bersama,
disiplin keahlian pribadi, disiplin pembelajaran tim, disiplin berfikir sistemik dan
disiplin model mental. Mempertahankan dan terus mengembangkan kelima
disiplin tersebut akan menjadikan Rimbawan Muda Indonesia mampu mencapai
Misi organisasi menjadi organisasi pembelajar.
45
4.3.3 Komponen Hasil Audit Kualitas Proses Pengelolaan Pengetahuan
Hasil olahan data menunjukkan bahwa skor yang diperoleh dari rataan
jawaban responden secara keseluruhan adalah sebesar 53,31~53. Mengacu pada
Munir (2008) skor tersebut memiliki makna organisasi telah memiliki proses-
proses pengelolaan pengetahuan yang baik. Nilai masing-masing responden
beserta rataannya tersaji pada Lampiran 3.
Proses pengelolaan pengetahuan organisasi terjadi dalam empat proses
utama yaitu proses akuisisi pengetahuan, distribusi dan berbagi pengetahuan,
pengembangan dan pemanfaatan pengetahuan, pemeliharaan dan penyimpanan
pengetahuan. Berdasarkan pada hasil penelitian, bahwa organisasi RMI telah
memiliki proses-proses pengelolaan pengetahuan yang baik, dan lebih jelas
pemaknaan tersebut sesuai dengan siklus proses pengelolaan pengetahuan dapat
dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Kualitas proses pengelolaan pengetahuan
Proses Utama Pengelolaan Pengetahuan Rataan
Akuisisi Pengetahuan 13,62 ~ 14
Distribusi dan Berbagi Pengetahuan 12,85 ~ 13
Pengembangan dan Pemanfaatan Pengetahuan 13,31 ~ 13
Pemeliharaan dan Penyimpanan Pengetahuan 13,54 ~ 14
Melihat pada Tabel 14, skor rataan setiap prosesnya tidak jauh berbeda,
dan bahkan ada yang sama. Proses akuisi pengetahuan dan pemeliharaan dan
penyimpanan pengetahuan memiliki skor yang sama kuat yaitu 14. Sedangkan
proses distribusi dan berbagi pengetahuan serta pengembangan dan pemanfaatan
pengetahuan juga memiliki skor yang sama yaitu 13.
Rimbawan Muda Indonesia melakukan proses capturing knowledge
melalui beberapa teknik, salah satu nya adalah melalui seminar, training (out class
dan in house), diskusi berjaringan, kerjasama dengan lembaga lain yang
mendukung, yang seluruhnya didukung oleh fasilitas teknologi yang tersedia,
seperti perpustakaan, internet, buku, dan lain-lain. Namun diketahui bahwa
proses peningkatan kapasitas staf belum direncanakan dengan matang. Cukup
46
banyak model peningkatan kapasitas dilakukan secara spontanitas sesuai dengan
undangan pihak lain. Terlepas dari hal tersebut, RMI selalu mengakuisisi
pengetahuan yang diperoleh dari bentuk peningkatan kapasitas dan kerja jaringan
ke dalam kerja-kerja organisasi RMI. Hal ini dilakukan RMI sebagai bentuk
respon lingkungan untuk melakukan inovasi, modifikasi, dan harmonisasi gerakan
lingkungan dan proses pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
hutan. Proses akuisisi pengetahuan dilakukan RMI pada saat penyusunan rencana
strategis lembaga, rapat evaluasi dan rencana kerja tahunan, yang sebelumnya
diisi dengan pengkayaan substansi staf dari para ahli untuk mewujudkan visi
praktikal dan misi organisasi.
RMI melakukan proses pemeliharaan dan penyimpanan pengetahuan
cukup baik. Kewajiban untuk mendokumentasikan secara tertulis dilakukan oleh
setiap staf yang pulang dari lapangan maupun yang telah mengikuti proses
capacity building tertuang di dalam SOP (Standard Operational Procedure)
organisasi. Selain itu dalam setiap aktivitas RMI selalu didokumentasikan dengan
baik, seperti notulensi, foto, film dan lain-lain. Seluruh hasil produksi
pengetahuan saat ini tersimpan di perpustakaan, data base dan display yang
dikelola oleh tim Knowledge Management (KM). Hampir seluruh staf
mengatakan RMI memiliki prosedur yang jelas untuk mendokumentasikan suatu
kegiatan. Sehingga banyak data, informasi dan pengetahuan yang dapat
ditemukan dengan mudah.
