Upload
others
View
51
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN NASKAH TAMBO ADAT SUKU NAN TIGO DI DESA
LUBUK BERNAI KABUPATEN TANJUG JABUNG BARAT
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Stara Satu (S1) Dalam Sejarah
Peradaban Islam Pada
Fakultas Adab dan Humaniora
Oleh
M HAVIS
AS150494
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
iv
MOTTO
ينَ لِ جَاهِ نِ الْ َعْرِضْ عَ أ عُرْفِ وَ رْ بِالْ مُ أْ وَ وَ فْ عَ خُذِ الْ
Artinya :
“Jadilah Engkau Pema’af dan Suruhlah Orang Mengerjakan Yang Ma’ruf, Serta
Berpalinglah Dari Pada Orang-Orang Yang Bodoh” (Qs. Al- A’raf: 199).1
1 Nanang Solihin, Al-Qur’anku dengan metode tajwid akronim, (Jakarta: Lautan Lestari,
2010), hlm. 176.
v
PERSEMBAHAN
حِيمِ رَحْمنِ الرَّ ِ الَّ بسِْمِ اللّه
Karya ilmiah ini penulis persembahkan untuk:
Bapak, Ibrahim Noor Ahmad
Bapak yang selalu mengajarkanku kesederhanaan, perihatin, sabar, selalu tetap
optimis, dan percaya diri. Terima kasih telah membesarkanku dan membimbingku
dengan penuh pengorbanan, kasih sayang, perhatian, serta doa yang begitu besar
dan tulus demi keberhasilanku.
Ibu, RTS. Nurlia
Kaulah pelitaku, sosok yang penuh kesabaran bagaikan telaga bening, tempat
menampung segala keluh kesah. Jiwa kokoh bagai karang yang berulang kali
diterjang pongahnya kehidupan.
vi
KATA PENGANTAR
حِيمِ رَحْمنِ الرَّ ِ الَّ بسِْمِ اللّه
Assalamualaikum Wr Wb
Alhamdulillah, puji dan syukur tak henti-hentinya penulis ucapkan
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan anugrah kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
Shalawat dan salam penulis hadiahkan kepada junjungan alam, yakni
Rasulullah Muhammad SAW, karena berkat perjuangan beliau kita terbebas dari
alam kegelapan dan dapat merasakan manisnya ilmu pengetahuan seperti yang
dirasakan saat sekarang ini.
Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengaturkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Yth. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
2. Yth. Bapak Prof. Dr. H. Sua’idi Asyari, MA., Ph.D, Yth. Bapak Dr. H.
Hidayat, M.Pd, Yth. Ibu Dr. Hj. Fadhilah.M.Pd selaku Wakil Rektor I, II, dan
III UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Maisah, M.Pd.I selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Yth. Bapak Dr. Alfian,S.Pd., M.Ed , Yth. Bapak Dr. H. Muhammad Fadhil,
M.Ag, Yth. Ibu Dr. Roudhoh, S.Ag, SS., M.Pd.I selaku Wakil Dekan I, II, dan
III Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
vii
5. Yth. Bapak Aliyas, S.Th.I., M.Fil.I selaku ketua Jurusan Sejarah Peradaban
Islam UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
6. Yth. Bapak Dr. Ali Muzakir, M.Ag dan Yth. Bapak Agus Fiadi, S.IP, M.Si ,
selaku Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah membantu dan
memberi kritikan maupun saran serta nasehat dalam penyusunan skripsi ini.
7. Yth. Ibu Mailinar, SS.Sos Selaku Dosen Pembimbing Akademik.
8. Yth. Seluruh Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi yang telah mengajar dan memberikan ilmu pengetahuan
kepada penulis.
9. Yth. Kepala Perpustakaan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi beserta stafnya
serta Kepala Perpustakaan Wilayah Jambi
10. Yth. Seluruh kepala desa dan ketua adat desa Lubuk Bernai Kabupaten
Tanjung Jabung Barat. Yang telah membantu dalam penelitian ini.
11. Keluarga tercinta yang telah memberikan motivasi dan dorongan serta do’a
yang tiada hentinya agar dapat segera menyelesaikan skripsi ini.
12. Sahabat-sahabati SPI’15 yang sama-sama berjuang di Fakultas Adab dan
Humaniora UIN STS Jambi. Khususnya lokal SPI/B yang telah menjadi
partner diskusi yang baik bagi penulis.
13. Teman-teman Mahad Al-Jamiah yang sama-sama berjuang dibangku kuliah
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang telah memberikan Motivasi dan
Nasehat selama berada dibangku kuliah.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini, semoga Allah
vii
ix
ABSTRAK
M Havis. 2019. Kajian Naskah Tambo Hukum Adat Suku Nan Tigo Di Desa
Lubuk Bernai Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jurusan Sejarah Peradaban
Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifudin Jambi. Pembimbing I : Dr. Ali Muzakir M.Ag dan Pembimbing II : Agus
Fiadi, S.IP, M.Si.
Penelitian ini membahas tentang naskah tambo hukum adat suku nan tigo di desa
Lubuk Bernai Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Naskah ini berisi tentang hukum
adat atau aturan yang ada di desa tersebut. Adapun tujuan penelitian adalah ingin
mencari tahu apa hal-hal yang melatar belakangi naskah tambo hukum adat suku
nan tigo dan ingin mengetahui apa saja isi dari naskah tersebut, juga mencari tahu
fungsi dan peranan naskah bagi desa tersebut. Penelitian ini merupakan kajian
lapangan yang menggunakan metode Filologi dengan pendekatan tehnik
wawancara kepada seluruh informan yang berkaitan dengan penelitian tersebut.
Dan tambahan kepustakaan berupa buku, jurnal. Hasil penelitian ini adalah isi dari
naskah ini merupkan aturan-aturan yang harus ditaati oleh masnyarakat dan aturan
terhadap seorang pemimpin dalam menjalankan kewajiban di daerah tersebut,
naskah ini ditulis pada masa kepala desa pertama desa Lubuk Bernai atau dahulu
disebut riyo yang namanya tertulis di naskah tambo hukum adat suku nan tigo
yaitu datuk suroh pada tahun 1656 dengan kulit kerbau yang ditulis dengan aksara
Arab (Jawi) dengan mengunakan bahasa melayu, kemudian naskah ini hilang pada
masa kepala desa datuk Jatim pada tahun 1949. Dan kemudian disalinan kembali
pada kertas milimeter pada tahun 1954 pada masa kepala desa datuk Suhur.
Kata Kunci : Naskah, Hukum Adat, Filologi.
x
DAFTAR ISI
NOTA DINAS .......................................................................................................... I
PENGESAHAN ........................................................................................................ II
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................... III
MOTTO .................................................................................................................... IV
PERSEMBAHAN ..................................................................................................... V
KATA PENGANTAR .............................................................................................. VI
ABSTRAK ................................................................................................................ IX
DAFTAR ISI ............................................................................................................. X
DAFTAR TABEL..................................................................................................... XIII
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat penelitian ........................................................... 8
D. Batasan Masalah ................................................................................. 8
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 8
F. Kerangka Teori ................................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 19
G. Jadwal Penelitian ................................................................................ 20
BAB II METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian ............................................................................... 22
B. Tehnik Pengumpulan Data ................................................................. 22
C. Langkah Kerja Filoogi ........................................................................ 22
1. Iventarisasi Naskah ...................................................................... 22
2. Deskripsi Naskah ......................................................................... 23
3. Transeliterasi Naskah ................................................................... 24
xi
4. Penyuntingan Teks ....................................................................... 25
D. Lingkup Penelitin............................................................................... 26
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis ................................................................................ 27
B. Sejarah Desa ..................................................................................... 28
C. Keadaan Penduduk ........................................................................... 32
D. Keadaan Sosial Ekonomi, Agama dan Pendidikan .......................... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Naskah tambo hukum adat suku nan tigo di desa Lubuk Bernai
Kabupaten Tanjung Jabung Barat ...................................................... 38
1. Deskripsi Naskah ......................................................................... 38
2. Tranliterasi Naskah ...................................................................... 39
3. Suntingan Teks ............................................................................. 45
B. Latar Belakang Penulisan Naskah Tambo Hukum Adat Suku Nan
Tigo Di Desa Lubuk Bernai Kabupaten Tanjung Jabung Barat ......... 49
C. Isi dan Makna yang Terkandung Dalam Naskah Tambo Hukum
Adat Suku Nan Tigo ........................................................................... 50
D. Fungsi dan Peranan Naskah Terhadap Kehidupan Masnyarakat
Desa Lubuk Bernai ............................................................................. 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 57
B. Rekomendasi ...................................................................................... 59
C. Kata Penutup ...................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 61
INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA .............................................................. 62
CURRICULUM VITAE ............................................................................................ 64
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jadwal Penelitian ................................................................................ 21
Tabel 3,1 Jumlah Penduduk ...................................................................................... 34
Tabel 3.2 Jumlah Pekerjaan ...................................................................................... 35
Tabel 3.3 Sarana pekerjaan ....................................................................................... 36
Tabel 4.1 Pedoman Tranliterasi Arab Latin .............................................................. 40
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya hukum adat pada hakekatnya sudah ada pada zaman kuno,
zaman pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat merupakan adat
melayu Polinesia, lambat laun datang di kepulauan kita di kultur Hindu,
kemudian kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi
kultur-kultur asli tersebut.
Pengaruh hukum tersebut sangat besar sehingga akhirnya kultur yang asli
yang sejak lama menguasai tata kehidupan Indonesia itu terdesak. Kenyataan
yang ada, hukum adat yang timbul dan berkembang dimasyarakat merupakan
hasil akulturasi antar peraturan-peraturan adat istiadat zaman pra-Hindu
dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, Islam dan
Kristen.1
Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang didalam
masyarakat disuatu daerah. Walaupun sebagian besar hukum adat tidak
tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat. Ada
sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum adat. Hukum
adat yang hidup dalam masyarakat ini, bagi masyarakat yang masih kental
budaya aslinya akan sangat terasa.
Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering
diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi
sebuah perkara dan dia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia
harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam
masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal hukum adat. Hukum
adat dapat dikatakan sebagai hukum perdatanya masyarakat Indonesia.
Dari kebanyakan hukum adat di Nusantara, Sering kali kita temui bahwa
hukum adat itu kebanyakan hanya dituturkan secara lisan dan dikatakan hanya
dengan mulut saja. Namun dengan perkembangan zaman, hukum adat itu
sudah ada yang ditulis, sudah ada yang ditulis dalam bentuk teks, tujuanya
1 Dominikus Rato, Hukum Adat Kontemporer, (Surabaya : Laks Bang Justitia, 2015) Hal: 24.
2
adalah agar suatu hukum adat itu tidak hilang begitu saja, karena sudah
banyak dari hukum adat itu banyak yang sudah terlupakan. Kebanyakan dari
hukum adat itu disalin ke dalam kertas atau kulit-kulit binatang-binatang.
Hukum adat di tulis dalam bentuk naskah.
Namun hukum adat berbentuk naskah itu sangat jarang ditemukan, hanya
beberapa daerah yang menyalinnya dalam bentuk naskah. Kebanyakan dari
daerah-daerah hanya menerapkan hukum adat dengan secara perkataan saja,
dan hanya orang-orang tertentu yang mengetahui tentang aturan hukum adat
tersebut.
Berbicara tentang naskah, naskah menyimpan banyak informasi tentang
kehidupan suatu masyarakat bangsa pada masa lampau. Berbagai aspek
kehidupan pada masa lampau, seperti aspek politik, ekonomi, kesehatan,
sosial, dan budaya bangsa, termasuk di dalamnya antara lain unsur-unsur
sejarah, bahasa, sastra, diantaranya seperti hukum yang berkenaan dengan
hukum adat istiadat yang berlaku bagi masnyarakat. Beberapa kandungan
naskah tersebut memperlihatkan kesinambungan dengan eksperesi kehidupan
pada masa kini.2
Khazanah peninggalan masa lalu berupa naskah merupakan bagian
penting dalam kajian suatu peradaban atau kebudayaan, tak terkecuali kajian
keislaman. Ribuan naskah yang dihasilkan oleh suatu kebudayaan sangat
disayangkan jika tidak digali lebih lanjut sebagai sumber kajian dalam
mempelajari kebudayaan yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan naskah
mengandung berbagai unsur yang sangat menarik untuk diselidiki, misalnya,
isi, kebahasaan, kesastraan dan keadaan sosial budaya bangsa pada waktu dan
tempat naskah itu diciptakan. Robson mengemukakan titik tolak pandangan
yang penting dalam menghadapi naskah, yaitu: naskah lama sebagai hasil
karya sastra merupakan hasil suatu kebudayaan pada saat tertentu, maka fakta-
fakta yang diambil dari karya itu harus diterangkan dalam hubungan
2 Dedi Supriadi, 2011, Tradisi Pembacaan Naskah Nyi Sri Pohaci Didesa Racakalong
Kabupaten Sumedang Jawa Barat (Jakarta: Jurnal Manassa, Vol. 1, No 2), Hal: 1-2.
3
pengetahuan kita dengan masnyarakat pada waktu itu dan tempat ia
diciptakan.3
Naskah atau manuskrip merupakan salah satu sumber primer yang paling
otentik, yang dapat mendekatkan jarak antara masa lalu dan masa kini. Naskah
juga merupakan sumber yang sangat menjanjikan bagi suatu penelitian,
tentunya bagi mereka yang tahu cara membaca dan menafsirkannya. Naskah
bisa disebut juga sebuah “ jalan pintas “ istimewa (privileged shotcut access),
untuk mengetahui khazanah intelektual dan sejarah sosial, kehidupan
masyarakat di masa lalu.4
Pentingnya naskah sebagai warisan budaya yang rentan rusak dengan
kondisi yang kurang diperhatikan secara khusus serta tidak sedikit naskah-
naskah yang disimpan di Negara Belanda. Maka sebaiknya dilakukan
penyelamatan terhadap naskah. Salah satu penyelamatan terhadap naskah
yakni dengan melakukan penelitian naskah. Penelitian naskah pada mulanya
dikaji dalam filologi sebelum diteliti dalam cakupan berbagai bidang ilmu
lainnya.5
Naskah kuno sebagai dokumen produk masyarakat sejak ratusan tahun
lalu menyimpan ragam informasi dan kearifan lokal yang menggambarkan
sejarah kebhinekaan Indonesia, ada lebih dari 20 bahasa daerah yang
digunakan.6 Naskah biasanya ditulis dalam berbagai aksara dan bahasa,
seperti huruf Arab (Jawi) untuk teks bahasa Melayu, Minang dan Ambon,
Huruf Buri Wolio (Huruf Arab) untuk teks bahasa Wolio, Huruf Pegon (Huruf
Arab) untuk teks bahasa Jawa, Madura dan Sunda, Serta banyak lagi aksara
dan bahasa lainnya. Secara umum isi naskah di Indonesia dapat dibagi
beberapa katagori. Katagori naskah ini seperti teks keagamaan, teks bernuansa
3 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Penelitian Bahasa Dan Sastra Dalam Naskah
Cerita Sri Tanjung Di Banyuwangi, (Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa,1997),
Hal: 6. 4 Oman Faturahman, Filologi dan Islam Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang, 2010), Hal: 3-4. 5 Sri Wulan Rujianti Mulyadi, Kodikologi Melayu Di Indonesia ( Depok: FS_UI, 1994), Hal: 6-
9. 6 Dinar Puspita Dewi, Preservasi Naskah Kuno, ( Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014),
Hal: 1.
