Upload
jin-pohon-pinus
View
161
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PENGGUNAAN RUANG PADA UPACARA AKAD NIKAH DI BEKASI
Waridah Muthi’ah NIM. 27110047
TUGAS 1 DESAIN DAN LINGKUNGAN BINAAN
1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dalam konsep budaya tradisional, pernikahan selalu dipandang sebagai salah satu tahap yang
penting dalam kehidupan seseorang. Pernikahan tidak hanya dipandang dalam perspektif
penyatuan dua manusia sejalan dengan fungsi biologis dan reproduksi. Dalam ranah kultural,
pernikahan dihubungkan dengan pembentukan keluarga sebagai unsur terkecil pembentuk
masyarakat, penyatuan dua keluarga, hingga dikaitkan dengan fungsi yang memiliki latar belakang
kosmis.
Dalam pernikahan, terdapat satu tahapan yang dipandang sebagai inti prosesi pernikahan itu
sendiri, yakni akad nikah. Keberadaan akad nikah dalam upacara pernikahan tradisional di masa
kini dapat dipandang sebagai upaya penggabungan tuntutan agama dengan tahap-tahap prosesi
pernikahan sebelum dan sesudahnya yang lebih mencerminkan nilai dan makna kultural. Akan
tetapi, dalam pelaksanaan akad nikah sendiri, nilai-nilai kultural yang dianut masyarakat juga
memegang peran penting. Hal ini terlihat utamanya pada tradisi pembagian ruang dan susunan
acara dalam prosesi akad nikah yang berbeda-beda pada tiap daerah.
Di daerah Bekasi yang secara tradisional mewarisi tradisi Betawi yang kental dengan pengaruh
Arab dan Cina, prosesi akad nikah tidak hanya menjadi acara pengesahan perkawinan secara
agama. Dengan populasi yang mayoritas menganut agama Islam, upacara akad nikah tradisional
Bekasi memenuhi syariat Islam. Akan tetapi, bukan berarti prosesi akad nikah sama sekali bebas
dari nilai-nilai kultural. Nilai ini tampak antara lain dalam susunan prosesi menuju dan setelah akad
nikah, pembagian ruang antara keluarga mempelai perempuan dan mempelai laki-laki, serta
kelengkapan-kelengkapan lain seperti mas kawin dan busana.
Pembagian ruang dalam prosesi akad nikah tradisional Bekasi memiliki keunikan tersendiri, akan
tetapi pembahasan mengenai hal ini jarang didapatkan. Dengan demikian, perlu dilakukan kajian
tersendiri mengenai hal tersebut dengan menimbang latar belakang kebudayaan dan nilai yang
dianut oleh masyarakat setempat.
1.2. FOKUS KAJIAN
Makalah ini akan mengkaji prosesi akad nikah di salah satu daerah sub-etnis budaya Betawi, yakni
Bekasi, dengan difokuskan pada analisis mengenai penggunaan ruang dan keterkaitannya dengan
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Bekasi, dihubungkan dengan konsep primordial pada
masyarakat tradisional.
Dengan menimbang latar belakang di atas, muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah latar belakang sub-etnik Bekasi?
b. Bagaimanakan prosesi akad nikah dalam tradisi Bekasi dan unsur yang mempengaruhinya?
c. Bagaimanakah pembagian ruang dalam upacara akad nikah?
d. Bagaimana hal tersebut merepresentasikan nilai yang dianut oleh masyarakat dikaitkan
dengan konsep primordial?
2. KAJIAN PROSESI PERNIKAHAN TRADISIONAL DALAM SUB-ETNIK BEKASI
2.1. SUB-ETNIK BEKASI
Sub-etnik Bekasi merujuk pada masyarakat penghuni wilayah Bekasi dengan latar belakang kultur Betawi. Adapun suku Betawi, menurut www.kampungbetawi.com, adalah sebutan bagi suku bangsa yang mendiami Jakarta dan sekitarnya. Penyebutan sub-etnik Bekasi dilakukan untuk membedakan kebudayaan Bekasi dengan kebudayaan sub-etnik Betawi yang lain. Perbedaan ini muncul dari segi kultural, yakni latar belakang masyarakat Bekasi yang juga mengalami percampuran dengan Jawa dan Sunda; dari segi kesejarahan, yakni perjalanan sejarah Bekasi mulai masa Neolitikum hingga era reformasi; dan dari segi administratif, yakni masuknya Bekasi sebagai wilayah Jawa Barat. Bekasi yang terletak di pinggiran Jakarta, dan masuk wilayah administratif Jawa Barat, membuat masyarakat Bekasi sering disebut sebagai Betawi-Ora, yang berarti pengusung kebudayaan Betawi tapi bukan-Betawi. Akan tetapi juga berbeda dengan wilayah lain di Jawa Barat, Bekasi juga bukan pengusung kebudayaan Sunda. Menurut Sagiman MD dalam Sopandi (2005:8), penduduk Betawi telah mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak era Neolitikum, yakni sejak abad ke-15 SM. Bukti keberadaan mereka ditemukan di situs Buni, kecamatan Babelan, Bekasi. Pada masa berikutnya, Bekasi menjadi bagian dari kerajaan Salakanegara pada abad ke-2 M, yang bermula dari Dukuh Pulasari Pandeglang di pesisir barat ujung pulau Jawa. Kerajaan Salakanegara ini didirikan oleh perantau dari India Selatan, dan kemudian menjadi akar kerajaan Tarumanegara yang berkuasa hingga abad ke-7 atau ke-8. Keberadaan daerah sekitar Bekasi sebagai daerah pelabuhan yang penting tidak hanya ditunjukkan oleh Prasasti Tugu dan Ciaruteun, tetapi juga dari keberadaan kawasan candi di Karawang yang menunjukkan bahwa pada masa itu, Bekasi dan sekitarnya tak hanya menjadi pusat perdagangan dan pusat kerajaan, tetapi juga pusat keagamaan.
