Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
“KAMPUNG INGGRIS” DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP
SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
(STUDI PADA DUSUN SINGGAHAN, DESA PELEM
DAN DESA TULUNGREJO, PARE, KABUPATEN
KEDIRI)
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Nur Mu’arifa
125020100111003
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
“Kampung Inggris” dan Implikasinya Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat
(Studi pada Dusun Singgahan, Desa Pelem dan Desa Tulungrejo, Pare,
Kabupaten Kediri)
Nur Mu’arifa
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Agus Suman, SE., DEA.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika perkembangan “Kampung
Inggris” dan implikasinya terhadap sosial ekonomi masyarakat. Jenis penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Data dalam penelitian ini dikumpulkan
melalui metode dokumentasi, observasi, dan wawancara mendalam semi terstruktur. Informan
dalam penelitian ini ditentukan menggunakan metode snowball sampling dan purposive sampling.
Informan kunci diwakili oleh pemilik lembaga kursus bahasa asing, tenaga kerja di lembaga
kursus, dan masyarakat pelaku usaha di Dusun Singgahan, Desa Pelem dan Desa Tulungrejo,
Pare, Kabupaten Kediri.
Hasil penelitian ini menggambarkan dinamika perkembangan “Kampung Inggris”
meliputi: 1) proses pertumbuhan lembaga kursus sejenis di “Kampung Inggris” pada tahap awal
perkembangannya didorong oleh faktor modal sosial yaitu kepercayaan/trust dan norma berupa
nilai „saling berbagi‟ yang dimiliki antara perintis dengan muridnya (antar lembaga kursus); 2)
proses transfer pengetahuan dan informasi (knowledge spillover) di wilayah aglomerasi terjadi
ketika tenaga kerja di lembaga kursus pendahulu memilih mengundurkan diri dan mendirikan
lembaga kursus baru sendiri, serta kedekatan geografis antar lembaga kursus mengakibatkan
strategi lembaga kursus mampu dibaca oleh kompetitor; 3) iklim persaingan yang semakin
kompetitif memotivasi lembaga kursus untuk meningkatkan kualitas produk melalui inovasi; 4)
beberapa lembaga kursus melakukan upaya pemberdayaan manusia di “Kampung Inggris”
melalui pemberian beasiswa khusus pemuda lokal dengan sistem zonasi. Implikasi “Kampung
Inggris” terhadap sosial ekonomi masyarakat meliputi: 1) aspek ekonomi: peluang usaha baru;
kesempatan kerja bagi penduduk lokal dan dari luar desa; pergeseran struktur mata pencaharian;
peningkatan harga jual/sewa tanah; 2) aspek sosial: jaringan kerjasama yang terbentuk antara
lembaga kursus dengan penyedia layanan (kost, katering, dan laundry); peningkatan kesadaran
atas pendidikan dan kewirausahaan; penyelenggara lokal terdesak oleh investor dari luar;
kemacetan pada waktu tertentu; dan kriminalitas.
Kata kunci: Kampung Inggris, Implikasi Sosial Ekonomi, Ekonomi Aglomerasi
A. PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi lokal merupakan jawaban atas ketimpangan antar wilayah yang sering
terjadi baik di perkotaan ataupun perdesaan. Hal ini dikarenakan perbedaan potensi, kondisi, dan
karakteristik masing-masing daerah. Karakteristik di perdesaan umumnya ditandai dengan jumlah
pelaku dan kegiatan ekonomi yang sedikit dan didominasi oleh sektor pertanian, berbanding
terbalik dengan wilayah perkotaan yang jumlah pelaku ekonominya cenderung terkonsentrasi di
suatu lokasi, dan dominan bergerak di sektor tersier (jasa) (Setiono, 2011)
Esensi pembangunan di era otonomi daerah dilakukan dengan menata kelembagaan pemerintah
yang mengupayakan pelayanan publik dan keputusan pembangunan ekonomi berdasarkan
kepentingan masyarakat lokal; guna menghasilkan alokasi sumberdaya yang sesuai dengan
kehendak dan aspirasi masyarakat lokal. Pemerintah daerah diharapkan dengan sangat mampu
memformulasikan aspirasi masyarakat dalam menghasilkan produk pembangunan ekonomi berupa
program dan kebijakan yang mampu menyelesaikan permasalahan aktual dalam jangka pendek
dan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat dalam jangka panjang (Usman dalam
Tambunan, 2004).
Pembangunan ekonomi lokal berangkat dari inisiatif dan ciri „khas‟ daerah yang bersangkutan
(endogenous development) dengan memanfaatkan sumber daya lokal baik fisik maupun nonfisik
dengan tujuannya dalam jangka pendek untuk meningkatkan pendapatan per kapita, produktivitas
sumber daya manusia dan keberdayaan masyarakat. Sedangkan tujuan jangka panjangnya untuk
mengurangi jumlah kemiskinan absolut dan tingkat pengangguran, mempersempit jurang
kesenjangan ekonomi serta peningkatan investasi. Tujuan tersebut dapat dicapai jika masyarakat,
dunia usaha, dan pemerintah menyatukan pandangan dan langkah dalam melaksanakan upaya
percepatan pembangunan melalui pengembangan potensi sumber daya lokal menjadi keunggulan
daerah guna menciptakan kemandirian dan keswadayaan dengan hasil akhir berupa kesejahteraan
masyarakat (Wiranto, 2004).
“Kampung Inggris” merupakan salah satu potensi lokal milik Kabupaten Kediri. Kawasan ini
gencar dipromosikan oleh Pemerintah Daerah di sektor pariwisata dan menjadi ikon Kabupaten
Kediri. Fenomena berkumpulnya lembaga kursus bahasa asing yang terkonsentrasi secara
geografis di Dusun Singgahan, Desa Pelem dan Desa Tulungrejo menstimulasi perekonomian desa
bergerak sangat pesat ke arah yang positif. Perputaran uang di “Kampung Inggris” pada musim
liburan mampu mencapai angka sekitar 10-15 miliar rupiah per bulan (kedirikab.go.id, 2015).
“Kampung Inggris” merupakan kawasan pusat pembelajaran keterampilan berbahasa inggris
di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Terdapat sekitar 163 lembaga kursus bahasa asing
beroperasi di Dusun Singgahan, Desa Pelem dan Desa Tulungrejo (2016). Istilah “Kampung
Inggris” muncul karena hampir 90% lembaga kursus yang beroperasi menawarkan jasa
penguasaan keterampilan berbahasa inggris. Kemunculan lembaga kursus bahasa asing di Dusun
Singgahan pertama kali dipelopori oleh pemilik lembaga kursus BEC (Basic English Course) yaitu
Bapak Kalend Osen pada tahun 1977. Lebih lanjut, lulusan dan alumni lembaga kursus BEC
dimotivasi untuk mendirikan lembaga kursus sejenis di wilayah tersebut.
Gambar 1.1: Perkembangan Jumlah Lembaga Kursus Bahasa Asing di Dusun Singgahan, Desa
Pelem, dan Desa Tulungrejo
Sumber: Hidayat (2011), Fathony (2012), Heningtyas (2014), Kantor Desa Tulungrejo (2016)
Jumlah lembaga kursus bahasa asing mengalami trend yang meningkat setiap tahunnya.
Gambar 1.1 mencerminkan adanya peningkatan investasi di bidang pendidikan nonformal
sepanjang 2000-2016. Namun, berdasarkan data master referensi pendidikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mencatat hanya sekitar 40% lembaga kursus bahasa asing yang
beroperasi statusnya sudah terdaftar dan memiliki Nomor Pokok Satuan Nasional (NPSN),
sementara 60% sisanya terindikasi belum memiliki legalitas usaha.
Karakteristik konsumen jasa kursus bahasa asing beragam, mulai pelajar tingkat SD, SMP,
SMA, Mahasiswa, lulusan Sarjana dan masyarakat. Umumnya, siswa kursus dominan berasal dari
luar Kabupaten Kediri. Harga layanan jasa kursus yang relatif terjangkau dan metode
pembelajaran bahasa inggris yang dinilai unik dengan etos pembelajaran yang bagus menjadi daya
tarik tersendiri bagi “Kampung Inggris” untuk dikunjungi.
2048 58 72 88
110 127 131163
050100150200
Jumlah Lembaga Kursus di "Kampung Inggris"
jumlah lembaga kursus
Adanya branding dinilai mampu mendatangkan konsumen potensial, wisatawan, investor,
ataupun penduduk. Penciptaan merk yang kuat dan citra daerah yang unik diharapkan mampu
membawa hubungan investasi bisnis, posisi kompetitif dalam pasar wisata, dan mendorong
pembangunan ekonomi dan sosial ke arah yang positif. Kenaikan popularitas “Kampung Inggris”
di mata nasional berpengaruh positif terhadap permintaan layanan jasa kursus. Situs Pemerintah
Kabupaten Kediri (2015) melansir berita bahwa jumlah siswa kursus yang mengambil program
belajar di “Kampung Inggris” kurang lebih mencapai sekitar 1000 pelajar, dan dapat meningkat
dua kali lipat pada masa liburan. Jika dibandingkan tahun 2010, jumlah konsumen jasa kursus
bahasa asing jauh meningkat. Sebelumnya jumlah siswa kursus hanya mencapai rata-rata 3.500
orang per tahun (Hidayat, 2011). Kehadiran siswa kursus menciptakan pasar baru di Dusun
Singgahan, Desa Pelem dan Desa Tulungrejo. Peningkatan aktivitas di “Kampung Inggris”
meningkatkan permintaan lokal atas barang dan jasa, masyarakat secara kreatif merespon
kehadiran “Kampung Inggris” dengan menciptakan usaha-usaha baru yang sifatnya untuk
memenuhi kebutuhan dasar siswa kursus, yaitu makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Kehadiran lembaga kursus bahasa asing dan seluruh elemen di dalamnya, serta interaksi yang
terjalin dengan masyarakat setempat telah membawa perubahan-perubahan pada aspek ekonomi
dan sosial masyarakat. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis tertarik
untuk meneliti dinamika perkembangan “Kampung Inggris” dan bagaimana implikasinya terhadap
sosial ekonomi masyarakat.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Investasi Modal Manusia
Investasi Modal Manusia (Human Capital Investment) merupakan pengorbanan (trade-off)
berupa pengeluaran biaya dan penundaan kesempatan untuk memperoleh penghasilan selama
kurun waktu tertentu saat proses investasi berlangsung, dengan harapan akan mendapat tingkat
pengembalian (return) berupa pendapatan yang lebih tinggi di masa mendatang selepas proses
investasi selesai dilakukan. Peningkatan pendapatan diharapkan seimbang dengan biaya untuk
memperoleh modal sejak awal, biaya tersebut mencakup uang yang tidak dihasilkan saat individu
menempuh pendidikan dan harga dari pendidikan itu sendiri. Modal manusia tersebut berupa
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), kompetensi (competency), dan atribut lainnya
dalam individu yang memfasilitasi penciptaan kesejahteraan pribadi, sosial, dan ekonomi.
