Upload
vodien
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN SEJARAH PENGELOLAAN, ASPEK EKONOMI
FINANSIAL PENGUSAHAAN DAN PERMASALAHAN
TAMAN BURU MASIGIT KAREUMBI
Rizki Kurnia Tohir E351160106
Dosen
Dr Ir Agus Priyono Kartono MS
PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Usaha merupakan keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber
untuk mendapatkan manfaat (benefit), atau suatu aktivitas dimana dikeluarkannya
uang dengan harapan akan mendapatkan hasil (return) di waktu yang akan datang
dan yang dapat direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan sebagai suatu unit usaha
(Kadariah 2001). Sedangkan menurut Gray (1992) proyek adalah kegiatan-kegiatan
yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan dengan
mempergunakan sumber-sumber untuk mendapatkan benefit. Sumber-sumber yang
dimaksud dapat berupa barang-barang modal, tanah, bahan setengah jadi, bahan
mentah, tenaga kerja dan waktu.
Studi kelayakan usaha merupakan studi yang mengkaji tentang dapat
tidaknya suatu usaha dapat dilaksanakan dengan berhasil. Adapun kriteria
keberhasilan suatu usaha diantaranta: memiliki manfaat ekonomis terhadap usaha
itu sendiri (manfaat finansial), manfaat bagi negara tempat usaha (manfaat ekonomi
nasional) dan manfaat sosial usaha (Husnan dan Suwarsono 2000). Salah satu
pengusahaan pada bidang kehutanan yang berkaitan dengan satwa liar adalah usaha
perburuan satwa liar. Menurut Undang-undang No. 13/1994 Pengusasahaan kebun
buru dan taman buru merupakan suatu kegiatan untuk menyelenggarakan
perburuan, penyediaan sarana dan prasarana perburuan.
Taman Buru Masigit Kareumbi merupakan salah satu dari 14 taman buru
yang ada di Indonesia. Sebelum tahun 2008 izin pengusahaan Taman Buru Masigit
Kareumbi dipegang oleh PT Prima Multijasa Sarana. Mulai tahun 2008 pengelolaan
Taman Buru Masigit Kareumbi dikelola oleh WANADRI namun lebih mengarah
kepada kegiatan wisata alam seperti outbond, tracking, sepeda dan penginapan
(MKKMK 2015). Dalam kajian kali ini karena yang dikaji mengenai usaha
pelaksanaan kegiatan perburuan maka aspek ekonomi finansial yang dilakukan di
Taman Buru Masigit Kareumbi yang dikaji dilakukan sebelum tahun 2008 menurut
penelitian Hernadi et al. (2007). Selain itu akan dikaji juga permasalahan yang
terjadi saat pemegang izin usaha oleh PT Prima Multijasa Sarana.
Tujuan
Mengetahui aspek ekonomi finansial pada Taman Buru Masigit Kareumbi
sebelum tahun 2008 dengan pemegang izin usaha perburuan PT Prima Multijasa
Sarana serta permasalahan yang terjadi.
BAB II
METODE
Tempat dan waktu pengumpulan data
Data mengenai kajian aspek ekonomi finansial pengusahaan taman buru
masigit kareumbi kabupaten sumedang jawa barat, dikumpulkan di Kampus Institut
Pertanian Bogor, Dramaga. pada tanggal 20-28 Desember 2016.
Metode pengumpulan dan analisis data
Data didapatkan dengan mengumpulkan literature yang membahas
mengenai kajian aspek ekonomi finansial pengusahaan taman buru masigit
kareumbi kabupaten sumedang jawa barat. Kemudian data dianalisis dengan
mengkomparasi literature yang ditemukan sehingga menjadi satu kesatuan utuh
yang dapat menjelaskan aspek perekonomian pengusahaan taman buru masigit
kareumbi.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
SEJARAH PENGELOLAAN
Periode 1921-1927
Berdasarkan Gouvernment Besluit No. 69 tanggal 26 Agustus 1921 dan G
ouvernment Besluit No. 27 tanggal 27 Agustus 1927, komplek hutan Gunung
Masigit Kareumbi ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Periode 1950an
Kawasan hutan Gunung Masigit Kareumbi dikelola oleh Dinas Kehutanan
Propinsi Jawa Barat. Pengelolaan yang telah dilakukan selama pengelolaan Dinas
Kehutanan diantaranya telah dilakukan kegiatan reboisasi antara tahun 1953 – 1976
dengan jenis tanaman pinus, rasamala, dan puspa seluas 4809,98 Ha (1).
