Upload
ngonhu
View
253
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE EKSEKUSI HAK
TANGGUNGAN SETELAH DIKELUARKAN SURAT EDARAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012
Oleh :
IVAN CHANDRA SYAHRUL
110120120100
Komisi Pembimbing :
Dr. Tarsisius Muwadji, SH.,MH.
Hj. Aam Suryamah, SH.,MH.
TESIS
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh Gelar Magister Hukum
Program Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Bisnis
PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
PADJADJARAN BANDUNG
2015
KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE EKSEKUSI HAK
TANGGUNGAN SETELAH DIKELUARKAN SURAT EDARAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012
Oleh :
Ivan Chandra Syahrul
110120120100
TESIS
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh Gelar Magister Hukum
Program Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Bisnis
Bandung, Mei 2015
Menyetujui,
Dr. Tarsisius Muwadji, SH.,MH. Hj. Aam Suryamah, SH.,MH.
Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing
Mengetahui/Mengesahkan
Koordinator Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Dr. Tarsisius Muwadji, S.H., M.H .
NIP. 19621011 1988030 1 002
LEMBAR PERSETUJUAN PERBAIKAN (REVISI)
UJIAN TESIS
Nama Mahasiswa : Ivan Chandra Syahrul
Npm Mahasiswa : 110120120100
Tanggal Ujian : 07 Februari 2015
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Bisnis
Judul Tesis :
Kajian Tentang Kepastian Hukum Parate Ekeskusi Hak Tanggungan Setelah
Dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012
TELAH DIREVISI, DISETUJUI OLEH TIM PENGUJI / TIM PEMBIMBING
DAN DIPERKENANKAN UNTUK DIPERBANYAK
NO. NAMA PENGUJI TANDA TANGAN
1. Dr. Tarsisius Murwadji, S.H., M.H.
2. Hj. Aam Suryamah, S.H., M.H.
3. Prof. Dr. Hj. Wiratni Ahmadi, S.H.
4. Dr. Hj. Etty H. Djukardi, S.H., M.H., C.N
5. Artaji, S.H., M.H
Bandung,….Mei 2015
Mengetahui :
Dr. Tarsisius Murwadji, S.H., M.H.
Ketua Komisi Pembimbing
Hj. Aam Suryamah, S.H., M.H.
Aggota Komisi Pembimbing
iii
ABSTRAK
Keberadaan lembaga perbankan diakui memiliki peranan yang sangat
strategis dalam rangka mendorong lajunya roda perekonomian masyarakat.
Perbankan melalui kegiatan utamanya, menghimpun dana masyarakat dan
menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemberian kredit untuk
kegiatan-kegiatan ekonomi. Pelunasan kredit macet oleh debitor tidak
semudah seperti yang dibayangkan, karena proses untuk mengambil
pelunasan melalui penjualan objek tanggungan cukup membingungkan.
Ditambah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7
Tahun 2012 membuat Parate eksekusi semakin tidak jelas dalam
pelaksanaan prakteknya. Bank (Kreditor) maupun pihak ketiga pembeli
objek lelang pada saat akan menguasai objek tidak dapat lagi secara
langsung meminta penetapan ke Pengadilan Negeri, melainkan harus
melalui gugatan dari awal. Dengan demikian parate eksekusi pada
prinsipnya yang diatur dalam pasal 6 undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan menjadi hilang fungsinya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif
analisis, yaitu suatu metode penulisan yang bertujuan untuk memberikan
gambaran secara sistimatis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta.
Penelitian ini menggambarkan fakta-fakta yang berupa data sekunder
berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, kemudian data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian mengenai permasalahan pertama menunjukan
kedudukan dari Surat Edaran Mahkamah Agung dijadikan sebagai dasar
hukum untuk menolak eksekusi hak tanggungan dihubungkan dengan
UUHT, bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7 Tahun 2012 tidak
dapat dijadikan alasan atau dasar hukum untuk menolak eksekusi hak
tanggungan berdasarkan pada parate eksekusi dalam Undang - Undang Hak
Tanggungan karena sesuai dengan tata urutan perundang-undangan nomor
12 Tahun 2011 sebuah Surat Edaran Mahkamah Agung tidak termasuk
didalam tata urutan perundangan. Selanjutnya permasalahan yang kedua
akibat hukum apabila Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7 Tahun 2012
dijadikan dasar hukum melakukan parate eksekusi terhadap pihak terlelang,
sebagaimana asas lex superiori derogate lex inferiori maka sebuah SEMA
seharusnya melaksanakan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan
bunyi undang-undang, jika bertentangan maka harus dinyatakan batal demi
hukum.
Kata Kunci : Parate Eksekusi, Pelelangan.
iv
ABSTRACT
The existence of banking institution admittedly has a very strategic
role in order to encourage her speed the society 's economy.Banking
activities mainly through, raise public funds and transfer back to people in
the form of credit provision of economic activities. The repayment of non
performing loans by debitor not as easy as as imagined, because the process
of taking over the object it is confusing. Coupled with supreme court issued
circular letter no. 7 / 2012 make parate execution it is unclear in the
practice. Bank (creditors) or third parties buyers object auction at the time
will control an object could no longer directly asked for determination to the
district court, but must go through a lawsuit from the beginning .This parate
execution in principle stipulated in article 6 of the law number 4 years 1996
concerning the hak tanggungan become lost its function.
Methods used in this research is a method of diskriptif of the analyses
which is that a method of writing that aims to give a picture in sistimatis,
factually and accurate about facts.Research this illustrates the facts are in
the form of secondary law in the form of material primary, secondary and
tertiary, then the data obtained analyzed by using the method of the
qualitative analysis.
The results of the first notification letter showed seat of the supreme
court declined to be a legal basis for the rights and liabilities related to uuht
the circulars supreme court no. 7 / 2012 could not be a reason or legal basis
for the execution of the liabilities based on parate execution in the
constitution as the burden because in accordance with the prevailing order
no. 12 / 2011 a letter regarding the supreme court on the act of excluding.
Then the problems that both due to the law if the supreme court circular
2012 be number 7 years of legal basis terlelang parate the execution of the
parties do , as the principle of lex superiori derogate lex inferiori then a
shema should implement the act shall not contravene with the sound of the
act , if contrary and must be declared null and void by law.
Keywords : parate execution, auction / public sale
KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE EKSEKUSI HAKTANGGUNGAN SETELAH DIKELUARKAN SURAT EDARAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan lembaga perbankan diakui memiliki peranan yang sangat
strategis dalam rangka mendorong lajunya roda perekonomian masyarakat.
Perbankan melalui kegiatan utamanya, menghimpun dana masyarakat dan
menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemberian kredit untuk
kegiatan-kegiatan ekonomi.
Peningkatan laju perekonomian akan menimbulkan tumbuh dan
berkembangnya usaha yang dilakukan oleh masyarakat, sejalan dengan hal
tersebut maka diperlukan penambahan modal dalam rangka peningkatan
usahanya. Penambahan modal dimaksud dengan cara melakukan pinjaman
atau kredit langsung kepada perbankan. Kredit yang banyak berkembang
dalam masyarakat adalah kredit dengan Hak Tanggungan, meskipun di
dalam hukum jaminan dikenal juga beberapa lembaga jaminan seperti fidusia
dan gadai.
Secara umum undang-undang telah memberikan jaminan atau
perlindungan kepada perbankan sebagai kreditor yang meminjamkan
uangnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu :
“Segala harta kekayaan Debitor, baik yang bergerak maupunyang tidak bergerak , baik yang sekarang ada maupun yang akan adadikemudian hari menjadi tanggungan/jaminan atas hutang-hutangnya”.
Dalam praktek perbankan, jaminan yang bersifat umum ini belum
memberikan perlindungan hukum (kurang menimbulkan rasa aman) untuk
menjamin kredit yang telah diberikan. Bank memerlukan jaminan yang
ditunjuk dan diikat secara khusus untuk menjamin hutang debitor dan hanya
berlaku bagi bank tersebut. Jaminan ini dikenal dengan jaminan khusus
yang timbul karena adanya perjanjian khusus antara kreditor dan debitor.
Biasanya dengan jaminan berupa tanah yang kemudian dibebani dengan Hak
Tanggungan sebagai jaminan kreditnya kepada bank. Jaminan ini untuk
memberikan perlindungan bagi kreditor apabila terjadi wanprestasi atau
cidera janji.
Perjanjian utang piutang dengan bank, biasanya menggunakan
lembaga Hak Tanggungan sebagai jaminan atas kredit dari debitor. Hak
Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang, dimana hutang
yang dijamin harus suatu hutang tertentu.
Hak Tanggungan atas tanah merupakan bagian dari reformasi
dibidang agraria, seperti yang ketentuan- ketentuan pokoknya diatur dalam
UUPA, dimana dalam Pasal 51 disebutkan bahwa, Hak Tanggungan dapat
dibebankan kepada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan, diatur dengan undang-undang. Berdasarkan amanat Pasal 51
UUPA tersebut maka kemudian lahirlah UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan d e n g a n
tanah, Undang-undang ini selanjutnya disebut UUHT.
Berlakuknya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, maka
terpenuhilah apa yang diperintahkan dalam Pasal 51 UUPA, sehingga
tidak diperlukan lagi penggunaan ketentuan-ketentuan hypotek dan
creditverband seperti disebutkan oleh Pasal 57 UUPA. Oleh karena itu
ditegaskan dalam Pasal 29 UUHT, bahwa dengan berlakunya undang-
undang ini, ketentuan mengenai creditverband sebagaimana tersebut dalam
staatsblad 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan staatsblad
1937-190 dan ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana tersebut dalam
Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang
mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi1.
