Upload
buixuyen
View
266
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEHMENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN
FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIADAN DNA MIKROSATELIT
MOHD. AGUS NASHRI ABDULLAH
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2008
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASIDAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judulKarakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan Analisis KeragamanFenotipik, Daerah D-Loop DNA Mitokondria dan DNA Mikrosatelit adalahbenar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukanjiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentukapapun kepada perguruan tinggi manapun.
Bogor, 10 Maret 2008
Mohd. Agus Nashri AbdullahNrp. D061030081
ABSTRACT
MOHD. AGUS NASHRI ABDULLAH. Genetics Characterization of AcehCattle Utilizing Phenotypic, Mitochondrial DNA of D-loop Region andMicrosatellite DNA Analyses. Under the supervision of HARIMURTIMARTOJO, RONNY RACHMAN NOOR, and DEDY DURYADI SOLIHIN
The aims of this study were to describe the variation of body sizemeasurement, D-loop of mtDNA and microsatellite alleles of Aceh cattle. Thebody measurement data were collected from 131 males and 269 females of Acehcattle. The whole blood samples (8 samples for D-loop analyses and 160samples for microsatellite genotyping) were collected from Aceh Besar, Pidie,North Aceh district and Banda Aceh city. For the out-group comparison, thewhole blood samples were collected from 10 Bali cattle, two samples of eachcollected from Madura, PO and Pesisir cattle. The D-loop sequences of mtDNAamplification were done by using BIDLF and BIDLR primer with the PCR productof 980 bp. Sixteen markers were used for genotyping microsatellite DNA. Bodysize measurement data variation were analyzed using Minitab 14.13 software.The molecular data were analyzed using Minitab 14.13, Squint 1.02, Mega4 andArlequin 3.11 and Excel software.
The result shows that the body weight and size of Aceh cattle were smallerthan those of Bali, Madura and PO cattle. However the body size of Aceh cattlewas larger when compared to that of Pesisir cattle. Most of Aceh cattle have redsand and light brown coat color. The horn shape of female cattle was bendslightly toward left or right and than bend to forward direction. The male has thesame horn shape as females but at the tips of the horn goes upward. Most ofAceh cattle have concave face line and some of them have diametrical face line.The result of the D-loop mtDNA analyses showed that there were 27 sitevariation of D-loop mtDNA Aceh cattle. These specific markers can be used todifferentiate and subdivide Indonesian domestic cattle. The Aceh cattle were inthe same cluster with Pesisir cattle. However, the PO cattle were in a closercluster with Bos indicus cattle, while Bali and Madura cattle were in the samecluster. The result of microsatellite analyses showed that the averages allelenumber per locus was 10,25 ± 2,07. The percentage of the heterozygosity ofAceh cattle was higher than those of Bali, but lower compared to those ofMadura, PO and Pesisir cattle. Based on the microsatellite alleles analyses, theAceh cattle were in the same cluster with PO cattle and were in the same branchof the phylogeny tree with Pesisir and Madura cattle.
Keyword: Aceh cattle, phenotypic, DNA, mitochondrial, microsatellite
RINGKASAN
MOHD. AGUS NASHRI ABDULLAH. Karakterisasi Genetik Sapi AcehMenggunakan Analisis Keragaman Fenotipik, Daerah D-loop DNAMitokondria dan DNA Mikrosatelit. Dibimbing oleh HARIMURTI MARTOJO,RONNY RACHMAN NOOR, dan DEDY DURYADI SOLIHIN
Sapi Aceh merupakan satu dari empat bangsa sapi asli Indonesia (Aceh,Bali, Madura, Pesisir). Sapi Sumba-Ongole (SO) dan Java-Ongole (PO) jugadianggap sebagai bangsa sapi lokal Indonesia. Ternak-ternak asli telah terbuktidapat beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk makanan, ketersediaan air,iklim dan penyakit. Dengan demikian, ternak-ternak inilah yang paling cocokuntuk dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, walaupun produksinya lebihrendah dari ternak impor.
Sapi Aceh diduga dimasukkan oleh pedagang-pedagang India yangmembawa sapi-sapi dari India ke Aceh pada masa lampau dengan tujuanberdagang dan menguasai perekonomian di Aceh. Selanjutnya sapi ini didugamengalami persilangan dengan banteng liar yang ada di Sumatera, namunbelum pernah diverifikasi dan diungkapkan melalui analisis genom.
Eksploitasi sapi Aceh melalui persilangan yang semakin luas denganbangsa sapi eksotik yang dilakukan selama ini dapat mengancam keberadaansapi Aceh pada masa yang akan datang. Kepunahan yang dapat terjadi padasapi Aceh yang telah teradaptasi lingkungan akan sulit bahkan tidak akan dapatdigantikan. Hal ini akan berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, budayamasyarakat Aceh yang tidak bisa terlepas dari beternak dan mengkonsumsidaging sapi.
Oleh karena itu, dilakukan penelitian pada sapi Aceh yang mencakupinventarisasi sumber daya genetiknya melalui analisis fenotipik, DNA mitokondriapada daerah D-loop dan DNA mikrosatelit. Tujuan penelitian ini adalahmelakukan karakterisasi terhadap keragaman fenotipik dan keragaman genetik,daerah D-loop mtDNA dan DNA mikrosatelit yang berguna sebagai databasedalam pelaksanaan program pelestarian plasma nutfah sapi Aceh,pengembangan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Pengumpulan data fenotipik sapi Aceh (131 jantan dan 269 betina) dansampel darah (8 sampel untuk analisis D-loop dan 160 sampel untuk genotipingmikrosatelit) dilakukan di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie danAceh Utara. Sampel pembanding telah diambil 10 sampel sapi Bali (Pulau Bali),dua sampel masing-masing sapi Madura (Pulau Madura), PO (Jawa Barat),Pesisir (Sumatera Barat). Ekstraksi dan purifikasi DNA total telah dilakukanmenurut metode Sambrook yang dikembangkan Duryadi. Primer yang digunakanuntuk mengamplifikasi fragmen daerah D-loop mtDNA adalah pasangan primerBIDLF dan BIDLR dengan panjang produk 980 bp. Bagian DNA mikrosatelit,telah digunakan adalah enambelas lokus (BM1818, INRA005, CSRM60,BM2113, HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225, ETH10,CSSM66, BM1824, ILSTS006 dan ILSTS005) untuk genotiping mikrosatelit. Datafenotipik dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program Minitab14.13. Data molekuler dari sekuen D-loop disejajarkan berganda dengan sekuenacuan Bos indicus dari GenBank (kode akses AY126697) dengan menggunakanprogram Squint 1.02 dan dianalisis dengan program MEGA versi 4.0. Panjangsekuen daerah D-loop yang dapat dianalisis adalah 479 bp. Hitungan jarak
genetik (D) antarsapi penelitian dan pohon filogeni telah digunakan metode 2parameter Kimura dengan bootstrapped Neighbor-Joining 1000 kali ulangandalam paket MEGA. Data ukuran-ukuran alel mikrosatelit dianalisis denganprogram Arlequin 3.11 dan dukungan Minitab 14.13 serta Excel. Jarak genetikyang diperoleh digunakan untuk membentuk pohon filogeni dengan programPhylip (phylogeny Inference Package) versi 3.67.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari segi bobot badan danukuran-ukuran tubuh, sapi Aceh mengalami penurunan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh dibanding hasil laporan tahun 1926. Apabila dibandingkan sapiBali, Madura dan PO, maka sapi Aceh mempunyai ukuran-ukuran tubuh yanglebih kecil pada tingkat umur yang sama, namun berada di atas rataan sapiPesisir. Secara kualitatif, sapi Aceh berwarna dominan merah bata dan cokelatmuda serta pola warna beragam mulai warna gelap sampai terang. Bentukpertumbuhan tanduk sapi betina mengarah ke samping melengkung ke ataskemudian ke depan dan pada jantan mengarah ke samping melengkung ke atas.Pada umumnya sapi Aceh mempunyai garis punggung yang cekung (89,25%),sebagian mempunyai garis punggung cembung (6,25%) dan sebagian kecilmempunyai garis punggung lurus (4,5%). Hasil analisis D-loop mtDNA dengansekuen acuan Bos indicus dari GenBank, ada 27 situs beragam pada sapi Aceh.Penanda ini dapat digunakan untuk pembeda dan pengelompokan sapi lokalIndonesia yaitu sapi Aceh satu klaster dengan sapi Pesisir dan PO, mempunyaijarak genetik yang lebih dekat dengan sapi Bos indicus, sedangkan sapi Bali danMadura membentuk klaster sendiri. Pengelompokan sapi Aceh dengan sapiPesisir dan PO dalam klaster sapi Bos indicus menunjukkan bahwa sapi Aceh,Pesisir dan PO adalah dari maternal zebu, sedangkan pengelompokan sapiMadura dalam klaster sapi Bali (Bos javanicus) menunjukkan bahwa sapi Madurabukan dari maternal zebu tetapi dari maternal banteng. Hasil analisis DNAmikrosatelit, diperoleh rataan alel per lokus 10,25 ± 2,07. Sapi Aceh memilikiderajat heterozigositas yang tinggi dan berbeda genetik dengan sapi Bali,Madura, Pesisir dan PO. Urutan kedekatan genetik antara sapi Aceh dengansapi pembanding berturut-turut yaitu: sapi PO, Pesisir, Madura dan Bali, denganpohon filogeni yang menunjukkan sapi Aceh memiliki klaster yang sama dengansapi PO, membentuk cabang dengan sapi Pesisir dan sapi Madura.
Kata kunci: sapi Aceh, fenotipik, mitokondria, mikrosatelit, DNA
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008Hak Cipta dilindungi Undang-undang1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbera. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatumasalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEHMENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN
FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIADAN DNA MIKROSATELIT
MOHD. AGUS NASHRI ABDULLAH
Disertasisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
padaProgram Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2008
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA
2. Dr. Ir. Endang Tri Margawati, M.Agr.Sc
Judul Disertasi : Karakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan AnalisisKeragaman Fenotipik, Daerah D-loop DNA Mitokondria danDNA Mikrosatelit
Nama : Mohd. Agus Nashri AbdullahNRP : D061030081Program Studi : Ilmu Ternak
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Harimurti Martojo, M.ScKetua
Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEAAnggota Anggota
Diketahui,
Ketua Departemen Ilmu Produksi Dekan Sekolah Pascasarjanadan Teknologi Peternakan
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal ujian: 13 Maret 2008 Tanggal lulus: 11 April 2008
PRAKATA
Sujud syukur Alhamdulillah dan segala puji penulis panjatkan kepada AllahSWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.Sasaran yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Pebruari 2005sampai dengan Juni 2007 adalah keragaman genetik, yang berjudulKarakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan Analisis KeragamanFenotipik, Daerah D-loop DNA Mitokondria dan DNA Mikrosatelit.
Gabungan tiga bagian utama penelitian (fenotipik, daerah D-loop DNAmitokondria, dan DNA mikrosatelit) pada sapi Aceh dengan cakupan daerahpengambilan sampel yang luas dan mengetahui kedudukan sapi Aceh dalampengelompokan sapi lokal lainnya di Indonesia belum pernah dilakukansebelumnya. Penelitian ini memberikan informasi yang sangat penting sebagaidatabase sapi Aceh dan ini merupakan yang pertama dilakukan di ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam.
Pengamatan penulis diawali ketika masa kecil sekitar awal tahun 80-anpada beberapa ekor sapi Aceh milik seorang peternak Desa Tanjong Seulamat didepan rumah orang tua penulis di Kampus Universitas Syiah Kuala. Sapitersebut sering digembalakan berhari-hari tanpa dipindahkan dengan cara diikatdi lapangan rumput siang dan malam beserta panas dan hujan, hingga disekitarnya tidak terlihat lagi rumput bahkan akarnya, namun sapi tersebut tetaptegar. Banyak sapi milik peternak lain di sekitar kampus digembalakan dengancara dilepas siang dan malam, sehingga sering bergerombol masuk ke lapangankampus untuk merumput. Keadaan demikian telah berlangsung sejak awalkampus berdiri di tahun 60-an hingga sekarang kadang masih juga terjadi. Jikadilakukan perjalanan darat di malam hari dari Banda Aceh menuju perbatasandengan Sumatera Utara, maka akan ditemui sapi beristirahat sepanjang jalannegara lintas Sumatera, sehingga ada sebutan '“Aceh memiliki kandang sapiterpanjang di dunia”. Keadaan ini berlangsung hingga diberlakukan OperasiJaring Merah (DOM) di Aceh karena konflik berkepanjangan. Betapa besar dayatahan hidup sapi Aceh dengan kondisi demikian.
Gagasan penelitian ini muncul setelah melihat kekhawatiran pada sapiAceh yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sejak adapelaksanaan program Inseminasi Buatan (IB) dan semakin meluas persilanganyang dilakukan pada sapi Aceh di provinsi ini, peternak semakin sulitmendapatkan sapi Aceh murni sehingga kemungkinan inbreeding telah terjadi.Peternak di desa yang umumnya mempunyai tingkat pendidikan sangat rendah(tamat dan tidak tamat SD), hampir seluruhnya tertarik memelihara sapi yanglebih besar setelah melihat hasil-hasil persilangan yang telah dilakukan denganbangsa sapi impor. Bahkan di Aceh, sebagian orang peternakan sendirimenyepelekan sapi Aceh dengan beberapa alasan seperti sapi kecil (bahasaAceh leumó bukriėk), lambat dewasa, tidak efisien dan perlu diganti dengan sapilain, sehingga sapi ini semakin terancam keberadaannya. Padahal dari laporanMerkens tahun 1926 dan beberapa keterangan dari sesepuh pendahulu diKabupaten Aceh Besar, Pidie dan Aceh Utara menjelaskan bahwa, sapi Acehdahulu berukuran besar-besar dan tidak kecil seperti sekarang. Perayaan pestaperkawinan besar hanya cukup dipotong satu ekor sapi Aceh.
Penelitian ini dapat terlaksana dengan ada dukungan dari semua pihak,sehingga penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepadaGuru-guru yang baik Prof. Dr. Harimurti Martojo, M.Sc sebagai Ketua Komisi
Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc danDr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA masing-masing sebagai Anggota KomisiPembimbing yang telah mendukung, meluangkan waktu, pikiran dan tenaganyadalam membimbing penulis sejak dalam perkuliahan, penulisan proposal sampaiselesai penulisan karya ilmiah ini. Semoga Guru-guru penulis diberikan pahalaoleh Allah SWT.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Syiah Kualaatas izin dan dukungannya. Terima kasih disampaikan kepada Dikti atasdukungan dana pendidikan BPPs. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepadaKepala Dispet TK. I Provinsi NAD dan Dispet TK. II Kota Banda Aceh, KabupatenAceh Besar, Pidie dan Aceh Utara beserta stafnya atas bantuan selama koleksisampel di Aceh. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ilham, S.Si atasbantuan selama koleksi sampel darah sapi di Pulau Madura dan terima kasihkepada Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si atas pemberian sampel darah sapi Bali dariP3Bali. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sarbaini Anwar, M.Scatas pemberian sampel darah sapi Pesisir dari Sumatera Barat dan juga terimakasih kepada Prof. Dr. Eddie Gurnadi, M.Sc atas keizinan pengambilan sampeldarah sapi PO di Laboratorium Ilmu Ternak Daging dan Kerja Fapet IPB. Penulismengucapkan terima kasih kepada Kepala Laboratorium Biologi Molekuler PusatPenelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut PertanianBogor Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, atas segala fasilitas alat dan bahanyang dapat penulis gunakan mulai dari isolasi, ekstraksi DNA total sampaipelaksanaan amplifikasi PCR daerah D-loop DNA Mitokondria. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Heriberto Rodriguez-Martinez, Ph.D atasdukungan dana penelitian DNA mikrosatelit dan terima kasih kepada Prof. Dr.Göran Andersson, Ph.D selaku Kepala Laboratorium Molekuler dan Genetika diSwedish University of Agricultural Sciences (SLU), Uppsala, Swedia atas segalafasilitas alat dan bahan yang dapat penulis gunakan selama penelitian DNAMikrosatelit berlangsung, serta terima kasih disampaikan kepada Mia Ollson(mahasiswa program Ph.D di SLU) atas bantuannya selama penulis melakukananalisis DNA Mikrosatelit. Ucapan terima kasih penulis sampaik juga kepadaseluruh teman dan kolega.
Akhirnya, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Drs. AbdullahRayeuk, M.Si (Ayah) dan Ibu Salwiyah Abdul Wahab, isteri tercinta Sofia Kurnia,S.Ag serta ananda Mohd Anshar Anashri atas dukungan, pengertian dando’anya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan kemajuanilmu peternakan di Indonesia dan khususnya Nanggroe Aceh Darussalam sertapembaca.
Bogor, 10 Maret 2008
Mohd. Agus Nashri Abdullah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kopelma Darussalam pada tanggal 16 Agustus 1971sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Drs. Abdullah Rayeuk,M.Si dan Salwiyah Abdul Wahab. Pendidikan Sekolah Dasar Negeri No. 82 (SDTeladan Lamnyong) Banda Aceh ditamatkan pada tahun 1984, kemudiandilanjutkan pada SMPN 13 tamat tahun 1987 dan SMAN 6 tamat tahun 1990yang keduanya berada di Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Universitas SyiahKuala Darussalam Banda Aceh. Pendidikan sarjana dimulai pada tahun 1990pada Program Studi Produksi Ternak Jurusan Peternakan Fakultas PertanianUniversitas Syiah Kuala, lulus pada tahun 1995. Kesempatan untuk melanjutkanke program magister pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah PascasarjanaIPB diperoleh pada tahun 2000 dan lulus 2003 dengan beasiswa pendidikan dariBPPs Dikti Jakarta. Pada tahun 2003 kembali penulis mendapat kesempatanmelanjutkan pendidikan (Doktor) pada program studi yang sama InstitutPertanian Bogor dengan beasiswa dari BPPs Dikti Jakarta. Pada tahun 2005,penulis memperoleh dana penelitian dari Riset Unggulan Terpadu XII tahun Isebagai Ketua Peneliti. Selanjutnya, dalam tahun 2007, penulis memperolehkesempatan melanjutkan penelitian ini pada Laboratorium Molekuler danGenetika, Husdjursgenetik, University of Agricultural Sciences (SLU), Uppsala,Swedia atas kerja sama Pembimbing Anggota Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor,MRur.Sc dengan peneliti di SLU Swedia Prof. Heriberto Rodriguez-Martinez,Ph.D.
Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Fakultas Pertanian JurusanPeternakan Program Studi Produksi Ternak Universitas Syiah Kuala sejak tahun1997 sampai sekarang untuk Mata Kuliah Ilmu Pemuliaan dan GenetikaHewan/Ternak.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.................... ................................ ................................ .. xiv
DAFTAR GAMBAR.................... ................................ .............................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN.................... ................................ ........................... xix
PENDAHULUAN.................... ................................ ................................ .. 1Latar Belakang .................... ................................ .......................... 1Tujuan Penelitian.................... ................................ ........................ 5Manfaat Penelitian .................... ................................ ...................... 5Hipotesis .................... ................................ ................................ .... 5
TINJAUAN PUSTAKA .................... ................................ ......................... 6Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam.................... .......... 6Keragaman Genetik Ternak.................... ................................ ........ 6Pelestarian Sumber Daya Genetik Ternak .................... .................. 9Sifat Kuantitatif dan Kualitatif .................... ................................ ...... 11Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia .................... ........... 12Karakteristik Sapi Aceh.................... ................................ ............... 14Penanda Molekuler.................... ................................ ..................... 15DNA Mitokondria .................... ................................ ........................ 18DNA Mikrosatelit .................... ................................ ......................... 20Teknik Penelitian DNA.................... ................................ ................ 23
MATERI DAN METODE .................... ................................ ..................... 26Penelitian Lapangan .................... ................................ ................... 26
Waktu dan Tempat Penelitian.................... .............................. 26Materi Penelitian.................... ................................ .................. 25Peralatan yang Digunakan.................... ................................ ... 27Pengambilan Sampel Data Kuantitatif dan Kualitatif ................ 27Analisis Data.................... ................................ ........................ 28
Penelitian Laboratorium.................... ................................ .............. 30Daerah D-loop DNA Mitokondria.................... ................................ . 30
Waktu dan Tempat Penelitian.................... .............................. 30Pelaksanaan Pengambilan Sampel Darah.................... ........... 31Bahan-bahan dan Peralatan .................... ................................ 31Perancangan Primer Daerah D-loop DNA Mitokondria ............ 32Isolasi dan Purifikasi DNA Total .................... .......................... 32Elektroforesis untuk Visualisasi DNA Hasil Isolasi ................... 33Amplifikasi Daerah D-loop DNA Mitokondria .................... ....... 34Penentuan Sekuen Nukleotida .................... ............................ 34Analisis Data.................... ................................ ........................ 35
DNA Mikrosatelit .................... ................................ ......................... 36Waktu dan Tempat Penelitian.................... .............................. 37Pelaksanaan Pengambilan Sampel Darah.................... ........... 37Bahan-bahan dan Peralatan .................... ............................... 37
xiii
Primer Mikrosatelit .................... ................................ ............... 37Amplifikasi Lokus Mikrosatelit .................... .............................. 38Elektroforesis Produk PCR .................... ................................ .. 38Analisis Data.................... ................................ ........................ 39
HASIL DAN PEMBAHASAN.................... ................................ ................ 42Penelitian Lapang.................... ................................ ....................... 42
Profil Peternak .................... ................................ .................... 42Ukuran-ukuran Tubuh.................... ................................ .......... 45Bentuk Tubuh .................... ................................ ...................... 50Warna dan Pola Warna Tubuh.................... ............................. 51Bentuk Tanduk.................... ................................ ..................... 55
Penelitian Laboratorium.................... ................................ .............. 57Daerah D-loop DNA Mitokondria.................... ................................ . 57
DNA Total .................... ................................ ............................ 57Amplifikasi daerah D-loop .................... ................................ .... 57Penentuan daerah D-loop Parsial dan Keragaman RunutanNukleotida.................... ................................ ............................ 58Jarak Genetik sapi Aceh dan Sapi Pembanding .................... .. 63Hubungan Kekerabatan Sapi Aceh.................... ...................... 64
DNA Mikrosatelit.................... ................................ ......................... 70DNA Total .................... ................................ ............................ 70Amplifikasi Mikrosatelit.................... ................................ ......... 71Alel dan Lokus Polimorfik.................... ................................ ..... 72Distribusi dan Jumlah Genotipe .................... ........................... 76Distribusi Frekuensi Alel .................... ................................ ...... 77Variasi Genetik dan Keseimbangan Hardy-Weinberg ............. 93Jarak Genetik Sapi Aceh dan Sapi Outgroup .................... ....... 96Penelusuran Asal-usul Sapi Aceh.................... ........................ 98
Pembahasan Umum .................... ................................ ................... 104
SIMPULAN DAN SARAN.................... ................................ ..................... 111Simpulan .................... ................................ ................................ .... 111Saran.................... ................................ ................................ .......... 112
DAFTAR PUSTAKA.................... ................................ ............................. 113
DAFTAR LAMPIRAN.................... ................................ ........................... 124
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Urutan basa dan suhu penempelan primer untuk mengamplifikasidaerah D-loop sapi penelitian .................... ................................ ...... 32
2 Profil peternak sapi Aceh.................... ................................ .............. 43
3 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh jantan denganmenggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan .................... 46
4 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh betina denganmenggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan .................... 47
5 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi-sapi jantan lokal padaumur berbeda.................... ................................ ............................... 50
6 Warna-warna tubuh sapi Aceh.................... ................................ ...... 53
7 Frekuensi bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh ................ 55
8 Jumlah insersi dan delesi basa-basa nukleotida pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir dengan acuan Bos indicus.................... ..... 59
9 Rataan komposisi nukleotida daerah D-loop parsial sapi Aceh,Bali, Madura, PO dan Pesisir setelah disejajarkan dengankomposisi nukleotida acuan Bos indicus dari GenBank(ukuran 479 bp) .................... ................................ ........................... 61
10 Perbedaan susunan basa nukleotida sapi Aceh, Bali, Madura, PO,Pesisir dan Bos indicus dari GenBank .................... .......................... 62
11 Jarak genetik berdasarkan metode 2 parameter Kimura pada sapiAceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan Bos indicus dari GenBank ....... 64
12 Panjang produk PCR dan selisih ukuran maksimum dan minimumpada masing-masing lokus mikrosatelit sapi penelitian .................... 71
13 Jumlah alel masing-masing lokus mikrosatelit pada sapi Aceh,Bali, Madura, PO, dan Pesisir.................... ................................ ...... 73
14 Perbandingan rataan jumlah alel per lokus pada berbagai ternakternak penelitian .................... ................................ .......................... 74
15 Alel-alel pada sepuluh lokus mikrosatelit yang hanya ditemukanpada sapi Bali, Madura dan Pesisir.................... .............................. 75
16 Kisaran ukuran alel dan jumlah genotipe sapi Aceh dan sapioutgroup pada 16 lokus mikrosatelit.................... ............................. 76
xv
17 Heterozigositas masing-masing lokus mikrosatelit pada sapi AcehBali, Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ ....... 94
18 Matriks jarak genetik Nei yang diperoleh dari frekuensi-frekuensialel pada 16 lokus mikrosatelit sapi Aceh, Bali, Madura, PO danPesisir.................... ................................ ................................ .......... 96
19 Estimasi proporsi sumber gen-gen dari Bos taurus, Bos indicusdan Bos javanicus .................... ................................ ........................ 98
20 Perbedaan range ukuran alel sapi Aceh dan sapi outgroup terhadaprange ukuran alel dari beberapa literatur .................... ...................... 109
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Skema genom mitokondria.................... ................................ .......... 19
2 Lokasi pengambilan sampel data fenotipik sapi Aceh .................... . 26
3 Sketsa bagian-bagian permukaan tubuh sapi Aceh yang diukur ..... 28
4 Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh dan sapi outgroupuntuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria .................... .......... 30
5 Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh dan sapi outgroupuntuk analisis DNA mikrosatelit .................... ................................ ... 36
6 Sinyal fluoresen yang dihasilkan mesin ABI Prism 3100 DNAanalyzer (Applied Biosystems) yang menunjukkan hasil amplifikasiDNA mikrosatelit dengan menggunakan marker BM1818 ............... 40
7 Perbedaan ukuran-ukuran tubuh sapi Aceh pada tahun berbeda.... 49
8 Warna-warna tubuh sapi Aceh .................... ................................ .... 52
9 Sketsa bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh.................... 56
10 Spektrofotometer DNA total sapi penelitian setelah dimigrasikandalam gel agarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 30 menit... 57
11 Sketsa letak penempelan primer BIDLF dan BIDLR untukmengamplifikasi fragmen daerah D-loop sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir.................... ................................ ............................ 58
12 Hasil amplifikasi daerah D-loop dengan menggunakan pasanganprimer BIDLF dan BIDLR setelah dimigrasikan dalam gel agarose1,2% pada tegangan 90 volt selama 45 menit .................... ............. 58
13 Sketsa daerah D-loop parsial hasil perunutan DNA (berukuran479 bp) yang dipakai untuk analisis keragaman genetik padasapi Aceh.................... ................................ ................................ .... 59
14 Hasil sekuensing daerah D-loop parsial DNA mitokondria sapi Acehyang dianalisis .................... ................................ ............................ 60
15 Frekuensi nukleotida daerah D-loop parsial berukuran 479 nt padasapi Aceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan Bos indicus (Nellore) dariGenBank .................... ................................ ................................ .... 61
xvii
16 Dendogram Neighbor-Joining Neighbor-Joining berdasarkanmetode 2 parameter Kimura dari nukleotida daerah D-loop parsial(berukuran 479 nt) sapi Aceh, Bali, Madura, PO, Pesisir danbangsa-bangsa sapi dari GenBank dengan pengolahan bootstrap1000 ulangan .................... ................................ .............................. 66
17 Tampilan DNA total sapi penelitian setelah dimigrasikan dalam gelagarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 30 menit .................. 70
18 Perbandingan jumlah genotipe yang hanya terdapat pada sapiAceh, outgroup dan genotipe bersama.................... ....................... 77
19 Distribusi frekuensi alel lokus BM1818 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 78
20 Distribusi frekuensi alel lokus INRA005 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 79
21 Distribusi frekuensi alel lokus CSRM60 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 80
22 Distribusi frekuensi alel lokus BM2113 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 81
23 Distribusi frekuensi alel lokus HEL5 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir.................... ................................ ............................ 81
24 Distribusi frekuensi alel lokus HEL9 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir.................... ................................ ............................ 82
25 Distribusi frekuensi alel lokus HEL13 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 83
26 Distribusi frekuensi alel lokus INRA63 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 84
27 Distribusi frekuensi alel lokus INRA35 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 85
28 Distribusi frekuensi alel lokus HEL1 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir.................... ................................ ............................ 87
29 Distribusi frekuensi alel lokus ETH225 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 88
30 Distribusi frekuensi alel lokus ETH10 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 89
31 Distribusi frekuensi alel lokus CSSM66 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 89
32 Distribusi frekuensi alel lokus BM1824 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 90
xviii
33 Distribusi frekuensi alel lokus ILSTS006 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 91
34 Distribusi frekuensi alel lokus ILSTS005 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir.................... ................................ .............. 92
35 Kontruksi pohon filogeni berdasarkan metode Neighbor-Joiningdari data jarak genetik Nei pada sapi Aceh, Bali, Madura, PO danPesisir.................... ................................ ................................ ......... 97
36 Spesies liar dan domestikasi antarsubfamili Bovinae.................... .. 100
37 Dendogram Neighbor-Joining berdasarkan metode 2 parameterKimura dari nukleotida gen cytochrome-b parsial (berukuran 420 nt)Sapi dari GenBank dengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan... 106
38 Kontruksi pohon filogeni berdasarkan metode Neighbor-Joiningdari data jarak genetik Nei pada sapi Aceh, Bali, Madura, PO danPesisir.................... ................................ ................................ ......... 107
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Lokasi pengambilan sampel sapi Aceh di Nanggroe AcehDarussalam untuk analisis fenotipik .................... ............................ 124
2 Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh, Bali, Madura, POdan Pesisir untuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria............. 125
3 Lokasi pengambilan sampel darah dan nomor sapi di ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam untuk analisis DNA mikrosatelit ......... 126
4 Lokasi pengambilan sampel darah sapi pembanding untuk analisisDNA mikrosatelit .................... ................................ ......................... 128
5 Komposisi bahan pereaksi yang digunakan untuk isolasi DNA darisampel darah.................... ................................ .............................. 129
6 Konsentrasi sampel DNA total hasil pemeriksaan dengan mesinNanoDrop Spectrophotometer .................... ................................ .... 130
7 Lokasi penempelan primer BIDL-F dan BIDL-R pada sekuen basanukleotida daerah D-loop sapi Bos indicus.................... .................. 132
8 Pensejajaran berganda nukleotida dari daerah D-loop parsial sapiAceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa ternak dari GenBank . 133
9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loopparsial sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir .................... ......... 140
10 Jumlah Nukleotida sapi Aceh, Bali, Madura, PO, dan Pesisirsetelah disejajarkan dengan nukleotida Bos indicus (GenBank) ..... 147
11 Komposisi Nukleotida sapi Aceh dan sapi pembanding .................. 148
12 Jarak Genetik sapi Aceh dengan sapi Bali, Madura, PO, Pesisirdan bangsa-bangsa sapi Bos indicus, Bos taurus dari GenBank .... 149
13 Hasil blast sekuen sapi Aceh (476 nt) pada situs NCBI................... 150
14 Nomor akses sekuen daerah D-loop utuh Bos indicus, Bos taurusdan Bubalus bubalis dari GenBank pada situs NCBI yangdigunakan untuk membentuk pohon filogeni .................... ............... 157
15 Sekuens nukleotida primer mikrosatelit yang digunakan untukpenelitian .................... ................................ ................................ .... 152
16 Runutan indeks Garza-Williamson hasil uji heterozigositas hitung(observed) dan heterozigositas harapan (expected) pada sapiAceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir .................... ............................ 153
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1)
turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2)
berasal dari hasil silangan sapi asli Indonesia dengan sapi eksotik yang
kemudian mengalami domestikasi serta adaptasi lokal. Kelompok sapi yang
termasuk dalam kategori pertama adalah sapi Bali karena sapi Bali diketahui
merupakan hasil domestikasi langsung dari Banteng (MacHugh 1996; Martojo
2003; Hardjosubroto 2004) dan mempunyai ciri-ciri fisik yang hanya mengalami
perubahan kecil dibandingkan dengan moyangnya (Handiwirawan dan
Subandriyo 2004). Kelompok sapi yang kedua adalah sapi Madura karena
menurut Payne dan Rollinson (1976); Nijman et al. (2003); Verkaar et al. (2003)
merupakan hasil silangan Banteng atau sapi Bali dengan sapi zebu yang telah
berlangsung kurang lebih 1.500 tahun yang lalu, walaupun hal tersebut tidak
terdokumentasi dengan baik secara prinsip pemuliaan (tanpa recording yang
jelas). Kedua pengelompokan itu secara genetik telah terbukti dengan
menggunakan marker genetik DNA mitokondria (D-loop dan cytochrome-b) dan
DNA inti (Mikrosatelit dan AFLP) (Nijman et al. 2003). Kemungkinan yang ketiga
adalah sapi eksotik yang telah menetap di Indonesia dalam kurun waktu lama
(impor dan perdagangan) dan dapat berkembang biak dengan baik (mampu
beradaptasi pada lingkungan setempat), selanjutnya sapi-sapi tersebut
mengalami persilangan. Salah satu yang termasuk dalam kelompok ini adalah
sapi Ongole India yang masuk ke Pulau Sumba pada tahun 1905 yang kemudian
menjadi sapi Sumba Ongole (SO). Pada tahun 1915 sampai 1929 sapi Sumba
Ongole (SO) mulai disebarkan ke Pulau Jawa melalui program “Ongolisasi”
dengan sebutan “kontrak Sumba” (Hardjosubroto 2004). Dampak dari program
ini adalah terbentuknya sapi Peranakan Ongole (PO) dan hasil silangan lainnya,
bahkan program ini telah mempunyai kontribusi yang jelas terhadap hilangnya
sapi Jawa. Menurut Merkens (1926) di Jawa terdapat sapi Jawa dengan
karakteristik tertentu yang merupakan campuran berbagai bangsa sapi.
Sapi Aceh pada mulanya diduga dimasukkan oleh pedagang India pada
masa kerajaan Islam pertama di Peureulak yang terbentuk tahun 847 M (225 H),
karena pada masa itu sudah terjalin hubungan kerja sama antarnegara dan
perdagangan bebas di Aceh terutama lada yang ingin dikuasai seluruhnya oleh
2
pedagang-pedagang dari Mesir, Parsi, dan Gujarat (catatan sejarah Aceh,
catatan Marcopolo 1256 dan Ibnu Bathutah 1345; Mulyana 1968; Putra 2001).
Hal ini telah dijelaskan pula oleh Merkens (1926) bahwa, perdagangan yang
ramai sudah lama terjalin antara Aceh dengan Malaka. Pedagang Arab, Cina
serta India yang datang ke Aceh, mereka membawa barang-barang dagangan
dan khususnya imigran India ini sudah dikenal membawa sapi-sapi dari India ke
Aceh. Pada abad ke-19 telah menjadi kebiasaan mengimpor ternak melalui
Selat Malaka, khususnya ke Pidie dan Aceh Timur Laut (Peureulak).
Kemungkinan sapi-sapi di Aceh mengalami persilangan dengan Banteng
yang ada di Sumatera seperti dikemukakan Merkens (1926) dari hasil kumpulan
catatan, foto dan laporan singkatnya, namun belum pernah diverifikasi dan
diungkapkan melalui analisis genom. Beberapa sapi tersebut berkembang dan
menyebar ke pesisir barat Aceh hingga ke wilayah pantai Sumatera Barat.
Keadaan wilayah pesisir barat tersebut memiliki keadaan pakan terbatas dan
kualitas nutrisi rendah sehingga telah turut menyeleksi ragam sapi yang hidup di
daerah ini yaitu kebanyakan sapi berukuran kecil (±150 kg) yang dapat bertahan
hidup dengan baik (ILRI 1995). Disamping itu di daerah pesisir barat ini jauh dari
hewan buas pemangsa. Di daerah Aceh yang lain seperti Banda Aceh, Aceh
Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur terdapat sapi-sapi yang beragam
ukurannya. Menurut Gunawan (1998), ada sapi Aceh di Aceh Besar dan Aceh
Utara yang hanya mempunyai bobot hidup dewasa 150 kg, namun ada pula sapi
Aceh yang ada di daerah ini mencapai bobot hidup dewasa 400 kg atau lebih.
Sapi ini mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk dan sistem
pemeliharaan ekstensif tradisional. Laporan Merkens (1926), menyebutkan
bahwa kepala sapi Aceh berwarna antara cokelat merah sampai cokelat abu-
abu, bahkan di Aceh Utara dan Aceh Timur ditemukan sapi yang warna
kepalanya lebih gelap sampai hitam. Ciri tersebut merupakan salah satu karakter
dari sapi India. Namikawa et al. (1982a) menambahkan bahwa, sapi Sumatera
(Aceh dan Pesisir) memiliki macam-macam warna yaitu hitam, cokelat
kehitaman, cokelat kuning, dan abu-abu putih yang didominasi oleh warna
cokelat kuning. Dibandingkan dengan warna sapi Bali (Banteng), menurut Payne
dan Rollinson (1973); NRC (1983), sapi Bali terdapat warna putih pada bagian
belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white
stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir
atas. Pada saat umur anak atau muda, warna sapi Bali betina yaitu cokelat muda
3
dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung dan jantan
berwarna cokelat. Pada saat umur 12-18 bulan, warna sapi Bali jantan berubah
menjadi agak gelap sampai mendekati hitam pada saat dewasa. Tipe warna sapi
Bali (Banteng) yang demikian diduga juga ada kemiripan dengan pola warna
yang dimiliki sapi Aceh, namun hal ini belum pernah dilaporkan.
Sapi asli Indonesia telah mengalami seleksi alam dengan berbagai tekanan
iklim tropis basah dan ketersediaan pakan yang sesuai daerah di mana sapi-sapi
tersebut hidup. Dengan demikian dalam jangka waktu yang cukup lama telah
terjadi interaksi genetik dan lingkungan sehingga menghasilkan sapi-sapi Aceh
yang telah teradaptasi terhadap wilayah tersebut, dengan penampilan
fenotipiknya beragam. Ketahanan ternak lokal terhadap lingkungan yang ekstrim
telah diuji melalui hewan percobaan mencit (Mus musculus) oleh Abdullah et al.
(2005) bahwa, mencit liar yang telah teradaptasi lingkungan dengan segala
perubahan yang ada mempunyai gen pengatur daya produksi dan reproduksi
yang lebih unggul terhadap stres lingkungan dibanding mencit laboratorium.
Pengujian tersebut mendukung pendapat Noor (2008) bahwa, ternak-ternak asli
telah terbukti dapat beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk makanan,
ketersediaan air, iklim dan penyakit. Dengan demikian, ternak-ternak inilah yang
paling cocok untuk dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, walaupun
produksinya lebih rendah dari ternak impor, tetapi pengelolaannya lebih efisien.
Eksploitasi sapi Aceh melalui persilangan yang semakin luas dan tidak
terkontrol dengan bangsa sapi eksotik akan memberikan dampak yang kurang
baik terhadap sapi-sapi Aceh yang telah teradaptasi pada lingkungan setempat.
Kekhawatiran ini telah terjadi pada sapi asli di Lithuania (Eropa Timur) yang
terancam punah (Malevičiūtė et al. 2002) akibat persilangan yang disengaja
tetapi tidak terstruktur. Bahkan beberapa sapi asli di negara India telah punah
sebelum sapi ini diidentifikasi dan dimanfaatkan akibat persilangan yang meluas
dan tidak terkontrol (Sodhi et al. 2006). Hal demikian ini juga ditegaskan oleh
FAO (2000) bahwa, sumber daya genetik ternak asli akan cenderung punah
akibat permintaan pasar yang baru (eksploitasi besar-besaran), persilangan yang
tidak terkendali, pergantian breed (penggantian bangsa sapi yang sudah ada
dengan bangsa sapi baru) dan kegiatan mekanisasi pertanian (penggantian
penggunaan tenaga sapi dengan tenaga mesin untuk mengolah lahan
pertanian).
4
Sehubungan dengan hal tersebut di negara berkembang, banyak peneliti
sedang melakukan karakterisasi ternak asli/lokal secara fenotipik dan juga pada
tingkat molekuler untuk digunakan dalam dokumentasi plasma nutfah yang ada
serta prospek pemanfaatannya di masa yang akan datang (Sodhi et al. 2006).
Karakter fenotipe ternak dapat menunjukkan ciri khas bangsa ternak tertentu.
Ternak sapi merupakan hewan peliharaan sangat penting di Aceh secara
turun-temurun sampai sekarang. Ancaman kepunahan sapi Aceh akibat
persilangan yang tidak terkendali akan berdampak sangat luas bagi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat Aceh. Kehilangan sapi Aceh yang telah eksis selama
ratusan tahun akan mengurangi pemenuhan kebutuhan protein hewani dan
penyediaan daging meugang (hari adat pemotongan dan makan daging
bersama) serta hewan kurban dalam perayaan keagamaan di Aceh, sehingga
Aceh akan bergantung pada distribusi daging dari daerah lain atau impor.
Disamping itu, hal ini akan mematikan perekonomian peternak yang merangkap
petani dan merupakan bagian terbesar dari mata pencaharian penduduk Aceh.
Lemahnya perekonomian peternak di Aceh akan menimbulkan gejolak sosial dan
akan berakibat pada naiknya tingkat kemiskinan. Selain itu, FAO sebagai badan
dunia sudah menganjurkan bahwa sedapat mungkin sumber daya genetik ternak
lokal harus dipertahankan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian pada sapi Aceh mencakup
inventarisasi sumber daya genetiknya melalui analisis fenotipik, DNA mitokondria
pada daerah D-loop dan DNA mikrosatelit. Metode ini dapat digunakan karena
tingkat akurasi sangat tinggi dalam menggambarkan keragaman genetik
sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
kebijakan guna menerapkan keputusan yang lebih tepat dan terarah dalam
program pelestarian plasma nutfah sapi Aceh, pengembangan dan
pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Berdasarkan laporan terdahulu, penentuan daerah D-loop mtDNA pada
sapi dapat menunjukkan sejarah sapi (Nijman et al. 2003; Edwards et al. 2007)
dan hibridisasi yang terjadi pada Banteng dan sapi Madura (Nijman et al. 2003).
DNA mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis
keragaman hewan, baik intraspesies maupun antarspesies (Muladno 2006).
DNA mitokondria sudah terbukti suatu alat yang tangguh dalam analisis variasi
dalam dan antarspesies, struktur populasi dan filogeni (Patricia et al. 2002).
Sedangkan pada genom inti, sekarang ini, di antara beberapa penanda
5
molekuler yang digunakan untuk mengkarakterisasi genetik, mikrosatelit
merupakan penanda yang paling disukai. Hal ini karena penanda tersebut
bersifat polimorfik dan sangat informatif, kelimpahannya di dalam genom inti
relatif besar, dan dapat diamplifikasi melalui PCR. Penanda ini telah digunakan
untuk menjelaskan pola migrasi dan domestikasi pada sapi eropa (Loftus et al.
1994; Bruford et al. 2003) dan untuk karakterisasi populasi-populasi ternak sapi
dari turunan Bos indicus dan Bos taurus (Moore et al. 1992; Beja-Pereira et al.
2003). Machado et al. (2003) menggunakan lokus-lokus mikrosatelit untuk
mengevaluasi keanekaragaman genetik dalam masing-masing bangsa sapi dan
perbedaan genetik di antara setiap bangsa. Penanda genetik mikrosatelit dapat
memberikan informasi-informasi penting sehingga dapat dibuat keputusan
mengenai konservasi pada ternak sapi (Sunnucks 2000; Sodhi et al. 2006).
Tujuan Penelitian
1. Menginventarisasi sifat-sifat fenotipe kualitatif (warna dan pola warna, bentuk
tanduk, garis muka dan punggung) dan kuantitatif (ukuran-ukuran tubuh dan
bobot badan) sapi Aceh sebagai ciri-ciri sapi lokal.
2. Mengkaji keragaman genetik daerah D-loop DNA mitokondria pada sapi Aceh
untuk mengetahui asal-usulnya.
3. Mengkaji keragaman DNA mikrosatelit populasi sapi Aceh dan asal-usulnya.
Manfaat Penelitian
1. Dapat memberi informasi keragaman fenotipik dan genetik sapi Aceh dalam
pengelompokan sapi lokal di Indonesia.