4
sejarah, bahasa, sastra, etika, undang undang, hukum adat, foklor, legenda,
seni, teknologi, permainan dan lain sebagainya.7
Naskah mempunyai manfaat dan peranan yang bersifat universal. Artinya,
isi naskah dapat dinikmati atau dimanfaatkan oleh siapapun, dari berbagai
kalangan maupun berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, naskah
perlu dilestarikan dan dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu, salah satu studi
keilmuan yang mengarahkan pandangannya ke sana, adalah penelitian filologi.
Penelitian filologi ini merupakan ilmu penelitian yang objek kajiannya
berupa naskah-naskah lama, yang berfokus pada dua hal yakni Naskah dan
Teks. Dijelaskannya juga bahwa objek penelitian filologi adalah naskah
tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan
sebagai hasil budaya masa lampau. Filologi dalam arti luas adalah ilmu yang
mempelajari segala segi kehidupan masa lampau, yang tertuang dalam tulisan.
Di dalam tulisan mencakup bahasa, sastra, adat istiadat, hukum dan lain-lain
sebagainya.8
Penggarapan naskah melalui filologi merupakan salah satu upaya
penyelamatan warisan nenek moyang yang berbentuk tulisan, yaitu naskah.
Penggarapan naskah juga merupakan salah satu upaya untuk
menyelamatkannya dari kerusakan. Apabila naskah telah hancur karena
umurnya yang sudah tua, akan kesulitan dalam melacak ajaran nenek moyang
melalui naskah tersebut. Jika dilacak melalui informan untuk mengetahui
secara langsung ajaran-ajaran yang disampaikan dalam bentuk tertulis,
kemungkinan sulit untuk mendapatkan informan itu.
Pada kenyataannya penanganan naskah tidak seperti yang diharapkan.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam penanganan naskah di antaranya
adalah jenis huruf yang digunakan dalam naskah sudah tidak dikenal oleh
kebanyakan masnyarakat sekarang, karena tulisan dan bahasanya sudah tidak
dipakai sehari-hari pada saat ini. Oleh karena itu, harus ada yang
7 Titik Pudjiastuti, Naskah Dan Identitas Budaya (Bogor: Akademia, 2006), Hal: 10. 8 Achdiati Ikram, Filologi Nusantara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), Hal: 1.
5
mengenalkannya dalam bahasa sekarang. Agar generasi sekarang maupun
generasi mendatang dapat mengetahui dan memahami segala aspek
kebudayaan terdahulu.
Pemikiran-pemikiran masyarakat masa lampau yang tertulis di dalam
naskah tidak sepenuhnya dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat
masa kini, hal itu dikarenakan naskah-naskah kuno masih menggunakan
aksara dan bahasa daerah. Masih digunakannya aksara dan bahasa daerah pada
naskah-naskah kuno itu berdampak pada minat masyarakat masa kini untuk
membaca dan mempelajarinya. Jika minat masyarakat masa kini terhadap
naskah kuno semakin menurun, maka warisan kebudayaan ini akan musnah
seiring berjalannya waktu.
Teks naskah yang akan dijadikan objek penelitian ini adalah naskah
hukum adat (Tambo) desa Lubuk Bernai yang diberi nama “Tambo Hukum
Adat Suku Nan Tigo”. Naskah ini terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung
Barat, Desa Lubuk Bernai. Naskah ini ditulis mengunakan aksara Arab dan
berbahasa Melayu. Naskah ini sangat penting untuk diteliti, karena naskah ini
berkaitan dengan hukum adat yang berlaku sampai sekarang di desa Lubuk
Bernai. Naskah tambo hukum adat suku nan tigo merupakan awal dalam
membuka wawasan untuk mengetahui peranan fungsi naskah, terlebih lagi
naskah ini berkaitan dengan hukum adat yang masih berlaku pada saat
sekarang.
Naskah yang ada di daerah ini dipegang oleh seorang ketua adat desa
Lubuk Bernai. Dan menurut informasi dari ketua adat setempat, naskah ini
bukan saja sebagai hukum adat di desa Lubuk Bernai saja, tapi menurut tambo
Tungkal Ulu dijelaskan bahwa wilayah Tungkal Ulu dibagi dalam tiga area
atau disebut “suku nan tigo”. Tiga suku yang dimaksud adalah anak-anaknya
yang mendiami tiga wilayah masin-masing, Lubuk Kambing, Lubuk Benai
(Tanjung Gentting), dan Rantau Benar. Jadi dapat dipastikan hukum adat yang
berlaku di desa Lubuk Bernai sama dengan dua suku di atas. Naskah ini berisi
tentang hukum atau aturan yang harus ditaati oleh masnyarakat setempat dan
6
tidak boleh diingkari meskipun kepala desa setempat.9 Naskah umumnya
mengunakan aksara ataupun bahasa yang sedikit tidak dipahami oleh orang
banyak termasuk warga setempat yang buta huruf yang susah untuk
membacanya, dan memahaminya. Oleh karna itu, perlu dilakukan kajian
filologi terhadap naskah, agar dapat berguna apabila naskah ini rusak atau
hilang. Maka naskah yang berisi tentang hukum adat wilayah tersebut, sangat
penting untuk dilakukan kajian guna mengetahui isi atau makna dan
mengetahui hukum adat yang disebutkan dalam naskah ini. Dalam mengkaji
naskah ini peneliti akan melakukan penelitian dengan mengkaji naskah dengan
metode penelitian filologi.
Dalam penelitian ini, diawali dengan pendeskripsian fisik naskah dan
akan difokuskan untuk memahami latar belakang naskah berupa hal-hal yang
berkaitan dengan naskah seperti asal usul naskah, serta peranan naskah dalam
menentukan hukum adat, atau kegunaan naskah dalam keadaan masa sekarang
ini. Penelitian mengenai naskah ini dilakukan sebagai membuka Suber
Informasi bagi masnyarakat. Di samping itu peneliti juga bertujuan untuk
membantu mempertahankan naskah tersebut. Berdasarkan latar belakang di
atas, maka penulis mengangkat skripsi yang berjudul “Kajian Naskah Tambo
Adat Suku Nan Tigo di desa Lubuk Bernai Kabupaten Tanjug Jabung Barat“
B. Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang di atas, agar tidak terjadi kesalahan dalam
penulisan skripsi nantinya, maka penulis membatasi permasalahan dengan
rumusan masalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang melatar belakangi penulisan naskah tambo adat suku nan tigo
Desa Lubuk Bernai Kabupaten Tanjung Jabung Barat ?
2. Apa isi yang terdapat dalam naskah tambo adat suku nan tigo Desa Lubuk
Bernai Kabupaten Tanjung Jabung Barat ?
3. Apa fungsi dan peranan naskah terhadap kehidupan masnyarakat di desa
Lubuk Bernai ?
9 Hasil Wawancara Ketua Adat Lubuk Bernai, Bapak Ali Hasan ( Rabu,17 Januari 2018 ).
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian tersebut, yaitu :
1. Agar kita mengetahui latar belakang isi naskah tambo adat suku nan tigo
desa Lubuk Bernai Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
2. Agar kita bias memahami apa saja isi yang terdapat dalam naskah tambo
adat suku nan tigo desa Lubuk Bernai Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
3. Agar mengetahui fungsi dan peranan naskah terhadap kehidupan
masnyarakat di desa Lubuk Bernai.
Adapun manfaat penelitian ini, yaitu :
1. Manfaat Lembaga
Sumbangan terhadap civitas akademika. Penelitian ini diharapkan
dapat dimanfaatkan sebagai percontohan hasil studi mahasiswa
terutama bagi Jurusan Sejarah Peradaban Islam pada Fakultas Adab dan
Humaniora Universitas Islam Negeri Sultan Thata Saifuddin Jambi
sehingga dapat memberi ide untuk melaksanakan kegiatan serupa
dalam pelaksanaan aktivitas perkuliahan atau hal lain sesuai dengan
tujuan lain.
2. Keilmuan
a. Digunakan untuk penulisan Skripsi sebagai salah satu syarat guna
menempuh mata kuliah Tugas Akhir atau Skripsi yang diprogramkan
pada semester VIII.
b. Digunakan untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman.
D. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini difokuskan pada kajian filologi
mengenai kajian filologi naskah tambo adat suku nan tigo desa Lubuk Bernai
Kabupaten Tanjung Tabung Barat.
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan judul penelitin di atas peneliti menemukan beberapa
penelitian atau karya ilmiah yang terkait dengan judul penelitian, yang dapat
dijadikan sumber panduan atau bandingan untuk penelitian ini.
8
Penelitian pertama, oleh R. Aris Hidayat tahun 2010 di Jurnal Analisa
volume XVII, No.01, Balai Litbang Agama Semarang. Isi penelitian ini
menceritakan tentang hasil penelitian terhadap naskah keagamaan klasik
tentang tasawuf menggunakan pendekatan filologi. Naskah yang digunakana
adalah naskah tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah, berbahasa Jawa dengan
aksara Arab pegon. Penelitian ini lebih mengedepankan makna ritual Tarekat
Qodiriyah yang terkandung dalam naskah.
Penelitian kedua, penelitian karya eka purwanti yang berjudul “manuskrip
sifat dua puluh sebuah kajian naskah di desa lubuk resam kecamatan
cerminan gedang kabupaten sarolangun”, penelitian ini berisi tentang
mengetahui apa itu naskah sifat dua puluh, dalam penelitian ini metode
penelitiannya yaitu metode filologi.
Penelitian yang ketiga, yang dijadikan sumber acuan penelitian ini adalah
penelitian karya indriana fajalaras yang diberi nama Piagam perbatasan
(tambo) batin tunggal desa lubuk resam: piagam cerminan gedang, muaro
limun, lubuk resam, di dalam penelitian ini peneliti mengunakan metode
penelitian filologi, di dalam penelitian ini di jelaskan tentang apa saja
perbatasan desa Lubuk resam dan keterkaitan antara tiga piagam tersebut.
Penelitian keempat, Piagam muara mandras, more malay documents from
highland jambi, merupakan suatu kajian filologi yang berisi tentang
perbatasan wilayah yang terdiri dari beberapa manuskrip, dalam penelitian ini
sama yang akan di teliti oleh penulis, karna dalam kajian filologi di atas
melakukan pendeskripsian naskah, memahami makna naskah dan sebagainya.
F. Kerangka Teori
Dalam sebuah penelitian, untuk memecahkan sebuah masalah yang
diteliti dibutuhkan seperangkat teori untuk menguraikan persoalan dengan
tepat. Pengertian teori menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah asas-
asas dan hukum yang menjadi dasar dalam suatu kesenian dan ilmu
pengetahuan. Teori merupakan alat terpenting dari suatu ilmu pengetahuan,
tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja. Oleh karena
9
itu penulis akan menguraikan teori yang digunakan untuk menganalisis data
sebagai jalan keluar dalam penelitian ini:
1. Filologi
Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang
berarti cinta dan logos yang berarti kata. Dengan demikian, kata filologi
membentuk arti “cinta kata” Arti itu kemudian berkembang menjadi senang
belajar dan senang kesustraan atau senang kebudayaan. Sebagai istilah,
filologi merupakan suatu disiplin ilmu yang ditujukan pada studi teks yang
tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau. Menurut Djamaris filologi
merupakan suatu ilmu yang objek penelitiannya berupa manuskrip-manuskrip
kuno. Dari pengertian tersebut, penelitian dengan pendekatan filologi bertugas
mencari kandungan naskah yang disimpan di dalam teks-teks naskah lama.
Di Inggris dan beberapa negara Eropa dan Amerika menyebutnya
pengertian filologi dengan filologi komparatif yang berada di bawah rumpun
linguistik. Sementara di Jerman, dengan kata philologie lebih mengacu pada
kajian mengenai teks-teks sastra, khususnya teks-teks sastra Yunani-Romawi
kuno dan kajian kebudayaan dan peradaban melalui dokumen-dokumen sastra.
Pengertian sangat spesifik mengenai filologi diungkapkan oleh Edwar
Djamaris. Menurutnya filologi adalah ilmu yang meneliti naskah-naskah lama.
Naskah, tambahnya adalah semua bahan tulisan tangan nenek moyang yang
terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan. Asumsi ini didasarkan pada
tulisan tangan yang tersimpan dalam media-media tersebut rentan dengan
kerusakan. Apalagi jika berusia ratusan tahun, tentu banyak tanda baca yang
hilang seperti titik dan huruf. Dengan begitu dibutuhkanlah suatu cara untuk
merekontruksi tulisan tersebut.
Pemfokusan pada naskah yang diutarakan Edwar ini selaras dengan
pernyataan filolog angkatan pertama dari Alexandria, Erastothenes (3 SM)
Hanya saja pemfokusannya dikhususkan pada teks. Menurutnya, filologi
merupakan ilmu yang mengkaji teks (kandungan) dari sebuah naskah. Maksud
teks ini berbeda dengan maksud Baroroh dkk. Bagi Erastothenes teks adalah
10
mengetahui maksud pengarang dengan jalan menyisihkan kesalahan-
kesalahan dalam naskah. Seperti diketahui pada masa itu teks berada dalam
beberapa naskah yang masing-masing mempunyai bacaan yang berbeda,
bahkan ada pula yang sudah korup (rusak). Jadi, objek kajian filologi menurut
Erastothenes adalah teks, namun begitu untuk mengetahui kandungan teks itu
diharuskan meneliti telebih dahulu naskahnaskah yang mewadahinya.10
Filologi memandang perbedaan yang ada dalam berbagai naskah sebagai
suatu ciptaan dan menitikberatkan kerjanya pada perbedaan-perbedaan itu
serta memandangnya justru sebagai alternatif yang positif. Dalam hal ini,
suatu naskah dipandang sebagai satu penciptaan baru yang mencerminkan
perhatian yang aktif dari pembacanya. Selain itu, naskah juga dipandang
sebagai dokumen budaya serta refleksi dari zamannya. Filologi dalam aspek
kerja demikian disebut filologi modern.11 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa filologi merupakan suatu studi tentang naskah yang berisi
teks-teks pada masa lampau dengan tujuan menggali kandungannya dari segi
budaya nenek moyang masa lampau.
Mulyani menyebutkan bahwa sikap pandang gejala variasi dalam teks-
teks yang tersimpan dalam naskah lama, muncul aliran filologi sebagai
berikut:
a. Filologi aliran tradisional memandang variasi sebagai bentuk korup,
sehingga tujuan kerjanya adalah menemukan bentuk mula teks atau yang
paling dekat dengan teks mula.
b. Filologi aliran modern memandang variasi sebagai bentuk kreasi untuk
memahami teks, menafsirkannya, membetulkannya, mengaitkan dengan
ilmu bahasa, sastra, agama, dan tata politik yang ada pada zamannya.
Selain itu, penelitian dengan pendekatan filologi bertugas meneliti varian
suatu naskah hingga menjadi naskah terbaca, sehingga didapatkan naskah
10 Khabib Muhammad Luthfi, 2016,Kontekstualisasi Filologi Dalam Teks-teks Islam
Nusantara, (Jawa Tengah, Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 14, No 1), Hal: 114-128. 11 Baried, Siti Baroroh, Pengantar Teori Filolologi, (Jakarta, pusat pembinaan dan
pengembangan bahasa departermen pendidikan dan kebudayaan, 1985), Hal: 3.
11
yang bersih dari korup. Untuk itu, penelitian ini diarahkan pada penelitian
filologi modern, yaitu bukan hanya menyajikan teks menjadi terbaca, tetapi
juga bertujuan mengungkap nilai yang terkandung di dalam naskah.
Siti baroroh dkk membagi tujuan kajian filologi ke dalam dua bagian,
yaitu tujuan umum dan khusus.
a. Tujuan umum
1) Mengungkapkan produk masa lampau melalui peninggalan tulisan.
