101
KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK BAHAN OLAHAN KARET OLEH: LILIS SUCAHYO F14051196 2010 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA … · a kajian pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan ribbed smoked sheet (rss) dan pengurang

  • Upload
    dodiep

  • View
    263

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

a

KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA

SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN

RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK

BAHAN OLAHAN KARET

OLEH:

LILIS SUCAHYO

F14051196

2010

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

b

KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA

SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN

RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK

BAHAN OLAHAN KARET

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

LILIS SUCAHYO

F14051196

2010

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

c

Judul Skripsi : Kajian Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Bahan

Koagulan Lateks dalam Pengolahan Ribbed Smoked Sheet (RSS)

dan Pengurang Bau Busuk Bahan Olahan Karet.

Nama : Lilis Sucahyo

NIM : F14051196

Menyetujui :

Pembimbing,

(Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si.)

NIP : 19640813 199102 1001

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Desrial, M.Eng.)

NIP : 19661201 199103 1004

Tanggal Lulus :

d

Lilis Sucahyo. F14051196. KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK BAHAN OLAHAN KARET. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si. 2010.

RINGKASAN Ribbed Smoked Sheet (RSS) adalah salah satu jenis produk olahan karet

alam yang berasal dari lateks/getah tanaman karet Hevea brasiliensis yang diolah secara teknik mekanis dan kimiawi dengan pengeringan menggunakan rumah asap serta mutunya memenuhi standard The Green Book dan konsisten. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh petani karet adalah rendahnya mutu sit yang dihasilkan karena bahan pembeku yang digunakan tidak dapat mencegah pertumbuhan bakteri yang merusak protein sehingga nilai plastisitas PRI (Plasticity Retention Index) menjadi rendah. Bahan baku yang diperoleh dari kelompok tani mempunyai tingkat kontaminasi yang tinggi karena bahan dasar yang digunakan sebagai bahan pembekunya bermacam-macam. Pada kebun inti bahan pembeku yang biasa digunakan adalah asam format (asam semut), sedangkan bahan pembeku yang biasa digunakan oleh para petani adalah air perasan buah-buahan, tawas dan pupuk TSP. Kerusakan serta degradasi protein pada karet akibat bahan baku yang kurang baik juga dapat menyebabkan terbentuknya gas amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) yang menimbulkan bau busuk menyengat pada bahan olahan karet sejak dari kebun sampai di pabrik karet.

Asap cair merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya. Kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair diantaranya adalah fenol, asam dan karbonil. Komponen-komponen tersebut berpotensi sebagai alternatif bahan koagulan pengganti asam semut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan karet RSS serta pengurang bau tak sedap/busuk pada bahan olahan karet dalam pengolahan karet alam. Hasil yang diharapkan adalah untuk mengetahui pemanfaatan dan cara penggunaanya dalam proses pengolahan yang lebih efisien serta memenuhi standar karet sit yang sesuai dengan permintaan pasar. Penelitian ini dilakukan pada Pabrik Pengolahan RSS dan Laboratorium Analisis Mutu PTPN VIII Perkebunan Cikumpay, Purwakarta Jawa Barat. Percobaan pada penelitian tahap I dilakukan untuk menentukan perbandingan konsentrasi serta jumlah asap cair tempurung kelapa yang tepat sebagai bahan koagulan serta pengaruhnya terhadap mutu produk RSS yang meliputi kelas mutu sit, nilai plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran. Perlakuan yang digunakan terdiri dari 6 taraf perbandingan komposisi pemberian bahan koagulan yaitu ; 100% asam semut (kontrol), 100% asap cair, 25% asam semut : 75% asap cair, 50% asam semut: 50% asap cair, 75% asam semut : 25% asap cair serta 200% asap cair. Cara penentuan jumlah bahan koagulan yang digunakan mengacu pada

e

persamaan pemberian asam semut konsentrasi 90%. Percobaan pada penelitian tahap II dilakukan untuk mengetahui jumlah dosis penggunaan asap cair tempurung kelapa yang tepat sebagai pengurang bau busuk lump dengan 6 taraf perlakuan yaitu ; 0 ml (kontrol), 10 ml, 20 ml, 30 ml, 40 ml serta 50 ml asap cair per kilogram berat kering lump. Pengujian terhadap penerimaan atau kesukaan para pekerja pabrik terhadap penambahan asap cair tempurung kelapa untuk menghilangkan bau dilakukan dengan uji hedonik. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 1 faktor yaitu dosis/jumlah pemberian asap cair tempurung kelapa dengan 6 taraf perlakuan. Respon yang diamati pada tahap I meliputi kelas mutu RSS, nilai PRI, kadar abu serta kadar kotoran. Sedangkan pada tahap II respon yang diamati adalah tingkat kesukaan/penerimaan panelis terhadap bau bahan olahan karet. Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan koagulan lateks karena mengandung jenis-jenis asam lemah serta memiliki pH yang rendah. Kandungan kimia asap cair tempurung kelapa yang terdapat dalam penelitian ini adalah kadar asam sebesar 9.81%, kadar fenol sebesar 6.78% dan pH sebesar 3.00. Kombinasi penggunaan dengan perbandingan 75% asam semut : 25% asap cair, secara konsisten dapat menghasilkan kelas mutu RSS 1 dengan kualitas yang baik seperti nilai PRI sebesar 80.17, kadar kotoran sebesar 0.01 dan kadar abu sebesar 0.30. Sedangkan penggunaan murni asap cair dengan perbandingan 100% hanya mampu menghasilkan kelas mutu RSS 2 dengan nilai PRI yang lebih tinggi sebesar 90.69, kadar kotoran sebesar 0.01 serta kadar abu sebesar 0.31. Penambahan jumlah asap cair hingga mencapai 200% secara umum tidak memberikan pengaruh nyata pada kualitas mutu RSS yang dihasilkan kecuali pada nilai plastisitas yang semakin meningkat. Penggunaan asap cair tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap peningkatan nilai plastisitas karet. Pengunaan asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh terhadap kadar kotoran dan kadar abu pada produk RSS. Hasil uji organoleptik bau menunjukkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa dengan dosis 20 ml/kg karet kering menghasilkan tingkat penerimaan bau yang lebih disukai oleh panelis sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghilang bau busuk pada bahan olahan lump. Kandungan fenol dan asam dalam asap cair dapat menghambat aktivitas bakteri pengurai protein di dalam lump sehingga tidak menghasilkan bau busuk selama proses penyimpanan. Sebagai saran, perlu dilakukan uji parameter mutu karet yang lain seperti penetapan kadar zat menguap, potensi pencoklatan, potensi pengerasan selama penyimpanan, kadar nitrogen, viskositas mooney, pengujian pemasakan, pembuatan kompon dan lainya untuk mengetahui sejauh mana asap cair dapat mempengaruhi mutu produk karet alam. Selain itu perlu dilakukan kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa dalam pengolahan jenis karet alam lainya misalkan karet remah (SIR).

i

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kepada Allah SWT semoga senantiasa tercurah dari lisan dan hati ini, yang telah memberikan kemampuan dan kemudahan kepada kita dalam menuntut ilmu dan mengamalkannya. Shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW yang menjadi sauri teladan dalam mengarungi kehidupan ini. Ucapan terima kasih atas segala bantuan, bimbingan, saran dan masukan, penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam tahap pelaksanaan hingga penyelesain tugas akhir ini. Penghormatan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si selaku pembimbing akademik yang

telah memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah ini serta kesempatan untuk mengembangkan dan berkarya dengan asap cair. Terimakasih yang sebesar-besarnya.

2. Administratur, Bapak Arifin Mustafa, Bapak Kadarusman, SE, Bapak Kasiono, Bapak Edi Kurniawan, Bapak Upi, Ibu Cucu, Ibu Santi serta staf dan Karyawan PTPN VIII Perkebunan Cikumpay yang telah memudahkan serta banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

3. Bapak Mamad, Bapak Hasyim serta keluarga CV Wulung Prima atas kerjasama dan bantuannya. Terimakasih yang sebesar-besarnya.

4. Bapak dan Ibu tercinta, Sutino dan Rohmayati serta adik tersayang Izna yang senatiasa memberikan dukungan, keceriaan, motivasi serta doa yang tulus dalam setiap aktivitas.

5. Mahasiswa Departemen Teknik Pertanian 2005, Keluarga Himateta 2008, Rekan-rekan Bem Fateta Totalitas Perjuangan serta Saudara Ikhwah Madani. Terimakasih.

Semoga karya ini dapat meberikan banyak manfaat dan sumbangan bagi ilmu pengetahuan. Atas segala kekurangan yang terdapat di dalamnya penulis menyampaikan permohonan maaf yang serta mengharap kritik dan saran untuk perbaikan di masa mendatang. Bogor, Februari 2010 Lilis Sucahyo

i

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah seorang laki-laki yang dilahirkan pada 11 Agustus 1987, dari

pasangan Bapak Sutino dan Ibu Rohmayati. Penulis menyelesaikan pendidikan

dasar di SDN Larangan Utara 10 Tangerang pada tahun 1999. Selanjutnya pada

tahun 2002 penulis lulus dari SLTPN 267 Jakarta dan menamatkan pendidikan

dari SMAN 90 Jakarta tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan

pendidikan tinggi melalui jalur USMI di Institut pertanian Bogor sebagai

Mahasiswa Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama kuliah selain menimba ilmu di dalam kelas, penulis juga aktif

mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan serta kepanitiaan, diantaranya

penulis diamanahkan sebagai Komti Teknik Pertanian 42 (2005/2007), Kepala

Departemen Minat dan Bakat Mahasiswa BEM Fakultas Teknologi Pertanian

(2006/2007), Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian IPB (2007/2008),

Badan Pengawas dan Dewan Pembina Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian

Indonesia (2008/2010), Ketua SAPA Himateta 2008 dan lain sebagainya .

Beberapa prestasi akademik dan keilmiahan yang pernah ditorehkan oleh

penulis diantaranya adalah Mahasiswa Berprestasi Departemen Teknik Pertanian

2008, Students Exchange Program Indonesia-Malaysia 2008, Penyaji Pameran

Teknologi pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional, Brawijaya 2009, Ide Terbaik

“Sang Pengumpul Asap” Eagle Awards Kompetisi Film Dokumenter Metro TV

2009 serta menjadi Perwakilan Indonesia dalam Forum Lingkungan Bayer Young

Environmental Envoy di Leverkusen Jerman 2009.

Pada Tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek lapang di PT Perkebunan

Nusantara VIII Perkebunan Cikumpay, Purwakarta dengan judul “Aspek

Keteknikan Pada Proses Budidaya Dan Pengolahan Karet Alam Di PTPN VIII

Perkebunan Cikumpay, Jawa Barat”. Penulis juga aktif bersama LPPM IPB dan

LIPI dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat desa khususnya dalam bidang

penerapan teknologi lingkungan seperti penerapan teknologi biogas, konversi

limbah asap pada industri arang menjadi asap cair serta teknologi pembangkit

listrik tenaga mikrohidro (PLTMH).

ii

iii

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ v

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii

I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Tujuan ................................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4

A. Karet Alam ............................................................................................ 4

B. Partikel Lateks....................................................................................... 6

C. Ribbed Smoked Sheet (RSS) ................................................................. 9

D. Bau Busuk Bahan Olahan Karet ............................................................ 13

E. Asap Cair Tempurung Kelapa ............................................................... 14

F. Aplikasi Asap Cair pada Industri Pengolahan Karet Alam ..................... 18

III.METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 20

A. Waktu dan Tempat ................................................................................ 20

B. Alat dan Bahan ...................................................................................... 20

C. Tahapan Penelitian ................................................................................ 20

D. Analisis Sifat Fisik dan Kimia ............................................................... 27

E. Rancangan Percobaan ............................................................................ 34

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 35

A. Pengaruh Kadar Asam dan pH Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Daya Koagulasi Lateks .......................................................... 35

B. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Pengolahan RSS ............ 41

C. Analisis Mutu Hasil RSS ....................................................................... 47

1. Kelas Mutu RSS .............................................................................. 47

2. Plasticity Retention Index (PRI) ...................................................... 53

iii

iv

3. Kadar Kotoran ................................................................................. 56

4. Kadar Abu ....................................................................................... 58

D. Kemampuan Kandungan Kimia Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Mengurangi Bau Busuk Bahan Olahan Karet .................. 60

V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 64

A. Kesimpulan ........................................................................................... 64

B. Saran ..................................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66

LAMPIRAN ..................................................................................................... 70

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pengaruh amoniak melalui pernapasan terhadap kesehatan manusia .............................................................................................. 14

Tabel 2. Pengaruh hidrogen sulfida terhadap kesehatan manusia ....................... 14

Tabel 3. Komposisi kimia sabut dan tempurung kelapa ..................................... 16

Tabel 4. Komponen-komponen yang teridentifikasi dari fraksi terlarut asap cair tempurung kelapa dalam dichloromethane ............... 16

Tabel 5. Tingkat penerimaan panelis terhadap uji bau busuk lump .................... 24

Tabel 6. Hasil analisis komponen kimia asap cair tempurung kelapa ................. 35

Tabel 7. Karakteristik bahan koagulan asam semut dan asap cair tempurung kelapa ............................................................................... 42

Tabel 8. Kelas mutu RSS dengan bahan koagulan asam semut : asap cair tempurung kelapa ............................................................................... 49

Tabel 9. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan Deorub ................................... 55

Tabel 10. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan asap cair kayu karet .............. 55

Tabel 11. Perbandingan antara nilai kadar kotoran, kadar abu dan zat menguap pada RSS dengan koagulan asam dan asap cair kayu karet .......................................................................................... 57

Tabel 12. Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS .............. 59

Tabel 13. Uji lanjut pengaruh pemberian asap cair terhadap bau lump menggunakan DMRT ........................................................................ 63

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagan komponen lateks ................................................................... 7

Gambar 2. Bagan proses pengolahan RSS ......................................................... 12

Gambar 3. Bagan alir proses penelitian asap cair sebagai bahan pembeku lateks pada pengolahan RSS ............................................................ 25

Gambar 4. Bagan alir proses penelitian asap cair sebagai bahan pengurang bau busuk pada bahan olahan karet .................................................. 26

Gambar 5. Protein dipolar pada lateks ............................................................... 37

Gambar 6. Grafik hubungan antara pH dengan kestabilan lateks ....................... 39

Gambar 7. Pembekuan tidak sempurna (a) dan Pembekuan sempurna (b).......... 45

Gambar 8. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 1 dengan 100% asam semut ............................................................................................... 50

Gambar 9. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 2 dengan koagulan 100% asap cair ................................................................................ 50

Gambar 10. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 3 dengan koagulan 25% asam semut : 75% asap cair .................................................... 51

Gambar 11. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 4 dengan koagulan 50% asam semut : 50% asap cair .................................................... 51

Gambar 12. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 5 dengan koagulan 75% asam semut : 25% asap cair .................................................... 52

Gambar 13. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 6 dengan koagulan 200% asap cair ............................................................................... 52

Gambar 14. Struktur ruang 1,4 cis poliisopropen ............................................... 53

Gambar 15. Grafik perbandingan nilai PRI pada setiap perlakuan ..................... 54

Gambar 16. Grafik perbandingan nilai kadar kotoran pada setiap

perlakuan ....................................................................................... 56

Gambar 17. Grafik perbandingan nilai kadar abu pada setiap perlakuan ............ 58

Gambar 18. Sampel lump dengan perlakuan asap cair untuk menghilangkan bau busuk .............................................................. 60

Gambar 19. Grafik perbandingan tingkat kesukaan terhadap uji bau.................. 61

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Tabel penggunaan asam semut pada pengolahan karet alam.............................................................................................. 71

Lampiran 2. Analisis kandungan kimia asap cair tempurung kelapa .................. 72

Lampiran 3. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 1 ........... 73

Lampiran 4. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 2 ........... 74

Lampiran 5. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 3 ........... 75

Lampiran 6. Spesifikasi Teknis SNI 06-1903-1990 ........................................... 76

Lampiran 7. Hasil penilaian kelas mutu RSS berdasarkan SNI 06-0001-1087 karet konvensional .......................................... 77

Lampiran 8. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai PRI ............................... 79

Lampiran 9. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar kotoran ................ 82

Lampiran 10. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar abu .................... 84

Lampiran 11. Form uji organoleptik bau ........................................................... 86

Lampiran 12. Tabel hasil tingkat kesukaan uji bau ............................................ 87

Lampiran 13. Analisis stastistik RAL untuk uji bau ........................................... 88

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karet alam merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting baik

untuk lingkup nasional maupun internasional sebagai bahan baku atau bahan

campuran dalam dunia industri. Di Indonesia, karet dapat berperan sebagai

sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa non migas, pendorong

pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitar perkebunan karet serta pelestarian

lingkungan dan sumberdaya hayati. Penggunaan bahan karet yang mempunyai

banyak manfaaat dalam kehidupan memacu para industri karet alam untuk

menghasilkan kualitas karet yang baik sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Pada tahun 2005, luas perkebunan karet Indonesia mencapai 3.2 juta ha

dengan jumlah total produksi karet alam sebanyak 2,271 juta ton, terdiri dari

produksi petani sebanyak 1,839 juta ton (81%), perkebunan Negara (PT.

Perkebunan Nusantara) sebanyak 210 ribu ton (9%) dan perkebunan swata

sebanyak 222 ribu ton (10%), dengan melibatkan lebih dari 10 juta petani

(Departemen Pertanian, 2007). Permintaan karet yang semakin besar turut

mendorong perkembangan teknologi pada proses pengolahan karet untuk

menghasilkan kualitas yang semakin baik. Agribisnis karet alam dimasa

mendatang akan mempunyai prospek yang semakin cerah karena adanya

kesadaran akan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam, kecenderungan

penggunaan material ramah lingkungan, meningkatnya industri polimer pengguna

karet serta makin langka dan mahalnya minyak bumi sebagai bahan pembuatan

karet sintetis.

Sebagian besar bahan olahan karet dari total produksi nasional dihasilkan

oleh petani karet atau perkebunan rakyat. Dari keseluruhan areal perkebunan

rakyat tersebut, sebagian besar (91%) dikembangkan secara swadaya murni, dan

sebagian kecil lainnya yaitu sekitar 288,039 ha (9%) dibangun melalui bantuan

proyek pemerintah (Departemen Pertanian, 2007). Bahan olah karet dari petani

pada umumnya berupa bekuan karet seperti sit angin, sit asap, slab serta lump

yang dibekukan dengan bahan pembeku yang direkomendasikan maupun yang

2

tidak direkomendasikan. Pada saat ini bahan olah karet tersebut mendominasi

pasar karet di Indonesia karena dinilai petani lebih praktis dan menguntungkan.

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh petani karet adalah rendahnya

mutu bahan olahan karet sit karena bahan pembeku yang digunakan tidak dapat

mencegah pertumbuhan bakteri yang merusak protein sehingga nilai PRI

(Plasticity Retention Index) rendah. Bahan baku yang diperoleh dari kelompok

tani mempunyai tingkat kontaminasi yang tinggi karena bahan dasar yang

digunakan sebagai penggumpal/pembekunya bermacam-macam dan seringkali

tidak sesuai dengan yang digunakan oleh kebun inti. Pada kebun inti bahan

pembeku yang biasa digunakan adalah asam format (asam semut), sedangkan

bahan pembeku yang biasa digunakan oleh para petani adalah air perasan buah-

buahan, tawas dan pupuk TSP. Kerusakan serta degradasi protein pada karet

akibat bahan baku yang kurang baik juga dapat menyebabakan terbentuknya

amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) yang menimbulkan bau busuk

menyengat pada bahan olahan karet sejak dari kebun sampai di pabrik karet.

Ribbed Smoked Sheet (RSS) adalah salah satu jenis produk olahan yang

berasal dari lateks/getah tanaman karet Hevea brasiliensis yang diolah secara

teknik mekanis dan kimiawi dengan pengeringan menggunakan rumah asap serta

mutunya memenuhi standard The Green Book dan konsisten (Tim Standardisasi

Pengolahan Karet, 1997). Prinsip pengolahan jenis karet ini adalah mengubah

lateks kebun menjadi lembaran-lembaran sit melalui proses penyaringan,

pengenceran, pembekuan, penggilingan serta pengasapan. Beberapa faktor

penting yang mempengaruhi mutu akhir pada pengolahan RSS diantaranya adalah

pembekuan atau koagulasi lateks, pengasapan dan pengeringan.

Asap cair merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap

hasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang

banyak mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya

(Hamm, 1977). Bahan baku yang banyak digunakan antara lain berbagai macam

jenis kayu, bongkol kelapa sawit, tempurung kelapa, sekam, ampas atau serbuk

gergaji kayu dan lain sebagainya. Penggunaan asap cair terutama dikaitkan

dengan sifat-sifat fungsionalnya, antara lain sebagai antioksidan, antibakteri,

3

antijamur dan potensinya dalam pembentukan warna coklat pada produk sit

(Solichin, 2007).

Penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Balai Penelitian Karet

Sembawa Palembang, menghasilkan teknologi yang lebih baik dan efisien dalam

pengolahan karet terutama untuk produk RSS, yaitu dengan penggunaan asap cair

Deorub (Deodorizer rubber) yang diperoleh dari pirolisis cangkang kelapa sawit

sebagai bahan koagulan lateks serta pengendali bau. Hasil percobaan yang

dilakukan pada skala laboratorium, skala pabrik dan pada kelompok petani

menunjukkan bahwa Deorub dapat menggantikan fungsi asam semut sebagai

koagulan lateks sekaligus menggantikan fungsi asap dari kayu karet sebagai

pengawet RSS. Penggunaan asap cair cangkang kelapa sawit Deorub dinilai

cukup berhasil dari segi mutu karet yang dihasilkan dan disamping itu dapat

mengurangi waktu pengeringan (Solichin, 2007).

Kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan

lateks serta pengurang bau tak sedap/busuk pada bahan olahan karet dalam

pengolahan karet alam dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan dan cara

penggunaanya dalam proses pengolahan yang lebih efisien serta memenuhi

standar karet sit yang sesuai dengan permintaan pasar.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengkaji pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan

koagulan lateks dalam pengolahan karet RSS.

2. Mengkaji pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan

pengurang bau busuk bahan olahan karet pada industri pengolahan karet

alam.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Karet Alam

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) bukan merupakan tanaman asli

Indonesia melainkan berasal dari hutan lembah sungai Amazon, Brazil. Pada

tahun 1864 perkebunan karet mulai diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah

Belanda. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang

cukup besar. Tinggi pohon dewasa dapat mencapai 15-25 m. Batang tanaman

biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Pada bagian

ini banyak mengandung getah yang dinamakan lateks.

Potongan melintang batang pohon karet dari arah luar ke dalam adalah

lapisan kulit keras, kulit lunak, kambium serta kayu. Pembuluh lateks terletak

diantara lapisan kulit lunak dan kambium, berbentuk tabung dengan dinding

kenyal. Dalam pohon yang sama pembuluh tersebut memiliki ukuran diameter

yang berbeda-beda, umumnya rata-rata diameter pembuluh sekitar 30 mikron

(Triwijoso, 1995). Pembuluh lateks terletak dalam posisi miring dari kiri bawah

ke kanan atas dengan sudut sekitar 3-4o terhadap garis vertikal. Pada potongan

melintang, pembuluh lateks tampak seperti lubang-lubang pita yang berbaris

melintang mengelilingi lapisan kayu secara konsentris dan disebut juga dengan

cincin pembuluh lateks. Antara pembuluh-pembuluh lateks dalam satu cincin

terdapat saluran-saluran penghubung antara yang satu dengan lainya. Cincin-

cincin pembuluh lateks ini semakin dekat dengan kambium akan semakin rapat,

sebaliknya semakin ke lapisan luar akan semakin jarang. Jumlah cincin

pembuluah lateks bergantung pada keadaan mutu kulit, semakin baik mutu kulit

akan semakin banyak jumlah cincin pembuluh lateks (Triwijoso, 1995).

Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis yang mencakup

luasan antara 15o Lintang Utara sampai 10o Lintang Selatan. Curah hujan optimal

antara 1,500-2,500 mm/tahun dengan musim kering sekitar 3 bulan. Kelembaban

yang diperlukan cukup tinggi sekitar 75% dengan suhu harian rata-rata antara 25-

30 oC. Tanaman karet dapat dengan tumbuh baik pada ketinggian 1-600 m dari

permukaan laut. Dalam sehari, tanaman ini membutuhkan sinar matahari dengan

5

intensitas yang cukup paling tidak selama 5-7 jam (Anonim, 1993). Dalam dunia

tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika taksonomi sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Euphorbiales

Familia : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

Spesies : Hevea brasiliensis

Jenis tanah yang dapat digunakan untuk budidaya karet diantaranya adalah

tanah podsolik merah kuning, latosol serta aluvial. Tanah yang derajat

keasamannya mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat keasaman

yang paling cocok adalah 5-6. Batas toleransi pH tanah bagi tanaman karet adalah

4-8. Tanah yang agak asam masih lebih baik dibandingkan dengan tanah yang

basa. Topografi tanah untuk perkebunan karet sebaiknya menpunyai kontur yang

datar dan tidak berbukit-bukit. Kemiringan tanah sebaiknya berkisar 0-15o, tetapi

kemiringan antara 15-30o masih dapat digunakan dengan tindakan konservasi

tanah yang lebih baik (Triwijoso, 1995).

Perbanyakan tanaman karet dapat dilakukan secara genaratif dan vegetatif.

Cara generatif merupakan jenis perbanyakan melalui biji yang didapat dari buah

karet hasil penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang, sedangkan cara vegetatif

yang banyak digunakan biasanya menggunakan okulasi. Pada umumnya bagian

induk yang dipakai untuk perbanyakan vegetatif adalah mata okulasi yang

ditempelkan pada batang bawah. Batang bawah sendiri diperoleh dari hasil

pembesaran biji dengan perbanyakan generatif.

Klon adalah tanaman yang didapat dari hasil perbanyakan vegetatif atau

aseksual. Klon memiliki kelebihan dibanding tanaman yang dikembangkan

melalui biji. Kelebihan klon antara lain tumbuhnya tanaman lebih seragam, umur

produksi lebih cepat dan jumlah lateks yang dihasilkan juga relatif lebih banyak

(Tim Standardisasi Pengolahan Karet, 1997). Akan tetapi, klon juga memiliki

kekurangan seperti daya tahan yang rendah, diperlukan adaptasi terhadap

6

lingkungan sebelum dapat tumbuh dengan baik. Oleh sebab itu perlu dilakukan uji

coba penanaman terlebih dahulu sebelum suatu klon dibudidayakan secara luas.

Klon diberi nama menurut tempat asal induknya dan nomor urut seleksi. Beberapa

jenis klon yang banyak dikembangkan pada perkebunan karet di Indonesia antara

lain :

WR 101 : Wangun Rejo (nomor seleksi 101)

GT : Gondang Tapen

LCB : Lands Caoutchouc Bedrijiven

PR : Proefstation

AVROS : Algemene Vereneging Van Rubberonderneming En In Oost

PPN : Perusahaan Perkebunan Negara

LH : Labuhan Hadji

RRIM : Rubber Research Institut of Malaysia

PB : Prang Besar

BPM : Balai Penelitian medan

GYT : Good Year Type

Karet alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama

dalam hal elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan

umur kelelahan (fatigue) (Tim Penulis PS, 2007). Berdasarkan keunggulan

tersebut, maka saat ini karet alam sangat dibutuhkan terutama oleh industri ban.

Dewasa ini karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni lateks pekat, karet

konvensional (karet sit dan krep) serta karet spesifikasi teknis (SIR).

B. Partikel Lateks

Lateks yang diperoleh dari penyadapan bagian antara kambium dan kulit

pohon Hevea brasiliensis, adalah suatu cairan yang berwarna putih atau putih

kekuning-kuningan. Lateks terdiri atas partikel karet dan bahan bukan karet (non-

rubber) yang terdispersi di dalam air. Menurut Nobel (1963) lateks merupakan

suatu larutan koloid dengan partikel karet dan bukan karet yang tersuspensi di

dalam suatu media yang mengandung berbagai macam zat. Dalam penelitiannya,

Triwijoso (1995) menyebutkan bahwa di dalam lateks mengandung 25-40% bahan

7

karet mentah (crude rubber) dan 60-75% serum yang terdiri dari air dan zat yang

terlarut. Bahan karet mentah mengandung 90-95% karet murni, 2-3% protein, 1-

2% asam lemak, 0.2% gula, 0.5% jenis garam dari Na, K, Mg, Cn, Cu,Mn dan Fe.

Partikel karet tersuspensi atau tersebar secara merata dalam serum lateks dengan

ukuran 0.04-3.00 mikron dengan bentuk partikel bulat sampai lonjong

Susunan bahan lateks dapat dibagi menjadi dua komponen. Komponen

pertama adalah bagian yang mendispersikan atau memancarkan bahan-bahan yang

terkandung secara merata yang disebut serum. Bahan-bahan bukan karet yang

terlarut dalam air, seperti protein, garam-garam mineral, enzim dan lainnya

termasuk ke dalam serum. Komponen kedua adalah bagian yang didispersikan,

terdiri dari butir-butir karet yang dikelilingi lapisan tipis protein. Bahan bukan

karet yang jumlahnya relatif kecil ternyata mempunyai peran penting dalam

mengendalikan kestabilan sifat lateks dan karetnya. Menurut Triwijoso (1995),

jika lateks segar tanaman Hevea dipusingkan dalam alat sentifugasi dengan

kecepatan 18,000 rpm selama 15 menit, maka lateks akan terpisah menjadi empat

fraksi dengan urutan dari bagian atas ke bawah yang ditunjukkan oleh Gambar 1.

Lateks

kebun

Fraksi

karet (36%)

Karet Protein Lipid Ion logam

Fraksi

frey wyssling (1%)

Karotenoid Lipid

Air Karbohidrat dan inositol Protein dan turunannya Senyawa nitrogen Asam nukleat dan nukleosida Ion anorganik Ion logam

Protein dan senyawa nitrogen Karet dan karotenoid Lipid dan ion logam

Serum (53%)

Fraksi

dasar (10%)

Gambar 1. Bagan komponen lateks.

8

Lateks merupakan suspensi koloidal dari air dan bahan-bahan kimia yang

terkandung di dalamnya. Bagian-bagian yang terkandung tersebut tidak larut

sempurna, melainkan terpencar secara homogen atau merata di dalam air (Tim

Penulis PS, 2005). Partikel karet di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan,

melainkan saling menjauh karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik.

Gaya tolak menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di dalam

lateks, isoprene diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel karet bermuatan

listrik (Zuhra, 2006).

Lateks kebun akan menggumpal atau membeku secara alami dalam waktu

beberapa jam setelah dikumpulkan. Penggumpalan alami atau spontan dapat

disebabkan oleh timbulnya asam-asam akibat terurainya bahan bukan karet yang

terdapat dalam lateks akibat aktivitas mikroorganisme. Hal itu pula yang

menyebabkan mengapa lump hasil penggumpalan alami berbau busuk. Selain itu,

penggumpalan juga disebabkan oleh timbulnya anion dari asam lemak hasil

hidrolisis lipid yang ada di dalam lateks. Anion asam lemak ini sebagaian besar

akan bereaksi dengan ion magnesium dan kalsium dalam lateks membentuk sabun

yang tidak larut, keduanya menyebabkan ketidakmantapan lateks yang pada

akhirnya terjadi pembekuan (Triwijoso dan Siswantoro, 1989).

Prakoagulasi merupakan pembekuan pendahuluan tidak diinginkan yang

menghasilkan lump atau gumpalan-gumpalan pada cairan getah sadapan. Kejadian

seperti ini biasa terjadi ketika lateks berada di dalam tangki selama pengangkutan

menuju pabrik pengolahan. Hasil sadapan yang mengalami prakoagulasi hanya

dapat diolah menjadi karet dengan mutu rendah seperti karet remah jenis SIR 10

dan SIR 20. Prakoagulasi dapat terjadi karena kemantapan bagian koloidal yang

terkandung di dalam lateks berkurang akibat aktivitas bakteri, guncangan serta

suhu lingkungan yang terlalu tinggi. Bagian-bagian koloidal yang berupa partikel

karet ini kemudian menggumpal menjadi satu dan membentuk komponen yang

berukuran lebih besar dan membeku.

Untuk mencegah prakoagulasi, pengawetan lateks kebun mutlak diperlukan,

terlebih jika jarak antara kebun dengan pabrik pengolahan cukup jauh. Zat yang

digunakan sebagai bahan pengawet disebut dengan zat antikoagulan. Syarat zat

antikoagulan adalah harus memiliki pH yang tinggi atau bersifat basa. Ion OH- di

9

dalam zat antikoagulan akan menetralkan ion H+ pada lateks, sehingga

kestabilannya dapat tetap terjaga dan tidak terjadi penggumpalan. Terdapat

beberapa jenis zat antikoagulan yang umumnya digunakan oleh perkebunan besar

atau perkebunan rakyat diantaranya adalah amoniak, soda atau natrium karbonat,

formaldehida serta natrium sulfit (Tim Penulis PS, 2007).

C. Ribbed Smoked Sheet (RSS)

Ribbed Smoket Sheet (RSS) adalah adalah produk yang berasal dari lateks

tanaman karet Hevea brasiliensis yang diolah secara mekanis dan kimiawi dengan

pengeringan menggunakan rumah asap serta mutunya memenuhi standard The

Green Book dan konsisten (Tim Standardisasi Pengolahan Karet, 1997). Prinsip

pengolahan jenis karet ini adalah mengubah lateks segar menjadi lembaran-

lembaran sit melalui proses penyaringan, pengenceran, pembekuan, penggilingan

serta pengasapan. Pemanfaatan karet RSS umumnya digunakan sebagai bahan

baku pembuatan ban radial serta beberapa komponen peralatan mesin industri.

Tahap awal dalam pengolahan RSS adalah penerimaan lateks kebun. Lateks

yang berasal dari mangkuk sadap dikumpulkan dalam suatu tempat kemudian

disaring untuk memisahkan kotoran serta bagian lateks yang telah mengalami

prakoagulasi. Setelah proses penerimaan selesai, lateks kemudian dialirkan ke

dalam bak koagulasi untuk proses pengenceran dengan air. Air yang digunakan

harus air yang bersih dan tidak mengandung unsur logam, pH air antara 5.8-8.0,

kesadahan air maks 6o, serta kadar bikarbonat tidak melebihi 0.03%. Tujuan

pengenceran ini adalah untuk menyeragamkan KKK sehingga cara pengolahan

dan mutunya dapat dijaga tetap serta memudahkan penyaringan kotoran (Suwarti,

1989). Pengenceran dapat dilakukan hingga KKK mencapai kadar 12-15%. Air

ditambahkan pada bak koagulum sesuai dengan tabel pengenceran pada instruksi

kerja pada setiap pabrik pengolahan, atau dapat ditentukan dengan Persamaan (1).

A = g

gCB

(1)

10

Dimana,

A = volume air (liter)

B = volume lateks (liter)

C = KKK Lateks (%)

g = pengenceran (%)

Tahap berikutnya ialah pembekuan lateks yang dilakukan dalam bak

koagulasi dengan menambahkan zat koagulan. Biasanya digunakan larutan asam

format/asam semut atau asam asetat/asam cuka dengan konsentrasi 1-2% ke

dalam lateks yang telah distandarkan KKK-nya. Tujuan dari penambahan asam

adalah untuk menurunkan pH lateks pada titik isoelektriknya sehingga lateks akan

membeku, yaitu pada pH antara 4.5-4.7 (Zuhra,2006). Penambahan diikuti dengan

pengadukan agar asam tercampur ke dalam lateks secara merata serta membantu

mempercepat proses pembekuan. Pengaduk yang digunakan adalah plat

alumunium yang berlubang-lubang dengan ukuran 1/4 lebar bak. Pengadukan

dilakukan dengan 6-10 kali maju dan mundur secara perlahan untuk mencegah

terjadinya busa. Bila timbul ke permukaan akibat pengadukan maka harus dibuang

sampai bersih untuk menghindari gelembung udara pada koagulum. Kecepatan

penggumpalan dapat diatur dengan merubah perbandingan lateks, air dan asam

sehingga diperoleh hasil bekuan/koagulum dengan kekuatan yang dikehendaki.

Proses selanjutnya ialah pemasangan plat penyekat yang berfungsi untuk

membentuk koagulum dalam lembaran yang seragam.

Langkah berikutnya adalah penggilingan yang dilakuan setelah proses

pembekuan selesai. Koagulum digiling untuk mengeluarkan kandungan air,

mengeluarkan sebagian serum, membilas, membentuk lembaran tipis dan

memberi garis batikan pada lembaran. Untuk memperoleh lembaran sit, koagulum

digiling dengan beberapa gilingan rol licin, rol belimbing dan rol motif. Di bagian

atas mesin gilingan dilengkapi dengan saluran air bersih yang disemprotkan untuk

pencucian lembaran sit selama penggilingan. Di bawah gilingan terakhir terdapat

bak air pencuci lembaran untuk membersihkan sisa asam. Air dalam bak ini

diusahakan mengalir karena lembaran gilingan masih banyak mengandung serum

dan asam yang harus dicuci. Setelah melewati gilingan terakhir, lembaran

11

kemudian digantung dalam lori untuk ditiriskan selama 1-2 jam. Penirisan

dilakukan pada tempat teduh dan terlindung dari sinar matahari.

Setelah ditiriskan, lembaran sit diangkut ke dalam kamar asap. Tujuan

pengasapan adalah untuk mengeringkan sit, memberi warna khas cokelat dan

menghambat pertumbuhan jamur pada permukaan. Proses yang terjadi di kamar

asap adalah sebagai berikut :

a. Hari pertama, pengasapan dengan suhu kamar asap sekitar 40-45 oC.

b. Hari kedua, pengasapan dengan suhu kamar asap mencapai 50-55 oC.

c. Hari ketiga sampai berikutnya, pengasapan dengan suhu kamar asap

mencapai 55-60 oC.

Pada hari pertama dibutuhkan asap yang lebih banyak untuk pembentukan warna.

Untuk memperbanyak asap dapat digunakan jenis kayu bakar (umumnya

menggunakan kayu karet) yang masih basah. Pada hari kedua lembaran sit harus

dibalik untuk melepaskan lembaran yang lengket terhadap gantar dan juga agar

sisi lain lembaran sit bisa terkena asap sehingga pengasapan merata. Mulai hari

ketiga dan seterusnya yang dibutuhkan adalah panas guna memperoleh tingkat

kematangan yang tepat.

Sit yang telah matang dari kamar asap diturunkan kemudian ditimbang dan

dicatat dalam arsip produksi. Proses sortasi dilakukan secara visual berdasrkan

warna, kotoran, gelembung udara, jamur dan kehalusan gilingan yang mengacu

pada standard yang terdapat pada SNI 06-0001-1987 The Green book. Diagram

proses pembuatan RSS dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil sit yang telah disortasi

dan digolongkan ke dalam beberapa kelas mutu, kemudian ditimbang seberat 113

kg. Sit dilipat dan ditata ke dalam peti berukuran 48 × 48 × 48 cm untuk

memudahkan proses pengepresan membentuk ukuran persegi yang disebut juga

dengan bandela atau bal. Bandela kemudian dibungkus dengan lembaran sit lalu

di labur menggunakan talk. Pelaburan dilakukan untuk mencegah serangan jamur

atau kapang serta menghindari pelekatan pada masing-masing bandela yang

bersentuhan. Perhitungan untuk penjualan produk dikenal dengan istilah lot,

dengan jumlah 1 lot setara dengan 18 bandela.

12

Penirisan dengan cara dianginkan selama 1-2 jam.

Penggunaan kayu bakar sebanyak 3 m2/ton. Pengaturan suhu kamar asap. Pada hari ke-2 lembar sit dibalikkan.

Penirisan

Pengasapan

Sortasi

Pengepakan

Pengiriman

Pemilihan sesuai dengan standard mutu, RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, RSS 5 dan Cutting.

Penimbangan. Pengepakan dan pengemasan dalam bandela. Pelaburan.

Pengangkutan Lateks Kebun

Penerimaan di Pabrik

Pengenceran KKK

Pengolahan Lateks (Pembekuan)

Penggilingan

Dilakukan penimbangan. Bak penerimaan lateks dipastikan dalam

keadaan bersih. Penyaringan lateks dengan 5 mesh. Pengukuran volume lateks. Penentuan KKK.

Penggunaan air yang bersih. Pengenceran hingga KKK mencapai 12-14 %. Pembuangan busa.

Pemberian asam format (semut) 2 %. Pengadukan sebanyak 7 kali maju dan mundur. Pembuangan busa. Pemasangan penyekat. Setelah pembekuan (40 menit), ditambahkan air

pada koagulum untuk mencegah oksidasi.

Pembersihan celah gilingan. Pemberian air pada proses penggilingan. Ketebalan sit antara 2-3 mm.

Gambar 2. Bagan proses pengolahan RSS.

13

D. Bau Busuk Bahan Olahan Karet

Selain memberikan dampak positif bagi perkembangan perekonomian

indonesia, di lain pihak industri karet juga berpotensi menimbulkan dampak

negatif bagi masyarakat selama proses kegiatan produksinya, salah satunya adalah

emisi gas penyebab bau tak sedap (polusi bau). Sumber emisi gas yang

menimbulkan bau tak sedap bersal dari beberapa kegiatan pengolahan, salah

satunya adalah kegiatan penyimpanan bahan olahan karet yang berupa lump.

Lump yang dikumpulkan dan disimpan dalam gudang penyimpanan akan

mengalami penumpukan jika tidak dapat diolah pada hari yang sama. Perkebunan

besar biasa menyimpan lump karena kapasitas produksi yang terbatas atau

digunakan sebagai penyangga bahan baku produksi berikutnya. Selama proses

penyimpanan, lump akan mengalami reaksi aerob dan anaerob akibat aktivitas

bakteri yang menguraikan bahan organik serta menghasilkan gas-gas yang berbau

busuk dan sangat menyengat terutama amoniak, hidrogen sulfida serta senyawa

organik lainnya yang mudah menguap (Purwati, 2005).

Amoniak adalah senyawa dari nitrogen dan hidrogen dengan formula NH3

hasil transformasi N-organik melalui proses amonifikasi (Jenie dan Rahayu 1993).

