Upload
ngonhi
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN
ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI
NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN PENYIDIK
PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh :
Anjar Lea Mukti Sabrina
NIM. E0007008
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN
ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI
NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN PENYIDIK
PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN
Oleh :
Anjar Lea Mukti Sabrina
NIM. E0007008
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 17 Juni 2011
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Bambang Santoso, S.H., M.Hum Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
PENGESAHAN PENGUJI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN
ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI
NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN PENYIDIK
PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN
Oleh :
Anjar Lea Mukti Sabrina
NIM. E0007008
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari : Selasa
Tanggal : 12 Juli 2011
DEWAN PENGUJI
1. Kristiyadi, S.H., M.Hum : (.......................................)
Ketua
2. Bambang Santoso, S.H, M.Hum : (.......................................)
Sekretaris
3. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. : (.......................................)
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum
NIP. 19570203 198503 2 001
PERNYATAAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Nama : Anjar Lea Mukti Sabrina
NIM : E0007008
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA APARAT
PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI NEGARA REPUBLIK
INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN adalah betul-
betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 17 Juni 2011
Yang membuat pernyataan
Anjar Lea Mukti Sabrina
NIM. E0007008
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Anjar Lea Mukti Sabrina, E 0007008. 2011. KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN.Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan koordinasi antara Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan, dan upaya mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum dalam penyidikan tindak pidana pajak.
Penelitian ini merupakan penelitian normatifbesifat preskriptif, mengenai pengaturan koordinasi antara Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan ditinjau dari KUHAP, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.Bahan hukum yang digunakan yaitu mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder.Prosedur pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Analisis yang dilaksanakan menggunakan teknik analisis dengan metode pendekatan perundang-undangan dengan pendekatan konsep. Dalam hal ini analisis dilakukan dengan mengklasifikasi pasal-pasal dari undang-undang dan hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan berdasarkan pendekatan penelitian guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah ditentukan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan,kesatu bahwaantara Penyidik POLRI dengan Penyidik PNS memiliki hubungan kerja meliputi pelaksanaan, koordinasi, pengawasan, pembinaan, pemberian petunjuk yang didasarkan pada sendi-sendi hubungan fungsionalyang secara tersurat dicantumkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1) huruf f serta disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan penyidikan tindak pidana pajak harus berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI. Kedua, bahwadalam mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum, khususnya pada pelaksanaan wewenang penyidikan antar institusi penyidik, maka perlu ditetapkan strategi penanggulangannya agar dapat terwujud kepastian hukum yang dilakukan melalui penetapan kebijakan, strategi dan upaya antara lain : POLRI melaksanakan penataan struktur dan personil pengemban fungsi Korwas PPNS pada Mabes POLRI sampai tingkat Polres dengan tujuan agar Penyidik POLRI dapat berperan sebagai koordinator dan pendukung fungsi dan peran PPNS dalam melakukan penyidikan yang berintegrasi guna mewujudkan penegakan hukum di Indonesia;Meningkatkan kualitas aparat penegak hukum dalam rangka terwujudnya aparat penegak hukum yang profesional;Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis; dan Mengupayakan pembentukan dan/ atau perbaikan peraturan perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan kepastian hukum.
Kata kunci: Koordinasi, Penyidikan, Tindak Pidana Pajak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Anjar Lea Mukti Sabrina, E 0007008. 2011. THEORETICALSTUDYCOORDINATIONBETWEENINVESTIGATIONLAW ENFORCEMENT OFFICIALSPOLICE INVESTIGATORSREPUBLIC OF INDONESIATO THE CIVIL SERVANTCRIMEINVESTIGATIONINTHE FIELD OF TAXATION. Law Faculty of SebelasMaretUniversity.
This research has purpose to know the coordination arrangements between the Republic of Indonesia State Police Investigator (INP) with the Civil Servant (investigators) in the investigation of criminal offenses in taxation, and efforts to realize the synergistic coordination between law enforcement agencies in criminal tax investigations.
This is a normatif research with prescriptive characteristic,concerning the coordination arrangements between the Republic of Indonesia State Police Investigator (INP) with the Civil Servant (investigators) in the tax field investigation of criminal offenses in terms of the Criminal Procedure Code, Act No. 2 of 2002 on the Indonesian National Police, and Act No. 16 of 2009 concerning General Provisions and Tax Procedures. The law material used included primary and secondary law material. Procedure of collecting data used in this research was library study. The analysis was done using analytical techniques to approach legislation with the concept approach. In this case the analysis was done by classifying the articles of the law and the results will be presented in a descriptive way is by telling and describing based approach to research to get answers to the formulation of a problem that has been determined.
Based on the results of research and discussion of the resulting conclusion, that the unity between the Police Investigator Investigator civil servants working relationships include the implementation, coordination, supervision, coaching, giving directions based on the joints of a functional relationship as otherwise expressly provided in the Law of the Republic of Indonesia National Police no. 2 of 2002 Article 14 paragraph (1) f and is mentioned in Article 44 paragraph (1) of Act No. 16 of 2009 concerning General Provisions and Tax Procedures that the Civil Service in the Directorate General of Taxation is investigating tax crime should be under the coordination and supervision of Police Investigator. Second, that in realizing the synergistic coordination between law enforcement agencies, particularly on the implementation of inter-institutional investigation authority of investigators, it is necessary to set out a strategy to overcome in order to materialize the legal certainty which is done through the establishment of policies, strategies and efforts include: Police carry out the arrangement of the structure and personnel coordinator function bearers Supervisory Police investigators at the Police Headquarters until the police resort to the end that police investigators can act as a coordinator and support functions and the role of investigators in conducting investigations in order to realize the integration of law enforcement in Indonesia; Improving the quality of law enforcement officers in order to realize law enforcement officers professional; Improve coordination between law enforcement agencies to create an effective cross-agency relationship is synergistic, and promote the establishment and/ or improvement of legislation related to law enforcement in order to create legal certainty.
Key words: Coordination, Investigation, Crime Tax
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Q.S. Alam Nasyrah (94): 6)
Dunia ini sanggup untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak untuk
kerakusannya (Mahatma Gandhi).
Cara untuk menjadi di depan adalah memulai sekarang. Jika memulai sekarang,
tahun depan anda akan tahu banyak hal yang sekarang tidak diketahui dan anda
tidak akan mengetahui masa depan jika anda menunggu-nunggu (William
Feather).
Hati nurani yang bersih tidak takut dakwaan atau fitnah (Penulis).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
¥ Allah SWT yang telah memberikan
kenikmatan tak terhingga sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
¥ Alm. Ayahanda tercinta yang telah tenang di
sisi-Nya, semoga mendapat tempat terbaik di
surga.
¥ Ibu tercinta yang senantiasa mendukung
kuliah, memberikan doa dan nasihat,
semangat, cinta dan kasih sayang serta kerja
keras yang tak ternilai harganya demi
mewujudkan cita-citaku menjadi seorang
Sarjana Hukum.
¥ Teman-temanku yang telah memberi warna
kehidupan selama penulis menyelesaikan
studi di institusi pendidikan.
¥ Almamater.
¥ Diriku sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’allaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Dengan mengucapkan syukur kehadirat
Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum
(skripsi) yang berjudul “KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN
ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI NEGARA
REPUBLIK INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI
SIPIL DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIDANG
PERPAJAKAN”.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum
(skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik materiil maupun non
materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi
dukungan dan semangat untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, yaitu kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui
penulisan hukum.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Acara
yang telah membantu dalam penunjukkan dosen pembimbing skripsi.
3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum selaku pembimbing skripsi dan
pembimbing Mootcourt Community (MCC)yang telah memberikan
bimbingan, masukan, arahan dan pengetahuan sehingga mempermudah
penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini serta memberi semangat
penulis untuk bisa lulus bulan September.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H selaku pembimbing seminar dan
pembimbing Mootcourt Community (MCC), KSP “Principium“, dan
FOSMI FH UNS yang juga telah banyak memberi saran untuk
pengembangan skripsi penulis, berbagi berbagai pengalaman selama
menjadi dosen dan telah membimbing, berdiskusi, memberi saran dan
arahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum UNS.
5. Ibu Djuwityastuti S.H., M.Hselaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah di Fakultas
Hukum UNS.
6. Ibu Siti Warsini, S.H., M.H selaku pembimbing Kegiatan Magang
Mahasiswa (KMM) penulis di Kejaksaan Negeri Surakarta yang selalu
memberi perhatiandan bimbingan kepada peserta magang di Kejaksaan
Negeri Surakarta.
7. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi
dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada
penulis yang dapat dijadikan bekal dalam penyelesaian skripsi ini serta
menghadapi persaingan di lingkungan masyarakat luas.
8. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus
prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul, pelaksanaan seminar
proposal sampai pendaftaran ujian skripsi.
9. Bapak Widiarso, S.H dan Ibu Sugiyarti, S.H selaku Pembimbing Mitra
Kegiatan Magang Mahasiswa (KMM) di Kejaksaan Negeri Surakarta yang
telah banyak membimbing penulis mengenai teknis penanganan perkara
pidana, Bapak Sugeng H, S.H., M.H selaku Kepala Kejaksaan Negeri
Surakarta yang telah menerima penulis sebagai peserta magang.
10. Teman-teman seperjuanganku di Mootcourt Community FH UNS mulai
dari Tim Prof. Sudarto II UNDIP 2010 dan Tim Djoko Soetomo VI UI
2010 angkatan 2006, 2007 dan 2008 terima kasih atas kebersamaan,
persahabatan dan kekeluargaan yang indah. Semoga menjadi pengalaman
berharga bagi kita semua.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11. Para pendahulu MCC FH UNS yang tidak dapat disebutkan satu per satu,
terima kasih untuk pelajaran berharga yang kalian berikan selama ini,
semoga penulis bisa segera menyusul kesuksesan yang sudah kalian raih.
12. Teman-teman seperjuanganku di Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMI
FH UNS) dan Kelompok Study dan Penelitian (KSP ”Principium” FH
UNS) terima kasih atas kebersamaan, persahabatan dan kekeluargaan yang
indah. Semoga menjadi pengalaman berharga bagi kita semua.
13. Teman-temanku KMM di Kejaksaan Negeri Surakarta (Arif, Aris, Beni,
Bintang, Fathul, Pandu, Tri dan Yurisa) terima kasih atas kerja sama
kalian selama magang di Kejaksaan Negeri Surakarta.
14. Temen-temanseperjuangan angkatan 2007 FH UNS yang tidak bisa
disebutkan satu per satu, tanpa kalian kuliahku selama di FH UNS tidak
akan berwarna.
15. Untuk semua guru-guruku di MI Al-Falah Beran, Ngawi; SMP Negeri 5
Ngawi; dan SMA Negeri 1 Ngawi yang telah mengajar dan membagi
ilmunya dan mengantar penulis hingga memperoleh gelar sarjana, tanpa
mereka mungkin penulis tidak bisa meraih cita-cita.
16. Teman-temanku penghuni Wisma PutriKusumawati (KW’s Family) yang
selalu memberikan warna di tiap hariku. Para sesepuh KW: Mbak Lina,
Mbak Nani, Mbak Irma, Mbak Nunik, Mbak Wiwik, Mbak Yani, Mbak
Mut, Mbak Mega, Mbak Cyla, Mbak Wike, dll, terima kasih atas nasihat,
bimbingan dan kebersamaan kalian selama ini. Para penghuni setia KW:
Mbak Dhini, Vina, Lina, Anik, Atun, Uyi, Tyas, Wardha, Dewi, Aminah,
Niken, Afif dan Beta. Terima Kasih atas kebersamaan kalian selama ini.
17. Skripsi ini tidak hanya penulis dedikasikan kepada setiap orang yang telah
memberi inspirasi bagi penulis tetapi juga untuk seseorang yang akan
mengisi hidup penulis kelak dikemudian hari.
18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Demikian semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi khalayak
akademika civitas hukum serta berbagai pihak yang membutuhkannya. Penulis
juga sadar bahwa penulisan hukum ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan.
Kritik dan saran yang konstruktif sangat peneliti harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta, 17 Juni 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI............................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN..............................................................................iv
ABSTRAK............................................................................................................. v
HALAMAN MOTTO.......................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN......................................................................... viii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ix
DAFTAR ISI........................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. ........ 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah.................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian...................................................................................... 9
E. Metode Penelitian...................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan Hukum................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 17
A. Kerangka Teori.......................................................................................... 17
1. Tinjauan Umum Tentang Penyidik..................................................... 17
a) Pengertian Penyidik...................................................................... 17
b) Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia................................. 17
c) Penyidik Pegawai Negeri Sipil..................................................... 18
2. Tinjauan Umum Tentang Penyidikan................................................. 20
a) Pengertian Penyidikan.................................................................. 20
b) Penyidikan Tindak Pidana Pajak.................................................. 23
3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Bidang Perpajakan............ 32
a) Pengertian Tindak Pidana Pajak................................................... 32
b) Penuntutan Tindak Pidana Pajak.................................................. 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 38
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................... 40
A. Pengaturan Koordinasi Antara Penyidik Polisi Negara Republik
Indonesia (POLRI) Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Dalam Penyidikan Tindak PidanaBidang Perpajakan.............................40
B. Upaya Mewujudkan Koordinasi Yang Sinergis Antar Institusi
Penegak Hukum Dalam Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan..............57
BAB IV PENUTUP............................................................................................ 70
A. Simpulan.................................................................................................. 70
B. Saran........................................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan negara, baik di bidang kenegaraan maupun
di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya, pajak belum merupakan suatu
pungutan tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja
dalam memelihara kepentingan negara. Seperti menjaga keamanan negara,
menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai, dan lain sebagainya. Bagi
penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura maka ia
diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum untuk
beberapa hari lamanya dalam satu tahun. Orang-orang yang memiliki status sosial
yang tinggi termasuk orang-orang yang kaya, dapat membebaskan diri dari
kewajiban melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum tadi dengan cara
membayar uang ganti rugi. Besarnya pembayaran ganti rugi ini ditetapkan sesuai
dengan jumlah uang yang diperlukan untuk membayar orang lain yang
menggantikan melakukan pekerjaan itu yang seharusnya dilakukan sendiri oleh
orang kaya yang memiliki status sosial yang tinggi dan orang kaya tadi (Rochmat
Soemitro, 1977: 1).
Melalui terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan
antara rumah tangga negara dan rumah tangga pribadi raja pada akhir abad
pertengahan, pajak mendapat tempat yang lebih mantap di antara berbagai
pendapatan negara. Dengan bertambah luasnya tugas-tugas negara, maka dengan
sendirinya negara memerlukan biaya yang cukup besar. Sehubungan dengan itu,
maka pembayaran pajak yang tadinya bersifat sukarela berubah menjadi
pembayaran yang ditetapkan oleh negara dalam bentuk undang-undang dan dapat
dipaksakan (H. Bohari, 2004: 2).