2) Mengungkapkan fungsi tulisan pada masnyarakat penerimanya.
3) Mengungkapkan nilai-nilai budaya masa lampau.
b. Tujuan khusus
1) Mengungkapkan bentuk mula teks yang tersimpan dalam peninggalan
tulisan masa lampau.
2) Mengungkapkan sejarah perkembangan teks.
3) Menyajikan teks dalam bentuk yang terbaca oleh masnyarakat masa
kini, yaitu dalam bentuk suntingan.12
Jadi dapat disimpulkan bahwa filologi merupakan suatu disiplin yang
mempelajari perkembangan kebudayaan suatu bangsa yang meliputi berbagai
aspek kehidupan masa lampau. Perkembangan tersebut dipelajari melalui hasil
budaya masa lampau berupa teks yang tersimpan dalam naskah peninggalan
tulisan masa lampau. Studi teks itu didasari adanya informasi tentang hasil
budaya manusia pada masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Oleh karena
itu, filologi bertujuan untuk mengungkapkan hasil budaya masa lampau yang
tersimpan dalam peninggalan tulisan yang berisi buah pikiran, perasaan,
kepercayaan, adat istiadat, dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat
pada masa lampau.
2. Objek Penelitian Filologi
Setiap kajian ilmu mempunyai objek penelitian. Kajian ilmu filologi juga
mempunyai objek sebagai sasaran untuk penelitiannya. Objek dari penelitian
12 Baried, Siti Baroroh, Pengantar Teori Filolologi , Hal: 5-6.
12
filologi berupa naskah dan teks. Filologi mempelajari kebudayaan masa
lampau melalui teks-teks tertulis yang terdapat dalam naskah.
Peninggalan suatu kebudayaan yang berupa naskah merupakan dokumen
bangsa yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama, karena
memiliki kelebihan yaitu dapat memberi informasi yang lebih luas. Adapun
objek penelitian filologi adalah sebagai berikut:
a. Naskah/Manuskrip
Kata manuscript di ambil dari ungkapan latin codicesmanu scripti,
artinya buku-buku yang di tulis dengan tangan. Kata manu berasal dari kata
manus, yang artinya tangan sedangkan scriptusx berasal dari kata scriber
yang artinya menulis.
Kata naskah berasal dari berasal dari bahasa Arab (al-nuskhah) yang
berarti tulisan tangan. Dalam kata latin disebut “manusript”, atau disebut
juga ‘kodeks’ Kodeks sendiri mempuyai arti “Esp of ancient texts” atau
dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi gulungan atau buku
tulisan tangan. Dalam bahasa belanda istilah naskah disebut handschrift.13
Naskah dalam kajian filologi merupakan bentuk konkret suatu tulisan yang
dapat dilihat dan dipegang. Sedangkan Dalam KBBI tahun 1997 Naskah
adalah (1) karangan yang masih ditulis dengan tangan; (2) karangan
seseorang yang belum diterbitkan; (3) bahan bahan berita yang siap untuk
diset; dan (4) rancangan.14
Perlu diketahui bahwa pengertian bahan tulisan bukan semua benda
yang dapat menerima teks tetapi mempunyai makna benda-benda tertentu,
artinya tidak semua benda kuno yang terdapat tulisan bisa dikatakan naskah.
Hal demikian terjadi karena para ahli memisahkan benda-benda tertentu dari
kategori naskah seperti batu. Batu yang memiliki tulisan disebut piagam,
batu bersurat, atau inkripsi. Ilmu dalam bidang tulisan dalam batu disebut
epigrafi dan epigrafi merupakan bagian dari cabang ilmu arkeologi.15
13 Edwar Jamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Manasco, 2002), Hal: 6. 14 Oman Fathurahman, Filologi Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group,2015), Hal: 21. 15 Supriadi, Aplikasi Metode Penelitian Filologi, (Bandung: PustakaRahmat, 2011), Hal:4.
13
Naskah kuno adalah benda budaya yang merekam informasi dan
pengetahuan masyarakat lampau yang diturunkan secara turun-temurun dari
dulu hingga sekarang. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-
macam bentuknya dan tersebar di seluruh Indonesia, ditulis dengan berbagai
bahasa dan aksara. Bahasa yang dipergunakan terkadang identik dengan
tempat naskah ditulis, seperti bahasa Sunda di wilayah Jawa, bahasa Melayu
di sekitar wilayah Sumatera dan Kalimantan, dan bahasa lainnya yang
disesuaikan dengan bahasa di wilayah masyarakatnya.
Di Indonesia, bahan naskah kuno terbuat dari berbagai bahan seperti
lontar (daun siwalan), dan dawulang yaitu kertas jawa yang terbuat dari daun
teh. Setelah datang kertas Eropa, mulailah digunakan kertas tersebut karena
kualitasnya lebih baik. Satu hal yang hampir dapat dipastikan adalah bahwa
lebih banyak naskah salinan yag sampai kepada kita daripada naskah asli
yang ditulis asli yang ditulis langsung oleh pengarangnya (autograph).
Berkaitan dengan hal usia naskah, terdapat klasifikasi yaitu naskah
kuno dan naskah kontemporer. Menurut Undang-undang nomor 43 tahun
2007 tentang perpustakaan pasal 1 point a menyebutkan: Naskah kuno
adalah sebua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak
dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri atau di luar negeri yang
berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan yang mempunyai nilai penting
bagi kebudayaan nasional, sejarah dan ilmu pengetahuan.16 Sementara
naskah kontemporer yaitu naskah yang usianya belum mencapai 50 tahun.
Filologi naskah banyak berhubungan dengan pengetahuan mengenai
kehidupan naskah, mengenai berbagai segi penyaksian dengan tulisan
tangan. Dalam praktek, dapat terjadi dua atau tiga bentuk tradisi bercampur.
Misalnya, cerita rakyat yang setelah beberapa lama hidup dalam tradisi lisan,
lalu ditulis dalam naskah, kemudian mengalami penyalinan-penyalinan dan
selanjutnya dicetak. Keadaan lain dapat terjadi, misalnya teks lisan
16 Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan
Pasal 1 Point A.
14
kemudian dipindahkan dalam bentuk naskah, dan dari bentuk naskah hidup
lagi dalam bentuk lisan.
Naskah-naskah di Nusantara mengemban isi yang sangat kaya.
Kekayaan itu dapat ditunjukkan oleh aneka ragam aspek kehidupan yang
dikemukakan, misalnya masalah sosial, politik, ekonomi, agama,
kebudayaan, bahasa, dan sastra. Apabila dilihat sifat pengungkapannya,
dapat dikatakan bahwa kebanyakan isinya mengacu kepada sifat-sifat
histories, didaktis, religius, dan belletri. Naskah yang menjadi sasaran kerja
filologi dipandang sebagai hasil budaya yang berupa `cipta sastra. Naskah
itu dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam naskah
itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan. Pesan yang
terbaca dalam teks secara fungsional berhubungan erat dengan filsafat hidup
dan dengan bentuk kesenian yang lain. Dilihat dari kandungan maknanya.
Sebagai peninggalan lama, masalah waktu penciptaan naskah tidak dapat
diketahui secara pasti karena dalam fisik naskah tidak dijumpai data
waktu.17
b. Teks
Teks dapat diartikan sebagai kandungan atau muatan naskah. Jika
naskah merupakan bentuk konkret suatu tulisan, maka teks adalah sesuatu
yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja. Menurut Mulyani teks
adalah rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu atau
kandungan naskah yang memberi informasi mengenai kebudayaan suatu
bangsa pada masa lampau yang disajikan dalam bentuk lisan atau tertulis.
Teks adalah kata-kata atau tulisan asli pengarang atau naskah asli yang
ditulis oleh pengarang. Teks ini biasanya di tulis oleh pengarangnya dengan
tulisan tangan lembar demi lembar hingga siap untuk dibaca. Setiap
pengarang biasanya hanya membuat sebuah teks untuk kemudian
disebarluaskan atau disosialisikan. Setelah selesai membuat karangan,
bisanya energi seorang pengarang difokuskan untuk karya berikutnya.
17 Baried, Siti Baroroh, Pengantar Teori Filolologi , Hal: 55.
15
Ketika teks tersebut telah sampai di masyarakat muncullah kegiatan
lain, yaitu pembacaan teks yang dilakuan oleh masyarakat. Peristiwa
pembacaan tersebut mendorong munculnya peristiwa lain, yaitu keinginan-
keinginan untuk menggandakan atau menyalin teks tersebut dengan berbagai
macam alasan.
Adapun alasan untuk menggandakan teks tersebut adalah sebagai
berikut :
1) ingin memiliki sendiri teks tersebut.
2) kekhawatiran terjadi sesuatu dengan teks atau naskah asli, misalnya
hilang,terbakar, ketumpahan benda cari dan lain sebagainya.
3) Tujuan magis, yaitu dengan menyalin naskah tertentu orang akan
merasa mendapat kekuatan magis dari teks yang disalin itu.
4) Naskah dianggap penting untuk disalin karena tujuan politik agama,
pendidikan, dan sebagainya.
Proses penggandaan atau penyalinan teks (naskah asli) disebut juga
sebagai penurunan atau tradisi teks. Penurunan teks tidak hanya terjadi pada
teks atau naskah asli tetapi juga terjadi pada naskah turunan pertama, kedua,
ketiga dan seterusnya. Pada proses ini, berbagai kemungkinan bisa saja
terjadi. Kemungkinan yang paling sering terjadi adalah naskah turunan
mengalami perubahan baik yang berupa kesalahan penyalinan atau bahkan
sengaja diubah oleh penyalin karena berbagai alasan. Bentuk kesalahan
penyalinan atau perubahan setidaknya ada dua pola, yaitu bentuk perubahan
karena ketidaksengajaan dan bentuk perubahan karena adanya kesengajaan.
Bentuk bentuk perubahan karena ketidaksengajaan antara lain ialah adanya
beberapa bagian yang ditanggalkan (lakuna), huruf yang hilang (haplografi),
penyalinan maju dari perkataan keperkataan yang sama suatu kata, suatu
bagian kalimat, beberapa baris, atau satu bait terlampui, atau sebaliknya
ditulis dua kali (ditografi), atau ada tambahan
(interpolasi). Bentuk perubahan karena adanya kesengajaan biasanya karena
adanya beberapa tujuan seperti politik, ideologi, budaya, dan sebagainya.
16
Secara teoretis, semakin tinggi frekuensi penyalinan atau penurunan
naskah semakin tinggi pula intensitas perubahannya. Teks atau naskah asli
mungkin diturunkan lebih dari satu kali. Artinya, kemungkinan
perubahannyapun lebih dari satu kali. Di samping itu, naskah turunan
tersebut juga berkemungkinan untuk diturunkan lagi lebih dari satu kali.
Dengan demikian, sebuah teks atau naskah asli bisa diturunkan menjadi
anak, cucu, cicit dan seterusnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa
tingkat intensitas perubahan sangat ditentukan oleh frekuensi penyalinan.
Peristiwa di atas mengakibatkan setiap naskah mempunyai perbedaan
dengan naskah yang lain. Akibatnya, teks atau naskah asli yang jumlahnya
hanya satu tidak dapat teridentifikasi lagi. Dalam penelitian filologi, teks
atau naskah asli selanjutnya dijadikan hipotesis atau dugaan. Dengan
demikian, teks atau naskah asli menjadi abstrak sedangkan yang kongkret
adalah naskah turunannya. Teks atau naskah asli dalam posisi seperti di atas
sering juga disamakan dengan bahan cerita. Sedangkan naskah turunannya
yang bermacam-macam disamakan dengan cerita yang tertulis atau wacana
(discourse atau syuzet). Teks atau naskah asli baru dapat ditemukan setelah
dilakukan rekonstruksi penelusuran penurunan teks berdasarkan atas ciri-ciri
perbedaan dan persamaan naskah yang terdapat dalam setiap naskah variabel
yang ditemukan.
Teks sendiri terdiri dari 2 unsur yaitu isi dan bentuk. Di dalam isi,
memuat ide-ide atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada
pembaca. Sedangkan bentuk, yaitu cerita dalam teks yang dapat dibaca dan
dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur, perwatakan, gaya
bahasa, dan sebagainya. Secara garis besar teks terbagi menjadi tiga macam,
yaitu: teks lisan, teks tulisan tangan dan teks cetakan.18
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teks merupakan bagian yang
abstrak dari suatu naskah. Teks hanya dapat dibayangkan saja dan dapat
diketahui isinya jika sudah dibaca. Isi dari teks adalah berupa ide-ide,
18 Musthofa, Materi Kuliah Filologi Uin Sunan Kalijaga (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2010), Hal: 23
17
informasi, pesan atau amanat yang akan disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca.
3. Tambo
Tambo adalah salah satu bentuk ekspressi atas kesadaran masyarakat
terhadap masa lalu mereka. Tambo berisikan tentang seluk beluk kebudayaan
dan adat serta asal usul masyarakat di suatu daerah. Dalam Tambo terkandung
"narasi-narasi kesejarahan" yang ditujukan untuk berbagai kepentingan
sebagai ekspressi atas kondisi sosial pada waktu dimana Tambo itu dibuat.
Pada awalnya substansi Tambo dituturkan secara oral, dikabarkan
(dikhabarkan) dan didendangkan, dari istilah "Tambo", yang diperkirakan
berasal dari bahasa Sanskerta "Tambay" atau "Tambe" yang berarti bermula.19
Setelah masuknya agama Islam dan memperkenalkan tradisi menulis,
maka Tambo kemudian mengalami perobahan transmisi dari bentuk oral ke
bentuk tertulis. Tambo-Tambo yang semula dikabarkan, ditulis ke dalam
tulisan Arab Melayu. Sejalan dengan perubahan bentuk ini, substansinyapun
mengalami perubahan dan masuknya wacana-wacana keislaman ke dalam
narasinya. Hampir semua tambo yang ditemukan itu memiliki kesamaan, baik
bentuk, isi, maupun plot ceritanya. Perbedaan yang lazim terlihat antara tambo
satu daerah dengan tambo daerah lainnya adalah dalam penggunaan istilah dan
idiom yang digunakan yang disesuaikan dengan istilah atau idiom yang
digunakan oleh lingkungan sosial penulisanya dengan persamaan-persamaan
yang disebutkan, menjadikan tambo tertulis dapat dianggap sebagai tradisi
tuturan (folklore) dan setidaknya dari kandungan isinya memperlihatkan ciri
tradisi lisan yang merupakan hasil kegiatan berbahasa, disusun dalam bentuk
frasa, kalimat atau wacana, dan digunakan secara umum oleh masyarakat dari
generasi kegenerasi.
19 A.A Navis, Pemikiran Minangkabau, (Bandung : Angkasa,1 984), Hal: 45.
18
G. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terbagi dalam lima bab, antara babnya ada yang
terdiri dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan
tersendiri, tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang
berikutnya. Untuk memberikan gambaran secara mudah agar lebih terarah dan
jelas mengenai pembahasan skripsi ini penyusunan menggunakan sistematika
penulisan membagi pembahasan sebagai berikut:
Bab I, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, batasan masalah,
tinjauan pustaka, kerangka teori dan diakhiri dengan sistematika penulisan dan
jadwal penelitian.
Bab II, merupakan bab yang membahas tentang metode penelitian.
Bab III, merupakan bab yang membahas tentang gambaran umum lokasi
penelitian mulai dari letak geografis, sejarah desa, keadaan penduduk dan
keadaan sosial ekonomi, agama dan pendidikan desa.
Bab IV, merupakan bab pembahasan digunakan untuk memaparkan
pembahasan dan temuan penelitian untuk menjawab pertanyaan rumusan
masalah dimulai dari menjawab pertanyaan pertama, dilanjutkan ke
pertanyaan kedua dan ketiga.
