Upload
lythien
View
241
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI
PENGOLAHAN IKAN DI KOTA PALOPO
PROVINSI SULAWESI
SELATAN
UMMI MAKSUM MARWAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Potensi
Pengembangan Industri Pengolahan Ikan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi
Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014
Ummi Maksum Marwan
NIM C452110101
RINGKASAN
UMMI MAKSUM MARWAN. Kajian Potensi Pengembangan Industri
Pengolahan Ikan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh
BUDY WIRYAWAN dan ERNANI LUBIS.
Besarnya volume produksi hasil tangkapan ikan di Pangkalan Pendaratan
Ikan Pontap yang tidak terjual hanya diolah secara tradisional oleh nelayan atau
pedagang pengumpul, yakni dengan cara dikeringkan. Pengolahan dengan cara ini
tidak memberikan penambahan nilai yang berarti. Sumberdaya yang melimpah
karena pengaruh musim, tidak mengindikasikan kesejahteraan nelayan. Diduga
karena belum ada kajian tentang potensi industri pengolahan ikan di Kota Palopo
maka investor ragu untuk berinvestasi sehingga industri pengolahan ikan tidak
berkembang. Karena itu, perlu dilakukan kajian potensi pengembangan industri
pengolahan ikan di Kota Palopo Sulawesi Selatan.
Penelitian ini memiliki tiga tujuan, yaitu: (1) menggambarkan kondisi
produksi hasil perikanan tangkap di Kota Palopo; (2) mengidentifikasi potensi
daerah Kota Palopo untuk pengembangan industri pengolahan ikan; dan (3)
menentukan strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang sesuai di Kota
Palopo.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kasus yang mengkaji tentang
potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Analisis
dilakukan secara deskriptif terhadap volume, jenis ikan dominan dan sumber
produksi hasil tangkapan yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap
untuk menggambarkan kondisi produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo.
Analisis deskriptif juga dilakukan terhadap arah kebijakan pemerintah daerah;
lokasi, fasilitas dan aksesibilitas; daya serap pasar; dan sumberdaya manusia Kota
Palopo berkaitan dengan potensi pengembangan industri pengolahan ikan.
Selanjutnya menentukan strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang
sesuai dengan analisis SWOT.
Produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo berpusat pada satu pangkalan
pendaratan ikan yakni di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap. Pada tahun 2009
hingga 2012 volume produksi ikan yang didaratkan meningkat dengan laju
pertumbuhan 17.28 persen per tahun. Peningkatan volume produksi juga secara
langsung meningkatkan nilai produksi ikan. Produksi tersebut juga berasal dari
luar Kota Palopo, seperti Bulukumba, Makassar, Pare-pare, Bone, Sinjai, Palu,
Ponrang, dan Kendari. Jenis ikan yang dominan adalah kembung, layang, teri,
peperek, cakalang, tongkol dan tembang.
Dukungan pemerintah Kota Palopo yang mendorong pengembangan Kota
Palopo menjadi kota industri terlihat pada kebijakan penetapan struktur ruang
wilayahnya (yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah Nomor 9 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palopo Tahun 2012-2032); dan
program kerja bidang pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Palopo,
yang mendukung kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan. Kota Palopo telah
menetapkan suatu wilayah sebagai Kawasan Industri Palopo yang ditujukan untuk
indutri sedang hingga besar sebagai industri pendukung hasil pertanian,
perkebunan, perikanan, hutan, dan peternakan. Namun demikian, jarak lokasi
Kawasan Industri Palopo dengan sumber bahan baku (ikan) yaitu di Pangkalan
Pendaratan Ikan Pontap cukup jauh. Lokasi pengembangan industri pengolahan
ikan yang berpotensi menjadi lokasi pengembangan industri pengolahan ikan
yang sesuai adalah di kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap itu sendiri.
Oleh karena itu, peningkatan status pelabuhan perikanan dari pangkalan
pendaratan ikan menjadi pelabuhan perikanan pantai perlu dilakukan agar dapat
mendukung upaya pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo.
Fasilitas penanganan hasil tangkapan terpusat di Pangkalan Pendaratan Ikan
Pontap, diantaranya: Tempat Pelelangan Ikan, chilling room, pabrik es, gudang
dan gedung pengolahan ikan. Kota Palopo memiliki potensi inlet-outlet terhadap
lokasi pasar Indonesia Bagian Timur karena secara geografis memiliki akses
langsung terhadap Alur Laut Teluk Bone menuju Laut Banda, Selat Makassar dan
Laut Flores dengan didukung oleh keberadaan Pelabuhan Tanjung Ringgit. Sistem
jaringan transportasi darat meliputi sistem jaringan jalan dan perkeretaapian. Kota
Palopo merencanakan pengembangan terminal penumpang, terminal barang, dan
jalur angkutan umum, serta pengembangan jaringan jalur kereta api yang
merupakan bagian dari jalur keretaapi trans Sulawesi. Akses udara didukung oleh
keberadaan Bandar Udara Lagaligo di Kabupaten Luwu yang berbatasan dengan
sebelah selatan Kota Palopo. Kota Palopo memiliki akses darat, laut dan udara
yang berpeluang besar untuk dikembangkan. Tingkat konsumsi ikan yang tinggi
dan perkembangan Kota Palopo yang semakin pesat mengindikasikan adanya
daya serap pasar yang tinggi. Sumber daya manusia yang tersedia dapat
memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri skala rumah tangga, kecil dan sedang.
Strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang ditawarkan adalah:
(1) penguatan dan pengembangan kelompok pengolah ikan terpadu masyarakat
pesisir; (2) memanfaatkan dan memelihara fasilitas penanganan hasil tangkapan
yang tersedia seperti chilling room, pabrik es, dan gedung pengolahan ikan; (3)
mengembangkan jangkauan pasar terutama produk olahan ikan; (4)
mempermudah akses administrasi industri pengolahan ikan di daerah; dan (5)
meningkatkan daya saing volume produksi hasil tangkapan ikan nelayan lokal
Kota Palopo di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap.
Hasil penelitian menggambarkan potensi yang besar terhadap
pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Penyuluhan dan
pelatihan keterampilan penanganan dan pengolahan ikan perlu diberikan kepada
masyarakat pesisir agar dapat mengantisipasi musim puncak ikan.
Kata Kunci: industri, palopo, pengembangan, pengolahan ikan, potensi
SUMMARY
UMMI MAKSUM MARWAN. The Development Potential Study of Fish
Processing Industry In Palopo City South Sulawesi Province. Supervised by
BUDY WIRYAWAN and ERNANI LUBIS.
In Pontap Fish Landing Base, huge amount of unsold catches production has
only been traditionally dry processed by the fishermen or traders. This processing
remain not adding significant value to its product. Therefore abundant of fishery
resource that influenced by the season did not indicate the fishermen welfare. It
was assumed that no study has been found about the potention of fish processing
industry in Palopo that affected investors hesitate to invest. This evidence proofed
why fish processing industry cannot develop well. Therefore, a study about
development potential of fish processing industry in Palopo South Sulawesi
province needs to be conducted.
This study has three objectives, i.e. : (1) to describe the conditions of
capture fisheries production in Palopo, (2) to identify the potential areas in Palopo
for fish processing industry development, and (3) to determine the development
strategy of the fish processing industry that is appropriate in Palopo City.
This study used a case study that examined the potential for the
development of fish processing industry in Palopo. The analysis described
descriptively based on the volume, dominant fish species and source of catches
production that was landed on Pontap Fish Landing Base that describe the
conditions of fish production in Palopo. Descriptive analysis was also conducted
based on the government policy direction; location, facilities and accessibility; the
market absorption; and Palopo human resource which related to the development
potential of fish processing industry. Furthermore, the strategy of fish processing
industry development will be described based on SWOT analysis.
Production of fish catches in Palopo was usually centered on the fish
landing base in Pontap Fish Landing Base. In 2009 until 2012, the fish production
volume landed increased with growth rate 17.28 percent per year. These volume
production increasement also directly increased the fish production value. Fish
also come from the outside of Palopo, such as Bulukumba, Makassar, Pare-pare,
Bone, Sinjai, Palu, Ponrang, and Kendari. The dominant fish species which were
landed in Pontap fish landing base are short mackerel, indian scad, Anchovy,
pony fish, Skipjack, mackerel tuna and sardine.
The development to industrial city in Palopo has been supported by the
government by issuing a policy that was established in a regional law No. 9 of
2012 on Regional Spatial Plan of Palopo Year 2012-2032; marketing field work
program of the Palopo Marine and Fisheries Department which supported the
processing and marketing of the fish. Palopo has set a region where Palopo
Industrial Estate has been intended for medium to large industries as for
supporting industries of agriculture, plantation, fisheries, forests, and farms.
However, the distance of Palopo Industrial Estate location to the source of raw
materials (fish) is far enough to reach the Pontap Fish Landing Base. The location
of fish processing industry development that could potentially be the suitable
location of the fish processing industry development is in Pontap Fish Landing
Base itself. Therefore, an setting up the fishing port status from fish landing bases
into coastal fishing port needs to be done in order to support the fish processing
industry development in Palopo. The catches treatment facility centralized in
Pontap fish landing base, including: Fish Auction, chilling room, ice factories,
warehouses and fish processing building. Palopo has the potential of the inlet-
outlet on Eastern Indonesia market location as geographically have direct access
to the Bone Bay sea lanes to the Banda Sea, Flores Sea and the Makassar Strait,
that has been supported by the presence of Tanjung Ringgit Port. Land transport
network system includes road and rail network system. Palopo city plan for
development of passenger terminal, cargo terminal, and public transit lines, and
the railway network development were the parts of the Trans-Sulawesi railway
track. Air access was supported by the existence of the Lagaligo Airport in Luwu
bordering the southern city of Palopo. Palopo have proper access to land, sea and
air that has great opportunity to be developed. High levels of fish consumption
and the development of the rapid increasement in Palopo indicates a high market
absorption. Great number of human resource will suffice the need of labor for the
scale of home, small and mid industry.
The strategies of fish processing industry development that can be offered
were (1) strengthening and developing an integrated fish processing group from
local coastal community; (2) utilizing and maintaining the cold storage, ice
factory, and fish processing building; (3) expanding the market especially
processed fish products; (4) easy administration access for local fish industry; and
(5) improving the competitiveness of the fish catch production volume of local
fishermen in Pontap Fish Landing Base.
The results illustrated the enormous potential of the fish processing industry
development in Palopo. Counseling and skills training of fish handling and
processing needs to be given to the coastal communities in order to anticipate the
peak fishing season.
Key words: development, fish processing, industry, potential, palopo
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI
PENGOLAHAN IKAN DI KOTA PALOPO
PROVINSI SULAWESI
SELATAN
UMMI MAKSUM MARWAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir Anwar Bey Pane, DEA
Judul Tesis :
Nama : Ummi Maksum Marwan
NIM : C452110101
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Budy Wiryawan, MSc Dr Ir Ernani Lubis, DEA
Ketua Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Sistem dan Pemodelan
Perikanan Tangkap
Prof Dr Ir Mulyono S.Baskoro, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 10 Februari 2014 Tanggal Lulus:
Kajian Potensi Pengembangan Industri Pengolahan Ikan di Kota
Palopo Provinsi Sulawesi Selatan
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 sampai Maret 2013 ini ialah pengembangan
industri pengolahan ikan, dengan judul Kajian Potensi Pengembangan Industri
Pengolahan Ikan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Budy Wiryawan M Sc dan Dr Ir Ernani
Lubis DEA selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2014
Ummi Maksum Marwan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Batasan Penelitian 4
2 METODOLOGI 5
Waktu dan Tempat 5
Metode Penelitian 5
Metode Pengumpulan Data 5
Metode Analisis 7
3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 13
Kota Palopo 13
Perikanan Kota Palopo 14
Potensi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kota Palopo 16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16
Gambaran Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Kota Palopo 16
Perkembangan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Kota Palopo
dan Ketersediaan Bahan Baku (Ikan) 17
Supply Chain Produks Perikanan Tangkap di Kota Palopo 20
Alternatif Pengolahan Ikan Berdasarkan Spesies Ikan yang
Dominan dan Pola Pendaratan Ikan Nelayan Di PPI Pontap 24
Identifikasi Potensi Daerah Kota Palopo 29
Arah Kebijakan Pemerintah daerah dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Palopo 29
Lokasi, Fasilitas, dan Aksesibilitas 35
Daya Serap Pasar 42
Sumberdaya Manusia 45
Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Ikan di Kota Palopo 48
5 SIMPULAN DAN SARAN 58
Simpulan 58
Saran 59
DAFTAR PUSTAKA 60
LAMPIRAN 63
RIWAYAT HIDUP 68
DAFTAR TABEL
1 Mapping research 12
2 Nama kecamatan dan kelurahan pesisir Kota Palopo 14
3 Jumlah rumah tangga perikanan menurut kecamatan di Kota
Palopo tahun 2011 15
4 Jumlah alat tangkap yang beroperasi pada tahun 2010-2012 15
5 Volume dan nilai produksi hasil tangkapan di Kota Palopo tahun
2003-2012 17
6 Volume produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo asal PPI Pontap
dan luar PPI Pontap tahun 2009-2011 18
7 Fasilitas di PPI Pontap Kota Palopo 38
8 Intake/sumber air baku Kota Palopo dan kapasitasya tahun 2012 39
9 PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2005-2011 43
10 Penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin di Kota Palopo
tahun 2012 45
11 Kumulatif pendaftar pencari kerja di Kota Palopo tahun 2012 46
12 Jumlah pencari kerja yang ditempatkan menurut tingkat pendidikan
di Kota Palopo tahun 2012 46
13 Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan menurut tingkat
pendidikan di Kota Palopo tahun 2012 47
14 Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan menurut keahlian
utama di Kota Palopo tahun 2012 47
15 Evaluasi faktor internal (EFI) 51
16 Evaluasi faktor eksternal (EFE) 52
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir permasalahan 3
2 Lokasi Penelitian 5
3 Diagram alir tahapan penelitian 11
4 Perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo
tahun 2003-2012 18
5 Perkembangan nilai produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo
tahun 2003-2012 18
6 Sumber-sumber hasil tangkapan ikan Kota Palopo tahun 2012 19
7 Supply chain pada kegiatan perikanan tangkap di Kota Palopo 21
8 Pola integrasi supply chain 23
9 Costumer-facing arc of integration 24
10 Outward-facing arc of integration 24
11 Supplier-facing arc of integration 24
12 Pola pendaratan bulanan hasil tangkapan ikan nelayan menurut
Jenis-jenis ikan dominan di PPI Pontap tahun 2006-2011 27
13 Kawasan Industri Palopo 35
14 Pintu Gerbang Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap 36
15 Gedung pengolahan ikan 36
16 Contoh produk olahan perikanan Kota Palopo (terasi, abon, dan teri gurih) 44
17 Beberapa daerah promosi produk olahan hasil perikanan Kota
Palopo di wilayah hinterland-nya 45
18 Posisi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo 52
19 Matriks SWOT kajian pengembangan industri pengolahan ikan
di Kota Palopo 53
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta RTRW Kota Palopo 63
2 Fasilitas di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap 64
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Arah pengelolaan perikanan saat ini cenderung ke arah peningkatan
produksi tanpa memperhatikan aspek nilai tambahnya, sehingga terjadi eksploitasi
sumber daya ikan secara berlebihan. Eksploitasi besar-besaran tersebut umumnya
tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan yang signifikan
pada masyarakat pesisir. Sebagai contoh, kasus pembuangan ikan yang terjadi di
Ternate, Maluku Utara sebagai akibat dari tidak adanya kesiapan pasar untuk
menerima hasil tangkapan (Ponco 2012). Demikian pula kasus berton-ton ikan
yang busuk akibat kurangnya penanganan ikan di tempat pendaratan (kurang
pasokan es dan tidak terdapat cold storage) yang terjadi di Aceh Selatan (Harian
Analisa 2012).
Sifat ikan yang mudah rusak (highly perishable) mengakibatkan mau tidak
mau nelayan harus segera menjual hasil tangkapannya sesaat setelah didaratkan.
Diperlukan upaya penanganan dan pendistribusian yang cepat, guna menjaga
mutu produk. Ikan yang tidak terjual secara segar perlu penanganan yang lebih
lanjut (diolah) untuk menjaga stabilitas harga ikan ketika mencapai musim
puncak. Pengolahan dalam hal ini memiliki peranan yang penting untuk
mempertahankan mutu produk hasil perikanan. Mutu produk perlu untuk dijaga
kualitasnya berkaitan dengan rasa, keamanan jika dikonsumsi dan harga produk
tersebut. Jadi pengolahan yang dimaksudkan dalam hal ini selain untuk
mempertahankan mutu juga bertujuan menambah nilai jual produk ikan tersebut.
Potensi perikanan Indonesia yang besar dapat dijadikan peluang dalam
membangun industri pengolahan hasil perikanan. Penanganan pascatangkap yang
tepat akan mempengaruhi mutu dan nilai jual produk. Pasar dari produk perikanan
yang tidak mengalami penambahan nilai mutu tidak dapat meluas. Penelitian awal
peneliti memperlihatkan bahwa produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI
Pontap Kota Palopo hanya dipasarkan di Kota Palopo dan sebagian daerah yang
berbatasan dengannya, bahkan dengan pasar yang tidak terlalu luas para pedagang
ikan merasa keuntungan yang didapatkannya tidak sebanding dengan biaya bahan
bakar dan kebutuhan es. Minimnya kemampuan nelayan dalam menjaga mutu dan
menambah nilai jual produknya serta tidak adanya industri pengolahan yang dapat
dijadikan penyangga kestabilan harga ketika produksi meningkat, mengakibatkan
nelayan tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan di pasar.
Di daerah lain, seperti di Pulau Jawa juga memperlihatkan trend produksi
perikanan yang meningkat secara signifikan namun tidak diikuti oleh peningkatan
pendapatan serta kesejahteraan yang signifikan. Hal ini sangat berbeda dengan
sektor lain contohnya pertanian dan perkebunan, dimana arahan produksinya telah
mengacu pada pengolahan produk mentah menjadi bahan setengah jadi maupun
bahan jadi sehingga terjadi penambahan nilai. Diversifikasi produk sangat
mungkin dilakukan jika melihat kondisi ikan hasil tangkapan yang didaratkan.
Pada umumnya ikan hasil tangkapan yang didaratkan beranekaragam dan masih
banyak ikan hasil tangkapan sampingannya. Ikan hasil tangkapan sampingan,
dianggap mempunyai nilai ekonomis yang rendah oleh nelayan. Hal inilah yang
menjadi salah satu alasan adanya produk “value added” yang dianggap lebih
2
menguntungkan jika dibandingkan dengan ikan yang hanya dikeringkan saja.
Agustini (2003), mengemukakan bahwa diversivikasi ada dua macam yaitu:
pertama, diversivikasi horizontal yaitu pemanfaatan berbagai jenis ikan untuk
diolah menjadi jenis produk olahan tertentu. Pemanfaatan berbagai jenis ikan
terutama untuk jenis ikan yang kurang ekonomis seperti ikan beloso, ikan kuak
(“croacker”), Alaska pollack menjadi “kamaboko”, dan kedua, diversivikasi
vertikal yaitu pemanfaatan satu jenis ikan tertentu menjadi berbagai jenis produk
olahan. Hal ini dapat dilakukan misalnya pada saat terjadi musim puncak ikan
(misalnya ikan tongkol, ikan kembung, dan lain-lain) dan juga pemanfaatan jenis
ikan yang berdaging tebal (tenggiri, kakap, tongkol, cucut, dan lain-lain) yang
dapat diolah menjadi produk misalnya bakso ikan.
Perbedaan karakteristik sumber daya ikan, sumber daya manusia, sumber
daya teknologi di setiap daerah mengakibatkan potensi industri perikanan juga
berbeda-beda. Dengan demikian penting untuk diketahui dan diidentifikasi
potensi suatu wilayah dalam upaya pengembangan industri perikanan tangkap.
Pengkajian potensi suatu wilayah untuk pengembangan industri, diperlukan untuk
keberlanjutannya.
Potensi perikanan tangkap Sulawesi Selatan sebesar 620 480 ton per tahun,
dengan rincian; Selat Makassar dengan potensi 307 380 ton per tahun, Laut Flores
dengan potensi 168 780 ton per tahun, dan Teluk Bone dengan potensi sebesar
144 320 ton per tahun (Hatta 2007). Menurut Mallawa et al. (2010), bahwa ikan
cakalang merupakan salah satu produksi penting perikanan Teluk Bone. Pada
bulan Mei, daerah potensi penangkapan ikan cakalang berada pada bagian utara
Teluk Bone yaitu perairan Kabupaten Luwu, Palopo, Luwu Utara, dan Luwu
Timur. Begitupun pada bulan Agustus, daerah potensi penangkapan ikan cakalang
berada pada bagian utara Teluk Bone yaitu perairan Kabupaten Luwu, Palopo,
Luwu Utara, tengah Teluk Bone dan selatan Teluk Bone yaitu perairan Kabupaten
Bone dan sekitarnya. Salah satu tempat pendaratan ikan di Sulawesi Selatan yang
paling sering disinggahi adalah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pontap di Kota
Palopo. Hal ini dikarenakan fasilitas yang disediakan di PPI tersebut lebih lengkap
dan lebih baik dari PPI lainnya (Suardi 2005). Melihat fakta di atas perlu kiranya
diversifikasi usaha di bidang perikanan dari peningkatan produksi menjadi
peningkatan nilai tambah produksi. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu
dilakukan kajian potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo
Provinsi Sulawesi Selatan.
Perumusan Masalah
Besarnya volume produksi hasil perikanan di PPI Pontap yang tidak terjual
hanya diolah secara tradisional oleh nelayan atau pedagang pengumpul, yakni
dengan cara dikeringkan. Pengolahan dengan cara ini tidak memberikan
penambahan nilai yang berarti. Sumberdaya yang melimpah utamanya saat musim
puncak, tidak mengindikasikan kesejahteraan nelayan. Sesuai dengan prinsip
ekonomi, meningkatnya penawaran dibandingkan permintaan (musim puncak)
akan menurunkan harga produk, sebaliknya menurunnya penawaran dibandingkan
permintaan (musim paceklik) akan meningkatkan harga produk. Penanganan
3
pascatangkap yang tepat diperlukan guna menjaga kestabilan harga selain bagi
konsumen juga bagi produsen (nelayan).
Pemerintah Kota Palopo telah menyediakan kawasan industri yakni
Kawasan Industri Palopo (KIPA) sebagai industri pendukung produksi pertanian,
perikanan, hutan, perkebunan, dan peternakan. Pusat pengembangan industri di
Kota Palopo ialah kegiatan agroindustri, selain itu terdapat satu unit gedung
pengolahan di PPI Pontap. Namun demikian hingga saat ini belum ada investor
yang menanamkan modalnya di bidang industri perikanan, khususnya pengolahan
ikan. Diduga karena belum ada kajian tentang potensi industri pengolahan ikan di
Kota Palopo sehingga investor ragu untuk berinvestasi. Karena itu, perlu
dilakukan kajian potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo
Sulawesi Selatan.
Secara garis besar, diagram alir perumusan masalah perikanan di Kota
Palopo adalah sebagai berikut:
Gambar 1 Diagram alir permasalahan
- Belum adanya penanganan pascatangkap (jenis
olahan) yang lain untuk mengantisipasi musim
puncak ikan.
- Belum diketahui sejauhmana potensi pengembangan
industri pengolahan ikan di Kota Palopo.