Periode 1966
Pada sekitar tahun 1966, Pangdam Siliwangi, Bpk. Ibrahim Adjie
memprakarsai pengembangan usaha di kawasan ini. Beliau membangun rumah di
salah satu pintu masuk kawasan, yang selanjutnya disebut blok KW. Karena
kesukaan terhadap olahraga berburu, beliau juga mengembangkan dan
mengintroduksi berbagai jenis rusa, diantaranya Rusa Sambar (Cervus unicolor),
Rusa Timor (Cervus timorensis), dan Rusa Tutul (Axis axis).
Usaha ini dilakukan bersama-sama dengan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa
Barat dengan seksi PPA Jawa Barat II dan Pemda Kabupaten bandung dengan
tujuan memanfaatkan sumberdaya satwa liar yang dibina secara baik, sekaligus
mengelola secara efisien. Jumlah rusa yang di introduksi sebanyak 25 ekor pada
lahan berpagar seluas ±4 ha. Setahun kemudian pagar tersebut dibuka dan rusa
dilepaskan ke dalam hutan.
Periode 1970 – 1988
Melalui SK. Menteri Pertanian No 297/Kpts/Um/5/1976 tanggal 15 Mei
1976 kawasan ini ditetapkan sebagai Hutan Wisata dengan fungsi Taman Buru.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 1978 tentang berdirinya Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat, ditetapkan bahwa wilayah kerja Perum Perhutani III
meliputi bekas wilayah Dinas Kehutanan Jawa Barat, diantaranya kawasan TB.
Masigit Kareumbi.
Kemudian pada tahun 1980 dilakukan penataan batas luar oleh Direktorat
Jenderal INTAG Departemen Kehutanan. Peta lampiran batas luar ini disahkan oleh
Menteri Kehutanan pada tanggal 2 Februari 1982. Pada periode ini dibuatlah
Rencana Pengelolaan (Management Plan) Hutan Wisata Buru Gunung Masigit-
Kareumbi Tahun 1979 – 1984 oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam. Dalam rencana pengelolaan tersebut, dilakukan pembagian
zonasi ke dalam 4 zona, yaitu:
- Zona Semi Perlindungan (Wilderness Zone) seluas ± 7.800,7 ha
- Zona Rekreasi (Intensive Use Zone) seluas ± 520 ha
- Zona Perlindungan (Sanctuary Zone) seluas ± 4.100 ha
- Zona Penyangga (Buffer Zone) meliputi areal berjarak ± 500 m dari batas
kawasan ke arah luar.
Berdasarkan PP No. 36 tahun 1986 tentang Perusahaan Umum Kehutanan
Negara (Perum Perhutani) ditetapkan bahwa wilayah kerjanya meliputi hutan
negara yang berada di Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, kecuali
Hutan Suaka Alam, Hutan Wisata (termasuk Taman Buru) dan Taman Nasional.
Sebagai tindak lanjut PP tersebut maka pada tanggal 27 Februari 1988 telah
dilakukan serah terima pengelolaan Hutan Wisata Taman Buru Gunung Masigit
Kareumbi, dari Direksi Perum Perhutani kepada Direktur Jenderal Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) yang disaksikan oleh Menteri Kehutanan di
Bali yang tertuang dalam naskah Berita Acara Serah Terima dengan ketentuan
bahwa Perum Perhutani masih dapat mengelola hutan tanaman pinus pada TB.
Gunung Masigit Kareumbi yang dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan
petunjuk yang dikeluarkan oleh Departemen/ Direktorat Jendral PHPA.
Periode 1988 – 1998
Pada tahun 1990 dilakukan program Perencanaan Tapak (Site Plan) oleh
Fakultas Kehutanan IPB kerja sama dengan BKSDA III. Dalam dokumen tersebut
pembagian kewilayahan kawasan dilakukan sebagai berikut:
- Zona pengelolaan di Blok KW, Ciceuri, Cipancar dan Cibugel, Cikudalabuh
- Zona pengembangbiakan satwa buru di blok KW dan Cibugel
- Zona buru yang merupakan sebagian besar kawasan
- Zona non-buru di Blok Cipancar dan Ciceuri
- Zona penyangga diluar kawasan
Pada tahun 1992 dilakukan kembali program pembuatan rencana
pengelolaan (management plan) dari Direktorat Jenderal PHPA yang disusun oleh
PT. Aristan Ekawasta. Dalam konsep tersebut, kawasan dibagi dalam:
- Zona pengelolaan intensif
- Zona penangkaran
- Zona peliaran dan perlindungan satwa buru
- Zona padang buru di
- Zona wisata alam lainnya, dan
- Zona desa binaan/ daerah penyangga
Sehingga pada tahun 1990 – 1993 ini dapat disebutkan bahwa TB. Masigit
Kareumbi dijadikan proyek percontohan oleh BKSDA III dengan sumber dana
mencapai Rp. 520 juta. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk
pembangunan sarana dan prasarana. Dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 104/Kpts/II/1993 tanggal 20 Februari 1993, maka hak pengusahaan TB.
