Upload
vuongbao
View
246
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN HISTOPATOLOGI HATI KUCING YANG
TERPAPAR FELINE INFECTIOUS PERITONITIS
(FIP)
GITA RIMA WIDYAMARTHA
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Histopatologi Hati
Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir.
Bogor, Desember 2010
Gita Rima Widyamartha
NIM B04060916
ABSTRACT
GITA RIMA WIDYAMARTHA. Study of Histopathology Cat Liver with
Infection of Feline Infectious Peritonitis (FIP). Supervised by EKOWATI
HANDHARYANI and ADI WINARTO.
This study was aimed to know the histopathological aspect of Feline
Infectious Peritonitis (FIP) that was focused on its liver. In this study three cats,
from October 2009 until June 2010, that were diagnose suffering FIP were used as
case samples. An observation on gross lesion and histopathology were done
based on the regular protocol of Pathology Laboratory of Faculty of Veterinary
Medicine, Bogor Agricultural University. The histopathological change of liver
was evaluated with paraffin method and stained with Haematoxilin-Eosin dyes.
The histopathological changes were observed under light microscope. The results
showed that all evaluated livers were found in general congestion, inflammation
multifocal, degeneration, necroses, inflamed cell infiltration. One of cases was
found existing a secondary infection which appearing bacteria colonies in central
vein lumen of lobules. In addition it also notes that pathological evaluation
finding gave a general change of FIP on other organs such as hydropascites,
icterus, perihepatitis, pancreatitis, gastroenteritis, and inflammation granulomatus
in some organs. It could be conclude that congestion, degeneration and necroses
are the main histopathological finding of the liver with FIP infection.
Keywords: FIP, histopathology, hydropsacites, liver
ABSTRAK
GITA RIMA WIDYAMARTHA. Kajian Histopatologi Hati Kucing yang
Terpapar Feline Infectious Peritonitis. Di bawah bimbingan EKOWATI
HANDHARYANI dan ADI WINARTO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi hati
kucing yang terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP). Studi yang dilakukan
ditemukan tiga ekor kucing, dari bulan Oktober tahun 2009 sampai dengan bulan
Juni 2010, terdiagnosa terinfeksi FIP dan digunakan sebagai contoh kasus.
Pengamatan pada gejala klinis dan histopatologi dilakukan berdasarkan prosedur
rutin Laboratorium Patologi, Fakultas kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor. Perubahan histopatologi pada hati dievaluasi menggunakan metode
parafin dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Perubahan histopatologi diamati
di bawah mikroskop cahaya. Hasil gambaran histopatologi semua hati yang
dievaluasi ditemukan adanya kongesti general, peradangan multifokus,
degenerasi, nekrosa, dan infiltrasi sel radang. Satu kasus ditemukan infeksi
sekunder dengan koloni bakteri di dalam lumen vena. Evaluasi patologi anatomi
ditemukan perubahan umum pada penderita FIP di beberapa organ seperti
hydropsacites, ikterus, perihepatitis, pankreatitis, gastroenteritis dan peradangan
granulomatus. Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kongesti,
degenerasi, dan nekrosa merupakan gambaran utama histopatologi hati yang
terinfeksi FIP.
Kata kunci : FIP, hati, histopatologi, hydropsacites.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN HISTOPATOLOGI HATI KUCING YANG
TERPAPAR FELINE INFECTIOUS PERITONITIS
(FIP)
GITA RIMA WIDYAMARTHA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Kajian Histopatologi Hati Kucing yang Terpapar Feline
Infectious Peritonitis (FIP)
Nama : Gita Rima Widyamartha
NRP : B04060916
Disetujui
Drh. Ekowati Handharyani, MSi. Ph. D. APVet Drh. Adi Winarto, Ph. D
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
serta hidayah-Nya skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Judul studi kasus
yang dilaksanakan sejak Oktober tahun 2009 adalah Kajian Histopatologi Hati
Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP).
Selama penyusunan skrpsi ini penulis telah mendapat berbagai bantuan
baik materi, informasi, saran, serta dukungan moral dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Drh. Ekowati Handharyani MSi. Ph. D dan Bapak Drh. Adi Winarto,
Ph. D selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar
membimbing penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
2. Kedua orangtua tercinta Bapak Agus Widodo Mulyo dan Ibu Juni
Martanti serta adik tersayang Mohammad Gilang Widyantoro atas
dukungan, doa serta kesabaran yang telah diberikan dan tak pernah putus
kepada penulis.
3. Bapak Drh. Koesdiantoro Mohamad. M.Si selaku dosen pembimbing
akademik, atas saran dan kesabaran dalam membimbing penulis selama
masa perkuliahan.
4. Seluruh dosen dan karyawan FKH IPB terutama staf Laboratorium
Patologi dan Rumah Sakit Hewan yang telah banyak membantu dan
memberikan ilmu kepada penulis dalam penulisan karya ilmiah maupun
dalam masa perkuliahan.
5. Keluarga besar Aesculapius 43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu
atas kebersamaan, dukungan, doa dan kenangan berharga serta tidak akan
terlupakan selama studi di FKH. Semoga sukses selalu.
6. Kakak-kakak Asteroidea 41 dan Goblet 42 atas ilmu, pengalaman dan
saran yang telah diberikan serta adik-adikku Gianuzzi 44 atas
kebersamaan selama ini.
7. Keluarga Citra Islamic 2, Lingga, Kiki, Nunu, Dian dan Zatil atas segala
kenangan dan kebersamaan selama tiga tahun ini. Semangat kawan.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan mohon maaf jika dalam proses penulisan skripsi ini terdapat
kekurangan dan kesalahan.
Bogor, Desember 2010
Gita Rima Widyamartha
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pemalang, Jawa Tengah pada tanggal 29 Desember
1987. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak
Agus Widodo Mulyo dan Ibu Juni Martanti.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SD Negeri
Tempursari, Laweyan, Surakarta. Kemudian pada tahun 2003 penulis
menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 2, Jajar, Surakarta. Selanjutnya penulis
lulus dari SMA Negeri 4, Manahan, Surakarta pada tahun 2006.
Tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memilih untuk melanjutkan studi di
Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun kedua.
Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, penulis
mengikuti berbagai organisasi internal kampus seperti Himpunan Minat dan
Profesi Ruminansia sebagai anggota, serta mengikuti Badan Eksekutif Mahasiswa
sebagai anggota Departemen Komunikasi dan Informasi serta anggota
Departemen Pendidikan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …..................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii
PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1
Latar Belakang …………………………………………………... 1
Tujuan ………….…...…………………………………………… 2
Manfaat ………….………………………………………………. 2
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………... 3
Coronavirus ……………………………………………………… 3
Feline Infectious Peritonitis ………..…………………………… 3
Etiologi ……………………………………………………. 3
Klasifikasi …………………………………………………. 4
Gejala Klinis ………………………………………………. 4
Diagnosa …………………………………………………... 5
Patologi …………………………………………………..... 5
Pengobatan ………………………………………………… 6
Kucing ……………………………………………….…………... 6
Hati ………………………………………………………………. 7
Anatomi Hati ………………………………………………. 7
Histologi Hati ……………………………………………… 8
Fungsi Hati ……………………………………………….... 9
Patologi Hati ……………………………………………….. 9
METODE PENELITIAN..………………………………………………… 11
Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………... 11
Materi Penelitian ………………………………………………... 11
Sampel Organ……………………………………………… 11
Alat dan Bahan ……………………………………………. 11
Metode Penelitian ……………………………………………….. 12
Pembuatan Preparat Histopatologi ………………………… 12
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin …………………………… 12
Pengamatan Menggunakan Mikroskop …………………… 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 14
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 25
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Identitas kucing dengan kasus FIP….……...…………………….…………... 11
2 Patologi anatomi hati kucing yang terpapar FIP ………………………........... 16
3 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/11/09…. 18
4 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/36/09…. 19
5 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/78/10…. 19
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Anatomi dan situs hati …….…………………………………………………. 8
2 Histologi hati ………………………………………………………………… 9
3 Hati, P/11/09, kongesti dengan balooning degeneration ……………………. 21
4 Hati, P/36/09, infeksi sekunder …………………………………………....... 21
5 Hati, P/36/09, fokus nekrosa, sel-sel hepatosit tidak beraturan dan
berwarna eosinofilik ………………………………………………………… 22
6 Hati, P/78/10, infiltrasi sel radang di daerah pembuluh darah ……………… 22
7 Hati, P/78/10, infiltrasi sel radang dengan dominasi makrofag dan
limfosit serta sedikit neutrofil ……………………………………………….. 23
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domestikasi Kucing (Felis domestica), menurut beberapa penelitian
pertama dilakukan sekitar 2000 tahun sebelum masehi di Yunani Kuno. Sebagai
hewan yang dapat hidup dimana saja serta mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, kucing memiliki kemungkinan untuk terpapar berbagai macam
penyakit, baik yang berasal dari agen infeksius maupun akibat sistem
pemeliharaan yang kurang tepat. Penyakit tersebut tidak jarang bersifat zoonosis
sehingga mampu ditularkan kepada manusia, terlebih pada kondisi yang tidak
memungkinkan seperti gangguan pembentukan antibodi dan paparan yang terus
menerus dari agen penyakit. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus
adalah Feline Infectious Peritonitis (FIP) (Verhoef 2003). Oleh karena itu,
diperlukan cara diagnosa penyakit dengan pembuatan preparat histopatologi pada
organ yang dicurigai terkena atau terdapat lesio.
Salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus adalah Feline Infectious
Peritonitis (FIP). Penyakit ini masih merupakan penyakit yang belum dapat
ditangani dengan hasil yang baik. Banyak kasus FIP yang berakhir pada kematian
setelah ditemukan ascites dan kelemahan secara menyeluruh. Pada saat kini
diketahui ada dua tipe FIP berdasarkan perubahan klinis yang ditemukan yakni
tipe basah dan kering. Pencegahan merupakan pilihan utama dalam mengatasi
kematian kucing yang menderita FIP, yaitu melalui vaksinasi karena pengobatan
pada penderita FIP saat ini belum ditemukan. Informasi mengenai perubahan
histopatologis dari organ-organ tubuh kucing penderita FIP belum banyak
disampaikan terutama gambaran histopatologis dari organ hati.
Pengamatan secara patologis dapat digunakan untuk peneguhan diagnosa
FIP dari pemeriksaan gejala klinis. Hasil diagnosa secara patologi anatomi lebih
mengarahkan pada pencegahan transmisi atau penularan pada kucing yang
beresiko tinggi menderita FIP. Kurangnya informasi tentang perubahan secara
histopatologis perlu dilakukan dengan pengkajian lebih jauh tentang perubahan
yang terjadi di dalam organ hati. Pemahaman perubahan tingkat organ dan seluler
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tindak medis untuk
mengurangi efek negatif yang ditimbulkan.
Kajian histopatologis yang terjadi pada unsur penyusun jaringan dan organ
diharapkan dapat memberikan data secara rinci ragam perubahan yang terjadi
dengan pendekatan pewarnaan umum dan khusus. Histopatologi merupakan suatu
cara pembuatan preparat histologi dari organ yang mengalami perubahan patologi.
Pewarnaan Haematoxylin dan Eosin pada pembuatan preparat histopatologi
digunakan untuk mengetahui lokasi peradangan yang ditandai dengan makrofag,
neutrofil, limfosit dan sel plasma serta adanya lesio seperti nekrosa (Sharif et al
2010).
Tujuan
Studi kasus yang dilakukan untuk mengetahui gambaran histopatologis
hati kucing yang terserang Feline Infetious Peritonitis (FIP).
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data yang lebih rinci
mengenai gambaran histopatologis organ hati yang terserang Feline Infetious
Peritonitis (FIP) sehingga dapat digunakan sebagai referensi dalam mengambil
tindakan medis pada kucing dengan diagnosa FIP.
TINJAUAN PUSTAKA
Coronavirus
Virus merupakan suatu individu yang tidak dapat dideskripsikan sebagai
hewan maupun tumbuhan. Jika hewan dan tumbuhan mengandung dua asam
nukleat yaitu DNA dan RNA, sebaliknya virus hanya mengandung salah satunya.
Asam nukleat tersebut dapat merangsang siklus replikasi virus secara lengkap.
Virus hanya dapat bereplikasi dan hidup pada inang hidup, jika inang tersebut
akhirnya mati maka virus akan berpindah pada sel yang masih hidup (Fenner et al
1993).
Genus coronavirus termasuk ke dalam keluarga Togaviridae, mempunyai
amplop yang tipis dengan diameter tubular nucleocapsid sebesar 9 nm. Genom
dari virus genus ini terdiri dari single-stranded RNA dan memiliki berat yang
tidak terdefinisikan. Pada strain yang menyerang manusia dapat menyebabkan
demam, dan pada hewan, coronavirus dapat menyerang organ pernafasan,
pencernaan atau dapat menyebabkan penyakit sistemik (Fenner et al 1974).
Terdapat tiga serogrup coronavirus yang dapat menyerang mamalia dan
unggas. Grup pertama termasuk di dalamnya adalah feline coronavirus (FCoV),
canine coronavirus (CCV), transmissible gastroenteritis virus (TGEV) pada babi
dan human coronavirus 229E. Grup kedua terdiri dari bovine coronavirus dan
mouse hepatitis virus, sedangkan grup yang ketiga terdiri dari avian infectious
bronchitis virus serta variasinya (Rottier dalam Garner et al 2008). Tidak semua
kucing yang terinfeksi feline coronavirus mendapat feline infectious peritonitis.
Hal ini disebabkan oleh mutasi virus yang bervariasi, dapat berubah menjadi
ganas atau tidak, tergantung pada infeksi sekunder dan keadaan antibodi yang
baik.