2. Karakteristik sumber daya genetik sapi Aceh sebagai pedoman dalam
menerapkan kebijakan dalam program pelestarian plasma nutfah,
pengembangan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Hipotesis
1. Penanda genetik daerah D-loop DNA mitokondria dapat mengelompokkan
sapi Aceh terhadap sapi lokal Indonesia dan sapi luar Indonesia.
2. Alel-alel mikrosatelit sapi Aceh bersifat polimorfik.
3. Asal-usul sapi Aceh adalah dari sapi-sapi india (Bos indicus) yang mengalami
hibridisasi dengan Banteng (Bos javanicus).
6
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di bagian paling barat dari
gugusan kepulauan Nusantara. Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
adalah Banda Aceh, mempunyai luas daratan 2,75% terhadap luas daratan
Indonesia yaitu 5.193.700 ha dengan 17 kabupaten, 227 kecamatan dan 5.947
desa (Departemen Kehutanan 2004).
Secara geografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di antara
2-6 oLU dan 95-98 oBT, termasuk 119 pulau. Rataan tinggi daratan 125 m di
atas permukaan laut (Sujitno dan Achmad 1995). Suhu udara maksimum 32,4oC
pada bulan Nopember dan minimum 24,2oC pada bulan Juni, curah hujan
maksimum 243,4 mm pada bulan Januari dan curah hujan minimum 22,2 mm
pada bulan Juni (Departemen Kehutanan 2004). Udara di Aceh mempunyai
kelembaban tinggi terutama di wilayah pesisir barat sangat lembab dan basah,
sedangkan di wilayah timur Aceh mempunyai udara kering. Batas di sebelah
barat adalah Samudera Indonesia, dan di sebelah utara dan timur adalah Selat
Malaka, sedangkan di sebelah utara mengikuti sungai Simpang Kiri di sebelah
timur dan sungai Tamiang di sebelah barat bagian selatan (Sujitno dan Achmad
1995; PEMDA NAD1997). Jumlah penduduk 4.240.000 jiwa (estimasi Juni 2003)
dengan laju pertumbuhan 2,57% dan kepadatan penduduk 81/km2 (Departemen
Kehutanan 2004).
Sebagian besar penduduk Aceh hidup dari pertanian (peternakan), ladang
padi, palawija dan hortikultura (Sujitno dan Achmad 1995). Daerah Aceh
(Nanggroe Aceh Darussalam) memiliki kekayaan ternak, terutama ternak sapi.
Keadaan ini didukung oleh adanya padang gembalaan yang dapat menampung
ratusan ribu sapi merumput bebas dan pada saat tertentu dipanen (Gunawan
1998). Pada tahun 2002 terdapat 701.356 ekor sapi di Nanggroe Aceh
Darussalam (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan 2003).
Keragaman Genetik Ternak
Keragaman genetik terjadi tidak hanya antarbangsa tetapi juga di dalam
satu bangsa yang sama, antarpopulasi maupun di dalam populasi, atau di antara
individu dalam populasi. Pada spesies domestik suatu identifikasi tingkat
keragaman, terutama pada lokus-lokus yang mempunyai sifat bernilai penting
7
mempunyai keterkaitan dengan seleksi dalam program pemuliaan (Handiwirawan
dan Subandriyo 2004). Salah satu ’alat bantu’ yang dapat digunakan untuk
mendeteksi keragaman populasi adalah DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit
(Muladno 2006).
Keragaman genetik dalam populasi merupakan modal dasar aplikasi
teknologi pemuliaan dalam pemanfaatan hewan. Keragaman genetik populasi
yang digambarkan dalam keragaman penampilan hewan adalah refleksi
informasi genetik yang dimilikinya. Sebagai ilustrasi sapi Bali yang hidup di pulau
Bali memiliki kontruksi gen-gen yang berbeda dengan populasi sapi pesisir yang
ada di Sumatera Barat. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dinyatakan dalam
kemampuan adaptasi, besarnya tubuh, dan ketahanan penyakit. Komponen ini
sangat berpengaruh terhadap kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi)
terhadap perubahan lingkungan seperti degradasi kualitas lingkungan sebagai
media tumbuh hewan. Perbedaan penampilan ini disebabkan selama
domestifikasi, tipe-tipe atau bangsa-bangsa hewan terpisah secara genetik
karena adanya penyesuaian (adaptasi) dengan masing-masing lingkungan lokal
dan kebutuhan komunitas lokal sehingga dihasilkan bangsa berbeda (Muladno
2006). Adanya kemampuan adaptasi hewan disebabkan hewan memiliki
kemampuan menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status
fisiologi, dan atau tingkah laku sebagai reaksi terhadap perubahan lingkungan
(pengaturan ekspresi gen) (Noor 2008).
Lebih dari 12.000 tahun yang lalu terdapat 14 spesies ternak telah
didomestikasikan dan berevolusi sehingga menjadi rumpun (breed) yang secara
genetika unik dan berbeda, beradaptasi terhadap lingkungan dan komunitas
setempat. Saat ini terdapat sekitar 6.000-7.000 rumpun ternak domestik dari
spesies yang telah terdomestikasi, bersama dengan lebih dari 80 spesies kerabat
liarnya yang merupakan sumber daya genetik ternak di bumi ini yang berperanan
penting untuk pangan dan produksi pertanian (Subandriyo dan Setiadi 2003).
Beja-Pereira et al. (2006) menyatakan bahwa, penjinakan sapi (Bos taurus
dan Bos indicus) dari aurochsen liar (Bos primigenius) adalah satu yang penting
dalam sejarah manusia, mendorong ke arah modifikasi-modifikasi pangan yang
meluas, tingkah laku dan struktur sosial ekonomi dari banyak populasi: (1)
proses ini dimulai sekitar 11.000 tahun yang lalu; (2) penyimpangan genetik yang
besar antara bangsa-bangsa sapi taurine (Bos taurus) dan zebu (Bos indicus),
minimal dua titik penjinakan bangsa sapi tersebut yang secara sendiri-sendiri dan
8
merupakan kejadian dari dua kelompok aurochsen yang jelas terpisah; (3). data
arkeologis menyatakan bahwa penjinakan sapi zebu terjadi mungkin di Indus
Valley (sekarang Pakistan); (4) dengan suatu difusi utama bangsa-bangsa sapi
ini di India dan hanya yang terakhir (<3.000 tahun) pengenalan sebagai jantan
sekunder di Afrika; dan (5) sebaliknya, lokasi penjinakan yang hampir bisa
dipastikan untuk bangsa-bangsa taurine dipertimbangkan yaitu di suatu areal
paling barat di Near East, Fertile Crescent (FC), meskipun suatu peristiwa
penjinakan yang berdiri sendiri mungkin telah terjadi di Afrika.
Berbagai bangsa ternak yang telah berkembang dalam berbagai sistem
dan lingkungan yang ada saat ini telah menghasilkan berbagai kombinasi gen
yang unik. Gen-gen ini tidak hanya menentukan kualitas sifat produksi dari
masing-masing bangsa, tetapi juga terhadap kemampuan adaptasinya pada
kondisi lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan hama penyakit (FAO
2001).
Berbagai macam kebutuhan manusia sehari-hari dipenuhi dari spesies
ternak, dalam bentuk pangan maupun kebutuhan lainnya. Namun hanya
sebagian kecil dari total keragaman genetik ternak dan kerabat liarnya, yakni
sekitar 40 spesies yang memenuhi sebagian besar proporsi dari produksi ternak
global. Keragaman genetik di dalam spesies ternak dan beberapa kerabat
liarnya telah menjadi sumber keragaman dari rumpun dan populasi ternak.
Keragaman genetik ini penting dalam pembentukan rumpun ternak modern dan
akan terus berkelanjutan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi 2003).
Sebagai contoh, negara Lithuania memiliki dua bangsa sapi utama yaitu
Lithuanian Black dan White dan Lithuanian Red, masing-masing 62% dan 32%
dari populasi ternak dalam negeri. Bangsa ternak Lithuanian Black dan White
ditemukan di Barat Daya Lithuania dan dikembangkan dari sapi lokal Lithuania
berwarna putih dan hitam melalui persilangan sesama dengan bangsa sapi hitam
dan putih Holstein-Friesian dari Belanda dan bangsa sapi hitam dan putih dari
Jerman. Bangsa sapi Lithuanian Black dan Black sebagai bangsa sapi perah
yang menghasilkan susu berkualitas dan telah teradaptasi dengan iklim di
tempatnya. Bangsa sapi Lithuanian Red ditemukan di Timur Laut Lithuania dan
dibentuk pada awal abad ini dari bangsa Lithuanian Red lokal melalui assortative
mating, seleksi masal dan persilangan dengan bangsa-bangsa: Ayrshire, Angeln,
Dutch, Danish Red, Swiss Brown dan Shorthorn. Bangsa-bangsa sapi unggul
dipilih karena produksi susu. Umumnya ternak-ternak tersebut jelas sebagai tipe
9
bangsa sapi perah (FAO 2000). Di Barat Daya, bagian Tenggara dan sebagian
Lithuania bagian Tengah, sapi Lithuania paling asli yaitu memiliki warna tubuh
putih atau abu-abu terang. Dalam beberapa dekade terakhir, sapi Lithuania yang
asli, seperti Lithuanian Light Grey dan Lithuanian White, hampir seluruhnya
digantikan oleh Lithuanian Black dan White dan Lithuanian Red yang merupakan
sapi produksi tinggi. Hal ini diketahui bahwa sapi Lithuanian Light Grey dan
Lithuanian White-Backed dipelihara di Lithuania mulai zaman lampau dan
dikhususkan untuk negara. Sekarang ini, Lithuanian White-Backed, Lithuanian
Grey dan bangsa sapi Lithuanian Black dan White tua populasinya sangat kecil
dan mempunyai status dari suatu bangsa sapi yang terancam kepunahan
(Malevičiūtėet al. 2002).
Keanekaragaman genetik ternak, sedikitnya memiliki empat manfaat, yaitu
(1) keberlanjutan dan peningkatan produksi pangan; (2) memaksimumkan
produktivitas lahan dan sumber daya pertanian; (3) pencapaian pertanian
berkelanjutan untuk memberikan keuntungan masa kini dan generasi yang akan
datang; (4) pemenuhan keanekaragaman baik yang telah maupun yang belum
diketahui manfaatnya bagi kehidupan sosial masyarakat. Ketersediaan
keanekaragaman genetik ternak, termasuk sapi akan mempengaruhi
keberhasilan strategi pemuliaan untuk masa yang akan datang (FAO-AAAS
1994).
Pelestarian Sumber Daya Genetik Ternak
FAO memprediksi bahwa paling sedikit satu bangsa ternak tradisional
punah setiap minggu dan lebih dari 30% ternak di Eropa sekarang ini
diperkirakan dalam keadaan terancam kepunahan (FAO 1995). Banyak bangsa
ternak tradisional sudah menghilang karena para petani lebih fokus pada bangsa
sapi baru. Sekitar 16% dari bangsa sapi tradisional telah punah dan kurang dari
15 % bersifat jarang (FAO 2000). Keadaan ini dapat dilihat pada bangsa-bangsa
sapi zebu di India yang secara signifikan telah kehilangan ekonomi yang sangat
penting dan penurunan ukuran populasi terutama karena persilangan secara
meluas (Sodhi et al. 2006).
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pemuliaan
ternak, bioteknologi, permintaan pasar, mekanisasi pertanian dan produksi
ternak, akan mendorong eksploitasi ternak melalui persilangan, penggantian
breed baru (Subandriyo dan Setiadi 2003; Sodhi et al. 2006), maupun
10
pengurasan stock secara berlebihan, dan pada gilirannya akan mengancam
keragaman genetik ternak. Di lain pihak pelestarian keragaman genetik ternak
akan selalu diperlukan dalam pemuliaan di masa mendatang, karena tanpa
adanya keragaman genetik, pemuliaan ternak tidak mungkin dilaksanakan untuk
mengantisipasi keperluan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi 2003)
Melalui literatur diketahui bahwa sudah sejak lama, ternak asli mempunyai
suatu arti penting yang sangat tinggi di dalam kegiatan pertanian dan kehidupan
sosial dari masyarakat pedesaan. Diketahui pula bahwa bangsa-bangsa sapi
lokal yang dipelihara petani di dalam areal pertanian menjadi titik rujukan dari
tradisi-tradisi lokal pada masa lalu, yang berhubungan dengan produksi pertanian
dan sektor-sektor lain, seperti makanan (Malevičiūtėet al. 2002).
Pelestarian terhadap sumber daya genetik ternak lokal sebagai bagian dari
komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan
pagan, pertanian dan perkembangan sosial masyarakat di masa yang akan
datang. Ada beberapa alasan untuk ini, antara lain (1) lebih dari 60 persen dari
bangsa-bangsa ternak di dunia berada di negara-negara sedang berkembang;
(2) konservasi bangsa ternak lokal tidak menarik bagi petani; (3) secara umum
tidak ada program monitoring yang sistematis dan tidak tersedianya informasi
deskriptif dasar sebagian besar sumber daya genetik hewan ternak; serta (4)
sedikit sekali bangsa-bangsa ternak asli yang telah digunakan dan
dikembangkan secara aktif (FAO 2001).
Kesadaran dari pentingnya memelihara sumber daya genetik hewan sudah
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak negara Eropa mempunyai
atau sedang mengembangkan program-program nasional untuk pemeliharaan
dan konservasi keanekaragaman hayati hewan (Malevičiūtėet al. 2002).
Ada tiga metode utama program pelestarian plasma nutfah ternak yang
telah dilaksanakan masyarakat atau pemulia: (1) mempertahankan populasi
ternak hidup, (2) penyimpanan beku materi genetik berupa haploid (n) seperti
gamet yakni semen dan oocyte atau berupa diploid (2n) seperti embrio, dan (3)
penyimpanan DNA (deoxyrybonucleic acid). Metode bioteknologi dapat
digunakan untuk mengkarakterisasi gen-gen ternak dan plasma nutfah suatu
populasi. Metode ini akan membantu dalam pembuatan keputusan tentang
pelestarian plasma nutfah yang unik. Studi mengenai struktur dan fungsi gen-
gen pada tingkat molekuler suatu populasi ternak dapat membantu menentukan
kesamaan material genetik yang dibawa oleh dua atau lebih populasi dan
11
keragaman genetik dalam populasi ternak yang diamati. Identifikasi gen-gen dari
individu ternak akan membantu program pemuliaan (genetik) ternak, yang
membedakan dari penampilan (fenotipe) yang tampak, yang dapat menentukan
proses pemilihan tetua untuk generasi yang akan datang (seleksi buatan). Jika
gen-gen untuk sifat produksi dapat diidentifikasi, ternak-ternak tersebut dapat
diseleksi walaupun tidak diekspresikan oleh individu ternak yang bersangkutan.
Sebagai alternatif, jika mereka dapat diikatkan dengan gen-gen yang diketahui
lokasinya dalam kromosom (marker lokus-lokusi), seleksi dapat dilaksanakan
berdasarkan acuan tersebut (Subandriyo dan Setiadi 2003).
Negara Indonesia mempunyai undang-undang dan peraturan menteri
pertanian menyangkut pelestarian sumber daya genetik ternak yaitu Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati serta Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 35/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pedoman Pelestarian dan
Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak dan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Sistem Pembibitan Ternak
Nasional.
Sifat Kuantitatif dan Kualitatif
Setiap sifat yang diekspresikan seekor hewan disebut fenotipe. Seekor
hewan atau ternak menunjukkan fenotipenya (P) sebagai hasil pengaruh-
pengaruh seluruh gen atau genotipenya (G), lingkungan (E) dan interaksi antara
genotipe dan lingkungan (IGE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994). Sifat
kuantitatif dan kualitatif pada hewan atau ternak merupakan fenotipe.
Pada program pemuliaan, prediksi perbedaan genetik di antara hewan
dapat berdasarkan observasi fenotipe yang bergantung pada faktor genetik dan
lingkungan (Muladno 2006). Fenotipe ternak dapat diketahui melalui ukuran-
ukuran tubuh (Otsuka et al. 1980; Surjoatmodjo 1993; Karthickeyan et al. 2006),
warna dan pola warna tubuh, pertumbuhan tanduk (Wiley 1981; Warwick et al.
1990; Handiwirawan 2003; Riwantoro 2005), tekstur dan panjang rambut
(Handiwirawan dan Subandriyo 2004).
Otsuka et al. (1980) telah menggunakan ukuran-ukuran tubuh hewan
dalam melakukan perbandingan antara berbagai bangsa sapi asli Indonesia,
12
serta hubungannya dengan berbagai bangsa sapi lain di Asia. Warna termasuk
sifat kualitatif seekor ternak (Warwick et al. 1990). Warna tubuh ternak dianggap
sebagai character displacement untuk membedakan satu bangsa dengan bangsa
lainnya (Baker dan Manwell 1991).
Sifat kuantitatif adalah ciri-ciri dari makhluk hidup yang dapat diukur,
dihitung atau diskors. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen (poligenik)
dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Wiley 1981), sedangkan sifat kualitatif
seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan
tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh
sepasang gen (Noor 2008).
Membedakan warna tubuh merupakan salah satu cara mengidentifikasi
ternak. Pelacakan pada sapi asli yang hampir punah di Lithuania untuk upaya
konservasi, salah satunya dilakukan melalui ciri-ciri umum pada breed asli
Lithuanian Black dan White dan Lithuanian Red yaitu berdasarkan warna tubuh
yang khas, konstitusi tubuh, perlawanan tubuh sapi terhadap penyakit-penyakit
lokal, dan produksi umum sebagai sapi tipe perah dan sapi dwifungsi sebagai
penghasil susu dan daging (Malevičiūtėet al. 2002).
Sifat-sifat kualitatif adalah sifat-sifat yang pada umumnya dijelaskan
dengan kata-kata atau gambar (Warwick et al. 1990). Spesies-spesies sering
ditandai oleh warna atau pola warna tertentu. Pola warna apabila ada
kemungkinan lebih berguna daripada warna itu sendiri. Hal ini biasanya dianggap
sebagai character displacement untuk menghindari kesalahan saat membedakan
bangsa ternak (Wiley 1981).
Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia
Sapi Bali merupakan satu dari empat bangsa sapi asli Indonesia (Aceh,
Pesisir, Madura dan Bali). Sapi Sumba-Ongole dan Java-Ongole (PO) juga
dianggap sebagai bangsa sapi lokal Indonesia (Martojo 2003; Dahlanuddin et al.
2003).
Ternak sapi sebagaimana jenis ternak lain, dikenali sebagai komponen-
komponen penting dari keanekaragaman hayati dunia, karena gen dan
kombinasi gen-gen yang terdapat pada ternak ini berguna bagi pertanian di masa
yang akan datang (Beja-Pereira et al. 2003). Sumber daya genetik ternak adalah
populasi pada masing-masing spesies yang secara genetik unik, terbentuk dalam
proses domestikasi yang digunakan untuk produksi pangan dan pertanian
13
termasuk kerabat dekat populasi tersebut yang masih liar. Istilah ini juga
digunakan semua spesies dan bangsa-bangsa hewan yang mempunyai nilai
ekonomis, ilmu pengetahuan dan sosial budaya untuk pertanian, atau
mempunyai kepentingan untuk masa depan (FAO-AAAS 1994).
Bangsa-bangsa ternak tradisional dan asli yang multifungsi telah
teradaptasi dengan kondisi-kondisi lokal, iklim, penyakit-penyakit dan nutrisi
lingkungan sepanjang tahun. Bangsa-bangsa ternak seperti itu juga dengan baik
telah beradaptasi dengan sumber pakan lokal, atau lebih resistan terhadap
patogen-patogen dan berbagai penyakit ternak yang ada di daerah di mana
ternak itu berada. Bangsa-bangsa ternak asli telah juga diseleksi dengan
berbagai tujuan, tergantung pada sifat-sifatnya yang penting bagi masyarakat-
masyarakat lokal. Bangsa ternak asli merupakan bangsa ternak yang dapat
menunjukkan hasil dari pengembangan sosial ekonomi masyarakat dan tidak
mungkin bertahan di luar sistem pertanian yang telah terbentuk (Malevičiūtėet al.
2002).
Sumber daya ternak sapi di Indonesia saat ini terdiri atas tiga kelompok,
yakni (1) ternak asli; (2) ternak impor; dan (3) ternak yang telah beradaptasi.
Sehubungan pentingnya nilai konservasi pada kelompok ternak ini, beberapa
bangsa sapi menjadi target konservasi sekaligus pemanfaatannya (Utoyo 2002.
Beberapa di antara sumber daya ternak sapi tersebut ialah sapi Aceh, Bali,
turunan Ongole, Sumba Ongole, Madura, Jawa, Pesisir, dan Grati. Selanjutnya
Utoyo (2002) menjelaskan keanekaragaman sapi di Indonesia, terbentuk dari
sumber daya genetik asli dan impor. Importasi Bos indicus Ongole dari India
telah dimulai pada awal abad ke-20 dan kemudian bangsa sapi ini memegang
peranan penting dalam program pengembangan peternakan di Indonesia. Sapi
Ongole murni pertama dibawa ke pulau Sumba yang kemudian disebut sebagai
Sumba Ongole, kemudian sapi ini dibawa ke tepat-tempat lain untuk disilangkan
dengan sapi asli Jawa dan membentuk Peranakan Ongole (Ongole-cross) dan
sapi Madura.
Pada tahun 1976 terdapat 6.194.000 ekor sapi di Indonesia, umumnya
sapi-sapi tersebut ada di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara dan
sekitar 650.00 ekor ada di Sumatera. Bangsa-bangsa sapi utama atau sapi lokal
Indonesia adalah Peranakan Ongole (Filial Ongole), Bali, Madura, Aceh dan
Grati. Populasi sapi PO di Indonesia sekitar 4.400.000 yang merupakan jumlah
14
sapi terbesar. Sapi Bali, Madura dan Aceh diketahui secara luas sebagai jenis
sapi lokal khas atau bangsa ternak asli (Otsuka et al. 1980).
Menurut ILRI (1995), terdapat banyak ternak asli di Indonesia: tujuh bangsa
sapi asli (Sumba Ongole, Ongole cross, Bali, Madura, Aceh, Pesisir dan Grati);
kerbau (Sungai, Murrah, Toraja dan Kalang); domba (Domba Ekor Gemuk dan
Domba Ekor Kurus); kambing (Kacang, Etawah cross, Gembrong dan Kosta);
ayam (Kampung, Kedu, Pelung, Bekisar dan Nunukan); itik (Tegal, Modjosari,
Alabio dan Bali); serta babi (Java, Bali dan Nias).
Hubungan genetik antara sapi-sapi Indonesia sangat menarik karena
variasi sapi-sapi tersebut yang luas (Namikawa et al. 1982b). Ada sejumlah gen
pool ternak asli Indonesia yang telah beradaptasi dengan lingkungannya dan
belum secara penuh dimanfaatkan dalam kaitan dengan laju pertumbuhan atau
reproduksi. Bangsa-bangsa ternak asli Indonesia dipelihara secara sistem
tradisional dengan input yang rendah. Perusahaan ternak komersial tidak
mempercayai bangsa-bangsa ternak asli tersebut karena hal ini diperhitungkan
bahwa ternak asli mempunyai produktivitas yang rendah. Lebih lanjut bahwa
tidak ada jaminan tentang perolehan suatu penyediaan ternak dalam jumlah
besar secara reguler. Namun, di Indonesia telah timbul suatu keinginan akan
keuntungan dari keunggulan genetik bangsa-bangsa ternak asli (ILRI 1995).
Karakteristik Sapi Aceh
Sapi Aceh merupakan sapi lokal yang terdapat di Aceh Sumatera (Merkens
1926; Namikawa et al. 1982a) dan diminati sebagai ternak potong (Merkens
1926). Sapi tersebut masih terdapat beberapa variasi warna tubuh (Namikawa et
al. 1982a). Sapi kecil yang banyak ditemukan di bagian barat, lebih mendekati
jenis Sumatera biasa (sapi Pesisir). Sapi yang lebih baik dan lebih besar yang
diminati sebagai komoditas ekspor ke kawasan budaya Deli dan Medan, berasal
dari Aceh. Sebagian sapi Aceh digunakan sebagai alat transportasi pada
beberapa perusahaan berlokasi dekat rel kereta di Deli dan Medan karena lebih
baik dan lebih besar (Merkens 1926).
Sapi Aceh mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk seperti
krisis pakan, air dan pakan berserat tinggi, penyakit parasit, temperatur panas
dan sistem pemeliharaan ekstensif tradisional (Gunawan 1998). Berdasarkan
berbagai catatan pendek dari beberapa laporan dan sejumlah foto, disimpulkan
15
bahwa sapi Aceh merupakan hasil persilangan Banteng dan zebu (Merkens
1926).
Pada tahun 1926, di Aceh terdapat sekitar 150 ribu ekor sapi. Sejauh ini
tidak banyak literatur mengenai jenis sapi ini yang berperanan penting di seluruh
kawasan Sumatera Utara. Sapi Aceh jantan mempunyai tinggi pundak 115,5 cm;
tinggi pinggul 115,0 cm; panjang badan 126,0 cm; lebar dada 35,5 cm; dalam
dada 62,8 cm; lebar pinggul 42,2 cm; dan lingkar dada 160,8 cm (Merkens 1926).
Hasil laporan Otsuka et al. (1980; 1982) yang melakukan survei terbatas di
SNAKMA Saree dan Rumah Potong Hewan Banda Aceh, sapi Aceh betina
mempunyai tinggi pundak 105,0 cm; tinggi pinggul 108,2 cm; panjang badan
118,8 cm; lebar dada 22,0 cm; dalam dada 52,9 cm; lebar pinggul 34,4 cm;
lingkar dada 131,0 cm; panjang kepala 41,7 cm; dan lebar kepala 14,0 cm.
Sapi Aceh jantan mempunyai gumba berukuran sedang (medium),
biasanya mempunyai warna cokelat yang lebih gelap pada tubuh bagian
depannya dibanding bagian belakang (Otsuka et al. 1980). Sapi Aceh,
mempunyai lebar dan tinggi tengkorak lebih pendek dibanding panjangnya dan
bagian cerebral tengkorak lebih besar dari bagian mukanya (Hayashi et al. 1982).
Otsuka et al. (1980; 1982) telah menggunakan ukuran-ukuran tubuh hewan
dalam melakukan perbandingan antara sapi Aceh, Padang, Madura, Bali dan
Grati, serta hubungannya dengan berbagai bangsa sapi lain di Asia (Thai,
Batangas, Taiwan, Iloilo, Ilocos, Kedah-Kelantan, Palawan, Hainan, Cebu,
Kuchinoshima, Mishima dan Sindhi). Menurut Dwiyanto 1982), penggunaan
ukuran tubuh selain untuk menaksir bobot badan dan karkas, dapat digunakan
pula untuk memberikan gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas bangsa
ternak tertentu.
Penanda Molekuler
Keragaman suatu spesies dapat didekati dengan menggunakan penanda
morfologi dan penanda molekuler (Hillis et al. 1996). Informasi mutu genetik
hewan dapat diperoleh dengan penafsiran melalui pencatatan performa produksi
dan reproduksi (penanda morfologi) hewan. Penanda morfologi merupakan
penanda yang telah banyak digunakan dalam program genetika dasar maupun
dalam program praktis pemuliaan, karena penanda ini paling mudah untuk
diamati dan dibedakan. Namun demikian, penanda morfologi memiliki beberapa
kelemahan dalam aplikasi di lapang, yaitu ketelitian dan ketepatan penentuan
16
mutu genetik hewan dengan penanda morfologi sangat rendah, proses seleksi
berjalan lambat dan respons yang diperoleh sangat kecil, walaupun dilakukan
secara terus-menerus serta terdapat kesalahan dalam pengambilan keputusan
dalam penentuan strategi perkawinan. Dengan demikian untuk kegiatan
pemuliaan tidak cukup hanya berdasarkan pada informasi karakter morfologi
saja, tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, maka
dapat digunakan alternatif penanda lain yaitu penanda molekuler yang telah
relatif mudah untuk dikerjakan (Muladno 2006).
Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekuler dan lebih
khusus pada genetika molekuler, studi tentang hubungan kekerabatan atau
variasi genetik bangsa ternak sering dilakukan dengan teknik molekuler (Muladno
2002). Penanda molekuler mampu mengidentifikasi perbedaan genetik langsung
pada level DNA sebagai komponen genetik. Semua karakter yang ditampilkan
baik secara nyata atau tidak oleh satu individu hewan tidak lain adalah
pencerminan karakter gen yang dimiliki oleh individu hewan tersebut, atau dapat
disebut bahwa semua informasi yang dapat diamati pada suatu individu hewan
adalah penanda genetik dari individu tersebut. Karakteristik penanda molekuler
ini dapat menanggulangi keterbatasan penggunaan penanda morfologi dapat
diminimalisasi dengan menggunakan penanda molekuler dalam aplikasi program
pemuliaan hewan karena penanda ini bebas dari pengaruh-pengaruh epistasis,
lingkungan dan fenotipe, sehingga dapat menyediakan informasi genetik yang
lebih akurat dalam mempelajari genotipe hewan, mempelajari sifat-sifat genetik
yang kompleks dan keragaman genetik hewan (Muladno 2006).
Sekarang telah ada beberapa penanda DNA untuk menganalisis latar
belakang genetik hibrida pada sapi (Nijman et al. 2003). Penanda DNA
mitokondria (mtDNA) menunjukkan introgresi melalui silsilah maternal (Loftus et
al. 1994; Ward et al. 1999; Mezzadra et al. 2005), yang pada sapi menunjukkan
sejarah kawanannya (Nijman et al. 2003; Ascunce et al. 2007). Carvajal-
Carmona et al. (2003) melakukan penelitian dengan menguji keragaman sekuens
daerah kontrol DNA mitokondria dari bangsa sapi Criollo pada tujuh wilayah di
Colombia. Penemuan dalam bangsa sapi Criollo disimpulkan bahwa ada
perbedaan ancestor untuk beberapa bangsa sapi yang konsisten dengan pusat
domestikasi sapi di Afrika Utara.
Penanda mikrosatelit digunakan secara luas sebagai penanda genetik di
dalam studi populasi dan verifikasi silsilah keturunan (Ibeagha-Awemu dan
17
Erhardt 2005; Cervini et al. 2006), terutama karena mikrosatelit mengandung
informasi polimorfisme yang tinggi, tersebar luas di dalam genom eukariot (Tautz
dan Renz 1984; Cervini et al. 2006). Mikrosatelit sangat efektif dalam
mengevaluasi perbedaan di dalam bangsa sapi dan dalam menentukan
substruktur populasi (MacHugh et al. 1998). Lebih dari 1.400 mikrosatelit telah
dipetakan dalam genom sapi (Luikart et al. 1999; Cervini et al. 2006) dan
beberapa di antara mikrosatelit tersebut digunakan untuk studi genetik populasi
serta verifikasi asal-usul (Cervini et al. 2006). Mikrosatelit digunakan Mukesh
(2004) untuk mengkaji keragaman genetik dan menetapkan hubungan di antara
tiga bangsa sapi zebu India (Sahiwal, Hariana dan Deoni).
Sumber spesies genom inti dapat diduga dari alel-alel mikrosatelit khusus
spesies (MacHugh et al. 1997). Mikrosatelit bersifat polymorphic tinggi atau
hyperpolymorphic dan sangat informatif pada tingkat famili atau hewan
persilangan. Oleh karena itu, mikrosatelit sering digunakan sebagai tool’ yang
potensial dalam pemetaan pautan gen (linkage gene) pada organisme yang
berbeda. Sifat polimorfisme yang tinggi ini memungkinkan individu-individu akan
menjadi heterozigot dan karenanya akan lebih mudah untuk menelusuri
pewarisan suatu penanda pada penelusuran keluarga atau famili. Sifat yang
polimorfisme ini dan terletak sepanjang genom, maka mikrosatelit merupakan
sumber data yang ideal untuk determinasi jarak genetik (Nicholas 1996).
DNA adalah polimer dari nukleotida, terdiri atas molekul yang panjang
berisi beberapa rangkaian monomer nukleotida yang dirangkai dalam satu urutan
berseri dan diorganisasikan dalam bentuk suatu heliks. Setiap nukleotida itu
sendiri adalah suatu molekul yang kompleks terdiri tiga komponen yaitu (1) gula,
(2) basa nitrogen; dan (3) asam phosphat. Gula pada DNA adalah suatu pentosa
(dengan lima atom carbon) yang berbentuk cincin dikenal sebagai
2’-deoxyribose. Basa-basa nitrogen pada DNA adalah berstruktur satu ataupun
dua cincin. Basa-basa tersebut terdiri atas purine (Adenine dan Guanine) dan
pyrimidine (Thymine dan Cytosine) (Duryadi 2005).
Hewan memiliki total untaian DNA dengan ukuran kira-kira sebesar 3x109
basa nukleotida, dengan 10% dari untaian DNA merupakan gen sedangkan
sisanya bersifat sebagai DNA pengisi. Struktur DNA pengisi ini terdiri atas
ulangan yang bersifat khas dan unik. Tingginya persentase urutan berulang pada
total DNA menandakan tingkat kompleksitas DNA tersebut (Muladno 2006).
18
DNA sebagai unit keturunan terkecil terdapat pada semua makhluk hidup
mulai dari mikroorganisme sampai organisme tingkat tinggi seperti manusia,
hewan dan tanaman. DNA terdapat dalam sel terdiri atas DNA inti sel dan DNA
sitoplasma. DNA sitoplasma berupa DNA mitokondria dan DNA kloroplast
(Muladno 2002). Genom inti dan sitoplasmik ini menjadi karakter organisme
sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam perbandingan ciri baik kesamaan
maupun perbedaannya. Semakin dekat kekerabatan pada tingkat takson maupun
tingkatan keturunan (lineage) dari organisme tersebut, maka semakin besar
kesamaan pada tingkatan molekulnya. Hal demikian ini yang menjadi dasar
perunutan hubungan evolusi dan asal-usul organisme (Duryadi 2005).
DNA Mitokondria
Organisme eukariot termasuk ternak domestik, sumber DNA dapat
diperoleh dari organel-organel sitoplasmik antara lain DNA mitokondria. DNA
mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang diturunkan secara
utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan ukuran kecil/pendek
yang susunannya berbeda dengan DNA inti, dan memiliki variasi basa nukleotida
yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti. Tingginya variasi basa nukleotida
disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5-10 kali lebih tinggi
dibandingkan DNA inti (Muladno 2006).
Mitokondria memiliki molekul DNA tersendiri dengan ukuran kecil yang
susunannya berbeda dengan DNA inti (Duryadi 1994; Lewin 2000). Setiap sel
mengandung satu hingga ratusan DNA mitokondria. DNA mitokondria
merupakan DNA utas ganda yang berbentuk sirkuler (Duryadi 1994),
mengandung sejumlah gen penting untuk respirasi dan fungsi lainnya, sehingga
relatif lebih mudah untuk mengisolasi nukleotidanya dari genom (Park dan Moran
1995). Genom mitokondria hewan berukuran relatif kecil dan terdapat dalam
jumlah banyak, maka eksplorasi dan penelaahannya lebih mudah (Duryadi
1994).
DNA mitokondria (mtDNA) mempunyai beberapa kelebihan yang
menjadikannya banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan
dinamika populasi. Beberapa kelebihan tersebut adalah (1) memiliki ukuran yang
kompak dan relatif kecil (16.000-20.000 pasang basa), tidak sekompleks DNA inti
sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh; (2) berevolusi lebih
cepat dibandingkan dengan jelas perbedaan antara populasi dan hubungan
19
kekerabatannya; (3) hanya sel telur yang menyumbangkan material mitokondria
sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk betina; dan (4) bagian-
bagian dari genom mitokondria berevolusi dengan laju yang berbeda, sehingga
dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran kesamaan asal-usul
(Park dan Moran 1995). DNA mitokondria telah banyak digunakan sebagai
penanda molekul untuk studi genetika populasi, penelusuran asal-usul dan
pelacakan beberapa penyakit degeneratif, penuaan serta kanker (Wandia 2001).
DNA mitokondria telah dikarakterisasi dengan lebih baik pada sebagian besar
ternak dan telah digunakan untuk studi evolusi (Subandriyo 2003).
Tingkat evolusi dari suatu gen atau bagian DNA yang berbeda merupakan
faktor penting yang menentukan penggunaan penanda DNA dalam studi
sistematika dan biogeografi. Umumnya, gen-gen yang terkonservasi dengan
baik (berevolusi lambat) dapat dijadikan dasar penelusuran asal-usul atau
filogeni. Sebaliknya, gen-gen yang tidak terkonservasi dengan baik (berevolusi
cepat) dapat digunakan untuk perbandingan galur-galur baru (Duryadi 1994).
DNA mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen yang
sama yaitu 13 daerah yang mengkode protein (URF1, URF2, URF3, URF4,
URF5, URF6, URFA6L, URF4L, Cytochrome Oxidase unit I, Cytochrome
Oxidase unit II, Cytochrome Oxidase unit III, Cytochrome-b dan ATPase 6); 2
gen pengkode rRNA yaitu 12S rRNA dan 16S rRNA; 22 gen pengkode tRNA
(Melnick dan Hoelzer 1993; Duryadi 1994), dan perkembangan sekarang ini ke-8
URF adalah diidentifikasikan menjadi gen-gen 7 sub unit NADH-dehidrogenase
(ND 1-6 dan ND 4L) dan sisa ATPase 8 (Lewin 2000). Daerah bukan pengkode,
hanya terdiri atas daerah kontrol (control region), yang memegang peranan
penting dalam proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Andersson
et al. 1981). Pada mamalia, daerah bukan pengkode meliputi daerah bukan
pengkode utama yang merupakan tempat awal replikasi H strand (OH) dan
transkripsi awal dari kedua unting. Daerah bukan penyandi utama terletak pada
wilayah displacement-loop (D-loop). Bagian lainnya adalah daerah bukan
pengkode segmen minor yaitu tempat awal replikasi L strand (OL) yang terletak
pada gugus gen tRNA antara gen CO I dan ND 2 (Ghivizzani et al. 1993).
DNA mitokondria mempunyai laju kecepatan mutasi 5 sampai 10 kali lebih
cepat dibandingkan dengan DNA inti (Brown et al. 1982). Daerah D-loop pada
DNA mitokondria memiliki laju perubahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah DNA mitokondria lainnya. Sebagai contoh perbedaan panjang fragmen
20
D-loop antara unggas dan mamalia cukup tinggi yaitu 348 pb, sedangkan
fragmen mtDNA yang mengkode protein tidak terlalu banyak berbeda
(konservatif). Hal ini dapat dilihat dari fragmen DNA gen ND5, perbedaan
maksimum antara unggas dan mamalia sebesar 18 pb. Bila dibandingkan
dengan DNA inti, mtDNA yang mengkode proteinpun masih lebih bervariasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka DNA mitokondria terutama daerah D-loop,
sangat baik digunakan untuk analisis keragaman hewan, baik di dalam spesies
maupun antarspesies (Muladno 2006).
Gambar 1 Skema genom mitokondria (Sumber: Bernstein et al. 1995)
Teknik eksplorasi dapat dimanfaatkan oleh para biologiawan untuk
menggali informasi yang terkandung dalam genom mitokondria. Teknik
eksplorasi yang pertama didasarkan pada sekuens basa-basa penyusun genom
mitokondria akan memberikan informasi yang sangat lengkap mengenai urutan
basa-basanya. Beberapa jenis organisme telah diketahui secara lengkap
susunan basa-basanya. Alternatif lain yang lebih efisien ialah analisis hanya
bagian tertentu dari genom mitokondria (Duryadi 1994).
DNA Mikrosatelit
DNA mikrosatelit merupakan pengulangan DNA tandem pendek (1-5 basa)
pada fragmen DNA. Pengulangan tandem biasanya dinukleotida sederhana
(seperti (TG)n) dengan masing-masing dinukleotida yang diulang sekitar sepuluh
kali (Montaldo dan Meza-Herrera 1998).
Mikrosatelit adalah suatu sekuens yang terdiri atas motif urutan sederhana,
tidak lebih dari enam basa panjangnya yang secara tandem diulangi berurutan
21
setiap basanya tanpa terganggu oleh adanya basa atau motif lain. Sekuens
nukleotida sederhana di- dan tri- yang diulangi secara tandem telah menunjukkan
sifat polimorfisme sepanjang genom eukariot (Litt and Luty 1989), berpotensi
dimanfaatkan dalam studi penanda-penanda DNA atau pemetaan gen
(Navanitbhai 2004). Selain terdapat secara acak di dalam genom, mikrosatelit
dengan motif mono-, di-, tri-, dan tetranukleotida ditemukan lokasinya dekat atau
di dalam daerah penyandi gen seperti telah dilaporkan pada genom manusia (Litt
dan Luty 1989), sapi dan domba (Moore et al. 1992). Banyak mikrosatelit yang
ditemukan tersebut bersifat sangat polimorfisme sehingga sangat ideal untuk
analisis keterpautan. Keterpautan mikrosatelit dengan daerah penyandi genom
yang runutan DNAnya cenderung lestari (conserved), juga dapat dimanfaatkan
untuk studi perbandingan peta genetika antarspesies (Muladno 2000).
Mikrosatelit adalah satu dari tipe DNA berulang yang paling umum dengan
motif ulangan nukleotida sederhana dalam bentuk salinan berdampingan
(tandem). Mikrosatelit memiliki jumlah yang sangat banyak dan lokasinya
tersebar di hampir semua kromosom sehingga sangat ideal untuk menganalisis
fenotipe hewan. Satu motif basa terdiri atas 2-5 pb atau 1-6 pb, yang berulang
mencapai 100 kali atau lebih. Tingkat variabilitas mikrosatelit memiliki korelasi
positif dengan panjang ulangan sekuensnya dengan panjang kurang dari 20
pasang basa, maka kemungkinan hasil analisis mikrosatelit memiliki polimorfik
sangat besar. Mikrosatelit termasuk di dalam kelompok urutan berulang yang
berjumlah sekitar 0,3% dari total genom. Mikrosatelit dapat dikategorikan sesuai
bentuk ulangannya, yaitu (1) ulangan sempurna, terdiri atas sekuens dengan
tanpa selang sepanjang ulangannya. Cenderung lebih polimorfik dibandingkan
dengan dua jenis mikrosatelit lainnya. Bentuk ulangan sempurna adalah
CACATTAGTCGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTCGACCA
CATA; (2) ulangan tidak sempurna, terdiri atas ulangan dengan satu atau lebih
selang pada sepanjang ulangannya. Bentuk ulangan tidak sempurna adalah
CATGGAAAAT ACACACAC CACACACACACACACACACACA GGCTTTGG
AT; dan (3) kombinasi keduanya, ulangan sempurna dan tidak sempurna yang
bergabung dengan ulangan sederhana sekuens lain. Bentuk ulangan sempurna
adalah GGGAGGGTTT GTGTGTGTGTGTGT GAGAGAGAGAGAGAGA
CTGTGTATAT (Muladno 2006).
Mikrosatelit terdapat menyebar di dalam genom. Bahkan ada
kecenderungan bahwa hampir setiap gen sedikitnya mempunyai satu
22
mikrosatelit, yang terletak di dalam intron atau di dalam daerah 5’ atau 3’ yang
mengapit sekuens pengkode. Mikrosatelit dideteksi dengan menggunakan PCR,
dengan primer yang sesuai dengan DNA sekuens khas yang mengapit ulangan
tandem tersebut. Prosedur merunut urutan DNA secara keseluruhan sama
dengan prosedur untuk merunut DNA: primer berlabel digunakan, dan pita-pita
divisualisasikan baik dengan autoradiografi atau fluoresen, seperti dengan
perunutan, deteksi mikrosatelit menjadi automatis (Nicholas 1996).
DNA sekuens khas yang sesuai dengan primer hanya terdapat di satu
tempat saja dalam genom total. Ini berarti bahwa walaupun unit ulangan
mikrosatelit tertentu terdapat pada banyak situs yang berbeda di dalam genom,
PCR hanya akan mengamplifikasi satu tempat saja, yaitu tempat yang sekuens
pengapitnya sesuai dengan sekuens primer yang digunakan. Panjang produk
PCR bervariasi menurut jumlah unit ulangan pada situs tersebut (Nicholas 1996).
Panjang masing-masing alel ditentukan oleh PCR yang menggunakan primer
oligonukleotida spesifik pengapit sekuens yang diulang (Montaldo dan Meza-
Herrera 1998).
