122
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/Pdt.Sus/2012 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : SANI CIPTI RIANTI E1A011003 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015

kajian yuridis terhadap penerapan pasal 9 ayat (1) huruf k dan pasal

  • Upload
    vananh

  • View
    229

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1)

HURUF K DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN

1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/Pdt.Sus/2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Oleh :

SANI CIPTI RIANTI

E1A011003

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

2

LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K

DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012

Disusun oleh:

SANI CIPTI RIANTI

E1A011003

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan Disahkan

Pada Tanggal : Februari 2015

Pembimbing I/ Pembimbing II/ Penguji III

Penguji I Penguji II

I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum. H. Suyadi, S.H., M.Hum Agus Mardianto, S.H.,M.H.

NIP. 19610520 198703 1 002 NIP. 19611010 198703 1 001 NIP. 19650831 200312 1 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum.

NIP. 19640923 198901 1 001

3

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul :

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K

DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012

Yang diajukan untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto merupakan

hasil karya saya sendiri dan semua data yang terdapat didalam skripsi ini dapat

saya pertanggungjawabkan secara hukum.

Demikian pernyataan ini saya buat jika dikemudian hari terbukti bahwa

skripsi saya ini tidak sesuai dengan pernyataan saya tersebut diatas, saya bersedia

menerima semua sanksi yang akan diajukan termasuk pencabutan gelar sarjana

yang telah saya peroleh.

Purwokerto, Februari 2015

Yang Membuat Pernyataan,

SANI CIPTI RIANTI

NIM. E1A011003

4

PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat serta hidayah-Nya,

akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KAJIAN YURIDIS

TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K DAN PASAL 10

HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan

berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sebagai bentuk rasa syukur dengan

segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

2. Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I

yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran

yang sangat membangun serta banyak menambah wawasan dan ilmu

pengetahuan khususnya dalam lingkup Hukum Perlindungan Konsumen

bagi penulis, sehingga penulis mendapatkan kelancaran dan kemudahan

dalam mengerjakan skripsi sampai selesai.

5

3. Bapak H. Suyadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat

membangun dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Agus Mardianto,S.H.,MH. selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut

menilai dan memberi masukan pada skripsi penulis.

5. Ibu Krisnhoe Kartika Wahyoeningsih, SH.,M.Hum. selaku Dosen

Pembimbing Akademik di Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman.

6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang

telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

7. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

yang telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan.

8. Kedua orang tua tercinta yang selalu mendoakan, memberi nasihat dan

motivasi selama penulis mengerjakan skripsi.

Semoga karya kecil yang penuh kekurangan ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak dan bagi kemajuan kita bersama.

Purwokerto, Februari 2015

Penulis

6

ABSTRAK

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K

DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012

Oleh :

SANI CIPTI RIANTI

E1A011003

Iklan merupakan salah satu media yang digunakan oleh pelaku usaha

untuk memperkenalkan produk mereka. Konsumen menggunakan iklan sebagai

sarana untuk memperoleh informasi mengenai barang dan atau jasa pada tahap

pratransaksi. Pada beberapa kasus sengketa konsumen, telah terjadi pelanggaran

oleh pelaku usaha terkait dengan penyampaian informasi melalui iklan yang tidak

sesuai dengan kondisi sebenarnya mengenai suatu barang yang mengarah kepada

iklan menyesatkan. Informasi mengenai kondisi suatu barang dan atau jasa

merupakan hak konsumen yang diatur dalam Undang-Undang sehingga pelaku

usaha berkewajiban untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi suatu

produk secara benar, jelas, dan jujur kepada konsumen. Kasus sengketa konsumen

terkait dengan iklan menyesatkan yang telah diadili pada tingkat Mahkamah

Agung yaitu kasus antara PT. Nissan Motor Indonesia selaku pelaku usaha

melawan Ludmilla Arif selaku konsumen. Ludmilla Arif merasa dirugikan akibat

ketidaksesuaian informasi terkait penggunaan bahan bakar produk PT. Nissan

Motor Indonesia yang pada iklan dinyatakan irit namun setelah penggunaan

selama kurang lebih 2 bulan, konsumsi bahan bakar produk PT. Nissan Motor

Indonesia tidak sesuai dengan yang diiklankan. Putusan Mahkamah Agung

Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012 memutus bahwa PT. Nissan Motor Indonesia terbukti

melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena pelaku usaha

telah menawarkan suatu janji atau kondisi yang tidak benar dan menyesatkan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana data

diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa

hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012 sudah tepat

dalam menerapkan hukumnya karena PT. Nissan Motor Indonesia memenuhi

unsur-unsur yang dimuat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kosumen.

Penerapan hukum oleh hakim pada putusan tersebut kurang lengkap. PT. Nissan

Motor Indonesia dalam pertimbangan hukum hakim pada putusan tersebut

seharusnya juga dinyatakan melanggar Pasal 1458 KUHPerdata dan Pasal 1474

KUHPerdata terkait tanggung jawab penjual untuk menanggung kebendaan yang

dijualnya serta melanggar Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen yang memuat mengenai hak konsumen terkait

informasi mengenai kondisi barang dan atau jasa.

Kata kunci : Pelaku Usaha, Konsumen, Informasi, Iklan, Iklan Menyesatkan

7

ABSTRACT

JURIDICAL STUDY OF THE APPLICATION OF ARTICLE 9 PARAGRAPH (1)

LETTER K AND ARTICLE 10 LETTER C OF LAW NO 8 OF 1999 ON

CONSUMER PROTECTION IN THE SUPREME COURTS DECISION NUMBER

659 K/PDT.SUS/2012

by :

SANI CIPTI RIANTI

E1A01003

Advertisement is a media used by business to introduce their products.

Consumers use it as a mean to obtain the information about the goods and or

services before they do transaction. In some cases of consumer disputes, there has

been a violation by business associated with the information delivered by the

advertisement that does not correspond to the actual conditions of the goods

which leads to the misleading advertisement. To know the actual information

about the conditions of the goods or services is the consumers right set out in the

act, so that businesses oblige to pass the actual information about the products to

the consumers. The case of consumer disputes related to the misleading

advertisement that has been tried in the Supreme Court is the case between PT.

Nissan Motor Indonesia as the business against Ludmilla Arif as the consumer.

Ludmilla Arif felt disadvantaged due to a mismatch information related to the use

of fuel products of PT. Nissan Motor Indonesia because the advertisement stated

that the product was economical, but in fact after about two month use it was not

as what it was advertised. Supreme Court decision Number 659 K/Pdt.Sus/2012

concluded that PT. Nissan Motor Indonesia has proven to violate the provisions

of Article 9 paragraph (1) letter k and Article 10 letter c of Law No. 8 of 1999 on

Consumer Protection because business had offered a promise or condition that is

not true and misleading. This study used normative juridical method where data

obtained from library research. The results of this study stated that the judge in

the Supreme Court Decision Number 659 K/Pdt.Sus/2012 was right in applying

the law as PT. Nissan Motor Indonesia met the elements contained in Article 9

paragraph (1) letter k and Article 10 letter c of Law No. 8 of 1999 on Consumer

Protection. Application of the law by the judge in the decision is less complete.

PT. Nissan Motor Indonesia in the legal considerations should also be declared

that it also violated the Article 1458 Civil Code and 1474 Civil Code related to

the responsibility of the seller to bear the material it sells, and it also violated the

Article 4 letter c of law No. 8 of 1999 on Consumer Protection which contains the

consumers rights related to the actual information of the goods or services.

Keyword : Business, Consumer, Information, Advertisement, Misleading

Advertisement

8

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAAN ii

HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI iii

PRAKATA iv

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

DAFTAR ISI viii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................... 9

C. Tujuan Penelitian .................................................................... 9

D. Kegunaan Penelitian................................................................ 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 10

A. Konsumen ............................................................................... 10

1. Pengertian Konsumen ....................................................... 10

2. Hak dan Kewajiban Konsumen ......................................... 15

3. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen ....................... 21

B. Pelaku Usaha ........................................................................... 28

1. Pengertian Pelaku Usaha ................................................... 28

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha .................................... 31

9

3. Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha .................... 32

4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha ......................................... 35

C. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan

Konsumen ............................................................................... 41

D. Iklan......................................................................................... 46

1. Pengertian Iklan ................................................................ 46

2. Iklan yang Menyesatkan ................................................... 49

3. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Penyampaian

Iklan Menyesatkan ............................................................ 54

BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 61

A. Metode Pendekatan ................................................................ 61

B. Spesifiasi Penelitian ............................................................... 61

C. Lokasi Penelitian .................................................................... 62

D. Sumber Data ........................................................................... 62

E. Metode Pengumpulan Data .................................................... 63

F. Metode Penyajian Data .......................................................... 63

G. Metode Analisis Data ............................................................. 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 65

A. Hasil Penelitian ...................................................................... 65

B. Pembahasan ............................................................................ 92

BAB V PENUTUP ....................................................................................... 109

A. Simpulan ................................................................................ 109

B. Saran ....................................................................................... 110

10

DAFTAR PUSTAKA

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

tinggi menjadikannya sebagai negara dengan tingkat konsumsi yang tinggi

pula. Kebutuhan masyarakat terhadap barang dan atau jasa yang selalu

bertambah harus dapat diimbangi oleh pelaku usaha dalam memenuhi

kebutuhan masyarakat selaku konsumen. Perkembangan ekonomi yang pesat

saat ini terlebih dengan adanya perdagangan bebas, menimbulkan persaingan

yang ketat antar pelaku usaha karena berarti akan semakin banyak jumlah

produk sejenis yang beredar dipasaran. Pelaku usaha berupaya untuk

mempertahankan konsumen dan lebih jauh berpikir untuk memperluas

kawasan pasar. Persaingan pelaku usaha akibat perdagangan bebas ini akan

berdampak kepada konsumen karena dalam menjalankan kegiatan

ekonominya tidak menutup kemungkinan terjadi praktik-praktik kegiatan

usaha yang curang antara lain menyangkut kualitas atau mutu barang,

informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya.

Konsumen sebagai penikmat barang dan atau jasa tersebut kemudian dituntut

untuk lebih cermat dalam menyeleksi produk-produk yang beredar sesuai

dengan keinginan, kebutuhan dan jangan sampai menimbulkan kerugian.

Kerugian yang dialami konsumen tidak terlepas dari tingkat pendidikan

12

konsumen yang rendah, sedangkan teknologi komunikasi semakin maju,

sehingga dengan mudah menjangkau masyarakat luas.

Tahapan awal yang dibutuhkan oleh konsumen sebelum mengkonsumsi

suatu barang dan atau jasa yaitu dengan mencari informasi tentang produk

tersebut. Informasi produk ini sangat penting bagi konsumen karena dengan

informasi ini konsumen akan lebih berhati-hati mempergunakan dana yang

tersedia untuk membeli produk yang sesuai dengan kebutuhan.

“Pelaku usaha berupaya untuk menginformasikan berbagai hal

mengenai produk yang dipasarkannya kepada konsumen, antara lain :

tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat,

kualitas produk, keamanan, harga, tentang berbagai persyaratan atau

cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, ketersedian

suku cadang, pelayanan purna jual, dan hal-hal lain yang berkenaan

dengan itu”.1

Idealnya, pelaku usaha tidak hanya menonjolkan kelebihan dari produk

tersebut namun juga perlu diimbangi dengan informasi yang memuat

kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh produk bersangkutan.

Pelaku usaha dengan kemampuan mereka dalam memperkenalkan atau

mempromosikan produknya menggunakan banyak cara agar konsumen dapat

tertarik terhadap produk yang mereka tawarkan. Salah satu cara yang

digunakan oleh pelaku usaha untuk mempromosikan produknya yaitu melalui

iklan. Iklan sebagai salah satu bentuk informasi yang dijadikan sarana oleh

pelaku usaha untuk melakukan penawaran kepada konsumen terhadap produk

yang mereka produksi yang dapat disebut sebagai tahap pratransaksi,

1 A.Z. Nasution, 1, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar),

Yogyakarta:Diadit Media, 2001, hal.5.

13

sehingga iklan juga dapat dianggap sebagai janji yang disampaikan oleh

pelaku usaha kepada calon pembeli produknya.

Iklan digunakan sebagai alat komunikasi dari pelaku usaha kepada

konsumen. Berdasarkan iklan tersebut maka konsumen dapat menilai

kejujuran pelaku usaha dalam menyampaikan informasi produk melalui iklan.

Banyak akses yang dapat ditempuh pelaku usaha dalam penyampaian iklan

tersebut misalnya melalui televisi, internet maupun surat kabar. Keberadaan

iklan sangat mudah ditemui oleh masyarakat karena memang sifatnya yang

dapat terlihat, terdengar, tertonton dimana saja tergantung dimana iklan itu

disampaikan. Iklan mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi sikap

orang yang melihatnya menjadi konsumtif dan memiliki daya pikat.

Keberhasilan suatu produk menarik konsumen sangat bergantung dari

bagaimana produk tersebut dipasarkan, sehingga penawaran dalam bentuk

iklan ini dikemas secara menarik.

Kenyataannya, saat ini tidak selamanya iklan yang ditayangkan

diberbagai media dapat diterima dalam pemahaman yang sama pada setiap

konsumen. Permasalahan tersebut kemudian menyebabkan informasi yang

disampaikan oleh pelaku usaha melalui iklan tidak dapat diterima atau

disalahtafsirkan oleh konsumen. Selain itu juga terhadap iklan yang

ditayangkan tidak semuanya memberikan keuntungan kepada konsumen, ada

beberapa iklan yang dianggap telah merugikan yang mengarah kepada iklan

yang menyesatkan konsumen sebagai pengguna produk tersebut. Konsumen

14

menanggung akibat dari ketidakjujuran informasi melalui media iklan yang

terus menerus disajikan secara luas kepada konsumen.

Berkaitan dengan pelanggaran dalam penyampaian informasi melalui

iklan, ada sebanyak 409 laporan kasus dugaan pelanggaran produk/merek dan

materi iklan yang diterima Badan Pengawas Periklanan (BPP) dalam rentang

waktu tahun 2008-2013 (Februari 2013) dengan rincian 41 kasus pada tahun

2008, 121 kasus tahun 2009, 96 kasus pada tahun 2010, 84 kasus pada tahun

2011, 55 kasus pada tahun 2012, dan 13 kasus pada bulan Januari hingga

Februari 2013.

Media iklan yang sangat berpengaruh dalam tahap pratransaksi kadang

tidak disadari konsumen telah menyampaikan informasi yang tidak sesuai

dengan kenyataan yang sebenarnya tentang suatu produk. Padahal informasi

mengenai suatu barang atau jasa yang akan digunakan konsumen merupakan

salah satu hak konsumen. Hak ini dimaksudkan agar konsumen dapat

memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan

informasi tersebut konsumen dapat memilih produk yang diinginkan dan

sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan

dalam penggunaan produk. Kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa

yang selalu bertambah membuat pelaku usaha berlomba-lomba untuk

menarik minat masyarakat terhadap produk mereka dan tidak jarang pelaku

usaha tersebut melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan dalam

kegiatan usaha mereka.

15

Selama penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku

usaha sulit untuk dibenahi, maka menjadi kewajiban konsumen untuk

meningkatkan kehati-hatian dalam memilih produk-produk yang akan mereka

konsumsi. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dibentuk suatu peraturan

perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan

terhadap konsumen.

“Pada tanggal 20 April 1999, Pemerintah Republik Indonesia telah

mengeluarkan suatu kebijakan baru mengenai perlindungan konsumen

dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yang dimuat dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 42 dan Tambahan Lebaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini

berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan awal

pengakuan perlindungan konsumen dan secara legitimasi formal

menjadi sarana kekuatan hukum bagi konsumen dan tanggung jawab

pelaku usaha sebagai penyedia/pembuat produk bermutu”.2

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

bukan untuk mematikan pelaku usaha, namun untuk menciptakan

keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen karena pada praktiknya

posisi konsumen di Indonesia masih sangat lemah dibanding dengan posisi

pelaku usaha. Konsumen sebenarnya berpotensi untuk memiliki posisi yang

seimbang dengan pelaku usaha mengingat posisi kedua belah pihak yang

saling membutuhkan, selain itu pula karena kemajuan usaha pelaku usaha

sangat tergantung pada konsumen. Kedudukan pelaku usaha yang tampak

lebih dominan dalam kegiatan ekonomi menjadikan belum dapat tercapainya

keseimbangan kedudukan konsumen dan pelaku usaha. Pemerintah melalui

2 Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan

Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor. hal. 5.

16

Undang-Undang Perlindungan Konsumen berupaya untuk menciptakan

keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen dengan tidak hanya

mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen, namun juga mengatur

tentang pelaku usaha yang dapat dilihat dengan dimuatnya pengaturan

mengenai hak, kewajiban, perbuatan yang dilarang dan tanggung jawab

pelaku usaha. Pengaturan tentang pelaku usaha ini dikarenakan dalam

melaksanakan kegiatan ekonominya tidak jarang terjadi pelanggaran terhadap

hak-hak konsumen.

Pada beberapa kasus sengketa konsumen diketahui bahwa telah terjadi

pelanggaran terhadap hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal tersebut

mengatur apa saja hak yang dimiliki oleh konsumen dan harus dipenuhi

pelaku usaha. Salah satunya hak konsumen tersebut yaitu hak atas informasi

yang benar mengenai suatu barang atau jasa.

Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyebutan bahwa :

”Hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa”.

Informasi tersebut baik yang didapat secara langsung atau bisa melalui

pernyataan yang ditempel pada kemasan produk atau bisa juga diperoleh

melalui iklan-iklan dan pemberitaan yang bersifat promosi yang sengaja

dibuat oleh pelaku usaha untuk menarik minat konsumen atas barang yang

mereka produksi.

17

Berdasarkan Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen sebagaimana disebutkan diatas bahwa pelaku usaha

berkewajiban untuk memberikan informasi yang jelas dan benar terhadap

barang yang akan mereka pasarkan. Tidak memadainya informasi yang

disampaikan kepada konsumen, merupakan salah satu bentuk cacat produk.

Lebih lanjut berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha tersebut didalam Pasal

9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dinyatakan bahwa :

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan

suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :

menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti”.