Selanjutnya dalam penjelasan umum UUHT juga dinyatakan bahwa
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji,
kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui
pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang
tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku.2
Definisi Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 1 butir 1
UUHT, yang berbunyi :
“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimanatersebut dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
1 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi revisi dengan UUHT, FakultasHukum Undip, Semarang, 2007, hlm 34-35.
2 Penjelasan umum UUHT angka 4.
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidakberikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuandengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yangmemberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentuterhadap kreditor-kreditor lain”.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut dipertegas lagi oleh Pasal 4 ayat
(1) UU No. 4 Tahun 1996, bahwa obyek Hak Tanggungan harus berupa hak
atas tanah yang dapat dialihkan oleh pemegang haknya yang berupa Hak
Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, serta Hak Pakai atas
tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak
Tanggungan.
Sesuai dengan penjelasan UU No. 4 T a h u n 1996 alenia ke 3 Hak
Tanggungan sebagai salah satu lembaga hak jaminan atas tanah mempunyai
ciri-ciri antara lain :
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepadapemegangnya.
2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapunobyek itu berada.
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikatpihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihakyang berkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti
dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara
umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara
Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus
ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang ini,
yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 Reglement dan Pasal 258 Reglement Acara Hukum untuk Daerah
Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de
Gewesten Buiten Java en Madura). Sehubungan dengan itu pada
sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat bukti adanya
Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah ”DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, untuk
memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu sertifikat Hak
Tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti Grosse Acte Hypotheek,
yang untuk eksekusi hipotik atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam
melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua Reglement diatas3.
Hak yang diberikan pada pemegang Hak Tanggungan untuk
mengeksekusi obyek Hak Tanggungan diatur didalam UUHT Pasal 6 yang
selengkapnya berbunyi :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggunganpertama mempunyai hak untuk menjual obyek HakTanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sertamengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.
Dalam penjelasan Pasal 6 UUHT tersebut dikatakan bahwa hak
untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan
salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh
pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam
hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut
didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa
3 Penjelasan Umum angka 9 UUHT
apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa
memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari
pada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak
pemberi Hak Tanggungan.
Hak Tanggungan mempunyai sifat yang tidak dapat dibagi- bagi
kecuali bila diperjanjikan di dalam Akta Pengikatan Hak Tanggungan
(APHT). Dengan demikian sekalipun utang sudah dibayar sebagian, Hak
Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan. Namun bila
Hak Tanggungan dibebankan kepada beberapa obyek, maka dapat
diperjanjikan bahwa pelunasan angsuran utang yang besarnya sama dengan
nilai masing-masing obyek akan membebaskan obyek tersebut dari Hak
Tanggungan, sehingga Hak Tanggungan hanya membebani sisanya saja.
Seperti telah disebutkan di atas, Hak Tanggungan memberi
kedudukan kepada pemegang sebagai kreditor yang diutamakan atau
diistimewakan (preferen). Dalam KUH Perdata, kreditor dibedakan antara
kreditor konkuren dan kreditor preferen.
Dengan ciri-ciri tersebut diatas diharapkan Hak Tanggungan atas
tanah yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 menjadi kuat kedudukannya
dalam hukum jaminan mengenai tanah.
Kemudahan menagih pelunasan melalui parate eksekusi tersebut,
dalam praktek pelaksanaannya dimandulkan oleh adanya Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 angka XIII dari Sub
Kamar Perdata Umum, dinyatakankan bahwa :
“Pelelangan Hak Tanggungan yang dilakukan oleh kreditor sendirimelalui Kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkanobjek yang dilelang, tidak dapat dilakukan pengosongan berdasarkanPasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan gugatan. Karenapelelangan tersebut diatas bukan lelang eksekusi melainkan lelangsukarela”.
Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor
3021/K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 dinyatakan : berdasarkan Pasal
214 HIR pelaksanaan lelang akibat grosse akta hipotik yang memakai irah-
irah seharusnya dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Parate
eksekusi yang dilakukan didasarkan pada Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata
adalah perbuatan melawan hukum dan mempunyai konsekuensi hukum
batalnya hasil lelang yang telah dilakukan.4
Masalah yang paling sering terjadi adalah, pembeli lelang berdasarkan
parate eksekusi selalu kesulitan ketika hendak menguasai tanah dan
bangunan yang dibelinya melalui lelang, karena debitor (terlelang) tidak mau
meninggalkan rumah dan tanahnya tersebut. Sehingga diperlukan tindakan
hukum lain yaitu upaya paksa pengosongan, dan untuk itu diperlukan
bantuan Pengadilan Negeri melalui eksekusi pengosongan rumah.
Dengan munculnya SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tersebut,
kemungkinan parate eksekusi akan mengalami hambatan, karena dalam
praktek peradilan SEMA harus dipatuhi oleh para Hakim.
4 HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian KreditPerbankan (Berikut Tanggapan), Jilid I, Citra Adytia Bakti, Bandung, 1992, hlm. 233.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut maka permasalahan dapat
diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan dari Surat Edaran yang dijadikan sebagai
dasar hukum untuk menolak eksekusi hak tanggungan dihubungkan
dengan UUHT.
2. Apakah akibat hukum apabila Surat Edaran Mahkanah Agung Nomor
7 Tahun 2012 dijadikan dasar untuk melakukan parate eksekusi pihak
terlelang.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan atau kegunaan penelitian ini adalah :
1. Menentukan dan menganalisis apakah SEMA dapat dijadikan dasar
hukum untuk menolak eksekusi hak tanggungan yang didasarkan
pada parate eksekusi oleh pihak pembeli lelang.
2. Untuk mengetahui apa akibat hukum SEMA khususnya SEMA
Nomor 7 Tahun 2012 bertentangan dengan UUHT.
D. Kegunaan Penelitian
Penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau
kegunaan untuk pengembangan ilmu hukum khususnya tentang masalah parate
eksekusi hak tanggungan, serta diharapkan pula dapat memberi manfaat bagai
kalangan praktisi.
1. Kegunaan Teoritis
Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan
wawasan terhadap perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan
khususnya pada hukum parate eksekusi hak tanggungan, terutama
mengenai eksistensi pelaksanaan upaya paksa pengosongan terhadap
debitor (terlelang) yang tidak mau meninggalkan rumah dan tanahnya
tersebut.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada legislator (pembuat undang-undang) untuk
penyempurnaan peraturan UUHT yang memenuhi rasa keadilan
masyarakat, serta bagi praktisi hukum untuk meminimalisir perbedaan yang
ada, sehingga tidak menghambat proses parate eksekusi hak tanggungan.
E. Kerangka Pemikiran
Pelunasan kredit macet oleh kreditor tidak semudah seperti yang
dibayangkan, karena proses untuk mengambil pelunasan melalui penjualan
objek jaminan cukup berliku. Tidak menutup kemungkinan debitor
menggunakan berbagai cara untuk menghambat pelunasan kredit macet
dimaksud, maupun dengan cara-cara lain yang pada akhirnya dimaksudkan
agar si kreditor gagal atau tidak berhasil mendapatkan pelunasan dengan objek
jaminan miliknya5.
5 ketentuan Pasal 207 HIR dan Pasal 225 Rbg tentang perlawanan terhadap sita eksekusi(partij verzet) dan pasal 195 ayat (6) tentang perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap
Menurut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bahwa setiap kebendaan
milik debitor baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah
ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan atas
hutang-hutangnya, dengan demikian sesungguhnya tidak ada kredit yang tidak
mengandung jaminan. Namun demikian seperti ditulis diatas proses pelunasan
dengan objek jaminan tidak selalu berjalan dengan lancar dan mudah, karena
kreditor dihadapkan dengan segala macam problem dan masalah dalam upaya
mengambil pelunasan piutangnya.
Hak jaminan kebendaan berisi hak untuk pelunasan hutang
(vehaalsrecht) dan tidak mengandung hak untuk memiliki bendanya (verval
beding), kreditor pemegang jaminan diberikan hak oleh undang-undang
maupun hak untuk memperjanjikan kuasa untuk menjual sendiri objek jaminan
tersebut ketika dikemudian hari debitor wanprestasi6.
Berdasarkan ketentuan undang-undang, kreditor pemegang jaminan
kebendaan, dapat memilih beberapa alternatif pelunasan piutangnya melalui
beberapa cara antara lain :
1. Dengan cara melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaanya sendiriatau yang kemudian disebut parate eksekusi bagi pemegang jaminanpertama ;
2. Dengan menggunakan titel eksekutorial melalui fiat ketua pengadilannegeri dengan menggunakan ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg tentangeksekusi grosse akta;
3. Dengan cara penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan keduabelah pihak untuk mendapatkan harga penjualan yang lebih tinggi;
eksekusi; juga Buku Pedoman Pelaksanan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II MahkamahAgung RI, hlm: 144-145.
6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, cet ke-4, Liberty,Yogyakarta, 1981, hlm. 103.
Parate eksekusi adalah sebuah kemudahan yang diberikan undang-
undang sebagai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri (kreditor) terhadap
benda jaminan milik debitor untuk melunasi hutangnya. Dengan demikian
parate eksekusi pada prinsipnya merupakan suatu pelaksanaan eksekusi yang
disederhanakan tanpa melibatkan pengadilan.
Parate eksekusi atau hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan
sendiri dapat ditemukan dalam beberapa lembaga jaminan kebendaan antara
lain, Gadai; Hipotik; Hak tanggungan; Fidusia.