Lokus-lokus mikrosatelit adalah penanda-penanda pilihan untuk
mengetahui hubungan-hubungan evolusi antarpopulasi dan hubungan silsilah
antarindividu (Steven et al. 2006). Potensi mikrosatelit sebagai penciri DNA
untuk analisis keterpautan telah banyak diketahui dan didokumentasi dengan
baik. Penciri ini telah digunakan untuk pemetaan gen pada ternak babi (Muladno
1994; 2000), ayam (Kerje 2003) dan sapi (Ihara et al. 2004), studi kekerabatan,
keragaman dan variasi genetik pada domba (Grigaliŭnaitẻ et al. 2003), kambing
(Mainguy et al. 2005), sapi (MacHugh 1997; Sodhi et al. 2006; Karthickeyan et al.
2006; Armstrong et al. 2006; Pandey et al. 2006) dan kuda (Luis et al. 2007).
Dua atau lebih mikrosatelit dapat dianalisis secara bersamaan (Weber dan
May 1989; George et al. 1990), membuka peluang baru untuk analisis genetik
dari jumlah sampel yang besar. Berbagai metode sedang dikembangkan
sehingga akan menyederhanakan pendeteksian dan analisis polimorfisme
mikrosatelit (Litt et al. 1993). Suatu atribut yang sangat penting adalah
polimorfisme dapat dideskripsikan sesuai jumlahnya, sehingga penanganan data
dapat dianalisis secara komputerisasi. Keuntungan lain adalah bahwa sekuens
pada analisis mikrosatelit dapat dilakukan antarkolaborator. Hal ini akan
memperjelas hasil yang sempurna dari pembeda bangsa dan hal itu tidak ada
23
kesukaran untuk mengidentifikasi populasi suatu bangsa dengan yang memiliki
alel-alel spesifik (Navanitbhai 2004).
Praktik penggunaan mikrosatelit sebagai marker adalah sangat mudah
penanganannya. Pertukaran marker antarlaboratorium, termasuk dalam proyek
pemetaan gen hanya memerlukan pertukaran dari sekuens nukleotidanya yang
digunakan sebagai primer dalam PCR. Proses ini bisa ditransmisikan secara
elektronik melalui komputer, sehingga dalam hal ini tidak diperlukan pertukaran
klon rekombinan antarlaboratorium. Penggunaan langsung secara fisik
mikrosatelit dari sisipan klon yang besar kepada kromosom individual dengan
menggunakan teknik seperti in situ hybridization telah meningkatkan keuntungan
mikrosatelit sebagai marker dalam konstruksi peta genetik. Studi keterpautan gen
dengan demikian tidak diragukan harus dikonsentrasikan pada penggunaan
mikrosatelit (Muladno 1994).
Teknik Penelitian DNA
DNA terdapat di dalam sel organisme, oleh karena itu seluruh bagian tubuh
maupun organ organisme dapat dijadikan sebagai sumber untuk mendapatkan
dan mengisolasi DNA. Pada prinsipnya, untuk mendapatkan DNA dimulai dari
ekstraksi dan purifikasi DNA, pengecekan kualitas (konsentrasi) dan kuantitas
DNA melalui alat spektrofotometer. Evaluasi kualitas DNA hasil purifikasi dapat
pula dilakukan dengan gel agarose (Duryadi 2005) dengan standar konsentrasi
tertentu. Menurut Muladno (2002), molekul DNA dikatakan murni apabila rasio
antara nilai OD260 dan nilai OD280 pada sampel DNA diukur melalui
spektrofotometer berkisar antara 1,8-2,0. Apabila konsentrasi DNA yang diukur
terlalu kecil, seringkali nilai rasio tersebut sulit digunakan sebagai patokan dalam
menentukan tingkat kemurniannya.
Ekstraksi DNA pada organisme eukariot (manusia, hewan dan tumbuhan)
dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell walls),
penghilangan protein dan RNA (cell digestion), pengendapan DNA (precipitation
of DNA) dan pemanenan. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah serangkaian
proses untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil
ekstraksi tersebut merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya.
(Sulandari dan Zein 2003).
Memperbanyak DNA target salah satunya melalui teknik PCR (Polymerase
Chain Reaction). PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan
24
jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA
baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan
enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler (Muladno
2002). Pada suhu 94-95oC, DNA mengalami denaturasi. Apabila suhunya
diturunkan antara 36-72oC terjadi proses penempelan primer (annealing)
(Sulandari dan Zein 2003). Pada suhu berkisar antara (biasanya) 50oC sampai
dengan 60oC, primer forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan
salah satu untai tunggal akan menempel pada komposisi komplemennya,
demikian juga primer reversenya akan menempel pada basa tunggal lainnya.
Setelah kedua primer tersebut menempel pada posisinya masing-masing, enzim
polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru yang dimulai dari ujung 3’-nya
masing-masing primer. Sintesa molekul DNA baru (ekstensi) ini terjadi pada
suhu 72oC. Proses dari denaturasi-penempelan-ekstensi disebut sebagai satu
siklus. Proses PCR biasanya berlangsung 35-40 siklus (Muladno 2002).
Umumnya setelah proses siklus PCR selesai, ditambah post elongasi selama 5-
10 menit pada suhu 72oC agar semua hasil PCR berbentuk untai ganda
(Sulandari dan Zein 2003).
Hasil PCR dapat dilihat dengan melakukan elektroforesis pada gel agarose
untuk memisahkan dan mengidentifikasi fragmen DNA sesuai dengan
ukurannya. Prinsip dasarnya adalah jika molekul DNA, yang bermuatan negatif,
ditempatkan pada penghantar listrik (buffer), molekul tersebut akan bergerak
menuju ke muatan positif. Molekul DNA yang berukuran kecil akan bergerak lebih
cepat daripada yang berukuran besar. Ukuran fragmen DNA hasil elektroforesis
dapat diketahui dengan menggunakan penanda ukuran (marker) yang salah
satunya didapat dari λyang telah dipotong oleh enzim restriksi (Dawson et al.
1996).
Suatu terobosan utama dalam genetika molekuler adalah perkembangan
metode mensekuens potongan DNA secara cepat (Muladno 2002). Ada dua
metode dalam sekuensing: metode Sanger atau dideoxy atau chain-terminating
dan metode Maxam-Gilbert atau chemical, dengan metode yang pertama lebih
umum digunakan (Nicholas 1996). Tiap metode meliputi pembuatan serangkaian
rangkaian tunggal berlabel dengan panjang bervariasi, yang dimulai dari salah
satu ujung fragmen yang sedang disekuens (Nicholas 1996; Duryadi 2005).
Elektroforesis dari rangkaian-rangkaian tersebut dalam gel poliakrilamida
memisahkan rangkaian-rangkaian itu berdasarkan ukuran, yang menghasilkan
25
‘tangga pita’ (ladder) berlabel, dengan tiap pita mewakili tersekuensnya satu
basa. Jika pelabelan bersifat radioaktif, gel tersebut kemudian dikeringkan dan
dilekatkan pada film X-ray, yang mencatat keberadaan tiap pita pada
autoradiograf yang dihasilkan (Nicholas 1996). Belakangan ini penggunaan label
memakai bahan fluoresen yang diaktifkan dengan sinar laser akan menggantikan
pelabelan dengan bahan radioaktif. Apabila pita-pita telah dapat divisualisasikan
dengan menggunakan cara pelabelan apapun, maka basa-basa nukleotida pada
fragmen DNA dapat dibaca langsung dari urutan pita yang tampak (Duryadi
2005). Proses yang lebih panjang dihasilkan dengan menggabungkan sekuens
yang diperoleh dari fragmen yang overlap (Nicholas 1996).
Proses sekuensing secara keseluruhan telah berkembang menjadi
otomatis, dan data sekuens terus dikumpulkan dengan kecepatan yang semakin
meningkat. Database seperti GenBank (USA) dan EMBL Data Library (Eropa)
telah didirikan yang secara spesifik mencatat data tersebut, dan akses online ke
database itu tersedia di seluruh dunia. Ada banyak aktivitas yang memerlukan
informasi sekuens, sebagai contoh adalah untuk menelusuri data sekuens, untuk
mencari open reading frame, yang menunjukkan gen berstruktur dan merupakan
salah satu cara menemukan gen yang belum diketahui. Penggunaan penting
lainnya dari data sekuens adalah dalam membandingkan sekuens dari gen yang
sama pada spesies yang berbeda, yang memungkinkan pohon evolusionari
dapat dibuat (Nicholas 1996).
26
MATERI DAN METODE
Penelitian Lapang
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian lapang untuk koleksi data fenotipik dilakukan di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam pada bulan Pebruari sampai Juni 2005. Lokasi
penelitian meliputi Kabupaten Aceh Besar (5 kecamatan dan 6 desa), Kota
Banda Aceh (4 kecamatan dan 6 desa), Kabupaten Pidie (3 kecamatan dan 4
desa), dan Kabupaten Aceh Utara (4 kecamatan dan 9 desa) (Gambar 2 dan
Lampiran 1).
Gambar 2 Lokasi pengambilan sampel data fenotipik sapi Aceh
Materi Penelitian
Penelitian ini menggunakan sapi Aceh yang merupakan sapi lokal yang
hidup di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penentuan sampel sapi secara
klaster sampling, yaitu pertama menentukan kelompok kecamatan dan
selanjutnya menentukan kelompok desa. Sebanyak 100 ekor sapi jantan dan
betina diambil dari masing-masing lokasi (kabupaten atau kota), sehingga
diperoleh keseluruhan sampel adalah 400 ekor (131 ekor jantan dan 269 ekor
betina).
Aceh UtaraPidie
Aceh BesarBanda Aceh
27
Peralatan yang Digunakan
Peralatan penelitian yang digunakan yaitu tongkat ukur ketelitian 0,1 cm
(FHK stainless steel buatan Australia); pita ukur ketelitian 0,1 cm (Gordas buatan
Australia); jangka sorong stainless steel buatan Jerman, kamera digital Samsung
Digimax 3.2 pixel, dan tali sabut pengikat sapi.
Pengambilan Sampel Data Kuantitatif dan Kualitatif
Pengumpulan data fenotipik dilakukan bersamaan dengan pengambilan
sampel darah. Koleksi data dimulai dengan pencatatan jenis kelamin dan umur
sapi serta nama pemiliknya. Umur sapi penelitian ditentukan berdasarkan hasil
wawancara dengan pemiliknya dan hasil pengamatan terhadap pergantian dan
pergesekan gigi seri. Sapi dengan gigi seri belum berganti dikode I0 (berumur
kurang dari atau sama dengan satu tahun) tidak digunakan dalam penelitian ini,
dikodekan I2, I4, I6 dan I8 masing-masing adalah sapi yang berumur 1-1,5; 2-2,5;
3-3,5; dan 4-6 tahun. Selanjutnya sapi-sapi dengan kode masing-masing
dimasukkan dalam kelompok umur 1, 2, 3 dan 4 tahun.
Bagian-bagian permukaan tubuh yang diukur yaitu (Gambar 3) (1) lingkar
dada (Li_Da), diukur melingkar tepat di belakang scapula, dengan menggunakan
pita ukur dalam cm; (2) lebar dada (Le_Da), diukur antara tuberositas humeri
sinister dan dexter, dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm; (3) dalam
dada (Da_Da), diukur dari bagian tertinggi pundak sampai dasar dada, dengan
menggunakan tongkat ukur dalam cm; (4) tinggi pundak (Ti_Pu), diukur dari
bagian tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah, dengan
menggunakan tongkat ukur dalam cm; (5) tinggi pinggul (Ti_Pi), diukur dari
bagian tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah, dengan menggunakan
tongkat ukur dalam cm; (6) lebar pinggul (Le_Pi), diukur jarak lebar antara kedua
sendi pinggul dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm; (7) panjang badan
(Pa_Ba), diukur dari tuber ischii sampai dengan tuberositas humeri, dengan
menggunakan tongkat ukur dalam cm; (8) lingkar paha (Li_Pa), diukur pada
pangkal paha melalui vastus lateralis, dengan menggunakan pita ukur dalam cm;
(9) panjang ekor (Pa_Ek), diukur pada pangkal sampai ujung ekor, dengan
menggunakan tongkat ukur dalam cm; (10) lebar ekor (Le_Ek), diukur pada
bagian ekor yang terlebar, dengan menggunakan jangka sorong dalam cm; (11)
panjang kepala (Pa_Ke), diukur pada posisi tengah kepala di antara dua tanduk
sampai ke bagian mulut menghitam, menggunakan pita ukur dalam cm; (12)
28
lebar kepala (Le_Ke), diukur jarak kedua sisi tulang pipi, dengan menggunakan
pita ukur dalam cm; dan (13) panjang tanduk (Pa_Ta), diukur pada pangkal
tanduk sampai ujung tanduk mengikuti arah pertumbuhan tanduk dengan
menggunakan pita ukur dalam cm (Otsuka et al. 1980; Diwyanto 1982; Mansjoer
1993).
Gambar 3 Sketsa bagian-bagian permukaan tubuh sapi Aceh yang diukur
Terdapat kesulitan dalam melakukan penimbangan ternak di lokasi
penelitian, sehingga untuk menduga bobot badan sapi Aceh digunakan rumus
Johnson yang dikemukakan oleh Abubakar dan Harmadji (1980) dalam uji
kesesuaiannya dalam dugaan bobot badan sapi Peranakan Ongole. Rumus
tersebut ialah W = LG2/300 (W = berat badan dalam pound, L = panjang badan
dalam inch, G = lingkar dada dalam inch). Selanjutnya dijabarkan menjadi: BB =
LG2/10804 (BB = bobot badan dalam kilogram, L= panjang badan dalam cm, G =
lingkar dada dalam cm).
Sifat-sifat fenotipe kualitatif yang diamati yaitu warna, pola warna tubuh,
bentuk pertumbuhan tanduk, garis muka dan punggung sapi yang dikelompokkan
menurut lokasi, umur dan jenis kelamin. Pengamatan bentuk tanduk dengan
cara mengamati arah pertumbuhannya berawal dari kepala sampai ujung tanduk.
Setiap individu dicatat arah pertumbuhannya dan dibuat sketsa dari pertumbuhan
tanduk tersebut.
Analisis Data
Pengolahan data menggunakan program Minitab versi 14.13 (Moore 2004)
dan tabulasi data sheet Excel. Analisis data ditabulasikan menurut lokasi sampel,
kelompok umur dan jenis kelamin berbeda. Karakterisasi ukuran-ukuran tubuh
dilakukan dengan penghitungan nilai rataan ( x ), simpangan baku (s) dan
29
koefisien keragaman (KK) dari setiap sifat yang diamati seperti petunjuk Steel
dan Torrie (1995). Model persamaannya :
ixn
xn
ii
1 ; s =1
)( 2
n
xxi
i
; dan KK (%) = %100xs
Keterangan xi adalah ukuran ke-i dari sifat x, n adalah jumlah sampel yang
diperoleh dari populasi.
Pengujian rataan ukuran-ukuran tubuh antara sapi jantan dan betina
digunakan analisis sidik ragam general linear model dengan hanya memasukkan
faktor jenis kelamin. Pengolahan data dilanjutkan dengan pengujian terhadap
warna, pola warna tubuh, bentuk pertumbuhan tanduk, garis muka dan punggung
sapi ditampilkan secara deskriptif.
30
Penelitian Laboratorium
Daerah D-loop DNA Mitokondria
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dimulai dari isolasi, ekstraksi dan purifikasi DNA, mendapatkan
produk PCR dan sekuensing dilakukan pada bulan Agustus 2005 sampai dengan
Agustus 2006 di Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya
Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor. Sekuensing produk
PCR daerah D-loop dilakukan di Laboratorium Bioteknologi PT Charoen
Pokphand Indonesia, Tbk., Jakarta.
Pengambilan sampel darah sapi bersamaan dengan pengambilan sampel
data fenotipik. Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh meliputi Kabupaten
Aceh Besar (satu sampel masing-masing dari Kecamatan Darul Imarah dan Balai
Pembibitan Ternak di Kecamatan Indrapuri), Kota Banda Aceh (satu sampel
masing-masing dari Kecamatan Lueng Bata dan Ulee Kareeng), Kabupaten Pidie
(satu sampel masing-masing dari Kecamatan Padang Tidji dan Glumpang Baro),
dan Kabupaten Aceh Utara (satu sampel masing-masing dari Kecamatan Baktiya
Barat dan Cót Girek) (Gambar 4 dan Lampiran 2).
Gambar 4 Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh dan sapi outgroup untukanalisis daerah D-loop DNA mitokondria
Lokasi pengambilan sampel darah sapi pembanding dilakukan pada dua
sampel darah sapi Bali dari P3Bali (Pulau Bali); dua sampel darah sapi Madura
Aceh Besar
Sumatera Barat
Jawa Barat
Bali
MaduraAceh UtaraPidie
Banda Aceh
31
dari Desa Kambingan Timur, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Pulau
Madura; satu sampel darah sapi PO dari Laboratorium Ternak Potong dan Kerja,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; dan dua sampel darah sapi Pesisir
dari Desa Sungai Liku, Kecamatan Ranah Pasir, Kabupaten Pesisir Selatan,
Sumatera Barat (Gambar 4 dan Lampiran 2).
Pelaksanaan Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah sapi dilakukan dengan menggunakan venojact
(none) 5 ml pada vena jugularis dan dimasukkan ke dalam tabung centrifuge
14 ml yang berisi alkohol absolut sebagai pengawet dengan perbandingan 1:1.
Semua tabung berisi sampel darah disimpan pada suhu kamar dan dibawa ke
Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi (PPSHB), Institut Pertanian Bogor dengan cara dimasukkan ke
dalam kotak es (ice box).
Bahan-bahan dan Peralatan
Bahan-bahan pereaksi untuk isolasi DNA, yaitu lysis buffer, digestion
buffer, rinse buffer, larutan phenol, larutan chloroform Iso Amyl Alcohol (CIAA),
etanol absolut, etanol 70%, larutan TE 1x, larutan TBE 10x. Bahan-bahan untuk
visualisasi DNA hasil isolasi dan produk PCR, yaitu agarose standar, larutan TBE
1x, dan pewarna ethidium bromide.
Peralatan yang digunakan adalah venojact (none) 5 ml, ice box, centrifuge
tube 14 ml, mikropipet P10, P20, P200, P1000 Gilson (France) beserta pipet
tipnya, microtube eppendorf 1.5 dan 0.2, gelas ukur, erlenmeyer dan gelas piala.
Peralatan elektronik digunakan mikrosentrifus (Eppendorf Centrifuge 5415
C); tungku pemanas (Sybron Thermolyne Nuova II Hot plate); vortex (Maxi Mix
Thermolyne 37600 Mixer); waterbath (Grand Incubator); kamera pengamatan
Mitsubishi video Copy Processor model P91E CB dilengkapi monitor (UVI Tec);
vacuum dryer (Centri Vap Concentrator, Labconco); magnetic stirrer (Mg 78);
electronic balance (AD HX 100); perangkat Submarine Electrophoresis;
voltage/current regulator (Kayaki PS100); dan Mesin PCR Parkin Elmer 2400.
Perancangan Primer Daerah D-loop DNA Mitokondria
Daerah D-loop DNA mitokondria diamplifikasi dengan menggunakan primer
BIDL-F 5’-ACC CCC AAA GCT GAA GTT CT-3’ dan BIDL-R 5’-GTG CCT TGC
32
TTT GGG TTA AG-3’, dengan panjang produk 980 bp. Primer tersebut didesain
menggunakan software Primer3 (http://www-genome.wi.mit.edu/cgi-bin/ primer/
primer3_www.cgi) pada sekuens D-loop DNA mitokondria Bos indicus (sapi
Nellore) GenBank yang diakses bebas di internet (Nomor Akses AY126697,
Miretti et al. 2002) pada alamat http://www.ncbi.nlm.nih.gov/.
Tabel 1 Urutan basa dan suhu penempelan primer untuk mengamplifikasi daerahD-loop sapi penelitian
Primer Sekuens Suhu annealing Panjang produkBIDL-FBIDL-R
5’ACCCCCAAAGCTGAAGTTCT3’5’GTGCCTTGCTTTGGGTTAAG3’
59oC 980 bp
Isolasi dan Purifikasi DNA Total
Ekstraksi dan purifikasi DNA total dilakukan menurut metode Sambrook et
al. (1989) yang dikembangkan Duryadi (1997), yaitu purifikasi total genom DNA
dengan standar fenol, kloroform, iso amil alkohol (Chol-IAA) dan diikuti dengan
presipitasi etanol absolut.
Tahap pertama dilakukan pencucian sampel darah menggunakan larutan
low TE dengan pengulangan tiga kali. Sampel darah beralkohol diambil 250 µl
dan dikeringkan, dimasukkan ke dalam eppendorf 1,5 ml dan ditambahkan 500 µl
larutan low TE, selanjutnya divortex sampai merata dan disentrifus 3.000 rpm
selama 2 menit. Larutan bagian atas dibuang secara dipipet dan diulangi lagi
penambahan low TE. Selanjutnya, endapan divortex merata, divacum selama 10
menit sampai kering.
Tahap selanjutnya yaitu sampel yang telah kering ditambahkan 500 µl
larutan lysis buffer (Sukrosa 0,32 M, Triton X-100 1% w/v, MgCl2 5 mM, 1 mM
Tris-HCl pH 7,4) dan digerus dengan menggunakan tongkat kaca selama 3
menit. Setelah halus, divortex merata, disentrifugasi 6.500 rpm selama 1 menit.
Supernatan dibuang, endapannya ditambahkan 200 µl larutan rinse buffer (75
mM NaCl, 50 mM Titriplex III/EDTA ph 8,0). Divortex kembali sampai merata
dan ditambahkan 500 µl larutan digestion buffer ([STES : NaCl 200 mM, Tris-HCl
pH 9,0 50 mM, EDTA pH 8,0 100 mM, SDS 1% mg/ml, Proteinase K 0,5 mg/ml,
RNAse 0,1 mg/ml)], enzim: proteinase K 0,5 mg/ml, 25 µl RNAse atau 40 mg/ml
jika STES 9.750 ml). Divortex sesaat hingga homogen dan diinkubasi pada suhu
55oC selama semalam (±16 jam).
33
Lanjutan proses isolasi DNA, disiapkan tiga eppendorf baru yang ditandai
sama. Sampel yang telah diinkubasi dibagi dua bagian dengan volume sama
(satu bagian dimasukkan ke tube baru) secara dipipet, kemudian ke dalam
masing-masing tabung ditambahkan 500 µl larutan fenol. Selanjutnya divortex
sampai homogen dan digoyang 20 menit serta disentrifugasi 13.000 rpm selama
3 menit. Lapisan bagian atas yang bersih diambil dengan pipet dan dimasukkan
ke eppendorf baru (dari dua eppendorf dengan sampel sama dijadikan satu
kembali) dan ditambah 500 µl larutan CIAA (CHCl3 dan iso amil alkohol 1:1) serta
digoyang 20 menit dan disentrifugasi 13.000 rpm selama 3 menit. Lapisan
bagian atas yang lebih bersih dimasukkan ke eppendorf baru secara dipipet
hingga volumenya ±500 µl, kemudian ditambahkan 1.000 µl (dua kali volume)
etanol absolut dan dimiringkan 5-6 kali serta disimpan dalam freezer selama
30 menit. Selanjutnya disentrifugasi 13.000 rpm selama 5 menit, dilanjutkan
dengan pembuangan alkohol dan dicuci dengan penambahan 400 µl alkohol
70%. Setelah disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 3 menit, alkohol dibuang
dan tepung berwarna putih (DNA) pada dasar eppendorf dikeringkan dengan
arah tutupnya ke bawah. Apabila DNA telah kering, maka ditambahkan 50 µl
larutan TE (10 mM Tris-HCl pH 8,0, 1 mM EDTA pH 8,0). Sesudah itu divortex
sampai homogen, disentrifugasi pada 13.000 rpm selama ±4 detik dan diinkubasi
pada 37oC selama 15 menit serta disimpan dalam freezer sampai saat
digunakan.
Elektroforesis untuk Visualisasi DNA Hasil Isolasi
Disiapkan gel, yaitu agarose 0,6 g ditambah larutan 1xTBE 50 ml dan 50 ml
aquades steril. Setelah campuran tersebut dipanaskan sampai mendidih, suhu
diturunkan dengan cara pengadukan menggunakan stirrer dan ditambahkan
2,5 µl ethidium bromide. Selanjutnya larutan tersebut dituang ke dalam bak
cetakan gel (baki) dan dipasang sisir pembuat sumur pada dudukannya. Setelah
45 menit, sisir dilepas perlahan-lahan dan gel ditempatkan di dalam bak alat
elektroforesis dan dituang 1x buffer TBE ke dalam bak hingga sekitar 1 mm di
atas permukaan gel. Sumur gel siap digunakan (maksimal 12 sumur).
Tergantung jumlah sampel dan kapasitas sumur, diambil 1 µl loading dye
dengan pipetor dan dicampur merata dengan 5 µl sampel DNA uji di atas plastik
cling, dimasukkan ke dalam sumur gel. Apabila sumur-sumur telah terisi dengan
DNA-DNA uji, maka perangkat elektroforesis ditutup dan dihidupkan aliran listrik
34
pada tegangan 90 volt selama 30 menit. Pengamatan DNA dilakukan melalui
video copy processor model P91E CB, monitor LCD, UVI Tec. Apabila pita-pita
DNA pada gel terlihat tebal dan bersih, maka DNA tersebut tergolong bebas
kontaminasi dan berkualitas baik.
Amplifikasi Daerah D-loop DNA Mitokondria
Daerah D-loop diamplifikasi melalui Polymerase Chain Reaction (PCR).
Setiap reaksi PCR dibuat volume larutan 50 µl dengan komposisi 5 µl 10x buffer
PCR; 2,5 µl MgCl2 (25 mM); 1 µl dNTP (40 mM); 0,25 µl Taq Polymerase (5
unit/µl) (Promega PCR Core System I no.cat.M7660, Madison, WI, USA); 1 µl
primer F (20 picomol/ µl); 1 µl primer R (20 picomol/µl) (Amersham); 1-3 µl DNA
total sebagai DNA cetakan (17,44-413,51 ng/µl); dH2O (Invitrogen) sampai
volume 50 µl. Pencampuran selalu dilakukan penambahan akhir Taq DNA
Polymerase.
Kondisi PCR untuk mengamplifikasi produk PCR adalah, pra PCR:
denaturasi 94oC selama 2 menit; PCR: 94oC denaturasi 30 detik, 59oC annealing
45 detik dan 72oC elongasi 1 menit sebanyak 35 siklus; dan post PCR: ekstensi
72 oC selama 5 menit dan terakhir 4oC suhu penyimpanan.
Kualitas produk PCR diketahui dengan cara dimigrasikan pada gel agarose
1,2% dalam buffer 1xTBE tegangan 90 volt selama 45 menit. Pengamatan
dilakukan dengan bantuan video copy processor model P91E CB, monitor LCD,
UVI Tec, setelah diwarnai dengan ethidium bromide. Penunjuk ukuran produk
PCR digunakan penanda standar 100 bp DNA leader.
Penentuan Sekuens Nukleotida
Penentuan sekuens nukleotida daerah D-loop dilakukan di Laboratorium
Molekuler DNA PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk. Tabung eppendorf berisi
produk PCR dibawa ke Laboratorium tersebut dalam kondisi dingin dengan
memasukkannya ke dalam kotak es berpendingin ice pack.
Sampel produk PCR dimurnikan dengan menggunakan QIA-Quick PCR
Purification Kit (Qiagen). Sampel produk PCR yang telah dipurifikasi diukur
konsentrasinya menggunakan spektrofotometer (UV-VIS Spectrophotometer-
Shimizu) pada =260 nm. Selanjutnya dipergunakan sebagai template untuk
reaksi penentuan runutan nukleotida.
35
Produk PCR diamplifikasi dengan menggunakan BigDye Terminator v.3.1
Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems, USA) dalam mesin PCR. Peng-
gunaan primer dan siklus sekuensing sama seperti untuk PCR normal. Kondisi
untuk reaksi penentuan sekuens adalah denaturasi 94oC selama 2 menit;
selanjutnya denaturasi 94oC selama 30 detik, 59oC annealing 45 detik, dan 72oC
elongasi 1 menit sebanyak 35 siklus; dan diakhiri ekstensi 72oC selama 5 menit.
Kelebihan dari bahan reaksi BigDye Terminator dan primer dibuang dari produk
siklus sekuensing berdasarkan petunjuk penggunaan pada ABI Prism 3100-
Avant Genetic Analyzer, yaitu dengan tahapan: sebanyak 20 µl produk,
ditambahkan 5 µl EDTA 125 mM dan 60 µl alkohol absolut. Tabung digoyang-
goyangkan beberapa kali, diinkubasi pada suhu kamar selama 15 menit. Selan-
jutnya, disentrifugasi 6000 rpm pada suhu 4oC selama 30 menit. Supernatan
dibuang dan ditambahkan 60 µl alkohol 70%, disentrifugasi 4500 rpm pada suhu
4oC selama 15 menit dan supernatan dibuang. Pada tahap berikut diulangi
penambahan alkohol 70% sebanyak 60 µl dan disentrifugasi 4500 rpm pada
suhu 4oC selama 15 menit. Tabung dikeringkan dalam alat penguapan selama 2
menit dan ditambahkan 10 µl Hi-di Formamide. Selanjutnya didenaturasi pada
suhu 95oC selama 4 menit dan segera ditempatkan di atas es selama 5 menit.
Analisis sekuensing DNA menggunakan ABI Prism 3100-Avant Genetic
Analyzer. Sebanyak 10 µl produk-produk PCR yang telah dipurifikasi dan
didenaturasi dalam siklus sekuensing dimasukkan ke dalam satu plate yang
mempunyai 96 sumur. Dibuat plate rekaman di dalam program software koleksi
sekuensing. Mesin sekunser dijalankan sampai electropherogram menunjukkan
bahwa semua fragmen DNA mengalir sepanjang kapiler array dan dideteksi
dengan pendeteksi laser. Electropherogram akan muncul dan kini tersedia bagi
analisis bioinforrnatika.
Analisis Data
Pensejajaran runutan basa nukleotida D-loop dilakukan dengan
menggunakan software Squint Alignment Editor versi 1.02 dari situs
Bioinformatics Institute pada alamat www.Bioinformatics.org.nz dan software
program MEGA versi 4.0 Beta Release (Tamura et al. 2007). Hasil analisis
program MEGA diperoleh matriks jarak genetik (D) 2 parameter Kimura
berdasarkan persamaan basa nukleotida, dan pohon filogeni digunakan metode
bootstrapped Neighbor-Joining dengan 1000 kali pengulangan.
36
DNA Mikrosatelit
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian DNA untuk genotiping mikrosatelit dilakukan mulai tanggal 24
April sampai dengan 14 Juni 2007 di Laboratorium Molekuler dan Genetik
Husdjursgenetik SLU, Uppsala, Swedia.
Pengambilan sampel darah sapi bersamaan dengan pengambilan sampel
darah untuk analisis D-loop mtDNA. Empatpuluh sampel darah sapi Aceh
dikoleksi dari masing-masing lokasi yaitu Kabupaten Aceh Besar (10 jantan, 30
betina); Kota Banda Aceh (11 jantan, 26 betina); Kabupaten Pidie (15 jantan, 25
betina); dan Kabupaten Aceh Utara (25 jantan, 15 betina), sehingga keseluruhan
sebanyak 160 sampel (Gambar 5 dan Lampiran 3).
Sampel pembanding dikoleksi 10 sampel darah sapi Bali dari P3Bali (Pulau
Bali); dua sampel darah sapi Madura dari Desa Kambingan Timur, Kecamatan
Saronggi, Kabupaten Sumenep, Pulau Madura; dua sampel darah sapi PO dari
Laboratorium Ternak Potong dan Kerja, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor; dan dua sampel darah sapi Pesisir dari Desa Sungai Liku, Kecamatan
Ranah Pasir, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Gambar 5 dan
Lampiran 4).
Gambar 5 Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh dan sapi outgroup untukanalisis DNA mikrosatelit
Sumatera Barat
Jawa Barat
Bali
MaduraAceh UtaraPidie
Banda AcehAceh Besar
37
Isolasi, ekstraksi dan purifikasi DNA total dilakukan bersamaan pada saat
isolasi DNA total untuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria di Laboratorium
Biologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi
(PPSHB), Institut Pertanian Bogor.
Pelaksanaan Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah sapi dilakukan dengan menggunakan venojact
(none) 5 ml pada vena jugularis dan dimasukkan ke dalam tabung centrifuge
14 ml yang berisi alkohol absolut sebagai pengawet dengan perbandingan 1:1.
Semua tabung berisi sampel darah disimpan pada suhu kamar dan dibawa ke
Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi (PPSHB), Institut Pertanian Bogor dengan cara dimasukkan ke
dalam kotak es (ice box).
Bahan-bahan dan Peralatan
Bahan pereaksi untuk PCR digunakan dari Applied Biosystems, Taq
polymerase Gold, Buffer tanpa MgCl2, 20 mM dNTP, 20 mM MgCl2, primer M13
oligo (20 mM M13 FAM, 20 mM M13 PET, 20 mM M13 NED, 20 mM M13 VIC),
20 µM primer F dan R.
Mesin untuk menghitung konsentrasi DNA digunakan NanoDrop ND 1000
Spectrophotometer. Mesin PCR digunakan GeneAmp PCR System 9700 Applied
Biosystems. Mesin genotiping mikrosatelit digunakan ABI Applied Biosystems
HITACHI 3100 Genetic Analyzer dan mesin untuk denaturasi produk PCR
sebelum masuk mesin genotiping digunakan DNA Engine Gradient Cycler, MJ
Research PTC 200 Peltier Thermal Cycler.
Primer Mikrosatelit
Penelitian ini menggunakan 16 lokus mikrosatelit sebagai penanda
molekul. Penanda-penanda dipilih berdasarkan yang direkomendasikan dalam
Bishop et al. (1994), Vaiman et al. (1994) dan Sodhi et al. (2006) karena dapat
menunjukkan polimorfisme pada sapi. Polimorfisme masing-masing lokus
mikrosatelit diungkapkan dengan menggunakan sepasang primer mikrosatelit
sapi. Primer mikrosatelit tersebut adalah BM1818, INRA005, CSRM60, BM2113,
HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225, ETH10, CSSM66,
BM1824, ILSTS006 dan ILSTS005 (Lampiran 15).
38
Amplifikasi Lokus Mikrosatelit
Mikrosatelit diamplifikasi melalui Polymerase Chain Reaction (PCR). Setiap
reaksi PCR dibuat volume 10 µl dengan komposisi reaksi PCR mengandung 1 µl
1x buffer PCR; 1 µl MgCl2 (20 mM); 0,2 µl dNTP (20 mM); 0,1 µl primer F (20
µM); 0,5 µl primer R (20 µM); 0,5 µl primer M13 oligo (FAM, VIC, PET atau NED);
0,2 µl Taq Polymerase (0,25 U) (ABI Applied Biosystems); 4,5 µl dH2O; dan 2 µl
DNA (5 ng/µl). Pencampuran selalu dilakukan penambahan akhir Taq DNA
Polymerase.
Langkah denaturasi pada suhu 95oC selama 10 menit dilanjutkan dengan
14 siklus langkah denaturasi pada suhu 95oC selama 30 detik, 30 detik annealing
65-52 oC (-1oC/siklus) hingga tercapai temperatur primer yang optimal
‘touchdown cycle profile’, dan langkah elongasi pada suhu 72oC selama 30 detik.
Amplifikasi terakhir terdiri atas 30 siklus langkah denaturasi pada suhu 95oC
selama 30 detik; 30 detik annealing pada suhu primer optimal 52oC; 30 detik
elongasi pada suhu 72oC kemudian dilanjutkan dengan 7 menit langkah ekstensi
akhir pada suhu 72oC dan suhu penyimpanan 4oC.
Elektroforesis Produk PCR
Disiapkan plate yang mempunyai 96 sumur dan dimasukkan 12 µl dari
campuran 25 µl LIZ Size Standard 500 bp dan 1200 µl Hi-di Formamide
(tergantung jumlah sampel) pada setiap sumur. Produk PCR 1 µl masing-masing
sampel dimasukkan ke dalam sumur yang telah berisi campuran LIZ Size
Standard dan Hi-di Formamide (12 µl). Plate ditutup dengan grey rubber-lid dan
didenaturasi pada suhu 95 oC selama 4 menit. Plate kemudian diapit dengan
tray spesifik hitam pada bagian bawah dan tray spesifik putih pada bagian atas
yang akan ditempatkan di dalam mesin ABI 3100. Ada dua tempat yang dapat
ditempatkan di dalam mesin tersebut. Software mesin dijalankan sebelum
dihidupkan mesin. Apabila semua fitur program menunjukkan tanda hijau, maka
dapat dimulai impor sample sheet untuk Plate Manager sebagai tempat muncul
electropherogram. Plate sampel dimasukkan, yaitu ditempatkan di dalam mesin
pada posisi A, dan apabila ada dua plate maka plate terakhir pada posisi B.
Selanjutnya mesin siap dijalankan selama ±4 jam dan mesin akan menunjukkan
tanda completed jika proses genotiping telah selesai.
Hasil elektroforesis mesin ABI dapat dilihat dan dianalisis dengan software
GeneMapper versi 4.0 setelah melalui proses elektroforesis dalam mesin Applied
39
Biosystems HITACHI 3100 Genetic Analyzer dengan ladder LIZ size Standard
500 bp. Software pada layar monitor akan menunjukkan peak dalam bentuk
grafik-grafik dengan panjang tertentu dalam base pairs (bp) pada masing-masing
sampel, dan ini menunjukkan alel-alel mikrosatelit dalam bentuk ukuran tertentu.
Alel homozigot dan heterozigot ditentukan berdasarkan variasi ukuran-ukuran
grafik yang ditunjukkan program tersebut. Tampilan grafik yang konsisten satu
peak menunjukkan sampel teramplifikasi memiliki satu alel (homozigot), dan
sampel yang memiliki dua peak menunjukkan dua alel (heterozigot). Apabila ada
tampilan grafik sibuk yang tidak beraturan, ini menandakan hasil yang kosong,
dan apabila diperoleh tanda sinyal yang lebih dari dua grafik, maka sampel
tersebut tercemar dengan DNA yang lain dan tidak digunakan.
Angka pada ordinat X-axis merupakan ukuran alel dalam pasang basa
(basepairs) dan angka pada ordinat Y-axis merupakan sinyal warna (label/dye)
yang menunjukkan ketinggian puncak-puncak (peak) yaitu intensitas fluoresen
dan menunjukkan konsentrasi hasil amplifikasi (Gambar 6).
Analisis Data
Analisis data alel dilakukan dengan menggunakan software GeneMapper
versi 4.0 (Applied Biosystems) dan hasil-hasil yang diperoleh dimasukkan ke
dalam tabulasi data sheet Excel. Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan program Arlequin versi 3.11 (Excoffier et al. 2006) yang
didownload pada alamat: http://cmpg.unibe.ch/software/arlequin3 berdasarkan
petunjuk Krafsur et al. (2005), dukungan program Minitab versi 4.13 (Moore
2004) dan data sheet Excel 2007. Frekuensi-frekuensi alel, heterozigositas yang
dihitung secara langsung dan heterozigositas harapan Hardy-Weinberg dihitung
untuk masing-masing penanda sapi penelitian berbasis data frekuensi. Frekuensi
alel setiap lokus mikrosatelit dihitung dengan rumus Nei (Nei 1987; Nei dan
Kumar 2000).
Heterozigositas hitung (observed) diperoleh dari persamaan berikut:
H = )2/()1(2 2 nxni
i
dengan xi merupakan jumlah masing-masing heterozigot pada lokus i; n adalah
jumlah individu yang teramati.
40
Gambar 6 Sinyal fluoresen yang dihasilkan mesin ABI Prism 3100 DNA Analyzer(Applied Biosystems) yang menunjukkan hasil amplifikasi DNAmikrosatelit dengan menggunakan marker BM1818
Heterozigositas harapan (expected) Hardy-Weinberg diperoleh dari
frekuensi-frekuensi alel yang teramati:
)1(1
ˆ1
2
k
i
Pin
nH
dengan n adalah jumlah kopi gen di dalam sampel, k adalah jumlah haplotipe,
dan pi adalah frekuensi sampel dari haplotipe ke-i. (Nei 1987; Excoffier et al.
2006).
Keseimbangan Hardy-Weinberg dievaluasi dengan uji indeks Garza-
Williamson (Garza dan Williamson 2001) dalam paket Arlequin, dengan
menggunakan persamaan statistika G-W:
G-W = k / R+1
41
dengan k adalah jumlah alel yang terdapat pada lokus dalam populasi sampel
dan R adalah selisih ukuran alel maksimum dan minimum. Apabila hasil
pengujian antara nilai heterozigositas hitung (observed) dan heterozigositas
harapan (expected) menunjukkan nilai P (probabilitas) < 5%, maka berbeda
nyata, artinya dalam populasi sudah tidak lagi terjadi keseimbangan Hardy-
Weinberg.
Jarak genetik standar Nei (Ds) digunakan rumus Nei (1987) dengan
hitungan dari nilai heterozigositas yang diperoleh dari frekuensi-frekuensi alel.
JyyJxxJxyDs
.ln ;
r
j
mj
iij rxJxx /2 ;
r
j
mj
iij ryJyy /2 ; ryxJxy
r
j
mj
iijij /
dengan Jxx adalah rataan diversitas seluruh lokus dalam populasi x, Jyy adalah
rataan diversitas seluruh lokus dalam populasi y, Jxy adalah rataan jumlah hasil
kali frekuensi populasi x dan y seluruh lokus, xij adalah frekuensi alel ke-i lokus
ke-j populasi x, yij frekuensi alel ke-i lokus ke-j populasi y, i = alel ke-n, mj =
jumlah alel lokus ke-j, dan j = lokus ke-n. Perhitungan jarak genetik dilakukan
dengan menggunakan Arlequin.
Data matriks jarak genetik hasil Arlequin selanjutnya digunakan untuk
membuat pohon filogeni dengan menggunakan metode Neighbor-Joining dalam
software program Phylip (phylogeny Inference Package) versi 3.67 dengan
aplikasi Neighbor.exe dari petunjuk Felsenstein (2007), hasilnya berbentuk file
outtree. Pembacaan dan pengaturan file outtree hasil dari analisis program
tersebut digunakan software program MEGA versi 4.0 Beta Release (Tamura et
al. 2007) dengan pilihan Root on Midpoint di submenu View, yaitu mengikuti
pengaturan secara otomat pada pohon filogeni dari hasil analisis daerah D-loop
DNA mitokondria.
42
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Lapang
Profil Peternak
Sapi Aceh umumnya ditangani oleh masyarakat pedesaan dengan sistem
tradisional, yaitu peran alam masih dominan, skala usaha kecil, pengadaan bibit,
pemberian pakan, pemeliharaan dan perkandangan masih mengikuti cara-cara
lama secara turun-temurun. Pengobatan ternak sakit dilakukan sendiri kecuali
jika sapi sakit berlanjut, maka akan diupah tenaga kesehatan hewan untuk
mengobatinya. Kandang sederhana beratap rumbia dengan dinding dari bahan
kayu atau daun kelapa umumnya dibangun di dalam pekarangan rumah atau
kebun milik peternak. Pada saat menjelang malam tiba, peternak membuat
perapian sampai mengeluarkan asap di dalam kandang sapi untuk mengusir
nyamuk dan memberi kehangatan bagi ternak sapinya. Sebelum diberlakukan
Operasi Jaring Merah di Aceh pada tahun 1990, apabila dilakukan perjalanan
darat di malam hari dari Banda Aceh melalui bagian timur Aceh menuju
perbatasan dengan Sumatera Utara, maka akan ditemui sapi Aceh beristirahat
sepanjang jalan negara lintas Sumatera (karena kondisi badan jalan beraspal
yang hangat dipanasi sinar matahari pada siang hari). Pemeliharaan sapi masih
merupakan usaha sampingan selain sebagai petani sawah dan ada juga
peternak merangkap pedagang atau tukang dalam jumlah kecil. Tenaga kerja
untuk memelihara sapi berasal dari keluarga. Walaupun demikian, dari
pemeliharaan sapi tersebut (low input) telah menambah pendapatan bagi
peternak untuk biaya sekolah anak dan kesehatan. Bahkan beberapa peternak
dapat membangun rumah serta menunaikan ibadah haji dari hasil beternak sapi
Aceh. Selain sebagai sumber pendapatan dan tabungan keluarga, motivasi
beternak dilakukan juga sebagai sumber tenaga kerja untuk mengolah lahan
pertanian (menarik bajak) dan alat transportasi (pedati) untuk mengangkut
barang material. Namun sekarang, tujuan pemeliharaan sapi Aceh sebagai
tenaga kerja semakin jarang dijumpai karena semakin banyak tenaga sapi
digantikan dengan menggunakan tenaga mesin.
