Upload
truongkhuong
View
224
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Universitas Indonesia
KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA DAN
BARAT SUMATERA DITINJAU DARI PERTUKARAN GAS
KARBON DIOKSIDA (CO2) ANTARA LAUT DAN UDARA
Oleh :
IKHSAN BUDI WAHYONO
0806477106
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KELAUTAN
DEPOK
2011
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA DAN
BARAT SUMATERA DITINJAU DARI PERTUKARAN GAS
KARBON DIOKSIDA (CO2) ANTARA LAUT DAN UDARA
TESIS
Untuk diajukan sebagai salah satu syarat
Memperoleh gelar Magister Sains
Oleh :
IKHSAN BUDI WAHYONO
0806477106
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KELAUTAN
DEPOK
2011
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
LEMBAR PENYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Penelitian yang berjudul “Kajian Biogeokimia Perairan Selat Sunda
dan Barat Sumatera Ditinjau dari Pertukaran Gas Karbon Dioksida (CO2)
Antara Laut dan Udara” ini, diharapkan melengkapi berbagai studi tentang
pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan
atmosfer. Di samping itu, tesis ini disusun untuk melengkapi persyaratan
kurikulum program Magister Bidang Ilmu Kelautan Pascasarjana Universitas
Indonesia guna memperoleh gelar Magister Sains.
Akhirnya penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas
segala limpahan dan taufiq-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan sesuai
dengan batas waktu yang telah ditentukan. Dan bagi pihak-pihak yang telah
banyak membantu penyelesaian tesis ini, dengan kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus terutama kepada :
1. Dr. Edvin Aldrian, B.Eng, M.Sc., selaku pembimbing I dan Dr. A Harsono
Soepardjo, M.Eng., selaku pembimbing II yang telah berkenan memberikan
bimbingan, masukan, arahan dan kritikan bersifat konstruktif pada tulisan ini,
serta bantuan lainnya untuk kelancaran proses penyelesaian tugas akhir ini.
2. Dr. rer. nat Abdul Haris, selaku penguji I dan Dr. Rokhmatuloh, M.Eng, selaku
penguji II yang telah memberikan koreksi, kritik dan masukan untuk perbaikan
materi dan format tulisan ini.
3. Dr. Mufti, Ibu Tuti, Pak Sundowo, Pak Titis, seluruh dosen dan pegawai
administrasi di Program Studi Magister Ilmu Kelautan, Universitas Indonesia
yang telah memberikan ilmu serta melaksanakan tugas dengan penuh
keikhlasan.
4. Dr. Ridwan Djamaluddin, Ir. Yudi Anantasena, M.Sc, Dr. Wahyu Pandu, Dr.
Imam Mudita, Dr. Firdaus Manti dan Ir. Djoko Hartoyo, M.Sc selaku pimpinan
Balai TEKSURLA - BPPT, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan
kepada penulis untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Ilmu Kelautan,
Universitas Indonesia.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
NAME : IKHSAN BUDI WAHYONO MARINE SCIENCE
TITLE : STUDY OF BIOGEOCHEMISTRY IN SUNDA STRAIT AND
WEST SUMATERA WATERS VIEWED FROM THE GAS
EXCHANGE OF CARBON DIOXIDE (CO2) BETWEEN THE SEA
AND AIR
SUPERVISORS : Dr. Edvin Aldrian, B.Eng, M.Sc; Dr. A Harsono Soepardjo, M.Eng
ABSTRACT
CO2 is one of the main causes of global warming gases which cause global
climate change, droughts, forest fire, sea level rise and flooding. Natural CO2
sinks are the Mainland, oceans and atmosphere. Indonesian waters has the
potential to absorb CO2 due to high primary productivity.
This research is to know the variability of CO2 in determining whether the
Indonesian waters as carbon sources or carbon sinks and fill the CO2 data gaps.
dan mengisi kekosongan data CO2. Research in February-March 2010 in the
Sunda Strait and April 2010 in west Sumatra, using the RV Baruna Jaya III. Air
pCO2 data obtained from the average of monthly observations of the Global
Atmospheric Watch station in Kototabang Bukittinggi in February, March and
April 2010.
CO2 gases in view of the inorganic carbon parameters, acidity, alkalinity
and total CO2 partial pressure in the study area varies with different values. Sunda
Strait have a role carbon source and west Sumatra as carbon sinks. Partial
pressure of CO2 in the Sunda Strait and west Sumatra is more influenced by the
pH. The average net flux of CO2 in the Sunda strait 841.603 mol CO2cm-2
day-1
which shows the release of CO2 from the ocean into the atmosphere occur in this
region and average net flux of CO2 in the west of Sumatra -945.292 mol CO2cm-
2day
-1 which shows the absorption of CO2 by the ocean occurs in the region.
Keywords : global warming, CO2, carbon, source, sink, partial pressure, flux
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
NAMA : IKHSAN BUDI WAHYONO ILMU KELAUTAN
JUDUL : KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA DAN
BARAT SUMATERA DITINJAU DARI PERTUKARAN GAS
KARBON DIOKSIDA (CO2) ANTARA LAUT DAN UDARA
PEMBIMBING : Dr.Edvin Aldrian, B.Eng, M.Sc; Dr. A Harsono Soepardjo, M.Eng
ABSTRAK
CO2 merupakan salah satu gas penyebab utama pemanasan global yang
mengakibatkan perubahan iklim dunia sehingga terjadi kekeringan, kebakaran
hutan, naiknya muka air laut, meningkatnya intensitas dan periode hujan. Darat,
laut dan atmosfer penyerap CO2 alami. Perairan Indonesia berpotensi menyerap
CO2 karena produktifitas primer tinggi.
Penelitian ini untuk mengetahui variabilitas CO2 dalam menentukan
apakah perairan Indonesia sebagai carbon source atau carbon sink dan mengisi
kekosongan data CO2. Penelitian pada bulan Februari-Maret 2010 di Selat Sunda
dan bulan April 2010 di Barat Sumatera menggunakan K/R Baruna Jaya III. Data
pCO2 udara didapatkan dari hasil rata-rata pengamatan bulanan stasiun Global
Atmospheric Watch di Kototabang Bukittinggi pada Februari, Maret dan April
2010.
CO2 di lihat dari parameter karbon anorganik, derajat keasaman, total
alkalinitas dan tekanan parsial CO2 di lokasi studi bervariasi dengan nilai berbeda-
beda. Selat Sunda berperan sebagai source karbon dan barat Sumatera berperan
sebagai sink karbon. Tekanan parsial CO2 di selat Sunda dan barat Sumatera lebih
dipengaruhi oleh parameter pH. Rata-rata flux bersih CO2 di selat Sunda 841.603 mol CO2cm
-2hr
-1 yang menunjukkan pelepasan CO2 dari laut ke atmosfer terjadi
di wilayah ini dan rata-rata flux bersih CO2 di barat Sumatera -945.292 mol
CO2cm-2
hr-1
yang menunjukkan penyerapan CO2 oleh laut terjadi di wilayah ini.
Kata Kunci : Pemanasan global, CO2, karbon, source, sink, tekanan parsial, flux
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………… ii
Lembar Pernyataan Orisinalitas………………………………………….. iv
Lembar Persetujuan……………………………………………………… v
Kata Pengantar……..……………………………………………………. vi
Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi………………………………. viii
Abstrak…………………………………………………………………… ix
Daftar Isi…………………………………………………………………. xi
Daftar Gambar…………………………………………………………… xiii
Daftar Tabel……………………………………………………………… xiv
Daftar Lampiran…………………………………………………………. xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang……………………………………………………… 1
1.1.Tujuan Penelitian………………………………………….………… 4
1.2.Batasan Masalah……………………………………………………. 5
1.3.Manfaat Penelitian……………………………………….…………. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Siklus Karbon……………………………………………………….. 7
2.2. Laut Sebagai Penyerap Karbon…………………………………….. 10
2.3. Penyerapan Karbon Oleh Laut Indonesia………………………….. 16
2.4. Karbon Flux………………………………………………………… 18
2.5. Kondisi Oseanografi Laut Indonesia……………………………….. 20
2.5.1. Temperatur………………………………………………………… 20
2.5.2. Salinitas…………………………………………………………… 22
2.5.3. pH (Keasaman)………………………………………………….... 24
2.5.4. Nutrien (Fosfat, Nitrat, Silikat)…………………………………… 25
2.5.5. Klorofil-a………………………………………………………….. 27
2.5.6. Karbon Anorganik Terlarut……………………………………….. 28
BAB III METODOLOGI
3.1.Alat dan Bahan……………………………………………………. 29
3.2.Analisa Klorofil dan Parameter CO2………………………………. 31
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
3.3. Pengukuran CO2 Udara di Stasiun GAW Kototabang……………. 32
3.4. Metode Analisis Data……………………………………………… 33
3.4.1. Analisis Pertukaran Gas CO2 Laut dan
Atmosfer………………… 33
3.4.2. Analisa Sink dan Source
CO2…………………………………….. 34
3.4.3. Analisis Regresi Linear……………………………………………. 35
BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Kondisi Umum dan Profil Pantai…………………………………… 37
4.2. Kondisi Temperatur dan Salinitas…………………………………... 39
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selat Sunda dan Barat
Sumatera……………………………………………………………..
40
5.2. Variabilitas Nutrien (Fosfat, Nitrat, silikat) Perairan Selat Sunda
danBarat Sumatera………………………………………………….
42
5.3. Variabilitas pH Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera………… 45
5.4. Variabilitas Klorofil-a Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…. 46
5.5. Variabilitas CO2 Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera……..… 48
5.6. Analisa Sink dan Source CO2 di Perairan Selat Sunda dan Barat
Sumatera……………………………………………………………..
50
5.7. Perhitungan Flux CO2 di Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera.. 51
5.8. Analisa Regresi Linear pCO2 dengan Parameter Lainnya………….. 52
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 5
6.1. Kesimpulan………………………………………………………….. 54
6.2. Saran………………………………………………………………… 55
DAFTAR ACUAN
LAMPIRAN
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Global CO2 Flux …………………..………………………… 6
Gambar 2. Diagram Siklus Karbon ………………..………………………… 10
Gambar 3. Pompa Biologis dan Fisis …………….….………......................... 12
Gambar 4. Great Ocean Conveyor Belt ………………..……………………. 12
Gambar 5. Baromatic Pressure Gradient …………………..……………....... 15
Gambar 6. Flux Karbon ………………….….……………….......................... 20
Gambar 7. Peta Lokasi Survei …………………………….………………….. 30
Gambar 8. Temperatur Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…………… 40
Gambar 9. Salinitas Perairan Selat Sunda dan Barat Sunatera………………. 41
Gambar 10. Kandungan Nitrat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…… 43
Gambar 11. Kandungan Fosfat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…… 43
Gambar 12. Kandungan Silikat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…... 44
Gambar 13. Nilai pH Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera……………... 45
Gambar 14. Kandungan Klorofil-a Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera.. 47
Gambar 15. DIC Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera………………….. 49
Gambar 16. Total Alkalinitas di Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…. 50
Gambar 17. ΔpCO2 di Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera……………. 51
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Alat dan Bahan Survei…………………………………………….. 29
Tabel 2. Nilai R2 Analisa Regresi Linear pCO2 Dengan Parameter Lainnya.. 52
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Survei Perairan Selat Sunda…………………………….. L1
Lampiran 2. Data Survei Perairan Barat Sumatera…………………………. L2
Lampiran 3. Grafik Regresi Linear Data Selat Sunda …………………..…. L3
Lampiran 4. Grafik Regresi Linear Data Barat Sumatera………………….. L4
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan manusia dibumi yang semakin beragam telah menimbulkan
dampak terhadap perubahan lingkungan. Salah satu perubahan lingkungan yang
menimbulkan dampak buruk adalah perubahan iklim global akibat efek emisi gas
CO2 (karbon dioksida), CO (karbon monoksida), SO2 dan SO3 (oksida belerang),
NO dan NO2 (oksida nitrogen), CH4 (metana), O3 (ozon), CFC (karbon fluoro
karbon).
Gas CO2 merupakan salah satu gas penyebab Efek Rumah Kaca penyebab
utama pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim yang telah terjadi
di berbagai belahan dunia. Efek rumah kaca disebabkan naiknya konsentrasi gas
CO2 dan gas lainnya di atmosfer. Konsentrasi gas CO2 meningkat disebabkan oleh
pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang
melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.
Perubahan lingkungan berupa kekeringan dan kebakaran hutan, naiknya
muka air laut dan meningkatnya intensitas dan periode hujan yang berakibat
banjir merupakan dampak dari perubahan iklim. Dampak ini akan terus meningkat
sampai mencapai puncaknya pada tahun 2060 apabila tidak ada usaha-usaha untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca seperti yang disepakati dalam Protokol Kyoto
(Susandi, 2004 dalam Susandi, dkk., 2006).
Dalam laporan yang di rilis oleh BMKG Jawa Tengah pada tahun 2010
menyebutkan bahwa para ahli memprediksikan pada tahun 2100 suhu bumi akan
meningkat 1.4 – 5.8 0C, menyebabkan es dikutub utara mencair dan lautan
menjadi lebih hangat sehingga volume lautan meningkat dan permukaannya naik
9 – 100 cm. Akibat lanjutannya menimbulkan banjir di daerah pantai dan
menenggelamkan pulau-pulau kecil diseluruh dunia. Beberapa daerah akan
menerima curah hujan yang lebih tinggi dan tanah akan lebih cepat kering
sehingga merusak tanaman pangan bahkan menghancurkan suplai makanan.
Hasil laporan BMKG Jawa Tengah 2010 tersebut juga menyebutkan
bahwa berdasarkan hasil penelitian dengan simulasi model iklim dapat
diprediksikan bahwa seluruh es dikutub Utara akan mencair pada tahun 2040 bila
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
kadar pelepasan emisi gas-gas rumah kaca tetap setinggi saat ini. Pengamatan
menggunakan satelit penginderaan jauh memperlihatkan bahwa pada bulan
september 2006 luas daratan es di kutub Utara tersisa hanya 1.9 juta km2 atau
seluas daratan Alaska, telah terjadi penurunan luasan es didaratan sekitar 4 juta
km2 dalam kurun waktu 10 tahun.
Fenomena pemanasan global yang sangat berhubungan erat dengan
perubahan iklim dunia berdampak sangat luas terhadap kehidupan di bumi baik
didaratan, lautan maupun diangkasa. Hasil-hasil penelitian ilmuwan geologi
menjelaskan bahwa sejak 1 juta tahun yang lalu sudah 10 kali suhu bumi
mengalami peningkatan dan selalu berhubungan erat dengan peningkatan CO2 di
bumi. Pemanasan global yang paling mengkhawatirkan terjadi dalam 20 tahun
terakhir ini di mana pemanasan yang terjadi sudah melebihi pemanasan yang
terjadi pada zaman medieval 1000 tahun yang lalu. Apabila tidak ada pencegahan
untuk menurunkan pemanasan global secara significan maka bisa diperkirakan
bahwa dampaknya akan lebih parah dengan kondisi yang terjadi sekarang ini.
Kekeringan, kebakaran, banjir, tanah longsor, angin puting beliung dan
munculnya berbagai macam penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah,
merupakan beberapa dampak dari pemanasan global, disamping adanya pengaruh-
pengaruh lain dari peristiwa-peristiwa tersebut. Data-data yang dirilis BMKG
Jawa Tengah pada tahun 2010 menyebutkan bahwa pada tahun 2002 puso
melanda wilayah pantai utara Jawa seluas kurang lebih 12.985 ha. Tahun 2003
luas sawah yang mengalami kekeringan akibat berubahnya musim adalah 450.000
ha dimana 100.000 ha sawah tersebut mengalami puso dan mengakibatkan gagal
panen. Daerah Jawa - Bali terjadi peningkatan kasus penyakit malaria, dari 18
kasus per 100 ribu penduduk menjadi 48 kasus per 100 ribu penduduk, tahun
1998, naik hampir tiga kali lipat. Sementara di luar Jawa Bali, terjadi peningkatan
sebesar 60% dari 1998 sampai tahun 2000. Peristiwa banjir besar yang terjadi di
Jakarta pada tahun 2002 diakibatkan oleh curah hujan di atas rata-rata 107 mm,
sedangkan normalnya adalah 50 mm. Tahun 2007 kemarin curah hujan juga
mencapai 250 mm sehingga mengakibatkan banjir yang relatif sama.
