KAJIAN PUSTAKA PERTUSIS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kedokteran

Citation preview

BAB I

PAGE

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bodet dan Gengou.1 Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernapasan yang banyak menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah satu tahun yang disebabkan infeksi bakteri Bordetella pertussis, merupakan penyakit infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.(1-4)Pertusis masih merupakan salah satu penyebab terbesar kematian dan kesakitan pada anak terutama di negara berkembang. (World Health Organization) WHO memperkirakan + 600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Di Indonesia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian pada anak balita. Imunisasi amat mengurangi risiko terinfeksi, tetapi infeksi ulang dapat terjadi. Menurut perkiraan WHO (1983) hanya 30% anak-anak negara sedang berkembang yang menerima vaksinasi DPT sebanyak 3 dosis.(3) Jika diderita bayi penyakit ini merupakan penyakit yang gawat dengan kematian 15% sampai 30%. Pada anak-anak penyakit ini jarang menyebabkan kematian, tetapi pengobatan terhadap penyakit ini sulit dan memakan waktu lama (8 minggu) sehingga pengobatan terhadap pertusis memerlukan biaya yang cukup tinggi.(2)Di Amerika Serikat, sebanyak 71% kasus pertusis diderita oleh anak usia kurang dari 5 tahun dan 38% pada usia kurang dari 6 bulan. Sebanyak 1,3% kasus fatal pada bayi usia kurang dari 1 bulan dan 0,3% fatal pada bayi yang berumur 2 sampai 11 bulan.(3,4)BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Definisi PertusisPertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif. Syndenham yang pertama kali menggunakan istilah pertusis pada tahun 1670. Disebut juga whooping cough karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas. Nama pertusis lebih disukai daripada whooping cough karena tidak semua pasien pertusis disertai bunyi yang khas. Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Bordetella pertussis.(1,3,4)B. Etiologi Penyakit PertusisPertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B.pertusis, B.parapertusis, B.bronchoseptica, dan B.avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan adenovirus (tipe 1, 2, 3, dan 5).(2,5)

Gambar 1. Kolonisasi di Trakea oleh Bordetella pertussisBordetella pertussis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 m sampai 1 m dan diameter 0,2 m sampai 0,3 m, tidak bergerak, tidak berspora, tumbuh pada suhu kamar, aerob obligat, segera mati di luar saluran nafas. Dengan pewarnaan toluidin biru, dapat terlihat granula bipoler metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B.pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato-blood-glycerol agar) yang ditambah Penisilin G 0,5 g/ml untuk menghambat pertumbuhan organisme lain.(1,5)

Gambar 2. Pewarnaan Gram Bordetella pertussisOrganisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau 4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 50C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0 10C).(4-6)Spesies Bordetella memiliki tingkat homologi DNA (Deoxynucleic acid) yang tinggi pada gen virulen. Hanya B.pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 spesifik untuk B.pertussis.(3-5)B.pertussis mengahasilkan beberapa bahan aktif secara biologis yang berperan dalam penyakit dan imunitas. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP (toksin pertusis) tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP.

Toksin pertusis terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis, misalnya sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit. Toksin pertusis menyebabkan limfositosis segera pada hewan coba. Toksin pertusis tampak memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis.Batuk paroksismal yang mirip pertusis, namun lebih ringan, dari Pertusis disebabkan B. parapertussis, Chlamydia trachomatis, enterovirus, virus sinsitial respiratori, dan beberapa jenis Adenovirus. (4,5)C. Faktor Risiko dan TransmisiSiapa saja berisiko terkena pertusis. Orang yang tinggal serumah dengan penderita pertusis lebih mungkin terjangkit. Bayi prematur, pasien yang menderita penyakit jantung, paru-paru, otot atau neuromuskular berisiko tinggi menderita pertusis dan komplikasinya.(2,4,6)

Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara :

Droplet

Bahan droplet

Memegang benda yang terkontaminasi dengan sekret nasofaring.

Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier orang dewasa.(1)D. EpidemiologiPertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate 80% sampai 100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya host. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.

Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika serikat selama tahun 1977 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang tahun 1947 terdapat 152.600 penderita dengan kematian 17.00 orang.(8) Pada tahun 1983 di Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100 orang.(1) Di Amerika Serikat antara tahun 1932 sampai tahun 1989 telah terjadi 1.188 kali puncak epidemi pertusis.(8,9) Data yang diambil dari profil kesehatan jawa barat 193, jumlah pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%, menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian turun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992.(1,9) Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur, yang terbanyak adalah anak umur di bawah 1 tahun.(1-9) Makin muda usianya makin berbahaya penyakitnya, lebih sering menyerang anak perempuan daripada laki-laki. Di Amerika Serikat + 35% penyakit terjadi pada usia kurang dari 6 bulan, termasuk bayi yang berumur 3 bulan.(9) Sekitar 45% penyakit terjadi pada usia kurang dari 1 tahun dan 66% pada usia kurang dari 5 tahun. (10) Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan.

Antibodi dari ibu (transplansenta) selama kehamilan tidak cukup untuk mencegah pertusis pada bayi baru lahir. Pertusis yang berat pada neonatus dapat ditularkan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan Eritromisin dapat menurunkan tingkat penularan pertusis, karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan.(1)

Diagram 1. Insidensi Pertusis di Amerika Berdasarkan Usia pada Tahun 1997-2000.(9)

Diagram 2. Jumlah Kasus Pertusis di Amerika Tahun 1922-2000.(9)E. Patogenesis

Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Pertusis paling mudah menular pada stadium kataral, bisa menular selama 3 minggu, atau sebelum 5 hari pengobatan dengan Eritromisin.(1-3)Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella pertussis akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus lekosit. Di samping itu terjadi hiperplasi dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses nekrose yang terjadi pada lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada pertusis. Pada pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial dan pneumonia interstitial.(2)Mekanisme patogenesis infeksi terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik.(2)Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/ pertusis toxin (PT) dan protein 69 Kd berperan dalam perlekatan B.pertussis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, B.pertsusis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernapasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakterimia. Selama pertumbuhan B.pertussis akan dihasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit adalah pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 subunit, yaitu A dan B. Toksin subunit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.(1-4)Toxin mediated adenosine diphosphate mempunyai efek mengatur sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.(1,3)Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin atau sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit.(3,5)Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis lipopolysaccharide (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis penyakit ini. Kadang-kadang B.pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan karena tidak menghasilkan toksin pertusis.(1) F. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi pertusis 6 20 hari (rata rata 7 hari), dimana perlangsungan penyakit ini 6 8 minggu atau lebih.(2,4) Perjalanan klinis pertusis dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens. Manivestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur, dan status imunisasi. Gejala pada anak usia kurang dari 2 tahun terdapat pada tabel 1.Tabel 1. Gejala pertusis pada anak usia kurang dari 2 tahunBatuk paroksismal100%

Whoops60-70%

Emesis66-80%

Dispnea70-80%

Kejang20-25%

Pada anak yang lebih besar, manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak kurang dari 2 tahun. Suhu jarang lebih dari 38,4oC pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan B.parapertussis atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada B.pertussis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini.(1,2)

Gambar 3. Manifestasi klinis pertussisa) Stadium Kataral (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan common cold.

Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi.(1,2) Selama masa ini penyakit sering tidak dapat dibedakan dengan common cold.

Batuk yang timbul mula mula malam hari, kemudian pada siang hari dan menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel.b) Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu)

Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk yang berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada akhir serangan batuk. Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5 sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi whoop akibat udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan, muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik. Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas, di kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah, perdarahan subkonjungtiva dan sclera, bahkan ulserasi frenulum lidah.(2,4,6)

Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun bayi tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal terjadi pada pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak bersuara whoop, hanya ada batuk yang bertahan lama. Anak yang sudah divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang lebih ringan, tetapi bisa menular.(1,2,4,6)

Gambar 4. Batuk paroksismal pada pertusis

Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan seperti biasa. Setelah 1 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 3 minggu dan berangsur angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang.(2,4,6)c) Stadium Konvalesen / Penyembuhan (1 sampai 2 minggu)Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 sampai 3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.(1,2,4,6)G. DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis

Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Pemeriksaan Fisik

Gejala klinis yang didapat dari pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 sampai 50.000/ IU dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.(2,11,12) Gambar 4.Limfositosis pada pertusis

Isolasi B.pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95% sampai 100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.(4)Tes serologi terhadap antibodi toksin pertusis berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan negatif. ELISA (Enzime Linked Immuno Assay) dapat dipakai untuk menentukan serum IgM (Immuno globulin M), IgG (Immuno globulin G), dan IgA (Immuno globulin A) terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit maupun vaksinasi. Immuno globulin G toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.(12) Pemeriksaa lain yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis, atau emfisema.(1,4)H. Diagnosis Banding Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis (disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus, pada bayi kurang dari 6 bulan), pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis, dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan di luar trakea dan bronkus.1. Asma Bronchiale2. Obstruksi benda asing di trakea (biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologik dan endoskopi).3. Infeksi B.parapertussis, B.bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab, pemeriksaan serologis, dan biasanya gejalanya lebih ringan.