Selanjutnya disebutkan pula dalam Pasal 10 huruf c Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa :

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau

menyesatkan mengenai : kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti

rugi atas suatu barang dan atau jasa”.

Kasus sengketa konsumen yang terkait dengan pelanggaran oleh pelaku

usaha terhadap informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai suatu barang

telah banyak yang terungkap. Iklan yang mengandung informasi mengenai

produk mereka nyata-nyata telah merugikan konsumen. Iklan tersebut

dianggap telah menyesatkan konsumen sebagai pengguna barang dan atau

18

jasa tersebut. Salah satu kasus sengketa konsumen yang dimaksud yaitu

sengketa antara PT. Nissan Motor Indonesia selaku pelaku usaha melawan

Ludmilla Arif selaku konsumen. Kasus ini terjadi karena pelaku usaha telah

melanggar hak konsumen yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kasus

yang telah mendapat putusan yang inkracht ditingkat Mahkamah Agung ini

menyebutkan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia terbukti melanggar

ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena pelaku usaha telah

menawarkan suatu janji atau kondisi yang tidak benar dan menyesatkan.

Pasal 62 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen memang tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran hak

konsumen sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 4 huruf c Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun hakim

seharusnya menggunakan pasal tersebut sebagai landasan dalam menerapkan

Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian dan penelaahan terhadap putusan

Mahkamah Agung Nomor 659/K/Pdt.Sus/2012 mengenai penerapan Pasal 9

ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No.8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dalam kasus antara PT. Nissan Motor

Indonesia melawan Ludmilla Arif.

19

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut :

Bagaimana penerapan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam

Putusan Mahkamah Agung Nomor 659/K/Pdt.Sus/2012 ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui penerapan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10

huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659/K/Pdt.Sus/2012.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoretis

Memberikan sumbangan teoretis berupa khasanah keilmuan dalam bidang

perlindungan hukum terhadap konsumen yang didapat atau diperoleh dari

perkuliahan.

2. Kegunaan praktis

Mengajak konsumen dan pelaku usaha lebih berhati-hati dalam

menerapkan hak dan kewajiban mereka serta hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan masukan serta pengetahuan bagi para pihak

yang berkompeten dan berminat pada hal serupa.

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsumen

1. Pengertian konsumen

Kegiatan ekonomi tidak terlepas dari para pihak yang terlibat

didalamnya yaitu konsumen sebagai pembeli atau penikmat barang dan

atau jasa dan pelaku usaha sebagai pihak yang menghasilkan dan

memasarkan produknya. Kedua pihak tersebut saling membutuhkan satu

sama lain, konsumen membutuhkan pelaku usaha untuk memproduksi

barang dan atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan

pelaku usaha membutuhkan konsumen untuk memperoleh keuntungan

dari penjualan produk mereka.

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer

(Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda).

Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam

posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah

(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.

Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk

konsumen kelompok mana penggunaan tersebut. Begitu pula

Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi kata consumer sebagai

pemakai atau konsumen.3

Menurut Az. Nasution definisi konsumen yaitu :4

1) Setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan

barang dan atau jasa untuk kegunaan tertentu. Yang dimaksud

setiap orang adalah orang alamiah maupun orang yang

diciptakan menurut hukum atau badan hukum

3 Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan

Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pusaka Sinar Harapan, Jakarta. hal.

25. 4 Ibid, hal. 69.

21

2) Konsumen antara adalah orang yang mendapatkan barang dan

atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan

atau jasa lain untuk diperdagangkan (untuk tujuan komersiil)

3) Konsumen akhir adalah setiap orang yang mendapatkan dan

atau menggunakan barang atau jasa untuk tujuan memenuhi

kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga

dan tidak diperdagangkan kembali (tidak untuk tujuan

komersill).

Definisi konsumen yang dirumuskan secara yuridis formal dapat

dilihat dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yaitu :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan”.

Selanjutnya penjelasan dari pasal 1 butir 2 diatas bahwa didalam

kepustakaan ekonomi dikenal adanya konsumen akhir dan konsumen

antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu

produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang

menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk

lainnya. Pengertian konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen

akhir, hal ini karena pengertian kosumen menurut pasal 1 butir 2 diatas

menyebutkan adanya syarat “tidak untuk diperdagangkan” sehingga

konsumen akhir mengkonsumsi barang dan atau jasa yang telah mereka

bayar untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, atau rumah

tangganya. Perbedaan kepentingan dan tujuan penggunaan barang dan

22

atau jasa oleh konsumen antara dan konsumen akhir dijadikan sebagai

tolak ukur dalam menentukan perlindungan yang diperlukan.

Unsur-unsur dalam definisi konsumen menurut Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu :5

a. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti orang yang

berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang”

sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang

individual yang lazim disebut natuurlijk persoon atau termasuk

juga badan hukum (rechtpersoon). Tentu yang paling tepat

tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang

perseorangan, namun konsumen harus mencakup juga badan

usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

b. Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir

(ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat

digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus

menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta

merta hasil dari transaksi jual beli.

c. Barang dan/atau jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai

pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini

“produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

mengartikan barang sebagai benda, baik berwujud maupun

tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik

dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat

untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan oleh konsumen. Jasa diartikan sebagai setiap

layanan berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi

masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian

“disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus

ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu

orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus

(tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian

tersebut.

5 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, 2000. hal. 4-9.

23

d. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat

sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang

makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi

dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, transaksi

terlebih dulu sebelum bangunannya jadi.

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk

hidup lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang

diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas

pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar

ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang

dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri

sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain,

seperti hewan dan tumbuhan.

f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni

hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam

peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.

Pengertian konsumen menurut Undang-Undang pada masing-

masing negara tentu berbeda, walaupun tetap mempunyai makna yang

sama yaitu konsumen barang dan atau jasa. Berikut pengertian

Konsumen di beberapa negara antara lain :

1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen di India,

menentukan bahwa konsumen adalah setiap orang pembeli

barang yang disepakati, menyangkut cara dan pembayarannya,

tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk

dijual atau lain-lain keperluan komersil.

2) Dalam Perundang-Undangan Australia, konsumen adalah

setiap orang yang mendapatkan barang tertentu dengan harga

yang ditetapkan (setinggi-tingginya 40.000 dollar Australia)

atau jika harganya lebih, maka kegunaan barang tersebut untuk

keperluan pribadi, domestik dan atau rumah tangga (normally

used for personal, family or household).

3) Dalam Undang-Undang Jaminan Produk (Amerika Serikat)

ditemukan ketentuan-ketentuan ayat (1) dan ayat (2), yang

menunjukan konsumen adalah setiap pembeli produk

konsumen, yang tidak untuk dijual kembali dan pada

umumnya untuk dipergunakan untuk kepentingan pribadi,

24

keluarga atau rumah tangga (personal, family or household).

Amerika Serikat mengartikan istilah konsumen lebih luas lagi

yaitu termasuk “korban pemakaian produk cacat”, baik korban

tersebut pembeli, bukan pembeli tapi pemakai, bahkan juga

korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum

dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.

4) BW Baru Belanda (NBW) seperti termuat dalam ketentuan-

ketentuan tentang syarat-syarat umum perjanjian (algemene

voor worden), konsumen diartikan sebagai orang alamiah

(yang mengadakan perjanjian) tidak berlaku selaku orang yang

menjalankan suatu profesi atau perusahaan.

5) Di Spanyol konsumen diartikan tidak hanya individu (orang),

tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau

pemakai terakhir. Konsumen tidak harus terikat dalam

hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen

tidak identik dengan pembeli.

Berdasarkan pengertian di atas, ada beberapa unsur penting

seseorang disebut sebagai konsumen, yaitu :

1) Setiap orang pembeli barang yang disepakati menyangkut

harga dan cara pembayarannya dan tidak untuk dijual kembali

atau komersil.

2) Setiap orang yang mendapatkan barang tertentu dengan harga

yang ditetapkan, kemudian menggunakan barang itu untuk

kepentingan pribadi, domestik atau rumah tangga.

3) Orang alamiah (orang yang mengadakan perjanjian) tidak

bertindak sebagai orang yang menjalankan profesi atau

perusahaan.

Mengenai transaksi konsumen dimaksudkan “proses terjadinya

peralihan pemilikan barang dan/atau pemanfaatan jasa dari pelaku usaha

kepada konsumen”. Transaksi konsumen terdiri atas tiga tahap, yaitu :6

a. Tahap pratransaksi konsumen

Pada tahap ini, transaksi atau penjualan/pembelian

barang dan/atau jasa belum terjadi. Konsumen bijak yang akan

mengadakan transaksi barang dan/atau jasa tertentu harus

mempertimbangkan pembeliannya dengan mengaitkan pada

dana/uang yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam tahap ini

yang paling vital bagi konsumen adalah informasi atau

6 Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 17.

25

keterangan yang benar, jelas, dan jujur serta akses untuk

mendapatkannya dari pelaku usaha yang beritikad baik dan

bertanggung jawab.

b. Tahap transaksi konsumen

Pada tahap ini terjadi proses peralihan kepemilikan

barang dan/atau jasa tertentu dari pelaku usaha kepada

konsumen. Pada saat ini, telah terdapat kecocokan pilihan

barang dan/atau jasa dengan persyaratan pembelian serta harga

yang harus dibayarnya. Perilaku pelaku usaha pada tahap

transaksi konsumen sangat menentukan, seperti penentuan

harga produk konsumen, penentuan persyaratan perolehan dan

pembatalan perolehannya, klausul-klausul, khususnya klausul

baku yang mengikuti transaksi dan persyaratan-persyaratan

penjaminan, keistimewaan atau kemanjuran yang dikemukakan

dalam transaksi barang dan/atau jasa. Informasi itu dapat

berupa informasi lisan maupun tulisan atau dengan

menggunakan media elektronik dalam segala bentuknya.

c. Tahap purnatransaksi Konsumen

Tahap ini merupakan tahapan pemakaian, yaitu

penggunaan dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

telah beralih pemiliknya atau pemanfaatannya dari pelaku

usaha kepada konsumen. Informasi yang diperoleh konsumen

sebelum melakukan transaksi, pada tahap ini dapat diketahui

apakah sesuai atau tidak dengan deskripsi yang diklaim oleh

pelaku usaha karena barang dan atau jasa mulai digunakan atau

mulai dinikmati.

2. Hak dan kewajiban konsumen

Pemerintah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen berupaya untuk menciptakan iklim

usaha yang sehat dengan menyeimbangkan kedudukan antara konsumen

dengan pelaku usaha. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat

sebelumnya konsumen cenderung berada dalam posisi yang lemah,

konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis yang digunakan untuk meraup

keuntungan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi,

cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan

konsumen, karena itu konsumen harus dilindungi salah satunya dengan

26

mengakomodir hak dan kewajiban konsumen kedalam suatu bentuk

peraturan yang bersifat mengikat.

Berkaitan dengan hak-hak konsumen, sebelum diundangkannya

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

telah ada pengelompokkan mengenai hak dasar konsumen. Pada tahun

1962 misalnya pengelompokkan hak-hak konsumen dikemukakan oleh

Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, yaitu :7

a. The right to safe product;

b. The right to be informed about product;

c. The right to definite choices in selecting products;

d. The right to be heard regarding consumer interest.

Hak-hak konsumen kemudian juga diatur dalam Resolusi PBB

Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines

for Consumer) merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu

dilindungi, meliputi :

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan

dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial

konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat

sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau

organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan

kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya

dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut

kepentingan mereka.

7 Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010. hal. 32.

27

Kedua pengelompokkan hak-hak konsumen diatas sebagian besar

nampak menjadi inspirasi dalam penyusunan Pasal 4 Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan

barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang

dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Salah satu hak konsumen yang penting yaitu hak atas informasi

yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau

jasa sehingga pelaku usaha berkewajiban untuk mencantumkan informasi

yang benar pada setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen.

Konsumen sebelum menentukan pilihan untuk mengkonsumsi suatu

barang dan/atau jasa tentu akan mencari informasi mengenai barang dan

atau jasa tersebut. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai

mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia informasi dapat diartikan :

a. Penerangan;

28

b. Keterangan; pemberitahuan; kabar atau berita (tentang);

c. Keseluruhan makna yang menunjang amanat, telah terlihat

didalam bagian-bagian amanat itu.

Menurut Jogiyanto HM., informasi yaitu :

“Hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna

dan lebih berarti bagi penerimanya yang menggambarkan suatu

kejadian-kejadian (event) yang nyata (fact) yang digunakan untuk

pengambilan keputusan.”8

Pada saat ini konsumen membutuhkan banyak informasi yang lebih

relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat ini

:9

a. Terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja

penjualnya;

b. Daya beli konsumen makin meningkat;

c. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran sehingga

belum banyak diketahui semua orang;

d. Model-model produk cepat berubah;

e. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka

akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau

penjual.

Hak untuk memperoleh informasi ini dimaksudkan agar konsumen

dapat memperoleh gambaran tentang suatu produk yang akan mereka

konsumsi apakah sudah sesuai dengan kebutuhannya serta menghindari

terjadinya kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.

Kesalahan dalam pemberian informasi dapat juga merupakan salah satu

8 https://www.academia.edu/5524982/Definisi-Definisi_Informasi, diakses

tanggal 1 Januari 2015. 9 Suyadi, Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum

Univesitas Jenderal Soedirman. 2007. hal. 88.

29

bentuk cacat produk, sehingga hak atas informasi ini sangat penting.

Pemenuhan hak ini akan menguntungkan konsumen dan pelaku usaha,

bagi konsumen akan meningkatkan efisiensi dalam memilih produk serta

meningkatkan kesetiaanya terhadap produk tertentu sehingga akan

memberikan keuntungan bagi perusahaan yang menghasilkan produk

tersebut.

“Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya

adalah mengenai manfaat kegunaan produk; efek samping atas

penggunaan produk; tanggal kadaluwarsa; serta identitas produsen

dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik

secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan

mencantumkan pada label yang melekat ada kemasan produk,

maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik

melalui media cetak maupun media elektronik”.10

Informasi tentang barang atau jasa konsumen memegang peranan

penting. Informasi yang benar dan bertanggung jawab merupakan

kebutuhan pokok konsumen sebelum konsumen itu dapat mengambil

keputusan untuk mengadakan atau menunda atau tidak mengadakan

transaksi bagi kebutuhan hidupnya. Informasi barang atau jasa dapat

diperoleh dari berbagai sumber dan dalam berbagai bentuk.

Informasi dapat berbentuk :11

a. Label atau etiket produk;

b. Kegiatan meningkatkan penjualan dengan menggunakan

pamflet, brosur, leaflet, selembaran dan sebagainya;

c. Kegiatan hubungan kemasyarakatan, misalnya pelepasan

produk (ekspor) perdana;

d. Periklanan atau lain-lain dengan cara memperkenalkan produk

pada konsumen, mempertahankan dan/atau meningkatkannya.

10

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. hal 41. 11

Suyadi, Op.cit., hal. 90.

30

Informasi harus diberikan secara sama bagi semua konsumen

dalam perdagangan yang sangat mengandalkan informasi. Terlebih dengan

sudah semakin berkembangnya teknologi maka semakin banyak dan

mudah akses yang dapat digunakan masyarakat konsumen dalam rangka

untuk memenuhi kebutuhan akan informasi mengenai barang dan jasa

yang akan mereka konsumsi. Kemudahan dalam memperoleh informasi ini

dalam praktiknya tidak didukung dengan kemampuan dan kesempatan

yang sama pada setiap konsumen yang disebabkan oleh beberapa faktor

sehingga tidak semua informasi dapat sampai kepada konsumen.

“Di masyarakat telah dikenal istilah consumer ignorance, yaitu

ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan

teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan sehingga dapat

saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha.”

Berkaitan dengan kewajiban konsumen disebutkan dalam Pasal 5

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

yaitu:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi

keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Selain kewajiban konsumen yang diatur dalam Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, untuk memberikan

31

pengetahuan yang lebih luas Zumrotin menyatakan bahwa kewajiban yang

harus dipenuhi untuk memperkuat posisi konsumen adalah :12

a. Kewajiban bersikap kritis

Dalam setiap melakukan aktifitas berkonsumsi konsumen

berkewajiban menggunakan daya kritisnya, mendahulukan

“kebutuhan” dan tidak atas dasar “keinginan”. Menggunakan

daya pikir sehingga tidak mudah terpengaruh oleh iklan dan

tidak percaya begitu saja tentang kehebatan suatu produk yang

disampaikan pengusaha.

b. Mayoritas konsumen kita kurang aktif untuk menambah

pengetahuan tentang barang. Padahal mempunyai pengetahuan

tentang barang sangat membantu konsumen dalam memilih,

memperlakukan atau memelihara barang yang dikonsumsinya.

c. Kewajiban menggalang solidaritas antar konsumen

Apabila solidaritas antar konsumen dapat dikoordinasikan

dengan baik, akan mewujudkan suatu kekuatan yang akan

diperhitungkan oleh pengusaha. Kekuatan konsumen yang solid

sangat potensial untuk memperbaiki nasib konsumen. Sayang

sekali masih banyak masyarakat kita yang tidak tahu hak dan

kewajiban yang mereka miliki, apalagi mengamalkannya.

Namun secara bertahap suatu masyarakat akan berubah sikap,

sejalan dengan perkembangan ekonomi dan pendidikan mereka.

3. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen

Hukum tumbuh dan berkembang didalam masyarakat seiring

dengan perkembangan zaman. Terciptanya hukum karena perlunya

pengaturan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh

masyarakat baik itu hubungan antar sesama individu maupun

hubungannya dengan negara. Keadaan masyarakat yang terus berubah

mengharuskan hukum mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

agar tercapai suatu keadaan yang tertib. Hukum yang awalnya berupa

suatu kebiasaan kemudian mulai dijadikan sebagai suatu aturan yang

12

Suyadi, Op,cit., hal. 78.

32

bersifat memaksa dan mempunyai sanksi dengan mengkodivikasi hukum

tersebut. Harapannya agar kebiasaan yang telah dikodivikasi memberikan

suatu kepastian kepada masyarakat. Definisi hukum menurut beberapa

sarjana hukum :13

1. E. Utrech

Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata

tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh

anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karenanya

pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan

tindakan dari pemerintah masyarakat itu.