Investasi ini bersifat non fisik dan tidak berwujud (intangible) dengan tujuan untuk
meningkatkan produktivitas, inovasi, dan kemampuan kerja melalui pendidikan dan pelatihan.
Sumber daya manusia sebagai salah satu faktor produksi selain tanah, modal, entrepreneur yang
digunakan untuk menghasilkan output; sedangkan produktivitas diyakini sebagai nilai ekonomi
dari apa yang diproduksi oleh seorang tenaga kerja. Peningkatan modal manusia melalui
pendidikan dan pelatihan cenderung meningkatkan produktivitas pekerja yang pada gilirannya
akan mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah positif (OECD, 2007).
Keahlian dwibahasa (bilingual language skill) memiliki pengaruh di pasar tenaga kerja.
Penguasaaan bahasa asing mampu menghasilkan tingkat partisipasi angkatan kerja yang lebih
tinggi, penurunan tingkat pengangguran, peningkatan mobilitas kerja, pilihan pekerjaan yang lebih
luas, kesempatan pelatihan kerja yang lebih banyak, promosi yang lebih cepat, dan pendapatan
yang lebih tinggi. Penguasaan keterampilan berbahasa inggris memiliki pengaruh dalam pasar
tenaga kerja terkait dengan kemudahan dalam memperoleh pekerjaan, penawaran gaji yang lebih
tinggi, dan keuntungan-keuntungan lainnya di pasar tenaga kerja. Keterampilan berbahasa inggris
merupakan salah satu modal manusia yang mendukung peningkatan produktivitas kerja. Bahasa
Inggris menjadi keterampilan dasar yang harus dimiliki para pencari kerja dan merupakan
syarat utama dalam dunia kerja yang iklimnya semakin kompetitif di segala bidang.
Individu dengan keterampilan penguasaan bahasa inggris yang mahir dan cakap memiliki
peluang lebih besar diterima dalam pekerjaan dengan penghasilan yang lebih tinggi. Sebaliknya,
individu dengan kemampuan dalam bahasa inggris yang kurang memadai berpotensi mengalami
hambatan untuk sukses di pasar tenaga kerja. Keterampilan dalam bahasa inggris berperan penting
tidak hanya dalam tujuan untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga mempertahankan dan
mendapatkan promosi dalam pekerjaan (Roshid, 2013).
Penguasaan keterampilan berbahasa inggris dapat dilakukan dengan dua metode, pertama
secara otodidak dan kedua dengan mengambil program pembelajaran bahasa inggris pada lembaga
pendidikan nonformal yaitu lembaga kursus bahasa asing. Beberapa kesulitan yang sering dialami
oleh individu ketika memilih mempelajari bahasa inggris secara otodidak meliputi kurangnya
informasi mengenai modul yang tepat untuk dipelajari, ketiadaan rekan yang lebih ahli untuk
melakukan praktik ataupun untuk mengoreksi kesalahan pelafalan saat proses belajar berlangsung.
Beberapa alasan tersebut yang mendasari keputusan individu dalam memilih untuk belajar
ketrampilan berbahasa inggris melalui lembaga kursus bahasa asing.
Teori tentang Ekonomi Aglomerasi
Konsep ekonomi aglomerasi diperkenalkan oleh Marshall (1890) sebagai penghematan
eksternalitas yang diperoleh perusahaan saat mereka memilih berlokasi di wilayah yang sama,
berdekatan, dan saling berinteraksi satu sama lain. Mashall mengidentifikasi dua jenis ekonomi
aglomerasi, yaitu ekonomi lokalisasi (localisation economies) dan urbanisasi (urbanization
economies) (Villamil, 2010). Ekonomi lokalisasi menjelaskan bahwa manfaat ekonomi muncul
dari beberapa perusahaan di industri yang sama dan berlokasi di wilayah geografis yang sama pula
(industri yang terspesialisasi). Kedekatan lokasi antar perusahaan pada industri yang sama
menyebabkan terjadinya penghematan biaya-biaya diantaranya biaya penelitian dan
pengembangan serta biaya transportasi. Sementara ekonomi urbanisasi menjelaskan bahwa
manfaat ekonomi muncul dari beberapa perusahaan dalam industri yang berbeda dan berlokasi di
wilayah geografis yang sama (industri yang beragam) (Venables:2004 dalam BerlEconomic:2014).
Skala ekonomi bersifat eksternal bagi perusahaan, artinya peningkatan output industri di
wilayah geografis tertentu mengurangi biaya rata-rata yang dikeluarkan masing-masing
perusahaan di dalam industri. Berdasarkan ide Marshall (1890) mengenai „industrial district‟,
salah satu manfaat yang diperoleh oleh perusahaan yang memutuskan untuk beroperasi di wilayah
yang sama yaitu adanya pembagian aset/asset sharing, contohnya seperti penyediaan barang dan
jasa khusus oleh pemasok (supplier) khusus dan penciptaan kumpulan pasar tenaga kerja (labour
pooling) lokal sebagai akibat dari konsentrasi produksi lokal (Panne, 2004). Selain itu,
eksternalitas pengetahuan (knowledge externalities) dapat secara positif mempengaruhi
kemampuan perusahaan di dalam industri untuk melakukan inovasi. Inovasi yang diciptakan oleh
satu perusahaan dapat menyebar ke perusahaan lain dalam industri. Perusahaan lainnya kemudian
meniru dan memperoleh manfaat atas inovasi-inovasi yang dilakukan perusahaan sehingga adanya
limpahan pengetahuan (knowledge spillover) meningkatkan stok pengetahuan yang tersedia untuk
masing-masing perusahaan dalam industri. Namun, limpahan pengetahuan ini bersifat pengetahuan
yang diperoleh secara diam-diam/tacit knowledge, artinya pengetahuan tidak terdokumentasi, tidak
terkodifikasi dan hanya dapat diperoleh melalui proses interaksi sosial antara pelaku dalam
industri. Limpahan pengetahuan ini dihasilkan oleh interaksi antara perusahaan dalam industri
yang sama dan hanya dapat muncul sebagai akibat adanya konsentrasi regional dari industri
tertentu, maka kemudian limpahan ini dikenal sebagai eksternalitas lokalisasi atau spesialisasi
(Panne, 2004).
Sementara itu, Berl Economic (2014) menjelaskan ekonomi aglomerasi merupakan manfaat
yang mengalir ke perusahaan dan perekonomian dari lokasi di daerah dengan tingkat kepadatan
aktivitas ekonomi yang lebih tinggi. Adanya peningkatan interaksi di pasar tenaga kerja,
keterkaitan antar pemasok dan dari limpahan pengetahuan membuat perekonomian menjadi efisien
karena mampu mengurangi biaya bisnis. Pengurangan biaya bisnis mendorong tenaga kerja dan
perusahaan untuk mendekati pusat aktivitas ekonomi dengan kepadatan yang tinggi.
Selain manfaat ekonomi aglomerasi, terdapat efek negatif dari proses aglomerasi yang disebut
sebagai disekonomi aglomerasi (agglomeration diseconomies); yaitu biaya yang muncul sebagai
pengaruh dari kepadatan, misalnya seperti peningkatan harga tanah sebagai akibat dari kelangkaan,
polusi, dan kriminalitas. Fenomena tersebut muncul sebagai akibat dari peningkatan aktivitas
(keramaian/overcrowding) di wilayah berkumpulnya perusahaan sejenis pada lokasi yang
berdekatan.
Gambar 2.1 – Kurva fungsi profit (the profit function)
Sumber: Villamil (2009)
Gambar 2.1 menunjukkan kurva fungsi profit yang menggambarkan posisi slope berbentuk
huruf U terbalik, fungsi ini menjelaskan antara jumlah perusahaan yang lokasinya berdekatan
versus profit/tingkat keuntungan. Keuntungan yang diperoleh perusahaan yang berada di wilayah
aglomerasi akan meningkat sampai mencapai tingkat kepuasan maksimum pada titik tertentu.
Sejumlah tertentu perusahaan berusaha memaksimalkan keuntungan yang bisa diraih di wilayah
aglomerasi, hingga pada titik tertentu semakin bertambahnya jumlah perusahaan maka keuntungan
yang diperoleh pun semakin menurun. Wilayah di dalam kurva disebut sebagai net agglomeration
diseconomies, hal ini disebabkan karena efek negatif dari aglomerasi lebih besar dibandingkan
efek positifnya.
Teori tentang Klaster
Klaster secara sederhana dimaknai sebagai kelompok, lebih lanjut klaster dicirikan sebagai
kelompok usaha sejenis yang terkonsentrasi pada lokasi tertentu. Porter (1998a, 1998b) dalam
(Parera, 2012), mengatakan bahwa klaster adalah perusahaan-perusahaan yang terkonsentrasi
secara spasial dan saling terkait dalam industri. Perusahaan-perusahaan di dalam industri saling
memiliki keterkaitan dengan institusi-institusi yang dapat mendukung industri. Selanjutnya dikenal
konsep The Industrial Districts Cluster, atau biasa disebut dengan Marshallian Industrial District
yang merupakan kumpulan dari perusahaan pada industri yang terspesialisasi dan terkonsentrasi
secara spasial dalam suatu wilayah.