Saat sekarang ini diperkirakan konsentrasi CO2 atmosfer kurang lebih 380
ppm dan akan terus meningkat sekitar 1 % tiap tahunnya selama beberapa dekade
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
bila tidak ada usaha untuk menurunkan konsentrasi CO2 (IPCC, 2007). Sebelum
revolusi industri, jumlah CO2 adalah 275 ppm. Agar suhu bumi tidak naik sampai
2 0C, maka kadar CO2 di atmosfer harus berada di bawah 450 ppm. Peningkatan
konsentrasi CO2 ini mempengaruhi konsentrasi karbon anorganik yang berada di
dalam lautan (Houghton et al., 2001). Secara teori peningkatan jumlah CO2
terlarut dalam air laut akan menurunkan pH dan ketersediaan ion karbonat (CO32-
)
yang diikuti dengan menurunnya saturasi senyawa mineral karbonat pembentuk
karang (Caldeira and Wickett., 2005).
Sudah menjadi hal yang umum bahwa daratan, lautan dan atmosfer
menjadi penyerap CO2 alami di bumi. Hanya saja kemampuan alami daratan
untuk menyerap CO2 telah mengalami penurunan karena berbagai macam faktor
diantaranya karena penebangan hutan yang mengakibatkan stok karbon yang
tersimpan di dalam vegetasi menjadi terlepas ke atmosfer sehingga perhatian
mulai ditujukan ke laut karena laut merupakan penyerap CO2 alami terbesar di
bumi (Raven and Falkowski., 1999).
Kemampuan lautan di dalam menyerap CO2 masih menjadi misteri. Angka
penyerapan CO2 oleh lautan masih bervariasi dan menjadi penelitian intensif para
ahli. Sabine et al., (2004) menyatakan bahwa kemampuan laut hingga 48 % dalam
menyerap CO2. Penelitian lain menyebutkan dari total 4 – 5 Pg C emisi tiap tahun
ke atmosfer, sekitar 2 Pg C di serap laut, yang ± setara dengan 50 %-nya (Cai et
al., 2006). Hasil lain sekitar 90 Gigaton (Gt) karbon/tahun dilepaskan dari
permukaan lautan di seluruh dunia, sementara penyerapan tahunan oleh lautan
sebesar 92 Gt, sehingga terdapat penyerapan bersih CO2 oleh laut sekitar 2 Gt
setiap tahunnya (Fletcher et al., 2006).
Posisi geografis negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang di apit
benua Asia dan Australia serta di antara samudera Hindia dan samudera pasifik
maka sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Tahun 1997 - 1998,
bencana alam banyak terjadi di Indonesia termasuk kebakaran hutan dan
kerusakan terumbu karang yang cukup parah karena berubahnya karakteristik El
Nino akibat pemanasan global.
Pada umumnya penelitian mengenai peran laut sebagai penyerap CO2
dilakukan di perairan laut lepas di wilayah lintang tinggi karena faktor volume air
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
yang besar, suhu rendah, tidak adanya stratifikasi termoklin dan aktivitas biologi
yang tinggi untuk kepentingan penyerapan dan penyimpanan alami CO2. Wilayah
laut yang berfungsi sebagai oceanic sink terbesar untuk CO2 adalah laut Selatan
(Moore et al., 2000) dan laut Atlantik (Chierici et al., 2009). Pada kondisi suhu
rendah akan meningkatkan kelarutan CO2 dan menurunkan pCO2 perairan
sehingga terjadi aliran penyerapan CO2 dari atmosfer ke laut. Suhu homogen di
laut mengakibatkan CO2 di permukaan dapat tertransfer dan tersimpan ke dasar
laut.
Perairan pesisir juga berperan penting terhadap total budget karbon global
karena menerima aliran karbon dan nutrien dari darat dan ekosistem lahan basah
walaupun total luasannya lebih kecil dibandingkan laut lepas. Kemampuan ini
didukung dengan adanya transpor materi dan energi dengan laut lepas melalui
continental slope yang menjadikannya salah satu wilayah yang proses
biogeokimianya paling aktif. Milliman and Syvitski (1992) menyebutkan bahwa
sebanyak 0.25 – 0.4 x 105 g karbon organik terlarut dilepaskan ke laut dari sungai
ke perairan pesisir setiap tahunnya. Pertukaran CO2 antara atmosfer dan perairan
pesisir juga terjadi cukup intensif dan mempengaruhi flux CO2 pada skala regional
maupun global (Borges et al., 2005).
Perairan Indonesia seluas 17 % dari total wilayah laut dunia juga
berpotensi menyerap CO2 karena mempunyai produktivitas primer tinggi
(Behrenfeld et al., 2005 dalam Adi N.S, dkk., 2010), wilayah upwelling yang luas
(Kunarso dkk., 2009; Lefevre et al., 2002) dan continental shelf (Tsunogai et al.,
1999). Selain faktor-faktor tersebut, tingginya curah hujan juga akan membawa
flux sedimen dari sungai sebagai sumber materi karbonat ke perairan pesisir.
1.2 Tujuan Penelitian
Judul penelitian ini adalah Kajian Biogeokimia Perairan Selat Sunda dan
Barat Sumatera Ditinjau dari Pertukaran Gas Karbon Dioksida (CO2) Antara Laut
dan Udara. Secara umum tujuan penelitian ini adalah
- Mengkaji variabilitas gas CO2 di perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
dengan melihat parameter data karbon anorganik terlarut, derajat
keasaman, total alkalinitas dan tekanan parsial CO2.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
- Menghitung daya serap perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera terhadap
gas CO2 yang dialirkan ke udara diatas permukaan laut dengan
membandingkan tekanan parsial CO2 udara dan permukaan laut.
- Menghitung flux CO2 antara udara dan permukaan laut di perairan Selat
Sunda dan Barat Sumatera.
- Mengkaji kaitan pertukaran gas karbon dioksida CO2 dengan proses
biogeokimia yang terjadi di perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera.
1.3 Batasan masalah
Pertukaran gas karbon yang menjadi obyek dalam penelitian ini dibatasi
hanya pada pertukaran gas karbon dipermukaan laut dengan udara diatasnya. Gas
karbon dipermukaan laut di hitung dari karbon anorganik terlarut, pH, alkalinitas
dan tekanan parsial CO2. Sedangkan pCO2udara didapatkan dari hasil pengukuran
CO2 di stasiun pengamatan BMKG di Koto Tabang Bukittinggi pada bulan
Februari, Maret dan April tahun 2010 dengan nilai rata-rata pCO2udara adalah
385.501 ppm dan diasumsikan nilainya seragam dengan wilayah penelitian.
Penelitian ini dilakukan disebagian wilayah perairan Indonesia dalam
rangka mengisi kekosongan data CO2 dari wilayah perairan Indonesia
sebagaimana terlihat pada Gambar 1 dibawah ini berupa Peta Global CO2 Flux
(Takahashi, 2009).
1.4 Manfaat Penelitian
Beberapa penelitian, baik berbasis kajian, model dan observasi langsung
telah dilakukan untuk mengetahui variabilitas sistem CO2 dalam rangka
menentukan apakah perairan Indonesia sebagai carbon source ataukah carbon
sink. Sejalan dengan tujuan penelitian sebelumnya, secara umum hasil penelitian
ini juga diharapkan memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi tujuan diatas
terutama dari sisi kaitan pertukaran gas karbon laut dan udara dengan proses
biogeokimia yang terjadi di lautan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
mengisi kekosongan data CO2 di wilayah perairan Indonesia sehingga dalam peta
global flux CO2 Internasional data dari wilayah perairan Indonesia tidak kosong.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 1. Peta Global CO2 Flux (Takahashi, 2009)
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Siklus Karbon
Karbon adalah elemen kunci dari kehidupan dan merupakan elemen
terbanyak ke empat di alam semesta setelah hidrogen (H), helium (He) dan
oksigen (O). Siklus karbon adalah pertukaran karbon antara biosfer, geosfer,
hidrosfer dan atmosfer. Pertukaran karbon ini melalui empat reservoir karbon
utama yaitu atmosfer, biosfer teresterial, lautan dan sedimen. Pergerakan tahunan
karbon dan pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia,
fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Siklus karbon merupakan
siklus biogeokimia yang mencakup proses dan reaksi kimia, fisika, geologi, dan
biologi yang membentuk komposisi lingkungan alam (termasuk biosfer, hidrosfer,
pedosfer, atmosfer, dan lithosfer), serta siklus zat dan energi yang membawa
komponen kimiawi bumi dalam ruang dan waktu.
Hutan dan laut adalah tempat alamiah di bumi ini yang berfungsi untuk
menjadi tempat menyerap gas CO2. Gas karbon dioksida di serap oleh tumbuhan
yang sedang tumbuh dan di simpan dalam batang kayunya. Di lautan, gas karbon
dioksida yang digunakan oleh fitoplankton untuk proses fotosintesa, tenggelam ke
dasar lautan bersama kotoran makhluk hidup pemakan fitoplankton dan predator-
predator tingkat tinggi lainnya.
Siklus biogeokimia merupakan siklus atau proses perputaran yang secara
tetap atau berpola yang meliputi siklus karbon dan oksigen, siklus nitrogen, siklus
fosfor dan siklus air. Proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler
bertanggung jawab atas perubahan dan pergerakan utama karbon. Naik turunnya
CO2 dan O2 atsmosfer secara musiman disebabkan oleh penurunan aktivitas
fotosintetik. Dalam skala global kembalinya CO2 dan O2 ke atmosfer melalui
respirasi hampir menyeimbangkan pengeluarannya melalui fotosintesis. Akan
tetapi pembakaran kayu dan bahan bakar fosil menambahkan lebih banyak lagi
CO2 ke atmosfir. Sebagai akibatnya jumlah CO2 di atmosfer meningkat. CO2 dan
O2 atmosfer juga berpindah masuk ke dalam dan ke luar sistem akuatik, di mana
CO2 dan O2 terlibat dalam suatu keseimbangan dinamis dengan bentuk bahan
anorganik lainnya.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Pengetahuan dan pemahaman menyeluruh tentang bagaimana siklus
karbon terjadi di laut merupakan hal yang sangat penting dalam meramalkan
naiknya tingkat gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer. Keberadaan
lautan yang sangat penting dalam pengaturan alami CO2 atmosfer telah diakui
oleh para ahli sejak dahulu. Kurangnya data akurat di laut telah membatasi
pemahaman tentang mekanisme dan jumlah karbon yang terlibat dalam
pertukaran karbon antara laut dan atmosfer.
Neraca karbon global adalah kesetimbangan pertukaran karbon yang
masuk dan keluar antara reservoir karbon atau antara satu putaran spesifik siklus
karbon dari atmosfer ke biosfer. Analisa neraca karbon dari sebuah kolam atau
reservoir dapat memberikan informasi tentang apakah kolam atau reservoir
berfungsi sebagai sumber atau lubuk karbon dioksida.
Pertukaran karbon menjadi penting dalam mengontrol pH di laut dan
sebagai sumber atau lubuk karbon. Di laut yang terjadi upwelling CO2 dilepaskan
ke atmosfer. Sebaliknya, pada daerah downwelling CO2 berpindah dari atmosfer
ke lautan. Pada saat CO2 memasuki lautan, asam karbonat terbentuk :
Reaksi ini memiliki sifat dua arah dan mencapai sebuah kesetimbangan
kimia. Reaksi lainnya yang penting dalam mengontrol pH lautan adalah pelepasan
ion hidrogen dan bikarbonat. Reaksi ini mengontrol perubahan yang besar pada
pH :
Bagian terbesar karbon di atmosfer bumi adalah gas karbon dioksida.
Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas
yang ada di atmosfer (sekitar 0,04 % dalam basis molar), namun ia memiliki
peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas lain yang mengandung
karbon di atmosfer adalah metana dan klorofluorokarbon atau CFC. Gas-gas
tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
dalam dekade terakhir ini, dan berperan dalam pemanasan global. Pertukaran atau
perpindahan karbon dari atmosfer meleati berbagai macam cara yaitu :
- Di dalam tumbuh-tumbuhan terjadi proses fotosintesa dengan bantuan
sinar matahari yang menjadikan perubahan karbon dioksida menjadi
karbohidrat dan melepaskan oksigen ke atmosfer.
- Di dalam lautan pada proses sirkulasi termohalin, CO2 yang larut dalam
air laut akan terbawa dalam massa air di permukaan yang lebih berat ke
kedalaman laut atau interior laut.
- Di dalam lautan yang mempunyai produktifitas tinggi terutama dibagian
permukaan maka beberapa organisme memanfaatkannya untuk
membentuk jaringan yang mengandung karbon seperti cangkang carbonat
dan bagian tubuh lainnya yang keras dan terjadi proses aliran karbon dari
permukaan laut ke bawah.
- Di dalam proses geologi terutama proses pelapukan batuan silikat dan
batuan karbonat. Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki efek netto
terhadap CO2 atmosferik karena ion bikarbonat yang terbentuk terbawa ke
laut di mana selanjutnya di pakai untuk membuat karbonat laut dengan
reaksi yang sebaliknya.
Karbon dapat kembali ke atmosfer dengan berbagai cara pula, yaitu:
- Di dalam proses pernafasan baik pada tumbuhan dan binatang
menghasilkan karbondioksida, serta penguraian glukosa dan molekul
organik lainnya menjadi karbon dioksida dan air.
- Di dalam proses penguraian/pembusukan binatang dan tumbuhan, dimana
jamur dan bakteri akan mengubah senyawa karbon menjadi karbon
dioksida jika tersedia oksigen, atau menjadi metana jika tidak tersedia
oksigen.
- Di dalam proses pembakaran material organik yang akan mengoksidasi
karbon menghasilkan karbon dioksida dan asap. Pembakaran bahan bakar
fosil seperti batu bara, produk perminyakan dan gas alam akan melepaskan
karbon yang sudah tersimpan selama jutaan tahun di dalam geosfer.
- Di dalam proses pembuatan semen dengan cara memanaskan batu kapur
akan menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah yang banyak.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
- Di dalam proses pemanasan air laut permukaan oleh sinar matahari maka
karbon dioksida terlarut akan di lepas kembali ke atmosfer.
- Di dalam proses erupsi vulkanik atau ledakan gunung berapi akan
melepaskan gas ke atmosfer. Gas-gas tersebut termasuk uap air, karbon
dioksida, dan belerang. Jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer
secara kasar hampir sama dengan jumlah karbon dioksida yang hilang dari
atmosfer akibat pelapukan silikat.
Siklus karbon digambarkan dalam diagram siklus karbon seperti yang
terdapat dalam Gambar 2 dibawah ini.
Gambar 2. Diagram Siklus Karbon (NASA, 2006)
2.2 Laut Sebagai Penyerap Karbon
Laut merupakan bagian dari sistem hidrologi yang tidak bisa dipungkiri
perannya bagi sistem iklim global dengan luasnya yang berkisar 361 juta km2 atau
72 % dari permukaan bumi tentu saja sangat mempengaruhi siklus iklim di dunia.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Salah satu yang peranan laut yang sangat penting adalah menjaga stabilitas
konsentrasi gas di atmosfer khususnya karbondioksida.
Sejak tahun 1970-an sudah di kenal bahwa secara keseluruhan laut
merupakan penyerap bagi CO2 antropogenik. Akan tetapi masih banyak
pertanyaan para ahli kelautan tentang seberapa besarkah CO2 yang diserap, proses
apa sajakah yang menggerakkannya dan bagaimanakah ia berubah di masa depan.
Berbagai riset telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
dan yang paling penting adalah memahami siklus alami karbon di laut.
Organisme fitoplankton di dalam lautan adalah titik awal dari carbon sink
melalui suatu sistem rantai makanan. Fitoplankton mengekstrak karbon dari gas
karbon dioksida yang mereka serap dari atmosfer pada saat proses fotosintesa.
Binatang bercangkang atau berkerang juga menggunakan karbon untuk membuat
cangkang atau kerang mereka. Ketika mati, cangkang atau kerang tersebut akan
tenggelam dan tersimpan di dasar laut hingga kedalaman 2000 sampai 4000 meter
dalam waktu ribuan tahun. Carbon sink juga akan terjadi melalui tenggelamnya
makhluk hidup yang telah mati, kotoran-kotoran, zooplankton, ikan dan
organisme lainnya ke dasar laut.
Peredaran karbon dalam bentuk organik dan anorganik serta transpor
karbon dari permukaan ke laut dalam di bangun oleh proses-proses fisis dan
biologis. Proses-proses ini disebut sebagai pompa fisis dan pompa biologis
(IGBP, 2007) (Gambar 3). Kedua pompa ini bertindak meningkatkan konsentrasi
CO2 di dalam interior laut. Pompa fisis dibangkitkan oleh sirkulasi balik laut yang
lamban dan lebih mudah terlarutnya CO2 di air dingin daripada di air hangat.