Di dalam melaksanakan fungsi dan peranan pemerintah bagi tercapainya
tujuan bernegara sekaligus juga sebagai tujuan nasional Negara Kesatuan
Republik Indonesia, timbulnya hak dan kewajiban dalam bentuk uang maupun
yang dapat dinilai dengan uang merupakan konsekuensi logis yang tidak dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dihindari. Hak dan kewajiban yang tertuang di dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) sebagai perwujudan keuangan negara ini telah diatur
dengan jelas di dalam konstitusi Indonesia. Rangkaian kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melaksanakan program-program
pembangunan nasional yang tercermin dari angka-angka pengeluaran negara
dalam APBN, memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit jumlahnya.
Usaha pembangunan yang memerlukanpembiayaan yang besar ini
menuntut pemerintah segera melakukan usaha-usahaintensifikasi dan
ekstensifikasi dalam rangka meningkatkan penerimaan negara sebagaikonsekuensi
dari kebijakan umum dan jangka panjang sejak tahun pertama
berjalannyaprogram-program pembangunan nasional. Pembangunan nasional
yang bertumpu padaasas kemandirian mengisyaratkan tumbuhnya kesadaran
nasional bahwa pembiayaanpembangunan mengharuskan sedapat mungkin dari
penerimaan yang berasal darisumber-sumber dalam negeri baik dari penerimaan
pajak (langsung dan tidak langsung)maupun penerimaan non-tax (bukan pajak).
Perekonomian dunia yang dilanda krisis, dan berlangsung berkepanjangan
telahmemberikan dampak yang tidak diinginkan terhadap perekonomian
Indonesia. Dalamusaha untuk memperkecil pengaruh yang ditimbulkan resesi
dunia pada masa-masa itu,terutama dalam penerimaan negara melalui APBN,
pemerintah mengambil berbagailangkah kebijakan untuk meningkatkan ketahanan
ekonomi nasional, sertamenciptakan landasan yang kuat guna berlangsungnya
kelancaran prosespembangunan. Salah satu kebijakan yang telah diambil adalah
melakukan penyesuaian terhadap perundang-undangan di bidang perpajakan.
Hukum mempunyai peranan penting sebagai pendukung fiskal ditinjau
dariadanya kemungkinan ketidaktaatan masyarakat dalam memenuhi kewajiban
fiskalnyaataupun kebocoran penerimaan negara, yang pada akhirnya berdampak
pada tidakterkumpulnya dana-dana tersebut.Usaha-usaha yang dilakukan oleh
pemerintah tersebut terdiri dari usaha yangmemakai hukum pidana maupun usaha
yang tidak memakai hukum pidana antara lainmelalui penyuluhan-penyuluhan,
perbaikan administrasi perpajakan dan lainsebagainya, termasuk peningkatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
integritas aparat pelaksana undang-undang di bidang fiskal (Erly Suandy, 2002:
7).
Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan meningkatnya
komunikasi dan interaksi antar individu menyebabkan potensi terjadinya beragam
permasalahan antar individu atau kelompok masyarakat. Permasalahan yang
sering muncul seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah munculnya berbagai jenis kejahatan yang berbasis teknologi informasi
seperti, pencucian uang (money laundering), korupsi, cyber crime, tindak pidana
perpajakan,dll. Banyak pihak yang mengkritisi kinerja Polisi Negara Republik
Indonesia (POLRI) terkait pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya selaku
aparatur negara pengemban fungsi pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat. Hal ini muncul mengingat pada masa itu kinerja aparat polisi bagi
sebagian pihak dianggap kurang responsif dan tidak profesional, bahkan terkesan
militeristik, khususnya dalam mengatasi berbagai permasalahan hukum yang
dihadapi masyarakat.
Sudah terlampau lama POLRI berada dalam lingkungan
“pertanggungjawaban tumpang tindih” (overlapping responsibility) dalam alam
“dua doktrin” yang berbeda. Tidak jelas apakah bertanggungjawab sebagai
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia (ABRI/
TNI) sesuai dengan “Doktrin Pertahanan Keamanan” atau sebagai Polisi dalam
melaksanakan fungsi law enforcement sesuai dengan “Doktrin Ketertiban
Masyarakat” (public order). Akibat dari tumpang tindih tanggung jawab tersebut,
terjadi “upaya bercorak duplikasi” (a duplication of effort) (M. Yahya Harahap,
2002: 93).
Seiring dengan berpisahnya POLRI dari ABRI/ TNI pada tanggal 1 April
1999, agar polisi mampu menampilkan performa yang ideal sebagaimana harapan
masyarakat. Karena itu, polisi dari waktu ke waktu secara konsisten dan
konsekuen melakukan berbagai pembenahan di segala aspek menuju polisi yang
mandiri. Kemandirian kepolisiantersebut bukan dimaksudkan untuk menjadikan
polisi sebagai institusi yang tertutup dan berorientasi ego sektoral tanpa menjalin
relasi dengan institusi lain, namun dimaksudkan guna mendukung terwujudnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab polisi sebagai abdi
negara yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat (http://elisatris.wordpress.com/koordinasi-antar-
institusi-penegak-hukum/).
Perlunya polisi untuk secara konsisten dan konsekuen melakukan
pembenahan bertujuan agar polisi mampu menjaga eksistensinya di tengah
perubahan lingkungan yang begitu cepat, mengingat polisi dalam kenyataannya
senantiasa dihadapkan pada beragam tantangan yang semakin berat dan kompleks.
Sekalipun demikian, ditengah-tengah pembenahan yang dilakukan kepolisian
menuju performa yang profesional, bermoral, dan modern, tidak jarang polisi
harus berhadapan dengan kritikan dari masyarakat terkait performa dari anggota/
institusi yang dianggap belum sesuai dengan harapan masyarakat.
Upaya yang dilakukan pembuat undang-undang dalam mengantisipasi dan
menanggulangi kejahatan yang cenderung meningkat baik secara kuantitas
maupun kualitas adalah menyusun peraturan perundang-undangan yang
memberikan kewenangan pada institusi lain di luar POLRI untuk terlibat dalam
proses penyidikan. Harapannya, proses penyidikan dapat diperiksa dan
diselesaikan secara cepat, tepat dan bermuara pada terungkapnya suatu peristiwa
tindak pidana.
Adapun institusi sipil yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan
suatu kasus pidana adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).Dalam praktik
penegakan hukum, bukan hal aneh apabila aparat kepolisian harus berhadapan
dengan aparat penegak hukum lainnya dalam proses penyidikan suatu perkara
pidana. Misalnya, POLRI dengan Kejaksaan dalam menangani kasus
korupsi, POLRI dengan TNI Angkatan Laut dalam menangani kasus pidana di
wilayah perairan, serta POLRI dengan PPNS untuk penanganan kasus tindak
pidana khusus, seperti kasus Hak atas Kekayaan Intelektual, Kehutanan,
Kepabeanan, Pencucian Uang (money laundering), Korupsi, cyber crime,
Perpajakan dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Munculnya PPNS sebagai institusi di luar POLRI untuk membantu tugas-
tugas kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas diatur dalam Pasal 6
ayat (1) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari kedua undang-undang
tersebut tampak jelas bahwa eksistensi PPNS dalam proses penyidikan ada pada
tataran pembantu, sehingga tidak dapat disangkal lagi kendali atas proses
penyidikan tetap ada pada aparat kepolisian, mengingat kedudukan institusi
POLRI sebagai Koordinator Pengawas (Korwas), sehingga menjadi hal yang
kontra produktif apabila muncul pandangan bahwa PPNS dapat berjalan sendiri
dalam melakukan penyidikan tanpa perlu koordinasi dengan penyidik utama yaitu
POLRI (http://elisatris.wordpress.com/kedudukan-ppns-dalam-penegakan-
hukum/).
Upaya mendudukan PPNS sebagai lembaga mandiri dalam melakukan
penyidikan suatu tindak pidana tampaknya bukan lagi sekedar wacana, namun
sudah mengarah pada upaya pelembagaan, akibatnya dalam praktik penegakan
hukum, tidak jarang muncul tumpang tindih kewenangan antara PPNS dan aparat
kepolisian.Saat ini banyak undang-undang tindak pidana khusus yang materinya
memberikan kewenangan kepada PPNS untuk melakukan penyidikan kasus tindak
pidana tertentu. Di dalam undang-undang tersebut, diatur prosedur penyidikan
oleh PPNS baik secara materiil maupun formil. Namun, ketentuan undang-undang
yang mengatur PPNS itu bertentangan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-
undang No. 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dimana dalam proses pembentukan undang-undang itu terkesan mengabaikan
asas-asas harmonisasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Salah satu contohnya adalah Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Undang-undang
ini mengatur prosedur penyidikan oleh PPNS Pajak yang bertentangan dengan
Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang menempatkan POLRI hanya mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kewenangan koordinasi, tanpa bisa melakukan penyidikan langsung.Menurut
Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan berbunyi: “Penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan hanya dapat dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai
penyidik tindak pidana di bidang perpajakan”. Dalam undang-undang ini,
kepolisian memang tidak bisa langsung menyidik perkara, melainkan harus
meminta bantuan PPNS pada Direktorat Jenderal Pajak. Polisi tidak mempunyai
kewenangan menyelidiki kasus pajak, polisi hanya bisa melakukan pengawasan
terhadap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. Kendala ini yang menjadikan
polisi seolah-olah tidak serius dan lambat dalam menuntaskan kasus mafia pajak
tersebut. Padahal, kendalanya ada pada harmonisasi undang-undang
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d48233251e53/kabareskrim-
keluhkan-disharmoni-hukum-acara-).
Munculnya kesan bahwa anggota POLRI kurang profesional dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, khususnya selaku aparat penegak
hukum sebenarnya tidak dapat dibebankan kepada anggota/ institusi POLRI
semata, namun dipengaruhi pula oleh faktor eksternal, di antaranya koordinasi
yang lemahdan kurang sinergis dengan instansi penegak hukum (penyidik)
lainnya. Sebagaimana diketahui berdasarkan sistem hukum nasional, di luar
POLRI banyak institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan
atas suatu tindak pidana. Akibat lemahnya koordinasi antar institusi penegak
hukum menyebabkan munculnya tarik menarik kewenangan antara instansi
penegak hukum yang pada akhirnya bermuara pada melemahnya proses
penegakan hukum secara keseluruhan.
Pada dasarnya, alasan dikeluarkannya POLRI dalam menangani kasus
pajak secara langsung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dahulu
karena adanya kekhawatiran terhadap sikap kepolisian yang kerap mengintervensi
perkara pajak dinilai berdampak negatif di dalam kasus perpajakan
(http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d2cdd22f2133/kasus-gayus-tak-tuntas-
komisi-iii-salahkan-ppns-pajak). Sehingga dikhawatirkan POLRI tidak serius
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menangani kasus perpajakan. Kondisi disharmonis antara aparat penyidik
POLRI dengan penyidik pada institusi lain, dapat dipastikan akan memunculkan
persepsi negatif terkait kinerja lembaga-lembaga tersebut yang pada akhirnya
akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum (termasuk aparat
penegak hukum). Padahal, peran aparatur penegak hukum dalam konteks
penegakan hukum menempati posisi yang sangat strategis dan menentukan
menuju terciptanya supremasi hukum.
Sekarang semakin disadari bahwa seiring dengan perkembangan jaman
dan tindak pidana yang semakin meningkat, maka akan lebih berbahaya lagi jika
POLRI tidak bisa masuk menangani kasus pajak tersebut. Kewenangan
penyidikan dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan tersebut lebih diberatkan kepada PPNS di
Direktorat Jenderal Pajak. Namun, setelah melihat kasus Gayus ini, tampaknya
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus berpikir ulang. Pasalnya, akibat
pembatasan-pembatasan itu, polisi berdalih kesulitan membongkar kasus mafia
pajak Gayus secara tuntas. Oleh karena itu, hendaknya diperlukan adanya revisi
undang-undangnantinyaakan memasukkan POLRI dan PPNS Direktorat Jenderal
Pajak bisa bersama-sama melakukan penyidikan secara langsung dalam
menangani kasus-kasus pajak
(http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d2cdd22f2133/kasus-gayus-tak-tuntas-
komisi-iii-salahkan-ppns-pajak).
Oleh karena itu, memandang pentingnya terwujud koordinasi yang sinergis
antar aparat penegak hukum, khususnya dalam kerangka penegakan hukum,
sebagai salah satu wujud membangun kebersamaan/ kemitraan (partnership
building), maka perlu disusun strategi guna peningkatan koordinasi antar instansi
penegak hukum. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, penulis
tertarik untuk meneliti dan menuangkan dalam penelitian hukum dengan judul
“KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA APARAT
PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI NEGARA REPUBLIK
INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang tegas dapat menghindari pengumpulan bahan
hukum yang tidak diperlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan
yang ingin dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan
menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan
penulis dalam mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa bahan hukum. Untuk
mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan koordinasi antara penyidik POLRI dengan PPNS
dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan ?
2. Bagaimanakah upaya mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi
penegak hukum dalampenyidikan tindak pidana pajak ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan
masalah dari judul penelitian itu sendiri untuk memberikan arah yang tepat dalam
proses penelitian agar penelitian berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Adapun tujuan obyektif dan subyektif yang hendak dicapai penulis adalah sebagai
berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan koordinasi antara penyidik POLRI dengan
PPNS dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan; dan
b. Untuk mengetahui upaya yang dapat ditempuh guna mewujudkan
koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum dalampenyidikan
tindak pidana pajak.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang Hukum
Acara Pidana khususnya mengenai koordinasi penyidikan antar aparat
penegak hukum penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dengan
penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana bidang
perpajakan; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana
dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penelitian hukum ini
akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain.Adapun manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang Hukum
Acara Pidana secara teoritis khususnya mengenai koordinasi penyidikan
antar aparat penegak hukum penyidik Polisi Negara Republik Indonesia
dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam penyelesaian kasus pajak
yang dianggap menimbulkan tarik menarik kewenangan antar institusi
guna pengembangan ilmu pengetahuan; dan
b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengetahui
lebih jauh mengenai prosedur penyidikan oleh PPNS Direktorat Jenderal
Pajak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dinilai bertentangan
dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 22 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelesaian tindak
pidana pajak dalam bentuk konsep maupun teori hukumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah ilmu dan pengalaman penulis di bidang penelitian karya ilmiah
khususnya karya penelitian ilmu hukum;
b. Hasil penelitian dapat memberikan jawaban atas permasalahan-
permasalahan yang menjadi pokok pembahasan penelitian ini; dan
c. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, bagi masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa fakultas hukum khususnya dalam menyikapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
prosedur penyidikan POLRI dan PPNS untuk penyelesaian kasus tindak
pidana pajak.
E. Metode Penelitian
Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 35). Penelitian hukum dilakukan
untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian
hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum.
Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 41).
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih dulu
memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya
(Johnny Ibrahim, 2006: 26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan
metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang
sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak
dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006: 28).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum, maka pada penelitian ini penulis
menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research)
yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang
fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan
sekunder. Sehingga penelitian hukum menurut Johnny Ibrahim ialah suatu
prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan
hukum dari sisi normatifnya (Johnny Ibrahim, 2006: 57).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pendapat ini kemudian dipertegas oleh Sudikno Mertokusumo yang
menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara kerja ilmu hukum normatif adalah
pada obyeknya, obyek tersebut adalah hukum yang terutama terdiri atas
kumpulan peraturan-peraturan hukum yang bercampur aduk merupakan
chaos: tidak terbilang banyaknya peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan setiap tahunnya. Dan ilmu hukum (normatif) tidak melihat hukum
sebagai suatu chaos atau mass of rules tetapi melihatnya sebagai suatu
structured whole of system (Johnny Ibrahim, 2006: 57).
Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena sumber
penelitian yang digunakan adalah bahan hukum, yang terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selain itu, sesuai dengan pendapat
Johnny Ibrahim, berkenaan dengan penelitian yang dilakukan penulis
mengenai koordinasi penyidikan antara aparat penegak hukum penyidik Polisi
Negara Republik Indonesia dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam
penyidikan tindak pidana bidang perpajakan, sehingga dibutuhkan penalaran
dari aspek hukum normatif, yang merupakan ciri khas hukum normatif
(Johnny Ibrahim, 2006: 127). Jadi berdasarkan uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif yang dipilih oleh penulis
sudah sesuai dengan obyek kajian atau isu hukum yang diangkat.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri.
Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai
ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-
konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22).
Di dalam penelitian ini penulis memberikan preskriptif mengenai latar
belakang dan tujuan koordinasi penyidikan antara aparat penegak
hukumpenyidikPolisi Negara Republik Indonesia dengan penyidik pegawai
negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan serta
implikasinya terhadap hukum di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat beberapa
pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (satute approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical
approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan
historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach)
dan pendekatan kasus (case approach) (Johnny Ibrahim, 2006: 300). Dari
ketujuh pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian
hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.
a. Pendekatan Perundang-undangan
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk
itu penulis harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut :
1) Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis.
2) All-inclusive artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup
mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak
akan ada kekurangan hukum.
3) Sistematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.
Pendekatan perundang-undangan yakni Undang-undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-undang
Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
digunakan untuk mengkaji sinkronisasi antara berbagai aturan hukum yang
mengatur mengenai koordinasi penyidikan antara aparat penegak hukum
penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dengan penyidik pegawai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan dalam
menyelesaikan kasus pajak, kemudian digunakan untuk mengkaji
penyelesaian kasus pajak yang terjadi di Indonesia.
b. Pendekatan Konsep
Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak
yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang
kadang kala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstrakkan dari hal-
hal yang particular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah
memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandang
praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu.
Berkat fungsi tersebut, konsep-konsep berhasil menggabungkan kata-kata
secara tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa
bahan hukum sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter
Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak
mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam
hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif,
artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum
primer dalam penelitian ini adalah Undang-undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-
undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Undang-undang Nomor 16 tahun 2009
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2009:
141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli
hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki
korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan hukum dengan jalan
membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun
literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas
berdasarkan bahan hukum sekunder. Dari bahan hukum tersebut kemudian
dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan hukum penunjang di dalam
penelitian ini. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393).
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum dalam penelitian adalah menguraikan atau
memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan bahan yang diperoleh
kemudian diolah ke dalam pokok permasalahan yang diajukan. Penelitian ini
merupakan jenis penelitian normatif, maka dalam teknik analisis yang
digunakan penulis adalah metode interpretasi dan metode silogisme.
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai undang-undang agar ruang lingkupnya
dapat diterapkan dengan suatu peristiwa tertentu. Dengan menggunakan
metode ini diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang sedang
diteliti.
Dalam penelitian ini, penulis juga akan menggunakan metode silogisme
dengan teknik analisis deduksi. Metode deduksi adalah metode yang
berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dari kedua premis ini kemudian ditarik kesimpulan atau conclusion (Peter
Mahmud Marzuki, 2009: 47). Artinya bahwa melakukan pengolahan analisis
bahan dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang diteliti.Premis mayor dalam
penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan, sedangkan premis
minor dalam penelitian ini meliputi koordinasi dan pengawasan penyidikan
antara Penyidik POLRI dan PPNS dalam penyidikan tindak pidana bidang
perpajakan.
F. Sistematika Penelitian Hukum
Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan
memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai
dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam
bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-
tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun penulis menyusun
sistematika penelitian hukum sebagai berikut :
Bab I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang
digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
Bab II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai teori yang menjadi
landasan atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan
literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan hukum ini.
Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan tentang teori Penyidik
dan Penyidikan serta tinjauan tentang Tindak Pidana Pajak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Bab III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil
yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah
yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam
bab ini yaitu pengaturan koordinasi antara penyidik POLRI dengan
PPNS dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan serta
upaya mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak
hukum dalampenyidikan tindak pidana perpajakan.
Bab IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang
dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses
meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada
para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Penyidik
a. Pengertian Penyidik
Menurut UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 1 ayat (1), “Penyidik
adalah pejabat POLRI atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang”.
Dari pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan orang yang
berhak bertugas sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun
kepangkatan, ditegaskan dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana yaitu :
1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI).
2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
b. Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI)
Menurut PP No. 27 tahun 1983, Syarat dan kepangkatan pejabat
penyidik POLRI :
1) Pejabat Penyidik Penuh Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik penuh” harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan, yaitu : a) Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua
Polisi atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;
b) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2) Penyidik Pembantu Menurut Pasal 3 PP No. 27 tahun 1983, pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu”, yaitu : a) Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi atau
Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/ a);
b) Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing untuk mendapatkan hasil guna dan daya guna yang optimal di dalam proses penyidikan perkara tindak pidana, serta menghindari akibat hukum yang tidak diinginkan seperti misalnya tuntutan pra peradilan, ganti rugi dan rehabilitasi, atau bahkan sampai dibebaskannya terdakwa dari segala tuntutan dan tuduhan hukum sebagai akibat dari keteledoran dari penyidik, maka tiap Pejabat Polisi yang melaksanakan tugas penyidikan harus memegang teguh dan menjalankan semua asas-asas dalam penyidikan.
Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi
menjadi pejabat penyidik. Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No.
27 tahun 1983, sekalipun pada prinsipnya syarat kepangkatan penyidik
sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun
mengingat kurangnya tenaga personel yang belum memadai terutama
di daerah-daerah atau di kantor sektor kepolisian, Peraturan
Pemerintah memperkenankan pejabat penyidik dipangku oleh seorang
anggota kepolisian yang “berpangkat bintara”. Kepangkatan yang
serupa ini memang tidak serasi jika ditinjau dari sudut keseimbangan
kepangkatan penuntut umum maupun hakim yang bertugas di
Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan hukum
seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi kemampuan
dan pengalaman. Itu sebabnya sering dijumpai penyidikan yang tidak
memadai dan tidak terarah.
c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Khusus pengangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan
kepolisian menjadi pejabat penyidik pembantu, yang bersangkutan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
harus mempunyai keahlian atau kekhususan dalam bidang tertentu.
Tanpa syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi untuk mengangkat
mereka menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat kepangkatan
penyidik pembantu lebih rendah dari pangkat jabatan penyidik.
Penyidik pembantu tidak harus terdiri dari anggota POLRI, tetapi bisa
diangkat dari kalangan pegawai sipil POLRI sesuai dengan keahlian
khusus yang mereka miliki dalam bidang tertentu. Misalnya, ahli kimia
atau ahli patologi. Kalau pegawai sipil POLRI yang demikian tidak
bisa diangkat menjadi penyidik pembantu mungkin akan menimbulkan
hambatan dalam pelaksanaan penyidikan. Sebab di kalangan anggota
POLRI sendiri, yang memiliki syarat kepangkatan dan keahlian
tertentu mungkin masih sangat langka.
Latar belakang urgensi pengangkatan pejabat penyidik pembantu
dalam buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), dapat disimpulkan bahwa:
1) Disebabkan terbatasnya tenaga POLRI yang berpangkat tertentu
sebagai pejabat penyidik. Terutama daerah-daerah sektor
kepolisian di daerah terpencil masih banyak yang dipangku pejabat
kepolisian yang berpangkat bintara;
2) Oleh karena itu, seandainya syarat kepangkatan pejabat penyidik
sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua POLRI,
sedangkan yang berpangkat demikian belum mencukupi kebutuhan
yang diperlukan sesuai dengan banyaknya jumlah Sektor
Kepolisian. Hal seperti ini akan menimbulkan hambatan bagi
pelaksanaan fungsi penyidikan di daerah-daerah, sehingga besar
kemungkinan pelaksanaan fungsi penyidikan tidak berjalan di
daerah-daerah (M. Yahya Harahap, 2002: 112).
Menurut Pasal 44 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, “Penyidik pajak adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang hukum acara pidana
yang berlaku”.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1)
KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan
wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang penyidikan
yang dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas
sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam
ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan
sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Hal ini
sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7
ayat (2) KUHAP yang berbunyi, “Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan
hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di
bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI”.
2. Tinjauan Tentang Penyidikan
a. Pengertian Penyidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka
cetakan kedua 1989 halaman 837 dikemukakan, “Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidikan yang diatur oleh undang-undang
untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal
kata penyidikan adalah sidik yang berarti periksa; menyidik;
menyelidik; mengamat-amati” (Harun M. Husein. 1991: 1).
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
KUHAP Pasal 1 ayat (2) menentukan, “Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menentukan tersangkanya”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penyidikan sejajar dengan pengertian pengusutan yang berarti
pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk
oleh undang-undang, segera setelah mereka dengan jalan apapun
mendapat kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu
pelanggaran hukum. Penyidikan mencakup penyelidikan tindak pidana
atau pengaduan, memanggil, dan memeriksa saksi-saksi termasuk
merubah status penahanan tersangka, menggeledah, menyita,
memeriksa surat yang dalam keadaan tertentu dapat meminta
keterangan dari ahli, membuat resume hasil penyidikan dan
memberitahukan penyidikan kepada penuntut umum.
Sebelum dilakukan kegiatan penyidikan akan dilakukan
penyelidikan, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam Pasal
1 ayat (5) memberi pengertian penyelidikan sebagai serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menentukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. Tugas utama dari penyelidik adalah penerimaan
laporan dan pengaturan serta menghentikan orang yang dicurigai untuk
dilakukan pemeriksaan.
Bermula dari pengertian penyelidikan sebagaimana tertulis pada
Pasal 1 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut,
maka dapat dikatakan, “Penyelidikan adalah tindakan yang dilakukan
oleh pejabat penyelidik dalam rangka mempersiapkan suatu
penyelidikan terhadap suatu tindak pidana” (Harun M. Husein, 1991:
55).
Hal ini dilatarbelakangi bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi
dan diduga sebagai tindak pidana menampilkan bentuknya secara jelas
sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut
melakukan penyidikan dengan konsekuensi menggunakan upaya
paksa, perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau
keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terjadi tersebut benar merupakan suatu tindak pidana dan dapat
dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Oleh karena itu M. Yahya
Harahap dalam Harun M. Husein (1991: 55) mengatakan,
“Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan
penyidikan, akan tetapi penyelidikan bukanlah suatu tindakan atau
fungsi yang berdiri sendiri terpisah dari penyidikan”.
Yang dimaksud dengan penyelidik adalah setiap Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, yaitu dari pangkat Bharada sampai dengan
Jenderal penuh. Semua tindakan yang dilakukan dalam rangka proses
penyidikan di atas dibuat secara tertulis yang untuk selanjutnya
diberkaskan dalam satu bendel berkas. Selanjutnya apabila penyidikan
dianggap sudah selesai barulah berkas perkara dikirimkan kepada
penuntut umum, berikut tersangka dan barang bukti. Jika oleh penuntut
umum dianggap telah cukup maka tugas dan wewenang penyidik telah
selesai, sedangkan jika menurut penuntut umum masih terdapat
kekurangan, maka penyidik harus melengkapi kekurangan tersebut.
Untuk meringankan beban penyidik, pada Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana juga telah diatur adanya penyidik pembantu,
yakni Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat
oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat
kepangkatan yang berlaku. Wewenang penyidik pembantu hampir
sama dengan penyidik pada umumnya, kecuali pada kewenangan
penahanan. Dalam hal penahanan, penyidik pembantu harus menunggu
terlebih dahulu pelimpahan wewenang dari penyidik. Dalam
pembuatan berita acara dan berkas perkara juga tidak langsung
diserahkan kepada Penuntut Umum, tetapi diserahkan kepada
penyidik, kecuali dalam perkara dengan acara pemeriksaan singkat.
Penyidikan membawa konsekuensi semakin profesionalnya aparat
penyidik dari Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
masalah perpajakan yang diberi wewenang khusus untuk itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pemberian wewenang ini dengan tetap memperhatikan fungsi
koordinasi dengan penyidik dari Pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang fungsinya sebagai pemegang utama wewenang dalam
penyidikan tindak pidana.
b. Penyidikan Tindak Pidana Pajak
Menurut Pasal 44 Undang-undang No. 16 tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, “Penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti,
yang dengan bukti itu akan dapat menunjukkan adanya tindak pidana
di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”.
Penyidikan merupakan proses kelanjutan dari hasil pemeriksaan
yang mengindikasikan adanya bukti permulaan tindak pidana
perpajakan. Berdasarkan KEP - 02/PJ.7/1990, 24 Desember 1990,
“Bukti permulaan adalah keadaan dan/ atau bukti-bukti berupa
keterangan, tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang dapat memberi
petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi yang
dilakukan oleh wajib pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada
negara”.
Seseorang dinyatakan telah melakukan tindak pidana pajak apabila
telah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh pemeriksa pajak dan
diperoleh bukti-bukti bahwa wajib pajak benar telah melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP.
Pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan untuk mencari,
mengumpulkan, dan mengolah data, dan atau keterangan lainnya untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Kalau dalam KUHAP terdapat proses (istilah)
penyelidikan, maka dalam tindak pidana pajak tahap penyelidikan
sebagai awal untuk menentukan suatu peristiwa diduga sebagai tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pidana dapat disamakan dengan proses pemeriksaan yang mempunyai
tujuan sama yaitu mencari bukti permulaan.
Jika dari bukti permulaan ada indikasi ke arah tindak pidana, maka
langkah berikutnya adalah melakukan penyidikan. Setelah wajib pajak
diperiksa, misalnya dengan memeriksa buku-buku, catatan-catatan,
bukti pembukuan, dan dokumen pendukung lainnya diperoleh bukti
adanya tindak pidana di bidang perpajakan, maka tindakan selanjutnya
adalah melakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang
perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
Proses penyidikan terhadap tindak pidana pajak dilakukan oleh
penyidik pajak yaitu Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai
penyidik dimana diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 16
tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
diangkat oleh Menteri Kehakiman menjadi penyidik. Sekalipun PPNS
Pajak diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan, namun
dalam pelaksanaannya tetap berkoordinasi dengan pihak kepolisian
sebagai penyidik tunggal dengan tetap mengacu pada ketentuan yang
diatur dalam KUHAP.