Beberapa dasar hukum tentang parate eksekusi, yaitu :
1. Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusipada lembaga gadai :
”Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka siberpiutangadalah berhak, jika siberutang atau si pemberi gadai bercidera janji setelahtenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika telah tidak ditentukansuatu tenggang waktu setelah dilakukannya suatu peringatan, untukmembayar, menyuruh menjual barangnya gadai di muka umum menurutkebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlakudengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnnya besertabunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut”
2. Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusiuntuk lembaga hipotik :
”Namun diperkenankanlah kepada siberpiutang hipotik pertama untuk,pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa,jika uang pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutangtidak bayar ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yangdiperikatkan dimuka umum untuk mengambil pelunasan uang pokokmaupun bunga serta biaya dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebutdibukukan dalam register-register umum sedangkan penjualan lelang harusdilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam Pasal 1211”
Pasal ini memberikan ”hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri”
atau ”beding van eigenmactig verkoop”. Ketentuan tersebut diberikan oleh
undang-undang kepada pemegang hipotik pertama dalam bentuk
sarana/cara pelunasan yang selalu siap ditangan pada waktu ia
membutuhkannya, sehingga orang menyebutnya sebagai eksekusi yang
selalu siap di tangan atau parate eksekusi7.
3. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan HakTanggungan menyebutkan :
”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertamamempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaansendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnyadari hasil penjualan tersebut”
4. Pasal 15 Ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusiamenyebutkan :
”Apabila debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untukmenjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannyasendiri”
Bila diperhatikan ketentuan Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata diatas,
maka pembentuk undang-undang telah menentukan bahwa setiap pemegang
jaminan gadai demi hukum selalu akan memiliki kewenangan parate
eksekusi, kecuali jika sejak awal para pihak telah memperjanjikan lain. Hal
ini dapat difahami karena pada jaminan gadai, objek jaminannya dikuasai
oleh si kreditor, sehingga dengan adanya peralihan penguasaan itu (atas objek
benda bergerak) sepatutnya si pemegang jaminan memiliki hak untuk
melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri ketika si debitor wanprestasi.
7 J Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan, Buku I, CitraAditya Bakti Bandung, 1997, hlm. 224. J. Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana MengatasiKredit Macet, Citra Aditya Bandung, 1993, hlm. 23.
Demikian juga jaminan fidusia memiliki karakteristik yang sama
dengan jaminan gadai, dimana para pihak tidak perlu memperjanjikan akan
ada hak parate eksekusi, undang-undang telah secara otomatis memberikan
hak tersebut kepada si kreditor.
Berbeda dengan prinsip yang diberikan undang-undang terhadap
lembaga hipotik, undang-undang mensyaratkan agar hak untuk dapat
melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri itu dinyatakan secara tegas
dalam perjanjiannya. Prinsip ini di ikuti oleh Jaminan Hak Tanggungan
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Kreditor pemegang hak kebendaan yang diberikan oleh jaminan
hipotik, gadai, hak tanggungan dan fidusia adalah jaminan yang bersifat
perbendaan (zakelijk zakerheidsrechten)8. Para pemegang jaminan kebendaan
akan selalu didahulukan dari kreditor-kreditor kongkuren untuk dapat
mengambil pelunasan dari objek jaminan milik debitor. Hak-hak istimewa
itu antara lain : hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri
(parate eksekusi) dan hak untuk melakukan eksekusi secara grosse dengan
menggunakan titel eksekutorial ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang tercantum dalam jaminan-
jaminan kebendaan melalui fiat ketua pengadilan negeri berdasarkan Pasal
244 HIR / 258 Rbg.
8 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, cet ke-5 Intermasa,Jakarta, 1986, hlm. 75.
Pandangan lembaga peradilan terutama Mahkamah Agung dalam
memahami dua lembaga eksekusi yaitu antara parate eksekusi dengan
eksekusi grosse akta, dan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Hak
Tanggungan yang telah mencampuradukan antara pengertian parate eksekusi
dengan eksekusi grosse akta, hal ini menimbulkan kebingungan pada banyak
kalangan terutama para pemegang jaminan (kreditor) yang sebelumnya telah
memperjanjikan hak untuk melakukan penjualan objek jaminan atas
kekuasaannya sendiri, apalagi dengan dengan adanya pertimbangan Putusan
MA-RI Nomor: 3201 K/Pdt/1984 yang menyatakan bahwa penjualan objek
jaminan tanpa melalui pengadilan merupakan ”perbuatan melawan hukum”,
hal tersebut telah menimbulkan ketakutan bagi para pelaksana lelang untuk
menerima permohonan pelelalangan berdasarkan titel parate eksekusi dari
para pemegang jaminan pertama. Sutardjo menyebutkan bahwa ketentuan
Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata telah dilumpuhkan oleh Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 3201/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 19869.
Putusan Mahkamah Agung tersebut berawal dari masuknya gugatan ke
Pengadilan Negeri Bandung, dalam putusannya tertanggal 20 Mei 1980 No.
425/1979/G/Bdg, amar putusannya antara lain :
“Menyatakan bahwa tindakan perbuatan Tergugat I dan II denganperantaraan Tergugat III melelang umum tanah dan bangunan setempatterkenal dengan nama ”shoping center kandaga” pada hari Senin
9 Sutarjo, Penyelesaian Kredit Macet Melalui Lelang, Makalah dalam Panel Diskusi UUNomor 7 Tahun 1992 tentang Pebankan, Tantangan dan Pelaksanaannya, 11 September 2001,hlm. 14.
Tanggal 10 Desember 1979, tanpa melalui Ketua Pengadilan NegeriKlas I Bandung adalah merupakan perbuatan yang melawan hukum10.
Pada tingkat banding putusan tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi Bandung dengan putusannya tanggal 17 November 1981 No.
76/1981/Perd/Pt.B yang amar putusannya dalam pokok perkara antara lain :
“Menyatakan bahwa pembelian lelang yang dilaksanakan Terbanding,semula Tergugat IV dalam konvensi, Penggugat IV dalam rekonvensiuntuk sebagian dengan perantaraan Kantor Lelang Negara Bandung ataspersil serta bangunan pertokoan sebagaimana terurai dalam risalahlelang tanggal 10 Desember 1979 No. 184 adalah sah menuruthukum”11.
Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung memberikan pertimbangan
pada intinya sebagai berikut :
1. Bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan pelelangan sebagai akibatadanya Groose Akta Hipotik dengan memakai kepala ”Demi KeadilanBerdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatanhukum sama dengan suatu putusan pengadilan, seharusnya dilaksanakanatas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri apabilan ternyatatidak terdapat perdamaian pelaksana.
2. Bahwa ternyata di dalam perkara ini, pelaksanaan pelelangan tidak atasperintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi dilaksanakan sendirioleh Kepala kantor Lelang Negara Bandung atas perintah Tergugat asal I(Bank Kreditor), oleh karenanya, maka lelang tersebut adalah bertentangandengan Pasal 224 HIR sehingga pelelangan tersebut adalah tidak sah.
3. Bahwa dengan demikian, maka para Tergugat asal (Bank Kreditor-KantorLelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan melawanhukum12.
Apabila rasio pertimbangan MA dalam putusan tadi diikuti, maka
fungsi dan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri (yang menyangkut hak
tanggungan menurut Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT) menjadi
10 Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo,Yogyakarta, 2007, hlm. 319. HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI mengenaiPerjanjian Kredit Perbankan (berikut tanggapan) Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,hlm. 233.
11 Ibid, hlm 319.12 Ibid, hlm 321.
kehilangan makna. Ciri pokok dari parate eksekusi berdasarkan janji untuk
menjual atas kekuasaan sendiri adalah eksekusi dilakukan tanpa fiat Ketua
Pengadilan. Kalau tetap harus ada fiat, parate eksekusi sama saja dengan
eksekusi pada grosse hipotik dan surat utang yang mempunyai titel
eksekutorial. Telah terjadi pergeseran pengertian parate eksekusi menurut
doktrin.
Namun pelaksanaan eksekusi objek hak tanggungan yang masih
memerlukan fiat Ketua Pengadilan bukanlah merujuk pada putusan MA tadi,
melainkan tersirat dari Pasal 26 UUHT dan penjelasannya.
Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,
dengan demikian sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap melalu tata cara dan menggunakan lembaga parate eksekusi
sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Eksekusi Hak
Tanggungan berdasarkan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b jo Pasal 14
UUHT ini memerlukan campur tangan pengadilan. Hal ini disebabkan karena
masih adanya pandangan bahwa pelaksanaan eksekusi berdasarkan Pasal 6 jo
Pasal 11 ayat (3) huruf e tetap memerlukan izin / fiat eksekusi pengadilan.
Hal ini diperkuat lagi dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 7 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa pelelangan Hak Tanggungan
yang dilakukan oleh kreditor sendiri melalui Kantor lelang, apabila terlelang
tidak mau mengosongkan objek yang dilelang, tidak dapat dilakukan
pengosongan berdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan
gugatan. Karena pelelangan tersebut diatas bukan lelang eksekusi melainkan
lelang sukarela”.
Selain kendala dari badan peradilan tersebut diatas, pembuat UU telah
mengalami kerancuan berfikir, karena telah memberikan pengertian yang
tidak konsisten dan saling bersinggungan dengan apa yang dimaksud dalam
Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta. Hal itu dapat dilihat
pada ketentuan penjelasan atas Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4
Tahun 1996 pada bagian umum sub 9 dimana terdapat pernyataan yang
berbunyi sebagai berikut: …”dipandang perlu untuk memasukan secara
khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini
yaitu yang mengatur tentang lembaga parate eksekusi sebagaimana yang
dimaksud dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg.