Massa air laut yang hangat dan rapat di laut lintang tinggi, terutama di Atlantik
Utara dan samudra bagian Selatan, menyerap CO2 atmosferik sebelum tenggelam
ke interior laut. Air yang tenggelam ini akan diimbangi oleh transpor vertikal di
bagian laut lainnya. Air yang naik ke atas akan menjadi hangat ketika mencapai
permukaan sehingga CO2 menjadi kurang dapat larut dan sebagian diantaranya
akan terlepas kembali ke atmosfer melalui sebuah proses yang di sebut pelepasan
gas. Efek bersih dari proses-proses ini adalah pemompaan CO2 ke dalam interior
laut.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Dalam pompa biologis, fitoplankton mengambil nutrien dan CO2 melalui
proses fotosintesis. Laju di mana proses ini terjadi di sebut produktivitas primer.
Beberapa bahan organik yang dihasilkan diedarkan melalui rantai makanan
makanan di laut bagian atas dan beberapa bagian lainnya tenggelam ke dasar laut.
Beberapa bagian dari karbon ini kemudian dimineralisasi kembali menjadi CO2
dan sebagian kecil lainnya terkubur dalam sedimen di lantai samudera.
Gambar 3. Pompa Biologis dan Fisis (IGBP, 2007)
Pompa fisis dibangkitkan oleh pertukaran gas antar muka udara-air dan
proses-proses fisis yang membawa CO2 ke laut dalam. CO2 atmosferik masuk ke
laut melalui pertukaran gas yang bergantung pada kecepatan angin dan perbedaan
tekanan parsial antar muka udara-air. Jumlah CO2 yang diserap oleh air laut juga
merupakan fungsi dari temperatur melalui efek kedayalarutan. Daya larut
bertambah jika temperatur turun sehingga permukaan air yang dingin akan
mengambil CO2 lebih banyak daripada air yang hangat.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Penyerapan karbon oleh fitoplankton dan organisme mikroskopis lainnya
yang hidup di permukaan laut yang terkena sinar matahari dan ekspornya ke
interior dan sedimen laut disebut pompa biologis. Fitoplankton adalah mesin bagi
pompa biologis. Pompa biologis memainkan peranan yang penting dalam
kemampuan laut menyerap CO2 atmosferik. Tanpa adanya fotosintesis di laut,
CO2 atmosferik akan menjadi 1000 ppm jika dibandingkan dengan kondisi saat ini
sekitar 365 ppm. Sebaliknya, jika pompa biologis berfungsi dengan efisiensi yang
maksimum, maka tingkat CO2 diatmosfer dapat turun hingga menjadi 110 ppm.
Pendistribusian CO2 dilaut sangat dipengaruhi oleh arus laut dalam yang
terjadi melalui siklus thermohalin yang bergerak berdasarkan perbedaan suhu dan
salinitas di laut, dapat digambarkan dalam sabuk laut raksasa berjalan (Great
Ocean Conveyor Belt) berikut ini (Gambar 4).
Gambar 4. Great Ocean Conveyor Belt (Broecker, 1991)
Gambar 4 terlihat bahwa terjadi perputaran massa air antara 3 samudera
(Pasifik, Hindia, dan Atlantik), dimana selama proses siklus tersebut, „sabuk
raksasa‟ terbagi atas 2 perbedaan mendasar yaitu shallow current (arus atas) dan
deep current (arus bawah). Great Ocean Conveyor Belt merupakan Thermohaline
Circulation (THC) yang merupakan faktor penggerak yang membentuk siklus
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
global dan terjadi karena dorongan perbedaan densitas air laut secara global
sebagai akibat panas perbedaan temperatur permukaan dan masukan airtawar
sehingga mempengaruhi kadar garam air laut.
Lapisan permukaan merupakan daerah yang sering terkena sinar matahari,
sehingga temperaturnya akan lebih tinggi dibanding lapisan dibawahnya. Di
perairan tropis akibat intensitas cahaya matahari membuat lapisan permukaan laut
menjadi panas, dengan kadar garam yang relatif lebih tinggi dan dukungan dari
pergerakan angin, maka terjadi pergerakan aliran massa air dari samudera Pasifik
melewati samudera Hindia menuju Greenland melalui selatan Atlantik. Selama
pergerakannya, massa air ini berada di lapisan atas karena densitasnya lebih
rendah. Setelah mencapai daerah Atlantik, massa air tersebut akan menurun ke
kedalaman dikarenakan temperaturnya menurun yang mengakibatkan densitasnya
meningkat.
Ketika air dari Pasifik berhasil mencapai Atlantik, maka di daerah ambang
(ridge) yang terletak antara Greenland dan Skotlandia akan terjadi penurunan
tinggi permukaan laut akibat meningkatnya densitas dan salinitas. Sehingga hal
ini akan menggerakkan aliran massa air menuju Mediterania dengan dibantu oleh
Barotropic pressure gradient (Gambar 5).
Setelah berada di wilayah Mediterania, maka akan terjadi proses
pendinginan dan penurunan kadar garam. Proses yang berlangsung merupakan
stratifikasi massa air mulai dari salinitas, temperatur, dan densitasnya, disebut
„thermohaline ventilation„. Setelah melewati tahap ini maka massa air akan
bergerak turun ke kedalaman yang sesuai dengan densitasnya, biasanya
digolongkan menjadi lapisan pertengahan (siklusnya berlangsung sekitar ratusan
tahun) dan lapisan dalam (siklusnya sekitar ribuan tahun). Karena adanya tekanan
akibat peningkatan densitas, maka di kedalaman terjadi tekanan untuk bergerak
melewati ambang, kemudian baroclinic pressure gradient memaksa air bergerak
menyusuri ambang untuk kemudian kembali menuju pasifik (Corell et al., 2005).
Di sini jelas terlihat bahwa salah satu faktor penggerak siklus global
tersebut adalah gradien temperatur. Dalam hal ini arus permukaan membawa
panas menuju daerah kutub untuk kemudian panas ini akan dilepaskan dengan
cara interaksinya dengan perairan kutub ataupun terjadi pelepasan ke atmosfer
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
dalam bentuk uap air. Setelah massa air yang jumlahnya maha besar tersebut telah
berhasil „didinginkan‟ melalui mekanisme thermohaline ventilation, maka
selanjutnya akan bergerak turun ke kedalaman menuju dasar laut kemudian akan
berputar kembali ke arah Pasifik merayap di dasar lautan sehingga di sebut arus
bawah. Massa air ini akan terpecah menjadi 2 jalur, sebagian bergerak muncul
kembali ke permukaan di samudera Hindia dan sebagian bergerak menuju Pasifik
melalui Australia. Kemunculan massa air tersebut karena terjadi penurunan
densitas akibat temperaturnya meningkat.
Gambar 5. Baromatic Pressure Gradient (Corell et al, 2005)
Maka dapat dipahami bahwa lautan memegang peranan kunci dalam
pemahaman perubahan iklim global. Laut berperan dalam membentuk
keseimbangan temperatur global dunia. Ketika temperatur bumi makin meningkat
tentu hal ini akan memberikan berbagai akibat bagi kelangsungan siklus global
laut, karena temperatur merupakan faktor utama penggerak siklus ini.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa pertukaran CO2 rata-rata tahunan
yang melewati permukaan laut menunjukkan bahwa penyerapan dan pelepasan
gas CO2 tidak terdistribusi secara merata di laut global. Peta tersebut
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
menunjukkan bahwa Pasifik khatulistiwa termasuk Indonesia merupakan sumber
alami CO2 yang terus menerus di laut. Hal ini disebabkan oleh kombinasi antara
upwelling yang kuat dari air yang kaya akan CO2 dan kegiatan biologis yang
rendah. Sebaliknya, Atlantik Utara adalah kawasan yang paling kuat dalam
mengambil CO2 di laut global (IGBP, 2007).
2.3 Penyerapan Karbon Oleh Laut Indonesia
Sebelum merebaknya isu pemanasan global, di kalangan ilmiah dipahami
bahwa air laut merupakan penyerap karbon. Namun dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan sebagai hasil dari berbagai riset tentang pemanasan global dan
dampaknya, muncul pemahaman baru bahwa laut tak lagi sebagai penyerap
karbon, melainkan sudah berada pada posisi sebagai penghasil karbon bersih.
Peneliti karbon Alan Koropitan menyatakan bahwa sebelum revolusi
industri “laut global” memang berperan sebagai penyerap karbon. Pasca revolusi
industri laut global bukan lagi sebagai penyerap melainkan pelepas karbon di
atmosfir. Terjadi keseimbangan baru dalam siklus biogeokimia laut. Secara
regional tak semuanya laut berperan sebagai penyerap karbon terutama laut
tropis. Laut samudera bagian selatan oleh para ilmuwan diyakini sebagai
penyerap karbon pun kini sudah mengalami penurunan tingkat penyerapannya.
Pasca revolusi industri nyatanya peran laut global, termasuk laut samudera bagian
selatan, sudah berubah menjadi pelepas karbon. Siklus karbon global sudah
mengalami keseimbangan baru. Proses perubahan ini terjadi akibat kegiatan
manusia yang meningkatkan emisi CO2 di atmosfir yang bersumber dari bahan
bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan pelepasan
karbon ke atmosfir meningkat. Akibatnya, terjadi penumpukkan karbon di
atmosfir yang kemudian menurunkan peran ”laut global” sebagai penyerap
karbon pasca revolusi industri. Kini laut tak lagi berperan sebagai penyerap
melainkan sebagai sumber karbon.
Sesungguhnya laut dapat berfungsi sebagai penyerap karbon dan juga
sebagai penyedia karbon ke atmosfer, tergantung kondisinya. Karbon yang
diserap maupun yang dilepas ke atmosfer berada dalam bentuk gas karbon
dioksida. Laut akan menyerap karbon bilamana tekanan parsial gas karbon
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
dioksida di atmosfer lebih tinggi dari tekanannya di dalam air laut. Sebaliknya,
laut akan melepas karbon apabila tekanan parsial gas karbon dioksida di dalam air
laut lebih tinggi dari tekanannya di atmosfer. Laut berfungsi sebagai penyerap
karbon dalam dua bentuk yakni melalui serapan pasif dan aktif.
Secara umum, pola flux CO2 di Indonesia akan mengikuti pola musim
monsun yang terjadi di Indonesia. Menurut Khromov dalam Prawirowardoyo
(1996), Januari adalah maksimum musim dingin di belahan bumi utara atau
maksimum panas di belahan bumi selatan. Juli adalah maksimum musim panas di
belahan bumi utara atau maksimum musim dingin di belahan bumi selatan, serta
musim transisinya pada bulan April dan Juli.
Hasil penelitian Susandi (2006), menyebutkan bahwa penyerapan
maksimum di sekitar Laut Cina Selatan terjadi pada tahun 2002, dengan suhu
permukaan laut yang berkisar antara 25,5 – 27,5 oC dan membuat tekanan parsial
CO2 dipermukaan berkisar antara 300 - 360 μatm, dibandingkan dengan pCO2udara
diatasnya yang besarnya 372 μatm, sehingga menggerakkan CO2 dari udara
menuju laut cukup besar, kemudian dengan besarnya rata-rata kecepatan angin di
daerah ini yang berkisar antara 7 - 9 ms-1
menyebabkan intensitas transfer gas
CO2 ini meningkat (19 - 32 cm/jam).
Kemudian pada bagian belahan bumi selatan, pengaruh musim panas
sangat terlihat di bagian tenggara perairan Indonesia (sekitar Laut Arafura) yang
suhu permukaan lautnya berkisar antara 29 - 31oC, sehingga perairan ini memiliki
pCO2laut berkisar antara 380 - 420 μatm, sedangkan pCO2udara diatasnya berkisar
antara 350 - 380 μatm yang meyebabkan daerah ini sebagai tempat pelepasan CO2
sepanjang Januari setiap tahunnya. Meskipun rata-rata kecepatan transfer gasnya
lebih kecil daripada kecepatan transfer gas di belahan bumi utara, namun
perbedaan tekanan parsial CO2 antara permukaan laut dan atmosfernya yang
cukup besar membuat aliran CO2 juga menjadi besar dari laut menuju atmosfer.
Kecepatan angin pada daerah ini berkisar antara 3 - 7 ms-1
sehingga kecepatan
transfer gasnya adalah 3 - 19 cm/jam (Susandi, 2006).
Data pada bulan April tahun 1998 menunjukkan bahwa rata-rata aliran di
belahan bumi utara sebesar 2,641 moles CO2 m2 yr
-1 sedangkan di selatan
besarnya 3,780 moles CO2 m2 yr
-1, karena di sekitar Laut Arafura (9 - 11
o LS dan
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
137 - 141o BT) aliran CO2 mencapai 16 - 20 moles CO2 m
2 yr
-1 hal ini disebabkan
pada daerah itu angin yang berhembus cukup kencang berkisar antara 6 - 8 ms-1
.
Seperti pada bulan Juli tahun 1999 di sekitar Laut Cina Selatan suhu permukaan
lautnya mencapai sekitar 30oC sehingga tekanan parsial dipermukaan lautnya pun
besar dengan kecepatan angin yang mencapai 5 - 7 ms-1
menjadikan tempat ini
sumber pelepasan CO2 (Susandi, 2006).
Di belahan utara Indonesia berperan sebagai tempat pelepasan CO2
dimana rata-rata aliran sebesar 2,635 moles CO2 m2 yr
-1. Pada bagian selatan
Jawa, terdapat daerah penyerapan CO2 hingga mencapai 8 moles CO2 m2 yr
-1
karena pada daerah tersebut suhu permukaan lautnya rendah membuat tekanan
parsial CO2 diatmosfer lebih tinggi kemudian ditambah dengan kecepatan angin
permukaan yang besar pada daerah tersebut yang berkisar antara 7 - 9 ms-1
membuat kecepatan transfer gasnya menjadi lebih besar pula.
Sementara itu data dari Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan
bahwa sumber daya laut Indonesia berpotensi untuk menyerap karbon sekitar
245,6 juta ton karbon per tahun. Jumlah tersebut berasal dari ekosistem terumbu
karang seluas 61 ribu km persegi dengan daya serap 73,5 juta ton CO2 per tahun,
rumput laut seluas 30 ribu km persegi dengan daya serap 56,3 juta ton karbon.
Selain itu, hutan bakau seluas 93 ribu km persegi mampu menyerap 75,4 juta ton
karbon dan laut terbuka seluas 5,8 juta km persegi dengan daya serap karbon
sebesar 40,4 juta ton per tahun.
2.4 Karbon Flux
Pertukaran CO2 rata-rata tahunan yang melewati permukaan laut
menunjukkan bahwa penyerapan dan pelepasan gas CO2 tidak terdistribusi secara
merata di laut global (Gambar 6). Peta tersebut menunjukkan bahwa Pasifik
khatulistiwa merupakan sumber alami CO2 yang kontinyu di laut. Hal ini
disebabkan oleh kombinasi antara upwelling yang kuat dari air yang kaya akan
CO2 dan kegiatan biologis yang rendah. Sebaliknya, Atlantik Utara adalah
kawasan yang paling kuat dalam mengambil CO2 di laut global. Dengan
diangkutnya air hangat oleh Gulf Stream dan Drift Atlantik Utara ke arah utara, ia
menjadi dingin dan menyerap CO2 dari atmosfer. Kawasan ini juga merupakan
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
salah satu kawasan laut yang lebih produktif secara biologis akibat pasokan
nutrien yang berlebih. Jadi, berlawanan dengan Pasifik khatulistiwa, faktor-faktor
biologis dan fisis bergabung menghasilkan flux bersih CO2 yang besar dari
atmosfer ke dalam Atlantik Utara dan Pasifik Utara, meskipun bersifat musiman.
Samudra bagian Selatan juga merupakan kawasan penyerapan yang penting
lainnya dimana massa air permukaan yang dingin tenggelam dan kegiatan
biologis kadangkala tinggi. Peta pada Gambar 3 menunjukkan flux rata-rata
tahunan. Perubahan flux musiman ini dipengaruhi oleh skala waktu yang lebih
panjang, serta gangguan oseanik dan atmosferik skala besar seperti siklus El Niño
Southern Oscillation (ENSO).