Bab V, pada bab ini berisikan kesimpulan , rekomendasi, saran-saran dan
diakhiri dengan kata penutup.
19
H. Jadwal Penelitian
Penelitian dilakukan dengan pembuatan proposal, kemudian dilanjutkan
dengan perbaikan hasil seminar proposal skripsi. Setelah pengesahan judul
dan riset, maka penulis mengadakan pengumpulan data, verifikasi, dan analisa
data dalam waktu yang berurutan. Hasilnya penulis akan berkonsultasi kepada
dosen pembimbing sebelum diajukan sidang munaqasah nantinya. Hasil
sidang munaqasah dilanjutkan dengan perbaikan dan pengadaan laporan
skripsi.
Tabel 1.I Jadwal Penelitian
No
Kegiatan
2018/2019
Novem
ber
Desem
ber
Januari
Feb
ruari
Maret
April
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan
judul
X
2 Pengajuan
dosen
pembimbing
x
3 Bimbingan,
perbaikan
proposal dan
izin seminar
x
x
x
X
x
X
4 Seminar
proposal
x
5 Revisi hasil
seminar dan
Surat izin
riset
X
x
x
6 Pengumpulan
data
x x x x X
7 Pengolahan
data
x X X X
8 Penulisan
skripsi
x X X X X X
9 Bimbingan X
20
dan
perbaikan
10 Agenda dan
ujian skripsi
x
11 Perbaikan
dan
penjilidan
x
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode filologi,
metode filologi merupakan suatu disiplin ilmu yang meneliti naskah atau
penaskahan tulisan tangan (manuscripts). Metode yang digunakan dalam
filologi yaitu metode standar yang di dalamnya mencakup suntingan teks,
terjemahan teks, dan menyajikan kandungan isi. Disertai analisis isi dengan
menggunakan pendekatan Intertekstual, sehinga teks tampak mudah di pahami
oleh pembaca.
B. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara wawancara dan studi pustaka. Wawancara dilakukan dengan para
informan untuk mendapatkan informasi tentang naskah dan memperoleh data
yang berkitan dengan hubungan pengunaan naskah. Kemudian, studi pustaka
dapat dikatakan seperti membaca naskah yang berhubungan dengan penelitian
ini, kemudian memilih bagian-bagian yang relevan dengan penelitian.
C. Langkah Kerja Filologi
Naskah dan teks adalah objek dari filologi, maka untuk mengetahui
deskripsi dari objek filologi tersebut dilakukan langkah-langkah kerja
penelitian filologi. Langkah-langkah kerja penelitian filologi dituntut untuk
sabar, teliti, hatihati, cermat, dan tekun. Selain itu, ada beberapa langkah
langkah yang perlu dilakukan dalam kerja penelitian filologi.
Adapun langkah-langkah penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu :
1. Inventarisasi Naskah
Inventarisasi naskah adalah langkah awal yang dilakukan oleh
peneliti, dalam inventarisasi naskah di lakukan dengan cara
mengumpulkan semua naskah yang tersebar di berbagai tempat
penyimpanan. Tahap inventarisasi naskah dalam penelitian ini dilakukan
dengan metode studi lapangan, setelah pencarian dan pengumpulan maka,
akhirnya penulis menemukan naskah “Naskah Tambo Adat Suku Nan
Tigo”, yang terdapat di desa Lubuk Bernai, Kabupaten Tanjung Jabung
Barat.
2. Deskripsi Naskah
Setelah melakukan inventarisasi naskah, langkah selanjutnya adalah
membuat uraian atau deskripsi naskah dan teks. Deskripsi naskah adalah
memaparkan atau menggambarkan dengan kata kata secara jelas dan
terperinci keadaan naskah yang diteliti. Adapun uraian atau deskripsi
naskah berisi keterangan sebagai berikut:
a. Tempat penyimpanan naskah (pribadi, pemerintah atau swasta) dan
nomor kodeks.
b. Judul, berdasarkan keterangan dalam teks oleh penulis pertama, atau
berdasarkan keterangan yang diberikan bukan oleh penulis yang
pertama.
c. Pengantar, uraian pada bagian awal di luar isi teks: waktu penulisan,
tempat penulisan, alasan penulis, tujuan penulisan, nama penulis,
harapan penulis, dan lain-lain.
d. Tarikh, tempat, tujuan, nama, dan pemrakarsa penyalinan.
e. Keadaan naskah, jenis bahan, tebal naskah, ukuran naskah.
f. Ukuran teks (panjang x lebar teks), jumlah halaman teks.
g. Kelengkapan teks (lengkap atau kurang, terputus atau hanya fragmen),
jenis (piwulang, sejarah, dan sebagainya), dan sampul naskah (warna,
bentuk, keadaan, bahan, hiasan, jilidan).
h. Isi: satu atau kumpulan dari beberapa teks.
i. Penomoran halaman, pembagian halaman naskah secara keseluruhan,
letak dan jumlah halaman teks yang menjadi objek penelitian jika
merupakan kodeks.
j. Tanda air atau cap air dalam naskah.
k. Hiasan atau gambar naskah (deskripsi warna, bentuk, goresan tinta,
letak, dan lain-lain).
l. Penulisan judul teks dalam naskah.
m. Jumlah baris setiap halaman teks, bentuk teks (puisi atau prosa).
n. Jenis huruf (Jawi, Latin, dan lain-lain), goresan (tebal, tipis), ukuran
(besar, sedang, kecil), sikap (tegak, miring ke kanan atau ke kiri).
o. Warna tinta, goresan tinta (jelas, tidak jelas, dan lain-lain).1
Dengan deskripsi naskah dapat diketahui lengkap tidaknya naskah,
jelas tidaknya tulisan dan urut tidaknya cerita dalam naskah.
3. Transeliterasi Naskah
Transeliterasi adalah pengantian jenis aksara, huruf demi huruf dari
satu abjad yang satu ke abjad yang lain. Istilah lain adalah transkripsi,
pengubahan teks dari ejaan yang satu ke ejaan lain, atau pengatian teks
lisan ke dalam teks tulisan.2 Namun, dalam tahap penerjemahan ini harus
mempertahankan ciri teks asli sepanjang hal itu dapat dilaksanakan
penafsiran teks yang bertanggung jawab sangat membantu pembaca dan
memahaminya.
Transliterasi dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Transliterasi diplomatik, yaitu transliterasi sesuai apa adanya.
b) Transliterasi standar, yaitu transliterasi yang disesuaikan dengan ejaan
yang berlaku.3
Dalam peneliti ini peneliti menggunakan pola terjemah setengah
bebas, dengan maksud agar terjemahan mampu mengungkapkan makna
atau pesan teks secara mudah dan menyeluruh. Peneliti menerjemahkan
ide tulisan dengan tidak terlalu terikat pada susunan kata demi kata. Dan
dalam penelitian ini penulis menerjemahkan naskah dari aksara arab
menjadi aksara latin dengan bahasa melayu.
4. Penyuntingan Teks
1 Darusuprapta, Ajaran Moral dalam Susastra Suluk, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan,1990), Hal:1 2 Dedi Supriadi, Aplikasi Metode Penelitian Filologi Terhadap Pustaka Pesantren
(Bandung:Pustaka Rahmat, 2011), Hal: 14. 3 Robson, Prinsip-prinsip Filologi Indonesia, (Jakarta: RUL. 1994), Hal: 15.
Dalam Suntingan teks ada dua macam suntingan, yaitu suntingan teks
edisi diplomatik dan suntingan teks edisi standar. Suntingan teks edisi
diplomatik dibuat dengan maksud agar pembaca dapat mengetahui teks
dari naskah sumber. Suntingan teks edisi standar, yaitu menerbitkan
naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan dan ketidakejaan serta
ejaannya disesuaikan dengan ketentuan ejaan yang berlaku. Pada
suntingan teks edisi standar diadakan pembagian kata atau pembagian
kalimat, serta diberikan komentar mengenai kesalahan-kesalahan teks.
Suntingan teks dengan perbaikan bacaan terdapat campur tangan peneliti
sehingga teks dapat dipahami.
Suntingan teks dengan metode edisi standar dilakukan untuk
membantu pembaca mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual
atau berkenaan dengan interpretasi, sehingga pembaca dapat lebih mudah
dalam membaca dan memahami isi teks. Di samping itu, penggunaan
suntingan edisi standar dimaksudkan agar diperoleh teks yang bersih dari
kekurangan dan kekeliruan. Hal itu dilakukan dengan harapan agar teks
tersebut dapat dipakai sebagai sumber data yang mantap sebagai sumber
penelitian. Metode penyuntingan ini digunakan apabila isi naskah
dianggap sebagai cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau
penting dari sudut agama atau sejarah sehingga tidak perlu diperlakukan
secara khusus.
Proses penyuntingan teks mencakup tiga hal, yaitu transliterasi, kritik
teks, dan terjemahan. Penyuntingan teks didasarkan pada suatu metode
kritik teks. Kritik teks adalah menempatkan teks sebagaimana mestinya,
memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti atau mengkaji lembaran
naskah, lembaran bacaan naskah yang memuat kalimat atau kata-kata
tertentu. Tujuan kritik teks adalah untuk menyajikan suatu teks yang
bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam
masalah yang dikritik
D. Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengunakan metode penelitian kualitatif yang terfokus pada
hal-hal khusus serta menganalisis secara deskriftif. Deskriftif kualitatif
bertujuan untuk memberikan penjelasan lebih mendalam dengan
mengandalkan wawancara dan dokumentasi di lapangan penelitian agar
tercipta kesimpulan yang lebih rinci dan akurat. Selain itu juga, dengan
mengunakan analisis ini juga digunakan untuk mengidentifikasi dan
menganalisi isi dan makna naskah tambo adat suku nan tigo desa Lubuk
Bernai Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis
Berdasarkan sumber informasi, desa Lubuk Bernai merupakan salah satu
desa yang berada di Kecamatan Sungai Asam Kabupaten Tanjung Jabung
Barat. Kecamatan Sungai Asam memiliki sejumlah desa sebanyak 11 Desa.
Diantaranya Dusun Kebun, Suban, Sri Agung, Rawang Kempas, Rawa
Medang, Sungai Penoban, Sungai Badar, Tanjung Bojo, Kampung Baru,
Lubuk Lawas, dan Lubuk Bernai. Desa Lubuk Bernai memiliki 25 Rt dan
memiliki 6 kadus.
Desa Lubuk Bernai berjarak sekitar 12,5 km dari Kecamatan yaitu
Kecamatan Sungai Asam, sedangkan jarak dari kota provinsi Jambi sekitar
125,5 km. Sedangkan luas desa adalah sekitar 20 ribu hektar, yang mana lebih
dari 1/3 nya adalah perkebunan rakyat, yang pada umumnya, dan selebihnya
adalah pemukiman dan pekarangan, persawahan, tegalan, serta kolam.
Adapun batas-batas desa Lubuk Bernai, yaitu:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Lubuk Kambing.
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Merlung.
3. Sebelah barat berbatasan dengan Taman Raja.
4. Sebelah timur berbatasan dengan Suban.
Dampak geografis bagi kehidupan sosial manyarakat, menurut kepala desa
Lubuk Bernai, dikarenakan wilayah desa yang jauh kedalam dari kecamatan
maka dampak yang paling dominan terhadap geografis desa Lubuk Bernai
adalah akses keluar masuknya penduduk desa. Akses jalan dari kecamatan
yang rusak dan ditambah dengan jalan aspal yang tidak merata, lebih banyak
jalan tanah dibandingkan dengan jalan aspal. Apalagi ketika musim penghujan
akses jalan yang becek dan berlubang menyebabkan aktifitas penduduk desa
Lubuk Bernai terhambat. Apalagi anak-anak desa yang masih bersekolah,
sebagian dari mereka menganti pakaiannya setelah sampai disekolah, dan
sebagian lagi ada juga yang kembali kerumah mereka dan menunda
sekolahnya.1
B. Sejarah Desa
Menurut informasi dari lembaga adat desa Lubuk Bernai yang penulis
wawancarai pada tanggal 22 Desember 2018, masnyarakat desa Lubuk Bernai
diyakini berasal dari Pagaruyung. Karena bukti kultural dan hukum adat
menunjukan bahwa pendapat tersebut ada benar dan terdapat sejumlah
persamaan dalam hukum adat dan bahasa. Dan dijelaskan juga pada tambo
tungkal ulu yang ditulis oleh cendikiawan tungkal ulu HA Rivai, menurutnya
suku yang pertama kali mendiami wilayah Tungkal Ulu disebut suku
Mandaliko. Orang-orang Minangkabau ini diperkirakan datang pada abad ke-
17.
Namun sebelum kedatangan orang-orang Pagaruyung datang dan
mendiami Tungkal Ulu, beberapa dusun seperti Merlung, Tanjung Paku, dan
Suban sudah berpenghuni yaitu masnyarakat peninggalan kerajaan Kutala
yang sudah memiliki struktur pemerintahan sendiri yang di kepalai seorang
Demong.
Rombongan dari Pagaruyung ini dipimpin oleh tiga saudara yang pertama
Datuk Sultan Setio Jayo yang sekarang makamnya di ulu sungai Pengabuhan,
yang kedua bernama Ratu Majeleng dan ketiga Datuk Sultan Mandaliko
Panai. Mereka membawa rombongan sebanyak 199 orang. Dalam
perjalanannya pertama mereka sampailah di Lambing Batu Batingkap atau
Lubuk Kambing Sekarang, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan ke
Sugai Ibul dekat Lubuk Bernai namun dalam perjalanan ini rombongan
tersebut hanya membawa 99 orang dan selebihnya menetap di Lubuk
Kambing. Perjalanan rombangan ini juga di tulis di tambo alam minangkabau
yang di tulis oleh Datuk Mandaliko, disebutkan “ dari labing batu betingkap (
Lubuk Kambing) sampai tunggul nan belepat menuju ke bukit merbau sebelah
utara ke bukit merbau( Sungai Ibul, dekat Lubuk Bernai) meniti pematang
1 Hasil wawancara dengan bapak Pahmi Kepala Desa Lubuk Bernai, (Sabtu, 22 Desember
2018).
cindai halus menuju batu enam delapan melereng ke batu tiga Sembilan
sampai empat puluh, terus menuju ulu Mendaharo kiri mengalir sampai ke
Muaro Mendahalo menuju aris alang tigo pulau berhalo kebarat masuk kualo
sungai kerang seberang Tanjung Labu menuju pulau kijang berjalan sampai
sungai gergaji menuju kualo retih memudik batang retih sampai Selensen
menuju kualo bubur, bergerak bukit cundung sebelah pematang kulim, menuju
suo-suo balik lagi ke tunggul nan belepat labing batu betingkap (Lubuk
Kambing)”.2
Dalam perjalan tersebut mereka hanya menetap dan mendiami tiga
wilayah masing-masing atau di sebut suku nan tigo diantaranya di Lubuk
Kambing yang dipimpin oleh Ratu Majeleng, di Rantau Benar yang di pimpin
oleh Datuk Sultan Bagindo Setio Jayo, dan di Lubuk Bernai di pimpin oleh
Datuk Sultan Mandaliko Panai.
Pada akhir abad ke-17 wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan johor.
Dimana yang menjadi wakil Raja Johor di daerah ini pada waktu itu adalah
Orang Kayo Depati. Setelah lama memerintah Orang Kayo Depati pulang ke
Johor dan ia digantikan oleh Orang Kayo Syahbandar yang berkedudukan di
Lubuk Petai. Setelah Orang Kayo Syahbandar kemudian diganti lagi oleh
Orang Kayo Ario Santiko yang berkedudukan di Tanjung Agung (Lubuk
petai) dan Datuk Bandar Dayah yang berkedudukan di Batu Ampar, daerahnya
meliputi Tanjung rengas sampai ke Hilir Kuala Tungkal atau Tungkal Ilir
sekarang.