Kepemilikan sapi di Aceh umumnya merupakan warisan keluarga secara
turun-temurun, pembelian atau milik orang lain. Ada aturan bagi hasil dalam
usaha pemeliharaan sapi di Aceh. Apabila sapi yang dipelihara merupakan sapi
betina milik orang lain untuk menghasilkan anak, maka anak sapi yang lahir
43
pertama dihargakan satu bagian (0,25%) bagi pemilik modal dan tiga bagian
(0,75%) untuk pemelihara sapi, dan anak yang lahir berikutnya dibagi dua bagian
dengan perbandingan 1:1. Apabila sapi jantan milik orang lain yang dipelihara
untuk digemukkan, maka perjanjian dari hasil penjualan sapi, labanya dibagi dua
bagian yang sama yaitu, separuh (50%) untuk pemilik modal dan separuhnya lagi
(50%) untuk pemelihara sapi.
Masyarakat peternak yang memelihara sapi Aceh di Nanggroe Aceh
Darussalam mempunyai kisaran umur 23-59 tahun dengan pengalaman beternak
antara 3-35 tahun. Pendidikan para peternak adalah 43,7% setingkat Sekolah
Dasar, 28,5% setingkat Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama, 18,5%
setingkat Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas dan 9,3% sarjana (Tabel 2).
Tabel 2 Profil peternak sapi Aceh
Karakteristik Peternak sapi AcehUmur rata-rata (tahun) 23-59Pengalaman beternak (tahun) 3-35Jenis kelamin (%)- Laki-laki 95- Perempuan 5Pendidikan peternak (%)- SD 43,70- SLTP 28,50- SLTA 18,50- Sarjana 9,30Jumlah sapi peliharaan (%) 5,00- ≤2 ekor 50,00- Antara 3-5 ekor 46,25- > 5 ekor 3,75Pemelihara sapi (%)- Betina 51,25- Jantan 28,75- Jantan dan betina 20,00
Jumlah sapi yang dipelihara peternak di Aceh, terbanyak yaitu memelihara
dua ekor sapi (50%) dan ada pula yang memelihara 3-5 ekor atau lebih dengan
persentase yang semakin kecil. Peternak yang memelihara sapi Aceh betina
merupakan jumlah yang terbanyak dijumpai yaitu sebesar 51,25%, dan yang
memelihara sapi jantan ialah 28,75% serta peternak yang memelihara sapi
jantan dan betina ialah 20%.
Pemeliharaan sapi di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh,
umumnya dilakukan dengan cara mengikat sapi di lapangan rumput atau lahan
44
sawah dan ditemui juga sapi-sapi yang digembalakan. Para peternak di daerah
Seulimum, Jantho dan sekitarnya yang bertempat tinggal dekat bukit,
mengembalakan sapi-sapinya sampai ke kaki pegunungan bukit barisan.
Namun, sapi jantan umumnya digemukkan dalam kandang secara semi-intensif
(kereman), yaitu dilakukan pemeliharaan sapi di dalam kandang dalam jangka
waktu tertentu (beberapa bulan atau tahunan) terus-menerus sesuai keinginan
peternak, pemilik modal atau permintaan pasar. Sapi diberikan pakan rumput
lapangan, rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput raja (Pennisetum
purpupoides) serta batang pisang. Kadang-kadang diberikan garam dapur untuk
menambah nafsu makan. Pada saat-saat tertentu (2-4 minggu sekali) sapi
dikeluarkan dari kandangnya untuk dimandikan serta olah raga. Sapi yang
dimasukkan ke kandang penggemukan biasanya telah berumur minimal 1 tahun
(telah berganti gigi seri satu pasang) atau ukuran tubuh dan taksiran bobot badan
sapi sesuai dengan keinginan peternak. Sapi untuk penggemukan dapat berasal
dari pembesaran anak sapi jantan yang dilahirkan sapi induk peliharaannya, sapi
bakalan yang dibeli dari luar atau titipan orang lain melalui perjanjian bagi hasil.
Permintaan terhadap sapi jantan yang telah digemukkan cenderung meningkat
menjelang hari raya keagamaan di Aceh. Umumnya, peternak menjual sapi hasil
penggemukan kepada pedagang pengumpul ternak (bahasa Aceh mugéé) atau
ke pasar hewan. Hasil yang diterima dari usaha penggemukan sapi jantan relatif
lebih cepat dan lebih tinggi harganya dibanding dengan pemeliharaan sapi
betina. Jumlah keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan sapi yang
digemukkan bergantung pada ukuran dan taksiran pertambahan bobot badan
yang dicapai dalam proses penggemukan, lama penggemukan, harga daging
serta penampilan tubuh sapi (warna, bentuk dan kondisi tubuh serta tebal
tipisnya penumpukan daging). Disamping itu, dalam usaha penggemukan sapi,
peternak mendapat keuntungan tambahan dari hasil penjualan pupuk kandang
kepada pengusaha tanaman hias dan petani hortikultura.
Pada sistem penggemukan sapi di Aceh, ada rutinitas pemeliharaan sapi
yang dilakukan menyangkut pemberian pakan berkualitas, membersihkan
kandang, pengawasan, pengobatan dan penyediaan bakalan baru dengan
segera apabila sapi hasil penggemukan sudah terjual. Umumnya, keadaan
kandang untuk sapi penggemukan tertutup rapat dan lebih baik dibanding
dengan kandang bagi pemeliharaan sapi betina.
45
Pemeliharaan sapi di Kabupaten Pidie dan Aceh Utara, hampir seluruh sapi
dilepas pada pagi hari ke lapangan-lapangan rumput atau sawah-sawah yang
baru dipanen dan sapi-sapi tersebut membentuk beberapa kelompok. Pemberian
pakan untuk sapi Aceh pada saat musim tanam dan musim kemarau hanya
mengandalkan jerami padi dan sangat sedikit diberikan rumput segar bahkan
rumput kering. Setiap peternak memiliki gubuk tempat penyimpanan jerami padi
(bahasa Aceh beurandang jumpung) di dekat rumahnya.
Penggemukan sapi Aceh jantan terintegrasi dengan kebun sawit dilakukan
oleh peternak di Cót Girek, Kabupaten Aceh Utara. Sapi-sapi dilepas
digembalakan sepanjang hari dalam areal kebun sawit yang luas. Kandang-
kandang sapi dibangun dekat pemukiman penduduk. Pada sore hari, sapi
peliharaan kembali ke kandang dan mendapat tambahan pakan rumput gajah
(Pennisetum purpureum) yang telah disediakan pemiliknya di kandang masing-
masing. Penampilan sapi-sapi penggemukan tersebut cukup baik dan dalam
waktu singkat sangat bernilai ekonomis untuk dijual.
Ukuran-ukuran Tubuh
Rataan ukuran tubuh sapi Aceh yang diukur meliputi lingkar dada, lebar
dada, dalam dada, tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar pinggul, panjang badan,
lingkar paha, panjang ekor, lebar ekor, panjang kepala, lebar kepala, panjang
tanduk dan penimbangan bobot badan yang dikelompokkan menurut umur dan
jenis kelamin berbeda, tertera dalam Tabel 3 dan Tabel 4.
Nilai taksiran bobot badan sapi Aceh diperoleh dari rumus lingkar dada dan
panjang badan (bagian metodologi). Rataan bobot badan sapi Aceh dewasa
jantan berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan sapi Aceh dewasa betina yaitu
masing-masing sebesar 176,05 kg dan 158,26 kg. Pertambahan umur sapi,
meningkatkan bobot badan secara sangat nyata (P<0,01) (Tabel 3 dan 4).
Rataan lingkar dada sapi dewasa jantan (135,25 cm) berbeda sangat nyata
(P<0,01) dengan sapi betina (128,52 cm). Demikian juga lebar dada sapi dewasa
jantan (27,00 cm) berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan sapi betina (24,21 cm).
Dalam dada sapi dewasa jantan (48,10 cm) berbeda nyata (P<0,05) dengan sapi
betina (45,25 cm). Bertambah umur sapi, lingkar dada, lebar dada dan dalam
dada meningkat secara sangat nyata (P<0,01).
46
Tabel 3 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh jantan dengan menggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan
Kelompok umur (tahun)1 2 3 4No.
UkuranTubuh
n x s KK (%) n x s KK (%) n x s KK (%) n x s KK (%)1 Li_Da 85 118,65 8,30 7,00 23 128,30 8,25 6,43 14 133,29 6,00 4,50 8 138,69 2,28 1,642 Pa_Ba 86 93,42 8,03 8,59 23 99,76 5,98 5,99 14 101,29 5,18 5,11 8 107,69 5,68 5,273 BB 85 123,34 25,38 20,58 23 153,17 25,58 16,70 14 167,06 19,72 11,80 8 191,78 12,18 6,354 Le_Da 86 23,26 5,42 23,32 23 24,59 3,00 12,18 14 26,29 3,79 14,42 8 28,25 2,65 9,375 Da_Da 86 41,20 7,36 17,85 23 44,41 3,33 7,50 14 47,29 4,03 8,52 8 49,50 3,08 6,226 Ti_Pu 86 93,77 5,82 6,21 23 97,83 4,96 5,07 14 99,18 5,04 5,08 8 105,56 4,76 4,517 Ti_Pi 86 97,70 6,31 6,46 23 103,07 6,87 6,67 14 105,86 4,06 3,84 8 110,25 4,42 4,018 Le_Pi 86 25,22 5,93 23,51 23 26,67 5,42 20,32 14 29,75 4,31 14,49 8 32,06 3,16 9,869 Li_Pa 84 42,97 5,32 12,38 23 47,35 6,70 14,15 14 46,89 6,98 14,89 8 52,88 8,49 16,0610 Pa_Ek 84 66,60 9,18 13,78 22 70,05 5,21 7,44 14 74,79 6,60 8,82 8 80,31 5,30 6,6011 Le_Ek 85 5,09 0,68 13,44 23 5,71 0,69 12,14 14 5,30 0,77 14,58 8 5,81 0,76 13,1412 Pa_Ke 85 35,97 3,37 9,36 23 38,63 2,31 5,97 14 39,57 1,54 3,90 8 40,63 1,79 4,4013 Le_Ke 85 17,57 1,54 8,74 23 18,22 1,10 6,02 14 18,61 1,15 6,16 8 19,75 1,36 6,9014 Pa_Ta 86 4,69 3,52 75,00 23 7,63 4,58 60,00 14 10,36 4,70 45,37 8 15,19 5,78 38,05
Keterangan : BB = bobot badan (kg), Li_Da = lingkar dada (cm), Le_Da = lebar dada (cm), Da_Da = dalam dada (cm), Ti_Pu = tinggi pundak (cm), Ti_Pi =tinggi pinggul (cm), Le_Pi = lebar pinggul (cm), Pa_Ba = panjang badan (cm), Li_Pa = lingkar paha (cm), Pa_Ek = panjang ekor (cm),Le_Ek = lebar ekor (cm), Pa_Ke = panjang kepala (cm), Le_Ke = lebar kepala (cm), Pa_Ta = panjang tanduk (cm); n = jumlah sampel; x =rataan sifat; s = simpangan baku; KK = koefisien keragaman
47
Tabel 4 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh betina dengan menggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan
Kelompok umur (tahun)1 2 3 4No.
UkuranTubuh
n x s KK (%) n x s KK (%) n x s KK (%) n x s KK (%)1 Pa_Ba 61 92,01 7,61 8,27 34 98,59 6,10 6,19 37 99,04 6,33 6,39 137 103,95 6,98 6,712 Li_Da 59 116,19 8,94 7,69 34 124,69 6,47 5,19 37 126,41 8,12 6,42 137 129,09 6,62 5,133 BB 59 116,70 25,83 22,13 34 142,54 19,56 13,72 37 147,42 22,9 15,53 137 161,19 23,28 14,444 Le_Da 61 20,66 3,80 18,42 34 22,68 4,36 19,24 37 23,18 3,24 13,99 137 24,49 3,99 16,285 Da_Da 61 39,48 6,89 17,46 34 42,46 5,90 13,90 37 43,68 5,79 13,26 137 45,68 5,90 12,916 Ti_Pu 61 92,78 6,51 7,01 34 96,10 4,23 4,40 37 98,69 4,13 4,18 137 99,32 4,59 4,627 Ti_Pi 61 96,78 6,38 6,59 34 101,66 3,45 3,39 37 103,14 4,54 4,40 137 103,85 4,25 4,098 Le_Pi 61 24,82 3,85 15,49 34 27,12 3,98 14,67 37 28,41 4,06 14,30 137 30,07 3,84 12,789 Li_Pa 59 42,48 6,96 16,38 32 45,02 6,17 13,71 33 45,83 6,55 14,29 130 46,00 5,98 13,0010 Pa_Ek 60 64,93 4,80 7,40 34 68,46 5,25 7,66 36 71,11 7,75 10,90 134 73,96 6,76 9,1411 Le_Ek 61 4,95 0,62 12,42 34 5,16 0,62 11,93 36 5,31 0,60 11,23 136 5,42 0,59 10,8112 Pa_Ke 60 35,09 3,21 9,16 34 37,16 1,73 4,66 37 38,61 1,99 5,15 137 38,89 2,44 6,2713 Le_Ke 60 16,46 1,45 8,83 34 17,04 1,52 8,91 37 17,32 1,73 10,00 137 18,10 1,57 8,6714 Pa_Ta 60 2,46 2,60 105,82 34 4,97 3,92 78,82 37 9,30 6,80 73,12 137 12,41 6,98 56,25
Keterangan : BB = bobot badan (kg), Li_Da = lingkar dada (cm), Le_Da = lebar dada (cm), Da_Da = dalam dada (cm), Ti_Pu = tinggi pundak (cm), Ti_Pi =tinggi pinggul (cm), Le_Pi = lebar pinggul (cm), Pa_Ba = panjang badan (cm), Li_Pa = lingkar paha (cm), Pa_Ek = panjang ekor (cm),Le_Ek = lebar ekor (cm), Pa_Ke = panjang kepala (cm), Le_Ke = lebar kepala (cm), Pa_Ta = panjang tanduk (cm); n = jumlah sampel; x =rataan sifat; s = simpangan baku; KK = koefisien keragaman
48
Rataan Tinggi pundak sapi Aceh dewasa jantan lebih tinggi (P<0,05)
dibanding sapi dewasa betina, masing-masing 101,50 cm dan 99,19 cm, dan
rataan tinggi pinggul sapi dewasa jantan (107,45 cm) nyata lebih tinggi (P<0,01)
dibanding sapi betina dewasa (103,70 cm). Tinggi pundak dan tinggi pinggul
meningkat sangat nyata dengan meningkatnya umur. Namun, rataan lebar
pinggul sapi dewasa jantan (30,60 cm) relatif sama (P>0,05) dengan sapi betina
(29,72 cm).
Rataan panjang badan sapi dewasa jantan (103,61 cm) hampir sama
(P>0,05) dibanding sapi dewasa betina (102,91 cm). Pertambahan umur sapi,
meningkatkan panjang badan sangat nyata (P<0,01).
Rataan lingkar paha sapi dewasa jantan (49,07 cm) lebih besar (P<0,05)
dibanding dengan lingkar paha sapi dewasa betina (45,97 cm). Lingkar paha
meningkat sangat nyata (P<0,01) dengan bertambahnya umur sapi.
Rataan panjang ekor sapi dewasa jantan (76,80 cm) berbeda nyata
(P<0,05) dengan sapi betina (73,36 cm), tetapi lebar ekor sapi jantan (5,49 cm)
relatif sama dengan sapi betina (5,39 cm).
Rataan panjang kepala sapi dewasa jantan relatif sama dengan sapi betina
(39,96 cm dan 38,83 cm). Demikian juga rataan panjang tanduk sapi dewasa
jantan (12,11 cm) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan sapi betina (11,75 cm).
Namun demikian, lebar kepala sapi dewasa jantan (19,02 cm) lebih besar
(P<0,05) dibandingkan dengan sapi betina (17,93 cm).
Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan Merkens pada tahun
1926, yaitu sapi Aceh jantan (n= 3 ekor) mempunyai rataan tinggi pundak 115,5
cm; tinggi pinggul 115,0 cm; panjang badan 126,0 cm; lebar dada 35,5 cm; lebar
pinggul 42,2 cm; dalam dada 62,8 cm; dan lingkar dada 160,8 cm. Nilai taksiran
rataan bobot badan (dengan menggunakan rumus lingkar dada dan panjang
badan) sapi Aceh dari data tersebut di atas yaitu 301,55 kg. Jika dibandingkan
hasil penelitian ini dengan laporan tersebut, maka sapi Aceh telah mengalami
penurunan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh (Gambar 7). Keadaan ini
dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Pertama, bekerjanya seleksi alam
terhadap gen-gen pada sapi Aceh dalam merespons perubahan kondisi
lingkungan. Tekanan penduduk dan industri yang semakin besar terhadap lahan
produktif sehingga menggeser ternak sapi dari lahan tersebut ke lahan yang
kurang produktif bahkan ke lahan kritis. Dugaan ini telah dibuktikan melalui
pemodelan kelenturan fenotipik pada hewan percobaan mencit (Mus musculus)
49
oleh Abdullah et al. (2005) bahwa, mencit liar yang telah teradaptasi lingkungan
dengan segala perubahan yang ada mempunyai gen pengatur daya produksi
dan reproduksi yang lebih unggul terhadap stres lingkungan dibanding mencit
laboratorium. Diduga gen ini juga dimiliki oleh ternak ruminansia besar termasuk
sapi.
020406080
100120140160180
Ti_Pu Ti_Pi Pa_Ba Le_ Da Da_Da Le_ Pi Li_Da
(cm
)
Ukuran tubuh1926*2008
Gambar 7 Perbedaan ukuran-ukuran tubuh sapi Aceh pada tahun berbeda(Sumber: *Merkens 1926)
Kemungkinan kedua yaitu diduga telah terjadi seleksi negatif dalam
populasi sapi ini. Sapi-sapi berukuran besar terkuras melalui pemotongan dan
pengeluaran tanpa ada usaha pencegahan mempertahankan sapi-sapi tersebut,
sehingga hanya sapi-sapi berukuran kecil yang tetap berada dalam populasi dan
mendapat kesempatan berkembang biak. Kemungkinan ketiga, telah terjadi
erosi genetik sapi Aceh disebabkan oleh eksploitasi yang tidak terstruktur yang
dilakukan belakangan ini, yaitu menyilang-nyilangkan ternak tanpa undang-
undang, biosekuriti, identifikasi, monitoring, evaluasi dan kontrol. Hal tersebut
telah menyebabkan banyak peternak yang tertarik menyilangkan ternak sapinya,
sehingga populasi sapi Aceh semakin berkurang yang pada gilirannya peternak
sapi Aceh semakin sulit mendapatkan pejantan Aceh murni. Dengan demikian,
terjadilah inbreeding akibat terbatasnya pejantan berukuran besar yang berakibat
pada turunannya yang kerdil dan dijumpai kasus sapi Aceh yang sulit beranak.
Apabila dibandingkan dengan sapi-sapi lokal lain berdasarkan literatur
terdahulu, maka sapi Aceh termasuk tipe sapi berukuran kecil. Namun, secara
umum bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sapi Aceh cenderung lebih tinggi
dibanding bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sapi Pesisir di Sumatera Barat,
50
terutama untuk sapi-sapi Aceh di bagian Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh
Besar, Pidie dan Aceh Utara. Bobot badan sapi-sapi Aceh pada semua tingkat
umur lebih rendah daripada bobot badan sapi-sapi Bali, Madura dan PO pada
tingkat umur yang sama. Demikian juga dengan semua ukuran tubuh sapi Aceh
lebih rendah dari ukuran-ukuran tubuh sapi-sapi lokal tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa, secara fenotipik terdapat perbedaan antara sapi Aceh
terhadap sapi Bali, Madura dan PO (Tabel 5).
Berdasarkan ukuran tubuh, Otsuka et al. (1980) menyatakan bahwa sapi
Madura betina agak lebih besar dibanding dengan sapi Aceh dan Padang (sapi
Sumatera), namun lebih kecil dibanding dengan sapi Bali. Berdasarkan sifat
karakteristik kepalanya, Hayashi et al. (1980) menyimpulkan bahwa derajat
uniformitas bagian-bagian tulang tengkorak (lebar, tinggi dan panjang) sapi Aceh
secara signifikan lebih rendah dibanding sapi Bali. Sapi Madura, menunjukkan
karakteristik bagian-bagian tengkorak yang berada di antara sapi Aceh dan sapi
Bali dengan derajat uniformitas yang rendah seperti sapi Aceh.
Tabel 5 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi-sapi jantan lokal pada umurdewasa
Bangsa sapiSifat Aceh Bali1 Madura1 PO1 Pesisir2
Lingkar dada, cm 138,69 176,71 154,56 160,37 131,43Lebar dada, cm 28,25 44,27 41,61 44,28 25,76Dalam dada, cm 49,50 66,45 56,71 59,15 49,56Tinggi pundak, cm 105,56 122,35 116,59 127,46 103,46Tinggi pinggul, cm 110,25 122,14 116,83 129,82 108,37Lebar pinggul, cm 32,06 37,62 32,95 35,96 33,73Panjang badan, cm 107,69 120,67 114,54 120,15 115,56Panjang kepala, cm 40,63 44,30* - - 37,1Lebar kepala, cm 19,75 18,20* - - 16,9Bobot badan, kg 191,78 337-494** 300# 225-420## 177,6
Sumber: Sapi Aceh kelompok umur 4 tahun hasil penelitian; *) Otsuka et al. (1980), 1)Surjoatmodjo (1993); 2) Sarbaini (2004); **) Pane (1991); #) Wijono dan Setiadi(2004); ##) Astuti (2004)
Bentuk Tubuh
Umumnya sapi Aceh bertemperamen nervus dan pada sapi jantan dewasa
memiliki sifat menyerang. Sifat tersebut akan berkurang jika digunakan cincin
hidung dan sering diusap-usap pada tubuhnya oleh peternak. Sapi Aceh jantan
yang dipelihara secara kereman akan dijumpai keadaan yang sangat nervus dan
menggosok-gosokkan tanduk pada bagian-bagian kandang, bahkan akan
berusaha menanduk apa saja yang ditemuinya jika sewaktu-waktu dikeluarkan
51
dari kandang. Sifat nervus yang dimiliki sapi Aceh merupakan keunikan tingkah
laku yang tidak dimiliki oleh sapi Bali, Madura, PO dan Pesisir. Sifat tersebut
merupakan satu keuntungan dalam pemeliharaan sapi Aceh yaitu untuk
menghindari dirinya dari hewan buas pemangsa apabila sapi ini digembalanan di
hutan dan di samping itu juga tidak mudah dicuri.
Keadaan tubuh sapi Aceh jantan lebih besar dibanding betina. Tubuh
bagian depan lebih rendah dibanding bagian belakang baik pada jantan maupun
betina. Sapi betina bergumba kecil dan bergumba jelas pada jantan serta
bergelambir baik pada jantan maupun betina dengan tampilan lebih tebal dan
lebih berat pada jantan. Gelambir pada sapi Aceh jantan dan betina dijumpai
mulai bawah kerongkongan sampai bawah dada antara dua kaki depan. Pada
sapi Aceh jantan memiliki selaput penis (preputium) yang pendek.
Keadaan tubuh pada sapi Aceh umumnya dimiliki oleh keempat bangsa
sapi lokal lainnya. Sapi PO mempunyai gumba yang besar dan merupakan
turunan zebu (Hardjosubroto 2004), bergelambir lebar dan preputiumnya panjang
menggantung. Menurut Setiadi dan Diwyanto (1997), sapi Madura mempunyai
gumba yang kecil dan preputium yang pendek, sedangkan sapi Bali mempunyai
punggung yang lurus tanpa gumba, tetapi juga mempunyai gelambir kecil.
Hampir seluruh populasi sapi Aceh yang diamati mempunyai garis muka
yang cekung. Namun demikian, ada sebagian (4,5%) yang memiliki garis muka
yang lurus. Garis muka yang cekung pada sapi Aceh kemungkinan juga terdapat
pada sifat sapi Pesisir, sedangkan garis muka sapi Madura menurut Setiadi dan
Diwyanto (1997), umumnya lurus.
Garis punggung dapat menunjukkan bentuk tubuh yang ideal pada seekor
ternak (Setiadi dan Diwyanto 1997). Pada umumnya sapi Aceh mempunyai garis
punggung yang cekung (89,25%), sebagian mempunyai garis punggung
cembung (6,25%) dan sebagian kecil mempunyai garis punggung lurus (4,5%).
Garis punggung yang cekung pada sapi Aceh, merupakan sifat yang dimiliki sapi
PO. Menurut Handiwirawan dan Subandriyo (2004), sapi Bali memiliki garis
punggung yang lurus dan merupakan tipe bangsa turunan Bos sondaicus atau
Bos banteng. Selanjutnya hasil penelitian Setiadi dan Dwiyanto (1997), sapi
Madura mempunyai garis punggung yang lurus, tetapi ditemukan juga sapi yang
mempunyai garis punggung cekung (34,7%) dan sebagian kecil (6,1%)
mempunyai garis punggung yang cembung.
52
Warna dan Pola Warna Tubuh
Populasi sapi Aceh yang teramati menunjukkan warna beragam. Warna
tubuh dominan sapi Aceh adalah merah bata dan cokelat muda. Disamping itu
terdapat sapi yang berwarna cokelat, cokelat kehitaman, hitam, putih kemerahan,
putih dan putih keabuan (Gambar 8).
Warna-warna yang diidentifikasi secara umum dikelompokkan ke dalam
warna merah bata, cokelat, hitam, putih, dan kombinasi yang mengarah ke
warna terang dan gelap. Warna terang pada sapi Aceh didominasi oleh cokelat
muda (31%), putih kemerahan (9,75%), putih (4,75%), dan putih keabuan
(0,75%). Warna gelap didominasi merah bata (33,7%), cokelat (9%), hitam
(5,75%), dan cokelat kehitaman (5,25%). Jika dikelompokkan sapi yang
berwarna gelap dan terang, maka persentase sapi yang berwarna gelap relatif
lebih besar yaitu 53,75% (Tabel 6).
Tabel 6 Warna-warna tubuh sapi Aceh
Kelompok warna Warna tubuh Proporsi (%) Jumlah (%)1. Gelap Merah bata 33,75 53,75
Cokelat 9,00Hitam 5,75Cokelat kehitaman 5,25
2. Terang Cokelat muda 31,00 46,25Putih kemerahan 9,75Putih 4,75Putih keabuan 0,75
Warna putih atau putih keabuan pada sapi Aceh merupakan warna-warna
yang mirip dan dimiliki sapi Tharparkar, Guzerat, Ongole dan Nellore di India.
Warna cokelat kehitaman, merupakan warna yang mirip sapi Kankrey juga dari
India, sedangkan warna kelompok gelap yang dominan merah bata dengan garis
hitam tipis di sepanjang tengah punggung pada sapi Aceh menyerupai warna
yang dimiliki sapi Bali betina dewasa.
Kecuali sapi berwarna putih, umumnya sapi Aceh mempunyai warna yang
lebih muda pada kaki bagian bawah, sekitar dada, perut sampai bagian antara
kedua pasang kaki belakang, bagian dalam telinga dan pinggiran bibir atas. Pola
warna demikian cenderung menyerupai warna umum pada sapi Bali. Menurut
Payne dan Rollinson (1973); NRC (1983); Handiwirawan dan Subandriyo (2004),
sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami
53
Putih Putih keabuan
Putih kemerahan Cokelat muda
Merah bata Cokelat
Cokelat kehitaman HitamKeterangan: *) warna terang terbanyak dalam populasi; **) warna gelap terbanyak dalam populasi
Gambar 8 Warna-warna tubuh sapi Aceh
**
*
54
perubahan kecil dibandingkan dengan moyangnya (Banteng). Pada kedua jenis
kelamin terdapat warna putih pada bagian paha belakang (pantat), bagian bawah
(perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam
telinga dan pada bagian bibir atas.
Sapi Aceh yang jantan masih dijumpai warna yang lebih gelap pada leher
sampai kepala seperti yang dikemukakan Otsuka et al. (1980). Warna sapi
demikian digolongkan warna tubuh tipe liar seperti dinyatakan Fries dan
Ruvinsky (1999) bahwa, warna tubuh tipe liar antara lain memiliki sifat pigmentasi
yang solid, cenderung memiliki warna lebih gelap pada kepala dan leher. Variasi
warna tubuh tipe liar ini termasuk warna merah dan hitam. Keadaan yang serupa
juga pernah dilaporkan Merkens (1926) bahwa, kepala sapi Aceh berwarna
antara cokelat merah sampai cokelat abu-abu, bahkan di Aceh Utara dan Aceh
Timur ditemukan sapi berwarna kepala lebih gelap sampai hitam.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar warna moncong
dari populasi sapi Aceh yang diamati adalah hitam (99%) dan sebagian
mempunyai warna kecokelatan. Semua kuku sapi Aceh yang diamati berwarna
hitam. Tidak seperti halnya pada warna moncong dan warna kuku, tanduk sapi
Aceh umumnya berwarna hitam kecokelatan (99%) dan sebagian kecil berwarna
hitam. Tanduk berwarna abu-abu yang lebih terang sering dijumpai pada sapi
yang masih muda dan baru tumbuh tanduk. Semakin meningkat umur sapi,
warna tanduk beralih menjadi hitam kecokelatan bahkan hitam pada seperempat
bagian ujungnya. Menurut Setiadi dan Dwiyanto (1997), warna moncong dan
kuku yang hitam umum didapati pada sapi Bali dan sapi Peranakan Ongole.
Sapi berwarna putih atau putih keabuan kurang disenangi peternak dan
konsumen di Aceh. Hal ini kemungkinan karena ada anggapan bahwa sapi
dengan warna demikian merupakan sapi albino (bahasa Aceh gapi). Warna
tubuh sapi yang paling disukai di Aceh adalah merah bata dan cokelat.
Warna tubuh sapi Aceh yang beragam tidak ditemukan pada bangsa sapi
Bali, Madura dan PO. Namun, warna yang beragam tersebut relatif menyerupai
warna-warna pada sapi Pesisir di Sumatera Barat seperti dikemukakan Otsuka et
al. (1980) dan Sarbaini (2004).
Dari pola dan macam warna hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil
penelitian Namikawa et al. (1982a) pada sapi Aceh dan sapi Madura yang
menyatakan bahwa, sapi sumatera (Aceh dan Pesisir) memiliki macam warna
hitam, cokelat kehitaman, cokelat kuning, dan abu-abu putih yang didominasi
55
oleh warna cokelat kuning, dan sapi Madura memiliki tiga warna yang sama
dengan sapi Sumatera, yaitu hitam, cokelat kekuningan dan abu-abu putih
dengan warna dominan cokelat kekuningan.
Bentuk Tanduk
Bentuk pertumbuhan tanduk pada sapi di dunia memiliki variasi yang
sangat besar sehingga sulit untuk dibuat klasifikasi (Nicholas 1999). Berdasarkan
arah pertumbuhan tanduk mulai dari kepala sampai ujung tanduk, maka
digolongkan bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh untuk mengetahui
keragamannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sapi Aceh umumnya
bertanduk, tetapi terdapat juga sapi tidak bertanduk yang lebih banyak dijumpai
pada sapi betina (8,55%). Panjang dan bentuk pertumbuhan tanduk beragam
dan terus memanjang seiring pertumbuhan sapi. Tanduk pada sapi jantan lebih
besar dibanding betina.
Ada 10 macam bentuk tanduk sapi Aceh (Tabel 7). Keragaman bentuk
pertumbuhan tanduk pada sapi Aceh memiliki arah: (1) ke samping melengkung
ke atas ke depan; (2) ke samping melengkung ke atas; (3) menyamping ke atas
menyerupai huruf V; (4) lingkaran tanduk pendek (bungkul); (5) kupung; (6) ke
samping lurus; (7) ke samping ke atas melengkung ke bawah; (8) menyamping
ke atas ke depan; (9) ke samping melengkung ke belakang; dan (10) ke
samping, tanduk kiri melengkung ke atas, kanan melengkung ke bawah atau
sebaliknya (tidak simetris). Sketsa bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh
ditunjukkan dalam Gambar 9.
Tabel 7 Frekuensi bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh
Jenis kelaminNo Bentuk TandukJantan Betina
Jumlah
1 Ke samping melengkung ke atas ke depan 4 (3,05) 82 (30,48) 86 (21,5)2 Ke samping melengkung ke atas 48 (36,64) 70 (26,02) 118 (29,5)3 Menyamping ke atas menyerupai huruf V 45 (34,35) 35 (13,01) 80 (20,0)4 Hanya membentuk lingkaran tanduk pendek 27 (20,61) 45 (16,73) 72 (18,0)5 Tidak bertanduk (kupung) 5 (3,82) 23 (8,55) 28 (7,0)6 Ke samping lurus 1 (0,76) 5 (1,86) 6 (1,5)7 Ke samping melengkung ke bawah 0 3 (1,12) 3 (0,75)8 Menyamping ke atas ke depan 0 2 (0,74) 2 (0,5)9 Ke samping melengkung ke belakang 1 (0,76) 0 1 (0,25)10 Tidak simetris 0 4 (1,49) 4 (1,0)Keterangan : ( ) dalam persen; tidak simetris = ke samping, tanduk kiri ke atas, kanan ke
bawah atau sebaliknya
56
Variasi bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh jantan lebih sedikit (tujuh
bentuk) dibanding dengan variasi bentuk tanduk sapi Aceh betina (sembilan
bentuk). Pertumbuhan tanduk sapi jantan umumnya mempunyai bentuk yang
mengarah ke samping melengkung ke atas dengan frekuensi 36,64% (bentuk
dua) dan bentuk tiga yang menyamping ke atas menyerupai huruf ‘V’ dengan
frekuensi 34,35%. Pertumbuhan tanduk sapi betina umumnya mempunyai
bentuk satu (ke samping melengkung ke atas kemudian ke depan) dengan
frekuensi 30,48% dan bentuk dua yang juga mempunyai frekuensi tinggi yaitu
26,08% dengan arah pertumbuhan tanduk ke samping melengkung ke atas.
Samping Depan Depan Depan Depan
Bentuk 1 Bentuk 2 Bentuk 3 Bentuk 4 Bentuk 5
Depan Depan Samping Samping Depan
Bentuk 6 Bentuk 7 Bentuk 8 Bentuk 9 Bentuk 10
Gambar 9 Sketsa bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh
Hasil penelitian ini cenderung berbeda dengan studi pada sapi Bali yang
dilakukan Handiwirawan (2003). Sapi Bali jantan mempunyai tujuh macam
bentuk tanduk dan sapi betina 12 macam bentuk tanduk. Umumnya sapi jantan
memiliki bentuk tanduk ke samping kemudian ke atas atau ke samping ke atas
kemudian ke belakang, dan proporsi sapi yang bertanduk demikian adalah 74,5%
dari keseluruhan sapi jantan yang diamati. Bentuk umum tanduk sapi Bali betina
sesuai dengan bentuk normal yang didefinisikan oleh NRC (1983) yaitu jalannya
pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi ke arah atas dan pada ujungnya
sedikit mengarah ke belakang dan kemudian melengkung ke bawah lagi
mengarah ke kepala (ke dalam), yaitu mencapai 31,9%. Ditemukan juga bentuk
tanduk yang sedikit berbeda dengan bentuk tanduk yang normal dalam jumlah
cukup besar (29,3%), yaitu mengarah ke atas dan kemudian ke belakang. Sapi
Bali yang tidak bertanduk tidak pernah ditemukan.
57
Penelitian Laboratorium
Daerah D-loop DNA Mitokondria
DNA Total
Limabelas DNA total sapi penelitian terdiri dari delapan sampel darah sapi
Aceh, dua sampel darah masing-masing dari sapi Bali, Madura dan Pesisir, serta
satu sampel darah dari sapi PO. Semua DNA total hasil isolasi dielektroforesis
pada gel agarose untuk menguji kualitas dan kuantitas DNA total yang diperoleh
sebelum dilakukan amplifikasi PCR. DNA total hasil isolasi tersebut digunakan
sebagai DNA cetakan untuk amplifikasi daerah D-loop dengan menggunakan
teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil isolasi DNA total disajikan pada
Gambar 10.
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 B1 B2 M1 M2 PO PS1 PS2
Keterangan: lajur A1-A8 = DNA total sapi Aceh, lajur B1-B2 = DNA total sapi Bali, lajurM1-M2 = DNA total sapi Madura, lajur PO = DNA total sapi PO dan lajur PS1-PS2 = DNAtotal sapi Pesisir, konsentrasi berkisar 17,44-413,51 ng/µl
Gambar 10 Spektrofotometer DNA total sapi penelitian setelah dimigrasikandalam gel agarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 30 menit
Amplifikasi Daerah D-loop
Amplifikasi daerah D-loop pada sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir
dilakukan dengan menggunakan pasangan primer BIDLF dan BIDLR hasil desain
sendiri berdasarkan basa sekuens Bos indicus (Tabel 1). Berdasarkan runutan
genom utuh DNA mitokondria Bos indicus (sapi Nellore) dari GenBank, fragmen
DNA sapi berukuran 980 bp tersebut hasil amplifikasi pasangan primer BIDLF
dan BIDLR, terdiri atas 37 bp fragmen gen tRNApro pada posisi basa ke-30
sampai dengan 66 (15758-15794), 913 bp fragmen utuh daerah D-loop pada
posisi basa ke-1 sampai dengan 913 (15795-16341,1-366) dan 30 bp fragmen
tRNAPhe pada posisi basa ke-1 sampai dengan 30 (367-396) (Lampiran 7).
Ilustrasi letak penempelan pasangan primer BIDLF dan BIDLR pada daerah D-
loop sapi penelitian terdapat dalam Gambar 11.
Pasangan primer BIDLF dan BIDLR telah mengamplifikasi fragmen
berukuran sekitar 980 bp yang menempel pada basa ke-30 sampai dengan 49
58
gen tRNAPro (15758-15777) untuk primer BIDLF dan basa ke-11 sampai dengan
30 gen tRNAPhe (377-396) bagi primer BIDLR. Tampilan optimal fragmen hasil
amplifikasi pasangan primer tersebut dengan menggunakan mesin PCR Perkin
Elmer 2400 pada kondisi annealing 59OC selama 45 detik, terdapat dalam
Gambar 12.
Gambar 11 Sketsa letak penempelan primer BIDLF dan BIDLR untukmengamplifikasi fragmen daerah D-loop sapi Aceh, Bali, Madura, POdan Pesisir
Keberhasilan amplifikasi daerah D-loop khususnya sangat ditentukan oleh
kondisi penempelan primer pada DNA genom selain faktor-faktor bahan pereaksi
PCR dan mesin PCR yang digunakan. Ada variasi ukuran fragmen yang
teramplifikasi, yaitu pada sampel A3 (sapi Aceh 3), PO (sapi PO), PS1 dan PS2
(sapi Pesisir 1 dan 2) berbeda dibanding dengan hasil amplifikasi pada sampel
lainnya (±980 bp). Variasi ukuran fragmen DNA yang teramplifikasi tersebut
kemungkinan disebabkan oleh ada penyisipan (insersi) basa nukleotida.
M A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 B1 B2 M1 M2 PO PS1 PS2
Keterangan: lajur M = DNA ladder 100 bp, lajur A1-A8 = hasil PCR sapi Aceh, lajur B1-B2 = hasil PCRsapi Bali, lajur M1-M2 = hasil PCR sapi Madura, lajur PO = hasil PCR sapi PO dan lajur PS1-PS2 =hasil PCR sapi Pesisir
Gambar 12 Hasil amplifikasi daerah D-loop dengan menggunakan pasanganprimer BIDLF dan BIDLR setelah dimigrasikan dalam gel agarose1,2% pada tegangan 90 volt selama 45 menit
Penentuan Daerah D-loop Parsial dan Keragaman Runutan Nukleotida
Setelah dilakukan sekuensing pada produk PCR dan optimasi pensejajaran
dengan runutan genom Bos indicus dari GenBank (Nomor Akses AY126697;
Miretti et al. 2002) sebagai acuan, diperoleh ukuran parsial 479 bp daerah D-
980 bp
Teramplifikasi 980 bp(37 bp tRNAPro, D-loop utuh, 30 bp tRNAPhe)
BIDL R20 bp
BIDL F20 bp
tRNAPhetRNAPro
37 bp 30 bp
59
loop yang dapat dianalisis dari arah forward. Sebelum 479 bp dari arah BIDLF
ada sepanjang 7 bp tidak jelas hasilnya. Ukuran sepanjang 427 bp arah primer
BIDLR juga tidak dapat digunakan karena tidak jelas hasilnya (Gambar 13
dan 14).
Gambar 13 Sketsa daerah D-loop parsial hasil perunutan DNA (berukuran 479bp) yang dipakai untuk analisis keragaman genetik pada sapi Aceh
Analisis keragaman runutan nukleotida dilakukan setelah runutan DNA sapi
Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir disejajarkan dengan acuan utama pada
runutan nukleotida sapi Bos indicus (Nellore) dari GenBank (kode akses
AY126697) (Lampiran 8). Jumlah nukleotida dari semua contoh sapi penelitian
adalah tidak sama setelah dilakukan perbandingan (Lampiran 10). Hal ini
karena ada beberapa delesi dan insersi nukleotida pada sapi Aceh, Bali, Madura,
PO, dan Pesisir (Tabel 8) (Lampiran 9). Apabila ada satu situs delesi atau insersi
dari hasil perbandingan tersebut, maka dianggap sapi penelitian memiliki delesi
atau insersi. Jumlah delesi dan insersi bervariasi antarindividu.
Tabel 8 Jumlah insersi dan delesi basa-basa nukleotida pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir dengan acuan Bos indicus
Sapi Delesi InsersiJumlah (%) Jumlah (%)
Aceh 21 4,38 7 1,46Bali 30 6,26 59 12,32Madura 35 7,31 57 11,90PO 13 2,71 48 10,02Pesisir 15 3,13 6 1,25
Berdasarkan ukuran runutan nukleotida parsial sepanjang 479 bp yang
dapat dianalisis, hasil pensejajaran runutan nukleotida sapi Aceh, Bali, Madura,
PO dan Pesisir dengan acuan runutan nukleotida Bos indicus (sapi Nellore) dari
GenBank, maka rataan komposisi nukleotidanya dapat dilihat pada Tabel 9.
Komposisi nukleotida daerah D-loop parsial untuk masing-masing sapi disajikan
dalam Lampiran 11.
Teramplifikasi 980 bp
D-loop utuh 913 bp (GenBank)PrimerBIDL R
PrimerBIDL F
7 bp 479 bp 427 bp
60
Gambar 14 Hasil sekuensing daerah D-loop parsial DNA mitokondria sapi Acehyang dianalisis (Keterangan: antara tanda panah maju dan mundur,huruf N menunjukkan basa nukleotida tidak terdeteksi)
Perbedaan nukleotida antara sapi Aceh dan sapi Bos indicus dari GenBank
yaitu, T = 0,02%; C = 0,29%; A = 0,52%; dan G = 0,81%. Perbedaan rataan
komposisi nukleotida yang lebih besar ditemukan antara sapi Aceh dan Bos
taurus, yaitu T = 1,16%; C = 0,57%; A = 0,58%; dan kecuali G = 0,07%.
Perbedaan jumlah rataan komposisi nukleotida A+T dan C+G antara sapi Aceh
terhadap Bos indicus yaitu 0,55% dan 0,52% serta jumlah perbedaan rataan
komposisi nukleotida A+T dan C+G antara sapi Aceh terhadap Bos taurus
masing-masing 0,59% dan 0,50%. Apabila dibandingkan rataan komposisi
nukleotida antara sapi Aceh dan sapi Bos indicus terhadap Bos taurus dari
GenBank, maka rataan komposisi nukleotida antara sapi Aceh dan Bos indicus
lebih rendah perbedaannya.
Nukleotida A daerah D-loop mempunyai frekuensi tertinggi pada sapi
penelitian dengan urutan mulai tertinggi sampai terendah berturut-turut yaitu sapi
Bali (0,374), Pesisir (0,369), Aceh (0,365), Madura (0,361) dan PO (0,323).