4. Infeksi Chlamydia trachomatis pada bayi menyebabkan pneumonia, oleh karena terkena infeksi dari ibu. Infeksi saluran pernapasan terjadi 2 12 minggu setelah lahir dengan gejala gejala pernapasan cepat, batuk paroksimal, tanpa demam, eosinofilia. Pada foto toraks terlihat konsolidasi paru dan hiperinflasi. Diagnosis dengan isolasi yaitu ditemukannya klamidia dari cairan saluran pernapasan. Penyakit ini disebut juga Eosinophilic Pertusoid Pneumonitis.(4,6)I. Komplikasi Komplikasi pertusis utama adalah apnea, infeksi sekunder (otitis media dan pneumonia), dan sekuele fisik batuk kuat. Kebutuhan untuk perawatan intensif dan ventilasi artifisial biasanya terbatas pada bayi kurang dari 36 bulan. Apnea, sianosis, dan pneumonia bakteri sekunder mempercepat kebutuhan intubasi dan ventilasi.(4,6) Pneumonia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai, menyebabkan 90% kematian pada anak kurang dari 3 tahun. Pneumonia dapat diakibatkan oleh B.pertussis, tetapi lebih sering diakibatkan oleh infeksi sekunder (H.influenzae, S.pneumoniae, S.aureus, S.pyogenes). Tuberkulosis laten dapat juga menjadi aktif. Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mukus yang kental. Aspirasi mukus atau muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas tinggi merupakan tanda infeksi sekunder oleh bakteri.(1)Kenaikan tekanan intratoraks dan intraabdomen selama batuk dapat menyebabkan perdarahan konjungtiva dan sklera, ptekie pada bagian tubuh atas, epistaksis, perdarahan pada sistem saraf sentral dan retina, pneumotoraks dan emfisema subkutan, dan hernia umbilikaslis serta inguinalis. Luka robek frenulum lidah tidak jarang.(4-6) Gambar 5. Perdarahan konjungtiva dan prolaps rektum

Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis, hiponatremia sekunder terhadap SIADH (syndrome of inapproriate diuretic hormon) juga dapat terjadi. Kejang tetanik mungkin dihubungan dengan alkalosis yang disebabkan oleh muntah persisten. Peneliti Inggris melaporkan di antara 2.295 kasus didapatkan penyulit pada tabel 2.(4)Tabel 2. Penyulit pertusisBerat badan menurun16,8%

Bronkitis akut 9,8%

Atelektasis0,3%

Bronkopneumonia 0,88%

Apnea1,1%

Kejang 0,6%

Otitis media7,5%

J. PenatalaksanaanTujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam.(2,4)Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespon.(4)Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut:

1. Agen Antimikroba

Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku.(2) Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.(1,2,4,6)2. Kortikosteroid dan Salbutamol Dapat mengurangi batuk paroksismal walaupun belum terbukti dalam penelitian kontrol.

Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.(1,2,4)

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian imunoglobulin pertusis telah pada anak kurang dari 2 tahun (1,25 ml/24 jam dalam 3 sampai 5 dosis) tidak bermakna, oleh karena itu tidak direkomendasikan.(1)K. Pencegahan

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan adanya program imunisasi. Pada tahun 1926 sampai tahun 1930 (era sebelum imunisasi) di Amerika Serikat dan Inggris terdapat sebanyak 36.013 kematian yang disebabkan pertusis dan setelah era imunisasi berjalan terdapat 26 kematian yang disebabkan pertusis (tahun 1986 sampai tahun 1988). Melalui PPI (Program Pengembangan Imunisasi), Indonesia telah melaksanakan imunisasi pertusis dengan vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus). Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.(1)1) Imunisasi PasifDalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin. Namun berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan untuk pencegahan.(1)2) Imunisasi Aktif Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU (International Unit) dan diberikan 3x sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak umur lebih dari 7 tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya ringan, tetapi dapat menjadi sumber penularan infeksi pertusis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml/ im) telah dipakai untuk mengontrol epidemi di antara orang dewasa yang terpapar.(1)Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.(2,4,6,12) Anak dengan kelainan neurologik dengan riwayat kejang 7,2x lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DTP dan 4,5x lebih tinggi bila hanya mempunyai iwayat kejang dalam keluarga. Maka pada keadaan anak yang demikian hanya diberikan imunisasi DT (Difteri Tetanus).(1)Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, demam lebih dari 40,5oC selama 2 hari yang tidak dapat diterangkan penyebabnya.(1,2)Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis. Kontak erat pada anak usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster dan Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi dua sampai empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Booster tidak perlu diberikan bila telah diberi imunisasi dalam 6 bulan terakhir. Kontak erat pada usia lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis.(1)Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan eritromisin diberikan waktu terjadi epidemi.(1) Vaksin Seluruh Sel