Beberapa kesimpangsiuran ini bukan hanya membuat para pemegang
jaminan hak tanggungan menjadi kebingungan, namun juga telah membuat
para petugas pelaksana lelang menjadi ragu untuk melaksanakan penjualan
umum atas objek jaminan yang tidak melalui fiat ketua pengadilan negeri
dan akibatnya para petugas kantor lelang selalu menolak pengajuan
penjualan umum yang dimintakan tanpa adanya penetapan dari ketua
pengadilan, dengan alasan khawatir jika dikemudian hari penjualan
lelangnya dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, hal ini jelas akan
mempersulit kreditor pemegang jaminan pertama untuk melakukan
pelunasannya secara secerhana dan mudah13.
Sertifikat hak tanggungan memiliki titel eksekutorial karena
berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, namun
menurut J. Satrio kekuatan untuk melaksanakan parate eksekusi bukan
didasarkan atas suatu titel eksekutorial melainkan didasarkan atas kuasa
mutlak yang diberikan oleh si pemberi jaminan (debitor) kepada si pemegang
jaminan (kreditor) dalam bentuk mandat14.
F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode pendekatan yuridis normatif, metode ini merupakan pendekatan
terhadap hukum positif atau peraturan perundang-undangan, yaitu
merupakan pendekatan dengan memaparkan, menganalisis dan
mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
masalah parate eksekusi atas Hak Tanggungan. Demikian pula sebagai
usaha mendekati masalah yang diteliti dengan pendekatan hukum, yaitu
berusaha menelaah peraturan-peraturan yang berlaku disesuai dengan
kenyataan yang terjadi dalam masyarakat15.
2. Spesifikasi Penelitian
13 Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akta Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia,Media Notariat No : 8-9 Tahun III, Oktober, 1988, hlm. 113.
14 J. Satrio, Op Cit, hlm. 224.15 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineke Cipta, Jakarta 2003,
hlm. 3.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analisis, yaitu suatu metoda penulisan yang bertujuan untuk memberikan
gambaran secara sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta16.
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis, suatu usaha untuk menggambarkan objek atau masalah
yang sedang terjadi dalam penelitian, atau suatu penelitian yang tujuan
utamanya menggambarkan realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat,
khususnya penerapan parate eksekusi dalam praktek sehari-hari.
3. Tahap Penelitian
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari data-data
sekunder yang terdiri dari :
1. Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan
peraturan-peraturan yang terdiri dari, UUD 1945 amandemen ke-4,
HIR/RBg, Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang
No. 49 Prp 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Undang-
Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman,
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,hlm. 52.
Permeneg Agraria/Kepala BPN Nomor 3 T a h u n 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
lebih lanjut tentang bahan hukum primer seperti : buku-buku ilmiah,
majalah, media massa, dokumen yang diperoleh dari Penetapan
Ketua Pengadilan Negeri tentang Eksekusi Hak Tanggungan Atas
Tanah, jurnal-jurnal, makalah-makalah, artikel-artikel yang memuat
tentang eksekusi Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit untuk
perlindungan hukum bagi kepentingan kreditor.
3. Bahan hukum tersier, yang di dapat untuk memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yaitu, Kamus, Ensiklopedia.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah studi
kepustakaan yaitu penelitian untuk mencari landasan teori dari
permasalahan penelitian dengan menggali buku-buku, jurnal-jurnal, surat
kabar atau dokumen dan informasi dalam bentuk ketentuan formal.
5. Lokasi Penelitian
Untuk menyusun penulisan ini, penulis melakukan penelitian di
Bandung dan Jakarta, diantaranya yaitu :
a. Penelitian Kepustakaan
1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
2) Perpustakaan Pusat Universitas Padjadjaran Bandung
3) Perpustakaan Universitas Islam Bandung
b. Penelitian Lapangan
1. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandung
2. Hakim Kantor Pengadilan Negeri Bandung
3. Hakim Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
II. PEMBAHASAN
PELAKSANAAN EKSEKUSI BERDASARKAN PARATE
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa parate eksekusi berkaitan
dengan Hak Tanggungan (UUHT) merupakan pelaksanaan perintah dari
Pasal 51 UUPA, bahwa Hak Tanggungan harus diatur dengan UU
tersendiri.
Parate eksekusi seperti dipersyaratkan oleh Pasal 6 UUHT merupakan
suatu kemudahan yang diberikan kepada kreditor untuk langsung menjual
sendiri objek jaminan berupa jaminan Hak Tanggungan langsung ke Kantor
Lelang tanpa melalui fiat Pengadilan Negeri. Kemudahan ini tentulah sangat
menguntungkan kreditor terutama pihak bank, karena eksekusinya lebih
cepat dan lebih mudah, serta tentunya lebih murah biayanya.
Kemudahan yang ditawarkan UU dalam kenyatannya tidak selalu
mudah untuk ditempuh, terlebih didalam prakteknya proses pelaksanaan
parate eksekusi dengan kekuasaan sendiri tidak dapat lagi dipergunakan
oleh para kreditor pertama dalam jaminan Hak Tanggungan dengan alasan
bahwa setiap penjualan umum (lelang) terhadap objek jaminan harus
melalui fiat ketua pengadilan17.
Pasal 29 UUHT menyatakan Hak Tanggungan ini dimaksudkan
sebagai pengganti grosse akta sebagaimana diatur pada Pasal 224 HIR. Juga
menghapuskan bentuk credietverband yang berlaku berdasarkan St. 1908-
542 Jo St. 1909-586, dan ketentuan tentang hipotek sebagaimana yang diatur
pada Buku II, Bab XXI KUHPerdata, Pasal 1162-1232, sepanjang
jaminannya mengenai hak atas tanah. Karena ketentuan mengenai hipotik
dan credietverband dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan
perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia18.
Semula parate eksekusi dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 1178
ayat (2) KUHPerdata, yang memberikan hak kepada pemegang hipotik
pertama untuk memperjanjikan apa yang dalam bahasa Belanda disebut
dengan “beding van eigenmachtige verkoop” (janji untuk menjual atas
kekuasaan sendiri). Dengan memperjanjikan kewenangan seperti itu, dalam
hal debitor sudah wanprestasi, kreditor bisa langsung menjual obyek jaminan
17 M. Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akte Dalam Perkembangan Hukum diIndonesia, Media Notariat No: 8-9, tahun III, Oktober 1988, hlm. 113.
18 Pasal 29 UUHT Pasal 29 selengkapnya berbunyi : Dengan berlakunya Undang-undangini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo.Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku IIKitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggunganpada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
di muka umum tanpa harus melibatkan pihak pengadilan19.
Eksekusi terhadap objek jaminan pada UUHT bila debitor wanprestasi
pada prinsipnya mengadopsi ketentuan mengenai hipotik tersebut. Namun
pada UUHT terdapat inkonsistensi pada pasal yang mengatur parate
eksekusi, Pasal 6 mengisaratkan bahwa parate eksekusi dapat dilakukan
walau tanpa perjanjian karena hak itu melekat demi hukum, sedangkan pada
penjelasan pasalnya menyebutkan hak tersebut baru ada manakala dilakukan
perjanjian terlebih dahulu untuk menjual langsung objek jaminan.
Namun dalam perkembangannya Mahkamah Agung RI telah
mematikan “beding van eigenmachtige verkoop” (janji untuk menjual atas
kekuasaan sendiri), dengan melarang eksekusi langsung dilakukan kreditor
ke Kantor Lelang, tetapi harus melaui fiat Ketua Pengadilan Negeri terlebih
dahulu, melalui putuannya Nomor 3201 K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 198420.
A. Praktek Pelaksanaan Parate Eksekusi Sebelum Adanya PutusanMahkamah Agung
Melihat putusan Mahkamah Agung Nomor No. 3201 K/Pdt/1980
tanggal 20 Mei 1984 dapat disimpulkan bahwa, pelaksanaan parate eksekusi
langsung ke Kantor Lelang Negara dalam praktek peradilan dibolehkan /
dibenarkan. Para Ketua Pengadilan Negeri bersedia melakukan
19 Bunyi Pasal Pasal 1178 selengkapnya, “Segala perjanjian yang menentukan bahwakreditor diberi kuasa untuk menjadikan barang-barang yang dihipotekkan itu sebagai miliknyaadalah batal. Namun kreditor hipotek pertama,pada waktu penyerahan hipotek boleh mensyaratkandengan tegas, bahwa jika utang pokok tidak dilunasi sebagaimana mestinya, atau bila bunga yangterutang tidak dibayar, maka ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual persil yang terikatitu di muka umum, agar dari hasilnya dilunasi, baik jumlah uang pokoknya maupun bunga danbiayanya. Perjanjian itu harus didaftarkan dalam daftar-daftar umum, dan pelelangan tersebutharus diselenggarakan dengan cara yang diperintahkan dalam Pasal 1211”.
20 Sutardjo, Op Cit, hlm. 14.
pengosongan atas objek lelang yang tidak ditinggalkan atau dikosongkan
oleh debitor dengan melakukan eksekusi pengosongan21.
Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 3210 K/Pdt/1980 tanggal 20
Mei 1984tersebut menyatakan, penjualan lelang yang langsung dilakukan ke
Kantor Lelang Negara tanpa minta fiat eksekusi Ketua Pengadilan Negeri
dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan demikian penjualan
lelang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah Agung dalam putusan tersebut telah memberikan ratio
decidendi-nya yang menyatakan :
Mahkamah Agung telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Bandung, karena dinilai salah menerapkan hukum, dengan dasar
pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut :
a. Bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR, pelaksanaan pelelangan sebagai akibatadanya grosse akta hipotik dengan memakai kepala “Demi KeadilanBerdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatanhukum sama dengan sutau putusan Pengadilan, seharusnya dilaksanakanatas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan, bilamana ternyata tidakterdapat perdamaian dalam pelaksanaannya.
b. Bahwa ternyata, di dalam perkara ini, pelaksanaan pelelangan tidak atasperintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi dilaksanakan sendirioleh Kepala Kantor Lelang Negara Bandung atas perintah Tergugat asal I(Bank-Kreditor), oleh karenya, maka lelang umum tersebut adalahbertentangan dengan Pasal 224 HIR sehingga pelelangan tersebut adalahtidak sah.
c. Bahwa dengan demikian maka para Tergugat asal (Bank-Kreditor-KantorLelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan melawanhukum22.
21 Sesuai dengan pendapat Syahrul Machmud, Sutarjo dan Marulak Purba, para mantanKetua Pengadilan Negeri.
22 HP. Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai PerjanjianKredit Perbankan (Berikut Tanggapan), jilid 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 231.
B. Praktek Pelaksanaan Parate Eksekusi Setelah Adanya PutusanMahkamah Agung
Walau telah ada putusan Mahkamah Agung Nomor No.320
K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 1984 tersebut, namun praktek Pengadilan
Indonesia tidak sepenuhnya mengikuti putusan tersebut.
Dalam praktek peradilan terjadi dualisme pendapat, tidak sedikit
Ketua Pengadilan yang tidak mengikuti Putusan Mahkamah Agung Nomor
3201 K/Pdt/1984 tersebut23.
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara dalam mensikapi
keberadaan parate eksekusi Pasal 6 UUHT telah mengeluarkan Surat Edara
Nomor : SE-21/PN/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 UUHT dan
Surat Edaran Nomor : SE-23/PN/2000.
Dalam Surat Edara Nomor : SE-21/PN/1998 angka 1 menentukan
bahwa :
“……..Penjualan tersebut bukan secara paksa, tetapi merupakantindakan pelaksanaan perjanjian oleh pihak-pihak. Oleh karena itutidak perlu ragu-ragu lagi melayani permintaan lelang dari pihakperbankan atas objek hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT”.
Pada angka 3 Surat Edaran tersebut menyebutkan :
“…. Lelang objek hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT adalahtergolong pada lelang sukarela”.
Demikian pula dalam Surat Edaran Nomor : SE-23/PN/2000 butir 1a
huruf e, yang menentukan bahwa :
23 Hasil wawancara dilakukan di rumahnya di Bandung pada 31 Oktober 2014, saat iniHakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Januari 2013 sampai April 2013 Ketua PengadilanNegeri Jember, pernah pula menjadi Ketua Pengadilan Negeri Sekayu 2005 sampai 2008.
“…….Pelaksanaan lelang hak tanggungan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 6 UUHT tidak diperlukan persetujuan debitor untukpelaksanaan lelangnya”24.
Surat Edaran tersebut diperkuat lagi dengan Surat Menteri Keuangan
No. 304/KMK.01/2002 tertanggal 13 Juni 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang, dalam Pasal 2 ayat (3) menyebutkan :
“Kantor lelang tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan
kepadanya sepanjang persyaratan lelang sudah dipenuhi”.
Selanjutnya Surat Menteri Keuangan tersebut ditindak lanjuti dengan
surat Direktur Jenderal Piutang Dan Lelang Negara telah mengeluarkan
Keputusan Nomor 35/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Lelang, Pasal 3 angka 8 menyebutkan bahwa syarat-syarat lelang eksekusi
berdasarkan Pasal 6 UUHT, adalah sebagai berikut :
a. Salinan / foto copy perjanjian kredit.b. Salinan / foto copy Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak
Tanggungan.c. Salinan / foto copy bukti debitor telah wanprestasi yang dapat
berupa peringatan atau pernyataan-pernyataan pihak kreditor.d. Surat pernyataan dari kreditor yang akan bertanggung jawab apabila
terjadi gugatan perdat maupun tuntutan pidana.e. Asli / foto copy pemilikan hak25.
Ketentuan dalam Surat Edaran maupun Keputusan Dirjen Piutang dan
Lelang Negara tersebut, tidak mensyaratkan adanya fiat Ketua Pengadilan
Negeri untuk pelaksanaan parate eksekusi.
Demikian pula dikatakan Syahrul Machmud sebagai Ketua Pengadilan
Negeri Jember pernah beberapa kali mengabulkan permohonan eksekusi
pengosongan objek yang dimohonkan pemenang lelang, atas objek lelang
24 Dalam Herowati Poesoko, Op Cit, hlm. 244.25 Ibid, hlm. 245-246.
yang tidak bersedia ditinggalkan atau dikosongkan oleh debitor (termohon
lelang).
Hal serupa disampaikan pula oleh Sutarjo bahwa beliau juga pernah
melakukan eksekusi pengosongan parate eksekusi, karena beliau
berpendapat parate eksekusi atas Hak Tanggungan tersebut memiliki
kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap26.
Marulak Purba berpendapat bahwa, pada dasarnya beliau berpendapat,
jika ada permohonan eksekusi pengosongan oleh pemenang lelang atas
objek lelang yang tetap dihuni oleh debitor, maka sebagai Ketua Pengadilan
Negeri akan melaksanakan pengosongan dimaksud27.
Pendapat mereka tersebut didasarkan pada Surat Wakil Ketua
Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Nomor : 02/Wk.MA.Y/I/2010, perihal
perbaikan perumusan hasil Rakernas Palembang Tahun 2009 tentang
eksekusi grosse akta pengakuan hutang atau hak tanggungan, yang isinya
sebagai berikut :
“Sehubugan dengan adanya kekeliruan perumusan hasil diskusi komisi I Bbidang Perdata dan Perdata Khusus Rakernas Palembag tahun 2009 padahalaman 11 dan 12 tentang eksekusi grosse akta pengakuan hutang atau haktanggungan, maka bersama ini diberitahukan kepada saudara bahwaperumusan tersebut seharusnya berbunyi sebagai berikut :
26 Wawancara melalui telpon pada 30 Oktober 2014 setelah direkomendasikan olehSyahrul machmud, saat ini Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mantan Ketua PengadilanNegeri Purwodadi 2012 sampai 2014, dan pernah menjadi Ketua di Bajawa 2011 sampai 2012.
27 Wawancara dilakukan dirumahnya di Bandung pada 1 November 2014, saat ini Hakimdi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mantan Ketua Pengadilan Negeri Ende 2009 sampai 2010.
a. Bahwa dalam hal eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh kantorlelang Negara apabila barang yang telah dilelang itu tidak dengan sukareladiserahkan pada pembeli lelang, maka pihak pembeli lelang dapatmengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar PengadilanNegeri melakukan pengosongan terhadap objek yang telah dilelangtersebut tanpa perlu mengajukan gugatan biasa, sebab pada dasarnya Pasal200 ayat (11) HIR / 208 ayat (2) RBg tidak semata-mata ditujukan untukmelaksanakan suatu putusan pengadilan tetapi juga terhadap pelelanganyang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara.
b. Bahwa eksekusi akta pengakuan hutang sebagaimana yang diatur dalamPasal 224 HIR / 258 RBg, apabila objek yang akan dieksekusi adalah, HakTanggungan, maka hal ini berlaku baik terhadap kreditornya yangmerupakan perorangan. Tetapi apabila objek yang akan dieksekusi bukanmerupakan Hak Tanggungan, maka untuk melakukan eksekusi tersebutharus dilakukan dengan gugatan biasa (Stbl. 1938.523), begitu pulaapabila grosse akta pengakuan hutang yang jaminan lelang hutangnyatidak pasti.
Pendapat berbeda disampaikan oleh H. Dwi Sugiarto, S.H.,M.H.28
beliau berpendapat bahwa, paratek eksekusi sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) memiliki nilai
eksekutorial, karena Akta Hak Jaminannya berkepala “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu tidak diperlukan
mengajukan gugatan ke Pengadian Negeri untuk eksekusinya, dapat
dimintakan langsung oleh kreditur ke Kantor Lelang. Jika debitur tidak
bersedia meninggalkan objek lelang, maka pemenang lelang dapat langsung
minta eksekusi ke Pengadilan Negeri tidak perlu mengajukan gugatan.
Tentang keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun
2012, beliau berpendapat SEMA tidak dapat dipedomani karena
bertentangan dengan UUHT. Ketika memimpin Pengadian Negeri Depok
28 Saat ini Wakil Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung, sebelumnya KetuaPengadilan Negeri Klas IB Depok Jawa Barat, juga pernah menjabat sebagai Ketua PengadilanNegeri Klas II Menggala Lampung, wawancara dilakukan diruang kerjanya pada 7 Mei 2015.
beliau pernah melakukan eksekusi walau tanpa melalui gugatan seperti yang
dipersyaratkan dalam SEMA tersebut.
C. Praktek Pelaksanaan Parate Eksekusi Setelah Munculnya SEMA Nomor7 Tahun 2012
Setelah terbitnya SEMA Nomor 7 Tahun 2012 ketiga responden
tersebut berpendapat lain, mereka tidak akan mengabulkan permohonan
pengosongan objek lelang, karena pengosongan harus diajukan dalam
gugatan biasa sebagaimana perintah SEMA.
SEMA ini mengisaratkan bahwa parate eksekusi tidak dapat diterima
oleh Mahkamah Agung kecuali pelelangan ke Kantor Lelang harus melalui
fiat Pengadilan. Apabila kreditor langsung melakukan pelelangan ke Kantor
Lelang tanpa melalui Pengadilan, maka jika ternyata termohon eksekusi atau
yang mengusasai objek lelang tidak bersedia mengosongkan, maka
Pengadilan tidak boleh melakukan eksekusi pengosongan. Untuk melakukan
pengosongan tersebut pemenang lelang harus melakukan gugatan biasa.
