79
KAJIAN LINGKUNGAN BENTIK PERAIRAN PESISIR PAITON, PROVINSI JAWA TIMUR MURSALIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

KAJIAN LINGKUNGAN BENTIK PERAIRAN … bara di area komplek PLTU Paiton terhadap struktur komunitas makrozoobentos dan menentukan status kondisi lingkungan bentik berdasarkan kondisi

Embed Size (px)

Citation preview

KAJIAN LINGKUNGAN BENTIK PERAIRAN PESISIR

PAITON, PROVINSI JAWA TIMUR

MURSALIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Kajian Lingkungan

Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi Jawa Timur adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Mursalin

NRP P052090271

RINGKASAN

MURSALIN. Kajian Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi Jawa

Timur. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan YUSLI WARDIATNO

Kawasan pesisir Kecamatan Paiton yang terletak di Kabupaten Probolinggo,

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah pesisir dengan aktivitas

manusia yang cukup tinggi dan merupakan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap

(PLTU) berkapasitas terbesar di Indonesia. Komplek PLTU Paiton saat ini terdiri

atas delapan unit pembangkit dengan kapasitas total sebesar 4600 Megawatt

dengan bahan bakar operasional PLTU berasal dari batu bara. Salah satu

komponen lingkungan pesisir yang dapat terkena pengaruh dari adanya

operasional PLTU Paiton adalah lingkungan bentik, berupa sedimen dasar

perairan dan organisme bentos yang hidup pada sedimen tersebut. Tujuan

penelitian ini adalah untuk menilai tekanan ekologis dari kegiatan penanganan

batu bara di area komplek PLTU Paiton terhadap struktur komunitas

makrozoobentos dan menentukan status kondisi lingkungan bentik berdasarkan

kondisi sedimen dasar perairan dan struktur komunitas makrozoobentos.

Penelitian berlokasi di wilayah pesisir yang diperkirakan terkena pengaruh

kegiatan operasional PLTU (10 stasiun pengamatan, yaitu 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10,

11, 12) dan wilayah yang diperkirakan tidak terkena pengaruh sebagai

pembanding/titik kontrol sebanyak 3 stasiun pengamatan yaitu stasiun 1,3,5. Data

dianalisis dengan 1) metode keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks

dominansinya, 2) analisis ukuran butir sedimen (pasir, debu, dan liat) serta

analisis kandungan logam berat (Hg, As, Cr, Se, Mn, Cu, Cr, Fe, Pb, dan Zn), 3)

analisis indeks similaritas, 4) analisis uji-T, 5) AZTI Marine Biotic Index

(AMBI), dan 6) analisis multivariat M-AMBI.

Berdasarkan hasil analisis keanekaragaman makrozoobentos, didapat 77

jenis taksa dengan kepadatan berkisar antara 250-1453 ind/m2. Makrozoobentos

yang ditemukan terdiri atas 12 kelas yakni Polychaeta, Nemertina, Sipuncula,

Crustaceae, Echinodermata, Coelenterata, Brachiopoda, Cephalochordata,

Pelecypoda, Urochordata, Turbelaria, dan Gastropoda. Indeks keseragaman pada

seluruh stasiun mendekati nilai 1, hal ini menunjukkan suatu komunitas

makrozoobentos yang relatif mantap, sementara itu berdasarkan hasil perhitungan

indeks dominansi menunjukkan tidak ada jenis yang secara ekstrim mendominasi

jenis lainnya di seluruh lokasi kajian. Berdasarkan hasil perhitungan uji

similaritas, kepadatan makrozoobentos terbagi menjadi 6 kelompok. Stasiun 1 dan

13 yang merupakan lokasi kontrol (diperkirakan tidak terpengaruh oleh aktivitas

operasional PLTU Paiton) membentuk kelompok tersendiri

Hasil analisis ukuran butiran sedimen menunjukkan bahwa komposisi

sedimen di lokasi penelitian didominasi oleh fraksi pasir dan debu. Berdasarkan

hasil uji indeks similaritas fraksi sedimen, diketahui bahwa lokasi penelitan

mengelompok menjadi tiga kelompok besar. Kelompok satu terdiri dari stasiun 1,

2, 3, 4, 5, 7, 12, dan 13, kelompok dua tediri dari stasiun 6, 8, 10,dan 11,

sementara stasiun 9 merupakan satu kelompok tersendiri. Dominasi fraksi debu

sebesar 77.64% merupakan penyebab stasiun 9 merupakan satu kelompok

tersendiri. Kondisi ini diperkirakan terjadi karena adanya transport sedimen akibat

pola arus dan aktivitas di lokasi tersebut yang merupakan dermaga bongkar muat

kapal pengangkut batu bara. Hasil analisis kandungan logam berat dalam sedimen

menunjukkan pada stasiun di dekat jetty dan perairan di depan saluran buangan air

pendingin memiliki kandungan logam raksa (Hg) yang dapat memberikan

pengaruh biologis terhadap organisme laut.

Berdasarkan perhitungan AMBI, kondisi lingkungan bentik perairan pesisir

Paiton yang termasuk dalam wilayah kajian seluruhnya dikategorikan sedikit

terganggu. Perhitungan selanjutnya untuk mengetahui status ekologis perairan

pesisir Paiton menggunakan analisis multivariat M-AMBI menunjukkan kategori

yang lebih beragam apabila dibandingkan dengan kategori tingkat gangguan.

Status ekologis perairan pesisir Paiton hasil perhitungan M-AMBI memiliki

kategori ekosistem perairan pesisir yang sedang hingga tinggi. Beragamnya

kategori status ekologis lingkungan perairan pesisir Paiton bila dibandingkan

dengan kategori tingkat gangguan dikarenakan pada perhitungan M-AMBI untuk

menilai status ekologis turut menggunakan indeks keragaman, indeks dominansi,

dan nilai AMBI. Hasil perhitungan uji-T terhadap data sekunder kepadatan bentos

menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara daerah kontrol dan daerah yang

terkena pengaruh kegiatan operasi PLTU Paiton. Namun pada periode yang sama,

perbandingan jumlah taksa antara daerah kontrol dan daerah terpengaruh tidak

berbeda nyata. Hal ini juga ditunjukkan dari grafik kepadatan makrozoobentos

dan jumlah taksa selama periode Februari 2009 hingga Mei 2013.

Kata kunci: pesisir paiton, sedimen, makrozoobentos, AMBI, M-AMBI

SUMMARY MURSALIN. Environmental Assessment of Paiton Coastal Benthic, East Java

Province. Supervised by ETTY RIANI and YUSLI WARDIATNO

Coastal areas of Paiton District located in Probolinggo, East Java Province

is one of the coastal areas with high human activity and is the location of the

largest capacity Power Plant in Indonesia. Paiton Power Plant complex currently

consists of eight generating units with 4600 MW total capacity and fuel derived

from coal for operations. One of coastal environment component can be affected

by the Paiton Power Plant operations are benthic environment, that is sediment

and benthos. The purpose of this study was to assess the ecological pressure from

coal handling activities in the area of Paiton Power Plant complex to the

macrozoobenthos community structure and determine the status of benthic

environment based on sediment condition and macrozoobenthos community

structure.

Research are located in coastal areas affected by the power plant operations

(10 observation stations, namely 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12) and the area

unaffected as a reference/control point (3 station observations, namely 1,3,5).

Data were analyzed by 1) diversity index, uniformity index, and dominance index

, 2) sediment grain size (sand, dust, and clay) and heavy metals

(Hg,As,Cr,Se,Mn,Cu, Cr,Fe,Pb, and Zn), 3) similarity index, 4) T-test, 5) AZTI

Marine Biotic Index (AMBI), and 6) multivariate analysis M-AMBI.

Based on macrozoobenthos diversity index analysis, obtained 77 types of

taxa with densities ranging from 250-1453 ind/m2. Makrozoobenthos were found

consist of 12 classes namely Polychaeta, Nemertina, Sipuncula, Crustaceae,

Echinodermata, Coelenterata, Brachiopods, Cephalochordates, Pelecypoda,

Urochordata, Turbelaria, and Gastropods. Uniformity index values at all stations

close to 1, it indicates a relatively stable macrozoobenthos community.

Dominance index calculation showed no extreme types that dominate other

species throughout the study site. Based on the calculation of similarity analysis,

the density of makrozoobenthos divided into 6 groups. Stations 1 and 13, which is

location control (unaffected by operational activities of Paiton) formed a separate

group.

The result on sediment grain size analysis shown that the sediment

composition at research locations is dominated by sand and dust fractions. Based

on sediment fraction similarity index, is known that the research locations

clustered into 3 major groups. Group 1 consisted of station 1, 2, 3, 4, 5, 7, 12, and

13, group 2 consists of stations 6, 8, 10, and 11, while station 9 is a separate

group (this is caused by dust fraction dominance up to 77.64%). This condition is

predicted to occur because of the sediment transport from flow pattern and dock

activity, which is a coal unloading dock. Analysis results of heavy metals in the

sediments, showed the station near the jetty and the body water in front of the

cooling water discharge channel has a metal content of mercury (Hg), which can

provide biological influences on marine organisms.

Based on the AMBI calculation, benthic environmental conditions of

Paiton coastal are included in the whole research area were categorized slightly

distorted. Further calculations to determine the ecological status of Paiton coastal

using multivariate analysis M-AMBI, showed a more diverse categories when

compared with the level of disturbance category. Ecological status of Paiton

coastal from M-AMBI calculation has moderate to high ecological category. The

diversity of ecological status category of Paiton coastal, because of M-AMBI

calculation also using diversity index, dominance index, and the value of AMBI.

T-test results of the density calculation of benthic secondary data showed that

there was significant difference between control areas and areas affected by Paiton

Power Plant operations. But in the same period, the ratio of taxa between control

areas and areas affected were not significantly different. It is also shown from the

graph of macrozoobenthos density and number of taxa during the period February

2009 to May 2013

Keywords: paiton coastal, sediment, macrozoobenthos, AMBI, M-AMBI

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

KAJIAN LINGKUNGAN BENTIK PERAIRAN PESISIR

PAITON, PROVINSI JAWA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

M U R S A L I N

Penguji Luar Komisi pada ujian Tesis : Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc

Judul Tesis : Kajian Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi

Jawa Timur

Nama : Mursalin

NRP : P052090271

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etty Riani, MS

Ketua

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc

Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof.Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 29 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena atas

berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Kajian

Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka

memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program

Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah

memberikan dukungan, bantuan serta bimbingan, diantaranya:

1. Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno,

M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan,

pengawasan, dan bimbingan yang sangat berarti.

2. Manajemen serta seluruh staf Bagian dan Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan

Perairan (ProLing), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah

memberikan kesempatan, dukungan, dan bantuan kepada penulis untuk melanjutkan

studi.

3. Staf pengajar dan staf penunjang Departemen MSP-FPIK IPB atas dukungan dan

bantuan selama penulis menyelesaikan studi.

4. Bapak Jaswadi dari PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) UP Paiton dan staf atas

bantuan selama melakukan pengambilan data primer.

5. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur atas

bantuan dalam pengumpulan data sekunder.

6. Orang tua tercinta, H. Muhammad Amin dan Hj. Ratna Dewi atas segala do’a yang

tiada henti serta dukungan baik moril maupun materiil yang selalu diberikan.

7. Pa’Cik H. Yas Faisal dan Ma’Cik Hj. Ainul Mardhiah atas do’a dan bantuan yang

diberikan, serta seluruh keluarga besar alm. H. Sulaiman Djalil dan alm H.

Muhammad Ali.

8. Retno Anggraeni yang selalu memberikan semangat dan bantuan kepada penulis.

Rekan-rekan program Magister dan Doktor PSL IPB angkatan 2009, keluarga besar

Pondok Girma, rekan-rekan ex Komplek IPB II Blok C-2, dan rekan-rekan Ikatan

Keluarga Mahasiswa Pascasarjana asal Aceh (IKAMAPA) atas kebersamaannya

selama ini. Dede Wulandari dan Reza Zulmi atas bantuannya

9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi dan penelitian.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

Mursalin

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

3 METODE 12

Bahan 12

Alat 13

Prosedur Analisis Data 13

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18

Hidrooseanografi Daerah Pesisir Paiton 19

Potensi Perikanan 19

Komplek PLTU Paiton 19

Kualitas Air Laut 20

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Kondisi Sedimen Dasar Perairan 23

Struktur Komunitas Makrozoobentos 25

Status Kondisi Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton 27

Analisis Isi Kebijakan 31

6 SIMPULAN DAN SARAN 33 Simpulan 33

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN 37

RIWAYAT HIDUP 60

DAFTAR TABEL

1. Klasifikasi tipe sedimen berdasarkan skala Wentworth 11 2. Parameter analisis logam berat dalam sedimen 15

3. Kategori tingkat gangguan dan status ekologis berdasarkan nilai AMBI dan

M-AMBI 17

4. Informasi unit pembangkit di area komplek PLTU Paiton 20 5. Kualitas perairan laut Pesisir Paiton periode 1996-2012 21

6. Kandungan logam dalam sedimen di lokasi penelitian 24 7. Struktur komunitas makrozoobentos hasil pengambilan data primer 26

8. Komposisi group ekologsi makrozoobentos yang ditemukan 28 9. Tingkat gangguan dan status ekologis perairan Pesisir Paiton 29

10. Sumber data sekunder makrozoobentos 30

DAFTAR GAMBAR

1. Ruang lingkup penelitian 5 2. Contoh skema pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara 7

3. Karakteritstik kandungan karbon dan kelembaban serta persentase penggunaan

dari masing-masing jenis batu bara 9

4. Lokasi penelitian dan titik pengambilan data primer 12 5. Lokasi Pesisir Paiton di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur 18

6. Histogram persentase fraksi sedimen pada setiap stasiun pengamatan 23 7. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan ukuran butir sedimen 24

8. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobentos 27 9. Perbandingan kepadatan makrozoobentos (ind/m

2) pada area kontrol dan area

terpengaruh di wilayah kajian selama periode tahun 2009-2013 30 10. Perbandingan jumlah taksa makrozoobentos pada area kontrol dan area

terpengaruh di wilayah kajian selama periode tahun 2009-2013 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Foto lokasi sampling beserta kondisi sedimen sebelum dan sesudah

penyaringan 37

2 Hasil identifikasi makrozoobentos 41 3 Hasil analisis logam dalam sedimen 47

4 Hasil analisis tekstur sedimen 50 5 Acuan kandungan logam dalam sedimen 51

6 Foto makrozoobentos (berdasarkan urutan ecological group) 53 7 Hasil perhitungan AMBI dan M-AMBI 59

8 Data sekunder kepadatan makrozoobentos (ind/m2) periode Februari 2009-May

2012 61

9 Data sekunder jumlah taksa makrozoobentos periode Februari 2009-May 2012 62 10 Hasil uji-t 63

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah pesisir ditinjau dari kajian ekologis merupakan ekosistem yang unik

karena merupakan lokasi percampuran air tawar dari sungai dan air yang memiliki

kadar garam (salinitas) dari laut. Pertemuan dua ekosistem perairan ini

menjadikan perairan pesisir sebagai ekosistem dengan produktivitas yang tinggi

karena masukan nutrien berasal dari darat maupun laut. Perairan pesisir juga

memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena ditunjang dengan rentang

salinitas yang cukup lebar sehingga menjadikan daerah ini dapat dijadikan tempat

tinggal dari beragam biota, baik yang mampu hidup pada rentang perubahan

salinitas yang lebar (euryhaline) maupun yang hanya dapat bertahan hidup pada

kisaran perubahan salinitas sempit (stenohaline).