Menurut Jakob Sumardjo (2002:75), secara kasar terdapat tiga arus besar budaya Indonesia, yakni
budaya Jawa agraris-sawah yang bercorak kehinduan, budaya Melayu ladang-kelautan yang
keislaman, dan budaya Indonesia Timur ladang-peramu yang kekristenan. Berdasarkan kaitan
dengan arus kebudayaan ini dan cara pandang mengenai dunia yang bersifat kosmos, Sumardjo
(2002: 18-37) membagi pola pikir kosmik masyarakat Indonesia menjadi kesatuan dua, kesatuan
tiga, dan kesatuan lima/kesatuan sembilan.
Kesatuan dua adalah cara pandang masyarakat yang mendasarkan segalanya dalam kerangka
oposisi biner, yang biasanya terdapat pada masyarakat peramu, pemburu, dan pengumpul
makanan (food gathering). Prinsip kesatuan tiga terdapat pada masyarakat ladang yang lebih
kompleks, setengah produktif dan setengah konsumtif. Prinsip ini berpijak bahwa ada kekuatan
perantara yang berada di tengah diagram oposisi biner, yang merupakan hasil refleksi dan
personifikasi mereka akan kekuatan alam. Sedangkan prinsip kesatuan lima dianut oleh masyarakat
sawah yang produktif. Dalam masyarakat sawah yang mengutamakan etos kerja, hierarki ruang
menjadi penting, sehingga memunculkan kesadaran mengenai posisi berdasarkan mata angin,
dengan keberadaan ‘pusat’ yang memiliki kekuasaan besar.
Masyarakat Bekasi yang pada masa awal termasuk dalam masyarakat Sunda yang berciri ladang-
kelautan, yang pada masa kerajaan Hindu Buddha mendapat pengaruh corak agraris. Integrasi
antara kedua hal tersebut dapat dilihat pada pembangunan candi di wilayah yang dekat pantai,
yakni Karawang, yang tidak bersesuaian dengan konsep candi sebagai representasi Meru, yakni
gunung yang menjadi pusat dunia. Pada perkembangan selanjutnya, konsep ini mengalami
pergeseran seiring dengan memudarnya kekuatan Hindu Buddha di wilayah ini dan kembalinya
tradisi bercorak Sunda di Bekasi. Hal ini dikuatkan oleh kedatangan bangsa Melayu yang juga
berciri ladang-kelautan, serta masyarakat Cina dan Arab yang merupakan perantau yang bersifat
bahari (kelautan). Pola kesatuan tiga yang semula dianut oleh masyarakat Sunda, termasuk Bekasi,
mendapat pengaruh pola kesatuan lima yang dianut di Jawa.
Setelah kerajaan Padjajaran lenyap oleh serangan kesultanan Banten, maka kesatuan-kesatuan
kampung asli Sunda yang tetap menganut paham kesatuan tiga, muncul kembali ke permukaan.
(Sumardjo, 2002: 36). Pola inilah yang kemudian lebih memasyarakat dalam kultur Bekasi.
Terutama dengan menimbang kaitan kultural dengan pedagang-pedagang asing sehubungan
dengan letak Bekasi di daerah pesisiran, Bekasi tidak mengenal konsep ‘pusat’ sebagaimana dianut
di kota-kota Islam dengan latar belakang Hindu-Buddha di Jawa. Masyarakat bekasi, sebagaimana
masyarakat Betawi, cenderung lebih bersifat egaliter dan bebas.
2.2. FUNGSI PERNIKAHAN DALAM KULTUR BEKASI
Dalam budaya tradisional, pernikahan merupakan salah satu tahap inisiasi dalam proses
pendewasaan seseorang. Melalui pernikahan, seseorang benar-benar dianggap sebagai manusia
yang mandiri, yang bergerak dari posisi yang semula sebagai subordinat dari sebuah unit
pembentuk masyarakat yang dinamakan keluarga, membentuk unit baru yang terlepas dari unit
keluarga asal. Dalam unit baru ini, seseorang bergerak menjadi subjek utama dengan predikat
sebagai kepala keluarga atau ayah dan kepala rumah tangga atau ibu. Keberadaan keluarga
menjadi penting dalam masyarakat tidak hanya dalam fungsi reproduktif, tetapi juga fungsi
pedagogis berkenaan dengan penanaman nilai-nilai kultural dalam pembentukan anak sebagai
anggota masyarakat.
Namun, pernikahan dan pembentukan keluarga baru tidak membuat ikatan seseorang dengan
keluarga asalnya putus begitu saja. Lewat pernikahan pula, dua keluarga yang berbeda menjalin
hubungan kekerabatan. Khususnya dalam masyarakat yang menganut sistem ambilineal, yang
memandang hubungan kekerabatan dari ayah dan ibu sama kuatnya, ikatan antarkeluarga ini
menjadi sangat penting.
2.3. PROSESI PERNIKAHAN TRADISIONAL BEKASI
Gaya pengantin tradisional Bekasi dikenal dengan sebutan Penganten Kembang Gede. Pada
dasarnya, gaya pengantin yang berkembang di Bekasi merupakan varian dari gaya pengantin
Betawi, yang diwarnai oleh tradisi Islam (Arab), Cina, dan Eropa. Namun, pada perkembangannya,
di Bekasi sendiri bermunculan varian-varian dalam detail upacara pernikahan maupun gaya busana
pengantin tergantung pada kreativitas dan nilai yang dianut oleh masyarakat masing-masing
daerah di Bekasi. Namun, secara garis besar, ada dua kecenderungan jenis pengantin di Bekasi,
yakni Cara Haji dan Cara Abangan. Dua jenis pengantin inilah yang dijadikan model dalam
pembakuan pengantin adat Bekasi pada tahun 2007.
Kemunculan dua jenis pengantin Bekasi ini didasari oleh perbedaan latar belakang kebudayaan
yang mempengaruhi tata nilai di masyarakat. Keduanya dapat dibedakan dari prosesi upacara
pernikahan dan gaya busana, khususnya pada busana pengantin pria. Gaya Abangan kental dengan
unsur kepercayaan primordial pra-Islam yang dianut oleh masyarakat Bekasi asli, yang kemudian
menerima pengaruh Melayu. Gaya ini dapat ditemui pada daerah-daerah yang berada di bawah
pengaruh tuan-tuan tanah di zaman kekuasaan Belanda, seperti daerah Gabus dan Pebayuran.
