42
Kajian Ormas Hidayatullah HIDAYATULLAH (ORGANISASI) Hidayatullah adalah sebuah organisasi massa (ormas) Islam di Indonesia. Namanya berasal dari dua kata dalam bahasa Arab: hidayat/hidayah dan Allah , yang berarti petunjuk Allah. Sejarah Hidayatullah didirikan pada tanggal 7 Januari 1973 (kalender Islam: 2 Dzulhijjah 1392 Hijr) di Balikpapan dalam bentuk sebuah pesantren oleh Ust. Abdullah Said (alm), kemudian berkembang dengan berbagai amal usaha di bidang sosial, dakwah , pendidikan dan ekonomi serta menyebar ke berbagai daerah di seluruh provinsi di Indonesia . Melalui Musyawarah Nasional I pada tanggal 9–13 Juli 2000 di Balikpapan, Hidayatullah mengubah bentuk organisasinya menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) dan menyatakan diri sebagai gerakan perjuangan Islam. Sejak 1978 Hidayatullah melakukan pengiriman da’i ke seluruh Indonesia dan mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Hidayatullah (STIM-HIDA) di Depok, Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL) di Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah (STIS Hidayatullah) di Balikpapan sebagai lembaga pendidikan untuk pengkaderan da’i dengan memberlakukan beasiswa penuh (biaya pendidikan dan biaya hidup) bagi mahasiswa STAIL dan STIS dengan pola ikatan dinas. Da'i ini kemudian mendapatkan tunjangan maksimal hingga 3 tahun atau sampai mereka mampu menjadi pelaku ekonomi di tempatnya berada. Mulai tahun 1998 lembaga pendidikan kader da’i ini telah menghasilkan lulusan dan telah mengirimkan da’i ke berbagai daerah terutama Indonesia Bagian Timur dan Tengah . Setidaknya setiap tahun, Hidayatullah mengirimkan 150 da’i ke berbagai daerah di Indonesia dengan 50 di antaranya adalah lulusan strata satu dari lembaga pendidikan kader da’i. Lembaga pendidikan Hidayatullah meliputi Taman Kanak-Kanak dan kelompok bermain pra sekolah, Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah di hampir semua Daerah, Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah 1

Kajian Ormas Hidayatullah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hidayatullah

Citation preview

Page 1: Kajian Ormas Hidayatullah

Kajian Ormas Hidayatullah

HIDAYATULLAH (ORGANISASI)

Hidayatullah adalah sebuah organisasi massa (ormas) Islam di Indonesia. Namanya berasal dari dua kata dalam bahasa Arab: hidayat/hidayah dan Allah, yang berarti petunjuk Allah.

SejarahHidayatullah didirikan pada tanggal 7 Januari 1973 (kalender Islam: 2 Dzulhijjah 1392

Hijr) di Balikpapan dalam bentuk sebuah pesantren oleh Ust. Abdullah Said (alm), kemudian berkembang dengan berbagai amal usaha di bidang sosial, dakwah, pendidikan dan ekonomi serta menyebar ke berbagai daerah di seluruh provinsi di Indonesia. Melalui Musyawarah Nasional I pada tanggal 9–13 Juli 2000 di Balikpapan, Hidayatullah mengubah bentuk organisasinya menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) dan menyatakan diri sebagai gerakan perjuangan Islam.

Sejak 1978 Hidayatullah melakukan pengiriman da’i ke seluruh Indonesia dan mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Hidayatullah (STIM-HIDA) di Depok, Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL) di Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah (STIS Hidayatullah) di Balikpapan sebagai lembaga pendidikan untuk pengkaderan da’i dengan memberlakukan beasiswa penuh (biaya pendidikan dan biaya hidup) bagi mahasiswa STAIL dan STIS dengan pola ikatan dinas. Da'i ini kemudian mendapatkan tunjangan maksimal hingga 3 tahun atau sampai mereka mampu menjadi pelaku ekonomi di tempatnya berada.

Mulai tahun 1998 lembaga pendidikan kader da’i ini telah menghasilkan lulusan dan telah mengirimkan da’i ke berbagai daerah terutama Indonesia Bagian Timur dan Tengah. Setidaknya setiap tahun, Hidayatullah mengirimkan 150 da’i ke berbagai daerah di Indonesia dengan 50 di antaranya adalah lulusan strata satu dari lembaga pendidikan kader da’i.

Lembaga pendidikan Hidayatullah meliputi Taman Kanak-Kanak dan kelompok bermain pra sekolah, Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah di hampir semua Daerah, Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah setidaknya ada di setiap Wilayah dan 3 perguruan tinggi di Surabaya, Balikpapan dan Depok.

Pusat Pendidikan Anak Shaleh (PPAS) adalah institusi berupa pesantren bagi anak yatim piatu. Ada lebih dari 200 Pusat Pendidikan Anak Shaleh (PPAS) dengan jumlah anak yatim piatu dan tidak mampu dimana setiap PPAS menampung sekitar 150 orang anak.

Jaringan kerja Hidayatullah (hingga Desember 2005) didukung dengan keberadaan 26 DPW dan 194 DPD, 51 DPD terdapat di Pulau Jawa dan 143 DPD ada di luar Pulau Jawa. Pada akhir 2006 direncanakan terdapat tambahan 66 DPD dan 4 DPW. Jumlah DPC, PR dan PAR tidak dicantumkan karena pertumbuhannya yang terus berubah.

Untuk periode 2005-2010, Pimpinan Umum/Ketua Dewan Syura adalah Ustadz H Abdurrahman Muhammad sedangkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dijabat oleh Dr. H. Abdul Mannan, didampingi Sekjend BM Wibowo.

Sebagai organisasi massa Islam yang berbasis kader, Hidayatullah menyatakan diri sebagai Gerakan Perjuangan Islam (Al-Harakah al-Jihadiyah al-Islamiyah) dengan dakwah dan tarbiyah sebagai program utamanya. Keanggotaan Hidayatullah bersifat terbuka, dimana usahanya berfungsi sebagai basis pendidikan dan pengkaderan.

1

Page 2: Kajian Ormas Hidayatullah

Metode (manhaj nubuwwah') Hidayatullah yaitu berpegang pada al Qur’an dan as-Sunnah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hidayatullah berfokus pada pelurusan masalah aqidah, imamah dan jamaah (tajdid); pencerahan kesadaran (tilawatu ayatillah); pembersihan jiwa (tazkiyatun-nufus); pengajaran dan pendidikan (ta’limatul-kitab wal-hikmah) dengan tujuan akhir melahirkan kepemimpinan dan ummat.

Mengenal Sosok Abdullah Said, Pendiri Hidayatullah           Semangat sebagai aktivis dipadukan dengan moral pesantren. Berdakwah tidak hanya

secara verbal, tapi juga dengan membuahkan karya-karya yang dibutuhkan oleh umat. Anak ketiga dari empat bersaudara buah pasangan Abdul Kahar dengan Aisyah itu

terlahir dengan nama Muchsin Kahar (Lahir di Panreng, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, 17 Agustus 1945). Tingginya 155 cm dengan tubuh tambun, berkumis dan berjambang. Itulah penampilan Muchsin Kahar yang lebih dikenal dengan nama Ustad Abdullah Said. Nama ini menjadi tenar karena kiprahnya di bidang pembaruan pondok pesantren dalam bentuk memompa etos kerja para santrinya. 

Muchsin Kahar, ketika lahir, tak seperti umumnya bayi yang dikandung selama 9 bulan 10 hari. Aisyah melahirkan Muchsin setelah mengandungnya selama 2 tahun penuh. Berita tentang jabang bayi yang tak mau keluar dari perut ibunya itu menyebar ke seantero Sinjai. Berita miring nan mistis pun kerap diperbicangkan orang. “Yang dikandung Aisyah itu bukan manusia, tapi buaya atau ular,” begitu sebagian perbincangan masyarakat ketika usia kandungan Aisyah sudah melewati bulan ke-10.    

Tapi sang ayah, Abdul Kahar, yang juga seorang ustad, dengan sabar dan tawakal menunggu kelahiran anaknya, kapanpun anak tersebut lahir ke dunia yang fana ini. Ia tak percaya dengan semua omongan atau rumor yang berkembang di masyarakat saat itu.  "Dan memang betul, yang lahir saya. Manusia normal," kata Muchsin sembari melepas tawa.  

Untuk pertama kalinya Muchsin mendapat pelajaran agama dari ayahnya. Sedangkan pendidikan dasarnya ditempuh di Sinjai dan Makassar. Setelah lulus SD ia melanjutkan ke PGA (Pendidikan Guru Agama) 6 tahun, selesai pada 1964. Selama di PGA inilah Muchsin Kahar menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku dan latihan pidato sejak kecil. Tak heran, sejak usia 12 tahun ia sudah pandai berpidato dan diundang ke berbagai tempat. Ketika di PGA itulah Muchsin dikenal sebagai mubaligh yang cukup tenar di jamannya. Bahasa yang dipakai lugas, mudah dicerna, dan selalu optimistis.  

Muchsin punya keistimewaan, antara lisan dan perbuatannya selalu mencerminkan optimistis dalam menjalani hidup ini. Ia selalu melihat ke depan dengan terang benderang. Tak ada kamus pesimistis dalam hidupnya. Percaya dirinya tinggi. Itu pula yang membuatnya selalu meyakinkan ketika berdialog dengan lawan bicaranya. Ya, optimistis, itulah bahasa dakwah yang selalu ia utarakan, tulis, dan praktikkan dalam hidup sehari-hari. Sifatnya yang ramah dan sederhana dalam pembawaan membuatnya disegani, bukan ditakuti. Ia selalu merangkul untuk berbuat kebaikan bersama-sama, tapi, ia juga tak segan-segan untuk bersikap tegas terhadap segala sesuatu yang berbau kemunkaran.  

Seusai lulus dari PGA, Muchsin mendapat tugas belajar di IAIN Ujungpandang pada Fakultas Tarbiyah. Ketika menjadi mahasiswa itulah Muchsin aktif di berbagai organisasi yang dimasukinya. Antara lain Pelajar Islam Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, Himpunan Mahasiswa Islam, dan Mahasiswa Abituren Siswa Departemen Agama. Selain berorganisasi dan membaca buku, Muchsin juga menimba ilmu agama dari ketiga gurunya, yakni: KH Abdul

2

Page 3: Kajian Ormas Hidayatullah

Malik Ibrahim, KH Abdul Djabbar Asjiri, dan KH Ahmad Marzuki Hasan-ketiganya berada di Sulawesi Selatan. 

Tapi, setelah tahun kedua, karena kesibukannya berdakwah, kuliahnya keteteran. "Nilainya tidak memenuhi standar yang dituntut. Akhirnya saya berhenti," katanya mengomentari mengapa ia keluar dari IAIN. Nilainya tak memenuhi standar bukan berarti Muchsin lamban atau tak mampu mengikuti studi di perguruan tinggi.  

Anak yang dikenal cerdas ini tak betah di IAIN lebih disebabkan karena ia melihat kehidupan di kampusnya kurang mencerminkan apa yang dibayangkannya, yakni, kehidupan yang benar-benar Islami. Ia bahkan melihat bahwa IAIN hanya tempat untuk belajar, mengkaji, tapi belum nampak pengamalan atas ajaran dan nilai-nilai Islami secara ketat. Inilah yang membuatnya tidak betah, lalu ia mencari aktivitas di luar yang lebih konkrit. Dan itu pula yang membuatnya tenggelam dalam kreasi dakwah yang, tentunya, menyebabkan kuliahnya terbengkalai. Keluar dari IAIN tak membuatnya duka, ia bahkan lebih bebas dan bisa optimal berekspresi sambil berdakwah.

Adapun keaktifannya di organisasi membuat Muchsin belajar ilmu dan seni kepemimpinan, manajemen, pengambilan keputusan, dan memotivasi orang. Perhatiannya pun makin peka kepada realita kehidupan. Muchsin peduli kepada lingkungan sekitar. Ia selalu gelisah terhadap persoalan yang mengimpit umat Islam. 

Lewat organisasi pula Muchsin bertandang ke Pulau Jawa, ketika pada  tahun 1968 ia mengikuti Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Yogyakarta. Pengalaman pertamanya ini menggugah keinginannya untuk kembali mendalami ilmu agama di pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa. Setelah kembali sebentar ke Makassar, mulailah pengembaraannya di Pesantran Gontor, Bangil, (keduanya di Jawa Timur) dan berlabuh di Pekalongan (Jawa Tengah) dengan berguru kepada KH Abdul Ghaffar Ismail.  

Tapi, setiap kali berlabuh di pesantren-pesantren itu Muchsin tak lebih dari tiga bulan. Ia selalu gelisah. Dalam dirinya terjadi konflik akibat tidak berdaya memainkan dua peran yang kontras: sikap meledak-ledak sebagai hasil bentukan organisasi dan sikap diam serta tekun sebagai keharusan hidup di pesantren. "Ada rasa tidak puas, dan memberontak," tuturnya. Ia pun mulai mengkritik bahwa organisasi Islam tempat ia berkecimpung tidak memprioritaskan ajaran Islam dalam pemecahan masalah di masyarakat. Begitu pula dengan pesantren. Ia  ingin mengawinkan pola kerja organisasi dengan pesantren, sehingga bisa menutupi kelemahan yang dirasakannya. 