Definisi wilayah pesisir menurut Undang-Undang No 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah daerah

peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di

darat dan laut. Perubahan kondisi fisik-kimia-biologi perairan pesisir yang terletak

di pulau besar yang berpenghuni pada umumnya lebih banyak dipengaruhi oleh

aktivitas manusia di darat, sedangkan pengaruh dari laut berupa dinamika

komponen hidroseanografi harian seperti pola arus dan pasang-surut permukaan

air laut lebih banyak berdampak terhadap kondisi fisiografis daerah pesisir seperti

fenomena abrasi dan akresi. Perubahan kondisi lingkungan perairan pesisir dari

darat disebabkan karena wilayah pesisir pada umumnya merupakan muara atau

daerah hilir dari suatu sungai sehingga material organik dan komponen lain yang

terbawa dalam aliran sungai akan berkumpul di daerah pesisir. Selain pengaruh

dari material organik dan komponen lain yang terkandung dalam aliran sungai,

aktivitas manusia di sepanjang perairan pesisir juga dapat mempengaruhi kondisi

lingkungan perairan pesisir. Beragam aktivitas manusia dapat dilakukan atau

hanya mungkin dilakukan di daerah pesisir

Kawasan pesisir Kecamatan Paiton yang terletak di Kabupaten Probolinggo,

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah perairan pesisir dengan

aktivitas manusia yang cukup tinggi. Kegiatan masyarakat mulai dari kegiatan

perikanan baik budidaya maupun perikanan tangkap, industri, hingga pembangkit

tenaga listrik terdapat di pesisir Paiton. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

memiliki alasan tersendiri untuk dibangun di daerah pesisir dikarenakan

pembangkit listrik tersebut membutuhkan air dalam jumlah yang banyak untuk

kegiatan operasionalnya. Sumber air baku yang dibutuhkan dapat berupa air

tawar yang berasal dari sungai maupun air laut yang diolah menjadi air tawar

untuk kemudian dimanfaatkan pada proses produksi listrik. Komplek PLTU

Paiton merupakan kegiatan skala besar di Pesisir Pantai Paiton yang terdiri dari

delapan unit pembangkit dengan kapasitas total sekitar 4600 Megawatt (tahun

2012). Komplek pembangkit ini merupakan objek vital nasional karena berperan

penting dalam menjaga pasokan listrik di Pulau Jawa dan Bali. Mekanisme

produksi listrik di komplek PLTU Paiton sama seperti PLTU berbahan bakar batu

bara pada umumnya, yakni dihasilkan dari pemanasan air pada boiler hingga

menjadi tenaga uap untuk menggerakkan turbin dan generator sehingga

2

menghasilkan gaya elektromagnetik yang kemudian diubah menjadi listrik. Bahan

bakar pada proses produksi di seluruh unit pembangkit pada komplek PLTU

Paiton menggunakan batu bara yang berasal dari tambang di Pulau Kalimantan.

Aktivitas operasional PLTU yang menggunakan bahan bakar batu bara

dapat memberikan pengaruh terhadap komponen fisika-kimia-biologi lingkungan

yang bersumber mulai dari kegiatan penanganan batu bara sebelum digunakan

pada kegiatan pembangkitan, emisi gas dan asap dari kegiatan pembakaran pada

boiler, sisa abu pembakaran batu bara, serta limbah cair. Teknologi yang dapat

digunakan untuk meminimalkan pengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan

akibat kegiatan operasional PLTU berbahan bakar batu bara saat ini telah tersedia.

Dampak terhadap kualitas udara dari sumber emisi gas dan asap dapat

ditanggulangi dengan menggunakan Flue Gas Desulphurization (FGD) yang

dapat mengurangi kadar belerang/sulfur serta Electrostatic Precipitator (ESP)

untuk mengurangi partikel debu yang keluar dari cerobong. Pembakaran batu bara

akan mengasilkan abu terbang (fly ash) dan abu tinggal (bottom ash), kedua

limbah tersebut tergolong sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Penanganan limbah abu tersebut umumnya dilakukan dengan menggunakan

metode penimbunan/landfill, namun saat ini setelah melalui berbagai kajian juga

dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk kegiatan lainnya seperti bahan baku

dan bahan bakar campuran pada industri semen. Limbah cair yang dihasilkan

kegiatan PLTU diantaranya berasal dari air hasil desalinasi, air sisa pendinginan

dari cooling tower dan air limpasan dari tempat penampungan (stockpile) batu

bara. Proses desalinasi yang merubah air laut menjadi air tawar akan

menghasilkan air yang memiliki salinitas tinggi, sementara air sisa pendinginan

boiler akan menghasilkan air yang bersuhu tinggi atau air bahang. Selain kedua

jenis limbah cair tersebut terdapat pula limbah cair yang mengandung bahan

organik maupun anorganik yang berasal dari limpasan stockpile batu bara.

Teknologi untuk menanggulangi pengaruh dari limbah cair yang dihasilkan oleh

PLTU berbahan bakar batu bara juga telah tersedia. Teknologi tersebut dapat

berupa saluran/kanal air untuk mencampur air sisa dari cooling tower maupun dari

sisa proses desalinasi yang bertujuan untuk menurunkan temperatur dan salinitas,

serta Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau Wastewater Treatment Plant

(WWTP) untuk menurunkan kadar bahan organik dan anorganik dalam air limbah

sebelum dibuang ke badan air penerima.

Berdasarkan jenis kegiatan pada tahap operasional PLTU, pengaruh

kegiatan seperti penanganan batu bara (coal handling) sebelum digunakan pada

proses pembakaran terhadap komponen lingkungan bentik perairan pesisir belum

banyak dikaji. Kegiatan penanganan batu bara dimulai dari kegiatan transportasi

batu bara dari tambang batu bara di Pulau Kalimantan dengan menggunakan moda

transportasi laut berupa tongkang/barge dan kapal laut dengan daya angkut yang

besar, kegiatan pembongkaran (unloading) batu bara pada dermaga, hingga

penimbunan batu bara pada lapangan penumpukan (stockpile). Pengaruh terhadap

komponen lingkungan bentik perairan dari kegiatan penanganan batu bara dapat

bersumber dari ceceran batu bara pada saat proses pemindahan batu bara dari

tongkang atau kapal ke tempat penampungan dan dari air limpasan dari stockpile.

Lingkungan bentik perairan pesisir yang berpotensi terkena pengaruh dari

kegiatan penanganan batu bara diantaranya adalah sedimen dasar perairan dan

bentos yang hidup menetap pada dasar perairan. Gangguan terhadap organisme

3

bentos perairan pesisir umumnya dapat terjadi karena rangkaian dampak yang

terjadi pada perubahan kualitas perairan dan pengaruh fenomena alam di daerah

tersebut yang kemudian memberikan pengaruh terhadap kondisi sedimen yang

merupakan habitat bentos. Pada tahap selanjutnya, gangguan terhadap struktur

organisme bentos perairan pesisir dapat memberikan pengaruh lanjutan terhadap

struktur komunitas ikan atau organisme lainnya terutama yang terkait dengan

bentos dalam struktur piramida atau rantai makanan. Berdasarkan hal tersebut,

penelitian ini akan difokuskan untuk mengkaji kondisi lingkungan bentik yang

diperkirakan terkena pengaruh dari kegiatan penanganan batu bara pada kegiatan

operasional pembangkit listrik di wilayah pesisir Paiton.

Perumusan Masalah

Wilayah pesisir Paiton merupakan daerah yang memiliki beragam aktivitas

manusia yang dapat memberikan pengaruh terhadap komponen lingkungan, salah

satunya adalah pengaruh terhadap lingkungan bentik perairan pesisir. Aktivitas

terbesar di daerah Paiton adalah kegiatan operasional komplek PLTU Paiton yang

merupakan area pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara. Pengaruh

lingkungan terhadap komponen bentik yang diperkirakan bersumber dari kegiatan

Komplek PLTU Paiton adalah kegiatan penanganan batu bara.

Berdasarkan uraian perumusan masalah, permasalahan yang ingin dijawab

melalui penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh kegiatan tahap operasional di areal komplek PLTU

Paiton terhadap komponen lingkungan bentik perairan khususnya sedimen

dan makrozoobentos?

2. Bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan

kondisi lingkungan bentik di wilayah perairan komplek PLTU Paiton?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menilai tekanan ekologis dari kegiatan tahap operasional komplek PLTU

Paiton terhadap struktur komunitas makrozoobentos

2. Menentukan status kondisi lingkungan bentik berdasarkan kondisi sedimen

dasar perairan dan struktur komunitas makrozoobentos.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Memberikan informasi bagi pengelola komplek PLTU Paiton mengenai

efektivitas kegiatan tahap operasional yang berpengaruh terhadap

lingkungan bentik perairan Pesisir Paiton

2. Sebagai informasi ilmiah bagi stakeholder terkait mengenai pengaruh

kegiatan tahap operasional PLTU yang berbahan bakar batu bara terhadap

komponen lingkungan bentik perairan khususnya sedimen dan

makrozoobentos

4

Ruang Lingkup Penelitian

Kebutuhan energi listrik di Indonesia saat ini lebih banyak dipenuhi oleh

pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Pada umumnya PLTU berbahan

bakar batu bara di Pulau Jawa terdapat di daerah pesisir. Selain karena

membutuhkan pasokan air yang cukup besar, lokasi PLTU berbahan bakar batu

bara di Pulau Jawa umumnya berada daerah pesisir dikarenakan sumber energi

berupa batu bara tidak banyak terdapat di Pulau Jawa sehingga kebutuhan batu

bara didatangkan dari pulau lainnya seperti Sumatera dan Kalimantan yang

memiliki potensi cadangan batu bara dalam jumlah besar, oleh karenanya untuk

mendatangkan batu bara tersebut ke area pembangkit membutuhkan transportasi

laut yang dinilai paling ekonomis dan memadai. Berbagai pandangan negatif

terhadap kegiatan operasional PLTU berbahan bakar batu bara diakibatkan karena

jenis bahan bakar batu bara dianggap tidak ramah lingkungan sehingga

menyebabkan pengaruh terhadap berbagai komponen lingkungan baik udara, air

maupun tanah. Pengaruh akibat kegiatan operasional PLTU berbahan bakar batu

bara bersumber mulai dari proses pembongkaran (unloading) batubara dari kapal

atau tongkang ke tempat penampungan (stockpile), pencucian batu bara sebelum

digunakan, emisi gas buang dan sisa abu batu bara hasil pembakaran, hingga

limbah air panas yang bersumber dari sisa kegiatan pendinginan cooling tower.

Namun demikian, saat ini telah banyak tersedia teknologi yang dapat mengurangi

berbagai pengaruh yang timbul sehingga persepsi negatif akibat operasional

kegiatan PLTU berbahan bakar batu bara mulai berkurang.

Kebijakan peraturan mengenai lingkungan hidup yang berlaku di Indonesia

mempersyaratkan bahwa setiap kegiatan yang akan mengakibatkan perubahan

mendasar terhadap berbagai komponen lingkungan diwajibkan untuk membuat

kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup (AMDAL). Kajian tersebut

akan mengidentifikasi dan mengevaluasi dampak penting dari rencana kegiatan

yang kemudian akan menjadi dasar pertimbangan untuk menilai kelayakan suatu

rencana usaha dan/atau kegiatan dari sisi lingkungan hidup. Kajian AMDAL juga

akan menghasilkan arahan pengelolaan dan pemantauan komponen lingkungan

hidup yang tertuang dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup

(RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Dokumen RKL-RPL

menjadi acuan bagi pemrakarsa kegiatan dalam mengelola dampak lingkungan

yang timbul dan memonitor atau memantau proses pengelolaan dampak tersebut

sesuai arahan kajian AMDAL dan juga mengevaluasi pengelolaan yang telah

dilakukan. Sebagai PLTU berkapasitas terbesar di Indonesia, PLTU Paiton

sebelum memulai aktivitasnya telah memiliki dokumen AMDAL dan juga telah

melakukan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan sebagaimana arahan

dalam dokumen RKL-RPL sebagai wujud nyata komitmen terhadap kegiatan

operasional PLTU yang peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Penelitan ini akan membatasi kajian hanya pada upaya pengelolaan dampak

dari kegiatan yang diperkirakan berpengaruh terhadap komponen lingkungan

bentik perairan pada tahap operasional PLTU Paiton. Arahan penanganan dampak

kegiatan penanganan batu bara pada dokumen RKL-RPL akan digunakan sebagai

5

acuan untuk menilai efektivitas pengelolaan dampak yang timbul akibat kegiatan

pada tahap operasional PLTU. Penelitian ini akan mengambil data primer

komponen lingkungan bentik perairan yakni sedimen dasar perairan dan bentos

serta menggunakan data sekunder hasil pemantauan rutin (laporan pelaksanaan

RKL-RPL) yang telah dilakukan oleh masing-masing pengelola pembangkit di

komplek PLTU Paiton. Ruang lingkup penelitian secara skematis disajikan pada

Gambar 1.