Feline Infectious Peritonitis
Etiologi
Feline Corona Virus (FCoV) adalah virus yang menyebabkan adanya
gejala klinis yang ringan pada sebagian besar kucing. Tidak semua kucing yang
terinfeksi coronavirus dapat terserang FIP. Hal tersebut terjadi karena
kemampuan FCoV atau Feline Enteric Corona Virus (FECV) yang bermutasi
menjadi FIP Virus dan menyebabkan kucing dapat terserang FIP. Infeksi tersebut
dapat terjadi sangat fatal sehingga menyebabkan kematian (Anonim 2010).
Transmisi virus ini melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi
atau feses hewan tersebut. Coronavirus terakumulasi di feses dan saliva, sehingga
rute faecal-oral merupakan penyebab infeksi primer dan meluas hingga saluran
pernafasan. Virus tersebut dapat bertahan dua sampai tiga minggu di suhu
ruangan dan permukaan kering, termasuk tempat pakan, mainan, kandang, tempat
tidur dan pakaian. Jika induk yang bunting sebagai carrier, maka virus tersebut
dapat diturunkan kepada anaknya (Anonim 2001).
Klasifikasi
Berdasarkan bentuknya, FIP dibagi menjadi dua yaitu FIP basah (wet FIP
atau effusive form) dan FIP kering (dry FIP atau noneffusive form). Effusive form
merupakan kelanjutan dari bentuk kering FIP, namun kasus FIP basah lebih
banyak terjadi daripada bentuk kering hingga mencapai 75% (Teymori 2009).
Gejala klinis
Terdapat perbedaan gejala klinis antara FIP bentuk kering dengan bentuk
basah. Gejala klinis noneffusive form antara lain pertumbuhan yang sangat
lambat, berat badan turun, letargi, demam, kehilangan nafsu makan, terdapat
gejala syaraf yaitu paralisis, kehilangan keseimbangan, tremor, retensi urin,
konvulsi, perubahan tingkah laku, pupil ireguler serta daya hidup hanya satu tahun
setelah tampaknya gejala.
Sedangkan FIP basah memiliki gejala klinis yang relatif serupa dengan
FIP kering yaitu berat badan menurun, demam, letargi, mukosa pucat karena
anemia, namun gejala klinis yang khas adalah akumulasi cairan serofibrinous
pada rongga-rongga tubuh seperti abdomen dan rongga thoraks. Lapisan serosa
organ pencernaan, hati dan usus banyak terdapat granuloma yang bersifat
translucent dan berdiameter dua milimeter (Carlton, McGavin 1995).
Diagnosa
Cara diagnosa FIP relatif mudah baik melalui pemeriksaan fisik dan
sejarah kesehatan serta tes laboratorium. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan
melalui gejala klinis yang terlihat dan atau pemeriksaan patologi anatomi setelah
hewan dilakukan nekropsi. Sedangkan pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan
dengan hemogram, untuk memeriksa kadar albumin dan globulin. Total protein
serum menunjukkan adanya peningkatan kadar globulin dan penurunan kadar
albumin. Selain itu, terjadi non responsif anemia serta leukositosis dengan
absolut limfopenia dan neutrofilia (Pedersen 2009).
Uji serologis spesifik terhadap produksi antibodi feline coronavirus
menggunakan virus neutralization (VN), Indirect fluorescent antibody test
(IFAT), Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA), Western blotting, MRI
(Magnetic Resonance Imaging), PCR (Polimerase Chain Reaction). Pratelli
(2008) menyatakan bahwa berbagai macam uji serologis yang digunakan, seperti
IFAT, ELISA, VN, dan Western blotting memiliki validitas dan efektivitas yang
baik untuk menguji adanya titer antibodi terhadap feline coronavirus. Hal ini
ditunjukkan dengan hasil yang tidak berbeda nyata pada hasil positif yaitu
berkisar anatara 96–98%, sedangkan pada hasil negatif antara 26-28%.
Keberhasilan metode yang dilakukan, sangat tergantung pada tata cara dan teknik
yang tepat (Pratelli 2008).
Patologi
Pyogranuloma merupakan tipe lesio effusive FIP. Pyogranuloma terdiri
dari debris nekrosa dan neutrofil yang dikelilingi sel fagosit dengan sedikit
limfosit dan sel plasma. Cairan yang terakumulasi di sekitar lesio mengandung
fibrin dan kaya akan protein. Akumulasi cairan pada omentum menyebabkan
rongga perut membesar, phlebitis juga sering terlihat serta adanya infiltrasi
berbagai macam sel radang. Tipe lesio noneffusive FIP lebih banyak bersifat
granuloma namun tidak menutup kemungkinan terjadi lesio pyogranuloma. Lesio
granuloma ini memiliki berbagai macam ukuran dan tersebar mulai dari mata
hingga sistem syaraf pusat (Appel 1987).
Berdasarkan penelitian Garner et al (2008), musang yang terserang FIP
memiliki gambaran histopatologi yang sama dengan kucing yang terserang FIP.
Peradangan pyogranuloma yang parah mempengaruhi bentuk jaringan.
Peradangan bervariasi dari regional pyogranuloma yang menyebar sampai
mikrogranuloma. Dominasi sel radang yang menyertai peradangan tersebut
adalah netrofil dan makrofag, dengan sedikit limfosit dan sel plasma. Selain itu,
juga terlihat berbagai tingkatan nekrosis dengan deposisi fibrin. Lesio tersebut
dapat dideteksi di peritoneum, limfonodus, limpa, ginjal, hati, paru-paru, usus,
pankreas, lambung, otak dan kelenjar adrenal. Nonsuppurative
meningoencephalitis dan suppurative atau nonsuppurative tubulointerstitial
nephritis juga terdeteksi pada beberapa musang. Lesio vaskulitis dengan
dominasi makrofag serta sedikit neutrofil dan limfosit tampak, sel darah tersebut
berpindah dari pembuluh darah dan menempel pada endotel buluh darah (Kipar
2005).
Pengobatan
Tidak ada pengobatan spesifik yang efektif terhadap penyakit ini.
Antiviral seperti ribavirin dan immunomodulator seperti interferon dapat
menghambat pertumbuhan virus namun obat tersebut tidak mempunyai efek
terhadap kucing. Penggunaan antibiotik dan kortikosteroid akan menghilangkan
beberapa gejala klinis dengan sementara tetapi tidak dapat digunakan dalam
jangka waktu yang lama. Beberapa kucing dapat merespon dengan baik dan
kembali sembuh namun keadaan tersebut sangat jarang terjadi. Perawatan yang
baik, pengobatan simptomatik serta pengeluaran cairan dapat mengubah kondisi
FIP basah menjadi FIP kering beberapa bulan kemudian. Vaksinasi live virus
dilakukan untuk pencegahan dan kontrol terhadap penyakit tersebut diberikan
secara intranasal (Gaskell, Bennett 2002).