Penyidik pajak yang melakukan penyidikan mempunyai wewenang
yang cukup besar sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 44 ayat (2)
Undang-undang Nomor 16 tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, Penyidik pajak yang melakukan penyidikan
mempunyai wewenang :
1) Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
2) Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
3) Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
4) Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
5) Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
6) Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
7) Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada angka 5;
8) Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
9) Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
10) Menghentikan penyidikan; 11) Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kegiatan Penyidikan, meliputi :
1) Penyidikan tindak pidana perpajakan dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyidikan yang ditandatangani oleh Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) atau Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pajak;
2) Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat POLRI, sesuai dengan ketentuan yang diatur undang-undang hukum acara pidana yang berlaku;
3) Untuk menambah atau melengkapi petunjuk dan bukti permulaan yang sudah ada, penyidik pajak berwenang memanggil tersangka, saksi, atau saksi ahli melalui surat panggilan. Dalam hal yang dipanggil tidak ada di tempat maka surat panggilan diterimakan kepada keluarganya atau Ketua RT atau Ketua RW atau Kepala Desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut akan disampaikan kepada yang bersangkutan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4) Apabila tersangka atau saksi atau saksi ahli tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menandatangani surat panggilan, kepadanya diterbitkan dan disampaikan panggilan kedua. Apabila masih bersikap sama maka penyidik pajak dapat meminta bantuan POLRI untuk menghadirkan yang bersangkutan;
5) Sebelum penyidikan dimulai, penyidik pajak harus memberitahukan kepada tersangka hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum serta menjelaskan apa yang disangkakan kepadanya dengan jelas dan dalam bahasa yang dimengerti;
6) Apabila saksi diperkirakan tidak dapat hadir pada saat persidangan maka pemeriksaan terhadapnya dilakukan terlebih dahulu diambil sumpahnya oleh penyidik pajak;
7) Apabila tersangka atau saksi dikhawatirkan akan meninggalkan wilayah Indonesia maka penyidik pajak dapat segera meminta bantuan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencekalan;
8) Penyidik pajak dapat melakukan penggeledahan, pemeriksaan tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, penyitaan, mengambil alih dan/ atau menyimpan barang-barang tertentu;
9) Dalam melakukan penyidikan, penyidik pajak harus memperhatikan asas hukum dan norma penyidikan yang berlaku (http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=153).
Asas-asas hukum yang berlaku dalam penyidikan termasuk :
1) Asas Praduga Tak Bersalah Adalah bahwa setiap orang yang disangka dituntut atau
dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
2) Asas Persamaan di Muka Hukum Adalah bahwa setiap orang mempunyai hak dan
kewajiban yang sama di muka hukum tanpa perbedaan. 3) Asas Hak Memperoleh Bantuan/ Penasehat Hukum
Adalah bahwa setiap tersangka perkara tindak pidana di bidang perpajakan wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya sejak dilakukan pemeriksaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terhadapnya(http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=153).
Norma Penyidikan, meliputi :
1) Dalam melakukan tugasnya penyidik pajak harus berlandaskan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan hukum pidana yang berlaku;
2) Penyidik pajak sebagai penegak hukum wajib memelihara dan meningkatkan sikap terpuji sejalan dengan tugas, fungsi, wewenang serta tanggung jawabnya;
3) Penyidik pajak harus membawa tanda pengenal pajak dan surat perintah penyidikan pada saat melakukan penyidikan;
4) Penyidik dapat dibantu oleh peetugas pajak lain atas tanggung jawabnya berdasarkan izin tertulis dari atasannya;
5) Penyidikan dilaksanakan berdasarkan Laporan Bukti Permulaan dan Surat Perintah Penyidikan;
6) Penyidik pajak dalam setiap tindakannya harus membuat Laporan dan Berita Acara (http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=153).
Penyidikan pajak menjadi hal yang paling ditakuti oleh setiap
wajib pajak, apalagi wajib pajak yang tersangkut kasus-kasus
perpajakan. Langkah ini adalah bentuk penegakan hukum yang paling
keras dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Meskipun harus diakui
langkah-langkah hukum hingga tingkat penyidikan harus melalui
proses yang panjang, terutama mutu informasi atau data yang
menunjang harus benar-benar matang. Tidak bisa serta merta
menentukan penyidikan pada wajib pajak.
Beberapa langkah yang pada umumnya dilalui untuk mencapai
pada proses penyidikan, antara lain, pertama, diawali dengan adanya
informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP). Sumber awal ini
menjadi bahan bagi petugas pajak melalui proses pengolahan. Setelah
dilakukan pengolahan, hasil tersebut dinilai untuk menentukan langkah
atau tindak lanjut yang akan dilakukannya. Apabila hasil olahan IDLP
memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti maka hasil tersebut bisa
menjadi bukti permulaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kedua, bukti permulaan ini akan disertai dengan langkah BAP
(Berita Acara Permintaan Keterangan). Hasil berita acara permintaan
keterangan ini menjadi bahan pertimbangan bagi Direktorat Jenderal
Pajak menentukan keputusan penyidikan. Penyidikan akan dilakukan
bila terlihat adanya unsur pidana yang diperoleh dari proses berita
acara permintaan keterangan.
Namun, apabila dari bukti permulaan tidak menunjukkan adanya
tindak pidana yang dilakukan wajib pajak, maka secara otomatis kasus
tersebut akan ditutup. Begitu pula sebaliknya, apabila terbukti tindak
pidana maka tindakan ditingkatkan pada level penyidikan. Proses
penyidikan mengandung dua klausul yakni pertama, penyidikan yang
berakhir dengan diserahkannya hasil penyidikan ke pengadilan. Dan
kedua, hasil penyidikan tidak diproses di pengadilan, dengan catatan
wajib pajak yang disidik membayar denda setelah adanya persetujuan
dari Menteri Keuangan dan Jaksa Agung.
Dalam melaksanakan penyidikan, penyidik pajak dapat
menghentikan penyidikannya apabila :
1) Tidak terdapat cukup bukti; 2) Peristiwanya bukan merupakan tindak pidana di bidang
perpajakan; 3) Peristiwanya telah kadaluwarsa; 4) Tersangkanya meninggal dunia; 5) Dengan alasan untuk kepentingan penerimaan negara, atas
permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan dengan syarat : a) Wajib pajak melunasi pajak yang tidak atau kurang
dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan; b) Wajib pajak membayar sanksi administrasi berupa
denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan (Erly Suandy, 2003: 113).
Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
dihentikan kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa, maka surat
ketetapan pajak tetap dapat diterbitkan. Tindak pidana di bidang
perpajakan itu sendiri daluwarsa (tidak dapat dituntut) setelah lampau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya
masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun
pajak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menegaskan, jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut dimaksudkan guna memberikan
kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan Hakim serta
untuk menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumen-
dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak
yang terutang selama 10 (sepuluh) tahun.
Selain penyidik pajak, Menteri Keuangan dan Jaksa Agung dapat
menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atas
dasar untuk kepentingan penerimaan negara. Menurut Pasal 44B
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan menjelaskan mengenai, “Penghentian dimaksud
hanya dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak yang tidak
atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan,
ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak
seharusnya dikembalikan” (Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton,
2001: 69).
Pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak
dikembalikan dihitung sebesar:
1) Jumlah kerugian pada pendapatan negara yang tercantum dalam berkas perkara dalam hal penghentian penyidikan dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum; atau
2) Jumlah kerugian pada pendapatan negara yang dihitung oleh penyidik atau ahli yang dituangkan dalam laporan kemajuan dalam hal penghentian penyidikan dilakukan pada saat penyidikan masih berjalan (Muhammad Rustamaji, 2010: 8-9).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ketentuan tata cara penghentian penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan
Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan Penerimaan
Negara, meliputi :
1) Untuk memperoleh penghentian penyidikan, Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri Keuangan dengan memberikan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak; dan
2) Permohonan berikut tembusannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan pernyataan yang berisi pengakuan bersalah dan kesanggupan melunasi dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Ketentuan mengenai tata cara penghentian penyidikan oleh Jaksa
Agung, meliputi :
1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan; dan
2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan (Muhammad Rustamaji, 2010: 8).
Proses permohonan penghentian penyidikan wajib pajak, meliputi :
1) Setelah menerima permohonan dari Wajib Pajak, Menteri Keuangan meminta kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penelitian dan memberikan pendapat sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan;
2) Dalam rangka menindaklanjuti permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak meminta kepada Wajib Pajak untuk menyerahkan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account sebesar pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan;
3) Berdasarkan permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan hasil penelitian kepada Menteri Keuangan yang paling sedikit memuat: a) Nama Wajib Pajak; b) Nomor Pokok Wajib Pajak; c) Nama tersangka; d) Kedudukan/jabatan tersangka; e) Tahun pajak; f) Tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan; g) Tahapan perkembangan penyidikan; h) Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang
seharusnya tidak dikembalikan ; i) Jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account
sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan j) Pendapat Direktorat Jenderal Pajak (Muhammad
Rustamaji, 2010: 9).
Keputusan Menteri Keuangan atas permohonan penghentian
penyidikan, meliputi :
1) Dengan memperhatikan hasil penelitian, Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangannya dapat menyetujui atau menolak permohonan Wajib Pajak;
2) Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui permohonan Wajib Pajak, Menteri Keuangan mengajukan surat permintaan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan;
3) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan untuk menghentikan penyidikan yang meliputi: a) Pertimbangan untuk kepentingan penerimaan negara;
dan b) Kesanggupan Wajib Pajak melunasi pajak dan ditambah
sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP dengan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account.
4) Dalam hal Menteri Keuangan menolak permohonan Wajib Pajak, Menteri Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak (Muhammad Rustamaji, 2010: 9)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keputusan Jaksa Agung atas permohonan penghentian penyidikan,
meliputi :
1) Dalam hal Jaksa Agung menyetujui permintaan Menteri Keuangan untuk menghentikan penyidikan, Menteri Keuangan segera menyampaikan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk memerintahkan Wajib Pajak agar mencairkan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account dengan menggunakan surat setoran pajak;
2) Setelah menerima surat setoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan segera menyampaikan pemberitahuan mengenai pelunasan tersebut kepada Jaksa Agung sebagai syarat penghentian penyidikan;
3) Berdasarkan pemberitahuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan Menteri Keuangan;
4) Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Penyidik melalui Menteri Keuangan;
5) Setelah menerima Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan, Penyidik menghentikan kegiatan penyidikan dan memberitahukan kepada tersangka atau keluarganya, dan kepada Penuntut Umum melalui Kepolisian selaku Koordinator Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Muhammad Rustamaji, 2010: 9-10).
3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Bidang Perpajakan
a. Pengertian Tindak Pidana Pajak
“Dalam kepustakaan hukum dapat disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan tindak pidana (delict) adalah suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dipidana. Apabila ketentuan yang dilanggar berkaitan
dengan undang-undang perpajakan, disebut dengan tindak pidana
pajak dan pelakunya dapat dikenakan hukum pidana” (Wirawan B.
Ilyas dan Richard Burton, 2001: 65).
Sedangkan pengertian tindak pidana pajak dalam Undang-undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), ketentuan
pidana yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 membedakan adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sifat pidana yang bisa dilakukan yaitu sifat kealpaan dan sifat
kesengajaan. Pasal 38 UU KUP menyatakan, Setiap orang yang karena
kealpaannya :
1) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; 2) Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pasal 39 UU KUP menyatakan dalam ayat (1), (2), dan (3) adalah
sebagai berikut :
1) Ayat (1), Setiap orang yang dengan sengaja :
a) Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; c) Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; d) Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29; e) Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; f) Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
g) Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
2) Ayat (2), “Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan
2 (dua) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya
menjalani pidana penjara yang dijatuhkan”.
3) Ayat (3),
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh wajib pajak.
Pembagian sifat kealpaan dan kesengajaan dalam Undang-undang
Pajak pada prinsipnya sama dengan pembagian sifat pidana dalam
KUHP. Kalau kedua pasal di atas ditujukan kepada wajib pajak, maka
Pasal 41 UU KUP ditujukan kepada pejabat pajak (fiskus), yang
selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
1) Ayat (1), “Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi
kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah)”.
2) Ayat (2), “Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)”.
3) Ayat (3), “Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan (2) hanya dilakukan atas pengaduan
orang yang kerahasiaannya dilanggar.”
Dari ketiga Pasal di atas, nampak ada keseimbangan (keadilan)
dalam undang-undang pajak, karena siapapun orangnya baik wajib
pajak maupun fiskus tanpa terkecuali, apabila melanggar ketentuan
yang diatur dalam undang-undang pajak akan ditindak/ dipidana sesuai
dengan berat ringannya kesalahan yang dilakukan. Namun demikian,
perlu diingat bahwa terhadap pejabat yang akan dituntut pidana dapat
dilakukan sepanjang ada pengaduan dari orang yang merasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kerahasiannya dilanggar, yang dalam ilmu hukum disebut delik aduan
(klachtdelik). Dengan kata lain, sekalipun pejabat melanggar ketentuan
Pasal 41 UU KUP bisa tidak dituntut seandainya wajib pajak yang
merasa kerahasiannya dilanggar tidak melakukan pengaduan kepada
pihak Kepolisian sebagai pihak penyidik.
Dalam Undang-undang Perpajakan diatur adanya 2 (dua) macam
sanksi yang dapat diterapkan kepada wajib pajak apabila wajib pajak
melanggar undang-undang pajak yaitu sanksi administrasi dan sanksi
pidana. Sumber hukum lain yang digunakan sebagai acuan dalam
praktik penegakan hukum pajak (law enforcement)di Indonesia adalah
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sekalipun KUHP mengatur
masalah tindak pidana secara umum, namun KUHP dapat diberlakukan
untuk tindak pidana pajak sepanjang undang-undang perpajakan tidak
mengatur secara tersendiri.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan,
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-
undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika undang-
undang ditentukan lain”. Sedangkan KUHAP dalam hukum acara
dalam rangka menegakkan hukum formal merupakan hukum acara
untuk menegakkan semua ketentuan pidana yang diatur termasuk
ketentuan pidana dalam undang-undang perpajakan.
b. Penuntutan Tindak Pidana Pajak
Pada dasarnya proses beracara dalam tindak pidana pajak sama
dengan perkara pidana pada umumnya sebagaimana diatur dalam
KUHAP yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan putusan
hakim pengadilan negeri. Setelah proses penyidikan selesai dilakukan
oleh penyidik pajak, penyidik menyampaikan hasil penyidikannya
kepada penuntut umum (kejaksaan) sebagaimana diatur Pasal 44 ayat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(3) UU KUP. Setelah kejaksaan melimpahkan berkas perkara ke
Pengadilan, selanjutnya pengadilan melakukan pemeriksaan dan
memutuskan perkara yang disebut dengan penuntutan. Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 KUHAP).
Sebelum hakim mengeluarkan putusannya, hakim akan melakukan
pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang ada. Alat-alat bukti yang
dipakai hakim mengacu pada ketentuan Pasal 184 KUHAP yang
meliputi :
1) Keterangan saksi;
2) Keterangan ahli;
3) Surat;
4) Petunjuk;
5) Keterangan terdakwa.
Menurut Pasal 183 KUHAP, “Putusan yang akan dijatuhkan hakim
harus memenuhi 3 (tiga) hal sebelum hakim menjatuhkan putusan,
yaitu :
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua) alat bukti yang sah;
2) Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar
telah terjadi; dan
3) Bahwa terdakwa yang telah melakukan tindak pidana tersebut”.