Gunung Masigit Kareumbi diserahkan kembali kepada Perum Perhutani. Kemudian
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 141/Kpts/II/1998 tanggal 25
Februari 1998, Pengusahan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi oleh Perum
Perhutani kembali dicabut.
Periode 1998
Muncul surat dari Menteri Kehutanan No. 235/Menhut/-II/1998, tanggal 25
Februari 1998 yang menyetujui bahwa Hak pengusahaan Taman Buru Gunung
Masigit Kareumbi diserahkan kepada PT. Prima Multijasa Sarana (PMS) yang
berada di blok pemanfaatan dan blok buru seluas 7.560,72 ha. Sedangkan sisanya
seluas 4809,98 ha yang didalamnya terdapat tegakan pinus, hak pengusahaannya
diserahkan kepada Perum Perhutani. Hak pengusahaan tersebut mencakup ijin
untuk memanfaatkan dan menyadap getah.
Dalam perjalanannya kawasan ini kemudian ditetapkan melalui SK. Menhut
No. 298/Kpts-II/98 tanggal 27 Pebruari 1998 dan nama resminya adalah Taman
Buru Gunung Masigit Kareumbi. Surat Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan
No. 733/II/Kum/1998 Tanggal 16 April 1998, tentang Ijin Prinsip Taman Buru
Gunung Masigit Kareumbi dinyatakan bahwa ijin Pengusahaan Perburuan
bertanggung jawab atas kelestarian fungsi kawasan. Selain itu, kepada Perum
Perhutani diberi kesempatan untuk menyadap getah pinus dan tidak untuk
memanfaatkan kayu.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 923/Kpts-
II/1999 Tanggal 14 Oktober 1999, diberikan ijin Pengusahaan Taman Buru kepada
PT. PMS pada blok pemanfaatan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi. Namun
dalam perjalanannya, pihak pengelola ini terkait kasus penebangan hasil hutan
terutama kayu yang menyeret banyak pihak kepada hukum, terutama pihak
pengelola sendiri sampai akhirnya kawasan ini diambil lagi pengelolaannya oleh
BKSDA.
Periode 2008 s/d Sekarang
Sampai tahun 2008, kawasan ini terutama area “KW” berada dalam kondisi
terbengkalai. Infrastruktur dan bangunan yang dibangun oleh pengelola
sebelumnya termasuk oleh pemrintah dan berbagai program yang telah diluncurkan
lambat laun rusak. Sebagian besar konstruksi bangunan dan infrastruktur.
Bangunan Pusat Informasi Taman Buru milik BKSDA juga tak luput dari perusakan
dan sudah tidak dapat digunakan kembali. Wisma Pemburu, kompleks taman safari
mini, kolam renang, rumah sakit hewan bahkan mesjid juga tidak luput dari
kerusakan. Perambahan kawasan untuk pertanian dan pengambilan kayu untuk
keperluan bahan bangunan serta kayu bakar juga marak. Demikian juga perburuan
liar yang menyebabkan satwa terutama rusa tak berbekas.
Pada sekitar tahun 2006, sesepuh Wanadri yang sering melakukan
perjalanan ke kawasan ini, Remi Tjahari (W-090-LANG) melihat potensi kawasan
yang sangat besar. Namun di balik potensi kawasan sebagai daerah konservasi dan
sangat layak dikembangkan untuk wisata dan pendidikan alam terbuka juga
terdapat potensi kerusakan lingkungan bila tidak dikelola dengan baik. Akhirnya
pada tahun 2007, Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri
menyampaikan minat untuk melakukan pengelolaan kawasan pada pihak
Kementrian Kehutanan dan BBKSDA. Setelah menempuh berbagai kewajiban
diantaranya pembuatan Rencana Jangka Pendek dan Menengah, pada bulan April
tahun 2008, BBKSDA mengeluarkan surat keputusan No: 750/ BBKSDA JABAR.
1/ 2008 yang kemudian direvisi oleh SK No. 1111/BBKSDA JABAR.1/2009 yang
pada intinya menyatakan bahwa BBKSDA setuju untuk melakukan kerjasama
kemitraan Optimalisasi Pengelolaan Kawasan dengan Wanadri dan mekanisme
kerjasamanya ditelurkan kedalam dokumen tersebut dengan diketahui oleh
Departemen Kehutanan.