Keterangan: : ruang lingkup utama penelitian

Gambar 1. Ruang lingkup penelitan

Aktivitas di Pesisir

Paiton

Kegiatan tahap

operasional

Sedimen

Tekstur

Kandungan

Logam

Makrozoobentos

Struktur

Komunitas

Tekanan

lingkungan

Status Kondisi

Lingkungan Bentik

Hidrooseanografi

Pola pasang surut

Pola arus

Perikanan Kegiatan Lainnya PLTU

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

Kegiatan penyediaan tenaga listrik dimulai dari unit pembangkitan yang

kemudian dialirkan melalui saluran transmisi dan saluran distribusi hingga ke

konsumen. Mekanisme produksi listrik di unit pembangkit pada prinsipnya adalah

mengkonversi suatu energi yang dapat dihasilkan dari tenaga air, gas, uap, angin,

matahari hingga panas bumi menjadi energi elektromagnet. Proses produksi listrik

pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dihasilkan melalui proses

pemanasan air pada ketel uap (boiler). Uap panas yang terbentuk kemudian

dialirkan menuju turbin hingga rotasi turbin akan memutar sebuah magnet dalam

generator. Mengacu pada gaya elekromagnet, magnet yang berputar di tengah

kumparan akan menghasilkan energi listrik. Proses dalam generator ini dapat

disamakan proses dalam dinamo lampu sepeda. Kepala dinamo yang berputar

akibat gesekan dengan ban otomatis memutar magnet dalam dinamo yang

kemudian menghasilkan energi listrik yang menyalakan lampu sepeda (PT PLN

(Persero) Pembangkitan Tanjung Jati B/TJB, 2009). Skema pembangkit listrik

tenaga uap berbahan bakar batu bara disajikan pada Gambar 2.

Proses pemanasan air hingga menghasilkan tekanan uap tentunya

memerlukan pasokan air dalam jumlah yang besar, oleh karenanya keberadaan

PLTU biasanya berlokasi di dekat sungai besar atau di tepi laut/daerah pesisir.

Proses pemanasan air pada boiler memerlukan bahan bakar yang dapat bersumber

dari bahan bakar minyak, gas, maupun batu bara. Berkaitan dengan berkurangnya

cadangan minyak bumi, PLTU di Indonesia saat ini lebih banyak menggunakan

batu bara sebagai bahan bakar pada unit pembangkitan. Selain cadangan batu bara

di Indonesia masih melimpah, biaya yang diperlukan untuk memproduksi listrik

dari unit pembangkit yang berbahan bakar batu bara relatif lebih murah

dibandingkan dengan unit pembangkit yang menggunakan bahan bakar minyak.

Peningkatan kebutuhan listrik seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang

ditopang oleh produksi berbagai macam industri baik barang maupun jasa

tentunya membutuhkan tambahan unit pembangkit listrik. Mengatasi peningkatan

kebutuhan listrik nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan

Presiden Nomor 71 Tahun 2006 tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik

Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga

Listrik Yang Menggunakan Batubara. Pertimbangan utama yang mendasari

diterbitkannya peraturan tersebut adalah bahwa untuk mempercepat diversifikasi

energi untuk pembangkit tenaga listrik ke non bahan bakar minyak dalam rangka

pemenuhan kebutuhan tenaga listrik diperlukan upaya untuk melakukan

percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara.

Program tersebut merupakan program nasional proyek percepatan pembangunan

PLTU berbahan bakar batubara 10.000 MW (megawatt) yang terdiri dari 2 tahap

yakni tahap 1 pada tahun 2006 dan tahap II pada tahun 2010. Meskipun unit

pertama di area komplek PLTU Paiton telah beroperasi sejak tahun 1994, namun

terdapat unit pembangkit tambahan yang merupakan bagian dari program

percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW.

7

Sumber : TJB (2009)

Gambar 2. Contoh skema pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar

batubara

Keterangan :

1. a. Dermaga batu bara

b. Penampungan batu bara (coal stockpile)

2. Instalasi pengolahan air, dapat berupa desalinasi maupun menggunakan air

sungai untuk menggerakkan dan mendinginkan turbin

3. Boiler atau tungku, berfungsi untuk menghasilkan uap air

4. Turbin, uap yang dihasilkan dari boiler akan menggerakkan turbin

5. Generator, turbin akan memutar magnet besar, rotor, dan memproduksi lisrik

dalam strator generator yang mengacu pada gaya elektromagnet pada lilitan-

lilitan generator

6. Transformator, tenaga yang dihasilkan dari generator ditingkatkan oleh

transformator

7. Kondensor, saat energi dalam uap air hampir habis untuk menggerakkan

turbin, maka uap tersebut akan masuk ke kondensor. Uap akan melewati pipa

berisi air pendingin. Air inilah yang akan mengondensasi uap menjadi air

yang akan dipompa kembali ke boiler

8

Batu Bara

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, definisi batu bara adalah endapan

senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-

tumbuhan. ANR (2012) menyatakan bahwa batu bara merupakan hasil

sedimentasi yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Hal ini

berbeda dengan mineral yang merupakan unsur anorganik dan pada umumnya

membentuk formasi batuan karena proses mineralisasi. Cadangan batu bara yang

terkandung dalam bumi tergantung pada jenis tanaman di awal pembentukan batu

bara. Kondisi lingkungan menentukan perubahan fisik, kimia, dan biologis yang

terakumulasi antar waktu. Seperti halnya mineral yang ditemukan dalam batuan,

bagian tumbuhan yang terawetkan secara alami akan bermetamorfosis selama

jutaan tahun oleh tekanan dan temperatur menjadi bermacam jenis batu bara serta

memerlukan kondisi laju pengendapan yang lebih cepat dibanding laju

peluruhanya.

Batu bara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang awalnya

berakumulasi di rawa dan lahan gambut dan mengalami perubahan bentuk. Mutu

dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu

pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses pembentukan batu

bara dimulai ketika gambut (peat) berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau

disebut pula batu bara coklat (brown coal) yang merupakan jenis batu bara

maturitas organik rendah. Pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama

jutaan tahun akan membuat batu bara muda mengalami perubahan yang secara

bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi

batu bara sub-bitumen (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus

berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam

sehingga membentuk bitumen (bituminous) hingga antrasit (anthracite). Dalam

kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus

berlangsung hingga membentuk antrasit. Tingkat perubahan yang dialami batu

bara dari gambut sampai menjadi antrasit, disebut sebagai pengarangan

(coalification), memiliki hubungan yang penting dan disebut sebagai

‘tingkat/mutu’ batu bara (World Coal Institute/WCI, 2005). Gambaran mengenai

pembagian batu bara berdasarkan kandungan energi dan kelembabannya serta

penggunaannya disajikan pada Gambar 3.

Penamaan batu bara dalam bahasa Inggris, coal, berasal dari bahasa Inggris

kuno, col, yang merupakan jenis arang yang digunakan pada saat tersebut. Speight

(2005) menjelaskan klasifikasi batu bara berdasarkan jenisnya adalah sebagai

berikut:

a. Antrasit, merupakan peringkat tertinggi dari batu bara. Penggunaan

utamanya banyak dimanfaatkan untuk pemanas ruang hunian dan komersial.

Jenis batu bara ini memiliki sifat yang keras dan hitam berkilau karena

memiliki persentase kandungan karbon yang tinggi dan persentase yang

rendah dari partikel yang mudah menguap sehingga sering disebut batu bara

keras. Persentase kadar air pada jenis batu bara antrasit yang baru

dikeluarkan dari area penambangan umumnya kurang dari 15%, sementara

kandungan panasnya berkisar antara 22-28 juta Btu (British Thermal Unit)

9

per ton pada kondisi lembab bebas partikel mineral (mineral-matter-free-

basis).

b. Bitumen (bituminous), adalah batu bara padat yang umumnya berwarna

hitam namun terkadang berwarna coklat gelap. Batu bara jenis ini sering

digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap dan industri

lainnya. Kadar air bitumen biasanya kurang dari 20% dari massanya,

sementara kandungan panasnya berkisar antara 21 sampai 30 juta Btu/ton

pada kondisi lembab bebas partikel mineral.

c. Sub bitumen (sub bituminous), merupakan jenis batu bara yang berwarna

coklat tua sampai hitam dan memiliki karakter yang kusam, lembut, dan

rapuh pada bagian bawah sementara pada bagian atas memiliki karakter

yang cerah, hitam, keras dan relatif kuat. Batu bara sub bitumen

mengandung 20-30% kadar air dari massanya. Kandungan panas dari sub

bitumen berkisar dari 17 hingga 25 juta Btu/ton pada kondisi lembab bebas

partikel mineral.

d. Batu bara muda (lignite), merupakan batu bara dengan peringkat terendah

berwana hitam kecoklatan sehingga sering disebut sebagai batu bara coklat.

Jenis batu bara ini sering digunakan secara khusus sebagai bahan bakar pada

pembangkit listrik tenaga uap. Jenis batu bara ini memiliki kadar air yang

tinggi sekitar 45% dari massanya, sementara kandungan panasnya berkisar

antara 9 hingga 17 juta Btu/ton pada kondisi lembab bebas partikel mineral.

Sumber : WCI (2005)

Gambar 3 Karakteritstik kandungan karbon dan kelembaban serta persentase

penggunaan dari masing-masing jenis batu bara

Sebagian besar

untuk pembangkit

listrik

Pembangkit listrik

Produksi semen

Penggunaan untuk

industri

Pembangkit listrik

Produksi semen

Penggunaan untuk

industri

Pembuatan

besi

dan baja

Dalam negeri/industri

Termasuk bahan bakar

minyak tanpa asap

10

Bentos

Terminologi bentos berasal dari bahasa latin yang secara harfiah

mempunyai arti kedalaman, namun secara luas diartikan sebagai organisme yang

hidup pada dasar permukaan laut dan di dasar sungai dan danau (Kingston, 2001).

Odum (1971) menyatakan bahwa bentos meliputi organisme nabati (fitobentos)

dan organisme hewani (zoobentos). Berdasarkan ukurannya, zoobentos dibagi

kedalam dua kelompok besar yakni macrozoobenhos dan meiozoobentos.

Makrozoobentos didefinisikan sebagai bentos yang tertahan pada alat penyaring

dengan ukuran mata jaring 1x1 mm, sementara meiozoobentos merupakan bentos

yang lolos pada ukuran mata jaring yang sama (Van der Graaf et al., 2009)

Bentos memegang peraran penting dalam rantai makanan di ekosistem

perairan pesisir. Håkanson dan Bryhn (2008) menyatakan bahwa zoobentos

merupakan komponen penting untuk komunitas ikan kelompok penyusun

piramida bawah (prey fish) pada rantai makan di ekosistem pesisir. penurunan

atau perubahan pada biomassa zoobentos akan sangat berpengaruh pada kelompok

ikan tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi kelompok ikan penyusun

piramida rantai makanan diatasnya (predator fish). Selain fungsi pada rantai

makanan, bentos juga dapat berfungsi sebagai indikator kualitas lingkungan

perairan. Simboura dan Zenetos (2002) menyatakan bahwa organisme indikator

adalah jenis organisme yang digunakan berdasarkan sensitivitas atau toleransinya

terhadap berbagai polutan.

Jenis bentos indikator dapat digunakan untuk mendefinisikan tipe habitat

dan mengklasifikasikan kualitas ekologis lingkungan tempat hidupnya. Jenis

zoobentos indikator dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yakni

kelompok sensitif dan kelompok yang toleran. Jenis kelompok sensitif

menggambarkan tipe habitat berdasarkan persentase dominan terhadap jenis yang

lain atau kehadirannya secara khusus menggambarkan habitat yang spesifik,

sementara kelompok toleran merupakan kelompok “oportunis” yang kehadirannya

tidak terganggu oleh berbagai macam gangguan atau perubahan lingkungan.

Sedimen

Sedimen merupakan suatu bahan berupa fragmen material padatan

anorganik atau anorganik yang terbawa atau terendapkan secara alamiah oleh

angin, air, maupun proses pembekuan sungai es didalam dasar perairan/laut

(Encyclopedia-Columbia University Press dalam KLH, 2005). Sedimen

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari komponen ekosistem perairan yang

dapat menyediakan habitat, tempat mencari makan, tempat memijah, dan daerah

pengasuhan bagi berbagai organisme perairan. Sedimen juga dapat berperan

sebagai tempat penerima berbagai macam pencemar sehingga sedimen juga

berpotensi melepaskan pencemar ke badan air, organisme, dan manusia ang

mengkonsumsi organisme tersebut. Sedimen yang tercemar dapat mengurangi

atau mengeliminasi jenis-jenis organisme yang mempunyai nilai penting bagi

ekologi, komersil, maupun kegunaan rekreasi (EPA, 2001). Craig dan Jones

(1966) menyatakan bahwa ukuran butiran sedimen akan mempengaruhi bentos

secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tersebut meliputi pola makan, tipe

11

penempelan/pelekatan dan pergerakan yang terkait dengan kekenyalan sedimen

atau ketersediaan permukaan yang keras. Ukuran butiran dan kandungan bahan

organik seringkali merefleksikan kekuatan dari arus bawah permukaan di laut.

Kondisi aerob dan anaerobik pada sedimen secara umum juga mencerminkan

fungsi dari ukuran butir sedimen meskipun tergantung pada laju sirkulasi air.

Komposisi sedimen di perairan laut juga dipengaruhi oleh faktor

oseanografi, seperti halnya kerikil kasar banyak terdapat di perairan yang

memiliki gelombang dan arus yang kuat, tipe sedimen yang didominasi lumpur

banyak terdapat di daerah yang memiliki energi gelombang dan arus yang lemah,

sementara lumpur halus dan liat banyak terdapat di laut dalam (Gray dan Elliot,

2009). Klasifikasi tipe ukuran butiran sedimen akan ditentukan dengan

menggunakan skala Wentworth. Tipe substrat berdasarkan skala Wentworth

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi tipe sedimen berdasarkan Skala Wentworth Klasifikasi Deskripsi Skala 2 (mm) Skala √2

(mm)

Φ (phi)

Kerikil

Kerikil besar

258 -8

128 -7 64 -6

Kerikil kecil

32 -5

16 -4 8 -3

Kerikil butir 4 -2

Pasir

Pasir Sangat

Kasar

2

1,41

-1

-0,5

Pasir Kasar 1

0,71 0

0,5

Pasir Sedang 0,5

0,351

1,0

1,5

Pasir Halus 0,25

0,177 2,0 2,5

Pasir Sangat

Halus

0,125

0,088

3,0

3,5

Debu/Lanau/

Lumpur

0,062 4,0 0,044 4,5

0,031 5,0

0,022 5,5 0,0156 6,0

0,011 6,5

0,0078 7,0 0,0055 7,5

Liat/Lempung 0,0039 8,0

<0,0039 <0,0039 Sumber : Wentworth (1922) in Bale dan Kenny (2005).