Sekalipun putusan hakim tidak selamanya berupa penjatuhan
pidana, tahapan menunggu putusan hakim tentu merupakan saat yang
sangat penting bagi terdakwa karena nasib terdakwa akan ditentukan
berdasarkan putusan hakim tersebut. Pasal 1 ayat (11) KUHAP
menegaskan adanya 3 (tiga) jenis putusan hakim dalam perkara pidana,
yaitu :
1) Penjatuhan pidana (pemidanaan);
2) Putusan bebas (vrijspraak); dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van
allerechtsver volging).
Jika hasil dari pemeriksaan sidang pengadilan hakim berpendapat
bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, maka
hakim mengambil putusan menjatuhkan pidana dengan pidana penjara
atau kurungan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 dan Pasal 39
UU KUP. Sebaliknya, apabila hakim berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang pengadilan, dakwaan yang dilakukan penuntut
umum kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
hakim, maka hakim akan menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak).
Artinya, berdasarkan penilaian hakim atas bukti-bukti yang diajukan
penuntut umum, hakim tidak mendapat keyakinan bahwa terdakwa
bersalah (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Sebaliknya, apabila hakim
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti dalam sidang pengadilan tetapi perbuatan itu bukan
merupakan tindak pidana, maka hakim akan menjatuhkan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 192 ayat (2) KUHAP)
(Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2001: 70)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Skema Koordinasi Penyidikan
Ambiguitas Prosedur Penyidikan dalam UU KUP dengan UU KEPOLISIAN
POLRI PPNS
Proses Penyidikan Tindak Pidana Pajak
POLRI (UU No. 2 Tahun 2002)
PPNS Dirjen Pajak (UU No. 16 tahun 2009)
Hasil Penyidikan/ Solusi
1. Bagaimanakah pengaturan koordinasi antara penyidik POLRI
dengan PPNS dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan ?
2. Bagaimanakah upaya mewujudkan koordinasi yang sinergis antar
institusi penegak hukum dalam penyidikan tindak pidana pajak ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keterangan :
Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 16 tahun
2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, undang-undang ini
mengatur prosedur penyidikan oleh PPNS Dirjen Pajak yang bertentangan
dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dimana POLRI hanya mempunyai
kewenangan koordinasi, tanpa bisa melakukan penyidikan langsung.
Dalam undang-undang ini, kepolisian memang tidak bisa langsung
menyidik perkara, melainkan harus meminta bantuan PPNS pada Direktorat
Jenderal Pajak. Polisi tidak mempunyai kewenangan menyelidiki kasus pajak,
polisi hanya bisa melakukan pengawasan terhadap penyidikan yang dilakukan
oleh PPNS. Kendala ini yang menjadikan polisi seolah-olah tidak serius dan
lambat dalam menuntaskan kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Akibat
lemahnya koordinasi antar institusi penegak hukum menyebabkan munculnya
tarik menarik kewenangan antara instansi penegak hukum yang pada akhirnya
bermuara pada melemahnya proses penegakan hukum secara keseluruhan.
Seiring dengan perkembangan jaman dan tindak pidana yang semakin
meningkat, maka akan lebih berbahaya lagi jika POLRI tidak bisa masuk
menangani kasus pajak tersebut. Kewenangan penyidikan dalam Undang-
undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan tersebut lebih diberatkan kepada PPNS di Direktorat Jenderal
Pajak. Akibat pembatasan-pembatasan itu, polisi berdalih kesulitan
membongkar kasus mafia pajak secara tuntas.
Oleh karena itu, penulis memandang pentingnya terwujud koordinasi
yang sinergis antar aparat penegak hukum, khususnya dalam kerangka
penegakan hukum, sebagai salah satu wujud membangun kebersamaan/
kemitraan (partnership building), maka perlu disusun strategi guna
peningkatan koordinasi antar instansi penegak hukum antara penyidik POLRI
dengan PPNS Dirjen Pajak dalam penyidikan tindak pidana pajak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Koordinasi Antara Penyidik Polisi Negara Republik
Indonesia (POLRI) Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam
Penyidikan Tindak Pidana Bidang Perpajakan
Berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur hubungan kerja
antara Penyidik POLRI dengan Penyidik PNS. Hubungan itu meliputi
pelaksanaan, koordinasi, pengawasan, pembinaan, pemberian petunjuk yang
didasarkan pada sendi-sendi hubungan fungsional. Menurut petunjuk teknis
No.Pol.Juknis/05/XI/1983 yang dimaksud hubungan kerja tersebut adalah
hubungan fungsional antara Penyidik POLRI dengan PPNS yang
dimaksudkan untuk mewujudkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi di
dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan peranan POLRI dengan instansi lainnya
dalam rangka pelaksanaan penyidikan di bidang tindak pidana tertentu.
Kedudukan kedua penyidik ini saling berkaitan. Penyidik POLRI
memberitahukan petunjuk dan memberikan bantuan penyidikan yang
diperlukan, sedangkan PPNS yang menguasai tindakan operasionalnya atau
hal-hal lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut (Bambang
Sukarjono, 2008: 13).
Koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian
khusus, PPNS, dan Pengamanan Swakarsa merupakan salah satu tugas POLRI
yang secara tersurat dicantumkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara
Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1) huruf f. Koordinasi itu
diartikan sebagai suatu hubungan kerjasama, khususnya dalam bekerjasama
tugas-tugas penyidikan antara Penyidik POLRI dan PPNS dalam hal bidang
tertentu dan dalam rangka meningkatkan kemampuan itu sendiri. Sementara
pengawasan itu sendiri diartikan sebagai pengamatan atau pembinaan agar
pelaksanaan penyidikan dalam proses hukum itu tidak menyalahi ketentuan
perundang-undangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pembinaan atau bantuan yang diberikan POLRI kepada PPNS itu
diminta atau tidak diminta, POLRI wajib untuk melakukan itu karena menurut
KUHAP sendiri bahwa penyidik itu adalah POLRI. Keberadaan PPNS itu erat
kaitannya dengan perkembangan organ dan fungsi kepolisian dalam
masyarakat. Jadi, semula sebelum terbentuk negara, fungsi kepolisian diemban
oleh setiap warga negara. Saat ini fungsi kepolisian hanya merupakan salah
satu bagian dari fungsi pemerintahan negara. Keberadaan PPNS ini sebetulnya
merupakan satu fenomena dari perkembangan fungsi kepolisian secara
keseluruhan. Oleh karena itu, keberadaan PPNS ini juga harus dilihat dalam
keseluruhan fungsi kepolisian secara seutuhnya. PPNS sebagai bentuk
partisipasi masyarakat yang bisa memberdayakan masyarakat dalam
membangun kemitraan dengan POLRI. Kepolisian di dalam KUHAP
disebutkan sebagai koordinasi dan pengawas tapi bukan kepada instansinya,
namun kepada kegiatan penyidikannya.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa pengemban fungsi kepolisian
adalah POLRI yang dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri
sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Polsus, PPNS, dan Pam
Swakarsa dalam melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Dalam
dimensi yuridik, fungsi kepolisian terdiri atas :
1. Fungsi Kepolisian Umum
Fungsi Kepolisian Umum berkaitan dengan kewenangan kepolisian
yang berdasarkan undang-undang dan/ atau peraturan perundang-
undangan meliputi semua lingkungan kuasa hukum (lingkungan kuasa
soal-soal, lingkungan kuasa orang, lingkungan kuasa tempat, dan
lingkungan kuasa waktu). Pengemban fungsi kepolisian umum sesuai UU
No. 2 Tahun 2002 adalah POLRI, sehingga tugas dan wewenangnya
dengan sendirinya akan mencakup keempat lingkungan kuasa soal tersebut
di atas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Fungsi Kepolisian Khusus
Fungsi Kepolisian Khusus berkaitan dengan kewenangan kepolisian
yang oleh atau atas kuasa undang-undang secara khusus ditentukan untuk
satu lingkungan kuasa. Badan-badan pemerintahan yang oleh atau atas
kuasa undang-undang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi
kepolisian khusus di bidangnya masing-masing dinamakan alat-alat
kepolisian khusus.Kepolisian khusus sesuai dengan undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya, berada dalam lingkungan instansi tertentu
seperti : Bea Cukai, Perpajakan, Imigrasi, Kehutanan, Pengawasan Obat
dan Makanan, Paten dan Hak Cipta. Di antara pejabat pengemban fungsi
kepolisian khusus, ada yang diberi kewenangan represif yustisial selaku
penyidik dan disebut Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Sistem Peradilan Pidana terkandung di dalamnya gerak sistemik dari
subsistem-subsistem pendukungnya yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan) yang secara keseluruhan
berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang
menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana yang berwujud resosialisasi pelaku
tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan
kesejahteraan sosial (jangka panjang).
Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem
terpadu”. Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip
diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap
proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing
aparat. Pada pokoknya, sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan
oleh empat fungsi utama, yaitu :
1. Fungsi Pembuatan Undang-undang (Law Making Function)
Fungsi ini dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Pemerintah atau badan lain berdasar delegated legislation yang diharapkan
hukum yang diatur dalam undang-undang “tidak kaku” (not rigid).
Sedapat mungkin “fleksibel” (flexible) yang bersifat cukup akomodatif
terhadap kondisi-kondisi perubahan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Fungsi Penegakan Hukum (Law Enforcement Function)
Tujuan obyektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan “tata tertib sosial”
(social order) :
a. Penegakan Hukum Secara Aktual (the Actual Enforcement Law)
meliputi tindakan :
1) Penyelidikan dan Penyidikan (investigation);
2) Penangkapan (arrest) dan Penahanan (detention);
3) Persidangan Pengadilan (trial); dan
4) Pemidanaan (punishment) dan Pemenjaraan guna memperbaiki
tingkah laku individu terpidana (correcting the behaviour of
individual offender).
b. Efek Preventif(Preventive Effect)
Fungsi penegakan hukum diharapkan mencegah orang (anggota
masyarakat) melakukan tindak pidana.
3. Fungsi Pemeriksaan Persidangan Pengadilan (Function of Adjudication)
Fungsi pemeriksaan ini merupakan sub fungsi dari kerangka
penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum serta
pejabat pengadilan yang terkait. Melalui fungsi inilah ditentukan :
a. Kesalahan terdakwa (the determination of guilty); dan
b. Penjatuhan hukuman (the imposition of punishment).
4. Fungsi Memperbaiki Terpidana (the Function of Correction)
Fungsi ini meliputi aktivitas Lembaga Pemasyarakatan, Pelayanan
Sosial Terkait dan Lembaga Kesehatan Mental. Tujuan umum semua
lembaga-lembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan
pemenjaraan terpidana, merehabilitasi pelaku pidana agar dapat kembali
menjalani kehidupan normal dan produktif (M. Yahya Harahap, 2002: 90-
91).
Penyidik POLRI bila dilihat dari sistem peradilan pidana merupakan
salah satu mata rantai dalam sistem tersebut. POLRI merupakan salah satu sub
sistem peradilan pidana yang terdiri dari Sub Sistem Kepolisian (dalam hal ini
Penyidik POLRI), Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keempat Sub Sistem tersebut mempunyai peranan masing-masing yang satu
sama lain saling berkaitan. Dalam kerangka pemahaman sistem tersebut, maka
Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan
merupakan unsur-unsur yang membangun sistem tersebut. Masing-masing
memang berdiri sendiri dan menjalankan pekerjaan yang berbeda-beda tetapi
semuanya tetap merupakan satu kesatuan.
Jika diperhatikan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP terlebih jika
dihubungkan dengan beberapa bab dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), seperti Bab V (Penangkapan, Penahanan,
Penggeledahan, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat) serta Bab XIV
(Penyidikan), ruang lingkup, wewenang dan kewajiban penyidik adalah sangat
luas. Ruang lingkup wewenang pejabat penyidik diatur dalam Pasal 7 Ayat (1)
KUHAP sebagai berikut :
a. Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan; dan
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungiawab.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP serta Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang -
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI, dalam melaksanakan
koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis PPNS, POLRI berkewajiban :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a. Mengawal PPNS dalam melakukan penyidikan terhadap Undang-
undang yang menjadi kewenangannya agar pelaksanaannya berjalan
secara profesional dan berkas hasil penyidikannya memenuhi syarat
formil dan meteriil, dimana Penyidik POLRI memberikan bantuan
penyidikan kepada PPNS sesuai Pasal 107 ayat (1) KUHAP, baik
bantuan teknis, taktis, upaya paksa maupun konsultasi/ petunjuk teknis
penyidikan;
b. Pemberian bantuan penyidikan dilaksanakan setelah pemberitahuan
dimulainya penyidikannya dan atas dasar tersebut PPNS dalam
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik POLRI (sesuai dengan Pasal 107 ayat (2) KUHAP),
demikian juga hasil penyidikannya diserahkan kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik POLRI (sesuai dengan Pasal 107 ayat (3) KUHAP);
c. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan tentang teknis dan taktis
penyidikan terhadap calon PPNS dengan melakukan koordinasi dengan
instansi yang memiliki PPNS;
d. Meningkatkan kemampuan PPNS di bidang teknis dan taktis
penyidikan;
e. Memberikan dukungan tenaga pengajar kepada instansi yang
melaksanakan pelatihan/ penataran PPNS/ calon PPNS;
f. Memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM) dalam rangka pengangkatan PPNS yang diusulkan
instansinya;
g. Memberikan lencana tanda kewenangan penyidik dan Kartu Tanda
PPNS (KTPPNS) setelah diangkat menjadi PPNS;
h. Melaksanakan pendataan terhadap PPNS dan mengikuti
perkembangan penugasannya bekerja sama dengan departemen/
instansi terkait;
i. Melaksanakan pendataan dan evaluasi kasus-kasus yang ditangani
PPNS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Setelah memperhatikan ruang lingkup wewenang di atas, tidak dapat
disangkal lagi bahwa proses penyidikan sejatinya bukan proses yang
sederhana, karena itu tidak setiap institusi dapat melaksanakannya. Apalagi
hanya dilakukan oleh institusi yang tugas pokoknya sejatinya bukan sebagai
penyidik karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kesalahan prosedural yang
berpotensi menyebabkan terlanggarnya hak asasi seseorang. Dilibatkannya
PPNS yang sejatinya merupakan bagian dari institusi eksekutif dalam proses
penyidikan tindak pidana lebih banyak dilatarbelakangi kondisi faktual di
lingkungan internal POLRI, dimana POLRI masih memiliki berbagai
kekurangan sumber daya, diantaranya :
1. Sumber Daya Manusia
Harus diakui bahwa sampai sekarang kondisi sumber daya manusia
POLRI masih menghadapi kendala, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Belum seimbangnya ratio antara jumlah anggota POLRI dan
masyarakat berdampak pada minimnya personil POLRI yang memiliki
kualifikasi sebagai penyidik, sedangkan secara kuantitas, masih banyak
anggota POLRI yang belum memahami materi (substansi) kasus pidana
tertentu. Misalnya, pemahaman tentang kasus perpajakan. Oleh karena itu,
keterlibatan PPNS dalam penyidikan suatu tindak pidana tertentu sejatinya
merupakan upaya mengatasi kendala tersebut. Namun demikian, dalam
tataran taktis dan teknis penyidikan kendali tetap ada pada aparat POLRI
sebagai penyidik utama.