Distribusi dan sharing pengetahuan merupakan bagian dari siklus
pengelolaan pengetahuan yang perlu dilakukan. RMI mewajibkan setiap staf
mengeksplisitkan pengetahuan tacit setiap individu pasca mengikuti beragam
bentuk kegiatan, baik di lapangan maupun bentuk penguatan kapasitas diri dalam
bentuk eksplisit. Metode sharing pengetahuan yang sering digunakan RMI
adalah melalui diskusi internal serta eksternal seperti kuliah singkat yang
dilakukan setiap bulannya. Hasil sharing dan penulisan kemudian dikompilasi
dalam bentuk ragam produksi pengetahuan. Teknik yang digunakan RMI untuk
sharing dan distribusi pengetahuannya adalah elektronik bulletin (e-bulletin),
47
website, sosial media (facebook, twitter), mailing list, serta bulletin lain yang
dikelola oleh jaringan kerja.
Rimbawan Muda Indonesia (RMI) memberi peluang kepada setiap staf
untuk mengembangkan diri melakukan inovasi-inovasi untuk mendapatkan
pengetahuan baru yang diharapkan dapat diterapkan dalam kinerja setiap staf
maupun setiap divisi kerja. Kombinasi informasi dan pengetahuan internal dan
eksternal khususnya yang terkait dengan issu komunitas, hutan, konservasi
maupun issu Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi teknik yang sering digunakan
dalam menemukan pembelajaran serta menciptakan pengetahuan baru dalam
menemukan solusi serta jawaban tantangan dalam peng-integrasian pelestarian
lingkungan, peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang hidup di
dalam dan sekitar kawasan hutan.
Mengacu pada informasi yang tersedia, hasil kualitas pengetahuan sejalan
dengan hasil kualitas pembelajaran organisasi juga sinergis dengan hasil kualitas
proses pengelolaan pengetahuan. Hal ini merupakan indikasi bahwa secara
organisasi Rimbawan Muda Indonesia telah memiliki karakteristik sebagai
organisasi pembelajar. Usia yang tidak muda lagi bagi sebuah organisasi nirlaba
membawa RMI pada kebiasaan untuk selalu mengelola data, informasi dan
pengetahuan menjadi lebih baik.
4.4. Penyelarasan Sistem Knowledge Management dengan Strategi Organisasi
Terdapat tiga faktor kunci sebagai enabler condition yang perlu diciptakan
untuk menjadi organisasi pembelajar, yaitu kondisi sosial, kondisi organisasi dan
kondisi teknologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor Kondisi Organisasi
menjadi prioritas pertama dengan bobot nilai 0,668, kemudian disusul oleh Kondisi
Sosial/SDM (budaya) dengan bobot nilai 0,188 dan Kondisi Teknologi pada urutan
ketiga dengan bobot 0,145. Hal ini menunjukkan bahwa faktor Kondisi Organisasi
menjadi prioritas RMI untuk dipenuhi sebagai prasyarat guna mencapai organisasi
sebagai learning organization. Pengalaman yang cukup banyak sebagai ORNOP
yang memiliki keahlian dalam proses pendampingan masyarakat di kawasan hutan
48
tentunya harus berbanding lurus dengan informasi dan pengetahuan yang dimiliki
organisasi. Namun sepanjang tidak terkelola dengan baik, pengetahuan yang ada
akan pergi bersamaan dengan staf yang keluar dari organisasi. Penting bagi RMI
membangun iklim keterbukaan diantara staf dengan mekanisme-mekanisme yang
disepakati bersama.
Berdasarkan pada catatan notulensi pada kegiatan in house training RMI pada
5-6 Desember 2013, bahwa RMI belum memiliki mekanisme dan sistem yang jelas
secara tertulis atas lalu lintas data dan informasi serta pengetahuan yang dimiliki.