Karakteristik kunci klaster atau industrial district menurut Schmitz dan Musyck (dalam
Suryono, 2012) dicirikan sebagai berikut: (1) Klaster didominasi oleh usaha kecil yang beraktivitas
pada sektor yang sama (terspesialisasi) atau sektor yang berhubungan; (2) Kolaborasi antar
perusahaan yang berdekatan dengan adanya pembagian input (peralatan, informasi, tenaga kerja
terampil dll); (3) Perusahaan-perusahaan saling berkompetisi dengan meningkatkan kualitas
produk masing-masing dibandingkan menurunkan biaya produksi (upah); (4) Pengusaha dan
pekerja memiliki sejarah yang panjang atas lokasi; (5) Pengusaha diorganisisr dengan baik dan
berpartisipasi aktif dalam organisasi mandiri; (6) Terdapat peran aktif pemerintah lokal dan
regional yang mendukung pengembangan klaster.
Marshall (dalam Parera, 2012) menjelaskan bahwa industrial district cluster menghasilkan
eksternalitas/manfaat ekonomi berupa:
a) Penurunan biaya transaksi (seperti biaya transportasi, komunikasi, promosi).
b) Tenaga kerja yang terspesialisasi (seperti penurunan biaya rekrutmen tenaga kerja yang
terspesialisasi).
c) Ketersediaan sumberdaya, input, dan infrastruktur yang spesifik dan terspesialisasi (seperti
pelayanan spesial dan tersedia sesuai dengan kebutuhan lokal).
d) Ketersediaan ide dan informasi yang maksimal (seperti mobilitas tenaga kerja, transfer
pengetahuan/ knowledge spillover, dan hubungan informal antar perusahaan).
Lebih lanjut, suatu klaster dianggap berkembang jika bukan hanya sekadar terdapat spesialisasi
tetapi sekelompok perusahaan dalam klaster akan terhubung karena kebersamaan dan saling
melengkapi sehingga terjadi kolaborasi antara agen ekonomi lokal dalam suatu wilayah.
Kedekatan antar perusahaan dalam klaster akan meningkatkan iklim kompetisi sehingga dapat
mendorong terjadinya peningkatan inovasi. Proses klastering dapat dilakukan secara sengaja
(dibentuk secara sadar dan terorganisir) pada satu wilayah tertentu atau pun dapat terjadi secara
alami (Suryono, 2012).
Kondisi pasar yang selalu berubah mendorong pelaku usaha di dalam klaster untuk terus
mengembangkan usahanya sehingga mengakibatkan kondisi klaster bersifat dinamis dan saling
bersaing. Gagasan Porter mengenai pengembangan klaster dinamis dikenal sebagai model
diamond. Model ini menggambarkan empat faktor utama yang saling berkaitan dalam
pengembangan klaster, meliputi sebagai berikut:
a) Kondisi faktor produksi internal, berkaitan dengan input dan infrastruktur usaha seperti
sumber daya manusia, modal usaha, ketersediaan infrastruktur fisik dan administrasi,
dukungan informasi, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sumber daya alam.
b) Kondisi permintaan, berkaitan dengan adanya sophisticated and demanding local customer
yang mendorong peningkatan kualitas produk melalui inovasi untuk memenuhi keinginan
pelanggan yang semakin tinggi.
c) Sistem industri pendukung dan industri terkait, adanya industri pendukung dan terkait akan
meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam klaster, lebih lanjut dapat mengurangi biaya
transaksi, terjadi sharing teknologi/informasi/skill tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh
industri atau perusahaan lainnya. Adanya industri pendukung dan terkait menciptakan daya
saing dan peningkatan produktivitas.
d) Strategi dan struktur usaha dan persaingan, iklim persaingan yang semakin kompetitif akan
memotivasi perusahaan untuk meningkatkan kualitas produk melalui inovasi. Persaingan yang
sehat akan membuat perusahaan mencari strategi baru yang cocok dan berupaya untuk
meningkatkan efisiensi. (Suryono, 2012)
Dampak Ekonomi Aglomerasi Terhadap Perkotaan
Menurut Henderson dalam Villamil (2009), ekonomi aglomerasi menghasilkan akumulasi
modal yang dicerminkan melalui pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kota. Pada dasarnya
akumulasi modal merupakan proses peningkatan produksi atau penciptaan kekayaan. Artinya,
ekonomi aglomerasi mendorong peningkatan produksi barang dan jasa pada suatu daerah
(pertumbuhan ekonomi) dan meningkatkan produksi real estate sebagai akibat dari peningkatan
populasi (pertumbuhan kota).
Peningkatan konsentrasi industri pada suatu daerah mendorong terjadinya pertukaran informasi
secara bebas di antara perusahaan dan pada saat yang sama membantu meningkatkan produktivitas
dan akumulasi modal. Henderson (2000) dalam Suryono (2012) mengembangkan model yang
menjelaskan hubungan antara ekonomi aglomerasi dengan pertumbuhan ekonomi; model ini
disusun berdasarkan teori pertumbuhan endogen. Daerah yang terdapat sistem industri yang
sifatnya dinamis dengan ekonomi skala pada pengetahuan produksi akan tumbuh lebih cepat
dibandingkan daerah yang tidak memiliki elemen tersebut.
Proses klastering atau berkumpulnya perusahaan di lokasi yang berdekatan merupakan
keunggulan kompetitif suatu daerah yang mampu meningkatkan performa ekonomi lokal dengan
menawarkan kumpulan tenaga kerja yang mahir, akses yang lebih luas atas pasar, dan ahli bisnis
jasa dan teknologi. Artinya, peningkatan konsentrasi industri di suatu daerah menyebabkan
terjadinya pertukaran informasi secara bebas diantara perusahaan dan pada saat yang sama
membantu meningkatkan produktivitas dan akumulasi modal.
Definisi tentang Implikasi Sosial Ekonomi Masyarakat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, implikasi secara bahasa memiliki arti keterlibatan
atau keadaan terlibat. Beberapa sumber mendefinisikan implikasi sebagai akibat atau dampak.
Suratmo dalam Kurniawan (2015) mendefinisikan dampak sebagai setiap perubahan terhadap
lingkungan akibat dari aktifitas manusia. Aktivitas pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun di lain sisi dapat menimbulkan efek samping baik
di bidang sosial, ekonomi, dan budaya yang berpengaruh terhadap sasaran pembangunan.
Keberadaan “Kampung Inggris” dan seluruh elemen di dalamnya dalam menjalin interaksi
dengan masyarakat sekitar memberikan dampak berupa perubahan-perubahan pada aspek sosial
dan ekonomi.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Creswell (2014) memandang penelitian
kualitatif merupakan suatu pendekatan untuk mengeksplorasi dan memahami makna individu atau
kelompok yang berkaitan dengan masalah sosial atau manusia. Sementara, Moleong (2011)
menjelaskan bahwa penelitian kualitatif diartikan sebagai suatu metode yang berupaya untuk
memahami lebih dalam mengenai suatu fenomena yang berkaitan dengan subyek penelitian yang
tercermin dalam perilaku, persepsi, motivasi maupun tindakan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan fenomenologi. Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi ini dipilih
untuk memahami secara mendalam makna dari pengalaman hidup informan berkaitan dengan apa
yang telah dialami dan dirasakan atas fenomena dan dinamika perkembangan “Kampung Inggris”
dan implikasinya terhadap sosial ekonomi masyarakat.
Penelitian ini dilakukan di Dusun Singgahan, Desa Pelem dan Desa Tulungrejo, Kecamatan
Pare Kabupaten Kediri. Lokasi penelitian dipilih karena terjadi konsentrasi geografis usaha jasa
dalam bentuk lembaga kursus bahasa asing; dan keberadaannya dengan seluruh elemen dan
aktivitas di dalamnya mampu menggerakkan usaha pada sektor terkait lainnya serta mendorong
pertumbuhan ekonomi desa dengan pesat; serta hasil interaksi dengan masyarakat sekitar
membawa perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat pada aspek ekonomi dan sosial.
Tahapan penelitian diawali dengan melakukan review literature berkaitan dengan topik sejenis;
selanjutnya dilakukan proses pengumpulan data dengan penelitian pendahuluan ke Desa
Tulungrejo pada April 2016 untuk mengenali potensi masalah di wilayah sebenarnya sebelum
dilakukan penelitian lapangan. Penelitian lapang dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2016 dan
kembali dilakukan pada Januari 2019 untuk melihat perkembangan terbaru di wilayah tersebut.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah dinamika perkembangan “Kampung Inggris” dan
implikasinya terhadap sosial ekonomi masyarakat. Informan dipilih secara sengaja berdasarkan
kriteria tertentu (purposive sampling). Selanjutnya, berkaitan dalam proses penggalian data,
pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling).
Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan kunci dan informan pendukung. Kriteria
informan dibagi sebagai berikut :
1. Informan kunci:
a) Berkaitan dengan dinamika perkembangan “Kampung Inggris”, meliputi: pemilik lembaga
kursus bahasa asing dan tenaga kerja di lembaga kursus.
b) Berkaitan dengan implikasi “Kampung Inggris” terhadap sosial ekonomi masyarakat, meliputi
masyarakat yang memiliki usaha kost, rental sepeda, laundry, dan kuliner.
2. Informan pendukung :
a) Perangkat desa Tulungrejo yang diwakili oleh Kepala Dusun Mangunrejo dan Kepala Dusun
Tegalsari.
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
dalam penelitian ini dikumpulkan melalui dokumentasi/studi pustaka, observasi atau pengamatan,
dan wawancara mendalam semi terstruktur. Data primer dalam penelitian meliputi data yang
diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara berupa catatan ringkas situasi, kondisi, dan
pandangan/pernyataan informan yang diperoleh saat penelitian di lapangan. Sedangkan data
sekunder diperoleh melalui publikasi BPS; portal informasi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan; Dinas Kebudayaan, Pendidikan, dan Olahraga Kabupaten Kediri; jurnal dan laporan
penelitian sebelumnya tentang “Kampung Inggris”.