Selanjutnya, pihak Dewan Pengurus Wanadri menunjuk Koperasi Wanadri
melalui surat No: 02/ SPK/ DP/ XX/ W/ IV/ 2008 untuk membentuk sebuah badan
otonom yang dapat melakukan fungsi-fungsi pengelolaan di TBMK. Maka pada
akhir 2008 dibentuklah tim yang disebut Tim Manajemen Pengelola Kawasan
Konservasi Masigit Kareumbi. Sejak itu tim mulai bekerja melakukan pembenahan
di kawasan utama yang disebut “KW”. Model pembenahan kawasan dengan cara
cost-recovery dan pola pelibatan masyarakat sekitar kawasan serta kolaborasi
dengan berbagai pihak. Strategi tersebut menjadi andalan tim manajemen ini.
Program-program awal yang dilakukan di sini adalah Pendidikan & Pelatihan serta
Program Konservasi Wali Pohon. Sejak diperkenalkan pada akhir 2008 sampai
Maret 2009, program Wali Pohon telah menanam sejumlah 10.500 batang pohon
dengan model adopsi bergaransi selama 5 tahun.
ANALISIS POTENSI TAMAN BURU MASIGIT KAREUMBI
Potensi Kawasan
Menurut data di Kantor Seksi Wilayah III Sumedang luas TBMK seluruhnya
mencapai 12.420,70 ha, terletak di 3 wilayah kabupaten masing-masing 7.452,70
ha (60%) di Kabupaten Sumedang, 2.484 ha (20%) di Kabupaten Bandung, dan
2.484 ha (20%) di Kabupaten Garut. Dari luas TBMK tersebar 60% (7.600,72 ha)
merupakan hutan alam, dan 40% (4.809,98 ha) adalah hutan tanaman (Ditjen
PHPA, 2001). Hasil analisis Citra Landsat TM liputan Juli 2001 menunjukkan
bahwa luas kawasan TBMK adalah 12.547,53 ha atau terdapat selisih pengukuran
sebesar 126,83 ha (1,02%). Komposisi tipe penutupan lahan secara garis besar
terdiri atas hutan alam, hutan tanaman, enclave, dan semak belukar (Tabel 1).
Tabel 1. Penutupan lahan dan penggunaan areal di kawasan TBMK
Tipe Penutupan Lahan
Citra Landsat TM Liputan 2001
Areal
Perburuan
Areal
Non buru Jumlah %
Hutan alam 3.962,3 1.386,2 5.348,5 42,63
Hutan tanaman 2.684,0 1.861,0 4.545,0 36,22
Semak belukar 253,8 317,9 571,7 4,56
Enclave 33,9 - 33,9 0,27
Lahan kosong 792,0 777,5 1.569,5 12,51
Tertutup awan 131,1 347,8 478,9 3,82
Jumlah 7.857,2 4.690,4 12.547,5 100
Menurut Ratag (2006) jenis vegetasi yang ditemukan di TBMK sebanyak
87 jenis terdiri dari 44 jenis pepohonan dan 43 jenis vegetasi non pohon. Dari sisi
potensi sumber pakan, jumlah jenis vegetasi non pohon (rerumputan, semak
belukar, dan perdu) yang ditemukan di areal pemanfaatan TBMK seluruhnya
terdapat 43 jenis. Sebanyak 33 jenis diantaranya merupakan jenis-jenis yang
dimakan rusa sambar dengan beberapa pakan dominan.
Selanjutnya Ratag (2006) menyebutkan produktivitas hijauan pakan rusa
sambar di TBMK menunjukkan rata-rata pertambahan bobot basah setiap jenis
2.956 kg/ha/hari. Dengan mempertimbangkan jumlah bulan basah yang
berlangsung hanya 7 bulan dalam setahun, maka rata-rata total produktivitas
hijauan pakan sebanyak 20.790,6 kg/ha/th. Berdasarkan hasil pengukuran Citra
Landsat sebagaimana dikemukakan Ratag (2006) pada luas pemanfaatan efektif
6.900,1 ha, total potensi sumber pakan rusa sebanyak 47 394 ton/th. Apabila
kebutuhan makan rusa sambar rata-rata 5,7 kg/ekor/hari dalam bentuk hijauan
segar, maka kawasan TBMK memiliki daya dukung bagi rusa sambar sebanyak
22.780 ekor.
Satwa Buru
Satwa buru yang menjadi target perburuan adalah rusa sambar dan babi hutan.