Seluruh staf pada dasarnya memahami alur tersebut, namun semua bergerak secara
spontanitas. Strategi personalisasi lebih banyak dibangun di lembaga ini, dan
ORNOP pada umumnya. Sementara strategi kodifikasi belum dilakukan dengan baik
yang mengakibatkan staf menjadi ketergantungan tinggi pada divisi KM karena
merasa sulit mencari data dan informasi yang dibutuhkan. Ini berpotensi pada
mudahnya kehilangan pengetahuan organisasi selama RMI berdiri. Oleh karena itu
penting bagi RMI untuk memprioritaskan faktor Kondisi Organisasi sebagai enabler
condition. Salah satunya adalah menyusun road map pengetahuan dengan lebih jelas
dan sistematis.
Sistem KM yang mampu berjalan dengan baik dan konsisten serta selaras juga
dipengaruhi oleh aktor-aktor yang berperan di dalam organisasi tersebut serta pilihan
bentuk strategi organisasi, baik hard variables maupun soft variables, seperti yang
tergambarkan pada Gambar 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan Direktur
Eksekutif menjadi prioritas dalam pengelolaan pengetahuan di RMI dengan bobot
0,376. Selanjutnya diikuti oleh peran Deputi Keuangan dan SDM dengan bobot
0,283 menempati prioritas kedua. Peran Manager Knowledge Management berada
pada prioritas ketiga dengan bobot 0,270. Sementara peran pakar independen belum
prioritas bagi RMI dengan bobot 0,071. Peran masing-masing aktor tentunya akan
sangat berbeda namun saling mendukung. Keputusan yang diambil Direktur
Eksekutif dan dituangkan dalam bentuk SOP tentu akan memudahkan peran Manager
KM dalam mengimplementasikan strategi pengelolaan pengetahuan RMI. Sementara
pakar independen akan sangat membantu dalam pengembangan wacana KM dalam
49
industri NGO. Jika membandingkan faktor-faktor pada kondisi pemungkin dengan
aktor penting yang berperan, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada faktor
Sosial/SDM dan faktor Organisasi, peran Direktur Eksekutif menjadi penting dalam
mencapai kondisi pemungkin tersebut degan bobot mencapai 0,452. Namun untuk
faktor Teknologi, peran Manager Knowledge Management memiliki peran penting
dalam mengoptimalkan teknologi yang digunakan dengan bobot 0,441. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Hubungan faktor dan aktor dalam pengelolaan pengetahuan
Aktor
Faktor
Direktur
Eksekutif
Deputi
SDM
Manager Knowledge
Management
Pakar
Independen
Sosial/SDM
(Budaya)
0,452 0,273 0,194 0,018
Organisasi 0,412 0,278 0,254 0,055
Teknologi 0,107 0,319 0,441 0,133
Tabel 16 Prioritas alternatif strategi pengelolaan pengetahuan RMI
Tingkat 4 (Alternatif) Bobot Prioritas
Hard Variables
System 0,245 1
Strategy 0,151 2
Structure 0,036 3
Soft Variables
Skill 0,271 1
Staff 0,156 2
Share Values 0,140 3
Style 0,034 4
50
Menyelaraskan Sistem Knowledge Management dalam
Organisasi RMI
Sosial/SDM
(Budaya)
(0.188)
Organisasi
(0.688)
Teknologi
(0.145)
Direktur
Eksekutif
(0.376)
Deputi Kantor
dan Sumberdaya
(0.283)
Manager Knowledge
Management
(0.270)
Pakar
Independen
(0.071)
Strategy
(0.151) Stucture (0.036)
System
(0.245)
Style (0.034
)
Staff (0.156)
)
Skill
(0.271)
Share Values (0.140)
Hard
Variables
Soft
Variables
Gambar 7. Stuktur AHP penyelarasan sistem KM dalam organisasi RMI
Model 7s McKinsey menyebutkan bahwa keberhasilan organisasi dalam
pencapaian pengelolaan pengetahuan terbagi menjadi hard variable dan soft variable.
Hasil olahan data yang diperoleh menyebutkan bahwa RMI memandang kombinasi
soft variable dan hard variable menjadi prioritas. Pada hard variables, system
menjadi prioritas pertama sebagai alternatif strategi yang dijalankan RMI. Sedangkan
pada soft variable, skill menjadi prioritas sebagai alternatif strategi yang perlu
dijalankan. Lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 16.