Pada suhu dan tekanan standar amoniak berbentuk gas. Amoniak memiliki bau

yang tajam, bersifat toksik dan korosif untuk beberapa bahan. Amoniak tidak

berwarna dan berbau menyengat. Amoniak dapat mencair pada suhu -33.7 oC dan

menjadi padat pada suhu -75 oC berupa masa kristal putih. Gas amoniak sangat

berbahaya bagi manusia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Turk

et al., 1972). Pengaruh amoniak terhadap kesehatan manusia dapat dilihat pada

Tabel 1.

Hidrogen sulfida (H2S) adalah gas tidak berwarna, toksik, mudah terbakar

dan menyebabkan bau busuk. H2S dihasilkan ketika bakteri menguraikan bahan

protein pada kondisi anaerob, seperti pada rawa dan saluran air selokan. H2S

mempunyai bau seperti telur busuk dan kadang lebih toksik dibandingkan karbon

dioksida (Lens dan Pol, 2000). Pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan

diantaranya sakit kepala, mual dan muntah, pingsan serta pada konsentrasi lebih

dari seribu ppm, akan menyebabkan kehilangan kesadaran sampai kematian

14

(Jones et al., 2005). Beberapa dampak negatif bagi manusia yang ditimbulkan

oleh gas H2S pada berbagai konsentrasi (ppm) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Pengaruh amoniak melalui pernapasan terhadap kesehatan manusia

Konsentrasi Efek bagi manusia 0.5 ppm Kadar minimal risk 50 ppm Ringan, iritasi mata dan tenggorokan dan

rangsangan batuk 500 ppm Menaikan udara ke paru-paru, nyeri hidung dan

tenggorokan 5000 ppm Mati mendadak

(Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam Pahlevi, 2005)

Tabel 2. Pengaruh hidrogen sulfida terhadap kesehatan manusia

Konsentrasi Efek bagi manusia 0.03 ppm Bisa dibau, aman dihirup selama 8 jam. 10 ppm Bisa menyebabkan iritasi mata, harus menggunakan

masker karena dapat merusak metabolisme. 20 ppm Maksimum terhirup selama 10 menit. Bau

membunuh dalam 3 samapi 15 menit. Menyebabkan gas mata dan luka pada tenggorokan.

30 ppm Terhirup lebih dari satu menit menyebabkan beberapa kerusakan urat saraf mata.

100 ppm Kelumpuhan pernapasan dalam 30 sampai 45 menit, pingsan dalam dalam waktu singkat (15 menit).

(Pahlevi, 2005)

E. Asap Cair Tempurung Kelapa

Asap merupakan sistem kompleks yang terdiri dari fase cairan terdispersi

dan medium gas sebagai pendispersi. Asap cair merupakan suatu campuran

larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil

pirolisa kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni (Maga, 1998). Menurut

Hamm (1977), asap mengandung sejumlah besar senyawa-senyawa yang

terbentuk oleh pirolisis konstituen kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin.

Kelompok-kelompok terpenting dari senyawa tersebut meliputi fenol, karbonil,

asam, furan, alkohol, ester, lakton dan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH).

15

Asap cair dapat diperoleh dari hasil kondensasi atau pengembunan dari uap

hasil pembakaran tidak langsung maupun langsung dari bahan bahan yang banyak

mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain. Bahan baku yang banyak

digunakan sekarang ini adalah kayu, bongkol kelapa sawit, cangkang tempurung

kelapa, ampas hasil penggergajian kayu dan lain sebagainya. Sifat dari asap cair

dipengaruhi oleh komponen utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin yang

proporsinya bervariasi tergantung pada jenis bahan yang akan di pirolisis

(Kollman dan Cote, 1984). Proses pirolisis sendiri melibatkan berbagai proses

reaksi diantaranya dekomposisi, oksidasi, polimerisasi dan kondensasi.

Hemiselulosa adalah komponen kayu yang mengalami pirolisa paling awal

menghasilkan fural, furan, asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa tersusun

dari pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5) dan rata-rata proporsi ini

tergantung pada jenis kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural, fural dan

turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat. Bersama-sama

dengan selulosa, pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan homolognya

(Darmadji, 2002). Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-250 oC. Fenol

dihasilkan dari dekomposisi lignin yang terjadi pada suhu 300 oC dan berakhir

pada suhu 400 oC (Girrad, 1992). Proses selanjutnya yaitu pirolisa selulosa

menghasilkan senyawa asam asetat dan senyawa karbonil seperti asetaldehid,

glikosal dan akreolin. Pirolisa lignin akan menghasilkan senyawa fenol, guaikol,

siringol bersama dengan homolog dan derivatnya (Maga, 1988).

Tempurung kelapa dikategorikan oleh Grimwood (1975) sebagai kayu

keras, tetapi memiliki kadar lignin lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah.

Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang fungsinya secara biologis

adalah pelindung inti buah dan terletak di bagian sebelah dalam sabut dengan

ketebalan berkisar antara 3-6 mm. Tempurung kelapa dikategorikan sebagai kayu

keras tetapi mempunyai kadar lignin yang lebih tinggi dan kadar selulosa lebih

rendah dengan kadar air sekitar 6-9% (dihitung berdasarkan berat kering) dan

terutama tersusun dari lignin, selulosa dan hemiselulosa (Tilman, 1981). Tabel 3

menunjukkan komposisi kimia yang terkandung di dalam sabut dan tempurung

kelapa.

16

Tabel 3. Komposisi kimia sabut dan tempurung kelapa

Komposisi Sabut Kelapa (%)

Tempurung Kelapa (%)

Pektin Hemiselulosa Lignin Selulosa Mineral Komponen larut air Komponen tidak larut air

14,06 7,69

30,02 18,42

5 5,8

19,19

15,07 8,8

35,02 19,24 7,1 6,4

20,1

(Suhardiyono, 1988)

Apabila tempurung kelapa dibakar pada temperatur tinggi dalam ruangan

yang tidak berhubungan dengan udara maka akan terjadi rangkaian proses

penguraian penyusun tempurung kelapa tersebut dan akan menghasilkan arang

destilat, tar dan gas (Anonim, 1983). Penelitian yang dilakukan oleh Tranggono

dan Darmadji (1996), melaporkan bahwa pirolisa tempurung kelapa mengandung

senyawa fenol sebesar 4,13%, karbonil 11.30% dan asam 10.2%. Sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh Rokhani (2006), di dalam distilat asap cair

tempurung kelapa terdapat senyawa fenol 5.5%, metil alkohol 0.37% dan total

asam 7.1%. Dalam asap cair tempurung kelapa yang telah mengalami redistilasi

memiliki keasaman pH sebesar 1.76-2.97, kadar asam sebesar 4.15% dan kadar

fenol 0.83% (Luditama, 2006). Identifikasi menggunakan GCMS (Tabel 4) yang

dilakukan oleh Zuraida (2008), menunjukkan terdapat sekitar 40 jenis komponen

kimia penting yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa.

Tabel 4. Komponen-komponen yang teridentifikasi dari fraksi terlarut asap cair tempurung kelapa dalam dichloromethane.

No. Waktu retensi Nama komponen Keton

1 3.184 2-methyl-2-cyclopentenone 2 3.771 3-methyl-2-cyclopentenone 3 4.525 2-hydroxy-1-methylcycopenten-3-one 4 4.728 2,3-dimethylcyclopenten-1-one 5 5.358 4,5-dimethyl-4-hexen-3-one 6 5.793 3-Ethyl-2-hydroxy-2-cyclopenten-1-one

17

7 5.984 Cyclohexanone 8 6.909 2-ethylcycloheptanone Furan dan turunan pyran

9 3.213 2-acetylfuran 10 3.702 5-methyl furfural Karbonil dan asam

11 7.532 1-cyclohexene-1-carboxaldehyde 12 7.994 2,3-dihidroxy-benzoid acid 13 8.549 3-methoxybenzoic acid methyl ester 14 9.180 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester Fenol dan turunannya

15 3.917 Phenol 16 4.979 2-methylphenol 17 5.260 3-methylphenol 18 5.716 2,6-dimethylphenol 19 6.260 2,4-dimethylphenol 20 6.492 3-ethylphenol Guakiol dan turunanya

21 5.458 2-methoxyphenol (guaiacol) 22 6.617 3-methylguaiacol 23 6.699 p-mathylguaiacol 24 6.776 2-methoxy-4-methylphenol 25 7.717 4-ethyl-2-methoxyphenol 26 8.442 Eugenol 27 8.684 Vanillin 28 9.415 Acetovanillone 29 9.682 methyl vanillate Siringol dan turunannya

30 7.313 2,6-dimethoxyphenol 31 8.285 3,4-dimethoxyphenol 32 10.410 4-(2-propenyl)-2,6-dimethoxyphenol 33 10.840 syringyl aldehyde 34 11.570 Acetosyringone 35 11.876 3,4-dimethoxy-4-hydroxyphenylacetic

acid Alkil aril eter

36 6.077 1,2-dimethoxybenzene 37 7.197 2,3-dimethoxytoluene 38 7.915 1,2,3-trimethoxybenzene 39 9.112 1,2,4- trimethoxybenzene 40 9.767 5-methyl-1,2,3-trimethoxybenzene

(Zuraida, 2008)

18

Dari hasil spektra kromatografi gas, senyawa dominan yang terkandung

dalam asap cair tempurung kelapa tersebut adalah senyawa-senyawa fenolik. Hal

ini dapat disebabkan karena komponen yang paling banyak terdapat pada bahan

pengasapan kayu, terutama kayu keras adalah lignin. Lignin apabila dibakar dan

mengalami pirolisis akan menghasilkan senyawa fenol (Gould 1995). Selain

senyawa fenol terdapat juga senyawa asam dan karbonil. Komponen-komponen

tersebut ditemukan dalam jumlah yang bervariasi tergantung jenis kayu, umur

tanaman serta kondisi pertumbuhan kayu seperti iklim dan tanah. Senyawa-

senyawa asam yang terkandung dalam asap cair umumnya berupa jenis asam

organik lemah seperti 2,3-dihidroxy-benzoid acid, 3-methoxybenzoic acid methyl

ester serta 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester. Sedangkan senyawa-senyawa

fenol yang terdapat dalam asap cair umumnya hidrokarbon aromatik yang

tersusun dari cincin benzena dengan sejumlah gugus hidroksil yang terikat.

Senyawa-senyawa fenol ini juga dapat mengikat gugus-gugus lain seperti aldehid,

keton, asam dan ester (Maga, 1988).

F. Aplikasi Asap Cair pada Industri Pengolahan Karet Alam

Untuk mengolah karet sit diperlukan asam semut sebagai bahan pembeku

lateks dengan dosis 4 ml/kg karet kering atau 4 liter/ton karet kering. Penambahan

asam ini bertujuan untuk menurunkan pH lateks hingga berada pada titik

isolektriknya yang menyebabkan protein polar menjadi netral dan dapat saling

berdekatan hingga akhirnya menyatu membentuk gumpalan-gumpalan dan

membeku (Goutara, 1985). Lateks akan mulai membeku pada suasana pH sekitar

4.5-4.7. Jika kisaran produksi sit di indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun

terakhir ini mencapai 60,000-100,000 ton sit/tahun, maka diperlukan sekitar

250,000 sampai 500,000 liter asam semut setiap tahunnya.

Bahan penggumpal yang umunya digunakan oleh perkebunan besar adalah

asam semut atau asam cuka 2%. Bahan penggumpal lain seperti air buah-buahan,

iles-iles, pupuk TSP dan sebagainya banyak digunakan oleh petani karet rakyat

untuk menggumpalkan lateks, namun hasilnya tidak baik dan tidak dianjurkan

(Solichin, 2007). Selama ini penggunaan asam semut dinilai memberatkan oleh

para petani karena harganya yang cukup tinggi, terlebih harus bersaing dengan

19

para perkebunan besar. Oleh sebab itu diperlukan suatu alternatif bahan koagulan

yang memiliki kualitas bekuan yang sama dengan asam semut serta terjangkau

oleh para petani karet.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Balai Penelitian Karet Sembawa,

menunjukkan bahwa asap cair tidak hanya dapat diaplikasikan pada produk

pangan tetapi juga dapat digunakan pada proses pengolahan karet sebagai bahan

koagulan serta pengendali bau (malador). Asap cair cangkang kelapa sawit yang

dipasarkan dengan nama dagang Deorub terbukti dapat digunakan sebagai bahan

koagulan lateks pengganti asam semut pada produk karet remah serta RSS. Asap

cair dapat membekukan lateks dengan sempurna serta memiliki nilai plastisitas

yang tinggi dan sifat fisik vulkanisat setara atau bahkan lebih baik dibandingkan

dengan karet yang dihasilkan dengan pembeku asam semut (Solichin, 2007).

Penggunaan asap cair cangkang kelapa sawit dinilai cukup berhasil dari segi mutu

karet yang dihasilkan dan disamping itu dapat mengurangi waktu pengeringan

produk.

Penyemprotan asap cair cangkang kelapa sawit diatas bahan olahan karet

dapat digunakan untuk menghilangkan atau menetralkan bau busuk terutama pada

gudang penyimpanan lump serta mobil pengangkutan. Fenomena tersebut

berkaitan dengan kandungan asap cair yang berupa asam organik volatil dan

senyawa fenol yang berfungsi sebagai antimikrobial dan antioksidan. Penggunaan

asap cair cangkang kelapa sawit sebagai bahan koagulan dalam pembuatan RSS

memiliki fungsi ganda, selain sebagai pembeku lateks juga melindungi hasil sit

dari jamur selama penyimpanan dan memberikan efek warna khas cokelat asap,

hal ini terkait kandungan asam serta fenol yang terdapat di dalam asap cair

tersebut (Solichin, 2007).

Sementara itu penelitian yang dilakukan Maspanger (2003), juga

menunjukkan bahwa asap cair kayu karet dapat digunakan sebagai bahan

koagulan lateks kebun untuk pembuatan karet sit, waktu pengeringan yang lebih

singkat dengan tetap menghasilkan karet sit berkualitas setara dengan RSS

konvensional. Selain itu, produk samping pirolisis seperti tar mampu berfungsi

sebagai processing aids dalam pembuatan barang jadi karet, yakni

mempertahankan ketahanan kikis dan ketahanan lekuk lentur vulkanisat.

20

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2009.

Tempat dilakukannya penelitian ini adalah di Pabrik Pengolahan RSS dan

Laboratorium Analisis Mutu PT. Perkebunan Nusantara VIII Pabrik Karet

Cikumpay serta Laboratorim Lingkungan dan Bangunan, Departemen Teknik

Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Alat dan Bahan

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain asap cair

tempurung kelapa yang diperoleh dari industri rumah tangga yang

mengolah arang, lateks kebun, kayu karet pengasapan, asam semut

(HCOOH), natrium hidroksida (NaOH), asam klorida (HCL), amoniak

(NH3), natrium bisulfit, indikator metil merah, fenolptalin, Cureo TS dan

pelarut karet terpentin.

2. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain wadah

koagulasi, mesin penggilingan sitter, pengaduk, saringan mesh, universal

pH, pH meter, lori penirisan, gantar bambu, rumah pengasapan serta

beberapa peralatan analisis seperti timbangan analitik, cawan petri, labu

elenmeyer, pipet, gelas ukur, gelas piala, lampu infra red, titrasi, oven,

sudip, spatula, mikrometer, rapid plastimeter MK V, termometer dan lain

sebagainya.

C. Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahapan utama yang dilakukan yakni;

penelitian pertama yang bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan asap cair

tempurung kelapa sebagai bahan pembeku lateks dalam pengolahan karet RSS

dan penelitian kedua yang bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan asap cair

21

tempurung kelapa sebagai bahan pengurang/penghilang bau busuk bahan olahan

karet khususnya lump pada gudang penyimpanan bahan baku.

1. Penelitian Tahap I

Percobaan pada penelitian tahap I dilakukan untuk menentukan

perbandingan konsentrasi serta jumlah asap cair tempurung kelapa yang tepat

sebagai bahan koagulan serta pengaruhnya terhadap mutu produk RSS yang

meliputi kelas mutu sit, nilai plastisitas PRI (Plasticity Retention Index), kadar abu

serta kadar kotoran. Untuk membekukan lateks dapat digunakan larutan asam

semut atau asam cuka 2%. Untuk setiap kg karet pada semua kadar karet kering

(KKK 8-35) tanpa penambahan amoniak sebagai zat anti koagulan, diperlukan 4

ml larutan asam semut dengan konsentrasi 90%. Jumlah asam perlu diperbesar

jika pada lateks kebun ditambahkan zat antikoagulasi yang berupa amoniak (basa)

sesuai dengan Persamaan (2) berikut atau sesuai dengan tabel pemberian asam

semut pada Lampiran 1.

Persamaan untuk menentukan jumlah pemberian asam :

F = F1 + F2 ml/kg karet kering (2)

Dimana :

F = volume asam semut yang dibutuhkan

F1 = volume asam semut untuk menggumpalkan lateks

F1 = 3.6 x 100/C ml/kg karet kering

(3.6 adalah nilai konstanta untuk F1)

C = konsentarsi asam semut

F2 = volume asam semut untuk menetralkan ammonia

F2 = 2.71 x 100/C x A

(2.71 adalah nilai konstanta untuk F2, yang artinya 1gram

ammonia dapat dinetralkan oleh 2.71 ml asam semut 100%).

A = jumlah amoniak yang harus dinetralkan oleh asam semut.

A = P/100 x L x 1000

P = hasil titrasi amoniak (%)

L = jumlah lateks yang mengandung 1 kg lateks

L = 100/ KKK

22

Beberapa taraf perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Pemberian bahan koagulan asam semut dengan perbandingan jumlah

100% (kontrol).

2. Pemberian bahan koagulan asap cair tempurung kelapa dengan

perbandingan jumlah 100%.

3. Pemberian bahan koagulan campuran asam semut dan asap cair dengan

perbandingan jumlah 25% : 75%.

4. Pemberian bahan koagulan campuran asam semut dan asap cair dengan

perbandingan jumlah 50% : 50%.

5. Pemberian bahan koagulan campuran asam semut dan asap cair dengan

perbandingan jumlah 75% : 25%.

6. Pemberian bahan koagulan asap cair tempurung kelapa dengan

perbandingan jumlah 200%.

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan

Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 1 faktor yaitu dosis/jumlah pemberian asap

cair tempurung kelapa dengan 6 taraf perlakuan. Percobaan dilakukan sebanyak 3

kali pengulangan sehingga menghasilkan 18 kali satuan percobaan. Respon yang

diamati berupa mutu karet sit yang dihasilkan dari beberapa perlakuan diatas,

yang meliputi kelas pemutuan secara visual berdasarkan SNI 06-0001-1987 Karet

Konvensional, nilai plastisitas PRI, pengukuran kadar kotoran/padatan serta kadar

abu berdasarkan SNI 06-1903-1990 Standar Karet Spesifikasi Teknik (SIR).

2. Penentuan Cara Pemberian Bahan Koagulan

Yang dimaksud dengan pemberian jumlah asam semut 100% adalah ;

misalkan untuk membekukan lateks diperlukan asam sebanyak 4 ml/kg karet

kering, maka bahan koagulan yang diberikan keseluruhannya berupa asam tanpa

pemberian bahan apapun (murni asam). Sedangkan yang dimaksud pemberian

campuran asam semut dan asap cair dengan perbandingan jumlah 25% : 75%

adalah ; misalkan untuk membekukan lateks diperlukan asam sebanyak 4 ml/kg

karet kering, maka bahan koagulan yang diberikan berupa campuran antara 1 ml

23

(25% bagian dari 4 ml/kg karet kering) bahan asam serta 3 ml (75% bagian dari 4

ml/kg karet kering) bahan asap cair tempurung kelapa (kombinasi). Begitupun

perlakuan selanjutnya.

Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium. Pembekuan lateks

menggunakan wadah koagulasi dengan dimensi 68 x 42 x 13 cm. Penggunaan

wadah telah disesuaikan dengan lebar dan ketebalan sit standar, hal ini dilakukan

untuk menyesuaikan dengan peralatan pengolahan selanjutnya, seperti mesin

penggilingan sit pada proses produksi. Lateks yang diperoleh dari kebun PTPN

VIII Cikumpay ditentukan terlebih dahulu KKK-nya serta kandungan amoniak,

hal ini terkait dengan penentuan jumlah bahan koagulan yang akan diberikan

nantinya. Lateks kemudian disaring untuk memisahkan kotoran kayu serta bagian

yang telah mengalami prakoagulasi. Selanjutnya lateks dimasukkan ke dalam

wadah koagulan untuk di encerkan sampai batas KKK yang diinginkan (12-14%).

Proses selanjutnya adalah pemberian bahan koagulan pada masing-masing wadah

sesuai dengan perlakuan diatas. Besarnya suhu pada proses reaksi antara bahan

koagulan dan lateks adalah 28-30 oC (suhu ruangan). Koagulum hasil bekuan

lateks akan digiling pada keesokan harinya (metode giling pagi) kemudian

dimasukkan ke dalam kamar asap serta diuji beberapa respon yang menjadi

pengamatan dalam penelitian ini. Secara umum tahapan penelitian I ditunjukkan

oleh diagram alir pada Gambar 3.