Teknik analisis data yang digunakan adalah model interaktif menurut Miles dan Huberman
dalam Bungin (2007:69-70) yang terdiri atas empat tahapan, yaitu: data collection, data reduction,
data display, dan conclusion : drawing/verification. Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi
metode, triangulasi sumber, triangulasi penyidik, dan triangulasi waktu. Sehingga kevalidan data
yang diperoleh dalam penelitian ini dapat memberikan informasi yang sesuai dengan realitas di
lapangan.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Informan
Berikut disajikan dalam tabel 4.1 daftar nama informan yang berkontribusi dalam penelitian ini:
Tabel 4.1 – Daftar Nama Informan
No. Nama Keterangan
1. Bapak Matsudi Kepala Dusun Tegalsari
2. Bapak Wahyudi Kepala Dusun Mangunrejo
3. Bu Sri Pemilik lembaga kursus Kresna
4. Adhe Tenaga pengajar di lembaga kursus Kresna
5. Bu Wahyu Pemilik lembaga kursus HEC1
6. Pak Muh Ketua RT.09 Dusun Tegalsari dan pemilik usaha kost
7. Richa Anak pemilik usaha kost
8. Bu Suwarno dan Bu Ida Pemilik dan anak pemilik usaha warung
9. Bu Aisyah Pemilik usaha kost
10. Mbak Mudah Karyawan usaha persewaan sepeda
11. Pak Abu Ketua RT Dusun Mangunrejo
12. Mas Tony Pemilik usaha kerajinan kulit“Sapindelick”
13. Bu Wati Pemilik usaha souvenir “Tas Bathok”
Sumber: Data Lapang (olahan penulis, 2019)
Gambaran Umum Obyek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah “Kampung Inggris”, yang secara administratif
mencakup dua desa yaitu Desa Pelem dan Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.
Wilayah terdampak “Kampung Inggris” di Desa Pelem meliputi Dusun Singgahan, sedangkan di
Desa Tulungrejo meliputi dua dusun yaitu Dusun Mangunrejo dan Tegalsari, sementara ketiga
dusun lainnya yaitu Dusun Krajan, Mulyoasri, dan Puhrejo tidak begitu terpengaruh, hal ini dilihat
dari jenis pekerjaan penduduk pada ketiga dusun tersebut masih didominasi oleh pedagang, kuli di
pasar, ternak sapi, dan petani (Hasil wawancara penulis dengan Pak Matsudi, 2016).
Sementara itu, mengenai jumlah siswa kursus tidak ada data angka yang tercatat secara pasti,
selama ini hanya sebatas perkiraan saja. Sebelumnya pada tahun 2009, Pemerintah Desa
Tulungrejo meluncurkan regulasi berupa Peraturan Desa (Perdes) Nomor 1/2009 mengenai
keberadaan warga pendatang/penduduk musiman. Regulasi ini mengatur bahwa setiap warga
pendatang wajib melapor ke RT maksimal 3x24 jam untuk mendapatkan KIPEM (Kartu Identitas
Penduduk Musiman) yang masa aktifnya berlaku selama 3 bulan semenjak dicetak. Namun, karena
payung hukum aturan tersebut hanya sebatas perda, pelaksanaanya pun hanya setengah jalan.
Beberapa lembaga kursus tidak tertib melapor secara berkala berapa jumlah siswa yang
mengambil program di lembaganya pada setiap periode. Di sisi yang lain, beberapa siswa kursus
mengambil program di lembaga kursus yang berbeda pada periode yang sama, sehingga sulit
untuk memastikan berapa jumlah siswa kursus yang masuk ke “Kampung Inggris” (Hasil
wawancara penulis dengan Pak Wahyudi, 2016).
Kemudahan akses jaringan internet yang masuk ke wilayah desa pada tahun 2006, melancarkan
upaya pemasaran yang dilakukan oleh lembaga kursus untuk menarik calon konsumen dari luar
daerah melalui pemasaran secara digital. Selain itu, pemberlakuan kurikulum pendidikan dengan
sistem Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
pada tahun 2006-2013 menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya permintaan layanan
kursus bahasa inggris. Kurikulum ini menuntut kemampuan penguasaan bahasa inggris dimiliki
oleh setiap pelajar demi menunjang keberhasilan kegiatan belajar yang dilakukan secara bilingual
di dalam kelas. “Kampung Inggris” semakin ramai didatangi pengunjung, jika sebelumnya
lembaga kursus dan siswa kursus yang datang ke Pare hanya memadati Dusun Singgahan, Desa
Pelem (di sekitar lembaga kursus BEC), namun pada tahun 2006-2010 terjadi peningkatan
investasi bisnis di bidang pendidikan nonformal relatif besar. Lembaga kursus bahasa asing baru
banyak berdiri, pemilik modal dari luar Pare mulai berdatangan, cakupan wilayahnya yang
terdampak pun meluas dan memadati Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kapubaten Kediri.
“Kampung Inggris” atau “Kampung Kursus Bahasa inggris”?
Penjelasan terkait eksistensi “Kampung Inggris” secara historis tidak bisa terlepas dari sosok
bernama Bapak Kalend Osen. Beliau merupakan pendiri lembaga kursus BEC (Basic English
Course), lembaga kursus bahasa asing pertama yang beroperasi di Dusun Singgahan, Desa Pelem,
Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri pada tahun 1977. Istilah “Kampung Inggris” pertama kali
muncul dan dikenalkan kepada khalayak oleh seorang jurnalis melalui media cetak pada tahun
1995. Alasan jurnalis menggunakan istilah “Kampung Inggris” karena dalam kunjungannya ke
Pare selama beberapa hari, si jurnalis melihat interaksi percakapan antara siswa kursus dengan
tukang becak dan penjual makanan di warung dalam bahasa inggris dengan mahir. Namun, Bapak
Kalend menyampaikan ketidaksepakatan beliau dengan istilah “Kampung Inggris” yang tercipta
dalam suatu wawancara yang ditayangkan di media elektronik yang telah dikutip oleh penulis.
Menurut beliau istilah tersebut berat pertanggungjawabannya, karena terdengar rancu dan memberi
informasi yang menyesatkan. Banyak orang yang menaruh ekspektasi terlalu tinggi kemudian
kecewa setelah mendapati fakta yang sebenarnya bahwa tidak semua orang di Desa Tulungrejo
dan Dusun Singgahan Desa Pelem mahir berbahasa inggris dan mempraktikannya dalam aktivitas
sehari-hari. Sebutan “Kampung Kursus Bahasa Inggris” dianggap lebih mewakili kondisi
sebenarnya di lapangan.
Dinamika Perkembangan “Kampung Inggris”
Modal Sosial dalam Proses Perkembangan Lembaga Kursus di “Kampung Inggris”
Lembaga kursus BEC dalam kiprahnya selama 42 tahun semenjak resmi berdiri telah
meluluskan ribuan alumni yang dikenal kompeten di bidang penguasaan bahasa inggris.
Permintaan layanan kursus di lembaga BEC meningkat dan selalu melebihi kuota yang disediakan
setiap periodenya. Lebih lanjut, Pak Kalend selaku perintis memegang teguh prinsip „kebersamaan
dan azas manfaat bagi sesama‟. Kehadiran lembaga kursus diharapkan mampu menggerakkan
perekonomian masyarakat setempat. Selain itu, Pak Kalend selalu mendorong dan memotivasi
muridnya yang belum bekerja untuk ikut mendirikan lembaga kursus. Nilai „saling berbagi‟ yang
dianut menjadi dasar pandangan perintis mengenai persaingan secara terbuka.
“Wah kalo itu saya pikir kita ngambil rumusnya itu kita ambil rumusnya pasar gitu, coba kita
lihat di pasar itu ada jual beras berjejer-jejer, rejeki masing-masing, apalagi mereka itu
mayoritas kan alumni dari BEC sendiri, murid saya sendiri, dan saya bahkan menganjurkan
kepada mereka, kalo ngganggur mending kamu bikin kursus gitu, biar tambah maju, yaa saya
merasakan. Memang saya rasakan juga ya, saya sudah menikmati sekian puluh tahun saya
menikmati kursus, yak siapa yang mau menikmati lagi silakan gitu” – Bapak Kalend Osen
(dikutip oleh penulis dalam wawancara PAHLAWAN INDONESIA – Diantara Kita- stasiun TV
MNC, tanggal tayang 21 Sep 2013)
Lembaga kursus HEC1 merupakan cabang resmi kedua dari lembaga kursus BEC yang berdiri
pada tahun 1997, sebelumnya berdiri lembaga EECC (Effective English Conversation Course)
pada tahun 1992 sebagai cabang resmi pertama, dan selanjutnya lembaga kursus HEC2 didirikan
sebagai cabang resmi ketiga pada tahun 2005. Meski dinamakan sebagai cabang resmi, status
kepemilikan lembaga kursus yang menjadi cabang resmi BEC bukan milik pribadi Pak Kalend,
sehingga Pak Kalend tidak mendapatkan kompensasi administratif dalam bentuk apapun
(becpare.com, 2019). Pendirian cabang resmi BEC dilatarbelakangi oleh tidak terserapnya seluruh
konsumen (siswa kursus) yang mendaftar ke lembaga kursus BEC, karena kuota yang tersedia
sudah penuh. Pendaftar yang tidak tertampung di lembaga kursus BEC memiliki kesempatan
belajar di cabang resmi, sehingga setiap siswa yang sudah masuk di cabang BEC nantinya bisa
transfer ke lembaga kursus BEC. Penunjukkan lembaga HEC1 sebagai cabang resmi BEC
dilandasi oleh rasa percaya yang bersumber dari adanya kedekatan hubungan keluarga antara
perintis dengan pemilik. Jaringan sosial berupa kerjasama yang terjalin antara BEC dengan
lembaga cabang (EECC, HEC1, HEC2) terbentuk secara informal didasari oleh rasa „saling
percaya‟ dan „saling berbagi‟ yang terbangun antara perintis dengan muridnya. Sehingga
kemudian lembaga kursus cabang mendapat keuntungan berupa limpahan konsumen dari BEC
pada kondisi tertentu (saat kuota penuh). Hal ini seperti disampaikan oleh Bu Wahyu:
“...Pada waktu itu di BEC, pusat kami, itu untuk jumlah siswa itu melebihi kuota yang
diperkirakan, dan akhirnya BEC sendiri menunjuk kakak saya sendiri, untuk mendirikan
lembaga kursus ...Kalo untuk saudara ketika di HEC-1, kalo EECC itu kan berdiri tahun 1992,
pada awal mulanya untuk EECC itu guru yang mengajar di BEC, Beliau juga dipercaya oleh
Bapak (Pak kalend) untuk mendirikan lembaga kursus, akhirnya ya didorong oleh Bapak
sendiri untuk mendirikan lembaga kursus. Sebenarnya bukan family mbak, cuman, karena
beliau lama mengajar di BEC, akhirnya beliau dipercaya untuk mendirikan cabang.”