Syahrul Machmud melanjutkan, pernah menjadwalkan ekseksui
pengosongan objek lelang, namun turun Surat Edaran Ketua Pengadilan
Tinggi Surabaya yang memerintahkan agar pengosongan objek lelang harus
dilakukan melalui gugatan biasa, hanya saja disebutkan jika eksekusi
pengosongan telah dijadwalkan diperbolehkan dilaksanakan sepanjang tidak
menimbukan gejolak.
Dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7
Tahun 2012, demikian pula perintah Ketua Pengadian Tinggi yang melarang
seluruh Ketua Pengadilan Negeri se-Jawa Timur untuk melakukan eksekusi
pengosongan objek lelang, yang lelangnya dilakukan langsung ke Kantor
lelang tanpa minta fiat ke Pengadilan Negeri terlebih dahulu. Akibat adanya
SEMA dan perintah Ketua Pengadilan Tinggi tersebut sebagai Ketua
Pengadilan Negeri sudah tidak berani lagi melaksanakan pengosongan atas
lelang yang dilakukan langsung ke Kantor Lelang. SEMA menentukan jika
pemenang lelang ingin mengosongkan objek lelang, maka harus dilakukan
melalui gugatan biasa. Maka dapat dibayangkan berapa waktu yang
diperlukan untuk mengosongkan objek lelang yang telah dibelinya.
Selanjutnya dikatakan, walaupun SEMA bukan hukum acara dan tidak
dapat dijadikan dasar hukum, namun dalam praktek SEMA selalu dijadikan
acuan dalam penanganan suatu perkara. Hal ini pernah ditekankan Bagir
Manan (saat masih menjabat Ketua Mahkamah Agung) sewaktu mengajar di
sebuah universitas swasta, ditegaskannya walaupun SEMA bukan dasar
hukum, namun jika perkara sampai di Mahkamah Agung, maka yang akan
dipedomani adalah tetap SEMA. Demikian juga bila ada Ketua Pengadilan
Negeri yang berani melanggar SEMA dimaksud, dan atas keberaniannya itu
diaporkan ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maka dapat
disimpulkan pasti Ketua tersebut akan disalahkan dan mendapat sanksi29.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya praktek eksekusi Hak
Tanggungan berjalan melalui 2 (dua) cara, yaitu langsung ke Kantor Lelang
29 Ibid
tanpa minta fiat ke-Pengadilan Negeri, atau yang kedua melalui Pengadilan
Negeri.
Melihat dualisme praktek peradilan terhadap Hak Tanggungan
tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2012
dalam rangka memperkuat putusan Mahkamah Agung Nomor 3201
K/Pdt/1984 tersebut, karena dalam praktek masih terjadi eksekusi Hak
Tanggungan tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.
SEMA ini merupakan penguatan dari putusan Mahkamah Agung
Nomor : 3201 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, dalam pertimbangannya
: bahwa penjualan objek jaminan tanpa melalui pengadilan merupakan
”perbuatan melawan hukum”.
Dalam perkara yang dikenal dengan kasus “Kandaga Shopping Center”
Bandung. Secara ringkas kasusnya adalah sebagai berikut : PT. PAN
Indonesia Bank Ltd Cabang Bandung sebagai pemegang Sertifikat Hipotik
Nomor 130/1976 tanggal 10 Apri 1976, atas pinjaman dari PT. Golden City
Textile Industri Ltd. Karena pinjaman macet akhirnya PT. PAN Indonesia
Bank Ltd Cabang Bandung mengajukan permohonan lelang ke Kantor
Lelang Negara Bandung atas jaminan yang diberikan PT. Golden City
Textile Industri Ltd. Selanjutnya pada tanggal 10 Desember 1979 tanpa
melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri Bandung telah dilaksanakan pejualan
lelang atas objek jaminan, dan pembelinya adalah Satro Proyogo30.
PT. Golden City Textile Industri Ltd akhirnya mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri Bandung atas penjualan objek jaminan yang dilakukan
Kantor Lelang Negara Bandung. Akhirnya pada 20 Mei 1980 Pengadilan
Negeri Bandung menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut :
Bahwa tindakan Tergugat I (PT. PAN Indonesia Bank) dan Tergugat II
(Kantor Lelang Negara Bandung) melelang umum tanah dan bangunan
setempat terkenal dengan nama “Shoping Center Kandaga” pada hari Senin
tanggal 10 Desember 1979 tanpa melalui Ketua Pengadilan Negeri Bandung
adalah merupakan perbuatan melawan hukum31.
Ditingkat banding pada 17 November 1981 Pengadilan Tinggi
Bandung telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri tersebut. Pada
intinya amar putusannya berbunyi : bahwa penjualan lelang adalah sah
menurut hukum32.
Ditingkat kasasi Putusan Nomor 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari
1986 membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung karena dinilai telah
salah menerapkan hukum. Dengan dasar pertimbangan sebagai berikut :
1. Bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan pelelangan sebagaiakibat adanya grose acta hipotik dengan memakai kepala : “DemiKeadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyaikekuatan hukum sama dengan suatu putusan Pengadilan, seharusnya
30 HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian KreditPerbankan (Berikut Tanggapan), Jilid I, Citra Adytia Bakti, Bandung, 1992, hlm. 233.
31 Ibid, hlm. 238.32 Ibid, hal. 240..
dilaksanakan atas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan, bilamanatidak terdapat perdamaian dalam pelaksanaannya.
2. Bahwa ternyata di dalam perkara ini, pelaksanan pelelangan tidak atasperintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi diaksanaka sendirioleh Kepala Kantor Lelang Negara Bandung atas perintah BankKreditor, oleh karenanya, maka lelang umum tersebut adalahbertentangan dengan Pasal 224 HIR, sehingga pelelangan tersebutadalah tidak sah.
Bahwa dengan demikian maka para Tergugat Asal (Bank Kreditor
– Kantor Lelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan
melawan hukum33.
Menindaklanjuti SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tersebut, Ketua
Pengadilan Tinggi Surabaya telah mengeluarkan Surat Edaran pada tanggal
16 Januari 2014 kepada jajaran dibawahnya, yaitu kepada Ketua Pengadilan
Negeri se-Jawa Timur tentang parate eksekusi sebagai berikut :
“Sehubungan dengan banyaknya permohonan eksekusi pengosongan yangdiajukan oleh pemenang lelang terhadap pelelangan Hak Tanggunganyang dilakukan oleh kreditor sendiri melalui Kantor Lelang (parateeksekusi) dan memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor07 Tahun 2012 tanggal 12 September 2012, maka untuk menindaklanjutipermohonan eksekusi pengosongan tersebut bersama ni kami beritahukanhal-hal sebagai berikut :
Permohonan eksekusi pengosongan dari hasil lelang yang dilakukan
kreditor melalui Kantor Lelang sebelum adanya SEMA RI Nomor 07 Tahun
2012 tanggal 12 September 2012 apabila terlelang tidak mau mengosongkan
objek sengketa tetap dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 200 ayat (11)
HIR ;
1. Permohonan eksekusi pengosongan dari hasil lelang yang dilakukankreditor melalui Kantor Lelang setelah adanya SEMA RI Nomor 07
33 Ibid, hlm. 231.
Tahun 2012 tanggal 12 September 2012, apabila terlelang tidak maumengosongkan objek sengketa tidak dapat dilakukan pengosonganberdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan melaluigugatan dengan permohonan putusan serta merta (uitvoerbaar bijvoorraad) ;
2. Apabila ternyata setelah adanya SEMA RI Nomor 07 Tahu 2012tanggal 12 Setember 2012 terlanjur ada permohonan eksekusipengosongan yang sudah ditindaklanjuti sampai tahap aanmaning dantidak ada kendala serta tinggal pelaksanaan pengosongan saja, makauntu melindungi pembeli lelang yang beriktikad baik, kiranya eksekusidapat dilanjutkan ;
3. Apabila kreditor mengajukan pengosongan lelang eksekusi terhadapHak Tanggungan / Fidusia berdasarkan Pasal 224 HIR ke Pengadilandapat diterima dan diaksanakan sebagaimana mestinya sesuai denganketentuan yang berlaku34 ;
Dari Surat Edaran Ketua Pengadian Tinggi terdapat 3 (tiga) kebijakan
:
1. Sebelum keluarnya Surat Edaran Pengadilan Tinggi tersebut masih
dimungkinkan atau dibolehkan Ketua Pengadilan Negeri melakukan
pengosongan terhadap objek lelang yang dilakukan secara parate
eksekusi (langsung ke Kantor Lelang) ;
2. Namun setelah keluarnya Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi
tersebut maka permohonan eksekusi secara parate eksekusi, dan
akhirnya meminta bantuan Pengadilan Negeri sudah tidak dibolehkan
lagi (hanya dimungkinkan mengajukan gugatan baisa).
3. Oleh karena itu eksekusi atas Hak Tanggugan harus melalui fiat Ketua
Pengadilan Negeri.
Demikian pula Ketua Pengadilan Negeri Jember dalam suratnya yang
ditujukan kepada Kantor Lelang Jember Nomor : W.14.U.300
34 Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi tersebut diterima Syahrul Machmud ketikamenjadi Ketua Pengadilan Negeri Jember.