(Gambar 15). Nukleotida G mempunyai frekuensi terendah pada sapi penelitian
61
Tabel 9 Rataan komposisi nukleotida daerah D-loop parsial sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir setelah disejajarkan dengan komposisinukleotida acuan Bos indicus dari GenBank (ukuran 479 bp)
Bangsa sapi n T C A G A + T C + GAceh 8 26,84 23,35 36,48 13,31 63,31 36,66Bali 2 26,20 24,00 37,40 12,40 63,60 36,40Madura 2 26,30 24,50 36,20 13,00 62,50 37,50PO 1 25,50 26,30 32,30 16,00 57,80 42,30Pesisir 2 26,35 23,65 36,85 13,15 63,20 36,80Bos indicus 5 26,86 23,64 37,00 12,50 63,86 36,14Bos taurus 5 28,00 22,78 35,90 13,38 63,90 36,16Keterangan: n = jumlah sampel, sapi PO hanya satu sampel
dengan urutan tertinggi (0,160) ditemukan pada sapi PO, sapi Madura 0,131;
frekuensi yang sama (0,128) pada sapi Aceh dan Pesisir serta frekuensi
terendah ditemukan pada sapi Bali (0,124). Sapi Aceh mempunyai frekuensi
nukleotida T tertinggi (0,270); sapi Pesisir 0,267; sapi Madura 0,264; sapi Bali
0,262; dan terendah ditemukan pada sapi PO (0,255). Frekuensi nukleotida C
tertinggi ditemukan pada sapi PO (0,263), sapi Bali dan Madura masing-masing
adalah 0,240 dan 0,244; dan frekuensi yang sama (0,236) ditemukan pada sapi
Aceh dan Pesisir.
0
0.050.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
T C A G
Frek
uens
i
Nukleotida
BI Aceh Bali Madura PO Pesisir
Gambar 15 Frekuensi nukleotida daerah D-loop parsial berukuran 479 nt padasapi Aceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan Bos indicus (Nellore) dariGenBank
Perbedaan susunan basa nukleotida antara sapi Aceh dan sapi lokal
masing-masing dapat dilihat pada Tabel 10. Susunan basa nukleotida sapi
62
Pesisir dan sapi Aceh memiliki persentase terkecil bila dibandingkan dengan Bos
indicus. Sapi Aceh dibandingkan dengan sapi Bali, Madura dan PO memiliki
perbedaan susunan basa nukleotida berkisar 21-23 %, sedangkan terhadap sapi
Pesisir hanya 2,93%.
Hasil perbandingan basa nukleotida berukuran 479 nt pada sapi Aceh dan
sapi Bos indicus (Nellore) dari GenBank, menunjukkan situs beragam sebanyak
27 situs basa nukleotida (Lampiran 8). Keragaman yang terjadi mulai di daerah
pertengahan (sekitar domain ke dua) sekuens basa nukleotida D-loop, yaitu
mulai situs 267 dan tidak ditemukan situs yang beragam pada permulaan
sekuens (dekat dengan tRNAPro) yaitu menuju ke arah primer BIDLF. Rata-rata
nilai rasio transisi (substitusi purin dengan purin atau pirimidin dengan pirimidin)
terhadap transversi (perubahan dari purin ke pirimidin atau sebaliknya) pada sapi
Aceh dengan Bos indicus adalah 1,13% (purin) dan 1,86% (pirimidin) dengan
nilai bias keseluruhan (R) = 0,533. Ada 9 situs berbeda untuk sapi Aceh
dibandingkan dengan 126 situs berbeda untuk semua sapi penelitian dengan
acuan Bos indicus.
Tabel 10 Perbedaan susunan basa nukleotida sapi Aceh, Bali, Madura, PO,Pesisir dan Bos indicus dari GenBank
Bos indicus Aceh Bali Madura PO PesisirBos indicus 0Aceh 05,64 (27) 0Bali 24,01 (115) 22,38 (107) 0Madura 24,22 (116) 23,01 (110) 3,94 (20) 0PO 21,29 (102) 21,34 (102) 24,80 (126) 26,75 (134) 0Pesisir 05,43 (26) 02,93 (14) 14,37 (73) 15,97 (80) 8,95 (46) 0Keterangan: dalam persen, ( ) jumlah situs basa yang berbeda
Pewarisan mtDNA mamalia melalui induk, dilaporkan tidak ada
rekombinasi (Hagelberg et al. 1999) dan mempunyai tingkat substitusi yang tinggi
(Patricia et al. 2002). Pada mamalia, tingkat substitusi daerah non coding
(D-loop) diperkirakan menjadi 2,8-5 kali lebih tinggi dibandingkan tempat lain di
dalam mitokondria (Aquadro dan Greenberg 1982), dan di daerah ini, sekitar
domain ke dua (daerah hipervariabel) bahkan lebih cepat (Pesole et al. 1999).
Susunan basa nukleotida yang beragam pada daerah D-loop mtDNA sapi
Aceh menunjukkan terjadinya mutasi. Menurut Ishida et al. (1992), dari bagian-
bagian fragmen mtDNA, daerah control region atau dikenal dengan D-loop
merupakan daerah yang paling hipervariabel, mempunyai laju kecepatan mutasi
10 kali lebih cepat dibandingkan dengan daerah mtDNA lainnya.
63
Sapi Aceh memiliki sebagian susunan basa-basa nukleotida daerah D-loop
mtDNA yang khas yang tidak dimiliki sapi-sapi dari golongan Bos indicus dan
Bos taurus. Kekhasan susunan basa-basa nukleotida tersebut terletak pada situs
ke-354 sampai dengan 483 (Lampiran 8) berupa insersi dan substitusi. Basa-
basa tersebut merupakan basa-basa dari sapi Bali (Bos banteng), karena hanya
ada empat spesies domestikasi sapi di dunia yaitu Bos indicus, Bos taurus, Bos
javanicus dan Bos frontalis. Nama yang sama untuk Bos javanicus menurut
Merkens (1926); Martojo (2003), yaitu Bos sondaicus, Bos sundaicus, Bos
banten, Bos bantinger, Bibos banteng dan Bibos sondaicus). Umumnya, sapi
Madura, PO dan Pesisir juga memiliki basa-basa nukleotida khas pada situs-situs
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sapi-sapi lokal Indonesia memiliki kekhasan
pada sekuens daerah D-loop DNA mitokondria.
Jarak Genetik Sapi Aceh dan Sapi Pembanding
Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan genetik
antarsapi penelitian dan sapi Bos indicus. Melalui penggunaan analisis
perhitungan Pairwise Distance Calculation dengan model 2 Parameter Kimura,
dapat ditunjukkan matriks perbedaan genetik antara sapi Aceh dan sapi outgroup
(Bali, Madura, PO, dan Pesisir) serta sapi Bos indicus dan Bos taurus yang
diambil dari GenBank (Lampiran 12). Jarak genetik model ini mengukur
banyaknya perbedaan nukleotida per pasangan yang mempertimbangkan tingkat
substitusi transisi dan transversi.
Hasil perhitungan menunjukkan nilai jarak genetik berkisar antara 0,0000
sampai 0,2559 dan rataan nilai jarak genetik keseluruhan 0,0726. Jarak genetik
tertinggi (0,1715 ) pada sapi penelitian yaitu antara sapi Madura_1 dan PO. Jarak
genetik dalam kelompok sapi Aceh berkisar 0,0025 sampai 0,0075; Bali (0,0000);
Madura (0,0177); dan Pesisir (0,0025) (Lampiran 12).
Kecuali sapi PO yang hanya satu sampel, penggunaan jarak genetik
gabungan masing-masing sapi Aceh, Bali, Madura dan Pesisir, menunjukkan
nilai terkecil (0,0120) yang merupakan jarak genetik antara sapi Aceh dan Pesisir
dan nilai terbesar (0,1683) yang merupakan jarak genetik antara sapi Madura
dan PO. Urutan kedekatan hubungan genetik sapi Aceh dengan sapi outgroup
dari yang paling dekat sampai terjauh yaitu sapi Pesisir (0,0120); PO (0,0880);
Bali (0,0999); dan Madura (0,1017), sedangkan urutan kedekatan hubungan
genetik sapi penelitian dengan Bos indicus dari GenBank mulai yang terdekat
64
sampai yang paling jauh adalah Aceh (0,0196); Pesisir (0,0292); PO (0,1072);
Madura (0,1182); dan Bali (0,1194) (Tabel 11).
Tabel 11 Jarak genetik berdasarkan metode 2 parameter Kimura pada sapiAceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan Bos indicus dari GenBank
B. indicus Aceh Bali Madura PO PesisirB. indicus 0,0000Aceh 0,0196 0,0000Bali 0,1194 0,0999 0,0000Madura 0,1182 0,1017 0,0190 0,0000PO 0,1072 0,0880 0,1526 0,1683 0,0000Pesisir 0,0292 0,0120 0,1005 0,1080 0,0887 0,0000
Kedekatan hubungan beberapa sapi lokal kemungkinan karena ada aliran
gen yang terjadi akibat letak geografis sapi-sapi tersebut berdekatan. Sapi Aceh
dan Pesisir terletak di wilayah Barat Indonesia dalam satu pulau yang sama
(Sumatera), sehingga mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih dekat
dibandingkan dengan bangsa sapi lokal lain. Sapi Aceh dan Pesisir lebih dekat
dengan sapi PO yang berasal dari Pulau Jawa karena letak kedua pulau lebih
berdekatan dibanding sapi Bali yang ada di Pulau Bali dan sapi Madura di Pulau
Madura yang ada larangan pemerintah terhadap masuknya sapi lain ke kedua
pulau tersebut. Demikian juga bangsa sapi Madura di wilayah Timur Indonesia
yang lebih dekat dengan bangsa sapi Bali. Menurut Nijman et al. (2003), sapi
Madura mengandung materi genetik sapi Bali yang telah mengalami hibridisasi
dengan sapi zebu.
Sapi PO mempunyai jarak genetik yang paling jauh dengan sapi Madura
dibanding dengan sapi Bali dan lebih dekat dengan sapi Aceh dan sapi Pesisir,
karena sapi PO mempunyai komposisi basa nukleotida yang sangat berbeda
dengan sapi Madura dan sapi Bali. Menurut Hardjosubroto (2004), sapi PO
merupakan hasil persilangan antara sapi Sumba Ongole (SO) dengan sapi Jawa
melalui program Ongolisasi pada tahun 1915-1929. Sekarang, sebagian besar
sapi PO telah disilangkan dengan berbagai macam bangsa sapi.
Hubungan Kekerabatan Sapi Aceh
Hubungan kekerabatan antara sapi Aceh dan sapi Bali, Madura, PO,
Pesisir, serta Bos indicus yang diambil dari GenBank sebagai pembanding,
65
dilakukan pada sekuens sepanjang 479 nukleotida yang menyusun D-loop
parsial. Pengelompokan sapi lokal berdasarkan jarak genetik dengan metode
Neighbor-Joining (Saitou dan Nei 1987) dalam program Mega 4.0 (Tamura et al.
2007). Pohon yang optimal mempunyai jumlah panjang cabang 0,44104135.
Persentase pengulangan pohon di mana kelompok bangsa sapi yang
berhubungan diklasterkan bersama-sama di dalam uji bootstrap (1000 kali
pengulangan), diperlihatkan di dekat cabang (Felsenstein 1985). Jarak genetik
dihitung dengan metode 2 parameter Kimura (Kimura 1980) dan di dalam unit-
unit dari banyaknya substitusi basa per lokasi. Semua posisi yang mengandung
data senjang (gap) dan data hilang dieliminasi dari dataset (opsi penghapusan
lengkap). Hasilnya menunjukkan, populasi sapi lokal yang diteliti terbagi ke
dalam dua posisi yang berbeda yaitu sapi Aceh, Pesisir dan PO berada dalam
satu posisi yang sama, sedangkan sapi Bali dan Madura berada pada posisi
yang kedua (Gambar 16).
Perbedaan genetik antarindividu sapi dapat dinilai dengan menggunakan
dendogram. Pohon filogeni yang dibentuk berdasarkan metode 2 parameter
Kimura dalam uji bootstrap 1000 kali pengulangan, diperoleh dua klaster sapi
lokal Indonesia yaitu klaster pertama termasuk sapi Aceh, Pesisir dan PO dan
klaster kedua yaitu sapi Bali dan Madura. Sapi Aceh, Pesisir dan PO merupakan
satu klaster dalam kelompok sapi-sapi zebu (Bos indicus) GenBank dengan nilai
uji bootstrap 46%. Pengklasteran sapi Aceh, Pesisir dan PO, terpisah terhadap
Bos javanicus (sapi Bali) dengan pembobotan cukup baik (64%) di mana sapi
Madura masuk ke dalam klaster sapi Bali dengan nilai uji bootstrap yang sangat
tinggi (99%). Hal ini menunjukkan, sapi Aceh, Pesisir dan PO dikelompokkan
dengan sapi Bos indicus (zebu) dalam uji bootstrap dengan 1000 kali
pengulangan akan memperlihatkan hasil (posisi) yang sama. Pembobotan yang
rendah (49%) dari hasil uji bootstrap dalam pengelompokan sapi Aceh, Pesisir
dan PO karena rendahnya nilai pembobotan antarindividu dalam kelompok sapi
Aceh (berkisar 7-53%). Walaupun demikian, pengelompokan sapi Aceh, Pesisir,
PO dan Bos indicus dari data GenBank akan tetap sama pada posisinya. Namun
demikian, posisi antarindividu dalam kelompok sapi Aceh sendiri kemungkinan
masih dapat berubah-ubah karena nilai bootstrapnya yang rendah. Berdasarkan
data tersebut, ada tiga subklaster sapi lokal Indonesia golongan zebu yaitu
subklaster sapi Aceh, PO dan Pesisir dibandingkan dengan klaster zebu dari
GenBank yang relatif mengelompok. Pemisahan pengelompokan sapi golongan
66
zebu baik sapi lokal maupun kelompok Bos indicus sangat berbeda dengan
kelompok sapi Bali (Bos javanicus) pada 1000 kali pengulangan dalam uji
bootstrap dengan nilai peluang 64%. Apabila kita bandingkan klaster kelompok
sapi eropa terhadap sapi asia, maka terdapat klaster pertama yang terdiri atas
subklaster sapi Aceh, Pesisir, PO dan bangsa-bangsa sapi zebu dari GenBank;
dan klaster kedua yang terdiri atas subklaster sapi Bali dan Madura (keturunan
Bos banteng), terpisah terhadap klaster ketiga yang merupakan golongan Bos
taurus dari Eropa. Pengklasteran Bos indicus, Bos javanicus dan Bos taurus
yang ketiganya merupakan Grup Bovina sangat jelas terpisah dengan Grup
Bubalina (Bubalus bubalis).
Aceh 3Aceh 6
Aceh 7Aceh 4Aceh 8Aceh 2
Aceh 5Aceh 1
Pesisir 1Pesisir 2
POSahiwal (GB)Ongole (GB)
Heinan (GB)Bos indicus (GB)Tharparkar (GB)
Bali 1Bali 2
Madura 1Madura 2
Red Angus (GB)Angus (GB)
Brahman (GB)Charolais (GB)Simmental (GB)
Bubalus bubalis (GB)
97
4899
6050
7599
64
38
81
32
46
94
49
3253
22
7
21
0.02
Gambar 16 Dendogram Neighbor-Joining berdasarkan metode 2 parameterKimura dari nukleotida daerah D-loop parsial (berukuran 479 nt) sapiAceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa-bangsa sapi dariGenBank (GB) dengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan
67
Pengelompokan sapi Aceh, Pesisir dan PO terlihat berbeda secara riil
dengan pengelompokan sapi Bali dan Madura. Hubungan yang lebih dekat
antara sapi Aceh dan Pesisir yang asal geografisnya berdekatan, mengindikasi-
kan ada perbedaan yang lebih kecil di antara sapi Aceh dan sapi Pesisir
dibanding dengan sapi PO yang asal pembentukannya di Pulau Jawa.
Sapi PO walaupun satu kelompok dengan sapi Aceh dan Pesisir, tetapi
mempunyai susunan basa nukleotida yang sangat berbeda yaitu sebesar 21,34%
terhadap sapi Aceh dan 8,95% terhadap sapi Pesisir. Hal ini menunjukkan
hibridisasi yang dominan terjadi antara sapi Jawa betina dan sapi SO (Sumba
Ongole) jantan yang menghasilkan sapi PO.
Sapi PO mempunyai perbedaan susunan basa nukleotida yang lebih besar
terhadap sapi Bali (24,80%) dan Madura (26,75%), maka berbeda dengan
bangsa sapi Bali dan Madura, sehingga mempunyai jarak genetik yang lebih jauh
dengan kedua sapi tersebut. Menurut Otsuka et al. (1980), sapi PO (Filial
Ongole), dipercaya sebagai turunan langsung dari sapi Ongole.
Bangsa sapi Madura yang masuk ke dalam kelompok sapi Bali terlihat
cenderung terpisah. Menurut Otsuka et al. (1980); MacHugh (1996) dan Martojo
(2003), sapi Bali merupakan hasil domestikasi langsung dari Banteng (Bos
javanicus), sedangkan sapi Madura yang dilaporkan Otsuka et al. (1980),
merupakan pengembangan dari persilangan antara Banteng dan sapi india
(Sinhala).
Sapi Bali mempunyai perbedaan susunan basa nukleotida terhadap sapi
Bos indicus sebesar 24,01%. Hasil ini bertentangan dengan laporan Nijman et
al. (2003) pada daerah D-loop parsial (647 bp) sapi Bali yang menyatakan
bahwa, sekuens sapi Bali hampir serupa (99,5%) dengan sekuens sapi zebu.
Penelitian tersebut menunjukkan bukan sekuens sapi Bali murni, tetapi
kemungkinan sekuens sapi lain ataupun persilangannya. Hasil pengujian Noor et
al. (2000a) pada kemurnian sapi Bali melalui analisis hemoglobin, baik sampel
subunit globin maupun sampel Hb tetramerik, keduanya dapat menunjukkan
perbedaan pola pita sapi Bali dengan sapi Brangus, Simmental dan Limousin.
Keduanya dapat mendeteksi pita khas sapi Bali yaitu βX Bali, dan pita-pita lainnya
sebagai pembanding sehingga dapat digunakan untuk menguji kemurnian sapi
Bali. Sapi Bali yang tidak murni memperlihatkan adanya pita βA dan βB yang
dimiliki sapi lain.
68
Kedekatan sapi Madura dengan sapi Bali (jarak genetik 0,0190)
menunjukkan hibridisasi yang dominan telah terjadi antara sapi Bali atau Banteng
betina dengan sapi zebu jantan, sehingga sapi Madura berada satu klaster
dengan sapi Bali. Sapi Madura mempunyai persamaan basa nukleotida 97,07%
dengan sapi Bali. Keadaan ini sesuai dengan Nijman et al. (2003) bahwa, sapi
Madura mengandung materi genetik sapi Bali yang telah mengalami hibridisasi
dengan sapi zebu.
Persamaan susunan basa nukleotida sapi Aceh dan Bos indicus adalah
sebesar 94,36% dan terhadap Bos taurus sebesar 88,52%, sehingga sapi Aceh
dekat dengan sapi Bos indicus. Walaupun demikian, sapi Aceh terkelompokkan
berbeda dengan bangsa sapi-sapi Bos indicus. Perbedaan sapi Aceh dengan
sapi-sapi Bos indicus dapat dilihat dari tidak adanya overlapping di antaranya.
Bangsa-bangsa sapi dari Bos indicus menunjukkan adanya keterhubungan
dengan sapi Aceh. Ditinjau dari DNA mitokondria dengan analisis pada daerah
D-loop parsial sapi Aceh, dapat ditunjukkan bahwa sapi Aceh mempunyai
hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan sapi-sapi zebu. Pembuktian
dilanjutkan dengan melakukan blast sekuens sapi Aceh pada alamat NCBI:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST/Blast.cgi?PAGE=Nucleotides&PROG-RAM=
blastn&MEGABLAST=on&BLAST_PROGRAMS=megaBlast&PAGETYPE=Blast
Search&SHOW_DEFAULTS=on dan hasilnya menunjukkan bahwa sapi Aceh
dekat dengan sapi-sapi Bos indicus sebesar 96% (Lampiran 13). Hal ini
membuktikan bahwa sapi Aceh adalah dari maternal zebu. Hubungan
kekerabatan sapi Aceh dengan sapi Bos indicus berdasarkan analisis daerah
D-loop mtDNA menunjukkan hibridisasi yang dominan telah terjadi antara sapi
zebu betina dengan Banteng jantan. Oleh karena itu, ada indikasi bahwa
sebagian besar genetik sapi Aceh mengandung materi genetik bangsa-bangsa
sapi Bos indicus. Menurut Nozawa (1979), pusat gen sapi zebu (Bos indicus)
ada di India.
Penelitian ini hanya dilakukan pensejajaran nukleotida D-loop parsial
dengan ukuran 479 nt karena keterbatasan data runutan nukleotida sapi Aceh
dan sapi outgroup (Bali, Madura, PO dan Pesisir). Amplifikasi PCR yang
dilakukan pada daerah D-loop mtDNA sepanjang 913 pb sapi Aceh tidak dapat
ditunjukkan dengan sekuens yang utuh, karena setelah dicoba PCR dan sekuens
berulang kali dengan mempergunakan primer BIDLF dan BIDLR tetap tidak
diperoleh sekuens utuh dan bersih daerah D-loop mtDNA menuju ke arah primer
69
reverse BIDL (ditemukan basa yang tidak terbaca). Apabila dilakukan
pensejajaran nukleotida di bagian lain dari daerah D-loop mtDNA, maka ada
kemungkinan terjadi pergeseran pola dendogram pada sapi penelitian. Namun
demikian, hasil penelitian bahwa sapi Aceh berdekatan dengan sapi Bos indicus
diduga akan tetap pada posisi yang sama. Keadaan ini terbukti setelah dicoba
dilakukan analisis pada runutan pendek dan panjang daerah D-loop mtDNA yang
diperoleh, bahkan dicoba juga digunakan beberapa basa yang tidak terbaca
pada sekuens menuju ke arah dekat sekuens primer BIDLR, tetap diperoleh hasil
yang sama.
DNA mitokondria adalah penanda berdasarkan silsilah maternal (haploid)
yang pada sapi dapat menunjukkan sejarah kawanannya (Ascunce et al. 2007).
Sapi-sapi yang terkait hubungan maternal akan memiliki urutan sekuens yang
serupa dan yang tidak terkait hubungan maternal akan berbeda. Berdasarkan
analisis daerah D-loop mtDNA, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini telah
dapat ditunjukkan bahwa sapi Aceh adalah sapi yang lebih dekat dengan sapi
Bos indicus.
70
DNA Mikrosatelit
DNA Total
DNA total telah diisolasi dari 160 sampel darah sapi Aceh, 10 sampel darah
sapi Bali, dua sampel darah masing-masing dari sapi Madura, PO dan Pesisir,
sehingga keseluruhan sebanyak 176 DNA total sapi yang digunakan sebagai
DNA cetakan untuk amplifikasi mikrosatelit dengan menggunakan teknik PCR.
Semua hasil isolasi DNA yang diperoleh, dielektroforesis pada gel agarose 1,2%.
Visualisasi hasil isolasi dan ekstraksi DNA total melalui elektroforesis yang
memperlihatkan pita yang sangat tipis, tidak digunakan dalam penelitian ini dan
dilakukan pengulangan isolasi dan ekstraksi DNA total (Gambar 17).
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 M1 M2 PO1PO2 PS1 PS2 B1 B2 B3 B4
lajur 1-30 DNA total sapi Aceh, lajur 31-32 DNA total sapi Madura, lajur 33-34 DNA total sapi PO,lajur 35-36 DNA total sapi Pesisir, dan lajur 37-40 DNA total sapi Bali
Gambar 17 Tampilan DNA total sapi penelitian setelah dimigrasikan dalam gelagarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 30 menit
Sebanyak 176 sampel DNA total diukur kemurnian dan konsentrasinya
dengan menggunakan mesin NanoDrop ND 1000 Spectrophotometer.
Kemurnian DNA diketahui dari rasio kepadatan optik (optical dencity) yaitu
dengan membagi nilai OD260 terhadap OD280 berdasarkan output hasil analisis
mesin, sehingga diperoleh kemurnian DNA berkisar antara 1,39-1,95 dengan
konsentrasi 6,66-3245,8 ng/µl (Lampiran 6). Menurut Sulandari dan Zein (2003),
kemurnian larutan DNA dapat dilihat dengan membagi nilai OD260 dengan OD280.
Molekul DNA dikatakan murni jika rasio kedua nilai tersebut berkisar antara 1,8-
2,0. Jika nilai rasio lebih kecil dari 1,8 maka masih ada kontaminasi protein di
dalam larutan.
71
Sebelum dilakukan PCR, semua sampel DNA total diseragamkan terlebih
dahulu menjadi konsentrasi 5 ng/µl melalui pengenceran dengan penambahan
air deionisasi.
Amplifikasi Mikrosatelit
Semua marker mikrosatelit yang dipergunakan, yaitu BM1818, INRA005,
CSRM60, BM2113, HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225,
ETH10, CSSM66, BM1824, ILSTS006, dan ILSTS005 berhasil teramplifikasi,
kecuali lokus HEL5 yang tidak teramplifikasi pada sapi Madura (dua sampel yang
digunakan). Ukuran-ukuran alel yang diperoleh dari produk PCR bervariasi dari
yang terendah 101 pb pada lokus CSRM60 sampai tertinggi 321 pb pada lokus
ILSTS006 (Tabel 12).
Tabel 12 Panjang produk PCR dan selisih ukuran maksimum dan minimum padamasing-masing lokus mikrosatelit sapi penelitian
Panjang produkPCR (pb)
Selisih ukuran produk PCRmaksimum dan minimum (pb)
Lokus n n*Min. Mak. Min.-
Mak. Aceh Bali Mad. PO Pss.
BM1818 126 50 270 299 29 25 20 10 14 6INRA005 153 23 153 163 10 10 2 0 8 8CSRM60 156 20 101 130 29 29 8 0 4 8BM2113 158 18 140 160 20 18 14 12 12 6HEL5 151 25 166 186 20 20 12 tt 0 0HEL9 169 7 161 187 26 26 4 12 14 10HEL13 172 4 191 209 18 18 6 0 4 4INRA63 167 9 192 206 14 12 12 2 8 6INRA35 155 21 117 153 36 36 16 0 18 12HEL1 171 5 116 166 50 50 2 0 4 2ETH225 173 3 158 182 24 24 8 22 6 6ETH10 166 10 224 288 64 64 8 2 2 4CSSM66 169 7 191 217 26 22 18 20 18 20BM1824 158 18 190 212 22 22 16 11 12 2ILSTS006 139 37 293 321 28 28 12 10 4 6ILSTS005 175 1 188 208 20 16 8 14 8 10Keterangan: n = Jumlah sampel terdeteksi alel, n* = jumlah sampel tidak terdeteksi alel,
Min. = minimum, Mak. = maksimum, Mad. dan Pss. adalah sapi Madura danPesisir, Nilai nol = diperoleh satu peak grafik hasil amplifikasi, tt = tidakteramplifikasi
Penggunaan primer BM1818 relatif lebih sedikit (71,6%) dapat
teramplifikasi dibanding penggunaan primer lain, dan penggunaan primer
ILSTS005 berhasil mengamplifikasi hampir seluruh sampel yang digunakan
72
(99,4%). Ada beberapa sampel yang tidak dapat teramplifikasi dalam penelitian
ini dengan penggunaan primer-primer BM1818, INRA005, CSRM60, BM2113,
HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225, ETH10, CSSM66,
BM1824, ILSTS006, dan ILSTS005, karena kemungkinan beberapa sapi
penelitian terdapat null allele seperti dilaporkan dalam penelitian Sodhi et al.
(2006). Null allele adalah alel-alel yang secara konsisten tidak teramplifikasi
selama PCR, sehingga tidak dapat dideteksi pada saat penggenotipan individu
(Steven dan Taper 2006). Null allele pada lokus mikrosatelit tidak dapat
divisualisasikan karena ada mutasi dalam sekuens pengapit yang berkomplemen
dengan primer sehingga lokus ini tidak dapat teramplifikasi (Lehmann et al.1996).
Alel dan Lokus Polimorfik
Pengukuran keragaman genetik 160 sampel sapi Aceh dengan
menggunakan 16 lokus mikrosatelit, menunjukkan semua lokus pada sapi Aceh
adalah polimorfik, sedangkan lokus HEL9 dan HEL1 adalah monomorfik pada
sapi Bali (satu alel dengan frekuensi 95%). Lokus INRA005, CSRM60, HEL13,
INRA35 dan HEL1 adalah monomorfik pada sapi Madura dan lokus HEL5
masing-masing monomorfik pada sapi PO dan Pesisir, namun dengan asumsi
penggunaan sampel yang terbatas pada ketiga sapi tersebut (masing-masing
dua sampel). Penggunaan sampel sapi Madura, PO dan Pesisir yang lebih
banyak, maka kemungkinan tidak ada monomorfik pada lokus-lokus tersebut.
Frekuensi alel tertentu yang lebih besar atau sama dengan 0,95, maka alel
tersebut digolongkan monomorfik (Hartl dan Clark 1989). Penelitian terdahulu
didapatkan hasil bahwa, alel pada lokus HEL9 adalah monomorfik pada sapi Bali ,
yaitu seluruh sapi Bali bergenotipe AA (Winaya 2000; Noor et al. 2000b).
Demikian juga dalam penelitian Handiwirawan et al. (2003) pada lokus HEL9, alel
A merupakan alel dengan frekuensi sangat tinggi yaitu 92,9%, sehingga lokus
HEL9 sebagai lokus dengan alel yang spesifik terfixasi pada alel ini pada sapi
Bali. Hasil penelitian Sarbaini (2004) pada sapi Pesisir dengan penggunaan
enam lokus mikrosatelit, ditemukan empat lokus (ETH225, HEL9, INRA037 dan
ILSTS006) menunjukkan alel-alel khas (diagnostik) pada dua subpopulasi
(Pesisir Selatan dan Padang Pariaman). Satu lokus (ETH3) menghasilkan alel
khas hanya pada subpopulasi Padang Pariaman dan lokus lain (BM2113) tidak
menghasilkan alel khas pada kedua subpopulasi.
73
Sebanyak 164 alel mikrosatelit ditemukan dari total 176 sampel sapi, yang
diukur keragamannya dengan 16 lokus mikrosatelit (BM1818, INRA005,
CSRM60, BM2113, HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225,
ETH10, CSSM66, BM1824, ILSTS006, dan ILSTS005). Sejumlah 148 alel
(90,24%) ditemukan dalam populasi sapi Aceh dengan rataan 9,25 ± 2,27 yang
merupakan jumlah alel tertinggi, dan pada kelompok sapi pembanding sebanyak
63 alel (38,41%) dengan rataan 3,94 ± 1,53 ditemukan pada sapi Bali, 26 alel
(15,85%) dengan rataan 1,31 ± 1,08 ditemukan pada sapi Madura, 43 alel
(26,22%) dengan rataan 2,63 ± 1,03 ditemukan pada sapi PO dan 41 alel
(25,00%) dengan rataan 2,50 ± 1,10 ditemukan pada sapi Pesisir (Tabel 13).
Studi Sarbaini (2004) pada 189 sapi Pesisir di Sumatera Barat dengan
menggunakan enam lokus mikrosatelit (ETH225, HEL9, INRA037, ETH3,
ILSTS006, BM2113), terdeteksi rataan jumlah alel per lokus adalah 11,7, lebih
tinggi dari hasil penelitian ini pada sapi Aceh hanya 9,25 ± 2,27 alel per lokus.
Tabel 13 Jumlah alel masing-masing lokus mikrosatelit pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO, dan Pesisir
SapiLokus Jumlah
alel Aceh(160)
Bali(10)
Madura(2)
PO(2)
Pesisir(2)
BM1818 12 11 7 2 4 2INRA005 7 6 2 1 4 4CSRM60 13 12 5 1 2 2BM2113 10 8 5 2 3 4HEL5 10 10 4 0 1 1HEL9 13 13 2 3 4 4HEL13 8 8 3 1 2 2INRA63 8 7 4 2 3 2INRA35 10 10 2 1 3 2HEL1 8 7 2 1 2 2ETH225 12 12 4 2 2 2ETH10 8 8 4 2 2 3CSSM66 13 10 6 2 3 4BM1824 10 7 5 2 3 2ILSTS006 13 12 5 2 2 2ILSTS005 9 7 3 2 3 3Total alel 164 148 63 26 43 41Kisaran JA 7-13 6-13 2-7 0-3 1-4 1-4PLP - 1,00 1,00 0,69 0,94 0,94Rataan JAPL 10,25 9,25 3,94 1,31 2,63 2,50SD 2,08 2,27 1,53 1,08 1,03 1,10KK 20,92 24,49 38,76 44,23 32,49 37,62
Keterangan : JA = jumlah alel; PLP = proporsi lokus polimorfik; JAPL = jumlah alel perlokus; SD = standar deviasi; KK = koefisien keragaman; ( ) = jumlah sampel
74
Penggunaan 16 lokus mikrosatelit sapi pada penelitian ini mempunyai
rataan jumlah alel per lokus yang tinggi dibandingkan dengan beberapa hasil
penelitian pada berbagai bangsa ternak, sehingga sapi Aceh memiliki tingkat
keragaman alel yang tinggi (Tabel 14). Penelitian pada sapi Tharparkar di India
yang dilakukan Sodhi et al. (2006) dengan menggunakan 105 sampel (dari
daerah Jaisalmer dan Jodhpur di Rajasthan) dan 25 lokus mikrosatelit,
ditemukan jumlah total alel sebanyak 155. Jumlah alel-alel berkisar empat
(ETH3, ILSTS030, INRA5, INRA63 dan MM8) sampai 11 (HEL9 dan ILSTS034),
dengan rataan jumlah alel per lokus 6,20.
Tabel 14 Perbandingan rataan jumlah alel per lokus pada berbagai ternakpenelitian
Jumlah lokusmikrosatelit
Rataanjumlah alelper lokus
Sampel penelitian Sumber
6 11,70 189 sapi Pesisir Sarbaini (2004)20 11,40 546 sampel dari 14 bangsa sapi Loftus et al. (2003)16 10,25 160 sapi Aceh, 10 sapi Bali, 2 (masing-
masing sapi Madura, PO, Pesisir)Penelitian ini
20 8,40 728 African zebu, 2 Eropean bison,American bison, 2 Banteng
MacHugh (1996)
9 7,11 18 zebu (masing-masing Nellore, Gyrdan Guzerat), 18 Holstein
Machado et al. (2003)
25 6,20 105 sapi Tharparkar Sodhi et al. (2006)2 3,50 294 sapi Bali Handiwirawan et al .
(2003)
Jumlah alel dalam populasi sapi Aceh berkisar antara enam alel pada lokus
INRA005 sampai 13 alel pada lokus HEL9 yang merupakan jumlah alel tertinggi,
sedangkan sapi Bali memiliki jumlah alel terendah pada empat lokus (INRA005,
HEL9, INRA35 dan HEL1) yaitu masing-masing dua alel, dan jumlah alel tertinggi
(tujuh alel) ditemukan pada lokus BM1818. HEL5 merupakan lokus yang sangat
sedikit bisa teramplifikasi pada sapi Bali yaitu hanya 50%, dan tidak ada sampel
yang teramplifikasi pada sapi Madura pada lokus tersebut.
Fenomena rata-rata jumlah alel yang tinggi pada sapi Aceh karena variasi
genetik sapi Aceh pada lokus-lokus mikrosatelit tersebut sangat beragam, yaitu
mempunyai rataan keragaman gen pada semua lokus 0,6014 ± 0,3384.
Keragaman yang tinggi pada lokus-lokus mikrosatelit ini dipengaruhi oleh tingkat
mutasinya. Menurut Muladno (2006), DNA mikrosatelit memiliki laju perubahan
basa nukleotida tinggi yang disebabkan adanya perubahan jumlah ulangan dari
urutan basa bergandengan mencapai 10-3/gamet/generasi. Laju perubahan
75
mikrosatelit dipengaruhi oleh motifnya. Mikrosatelit dengan motif dinukleotida
memiliki laju mutasi 1,5-2 kali lebih cepat dibandingkan dengan motif tetra-
nukleotida.
Ada 16 alel mikrosatelit (9,76%) dari 16 lokus yang dipergunakan tidak
ditemukan pada sapi Aceh, tetapi terdapat pada sapi Bali yaitu satu alel masing-
masing ditemukan pada lokus BM1818 (ukuran 270 bp), CSRM60 (ukuran 114
bp), INRA63 (ukuran 192 bp) dan ILSTS006 (ukuran 297 bp), dua alel pada lokus
BM2113 masing-masing berukuran 140 dan 148 bp, tiga alel pada lokus
CSSM66 (ukuran 191, 193 dan 209 bp) dan tiga alel pada lokus BM1824 (ukuran
207, 209 dan 211 bp). Tiga alel mikrosatelit lainnya (1,83%) yaitu alel F pada
lokus INRA005 dengan ukuran 161 bp hanya dimiliki sapi Pesisir, alel B pada
lokus INRA35 dengan ukuran 119 bp hanya dimiliki sapi Madura dan alel C pada
lokus ILSTS005 dengan ukuran 194 bp ditemukan pada dua bangsa sapi (Bali
dan Madura) (Tabel 15). Sebanyak enambelas alel mikrosatelit tersebut spesifik
hanya terdapat pada sapi pembanding.
Tabel 15 Alel-alel pada sepuluh lokus mikrosatelit yang hanya ditemukan padasapi Bali, Madura dan Pesisir
Lokus Alel Ukuran alel spesifik (bp) GenotipeBM1818 A 270 AD (Bali)
INRA005 F 161 CF (Pesisir)
CSRM60 F 114 EF (Bali)
BM2113 A, D 140 dan 148 AB, AC, BD, DG (Bali)
INRA63 A 192 AA (Bali)
INRA35 B 119 BE (Madura)
CSSM66 A, B, I 191, 193 dan 209 AE, BB, CI, EI, GI (Bali)
BM1824 G, H, I 207, 209 dan 211 BG, HI, II, BI (Bali)
ILSTS006 B 297 BF, BG (Bali)
ILSTS005 A, C 188 dan 194 AD, CC, CD (Bali), CI (Madura)
Keterangan: ( ) Genotipe yang dimiliki sapi Bali, Madura, Pesisir
Disamping itu, dari empat sapi pembanding yang digunakan dalam
penelitian ini, ada beberapa alel (berkisar 1-6) hanya terdapat pada sapi Aceh
dengan frekuensi yang relatif kecil. Diduga alel-alel tersebut merupakan alel
mutasi sebagai akibat proses replication slippage yang menghasilkan rangkaian
yang lebih panjang (Levinson dan Gutman 1987; Riwantoro 2005). Kemungkinan
lain adalah ada aliran gen dari bangsa-bangsa sapi lain yang masuk ke dalam
populasi sapi Aceh.
76
Distribusi dan Jumlah Genotipe
Rataan proporsi genotipe sapi Aceh sebesar 86,0% ditemukan dari rataan
jumlah total genotipe pada 16 lokus mikrosatelit sapi. Sebanyak 11 genotipe
yang merupakan jumlah terendah pada sapi Aceh, masing-masing ditemukan
pada lokus INRA63 (91,67%) dengan kisaran ukuran alel 194-206 bp dan lokus
HEL1 (84,62%) dengan kisaran ukuran alel 116-166 bp. Sapi Aceh memiliki
95,56% jumlah genotipe tertinggi (43) yang ditemukan pada lokus HEL9 dengan
kisaran ukuran alel 161-187 bp. Lain halnya pada sapi outgroup, rataan proporsi
genotipe sebesar 32,92% merupakan rasio gabungan jumlah genotipe yang
ditemukan pada sapi Bali, Madura, PO dan Pesisir terhadap rataan jumlah
genotipe keseluruhan dengan asumsi bahwa genotipe yang sama antarsapi
tersebut dianggap satu genotipe. Kecuali lokus INRA005 dan ETH225 yang
mempunyai range ukuran alel yang sama dengan range ukuran alel sapi Aceh,
umumnya sapi pembanding mempunyai range ukuran alel yang lebih pendek
pada semua lokus yang digunakan (Tabel 16).
Tabel 16 Kisaran ukuran alel dan jumlah genotipe sapi Aceh dan sapi outgrouppada 16 lokus mikrosatelit
Sapi Aceh Sapi outgroupLokus Ukuran dan
kisaran alelJumlah
genotipeUkuran dankisaran alel
Jumlahgenotipe
Total genotipe
BM1818 274 B - 299 L 27 (84,38) 270 A - 290 J 12 (37,50) 32INRA005 153 A - 163 G 15 (88,24) 153 A - 163 G 8 (47,06) 17CSRM60 101 A - 130 M 33 (84,62) 108 C - 126 K 9 (23,08) 39BM2113 142 B - 160 J 24 (85,71) 140 A - 158 I 14 (50,00) 28HEL5 166 A - 186 J 23 (95,83) 170 B - 182 G 4 (16,67) 24HEL9 161 A - 187 M 43 (95,56) 165 C - 185 L 6 (13,33) 45HEL13 191 A - 209 H 15 (88,23) 199 C - 207 G 7 (41,18) 17INRA63 194 B - 206 H 11 (91,67) 192 A - 204 G 7 (58,33) 12INRA35 117 A - 153 J 22 (95,65) 119 B - 137 F 4 (17,39) 23HEL1 116 A - 166 H 11 (84,62) 118 B - 124 E 4 (30,77) 13ETH225 158 A - 182 L 22 (84,61) 158 A - 182 L 9 (34,62) 26ETH10 224 A - 288 H 18 (85,71) 224 A - 234 F 10 (47,62) 21CSSM66 195 C - 217 M 25 (78,13) 191 A - 215 L 12 (37,50) 32BM1824 190 A - 212 J 13 (65,00) 195 B - 212 J 10 (50,00) 20ILSTS006 293 A - 321 M 29 (82,86) 297 B - 311 H 9 (25,71) 35ILSTS005 192 B - 208 I 19 (82,61) 188 A - 208 I 9 (39,13) 23Keterangan: ( ) proporsi dalam %
Enambelas lokus mikrosatelit yang digunakan, menghasilkan genotipe-
genotipe spesifik pada sapi Aceh dan sapi outgroup. Sapi Aceh mempunyai
jumlah genotipe spesifik tertinggi (65,22%) pada lokus INRA35 dan terendah
(5,88%) pada lokus INRA005. Kecuali lokus HEL5, HEL9, HEL13, INRA35,
ETH225 dan ETH10, sapi outgroup mempunyai jumlah genotipe spesifik tertinggi
77
(20%) pada lokus BM1824 dan terendah (2,56%) pada lokus CSRM60 (Gambar
18). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan genetik antara sapi Aceh dan
sapi pembanding. Semakin tinggi intensitas jumlah genotipe berbeda di antara
sapi Aceh dan sapi pembanding, maka semakin jauh hubungan genetik antara
sapi-sapi tersebut. Berdasarkan urutan intensitas kepemilikan genotipe bersama
antara sapi Aceh dan sapi pembanding dalam penelitian ini, maka urutan lokus
mikrosatelit yang dapat digunakan untuk uji pembeda genetik yaitu INRA35,
HEL5, ETH225, HEL1, ILSTS006, CSRM60, HEL9, INRA63, BM1818, HEL13,
BM1824, ILSTS005, CSSM66, BM2113, ETH10 dan INRA005.
0102030405060708090
100
Jum
lah
geno
tipe
(%)
Lokus mikrosatelitGenotipe sapi Ace hGenotipe sapi outgroupGenotipe bersama
Gambar 18 Perbandingan jumlah genotipe yang hanya terdapat pada sapi Aceh,outgroup dan genotipe bersama
Distribusi Frekuensi Alel
Frekuensi alel adalah proporsi alel yang ada dalam suatu populasi (Hartl,
1988). Masing-masing lokus memiliki alel dengan jumlah berbeda-beda dan alel
pada masing-masing lokus tidak menyebar secara merata dalam populasi sapi
Aceh dan sapi pembanding. Sebanyak 12 alel dengan panjang 270-299 pb
diidentifikasi pada lokus BM1818 (Gambar 19).
Pola distribusi frekuensi alel pada lokus BM1818 dari sapi Aceh dan sapi
pembanding berbeda. Alel E merupakan alel frekuensi tertinggi (0,750) yang
ditemukan pada sapi Pesisir dan alel K adalah alel frekuensi terendah (0,005)
yang ditemukan pada sapi Aceh. Hanya sapi Madura yang tidak memiliki alel E,
sedangkan alel A dengan ukuran 270 pb hanya dimiliki sapi Bali dalam keadaan
heterozigot (genotipe AD) dengan frekuensi 0,050.
78
Sebanyak 11 alel ditemukan pada lokus BM1818 dari sapi Aceh dengan
kisaran panjang ukuran alel 274-299 pb. Alel frekuensi tertinggi (0,441) pada
lokus BM1818 sapi Aceh adalah alel E yang berukuran 280 pb. Sisanya
merupakan alel-alel lain dengan frekuensi yang lebih rendah. Alel yang
mempunyai frekuensi paling rendah (K dan L) pada sapi Aceh merupakan alel-
alel lain yang tidak dimiliki oleh sapi pembanding.