Puncak dari "pemberontakannya" terjadi tahun 1969. Saat itu perjudian sedang merajalela di Ujungpandang. "Sebagai mubalig, tidak nyaman melihat keadaan itu," katanya. Maka beraksilah ia beserta teman-teman yang sepaham. Agen perjudian diserbu dan diobrak-abrik. "Tindakan ini mengundang amarah aparat. Beberapa rekan saya ditahan. Sedangkan saya sempat lolos ke Balikpapan," katanya. Muchsin dikejar-kejar polisi karena menggalang pemuda Muhammadiyah untuk merusak tempat-tempat perjudian yang meletus pada 28 Agustus 1969. Oleh para Kiai, Muhsin disuruh menghilang dari Makassar. Maka, pada 25 Desember 1969 ia  meninggalkan Makassar menuju Balikpapan, Kalimantan Timur. 

Di Balikpapan  inilah Muchsin mengganti namanya menjadi Abdullah Said, dan kembali berdakwah. Pada 1971, ia mengajukan ide mendirikan pondok dan perkampungan muslim, kepada pengurus Muhammadiyah. Tapi, cita-cita tersebut dianggap sulit diwujudkan. Ia tak mau berpangku tangan. Ia merantau ke Pulau Jawa, mencari guru ngaji, dan berhasil mengajak lima pemuda jebolan pesantren, yaitu Hasyim HS (Gontor, Ponorogo), Usman Palese (Persis Bangil),

3

Page 4: Kajian Ormas Hidayatullah

A Hasan Ibrahim (Krapyak-Yogyakarta),  serta A. Nazir Hasan dan Kisman (Akademi Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta). 

Perintisan pesantren yang diberi nama Hidayatullah itu dimulai dengan pengajian kecil-kecilan dan berpindah-pindah. Ia sempat meminjam tempat jemuran padi berukuran 3x4 meter persegi. Di sanalah dilakukan semua kegiatan, mulai makan, tidur, salat, sampai belajar. Kemudian, ada yang meminjamkan emperan rumah. Santrinya tak lebih dari 10 orang. 

Pengajian yang dilakukan oleh sekumpulan anak muda itu sempat dicibir oleh sebagian masyarakat. Bahkan, ada yang menuduhnya sebagai aliran sesat. Rupanya, ketenaran Abdullah Said ada yang mengendusnya. Pada 1974, ada yang melaporkan ke polisi bahwa Abdullah Said adalah Muhsin Kahar yang terlibat dalam aksi menentang judi lotto di Makassar. Ia pun akhirya mendekam di tahanan Wisma Purwa, Balikpapan, selama sepekan. Salah seorang pengurus pesantren Hidayatullah yang juga anggota DPR Kodya Balikpapan, Abdul Syukur Ismail, menjadi jaminan agar Abdullah dibebaskan.  

Bebas dari sel tahanan, Oktober 1974, Abdullah secara kesatria datang ke Makassar, untuk menyelesaikan masalah yang sudah sekian lama “tersimpan”. Ia datang ke Makassar, selama sebulan. Di sana, ia melakukan dakwah keliling, dengan suara yang kritis, termasuk terhadap sikap pemerintah yang membiarkan semua bentuk kemaksiatan berjalan tanpa ada halangan. Ia pun mendatangi pihak kejaksaan. Ternyata, karena masalahnya dianggap kadaluwarsa, oleh pihak kejaksanaan Abdullah dibebaskan. Tentang tudingan sebagai aliran sesat, Wali Kota Balikpapan, Letkol (Pol) H Asnawi Arbain, datang untuk memastikannya. Bukan larangan yang ia keluarkan. Ia malah mendukung. Asnawi lalu menunjuk daerah di Gunung Tembak, bekas HPH, yang mungkin bisa dijadikan pesantren. Dalam jangka lima bulan, hutan semak belukar dan rawa berhasil dibenahi dan jadi permukiman yang artistik. Sarana pun memadai, ada masjid, perpustakaan, asrama, dan ruang belajar.  

Abdullah Said dikenal ulet, tekun, dan penuh percaya diri. Ia juga seorang motivator ulung dan pemompa semangat. Tak pernah mengenal kata kalah. Keuletan inilah yang membuat Abdullah Said berhasil "menundukkan" Balikpapan yang pada awalnya tidak bersahabat. Pada 5 Agustus 1976, Pondok Pesantren Hidayatullah diresmikan Menteri Agama Prof. Dr. H.A. Mukti Ali. Berbagai fasilitas di sini ada. Mulai dari pendidikan, asrama, masjid, rumah sakit, asrama yatim piatu, lapangan olah raga, perkebunan, peternakan, dan perikanan. 

Keberhasilan Abdullah Said tidak menjadikan hidupnya lain dengan santrinya. Ia tetap sederhana, sehari-hari hanya memakai sarung dan baju takwa serta kopiah hitam. Bila ada tamu pejabat, baru ia memakai setelan safari. Tidak memiliki rumah pribadi, mobil pribadi, apalagi memikirkan warisan untuk anak- anaknya. Ia tetap mendiami salah satu rumah di lingkungan pondok beserta istrinya, Aida Cheret, dan anak-anaknya.  

Abdullah Said belum merasa selesai berjuang. Ia menginginkan napas Hidayatullah bisa meresap dalam pemerintahan, secara luas. "Kita ingin Hidayatullah landing di tiap kabupaten sampai menjadi kekuatan yang diminati aparatur Pemerintah sehingga dapat ikut membentuk pola pikiran yang Islami dalam menjalankan tugasnya," katanya. 

Rupanya, Allah punya rencana lain. Di usianya yang baru 52 tahun, 4 Maret 1998, Abdullah Said meninggal dunia. Ia boleh tiada, tapi semangat juangnya tak pernah redup. Pesantren Hidayatullah misalnya, sudah beranak pinak, tersebar di berbagai kota dan pelosok nusantra. Dari pesantren inilah etos kerja Islami benar-benar dipompakan secara maksimal.  

Para santri dan da’i di lingkungan Hidayatullah dikenal sebagai orang-orang yang khusyuk beribadah, tapi juga giat dalam beraktivitas untuk kehidupan sehari-hari. Sebagaimana

4

Page 5: Kajian Ormas Hidayatullah

Abdullah Said, para aktivis di Hidayatullah tak pernah mengenal kata tidak bila diberi amanah. Dan semangat itulah yang terus terpelihara di  dimana pun keberadan mereka.

Struktur dan Mekanisme OrganisasiPengurus organisasi tingkat pusat terdiri dari Dewan Syura dan Dewan Pimpinan Pusat.

Dewan Syura merupakan lembaga tertinggi organisasi, dipimpin oleh Ketua Dewan Syura yang sekaligus merupakan Imam bagi jamaah Hidayatullah, dengan sebutan Pemimpin Umum. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat dipilih lewat Musyawarah Nasional, dan Pengurus DPP disahkan oleh Pemimpin Umum di dalam Munas tersebut untuk jangka waktu 5 tahun.

Struktur di bawah Dewan Pimpinan Pusat (DPP)terdiri dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW/tingkat Provinsi), Dewan Pimpinan Daerah (DPD/tingkat Kabupaten/Kota), Dewan Pimpinan Cabang (DPC/tingkat Kecamatan), Pimpinan Ranting (PR/tingkat Desa/Kelurahan), Pimpinan Anak Ranting (PAR/tingkat RW/RT). Ketua Dewan Pimpinan Wilayah/Daerah/ Cabang dipilih oleh Musyawarah di tingkat masing-masing dan disahkan oleh struktur di atasnya.

Pesantren HidayatullahPesantren Hidayatullah adalah jaringan pesantren milik organisasi massa (ormas) Islam

Hidayatullah, didirikan di Balikpapan pada tanggal 7 Januari 1973/2 Dzulhijjah 1392 H.Pesantren Hidayatullah seperti halnya pesantren di tempat lain, berfungsi sebagai tempat

untuk mendalami ilmu-ilmu agama (dinniyah). Pesantren dengan luasan kampus yang dimiliki juga berfungsi sebagai miniatur atau percontohan bagi kehidupan berimamah dan berjamaah dalam Islam. Selain dihuni santri yang tinggal di asrama, di pesantren juga tinggal guru, pengasuh, pengelola dan jamaah Hidayatullah yang berkeinginan tinggal di dalam Pesantren dalam rangka belajar hidup berimamah dan berjamaah.

Dengan segala keterbatasan namun dengan penuh kesungguhan, syariat coba ditegakkan. Kepemimpinan dipatuhi, kewajiban shalat berjamaah, puasa dan zakat dilaksanakan, infak dan shadaqah digalakkan.

Salah satu kelebihan Pesantren Hidayatullah adalah memiliki majalah dakwah bulanan bernama Majalah Hidayatullah yang tersebar ke seluruh Indonesia melalui jaringan pesantren ini.

Pesantren-pesantren Hidayatullah berfungsi sebagai tempat untuk mendalami ilmu. Pesantren ini dihuni santri yang tinggal di asrama, guru, pengasuh, pengelola dan jamaah Hidayatullah.

Pola pengajaran di Pesantren Hidayatullah adalah sistem pesantren modern, yaitu penggabungan mata ajaran umum dan mata ajaran khusus atau keislaman. Mata ajaran umum sama seperti mata ajaran pada sekolah-sekolah umum lainnya, contohnya matematika, fisika, kimia dll. Mata ajaran khusus yaitu mata ajaran yang berkaitan dengan keislaman, contohnya aqidah, fiqih, bahasa arab, dan hafalan/tahfidz Al-Qur'an, serta masih banyak lagi mata ajaran yang lain, sesuai dengan jenjang pendidikan dan letak kampus (contoh: kurikulum di Surabaya sedikit berbeda dengan di Jakarta).

Baitul Maal HidayatullahBaitul Maal Hidayatullah (BMH) adalah lembaga di bawah Hidayatullah yang berfungsi

mengelola dana zakat, infaq, shadaqah dan wakaf ummat. Baitul Maal Hidayatullah (BMH) mendapat pengukuhan sebagai lembaga amil zakat nasional melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 538 tahun 2001.

5

Page 6: Kajian Ormas Hidayatullah

BMH mengelola dana milik ummat yang dipercayakan kepada Hidayatullah untuk disalurkan bagi pemberdayaan ummat, memajukan lembaga-lembaga pendidikan maupun sosial, memajukan dakwah Islam, mengentaskan kaum dhuafa (lemah) maupun mustadh’afin (tertindas).

Kini Baitul Maal Hidayatullah telah memiliki 30 kantor perwakilan dan 144 jaringan pos peduli (mitra).

Majalah Suara HidayatullahMajalah Suara Hidayatullah, atau biasa disingkat Majalah Hidayatullah merupakan salah

satu dari badan usaha di lingkungan Hidayatullah yang menggarap bidang pers. Majalah ini dikelola oleh PT Lentera Jaya Abadi, sebuah badan usaha milik ormas Hidayatullah.

Awalnya, majalah ini hanya berupa buletin hasil karya beberapa santri di Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Mengingat betapa strategisnya dakwah bil qalam melalui media massa, buletin tersebut terus dikembangkan sampai akhirnya berbentuk majalah seperti sekarang.

Majalah Suara Hidayatullah berisi tentang problematika dan dinamika dakwah, baik di Indonesia maupun dunia. Di dalamnya ada rubrik wawancara dengan tokoh ternama, kajian al-Qur`an dan Hadits, kisah kepahlawanan perjuangan da’i di berbagai pelosok tanah air, hingga masalah keluarga.

Tiras majalah yang terbit sebulan sekali ini sekarang mencapai 50.000-55.000 eksemplar, tersebar di seluruh pelosok tanah air, mulai dari Banda Aceh sampai Merauke. Majalah Suara Hidayatullah berkantor pusat di Surabaya, Jawa Timur.

Sejarah berdirinya Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah BontangYayasan Pondok Pesantren Hidayatullah (YPPH) Bontang Adalah salah satu Cabang

pondok pesantren Hidayatullah yang berpusat di Balikpapan, YPPH adalah Pesantren yang mencetak santrinya menjadi kader yang tangguh untuk berjuang dalam pengembangan Islam secara menyeluruh Pesantren Hidayatullah memiliki kekhasan tersendiri dibanding dengan pondok pesantren lainnya.

Spesifikasi (kekhasan) pondok pesantren ini terutama terletak pada konsistensinya yang kuat sebagai pondok pesantren pencetak kader dakwah yang didasarkan pada filosofi perjalanan perjuangan Rasulullah Saw., dengan metode (manhaj) Sistematika Nuzulnya Wahyu, ide dan metode pendidikan ini merupakan kontinuitas dan pengembangan dari gagasan besar almarhum ustadz Abdullah Said selaku perintis dan pendiri YPPH Pusat Balikpapan.

21 Januari Masuk lewat Berbas, Ust. Abdrurrahman Muhammad (Sekarang Pimpinan Umum Pesantren Hidayatullah dan KetuaUmum Dewan Syuro Hidayatullah) bersama Ust. Latief Usman ditugaskan dalam jangka satu bulan pada 28 februari 1982 kedua ustazd ini mulai menyebarkan da’wah di Wilayah Bontang, namun pada 18 Maret 1982 Abdul Latief Usman ditarik kembali ke Balikpapan, Ust.Abdurrahman Muhammad masih tetap tinggal di daerah Berbas.

Abdul Madjid Aziz didampingi Bakhtiar Abdul Razak dan Abdul Haris Amin Bachrun ditugaskan ke berbas untuk menangani proyek madrasah PP.Hidayatullah pada 9 Juni 1982.