2. J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto

Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang

dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang

menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan

masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi

berakibat diambilnya tindakan hukum.

3. S.M Amin

Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari

norma-norma dan sanksi-sanksi, serta tujuan hukum adalah

mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia.

Beberapa definisi di atas menyimpulkan bahwa hukum merupakan

sekumpulan peraturan yang bersifat memaksa yang ditujukan untuk

mengatur tingkah laku manusia yang apabila dilanggar maka akan

diambil suatu tindakan hukum berupa pemberian sanksi bagi

pelanggarnya.

Masyarakat sebagai subyek hukum, dengan adanya hukum

disamping mendapatkan suatu kepastian juga memperoleh suatu

perlindungan terhadap setiap perbuatan mereka yang memang perlu

diakomodir dengan adanya jaminan perlindungan hukum karena

13

CST. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia (Cetakan Ke-6), Jakarta: Balai

Pustaka, 1997. hal. 38.

33

perlindungan hukum ini merupakan salah satu hak setiap warga negara.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada

subyek hukum melalui seperangkat peraturan baik yang tertulis maupun

lisan, bersifat preventif maupun represif. Pemerintah sebagai pemegang

kekuasaan dituntut agar dapat menjalankan kewajibannya berkaitan

dengan memberikan perlindungan hukum kepada semua warga negara

tanpa diskriminasi.

Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen sebenarnya

merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

Az. Nasution memberikan batasan terhadap Hukum Konsumen dan

Hukum Perlindungan Konsumen yaitu :

Hukum Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah

yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan

produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya

dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan Hukum Perlindungan

Konsumen merupakan bagian khusus dari Hukum Konsumen yaitu

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan

melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan

dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara

penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.14

Perlindungan yang diberikan kepada konsumen, secara umum

dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :15

1. Perlindungan Preventif

Perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat

konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau

memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai dari

melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang

dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk

14

A.Z. Nasution, Op.cit, hal. 22. 15

http://putriagustia.blogspot.com/2012/05/perlindungankonsumen.html. diakses

tanggal 8 Desember 2014.

34

membeli atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan

jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut.

2. Perlindungan Kuratif

Perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat

dari penggunaan atau pemanfaatan barang dan atau jasa tertentu

oleh konsumen. Perlu diperhatikan bahwa konsumen belum

tentu dan tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan

pembeli barang dan atau jasa, meskipun pada umumnya

konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau jasa.

Seseorang dikatakan kosumen, cukup jika orang tersebut adalah

pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau

jasa, tidak perlu ia mendapatkannya melalui pembelian atau

pemberian.

Berkaitan dengan perlindungan hukum yang khususnya ditujukan

untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen yang kedudukannya

di Indonesia masih dianggap lemah, maka pemerintah pada tanggal 20

April 1999 mengundangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Menurut hasil penelitian Badan dan Pembinaan

Hukum Nasional (BPHN), sebagaimana dikutip N.H.T. Siahaan, ada 5

(lima) faktor yang melemahkan konsumen antara lain :16

1) Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-

haknya

2) Belum terkondisikannya “Masyarakat Konsumen” karena

memang sebagian masyarakat ada yang belum mengetahui

tentang apa saja hak-haknya dan kemana hak-hanya akan dapat

disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari

standar barang dan atau jasa yang sewajarnya

3) Belum terkondisikannya masyarakat konsumen menjadi

masyarakat yang mempunyai kemauan untuk menuntut hak-

haknya

4) Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu yang

berkepanjangan

5) Posisi konsumen yang selalu lemah.

16

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen yang Dirugikan, Visimedia, Jakarta,

2008, hal. 30.

35

Secara umum dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen akan menciptakan perlindungan hukum

yang mengandung unsur kepastian, sehingga lebih mendidik konsumen

agar kritis terhadap perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang merugikan.

Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, berkaitan dengan Perlindungan Konsumen

telah disinggung dalam GBHN 1993 melalui TAP MPR Nomor

II/MPR/1993, Bab IV huruf F butir 4a yang menyatakan bahwa :

“…pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus

barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi

dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi

kepentingan konsumen…”

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen merumuskan :

“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada

konsumen”.

Hukum perlindungan konsumen berisi materi yang bertujuan untuk

melindungi kepentingan konsumen, tetapi perlindungan ini tidak hanya

terdapat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

“Perlindungan Konsumen itu pada dasarnya bukan merupakan

awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan

konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-Undang

tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa Undang-

36

Undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen.

Penjelasan resmi Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

juga menyatakan bahwa di kemudian hari masih terbuka

kemungkinan terbentuknya Undang-Undang baru yang pada

dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen.

Dengan demikian, Undang-Undang tentang Perlindungan

Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan

memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan

konsumen”.17

Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen diharapkan agar dapat terciptanya kegiatan usaha

perdagangan yang sehat, tidak hanya bagi pelaku usaha tapi juga bagi

konsumen selaku pengguna barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh

pelaku usaha. Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa perlindungan konsumen

bertujuan :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian

konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang

dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang

mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan

informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggungjawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen memberikan

keseimbangan antara kedudukan pelaku usaha dan konsumen dengan

17

Suyadi, Op.cit, hal. 6

37

diuraikannya apa saja hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hal

ini dimaksudkan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pada masing-

masing pihak disamping itu juga sebagai sarana untuk lebih memberikan

kepastian hukum.

Usaha-usaha perlindungan terhadap konsumen tidak hanya

dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat dan lembaga-

lembaga yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pemerintah

bertanggung jawab dalam melakukan pembinaan dan pengawasan

sedangkan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat hanya melakukan pengawasan.

Tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pembinaan

penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk

memberdayakan konsumen agar mendapat hak-haknya, sementara

itu tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pengawasan

penyelenggaraan perlindungan konsumen juga menjadi bagian

yang penting dalam upaya membangun kegiatan usaha yang positif

dan dinamis, sehingga hak-hak konsumen tetap bisa diperhatikan

oleh para pelaku usaha.18

Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan

perlindungan konsumen diatur dalam Bab VII UUPK yang terdiri dari dua

bagian :

a. Bagian pertama tentang Pembinaan yang diatur dalam Pasal 29

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

18

Abdul Halim Barkatullah, Op.cit, hal. 63.

38

b. Bagian kedua tentang Pengawasan yang diatur dalam Pasal 30

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah atas penyelenggaraan

perlindungan konsumen dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis

terkait. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang

dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian

dan/atau survey. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang

risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan

dan lain-lain yang diisyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Hasil

pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat

dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis. Apabila hasil

pengawasan ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri

teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

B. Pelaku Usaha

1. Pengertian pelaku usaha

Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen :

39

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan

usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian di atas adalah

perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor,

dan lain-lain baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum negara Republik Indonesia. Pengertian pelaku usaha

menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen sangat luas yaitu bukan hanya pelaku usaha, melainkan

hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara pelaku usaha dan

konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara).

Pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki persamaan dengan

pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara

Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah :

“pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku;

pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya

sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namaya, tanda

pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan

produk asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan

maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan

(leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan;

pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir

tidak dapat ditentukan”.19

19

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., hal 9.

40

Pengertian pelaku usaha yang demikian luasnya memudahkan

konsumen untuk menuntut ganti rugi apabila dirugikan akibat produk

yang mereka konsumsi, karena banyaknya pihak yang dapat digugat.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

seharusnya lebih memberikan rincian mengenai pengertian pelaku usaha

seperti yang dikemukakan dalam Product Liability Directive (selanjutnya

disebut directive) yang diterapkan di Eropa, sehingga konsumen dapat

lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan

tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk. Directive

digunakan sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa

(MEE) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan

Konsumen. Pasal 3 Directive menentukan bahwa :20

a. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap

bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap

orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda

pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai

produsen;

b. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang

yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau

untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha

perdagangannya dalam masyarakat Eropa, akan dipandang

sebagai produsen dalam arti directive ini;

c. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya,

maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat

sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang

menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama

mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan

produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus

barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan

tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana yang

20

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di

Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2013, hal. 21.

41

dimaksud dalam ayat (2), sekalipun nama produsen

dicantumkan.

2. Hak dan kewajiban pelaku usaha

Setiap pihak dalam melakukan hubungan hukum mempunyai hak

dan kewajibannya masing-masing. Hak dan kewajiban tersebut antara

yang satu dengan yang lain tidak boleh saling merugikan. Demi

kelancaran hubungan hukum tersebut perlu diterapkan ketentuan-

ketentuan yang berlaku agar hukum tersebut dapat berjalan dengan tertib,

lancar, dan teratur serta mempunyai kepastian hukum.

Pasal 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa hak pelaku usaha yaitu :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara

hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh

barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Kewajiban pelaku usaha dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi

penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif;

42

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang

dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,

dan/ata mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi

jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau

yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pamakaian dan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak

sesuai dengan perjanjian.

3. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

Selain mengatur mengenai hak dan kewajiban bagi pelaku usaha,

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga

mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang bagai pelaku

usaha. Perbuatan yang dilarang ini dimuat dalam Bab IV Pasal 8 sampai

dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku

usaha yaitu antara lain larangan dalam memproduksi atau

memperdagangkan, larangan dalam menawarkan atau mempromosikan

atau mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral atau lelang,

dan larangan dalam ketentuan periklanan. Berkaitan dengan promosi atau

iklan terhadap suatu barang dan/atau jasa disebutkan dalam Pasal 9 ayat

(1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau

seolah-olah :

43

a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan

harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode

tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau

memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu,

keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

d. Barang dan/atau jasa tersebut telah dibuat oleh perusahaan

yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h. Barang tersebut berasal daerah tertentu;

i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang

dan/atau jasa lain;

j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak

berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan

tanpa keterangan yang lengkap;

k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang

dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang

menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan

yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :

a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu

barang dan/atau jasa;

d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang

ditawarkan;

e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Adanya pasal tersendiri yang mengatur mengenai perbuatan yang

dilarang bagi pelaku usaha bertujuan untuk memberikan perlindungan

hukum bagi konsumen serta meminimalisir terjadinya pelanggaran

terhadap hak-hak konsumen dan juga untuk menghindari adanya

44

persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha. Selain itu dengan

adanya pengelompokkan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku

usaha ini akan memudahkan dalam penerapan hukumnya apabila

dikemudian hari pelaku usaha melakukan perbuatan-perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang.

Menurut beberapa ahli :

“penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori,

metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk

suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau

golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya”.21

Penerapan hukum adalah :

“Pelaksanaan norma hukum dalam kasus/putusan/tindakan, atau

hukum dalam keadaan konkrit (Law in concreto; Living law)”.22

Hakim melalui putusannya menerapkan hukum sesuai dengan

unsur-unsur dalam pasal-pasal yang telah dilanggar oleh pelaku.

Pelanggaran terhadap suatu pasal harus memenuhi seluruh unsur yang

dimaksudkan dalam pasal tersebut agar suatu perbuatan dapat dikatakan

sebagai pelanggaran. Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian

ini mengkaji mengenai penerapan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10

huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Pelaku usaha terbukti secara sah dan meyakinkan telah

21 http://internetsebagaisumberbelajar.blogspot.com/2010/07/pengertianpenerapan

.html. diakses tanggal 10 November 2014.

22

Muhammad Joni, 2003, Efektivitas Penerapan Hukum, http://www. Advokat

muhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapan-hukum.html

diakses tanggal 10 November 2014.

45

melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf K dan Pasal 10 huruf c

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

yaitu menawarkan sesuatu janji atau kondisi yang tidak benar dan

menyesatkan. Putusan Mahkamah Agung yang sudah inkracht ini

memutus bahwa pelaku usaha telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana

yang disebutkan dalam pasal tersebut yang dijabarkan pada alasan-alasan

dan pertimbangan hakim.

4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi tanggung jawab

yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan usahanya tidak jarang terjadi kelalaian sehingga

menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pelaku usaha sebagai penghasil

produk tersebut yang seyogyanya mengetahui mengenai setiap proses

produksi hingga produk siap untuk dipasarkan, menjadikannya perlu

dibebani suatu pertanggung jawaban pada setiap produk yang telah

mereka pasarkan.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut :23

a. Kesalahan (liability based on fault)

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur

kesalahan yang dilakukanya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang

lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum

mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu adanya

perbuatan; adanya unsur kesalahan; adanya kerugian yang

23

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,

Jakarta, 2008. hal. 92.

46

diderita; adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan

kerugian. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang

bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum” tidak hanya

bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan

kesusilaan dalam masyarakat.

b. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liabilty)

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap

bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai

ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jika diterapkan dalam

kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan,

karena yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu

ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tentu saja konsumen

tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan.

Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk

digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan

kesalahan si terguat.

c. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of

nonliability)

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk

selalu bertanggung jawab. Prinsip praduga untuk tidak selalu

bertanggung jawab ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi

konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian

biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

d. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan

tidak sebagai faktor yang menentukan, namun ada

pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk

dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force

majeur.

e. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat

disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen

bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak

menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk

membatasi maksimal tanggung jawabnya.

Shidarta mengatakan bahwa :

“Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat

penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus

pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam

menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa

47

jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak

terkait”.24

Tanggung jawab pelaku usaha timbul karena adanya hubungan

antara pelaku usaha dengan konsumen. Pelaku usaha dapat dikenakan

pertanggungjawaban apabila barang yang dibeli dan telah dikonsumsi

mengakibatkan timbulnya kerugian bagi konsumen.

Agnes M. Toar mendefinisikan tanggung jawab pelaku usaha

(product liability) sebagai :

“tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke

dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian

karena cacat yang melekat pada produk tersebut”.25

Selanjutnya, definisi tersebut dapat dijabarkan atas bagian-bagian

sebagai berikut :26

a. Tanggung jawab meliputi baik tanggung jawab

kontraktual/berdasarkan suatu perjanjian, maupun tanggung

jawab perundang-undangan/berdasarkan perbuatan melanggar

hukum;

b. Para produsen; termasuk ini adalah, produsen/pembuat, grossir

(whole-saler), leveransir dan pengecer (detailer) professional;

c. Produk; semua benda bergerak atau tidak bergerak/tetap;

d. Yang telah dibawa produsen ke dalam peredaran; yang telah

ada dalam peredaran karena tindakan produsen;

e. Menimbulkan kerugian; segala kerugian yang

ditimbulkan/disebabkan oleh produk dan kerusakan atau

musnahnya produk; dan

f. Cacat yang melekat pada produk; kekurangan pada produk

yang menjadi penyebab timbulnya kerugian.

Hukum perlindungan konsumen mengenal adanya istilah tanggung

jawab produk. Tanggung jawab produk merupakan terjemahan dari

24

Shidarta, op. cit., hal. 59. 25

Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 65. 26

Ahmadi Miru, Op.cit., hal. 31.

48

bahasa Belanda “verantwoordelijkheid” yang artinya adalah tanggung

jawab produsen, pengolah atau “non manufacturing seller” berhubungan

dengan kerusakan terhadap orang atau harta pihak pembeli yang

disebabkan oleh produk yang telah dijual.

Indonesia sebagai negara yang sedang menuju pada era

industrialisasi, perlu memberikan perhatian khusus mengenai tanggung

jawab pelaku usaha. Masalah ini berkaitan erat dengan persaingan dalam

era perdagangan bebas maupun dengan makin meningkatnya perhatian

terhadap perlindungan konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen sebagai bukti kongkrit dari bentuk

perhatian pemerintah melindungi konsumen telah mengatur tentang

tanggung jawab pelaku usaha. Tanggung jawab yang dimaksud dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

adalah tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pelaku

usaha sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen. Tanggung jawab tersebut adalah

“minimal” artinya tanggung jawab dari pelaku usaha tidak sekedar yang

ada dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen saja tetapi dapat meliputi kewajiban-kewajiban yang

seharusnya dilakukan sebagaimana mestinya sebagai pelaku usaha, dapat

berdasarkan undang-undang lain, ketentuan-ketentuan lain yang pada

akhirnya tanggung jawab ini akan berdampak positif kepada konsumen.

49

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha dalam bab

tersendiri yaitu Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Berkaitan

dengan prinsip tanggung jawab, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen menggunakan prinsip semi-strict

liability27

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 tentang Tanggung

Jawab Pelaku Usaha, dijelaskan sebagai berikut :

a. Pelaku usaha bertangung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan.

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa

yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan

dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7

(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan

pidana berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya

unsur kesalahan.

e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa

kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah prinsip

tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang

menentukan, namun ada pengecualian-pengecualian yang

memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab. Pada strict

liability mengharuskan adanya hubungan kausal antara subjek yang

bertanggung jawab dengan kesalahannya.

27

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal. 106

50

Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia meliputi 3

(tiga) bagian penting. Pertama, faktor-faktor eksternal hukum yang

akan mempengaruhi perkembangan dan pembaruan hukum

perlindungan konsumen termasuk penerapan prinsip tanggung

jawab mutlak. Kedua, faktor internal sistem hukum, yaitu elemen

struktur dan budaya hukum dalam rangka penerapan prinsip

tanggung jawab mutlak di Indonesia. Ketiga, adalah ruang lingkup

materi atau subtansi dari prinsip tanggung jawab mutlak yang perlu

diatur dalam undang-undang.28

Pada prinsipnya tanggung jawab pelaku usaha yang diatur dalam

Bab IV Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ini dibagi dalam 4 (empat) bagian :29

a. Bagian pertama dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

mengatur tentang tanggung jawab. Pelaku usaha yang

bertanggung jawab berdasarkan pasal-pasal di atas adalah :

1) Pelaku usaha dalam bidang perdagangan;

2) Pelaku usaha dalam bidang jasa;

3) Pelaku usaha periklanan;

4) Importir barang;

5) Importir jasa.

b. Bagian kedua dari Pasal 23 sampai dengan Pasal 26 Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

disamping mengatur tanggung jawab juga mengatur

perlindungan bagi konsumen untuk menuntut ganti rugi atau

mengajukan gugatan apabila dirugikan.

c. Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam

kasus pidana (Pasal 22 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen) dan pembuktian terhadap

ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan (Pasal 28

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen).

d. Pembebasan tanggung jawab pelaku usaha.