Alternatif strategi pada hard variable, RMI menganggap system sebagai
prioritas pertama sebagai variabel keberhasilan organisasi. Standar Operasional
Prosedur (SOP) menjadi acuan dalam pelaksanaan organisasi, baik formal maupun
informal, seperti sistem kompensasi, sistem alokasi pembiayaan program yang
berjalan, sistem monitoring dan evaluasi organisasi. Namun untuk sistem informasi
manajemen belum diketemukan dokumen utuh terkait hal tersebut.
Selanjutya prioritas kedua pada hard variables dalam pengelolaan pengetahuan
RMI adalah strategy, dimana RMI selalu mensortir jalan atau cara terbaik sesuai
51
Sumber: Nasution (2013)
dengan code of conduct organisasi sebagai bentuk pertahanan dan keberlanjutan
organisasi. Seperti yang tercantum dalam hasil Rencana Strategis RMI tahun 2011,
terdapat perubahan strategi yang dipilih dalam mewujudkan self finance organisasi,
yaitu dengan mulai mempromosikan hasil pengalaman dan pembelajarannya dalam
bentuk pelayanan pelatihan bagi masyarakat untuk issu tertentu. Sedangkan prioritas
ketiga pada hard variables adalah stucture, dimana RMI hingga tahun 2013 memiliki
13 board (7 orang Dewan Pembina, 3 orang Dewan Pengawas dan 3 orang Dewan
Pengurus) dengan latar belakang yang berbeda yang tentunya berkewajiban
menjalankan organisasi melalui penguatan kapasitas badan pelaksana eksekutif baik
secara formal maupun informal. Hal ini juga mendukung keterwakilan RMI pada
jaringan kerja yang lain dalam mengkampanyekan issu-issu yang sedang dijalankan
organisasi. Pada tahun 2013 RMI telah memiliki 120 relawan aktif yang ikut
membantu dalam pelaksanaan kegiatan RMI, yang secara formal maupun informal
pengetahuan staf mengalir kepada relawan.
Pada soft variables, variabel skill menjadi prioritas utama yang dipilih RMI
sebagai alternatif strategi untuk mencapai keberhasilan organisasi RMI sebagai
organisasi pembelajar. Pada variabel
ini RMI perlu merumuskan core
crucial untuk mendapatkan keunikan
tersendiri dengan organisasi lainnya,
seperti yang dijelaskan oleh Nasution
(2013) dalam presentasinya yang
mengutip Boersma (2006) dengan
memperkenalkan Model van
kennissoorten. Tidak banyak NGO
yang bekerja secara langsung dengan
masyarakat di kawasan hutan konservasi dengan metode-metode yang atraktif. RMI
memiliki keterampilan kuat dalam mengembangkan model-model pendidikan
alternatif bagi komunitas sebagai bentuk penguatan kapasitas petani (laki-laki dan
perempuan) serta kelompok anak muda di sekitar DAS Cisadane. Staff merupakan
52
prioritas kedua sebagai alternatif strategi pada soft variables. Pengelolaan informasi
dan pengetahuan di RMI baru berjalan secara spontan diantara staf dan jaringan
kerjanya. Dokumen hasil in house training RMI (2013) mengakui bahwa RMI tidak
melakukan perencanaan yang jelas bagi staf. RMI masih mengandalkan undangan
jaringan kerja untuk peningkatan kapasitas staf sesuai dengan kebutuhan divisi.
Sedangkan share values dan style organisasi menjadi priroitas alternatif straegi ketiga
dan keempat pada soft variables.
Hasil penelitian pada RMI ini mendukung dan sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nugroho dan Amalia (2010) bahwa CSO atau ORNOP memerlukan
strategi pengelolaan pengetahuan dengan mengubah strategi personalisasi menjadi
kodifikasi, dimana pengetahuan tacit individu harus dirancang untuk menjadi
pengetahuan organisasi.
4.5. Implikasi Manajerial
Sebagai organisasi nirlaba yang bergerak di issu kehutanan dan lingkungan,
RMI memiliki cita-cita untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, perempuan dan laki-
laki atas tanah dan kekayaan alam untuk penghidupan berkelanjutan. Dalam
kerangka mewujudkan salah satu misi RMI yaitu sebagai organisasi pembelajar,
tentunya harus diikuti dengan proses pengetahuan yang inovatif, terkelola dengan
baik dan organisasi harus terus menerus belajar. Melalui pengelolaan pengetahuan,
pengetahuan setiap individu harus menjadi pengetahuan organisasi yang diakui oleh
pihak lain. Hal ini juga merupakan langkah untuk menjadikan RMI sebagai
organisasi yang kompetitif dengan tingkat pengetahuan yang inovatif. Menyadari hal
ini, sejak tahun 2011 RMI membentuk sebuah divisi tersendiri yang diharapkan
mampu mengelola pengetahuan yang ada untuk menciptakan pengetahuan yang lebih
inovatif.