Adapun gaya Cara Haji sangat dipengaruhi Arab, yang umumnya ditemui di daerah yang kental
dengan pengaruh Islam, khususnya di daerah pesantren yang banyak dihuni ulama keturunan Arab,
misalnya di daerah Ujung Harapan. Adapun untuk busana pengantin perempuan, tidak ditemukan
variasi yang mencolok pada kedua jenis gaya di atas, sehingga hanya dibakukan satu gaya. Gaya
busana pengantin perempuan dipengaruhi unsur budaya Cina dari bentuk hiasan kepala dan
busana, serta budaya Eropa dari pola rok dan penggunaan bahan satin. (HARPI Melati, 2007: 29-40)
Gambar 1.
Penganten Kembang Gede Cara Haji (kiri) dan Penganten Kembang Gede Abangan (kanan)
Pernikahan tradisional di daerah Bekasi merupakan satu kesatuan yang terdiri atas tahapan-
tahapan yang dimulai sejak masa pendekatan hingga prosesi pernikahan. Terdapat sedikit
perbedaan pada detail prosesi pernikahan setiap daerah, namun secara garis besar, tahapan-
tahapan yang harus dilalui adalah:
a. Masa pendekatan (demenan)
b. Lamaran, yakni kedatangan rombongan perempuan dari keluarga calon mempelai laki-laki,
biasanya terdiri atas ibu-ibu dan nenek-nenek, untuk melamar calon mempelai
perempuan.
c. Ngebakal, yakni acara mempersiapkan kayu bakar untuk keperluan hajatan (kriaan) di
rumah calon pengantin perempuan. Penebangan pohon, yang disebut ngampakin kayu,
dilakukan oleh calon pengantin laki-laki beserta teman-temannya yang juga menjadi ajang
penilaian lingkup pergaulan sang calon menantu oleh keluarga pengantin perempuan.
d. Miara, yakni proses pemingitan calon pengantin perempuan selama seminggu sebelum
acara pernikahan. Pada Cara Abangan, pemingitan dilakukan oleh sesepuh atau dukun,
sementara pada Cara Haji, proses ini dilakukan oleh guru ngaji.
e. Bawa duit (ngebruk), yakni prosesi serah terima barang-barang yang telah disepakati
sebelumnya oleh kedua pihak pada saat lamaran. Acara ini biasanya dilangsungkan tiga
hari sebelum akad nikah.
f. Mangkat, yakni acara penjemputan pengantin dari rumah dukun atau guru ngaji.
g. Besanan, yakni acara pengantaran pengantin laki-laki kepada pihak pengantin perempuan,
yang diikuti seluruh keluarga laki-laki.
h. Akad nikah, yakni pembacaan ijab qabul oleh pengantin laki-laki di hadapan penghulu.
Acara ini disaksikan oleh keluarga dari kedua belah pihak yang duduk dalam formasi
melingkar, diikuti dengan pembacaan doa dan pengucapan janji pernikahan.
i. Arakan Penganten, yakni prosesi iring-iringan kedua pengantin beserta sanak saudara
mengelilingi kampung untuk memberitahukan pernikahan secara luas.
j. Macarin, prosesi menyandingkan kedua mempelai di kursi pelaminan.
k. Niga Hari, yakni acara pengenalan pengantin perempuan ke kerabat pengantin laki-laki
yang dilakukan tiga hari setelah pernikahan.
Lama proses tersebut, mulai dari lamaran hingga pasca-nikah, sangat tergantung pada kesiapan
dan kesepakatan kedua keluarga, tetapi umumnya bisa mencapai 3-4 bulan. Acara resepsi
pernikahan sendiri memakan waktu sehari penuh bagi kalangan kebanyakan. Pada zaman dahulu,
orang berada, khususnya para tuan tanah, biasa menunjukkan statusnya dengan
menyelenggarakan keriaan (hajatan, acara pesta menyambut pernikahan) selama seminggu
bahkan hingga sepuluh hari penuh.
Dalam tradisi Bekasi, prosesi utama pernikahan, yakni ngebruk, besanan, akad nikah, arakan
penganten, dan macarin tidak harus dilangsungkan pada hari yang sama. Ngebruk biasa
dilangsungkan tiga hari sebelum akad nikah. Pada acara ini, utusan dari pihak keluarga laki-laki
datang dengan membawa barang-barang bawaan yang diminta oleh pihak keluarga perempuan.
Namun, mempelai laki-laki dan orang tuanya sengaja tidak menghadiri acara ini, untuk
menghindari rasa malu atau terhina seandainya barang bawaan ini ditolak karena tidak sesuai
dengan kesepakatan sebelumnya.
Acara akad nikah tidak harus dilangsungkan pada hari yang sama dengan resepsi. Pada adat Cara
Haji, akad nikah biasa dilangsungkan pada malam hari sebelum pesta pernikahan, tepatnya ba’da
magrib, sekitar pukul 18.30 atau 19.00. Acara akad nikah ini menjadi puncak dari acara yang
dilaksanakan sejak siang, ba’da dzuhur, sekitar pukul 13.00. Acara diawali dengan khataman
Qur’an oleh mempelai perempuan diikuti oleh pembacaan rawi, yang dihadiri oleh kaum hawa.
Khataman Qur’an menjadi penting untuk mengukur kemampuan mengaji mempelai perempuan,
sebagai tolak ukur dasar keagamaan, yang dianggap sebagai syarat mutlak bagi seseorang untuk
disebut ‘dewasa’. Prosesi yang sama juga ditunjukkan dalam prosesi inisiasi anak laki-laki, yakni
dalam upacara khitanan. Untuk kebutuhan itulah, selama seminggu pada saat pingitan, pengantin
perempuan dibimbing untuk mengaji dan mendalami ilmu agama, di samping melakukan tapa
dengan laku prihatin, yakni dengan berpuasa, berpantang makan makanan enak dan makanan
yang digoreng, hanya boleh makan makanan yang direbus, dan pantang memakai pakaian yang
bagus. Di samping itu, pengantin juga melakukan perawatan diri dengan rempah-rempah.