Kucing
Salah satu binatang yang termasuk karnivora mutlak adalah kucing.
Domestic cat pertama kali diklasifikasikan sebagai Felis catus oleh Carolus
Linnaeus pada tahun 1758. Dikarenakan paham filogenetik modern dan
percampuran dengan kucing liar (Felis silvestris) maka kucing lokal dapat disebut
dengan nama lain berdasarkan subspesiesnya yaitu Felis silvestris catus. Secara
anatomis, kucing memiliki berat yang sama dengan anggota lain sesama genus
Felis, antara empat sampai dengan lima kilogram dan memiliki struktur yang
sama dengan mamalia-mamalia lain (Anonim 2010).
Kucing secara fisologis dapat hidup pada suhu yang panas. Kucing adalah
obligat karnivora dengan memakan daging untuk pemenuhan kebutuhan protein
dalam tubuhnya (Bradshaw 1993). Pencernaan kucing sangat mudah beradaptasi
dengan makanan berupa daging namun terbatas beradaptasi dengan makanan
mengandung karbohidrat dan serat. Oleh sebab itu, kucing sering mengalami
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kelebihan protein. Selain itu, kucing
juga sering mengalami keracunan akibat rodentisida, insektisida dan herbisida
yang termakan.
Hati
Anatomi hati
Hati dan empedu merupakan organ asesoris sistem pencernaan.dan
termasuk kelenjar terbesar yang ada di dalam tubuh; terletak di sebelah kanan
lambung, langsung di bawah diafragma dan termasuk ke dalam daerah
epigastrium. Hati menerima darah dari usus dan sirkulasi tubuh serta ditutupi
oleh peritoneum. Terdapat empat lobus pada hati, yaitu lobus dextra, lobus
sinistra, lobus quadratus dan lobus caudatus (Akers, Denbow 2008).
Hati memiliki vaskularisasi ganda. Vena porta membawa darah penuh
dengan nutrisi yang diserap dari usus dan organ tertentu, sedangkan arteri
hepatika menyalurkan darah pada sel-sel hati dengan darah yang bersih yang
mengandung oksigen. Cabang-cabang dari kedua pembuluh darah tersebut
mengikuti jaringan ikat interlobularis di daerah portal. Rangkaian pembuluh
darah ini menjamin sel-sel hati mendapat sirkulasi darah yang cukup (Dellmann,
Brown 1992).
Gambar 1 Anatomi dan situs hati (http://www.hillspet.com/cat-care/cat-
diseases/normal-liver.html).
Histologi hati
Lobulus-lobulus hati memiliki bentuk heksagonal dengan vena centralis di
tengah masing-masing lobulus dan terdapat segitiga portal diantara lobulus di
daerah sudut. Setiap segitiga portal memiliki paling tidak satu vena dan arteri,
buluh limfatik, duktus empedu, dan syaraf (Greep et al, 1954). Segitiga portal
(segitiga Kiernan) merupakan unit fungsional yang terpusat pada saluran empedu
di daerah portal. Empedu yang dihasilkan parenkim di sekitar daerah tersebut
ditampung oleh saluran empedu di daerah saluran portal yang disebut duktus
interlobularis (Dellmann, Brown 1992).
Sel hati (hepatosit) berbentuk polihedral, intinya bulat terletak di tengah,
nukleolus dapat satu atau lebih dengan kromatin yang menyebar. Sering tampak
adanya dua inti, sebagai hasil pembagian yang tidak sempurna dari sitoplasma
setelah terjadi pembelahan inti. Sitoplasma hepatosit agak berbutir, tetapi dapat
tergantung pada perubahan nutrisi serta fungsi seluler (Dellmann, Brown 1992).
Hepatosit menyusun sebagian besar komponen hati dan diantara susunan sel-sel
tersebut ada celah-celah yang disebut sinusoid.
Gambar 2 Histologi hati (Ownby 2009).
Fungsi hati
Sebagai organ yang sangat vital, hati mempunyai beberapa fungsi (Akers,
Denbow 2008) :
1. Metabolisme karbohidrat, menjaga kadar glukosa dalam darah dan mengubah
glukosa menjadi glikogen (glikogenesis).
2. Metabolisme lemak, termasuk kolesterol yang digunakan untuk membentuk
garam empedu.
3. Metabolisme protein.
4. Detoksifikasi produk buangan, seperti antibiotik dan alkohol.
5. Sintesis garam empedu, yang berasal dari lemak di dalam usus.
6. Penyimpanan vitamin A, D, E, K dan mineral.
7. Fagositosis (sel Kupffer).
8. Aktivasi vitamin D (kombinasi antara kerja kulit dan ginjal).
Patologi hati
Beberapa perubahan patologi hati diantaranya anomali pertumbuhan,
degenerasi hepatoseluler, nekrosa, respon terhadap kerusakan, gagal hati dan
tumor. Pada anomali pertumbuhan hati akan terbentuk intrahepatic congenital
cysts yang mungkin berasal dari calon buluh empedu yang tidak terbentuk
sempurna sedangkan bagian ekstrahepatik akan ditemukan gagalnya pembentukan
buluh empedu (Biliary atresia) sedangkan penutupan pembuluh darah yang
menuju hati dan empedu juga dimasukkan ke dalam anomali pertumbuhan
(Carlton, McGavin 1995).
Degenerasi sel hati merupakan perubahan sel hati yang bersifat patologis.
Sel akan mengalami atrofi, membesar (megalocytosis), bertambahnya jumlah
retikulum endoplasma dalam sel, dan terdapat badan inklusi akibat reaksi sel
terhadap infeksi virus. Pigmen yang berlebihan akan terlihat di bagian periportal
hepatosit, hal ini disebabkan akumulasi melanin dalam hati. Selain melanin juga
dapat terjadi kelebihan hemosiderin dan pigmen empedu yang menyebabkan
berwarna hijau kebiruan. Tahap degenerasi yang lain adalah degenerasi hidropis,
fatty liver dan amyloidosis.
Hepatosit akan menghancurkan racun, aktivitas mikroorganisme, dan
keadaan kekurangan nutrisi seperti hypoxia akan direspon oleh hati dalam bentuk
nekrosa. Jenis-jenis nekrosa yang terjadi antara lain nekrosa sel tunggal,
koagulasi nekrosa, lisis nekrosa, fokus nekrosa, periasinar nekrosa, midzonal
nekrosa, periportal nekrosa, parasentral nekrosa dan multifokus nekrosa (Kelly
1993).
METODE PENELITIAN
Waktu dan tempat penelitian
Studi kasus dilakukan pada bulan Oktober tahun 2009 sampai Juni tahun
2010 di Laboratorium Histopatologi, Bagian Patologi, Departemen Klinik
Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut pertanian Bogor.
Materi penelitian
Sampel Organ
Bahan berasal dari tiga ekor kucing tanpa membedakan variasi ras dan
umur. Sampel organ hati diambil dengan mengikuti prosedur rutin nekropsi
Laboratorium Patologi FKH IPB.
