1
KEMAH PERSAUDARAAN: Pelajar saling bertukar cerita di dalam tenda saat mengikuti Kemah Persaudaraan Anak Bangsa di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, pekan lalu. FURQON ULYA HIMAWAN S ALAM persaudaraan! Pekikan nyaring itu ber- kumandang kencang lewat pengeras suara. Pemilik suara adalah seorang pria yang berada di atas sebuah pang gung. Ia mengepalkan tangan kanan dan mengacung- kannya ke atas. Dari bawah panggung, pe- kik itu mendapat sambutan. “Salam kita bersama!” Suara berbarengan mengalahkan kerasnya teriakan pria di atas panggung. Bumi Perkemahan Wonogon- dang, akhir pekan lalu, ramai sekali. Ratusan pelajar SMA berkumpul di sebuah lapangan besar yang berada di wilayah Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sle- man, DI Yogyakarta. Kemah Persaudaraan Anak Bangsa. Kegiatan itulah yang membuat mereka berkumpul di tempat tersebut. Sebuah kemah yang diada- kan untuk membangun per- saudaraan antarumat beriman di kalangan pelajar. “Ini upaya untuk meneguh- kan spirit kebangsaan, dan menumbuhkan komunikasi antarpelajar lintas iman,” kata Muhammad Shodiq, Ketua Panitia Kemah Persaudaraan. Tema yang diusung adalah Menabur benih, menumbuhkan kebersamaan. Kemah diikuti ratusan pelajar SMA dan se- derajat dari berbagai daerah di DI Yogyakarta. Pesertanya berasal dari lintas iman. Mereka pelajar beragama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha. Para pelajar berkumpul se- lama tiga hari. Mereka mem- baur dalam satu area di lapang besar. Sejumlah kegiatan yang dige- lar membuat mereka menyatu, menanggalkan keakuan seba- gai pemeluk agama tertentu. “Ini kebinekaan. Kami me- nyatu sebagaimana seharusnya kami hidup di tengah masyara- kat,” lanjut Shodiq. Ada 40 sekolah yang diun- dang untuk mengikuti Kemah Persaudaraan Anak Bangsa. Sambutan datang dari 23 seko- lah yang kemudian mengirim para pelajar. Total peserta ke- mah mencapai 175 pelajar. Ada 97 perempuan dan 60 pelajar laki-laki. Peserta tidak hanya pelajar yang duduk di SMA, tapi juga santri dari pondok pesantren, organisasi agama seperti Lem- baga Dakwah Islam Indonesia dan komunitas Hindu. Mereka tinggal bersama da- lam tenda berukuran 2x5 meter. Ada 22 tenda yang disediakan panitia. Setiap tenda ditempati 8-10 pelajar, dengan beragam agama dan asal sekolah. “Ini sebuah tantangan baru. Saya harus hidup bersama dan bergaul dengan teman baru, berbeda sekolah dan berbeda agama,” kata Siti Hawa, pelajar SMA Negeri 1 Wates. Perbedaan alias pluralisme selama ini hanya terngiang di telinga dan menempel di benak. Dalam kehidupan sehari-hari, Hawa mengaku lebih banyak bergaul dengan rekan satu sekolah, bahkan satu agama. Ketika sekolah mengirim- nya sebagai wakil ke Kemah Persaudaraan, gadis kecil ini mengaku sangat senang. “Saya pengen banget ikut. Ingin tahu dan merasakan perbedaan, se- kaligus merajut kebersamaan dari perbedaan itu,” tandas- nya. Tiga hari dalam tenda, Ha- Lembaga Pendidikan Calon Pastur Katolik. “Manusia beriman harus menjaga alam. Semua agama menyatakan kalau hidup ingin selamat, harus menjaga kese- lamatan alam. Kalau alamnya tidak selamat, manusianya juga tidak akan selamat,” tan- dasnya. Tutur lembut para pemuka agama sanggup menyihir para pelajar, yang dalam usia mereka adalah makhluk yang dinamis. Kesadaran pun timbul. Seperti yang dirasakan Wa- yan Agus, pelajar beragama Hindu. Dari diskusi dengan para tokoh itu, ia pun tiba pa- da kesimpulan bahwa ajaran Hindu yang dianutnya adalah benar. “Agama saya mengajarkan orang beriman harus menjaga kelestarian alam.” Panitia kemah pun tidak membiarkan petuah para tokoh agama hanya tinggal di benak dan pikiran para pelajar. Me- reka pun digiring untuk lebih sayang kepada alam lewat kegiatan menanam pohon ber- sama di lereng Merapi. Tangan lembut para remaja itu seperti bicara. Mereka me- nyayangi alam dan berharap kehijauan lereng Merapi hadir lagi. Tiga hari menyatu dalam perbedaan membuat Ni Wayan Yeccika tiba pada kesimpulan bahwa kebersamaan adalah hal yang sangat berharga. “Saya heran karena ada be- berapa kelompok masyarakat yang cenderung menyalahkan agama lain yang tidak sesuai dengan agamanya,” tandas pelajar SMA Stelladucce, Kota Yogyakarta itu. (N-2) [email protected] Para pelajar datang untuk mengenal perbedaan. Mereka merajut kemanusiaan dan menyatu dengan alam. CINTA LINGKUNGAN: Selain saling mengenal arti perbedaan, para peserta Kemah Persaudaraan diarahkan untuk mencintai lingkungan. Di sekitar Bumi Perkemahan Wonogondang, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, mereka menanam pohon untuk menyelamatkan dunia. REMAJA DAN MUSIK: Vokalis Marzuki dari Hip Hop Java menghibur para peserta Kemah Persaudaraan Anak Bangsa, di Kecamatan Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, pekan lalu. Ini sebuah tantangan baru. Saya harus hidup bersama dan bergaul dengan teman baru, berbeda sekolah dan berbeda agama.” Siti Hawa Pelajar SMA Negeri 1 Wates. Merajut Kebersamaan dari Dalam Tenda 9 N N USANTARA USANTARA KAMIS, 14 APRIL 2011 wa pun mengaku mendapat pencerahan. Mata batinnya ma kin terbuka untuk mera- jut kebersamaan di tengah perbedaan. “Indah,” kata dia pendek. Selaras dengan alam Di dalam tenda, para pelajar menyatukan perbedaan. Sejak bangun pagi, bersiap mengha- dapi hari, dan kembali ke tenda untuk beristirahat, mereka lakukan bersama. Selama tiga hari, mereka juga mendapat gemblengan tentang pluralisme dari sejumlah tokoh agama. Kegiatan lain adalah bersama-sama melakukan la- tihan mitigasi bencana. Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X pun merasakan pancaran ke- bersamaan itu. “Pelajar adalah generasi penerus bangsa. Mereka su- dah harus mendapat bekal kebinekaan sejak dini.” Sejumlah tokoh agama yang didaulat berbicara di depan pelajar pun memilih tidak mencekoki mereka dengan dogma. Alisa Wahid, misalnya, berusaha mengenalkan keber- samaan lewat alam. “Indonesia adalah alam yang luas. Selain selaras dengan sesama manusia, kita juga ha- rus mampu hidup berdamping- an dengan alam,” kata putri sulung mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid ini. Alam juga jadi perhatian Romo Mathius Purwatma dari FOTO-FOTO: MI/FURQON

KAMIS, 14 APRIL 2011 Merajut Kebersamaan dari fileSaya harus hidup bersama dan bergaul dengan teman baru, ... dan merasakan perbedaan, se-kaligus merajut kebersamaan dari perbedaan

Embed Size (px)

Citation preview

KEMAH PERSAUDARAAN:

Pelajar saling bertukar cerita di dalam tenda saat mengikuti Kemah

Persaudaraan Anak Bangsa di

Desa Umbulharjo, Kecamatan

Cangkringan, Kabupaten

Sleman,DI Yogyakarta,

pekan lalu.

FURQON ULYA HIMAWAN

SALAM persaudaraan! Pekikan nyaring itu ber-ku mandang kencang lewat pengeras suara.

Pe milik suara adalah seorang pria yang berada di atas sebuah pang gung. Ia mengepalkan ta ngan kanan dan mengacung-kannya ke atas.

Dari bawah panggung, pe-kik itu mendapat sambutan. “Sa lam kita bersama!” Suara ber barengan mengalahkan ke ras nya teriakan pria di atas pang gung.

Bumi Perkemahan Wonogon-dang, akhir pekan lalu, ramai se kali. Ratusan pelajar SMA ber kumpul di sebuah lapangan besar yang berada di wilayah Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sle-man, DI Yogyakarta.

Kemah Persaudaraan Anak Bangsa. Kegiatan itulah yang mem buat mereka berkumpul di tempat tersebut.

Sebuah kemah yang diada-kan untuk membangun per-saudaraan antarumat beriman

di kalangan pelajar.“Ini upaya untuk meneguh-

kan spirit kebangsaan, dan me numbuhkan komunikasi antarpelajar lintas iman,” kata Muhammad Shodiq, Ketua Panitia Kemah Persaudaraan.

Tema yang diusung adalah Menabur benih, menumbuhkan kebersamaan. Kemah diikuti ratusan pelajar SMA dan se-derajat dari berbagai daerah di DI Yogyakarta.

Pesertanya berasal dari lintas iman. Mereka pelajar beragama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha.

Para pelajar berkumpul se-lama tiga hari. Mereka mem-baur dalam satu area di lapang besar.

Sejumlah kegiatan yang dige-lar membuat mereka menyatu, menanggalkan keakuan seba-gai pemeluk agama tertentu.

“Ini kebinekaan. Kami me-nya tu sebagaimana seharusnya kami hidup di tengah masyara-kat,” lanjut Shodiq.

Ada 40 sekolah yang diun-dang untuk mengikuti Kemah Persaudaraan Anak Bangsa. Sam butan datang dari 23 seko-lah yang kemudian mengirim para pelajar. Total peserta ke-mah mencapai 175 pelajar. Ada 97 perempuan dan 60 pelajar laki-laki.

Peserta tidak hanya pelajar yang duduk di SMA, tapi juga santri dari pondok pesantren, organisasi agama seperti Lem-baga Dakwah Islam Indonesia dan komunitas Hindu.

Mereka tinggal bersama da-lam tenda berukuran 2x5 meter. Ada 22 tenda yang disediakan panitia.

Setiap tenda ditempati 8-10 pelajar, dengan beragam agama dan asal sekolah.

“Ini sebuah tantangan baru. Saya harus hidup bersama dan bergaul dengan teman baru, berbeda sekolah dan berbeda agama,” kata Siti Hawa, pelajar SMA Negeri 1 Wates.

Perbedaan alias pluralisme selama ini hanya terngiang di telinga dan menempel di benak. Dalam kehidupan sehari-hari, Hawa mengaku lebih banyak bergaul dengan rekan satu sekolah, bahkan satu agama.

Ketika sekolah mengirim-nya sebagai wakil ke Kemah Persaudaraan, gadis kecil ini mengaku sangat senang. “Saya pengen banget ikut. Ingin tahu dan merasakan perbedaan, se-kaligus merajut kebersamaan dari perbedaan itu,” tandas-nya.

Tiga hari dalam tenda, Ha-

Lembaga Pendidikan Calon Pastur Katolik.

“Manusia beriman harus menjaga alam. Semua agama menyatakan kalau hidup ingin selamat, harus menjaga kese-lamatan alam. Ka lau alamnya tidak selamat, manusianya juga tidak akan selamat,” tan-dasnya.

Tutur lembut para pemuka agama sanggup menyihir para pelajar, yang dalam usia mereka adalah makhluk yang dinamis. Kesadaran pun timbul.

Seperti yang dirasakan Wa-yan Agus, pelajar beragama Hindu. Dari diskusi dengan para tokoh itu, ia pun tiba pa-da kesimpulan bahwa ajaran Hindu yang dianutnya adalah benar.

“Agama saya mengajarkan orang beriman harus menjaga kelestarian alam.”

Panitia kemah pun tidak

membiarkan petuah para tokoh agama hanya tinggal di benak dan pikiran para pelajar. Me-reka pun digiring untuk lebih sayang kepada alam lewat kegiatan menanam pohon ber-sama di lereng Merapi.

Tangan lembut para remaja itu seperti bicara. Mereka me-nyayangi alam dan berharap kehijauan lereng Merapi hadir lagi.

Tiga hari menyatu dalam perbedaan membuat Ni Wayan Yeccika tiba pada kesimpulan bahwa kebersamaan adalah hal yang sangat berharga.

“Saya heran karena ada be-berapa kelompok masyarakat yang cenderung menyalahkan agama lain yang tidak sesuai dengan agamanya,” tandas pelajar SMA Stelladucce, Kota Yogyakarta itu. (N-2)

[email protected]

Para pelajar datang untuk mengenal

perbedaan. Mereka merajut

kemanusiaan dan menyatu dengan

alam.

CINTA LINGKUNGAN: Selain saling mengenal arti perbedaan, para peserta Kemah Persaudaraan diarahkan untuk mencintai lingkungan. Di sekitar Bumi Perkemahan Wonogondang, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, mereka menanam pohon untuk menyelamatkan dunia.

REMAJA DAN MUSIK: Vokalis Marzuki dari Hip Hop Java menghibur para peserta Kemah Persaudaraan Anak Bangsa, di Kecamatan Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, pekan lalu.

Ini sebuah tantangan baru.

Saya harus hidup bersama dan bergaul dengan teman baru, berbeda sekolah dan berbeda agama.”

Siti HawaPelajar SMA Negeri 1 Wates.

Merajut Kebersamaan dari Dalam Tenda

9NNUSANTARAUSANTARAKAMIS, 14 APRIL 2011

wa pun mengaku mendapat pencerahan. Mata batinnya ma kin terbuka untuk mera-jut kebersamaan di tengah per bedaan. “Indah,” kata dia pendek.

Selaras dengan alamDi dalam tenda, para pelajar

menyatukan perbedaan. Sejak bangun pagi, bersiap mengha-dapi hari, dan kembali ke tenda untuk beristirahat, mereka lakukan bersama.

Selama tiga hari, mereka juga mendapat gemblengan tentang pluralisme dari sejumlah tokoh agama. Kegiatan lain adalah bersama-sama melakukan la-tihan mitigasi bencana.

Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X pun merasakan pancaran ke-bersamaan itu.

“Pelajar adalah generasi penerus bangsa. Mereka su-dah harus mendapat bekal kebinekaan sejak dini.”

Sejumlah tokoh agama yang didaulat berbicara di depan pelajar pun memilih tidak mencekoki mereka dengan dogma. Alisa Wahid, misalnya, berusaha mengenalkan keber-samaan lewat alam.

“Indonesia adalah alam yang luas. Selain selaras dengan sesama manusia, kita juga ha-rus mampu hidup berdamping-an dengan alam,” kata putri sulung mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid ini.

Alam juga jadi perhatian Romo Mathius Purwatma dari

FOTO-FOTO: MI/FURQON