Menjelang akad nikah, rombongan dari pihak laki-laki datang dengan membawa barang bawaan,
beserta kue-kue khas Bekasi dan hasil bumi yang ditempatkan dalam tandu berhias yang disebut
sripuan. Pada acara ngebesan adat Cara Haji, rombongan diiringi dengan tabuhan rebana (hadroh)
dan nyanyian shalawat dari sekelompok remaja laki-laki. Kaum ibu dan para gadis menempati
banjar-banjar terdepan dalam barisan, diikuti oleh mempelai laki-laki, kaum bapak, dan kemudian
para pemuda. Mempelai laki-laki mengenakan busana Cara Haji, yakni gamis putih dengan sorban
dan igel (ikat kepala khas Arab). Sekitar 200 m dari rumah pengantin perempuan, rombongan
menyalakan petasan sambil terus membacakan shalawat. Mereka disambut oleh rombongan
penjemput dari keluarga pengantin perempuan yang berjejer membentuk lorong. Di muka rumah
mempelai perempuan, rombongan berhenti untuk bertukar salam dan sambutan dalam bahasa
Arab, sementara rombongan perempuan dari pihak laki-laki masuk ke dalam rumah.
Adapun dalam tradisi Abangan, acara ngebruk tidak dipisahkan dengan ngebesan dan akad nikah.
Acara ngebruk dihadiri oleh mempelai laki-laki, karena barang bawaan untuk mempelai perempuan
diikutsertakan dalam iring-iringan keluarga. Rombongan pembawa sripuan datang dengan diiringi
kelompok musik tanjidor atau ajeng, yakni kelompok pesilat bersenjatakan tongkat bambu.
Perbedaan lain dalam iring-iringan pengantin laki-laki adalah pada urutan barisan. Dalam tradisi
Abangan, mempelai laki-laki memimpin rombongan. Ia mengenakan baju tutup hitam yang disebut
baju Sadariya, kain kotak-kotak yang disebut kain gebeng, dan peci beludru hitam. Di belakang
mempelai laki-laki dan pendampingnya, terdapat barisan kaum ibu dan para gadis yang diiringi
barisan kaum bapak dan para pemuda. Di depan rumah mempelai perempuan, rombongan pihak
laki-laki dan perempuan mengutus seorang jawara alias pendekar silat yang saling beradu pantun
ejekan yang berujung pada tantangan untuk berkelahi. Perkelahian ini bersifat simbolis, yang
diwujudkan dalam pertandingan pencak silat antara kedua jawara guna memperebutkan dandang
yang dibawa oleh pihak mempelai laki-laki. Setelah dandang berhasil direbut, barulah rombongan
mempelai laki-laki diperbolehkan masuk untuk melangsungkan akad nikah.
Di Bekasi, setidaknya ada dua versi berebut dandang. Versi pertama berkembang di masyarakat
Buaran Bekasi. Dandang yang direbutkan adalah dandang yang ditutup kertas minyak. Kertas
minyak yang mudah robek ini melambangkan selaput dara, lambing kesucian sang gadis, sehingga
saat diperebutkan harus penuh kehati-hatian, tetapi tepat sasaran. Hal ini menegaskan bahwa
pada masyarakat tersebut, nilai keperawanan masih dijunjung tinggi. Selain itu, tradisi ini
melambangkan petuah agar suami memperlakukan istrinya dengan lembut serta menghargai
kesuciannya dengan hormat. Sedangkan versi lainnya berkembang di Buaran Tambun, yang
mengetengahkan dandang yang berisi perhiasan yang ditutup kain, dengan cincin yang disematkan
di atasnya.
Dandang sendiri merupakan perlambang yoni alias rahim, yang sejak zaman batu identik dengan
feminitas. Kedua versi ini sama-sama menyimbolkan bentuk kesucian dan mitos mengenai
keperawanan yang dilambangkan dengan tabir di mulut dandang. Upacara berebut dandang ini
hanya dilakukan bila pengantin perempuan masih gadis, dalam artian belum pernah menikah
sebelumnya. Bahwa dandang itu harus diperebutkan dalam upacara pernikahan, berarti bahwa
keperawanan itu menjadi aset yang akan diserahkan pada suami, tetapi tidak bisa sembarangan.
Upacara ini bisa dijadikan perlambang, bahwa pihak keluarga perempuan berusaha
mempertahankan kehormatan putrinya yang sangat berharga, yang hanya bisa diberikan pada
orang yang tepat. Mengingat tradisi ini berkembang pada masa ketika tuan-tuan tanah masih
menguasai Bekasi, wajar saja bila ‘pria yang tepat’ di sini juga identik dengan kekuasaan dan
kekuatan.
Akad nikah dilangsungkan di ruang tengah rumah keluarga mempelai perempuan. Tamu duduk
dalam posisi melingkar, di beranda bagi tamu yang hubungan kekerabatannya jauh, dan di ruang
tengah bagi tamu yang masih sanak famili. Pihak keluarga pengantin perempuan berada di ruang
tengah sebelah dalam, berhadapan dengan pihak keluarga pengantin laki-laki di ruang tengah
sebelah luar, dekat dengan pintu.
Dalam tradisi Bekasi, pada acara akad nikah, pengantin laki-laki dan perempuan tidak duduk
berdampingan. Pengantin laki-laki melakukan upacara ijab qabul di hadapan penghulu, sedangkan
pengantin perempuan diwakili oleh ayah atau kerabat laki-lakinya. Pengantin perempuan duduk
mendengarkan di balik pintu kamar bersama para anggota keluarga perempuan. Sesudah upacara
akad nikah, barulah pengantin laki-laki menjemput pengantin perempuan ke kamar dengan diiringi
beberapa orang dari keluarganya. Saat itulah, pengantin perempuan mencium tangan pengantin
laki-laki sebagai tanda penerimaan sebagai suami.