Tabel 1 Identitas kucing dengan kasus FIP.
No. Kasus Identitas
1 P/11/09 Nama : Pimpim
Ras : Mix
2 P/36/09 Nama : Chiron
Ras : Persia
Jenis kelamin : jantan
Umur : 9 tahun
3 P/78/10 Nama : Otong
Ras : Siam
Jenis kelamin : jantan
Umur : 8 tahun
FIP ditetapkan berdasar pemeriksaan PA
Alat dan bahan
Alat-alat yang dibutuhkan antara lain gelas objek, rak gelas objek, gelas
penutup, cetakan blok parafin, pinset, tissue processor, mikrotom, inkubator,
mikroskop cahaya, dan fotomikroskop sedangkan bahan-bahan yang dibutuhkan
adalah larutan buffer formalin 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat 70%,
80%, 90%, 95%, alkohol absolut, xylol, lithium karbonat, pewarna Mayer
Hematoksilin, pewarna Eosin, parafin histoplast, dan Entellan.
Metode penelitian
Penetapan diagnosa dilakukan dengan menyeleksi kasus FIP berdasarkan
perubahan patologi anatomi. Kasus terpilih selanjutnya dievaluasi sebagai sampel
dalam memperoleh organ hati. Organ hati dari kadaver kucing yang didapat baik
dari hasil eutanasi maupun dari donor difiksasi dalam buffered neutral formalin
10%, dipisahkan dari organ yang lain untuk dilakukan proses pembuatan preparat
histopatologi. Selanjutnya, dilakukan proses rutin histopatologi dan diwarnai
dengan Hematoksilin dan Eosin (HE).
Pembuatan preparat histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi dimulai dengan trimming sampel organ
hati dan didehidrasi di dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat (alkohol 70%,
80%, 90%, 95%, alkohol absolut I dan II), xylol (I dan II) dan parafin (I dan II)
dengan menggunakan tissue processor. Pencetakan adalah suatu proses
penananaman jaringan dalam parafin sehingga terbentuk blok parafin. Proses ini
dikerjakan dengan bantuan alat (embedding console) yang dilengkapi dengan hot
plate dan tempat stock parafin cair sehingga pengaturan posisi jaringan dapat
dilakukan dengan baik. Cetakan diisi dengan parafin cair kemudian jaringan
diletakkan di dalamnya dengan menggunakan pinset. Blok parafin yang sudah
setengah beku diberi label untuk memudahkan identifikasi jaringan. Tahap
selanjutnya adalah pendinginan blok parafin pada suhu 4-50C (Samuelson 2007).
Pemotongan jaringan dilakukan dengan menggunakan alat mikrotom
dengan ketebalan irisan 4-5 µm. Hasil potongan jaringan yang didapat
ditempelkan pada gelas objek dan dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu
370C selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna (Samuelson 2007).
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) merupakan pewarnaan dengan
menggunakan dua jenis zat warna, yaitu Mayer Hematoksilin dan Eosin.
Pewarnaan HE dimulai dengan pencelupan pada larutan xylol I lalu berturut-turut
xylol II, xylol III, alkohol absolut, alkohol 96 %, dan alkohol 70 % masing-
masing selama satu menit dan dicuci dengan air selama tiga puluh detik.
Selanjutnya dilakukan pencelupan ke dalam pewarna Mayer Hematoksilin selama
satu menit dilanjutkan dengan mencuci dengan air selama tiga puluh detik.
Kemudian preparat dicelupkan tiga kali ke dalam lithium karbonat dan dibilas
kembali dengan air selama tiga puluh detik. Tahap selanjutnya dilakukan
pencelupan ke dalam Eosin selama dua menit tiga puluh detik dan dibilas kembali
selam tiga puluh detik. Kemudian dilakukan pencelupan kembali ke dalam
alkohol bertingkat mulai dari 70 %, 80 %, dan 96 % sebanyak sepuluh celupan
untuk alkohol absolut dilakukan sebanyak lima belas celupan. Berikutnya, yang
terakhir adalah melakukan pencelupan ke dalam xylol I, xylol II, xylol III dan
xylol IV selama masing-masing satu menit dan selanjutnya dikeringkan dan
ditutup dengan cover glass (Ellis 2003).
Pengamatan dengan menggunakan mikroskop
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan
perbesaran obyektif 10x sampai dengan 40x, pada beberapa bidang pandang
hingga gambaran histopatologi dapat didiskripsikan secara jelas serta dimasukkan
ke dalam tabel dengan tujuan membuat perbandingan antar kasus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil seleksi kasus terpilih sebanyak tiga ekor kucing yang didiagnosa
secara PA sebagai penderita FIP, yakni kasus pertama (P/11/09) kucing mix,
kasus kedua (P/36/09) Kucing Persia jantan berusia sembilan tahun, dan kasus
ketiga (P/78/10) Kucing Siam jantan delapan tahun. Anamnesa yang diperoleh
untuk ketiga kucing antara lain mukosa kuning atau pucat, dehidrasi, mulut
berbau, hipersalivasi, anoreksia, dispneu, dan mati beberapa jam sampai dua hari
setelah dirawat.
Tiga sampel kasus yang didapat menunjukkan bahwa kucing yang
terinfeksi berjenis kelamin jantan dan berumur antara delapan sampai sembilan
tahun dengan berbagai macam ras terutama ras murni. Hal ini sesuai dengan
penelitian Pesteanu-Somogyi (2006) bahwa identifikasi semua kucing yang
terdiagnosa FIP selama lebih dari enam belas tahun menunjukkan kucing jantan
dengan ras murni (purebreed) memiliki prevalensi lebih tinggi terinfeksi FIP.
Abyssinian, Bengal, Birman, Himalayan, Ragdoll, dan Rex memiliki resiko yang
lebih tinggi dibandingkan ras lainnya. Namun, masih menurut Pesteanu-Somogyi
(2006) kucing muda memiliki resiko lebih besar terkena FIP sehingga berbeda
dengan umur sampel yang berumur delapan sampai sembilan tahun. Hal ini
mungkin disebabkan oleh imunitas yang dimiliki kucing yang berusia tua sudah
menurun sedangkan pada kucing muda belum terbentuk sistem imunitas yang
stabil setelah antibodi maternal hilang.
Catatan hasil nekropsi yang diperoleh dari setiap kucing yang dievaluasi
secara umum menunjukkan bahwa pada ketiga kasus ditemukan mukosa pucat
dan ikterus, pneumonia, dan hepatitis serta multifokus nekrotik pada hati.
Kemudian hydrothorax dan hydropsascites pada kasus yang kedua dan ketiga,
serta ditemukan pankreatitis pada kasus yang pertama dan kedua. Perubahan lain
yang juga ditemukan ialah subkutis ikterus, hipertropi ventrikel kiri, dilatasi
ventrikel kanan, endokarditis, nefritis, enteritis, serositis, gastroenteritis, splenitis,
serta vasa injectio otak. Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pengamatan
patologi anatomi menunjukkan ketiga kucing terinfeksi FIP.