Memasuki abad ke- 18 atau sekitar tahun 1841-1855 Tungkal dikuasai dan
dibawah Pemerintahan Sultan Jambi yaitu Sultan Abdul Rahman Nasaruddin.
Pada saat itu kesultanan Jambi mengirim seorang Pangeran yang bernama
Pangeran Badik Uzaman ke Tungkal yaitu Tungka Ulu sekarang
Kedatangannya disambut baik oleh orang Kayo Ario Santiko dan Datuk
Bandar Dayah.
2 Hasil Wawancara dengan bapak Ali Hasan Tokoh Adat Desa Lubuk Bernai (Minggu, 23
Desember 2018).
Setelah terbukanya Kota Kuala Tungkal maka semakin banyak orang
mulai datang, sekitar tahun 1902 dari suku Banjar yang berimigrasi dari Pulau
Kalimantan melalui Malaysia. Mereka ini berjumlah 16 orang antara lain :
H.Abdul Rasyid, Hasan, Si Tamin gelar Pak Awang, Pak Jenang, Belacan
Gelar Kucir, Buaji dan kemudian mereka ini berdatangan lagi dengan jumlah
agak lebih besar yaitu 56 orang yang dipimpin oleh Haji Anuari dan iparnya
Haji Baharuddin, Rombongan 56 orang ini banyak menetap di Bram Itam
Kanan dan Bram Itam Kiri. Selanjutnya datang lagi dari suku Bugis, Jawa,
Suku Donok atau Suku Laut yang banyak hidup dipantai/laut, dan Cina serta
India yang datang untuk berdagang .
Pada tahun 1901 kerajaan Jambi takluk keseluruhannya kepada
Pemerintahan Belanda termasuk Tanah Tungkal khususnya di Tungkal Ulu
yang Konteleir jenderalnya berkedudukan di Pematang Pauh. Sehingga
pecahlah perperangan antara masyarakat Tungkal Ulu dan Merlung dengan
Belanda. Karena mendapat serangan yang cukup berat akhirnya pemerintah
Belanda mengundurkan diri dan hengkang dari wilayah itu. Perperangan itu
dipimpin oleh Raden Usman anak dari Badik Uzaman. Raden Usman
kemudian wafat dan dimakamkan di Pelabuhan Dagang.
Selanjutnya muncullah Pemerintahan Kerajaan Lubuk Petai yang dipimpin
oleh Orang Kayo Usman dan Lubuk Petai kemudian membentuk
pemerintahan baru. Pada waktu itu dibentuklah oleh H.Muhammad Dahlan
Orang Kayo yang pertama dalam penyusunan pemerintahan yang baru.
Orang Kayo pertama ini pada waktu itu masih diintip dan diserang oleh
rombongan dari Jambi. Ia diserang dan ditembak dirumahnya lalu patah. Maka
bernamalah pemerintahan itu dengan Pemerintahan Pesirah Patah sampai
zaman kemerdekaan. Maka dari pemerintahan Lubuk Petai ini mucullah
beberapa Dusun-dusun yang berada dikawasan Lubuk Petai diantaranya :
1. Dusun Lubuk Kambing tadinya berasal dari Benaluh dan Lingkis
2. Dusun Sungai Rotan tadinya berasal dari Dusun Timong dalam.
3. Dusun Ranatu Benar tadinya berasal dari Riak Runai dan Air dan Air
Talun.
4. Dusun Pulau Pauh tadinya berasal dari Kampung Jelmu pulau Embacang.
5. Dusun Penyambungan dan Lubuk Terap berasal dari Suku Teberau.
6. Dusun Merlung tadinya berasal dari suku Pulau Ringan yang dibagi lagi
dalam beberapa suku yaitu : Pulau Ringan, Kebon Tengah, Langkat, Aur
Duri, Kuburan Panjang, Gemuruh, dan Teluk yang tunduk dengan
Demong.
7. Dusun Tanjung Paku tadinya berasal dari Tangga Larik.
8. Dusun Rantau Badak tadinya berasal dari Dusun Lubuk Lalang dan
Tanjung Kemang.
9. Dusun Mudo tadinya Talang Tungkal dan Lubuk Petai.
10. Dusun Kuala Dasal yang pada waktu itu belum lahir adalah dusun Pecang
Belango.
11. Dusun Tanjung Tayas tadinya berasal dari Bumbung.
12. Dusun Batu Ampar yang sekarang menjadi Pelabuhan Dagang.
13. Dusun Taman Raja tadinya bernama Pekan atau pasar dari kerajaan Lubuk
Petai. Kemudian disebut Taman Raja karena dulunya merupakan tempat
pertemuan dan musyawarah Raja Lubuk Petai dan Raja Gagak.
14. Dusun Suban tadinya berasal dari Suban Dalam.
15. Dusun Lubuk Bernai tadinya Tanjung Getting dan Lubuk Lawas.
16. Dusun Kampung Baru.
17. Dusun Tanjung Bojo.
18. Dusun Kebun.
19. Dusun Tebing Tinggi.
20. Dusun Teluk Ketapang.
Setelah datangnya kerajaan Johor Malaysia mayoritas penduduk Desa
Lubuk Bernai adalah Suku Melayu, dan diikuti suku-suku pendatang seperti
Suku Batak, Suku Jawa dan Suku Nias.
Jadi dapat dikatakan bahwa masnyarakat Desa Lubuk Bernai berasal dari
keturunan Datuk Mandaliko Panai yang berasal dari Pagaruyung.3
Nama Lubuk Bernai sendiri dinamakan karena seorang yang bernama
Datuk Raden Eting salah satu putra keturunan kerajaan Kutala yang pergi
meninggalkan tempat tinggalnya karena perlakuaan ayahnya yang tidak
mempedulikan dirinya, dibandingkan saudara perempuanya, dikarnakan
sifatnya yang pemalas, kemudian dia pergi ke pinggir sungai yang di pinggir
sungai tersebut banyak tumbuh pohon bernai dan dia bersandar disalah satu
pohon tersebut, kemudian diambilnya sabut kelapa dan batu, kemudian dia
membakar sebuah kemenyan dengan sabut kelapa, dan dia berdoa,
“bismillahirohmanirohim asalamualaikum kemenyan, aku tau asal mulamu
dari getah kemenyan peluh nabi Muhammad asal kau jadi getah kemenyan
awan belarak ya robbi ya Allah ya Tuhan ku”
kemudian setelah itu datanglah saudara perempuanya membujuk
saudaranya untuk pulang, sebelum dia pergi dibuanglah batu yang dia bakar
dengan kemenyan tadi ke sungai yang kebetulan di bawah tempat dia
bersandar tadi merupakan lubuknya sungai, sambil berkata, ”kau batang
bernai jadilah saksiku, bahwa aku tidak akan pernah datang kesini lagi,
apabila aku mengikari matilah aku berdiri, tidak berapa lama dia pergi, air
sungai naik sampai ke atas batang bernai tadi. Maka desa tersebut di namai
desa Lubuk Bernai.4
C. Keadaan penduduk
Menurut sejarah Desa Lubuk Bernai Penduduk asli yang pertama kali
mendiami Desa Lubuk Bernai adalah suku pagaruyung dari Sumatra barat.
Namun setelah datangnya kerajaan johor Malaysia mayoritas penduduk Desa
Lubuk Bernai adalah suku melayu, dan diikuti suku-suku pendatang seperti
suku Batak, suku Jawa dan suku Nias. Kedatangan suku-suku lain kedesa
Lubuk Bernai tidak diketahui secara pasti, namun dapat dikatakan kedatangan
3 Hasil Wawancara dengan bapak Ali Hasan Tokoh Adat Desa Lubuk Bernai (Minggu, 23
Maret 2019). 4 Hasil Wawancara dengan bapak Ali Hasan Tokoh Adat Desa Lubuk Bernai (Minggu, 23
Desember 2018).
mereka beransur-ansur sampai sekarang, kedatangan mereka ini dikarnakan
desa Lubuk Bernai merupakan desa yang tanahnya subur dan mudah untuk
bercocok tanam, selain itu juga dikarnakan penduduk desa Lubuk Bernai
mudah diajak bersosialisasi dan menerima dengan baik suku-suku pendatang
maka mereka sangat betah dan nyaman tinggal di desa Lubuk Bernai.5
Hubungan sosial antar penduduk yang beragam dan bermacam-macam,
hubungan mereka berjalan baik tidak terjadi konflik antar suku maupun
agama, mereka mengikuti cara adat yang berlaku di desa Lubuk Bernai.
Terlihat adanya kerja sama yang baik, contohnya seperti kegiatan gotong
royong, mereka melakukannya bersam-sama. Bentuk kerja sama seperti itu
masih terpelihara dan terjaga dengan baik oleh manyarakat karena mereka
menyadari bahwa kehidupan yang berdampingan dengan baik akan
mencitapkan kehidupan desa menjadi damai dan rukun.
Berbicara masalah penduduk, yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah
bahwa penduduk di samping sebagai objek pembangunan, juga merupakan
subjek dari pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu masalah penduduk perlu
mendapatkan perhatian yang begitu serius dari semua pihak, baik pemerintah,
swasta maupun masyarakat itu sendiri. Menurut data yang ada di kantor desa
Lubuk Bernai tahun 2017-2018, penduduk desa Lubuk Bernai berjumlah 7680
jiwa atau sebanyak 1920 KK.6
Untuk lebih terperinci dan terorganisirnya jumlah penduduk, pada
umumnya para ahli monografi biasanya membagi jumlah penduduk
berdasarkan jenis kelamin hal ini dimaksudkan agar dapat mengetahui
komposisi penduduk serta perkembangan dan lajunya tingkat pertumbuhan
penduduk serta perkembangan dan lajunya tingkat pertumbuhan penduduk
yang mengacu pada pembagian kerja secara jenis kelamin. Berdasarkan
analisis di atas maka penulis dalam penelitiaan ini mencoba membagi
komposisi penduduk desa Lubuk Bernai berdasarkan jenis kelamin, hal ini
5 Hasil wawancara dengan bapak Pahmi Kepala Desa Lubuk Bernai, (Sabtu, 22 Desember
2018). 6 Data dari Kantor Desa Lubuk Bernai (Sabtu, 22 Desember 2018).
penulis maksudkan agar penulis benar-benar mendapat suatu analisis yang
faktual.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 3.1
No Jenis kelamin Jumlah (Jiwa)
1 Laki-laki 3816
2 Perempuan 3864
Jumlah 7680
Dari tabel di atas dapat memperlihatkan bahwa komposisi jumlah
penduduk Desa Lubuk Bernai bahwa jumlah penduduk yang berjenis kelamin
laki-laki sebanyak 3816 jiwa, sedangkan yang berjenis kelamin perempuan
sebanyak 3864 jiwa, dan dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk perempuan
lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk laki-laki.
D. Keadaan Sosial Ekonomi, Agama dan Pendidikan
1. Sosial Ekonomi
Penduduk desa Lubuk Bernai pada umumnya bekerja sebagai petani, ini
disebabkan oleh faktor geografis yang sangat menunjang, disamping itu juga
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan penduduk sehingga mereka
susah untuk mendapatkan pekerjaan lain. Jenis pertanian yang dominan di
desa Lubuk Bernai adalah perkebunan karet dan kelapa sawit.
Pekebunan karet pertama kali ditanam ketika awal-awal desa lubuk bernai
terbentuk, akan tetapi penanamannya masih dengan sistem liar, tidak ada
prosedur yang diatur oleh desa. Pada tahun 1982 desa Lubuk Bernai pernah
menjadi produksi karet terbesar di Tungkal Ulu, selain karet dahulu pernah
juga masnyarakat menanam tanaman selingan yaitu kopi dan pernah juga
menjadi desa penghasil kopi terbanyak di Tungkal Ulu. Lambat laun setelah
masuknya perusahaan-perusahaan ke desa Lubuk Bernai, pada awalnyo
mereka menanam tanaman coklat, lalu pindah ke tanaman karet dan terakhir
mereka beralih ke tanaman kelapa sawit. Dari sanalah pada tahun 1995
masnyarakat yang dahulunya menanam karet beralih ke tanaman sawit.
Dilihat dari perkembangan desa Lubuk Bernai sekarang kebanyakan dari
masnyarakat bermata pencaharian sawit dibandingkan karet, perbandinganya
30% ,70%.7
Untuk pekerjaan disektor lain seperti pegawai negeri, pegawai swasta,
pedagang dan jenis pekerjaan lain, dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 3.2
Jumlah Pekerjaan
No Nama Pekerjaan Jumlah/(KK)
1 Pegawi Negeri Sipil (PNS) 59
2 Buruh 27
3 Pedagang 194
4 Pekerja Perusahaan 340
5 Petani 525
Jumlah 1145
Kehidupan sosial ekonomi masnyarakat desa Lubuk Bernai rata-rata
menengah kebawah, pendapatan perkapita rata-rata 60-80 ribu per-hari. Jadi
dapat dikatakan bahwa pendapatan ekonomi masnyarakat dari tahun ketahun
selalu stabil.
2. Agama
Jika ditinjau dari agama yang dianut oleh masyarakat desa Lubuk Bernai
maka bisa dikatakan bahwa masyarakat tersebut adalah pemeluk agama Islam
80%, dan 20% lagi beragama Kristen. mereka dalam agama sangat fanatik,
walaupun diketahui masih banyak yang tak melaksanakan ajaran agama
seperti apa yang diperintahkan oleh Al-Quran dan Sunnah, tapi mereka akan
sangat tersinggung jika ada orang yang melecehkan agama mereka.
3. Pendidikan
7 Hasil wawancara dengan bapak Pahmi Kepala Desa Lubuk Bernai, (Sabtu, 17 Februari 2019).
Pendidikan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir dan pola tindak
seseorang. Pendidikan akan berpengaruh bagi peningkatan kualitas
keterampilan dan kemampuan seseorang dalam berbuat dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Dalam pendidikan juga dapat ditanamkan suatu sikap
dan kepribadian yang berwawasan luas.
Berdasarkan monografi Desa Lubuk Bernai tahun 2017/2018 tercatat
bahwa jumlah penduduk desa Lubuk Bernai sebanyak 7680 jiwa dan hampir
sebagian diantaranya pernah mengikuti pendidikan formal Sekolah Dasar
sampai dengan perguruan tinggi, baik itu tamat maupun tidak tamat.
Pada tahun 1972 di desa Lubuk Bernai hanya ada satu sekolah dasar dan
sekolah lain berada di luar desa. Pada tahun 2009 berdirilah sekolah menengah
pertama (SMP) di desa Lubuk Berai. Selain itu juga sudah dibangun dua
sekolah dasar. Dan pada tahun 2016 sudah mulai dibuat paud untuk anak-anak
usia dini.
Adapun sarana pendidikan desa Lubuk Bernai, dapat dilihat dari tabel
dibawah ini :
Tabel 3.3
Jumlah Sarana Pendidikan
Sarana pendidikan Jumlah
Paut/Tk 1 Paut
Sekolah Dasar (SD) 3 Sd
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Smp
Jumlah 5 sekolah
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwah sarana pendidikan desa Lubuk
Bernai hanya memiliki 3 sekolah dasar, 1 smp, dan 1 paud. Dan pendidikan
yang lain seperti sma, penduduk desa Lubuk Bernai bersekolah di Desa lain.8
8 Hasil wawancara dengan bapak Pahmi Kepala Desa Lubuk Bernai, (Sabtu, 17 Februari 2019).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Naskah Tambo Adat Suku Nan Tigo Di Desa Lubuk Bernai Kabupaten
Tanjung Jabung Barat
1. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah bertujuan untuk menggambarkan keadaan fisik naskah
secara utuh.Tahap deskripsi naskah yaitu tahap melakukan identifikasi, baik
terhadap kondisi fisik naskah, isi teks, maupun identitas kepengarangan dan
kepenyalinan dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah deskripsi naskah dan
teks secara utuh.