Pada 24 Oktober ditugaskan tiga orang bujang Jazman, Jamaluddin Sinjai, Burhanuddin Noor (Pinrang) Menjelang pernikahan 28 Januari 1983 Jazman kembali ke balikpapan bersama Mursidi dan Abdurrahim Ambo Tang yang bertugas di Hidayatullah Cab. ITCI Kenangan, Abidin Sahab menggantikan posisi Jazman di Berbas, Mansur Aziz bersama keluarga ditugaskan diberbaspada 18 juli 1983 setelah ust. Abdurrahman Muhammad ditarik kembali ke Balikpapan,

6

Page 7: Kajian Ormas Hidayatullah

Ditempat lain juga yang masih wilayah bontang, Lhok Tuan Muhammad Natsir memimpin sebuah madrasah, karena telah memiliki santri yang banyak, akhirnya datang ke Balikpapan menghadap ust. Abdullah Said menyampaikan bahwa beliau mulai kewalahan membina santrinya yang mulai banyak, oleh karena itu belia mengharapkan bantuan tenaga untuk membantu mengelola madrasah itu. Permohonan ini di respon oleh ustazd Abdullah Said dengan menugaskan Abdul Majid Aziz dan Ismail Kalosi Serta M. Natsir sendiri untuk mengelola madarasah itu.

Abdul Madjid Aziz dan Muhammad Amin Abdul Fattah, seorang pebisnis yang sudah bergabung dengan Hidayatullah juga. Beliau mempunyai teman namanya Muhammad Noor yang ada sangkutan utang sebanyak Rp.800.000,- yang kemudian menyerahkan tanahnya di Km8 seluas 1,5 Ha, dan utangnya dianggap lunas, dan Muhammad Noor Sangat senang dapat menyerahkan tanah tersebut untuk pengembangan pesantren Hidayatullah.

Diatas tanah itulah dimulai kegiatan pesantren , sebagai tukang ahli Pak Madjid Aziz  dengan segera berfikir bangunan, Masjid segera dibangun kemudian gedung sekolah untuk Diniyah.  Dari Km. 8 berkembang ke Gunung Sari, sebuah tempat yang dapat dijadikan secretariat, wakaf Pak Rauf, luasnya 6m x 7 m. sebagian dibeli. Pak Madjid Aziz dan akhirnya memboyong keluarganya ke tempat itu.

Amin Fattah yang menempati rumah di Gunung Sari Luar itu menukar dengan tempat yang ada di Gunung Sari Dalam ( kampus yang ada sekarang ) dengan tanah milik H.Pua Edi  seluas 1,5 Ha ditambah uang sebanyak Rp. 74.000.000,-

Setelah persiapan kampus baru ini sudah dapat dimasuki walaupun masih hutan belukar, Usman Palese berusaha membebaskan lagi tanah seluas tiga hektar kemudian membangun sebuah Mushallah mungil bersegi enam filosofinya karena rukun Islam ada 6, asrama santri dan rumah untuk guru. Di Zaman Amin Fattah, yang ditugaskan menggantikan Usman Palese karena ditarik ke Balikpapan. Untuk menangani Baitul Maal, membangun enam local madrasah. Disaat itu juga dibangun pondasi Masjid tapi akhirnya kiblatnya di betulkan. Amin Fattah juga mengembangkan peternakan ayam kampong di Km.8. seterusnya Muhmmad Amin Abdul Fattah di tugaskan ke Sangatta untuk merintis usaha dan membuka cabang Hidayatullah di sangatta.

Di Zaman Abdurrahman Muhammad yang sebelumnya bertugas di Irian Jaya, Bontang kian meningkat baik dari segi fisik yakni perluasan kampus dan bangunan juga pengembangan pendidikan dan pembinaan emat. Jamaluddin Ibrahim ditunjuk sebagai bendahara sekaligus belajar memimpin dari Ust. Abdurrahman Muhammad yang dikenal sangat tinggi komitmen kelembagaannya.

Atas komando Ust. Abudrrahman Muhammad, seluruh personil di sampingnya, bergerak seperti mesin. Sehingga banyak sekali kemajuan diperoleh. Terutama penertiban kampus dan manuver Da’wah Jamaluddin Ibrahim sebagai tulang punggung selalu siap menunggu dan melaksanakan komando. Pembangunan Masjid yang cukup besar dan indah ( masjid sekarang AR-Riyadh) itu mulai pembangunannya di zaman Ust. Abdurrahman Muhammad spirit kelembagaan juga dirasakan sangat tajam karena pengarahan-pengarahan yang diberikan tidak pernah lepas dari koridor manhaj sistimatika nuzulnya wahyu.

Kepemimpinan di Bontang diteruskan oleh Ust. Jamaluddin Ibrahim cukup banyak perkembangan dibawah kepemimpinan beliau,  terutama penyelesaian Masjid besar. Purta asal Donggala ini semasa nyantri di balikpapan ditugaskan mencari dana, sehingga dunia pencarian dana adalah dunianya. Ada dua perusahaan besar di Bontang yang cukup membantu yakni PT Badak dan Pupuk Kaltim yang tokoh-tokohnya cukup mengenal baik Ust. Jamaluddin Ibrahim

7

Page 8: Kajian Ormas Hidayatullah

sehingga kalau ada kesulitan di pesantren  tak segan-segan bersilaturrahim ketokoh-tokoh kedua perusahaan besar ini.  Zakat Infak dan Sadoqah dari kedua perusahaan tersebut cukup tinggi.

Pendidikan juga cukup berkembang di bawah kepemimpinan beliau, jenjang pendidikan mulai dari Pendidikan Usiah Dini/ TK  hingga SMU telah berjalan dengan baik, lengkap dengan fasilitas gedung bertingkat dan peralatan untuk memudahkan proses belajar mengajar. Rumah-rumah warga telah dibangun dengan jaminan yang cukup lumayan,  Kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh Ust. Sofyan Sumlang selama tiga tahun lebih, dan system pendidikan mulai dibenahi dari metode klasik dirubah methodenya menjadi methode active learning, Hingga sekarang dibawah kepemimpinan Ust. H. Ahmad Nurdin, Mulai dari (PAUD) TK, MI, SMP dan SMA telah menggunakan Methode Active Learning yang mengarah kepada standar nasional . Dikota Bontang  sekolah milik Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah ini sudah  mulai diperhitungkan.  

VisiMenjadi Lembaga Pendidikan dan Pengkaderan Islam yang unggul, amanah dan mandiri.

Misi1.      Menjadikan masjid sebagai pusat gerakan dan pembinaan spiritual.2.      Menyelenggarakan pendidikan profesional yang dapat melahirkan kader berahlak mulia,

cerdas, mandiri dan memiliki tanggung jawab mengangkat martabat ummat. 3.      Menjadikan kampus sebagai alat peraga dakwah dan pendidikan yang Islamiah,ilmiah dan

alamiah. 4.      Membentuk lembaga-lembaga ekonomi yang dapat mendukung terselenggaranya proses

pendidikan dan pengkaderan.

Struktur Yayasan Pondok Pesantren HidayatullahKetua             : Ustadz Mathori S., HP. 0813-540466597, 0812-53040340Sekretaris       : Ustadz Muhammad Randi, HP. 0815-9986526, 0878-11102971Bendahara     : Ustadz Nurdin AR, HP. 0813-46399439         

  Dewan Pimpinan Daerah Hidayatullah BontangKetua             : Ustadz Zulkifli MS, HP. 0812-5335833     Sekretaris       : Ustadz Islamuddin, HP. 0813-46305308Bendahara     : Ustadz Nur Robbani, HP. 0812-5524882

 Profil Pengurus DPP Hidayatullah Dewan Syura

1.      Pimpinan Umum / Ketua Dewan Syura : Ust H Abdurrahman Muhammad2.      Sekretaris : Drs Hamim Thohari, MSi3.      Anggota lain sejumlah 15 orang termasuk Ketua Umum DPP selaku anggota ex officio.

Dewan Pimpinan Pusat1.      Ketua Umum: Dr. H. Abdul Mannan, SE, MM2.      Ketua Bidang Pembinaan Organisasi & Politik: Drs. Nursyamsa Hadist3.      Ketua Bidang Pelayanan Ummat: Ir. Abu A'la Abdullah, MHI4.      Ketua Bidang Perekonomian: H..A Hasan Ibrahim, MA5.      Sekretaris Jenderal: BM Wibowo, SE

8

Page 9: Kajian Ormas Hidayatullah

6.      Sekretaris I: Ir Candra Kurnianto7.      Sekretaris II: Drs. Aghis Mahruri8.      Bendahara Umum: H.A Hasan Ibrahim, MA9.      Bendahara: drg. Fathul Adhim

Bidang Pembinaan Organisasi dan Politik10.  Ketua Departemen Pembinaan Wilayah: Ir. Khairil Baits11.  Ketua Departemen Organisasi dan Pengelolaan Sumberdaya Insani: Abdul Muhaimin, S.Pi12.  Ketua Departemen Pengkaderan: Drs. Ahkam Sumadiana13.  Ketua Departemen Litbang: Ali Imran, M.Ag

14.  Ketua Departemen Hukum dan Advokasi: Abdul Madjid, SH, MH

Bidang Pelayanan Ummat15. Ketua Departemen Pendidikan: Ir Abu A’la Abdullah16. Ketua Departemen Dakwah: Drs Tasyrif Amin17. Ketua Departemen Sosial dan Ortom: Muhammad Ishlah

Bidang Perekonomian18. Ketua Departemen Pengelolaan Asset Organisasi: Ir Omar Abu Khalid19. Ketua Departemen Pengembangan Ekonomi Kelembagaan: Asih Subagyo20. Ketua Departemen Pemberdayaan Ekonomi Ummat: Ir. Muhammad Musyafir

Bidang Kesekretariatan dan Humas21. Kepala Kantor Pusat DPP Hidayatullah: Ir Candra Kurnianto22. Ketua Departemen Hubungan Masyarakat dan Antar Organisasi: drh Haryono Madari.[1]

Metode Dakwah HidayatullahHidayatullah sebagai lembaga dakwah tentu saja dalam dakwahnya ia memberikan

penyampaian dakwah ke seluruh penjruru negeri. Baru-baru ini Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Hidayatullah mengirimkan 37 Da’i ke berbagai daerah Provinsi di Indonnesia. Pelepasan Da’i hasil gemblengan Hidayatullan tersebut dilakukan Menteri Sosial Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah didampingi Ketua Umum DPP Hidayatullah Abdul Manan dan Walikota Bogor H Diani Budiarto di Gedung Suryakencana Sindang Barang Kota Bogor Minggu (14/9) siang.

Ketua Umum Hiyatullah Abdul Manan mengatakan, Hidayatullah adalah salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Sejak berdirinya ormas Islam ini tahun 1976, kami telah mencetak 76 ribu da’i yang ditugaskan ke berbagai daerah Provinsi di tanah air, “ jelas Abdul Manan kepada wartawan usai pelepasan da’i dan seminar Nasional Pendidikan yang digelar Hidayatullah.

Abdul Manan menjelaskan, 37 da’i yang dilepas merupakan angkatan ke tiga tahun 2008 yang digembleng selama tiga bulan dalam program pendidikan da’wah mandiri oleh Hidayatullah. “Hingga saat ini sudah 135 da’i yang direkrut dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari SMA, Aliyah, D-3 sampai dengan S1, telah dikirim ke berbagai daerah Provinsi di tanah air, khususnya yang banyak dikirim ke wilayah Provinsi Indonesia bagian Timur, “ ungkapnya.

9

Page 10: Kajian Ormas Hidayatullah

Menurut Abdul Manan, dipilhnya wilayah Provinsi Indonesia bagian Timur karena kondisi umat Islam masih sangat memprihatinkan. Buta huruf Al Qur’an, dan buta huruf latin di wilayah–wilayah bagian Timur masih mendominasi,

Abdul Manan menuturkan pengamannya di salah satu daerah pedalaman Kalimantan Timur, dimana disana ada seorang yang masuk Islam selama 20 tahun tidak ada yang membinanya. Selama ini kalau melaksanakan sholat dia hanya mendengarkan stasiun Radio dari Malaysia. Setelah kita tau bahwa dia ingin menganut Agama Islam dengan baik, maka kita mengirimkan tenaga untuk membimbingnya, “ tuturnya.

Diakuinya, rekuitmen da’i-da’i yang akan dikirimkan ke berbagai Provinsi di tanah air ini tidak semudah yang diharapkan, karena menyangkut berbagai aspek Salah satunya adalah pengaruh aspek ekonomi yang menjadi pertimbangan utama. “Sejauh ini kita hanya membiayai pengirimannya ke daerah yang menjadi tujuan, untuk selanjutnya para da’i harus berdikari,“ ujarnya.

Mengenai berapa lama mereka bertugas di daerah, Abdul Manan mengatakan, minimal mereka bertugas selama tiga tahun, dan ditarik kembali ke pusat pendidikan Hidayatullah di Balikpapan, Surabaya dan Depok, untuk selanjutnya akan dikirim ke kembali ke daerah asal, atau ke daerah-daerah yang baru.

Meskipun demiikian, dakwah Hidayatullah tidak sebatas penyamapi kebenaran dalam bentuk lisan, tapi juga berdakawah dalam berbagai bentuk lembaga keislamannya seperti mendrikan sekolah gratis, membuat majalah hidayatullah, membuat baitul mal Hidayatullah dan lain sebagainya.