Ikterus atau jaundice yang terjadi pada ketiga kasus disebabkan
meningkatnya kadar bilirubin pada darah atau dapat disebut dengan
hiperbilirubinemia. Konsentrasi bilirubin yang tinggi yaitu lebih dari 2 mg/dl
dapat memicu terjadinya jaundice, jaringan menjadi berwarna kuning khususnya
pada jaringan yang banyak mengandung elastin, seperti aorta dan sklera.
Terjadinya hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh produksi bilirubin yang
meningkat akibat hemolisis. Lisisnya sel darah memberikan beban yang lebih
berat pada hati menghasilkan bilirubin. Penyebab lain ialah menurunnya
produksi, konjugasi, dan sekresi bilirubin oleh hepatosit akibat penyakit pada hati
yang bersifat akut atau kronis serta terganggunya aliran empedu (cholestasis)
(McGavin, Zachary 2007) sehingga ikterus yang terjadi pada kasus ini disebabkan
oleh kerusakan hati terutama pada duktus empedu.
Lisisnya sel darah kemungkinan dapat disebabkan oleh tingginya kadar
tiroid dalam darah (hipertiroid). Lisisnya sel darah terutama sel darah merah
(eritrosit) menyebabkan gangguan aliran oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan
oksigen dalam jaringan disebut iskemia. Iskemia dan faktor lain dari luar seperti
kebakaran dan trauma, racun bahan kimia, virus dan mikroorganisme lain serta
toksinnya merupakan penyebab umum terjadinya nekrosa. Fokus nekrosa
umumnya terlihat pada keadaan dengan infeksi bakteri, kapang, dan virus, serta
mikroorganisme tersebut umumnya ditemukan pada analisis histologi jaringan
(Cheville 2006).
Perubahan patologi anatomi tidak hanya terjadi pada hati tetapi juga terjadi
pada organ lain seperti ginjal, pankreas, limpa, bahkan sampai otak. Hal ini
sesuai dengan penelitian Kipar et al (2005) yang menjelaskan bahwa tiga dari
lima kucing yang diteliti terpapar FIP memperlihatkan lesi pyogranulomatus di
berbagai organ, seperti hati, ginjal, pankreas, peritoneum dan limpa. Garner et al
(2008) juga menjelaskan bahwa musang yang terpapar FIP menunjukkan adanya
massa nodular pucat pada mesenterium, parenkim hati, limpa, dan ginjal serta
terjadi efusi di intraabdominal.
Virus FIP bereplikasi di daerah epitel saluran pernafasan atau daerah
orofaring. Antibodi terhadap virus ini terbentuk dan virus menempati makrofag
sebagai inangnya. Virus beredar ke seluruh tubuh melalui makrofag dan terlokasi
di dinding vena dan bagian perivaskuler. Virus bereplikasi kembali di daerah
perivaskuler kemudian membentuk reaksi jaringan yang akan membentuk lesi
klasik pyogranulomatus di berbagai organ, seperti hati, ginjal dan usus (Tilley,
Smith 2000). Lesi sebagian besar terlihat pada organ di bagian rongga abdomen
dan sedikit di bagian rongga thoraks hal ini sesuai dengan pernyataan Pedersen
(2009) bahwa target jaringan virus FIP pertama kali menuju limfonodus di
mesenterium, serosa usus, dan sebagian kecil pada pleura dan omentum.
Beberapa virus juga tampak mencapai meningen terutama di bagian posterior
ventral permukaan otak, ependima di sepanjang ventrikel, dura mater di sumsum
tulang belakang dan uvea serta retina mata.
Tabel 2 Patologi anatomi hati kucing yang terpapar FIP.
Kasus P/11/09 P/36/09 P/78/10
Patologi
anatomi
1. mukosa kuning,
scirrhous atrophy
2. pneumonia,
suppurative (diffuse)
3. hipertropi ventrikel
kiri, dilatasi
ventrikel kanan
4. hepatitis,
pembendungan
(mild)
5. pankreatitis
(moderate)
6. enteritis kataralis
7. nefritis supuratif
(bilateral, severe)
1. mukosa ikterus,
dehidrasi
2. subkutis ikterus,
perlemakan banyak
(obesitas)
3. pneumonia
interstitialis
4. edema pulmonum
5. dilatasi ventrikel
kanan, hipertropi
ventrikel kiri
6. hydropascites,
hydrothoraks
7. serositis (peritonitis)
granulomatous
8. gastroenteritis
9. perihepatitis
granulomatous
10. pankreatitis
granulomatous
11. spleenitis
granulomatous
12. kongesti ginjal dan
vasa injectio otak
1. mukosa pucat
2. ulcus pada sudut
pertemuan maxilla
dan mandibula
3. endokarditis
valvulus (kiri, mild-
moderate)
4. pneumonia (severe,
difus granulmatous)
5. hydrothoraks ± 200
ml (severe)
6. multifokus nekrotik
pada hati disertai
fibrin (mild)
7. ditemukan fibrin
pada permukaan
limpa
8. granulomatous
nefritis (diffuse,
severe, bilateral)
Hydropsascites atau edema yang terjadi di daerah peritoneum merupakan
gambaran khas yang terlihat pada penderita FIP. Edema adalah akumulasi cairan
di antara jaringan dan rongga tubuh. Edema dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
edema lokal dan edema umum. Edema lokal disebabkan oleh blokade limfatik,
sedangkan edema umum disebabkan oleh mekanisme meningkatnya tekanan
hidrostatik darah atau menurunnya tekanan osmotik koloid protein plasma.
Menurut Cheville (2006), ascites adalah akumulasi cairan pada intraperitoneal
akibat retensi ion natrium dan air, hipoalbunemia, dan menurunnya tekanan
osmotik koloid. Ascites tidak selalu muncul pada kenaikan tekanan hidrostatik
pada semua spesies, contohnya ligasi vena portal pada anjing tidak menyebabkan
terjadinya akumulasi cairan di rongga peritoneum. Selain itu, edema juga dapat
terjadi di antara jaringan. Ascites dapat mengindikasikan berbagai macam kondisi
patologis seperti congestive heart failure, nefrosis, malignant neoplasma, dan
peritonitis (Colville, Bassert 2008).
Peritonitis pada kasus kedua berasosiasi pada pembesaran abdomen akibat
hidrops acites. Peritonitis terlihat pada lebih dari 58% dan pleuritis sekitar 11%
kucing dengan effusive FIP (Sharif 2010), dengan demikian pada kasus kedua
kucing mengalami effusive FIP. Pada kasus ketiga, kucing juga mengalami
effusive FIP karena diperoleh keadaan patologi anatomi berupa hydrothoraks
sebanyak kurang lebih 200 ml. Sedangkan pada kasus pertama tidak ditemukan
keadaan peritonitis maupun hydrothoraks sehingga dapat diartikan bahwa kucing
tersebut menderita noneffusive FIP meskipun terdapat kemungkinan sudah
berjalan menuju effusive FIP.