Berdasarkan pada hasil penelitian audit KM yang dilakukan peneliti dengan
menggunakan instrumen Munir (2008), diperoleh bahwa pada komponen kualitas
pengetahuan hasil audit menyebutkan bahwa pada dasarnya organisasi telah berada
posisi pengetahuan lanjut (advance knowledge) dan posisi pengetahuan berada pada
53
tingkat keseimbangan, pengetahuan inti organisasi masih dapat berlanjut hingga saat
ini. Dimana sebagai pembeda dengan organisasi lainnya adalah RMI mampu
menerapkan issu yang berkembang dengan cara yang berbeda. Rekomendasi penulis
adalah pentingnya merefleksikan pengetahuan yang telah ada dan bertahan hingga
saat ini untuk menciptakan pengetahuan inovatif lainnya.
Pada komponen kualitas pembelajaran, hasil audit menunjukkan bahwa
organisasi RMI telah memiliki karakteristik sebagai organisasi pembelajar. Budaya
sharing pengetahuan yang fokus pada individu (pengetahuan tacit) telah menjadi
karakteristik organisasi nirlaba yang tidak menutup kemungkinan pengetahuan yang
ada akan hilang dengan sendrinya. Oleh karena itu pengetahuan individu (tacit)
penting untuk dikodifikasi dan dikonversi menjadi pengetahuan eksplisit organisasi.
Hasil audit kualitas proses pengelolaan pengetahuan menunjukkan bahwa RMI
memiliki proses-proses pengelolaan pengetahuan yang baik. Melalui beragam media
sharing, baik tertulis maupun tidak tertulis, RMI memiliki modal yang cukup kuat
untuk menjadi organisasi pembelajar. Rekomendasi penulis adalah RMI tetap
menyusun beragam produksi pengetahuan yang atraktif dan inovatif serta perlu
mencari strategi yang tepat dan jitu dalam proses pendistribusian dan diseminasi
pengetahuan tersebut. Bekerjasama secara intensif dengan media massa (cetak dan
elektronik), media sosial, dan jejaring lainnya perlu dilakukan secara konsisten.
Untuk meningkatkan kualitas proses pengelolaan pengetahuan, RMI perlu untuk
menyusun sistem dan mekanisme pengelolaan pengetahuan organisasi secara tertulis
dalam bentuk standard operational procedure (SOP) organisasi dan dijalankan sesuai
dengan mekanisme yang berlaku. Komitmen setiap individu serta kesediaan
teknologi menjadi prasyarat lainnya yang harus dipenuhi untuk menjadi organisasi
pembelajar dengan tingkat pengetahuan yang inovatif. Implikasi manajerial tertuang
pada Tabel 17.