Jumlah babi hutan di TBMK tidak kurang dari 500 ekor dan akan mengalami
pertambahan secara alami 5% per tahun. Ratag (2006) merekomendasikan bahwa
hasil panen lestari rusa sambar di TBMK dengan introduksi 4.280 ekor akan
menghasilkan jatah panen per tahun sebanyak 624 ekor dengan 416 jantan dan 208
betina (Skenario tanpa breeding). Perburuan dapat dilakukan pada tahun keempat
pengusahaan. Pengadaan populasi rusa awal untuk breeding dilakukan introduksi
tambahan sebanyak 960 ekor yang dikelola secara intensif (Skenario dengan
breeding).
Pemburu dan Pengunjung
TBMK akan dimanfaatkan oleh pemburu dan pengunjung biasa (wisatawan).
Anggota Perbakin sampai Maret 2004 tercatat 3.031 orang dengan kenaikan per
tahun 4% (Nitibaskara 2005). Jumlah wisatawan mengacu pada rata-rata jumlah
ditempat-tempat wisata di Sumedang dengan faktor koreksi 0,75. Persentasi
anggota Perbakin yang diperkirakan akan memanfaatkan TBMK untuk kegiatan
berburu seperti Tabel 2.
Tabel 2. Persentase (%) anggota perbakin yang akan memanfaatkan TBMK
Kelompok Anggota Perbakin %
Sebagai atlit olahraga menembak 40
Sebagai kelompok pemburu :
a. Pemburu yang memperhitungkan biaya yang
dikeluarkan 30
b. pemburu dari tingkat kerhidupan mapan 12
c. Pemburu dengan motivasi kepuasan berburu. 18
Total persentase (%) 100
Gambaran potensi TBMK (kawasan, satwa buru, pemburu dan pengunjung)
memberikan pemahaman atas macam kegiatan pengusahaan yang bisa di lakukan
dan harus ditunjang dengan sarana prasarana tertentu sesuai macam kegiatan
pengusahaannya. PP 18/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam menyebutkan
jumlah area untuk pembangunan sarana prasarana tidak lebih dari 10% dari total
luas kawasan. Konsep pengusahaan TBMK dalam penelitian ini dengan 2 pintu
utama (2 blok), masing-masing blok terdapat area penerimaan, area pusat
pengelolaan, pusat kegiatan pengunjung, area peristirahatan dan area breeding.
Total luas untuk keperluan tersebut 405 ha.
Aktivitas pengusahaan TBMK dapat dilakukan dengan upaya-upaya seperti
pengaturan tata ruang (blocking system), pengaturan satwa buru, pengaturan
pemburu dan pengunjung, dan lain-lain. Agar setiap proses kegiatan pengusahaan
TBMK dapat berjalan dengan baik, maka perlu didukung dengan sarana penunjang
yang diperlukan baik sarana perburuan maupun ekowisata, terutama apabila
pengusahaan yang akan dilakukan yaitu dari usaha perburuan dan ekowisata.
Berdasarkan hal itu, maka diperlukan kebutuhan ruang seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Tata Ruang Pengusahaan TBMK
Uraian Luas (ha) %
Areal non buru 4.690,40 37,38
Areal perburuan - -
a. Area penerimaan 25 0,19
b. Area pusat pengelolaan 70 0,56
c. Area pusat kegiatan pengunjung 165 1,31
d. Area peristirahatan 45 0,36
e. Area penangkaran 100 0,79
f. Area perburuan 7.452,13 59,79
Jumlah Luas Total 12.547,53 100
ANALISIS BIAYA PENGUSAHAAN TAMAN BURU MASIGIT
KAREUMBI
Aspek-aspek Finansial Usaha
a. Payback Period (PP)
Payback Periode adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup
kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) yang menggunakan aliran
kas, dengan kata lain PP merupakan rasio antara initial cash investment dengan cash
inflow-nya, yang hasilnya merupakan satuan waktu. Selanjutnya nilai rasio ini
dibandingkan dengan maksimum PP yang dapat diterima. Rumus :
𝑃𝑎𝑦𝑏𝑎𝑐𝑘 𝑃𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑 =Nilai investasi
Kas masuk bersih 𝑥 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
Kriteria penilaian: Jika PP lebih pendek waktunya dari “maksimum PP”-nya maka usulan investasi dapat diterima. b. Internal Rate of Return (IRR)
Metode Internal Rate of Return digunakan untuk mencari tingkat bunga yang
menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan di masa datang, atau
penerimaan kas, dengan mengeluarkan investasi awal.