Sebagai wujud dakwah tersebut Hidayatullah betul-betul melebarkan sayapnya  dengan berbagai bidang dakwah. Alhamdulillah, kini setelah membangun 2 sekolah tinggi Islam yakni Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIL) Luqmanul Hakim di Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) di Balikpapan, kini Hidayatullah kembali membangun sekolah tinggi ekonomi gratis pertama di Indonesia yang diperuntukkan untuk calon-calon dai yang akan disebar di seluruh Indonesia.

Selasa kemarin (11/8) pukul 09.30 WIB bertempat di lokasi pembangunan gedung STIE Hidayatullah Jalan Raya Kalimulya RT.01/01, Kelurahan Kalimulya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, diadakan peletakan batu pertama pembangunan gedung STIE tersebut. Insya Allah, acara ini akan dihadiri oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa Dault dan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf.

Melalui SK Mendiknas No.06/D/2009, STIE Hidayatullah resmi mendapat pengakuan dari pemerintah. Yang membedakan antara STIE Hidayatullah dengan sekolah tinggi ekonomi Islamnya adalah biayanya yang gratis, kurikulumnya yang memadukan ilmu-ilmu agama dan ekonomi, dan ikatan dinas para alumninya yang selama batas waktu yang tidak ditentukan.

Seluruh mahasiswa tidak dipungut biaya sepeser pun untuk kuliah di tempat ini bahkan diasramakan. Pada semester pertama dan kedua, mereka wajib tinggal di asrama selanjutnya mereka diwajibkan berinteraksi dengan masyarakat sekitar sebagai modal terjun ke medan dakwah. Mereka hanya dibebani kewajiban untuk berdinas sebagai dai di seluruh wilayah Indonesia.

Baitul Maal Hidayatullah (BMH) bertindak sebagai penyandang dana untuk STIE Hidayatullah. Menurut direktur eksekutif BMH, M. Isnaini, untuk gedungnya saja membutuhkan dana sekitar Rp 4 milyar. Seluruh pendanaan berasal dari donasi para dermawan Islam yang peduli terhadap dakwah di kalangan masyarakat pedesaan.

10

Page 11: Kajian Ormas Hidayatullah

Diharapkan para dai mampu membangun kemandirian ekonomi dalam melaksanakan tugas dakwahnya di tengah-tengah masyarakat pedesaan. Masyarakat desa membutuhkan dai yang mampu mengajarkan kepada mereka kemampuan untuk berdikari. (Hanvitra)[2]

Teologi SNW Hidayatullah September lalu, Hidayatullah telah memproklamirkan dirinya secara publik sebagai

pemain baru dalam gerakan dakwah Islam di Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah Hidayatullah mampu bahu-membahu bersama-sama Muhammadiyah dan NU yang mempunyai 'teologi' dan sasaran dakwah yang segmented, untuk bergiat dalam dakwah di Indonesia? Apa deferensiator yang dimiliki oleh Hidayatullah dan bagaimana arah perjuangannya? Tulisan berikut tidak berpretensi untuk mengatasi semua pertanyaan di atas. Namun demikian, mudah-mudahan bisa memberi inspirasi bagi perjalanan dakwah Hidayatullah ke depan.

Selama ini, mainstream gerakan dakwah Islam di pentas sejarah Indonesia didominasi oleh dua kutub pemikiran yang sudah populer, yakni pemikiran tradisionalis Islam yang seringkali dialamatkan kepada NU, dan pemikiran modernis Islam untuk mengidentifikasi organisasi massa Islam seperti Muhammadiyah, DDII, dan sebagainya. Pemikiran tradisionalis Islam lahir dari rahim semangat Islam untuk mengapresiasi tradisi masa lalu, tradisi lokal, dan tradisi budaya dimana Islam akan dikembangkan. Sedangkan pemikiran modernis bermula dari fenomena adanya kecenderungan keberagamaan yang dianggap melenceng dari tradisi adiluhung Nabi Muhammad saw yang bersumber al-Qur'an dan al-Hadits. Untuk itu, fenomena tersebut harus dipurifikasi, yakni diluruskan kembali supaya tetap berada di jalur yang benar, dengan kembali ke al-Qur'an dan al-Hadis.

Belakangan, muncul sebuah mode of thought dalam agama (baca: teologi) yang mengkritik pemikiran tradisionalis dan modernis tersebut, yakni teologi transformatif. Kritik teologi ini atas pemikiran tradisionalis, (terutama) mengarah pada corak keberagamaannya yang memelihara hirarki; kiai-santri, guru-murid, da'i-mad'u (ummat), dan sebagainya. Sehingga posisi santri, murid, dan ummat selalu sebagai obyek penerima paham-paham keagamaan secara taken for granted, dan hampir tidak ada dalam diri mereka sebuah 'ruang merdeka' untuk bertanya secara kritis. Sedangkan kritik yang dialamatkan kepada pemikiran modernis, terletak pada kecenderungannya yang seringkali menyanyikan normatifitas keagamaan dan menggaungkan kejayaan masa lalu, tanpa dibarengi dengan upaya metodologis maupun praksis bagi perjuangan ummat, baik untuk saat ini maupun saat-saat yang akan datang. Trend pemikiran modernis ini  dianggap terlalu normatif- rasionalistik, sehingga kurang empirik.

Berangkat dari kritik yang diarahkan pada visi pemikiran tradisionalis dan modernis, teologi transformatif merambah ranah pemikiran yang lebih memberi peluang bagi proklamasi kemerdekaan diri ummat (fungsi emansipatoris). Aksentuasinya diberikan pada upaya untuk menderivasikan normatifitas keagamaan menjadi ilmu, metodologi, dan aksi yang membela kaum dhu'afa dan mustadl'afien. Dari sudut ini, kita akan melihat Hidayatullah sebagai sebuah gerakan dakwah Islam yang mempunyai coraknya tersendiri di dalam kancah dakwah Nusantara.

Pada tataran normatif, kita akan menelaah alasan untuk ber'ada' (raison d'etre) dan 'teologi' (mode of thougth)nya. Muhammadiyah mempunyai catch word "pembaruan" melalui semboyan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadis, dengan pendayagunaan akal. Maka model transmisi tema dan apresiasi keagamaannya selalu diukur oleh nalar (rasio), kecuali untuk tema-tema aqidah yang memang sudah given. Sementara NU memakai kata pengait "Ahlussunnah Wal jama`ah" untuk mengikat emosi jamaahnya dalam sebuah jam`iyyah. Dengan menjadikan al-Qur'an, al- Hadis, ijma', dan qiyas sebagai landasan normatif keberagamaannya. Untuk pola

11

Page 12: Kajian Ormas Hidayatullah

seperti ini, dibutuhkan model transmisi dan distribusi paham keagamaan yang bersandar pada otoritas ulama, 'melestarikan tradisi dan mewarisi tradisi ulama. Teologi 'aswaja' membawa NU yang dicap tradisionalis itu, kepada kelenturan dan keluwesan dalam mempraktikkan agama. Dia kaya akan perspektif kaidah fiqih. Sedangkan teologi 'tajdid" Muhammadiyah yang dipandang modernis itu, juga memandu arah Muhammadiyah untuk senantiasa melakukan progress yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Sedangkan Hidayatullah? Yang sering disebut sebagai psychological striking force jamaahnya adalah Sistematika Nuzul Wahyu (selanjutnya ditulis: SNW). Ijtihad normatif SNW ini berawal dari al-Qur'an Surat Al Maidah ayat 48 yang mengatakan bahwa pada tiap sesuatu itu terdapat sistem (syir'atan) dan metode (minhajan). Demikian pula dalam tartib (urutan) nuzul al-Qur'an, tidak mungkin Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw secara sembarangan. Maka apa hikmah syir'ah dan minhaj yang berada di balik turunnya wahyu tersebut menjadi concern Hidayatullah dalam melaksanakan gerakan dakwahnya. Pada perkembangan lebih lanjut, Hidayatullah berhasil menemukan kesimpulan ijtihadi bahwa dari tartib nuzul wahyu, nilai-nilai al-Qur'an dan al-Hadis bisa direkonstruksi menjadi sebuah paradigma (manhaj) dakwah. Inilah yang dalam bahasa Dr. Hidayat Nataatmadja (2001) dikatakan sebagai sebuah bentuk intelejensi (baca: paradigma) yang bersumber pada konstruksi al-Qur'an. Bukan intelejensi yang dihasilkan dari sumber referensi-referensi kepustakaan pemikiran seseorang.

Secara singkat, SNW bisa dijabarkan melalui keterangan Ibnu Abbas dan beberapa ulama tafsir lainnya tentang tartib nuzul wahyu, yang terdiri dari: al-'Alaq ayat 1-5, al-Qalam ayat 1-7, al-Muzammil ayat 1-10, Al-Muddatstsir ayat 1-7, dan Al-Fatihah ayat 1-7. Sistematika semacam inilah yang oleh Hidayatullah disebut sebagai SNW. Dalam perspektif Hidayatullah, al-Alaq merupakan kunci pembuka kesadaran bertauhid dengan beberapa key word-nya, semisal: Iqra'(bacalah), bismi rabbik (dengan nama Tuhanmu), bi al-qalam (dengan pena), dan sebagainya. Al-Qalam memberi landasan pemikiran bagi khitthah perjuangan dakwah, melalui beberapa aksentuasinya pada kaitan antara qalam (pena) dengan hasil goresan pena (ma yasthurun). Berikutnya, al-Muzammil memberi penekanan terhadap landasan spiritual dakwah melalui proses tazkiyah (purifikasi diri). Baru kemudian, al-Muddatstsir dengan bekal kesadaran tauhid, landasan pemikiran, dan landasan spritual tadi, menggerakkan aktivitas dakwah itu sendiri dengan memancang formulasi nilai-nilai yang ada dalam al-Fatihah sebagai ultimate goal masyarakat Qur'ani.

Dari Pesantren ke Ormas: Visi Transformatif?Namun demikian, pada beberapa hal SNW berbeda dengan Aswaja kaum tradisionalis

dan the idea of progress kaum modernis. Sebab keduanya merupakan respon teologis untuk menghadapi situasi keagamaan waktu itu. Sementara SNW adalah respon strategis untuk mengatasi problem masyarakat pada waktu yang lain. Dus, kesadaran yang dibangun corak keberagaman Muhammadiyah, NU, dan kelompok-kelompok Islam lainnya diawali kesadaran pada tataran teologis. Sedangkan SNW, pada awalnya merupakan jawaban metodologis dan strategis. Yang tertanam dalam kesadaran Ust. Abdullah Said atau Muhsin Kahar pada waktu itu adalah kekurangan kader-kader dakwah; muballigh-muballigh yang dapat menangani dakwah ini secara berkelanjutan dan bertanggungjawab (SPD Hidayatulah, 2001). Kursus-kursus muballigh merupakan prioritas gerakan dakwahnya. Hal ini untuk menanggulangi kekurangan da'i di daerah-daerah yang memang luas, dan tak terjangkau oleh aktivitas dakwah (daerah Sulsera awalnya, dan kemudian Kaltim).

12

Page 13: Kajian Ormas Hidayatullah

Nah, karena kesadaran yang dibangun Hidayatullah tidak hanya pada level  teologis, namun juga pada level methodologi praksis, maka gayung visi yang dilempar oleh "pemikiran transformatif" logisnya akan bersambut secara lebih massif pada lembaga dakwah semacam Hidayatullah ini. Pemikiran trasnformatif yang dimaksud adalah pemikiran yang memadukan aqidah-syariah-muamalah, teologi-ilmu-amal, dan teori-metodologi-aksi yang memihak kalangan dhu`afa (lemah) dan mustadl`afien (dilemahkan).

Adapun basis dari perjuangan dakwah transformatif ini nantinya akan diletakkan pada komunitas-komunitas masyarakat yang menganut nilai-nilai keagamaan tertentu (Religious Based Community Development). Dan SNW, hemat saya, sangat berpotensi untuk membawa Hidayatullah ke arah gerakan Islam transformatif ini.

Selama ini, Hidayatullah telah memulai aktivitas transformatif ini melalui penyebaran da'i ke daerah-daerah periferal untuk mendirikan pesantren dan pusat kegiatan agama. Pesantren-pesantren itulah yang kemudian menjadi basis gerakan Hidayatullah. Namun disadari bahwa ternyata untuk membangun kegiatan dakwah yang menyeluruh tidak cukup hanya mengandalkan pesantren. Dibutuhkan pengorganisasian dakwah secara lebih komprehensif, profesional, dan lebih banyak melibatkan partisipasi masyarakat luas di dalamnya. Barangkali, argumen semacam inilah yang melatari proses perkembangan jaringan Pesantren Hidayatulah menjadi salah satu ormas Islam di Indonesia.

Namun demikian, 'metamorfosa' atau langkah maju Hidayatullah yang pada mulanya berupa pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara, kemudian menjadi ormas Islam, apakah semakin meneguhkan semangat transformasi yang dimilikinya atau malah menganulir semangat tersebut? Simak penjelasan berikutnya!