54
Tabel 17 Implikasi manajerial
No. Komponen Rekomendasi Manajerial
1 Kualitas pengetahuan Merefleksikan pengetahuan yang sudah dimiliki
dan tetap berjalan hingga saat ini
Menyusun strategi inovatif terhadap pengetahuan
yang dimiliki
Menemukan core crucial RMI
Mengefektifkan sumberdaya relawan dan jaringan
kerja yang tersedia
2 Kualitas pembelajaran Diskusi rutin divisi dan organisasi
Bedah buku dan kuliah singkat (sharing
knowledge)
Implementasi hasil pelatihan ke dalam kerja-kerja
individu
Mengefektifkan sumberdaya relawan dan jaringan
kerja yang tersedia
3 Kualitas proses pengelolaan
pengetahuan Penyusunan dan implementasi SOP pengelolaan
pengetahuan
Efektifitas Manajer KM dalam menjamin terjadinya
transfer pengetahuan
Menjaga komitmen staf menjalankan kesepakatan
Mengefektifkan intranet yang tersedia
4 Distribusi dan Diseminasi
Pengetahuan Menjalin kerjasama dengan media massa
Memanfaatkan secara efektif bentuk-bentuk media
sosial dan media lainnya yang tersedia
Memaksimalkan dan mengoptimalkan penggunaan
website organisasi sebagai media berbagai
pengetahuan organisasi kepada publik
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Manajemen pengetahuan yang dilakukan pada organisasi RMI dilihat dari
hasil audit manajemen pengetahuan, yaitu komponen kualitas pengetahuan, kualitas
pembelajaran dan kualitas proses pengelolaan pengetahuan. Hasil audit manajemen
pengetahuan untuk komponen kualitas pengetahuan, dengan menggunakan kerangka
Zack (1999), posisi pengetahuan organisasi RMI berada pada posisi pengetahuan
lanjut (advanced knowledge) dan organisasi berada pada kondisi yang seimbang
dengan organisasi lainnya. Pada komponen kualitas pembelajaran, dengan
menggunakan kerangka Munir (2008), RMI telah memiliki karakteristik sebagai
organisasi pembelajar, dimana keinginan untuk sharing pengetahuan dan ditunjang
dengan terbukanya akses pengetahuan memacu setiap individu untuk dapat
menerapkan setiap pembelajaran yang diperoleh untuk pencapaian visi organisasi.
Sedangkan pada komponen kualitas proses pengelolaan pengetahuan yang juga
menggunakan kerangka Munir (2008), RMI telah memiliki proses pengelolaan
pengetahuan yang baik. Strategi personalisasi lebih banyak digunakan, dibandingkan
dengan kodifikasi.
Sistem manajemen pengetahuan dalam organisasi yang diselaraskan dengan
strategi organisasi, bahwa pada tingkatan pertama penciptaan kondisi organisasi
menjadi syarat mutlak sebagai enabler condition yang harus dilakukan RMI. Pada
tingkatan kedua, Direktur Eksekutif sangat penting memainkan perannya dalam
penciptaan pengetahuan di organisasi. Pada tingkatan ketiga, pencapaian pengelolaan
pengetahuan RMI bergantung pada kombinasi hard variables dan soft variables. Pada
hard variable, system menjadi prioritas utama alternatif strategi, sedangkan pada soft
variable, skill menjadi prioritas utama sebagai alternatif strategi RMI dalam
pengelolaan pengetahuan organisasi.
56
2. Saran
a. Hendaknya organisasi segera menyusun sistem dan mekanisme pengelolaan
pengetahuan secara tertulis dalam bentuk standard operational procedure
(SOP) dan tetap mempertahankan budaya sharing pengetahuan baik formal
maupun informal untuk meminimalisir gap pengetahuan.
b. Organisasi sebaiknya menyusun strategi untuk meningkatan posisi
pengetahuan organisasi menjadi innovative knowledge yaitu pengetahuan
yang memungkinkan organisasi untuk menjadi pemimpin pasar dengan cara
menentukan core crucial organisasi.
c. Organisasi hendaknya memaksimalkan skill setiap individu dengan menyusun
bentuk-bentuk peningkatan kapasitas individu melalui beragam bentuk
d. Organisasi tetap memperbanyak produksi pengetahuan dan memperluas
jaringan distribusi dan diseminasi produk pengetahuan organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ardana K, Mujiati, Ni Wayan, Ayu SAA. 2009. Perilaku Keorganisasian. Edisi
Kedua. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Dewi MT. 2013. Meningkatkan Keunggulan Kompetitif Perusahaan dengan
Menerapkan Knowledge Management (Manajemen Pengetahuan). Jurnal
JIBEKA [23 Desember 2013]; 7(1): 26-32. http://lp3m.asia.ac.id/
Hansen MT, Nitin N, Thomas T. 1999. What’s your Strategy for Managing
Knowledge? Harvard Business Review. March-April 1999:106-116.
[LP3ES] Lembaga Penelitian Pengembangan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
http://www.lp3es.or.id [22 Maret 2013]
Lembaga Penelitian SMERU. http://www.smeru.or.id/ [22 Maret 2013]
Munir N. 2008. Knowledge Management Audit. Pedoman Evaluasi Kesiapan
Organisasi Mengelola Pengetahuan. Jakarta ID): PPM.
Nasution R. 2013. Bahan Presentasi in House Training Knowledge Management
RMI (5-6 Desember 2013). Bogor (ID). Tidak Dipublikasikan.