Tujuan tanggung jawab pelaku usaha ini agar dalam memproduksi

barang mereka lebih berhati-hati baik dalam menjaga kualitas produk

28

Ibid, hal. 108. 29

Suyadi, Op.cit., hal. 43

51

yang dihasilkan dan dalam penggunaan bahan sehingga tercapai produk

yang diinginkan dan tidak merugikan konsumen.

C. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen

Pada dasarnya hukum mengatur suatu hubungan antara individu

yang satu dengan individu yang lain, antara individu dengan masyarakat,

dan antara masyarakat dengan masyarakat. Hubungan hukum adalah sebuah

perikatan antara dua pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dipihak lain

ada kewajiban. Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa perikatan lahir

dari perjanjian atau dari Undang-Undang. Berkaitan dengan penelitian ini

maka akan dibahas mengenai hubungan hukum antara pelaku usaha dengan

konsumen berupa perikatan yang lahir dari perjanjian.

Menurut J.Satrio :

“perjanjian secara umum dapat mempunyai arti yang luas dan

sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian

yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau

diangap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk didalamnya

perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Dalam arti sempit

perjanjian disini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan

hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang

dimaksud oleh Buku III BW”.30

Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :

“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadarp satu orang lain atau

lebih”.

Pengertian diatas menyimpulkan bahwa perjanjian merupakan

tindakan hukum yang dilakukan dua pihak atau lebih.

30

J.Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 23.

52

Perjanjian harus memenuhi syarat sahya suatu perjanjian agar

berlaku secara sah dan mengikat para pihak. Pasal 1320 KUHPerdata

mengatur sahnya perjanjian sebagai berikut :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Mengenai jenis-jenis perjanjian, seperti yang disebutkan dalam

Pasal 1319 KUHPerdata bahwa ada dua kelompok perjanjian, yaitu

perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama. Perjanjian bernama adalah

perjanjian yang oleh pembentuk Undang-Undang diberi nama khusus dan

ada pengaturannya didalam KUHPerdata.

“Didalam KUHPerdata diatur sebanyak 15 macam perjanjian yaitu

perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian sewa

menyewa, perjanjian melakukan pekerjaan atau perjanjian kerja

atau perjanjian perburuhan, perjanjian perseroan atau maatschap

atau perjanjian perserikatan perdata atau perjanjian persekutuan,

perjanjian perkumpulan, persetujuan pemberian (hibah), perjanjian

penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam

mengganti, perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, perjanjian

untung-untungan, perjanjian pemberian kuasa (last geving),

perjanjian penanggungan (borgtocht atau guarantee), dan

perjanjian perdamaian”.31

Jenis perjanjian tak bernama tidak diatur dalam KUHPerdata dan

pada Undang-Undang tidak dikenal suatu nama tertentu, namun dalam

kehidupan sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu misalnya

perjanjian sewa beli, perjanjian leasing, perjanjian kredit, dan sebagainya.

31

Nur Wakhid, Hukum Perjanjian, Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Sedirman, 2012. hal. 65.

53

Perjanjian tak bernama ini timbul karena dalam perkembangannya

KUHPerdata tidak memenuhi kebutuhan masyarakat berkaitan dengan

transaksi ekonomi dan perdagangan, juga karena dianutnya asas kebebasan

berkontrak didalam KUHPerdata.

Dilihat dari sekian banyak jenis perjanjian, yang memiliki

hubungan dengan penelitian ini yaitu perjanjian jual beli. Pengaturan

mengenai perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 KUHPerdata.

Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan

pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., :

“perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara

pihak penjual dan pihak pembeli”.32

Mengenai pihak dalam perjanjian jual beli, menurut Wiryono

Prodjodikoro ada 2 macam subyek :

“yang pertama dapat berupa individu, yaitu : penjual dan pembeli,

dan yang kedua adalah seorang dapat berupa suatu badan hukum.

Kedua subyek hukum tersebut dalam suatu perjanjian jual beli,

masing-masing mempunyai hak dan kewajiban”.

Pengertian diatas menyimpulkan bahwa unsur pokok dari jual beli

adalah barang dan harga dengan penjual dan pembeli sebagai pihak-

32

Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta:

Sinar Grafika, 2003, hlm. 49.

54

pihaknya. Pihak pada perjanjian jual beli dalam pemenuhan prestasinya

masing-masing diberi hak dan kewajiban oleh pembentuk undang-undang.

Secara umum penjual berhak menerima harga barang yang telah dijualnya

dari pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak

dan kewajiban penjual yaitu menyerahkan barang yang dijual kepada

pembeli. Pihak pembeli berhak menerima barang yang telah dibelinya dan

pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang yang dibeli kepada

penjual.

Selain kewajiban penjual yang secara umum disebutkan diatas,

menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata penjual memiliki 3 (tiga)

kewajiban pokok mulai dari sejak jual-beli terjadi yaitu :33

1. Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan

kepada pembeli hingga saat penyerahannya.

2. Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telah

ditentukan, atau jika telah ditentukan saatnya, atas permintaan

pembeli.

3. Menanggung kebendaan yang dijual tersebut.

Kewajiban penjual yang diatur dalam Pasal 1474 KUHPerdata,

menyebutkan bahwa penjual mempunyai 2 (dua) kewajiban utama yaitu

menyerahkan suatu barang dan menanggungnya.

Berkaitan dengan pengaturan mengenai hak dan kewajiban pembeli,

menurut Pasal 1513 KUHPerdata kewajiban pembeli adalah membayar harga

pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut

perjanjian. Pasal 1515 KUHPerdata menambahkan bahwa meskipun pembeli

tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan membayar bunga dari harga

33 Ibid, hal. 127.

55

pembelian, jika barang yang dijual dan diserahkan memberi hasil atau lain

pendapatan. Hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang telah

dibelinya dari penjual. Penyerahan oleh penjual kepada pembeli menurut

Pasal 1459 KUHPerdata merupakan cara peralihan hak milik dari kebendaan

yang dijual tersebut.

Berdasarkan penjelasan pasal-pasal diatas dapat diketahui bahwa

kewajiban pihak pembeli merupakan hak dari pihak penjual dan sebaliknya

bahwa kewajiban dari pihak penjual merupakan hak dari pihak pembeli.

Kegiatan jual beli pada prakteknya tidak selamanya dapat berjalan

sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Baik penjual maupun pembeli tidak

jarang mereka melakukan wanprestasi dengan alasan apapun. Berkaitan

dengan hal ini maka perlu adanya suatu pertanggungjawaban apabila terjadi

wanprestasi. Secara umum wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu

pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak

menurut selayaknya dengan yang diperjanjikan.

Wanprestasi seorang debitur (si berutang) dapat berupa :34

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya.

Akibat wanprestasi bagi debitur yaitu ia berkewajiban untuk

bertanggungjawab dalam bentuk pemberian ganti rugi. Ganti rugi yang

34

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.

60.

56

diberikan senilai dengan kerugian-kerugian nyata yang ditimbulkan akibat

terjadinya wanprestasi. Mengenai penuntutan ganti rugi telah diatur oleh

Undang-Undang dengan tujuan untuk memberikan batasan terhadap apa saja

yang dapat dituntut sebagai ganti rugi.

D. Iklan

1. Pengertian iklan

Salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan informasi

mengenai suatu produk kepada konsumen yaitu melalui iklan. Sebagai

tahapan pratransaksi iklan dapat digunakan sebagai sarana pemenuhan

hak konsumen untuk memperoleh informasi. Iklan dapat digunakan

sebagai alat untuk berkomunikasi kepada masyarakat konsumen

pengguna barang dan jasa dalam menyampaikan informasi mengenai

produk barang maupun jasa.

Menurut Zumrotin K Susilo :

“Iklan atau sering juga disebut dengan pariwara adalah pengenalan

atau penyebarluasan informasi suatu barang atau jasa untuk

menarik minat beli konsumen terhadap barang atau jasa yang akan

dan sedang diperdagangkan melalui media cetak atau elektronik”.35

Etika Pariwara Indonesia/EPI (Kode Etik Periklanan Indonesia)

sebagai self regulation dari pelaku usaha Periklanan Indonesia dalam Bab

II Pedoman huruf D memberi definisi tentang iklan, yaitu :

35

Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan yang

Menyesatkan, PT. Ghalia Indonesia, Bogor: 2010, hal. 19.

57

“Iklan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk yang

disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang

dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat”.

Menurut William Wells, John Burnet, dan Sandra Moriarty,

terdapat 6 unsur iklan yaitu : 36

1. Iklan merupakan suatu bentuk komunikasi dengan

pembayaran, walaupun dalam beberapa bentuk iklan tertentu

dipergunakan sebagai iklan layanan masyarakat untuk

kepentingan sosial;

2. Sponsor yang menjadi pemrakarsa iklan tersebut dapat

diidentifikasi;

3. Kebanyakan iklan berupaya untuk membujuk dan

mempengaruhi konsumen untuk melakukan sesuatu, atau

meningkatkan perhatian konsumen terhadap suatu produk atau

perusahaan;

4. Pesan-pesan dalam iklan disampaikan dengan mempergunakan

berbagai media massa yang berbeda;

5. Dapat menjangkau konsumen potensial yang cukup luas;

6. Iklan bersifat non personal karena mempergunakan bentuk

komunikasi massal dalam penyampaian pesan.

Menurut Sudarto dalam tulisannya yang berjudul “Periklanan

dalam Surat Kabar Indonesia” mengungkapkan bahwa :

“iklan adalah suatu komunikasi yang harus memenuhi ke empat hal

berikut : komunikasi tidak langsung, melalui media komunikasi

masa, dibayar berdasarkan tarif tertentu, dan diketahui secara jelas

sponsor atau pemasang iklannya.” 37

Beberapa pengertian iklan diatas menyimpulkan bahwa fungsi dan

peranan iklan sebagai salah satu media pemasaran untuk

memperkenalkan, mempengaruhi, dan membujuk konsumen untuk

36

Ibid. hal. 100. 37

Sudarto dalam Alo Liliweri, 1996, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Balai

Citra Aditya Bakti, Bandung. hal. 72.

58

membeli barang dan/atau jasa yang diiklankan dengan mempergunakan

berbagai media periklanan.

Berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan periklanan terlihat adanya

beberapa unsur, yaitu sebagai berikut :38

1. Pelaku usaha, yaitu pemimpin perusahaan atau pengusaha yang

memproduksi suatu produk.

2. Konsumen, yaitu pemakai/pembeli suatu produk.

3. Produk (barang dan/atau jasa) yang diproduksi dan dianjurkan

pada konsumen agar mau membelinya.

4. Message, yaitu pesan-pesan anjuran tentang suatu produk

kepada konsumen.

5. Efek, yaitu perubahan tingkah laku konsumen, dimana ia

menerima anjuran pesan-pesan iklan yang mengakibatkan ia

membeli produk.

Di Indonesia saat ini memang belum ada pengaturan secara khusus

mengenai periklanan, namun ada beberapa peraturan yang didalamnya

menyinggung mengenai iklan antara lain dalam Undang-Undang No.32

Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang No.7 Tahun 1996

tentang Pangan, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, PP No. 69

Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, serta regulasi sendiri yang

merupakan produk dari asosiasi atau organisasi pelaku usaha yang

sejenis, yaitu kode etik periklanan Indonesia/etika pariwara Indonesia

(EPI).

Ketentuan mengenai periklanan secara umum telah ada tetapi

belum diatur secara khusus, namun dalam kenyataannya masih banyak

terdapat pelanggaran-pelanggaran oleh pelaku usaha yang merugikan

38

Dedi Harianto, Op.cit., hal. 101.

59

konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen pun telah mengatur mengenai larangan kegiatan pelaku usaha

dibidang periklanan. Pasal-pasal yang berkaitan dengan penelitian ini

yaitu Pasal 9 yang secara umum memuat mengenai larangan pelaku

usaha dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang

dan/atau jasa secara tidak benar dan Pasal 10 Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang secara umum

memuat bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa

yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,

mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak

benar atau menyesatkan.

Menurut Sutedjo Hadiwasito, ketua bidang hukum dan perundang-

undangan PPPI, terdapat enam faktor yang menyebabkan banyaknya

iklan yang melanggar EPI, yaitu :39

1. Tidak adanya kekuatan penuh dari tim penilai iklan;

2. Terjadinya bias antara konsep iklan dan hasil yang ditayangkan;

3. Pemerintah lambat dalam menindak iklan yang melanggar;

4. Gaya beriklan di Indonesia yang hanya menonjolkan kekuatan

penjualan;

5. Masih ada ketentuan yang kurang jelas (gray area) dalam buku

panduan beriklan;

6. Lemahnya daya kreatifitas pembuat iklan.

2. Iklan yang menyesatkan

Iklan yang menyesatkan dapat diartikan sebagai suatu berita yang

berisi informasi mengenai suatu barang dan atau jasa yang mendorong

dan membujuk konsumen yang dipasang didalam media massa seperti

39

Ibid. hal. 70.

60

surat kabar atau majalah, namun isi berita yang disajikan belum diketahui

kebenarannya sehingga dapat merugikan konsumen.

Adapun beberapa hal yang menjadi latar belakang perilaku pelaku

usaha membuat iklan-iklan menyesatkan, disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu :40

a. Belum terdapatnya peraturan khusus setingkat undang-undang

yang mengatur kegiatan periklanan

b. Budaya hukum konsumen di Indonesia yang belum mampu

bersikap kritis dalam mencermati berbagai bentuk pelanggaran

iklan

c. Terjadinya persaingan yang tidak sehat (unfair competition) di

antara sesama pelaku usaha dalam beriklan

d. Ketiadaan sanksi hukum yang tegas terhadap pelaku usaha

yang melakukan pelanggaran atas ketentuan iklan

e. Kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait serta tidak

berjalannya fungsi pengawasan.

Menurut Yusuf Shofie, iklan termasuk salah satu dari 6 (enam)

sebab potensial yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, yaitu

:41

1. Ketidaksesuaian iklan/informasi produk dengan kenyataan;

2. Produk tidak sesuai dengan standar ketentuan/peraturan

perundang-undangan;

3. Produk cacat meskipun masih dalam garansi atau belum

kedaluarsa;

4. Tingkat keamanan produk diinformasikan tidak secara

proporsional;

5. Sikap konsumtif konsumen;

6. Ketidaktahuan konsumen tentang penggunaan produk.

Walaupun iklan dapat merugikan konsumen, namun bagi banyak

pelaku usaha di Indonesia, iklan seolah-olah dianggap sebagai suatu alat

40

Ibid, hal. 264. 41

Ibid. hal. 6.

61

promosi yang tidak memiliki akibat hukum. Iklan yang dapat merugikan

konsumen dapat berupa :42

1. Bait advertising, adalah suatu iklan yang menarik, namun

penawaran yang disampaikan tidak jujur untuk menjual produk

karena pengiklan tidak bermaksud menjual barang yang

diiklankan. Tujuannya agar konsumen mengganti membeli

barang yang diiklankan dengan barang jualan lainnya yang

biasanya lebih mahal atau lebih menguntungkan pengiklan.

2. Blind advertising, adalah suatu iklan yang cenderung

membujuk konsumen untuk berhubungan dengan pengiklan,

namun tidak menyatakan tujuan utama iklan tersebut untuk

menjual barang atau jasa, dan tidak menyatakan identitas

pengiklan.

3. False advertising, adalah jika representasi tentang fakta dalam

iklan adalah salah, yang diharapkan untuk membujuk

pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian

tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan

kecurangan atau penipuan.

Sejauh ini belum ada pengertian secara khusus mengenai iklan

menyesatkan, sehingga berkaitan dengan iklan menyesatkan hanya dapat

diketahui dari beberapa pendapat ahli. Penjelasan lebih rinci diberikan

salah satunya oleh Sri Handayani yang menjelaskan bahwa iklan

menyesatkan tersebut meliputi :43

a. Iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas,

kuantitas, bahan, kegunaan dan harga, serta tarif, ketepatan

waktu dan jaminan;

b. Iklan yang memuat informasi tentang resiko pemakaian barang;

c. Iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian

barang;

d. Iklan yang mengekploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian

atau kegiatan seseorang;

e. Iklan yang melanggar etika periklanan;

f. Iklan yang melanggar peraturan tentang periklanan;

g. Iklan yang melanggar etika dan peraturan (tehnis) periklanan.

42

Ahmadi Miru, Op. cit., hal. 38. 43

Dedi Harianto, Op.cit., hal. 109.

62

Suatu iklan menyesatkan dapat diketahui telah menyesatkan

setelah suatu barang atau jasa tersebut digunakan. Disisi lain tidak ada

suatu patokan yang dapat digunakan oleh konsumen untuk menilai

apakah iklan itu menyesatkan atau tidak.

Ukuran penentuan informasi yang menyesatkan dalam iklan, dapat

dikemukakan standar ukuran dari The Federal Trade Commision

(FTC) yang menyatakan bahwa suatu iklan dapat dikatakan

mengandung representasi yang keliru, atau kurang lengkap

(ommision) berdasarkan adanya “fakta material”, yaitu fakta yang

penting bagi konsumen untuk dipergunakan sebagai panduan dalam

memutuskan untuk membeli atau mempergunakan suatu produk.

Iklan tersebut harus ditujukan khusus kepada konsumen tertentu

yang rasional. Konsumen tersebut, dalam memilih atau membeli

barang atau jasa yang dibutuhkan, benar-benar didasarkan atas

pertimbangan yang matang berdasarkan informasi yang

diterimanya melalui iklan.44

Mayoritas konsumen Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh

iklan-iklan yang beredar dimedia massa. Mereka cenderung tidak

mempertimbangkan mengenai kebenaran iklan tersebut. Konsumen

dituntut untuk lebih berhati-hati dalam mencermati informasi yang

disampikan melalui iklan, karena hingga saat ini masih saja ditemukan

pelaku usaha yang tidak jujur dan cenderung menjadikan konsumen

hanya sebagai objek. Keadaan yang demikian membutuhkan adanya

pengawasan lebih lanjut oleh pihak yang terkait didalamnya agar

membantu konsumen untuk lebih bijak dalam memahami setiap

penawaran melalui iklan.

Persaingan usaha yang semakin ketat mengharuskan pelaku usaha

yang tidak merata kemampuannya untuk lebih kreatif dan inovatif agar

44

Ibid, hal. 20.

63

lebih menarik minat konsumen atas produk mereka. Tuntutan yang

demikian tidak jarang menempatkan pelaku usaha dalam pilihan yang

sulit, termasuk melakukan praktik bisnis yang tidak jujur.

Guna melaksanakan pengawasan terhadap kebenaran muatan

informasi yang terdapat dalam suatu iklan, telah ditetapkan beberapa

standar kriteria penentuan iklan dalam beberapa peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia, seperti dalam Undang-Undang No.

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah

No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan beberapa

ketentuan yang bersifat administratif dari Menteri Kesehatan, Menteri

Komunikasi dan Informasi, maupun Badan Pengawasan Obat dan

Makanan (BPOM), serta dalam Etika Pariwara Indonesia sebagai kode

etik periklanan dari kalangan pelaku usaha periklanan.

Berdasarkan hal tersebut, dapat ditentukan beberapa bentuk praktik

penyesatan informasi yang terdapat dalam iklan, antara lain sebagai

berikut :45

a. Iklan yang mengelabui konsumen (misleading) mengenai

kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, harga, tarif, ketepatan

waktu, jaminan dan garansi barang dan/atau jasa.

b. Tidak memenuhi janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam

iklan.

c. Mendeskripsikan/memberikan informasi secara keliru, salah,

maupun tidak tepat (deceptive) mengenai barang dan/atau jasa.

d. Memberikan gambaran secara tidak lengkap (ommission)

mengenai informasi barang dan/atau jasa.

e. Memberikan informasi yang berlebihan (puffery) mengenai

kualitas, sifat, kegunaan, kemampuan barang dan/atau jasa.

45

Ibid, hal. 112.

64

f. Membuat perbandingan barang dan/atau jasa yang

menyesatkan konsumen.

g. Menawarkan barang dan/atau jasa dengan kondisi yang

menarik tetapi kemudian menawarkan barang dan/atau jasa lain

dengan kondisi yang lain pula (bait and switch advertising).

h. Menyebutkan apa yang dapat diharapkan dari suatu produk

tanpa menyinggung tentang apa yang tidak dapat diharapkan

(resiko/efek samping).

i. Memberikan kesaksian yang tidak benar (mempergunakan

seseorang yang ternyata bukan pemakai produk tersebut).

Mengenai iklan yang menyesatkan, Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan dalam Pasal 10 Bab

IV bahwa penyampaian iklan menyesatkan merupakan perbuatan yang

dilarang bagi pelaku usaha.

3. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap penyampaian iklan menyesatkan

Konsumen sebagai penerima langsung dampak negatif iklan

menyesatkan sudah sepatutnya mendapatkan pertanggungjawaban dari

pelaku usaha atas penyampaian iklan tersebut.

Secara garis besar, pertanggungjawaban itu sendiri muncul terkait

dengan dua hal, yaitu :46

a. Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai

dengan kenyataan yang sebenarnya;

b. Menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan/ atau media

periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik

periklanan.

Setiap aktivitas periklanan, dari proses pembuatan sampai

penayangan iklan tersebut di media elektronik maupun media cetak,

46

Ibid, hal. 199.

65

setidaknya ada beberapa pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut

dengan menjalankan fungsinya masing-masing, antara lain :47

a. Pengiklan, yaitu badan usaha yang memesan iklan dan

membayar biaya pembuatannya untuk promosi/pemasaran

produknya dengan menyampaikan pesan-pesan dan berbagai

informasi lainnya tentang produk tersebut kepada perusahaan

iklan;

b. Perusahaan periklanan, yaitu perusahaan atau biro iklan yang

merancang, membuat atau menciptakan iklan berdasarkan

pesan atau informasi yang disampaikan pengiklan kepadanya;

c. Media periklanan, yaitu media non elektronik (Koran, majalah,

dan seterusnya) atau media elektronik (seperti radio, televisi,

dan seterusnya) yang digunakan untuk menyiarkan dan/atau

menayangkan iklan-iklan tertentu.

Pihak yang paling bertanggung jawab mengenai muatan informasi

produk adalah pengiklan sebagai pihak penghasil barang dan/atau jasa.

Menyangkut daya kreativitas dalam pembuatan iklan merupakan

tanggung jawab perusahaan periklanan dan media iklan, karena

berdasarkan daya imajinasi mereka iklan dapat tampil lebih memikat dan

mampu mengundang perhatian konsumen.

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen mengatur mengenai kemungkinan untuk meminta

pertanggungjawaban para pihak pada kegiatan periklanan yang telah

disesuaikan dengan dua kemungkinan tersebut. Bagi pengiklan

dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai

berikut :

47

A.Z. Nasution, Op.cit., hal.9.

66

“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran nama baik dan/atau kerugian konsumen

akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan.”

Berkaitan dengan keharusan untuk bertanggung jawab bagi

perusahaan periklanan atau media iklan dimuat dalam Pasal 20 Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa :

“Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang

diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”.

Kerugian yang diderita konsumen setelah menggunakan atau

mengkonsumsi barang atau jasa yang diiklankan karena tidak adanya

kesesuaian antara informasi yang disampaikan dengan penerapan dalam

penggunaannya atau tidak sesuai dengan kondisi yang dijanjikan pelaku

usaha. Informasi produk yang disampaikan pelaku usaha mengandung

hak-hak konsumen yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha, hal ini

dikaitkan dengan tujuan kegiatan periklanan yaitu penyebarluasan

informasi produk agar dapat dijadikan panduan bagi konsumen dalam

memilih dan membeli barang dan atau jasa.

Berkaitan dengan tanggung jawab, iklan tidak boleh

menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat. Masing-

masing pihak dalam kegiatan periklanan mempunyai bobot tanggung

jawab berbeda yang diukur menurut komponen pelaku usaha periklanan.

Pengiklan bertanggung jawab atas kebenaran informasi produk

yang disampaikan kepada pelaku usaha periklanan. Perusahaan

67

periklanan bertanggung jawab atas ketepatan unsur persuasi yang

disampaikannya dalam pesan iklan, sedangkan media periklanan

bertanggung jawab untuk kesepadanan iklan yang disiarkan dengan

nilai-nilai sosial budaya dari masyarakat yang menjadi sasaran

siarannya.48

Pengiklan dianggap sebagai pihak yang paling tahu mengenai iklan

yang disampaikan, sehingga ia berkewajiban untuk bertanggungjawab

mengenai kandungan informasi yang terdapat dalam iklan tersebut.

Berkaitan dengan tanggung jawab untuk mencegah pemberian informasi

yang menyesatkan konsumen perusahaan periklanan dan media iklan

juga bertanggung jawab, yaitu dengan selalu menyaring informasi yang

akan diiklankan pada saat proses negosiasi antara pengiklan dengan

perusahaan periklanan, proses penuangan ide kreatif perusahaan

periklanan dalam pembuatan iklan, sampai pada saat di mana iklan

tersebut disampaikan kepada media untuk ditayangkan. Perusahaan

periklanan dan media iklan dapat terhindar dari kewajiban untuk

bertanggung jawab apabila dalam proses pembuatan sampai penayangan

iklan tersebut di media massa, telah melakukan kewajibannya untuk

menyaring setiap informasi yang diterimanya dari pengiklan.

“tindakan penyesatan informasi iklan dapat dijadikan sebagai dasar

untuk menuntut pertanggungjawaban pengiklan, perusahaan

periklanan, maupun media iklan, berdasarkan adanya wanprestasi

(ingkar janji) atau perbuatan melawan hukum, berkaitan dengan

suatu gugatan ganti rugi dalam periklanan”.49

Disebutkan pula oleh Yusuf Sofie bahwa :

48

Dedi Harianto, Op,cit,. hal. 67. 49

Ibid, hal. 21.

68

“dalam realisasinya, tanggungjawab penyampaian iklan menganut

sistem pertanggungjawaban air terjun (water fall) atau sistem

pertanggungjawaban secara suksesif/berurutan, sehingga

pertanggungjawaban dalam periklanan meliputi tanggung jawab

pengiklan, perusahan periklanan, pelaku usaha media elektronik

maupun non elektronik yang menayangkan iklan tersebut”.50

Banyaknya pihak yang terlibat dalam kegiatan periklanan

menyebabkan kegiatan periklanan berada dibawah kewenangan beberapa

departemen/instansi terkait. Kendala yang kemudian timbul adalah

mengenai tumpang tindihnya kewenangan masing-masing departemen

atau instansi serta kurangnya koordinasi antar lembaga, sehingga jika

terjadi pelanggaran terhadap ketentuan periklanan maka akan timbul

permasalahan departemen/instansi mana yang berwenang untuk meminta

pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan. Mengenai bagaimana

menentukan besar kecil pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan

sesuai dengan peran dan partisipasinya dalam proses pembuatan iklan

tersebut, masih perlu adanya pengaturan untuk menjamin kepastian.

Sebagai panduan guna menentukan pertanggungjawaban pelaku

usaha periklanan, dapat dilihat pada uraian berikut :51

a. Produsen, apabila sebuah iklan yang ditayangan atas

permintaan produsen baik itu bentuknya maupun yang

menyangkut tentang isinya, sehingga biro iklan dan media yang

mengiklankannya hanya bersifat pasif dalam arti bahwa mereka

hanya membuat secara utuh sesuai dengan permintaan

produsen, maka dalam hal ini yang bertanggung jawab secara

penuh adalah produsen yang bersangkutan.

b. Biro iklan, dalam hal ini produsen dan media iklan bersifat

pasif, sedangkan biro iklan yang mendesain bentuk termasuk

50

Ibid. 51

Ibid. hal. 208.

69

isinya, maka yang bertanggung jawab adalah biro iklan yang

bersangkutan.

c. Media iklan, apabila dalam mengiklankan suatu produk

produsen dan biro iklan telah menetapkan bentuk dan isi iklan,

akan tetapi dalam penayangannya terjadi perubahan, di mana

setelah ditayangkan berbeda dengan sebenarnya, maka yang

bertanggung jawab adalah media iklan yang bersangkutan.

Menurut panduan di atas, pertanggungjawaban para pihak

ditentukan berdasarkan peran aktif para pihak sebagai sumber informasi

dalam proses pembuatan iklan tersebut.

Bagi pelaku usaha periklanan yang tidak mengetahui adanya hal

yang menyesatkan atau pernyataan yang salah sesuai dengan pesanan

pemesan iklan, sesuai asas maka pelaku usaha periklanan yang tidak

mengetahui itikad buruk pemesan iklan, tidak sepatutnya mendapatkan

sanksi berdasarkan ketentuana Pasal 17 Undang-Undang No. Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen. Pihak yang seharusnya dimintai

pertanggungjawaban atas kerugian konsumen akibat iklan yang isinya

menyesatkan atau mengandung pernyataan yang salah adalah pelaku

usaha pemesan iklan.

Ketiadaan undang-undang khusus periklanan yang seharusnya

dapat dijadikan pedoman dalam kegiatan periklanan, menjadikan

persoalan penentuan tanggung jawab ini harus dilakukan kasus per kasus,

tergantung pada peran masing-masing pihak dalam proses pembuatan

dan pemasangan iklan tersebut serta bagaimana Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK) atau hakim di pengadilan meletakkan beban

tanggung jawab masing-masing pihak dalam perkara yang dihadapkan

70

kepada mereka atas suatu perbuatan periklanan yang menimbulkan

kerugian.

Berkaitan penyampaian informasi iklan menyesatkan, dengan

melihat paraf/tanda tangan perusahaan mana yang terdapat dalam

draft akhir iklan yang kemudian disiarkan melalui media massa.

Pihak yang membubuhkan tanda tangan tersebut dianggap sebagai

pelaku usaha yang paling bertanggung jawab terhadap informasi

iklan menyesatkan tersebut.52

Kewajiban untuk bertanggungjawab ini dalam rangka memberikan

suatu perlindungan bagi konsumen dari perbuatan pelaku usaha yang

merugikan berkaitan dengan pemberian informasi kepada konsumen

mengenai suatu barang dan atau jasa. Pemerintah bukan bermaksud

untuk mempersempit ruang gerak pelaku usaha dengan cara memberi

batasan terhadap cara pemasaran suatu produk, namun diharapkan agar

dapat berlangsung suatu kegiatan usaha yang sehat dan terciptanya

hubungan yang saling menguntungkan antara pelaku usaha dengan

konsumen.

52

Ibid. hal. 211.

71

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep

legal positif, yang mengemukakan bahwa hukum identik dengan norma-

norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat yang berwenang.

Konsep ini juga melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri,

bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat sehari-hari.53

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menelaah fakta terkait

dengan permasalahan yang akan diteliti, kemudian dicari kesesuaiannya

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan doktrin.

Adapun peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan yaitu Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis yaitu

menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan

dengan teori-teori hukum, norma hukum, doktrin, serta praktek pelaksanaan

hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas.

53

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, PT. Ghalia

Indonesia, Jakarta:1990, Halaman13.

72

C. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan

Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman serta media elektronik dengan

menggunakan media internet.

D. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yaitu bahan pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi yaitu Putusan

Mahkamah Agung, buku-buku perpustakaan, peraturan perundang-undangan,

karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

materi penelitian. Dari bahan hukum sekunder tersebut dapat dibagi dan

diuraikan ke dalam tiga bagian, yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritif

artinya mempunyai suatu otoritas, mutlak dan berkekuatan hukum

mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar,

peraturan perundang-undangan, cacatan resmi, lembaran negara

penjelasan, risalah, putusan hukum dan yurisprudensi. Bahan

hukum ini terdiri dari : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dan Putusan Mahkamah Agung

Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari

73

para ahli hukum dalam bentuk buku-buku yang berpengaruh,

artikel, jurnal-jurnal hukum, serta pendapat para sarjana. Bahan

sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak

dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan

bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekuder untuk

melengkap deskripsi suatu realitas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang sifatnya melengkapi dan

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipandang relevan dan memadai untuk

memperoleh data sekunder dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan,

dilakukan melalui penelaahan data dan literatur yang berkaitan dengan

peraturan perundang-undangan yang diterapkan dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012.

F. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian

yang disusun secara sistematis. Sistematis di sini artinya data-data yang

diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan

permasalahan yang diteliti, sehingga secara keseluruhan merupakan satu

kesatuan yang utuh.

74

G. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisa secara normatif kualitatif yaitu

dengan menjabarkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum

atau kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan.

Data dianalisa dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam

peraturan-peraturan yang berlaku, serta memperhatikan pula doktrin yang

masih berkaitan dengan ketentuan dalam peraturan perundangan tersebut.

Kemudian dari analisa tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban

terhadap permasalahan yang diteliti.

75

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012, yang menghasilkan data-data sebagai

berikut :

1. Pihak dalam Perkara

1.1. Pemohon Kasasi

PT. NISSAN MOTOR INDONESIA, yang diwakili oleh Presiden

Direktur PT. Nissan Motor Indonesia, berkedudukan di Gedung

Nissan TB. Simatupang 5th

Floor, Jalan R.A. Kartini Kav 11-S

Nomor 7 Jakarta Selatan, dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr.

HINCA IP PANJAITAN, SH.,MH.ACCS dan kawan, para

advokat, beralamat di CITYLOFTS SUDIRMAN Suite 1021, Jalan

KH. Mas Mansyur Nomor 121, Jakarta 10220, selanjutnya disebut

Pemohon Kasasi dan dahulu merupakan Pemohon/Termohon

dalam Perkara Arbitrase BPSK.

1.2. Termohon Kasasi

LUDMILLA ARIF, bertempat tinggal di Jalan Kalibata Tengah,

Komp. PT. PAS Nomor 1 Warung Buncit, Jakarta Selatan, dalam

hal ini memberi kuasa kepada DAVID M.L. TOBING, SH.,M.Kn.

dan kawan-kawan, para Advokat, beralamat di Wisma Bumiputra,

76

Lantai 15, Jalan Jenderal Sudirman Kav.75, Jakarta 12910,

selanjutnya disebut Termohon Kasasi dan dahulu merupakan

Termohon/Pemohon dalam Perkara Arbitrase BPSK.

2. Duduk Perkara

2.1. Bahwa Termohon sebagai konsumen telah dirugikan oleh Pemohon

karena apa yang diiklankan oleh Pemohon terkait dengan produk

Nissan March baik di surat kabar maupun internet bahwa konsumsi

BBM Nissan March Matic hasil pemakaian di dalam kota adalah

185 km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami

Termohon setelah pemakaian produk kurang lebih 1-2 bulan;

2.2. Bahwa setelah Termohon menggunakan Nissan March kurang

lebih 1-2 bulan, Pemohon menyampaikan ke Pihak Nissan Warung

Buncit, bahwa menurut perhitungan Termohon, rata-rata konsumsi

BBM jauh berbeda/di bawah dengan iklan pada Nissan March di

surat kabar/internet. Dan atas pertimbangan tersebut, Termohon

membatalkan pembelian Mobil Nissan March dan meminta uang

pengembalian mobil sebesar RP. 159.000.000,00 (seratus lima

puluh sembilan juta rupiah);

2.3. Bahwa Pemohon tidak pernah mengiklankan bahwa konsumsi

BBM Nissan March hasil pemakaian di dalam kota adalah 18,5

km/liter;

2.4. Bahwa informasi konsumsi BBM Nissan March merupakan hasil

test drive 6 (enam) unit mobil Nissan March bertransmisi Manual

77

dan 6 (enam) unit mobil Nissan March bertransmisi Otomatis yang

dilaksanakan pada tanggal 4-6 November 2010 dengan menempuh

rute Jakarta – Cikampek – Kanci – Ajibarang – Gombong –

Petanahan – Wates – Yogyakarta, yang diikuti oleh perwakilan dari

sekitar 29 (dua puluh sembilan) media cetak dan elektronik;

2.5. Bahwa Termohon menyatakan apa yang diiklankan oleh Pemohon

bahwa konsumsi BBM Nissan March Matic hasil pemakaian di

dalam kota adalah 18,5 km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan

yang dialami Termohon setelah pemakaian produk kurang lebih 1-2

bulan, didasarkan Termohon pada pemberitaan-pemberitaan (bukan

iklan) sebagai berikut :

Pemberitaan yang berjudul “First Impressions Trying Nissan

March” di www.kompas.com edisi 15 November 2010;

Pemberitaan yang berjudul “Konsumsi BBM Nissan March

Matic 18,5 km/liter” di www.detikhot.com edisi 15 November

2010;

Pemberitaan yang berjudul “Nissan March, Lincah Saat

Dikebut” di www.investor.co.id edisi 18 Januari 2011.