Flux Karbon (Wanninkhof, 1992) dalam Gambar 6 menunjukkan
pertukaran CO2 rata-rata tahunan yang melintasi permukaan laut. Warna biru dan
ungu menyatakan kawasan dimana laut mengambil CO2 dalam jumlah yang besar,
warna merah dan kuning menandakan kawasan dimana sejumlah besar CO2
diemisikan ke atmosfer. Pasifik khatulistiwa merupakan sumber CO2 alami yang
kontinyu di laut. Hal ini terjadi karena kuatnya pompa fisis yang bergabung
dengan pompa biologis yang suboptimal. Upwelling yang banyak terjadi di
sepanjang khatulistiwa membawa air dingin yang kaya akan CO2 ke permukaan.
Ketika air ini menghangat selama perjalanannya naik ke permukaan, ia menahan
hanya sedikit CO2 dan gas yang terperangkap di dalam air ini akan terlepas ke
udara. Meskipun kawasan ini kaya akan nutrien, namun fitoplankton tidak
menghasilkan bloom yang rapat dari sel-sel besar yang tenggelam dengan cepat
sehingga ekspor karbon dari bahan organik yang dihasilkan di permukaan air
secara umum rendah.
Peta flux CO2 laut-atmosfer global menggambarkan fungsi terintegrasi
dari pompa fisis dan pompa biologis, proses-proses yang telah berjalan selama
ribuan tahun. Pelepasan dan penyerapan CO2 diyakini telah berada dalam
kesetimbangan di masa praindustri. Sejak revolusi industri, penambahan emisi
antropogenik secara dramatis telah mengakibatkan laut menjadi penyerap bersih
bagi CO2. Secara kasar sekitar 6 petagram karbon per tahun (Pg C y-1
) dilepaskan
ke atmosfer sebagai hasil dari pembakaran bahan bakar fosil (1 petagram = 1
gigaton = 1000 juta ton). Sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
atmosferik ini, gradien tekanan parsial antara atmosfer dan laut mengalami
perubahan. Hal ini telah mengakibatkan penenggelaman alami menjadi sedikit
lebih kuat dan sumber menjadi sedikit lebih lemah. Akibatnya penyerapan CO2
bersih oleh laut telah meningkat sekitar 2,2 Pg per tahun, sekitar sepertiga dari
emisi total karbon antropogenik. Penyerapan CO2 antropogenik ini sebagian besar
dikontrol oleh pompa fisis.
Gambar 6. Flux Karbon (Wanninkhof, 1992)
2.5 Kondisi Oseanografi Laut Indonesia
2.5.1 Temperatur
Pengetahuan mengenai suhu permukaan laut sangat bermanfaat untuk
banyak hal yang terkait dengan penelitian maupun aplikasinya. Suhu permukaan
laut merupakan salah satu faktor utama penggerak siklus musim baik di daerah
tropis maupun sub tropis dimana suhu permukaan laut akan mempengaruhi
kondisi atmosfer, cuaca dan musim, bahkan munculnya fenomena El Nino dan La
Nina dapat di pelajari melalui suhu permukaan laut. Banyak lagi hal lain yang
terkait dengan aplikasi yang dipengaruhi oleh suhu permukaan laut, diantaranya
kesuburan perairan dan perikanan.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Perairan laut Indonesia yang merupakan bagian dari laut tropis memiliki
massa air permukaan yang lebih hangat karena intensitas sinar matahari yang
berlangsung sepanjang tahun. Intensitas sinar matahari menyebabkan pemanasan
air laut permukaan sehingga mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di dalam
kolom perairan yang disebabkan oleh adanya gradien suhu. Wyrtki (1961)
membagi perairan menjadi tiga lapisan, yaitu: a) lapisan homogen pada
permukaan perairan atau disebut juga lapisan permukaan tercampur; b) lapisan
diskontinuitas atau biasa disebut lapisan termoklin; c) lapisan di bawah termoklin
dengan kondisi yang hampir homogen, dimana suhu berkurang secara perlahan-
lahan ke arah dasar perairan.
Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi,
evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari dan faktor-faktor fisika
yang terjadi di dalam kolom air. Presipitasi terjadi melalui curah hujan yang dapat
menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi meningkatkan suhu
permukaan akibat aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan.
Menurut McPhaden and Hayes (1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-
kira sebesar 0,1 oC pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 m dan hanya
kira-kira 0,12 oC pada kedalaman 10 – 75 m. Disamping itu Lukas and Lindstrom
(1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung
pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur.
Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy dan
entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur
serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991), adveksi
vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan
bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi
dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat
mengakibatkan terjadinya upwelling. Upwelling menyebabkan suhu lapisan
permukaan tercampur menjadi lebih rendah. Pada umumnya pergerakan massa
air disebabkan oleh angin. Angin yang berhembus dengan kencang
mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas sehingga
sebaran suhu menjadi homogen.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25 – 30
oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya
kedalaman hingga 80 db, sedangkan salinitas permukaan laut berkisar antara 31.2
– 34.5 ‰ (Tomascik et al. 1997a). Nontji (1993) mengatakan bahwa suhu
permukaan perairan Indonesia berkisar antara 28 – 31 oC dan di Laut Banda pada
saat upwelling, suhu turun sampai 25 oC. Hal ini disebabkan karena massa air
dingin dari lapisan bawah terangkat ke lapisan atas. Illahude and Gordon (1996)
mengatakan bahwa suhu permukaan bagian tengah Laut Banda pada musim timur
berkisar antara 25.7 – 26.1 oC dengan salinitas 34.1 – 344 ‰ sedangkan musim
barat suhu berkisar antara 29.6 – 30.3 oC dan salinitas 34,5 ‰.
2.5.2 Salinitas
Salinitas merupakan komposisi kimia perairan yang menyatakan
kontribusi percampuran air tawar dan air laut serta sejumlah aliran lokal. Di
perairan pantai, air laut banyak bercampur dengan air tawar sehingga seringkali
indek percampuran dinyatakan dengan salinitas. Fluxtuasi salinitas di suatu
perairan menjadi faktor utama penentu keberadaan tumbuhan dan organisme laut.
Salinitas seringkali menjadi indikasi penting untuk menentukan sirkulasi dan
percampuran akibat adanya interaksi masuknya air tawar dengan air laut
(Pikcard, 1975 dalam Nurhayati dan Suyarso, 2000).
Distribusi vertikal dan horisontal salinitas perairan dipengaruhi oleh
bentuk dasar kanal, pasang surut, arus laut, aliran sungai, penguapan dan
sumbangan air tawar yang berasal dari daratan. Proses-proses tersebut dapat
menyebabkan nilai distribusi salinitas yang beragam sehingga distribusi menjadi
lebih kompleks.
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola
sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat
curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang
rendah sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas
perairannya tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran
salinitas di suatu perairan.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan
bertambahnya kedalaman. Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan
penyebaran salinitas secara vertikal. Pengadukan di dalam lapisan permukaan
memungkinkan salinitas menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang
mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga mengakibatkan
meningkatnya salinitas permukaan perairan.
Sistem angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh
terhadap sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara horisontal.
Secara horisontal berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan
sebaran secara vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin yang
mengakibatkan terjadinya gerakan air secara vertikal. Menurut Wyrtki (1961),
sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas yang
akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan. Perubahan musim
tersebut selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang
bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Interaksi antara sistem
angin muson dengan faktor-faktor yang lain, seperti run-off dari sungai, hujan,
evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan distribusi salinitas
menjadi sangat bervariasi.
Wyrtki (1961) menyatakan bahwa sebaran salinitas yang terjadi diperairan
laut Indonesia pada umumnya dipengaruhi oleh sistem angin muson yang terjadi
diwilayah Indonesia. Sebagai contoh adalah dilaut Banda bagian Timur pada
waktu Musim Timur terjadi upwelling yang umumnya mempunyai kadar salinitas
lebih tinggi menuju ke permukaan sehingga mempengaruhi sebaran salinitas
perairan di wilayah tersebut. Selain sistem angin muson, sebaran salinitas juga
dipengaruhi oleh arus yang membawa massa air bersalinitas tinggi dari Lautan
Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Flores. Di Laut Flores,
salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai akibat dari pengaruh
masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur, tingginya salinitas
dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores mengakibatkan meningkatnya
salinitas Laut Flores. Massa air perairan Laut Jawa pada umumnya memiliki nilai
salinitas rendah disebabkan karena banyaknya masukan air tawar dari aliran
sungai dari sungai-sungai besar di pulau Sumatera, Kalimantan dan pulau Jawa.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
2.5.3 pH (Keasaman)
Derajat keasaman pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau
kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Ia didefinisikan sebagai kologaritma
aktivitas ion hidrogen H+ yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak
dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan
teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. Ia bersifat relatif terhadap sekumpulan
larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional
(IUPAC, 2011).
Pengasaman laut adalah istilah yang diberikan untuk proses turunnya
kadar pH air laut yang kini tengah terjadi akibat penyerapan karbon dioksida di
atmosfer yang dihasilkan dari kegiatan manusia. Menurut Jacobson (2005), pH di
permukaan laut diperkirakan turun dari 8.25 menjadi 8.14 dari tahun 1751 hingga
2004.
Pada siklus karbon alami, konsentrasi CO2 di atmosfer menggambarkan
sebuah keseimbangan fluks antara lautan, daratan dan atmosfer. Perubahan fungsi
lahan, penggunaan bahan bakar fosil, dan produksi semen mengakibatkan adanya
sumber CO2 tambahan ke dalam atmosfer bumi. Sebagian CO2 tersebut diserap
oleh tumbuhan di darat dan sebagian lainnya diserap oleh lautan. Ketika CO2
terlarut, dia akan bereaksi dengan air membentuk suatu kesetimbangan jenis ionik
dan non-ionik yaitu: karbon dioksida yang terlarut bebas CO2(aq), asam karbonat
H2CO3, bikarbonat HCO3-, dan karbonat CO3
2-. Perbandingan dari jenis-jenis ini
bergantung pada temperatur air laut dan alkalinitas.
Terlarutnya CO2 menyebabkan naiknya konsentrasi ion hidrogen H+ di
lautan, sehingga mengurangi pH lautan. Menurut Orr et al (2005), sejak revolusi
industri, pH lautan telah turun sebesar 0.1 satuan dan diperkirakan terus turun
hingga 0.3 – 0.4 satuan pada tahun 2100 karena makin banyaknya gas CO2 akibat
aktivitas manusia. Meskipun penyerapan CO2 oleh lautan membantu
memperbaiki efek iklim akibat emisi CO2, namun diyakini bahwa ada
konsekuensi negatif terhadap organisme kerang-kerangan yang memanfaatkan
kalsit dan aragonit dari kalsium karbonat untuk membentuk cangkang. Pada
kondisi normal, kalsit dan aragonit stabil di permukaan air karena ion karbonat
berada pada kondisi sangat jenuh. Dengan turunnya pH air laut, konsentrasi ion
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
karbonat ini juga akan turun, dan pada saat karbonat berada pada kondisi tak
jenuh, struktur yang dibentuk dari kalsium karbonat menjadi rapuh dan akan
mudah terpecah atau terputus.
Semakin rendah pH air laut, keasamannya makin tinggi. Ketika karbon
dioksida bercampur dengan air maka pH airpun akan turun. Sejak zaman es
permukaan air laut memiliki pH 8.3, akan tetapi sejak bumi memasuki era
industrial keasamannya berada pada angka 8.2 dan terus menurun hingga
sekarang pH air laut menjadi 8.1.
2.5.4 Nutrien (Fosfat, Nitrat, Silikat)
Nutrien adalah semua unsur dan senyawa yang dibutuhkan oleh
tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya
amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien
utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor,
oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace
element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper dan
vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al., (1984), alga membutuhkan
elemen nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P,
Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien,
sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan
biasanya disebut mikronutrien.
Keberadaan nutrien fosfat, nitrat dan silikat diperairan laut menjadi faktor
pembatas bagi penyebaran dan pertumbuhan populasi dan komunitas fitoplankton.
Penggunaan nutrien sebagai faktor pembatas dapat dibedakan menjadi :
1. Nutrien sebagai pembatas pertumbuhan populasi yang dominan.
2. Nutrien sebagai faktor pembatas terhadap laju potensial produksi
primer bersih.
3. Nutrien sebagai faktor pembatas produksi ekosistem bersih, populasi
primer kotor melebihi total respirasi ekosistem.
Keberadaan ekosistem yang kompleks, pola aliran arus antar pulau yang
dinamis dan aktifitas di kawasan tersebut mempunyai pengaruh terhadap
kandungan zat hara serta pola sebarannya. Kandungan zat hara di suatu perairan
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung pada keadaan sekelilingnya,
seperti sumbangan dari daratan melalui sungai serta serasah mangrove dan lamun.
Unsur hara merupakan zat-zat yang diperlukan dan mempunyai pengaruh
terhadap proses dan perkembangan hidup organisme seperti fitoplankton,
terutama zat hara nitrat dan fosfat. Kedua zat hara ini berperan penting terhadap
sel jaringan jasad hidup organisme serta dalam proses fotosintesis. Tinggi
rendahnya kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tergantung pada kandungan
zat hara di perairan tersebut antara lain nitrat dan fosfat (Nybakken, 1998).
Senyawa nitrat dan fosfat secara alamiah berasal dari perairan itu sendiri melalui
proses-proses penguraian, pelapukan ataupun dekomposisi tumbuh-tumbuhan,
sisa-sisa organisme mati dan buangan limbah daratan seperti domestik, industri,
pertanian, dan limbah peternakan ataupun sisa pakan (Wattayakorn, 1988).
Piehler et al (2004), menyatakan bahwa nitrogen secara signifikan
berpengaruh terhadap struktur komunitas fitoplankton. Sedangkan Pomeroy
(1991) menyatakan bahwa laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan
meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang
saturasi dan setelah keadaan ini pertumbuhan fitoplankton tidak tergantung lagi
pada konsentrasi nutrien.
Nitrogen di laut berada dalam bentuk molekul-molekul nitrogen dan
garam-garam anorganik seperti nitrat, nitrit dan amonia dan beberapa senyawa
nitrogen organik (asam amino dan urea). Fosfat di laut berada dalam bentuk fosfat
anorganik terlarut, fosfat organik terlarut dan partikulat fosfat (Levinton, 1984;
Parsons et al., 1984). Fosfat berperan didalam mentransfer energi dalam sel
fitoplankton (misalnya dalam phosphorylation) dari energi ADP (Adenosin
Diphosphate) rendah menjadi ATP (Adenosin Triphosphate) tinggi (Tomascik et
al., 1997). Sedangkan silikat berfungsi untuk menyusun kerangka (shell) diatom
dan cyst dari yellow-brown algae (Reid dan Wood, 1976) serta berperan dalam
sintesa DNA pada Cylindrotheca fusiform (Kennish, 1990).
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada
konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan
akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal ini juga
dikemukakan oleh Brown et al., (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan
bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada
kedalaman antara 500 – 1500 m.
2.5.5 Klorofil-a
Klorofil-a adalah salah satu parameter indikator tingkat kesuburan suatu
perairan. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di laut sangat dipengaruhi oleh
faktor hidrologi perairan (suhu, salinitas, nitrat dan fosfat). Tisch et al., (1992)
mengatakan perubahan kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan melihat
sifat-sifat massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut dan kandungan
nutrien. Perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara langsung merupakan
penyebab bervariasinya produktivitas primer di beberapa tempat di laut. Perairan
yang subur dan mempunyai produktivitas yang tinggi tentunya akan memberikan
daya dukung lingkungan yang positif bagi kehidupan biota laut.
Klorofil merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan
produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil
sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan (Mann dan Lazier,
1991).
Produktivitas primer dalam artian umum adalah laju produksi bahan
organik melalui reaksi fotosintesis per satuan volume atau luas suatu perairan
tertentu (mg C/m3/hari atau g C/m
3/tahun). Reaksi fotosintesis dapat terjadi pada
semua tumbuhan yang mengandung pigmen klorofill, dan dengan adanya cahaya
matahari.
Klorofil itu sendiri terdiri dari tiga jenis yaitu klorofil-a, b, dan c. Ketiga
jenis klorofil ini sangat penting dalam proses fotosintesis tumbuhan yaitu suatu
proses yang merupakan dasar dari pembentukan zat-zat organik di alam.