B/Pdt.01.04/12/2013 tertanggal 2 Desember 2013 yang isinya adalah
sebagai berikut :
“Merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2012tanggal 2 September 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat PlenoKamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas BagiPengadilan, dengan hormat kami beritahukan jika ada pelaksanaan lelangHak Tanggungan yang dilakukan oleh kreditor sendiri melalui KPKNL(Kantor Pelayanan Kekayaan Negara), apabila dikemudian hari menemuihambatan karena termohon lelang tidak mau meninggalkan danmengosongkan barang yang telah di lelang, maka pihak pemenang lelangtidak bisa meminta langsung pengosongan melalui Pengadilan Negeribedasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR, melainkan harus mengajukangugatan, karena pelelangan tersebut bukan lelang eksekusi melainkanlelang sukarela.
“Dengan demikian untuk menghindarkan kesulitan bagi kreditor, makadisarankan agar permohonan eksekusi lelang oleh kreditor / parateeksekusi melalui Pengadilan Negeri setempat”
Selengkapnya bunyi Pasal 200 ayat (11) HIR adalah sebagai berikut :
“Jika seseorang enggan meninggalkan barang tetapnya yangdijual, maka ketua pengadilan negeri akan membuat suratperintah kepada orang yang berwenang, untuk menjalankansurat juru sita dengan bantuan panitera pengadilan negeriatau seorang pegawai bangsa Eropa yang ditunjuk olehketua, dan jika perlu dengan bantuan polisi, supaya barangtetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijualbarangnya serta oleh sanak saudaranya. (Rv. 526, 1033)”.
Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 320 K/Pdt/1980 serta SEMA
Nomor 7 Tahun 2013 mengandung pengertian parate eksekusi dalam UUHT
tetap harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri. Jika tidak melalui
Pengadilan Negeri dan ternyata debitor tidak bersedia mengosongkan objek
lelang, maka Ketua Pengadilan Negeri tidak dibenarkan untuk melakukan
eksekusi pengosongan. Pengosongan hanya dimungkinkan melalui proses
gugatan perdata biasa
III. ANALISA
A. Kedudukan Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untukmenolak eksekusi hak jaminan yang didasarkan pada parate eksekusi
1. Analisa Atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 3201 K/Pdt/1984
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 3201 K/Pdt/1984 tanggal 30
Januari 1986 sebagai dasar hukum munculnya Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 07 Tahun 2012, telah menimbulkan perbedaan pendapat
dikalangan para ahli hukum (ada yang sepedapat dengan Putusan MA
tersebut, dan ada yang tidak sependapat).
Dikalangan perbankan juga mengakui sulitnya melaksanakan
parate executie terhadap objek hak tanggungan jika debitor wanprestasi.
Bank tidak pernah mengajukan permohonan pelelangan secara langsung
kepada Kantor Lelang Negara (KLN) berdasarkan Pasal 6 UUHT.
Permohonan tersebut akan ditolak oleh KLN dengan alasan karena adanya
putusan MARI No. 3210.K/Pdt.G/1984. Bilamana parate executie objek hak
tanggungan yang dalam pelaksanaannya terlebih dahulu harus mendapatkan
fiat Ketua Pengadilan Negeri, karena mendasarkan pada Pasal 224 HIR,
berarti ada perubahan makna yang terkandung dalam pengertian parate
executie hak tanggungan atas atas tanah sejak adanya putusan MARI.
Terlebih lagi adanya Buku II Pedoman Mahkamah Agung RI yang
mengharuskan adanya fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri. Disamping itu
kurangnya peminat yang ingin membeli karena akan timbul persoalan pada
saat pengosongan. Pengadilan menolak menerbitkan perintah pengosongan
karena eksekusinya tidak melalui pengadilan35.
Praktek eksekusi atas hak tanggungan (parate eksekusi) para
Hakim berbeda pendapat, ada yang mengikuti isi putusan Mahkamah Agung
tersebut dengan menolak pengosongan objek lelang yang dilakukan
langsung ke Kantor Lelang. Sebagian lagi tidak mengikuti putusan
Mahkamah Agung tersebut dan bersedia mengosongkan objek lelang yang
tidak ditinggalkan atau dikosongkan oleh debitor yang lalai atau
wanprestasi36.
Perbedaan pendapat atas putusan MA tersebut terjadi juga di MA,
hal ini terlihat dari Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial,
Nomor : 02/Wk.MA.Y/I/2010, perihal perbaikan perumusan hasil Rakernas
Palembang Tahun 2009 tentang eksekusi grosse akta pengakuan hutang atau
hak tanggungan, isi surat sebagai berikut :
“Bahwa dalam hal eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh kantorLelang Negara apabila barang yang telah dilelang itu tidak dengan sukareladiserahkan pada pembeli lelang, maka pihak pembeli lelang dapatmengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar Pengadilan Negerimelakukan pengosongan terhadap objek yang telah dilelang tersebut tanpaperlu mengajukan gugatan biasa, sebab pada dasarnya Pasal 200 ayat (11)HIR / 208 ayat (2) RBg tidak semata-mata ditujukan untuk melaksanakansuatu putusan pengadilan tetapi juga terhadap pelelangan yang dilakukanoleh Kantor Lelang Negara37.
Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial tersebut,
menunjukkan bahwa di dalam tubuh Mahkamah Agung sendiri masih terjadi
35 Retnowulan Sutantio, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi JaminanKredit, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1999.
36 Syahrul Machmud, ibid37 Hasil Rakernas MA tahun 2009 di Palembang.
baik Hakim di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun di
Mahkamah Agung tidak mentaati putusan Mahkamah Agung tersebut.
Melihat praktek peradilan yang masih terjadi dualisme terhadap
Hak Tanggungan tersebut, maka Mahkamah Agung kembali mengeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 07 Tahun 2012, bermaksud
menyatukan pandangan para Hakim agar tidak menerima permohonan
eksekusi pengosongan objek lelang yang tidak bersedia ditinggalkan oleh
debitor.
Dualisme pendapat dikalangan Hakim atas eksekusi hak tanggungan
tersebut menurut Syahrul Machmud dapat terjadi, karena peradilan Indonesia
tidak menganut asas precedent (wajib mengikuti putusan Hakim sebelumnya),
Hakim diberi kebebasan untuk memutus perkara berdasarkan keyakinannya,
dan tidak selalu mengikuti putusan Hakim sebelumnya, sekalipun Putusan
Mahkamah Agung merupakan peradilan tertinggi di Indonesia. Demikian juga
dikatakannya, tidak semua Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri pernah
membaca putusan Mahkamah Agung tersebut. Karena buku kumpulan putusan
pengadlan masih sangat terbatas jumlahnya, sehingga akses membaca putusan
sangat terbatas sekali38.
2. SEMA Tidak Dapat Dijadikan Dasar Hukum Untuk Menolak EksekusiHak Tanggungan Yang Didasarkan Pada Parate Eksekusi
38 Syahrul Machmud, Ibid.
Dalam penjelasan umum angka 2 sampai 4 disebutkan, keberadaan
UUHT pada dasarnya dimaksudkan untuk menggantikan ketentuan hipotik dan
creditverband yang dibuat zaman Hindia Belanda, didasarkan pada hukum
tanah sebelum adanya hukum tanah nasional, tentunya tidak sesuai lagi dengan
asas-asas hukum tanah nasional, dan juga tidak dapat menampung
perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai
akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya ialah timbulnya
perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalam
pelaksanaan hukum jaminan atas tanah, misalnya mengenai pencantuman titel
eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan
perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian
hukum dalam kegiatan perkreditan. Atas dasar kenyataan tersebut, perlu
segera ditetapkan UU mengenai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat
dengan ciri-ciri :
a. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepadapemegangnya ;
b. selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek ituberada ;
c. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihakketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yangberkepentingan;
d. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya39.
Dengan memperhatikan ciri-ciri di atas, maka pembentukan UUHT
telah membangun suatu hukum tanah nasional, dengan menciptakan kesatuan
dan kesederhanaan hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya.
39 Penjelasan Umum UUHT angka 2 sampai 4.
Dari beberapa definisi dan pendapat pakar yang telah diutarakan
tentang parate eksekusi, bahwa yang dimasudkan dengan parate eksekusi
adalah, eksekusi yang dilakukan kreditor karena debitor ingkar janji /
wanprestasi atas hutangnya, kemudian kreditor melelang objek jaminan
langsung ke Kantor Lelang tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.
Namun makna parate eksekusi ini dimentahkan oleh adanya SEMA
Nomor 07 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa walaupun kreditor telah
memegang Hak Tanggungan, yang berarti bernilai parate eksekusi, namun
kreditor bila akan melakukan eksekusi, harus melalui fiat Ketua Pengadilan
Negeri, tidak boleh langsung ke Kantor Lelang. Apabila dilakukan langsung
ke Kantor Lelang, maka apabila debitor tidak bersedia mengosongkan objek
lelang, maka Ketua Pengadilan Negeri dilarang melakukan eksekusi
pengosongan, kecuali dilakukan melalui gugatan biasa.
Jika parate eksekusi harus dilakukan dengan persetujuan dan
dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, maka tidak ada perbedaan
antara parate eksekusi berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata untuk
Hipotik atau pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT untuk hak
tanggungan dengan eksekusi Grosse Akte Hipotik atau grosse Sertifikat hak
tanggungan menurut Pasal 224 HIR / 258 RBg.
Dengan munculnya SEMA Nomor 07 Tahun 2012 pada dasarnya
memperkuat putusan Mahkamah Agung Nomor 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30
Januari 1986 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung karena
dinilai telah salah menerapkan hukum, dan menyatakan parate eksekusi
yang langsung dilakukan ke Kantor Lelang tanpa melalui fiat Ketua
Pengadilan Negeri merupakan perbuatan melawan hukum.