12

3 METODE

Penelitian ini mengkaji lokasi perairan pesisir pantai Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur (Gambar 4) yang diperkirakan

terkena dampak kegiatan operasional dari area komplek PLTU Paiton. Selain area

yang diperkirakan terkena dampak, penelitian ini juga mengkaji daerah yang

diperkirakan tidak terkena dampak sebagai pembanding atau titik kontrol.

Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari 2013 hingga Mei

2013.

sumber peta : Google Earth (Maret-2013)

Gambar 4 Lokasi penelitian dan titik pengambilan data primer

Keterangan lokasi Stasiun Lokasi Stasiun Lokasi

1 Perairan Bhinor (Kontrol) 8 Inlet air pendingin / inlet canal

2 Area labuh PEC 9 Dermaga JP

3 Saluran outlet Unit 9 10 Dermaga JP sisi timur

4 Dermaga bongkar-muat PEC 11 Perairan di depan Stock Pile batu bara

5 Mercusuar (Kontrol) 12 Outlet air pendingin / outlet canal

6 Dermaga PLN / oil jetty 13 Perairan Banyuglugur (Kontrol)

7 Dermaga PLN sisi timur / oil

jetty

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. bahan pengawet sampel bentos berupa larutan formalin-rosebengal;

b. software/perangkat lunak untuk mengolah data statistik;

c. laporan Monitoring Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup

(RKL) dan Rencana Pemantuan Lingkungan Hidup (RPL) dari masing-

masing pengelola unit pembangkit.

13

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. instrumen penentu koordinat lokasi sampling berupa Global Positioning

System (GPS);

b. kamera;

c. alat pengambil contoh sedimen dasar perairan dan bentos berupa Van Veen

grab;

d. alat penyaring untuk mengumpulkan sampel bentos;

e. wadah untuk sampel bentos dan sedimen;

f. instrumen laboratorium untuk pengukuran logam berat pada sedimen berupa

spektrofotometer dan peralatan gelas laboratorium;

g. isnstrumen untuk perhitungan kepadatan dan identifikasi bentos berupa

mikroskop stereo/mikroskop bedah.

Prosedur Analisis Data

Metode Penelitian

Penelitian ini menganalisis kondisi lingkungan bentik perairan di daerah

yang diperkirakan terkena dampak dan daerah yang tidak terkena dampak (lokasi

kontrol) dari kegiatan operasional area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

Paiton.

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data text dan image

yang memberikan informasi mengenai keadaan di tempat penelitian berupa

gambar, diagram, dan tabel. Data text yang akan digunakan berupa hasil analisis

laboratorium terhadap parameter fisik-kimia sedimen dasar perairan dan sampel

bentos, sementara data image berupa gambar, diagram, serta tabel yang

merupakan hasil olahan dari data sedimen dasar perairan dan bentos

Data yang akan dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer

akan diperoleh melalui pengambilan langsung (sampling) komponen parameter

sedimen dasar perairan dan makrozoobentos. Data sekunder yang akan digunakan

adalah data rona awal lingkungan perairan dari dokumen Analisis Dampak

Lingkungan (ANDAL) serta data pemantauan (monitoring) dari laporan

pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana

Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) yang telah dilaksanakan oleh masing-

masing pengelola pembangkit di komplek PLTU Paiton.

Metode Pemilihan Lokasi Sampling.

Pemilihan lokasi sampling didasarkan pada lokasi pemantuaan komponen

bentik perairan dari hasil laporan pemantauan RKL-RPL semua unit pembangkit

sehingga diharapkan akan memberikan gambaran yang utuh mengenai kondisi

area pesisir di wilayah kerja PLTU Paiton. Lokasi sampling yang diperkirakan

14

terkena pengaruh dari operasional PLTU Paiton berjumlah 10 lokasi, sementara

lokasi yang menjadi acuan atau lokasi kontrol yang diperkirakan sebagai tidak

terkena pengaruh operasional PLTU Paiton berjumlah 3 lokasi yakni stasiun 1

(perairan Bhinor) di area bagian barat, stasiun 5 (mercusuar) di area bagian utara,

dan stasiun 13 (perairan Banyuglugur) di area bagian timur (Gambar 4).

Metode Analisis Sampel

A). Kepadatan bentos

Kepadatan bentos didefinisikan sebagai jumlah individu bentos per satuan

luas (m2) (Brower et al., 1990). Formulasi kepadatan bentos adalah sebagai

berikut,

Keterangan:

K : Kepadatan (ind/m2)

Ni : Jumlah individu

A : Luas bukaan alat (cm2)

B). Indeks keragaman

Indeks keragaman ditentukan dengan menggunakan indeks keragaman

Shannon-Wiener (Krebs 1989). Rumus indeks keragaman Shannon-Wiener

adalah sebagai berikut,

Keterangan:

H’ : Indeks keragaman

N : Jumlah total individu semua jenis

ni : Jumlah individu jenis ke-i

C). Indeks keseragaman

Keseragaman dianalisis dengan menggunakan indeks keseragaman

Shannon-Wiener (Krebs 1989) sebagai berikut:

Keterangan:

H : Indeks keragaman Shannon-Wiener

E : Indeks keseragaman

S : Jumlah taksa

15

D). Indeks dominansi

Indeks dominansi ditentukan berdasarkan indeks dominansi Simpson (Krebs

1989) yaitu,

Keterangan:

C : Indeks Dominansi

Ni : Jumlah individu spesies ke-i

N : Jumlah total individu spesies ke-i

E). Ukuran butiran sedimen (Grain Size)

Karakteristik fisik sedimen dasar perairan yang diperoleh dari hasil

sampling akan dianalisis melalui ukuran butiran sedimen yang menggunakan

saringan (sieve) bertingkat sesuai dengan tekstur sedimen yang didapat. Analisis

tipe sedimen dilakukan untuk mengkaji kaitan keberadaan bentos dengan tipe

sedimen yang dihuninya.

F). Kandungan logam pada sedimen dasar perairan

Analisis kandungan logam berat pada sedimen akan mengacu pada Standard

Method for Examination of Water and Wastewater terbitan American Public

Health Association (APHA). Sebelum dilakukan analisis kandungan logam berat,

contoh sedimen dasar perairan akan dilakukan proses preparasi berupa digestion

terlebih dahulu. Acuan yang digunakan untuk menilai kualitas sedimen pada

kajian ini bersumber dari Canadian Sediment Quality Guidelines for The

Protection of Aquatic Life yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup

Kanada/Canadian Council of Ministers of the Environment (CCME) pada tahun

2002. Parameter logam berat dalam sedimen yang akan dianalisis beserta referensi

konsentrasinya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Parameter analisis logam berat dalam sedimen berdasarkan CCME (2002)

No. Parameter Referensi Konsentrasi (mg/kg)

1 Merkuri (Hg) 0,13-0,7

2 Arsen (As) 7,24-41,6

3 Selenium (Se) -

4 Mangan (Mn) -

5 Tembaga (Cu) 18,7-108

6 Khrom Total (Cr) 52.3-160

7 Besi (Fe) -

8 Timbal (Pb) 30.2-112

9 Seng (Zn) 124-271

16

Metode Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian adalah analisis indeks

similaritas, analisis pengaruh tekanan lingkungan menggunakan AMBI (AZTI

Marine Biotic Index), analisis status kondisi lingkungan menggunakan

multivariate AMBI (M-AMBI), analisis statistik untuk menilai perbedaan kondisi

lokasi kontrol dan lokasi terpengaruh, serta analisis kebijakan

A. Indeks Similaritas

Indeks similaritas digunakan untuk menilai kesamaan antar stasiun melalui

variabel yang diuji yang pada kajian ini menggunakan variabel berupa

karakteristik sedimen serta kepadatan makrozoobentos. Pengukuran indeks

similaritas dan visualisasi hasil perhitungan berupa dendrogram menggunakan

bantuan perangkat lunak Minitab 16.

B. AZTI Marine Biotic Index (AMBI) dan M-AMBI

Penilaian tekanan ekologis berupa kondisi gangguan terhadap struktur

komunitas makrozoobentos dan penentuan status kondisi lingkungan berdasarkan

tingkat gangguan dan struktur komunitas makrozoobentos dilakukan melalui

perhitungan menggunakan metode AZTI Marine Biotic Index (AMBI). Metode ini

mengklasifikasikan jenis makrozoobentos yang ditemukan pada lokasi

pengamatan ke dalam grup ekologis (Ecological Group/EG) dengan rentang I-V

berdasarkan sensitivitasnya terhadap bahan pencemar (Borja et al., 2000). Grup

Ekologis (EG) I terdiri atas taksa yang sensitif terhadap gangguan; EG II

merupakan jenis yang umum dijumpai; EG III merupakan jenis yang toleran

terhadap gangguan; EG IV merupakan spesies oportunis tingkat kedua; dan EG V

adalah spesies oportunis tingkat pertama. Nilai AMBI dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

Nilai hasil perhitungan AMBI mengindikasikan tingkat gangguan

lingkungan bentik yang menjadi habitat hidupnya. Setelah memperoleh nilai

AMBI, sebuah analisis multivariate (M-AMBI) diperlukan untuk mengukur status

ekologis dari lingkungan bentik (Muxika et al.,2007). Perhitungan M-AMBI

melibatkan nilai indeks keragaman, nilai indeks dominansi, dan nilai AMBI.

Tabel 3 memperlihatkan kategori tingkat gangguan lingkungan dan status

ekologis berdasarkan nilai AMBI dan M-AMBI yang diperoleh. Perhitungan

AMBI dan M-AMBI dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak AMBI

Index software versi 5.0 yang diunduh dari laman www.ambi.azti.es pada tanggal

17 Mei 2013

17

Tabel 3 Kategori tingkat gangguan dan status ekologis berdasarkan

nilai AMBI dan M-AMBI

Nilai AMBI Tingkat gangguan Nilai M AMBI Status ekologis

Tidak terganggu Tinggi

Terganggu ringan Bagus

Terganggu sedang Sedang

Terganggu berat Buruk

Terganggu sangat berat Sangat buruk

Sumber: AMBI : Borja et al. (2000); M-AMBI : Muxika et al. (2007)

C. Analisis Statistik

Analisis statistik digunakan untuk menilai perbedaan kondisi komunitas

makrozoobentos antara lokasi yang diperkirakan terkena pengaruh dan lokasi

kontrol. Analisis statitstik menggunakan uji-t dengan variabel uji adalah

kepadatan bentos. Data yang digunakan bersumber dari laporan pelaksanaan

pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (RKL-RPL) yang dilakukan oleh

pengelola unit pembangkit di area komplek PLTU Paiton.

D. Analisis Isi Kebijakan

Analisis isi kebijakan digunakan untuk menganalisis isi kebijakan yang

berlaku yang terkait dengan pengelolaan dampak dari kegiatan komplek PLTU

Paiton khususnya pengaruh komponen tahap operasional terhadap komponen

lingkungan bentik perairan pesisir. Kebijakan yang akan dianalisis adalah arahan

pengelolaan dan pemantauan pada dokumen RKL-RPL dengan cara

membandingkan implementasi pada tahap operasionalnya.

18

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Hidrooseanografi Daerah Pesisir Paiton

Perairan pesisir Paiton merupakan bagian dari perairan laut Selat Madura

(Gambar 5). Berdasarkan posisi tersebut, kondisi fisik hidrooseanografi di

perairan pesisir Paiton banyak dipengaruhi oleh kondisi di Selat Madura seperti

pola arus, gelombang, dan pasang surut. Kondisi perairan di Selat Madura pada

umumnya relatif tenang dengan karaketeristik tinggi gelombang relatif rendah,

frekuensi gelombang relatif kecil dan panjang gelombang yang pendek. Pola

gelombang di perairan sekitar Paiton lebih banyak disebabkan oleh bangkitan

angin dikarenakan daerah ini merupakan perairan laut yang tertutup. Kecepatan

angin maksimum umumnya terjadi pada puncak-puncak musim yakni pada

puncak musim barat (sekitar bulan Desember) kecepatan angin rerata harian dapat

mencapai 13 knot dengan arah 270° sementara pada puncak musim timur (akhir

bulan Juli hingga awal Agustus) kecepatan angin rerata harian maksimum antara

10-11 knot dengan arah 90°. Tinggi gelombang di sekitar wilayah pesisir Paiton

umumnya kurang dari satu meter, sementara gelombang besar yang dapat

mencapai lebih dari empat meter dapat terjadi pada puncak-puncak musim dengan

kemungkinan kejadian kurang dari 0.5%. (PJB, 2007). Pola arus di perairan

pesisir Paiton cenderung bergerak ke arah timur pada saat surut dan ke arah barat

pada waktu pasang dengan kecepatan rata-rata 25.8 cm/detik dan kecepatan

maksimum 54 cm/detik. Pasang surut (pasut) di sekitar perarian Selat Madura

mempunyai tipe campuran dominan ganda (mixed tide prevailing semidiurnal),

artinya dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi

dan periode pasut yang berbeda. Kedalaman perairan mulai dari depan area

komplek PLTU Paiton ke arah utara berkisar antara lima hingga 30 meter (Paiton

Energy/PE, 2008).

Sumber peta : Google Earth (Juli-2013)

Gambar 5 Lokasi pesisir Paiton di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur

19

Potensi Perikanan

Sebagai daerah pesisir, Kecamatan Paiton banyak memiliki jenis potensi

perikanan laut baik perikanan tangkap maupun budidaya. Jenis ikan hasil

tangkapan utama di Kecamatan Paiton terdiri dari Kembung, Beloso, Lemuru,

Tembang, Peperek, Selar, Layang, Bijinangka, Gulamah, dan Ekor Kuning

(DPPK Kab Probolinggo, 2007 dalam PE, 2008). Sementara itu, hasil tangkapan

nelayan di daerah Bhinor dan Banyuglugur yang terletak berbatasan dengan area

komplek PLTU Paiton di sebelah barat dan timur terdiri dari jenis Kakap, Belanak,

Kuniran, Kurisi, Kakak Tua, Kerapu, dan Bandeng (PE, 2008). Tingginya potensi

ini tentunya perlu didukung dengan kondisi perairan dan juga lingkungan bentik

perairan pesisir yang sehat sehingga dapat mendukung produktivitas perairan guna

menjaga populasi ikan dan biota laut lainnya.