Naskah yang menjadi sumber data dalam penelitian ini berjudul Tambo
Hukum Adat Suku Nan Tigo yang terdapat di desa Lubuk Bernai Kabupaten
Tanjung Jabung Barat. Naskah ini dipegang oleh ketua adat desa Lubuk
Bernai bapak Ali Hasan. Naskah ini berisi tentang hukum atau aturan yang
harus ditaati oleh masyarakat di desa Lubuk Bernai. Namun naskah yang
dijadikan objek penelitian ini merupakan naskah salinan yang ditulis oleh
datuk Suhur selaku demong atau sekarang disebut kepala desa Lubuk Bernai
pada tahun 1949. Sedangkan naskah aslinya tidak diketahui keberadaannya
atau hilang pada masa datuk Jatim tahun 1954. Dan naskah asli diperkirakan
sudah ada pada tahun 1656 atau sudah 363 tahun yang lalu.
Naskah ini ditulis dengan aksara Arab (Jawi) dengan mengunakan bahasa
melayu. Keadaan naskah masih cukup baik, teksnya masih mudah dibaca.
Naskah ini hanya terdiri atas 1 halaman, dan tidak mempunyai nomor dan cap
sehingga tidak diketahui siapa pengarang yang sebenarnya.
Dilihat secara fisik, naskah ini memiliki tebal 0,1cm, dengan ukuran
panjang 91,5cm dan lebar 21cm. Bahan yang digunakan untuk penulisan
adalah kertas milimeter. Dalam naskah ini memiliki 3 sub bab, sub bab
pertama memiliki 7 baris tulisan, di sub bab kedua memiliki 39 baris tulisan
dan untuk su bab yang ketiga memiliki 34 baris tulisan.
Naskah tambo adat suku nan tigo ini tidak memiliki kolofon, tidak di
jelaskan ataupun ditulis di dalam naskah yang berkaitan dengan nama
penyalin naskah, tempat penyalin naskah dan tahun penyalin naskah. Tetapi
penulis mengetahui dari wawancara dengan ketua desa Lubuk Bernai bapak
Ali Hasan.
Naskah ini ditulis bertujuan agar para generasi sekarang ataupun generasi
yang akan datang mengetahui apa saja aturan atau hukum yang harus ditaati
oleh masnyarakat desa Lubuk Bernai. Dan tujuan yang lain, kenapa hukum
adat ini ditulis agar masnyarakat tahu bahwa hukum adat ini benar adanya dari
dulu hingga sekarang, bukan hanya omongan yang dibuat-buat oleh nenek
moyang terdahulu.1
Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap tulisan naskah, diprediksi
bahwa teks adalah hasil salinan/cetakan, bukan tulisan asli pengarang karena
banyak ditemukan kesalahan dalam penulisan huruf atau kata juga kesalahan
gramatikal. Di samping itu pada naskah sebenarnya terdapat beberapa tulisan
yang berulang, tidak jelas atau tidak sinkron maknanya. Hal ini terlihat pada
beberapa bagian naskah yang tulisannya kadang sulit terbaca sehingga tidak
diketahui secara jelas maksudnya.
2. Transliterasi Naskah
Tujuan dari transliterasi naskah yaitu agar memudahkan peneliti atau
masnyarakat luas dalam membaca dan memahami naskah tersebut. Adapun
dalam tahap transliterasi dalam penelitian ini ada beberapa ketentuan yaitu
sebagai berikut:
a. Alih aksara dilakukan dari aksara Arab–Melayu ke aksara Latin.
b. mentransliterasikan teks dengan tugas utama menjaga keaslian atau ciri
khusus penulisan.
c. Simbol-simbol yang terdapat pada naskah tetap dipertahankan dalam
bentuk aslinya dan teks dialihaksarakan sesuai dengan bentuk yang tertera
pada naskah.
d. Kata yang menandakan ragam bahasa lama tetap dipertahankan ke
asliannya agar kelestaraian ragam bahasa lama tetap terjaga.
1 Hasil Wawancara dengan bapak Ali Hasan Tokoh Adat Desa Lubuk Bernai (Minggu, 23
Desember 2018).
e. Kosa kata yang sulit dipahami pembaca ditulis dengan tulisan miring.
f. Tanda baca yang terdapat di dalam naskah tetap dipertahankan.
Pedoman penulisan bahasa Arab dengan huruf Latin dapat dirincikan
sebagai berikut.
1) Pedoman teranselate
Tabel 4.1
Pedoman Pengalih Aksara Bahasa Arab ke dalam huruf Latin
NO HURUF ARAB PADANAN
A ا 1
B ب 2
T ت 3
S ث 4
J ج 5
H ح 6
KH خ 7
D د 8
Z ذ 9
R ر 10
ZA ز 11
S س 12
SY ش 13
S ص 14
D ض 15
T ط 16
Z ظ 17
E ع 18
GH غ 19
F ف 20
Q ق 21
K ك 22
L ل 23
M م 24
N ن 25
W و 26
HA ه 27
Y ى 28
, ء 29
2) Hasil teranselate
Setelah dijelaskan teknis dan kaidah dalam transelate naskah. Maka
adapun hasil transelate naskah hukum adat suku nan tigo desa Lubuk Bernai
adalah sebagai berikut:
Gambar 4.1
Tambo adat suku nan 3
Yang hukuman kambing
1. Bunting dalam betunangan hukum kambing nama memukak seluk nenek
mamak tua tua tenganai
2. Belarian dalam bertunangan hukum melelek sirih menebang pinang
3. Belarian tidak ngantar keluar kampung tanduk runcing
Tambo adat suku nan 3
Yang hukuman kambing
4. Bunting dalam betunangan hukum kambing nama memukak seluk nenek
mamak tua tua tenganai
5. Belarian dalam bertunangan hukum melelek sirih menebang pinang
6. Belarian tidak ngantar keluar kampung tanduk runcing
7. Ketangkap basah dalam bilik atau hutan sunyi layu bungga setangkai
8. Tidak bertulung bunting jantan adat sudah engkau kelapa di belah jadi
pinang yang jalan memegang anak bini orang tidak senang nama hukum
telur dimakan jadi tulang
9. kalau pempin adat dan syarak buat kesalahan dua kali lipat
memadamkan suluk
mulonyo riyo suku nan tigo
1. suroh 15
2. gubuh 17
3. lais 16
4. suroh 18
5. macang 18
6. gubuh 17
7. rohim 16
8. piding 20
9. macang 17
10. timbul 18
11. dampal 21
12. dagu 21
13. piding 19
14. maklum 12
15. lasu 13
16. dagu 20
17. mangcik 15
18. sumur 5
19. jatim 12
20. saudin 18
21. liyas 5
22. basarudin 4
23. yunus 8
24. melan 12
25. haris 6
26. pahmi
yang keruh sama dijernikan yang kusut samo diselesaikan oleh tuo
tenganai namun keruh biso diheningkan namun kusut biso di bukak caro
lambat lambat asal jadi elok, perhitung buruk di perlambat supayo jadi
baik, permata elok jangankan sampai tibul buruk, harum samo dicium busuk
samo diiguskan, jangan mengunting dalam lipatan, manis di luar busuk di
dalam, biar mati anak asal jangan mati adat, mati adat rusak sebuah
kampung, mati anak rusak sebuah rumah
jangan pepatah luar runcing di dalam adat iko dak hanyut di air nan
deras tidak rubuh diangin nan kencang, tidak mempan dibeset tajam, tidak
pilihh sanak pemili.
ayam hijau lubuk bernai bulunyo hijau tegah kepak buluhnyo merah
tecangkul, kepalaknyo kecik, hewanyo busuk, kakinyo hitam, kukunyo hitam,
kukuknyo berukuh lidah culit hitam, jangan sampai terendam tidak basah
terhampai tidak kering, anak kecik jangan sangko anak besak jangan
sangko bapak kecil dipukul dengan kayu besak, pukul dengan katu, dimano
kayu berangkut di situ angin bertiup, besar samo dibelah, kecik samo
ditemes, jangan mutuskan hukuman atau lidah sebatang mato duo, harus
makai kato orang yang banyak.
Hukuman adat
Luko ditangan dimuko tidak tertutup kain dan baju hukuman kambing,
nama hukuman berubah rupo kerendo
Kalau keluar darah hukuman kain putih sekilo beras riyapuh, bangku
kursi beram pokok pangkal dan waris bukak sirih pinang kalau mati hak
rajo punyo
Aturan adat suku nan tigo
Yang tinggi samo dijuluk yang rendah samo dijangkau yang gugur samo
diputar yang manis samo di makan yang pahit samo di luman, bungkuk
samo di lurus silang samo di susun yang lurus samo di ikat panjang samo di
kerat yang pendek samo di sambung, terhempai samo kering rendam samo
basah, tegak samo tinggi duduk samo rendah baring samo panjang, tagar
yang setengah delapan sebulan tiga pulh hari dikit samo dimakan , ku dak
ado samo dicari, patah adat mengatakan yang gedang gantung pucuk yang
kecik dapat berita terbenam samo di cukil, kok hamyut samo diputar hilang
samo dicari, adat itu punya, rakyat bersama besar di perkecil yang kecil
dipersudah asal di bayar kampung dipgar adat. Adat memagar kampung
kerabat sirih pinangan, sirih dijadikan jangat, pinang dijadikan jantung,
gambir dijadikan rebuh kapur dijadikan otak, tembako dijadikan
rambutnya, buluh adat iko adat keturunan suku nan tigo jangan dirubah
lagi kato orang yang diatas.
Di mana bumi di pinjak di langit di junjung, di mana tembilang tecacak di
situ tetanam tumbuh jangan terkurang diluar tertindih diatas jalan,
berambah nan di ikut kayu bertebang nan dititih, ngambik contoh nan sudah
teijak benang orang hitam tapak tesuruk gunung kapur putih tetungkuk
pulai bertingkat nenek meninggalkan buku dengan ruas manusio menurun,
Perbasuan menjauhkan tuturan ku tandan pinang naik keatas meningalkan
uratnya, naik tandanya menurung kebawah, mengejar urat dan tanah jadi
pimpin itu ada dua sarat 1 mau di pilih 2 orang mau memilih, jadi pimpin
itu ada syratnya, telingo dipekakkan, mato dipejamkan, di jagakan dengan
kepalo yang sejuk, muko yang manis, tangan harus nan ringan, sebelum
bercakap di peliharo lidah sebelum berjanji, disiapkan, pakian berkato
denagan pimpin,bemuko lembut dan bersopan santun atau dengan bapak
guru dan orang-orang tuo tengani cerdik pandai alim ulama jangan awak
betingkahlah tenganai hiduplah mewah sampai lupo dimasa tuanyo, karna
orang semacum itu di sumpah adat suku nan tigo, jangan sampai tibo
dibatu, tertukik ajaknyo tibo dilumpur tidak berkesan jangan ambur-ambur
tali ajungan dipegang
Jangan di kepak dikukuli dipangil dikelakkan, jangan kuman di barang
lautan tempat gajah di tepi, mato tidak Nampak, mato tidak liat, air beriak
tanda tak dalam, kelapo bernguncang tando tidak penuh, rajo kampung adat
yang menentukan hukum islah benarnyo yang kadang di perkecikan, yang
kecik di persudah asal di bayar hukumnya
Kalau menurutkan orang belarian hukuman serba duakambing 2 beras 20
gantang kelapo 20 butir, salak manis.
3. Suntingan teks
Sebelum melakukan sutingan teks terhadap naskah tambo adat suku nan tigo
desa Lubuk Bernai. Terlebih dahulu memaparkan tanda-tanda yang terdapat di
dalam sutingan teks. Adapun tanda-tanda dalam sutingan teks yaitu sebagai
berikut:
a. Tanda-tanda pada suntingan dan bahsa dalam teks yang disunting, yaitu:
a) {...} : Tanda ini digunakan untuk penggantian atau perubahan huruf
atau kata dari aslinya. Namun di dalam teks ini tidak ada perubahan atau
pengtian huruf atau kata.
b) [...] : Tanda ini digunakan untuk penghilangan huruf atau kata dari
penyunting. Cotohnya seperti :
- “Yang jalan” kata yang nya di hilangkan.
- “katu” huruf “K” dibuang karena tidak sesuai makna.
- “kudak” kata “KU” di buang.
- “ hamyut” huruf “M” di hapus.
- “menurung” huruf “G” di hilangkan karena kata aslinya ialah
menurun.
- “culit” huruf “C” dihapus karena kata sebenarnya adalah kulit.
c) <...> : Tanda ini digunakan untuk tambahan huruf atau kata dari
penyunting.
- “Jalan” ditambah awal katanya “ ber” menjadi berjalan.
- “dijernikan” ditambah huruf “H” menjadi dijernihkan.
- “tegah” menjadi tengah. Ditambah huruf N.
- “ulit” menjadi kulit, ditambah huruf K.
- “atu” menjadi batu, ditambah huruf B.
- “hayut” menjadi hanyut, di tambah huruf N.
- “diukuli”menjadi dipukulikarena di tambah dengan huruf P.
d) Tanda garis bawah Tanda ini digunakan untuk menandai kata atau huruf
yang tidak konsisten penulisannya. Contohnya di dalam teks yaitu:
- Melelek (memelek).
- Kukuknya berukuh(kokoknya berkokok)
- Riyapuh(ribu)
- Beram(meram)
e) Penambahan titik dan koma dalam teks.
f) Huruf kapital dipakai untuk awal kalimat dan nama orang.
b. Hasil suntingan teks
Tambo adat suku nan 3
Yang hukuman kambing
1. Bunting dalam betunangan hukum kambing nama memukak seluk nenek
mamak tua tua tenganai.
2. Belarian dalam bertunangan hukum melelek(memelek)sirih menebang
pinang.
3. Belarian tidak ngantar keluar kampung tanduk runcing.
4. Ketangkap basah dalam bilik atau hutan sunyi layu bunga setangkai.
5. Tidak bertulung buntingjantan adat sudah engkau kelapa dibelah jadi
pinang. [yang]<ber>jalan memegang anak bini orang tidak senang
nama hukum telur dimakan jadi tulang.
6. kalau pempin adat dan syarak buat kesalahan dua kali lipat
memadamkan suluk.
mulonyo riyo suku nan tigo
1. Suroh 15
2. Gubuh 17
3. Lais 16
4. Suroh 18
5. Macang 18
6. Gubuh 17
7. Rohim 16
8. Piding 20
9. Macang 17
10. Timbul 18
11. Dampal 21
12. Dagu 21
13. Piding 19
14. Maklum 12
15. Lasu 13
16. Dagu 20
17. Mangcik 15
18. Sumur 5
19. Jatim 12
20. Saudin 18
21. Liyas 5
22. Basarudin 4
23. Yunus 8
24. Melan 12
25. Haris 6
26. Pahmi
Yang keruh sama dijerni<h>kan, yang kusut samo diselesaikan oleh tuo
tenganai, namun keruh biso diheningkan namun kusut biso dibukak caro
lambat lambat asal jadi elok, perhitung buruk di perlambat supayo jadi
baik, permata elok jangankan sampai tibul buruk, harum samo dicium busuk
samo diiguskan, jangan mengunting dalam lipatan, manis di luar busuk di
dalam, biar mati anak asal jangan mati adat, mati adat rusak sebuah
kampung, mati anak rusak sebuah rumah.