- Belum diketahui strategi yang tepat untuk
pengembangan industri pengolahan ikan di Kota
Palopo.
- Analisis deskriptif perkembangan produksi hasil
tangkapan ikan, supply chain, pola musim dan
alternatif pengolahan ikan berdasarkan spesies yang
dominan;
- Analisis identifikasi berkaitan dengan arah kebijakan
pemerintah daerah Kota Palopo; lokasi, fasilitas dan
aksesibilitas; daerah pemasaran; dan sumber daya
manusia; dan
- Analisis perencanaan strategi dengan menggunakan
SWOT.
Permasalahan
Analisis
Potensi pengembangan industri pengolahan ikan di
Kota Palopo
Hasil
4
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini sesuai dengan judul yaitu untuk mengkaji
potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Tujuan ini akan
tercapai melalui tujuan khusus sebagai berikut:
1) Mengetahui gambaran produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo;
2) Mengidentifikasi potensi daerah Kota Palopo untuk pengembangan industri
pengolahan ikan; dan
3) Menentukan strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang sesuai di
Kota Palopo.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
1) Akademisi, untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang industri
perikanan tangkap, khususnya di Kota Palopo;
2) Investor, sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan usaha pengolahan
ikan di Kota Palopo; dan
3) Informasi untuk Pemerintah Kota Palopo, dalam pengembangan industri
perikanan tangkap khususnya di bidang pengolahan.
Batasan Penelitian
Ruang lingkup pembahasan penelitian ini dibatasi hanya pada aspek teknis
penentuan lokasi industri pengolahan ikan saja. Kriteria penentuan lokasi industri
pengolahan ikan ini dilihat berdasarkan kriteria penentuan lokasi industri secara
komprehensip yakni mencakup bahan baku, transportasi, tenaga kerja, pasar,
prasarana dan sarana, utilitas, serta kekesuaian dengan rencana tata ruang wilayah.
Pembahasan akan dibagi menjadi tiga bagian, pertama: gambaran kondisi
produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo yang di dalamnya mencakup
ketersediaan dan sumber bahan baku (ikan) sebagai salah satu kriteria penentuan
lokasi industri. Kedua: identifikasi daerah untuk melihat kriteria penentuan lokasi
industri lainnya mencakup arah kebijakan pemerintah daerah dan rencana RTRW
Kota Palopo, ketersediaan lokasi dan fasilitas pendukung, utilitas, aksesibilitas,
pasar, dan sumberdaya manusia untuk kebutuhan tenaga kerja. Ketiga: penentuan
strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang sesuai di Kota Palopo,
setelah mempertimbangkan hasil dari pembahasan pertama dan kedua.
5
2 METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan Maret tahun 2013
bertempat di Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan (Gambar 2).
Gambar 2 Lokasi penelitian
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yang mengkaji tentang
potensi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui:
a. Pengamatan atau observasi langsung
Pengamatan atau observasi langsung di lokasi penelitian dimaksudkan untuk
mengetahui dan memahami secara langsung kegiatan yang berkaitan dengan
kasus penelitian. Pengamatan yang dilakukan meliputi:
- Pengamatan terhadap kondisi fasilitas utama dan pendukung kegiatan
perikanan dan industri perikanan di Kota Palopo, yakni mencatat jumlah,
jenis, kondisi dan pemanfaatan fasilitas yang ada dan menunjang kegiatan
industri. Fasilitas yang diamati adalah semua yang terdapat di Pangkalan
Pendaratan Ikan Pontap.
6
- Pengamatan terhadap infrastruktur adalah berupa keberadaan dan kondisi
jalan dan sarana transportasi untuk memperlancar kegiatan
pendistribusian produk antar lokasi di dalam Kota Palopo dan antar
daerah lainnya.
- Pengamatan terhadap peluang pasar produk olahan perikanan, yakni
berupa kebiasaan mengkonsumsi hasil laut, jenis ikan olahan yang
disukai, dan jarak daerah pemasaran ke lokasi pendirian industri.
- Pengamatan terhadap prasarana penunjang berupa ketersediaan dan
kondisi sumber air bersih dan listrik.
- Pengamatan terhadap keberadaan dan aktivitas kelembagaan yang terkait.
b. Wawancara
Wawancara dengan responden kunci dilakukan melalui pengisian kuesioner.
Data primer utama yang dikumpulkan dari masing-masing responden kunci
adalah sebagai berikut:
(a) Pegawai Pemerintah daerah dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota
Palopo
Responden berjumlah 5 orang. Data yang dikumpulkan antara lain:
rencana strategis atau arah kebijakan pemerintah daerah Kota Palopo
untuk jangka pendek, menengah, dan panjang; prioritas pembangunan
pemda; kendala yang dihadapi dalam penerapan kebijakan; dan potensi
daerah Kota Palopo; rencana strategis atau program Dinas Kelautan dan
Perikanan Kota Palopo untuk jangka pendek, menengah, dan panjang;
program prioritas; dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
program.
(b) Nelayan
Responden berjumlah 40 orang. Data yang dikumpulkan dari nelayan
diantaranya: fishing ground; ukuran kapal; jumlah dan jenis hasil
tangkapan; tempat pendaratan; tempat pemasaran ikan; harga jual ikan;
besarnya pendapatan; kemampuan memenuhi kebutuhan hidup;
keterampilan dan tingkat pendidikan; pendapatnya tentang pendirian
industri pengolahan ikan; serta pendapatnya tentang rencana atau arah
kebijakan yang diinginkan.
(c) Pedagang
Responden berjumlah 10 orang. Data yang dikumpulkan dari pedagang
diantaranya: asal, jenis dan tujuan ikan yang dijual; pendapatnya tentang
jalur distribusi ikan; harga ikan; pangsa pasar produk hasil perikanan;
peluang bisnis di bidang perikanan; dan pendapatnya tentang pendirian
industri pengolahan ikan.
(d) Pengolah ikan
Kelompok pengolah ikan di Kota Palopo baru terbentuk tahun 2012
sebanyak 8 kelompok. Kelompok ini dibentuk oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan Kota Palopo, dimaksudkan sebagai kelompok percontohan.
Responden yang dipilih adalah ketua kelompok.
c. Sumber-sumber data sekunder
Data sekunder dikumpulkan dari instansi atau lembaga-lembaga pemerintah,
non pemerintah maupun swasta. Data sekunder dapat juga diperoleh dari
studi literatur. Berdasarkan data sekunder akan diperoleh informasi yang
7
relevan untuk mengetahui kondisi saat ini dari kegiatan perikanan di lokasi
penelitian.
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi:
(1) Data statistik produksi perikanan di Kota Palopo selama 10 tahun
terakhir;
(2) Data asal produksi perikanan di Kota Palopo;
(3) Dokumen tata ruang wilayah (RTRWK/RTRWP);
(4) Rencana stategis pembangunan daerah (jangka pendek, jangka menengah,
dan jangka panjang);
(5) Rencana strategis pembangunan perikanan (jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang);
(6) Kebijakan perikanan, hukum/peraturan perikanan yang ada dan program-
program pembangunan perikanan yang sedang berjalan dan yang akan
dikerjakan khususnya terhadap pengembangan industri perikanan pasca
tangkap.
Metode Analisis
Secara umum metode analisis yang digunakan adalah secara deskriptif.
Pemilihan lokasi harus didasarkan atas pengkajian seksama karena sifatnya yang
strategis. Rincian jenis data dan analisis yang digunakan disajikan melalui
mapping research pada Tabel 1. Tahapan-tahapan analisis untuk menjawab tujuan
penelitian adalah sebagai berikut (Gambar 3):
1. Gambaran produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo
Gambaran kondisi perikanan tangkap di Kota Palopo akan diperoleh dengan
menganalisis beberapa hal berikut ini:
a. Analisis perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo dan
ketersediaan bahan baku
Volume dan sumber produksi ikan di PPI (bahan baku) akan dianalisis
secara deskriptif setelah memperoleh data time series produksi hasil tangkapan di
Kota Palopo dan daerah-daerah yang mendatangkan ikan ke Kota Palopo.
Berdasarkan data time series volume produksi ikan akan diketahui trend
produksinya dan selisih pertumbuhan produksi ikan setiap tahunnya di Kota
Palopo. Ketersediaan bahan baku (ikan) untuk industri pengolahan ikan diperoleh
dengan telebih dahulu dilakukan perkiraan jumlah kebutuhan atau estimasi
terhadap besarnya daya serap pasar lokal untuk ikan segar di Kota Palopo. Hal ini
penting untuk mengetahui ada atau tidaknya bahan baku untuk diolah. Daya serap
pasar lokal untuk ikan segar diestimasi dengan cara mengalikan antara jumlah
penduduk dengan tingkat konsumsi ikan perkapita. Oleh karena tingkat konsumsi
ikan per kapita Kota Palopo tidak diketahui maka tingkat konsumsi ikan perkapita
yang dipakai adalah tingkat konsumsi ikan perkapita Provinsi Sulawesi Selatan
tahun 2012, yakni sebesar 42.91 kilogram per kapita per tahun (Ditjen P2HP
2013).
Perkiraan jumlah kebutuhan = Jumlah penduduk X Jumlah konsumsi perkapita
8
b. Analisis supply chain produk perikanan tangkap
Data alur distribusi/pemasaran hasil tangkapan ikan mulai dari produsen
sampai konsumen, yang melibatkan beberapa stakeholder lainnya seperti
pedagang dan pengolah ikan akan dianalisis untuk memperoleh Supply Chain.
Hal ini perlu diketahui untuk menjaga kesinambungan bahan baku (ikan) dan
mengetahui pola integrasi supply chain yang sesuai untuk setiap stakeholders.
c. Analisis alternatif pengolahan dan pola pendaratan ikan
Alternatif penanganan atau pengolahan hasil tangkapan akan dianalisis
secara deskriptif setelah mengetahui jenis pengolahan yang sesuai untuk setiap
jenis ikan yang dominan didaratkan di PPI Pontap. Pola pendaratan hasil
tangkapan akan dianalisis dengan metode dekomposisi multiplikatif (Gasperz
1992), yang merupakan analisis proyeksi yang dapat menggambarkan trend,
siklus dan pola musim. Data yang akan diolah adalah data time series produksi
hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PPI Pontap. Langkah-langkah
penyelesaian model multiplikatif untuk memperoleh indek musim untuk
menggambarkan pola pendaratan bulanan ikan adalah sebagai berikut: dari data
aktual (Yt), ditentukan rata-rata bergerak 12 bulan (Mt), dilanjutkan dengan
menghitung rasio data aktual terhadap Mt dengan formula [(Yt/Mt) x 100 %],
selanjutnya menentukan rata-rata medial dengan cara menghitung rata-rata rasio
data aktual terhadap rata-rata bergerak 12 bulan dengan terlebih dahulu
membuang nilai maksimum dan minimum, selanjutnya penentuan indeks musim
dengan cara mengalikan nilai rata-rata medial dengan faktor koreksi.
2. Analisis identifikasi potensi daerah Kota Palopo
Pemilihan lokasi harus didasarkan atas pengkajian seksama karena sifatnya
yang strategis. Bayak teori yang mengemukakan tentang kriteria pemilihan lokasi
industri. Tarigan menyatakan bahwa faktor yang dipertimbangkan sebagai daerah
yang menguntungkan sebagai lokasi industri antara lain: ketersediaan bahan baku,
upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal, dan
aksesibilitas dari tempat produksi kewilayah pemasaran yang dituju (terutama
aksesibilitas pemasaran keluar negeri). Belakangan ini faktor stabilitas politik
merupakan faktor yang penting bagi pertimbangan para investor. Hal ini berkaitan
dengan kelangsungan usaha jangka panjang daripada sekedar laba yang besar
tetapi tidak terdapat kepastian berusaha dalam jangka panjang. Oleh sebab itu
penting untuk mengetahui kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah. Secara
garis besar kriteria atau indikator yang diteliti diantaranya ialah bahan baku,
aksesibilitas, tenaga kerja, pasar, sarana dan prasarana (fasilitas), utilitas,
kesesuain lokasi, serta kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah. Analisis
ketersediaan dan sumber bahan baku telah dianalisis pada sub bab gambaran
produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo. Faktor lain yang dianalisis untuk
mengidentifikasi daerah untuk pendirian industri diantaranya sebagai berikut:
a. Analisis arah kebijakan pemerintah daerah dan rencana tata ruang
wilayah Kota Palopo
Arah kebijakan dan rencana tata ruang wilayah Kota Palopo dianalisis untuk
mengetahui kesesuaian perencanaan pengembangan industri pemerintah daerah
dengan tujuan penelitian yaitu pengembangan industri pengolahan ikan. Pada
9
penelitian ini akan dideskripsikan arah kebijakan pemerintah daerah untuk melihat
sejauhmana dukungan terhadap pengembangan industri, khususnya industri
pengolahan ikan. Rencana tata ruang wilayah dianalisis secara deskriptif untuk
menunjukkan lokasi-lokasi yang ditetapkan sebagai lokasi pemusatan industri
untuk melihat kompatibilitas antara perencanaan daerah dengan pengembangan
industri pengolahan ikan.
b. Analisis lokasi, fasilitas, dan aksesibilitas Analisis deskriptif mengenai kondisi lokasi pendirian industri dilakukan
setelah diperoleh data pembebasan dan luas lahan, sarana perhubungan
(infrastruktur), listrik, air bersih, transportasi dan jarak dengan pusat kegiatan
kota. Sarana perhubungan (infrastuktur) berupa kondisi jalan dan alat transportasi
serta jarak antar lokasi akan mempengaruhi waktu tempuh yang sangat
menggambarkan tingkat aksesibilitas lokasi (Tarigan 2009). Tingkat aksesibilitas
akan mempengaruhi keuntungan, dimana semakin mudah suatu lokasi dicapai
maka akan semakin kecil biaya yang dikeluarkan. Semakin kecil biaya produksi
maka akan semakin besar keuntungan yang diperoleh, demikian pula sebaliknya.
c. Analisis daya serap pasar Daerah pemasaran dianalisis secara deskriptif setelah mengetahui informasi
tentang area pemasaran yang mengkaji daya serap (utamanya pasar lokal). Daya
serap pasar dilihat dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi Kota
Palopo. Data yang dikumpulkan adalah data jumlah penduduk dan Pendapatan
Domestik Regional Bruto Kota Palopo.
d. Analisis sumberdaya manusia Mengenai sumberdaya manusia (SDM) akan dianalisis secara deskriptif. Hal
yang akan dikaji adalah ketersediaan SDM dalam jumlah dan kualitas yang
diperlukan untuk tenaga kerja di sekitar daerah yang bersangkutan, ataukah ada
keharusan untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah.
3. Perumusan strategi dengan analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor
secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini
didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang
(opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti 2006). Analisis SWOT
mempertimbangkan faktor lingkungan internal strength dan weaknesses serta
lingkungan eksternal opportunities dan threats yang dihadapi dunia bisnis. Dalam
pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat, maka perlu
melalui tahapan-tahapan proses sebagai berikut (Marimin 2004 diacu dalam
Nazdan et al. 2008):
(1) Tahap evaluasi faktor eksternal dan internal. Tahap ini digunakan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang
dan ancaman dengan menganalisis data-data yang relevan dengan lingkup
penelitian
(2) Tahap analisis (analisis SWOT), yaitu pembuatan matrik internal dan matriks
eksternal serta matriks SWOT. Bobot (B) setiap unsur faktor internal dan
eksternal merupakan kunci keberhasilan (Key Success Factor/KSF) yang
10
memiliki nilai antara 0 (tidak penting) sampai 1 (sangat penting). Bobor KSF
tersebut ditentukan dengan membandingkan derajat kepentingan setiap KSF
yang satu dengan KSF yang lain dengan mengunakan pendekatan matrik
banding berpasangan. Faktor-faktor kunci keberhasilan tersebut kemudian
diberi rating (R) yang menandakan nilai dukungan masing-masing faktor
dalam pencapaian tujuan. Penilaian menggunakan skala Likert yang dimulai
dari rating 4 (sangat berpengaruh), 3 (berpengaruh), 2 ( kurang berpengaruh)
dan 1 (tidak berpengaruh). Bobot faktor dan rating akan menentukan skor
(BxR) atau nilai bobot dukungan terhadap pengembangan industri perikanan
pasca tangkap di Kota Palopo. Dalam tahap ini peneliti membuat justifikasi
sendiri terhadap nilai tingkat kepentingan dan rating dari setiap KSF
berdasarkan data dan kondisi aktual di lapangan yang berpengaruh terhadap
pencapaian pengelolaan minapolitan yang optimal dan berkelanjutan.
Selanjutnya dari jumlah skor dalam setiap faktor SWOT diperoleh total skor
faktor internal dan skor faktor eksternal yang digunakan untuk mengetahui
posisi strategi pengembangan industri perikanan pasca tangkap di Kota
Palopo pada posisi kuadran tertentu dalam kuadran strategi SWOT.
(3) Tahap pengambilan keputusan (penentuan alternatif strategi). Dalam tahap ini
dilakukan dengan merujuk kembali terhadap KSF yang memiliki bobot yang
paling berpengaruh terhadap pencapaian tujuan. Strategi pada matriks hasil
SWOT dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan
peluang (SO), penggunaan peluang yang ada untuk menghadapi ancaman
(ST), penggunaan kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO)
dan penggunaan kelemahan untuk menghadapi ancaman yang akan datang
(WT). Strategi yang dihasilkan terdiri dari berbagai alternatif (tema-tema)
strategi yang dibuat berdasarkan posisi kuadran SWOT.
11
Mulai
Pengumpulan
data
Analisis produksi HT*
- Trend produksi dan
ketersediaan bahan baku
(ikan)
- Supply chain
- Jenis ikan dominan dan
pola musim
Analisis identifikasi daerah
- Arah kebijakan dan tata ruang
wilayah Kota Palopo
- Lokasi berkaitan dengan fasilitas,
utilitas dan aksesibilitas
- Daerah pemasaran
- SDM (tenaga kerja)
Analisis SWOT
Strategi yang diambil
Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian
Keterangan:
* HT = Hasil Tangkapan
12
Tabel 1 Mapping research
No. Jenis Data/Input Analisis Output Informasi
1 a. Produksi hasil
tangkapan ikan
dan daerah
sumber bahan
baku (ikan);
b. Alur distribusi
dan tujuan pasar;
c. Produksi hasil
tangkapan ikan
menurut spesies
a. Analisis
deskriptif
perkembangan
produksi dan
ketersediaan
bahan baku
(ikan);
b. Analisis Supply
Chain;
c. Analisis
deskriptif tentang
alternatif
pengolahan dan
pola musim
tangkapan ikan
dengan metode
dekomposisi
multiplikatif
(Gasperz, 1992)
a. Diketahui
perkembangan
produksi ikan
diketahui sumber-
sumber penghasil
ikan (bahan baku
industri);
b. Diketahui rantai
suplai produk
perikanan tangkap di
Kota Palopo;
c. Diperoleh gambaran
alternatif jenis
olahan dan pola
musim penangkapan
Diperoleh
gambaran
kondisi
produksi hasil
perikanan
tangkap di
Kota Palopo
2 a. RTRW kota dan
RTRW provinsi;
rencana strategis
pembangunan
daerah dan
perikanan serta
kebijakan tentang
perikanan.
b. Status dan luas
lahan, utility,
fasilitas penunjang
serta tingkat
aksesibilitas;
c. Daya serap pasar,
budaya konsumsi,
spesifikasi produk,
dan aksesibilitas;
d. Kuantitas dan
kualitas SDM.
a. Analisis arah
kebijakan
pemerintah
daerah;
b. Analisis lokasi;
c. Analisis area
pemasaran;
d. Analisis SDM.
a. Diperoleh gambaran
tata ruang wilayah
dan arah kebijakan
untuk kegiatan
industri.
b. Diperoleh status dan
luas lahan, utiliti
serta tingkat
aksesibilitas lokasi
industri;
c. Diperoleh gambaran
jangkauan pasar
produk olahan ikan;
d. Diperoleh jumlah
pencari kerja dan
keterampilan yang
dimiliki.
Kesiapan
wilayah/daerah
untuk
pengembangan
industri
perikanan
tangkap
3 Data kekuatan,
kelemahan,
peluang, dan
ancaman dalam
pendirian industri
Analisis SWOT Diperoleh strategi
perencanaan untuk
pendirian industri
Diketahui
rencana
strategi yang
harus diambil
13
3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kota Palopo
Kota Palopo terletak antara 2 o 53' 15" - 3 o 04' 08" Lintang Selatan dan
120 o 03' 10" - 120 o 14' 34" Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Luwu
Sebelah Selatan : Kabupaten Luwu
Sebelah Timur : Teluk Bone
Sebelah Barat : Kabupaten Tanah Toraja Utara
Secara umum, luas wilayah Kota Palopo kurang lebih 247.52 km2 dan
secara administrasi pemerintahan terdiri dari 9 wilayah kecamatan dengan jumlah
kelurahan sebanyak 48. Jumlah penduduk Kota Palopo tahun 2011 tercatat
sebanyak 149 419 jiwa. Kesembilan kecamatan di Kota Palopo adalah sebagai
berikut :
1) Kecamatan Wara terdiri dari 6 Kelurahan
2) Kecamatan Wara Utara terdiri dari 6 Kelurahan
3) Kecamatan Wara Selatan terdiri dari 4 Kelurahan
4) Kecamatan Wara Timur terdiri dari 7 Kelurahan
5) Kecamatan Wara Barat terdiri dari 5 kelurahan
6) Kecamatan Sendana terdiri dari 4 Kelurahan
7) Kecamatan Mungkajang terdiri dari 4 Kelurahan
8) Kecamatan Bara terdiri dari 5 Kelurahan
9) Kecamatan Telluwanua Terdiri dari 7 Kelurahan
Tata guna lahan di Kota Palopo dibedakan atas penggunaan lahan perkotaan
(urban) dan lahan non perkotaan (rural). Luas wilayah Kota Palopo untuk
kegiatan perkotaan sekitar 105 km2 atau 43 persen dari luas wilayah, panjang
garis pantai kurang lebih 24 km, dan luas perairan budidaya 2975.50 ha. (DKP
Kota Palopo 2013). Dari 9 Kecamatan dan kelurahan dalam wilayah Kota Palopo
terdapat 5 kecamatan dan 20 kelurahan yang menjadi wilayah pesisir (Tabel 2).
Kondisi tofografi Kota Palopo sebagian besar yakni 62 persen merupakan
dataran rendah dengan kemiringan 0-3 persen dan berbukit sampai bergunung
dengan kemiringan 25 persen dan berada pada ketinggian 0-500 m di atas
permukaan laut, dengan kemiringan lereng berkisar 0-40 persen. Hal ini sesuai
dengan posisinya yang berada di pesisir pantai. Selain itu, sekitar 24 persen
terletak pada ketinggian 501 – 1000 m dan 14 persen terletak di atas ketinggian
lebih dari 1000 m.