Berdasarkan hasil pengamatan di daerah pesisir Paiton, dijumpai terdapat

beberapa usaha pembibitan udang, namun kondisinya saat ini tidak dalam kondisi

yang optimal dalam pengusahaannya. Hal ini dapat disebabkan sarana dan

prasarana yang belum memadai serta biaya operasional yang relatif tinggi. Namun

demikian, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No:

KEP.240/DJ-PB/2012 tentang Penetapan 87 Lokasi Sentra Produksi Perikanan

Budidaya Sebagai Kawasan Minapolitan Percontohan Tahun 2013, Kabupaten

Probolinggo ditetapkan sebagai salah satu dari kawasan minapolitan tersebut

dengan komoditas utama berupa udang serta Bandeng sebagai penunjang. Lokasi

pusat pengembangan percontohan budidaya udang berada di Kecamatan Paiton

dan didukung oleh lima kecamatan pesisir lain disekitar Paiton

(www.probolinggokab.go.id, Mei 2013). Melalui kebijakan tersebut diharapkan

potensi perikanan di Kabupaten Probolinggo khususnya di Kecamatan Paiton

dapat dimanfaatkan lebih optimal.

Komplek PLTU Paiton

PLTU Paiton merupakan komplek pembangkit listrik tenaga uap berbahan

bakar batu bara yang terdiri atas delapan unit pembangkit. Secara administratif,

lokasi PLTU Paiton terletak di Desa Bhinor, Kecamatan Paiton, Kabupaten

Probolinggo, Jawa Timur. Tabel 4 memberikan keterangan dari masing-masing

unit pembangkit yang ada di komplek PLTU Paiton.

Terkait dengan aktivitas operasional PLTU yang diperkirakan memberikan

pengaruh terhadap kondisi lingkungan bentik perairan pesisir, masing-masing

pengelola unit telah melakukan upaya antara lain :

- menggunakan batu bara yang berkadar sulfur rendah;

- pemakaian sistem flue gas desulphurization untuk mengurangi kadar sulfur

dari emisi cerobong;

- penggunaan tinggi cerobong yang memadai;

- pemakaian burner NOx rendah;

- penggunaan dan perawatan electrostatic precipitator untuk mengurangi

kadar abu dari emisi cerobong;

- pengelolaan abu batu bara berupa fly ash dan bottom ash melalui

penimbunan di ash disposal yang letaknya relatif jauh dari pantai/pesisir;

20

- penambahan kapasitas saluran pendingin dan perawatan saluran untuk

menanggulangi limbah bahang dari water cooling discharge;

- menghindari terjadinya ceceran batu bara ke laut dengan pemasangan pelat

pengarah ceceran batu bara kembali ke tongkang;

- mengarahkan dan menampung semua air limbah yang dihasilkan dari

proses operasional ke retention basin dan mengalirkannya ke instalasi

pengolah air limbah;

- mengarahkan dan menampung semua air limpasan dari sistem drainase di

lokasi stockpile ke coal pile run off pond dan mengalirkannya ke instalasi

pengolahan air limbah. Air tersebut dapat digunakan kembali untuk proses

penyiraman batu bara di stock pile untuk menjaga suhu batu bara agar tidak

terjadi kebakaran.

Tabel 4 Informasi unit pembangkit di area komplek PLTU Paiton

No. Nama

Pembangkit

Kapasitas

(MW)

Pemilik Operator Tahun

beroperasi

1. Unit 1 dan 2 2 X 400 PT Pembangkit Jawa

Bali (PJB) Unit

Pembangkitan Paiton

PT PJB UP

Paiton

1994

2. Unit 5 dan 6 2 X 600 PT YTL Power Jawa Power 1998

3 Unit 7 dan 8 2 X 600 PT Paiton Energy PT IPMOMI 1999

4 Unit 3 1 X 800 PT Paiton Energy PT IPMOMI 2012

5 Unit 9 1 X 600 PLN Persero PLN

(Persero)

Pembangkitan

Indramayu

Indra

2012

Sumber : PJB (2012)

Kualitas air laut

Berdasarkan data sekunder yang diperoleh berupa data rona lingkungan

awal dari dokumen ANDAL dan laporan pelaksanaan dan pemantauan lingkungan

hidup (RKL-RPL) yang dilaksanakan masing-masing pengelola unit pembangkit

pada area komplek PLTU Paiton dapat diketahui bahwa salinitas perairan tersebut

berkisar antara 33-34‰, sementara suhu perairan berkisar antara 28-29°C.

Gambaran mengenai kualitas perairan laut di wilayah pesisir Paiton yang

dirangkum dari beberapa data sekunder disajikan pada Tabel 5.

21

Tabel 5 Kualitas perairan laut pesisir Paiton periode 1996-2012

No. Sumber data dan

tahun

Parameter yang

tidak memenuhi

Baku Mutu

Lingkungan

Kode dan Lokasi Pengambilan Sampel

1. ANDAL PLTU

Paiton Unit 5&6.

1996

TSS,

Kekeruhan,

Nitrit, COD,

E.Coli, Fenol

Pb,Cd,Ni,Zn

1: Kampung Bhinor

2: KRO (perumahan operator)

3: Dermaga barang

4: Dermaga batubara

5: Kanal outlet 6: Sesudah proyek PLTU Paiton Unit 1&2

7: Kampung Banyuglugur

2. ANDAL

Pembangunan

PLTU 2 Jawa

Timur (Unit 9).

2006

Amonia, Nitrat,

Deterjen,

Minyak dan

Lemak, Cd, Cu,

Pb, Zn

AL1: Sebelah timur rencana dermaga

AL2 : Rencana dermaga

AL3: Sebelah barat rencana dermaga

3. ANDAL PLTU

Paiton Unit 3.

2008

-

(semua

parameter

mememuhi baku

mutu)

SW1: Mangrove Bhinor

SW2: Dermaga batubara

SW3: Inlet kanal

SW4: Outlet kanal

SW5: Sebelah tapak proyek

SW6: Banyuglugur

4. Lap RKL RPL

Unit 3.

(laporan triwulan

Periode Feb 2009 – Juni 2012)

-

(semua

parameter

mememuhi baku mutu)

SQ 1 : Perairan di sekitar suar

SQ 2: Perairan di jetty PLN

SQ 3: Perairan di sebelah timur jetty PLN

SQ 4: Perairan di utara supporting jetty SQ 5: Perairan disekitar inlet canal (cooling

water intake)

SQ 6: Perairan disekitar outlet canal (cooling

water discharge)

SQ 7: Perairan sebelah timur outlet canal

5.

Lap RKL RPL

Unit 7&8.

(laporan tri-

wulan Periode Feb 2009 – Sept

2012

-

(semua

parameter

mememuhi baku mutu)

St-1: Perairan di depan Mesjid Bhinor

St-2: Perairan di depan outlet stream PE

St-3: Perairan di belakang coal unloading jetty

PE St-4: Perairan disekitar supporting jetty

St-5 : Perairan didepan inlet canal

St-6: Perairan di depan coal unloading jetty

St-7: Perairan di depan PJB coal stockpile

St-8: Perairan di depan outlet canal

22

Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air pada Tabel 6 dapat dinilai

bahwa pada beberapa tahun terakhir umumnya kualitas air di pesisir Paiton masih

dalam status mutu yang baik meskipun pada beberapa periode pemantauan

terdeteksi adanya beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu yang

dipersyaratkan. Beberapa parameter yang terdeteksi tidak memenuhi baku mutu

merupakan parameter penciri polutan dari kegiatan domestik yakni ammonia,

nitrit, minyak dan lemak, deterjen, serta E. coli. Parameter logam terlarut yang

terukur melebihi baku mutu yang dipersyaratkan diperkirakan terjadi karena

pengaruh kandungan logam pada sedimen dan tanah di sekitar wilayah Paiton

yang pada kondisi alamiahnya mengandung beberapa parameter logam yang

cukup tinggi. Hal ini terkonfirmasi pada pembahasan mengenai kandungan logam

dalam sedimen pada bab selanjutnya.

23

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Sedimen Dasar Perairan

Pantai di daerah Paiton terdiri dari pasir dan lempung dengan diameter rata-

rata 150 mikron (PPGL, 1994; PT Ciriajasa, 1985 dalam PE, 2008). Analisis

ukuran butiran sedimen dilakukan terhadap tiga fraksi penyusun sedimen yakni

liat, debu, dan pasir. Klasifikasi butiran sedimen ditentukan berdasarkan

ukurannya yaitu, liat < 0.003905 mm, debu 0,003905-0,0625 mm, dan pasir

0.0625-2 mm. Histogram persentase ukuran butiran sedimen disajikan pada

Gambar 6, sementara gambaran (foto) mengenai visualisasi kondisi sedimen

disajikan pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis ukuran butiran sedimen

diketahui bahwa komposisi sedimen di lokasi penelitian didominasi oleh fraksi

pasir dan debu. Berdasarkan komposisi fraksi penyusunnya, tipe sedimen di lokasi

penelitian didominasi oleh jenis lempung, kecuali untuk stasiun 3 dan 13 memiliki

tipe sedimen lempung berpasir serta stasiun 9 memiliki tipe lempung berdebu.

Berdasarkan hasil uji indeks similaritas berdasarkan fraksi sedimen diketahui

bahwa lokasi penelitan mengelompok menjadi tiga kelompok besar. Kelompok 1

terdiri dari stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 7, 12, dan 13; kelompok 2 tediri dari stasiun 6, 8,

10, dan 11, sementara stasiun 9 merupakan satu kelompok tersendiri (Gambar 7).

Dominasi fraksi debu sebesar 77,64% merupakan penyebab stasiun 9 merupakan

satu kelompok tersendiri. Kondisi ini diperkirakan terjadi karena transport

sedimen akibat pola arus dan aktivitas di lokasi tersebut yang merupakan dermaga

bongkar muat kapal pengangkut batu bara. Hasil analisis laboratorium terhadap

tekstur sedimen disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 6 Histogram persentase fraksi sedimen pada setiap stasiun pengamatan

Keterangan tipe sedimen : L (Lempung); LP (Lempung berpasir); LD (Lempung berdebu)

24

St.9St.11St.10St.8St.6St.12St.7St.4St.3St.5St.2St.13St.1

49,89

66,60

83,30

100,00

Stasiun

Similarity

Complete Linkage; Correlation Coefficient Distance

Gambar 7 Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan ukuran butiran

sedimen

Terkait belum ditetapkannya baku mutu logam pada sedimen di Indonesia,

acuan yang digunakan untuk menilai kualitas sedimen pada penelitian ini

bersumber dari Canadian Sediment Quality Guidelines for The Protection of

Aquatic Life yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup Kanada/Canadian

Council of Ministers of the Environment (CCME) pada tahun 2002. Nilai batas

bawah merupakan Threshold Effect Level (TEL) yang merepresentasikan batas

konsentrasi logam yang menyebabkan efek biologis yang merugikan diperkirakan

jarang terjadi, sementara Probable Effect Level (PEL) merupakan batas atas

konsentrasi logam yang menyebabkan efek biologis yang merugikan dapat sering

terjadi. Hasil analisis logam berat dalam sedimen di lokasi penelitian disajikan

pada Tabel 6 dan Lampiran 3.

Tabel 6 Kandungan logam dalam sedimen di lokasi penelitian

Stasiun Hg As Se Mn Cu Cr Fe Pb Zn

(µg/kg) (mg/kg)

St.1 380,06 163,61 <0,20 345,86 63,41 310.08 7.177,50 8,55 90,04

St.2 66,08 346,88 272,07 605,94 58,2 310,94 7.384,89 14,75 102,25

St.3 27,95 1296,83 <0,20 492,27 48,85 278,57 6.840,30 17,17 111,62

St.4 74,74 1065,42 <0,20 261,00 35,42 142,06 5.639,45 7,46 52,39

St.5 125,73 3371,20 <0,20 2997,72 24,46 149,03 5.868,41 6,64 47,02

St.6 7.560,92 675,56 <0,20 398,96 78,8 381,01 7.203,27 5,98 91,36

St.7 615,20 1317,66 <0,20 394,13 67,62 247,3 6.964,84 5,8 90,22

St.8 390,83 1015,88 <0,20 380,67 64,5 307,69 7.071,01 5,92 133,73

St.9 289,84 918,41 <0,20 270,07 58,58 271,9 6.523,72 13,32 76,82

St.10 153,62 1082,43 <0,20 334,73 53,4 215,18 6.525,20 17,13 147,64

St.11 150,08 920,08 <0,20 356,87 58,78 234,73 6.841,60 5,73 52,86

St.12 1.860,74 1285,09 <0,20 199,96 60,58 193,03 6.378,93 5,94 55,04

St.13 496,55 681,36 <0,20 381,99 51,85 274,96 6.765,05 5,54 85,44

Acuan* 130-700

7240-

41600

- - 18,7 -

108

52,3-

160

- 30,2-

112

124-

271

Keterangan : *Nilai acuan berdasarkan CCME (2002)

25

Berdasarkan hasil analisis logam berat dalam sedimen di lokasi

penelitian diketahui bahwa beberapa parameter logam berat telah melebihi nilai

PEL, yakni kandungan merkuri (Hg) di stasiun 6 dan 12 serta logam Kromium

(Cr) pada seluruh stasiun. Tingginya kandungan logam Hg pada stasiun 6 dan 12

serta logam Se pada stasiun 2 diperkirakan terkait dengan dan ceceran batu bara

pada lokasi penelitian. Pada saat pengambilan sampel sedimen, ceceran batu bara

banyak ditemukan terakumulasi pada sedimen di beberapa lokasi pengamatan

yang diperkirakan terkena pengaruh dari aktivitas operasional PLTU Paiton.

Ahrens dan Morrisey (2005) menyatakan bahwa sekitar 60% konsumsi batu bara

digunakan untuk memproduksi panas (sebagai bahan bakar pemanas pada musim

dingin) dan energi, termasuk sekitar 39% dari pembangkit listrik di dunia.