Vaksin yang sekarang digunakan untuk seri imunisasi primer di AS (Amerika Serikat) dan dianjurkan oleh WHO untuk penggunaan seluruh bagian terbesar dunia adalah vaksin seluruh sel mati yang membentuk suspensi B.pertusis yang diinaktifkan, digabung dengan toksoid difteri dan tetanus (DT) dan tambahan berisi aluminium (vaksin DPT). Kekuatan vaksin pertusis di-assay dalam tikus dengan uji proteksi-tantangn intraserebral, suatu standard yang terbukti berkorelasi dengan kemajuan protektif vaksin pada manusia. Kekuatan vaksin diwujudkan pada unit kekeruhan (juga standard keamanan) atau unit protektif preparat AS berisi 4 sampai 12 unit protektif dan tidak lebih dari 16 unit kekeruhan per 0,5 ml dosis. Kemanjuran vaksin sel utuh bervariasi menurut definisi kasus dari 64% untuk batuk ringan, sampai 81% untuk batuk paroksismal, dan sampai 95% untuk penyakit klinis berat. Komposisi preparat yang digunakan, tingkat kecocokan antara tipe-tipe aglutinogen dalam vaksin dan strain tantangan, tipe pajanan, waktu sesudah imunisasi dan kebutuhan untuk konfirmasi biakan kasus semua berdampak pada perkiraan kemajuan vaksin. Individu lebih dari 7 tahun tidak secara rutin diberi vaksin berisi pertusis. Bila digunakan pada orang dewasa untuk mengendalikan ledakan serangan rumah sakit, vaksin seluruh sel ternyata kurang reaktogenik daripada yang dilaporkan pada anak.(4,12)Keterbatasan utama penggunaan vaksin seluruh sel adalah reaktogenisitas terkaitnya, yang dilaporkan 1 dekade yang lalu terjadi pada 75% vaksin. Dibanding dengan vaksin DT, DTP mempunyai reaksi lokal yang lebih bermakna seperti nyeri, pembengkakan, eritema, dan reaksi sitemik seperti demam, rewel, menangis, mengantuk, dan muntah. Manivestasi ini terjadi dalam beberapa jam setelah imunisasi dan berkurang secara spontan tanpa sekuele. Penelitian baru-baru ini melaporkan frekuensi reaksi lokal da sistemik yang lazim menurun, memberi kesan bahwa modifikasi vaksin seluruh sel telah terjadi. Anafilaksis berat atau abses steril sangat jarang paska vaksin DTP. Urtikaria sementara jarang, mungkin terkait dengan kompleks antigen-anti bodi dalam sirkulasi, dan jika reaksi tidak terjadi dalam beberapa menit imunisasi adalah tidak mungkin menjadi reaksi serius yang diperantarai IgE (Immunoglobulin E), atau kumat pada imunisasi berikutnya.(4,6,12)Kejang-kejang terjadi dalam 48 jam dari sekitar 1:1.750 dosis yang diberikan, singkat, menyeluruh dan sembuh sendiri, terjadi pada anak demam pada hampir semua keadaan. Terjadi lebih lazim pada mereka dengan riwayat pribadi atau keluarga konvulsi dan tidak berakibat epilepsi atau sekuele neurologis permanen. Menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur atau berteriak selama 3 jam/lebih dilaporkan sesudah diberikan 1% dosis, biasanya pada bayi muda yang menderita reaksi lokal, tidak aneh pada imunisasi pertusis dan tampak merupakan manivestasi nyeri pada banyak keadaan. Keadaan kolaps (episode hipotonik-hipertonik) biasanya tidak terkait dengan demam atau reaksi lokal, telah diamati sesudah 1:1.750 vaksinasi pertusis, biasanya pada bayi muda. Reaksi ini tampak terkait secara unik dengan vaksin pertusis dan tidak mempunyai sekuele neurologis permanen. Sebanyak 60 anak dievaluasi secara teliti segera pasca kejadian-kejadian yang merugikan akibat vaksin pertusis termasuk kejang-kejang, menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur, demam sangat tinggi, dan hipotonik-hiporesponsif. Sebanyak 90% kejang adalah khas kejang demam. Tidak ada kekacauan metabolik atau toksin pertusis yang dapat diukur ditemukan dalam darah. Bayi umur kurang dari 1 tahun cenderung mempunyai kadar insulin lebih tinggi daripada yang diharapkan memberi kesan kemungkinan kerentanan terkait umur individu atau perubahan akibat vaksin dalam pengaturan insulin.(4,6,12)Amat jarang (dengan dosis 1:140.000) vaksin pertusis dapat dihubungkan dengan penyakit neurologis akut yang sebelumnya normal. Kejadian berat yang merugikan seperti kematian, ensefalopati, mulai gangguan kejang, perkembangan lambat, atau masalah belajar atau perilaku telah terjadi pada individu yang berkaitan secara temporal dengan imunisasi pertusis atau diduga keras ada hubungan sebab akibat. Lima penelitian epidemiologi utama telah memeriksa risiko neurologis akibat imunisasi pertusis. Kematian bayi mendadak (sudden infant death) dan spasme infantil ditemukan tidak terkait sementara atau tidak terkait sebab akibat. Analisis dan reanalisis oleh 7 komisi besar tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk mendapatkan hubungan sebab akibat antara DTP dan gangguan neurologis kronik. Pertimbangan manfaat lawan risiko vaksin seluruh sel telah berulang-ulang menyimpulkan setuju penggunaannya.(4) Vaksin Aseluler