Menurut Pedersen (2009), cairan yang ditemukan pada rongga abdomen
berwarna sedikit kuning, keruh seperti berawan dan bersifat pekat (mucinous).
Cairan tersebut mengandung banyak protein dan terlihat beberapa limfosit,
neutrofil, dan sel plasma diertai adanya fibrin. Total protein yang terkandung
antara 3,9 sampai 9,8mg/µl dengan kadar globulin 50 sampai 82% sedangkan total
sel yang terhitung antara 1600 sampai 25000 per mikroliter. Efusi cairan karena
infeksi FIP berwarna kuning terang sampai gelap dan dapat pula sedikit berwarna
hijau tergantung tingkatan bilirubin dan biliverdin yang terkandung di dalamnya.
Pemeriksaan mikroskopis organ hati pada ketiga kasus ditemukan
peradangan multifokus yang disertai infiltrasi sel radang pada daerah porta,
kongesti, degenerasi, dan nekrosa sedangkan koloni bakteri berbentuk batang
ditemukan di dalam vena pada kasus yang kedua. Koloni bakteri tersebut
kemungkinan berasal dari infeksi sekunder yang sudah terjadi pada kucing kedua
dan tidak terjadi pada kucing pertama dan ketiga. Mekanisme efek sinergisme
antara infeksi virus dan bakteri ialah merusak lapisan mukosa organ. Setelah lima
sampai tujuh hari infeksi virus, fungsi fagositik akan menurun sehingga ada
kemungkinan bakteri akan masuk dan menginfeksi. Untuk itu dibutuhkan
vaksinasi sebagai pencegahan terhadap serangan virus dan menurunkan efek
sinergisme antara virus dan bakteri (McGavin, Zachary 2007).
Degenerasi diawali dengan perubahan morfologi sel diantaranya ukuran
sel membesar, pucat, transparan dan relatif tidak berstruktur dan lisis. Degenerasi
yang terjadi pada hati kucing yang terpapar FIP adalah degenerasi hidropis. Sel
akan membengkak, air di sitoplasma akan keluar sehingga sitoplasma sel terlihat
kosong. Degenerasi hidropis juga biasa disebut dengan ballooning degeneration.
Pola degenerasi ini pada umumnya disebabkan oleh kebakaran, toksin bakteri dan
penyakit viral epiteliotropik (Cheville 2006). Hasil pengamatan histopatologis
terlihat adanya ballooning degeneration yang ditandai dengan sel-sel yang
membengkak, kosong, dan sudah tidak memiliki inti sehingga dapat disimpulkan
bahwa hati tersebut mengalami degenerasi.
Tabel 3 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus
P/11/09.
Histopatologi Intralobular Interlobular Segitiga porta
(vena porta)
1. peradangan
multifokus
2. nekrosa
3. kongesti
4. infiltrasi sel
radang
5. karyomegali,
karyopiknotis
6. degenerasi
hidropis
+
+
+
-
+
+
-
+
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
Tabel 4 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus
P/36/09.
Histopatologi Intralobular Interlobular Segitiga porta
(vena porta)
1. kongesti
2. edema (jarak
antar sel
renggang)
3. koloni bakteri
4. karyopiknotis
5. degenerasi
hidropis
6. nekrosa
+
-
-
+
+
+
-
+
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
Tabel 5 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus
P/78/10.
Histopatologi Intralobular Interlobular Segitiga porta
(vena porta)
1. peradangan
multifokus
2. infiltrasi sel
radang
3. kongesti
4. degenerasi
hidropis
5. nekrosa
+
-
+
+
+
-
-
-
-
+
-
+
-
-
-
Gambaran selanjutnya adalah kongesti atau pembendungan pada
pembuluh darah vena. Kongesti menandakan adanya peningkatan aliran darah
menuju jaringan dan sedikitnya darah yang dikembalikan ke pembuluh darah dari
jaringan. Kongesti pada segala keadaan hanyalah manifestasi dari beberapa
perubahan karakteristik aliran darah dan merupakan hal yang mendasari
terjadainya proses patologis. Variasi jenis kongesti dipengaruhi oleh durasi (akut
atau kronis) dan tingkat keparahan (lokal atau general) (Slauson, Cooper 2002).
Kongesti seperti yang terlihat pada Gambar 3 terlihat dengan banyaknya
pembendungan di bagian sinusoid dan hal tersebut tidak terlihat pada organ yang
normal. Pembendungan menyebabkan warna organ menjadi lebih merah daripada
keadaan normalnya sehingga terlihat bintik-bintik merah pada bagian yang
mengalami kongesti. Kongesti menyebabkan aliran darah menjadi terganggu
sehingga dapat terjadi degenerasi dan menuju ke arah nekrosa karena jaringan
kekurangan oksigen. Kongesti umum yang terjadi pada organ kucing dapat
disebabkan oleh komplikasi dari segala pemicu. Vaskulitis akibat infeksi,
kompensasi jantung dan paru pada kongesti yang berlanjut, kelemahan kontraksi
jantung akibat adanya tamponade jantung, serta akibat kerusakan hati yang umum
terjadi pada FIP dimana semua lesi patologi anatomi ini dapat ditemukan pada
pemeriksaan nekropsi (Hartmann 2003).
Gambaran selanjutnya adalah nekrosa, yang menampilkan bentuk sel
hepatosit yang tidak beraturan. Inti tidak terlihat serta sitoplasma yang tidak
terlihat seragam. Nekrosa merupakan kematian jaringan yang terjadi pada hewan
hidup. Nekrosa terlihat dengan adanya koagulasi, pucat, banyaknya sel yang mati
yang tekstur maupun warnanya tidak sama dengan sel normal pada umumnya
(Cheville 2006). Fokus nekrosa yang ditunjukkan oleh Gambar 5 memperlihatkan
kerusakan yang terpusat dengan sel-sel yang tidak beraturan dan di sekitar fokus
nekrosa tersebut sel-sel hepatosit mulai mengalami kerusakan. Sel juga berwarna
eosinofilik atau berwarna sedikit merah. Fokus nekrosa tersebut tidak hanya
terlihat pada satu lokasi tetapi terdapat di sebagian besar lapang pandang
(multifokus nekrosa).
Penyakit yang disebabkan oleh virus dapat menekan antibodi
penderitanya. Perubahan yang dapat dilihat pada pengamatan histopatologi
adalah infiltrasi sel radang, yaitu berkumpulnya sel-sel radang terutama pada
daerah yang dekat dengan pembuluh darah untuk menyerang atau menghancurkan
agen patogen yang ada di daerah tersebut. Sel yang berpengaruh pada infeksi
akibat virus adalah limfosit. Pada pengamatan hati yang terpapar FIP juga
ditemukan beberapa limfosit namun disertai dengan makrofag dan sel plasma.