Merujuk pada hasil penelitian Lee et al. (2006) yang menganalisis kandungan

merkuri pada batu bara jenis bitumen dari Indonesia yang digunakan sebagai

bahan bakar pada PLTU di Korea Utara, menunjukkan bahwa kandungan merkuri

yang terukur pada 5 sampel batu bara berdasarkan kondisi berat kering adalah

berkisar 42,67 hingga 78,0 mg/kg. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Nunes et al. (2008) menyatakan bahwa peningkatan kandungan merkuri di

sedimen akan berhubungan dengan komunitas makrobentos berupa penurunan

kelimpahan total dan keragaman yang rendah. Namun demikian, tingginya

kandungan logam Hg pada sedimen di stasiun 6 dan 12 belum tampak

pengaruhnya terhadap struktur komunitas makrozoobentos di daerah tersebut.

Sementara itu, tingginya kandungan logam Cr dan Besi (Fe) pada seluruh

stasiun pengamatan diperkirakan terkait dengan kondisi kimia tanah di daerah

Paiton. Berdasarkan hasil analisis rona awal lingkungan dari dokumen ANDAL

PT Jawa Power (JP,1996) diketahui bahwa tanah di daerah Paiton memiliki

kandungan beberapa logam berat yang cukup tinggi. Parameter logam berat yang

terdeteksi cukup tinggi kandungannya pada tanah di daerah Paiton adalah Cu (64

ppm), Pb (26 ppm), Zn (49 ppm), Fe (49.000 ppm), dan Mn (370 ppm). Sifat

permeabilitas tanah di daerah Paiton yang tinggi memungkinkan terjadinya

pencucian logam-logam tersebut dari dalam tanah ke badan perairan.

Struktur Komunitas Makrozoobentos

Analisis makrozoobentos terhadap hasil pengambilan data primer

menunjukkan pada lokasi sampling ditemukan secara total 77 jenis taksa dengan

kepadatan berkisar antara 250-1.453 ind/m2. Urutan kelas makrozoobentos yang

ditemukan berdasarkan rangking taksa adalah sebagai berikut Polychaeta (36

taksa), Crustaceae (23 taksa), Pelecypoda (empat taksa), Sipuncula (tiga taksa),

Nemertina (dua taksa), Echinodermata (dua taksa), Coelenterata (dua taksa),

Gastropoda (dua taksa), Brachiopoda (satu taksa), Cephalochordata (satu taksa),

Urochordata (satu taksa), dan Turbelaria (satu taksa). Hasil identifikasi dan

perhitungan terhadap struktur komunitas makrozoobentos di lokasi penelitian

disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 2.

Tingginya kelimpahan makrozoobentos dari kelas Polychaeta di daerah

penelitian selaras dengan hasil penelitian Dean (2008) yang menyatakan bahwa

Polychaeta umumnya merupakan kelas yang memiliki kepadatan tertinggi pada

komunitas bentik dibanding kelas lainnya dan sering digunakan sebagai indikator

26

kondisi lingkungan. Kondisi serupa juga dikemukakan oleh Murugesan et al.

(2011) yang mengkaji dampak pembangkit listrik tenaga uap di India terhadap

komunitas bentik yang mendapatkan hasil bahwa kelas Polychaeta berada pada

peringkat teratas makrozoobentos berdasarkan kepadatannya, kemudian diikuti

oleh Gastropoda, Crustacea, dan Bivalvia. Penelitian yang dilakukan oleh

Giangrande et al. (2005) dan Sivadas et al. (2010) menerangkan bahwa

makrozoobentos dari kelas Polychaeta sering ditemukan mendominasi komposisi

struktur komunitas dikarenakan kelompok bentos ini terdiri dari beragam taksa

serta memiliki pola makan dan strategi reproduksi yang beragam. Selain sebagai

indikator lingkungan, Polychaeta juga berperan penting pada rantai makanan

ekosistem bentik perairan laut (Musale dan Desai, 2010; Tomasetti dan Porello,

2005).

Berdasakan nilai indeks keseragaman pada setiap stasiun yang mendekati

nilai 1 mengindikasikan suatu komunitas yang relatif mantap. Nilai indeks

keseragaman yang mendekati 1 menunjukkan suatu komunitas yang berada

dalam kondisi relatif mantap pada faktor-faktor lingkungan (Krebs, 1989).

Kondisi kemantapan struktur komunitas makrozoobentos juga ditunjukkan dengan

nilai indeks dominansi yang relatif rendah (mendekati 0). Berdasarkan hasil

perhitungan indeks dominansi dapat dinyatakan bahwa pada seluruh stasiun

pengamatan tidak ada jenis yang secara ekstrim mendominasi jenis lainnya. Hasil

perhitungan uji similaritas berdasarkan kepadatan makrozoobentos menunjukkan

bahwa lokasi penelitian terbagi menjadi 6 kelompok (Gambar 8). Stasiun 1 dan 13

yang merupakan lokasi kontrol (diperkirakan tidak terpengaruh oleh aktivitas

operasional PLTU Paiton) membentuk kelompok tersendiri.

Tabel 7 Struktur komunitas makrozoobentos hasil pengambilan data primer

Stasiun Jumlah

Taksa

Kepadatan

(ind/m2)

Indeks

Keragaman

Indeks

Keseragaman

Indeks

Dominansi

1 22 823 3,70 0,83 0,11

2 29 1344 3,49 0,72 0,18

3 35 1453 3,92 0,76 0,12

4 18 227 3,68 0,88 0,11

5 33 439 4,54 0,90 0,06

6 27 305 4,38 0,92 0,06

7 23 284 4,17 0,92 0,07

8 22 272 4,17 0,94 0,07

9 21 254 3,86 0,88 0,10

10 29 481 4,33 0,89 0,07

11 23 279 4,23 0,94 0,06

12 13 250 3,09 0,84 0,16

13 22 279 3,88 0,87 0,10

27

Gambar 8 Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan

makrozoobentos

Status Kondisi Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton

Selain fungsi pada rantai makanan, bentos juga dapat berfungsi sebagai

indikator kualitas lingkungan perairan. Simboura dan Zenetos (2002) menyatakan

bahwa organisme indikator adalah jenis organisme yang digunakan berdasarkan

sensitivitas atau toleransinya terhadap berbagai polutan. Salas et al. (2006)

menyatakan bahwa indikator-indikator ekologis seringkali digunakan untuk

memberikan informasi ringkas mengenai kondisi suatu ekosistem. Keragaman

struktur dari suatu himpunan organisme berdasarkan lokasi dan waktu merupakan

respon dari kondisi fisik dan biotik lingkungan tempat tinggal organisme tersebut

(Gholizadeh et al. 2012). Berbagai istilah yang digunakan untuk

mengkualifikasikan spesies bentik dalam kaitannya dengan status komunitas

bentik dirangkum oleh Dauvin et al. (2010) sebagai berikut:

spesies sensitif, adalah spesies yang hanya dapat bertahan pada kisaran

kondisi lingkungan yang sempit dan seringkali menghilang pada area yang

tercemar dan zona yang mengalami perubahan lingkungan (seperti perubahan

habitat atau iklim);

spesies tolerant, merupakan spesies yang tidak sensitif terhadap tekanan

tertentu dan/atau pencemaran;

spesies oportunis, adalah spesies yang dapat secara cepat memanfaatkan

sumberdaya baru atau relung ekologi yang tersedia;

spesies penciri (characteristic), spesies yang terkait dengan struktur

biocenotic yang khusus seperti komunitas, kumpulan biotik, atau biocenosis;

spesies penjaga (sentinel), spesies tertetu yang dengan kehadirannya atau

kepadatan relatifnya memperingatkan akan kemungkinan ketidakseimbangan

pada lingkungan sekitar dan/atau perubahan dari fungsi komunitas;

spesies indikatif atau spesies indikator, adalah spesies yang menandakan

keberadaan faktor tertentu pada lingkungan, seperti faktor abiotik atau lebih

10125487611932131

49.17

66.12

83.06

100.00

Stasiun

Similarity

Dendrogram

28

sering disebabkan karena faktor abiotik. Terminologi spesies indikator lebih

sering digunakan pada jenis yang jumlahnya meningkat seiring dengan

peningkatan bahan organik;

spesies umum (indifferent), adalah spesies yang tidak mempunyai hubungan

yang nyata pada komunitas tertentu atau tidak menunjukkan respon terhadap

pencemaran.

Berdasarkan identifikasi jenis makrozoobentos hasil pengambilan data

primer kedalam grup ekologis (EG), diketahui bahwa makrozoobentos yang

ditemukan didominasi oleh jenis pada EG I dan EG II dengan persentase sebesar

31 dan 30% (Tabel 8). Namun demikian, terdapat 13 jenis makrozoobentos yang

tidak terdapat dalam daftar grup ekologis AMBI. Sebanyak 12 jenis

makrozoobentos yang tidak terdapat dalam daftar tersebut dimasukkan dalam

kategori no assigned (n.a) dan 1 jenis yang dihilangkan dari perhitungan (ignore).

Berdasarkan perhitungan AMBI, kondisi lingkungan bentik perairan pesisir Paiton

dikategorikan terganggu ringan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai AMBI pada

seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 1,3 hingga 2,7. Gambar

makrozoobentos yang telah dikelompokkan kedalam group ekologis-nya disajikan

pada Lampiran 6, sementara perhitungan AMBI dan M-AMBI disajikan pada

Lampiran 7.

Tabel 8 Komposisi grup ekologis makrozoobentos yang ditemukan

EG Jenis taksa Jumlah

taksa

%

I Terebellides sp., Pectinaria sp., Scoloplos sp., Maldane sp.,

Magelona sp., Samytha sp., Ammotryphane sp., Polygordius sp.,

Phascolion sp., Golfingia sp., Aspidosiphon sp., Ampelisca sp.,

Atylus sp., Oratosquilla sp., Ptilanthura sp., Ceradocus sp., Gnathia sp., Upogebia sp., Halcampa sp., Lingula sp.,

Branchiostoma sp., Tellina sp., Modiolus sp., Oliva sp.

24 31

II Glycera sp., Goniada sp., Nephtys sp., Eunice sp., Lumbrineris

sp., Syllis sp., Pareurythoe sp., Phyllodoce sp., Paralacydonia sp.,

Potamilla sp., Pholoe sp., Aglaophamus sp., Marphysa sp.,

Tubulanus sp., Alpheus sp., Paguridae (sp1), Orchomene sp.,

Eogammarus sp., Rhitropanupeus sp., Amphiura sp., Ophiuroidea (sp1), Turbelaria (sp1),

23 30

III Notomastus sp., Paraonis sp., Nereis sp., Spiophanes sp.,

Sternaspis sp., Cerebratulus sp., Dulichia sp., Callianassa sp.,

Heterotanais sp., Ascidiaceae (sp1)

10 13

IV Heteromastus sp., Pseudoeurythoe sp., Cirratulus sp., Sigambra sp., Polycirrus sp., Cossura sp., Corbula sp.

7 9

n.a Amphitrite sp., Prionospio sp., Ophelina sp., Aricidea sp.,

Parapasiphae sp., Euplax sp., Pinnotheres sp., Diasterope sp., Trachypeneus sp., Thalamita sp., Podopthalmus sp., Anadara sp.

12 16

ignore Megalopa of Brachyura (sp1) 1 1

Perhitungan lebih lanjut untuk mengetahui status ekologis perairan pesisir

Paiton menggunakan analisis multivariat M-AMBI menunjukkan kategori yang

lebih beragam apabila dibandingkan dengan kategori tingkat gangguan (Tabel 9).

29

Tingkat gangguan dari hasil perhitungan AMBI merupakan rasio antara spesies

oportunistik dan sensitif serta gangguan yang berhubungan dengan keadaan

tersebut. Penentuan kriteria status ekologis didasarkan pada kerangka arahan

pengelolaan air di Uni Eropa (The European Union - Water Framework Directive

/ WFD) yang dihasilkan dari proses interkalibrasi dari angka-angka yang

didapatkan dari hasil perhitungan menjadi sebuah kategori kualitatif yang terdiri

dari status ekologis yang tinggi hingga buruk. Status ekologis perairan pesisir

Paiton hasil perhitungan M-AMBI memiliki kategori ekosistem perairan pesisir

yang sedang hingga tinggi. Beragamnya kategori status ekologis lingkungan

perairan pesisir Paiton bila dibandingkan dengan kategori tingkat gangguan

dikarenakan pada perhitungan M-AMBI untuk menilai status ekologis turut

menggunakan indeks keragaman, indeks dominansi, dan nilai AMBI. Hal ini

memberikan bobot yang berbeda pada perhitungan M-AMBI, karena pada nilai

AMBI komponen yang digunakan dalam perhitungan lebih bersifat kualitatif

yakni dengan mengelompokkan organisme makrozoobentos yang ditemukan ke

dalam daftar kelompok ekologis. Hanya satu lokasi yang memiliki status ekologis

sedang (stasiun 12), sementara stasiun lainnya berkategori bagus atau tinggi.

Status ekologis yang berkategori sedang pada stasiun 12 dapat terkait dengan

kondisi daerah tersebut yang merupakan saluran pembuangan air pendingin yang

memiliki arus lebih kuat dibanding daerah lainnya sehingga dapat mengakibatkan

rendahnya kepadatan bentos di daerah tersebut.

.