Rumus:
Dimana: t = tahun ke
n = jumlah tahun
Io = nilai investasi awal
CFt = arus kas bersih
IRR = tingkat bunga yang dicari harganya
c. Net Present Value (NPV)
Net Present Value selisih antara Present Value dari investasi dengan nilai
sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih (aliran kas operasional maupun
aliran kas terminal) dimasa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang
perlu ditentukan tingkat bunga yang relevan.
Rumus :
Dimana: CFt = aliran kas per tahun pada periode t Io = investasi pada tahun
0
K = suku bunga (discount rate) n = jumlah tahun
t = tahun ke
Kriteria Penilaian: Jika NPV > 0, maka usulan proyek diterima
Jika NPV < 0, maka usulan proyek ditolak
Jika NPV = 0, maka nilai perusahaan tetap walau usulan
proyek diterima ataupun ditolak.
d. Profitability Index (PI)
Kriteria lain untuk mengukur rencana investasi adalah dengan menggunakan
metode Profitabilitas Index (PI).
Rumusnya:
𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥 =Nilai aliran kas masuk
Nilai investasi
Kriteria nilai: Terima jika PI > 1; Tolak jika PI < 1
e. Break Event Point (BEP)
BEP merupakan keadaan dimana penerimaan pendapatan perusahaan (total
revenue) yang disingkat TR adalah sama dengan biaya yang ditanggungnya (total
cost) yang disingkat TC. TR merupakan perkalian jumlah unit barang yang terjual
dengan harga satuannya, sedangkan TC merupakan penjumlahan dari biaya tetap
dan biaya variabelnya (Husnan, 1997).
Rumus: TR = TC atau Q.P = a + b.X
Dimana: Q = tingkat produksi (unit)
P = harga jual per unit
a = biaya tetap
b = biaya variable
Analisis Finansial
Kegiatan pengusahaan TMBK dibedakan menjadi dua kategori yakni (1)
perburuan saja, dan (2) perburuan dan ekowisata. Dalam pengusahaan TBMK ini
terdapat tiga macam biaya yaitu; biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel.
Biaya investasi meliputi biaya persiapan pengusahaan dan pembangunan infra
struktur serta perlengkapannya. Hasil analisis biaya investasi untuk kedua kategori
pengusahaan TMBK seperti disajikan pada Tabel 4.
Tabel 5. Biaya investasi pengusahaan TBMK dengan beberapa skenario
Perburuan & Ekowisata Perburuan saja
Uraian (x Rp 1 000.00) (x Rp 1 000.00)
Tanpa
breeding
Dengan
breeding
Tanpa
breeding
Dengan
breeding
Pra Investasi 885.500 885.500 885.500 885.500
Relokasi Enklave 1.478.340 1.478.340 1.478.340 1.478.340
Pembangunan Infra Struktur 2.799.350 2.799.350 2.548.350 2.548.350
Sarana breeding 0 360.200 0 360.200
Penyediaan
Peralatan/Perlengkapan 1.977.970 1.977.970 1.705.470 1.705.470
Jumlah 7.141.160 7.501.360 6.617.660 6.977.860
Sedangkan biaya tetap terdiri dari biaya perencanaan, pembinaan habitat,
pembinaan populasi, pembinaan ketenagaan, pembinaan masyarakat, promosi,
perlindungan dan pengawasan kawasan, gaji karyawan serta biaya operasional,
biaya penyusutan serta beban bunga dan angsuran bank. Selain PajakPenghasilan
(PPh), pengusahaan TBMK memiliki kewajiban untuk memenuhi PP 59/1998 bagi
pengeluaran biaya lain yaitu tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak pada
pengusahaan taman buru seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara bukan pajak pada pengusahaan
Taman Buru
Uraian Satuan Tarif/Satuan
Pungutan izin pengusahaan taman
buru Hektar Rp 25 000.00
Iuran jarahan satwa buru Sesuai jenis komoditi 10%
Iuran hasil usaha perburuan
(Royalti)
Keuntungan bersih tahun
anggaran 5%
Adapun komponen biaya variabel dalam pengusahaan TBMK adalah biaya
introduksi satwa, biaya pelepasan satwa hasil penangkaran dan biaya yang
dikeluarkan untuk breeding meliputi biaya penyediaan pakan tambahan, biaya obat-
obatan, dan penambahan peralatan wisata. Pembelian rusa di Indonesia
diasumsikan Rp 4.000.000,00 per ekor, pakan rusa di penangkaran Rp 750,00 per
ekor per hari dan satu paket obat-obatan untuk rusa Rp 75.000,00 per ekor per tahun
(Sumanto, 2006). Sedangkan biaya pelepasan rusa hasil penangkaran per ekor
diasumsikan sebesar Rp 100.000,00.