Setelah mempelajari ketentuan Pasal 7 dan 8 UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan,
jenis dan khirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana telah
diuraikan pada BAB II, maka Surat Edaran tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat (SE hanya mengikat kedalam tidak keluar), dan hanya Peraturan
Mahkamah Agung yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan
demikian Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menolak
eksekusi hak jaminan yang didasarkan pada parate eksekusi oleh pihak
terlelang.
B. Akibat Hukum SEMA Nomor 7 Tahun 2012 Dijadikan Dasar HukumMelaksanakan Parate Eksekusi
Sebagaimana telah diuraikan pada Bab II tentang khirarki
perundang-undangan diatas, terutama pada Pasal 7 dan 8 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan dinyatakan, jenis dan khirarki peraturan perundang-undangan
terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawarata Rakyat.
3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4. Peraturan Pemerintah.
5. Peraturan Presiden.
6. Peraturan Daerah Provinsi, dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
Menurut ketentuan Pasal 7 dan 8 serta penjelasannya UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan termasuk
pula katagori perundangan, yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi
(MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisal (KY), Bank
Indonesia (BI), Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Gubernur,
DPRD Kabupaten / Kota, Bupati / Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat. Peraturan perundangan tersebut diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintah oleh peraturan
perundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan40.
Dengan demikian hanya Peraturan Mahkamah Agung yang
memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak termasuk Surat Edaran
Mahkamah Agung (karena Surat Edaran Mahkamh Agung hanya mengikat
kedalam tidak keluar).
Sebagaimana telah diutarakan pada BAB II Mahkamah Agung
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Undang-Undang
Mahkamah Agung, memiliki beberapa kewenangan dan tugas :
40 Ketentuan Pasal 7 dan 8 serta penjelasannya dari UU Nomor 12 Tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar jo
Pasal 35 Undang-Undang Mahkamah Agung Jo TAP MPR Nomor
VII/MPR/ 1973 Pasal 11 ayat (3) Mahkamah Agung berwenang
memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam
permohonan grasi dan rehabilitasi.
b. Berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Mahkamah Agung,
Mahkamah Agung Jo TAP MPR Nomor VI/MPR/1973 Pasal 11 ayat
(2) Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan
dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga
tinggi negara yang lain.
c. Berdasarkan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Mahkamah Agung,
Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk di semua
lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman.
d. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Mahkamah
Agung, Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk, teguran,
atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua
lingkungan peradilan.
Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi mempunyai
fungsi pengawasan terhadap perbuatan pengadilan lainnya, untuk
meningkatkan citra peradilan.
e. Demikian pula berdasarkan ketentuan 79 Undang-Undang Mahkamah
Agung, Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang.
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan tertinggi mempunyai fungsi
memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum
dan sekaligus mengembangkan hukum Indonesia melalui putusan-
putusan kearah kesatuan hukum dan peradilan.
Produk hukum Mahkamah Agung dapat berupa Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA),
Fatwa Mahkamah Agung, dan Surat Keputusan Mahkamah Agung
(SKKMA).
Sebagaimana telah diuraian pada BAB II sebelumnya, bahwa
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) pada dasarnya adalah bentuk
peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara. Sedangkan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) bentuk edaran pimpinan Mahkamah
Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam
penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi.
Kemudian yang dimaksudkan Fatwa Mahkamah Agung, berisi
pendapat hukum Mahkamah Agung yang diberikan atas permintaan lembaga
negara.
Sedangkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SKKMA)
adalah surat keputusan (beschikking) yang dikeluarkan Ketua Mahkamah
Agung mengenai satu hal tertentu.
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa Surat Edaran
Mahkamah Agung berbentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh
jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan,
yang lebih bersifat administrasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32
ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung.
Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (4) UU Mahkamah Agung
tersebut, SEMA hanya bersifat administrasi belaka tidak dapat mengatur
hukum acara. Jimly mengkritik bentuk Surat Edaran Mahkamh Agung yang
materinya bersifat pengaturan. Jika materinya berisi peraturan, sebaiknya
bentuk produk hukumnya adalah peraturan.
Sebagaimana kewenangan Mahkamah Agung tersebut, salah satu
kewenangan dan tugas Mahkamah Agung adalah : Mahkamah Agung
berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam
rangka pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Namun demikian segala produk hukum dari Mahkamah Agung harus tetap
tunduk pada prinsip atau asas hirarkhi.
Sesuai dengan hirarkhi peraturan perundang-undangan, yaitu
perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan
pada asas lex superiori derogat lex inferiori bahwa aturan yang lebih tinggi
mengabaikan atau mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, bahwa
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Maka seharusnya
Surat Edaran Mahkamah Agung tunduk pada prinsip hirarkhi, justru Surat
Edaran harus selaras dan serasi dengan Undang-Undang Hak Tanggungan.
Dengan demikian peraturan-peraturan dibawah Undang-Undang
sebagai hukum organik atau aturan pelaksana dari Undang-Undang, tidak
boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya. Surat Edaran Nomor 7
Tahun 2012 mengatur parate eksekusi harus dilakukan melalui Ketua
Pengadilan Negeri, jelas Surat Edaran Mahkamah Agung ini bertentangan
dengan bunyi Pasal 6 Jo Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu
parate eksekusi dapat dilakukan langsung ke Kantor Lelang oleh kreditor
pemegang Hak Jaminan, manakala debitor lalai atau wanprestasi. Oleh
karena itu Surat Edaran Mahkamah Agung semacam ini harus dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan dan harus
dinyatakan batal demi hukum, karena bertentangan dengan Undang-Undang
Hak Tanggungan.
Namun dalam praktek, sekalipun para Ketua Pengadilan Negeri
mengetahui hal ini, tetap tidak berani melanggar Surat Edaran Mahkamah
Agung yang seharusnya batal demi hukum. Karena alasan praktis, jika
dilaporkan maka para Ketua Pengadilan Negeri yang melanggar Surat
Edaran Mahkamah Agung akan dipersalahkan dan dapat dikenai sanksi.
Selain kendala dari peradilan Indonesia tersebut, hambatan-
hambatan dalam eksekusi Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit untuk
perlindungan hukum bagi kepentingan kreditor, terdapat 2 (dua) macam
hambatan yaitu :
1. Hambatan Normatif
Dari beberapa pasal Undang-Undang Hak Tanggungan terdapat
beberapa pasal yang tumpang tindih sehingga menjadi bermakna ganda,
seperti misalnya :
a. Ketentuan Pasal 6 Jo Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT dapat
dimaknai bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak
menjual langsung objek jaminan (parate eksekusi) melalui Kantor
Lelang tanpa fiat Ketua Pengadilan Negeri, hal ini merupakan
perintah undang-undang (ex lege).
b. Adanya penjelasan Pasal 6 Jo Pasal 11 ayat (2) UUHT yang
menentukan bahwa, hak kreditor untuk menjual lelang atas jaminan
debitor didasarkan pada perjanjian. Padahal Pasal 6 Jo Pasal 20 ayat
(1) huruf a UUHT menyebutkan bahwa hak tersebut merupakan hak
kreditor untuk menjual lelang atas jaminan debitor tersebut merupakan
perintah Undang-Undang (ex lege).
c. Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dimentahkan
dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUHT dan penjelasannya,
maka yang bertindak selaku penjual lelang adalah Ketua
Pengadilan Negeri untuk kepentingan kreditor, sehingga yang
berhak menentukan syarat-syarat lelang adalah Ketua Pengadilan
Negeri selaku pemohon lelang.
d. Oleh karenanya menurut hemat kami karena Pasal 6 jo. Pasal 11
ayat (2) huruf e parate eksekusi sudah jelas-jelas memberi hak
kepada pemegang hak tanggungan Pertama untuk melaksanakan hak
dan/atau janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak
tanggungan, maka dalam hal debitor cidera janji pemegang hak
tanggungan pertama dapat melakukan parate eksekusi, yaitu
menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan melalui
pelelangan umum tanpa persetujuan dan pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri.
2. Hambatan Non Yuridis
a. Kendala utama dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan adalah
keengganan debitor mengosongkan obyek jaminan pada waktu
eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan.
b. Sering debitor dalam rangka mempertahankan objek jaminan yang
telah dilelang mengerahkan massa untuk membantunya
mempertahankan objek jaminan agar tidak beralih kepada pemenang
lelang.
VI. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan pada BAB II dan BAB III maka
dapatlah ditarik satu kesimpulan sebagai berikut :
1. Sesuai dengan tata urutan perudang-undangan UU Nomor 12 Tahun 2011,
maka sebuah Surat Edaran (Mahkamah Agung) tidak termasuk tata urutan
perundangan, sehingga tidak dapat dijadikan alasan atau dasar hukum untuk
menolak eksekusi hak tanggungan berdasarkan pada parate eksekusi dalam
UUHT.
2. Sebagaimana asas lex superiori derogat lex inferiori maka sebuah SEMA
seharusnya melaksanakan UU tidak bertentangan dengan bunyi UU. Jika
bertentangan maka harus dinyatakan batal demi hukum.
B. S A R A N
Dari kesimpulan tersebut dapatlah diuraikan beberapa saran sebagai
berikut :
1. Keberadaan SEMA tentang parate eksekusi harus sejalan dan selaras dengan
UUHT yang mengatur parate eksekusi pada Pasal 6 UUHT.
2. Pengaturan parate eksekusi dalam UUHT harus diatur secara tegas dan jelas
tidak muti tafsir, sehingga tidak membingungkan para pihak terutama pihak
kreditor perbankan.