3. KONSEP RUANG PADA UPACARA AKAD NIKAH DI BEKASI
3.1. KONSEP RUANG DALAM KEPERCAYAAN TRADISIONAL
Walaupun upacara akad nikah dalam tradisi Bekasi sangat kental oleh pengaruh Islam, pada pola
pembagian ruang, terdapat perbedaan dengan pola pembagian ruang yang dianut pada
masyarakat suku-suku lain yang juga mendapat pengaruh agama yang sama. Proses akad nikah di
Bekasi, misalnya, tidak dilakukan di masjid, tetapi di rumah. Demikian pula ada konsep-konsep
pembagian ruang menjadi ruang laki-laki dan ruang perempuan dalam akad nikah yang tidak
dikenal di suku-suku lain. Pengaruh ajaran Islam dalam hal ini tampak dalam pembatasan
hubungan laki-laki dan perempuan yang belum atau bukan muhrim, tetapi mengingat latar
belakang Bekasi yang memiliki sejarah kerohanian sejak era Palaeolitikum, perlu juga untuk
mengkaji konsep ruang tersebut dari sudut pandang primordial.
Untuk membahas mengenai pembagian ruang dalam acara akad nikah, perlu untuk mengkaji
mengenai konsep rumah dalam kebudayaan Betawi, yang juga diwarisi Bekasi.
Rumah tradisional di daerah Bekasi berbentuk rumah panggung, tetapi penataan ruangnya
menyerupai rumah Betawi. Pada bagian muka rumah terdapat beranda yang dibatasi pagar
pendek, yang berfungsi sebagai ruang penerima tamu laki-laki. Sementara di bagian dalam,
terdapat ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang untuk menerima tamu yang lebih akrab.
Kamar-kamar berjejer membujur/melebar, yakni di belakang ruang tengah, atau
melintang/memanjang, yakni di samping ruang tengah.
Bagan 1.
Pola rumah membujur / melebar (kiri), pola rumah melintang/memanjang (kanan)
Pada perkembangannya, rumah di Bekasi mengalami transformasi, tetapi secara umum, pola
pembagian ruangan menjadi beranda, ruang tengah, dan kamar-kamar tetap dipertahankan.
Rumah di daerah Bekasi yang berkembang kemudian tidak lagi berbentuk rumah panggung.
Ketimbang pola penataan membujur pun, pola melintang atau pola L lebih banyak diminati. Pola L
hadir dengan menggabungkan antara rumah induk dengan kamar mandi dan dapur, yang semula
berada di luar rumah. Sekeliling rumah dikitari oleh teras atau beranda, walaupun fungsi beranda
yang merangkap sebagai tempat menerima tamu hanya dimiliki oleh beranda depan. Keberadaan
pagar kayu menghilang, walau keberadaannya kadang digantikan oleh pagar permanen dari
tembok semen yang juga berfungsi sebagai tempat duduk.
Dalam tradisi Bekasi, ruang tengah tidak disekat-sekat secara permanen, untuk mengantisipasi
acara-acara yang dilakukan di rumah yang melibatkan orang banyak seperti kenduri, hajatan, dan
tahlilan. Sekat dibuat dari peletakan foyer seperti lemari hias atau bufet. Keberadaan sekat ini
membatasi ruang untuk menerima tamu ‘formal’, tamu ‘kurang formal’, dan tamu ‘tidak formal’
atau keluarga. Tamu formal, tamu laki-laki, atau yang belum dikenal biasa ditemui di beranda,
sementara tamu perempuan dan keluarga ditemui di ruang dalam. Tamu yang dianggap keluarga
dekat bahkan bisa ditemui di ruang makan atau dapur, yang masuk melalui pintu samping.
Bagan 2.
Pola rumah bentuk L
Konsep pembagian ruang ini rupanya bersesuaian dengan konsep pemahaman ruang yang dualistik
pada masyarakat tradisional Indonesia. Konsep ini tak hanya berkembang di masyarakat pemburu
dan peramu, tetapi juga peladang dan maritim. Prinsip yang disebut ‘dwitunggal’ ini dipakai tidak
hanya untuk memaknai ruang dan waktu, tetapi juga sistem kekerabatan, sistem pekerjaan, dan
alam (Sumardjo, 2002: 17). Dalam sistem ini, konsep ‘dalam’ dan ‘luar’ dihubungkan oleh ‘batas’,
yakni garis pemisah yang bersifat sakral. Konsep ‘dalam’ dan ‘luar’ dikaitkan dengan oposisi biner
‘perempuan’ dan ‘laki-laki’. ‘Depan’, ‘luar’, ‘terbuka’, ‘terang’, ‘muka’ merupakan kata sifat yang
homolog yang memiliki sifat laki-laki, sedangkan ‘belakang’, ‘dalam’, ‘tertutup’, ‘gelap’, ‘badan’
memiliki sifat perempuan. Beranda yang berada di muka luar rumah dan terbuka, dalam artian
tidak dibatasi oleh tembok, menjadi tempat menerima tamu laki-laki yang sesuai dengan sifatnya.
Sedangkan ruang dalam yang dibatasi tembok dan merupakan bagian inti rumah menjadi identik
dengan wilayah perempuan.
Konsep primordial yang memandang segalanya dalam pasangan dunia atas-dunia bawah dan laki-
berakar pada kepercayaan animisme-dinamisme masyarakat prasejarah. Namun, rupaya
kepercayaan semacam ini merupakan kepercayaan yang universal. Mitos mengenai asal-usul yang
mengindikasikan pola semacam ini juga dianut oleh masyarakat prasejarah di banyak belahan
dunia. Dalam setiap kebudayaan, selalu ada kisah yang melibatkan kekuatan supranatural dalam
penciptaan atau asal usul manusia, yang disebut mitos asal (origin myth). Mitos menyediakan
penjelasan bagi sesuatu yang dianggap penting, tetapi tidak diketahui kebenarannya (Carneiro,
library.thinkquest.org). Di baliknya ada ide mengenai latar belakang suatu fenomena.
Mitos asal, yang merupakan teori paling awal mengenai proses penciptaan alam semesta, hadir
sejalan dengan konsep yang memandang ada kekuatan luar biasa di balik penciptaan alam, yang
menghadirkan konsep mengenai Tuhan. Menurut Bakker dalam Sumardjo (2002: 3-5), konsep
Tuhan di Indonesia purba bersifat deistik, yakni ke-Tuhan-an murni, yang tidak antropomorfik,
dikenal dalam wujud atau sifat selayaknya manusia. Tuhan adalah sesuatu yang fascinosum
(memikat) sekaligus juga tramendum(menakutkan), yang membuat nama Tuhan dan
keberadaannya menjadi sangat sakral dan tidak dekat dengan manusia. Hal ini menjadikan
keberadaan Tuhan dianggap tidak relevan dengan urusan manusia di dunia. Kedudukan Tuhan pun
digantikan dengan lambang alam, sebagai sesuatu yang lebih nyata dan paling berpengaruh dalam
kehidupan manusia.