Musim hujan berlangsung antara bulan November sampai bulan April,
sedangkan musim kemarau berlangsung mulai bulan Mei sampai Oktober. Curah
hujan berkisar 214.5 mm pertahun. Data dari statis meteorologi menunjukkan
bahwa suhu udara di wilayah ini berkisar antara 22.00o C – 33.00o C. (BPS Kota
Palopo 2012)
14
Tabel 2 Nama kecamatan dan kelurahan pesisir Kota Palopo Tahun 2012
Kecamatan Kelurahan
Wara Utara 1. Kel. Batu Pasi
2. Kel. Penggoli
3. Kel. Sabbangparu
4. Kel. Salubulo
Wara Selatan 1. Kel. Sampoddo
2. Kel. Songka
3. Kel. Takkalala
4. Kel. Binturu
Wara Timur 1. Kel. Benteng
2. Kel. Pontap
3. Kel. Malatunrung
4. Kel. Salekoe
5. Kel. Saletellue
6. Kel. Ponjalae
Bara 1. Kel. Rampong
2. Kel. Temalebba
3. Kel. Balandai
4. Kel. Buntu Datu
Telluwanua 1. Kel. Salubattang
2. Kel. Batu Walenrang
Sumber: DKP Kota Palopo 2013
Perikanan Kota Palopo
Panjang garis pantai Kota Palopo kurang lebih 24 km, dan luas perairan
budidaya 2975.50 ha. Jumlah rumah tangga budidaya perikanan Kota Palopo
berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi (Sussenas) tahun 2011 berjumlah 1 655
jiwa, sedangkan jumlah rumah tangga perikanan perairan umum adalah 744 jiwa
(Tabel 3).
Perairan laut dan pesisir Kota Palopo secara administratif terletak di ujung
utara kawasan laut Teluk Bone dan sebelah Barat dari perairan laut Sulawesi
Tenggara. Perairan laut Kota Palopo mencakup 5 Kecamatan yang berpantai yaitu
Wara Selatan, Wara Timur, Wara Utara, Bara dan Telluwanua. Luas wilayah
perairan laut Kota Palopo kurang lebih 177 km² dengan panjang garis pantai
sekitar 21.05 km. Terdapat 1 unit Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dengan 1 unit
Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Jumlah Kapal yang mendarat sebanyak 771 unit
dengan jumlah nelayan sebanyak 2 378 orang dari jumlah rumah tangga perikanan
(RTP) sebanyak 711 RTP. Terdapat 1 pulau kecil yang bernama Pulau Libukang
di perairan Kota Palopo dan terdapat 4 Kelompok Masyarakat Pengawas
(POKMASWAS). Jumlah armada penangkapan ikan yang beroperasi di
Perairan Kota Palopo Tahun 2012 :
Kapal motor 116 unit terdiri dari :
- Kapal motor 5-10 GT : 49 unit
- Kapal motor < 5 GT : 67 unit
Motor tempel : 618 unit
15
Penggunaan alat tangkap nelayan Kota Palopo diarahkan pada usaha
diversifikasi sehingga dengan memiliki lebih dari satu alat tangkap dapat
menangkap ikan pada seluruh musim penangkapan ikan. Jumlah alat tangkap
yang digunakan nelayan Kota Palopo dalam Tahun 2012 sebanyak 734 unit
(Tabel 4) .
Tabel 3 Jumlah Rumah Tangga Perikanan menurut kecamatan di Kota Palopo
tahun 2012
Kecamatan Rumah Tangga
Perikanan Budidaya
(Jiwa)
Rumah Tangga
Perikanan Tangkap
(Jiwa)
Jumlah
Wara Selatan
Sendana
Wara
Wara Timur
Mungkajang
Wara Utara
Bara
Telluwanua
Wara Barat
448
130
-
351
49
83
191
161
242
53
-
-
313
-
181
119
45
-
613
130
-
1 035
30
420
604
462
165
Jumlah 1 655 711 2 366
Sumber: DKP Kota Palopo tahun 2013
Tabel 4 Jumlah alat tangkap yang beroperasi pada tahun 2010-2012
Jenis Alat tangkap Jumlah (unit)
2010 2011 2012
Bagang Apung
Bagang Tancap
Purse Seine (Gae)
Rawai
Pukat Dasar
Pukat Pantai
Payang
Trammel Net
Sero
Jaring Insang Tetap
Bubu
JalaTebar
Pancing Tegak
Pancing Ulur
Rakkang
Tombak
Jaring Insang Hanyut
(Gillnet)
32
39
46
24
132
117
42
23
144
12
274
73
15
39
3 048
5
49
31
34
29
17
118
103
23
16
110
10
722
61
10
32
3 675
5
42
21
34
21
-
104
102
21
14
110
10
56
61
10
32
73
0
42
Jumlah 4 114 5 038 734
Sumber: DKP Kota Palopo tahun 2013
16
Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pontap didominasi oleh
ikan-ikan pelagis, namun terdapat juga ikan-ikan demersal yang umumnya
bernilai ekonomis penting. Pada tahun 2012, total produksi hasil tangkapan ikan
di Kota Palopo adalah sebesar 11 310.10 ton dengan total nilai produksi sebesar
Rp156 524 100 000,00. Jika dibandingkan dengan total produksi tahun 2011
yakni sebesar 9 473.75 ton dengan total nilai produksi sebesar Rp145 958 740
000,00 maka diketahui bahwa telah terjadi peningkatan sebesar 19 persen (DKP
Kota Palopo 2013).
Potensi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kota Palopo
Pengolahan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku
ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Unit Pengolahan
Ikan adalah tempat yang digunakan untuk mengolah ikan, baik yang dimiliki oleh
perorangan, kelompok maupun badan usaha. Adapun potensi pemasaran dan
pengolahan hasil perikanan Kota Palopo adalah :
1) Unit Pengolahan Ikan (UPI) : 69 unit
2) Pemasar Produksi perikanan : 421 orang
3) Pengolah Ikan : 130 orang
4) Pabrik ES : 5 unit
5) Pasar Ikan /Depo : 4 unit
Di Kota Palopo umumnya perlakuan terhadap ikan hasil tangkapan dan
budidaya adalah dengan cara pendinginan dan pengeringan. Bidang usaha dan
pemasaran hasil perikanan pada tahun 2012 telah membina kelompok pengolahan
dan pemasaran (Poklahsar) sebanyak 56 kelompok yang tersebar di Kec.Wara
Utara, Wara Timur, Mungkajang, Benteng, Ponjalae, Songka dan Bara. Poklahsar
tersebut bergerak pada usaha pengolahan ikan/rumput laut, pengeringan,
penggaraman serta sovenir untuk non-konsumsi. Jumlah produksi pengolahan
rumput laut dan ikan pada tahun 2012 adalah 168 270 641 kilogram. Jenis produk
olahan yang telah ada adalah teri gurih, dendeng ikan, amplang, bandeng presto,
abon dan amplang (DKP Kota Palopo 2013).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Kota Palopo
Salah satu pertimbangan dalam pemilihan lokasi industri adalah
ketersediaan dan sumber bahan baku, yang dalam hal ini adalah ikan. Oleh sebab
itu, pertama-tama dilakukan analisis deskriptif terhadap produksi hasil tangkapan
ikan Kota Palopo. Gambaran kondisi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo
diperoleh dengan menganalisis beberapa hal berikut ini:
17
a. Perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo dan
ketersediaan bahan baku (ikan)
Produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo berpusat pada satu pangkalan
pendaratan ikan (PPI) yakni di PPI Pontap. Perkembangan produksi hasil
tangkapan ikan di Kota Palopo meningkat setiap tahunnya. Sejak tahun 2003
hingga tahun 2008 volume produksi ikan yang didaratkan di PPI Pontap
cenderung stabil di kisaran angka 1 000 - 2 000 ton ikan per tahun. Baru pada
tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012 volume produksi ikan yang didaratkan
meningkat hingga masing-masing mencapai 7 010.27 ton, 9 442.00 ton, 9 473.75
ton dan 11 310.10 ton (Gambar 4). Peningkatan volume produksi juga secara
langsung meningkatkan nilai produksi ikan (Tabel 5). Pada tahun 2012, total
produksi ikan yang didaratkan di Kota Palopo adalah sebesar 11 310.10 ton
dengan total nilai produksi sebesar Rp156 524 100 000,00. Jika dibandingkan
dengan total produksi tahun 2011 yakni sebesar 9473.75 ton dengan total nilai
produksi sebesar Rp145 958 740 000,00 maka diketahui bahwa telah terjadi
peningkatan sebesar 19 persen.
Gambar 4 dan 5 juga memperlihatkan bahwa trend produksi hasil tangkapan
ikan Kota Palopo tahun 2003 sampai 2012 adalah positif. Dengan demikian dapat
diduga bahwa akan selalu terjadi perkembangan peningkatan produksi hasil
tangkapan pada setiap tahunnya.
Tabel 5 Volume dan nilai produksi hasil tangkapan di Kota Palopo tahun 2003-
2012
Tahun Volume Produksi (ton) Nilai Produksi (Rp.000)
2003 1 835.80 9 379 610
2004 2 104.87 12 731 500
2005 1 041.34 6 048 998
2006 1 429.83 7 844 065
2007 1 429.83 11 826 471
2008 1 638.44 15 982 843
2009 7 010.27 91 355 405
2010 9 442.00 145 254 997
2011 9 473.75 145 958 740
2012 11 310.10 156 524 100
Sumber: Dinas kelautan dan perikanan Kota Palopo tahun 2004-2013
Sebagai salah satu pusat tempat pendaratan ikan di Sulawesi Selatan, ikan
yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pontap tidak hanya berasal
dari tangkapan nelayan lokal tetapi juga datang dari beberapa daerah lain seperti
Bulukumba, Makassar, Pare-pare, Bone, Sinjai, Palu, Bungku, Ponrang, dan
Kendari (Gambar 6). Demikian pun sebaliknya jika hasil tangkapan nelayan di
Kota Palopo melimpah maka ikan akan segera dipasarkan ke Makassar, Pare-pare,
Masamba, Toraja, Enrekang, Sengkang, Soroako, Soppeng, dan Pinrang.
Berdasarkan statistik hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pontap diketahui
bahwa sejak tahun 2009, 2010 dan 2011, hasil tangkapan yang datang dari luar
PPI Pontap mengalami peningkatan yakni berturut-turut 37.76 persen, 61.59
persen dan 76.72 persen (Tabel 6). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
peningkatan produksi ikan yang signifikan di Kota Palopo.
18
Tabel 6 Volume produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo asal PPI Pontap
dan luar PPI Pontap tahun 2009-2011
Tahun Volume Produksi
se Kota Palopo
(ton)
Volume Produksi
nelayan PPI Pontap
(ton)
Volume Produksi
yang datang dari
luar PPI (ton)
Persentase HT
yang datang
dari luar PPI
2009 7 010.27 4 363.187 2 647.083 37,76
2010 9 442.00 3 627.040 5 814.960 61,59
2011 9 473.75 2 205.627 7 268.123 76,72
Sumber: DKP dan BPS tahun 2012 (data diolah kembali)
Gambar 4 Perkembangan produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo
tahun 2003-2012
Gambar 5 Perkembangan nilai produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo
tahun 2003-2012
19
Gambar 6 Sumber-sumber hasil tangkapan ikan Kota Palopo tahun 2012
Selama ini kegiatan distribusi hasil tangkapan ini terus berlangsung demi
mendapatkan harga yang layak. Gambaran kondisi ini mencerminkan bahwa
penyuplai ikan akan selalu mencari pasar yang menguntungkannya. Oleh karena
itu, jika Kota Palopo mendirikan industri pengolahan ikan maka dapat
menjadikannya pusat tujuan distribusi ikan segar di Sulawesi Selatan. Hal ini
tidak hanya menguntungkan Kota Palopo tetapi juga daerah-daerah pesisir lainnya
di Sulawesi Selatan yang memiliki sumber daya ikan yang melimpah.
Sebagaimana yang terjadi di Negara-negara Eropa, sebagai contoh Pelabuhan
Perikanan Boulogne-sur-Mer telah menjadi pusat pengolahan ikan terbesar di
Eropa. Ikan yang diolah tidak hanya berasal dari hasil tangkapan yang didaratkan
di pelabuhan tersebut tetapi juga mengimpor dari negara-negara tetangga (Lubis
2011).
Sebelum mengidentifikasi potensi daerah untuk pengembangan produk
olahan ikan, telebih dahulu dilakukan perkiraan jumlah kebutuhan atau estimasi
terhadap besarnya daya serap pasar lokal untuk ikan segar di Kota Palopo. Hal ini
penting untuk mengetahui ada atau tidaknya bahan baku untuk diolah. Estimasi
dilakukan pada tahun 2012. Diketahui bahwa jumlah penduduk Kota Palopo tahun
2012 adalah sebanyak 152 703 jiwa. Tingkat konsumsi ikan perkapita Kota
Palopo belum diketahui, oleh sebab itu yang yang dijadikan standar (acuan,
indikator) adalah tingkat konsumsi ikan perkapita Sulawesi Selatan yakni sebesar
42.91 kg perkapita per tahun. Daya serap masyarakat lokal untuk ikan segar di
Kota Palopo diketahui sebesar 6 552.49 ton ikan per tahun. Produksi perikanan
tangkap Kota Palopo tahun 2012 diketahui sebesar 11 310.10 ton ikan per tahun,
jadi sisa ikan yang dapat diolah adalah sebesar 4 757.61 ton ikan per tahun.
Berbagai studi literatur dilakukan dan disimpulkan bahwa kapasitas produksi atau
jumlah bahan baku (ikan) untuk skala industri rumah tangga adalah 5–10
kilogram per hari, indutri skala kecil dengan kapasitas 25 kilogram per hari,
industri sedang berkapasitas 1 kuintal per hari, dan industri besar berkapasitas 10
ton per hari. Mempertimbangkan estimasi daya serap pasar lokal untuk ikan segar
20
Kota Palopo, serta jumlah ikan yang tersisa untuk diolah maka disimpulkan
bahwa skala industri yang dapat berkembang di Kota Palopo adalah skala industri
rumah tangga, kecil, dan sedang.
Pengembangan industri perikanan tangkap dalam bidang pengolahan ikan,
perlu memperhatikan keberlanjutan bahan baku. Suatu perusahaan sangat
berkepentingan menjaga agar suplai bahan baku dapat berkesinambungan, dengan
harga yang layak dan biaya transportasi rendah. Oleh sebab itu, salah satu
pertimbangan dalam memilih lokasi adalah dekat dengan sumber bahan baku
(Soeharto 1995). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Tarigan (2009) bahwa
salah satu faktor yang dipertimbangkan sebagai daerah yang menguntungkan
sebagai lokasi industri adalah ketersediaan bahan baku. Volume produksi
perikanan tangkap di Kota Palopo yang cenderung meningkat dan terdapatnya
beberapa daerah penyuplai ikan menjadi salah satu indikator positif untuk
pendirian industri pengolahan ikan di Kota Palopo. Namun demikian, persentase
produksi hasil tangkapan nelayan lokal yang saat ini sangat kecil jika
dibandingkan dengan persentase hasil tangkapan ikan yang datang dari luar Kota
Palopo juga dapat menjadi suatu ancaman bagi keberlanjutan usaha pengolahan
ikan di Kota Palopo. Oleh karena itu, kemandirian menghasilkan bahan baku
(dalam hal ini hasil tangkapan) sebaiknya dibangun, dengan cara meningkatkan
produksi hasil tangkapan nelayan lokal.
b. Supply chain produk perikanan tangkap di Kota Palopo
Supply chain sebagai sekumpulan aktivitas (dalam bentuk entitas/fasilitas)
yang terlibat dalam proses transformasi dan distribusi barang mulai dari bahan
baku paling awal dari alam sampai produk jadi pada konsumen akhir. Supply
chain untuk produk perikanan dapat terkait dengan sejumlah besar stakeholder
diantara nelayan/petani ikan dan konsumen akhir (De Silva dan Yamao 2006).
Kegiatan perikanan pada dasarnya merupakan seluruh kegiatan yang mencakup
praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Kegiatan praproduksi untuk perikanan
tangkap sendiri terdiri dari persiapan yang di dalamnya mencakup penyediaan
segala keperluan proses produksi seperti pengisian bahan bakar minyak,
penyediaan es dan bekal (makanan dan minuman). Kegiatan produksi dalam
perikanan tangkap ialah proses penangkapan yang membutuhkan kapal, alat
tangkap, dan nelayan sebagai unit penangkapannya. Kegiatan pascaproduksi
dimulai dari penanganan di atas kapal, pengolahan, dan pemasaran. Pada
penelitian kali ini, pembahasan supply chain akan difokuskan pada kegiatan
pascaproduksi/pascatangkap. Memperhatikan berbagai aktivitas dalam sektor
perikanan tangkap pascatangkap yang terjadi di Kota Palopo mulai dari produsen
hingga ke konsumen maka diketahui terdapat beberapa supply chain yang
terbentuk. Pada Gambar 7 disajikan aliran supply chain untuk produk perikanan
tangkap di Kota Palopo.
Stakeholder yang berperan dalam kegiatan ini adalah nelayan dan pencatat
(pedagang pertama), pengecer (pedagang ke dua), pengolah ikan dan konsumen.
PPI Pontap yang merupakan tempat untuk mendaratkan hasil tangkapan
dipandang sebagai satu bagian awal dari rantai suplai yang menyediakan bahan
baku (ikan). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ikan yang ada di PPI
Pontap berasal dari nelayan setempat dan luar Kota Palopo. Pada kasus perikanan
21
tangkap di Kota Palopo, TPI PPI Pontap sebagai tempat proses berlangsungnya
bagian pascaproduksi/pascatangkap. Kota Palopo hingga saat ini baru memiliki
jenis olahan ikan secara tradisional yang berskala industri rumah tangga.
Pendistribusian hasil perikanan tangkap Kota Palopo berupa ikan segar dilakukan
dengan menggunakan sepeda motor dan mobil.
Supply chain untuk produk perikanan tangkap di Kota Palopo terbagi atas
beberapa rantai, diantaranya: 1) produsen (nelayan) bertemu langsung dengan
konsumen. Setelah kegiatan penanganan, ikan akan langsung dijual di tempat
pendaratan ikan di pelabuhan, sehingga pelabuhan adalah sebagai tempat awal
dilakukan pemasaran ikan. Kasus pertama, keseluruhan produsen (nelayan
pemilik) yang hasil tangkapannya sedikit menerapkan rantai suplai ini; 2) Nelayan
akan menyerahkan ikan kepada pencatat atau pedagang pertama. Pencatat atau
pedagang pertama ini yang akan memasarkan ikan kepada konsumen dan atau
pedagang ke dua (pengecer) dan atau pengolah ikan. Pedagang kedua akan
mendistribusikan ikannya ke konsumen. Pengolah ikan memasarkan hasil
olahannya ke konsumen langsung atau ke retail-retail; 3) Produsen (nelayan)
langsung menjual hasil tangkapannya kepada pengolah ikan. Sebagian besar
nelayan bagan tancap melakukan alur pemasaran rantai ini. Pengolah ikan
memasarkan produknya ke retail-retail atau langsung ke konsumen; 4) Produsen
merupakan pedagang ikan yang berasal dari luar Kota Palopo yang memasarkan
ikannya langsung ke konsumen dan atau kepada pedagang kedua. Keseluruhan
rantai suplai ini sudah umum menggambarkan produk perikanan tangkap
Indonesia.
Nelayan Kota Palopo Pedagang Ikan dari
luar Kota Palopo
Konsumen
Pencatat /pedagang
ikan ke-1
Pedagang ikan
ke-2
Pengolah Ikan
(tradisional)
Pasar/
retail
Gambar 7 Supply chain pada kegiatan perikanan tangkap di Kota Palopo
22
Supply chain berkaitan dengan kegiatan/proses untuk memproduksi produk
hingga dikirim ke pasar. Selain itu terdapat hal yang lebih diperhatikan oleh
pemerintah dan pengusaha yakni value chain. Kedudukan value chain tidak hanya
memperhatikan faktor produksi dan teknologi saja melainkan juga efisiensi
transpotasi, sistem informasi pasar dan manajemen. Value chain berkaitan dengan
sifat atau kualitas/kuantitas dari setiap kegiatan. Oleh karena itu, supply chain
sering juga disebut aliran produk, uang, dan informasi (De Silva dan Yamao
2006).
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah produksi hasil tangkapan ikan sangat
dipengaruhi oleh musim penangkapan. Selain itu, khusus untuk produk perikanan
yang sifatnya hight perishable maka dibutuhkan penanganan yang cepat guna
menjaga kualitas produk (ikan). Konsep pengelolaan yang dapat digunakan adalah
konsep supply chain management (SCM). Konsep SCM menekankan pada
kesadaran akan adanya produk yang murah, cepat, dan berkualitas. Tujuan dari
SCM adalah untuk mengintegrasikan proses bisnis utama perusahaan mulai dari
pemasok sebenarnya sampai ke pengguna akhir melalui penyediaan produk, jasa
dan informasi yang memberikan nilai tambah bagi konsumen dan stakeholder
lainnya (Setiawan dan Rahardian 2005).
Kontinuitas pengadaan bahan baku dapat dilakukan dengan memperkuat
SCMnya. Dengan SCM, setiap lini dari kegiatan perikanan akan saling
mendukung sehingga seluruh kegiatan dapat dilakukan sampai akhir dengan
lancar. SCM perlu didukung oleh pola integrasi yang baik kepada pemasok
maupun konsumen. Frohlich dan Westbrook (2001), menyatakan bahwa pola
integrasi menggambarkan arah dan tingkat integrasi perusahaan kepada pemasok
dan atau konsumen yang diukur melalui tinggi atau rendahnya kuartil dimana
perusahaan melakukan integrasi. Menurut Frohlich dan Westbrook (2001) dalam
SCM terdapat lima pola integrasi yang menggambarkan arah dan tingkat integrasi
dengan konsumen dan pemasok yaitu : pertama, Inward-facing. Diklasifikasikan
dalam kelompok ini jika respon perusahaan kepada pemasok dan konsumen
berada pada kuartil bawah. Kedua, Periphery-facing. Diklasifikasikan dalam
kelompok ini jika respon perusahaan kepada pemasok dan konsumen berada di
atas kuartil bawah tetapi berada di bawah kuartil atas. Ketiga, Supplier-facing.
Diklasifikasikan dalam kelompok ini jika respon perusahaan tersebut kepada
pemasok berada di kuartil atas dan responnya kepada konsumen berada di bawah
kuartil atas. Keempat, Costumer-facing. Diklasifikasikan dalam kelompok ini
jika respon perusahaan terhadap konsumen berada di kuartil atas dan responnya
kepada pemasok berada dibawah kuartil atas. Kelima, Outward-facing. Termasuk
dalam kelompok ini jika respon perusahaan pada pemasok dan konsumen berada
di kuartil atas. Gambar pola integrasi supply chain disajikan pada Gambar 8.
23
Gambar 8 Pola integrasi supply chain
Melihat dari posisi nelayan Kota Palopo sebagai produsen, maka pola
integrasi SCM yang sesuai adalah costumer-facing (Gambar 9) (Frohlich dan
Westbrook 2001). Costumer-facing artinya nelayan sebagai produsen harus
memperluas integrasinya kepada konsumen. Hal ini mengingat produk yang
ditawarkan ialah ikan segar yang sifatnya mudah rusak sehingga harus dijual
dengan cepat. Oleh karena itu, nelayan harus dapat mengetahui pasar yang
potensial untuk mendapatkan konsumen yang potensial juga. Pola integrasi ini
juga berlaku bagi pencatat ikan (pedagang pertama) yang memang bertugas untuk
menjual hasil tangkapan ikan nelayan. Pencatat ikan bisa merupakan pemilik
modal atau pedagang yang secara khusus ditugaskan oleh nelayan atau pemilik
modal untuk menjual hasil tangkapan ikannya. Nelayan yang menugaskan
pencatat ikan untuk menjual hasil tangkapannya umumnya merupakan nelayan-
nelayan yang produksi hasil tangkapannya dalam jumlah besar. Ada juga nelayan-
nelayan kecil yang menyerahkan hasil tangkapannya kepada pencatat ikan.