Jangan pepatah luar runcing di dalam adat iko dak hanyut di air nan
deras tidak rubuh diangin nan kencang, tidak mempan dibeset tajam, tidak
pilih sanak pemili.
ayam hijau Lubuk Bernai bulunyo hijau,te<n>gahkepak buluhnyo merah,
tecangkul kepalaknyo kecik, hewanyo busuk, kakinyo hitam, kukunyo hitam,
kukuknyo berukuh (Kokoknya berkokok) lidah [C]<K>ulit hitam, jangan
sampai terendam tidak basah terhampai tidak kering, anak kecik jangan
sangko anak besak jangan sangko bapak kecil dipukul dengan kayu besak,
pukul dengan [k]<B>atu, dimano kayu berangkut di situ angin bertiup,
besar samo dibelah kecik samo ditemes, jangan mutuskan hukuman atau
lidah sebatang mato duo, harus makai kato orang yang banyak.
Hukuman adat
Luko ditangan dimuko tidak tertutup kain dan baju hukuman kambing,
nama hukuman berubah rupo kerendo.
Kalau keluar darah hukuman kain putih sekilo beras riyapuh(ribu), bangku
kursi beram(meram) pokok pangkal dan waris bukak sirih pinang kalau
mati hak rajo punyo
Aturan adat suku nan tigo
Yang tinggi samo dijuluk yang rendah samo dijangkau, yang gugur samo
diputar yang manis samo di makan yang pahit samo di luman, bungkuk
samo di lurus silang samo di susun yang lurus samo di ikat panjang samo di
kerat yang pendek samo di sambung, terhempai samo kering rendam samo
basah, tegak samo tinggi duduk samo rendah baring samo panjang, tagar
yang setengah delapan sebulan tiga pulh hari dikit samo dimakan,[ku]dak
ado samo dicari, patah adat mengatakan yang gedang gantung pucuk yang
kecik dapat berita terbenam samo di cukil, kok ha[m]<n>yut samo diputar
hilang samo dicari, adat itu punya rakyat bersama, besar di perkecil yang
kecil dipersudah asal di bayar kampung dipagar adat. Adat memagar
kampung kerabat sirih pinangan, sirih dijadikan jangat, pinang dijadikan
jantung, gambir dijadikan rebuh kapur dijadikan otak, tembako dijadikan
rambutnya, buluh adat iko adat keturunan suku nan tigo jangan dirubah
lagi kato orang yang diatas.
Di mana bumi di pinjak di langit di junjung, di mana tembilang tecacak di
situ tetanam tumbuh jangan terkurang diluar tertindih diatas jalan,
berambah nan di ikut kayu bertebang nan dititih, ngambik contoh nan sudah
teijak benang orang hitam tapak tesuruk gunung kapur putih tetungkuk
pulai bertingkat nenek meninggalkan buku dengan ruas manusio menurun,
Perbasuan menjauhkan tuturan kutandan pinang naik keatas meningalkan
uratnya, naik tandanya menurung kebawah, mengejar urat dan tanah jadi
pimpin itu ada dua sarat 1 mau di pilih 2 orang mau memilih, jadi pimpin
itu ada syratnya, telingo dipekakkan, mato dipejamkan, di jagakan dengan
kepalo yang sejuk, muko yang manis, tangan harus nan ringan, sebelum
bercakap di peliharo lidah sebelum berjanji, disiapkan, pakian berkato
denagan pimpin,bemuko lembut dan bersopan santun atau dengan bapak
guru dan orang-orang tuo tengani cerdik pandai alim ulama jangan awak
betingkahlah tenganai hiduplah mewah sampai lupo dimasa tuanyo, karna
orang semacum itu di sumpah adat suku nan tigo, jangan sampai tibo
dibatu, tertukik ajaknyo tibo dilumpur tidak berkesan jangan ambur-ambur
tali ajungan dipegang.
Jangan di kepak di<p>ukuli dipangil dikelakkan, jangankuman di barang
lautan tempat gajah di tepi, mato tidak Nampak, mato tidak liat, air beriak
tanda tak dalam, kelapo bernguncang tando tidak penuh, rajo kampung adat
yang menentukan hukum islah benarnyo yang kadang di perkecikan, yang
kecik di persudah asal di bayar hukumnya.
Kalau menurutkan orang belarian hukuman serba dua kambing 2 beras 20
gantang kelapo 20 butir, salak manis.
B. Latar Belakang Penulisan Naskah Tambo Hukum Adat Suku Nan Tigo
Di Desa Lubuk Bernai Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Menurut masnyarakat desa Lubuk Bernai adanya hukum adat ini dipercaya
berbarengan dengan berdirinya desa Lubuk Bernai. Yang dibawa oleh suku
Mandaliko yang berasal dari pagaruyung yaitu pada abad 17. Mereka
dipercaya sebagai penetap dan penentuan dari hukum adat tersebut. Namun
tidak semua hukum adat ini ditetapkan oleh orang-orang pagaruyung karena
ada pembauran dengan masnyarakat melayu yang sudah ada yang mendiami
Tungkal Ulu.
Dahulu dapat dikatakan bahwa masnyarakat asal yang sudah mendiami
daerah tersebut tidak mau mengikuti aturan adat yang dibawa oleh orang-
orang pagaruyung tersebut yaitu masnyarakat peningalan kerajaan Kutala
yang sudah memiliki struktur pemerintahanya sendiri yang dikepalai seorang
Demong, tetapi lambat laun akhirnya mereka mau menerima hukum adat yang
berasal dari pagaruyung tersebut.
Pembawa dari hukum adat ini adalah para pemimpin dari rombongan
pagaruyung, yang terdiri dari tiga bersaudara yang pertama Datuk Sultan Setio
Jayo yang sekarang makamnya di ulu sungai Pengabuhan, yang kedua
bernama Ratu Majeleng dan ketiga Datuk Sultan Mandaliko Panai yang
dipercaya sebagai pendiri pertama desa Lubuk Bernai yang makamnya berada
di desa tersebut.
Dari pengamatan peneliti dan wawancara dengan ketua adat desa Lubuk
Bernai, bahwa tambo hukum adat suku nan tigo ini hampir sama dengan
tambo yang ada di Pagaruyung. Akan tetapi tidak diketahui secara pasti apa
nama dari tambo tersebut, namun hanya bahasanya yang agak berbeda.2
Namun dahulu hukum adat ini hanya dituturkan saja dan di sampaikan
secara lisan kepada masnyarakat, lambat laun agar hukum adat ini ditulis di
kulit kerbau tujuannya agar para generasi sekarang ataupun generasi yang
akan datang mengetahui apa saja aturan atau hukum yang harus ditaati oleh
masnyarakat desa Lubuk Bernai. Dan tujuan yang lain, kenapa hukum adat ini
ditulis agar masnyarakat tahu bahwa hukum adat ini benar adanya dari dulu
hingga sekarang, bukan hanya omongan yang dibuat-buat oleh nenek moyang
terdahulu.
2 Hasil Wawancara dengan bapak Ali Hasan Tokoh Adat Desa Lubuk Bernai (Minggu, 23
Desember 2018).
Hukum adat ini ditulis pada masa kepala desa pertama desa Lubuk Bernai
atau dahulu disebut demong yang namanya tertulis di naskah tambo hukum
adat suku nan tigo yaitu datuk suroh pada tahun 1656 dengan kulit kerbau
yang ditulis dengan aksara Arab (Jawi) dengan mengunakan bahasa melayu.
Pada tahun 1901 kerajaan Jambi takluk keseluruhannya kepada
Pemerintahan Belanda termasuk Tanah Tungkal khususnya di Tungkal Ulu
yang Konteleir jenderalnya berkedudukan di Pematang Pauh. Sehingga
pecahlah perperangan antara masyarakat Tungkal Ulu dan Merlung dengan
Belanda termasuk desa Lubuk Bernai. Disinilah diperkirakan naskah yang
berisi hukum adat ini hilang atau dicuri. Namun ada juga yang berpendapat
bahwa naskah ini hilang pada masa kepala desa datuk Jatim pada tahun 1949.
Dan kemudian disalinan kembali pada kertas milimeter pada tahun 1954 pada
masa kepala desa datuk Suhur.
Sampai sekarang hukum adat desa Lubuk Bernai masih berpedoman
dengan naskah hukum adat terdahul dan tidak bisa berubah sampai kapan pun.
Hukum adat ini sekarang dipegang oleh ketua adat desa Lubuk Bernai yaitu
bapak Ali Hasan. Hukum ini digunakan ketika penduduk desa melangar aturan
yang telah ditulis dalam naskah ini. 3
C. Isi Dan Makna Yang Terkandung Dalam Naskah Tambo Hukum Adat
Suku Nan Tigo
Langkah kerja filologi telah dilakukan terhadap naskah tambo adat suku
nan tigo. Selanjutnya adalah mengetahui isi dan makna yang terkandung
dalam naskah ini. Tentunya dalam mengartikan beberapa kata yang
mengunakan bahasa yang kurang dipahami dan banyak soloko-soloko adat
yang tidak diketahui sebelumnya maka akan dialihkan menjadi bahasa
Indonesia agar mudah dipahami dengan berpedoman terhadap wawancara
yang penelitian lakukan dengan pemegang naskah. Begitu pula agar
mengetahui apa saja hukum atau aturan yang terdapat naskah.
3 Hasil Wawancara dengan bapak Ali Hasan Tokoh Adat Desa Lubuk Bernai (Minggu, 23
Desember 2018).
Adapun isi dan makna yang terkandung dalam naskah tambo adat suku
nan tigo sebagai berikut:
1. “Bunting dalam betunangan hukum kambing nama memukak seluk nenek
mamak tua tua tenganai”.
apabila seseorang laki-laki dan perempuan yang telah melaksanakan
pertunangan, namun dalam pertunangan tersebut wanita tersebut didapat
sedang hamil, maka hukumnya membayar dengan 1 ekor kambing.
2. “Belarian dalam bertunangan hukum melelek sirih menebang pinang”.
Apabia seorang laki-laki membawa lari perempuan yang sudah
bertunangan dengan orang lain hukumnya membayar dengan daun sirih
dan satu pohon buah pinang kepada keluarga wanita.
3. “Ketangkap basah dalam bilik atau hutan sunyi layu bungga setangkai”.
Apabila sepasang kekasih yang belum menikah tertangkap basah
sedang berhubungan dikamar atau hutan sepi hukumnya membayar
kambing.
4. “berjalan memegang anak bini orang tidak senang nama hukum telur
dimakan jadi tulang”.
Apabila seseorang didapat memegang anak istri orang lain hukumnya
kambing.
5. “kalau pemimpin adat dan syarak buat kesalahan dua kali lipat
memadamkan suluk”.
Apabila pemangku adat melakukan kesalahan yang berlaku di dalam
hukum adat hukumnya dua kali lipat dari masnyarakat lain.
6. “Yang keruh sama dijernihkan, yang kusut samo diselesaikan oleh tuo
tenganai, namun keruh biso diheningkan namun kusut biso dibukak caro
lambat lambat asal jadi elok, perhitung buruk di perlambat supayo jadi
baik, permata elok jangankan sampai tibul buruk, harum samo dicium
busuk samo diiguskan”.
Segala hal yang kotor harus di bersihkan, yang beratakan harus
diselesaikan oleh para petuah, namun hal yang berantakan bisa
dihilangkan sendiri dan diperbaiki secara lambat-lambat supaya jadi baik,
segalo hal yang dilakukan, lakukanlah dengan lambat-lambat supaya jadi
baik jangan tertergesah-gesah, dan sesuatu perbuatan yang baik itu jangan
dijadikan jelek, hal yang baik itu sama-sama kita bagikan dan yang jelek
itu sama-sama kita buang.
7. “jangan mengunting dalam lipatan, manis di luar busuk di dalam”.
Terhadap sesama manusia hendaknya selalu baik, jangan di luar baik
di dalam buruk.
8. “biar mati anak asal jangan mati adat, mati adat rusak sebuah kampung,
mati anak rusak sebuah rumah”.
Tidak apa-apa mati anak daripada mati adat karena kalau mati adat
hancurlah sebuah kampung, sedangkan kalau mati anak cuma merusakan
sebuah rumah.
9. “Jangan pepatah luar runcing di dalam adat iko dak hanyut di air nan
deras tidak rubuh diangin nan kencang, tidak mempan dibeset tajam, tidak
pilih sanak pemili”.
Adat ini sangat kuat tidak bisa digugat lagi, walau adat ini dibuang
atau dirusak hukum adat ini masih berlaku baik terhadap masnyarakat
maupun sanak saudara.
10. “jangan mutuskan hukuman atau lidah sebatang mato duo, harus makai
kato orang yang banyak”.
Seorang pemimpin adat tidak diperbolehkan memutuskan suatu
permasalahan sendirinya, harus mengikut perkataan orang banayak.
11. “Luko ditangan dimuko tidak tertutup kain dan baju hukuman kambing,
nama hukuman berubah rupo kerendo”.
Apabila melukai orang dengan luka besar hukumnya kambing
12. “Kalau keluar darah hukuman kain putih sekilo beras riyapuh”.
Kalau lukanya mengeluarkan darah deras hukumnya memberikan
kain putih dan sekilo beras.
13. “Yang tinggi samo dijuluk yang rendah samo dijangkau, yang gugur samo
diputar yang manis samo di makan yang pahit samo di luman, bungkuk
samo di lurus silang samo di susun yang lurus samo di ikat panjang samo
di kerat yang pendek samo di sambung, terhempai samo kering rendam
samo basah, tegak samo tinggi duduk samo rendah baring samo panjang,
tagar yang setengah delapan sebulan tiga pulh hari dikit samo dimakan,
dak ado samo dicari, patah adat mengatakan yang gedang gantung pucuk
yang kecik dapat berita terbenam samo di cukil, kok hanyut samo diputar
hilang samo dicari, adat itu punya rakyat bersama, besar di perkecil yang
kecil dipersudah asal di bayar kampung dipagar adat. Adat memagar
kampung kerabat sirih pinangan, sirih dijadikan jangat, pinang dijadikan
jantung, gambir dijadikan rebuh kapur dijadikan otak, tembako dijadikan
rambutnya, buluh adat iko adat keturunan suku nan tigo jangan dirubah
lagi kato orang yang diatas”.
Di soloko ini dijelaskan terhadap sesama hendaknya harus berkerja
sama dengan baik, tidak ada perselisihan terhadap sesama manusia, ada
masalah dilakukan bersama-sama. Dan apapun yang terdapat dalam
hukum ini tidak bisa diubah lagi.
14. “Di mana bumi di pinjak di langit di junjung, di mana tembilang tecacak
di situ tetanam tumbuh jangan terkurang diluar tertindih diatas jalan,
berambah nan di ikut kayu bertebang nan dititih, ngambik contoh nan
sudah teijak benang orang hitam tapak tesuruk gunung kapur putih
tetungkuk pulai bertingkat nenek meninggalkan buku dengan ruas
manusio menurun, Perbasuan menjauhkan tuturan ku tandan pinang naik
keatas meningalkan uratnya, naik tandanya menurung kebawah, mengejar
urat dan tanah jadi pimpin itu ada dua sarat 1 mau di pilih 2 orang mau
memilih, jadi pimpin itu ada syratnya, telingo dipekakkan, mato
dipejamkan, di jagakan dengan kepalo yang sejuk, muko yang manis,
tangan harus nan ringan, sebelum bercakap di peliharo lidah sebelum
berjanji, disiapkan, pakian berkato denagan pimpin, bemuko lembut dan
bersopan santun atau dengan bapak guru dan orang-orang tuo tengani
cerdik pandai alim ulama jangan awak betingkahlah tenganai hiduplah
mewah sampai lupo dimasa tuanyo, karna orang semacum itu di sumpah
adat suku nan tigo, jangan sampai tibo dibatu, tertukik ajaknyo tibo
dilumpur tidak berkesan jangan ambur-ambur tali ajungan dipegang”.