Analisis Penerimaan Pengusahaan TBMK
Penerimaan dari pengusahaan TBMK dapat diperoleh dari berbagai sumber
penerimaan seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Sumber Penerimaan Pengusahaan TBMK
Jenis Penerimaan Keterangan Hunting fee Perburuan
Trophy fee Perburuan
Guidee fee Perburuan
Zone tax pemburu Perburuan
Eksport tax Perburuan
Karcis masuk pengunjung Perburuan & Ekowisata
Kamar hotel/penginapan Perburuan & Ekowisata
Sewa Restoran/rumah makan Perburuan & Ekowisata
Sewa Souvenir shop Perburuan & Ekowisata
Masuk kendaraan Perburuan & Ekowisata
Parkir kendaraan Perburuan & Ekowisata
Sewa peralatan wisata dan kolam pancing Perburuan & Ekowisata
Terdapat peluang lain dalam pengusahaan TBMK sebagai sumber
penerimaan. Salah satu sumber penerimaan lain pengusahaan TBMK yaitu
eksport tax yang dalam pelaksanaannya bisa dilakukan dengan bekerjasama
dengan pihak-pihak terkait. Namun karena di Indonesia belum ada taman buru
yang operasional, maka ketentuan mengenai eksport tax yang diatur oleh
pemerintah belum pernah dilakukan. Penerimaan dari eksport tax tidak
dikalkulasi dalam penelitian ini, karena tidak adanya referensi dan parameter
pendukung. Jadi, penerimaan dari eksport tax dianggap tidak ada. Berbagai
tarif diberlakukan dalam pengusahaan TBMK sebagai sumber penerimaan
seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Berbagai tarif yang diberlakukan pada pengusahaan TBMK
No Uraian Tarif (Rp) No Uraian Tarif (Rp)
1 Trophy fee rusa/ekor 15.000.000,00 11 Sewa kantin/thn 5.000.000,00
2
Trophy fee babi
hutan/ekor 1.500.000,00 12
Sewa souvenir
shop/bln 300.000,00
3
Hunting fee
rusa/ekor 7.500.000,00 13
Sewa kolam
pancing/bln 500.000,00
4
Hunting fee babi
hutan/ekor 1.000.000,00 14
Masuk mobil/unit 5.000,00
5 Guide fee/orang 250.000,00 15 Masuk motor/unit 2.500,00
6
Zone tax pemburu
lokal/orang 50.000,00 16
Parkir mobil/unit 7.500,00
7
Zone tax pemburu
asing/orang 100.000,00 17
Parkir motor/unit 3.500,00
8
Karcis masuk
wisnu/orang 2.500,00 18
Sewa tenda/unit 30.000,00
9
Karcis masuk
wisman/orang 5.000,00 19
Sewa perahu
wisata/jam 2.500,00
10 Hotel/kamar 50.000,00 20
Sewa sepeda
gunung/unit 20.000,00
Analisis NPV dan BCR pada pengusahaan TBMK
Hasil analisis NPV dan BCR dari pengusahaan TMBK ditunjukkan pada
Tabel 8. Pengusahaan TBMK sebagai kawasan wisata buru dan wisata alam lain
memungkinkan memberikan dampak, baik bagi masyarakat yang ada di sekitar
lokasi maupun bagi TBMK itu sendiri. Bagi TBMK itu sendiri, ketika pengusahaan
taman buru profesional dilakukan, maka kelestarian satwa buru sudah seharusnya
terjamin. Dengan demikian, kawasan yang menjadi habitat satwa buru itu sendiri
akan terjaga, sehingga ekosistem di kawasan itu akan terjaga pula. Bagi masyarakat,
pengusahaan TBMK akan dapat memberi arti tersendiri, antara lain melalui:
penyerapan tenaga kerja, menambah penghasilan, menumbuhkan kegiatan
ekonomi, membuka lapangan kerja, dan menciptakan pasar. Dari nilai NPV dan
BCR tersebut jelas menunjukkan bahwa pengusahaan TBMK baik yang
memadukan kegiatan pengusahaan perburuan dan ekowisata maupun kegiatan
pengusahaan perburuan saja layak dilakukan pada suku bunga riil 9%.