Hidayatullah, Perjuangkan Tauhid untuk Tegaknya Peradaban Islami Khasanah Pemikiran dan Pergerakan Islam

Hidayatullah lahir pada saat umat Islam sedang menantikan datangnya abad ke-15 yang diyakini sebagai Abad Kebangkitan Islam. Tema pokoknya pada saat itu adalah “Back to Qur’an and Sunnah”. Hidayatullah adalah sebuah gerakan pemikiran yang mencoba menerjemahkan slogan “Back to Qur’an and Sunnah” secara lebih konkret, sehingga Al-Qur'an dan As-Sunnah menjadi ‘blue print’ pengembangan peradaban Islami.

Hidayatullah memandang bahwa kemunduran umat Islam lebih disebabkan karena pandangan yang parsial dalam memahami keholistikan ajaran Islam. Masing-masing kelompok mengambil tema dan titik tekan program sesuai dengan pandangannya yang sangat parsial bahkan tema dan titik program itu seringkali menjadi semacam ‘ideologi’ kelompok

Sebagai organisasi massa Islam yang berbasis kader, Hidayatullah menyatakan diri sebagai Gerakan Perjuangan Islam (Al-Harakah al-Jihadiyah al-Islamiyah) dengan dakwah dan tarbiyah sebagai program utamanya.

Menurut ketua DPW Hidayatullah Palu, Ahmad Arsyad, Hidayatullah didirikan pada tanggal 7 Januari 1973/2 Dzulhijjah 1392 H di Balikpapan dalam bentuk yayasan sebuah pesantren, oleh Ust. Abdullah Said (alm). Dari sebuah bentuk pesantren inilah, Hidayatullah kemudian berkembang dengan berbagai amal usaha di bidang sosial, dakwah, pendidikan dan ekonomi serta menyebar ke berbagai daerah di seluruh provinsi di Indonesia. Melalui Musyawarah Nasional I pada tanggal 9–13 Juli 2000 di Balikpapan, Hidayatullah mengubah bentuk organisasinya menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas), dan menyatakan diri sebagai gerakan perjuangan Islam.

13

Page 14: Kajian Ormas Hidayatullah

Sebagai organisasi massa, keanggotaan Hidayatullah bersifat terbuka, demikian pula misi, visi, dan konsep dasar gerakannya. Hidayatullah menjadikan amal-amal usahanya bersifat otonom, dan berfungsi sebagai basis pendidikan dan perkaderan. Hidayatullah merupakan wadah bagi komponen ummat Islam yang ingin mewujudkan idealismenya membangun masyarakat Islami dengan mengacu kepada metode/manhaj nubuwwah. Hidayatullah berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, karena itu segala urusan dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Agenda utama Hidayatullah adalah pelurusan masalah aqidah, imamah dan jamaah (tajdid), pencerahan kesadaran (tilawatu ayatillah), pembersihan jiwa (tazkiyatun-nufus), pengajaran dan pendidikan (ta’limatul-kitab wal-hikmah) menuju lahirnya kepemimpinan dan ummat terbaik,” katanya.

Dikatakan, Hidayatullah bertujuan untuk membangun peradaban Islam, dengan visi menjadi organisasi tingkat nasional yang unggul dan berpengaruh, di dukung jaringan yang loyal dan berkualitas. Sedangkan misinya, adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM, mengintensifkan pelayanan ummat melalui aktivitas pendidikan dan dakwah, mewujudkan kemandirian ekonomi, dan mendorong penegakan Islam pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat.

Sejak awal melangkah, Hidayatullah telah melakukan pengiriman santri untuk berdakwah sebagai bagian dari proses tarbiyah. Keberadaan Hidayatullah di berbagai tempat adalah upaya untuk membangun jaringan dakwah yang luas dan mampu menyentuh dan melayani seluruh lapisan ummat. Hidayatullah berupaya memposisikan da’i sebagai missionaris Islam sehingga sosok da’i adalah sosok yang memiliki karakteristik unggul dan militan serta mempunyai potensi untuk membangun peradaban yang seimbang antara duniawi dan ukhrawi.

Untuk mendukung gerakan da’i itu, Hidayatullah telah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL) di Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah (STIS Hidayatullah) di Balikpapan, yang memberikan beasiswa (ikatan dinas da’i) bagi mahasiswanya. Dari keduanya, pada akhir 2005 telah tersebar 150 da’i strata satu (S1) ke seluruh Indonesia.

Hidayatullah juga mendirikan Pos Da’i, Baitul Maal Hidayatullah (BMH), Majalah Suara Hidayatullah (Sahid), situs Hidayatullah.com, dan Pos-pos Majelis Taklim al-Quran (MTQ) untuk mengukuhkan keberadaannya sebagai lembaga dakwah di Indonesia. Pada awal 2006, Hidayatullah meluncurkan program Grand MBA (Gerakan Membudayakan Mengajar dan Belajar Al-Qur'an), dengan fokus mengajarkan membaca Al-Qur'an, menerjemah secara cepat, dan menafsirkannya, melalui Metoda MBA.

Dalam tahapan 25 tahun kedua Hidayatullah, pendidikan mempunyai peranan yang sangat sentral dan strategis, terutama jika dikaitkan dengan upaya peningkatan mutu sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas menurut terminologi Islam adalah manusia yang mampu memfungsikan segala potensi fikir dan potensi zikir dalam dirinya secara seimbang sehingga segala penguasaan ilmu, penguasaan teknologi dan keahliannya memberi manfaat bagi dirinya, lingkungannya dan dunia pada umumnya. Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia harus ditekankan pada prinsip-prinsip ketauhidan dan akhlakul karimah tanpa menafikan harkat intelektualitas.

“Bertolak dari pemikiran di atas, Hidayatullah memperkenalkan konsep pendidikan Islam integral dan diimplementasikan dalam pengelolaan sekolah-sekolah Hidayatullah sejak dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi,” urai Ahmad.

14

Page 15: Kajian Ormas Hidayatullah

Istilah integral menunjukkan satu kesatuan dari seluruh unsur pendidikan yang ada, baik iman dan taqwa maupun ilmu pengetahuan dan teknologi, sekolah dan masyarakat, formal maupun non-formal, dan sebagainya. Mulai 2005, Hidayatullah menegaskan penggunaan Kurikulum Berbasis Tauhid (KBT) untuk seluruh Sekolah Integral yang dikelolanya. Sekolah-sekolah milik Hidayatullah tidak diwajibkan mempergunakan nama ‘Hidayatullah’ namun wajib mempergunakan KBT dan sistem integral.

Lembaga Pendidikan Hidayatullah meliputi Taman Kanak-Kanak dan Play Group, Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah di hampir semua Daerah, Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah setidaknya ada di setiap Wilayah dan 3 perguruan tinggi di Surabaya, Balikpapan, dan Depok. Pada tahun 2006, setelah didapatkan ijin dari Menteri Pendidikan Nasional, didirikanlah Universitas Hidayatullah di Jakarta. Universitas ini tidak mengeliminir keberadaan STAIL, STIS, maupun Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Hidayatullah Depok yang telah ada.

Pesantren-Pesantren Hidayatullah seperti halnya pesantren di tempat lain, berfungsi sebagai tempat untuk mendalami ilmu-ilmu diniyah. Lingkungan kampus Pesantren juga berfungsi sebagai miniatur kehidupan berimamah dan berjamaah. Selain dihuni santri yang tinggal di asrama, di Pesantren juga tinggal guru, pengasuh, pengelola, dan jamaah Hidayatullah yang berkeinginan menetap di sekitar Pesantren dalam rangka belajar menegakkan Islam. Pesantren Hidayatullah mengupayakan tersedianya kawasan di sekitar kampus yang dapat dibeli oleh masyarakat secara selektif.

Baitul Maal Hidayatullah (BMH) adalah lembaga di bawah Hidayatullah yang mempunyai fungsi untuk mengelola dana zakat, infaq, shadaqah, wakaf ataupun hibah ummat. Sebagai wujud kepercayaan masyarakat dan pemerintah terhadap Hidayatullah, Baitul Maal Hidayatullah (BMH) mendapat pengukuhan sebagai lembaga amil zakat nasional melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 538 tahun 2001.

BMH ini mengelola dana ummat untuk disalurkan bagi pemberdayaan ummat, memajukan lembaga-lembaga pendidikan maupun sosial, memajukan dakwah Islam, mengentaskan kaum dhuafa (lemah) maupun mustadh’afin (tertindas). Dan kini Baitul Maal Hidayatullah telah memiliki 30 kantor perwakilan dan 144 jaringan pos peduli (mitra). Sebagai komitmen layanan sosial, BMH juga telah mendirikan klinik-klinik IMS (Islamic Medical Service) di berbagai lokasi.

Begitupun untuk mewadahi aspirasi kalangan remaja dan mahasiswa, Hidayatullah telah membentuk organisasi otonom Pemuda Hidayatullah. Gerakan utama organisasi ini adalah menyelenggarakan kegiatan pengkaderan pemuda, mahasiswa, dan remaja Islam, untuk menumbuhkan ghirah perjuangan dan semangat berkurban.

Sedangkan untuk pemberantas buta aksara alquan, Hidayatullah membentuk Grand MBA yakni Gerakan Membudayakan Mengajar dan Belajar Al-Qur'an, yang meruapakan program Hidayatullah setelah melalui kajian mendalam mengenai perkembangan Islam di Indonesia. Kemunduran ummat disebabkan oleh rendahnya pemahaman tehaadap Al-Qur'an lantaran ummat tidak lagi akrab dengan kitab sucinya itu.

Jarangnya kaum muslimin mempelajari Al-Qur'an mengakibatkan kurangnya pemahaman terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya. Sehingga banyak sekali ajaran Islam yang tidak diketahui, atau tidak dimengerti, tidak dipahami, atau disalahpahami oleh ummat Islam. Akibatnya, ummat mayoritas ini memposisikan Islam secara taklid (meniru-niru) dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

15

Page 16: Kajian Ormas Hidayatullah

“Untuk itu, perlu ditumbuhkan gerakan mempelajari Al-Qur'an. Bagi yang belum dapat membaca, perlu belajar membaca. Bagi yang belum benar, perlu belajar membaca secara benar untuk menghindari kesalahan arti. Bagi yang tidak mengerti bahasa Arab, perlu membaca terjemahan Al-Qur'an hingga tamat. Bagi yang belum dapat mengartikan, perlu mempelajari cara menerjemahkannya. Dan bagi yang telah memiliki kemampuan, wajib untuk mengajarkannya kepada orang lain, minimal 10 orang dalam suatu kurun tertentu,” demikian ulas Ahmad.[3]

Re-Eksistensi Peradaban Islam dalam Teologi Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW)[4] Untuk mengetahui konsep paradigma Re-eksistensi mengenai penjabaran Teologi SNW

Hidayatullah ini, kita akan coba menyimaknya dari tuturan ketua umum DPP Hidayatullah, Dr. Abdul Mannan, sendiri agar lebih afdhal.

Menurut Dr. Abdul Mannan, bahwa, dalam sejarah dikenal adanya masa kejayaan slam (peradaban Islam) yang dimulai masa Rasulullah sampai runtuhnya sistem kekhalifahan Turki Usmani tahun 1924 M. Kemudian dalam perjalanan sejarah sampai sekarang dikatakan sebagai masa kelam karena dianggap peradaban Islam tidak nampak.

Peradaban merupakan istilah yang memiliki makna multi tafsir, tergantung sudut pandang mana yang digunakan. Banyak tulisan baik dalam bentuk buku maupun tulisan lepas lainnya yang menjelaskan tentang makna peradaban dengan segala ruang lingkupnya. Dalam tulisan ini akan mencoba memberikan pandangan baru tentang peradaban Islam berdasarkan perspektif wahyu dengan topik re-eksistensi peradaban Islam. Maksudnya adalah suatu upaya memberikan alternatif makna peradaban khususnya makna Peradaban Islam berdasarkan tata urutan wahyu yang turun pertama kali (Tartibu Nuzulil wahyi).

Tulisan ini juga akan memberikan paradigma baru bagaimana membangun peradaban Islam berdasarkan wahyu (al-Qura'n) dengan mengggunakan istilah strategi pencapaian eksisnya peradaban Islam. Startegi yang dimaksud dibangun bertolak dari penggal ayat-ayat pertama turun di Makkah dengan penjelasan sebagai berikut : (1) Al-Alaq : Filosofi Peradaban Islam, (2) Al-Qalam : Visi, Misi, Strategi Peradaban Islam, (3) Al-Muzammil : Spirit Peradaban Islam, (4) Al-Mudatsir : Manajemen Strategi Peradaban Islam, (5) Al-Fathehah : Existensi Peradaban Islam.

Kata kunci : Peradaban Islam,teologi, dan Sistematika Nuzulnya Wahyu Karena itu dalam bahasan silabus teologi SNW ini, Dr. Abdul Mannan membagi

konsepnya dalam empat sub, yaitu: pendahuluan, tinjauan literaratur, metodologi, pembahasan, sistematika nuzulnya wahyu, dan kesimpulan.

PendahuluanAkhir-akhir ini, telah bermunculan tokoh tingkat nasional dan internasional yang

memainkan peran sebagai pencerah umat dengan beragam konsep membangun peradaban. Konsep membangun peradaban itu ditawarkan mulai dari rumah tangga hingga tingkat “rumah tangga” negara dan dunia. Jika kita merujuk kembali pada sejarah peradaban mayor, maka sumber inspirasi perjuangan para ahli  peradaban Islam adalah Nabiullah Muhammad Saw. Adalah suatu momen yang sangat tepat bahwa kita sebagai pencerah (enlighter) umat menggagas diadakannya berbagai diskusi dan seminar tentang peradaban sebagai proses re-eksistensi peradaban Islam.