2. Sarana Prasarana
Dilihat pada kasus-kasus tertentu, institusi POLRI belum memiliki
sarana prasarana penyidikan yang relatif memadai dibandingkan dengan
PPNS. Misalnya untuk penindakan kasus perpajakan hingga sekarang,
sarana prasarana pendukung penyidikan yang dimiliki POLRI masih
belum memadai sehingga membutuhkan keterlibatan PPNS.
3. Anggaran
Sebagaimana diketahui bersama, anggaran yang dialokasikan khusus
untuk melakukan penyidikan suatu tindak pidana relatif kecil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dibandingkan kebutuhan riil, apalagi jika lokasi penyidikan saling
berjauhan dan melintasi batas wilayah. Karena itu, keterlibatan PPNS
dalam melakukan penyidikan diharapkan dapat meminimalisir kendala
anggaran.
Dengan memperhatikan pada beberapa kendala di atas, dapat
dijelaskan bahwa keterlibatan PPNS dalam tugas-tugas penyidikan tidak pada
tataran taktis dan teknis penyidikan karena sudah sejak awal instansi tersebut
dibentuk hanya untuk membantu aparat POLRI dalam melakukan penyidikan,
sehingga upaya melembagakan PPNS sebagai lembaga mandiri dalam
melakukan tugas penyidikan dikhawatirkan akan berdampak pada
tercederainya proses penegakan hukum. Oleh karena itu, agar pada saat
melaksanakan kewenangan melakukan penyidikan antara PPNS dan Penyidik
POLRI tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, KUHAP telah mengatur
hubungan di antara masing-masing institusi sebagai berikut :
1. Penyidik Pegawai Negeri Sipil berkedudukan di bawah :
a. Koordinasi Penyidik POLRI; dan
b. Di bawah pengawasan Penyidik POLRI.
2. Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik POLRI memberikan petunjuk
kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang
diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP);
3. Penyidik PNS tertentu, harus melaporkan kepada Penyidik POLRI tentang
adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu
oleh PPNS ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya
kepada Penuntut Umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP);
4. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan
tersebut harus diserahkan kepada Penuntut Umum. Cara penyerahan hasil
penyidikan tersebut kepada Penuntut Umum dilakukan PPNS melalui
Penyidik POLRI (Pasal 107 ayat (3) KUHAP);
5. Apabila PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada
Penyidik POLRI, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada
Penyidik POLRI dan Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP). Yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perlu mendapat perhatian dalam hal penghentian penyidikan oleh PPNS
adalah meskipun pada saat pelaporan tindak pidana yang sedang
disidiknya, PPNS cukup memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu
kepada Penyidik POLRI, tidak perlu diberitahukan kepada Penuntut
Umum. Namun, dalam hal penghentian penyidikan, disamping harus
memberitahukan penghentian tersebut kepada Penyidik POLRI, juga harus
memberitahukan penghentian penyidikan tersebut kepada Penuntut
Umum; dan
6. Hal lain yang dapat dijadikan sebagai alasan sehingga kewenangan PPNS
dalam melakukan penyidikan tidak dapat dipisahkan dari kedudukan
POLRI sebagai Koordinasi Pengawas (Korwas), PPNS dapat ditinjau dari
kerangka Sistem Peradilan Pidana.
Sebagaimana diketahui dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana,
institusi utama yang menjadi pilar penopang berjalannya sistem tersebut
adalah kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Apabila PPNS yang sejatinya
merupakan sub ordinasi dari lembaga eksekutif diperkenankan untuk langsung
melakukan tugas-tugas penyidikan menggantikan kedudukan POLRI sebagai
penyidik, maka dikhawatirkan proses penegakan hukum nasional yang selama
ini dibangun atas landasan Sistem Peradilan Pidana akan tercederai mengingat
eksekutif tidak masuk dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana. Oleh karena
itu, agar Sistem Peradilan Pidana tidak tercederai dengan masuknya PPNS
sebagai institusi penyidik, maka KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa
PPNS tidak diperkenankan untuk secara langsung menyerahkan hasil
pemeriksaan kepada Jaksa Penuntut Umum tetapi kepada Penyidik POLRI.
Diberikannya kewenangan pada institusi lain untuk melakukan
penyidikan, di satu sisi akan memudahkan dalam pengungkapan suatu kasus
tindak pidana mengingat banyaknya kendala yang dihadapi oleh aparat
penyidik kepolisian dalam melaksanakan tugas penyidikan, seperti kendala
sumber daya manusia, sarana-prasarana, anggaran dan sebagainya, sehingga
keterlibatan institusi tersebut dalam tugas penyidikan dapat membantu proses
penegakan hukum. Namun di sisi lain, hal tersebut dapat menimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kondisi disharmonis yang memicu terjadinya tarik menarik kewenangan antar
institusi dan bermuara pada terhambatnya proses penegakan hukum. Beberapa
faktor penyebab yang menurut penulis menjadi pemicu munculnya kondisi
disharmonis, diantaranya :
1. Kemampuan aparat Penyidik POLRI masih belum memadai sebagaimana
yang diharapkan, baik secara kualitas (penguasaan teknis dan taktis
penyidikan) maupun kuantitas (ratio ketersediaan aparat penyidik dengan
kasus yang ditangani serta penyebaran jumlah penyidik). Selain itu,
kelemahan sumber daya manusia dapat pula muncul dari aspek cultural
yaitu sikap-sikap aparat penyidik yang arogan, tidak memiliki sifat
melayani, manipulatif, diskriminatif dan sebagainya;
2. Koordinasi lintas instansi belum berjalan secara sinergis. Pelaksanaan
koordinasi antara aparat penegak hukum POLRI dengan PPNS belum
berjalan dengan baik, sehingga di lapangan masih muncul tarik menarik
kewenangan untuk melakukan pernyidikan;
3. Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi penyidik dalam
menjalankan kewenangannya masih menyisakan beragam permasalahan,
seperti :
a. Adanya perundang-undangan yang bertentangan satu dengan yang
lain, baik dari aspek substansi maupun hierarkinya (ketentuan yang
statusnya di bawah bisa bertentangan/ mengalahkan ketentuan yang
lebih tinggi, misalnya: Peraturan Pemerintah (PP/ KEPPRES)
bertentangan dengan Undang-undang);
b. Masih banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari produk
zaman Belanda sehingga tidak mampu mengakomodir perkembangan
yang ada, namun eksistensinya tetap dipertahankan;
c. Masih ditemukan perundang-undangan yang mengamanatkan segera
dibentuknya peraturan pelaksana namun sampai sekarang belum
dibentuk;
d. Masih ada perundang-undangan yang substansinya tidak jelas sehingga
memunculkan multitafsir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pada dasarnya, wewenang PPNS bersumber pada ketentuan undang-
undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang
penyidikan pada salah satu pasalnya. Jadi, di samping Pejabat Penyidik
POLRI, undang-undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada
Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan.
Keberadaan PPNS ini juga memiliki landasan sosiologis, jika kita merujuk
pada semakin berkembangnya bentuk kejahatan dan pelanggaran sektoral,
perkembangan ini jelas membutuhkan penyidik spesifik yang memahami
benar seluk beluk peraturan perundang-undangan dan bentuk tindakan
kriminal dalam wilayah kerja yang spesifik. Hal mana yang akan sangat sulit
dilakukan jika banyaknya permasalahan sektoral ini diserahkan tunggal
kepada penyidik kepolisian dengan pola pendidikan kepenyidikan umum yang
mereka dapatkan.
Masalah sebenarnya lebih pada persoalan lemahnya koordinasi dan
peraturan perundang-undangan yang melangkahi KUHAP. Persoalan
koordinasi antara penyidik pejabat kepolisian dan PPNS telah diatur dalam
Pasal 107 KUHAP, dimana ditentukan bahwa dalam melaksanakan
penyidikan PPNS berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik
kepolisian, bahkan proses penyerahan berkas perkara penyidikan kepada
Penuntut Umum, berdasarkan Pasal 107 ayat (3) KUHAP ditentukan harus
melalui penyidik kepolisian.
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa kedudukan dan wewenang
PPNS dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan Penyidik POLRI, yaitu :
1. Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik POLRI memberikan petunjuk
kepada pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan
yang diperlukan (Pasal 107 Ayat (1) KUHAP);
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu, harus melaporkan kepada
Penyidik POLRI tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang
disidiknya, jika dari penyidikan ini oleh PPNS ada ditemukan bukti yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada Penuntut Umum (Pasal
107 Ayat (2) KUHAP);
3. Apabila Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah selesai melakukan
penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada Penuntut
Umum. Cara penyerahannya kepada Penuntut Umum dilakukan PPNS
melalui Penyidik POLRI (Pasal 107 Ayat (3) KUHAP);
4. Apabila Penyidik Pegawai Negeri Sipil menghentikan penyidikan yang
telah dilaporkan kepada Penyidik POLRI maka penghentian penyidikan itu
harus diberitahukan kepada Penyidik POLRI dan Penuntut Umum sesuai
dengan Pasal 109 Ayat (3) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2002: 113 - 114).
Dengan demikian, pegawai negeri sipil yang melakukan penyidikan
tindak pidana pajak harus berada di bawah koordinasi dan pengawasan
Penyidik POLRI. Tindak pidana di bidang perpajakan menyangkut aspek yang
sering bersifat teknis sehingga memerlukan keahlian tertentu untuk melakukan
penyidikan yang sukar diharapkan dari para penyidik pejabat POLRI. Oleh
karena itu, diperlukan pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Direktorat
Jenderal Pajak yang mengadakan penyidikan di bidang perpajakan yang diberi
kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP
(Erly Suandy, 2002: 250).
Selain itu, disebutkan pula dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
yang berbunyi : “Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat
dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana
di bidang perpajakan”. Pemberian wewenang kepada PPNS di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak sama sekali tidak mengurangi wewenang pejabat
Penyidik POLRI untuk melakukan penyidikan tindak pidana perpajakan.
Penyidik POLRI diminta atau tidak diminta memberi petunjuk dan
bantuan penyidikan kepada PPNS untuk melakukan penyidikan tindak pidana
pajak. Pemberian petunjuk dan bantuan tersebut antara lain meliputi hal-hal
teknis dan taktis penyidikan, penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
laboratorium. Oleh karena itu, PPNS sejak awal memberitahukan tentang
penyidikan yang sedang dilakukan kepada Penyidik POLRI. Setelah itu, hasil
penyidikan berupa berkas perkara, tersangka dan barang bukti disampaikan
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI.
Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh Pejabat PPNS hanya
terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam
tindak pidana khusus tadi. Kewenangan Pejabat PPNS dalam bidang
perpajakan diatur dalam Pasal 44 Ayat (2) Undang-undang No. 16 Tahun
2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Penyidik pajak yang
melakukan penyidikan mempunyai wewenang :
1. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
2. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
4. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
5. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan
terhadap bahan bukti tersebut;
6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan;
7. Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan
atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud
pada angka 5;
8. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
10. Menghentikan penyidikan;
11. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Kewenangan penyidik yang dimuat dalam Pasal 7 KUHAP, apabila
dibandingkan dengan Pasal 44 Ayat (2) Undang-undang Nomor 16 tahun
2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak tidak mempunyai kewenangan
dalam hal :
1. Melakukan penangkapan dan penahanan;
2. Melakukan pemeriksaan dan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
4. Mendatangkan seorang ahli; serta
5. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungiawab (Tambah
Sembiring, 2006: 84).
Berdasarkan hasil pembahasan ini, penulis berpendapat bahwa seorang
Polisi yang mengatakan bahwa polisi terkesan kurang serius dan lamban
dalam menangani kasus pajak yang disebabkan karena adanya harmonisasi
undang-undang tersebut adalah salah. Karena ketentuan mengenai PPNS
sudah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil
tertentu yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik.
Pada dasarnya, wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat
penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut
dengan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan undang-undang pidana
khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada
salah satu pasal. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan
dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, “Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi
dan pengawasan penyidik POLRI”. Sehingga hal ini bukan menjadi alasan
seorang polisi tidak bisa melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pajak,
melainkan kedua instansi tersebut harus melaksanakan fungsi koordinasi
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.Para pejabat pegawai negeri
sipil di bidang perpajakan tersebut melaksanakan tugasnya setelah
memperoleh pendidikan dan pelatihan dari POLRI.
Sebagai ilustrasi kasus perkara tindak pidana pajak yang ditangani oleh
PPNS adalah terkait dengan penanganan perkara mafia pajak yang melibatkan
Terdakwa Gayus Halomoan P. Tambunan, POLRI telah melakukan langkah-
langkah, yaitu sebagai berikut :
1. Membentuk Tim Khusus Penyidik Independen yang melakukan
penyidikan terhadap dugaan Tindak Pidana Korupsi (suap menyuap) dan
Tindak Pidana Pencucian Uang yang diduga dilakukan oleh Gayus
Tambunan. Dari hasil penyidikan yang telah dilakukan POLRI telah
menetapkan 8 (delapan) orang tersangka yaitu : GT; HH; LAM; AK; A
KUN; SJ; AR dan SS;
2. Dari rangkaian kegiatan penyidikan yang telah dilakukan, disimpulkan
terdapat 4 kelompok pelaku yang berperan mempengaruhi proses
penegakan hukum dari tahap penyidikan, penuntutan dan sidang
pengadilan sehingga terdakwa Gayus Tambunan divonis bebas oleh
Hakim Pengadilan Negeri Tangerang. Keempat kelompok pelaku tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Kelompok I adalah : para pelaku dari dari orang-orang yang terkait
dengan perkara gayus Tambunan yaitu : GT; HH; AK; LAM; A KUN;
dan SJ;
b. Kelompok ke 2 adalah : para penyidik dan/ atau atasan penyidik yang
melakukan penyidikan perkara Gayus Tambunan;
c. Kelompok ke 3 adalah : para Jaksa Penuntut Umum yang melakukan
proses penelitian dan penuntutan perkara Gayus Tambunan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
d. Kelompok ke 4 adalah : para Hakim yang menyidangkan perkara
Gayus Tambunan;
3. Pengembangan penyidikan perkara yang mengarah pada dugaan
keterlibatan Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang menangani perkara
terdakwa Gayus Tambunan, POLRI telah melakukan koordinasi dengan
Jaksa Agung RI dan Ketua Mahkamah Agung RI untuk keperluan
pemeriksaan jaksa maupun Hakim untuk mengungkap kasus tersebut
secara tuntas. Tindak lanjut penyidikan akan diarahkan pada
pengembangan permasalahan dalam bidang perpajakan yang diduga
melibatkan oknum aparat Direktorat Jenderal Pajak.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Gayus H. Tambunan tentang
adanya dugaan terjadinya mafia kasus perpajakan, dapat disimpulkan 5 modus
operandi yang dilakukan oleh Gayus H. Tambunan dan atas jasanya tersebut
yang bersangkutan memperoleh komisi dari wajib pajak. Kelima modus
operandi tersebut sebagai berikut :
1. Modus ke-1 : pengaturan nilai pajak, dapat digambarkan sebagai berikut :
Pada modus operandi ini, wajib pajak dengan bantuan konsultan
pajak bekerja sama dengan petugas pemeriksa dari Dirjen Pajak
melakukan kesepakatan untuk menurunkan nilai pajak dengan mengatur
dokumen/ administrasi perpajakan sebagai dukungan atas hasil
pemeriksaan tersebut dengan memberikan fee kepada petugas pajak yang
melakukan penurunan nilai penghitungan pajak tersebut.