Gambar 4.2 – Pertumbuhan Lembaga Kursus di “Kampung Inggris”
Sumber: olahan penulis (2020)
Gambar 4.2 menunjukkan proses pertumbuhan lembaga kursus di “Kampung Inggris”. Pada
tahap awal perkembangannya, pertumbuhan lembaga kursus di “Kampung Inggris” dilandasi oleh
kepercayaan (trust) dan nilai (norm) yang dimiliki oleh Pak Kalend dengan murid-muridnya
sehingga membentuk jejaring sosial antar lembaga kursus yang satu dengan yang lain.
Selanjutnya, jumlah lembaga kursus di “Kampung Inggris” meningkat pesat setelah tahun 2006-
an seiring dengan meningkatnya popularitas daerah tersebut. Investor dari luar Pare serentak
berdatangan ke Desa Pelem dan Desa Tulungrejo untuk mendirikan lembaga kursus baru. Terjadi
peningkatan investasi pendidikan nonformal di kedua desa tersebut. Jaringan sosial di “Kampung
Inggris” pada awal perkembangannya terbentuk secara informal berdasarkan ikatan kedekatan
hubungan kekeluargaan, pertemanan, kekerabatan, dan pertetanggaan yang dilandasi oleh norma
berupa nilai-nilai agama yang dianut. Jaringan sosial yang terbentuk meliputi kerja sama antara
lembaga kursus dengan lembaga kursus dan kerja sama antara lembaga kursus dengan masyarakat
sekitar (penyedia kost, warung, dan laundry). Hal ini dilatarbelakangi oleh prinsip „rahmatan lil
„alamin‟ yang diyakini oleh perintis dan kemudian turut diterapkan oleh murid-muridnya yang
mendirikan kursus selaku follower dari perintis, bahwa jika lembaga kursus berdiri maka
masyarakat di sekitar harus ikut merasakan manfaatnya pula.
Gambar 4.3 – Bentuk Jaringan Sosial di “Kampung Inggris”
Sumber: olahan penulis (2020)
Namun, investor dari luar umumnya tidak memiliki kedekatan hubungan dengan perintis,
sehingga dalam menjalankan aktivitas bisnisnya bertolak belakang dengan nilai „saling berbagi‟
yang dijunjung tinggi oleh perintis. Mereka cenderung berperilaku kapitalis (saling berkompetisi),
dengan mengejar keuntungan maksimum yang bisa diraih tanpa memperhatikan masyarakat
sekitar.
Konsentrasi Geografis Lembaga Kursus dan Transfer Pengetahuan dan
Informasi/Knowledge spillover di Wilayah Aglomerasi
Faktor lokasi menjadi salah satu pertimbangan terkuat dalam pengambilan keputusan pemilik
lembaga kursus untuk beroperasi. Bu Sri menceritakan pengalamannya saat mendirikan lembaga
bimbingan belajar di tempat tinggalnya di wilayah Kota Kediri, namun ketika Bu Sri mulai
mengaplikasikan sistem pembelajaran „Gaya Pare‟ di sana, yang terjadi hasilnya tidak sesuai
dengan ekspektasi dan konsumennya memilih pergi. Hal berbeda dirasakan ketika Bu Sri memilih
untuk mendekati pasar (siswa kursus) dengan mendirikan lembaga kursus Kresna di “Kampung
Inggris”. Lembaga kursus Kresna ternyata diterima dan diminati oleh siswa kursus sehingga
memaksa Bu Sri untuk memutuskan beroperasi di “Kampung Inggris”
“...bahwa ternyata sekalipun saya berusaha mati-matian, yang di kampung itu hasilnya pasti
berbeda dengan yang di “Kampung Inggris”, ... kalo melihat tanah, tanah ini tu subur, tinggal
kita bagaimana menanaminya lah, karena sudah terkondisikan... kalo di “Kampung Inggris”
itu, tanah sudah tersedia, kita hanya, hanya harus mengasah cangkul, mengasah sabit, hanya
memupuk tenaga kita, kemudian kalo dicangkul sedikit saja, mungkin tumbuhnya beda dengan
yang di kampung kita .... ternyata memang yaa nyangkulnya harus keras kalo di sini, kalo di
sini kan airnya mengalir, tinggal kekuatan kita saja.”
Pengelompokkan lembaga kursus yang terkonsentrasi di wilayah “Kampung Inggris”
menciptakan permintaan lokal jasa kursus relatif tinggi di wilayah tersebut. Hal ini merupakan
keuntungan bagi lembaga kursus karena memiliki kesempatan untuk melayani sebagian maupun
seluruh konsumen yang ada di pasar. Hal berbeda terjadi jika lembaga kursus beroperasi di luar
Pare, jumlah konsumen yang dapat dilayani tentu tidak lebih besar jika lembaga kursus beroperasi
di Pare, karena pangsa pasarnya sedikit. Pada sisi lainnya, konsentrasi lembaga kursus di wilayah
tersebut memberi kesempatan bagi konsumen untuk memilih produk yang sesuai dengan
preferensinya.
Kedekatan geografis antara lembaga kursus bahasa asing yang satu dengan yang lain
menciptakan kumpulan tenaga kerja (labour pooling) dengan keahlian khusus (penguasaan bahasa
inggris) di wilayah aglomerasi. Tenaga kerja pengajar yang diserap oleh lembaga kursus umumnya
merupakan murid yang pernah mengambil program di lembaga kursus tersebut. Kumpulan tenaga
kerja terspesialisasi di wilayah aglomerasi menjadi keuntungan bagi lembaga kursus karena supply
sumber daya manusia yang tersedia di pasar tenaga kerja jumlahnya banyak.
Kedekatan geografis antar lembaga kursus memudahkan terjadinya transfer pengetahuan
(knowledge spillover) dan informasi. Proses knowledge spillover terjadi ketika tenaga kerja
pengajar yang pernah mengajar di lembaga kursus pendahulu; kemudian memilih untuk resign dan
mendirikan sendiri lembaga kursus baru. Tenaga kerja tersebut menyerap pengetahuan yang
diperoleh di lembaga kursus sebelumnya untuk selanjutnya dipilah dan diaplikasikan di lembaga
kursus baru yang dia dirikan. Selain itu, kedekatan lokasi mengalirkan informasi yang sifatnya
diam-diam (tacit knowledge), informasi tersirat yang baru bisa diketahui setelah antar pelaku
dalam industri melakukan interaksi satu sama lain. Pihak lembaga kursus mampu melihat strategi
dan langkah apa yang dilakukan oleh lembaga kursus kompetitor dalam beroperasi baik dengan
tujuannya untuk memperluas pasar atau memaksimalkan keuntungan. Mereka mengamati,
kemudian melakukan imitasi/duplikasi maupun modifikasi. Lembaga kursus baru yang hanya
melakukan imitasi/duplikasi akan kalah saing dengan lembaga kursus yang lebih dulu menerapkan
strategi tersebut.
Iklim Persaingan yang Semakin Kompetitif Melahirkan Inovasi
Pada tahap awal perkembangan “Kampung Inggris” hambatan bagi lembaga kursus baru untuk
memasuki pasar relatif „kecil‟ karena kuatnya modal sosial yang terbangun antara perintis dengan
muridnya. Namun, seiring dengan perkembangan jumlah lembaga kursus yang semakin banyak
dan juga kehadiran investor dari luar, kondisi pasar menjadi semakin kompetitif. Peningkatan
aktivitas ekonomi di suatu wilayah aglomerasi menghasilkan konsekuensi berupa persaingan.
Lembaga kursus yang lebih dulu beroperasi selaras dengan peningkatan volume usahanya, akan
semakin memperkuat posisinya dalam pasar. Sementara, lembaga kursus baru agar bisa masuk dan
bertahan di pasar yang sebelumnya telah dikuasai oleh para pendahulunya harus mampu
meningkatkan kualitas produk yang ditawarkan melalui inovasi. Inovasi produk harus memiliki
peluang untuk laku supaya lembaga kursus mampu bertahan di pasar.
Kepadatan lembaga kursus di “Kampung Inggris” membuat lembaga kursus baru dan kecil
merasa kesulitan untuk memasuki pasar. Dalam praktiknya, lembaga kursus baru menjadikan
tukang becak yang standby di titik-titik yang dianggap sebagai pintu masuk “Kampung Inggris”
sebagai agen marketing mereka, mengapa? karena para tukang becak inilah yang biasa ditemui
pertama kali oleh siswa kursus ketika turun dari bis yang mengantarkannya ke “Kampung
Inggris”. Agen marketing mempengaruhi dan membelokkan pilihan calon konsumen ke lembaga
kursus baru yang melakukan kontrak kerja dengannya. Perilaku oportunistik yang dilakukan
lembaga kursus baru ini merugikan karena menurunkan kepuasan/utility konsumen dalam
keputusannya mengambil program kursus. Sebaliknya, lembaga-lembaga kursus pendahulu justru
saling membantu mengarahkan konsumen dalam memilih lembaga kursus sesuai dengan apa yang
dibutuhkan. Modal sosial yang telah kuat mengakar pada diri pemilik lembaga kursus pendahulu
mendorong semangat berkompetisi yang didasari oleh tindakan resiprositas (pertukaran timbal
balik) dalam hal saling tukar kebaikan.