Kandungan klorofil yang paling dominan dimiliki oleh fitoplankton adalah
klorofil-a. Oleh karena itulah klorofil-a dapat dijadikan sebagai salah satu
indikator kesuburan perairan (Samawi, 2001). Selanjutnya menurut Steemann-
Nielsen (1975) dalam Nontji (2008) mengatakan bahwa 95 % produktivitas
primer di laut disumbangkan oleh fitoplankton. Klorofil memegang posisi kunci
dalam reaksi fotosintesis yang menentukan produktivitas suatu perairan.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Sehubungan hal tersebut, maka cara pengukuran yang terbaik telah diusahakan
sejak dahulu guna menentukan kandungan klorofill fitoplankton di laut.
Perairan oseanik tropis merupakan perairan yang cukup jernih dan
penyinaran matahari terjadi hampir sepanjang tahun sehingga memungkinkan
tersedianya cahaya matahari pada lapisan permukaan tercampur. Hal ini
memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah dari lapisan
permukaan tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin jika dibandingkan
dengan bagian pertengahan atau dibawah dari lapisan termoklin. Hal ini juga
dikemukakan oleh Matsuura et al., (1997) berdasarkan hasil pengamatan di timur
laut Samudera Hindia (barat laut Australia) yang mengatakan bahwa sebaran
konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat
sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan
tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada
lagi klorofil-a pada lapisan di bawah termoklin.
2.5.6 Karbon Anorganik Terlarut
Karbon anorganik erat hubungannya dengan proses pembentukan senyawa
CaCO3, yang merupakan penyusun utama terumbu karang ataupun
mikroorganisme yang ada di lautan seperti foraminifera dan cocolitoporit
(Jutterstrom and Anderson., 2005). Selain itu juga berhubungan erat dengan
proses kimia yang terjadi ketika gas karbon dioksida terlarut dalam perairan.
Dalam air laut, hanya sekitar 1% dari total karbon dioksida yang tetap
sebagai senyawa CO2 yang dapat berubah seiring dengan perubahan dari tekanan
parsial CO2 di udara, sedangkan sisanya dalam bentuk ion bikarbonat (91%) dan
ion karbonat (8%) (Royal Society, 2005). Asam karbonat dan ion karbonat biasa
dirujuk sebagai dissolved inorganic carbon (DIC). Proporsi relatif ketiga bentuk
DIC mencerminkan pH air laut dan mengendalikan DIC dalam batas-batas relatif
yang sempit. DIC ini berperan sebagai buffer pH alami yang disebut sebagai
'buffer karbonat'. Masuknya CO2 ke air laut menyebabkan ion hidrogen yang ada
akan bereaksi dengan ion karbonat CO32-
dan membentuk ion bikarbonat HCO3-
dan akhirnya akan mengurangi konsentrasi ion hidrogen (keasaman) sedemikian
rupa sehingga perubahan pH akan jauh lebih kecil daripada yang dapat diharapkan
(Royal Society, 2005).
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) periode yaitu pada tanggal 22
Februari s/d 1 Maret 2010 di perairan Utara Banten, Selat Sunda dan Samudera
Hindia dimana dalam pembahasan hanya disebutkan sebagai perairan Selat Sunda
(SS), serta pada tanggal 6 s/d 28 April 2010 di perairan Barat Sumatera (BS)
dengan menggunakan KR Baruna Jaya III milik Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) Jakarta (Gambar 4).
Alat dan bahan yang digunakan dalam survei adalah :
Tabel 1. Alat dan Bahan Survei
NO ALAT DAN BAHAN SURVEI
1 Kapal Riset Baruna Jaya III
2 CTD SeaBird SBE19plus (Conductivity, Temperature, Depth)
3 Botol Niskin dan Rossette Sampler
4 pH meter
5 Spektrofotometer
6 Centrifuge
7 Tabung reaksi
8 Titrator
9 Botol sampel kaca gelap dan polietilen
10 Jerigen 2 liter
11 Vacuum pump
12 Kertas saring Whatman 0.45 µm
13 Aceton 90 %
14 Freezer
15 Pinset
16 Alat tulis
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Sampel air laut diambil menggunakan botol niskin yang sudah
terintegrasi dengan rossette sampler dan CTD mulai permukaan sampai
kedalaman yang kita inginkan. Sampel dari botol niskin dipindahkan kedalam
jerigen ukuran 2 liter kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman
0.45 µm. Hasil saringan disimpan dalam kertas alumunium foil untuk analisa
klorofil-a dilaboratorium. Sebanyak 250 ml sampel hasil saringan dimasukkan
kedalam botol kaca dan disimpan dalam lemari pendingan untuk analisa DIC, pH
dan alkalinitas dilaboratorium.
Sumber : Peta Bakosurtanal 2008
Gambar 7. Peta Lokasi Survei
PETA LOKASI SURVEI
Februari - April 2010
Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
Balai Teknologi Survei Kelautan
Badan Pengkajian dan Penerapan TeknologiJakarta
PEKERJAAN
SURVEITEKNOLOGI PENGENDALIAN DAN MITIGASI
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL
PELAKSANA
DARATAN
GARIS PANTAI
KETERANGAN
Jl. M.H. Thamrin No.8
Jakarta Pusat
Telp. (021) 316 8820
Fax. (021) 310 8149
Utara
LOKASI SURVEI FEBRUARI 2010
LOKASI SURVEI APRIL 2010
SKALA 1 : 11.200.000
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
3.2 Analisa Klorofil dan Parameter CO2
Klorofil diukur menggunakan alat spektrometer menurut metode APHA
(American Public Health Association, edisi 21, tahun 2005, 10200-H). Satuan
konsentrasi klorofil yang digunakan adalah μg/l. Sistem CO2 di perairan dapat
dikaji melalui empat parameter yang dapat diukur, yaitu DIC, total alkalinitas, pH
dan tekanan parsial CO2 (Lewis and Wallace, 1997). Dua dari parameter tersebut
dapat dihitung dari dua parameter lainnya (Lewis and Wallace, 1997). Pada studi
ini DIC diukur menggunakan metode titrasi dengan prinsip mendasarkan pada
perubahan pH setelah ditambahkan HCl dan NaOH pada sampel air yang telah
disaring (Giggenbach and Goguel, 1989). DIC didapatkan dari penjumlahan
HCO3- dan CO3
2- yang terdeteksi setelah ditambahkan HCl dan NaOH. Alkalinitas
diukur di laboratorium menggunakan metode titrasi (Anderson and Robinson,
1946) dengan prinsip mendasarkan pada perubahan pH awal dan akhir pada 200
ml sampel (hasil saringan), sebelum dan setelah ditambahkan HCl 0.01 N
sebanyak 25 ml.
Tekanan parsial CO2 dihitung dari DIC dan pH menggunakan prinsip dasar
dari Cai and Wang (1998), yaitu:
(3)
dimana : DIC = dissolved inorganic karbon, Kh adalah konstanta solubilitas gas
dalam air menurut Weiss (1974), {H}= 10-pH, K1 dan K2 adalah konstanta
disosiasi dari asam karbonat.
Secara praktis pCO2 dihitung menggunakan perangkat lunak CO2SYS
yang dikembangkan oleh Lewis and Wallace (1997). Di dalam perangkat tersebut
terdapat beberapa model perhitungan yang kemudian akan menentukan asumsi
dan konstanta yang digunakan untuk menghitung pCO2. Model yang digunakan
pada studi ini adalah GEOSECS (Takahashi et al., 1982) dengan pertimbangan
tidak ada pembedaan antara pCO2 dan fCO2 (fugasitas). Selain DIC dan pH, untuk
menghitung pCO2 model GEOSECS juga memerlukan input parameter untuk
koreksi, yaitu suhu (in situ maupun laboratorium) dan salinitas. Karena model
perhitungan yang digunakan untuk menghitung pCO2 adalah menggunakan model
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
GEOSECS, maka koreksi suhu dan salinitas juga mengikuti model tersebut, yaitu
mengacu pada Mehrbach et al., (1973). Formula perhitungan K1 dan K2 yang
telah memperhitungkan suhu dan salinitas adalah sebagai berikut (Mehrbach et
al., 1973) :
(4)
(5)
Formula untuk KH (atau Ko di dalam Weiss, 1974) adalah juga bentuk
yang telah mengalami koreksi suhu dan salinitas, yaitu (Weiss, 1974) :
(6)
Untuk alkalinitas, koreksi terhadap suhu dan salinitas telah diakomodasi
pada perhitungan alkalinitas pada metode yang dipakai, yaitu Giggenbach and
Goguel (1989), sebagai berikut :
Total alkalinitas (meq/l) = 2.500 – 125 (7)
dimana untuk persamaan (4), (5), (6) dan (7) :
3.3 Pengukuran CO2 Udara di Stasiun GAW Kototabang
Di dalam Protokol Kyoto menyebutkan ada enam gas yang dikategorikan
sebagai gas rumah kaca yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous
oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan sulfur
heksafluorida (SF6) (UN, 1998). Dari ke enam gas ini, empat gas diantaranya
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
yaitu CO2, CH4, N2O, dan SF6, sudah diukur konsentrasinya di Stasiun Pemantau
Atmosfer Global Bukit Kototabang, Sumatera Barat.
Pengambilan sampel gas rumah kaca dilakukan dengan menggunakan
Airkit Flask Sampler. Inlet dari airkit flask sampler diletakan pada menara dengan
ketinggian 35 meter agar CO2 dari sampel udara yang diambil tidak terpengaruh
langsung dari tanaman dan manusia. Sampel gas yang diperoleh kemudian
dianalisis lebih lanjut di Climate Monitoring and Diagnostic Laboratory (CMDL)
NOAA. Gas CO2 akan dianalisis dengan menggunakan metode Non-Dispersive
Intra Red (NDIR), dimana gas CO2 oleh I2O5 (diiodin pentoksida) dalam suasana
panas akan menghasilkan gas I2. Selanjutnya gas tersebut akan ditangkap oleh
larutan KI membentuk warna kuning dan diukur dengan spektrofotometer panjang
gelombang 420 nm. Metode ini cocok untuk untuk konsentrasi CO relatif tinggi 5
ppm. Adapun reaksi kimianya adalah sebagai berikut:
Pengukuran ini berdasarkan kemampuan gas CO menyerap sinar infra
merah pada panjang 420 nm. Banyaknya intensitas sinar yang diserap sebanding
dengan konsentrasi CO di udara. Analyzer ini terdiri dari sumber cahaya
inframerah, tabung sampel dan reference, detektor dan rekorder.
3.4 Metode Analisis Data
3.4.1 Analisis Pertukaran Gas CO2 Laut dan Udara
Secara umum flux atau pertukaran aliran gas CO2
antara darat dan laut
adalah fungsi dua parameter yaitu perbedaan konsentrasi CO2
antara laut dan
darat yang merupakan fungsi termodinamika dan kecepatan transfer gas CO2
yang
merupakan fungsi dari faktor hidrodinamika di permukaan laut. Aliran pertukaran
bersih di suatu lokasi tergantung kepada tingkat kejenuhan CO2 di permukaan air
dan dirumuskan dengan persamaan (8) :
(8)
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
dimana k adalah koefisien pertukaran dimana nilainya meningkat sebanding
dengan pertambahan kecepatan angin dipertemuan antar muka udara laut, s adalah
kelarutan CO2 dalam air laut. pCO2 laut menunjukkan tekanan parsial CO2
dipermukaan laut dan pCO2 udara menunjukkan tekanan parsial CO2 di udara.
Berdasarkan persamaan (8), aliran bersih diasumsikan positif ketika aliran
tersebut bergerak dari laut ke atmosfer. pCO2 laut akan berbeda-beda tergantung
kepada beberapa faktor seperti suhu dan aktifitas biologi lautan. Ada tiga formula
untuk menentukan nilai k yang paling sering digunakan sebagai fungsi dari angin
yaitu hubungan linier (Liss dan Merlivat, 1986), hubungan kuadratik
(Wanninkhof, 1992), dan hubungan kubik (Wanninkhof dan McGills, 1999).
Didalam penelitian ini, formulasi angin yang digunakan adalah fungsi
kuadratik oleh Wanninkhof (1992) (W92 dalam persamaan 9) karena data yang
digunakan pada penelitian ini adalah hasil pengukuran dilapangan pada saat survei
pengambilan data .
(9)
Dimana k dalam satuan cm hr-1
u10 adalah kecepatan angin pada ketinggian 10 m
(m s-1
) dari permukaan laut. Sedangkan solubilitas atau kelarutan CO2 di dalam air
laut bergantung kepada dua variabel utama yaitu suhu permukaan laut dan
salinitas permukaan laut.
Karena ΔCO2 udara – laut
sebanding dengan perbedaan pCO2 udara – laut
, maka
formulanya dapat didetailkan menjadi (persamaan 10) :
(10)
Variabel K adalah fungsi dari kecepatan angin dan kekasaran permukaan laut
yang dapat dihitung dari data angin maupun dari data satelit altimetri.
3.4.2 Analisa ‘Sink & Source’ CO2
Analisis „sink & source‟ CO2 dilakukan untuk menentukan apakah suatu
perairan penyerap atau pelepas CO2. Analisis ini dilakukan dengan mengurangkan
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
nilai pCO2 udara atau tekanan parsial CO2 di atmosfer dengan nilai pCO2 laut yang
telah didapatkan dari perhitungan (persamaan 10). Secara ideal pCO2 udara
didapatkan melalui pengukuran langsung secara simultan dengan pCO2 laut. Dalam
penelitian ini nilai pCO2 udara didapatkan dari hasil rata-rata pengamatan bulanan
stasiun Global Atmospheric Watch di Kototabang Bukittinggi pada bulan
Februari, Maret dan April tahun 2010 dan diasumsikan mewakili nilai pCO2 udara
diwilayah penelitian. Nilai pCO2 udara yang didapatkan adalah 385.501 ppm.
Formula umumnya :
(11)
Laut berperan sebagai sumber/pelepas CO2 bila pCO2 laut lebih tinggi dari
nilai atmosfer (nilai positif) karena akan terjadi aliran CO2 dari air ke atmosfer
dan sebaliknya berperan sebagai penyerap CO2 dari atmosfer jika nilai pCO2 laut
lebih rendah dari pCO2 udara (nilai negatif).
3.4.3 Analisis Regresi Linear
Regresi linear merupakan suatu metode analisis statistik yang mempelajari
pola hubungan antara dua atau lebih variabel. Pada kenyataan sehari-hari sering
dijumpai sebuah kejadian dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel, oleh
karenanya dikembangkanlah analisis regresi linier berganda. Adanya metode
analisis regresi ini sangat menguntungkan bagi banyak pihak, baik di bidang
sains, sosial, industri maupun bisnis.
Dalam analisis regresi, dikenal dua jenis variabel yaitu :
- Variabel Respon disebut juga variabel dependent yaitu variabel yang
keberadaannya diperngaruhi oleh variabel lainnya dan dinotasikan dengan
Y.
- Variabel Prediktor disebut juga variabel independent yaitu variabel yang
bebas (tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya) dan dinotasikan dengan X.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Tekanan parsial CO2 (pCO2) merupakan salah satu parameter kunci dalam
mengetahui sistem CO2 di perairan. Untuk mengkaji variabilitas dari pCO2 dan
untuk mengetahui proses fisis dan kimia yang paling mempengaruhi
variabilitasnya maka dilakukan analisis regresi linear tunggal antara pCO2 dengan
DIC, pH, T alk, suhu, salinitas, klorofil-a dan nutrien (fosfat, nitrat, silikat).
Pembahasan kemudian didasarkan pada nilai R2 yang didapatkan. R
2 dapat
diartikan sebagai suatu nilai yang mengukur proporsi atau variasi total di sekitar
nilai tengah Y yang dapat dijelaskan oleh model regresi. Nilai R2 berkisar antara 0
sampai dengan 1.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB IV
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Musim dan Profil Pantai
Wilayah yang diamati dalam studi ini meliputi perairan Selat Sunda, dan
barat Sumatera (Gambar 7). Wilayah studi merupakan daerah yang wilayah
pesisirnya digunakan untuk berbagai kegiatan seperti perikanan tangkap,
perikanan budidaya, pariwisata, pelayaran, pelabuhan, pemukiman, maupun
kegiatan perdagangan. Perairan wilayah studi termasuk perairan Indonesia yang
merupakan perairan penghubung antara Samudera Pasifik dengan Samudera
Hindia, dan juga sangat dipengaruhi oleh iklim monson. Hal ini mengakibatkan
sifat yang khas bagi perairan Indonesia. Dengan adanya karakter tersebut, perairan
ini memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi secara musiman
serta dipengaruhi oleh massa air Samudera Pasifik yang melintasi perairan
Indonesia menuju Samudera Hindia melalui Arus Lintas Indonesia (Yusuf, 2007).