0.0000.1000.200
0.3000.4000.500
0.6000.7000.800
A B C D E F G H I J K L
Aceh 0.000 0.286 0.009 0.014 0.441 0.091 0.055 0.023 0.045 0.023 0.005 0.009
Bali 0.050 0.000 0.000 0.200 0.150 0.150 0.000 0.100 0.300 0.050 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000
PO 0.000 0.250 0.000 0.000 0.250 0.250 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000
Pesis ir 0.000 0.250 0.000 0.000 0.750 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 19 Distribusi frekuensi alel lokus BM1818 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasangbasa: A_270, B_274, C_276, D_278, E_280, F_282, G_284, H_286,I_288, J_290, K_297, L_299)
Sebanyak tujuh alel dengan panjang bervariasi antara 153-163 pb
diidentifikasi pada lokus INRA005 (Gambar 20). Lokus INRA005 dari sapi Aceh
dan sapi pembanding mempunyai range ukuran alel yang sama. Pola distribusi
frekuensi alel lokus INRA005 dari sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda.
Alel E berukuran 159 pb dengan frekuensi tertinggi (1,00) ditemukan pada
sapi Madura dalam keadaan homozigot dan alel D berukuran 158 pb dengan
frekuensi terendah (0,004) hanya ditemukan pada sapi Aceh. Sapi Bali hanya
memiliki dua alel (A dan B) pada lokus INRA005, dengan frekuensi masing-
masing 0,778 untuk alel A dan 0,222 bagi alel B, sedangkan alel F dengan
panjang ukuran alel 161 pb hanya dimiliki sapi Pesisir dengan frekuensi 0,250.
Sebanyak enam alel ditemukan pada lokus INRA005 dari sapi Aceh
dengan kisaran panjang ukuran alel 274-299 pb. Alel frekuensi tertinggi (0,420)
79
pada lokus INRA005 sapi Aceh adalah alel E dan alel frekuensi terendah yaitu
alel D (0,004).
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
A B C D E F G
Aceh 0.188 0.080 0.210 0.004 0.420 0.000 0.098
Bali 0.778 0.222 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000
PO 0.000 0.250 0.250 0.000 0.250 0.000 0.250
Pesis ir 0.250 0.000 0.250 0.000 0.250 0.250 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 20 Distribusi frekuensi alel lokus INRA005 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasangbasa: A_153, B_155, C_157, D_158, E_159, F_161, G_163)
Sebanyak 13 alel dengan panjang ukuran bervariasi antara 101-130 pb
diidentifikasi pada lokus CSRM60 (Gambar 21). Lokus CSRM60 dari sapi Aceh
dan sapi pembanding mempunyai range ukuran alel yang berbeda. Pola
distribusi penyebaran alel dalam populasi sapi Aceh dan sapi pembanding tidak
menyebar secara merata. Terdapat Alel K dengan panjang ukuran 126 pb,
mempunyai frekuensi tertinggi (1,00) pada sapi Madura.
Sebanyak 12 alel ditemukan pada lokus CSRM60 dari sapi Aceh dengan
panjang ukuran antara 101 pb sampai 130 pb. Alel dengan frekuensi tertinggi
pada sapi Aceh (0,363) adalah alel K dan ada dua alel dengan frekuensi
terendah (0,004) yaitu alel B (panjang ukuran 106 pb) dan alel G (panjang ukuran
116 pb). Alel M (panjang ukuran 130 pb) hanya dimiliki sapi Aceh dengan
frekuensi rendah (0,021) dan alel F (panjang ukuran 114 pb) hanya dimiliki sapi
Bali dengan frekuensi 0,056. Sapi Bali memiliki lima alel pada lokus CSRM60.
Frekuensi alel tertinggi pada sapi Bali (0,556) adalah alel E (panjang ukuran
112 pb) dan alel frekuensi terendah (0,056) adalah dua alel (D dan F) masing-
masing panjang ukuran 110 pb dan 114 pb.
80
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
A B C D E F G H I J K L M
Aceh 0.018 0.004 0.148 0.102 0.004 0.000 0.004 0.201 0.039 0.067 0.363 0.032 0.021
Bali 0.000 0.000 0.222 0.056 0.556 0.056 0.111 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000
PO 0.000 0.000 0.750 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 21 Distribusi frekuensi alel lokus CSRM60 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasangbasa: A_101, B_106, C_108, D_110, E_112, F_114, G_116, H_118,I_120, J_124, K_126, L_128, M_130)
Sebanyak 12 alel dengan panjang ukuran 140-160 pb diidentifikasi pada
lokus BM2113 (Gambar 22). Pola distribusi frekuensi alel lokus BM2113 dari sapi
Aceh dan sapi pembanding berbeda. Pada lokus BM2113, terdapat alel yang
mempunyai frekuensi tinggi (0,500) yaitu masing-masing alel C (panjang ukuran
146 pb) dan I (panjang ukuran 158 pb) yang dimiliki sapi Madura dan alel yang
mempunyai frekuensi terendah (0,007) yaitu alel E yang dimiliki sapi Aceh. Sapi
Pesisir didapatkan satu-satunya yang tidak memiliki alel C.
Sebanyak delapan alel ditemukan pada lokus BM2113 dari sapi Aceh. Alel
frekuensi tertinggi (0,243) pada sapi Aceh adalah alel G dengan panjang ukuran
154 pb, sedangkan sapi Bali memiliki lima alel (A, B, C, D dan G) pada lokus
BM2113. Alel A dengan panjang ukuran 140 pb hanya dimiliki sapi Bali. Alel B
merupakan alel dengan frekuensi tertinggi pada sapi Bali (0,300) dan alel dengan
frekuensi terendah yaitu alel D (0,100).
Kisaran panjang ukuran alel pada lokus mikrosatelit BM2113 sapi Aceh
yaitu 142-160 pb (range 28 pb). Hasil studi Sarbaini (2004), dengan penggunaan
lokus yang sama pada sapi Pesisir menunjukkan kisaran ukuran alel yang lebih
pendek (range 22 pb) yaitu 123-145 pb.
81
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
A B C D E F G H I J
Aceh 0.000 0.067 0.232 0.000 0.007 0.215 0.243 0.077 0.134 0.025
Bali 0.100 0.300 0.250 0.100 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000
PO 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.500 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.250 0.250 0.250 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 22 Distribusi frekuensi alel lokus BM2113 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_140, B_142, C_146, D_148, E_150, F_152, G_154, H_156, I_158,J_160)
Kecuali sapi Madura yang tidak memiliki alel, sebagian besar sapi
penelitian sedikit memiliki alel pada lokus HEL5 (Gambar 23), kecuali sapi Aceh
memiliki seluruhnya. Sepuluh alel yang ditemukan pada lokus mikrosatelit HEL5
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
A B C D E F G H I J
Aceh 0.329 0.427 0.004 0.045 0.031 0.087 0.038 0.007 0.024 0.007
Bali 0.000 0.200 0.000 0.500 0.000 0.100 0.200 0.000 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
PO 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Pesisir 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 23 Distribusi frekuensi alel lokus HEL5 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_166, B_170, C_172, D_174, E_178, F_180, G_182, H_184, I_185,J_186)
82
dengan kisaran panjang ukuran alel 166-186 pb, distribusinya tidak merata.
Alel B (panjang ukuran 170 pb) dan alel D (panjang ukuran 186 pb) merupakan
alel frekuensi tertinggi (1,000), masing-masing dimiliki sapi Pesisir (alel B) dan
sapi PO (alel D).
Alel frekuensi tertinggi pada sapi Aceh (0,427) adalah alel B (panjang
ukuran 170 pb), dan alel-alel C, H dan J merupakan alel-alel dengan frekuensi
yang sangat rendah pada sapi Aceh. Alel A dengan panjang ukuran 166 pb
hanya dimiliki sapi Aceh. Sapi Bali memiliki empat alel pada lokus HEL5 dengan
kisaran panjang ukuran 170-182 pb, di mana alel D merupakan alel dengan
frekuensi tertinggi dan alel F merupakan alel dengan frekuensi terendah pada
sapi Bali.
Ada 12 jenis alel yang terdapat pada lokus HEL9 (Bishop et al., 1994).
Jumlah alel yang ditemukan pada lokus HEL9 dalam penelitian ini adalah 13 alel
dengan kisaran panjang ukuran alel 161-187 pb dan seluruh alel dimiliki sapi
Aceh dengan frekuensi beragam (Gambar 24). Sapi Bali memiliki dua jenis alel
(C dan D), masing-masing berukuran 165 pb untuk alel C dan 169 pb bagi alel D.
Frekuensi alel C pada lokus HEL9 sapi Bali dengan frekuensi tertinggi (0,950)
digolongkan sebagai alel monomorfik. Hasil ini hampir menyamai studi
Handiwirawan et al. (2003) yang melaporkan bahwa, pada sapi Bali terdapat tiga
0.0000.1000.2000.3000.4000.5000.6000.7000.8000.9001.000
A B C D E F G H I J K L M
Aceh 0.016 0.003 0.003 0.105 0.235 0.013 0.095 0.065 0.010 0.137 0.033 0.258 0.026
Bali 0.000 0.000 0.950 0.050 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.500 0.250 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
PO 0.000 0.000 0.000 0.250 0.250 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.250 0.000 0.000 0.250 0.250 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 24 Distribusi frekuensi alel lokus HEL9 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_161, B_163, C_165, D_169, E_171, F_173, G_175, H_177, I_179,J_181, K_183, L_185, M_187)
83
alel pada lokus HEL9 dan ada alel A yang mempunyai frekuensi cukup
besar (92,9%). Alel yang ditemukan tersebut adalah alel-alel yang juga terdapat
pada Banteng.
Alel C pada lokus HEL9 yang dapat menunjukkan monomorfik pada sapi
Bali, juga dimiliki sapi Madura dengan frekuensi yang lebih rendah (0,500).
Namun, sapi Aceh memiliki frekuensi alel C yang sangat rendah (0,003). Alel
frekuensi tertinggi pada sapi Aceh adalah alel L berukuran 185 pb dengan
frekuensi 0,258.
Hasil studi Sarbaini (2004) pada lokus HEL9 mikrosatelit dari sapi Pesisir,
ditemukan 12 alel dengan kisaran panjang ukuran 147-169 pb. Hasil penelitian
ini pada lokus yang sama dari sapi Aceh memiliki 13 alel dengan kisaran panjang
ukuran 161-187 pb.
Sebanyak delapan alel dengan panjang ukuran 191-209 pb diidentifikasi
pada lokus HEL13 dan sapi Aceh memiliki seluruh alel tersebut (Gambar 25).
Pola distribusi alel pada lokus HEL13 sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda.
Pada lokus HEL13 terdapat alel E (panjang ukuran 203 pb) dengan frekuensi
tertinggi yaitu dimiliki sapi Madura (1,000).
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
A B C D E F G H
Aceh 0.003 0.003 0.567 0.026 0.298 0.093 0.003 0.006
Bali 0.000 0.000 0.000 0.450 0.000 0.150 0.400 0.000
Madura 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000
PO 0.000 0.000 0.750 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.250 0.000 0.750 0.000 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 25 Distribusi frekuensi alel lokus HEL13 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_191, B_193, C_199, D_201, E_203, F_205, G_207, H_209)
Alel E dengan rataan frekuensi tinggi yang dimiliki sapi Aceh, Madura, PO
dan Pesisir, tidak ditemukan pada sapi Bali. Sapi Aceh memiliki delapan alel
84
(A-H) pada lokus HEL13 dengan frekuensi beragam. Alel C dengan panjang
ukuran 199 pb merupakan alel dengan frekuensi tertinggi dimiliki sapi Aceh pada
lokus HEL13. Ditemukan juga alel-alel lain (A, B, G dan H) dengan frekuensi
yang sangat rendah (0,003-0,006). Sapi PO dan Pesisir juga memiliki alel C
dengan frekuensi masing-masing 0,750 untuk sapi PO dan 0,250 bagi sapi
Pesisir, dan alel E dengan frekuensi 0,250 dan 0,750 masing-masing untuk sapi
PO dan Pesisir. Sapi Bali memiliki tiga alel (D, F, G) pada lokus HEL13 dengan
frekuensi tertinggi (0,450) yaitu alel D (panjang ukuran 201) dan terendah
(0,150) alel F (panjang ukuran 205).
Sebanyak delapan alel dengan panjang 192-206 pb diidentifikasi pada
lokus INRA63 (Gambar 26). Alel frekuensi tertinggi (0,600) ditemukan pada sapi
Bali yaitu alel C (panjang ukuran 196 pb) dan alel frekuensi terendah (0,007)
yaitu alel B (panjang ukuran 194 pb) dan D (panjang ukuran 198 pb) pada sapi
Aceh.
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.700
A B C D E F G H
Aceh 0.000 0.007 0.348 0.007 0.010 0.510 0.109 0.010
Bali 0.100 0.000 0.600 0.100 0.000 0.000 0.200 0.000
Madura 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.500 0.000
PO 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.500 0.250 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 26 Distribusi frekuensi alel lokus INRA63 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_192, B_194, C_196, D_198, E_200, F_202, G_204, H_206)
Sebanyak tujuh alel (kisaran panjang ukuran 194-206 pb) ditemukan pada
sapi Aceh. Alel F merupakan alel dengan frekuensi yang tertinggi pada sapi
Aceh, dan ditemukan juga alel-alel dengan frekuensi yang sangat rendah yaitu
alel B dan D masing-masing 0,007 dan alel E dan H masing-masing 0,010. Alel B
dengan panjang ukuran 194 pb hanya ditemukan pada sapi Aceh. Kecuali sapi
85
Bali yang tidak memiliki alel F (panjang ukuran 202), sapi Madura, PO, Pesisir
memiliki frekuensi alel F yang cenderung sama. Kecuali sapi Madura yang tidak
memiliki alel C dan sapi Pesisir yang tidak memiliki alel G, alel-alel yang dimiliki
kedua sapi tersebut juga ditemukan pada sapi Aceh, sedangkan sapi Bali
memiliki empat alel (A, C, D dan G) pada lokus INRA63. Alel A dengan panjang
ukuran 192 pb hanya ditemukan pada sapi Bali dengan frekuensi 0,100.
Ada tujuh jenis alel yang terdapat pada lokus INRA35 (Vaiman et al.,
1994). Jumlah alel yang ditemukan pada lokus INRA35 dalam penelitian ini
adalah 10 alel dengan kisaran panjang ukuran alel 117-153 pb dan seluruh alel
dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi beragam (Gambar 27). Pola distribusi
penyebaran alel dalam populasi sapi Aceh dan sapi pembanding tidak menyebar
secara merata. Alel F dengan panjang ukuran 137 pb merupakan alel dengan
frekuensi tertinggi yang dimiliki sapi Madura (1,000) dan alel G dan I dengan
frekuensi terendah ditemukan pada sapi Aceh (0,004).
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
A B C D E F G H I J
Aceh 0.299 0.266 0.007 0.047 0.022 0.288 0.004 0.058 0.004 0.007
Bali 0.000 0.000 0.900 0.000 0.000 0.100 0.000 0.000 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000
PO 0.000 0.250 0.000 0.000 0.250 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 27 Distribusi frekuensi alel lokus INRA35 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_117, B_119, C_121, D_123, E_125, F_137, G_139, H_141, I_147,J_153)
Alel frekuensi tertinggi dimiliki sapi Aceh (0.299) pada lokus INRA35 adalah
alel A dengan panjang ukuran 117 dan ditemukan juga alel-alel lain dengan
frekuensi sangat rendah yaitu 0,004 (alel G dan I) dan 0,007 (alel C dan J). Sapi
lain yang memiliki alel-alel yang sama dengan sapi Aceh yaitu sapi PO (alel B, E
86
dan F) dan sapi Pesisir (alel E dan F). Sapi Bali memiliki alel C (panjang ukuran
121 pb) dengan frekuensi sangat besar (0,900) dan alel F (panjang ukuran 137
pb) dengan frekuensi lebih rendah (0,100) dari frekuensi alel F pada sapi Aceh.
Lokus INRA35 belum dapat digolongkan sebagai alel monomorfik pada sapi Bali,
namun dapat ditunjukkan bahwa tidak ada alel lain selain alel C dan F yang
ditemukan pada sapi Bali dan lokus tersebut dapat digunakan sebagai lokus
pendukung penciri genetik sapi Bali. Hasil ini cenderung menyamai studi
Handiwirawan et al. (2003) dengan menggunakan sampel yang lebih banyak (77
sampel) melaporkan bahwa, sapi Bali mempunyai alel dengan frekuensi yang
cukup besar (96,8%) pada lokus INRA35. Hasil identifikasi genotipe sapi Bali
dan genotipe Banteng menunjukkan bahwa alel A dan B merupakan alel yang
monomorfik pada lokus mikrosatelit INRA35 pada sapi Bali sehingga dapat
digunakan sebagai penciri genetik sapi Bali.
Sebanyak delapan alel dengan panjang antara 116-166 pb diidentifikasi
pada lokus HEL1 (Gambar 28). Pola distribusi frekuensi alel pada lokus HEL1
pada sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda. Alel D dengan panjang ukuran
122 pb pada lokus HEL1 dimiliki oleh sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir.
Rataan frekuensi alel D umumnya tinggi dan frekuensi tertinggi ditemukan pada
sapi Madura (1,000) dalam keadaan genotipe homozigot. Alel D dengan
frekuensi cukup tinggi yang dimiliki sapi Bali (0,950) pada lokus HEL1
digolongkan sebagai monomorfik, sehingga lokus ini dapat digunakan sebagai
penciri spesifik sapi Bali.
Sebanyak tujuh alel ditemukan pada lokus HEL1 dari sapi Aceh dan alel
frekuensi tertinggi adalah alel D (0,827). Ada alel-alel lain (C, E, F, G dan H)
yang ditemukan pada sapi Aceh dengan frekuensi sangat rendah (berkisar
0,003-0,013). Alel A (panjang ukuran 116 pb) hanya ditemukan pada sapi Aceh
dengan frekuensi 0,103. Identifikasi genotipe pada lokus HEL1 menunjukkan
bahwa, jumlah genotipe homozigot DD sapi Aceh lebih besar (70,5%) terhadap
genotipe heterozigot (24,4%), dan ini merupakan jumlah genotipe homozigot
tertinggi pada sapi Aceh dari 16 lokus mikrosatelit yang digunakan dalam
penelitian ini.
Sapi PO memiliki alel B (panjang ukuran 118 pb) dan D (panjang ukuran
122pb) dengan frekuensi masing-masing 0,500. Alel B hanya ditemukan pada
sapi PO.
87
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
A B C D E F G H
Aceh 0.103 0.000 0.013 0.827 0.010 0.022 0.022 0.003
Bali 0.000 0.000 0.050 0.950 0.000 0.000 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000
PO 0.000 0.500 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.000 0.500 0.500 0.000 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 28 Distribusi frekuensi alel lokus HEL1 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_116, B_118, C_120, D_122, E_124, F_126, G_132, H_166)
Sebanyak 12 alel dengan panjang ukuran 158-182 pb diidentifikasi pada
lokus ETH225 (Gambar 29). Pola distribusi frekuensi alel lokus BM2113 dari
sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda. Pada lokus ETH225 terdapat alel
dengan frekuensi tertinggi (0,750) yaitu alel H (panjang ukuran 174 pb) yang
dimiliki PO dan Pesisir, dan alel yang mempunyai frekuensi terendah (0,003)
yaitu alel A (panjang ukuran 158 pb), K (panjang ukuran 180 pb) dan L (panjang
ukuran 182 pb) yang dimiliki sapi Aceh. Kecuali sapi Madura, alel H juga
ditemukan pada sapi Aceh dan Bali dengan frekuensi terendah pada sapi Bali.
Sapi Madura memiliki frekuensi alel A lebih tinggi (0,500) dari frekuensi alel A
pada sapi Aceh (0,003) dan sapi Bali memiliki frekuensi alel I lebih tinggi (0,100)
dari frekuensi alel I sapi Aceh (0,038).
Range dari distribusi sebaran alel (12 alel) pada lokus ETH225 dari sapi
Aceh yaitu 24 pb, berbeda dengan studi Sarbaini (2004) pada sapi Pesisir yaitu
ditemukan 11 alel dengan kisaran panjang ukuran alel 147-169 pb (range 22 pb).
Alel frekuensi tertinggi pada lokus ETH225 dari sapi Aceh adalah alel H (0,243),
sedangkan sapi Bali memiliki lima alel (A, B, C, D dan G) pada lokus yang sama
dan alel frekuensi tertinggi yaitu alel K (0,350).
88
0.000
0.1000.2000.300
0.4000.5000.600
0.7000.800
A B C D E F G H I J K L
Aceh 0.003 0.006 0.226 0.035 0.010 0.067 0.006 0.596 0.038 0.006 0.003 0.003
Bali 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.100 0.000 0.350 0.300
Madura 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000
PO 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.750 0.000 0.000 0.250 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 0.750 0.000 0.000 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 29 Distribusi frekuensi alel lokus ETH225 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_158, B_160, C_162, D_164, E_166, F_168, G_170, H_174, I_176,J_178, K_180, L_182)
Sebanyak delapan alel dengan panjang 192-206 pb diidentifikasi pada
lokus ETH10 (Gambar 30). Alel frekuensi tertinggi (0,550) ditemukan pada sapi
Bali yaitu alel D (panjang ukuran 230 pb) dan alel frekuensi terendah (0,003)
yaitu alel G (panjang ukuran 236 pb) dan alel H (panjang ukuran 288 pb) pada
sapi Aceh. Sapi Bali memiliki empat alel (B, D, E dan F) pada lokus ETH10
dengan frekuensi terendah (0,100) masing-masing yaitu alel B (panjang ukuran
226 pb) dan alel E (panjang ukuran 232 pb). Kecuali sapi Madura, sapi PO dan
Pesisir juga memiliki alel B namun dengan frekuensi lebih tinggi (0,500) dari sapi
lokal lain. Sapi Aceh memiliki alel B dan E dengan frekuensi yang cenderung
lebih tinggi (masing-masing 0,107 dan 0,177) dari frekuensi sapi Bali (masing-
masing 0,100), namun frekuensi alel E lebih besar dimiliki sapi Madura (0,500).
Sebanyak delapan alel ditemukan dalam range sebaran berukuran 14 pb
pada lokus ETH10 dari sapi Aceh. Alel frekuensi tertinggi pada sapi Aceh adalah
alel C (0,463) dengan panjang ukuran 228 pb dan ada tiga alel (D, G dan H)
dengan frekuensi yang rendah (0,020 untuk alel D dan 0,003 bagi masing-
masing alel G dan H). Alel D juga ditemukan pada sapi Madura dengan
frekuensi yang lebih tinggi (0,500). Hal ini mengindikasikan bahwa alel D pada
lokus ETH10 merupakan alel yang umum pada sapi Bali.
89
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
A B C D E F G H
Aceh 0.173 0.107 0.463 0.020 0.177 0.053 0.003 0.003
Bali 0.000 0.100 0.000 0.550 0.100 0.250 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.000 0.500 0.500 0.000 0.000 0.000
PO 0.000 0.500 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Pesisir 0.250 0.500 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 30 Distribusi frekuensi alel lokus ETH10 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_224, B_226, C_228, D_230, E_232, F_234, G_236, H_288)
Sebanyak 13 alel yang dideteksi pada lokus CSSM66 tersebar pada sapi
penelitian secara beragam dengan panjang ukuran alel berkisar 191-217 pb
(Gambar 31). Alel frekuensi tertinggi (0,500) ditemukan pada sapi Bali (alel E),
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
A B C D E F G H I J K L M
Aceh 0.000 0.000 0.154 0.422 0.056 0.183 0.010 0.003 0.000 0.007 0.023 0.137 0.007
Bali 0.050 0.100 0.050 0.000 0.500 0.000 0.150 0.000 0.150 0.000 0.000 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000
PO 0.000 0.000 0.250 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.250 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 31 Distribusi frekuensi alel lokus CSSM66 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_191, B_193, C_195, D_197, E_199, F_201, G_205, H_207, I_209,J_211, K_213, L_215, M_217)
90
Madura (alel C), PO (alel K) dan Pesisir (alel L). Alel dengan frekuensi terendah
(0,003) ditemukan pada sapi Aceh (alel G dan H). Sapi Aceh, Bali, Madura, PO
dan Pesisir memiliki alel C (panjang ukuran 195 pb) dan alel C dengan frekuensi
terendah ditemukan pada sapi Bali (0,050).
Ada alel-alel yang ditemukan pada lokus CSSM66 dari sapi penelitian,
tidak ditemukan pada sapi Aceh yaitu alel A, B dan I. Sapi Aceh memiliki 10
macam alel pada lokus CSSM66 dengan kisaran panjang ukuran 195-217 pb.
Alel frekuensi tertinggi dan terendah yang ditemukan pada sapi Aceh masing-
masing adalah alel D (0,422) dan alel H (0,003). Sapi pembanding yang memiliki
alel D dengan panjang ukuran alel 197 pb, hanya sapi PO dengan frekuensi
0,250. Ada dua alel yang tidak dimiliki sapi Aceh disamping enam alel yang dapat
dideteksi pada lokus CSRM66 dari sapi Bali.
Sebanyak 10 alel dengan panjang ukuran 190-212 pb diidentifikasi pada
lokus BM1824 (Gambar 32). Alel dengan frekuensi tertinggi (0,750) ditemukan
pada sapi Madura dan Pesisir yaitu alel D (panjang ukuran 200 pb), dan
frekuensi alel terendah (0,004) yaitu alel F pada sapi Aceh. Alel D juga dimiliki
sapi Aceh dengan frekuensi lebih rendah (0,402), PO (0,500), dan sapi Bali
dengan frekuensi paling rendah 0,056.
0.0000.100
0.2000.3000.400
0.5000.6000.700
0.800
A B C D E F G H I J
Aceh 0.038 0.007 0.434 0.402 0.084 0.004 0.000 0.000 0.000 0.031
Bali 0.000 0.444 0.000 0.056 0.000 0.000 0.056 0.056 0.389 0.000
Madura 0.000 0.000 0.000 0.750 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000
PO 0.000 0.000 0.000 0.500 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250
Pesisir 0.000 0.000 0.250 0.750 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 32 Distribusi frekuensi alel lokus BM1824 pada sapi Aceh, Bali, Madura,PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa:A_190, B_195, C_198, D_200, E_202, F_205, G_207, H_209, I_211,J_212)
91
Distribusi alel pada lokus BM1824 dari sapi Aceh tidak semuanya merata
pada semua alel yang ditemukan. Alel G dan H yang dimiliki sapi Bali dengan
frekuensi masing-masing 0,056 dan alel I yang dimiliki sapi Bali dan Madura
dengan frekuensi masing-masing 0,389 dan 0,250, ketiganya tidak ditemukan
pada sapi Aceh, PO dan Pesisir. Sebanyak tujuh alel sapi Aceh yang tersebar
dalam range ukuran alel (22 pb) pada lokus BM1824, alel C merupakan alel
dengan frekuensi tertinggi (0,434) dan ditemukan juga alel-alel dengan frekuensi
sangat rendah yaitu alel B (0,007), F (0,004) dan J (0,031).
Sebanyak 13 alel dengan panjang 293-321 pb diidentifikasi pada lokus
ILSTS006 (Gambar 33). Alel G (panjang ukuran 309 pb) dengan frekuensi
tertinggi (0,750) ditemukan pada sapi Pesisir. Alel C (panjang ukuran 301 pb),
alel D (panjang ukuran 303) dan alel E (panjang ukuran 305) masing-masing
merupakan alel dengan frekuensi terendah (0,008) yang ditemukan pada lokus
ILSTS006 dari sapi Aceh. Alel C yang dimiliki sapi Madura dengan frekuensi
tinggi (0,500), ditemukan juga pada sapi Bali dengan frekuensi yang lebih rendah
(0,100), tetapi tidak ditemukan pada sapi PO dan Pesisir. Hanya sapi Madura
yang tidak memiliki alel G dan frekuensi terendah ditemukan pada sapi Aceh
(0,157).
0.0000.1000.200
0.3000.4000.5000.600
0.7000.800
A B C D E F G H I J K L M
Aceh 0.109 0.000 0.008 0.008 0.008 0.012 0.157 0.411 0.028 0.040 0.012 0.194 0.012
Bali 0.000 0.100 0.100 0.400 0.000 0.050 0.350 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
PO 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.000 0.250 0.000 0.000 0.750 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Frek
uens
iale
l
Gambar 33 Distribusi frekuensi alel lokus ILSTS006 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasangbasa: A_293, B_297, C_301, D_303, E_305, F_307, G_309, H_311,I_313, J_315, K_317, L_319, M_321)
92
Pada sapi Bali terdeteksi lima alel (B, C, D, F dan G) pada lokus ILSTS006
di mana alel D (panjang ukuran 303 pb) sebagai alel frekuensi tertinggi (0,400)
dan alel F (panjang ukuran 307 pb) merupakan alel frekuensi terendah (0,050).
Alel F tersebut juga ditemukan pada sapi Aceh dengan frekuensi sangat kecil
(0,012). Alel B (panjang ukuran 297 pb) hanya ditemukan pada sapi Bali dengan
frekuensi 0,100.
Ada alel yang tidak dimiliki sapi Aceh (alel B) pada lokus ILSTS006 dari
sebaran alel yang ditemukan dalam range ukuran alel 28 pb. Sebanyak 12 alel
yang ditemukan pada sapi Aceh, alel H merupakan alel dengan frekuensi
tertinggi (0,411). Selain Alel C, D, E, ada tiga alel lain (F, K, M) dengan frekuensi
rendah (0,012) ditemukan pada sapi Aceh yaitu masing-masing panjang ukuran
alel 307, 317 dan 321 pb.
Sebanyak sembilan alel dengan panjang ukuran 188-208 pb diidentifikasi
pada lokus ILSTS005 (Gambar 34). Pola distribusi frekuensi alel lokus ILSTS005
dari sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda. Ditemukan empat alel (C, D, F
dan I) berfrekuensi tinggi (0,500) pada lokus ILSTS006 dengan panjang ukuran
alel masing-masing 194, 196, 200 dan 208 pb yaitu pada sapi Madura, PO,
Pesisir dan juga sapi Madura. Alel dengan frekuensi terendah yang ditemukan
pada lokus ILSTS006 adalah alel G (0,003) dengan panjang ukuran 202 pb yaitu
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
A B C D E F G H I
Aceh 0.000 0.009 0.000 0.057 0.154 0.336 0.003 0.255 0.186
Bali 0.100 0.000 0.450 0.450 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Madura 0.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500
PO 0.000 0.000 0.000 0.500 0.000 0.250 0.000 0.250 0.000
Pesisir 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.500 0.000 0.000 0.250
Frek
uens
iale
l
Gambar 34 Distribusi frekuensi alel lokus ILSTS005 pada sapi Aceh, Bali,Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasangbasa: A_188, B_192, C_194, D_196, E_198, F_200, G_202, H_204,I_208)
93
terdapat pada sapi Aceh. Alel A (panjang ukuran 188 pb) hanya ditemukan
pada sapi Bali dengan frekuensi 0,100 dan alel C hanya dimiliki sapi Bali dan
Madura, dengan frekuensi lebih rendah (0,450) pada sapi Bali.
Pada lokus ILSTS006, sebanyak tujuh alel (B, D, E, F, G, H dan I)
ditemukan pada sapi Aceh, sedangkan sapi Bali memiliki tiga alel (A, C dan D).
Alel berfrekuensi tinggi yang ditemukan pada sapi Aceh yaitu alel F dengan
panjang ukuran 200 pb. Alel B (panjang ukuran alel 192 pb) hanya ditemukan
pada sapi Aceh, namun tidak ditemukan alel A dan C. Sapi PO dan Pesisir juga
memiliki alel-alel yang dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi beragam.
Variasi Genetik dan Keseimbangan Hardy-Weinberg
Jumlah rataan total alel per lokus dalam penelitian ini adalah 10,25 ± 2,08.
Lokus yang paling informatif (heterozigositas yang dihitung secara langsung
dengan nilai tertinggi) adalah BM2113 (88%) dan lokus yang paling tidak
informatif (heterozigositas yang dihitung secara langsung dengan nilai terendah)
adalah HEL5 (15%) (Tabel 17). Lokus HEL5 pada sapi Madura, PO dan Pesisir
tidak ada informasi, tetapi dapat menunjukkan heterozigositas pada sapi Aceh
sebesar 35% dan sapi Bali 40%. Primer-primer yang sangat informatif dapat
dipergunakan untuk penilaian pejantan-pejantan sapi penelitian, seperti yang
dinyatakan Machado et al. (2003) yang melakukan penelitian pada empat bangsa
sapi (Gyr, Nellore, Guzerat dan Holstein). Primer-primer yang paling informatif
(BMS1237, BMS1126 dan BMS518) merupakan kandidat yang baik untuk
pengujian pejantan terkait dengan nilai heterozigositas hitungnya yang tinggi,
jumlah alel yang besar dan frekuensi alelnya yang terdistribusi secara baik.
Lokus-lokus yang menampilkan heterozigositas yang sangat kecil pada
sapi Bali yaitu HEL9 dan HEL1 (10%), INRA 63 (20%) dan INRA005 (22%),
Lokus INRA35 menunjukkan tidak ada heterozigositas pada sapi Bali dan
Pesisir, tetapi ada heterozigositas pada sapi Aceh (60%) dan PO (50%). Lokus
HEL9 menunjukkan heterozigositas sangat tinggi (82%) pada sapi Aceh dan
sangat rendah pada sapi Bali (10%), sedangkan pada sapi Madura memiliki
heterozigositas sebesar 50% dan 100% pada masing-masing sapi PO dan
Pesisir. Semua primer yang dipergunakan dapat menunjukkan heterozigositas
pada sapi lokal, kecuali INRA35 pada sapi Bali dan Pesisir, ETH10 pada sapi PO
dan INRA35, HEL1 pada sapi Pesisir.
94
Tabel 17 Heterozigositas masing-masing lokus mikrosatelit pada sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir
Aceh Bali Madura PO Pesisir RataanLokusHHit HH-W P HHit HH-W P HHit HH-W P HHit HH-W P HHit HH-W P HHit HH-W
BM1818 0,7091 0,7121 0,13 0,8000 0,8526 0,34 1,0000 0,6667 1,00 1,0000 1,0000 1,00 0,5000 0,5000 1,00 0,8018 0,7463INRA005 0,7029 0,7304 0,09 0,2222 0,3660 0,34 - - - 1,0000 1,0000 1,00 1,0000 1,0000 1,00 0,5850 0,6193CSRM60 0,7394 0,7909 0,10 0,7778 0,6601 1,00 - - - 0,5000 0,5000 1,00 1,0000 1,0000 1,00 0,6034 0,5902BM2113 0,6972 0,8147 0,00* 0,7000 0,8053 1,00 1,0000 0,6667 1,00 1,0000 0,8333 1,00 1,0000 1,0000 1,00 0,8794 0,8240HEL5 0,3497 0,6996 0,00* 0,4000 0,7333 0,11 - - - - - - - - - 0,1499 0,2866HEL9 0,8170 0,8354 0,83 0,1000 0,1000 1,00 0,5000 0,8333 0,33 1,0000 1,0000 1,00 1,0000 1,0000 1,00 0,6834 0,7537HEL13 0,5513 0,5818 0,08 0,7000 0,6474 0,42 - - - 0,5000 0,5000 1,00 0,5000 0,5000 1,00 0,4503 0,4458INRA63 0,5762 0,6089 0,60 0,2000 0,6105 0,00* 1,0000 0,6667 1,00 0,5000 0,8333 0,34 1,0000 0,6667 1,00 0,6552 0,6772INRA35 0,6043 0,7538 0,00* 0,0000 0,1895 0,05* - - - 0,5000 0,8333 0,34 0,0000 0,6667 0,33 0,2209 0,4887HEL1 0,2885 0,3054 0,02* 0,1000 0,1000 1,00 - - - 1,0000 1,0000 1,00 0,0000 0,6667 0,33 0,2777 0,4144ETH225 0,5669 0,5887 0,58 0,9000 0,7526 0,66 1,0000 0,6667 1,00 0,5000 0,5000 1,00 0,5000 0,5000 1,00 0,6934 0,6016ETH10 0,7133 0,7118 0,01* 0,4000 0,6474 0,11 1,0000 0,6667 1,00 0,0000 0,6667 0,33 1,0000 0,8333 1,00 0,6227 0,7052CSSM66 0,7320 0,7450 0,19 0,6000 0,7263 0,25 1,0000 0,6667 1,00 1,0000 0,8333 1,00 1,0000 1,0000 1,00 0,8664 0,7943BM1824 0,6224 0,6430 0,17 0,5556 0,6797 0,57 0,5000 0,5000 1,00 0,5000 0,8333 0,33 0,5000 0,5000 1,00 0,5356 0,6312ILSTS006 0,5645 0,7568 0,00* 0,9000 0,7316 0,25 1,0000 0,6667 1,00 1,0000 1,0000 1,00 0,5000 0,5000 1,00 0,7929 0,7310ILSTS005 0,7170 0,7628 0,01* 0,5000 0,6158 0,39 1,0000 0,6667 1,00 1,0000 0,8333 1,00 0,5000 0,8333 0,33 0,7434 0,7424RataanSD
0,62200,1415
0,69010,1278
0,49100,2985
0,57610,2462
0,90000,2108
0,66670,07857
1,00 0,73330,3200
0,81110,1880
0,66670,3619
0,74440,2170
0,59760,2227
0,62820,1516
Keterangan: *) Signifikan pada P<0,05%-)Tidak memiliki alel heterozigot
95
Rata-rata heterozigositas yang dihitung secara langsung untuk
keenambelas lokus adalah 60% dan heterozigositas harapan Hardy-Weinberg
adalah 63%. Sebagian besar lokus, heterozigositas hitung langsung dan
heterozigositas Hardy-Weinberg menunjukkan nilai-nilai yang serupa meskipun
ada sedikit lokus yang menunjukkan heterozigositas hitung langsungnya lebih
kecil daripada heterozigositas harapan pada sapi-sapi penelitian.
Hardy-Weinberg Equilibrium (HWE) diujikan pada setiap lokus dengan
menggunakan pengujian dari gabungan alel-alel secara tidak acak di dalam
masing-masing individu diploid berdasarkan analisis program Arlequin
(Tabel 17). Tujuh lokus pada sapi Aceh (BM2113, HEL5, INRA35, HEL1,
ETH10, ILSTS006, ILSTS005) menunjukkan adanya deviasi terhadap kese-
imbangan hukum Hardy-Weinberg (P<0,05) dengan nilai indeks G-W terdapat
dalam Lampiran 16. Pada sapi Aceh, sebagian kecil lokus (tujuh lokus) me-
nunjukkan kemungkinan keseimbangan Hardy-Weinberg yang sangat rendah.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa di dalam populasi sapi Aceh, sampel-
sampel terpilih menunjukkan populasi yang tidak lagi berada dalam
keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini kemungkinan karena adanya transportasi
ternak yang dapat terjadi pertukaran ternak antarlokasi peternakan lokal sampai
ke tingkat kabupaten, sehingga terjadi aliran gen. Lebih umum terjadi, karena
sapi Aceh digembalakan, sehingga perkawinan dengan sapi lain dapat saja
terjadi di lapangan. Disamping itu, ada kemungkinan telah terjadi seleksi negatif
dalam populasi sapi Aceh, yaitu sapi-sapi yang berukuran besar dijual peternak
dan hanya tinggal sapi-sapi yang berukuran kecil yang berada dalam populasi
dan mendapat kesempatan berkembang biak.
Berdasarkan hasil Amova pada DNA mikrosatelit, sapi Aceh mengalami
inbreeding dengan nilai koefisien inbreeding yang tergolong tinggi (FIS = 0,11).
Hal ini kemungkinan karena keterbatasan pejantan dalam populasi sehingga
terjadi perkawinan keluarga dekat. Lebih umum terjadi, karena sapi Aceh
digembalakan dengan pejantan yang terbatas, sehingga perkawinan sapi dengan
satu pejantan tertentu dapat terjadi di lapangan.
Penggunaan sampel yang terbatas pada sapi Bali menunjukkan deviasi
terhadap keseimbangan Hardy-Weinberg pada lokus INRA63 dan INRA35. Hal
ini mungkin terkait dengan pengambilan sampel, sehingga sebagian besar lokus
menunjukkan keseimbangan.
96
Rataan heterozigositas genetik pada 16 lokus dari kelima sapi lokal yaitu
masing-masing sapi Aceh 0,622 ± 0,142; Bali 0,491 ± 0,299; Madura 0,900 ±
0,211; PO 0,733 ± 0,320; dan Pesisir 0,667 ± 0,362. Keragaman heterozigositas
dalam populasi sapi Aceh lebih tinggi dibanding dengan keragaman
heterozigositas sapi Bali, dan cuplikan sampel terbatas (dua sampel) pada sapi
PO, Madura dan Pesisir menunjukkan keragaman heterozigositas yang lebih
tinggi. Heterozigositas yang tinggi dalam populasi sapi Aceh menunjukkan
bahwa sapi ini mengandung alel-alel sapi lain atau alel mutasi dengan frekuensi
rendah. Hal ini dimungkinkan karena program inseminasi buatan yang diterap-
kan di Aceh telah menimbulkan segregasi gen-gen sapi lain yang beragam dan
meluas dalam populasi sapi Aceh dan dapat juga karena belum ada seleksi yang
dilakukan.
Jarak Genetik Sapi Aceh dan Sapi Outgroup
Berdasarkan perhitungan nilai jarak genetik pada sapi Aceh, Bali, Madura,
PO dan Pesisir, maka nilai jarak genetik terkecil adalah antara sapi Aceh
terhadap sapi PO yaitu sebesar 0,0272 dan nilai jarak genetik tertinggi adalah
antara sapi Bali dan sapi Pesisir yaitu sebesar 0,3590 (Tabel 18).
Tabel 18 Matriks jarak genetik Nei yang diperoleh dari frekuensi-frekuensi alelpada 16 lokus mikrosatelit sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir
Aceh Bali Madura PO PesisirAceh 0,0000Bali 0,3004 0,0000Madura 0,2416 0,2973 0,0000PO 0,0272 0,3202 0,2793 0,0000Pesisir 0,0516 0,3590 0,1498 0,0417 0,0000
Matriks jarak genetik Nei, menunjukkan bahwa sapi Aceh merupakan sapi
yang berbeda dengan sapi lokal lain: 0,3004 kedekatannya dengan sapi Bali;
0,2416 kedekatannya dengan sapi Madura; 0,0272 kedekatannya dengan sapi
PO; dan 0,0516 kedekatannya dengan sapi Pesisir. Hasil yang didapatkan ini
menunjukkan bahwa sapi Aceh mempunyai jarak genetik yang lebih dekat
dengan sapi PO dibanding dengan sapi Pesisir, Madura dan Bali. Urutan
hubungan jarak genetik antara sapi Aceh dan sapi pembanding berturut-turut
yaitu PO, Pesisir, Madura dan Bali. Hasil perhitungan tersebut diperkuat dengan
dendogram jarak genetik hasil analisis DNA mikrosatelit (Gambar 35).
97
Bali
PO
Aceh
Pesisir
Madura
0.02
Gambar 35 Kontruksi pohon filogeni berdasarkan metode Neighbor-Joining daridata jarak genetik Nei pada sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir
Sapi Aceh memiliki klaster yang sama dengan sapi PO pada jarak genetik
0,0272 dan membentuk percabangan dengan sapi Pesisir dari Sumatera Barat.
Sapi Madura, mempunyai jarak genetik yang lebih jauh dengan sapi Bali
(0,2973), sehingga dikelompokkan bersama sapi Pesisir, Aceh dan PO dengan
jarak genetik masing-masing 0,1498; 0,2416 dan 0,2793. Hasil yang ditemukan
ini menunjukkan bahwa sapi Aceh, PO, Pesisir dan Madura mengandung materi
genetik sapi zebu, sedangkan sapi Bali mempunyai klaster sendiri yang terpisah
dari pengelompokan sapi tersebut. Menurut Martojo (2003), sapi Bali merupakan
hasil domestikasi langsung dari Banteng (Bos javanicus, Bos banteng, Bos
sondaicus).
Pemisahan sapi Bali dari kelompok sapi lokal berdasarkan analisis DNA
mikrosatelit dalam penelitian ini, memberi petunjuk bahwa sapi Bali banyak
memiliki alel unik yang tidak dimiliki sapi lokal lain dan kemurniannya terhadap
introgresi zebu masih cukup tinggi. Hal ini ada kaitannya dengan pelarangan
masuk sapi lain ke Pulau Bali.
Penelitian ini memberi gambaran bahwa, sapi Madura berkerabat dengan
sapi PO (turunan zebu), demikian juga sapi Aceh dan Pesisir, sehingga hal ini
menunjukkan bahwa sapi Aceh, Pesisir dan Madura mengandung materi genetik
sapi zebu dari India. Sapi Bali menurut Namikawa (1981) telah diketahui lebih
dekat secara genetik dengan sapi Bos banteng (Bos javanicus). Estimasi
proporsi sumber gen-gen dari Bos taurus, Bos indicus dan Bos javanicus
disajikan dalam Tabel 19.