Komponen vaksin pertusis aseluler yang dimurnikan (AP), pada mulanya berkembang di Jepang adalah imunogenik dan disertai dengan kejadian kurang merugikan bila dibandingkan dengan DTP. Vaksin yang disediakan oleh 6 pabrik telah digunakan secara luas di Jepang sejak tahun 1981, dan penggunaannya telah mengendalikan pertusis. Trial kemanjuran kendali-plasebo, acak (tetapi bukan kendali DTP) 2 vaksin pertusis aseluler (dikembangkan oleh institut kesehatan Jepang dan dilakukan di Swedia selama tahun 1986-1987 di bawah sponsor AS) menunjukkan kemanjuran vaksin aseluler ini sedikit kurang dibandingkan secara historis dengan vaksin pertusis seluruh sel yang digunakan di AS. Reaktogenisitas vaksin aseluler yang lebih rendah dan imunogenisitas yang baik pada anak AS yang baru belajar jalan, digabung dengan bukti kemanjuran pada pemajanan-rumah tangga dan penelitian berdasar populasi dari Jepang, menyebabkan keluarnya lisensi AS (tahun 1991 sampai 1992) pada DTAP untuk penggunaan pada anak umur lebih dari/ sama dengan 15 bulan sebagai dosis ke-4 dan/ atau ke-5 seri DTP yang dianjurkan. Vaksin ini ditoleransi dengan baik, dan penggunaannya disertai dengan sedikit reaksi lokal yang lazim dan gejala-gejala sistemik, demam dan kejang demam.(4)L. Prognosis

Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik. Pada bayi risiko kematian 0,5-1% disebabkan ensefalopati. Pada observasi jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual di kemudian hari.(1)BRONKOPNEUMONIA

DEFINISI

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution) (Bennete, 2013). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011)

EPIDEMIOLOGI

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011)ETIOLOGI

Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al., 2011) :

1. Faktor Infeksi

a. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).

b. Pada bayi :

1) Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.

2) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.

3)Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, Bordetella pertusis.

c. Pada anak-anak :

1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV

2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosisd. Pada anak besar dewasa muda :

1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis2.FaktorNonInfeksi.Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi

a. Bronkopneumonia hidrokarbon :

Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

b. Bronkopneumonia lipoid :

Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.KLASIFIKASI

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).

1. Berdasarkan lokasi lesi di paru

a. Pneumonia lobaris

b. Pneumonia interstitialis

c. Bronkopneumonia

2. Berdasarkan asal infeksi

a. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP)

b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab

a. Pneumonia bakteri

b. Pneumonia virus

c. Pneumonia mikoplasma

d. Pneumonia jamur

4. Berdasarkan karakteristik penyakit

a. Pneumonia tipikal

b. Pneumonia atipikal

5. Berdasarkan lama penyakit

a. Pneumonia akut

b. Pneumonia persistenPATOGENESIS

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung.

Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).

MANIFESTASI KLINIK

Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).

Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):

1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat head bobbing, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada head bobbing, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi. 2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.

3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan

4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Bennete, 2013).KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al., 2011):

1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada

2. Panas badan

3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)

4. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus

5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

KOMPLIKASI

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi (Bradley et.al., 2011).PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al., 2011)

1. Penatalaksaan Umum

a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit ( sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah 60 torr.

b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

2. Penatalaksanaan Khusus

a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.

b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung

c. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis.Pneumonia ringan ( amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis

2. Berat ringan penyakit

3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis

4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia:1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

a. ampicillin + aminoglikosid

b. amoksisillin - asam klavulanat

c. amoksisillin + aminoglikosid

d. sefalosporin generasi ke-32. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

a. beta laktam amoksisillin

b. amoksisillin - asam klavulanat

c. golongan sefalosporin

d. kotrimoksazol

e. makrolid (eritromisin)

3. Anak usia sekolah (> 5 thn)

a. amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

b. tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam ( ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri B.pertussis. Pertusis disebut juga batuk rejan atau whooping cough karena pasien batuk 5 sampai 10x batuk tanpa berhenti dan berupaya keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas (whoop). Pertusis ditularkan melalui aerosol batuk atau bersin dari penderita pertusis. Tanpa pengobatan, penderita pertusis dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain mulai awal batuk sampai berminggu-minggu kemudian hingga batuk berhenti, namun dapat menjadi tidak infeksius setelah 5 hari pengobatan dengan eritromisin. Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Stadium klinis pertusis terdiri dari stadium katar yang ditandai dengan gejala seperti infeksi saluran pernapasan, stadium paroksismal yang ditandai dengan batuk berat 5 sampai 10x batuk tanpa henti dan diakhiri dengan suara khas (whoop) dan/ atau muntah, dan stadium konvalesens ditandai dengan batuk berkurang dan tidak muntah lagi. Penegakan diagnosis berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang (limfositosis dan biakan bakteri B.pertussis). Eritromisin 50 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 4 dosis dapat membasmi basil dalam 3 sampai 4 hari, namun tidak meringankan stadium paroksismal penyakit. Terapi suportif diberikan terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, bila perlu beri oksigen dan pengisapan lendir pada bayi. Komplikasi pertusis terutama pada sistem pernapasan (apnea dan pneumonia) dan saraf pusat (ensefalopati dan kejang). Prognosisnya lebih baik pada anak usia lebih tua.Siapa saja dapat terkena pertusis, terutama bayi muda dan anak yang lebih tua. Infeksi pada bayi lebih serius dan dapat menimbulkan kematian. Imunisasi yang diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan efektif untuk mencegah infeksi yang berat, namun tidak memberikan kekebalan yang permanen. Oleh karena itu, perlu diberikan booster dan profilaksis eritromisin pada anak usia kurang dari 7 tahun yang kontak erat dengan penderita pertusis. Efek samping vaksinasi pertusis adalah demam tinggi, nyeri lokal, dan rewel. Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif ndalam 2 hari, demam lebih dari 40,5oC selama 2 hari yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Pemberian vaksin pertusis aseluler memberi efek samping lebih ringan, namun efek protektifnya lebih rendah dibandingkan dengan vaksin pertusis sel penuh.

B. Saran Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan pemberian vaksin DTP pada usia 2, 4, dan 6 bulan sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat. Vaksin booster dianjurkan pada usia 4 tahun dan 15 tahun karena imunisasi dasar pertusis tidak memberi kekebalan permanen. Selain itu bila ada kontak erat dengan penderita pertusis perlu diberikan profilaksis eritromisin dan isolirkan penderita, jika tidak mungkin memutus kontak, maka perlu diberi eritromisin profilaksis hingga batuk berhenti.

DAFTAR PUSTAKA

1. Law, Barbara J. Pertussis. Kendigs : Disorders of Respiratory Tract in Children. Philadelphia, USA. WB Saunders, 1998. 6th edition. Chapter 62. h :1018-1023.

2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.

3. Long, Sarah S. Pertussis. Nelson : Textbook of Pediatrics. USA. WB Saunders, 2004. 17th edition. Chapter 180. h: 908-912,1079.

4. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.

6. http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html

7. www.cdc.gov/nip/publication/pink/pert.8.Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal 331 337.

9.James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422-1427. http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/142210.Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1, Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20 -33.11.Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 965

PAGE 33