2.6. Bahwa sebagai bentuk apresiasi layanan Pemohon terhadap

konsumennya in casu Termohon, pada tanggal 14 Juli 2011

Pemohon telah melakukan pemeriksaan sesuai standar terhadap

produk a quo yang telah dipakai Termohon selama kurang lebih 1-

2 bulan, dan hasilnya produk a quo dinyatakan tidak bermasalah.

78

Adapun pemeriksaan/pengetesan tersebut dilakukan dengan

menggunakan bahan bakar Shell, start dari SPBU Shell Ciputat jam

11.05 wib menuju gardu Tol Ciputat melalui Jalan Tol Lingkar

Luar hingga gardu Tol Rototan (PP) dan kembali ke SPBU Shell

Ciputat pada pukul 12.38 wib. Dengan total jarak tempuh 80 km,

waktu tempuh 1 jam 33 menit, rata-rata kecepatan 51,60 km/jam,

total isi bahan bakar 3,19 liter, diketahui konsumsi BBM produk a

quo adalah 25,07 km/liter;

3. Amar Putusan Arbitrase BPSK

(Putusan Arbitrase BPSK Nomor 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012)

3.1. Menyatakan klaim iklan Nissan march yang menyatakan konsumsi

BBM jarak tempuh/km melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan

Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen;

3.2. Mengabulkan Gugatan Pemohon untuk sebagian;

3.3. Menyatakan transaksi mobil Nissan March dibatalkan;

3.4. Memerintahkan kepada Pihak Pemohon untuk menyerahkan mobil

Nissan March dan Pihak Termohon (PT. Nissan Motor Indonesia)

mengembalikan uang pembelian mobil sebesar Rp. 150.000.000,-

(seratus lima puluh juta rupiah) dengan tunai.

4. Keberatan terhadap Putusan BPSK

Bahwa Pemohon dengan ini secara tegas menyatakan keberatan atas

Putusan Arbitrase BPSK No.: 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012 tanggal 16

79

Februari 2012 yang secara nyata telah lalai menerapkan hukumnya dalam

memberikan pertimbangan hukum atas perkara a quo.

4.1. Pemohon Keberatan atas Pertimbangan Hukum Majelis BPSK

Provinsi DKI Jakarta yang menyatakan “Bahwa Pemohon

menentukan untuk membeli Nissan March, salah satu

pertimbangannya adalah karena tertarik dengan iklan Nissan

March, baik di surat kabar maupun media online internet, bahwa

konsumsi BBM Nissan March adalah 18,5 km/liter. Bahwa setelah

Pemohon menggunakan Nissan March kurang lebih 1-2 bulan,

Pemohon menyampaikan ke Pihak Nissan Warung Buncit, bahwa

menurut perhitungan Pemohon, rata-rata konsumsi BBM jauh

berbeda/di bawah dengan iklan pada iklan Nissan March di surat

kabar/internet. Dan atas pertimbangan tersebut, Pemohon

membatalkan pembelian Mobil Nissan March dan meminta uang

pengembalian mobil sebesar RP. 159.000.000,00 (seratus lima

puluh sembilan juta rupiah)”.

4.1.1. Bahwa berdasarkan fakta hukum, yang menjadi pokok

perkara a quo adalah dalil Termohon yang menyatakan

telah dirugikan oleh Pemohon karena apa yang diiklankan

oleh Pemohon terkait dengan produk Nissan March baik di

surat kabar maupun internet bahwa konsumsi BBM Nissan

March Matic hasil pemakaian di dalam kota adalah 18,5

km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami

80

Termohon setelah pemakaian produk a quo kurang lebih 1-

2 bulan. Adapun dalil Termohon tersebut didasarkan pada

pemberitaan-pemberitaan (bukan iklan) sebagai berikut :

Pemberitaan yang berjudul “First Impressions Trying

Nissan March” di www.kompas.com edisi 15

November 2010;

Pemberitaan yang berjudul “Konsumsi BBM Nissan

March Matic 18,5 km/liter” di www.detikhot.com edisi

15 November 2010;

Pemberitaan yang berjudul “Nissan March, Lincah Saat

Dikebut” di www.investor.co.id edisi 18 Januari 2011.

4.1.2. Bahwa merupakan fakta hukum, Pemohon tidak pernah

mengiklankan bahwa konsumsi BBM Nissan March Matic

hasil pemakaian di dalam kota adalah 18,5 km/liter.

Informasi konsumsi BBM Nissan March merupakan hasil

test drive 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi

Manual dan 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi

Otomatis yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 November

2010 dengan menempuh rute Jakarta-Cikampek-Kanci-

Ajibarang-Gombong-Petanahan-Wates-Yogyakarta, yang

diikuti oleh perwakilan dari sekitar 29 (dua puluh sembilan)

media cetak dan elektronik, yang kemudian dibuat

81

pemberitaannya oleh media cetak dan elektronik tersebut.

Jadi jelas itu adalah pemberitaan, bukan iklan.

4.1.3. Bahwa merupakan fakta hukum, pada tanggal 14 Juli 2011

Pemohon telah melakukan pemeriksaan sesuai standar

terhadap produk a quo yang telah dipakai Termohon selama

kurang lebih 1-2 bulan, dan hasilnya produk a quo

dinyatakan tidak bermasalah. Adapun

pemeriksaan/pengetesan tersebut dilakukan dengan

menggunakan bahan bakar Shell, start dari SPBU Shell

Ciputat jam 11.05 wib menuju gardu Tol Ciputat melalui

Jalan Tol Lingkar Luar hingga gardu Tol Rorotan (PP) dan

kembali ke SPBU Shell Ciputat pada pukul 12.38 wib.

Dengan total jarak tempuh 8 km, waktu tempuh 1 jam 33

menit, rata-rata kecepatan 51,60 km/jam, total isi bahan

bakar 3,19 liter, diketahui konsumsi BBM produk a quo

adalah 25,07 km/liter.

4.2. Pemohon Keberatan atas pertimbangan hukum Majelis BPSK

Provinsi DKI Jakarta yang menyatakan “Bahwa dengan

memperhatikan fakta-fakta di atas, keberadaan klaim iklan Nissan

March menggunakan konsumsi BBM untuk jarak tempuh/km

melanggar Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 9 ayat (1) huruf k dan

Pasal 10 huruf c.”

82

4.2.1. Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan suatu barang/atau jasa secara tidak benar,

dan/atau seolah-olah : - huruf (k) : menawarkan sesuatu

yang mengandung janji yang belum pasti.”

4.2.2. Bahwa Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi “Pelaku usaha

dalam menawarkan, barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,

mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan

yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : - huruf c :

kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas

sesuatu barang dan/atau jasa.”

4.2.3. Bahwa berdasarkan fakta hukum, Pemohon tidak pernah

menawarkan, tidak pernah mempromosikan, tidak pernah

mengiklankan produk a quo secara tidak benar, dan/atau

seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji

yang belum pasti dan atau menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar

atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan,

hak atau ganti rugi atas produk a quo.

83

4.2.4. Bahwa Majelis BPSK Priovinsi DKI Jakarta menggunakan

pemberitaan-pemberitaan (bukan iklan) sebagai berikut :

Pemberitaan yang berjudul “First Impressions Trying

Nissan March” di www.kompas.com edisi 15 November

2010;

Pemberitaan yang berjudul “Konsumsi BBM Nissan

March Matic 18,5 km/liter” di www.detikhot.com edisi

15 November 2010;

Pemberitaan yang berjudul “Nissan March, Lincah Saat

Dikebut” di www.investor.co.id edisi 18 Januari 2011.

yang diajukan Termohon sebagai bukti dan dasar satu-

satunya alasan pengaduannya ke BPSK Provinsi DKI

Jakarta, yang kemudian oleh Majelis BPSK Provinsi DKI

Jakarta dijadikan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam

mengambil putusan dengan menetapkan Pemohon telah

melanggar Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 9 ayat

(1) huruf k dan Pasal 10 huruf c, tentulah pertimbangan

hukum tersebut sangat keliru dan tidak berdasarkan hukum

serta secara nyata-nyata salah. Karena ketiga bukti itu

adalah murni bentuknya pemberitaan, bukan

iklan/penawaran. Sangat berbeda makna dan pengertian

antara iklan dengan pemberitaan. Pemberitaan adalah

84

produk jurnalistik yang menjadi domain media yang

bersangkutan dan otonom tanpa mendapatkan pembayaran,

sedangkan iklan adalah produk informasi yang disiarkan

oleh media sesuai dengan pesanan pemasang iklan dengan

membayar sejumlah uang kepada media yang

memasangnya.

4.3. Bahwa perbuatan Termohon yang mengajukan tiga pemberitaan

sebagai bukti sebagaimana dimaksud dalam dalil butir 4.2.4 yang

diklaim dan diakui serta dinyatakan sebagai iklan adalah nyata-

nyata merupakan tipu muslihat Termohon mengelabui Majelis

Hakim sehingga akhirnya Majelis Hakim terkelabui dalam

mengambil keputusan dengan menyatakan bahwa perbuatan

Pemohon melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

5. Petitum/Tuntutan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon kepada

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar memberikan putusan sebagai

berikut :

5.1. Menerima Gugatan Pemohon untuk seluruhnya;

5.2. Membatalkan Putusan Arbitrase BPSK No.: 099/Pts.A/BPSK-

DKI/II/2012 tanggal 16 Februari 2012;

85

5.3. Menyatakan Putusan Arbitrase BPSK No.: 099/Pts.A/BPSK-

DKI/II/2012 tanggal 16 Februari 2012 tidak berkekuatan hukum;

5.4. Menghukum Termohon semula Pemohon untuk membayar biaya

perkara.

5.5. Atau apabila Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain,

maka Pemohon dengan ini mohon putusan yang seadil-adilnya.

6. Amar Putusan Pengadilan Tingkat Pertama

(Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

130/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel)

6.1. Menolak Permohonan Pemohon tersebut;

6.2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.316.000,00 (tiga ratus enam belas ribu rupiah).

7. Alasan Pengajuan Kasasi

7.1. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam proses persidangan

di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut

“BPSK”) Provinsi DKI Jakarta dan di Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak

terpisahkan;

7.2. Bahwa Pemohon Kasasi keberatan atas amar putusan Judex Facti

yang menolak Permohonan Pemohon tersebut. Sebab berdasarkan

fakta hukum, perkara a quo adalah perkara gugatan perdata bukan

permohonan. Itulah sebabnya di dalam register perkara jelas ditulis

Perkara Perdata Nomor : 130/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel. Jika perkara a

86

quo adalah berbentuk permohonan maka dalam register perkara

akan tertulis Permohonan Nomor : 130/Pdt.P/2012/PN.Jkt.Sel.

Dengan demikian berdasarkan fakta hukum sebagaimana tersebut

di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan isi amar putusan Judex

Facti yang menyatakan “Menolak Permohonan Pemohon” tersebut

adalah keliru dan karenanya patut dibatalkan;

7.3. Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2011, Termohon Kasasi telah

mengadukan Pemohon Kasasi ke BPSK, dengan pokok perkara dan

tuntutan hukum, bahwa Termohon Kasasi sebagai konsumen

merasa dirugikan oleh Pemohon Kasasi, karena menurut Termohon

Kasasi apa yang diiklankan oleh Pemohon Kasasi terkait dengan

iklan (quod non) produk Nissan March, bahwa konsumsi BBM

Nissan March Matic hasil pemakaian dalam kota adalah 18,5

km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami Termohon

Kasasi setelah memakai produk Nissan March selama kurang lebih

1-2 bulan;

7.3.1. Bahwa sesungguhnya Pemohon Kasasi tidak pernah

mengiklankan mengenai jumlah konsumsi BBM Nissan

March tersebut. Informasi mengenai konsumsi BBM Nissan

March sebenarnya berasal dari artikel dan/atau berita yang

ditulis oleh perwakilan dari sekitar 29 (dua puluh sembilan)

media cetak dan elektronik, berdasarkan pada hasil test-

drive 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi manual

87

dan 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi otomatis

yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 November 2010;

7.3.2. Di dalam persidangan baik dalam persidangan BPSK

maupn persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa dasar dari dalail-

dalil Termohon Kasasi dalam pengaduan ke BPSK tersebut

sebenarnya berasal dari artikel yang ditulis media, bukan

iklan atau advertorial dari Pemohon Kasasi selaku pelaku

usaha. Adapun artikel-artikel dimaksud adalah sebagai

berikut :

Artikel di www.kompas.com edisi tanggal 15 November

2010, berjudul : “First Impressions Trying Nissan

March”;

Artikel di www.detikhot.com edisi tanggal 15 November

2010, berjudul : “Konsumsi BBM Nissan March Matic

18,5 km/liter”;

Artikel di www.investor.co.id edisi tanggal 18 Januari

2011, berjudul : “Nissan March, Lincah Saat Dikebut”;

(selanjutnya disebut sebagai “Artikel-artikel”)

7.3.3. Bahwa makna dan pengertian antara iklan dengan artikel

atau pemberitaan adalah sangat berbeda, dimana artikel atau

pemberitaan adalah produk jurnalistik yang menjadi domain

media yang bersangkutan dan otonom tanpa mendapatkan

88

pembayaran, sedangkan iklan adalah produk informasi yang

disiarkan oleh media sesuai dengan pesanan pemasang iklan

dengan membayar sejumlah uang kepada media yang

memasangnya;

Perbuatan Termohon Kasasi yang mengajukan artikel-

artikel yang diklaim dan diakui serta dinyatakan sebagai

iklan, semata-mata hanyalah untuk mengelabui dan

membingungkan Judex Facti mengambil kesimpulan yang

sesuai dengan keinginan Termohon Kasasi;

7.3.4. Bahwa sesungguhnya Pemohon Kasasi selaku pelaku usaha

telah menanggapi keluhan Termohon Kasasi tersebut di atas

dengan melakukan pemeriksaan sesuai standar terhadap

produk Nissan March yang telah dipakai Termohon Kasasi

selama kurang lebih 1-2 bulan lamanya tersebut, dan

hasilnya produk a quo dinyatakan tidak bermasalah. Bahkan

Pemohon Kasasi bersama-sama dengan Termohon Kasasi,

juga telah melakukan test-drive menggunakan Nissan

March milik Termohon Kasasi sesuai dengan cara yang

tertera pada artikel-artikel tersebut di atas, yang hasilnya

adalah sebagai berikut :

Test-drive I tanggal 5 April 2011 1 liter untuk 18 km

Test-drive II tanggal 14 Mei 2011 1 liter untuk 17 km

Test-drive III tanggal 14 Juli 2011 1 liter untuk 22,7 km,

89

dimana Pemohon Kasasi menolak ikut.

Bahwa berdasarkan fakta-fakta hasil test drive tersebut di

atas, terbukti bahwa produk Nissan March milik Termohon

Kasasi sudah sesuai dengan keterangan-keterangan yang

terdapat dalam artikel-artikel tersebut, namun ternyata

Judex Facti mengabaikan pemeriksaan dan hasil test-drive

tersebut dan tidak mempertimbangkannya dalam Putusan.

7.4. Bahwa Judex Facti salah menerapkan hukum pembuktian karena

terbukti tidak ada satupun bukti-bukti Termohon Kasasi yang

mendukung dalil-dalil Termohon Kasasi yang menyatakan bahwa

Termohon Kasasi menggunakan produk Nissan March di bawah 1

liter untuk 18,5 km.

7.4.1. Bahwa jika dicermati dengan seksama, berdasarkan bukti-

bukti yang diajukan oleh Termohon Kasasi dalam perkara a

quo, ternyata selain bukti kepemilikan kendaraan,

Termohon Kasasi hanya menunjukkan bukti berupa artikel-

artikel yang memberitakan mengenai produk Nissan March

semata, namun tidak ada bukti nyata yang membenarkan

dan/atau menunjukkan bahwa Termohon Kasasi dalam

mengendarai produk Nissan March membutuhkan konsumsi

BBM kurang dari 18,5 km/liter.

7.4.2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 huruf d Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

90

Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas

dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

secara tetulis, harus memuat secara benar dan lengkap

mengenai bukti perolehan, baik berupa bon, faktur, kwitansi

maupun dokumen bukti lain, sebagaimana terkutip sebagai

berikut :

“Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara

tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai :

a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris dan

kuasanya disertai bukti diri;

b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha;

c. Barang atau jasa yang diadukan;

d. Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi dan dokumen

bukti lain);

e. Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang

atau jasa tersebut;

f. Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut

diperoleh;

g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila

ada.”

7.4.2.1. Bahwa dalam perkara a quo, Termohon Kasasi

terbukti tidak dapat menunjukkan adanya bukti

perolehan berupa bon, faktur, kwitansi dan

91

dokumen bukti lain, yang dapat membuktikan dan

membenarkan bahwa Termohon Kasasi selama

12 bulan memakai produk Nissan March

membutuhkan konsumsi BBM kurang dari 18,5

km/liter;

7.4.2.2. Bahwa sedangkan keterangan saksi Aryo

Wirawarman, selaku konsumen yang katanya

memiliki produk Nissan March, tidak dapat

dianggap sebagai bagian dari pembuktian, karena

saksi Aryo Wirawarman dihadirkan sebagai

pemilik Nissan March, tetapi tidak dapat

menunjukkan STNK ataupun BPKB yang

menunjukkan bahwa saksi adalah pemilik.