98
Tabel 19 Estimasi proporsi sumber gen-gen dari Bos taurus, Bos indicus dan Bosjavanicus
Proporsi sumber gen berasal dariBangsa sapi Lokasi Bos taurus Bos indicus Bos bantengHolstein (pembanding) 1,000 0,000 0,000Thai Thailand Utara 0,123 0,823 0,054Thai Thailand Selatan 0,539 0,346 0,115Kedah-Kelantan Malaysia Barat 0,604 0,285 0,111Filipina (asli) Luzon 0,107 0,723 0,170Filipina (asli) Palawan-Mindano 0,109 0,641 0,250Sumatera Padang-Sumatera 0,236 0,569 0,194Madura Madura 0,456 0,328 0,217Jawa Jawa Timur 0,374 0,395 0,231Bali Bali 0,084 0,292 0,791Sumber: Namikawa (1981)
Penelusuran Asal-usul Sapi Aceh
Berdasarkan ukuran dan frekuensi alel pada enambelas lokus mikrosatelit
yang digunakan dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa posisi sapi Aceh
berdekatan dengan sapi PO dan ada alel-alel yang ditemukan pada sapi Bali
juga ditemukan pada sapi Aceh dengan frekuensi beragam. Selanjutnya, ditinjau
dari analisis DNA mitokondria pada daerah conserve D-loop parsial (479 bp)
menunjukkan bahwa sapi Aceh berdekatan dengan sapi-sapi zebu (Bos indicus).
Kedua kajian ini menunjukkan indikasi bahwa sapi Aceh merupakan turunan dari
hasil persilangan sapi zebu dan Banteng yang telah terjadi pada masa lalu.
MacHugh et al. (1997) dan Kumar et al. (2003) menyatakan bahwa, ukuran alel
mikrosatelit, seperti juga frekuensi alelnya, adalah suatu sumber informasi
tentang hubungan nenek moyang melalui pemisahan distribusi-distribusi panjang
alel pada populasi.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di bagian paling barat
dari gugusan kepulauan Nusantara, pada zaman kemakmuran pemerintahan
Sultan Iskandar Muda telah terjalin kerja sama antarnegara dan perdagangan
bebas, sehingga banyak pedagang dunia yang singgah di Aceh (Kutaradja,
Banda Aceh dan Samudera Pase, Aceh Utara). Pedagang Arab, Cina dan India
yang datang ke Aceh membawa barang-barang dagangan, termasuk ternak sapi
yang dibawa pedagang dari India. Hal ini telah dilaporkan Markens (1926)
bahwa, perdagangan yang ramai sudah lama terjalin antara Aceh dan Malaka, di
pantai seberang. Sudah dikenal bahwa para imigran India membawa sapi-sapi
ke Aceh. Pada abad ke-19 sudah menjadi kebiasaan mengimpor ternak dari
selat Malaka, khususnya ke Pidie dan Aceh Timur Laut.
99
Pada sisi lain, dari beberapa keterangan disebutkan bahwa, pada zaman
dahulu di Aceh terdapat Banteng yang sering diburu penduduk Kecamatan
Seulimum Kabupaten Aceh Besar dan penduduk Kecamatan Padang Tidji
Kabupaten Pidie untuk mendapatkan daging buruan.
Banteng di Indonesia hanya ada Banteng yang merupakan nenek moyang
sapi Bali. Menurut Martojo (2003) dan Hardjosubroto (2004), sapi Bali (Bos
javanicus) adalah hasil penjinakan langsung dari Banteng. Hal yang sama
dinyatakan MacHugh (1996) bahwa, sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari
Banteng. Gambar 36 menunjukkan kelompok subfamili Bovinae dalam bagan
yang menunjukkan spesies-spesies yang ada sekarang berasal dari hasil
penjinakan spesies liar.
Bos taurus dan Bos indicus adalah dua spesies berbeda yang mempunyai
kerabat liar Bos primigenius. Kedua spesies sapi ini jumlahnya sangat besar dan
penyebarannya sangat luas. Dua spesies lain yaitu Bos banteng dan Bos
frontalis (gaur) hanya terdapat di negara-negara tertentu (MacHugh 1996).
Penyebaran Gaur liar meliputi bagian selatan dan tenggara Asia mulai dari India
sampai Semenanjung Malaysia, yaitu India, Nepal, Bhutan, Bangladesh,
Myanmar, Thailand, Cina, Laos, Kamboja, Vietnam dan Malaysia (Nguyen et al.
2007).
Pemisahan antara sapi bibovine (sapi Bali) dan sapi yang telah dijinakkan
(Bos) terjadi 2-4 ribu tahun yang lalu. Penyimpangan perkiraan waktu hasil
analisis antara sapi jinak dan sapi bibovine adalah 0,57-1,52 juta tahun yang lalu
(Kikkawa et al. 1995). Asal mula sapi Bali adalah dari Pulau Bali mengingat
tempat ini merupakan pusat distribusi sapi Bali di Indonesia (Payne dan Rollinson
1973). Gen asli sapi Bali diduga berasal dari Pulau Bali dan kemudian menyebar
ke Asia Tenggara. Dengan kata lain bahwa pusat gen sapi Bali adalah di Pulau
Bali, di samping pusat gen sapi zebu di India dan pusat gen primigenius di Eropa
(Nozawa 1979). Sapi Mithan (Bos frontalis) jumlahnya telah terbatas, tersebar di
negara-negara perbukitan yang memisahkan antara India dan Bangladesh dari
Birma hingga dataran tinggi antara India dan Tibet serta Cina (Payne 1991).
Divergensi (penyimpangan) evolusiner antara Bos taurus dan Bos indicus
seperti halnya juga antara Bubalus bubalis tipe sungai dan tipe rawa secara jelas
keduanya dalam dua cabang. Bison bison, Bos grunniens (yak) dan Bos frontalis
(Mithan) dengan jelas sebagai suatu garis keturunan yang terpisah. Bos taurus,
Bos indicus, Bos grunniens dan Bos frontalis satu klaster dalam genus Bos.
100
Sub famili Grup Genus Spesies liar Spesies Domestikasi
Bos taurustaurus breeds
Bos primigeniusAurochs (punah)
Bos indicuszebu breeds
Bos [Bibos] banteng(Banteng)
Bos [Bibos] banteng(sapi Bali)
BosBos [Bibos] gaurus(Gaur)
Bos [Bibos] frontalis(Sapi Mithan)
Bovina* Bos [Bibos] sauveli
(Kouprey)
Pöephagus Pöephagus mutus(Yak)
Pöephagus grunniens(domestic yak)
Bison bison(American bison)
BisonBison bonasus(European bison)
Bovinae Bubalus arnee KerrAsian wild buffalo; arnee
Bubalus bubalus(semua kerbau air & rawa)
Bubalina Bubalus Bubalus mindoroensis Bohlken
B.d. depressicornis(lowland anoa)
B.d. quarlesi(mountain anoa)
Syncerina Syncerus Syncerus caffer Sparman
S.c. caffer(black or Cape buffalo)
S.c. nanus(red or Congo buffalo)
Gambar 36 Spesies liar dan domestikasi antarsubfamili Bovinae(Sumber: Payne 1991; *MacHugh 1996)
Nenek moyang liar dari Mithan (Bos frontalis) adalah sebenarnya Gaur (Ritz et
al. 2000). Keduanya menampilkan kariotipe yang sama (2n = 58) dan interfertil
yang lengkap (Payne 1991). Suatu analisis subsekuens dari mtDNA dengan
penggunaan sampel yang lebih besar menunjukkan hal terbaru bahwa nenek
moyang umum Bos indicus dan Bos taurus mungkin telah hidup sama pada 117-
275.000 tahun yang lalu (Bradley et al. 1996). Loftus et al. (1999) yang
melakukan penelitian dengan menggunakan 546 sampel (delapan populasi dari
Anatolia, Timur Tengah dan Mesir; tiga bangsa sapi dari Eropa, satu bangsa sapi
dari Afrika Barat dan dua dari India) pada 20 lokus mikrosatelit, mempunyai
hipotesis bahwa, pemusatan penjinakan sapi Bos taurus dan Bos indicus
101
mempunyai pemisahan asal-usul, hal ini didukung juga oleh survei, suatu
penyimpangan yang besar dan nyata pada genetik antara grup sapi taurine dan
zebu, bukan hibridisasi.
Penelitian terkini Edwards et al. (2007) dengan menggunakan daerah
D-loop (control region) DNA mitokondria kelompok haplogrup berbeda pada
populasi aurochs Eurasia, yaitu haplogroup utama melintasi Eropa, satu
haplotipe di Neolitik Jerman; dan satu haplotipe dari suatu contoh di Near East
(Timur Dekat). Juga diambil data mtDNA dari data lain dan disimpulkan bahwa
gen pool domestik ditetapkan dari hewan dengan haplotipe sekitar 10.000 tahun
yang lalu, dan bahwa haplogroup utama ini menunjukkan populasi aurochs di
Near East (Timur Dekat), sesuai dengan satu haplotipe dari Syria. Haplotipe
tersebut diintroduksi ke Eropa pada zaman pertanian yaitu dimulai sekitar 8.800
tahun yang lalu, mengikuti domestikasi sapi yang hidup sezaman di habitat yang
sama dengan aurochs lokal sebelumnya yang telah mengalami ekspansi
populasi, yaitu mungkin pada masa puncak pencairan es (Last Glacial
Maximum).
Berdasarkan hasil penelitian sapi Aceh dengan menggunakan analisis
fenotipik, daerah D-loop mtDNA dan DNA mikrosatelit, telah memberikan
informasi keragaman fenotipik dan keragaman genetik pada sapi Aceh dalam
pengelompokan sapi lokal di Indonesia. Informasi-informasi yang diperoleh dari
hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai pedoman dalam menentukan evaluasi
sumber daya genetik sapi Aceh, sehingga agar dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat luas dan khususnya meningkatkan taraf
hidup masyarakat petani peternak, maka sapi Aceh sebagai plasma nutfah asli di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perlu dilestarikan dan dimanfaatkan melalui
pengelolaan yang lebih tepat, terarah, terencana dengan lingkungannya
sehingga dapat berkembang secara berkelanjutan. Hal ini harus dilakukan
mengingat adanya dua undang-undang Republik Indonesia dan dua peraturan
menteri pertanian seperti tercantum dalam sub-bab Pelestarian Sumber Daya
Genetik Ternak di bagian tinjauan pustaka (halaman 11).
Sifat sapi Aceh jantan penggemukan (kereman) yang sangat nervus dan
suka menanduk apa saja yang ditemuinya jika sewaktu-waktu dikeluarkan dari
kandang, sering dimanfaatkan sebagian peternak di Kabupaten Aceh Besar pada
waktu-waktu tertentu sebagai ternak aduan (untuk olah raga sapi) dan keunikan
ini dapat mengundang minat wisatawan. Pemeliharaan sapi Aceh, dengan
102
manajemen tradisional dan input sangat rendah mempunyai peran penting bagi
petani sebagai tabungan keluarga, pupuk dan tenaga sapi dimanfaatkan
sebagian petani untuk membajak sawah. Pada zaman Belanda (Merkens 1926),
sapi Aceh banyak dipasarkan ke Sumatera Utara, sehingga sapi potong di
Medan sebagian besar berasal dari Aceh. Pada zaman kemerdekaan, sapi Aceh
beberapa kali dipasarkan ke luar negeri (Gunawan 1998). Dalam kehidupan
masyarakat Aceh sejak dahulu sampai sekarang mempunyai suatu budaya
disebut meugang yang membutuhkan banyak sapi untuk dipotong pada hari adat
tersebut yaitu biasanya sapi Aceh dan silangannya. Demikian halnya, dalam
berbagai pesta perayaan dan perkawinan masyarakat Aceh, sapi merupakan
ternak terbanyak dipotong dan dapat menunjukkan status sosial. Hal ini
menunjukkan bahwa sapi merupakan ternak yang mempunyai nilai tinggi di
antara ternak lainnya di Aceh, kecuali di sebagian wilayah Aceh bagian Barat
sampai Selatan yang relatif lebih banyak kerbau dan sesuai dengan potensi dan
kondisi wilayah tersebut yang banyak rawa. Keunggulan sapi Aceh sebagai
salah satu plasma nutfah ternak potensial seperti ketahanannya terhadap
lingkungan lokal termasuk suhu tinggi, patogen-patogen dan penyakit-penyakit
lokal, ketersediaan pakan bermutu rendah/jerami tanpa olahan, kekurangan air
minum di musim kemarau dan manajemen tradisional, perlu dipertahankan untuk
pemanfaatan pada masa yang akan datang. Keunggulan lain dari sifat produksi
daging dan reproduksi belum ditemukan dan memerlukan kajian lanjutan.
Namun, dari penggunaan 16 lokus mikrosatelit dalam penelitian ini, ada tiga
lokus mikrosatelit yang berasosiasi dengan kualitas susu, yaitu BM1818 (Ashwell
et al. 2004) berhubungan dengan somatic cell count; CSRM60 (Ashwell et al.
2005) dan CSSM66 (Riquet et al. 1999) berhubungan dengan lemak dan protein
susu sapi perah. Sapi Aceh yang membawa alel-alel pada ketiga lokus tersebut
pada awal mulanya diduga merupakan sapi tipe perah golongan Bos indicus.
Strategi ke depan pemanfaatan sapi Aceh harus mencakup unsur
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatannya mengikuti rekomendasi
Riwantoro (2005) yang diperbarui. Ditinjau dari aspek teknis, ekonomis, sosial
dan budaya, pelestarian sapi Aceh saat ini lebih menguntungkan dilakukan
dengan cara mempertahankan populasi ternak hidup. Langkah-langkah yang
dapat dilakukan adalah melalui: (1) penetapan wilayah pelestarian, yaitu di
daratan Aceh yang terisolir atau pulau-pulau di sekitar perairan Aceh. Pelestarian
mengarah pada pengamanan, seleksi untuk pemurnian dan mempertahankan
103
kemurniannya yang berada dalam ekosistem, sosial ekonomi, budaya
masyarakat dan teknologi. Hal ini dilakukan dengan mengeluarkan undang-
undang beserta peraturan pelaksanaannya, penerapan keamanan dan evaluasi
berencana meliputi jumlah populasi, keunikan dan keragaman genetik; (2)
standardisasi, yaitu proses perumusan, menetapkan, menerapkan dan merevisi
standar yang dilaksanakan secara tertib dan melalui kerja sama semua pihak; (3)
sertifikasi, yaitu rangkaian kegiatan untuk menerbitkan sertifikat. Sertifikasi
adalah jaminan tertulis oleh unit atau institusi yang telah diakreditasi oleh Komite
Akreditasi Nasional (KAN) bahwa produk, jasa, proses atau individu yang telah
memenuhi persyaratan standar atau sertifikasi teknis tertentu yang
dipersyaratkan; dan (4) pembinaan wisata budaya seni adu sapi (bahasa Aceh
pók leumó).
Upaya yang dapat dilakukan untuk pemanfaatan yang sebesar-besarnya
sapi Aceh kepada masyarakat secara berkesinambungan antara lain melalui:
peningkatan mutu genetik (seleksi), peningkatan skala usaha, membangun
kemitraan agribisnis dan membangun jaringan kelembagaan. Oleh karena itu,
diperlukan pola pengembangan yang mampu mengintegrasikan pola pelestarian
dari pengembangan peternakan secara berkelanjutan, yaitu dilakukan secara
sinergis dengan unsur-unsur lingkungan lainnya, sehingga memungkinkan
generasi sekarang memenuhi kebutuhannya, tanpa harus mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pengembangan sapi Aceh dirancang dalam sebuah rantai sistem dan usaha
agribisnis dan agrowisata. Sistem dan usaha agribisnis yang dikembangkan
harus memiliki daya saing, berkelanjutan dan berkeadilan mulai dari subsistem
hulu (pengadaan dan penyaluran sarana produksi), subsistem budidaya,
subsistem hilir (pengolahan), subsistem pemasaran hasil dan subsistem
kelembagaan pendukung. Menyangkut agrowisata yang dapat dikembangkan
adalah wisata budaya berbasis seni adu sapi (bahasa Aceh pók leumó) di
Kabupaten Aceh Besar.
104
Pembahasan Umum
Sapi Aceh memiliki karakterisasi fenotipik (ukuran-ukuran tubuh, bobot
badan dan warna tubuh) beragam. Rataan ukuran-ukuran tubuh dan bobot
badan sapi Aceh menunjukkan koefisien keragaman yang bervariasi pada semua
kelompok umur dan jenis kelamin berbeda. Karakter bobot badan, lebar dada,
lebar pinggul dan lingkar paha sapi Aceh jantan pada kelompok umur satu, dua
dan tiga tahun menunjukkan nilai koefisien keragaman yang cukup tinggi (11,80-
23,51%), sehingga seleksi dapat dilakukan pada sifat-sifat tersebut. Jika
dilakukan seleksi pada kelompok umur muda satu tahun, maka dapat diikutkan
karakter dalam dada yang juga menunjukkan keragaman tinggi (17,46%). Sapi
Aceh betina juga ditemukan keragaman yang cukup tinggi pada karakter bobot
badan, lebar dada, dalam dada, lebar pinggul dan lingkar paha pada semua
kelompok umur, sehingga dapat dilakukan seleksi pada sifat-sifat tersebut.
Seleksi juga dapat dilakukan pada warna dan pola warna tubuh sapi Aceh yang
beragam, apabila diinginkan untuk meningkatkan frekuensi warna tertentu.
Menurut Astuti (2004), seleksi sapi lokal dengan memanfaatkan keragaman
karakteristik sifat produksi dan reproduksi akan meningkatkan produktivitas,
disamping itu memiliki dampak penting yaitu pelestarian terhadap sumber daya
genetik sapi.
Adanya perbedaan susunan dan komposisi basa-basa nukleotida antara
sapi-sapi lokal Indonesia (Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir) berdasarkan
analisis daerah D-loop parsial (479 bp) DNA mitokondria, menunjukkan ada
perbedaan materi genetik antara sapi-sapi tersebut. Demikian juga apabila
dibandingkan sapi lokal Indonesia dengan sapi Bos indicus dan Bos taurus dari
data GenBank, maka jelas terdapat perbedaan genetik antara sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir dengan kedua spesies domestikasi tersebut. Namun,
sapi Aceh, Pesisir, dan PO mempunyai hubungan kekerabatan dengan sapi-sapi
Bos indicus. Hal ini karena nenek moyang (ancestor) ketiga sapi lokal Indonesia
tersebut berasal dari hibridisasi zebu sehingga mempunyai kekerabatan dengan
sapi-sapi Bos indicus sesuai dengan tingkat perbedaan susunan dan komposisi
basa-basa nukleotida (materi genetik) yang dimiliki masing-masing sapi. Proses
kehidupan sapi Aceh, Pesisir dan PO dengan berbagai pengaruh mutasi dan
lingkungannya, mengalami perbedaan masing-masing. Apabila dibandingkan
sapi lokal Indonesia dengan sapi Bos taurus dari GenBank, maka terlihat jelas
105
perbedaan susunan basa-basa nukleotida Bos taurus mulai situs ke-160 sampai
473 dari sekuens acuan Bos indicus (Lampiran 8).
Indonesia memiliki sapi turunan Ongole yang asal mulanya diimpor sapi-
sapi Ongole dari India pada masa lalu. Sapi Ongole telah disilangkan dengan
sapi-sapi Jawa sehingga ada laporan yang menyatakan bahwa sekarang sapi
Jawa telah punah dan terciptalah sapi Peranakan Ongole (PO) (Hardjosubroto
2004). Sapi PO merupakan bukti keberhasilan pemuliaan sapi potong di
Indonesia pada masa lalu. Bangsa sapi ini baru terbentuk sekitar tahun 1930
melalui sistem persilangan dengan grading up antara sapi Jawa dan sapi Sumba
Ongole (SO) (Astuti 2004). Sapi Jawa diduga merupakan kombinasi antara sapi-
sapi zebu, Holland, Australia, Madura dan Bali (Merkens 1926). Berdasarkan
analisis daerah D-loop DNA mitokondria yang telah dilakukan, menunjukkan
bahwa sapi PO terbukti lebih dekat dengan Bos indicus (sapi Ongole)
dibandingkan dengan sapi-sapi Bos taurus dan sapi Bali.
Pengelompokan sapi Aceh dengan sapi Pesisir dan PO dalam klaster sapi
Bos indicus menunjukkan bahwa sapi Aceh, Pesisir dan PO adalah dari maternal
zebu, sedangkan pengelompokan sapi Madura dalam klaster sapi Bali (Bos
javanicus) menunjukkan bahwa sapi Madura bukan dari maternal zebu tetapi dari
maternal Banteng. Basa-basa nukleotida daerah D-loop DNA mitokondria yang
umum dijumpai pada sapi Aceh adalah basa-basa nukleotida dari sapi Bos
indicus (Lampiran 8), namun pada bagian akhir sekuens mulai situs ke-354
sampai dengan 483 ditemukan sisipan-sisipan basa nukleotida dari sapi Bali
(Lampiran 8). Berdasarkan DNA mirosatelit juga menunjukkan keadaan yang
serupa. Sapi PO telah diketahui merupakan turunan dari Bos indicus. Ada alel-
alel mikrosatelit yang dimiliki sapi PO juga dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi
yang umumnya tinggi, namun tidak dimiliki oleh sapi Bali. Ada alel-alel yang
dimiliki sapi Bali juga dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi yang umumnya rendah,
tetapi tidak dimiliki oleh sapi PO. Hal ini menunjukkan bahwa ancestor sapi Aceh
adalah dominan dari Bos indicus dan telah terjadi introgresi alel-alel dari sapi Bali
ke dalam materi genetik sapi Aceh. Lokus-lokus yang menunjukkan adanya alel-
alel yang dimiliki sapi PO juga ditemukan pada sapi Aceh yaitu BM1818 (alel B
274 bp); INRA005 (alel C 157 bp, G 163 bp); BM2113 (alel H 156 bp); HEL9 (alel
E 171 bp, K 183 bp); HEL13 (alel C 199 bp); INRA35 (alel B 119 bp); ETH10 (alel
C 228 bp); CSSM66 (alel D 197 bp, K 213 bp); BM1824 (alel E 202 bp, J 212 bp);
ILSTS006 (alel E 305 bp); ILSTS005 (alel H 204 bp). Lokus-lokus yang
106
menunjukkan ada alel-alel yang dimiliki sapi Bali juga ditemukan pada sapi Aceh
yaitu BM1818 (alel H 286 bp, J 290 bp); INRA005 (alel A 153 bp); CSRM60 (alel
D 110 bp, G 116 bp); BM2113 (alel B 142 bp); HEL5 (alel F 180 bp, G 182 bp);
HEL13 (alel D 201 bp, F 205 bp, G 207 bp); INRA63 (alel D 198 bp); dan INRA35
(alel C 121 bp).
Apabila dibandingkan dendogram filogeni daerah D-loop mtDNA parsial
(479 bp) hasil penelitian ini dengan dendogram filogeni gen cytochrome-b mtDNA
parsial (420 bp) yang diambil dari data GenBank, maka dapat diketahui bahwa
posisi sapi Bali sangat dekat dan berada satu klaster dengan Banteng (Bos
javanicus) (Gambar 37). Sapi Bali memiliki persamaan susunan basa nukleotida
sebesar 99,76% dengan Banteng, namun sapi asli Indonesia yang tidak jelas
disebutkan bangsa dan sumber pengambilan sampelnya masuk ke dalam klaster
Bos indicus, berbeda dengan pengelompokan sapi Aceh, PO dan Pesisir dari
analisis D-loop dalam penelitian ini. Sekuens parsial (420 bp) gen cytochrome-b
dari GenBank untuk membentuk dendogram filogeni tersebut diambil dari
Kikkawa et al. (2003) yang telah melakukan sekuensing parsial pada gen
cytochrome-b sapi Bali (kode akses AB077314), sapi asli Indonesia (AB077313)
dan Banteng (AB077315). Membentuk pohon filogeni dari gen cytochrome-b,
juga telah diambil sekuens Bos indicus (Nellore, kode akses AY126697; Miretti et
al. 2002) dan Bos taurus (Simmental, kode akses AY521055) dari GenBank
(Lampiran 15).
Bos indicusIndonesia Native
SimmentalBali
Banteng100
97
0.01
Gambar 37 Dendogram Neighbor-Joining berdasarkan metode 2 parameterKimura dari nukleotida gen cytochrome-b parsial (berukuran 420 nt)sapi dari GenBank dengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan
Perbedaan posisi sapi Madura dari hasil analisis menggunakan penanda
daerah D-loop mtDNA dan DNA mikrosatelit, karena perbedaan sumber DNA
yang dianalisis. Perunutan hubungan kekerabatan dengan DNA mitokondria
didasarkan pada pola pewarisan maternal yang haploid dan hipervariabilitas
107
daerah D-loop, sedangkan DNA mikrosatelit merupakan pewarisan yang
menggabungkan informasi genetik dari pihak induk dan bapaknya (diploid di DNA
inti), sehingga merupakan pewarisan kombinasi dari kedua tetuanya.
Disamping itu, berdasarkan matriks jarak genetik Nei dari frekuensi-
frekuensi alel pada 16 lokus mikrosatelit sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir
(Tabel 18), maka ada kemungkinan bahwa posisi sapi Madura akan masuk ke
dalam klaster sapi Bali (Gambar 38). Hal ini apabila dilihat dari posisi sapi Aceh
dibandingkan terhadap sapi lokal lain, maka menunjukkan bahwa jarak genetik
sapi Madura dekat dengan sapi Bali. Namun, apabila sapi Bali dijadikan standar,
maka sapi Madura mempunyai jarak genetik yang cukup jauh terhadap sapi Bali.
Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan dendogram pengklasteran sapi lokal
Indonesia dengan menggunakan analisis daerah D-loop DNA mitokondria.
Pengelompokan sapi Aceh, PO dan Pesisir yang terpisah jauh terhadap sapi Bali
karena sapi-sapi tersebut lebih besar mengandung materi genetik sapi zebu
dibandingkan terhadap sapi Madura (lebih rendah mengandung materi genetik
sapi zebu). Situasi ini mungkin ada kaitan dengan jumlah sampel sapi
pembanding yang sedikit.
BaliMadura
POAceh
Pesisir
0.02
Gambar 38 Kontruksi pohon filogeni berdasarkan metode Neighbor-Joining daridata jarak genetik Nei pada sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir
Pembagian populasi sapi Aceh menjadi sub-sub populasi (Kota Banda
Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Utara), maka berdasarkan hasil
Amova dari analisis Arlequin 3.11 pada DNA mikrosatelit, sapi Aceh mengalami
inbreeding dengan nilai koefisien inbreeding yang tergolong tinggi yaitu sebesar
0,11. Indikasi adanya inbreeding ini mungkin ada kaitannya dengan sifat
fenotipik kualitatif pada sapi Aceh yang ditemukan bentuk-bentuk tanduk yang
abnormal dengan frekuensi rendah (1-6 %) dalam populasi. Bentuk tanduk yang
menyimpang dari bentuk umum yang ditemukan dalam populasi yaitu ke
108
samping lurus (bentuk 6), ke samping melengkung ke bawah (bentuk 7),
menyamping ke atas ke depan (bentuk 8), ke samping melengkung ke belakang
(bentuk 9) dan tanduk tidak simetris (bentuk 10). Disamping itu, dijumpai
beberapa turunan sapi Aceh yang kerdil dan sulit beranak. Pengaruh inbreeding
yang terjadi pada sapi Aceh dapat mengakibatkan munculnya gen-gen
homozigot resesif dalam populasi. Hal ini terjadi kemungkinan salah satu
penyebabnya adalah penggunaan pejantan yang sama secara terus-menerus
oleh peternak karena peternak sapi Aceh semakin sulit mendapatkan pejantan
Aceh murni akibat banyak sapi Aceh yang telah disilangkan. Menurut Richard
dan Thorpe (2000), inbreeding yang terjadi di dalam populasi kecil menyebabkan
pengurangan heterozigositas dan peningkatan frekuensi abnormalitas resesif.
Tekanan inbreeding yang tinggi pada suatu populasi ternak, dapat menghambat
perkembangan populasi karena menurunkan perkembangan usia hidup, laju
kematian tinggi, tingkat kesuburan menurun (Muladno 2006).
Umumnya, semua ukuran alel minimum pada semua lokus yang
dipergunakan dalam penelitian ini berada dalam range ukuran alel yang
dilaporkan dari beberapa literatur, kecuali lokus INRA005 yang mempunyai
ukuran alel minimum yang lebih pendek. Lain halnya ukuran alel maksimum
pada semua lokus yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu lebih besar
dibanding ukuran alel maksimum yang dilaporkan dalam beberapa literatur,
kecuali pada lokus CSRM60 dan INRA63. Sebanyak tujuh lokus (INRA005,
INRA35, HEL1, ETH10, BM1824, ILSTS006 dan ILSTS005) mempunyai range
ukuran-ukuran alel yang lebih panjang dan sembilan lokus (BM1818, CSRM60,
BM2113, HEL5, HEL9, HEL13, HEL63, ETH225 dan CSSM66) mempunyai
range ukuran-ukuran alel dalam penelitian ini lebih pendek dibandingkan range
ukuran-ukuran alel zebu-taurus dari literatur acuan (Bishop et al. 1994; Vaiman
et al. 1994; MacHugh et al. 1997; Loftus et al. 1999; Minqiang et al. 2004; Bichalo
et al. 2006; Radko et al. 2005; Pandey et al. 2006; Armstrong et al. 2006; Sodhi
et al. 2006) (Tabel 20).
Ada empat lokus menunjukkan frekuensi-frekuensi alel pencilan dengan
proporsi yang rendah yaitu lokus BM1818 (alel K 297 bp 0,5%; L 299 bp 0,9%),
INRA005 (alel D 158 bp 0,4%), CSRM60 (alel A 101 bp 1,8%), dan HEL5 (alel I
185 bp 2,4%). Walaupun penggunaan mesin dengan keakuratan tinggi, alel-alel
pencilan dapat muncul kemungkinan karena kesalahan manusia pada saat
menentukan ukuran-ukuran alel dalam base pairs (bp) akibat dari rendahnya
109
Tabel 20 Perbedaan range ukuran alel sapi Aceh dan sapi outgroup terhadaprange ukuran alel dari beberapa literatur
Beda rangeukuran alelLokus
Sapipenelitian/literatur
Rangeukuran alel
Alel barumin mak
BM1818 Aceh 274 - 299 297,299Outgroup 270 - 290 -Literatur* 254 - 294 > >
INRA005 Aceh 153 - 163 153, 155, 157, 158, 159, - , 163Outgroup 153 - 163 153, 155, 157, - 159, 161, 163Literatur* 240 - 246 < >
CSRM60 Aceh 101 - 130 -Outgroup 108 - 126 -Literatur* 90 - 202 > <
BM2113 Aceh 142 - 160 150, 152, 154, 156, 158, 160Outgroup 140 - 158 150, 152, 154, 156, 158, -Literatur* 121 - 148 > >
HEL5 Aceh 166 - 186 182, 184, 185, 186Outgroup 170 - 182 182, - , - , -Literatur* 145 - 181 > >
HEL9 Aceh 161 - 187 171, 173, 175, 177, 179, 181, 183, 185, 187Outgroup 165 - 185 171, - , 175, 177, - , - , 183, 185, -Literatur* 143 - 170 > >
HEL13 Aceh 191 - 209 199, 201, 203, 205, 207, 209Outgroup 199 - 207 199, 201, 203, 205, 207, -Literatur* 177 - 197 > >
INRA63 Aceh 194 - 206 -Outgroup 192 - 204 -Literatur* 170 - 209 > <
INRA35 Aceh 117 - 153 117, 119, 121, 123, 125, 137, 139, 141, 147, 153Outgroup 119 - 137 - , 119, 121, - , 125, 137, - , - , - , -Literatur* 102 - 114 > >
HEL1 Aceh 116 - 166 122, 124, 126, 132, 166Outgroup 118 - 124 122, 124, - , - , -Literatur* 100 - 120 > >
ETH225 Aceh 158 - 182 174, 176, 178, 180, 182Outgroup 158 - 182 174, 176, - , 180, 182Literatur* 130 - 170 > >
ETH10 Aceh 224 - 288 288Outgroup 224 - 234 -Literatur* 207 - 246 > >
CSSM66 Aceh 195 - 217 211, 213, 215, 217Outgroup 191 - 215 - , 213, 215, -Literatur* 177 - 209 > >
BM1824 Aceh 190 - 212 195, 198, 200, 202, 205, - , - , - , 212Outgroup 195 - 212 195, 198, 200, 202, - , 207, 209, 211, 212Literatur* 176 - 192 > >
ILSTS006 Aceh 293 - 321 301, 303, 305, 307, 309, 311, 313, 315, 317,319, 321
Outgroup 297 - 311 301, 303, 305, 307, 309, 311, -Literatur* 276 - 299 > >
ILSTS005 Aceh 192 - 208 200, 202, 204, 208Outgroup 188 - 208 200, - , 204, 208Literatur* 181 - 198 > >
Keterangan: *) Dari beberapa literatur (Bishop et al. 1994; Vaiman et al. 1994; MacHugh et al. 1997; Loftus etal. 1999; Minqiang et al. 2004; Bichalo et al. 2006; Radko et al. 2005; Pandey et al. 2006;Armstrong et al. 2006; Sodhi et al. 2006), >,< adalah range ukuran alel yang berada di bawahatau di atas range ukuran alel berdasarkan literatur
intensitas fluoresen (konsentrasi hasil amplifikasi PCR) yaitu berupa gelombang
peak-peak yang lemah. Pembuktian alel-alel pencilan dengan frekuensi yang
sangat rendah tersebut dapat dilakukan melalui sekuensing pada produk
PCRnya. Khusus lokus BM1818, mempunyai motif ulangan nGTGCGTGTGTG-
110
TGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTG (kode akses G18394, Bishop et al. 1994)
sehingga alel-alelnya bervariasi.
Adanya perbedaan ukuran-ukuran alel dan range ukuran-ukuran alel
antarpopulasi bahkan antarindividu sapi karena adanya mutasi yang terjadi pada
lokus mikrosatelit menyangkut penambahan atau pengurangan jumlah motifnya
(runutan nukleotida yang berulang). Mutasi-mutasi pada lokus mikrosatelit
berupa insersi atau delesi jumlah motif yang repeat tandem dapat dijelaskan
dalam proses slipped strand mispairing (Neff dan Gross 2001) dan crossing over
yang tidak seimbang (unequal crossing over) (Winter 2003). Mutasi akan
memunculkan alel-alel baru atau mengubah struktur genom dan akhirnya
menghasilkan keragaman genetik.
Penanda mikrosatelit telah berhasil digunakan untuk mengevaluasi variasi
genetik populasi sapi lokal Indonesia, keanekaragaman genetik dalam masing-
masing bangsa sapi dan perbedaan genetik antara setiap bangsa seperti
dilaporkan sebelumnya oleh Machado et al. (2003). Penanda ini dapat digunakan
untuk mengkarakterisasi populasi-populasi ternak (Beja-Pereira et al. 2003).
Frekuensi-frekuensi alel pada sapi Aceh, menghubungkan antara
frekuensi-frekuensi alel pada sapi PO, Pesisir, Madura dan frekuensi-frekuensi
alel pada sapi Bali (Banteng). Alel-alel sapi Aceh yang ditemukan pada sapi PO,
Pesisir dan Madura dengan frekuensi yang semakin kecil menunjukkan alel-alel
sapi zebu. Indonesia memiliki sapi PO yang sudah jelas diketahui merupakan
turunan sapi Ongole golongan zebu dari India yang pada mulanya diimpor
pemerintah dan dikembangkan di Pulau Sumba. Sapi tersebut telah berkembang
baik di Pulau Jawa sampai terbentuk sapi PO. Hubungan sapi Aceh dan sapi
Bali ditunjukkan dengan penggunaan 160 sampel sapi Aceh dan 10 sampel sapi
Bali asal Pulau Bali (P3Bali), telah terdeteksi bahwa sapi Aceh memiliki alel D
pada lokus HEL1 dengan frekuensi cukup tinggi (83%). Alel D tersebut
merupakan alel spesifik sapi Bali dengan frekuensi 95%. Pada sapi Bali juga
ditemukan memiliki lokus monomorfik lain yaitu lokus HEL9 dan hal yang sama
dalam studi Handiwirawan et al. (2003) telah mengungkapkan bahwa lokus
tersebut merupakan lokus monomorfik dan diagnostik pada sapi Bali dan alel-alel
spesifik pada lokus tersebut merupakan alel-alel yang dimiliki Banteng. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sapi Aceh berkerabat dekat dengan sapi PO dan
Pesisir, berkerabat dengan sapi Madura dan terhubungkan dengan sapi Bali (Bos
banteng).
111
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Sapi Aceh mempunyai rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh yang
lebih kecil dibanding dengan rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh
sapi Bali, Madura dan PO, namun lebih besar dari rataan bobot badan dan
ukuran-ukuran tubuh sapi Pesisir di Sumatera Barat. Secara kualitatif, sapi
Aceh memiliki warna beragam (merah bata, cokelat, hitam, putih, dan
kombinasi yang mengarah ke warna gelap dan terang dengan warna
dominan merah bata dan cokelat muda), berpunuk, bergelambir, mempunyai
garis muka dan garis punggung yang cekung, bertanduk dengan bentuk
tanduk sapi betina mengarah ke samping melengkung ke atas kemudian ke
depan dan pada jantan mengarah ke samping melengkung ke atas.
2. Susunan basa nukleotida daerah D-loop DNA mitokondria sapi Aceh
mempunyai perbedaan terhadap sapi lokal lainnya dengan urutan perbedaan
mulai terkecil sampai terbesar yaitu Pesisir, PO, Bali dan Madura, sehingga
runutan DNA daerah D-loop dapat digunakan sebagai penanda untuk
membedakan dan pengelompokan sapi lokal Indonesia.
3. Berdasarkan runutan daerah D-loop DNA mitokondria, sapi Aceh berada
satu klaster dengan sapi Pesisir dan PO serta mempunyai jarak genetik yang
lebih dekat dengan bangsa-bangsa sapi Bos indicus (zebu) dari India,
sedangkan sapi Bali dan Madura membentuk klaster sendiri. Dengan
demikian sapi Aceh berasal dari sapi India (sekarang Pakistan) dan telah
mengalami persilangan dengan sapi Bali (Banteng).
4. Berdasarkan DNA mikrosatelit, sapi Aceh memiliki derajat heterozigositas
yang tinggi. Urutan kedekatan genetik sapi Aceh dengan sapi lokal lain
adalah PO, Pesisir, Madura dan Bali, dengan pohon filogeni menunjukkan
sapi Aceh memiliki klaster yang sama dengan sapi PO dan Pesisir serta satu
kelompok dengan sapi Madura, sedangkan sapi Bali mempunyai klaster
sendiri yang terpisah dari pengelompokan keempat sapi tersebut.
Berdasarkan kesamaan genetiknya maka sapi Aceh dekat dengan sapi PO,
Pesisir dan Madura tetapi untuk alel-alel tertentu berbeda dengan sapi Bali.
112
Saran
1. Sapi Aceh berpotensi untuk dikembangkan dan semua pihak terutama
instansi terkait perlu menjaga kelestarian sapi ini dari kepunahan untuk
mengantisipasi keperluan pada masa yang akan datang.
2. Seyogiyanya membagi dua lokasi pemeliharaan sapi di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, yaitu ada lokasi untuk daerah sapi potong dan
persilangan, dan ada lokasi lain sebagai daerah pemurnian sapi Aceh yaitu
berada terisolir di satu kabupaten tertentu yang diserahkan kepada rakyat
dan membentuk perhimpunan-perhimpunan peternak sapi Aceh serta
diberikan bantuan pejantan unggul yang dibeli dengan dana bantuan (hibah)
dari lembaga nasional atau asing.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada gen cytochrome-b mtDNA dan
mendesain ulang primer D-loop mtDNA dua atau tiga pasang untuk
melakukan sekuensing yang lebih bersih dan lengkap guna mengetahui
runutan nukleotida gen cytochrome-b dan D-loop utuh sapi Aceh.
4. Sebaiknya penelitian ini dilakukan penelitian lanjutan yang mengarah pada
lokus-lokus mikrosatelit yang mempunyai sifat-sifat ekonomi (QTL) dan gen-
gen yang ada kaitan dengan sifat-sifat ketahanan terhadap stress
lingkungan.
113
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.A.N, R.R. Noor dan H. Martojo. 2005. Kelenturan fenotipik sifat-sifatproduksi dan reproduksi Mencit (Mus musculus) sebagai respons terhadapair minum yang mengandung tingkat garam berbeda. J Indon. Trop AnimAgric. 30 (2): 63-74.
Abubakar, Harmadji. 1980. Korelasi antara berat hidup dengan lingkar dadapanjang badan dan tinggi gumba pada sapi PO di daerah Wonogiri.Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. ISSN 0126-1339. Lembaran. 3:14-16.
Andersson S et al. 1981. Sequence and the organization of the humanmitochondrial genome. Nature. 290: 457-464.
Armstrong E, Postiglioni A, Martínez A, Rincón G, Vega-Pla JL. 2006.Microsatellite analysis of a sample of Uruguayan Creole bulls (Bos taurus).Genet Molec Bio. 29 (2): 267-272.
Ascunce MS et al. 2007. An unusual pattern of ancient mitochondrial DNAhaplogroups in Northern African Cattle. Zoological Studies. 46 (1): 123-125.
Ashwell MS et al. 2004. Detection of quantitative trait loci affecting milkproduction, health, and reproductive traits in Holstein cattle. J Dairy Sci. 87:468-475.
Ashwell MS et al. 2005. Detection of quantitative trait loci influencingconformation traits and calving ease in Holstein-Friesian cattle. J Dairy Sci.88: 4111-4119.
Astuti M. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi PeranakanOngole (PO). Wartazoa. 14 (3): 98-106.
Aquadro CF, Greenberg BD. 1982. Human mitochondrial DNA variation andevolution: analysis of nucleotide sequences from seven individuals.Genetics. 103: 287-312.
Baker CMA, Manwell C. 1991. Population Genetics, Molecular Marker and GeneConservation of Bovine. In: Cattle Genetic Resources, edited by C.G.Hickman. Elsevier Science Publisher B.V. The Nederland.
Beja-Pereira A et al. 2006. The origin of European cattle: Evidence from modernand ancient DNA. PNAS. 103 (21): 8113-8118.
Beja-Pereira A, et al. 2003. Genetic characterization of Southwestern EuropeanBovine breeds: A historical and biogeographical reassessment with a set of16 microsatellites. Heredity. 94 (3): 243-250.
Bernstein SL, Borst ED, Wong, PW. 1995. Isolation of differentially expressedhuman fovea genes: candidates for macular disease. Mol Vis. 1: 4.
114
Bichalo HMS et al. 2006. Determination of ancestral proportion in syntheticbovine breeds using commonly employed microsatellite markers. GenetMol Res. 5 (3): 432-437.
Bishop MD et al. 1994. A genetic linkage map for cattle. Genetics. 136: 619-639.
Bradley DG, MacHugh DE, Cunningham P, Loftus RT. 1996. Mitochondrialdiversity and the origins of African and European cattle, Proc NationalAcademy of Sciences of the USA. 93: 5131 -5135.
Brown WM, Prager EM, Wang A, Wilson AC. 1982. Mitochondrial DNAsequences of primates: Tempo and Mode of Evolution. J Mol Evol. 18: 225-239.
Bruford MW, Bradley DG, Luikart G. 2003. DNA markers reveal the complexity oflivestock domestication. Nat Rev Genet. 4: 900-910.
Carvajal-Carmona LG et al. 2003. Abundant mtDNA diversity and ancestraladmixture in Colombian Criollo cattle (Bos taurus). Genetics. 165: 1457-1463.
Cervini M, Henrique-Silva F, Mortari N, Matheucci-Jr E. 2006. Genetic variabilityof 10 microsatellite markers in the characterization of Brazilian Nellorecattle (Bos indicus). Genetics and Molecular Biology. 29 (3): 486-490.
Dahlanuddin DV, Tien, Liang JB, Adams DB. 2003. An exploration of risk factorsfor bovine spongiform encephalopathy in ruminant production system in thetropics. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 22: 271-281.
Dawson MT, Powell R, Gannon F.1996. Gene Technology. Bios Scientific Pub.Ltd. Oxford.
Departemen Kehutanan. 2004. Data dan Informasi Kehutanan Provinsi NanggroeAceh Darussalam. Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan. BadanPlanologi Kehutanan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2003. Pedoman PembibitanTernak Sapi, Kerbau, Kambing/Domba, Babi dan Ayam Buras/Itik diPedesaan (Village Breeding Center). Direktorat Pembibitan. DirektoratJenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta.