3. Penelitian Tahap II

Percobaan pada penelitian tahap II dilakukan untuk mengetahui pengaruh

serta menentukan jumlah dosis penggunaan asap cair tempurung kelapa yang tepat

sebagai pengurang bau busuk lump pada gudang penyimpanan dengan 6 taraf

perlakuan sebagai berikut :

1. Perlakuan tanpa menggunakan zat tambahan (kontrol)

2. Pemberian asap cair sebanyak 10 ml/kg karet kering.

3. Pemberian asap cair sebanyak 20 ml/kg karet kering.

4. Pemberian asap cair sebanyak 30 ml/kg karet kering.

5. Pemberian asap cair sebanyak 40 ml/kg karet kering.

6. Pemberian asap cair sebanyak 50 ml/kg karet kering.

24

Sebanyak 1 kg karet kering lump ditempatkan dalam sebuah wadah tertutup.

Semua perlakuan pemberian asap cair tempurung kelapa diencerkan hingga

mencapai konsentarsi 10% untuk memudahkan pemberian, kemudian

disemprotkan secara merata keseluruh bagian lump dengan menggunakan hand

sprayer. Selanjutnya wadah lump ditutup dan dibiarkan selama 7 hari pada suhu

kamar sebesar 28-30 oC untuk mengamati perubahan yang terjadi. Respon yang

diamati berupa bau tak sedap (busuk) karet yang dirasakan oleh para pekerja pada

pabrik pegolahan karet tersebut.

Pengujian terhadap penerimaan atau kesukaan para pekerja pabrik terhadap

penambahan asap cair tempurung kelapa untuk menghilangkan bau dilakukan

dengan uji hedonik. Pelaksanaan uji hedonik ini adalah dengan menyajikan lump

yang telah diberi kode sesuai dengan perlakuannya dan panelis diminta untuk

memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Pengujian

dilakukan kepada 20 orang panelis dengan menggunakan 6 skala kesukaan dengan

tingkat penerimaan pada Tabel 5.

Tabel 5. Tingkat penerimaan panelis terhadap uji bau busuk lump

Tingkat Penerimaan Skor/ nilai Keterangan Bau busuk lump/ amoniak 1 Sangat tidak suka Berbau lump dan sedikit berbau asap

2 Tidak suka

Berbau lump dan asap 3 Kurang suka Sedikit berbau lump dan berbau asap

4 Agak suka

Berbau asap 5 Suka Tidak berbau lump dan asap

6 Sangat suka

Secara umum diagram alir prosedur penelitian tahap II ditunjukkan oleh

Gambar 4.

25

Gambar 3. Bagan alir proses penelitian asap cair sebagai bahan pembeku lateks pada pengolahan RSS.

Lateks kebun

Penyaringan dan pengenceran

Pembekuan

(T = 28-30 oC) ; pemberian bahan koagulan : 1. Asam semut (100%, kontrol) 2. Asap cair (100%) 3. Asam semut : asap cair (25 % : 75%) 4. Asam semut : asap cair (50 % : 50%) 5. Asam semut : asap cair (75 % : 25%) 6. Asap cair (200%)

Penggilingan

Penirisan

Pengasapan (T = 40-60 oC)

Produk RSS

Pengamatan : Kelas mutu sit, PRI, kadar abu dan kadar zat menguap.

26

Gambar 4. Bagan alir proses penelitian asap cair sebagai bahan pengurang bau busuk pada bahan olahan karet.

Lump

Pengambilan contoh

Penambahan asap cair sebagai pengurang bau busuk :

1. Asap cair 0 ml/kg kk (kontrol) 2. Asap cair 10 ml/kg kk. 3. Asap cair 20 ml/kg kk. 4. Asap cair 30 ml/kg kk. 5. Asap cair 40 ml/kg kk. 6. Asap cair 50 ml/kg kk.

Pengamatan : Uji organoleptik bau

Penyimpanan pada suhu kamar (28-30 oC)

Penimbangan

7 hari

27

D. Analisis Sifat Fisik Dan Kimia

1. Penentuan Kadar Karet Kering (SNI 06-2047-2002 Bahan Olahan Karet, 2002)

Kadar Karet Kering (KKK) adalah kandungan padatan karet per satuan berat

(%). KKK lateks atau bekuan sangat penting untuk diketahui karena selain dapat

digunakan sebagai pedoman penentuan harga juga merupakan standar dalam

pemberian bahan kimia untuk pengolahan RSS, TPC dan lateks pekat. Kadar karet

kering pada lateks tergantung dari beberapa faktor antara lain jenis klon, umur

pohon, waktu penyadapan, musim, suhu udara serta letak tinggi dari permukaan

laut. Terdapat beberapa metode dalam penentuan KKK, salah satu diantaranya

adalah metode laboratorium.

Prinsip dalam metode laboratorium adalah pemisahan karet dari lateks yang

dilakukan dengan cara pembekuan, pencucian dan pengeringan. Alat yang

diperlukan adalah gelas piala 50 ml, mangkuk bersih, penangas air, desikator,

timbangan analitik, dan oven. Sebagai bahan pembeku digunakan asam asetat atau

asam semut 2%. Prosedur pengujian dengan metode laboratorium adalah sebagai

berikut :

1. Lateks dituangkan ke dalam gelas ukur 50 ml yang sebelumnya telah

diketahui beratnya, secara perlahan-lahan, kemudian catat beratnya (berat

lateks adalah berat total dikurangi dengan berat gelas ukur/ wadah).

2. Lateks dibekukan dengan asam asetat atau asam format 2% dan

dipanaskan di atas penangas air pada suhu 80 oC sampai serumnya

menjadi jernih.

3. Koagulump atau bekuan digiling menjadi krep dengan ketebalan 1-2 mm,

dan dicuci.

4. Krep kemudian dikeringkan di dalam oven, setelah itu didinginkan dalam

desikator dan ditimbang. Rumus perhitungan KKK adalah ditunjukkan

pada Persamaan (3).

KKK = berat krep kering

berat lateks ×100% (3)

28

2. Penentuan Kadar Kotoran (SNI 06-1903-1990 SIR, 1990)

Kadar Kotoran adalah benda asing yang tidak larut dan tidak dapat melalui

saringan 325 mesh. Adanya kotoran didalam karet yang relatif tinggi dapat

mengurangi sifat dinamika yang unggul dari vulkanisat karet alam antara lain

kalor timbul serta ketahanan retak lentur. Kalor timbul adalah panas yang

ditimbulkan karena adanya gesekan sedangkan retak lentur adalah retakan-retakan

yang terjadi pada karet akibat daya lentur. Kotoran yang ada dapat disebabkan

oleh kebersihan bahan baku dan alat yang digunakan, serta bagian mesin

pengolahan.

Cara pengukuran dilakukan dengan mengambil bagian dari contoh produk

sebanyak 10 gram yang telah digiling tiga kali pada celah rol 0.33 mm, kemudian

dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer 500 ml dan dilarutkan dengan terpentin

mineral sebanyak 200-300 ml, ditambahkan dengan peptiser (Cureo TS, bahan

pelarut karet 2-3 ml, lalu dipanaskan pada suatu ruang dengan menggunakan sinar

Infrared 250 Watt selama 2-3 jam pada suhu ± 140 oC (sampai sampel karet

terlarut seluruhnya). Larutan yang telah dipanaskan disaring dengan saringan 325

mesh, lalu hasil saringan dimasukkan ke dalam oven selama satu jam dengan suhu

100 oC, dikeluarkan dan didinginkan pada suhu kamar, lalu ditimbang. Nilai kadar

kotoran dapat dihitung dengan Persamaan 4.

Kadar kotoran = 100%C

BA

(4)

Dimana,

A = bobot saringan + kotoran

B = bobot saringan kosong

C = bobot potongan contoh uji

3. Penentuan Kadar Abu (SNI 06-1903-1990 SIR, 1990)

Abu di dalam karet mentah terdiri dari oksida karbonat dan fosfat dari

kalium, magnesium, kalsium dan beberapa unsur lain. Abu dapat pula

mengandung silikat yang berasal dari karet atau benda asing yang keberadaannya

tergantung pada pengolahan bahan mentah karet. Abu dari karet memberikan

sedikit gambaran mengenai jumlah bahan mineral di dalam karet. Beberapa bahan

29

mineral dalam karet yang meninggalkan abu dapat mengurangi sifat dinamik dari

vulkanisat karet alam.

Cara pengujian dilakukan dengan mengambil sampel dari produk sebanyak

5 gram yang telah dihomogenisasi lalu dimasukkan ke dalam krus yang sudah

ditimbang sebelumnya. Kemudian krus dipanaskan diatas elektrik bunzen, pada

ruang pre ashing, dengan menggunakan crussible tank, selama 10 menit (sampai

tidak mengeluarkan asap). Tahap berikutnya krus diletakkan ke dalam muffle

furnance yang diatur pada suhu 550 oC selama 2 jam, kemudian dianginkan untuk

menurunkan suhu selama 30 menit, setelah itu krus tersebut ditimbang. Penentuan

kadar abu dapat diperoleh dengan Persamaan (5).

Kadar abu = %100C

BA

(5)

Dimana,

A = bobot krus + abu

B = bobot krus kosong

C = bobot contoh uji

4. Penentuan Plasticity Retention Index (SNI 06-1903-1990 SIR, 1990)

Penentuan nilai Plasticity Retention Index (PRI) adalah cara pengujian yang

sederhana dan cepat untuk mengukur ketahanan karet mentah terhadap degradasi

oleh oksidasi pada suhu tinggi. Pengujian ini meliputi pengujian plastisitas

Wallace dari potongan uji sebelum (Po) dan sesudah pengusangan (Pa) di dalam

oven dengan suhu 140 oC. Nilai PRI yang tinggi menunjukkan ketahanan yang

tinggi terhadap degradasi oleh oksidasi serta tingkat kekuatan produk.

Cara pengujiannya yaitu, contoh yang diambil digiling pada celah rol

sebanyak 7 kali ulangan, kemudian hasil gilingan digunting dengan ukuran 4 × 7

cm. Hasil guntingan tersebut kemudian dipres sehingga terbentuk 6 buah lubang

lingkaran dengan diameter 1 cm yang akan digunakan sebagai contoh pengujian.

Tiga buah sampel dimasukkan ke dalam oven terlebih dahulu selama 30 menit

dengan suhu 140 oC, sebagai sampel perhitungan plastisitas setelah pengusangan.

Pada pengukuran plastisitas wallace, letakkan potongan uji diantara 2 lembar

kertas sigaret yang berukuran 35 x 40 mm diatas piringan plastimeter. Kemudian

tutup piringan plastimeter tersebut. Setelah ketukan pertama, piringan bawah akan

30

bergerak ke atas selama 15 detik dan menekan piringan atas. Tebal potongan uji

dengan ketelitian 0.01 mm setelah ketukan kedua berakhir dicatat sebagai nilai

pengukuran plastisitas. Angka yang dicatat adalah angka yang ditunjukkan oleh

jarum mikrometer pada waktu berhenti bergerak. Nilai PRI dapat diketahui

dengan perbandingan nilai plastisitas setelah pengusangan dengan nilai plastisitas

awal sesuai dengan Persamaan (6).

PRI = PaPo

× 100% (6)

Dimana,

Pa = Nilai tengah dari ketiga pengukuran setelah pengusangan.

Po = Nilai tengah dari ketiga pengukuran plastisitas awal

5. Penetapan Kelas Mutu RSS (SNI 06-0001-1987 Karet Konvensional, 1987)

Menurut SNI 06-0001-1987 mengenai karet konvensional, secara umum sit

diklasifikasikan dalam kelas mutu RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, RSS 5 dan

Cutting. Cutting merupakan potongan dari lembaran yang terlihat masih mentah,

atau terdapat gelembung udara hanya pada sebagian kecil sehingga dapat

digunting. Beberapa penjelasan dari masing-masing kelas mutu RSS adalah

sebagai berikut :

RSS 1

Kelas ini harus memenuhi persyaratan yaitu, sit yang dihasilkan harus

benar-benar kering, bersih, kuat, tidak ada cacat, tidak berkarat, tidak melepuh

serta tidak ada benda-benda pengotor. Jenis RSS 1 tidak boleh ada garis-garis

pengaruh dari oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-

benar kering, pengasapan berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Bila

terdapat gelembung-gelembung berukuran kecil (seukuran jarum pentul) masih

diperkenankan, asalkan letaknya tersebar merata. Pembungkusan harus baik agar

tidak terkontaminasi jamur. Tetapi, bila sewaktu diterima terdapat jamur pada

pembungkusnya, masih dapat diizinkan asalkan tidak masuk ke dalam karetnya.

31

RSS 2

Kelas ini tidak terlalu banyak menuntut kriteria. Standar RSS 2 hasilnya

harus kering, bersih, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat

kotoran. Sit tidak diperkenankan terdapat noda atau garis akibat oksidasi, sit

lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan

berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Sit kelas ini masih menerima

gelembung udara serta noda kulit pohon yang ukurannya agak besar (dua kali

ukuran jarum pentul). Zat-zat damar dan jamur pada pembungkus, kulit luar

bandela atau pada sit di dalamnya masih dapat ditorerir. Tetapi bila sudah

melebihi 5% dari bandela, maka sit akan ditolak.

RSS 3

Standar karet RSS 3 harus kering, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh

dan tidak terdapat kotoran. Bila terdapat cacat warna, gelembung udara besar (tiga

kali ukuran jarum pentul), ataupun noda-noda dari kulit tanaman karet, masih

ditorerir. Namun, tidak diterima jika terdapat noda atau garis akibat oksidasi, sit

lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan

berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Jamur yang terdapat pada

pembungkus kulit luar bandela serta menempel pada sit tidak menjadi masalah,

asalkan jumlahnya tidak melebihi 10% dari bandela dimana contoh diambil.

RSS 4

Standar karet RSS 4 harus kering, kuat, tidak cacat, tidak melepuh serta

tidak terdapat pasir atau kotoran luar. Yang diperkenankan adalah bila terdapat

gelembung udara kecil-kecil sebesar 4 kali ukuran jarum pentul, karet agak rekat

atau terdapat kotoran kulit pohon asal tidak banyak. Mengizinkan adanya noda-

noda asalkan jernih. Sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi dan karet terbakar

tidak bisa diterima. Bahan damar atau jamur kering pada pembungkus kulit bagian

luar bandela serta pada sit, asalkan tidak melebihi 20% dari keseluruhan masih

mungkin untuk kelas RSS 4.

RSS 5

Karet yang dihasilkan harus kokoh, tidak terdapat kotoran atau benda asing,

kecuali yang diperkenankan. Dibanding dengan kelas RSS yang lain RSS 5 adalah

yang terendah standarnya. Bintik-bintik, gelembung kecil, noda kulit pohon yang

32

besar, karet agak rekat, kelebihan asap dan sedikit belum kering masih termasuk

dalam batas toleransi. Bahan damar atau jamur kering pada pembungkus kulit

bagian luar bandela serta pada sit, asalkan tidak melebihi 30% dari keseluruhan

masih mungkin untuk kelas RSS 5. Pengeringan pada suhu tinggi dan bekas

terbakar tidak diperkenankan untuk jenis kelas ini.

6. Penetapan Kadar Amoniak (SNI 06-3139-1992 Lateks Pekat Karet Alam, 1992)

Lateks akan membeku sendiri secara alami beberapa jam setelah

penyadapan. Untuk menghindari terjadinya pembekuan alami ini, di dalam lateks

ditambahkan amoniak sebagai bahan pemantap dan pengawet. Kadar amoniak

ditetapkan dengan cara volumetri. Sebagai pentitar digunakan larutan HCl dan

indikator metil merah sebagai petunjuk. Dari volum HCl yang diketahui

normalitasnya dan bobot lateks, kadar amoniak dalam lateks dapat dapat dihitung

dan dinyatakan dalam % NH3 terhadap lateks beramoniak.

Masukkan sejumlah lateks ke dalam botol timbang kemudian dicatat

bobotnya. Tuangkan 3-5 gram lateks ke dalam erlenmeyer yang telah berisi 100

ml akuades. Botol timbang ditimbang kembali, perbedaan bobot adalah bobot

contoh. Contoh dititrasi dengan HCl 0.1 setelah di tetesi (2-3 tetes) indikator metil

merah. Titrasi selesai jika warna telah berubah dari kuning menjadi merah muda.

Persen amoniak dapat dihitung dengan Persamaan (7).

% Amoniak = V × N × 1.7

W (7)

Dimana,

N = normalitas HCl

V = volum HCl, ml

W = berat lateks, gram

7. Penentuan pH (AOAC, 1995)

Penetapan nilai pH dilakukan setelah pH-meter dikalibrasi terlebih dahulu.

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram, dicampurkan dengan 100 ml akuades.

Setelah itu elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Elektoda

dicelupkan ke dalam filtrat sampai beberapa saat, hingga diperoleh pembacaan

yang stabil, kemudian pH sampel dicatat.

33

8. Penentuan Kadar Asam Tertitrasi (SNI, 1992)

Sampel sebanyak 10 gram diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades.

Larutan sampel sebanyak 10 ml ditambah indikator fenolphthalin (PP) sebanyak

2-3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai titik akhir titrasi, yaitu

berubahnya warna sampel menjadi merah keunguan dan stabil (tidak berubah bila

dihomogenkan). Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam asetat sesuai

dengan Persamaan (8).

% Total Asam = V × N × BM

BC × 100% (8)

Dimana,

V = volum titrasi NaOH

N = normalitas NaOH

BM = berat molekuk asam asetat

BC = bobot contoh (gram)

9. Penentuan Kadar Fenol (Hammerschidt, 1978)

Sampel sebanyak 10 ml disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Lalu 10

ml sampel ditempatkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95%

dan 5 ml air asap cair ke dalam tabung reaksi tersebut. Kemudian ditambahkan 0.5

ml reagen folin-ciocalteu ke masing-masing tabung. Diamkan selama 5 menit, lalu

di tambahkan 1 ml Na2S2O3 5% ke tiap-tiap sampel, dikocok dalam vortex

shaker, lalu disimpan dalam ruangan gelap selama 60 menit. Selanjutnya, setelah

60 menit sampel kembali dikocok dengan menggunakan vortex shaker dan diukur

absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm.

Pembuatan kurva standar 0.2% galat dibuat dengan pelarut air. Masing-

masing sampel diambil sebanyak 0, 1, 2, 3, 4, 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu

ukur 10 ml kemudian tambahkan akuades dalam labu ukur 10 ml sampai tanda

tera. Masing-masing standar dipipet dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml

etanol 95%, 5 ml akuades, 0.5 ml reagen folin-ciocalteu dan 1 ml Na2CO3 5%.

Diamkan selama 60 menit lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725

nm.

34

E. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model linier aditif. Pada penelitian

tahap pertama (I) dan kedua (II) rancangan percobaannya terdiri dari satu faktor

yaitu dosis/jumlah pemberian asap cair tempurung kelapa. Setiap perlakuan pada

penelitian I dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali sehingga terdapat 18 satuan

percobaan. Sedangkan pada penelitian tahap II menggunakan uji tingkat kesukaan.

Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = μ + αi + εij

Dalam Hal ini :

Yij = hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = nilai rataan umum

αi = pengaruh faktor konsentrasi asap cair pada taraf ke-i

εij = galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-j

Apabila hasil anova menunjukkan berpengaruh nyata, maka dilakukan uji

lanjut menggunakan uji Duncan multiple Range Test (DMRT) pada tingkat

kepercayaan 95%.

35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Kadar Asam dan pH Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap

Daya Koagulasi Lateks

Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh

dari industri rumah tangga pembuatan arang yang juga merupakan industri

percontohan produksi arang dan asap cair bekerjasama dengan Departemen

Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Asap cair diperoleh dari asap hasil

pirolisis bahan baku tempurung kelapa yang ditangkap dengan sungkup dan pipa

pengumpul asap kemudian diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor

berpendingin bak air (Rokhani, 2006). Berdasarkan hasil analisis laboratorium,

kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa dalam

penelitian ini disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisis komponen kimia asap cair tempurung kelapa.

No Komponen kimia Jumlah persentase 1 Total Asam 9.81 ± 0.12% 2 Total Fenol 6.78 ± 0.06% 3 pH 3.00 ± 0.01

Total asam diukur dengan cara yaitu, sebanyak 10 gram asap cair tempurung

kelapa diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades. Larutan sampel sebanyak 10

gram ditambah indikator fenolphthalin (PP) sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi

dengan larutan NaOH 0.1 N sampai titik akhir titrasi. Total asam tertitrasi

dinyatakan sebagai persen asam asetat sehingga diperoleh nilai rata-rata total

asam sebesar 9.81 ± 0.12%.

Untuk mengukur besarnya total fenol, sebanyak 10 ml asap cair tempurung

kelapa disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Kemudian ditempatkan ke

dalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95% dan 5 ml air, selanjutnya

ditambahkan 0.5 ml reagen folin-ciocalteu ke masing-masing tabung. Diamkan

selama 5 menit, lalu di tambahkan 1 ml Na2S2O3 5% ke tiap-tiap sampel, dikocok

dalam vortex shaker dan disimpan selama 60 menit. Setelah penyimpanan, sampel

kembali dikocok dengan menggunakan vortex shaker dan diukur absorbansinya

36

pada panjang gelombang 725 nm. Berdasarkan kurva larutan standar dari sampel

asap cair tempurung kelapa yang telah dibuat sebelumnya, diperoleh nilai rata-rata

total fenol sebesar 6.78 ± 0.06%.