Disini dijelaskan syarat seorang pemimpin itu harus mau dipilih oleh
masnyarakat dan harus memilih, juga dijelaskan seorang pemimpin itu
harus berbuat adil, tidak boleh membedakan yang satu dengan yang lain,
tidak boleh berat sebelah, semua harus diperlakukan sama dan mendapat
hak yang sama karena mereka juga merupakan bagian dari orang yang
dipimpin.
15. “Jangan di kepak dipukuli dipangil dikelakkan, jangan di barang lautan
tempat gajah di tepi, mato tidak Nampak, mato tidak liat, air beriak tanda
tak dalam, kelapo bernguncang tando tidak penuh, rajo kampung adat
yang menentukan hukum islah benarnyo yang kadang di perkecikan, yang
kecik di persudah asal di bayar hukumnya, Kalau menurutkan orang
belarian hukuman serba dua kambing 2 beras 20 gantang kelapo 20 butir,
salak manis”.
Seseorang raja atau pemimpin yang menetukan hukum adat haruslah
hal apapun yang bersifat benar harus diperkecilkan, hal yang kecil
disudahi, tetapi harus membayar kabing, sedangkan kalau pempinana itu
menghidar dan tidak melakuakan kewajibanya hukunya dua kali lipat dua
ekor kambing, dua puluh gantang beras, dua puluh butir kelapa dan salak
manis.4
D. Fungsi Dan Peranan Naskah Terhadap Kehidupan Masnyarakat Desa
Lubuk Bernai
Menurut aliran fungsionalisme, hukum adat berfungsi sebagai pedoman
hidup bermasnyarakat agar masnyarakat utuh hidup tertib, tenang, tentram dan
damai menuju masnyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Tidak jauh juga seperti halnya masnyarakat di desa Lubuk Bernai mereka
mengangap bahwa hukum adat merupakan hal yang sangat berpengaruh
terhadap pemersatu masnyarakat. Tanpa hukum adat mereka tidak bisa
4 Hasil Wawancara dengan bapak Ali Hasan Tokoh Adat Desa Lubuk Bernai (Minggu, 23
Desember 2018).
menciptakan masnyarakat yang satu, tanpa hukum adat mereka tidak bisa
hidup dengan tertip, karena apa hukum adat itu merupakan suatu yang sakral
bagi masnyarakat.
Dari hasil yang peneliti dapatkan dan dari hasil wawancara kepada
penduduk desa setempat. Maka Adapun funsi hukum adat suku nan tigo
terhadap kehidupan masnyarakat desa Lubuk Bernai, di antaranya sebagai
berikut :
a. Dengan hukum adat tersebut masnyarakat bisa terhindar dari hal bersifat
kebodohan, kemiskinan, dan kemeralatan.
b. Hukum adat ini sebagai alat untuk mengubah masnyarakat agar sesuai
dengan yang dikedaki hukumya, agar menjadi lebih baik lagi dan menjadi
desa yang tentaram.
c. Dalam hukum adat ini bisa membantu masnyarakat supaya hidup lebih
tertib lagi, dan merupakan suatu keamanan bagi masnyarakat.
d. Dengan hukum adat ini juga bisa mendisplinkan seseorang atau penduduk
agar hidup lebih disiplin lagi.
e. Memberikan keadilan bagi masnyarakat contohnya seperti memberikan
sesuatu kepada seseorang apa yang menjadi haknya, sesuai dengan amal
bakti dan perbuatanya, secara jujur.
f. Membantu masnyarakat terhindar dari segala kejahatan atau virus-virus
perbuatan tercela.
g. Funsi hukum adat ini sebagai pemandu masnyarakat dalam berpikir,
berbuat atau bertindak dan berprilaku agar tidak tersesat (melanggar
hukum), fungsi ini diperoleh dari pengamatan terhadap penduduk desa.5
5 Hasil Wawancara dengan bapak Iblul dan bapak Taridi selaku penduduk Desa Lubuk Bernai
(Minggu, 17 Maret 2019).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dengan judul “Kajian Naskah Tambo
Hukum Adat Suku Nan Tigo Di Desa Lubuk Bernai Kabupaten Tanjung
Jabung Barat” maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. adanya hukum adat suku nan tigo ini dipercaya berbarengan dengan
berdirinya desa Lubuk Bernai. Yang dibawa oleh suku Mandaliko yang
berasal dari pagaruyung yaitu pada abad 17. Mereka dipercaya sebagai
penetap dan penentuan dari hukum adat tersebut. Namun tidak semua
hukum adat ini ditetapkan oleh orang-orang pagaruyung karena ada
pembauran dengan masnyarakat melayu yang sudah ada yang mendiami
Tungkal Ulu. Dahulu dapat dikatakan bahwa masnyarakat asal yang sudah
mendiami daerah tersebut tidak mau mengikuti aturan adat yang dibawa
oleh orang-orang pagaruyung tersebut yaitu masnyarakat peningalan
kerajaan Kutala yang sudah memiliki struktur pemerintahanya sendiri
yang dikepalai seorang Demong, tetapi lambat laun akhirnya mereka mau
menerima hukum adat yang berasal dari pagaruyung tersebut. Pembawa
dari hukum adat ini adalah para pemimpin dari rombongan pagaruyung,
yang terdiri dari tiga bersaudara yang pertama Datuk Sultan Setio Jayo
yang sekarang makamnya di ulu sungai Pengabuhan, yang kedua bernama
Ratu Majeleng dan ketiga Datuk Sultan Mandaliko Panai yang dipercaya
sebagai pendiri pertama desa Lubuk Bernai yang makamnya berada di
desa tersebut.
2. Naskah Tambo hukum adat suku nan tigo merupakan hal yang sangat
berpengaruh terhadap pemersatu masnyarakat. Tanpa hukum adat mereka
tidak bisa menciptakan masnyarakat yang satu, tanpa hukum adat mereka
tidak bisa hidup dengan tertip, karena apa hukum adat itu merupakan suatu
yang sakral bagi masnyarakat. Dengan hukum adat tersebut masnyarakat
bisa terhindar dari hal bersifat kebodohan, kemiskinan, dan kemeralatan.
Hukum adat ini sebagai alat untuk mengubah masnyarakat agar sesuai
dengan yang dikedaki hukumya, agar menjadi lebih baik lagi dan menjadi
desa yang tentaram. Dalam hukum adat ini bisa membantu masnyarakat
supaya hidup lebih tertib lagi, dan merupakan suatu keamanan bagi
masnyarakat. Dengan hukum adat ini juga bisa mendisplinkan seseorang
atau penduduk agar hidup lebih disiplin lagi.
3. Isi dari hukum adat suku nan tiga yaitu apabila seseorang laki-laki dan
perempuan yang telah melaksanakan pertunangan, namun dalam
pertunangan tersebut wanita tersebut didapat sedang hamil, maka
hukumnya membayar dengan 1 ekor kambing. Apabia seorang laki-laki
membawa lari perempuan yang sudah bertunangan dengan orang lain
hukumnya membayar dengan daun sirih dan satu pohon buah pinang
kepada keluarga wanita. Apabila sepasang kekasih yang belum menikah
tertangkap basah sedang berhubungan dikamar atau hutan sepi hukumnya
membayar kambing. Apabila seseorang didapat memegang anak istri
orang lain hukumnya kambing. Apabila pemangku adat melakukan
kesalahan yang berlaku di dalam hukum adat hukumnya dua kali lipat dari
masnyarakat lain. Segala hal yang kotor harus di bersihkan, yang
beratakan harus diselesaikan oleh para petuah, namun hal yang berantakan
bisa dihilangkan sendiri dan diperbaiki secara lambat-lambat supaya jadi
baik, segalo hal yang dilakukan, lakukanlah dengan lambat-lambat supaya
jadi baik jangan tertergesah-gesah, dan sesuatu perbuatan yang baik itu
jangan dijadikan jelek, hal yang baik itu sama-sama kita bagikan dan yang
jelek itu sama-sama kita buang. Terhadap sesama manusia hendaknya
selalu baik, jangan di luar baik di dalam buruk. Tidak apa-apa mati anak
daripada mati adat karena kalau mati adat hancurlah sebuah kampung,
sedangkan kalau mati anak cuma merusakan sebuah rumah. Adat ini
sangat kuat tidak bisa digugat lagi, walau adat ini dibuang atau dirusak
hukum adat ini masih berlaku baik terhadap masnyarakat maupun sanak
saudara. Seorang pemimpin adat tidak diperbolehkan memutuskan suatu
permasalahan sendirinya, harus mengikut perkataan orang banayak.
Apabila melukai orang dengan luka besar hukumnya kambing. Kalau
lukanya mengeluarkan darah deras hukumnya memberikan kain putih dan
sekilo beras. soloko ini dijelaskan terhadap sesama hendaknya harus
berkerja sama dengan baik, tidak ada perselisihan terhadap sesama
manusia, ada masalah dilakukan bersama-sama. Dan apapun yang terdapat
dalam hukum ini tidak bisa diubah lagi. Disini dijelaskan syarat seorang
pemimpin itu harus mau dipilih oleh masnyarakat dan harus memilih, juga
dijelaskan seorang pemimpin itu harus berbuat adil, tidak boleh
membedakan yang satu dengan yang lain, tidak boleh berat sebelah, semua
harus diperlakukan sama dan mendapat hak yang sama karena mereka juga
merupakan bagian dari orang yang dipimpin. Seseorang raja atau
pemimpin yang menetukan hukum adat haruslah hal apapun yang bersifat
benar harus diperkecilkan, hal yang kecil disudahi, tetapi harus membayar
kabing, sedangkan kalau pempinana itu menghidar dan tidak melakuakan
kewajibanya hukunya dua kali lipat dua ekor kambing, dua puluh gantang
beras, dua puluh butir kelapa dan salak manis.
B. Rekomendasi
Dari permasalahan yang dikemukan diatas, maka ada beberapa
rekomendasi yang disarankan antara lain:
1. Untuk pihak pemerintah daerah setempat khususnya pemerintah Provinsi
Jambi untuk dapat memberikan perhatian khusus terhadap setiap tokoh
pejuang Jambi agar lebih dikenal oleh masyarakat luas.
2. Kepada generasi muda diharapkan dapat kembali mengenal dan
mempelajari dan mencari tahu serta memahami hasil dari kebudayaan
terdahulu, baik berupa naskah atau aturan hukum adat masa lalu. Jangan
hanya terhanyut dalam perkembangan zaman sehingga tidak lagi
memandang hal yang bersifat tradisi dan budaya dan hukum adat sebagai
media pembelajaran yang baik dalam membangun jiwa dan mentalitas
sebagai warga negara Indonesia.
C. Kata Penutup
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadiran Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya serta hidayah-Nya berupa kesehatan dan
kekuatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini tentunya banyak sekali terdapat kekurangan dan
kesalahan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan kerendahan
hati penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi.
Akhirnya, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan rahmat-Nya kepada
kita semua. Amin ya rabbal’alam
DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh. 1985. Pengantar Teori Filolologi. Jakarta : Pusat pembinaan
dan pengembangan bahasa departermen pendidikan dan kebudayaan.
Darusuprapta. 1990. Ajaran Moral dalam Susastra Suluk. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Dewi Dinar Puspita. 2014. Preservasi Naskah Kuno.Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga.
Faturahman Oman. 2015. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Badan Litbang.
Fathurahman Oman. 2015. Filologi Indonesia. Jakarta: Prenamedia Group.
Ikram Achdiati. 1980. Filologi Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya.
Jamaris Edwar. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Manasco.
Mulyadi Sri Wulan Rujianti. 1994. Kodikologi Melayu Di Indonesia. Depok:
FS_UI.
Musthofa. 2010. Materi Kuliah Filologi Uin Sunan Kalijaga. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga.
Navis. 1984. Pemikiran Minangkabau. Bandung : Angkasa.
Pudjiastuti Titik. 2006. Naskah Dan Identitas Budaya. Bogor: Akademia.
Robson. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.
Rato Dominikus. 2015. Hukum Adat Kontemporer. Surabaya : Laks Bang Justitia.
Supriadi Dedi. 2011. Aplikasi Metode Penelitian Filologi Terhadap Pustaka
Pesantren. Bandung:Pustaka Rahmat.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1997. Penelitian Bahasa Dan Sastra
Dalam Naskah Cerita Sri Tanjung Di Banyuwangi. Jakarta: Pusat
Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa.
Luthfi Khabib Muhammad. 2016. Kontekstualisasi Filologi Dalam Teks-teks
Islam Nusantara. Jawa Tengah: Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 14, No 1.
Supriadi Didi. 2011. Tradisi Pembacaan Naskah Nyi Sri Pohaci Didesa
Racakalong Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Jakarta: Jurnal Manassa,
Vol. 1, No 2.
INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA (IPD) I
NO TEHNIK KAT SUPERTANYAAN
1 Wawancara Sejarah Tambo 1. Darimana asal Tambo?
2. Kapan Tambo dibuat?
3. Apa peranan Tambo bagi kehidupan
masnyarakat?
4. Apa isi yang terkandung dalam
Naskah Tambo Hukum Adat Suku
Nan Tigo?
5. Bagaimana latar belakang Naskah
Tambo Hukum Adat Suku Nan Tigo?
6. Hukum apa saja yang dimaksud
dalam naskah?
2 Dokumentasi Kajian tambahan 1. Adakah buku-buku atau arsip-arsip
yang berhubungan dengan naskah?
2. Adakah salinan lain dari naskah?
INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA (IPD) II
NO TEHNIK KAT SUBPERTANYAAN
1 Dokumentasi
dan
wawancara
Sejarah Desa 1. Bagaimana latar belakang
terbentuknya desa Lubuk Bernai?
2. Kenapa nama desa Lubuk benai
tercipta?
3. Suku apa yang pertama kali
mendiami desa Lubuk Bernai?
4. Siapa tokoh yang berpengaruh
terhadap terbentuknya desa Lubuk
Bernai?
5. Kenapa suku dari pagaruyung
datang ketungkal dan mendiami
wilayah desa Lubuk Bernai?
2 Dokumentasi
dan
wawancara
Geografis Desa 1. Ada berapa desa yang ada di
Kecamatan batang Asam?
2. Berapa jumlah Rt yang ada di desa
Lubuk Bernai?
3. Berapa jarak desa dari Kecamatan,
kota provinsi?
4. Berapa Luas desa Lubuk Bernai?
5. Batas-batas desa Lubuk Bernai?
6. Dampak geografis bagi kehidupan
masnyarakat desa Lubuk Bernai?
3 Dokumentasi
dan
wawancara
Kehidupan sosial
Manyarakat
1. Bagaiman sistem mata pencaharian
manyarakat desa pada masa lalu dan
masa sekarang?
2. Bagaimana hubungan sosial
masnyarakat yang bermacam-
macam?
3. Bagaimana keadaan agama di desa
Lubuk Bernai?
4. Bagaimana keadaan pendidikan di
desa Lubuk Bernai?
5. Bagaimana struktur pemerintahan
yang berlaku di desa Lubuk Bernai
6. Berapa jumlah penduduk yang
berada di desa Lubuk Bernai?
7. Suku apa saja yang berada di desa
Lubuk Bernai?
LAMPIRAN
Naskah Tambo Adat Suku Nan Tigo