Bagaimana keterangannya dapat diberikan beban

sebagai suatu kesaksian ?. Lagi pula, kekuatan

pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja

tidak didukung dengan alat bukti lainnya tidak

dapat dianggap sempurna (asas unus testis nullus

testis). Pasal 1905 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata berbunyi : “Keterangan seorang saksi

saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka

pengadilan tidak boleh dipercaya”.

92

7.4.2.3. Bahwa tidak adanya bukti yang dapat

membenarkan dan menguatkan dalil-dalil

Termohon Kasasi dalam perkara a quo,

sebenarnya juga telah diakui oleh Judex Facti

dalam pertimbangan hukumnya yang terdapat

pada paragraf 1 dan paragraf 2 halaman putusan

Judex Facti yang masing-masing berbunyi

sebagai berikut :

Paragraf 1 halaman 34 Putusan Judex Facti

“Menimbang, bahwa dipersidangan telah pula

didengar keterangan saksi Aryo Wirawarman

yang menerangkan bahwa saksi juga pemilik

mobil Nissan March sebagaimana dalam bukti T-

14 namun saksi tidak membawa STNK dan

BPKBnya”;

Paragraph 2 halaman 34 Putusan Judex Facti

“Menimbang, bahwa dari bukti-bukti Termohon

(baca : Termohon Kasasi) tersebut di atas,

Majelis Hakim menilai hanya sebagai brosur,

booklet, artikel, iklan Nissan March dan

korespondensi antara Termohon (baca :

Termohon Kasai) dengan Dino Apriadi Gautama,

sedangan keterangan saksi (baca : Aryo

93

Wirawarman) hanya untuk kendaraannya

sendiri”.

Dengan demikian, terbukti tidak ada satupun

saksi maupun bukti yang diajukan oleh Termohon

Kasasi dalam perkara a quo, yang menguatkan

dalil-dalil Termohon Kasasi, yang menyatakan

bahwa konsumsi BBM Nissan March milik

Termohon Kasasi kurang dari 18,5 km/liter,

sehingga sudah seharusnya apabila Majelis

Hakim Tingkat Kasasi menolak atau setidak-

tidaknya menyatakan pengaduan Termohon

Kasasi dalam perkara a quo tidak dapat diterima.

7.5. Judex Facti salah menerapkan hukum karena mempertimbangkan

artikel-artikel sebagai iklan yang dibuat oleh Pemohon Kasasi.

7.5.1. Bahwa Pemohon Kasasi juga menolak dengan tegas

pertimbangan hukum Majelis BPSK Provinsi DKI Jakarta,

yang pada intinya menyatakan bahwa Pemohon Kasasi telah

melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 9 ayat (1) huruf

k dan Pasal 10 huruf c, karena tidak berdasar hukum, keliru

dan nyata-nyata salah.

7.5.2. Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan

94

bahwa “Pelaku usaha dilarang menawarkan,

mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa

secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menawarkan

sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti”;

7.5.3. Bahwa Pasal 10 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan bahwa

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa

yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang

menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau

membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan

mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi

atas suatu barang dan/atau jasa”.

7.5.4. Bahwa Pemohon Kasasi sama sekali tidak pernah

menawarkan, tidak pernah mempromosikan dan tidak

pernah mengiklankan produk secara tidak benar, dan/atau

seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji

yang belum pasti dan/atau menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan atau membuat pernyataan yang benar atau

menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak

atau ganti rugi atas produk-produk Pemohon Kasasi,

termasuk namun tidak terbatas produk Nissan March;

7.5.5. Bahwa artikel-artikel tersebut di atas yang diajukan oleh

Termohon Kasasi sebagai bukti dan dasar satu-satunya

95

alasan pengaduan Termohon Kasasi ke BPSK DKI Jakarta,

yang kemudian dijadikan sebagai dasar pertimbangan

hukum oleh BPSK DKI Jakarta dalam mengambil Putusan,

dengan menyatakan bahwa Pemohon Kasasi telah

melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen adalah sangat keliru dan tidak

berdasar hukum, karena jelas artikel-artikel tersebut di atas

bukanlah iklan, melainkan pemberitaan yang ditulis oleh

para wartawan media itu sendiri dengan otonom

berdasarkan kenyataan yang mereka alami sendiri saat

mengikuti test drive yang dilaksanakan pada tanggal 4-6

November 2010;

7.5.6. Bahwa hal tersebut sesuai dengan keterangan FX. Ridwan

Handoyo, yang menyatakan bahwa artikel-artikel tersebut di

atas, yang menjadi bukti dalam perkara a quo, adalah

merupakan kategori berita dan bukan iklan karena tidak ada

transaksi ekonomi dan ada nama wartawan yang tercantum

sebagai penulisnya;

Bahwa dengan demikian, Majelis Hakim Kasasi Yang

Terhormat, bahwa perbuatan Termohon Kasasi yang

mengklaim, mengakui serta menyatakan pemberitaan yang

terdapat dalam artikel-artikel tersebut sebagai iklan inilah

yang Pemohon Kasasi maksud sebagai bentuk dari bagian

96

suatu tipu muslihat Termohon Kasasi untuk mengelabui

Judex Facti dalam perkara a quo sehingga salah dalam

mempertimbangkan dan mengambil keputusan.

Dengan demikian secara sah dan meyakinkan bahwa

putusan arbitrase a quo sangat beralasan hukum untuk

dibatalkan sesuai dengan ketentuan Pasal 70 dan Penjelasan

Umum alinea ke-18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa yang mengatur tentang alasan pembatalan putusan

arbitrase.

7.6. Judex Facti salah menerapkan hukum karena tidak konsisten dalam

mempertimbangkan bukti-bukti pada perkara a quo.

BPSK Provinsi DKI Jakarta sendiri terbukti tidak yakin dengan

keputusannya.

7.6.1. Bahwa BPSK Provinsi DKI Jakarta dalam

mempertimbangkan pada paragraf 1 halaman 5 Putusan

Arbitrase, yang juga dijadikan bukti dalam perkara a quo,

ternyata juga tidak merasa yakin akan perbedaan hasil

pengujian konsumsi BBM Nissan March sehingga

membutuhkan pengujian dari pihak ketiga/independent,

sebagaimana terkutip sebagai berikut :

“Bahwa dalam hal adanya perbedaan hasil pengujian, untuk

menjaga independensi hasil pengujian/tidak ada conflict of

97

interest, perlu adanya pengujian dari pihak

ketiga/independent yang disepakati oleh kedua belah pihak

Pemohon dan Termohon (PT. NMI) menyangkut metode

pengujian dan pihak yang melaksanakan pengujian”;

7.6.2. Bahwa hingga saat ini tidak ada pihak ketiga/independent

yang telah ditunjuk untuk melaksanakan pengujian

menyangkut metode pengujian dan pihak yang

melaksanakan pengujian dimaksud, sehingga belum ada

hasil pengujian yang dapat membuktikan dan/atau

membenarkan dalil-dalil yang diajukan Termohon Kasasi

dalm perkara a quo.

7.6.3. Bahwa namun demikian, BPSK Provinsi DKI Jakarta dalam

Putusannya ternyata serta merta menyatakan Pemohon

Kasasi bersalah melanggar Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan

menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar sejumlah

uang ke Termohon Kasasi, walaupun belum ada hasil

pengujian yang membuktikan bersalah tidaknya Pemohon

Kasasi dalam perkara a quo.

7.6.4. Bahwa ketidakkonsistenan Judex Facti dalam perkara a quo

juga tercermin pada pertimbangan hukumnya dalam

Putusan, dimana pada satu sisi Judex Facti

mempertimbangkan keterangan ahli FX. Ridwan Handoyo

98

yang menyatakan bahwa artikel-artikel yang menjad bukti

dalam perkara a quo, adalah merupakan kategori berita dan

bukan iklan, dan menilai bahwa bukti-bukti yang diajukan

oleh Temohon Kasasi hanya sebagai brosur, booklet,

artikel, iklan Nissan March dan korespondensi antara

Termohon Kasasi dengan Dino Apriadi Gautama, namun di

sisi lain Judex Facti ternyata menolak permohonan kasasi

Pemohon Kasasi.

7.6.5. Bahwa hal tersebut membuktikan ketidakkonsistenan Judex

Facti dalam menerapkan hukum, dimana pada satu sisi

Judex Facti telah memberikan pertimbangan-pertimbangan

hukum yang menyatakan tidak ada bukti Termohon Kasasi

yang dapat membuktikan dan/atau menunjukkan kesalahan

Pemohon Kasasi dalam perkara a quo, akan tetapi di sisi

lain Judex Facti ternyata menerimaan pengaduan Termohon

Kasasi dan menghukum Pemohon Kasasi, tanpa didasari

bukti yang seharusnya diajukan oleh Temohon Kasasi.

Bahwa dengan demikian menjadi sangat beralasan untuk

membatalkan putusan arbitrase dimaksud sesuai dengan ketentuan

Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur tetang alasan

pembatalan putusan arbitrase.

99

7.7. Judex Facti salah menerapkan hukum karena tidak

mempertimbangkan korelasi antara bukti-bukti yang diajukan

dengan keterangan ahli dalam perkara a quo.

7.7.1. Bahwa Judex Facti dalam Putusan a quo terbukti tidak

mempertimbangkan korelasi antara bukti-bukti yang ada

dengan keterangan ahli dalam perkara a quo. Bahwa

terbukti tidak ada satupun dari bukti yang diajukan

Termohon Kasasi tersebut, yang dapat membenarkan atau

menguatkan dalil-dalil Termohon Kasasi dalam perkara a

quo.

7.7.2. Bahwa selain itu, keterangan ahli FX. Ridwan Handoyo

dalam perkara a quo juga menyatakan bahwa bukti-bukti

yang diajukan Termohon Kasasi telah salah

dipertimbangkan, dimana artikel/berita dipertimbangkan

sebagai iklan.

7.7.3. Bahwa apabila bukti dan keterangan ahli tersebut

dipertimbangkan secara bersama-sama, maka tidak ada

kesalahan Pemohon Kasasi dalam perkara a quo yang dapat

dibuktikan dengan Termohon Kasasi, dan Judex Facti tidak

memiliki landasan juridis bagi pertimbangan putusannya.

7.7.4. Bahwa dengan mempertimbangannya bukti-bukti yang

tidak terbukti kebenarannya tersebut menunjukkan bahwa

Judex Facti telah salah serta melanggar prinsip pembuktian

100

untuk memberi landasan juridis bagi pertimbangan

putusannya. Ini juga berarti Judex Facti tidak cukup cermat

dalam memeriksa perkara a quo. Hal tersebut sejalan

dengan doktrin hukum Prof. Soedikno Mertokusumo, yang

dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa “Pada

hakikatnya membuktikan dalam arti juridis berarti memberi

dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa

perkara bersangkutan, guna memberi kepastian tentang

kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di

persidangan”.

Bahwa dengan fakta-fakta di atas, jelas terbukti bahwa

pertimbangan Judex Facti tidak didasari oleh bukti-bukti yang

tidak benar, dan karenanya menunjukkan bahwa Judex Facti tidak

memberi dasar hukum yang cukup bagi Putusan a quo dan

sekaligus merupakan pelanggaran terhadap asas pembuktian yang

menyebabkan Putusan a quo cacat hukum dan karenanya harus

dibatalkan, karena sudah memenuhi makna pembuktian yang

dimaksudkan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang

mengatur tentang alasan pembatalan putusan arbitrase.

8. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung

8.1. Bahwa terhadap keberatan-keberatan Pemohon Kasasi tersebut

tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dengan seksama

101

memori kasasi tanggal 14 Mei 2012 dan kontra memori kasasi

tanggal 8 Juni 2012 dihubungkan dengan pertimbangan Judex

Facti, dalam hal ini Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

ternyata tidak salah menerapkan hukum dan telah memberi

pertimbangan yang cukup dan benar, dengan pertimbangan sebagai

berikut :

8.1.1. Bahwa fakta-fakta yang terungkap di persidangan ternyata

pelaku usaha i.c. PT. Nissan Motor Indonesia terbukti

melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10

huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yaitu menawarkan sesuatu janji

atau kondisi yang tidak benar dan menyesatkan;

8.1.2. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf c

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 putusan

Arbitrase BPSK hanya dapat dibatalkan apabila terpenuhi

unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal

70 Undang-Undang Arbitrase. Dalam pemeriksaan di

persidangan Pemohon Keberatan/Pemohon Kasasi tidak

dapat memberikan bukti dalam bentuk putusan pengadilan

yang menunjukkan bahwa putusan BPSK diambil atas dasar

tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon Keberatan

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 70 huruf c

Undang-Undang Arbitrase;

102

8.2. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa

putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

130/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel. tanggal 17 April 2012 dalam perkara

ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang,

oleh itu permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi

PT. NISSAN MOTOR INDONESIA tersebut harus ditolak;

8.3. Bahwa karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Pemohon

Keberatan ditolak, maka Pemohon Kasasi/Pemohon Keberatan

harus dihukum untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi.

9. Diktum Putusan Mahkamah Agung

9.1. Menolak permohonan dari Pemohon Kasasi PT. NISSAN

MOTOR INDONESIA tersebut;

9.2. Menghukum Pemohon Kasasi/Pemohon Keberatan untuk

membayar biaya perkara pada tingkat kasasi yang ditetapkan

sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

B. Pembahasan

Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha salah satunya diatur

dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-undang tersebut memuat mengenai hak, kewajiban, dan perbuatan

yang dilarang bagi pelaku usaha. Hal ini bertujuan agar pelaku usaha

mengerti apa yang menjadi hak, kewajiban dan perbuatan yang dilarang

dalam menjalankan kegiatan usaha mereka. Kenyataannya, tidak semua

103

pelaku usaha mengerti tentang hal tersebut sehingga masih banyak terjadi

pelanggaran-pelanggaran yang kemudian menimbulkan kerugian bagi

konsumen. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud bisa dalam bentuk tidak

melaksanakan apa yang telah diwajibkan dalam peraturan perundang-

undangan atau sebaliknya melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang

sebagaimana yang diatur dalam Bab IV mengenai perbuatan yang dilarang

bagi pelaku usaha Pasal 8 sampai Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Menurut Nurmadjito, kualifikasi terhadap larangan pelaku usaha dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

bertujuan :

“untuk mengupayakan terciptanya tertib perdagangan dalam rangka

menciptakan iklim usaha yang sehat. Ketertiban tersebut sebagai bentuk

perlindungan konsumen, karena larangan itu untuk memastikan bahwa

produk yang diperjualbelikan dalam masyarakat dilakukan dengan cara

tidak melanggar hukum. Seperti praktek menyesatkan pada saat

menawarkan, mempromosikan, mengiklankan memperdagangkan atau

mengedarkan produk barang dan/atau jasa yang palsu, atau hasil dari

suatu kegiatan pembajakan.”54

Kasus sengketa konsumen antara Ludmilla Arif selaku konsumen dan

PT. Nissan Motor Indonesia selaku pelaku usaha setelah diadili ditingkat

kasasi, menyatakan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia terbukti melanggar

Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen. Putusan Mahkamah Agung ini

54

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar

Maju, Bandung, 2000, hal. 18.

104

sekaligus menguatkan Putusan BPSK dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

dalam gugatan yang sama.

Sengketa konsumen ini bermula dari adanya hubungan hukum yang

berasal dari perjanjian jual beli antara PT. Nissan Motor Indonesia dengan

Ludmilla Arif. Hubungan hukum adalah sebuah perikatan antara dua pihak,

dimana disatu pihak ada hak dan dipihak lain ada kewajiban. Pasal 1457

KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak

yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., :

“perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak

penjual dan pihak pembeli”.55

Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.2., 2.5. dan 3.3. dihubungkan

dengan Pasal 1457 KUHPerdata dan pendapat Salim H.S., SH., M.S., ada

suatu hubungan hukum jual beli antara PT. Nissan Motor Indonesia dengan

Ludmila Arif. Data tersebut menyebutkan bahwa Ludmilla Arif selaku

konsumen telah dirugikan oleh PT. Nissan Motor Indonesia terkait dengan

produk Nissan March yang tidak sesuai dengan apa yang diiklankan setelah

pemakaian produk kurang lebih 1-2 bulan dan pada data selanjutnya telah

disampaikan adanya transaksi mobil Nissan March. Pada jual beli, transaksi

55

Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar

Grafika, 2003, hlm. 49.

105

merupakan suatu bentuk persetujuan dari perjanjian jual beli yang

sebelumnya telah disepakati oleh para pihak.

Pihak pada perjanjian jual beli dalam pemenuhan prestasinya masing-

masing diberi hak dan kewajiban oleh pembentuk undang-undang. Secara

umum penjual berhak menerima harga barang yang telah dijualnya dari

pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak dan

kewajiban penjual yaitu menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

Kewajiban penjual yang diatur dalam Pasal 1474 KUHPerdata, yaitu :

“Ia mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan

menanggungnya.”

Menurut Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, ketentuan umum

mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu (Pasal 1235 KUHPerdata)

dan ketentuan yang diatur secara khusus dalam ketentuan jual beli (Pasal

1474 KUHPerdata), penjual memiliki 3 (tiga) kewajiban pokok mulai dari

sejak jual beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata. Menurut

ketentuan tersebut, secara prinsip penjual memiliki kewajiban untuk :

1. Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan kepada

pembeli hingga saat penyerahannya.

2. Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telah ditentukan,

atau jika tidak telah ditentukan saatnya, atas permintaan pembeli.

3. Menanggung kebendaan yang dijual tersebut.

Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.2., 2.3. dihubungkan dengan

Pasal 1474 KUHPerdata serta pendapat Gunawan Widjaja dan Kartini

Muljadi dapat dideskripsikan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia telah

menerima haknya sebagai pelaku usaha karena adanya pembayaran sejumlah

106

uang oleh Ludmilla Arif atas pembelian Mobil Nissan March, namun PT.

Nissan Motor Indonesia tidak memenuhi kewajibannya untuk menanggung

kebendaan yang dijualnya karena adanya ketidaksesuaian antara iklan dengan

kenyataan berkaitan dengan konsumsi BBM.

Berkaitan dengan pengaturan mengenai hak dan kewajiban pembeli,

Pasal 1513 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada

waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian”.

Hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang telah dibelinya

dari penjual. Penyerahan oleh penjual kepada pembeli menurut Pasal 1459

KUHPerdata merupakan cara peralihan hak milik dari kebendaan yang dijual

tersebut.

Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.2., 3.3., dan 3.4., apabila

dikaitkan dengan Pasal 1513 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa Ludmilla

Arif telah melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya dan telah pula

menerima haknya berupa penyerahan barang yaitu Mobil Nissan March yang

telah dibelinya.

Kegiatan jual beli dalam prakteknya tidak selamanya dapat berjalan

sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Baik penjual maupun pembeli tidak

jarang melakukan wanprestasi dengan alasan apapun. Berkaitan dengan hal

ini maka perlu adanya suatu pertanggungjawaban apabila terjadi wanprestasi.

Secara umum wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu pelaksanaan

107

kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut

selayaknya dengan yang diperjanjikan.

Wanprestasi seorang debitur (si berutang) dapat berupa :56

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat wanprestasi bagi debitur yaitu ia berkewajiban untuk

bertanggungjawab dalam bentuk pemberian ganti rugi.

Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.1., 2.2., dan 4.2.4. dikaitkan

dengan Pasal 1458 KUHPerdata dan Pasal 1474 KUHPerdata dapat

dideskripsikan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia harus bertanggung jawab

atas kerugian yang diderita Ludmilla Arif karena ketidaksesuaian informasi

mengenai penggunaan BBM produk Nissan March. Ganti rugi yang diberikan

senilai dengan kerugian-kerugian nyata yang ditimbulkan akibat terjadinya

wanprestasi. Mengenai penuntutan ganti rugi telah diatur oleh Undang-

Undang dengan tujuan untuk memberikan batasan terhadap apa saja yang

dapat dituntut sebagai ganti rugi. Ketentuan tentang tanggung jawab PT.

Nissan Motor Indonesia sebagai penjual yang disebutkan di atas kemudian

dapat dihubungkan dengan Pasal 9 ayat 1 huruf k dan Pasal 10 huruf c serta

Pasal 4 huruf c terkait dengan informasi yang dirumuskan dalam Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

56

Ibid, hal. 60.

108

Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :

”Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan

suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : (k)

menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.”

Unsur-unsur dari Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen di atas yaitu :

1. Pelaku usaha

Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan

usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

2. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang

dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah

Larangan bagi pelaku usaha yang dimaksudkan dalam unsur ini

yaitu bahwa dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu

barang dan/atau jasa pelaku usaha harus menyampaikanya secara benar

dan sesuai dengan keadaan barang dan/atau jasa tersebut. Tujuannya agar

konsumen mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan kebutuhan

mereka setelah mengetahuinya melalui informasi yang didapat pada

tahapan pratransaksi. Pelaku usaha dalam menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan suatu barang dan atau jasa dapat disampaikan melalui

109

berbagai macam media pemasaran, antara lain melalui brosur, iklan baik

di media cetak, elektronik, maupun internet yang dapat dengan mudah

diakses oleh konsumen.

Kata seolah-olah mengandung arti bahwa barang atau jasa yang

ditawarkan, diproduksi atau diiklankan adalah tidak sama atau tidak

sesuai dengan yang ditawarkan, diproduksi atau diiklankan agar

konsumen tertarik untuk membeli atau mengkonsumsi barang tersebut.

Pelaku usaha mempunyai maksud agar konsumen percaya atas barang

yang dijual padahal tidak demikian kondisi atau kualitas barang tersebut.

Cara-cara yang digunakan tersebut disatu sisi memang menguntungkan

pelaku usaha namun disisi lain sangat merugikan konsumen karena

informasi mengenai suatu barang dan/atau jasa yang akan mereka

konsumsi tidak sesuai dengan kondisi barang yang sebenarnya.

Menjual barang yang tidak sesuai dengan kondisi barang yang

sebenarnya berkaitan dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen merupakan pelanggaran

terhadap asas itikad baik dalam melakukan perjanjian.

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Asas itikad baik pada perjanjian jual beli berkaitan dengan

hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yaitu para pihak

dalam perjanjian jual beli harus melaksanakan isi perjanjian berdasarkan

kepercayaan atau keyakinan dan kemauan baik dari para pihak.

110

3. Menawarkan sesuatu janji yang belum pasti

Pelaku usaha dalam tahapan pratransaksi pada saat melakukan

penawaran kepada konsumen sudah tentu akan menyampaikan informasi

mengenai barang/dan atau jasa yang mereka produksi. Pada tahapan ini

informasi yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui

media-media pemasaran terutama mengenai kelebihan suatu produk

tersebut dapat dikatakan sebagai janji dari pelaku usaha kepada

konsumen.

“hakekat iklan dalam kerangka perlindungan konsumen merupakan

janji dari pihak yang mengumumkan, dengan demikian iklan dalam

berbagai bentuknya mengikat pihak yang mengumumkan dengan

segala akibatnya.”57

Berdasarkan janji-janji tersebut, konsumen akan dapat menilai

kejujuran pelaku usaha dalam menyampaikan informasi produk melalui

iklan. Janji merupakan daya tarik yang kuat untuk mendorong orang

membaca iklan tersebut dan produk yang diiklankan akan cepat

berpindah ke tangan pembeli, sehingga janji yang disampaikan melalui

media iklan harus didukung oleh kegunaan atau manfaat yang dapat

diperoleh konsumen dengan membeli produk yang diingikan.

Berdasarkan data hasil penelitian nomor 4.1.1., 4.2., 4.2.4., dan 7.3. dapat

dideskripsikan bahwa apa yang dilakukan oleh PT. Nissan Motor Indonesia

sudah memenuhi unsur-unsur pada Pasal 9 ayat (1) huruf Undang-Undang

57

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Op.cit., hal. 19.

111

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam hal ini berkaitan

dengan kegiatan pelaku usaha yang dilarang menawarkan, mempromosikam,

mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-

olah menawarkan suatu janji yang belum pasti. PT. Nissan Motor Indonesia

dalam kegiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan mobil Nissan

March di surat kabar maupun internet menyatakan bahwa konsumsi BBM

Nissan March adalah 18,5 km/liter yang tidak sesuai dengan kenyataan yang

dialami Termohon setelah pemakaian produk kurang lebih 1-2 bulan.

Pernyataan yang disampaikan oleh PT. Nissan Motor Indonesia

mengenai penggunaan BBM yang irit merupakan suatu bentuk janji dari

pelaku usaha kepada konsumen dan dijadikan sebagai alasan konsumen untuk

membeli mobil tersebut. Apabila janji tersebut tidak sesuai dengan kenyataan

maka dapat dijadikan alasan bagi konsumen untuk meminta agar jual beli

dibatalkan atau bahkan mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi ke

pengadilan.

Pelaku usaha dalam menyampaikan informasi kepada konsumen tidak

hanya mempertimbangkan keuntungan pribadi dan mengorbankan konsumen

dengan menawarkan janji-janji yang belum pasti mengenai produk mereka

dengan tujuan agar konsumen membeli produk yang mereka tawarkan.

Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,

112

mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau

menyesatkan mengenai : (c) kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti

rugi atas suatu barang dan/atau jasa.”

Unsur-unsur dari Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen di atas yaitu :

1. Pelaku usaha

Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan

usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

2. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan

Setiap barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan

akan melalui rangkaian kegiatan pemasaran yang salah satunya yaitu

proses penawaran kepada konsumen. Proses ini dapat dijadikan sarana

bagi pelaku usaha untuk menarik minat konsumen terhadap barang yang

mereka produksi dengan cara menginformasikan secara detail mengenai

barang tersebut.

3. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat

pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan

113

Menurut Yusuf Shofie, iklan termasuk salah satu dari 6 (enam)

sebab potensial yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, yaitu

:58

1. Ketidaksesuaian iklan/informasi produk dengan kenyataan;

2. Produk tidak sesuai dengan standar ketentuan/peraturan

perundang-undangan;

3. Produk cacat meskipun masih dalam garansi atau belum

kedaluarsa;

4. Tingkat keamanan produk diinformasikan tidak secara

proporsional;

5. Sikap konsumtif konsumen;

6. Ketidaktahuan konsumen tentang penggunaan produk.

Penjelasan lebih rinci diberikan salah satunya oleh Sri Handayani

yang menjelaskan bahwa iklan menyesatkan tersebut meliputi :59

a. Iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas,

kuantitas, bahan, kegunaan dan harga, serta tarif, ketepatan

waktu dan jaminan;

b. Iklan yang memuat informasi tentang resiko pemakaian barang;

c. Iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian

barang;

d. Iklan yang ngekploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian atau

kegiatan seseorang;

e. Iklan yang melanggar etika periklanan;

f. Iklan yang melanggar peraturan tentang periklanan;

g. Iklan yang melanggar etika dan peraturan (tehnis) periklanan.

Sebagai sumber informasi, pelaku usaha melalui media-media

pemasaran seperti iklan seharusnya tidak menyampaikan informasi yang

menyesatkan karena lebih lanjut penyesatan ini dapat dikualifikasikan

sebagai suatu pentuk penipuan.

4. Mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi atas suatu

barang dan/atau jasa

58

Dedi Harianto, Op.cit., hal. 6. 59

Ibid. hal. 109.

114

Setiap barang dan/atau jasa yang telah diproduksi dan kemudian

dipasarkan oleh pelaku usaha harus dilengkapi dengan informasi yang

jelas dan jujur mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti

rugi atas suatu barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk mengetahui

mengenai kondisi dan keadaan dari barang dan/atau jasa yang akan

mereka konsumsi agar lebih memberikan kepastian dan jaminan atas

penggunaan barang dan atau jasa tersebut sehingga tidak menimbulkan

kerugian dikemudian hari.

Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.1., 4.1.1., 4.2., 4.2.4., dan 7.3.

apabila dikaitkan dengan unsur-unsur Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dideskripsikan bahwa

tindakan yang dilakukan oleh PT. Nissan Motor Indonesia memenuhi unsur-

unsur yang terdapat pada 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen. Unsur larangan menawarkan,

mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar

atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi

atas suatu barang dan atau jasa dapat dilihat dari berbagai iklan-iklan pada

media yang digunakan oleh PT. Nissan March Indonesia dalam menawarkan

produk mereka.

Ketidaksesuaian antara informasi pada iklan dengan kondisi produk yang

sebenarnya terkait dengan pengunaan BBM produk PT. Nissan Motor

Indonesia dapat dijadikan sebagai bukti bahwa PT. Nissan Motor Indonesia

telah menyampaikan iklan yang menyesatkan. Suatu iklan menyesatkan dapat

115

diketahui telah menyesatkan setelah suatu barang atau jasa tersebut

digunakan. Konsumen dituntut untuk lebih berhati-hati dalam mencermati

informasi yang disampaikan melalui iklan, karena hingga saat tidak ada

patokan yang dapat digunakan oleh konsumen untuk menilai apakah iklan

tersebut menyesatkan atau tidak. Disisi lain pelaku usaha wajib memberikan

informasi yang benar mengenai kondisi suatu barang dan atau jasa. Hal ini

perlu karena sebagian besar kerugian yang diderita oleh konsumen karena

adanya ketidaksesuaian informasi mengenai barang dan/atau jasa. Media

pemasaran yang digunakan oleh pelaku usaha pada tahap pratransaksi pun

perlu diberikan perhatian khusus karena media merupakan alat komunikasi

antara pelaku usaha dengan konsumen untuk memperkenalkan suatu barang

dan/atau jasa. Salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan

informasi kepada konsumen yaitu melalui iklan.

Pelanggaran terhadap Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat

dihubungkan dengan adanya hak konsumen berkaitan dengan informasi

mengenai barang dan/atau jasa yang akan mereka konsumsi sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa :

“Hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.”

116

Hak konsumen yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatas disebutkan pula

didalam Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan

oleh pelaku usaha.

Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa :

“Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas

dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta

memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.”

Menurut Jogiyanto HM., informasi yaitu :

“Hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan

lebih berarti bagi penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian-

kejadian (event) yang nyata (fact) yang digunakan untuk pengambilan

keputusan.”

Berdasarkan data hasil penelitian nomor 4.1. apabila dihubunngkan

dengan Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen dan pendapat Jogiyanto HM., bahwa Ludmilla Arif

membeli Mobil Nissan March karena tertarik dengan iklan Nissan March baik

di surat kabar maupun media online internet bahwa konsumsi BBM Nissan

March adalah 18,5 km/liter. Data tersebut mendeskripsikan bahwa informasi

tentang barang atau jasa memegang peranan penting dalam pertimbangan

konsumen sebelum memutuskan untuk mengkonsumsi suatu barang atau jasa

117

tertentu. Informasi yang benar dan bertanggung jawab merupakan kebutuhan

pokok konsumen sebelum konsumen itu dapat mengambil keputusan untuk

mengadakan atau menunda atau tidak mengadakan transaksi bagi kebutuhan

hidupnya. Informasi barang atau jasa dapat diperoleh dari berbagai sumber

dan dalam berbagai bentuk.

Hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa merupakan salah satu hak

konsumen yang sangat penting karena pada era perdagangan bebas saat ini

persaingan yang semakin ketat menyebabkan pelaku usaha terkadang

mengesampingkan kebenaran informasi untuk menarik minat konsumen atas

produk mereka, sehingga informasi oleh pelaku usaha seringkali bersifat

mengelabui konsumen dengan memberikan informasi yang tidak benar.

Hak untuk memperoleh informasi ini dimaksudkan agar konsumen dapat

memperoleh gambaran tentang suatu produk yang akan mereka konsumsi

apakah sudah sesuai dengan kebutuhannya serta menghindari terjadinya

kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Konsumen sebelum

menentukan pilihan untuk mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa tentu

akan mencari informasi mengenai barang dan atau jasa tersebut. Informasi ini

diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru

atas produk barang dan jasa. Kesalahan dalam pemberian informasi dapat

juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, sehingga hak atas informasi

ini sangat penting. Pemenuhan hak ini akan menguntungkan konsumen dan

pelaku usaha, bagi konsumen akan meningkatkan efisiensi dalam memilih

118

produk serta meningkatkan kesetiaanya terhadap produk tertentu sehingga

akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang menghasilkan produk

tersebut.

Berdasarkan Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen dan pendapat Jogiyanto HM., maka dapat

dideskripsikan bahwa informasi adalah sesuatu yang sangat penting bagi

konsumen agar konsumen mendapatkan penjelasan yang maksimal atas

sebuah produk. Oleh karena itu kaitannya dengan penelitian ini maka PT.

Nissan Motor Indonesia harus dinyatakan melanggar Pasal 4 huruf c Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disamping telah

melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No.

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana telah dibuktikan

dalam pengadilan.

119

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat diambil suatu

simpulan yaitu hakim dalam menerapkan hukumnya sudah tepat karena PT.

Nissan Motor Indonesia memenuhi unsur-unsur yang dimuat dalam Pasal 9

ayat (1) huruf k berkaitan dengan kegiatan pelaku usaha yang dilarang

menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa

secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan suatu janji yang belum

pasti. Pernyataan yang disampaikan oleh PT. Nissan Motor Indonesia

mengenai penggunaan BBM yang irit merupakan suatu bentuk janji dari

pelaku usaha kepada konsumen dan dijadikan sebagai alasan bagi konsumen

untuk membeli mobil tersebut. Apabila janji tersebut tidak sesuai dengan

kenyataan maka dapat dijadikan alasan bagi konsumen untuk meminta agar

jual beli dibatalkan atau bahkan mengajukan gugatan berdasarkan

wanprestasi ke pengadilan.

Penerapan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 659

K/Pdt.Sus/2012 juga sudah tepat karena PT. Nissan Motor Indonesia

memenuhi unsur-unsur yang dimuat dalam pasal tersebut yaitu unsur larangan

menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang

tidak benar atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak

120

atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa yang dapat dilihat dari media

iklan yang digunakan PT. Nissan Motor Indonesia dalam menawarkan produk

mereka. Ketidaksesuaian antara informasi pada iklan dengan kondisi produk

yang sebenarnya terkait penggunaan BBM produk PT. Nissan Motor

Indonesia dapat dijadikan sebagai bukti bahwa PT. Nissan Motor Indonesia

telah menyampaikan iklan yang menyesatkan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka penulis

memberikan saran bahwa hakim seyogyanya membuat pertimbangan hukum

yang lengkap dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012

dengan menyatakan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia juga melanggar

ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata dan Pasal 1474 KUHPerdata mengenai

jual beli yang memuat tentang tanggung jawab penjual untuk menanggung

kebendaan yang dijual, dalam hal ini PT. Nissan Motor Indonesia harus

bertanggung jawab terhadap kebendaan yang dijualnya karena adanya

informasi yang tidak sesuai mengenai produk yang mereka jual sehingga

menimbulkan kerugian bagi konsumen serta melanggar Pasal 4 huruf c

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

memuat mengenai hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagai landasan dalam

menerapkan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

121

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Barkatullah, Abdul Halim. 2010. Hak-Hak Konsumen. Bandung: Nusa Media.

Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.

Harianto, Dedi. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang

Menyesatkan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen.

Bandung: Mandar Maju.

Kansil, CST. 1997. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar

Grafika.

Liliweri, Alo. 1996. Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan. Bandung: Citra Aditya

Bakti.

Miru, Ahmadi. 2013. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di

Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan

Hukum pada Perlidungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

____________. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar).

Yogyakarta: Diadit Media.

Salim, H.S. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak.

Jakarta: Sinar Grafika.

Satrio, J. 1992. Hukum Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Grasindo.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen yang Dirugikan. Jakarta: Visimedia.

122

Sutedi, Adrian. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan

Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia.

Suyadi. 2007. Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Purwokerto:

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Wakhid, Nur. 2012. Hukum Perjanjian. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman

Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sumber Lain

http://putriagustia.blogspot.com/2012/05/perlindungankonsumen.html.diakses

tanggal 8 Desember 2014.

http://internetsebagaisumberbelajar.blogspot.com/2010/07/pengertianpenerapan

.html. diakses tanggal 10 November 2014.

Muhammad Joni, 2003, Efektivitas Penerapan Hukum, http://www. Advokat

muhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapan-

hukum.html diakses tanggal 10 November 2014.