Pencatat ikan yang seperti ini mengumpulkan ikan dari beberapa nelayan kecil
untuk kemudian dijualkan. Pencatat ikan umumnya mendapatkan komisi sebesar
10 persen dari hasil penjualan ikan.
Pola integrasi SCM untuk pengecer (pedagang ke-2) yang sesuai adalah
outward-facing (Gambar 10). Outward-facing berarti pengecer harus memperluas
integrasi kepada pemasok dalam hal ini nelayan atau pencatat ikan juga kepada
konsumen. Jumlah pengecer ikan yang sangat banyak membuat persaingan juga
besar. Oleh sebab itu, para pengecer perlu menerapkan pola integrasi outward-
facing sebagai upaya efisiensi usaha.
Pola integrasi yang sesuai untuk pengolah ikan atau pelaku kegiatan industri
pengolahan ikan di Kota Palopo adalah Supplier-facing (Gambar 11), yaitu pola
integrasi yang luas kepada pemasok (nelayan atau pencatat ikan). Hal ini karena
dalam kondisi karakteristik perusahaan pengolahan ikan membutuhkan
kontinuitas bahan baku, dalam hal ini ikan segar. Penerapan pola integrasi yang
sesuai akan meningkatkan performa usaha. Sebagai contoh penelitian yang
dilakukan oleh Setiawan dan Rahardian (2005), kepada beberapa perusahaan jasa
Kuartil
atas
Kuartil
bawah
Kuartil
atas
Kuartil
bawah
Tanpa
integrasi
Perluasan
integrasi
Perluasan
integrasi
PERUSAHAAN KONSUMEN PEMASOK
24
makanan, diketahui bahwa semakin perusahaan melakukan integrasi kepada
pemasok dan konsumen maka performa akan semakin meningkat.
Gambar 11 Supplier-facing arc of integration
c. Alternatif pengolahan ikan berdasarkan spesies ikan yang dominan dan
pola pendaratan ikan
Data statistik produksi hasil tangkapan ikan dari nelayan lokal
memperlihatkan terdapat 36 jenis ikan yang didaratkan di PPI Pontap. Jenis ikan
dominan yang didaratkan diantaranya ikan kembung (Rastrelliger sp), layang
(Decapterus spp), teri (Stolephorus commersoni), peperek (Leiognathus spp),
cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis) dan tembang
(sardinella sp). Hal ini sesuai dengan sumber daya ikan yang tersedia di Teluk
Bone yaitu jenis pelagis kecil. Berdasarkan jenis ikan tersebut akan dipaparkan
jenis olahan yang sesuai. Jenis alat tangkap yang dominan beroperasi di PPI
Pontap juga merupakan jenis alat tangkap yang sasaran tangkapnya adalah ikan
pelagis kecil diantaranya purse seine (pukat cincin/gae), gill net (jaring insang),
bagan perahu, dan bagan tancap.
Produksi hasil tangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh musim, sedangkan
industri pengolahan sangat bergantung pada kontinuitas bahan baku (ikan). Oleh
Gambar 9
Costumer-facing arc of integration
Gambar 10
Outward-facing arc of integration
25
sebab itu penting untuk mengetahui pola pendaratan bulanan ikan-ikan yang
dominan didaratkan di PPI Pontap agar dapat mengantisipasi kemungkinan
kekurangan bahan baku. Mengetahui pola pendaratan bulanan ikan (Gambar 12)
akan membantu dalam pengelolaan hasil tangkapan yang jumlahnya sangat
fluktuatif setiap bulannya menurut jenis ikan.
Ikan kembung tergolong ke dalam marga Rastrelliger, suku Scombridae.
Meskipun bertubuh kecil, ikan ini masih sekerabat dengan tenggiri, tongkol, tuna,
madidihang, dan makerel. Di Ambon, ikan ini dikenal dengan nama lema atau
tatare, di Makassar disebut banyar atau banyara. Dari sini didapat sebutan
kembung banjar dan di medan 'kembung kuring. Ikan kembung termasuk ikan
pelagis kecil yang memiliki nilai ekonomis menengah, sehingga terhitung sebagai
komoditas yang cukup penting bagi nelayan lokal. Di Kota Palopo ikan kembung
ditangkap dengan menggunakan alat tangkap payang, jaring insang hanyut
(gillnet), jaring insang tetap, pukat dasar, sero, bagan apung dan bagan tancap.
Ikan kembung biasanya dijual segar atau diproses menjadi ikan pindang dan ikan
asin agar lebih tahan lama. Menurut Agustini (2003), jenis olahan lain yang
menggunakan bahan baku ikan kembung adalah “Aji Furai” atau ikan bumbu
kentucky, yang merupakan jenis yang paling di gemari di Jepang. Berdasarkan
hasil analisis pola pendaratan bulanan untuk ikan kembung di PPI Pontap
diketahui bahwa musim puncak pendaratan pada bulan Februari, September, dan
Desember, musim pacekliknya pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli.
Ikan layang (Decapterus spp) merupakan salah satu komunitas perikanan
pelagis kecil yang penting di Indonesia. Ikan yang tergolong suku Carangidae ini
bisa hidup bergerombol. Di Kota Palopo ikan layang ditangkap menggunakan alat
tangkap payang, pukat cincin (gae), gillnet, dan bagan apung. Ikan layang dapat
diolah menjadi ikan asin, pindang, dan dikalengkan. Hasil analisis pola
pendaratan bulanan ikan layang memperlihatkan bahwa musim puncak pendaratan
berada pada bulan Februari dan September, sedangkan musim pacekliknya pada
bulan Mei, Juni dan Juli.
Ikan teri (Stolephorus commersoni) umumnya hidup di dekat pantai, tetapi
pula yang masuk ke muara-muara sungai di air payau, kebanyakan ikan teri hidup
dalam bergerombolan sangat besar. Sebetulnya banyak sekali nama ikan teri ini
atau spesiesnya. Di Kota Palopo ikan teri ditangkap menggunakan alat tangkap
pukat pantai, bagan apung, bagan tancap dan sero. Pengolahan yang umum untuk
ikan teri adalah pengasinan, sedangkan di Kota Palopo sendiri selain diasinkan,
ikan teri juga diolah menjadi terih gurih. Hasil analisis pola pendaratan bulanan
ikan teri memperlihatkan bahwa musim puncak pendaratan berada pada bulan
Maret, April dan Oktober, sedangkan musim pacekliknya pada bulan Juni, Juli
dan Agustus. Namun demikian secara keseluruhan pola musim pendaratan ikan
teri ini tidak terlalu berfluktuatif, diduga karena sifatnya yang menyebar merata
sepanjang tahun di pesisir pantai.
Ikan peperek adalah jenis ikan pelagis yang umum ditangkap dengan
mengunakan alat tangkap bagan, gillnet, payang dan purse seine. Di PPN
Palabuhanratu ikan peperek sebagai bahan baku pemindangan dan pengasinan
(Lubis dan Sumiati 2011) ikan peperek dapat digunakan sebagai bahan baku
surimi. Di Kota Palopo sendiri, ikan peperek ditangkap menggunakan alat tangkap
pukat pantai, bagan apung dan bagan tancap. Analisis pola pendaratan bulanan
tangkapan ikan peperek memperlihatkan musim puncaknya berada pada bulan
26
Januari, September dan Oktober, sedangkan musim pacekliknya pada bulan
Februari, Maret dan Juli.
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara biologis suka hidup
bergerombol (schooling fish), pemangsa yang rakus dan merupakan ikan perenang
cepat lebih dari 10 mil per jam. Jenis alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap ikan cakalang berbeda-beda tergantung daerah. Menurut Lumi et al.
(2013), di Sulawesi Utara ikan cakalang ditangkap dengan alat huhate (pole and
line) dan pukat cincin (purse seine). Berdasarkan penelitian Lubis dan Sumiati
(2011), nelayan PPN Palabuhanratu menangkap ikan cakalang menggunakan
jaring insang (gillnet), pancing tonda dan payang. Nelayan PPI Pontap sendiri
menangkap ikan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine (gae),
jaring insang tetap, bagan perahu, rawai tetap dan pancing ulur. Ikan cakalang
juga merupakan jenis ikan ekonomis penting yang memberikan kontribusi besar di
beberapa daerah, misalnya Provinsi Sulawesi sulawesi Utara khususnya di
wilayah administrasi Kota Bitung (Lumi et al. 2013) dan wilayah PPN
Palabuhanratu, Sukabumi yang berlokasi di Pantai Selatan Jawa (Lubis dan
Sumiati 2011). Industri pengolahan yang menggunakan bahan baku ikan cakalang
diantaranya pemindangan, pembekuan, fillet, loin dan pengalengan ikan (Lubis
dan Sumiati 2011). Di Kota Palopo sendiri ikan cakalang diolah menjadi abon
ikan. Analisis pola pendaratan bulanan untuk ikan cakalang yang didaratkan di
PPI Pontap menunjukkan bahwa ikan cakalang berada pada musim puncak
pendaratan pada bulan Februari dan Maret, sedangkan musim paceklik di bulan
Juni, Juli, September dan Oktober.
Ikan tongkol merupakan jenis ikan yang hidup bergerombol (schooling
fish). Jenis alat tangkap yang dapat digunakan untuk menangkap ikan tongkol
yang umum di Indonesia diantaranya payang, gillnet, pukat cincin, bagan, dan
pancing tonda. Di PPI Pontap alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan
tongkol adalah pukat cincin (gae), rawai tetap, dan pancing ulur. Industri
pengolahan yang menggunakan bahan baku ikan tongkol diantaranya
pemindangan, pengalengan ikan, pembekuan, fillet dan sashimi (Lubis dan
Sumiati 2011). Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa musim puncak
pendaratan ikan tongkol adalah pada bulan Januari, September, Oktober,
November dan Desember, sedangkan musim paceklik jatuh pada bulan Februari,
Maret, April dan Mei.
Ikan tembang merupakan jenis ikan pelagis kecil yang cukup penting bagi
perikanan, termasuk ke dalam marga sardinella, anggota suku clupeidae. Karena
cepat membusuk, ikan ini lebih banyak dijadikan ikan asin, ikan pindang, atau
dikalengkan. Ikan tembang sering ditemukan berenang dalam kelompok besar,
dekat permukaan laut tidak jauh dari pantai (pesisir). Ikan tembang termasuk
komoditas perikanan yang penting, utamanya sebagai bahan baku industri
pengalengan ikan. Di Indonesia, ikan-ikan ini biasa ditangkap dengan jaring
insang, pukat cincin (purse seine), dan beberapa bentuk jaring yang lain. Di Kota
Palopo sendiri ikan tembang ditangkap menggunakan alat tangkap payang, purse
seine (gae), gillnet, bagan apung, bagan tancap, dan sero. Hasil analisis pola
pendaratan bulanan memperlihatkan musim puncak pendaratan ikan tembang
adalah bulan Februari dan Maret. Dan musim paceklik pada bulan Januari, Juli,
September, Oktober, dan Desember.
27
Bulan
I
n
d
e
k
s
m
u
s
i
m
kembung
layang
teri
peperek
cakalang
tongkol
tembang
Gambar 12 Pola pendaratan bulanan hasil tangkapan ikan nelayan menurut
jenis-jenis ikan dominan di PPI Pontap Tahun 2006-2011
Pola 1 Pola 3 Pola 2
28
Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pontap didominasi oleh
jenis ikan pelagis baik kecil. Jenis ikan pelagis kecil yang dominan tersebut
diantaranya ikan kembung, layang, teri, dan tembang, selain itu juga terdapat ikan
pelagis besar yakni ikan cakalang dan tongkol. Setiap jenis ikan dapat diolah
sesuai dengan skala olahannya baik secara tradisional maupun modern seperti
yang telah jelaskan sebelumnya. Jenis pengolahan tradisional/konvensional yang
telah diterapkan di Kota Palopo yaitu pengasinan dan pengeringan, abon ikan, teri
gurih, dan amplang, sedangkan pengolahan tradisional yang diharapkan dan
berpotensi tumbuh adalah pemindangan dan pengasapan. Melihat jenis ikan yang
dominan di Kota Palopo adal jenis ikan pelagis kecil maka jenis pengolahan
modern yang diharapkan dan berpotensi untuh tumbuh adalah pengalengan ikan.
Pola pendaratan bulanan ikan di PPI Pontap berbeda-beda per jenis ikan.
Namun demikian, secara keseluruhan membentuk tiga pola yaitu pola pertama,
volume hasil tangkapan di atas rata-rata; dan pola kedua, volume hasil tangkapan
berada di bawah rata-rata; dan pola ketiga, volume hasil tangkapan normal. Pola
pertama dikatakan juga musim puncak pendaratan ikan berada pada bulan Januari
sampai Maret dan pola kedua disebut musim paceklik berada pada bulan April
sampai Agustus. Diduga hal ini dikarenakan pada bulan Januari sampai Maret
merupakan musim Barat dimana perairan Kota Palopo sedang dalam keadaan
tenang. Sedangkan pada bulan April hingga Agustus adalah musim Timur, yang
menyebabkan kondisi perairan Kota Palopo lebih berangin dan bergelombang.
Pola ketiga memasuki musim peralihan, oleh karena itu sebagian besar volume
hasil tangkapan ikan normal (tidak kurang dan tidak lebih).
Diketahuinya pola pendaratan bulanan dari tiap-tiap jenis ikan diatas dapat
dijadikan acuan untuk mengatur pengelolaan stok bahan baku industri olahan
yang akan didirikan. Saat musim puncak ikan, dapat disiasati dengan menyimpan
ikan yang tersisa ke dalam cold storage sehingga dapat diolah saat musim
paceklik ikan tiba. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat
suplai ikan yang didatangkan dari luar Kota Palopo. Hal ini juga dapat dijadikan
sebagai pilihan rencana dalam mengatur kontinuitas bahan baku. Dengan
mengetahui pola musim tangkapan, dapat diatur kapan dan berapa besarnya ikan
yang harus disuplai dari luar Kota Palopo. Seperti yang dikemukakan oleh
Mahyuddin (2007), PPN Palabuhanratu menyuplai ikan-ikan seperti peperek,
tembang dan tongkol dari daerah-daerah Pantura Jawa. Ikan-ikan tersebut
dijadikan sebagai bahan baku industri pengolahan pemindangan. Hal ini dilakukan
karena terkait harga dan mutu ikan yang lebih baik serta suplai yang ditawarkan
dalam jumlah besar sehingga biaya transportasi per kilogramnya relatif kecil.
Demikian juga kasus yang terjadi di PPP Muncar yang mendatangkan pasokan
bahan baku industri dari luar daerah seperti Grajagan, Tuban dan Puger, bahkan
terkadang impor dari Cina dan Taiwan di saat pasokan bahan baku dari PPP
Muncar sangat sedikit. Kurangnya bahan baku juga dapat diantisipasi oleh pihak
industri dengan cara mengganti bahan baku jenis ikan tertentu dengan jenis ikan
lain yang sesuai dengan kebutuhan industri tersebut (Lubis et al. 2013).
29
Identifikasi Potensi Daerah Kota Palopo
Identifikasi daerah dilakukan pada arah kebijakan pemerintah daerah,
lokasi, daerah pemasaran, dan sumber daya manusia Kota Palopo. Suatu
perusahaan sangat berkepentingan menjaga agar suplai bahan baku dapat
berkesinambungan, dengan harga yang layak dan biaya transportasi rendah dari
daerah asal. Oleh sebab itu, salah satu pertimbangan dalam memilih lokasi adalah
dekat dengan sumber bahan baku. Hal ini telah dijelaskan pada sub bab gambaran
produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo. Kesesuaian lokasi juga dilihat dari
ketersediaan fasilitas, utilitas dan sarana transportasi untuk melihat tingkat
aksesisbilitasnya. Daerah pemasaran dianalisis mengingat berbagai macam
perusahaan atau industri memilih menempatkan fasilitas produksinya di dekat
area pemasaran. Tujuannya memperpendek jaringan distribusi produk sehingga
cepat sampai ke tangan konsumen. Hal yang perlu diperhatikan tentang sumber
daya manusia adalah berkaitan dengan tersedianya tenaga kerja dalam jumlah dan
kualitas yang diperlukan di sekitar daerah atau wilayah yang bersangkutan
(Soeharto 1997).
a. Arah kebijakan pemerintah daerah dan rencana tata ruang wilayah Kota
Palopo
Pola industrialisasi pada suatu wilayah yang terlihat dari kebijakan yang
diterapkan merupakan salah satu cara untuk melihat apakah suatu daerah dapat
mengembangkan industrinya. Menurut Tambunan (2003), salah satu faktor yang
membuat intensitas proses industrialisasi berbeda antar negara adalah kebijakan
atau strategi pemerintah yang diterapkan. Oleh sebab itu, pada penelitian ini
dilakukan analisis deskriptif tentang arah kebijakan pemerintah daerah Kota
Palopo yang diperlihatkan dari rencana tata ruang wilayah Kota Palopo tahun
2012-2032.
Visi penataan ruang Kota Palopo tahun 2011-2031 yakni “Penataan Ruang
yang Mengakomodasi Peluang Investasi dalam Rangka Menciptakan Kota Palopo
Sebagai Pusat Perkembangan Ekonomi Sulawesi Selatan Bagian Utara”,
demikian pula misiya yaitu (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo
2012) :
(1) Mewujudkan pusat-pusat pelayanan ekonomi dan pelayanan jasa skala
regional;
(2) Mewujudkan pengembangan sarana prasarana wilayah dalam rangka
mendorong peluang investasi dan pemerataan wilayah Kota Palopo;
(3) Mewujudkan keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lindung dalam upaya
membentuk Kota Palopo yang berkelanjutan;
(4) Mewujudkan kepastian hukum dan peran serta masyarakat dalam mendorong
kegiatan yang produktif.
Kebijakan penetapan struktur ruang wilayah Kota Palopo meliputi (Dinas
Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012) :
(1) Perwujudan pusat kegiatan yang memperkuat kegiatan agro industri,
perdagangan dan jasa serta pariwisata dan kegiatan kota lainnya secara
optimal.
30
(2) Peningkatan aksesibilitas dan transportasi yang dapat mengarahkan
peningkatan fungsi dan keterkaitan antar pusat kegiatan dan sistem sirkulasi
kota yang optimal.
(3) Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan sarana dan prasarana yang
dapat mendorong perkembangan kegiatan dan perbaikan lingkungan
permukiman kota.
Kebijakan di atas memperlihatkan adanya dukungan pemerintah Kota
Palopo dalam upaya pendirian industri di Kota Palopo. Hal ini merupakan langkah
awal yang baik atau peluang yang dimiliki Kota Palopo untuk menuju kota
agroindustry, termasuk dalam agroindustri adalah industri pengolahan ikan.
Selanjutnya disajikan rencana tataruang wilayah Kota Palopo untuk melihat lebih
lanjut tahapan implementasi dari visi dan kebijakan diatas serta pola
pembangunan sektor industri di Kota Palopo. Penataan ruang dan arah kebijakan
pemerintah daerah sangat mempengaruhi keberhasilan program yang akan
direncanakan. Oleh karena itu, perlu sinkronisasi antara pola penataan ruang
wilayah dan arah kebijakan pemerintah dengan program yang akan diterapkan.
Seperti yang dikemukakan oleh Abubakar (2002), kebijakan adalah arahan untuk
mengambil suatu tindakan atau tidak bertindak yang dipilih oleh individu atau
lembaga untuk menangani suatu masalah tertentu atau rangkaian masalah yang
saling berkaitan.
Rencana struktur ruang Kota Palopo
Pusat-pusat pelayanan di dalam wilayah Kota Palopo terdiri dari pusat
pelayanan sosial, ekonomi dan administrasi pemerintahan untuk pelayanan
masyarakat, melayani wilayah kota dan regional bahkan nasional. Dalam
pembagian pusat-pusat kegiatan perkotaan dalam sistem tata ruang nasional
(RTRW Nasional) dan propinsi Sulawesi Selatan (RTRW Propinsi Sulawsei
Selatan), Kota Palopo ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) bersama
dengan Kota Watampone Parepare, Barru, Pankajene, jeneponto dan Bulukumba.
Selain itu, Kota Palopo juga ditetapkan sebagai pusat utama pengembangan
Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya. Dalam hal ini sebagai Pusat
Pengembangan Ekonomi bagian utara Propinsi Sulawesi Selatan.
Rencana struktur ruang wilayah kota dituangkan dalam bentuk hirarki pusat
pelayanan kegiatan perkotaan, yakni pusat pelayanan kota (pusat kota), sub pusat
pelayanan kota, dan pusat pelayanan lingkungan yang ditunjang dengan sistem
jaringan transportasi dan prasarana kota (Lampiran 1) . Dalam hal ini rencana
struktur ruang wilayah Kota Palopo diarahkan pada terbentuknya struktur
pemanfaatan ruang wilayah yang terintegrasi antara kawasan terbangun kota yang
telah ada dengan pengembangan kawasan baru, baik secara spasial maupun
fungsional. Selain itu rencana struktur ruang disusun untuk mewujudkan efisiensi
pemanfaatan ruang, keserasian pengembangan tata ruang, dan efektivitas
pelayanan (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012).
Pada dasarnya struktur ruang Kota Palopo yang terbentuk saat ini tidak
terlepas dari karakteristik kegiatan yang selama ini telah berkembang dengan
didukung oleh fungsi yang diembannya. Untuk masa yang akan datang, struktur
pemanfaatan ruang wilayah kota dibentuk untuk memberikan keseimbangan
pertumbuhan pada tiap Sub Wilayah Kota serta mengoptimalkan fungsi pelayanan
31
masing-masing pusat terhadap wilayah pengaruhnya. Dalam hal ini dasar
pertimbangannya adalah sebagai berikut (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota
Palopo 2012) :
1) Ditetapkannya peran Kota Palopo dalam RTRW Nasional sebagai ;
- Pusat Kegiatan Wilayah (PKW)
- Pusat pengembangan ekonomi Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya.
- Bagian dari Blok Migas Teluk Bone bagian utara
- Salah satu kabupaten/kota yang memiliki Pelabuhan Laut Nasional.
2) Ditetapkannya peran Kota Palopo dalam RTRW Propinsi sebagai :
- Pusat Kegiatan Wilayah (PKW).
- Pusat pengembangan ekonomi Sulawesi selatan bagian utara (Kawasan
Andalan Palopo dan sekitarnya).
- Salah satu Kabupaten/Kota yang dilintasi jaluir kerata api bagian timur
Sulawesi Selatan.
- Pusat Pelayanan Kesehatan Regional bagian utara Sulawesi Selatan (RSU
Regional).
- Pusat Pelayanan Terminal Angkutan Penumbang Tipe A di bagian utara
Sulawesi Selatan.
- Salah satu Pusat Pendaratan dan Pelelangan Ikan di bagian utara Sulawesi
Selatan.
3) Adanya kawasan-kawasan yang memiliki fungsi primer dan menjadi pusat
orientasi pergerakan, yaitu: Pusat Kota Palopo, Pelabuhan Tanjung Ringgit,
Rumah Sakit Umum Regional dan RS Kusta Rampoang, TPI/PPI Palopo.