Filosofi diadakan diskusi tentang peradaban ini adalah karena adanya ketidakpuasan bagi aktivis pencerah umat terhadap kondisi umat manusia yang bertambah terpuruk dari nilai kemanusiaannya. Ketidakpuasan tersebut cukup beralasan karena secara faktual bahwa umat

16

Page 17: Kajian Ormas Hidayatullah

manusia kini eksistensinya sudah menjadi budak materi yang mengindikasikan bahwa fungsi manusia sebagai subyek berubah menjadi obyek. Kegelisahan para pencerah umat khususnya para pemikir Hidayatullah, berkesimpulan bahwa perlu mengadakan suatu terobosan berpikir dan beraksi nyata dalam dunia pencerahan tentang peradaban Islam agar umat manusia pada umumnya dan umat Islam khususnya tidak terjebak dalam rutinitas kehidupan bendawi yang menjenuhkan.

Berkaitan dengan rasa ketidakpuasan tersebut, menimbulkan suatu kerisauan yang melahirkan beberapa pertanyaan: Sejauhmana para pencerah (muballigh) mempengaruhi pola pikir umat dalam memahami ajarannya? Pijakan dan perspektif peradaban apa yang akan ditawarkan? Bagaimana strategi mengeksplorasi konsep peradaban tersebut? Untuk apa konsep peradaban tersebut dieksplorasi? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab dalam hubungannya dengan tema peradaban Islam yang akan ditawarkan kepada publik.

Selanjutnya sebagai harapan terhadap diskusi tentang peradaban ini, semoga dapat menghasilkan rumusan konsep peradaban yang dapat diretas lebih lanjut oleh tim khusus peradaban dalam hal ini adalah “INISIASI”[5] (Institute of Islamic Civilization Studies and Development) hingga menjadi suatu konsep peradaban yang  komprehensif. Untuk itu, kami yakin bahwa tim “INISIASI” akan dapat merumuskan dan menyimpulkan dari berbagai makalah yang disajikan oleh para nara sumber sebagai kunci pembuka inspirasi untuk menggali Sistemaika Nuzulnya Wahyu (SNW) sebagai konsep dasar peradaban Islam yang akan dibangun. Harapan tersebut disampaikan, tentunya didasari oleh suatu pertimbangan idealisme yang tinggi agar kiranya Islam dapat tegak dan jaya kembali melalui sentuhan pemikiran para pakar yang dihimpun oleh “INISIASI”. Untuk menuju ke arah sana tiada jalan lain kecuali dimulai dari menggali konsep dasar peradaban Islam yaitu merujuk kepada SNW yang dikemas sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan umat.

Tinjauan LiteraturSejarah manusia pada dasarnya merupakan sebuah proses penciptaan dan kehancuran

masyarakat beserta kebudayaan dan peradabannya secara terus-menerus sesuai dengan norma-norma yang pada prinsipnya bersifat moral. Sumber norma-norma itu bersifat transenden, tapi keseluruhan aplikasinya berada dalam eksistensi kesejarahan kolektif manusia yang imanen. Norma-norma yang dimaksud adalah apa yang dalam Islam disebut Sunnatullah (Fazlur Rahman, 1983)

Dari perspektif al-Qur’an, siklus sejarah manusia dan peradabannya yang demikian itu kemudian menetapkan bahwa al-Qur’an telah menjadi saksi atas "hukuman sejarah" yang telah ditimpakan kepada masyarakat, bangsa-bangsa pemilik peradaban terdahulu. Islam pernah berada pada posisi puncak peradaban dunia sampai tiba saatnya mengalami kemunduran, persis seperti peradaban-peradaban masa lampau sebelum Islam hingga runtuhnya Marxisme di negara-negara bekas Uni Soviet pada dasa warsa terakhir milenium kedua.

Sebagian peradaban masa lampau telah musnah dan dimusnahkan setutantas-tuntasnya hingga yang tersisa tinggal artefak-artefak material dan kenangan akan kejayaan kognisi intelektual dan spiritualnya. Dikatakan sebagian karena tidak atau belum seluruh dunia dihancurkan. al-Qur’an membenarkan akan "hukuman sejarah" (baca: kehancuran) itu. Mengapa hukuman sejarah ditimpakan? "Katakanlah, itu dari (kelalaian) dirimu sendiri" (QS. 3:165, juga 3:139-140).

17

Page 18: Kajian Ormas Hidayatullah

Oleh sebab dosa-dosa dan kelalaian kolektif manusianya, sebuah peradaban dimusnahkan agar menjadi bahan permenungan generasi berikutnya. Munculnya kehendak untuk introspeksi dan itikad untuk memperbaiki diri, menjamin -- setidaknya demikian pesan al-Qur’an-- sebagian peradaban masih hidup dan bertahan (QS. 11:100, juga QS. 100:24). Itulah grand design Tuhan, Sunnatullah yang secara sinergis dan relasional dipersaksikan dalam al-Qur’an.

Peradaban umumnya dipahami sebagai entitas sosial yang besar melebihi individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Peradaban juga berarti pengelompokan tertinggi orang-orang dan tingkat identitas budaya yang luas dan komprehensif yang membedakannya dengan entitas lainnya. Peradaban dibatasi oleh unsur-unsur objektif seperti bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, pandangan dunia (world view), lembaga-lembaga. Ia juga dibatasi unsur subjektif berupa identitas diri peradaban.

Keluasan dan komprehensivitas peradaban menjadikannya tidak eksklusif milik suatu bangsa atau negara tertentu. Ia bersifat melintasi (beyond) batas-batas geografis dan geopolitis sebuah negara. Dalam catatan Arnold Toynbee setidaknya ada dua puluh satu peradaban yang pernah hidup dan mendiami dunia ini, namun sebagian besarnya sudah mengalami siklus kemusnahan sehingga tidak meninggalkan sisa apa pun (Munawar, AM, 2002).

Dalam bahasa Indonesia, kata peradaban sering diidentikkan dengan kata kebudayaan. Akan tetapi dalam bahasa Inggris, terdapat perbedaan pengertian antara civilization untuk peradaban dan culture untuk kebudayaan. Demikian pula dalam bahasa Arab dibedakan antara tsaqafah (kebudayaan), hadharah (kemajuan) dan tamaddun (peradaban). Dalam bahasa Melayu istilah tamaddun dimaksudkan untuk menyebutkan keduanya yaitu kebudayaan dan peradaban (LESF,2004.,h.7).

Peradaban (civilization) dapat diartikan sebagai hubungannya dengan kewarganegaraan karena diambil dari kata civies (Latin) atau civil (Inggris) yang berarti seorang warga Negara yang berkemajuan. Dalam hal ini dapat diartikan dengan dua cara (1) proses menjadi berkeadaban, (2) suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju. Berdasarkan pengertian tersebut maka indikasi suatu peradaban adalah adanya gejala-gejala lahir seperti; masyarakat yang telah memiliki berbagai perangkat kehidupan (Fyzee,1982.,h.7-11)

Peradaban adalah identik dengan gagasan tentang kemajuan sosial, baik dalam bentuk kemenangan akal dan rasionalitas terhadap dogma maupun doktrin agama, memudarnya norma-norma lokal tradisional dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Secara metafisis, peradaban juga berarti bahwa manusialah yang merupakan pusat alam semesta (man centred universe) dan bukan Tuhan (God centred universe). Dalam perkembangan selanjutnya, konsep peradaban kemudian diasosiasikan dengan kebangkitan negara-negara absolut, otonomi politik lokal dan uniformitas kultural yang lebih besar dalam negara-negara itu. Segala hal, berupa perbuatan dan pemikiran manusia tak bisa dilepaskan dari peradaban. Jadi, konsep peradaban bersifat mencakup semua. Oleh karena itu, menjadi beradab adalah menjadi santun dan berakhlak baik dan peduli pada orang lain, bersih dan sopan dan higienis dalam kebiasaan pribadi dan sebagainya (Mennell, Norbert Elias, 1989.,h. 35).

Sebuah peradaban tinggi seharusnya bisa menjaga keagungan manusianya, memberikan kepuasan terhadap fisik, estetika psikis, dan kreativitas manusianya. Oleh sebab itu, ia meniscayakan adanya fleksibilitas yang saling menunjang antara manusia dan peradabannya. Dari perspektif Bateson itu, kita bisa mengemukakan bahwa superioritas sebuah peradaban tidak merupakan jaminan bahwa ia dan manusia pendukungnya memiliki pencitraan tinggi dan luhur. Hal itu akan sangat ditentukan dan bergantung pada apa-apa yang menjadi pondasi dan tiang penyangganya (Gregory Bateson, 1972).

18

Page 19: Kajian Ormas Hidayatullah

Peradaban Islam sesungguhnya adalah suatu peradaban yang mempunyai kerangka pedoman berdasarkan Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kedua intisari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Hadits adalah seiring dengan perkembangan zaman dan perluasan wilayah penyebaran Islam telah melahirkan sistem gagasan yang tumbuh melalui jalur-jalur pemikiran ke-Islaman. Secara tradisional, jalur pemikiran yang mendorong gerak peradaban umat Islam, ialah dibidang hukum (fiqh), teologi (tauhid) dan mistisisme (tasawuf) (LESF, 2004.,h.10).

Peradaban adalah manifestasi keyakinan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, peradaban Islam adalah manifestasi keyakinan Islam (tawhid) dalam setiap aspek kehidupan Islam (Suharsono,dalam makalah 2006., h.3).

Peradaban Islam adalah membangun setiap aspek dan strategi kehidupan yang merupakan manifestasi dari pada keyakinan atau iman (DPP, 2006).

Selanjutnya, teologi berbicara menyangkut aktivitas mental dan intelektual berupa kesadaran manusia yang paling mendalam dalam menentukan pilihan-pilihan metafisisnya, yang terkait dengan hubungannya dengan Tuhan, alam lingkungan dan sesamanya, yang kemudian mewujud dalam tingkah laku nyata kesehariannya. Dengan demikian teologi dalam makna fungsionalnya adalah suatu dorongan hati dan akal yang melahirkan kesadaran metafisis yaitu suatu matra yang paling dalam dari diri manusia baik individu atau kelompok yang memformat pandangan dunianya (world view), yang kemudian merefleksikan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia. Oleh karena itu, teologi pada akhirnya akan mempunyai implikasi yang sangat sosiologis, psikologis, antropologis bahkan politis (Agus Purwadi, 2002.,h.53).

Teologi berangkat dari keimanan terhadap sifat kebenaran mutlak bahan-bahan tekstual kewahyuan-al-Qur’an dan al-Hadits. Para teolog membangun argumentasinya secara dialektis berdasarkan keyakinan baik-buruk tekstual, dari situ berupaya mencapai kebenaran kebenaran baru (Haidar Baqir, 2005, h.70).

Teologi adalah upaya sistematis untuk menampilkan, menafsirkan, dan membenarkan kepercayaan pada Tuhan dengan cara yang konsisten dan bermakna (kamus filsafat, 1995.,h.341).

Teologi memiliki makna yang sangat luas dan dalam. Sedangkan yang dimaksud dengan teologi dalam ruang lingkup filsafat metafisika adalah filsafat ketuhanan yang bertitik tolak semata-mata kepada kejadian alam (teologi naturalis). Pemikiran kefilsafatan tentang ketuhanan ini dengan meningkatkan keteraturan hubungan antara alam dan Pengatur alam tersebut. (Sudarsono, 2001.,h.129).

Adapun Sistematika Nuzulnya Wahyu adalah rumusan pemikiran secara baku berdasarkan urut-urutan turunnya wahyu (ayat-ayat) yang turun pada awal mula (al-Alaq, al-Qalam, al-Muzammil, al-Mudatsir) dan surah al-Fathehah (Wawasan Idiil, 1988).

Re-eksistensi Perdaban Islam dalam Teologi Sistematika Nuzulnya Wahyu adalah “Membangun kembali Peradaban Islam pada setiap aspek dan strategi kehidupan sebagai manifestasi dari pada iman atau keyakinan yang tumbuh dari Sistematika Nuzulnya Wahyu (ayat-ayat) yang turun pada awal mula (al-Alaq, al-Qalam, al-Muzammil, al-Mudatsir) dan surah al-Fathehah”.

Al-Qur’an tidak hadir ke dunia di ruang hampa peradaban. Penelusuran Fazlur Rahman (1983) menunjukkan bahwa menurut al-Qur’an, ada sebuah diskontinyuitas yang esensial antara peradaban yang tua serta mati dan peradaban yang datang menggantikannya. Dalam al-Qur’an, pernyataan seperti "maka Kami ciptakan generasi baru" sering ditemui (lihat. QS 6:6, juga QS.

19

Page 20: Kajian Ormas Hidayatullah

23:31), juga pernyataan bahwa "Kami akan mewariskan dunia kepada bangsa baru yang lebih berhak" (QS. 21:105, juga QS. 33:27).