Tabel 8. NPV dan BCR dengan suku bunga rill 9% pada berbagai skenario
pengusahaan
Opsi Skenario NPV(000) BCR
1
Pengusahaan TBMK dari perburuan & ekowisata tanpa
breeding. 24.955.315 1,476
2
Pengusahaan TBMK dari perburuan & ekowisata dengan
breeding 50.160.631 1,677
1 Pengusahaan TBMK dari perburuan saja tanpa breeding 19.293.690 1,386
2 Pengusahaan TBMK dari perburuan saja dengan breeding 36.896.371 1,548
PERMASALAHAN SAAT INI
Dilihat dari pengelolaan oleh PT Prima Multijasa Sarana pada tahun 1999-
2006 bahwa jika dilihat dari analisis NPV dan BCR kegiatan usaha pengusahaan
perburuan dan ekowisata maupun kegiatan pengusahaan perburuan saja layak
dilakukan pada kawasan tersebut, tetapi hal ini dihadangkan kepada beberapa
kendala diantaranya:
1. Pihak pengelola terjerat kasus penebangan hasil hutan terutama kayu yang
menyeret banyak pihak kepada hukum. Sehingga sampai tahun 2008, kawasan
ini berada dalam kondisi terbengkalai. Infrastruktur dan bangunan yang
dibangun oleh pengelola sebelumnya termasuk oleh pemerintah dan berbagai
program yang telah diluncurkan lambat laun rusak. Sebagian besar konstruksi
bangunan dan infrastruktur. Bangunan Pusat Informasi Taman Buru milik
BKSDA juga tak luput dari perusakan dan sudah tidak dapat digunakan kembali.
Wisma Pemburu, kompleks taman safari mini, kolam renang, rumah sakit hewan
bahkan mesjid juga tidak luput dari kerusakan.
2. Perambahan kawasan untuk pertanian dan pengambilan kayu untuk keperluan
bahan bangunan serta kayu bakar juga marak.
3. Perburuan liar yang menyebabkan satwa terutama rusa tak bersisa satupun.
KESIMPULAN
Pengelolaan/ izin usaha pengelolaan Taman Buru Masigit Kareumbi telah
berpindah tangan pada beberapa pihak. Ketika pengelolaan dilakukan oleh PT
Prima Multijasa Sarana dilakukan penilaian aspek ekonomi finansial dari
pengusahaan TMBK baik dari kategori pengusahaan perburuan saja maupun
pengusahaan perburuan dan ekowisata. Didapatkan bahwa ketika suku bunga riil
9% pengusahaan layak dilakukan dengan nilai BCR berkisar 1.3 – 1.6 dan nilai
NPV berkisar 19.2 – 50.1 milyar rupiah. Namun kegiatan usaha yang dilakukan
oleh PT Prima Multijasa Sarana mendapatkan permasalahan diantaranya
penyalahgunaan kawasan, perambahan hutan dan perburuan. Hingga setelah tahun
2008 Taman Butu Masigit Kareumbi mulai dikelola oleh WANADRI yang lambat
laun meningkatkan kembali potensi kawasan.
DAFTAR PUSTAKA
[Ditjen PHPA] Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam,
Departemen Kehutanan, 1992. Rencana Pengelolaan Taman Buru Gunung
Masigit Kareumbi di Jawa Barat.
Gray J. 1992. The Moral Foundation of Market Institution. London: Institute of
Economic Affairs Health and Welfare Unit.
Hernadi A, Santosa Y, Bahruni, Nitibaskara TU. 2007. Aspek ekonomi finansial
pengusahaan Taman Buru Masigit Kareumbi Kabupaten Sumedang Jawa
Barat. Media Konservasi 9(1): 49-56.
Husnan, S dan Suwarsono. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta : Unit
Penerbit dan Pe;ncetak AMP YPKN.
Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Fakultas Ekonomi. Universitas
Indonesia. Jakarta.
[MKKMK] Manajemen Pengelola Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi. 2015.
Program Ekowisata [internet]. Diakses pada 30-12-2016 tersedia pada
https://kareumbi.wordpress.com/program/ekowisata/.
Nitibaskara, TU. 2005. Dilema Dikotomi Konservasi dan Pemanfaatan. Pusat Studi
Lingkungan. Universitas Nusa Bangsa, Bogor.
Pemerintah Republik Indonesia. 1994. Undang-Undang No. 13 Tahun 1994
Tentang Perburuan Satwa Buru. Jakarta(ID): Sekretariat Negara.
Ratag, E.S.A, 2006. Kajian Ekologi Rusa Sambar (Cervus unicolor) dalam
Pengusahaan Taman Buru Masigit Kareumbi. Tesis Fakultas Kehutanan SPs
IPB Bogor.
Sumanto. 2006. Desain Penangkaran Rusa Timor (Cervus Timorensis) dengan
Sistem Dear Farming. Tesis Fakultas Kehutanan SPs IPB Bogor.