4) Adanya kawasan-kawasan yang cenderung berkembang dengan karakteristik
kegiatan yang khas, yaitu pusat Kota Palopo sebagai pusat perdagangan dan
jasa, terminal angkutan umum penumpang, pelayanan umum/sosial meliputi
pemerintahan (kantor Walikota, Gabungan Dinas, instansi vertikal, Kodim,
Polres, Mejid Jami Tua, Mesjid Agung Palopo, Gereja Peniel/Protestan,
Gereja Katholik, RSUD Sawerigading, RSU Tentara, Universitas dan
Sekolah Tinggi), Pelabuhan Tanjung Ringgit sebagai pusat/simpul
transportasi laut, TPI/PPI sebagai pusat pendaratan dan pelelangan ikan, dan
kawasan kesehatan regional (RSU Regional Palopo) sebagai pusat pelayanan
kesehatan regional.
5) Adanya sistem jaringan jalan primer dan sekunder (arteri dan kolektor) yang
menghubungkan simpul-simpul kegiatan perkotaan yang ditunjang dengan
pembangunan jalan lingkar luar timur (sebagian telah dibangun) yang akan
menjadi faktor utama pendorong perkembangan fisik kota di bagian timur,
selatan dan utara.
6) Adanya rencana melanjutkan pembangunan jalan lingkar (Palopo Outo Ring
Road)/PORR) timur dan pengembangan jalan lingkar (Palopo Outo Ring
Road) barat yang menghubungkan bagian utara dengan bagian selatan
wilayah kota, yang melintasi wilayah pesisir di bagian timur dan wilayah
perbukitan di bagian barat Kota Palopo.
7) Adanya rencana pengembangan Kawasan Industri Palopo (KIPA) dan
kawasan pergudangan Palopo di bagian utara dan Terminal Regional Tipe A
Palopo di bagian selatan, serta pengembangan Depo Kontainer di sekitar
Pelabuhan Tanjung Ringgit yang akan dihubungkan dengan jalan lingkar luar
timur (Palopo Outo Ring Road).
32
Rencana kegiatan fungsional
Kota Palopo sebagai pusat pelayanan Kawasan Andalan Palopo dan
sekitarnya (Sulawesi Selatan bagian utara) sehingga Kota Palopo memiliki
fasilitas perdagangan jasa, pemerintahan, industri, perumahan, perhubungan, dan
akomodasi wisata berupa hotel, penginapan, dan warung/restoran.
Pengembangkan pusat-pusat kegiatan perkotaan meliputi (Dinas Tata Ruang dan
Cipta Karya Kota Palopo 2012):
1) Pusat Kegiatan komersial (perdagangan dan jasa)
2) Pusat Kegiatan perumahan
3) Pusat Kegiatan pemerintahan dan perkantoran
4) Pusat Kegiatan pariwisata
5) Pusat Kegiatan industri dan pergudangan
6) Pusat Kegiatan peternakan
7) Pusat Kegiatan kepelabuhanan
8) Pusat Kegiatan terminal (Regional Tipe A dan Terminal Kota)
9) Pusat Kegiatan terminal (stasiun) Kereta Api Regional
10) Pusat Kegiatan TPI/PPI
11) Pusat Kegiatan pelayanan umum dan sosial (kesehatan dan pendidikan,
peribadatan/keagamaan, kegiatan kesenian dan konvensi)
12) Pusat Sentra Produksi Pertanian dan Perikanan
Batasan penelitian ini ialah pada kawasan peruntukan industri di Kota
Palopo. Rencana pengembangan kawasan peruntukan industri di Kota Palopo
meliputi industri dan pergudangan, industri-industri baru, industri kecil, Home
industry. Lokasi industri besar berupa industri dan pergudangan saat ini
cenderung menyebar. Lokasi kawasan industri kecil dan menengah cenderung
mengelompok pada lingkungan perumahan dengan produk yang serupa seperti
bahan makanan, meubel dan penggergajian. Pada masa yang akan datang sampai
tahun 2031, pengembangan indstri akan disediakan kawasan khusus, kecuali
industri meubel dan makanan, saat ini dapat dipertahankan sepanjang tidak
mengganggu arus lalu lintas dan lingkungan lainnya. Rencana tata ruang diatas
telah diperkuat dengan dikeluarkannya “Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palopo 2012-2032. Berikut
ini disajikan perda yang mengatur kawasan industri dan pergudangan di Kota
Palopo:
Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Industri dan Pergudangan
Pasal 49
(1) Kawasan peruntukan industri dan pergudangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf e terdiri atas: a. Kawasan peruntukan industri; dan b. Kawasan peruntukan pergudangan.
(2) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Kawasan peruntukan industri besar dan industri sedang; dan b. Kawasan peruntukan industri kecil/rumah tangga.
33
(3) Kawasan peruntukan industri besar dan sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kawasan industry pengolahan dan manufaktur ditetapkan di Kawasan Industri Palopo (KIPA) Kelurahan Maroangin Kecamatan Telluwanua.
(4) Kawasan industri kecil/usaha mikro non polutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan di sebagian wilayah Kecamatan Wara Selatan, sebagian wilayah Kecamatan Sendana, sebagian wilayah Kecamatan Wara, sebagian wilayah Kecamatan Wara Timur, sebagian wilayah Kecamatan Mungkajang, sebagian wilayah Kecamatan Wara Utara, sebagian wilayah Kecamatan Bara, sebagian wilayah Kecamatan Telluwanua, dan sebagian wilayah Kecamatan Wara Barat;
(5) Kawasan peruntukan pergudangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diarahkan peruntukannya pada Kawasan Industri Palopo (KIPA) di Kelurahan Maroangin Kecamatan Telluwanua. a. Kawasan pergudangan yang terpadu dengan kawasan industry
ditetapkan di Kawasan Industri Palopo (KIPA) Kelurahan Maroangin Kecamatan Telluwanua; dan
b. Rencana pengembangan kawasan pergudangan peti kemas ditetapkan di Kawasan Pelabuhan Tanjung Ringgit Kelurahan Pontap Kecamatan Wara Timur.
Penetapan Kota Palopo sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) menjadi
peluang dalam pengembangan industri. Sebagaimana diketahui bahwa PKW
ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut: (1) kawasan perkotaan yang berfungsi
atau berpotensi sebagai simpul kedua ekspor-impor yang mendukung Pusat
Kegiatan Nasional (PKN); (2) kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi
sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau
beberapa kabupaten; dan atau (3) kawasan perkotaan yang berfungsi atau
berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa
kabupaten. Jika dikaitkan dengan bidang perikanan tangkap, kriteria kedua sesuai
dengan kondisi yang terjadi saat ini, yaitu banyak hasil tangkapan ikan yang
datang dari luar Kota Palopo seperti beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan
bahkan dari Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Kriteria ketiga
menjadi indikator akan adanya tingkat aksesibilitas yang tinggi di Kota Palopo.
Rencana struktur ruang Kota Palopo dan rencana kegiatan fungsional
memperlihatkan suatu sistem perkotaan yang baik dan mendukung pengembangan
industri di Kota Palopo. Hal ini sejalan dengan kriteria kawasan perkotaan yang
memiliki karakteristik mata pencaharian penduduknya terutama di bidang
industri, perdagangan dan jasa. Juga memiliki karakteristik sebagai pemusatan
dan distribusi pelayanan barang dan jasa didukung prasarana dan sarana termasuk
pergantian moda transportasi dengan pelayanan skala kabupaten atau beberapa
kecamatan. Hal ini menjadi landasan yang baik dalam upaya mengeksplor
sumberdaya alam yang dimiliki Kota Palopo utamanya di sektor pertanian
(pertanian secara luas, termasuk di dalamnya pertanian, perikanan, hutan,
perkebunan, dan peternakan), mengingat sebelumnya perekonomiannya telah
diperkuat dengan sistem perkotaan. Penelitian yang dilakukan oleh Stanford et al.
(2013), menyatakan bahwa kejadian kemiskinan di sektor pertanian (termasuk di
dalamnya perikanan) menurun ketika ada kekuatan ekonomi yang besar (daerah
perkotaan). Penguatan ekonomi yang luas dan pembangunan mata pencaharian
non-pertanian adalah jalan yang penting untuk keluar dari kemiskinan, sebelum
34
pertumbuhan di sektor pertanian dan perikanan perlu untuk menjadi prioritas
dalam program dan kebijakan pengentasan kemiskinan pemerintah. Arah
kebijakan dan penetapan RTRW Kota Palopo yang mendukung kegiatan
agroindustri merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan. Sosialisasi akan potensi
ini menjadi suatu promosi bagi investor untuk menanamkan modalnya di bidang
agroindustri, demikian pula untuk industri pengolahan ikan.
Pusat pengembangan industri di Kota Palopo ialah kegiatan agroindustri.
Industri ringan/menengah dimaksudkan sebagai industri pendukung produksi
pertanian, perikanan, hutan, perkebunan dan peternakan berupa hasil produksi
pertanian, perikanan, perkebunan, hutan produksi, peternakan Kawasan Andalan
Palopo dan sekitarnya. Kegiatan ini akan beraglomerasi di Kawasan Industri
Palopo (KIPA). Untuk mendukung kegiatan perdagangan dan industri maka
direncanakan kawasan pergudangan yang berlokasi di yaitu Kecamatan Bara dari
Kelurahan To’Bulung sampai ke Palangerang. Juga akan dikembangkan juga
kawasan Depo Kontainer (Container Yard) di jalan lingkar timur di dekat
Pelabuhan Laut Tanjung Ringgit Palopo dan pengembangan areal pergudangan di
dalam kawasan pelabuhan laut Tanjung Ringgit yang pengelolaannya oleh BUMN
(Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012).
Akan tetapi industri pengolahan ikan, sebagai konsekuensi logis bahwa sifat
ikan yang mudah rusak maka perencanaan, pembangunan, dan pengembangan
industri pengolahan ikan haruslah dilakukan di pelabuhan perikanan, dalam hal ini
di PPI Pontap yang dikembangkan. Hal diatas juga sesuai dengan Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 08 Tahun 2012 tentang Kepelabuhanan
Perikanan bahwa industri pengolahan ikan dilakukan di pelabuhan perikanan (tipe
A, B,C). Pemerintah Kota Palopo kiranya perlu menata ulang RTRW-nya terkait
industri pengolahan, terutama yang terkait dengan industri pengolahan ikan.
Dukungan pengembangan industri perikanan juga terlihat dari Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Palopo, utamanya bidang pemasaran. Pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan Kota Palopo ke depan akan dikembangkan
melalui berbagai industri kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar dan
berbasis pada kelestarian lingkungan. Program kerja bidang pemasaran DKP Kota
Palopo yaitu (1) pengembangan sarana dan prasarana pengolahan dan pemasaran
produksi perikanan; serta (2) promosi atas hasil produksi perikanaan unggulan
daerah. Upaya lain yang telah dilakukan oleh bidang pemasaran DKP Kota Palopo
adalah membentuk kelompok pengolah ikan sebanyak 8 kelompok yang terdiri
dari 5 sampai 10 orang.
Arah kebijakan pemerintah daerah, rencana tata ruang wilayah (RTRW),
dan arah kebijakan dinas kelautan dan perikanan di atas, memperlihatkan adanya
dukungan pada upaya pengembangan agroindustri, termasuk di dalamnya adalah
industri perikanan tangkap. Sebuah teori pemilihan lokasi industri secara
komprehensif menyatakan bahwa belakangan ini faktor stabilitas politik
merupakan faktor yang penting bagi pertimbangan para investor. Hal ini berkaitan
dengan kelangsungan usaha jangka panjang daripada sekedar laba yang besar
tetapi tidak terdapat kepastian berusaha dalam jangka panjang (Tarigan 2009).
Kepastian dukungan terhadap pengembangan industri yang diperlihatkan dari arah
kebijakan pemerintah daerah dan tataruangnya, menjadi peluang bagi investor
untuk mendirikan industri.
35
Melihat arah kebijakan pemerintah daerah Kota Palopo, diketahui bahwa
ada ciri industrialisasi di Kota Palopo. Sebagaimanan yang dikemukakan oleh
Tambunan (2003), bahwa ciri industrialisasi suatu daerah dapat dilihat melalui
tahapan dari implementasi, jenis industri yang diunggulkan, dan pola
pembangunan sektor industri.
b. Lokasi, fasilitas dan aksesibilitas
Pemerintah daerah Kota Palopo telah menetapkan suatu wilayah sebagai
kawasan industri. Pengembangan industri di Kota Palopo skala sedang hingga
besar dipusatkan di Kawasan Industri Palopo (KIPA) (Gambar 13). Luas area
KIPA yang direncanakan oleh pemerintah Kota Palopo adalah seluas 360 ha.
Produk yang diunggulkan adalah produk pertanian, perikanan, hutan, perkebunan,
dan peternakan. Kawasan ini ditujukan untuk industri ringan/menengah, yang
mana pendirian industri ini dimaksudkan sebagai industri pendukung produksi
pertanian, perikanan, hutan, perkebunan dan peternakan Kawasan Andalan Palopo
dan sekitarnya. Oleh karena itu, dikatakan pula bahwa pusat pengembangan
industri di Kota Palopo adalah kegiatan agroindustri. Kawasan ini berlokasi di
Kecamatan Telluwanua.
Gambar 13 Kawasan Industri Palopo
Terdapat satu kawasan khusus yang merupakan kawasan yang menjadi
pusat kegiatan perikanan tangkap di Kota Palopo yaitu Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI) Pontap (Gambar 14) dengan luas lahan 2.5 ha. Hasil tangkapan ikan nelayan
lokal dan luar Kota Palopo dikumpulkan di PPI ini, untuk kemudian
didistribusikan dan dipasarkan kembali. Hingga saat ini, fasilitas yang disediakan
untuk mendukung kegiatan perikanan tangkap mulai dari praproduksi, produksi,
hingga pascaproduksi terdapat di PPI Pontap. Jenis dan kapasitas fasilitas
disajikan pada Tabel 7. Khusus untuk mendukung kegiatan pengolahan ikan
(Gambar 15), di PPI Pontap telah dibagun satu unit gedung pengolahan ikan
namun tidak beroperasi sebagaimana mestinya. Gedung pengolahan yang awalnya
ditujukan untuk industri pengolahan ikan kaleng, saat ini telah berubah fungsi
menjadi gudang rumput laut. PPI Pontap terletak di Kelurahan Pontap Kecamatan
Wara Timur yang termasuk ke dalam wilayah pusat pelayanan lingkungan (PPL)
(Lampiran 1). Wilayahnya sangat strategis, yakni dekat dengan pusat pelayanan
36
kota (PPK)/pusat kota sehingga mempermudah pemasaran ikan untuk konsumsi
lokal dan berada di tengah-tengah perbatasan wilayah Luwu dan Luwu Utara
sehingga mempermudah pemasaran ikan ke luar Kota Palopo.
Gambar 14 Pintu Gerbang Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap
Gambar 15 Gedung pengolahan ikan
KIPA berada di Kecamatan Telluwanua, yang merupakan bagian utara Kota
Palopo (Lampiran 1). Meskipun infrastruktur jalan menuju lokasi KIPA sangat
baik (beraspal), melihat jarak Kawasan Industri Palopo dengan PPI Pontap yang
cukup jauh, maka dapat dikatakan bahwa lokasi industri ini kurang sesuai untuk
kegiatan industri perikanan tangkap, khususnya pengolahan ikan. Industri
pengolahan ikan menuntut bahan baku (ikan) yang segar, oleh sebab itu lokasi
pendirian industinya harus dekat dengan sumber bahan baku (ikan). Kawasan PPI
Pontap menjadi pilihan yang tepat untuk pengembangan industri pengolahan ikan.
Pendirian industri perikanan sangat baik jika didirikan di dalam area PPI Pontap
mengingat jarak antara tempat pendaratan ikan dengan tempat pengolahan bisa
menjadi lebih dekat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Lubis (2011)
bahwa pelabuhan perikanan sangat berperan terhadap pengembangan industri
perikanan. Keuntungan dari industri perikanan yang berlokasi di pelabuhan akan
menghemat biaya transportasi darat khususnya apabila apabila bahan bakunya
sebagian besar dari pelabuhan tersebut. Peryataan lainya yang mendukung yaitu,
Pane (2013) menyatakan bahwa industri perikanan di pelabuhan perikanan (PP)
disebut Industri Kepelabuhanan Perikanan (IKP). Industri Kepelabuhanan
Perikanan (IKP) adalah industri-industri yang terdapat di dalam suatu kompleks
37
pelabuhan perikanan yang memanfaatkan sumberdaya pelabuhan perikanan di
dalam kegiatannya dan pengelolaannya penting untuk memajukan pelabuhan
perikanan. Menurutnya industri di pelabuhan perikanan adalah “unik”, karena
satu-satunya jenis pelabuhan dari banyak jenis pelabuhan yang ada (pelabuhan
niaga, pelabuhan wisata bahari (port de plaisance), pelabuhan perikanan,
pelabuhan tambang, dll) yang memiliki aktivitas dan lahan industri di dalamnya.
Industri Kepelabuhanan Perikanan (IKP) terdiri dari tiga kelompok industri (Pane
2013), yaitu: (1) industri penangkapan ikan (ikan dalam arti luas); (2)) industri
pengolahan ikan (ikan dalam arti luas); (3) industri tambahan/pendukung.
Keistimewaan dari pelabuhan perikanan ini tidak lepas dari karakteristik
produknya yakni ikan (dalam arti luas), yang memang berbeda dengan jenis
produk lainnya (termasuk produk hasil pertanian lainnya), yaitu sifatnya yang
mudah rusak (highly perishable).
Pada Tabel 7 disajikan fasilitas yang tersedia di PPI Pontap. Fasilitas pokok
PPI Pontap yakni dermaga, kolam pelabuhan dan jalan dalam kondisi baik dan
tingkat pemanfaatannya tinggi namun hingga saat ini belum perlu penambahan
kapasitas. Lahan kosong yang tersedia belum dimanfaatkan dengan baik oleh
stakeholders. Tingkat pemanfaatan fasilitas Fungsional PPI Pontap bermacam-
macam. Fasiltas yang tingkat pemanfaatannya tinggi diantaranya bak menara air,
pabrik es, SPBN, tempat perbaikan jaring, dan gudang rumput laut. Ketiga
fasilitas ini perlu penambahan kapasitas. Pemanfaatn fasilitas Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) dikatakan tidak ada karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan
fungsinya yaitu tempat untuk melelang ikan. Namun oleh sebagian nelayan
fasilitas ini dijadikan tempat untuk meletakkan box-box yang berisi ikan yang
akan dijual. Chilling room juga tidak dimanfaatkan sesuai fungsinya. Nelayan
tidak memanfaatkan fasilitas ini karena tidak ingin membayar biaya listrik yang
dirasakan lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya menyimpan ikan di dalam
box yang diberi es. Selain itu, volume produksi ikan yang tersisa tidak cukup
banyak sehingga masih bisa disimpan dalam coolbox saja. Gedung pengolahan
ikan juga tidak dimanfaatkan sebagaimana fungsinya hingga saat ini. Jaringan
listrik di PPI Pontap dikategorikan kurang karena seluruh kegiatan di PPI Pontap
berlangsung pada pagi hari yakni pukul 05.00 – 10.00 dan sore hari yakni pukul
16.00-18.00, sehingga tidak terlalu membutuhkan pasokan listrik. Pemanfaatan
fasilitas yang juga masih kurang adalah bengkel kapal (dock). Hal ini karena
fasilitas tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk semua kapal yang mendarat di
PPI Pontap, hanya terbatas untuk ukuran kapal kecil saja yakni kapal dengan
ukuran kurang dari 5 GT. Tingkat pemanfaatan fasilitas penunjang di PPI Pontap
yakni kios dan kantin termasuk tinggi dan perlu penambahan kapasitas, karena
melihat banyaknya pedagang yang memasarkan dagangannya di pelataran PPI.
Fasilitas Musallah, MCK, dan Balai Pertemuan Nelayan (workshop) masih kurang
dimanfaatkan oleh stakeholders. Hal ini karena PPI Pontap tidak beroperasi
sepanjang hari (24 jam) dan kegiatan penyuluhan jarang dilakukan. PPI Pontap
memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk skala PPI.
38
Tabel 7 Fasilitas di PPI Pontap Kota Palopo
Fasilitas Jumlah/Kapasitas Kondisi Pemanfaatan
Pokok
Dermaga 2 unit/260 m2 dan 150 m2 Baik Tinggi
Kolam Pelabuhan Ada Baik Tinggi
Jalan 2 jalur Baik Tinggi
Lahan Ada Baik Kurang
Fungsional
Tempat Pelelangan
Ikan dan Kantor
Administrasi
1 unit/400 m2 Baik Tidak
Bak dan Menara Air
Bersih
1 unit/60 m3 Baik Tinggi
Pabrik Es Balok dan
Curah
1 unit/2500 m3 Baik Tinggi
Tempat Penyimpanan
Ikan (Chilling room)
1 unit/42 m2 Baik Tidak
Jaringan Listrik 1 unit Baik Kurang
Bengkel kapal/ Dock 117 m2 Baik Kurang
Stasiun Pengisian
Bahan Bakar Nelayan
(SPBN)
1 unit Kios/50 m3 dan
Tangki BBM/51 m3
Baik Tinggi
Tempat perbaikan
Jaring
100 m2 Baik Tinggi
Gedung Pengolahan
Ikan
1 unit Baik Tidak
Gudang Rumput Laut 1 unit Baik Tinggi
Gedung Unit Pembuat
Pakan Ikan
1 unit Baik -
Penunjang
Kios Ada Baik Tinggi
Balai Pertemuan
Nelayan (Workshop)
1 unit Baik Tidak
Mushallah dan MCK 1 unit Baik Kurang
Kantin 3 unit/28 m2 Baik Tinggi
Pos jaga 2 unit/12 m2 Baik Tinggi
Kelengkapan fasilitas PPI dengan kondisinya yang baik, trend produksi ikan
yang cenderung meningkat, serta semakin meningkatnya aktifitas di PPI Pontap
dapat dijadikan alasan pengajuan peningkatan status pelabuhan, yakni dari
pangkalan pendaratan ikan (pelabuhan tipe D) menjadi pelabuhan perikanan
pantai (PPP/pelabuhan tipe C). Pelabuhan tipe C/PPP telah memiliki tata ruang
(zonasi) pengolahan/industri perikanan sehingga dapat dijadikan langkah awal
yang baik untuk mengelola dan mengintegrasi kegiatan pengolahan ikan di dalam
kawasan pelabuhan perikanan di Kota Palopo. Gambar fasilitas di PPI Pontap
disajikan pada Lampiran 2.
39
Utilitas
Tenaga listrik dan air merupakan variabel yang penting untuk diperhatikan
dalam pemilihan lokasi industri. Di Kota Palopo terdapat Pembangkit Listrik
Tenaga Diesel (PLTD) dengan kapasitas 12 MW dan Pembangkit Listrik Tenaga
Mikrohidro (PLTMH) yang berlokasi di Bambalu Kecamatan Wara Barat.
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) merupakan sistem jaringan
interkoneksi jaringan regional Sulawesi Saluran transmisi tegangan menengah 150
KV dan rencana Saluran Transmisi Tegangan Tinggi (SUTT). Sistem jaringan
listrik yang terdapat di Kota Palopo terdiri dari Saluran Udara Tegangan Ekstra
Tinggi (SUTET), Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT), Saluran Udara
Tegangan Menengah (SUTM) dan Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR)
(Lampiran 1). Gardu induk untuk jaringan listrik wilayah Kota Palopo terdapat di
Kecamatan Mungkajang. Selain itu, Kota Palopo juga telah melakukan peramalan
akan tingkat pelayanan jaringan listrik di wilayah Kota Palopo hingga tahun 2031
(Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012). Pemakaian listrik di
Tahun 2011 yang tercatat dalam laporan statistik Palopo dalam angka Tahun 2012
adalah sebesar 61.528.456 KWH.