Nugroho Y. dan Amalia M. 2010. Exploring Knowledge Management in Civil
Society Organizations: Sustaining Commitment, Advancing Movement.
Manchester Business School Working Paper [10 Desember 2013]; 600(1):1-
21:
https://research.mbs.ac.uk/innovation/Study/Postgraduateresearch/Postgraduat
eresearchers/MirtaAmalia.aspx atau http://ssrn.com/abstract=1683283
Raras A. 2010. Kajian Penerapan Manajemen Pengetahuan untuk Menjadi
Organisasi Pembelajar (Learning Organization) (Studi Kasus Perhimpunan
Pelestarian Burung Liar Indonesia–Burung Indonesia). Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor (ID).
RMI. 2013. Notulensi in House Training Knowledge Management RMI. Bogor (ID).
Tidak dipublikasikan.
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks. Jakarta (ID):
PT Pustaka Binaman Pressindo.
Sangkala. 2007. Knowledge Management. Sebuah Pengantar Memahami Bagaimana
Organsiasi Mengelola Pengetahuan Sehingga Menjadi Organisasi yang
Unggul. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada.
Setiarso B, Nazir H, Triyono HS. 2009. Penerapan Knowledge Management pada
Organisasi. Yogyakarta (ID): PT Graha Ilmu.
Sinaga A. 2007. Non Governmental Organization. Makalah disajikan pada Kamp
Mahasiswa Regional Sumbagut, Perkantas. Medan (ID).
58
Syahrienda B. 2011. Analisis Kualitas Pembelajaran Organisasi untuk Menilai
Kesiapan Penerapan Manajemen Pengetahuan (Studi Kasus PT Dafa
Teknoagro Mandiri di Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID).
Universitas Gadjah Mada. 2005. Keterlibatan Publik dalam Desentralisasi Tata
Pemerintahan: Studi tentang Problema, Dinamika, dan Prospek Civil Society
Organization di Indonesia. Laporan Akhir Desk Study Tim Peneliti S2 Politik
Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD). Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah
Mada kerjasama BRIDGE, Bappenas, UNDP Indonesia.
UU No. 16 tahun 2001. Tentang Yayasan.
Windarti. 2010. Analisis Faktor-faktor Kunci Kesuksesan Implementasi Manajemen
Pengetahuan pada PT Unilever Indonesia Tbk. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor (ID).
Yusup MP. 2012. Perspektif Manajemen Pengetahuan Informasi, Komunikasi,
Pendidikan dan Perpustakaan. Jakarta (ID): Rajawali Press.
60
KOORD. RELAWAN
Lampiran 1. Struktur fungsional Yayasan RMI
STRUKTUR FUNGSIONAL RMI Bogor Periode Kerja : 2012 – 2016
DEWAN PENGURUS
Riset
Divisi Kampanye dan
Advokasi
Divisi Pemberdayaan
Masyarakat
R
Administrasi &
Kerumahtanggaan
Keuangan
DEPUTI KANTOR
: Garis komunikasi, koordinasi & pengawasan
: Garis Kerjasama
DIREKTUR EKSEKUTIF
Divisi Knowledge
Management
Kampanye Advokasi CO Bogor -
(Nanggung dan
Pamijahan)
Administrasi
dan Keuangan
Unit Usaha (Jasa
dan Produk)
Publikasi dan
Dokumentasi
CO Bogor –
(Caringin dan
Cigombong)
CO Lebak
Sumber : RMI, 2012
61
Lampiran 2. Hasil komponen audit kualitas pembelajaran
Responden Nilai
Responden 1 74
Responden 2 80
Responden 3 87
Responden 4 94
Responden 5 86
Responden 6 88
Responden 7 76
Responden 8 82
Responden 9 87
Responden 10 75
Responden 11 82
Responden 12 83
Responden 13 64
Total 1058
Rataan 81,38
62
Lampiran 3. Hasil komponen audit kualitas proses pengelolaan pengetahuan
Responden Nilai
Responden 1 51
Responden 2 55
Responden 3 57
Responden 4 64
Responden 5 57
Responden 6 64
Responden 7 44
Responden 8 48
Responden 9 59
Responden 10 50
Responden 11 53
Responden 12 52
Responden 13 39
Total 693
Rataan 53,31