Keasaman asap cair tempurung kelapa diukur dengan menggunakan pH

meter. Sebanyak 10 gram asap cair dicampurkan dengan 100 ml akuades kedalam

gelas piala. Selanjutnya elektroda pada pH meter dibilas dengan akuades dan

dikeringkan. Elektoda dicelupkan ke dalam asap cair selama beberapa saat, hingga

diperoleh pembacaan yang stabil. Berdasarkan pengukuran tersebut diperoleh

besarnya pH rata-rata asap cair tempurung kelapa sebesar 3.00 ± 0.01. Data hasil

analisis kimia komponen asap cair tempurung kelapa diatas secara lebih lengkap

disajikan pada Lampiran 2.

Tahap pertama dalam penelitian ini adalah mengkaji penggunaan asap cair

tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan karet sit atau

RSS. Pada umumnya perkebunan besar pengolahan karet alam menggunakan

asam format (asam semut) sebagai bahan koagulan lateks. Asam format

(HCOOH) dengan nama sistematis asam metanoat adalah asam karboksilat yang

paling sederhana. Asam karboksilat merupakan jenis asam lemah, sebab hanya

sebagian kecil yang terionisasi apabila dilarutkan ke dalam air (Fessenden dan

Fessenden, 1986). Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan

banyak serangga dari ordo hymenoptera, misalnya lebah dan semut. Penggunaan

asam semut didasarkan pada kemampuannya yang cukup baik dalam menurunkan

pH lateks serta harga yang cukup terjangkau bagi perkebunan dibandingkan bahan

koagulan asam lainnya.

Partikel karet alam di dalam lateks diselaputi oleh suatu lapisan protein,

sehingga partikel karet tersebut bermuatan listrik (Goutara, 1985). Protein terdiri

dari asam amino dan satu sama lainya terikat oleh ikatan peptida. Asam amino

yang terdapat di dalam lateks merupakan ion dipolar dan bersifat amfoter. Dalam

kimia, amfoter adalah zat yang dapat bereaksi sebagai asam atau basa. Perilaku ini

terjadi bisa karena memiliki dua gugus asam dan basa sekaligus (Fessenden dan

Fessenden, 1986). Partikel karet di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan,

melainkan saling menjauh karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik.

Gaya tolak menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di dalam

37

lateks, isopropen diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel karet bermuatan

listrik (Zuhra, 2006). Untuk lebih jelasnya, protein dipolar pada lateks ditunjukkan

oleh Gambar 5. Pada umunya lateks kebun hasil sadapan memiliki pH antara 7-8

dan bermuatan negatif. Partikel karet yang dilapisi lapisan protein dan lipid

merupakan koloid hidrofilik yang artinya dilindungi atau diselaputi oleh muatan

listrik. Larutan koloid akan stabil bila terdapat bahan yang dapat mempertahankan

muatan listrik partikel yaitu dengan adanya protein.

Koagulasi atau pembekuan adalah suatu proses pengurangan keseimbangan

partikel-partikel di dalam lateks dimana akan terbentuk gumpalan-gumpalan

polimer karet yang terpisah dengan partikel lainya (Sethu, 1987). Tujuan dari

pembekuan adalah untuk memisahkan hampir semua fase air (serum) sebagai

cairan dan memperoleh karet secara ekonomis dari lateks kebun hasil sadapan.

Sifat koloid yang telah dijelaskan sebelumnya dijadikan sebagai dasar untuk

terjadinya proses koagulasi. Lateks akan berkoagulasi dengan cara membuang

muatan protein dari partikel karet.

Syarat kestabilan lateks dipengaruhi oleh muatan listrik di dalamnya.

Muatan listrik sendiri tergantung dari pH lateks. Pada pH tertentu muatan listrik

akan mencapai nilai 0 yaitu pada titik isoelektrik. Titik Isoelektrik adalah derajat

keasaman atau pH ketika suatu makromolekul bermuatan nol akibat bertambahnya

proton atau kehilangan muatan oleh reaksi asam-basa (Goutara, 1985). Pada

koloid, jika pH sama dengan titik isoelektrik, maka sebagian atau semua muatan

pada partikelnya akan hilang selama proses ionisasi terjadi. Jika pH berada pada

kondisi di bawah titik isoelektrik, maka partikel koloid akan bermuatan positif.

Gambar 5 . Protein dipolar pada lateks.

H O +H+ H O +H+ H O

R – C – C R – C – C R – C – C

NH2 O- -H+ NH3+ O- -H+ NH3

+ OH Protein negatif

pH > 4.7

Protein netral

pH = 4.7

Protein positif

pH < 4.7

38

Sebaliknya, jika pH berada di atas titik isoelektrik maka muatan koloid akan

berubah menjadi netral atau bahkan menjadi negatif. Lateks akan berada pada titik

isoelektrik dengan pH berkisar antara 4.7-5.3. Pada pH tersebut protein menjadi

tidak stabil. Akan tetapi pada pH ini lateks tidak segera menggumpal karena

partikel masih diselubungi oleh mantel air. Dalam rentang waktu tertentu, suhu

dan dengan kondisi protein yang tidak stabil, maka lapisan tersebut pada akhirnya

akan hilang sehingga antar butir karet terjadi kontak dan kemudian akan

menggumpal.

Menurut Goutara (1985), lateks yang mempunyai pH 7-8 (dalam kondisi

basa) akan berada dalam bentuk cair, karena bermuatan negatif, tetapi bila

ditambahkan asam organik atau anorganik sampai pH mendekati titik isoelekrtik

maka akan terjadi penggumpalan lateks, karena elektro kinetis potensial sangat

sudah rendah. Hubungan antara pH dengan kestabilan lateks ditunjukkan oleh

Gambar 6. Penggumpalan lateks dapat dilakukan dengan cara pemberian asam

lemah seperti asam asetat atau asam semut, sebab bila menggunakan asam kuat

akan terjadi koagulasi yang sangat cepat serta tidak sempurna. Asam kuat dapat

menyebabkan sebagian partikel lateks bermuatan positif, sehingga proses

koagulasi tidak sempurna karena terjadi saling tolak-menolak antara partikel

lateks. Istilah asam berasal dari bahasa latin acetum yang berarti cuka. Ion H+

dalam asam dapat meniadakan muatan listrik negatif partikel lateks serta

menurunkan pH. Terbentuknya asam berarti menambah jumlah ion positif dan

menyebabkan terjadinya gaya tarik-menarik antara ion positif dari asam dengan

ion negatif dari lapisan protein yang menyelubungi partikel karet, sehingga terjadi

koagulasi lateks. Penurunan pH terjadi oleh selain adanya asam juga oleh adanya

elektrolit dan garam.

Penambahan asam ke dalam lateks akan menyebabkan terjadinya reaksi ke

arah kesetimbangan, yaitu keadaan suatu sistem dimana gaya-gaya yang

berlawanan ataupun laju-laju suatu proses berimbang. Asam dalam hal ini ion H+

akan bereaksi dengan ion OH- pada protein dan senyawa lainnya untuk

menetralkan muatan listrik sehingga terjadi koagulasi pada lateks. Cepat

lambatnya proses koagulasi bergantung pada laju atau kecepatan reaksi, yaitu

perubahan konsentrasi pereaksi atau produk dalam suatu satuan waktu. Menurut

39

Keenan et al. (1980), salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah suhu

atau temperatur sistem. Laju suatu reaksi kimia bertambah dengan naiknya suhu.

Kenaikan sebesar 10o C akan melipatkan dua atau tiga kali laju suatu reaksi antara

molekul-molekul (Keenan et al., 1980). Dengan kenaikan laju reaksi maka

partikel akan semakin cepat bergerak dan bertumbukan satu sama lainya. Dalam

penelitian ini proses pencampuran atau reaksi antara bahan koagulan asam semut

dan asap cair dengan lateks terjadi pada suhu ruangan, yaitu rata-rata sebesar 28 oC dengan RH (kelembaban) 70 %. Lateks akan membeku sempurna setelah 40

menit.

Gambar 6. Grafik hubungan antara pH dengan kestabilan lateks (Goutara, 1985).

Pada umumnya pabrik pengolahan RSS mencampurkan koagulan asam dan

lateks pada suhu ruangan dimana proses pengolahan berlangsung dengan waktu

pembekuan sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Proses koagulasi

dapat dipercepat salah satunya dengan meningkatkan suhu, misalkan dengan

memberikan kalor pada sistem/lingkungan. Pada suhu yang ditingkatkan, molekul

akan memiliki kecepatan tumbukan dan energi yang lebih besar untuk bereaksi

(Keenan et al., 1980). Penambahan kalor pada proses produksi RSS dalam skala

besar di pabrik pengolahan tentu akan berdampak pada peningkatan biaya

produksi yang diperlukan, oleh sebab itu diperlukan pertimbangan yang baik dari

40

sisi ekonomi. Peningkatan suhu untuk mempercepat proses koagulasi lateks

biasanya dilakukan oleh perkebunan atau pabrik pengolahan untuk menentukan

dengan cepat besarnya KKK. Sejumlah 100 ml lateks direaksikan dengan

koagulan asam di dalam wadah alumunium dan dipanaskan hingga suhunya

mencapai 80 oC. Dalam kondisi tersebut lateks akan membeku dalam waktu

sekitar 5 menit. Dengan peningkatan suhu, maka waktu yang dibutuhkan untuk

proses pembekuan lateks menjadi lebih cepat.

Kadar asam serta nilai pH merupakan salah satu parameter yang menentukan

kualitas dari asap cair yang dihasilkan. Komponen asam organik yang cukup

tinggi dalam asap cair tempurung kelapa adalah asam asetat yang terbentuk dari

dekomposisi hemiselulosa dan selulosa. Menurut Suhardiyono (1988) tempurung

kelapa memiliki kandungan hemiselulosa sebesar 27.7%, selulosa 26.6% serta

lignin 29.4%. Hal ini tentu bepengaruh terhadap kadar asam yang dihasilkan

selama proses pirolisis tempurung kelapa. Hasil pengukuran menunjukkan

kandungan asam dalam asap cair tempurung kelapa pada penelitian ini sebesar

9.81%. Sementara penelitian yang telah dilakukan oleh Maspanger (2003)

mengenai pemanfaatan asap cair kayu karet sebagai bahan pengolahan karet

menunjukkan kadar asam yang terkandung dalam asap cair tersebut sebesar 3-

3,5% dengan nilai pH 2.2.

Nilai pH asap cair menunjukkan tingkat proses penguraian komponen kayu

yang terjadi untuk menghasilkan asam organik pada asap cair. Menurut Purba

(2000) nilai pH larutan menyatakan konsentrasi ion H+ dalam larutan. Derajat atau

tingkat keasaman larutan bergantung pada konsentrasi ion H+ dalam larutan

dimana, nilai pH sama dengan negatif logaritma konsentrasi ion H+. Semakin

besar konsentrasi ion H+ semakin kecil nilai pH, dan karena bilangan dasar

logaritma adalah 10 maka larutan yang nilai pH-nya berbeda sebesar n

mempunyai perbedaan konsentrasi ion H+ sebesar 10n. Nilai pH asap cair yang

rendah menunjukkan kualitas asap cair yang baik untuk digunakan sebagai bahan

koagulan karena berpengaruh terhadap penurunan pH lateks hingga mencapai titik

isoelektriknya.

Selain dengan penambahan asam, penggumpalan juga dapat terjadi secara

alami yang dikenal dengan istilah prakoagulasi. Prakoagulasi ini tidak

41

dikehendaki karena mutu karet menjadi rendah. Pada kondisi tersebut peran

bakteri pengurai dalam lateks yang juga menghasilkan ion H+ sebagai hasil

metabolisme berperan besar dalam proses pembekuan. Selain itu prakoagulasi

pada lateks juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, suhu lingkungan,

enzim, iklim, keadaan tanaman, jenis klon tanaman, pengangkutan serta kotoran

dari luar.

B. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Pengolahan RSS

Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini telah

mengalami proses pengendapan, penyaringan serta penyimpanan selama kurang

lebih 2 tahun. Asap cair memiliki penampakan fisik dengan warna kuning

kecoklatan yang jernih, berbau asap pekat dengan kadar asam sebesar 9.81%,

kadar fenol sebesar 6.78% dan pH sebesar 3.00. Sedangkan koagulan asam yang

digunakan adalah jenis asam semut yang banyak dijual di pasaran dengan

konsentrasi 90%. Masing-masing taraf perlakuan ditujukan untuk mengetahui

efektivitas serta dosis pemberian asap cair bila digunakan secara penuh (murni)

atau dikombinasikan dengan asam semut sebagai bahan koagulan yang

menghasilkan RSS sesuai dengan standar mutu yang meliputi kelas mutu RSS,

plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran.

Tahap awal dari penelitian ini adalah pengumpulan lateks kebun di

lapangan. Lateks berasal dari beberapa klon tanaman yang telah

direkomendasikan sebagai bahan baku RSS diantaranya GT, Avros, LCB dan

RRIM. Karekteristik lateks pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3, 4

dan 5. Lateks yang telah disadap di kebun kemudian diberikan zat antikoagulan

berupa amoniak 10% untuk mencegah penggumpalan alamiah atau prakoagulasi

selama pengangkutan ke tempat pengolahan/pabrik. Prakoagulasi ini tidak

dikehendaki karena dapat menyebabkan koagulum yang tidak sempurna serta

mutu karet sit yang rendah.

Tahap berikutnya adalah penentuan KKK serta kadar NH3 lateks, hal ini

penting dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang dibutuhkan untuk

pengenceran serta jumlah asam yang akan diberikan untuk membekukan lateks.

Proses selanjutnya adalah pengenceran hingga kadar KKK mencapai 12%.

42

Pengenceran dilakukan untuk menyeragamkan KKK, memudahkan penyaringan

kotoran dan gelembung udara yang terperangkap serta memudahkan dalam

pencampuran dengan asam. Perlakuan taraf asam semut : asap cair yang

digunakan adalah 100 % asam semut : 0% asap cair sebagai kontrol ; 0% asam

semut : 100% asap cair ; 25% asam semut: 75% asap cair; 50% asam semut : 50%

asap cair ; 75% asam semut : 25% asap cair dan 0% asam semut : 200% asap cair.

Pembuatan larutan koagulan dilakukan dengan cara mencampurkan kedua

bahan sesuai dengan perbandingan yang ditetapkan ke dalam labu erlenmeyer.

Bahan koagulan yang telah dicampurkan masih memiliki tingkat

konsentrasi/kepekatan yang tinggi sehingga perlu diencerkan dengan

menambahkan air hingga konsentarsinya menjadi 2%. Pengenceran larutan pekat

menyebabkan volum dan kemolalan larutan berubah, tetapi jumlah mol zat terlarut

tidak berubah (Purba, 2000). Hal ini dilakukan agar asam yang mengandung ion

H+ dapat menetralkan ion negatif pada lateks secara perlahan dan merata sehingga

menghasilkan koagulum yang baik. Bahan koagulan dalam penelitian ini pada

setiap pengulangan menunjukkan karakteristik yang seragam (Tabel 7).

Tabel 7. Karakteristik bahan koagulan asam semut dan asap cair tempurung

kelapa

Koagulan asam semut :

asap cair

Karakteristik Warna Bau pH*)

100% : 0% Jernih Berbau asam 1.65 ± 0.02 0% : 100% Kuning cerah dan

sedikit hijau muda Berbau asap

3.02 ± 0.02 25% : 75% Kuning cerah Sedikit berbau asap

dan asam 1.93 ± 0.03 50% : 50% Kuning cerah Sedikit berbau asap

dan asam 1.84 ± 0.04 75% : 25% Kuning Sedikit berbau asap

dan asam 1.77 ± 0.05 0% : 200% Kuning dan sedikit

hijau muda Berbau asap dan asam 3.01 ± 0.01

*) nilai pH rata-rata dalam 3 kali pengulangan.

43

Pada tabel diatas tampak bahwa nilai pH kontrol yang berupa asam semut

memiliki nilai yang paling rendah yaitu sebesar 1.65, sedangkan perlakuan yang

menggunakan kombinasi dan murni asap cair cenderung mengalami kenaikan

nilai pH. Pada penambahan 25% asap cair nilai pH koagulan meningkat sebesar

1.77, sedangkan pada penambahan 50% asap cair nilai pH menjadi 1.84. Semakin

banyak jumlah asap cair yang diberikan maka nilai pH akan semakin besar. Hal

ini terkait dengan nilai pH awal asap cair yang lebih tinggi dibandingkan asam

semut, sehingga pada saat pencampuran akan terjadi kesetimbangan pH diantara 2

larutan yang berbeda. Dengan kata lain, penambahan asap cair ke dalam asam

semut dapat meningkatkan nilai pH bahan koagulan.

Pemberian bahan koagulan dilakuan secara perlahan dan sedikit demi sedikit

ke dalam wadah koagulasi yang disertai dengan pengadukan. Hal ini bertujuan

agar bahan koagulan dapat tercampur secara merata ke dalam lateks. Pemberian

bahan koagulan yang berlebih atau terlalu banyak akan menyebabkan koagulum

menjadi keras dan sulit untuk digiling, sedangkan jika pemberian kurang maka

koagulum akan menjadi lunak, membubur atau tetap encer (tidak membeku).

Pengadukan juga harus dilakukan secara perlahan untuk mengurangi busa yang

timbul selama proses berlangsung. Timbulnya busa selama proses pencampuran

dan pengadukan dapat menimbulkan gelembung udara yang dapat menurunkan

kualitas RSS. Selanjutnya wadah koagulasi ditutup rapat untuk mengindari kontak

dengan udara luar. Pada perlakuan 100% asam semut (kontrol) lateks akan

membeku dalam waktu 40 menit, begitu pula pada perlakuan lainya, kecuali yang

menggunakan murni asap cair (100% dan 200%) yang membutuhkan waktu

kurang lebih selama 120 menit untuk membeku. Hal ini dapat disebkan karena

kadar asam semut yang rendah serta pH asap cair yang lebih tinggi jika

dibandingankan dengan perlakuan yang menggunakan asam murni atau kombinasi

asam semut dan asap cair.

Lateks yang yang telah membeku disebut koagulum. Hasil koagulum pada

perlakuan 25% : 75%, 50% : 50% dan 75% : 25% asam semut : asap cair,

menunjukkan ciri-ciri fisik yang sama dengan kontrol sedangkan pada perlakuan

100% dan 200% asap cair terlihat bintik-bintik gelembung udara pada bagian

permukaan, hasil ini terlihat seragam pada setiap pengulangan. Setiap perlakuan

44

yang menggunakan kombinasi serta murni asap cair menunjukkan adanya lapisan

tipis berwarna cokelat pada permukaan koagulum serta beraroma asap. Bagian

lapisan tersebut akan hilang ketika koagulum dicuci/bilas dengan air. Lapisan ini

terbentuk sebagai akibat reaksi antara serum lateks serta kandungan karbonil

dalam asap cair yang memiliki kemampuan memberi warna khas cokelat pada

produk. Menurut Ruswanto et al. (2000), karbonil mempunyai efek terbesar pada

terjadinya pembentukan warna coklat produk asapan. Jenis komponen karbonil

yang paling berperan adalah aldehid glioksal sedangkan formaldehid dan

hidroksiasetol memberikan peranan yang rendah. Fenol juga memberikan

kontribusi pada pembentukan warna coklat pada produk yang diasap meskipun

intensitasnya tidak sebesar karbonil.

Perlakuan menggunakan kombinasi dan murni asap cair juga menunjukkan

warna yang lebih kuning kecokelatan dibandingkan dengan kontrol yang berwarna

putih. Warna lebih cokelat terlihat lebih pekat pada pemberian asap cair 200%.

Pembentukan warna cokelat ini berbanding lurus dengan konsentrasi asap cair di

dalam bahan koagulan. Dengan demikian salah satu keunggulan dari asap cair

tempurung kelapa adalah dapat memberikan warna khas cokelat pada produk RSS

sehingga dapat menghemat penggunaan kayu bakar karena tidak membutuhkan

pengasapan yang terlalu banyak untuk memberikan warna.

Bintik-bintik gelembung yang terlihat pada koagulum menunjukkan

pembekuan yang kurang sempurna serta sisa gelembung yang tidak dapat naik

kepermukaan selama proses pengadukan dan pembekuan. Gelembung tersebut

terperangkap di dalam lateks hingga akhirnya turut membeku. Menurut Suseno

(1989), gelembung gas yang timbul dalam karet sit dapat disebabkan karena

penggumpalan terjadi terlalu cepat dengan menggunakan asam yang

berlebih/pekat sehingga gelembung udara tidak sempat naik ke permukan atau

dapat juga disebabkan karena penggunaan asam yang terlalu lemah (kadar asam

rendah), sehingga membutuhkan waktu penggumpalan yang terlalu lama dan

kurang sempurna. Hasil pembekuan yang tidak sempurna akan memiliki tingkat

kekerasan koagulum yang tidak merata serta permukaan koagulum yang kasar.

Pembekuan merupakan tahapan yang penting serta membutuhkan ketelitian tinggi

dalam penentuan jumlah pemberian asam. Gelembung tampak lebih banyak pada

45

perlakuan 100% dan 200% asap cair, meskipun pemberian telah dilakukan

berdasarkan standar pemberian bahan koagualan RSS. Hal ini menunjukkan

kandungan asam yang rendah serta pH tinggi pada asap cair tempurung kelapa

sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membekukan lateks.

Perbandingan hasil koagulum menggunakan asap cair yang membeku secara

sempurna dan tidak sempurna ditunjukkan pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7. Pembekuan tidak sempurna (a) dan pembekuan sempurna (b).