Proses berkumpulnya, pematangan dan pengeluaran virus dapat memicu adanya
cytophatic effects, antara lain terbentuknya badan inklusi, sitolisis, dan fusi sel
(Kreier, Mortensen 1990). Namun menurut Kipar et al (2005), karakteristik sel
radang pada vaskulitis yang disebabkan FCoV didominasi oleh monosit
(makrofag) dengan sedikit neutrofil dan limfosit. Lesio menunjukkan monosit
menempel pada sel endotel atau keluar dari pembuluh darah melalui sirkulasi atau
membentuk fokus peradangan pada dinding pembuluh darah. Perbedaan jumlah
limfosit atau makrofag yang mendominasi pada infiltrasi sel radang penderita FIP
tidak berpengaruh pada tingkat keparahan penyakit karena keduanya dapat
menandakan adanya antigen major histocompatibility complex (MHC) II yang
disebabkan oleh FCoV.
Gambaran mikroskopik hati yang terpapar FIP ditemukan infiltrasi sel
radang, yaitu berkumpulnya sel-sel radang terutama pada daerah yang dekat
dengan pembuluh darah. Pada pengamatan hati yang terpapar FIP juga ditemukan
beberapa limfosit namun disertai dengan makrofag dan sel plasma. Menurut
Takano et al (2009), neutrofil survival factors yang diproduksi oleh makrofag
memiliki peran dalam perkembangan lesi pyogranulomatus selama infeksi FCoV.
Gambar 3 Hati, P/11/09, kongesti (K) dengan balooning degeneration (tanda
panah). Pewarnaan HE.
16 µm
K
K
L
Gambar 4 Hati, P/36/09, infeksi sekunder. Bakteri berbentuk batang (tanda
panah) di dalam lumen pembuluh darah (L). Pewarnaan HE.
N
Gambar 5 Hati, P/36/09, fokus nekrosa (N), sel-sel hepatosit
tidak beraturan dan berwarna eosinofilik. Pewarnaan HE.
64 µm
16 µm
L
B
L
B
Gambar 6 Hati, P/78/10, infiltrasi sel radang (B) di daerah pembuluh darah.
Lumen (L). Pewarnaan HE.
M
L
N
Gambar 7 Hati, P/78/10, infiltrasi sel radang dengan dominasi makrofag (M)
dan limfosit (L) serta sedikit neutrofil (N). Pewarnaan HE.
32 µm
200 µm
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan studi histopatologi hati pada ketiga kasus FIP dapat
disimpulkan bahwa hati mengalami kongesti, degenerasi dan nekrosa hepatosit,
disertai infiltrasi multifokus sel-sel radang yang didominasi oleh limfosit dan
makrofag.
Saran
Feline Infectious Peritonitis (FIP) termasuk penyakit yang sering dialami
oleh kucing dan tidak dapat dideteksi lebih dini serta berakhir dengan kematian,
untuk itu diharapkan adanya penelitian lebih lanjut tentang deteksi dini baik
melalui gejala klinis maupun uji serologis sehingga penyakit tersebut dapat
ditangani lebih dini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. FIP transmission [terhubung berkala]. http://www.animal health
channel.com /fip transmission. shtml. [07 Februari 2010].
Anonim. 2010. Feline corona virus [terhubung berkala].
http://www.cathealth.com/InfX.htm. [07 Januari 2010].
Appel MJ 1987. Virus Infections of Carnivores. Amsterdam : Elsevier Science
Publishers B. V.
Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animals.
Iowa : Blackwell Publishing.
Bradshaw, J. 1993. The True Nature of The Cat. London : Boxtree Limited.
Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s special Veterinary Pathology
Second Edition. Missouri : Mosby-Year Book, Inc.
Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology Third Edition. Iowa :
Blackwell Publishing.
Colville T, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary
Technicians. Missouri : Mosby-Elsevier.
Dellmann DH, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Jakarta : UI-
Press.
Ellis R. 2003. Hematoxylin and Eosin (H&E) Staining Protocol [terhubung
berkala]. www.ihcworld.com. [11 November 2010].
Fenner F et al. 1974. The Biology of Animal Viruses. New York : Academic Press,
Inc.
Fenner F et al. 1993. Veterinary Virology Second Edition. California : Academic
Press, Inc.
Garner MM et al. 2008. Clinicopathologic features of a systemic coronavirus-
associated disease resembling feline infectious peritonitis in the domestic
ferret (Mustela putorius). Vet Pathol 45:236–246.
Gaskell RM, Bennet M. 2002. Feline and Canine Infectious Disease. London :
Blackwell Science Ltd.
Greep RO et al. 1954. Histology. New York : The Blakiston Company, Inc.
Hartmann K, Binder C, Hirschberger J. 2003. Comparison of different tests to
diagnose feline infectious peritonitis. Journal of veterinary medicine;
17(6):781-790.
Kelly WR. 1993. Pathology of Domestic Animal Volume 2. California : Academic
Press.
Kipar A et al. 2005. Morphologic features and development of granulomatous
vasculitis in feline infectious peritonitis. Vet Pathol 42:321–330.
Kreier JP, Mortensen RF. 1990. Infection, Resistance, and Immunity. New York :
Harper and Row Publishers, Inc.
McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease 4th
Edition. Missouri: Mosby.
Pedersen NC. 2009. A review of feline infectious peritonitis virus infection: 1963-
2008. J Feline Med Surg; April 2009: 225-258.
Pedersen NC. 2009. A synopsis of feline infectiuos peritonitis virus infection
[terhubung berkala]. www.vetmed.ucdavis.edu. [21 Desember 2009].
Pesteanu-Somogyi LD, Radzai C, Pressler BM. 2006. Prevalence of feline
infectious peritonitis in specific cat breeds. J Feline Med Surg 8(1):1-5.
Pratelli A. 2008. Comparison of serologic techniques for the detection of
antibodies against feline coronaviruses. J Vet Diagn Invest 20:45–50.
Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri: Saunders.
Sharif S et al. 2010. Diagnostic methods for feline coronavirus: a review. Vet
Med Int. 2010: 09480.
Slauson DO, Cooper BJ. 2002. Mechanisms of Disease a Textbook of
Comparative General Pathology. Missouri: Mosby.
Takano T et al. 2009. Neutrophil survival factors (TNF-alpha, GM-CSF, and G-
CSF) produced by macrophages in cats infected with feline infectious
peritonitis virus contribute to the pathogenesis of granulomatous lesions
[abstract]. Arch Virol. 154(5): 775-781.
Tilley LP, Smith FWK. 2000. The Five-Minute Veterinary Consult. Misouri:
Mosby.
Teymori A. 2009. Feline infectious peritonitis (FIP) facts and information
[terhubung berkala]. www.vet.cornell.edu/hfc. [07 Februari 2010].
Verhoef E. 2003. The Complete Encyclopedia of Cats. Lisse: Rebo Publishers.