Kondisi air tanah sebagai baku air bersih di Kota Palopo saat ini masih
relatif baik. Dari data yang diperoleh, cadangan air tanah paling banyak di
Kecamatan Battang, Mungkajang dan Telluwanua. Rencana sumber air baku Kota
Palopo untuk kebutuhan masyarakat di Kota Palopo bersumber dari Sungai
Mangkaluku, Sungai Latuppa, Sungai Magandang dan Sungai Buludatu yang
masih sangat potensil untuk dikembangkan. Lebih jelasnya mengenai sumber air
baku beserta kapasitasnya dapat dilihat pada Tabel 8. Pada tahun 2011, pemakaian
air bersih di Kota palopo adalah sebanyak 5.077.493 liter (BPS Kota Palopo
2012).
Tabel 8 Intake/Sumber Air Baku Kota Palopo dan Kapasitasnya Tahun 2011
Sumber Air Baku Lokasi Sumber Jenis Sumber Kapasitas
Sungai Mangkaluku Sungai Mangkaluku Sungai 120 l/detik
Sungai Latuppa Sungai Latuppa Sungai 400 l/detik
Sungai Magandang Sungai Magandang Sungai 20 l/detik
Sungai Buludatu Sungai Buludatu Sungai 5 l/detik
Sungai Bambalu Sungai Bambalu Sungai 400 l/detik
Sungai Babak Sungai Babak Sungai 100 l/detik
Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo 2012
Saat ini terdapat beberapa lokasi instalasi pengolahan air (IPA) di Kota
Palopo yang tersebar di 3 kelurahan di Kota Palopo, yaitu :
IPA Saringan Pasir Lambat (SPL) di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas
produksi 40 L/detik.
IPA 1 di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 40 l/detik.
IPA 2 di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 100 l/detik.
IPA 3 di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 70 l/detik.
IPA 4 di Kelurahan Magandang dengan kapasitas produksi 50 l/detik.
IPA 5 di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 50 l/detik.
40
IPA 6 di Kelurahan Latuppa dengan kapasitas produksi 20 l/detik. IPA Bronceptering di Kelurahan Buludatu dengan kapasitas produksi 2.5
l/detik.
Tenaga listrik dan air menjadi variabel penting karena tenaga listrik sangat
diperlukan untuk menunjang proses produksi olahan ikan, demikian juga dengan
air bersih dibutuhkan untuk pengembangan industri pengolahan perikanan dalam
proses produksi dan memenuhi kebutuhan para pekerja. Melihat kapasitas tenaga
listrik dan air yang dimiliki Kota Palopo, dapat disimpulkan bahwa
pengembangan industri masih dapat dilakukan di Kota Palopo.
Aksesibilitas
Kegiatan perindustrian, pertambangan, perikanan, atau kegiatan lainnya
dalam pelaksanaan usaha pokoknya memerlukan fasilitas pelabuhan. Menjadikan
pelabuhan sebagai suatu kawasan yang terintegrasi dengan pergudangan sebagai
penunjangnya, maka pelabuhan dapat berperan sebagai pintu gerbang kegiatan
perekonomian daerah dan nasional bahkan internasional; tempat kegiatan alih
moda transportasi; serta tempat distribusi, konsolidasi dan produksi. Kota Palopo
memiliki potensi inlet-outlet terhadap lokasi pasar Indonesia Bagian Timur karena
secara geografis memiliki akses langsung terhadap Alur Laut Teluk Bone menuju
Laut Banda, Selat Makassar dan Laut Flores dengan didukung oleh keberadaan
Pelabuhan Tanjung Ringgit. Pelabuhan Tanjung Ringgit juga berperan sebagai
Pelabuhan Nasional sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Provinsi Sulawesi
Selatan dan RTRW Nasional. Oleh karena itu, pemerintah daerah Kota Palopo
berencana untuk mengembangkan kawasan pelabuhan pengumpul yang
berintegrasi dengan pergudangan sebagai fasilitas penunjangnya dan
mengembangkan terminal kargo di dalam kawasan Pelabuhan Nasional Tanjung
Ringgit (Lampiran 1).
Selain meningkatkan kawasan pelabuhan yang merupakan akses jalur laut,
akses darat juga ditingkatkan. Sistem jaringan transportasi darat meliputi sistem
jaringan jalan dan perkeretaapian. Sistem jaringan transportasi darat merupakan
sistem yang memperlihatkan keterkaitan kebutuhan dan pelayanan transportasi
antar kawasan dan antar wilayah. Secara garis besar pengembangan sistem
transportasi darat akan dibedakan pada pengembangan jaringan jalan arteri,
kolektor dan lokal. Jaringan jalan arteri dan kolektor sebagai jaringan jalan
pendukung sistem transportasi regional untuk mendukung pola aliran barang
regional, dan jaringan jalan lokal sebagai pendukung sistem transportasi internal
di Kota Palopo sekaligus dikembangkan sebagai pendukung jalur rute wisata yang
dikembangkan di berbagai tempat di Kota Palopo. Jaringan jalan arteri dengan status Jalan Nasional akan dikembangkan di
jalan lingkar timur, dimana jaringan jalan arteri saat ini (Jl. Andi Djemma, Jl.
Sudirman, Jl. Ahmad Yani dan Jl. DR Ratulangi)) diturunkan fungsinya sebagai
jalan kolektor primer. Maksud pengembangan jalan lingkar tersebut adalah untuk
menghindari pergerakan regional yang melintas di Kota Palopo, sehingga tidak
lagi melalui bagian wilayah tengah kota (pusat kota). Jaringan jalan kolektor
tetap mempertahankan poros Rantepao-Palopo (sampai ke pelabuhan Tanjung
Ringgit) dan mengembangkan jaringan jalan lingkar barat yang akan melintasi
Kota Palopo dari arah selatan (Kelurahan Sampoddo) ke utara sampai ke wilayah
41
Kabupaten Luwu (Desa Tombang Kecamatan Walenrang). Pengembangan kedua
jaringan jalan ini (arteri primer dan kolektor primer) dilengkapi dengan
pengembangan terminal penumpang dan angkutan barang serta menghubungkan
langsung kawasan Industri, pergudangan dan Pelabuhan Tanjung Ringgit. Jaringan jalan ini dilengkapi juga dengan halte, dan di beberapa lokasi di
kembangkan jembatan penyeberangan. Jaringan jalan lokal dikembangkan kapasitasnya. Jaringan jalan
dikembangkan untuk mendukung pengembangan rute angkutan yang dapat
melayani pergerakan antar entitas wisata yang dikembangkan di Kota Palopo
Jalan lokal di beberapa ruas didesain secara khusus untuk mendukung
pengembangan koridor wisata dan jalur festival wisata di Kota Palopo yang
diadakan setiap tahun. Pengembangan jaringan jalan ini dilengkapi dengan
pengembangan halte dan halte khusus wisata. Akses darat yang baik juga
diperlihatkan dengan kondisi jalannya, yakni beraspal sepanjang 264.727 km
(66,43 persen), krikil sepanjang 113.549 km (28.50 persen), hanya tanah
sepanjang 10.698 km (2.68 persen), dan jenis permukaan beton, lapen, dan rabat
sepanjang 9.511 km (2.39 persen). Jarak Kota Palopo dengan Ibu Kota Provinsi
Sulawesi-Selatan adalah 367 km dengan waktu tempuh kurang lebih 7 jam. Pada
rencana pengembangannya, pemerintah daerah juga akan meningkatkan fungsi
Pelabuhan Tanjung Ringgit, pembangunan jalur kereta api bagian timur Sulawesi
Selatan, serta pengembangan terminal penumpang, terminal barang, dan jalur
angkutan umum.
Sistem jaringan perekeretaapian terdiri dari jaringan jalur kereta api dan
stasiun kereta api. Pengembangan jaringan jalur kereta api yang akan
dikembangkan di Kota Palopo adalah merupakan bagian dari jalur keretaapi trans
Sulawesi yang melintasi wilayah Kecamatan Sendana, Kecamatan Wara Selatan,
Kecamatan Wara, Kecamatan Wara Barat, Kecamatan Wara Utara, Kecamatan
Bara dan Kecamatan Telluwanua. Pengembangan Stasiun kereta api berlokasi di
Kecamatan Wara Selatan. Dengan pertimbangan tersebut maka rencana
pengembangan sistem jaringan prasarana perkeretaapian meliputi: (1)
pembangunan sistem jaringan pelayanan kereta api yang terkoneksi dengan sistem
angkutan umum penumpang dan barang dan (2) pembangunan Stasiun Kereta Api
Kota Palopo di Kelurahan Songka Kecamatan Wara Selatan (Lampiran 1). Selain
itu, tingginya tingkat aksesibilitas juga di perlihatkan dengan keberadaan Bandar
Udara Lagaligo yang terdapat di Kabupaten Luwu yang berbatasan dengan
sebelah selatan Kota palopo.
Jaringan transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pengembangan suatu wilayah, yaitu memberi kemudahan atau meningkatkan
interaksi antar wilayah/pusat pelayanan. Dengan demikian akan diperoleh manfaat
ekonomi, sosial, dan kewilayahan (membuka keterisolasian dengan wilayah
lainnya), karena hubungan antar wilayah yang semakin mudah akan mendorong
pergerakan penduduk. Dengan terbukanya wilayah yang terisolasi maka wilayah
tersebut akan semakin berkembang, yang pada akhirnya akan meningkatkan
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi.
Posisi Kota Palopo sangat strategis karena merupakan daerah perbatasan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa pemerintah daerah
provinsi Sulawesi Selatan telah menetapkan Kota Palopo sebagai Pusat Kegiatan
Wilayah (PKW) dan Pusat pengembangan ekonomi Sulawesi Selatan bagian utara
42
(Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya). Hal ini membuat pemerintah daerah
lebih memperkuat aksesibilitas menuju dan keluar Kota Palopo. Rencana
penguatan aksesibilitas menjadi peluang dalam pengembangan kegiatan
industrialisasi, termasuk di dalamnya industri pengolahan ikan.
c. Daya serap pasar
Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang merupakan negara
kepulauan. Indonesia khususnya Sulawesi sebagian besar populasinya
mengkonsumsi ikan. Saat ini rata-rata tingkat konsumsi ikan perkapita nasional di
Indonesia mencapai 33.89 kg per kapita. Rata-rata tingkat konsumsi ikan
perkapita Provinsi Sulawesi-Selatan tahun 2012 mencapai 42.91 kg per kapita
(Ditjen P2HP 2013). Sejak tahun 2001 sampai 2012 penduduk Kota Palopo
meningkat, dengan laju pertumbuhan 2.72 persen (BPS Kota Palopo 2013).
Secara umum masyarakat Sulawesi Selatan dan khususnya masyarakat Kota
Palopo lebih menyukai mengkonsumsi ikan segar dibandingkan produk olahan.
Namun demikian, melihat semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan
urbanisasi serta kemajuan pembangunan di tiap-tiap daerah di Sulawesi Selatan
dan beragamnya jenis produk olahan ikan yang menggugah selera, tidak menutup
kemungkinan mereka untuk mengkonsumsi produk olahan. Berdasarkan data,
sekitar 70 persen produksi ikan nasional digunakan sebagai bahan pangan (Ditjen
P2HP 2013). Pada level internasional/global, tingkat konsumsi ikan dunia
semakin meningkat. Berdasarkan data, 71 persen produk perikanan dunia yang
diekspor berbentuk produk konsumsi untuk manusia. Pada tahun 2011, penduduk
dunia mengkonsumsi 130,8 juta ton produk perikanan untuk kebutuhan pangan.
Sekitar 23.2 juta ton lainnya digunakan untuk kebutuhan non pangan (Ditjen
P2HP 2013).
Pertumbuhan ekonomi Kota Palopo juga mengalami peningkatan. Diketahui
bahwa sejak tahun 2005 hingga 2011 Pendapatan Domestik Regional Bruto
(PDRB) perkapita atas dasar harga konstan Kota Palopo meningkat setiap
tahunnya dengan laju pertumbuhan 4.51 persen (Tabel 9). PDRB adalah nilai
tambah bruto seluruh barang dan jasa yang tercipta atau dihasilkan di wilayah
domestik suatu daerah yang timbul akibat berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu
periode tertentu tanpa memperhatikan faktor produksi dimiliki oleh residen atau
non residen. PDRB bisa dijadikan alat untuk melihat kondisi perekonomian suatu
wilayah atau region. Kemampuan ekonomi suatu daerah tercermin dari PDRB-
nya. Perikanan berada di dalam sektor pertanian. Pada sektor pertanian, sub sektor
perikanan dan sub sektor perkebunan masih tetap mendominasi dalam
pembentukan nilai tambah. Berdasarkan laporan PDRB Kota Palopo tahun 2011,
meskipun sektor pertanian mengalami penurunan setiap tahunnya tetapi tetap
masuk ke dalam tiga besar sektor yang memberikan kontribusi terbesar di Kota
Palopo setelah sektor perdagangan dan jasa. Kontribusi subsektor perikanan
terhadap sektor pertanian mencapai 58.22 persen atau 10 persen bagi
pembentukan PDRB Kota Palopo. Kontribusi subsektor perkebunan terhadap
pembentukan nilai tambah sektor pertanian mencapai 28.58 persen atau 5,15
persen bagi pembentukan PDRB Kota Palopo. Sisanya yakni untuk sub sektor
tanaman bahan makanan, peternakan, dan kehutanan hanya memberikan
kontribusi sebasar 13.20 persen terhadap sektor pertanian atau sekitar 2,59 persen
bagi pembentukan PDRB Kota Palopo.
43
Tabel 9 PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2005-2011
Tahun PDRB Perkapita Atas Dasar
Harga Konstan (Rupiah)
Laju
Pertumbuhan (%)
2005 5 139 549
4.51
2006 5 212 094
2007 5 406 985
2008 5 629 236
2009 5 980 642
2010 6 253 428
2011 6 696 399 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Palopo tahun 2006-2012
Menurut Tambunan (2003), besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan
oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat pendapatan nasional rill
perkapita (dengan asumsi faktor lain mendukung). Meningkatnya jumlah populasi
berarti kebutuhan akan bahan makanan juga meningkat. Produk perikanan tidak
hanya berperan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan biasa tetapi memiliki peran
penting sebagai sumber protein. Melihat kondisi geografis Indonesia sebagai
negara kepulauan, jika dikelola dengan optimal maka kebutuhan akan protein dari
produk perikanan dapat disediakan dalam jumlah yang banyak dan dengan harga
yang relatif murah. Sama halnya dengan Kota Palopo yang semakin berkembang,
secara nasional pertumbuhan penduduk Indonesia juga meningkat. Dengan
demikian kebutuhan akan pangan dan sumber protein juga meningkat. Agustini
(2003), dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemanfaatan hasil perikanan
melalui penganekaragaman produk-produk “value-added” memiliki prospek yang
bagus di masa mendatang dan dapat mendukung suksesnya pelaksanaan Program
Ketahanan Pangan Nasional bila disertai dengan kerjasama yang baik antar
lembaga terkait. Produk olahan perikanan (produk “value-added”) memiliki
keuntungan yang tinggi dengan jangkauan pemasaran yang lebih luas, utamanya
ke Jepang, USA, dan beberapa negara di Eropa (Agustini 2003).
Tingkat pertumbuhan populasi, sebaran usia serta kesukaan makan ikan
merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi fungsi permintaan ikan dan
produk perikanan. Banyak negara berkembang memiliki tingkat pertumbuhan
populasi positif dan secara luas adalah populasi pemuda. Pola konsumsi makanan
dan kesukaan makanan dari sebagian besar populasi yang telah berumur memiliki
dampak yang lebih besar pada rantai suplai makanan global. Konsumen ikan
terbesar di dunia, Jepang telah mengalami pertumbuhan populasi yang sangat
rendah namun memiliki tingkat umur yang panjang dalam populasi tersebut. Dua
puluh lima persen dari populasi berumur diatas 65 tahun. Pola makan mereka
yaitu ikan dan nasi. Permintaan lebih besar berasal dari populasi yang berumur
panjang sebagai langkah kecil berdiet (De Silva and Yamao 2006).
Kota Palopo yang berada pada posisi yang strategis yakni sebagai daerah
perbatasan, dapat mempermudah alur distribusi produk keluar kota. Semakin
gencarnya penyuluhan “gemar makan ikan “ oleh Kementrian Kelautan dan
Perikanan dan beberapa instansi membuat kesadaran akan pentingnya
mengkonsumsi ikan semakin meningkat. Keberadaan toko-toko swalayan juga
semakin menambah peluang pemasaran produk perikanan. Promosi besar-besaran
44
dan menarik dari tiap-tiap toko swalayan menarik perhatian konsumen dan
meningkatkan permintaan akan produk perikanan. Berbagai peluang diatas
memungkinkan meluasnya pasar dari produk perikanan.
Kegiatan pengolahan hasil perikanan mulai dibentuk di Kota Palopo pada
tahun 2011 dalam bentuk kelompok industri rumah tangga. Setiap kelompok
terdiri dari 5 sampai 21 orang. Beberapa jenis produk olahan yang dihasikan
diantaranya teri gurih , dendeng ikan, kerupuk ikan, bandeng presto, abon, terasi
dan amplang (Gambar 16). Hasil olahan produk perikanan telah dipasarkan di
Kota Palopo dan Luwu Utara. Sampai saat ini, produk olahan hasil perikanan ini
dapat ditemukan di toko yang menjajakan oleh-oleh khas Kota Palopo dan
beberapa rumah industri kelompok pengolahan. Karena lebih umum dijadikan
sebagai oleh-oleh, maka produk olahan perikanan ini menjadi salah satu produk
unggulan Kota Palopo.
Beberapa produk di atas merupakan produk olahan perikanan yang telah ada
di Kota Palopo yang berskala industri rumah tangga. Sebagaimana diketahui
bahwa beberapa jenis ikan yang dominan di Kota Palopo adalah kembung, layang,
tembang, cakalang, dan tongkol. Jenis-jenis ikan tersebut sangat cocok untuk
dijadikan sebagai bahan baku ikan kaleng. Hal ini juga didukung oleh fasilitas
yang telah ada di dalam kawasan PPI Pontap, yakni gedung untuk pengalengan
ikan yang saat ini dijadikan sebagai gudang rumput laut.
Sejak tahun 2011, DKP Kota Palopo di bawah bidang usaha dan pemasaran
hasil perikanan dan pengusaha-pengusaha pengolahan ikan merencanakan sasaran
pemasaran produk hasil olahan perikanan daerah ini ke beberapa daerah di
Indonesia dengan mengikuti PENAS (Pekan Kontak Tani Nasional) di Provinsi
Kalimantan Timur. Keikutsertaan ini bertujuan sebagai promosi dari produk-
produk olahan hasil perikanan yang telah dibuat. Selain mengikuti PENAS,
promosi juga dilakukan dengan mengikuti pameran di beberapa kota besar lainnya
seperti Makassar, Menado, Batam, dan Jakarta (Gambar 17). Saat penelitiaan ini
berlangsung, diketahui bahwa beberapa toko swalayan yang ada di Kota Palopo
telah mengajukan permintaan akan produk olehan perikanan dari kelompok
industri pengolahan ikan. Hal ini diindikasikan oleh adanya prasarana dan sarana
transportasi yang semakin baik, baik transportasi darat, laut, maupun udara, akan
semakin mempermudah menjangkau pasar-pasar di Provinsi Sulawesi Selatan dan
luar Sulawesi Selatan (nasional), bahkan ekspor. Terdapat bandara udara
internasional di Makassar yang memudahkan untuk ekspor produk hasil olahan ke
luar negeri.
Gambar 16 Contoh produk olahan perikanan Kota Palopo
(terasi, abon, dan teri gurih)
45
Gambar 17 Beberapa daerah promosi produk olahan hasil perikanan Kota Palopo
di wilayah hinterland-nya
d. Sumberdaya manusia
Penduduk Kota Palopo pada akhir tahun 2012 tercatat sebanyak 152 703
jiwa. Secara rinci menurut jenis kelamin masing-masing 74 870 jiwa laki-laki dan
77 833 jiwa perempuan. Jika diamati menurut kelompok umur, seperti pada Tabel
10 dapat dijadikan bahan evaluasi dan perencanaan pembangunan di bidang
kependudukan, di sana terlihat bahwa dari 152 703 jiwa penduduk tercatat sekitar
30.14 persen berada pada usia muda (0-14 tahun) dan 3.78 persen pada kelompok
usia tua (65 tahun ke atas), selebihnya sekitar 66.08 persen yang berada pada
kelompok usia produktif (usia 15-64 tahun).
Penduduk usia kerja (PUK) didefinisikan sebagai penduduk yang berumur
10 tahun ke atas. Penduduk tersebut terdiri dari angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja. Angkatan kerja adalah mereka yang bekerja atau yang sedang
mencari pekerjaan. Sedangkan bukan angkatan kerja adalah mereka yang sedang
bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Bekerja adalah kegiatan
melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh
keuntungan paling sedikit satu jam berturut-turut selama seminggu yang lalu.
Tabel 10 Penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin di Kota Palopo
tahun 2012
Golongan
Umur
Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Jumlah
(orang)
Seks Rasio Persentase
(%)
0 – 14 23 652 22 375 46 027 105.71 30.14
15 – 64 48 853 52 053 100 906 93.85 66.08
65 + 2 365 3 405 5 770 69.46 3.78
Jumlah 74 870 77 833 152 703 96.19 100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Polopo Tahun 2013
Tabel 11 menggambarkan hasil rekapitulasi pencari kerja oleh dinas sosial
dan tenaga kerja Kota Palopo, dari sana diketahui bahwa pada keadaan akhir
tahun 2012 jumlah pencari kerja tercatat sebanyak 4 678 orang yang terdiri dari 2
103 laki-laki dan 2 575 orang perempuan. Bila diamati menurut waktu
pendaftaran pencari kerja ternyata dari 4 678 orang pencari kerja, diantaranya
46
tercatat sebanyak 3 710 orang adalah pencari kerja pada tahun 2011 sisanya
sebanyak 968 orang yang merupakan pencari kerja baru selama tahun 2012.
Tabel 12 menunjukkan informasi mengenai pencari kerja yang telah berhasil
ditempatkan menurut jenjang pendidikan. Dengan mencermati secara teliti
keadaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pencari kerja yang telah
ditempatkan dilihat dari sisi pendidikan ternyata potensi mereka cukup baik.
Dikatakan demikian karena dari 338 orang pencari kerja yang telah berhasil
ditempatkan tercatat sekitar 1.69 persen berpendidikan S1 ke atas; 0.56 persen
berlatar belakang pendidikan Sarjana Muda/D3; 33.71 persen berpendidikan
SLTA Kejuruan dan DI/D2; 64.04 persen berpendidikan SLTA Umum. Ini adalah
suatu indikasi yang cukup membanggakan dan menjanjikan jika mereka
diberdayakan sesuai dengan bidang atau keterampilan sesuai latar belakang
pendidikan mereka. Berikut pada Tabel 13 menunjukkan informasi mengenai
pencari kerja yang belum ditempatkan menurut jenjang pendidikan. Dari tabel
tersebut dapat disimpulkan bahwa pencari kerja yang belum ditempatkan dilihat
dari sisi pendidikan ternyata juga memiliki potensi atau kualitas yang cukup baik.