Proses selanjutnya adalah penggilingan yang bertujuan untuk memisahkan

sebagian besar air yang terkandung dalam koagulum. Dengan penggilingan

permukaan sit akan menjadi semakin besar, sehingga akan mempercepat proses

pengeringan. Dalam penelitian ini digunakan metode giling pagi, yaitu

penggilingan sit dilakukan pada pagi hari setelah semua lateks selesai dibekukuan

pada sore hari sebelumnya. Metode ini banyak digunakan oleh perkebunan-

perkebunan besar termasuk PTPN VIII Cikumpay tempat penelitian ini dilakukan

karena di nilai lebih mudah, efisien serta memberikan kesempatan koagulum

untuk membeku secara sempurna. Koagulum dikeluarkan dari wadah untuk

kemudian digiling menggunakan mesin penggilingan sit (sitter six in one).

46

Setelah digiling, sit dicuci dengan air bersih untuk menghindari permukaan

yang berlemak akibat penggunaan bahan kimia, membersihkan kotoran yang

masih melekat serta menghindari agar sit tidak menjadi lengket saat penirisan.

Koagulum yang telah digiling kemudian ditiriskan diruang terbuka dan terlindung

dari sinar matahari selama 1-2 jam. Penirisan tidak boleh terlalu lama untuk

menghindari terjadinya cacat pada sit yang dihasilkan, misalnya timbul warna

yang seperti karat akibat oksidasi. Sampai pada tahap ini hasil koagulum semua

perlakuan masih sama dengan kontrol tidak menunjukkan warna bintik-bintik

hitam atau karat yang mengidikasikan oksidasi pada bagian permukaan.

Proses selanjutnya ialah pengasapan menggunakan kayu karet untuk

mengeringkan koagulum menjadi lembaran sit, mengawetkan sit agar terhindar

dari serangan jamur serta memberikan warna khas cokelat RSS. Asap yang

dihasilkan dapat menghambat pertumbuhan jamur pada permukaan lembaran

karet. Hal ini disebabkan asap mengandung zat antiseptik yang dapat mencegah

pertumbuhan mikroorganisme (Suseno, 1989). Pengeringan dilakukan di dalam

kamar asap PTPN VIII Cikumpay yang berukuran 144 m2/kamar. Kamar asap

tersebut dibuat secara permanen dengan dinding yang terbuat dari tembok serta

atap yang terbuat dari seng. Kamar asap juga dilengkapi dengan lubang ventilasi

serta cerobong asap. Proses pengeringan dan pengasapan di Perkebunan

Cikumpay ini memerlukan waktu 6-7 hari untuk mengeringkan semua sit yang

terdapat di dalamnya.

Pada hari ke-4 semua perlakuan telah menunjukkan tanda-tanda kematangan

sehingga sit dapat diangkat. Pada hari pertama suhu pengasapan berkisar antara

38-40 oC, pada hari kedua antara 46-50 oC, pada hari ketiga dan keempat antara

50-52 oC. Pada hari pertama dan kedua pengasapan menggunakan jenis kayu

basah (kadar air tinggi) untuk memberikan asap yang cukup banyak serta suhu

yang digunakan tidak terlalu tinggi. Pada hari ketiga dan keempat digunakan jenis

kayu kering (kadar air rendah) untuk mengeringkan/mematangkan sit sehingga

membutuhkan suhu yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda dengan penelitian

Solichin (2007), dimana pembuatan RSS menggunakan Deorub dengan dosis

pemberian 75 ml/kg karet kering membutuhkan waktu 2-3 hari dalam proses

47

pengasapan. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan jenis asap cair serta dosis

pemberian yang digunakan.

Sampai pada tahap ini, semua perlakuan yang menggunakan kombinasi asap

cair menunjukkan warna cokelat yang lebih pekat dibandingakan dengan kontrol

terlebih pada perlakuan 100% dan 200% asap cair. Hal ini menunjukkan

kemampuan dari asap cair dalam memberikan warna khas cokelat pada RSS.

Pembentukan warna terjadi secara bertahap dan semakin pekat sejak lateks

membeku hingga sudah matang/kering. Selain pengasapan faktor pemberian asap

cair secara langsung juga mempengaruhi laju pencokelatan produk RSS.

Penentuan kelas mutu RSS berdasarkan pada penampakan visual dan fisik sesuai

dengan standar SNI 06-0001-1987 Conventional Rubber/The Green Book serta

sifat teknis yang meliputi nilai plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran yang

berpedoman pada SNI 06-1309-1990 Standard Indonesian Rubber (Lampiran 6).

C. Analisis Mutu Hasil RSS

1. Kelas Mutu RSS

RSS yang telah matang dengan sempurna kemudian disortasi secara visual.

Menurut Goutara (1985), penentuan mutu RSS dilakukan secara visual atau

organoleptik yang meliputi bintik gelembung udara, keseragaman warna, kotoran,

serpihan bambu dan noda oleh benda asing, abu pembakaran kayu, karet

mentah/warna putih tidak matang, jumlah kapang, dan kekeringannya.

Pemeriksaan biasanya dilakukan di meja sortasi yang terdiri dari kaca yang

berwarna putih susu. Untuk memudahkan pemeriksaan biasanya digunakan

beberapa jenis sit sebagai contoh atau standard pemeriksaan.

Berdasarkan SNI 06-001-1987 Conventional Rubber/ The Green Book, yang

termasuk ke dalam golongan RSS 1 adalah sit yang dihasilkan harus benar-benar

kering, bersih, kuat, tidak ada cacat, tidak berkarat, tidak melepuh serta tidak ada

benda-benda pengotor. Tidak boleh ada garis-garis pengaruh dari oksidasi, sit

lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan

berlebihan, warna cokelat terlalu tua serta terbakar. Bila terdapat gelembung-

gelembung udara berukuran kecil seukuran jarum pentul masih diperkenankan,

asalkan letaknya tersebar merata. Untuk RSS 2, sit yang dihasilkan harus kering,

48

bersih, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat kotoran. Sit tidak

diperkenankan terdapat noda atau garis akibat oksidasi, sit lembek, suhu

pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan,

warna cokelat terlalu tua serta terbakar. Sit kelas ini masih menerima bintik

gelembung udara kecil sebesar 2 kali ukuran jarum pentul serta noda kulit pohon

yang ukurannya agak besar. Untuk RSS 3, sit yang dihasilkan harus kering, kuat,

bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat kotoran. Tidak boleh terdapat

noda atau garis akibat oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum

benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Bila

terdapat cacat warna, bintik gelembung udara sebesar 3 kali ukuran jarum pentul,

ataupun noda-noda dari kulit tanaman karet, masih ditorerir. Untuk RSS 4, sit

yang dihasilkan harus kering, kuat, tidak cacat, tidak melepuh serta tidak terdapat

pasir atau kotoran luar. Bila terdapat bintik gelembung udara sebesar 4 kali ukuran

jarum pentul, karet agak rekat atau terdapat kotoran kulit pohon asal tidak banyak

masih dapat diizinkan. Sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi dan karet

terbakar tidak bisa diterima. Untuk RSS 5, sit yang dihasilkan harus kokoh, tidak

terdapat kotoran atau benda asing, kecuali yang diperkenankan. Bintik gelembung

udara sebesar 5 kali ukuran jarum, noda kulit pohon yang besar, karet agak rekat,

kelebihan asap dan sedikit belum kering masih termasuk dalam batas toleransi.

Dibanding dengan kelas RSS yang lain RSS 5 adalah yang terendah standarnya.

Hasil penilaian kelas mutu RSS pada penelitian ini oleh Laboratorium Analisis

Mutu Perkebunan Cikumpay secara lengkap disajikan pada Lampiran 7.

Pada Tabel 8 tampak bahwa perlakuan kontrol sebagai standar secara

konsisten menghasilkan kelas mutu RSS 1 hal ini menunjukkan bahwa proses

pengolahan sit berjalan dengan baik serta sesuai dengan prosedur kerja yang telah

ditetapkan. Hasil yang optimal terlihat pada perlakuan kombinasi asam semut dan

asap cair dengan komposisi 75% : 25% yang secara konsisten juga menghasilkan

kualitas yang sama dengan kontrol yaitu RSS 1. Perlakuan yang menggunakan

kombinasi asam semut dan asap cair lainya (25% : 75% dan 50% : 50%)

menunjukkan hasil yang tidak konsisten dalam kelas mutu RSS. Sit yang

dihasilkan, dominan menunjukkan kelas mutu RSS 2. Sedangkan pada perlakuan

murni asap (100% dan 200%) menghasilkan kelas mutu RSS 2 dan RSS 3. Hal ini

49

menunjukkan bahwa penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan

koagulan tanpa penambahan dengan bahan lain dalam pembuatan karet sit dapat

menghasilkan kualitas mutu RSS 2 atau RSS 3.

Tabel 8. Kelas mutu RSS dengan bahan koagulan asam semut : asap cair

tempurung kelapa

Perlakuan asam semut : asap cair

Kelas Mutu RSS Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

100% : 0% RSS 1 RSS 1 RSS 1

0% : 100% RSS 3 RSS 3 RSS 2

25% : 75% RSS 1 RSS 2 RSS 2

50% : 50% RSS 1 RSS 2 RSS 2

75% : 25% RSS 1 RSS 1 RSS 1

0% : 200% RSS 3 RSS 2 RSS 2

Perbedaan secara nyata yang mempengaruhi jenis kelas mutu tampak pada

jumlah bintik-bintik gelembung udara yang terletak di dalam RSS pada masing-

masing perlakuan. Perlakuan 100% dan 200% asap cair menunjukkan jumlah

gelembung yang lebih banyak, merata dan berukuran 2-3 kali ukuran jarum pentul

bila dibandingkan dengan perlakuan lainya sehingga digolongkan ke dalam kelas

mutu yang rendah. Jumlah gelembung akan meningkat sesuai dengan dosis

pemberian asap cair. Tampak bahwa, semakin tinggi jumlah asap cair yang

digunakan, semakin besar potensi pembentukan gelembung udara yang tidak

diinginkan.

Pembentukan gelembung dapat dipengaruhi oleh kandungan asam serta nilai

pH asap cair tempurung kelapa yang berpengaruh dalam proses pembekuan.

Waktu pembekuan yang cukup lama serta proses yang berlangsung lambat

menyebabkan gelembung udara yang terbentuk tidak dapat naik ke permukaan

dan terperangkap di dalam koagulum. Berbeda dengan asam semut (kontrol) yang

memiliki kandungan asam tinggi dan nilai pH rendah dimana proses pembekuan

berlangsung dengan cepat dan tepat. Perbandingan kelas mutu RSS yang

dihasilkan pada setiap perlakuan dan pengulangan ditunjukkan pada Gambar

berikut :

50

Gambar 9. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 2 dengan koagulan 100% asap cair.

Gambar 8. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 1 dengan koagulan 100% asam semut.

51

Gambar 10. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 3 dengan koagulan 25% asam semut : 75% asap cair.

Gambar 11. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 4 dengan koagulan 50% asam semut : 50% asap cair.

52

Gambar 12. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 5 dengan koagulan 75% asam semut : 25% asap cair.

Gambar 13. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 6 dengan koagulan 200% asap cair.

53

2. Plasticity Retention Index (PRI)

Karet alam adalah hidrokarbon yang merupakan makro molekul

poliisopropene (C5H8)n yang bergabung secara ikatan kepala ke ekor. Rantai

poliisopropene membentuk konfigurai cis dengan susunan ruang yang teratur

seperti pada Gambar 14. Karet yang memiliki susunan ruang tersebut akan

mempunyai sifat elastis atau kenyal. Sifat kenyal tersebut berhubungan dengan

viskositas atau plastisitas karet (Goutara, 1985).

PRI adalah ukuran dari besarnya sifat keliatan (plastisitas) karet mentah

sebelum dan sesudah pengusangan pada suhu 140 oC selama 30 menit. Dengan

mengetahui nilai PRI dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet menjadi

lengket selama masa penyimpanan atau jika dipanaskan. Nilai PRI juga

menunjukkan ketahanan karet terhadap degradasi oksidasi. Bila PRI rendah

menunjukkan karet mudah teroksidasi begitu pula sebaliknya. Tinggi rendahnya

PRI bergantung pada jenis bahan mentah yang digunakan termasuk jenis klon

tanaman serta cara pengolahannya. Gambar 15 menunjukkan grafik perbandingan

nilai PRI terhadap beberapa perlakuan serta pengulangan dalam penelitian ini.

Menurut SNI 06-1309-1990 SIR, nilai PRI untuk karet spsifiksi teknis

berkisar antara 50-75. Perlakuan kontrol 100% asam semut pada grafik memiliki

nilai PRI sebesar 82.34, kemudian meningkat pada perlakuan berikutnya baik

dengan kombinasi asap cair maupun asap cair murni. Perlakuan dengan kombinasi

serta murni asap cair menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan

kontrol. Perbandingan 100% asap cair menghasilkan nilai PRI sebesar 90.69

sedangkan pada 200% asap cair menghasilkan nilai PRI sebesar 90.70. Pada

perlakuan 75% asam semut : 25% asap cair yang menghasilkan kelas mutu terbaik

memiliki PRI sebesar 80.17. Nilai PRI pada keseluruhan perlakuan memiliki nilai

Gambar 14. Struktur ruang 1,4 cis poliisopropen (Goutara, 1985).

54

yang lebih tinggi dibandingkan persyaratan yang telah ditentukan oleh SNI yaitu

sebesar min. 75.

Menurut Wazyka (2000), senyawa fenol dan turunannya dapat berfungsi

sebagai antioksidan yang akan melindungi molekul karet dari oksidasi pada suhu

tinggi sehingga nilai PRI akan tetap tinggi. Asam-asam terutama asam asetat akan

membekukan lateks kebun dan juga berperan sebagai antibakteri. Senyawa

karbonil, fenol, alkohol dan ester akan menyebabkan warna cokelat dan

memberikan bau asap khas pada sit. Dalam Burfield (1986), dikatakan bahwa

rendahnya nilai plastisitas dapat disebabkan karena terhalangnya ikatan silang

gugus aldehida oleh adanya air dan terputusnya rantai molekul karet oleh aktifitas

mikroorganisme. Asap cair tempurung kelapa mengandung komponen fenol serta

asam yang cukup tinggi sehingga bersifat antioksidan serta antibakteri yang

mampu mencegah aktivitas mikroorganisme pengurai di dalam sit. Dengan

peningkatan pemberian asap cair akan semakin besar pula kemampuan sifat

antioksidan serta antibakteri tersebut serta dapat meningkatkan nilai PRI.

Analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap menunjukkan nilai

peluang sebesar 0.0353 dimana nilai p<0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa

Gambar 15. Grafik perbandingan nilai PRI pada setiap perlakuan.

82.34

90.69 91.0587.76

80.17

90.70

50

55

60

65

70

75

80

85

90

95

100% : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200%

Nila

i PR

I

Perbandingan asam semut : asap cair

55

pemberian asap cair tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap nilai plastisitas

PRI RSS (Lampiran 8). Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai

bahan kogulan lateks serta dapat juga meningkatkan nilai plastisitas PRI dari karet

yang dihasilkan. Nilai PRI yang tinggi menunjukkan ketahanan yang tinggi

terhadap degradasi oleh oksidasi serta tingkat kekuatan produk karet. Penelitian

Solichin (2007) yang ditunjukkan pada Tabel 9, juga menunjukkan nilai PRI yang

lebih tinggi dengan menggunakan bahan koagulan asap cair cangkang kelapa

sawit dibandingkan dengan koagulan asam semut.

Tabel 9. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan Deorub.

Bahan koagulan Spesifikasi teknis RSS Po Pa PRI

Deorub 10 % (200 ml) 45 36 80 Deorub 10 % (250 ml) 47 36 76 Deorub 10 % (300 ml) 44 37 84 Deorub 10 % (350 ml) 39 32 82 Asam Semut 1 % , Kontrol 45 36 80

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Maspanger (2004) dengan

menggunakan bahan koagulan asap cair kayu karet pada Tabel 11 menunjukkan

hasil yang serupa bahwa penggunaan asap cair dapat meningkatkan plastisitas

karet. Hal ini membuktikan bahwa antioksidan dan antibakteri yang terdapat di

dalam asap cair berperan dalam melindungi karet pada waktu pengeringan dalam

suhu tinggi serta menigkatkan nilai plastisitas PRI.

Tabel 10. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan asap cair kayu karet.

Bahan koagulan Plastisitas awal (Po)

PRI

Asam semut 1% (kontrol) 55 82.8 Asap cair kayu karet 1% 57 83.1 Asap cair kayu karet 0.5% 53 84.0

(Solichin , 2007)

(Maspanger, 2004)

56

3. Kadar Kotoran

Dalam Burhanudin (1995), kadar kotoran didefinisikan sebagai benda asing

yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan 325 mesh. Adanya kotoran di

dalam karet yang relatif tinggi dapat mengurangi sifat dinamika yang unggul dari

vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul serta ketahanan retak lantur. Kalor

timbul adalah panas yang ditimbulkan karena adanya gesekan sedangkan retak

lentur adalah retakan-retakan yang terjadi pada karet akibat daya lentur.

Pada Gambar 16, menunjukkan grafik nilai kadar kotoran pada berbagai

perlakuan penggunaan asam semut dan asap cair tempurung kelapa. Penggunaan

100% asam semut sebagai kontrol memiliki nilai kadar kotoran sebesar 0.02, pada

perlakuan 100% asap cair sebesar 0.01, pada perlakuan 25% asam semut : 75%

asap cair sebesar 0.01, pada perlakuan 50% asam semut : 50% asap cair sebesar

0.01, pada perlakuan 75% asam semut : 25% asap cair sebesar 0.01, pada

perlakuan 200% asap cair sebesar 0.02. Pada berbagai perlakuan tersebut

menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan kontrol. Jika berpedoman pada

SNI SIR yang memberikan batas kadar kotoran karet teknik adalah maks. 0.03-

0.20, nilai kadar kotoran pada penelitian ini lebih rendah dari yang telah

ditetapkan.

Gambar 16. Grafik perbandingan nilai kadar kotoran pada setiap perlakuan. perlakuan

0.02

0.01 0.01 0.01 0.01

0.02

0

0.005

0.01

0.015

0.02

0.025

100% : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200%

Kad

ar k

otor

an

Perbandingan asam semut : asap cair

57

Kotoran yang ada dapat disebabkan oleh kebersihan bahan baku dan alat

yang digunakan, serta bagian mesin pengolahan. Pada umumnya kadar kotoran

yang tinggi banyak ditemukan pada sit hasil olahan petani karet. Kotoran tersebut

dapat berupa tatal kayu, batang atau ranting yang ikut bersama lateks, dedaunan,

tanah, pasir serta pengotor yang berasal dari bahan koagulan yang digunakan.

Pada perkebunan besar yang sangat memperhatikan kualitas mutu, perhatian serta

pengawasan yang ketat dilakukan sejak penyadapan hingga proses pengolahan

untuk menghindari kotoran serta bahan kontaminan lainya pada produk sit yang

dihasilkan.

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan yang terdapat di

dalam asap cair tempurung kelapa tidak menjadi bahan pengotor dalam karet sit

serta tidak mengganggu kualitas RSS yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan

karena asap cair yang digunakan telah mengalami penyaringan serta pengendapan

dalam waktu yang cukup lama, sehingga kandungan berat seperti tar, serpihan

arang dan bahan lainya yang diduga sebagai bahan pengotor telah mengalami

pemisahan dengan baik.

Pengujian menggunkan metode rancangan acak lengkap pada Lampiran 9

menunjukkan model tidak berpengaruh nyata (p>0.05) dengan nilai peluang

sebesar 0.5157. Dapat disimpulkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa

sebagai bahan koagulan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar kotoran

karet RSS. Penelitian yang dilakukan Maspanger (2004) dengan menggunakan

asap cair kayu karet pada Tabel 12 juga menunjukkan nilai kadar kotoran yang

rendah.

Tabel 11. Perbandingan antara nilai kadar kotoran, kadar abu dan zat menguap

pada RSS dengan koagulan asam dan asap cair kayu karet.

Karet RSS dengan koagulan

Kadar kotoran

(%)

Kadar abu (%)

Zat menguap

(%) Asam semut 1% (kontrol) 0.029 0.28 0.43 Asap cair kayu karet 1% 0.031 0.24 0.41 Asap cair kayu karet 0.5% 0.027 0.29 0.47

58

4. Kadar Abu

Kadar abu di dalam karet memberikan gambaran mengenai jumlah bahan

mineral yang terdapat di dalammya, diantaranya terdiri dari oksida karbonat,

fosfat dari kalium, magnesium, kalsium dan beberapa unsur lain. Abu dapat pula

mengandung silikat yang berasal dari karet atau benda asing yang keberadaannya

tergantung pada pengolahan bahan mentah karet. Bahan-bahan mineral di dalam

karet yang meninggalkan abu dapat mengurangi sifat dinamik dari vulkanisat

karet alam (Burhanudin, 1995). Perbandingan nilai kadar abu pada peneltian ini

ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 17.