Secara umum, kondisi perairan wilayah studi dipengaruhi oleh empat
musim yaitu musim barat yang mewakili bulan Desember, Januari dan Februari,
musim peralihan barat timur mewakili bulan Maret, April dan Mei, musim timur
mewakili bulan Juni, Juli dan Agustus serta musim peralihan timur - barat
mewakili bulan September, Oktober dan November. Selama musim-musim
tersebut tejadi perubahan kondisi umum perairan wilayah studi, baik dari aspek
fisik, kimia maupun biologis.
Stasiun 1, 2, 3 dan 4 dalam studi periode 1 terletak diperairan utara Banten
yang masuk dalam perairan laut Jawa dengan kondisi umum bahwa wilayah
pantainya merupakan pantai datar terhampar dan termasuk dalam kategori laut
dangkal. Lingkungan laut sebelah utara Banten banyak terkena dampak
eksploitasi sumberdaya alam didaratan yang berpengaruh terhadap sedimentasi
perairan laut utara Banten.
Stasiun 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 dalam studi periode 1 terletak diperairan selat
Sunda dengan karakteristik lingkungan perairan yang berbeda. Perairan selat
Sunda terletak di antara pulau Sumatera dan pulau Jawa serta berhubungan
dengan laut Jawa dan samudera Hindia. Di dalam perairan ini terdapat pulau –
pulau kecil dan gunung berapi yang masih aktif yaitu gunung Krakatau dan anak
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Krakatau (Rakata). Di perairan selat bagian utara yang berhubungan dengan laut
Jawa, kedalaman lautnya dangkal (kurang dari 50 meter), tetapi di perairan selat
bagian selatan yang berhubungan dengan samudera Hindia mempunyai
kedalaman laut lebih dari 1000 meter.
Selat Sunda berbatasan dengan propinsi Lampung dimana merupakan
wilayah ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dengan kondisi perairan yang
sangat menarik dimana pada musim timur, saat terjadi surut di samudera Hindia
akan terjadi pertemuan dua arus di samudera Hindia dengan massa air laut dari
laut Jawa yang berbeda karakteristiknya dan biasanya diikuti dengan
meningkatnya kesuburan perairan yang diikuti melimpahnya sumberdaya
perikanan.
Wyrtki (1961) menyatakan bahwa massa air di selat Sunda bergerak ke
arah samudera Hindia sepanjang tahun dan sangat kuat hubungannya dengan
gradien permukaan muka laut. Arus maksimum pertama diperoleh pada bulan
Agustus saat monsun timur dan maksimum kedua diperoleh pada bulan Desember
/ Januari saat puncaknya monsun utara.
Wilayah Banten dan selat Sunda mempunyai iklim yang sangat
dipengaruhi oleh angin monson dan gelombang La Nina dan El Nino. Saat musim
penghujan (November - Maret) cuaca didominasi oleh angin barat (dari Sumatera
Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari Asia yang
melewati laut Cina Selatan. Pada musim kemarau Juni - Agustus, cuaca
didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami
kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian pantai utara, terlebih lagi bila
berlangsung El Nino. Temperatur udara secara umum berkisar antara 20 s/d 32oC.
Sedangkan stasiun 11 dan 12 sudah masuk dalam wilayah perairan
samudera hindia yang mempunyai ciri khas tersendiri, sebagaimana wilayah studi
periode 2. Dalam studi periode 2 dari stasiun penelitian 1 s/d 15, semuanya
merupakan wilayah disebelah barat Sumatera yang termasuk dalam wilayah
samudera Hindia. Wilayah perairan studi 2 melewati beberapa propinsi yaitu
propinsi Lampung, propinsi Bengkulu, propinsi Sumatera Barat (Padang) dan
propinsi Daerah Istimewa Aceh. Profil dasar pantai yang curam merupakan ciri
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
khas perairan pantai Barat Sumatera, dimana kedalaman perairan yang besar
ditemukan dekat dengan garis pantai.
4.2 Kondisi Temperature dan Salinitas
Kondisi perairan wilayah penelitian cenderung hangat sepanjang tahun,
musim hujan berlangsung bulan Desember – Mei (musim barat) dan musim
kemarau berlangsung pada musim timur. Curah hujan yang cukup tinggi
menyebabkan penurunan kadar salinitas di wilayah penelitian terutama perairan
Barat Sumatera. Menurut Nybakken (1998), kisaran suhu dan salinitas tidak
mengalami fluktuasi yang tinggi atau dapat disebut konstan.
Menurut Surinati (2009) bahwa distribusi horizontal temperatur di
perairan samudera Hindia terutama di perairan P. Simeulue dan sekitarnya pada
bulan Agustus 2007 nilai temperatur rata-rata 29.2oC. Temperatur rata-rata pada
kedalaman 100 sekitar 21.4oC dan pada kedalaman 200 m temperatur rata-rata
sekitar 12.9oC. Mulai kedalaman 200 m variasi temperatur dari stasiun ke stasiun
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kondisi ini menunjukkan bahwa massa
air mulai stabil dan tidak terlalu dinamis.
Sedangkan distribusi horizontal salinitas di perairan samudera Hindia
terutama di perairan pulau Simeulue dan sekitarnya pada bulan Agustus 2007
mempunyai nilai salinitas rata-rata sekitar 33.1 PSU. Pada kedalaman 100 m nilai
salinitas rata-rata ~ 34 PSU. Nilai salinitas tinggi dengan nilai rata-rata 35.03 PSU
berada pada kedalaman 200 m. Massa air bersalinitas tinggi ini diduga berasal
dari massa air yang datang dari utara, yaitu massa air Subtropical Lower Water
(Surinati., 2009).
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selat Sunda dan Barat
Sumatera
Data hasil penelitian di perairan Selat Sunda dan barat Sumatera
ditampilkan dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2. Hasil menunjukkan bahwa pada
bulan Februari 2010 diperairan Selat Sunda temperatur permukaan laut berkisar
29.38 s/d 30.78oC dan salinitas permukaan berkisar 28.23 s/d 24.00 PSU.
Sedangkan pada bulan April 2010 diperairan barat Sumatera temperatur
permukaan laut berkisar 30.11 s/d 30.83oC dan salinitas permukaan laut berkisar
32.13 s/d 33.14 PSU. Distribusi spasial temperatur dan salinitas pada bulan
Februari dan April 2010 ditampilkan pada gambar 8 dan 9, yang secara umum
keduanya menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada perairan samudera bila
dibandingkan perairan dekat dengan pantai. Hal ini diduga karena perairan dekat
pantai mendapatkan pasokan air tawar dengan suhu yang relatif lebih dingin
sehingga menyebabkan perairan yang berdekatan dengan pantai menjadi lebih
dingin dan nilai salinitas menjadi lebih rendah.
Gambar 8. Temperatur Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
(Sumber : Data primer diolah, 2010)
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Dari gambar 8 terlihat bahwa pola temperatur permukaan di dua lokasi
penelitian menunjukkan pola yang hampir saja walaupun secara umum rata-rata
nilai temperatur permukaan dalam penelitian periode 2 diperairan barat Sumatera
mempunyai nilai yang lebih tinggi yaitu 30.42oC bila dibandingkan perairan Selat
Sunda sebesar 29.94oC. Perbedaan ini diduga karena wilayah penelitian periode 1
masih banyak dipengaruhi massa air dari laut Jawa yang cenderung mempunyai
temperatur lebih rendah, sedangkan wilayah penelitian periode 2 diperairan barat
Sumatera merupakan bagian wilayah Samudera Hindia dengan karakteristik
massa air dengan temperatur yang lebih tinggi.
Temperatur perairan, khususnya perairan Indonesia, dipengaruhi oleh
siklus perubahan musim (Wyrtki, 1961). Selain oleh musim, temperatur air di
suatu perairan juga dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari, kedalaman dan
daratan di sekelilingnya (Sidjabat, 1974).
Gambar 9. Salinitas Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
(Sumber : Data primer diolah, 2010)
Nilai salinitas dalam gambar 9 terlihat secara umum bahwa salinitas di
wilayah penelitian periode 2 yaitu perairan barat Sumatera lebih tinggi bila
dibandingkan dengan nilai salinitas di wilayah penelitian periode 1 di Selat Sunda
dengan rata-rata 32.81 PSU dan 31.07 PSU. Massa air bersalinitas tinggi ini
diduga berasal dari massa air yang datang dari utara, yaitu massa air Subtropical
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Lower Water. Sedangkan rendahnya salinitas di wilayah studi 1 disebabkan oleh
pengaruh massa air dari laut Jawa yang mempunyai salinitas rendah yang
diakibatkan oleh adanya run-off dari sungai-sungai besar di pulau Sumatra, pulau
Kalimantan dan pulau Jawa (Wyrtki, 1961).
5.2 Variabilitas Nutrien (Fosfat, Nitrat, Silikat) Perairan Selat Sunda dan
Barat Sumatera
Hasil analisa nutrien (fosfat, nitrat, silikat) menunjukkan bahwa pada
bulan Februari 2010 diperairan Selat Sunda kandungan nitrat, fosfat dan silikat
permukaan laut secara berurutan adalah 0.061 s/d 0.610 mg-at P/l, 0.01 s/d 0.83
mg-at N/l dan 0.061 s/d 0.257 mg-at Si/l. Sedangkan pada bulan April 2010
diperairan Barat Sumatera kandungan nitrat, fosfat dan silikat permukaan laut
secara berurutan adalah 0.088 s/d 0.143 mg-at N/l, 0.37 s/d 1.30 mg-at P/l dan
0.223 s/d 0.660 mg-at Si/l.
Kandungan fosfat, nitrat dan silikat di kedua wilayah studi menunjukkan
nilai yang bervariasi, hal ini disebabkan karena wilayah penelitian melewati
beberapa wilayah berbeda yaitu wilayah laut Jawa, wilayah Selat Sunda
(percampuran) dan wilayah samudera Hindia (laut lepas). Disamping itu juga
bahwa wilayah studi 2 (dua) di duga terjadi percampuran massa air terutama
massa air yang dibawa oleh arus sakal Samudera Hindia dengan massa air
terutama yang berasal dari sungai-sungai besar disepanjang pantai barat Sumatera.
Gambar 10 terlihat bahwa kandungan nitrat di wilayah studi 1 dan 2
menunjukkan nilai yang bervariasi dan masih sesuai dengan kandungan nitrat
pada umumnya perairan laut antara 0.01 - 50 mg-at N/l (Brotowidjoyo, 1995).
Adanya kandungan nitrat yang rendah dan tinggi pada daerah-daerah tertentu
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya arus pada daerah
tersebut yang membawa fosfat dan kelimpahan fitoplankton (Koesoebiono,
1981). Konsentrasi nitrat bervariasi menurut letak geografis dan kedalaman, di
mana pola geografis nitrat di lapisan bawah lebih dikontrol oleh sirkulasi air
lapisan bawah dan proses mineralisasi nitrogen organik partikulat (Wada and
Hattori, 1991). Massa air bawah yang kaya akan nutrien dapat ditransportasikan
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
ke permukaan melalui proses upwelling. Di lain sisi, nitrat akan senantiasa
diambil di lapisan permukaan selama proses produktifitas primer (Millero, 1991).
Rata-rata kandungan fosfat diwilayah studi 1 dan 2 adalah 0.167 mg-at
P/L dan 0.110 mg-at P/L, dimana kandungan fosfat ini masih normal sesuai
dengan umumnya dijumpai di perairan laut. Kandungan fosfat di perairan laut
yang normal berkisar antara 0.01 - 4 mg-at P/L (Brotowidjoyo, 1995).
Gambar 10. Kandungan Nitrat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
(Sumber : Data primer diolah, 2010)
Gambar 11. Kandungan Fosfat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
(Sumber : Data primer diolah, 2010)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
N (
NO
3-N
) m
g/l
Stasiun
BS
SS
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Tingginya kandungan fosfat permukaan di stasiun 8 wilayah studi 1 (0,610
mg-at P/L) dan stasiun 2 wilayah studi 2 (0.143 mg-at P/L) (Gambar 11), diduga
karena stasiun ini berada paling dekat dari daratan. Reservoir yang besar dari
fosfat bukanlah udara, melainkan batu-batu atau endapan-endapan lain. Fosfat
yang ada di batuan ini akan ditranspor ke laut melalui run off ataupun saat terjadi
hujan. Kandungan fosfat umumnya semakin menurun semakin jauh ke arah laut
(Muchtar, 2008). Di perairan pesisir dan paparan benua, sungai sebagai pembawa
hanyutan-hanyutan sampah maupun sumber fosfat daratan lainnya akan
mengakibatkan konsentrasi di muara lebih besar dari sekitarnya.
Gambar 12. Kandungan Silikat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
(Sumber : Data primer diolah, 2010)
Nilai kadar silikat pada lapisan permukaan disemua stasiun pengamatan
terlihat beragam (Gambar 12). Rendahnya kadar silikat distasiun 11 (wilayah 1)
dan stasiun 14 (wilayah 2) diduga karena lokasi stasiun tersebut jauh dari pantai
sehingga pasokan sedimen dari daratan yang mengandung silikat sangat sedikit,
disamping itu juga terkait dengan rendahnya curah hujan yang terjadi. Tingginya
curah hujan akan meningkatkan terjadinya proses erosi disepanjang sungai dan
pantai sehingga kadar silikat di lokasi tersebut akan meningkat pula.
Rata-rata kandungan silikat di wilayah studi 1 dan 2 adalah 0.167 mg-at
Si/L dan 0.389 mg-at Si/L. Data ini menunjukkan bahwa distribusi kadar silikat
lebih tinggi didaerah studi 2, hal ini diduga karena di wilayah studi 2 di duga
banyak terjadi turbulensi (pengadukan) massa air sehingga kadar silikat yang
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Silik
at (
mg/
l)
Stasiun
BS
SS
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
tinggi dilapisan dasar akan terangkat ke permukaan. Sedangkan di wilayah studi 2
yang sebagian besar stasiunnya berdekatan dengan garis pantai dan aktifitas
manusia menyebabkan terjadinya peningkatan kesuburan perairan yang
menyebabkan melimpahnya fitoplankton, dimana dengan melimpahnya
fitoplankton menyebabkan kandungan silikat perairan semakin berkurang karena
dikonsumsi oleh fitoplankton.
5.3 Variabilitas pH Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
Gambar 13. Nilai pH Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
(Sumber : Data primer diolah, 2010)
Gambar 13 menunjukkan bahwa nilai pH dikedua wilayah penelitian
bervariasi. Rata-rata nilai pH di wilayah penelitian 1 (perairan Selat Sunda) lebih
rendah bila dibandingkan dengan nilai pH di wilayah penelitian 2 (perairan barat
Sumatera) yaitu 8.25 dan 8.32. Rendahnya nilai pH di wilayah studi 1 diduga
karena tingginya kandungan CO2 yang berasal dari kapal-kapal penyeberangan
yang hilir mudik setiap hari di wilayah tersebut, dimana terlarutnya CO2
menyebabkan naiknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di lautan, sehingga
mengurangi pH lautan. Hal ini juga dibuktikan dengan lebih tingginya nilai DIC
di wilayah 1 bila diandingkan wilayah 2 yaitu 1623.10 dan 1605.98 µmol/kg.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
5.4 Variabilitas Klorofil-a Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
Pengukuran klorofil-a menunjukkan bahwa pada bulan Februari 2010
diperairan Selat Sunda kandungan klorofil-a 1.1 s/d 4.7 mg/m3 Sedangkan pada
bulan April 2010 diperairan barat Sumatera kandungan klorofil-a permukaan laut
berkisar 0.1 s/d 0.5 mg/m3.
Gambar 14 menunjukkan bahwa sebaran kandungan klorofil-a diwilayah
studi 1 (Selat Sunda) mempunyai nilai jauh lebih besar bila dibandingkan wilayah
studi 2 (Barat Sumatera) dengan nilai rata-rata klorofil-a di wilayah studi 1
sebesar 2.28 mg/m3 dan di wilayah studi 2 sebesar 0.35 mg/m
3.
Menurut Nontji (1974) dalam Monk et al., (1997) mengatakan bahwa rata-
rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16
mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21 mg/m
3 selama Musim Timur.
Berdasarkan hasil di atas, maka terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a pada
musim timur di kedua wilayah studi memiliki konsentrasi klorofil-a yang tinggi.