Awalnya kekuatan alam dipuja sebagai bagian dari kekuatan Tuhan, tetapi pada gilirannya,
kekuatan alam pun dipersonifikasi dalam wujud dewa dan roh yang mempengaruhi alam.
Pemujaan terhadap dewa-dewa yang memegang peran tertentu pun menggantikan pemujaan
terhadap dewa yang absolut. Untuk mengetahui segala misteri alam, manusia cenderung
membandingkan alam dengan dirinya, satu-satunya hal yang diketahuinya. Masyarakat primitif
mengembangkan penjelasan yang sangat khusus, yakni penyebab yang bersifat personal (personal
causation). Dalam hal ini, agen yang bertanggung jawab atas terjadinya suatu fenomena, baik
manusia atau roh, memiliki personalitas manusia yang mendasari tindakannya. Penyebab non-
personal (impersonal causation) yang disediakan sains hanyalah penyebab langsung (immediate
cause), tetapi tidak menjelaskan alasan terjadinya suatu fenomena (Carneiro,
library.thinkquest.org).
Pandangan atas keberadaan Tuhan yang mendua melahirkan konsep dualisme keberadaan dalam
alam pikiran masyarakat primordial. Langit adalah Dunia Atas yang tidak dikenal oleh manusia,
sedangkan bumi adalah Dunia Bawah yang dekat dengan manusia. Akan tetapi, mitos asal
memandang bahwa dunia manusia lahir dari Dunia Atas. Ada kesatuan dualistik antara Dunia Atas
dan Dunia Bawah. Pola hubungan kesatuan ini hadir lewat peperangan atau perkawinan, yang
dengan caranya masing-masing menumbuhkan kehidupan baru (Sumardjo, 2002: 4).
Freud memandang mitos asal dalam kerangka fungsi paternal (Kristeva, 2008). Mitos penciptaan
pada berbagai bangsa selalu memuat fantasi pertama (primal fantasies), yakni fantasi asal mula
manusia dihubungkan dengan pengamatan akan relasi seksual orangtua, rayuan, dan kastrasi.
Green (1991) dalam Kristeva (2008) menghubungkannya dengan keingintahuan seksual masa kecil
mengenai ‘asal bayi’. Fantasi yang berasal dari jejak memori filogenetik ini direkonstruksi ke dalam
konsep atau adegan mitos, yang perannya bersifat mempolarisasi, mengorganisasi, dan
mengklasifikasi. Hal ini, menurut Freud, merupakan upaya menghadirkan missing link dalam
pengalaman fisik individu dengan menghubungkannya pada masa lalu ras manusia.
Hal ini menjelaskan alasan di balik penerapan konsep dualisme dalam tataran dunia manusia.
Secara umum, masyarakat Indonesia mengenal dualisme dalam tataran kosmis sebagai cara untuk
memetakan alam dan kekuatan yang mempengaruhinya. Dalam konsep primordial, segala sesuatu
merupakan pasangan oposisi biner yang memiliki sifat ‘kelaki-lakian’ dan ‘keperempuanan’. Jika
menggunakan teori ini, segala sifat dan objek yang dinisbahkan pada laki-laki dan perempuan
merupakan konotasi keberadaan laki-laki dan perempuan dalam fungsi reproduksi, yang akhirnya
membentuk fungsi kultural. ‘Luar’ dan ‘terang’ menjadi maskulin karena phallus atau lingga berada
di luar dan terlihat, sedangkan ‘dalam’ dan ‘gelap’ menjadi feminin karena rahim atau yoni berada
di dalam dan tidak terlihat. Pada gilirannya, kata sifat ini bergerak untuk menjelaskan objek yang
ada di alam. ‘Matahari’ yang ‘terang’ pada ‘siang hari’, demikian juga ‘gerak/aktif’, yakni kata kerja
yang merujuk pada aktivitas manusia di siang hari dilabeli sifat maskulin. ‘Bulan’ pada ‘malam hari’
yang ‘gelap’, demikian pula ‘diam/pasif’ yang merujuk pada aktivitas ‘tidur’ dilabeli sifat feminin.
Pasangan oposisi ini bersifat kosmis, yang memenuhi segala yang dikenal manusia sebagai ‘ada’.
Keberadaan oposisi biner yang saling bertentangan ini memunculkan keberadaan Dunia Tengah,
yakni dunia penghubung atau perantara. Pola hubungan oposisi kosmis laki-laki dan perempuan
yang berupa perkawinan menyebabkan segala sesuatu yang berada dalam lingkup Dunia Tengah
harus memiliki harmoni atau perkawinan kedua pasangan biner, yang menjadikannya memiliki sifat
keduanya. Dukun yang menghubungkan Dunia Atas dan Dunia Bawah disyaratkan tidak memiliki
fungsi laki-laki atau perempuan, yang bagi laki-laki ditandai dengan kebancian dan bagi perempuan
ditandai oleh belum atau tidak lagi mampu menstruasi. Benda-benda upacara diperlakukan sebagai
milik dunia Tengah, sehingga padanya ditorehkan gambar-gambar yang melambangkan
perkawinan kosmis.
3.2. PERWUJUDAN KONSEP RUANG DALAM UPACARA AKAD NIKAH TRADISIONAL BEKASI
Pada prinsipnya, dunia atas, tengah, dan bawah mencakup segala sesuatu yang satu sama lain
memiliki kesejajaran atau homologi yang bersifat kosmik. Peletakan suatu benda pada suatu sifat,
atau suatu kerja pada suatu objek, beserta pemaknaannya dalam ruang dan waktu harus
mempertimbangkan konsep kesejajaran tersebut.