2. Modus ke-2 : penyelesaian keberatan wajib pajak pada tingkat Direktorat
Keberatan dan Banding, dapat digambarkan sebagai berikut :
Modus ini terjadi pada wajib pajak yang mengajukan keberatan
setelah menerima surat ketetapan pajak dari Dirjen Pajak yang diajukan ke
Direktorat Keberatan dan Banding Dirjen Pajak. Terdapat 2 kemungkinan
atas pengajuan keberatan tersebut yaitu :
a. Keberatan ditolak
Terhadap keberatan yang ditolak, maka wajib pajak mengajukan
banding ke pengadilan pajak dengan meminta bantuan pegawai pajak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
untuk mengurus sidang banding untuk melakukan kolusi dengan
Hakim di pengadilan banding agar putusan banding diterima sehingga
wajib pajak tidak diwajibkan membayar pajak (nol) atau nilai pajaknya
diturunkan/ lebih rendah dari nilai keberatan.
b. Keberatan diterima
Sedangkan keberatan yang diterima, maka kewajiban membayar
pajak tersebut diabaikan dengan melakukan rekayasa data-data
perpajakan.
Atas pengurusan terhadap keberatan ini, maka petugas pajak yang
mengurus akan memperoleh fee, walaupun telah merugikan pajak yang
harusnya masuk ke negara.
3. Modus ke-3 : penyelesaian keberatan wajib pajak pada tingkat pengadilan
banding, dapat digambarkan sebagai berikut :
Keberatan wajib pajak yang ditolak pada tingkat Direktorat
Keberatan dan Banding akan diajukan ke Pengadilan Pajak. Dalam proses
banding ini akan terdapat 3 komponen yang akan berinteraksi yaitu negara
yang diwakili oleh petugas pajak pada Dirjen Pajak, Hakim pengadilan
pajak yang sebagian besar adalah mantan pegawai pajak dan wajib pajak.
Gayus sering mewakili negara dalam sidang banding keberatan pajak
sehingga yang bersangkutan yang menyusun memori banding atas SKP
pajak yang disusunnya sendiri. Akibatnya dalam sidang tersebut, dengan
mudah wajib pajak dimenangkan sehingga tidak membayar pajak kepada
negara.
Atas perbuatan ini Gayus atau pegawai pajak yang commited dalam
modus ini (mewakili negara untuk memenangkan banding wajib pajak)
akan mendapatkan fee dari wajib pajak.
4. Modus ke-4 : konsultan pajak gelap, dapat digambarkan sebagai berikut :
Dalam modus operandi ini, pegawai pajak bertindak selaku
konsultan gelap wajib pajak yang menjadi obyek pemeriksaannya,
sehingga yang bersangkutan dapat mengatur SPT dan tidak melakukan
pemeriksaan atas SPT wajib pajak. Bilamana wajib pajak mengajukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
keberatan/ banding di pengadilan pajak maka pegawai pajak yang
merangkap sebagai konsultan tersebut akan mengatur dan mengurus
proses dalam sidang banding di Pengadilan Pajak.
5. Modus ke-5 : menahan surat ketetapan pajak, dapat digambarkan sebagai
berikut :
Petugas pajak yang melakukan pemeriksaan telah membuat
kesepakatan dengan wajib pajak untuk memberikan sejumlah uang sebagai
kompensasi atas nilai pajak yang diturunkan. Setelah ada pemberitahuan
nilai pajak dari Dirjen Pajak ternyata SKP wajib pajak tidak segera
diberikan karena deal yang telah disepakati belum diberikan. Wajib pajak
yang ditahan SKP nya ini kemudian meminta bantuan kepada pegawai
pajak (Gayus) untuk mengurus SKP yang ditahan tersebut dengan
menghubungi Maruli Manurung. Selanjutnya, Maruli Manurung
menghubungi Irjen Depku untuk melakukan pemeriksaan terhadap
penahanan SKP wajib pajak sehingga SKP tersebut dikeluarkan.
B. Upaya Mewujudkan Koordinasi Yang Sinergis Antar Institusi Penegak
Hukum Dalam Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan
Penyidik POLRI sebagai koordinasi dan pengawasan (Korwas) PPNS
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberikan bantuan penyidikan
yang didasarkan pada sendi-sendi hubungan fungsional. Korwas PPNS
tersebut perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas PPNS agar
pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS terhadap tindak pidana
tertentu, khususnya tindak pidana pajak yang menjadi dasar hukumnya dapat
berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Pada dasarnya, pelaksanaan tugas
koordinasi, pengawasan dan bantuan teknis kepada PPNS dapat
dilaksanakan dalam tiga bentuk kegiatan yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1. Hubungan Tata Cara Kerja Agar Terjalin Kerjasama yang Serasi
Hubungan tata cara pelaksanaan kooordinasi dan pengawasan
terhadap PPNS dilakukan dalam dua bidang, yaitu bidang pembinaan dan
bidang operasional.
a. Bidang Pembinaan
Meliputi hubungan kerja secara koordinatif fungsional dalam
rangka pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pembinaan
dilaksanakan langsung oleh Direktorat Reserse Cq. Sub Direktorat
Koordinator dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
pada kesatuan wilayahnya. Hubungan kerja ini dilaksanakan secara
horisontal fungsional dengan tidak menutup kemungkinan hubungan
yang bersifat diagonal antara POLRI (satuan reserse mulai dari Mabes
POLRI sampai dengan Polres) dan unsur PPNS dengan pengaturan
sebagai berikut :
1) Tingkat kantor kabupaten berhubungan langsung dengan unsur
PPNS pada Satuan Serse Kepolisian Resort;
2) Tingkat kecamatan langsung ke Kepala Kepolisian Sektor;
3) Tingkat Kanwil berhubungan dengan unsur Korwas PPNS pada
Satuan Serse Kepolisian Daerah atau Kepolisian Wilayah;
4) Tingkat Departemen berhubungan dengan Korwas PPNS pada
Direktorat Reserse Kepolisian Republik Indonesia.
Pelaksanaan hubungan kerja maupun koordinasi tidak harus
dilaksanakan sesuai tingkat hubungan kerja seperti di atas. Disesuaikan
dengan kondisi yang dihadapi oleh PPNS misalnya penyidikan yang
berhubungan dengan masalah nasional, bisa saja PPNS daerah bisa
langsung berkoordinasi serta dalam pengawasan Direktorat Reserse
Kepolisian Republik Indonesia Cq. Sub Direktorat Koordinator dan
Pengawasan PPNS.
Bidang pembinaan dalam rangka hubungan kerja yang koordinatif
dapat juga berupa pendidikan yang pada prinsipnya dilaksanakan oleh
Sub Direktorat Koordinator dan Pengawasan PPNS Direktorat Serse
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(SubDit Korwas PPNS) dengan mekanisme pelaksanaannya yang
dapat diatur sebagai berikut :
1) Dilaksanakan oleh masing-masing Departemen di pusat maupun
daerah dengan koordinasi dan pengawasan dari Sub Direktorat
Koordinator dan Pengawasan PPNS (SubDit Korwas PPNS) dari
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia;
2) Dilaksanakan oleh unsur Korwas pada setiap Kepolisian Daerah
dengan koordinasi dan pengawasan dari Sub Direktorat
Koordinator dan Pengawasan PPNS (SubDit Korwas PPNS);
3) Desentralisasi oleh Sub Direktorat Koordinator dan Pengawasan
PPNS untuk Penyidik PPNS (SubDit Korwas PPNS) dari seluruh
departemen, artinya pendidikan dapat dilaksanakan sendiri oleh
setiap Departemen dengan melakukan kerjasama dengan
Kepolisian Republik Indonesia.
Menurut pendapat penulis, seharusnya pendidikan PPNS
dilaksanakan secara menyeluruh dari tingkat kabupaten sampai pusat
yang dilakukan oleh setiap departemen yang berkoordinasi dengan
Kepolisian Republik Indonesia, sehingga daerah tidak perlu
mengadakan pendidikan sendiri.
b. Bidang Operasional
Dalam mekanisme pelaksanaan koordinasi dan pengawasan di
bidang operasional, pada hakekatnya merupakan implementasi pasal-
pasal dalam KUHAP yang menjadi dasar hukum. Bentuk mekanisme
koordinasi dan pengawasan PPNS dilaksanakan secara timbal balik
antara PPNS dengan Penyidik POLRI dalam rangka pelaksanaan
penyidikan. Secara kronologis, mekanisme koordinasi tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Dalam hal PPNS melaksanakan penyidikan tindak pidana tertentu
yang termasuk lingkup bidang tugasnya, maka PPNS menerima
laporan/ pengaduan wajib memberitahukan hal itu kepada Penyidik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
POLRI (Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) untuk kemudian
diteruskan kepada Penuntut Umum;
2) Penyidik POLRI memberikan petunjuk-petunjuk baik diminta atau
tidak diminta berdasarkan tanggung jawabnya dan wajib
memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan;
3) Petunjuk yang diberikan meliputi petunjuk teknis, taktis dan
yuridis. Sedangkan bantuan penyidikan meliputi bantuan teknis,
bantuan taktis dalam upaya paksa/ penindakan apabila
wewenangnya tidak dimiliki PPNS;
4) Dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh PPNS ditemukan bukti
yang kuat untuk diajukan ke Penuntut Umum, maka PPNS wajib
melapor hal itu kepada Penyidik POLRI tentang perkembangan
penyidikannya;
5) Dalam hal PPNS memerlukan bantuan untuk melakukan upaya
paksa/ penindakan yang wewenangnya tidak dimiliki
oleh PPNS yang bersangkutan, maka untuk tindakan tersebut
dimintakan bantuan kepada Penyidik POLRI;
6) Permintaan bantuan upaya paksa harus disertai laporan
perkembangan penyidikan dan alasan/ pertimbangan serta keadaan
untuk menentukan perlunya dilakukan upaya paksa;
7) Dalam hal penggeledahan dan penyitaan yang akan dilakukan oleh
PPNS, maka ijin penggeledahan dan penyitaan diatur sebagai
berikut :
a) Apabila undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
memberikan wewenang penggeledahan, maka surat ijin
dialamatkan langsung kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan
tembusan kepada Penyidik POLRI;
b) Apabila undang-undang yang menjadi dasar hukumnya tidak
mengatur, maka surat permintaan ijin dimintakan kepada
Penyidik POLRI.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8) Atas permintaan tersebut, Penyidik POLRI dapat mengabulkan
atau menolaknya dan kemudian memberitahukan keputusan
tersebut kepada PPNS disertai pertimbangan serta alasan-
alasannya;
9) Dalam hal permintaan dikabulkan dan penindakan telah
dilaksanakan, maka tanggung jawab yuridis yang mungkin timbul
sebagai akibat penindakan tersebut menjadi tanggung jawab
bersama;
10) Apabila PPNS menghentikan penyidikan, wajib memberikan
laporan kepada Penyidik POLRI dan Penuntut Umum. Hal ini
dilakukan karena kurang cukup bukti untuk melakukan proses
penyidikan;
11) Apabila penyidikan tindak pidana telah selesai, maka PPNS segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut
Umum melalui Penyidik POLRI. Berkas perkara yang diserahkan
terdiri 3 (tiga) rangkap dengan rincian :
a) 1 (satu) berkas untuk Penyidik POLRI;
b) 2 (dua) berkas untuk Penuntut Umum.
Penyerahan ini dimaksudkan agar Penyidik POLRI dapat meneliti
kelengkapan berkas perkara berkaitan dengan petunjuk dan
bantuan yang telah diberikan kepada PPNS.
12) Apabila berkas perkara telah diterima oleh Penyidik POLRI, maka
tanggung jawab yuridis secara proporsional ada pada Penyidik
POLRI. Apabila PPNS menghentikan penyidikan, wajib
memberikan laporan kepada Penyidik POLRI dan Penuntut Umum.
Hal ini dilakukan karena kurang cukup bukti untuk melakukan
proses penyidikan.
2. Pembinaan Teknis
Pembinaan teknis terhadap PPNS dapat dilakukan melalui beberapa
cara seperti : pembentukan PPNS, pembinaan kemampuan PPNS,
dan pembinaan sistem laporan. Sebagai pembina teknis PPNS, Penyidik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
POLRI memberikan saran-saran tentang urgensi kebutuhan dan
keberadaan PPNS dari sesuatu departemen/ instansi serta mengajukan
saran tentang rencana formasi organik PPNS. Untuk mewujudkan rencana
tersebut, maka departemen/ instansi yang bersangkutan mengusulkan
pengangkatan PPNS kepada Menteri Kehakiman dengan tembusan kepada
Kapolri dan Jaksa Agung. Atas usulan pengangkatan PPNS tersebut
POLRI memberikan pertimbangan. Masalah pembinaan kemampuan
PPNS merupakan tanggung jawab Penyidik POLRI. Hal ini disebabkan
karena komponen penyidikan dalam sistem peradilan pidana sepenuhnya
dipertanggungjawabkan kepada POLRI.
Kegiatan pembinaan teknis ini dapat dilakukan melalui pendidikan di
bidang penyidikan, latihan-latihan penyegaran bagi PPNS yang telah
mengikuti pendidikan, melaksanakan coaching clinic, melayani
permintaan tenaga pengajar/ ceramah, penataran, rapat koordinasi secara
berkala antara Penyidik POLRI dan PPNS, mempersiapkan piranti lunak
perundang-undangan yang dibutuhkan PPNS, dan lain-lain. Dalam
pembinaan sistem laporan, PPNS wajib melaporkan data perkara pidana
yang ditanganinya kepada Penyidik POLRI secara berkala. Penyidik
POLRI melaksanakan sistem pengumpulan, pengolahan dan penyajian
data perkara-perkara yang ditangani PPNS serta membuat analisa dan
evaluasi untuk kepentingan kebijaksanaan pembinaan PPNS.