Hal ini terutama didapatkan pada daerah pantai diwilayah studi 1. Tingginya
konsentrasi klorofil-a diwilayah studi 1 khususnya stasiun 1 karena banyaknya
aliran sungai yang bermuara di daerah pantai. Suplai nutrien yang berasal dari
daratan merupakan faktor utama yang mengakibatkan tingginya konsentrasi
klorofil-a tersebut. Nutrien adalah semua unsur dan senyawa yang dibutuhkan
oleh tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya
amonia, nitrat) dan anorganik terlarut. Hal ini sesuai dengan pendapat Valiela
(1984) yang mengatakan bahwa di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi
konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas
pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir
disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari
daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai
karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung.
Selain faktor nutrien, maka faktor lain yang kemungkinan mengakibatkan
tingginya konsentrasi klorofil-a pada musim timur adalah faktor pencahayaan.
Pada bulan Maret - April di perairan wilayah studi matahari bersinar dengan
intensitas yang cukup tinggi dan selanjutnya digunakan oleh fitoplankton untuk
proses fotosintesis. Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur
tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa (Tubalawony,
2001).
Selain konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada daerah pantai, maka di
perairan lepas pantai juga ditemukan daerah yang memiliki konsentrasi klorofil-a
yang cukup tinggi, walaupun pada umumnya di daerah tersebut memiliki
konsentrasi klorofil-a yang rendah akibat tidak adanya suplai nutrien yang berasal
dari daratan. Tingginya konsentrasi klorofil-a pada perairan lepas pantai akibat
tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air,
dimana massa air dalam terangkat bersama-sama dengan nutrien ke lapisan
permukaan dan hal ini disebut dengan proses upwelling.
Gambar 14. Kandungan Klorofil-a Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
(Sumber : Data primer diolah, 2010)
Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling
disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur
yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang
dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju
produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien
secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator. Beberapa
daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
muson adalah Laut Banda dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987),
Selatan Jawa dan Bali (Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor
(Tubalawony, 2000).
5.5 Variabilitas CO2 Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
Hasil data lapangan dan laboratorium menunjukkan bahwa pada akhir
bulan Februari 2010 data DIC di wilayah penelitian periode 1 (perairan Selat
Sunda) berkisar antara 1372.44 s/d 1795.71 µmol/kg dan alkalinitas total dilokasi
studi berkisar 1680.6 s/d 2071.2 µmol/kg. Sedangkan DIC di wilayah penelitian
periode 2 (perairan Barat Sumatera) berkisar 1346.68 s/d 1754.95 µmol/kg dan
alkalinitas total dilokasi studi berkisar 1578.90 s/d 2064.50 µmol/kg. Distribusi
spasial konsentrasi DIC dan alkalinitas total dikedua lokasi studi ditampilkan pada
gambar 12 dan 13, yang secara umum menunjukkan terjadinya trend kenaikan
dari stasiun 1 menuju stasiun 15. Survei periode 1 (perairan Selat Sunda) terlihat
jelas bahwa nilai DIC mengalami kenaikan dari stasiun 1 s/d 5 (massa air laut
Jawa), nilai DIC relatif stabil dari stasiun 6 s/d 10 (percampuran massa air laut
Jawa dan Samudera Hindia), kemudian nilai DIC tertinggi ditemukan di stasiun
11 dan 12 yang merupakan massa air Samudera Hindia .
Data hasil penelitian karbon anorganik terlarut pada daerah studi 1 dan 2
disajikan pada Gambar 15 dengan nilai rata-ratanya adalah 1623.10 µmol/kg dan
1605.98 µmol/kg. Kisaran konsentrasi karbon anorganik terlarut selama
penelitian masih berada di bawah kisaran yang dilaporkan oleh Dickson & Goyet
(1994) yaitu antara 1800 – 2300 μmol/kg. Rendahnya nilai rata-rata karbon
anorganik terlarut disebabkan salah satunya adalah derajat keasaman (pH).
Dimana berdasarkan hasil penelitian Suratno (2010) bahwa berdasarkan uji
statistika (korelasi Pearson) maka semakin rendah pH air laut maka akan semakin
tinggi nilai karbon anorganik terlarut.
Thomas & Schneider (1999) menemukan bahwa terjadi perbedaan
fluxtuasi yang tinggi (250 μmol/kgSW ) CT di perairan Laut Baltic. Perbedaan
yang tinggi dipengaruhi oleh arus masuk dari lautan yang mempunyai salinitas
rendah sepanjang musim semi dan musim panas yang berasal dari Laut Bothnian,
serta Teluk Finland dan Teluk Riga yang memiliki salinitas tinggi selama musim
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
gugur dan musim dingin yang berasal dari Laut Utara. Goyet et al., (1998)
menemukan adanya perbedaan karbon anorganik total di Laut Arabia (10° - 20°
LU) pada permukaan laut dan pada kedalaman 1 – 30 m (zona sub permukaan).
Pada posisi 10° LU CT permukaan sebesar 1.995 μmol/kgSW dan zona sub
permukaan sebesar 2.150 μmol/kgSW. Perbedaan ini disebabkan karena adanya
perubahan musim, proses biogeokimia dan aktivitas biologi yang ada, selain itu
adanya zona ephotik yang ada di kedalaman yang menyebabkan terjadinya
percampuran air dari lapisan dasar ke atas dan sebaliknya (Goyet et al., 1998).
Gambar 15. DIC Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
(Sumber : Data primer diolah, 2010)
Total alkalinitas (Gambar 16) dalam survei periode 1 terlihat bahwa nilai
total alkalinitas mengalami kenaikan dari stasiun 1 s/d 3, relatif stabil dari stasiun
4 s/d 8 walaupun ada penurunan distasiun 5, kemudian mengalami kenaikan dari
stasiun 9 s/d 12. Kondisi yang cukup bervariasi walaupun secara umum trendnya
mengalami kenaikan diduga karena adanya masukan massa air dari laut jawa dan
air tawar dari sungai diteluk Banten yang terbawa menuju selat Sunda dan
Samudera Indonesia.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 16. Total Alkalinitas Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
(Sumber : Data primer diolah, 2010)
Alkalinitas total (T alk) air laut didefinisikan sebagai penjumlahan mol ion
hidrogen yang ekuivalen dengan proton akseptor (misalnya HCO3-, CO3
2-,
B(OH)4-, HPO4
2-, PO4
3-, H3SiO4
- HS
- dan NH3
-) dikurangi dengan seluruh proton
donor (terdiri dari H3PO4, HSO4- dan HF (Wolf-Gladrow et al., 2007) dalam 1
kilogram sampel air laut (Dickson & Goyet, 1994). Rata-rata nilai alkalinitas
total dikedua wilayah studi adalah 1859.99 µmol/kg dan 1894.86 µmol/kg. Nilai
total alkalinitas yang didapatkan dibawah rentang kisaran total alkalinitas
menurut Dickson & Goyet (1994), yaitu dalam kisaran rentang 2000 – 2500
μmol/kgSW. Nilai yang kecil ini dikedua wlayah studi pada bulan Maret dan
April kemungkinan penyebabnya adalah adanya ion fosfat atau silikat, karena satu
mol asam fosfat akan menyebabkan berkurangnya alkalinitas total sebesar satu
ekuivalen (Wolf-Gladrow et al., 2007).
5.6 Analisa ‘Sink dan Source’ CO2 di Perairan Selat Sunda dan Barat
Sumatera
Gambar 17 menunjukkan bahwa pada bulan Februari dan Maret 2010
diperairan studi wilayah 1 dan wilayah 2 mempunyai hasil yang bervariasi baik
sebagai sink maupun source. Stasiun 2, 4, 5, 6, 7, 9, 10 dan 11 diwilayah studi 1
merupakan pelepas CO2 ke atmosfer yang ditunjukkan oleh nilai pCO2 positif dan
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
stasiun 1, 3, 8 dan 12 wilayah studi 1 merupakan penyerap CO2 dari atmosfer
yang ditunjukkan oleh nilai pCO2 negatif. Sedangkan wilayah studi 2 didominasi
oleh penyerap CO2 (sink) dengan nilai pCO2 negatif pada stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8,
9, 10, 11, 14 dan 15. Sisanya stasiun 6, 12 dan 13 merupakan pelepas CO2 ke
atmosfer.
Gambar 17. ΔpCO2 Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
(Sumber : Data primer diolah, 2010)
Angka nol (0) untuk membedakan pCO2 negatif dan positif.
Hasil penelitian Cai et.al. (2006) dan Borges et.al. (2005) secara
eksplisit menyatakan bahwa perairan pesisir tropis, utamanya wilayah pertemuan
darat - laut, termasuk estuari dan mangrove, berperan sebagai pelepas CO2
kuat ke
atmosfer dikarenakan input karbon organik dari daratan yang memicu kondisi
heterotropik. Namun penelitian Tsunogai et.al., (1999) menyatakan bahwa daerah
paparan benua, terutama yang dipengaruhi oleh sungai berperan sebagai penyerap
CO2.
5.7 Perhitungan Flux CO2 di Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera
Data hasil perhitungan flux CO2 di perairan selat Sunda dan barat
Sumatera dapat dilihat dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2. Pada bulan Februari
Maret di perairan Selat Sunda rata-rata aliran (flux) CO2 sebesar 841.603 moles
CO2 cm-2
hr-1
, sedangkan di perairan Barat Sumatera rata-rata aliran (flux) sebesar
-250
-200
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Δρ
CO
2(µ
atm
)
Stasiun
BS
SS
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
-945.292 moles CO2 cm-2
hr-1
. Berdasarkan data flux bersih dikedua wilayah
terlihat jelas bahwa di perairan Selat Sunda merupakan wilayah pelepas CO2 dan
perairan Barat Sumatera merupakan wilayah penyerap CO2. Perbedaan kedua
wilayah tersebut diduga karena aktifitas diperairan Selat Sunda sebagai salah satu
selat paling sibuk dengan keberadaan kapal ferry penyeberangan dari Merak-
Bakaehuni yang menyumbang keberadaan gas CO2 cukup besar. Data tekanan
parsial CO2 di perairan selat Sunda juga menunjukkan nilai yang jauh lebih besar
bila dibandingkan dengan pCO2 di perairan Barat sumatera sehingga
menggerakkan CO2 dari permukaan laut menuju atmosfer dan juga kecepatan
angin rata-rata di perairan Selat Sunda lebih besar bila dibandingkan kecepatan
angin rata-rata di perairan Barat Sumatera sehingga menyebabkan intensitas
transfer gas CO2 lebih besar.
5.8 Analisa Regresi Linier pCO2 dengan Parameter Lainnya
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab variabilitas pCO2
di wilayah
studi maka dilakukan analisis regresi linier sederhana antara pCO2
dengan suhu,
salinitas, pH, total alkalinitas, DIC, nutrien (fosfat, nitrat, silikat) dan klorofil-a.
Dalam pembahasan ini lebih ditekankan kepada faktor-faktor apakah yang paling
berpengaruh terhadap pCO2 baik faktor fisika, kimia dan biologi perairan.
Pembahasan ini juga dilakukan karena dimungkinkan memprediksi atau menduga
pCO2
dari suhu dan atau klorofil-a yang merupakan produk satelit penginderaan
jauh (Lohrenz and Cai, 2006; Lefevre et al., 2002; Chierici et al., 2009).
Pada studi ini dilakukan analisa regresi linier sederhana dan mendasarkan
pembahasan pada nilai R2
dan persamaan regresi linear di perairan selat Sunda
(Lampian 3), serta perairan Barat Sumatera (Lampiran 4). Nilai R2 yang
didapatkan dari kedua wilayah penelitian adalah sebagai berikut (Tabel 2) :
Tabel 2. Nilai R2 Analisa Regresi Linear pCO2 Dengan Parameter Lainnya
Temp Sal pH DIC T alk Klo-a N P Si
pCO2 SS 0.161 0.012 0.962 0.205 0 0.177 0.004 0.192 0.015
pCO2 BS 0.323 0.139 0.635 0.225 0.082 0.023 0.236 0.021 0.037
Sumber : Data primer diolah 2010
Keterangan : SS = Selat Sunda dan BS = Barat Sumatera
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Berdasarkan nilai R2 pada tabel 1 menunjukkan bahwa pada bulan
Februari diperairan selat Sunda nilai pCO2 lebih dipengaruhi oleh pH (R2 = 0.962
artinya nilai pCO2 dipengaruhi sebesar 96.2 % oleh parameter pH) dan DIC (R2 =
0.205 artinya nilai pCO2 dipengaruhi sebesar 20.5 % oleh parameter DIC).
Persamaan regresi pCO2 dengan pH yang diperoleh dari analisa statistika adalah
(Lampiran 3 Gambar 19) :
Persamaan regresi diatas memiliki Pvalue 0.000, karena nilai Pvalue dari
persamaan regresi < α (5 %) maka tolak Ho (Ho = variabel pH tidak berpengaruh
pada variabel pCO2), artinya model persamaan regresi diatas cocok diterapkan
dalam penelitian ini.
Sedangkan nilai R2 pada bulan April diperairan barat Sumatera nilai pCO2
lebih dipengaruhi oleh pH (R2 = 0.635 artinya nilai pCO2 dipengaruhi sebesar
63.6 % oleh parameter pH) dan Temperature (R2 = 0.323 artinya nilai pCO2
dipengaruhi sebesar 32.3 % oleh parameter temperature). Persamaan regresi pCO2
dengan pH yang diperoleh dari analisa statistika adalah (Lampiran 4 Gambar 28) :
Persamaan regresi ini memiliki Pvalue 0.000, karena nilai Pvalue dari
persamaan regresi < α (5 %) maka tolak Ho (Ho = variabel pH tidak berpengaruh
pada variabel pCO2), artinya model persamaan regresi diatas cocok diterapkan
dalam penelitian ini.
Hasil penelitian Novi et al., (2009) diperairan teluk Banten pada bulan Juli
menunjukkan hasil yang berbeda bahwa pCO2 lebih dipengaruhi oleh suhu (R2 =
0.632) dan pH (R2 = 0.445), sedangkan pada penelitian bulan Agustus pCO2 lebih
dipengaruhi oleh DIC (R2 = 0.9633) dan klorofil-a (R
2 = 0.9442).
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Beberapa hal dapat disimpulkan dari penelitian tentang Kajian
Biogeokimia Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera Ditinjau dari Pertukaran
Gas Karbon Dioksida (CO2) Antara Laut dan Udara, yaitu sebagai berikut :
1. Sistem CO2 di perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera bila dilihat dari
parameter karbon organik (DIC), derajat keasaman (pH), total alkalinitas
dan tekanan parsial CO2 (pCO2) sangat bervariasi dengan nilai yang
berbeda-beda yang diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu input
material dari darat dan laut Jawa serta pola oseanografi lokal yang terjadi
di wilayah penelitian.
2. Perairan wilayah studi 1 (Selat Sunda) cenderung berperan sebagai pelepas
(source) karbon dan perairan wilayah studi 2 (Barat Sumatera) cenderung
berperan sebagai penyerap (sink) karbon yang diduga karena wilayah studi
1 lebih banyak mendapatkan input karbon dari darat dan laut Jawa serta
adanya aktifitas kapal penyeberangan di Selat Sunda, bila dibandingkan
dengan wilayah studi 2 (Barat Sumatera).
3. Flux CO2 di kedua wilayah studi menunjukkan hal yang berbeda dimana
wilayah studi 1 (Selat Sunda) rata-rata flux bersih CO2 sebesar 841.603
mol CO2 cm-2
hr-1
yang menunjukkan pelepasan CO2 dari laut ke atmosfer
terjadi diwilayah ini dan rata-rata flux bersih CO2 di wilayah studi 2 (Barat
Sumatera) sebesar -945.292 mol CO2cm-2
hr-1
yang menunjukkan bahwa
penyerapan CO2 oleh laut terjadi diwilayah ini.
4. Hasil regresi linear tekanan parsial CO2 di perairan selat Sunda lebih
dipengaruhi oleh parameter pH dengan nilai R2 = 0.962 dan persamaan
regresinya adalah sedangkan tekanan parsial
CO2 di perairan Barat Sumatera juga dipengaruhi oleh parameter pH
dengan nilai R2 = 0.635 dan persamaan regresinya adalah
.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
6.2 Saran
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang Kajian Biogeokimia Perairan
Selat Sunda dan Barat Sumatera Ditinjau dari Pertukaran Gas Karbon Dioksida
(CO2) Antara Laut dan Udara, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut :
1. Diperlukan pengukuran yang lebih banyak dan sering pada lokasi
penelitian untuk lebih menjelaskan sistem CO2 sehingga dapat mewakili
variabilitas musiman dilokasi penelitian dan sekitarnya.