Kondisi permintaan jasa kursus bersifat tidak pasti (uncertainty) dan bergantung pada waktu
tertentu. Karakteristik siswa kursus didominasi oleh pelajar dan mahasiswa yang mana baru bisa
mengambil program kursus pada waktu luangnya. Permintaan kursus biasanya meningkat tajam
saat musim liburan sekolah atau perkuliahan, yaitu bulan Juni, Juli, Agustus, September, Januari,
Februari, dan Maret. Pada masa ini muncul fenomena lembaga kursus „musiman‟. pemilik lembaga
kursus kecil dalam memutuskan untuk beroperasi melihat kondisi pasar, jika permintaan
meningkat, mereka memutuskan untuk mengaktifkan lembaganya, tapi jika permintaan kursus
menurun (seperti pasca dicabutnya pemberlakuan kurikulum pendidikan SBI/RSBI oleh
Mahkamah Konstitusi dan dibarengi oleh bencana alam meletusnya Gunung Kelud di Kediri pada
tahun 2013 silam) lembaga kursus yang kecil ini memutuskan untuk tutup dan menghilang.
Lembaga kursus „musiman‟ ini umumnya hanya menyewa rumah penduduk sebagai tempat
beroperasi dalam waktu singkat (beberapa bulan saja) dan dicirikan belum memiliki izin/legalitas
dari Dinas Pendidikan setempat sehingga kejelasan mutu kualitasnya pun masih dipertanyakan.
Upaya Pemberdayaan Manusia di “Kampung Inggris”
Proses pemberdayaan secara mandiri yang dilakukan oleh inisiatif masyarakat sendiri telah
terjadi di “Kampung Inggris”. Sistem getok-tular pengetahuan bahasa inggris yang dilakukan para
alumni lembaga BEC mampu mengubah wajah Dusun Singgahan Desa Pelem dan Desa
Tulungrejo terspesialisasi; menjadi desa yang dipadati lembaga kursus bahasa asing dengan
suasana akademis yang kental. Pemilik lembaga kursus disamping mendirikan lembaga kursus
dengan motif ekonomi yaitu untuk usaha, juga melakukan upaya pembangunan manusia dalam hal
ini meningkatkan keahlian berbahasa inggris SDM melalui pendidikan nonformal.
Bentuk perwujudan pembangunan manusia yang berlangsung di “Kampung Inggris” ternyata
berjalan tidak seimbang karena rata-rata SDM yang belajar bahasa inggris di lembaga kursus justru
dominan berasal dari luar Pare. Pada periode awal pemuda lokal asli desa Tulungrejo dan Pelem
yang berminat untuk belajar bahasa inggris jumlahnya sangat minim. Hal ini mengakibatkan
tenaga kerja terampil yang terserap oleh lembaga kursus mayoritas bukan warga lokal.
Pada tahap awal perkembangan “Kampung Inggris”, beberapa lembaga kursus menginisiasi
program beasiswa belajar khusus pemuda lokal asli desa Pelem dan Tulungrejo. Program beasiswa
ini mencerminkan bentuk ungkapan „terima kasih‟ dari pemilik lembaga kursus kepada
masyarakat setempat karena sudah diizinkan untuk mendirikan usaha di Desa Tulungrejo. Lebih
lanjut, Bu Sri menceritakan adanya penyesuaian aturan mengenai program beasiswa khusus
pemuda lokal yang telah dijalankan. Lembaga kursus Kresna menerapkan aturan zonasi berkaitan
dengan siapa kategori warga lokal yang berhak mengikuti program beasiswa seiring dengan
meningkatnya minat individu yang ingin kursus bahasa inggris pada saat ini. Hal ini disampaikan
dalam wawancara sebagai berikut:
“Mau saya buat aturan beasiswa, oh yang masyarakat sini 100%, yang masyarakat sana 50%.
Kemarin ya sedapetnya, karena orang yang berniat juga sedikit, berniat untuk belajar itu lo
sedikit, kalo dulu kan hanya 2-3, tapi lama-lama membesar, oh harusnya dibuatkan aturan.
...akhirnya gini, orang-orang yang masyarakat Tulungrejo tapi nggak dekat, itu akhirnya
mbayar, nah nanti kalo ada MOU, ada SOP-nya kan gampang. Ya, dulu kan yang kita gratiskan
ini, yang ini mbayar, masyarakat di lembaga lain juga gitu, anak-anak yang di jalan tempat dia
itu gratis, lha yang di jalan lain, mbayar, gitu tadi. Aturannya beda-beda, tapi pada dasarnya
mereka berkontribusi untuk membuat anak-anak di sini untuk sekolah gratis.”
Implikasi “Kampung Inggris” Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat
Aspek Ekonomi
Peluang Usaha Baru Kehadiran siswa kursus menciptakan permintaan-permintaan baru terhadap barang dan jasa
yang mereka butuhkan selama menempuh program belajar di “Kampung Inggris”. Masyarakat
setempat secara kreatif merespon peluang tersebut dengan mendirikan usaha baru berupa kost-
kostan, warung, laundry, rental sepeda, dan usaha lainnya. Peluang usaha baru yang muncul ini
pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
“Ini sejak tahun 80-an kita sudah menyediakan kost di sini, ada 13 kamar, dan sekarang ada 30
anak dari Jakarta, Madura, Jawa Tengah, dari seluruh Indonesia. Banyak sekali, dari segi
finansial saya lebih mapan dari dulu... ” (Bu Aisyah)
“Sejauh ini masih keuntungan heeh, manfaatnya bisa buat ee minimal kalo misalnya yang kost
sedikit, itu minimal, bisa buat bayar listrik, jadi kan gak, gak keluarin uang sendiri gitu lo, kalo
lebih banyak itu bisa buat bulanan kalo kuliah..” (Richa)
Peluang usaha baru sebagai dampak dari “Kampung Inggris” tidak hanya dinikmati oleh warga
lokal saja, banyak penduduk dari luar daerah yang ikut menangkap peluang ekonomi di “Kampung
Inggris”.
“Ya mungkin karena Beliau melihat ada saudaranya yang sudah mendirikan, dilihat kok
omsetnya lumayan bagus, ya terus sekalian.” (Mbak Mudah)
“Akhirnya ya itu, aku sewa di sini, udah kurang lebih 1 tahun, dan alhamdulillah hasilnya
lumayan. Selain hasilnya yang lumayan, aku juga bisa menampung produk-produk teman-
teman dari pengrajin-pengrajin yang ... pokoknya pengrajin-pengrajin temen-temenku yang aku
kenal yang produknya bisa aku pasarkan di “Kampung Inggris”. Aku fasilitasi untuk
tempatnya, mereka nitip barang ditempatku. Kalo laku, ya dibayar.” (Bu Wati)
“Kita ambil lokasi di “Kampung Inggris” itu karena karakter daerahnya lebih kuat,
dibandingkan kabupaten Kediri, jadi alasan kita memang untuk membranding. Heeh, jadi
memudahkan kita untuk membranding. Adanya “Kampung Inggris”, kita pilih tempat ini, agar
lebih mudah dalam pemasaran. ...yang kita targetkan sih kota besar, terutama di Jakarta.
“Kampung Inggris” ini kan lebih dikenal dibandingkan daerah lain.” (Mas Tony)
Kesempatan Kerja Kehadiran lembaga-lembaga kursus bahasa asing dan siswa kursus dengan segala aktivitasnya
membuka kesempatan kerja semakin luas. Sederhananya, untuk satu lembaga kursus
membutuhkan minimal tenaga pengajar yang meliputi tenaga pendidik dan tenaga administrasi,
staf, dan tenaga kebersihan. Umumnya, tenaga pengajar di lembaga kursus merupakan fresh
graduate yang telah mengambil program belajar di lembaga kursus tersebut sebelumnya. Sistem
rekrutmennya bersifat tertutup dengan pertimbangan untuk menjaring sumber daya manusia yang
kemampuannya betul-betul sesuai dengan yang dibutuhkan oleh lembaga kursus dan sudah
mengenali karakter personalnya dalam mengajar. Sedangkan usaha lainnya seperti warung,
laundry, rental sepeda, dan biro travel juga membutuhkan karyawan untuk kegiatan operasinalnya.
Tenaga kerja yang terserap baik di lembaga kursus atau usaha lainnya berasal dari penduduk lokal
dan luar Pare.
“...saya kursus, terus ditawari kesempatan ngajar, ya udah saya ngajar aja, itung-itung kan
ketika saya ngajar nanti kan ada fee di sana, nah ketika dapat fee saya bisa gunakan untuk
kuliah saya.” (Mas Adhe)
“...karena kalo mbak lihat di sini kan pembangunan begitu pesat, artinya, ee dia akan
kekurangan tenaga tukang dan kuli bangunan gitu, daripada mereka kerja kuli di Surabaya, dia
makannya sudah mahal, tidurnya juga harus kost, mending dia pulang kampung, jadi tukang
ndek kampung sendiri, pulang tiap hari, makan apa yang ada di rumah bayarannya tetep utuh.”
(Pak Wahyudi)
“Saya di sini kurang lebih 4 tahun, disiplin dan tanggung jawab, saya sebelumnya di rumah
saja, saya single parent, ini penghasilan satu-satunya, nanti kalo ada waktu senggang saya
bantu ibuk di pasar jualan. Sebelum menikah saya petani bantu ayah. Ya.. alhamdulillah lebih
produktif dan cukuplah untuk kebutuhan sehari-hari.” (Mbak Mudah)
Pergeseran Struktur Mata Pencaharian
Perekonomian di Desa Tulungrejo dan Dusun Singgahan Desa Pelem sebelumnya bersifat agraris,
sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani dan ternak sapi. Seiring dengan perkembangan
“Kampung Inggris” banyak warga yang beralih profesi dari petani menjadi wirausaha di bidang
kuliner maupun jasa.