Hal ini terlihat dari tingkat pendidikan pencari kerja tersebut yang sebanyak 20.50
persen sarjana, 11.17 persen Sarjana Muda/D3/Akte 3, 12.17 persen SLTA
Kejuruan,D1/D2, 55.78 persen SLTA Umum, 0.29 persen SLTP Umum, dan
hanya 0.10 persen SD/sederajat.
Tabel 11 Kumulatif pendaftar pencari kerja di Kota Palopo tahun 2012
Uraian Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Sisa Pencari Kerja 2011 1 698 80.74 2 012 78.14 3 710 79.31
Pencari Kerja Baru 2012 405 19.26 563 21.86 968 20.69
Jumlah 2 103 100.00 2 575 100.00 4 678 100
Penempatan 97 81 178
Penghapusan Pencari Kerja 131 188 319
Sisa Pencari Kerja yang
belum Ditempatkan Akhir
Tahun 2012
1 875
2 306
4 181
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Polopo Tahun 2013
Tabel 12 Jumlah pencari kerja yang ditempatkan menurut tingkat pendidikan di
Kota Palopo tahun 2012
Tingkat Pendidikan Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Tamat SD dan Sederajat - - - -
SLTP Umum - - - -
SLTA Umum 53 61 114 64.04
SLTA Kejuruan,D1/D2 42 18 60 33.71
Sarjana Muda/D3/Akte 3 1 - 1 0.56
Sarjana 1 2 3 1.69
JUMLAH 97 81 178 100.00
Tahun 2011 221 117 338 100.00
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Polopo Tahun 2013
47
Tabel 13 Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan menurut tingkat
pendidikan di Kota Palopo tahun 2012
Tingkat Pendidikan Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Tamat SD dan Sederajat 4 - 4 0.10
SLTP Umum 8 4 12 0.29
SLTA Umum 1 070 1 254 2 332 55.78
SLTA Kejuruan,D1/D2 286 223 509 12.17
Sarjana Muda/D3/Akte 3 106 361 467 11.17
Sarjana 393 464 857 20.50
JUMLAH 1 875 2 306 4 181 100.00
Tahun 2011 1 698 2 012 3 710 100.00
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Polopo Tahun 2013
Tabel 14 Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan menurut keahlian Utama
di Kota Palopo tahun 2012
No. Keahlian Utama Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
1 Tenaga Profesional,
Teknisi
431 664 1 095 26.19
2 Tenaga Kepemimpinan
dan Ketatalaksanaan
203 14 217 5.19
3 Tenaga Tata Usaha dan
Tenaga yang berhubungan
1 094 1 537 2 631 62.93
4 Tenaga Usaha Penjualan 11 16 27 0.65
5 Tenaga Usaha Jasa 13 18 31 0.74
6 Tenaga Usaha Pertanian,
Peternakan, Kehutanan,
Perkebunan dan Perikanan
42 28 70 1.67
7 Tenaga Produksi,
Operator dan Buruh Kasar
81 29 110 2.63
JUMLAH 1 875 2 306 4 181 100
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Polopo Tahun 2013
Pengadaan industri sangat besar manfaatnya dalam penyerapan tenaga kerja.
Utamanya untuk kebutuhan tenaga produksi dan buruh kasar. Menurut
Syahruddin (2010), pengembangan kawasan industri akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Melalui pertumbuhan ekonomi satu persen
saja dapat menyerap tenaga kerja sekitar seratus ribu orang (Soeling 2007).
Mengacu pada Tabel 14 di atas, diketahui bahwa total pencari kerja di Kota
Palopo adalah 4 181 orang. Lebih rinci terdapat 70 orang tenaga usaha pertanian,
peternakan, kehutanan, dan perikanan. Suatu industri akan sangat membutuhkan
banyak tenaga produksi dan buruh kasar. Kota Palopo sendiri memiliki 110 orang
tenaga produksi, operator dan buruh kasar. Oleh karena itu disimpulkan bahwa
industri yang dapat berdiri di Kota Palopo yakni industri skala rumah tangga,
kecil dan sedang. Kebutuhan akan tenaga professional dan teknisi juga dapat
terpenuhi dengan melihat banyaknya jumlah tenaga professional dan teknisi yakni
563 orang tetapi tidak dijelaskan menurut bidangnya. Tenaga kepemimpinan dan
48
ketatalaksaaan berjumlah 217 orang yang berpotensi untuk menduduki jabatan
tersebut. Gambaran di atas mengindikasikan bahwa kebutuhan akan tenaga kerja
untuk industri pengolahan ikan skala rumah tangga, kecil hingga sedang dapat
dipenuhi secara kuantitatif. Oleh karena sebagian pencari kerja tersebut tidak
dikelompokkan berdasarkan bidangnya masing-masing maka secara kualitatif
kebutuhan akan tenaga kerja tidak dapat dipastikan. Namun demikian,
berdasarkan tingkat pendidikan pencarai kerja Kota Palopo dapat disimpulkan
bahwa kualitas SDM cukup baik. Peningkatan keterampilan SDM di bidang
perikanan pascatangkap (pengolahan) dapat dilakukan dengan memberikan
pelatihan, pendampingan serta konsultasi. Jadi secara keseluruhan kebutuhan akan
SDM yang tepat dan mumpuni telah tersedia di Kota Palopo, namun
mendatangkan tenaga kerja dari luar Kota Palopo masih tetap bisa dilakukan
khususnya untuk tenaga professional dan teknisi jika diketahui bahwa tidak ada
tenaga professional dan teknisi di bidang pengolahan hasil perikanan. Oleh karena
itu, perlu dibangun pusat pelatihan perikanan (pengolahan, penangkapan ikan, dan
pemasaran) setingkat diploma di Kota Palopo sebagai upaya pemenuhan dan
pengembangan kualitas SDM.
Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Ikan di Kota Palopo
Karakteristik dan potensi daerah Kota Palopo telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya. Langkah berikut yang harus dilakukan ialah mengetahui sejauhmana
karakteristik dan potensi tersebut dapat dimanfaatkan dan dikelola menjadi suatu
strategi yang dapat mengambangkan industri perikanan pasca tangkap di Kota
Palopo. Penentuan strategi ini menggunakan analisis SWOT yang
mempertimbangkan faktor lingkungan internal strength dan weaknesses serta
lingkungan eksternal opportunities dan threats yang dihadapi.
Tahap pertama pembuatan analisis SWOT adalah tahap evaluasi faktor
internal dan eksternal. Faktor-faktor internal kajian pendirian industri pengolahan
ini secara detail telah dijelaskan pada subbab gambaran produksi hasil tangkapan
ikan di Kota Palopo dan identifikasi potensi daerah Kota Palopo. Pada subbab
tersebut digambarkan tentang kondisi Kota Palopo secara umum dan sektor
perikanan tangkap secara khusus. Berdasarkan hal tersebut, maka kekuatan
(strength) dan kelemahan (weak) dapat teridentifikasi. Faktor internal terdiri dari
kekuatan dan kelemahan.
Kekuatan mencakup:
1. Trend volume produksi ikan terus meningkat. Peningkatan produksi ikan
seperti yang telah dijelaskan pada bab gambaran produksi hasil tangkapan
ikan di Kota Palopo. Peningkatan signifikan terjadi pada empat tahun
terakhir. Estimasi daya serap pasar lokal untuk ikan segar juga dilakukan dan
diketahui pada tahun 2012 terdapat sisa 4 757.61 ton ikan yang dapat menjadi
bahan baku industri pengolahan ikan.
2. Lokasi pendirian industri telah tersedia dan letaknya strategis. Pada bab
identifikasi daerah, disimpulkan bahwa lokasi yang cocok untuk
pengembangan industri perikanan/pengolahan ikan adalah di pelabuhan
perikanan. Oleh karena itu, lokasi yang sesuai untuk pengembangan industri
pengolahan ikan di Kota Palopo adalah di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap.
49
3. Fasilitas pendukung kegiatan industri perikanan pascatangkap (termasuk
pengolahan) tersedia. PPI Pontap yang menjadi pusat kegiatan perikanan
tangkap di Kota Palopo memiliki fasilitas yang cukup lengkap jika
dibandingkan dengan PPI lain di Sulawesi Selatan, juga fasilitas untuk
menunjang kegiatan pengolahan ikan seperti: gedung pengolahan ikan,
chilling room, pabrik es, dan gudang.
4. Tingkat aksesibilitas lokal tinggi. Hal ini telah dijelaskan pada sub bab
identifikasi daerah, diketahui bahwa rencana sistem jaringan trasnportasi yang
ada di Kota Palopo, terdiri atas sistem jaringan transportasi darat meliputi
sistem jaringan jalan, dan sistem jaringan perkeretaapian, serta sistem
jaringan transportasi laut.
Kelemahan mencakup:
1. Volume produksi hasil tangkapan ikan nelayan lokal sangat sedikit
dibandingkan produksi yang datang dari luar Kota Palopo. Pada sub bab
gambaran produksi hasil tangkapan ikan dijelaskan bahwa produksi ikan Kota
Palopo tidak hanya berasal dari nelayan lokal Kota Palopo tetapi juga berasal
dari luar Kota Palopo. Pada sub bab tersebut diketahui bahwa volume
produksi hasil tangkapan nelayan lokal yang melakukan aktivitas di PPI
Pontap lebih sedikit dibandingkan produksi hasil tangkapan yang datang dari
luar Kota Palopo.
2. Kurangnya modal. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa salah satu
kendala tidak berkembangnya kegiatan pengolahan ikan di Kota Palopo
adalah kurangnya modal.
3. Keterampilan sumber daya manusia dibidang pengolahan ikan masih kurang.
Selain kendala modal yang kurang, keterampilan masyarakat Kota Palopo
tentang proses pengolahan ikan juga kurang. Berdasarkan wawancara
diketahui pada tahun 2012, program pelatihan keterampilan penanganan
pascatangkap (termasuk pengolahan ikan) telah dilakukan oleh pegawai dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Palopo. Namun pelatihan ini baru dilakukan
pada beberapa kelompok masyarakat pesisir, sebagai percontohan. Saat
penelitian berlangsung terdapat 8 kelompok pengolah ikan yang dibina oleh
DKP Kota Palopo.
Faktor eksternal yang terdiri dari peluang dan ancaman.
Peluang mencakup:
1. Pasar lokal dan nasional besar dengan melihat pertumbuhan/perkembangan
penduduk yang semakin pesat. Pembahasan faktor ini lebih rinci telah
dijelaskan sebelumnya pada sub bab identifikasi daerah bagian daya serap
pasar. Kota Palopo berkembang setiap tahun, yang diperlihatkan oleh
pertumbuhan penduduk dan ekonominya. Tidak hanya Kota Palopo, secara
nasional Indonesia juga mengalami pertambahan penduduk, yang
mengindikasikan peningkatan kebutuhan pangan nasional. Hal tersebut
menjadi indikator akan permintaan suatu produk.
2. Adanya dukungan pemerintah lokal (pemerintah daerah Kota Palopo). Sistem
perencanaan wilayah Kota Palopo mengarah pada pengembangan kota
indutri. Hal ini terlihat dari arah kebijakan dan rencana tata ruang Kota
Palopo yang telah dijelaskan pada sub bab identifikasi daerah. Dukungan
pemerintah daerah terlihat dengan penyediaan suatu Kawasan Industri Palopo
50
(KIPA) dan perbaikan serta peningkatan fungsi kawasan PPI Pontap dan
pelabuhan niaga Tanjung Ringgit.
3. Adanya dukungan pemerintah nasional melalui kebijakan gemar makan ikan
dan meningkatnya nilai investasi bidang pengolahan dan pemasaran hasil
perikanan yakni mencapai Rp 2.067 triliun (Ditjen P2HP 2013).
4. Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Pontap merupakan daerah pendistribusian
dan pemasaran ikan segar yang paling sering disinggahi oleh nelayan dan
pedagang ikan di Sulawesi Selatan. Pada bab gambaran produksi hasil
tangkapan di Kota Palopo, telah dijelaskan secara rinci bahwa hasil tangkapan
ikan di Kota Palopo juga datang dari luar Kota Palopo seperti: Bulukumba,
Makassar, Pare-pare, Bone, Sinjai, Palu, Ponrang, dan Kendari.
5. Adanya dukungan masyarakat sekitar akan pendirian industri untuk
meningkatkan lapangan pekerjaan. Faktor ini diketahui berdasarkan hasil
wawancara. Berbagai alasan masyarakat mendukung adanya pengembangan
industri pengolahan adalah untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat yakni dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru, serta untuk
memanfaatkan produksi ikan yang tidak habis terjual segar.
Ancaman mencakup:
1. Adanya pola musim penangkapan yang mempengaruhi fluktuasi volume
produksi ikan setiap bulan. Kontinuitas bahan baku (ikan) menjadi kriteria
yang menjadi pertimbangan pendirian suatu industri. Pada sub bab gambaran
kondisi produksi hasil tangkapan diketahui bahwa pola pendaratan hasil
tangkapan ikan nelayan lokal berfluktuatif setiap bulan, yang dipengaruhi
oleh faktor musim. Musim puncak ikan berada pada bulan Januari, Februari,
Maret, September, Oktober dan November. Musim Paceklik berada pada
bulan April, Mei, Juni, Juli dan Agustus. Hal ini dapat mempengaruhi
kontinuitas bahan baki (ikan).
2. Budaya konsumsi ikan masyarakat Sulawesi Selatan adalah mengkonsumsi
ikan segar. Budaya konsumsi masyarakat dapat menentukan jenis produk
yang diminta.
3. Kemungkinan pencemaran lingkungan. Sebagaimana pendirian industri pada
umumnya, pencemaran lingkungan oleh limbah industri menjadi
pertimbangan pemerintah dan masyarakat setempat untuk pendirian suatu
industri.
Tahap kedua yaitu pembuatan tabel internal eksternal dan matriks SWOT.
Pada tabel internal eksternal dilakukan penyusunan terhadap semua faktor-faktor
menjadi faktor internal dan eksternal serta pemberian bobot dan rating (Tabel 15
dan 16). Strategi yang tepat dipilih berdasarkan posisi kuadran yang diperoleh
dari nilai total pembobotan untuk masing-masing faktor internal dan eksternal
untuk kemudian dilakukan pembuatan matriks SWOT yang akan menjelaskan
alternatif strategi yang dapat dilakukan (Gambar 19).
Hasil Evaluasi Faktor Internal (EFI) memperlihatkan total skor yang
diperoleh sebesar 2.680 dan Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) sebesar 2.983 yang
menyimpulkan bahwa konsep ini memiliki respon yang baik terhadap berbagai
kondisi lingkungannya yang ada saat ini (Tabel 15 dan 16). Berdasarkan hasil
analisis IFE menunjukkan faktor kekuatan (Strengths) memiliki nilai lebih besar
yaitu 2.002 dibanding dengan nilai faktor kelemahan (Weakness) yang bernilai
0.678. Hal ini dapat diartikan bahwa kekuatan yang dimiliki dapat
51
memaksimalkan faktor kekuatan untuk meminimalkan faktor-faktor
kelemahannnya. Faktor pengembangan strategi berdasarkan perhitungan dari nilai
skoring faktor internal ialah pengurangan antara faktor kekuatan (Strengths) dan
kelemahan (Weakness) yaitu 2.002 – 0.678 = 1.324 dijadikan titik koordinat pada
sumbu X. Berdasarkan hasil analisis EFE menunjukkan faktor peluang
(Opportunities) memiliki nilai lebih besar yaitu 2.457, dibanding dengan nilai
faktor ancaman (Threaths) yang bernilai 0.526. Hal ini dapat diartikan bahwa
peluang yang dimiliki dapat memanfaatkan faktor peluang yang ada untuk
mengatasi faktor ancaman. Faktor pengembangan strategi berdasarkan
perhitungan dari nilai rating faktor eksternal ialah pengurangan antara faktor
peluang (Opportunities) dan ancaman (Threaths) yaitu 2.457-0.526 = 1.931 yang
dijadikan sebagai sumbu Y. Hasil kualitatif antara faktor internal dan faktor
eksternal akan diformulasikan pada diagram SWOT agar dapat diketahui letak
kuadrannya.
Setelah nilai tertimbang dijabarkan dalam diagram maka diketahui bahwa
konsep berada pada posisi kuadran I atau strategi agresif (Gambar 18). Analisis
dilanjutkan dengan pengambilan keputusan atau perumusan strategi. Beberapa
alternatif strategi yang ditawarkan disajikan pada Gambar 19. Oleh karena posisi
konsep berada pada kuadran I atau strategi agresif maka strateri yang dipilih
adalah strategi stenght-opportunity (SO).
Tabel 15 Evaluasi Faktor Internal (EFI)
Uraian Faktor-faktor Internal Bobot Rating Skor
Kekuatan
1. Trend volume produksi terus meningkat
2. Lokasi pendirian industri telah tersedia dan
letaknya strategis
3. Fasilitas pendukung kegiatan industri
perikanan pascatangkap (termasuk
pengolahan) tersedia seperti gedung
pengolahan ikan, chilling room, pabrik es, dan
gudang.
4. Tingkat aksesibilitas lokal tinggi
Kelemahan
1. Volume produksi hasil tangkapan ikan
nelayan lokal sangat sedikit dibandingkan
produksi yang datang dari luar Kota Palopo
2. Kurangnya modal
3. Keterampilan sumber daya manusia di bidang
pengolahan ikan masih kurang
0.167
0.155
0.083
0.155
0.107
0.202
0.131
4
3
3
4
2
1
2
0.668
0.465
0.249
0.620
0.214
0.202
0.262
Total skor faktor kekuatan – kelemahan 1.00 2.680
52
Tabel 16 Evaluasi Faktor Eksternal (EFE)
Uraian Faktor-faktor Eksternal Bobot Rating Skor
Peluang
1. Pasar lokal dan nasional masih sangat besar
2. Adanya dukungan pemerintah lokal dengan
penyediaan suatu Kawasan Industri Palopo
(KIPA) dan perbaikan serta peningkatan
kawasan PPI Pontap dan pelabuhan niaga
Tanjung Ringgit
3. Adanya dukungan pemerintah nasional
melalui kebijakan gemar makan ikan dan
peningkatan modal investasi untuk industri di
bidang perikanan
4. PPI Pontap merupakan daerah pendistribusian
dan pemasaran ikan segar yang paling sering
disinggahi oleh nelayan dan pedagang ikan
Sulawesi Selatan
5. Adanya dukungan masyarakat sekitar akan
pendirian industri untuk meningkatkan
lapangan pekerjaan
Ancaman
1. Adanya pola musim penangkapan yang
mempengaruhi fluktuasi volume produksi ikan
setiap bulan
2. Budaya konsumsi ikan masyarakat Kota
Palopo dan Sulawesi Selatan adalah
mengkonsumsi ikan segar
3. Kemungkinan pencemaran lingkungan
0.143
0.152
0.080
0.152
0.143
0.134
0.080
0.116
4
4
3
4
3
1
2
2
0.572
0.608
0.240
0.608
0.429
0.134
0.160
0.232
Total skor faktor peluang – ancaman 1.00 2.983
Peluang
Kekuatan
Ancaman
Kelemahan
1.32; 1.93
III
II
I
IV
Gambar 18 Posisi pengembangan industri pengolahan ikan di Kota Palopo
53
Internal
Eksternal
Kekuatan (S)
1. Trend volume produksi
yang terus meningkat
2. Lokasi pendirian
industri telah tersedia
dan letaknya strategis
3. fasilitas pendukung
kegiatan industri
pengolahan ikan
tersedia seperti
gedung pengolahan
ikan, chilling room,
pabrik es, dan gudang.
4. Tingkat aksesibilitas
lokal tinggi.
Kelemahan (W)
1. Volume produksi
hasil tangkapan ikan
nelayan lokal lebih
sedikit dibandingkan
produksi yang datang
dari luar Kota Palopo
2. Kurangnya modal
3. Keterampilan sumber
daya manusia di
bidang pengolahan
ikan masih kurang
Peluang (O)
1. Pasar lokal dan nasional sangat
besar
2. Dukungan pemerintah lokal
dengan arah kebijakan
pengembangan kota industri dan
perbaikan serta peningkatan
kawasan PPI Pontap dan
pelabuhan niaga Tanjung
Ringgit
3. Dukungan pemerintah nasional
melalui kebijakan gemar makan
ikan dan peningkatan modal
investasi untuk industri di
bidang perikanan
4. PPI Pontap merupakan daerah
pendistribusian dan pemasaran
ikan segar yang paling sering
disinggahi oleh nelayan dan
pedagang ikan Sulawesi Selatan
5. Dukungan masyarakat sekitar
akan pendirian industri untuk
meningkatkan lapangan
pekerjaan
SO
1. Penguatan dan
pengembangan
kelompok pengolah
ikan terpadu
masyarakat pesisir
2. Memanfaatkan dan
memelihara fasilitas
penanganan hasil
tangkapan yang
tersedia
3. Mengembangkan
jangkauan pasar
terutama produk
olahan ikan
4. Mempermudah akses
administrasi industri
pengolahan ikan di
daerah
WO
1. Meningkatkan daya
saing volume
produksi hasil
tangkapan ikan
nelayan lokal Kota
Palopo
2. Melakukan promosi
kepada investor
3. Meningkatkan
pengetahuan dan
keterampilan
masyarakat dalam
bidang perikanan
khususnya di bidang
pengolahan ikan
Ancaman (T) 1. Adanya pola musim
penangkapan yang
mempengaruhi fluktuasi volume
produksi ikan setiap bulan
2. Budaya konsumsi ikan
masyarakat Kota Palopo dan
Sulawesi Selatan adalah
mengkonsumsi ikan segar
3. Kemungkinan pencemaran
lingkungan
ST
1. Menjalin kerjasama
dengan nelayan dan
pedagang di
pangkalan pendaratan
ikan daerah lain guna
mendukung suplai
bahan baku (ikan)
2. Melakukan kerja sama
dengan nelayan dan
masyarakat setempat
WT
1. Melakukan
pembinaan kepada
nelayan dan
masyarakat
Gambar 19 Matriks SWOT kajian pengembangan industri pengolahan ikan di
Kota Palopo
54
Alternatif strategi yang ditawarkan setelah melakukan analisis SWOT
diantaranya:
Strenght – Opportunity (SO)
1. Penguatan dan pengembangan kelompok pengolah ikan terpadu masyarakat
pesisir.
Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor kekuatan internal
nomor 1 dan peluang eksternal nomor 2 dan 5. Langkah awal penerapan strategi
ini dapat dilakukan dengan arahan atau bimbingan instansi yang kompeten di
bidang pengolahan hasil perikanan. Oleh karena permasalahan utama adalah
modal, maka prinsip penguatan dan pengembangan kelompok ini adalah untuk
meminimalisir kebutuhan modal. Penguatan dilakukan pada manajemen
kelompok pengolah ikan yang telah berdiri, sedangkan pengembangan dilakukan
dengan membentuk kelompok pengolah ikan baru. Kelompok dibentuk dari
anggota keluarga nelayan agar dapat sekaligus membantu perekonomian keluarga.
Kelompok dapat dibentuk berdasarkan daerah tempat tinggal atau pun jenis alat
tangkap. Pemukiman nelayan di Kota Palopo sebagian besar terkonsentrasi pada
satu daerah menurut jenis alat tangkap yang dioperasikannya.
2. Memanfaatkan, memelihara dan meningkatkan fungsi fasilitas penanganan
hasil tangkapan yang tersedia seperti chilling room, pabrik es, dan gedung
pengolahan ikan.
Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor kekuatan internal
nomor 1 dan 3 serta peluang nomor 1. Penerapan strategi ini utamanya bertujuan
untuk menjaga mutu hasil tangkapan yang tidak habis terjual saat musim puncak.