Sudah barang tentu, yang sesungguhnya mewarisi dunia ini adalah Allah sendiri, tetapi Dia memberikan tanggung jawab untuk menangani masalah-masalah dunia ini kepada bangsa-bangsa yang berhak, selama mereka berkesanggupan (QS. 15:23, juga QS. 19:40). Dari sini bisa ditegaskan lebih lanjut bahwa keniscayaan sebuah peradaban baru akan menggantikan peradaban yang menjelang usang dan uzur, harus terlebih dahulu "memetik pelajaran" dari peradaban yang telah dan menjelang musnah. Jika tidak, mereka akan mengulangi (lagi) siklus sejarah penciptaan dan kehancuran yang sama, karena satu hal; "hukum Allah tidak akan pernah berubah" bagi setiap bangsa dan peradaban.

Itulah sebuah "pandangan dunia Qur’ani", yang dalam konteks siklus peradaban manusia, al-Qur’an terus-menerus menyuruh manusia (tidak hanya Muslimin) "Untuk berjalan di atas bumi dan (dengan) menyaksikan (merenungkan sebab-musabab dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari) nasib yang telah menimpa bangsa-bangsa pemilik peradaban terdahulu" (QS. 3:137, 6:11 dan lainnya).

Tiba saatnya, para pencerah umat menggagas diskusi tentang peradaban khususnya peradaban Islam yang akan membuktikan bahwa al-Qur’an adalah Mu’jizat yang dapat mengungguli segala konsep pemikiran man centred. Oleh karena itu, mampukah para pemikir Hidayatullah melahirkan pemikiran-pemikiran strategis yang bersumber dari konsep dasar Sistematika Nuzulnya Wahyu? Salah satu pemikiran strategis itu adalah konsep peradaban Islam yang dapat dijadikan rujukan semua pihak dalam membangun peradaban manusia yang tinggi.

MetodologiMetode berasal dari bahasa Yunani “methodos” berarti melalui jalan, cara, arah. Metode

dapat pula diartikan sebagai uraian ilmiah penelitian, metode ilmiah. Metode juga dapat diartikan sebagai cara bertindak menurut sistem aturan tertentu dengan tujuan agar aktivitas praktis dapat terlaksana secara rasional dan terarah supaya dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya (Sudarsono.2001,.h.86).

Kemudian bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar agar mendapatkan suatu jawaban yang benar pula. Masalah inilah yang dalam kajian filsafat termasuk dalam wilayah epistemologi dan landasannya adalah metode ilmiah. Metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Kemudian apa yang disebut dengan suatu kebenaran itu? Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemoogi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan tersebut saling jalin berkelindan tak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi maka bagaimana mengembangkan epistemologi yang cocok. Persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dan valid dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian juga, masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan yaitu bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan, maka sejarah kemanusiaan menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Metode ilmiah ini dipelopori oleh Copernicus (1473-1543), Kepler (1571-1630), Galileo (1564-1642) dan Newton (1642-1727), dan menurut Whitehead bahwa periode

20

Page 21: Kajian Ormas Hidayatullah

antara 1870-1880 sebagai titik kulminasi perkembangan ilmu sejak Helmhoultz, Pasteur, Darwin dan Clerk-Maxwell behasil mengembangkan penemuan ilmiahnya (Alfred N. Whitehead.1948,.h.106, dalam Yuyun).

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metode, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis (Peter R. Senn. 1971,.h.4). Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut (ibid.,h.6). Metodologi ilmah adalah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang disebut epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana untuk mendapatkan pengetahuan. Apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakekat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia (William S. Sahakian. 1965.,h.3). Berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan (T.H. Huxley. 1964., h. 2). Dengan cara bekerja ini, maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan dapat mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini, metode ilmiah mengembangkan cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.

Terkait dengan aksiolgi peradaban Islam adalah sebagai entitas hidup dan kehidupan manusia maka perpespektif pengetahuan yang akan dibangun adalah epistemologi pengetahuan yang bersumber dari Wahyu al-Qur’an dan as-Sunnah. Metodologi seluruh pemikiran Islam salaf bersumber dari sistem logika Aristotelian yang diterjemahkan oleh al-Farabi kedalam lmu mantiq. Berbagai tesis filosofis didalam dunia Islam bersumber dari tradisi Platonian dan Plotinos, sementara tesis-tesis filsafat Barat dibangun dari tesis Aristotelian. Akan tetapi, referensi metodologis keduanya dapat dirujukkan pada tradisi logika Aristotelian.

Paling tidak sedikitnya ada lima aliran dalam filsafat Islam yang menggunakan metode epistemologi untuk mendapatkan suatu kesimpulan (silogisme) dalam mencari tingkat suatu kebenaran. Metode epistemologi yang digunakan oleh Teologi Dialektik hampir sama dengan metode Peripatetistik yaitu bersifat deduktif-silogistik. Yaitu prosedur untuk mendapatkan dari pemahaman baik-buruk suatu kesimpulan (silogisme) dari mempersandingkan dua premis (pernyataan yang sudah disepakati terlebih dahulu nilai kebenarannya). Hanya saja Peripatetisme proses silogistik tersebut didasarkan atau dimulai dari premis-premis yang telah disepakati sebagai kebenaran yang tidak perlu dipersoalkan lagi (primary truth). Sedangkan Teologi Dialektik bertolak dari pemahaman baik dan buruk yang menyebabkan teologi Islam disebut sebagai bersifat dialektik yang dilandaskan pada kebenaran keagamaan (seperti halnya bahwa Tuhan harus Maha Kuasa).

Adapun metode epistemologi yang digunakan oleh Illuminisme dan Sufisme atau Teosofi (‘Irfan) adalah metode intuitif atau eksperiensial (pengalaman). Peran intuisi tidak hanya ditemukan oleh para pemikir keagamaan saja, akan tetapi telah dilontarkan oleh Aristoteles bahwa orang-orang yang bisa mencapai kesimpulan silogistik tanpa harus merumuskan silogisme. Yaitu, tanpa harus melalui prosedur analitis penetapan premis-premis dan penarikan kesimpulan berdasarkan penyandingan premis-premis tersebut. Intuisi ini, dalam khazanah filsafat Islam diidentikkan dengan hati (qalb, fu’aad, ruuh, sb). Namun demikian, prinsip dasar Illuminisme juga Sufisme adalah mengetahui sesuatu adalah untuk memperoleh suatu pengalaman tentangnya, yang berarti intuisi langsung atas hakekat sesuatu. Dengan demikian,

21

Page 22: Kajian Ormas Hidayatullah

pengetahuan eksperiensial tentang sesuatu dianalisis secara diskursif (logis) demonstrasional (burhan) diraih secara total, intuitif dan langsung (immediate).

Adapun perbedaan Illuminisme dengan Sufisme atau ‘Irfan (teosofi) antara lain adalah bahwa keduanya mengandalkan pengalaman langsung, akan tetapi Illuminisme percaya bahwa pengungkapan pengalaman tersebut dapat melalui diskursif-logis (metode ilmiah) yang mana hal ini juga diyakini oleh aliran filsafat Hikmah bahkan lebih ekstrem lagi yaitu segala pengalaman intuitif harus dapat diungkapan secara diskursif-logis untuk kepercayaan verifikasi publik (Haidar Baqir,2005.,h.84-99).

Epistemologi berarti pengetahuan yang sering disebut teori pengetahuan (theory of knowlege). Persoalan sentral epistemologi adalah mengenai persoalan apa yang didapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know and how do we know it “ (Lacy: 1976, dalam Suhartono.2005.,h.157). Dalam epistemologi terdapat beberapa perbedaan mengeanai teori pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi obyek, metode, sistem dan tingkat kebenaran yang bebeda-beda. Perbedaan itu terletak pada sudut pandang dan metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme. Dengan demikian, epistemologi merupakan suatu bidang filsafat nilai yang mempersoalkan tentang hakekat kebenaran, karena semua pengetahuan mempersoalkan tentang kebenaran. Proses metodis dalam rangka memperoleh kebenaran, secara epistemologis harus ditopang oleh sistem, yaitu adanya hubungan yang teratur dan konsisten diantara bagian-bagian sehingga membentuk suatu keseluruhan yang utuh.

Epistemologi Bayani (dalil agama) adalah model atau cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan terhadap batin teks : al-Qur’an dan as-Sunnah. Apa yang disebut berpikir hanya merupakan tindakan atau penjelasan bagaimana seseorang mesti berbuat berdasarkan teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Rasio dalam hal ini hanya sebagai pengawal atau pembuka secara langsung atau tidak langsung (penalaran) secara bebas tetapi tetap bersandar pada teks. Sedangkan model metodologi Irfani (dalil spiritual), berpikir yang didasarkan pada pendekatan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan, yang mengungkapkan pengetahuan yang diperoleh melalui penyinaran hakekat Tuhan kepada hamba-Nya (kassyaf), latihan (riyaadhah) dan kesungguhan (mujahadah). Adapun metode burhani (dalil logika), merupakan pendekatan yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, akan tetapi didasarkan pada pemikiran dan kekuatan rasio atau akal yang dilakukan melalui dalil-dalil logika (Sumarna.2005.,h.160).

Dua sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnatullah. Jika wahyu pertama dibacakan Jibril atau bentuk lain, wahyu kedua adalah segala yang wujud ciptaan Allah Swt yang berupa benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan makhluk ghaib. Semua ciptaan ini mempunyai kaidah keberadaannya sendiri yang lebih dikenal sebagai sunnatullah atau prinsip-prinsip dasar keberadaan yang juga disebut hukum alam.

Wahyu pada ranah pertama dipahami dengan menafsirkan teks secara eksploratif, dan wahyu ranah kedua dipahami dengan melakukan deskripsi, eksplorasi, dan eksperimentasi secara sistematis. Bertolak dari kedua pemahaman tersebut, lahirlah dua bagian ilmu paling dasar yaitu; ilmu tekstual tentang segala ciptaan dalam bentuk teks, dan ilmu kontekstual tentang segala ciptaan yang empiris. Kedua ilmu itu disatukan dalam filsafat dengan segala tingkatannya. Oleh karena itu, filsafat sebagai akar ilmu tersusun dalam suatu hierarkhis yang meletakkan metafisika sebagai dasar yang dari padanya lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan (teologi, ontologi, fisika, kosmologi, aksiologi, etika, aestetika, logika, epistemologi, dlsb).

Sesuai dengan sifat dasarnya bahwa kebenaran keseluruhan jenis ilmu di atas adalah relatif dan belum final. Hanya Allah Swt dan firman-Nya yang bersifat final. Akan tetapi fungsi

22

Page 23: Kajian Ormas Hidayatullah

dari segala ilmu itu ialah panduan bagaimana manusia hidup dalam hubungan dengan segala benda mati, tumbuhan, hewan dan manusia serta makhluk ghaib dan khususnya hubungan dengan Allah Swt. Dan, perlu diketahui bahwa puncak metafisika itulah terletak keberadaan ilmu tentang Yang Maha Ghaib (Allah Swt). Ilmu tauhid hanyalah sebuah penghampiran atas obyek Maha Ghaib (Allah Swt) yang hanya bisa diteruskan dengan proses yang disebut “hudhuri” (unspeakable), yaitu kesatuan subyek dan obyek, seperti yang ditempuh oleh Suhrawardi al-Maqtul dan Immanuel Kant.

Jika eksplorasi pengetahuan dilakukan untuk mencari dasar atau pondasi re-eksistensi peradaban Islam secara tekstual dan operasional hendaknya dilakukan suatu pendekatan historis yaitu Sirah Nabawy. Secara epistemologis berakar dari pada teks Nuzulnya Wahyu pada awal-awal turunnya di Makkah. Epistemologi re-eksistensi peradaban Islam pada era ini menduplikasi sebagaimana Nabi Muhammad Saw meletakkan dasar peradaban Islam pada awal mula. Pemikiran ini pula yang diadopsi oleh Suhrawardi al-Maqtul yang telah mengklaim dirinya sebagai pemersatu peradaban yang sempurna. Dalam pengembaraan pemikirannya untuk menemukan suatu kebenaran mutlak ia mencari sampai kepada sumber yang paling awal. Menurutnya, bahwa hikmah kebenaran itu satu, abadi, dan tidak terbagi-bagi. Bahkan ia menyarankan kepada semua orang agar mengikuti cahaya hikmah dimana saja, kapan saja cahaya itu menyinarinya, yang disebut al-hikmah al-laduniyah. Adapun sebagai metode pendekatan untuk mendapatkan pengetahuan ia membaginya kedalam dua metode yaitu metode hushuuli dan metode hudhuri (Amroeni,2005.,h.30-135).