“Sini itu yang buruh tani, yaa ini seperti warung Pak Nyos itu, itu dulu ya petani dulu, ndak
(sudah tidak ke sawah), perbatasan Singgahan itu, itu ada warung jejer jejer itu, itu dulu setau
saya tani, sekarang buka kosan sama warung, ya banyak lah gitu, tapi, yang banyak ya generasi
itunya, generasi tuanya, bapak-bapak e gitu lo. Kalo yang sekarang, yang dominasikan anak-
anak yang kelahiran BEC sudah, kampung inggris sudah ada, iya, orang tuanya tadinya ini, ini,
ini, memungkinkan piara sapi, macem-macem, tapi sekarang sudah tidak untuk sapi, tapi untuk
kosan, untuk warung gitu, banyak sini itu, hampir semua.” (Pak Abu)
“.. tapi susah e untuk petani nyari orang kerja makin susah..” (Pak Muh)
Peningkatan Harga Jual/Sewa Tanah
“Kampung Inggris” memiliki keunggulan dibanding daerah lain, adanya konsentrasi
konsumen di wilayah tersebut mengakibatkan setiap produk yang ditawarkan penjual berpotensi
untuk laku. Keputusan penduduk lokal dalam memilih apakah menjual tanah/bangunan yang
dimilikinya atau mendirikan usaha sendiri sangat bergantung pada kemampuan modal finansial
yang dimiliki. Penduduk yang memiliki modal dan spirit wirausaha mampu melihat potensi
keuntungan yang bisa diraih, sementara penduduk yang tidak memiliki modal dan spirit wirausaha
memilih untuk menjual tanah/bangunan yang dimiliki dengan harga tinggi.
“...dibanding dengan di tempat lain, mungkin di sini, bisa jadi 10 kali lipat, jadi mereka yang
gak punya modal besar, minggir, di sini ini, terbaru kemarin, itu permeter2 nya sudah hampir
Rp 4.000.000,-, iyaa.. malah kalo di tempat lain, Rp 4.000.000,- bisa jadi dapat 10, bahkan
lebih meter.” (Pak Matsudi)
Peningkatan harga jual/sewa tanah dan bangunan di “Kampung Inggris” disebabkan oleh
tingginya permintaan lahan. Potensi keuntungan hasil penjualan tanah yang tinggi membuat
masyarakat lokal Desa Tulungrejo yang tidak memiliki modal dan keinginan untuk membuka
usaha, kemudian melepas tanah dan bangunan yang mereka miliki untuk dijual dan pindah ke
wilayah di luar Pare yang harga belinya lebih murah.
Aspek Sosial
Jaringan Sosial yang Terbentuk Antara Lembaga Kursus dengan Penyedia Layanan
Lembaga kursus bahasa asing pada awalnya hanya menawarkan program kursus saja, sehingga
kebutuhan siswa kursus atas sandang, pangan, dan papan dipenuhi oleh masyarakat di sekitar
lembaga kursus beroperasi. Namun, beberapa lembaga kursus kemudian berinovasi dengan
menawarkan produk secara bundling satu paket dengan fasilitas camp, makanan, dan jasa laundry.
Hal ini dilakukan supaya program pembelajaran intensif terlaksana. Siswa kursus dapat saling
mempraktikan apa yang telah dipelajari di kelas dalam aktivitasnya sehari-hari. Lebih lanjut,,
lembaga kursus menjalin kerjasama dengan penyedia kost, katering, dan laundry.
Peningkatan Kesadaran Pendidikan dan Kewirausahaan
Aktivitas pembelajaran kursus di “Kampung Inggris” mengubah suasana di Dusun Singgahan
Desa Pelem dan Desa Tulungrejo terlihat lebih akademis. Siswa kursus dari berbagai daerah
berbondong-bondong datang untuk mengikuti program kursus dengan berbagai tujuan. Kehadiran
penduduk luar Pare dan interaksi sosial yang terbangun dengan mereka mengubah pandangan
pemuda lokal mengenai pentingnya kemampuan berbahasa inggris.
“... bahasa inggris buat apa ? paling saya ini gak butuh, tapi setelah saya ini ikut kursus, oh,
ternyata di dunia luar, bahasa inggris itu sangat dibutuhkan, di dunia kerja pun seperti itu.”
(Mas Adhe)
Peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat Desa Tulungrejo sebagai akibat dari
bertambahnya pendapatan pasif dari usaha kost atau usaha lainnya meningkatkan kesadaran
orangtua akan pentingnya pendidikan. Masyarakat lokal kini mampu menyediakan dana
pendidikan bagi anak-anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
“Ya, artinya gini, berkaitan dengan pola pandang, artinya gini, dulu sebelum meledaknya
“Kampung Inggris”, kita kan boleh dibilang masyarakat kita menengah ke bawah, artinya pola
pandang terhadap pendidikan pun juga akan terpengaruh dengan ekonomi, ya kan? setelah
dengan adanya “Kampung Inggris”, ekonomi juga meningkat, otomatis, merubah pandangan
penduduk terhadap pendidikan. Karena apa? karena sudah ada dana.” (Pak Wahyudi)
Selain itu, Kesuksesan pendatang dalam menjalankan usahanya di “Kampung Inggris”
meningkatkan motivasi pemuda lokal untuk mengembangkan spirit kewirausahaan. Lebih lanjut,
forum dan komunitas kepemudaan mulai diaktifkan kembali dan mulai dilakukan program
pemberdayaan dengan cara mendirikan usaha dalam bentuk lembaga kursus atau warung untuk
dikelola secara bersama-sama.
“... kita motivasi temen-temen, mereka lho pendatang sukses di sini, kalian ngapain keluar,
nah sekarang ini kita ada, kita lagi bentuk komite juga, jadi orang asli pare kita kumpulkan,
kita bentuk kalo pengen bikin usaha, ayo bareng-bareng kita usaha. Namanya Asmoro, Asmoro
Learning Center. ada lembaga kursusnya juga. Iya, jadi komunitas itu, tapi masih baru, baru
beberapa bulan ini jalan, jadi komunitas itu nanti, pengennya memfasilitasi temen-temen, kita
kumpulkan, temen-temen pengen usaha apa sih? oh warung, ya kita buka warung. heeh, seperti
itu, nanti kita urusin bersama, ya kita kelola bersama lah. Seperti itu. Nah sementara yang
masih muncul kayanya warung sama lembaga kursusnya.” (Mas Adhe)
Penyelenggara Lokal Terdesak oleh Investor dari Luar
Peralihan kepemilikan tanah dan bangunan dari warga lokal menjadi milik pendatang
mengakibatkan hampir seluruh aktivitas bisnis di Desa Tulungrejo dikuasai oleh investor dari luar.
Pemberlakuan sistem camp dirasa merugikan masyarakat lokal yang tidak bisa menjalin jaringan
kerjasama dengan lembaga kursus. Pada periode awal perkembangan “Kampung Inggris” modal
sosial yang terbangun antara Pak Kalend dan muridnya dengan masyarakat sekitar cukup kuat,
masyarakat sekitar turut menikmati berkah finansial dari peningkatan aktivitas di “Kampung
Inggris”. Namun, dominasi investor dari luar yang cenderung berperilaku kapitalis membuat
masyarakat lokal kehilangan potensi keuntungan yang seharusnya bisa dinikmati.
“Tapi kalo dampak negatifnya, sekarang dengan keberadaan camp-camp itu, akhirnya kan kost
bebas sudah mulai gak laku, ya, kan misalkan dari satu lembaga gitu ya dia memakai sistem
camp artnya kan yang kost bebas artinya yang non-camp kan akhirnya gak laku, itu
masalahnya. Terus yang kedua, emm.. dengan adanya camp itu sendiri, makan-nya sudah jadi
satu, laundry-nya jadi satu, itu kan jadi masalah juga. ... Semuanya dari luar Pare. Kalo Pak
Kalend sendiri memang dia, berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa seseorang itu harus
bisa menjadi, apa yaa?, kalo, bahasa anunya kan rahmatan lil „alamiin, artinya dia bisa
memberikan manfaat ke lingkungannya, misalnya mulai dari kost-kost an, Pak Kalend juga
nggak pernah bikin camp, siswanya kost bebas, semua bebas kost dimana terserah, mau makan
dimana terserah, tapi dengan keberadaan camp itu, akhirnya kan justru yang disekitaran,
artinya yang di kanan-kirinya itu kalo gak bisa menjalin kerjasama di situ ya nggak kebagian
rezekinya, itu dari sisi negatifnya.” (Pak Wahyudi)
Kemacetan pada Waktu Tertentu
Aglomerasi berdampak terhadap kemacetan, hal yang sama terjadi di “Kampung Inggris”.
Siswa kursus yang datang ke Pare pada masa liburan jumlahnya mencapai rata-rata sekitar 11.000
orang. Sepeda menjadi sarana mobilitas utama bagi siswa kursus. Kemacetan terjadi saat
pertambahan jumlah pengguna jalan tidak diimbangi dengan kondisi kapasitas daya tampung
ruang jalan yang tetap.
“Kalo holiday, disini jalan sudah macet total. ...Iya, satu, anak anak kan di sini kan ada ribuan
mbak sepeda itu, beberapa rental itu kan sudah menampung ribuan sepeda, itu kalo keluar
semua Sampean bayangkan, ya kaan? Kalo holiday kan disini kemarin aja waktu Desember-
Januari, itu dari kita ngobrol sama temen-temen yang punya lembaga itu, kurang lebih ada
11.000 anak datang kesini. Sekarang kalo kita bayangkan yang 11.000 anak naik sepeda
semua, katakan yang separo ajalah yang separo turun ke jalan yang separo lagi belajar,
iyakan?”
Kriminalitas
Peningkatan aktivitas di “Kampung Inggris” berpengaruh positif terhadap angka kriminalitas.
Aksi penjambretan sering terjadi akibat keteledoran siswa kursus yang meletakkan dompet atau
HP di keranjang sepeda. Selain itu, terjadi perkelahian antar suku yang dipicu oleh permasalahan
sepele. Kondisi Desa Tulungrejo yang semakin padat dan ramai oleh penduduk asing/luar daerah
menjadi peluang bagi pengedar narkoba dalam beroperasi.