Tabel 9 Tingkat gangguan dan status ekologis perairan pesisir Paiton

Stasiun AMBI Tingkat Gangguan M-AMBI Status

Ekologis

1 1,3 Terganggu ringan 0,7 Bagus

2 1,3 Terganggu ringan 0,7 Bagus

3 2,2 Terganggu ringan 0,7 Tinggi

4 1,8 Terganggu ringan 0,6 Bagus

5 2,0 Terganggu ringan 0,8 Tinggi

6 1,6 Terganggu ringan 0,8 Tinggi

7 1,7 Terganggu ringan 0,7 Bagus

8 1,7 Terganggu ringan 0,7 Bagus

9 1,7 Terganggu ringan 0,7 Bagus

10 1,9 Terganggu ringan 0,7 Tinggi

11 1,3 Terganggu ringan 0,7 Bagus

12 2,7 Terganggu ringan 0,5 Sedang

13 1,9 Terganggu ringan 0,7 Bagus

Analisis statistik digunakan untuk menilai perbandingan antara daerah

kontrol dan daerah yang terpengaruh kegiatan PLTU Paiton dengan menggunakan

uji-t. Data yang digunakan adalah data kepadatan makrozoobentos dari laporan

pelaksanaan rencana pengelolaan dan pemantuan lingkungan (RKL-RPL) PT

Paiton Energy (Unit 3 serta Unit 7-8) dari bulan Februari tahun 2009 hingga bulan

Mei 2012 ditambah data pengambilan sampel primer pada bulan April 2013

(Tabel 10 serta Lampiran 8 dan 9). Hasil perhitungan uji-t (Lampiran 10)

30

menunjukkan terdapat perbedaan nyata untuk perbandingan kepadatan antara

daerah kontrol dan terpengaruh, sementara hasil uji-t untuk jumlah taksa

memperlihatkan tidak ada perbedaan nyata antara daerah kontrol dan daerah yang

terkena pengaruh kegiatan operasi PLTU Paiton. Hal ini juga ditunjukkan dari

grafik perbandingan kepadatan makrozoobentos (Gambar 9) dan perbandingan

jumlah taksa (Gambar 10) selama periode Februari 2009 hingga Mei 2013.

Gambar 9 dan 10 memperlihatkan meskipun kondisi makrozoobentos pada lokasi

kontrol mengalami lonjakan kepadatan pada bulan Februari 2010 dan Februari

2011, namun jumlah taksa yang ditemukan pada periode yang sama relatif

seragam. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh kegiatan di area penelitian

lebih cenderung berdampak terhadap kepadatan bentos dibandingkan jenis taksa.

Biota yang mengalami lonjakan paling tinggi di area kontrol pada bulan Feb 2010

dan 2011 didominasi dari kelas Polychaeta yakni jenis Notomastus (EG III) dan

Prionospio (not assigned).

Tabel 10 Sumber data sekunder makrozoobentos Area Kode stasiun sampling Kode data sekunder

Kontrol

St.1 SW-1

St.5 BM-1 St.13 BM-7

Terpengaruh

St.3 SW-2 St.6 SW-3

St.7 BM-3

St.8 SW-4

St.9 BM-5 St.12 BM-6 Keterangan : Data dengan kode SW bersumber dari laporan pelaksanaan RKL RPL Unit 7&8

Data dengan kode BM bersumber dari laporan pelaksanaan RKL RPL Unit 3

Gambar 9 Perbandingan kepadatan makrozoobentos (ind/m2) pada area

kontrol dan area terpengaruh di wilayah kajian selama periode

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

Feb

-09

May

-09

Au

g-09

No

v-09

Feb

-10

May

-10

Au

g-10

No

v-10

Feb

-11

May

-11

Au

g-11

No

v-11

Feb

-12

May

-12

Au

g-12

No

v-12

Feb

-13

Area Kontrol Area Terpengaruh

31

tahun 2009-2013

Gambar 10 Perbandingan jumlah taksa makrozoobentos pada area

kontrol dan area terpengaruh di wilayah kajian selama periode

tahun 2009-2013

Analisis Isi Kebijakan

Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dipayungi secara

hukum mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri,

peraturan daerah, peraturan gubernur, hingga peraturan bupati atau walikota.

Implementasi dari pelaksanaan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan

lingkungan hidup pada tataran proyek atau unit kegiatan adalah diwajibkannya

suatu rencana usaha dan/atau kegiatan sebelum memulai kegiatannya untuk

memiliki izin lingkungan. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, Undang Undang

yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup adalah Undang Undang No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meskipun

kegiatan di area komplek PLTU Paiton telah dilaksanakan mulai awal tahun 1990

dan undang-undang yang mengatur tentang lingkungan hidup telah mengalami

beberapa pergantian, namun pada intinya mekanisme mengenai izin lingkungan

bagi suatu kegiatan yang akan dilaksanakan tetap sama. Izin lingkungan bagi

suatu kegiatan diperoleh dokumen berupa Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan (AMDAL) atau dokumen/formulir Upaya Pengelolaan Lingkungan

Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) mendapat

persetujuan dari pejabat yang berwenang dalam hal ini Menteri, Gubernur, atau

Bupati/Walikota. Kriteria mengenai penetapan apakah suatu kegiatan diwajibkan

memiliki dokumen AMDAL atau UKL-UPL pada intinya didasarkan pada sifat

dampak dan skala kegiatan. Sifat dampak yang dimaksud terdiri dari dampak

penting dan dampak tidak penting, yakni dikategorikan berdampak penting

terhadap lingkungan hidup apabila kegiatan tersebut menimbulkan perubahan

0

5

10

15

20

25

30 Fe

b-0

9

May

-09

Au

g-0

9

No

v-0

9

Feb

-10

May

-10

Au

g-10

No

v-1

0

Feb

-11

May

-11

Au

g-1

1

No

v-1

1

Feb

-12

May

-12

Au

g-1

2

No

v-1

2

Feb

-13

Area Kontrol Area Terpengaruh

32

yang sangat mendasar terhadap komponen lingkungan hidup seperti perubahan

bentang alam, eksploitasi sumberdaya alam, kegiatan yang mempunyai resiko

tinggi terhadap pertahanan negara, dan lain sebagainya. Suatu rencana usaha

dan/atau kegiatan yang akan menimbulkan dampak penting dan dilakukan dalam

skala yang besar, akan diwajibkan memiliki dokumen AMDAL sebelum kegiatan

tersebut dilaksanakan. Sementara itu, rencana usaha dan/atau kegiatan yang

diperkirakan menimbulkan dampak tidak penting dan dilakukan dalam skala yang

relatif kecil diwajibkan memiliki dokumen UKL UPL atau pada saat ini telah

terdapat instrumen baru berupa kewajiban memilki Surat Pernyataan

Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantuan Lingkungan Hidup (SPPL). Penapisan

atau pemilahan terkait pemenuhan kewajiban penyusunan dokumen lingkungan

hidup pada saat ini telah diatur melalui Peraturan Menteri sehingga arahan untuk

menentukan suatu kegiatan wajib memiliki AMDAL atau UKL UPL atau SPPL

akan lebih mudah meskipun ada peluang pada beberapa jenis rencana usaha/dan

atau kegiatan diperlukan penelaahan khusus yang dikarenakan jenis kegiatannya

belum diatur atau terdata pada peraturan tersebut.

Berdasarkan telaahan terhadap kebijakan lingkungan yang tercantum pada

dokumen RKL dan RPL tahap operasional dari masing-masing pengelola unit

pembangkit terkait dengan pengelolaan dan pemantauan yang berhubungan

dengan kelestarian lingkungan bentik perairan pesisir Paiton, hal yang perlu

ditingkatkan pengelolaannya adalah penanganan terhadap potensi ceceran batu

bara. Hal ini berdasarkan hasil pengamatan pada beberapa lokasi pengambilan

sampel sedimen dan makrozoobentos di wilayah kajian dijumpai adanya ceceran

batu bara pada sedimen dasar perairan dalam jumlah yang relatif banyak.

Pengaruh yang diperkirakan timbul akibat adanya ceceran batu bara tersebut

diperkirakan berhubungan dengan tingginya kandungan beberapa parameter

logam pada sedimen dasar perairan dan apabila terjadi secara terus menerus dalam

jangka waktu yang panjang dapat menimbulkan pengaruh negatif pada

makrozoobentos, baik pada tataran komunitas maupun individu. Gangguan pada

struktur komunitas makrozoobentos dapat berpengaruh lebih lanjut terhadap biota

lainnya sehubungan dengan piramida makanan atau trophic level pada ekosistem

perairan laut dikarenakan peran makrozoobentos yang berada di tingkat yang

rendah pada struktur piramida tersebut. Pencegahan ceceran batu bara ke laut

telah dirumuskan dalam dokumen RKL RPL melalui penggunaan pelat pengarah

ceceran batu bara agar kembali ke tongkang pada saat pembongkaran batu bara

dari kapal atau tongkang ke unit penerima batu bara di dermaga. Selain itu,

terdapat pengelola unit pembangkit yang menggunakan kapal berukuran besar

untuk mengangkut batu bara dari lokasi penghasil batu bara ke komplek PLTU

Paiton. Penggunaan kapal tersebut dinilai dapat lebih maksimal untuk mencegah

ceceran batu bara dibandingkan dengan menggunakan tongkang terbuka, baik

selama masa transportasi maupun pada saat dilakukannya aktivitas bongkar muat

di dermaga. Namun demikian, penggunaan kapal berukuran besar tersebut

tentunya memerlukan perhitungan lebih lanjut karena biaya operasional yang

dikeluarkan mungkin akan lebih besar dibandingkan dengan menggunakan

tongkang terbuka dan juga memerlukan struktur dermaga yang lebih kuat

dibandingkan dengan dermaga yang diperuntukkan untuk tempat bersandarnya

tongkang.

33

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kondisi lingkungan bentik perairan pesisir Paiton didominasi oleh sedimen

dengan fraksi pasir dan debu, selain itu pada beberapa lokasi juga ditemui ceceran

butiran batu bara pada sedimen. Kandungan parameter raksa dalam sedimen pada

area dermaga sebelah timur dan saluran pembuangan air pendingin telah melebihi

ambang batas nilai konsentrasi logam raksa yang dapat menyebabkan efek

biologis bagi organisme bentik. Berdasarkan perhitungan tingkat gangguan dan

status ekologis yang menunjukkan kondisi lingkungan yang terganggu ringan dan

status ekologis yang sedang hingga tinggi, dapat dinilai bahwa pada tataran

komunitas tidak ditemukan gangguan berarti pada struktur komunitas

makrozoobentos di perairan pesisir Paiton.

Saran

Sehubungan dengan terdeteksinya kandungan logam dalam sedimen yang

memiliki nilai cukup tinggi, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai

bioakumulasi logam pada struktur jaringan makrozoobentos di wilayah kajian.

Peningkatan pencegahan ceceran batu bara ke lingkungan bentik perairan di

pesisir Paiton oleh masing-masing pengelola unit pembangkit dapat dilakukan

dengan optimalisasi penggunaan pelat pencegah ceceran batu bara dan juga

pergantian tongkang terbuka menjadi kapal berukuran besar sebagai moda

transportasi batu bara. Selain itu, perlu dilakukan pemantauan kualitas sedimen

secara rutin yang dapat dijadikan bagian dari pemantauan lingkungan hidup yang

telah dilaksanakan oleh masing-masing pengelola unit pembangkit di area

komplek PLTU Paiton guna melengkapi informasi mengenai kondisi lingkungan

perairan khususnya yang terkait dengan lingkungan bentik.

34

DAFTAR PUSTAKA

Ahrens J, Morrisey DJ. 2005. Biological effects of unburnt coal in the marine

environment. Oceanogr.Mar.Biol.Ann. Rev. : 69-122.

[ANR] Alpha Natural Resources. 2012. Alpha Coal Handbook : a reference guide

for coal, ironmaking, electricity generation, and emissions control

technologies. Bristol, Virginia. 141 p

Bale AJ, Kenny AJ. 2005. Sediment Analysis and Seabed Characterisation. In :

Eleftheriou A. Dan McIntyre, A. M (Editor), Methods for the study of

marine benthos (third edition). Blackwell Science Ltd. London p.43-86.

Borja A, Dauer D, Diaz R, Llansó RJ, Muxika I, Rodriguez JG, Schaffner L. 2007.

Assessing estuarine benthic quality conditions in Chesapeake Bay: a

comparison of three indices. Ecological Indicators (2007), doi:10.1016/j.ecolind.2007.05.003

Borja A, Franco J, Pe´rez V. 2000. A marine biotic index to establish the

ecological quality of soft-bottom benthos within European estuarine and

coastal environments. Marine Pollution Bulletin. 40, 1100–1114.

Brower JE, JH Zar, CNV Ende. 1990. Field and Laboratory Methods For General

Ecology. Wm. C. Brown Publisher. Dubuque. 273 p.

[CCME] Canadian Council of Ministers of the Environment. 2002. Canadian

sediment quality guidelines for the protection of aquatic life: Summary

Table. Updated. In : Canadian environmental quality guidelines,1999,

Canadian Council of Ministers of the Environment. Winnipeg.

Craig GY, NS Jones. 1966. Marine benthos, Substrate and Palaeoecology.

Palaeontology 9(1):30-38.

Dauvin JC, Bellan G, Santini BD. 2010. Benthic indicators: from subjectivity to

objectivity—where is the line? Marine Pollution Bulletin, Vol. 60, No. 7,

2010, pp. 947-953.

Dean HK. 2008. The use of polychaetes (Annelida) as indicator species of marine

pollution: a review. Revista de Biologia Tropical, vol. 56, supplement 4,

pp. 11–38

[EPA] U.S. Environmental Protection Agency. 2001. Methods for Collection,

Storage and Manipulation of Sediments for Chemical and Toxicological

Analyses: Technical Manual. EPA 823-B-01-002. U.S. Environmental

Protection Agency, Office of Water, Washington, DC.

Frontier S. 1985. Diversity and Structure in Aquatic Ecosystem. Vol 23 pp 253-

312. In : Margaret Barnes (Editor), Oceanography and Marine Biology

Annual Review. Aberdeen University Press. Aberdeen.

35

Gholizadeh M, Khairun Y, Anita T, Omar A. 2012. Effects of environmental

factors on polychaete assemblage in Penang National Park, Malaysia.

World Academy of Science, Engineering and Technology. 72 2012

Giangrande A, Licciano M, Musco L. 2005. Polychaetes as environmental

indicators revisited. Marine Pollution Bulletin. 50:1153–1162

Gray JS, Elliot M. 2009. Ecology of Marine Sediment. From Science to

Management. Second Edition. Oxford University Press. Oxford. 260pp

Håkanson L, Bryhn AC. 2008. Tools and Criteria for Sustainable Coastal

Ecosystem Management. Examples from the Baltic Sea and Other Aquatic

Systems. Springer, Berlin, 292 p

[JP] PT Jawa Power. 1996. Analisis Dampak Lingkungan Proyek PLTU Paiton

Swasta Tahap II Jawa Timur.

Kingston PF. 2001. Benthic organism overview. In: Steele JH (Editor),

Encyclopedia of ocean sciences: Marine biology. Academic Press. London.

632

[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2005. Laporan Pendahuuluan Studi

Kajian Baku Mutu Sedimen Dasar Laut. Jakarta

Krebs C.J. 1989. Ecologycal methodology. Wm. C. Brown Publisher. Dubuque.