Sistematika nuzulnya Wahyu berupa penggalan ayat-ayat yang turun di Makkah seperti penggal lima ayat pertama surah al-Alaq, penggal tujuh ayat surah al-Qalam, penggal 10 ayat surah al-Muzammil, penggal tujuh ayat surah al-Mudatsir, dan surah al-Fathehah, adalah sebagai kerangka dasar berpikir sistemik untuk mewujudkan suatu peradaban. Jika dan hanya jika al-Qur’an dan as-Sunnah dijadikan sebagai landasan pemikiran (unspeakable) dan aksi (speakable) peradaban Islam yang komprehensif dalam membangun tatanan nilai hidup dan kehidupan yang tumbuh dari suatu ideologi (iman) yang implementasinya diyakini akan mendatangkan kebahagiaan, tentu saja diskusi ini harus bertolak dari person changer sebagai subyek atau agen perubahan. Selanjutnya, ontologi adalah bidang kajian spesifik tentang benda mati, tumbuhan, hewan, manusia, dan makhluk ghaib yang pada umumnya dikaji dalam metafisika. Misalnya, tauhid merupakan derivasi teologi, sementara ilmu ke-Islaman yang lain berposisi sejajar dengan ilmu alam, sosial, humaniora, dlsb. Letak bedanya jika ilmu ke-Islaman dibangun secara deduktif dari data verbal al-Qur’an dan as-Sunnah, maka Purwadi. 2002). Mengingat tauhid adalah merupakan derivasi teologi yang akan membahas tentang causa prima sebagai dasar lahirnya akar peradaban Islam maka sumber utama kajian peradaban Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Secara ontologis diskusi akan bertolak dari realita umat Islam yang secara politis terpuruk posisinya dan terjadi gap atau kesenjangan yang sangat dalam antara visi ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah dengan realita masyarakat Islam di seluruh dunia kini. ilmu alam, sosial, humaniora (sunnatullah) dibangun dari data kuantitas alam, sosial, budaya dalam proses induktif  

Pembahasan Pada tataran yang luas, dalam sejarah manusia peradaban-peradaban besar umumnya

identik dengan agama-agama besar dunia, dan orang-orang yang memiliki kesamaan etnis dan bahasa namun berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain. Statemen ini

23

Page 24: Kajian Ormas Hidayatullah

melahirkan peradaban plural yang ujungnya adalah agama adalah sama, bahkan tidak perlu lagi agama sehingga lahir pemikiran suatu peradaban universal. Itulah jati diri Kapitalis.

Kemudian untuk apa agama diturunkan ke dunia ? Para pakar peradaban seperti; Oswald Spengler, Max Weber, Emile Durkheim, Marcel Mauss, Alfred Weber, Carol Quigley, Rushton Coulborn, Fernand Braudel, Toynbee, dlsb. sependapat bahwa akar peradaban adalah agama. Bahwa orang-orang yang memiliki kesamaan ras dapat benar-benar terpisahkan melalui peradaban, dan orang-orang yang memiliki perbedaan ras dapat dipersatukan oleh peradaban. Utamanya melalui dua agama besar yaitu; Islam dan Kristen yang mampu melindungi dan menaungi kelompok-kelompok masyarakat yang berasal dari pelbagai suku bangsa. Pembedaan krusial antara pelbagai golongan-golongan manusia berkaitan dengan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, institusi-institusi, dan struktur-struktur sosial mereka, bukan pada ciri-ciri pisikal mereka.

Berdasarkan statemen para pakar peradaban tersebut, maka fokus diskusi peradaban ini adalah peradaban Islam. Para sarjana besar peradaban mengakui bahwa keberadaan Islam sebagai suatu peradaban tersendiri. Peradaban Islam terlahir dari semenanjung Arabia pada abad ke VII M, dan menyebar keseluruh Afrika Utara, semenanjung Iberia, Asia Tengah, Anak Benua dan Asia Tenggara. Peradaban Islam dibangun atas dasar Wahyu al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah Muhammad Saw. Bertolak dari kedua sumber dasar tersebut lahir suatu peradaban Islam yang komprehensif. Tampaknya, peradaban Islam itu sebuah refleksi atas pemahaman terhadap penggal ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan pada awal mula. Dari sinilah segala ilmu (metafisika dan fisika) dibangun. Dengan demikian, dasar ilmu pengetahuan dan sains hendaknya mempunyai hubungan erat dengan ajaran Islam, sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dan umum. Hal ini demi memastikan agar kemajuan sains dapat mendatangkan kebaikan bukan keburukan.

Suatu peluang yang sangat strategis jika dilihat dari sudut pandang strategi anti decline yang menurut istilah Charles Handy (1994) bahwa perubahan mengikuti kurva “S” (Sigmoid Curve) yaitu segala sesuatu pasti melalui pasang surut dalam siklus kehidupan termasuk didalamnya suatu peradaban. Bagi orang yang berpikir strategik, didalam benaknya senantiasa berpikir suatu perubahan. Dan, perubahan itu sendiri merupakan mindset yaitu berpikir antisipatif agar segala sesuatu yang telah dicapai itu tidak terjadi decline. Mengapa decline peradaban Islam pasca Rasulullah Muhammad Saw dan Khulafaur Rasyidin yang bakal terjadi tidak diantisipasi oleh para khalifah Bany Abbasiyah dan Umayah ? Dan, yang lebih penting dari itu semua apa yang harus dilakukan oleh umat Islam saat ini dalam upaya mengembalikan eksistensi peradaban Islam? Apa konsep yang tepat sebagai rujukan membangun peradaban Islam dewasa ini? Perspektif peradaban Islam apa dan bagaimana yang akan dibangun?

Pertanyaan-pertanyaan diatas men-stressing pada pernyataan pertanyaan (statement questions) tentang peradaban Islam yang akan dibangun. Oleh karena itu, jika sependapat bahwa peradaban Islam dibangun diatas Wahyu al-Qur’an dan as-Sunnah, tentu saja ayat-ayat awal surah al-Alaq (1- 5) merupakan fondasi lahirnya peradaban Islam yang dimulai dari pada pencerahan tata nilai dasar peradaban Islam, yaitu tauhid / aqidah / ideologi.

Bagi kaum muslimin atau ideolog muslim dewasa ini sudah saatnya untuk berpikir rekonstruksi fondasi peradaban Islam untuk mengentaskan krisis eksistensi manusia . Dalam kerangka ini, INISIASI hendaknya memberikan kontribusi penting dengan menawarkan pandangan dunia (world view) yang utuh, holisitik, dan penuh makna kepada manusia modern, baik dalam kajian epistemologi, metafisika, etika, kosmologi, dan psikologi yang merupakan manifestasi nilai tauhid. Pada sifat-sifatnya yang seperti inilah diharapkan manusia dapat

24

Page 25: Kajian Ormas Hidayatullah

memperoleh kembali pegangan hidup yang hakiki yang bersamanya pula dapat memuasi tuntutan intelektual dan spiritualnya.

Dari uraian diatas, paling tidak ada tiga manfaat yang dapat diperoleh dengan mengembalikan tauhid sebagai dasar sistem kehidupan, diantaranya adalah; (1) intelektual dapat memajukan sikap kritis dan analitis terhadap sistem kehidupan yang ada, (2) mendorong kaum muslimin agar memahami kompleksitas pesoalan dalam upayanya membangun sistem-sistem kehidupan Islami, (3) penguasaan isue-isu filosofis mendasar untuk mengakhiri perbedaan. Proses dialog yang digalakkan dalam diskusi ini adalah membahas masalah-masalah eksistensi sehari-hari yang umumnya bersifat fisikal dan inderawi ke “dunia lain” yakni didalamnya pengertian agama dan keimanan beroperasi. Kenyataan inilah yang dapat mendekatkan diri kita kepada (pengetahuan) tentang elemen-elemen keimanan termasuk tentang Tuhan (ALLAH SWT), Malaikat, Nabi dan Rasul, Hari Akhir, dan sebagainya. Dalam konteks keimanan bahwa Tuhan sebagai pusat keimanan merupakan misteri yang mengandung kedahsyatan (misterium tremendum). Aspek ketuhanan ini sangat penting sebagai sarana menimbulkan ketaatan dan penghambaan kepada hukum Tuhan diantara para penyembah-Nya. Namun Tuhan juga memiliki aspek pesona dan rasa cinta (fascinosum) kepada semua hamba-Nya. Oleh karena itu, kajian dasar peradaban Islam harus dan hanya dimulai dari misteri puncak (the ultimate mystery) yaitu mengenal Tuhan (ma’rifatullah atau gnosis).

Pelaku utama sebagai peletak pondasi peradaban yang bertolak dari ajaran tauhid adalah para Nabi dan Rasul. Para ahli peradaban dunia telah mengakui bahwa peletak dan penegak peradaban Islam adalah Nabiullah Muhammad Saw. Pada saat ini merupakan moment strategis bagi ideolog Islam merekonstruksi ajaran tauhid sebagai basis re-eksistensi peradaban Islam. Metodologi yang tepat sebagai sarana pendekatan adalah Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW) dengan benchmark sirah Nabawiyah.

Sistematika Nuzulnya Wahyu Adalah suatu keberanian yang sangat menantang. Mendefinitifkan bahwa peradaban

Barat saat ini sudah sekarat merupakan statemen yang mengundang kontroversial ditengah internal dan eksternal umat Islam. Statemen ini juga suatu keberanian para futurolog Muslim yang berpikir antisipatif untuk mengisi chaos peradaban Barat. Indikator sekaratnya peradaban Barat diantaranya adalah sikap memaksakan diri untuk eksis tunggal didunia. Menurut hukum life cycle of organization bahwa kondisi peradaban Barat sudah pada puncaknya sehingga decline secara frontal terjal atau gradual tinggal menunggu waktu yang tepat.

Seusai pasca perang dingin berakhir, arah kebijakan politik agen peradaban Barat adalah melakukan represif dinegara-negara yang dianggap reval. Setelah Komunis dinyatakan ambruk berkeping, yang menjadi sasaran utama adalah Islam. Fakta membeberkan bahwa penyerangan terhadap Afghanistan, penjajahan terhadap Irak, serta intervensi politik di berbagai negara yang dilakukan Amerika dan sekutunya adalah representasi peradaban Barat yang berperilaku biadab menjelang sekarat. Kebiadaban itu, akan lebih mempercepat proses decline nya Amerika dan sekutunya yang suatu saat kondisinya akan dibawah duli kehinaan. Jika mereka tidak beriman kepada Allah Swt.

Perspektif ajaran Islam menawarkan kepada dunia bahwa hanya dengan Islam dunia ini akan damai, sejahtera seperti yang telah dibuktikan oleh para pelaku sejarah peradaban Islam sejak zaman Nabiulah Muhammad Saw hingga Turki Usmani. Mengingat peradaban Islam telah membuktikan eksistensinya sebagai suatu sistem hidup dan kehidupan yang berdimensi dunia dan akhirat, maka umat Islam tidak gentar menghadapi segala risiko yang akan terjadi sebagai

25

Page 26: Kajian Ormas Hidayatullah

proses re-eksistensi peradaban Islam abad ini. Bagi umat Islam, dunia bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan media transit menuju dunia baru yaitu akhirat yang kekal dan abadi. Oleh karena itu, berjuang atau tidak, mati pasti terjadi sehingga bagi umat Islam mati itu merupakan suatu hal yang biasa bahkan diidamkan untuk mati yang lebih mulia yaitu mati Syahid, demi eksistensi peradaban Islam.

Konsep dasar peradaban Islam yang dapat mengantarkan pelakunya untuk rela berkorban segala yang dimiliki adalah Sistematika Nuzulnya Wahyu. Keikhlasan dan kematian dalam syahid merupakan rabuk perjuangan tegaknya peradaban Islam. Adapun strategi mengeksplorasi konsep peradaban Islam tersebut diperlukan keseriusan para ideolog Islam untuk terus menggali kedalaman makna al-Qur’an dan as-Sunnah dengan benchmark sirah nabawiyah. Untuk itu, ditawarkan kepada seluruh audiensi bahwa strategi pencapaian eksisnya peradaban Islam yang dibangun bertolak dari penggal ayat-ayat pertama turun di Makkah dengan judul sebagai berikut : (1) Al-Alaq : Filosofi Peradaban Islam, (2) Al-Qalam : Visi, Misi, Strategi Peradaban Islam, (3) Al-Muzammil : Spirit Peradaban Islam, (4) Al-Mudatsir: Manajemen Strategi Peradaban Islam, (5) Al-Fatehah: Existensi Peradaban Islam.Kesimpulan                        Bahasan tentang peradaban adalah merupakan masalah yang sangat besar dan mendasar. Oleh karena itu, diperlukan konsentrasi diskusi yang intensif dan fokus, sehingga akan melahirkan suatu konsep peradaban Islam yang dapat dijadikan rujukan oleh semua pihak.                         Peradaban Islam sebuah keniscayaan yang harus dibangun kembali sebagai indikator bangkitnya Islam jilid dua pada milenium III. Dengan demikian, diperlukan strategi kebangkitan itu sendiri.                         Mengingat peradaban Islam yang akan dibangun, tentu saja harus ditentukan perspektif peradaban Islam yang bagaimana dan apa serta siapa standard peradaban itu ?                         Perlu ditetapkan tujuan membangun peradaban Islam agar supaya semua aktivitas diskusi dan aksi serta proses implementasi konsep peradaban tidak bias.                         Anggaran diskusi peradaban adalah tidak terbatas (unlimited) karena besarnya cakupan konsep dan implementasi peradaban itu sendiri. Sehingga, diperlukan kreasi atau innovasi untuk mencari sumber dana yang dapat membiayai diskusi dan implementasi hasil diskusi.

[1] http://www.hidayatullahbontang.or.id/

[2] http://www.eramuslim.com/berita/info-umat/kuliah-dan-asrama-gratis-dari-hidayatullah.htm

[3] http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Palu&id=56982#top

[4] Pernah disampaikan pada acara eksplorasi gagasan tentang Peradaban Islam di Pusat Dewan Pimpinan Hidayatullah, Jakarta 10 Maret 2008 oleh Dr. Abdul Mannan, Ketua Umum DPP Hidayatullah.

[5] Adalah lembaga Kajian yang dibentuk oleh Dewan Eksekutif Hidayatullah pada tahun 1999.

http://fahmi-assaifi.blogspot.co.id/2013/11/kajian-ormas-hidayatullah.html

26