Pemilihan waktu akad nikah pada sore hari atau pagi hari dalam upacara pengantin adat Bekasi
dapat dipandang dari kacamata kesejajaran kosmik tersebut. ‘Sore’ dianggap sebagai pertemuan
atau ‘batas’ antara ‘siang’ dan ‘malam’, sedangkan ‘pernikahan’ dianggap sebagai upacara yang
‘menghubungkan’ antara ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’. Sore dianggap sakral terkait dengan fungsinya
sebagai batas, sebagai bagian dari Dunia Tengah, demikian pula pernikahan dianggap sakral dalam
fungsinya yang selain menyatukan dua oposisi yang berlawanan, juga menjadi ‘batas’ antara
‘lajang’ dan ‘menikah’, antara ‘anak-anak’ dan ‘dewasa’.
Keberadaan ruang ini jelas terlihat pada prosesi ngebesan dan akad nikah. Ngebesan, baik dalam
adat Cara Haji maupun Abangan, dilakukan oleh iringan-iringan pengantin yang bergerak dari
rumah pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan, sebagai tempat dilangsungkannya
prosesi pernikahan. Tradisi ini bukanlah pengaruh Islam, bukan pula pengaruh Cina yang secara
tradisi menerapkan konsep perempuan yang diambil sebagai anggota keluarga laki-laki dan dengan
demikian mendatangi rumah laki-laki. Akan tetapi, konsep 'pernikahan yang dilakukan di rumah
mempelai perempuan' dapat ditemukan pada kebudayaan banyak suku di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat contohnya pada suku Jawa dan Sunda, bahkan suku Minang yang menganut pola
matrilineal. Hal tersebut menjadikan prosesi tersebut layak dikaji dalam pola pemikiran dan tata
nilai primordial.
Jika dilihat dari sudut pandang kosmik, proses perjalanan ini merefleksikan konsep genesis dalam
mitos asal, yakni bahwa Dunia Atas menurunkan Dunia Bawah, sedangkan oposisi biner atas x
bawah merupakan refleksi laki-laki x perempuan. Pernikahan yang berpusat pada rumah
mempelai perempuan menunjukkan bahwa kehidupan terjadi di dunia bawah, yakni dunia
manusia.
Petasan yang dibunyikan dalam jarak 200 meter di depan rumah pengantin perempuan tidak hanya
menjadi tanda pemberitahuan bahwa rombongan besan telah datang. Area ini dikategorikan
sebagai batas, daerah antara yang menjadi gerbang masuk ke wilayah pengantin perempuan.
Untuk memahami arti pembunyian petasan, perlu ditelaah mengenai arti petasan dalam tradisi
masyarakat Cina dan arti bunyi-bunyian dalam konsep tradisional Indonesia serta mencari
kesesuaian antara keduanya. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya, suatu tradisi yang berkembang
di negara atau masyarakat asal tidak akan semata diadopsi dan diterima di masyarakat peniru jika
tradisi tersebut sama sekali tidak bersesuaian dengan masyarakat tersebut atau perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut.
Dalam konsep masyarakat primordial Indonesia yang masih dianut oleh suku-suku seperti Asmat
dan Dayak, menabuh bunyi-bunyian seperti genderang dan alat musik lain dikaitkan dengan
konsep kosmis Dunia Tengah yang transenden. Dunia Tengah merupaka tempat kekuatan tak kasat
mata seperti jin dan roh penunggu, yang karena sifat transendennya, memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi manusia. Mereka menempati ruang yang dinamakan 'batas' atau 'antara'. Proses
membunyikan sesuatu diibaratkan sebagai proses meminta ijin, sekaligus menjaga diri dari
pengaruh jahat makhluk-makhluk halus tersebut.
Walaupun konsep penjagaan diri dan keberadaan batas sebagai tempat tinggal makhluk halus itu
tidak sepenuhnya diterapkan dalam prosesi akad nikah pengantin Bekasi, khususnya dalam Cara
Haji,pada hakikatnya, konsep 'meminta ijin' masih diterima secara luas, walau tidak kepada jin,
tetapi pada pihak keluarga pengantin perempuan.
Demikian pula berlangsungnya acara di muka rumah pengantin perempuan dapat dihubungkan
dengan konsep tersebut. Pihak keluarga mempelai laki-laki tinggal untuk meminta ijin dibolehkan
masuk karena rumah atau 'dalam' dianggap sebagai ranah perempuan. Sedangkan anggota
keluarga perempuan langsung memasuki rumah karena sebagai perempuan, 'ruang dalam' juga
merupakan wilayahnya.
KETERANGAN:
Mempelai laki-laki
Keluarga mempelai laki-laki
Mempelai perempuan
Keluarga mempelai perempuan
Kerabat perempuan mempelai perempuan
Penghulu
Wali nikah pengantin perempuan
Tamu laki-laki
A Pembunyian petasan, iring-iringan pengantin laki-laki dan besan memasuki pekarangan rumah pengantin perempuan
B Rombongan besan disambut oleh kerabat pengantin perempuan; berbalas pantun/berebut dandang (Abangan), berbalas salam/sambutan (Cara Haji)
C Kaum perempuan dari keluarga mempelai laki-laki memasuki rumah lewat pintu samping
D Akad nikah
E Pengantin laki-laki menghampiri pengantin perempuan di pintu kamar; pengantin perempuan mencium tangan pengantin laki-laki
Bagan 3.
Prosesi Akad Nikah Tradisional Bekasi
Hal ini juga terlihat pada pembagian ruang pada proses pernikahan. Kaum perempuan tinggal di
dalam kamar dan tidak keluar selama mendengarkan ijab kabul, sedangkan upacara ijab kabul
dilaksankan di tengah rumah, sementara tamu ditempatkan di beranda. Ketiga hal ini
merefleksikan ketiga hal yang berlawanan dalam kerangka kosmik. Perempuan ditempatkan di
ruang yang sifatnya sesuai dengan konsep Dunia Bawah, yakni 'ruang dalam', dalam hal ini 'kamar'.