620 p.

Lee SJ, Seo YC, Jang HN, Park KS, Baek JI, An HS, Song KC. 2006. Speciation

and mass distribution of mercury in a bituminous coal-fired power plant.

Atmos. Environ. 40: 2215–2224

Murugesan P, M Muniasamy, S. Muthuvelu, S. Vijayalakshmi and T.

Balasubramanian. 2011. Utility of benthic diversity in assessing the health

of an ecosystem. Indian J. Geo. Mar. Sci., 40(6):783-793

Musale AS, Desai DV. 2010. Distribution and abundance of macrobenthic

polychaetes along the south Indian coast. Environmental Monitoring and

Assessment. Volume 178, Numbers 1-4 423-436.

Muxika I, Borja A, Bald J, 2007. Using historical data, expert judgement and

multivariate analysis in assessing reference conditions and benthic

ecological status, according to the EuropeanWater Framework Directive.

Marine Pollution Bulletin. 55, 16–29.

Nunes M, Coelho JP., Cardoso PG, Pereira ME, Duarte AC, Pardal MA. 2008.

The macrobenthic community along a mercury contamination gradient in a

temperate estuarine system (Ria de Aveiro, Portugal). Science of the Total

Environment 405, 186–194.

Odum EP. 1971. Fundamental of ecology 3rd Ed. W. B. Saunders Company.

Philadelphia. 574 p.

36

[PE] PT Paiton Energy. 2008. Analisis Dampak Lingkungan Hidup Proyek PLTU

Paiton Swasta Unit-3 (1 X 815) MW Jawa Timur.

[PJB] PT Pembangkitan Jawa Bali. 2007. Analisis Dampak Lingkungan

(ANDAL) Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 Jawa

Timur Kapasitas 1 X 600-700 MW di Kabupaten Probolinggo. Surabaya.

[PJB] PT Pembangkitan Jawa Bali. 2012. Laporan Pelaksanaan Rencana

Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan

(RPL) Periode Triwulan II (April-Juni) Tahun 2012. Probolinggo.

Salas F, Marcos C, Neto JM, Patrício J. 2006. User-friendly guide for using

benthic ecological indicators in coastal and marine quality assessment.

Ocean and Coastal Management 49: 308-331.

Simboura N, Zenetos A. 2002. Benthic indicators to use in Ecological Quality

classification of Mediterranean soft bottom marine ecosystem, including a

new Biotic Index. Mediterranean Marine Science Vol 3/2002. 77-111.

Sivadas S, Ingole BS, Nanajkar M. 2010. Benthic polychaetes as good indicators

of anthropogenic impact. Indian Journal of Marine Science 39(2): 201-211

Speight, JG. 2005. Handbook of Coal Analysis. John Wiley & Sons, Inc.

Hoboken, New Jersey.

[TJB] PT PLN (Persero) Pembangkitan Tanjung Jati B. 2009. Buletin Tanjung

Jati. Edisi perdana triwulan I Januari 2009. Jepara, Jawa Tengah. 24 hal

Tomassetti P, Porrello S. 2005. Polychaetes as indicators of marine fish farm

organic enrichment. Aquacult Int 13: 109−128

Van der Graaf, J. de Vlas , M Herlyn, J Voss, K Heyer, J Drent. 2009. Wadden

sea ecosystem quality status report: Makrozoobenthos. Trilateral

Monitoring and Assessment Group. Wadden Sea Secretariat. 28 p.

[WCI] World Coal Institute. 2005. Sumber Daya Batu Bara. Tinjauan Lengkap

Mengenai Batu Bara. Puttney, London.

37

Lampiran 1 Foto lokasi sampling beserta kondisi sedimen sebelum dan sesudah

penyaringan

Stasiun 1 (Perairan Bhinor, stasiun kontrol bagian barat)

Stasiun 2 (Area labuh PEC)

Stasiun 3 (Saluran outlet unit 9)

Stasiun 4 (Dermaga bongkar-muat PEC)

38

Stasiun 5 (Mercusuar, stasiun kontrol bagian utara)

Stasiun 6 (Dermaga PLN)

Stasiun 7 (Dermaga PLN sisi timur)

Stasiun 8 (Inlet air pendingin)

39

Stasiun 9 (Dermaga JP)

Stasiun 10 (Dermaga JP sisi timur)

Stasiun 11 (Perairan di depan stockpile batu bara)

Stasiun 12 (Outlet air pendingin)

40

Stasiun 13 (Perairan Banyuglugur, stasiun kontrol bagian timur)

41

Lampiran 2 Hasil identifikasi makrozoobentos

42

43

44

45

46

47

Lampiran 3 Hasil analisis logam dalam sedimen

48

49

50

Lampiran 4 Hasil analisis tekstur sedimen

51

Lampiran 5 Acuan kandungan logam dalam sedimen

52

53

Lampiran 6 Foto makrozoobenthos (berdasarkan urutan ecological group)

Ecological Group I

Ampelisca sp. Aspidosiphon sp. Atylus sp.

Branchiostoma sp. Gnathia sp. Golfingia sp.

Halcampa sp. Lingula sp. Magelona sp.

Maldane sp (2) Maldane sp. Modiolus sp.

54

Oliva sp.

(belakang) Oliva sp. (depan) Oratosquilla sp.

Pectinaria sp. (1). Pectinaria sp. (2) Pectinaria sp. (3)

Pectinaria sp. (4) Phascolion sp. Polygordius sp.

Ptilanthura sp. Samytha sp. Scoloplos sp.

55

Tellina sp. Terebellides sp. Upogebia sp.

Ecological Group II

Aglaophamus sp. Alpheus sp. Amphiura sp.

(lengkap)

Amphiura sp. Eunice sp (2) Eunice sp (3)

Eunice sp. Glycera sp. Goniada sp.

Lumbrineis sp. (2) Lumbrineis sp. Marphysa sp.

56

Nephtys sp. Paguridae (sp1) Paralacydona sp.

Pareurythoe sp. Pholoe sp. (1) Pholoe sp (2)

Phyllodoce sp Potamilla sp. Rhitropanupeus sp.

Syllis sp. Tubulanus sp. Turbelaria (sp1)

Ecological Group III

Ascidiaceae sp. Callianassa sp. Cerebratulus sp.

57

Dulichia sp. Nereis sp. Notomastus sp.

Paranois sp. Spiophanes sp. Sternapsis sp.

Ecological Group IV

Cirratulus sp. Corbula sp. Cossura sp.

Heteromastus sp. Polycirrus sp. Pseudoeurythoe sp.

Sigambra sp.

58

Not Assigned

Amphithrite sp. Aricidae sp. Diasterope sp.

Euplax sp. Ophelina sp. Parapasiphae sp.

Pinnotheres sp. Podopthalmus sp. Prionospio sp

Thalamita sp. Trachypeneus sp. Anadara sp.

Ignore

Megalopa of Brachyura (sp1)

59

Lampiran 7. Hasil perhitungan AMBI dan M-AMBI

AMBI

Stations Ecological Group Mean

AMBI BI from Mean AMBI

Disturbance Clasification

Richness Diversity Not assigned (%)

I (%) II (%) III (%) IV (%) V (%)

St 1 38 42 14.9 4.6 0 1.284 2 Slightly disturbed 21 3.66 16.9

St 2 51 17 27.5 4.4 0 1.281 2 Slightly disturbed 29 3.49 46.4

St 3 23 25 34.8 17.6 0 2.205 2 Slightly disturbed 35 3.92 37.8

St 4 20 60 0 19.8 0 1.798 2 Slightly disturbed 18 3.68 42.3

St 5 27 34 18.4 21 0 2.007 2 Slightly disturbed 33 4.54 14.4

St 6 35 34 22 8.7 0 1.568 2 Slightly disturbed 27 4.38 21

St 7 31 36 21.7 11.1 0 1.69 2 Slightly disturbed 23 4.17 33.5

St 8 20 47 30.7 2.6 0 1.742 2 Slightly disturbed 22 4.17 29.4

St 9 11 64 22.1 2.6 0 1.745 2 Slightly disturbed 21 3.86 25.2

St 10 32 31 16.7 20.6 0 1.889 2 Slightly disturbed 28 4.29 13.2

St 11 38 38 21.6 2.3 0 1.318 2 Slightly disturbed 23 4.23 20.4

St 12 8.8 40 13.3 37.9 0 2.706 2 Slightly disturbed 13 3.09 4

St 13 14 54 25.3 6.3 0 1.856 2 Slightly disturbed 22 3.88 9.3

60

M-AMBI

Stations AMBI Diversity Richness X Y Z M-AMBI Status

St 1 1.284 3.66 21 -0.27119 0.07768 0.015631 0.67794 Good

St 2 1.281 3.49 29 -0.51669 -0.58508 0.1606 0.72733 Good

St 3 2.205 3.92 35 -0.38006 -1.0169 0.34091 0.74654 High

St 4 1.798 3.68 18 0.19431 0.51342 -0.17766 0.62630 Good

St 5 2.007 4.54 33 -0.77487 -1.1641 0.64249 0.78398 High

St 6 1.568 4.38 27 -0.73137 -0.68871 0.48856 0.75399 High

St 7 1.69 4.17 23 -0.36267 -0.19128 0.23919 0.70274 Good

St 8 1.742 4.17 22 -0.28504 -0.08237 0.19854 0.69212 Good

St 9 1.745 3.86 21 -0.0685 0.14335 0.012005 0.66395 Good

St 10 1.889 4.29 28 -0.50509 -0.63652 0.39869 0.73669 High

St 11 1.318 4.23 23 -0.64925 -0.33919 0.35427 0.72863 Good

St 12 2.706 3.09 13 1.3515 1.5238 -0.8273 0.49611 Moderate

St 13 1.856 3.88 22 -0.04629 0.079402 0.025669 0.66628 Good

Reference Value

Bad 6 0 0 5.8599 5.1242 -3.5171 -8.66E-17 Bad

High 0 5.22 40 -2.8146 -2.7577 1.6455 1 High

61

Lampiran 8. Data sekunder kepadatan makrozoobenthos (ind/m2) periode Februari 2009- May 2012

Area Terpengaruh

Area Kontrol

Periode St.3 St.6 St.7 St.8 St.9 St.12 Rata-Rata St.1 St.5 St.13 Rata-Rata

Feb-09 1.394 1.008 861 1.013 1.037 1.485 1.133 3.108 982 1.042 1.711

May-09 149 3.612 635 575 309 436 953 1.807 537 396 1.129

Aug-09 505 344 373 120 60 59 244 743 90 120 410

Feb-10 399 438 731 407 250 1768 666 6244 1315 1502 2.566

May-10 70 20 919 30 20 10 178 119 130 20 584

Aug-10 209 781 388 209 150 10 291 248 10 1078 93

Feb-11 537 632 910 278 378 891 604 11.100 755 2792 4.077

Feb-12 112 48 115 15 79 5 62 191 57 95 125

May-12 94 185 117 32 105 85 103 137 91 73 108

Apr-13 1453 305 284 272 254 250 470 823 439 279 514 Keterangan : Data bulan April 2013 merupakan data primer

62

Lampiran 9. Data sekunder jumlah taksa makrozoobenthos periode Februari 2009- May 2012

Area Terpengaruh Area Kontrol St.3 St.6 St.7 St.8 St.9 St.12 Rata-Rata St.1 St.5 St.13 Rata-Rata

Feb-09 16 15 16 20 18 22 18 21 20 20 20 May-09 11 30 23 24 20 17 21 25 22 17 21 Aug-09 12 15 13 6 4 2 9 19 6 7 11 Feb-10 23 26 24 22 18 15 21 29 32 24 28

May-10 5 2 31 2 2 1 7 7 11 2 7 Feb-11 28 22 36 12 18 24 23 33 26 23 27 Aug-11 9 4 9 6 6 0 6 10 12 7 10 Feb-12 9 4 11 3 9 1 6 11 7 8 9

May-12 10 12 13 4 12 7 10 9 3 8 7 Apr-13 35 27 23 22 21 13 24 22 33 22 26

Keterangan : Data bulan April 2013 merupakan data primer

63

Lampiran 10. Hasil uji-t

Uji-t kepadatan makrozoobentos

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Kontrol Impact

Mean 1210,766667 470,3333333

Variance 5132699,495 346512,6667

Observations 30 60

Pooled Variance 1923778,781 Hypothesized Mean Difference 0 df 88 t Stat 2,387390133 P(T<=t) one-tail 0,009554406 t Critical one-tail 1,66235403

P(T<=t) two-tail 0,019108812 t Critical two-tail 1,987289823

Uji-t jumlah taksa makrozoobenthos

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

kontrol Impact

Mean 16,53333333 14,41666667

Variance 87,29195402 85,80649718

Observations 30 60

Pooled Variance 86,29602273 Hypothesized Mean Difference 0 df 88 t Stat 1,018995059 P(T<=t) one-tail 0,155499315 t Critical one-tail 1,66235403

P(T<=t) two-tail 0,310998631 t Critical two-tail 1,987289823

P > 0.05 (tidak berbeda nyata)

P< 0.05 (berbeda nyata)

64

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1984 di Jakarta dan

merupakan anak ke-4 dari empat bersaudara pasangan Muhammad Amin dan

Ratna Dewi. Selepas menempuh pendidikan di SMUN 4 Jakarta pada tahun 2002,

penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada Departemen Manajemen

Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian

Bogor (MSP-FPIK, IPB) hingga tahun 2007. Pada tahun 2009, penulis

melanjutkan studi pada Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Penulis mulai bekerja dari tahun 2007 sebagai asisten pengajar bagian

Produktivitas dan Lingkungan Perairan (ProLing) Departemen MSP FPIK IPB

pada mata kuliah Limnologi, Kualitas Air, Pencemaran Perairan, dan Pengolahan

Air Limbah. Selain sebagai asisten pengajar, penulis juga bekerja sebagai staf

dokumen yang terkait dengan SNI ISO/IEC17025 (persyaratan umum untuk

kompetensi laboratorium pengujian dan laboratorium kalibrasi) pada

Laboratorium ProLing MSP FPIK IPB. Penulis juga berkecimpung pada berbagai

kegiatan penyusunan dokumen lingkungan hidup (AMDAL dan UKL-UPL) serta

penelitian mengenai kualitas air, perikanan, dan kelautan pada beberapa lembaga

penelitian dan konsultan.