Penggunaan 100% asam semut sebagai kontrol memiliki nilai kadar abu

sebesar 0.31, pada perlakuan 100% asap cair sebesar 0.31, pada perlakuan 25%

asam semut : 75% asap cair memiliki nilai yang sama dengan kontrol sebesar

0.31, pada perlakuan 50% asam semut: 50% asap cair sebesar 0.30, pada

perlakuan 75% asam semut: 25% asap cair sebesar 0.30, pada perlakuan 200%

asap cair sebesar 0.30. Pada berbagai perlakuan tersebut menunjukkan nilai yang

tidak jauh berbeda dengan kontrol. Jika berpedoman pada SNI SIR yang

memberikan batas kadar abu untuk karet spesifikasi teknik adalah maks. 0.5 untuk

0.31 0.31 0.31 0.30 0.30 0.30

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

100% : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200%

Kad

ar a

bu

Perbandingan asam semut : asap cair

Gambar 17. Grafik perbandingan nilai kadar abu pada setiap perlakuan.

59

bahan baku berupa lateks, maka nilai kadar abu pada penelitian ini memiliki nilai

lebih rendah dari yang telah ditetapkan dalam persyaratan mutu. Dalam keadaan

penerimaan lateks dari kebun, kadar abu tetap berada di bawah batas maksimum

0.5, kecuali jika lateks dikotori oleh benda-benda asing (non karet) seperti talk,

tanah lempung dan bahan-bahan larutan seperti tawas, kalsium, sodium klorida

dan lainya (Sethu, 1987).

Hasil analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap pada Lampiran

10 menunjukkan besarnya nilai peluang sebesar 0.9933 (p>0.05), sehingga dapat

disimpulkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh

nyata terhadap kadar abu dalam karet RSS. Hal ini menunjukkan bahwa

kandungan yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa tidak menjadi bahan

kontaminan dalam karet serta tidak mengganggu kualitas RSS yang dihasilkan.

Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS dalam penelitian ini

ditunjukkan pada Tabel 12. Huruf alfabet yang sama menunjukkan nilai tengah

yang tidak berbeda nyata diantara perlakuan tersebut.

Tabel 12. Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS.

Perlakuan asam semut : asap cair PRI Kadar kotoran Kadar abu

100% : 0% 82.34 ± 4.94 c 0.02 ± 0.011 a 0.31 ± 0.03 a 0% : 100% 90.69 ± 1.96 ab 0.01 ± 0.004 a 0.31 ± 0.04 a 25% : 75% 91.05 ± 7.09 a 0.01 ± 0.006 a 0.31 ± 0.04 a 50% : 50% 86.98 ± 4.58 abc 0.01 ± 0.006 a 0.30 ± 0.05 a 75% : 25% 80.17 ± 3.09 c 0.01 ± 0.003 a 0.30 ± 0.02 a 0% : 200% 90.70 ± 2.55 ab 0.02 ± 0.007 a 0.30 ± 0.05 a

Menghindari pencemaran dan pengotoran selama proses pengolahan

merupakan prasyarat untuk menjaga kadar abu karet tetap berada di bawah batas

spesisikasi. Tingkat kadar abu juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk

mengetahui orang-orang yang sengaja memasukkan bahan-bahan pengotor ke

dalam lateks.

60

D. Kemampuan Kandungan Kimia Asap Cair Tempurung Kelapa dalam

Mengurangi Bau Busuk Bahan Olahan Karet

Salah satu permasalahan yang ditimbulkan dalam proses pengolahan karet

alam adalah bau busuk yang ditimbulkan dari bahan olahan karet lump selama

proses penyimpanan. Lump adalah jenis bahan olahan karet yang berasal dari

lateks kebun yang digumpalkan dengan bahan koagulan atau menggumpal secara

alami. Lateks yang tidak dapat diolah menjadi RSS karena KKK yang rendah atau

telah mengalami prakoagulasi sebelumnya akan menggumpal secara alami

menjadi lump. Jika lump tersebut tidak segera dioalah menjadi produk karet alam

lainya atau berada pada kondisi penyimpanan yang kurang baik, maka dapat

menyebabkan terjadinya degradasi protein serta bahan organik di dalamnya yang

menghasilkan bau busuk menyengat. Akibat yang ditimbulkan oleh polusi bau

terhadap kesehatan masyarakat antara lain dapat menimbulkan stres yang

kemudian berdampak pada berbagai gejala seperti sakit kepala, mual, kehilangan

nafsu makan serta gangguan emosional. Bau busuk yang timbul dapat disebabkan

oleh aktivitas bakteri dan mikroorganisme pengurai protein dan hidrokarbon di

dalam lump tersebut. Menurut Zuhra (1996), penyimpanan lump di tempat yang

kurang baik dapat menyebabkan lump menghasilkan gas NH3 dan H2S yang

berbau busuk akibat terkontaminasi mikroorganisme pengurai, selain itu bau

busuk juga disebabkan oleh sisa penggunaan amoniak sebagai antikoagulan pada

proses penyadapan.

Gambar 18. Sampel lump dengan perlakuan asap cair untuk menghilangkan bau busuk.

61

Pada penelitian tahap II ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan

kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa sebagai

bahan pengurang bau busuk pada bahan olahan karet lump. Perlakuan pemberian

asap cair dilakukan dengan penyemprotan menggunakan hand sprayer pada 1 kg

sampel karet kering (Gambar 18). Dosis yang diberikan meningkat secara

bertahap yaitu 0 ml/kg sebagai kontrol, 10 ml/kg, 20 ml/kg, 30 ml/kg, 40 ml/kg

serta 50 ml/kg. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan jumlah dosis asap cair

yang tepat untuk menetralisir bau busuk menjadi bau yang lebih disukai oleh para

pekerja di pabrik tersebut. Pada penelitian ini digunakan murni (100%) asap cair

tempurung kelapa dan tidak ada bahan lain yang ditambahkan. Lump yang telah

ditambahkan asap cair kemudian disimpan selama 7 hari pada suhu ruangan yaitu

sebesar 28-30 oC dengan kelembaban RH 70%, untuk melihat perubahan yang

terjadi.

Gambar 19. Grafik perbandingan tingkat kesukaan terhadap uji bau.

Grafik hasil uji terhadap 20 orang panelis yang merupakan pekerja

perkebunan pada Gambar 19, menunjukkan asap cair tempurung kelapa perlakuan

1 (kontrol) dengan pemberian 0 ml/kg memiliki nilai penerimaan rata-rata sebesar

1 (sangat tidak suka), perlakuan 2 dengan pemberian 10 ml/kg bernilai 3.1 (antara

agak suka dan kurang suka), perlakuan 3 dengan pemberian 20 ml/kg bernilai 5.3

1

3.1

5.34.7 4.5 4.65

0

1

2

3

4

5

6

0 ml 10 ml 20 ml 30 ml 40 ml 50 ml

Ting

kat k

esuk

aan

bau

Jumlah asap cair

62

(antara suka dan sangat suka), perlakuan 4 dengan pemberian 30 ml/kg bernilai

4.7 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 5 dengan pemberian 40 ml/kg

bernilai 4.5 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 6 dengan pemberian 50

ml/kg bernilai 4.65 (antara kurang suka dan suka). Hasil organoleptik tersebut

menunjukkan pemberian asap cair tempurung kelapa dengan dosis 20 ml/kg karet

kering lebih bau yang lebih disukai oleh panelis dibandingkan perlakuan lainnya.

Perhitungan nilai uji kesukaan (organoleptik) atau tingkat penerimaan bau secara

lengkap disajikan pada Lampiran 11 dan 12.

Percobaan yang telah dilakukan oleh Solichin (2007), menunjukkan bau

yang ditimbulkan dari gudang lump pada pabrik pengolahan karet alam dapat

diantisipasi dengan penambahan bahan kimia Deorub dengan dosis 30 ml/kg karet

kering. Kemampuan asap cair tempurung kelapa dalam mengurangi bau busuk

terkait dengan kandungan senyawa asam dan fenol yang bersifat antibakteri dan

antioksidan. Asap cair dapat mengatasi bau spesifik menyengat karena

mengandung senyawa-senyawa yang berbau asap seperti karbonil, furan, fenol,

siklopenten, benzene dan lainnya. Asap cair mengandung senyawa antibakteri

yang dapat mencegah dan membunuh bakteri yang terdapat di dalam lateks

sehingga tidak timbul bau busuk yang disebabkan oleh senyawa amoniak dan

sulfida dari degradasi protein oleh bakteri. Karseno et al., (2002) juga

mengungkapkan bahwa komponen-komponen yang bersifat sebagai antimikroba

di dalam asap cair tempurung kelapa adalah fenol dan turunanya serta senyawa

asam. Fenol dan turunannya dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal

karena mamampu menginaktifkan enzim-enzim esensial dalam protein. Davidson

et al. (2005) menjelaskan bahwa mekanisme aktivitas antimikroba fenol dan

turunannya meliputi reaksi dengan membran sel yang menyebabkan

meningkatnya permeabilitas membran sel dan mengakibatkan keluarnya materi

intraseluler sel, inaktivasi enzim-enzim esensial dan perusakan atau inaktivasi

fungsional materi genetik.

Asam-asam organik lemah seperti 2,3-dihidroxy-benzoid acid, 3-

methoxybenzoic acid methyl ester dan 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester yang

terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa dapat bersifat sebagai antimikroba

terutama karena pembentukan ion H+ bebas (Zuraida, 2008). Senyawa asam

63

dalam bentuk tidak terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi dalam membran sel

mikroorganisme. Senyawa asam dapat menurunkan pH sitoplasma,

mempengaruhi struktur membran dan fluiditasnya serta mengkelat ion-ion dalam

dinding sel bakteri. Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein

struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat dan fosfolipid membran sel (Davidson

et al., 2005). Kandungan berbagai jenis asam, terutama asam asetat dapat

menurunkan pH lateks yang kemudian dapat membekukan lateks serta berperan

juga sebagai antibakteri.

Hasil uji statistik menggunakan rancangan acak lengkap pada Lampiran 13

menunjukkan model berpengaruh nyata dengan nilai peluang sebesar 0.0001. Hal

tersebut menunjukkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa berpengaruh

nyata terhadap perubahan bau lump selama proses penyimpan. Pengamatan

dengan indra penciuman menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap

cair yang digunakan maka bau busuk akan semakin berkurang, tergantikan oleh

bau khas asap yang semakin meningkat. Pengurangan bau diduga karena terjadi

perubahan komposisi bau spesifik menyengat yang didominasi oleh amoniak dan

sulfida menjadi senyawa-senyawa yang berbau khas asap dari campuran bau

fenol, karbonil, furan, asam dan lainya. Bau khas asap yang kuat dari asap cair

terbukti dapat mengurangi atau menutup bau spesifik menyengat di dalam lump.

Hasil uji lanjut Duncan pada Tabel 13 menunjukkan pemberian asap cair

sebanyak 20 ml berpengaruh nyata terhadap jumlah pemberian asap cair lainya.

Tabel 13 . Uji lanjut pengaruh pemberian asap cair terhadap bau lump

menggunakan DMRT.

Perlakuan asap cair Tingkat kesukaan bau 0 ml 1.0 ± 0.00 c

10 ml 3.1 ± 1.33 c

20 ml 5.3 ± 1.30 a

30 ml 4.7 ± 1.26 ab

40 ml 4.5 ± 0.76 b

50 ml 4.65 ± 0.75 ab

64

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kandungan kimia asap cair tempurung kelapa yang terdapat dalam

penelitian ini adalah kadar asam sebesar 9.81%, kadar fenol sebesar 6.78% dan

pH sebesar 3.00. Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan

koagulan lateks dalam proses pembuatan RSS sesuai dengan dosis standar

penggunaan asam semut. Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai

bahan koagulan lateks karena mengandung jenis-jenis asam lemah serta memiliki

pH yang rendah.

Penggunaan asam semut dan asap cair dengan perbandingan 75% : 25%

secara konsisten dapat menghasilkan kelas mutu RSS 1 dengan nilai PRI sebesar

80.17, kadar kotoran sebesar 0.01 dan kadar abu sebesar 0.30. Sedangkan

penggunaan asap cair 100% hanya mampu menghasilkan kelas mutu RSS 2

dengan nilai PRI yang lebih tinggi sebesar 90.69, kadar kotoran sebesar 0.01 serta

kadar abu sebesar 0.31. Penambahan jumlah asap cair hingga mencapai 200%

secara umum tidak memberikan pengaruh nyata pada kualitas mutu RSS yang

dihasilkan kecuali pada nilai plastisitas yang semakin meningkat. Penggunaan

asap cair tempurung kelapa secara nyata dapat meningkatkan nilai plastisitas

karet. Penggunaan asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh terhadap kadar

kotoran dan kadar abu pada produk RSS.

Hasil uji organoleptik bau menunjukkan bahwa pemberian asap cair

tempurung kelapa dengan dosis 20 ml/kg karet kering menghasilkan tingkat

penerimaan bau yang lebih disukai oleh panelis sehingga dapat digunakan sebagai

bahan penghilang bau busuk pada bahan olahan lump.

65

B. Saran

Perlu dilakukan uji parameter mutu karet yang lain seperti penetapan kadar

zat menguap, potensi pencoklatan, pengerasan selama penyimpanan, kadar

nitrogen, viskositas mooney, pengujian pemasakan, pembuatan kompon dan

lainya untuk mengetahui sejauh mana asap cair tempurung kelapa dapat

mempengaruhi mutu produk karet alam. Selain itu perlu dilakukan kajian

penggunaan asap cair tempurung kelapa dalam pengolahan jenis karet alam lainya

misalkan karet remah (SIR).

66

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1983. Prototype Alat Pembuatan Arang Aktif dan Asap Cair Tempurung Kelapa. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian, Jakarta.

Anonim. 1993. Vademecum Budidaya Karet Hevea brazilliensis. Perkebunan Nusantara XI, Jakarta.

Anonim. 2007. Pedoman Penanganan Pasca Panen Karet . Direktorat Jendral Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.

Association of Official Analytical Chemist [AOAC]. 1995. Official Method Of Analysisi Of The Association Of Analytical Chemist. Virginia.

Balai Penelitian Perkebunan Sembawa. 1981. Penyadapan Tanaman Karet. Seri Pedoman No.1. Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian, Palembang.

Budijanto, S.,Rokhani, H., Setyadji., dan Prabawati, R. 2007. Pengembangan dan Pemanfaatan Asap Cair tempurung Kelapa untuk Pengawetan Produk Buah-buahan. Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Burhanudin, Asep. 1995. Penentuan Analisis Standard Indonesian Rubber (SIR). Dalam Kumpulan Makalah : In House Training, Pengolahan Lateks Pekat dan Karet Mentah. No : 1. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor.

Burfield, D. R. 1986. Storage Hardening of Natural Rubber : an Examination of Current Mechanistic Proposals. Journal Natural Rubber 1(3) : 202-208.

Chitwood D., Devinny J. S., Amstrong C. 2000. Biological treatment of industrial waste air. Vacum Dehydration Journal, p. 22-25.

Daun, H. 1979. Interaction of Wood Smoke Components and Foods. Food Tech : 60-71.

Darmadji, P. 1996. Anti Bakteri Asap Cair dari Limbah Pertanian. Agritech 16(4). 19-22.

Davidson PM, Sofos JN., Branen AL. 2005. Antimicrobial in Food 3nd ed. Boca Raton : Taylor and Francis Group, CRC Press.

Dewan Standardisasi Nasional Indonesia. 1987. SNI 06-0001-1987 Conventional Rubber. Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta.

67

Dewan Standardisasi Nasional Indonesia. 1990. SNI 06-1903-1990 Standar Indonesian Rubber. Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta.

Fessenden, Ralp. dan J., Joan S. Fessenden. 1986. Organic Chemistry, Thrid Edition. Wadsworth, Inc Belmont California, USA.

Girard, J. P. 1992. Smoking, In : Technology of Meat and Meat Product. Ellis Hordwood, New York : 165-205.

Goutara. 1985. Dasar Pengolahan Karet. Agro Industri Press Departemen Teknologi Industri Pertanian, Bogor.

Gumanti, F. M. 2006. Kajian Sistem Produksi Distilat Asap Tempurung Kelapa dan Pemanfaatannya sebagai Alternatif Bahan Pengawet Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hamm, R. 1977. Analysis of Smoke and Smoked Food, Pure Appl. Chem. 49 : 1655 – 1666.

Hasma, H. dan Alias bin Othman. 1990. Role of Some Non Rubber Constituents on Thermal Oxidative Ageing of Natural Rubber. Journal Natural Rubber 5(1) : 1-8.

Jenie, B. S. L. dan W. P. Rahayu. 1993. Rancangan Limbah Industri Pangan. Kanisius, Yogyakarta.

Karseno, Darmadji P, Rahayu K. 2002. Daya Hambat Asap Cair Kayu Karet Terhadap Bakteri Pengkontaminan Lateks dan Ribbed Smoked Sheet. Agritech 21 (1) : 10-15.

Keenan, Charles W., Kleinfelter, Donald C., Wood, Jesse H. 1980. General Collage Chemistry (Sixth Edition). Harper and Row Publisher, Inc. England.

Kollman, F. P. and Cote, W. A. 1984. Principles of Wood Science and Technology. Sprenger Verlag, New York.

Kuriyama. 1961. Destructive Distilation Of Wood. Ben Brother Limited, London.

Lens, P., LH. Pol. 2000. Environmental Technology to Treat Sulfur Pollution. IWA Publishing, London.

Luditama, Candra. 2006. Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan Distilasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

68

Maga, J.A. 1988. Smoke in Food Processing. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida : 1-3, 131-138.

Maspanger, Dadi R. 2004. Rancang Bangun Reaktor Pirolisis Limbah Biomasa Dan Pemanfaatan Destilatnya Sebagai Processing Aids Pada Pengolahan Karet. Laporan Akir. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor.

Pahlevi, Derin. 2007. Penghilangan emisi gas bau dari tempat penumpukan lump industry karet remah dengan menggunakan teknologi biofilter. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Purba, Michael. 2000. Kimia 2000 Jilid 2A. Erlangga, Jakarta.

Purwati. 2005. Rancang Bangun Model Biofilter Pendegradasi Limbah Bau. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rokhani, H. 2006. Limbah Sekam Sebagai Wood Vinegar. Lokakarya Nasional Peningkatan Daya Saing Beras Nasional Melalui Perbaikan Kualitas. Jakarta, 13-14 September.

Rokhani, H. 2006. Pengembangan Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa di Bidang Pertanian. Proposal teknis program insentif riset terapan. Lembaga Pemberdayaan dan Pengabdian Masyarakat, Institiut Pertanian Bogor.

Ruswanto, Darmadji, P. dan Raharjo, S., 2000. Potensi Pencoklatan Asap Cair dari Kayu Karet Hasil Reaksi dengan Beberapa Asam Amino. Seminar Nasional Industri Pangan, Yogyakarta.

Sethu, S. 1987. Buku Pedoman Petunjuk Pengoperasian Pabrik Karet. Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Soldera S, Sebastianutto N, Bortolomeazzi R. 2008. Composition of Phenolic Compounds and Antioxidant Activity of Commercial Aqueous Smoke Flavorings. J Agric Food Chem 56: 2727-2734.

Solichin, M. 2007. Penggunaan Asap Cair Deorub dalam Pengolahan RSS. Jurnal Penelitian Karet, Vol.25(1) : 1-12.

Suhardiyono, L., 1988, Tanaman Kelapa, Budidaya dan Pemanfaatannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

69

Suseno, Rs. Suwarti.1989. Pedoman Teknis Pengolahan Karet Sit Yang Diasap (Ribbed Smoked Sheet). Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Bogor.

Tilman, D., 1981, Wood Combution : Principles, Processes and Economics, Academics. Press Inc., New York, 74-93.

Tim Penulis PS. 2005. Karet ; Strategi Pemasaran Budidaya dan Pengolahannya. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tim Standardisasi Pengolahan Karet.1997. Kumpulan Pedoman Pengolahan Karet (Buku I-VII). Direktorat Jendral Perkebunan, Jakarta.

Triwijoso, Sri Utami. 1995. Pengetahuan Umum Tentang Karet Hevea. Dalam Kumpulan Makalah : In House Training, Pengolahan Lateks Pekat dan Karet Mentah. No : 1. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor.

Triwijoso, Sri Utami dan Oerip, Siswantoro. 1989. Pedoman Teknis Pengawetan Dan Pemekatan Lateks Hevea. Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Bogor.

Tranggono, Suhardi, Bambang Setiadji, P. Darmadji, Supranto, Sudarmanto. 1996. Identifikasi Asap Acair Dari Berbagai Jenis Kayu Dan Tempurung Kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 1(2), 15-24.

Turk, A. J. dan J. T. Wittes. 1972. Ecology, pollution, environment. W. B. Sounders Company, Philadelphia.