Oleh karena itu perhatian difokuskan pada PPI Pontap sebagai tempat penanganan
bahan baku (ikan). Menurut Lubis (2011), pelabuhan perikanan sebagai pusat
aktivitas ekonomi perikanan tangkap di Indonesia kondisinya masih sangat
terbatas. Kondisi ini menjadi penyebab sulitnya mengharapkan investor domestik
dan asing untuk berinvestasi. Strategi ini sangat baik diaplikasikan guna
menjadikan PPI Pontap sebagai pusat kegiatan perikanan terpadu. Seperti yang
terjadi di PPN Pengambengan yang melakukan revitalisasi, penyempurnaan,
pemeliharaan dan pengembangan untuk dapat menjadi pusat kegiatan perikanan
terpadu (Suherman 2011).
3. Mengembangkan jangkauan pasar terutama produk hasil olahan perikanan.
Strategi ini memperhatikan faktor kekuatan internal nomor 4 dan peluang
eksternal nomor 1 sampai 4. Pemasaran produk olahan ikan harus dilakukan
dengan penanganan yang hati-hati untuk menjaga mutu produk olahan.
Pengembangan pemasaran perlu dilakukan secara terus menerus. Walaupun
demikian, pemasaran atau pendistribusian produk olahan bisa dilakukan dalam
waktu lebih lama bila dibandingkan pemasaran/pendistribusian ikan segar karena
mutu produk tidak akan menurun dalam jangka waktu yang singkat. Manajemen
pemasaran yang baik termasuk memperkuat akses informasi pasar perlu dilakukan
untuk memperluas jangkauan pasar.
55
4. Mempermudah akses administrasi pendirian indutri pengolahan ikan di daerah.
Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor kekuatan internal
untuk mengambil peluang nomor 2 sampai 5. Langkah penerapan strategi ini
dengan menerapkan tata pengelolaan yang baik (good governance) guna
membentuk birokrasi yang lebih profesional dan berkinerja tinggi. Diharapkan
seluruh proses dalam upaya pengembangan industri yang dilakukan saling
berkaitan antara kegiatan sebelumya dengan rencana selanjutnya atau antara
kegiatan yang satu dengan kegiatan lainnya dalam suatu rangkaian tahapan yang
saling terintegrasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward III (1980) dalam
Syahruddin (2010) bahwa suatu implementasi kebijakan akan efektif dan
berdayaguna apabila perintah pelaksanaannya konsisten. Sehingga perlu adanya
dukungan dari berbagai lembaga. Seperti kasus yang terjadi di PPN Untia
Makassar yang perlu adanya dukungan dari berbagai lembaga dalam proses
percepatan pembangunannya (Danial et al. 2011).
Strenght – Treath (ST)
5. Menjalin kerjasama dengan nelayan dan pedagang di pangkalan pendaratan
ikan daerah lain guna mendukung suplai bahan baku (ikan).
Strategi ini dirumuskan untuk meminimalisir faktor kelemahan internal
nomor 1 guna menangkap peluang eksternal. Kerjasama yang ditawarkan berupa
kesediaan untuk menyediakan pasokan bahan baku (ikan) jika di Kota Palopo
sedang musim paceklik. Kerjasama ini akan bersifat saling menguntungkan
karena dengan hal ini harga ikan di daerah yang bersangkutan juga akan stabil.
Mahyuddin (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa PPN Palabuhanratu
menyuplai ikan-ikan seperti peperek, tembang dan tongkol dari daerah-daerah
Pantura Jawa. Ikan-ikan tersebut dijadikan sebagai bahan baku industri
pengolahan pemindangan. Hal ini dilakukan karena terkait harga dan mutu ikan
yang lebih baik serta suplai yang ditawarkan dalam jumlah besar sehingga biaya
transportasi per kilogramnya relatif kecil. Demikian juga yang dikemukakan oleh
Lubis et al. (2013), bahwa PPP Muncar juga mendatangkan pasokan bahan baku
industri dari luar daerah seperti Grajagan, Tuban dan Puger.
6. Menjalin kerjasama dengan nelayan dan masyarakat pesisir setempat
Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor kekuatan seluruh
faktor internal untuk menangkap peluang eksternal. Langkah penerapan strategi
ini dengan mengaktifkan kelompok nelayan, koperasi nelayan, dan lembaga
masyarakat pesisir (seperti LSM) agar tercipta lingkungan yang saling
mendukung sehingga kinerja bidang perikanan menjadi lebih baik. Lembaga-
lembaga non-pemeritah ini dapat membantu untuk memulai dan mengembangkan
industri kecil. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Kecamatan Muncar
Kabupaten Banyuwangi dalam penelitian yang dilakukan oleh Resi et.al. (2009),
menyatakan bahwa lembaga swadaya masyarakat Lembaga Pengembangan
Industri Pedesaan (LSM LPIP) sukses bekerja sama dengan pemerintah daerah
Banyuwangi dalam memberdayakan masyarakat pesisir. Hingga saat ini, lembaga
non-pemerintah dibidang perikanan tangkap yang aktif di Kota Palopo hanya
kelompok nelayan saja. Oleh karena itu, perlu upaya pengaktifan lembaga lainnya.
56
Weak – Opportunity (WO)
7. Meningkatkan daya saing volume produksi hasil tangkapan ikan nelayan lokal
Kota Palopo di PPI Pontap.
Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor kelemahan internal
nomor 1 untuk menangkap peluang yang lebih jauh ke depan dan agar dapat
menjaga stabilitas ketersediaan bahan baku (ikan), walaupun ketersediaan bahan
baku ikan untuk industri dapat disuplai dari luar Kota Palopo. Peningkatan daya
saing volume produksi hasil tangkapan nelayan lokal Kota Palopo di PPI Pontap
juga berarti dapat meningkatkan daya saing industri pengolahan di kota ini,
mengingat mutu hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pontap sebagian besarnya
adalah bermutu prima karena fishing trip-nya satu hari. Hal ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas faktor-faktor produksi perikanan,
dalam hal ini khususnya bidang perikanan tangkap seperti peningkatan jumlah
armada penangkapan ikan, modernisasi armada penangkapan ikan agar jangkauan
fishing ground dan kapasitas meningkat, serta penyedian fasilitas pendukung
kegiatan penangkapan ikan seperti peningkatan kapasitas es, SPBN, dan tempat
perbaikan kapal dan jaring (yang diketahui saat ini masih tidak mencukupi) di PPI
Pontap.
8. Melakukan promosi kepada investor-investor dan pengelolaan modal usaha.
Strategi ini dirumuskan untuk meminimalisir faktor kelemahan internal
nomor 2 guna menangkap peluang eksternal. Langkah strategi yang dilakukan
tidak hanya dilakukan dengan sekedar menawarkan kemudahan-kemudahan.
Promosi investasi di masa depan harus dilakukan dengan memberikan keyakinan
yang bersifat struktural. Dengan kata lain, harus meyakinkan calon investor akan
kecilnya resiko jika mereka melakukan investasi. Pemerintah daerah Kota Palopo
harus berupaya memperkecil resiko usaha yang bersumber dari kondisi politik,
keamanan, sosial, ketidakpastian hukum termasuk peraturan investasi dan bisnis,
pelayanan birokrasi dan seterusnya. Langkah lain yang dilakukan adalah
pengelolaan modal usaha. Soejono (2008) dalam penelitiannya di Kecamatan
Puger Kabupaten Jember, menyatakan perlunya pengelolaan modal usaha, melalui
(a) memperoleh kemudahan untuk mengakses modal dari lembaga keuangan; (b)
penerapan manajemen keuangan; dan (c) mengurangi ketergantungan terhadap
lembaga keuangan yang “menekan” pengusaha; (4) rekayasa kelembagaan,
melalui pengembangan industri-industri penunjang kegiatan agroindustri berbasis
perikanan laut, misal industri es, kemasan, dan bahan baku penunjang lainnya.
9. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam bidang
perikanan khususnya di bidang pengolahan ikan.
Strategi ini dirumuskan untuk meminimalisir faktor kelemahan internal
nomor 3 guna menangkap peluang eksternal. Hal ini dapat direalisasikan dengan
memberikan beasiswa kepada putra daerah untuk sekolah di jurusan perikanan
dan memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan, pendampingan dan konsultasi
dalam bidang perikanan khususnya bidang pengolahan ikan kepada masyarakat
pesisir.
57
Weak – Treath (WT)
10. Melakukan pembinaan kepada nelayan dan masyarakat
Strategi ini dirumuskan dengan memperhatikan faktor internal kelemahan
dan faktor eksternal ancaman. Dengan semua kelemahan dan ancaman yang ada
maka strategi ini yang paling utama dilakukan. Langkah penerapannya yaitu
dengan melakukan penyuluhan kepada para nelayan dan sosialisasi manfaat dan
pentingnya industri pengolahan ikan kepada masyarakat.
Posisi Konsep yang berada pada kuadran I, menunjukkan bahwa prioritas
strategi yang sebaiknya diambil adalah strategi Strengh-Opportunity (SO),
meskipun demikian, alternatif strategi lainnya juga dapat diambil. Oleh karena itu,
strategi yang menjadi pilihan adalah keseluruhan dari strategi Strengh-
Opportunity (SO) dan salah satu strategi Weak-Opportunity (WO) yang dianggap
penting untuk mendukung pengembangan industri pengolahan ikan, yaitu
meningkatkan daya saing volume produksi hasil tangkapan ikan nelayan lokal
Kota Palopo di PPI Pontap. Pilihan strategi ini mempertimbangkan kontinuitas
bahan baku industri yang sebagian besar bergantung pada suplai bahan baku dari
luar Kota Palopo sehingga dianggap sangat beresiko terhadap kelangsungan usaha
industri pengolahan ikan.
Faktor internal eksternal lingkungan yang mempengaruhi, memperlihatkan
posisi konsep yang menganjurkan dilakukannya strategi agresif, diketahui bahwa
sebagian besar fokusnya berada pada aspek sumberdaya manusia. Peningkatan
SDM dalam bidang manajerial akan mengoptimalkan pengaplikasian setiap
strategi. Oleh sebab itu, untuk aspek SDM perlu dilakukan peningkatan
pengetahuan manajemen berbasis perikanan melalui kegiatan pendidikan,
pelatihan, pendampingan, dan konsultasi.
Alternatif strategi yang ditawarkan dari hasil analisis menunjukkan
pentingnya peran pemerintah daerah dan lembaga non-pemerintah (dalam hal ini
adalah koperasi, kelompok nelayan, lembaga masyarakat lainnya atau LSM)
dalam upaya pengembangan. Kekuatan-kekuatan yang dimiliki yang belum
dioptimalkan, kelemahan-kelemahan yang harus dikurangi bahkan dihilangkan,
peluang-peluang yang harus diambil, serta ancaman-ancaman yang harus diatasi,
menunjukkan bahwa perlu kerjasama dari seluruh stakeholders untuk
menghadapinya.
Pemerintah daerah sebagai salah satu stakeholder hingga saat ini telah
menjalankan perannya dengan melakukan pembangunan dan penyediaan fasilitas
yang dibutuhkan oleh nelayan, pengawasan terhadap pemanfaatan fasilitas dan
kelancaran kegiatan praproduksi penangkapan dan pascatangkap, serta melakukan
pembinaan kepada kelompok-kelompok nelayan dan masyarakat pesisir dalam
upaya mengoptimalkan kinerja mereka. Penerimaan yang baik terhadap upaya
pemerintah daerah diperlihatkan oleh nelayan dan masyarakat pesisir dengan
mengikuti setiap arahan yang diberikan. Namun hal tersebut belum cukup
mengingat banyaknya kegiatan yang harus dilakukan. Oleh karena itu, perlu
pengaktifan lembaga non-pemerintah dalam upaya mengoptimalkan
pengembangan industri perikanan di Kota Palopo.
58
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan yang diperoleh diantaranya :
1) Produksi hasil tangkapan ikan di Kota Palopo meningkat setiap tahun. Hasil
tangkapan ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pontap tidak hanya
berasal dari nelayan lokal (nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan di
PPI Pontap) tetapi juga berasal dari luar Kota Palopo yakni dari Bulukumba,
Makassar, Pare-pare, Bone, Sinjai, Palu, Ponrang, dan Kendari. Daya serap
pasar lokal akan ikan segar tinggi, meskipun demikian berdasarkan hasil
estimasi untuk tahun 2012 diketahui bahwa volume produksi ikan yang
tersisa dan dapat dijadikan bahan baku industri pengolahan ikan adalah
sebesar 4 757.61 ton per tahun. Jenis ikan dominan yang didaratkan di PPI
Pontap diantaranya ikan kembung, layang, teri, peperek, cakalang, tongkol
dan tembang. Jenis pengolahan tradisional yang umum di Kota Palopo yaitu
pengasinan dan pengeringan. Produk olahan lain yang sudah dihasilkan
diantaranya abon ikan, teri gurih, dendeng ikan, kerupuk ikan dan amplang.
Pengolahan tradisional yang diharapkan dan berpotensi tumbuh ialah
pemindangan dan pengasapan dan jenis pengolahan modern yang diharapkan
dan berpotensi untuh tumbuh adalah pengalengan ikan. Musim tangkapan per
jenis ikan yang dominan berfluktuatif, namun demikian secara keseluruhan
hasil tangkapan ikan berada pada musim puncak di bulan Januari, Februari,
Maret, September, Oktober dan November. Musim Paceklik berada pada
bulan April, Mei, Juni, Juli dan Agustus.
2) Potensi daerah Kota Palopo berkaitan dengan pengembangan industri
pengolahan ikan diperlihatkan dari: (1) adanya dukungan pemerintah daerah
melalui arah kebijakan dan rencana tata ruang wilayah yang mengarah pada
pengembangan industri. Tidak terkecuali untuk industri pengolahan ikan,
mengingat perikanan merupakan salah satu subsektor unggulan daerah yang
memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah regional bruto (PDRB) di
Kota Palopo; (2) lokasi yang sesuai untuk dijadikan tempat pengembangan
industri pengolah ikan adalah kawasan PPI Pontap, oleh sebab itu perlu
dilakukan peningkatan status dari pangkalan pendaratan ikan (PPI) menjadi
pelabuhan perikanan pantai (PPP) agar pengelolaan dan pengintegrasian
aktivitas pengolahan/industri perikanan dapat dilakukan di pelabuhan
perikanan tersebut; (3) daya serap pasar lokal akan produk pengolahan ikan
memiliki peluang, yang terlihat dari semakin berkembangnya Kota Palopo.
Selain itu, produk olahan perikanan sering menjadi oleh-oleh sehingga
menjadi produk unggulan daerah. Produk olahan perikanan juga menjadi
prospek yang bagus untuk pasar skala nasional karena sejalan dengan
program ketahanan pangan nasional; dan (4) gambaran sumberdaya manusia
Kota Palopo memperlihatkan bahwa dari segi tingkat pendidikan, kualitas
SDM cukup baik. Berdasarkan jumlah pencari kerja yang ada di Kota Palopo
diketahui bahwa kebutuhan tenaga kerja industri skala rumah tangga, kecil
dan sedang dapat dipenuhi.
3) Strategi pengembangan industri pengolahan ikan yang ditawarkan adalah: (1)
penguatan dan pengembangan kelompok pengolah ikan terpadu masyarakat
pesisir; (2) memanfaatkan dan memelihara fasilitas penanganan hasil
59
tangkapan yang tersedia seperti chilling room, pabrik es, dan gedung
pengolahan ikan; (3) mengembangkan jangkauan pasar terutama produk
olahan ikan; (4) mempermudah akses administrasi industri pengolahan ikan
di daerah; dan (5) meningkatkan daya saing volume produksi hasil tangkapan
ikan nelayan lokal Kota Palopo di PPI Pontap
Saran :
Perlu dilakukan promosi kepada investor berkaitan dengan potensi
pengembangan industri pengolahan ikan yang dimiliki Kota Palopo, melalui
pengembangan unit pengolahan ikan skala kecil. Namun demikian, kajian
kelayakan yang detail perlu dilakukan. Selain itu perlu memberikan pelatihan
keterampilan kepada pencari kerja atau masyarakat pesisir dalam bidang
pengolahan ikan agar dapat memanfaatkan sumberdaya ikan yang tersedia.
60
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar M. 2002. Analisis Implementasi Rencana Strategis Pengelolaan
sumberdaya Perikanan Pantai Provinsi Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Agustini TW, Swastawati F. 2003. Pemanfaatan Hasil Perikanan Sebagai Produk
Bernilai Tambah (Value-Added) dalam Upaya Penganekaragaman Pangan.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. XIV(1): 74-81.
[BPS Kota Palopo] Badan Pusat Statistik Kota Palopo. 2013. Palopo Dalam
Angka periode 2004-2013. Palopo (ID): BPS
Danial, Haluan J, Mustaruddin, Darmawan. 2011. Model Pengembangan Industri
Perikanan berbasis Pelabuhan Perikanan Di Kota Makassar Sul-Sel. Jurnal
Ilmiah Forum Pascasarjana IPB Bogor. 34(2): 1-11.
De Silva DAM, Yamao M. 2006. Regional preferences in the Japanese Seafood
consumption: An empirical analysis of consumer purchasing behavior on
domestic versus imported seafood. Journal of the Regional Fisheries
Society. 46(2): 83-104.
[DKP Kota Palopo] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Palopo. 2013. Laporan
Tahunan Produksi Hasil Tangkapan Periode 2003-2013. Palopo (ID): DKP.
[DTRCK] Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo. 2012. Laporan Akhir
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palopo Tahun 2011-2031. Palopo (ID):
DTRCK.
[Ditjen P2HP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.
2013. Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan. Jakarta (ID): Ditjen P2HP.
Frohlich MT, Westbrook R. 2001. Arch of Integration: an International Study of
Supply Chain Strategies. Journal of Operation Management. 19: 185-200.
Gasperz V. 1992. Analisis Sistem Terapan: Berdasarkan Pendekatan Teknik
Industri. Bandung (ID): Tarsito. 270 hlm.
Harian Analisa. 2012. Akibat Kekuranga Es, Berton-ton Ikan Terbuang. Aceh
(ID): [diunduh 2012 Nov 29]. Tersedia pada: http://www. analisadaily.com/
news/kanal/9/aceh/.
Hatta L. 2007. Degradasi Sumberdaya Pesisir dan Kelautan Sulawesi Selatan. Di
dalam: Pangkajene Kepulauan, Coral Reef Rehabilitation and Management
Program [Internet]. Pangkajene (ID): [diunduh 2012 Des 12]. Tersedia
pada: http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=34480.
Lubis E. 2011. Kajian Peran Strategis Pelabuhan Perikanan terhadap
Pengembangan Perikanan Laut. Akuatik (Jurnal Sumberdaya Perairan).
5(2): 1-7.
Lubis E, Sumiati. 2011. Pengembangan Industri Pengolahan Ikan Ditinjau dari
Produksi Hasil Tangkapan di PPN Palabuhanratu. Jurnal Marine Fisheries.
2(1): 39-49.
Lubis E, Nugroho T, Witry SDB. 2013. Produksi Hasil Tangkapan Sebagai Bahan
Baku Industri Pengolahan: Kasus Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar
Kabupaten Banyuwangi. Buletin PSP. 21(1): 77-95.
61
Lumi KW, Mantjoro E, Wagiu M. 2013. Nilai Ekonomi Sumberdaya Perikanan di
Sulawesi Utara (Studi Kasus Ikan Cakalang, Katsuwonus pelamis). Jurnal
Ilmiah Platax. 1-2: 74-80.
Mahyuddin B. 2007. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep
Tryptique Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mallawa A, Syafruddin, Palo M. 2010. Aspek Perikanan dan Pola Distribusi Ikan
Cakalang (katsuwonus pelamis) di Perairan Teluk Bone, Sulawesi Selatan.
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan). 20(1): 17 – 24.
Nazdan, Setiawan B, Sukandar D. 2008. Analisis potensi dan pengelolaan
perikanan dalam perspektif ketahanan pangan di wilayan perisir Kabupaten
Lampung Barat. J Giz Pangan 3(3):149-155.
Pane AB. 2013. Bahan Ajar Industri Kepelabuhanan Perikanan (IKP) Pada Mata
Kuliah Kepelabuhanan dan Industri. Pascasarjana Teknologi dan
Manajemen Perikanan Laut. Laboratorium Hasil Tangkapan dan
Manajemen Industri Kepelabuhanan, Bagian Keilmuan KPP. Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ponco AA. 2012. Tidak Terjual, Ikan Dikubur Di Pasir. [diunduh 2012 Nov 29].
Tersedia pada: http://bisniskeuangan. kompas.com / read /2012/09/12/
1316052/ Tidak.Terjual.Ikan.Dikubur.di.Pasir.
Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Industri. Jakarta (ID):
PT Gramedia Pustaka Utama.
Resi A, Zauhar S, Ismail HP. 2009. Interaksi Birokrasi Pemerintah dan Lembaga
Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan (Sinergi Birokrasi Pemerintah
dengan Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (LPIP) dalam
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Muncar, Banyuwangi ). Jurnal
Wacana.10(1): 54-77.
Setiawan IA, Rahardian R. 2005. Pengaruh Pola Integrasi Supply Chain terhadap
performa Perusahaan pada Industri Makanan di Surakarta. Jurnal Bisnis dan
Manajemen. 5(1): 11-22.
Soeharto I. 1997. Manajemen Proyek dari Konseptual Sampai Operasional.
Jakarta (ID): Erlangga.
Soejono D. 2008. Pola Pengembangan Agroindustri Berbasis Perikanan Laut di
Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian.
2(1):30-37.
Soeling, PD. 2007. Pertumbuhan Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi. 15(1).
Stanford RJ, Wiryawan B, Bengen DG, Febriamansyah R, Haluan J. 2013.
Exploring Fisheries Dependency and Its Relationship to Poverty: A Case
Study of West Sumatra, Indonesia. Jurnal Elsevier: Ocean and Coastal
Management. 84(2013): 140-152.
Suardi. 2005. Pengembangan Perikanan Tangkap Pelagis Kecil untuk
Pemberdayaan Nelayan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Suherman, A. 2011. Formulasi Strategi Pengembangan Pelabuhan Perikanan
Nusantara Pengambengan Jembrana. Marine Fisheries Journal. 2(1): 87-99.
60
Syahruddin. 2010. Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan
Industri. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. 17(1): 31-43.
Tambunan TTH. 2003. Perekonomian Indonesia, Beberapa Permasalahan
Penting. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia.
Tarigan R. 2009. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): PT Bumi
Aksara.
62
64
Lampiran 2 Fasilitas di Pangkalan Pendaratan Ikan Pontap
a. Dermaga dan kolam pelabuhan
b. Tempat pelelangan ikan dan Kantor administrasi
c. Stasiun pengisian bahan bakar nelayan
65
Lanjutan lampiran 2
d. Chilling room dan Pabrik es
e. Tempat perbaikan jaring
f. Gudang
Chilling room Pabrik es
64
Lanjutan lampiran 2
g. Pelataran tempat menjual ikan
h. Kios dan Kantin
i. Tempat menjual ikan
66
65
Lanjutan lampiran 2
j. Mushallah dan bak menara air
k. Balai pertemuan nelayan
l. Pos Jaga
67
64
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Belopa pada tanggal 19 Juni 1987 sebagai anak ke-dua
dari pasangan Muchtar Basir dan Miswani. Pendidikan sarjana ditempuh di
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011,
penulis diterima di Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap pada
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun
2014.
68