3. Bantuan Operasional Penyidikan
Bantuan operasional penyidikan terhadap PPNS wajib diberikan oleh
Penyidik POLRI terhadap PPNS baik diminta atau tidak diminta dalam
rangka koordinasi dan pengawasan PPNS dari sejak awal penyidikan
sampai dengan akhir penyidikan. Bantuan tersebut dapat diberikan dalam
tiga tahap proses penyidikan, yaitu sebagai berikut :
a. Pada Tahap Awal Penyidikan
Pada tahap ini, Penyidik POLRI melakukan penelitian dan
memberikan petunjuk yuridis kepada PPNS untuk menentukan apakah
kasus yang akan ditangani merupakan suatu tindak pidana atau bukan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menentukan cara bertindak yang tepat dalam rangka
proses penyidikan, melakukan koordinasi dan penelitian terhadap
kelengkapan administrasi penyidikan dan memberikan bantuan upaya
paksa apabila diperlukan oleh PPNS yang bersangkutan.
b. Pada Tahap Pelaksanaan Penyidikan
Pada tahap ini, Penyidik POLRI mengikuti dan mengarahkan
perkembangan hasil penyidikan yang dilakukan oleh PPNS yang
bersangkutan. Penyidik POLRI juga dapat membantu pelaksanaan
upaya paksa dimana PPNS yang bersangkutan tidak mempunyai
wewenang untuk itu. Apabila ada gelar perkara Penyidik POLRI
mengikutinya untuk mencari upaya pemecahan masalah terhadap
kendala-kendala yang dihadapi PPNS selama proses penyidikan.
c. Pada Tahap Akhir Penyidikan
Pada tahap ini, Penyidik POLRI dapat mengadakan penelitian dan
memberikan petunjuk serta arahan yuridis terhadap berkas perkara
yang dibuat oleh PPNS dan membantu menyerahkan berkas perkara
tersebut ke Penuntut Umum (Bambang Sukarjono, 2008: 13-15).
Memperhatikan pada munculnya disharmonis dalam penegakan hukum,
khususnya pada pelaksanaan wewenang penyidikan antar institusi penyidik,
maka perlu ditetapkan strategi penanggulangannya agar dapat terwujud
kepastian hukum yang dilakukan melalui penetapan kebijakan, strategi dan
upaya, diantaranya yaitu :
1. Kebijakan
Dengan memperhatikan koordinasi penegakan hukum antar institusi di
Indonesia yang belum sesuai dengan harapan, maka perlu dirumuskan
kebijakan sebagai berikut : mewujudkan koordinasi yang sinergis antar
institusi penegak hukum melalui peningkatan sumber daya manusia,
perbaikan koordinasi antar institusi penegak hukum serta pembentukan
dan perbaikan perundang-undangan terkait dengan penegakan hukum
sebagai upaya membangun kemitraan (partnership building).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Langkah dan kebijakan dalam mengoptimalisasi pelaksanaan
koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis PPNS, secara rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Bersamaan dengan rencana restrukturisasi organisasi, POLRI
melaksanakan penataan struktur dan personil pengemban fungsi
Korwas PPNS pada Mabes POLRI sampai tingkat Polres dengan
tujuan agar Penyidik POLRI dapat berperan sebagai koordinator dan
pendukung fungsi dan peran PPNS dalam melakukan penyidikan yang
berintegrasi guna mewujudkan penegakan hukum di Indonesia;
b. Penataan kembali juklak/ juknis tentang Korwas PPNS untuk
disesuaikan dalam bentuk Peraturan Kapolri dengan fungsi sebagai
berikut :
1) Peraturan Kapolri No. 25 Tahun 2007 tentang Koordinasi,
Pengawasan dan Pembinaan PPNS yang telah disahkan Kapolri
dan dicatat/ diundangkan pada Lembaran Negara yang disahkan
oleh Menteri Hukum dan HAM. Peraturan ini berfungsi sebagai
petunjuk pelaksanaan fungsi Reserse di bidang Korwas PPNS;
2) Di bidang operasional, Peraturan Kapolri No. 25 Tahun 2007 telah
dijabarkan dalam Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2010 tentang
Manajeman Penyidikan Bagi PPNS yang telah disahkan oleh
Kapolri dan dicatat/ diundangkan pada Lembaran Negara yang
disahkan Menteri Hukum dan HAM. Peraturan Kapolri ini berisi
petunjuk teknis lengkap yang disertai dengan lampiran/ format
administrasi penyidikannya dalam proses penyidikan yang
dilakukan oleh PPNS mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan/ pengendalian penyidikan beserta
pelaksanaan Korwasnya oleh Penyidik POLRI;
3) Dibidang Pembinaan, Peraturan Kapolri Nomor 25 Tahun 2007
telah dijabarkan dalam :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.
16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil;
b) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.
18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan
Pelatihan Bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
c) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.
15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda
Penyidik, Tanda Kewenangan dan Lencana Penyidik Pegawai
Negeri Sipil;
4) Keberadaan PPNS merupakan suatu hal mutlak yang diperlukan
berkaitan dengan perkembangan masyarakat yang menunjukkan
berkembangnya varian kasus hampir disemua domain Departemen
terkait. Suatu hal yang menjadi kendala manakala dihadapkan pada
kenyataan bahwa suatu peristiwa pidana pada umumnya
merupakan ranah concursus realis (suatu perbuatan melanggar
beberapa ketentuan pidana/ undang-undang). Dengan melihat hal
tersebut, maka menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat
dihindari keberadaan Penyidik POLRI selaku koordinator dalam
menjembatani keterbatasan undang-undang yang mengatur PPNS
yang terbatas pada undang-undang tersebut.
Di sisi lain, PPNS merupakan unsur badan eksekutif bila dikaitkan
dengan pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang
membagi tiga bidang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Maka badan eksekutif yang melakukan fungsi yudikatif
perlu dijembatani oleh suatu badan yang secara institusional diakui
bagian dari sub sistem yudikatif, dalam hal ini adalah POLRI. Oleh
karena itu, perlu kiranya Penyidik POLRI diberikan wadah dalam
setiap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Strategi
Berdasarkan landasan kebijakan di atas, dirumuskan beberapa strategi,
yaitu :
a. Meningkatkan kualitas aparat penegak hukum dalam rangka
terwujudnya aparat penegak hukum yang profesional;
b. Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna
terciptanya hubungan lintas institusi yang sinergis;
c. Mengupayakan pembentukan dan/ atau perbaikan peraturan
perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan
kepastian hukum.
3. Upaya
Dalam rangka mewujudkan strategi yang telah ditentukan, upaya yang
dapat dikembangkan, antara lain :
a. Strategi 1. Meningkatkan kualitas aparat penegak hukum dalam
rangka terwujudnya aparat penegak hukum yang professional,
diwujudkan melalui upaya :
1) Memberikan kesempatan pada aparat penegak hukum untuk
mengikuti pendidikan dan kejuruan;
2) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan antar sesama aparat
penyidik dalam kasus-kasus tertentu agar diperoleh persamaan
persepsi dalam penanganan kasus pidana;
3) Kerjasama dengan perguruan tinggi untuk memberikan pendidikan
dan pelatihan guna meningkatkan pengetahuan aparat penyidik
terkait pelaksanaan tugas;
4) Mengembangkan sistem manajemen sumber daya manusia yang
transparan dan professional;
5) Menetapkan pedoman dan prosedur pembinaan anggota;
6) Pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum secara fair.
b. Strategi 2. Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum
guna terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis yang dilakukan
melalui upaya :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) Melakukan pemetaan terhadap masalah-masalah yang timbul
terkait koordinasi lintas instansi;
2) Meningkatkan pembentukan lembaga kerjasama antar instansi
terkait;
3) Membentuk lembaga pengawas yang bertugas mengawasi
pelaksanaan tugas masing-masing institusi;
4) Melakukan integrasi dan sinkronisasi pelayanan masyarakat agar
mekanisme pelayanan dapat berjalan dengan sederhana, cepat dan
tidak tumpang tindih;
5) Masing-masing instansi bertemu secara periodik baik formal
maupun informal untuk membicarakan berbagai permasalahan
yang timbul terkait masalah koordinasi sekaligus menemukan
solusinya;
6) Peningkatan forum diskusi dan pertemuan antar aparat penegak
hukum yang bertujuan untuk memperoleh kesamaan pandang
dalam melaksanakan tugas penyidikan;
7) Menyusun Memorandum of Understanding (MoU) yang berisikan
kerjasama dan koordinasi lintas instansi terkait penegakan hukum.
c. Strategi 3. Mengupayakan pembentukan dan/ atau perbaikan peraturan
perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan
kepastian hukum. Diwujudkan melalui upaya :
1) Membentuk kelompok kerja khusus yang bertugas untuk
melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
yang dianggap menjadi penyebab munculnya kondisi disharmonis
antar aparat penegak hukum;
2) Melakukan inventarisasi terhadap beberapa produk perundang-
undangan yang dianggap sebagai penyebab munculnya kondisi
disharmonis;
3) Menyusun pokok-pokok pikiran dan Naskah Akademik terkait
koordinasi antara aparat penegak hukum;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4) Melakukan konsultasi atau temu wicara dengan pakar hukum
pidana guna memperoleh masukan terkait kewenangan aparat
penegak hukum dalam melakukan penyidikan;
5) Mengadakan seminar, workshop atau pertemuan ilmiah lainnya
yang diselenggarakan baik secara mandiri maupun bekerjasama
dengan perguruan tinggi dengan topik koordinasi lintas instansi
dalam penyidikan kasus tindak pidana;
6) Melakukan studi banding ke negara-negara yang sudah memiliki
kerangka kerjasama dan koordinasi antar aparat penegak hukum
yang baik;
7) Mengkaji ulang berbagai perangkat hukum yang selama ini
menjadi sumber munculnya tumpang tindih kewenangan dalam
penegakan hukum antar aparat penegak hukum, menyusun pokok
pokok pikirannya, naskah akademiknya untuk kemudian disiapkan
draft amandemennya;
8) Mengusulkan pengubahan atau penggantian perundang-undangan
yang dipandang menghambat sinergitas antar instansi;
9) Melakukan judicial review ke Mahkamah Agung terkait adanya
undang-undang yang saling bertentangan;
10) Mengalokasikan/ meningkatkan anggaran untuk pengkajian
undang-undang.
Perlunya upaya harmonisasi dan sinkronisasi kewenangan penyidikan
antara POLRI sebagai penyidik dan PPNS Pajak dalam berbagai Rancangan
Undang-Undang, antara lain terkait dengan wewenang PPNS Direktorat Jenderal
Pajak dalam melakukan penyidikan tindak pidana pajak untuk mengurangi
munculnya kondisi disharmonis yang memicu terjadinya tarik menarik
kewenangan antar institusi yaitu antara PPNS Dirjen Pajak dengan aparat
kepolisian yang pada akhirnya bermuara pada melemahnya proses penegakan
hukum secara keseluruhan. Seiring dengan perkembangan jaman dan tindak
pidana yang semakin meningkat, maka akan lebih berbahaya lagi jika POLRI
tidak bisa masuk menangani kasus pajak tersebut guna meninindak-lanjuti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penyidikan yang akan diarahkan pada pengembangan permasalahan dalam bidang
perpajakan yang diduga melibatkan oknum aparat Direktorat Jenderal Pajak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di dalam bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengaturan koordinasi penyidik POLRI dan penyidik PNS dapat dicermati
pada Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur hubungan kerja antara Penyidik
POLRI dengan Penyidik PNS. Hubungan itu meliputi pelaksanaan, koordinasi,
pengawasan, pembinaan, pemberian petunjuk yang didasarkan pada sendi-
sendi hubungan fungsional. Koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis
terhadap kepolisian khusus, PPNS, dan Pengamanan Swakarsa merupakan
salah satu tugas POLRI yang secara tersurat dicantumkan dalam Undang-
undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Pasal 14
ayat (1) huruf f. Selain itu, disebutkan pula dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang berbunyi : “Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
hanya dapat dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik
tindak pidana di bidang perpajakan”. Pemberian wewenang kepada PPNS di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sama sekali tidak mengurangi
wewenang pejabat Penyidik POLRI untuk melakukan penyidikan tindak
pidana perpajakan. Pegawai negeri sipil yang melakukan penyidikan tindak
pidana pajak harus berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik
POLRI. Oleh karena itu, diperlukan pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
Direktorat Jenderal Pajak yang mengadakan penyidikan di bidang perpajakan
yang diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam KUHAP. Para pejabat pegawai negeri sipil di bidang perpajakan
tersebut melaksanakan tugasnya setelah memperoleh pendidikan dan pelatihan
dari POLRI.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Upaya mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum,
khususnya pada pelaksanaan wewenang penyidikan antar institusi penyidik,
maka perlu ditetapkan strategi penanggulangannya agar dapat terwujud
kepastian hukum yang dilakukan melalui penetapan kebijakan, strategi dan
upaya, diantaranya yaitu :
a. Kebijakan
1) Bersamaan dengan rencana restrukturisasi organisasi, POLRI
melaksanakan penataan struktur dan personil pengemban fungsi
Korwas PPNS pada Mabes POLRI sampai tingkat Polres dengan
tujuan agar Penyidik POLRI dapat berperan sebagai koordinator dan
pendukung fungsi dan peran PPNS dalam melakukan penyidikan yang
berintegrasi guna mewujudkan penegakan hukum di Indonesia;
2) Penataan kembali juklak/ juknis tentang Korwas PPNS untuk
disesuaikan dalam bentuk Peraturan Kapolri.
b. Strategi
1) Meningkatkan kualitas aparat penegak hukum dalam rangka
terwujudnya aparat penegak hukum yang profesional;
2) Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna
terciptanya hubungan lintas institusi yang sinergis;
3) Mengupayakan pembentukan dan/ atau perbaikan peraturan
perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan
kepastian hukum.
c. Upaya
1) Meningkatkan kualitas aparat penegak hukum dalam rangka
terwujudnya aparat penegak hukum yang professional;
2) Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna
terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis;
3) Mengupayakan pembentukan dan/ atau perbaikan peraturan
perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan
kepastian hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Saran
1. Dalam pelaksanaan kerja sama penyidikan tindak pidana pajak, seharusnya
Penyidik memahami kedudukan serta wewenangnya dalam penyidikan
tersebut sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, karena
penyidikan tindak pidana pajak adalah wewenang penuh dari Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak. Penyidik POLRI hanya
membantu dalam proses penyidikan seperti bantuan upaya paksa dalam
penyidikan serta menerima berkas perkara dari PPNS Dirjen Pajak untuk
kemudian diperiksa sebelum diserahkan kepada Penuntut Umum.
2. Upaya mengedepankan POLRI dalam kerangka penegakan hukum sebenarnya
mengandung konsekwensi kebijakan yang luas dan memiliki implikasi politis
yang tidak ringan. Menempatkan kedudukan POLRI sebagai pintu gerbang
proses dimulainya penegakan hukum tidak cukup hanya dengan adanya
pemisahan POLRI dari TNI. Yang lebih penting adalah pengembalian
wewenang yaitu mengembalikan seluruh kewenangan yang seharusnya berada
di tangan POLRI dan menghilangkan semua tugas/ fungsi yang semestinya
tidak diemban oleh POLRI. Konsekwensi dari pengembalian wewenang
tersebut adalah munculnya kebutuhan untuk memberdayakan POLRI di segala
bidang, sehingga POLRI mampu menangani segala jenis hambatan, tantangan,
ancaman dan gangguan yang dihadapi masyarakat, yang pada akhirnya akan
bermuara pada terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan koordinasi dan
pengawasan antar institusi yang terkait dalam penegakan hukum, serta
sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan
melakukan penyidikan agar diperoleh pemahaman yang tepat terkait tugas dan
kewenangan masing-masing institusi. Melalui sosialisasi ini diharapkan dapat
mempersempit jurang pemisah di antara masing-masing institusi sekaligus
dapat mewujudkan institusi penyidik yang saling melengkapi.