Wazyka, Agung. 2000. Aktivitas Antioksidan Asap Cair Kayu Karet Dan Redistilatnya Terhadap Asam Linoleat Dan Poliisopropen. Tesis Program Studi Ilmu Dan Teknologi Pangan, Jurusan Ilmu Pertanian. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Zuhra, Cut Fatima. 2006. Karet. Karya Tulis Ilmiah. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Zuraida, Ita. 2008. Kajian Penggunaan Asap cair Tempurung Kelapa Terhadap Daya Awet Bakso Ikan. Tesis, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

70

LAMPIRAN

1

Lampiran 1. Tabel penggunaan asam semut pada pengolahan karet alam

Tabel Pemberian Asam Semut Konsentrasi : 90%

NH3

Kadar Karet Kering (KKK)

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34

Penambahan Asam Semut (ml/kg)

0.00 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0

0.01 7.8 7.3 7.0 6.7 6.5 6.3 6.2 6.0 5.9 5.8 5.7 5.6 5.5 5.4 5.4 5.3 5.3 5.2 5.2 5.1 5.1 5.0 5.0 5.0 4.9 4.9 4.9

0.02 11.5 10.7 10.0 9.5 9.0 8.6 8.3 8.0 7.6 7.5 7.3 7.2 7.0 6.9 6.7 6.6 6.5 6.4 6.3 6.2 6.2 6.1 6.0 5.9 5.9 5.8 5.8

0.03 15.3 14.0 13.0 12.2 11.5 10.9 10.5 10.0 9.6 9.3 3.0 8.8 8.5 8.3 8.1 7.9 7.8 7.6 7.5 7.3 7.2 7.1 7.0 6.9 6.8 6.7 6.7

0.04 19.1 17.4 16.0 14.9 14.0 13.3 12.6 12.0 11.5 11.1 10.7 10.3 10.0 9.7 9.5 9.2 9.0 8.8 8.6 8.5 8.3 8.2 8.0 7.9 7.8 7.6 7.5

0.05 22.8 20.7 19.1 17.7 16.5 15.6 14.8 14.0 13.4 12.9 12.4 11.9 11.5 11.2 10.8 10.5 10.3 10.0 9.8 9.6 9.4 9.2 9.0 8.9 8.7 8.6 8.4

0.06 26.6 24.1 22.1 20.4 19.1 17.9 16.9 16.0 15.3 14.6 14.0 13.5 13.0 12.6 12.2 11.9 11.5 11.2 10.9 10.7 10.5 10.2 10.0 9.8 9.6 9.5 9.3

0.07 30.3 27.4 25.1 23.2 21.6 20.2 19.1 18.1 17.2 16.4 15.7 15.1 14.5 14.0 13.6 13.2 12.8 12.4 12.1 11.8 11.5 11.3 11.0 10.8 10.6 10.4 10.2

0.08 34.1 30.8 28.1 25.9 24.1 22.5 21.2 20.1 19.1 18.2 17.4 16.7 16.0 15.5 14.9 14.5 14.0 13.6 13.3 12.9 12.6 12.3 12.0 11.8 11.5 11.3 11.1

0.09 37.9 34.1 31.1 28.6 26.6 24.8 23.4 22.1 20.9 19.9 13.1 18.3 17.6 16.9 16.3 15.8 15.3 14.8 14.4 14.0 13.7 13.3 13.0 12.7 12.5 12.2 12.0

0.10 41.6 37.5 34.1 31.4 29.1 27.2 25.5 24.1 22.8 21.7 20.7 19.8 19.1 18.3 17.7 17.1 16.5 16.0 15.6 15.2 14.8 14.4 14.0 13.7 13.4 13.1 12.9

0.11 45.4 40.8 37.1 34.1 31.6 29.5 27.7 26.1 24.7 23.5 22.4 21.4 20.6 19.8 19.1 18.4 17.8 17.2 16.7 16.3 15.8 15.4 15.0 14.7 14.4 14.0 13.7

0.12 49.2 44.1 40.1 36.8 34.1 31.8 29.8 28.1 26.6 25.3 24.1 23.0 22.1 21.2 20.4 19.7 19.1 18.5 17.9 17.4 16.9 16.5 16.0 15.7 15.3 14.9 14.6

0.13 52.9 47.5 43.1 39.6 36.8 34.1 32.0 30.1 28.5 27.0 25.7 24.6 23.6 22.6 2108 21.0 20.3 19.7 19.1 18.5 18.0 17.5 17.0 16.6 16.2 15.9 15.5

0.14 56.7 50.8 46.2 42.3 39.1 36.4 34.1 32.1 30.3 28.8 27.4 26.2 25.1 24.1 23.2 22.3 21.6 20.9 20.2 19.6 19.1 18.5 18.1 17.6 17.2 16.8 16.4

0.15 60.5 54.2 49.2 45.1 41.6 38.7 36.3 34.1 32.2 30.6 29.1 27.8 26.6 25.5 24.5 23.6 22.8 22.1 21.4 20.7 20.1 19.6 19.1 18.6 18.1 17.7 17.3

(Laboratorium PTPN VIII Perkebunan Cilumpay)

71

72

Lampiran 2. Analisis kandungan kimia asap cair tempurung kelapa

Total Asam

Sampel Ulangan Bobot

Sampel (gram)

Volume NaOH

titrasi (ml) N NaoH Total Asam

(%)

Asap cair tempurung

kelapa

1 10 16.5 0.1 9.90 2 9.94 16 0.1 9.66 3 10 16.4 0.1 9.84 4 9.96 16.5 0.1 9.94 5 10 16.2 0.1 9.72

Rataan 9.81 Standar deviasi 0.12

Total Fenol

Kurva larutan standar

Konsentrasi (ppm) Absorbansi

0 0 10 0.120 20 0.290 30 0.453 40 0.636 50 0.798 60 0.960

Sampel Ulangan Absorbansi Konsentrasi Fenol Total Fenol (%)

Asap cair tempurung

kelapa

1 0.862 51.57 6.74 2 0.872 52.35 6.82

Rataan 6.78 Standar deviasi 0.06

y = 0.163x - 0.189R² = 0.998

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

0 10 20 30 40 50 60

Abs

orba

nsi

Konsentrasi (ppm)

pH asap cair

Sampel Ulangan pH

Asap cair tempurung kelapa

1 3.00 2 3.00 3 3.02

Rataan 3.00 Standar deviasi 0.01

73

Lampiran 3. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 1

Bahan Baku Lateks

Pengukuran Satuan Nilai Karakteristik lateks Kadar Karet Kering (KKK) % 33.82 pH - 8-9 Pengukuran kadar amoniak kebun Berat lateks gram 3.86 Berat jenis lateks gram/ml 0.98 Volume HCL ml 1.37 Kadar NH3 % 0.06 Pengenceran KKK setelah pengenceran % 12 Volume lateks liter 1 Volume air liter 1.81 Volume air + lateks liter 2.81 Pemberian asam Dosis asam (tabel) ml/kg KKK 9.3 Jumlah asam yang diberikan ke dalam lateks

ml 3.08

74

Lampiran 4. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 2

Bahan Baku Lateks

Pengukuran Satuan Nilai Karakteristik lateks Kadar Karet Kering (KKK) % 32.41 pH - 8-9 Pengukuran kadar amoniak kebun Berat lateks gram 3.24 Berat jenis lateks gram/ml 0.971 Volume HCL ml 1 Kadar NH3 % 0.052 Pengenceran KKK setelah pengenceran % 12 Volume lateks liter 1 Volume air liter 1.70 Volume air + lateks liter 2.70 Pemberian asam Dosis asam (tabel) ml/kg KKK 8.7 Jumlah asam yang diberikan ke dalam lateks

ml 3.0

75

Lampiran 5. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 3

Bahan Baku Lateks

Pengukuran Satuan Nilai Karakteristik lateks Kadar Karet Kering (KKK) % 29.8 pH - 8-9 Pengukuran kadar amoniak kebun Berat lateks gram 3.63 Berat jenis lateks gram/ml 0.98 Volume HCL ml 1.1 Kadar NH3 % 0.05 Pengenceran KKK setelah pengenceran % 12 Volume lateks liter 1 Volume air liter 1.42 Volume air + lateks liter 2.42 Pemberian asam Dosis asam (tabel) ml/kg KKK 9.2 Jumlah asam yang diberikan ke dalam lateks

ml 2.8 ~ 3.0

76

Lampiran 6. Spesifikasi Teknis SNI 06-1903-1990

No Jenis uji/ karakteristik Satuan

Jenis mutu persyaratan SIR 3 CV SIR 3 L SIR 3 WF SIR 5 SIR 10 SIR 20

Bahan olah Lateks Koagulum lateks

1 Kadar kotoran (b/b)

% Maks. 0.03 Maks. 0.03 Maks. 0.03 Maks. 0.05 Maks 0.10 Maks 0.20

2 Kadar Abu (b/b)

% Maks 0.50 Maks 0.50 Maks 0.50 Maks 0.50 Maks 0.75 Maks 1.00

3 Kadar zat menguap (b/b)

% Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80

4 PRI - Min 60 Min 75 Min 75 Min 70 Min 60 Min 50 5 Po - - Min 30 Min 30 Min 30 Min 30 Min 30 6 Nitrogen (b/b) % Maks 0.6 Maks 0.6 Maks 0.6 Maks 0.6 Maks 0.6 Maks 0.6 7 Kemantapan

viskositas/ skala plastisitas wallace

- Maks 8 - - - - -

8 Viskositas mooney ML (1+4) 100 C

- *) - - - - -

9 Warna skala Lovibond

- - Maks 6 - - - -

10 Pemasakan (cure)

- **) **) **) - - -

11 Warna lambang

- Hijau Hijau Hijau Hijau bergaris cokelat

Cokelat merah

12 Warna plastik pembungkus bandela

- Transparan Transparan Transparan Transparan Transparan Transparan

13 Warna pita plastik

- Jingga Transparan Putih susu/ transparan

Putih susu/ transparan

Putih susu/ transparan

Putih susu/ transparan

14 Tebal plastik pembungkus bandela

mm 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03

15 Titik leleh plastik pembungkus bandela

oC Maks 108 Maks 108 Maks 108 Maks 108 Maks 108 Maks 108

1

Lampiran 7. Hasil penilaian kelas mutu RSS berdasarkan SNI 06-0001-1087 Karet Konvensional Laboratorium Analisis Mutu PTPN VIII Cikumpay.

Perlakuan asam semut : asap cair

Ulangan

Penilaian mutu RSS

Permukaan sit

Benda pengotor

Tingkat kematangan/

warna putih tidak matang

Warna/ pengasapan

Noda/ garis oksidasi Gelembung udara Kelas mutu

RSS

100% : 0%

1 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat terang, merata

Tidak ada Tidak ada RSS 1

2 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat terang, merata

Tidak ada Tidak ada RSS 1

3 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat terang, merata

Tidak ada Tidak ada RSS 1

0% : 100%

1 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat pekat, merata

Tidak ada 3 kali ukuran jarum, banyak dan tersebar merata

RSS 3

2 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat pekat, merata

Tidak ada 3 kali ukuran jarum, banyak dan tersebar merata

RSS 3

3 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, merata

Tidak ada Ada, 2 kali ukuran jarum dan tersebar merata

RSS 2

25% : 75% 1 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat terang, merata

Tidak ada Ada, seukuran jarum dan tersebar

RSS 1

2 Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, Tidak ada Ada, 2 kali ukuran RSS 2

77

2

kuat merata jarum dan tersebar merata

3 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, merata

Tidak ada Ada, 2 kali ukuran jarum dan tersebar merata

RSS 2

50% : 50%

1 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat terang, merata

Tidak ada Ada, seukuran jarum dan tersebar

RSS 1

2 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, merata

Tidak ada Ada, 2 kali ukuran jarum dan tersebar merata

RSS 2

3 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, merata

Tidak ada Ada, 2 kali ukuran jarum dan tersebar merata

RSS 2

75% : 25%

1 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat terang, merata

Tidak ada Ada, seukuran jarum dan tersebar

RSS 1

2 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat terang, merata

Tidak ada Tidak ada RSS 1

3 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat terang, merata

Tidak ada Tidak ada RSS 1

0% : 200%

1 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat pekat, merata

Tidak ada 3 kali ukuran jarum, banyak dan tersebar merata

RSS 3

2 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, merata

Tidak ada Ada, 2 kali ukuran jarum dan tersebar merata

RSS 2

3 Kering, bersih, kuat

Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, merata

Tidak ada Ada, 2 kali ukuran jarum dan tersebar merata

RSS 2

78

79

Lampiran 8. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai PRI

Perlakuan Parameter

Po Mean Pa Mean PRI 1 2 3 1 2 3 Pengulangan 1

1 50 54 54 52.67 46 44.5 43 44.50 84.49 2 50 48 49 49.00 46 45 45.5 45.50 92.86 3 46 48.5 49 47.83 47.5 44.5 45.5 45.83 95.82 4 55 55 56 55.33 47.5 47 47 47.17 85.24 5 54 53.5 55 54.17 43.5 41 41.5 42.00 77.54 6 43 43.5 47 44.50 39 40 40 39.67 89.14

Pengulangan 2 1 48 46.5 47 47.17 36 34 38.5 36.17 76.68 2 45 41 41 42.33 38 38.5 38 38.17 90.16 3 42 41.5 42.5 42.00 40.5 39 39.5 39.67 94.44 4 50 50 51 50.33 43 43 44 43.33 86.09 5 50 48.5 49.5 49.33 37.5 38 42 39.17 79.39 6 43 42.5 41 42.17 37 38 38 37.67 89.33

Pengulangan 3 1 60 59.5 57 58.83 54.5 45.5 51.5 50.50 85.84 2 57 56 56 56.33 50 51.5 49 50.17 89.05 3 57.5 58 57 57.50 47 47 49 47.67 82.90 4 55.5 56 56 55.83 52 51 51 51.33 91.94 5 58 57.5 55 56.83 48 47.5 47 47.50 83.58 6 49.5 50 50 49.83 46 49 45 46.67 93.65

80

The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------- Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F --------------------------------------------------------------------------------------------- Model 5 336.5411111 67.3082222 3.49 0.0353 Error 12 231.4612667 19.2884389 Total 17 568.0023778 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- R-Square Coeff Var Root MSE PRI Mean 0.592499 5.048760 4.391861 86.98889 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 336.5411111 67.3082222 3.49 0.0353 ----------------------------------------------------------------------------------------------

The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------- Level of ---------------PRI--------------- Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------- P1 3 82.3366667 4.94510195 P2 3 90.6900000 1.95951525 P3 3 91.0533333 7.09462708 P4 3 86.9766667 4.58476099 P5 3 80.1700000 3.09462437 P6 3 90.7066667 2.55077113 -----------------------------------------------------------

81

The ANOVA Procedure

Duncan's Multiple Range Test for PRI

NOTE : This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the

experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 12

Error Mean Square 19.28844

Number of Means 2 3 4 5 6

Critical Range 7.813 8.178 8.399 8.546 8.647

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan grouping Mean N Asap cair

A 91.053 3 P3 A

B A 90.707 3 P6 B A B A 90.690 3 P2 B A B A C 86.977 3 P4 B C B C 82.337 3 P1 C C 80.170 3 P5

82

Lampiran 9. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar kotoran

Bobot saringan (gram)

Oven Kotoran Kadar

Kotoran

Pengulangan 1 19.7802 19.7805 0.0003 0.0030 19.7837 19.7842 0.0005 0.0051 20.0054 20.0061 0.0007 0.0070 19.1135 19.1138 0.0003 0.0030 19.2021 19.2029 0.0008 0.0080 20.2751 20.2761 0.001 0.0101

Pengulangan 2 19.1955 19.1971 0.0016 0.0160 19.1143 19.1154 0.0011 0.0109 19.7842 19.7855 0.0013 0.0131 20.2557 20.2772 0.0215 0.2111 19.2027 19.2038 0.0011 0.0109 19.7811 19.7834 0.0023 0.0229

Pengulangan 3 19.1894 19.1921 0.0027 0.0267 19.114 19.1152 0.0012 0.0118

19.7838 19.7858 0.002 0.0199 20.255 20.2758 0.0208 0.2099

19.2101 19.2114 0.0013 0.0130 19.7814 19.7836 0.0022 0.0220

83

The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------- Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F ---------------------------------------------------------------------------------------------- Model 5 0.00021395 0.00004279 0.89 0.5157 Error 12 0.00057497 0.00004791 Total 17 0.00078892 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- R-Square Coeff Var Root MSE PRI Mean 0.271189 55.08244 0.006922 0.012567 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 0.00021395 0.00004279 0.89 0.5157 ----------------------------------------------------------------------------------------------

The ANOVA Procedure

---------------------------------------------------------- Level of -----------Kadar kotoran--------- Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------- K1 3 0.01523333 0.01186859 K2 3 0.00926667 0.00363639 K3 3 0.01333333 0.00645316 K4 3 0.00860000 0.00586600 K5 3 0.01063333 0.00251064 K6 3 0.01833333 0.00714446 ------------------------------------------------------------

84

Lampiran 10. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar abu

Perlakuan Bobot (Gram)

Kadar Abu Sample Cawan Setelah

Pembakaran Abu

Pengulangan 1 1 5.1841 34.0321 34.0465 0.0144 0.2778 2 5.1086 33.0595 33.0735 0.014 0.2740 3 5.0357 27.8981 27.9122 0.0141 0.2800 4 5.148 29.4766 29.4897 0.0131 0.2545 5 5.1619 33.6126 33.6271 0.0145 0.2809 6 5.0199 32.1131 32.1251 0.012 0.2390

Pengulangan 2 1 5.0727 29.476 29.4935 0.0175 0.3450 2 5.1183 27.8984 27.9167 0.0183 0.3575 3 5.102 33.06 33.0781 0.0181 0.3548 4 5.0678 34.0333 34.0509 0.0176 0.3473 5 5.0669 32.1125 32.1287 0.0162 0.3197 6 5.0638 33.6127 33.6294 0.0167 0.3298

Pengulangan 3 1 4.971 33.0613 33.0772 0.0159 0.3199 2 5.0226 33.6137 33.6292 0.0155 0.3086 3 5.0004 32.1134 32.1288 0.0154 0.3080 4 5.0892 29.4777 29.4936 0.0159 0.3124 5 5.091 27.901 27.9163 0.0153 0.3005 6 4.9813 31.2656 31.2822 0.0166 0.3332

85

The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------- Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F ---------------------------------------------------------------------------------------------- Model 5 0.00068886 0.00013777 0.08 0.9933 Error 12 0.01953950 0.00162829 Total 17 0.02022836 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- R-Square Coeff Var Root MSE PRI Mean 0.034054 13.10393 0.040352 0.307939 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 0.00068886 0.00013777 0.08 0.9933 -----------------------------------------------------------------------------------------------

The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------- Level of ------------Kadar Abu------------- Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------- Abu 1 3 0.31423333 0.03395649 Abu 2 3 0.31336667 0.04195359 Abu 3 3 0.31426667 0.03779171 Abu 4 3 0.30473333 0.04687263 Abu 5 3 0.30036667 0.01940034 Abu 6 3 0.30066667 0.05343195 ------------------------------------------------------------

86

Lampiran 11. Form uji organoleptik bau

Form Test Organoleptik Bau Lump

Sampel : lump dengan pemberian asap cair tempurung kelapa

No Responden : ......................................

Sampel

Bau Lump yang Diamati Bau

busuk lump/

ammonia (1)

Berbau lump dan

sedikit berbau asap (2)

Berbau lump dan asap (3)

Sedikit berbau

lump dan berbau asap (4)

Berbau asap (5)

Tidak berbau

lump dan asap (6)

0 ml 10 ml 20 ml 30 ml 40 ml 50 ml

Keterangan : berikan tanda check list (√) pada setiap kolom penilaian sesuai dengan tingkat kesukaan anda. Terima kasih.

87

Lampiran 12. Tabel hasil tingkat kesukaan uji bau

Panelis Kode Sampel

0 ml 10 ml 20 ml 30 ml 40 ml 50 ml

1 1 2 6 4 4 5

2 1 3 6 4 3 5

3 1 2 6 2 3 5

4 1 2 2 4 4 3

5 1 2 6 5 5 3

6 1 3 4 5 5 5

7 1 2 4 6 4 4

8 1 2 6 6 4 4

9 1 2 3 6 4 4

10 1 6 6 3 6 4

11 1 6 6 6 5 5

12 1 3 6 4 5 5

13 1 3 3 4 4 5

14 1 3 6 4 4 5

15 1 3 6 4 5 5

16 1 3 6 6 5 5

17 1 3 6 6 5 5

18 1 3 6 6 5 5

19 1 3 6 6 5 5

20 1 6 6 3 5 6

Jumlah 20 62 106 94 90 93

Rataan 1 3.1 5.3 4.7 4.5 4.65

88

Lampiran 13. Analisis stastistik RAL untuk uji bau

The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------- Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F --------------------------------------------------------------------------------------------- Model 5 251.3750000 50.2750000 48.67 <.0001 Error 114 117.7500000 1.0328947 Total 119 369.1250000 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- R-Square Coeff Var Root MSE Bau Mean 0.681002 26.22747 1.016314 3.875000 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 251.3750000 50.2750000 48.67 <.0001 ----------------------------------------------------------------------------------------------

The ANOVA Procedure ---------------------------------------------------------- Level of -----------Bau Lump------------ Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------- Bau 1 20 1.00000000 0.00000000 Bau 2 20 3.10000000 1.33377186 Bau 3 20 5.30000000 1.30182059 Bau 4 20 4.70000000 1.26074331 Bau 5 20 4.50000000 0.76088591 Bau 6 20 4.65000000 0.74515982 -----------------------------------------------------------

89

The ANOVA Procedure

Duncan's Multiple Range Test for Bau Lump

NOTE : This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the

experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 114

Error Mean Square 1.032895

Number of Means 2 3 4 5 6

Critical Range .6367 .6701 .6922 .7085 .7212

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan grouping Mean N Asap cair

A 5.3000 20 Bau 3 A

B A 4.7000 20 Bau 4 B A B A 4.6500 20 Bau 6 B B 4.5000 20 Bau 5 C 3.1000 20 Bau 2 C 1.0000 20 Bau 1