Upacara akad nikah, sesuai dengan fungsinya, ditempatkan di 'ruang tengah'. Pengantin laki-laki
menempati dunia antara ini karena ia sedang melakukan prosesi untuk 'memasuki' dunia yang
ditempati perempuan, yakni keluarga dengan rumah sebagai pusatnya. Adapun tamu laki-laki
ditempatkan di beranda sesuai dengan kedudukannya sebagai 'orang luar', dan sebagaimana
penghuni Dunia Atas, tidak menempati 'rumah' atau 'keluarga' yang dibentuk lewat pernikahan
tersebut, yang menjadi bagian dari Dunia Bawah.
Konsep ruang dan kesadaran akan posisi ‘atas x bawah’, ‘depan x belakang’, dan ‘kanan x kiri’ juga
terlihat pada prosesi prosesi macarin, yakni menyandingkan kedua mempelai di pelaminan. Dalam
tradisi suku-suku di Indonesia, terdapat pemahaman yang universal bahwa kanan bersifat laki-laki
dan kiri bersifat perempuan. Kanan dianggap lebih tinggi karena bagian tubuh yang aktif adalah
bagian tubuh kanan, yang dianggap ‘baik’. Dengan demikian, laki-laki ditempatkan di sebelah kanan
perempuan, yang juga berarti melindungi. Pada prosesi ini, kedua mempelai yang semula
dipisahkan pada semua tahap pernikahan karena dianggap belum halal untuk bersanding, dalam
bingkai pemahaman Islam; atau tabu untuk bersanding karena masih merefleksikan dua kekuatan
yang saling berseberangan yang belum diikat penyatuan dalam bentuk pernikahan, dalam bingkai
pemahaman primordial, menjadi sah dan layak untuk disatukan. Penyatuan ini bahkan disambut
dengan kegembiraan, dilambangkan oleh para sanak saudara yang saling memberi ucapan selamat.
Pada prosesi ini, kedua mempelai dipersilahkan duduk, kemudian dukun atau tukang rias
meletakkan bantal di pangkuan pengantin dan mencipratkan air disertai doa atau mantra-mantra.
Air dianggap mewakili unsur ‘dingin’, sedangkan roh jahat, setan, dan jin dianggap mewakili unsur
‘panas’. Di sini terdapa kesadaran akan ruang yang jamak, yakni bahwa keberadaan makhluk halus
di dunia tengah yang immateril dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia bawah yang
materil. Dengan demikian, air yang merupakan objek materil, karena perbedaan sifatnya, dapat
mengusir atau menjauhkan gangguan yang berasal dari dunia imateril.
4. KESIMPULAN
Dalam pola pikir masyarakat primordial, pernikahan dipandang memiliki hubungan kosmis, yakni
penyatuan dua kekuatan dari dua kutub yang berbeda dan saling bertentangan. Merunut pada
pembagian semesta menjadi dunia atas dan dunia bawah yang disatukan oleh dunia tengah, segala
sesuatu yang memiliki hubungan kesejajaran dengan dunia tengah, yakni memiliki sifat
mempersatukan kedua sifat dalam oposisi biner, dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Dengan
demikian, fungsi pernikahan yang sakral sebagai bagian dari dunia transenden, yakni dunia tengah,
juga terlihat pada perlambangan yang banyak diatributkan pada keseluruhan prosesinya.
Dalam menganalisa pola pembagian ruang pada upacara akad nikah sub-etnis Betawi-Bekasi, tampak
bahwa kepercayaan primordial yang dianut oleh masyarakat tradisional Indonesia masih sangat kuat
pengaruhnya. Masyarakat primordial memandang ruang, waktu, objek, dan sifat dalam kerangka
oposisi yang masing-masing membentuk kesejajaran atau homologi. Walaupun pernikahan Bekasi
sendiri banyak dipengaruhi Cina, Arab, dan Eropa, dalam pola pembagian ruang, komposisi ruang yang
dipandang dalam bingkai oposisi biner, dengan dunia tengah yang sakral sebagai batasnya, masih
tampak jelas. Hal ini terutama tampak pada prosesi menjelang akad nikah seperti membunyikan
petasan pada jarak tertentu dari rumah mempelai, melalukan prosesi salam (Cara Haji) atau berbalas
pantun dan berebut dandang (Abangan) di muka rumah pengantin, yang menampakkan kesadaran
akan ruang perantara yang disebut ‘batas’ yang bersifat sakral dan transendental. Prosesi pernikahan
dan masuknya pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan dipandang sebagai masuknya sosok
yang berasal dari dunia ‘luar’ menuju dunia ‘dalam’, yakni rumah dan perempuan.
Penempatan tamu laki-laki, perempuan, dan kerabat dalam bagian-bagian rumah juga merefleksikan
aturan kosmos ini. Perempuan dari pihak laki-laki tetap dianggap ‘perempuan’, yang identik sebagai
‘pemilik rumah’ dan ‘penghuni dalam’, sehingga mereka tidak perlu meminta izin untuk memasuki
rumah dan bisa melalui pintu samping. Tetapi laki-laki bukan merupakan bagian dari ‘rumah’ dan
‘dalam’, sehingga harus meminta izin. Tamu laki-laki yang asing, dalam artian bukan kerabat,
ditempatkan di luar. Mempelai peremuan berada di dalam kamar. Sementara prosesi akad nikah
dilakukan di ruang tengah, sesuai dengan kedudukan pernikahan sebagai penghubung kedua objek dan
sifat yang bertentangan, yakni feminin x maskulin.
REFERENSI Hendriyana, Husen. 2009. Metodologi Kajian Artefak Budaya Fisik. Bandung: Sunan Ambu Press. Kamaly, Husein. 1973. Sejarah dan Kebudayaan Kabupaten Bekasi. Bekasi: Pemda Kabupaten Bekasi. Saidi, Ridwan. 2004. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya. Jakarta: PT.
Gunara Kata. Sumardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Sopandi, Andi. 2005. Hibridasi Masyarakat di Perbatasan Jakarta: Profil Masyarakat Bekasi dalam
Perspektif Budaya. Bekasi: PK2SB FKIP UNISMA Tim HARPI Melati Bekasi. 2007. Tata Rias Pengantin Adat Bekasi Kembang Gede. Bekasi: HARPI Melati. Utomo, Bambang Budi. 2004. Arsitektur Bangunan Suci Masa Hindu Buddha di Jawa Barat. Jakarta:
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata