1
I NDUSTRI pariwisata saat ini telah berubah meng- ikuti tren baru atau new tourism. Pembaruan ini sejalan dengan perubahan gaya hidup dan selera konsumen di era modern. Mulai dari sisi psikologi wisatawan, manaje- men pariwisata, teknologi, hingga rantai produksinya. Managing Director Tourism Intelligence International (TII) Auliana Poon, pada semi- nar ‘International Tourism Businesss Opportunities 2011- 2015 di Jakarta, Senin (25/10), menuturkan, perubahan tren itu disertai dengan munculnya konsumen baru, pasar baru, dan permintaan baru. Era pariwisata lama, menu- rutnya, ditandai konsumsi massal. Saat itu, perjalanan wisata sekadar menjadi pelari- an dari rutinitas hidup. Namun, di era baru sekarang ini, perjalanan wisata lintas negara telah menjadi bagian gaya hidup, kegiatan untuk menjawab rasa ingin tahu dan memperluas horizon kebu- dayaan lewat pengalaman dan perjalanan. “Wisata juga telah menjadi simbol eksistensi kelas sosial,” kata dia. Oleh karena itu, kata Aulia- na, pemangku kepentingan di industri pariwisata Indonesia harus mengenali selera baru wisatawan mancanegara untuk menangkap peluang pemu- lihan pariwisata global pada 2011-2015. “Ciptakan program-program promosi dan paket perjalan- an dengan berpatokan pada preferensi turis modern yang mencari kearifan lokal dan kegiatan serta produk-produk kebudayaan,” terangnya. Dari sisi suplai, tak diragukan lagi Indonesia punya segalanya yang diinginkan wisatawan. Namun, suplai luar biasa itu pun harus menyesuaikan diri dengan perubahan preferensi konsumen yang radikal dan cepat. “Tiap negara tak bisa lagi mengandalkan keindahan alam dan industri hiburan untuk memenangi kompetisi, tapi juga nilai-nilai. Wisatawan mo- dern ingin dapat pengalaman berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal dan kebu- dayaannya, serta cerita di ba- liknya” ujarnya. Pulau kecil Sementara itu, menurut pe- neliti senior Pusat Litbang Kembudpar Roby Ardiwidjaja, inovasi produk pariwisata di tengah tren pergeseran wisatawan modern yang men- cari autentisitas dari suatu des- tinasi bisa dilakukan dengan mengembangkan pulau kecil sebagai tujuan wisata baru. Namun, ia mengingatkan, “Jangan sampai terjadi eks- ploitasi berlebih di pulau kecil yang dibuka jadi destinasi wisata. Buatlah paket-paket wisata dengan tetap mengu- tamakan prinsip ekologi dan sosial budayanya.” Yang tak kalah penting, menurut pemerhati pariwisa- ta Wuryastuti Sunario, para pelaku usaha di sektor pari- wisata butuh kepastian hukum dalam menanamkan modal pengembangan pulau-pulau kecil di Indonesia. “Kemenbudpar harus segera memetakan aturan main yang jelas sebagai pegangan peme- rintah daerah,” tegasnya. Di sisi lain, Dirjen Pemasaran Kemenbudpar Sapta Nirwan- dar mengatakan tren pemu- lihan sektor pariwisata pada 2010 memang harus ditangkap Indonesia. Berdasarkan prediksi Or- ganisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), kedatangan wisatawan internasional pada 2010 akan tumbuh sekitar 3%-4% atau bertambah 26-35 juta orang. “Jika melihat tren itu, jumlah wisatawan mancanegara ke In- donesia diproyeksikan tumbuh 7%, bertambah dari 6,5 juta orang di 2009 menjadi 7 juta. Angka optimistisnya bisa 7,3 juta orang,” jelasnya. (E-3) [email protected] TIDAK sinkronnya aturan pembiayaan perumahan de- ngan kondisi riil masyarakat Indonesia menjadi pemicu ting- ginya kesenjangan antara kebu- tuhan dan pasokan perumahan (backlog) yang kini mencapai 8 juta unit lebih per tahun. Pengamat ekonomi Aviliani menilai aturan perbankan yang berlaku dalam pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia hanya berpihak pada masyarakat yang bekerja di sektor formal. Di sisi lain, belum ada skema khusus yang meng- atur pembiayaan perumahan bagi pekerja informal. Akibatnya, banyak masya- rakat berpenghasilan rendah (MBR) yang bekerja di sektor informal kesulitan mendapat- kan pembiayaan perumahan lantaran dianggap tidak bank- able. Padahal, struktur pereko- nomian Indonesia didominasi lapangan kerja informal. Ma- syarakat yang bekerja pada sektor itu, menurutnya, men- capai angka 75% dari total angkatan kerja. “Perbankan hanya memberi- kan pinjaman dengan melihat pendapatan debitur, apakah 30% penghasilannya bisa mem- bayar cicilan. Problem yang ada pada kalangan informal adalah ketidakpastian penghasilan. Mereka tidak bisa mencicil bulanan,” ujarnya dalam pem- bukaan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Realestat Indonesia (REI) DKI Jakarta, di Jakarta, kemarin. Di sisi lain, Kementerian Pe- rumahan Rakyat (Kemenpera) mengaku tengah memper- siapkan skema khusus subsidi kredit perumahan bagi MBR di sektor informal. “Kita se- dang upayakan supaya 2011 masyarakat yang menurut bank tidak bankable supaya bisa menjadi bankable untuk mendapatkan pembiayaan perumahan,” ujar Menpera Suharso Monoarfa. Pada 1 Oktober lalu pemerin- tah mulai menerapkan fasilitas likuiditas pembiayaan peru- mahan (FLPP) untuk menekan tingkat suku bunga. Namun, sistem pembiayaan itu dinilai hanya dapat menyentuh MBR yang bekerja di sektor for- mal. Sebab, FLPP hanya dapat diberikan kepada masyarakat berpenghasilan tetap maksimal Rp2,5 juta per bulan untuk jenis rumah sejahtera sederhana (tapak) dan penghasilan maksi- mal Rp4,5 juta per bulan untuk rumah susun sederhana. Sementara itu, Ketua Umum DPP REI Teguh Satria meng- ungkapkan, lambannya proses perizinan pembangunan peru- mahan di daerah selalu menjadi kendala utama bagi pengem- bang. Contohnya di DKI, jika mengikuti aturan formal, proses perizinan memerlukan waktu minimal setahun. Akibatnya, pengembang harus menang- gung ongkos tambahan yang akhirnya dibebankan kepada konsumen melalui penaikan harga. (CS/E-4) PROSPEK usaha produk- produk perikanan Indonesia masih cerah ke depan. Hal itu ditandai masih besarnya permintaan dalam negeri yang belum terpenuhi dan pasar ekspor yang akan terus me- ningkat. Menurut Ketua Umum Aso- siasi Pengusaha Pengolah- an dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP51) Thomas Darmawan, tahun ini tingkat ekspor produk perikan- an memang masih cenderung stagnan jika dibandingkan dengan pada 2009. Rendahnya pertumbuhan ekspor itu, berkaitan dengan meningkatnya permintaan da- lam negeri tahun ini yang bisa mencapai 15%-20%. “Produk ikan tawar yang jadi primadona di Indonesia ini di antaranya ikan mas, gurame, dan patin,” ujarnya di sela pembukaan pameran produk- produk makanan minuman, percetakan, dan farmasi di Jakarta, kemarin. Menurut Thomas, tren positif pertumbuhan pasar dalam ne- geri ini selain sebagai dampak bertambahnya jumlah pen- duduk, karena bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat. “Pasar produk perikanan dalam negeri ini bisa terdong- krak salah satunya karena tren kenaikan harga daging sapi dan ayam belakangan ini. Kita lihat saat ini, banyak orang beralih mengonsumsi ikan saat harga daging sapi dan ayam mahal,” ujarnya. Jika dapat dimanfaatkan, ujar Thomas, usaha produk perikan an masih akan ber- gairah ke depan. Pasalnya, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, tingkat konsumsi ikan per kapita masyarakat Indone- sia masih jauh lebih kecil. Tingkat konsumsi ikan na- sional hanya sekitar 3 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan daging sapi dan ayam yang mencapai 4-5 kg per tahun. “Untuk menangkap potensi pasar ini, Indonesia perlu me- nambah industri-industri pe- ngolahan,” ujarnya. Thomas melanjutkan, selain industri pengolahan, dari sisi hulu atau budi dayanya pun masih perlu terus dikembang- kan. Karena itu, saat ini, fokus pengembangan dunia usaha adalah pada penyiapan sumber daya manusianya, teknologi budi daya serta pemasaran- nya. Untuk ekspor, terutama produk primadona udang, ta- hun depan akan menjadi masa- masa penuh kesempatan bagi Indonesia. Itu terkait dengan China yang mengumumkan memerlukan produk udang hingga 1 juta ton per tahun mulai tahun depan. Saat ini, pasar ekspor produk udang Indonesia masih terpusat di Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat. (AW/E-2) 18 | Ekonomi Nasional KAMIS, 28 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Kenali Selera Baru Wisatawan Wisata telah menjadi simbol eksistensi kelas sosial. Anindityo Wicaksono Kebijakan Pembiayaan Perumahan tidak Memihak Pekerja Informal Untuk menangkap potensi pasar ini, Indonesia perlu menambah industri-industri pengolahan.” Thomas Darmawan Ketua Umum AP51 Prospek Perikanan masih Cerah POTENSI WISATA: Pengunjung menikmati panorama gili Kenawa di Desa Tano, Kecamatan Poto Tano, Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB, beberapa waktu lalu. Pulau Kenawa dengan luas 13,8 hektare memiliki panorama alam yang indah. Kawasan ini cocok untuk wisata diving dan snorkeling karena memiliki jenis ikan dan terumbu karang yang bervariasi dan berkerapatan tinggi. ANTARA/AHMAD SUBAIDI PERUMAHAN: Mobil diparkir di depan perumahan di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu. MI/ADAM DWI

KAMIS, 28 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Kenali Selera ... · I NDUSTRI pariwisata saat ini telah berubah meng-ikuti tren baru atau new tourism.Pembaruan ini sejalan dengan perubahan

  • Upload
    vutu

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAMIS, 28 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Kenali Selera ... · I NDUSTRI pariwisata saat ini telah berubah meng-ikuti tren baru atau new tourism.Pembaruan ini sejalan dengan perubahan

INDUSTRI pariwisata saat ini telah berubah meng-ikuti tren baru atau new tourism. Pembaruan ini

sejalan dengan perubahan gaya hidup dan selera konsumen di era modern. Mulai dari sisi psikologi wisatawan, manaje-men pariwisata, teknologi, hingga rantai produksinya.

Managing Director Tourism Intelligence International (TII) Auliana Poon, pada semi-nar ‘International Tourism Businesss Opportunities 2011-2015 di Jakarta, Senin (25/10), menuturkan, perubahan tren itu disertai dengan munculnya konsumen baru, pasar baru, dan permintaan baru.

Era pariwisata lama, menu-rutnya, ditandai konsumsi massal. Saat itu, perjalanan wisata sekadar menjadi pelari-an dari rutinitas hidup.

Namun, di era baru sekarang ini, perjalanan wisata lintas negara telah menjadi bagian gaya hidup, kegiatan untuk menjawab rasa ingin tahu dan memperluas horizon kebu-dayaan lewat pengalaman dan perjalanan. “Wisata juga telah menjadi simbol eksistensi kelas sosial,” kata dia.

Oleh karena itu, kata Aulia-na, pemangku kepentingan di industri pariwisata Indonesia harus mengenali selera baru wisatawan mancanegara untuk menangkap peluang pemu-lihan pariwisata global pada 2011-2015.

“Ciptakan program-program promosi dan paket perjalan-an dengan berpatokan pada

preferensi turis modern yang mencari kearifan lokal dan kegiatan serta produk-produk kebudayaan,” terangnya.

Dari sisi suplai, tak diragukan lagi Indonesia punya segalanya yang diinginkan wisatawan. Namun, suplai luar biasa itu pun harus menyesuaikan diri dengan perubahan preferensi konsumen yang radikal dan cepat.

“Tiap negara tak bisa lagi mengandalkan keindahan alam dan industri hiburan untuk memenangi kompetisi, tapi juga nilai-nilai. Wisatawan mo-dern ingin dapat pengalam an berinteraksi langsung dengan

masyarakat lokal dan kebu-dayaannya, serta cerita di ba-liknya” ujarnya.

Pulau kecilSementara itu, menurut pe-

neliti senior Pusat Litbang Kembudpar Roby Ardiwidjaja, inovasi produk pariwisata di tengah tren pergeseran wisatawan modern yang men-cari autentisitas dari suatu des-tinasi bisa dilakukan dengan mengembangkan pulau kecil sebagai tujuan wisata baru.

Namun, ia mengingatkan, “Jangan sampai terjadi eks-ploitasi berlebih di pulau kecil yang dibuka jadi destinasi

wisata. Buatlah paket-paket wisata dengan tetap mengu-tamakan prinsip ekologi dan sosial budayanya.”

Yang tak kalah penting, menurut pemerhati pariwisa-ta Wuryastuti Sunario, para pelaku usaha di sektor pari-wisata butuh kepastian hukum dalam menanamkan modal pengembangan pulau-pulau kecil di Indonesia.

“Kemenbudpar harus segera memetakan aturan main yang jelas sebagai pegangan peme-rintah daerah,” tegasnya.

Di sisi lain, Dirjen Pemasaran Kemenbudpar Sapta Nirwan-dar mengatakan tren pemu-

lihan sektor pariwisata pada 2010 memang harus ditangkap Indonesia.

Berdasarkan prediksi Or-ganisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), kedatangan wisatawan internasional pada 2010 akan tumbuh sekitar 3%-4% atau bertambah 26-35 juta orang.

“Jika melihat tren itu, jumlah wisatawan mancanegara ke In-donesia diproyeksikan tumbuh 7%, bertambah dari 6,5 juta orang di 2009 menjadi 7 juta. Angka optimistisnya bisa 7,3 juta orang,” jelasnya. (E-3)

[email protected]

TIDAK sinkronnya aturan pembiayaan perumahan de-ngan kondisi riil masyarakat Indonesia menjadi pemicu ting-ginya kesenjangan antara kebu-tuhan dan pasokan perumahan (backlog) yang kini mencapai 8 juta unit lebih per tahun.

Pengamat ekonomi Aviliani menilai aturan perbankan yang berlaku dalam pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia hanya berpihak pada masyarakat yang beker ja di sektor formal. Di sisi lain, belum ada skema khusus yang meng-atur pembiayaan pe rumah an bagi pekerja infor mal.

Akibatnya, banyak ma sya-ra kat berpenghasilan rendah (MBR) yang bekerja di sektor in formal kesulitan mendapat-kan pembiayaan perumahan lan taran dianggap tidak bank-able. Padahal, struktur pereko-no mian Indonesia didominasi lapangan kerja informal. Ma-sya rakat yang bekerja pada sek tor itu, menurutnya, men-capai angka 75% dari total angkatan kerja.

“Perbankan hanya memberi-kan pinjaman dengan melihat pendapatan debitur, apakah

30% penghasilannya bisa mem-bayar cicilan. Problem yang ada pada kalangan informal adalah ketidakpastian penghasilan. Mereka tidak bisa mencicil bulanan,” ujarnya dalam pem-bukaan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Realestat Indonesia (REI) DKI Jakarta, di Jakarta, kemarin.

Di sisi lain, Kementerian Pe-rumahan Rakyat (Kemenpera) mengaku tengah memper-siapkan skema khusus subsidi kredit perumahan bagi MBR di sektor informal. “Kita se-dang upayakan supaya 2011 masyarakat yang menurut bank tidak bankable supaya bisa menjadi bankable untuk

mendapatkan pembiayaan perumahan,” ujar Menpera Suharso Monoarfa.

Pada 1 Oktober lalu pemerin-tah mulai menerapkan fasilitas likuiditas pembiayaan peru-mahan (FLPP) untuk menekan tingkat suku bunga. Namun, sistem pembiayaan itu dinilai hanya dapat menyentuh MBR yang bekerja di sektor for-mal. Sebab, FLPP hanya dapat diberikan kepada masyarakat berpenghasilan tetap maksimal Rp2,5 juta per bulan untuk jenis rumah sejahtera sederhana (tapak) dan penghasilan maksi-mal Rp4,5 juta per bulan untuk rumah susun sederhana.

Sementara itu, Ketua Umum DPP REI Teguh Satria meng-ungkapkan, lambannya proses perizinan pembangunan peru-mahan di daerah selalu menjadi kendala utama bagi pengem-bang. Contohnya di DKI, jika mengikuti aturan formal, proses perizinan memerlukan waktu minimal setahun. Akibatnya, pengembang harus menang-gung ongkos tambahan yang akhir nya dibebankan kepada konsumen melalui penaik an harga. (CS/E-4)

PROSPEK usaha produk-produk perikanan Indonesia masih cerah ke depan. Hal itu ditandai masih besarnya permintaan dalam negeri yang belum terpenuhi dan pasar ekspor yang akan terus me-ningkat.

Menurut Ketua Umum Aso-siasi Pengusaha Pengolah-an dan Pemasaran Produk Perikan an Indonesia (AP51) Thomas Darmawan, tahun ini tingkat ekspor produk perikan-an memang masih cenderung stagnan jika dibandingkan dengan pada 2009.

Rendahnya pertumbuhan ekspor itu, berkaitan dengan meningkatnya permintaan da-lam negeri tahun ini yang bisa mencapai 15%-20%.

“Produk ikan tawar yang jadi primadona di Indonesia ini di antaranya ikan mas, gurame, dan patin,” ujarnya di sela pembukaan pameran produk-produk makanan minuman, percetakan, dan farmasi di Jakarta, kemarin.

Menurut Thomas, tren positif pertumbuhan pasar dalam ne-ge ri ini selain sebagai dampak bertambahnya jumlah pen-duduk, karena bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat.

“Pasar produk perikanan dalam negeri ini bisa terdong-krak salah satunya karena tren kenaikan harga daging sapi dan ayam belakangan ini. Kita lihat saat ini, banyak orang beralih mengonsumsi ikan saat harga daging sapi dan ayam mahal,” ujarnya.

Jika dapat dimanfaatkan, ujar Thomas, usaha produk perikan an masih akan ber-gairah ke depan. Pasalnya, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, tingkat konsumsi ikan

per kapita masyarakat Indone-sia masih jauh lebih kecil.

Tingkat konsumsi ikan na-sional hanya sekitar 3 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan daging sapi dan ayam yang mencapai 4-5 kg per tahun.

“Untuk menangkap potensi pasar ini, Indonesia perlu me-nambah industri-industri pe-ngolahan,” ujarnya.

Thomas melanjutkan, selain industri pengolahan, dari sisi hulu atau budi dayanya pun masih perlu terus dikembang-kan. Karena itu, saat ini, fokus pengembangan dunia usaha

adalah pada penyiapan sumber daya manusianya, teknologi budi daya serta pemasaran-nya.

Untuk ekspor, terutama produk primadona udang, ta-hun depan akan menjadi masa-masa penuh kesempatan bagi Indonesia. Itu terkait dengan China yang mengumumkan memerlukan produk udang hingga 1 juta ton per tahun mulai tahun depan. Saat ini, pasar ekspor produk udang Indonesia masih terpusat di Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat. (AW/E-2)

18 | Ekonomi Nasional KAMIS, 28 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Kenali Selera Baru WisatawanWisata telah menjadi simbol eksistensi kelas sosial.

Anindityo Wicaksono

Kebijakan Pembiayaan Perumahan tidak Memihak Pekerja Informal

Untuk menangkap potensi pasar ini, Indonesia perlu menambah industri-industri pengolahan.”Thomas DarmawanKetua Umum AP51

Prospek Perikanan masih Cerah

POTENSI WISATA: Pengunjung menikmati panorama gili Kenawa di Desa Tano, Kecamatan Poto Tano, Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB, beberapa waktu lalu. Pulau Kenawa dengan luas 13,8 hektare memiliki panorama alam yang indah. Kawasan ini cocok untuk wisata diving dan snorkeling karena memiliki jenis ikan dan terumbu karang yang bervariasi dan berkerapatan tinggi.

ANTARA/AHMAD SUBAIDI

PERUMAHAN: Mobil diparkir di depan perumahan di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu.

MI/ADAM DWI