2. Diperlukan pengukuran CO2 atmosfer secara langsung dan bersamaan
pada saat pengambilan sampel lapangan disetiap stasiun penelitian
sehingga mendapatkan data CO2 atmosfer dilokasi yang sama dengan
lokasi pengambilan sampel air laut.
3. Diperlukan pengukuran yang lebih banyak aspek-aspek oseanografi
terutama pasang surut dan pola arus di wilayah penelitian untuk lebih
menjelaskan secara lengkap distribusi spasial dan temporal sistem CO2.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Adi, N.S and Rustam, A., 2009. Studi Awal Pengukuran sistem CO2 di Teluk
Banten. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan VI ISOI 2009. Ikatan Sarjana
Oseanologi Indonesia.
American Public Health Association (APHA)., 2005. American Water Works
Association (AWWA) & Water Environment Federation (WEF): Standard
Methods for the Examination of Water and Wastewater, 21st Edition, 2005.
Anderson, D.H and R.J. Robinson. 1946. Rapid Electrometric Determination of
the Alkalinity of Sea Water. Industrial and Engineering Chemistry,
Analytical Edition, Vol. 18, p767-769.
Borges, A. V., B. Delille, and M. Frankignoulle. 2005. Budgeting Sinks and
Sources of CO2 in the Coastal Ocean: Diversity of Ecosystems Counts.
Geophysical Research Letters., 32, L14601, doi:10.1029/2005GL023053.
Broecker., 1991. In Climate Change, 1995, Impacts, Adaptation and Mitigation of
Climate Change : Scientific Technical Analysis, Contribution of Working
Group 2 to the Second Assessment Report of the Intergovermental Panel of
Climate Change, UNEP and WMO, Cambrige Press University, 1996.
Brotowidjoyo, M.D., D. Tribowo, E. Mubyarto., 1995, Pengantar Lingkungan
Perairan dan Budidaya Air, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Cai, W.J., Dai, M., and Wang, Y. 2006. Air-Sea Exchange of Karbon Dioxide in
Ocean Margins : A Province Based Synthesis. Geophysical Research
Letters, Vol.33. L12603, doi: 10.1029/2006GL026219.
Caldeira, K., and M.E. Wickett., 2005. Ocean model predictions of chemistry
changes from carbon dioxide emissions to the atmosphere and ocean. J.
Geophys. Res. 110 : 1-12.
Chierici, M, A.Olsen, T. Johannessen, J. Trinanes and R. Wanninkof. 2009.
Algorithms to Estimate the Karbon Dioxide Uptake in the Northern North
Atlantic Using Shipboard Observations, Satellite and Ocean Analysis Data.
Deep Sea Research II, 56, 630-639.
Corell, R, P. Pal, P.A. Anderson, S. Baldursson, E. Bush and T.V. Callaghan.,
2005. Arctic Climate Impact Assessment. Cambridge University Press. New
York.
Cullen, J. J., M. R. Lewis, C. O. Davis, and R. T. Barber, 1992. Photosynthetic
Characteristics and Estimated Growth Rates Incate Grazing is the Proximate
Control of Primary Production in the Equatorial Pacific. J. Geophys. Res.,
97 (C1): 639 – 654.
Dickson, A., and C. Goyet 1994. DOE Handbook of methods for the analysis of
the various parameters of the carbon dioxide system in sea water. Version
2.0. ORNL/CDIAC-74.
Fletcher, S.E.M., N. Gruber., A.R. Jacobson., S.C. Doney., S. Dutkiewicz., M.
Gerber., M. Follows., F. Joos., K. Lindsay., D. Menemenlis., A. Mouchet.,
S. A. Muller and J.L. Sarmiento. 2006. Inverse Estimates of Anthropogenic
CO2 Uptake, Transport and Storage by the Ocean. Global Biogeochemical
Cycles, Vol. 20. Doi:10.1029/2005GB002530.
Friis, K., A. Kortzinger and D.W.R. Wallace., 2003. The salinity normalization of
marine inorganic carbon chemistry data, Geophys. Ress. Lett. 30 (2): 1085,
doi:10.1029/2002GL015898
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Giggenbach, W.F and R.L. Goguel. 1989. Collection and Analysis of Geothermal
and Volcanic Water and Gas Discharges. Report No. CD 2401, 4th edition.
Chemistry Division , Department of Scientific and Industrial Research.
Peton, New Zealand.
Goyet C., N. Metzl, F. Millero, G. Eischeid, D.W. O‟Sullivan and A. Poisson
1998. Temporal variation of the sea surface CO2 - carbonate properties in
the Arabian Sea. Marine Chemistry, 63: 69–79.
Hendiarti, N., S. I. Sachoemar, A. Alkatiri, dan B. Winarno, 1995. Pendugaan
Lokasi Upwelling di Perairan Selatan P. Jawa – Bali Berdasarkan Tinjauan
Parameter Fisika Oceanografi dan Konsentrasi Klorofil-a. Prosiding
Seminar Kelautan Nasional 1995. Panitia Pengembangan Riset dan
Teknologi Kelautan serta Industri Maritim, Jakarta.
http://index.bmkgjateng.com/index.php
http://earthobservatory.nasa.gov/Library/CarbonCycle/carbon_cycle4.html
Houghton, J.T., Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer, P. J. Van Der Linden and D.
Xiaosu., 2001. Climate change 2001: The scientific basis, contribution of
working group I to the third assessment report of the international panel on
climate change. Cambridge University Press: Cambridge, UK and New
York, USA: 944pp.
IPCC., 2007. Climate Change 2007 : The Physical Science Basis. Contribution of
Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z.
Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.)].
Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York,
NY, USA, 996 pp
IGBP., 2007. Biogeokimia Laut dan Perubahan Iklim. IGBP (International
Geosfer-Biosfer Programme) Science No.2. diterjemahkan oleh Agus
Setiawan-BPPT.
IUPAC., 2011. The Measurement of pH - Definition, Standards and Procedures –
Report of the Working Party on pH, IUPAC (International Union of Pure
and Applied Chemistry) Provisional Recommendation.
Ilahude, A. G., and A. L. Gordon, 1996. Thermocline Stratification within the
Indonesian Seas. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,401 – 12,420.
Jacobson, M. Z. (2005). "Studying ocean acidification with conservative, stable
numerical schemes for nonequilibrium air-ocean exchange and ocean
equilibrium chemistry". Journal of Geophysical Research - Atmospheres
110: D07302.
Jutterstrom, S. and L.G. Anderson., 2005. The Saturation of Calcite and Aragonite
in the Arctic Ocean. Marine Chemistry 94 : 101 – 110.
Koesoebiono, 1981, Plankton dan Produktivitas Bahari, Fakultas Perikanan-
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kunarso., S. Hadi., Nining Sari Ningsih dan A. Supangat. 2009. Upwelling dan
Fishing Ground Tuna di Laut Nusantara. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Lefevre, N., J. Aiken., J. Rutllant., G. Daneri., S. Lavender and T. Smyth. 2002.
Observations of pCO2 in the Coastal Upwelling off Chile: Spatial and
Temporal Extrapolation Using Satellite Data. Journal of Geophysical
Research, Vol. 107, No. C6, 3055, 10.1029/2000jc000395.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Levinton, J. S., 1982. Marine Ecology. Printice – Hall inc.
Lewis, E and D.Wallace. 1997. CO2SYS. Program Developed for CO2 System
Calculations. Department of Applied Science, Brookhaven National
Laboratory, Upton, New York.
Lukas R., and E. Lindstrom, 1991. The Mixed Layer of the Western Equatorial
Pacific Ocean. J. Geophys. Res., 96: 3343 – 3357.
Mann, K.H. and J.R.N. Lazier. 1991. Dynamic of Marine Ecosystem, Biological-
Physical Interaction in the Ocean. Boston.
Matsuura, M., T. Sugimoto, M. Nakai, and D S. Tsuji, 1997. Oceanographic
conditions near the spawning ground of Southern Bluefin Tuna:
Northeastern lndian Ocean. J. Oceanogr. 53: 421 - 433.
McPhaden, and S. P. Hayes, 1991. On the Variability of Winds, Sea Surface
Temperature, and Surface Layer Heat Content in the Western Wquatorial
Pacific. J. Geosphys. Res. 96: 3331 – 3342.
Mehrbach, C., C.H. Culberson., J.E., Hawley and R.M. Pytkowics. 1973.
Measurement of the Apparent Dissociation Constants of Karbonic Acid in
Seawater at Atmospheric Pressure. Limnology and Oceanography, Vol. 18
(6).
Millero, F.J and M.L. Sohn., 1991, Chemical Oceanography, CRC Press, Boca
Raton, Florida.
Milliman, J. D and J. P. M. Syvitski. 1992. Geomorphic / Tectonic Control of
Sediment Discharge to the Ocean: the Importance of Small Mountainous
Rivers. J. Geol., 100, 525– 544.
Monk, K. A., Y. de Fretes, and G. Reksodiharjo-Lilley, 1997. The Ecology of
Nusa Tenggara and Maluku. The Ecology of Indonesia Series. Vol. V.
Periplus Editions.
Moore, J.K., M.R. Abbottt, J.G. Richman and D.M. Nelson. 2000. The Southern
Ocean at the Last Glacial Maximum: A Strong Sink for Atmospheric
Karbon Dioxide. Global Biogeochemical Cycles, Vol.14, No.1, 455-475.
Muchtar, M dan Simanjuntak, 2008, Karakteristik dan Fluxtuasi Zat Hara Fosfat,
Nitrat dan Derajat Keasaman (pH) di estuary Cisadane pada Musim yang
Berbeda, Dalam : kosistem Estuari Cisadane (Editor: Ruyitno, A.
Syahailatua, M. Muchtar, Pramudji, Sulistijo dan T. Susana, LIPI: 139-148.
Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Press. Jakarta. 331 hal.
Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Jembatan, Jakarta.
Nurhayati dan Suyarso, 2000. Variasi Temporal Salinitas Teluk Lampung.
Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta
Nybakken, J.W. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Penerjemah: M.
Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukarjo. PT.
Gramedia. Jakarta. 459 hal.
Orr, James C, et al., 2005. Anthropogenic ocean acidification over the twenty-
first century and its impact on calcifying organisms. Nature 437 (7059):
681–686.
Parsons, T. R., M. Takashi, and B. Hargrave, 1984. Biological Oceanography
Process. Third Edition. Pergamon Press, New York.
Prawirowardoyo, S., 1996. Meteorologi. Penerbit ITB.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Raven, J.A and Falkowski, P.J. 1999. Oceanic Sinks for Atmospheric CO2. Plant,
Cell and Environment, 22, 741-755.
Royal Society., 2005. Ocean acidification due to increasing atmospheric carbon
dioxide. Policy Document 12/05. The Royal Society :1 - 68.
Sabine, C.L., R.A. Feely., N. Gruber., R.M. Key., K. Lee., J.L. Bullister., R.
Wanninkhof., C.S. Wong., D.W.R. Walles., B. Tilbrook., F.J. Millero., T.H.
Peng., A. Kozyr., T. Ono and A.F. Rios. 2004. The Oceanic Sink for
Anthropogenic CO2. Science, 305, 367–371.
Samawi, M.F., 2001 Penuntun Praktikum Kimia Oseanografi. Laboratorium
Oseanografi Kimia. Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Schalk, P. H., 1987. Monsoon – Related Changes in Zooplankton Biomass in the
Eastern Banda Sea and Aru Basin. Biol. Oceanogr., 5: 1 – 12.
Sidjabat, M.M., 1974. Pengantar Oseanografi, Institut Pertanian Bogor, 1974, p.
127.
Surinati, D. 2009. Kondisi Oseanografi Fisika Perairan Barat Sumatera (Pulau
Semeulue dan Sekitarnya) Pada Bulan Agustus 2007 Pasca Tsunami
Desember 2004. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Makara, Sains, Vol.
13, No. 1, April 2009: 17-22 Suratno dan Bayu, P., 2010. Distribusi Temporal Karbon Anorganik Di Perairan
Gugus Pulau Pari. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. ISSN 0125-
9830.
Susandi, dkk., 2006. Kajian Pertukaran Gas Karbon Dioksida (CO2) Antara Laut
dan Udara di Perairan Indonesia dan Sekitarnya. Proceeding Convention
The 31st Annual Scientific Meeting HAGI. Semarang.
Susandi, A., 2004: The Impact of International Greenhouse Gas Emissions
Reductions on Indonesia, Max Planck Institute for Meteorologi, Hamburg.
Takahashi, T , et al., 2009. Climatological mean and decadal change in surface
ocean pCO2, and net sea–air CO2 flux over the global oceans. Deep Sea
Research Part II: Topical Studies in Oceanography.
Takahashi, T., et al., 1999. Net sea-air CO2 flux over the global oceans: An
improved estimate based on the air-sea pCO2 difference. In: Nojiri, Y. (ed.),
Proceedings of the 2nd International Symposium on CO2 in the Oceans, pp.
9-15, Tsukuba, Japan.
Takahashi, T., R. T. Williams and D. L. Bos. 1982. Karbonate Chemistry. pp. 77-
83. In W. S. Broecker, D. W. Spencer, and H. Craig, GEOSECS Pacific
Expedition, Volume 3, Hydrographic Data 1973-1974. National Science
Foundation, Washington, D.C.
Tisch, T. D., S. R. Ramp, and C. A. Collins., 1992. Observations of the
GeosWophic Current and Water Mass Characteristics off Point Sur,
California, From May 1988 through November 1989, J. Geopltys Res. 97
(C8): 12,355 - 12,555
Tsunogai, S., S. Watanabe, and T. Sato.1999. Is There A „„Continental Shelf
Pump‟‟ for the Absorption of Atmospheric CO2? Tellus, Ser. B, 51, 701–
712.
Tubalawony, S. 2001. Pengaruh Faktor-Faktor Oseanografi terhadap
Produktivitas Primer Perairan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997 a. The Ecology of
the Indonesian Seas. Part One. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VII.
Periplus Editions (HK) Ltd.
United Nations. 1998. Kyoto Protocol To The United Nations Framework
Convention on Climate Change
Valiela, I. 1984. Marine Ecological Processes. Springer-Verlag. New York. USA.
Wada, E. and A. Hattori, 1991, Nitrogen in The Sea: Form, Abundances and Rate
Processes, CRC Press, Boca Raton, Florida.
Wanninkhof, R., 1992. J. Geophys. Res. 97, 7373-7382.
Wattayakorn, G., 1988, Nutrient Cycling in estuarine. Paper presented in the
Project on Research and its Application to Management of the Mangrove of
Asia and Pasific, Ranong, Thailand, 17 pp.
Weiss, R.F., 1974. Karbon Dioxide in Water and Seawater, the Solubility of a
Non-ideal Gas. Mar. Chem. 2, 203–215.
Wolf-Gladrow D.A., E. Richard, R.E. Zeebe, C. Klaas, A. Kortzinger and A.G.
Dickson 2007. Total alkalinity: The explicit conservative expression and its
application to biogeochemical processes. Marine Chemistry 106 : 287–300.
Wyrtki, 1961. Physical Ocenography in the Southeast Asian Waters, Naga Report
Vol. 2, Sripss Institution of Oceanography, California, 1961, p.195.
Yusuf, 2007. Dinamika Massa Air di Perairan Selat Makassar pada Bulan Juli
2005. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Univ. Padjadjaran.
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
L3
Lampiran 3. Grafik Regresi Linear Data Selat Sunda
Gambar 18 . Grafik Regresi Linear pCO2 versus Temperatur
Gambar 18. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Salinitas
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 19. Grafik Regresi Linear pCO2 versus pH
Gambar 20. Grafik Regresi Linear pCO2 versus DIC
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 21. Grafik Regresi Linear pCO2 versus T Alkalinity
Gambar 22. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Klorofil-a
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 23. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Fosfat
Gambar 24. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Nitrat
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 25. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Silikat
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
L4
Lampiran 4. Grafik Regresi Linear Data Barat Sumatera
Gambar 26. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Temperatur
Gambar 27. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Salinitas
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 28. Grafik Regresi Linear pCO2 versus pH
Gambar 29. Grafik Regresi Linear pCO2 versus DIC
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 30. Grafik Regresi Linear pCO2 versus T Alkalinity
Gambar 31. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Klorofil-a
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 32. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Fosfat
Gambar 33. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Nitrat
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 34. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Silikat
Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011