“Saya yang ngasih tau malah semacam intel, narkoba, jadi yang membawa kurirnya adalah
cewek-cewek berjilbab. Saya dengarnya nggak di daerah sini, karena ini kan baru, sehingga
mungkin kontrolnya agak mungkin lebih kelihatan, heeh, yang padet, maksudnya yang padet,
karena yang di sini mungkin ee, sudah mulai kelihatan, jadi perkelahian antar suku, terus
kemudian, hubungan laki-laki perempuan..”
Tingginya potensi angka kriminalitas yang timbul meresahkan masyarakat lokal. Selanjutnya,
Polres Kediri menerjunkan 20 lebih anggotanya khusus ditugaskan di wilayah “Kampung
Inggris”. Hal ini dilakukan untuk menciptakan keamanan di “Kampung Inggris”, mengingat
sebelumnya wilayah ini dikenal di mata nasional sebagai obyek wisata pendidikan yang aman dan
nyaman. Pasukan khusus ini selanjutnya dipanggil dengan istilah Brigadir Kampung Inggris.
Tabel 4.2 – Implikasi “Kampung Inggris” Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat
No. Implikasi
Ekonomi Sosial
1. Peluang usaha baru (warung, kostan,
laundry, rental sepeda dlsb).
Jaringan sosial yang terbentuk antara
lembaga kursus dengan penyedian kost,
katering, laundry.
2. Kesempatan kerja (bagi warga lokal dan
luar).
Peningkatan kesadaran pendidikan dan
kewirausahaan.
3. Mata pencaharian (dari petani ke
wirausaha).
Penyelenggara lokal terdesak oleh investor
dari luar.
4.
Peningkatan harga tanah, warga lokal
menjual tanahnya kepada pendatang
kemudian pindah di wilayah luar/pinggir
Pare yang harganya lebih murah.
Kemacetan pada waktu tertentu
5. - Kriminalitas (penjambretan, peredaran
narkoba, perkelahian antar suku, dlsb).
Sumber: olahan penulis (2020)
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Dinamika perkembangan di “Kampung Inggris” meliputi :
a. Modal sosial merupakan faktor yang melandasi terjadinya dinamika di “Kampung
Inggris” pada tahap awal perkembangannya. Proses pertumbuhan lembaga kursus sejenis
di wilayah “Kampung Inggris” didorong oleh rasa „saling percaya‟ dan nilai „saling
berbagi‟ yang dimiliki sehingga menciptakan jaringan sosial antara perintis dengan
muridnya (antar lembaga kursus). Nilai „kebersamaan dan manfaat bagi sesama‟ yang
menjadi prinsip perintis melahirkan jaringan sosial dalam bentuk kerjasama antara
lembaga kursus dengan masyarakat sekitar (penyedia kost, warung, laundry, dlsb).
b. Proses transfer pengetahuan dan informasi/knowledge spillover di wilayah aglomerasi
terjadi ketika tenaga kerja di lembaga kursus pendahulu kemudian memilih resign dan
mendirikan lembaga kursus baru sendiri. Selain itu, kedekatan geografis antar lembaga
kursus mengakibatkan strategi lembaga kursus „besar‟ mampu dibaca oleh kompetitor.
c. Iklim persaingan yang semakin kompetitif memotivasi lembaga kursus untuk
meningkatkan kualitas produk melalui inovasi. Inovasi produk yang ditawarkan harus
memiliki peluang untuk laku. Namun, terjadi fenomena dimana lembaga kursus baru
yang kesulitan memasuki pasar cenderung melakukan perilaku oportunistik dengan
menunjuk „agen marketing‟ untuk membelokkan konsumen dalam memilih lembaga
kursus. Selain itu, muncul pula fenomena lembaga kursus „musiman‟ yang beroperasi
hanya pada saat kondisi permintaan kursus meningkat. Kedua hal ini berpotensi
merugikan konsumen dan menurunkan citra “Kampung Inggris”.
d. Beberapa lembaga kursus melakukan upaya pemberdayaan manusia di “Kampung
Inggris” melalui pemberian beasiswa kursus khusus pemuda lokal disesuaikan dengan
wilayah dimana lembaga kursus beroperasi.
2. Implikasi “Kampung Inggris” terhadap sosial ekonomi masyarakat, meliputi:
Aspek Ekonomi:
a. Peluang usaha baru (warung, kost, laundry, rental sepeda, souvenir dlsb).
b. Kesempatan kerja, bagi penduduk lokal dan luar desa.
c. Pergeseran struktur mata pencaharian dari petani (sektor pertanian) menjadi wirausaha
(sektor jasa).
d. Peningkatan harga jual/sewa tanah menyebabkan warga lokal menjual tanah yang
dimilikinya kepada pendatang, kemudian warga lokal pindah ke daerah di luar Pare yang
harga tanahnya lebih murah.
Aspek Sosial:
a. Jaringan kerjasama yang terbentuk antara lembaga kursus dengan penyedia layanan kost,
katering, dan laundry.
b. Peningkatan kesadaran atas pendidikan dan kewirausahaan.
c. Penyelenggara lokal terdesak oleh investor dari luar.
d. Kemacetan pada waktu tertentu.
e. Kriminalitas.
Berdasarkan kesimpulan yang diambil, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah
sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat lokal khususnya pemuda asli Dusun Singgahan Desa Pelem dan Desa
Tulungrejo untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki baik di bidang
penguasaan bahasa asing atau kewirausahaan supaya bisa turut berpartisipasi aktif dalam
proses perkembangan “Kampung Inggris”, sehingga dapat ikut menikmati hasil pertumbuhan
ekonomi wilayah di “Kampung Inggris” dan tidak hanya menjadi penonton saja.
2. Bagi “Forum Kampung Bahasa” untuk menyusun dan memfasilitasi program-program yang
dibutuhkan oleh lembaga kursus, misalnya berkaitan dengan peningkatan kinerja pemasaran
yang dapat mengefisiensikan biaya promosi.
3. Bagi pemerintah setempat untuk membuat regulasi yang membatasi dominasi investor dari
luar dan pendatang dalam pendirian usaha baru di “Kampung Inggris”; dan memberikan
fasilitas pelatihan pengembangan SDM yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing
masyarakat lokal.
DAFTAR PUSTAKA
BECPARE.COM. 2019. Sejarah Lahirnya Cabang-Cabang Resmi BEC Pare.
http://becpare.com/bec-insight/item/110-sejarah-lahirnya-cabang-cabang-resmi-bec-pare diakses pada 29 November 2019
Berl Economics. 2014. Bay of Plenty: Settlement and Agglomeration Impacts. Final Report.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filosofis dan Metodologis
ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
Creswell, John W. Research Design - Qualiitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches.
London: Sage Publications.
Fathony, Arif. 2012. Kontribusi „Kampung Inggris‟ terhadap Penguasaan dan Pemilikan Tanah di
Desa Tulungrejo Kec. Pare Kab. Kediri. Skripsi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional.
Hidayat, ART dkk. 2011. Pengaruh Keberadaan Kampung Inggris terhadap Guna Lahan dan
Sosial Ekonomi Masyarakt di Desa Tulung Rejo dan Desa Pelem, Kabupaten Kediri. Jurnal
Tata Kota danDaerah,Vol.3, No.1, Hal.11-18. Malang: Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya.
Kabupaten Kediri. 2015. Wujudkan Kampung Inggris Modern Dan Jaga Kearifan Lokal.
http://www.kedirikab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2194:w
ujudkan-kampung-inggris-modern-dan-jaga-kearifan--
okal&catid=13:pemerintahan&Itemid=853 diakses pada 29 Februari 2016
Kantor Desa Tulungrejo, 2016. Jumlah Lembaga Kursus di Kampung Bahasa Pare. Tidak
terbitkan.
Kementerian Pendidikan & Kebudayaan. Daftar Satuan Pendidikan (Sekolah) Pendidikan
Masyarakat (DIKMAS) Per Kec. Pare.
https://referensi.data.kemdikbud.go.id/index31.php?kode=051322&level=3 diakses pada 20
Desember 2015
Kurniawan, Wawan. 2015. Dampak Sosial Ekonomi Pembangunan Pariwisata Umbul
Sidomukti Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Economics Development Analysis
Journal (4). Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Semarang
MNCTV Pahlawan Indonesia - Diantara kita. https://www.youtube.com/watch?v=KBbhFsgeCG0
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
OECD. 2007. Insights: Human Capital – How What You Know Shapes Your Life.
Panne, Gerben van der. 2004. Agglomeration Externalities: Marshall versus Jacob. Journal of
Evolutionary Economics, 14: 593-604.
Parera, Jolyne Myrell. 2012. Modal Sosial Sebagai Input dalam Proses Aglomerasi dan
Implikasinya terhadap Biaya Transaksi. Disertasi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Universitas Brawijaya. Malang
Roshid, Mohammod & Chowdhury, Raqib. 2013. English language proficiency and employment:
A case study of Bangladeshi graduates in Australian employment market. Mevlana
International Journal of Education (MIJE) Vol. 3(1), pp. 68-81, 1 April, 2013. Monash
University.
Setiono, Dedi N S. 2011. Ekonomi Pengembangan Wilayah. Jakarta. LPFEUI.
Suryono, Agus. 2012. Peranan Dan Pemanfaatan Modal Sosia Dalam Pengembangan Klaster
Studi Pada Klaster Cor Logam Ceper-Klaten Jawa Tengah. Disertasi diterbitkan. Salatiga.
Program Pascasarjana Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana.
Tambunan, Mangara. 2010. Menggagas perubahan pendekatan pembangunan – menggerakkan
kekuatan lokal dalam globalisasi ekonomi. Yogyakarta. Graha ilmu.
Villamil, Jasson Cruz. 2010. How Do Agglomeration Economies Affect The Development Of
Cities?. Revista De Economía Del Caribe Nº. 6 (2010) Págs. 95-112
Wiranto, Tatag. 2004. Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut Dalam Kerangka Pembangunan
Perekonomian Daerah.
https://www.bappenas.go.id/files/2913/5022/6062/pesisirekonomidaerahtatag__20081123172
012__1224__1.pdf