Diwyanto K. 1982. Pengamatan fenotipe domba Priangan serta hubungannyaantara beberapa ukuran tubuh dengan bobot badan [tesis]. Bogor: InstitutPertanian Bogor. Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Ternak.
Duryadi D. 1994. Peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam studi keragamangenetik dan biologi populasi pada hewan. Hayati 1 (1): 1-4.
Duryadi D. 1997. Isolasi dan Purifikasi Mitochondrion (mtDNA). LaboratoriumMolekuler FMIPA. Biotrop, IPB, Bogor.
115
Duryadi D. 2005. Prinsip-prinsip dalam Teknologi Biologi Molekuler. PelatihanSingkat Teknik Biologi Molekuler “Eksplorasi Sumberdaya Genetik denganMenggunakan Marka Molekuler”. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati,Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut PertanianBogor dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Bogor.
Edwards CJ et al. 2007. Mitochondrial DNA analysis shows a Near EasternNeolithic origin for domestic cattle and no indication of domestication ofEuropean aurochs. Proc. R. Soc. B. 274: 1377-1385.
Excoffier L, Laval G, Schneider S. 2006. Computational and Molecular PopulationGenetics Lab (CMPG). Institute of Zoology, University of Berne,Switzerland. URL: http://cmpg.unibe.ch/software/arlequin3.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Global Project for theMaintenance of Domestic Animal Genetic Diversity (MoDAD). World WatchList for Domestic Animal Diversity. 2nd Ed. Food and AgricultureOrganization of the United Nations (FAO). Rome.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2000. World Watch List for DomesticAnimal Diversity. 3rd Ed. Food and Agriculture Organization, Rome.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Sustainable Use of AnimalGenetic resources. IDAD-APHD FAO. Rome, Italy.
FAO-AAAS. 1994. Implication on the Convention on Biological Diversity-Management of Animal Genetic Resources and the Conservation ofDomestic Animal Diversity. Strauss, M.S. (Ed). UN Food and AgricultureOrganization-American Association for the Advancement of Science,Washington DC, USA.
Felsenstein J. 1985. Confidence limits on phylogenies: An approach using thebootstrap. Evolution. 39: 783-791.
Felsenstein J. 2007. Phylip (phylogeny Inference Package) version 3.67.University of Washington.
Fries R. Ruvinsky A. 1999. The Genetics of Cattle. CAB International Publishing.New York, USA.
Garza JC, Williamson EG. 2001. Detection of reduction in population size usingdata from microsatellite loci. Mol Ecol. 10: 305-318.
Georges M, Mishra A, Sargeant L, Steele M, Zhao X. 1990. Progress towards aprimary DNA marker map in cattle. 4th World Congress Genetics AppliedLivestockProduction 13: 107-112.
Ghivizzani SC, Mackay SLD, Madsen CS, Laipis PJ, Hauswirth WW. 1993.Transcribed heteroplasmic repeated sequences in porcine mitochondrialDNA D-loop region. J Mol Evol. 37: 36-47.
Grigaliŭnaitẻ I et al. 2003. Microsatellite variation in the baltic sheep breeds.Veterinarija Ir Zootechnika. T. 21 (43): 66-73.
116
Gunawan. 1998. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Aceh. PidatoPengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas PertanianUniversitas Syiah Kuala. Disampaikan pada Rapat Senat TerbukaUniversitas Syiah Kuala, Sabtu 28 Maret 1998, Banda Aceh.
Hagelberg E et al. 1999. Evidence for mitochondrial DNA recombination in ahuman population of island Melanesia. Proc R Soc Lond B. 266: 485-492.
Handiwirawan E. 2003. Penggunaan mikrosatelit HEL9 dan INRA035 sebagaipenciri khas sapi Bali [thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. SekolahPascasarjana. Program Studi Ilmu Ternak.
Handiwirawan E, Noor RR, Muladno, Schüler L. 2003. The use of HEL9 andINRA035 microsatellites as specific markers for Bali cattle. Arch Tierz,Dummerstorf. 46 (6): 503-512.
Handiwirawan E, Subandriyo. 2004. Potensi keragaman sumberdaya genetiksapi Bali. Wartazoa. 14 (3): 107-115.
Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. GramediaWidiasarana Indonesia, Jakarta.
Hardjosubroto W. 2004. Alternatif kebijakan pengelolaan berkelanjutansumberdaya genetik sapi potong lokal dalam sistem perbibitan ternak lokal.Wartazoa. 14 (3): 93-97.
Hartl DL. 1988. A Primer of Population Genetic. 2nd Ed. Sunderland,Massachussetts: Sinauer Associates, Inc.
Hartl DL. Clarck AG. 1989. Principles of Population Genetics. 2nd Ed. Sunderlad,Massachusetts: Sinauer Associates, Inc.
Hayashi Y, Nishida T, Otsuka J, Abdulgani K. 1980. Measurement of the skull ofnative cattle and banteng in Indonesia. The Origin and Phylogeny ofIndonesia Native Livestock (Part I). The Research Group of OverseasScientific Survey. Tokyo, Japan. 19-27.
Hillis DM, Moritz C, Mable BK. 1996. Molecular Systematics. Sinauer Associates,Inc., Massachusettes.
Ibeagha-Awemu EM, Erhardt G. 2005. Genetic structure and differentiation of 12African Bos indicus and Bos taurus cattle breeds, inferred from protein andmicrosatellite polymorphisms. J Anim Breed Genet. 122: 12-20.
Ihara N et al. 2004. A comprehensive genetic map of the cattle genome basedon 3802 Microsatellites. Gen Res. 14: 1987-1998.
[ILRI] International Livestock Research Institute. 1995. Global Agenda forLivestock Research. Proceedings of the Consultation for the South-EastAsia Region. 10–13 May 1995 IRRI, Los Banos, The Philippines.
Ishida N et al. 1994. Polymorphic sequence in the D-Ioop region of equinemitochondrial DNA. Anim Genet. 25: 215-221.
117
Karthickeyan SMK, Saravanan R, Thangaraju P. 2006. Krishna Valley cattle inIndia: status, characteristics and utility. AGRI. 39: 25-37.
Kerje S. 2003. Mapping genes affecting phenotypic traits in chicken. [theses]. ActaUniversitatis Upsaliensis. Uppsala, Sweden.
Kikkawa Y, Amano T, Suzuki H. 1995. Analysis of genetic diversi ty ofdomest ic cattle in East and Southeast Asia in terms of variat ions inrestr iction sites and sequences of mitochondr ial DNA. J Bioch Genet .33: 51-60.
Kikkawa Y et al. 2003. Phylogenies using mtDNA and SRY provide evidence formale-mediated introgression in Asian domestic cattle. Anim Genet. 34 (2):96-101.
Kimura M. 1980. A simple method for estimating evolutionary rate of basesubstitutions through comparative studies of nucleotide sequences. J MolEvol. 16: 111-120.
Krafsur ES, Cummings MA, Endsley MA, Marquez JG, Nason JD. 2005.Geographic differentiation in the house fly estimated by microsatellite andmitochondrial variation. Heredity. 96 (5): 502-512.
Kumar P et al. 2003. Admixture analysis of South Asian cattle. Heredity. 91:43-50.
Lehmann T, Hawley WA, Collins FH. 1996. An evolution of evolutionaryconstraints on microsatellite loci using null alleles. Genetics. 144 : 1155-1163.
Lewin B. 2000. Genes VII. Oxford University Press. Oxford.
Levinson G, Gutman GA. 1987. Slipped-strand mispairing: a major mechanismfor DNA sequence evolution. Mol Biol Evol. 4: 203-221.
Litt M, Lutty JA. 1989. A hypervariable microsatellite revealed by in vitroamplification of a dinucleotide repeat within the cardiac muscle actin gene.Amer J Hum Genet. 4. 397-401.
Litt M, Hauge X, Sharma V. 1993. Shadow bands seen when typing polymorphicdinucleotide repeats-some cause and cures. Biotechniques 15: 280.
Loftus RT, MacHugh DE, Bradley DG, Sharp PM Cunningham P. 1994. Evidencefor two independent domestications of cattle. Proc Natl Acad Sci. 91: 2757-2761.
Loftus RT et al. 1999. A microsatellite survey of cattle from a centre of origin: theNear East. Mol Ecol. 8: 2015-2022.
Luis C, Juras R, Oom MM, Gothran G. 2007. Genetic diversity and relationshipsof Portuguese and other horse breeds based on protein and microsatelliteloci variation. Anim Genet. 38: 20-27.
118
Luikart G et al. 1999. Power of 22 microsatellite markers in fluorescentmultiplexes for parentage testing in goats (Capra hircus). Anim Genet. 30:431-38.
Machado MA, Schuster I, Martinez ML, Campos AL. 2003. Genetic diversity offour cattle breeds using microsatellite markers. R Bras Zootec. 32 (1): 93-98.
MacHugh DE, Loftus RT, Cunningham P, Bradley DG. 1998. Genetic structure ofseven European cattle breeds assessed using 20 microsatellite markers.Anim Genet. 29: 333-40.
MacHugh DE, Shriver MD, Loftus RT, Cunningham P, Bradley GD. 1997.Microsatellite DNA variation and evolution, domestication andphylogeography of taurine and zebu Cattle (Bos taurus and Bos indicus).Genetics. 146: 1071-1086.
MacHugh DE. 1996. Molecular biogeography and genetic structure ofdomesticated cattle [theses]. Department of Genetics. Trinity College,University of Dublin.
Mainguy J, Llewllyn AS, Worley K, Cóté SD, Coltman DW. 2005. Characterizationof 29 polymorphic artiodactyls microsatellite markers for the mountain goat(Oreamnos americanus). Mol Ecol Notes. 10.1111/j.14718286.2005.01071.x: 1-3.
MalevičiūtėJ, BaltrėnaitėL. MiceikienėI. 2002. Domestic cattle breed diversity inLithuania. ISSN 1392-2130. Veterinarija Ir Zootechnika. T. 20 (42): 87-91.
Mansjoer SS. 1993. Identifikasi Keragaman Genetik Banteng. Laporan PenelitianPAU. IPB, Bogor.
Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan danKebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat AntarUniversitas Bioteknologi IPB, Bogor.
Martojo H. 2003. Indigenous Bali Cattle: The Best Suited Cattle Breed forSustainable Small Farms in Indonesia. Laboratory of Animal Breeding andGenetics, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University,Indonesia.
Melnick DJ, Hoelzer GA. 1993. What is mtDNA good for in the study of primateevolution? Evolutionary Anthropology. Issue, News and Reviews. Adevision of John Wiley and Sons, Inc. 2 (1): 1-10.
Merkens J. 1926. De Paarden en Runderteelt in Nederlandsch Indie.Veeartsenijkundige Mededeeling. No. 51. Landsdrukkerij-Weltevreden,Nederland.
Mezzadra CA, et al. 2005. Effects of cytoplasmic inheritance on preweaning traitsof Hereford cattle. Genet Mol Biol. 28 (3): 357-362.
119
Minqiang W, Pingli L, Jianlin H, Weigend S. 2004. An example of yak paternityassignment by microsatellite genotyping. In: Proceedings of theInternational Conggress. www.ilri.cgiar.org.
Miretti MM, Pereira jr HA, Poli MA, Contel EPB, Ferro JA. 2002. African-derivedmitochondria in South American native cattle breeds (Bos taurus): evidenceof a new taurine mitochondrial lineage. Heredity. 93 (5): 323-30.
Montaldo HH, Meza-Herrera CA. 1998. Use of molecular markers and majorgenes in the genetic improvement of Livestock. J Biotech. 1 (2): 83-89.
Moore J. 2004. Minitab Release 14.13 Statistical Software. Minitab Inc., USA.
Moore SS, Barendse W, Berger KT, Armitage SM, Hetzel DJS. 1992. Bovine andovine DNA microsatellites from the EMBL and GenBank databases. AnimGenet. 23: 463-467.
Mukesh M, Sodhi M, Bhatia S, Mishra BP. 2004 Genetic diversity of Indian nativecattle breeds as analysed with 20 microsatellites. J Anim Breed Genet. 121:416–424.
Muladno. 1994. DNA markers for pigs gene mapping [theses]. The University ofSydney. Australia.
Muladno. 2000. Polimorfisme dan analisis keterpautan mikrosatelit pada genombabi. Hayati. 7 (1): 11-15.
Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka WirausahaMuda, Bogor.
Muladno. 2006. Aplikasi Teknologi Molekuler dalam Upaya PeningkatanProduktivitas Hewan. Pelatihan Teknik Diagnostik Molekuler untukPeningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan di Kawasan TimurIndonesia. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian danPemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor dan DirektoratJenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Bogor.
Mulyana S. 1968. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Bharata, Jakarta.
Namikawa T. 1981. Geographic distribution of bovine haemoglobin-beta (Hbb)alleles and the phylogenetic analysis of cattle in Eastern Asia. Z Tierz.Zűcht Biol. 98:151-159.
Namikawa T, Amano J, Martojo H. 1982a. Coat color variations of Indonesiacattle. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part III).The Research Group of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan. 31-34.
Namikawa T, Amano T, Pangestu B, Natasasmita S. 1982b. Electrophoreticvariations of blood protein and enzymes in Indonesia cattle and bantengs.The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part III). TheResearch Group of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan. 35-42.
120
Navanitbhai PM. 2004. Molecular characterization of “Surti” breed of goat usingmicrosatellite marker [theses]. Department of Animal Genetics andBreeding, College of Veterinary Science and Animal Husbandry. AnandAgricultural University, Anand.
Neff BD, Gross MR. 2001. Microsatellite evolution in vertebrates: inference fromAC dinucleotide repeats. Evolution. 55 (9): 1717-1733.
Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Colombia University Press.
Nei M, Kumar S. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford UniversityPress. Inc. USA.
Nguyen TT et al. 2007. Genomic conservation of cattle microsatellite loci in wildgaur (Bos gaurus) and current genetic status of this species in Vietnam.BMC Genetics. 8 (77): 1-8.
Nicholas FW. 1996. Introduction to Veterinary Genetics. New York: OxfordUniversity Press.
Nicholas FW. 1999. Genetics of Morphological Traits and Inherited Disorders. In:Fries R Ruvinsky A, editor. The Genetics of Cattle. New York CABIPublishing.
Nijman IJ et al. 2003. Hybridization of banteng (Bos javanicus) and zebu (Bosind icus) revealed by mitochondrial DNA, satellite DNA, AFLP andmicrosatellites. Heredity. 90: 10-16.
Noor RR, Farajalah A, Karmita M. 2000a. Pengujian kemurnian sapi Bali dengananalisis hemoglobin dengan metode isoelectric focusing. Hayati. 8 (4): 107-111.
Noor RR, Muladno, Benyamin B, Hedah Z, Herliantin. 2000b. Uji kemurnian sapiBali melalui protein, DNA mikrosatelit, struktur bulu dan kromosom.Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan BalaiInseminasi Buatan Singosari. Bogor.
Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Cet ke-4. Penebar Swadaya, Jakarta.
Nozawa K. 1979. Phylogenetics studies on the native domestic animals in Eastand Southeast Asia. Proc. Workshop Animals Genetics Resources in Asiaand Oceania. Tsakuba, 3-7 September 1979. Tsukuba: Society for theAdvancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO)23-43.
[NRC] National Research Council. 1983. Little-Known Asian Animals with aPromising Economic Future. Washington, D.C. National Academic Press.
Otsuka J, Kondo K, Simamora S, Mansjoer SS, Martojo H. 1980. Body-measurements of the Indonesian native cattle. The Origin and Phylogeny ofIndonesia Native Livestock (Part I). The Research Group of OverseasScientific Survey. Tokyo, Japan. 7-18.
121
Otsuka J, Namikawa T, Nozawa K, Martojo H. 1982. Statistical analysis on thebody measurement of East Asian native cattle and bantengs. The Originand Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part III). The ResearchGroup of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan. 7-17.
Pandey AK, Sharma R, Singh Y, Prakash BB, Ahlawat SPS. 2006. Geneticdiversity studies of Kherigarh cattle based on microsatellite markers. JGenet. 85 (2): 117-122.
Pane I. 1991. Pemuliabiakan Ternak Sapi. PT Gramedia, Jakarta.
Park IK, Moran P. 1995. Development in Molecular Genetic Techniques inFisheries. Pages 1-28 in Gary R. Carvalho and T.T. Pitcher, Editors.Molecular Genetic in Fisheries. Champman and Hall. T.J. Press Ltd.,Padstow, Cornwall.
Patricia MM, García PP, Dulout FN. 2002. Mitochondrial variability in the D-loopof four equine breeds shown by PCR-SSCP analysis. Genet Mol Biol. 25(1): 1-7.
Payne WJA. 1991. Domestication: A Forward Step in Civilization . In: CattleGenetic Resources (Ed. C.G. Hickman). Elsevier, Amsterdam.
Payne WJA. Rollinson DHL. 1973. Bali cattle. Word Anim Rev. 7: 13-21.
Payne WJA, Rollinson DHL.1976. Madura cattle. Z Tierzüch Züchtsbiol. 93:89-100.
PEMDA NAD (Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam). 1997. KinerjaPembangunan Aceh (Development Performance). Kantor GubernurKepada Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
Pesole G, Gissi C, De-Chirico A, Saccone C. 1999. Nucleotide substitution rateof mammalian mitochondrial genomes. J Mol Evol. 48: 427-434.
Putra L. 2001. Panglima Teuku Nyak Makam Pahlawan Dua Pusara. Titian IlmuInsani, Bekasi
Radko A, Zyga A, Zabek T, Sota E. 2005. Genetic variability among Polish Red,Hereford and Holstein-Friesian cattle raised in Poland based on analysis ofmicrosatellite DNA sequences. J Appl Genet. 46 (1) : 89-91.
Richard M, Thorpe RS. 2000. Highly polymorphic microsatellites in the lacertidGallotia galloti from the western Canary Islands. Mol Ecol. 9: 1919-1952.
Riquet J et al. 1999. Fine-mapping of quantitative trait loci by identity by descentin outbred populations: Application to milk production in dairy cattle. ProcNatl Acad Sci. 96: 9252-9257.
Rit z LR, Glowatzki -Mul lis M, MacHugh DE, Gai llard C. 2000. Phylogeneticanalysis of the tribe Bovini using microsatel li tes. J Anim Genet . 31:178-185.
122
Riwantoro. 2005. Konservasi plasma nutfah Domba Garut dan strategipengembangannya secara berkelanjutan [disertasi]. Bogor: InstitutPertanian Bogor. Sekolah Pascasarjana. Program Studi PengelolaanSumberdaya Alam dan Lingkungan.
Sambrook J, Fritsch EF, Maniastis T. 1989. Molecular Cloning. A LaboratoryManual. 2nd Ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Saitou N, Nei M. 1987. The neighbor-joining method: A new method forreconstructing phylogenetic trees. Mol Bio Evol. 4: 406-425.
Sarbaini. 2004. Kajian keragaman karakter eksternal dan DNA mikrosatelit sapiPesisir di Sumatera Barat [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.Sekolah Pascasarjana. Program Studi Ilmu Ternak.
Setiadi B, Diwyanto K. 1997. Karakterisasi morfologi sapi Madura. JITV. 2 (4);218-224.
Sodhi M, Mukesh M, Prakash B, Ahlawat SPS, Sobti RC. 2006. MicrosatelliteDNA typing for assessment of genetic variability in Tharparkar breed ofIndian zebu (Bos indicus) cattle, a major breed of Rajasthan. J Genet. 85:165-170.
Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penerjemah;Sumantri B. Cet ke-4. Gramedia, Jakarta.
Steven TK, Taper ML. 2006. Maximum likelihood estimation of the frequency ofnull alleles at microsatellite loci. Conservation Genetics . DOI10.1007/s10592-006-9134-9: 1-5.
Subandriyo. 2003. Pengelolaan data plasma nutfah ternak. Makalah disampaikandalam Lokakarya Pemantapan Pengelolaan Database dan PengenalanJejaring Kerja Plasma Nutfah Pertanian, Bogor, 21-28 Juli, 2003, KomisiNasional Plasma Nutfah.
Subandriyo, Setiadi B. 2003. Pengelolaan plasma nutfah hewani sebagai asetdalam pemenuhan kebutuhan manusia. Makalah disampaikan dalamLokakarya Pemantapan Pengelolaan Database dan Pengenalan JejaringKerja Plasma Nutfah Pertanian, Bogor, 21-28 Juli, 2003, Komisi NasionalPlasma Nutfah.
Sujitno HS, Achmad HM. 1995. Aceh, Masa Lalu, Kini dan Masa Depan (Past,Present and future). [penerbit tidak diketahui], Jakarta.
Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. BidangZoologi. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,Cibinong.
Sunnucks P. 2000. Efficient genetic markers from population biology. TrendsEcol Evol. 15: 199-203.
123
Surjoatmodjo M. 1993. Asal-usul sapi Madura ditinjau dari hasil pengukuranbagian-bagian tubuhnya. Proceedings Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitiandan Pengembangan Sapi Madura. Sumenep, 11-12 Okt 1992. Grati: SubBalai Penelitian Ternak Grati. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Balai Penelitian dan PengembanganPeternakan, Departemen Pertanian. 86-91.
Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA4: Molecular EvolutionaryGenetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Advance Accesspublished May 7. Oxford University Press. Mol Biol Evol 10.1093/molbev/msm092.
Tautz D, Renz M. 1984. Simple sequences are ubiquitous components ofeukaryotics genomes. Nucleic Acids Res. 12: 4127-38.
Utoyo DP. 2002. Management of the farm domestic animal genetic resources inIndonesia. In: Animal Genetic Resources. Directorate General of LivestockService. Ministry of agriculture Indonesia. Jakarta.
Vaiman DD et al. 1994. A Set of 99 cattle microsatellites: characterization,synteny mapping, and polymorphism. Mammalian Genome. 5: 288-297.
Verkaar ELC et al. 2003. Paternally inherited markers in bovine hybridpopulations. Heredity. 91: 565–569.
Wandia IN. 2001. Genom mitokondria. J Vet. 2 (4): 131-137.
Ward TJ et al. 1999. Identification of domestic cattle hybrids in wild cattle andbison species: a general approach using mtDNA markers and theparametric bootstrap. J Anim Cons. 2 : 51-57.
Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1990. Pemuliaan Ternak. GadjahMada University Press, Yogyakarta.
Weber JL, May PE. 1989. Abundant class of DNA polymorphisms which can betyped using the polymerase chain reaction. Am J Hum Genet. 44: 388-396.
Wijono DB, Setiadi B. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapiMadura. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta, 8-9 Okt2004. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian. 42-52.
Wiley EO. 1981. Phylogenetics: The Theory and Practice of PhylogeneticSystematics. John Wiley and Sons Inc., Canada.
Winaya A. 2000. Penggunaan penanda molekuler mikrosatelit untuk deteksipolimorfisme dan analisis filogenetik genom sapi [thesis]. Bogor: InstitutPertanian Bogor. Sekolah Pascasarjana. Program Studi Bioteknologi.
Winter A. 2003. Genomic characterization of genes encoding diacylglycerolacyltransferase activity in cattle and swine [dissertation]. TechnischeUniversität München Lehrstuhl für Tierzucht, Germany.
124
Lampiran 1 Lokasi pengambilan sampel sapi Aceh di Nanggroe AcehDarussalam untuk analisis fenotipik
No. Kabupaten/kota Kecamatan Desa1 Aceh Besar Montasiek Bak Dilieb
Sukamakmur Lambarih BakmeSibreh Kumude
Ingin Jaya Lam TeungohDarul Imarah KandangIndrapuri Cót Indrapuri
2 Banda Aceh Banda Raya Lam AraMibo
Lueng Bata Lhong RayaLam Dom
Ulee Kareeng CeurihSyiah Kuala Darussalam
3 Pidie Padang Tidji Skem Brok BeuraboGogo
Glumpang Baro GeuntengUlee Glee Kuta Krueng
4 Aceh Utara Baktiya Barat Matang Sijuek TimuCót CeureumenLhok Iboih
Lhok Seukon Meunasah TriengMeunasah Nga
Muara Batu Ulee MadeunCót Girek Cót Girek
Bukit PayungKampung Tiga
125
Lampiran 2 Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh, Bali, Madura, PO danPesisir untuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria
No. Sapi Nomor sapi Jenis kelamin Lokasi1 Aceh 1 A.016-038 B Aceh Besar/Jantho/DI2 Aceh 2 A.037-068 B Aceh Besar/Jantho/BPT3 Aceh 3 A.117-028 B Banda Aceh/LB4 Aceh 4 A.125-041 J Banda Aceh/UK5 Aceh 5 A.206-017 B Pidie/Sigli/PT6 Aceh 6 A.235-096 B Pidie/Sigli/GB7 Aceh 7 A.310-018 J Aceh Utara/Lhok.smw/BB8 Aceh 8 A.329-075 J Aceh Utara/Lhok.smw/CG9 Bali 1 Bali 3 J P3Bali10 Bali 2 Bali 8 J P3Bali11 Madura1 Madura 1 B Sumenep/Saronggi/KT12 Madura2 Madura 2 B Sumenep/Saronggi/KT13 PO PO 1 B Jawa Barat/Fapet-IPB14 Pesisir1 Pesisir 1 B Sumbar/Pesisir Selatan15 Pesisir 2 Pesisir 2 B Sumbar/Pesisir Selatan
Keterangan: B, M, PO, PS = sapi Bali, Madura, PO dan Pesisir; J/B = jantan, betina, DI =Darul Imarah, BPT = Balai Pembibitan Ternak, LB = Lueng Bata, UK = UleeKareeng, PT = Padang Tidji, GB = Glumpang Baro, BB = Baktiya Barat,CG = Cót Girek, KT = Kambingan Timur
126
Lampiran 3 Lokasi pengambilan sampel darah dan nomor sapi di ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam untuk analisis DNA mikrosatelit
Nomor sampel Jeniskelamin Lokasi Nomor
SampelJenis
kelamin Lokasi
001-023 J AB/SM 021-046 B AB/DI002-024 B AB/SM 022-047 B AB/DI003-025 J AB/SM 023-048 B AB/DI004-026 J AB/SM 024-049 B AB/I/BPT005-027 J AB/SM 025-050 B AB/I/BPT006-028 J AB/SM 026-051 B AB/I/BPT007-029 J AB/IJ 027-053 B AB/I/BPT008-030 J AB/IJ 028-056 B AB/I/BPT009-031 B AB/IJ 029-057 J AB/I/BPT010-032 B AB/DI 030-058 B AB/I/BPT011-033 B AB/DI 031-059 B AB/I/BPT012-034 B AB/DI 032-060 B AB/I/BPT013-035 B AB/DI 033-061 J AB/I/BPT014-036 B AB/DI 034-062 B AB/I/BPT015-037 B AB/DI 035-063 B AB/I/BPT016-038 B AB/DI 036-064 B AB/I/BPT017-039 B AB/DI 037-068 B AB/I/BPT018-041 B AB/DI 038-069 J AB/I/BPT019-042 B AB/DI 039-072 B AB/I/BPT020-043 B AB/DI 040-091 B AB/I/BPT
Keterangan: J-B = jantan/betina, AB = Kabupaten Aceh Besar, SM/IJ/DI = KecamatanSuka Makmur, Ingin Jaya dan Darul Imarah, BPT = Balai PembibitanTernak di Kecamatan Indrapuri Aceh Besar
Lampiran 3 Lanjutan
NomorSampel
Jeniskelamin Lokasi Nomor
SampelJenis
kelamin Lokasi
101-001 B BA/BR 121-039 B BA/LB102-002 B BA/BR 122-041 J BA/LB103-003 B BA/BR 123--043 B BA/LB104-004 B BA/BR 124-016 B BA/UK105-005 B BA/BR 125-041 J BA/UK106-006 B BA/BR 126-043 B BA/UK107-008 B BA/BR 127-048 B BA/UK108-009 J BA/BR 128-054 B BA/UK109-013 B BA/BR 129-056 J BA/UK110-015 B BA/LB 130-066 B BA/UK111-016 B BA/LB 131-073 B BA/UK112-020 J BA/LB 132-082 B BA/UK113-021 J BA/LB 133-083 J BA/UK114-023 B BA/LB 134-084 J BA/UK115-024 B BA/LB 135-079 B BA/SK116-027 B BA/LB 136-080 B BA/SK117-028 B BA/LB 137-086 B BA/SK118-030 B BA/LB 138-094 J BA/SK119-034 B BA/LB 139-098 J BA/SK120-035 B BA/LB 140-099 J BA/SK
Keterangan: J-B = jantan/betina, BA = Kota Banda Aceh, BR/LB/UK/SK = KecamatanBanda Raya, Lueng Bata, Ulee Kareeng, dan Syiah Kuala
127
Lampiran 3 Lanjutan
NomorSampel
Jeniskelamin Lokasi Nomor
SampelJenis
kelamin Lokasi
201-001 B P/PT 221-070 B P/GB202-005 B P/PT 222-071 J P/GB203-007 J P/PT 223-072 J P/GB204-009 B P/PT 224-075 J P/GB205-012 B P/PT 225-080 B P/GB206-017 B P/PT 226-081 B P/GB207-021 B P/PT 227-082 B P/GB208-022 J P/PT 228-083 B P/GB209-023 J P/PT 229-087 B P/GB210-024 J P/PT 230-088 J P/GB211-036 J P/PT 231-090 B P/GB212-040 B P/PT 232-091 J P/GB213-048 J P/GB 233-092 B P/GB214-055 B P/GB 234-095 J P/GB215-057 J P/PT 235-096 B P/GB216-058 B P/PT 236-097 J P/UG217-059 B P/PT 237-101 B P/UG218-063 B P/PT 238-102 B P/UG219-064 B P/PT 239-103 B P/UG220-065 J P/PT 240-104 B P/UG
Keterangan: J-B = jantan/betina, P = Kabupaten Pidie, PT/GB/UG = Kecamatan PadangTidji, Glumpang Baro dan Ulee Glee
Lampiran 3 Lanjutan
NomorSampel
Jeniskelamin Lokasi Nomor
SampelJenis
kelamin Lokasi
301-001 J AU/BB 321-043 B AU/LS302-002 B AU/BB 322-044 B AU/LS303-003 J AU/BB 323-063 J AU/LS304-008 B AU/BB 324-064 J AU/LS305-009 B AU/BB 325-070 J AU/CG306-011 B AU/BB 326-072 J AU/CG307-012 B AU/BB 327-073 J AU/CG308-013 B AU/BB 328-074 J AU/CG309-017 J AU/BB 329-075 J AU/CG310-018 J AU/BB 330-076 J AU/CG311-019 J AU/BB 331-077 J AU/CG312-021 B AU/MB 332-084 J AU/CG313-022 B AU/MB 333-082 B AU/CG314-023 B AU/MB 334-083 J AU/CG315-026 J AU/BB 335-085 B AU/CG316-034 J AU/BB 336-086 B AU/CG317-035 J AU/BB 337-088 B AU/CG318-036 B AU/BB 338-089 B AU/CG319-040 J AU/LS 339-091 J AU/CG320-042 J AU/LS 340-092 B AU/CG
Keterangan: J-B = jantan/betina, AU = Kabupaten Aceh Utara, BB/MB/LS/CG =Kecamatan Baktiya Barat, Muara Batu, Lhok Seukon dan Cót Girek
128
Lampiran 4 Lokasi pengambilan sampel darah sapi pembanding untuk analisisDNA mikrosatelit
No. Sapi Jenis kelamin Lokasi1 Bali 1 Jantan P3Bali, Pulau Bali2 Bali 2 Jantan P3Bali, Pulau Bali3 Bali 3 Jantan P3Bali, Pulau Bali4 Bali 4 Jantan P3Bali, Pulau Bali5 Bali 5 Jantan P3Bali, Pulau Bali6 Bali 6 Jantan P3Bali, Pulau Bali7 Bali 7 Jantan P3Bali, Pulau Bali8 Bali 8 Jantan P3Bali, Pulau Bali9 Bali 9 Jantan P3Bali, Pulau Bali10 Bali 10 Jantan P3Bali, Pulau Bali11 PO 1 Betina Jawa Barat/Fapet-IPB12 PO 2 Betina Jawa Barat/Fapet-IPB13 Madura 1 Betina Sumenep/Saronggi/Kambingan Timur14 Madura 2 Betina Sumenep/Saronggi/Kambingan Timur15 Pesisir 1 Jantan Sumbar/Pesisir Selatan/Sungai Liku16 Pesisir 2 Betina Sumbar/Pesisir Selatan/Sungai Liku
129
Lampiran 5 Komposisi bahan pereaksi yang digunakan untuk isolasi DNA darisampel darah
No Nama pelarut Nama bahan Satuan bahan1 Lysis buffer Sukrosa 0,32 M
Triton X-100 1% w/vMgCl2 5 mMTris-HCl pH 7,4
2 Digestion buffer NaCl 200 mMTris-HCl pH 9,0 50 mMEDTA pH 8,0 100 mMSDS 1% mg/mlProteinase K 0,5 mg/mlRNAse 0,1 mg/ml
3 Rinse buffer NaCl 75 mMEDTA 50 mM
4 Larutan fenol Fenol kristal dipanaskanHydroxyquinoline phenol 1% dari berat fenolTris pH 8,0 0,5 MTris pH 8,0 0,1 MTris-HCl 0,1 M + 0,2%
betamecaptoethanol
5 Larutan CIAA Kloroform (CHCl3) 24 bagianIso Amyl Alcohol 1 bagian
6 TE 1x buffer EDTA pH 8,0 1 mMRNAse 20 µg/mlTris-HCl pH 8,0 10 mM
TBE 10 x buffer Tris-base 108 gUntuk 1000 ml Boric acid 55 g
EDTA pH 8,0 40 µl
6 Alkohol absolutAlkohol 70%
130
Lampiran 6 Konsentrasi sampel DNA total hasil pemeriksaan dengan mesinNanoDrop Spectrophotometer
No. ng/ul A260 A280 260/280 No. ng/ul A260 A280 260/280001 64,13 1,283 0,733 1,75 108 44,3 0,886 0,495 1,79002 279,96 5,599 3,163 1,77 109 199,79 3,996 2,715 1,47003 862,39 17,248 9,475 1,82 110 23,26 0,465 0,278 1,68004 1245,77 24,915 13,486 1,85 111 57,56 1,151 0,645 1,78005 142,45 2,849 1,602 1,78 112 106,25 2,125 1,241 1,71006 187,06 3,741 2,063 1,81 113 121,46 2,429 1,356 1,79007 174,23 3,485 1,863 1,87 114 112,04 2,241 1,241 1,80008 263,31 5,266 2,854 1,85 115 48,46 0,969 0,648 1,49009 117,93 2,359 1,323 1,78 116 100,4 2,008 1,265 1,59010 215,45 4,309 2,424 1,78 117 58,56 1,171 0,733 1,60011 50,22 1,004 0,57 1,76 118 55,45 1,109 0,632 1,75012 172,73 3,455 1,829 1,89 119 307,13 6,143 3,962 1,55013 40,36 0,807 0,481 1,68 120 36,7 0,734 0,451 1,63014 451,43 9,029 5,37 1,68 121 27,93 0,559 0,326 1,71015 186,39 3,728 1,953 1,91 122 59,82 1,196 0,668 1,79016 51,09 1,022 0,551 1,86 123 392,91 7,858 4,389 1,79017 31,42 0,628 0,348 1,81 124 146,45 2,929 1,628 1,80018 1166,28 23,326 12,561 1,86 125 54,69 1,094 0,605 1,81019 24,48 0,49 0,31 1,58 126 461,97 9,239 5,04 1,83020 140,41 2,808 1,489 1,89 127 134,75 2,695 1,461 1,84021 195,38 3,908 2,079 1,88 128 20,75 0,415 0,268 1,55022 54,1 1,082 0,574 1,88 129 174,72 3,494 1,946 1,80023 248,91 4,978 2,752 1,81 130 23,13 0,463 0,267 1,73024 110,97 2,219 1,21 1,83 131 27,57 0,551 0,318 1,73025 127,86 2,557 1,438 1,78 132 26,03 0,521 0,349 1,49026 862,02 17,24 10,1 1,71 133 16,59 0,332 0,203 1,64027 309,19 6,184 3,534 1,75 134 62,35 1,247 0,752 1,66028 76,12 1,522 0,846 1,8 135 48,46 0,969 0,629 1,54029 164,08 3,282 1,779 1,84 136 59,99 1,2 0,694 1,73030 2841,5 56,83 30,84 1,84 137 104,32 2,086 1,283 1,63031 66,52 1,33 0,751 1,77 138 18,83 0,377 0,247 1,52032 65,36 1,307 0,731 1,79 139 19,3 0,386 0,275 1,40033 102,21 2,044 1,197 1,71 140 18,54 0,371 0,232 1,60034 120,9 2,418 1,327 1,82 201 818,46 16,369 8,969 1,83035 50,31 1,006 0,623 1,62 202 129,27 2,585 1,493 1,73036 112,74 2,255 1,26 1,79 203 139,66 2,793 1,508 1,85037 107,22 2,144 1,154 1,86 204 120,99 2,42 1,339 1,81038 61 1,22 0,686 1,78 205 36,77 0,735 0,435 1,69039 62,2 1,244 0,708 1,76 206 144,33 2,887 1,536 1,88040 30,07 0,601 0,39 1,54 207 75,58 1,512 0,817 1,85101 35,94 0,719 0,483 1,49 208 62,98 1,26 0,749 1,68102 62,57 1,251 0,746 1,68 209 67,32 1,346 0,849 1,58103 195,56 3,911 2,114 1,85 210 52,59 1,052 0,584 1,80104 130,2 2,604 1,429 1,82 211 166,37 3,327 1,815 1,83105 42,17 0,843 0,483 1,75 212 173,37 3,467 1,945 1,78106 26,11 0,522 0,295 1,77 213 551,15 11,023 6,066 1,82107 30,63 0,613 0,369 1,66 214 30,66 0,613 0,38 1,61
131
Lampiran 6 Lanjutan
No. ng/ul A260 A280 260/280 No. ng/ul A260 A280 260/280215 234,67 4,693 2,531 1,85 322 153,83 3,077 1,657 1,86216 402 8,04 4,348 1,85 323 109,7 2,194 1,199 1,83217 164,45 3,289 1,78 1,85 324 471,09 9,422 5,127 1,84218 146,41 2,928 1,575 1,86 325 245,41 4,908 2,623 1,87219 17,01 0,34 0,181 1,87 326 929,29 18,586 10,365 1,79220 68,11 1,362 0,767 1,78 327 119,67 2,393 1,305 1,83221 129,05 2,581 1,442 1,79 328 158,04 3,161 1,697 1,86222 236,72 4,734 2,572 1,84 329 359,55 7,191 3,849 1,87223 257,76 5,155 2,829 1,82 330 29,09 0,582 0,381 1,53224 146,66 2,933 1,591 1,84 331 1056,4 21,128 11,333 1,86225 90,01 1,8 0,99 1,82 332 117,9 2,358 1,272 1,85226 87,99 1,76 0,986 1,79 333 151,64 3,033 1,623 1,87227 312,52 6,25 3,367 1,86 334 219,48 4,39 2,309 1,90228 201,08 4,022 2,186 1,84 335 24,15 0,483 0,305 1,58229 198,91 3,978 2,145 1,85 336 83,69 1,674 0,914 1,83230 19,45 0,389 0,212 1,84 337 181,09 3,622 1,928 1,88231 341,9 6,838 3,696 1,85 338 184,45 3,689 1,937 1,90232 177,54 3,551 1,972 1,80 339 151,84 3,037 1,621 1,87233 65,26 1,305 0,739 1,77 340 139,67 2,793 1,516 1,84234 190,94 3,819 2,046 1,87 Md.1 17,44 0,349 0,219 1,59235 186,88 3,738 2,029 1,84 Md.2 94,07 1,881 1,113 1,69236 233,55 4,671 2,497 1,87 PO.1 67,9 1,358 0,734 1,85237 30,84 0,617 0,34 1,81 PO.2 97,41 1,948 1,084 1,80238 12,27 0,245 0,126 1,95 PS.1 178,55 3,571 2,157 1,66239 27,44 0,549 0,395 1,39 PS.2 45,05 0,901 0,488 1,85240 53,03 1,061 0,585 1,81 Bali 1 78,37 1,567 0,83 1,89301 107,68 2,154 1,209 1,78 Bali 2 33,99 0,68 0,349 1,95302 115,81 2,316 1,256 1,84 Bali 3 98,95 1,979 1,073 1,84303 29,48 0,59 0,401 1,47 Bali 4 89,67 1,793 0,955 1,88304 357,58 7,152 3,82 1,87 Bali 5 125,5 2,51 1,334 1,88305 249,42 4,988 2,661 1,87 Bali 6 85,31 1,706 0,891 1,91306 209,34 4,187 2,257 1,86 Bali 7 137,5 2,75 1,44 1,91307 28,59 0,572 0,356 1,61 Bali 8 105,62 2,112 1,125 1,88308 248,23 4,965 2,679 1,85 Bali 9 86,77 1,735 0,942 1,84309 1230,87 24,617 13,134 1,87 Bali 10 130,21 2,604 1,39 1,87310 413,51 8,27 4,463 1,85311 101,69 2,034 1,123 1,81312 342,53 6,851 3,869 1,77313 226,98 4,54 2,446 1,86314 113,41 2,268 1,274 1,78315 161,55 3,231 1,785 1,81316 153,99 3,08 1,699 1,81317 433,58 8,672 4,812 1,80318 247,4 4,948 2,647 1,87319 141,46 2,829 1,541 1,84320 541,42 10,828 6,15 1,76321 131,5 2,63 1,449 1,81
Keterangan: Md = sapi Madura, PO = sapi Peranakan Ongole, PS = sapi Pesisir
132
Lampiran 7 Lokasi penempelan primer BIDL-F dan BIDL-R pada sekuens basanukleotida daerah D-loop sapi Bos indicus
Sekuens tRNAPro lengkap (15729..15794) …Sekuens D-loop lengkap (15795..16341,1..366) …Sekuens tRNAPhe lengkap (367..433) …
BIDLFacc cccaaagctg aagttct
15721 cctaagactc aaggaagaaa ctgtagtctc accgtcaacc cccaaagctg aagttctatt15781 taaactattc cctgaacact attaatatag ttccataaat gcaaagagcc ttatcagtat15841 taaatttatc aaaaatccca ataactcaac acagaatttg caccctaacc aaatattaca15901 aacaccacta gctaacataa cacgcccata cacagaccac agaatgaatt acccaggcaa15961 gaggtaatgt acataacatt aatgtaataa agacatgata tgtatatagt acattaaatt16021 atatacccca tgcatataag caagtacatg atctctataa tagtacataa tacatacaat16081 tattaattgt acatagtaca ttatatcaaa tccatcctca acaacatatc tactatatac16141 cccttccact agatcacgag cttaattacc atgccgcgtg aaaccagcaa cccgctaagc16201 agaggatccc tcttctcgct ccgggcccat agaccgtggg ggtcgctatt taatgaattt16261 taccaggcat ctggttcttt cttcagggcc atctcatcta aagtggtcca ttctttcctc16321 ttaaataaga catctcgatg g
1 actaatgact aatcagccca tgctcacaca taactgtgct gtcatacatt tggtattttt61 ttattttggg ggatgcttgg actcagctat ggccgtcaaa ggccccgacc cggagcatct
121 attgtagctg gacttaactg catcttgagc accagcataa tgataggcat gggcattaca181 gtcaatggtc acaggacata aattacatta tatatccccc ccttcataaa aacctccccc241 ttaaatattc accaccactt ttaacagact tttccctaga tacttattta aattttccac301 actttcaata ctcaatttag cactccaaac aaagtcaata tataaacgca ggcccccccc361 ccccccgttg atgtagctta acccaaagca aggcactgaa aatgcctaga tgagtctccc
gtgc cttgctttgg gttaagBIDLR
421 aactccataa aca
Keterangan: Primer BIDLF menempel pada posisi basa ke-30 sampai dengan49 gen tRNAPro (15758-15777) dan primer BIDLR menempel padaposisi basa ke-11 sampai dengan 30 gen tRNAPhe (377-396). Hasilyang dianalisis mulai basa ke-8 sampai dengan 486 bp daerahD-loop (15802-16280) (kode akses AY126697; Miretti et al. 2002).Fragmen teramplifikasi berukuran 980 bp terdiri atas 37 bpfragmen gen tRNApro (posisi basa 30-66, 15758-15794), 913 bpfragmen D-loop (posisi basa 1-913, 15795-16341, 1-366) dan 30bp fragmen tRNAPhe (posisi basa 1-30, 367-396).
133
Lampiran 8 Pensejajaran berganda nukleotida dari daerah D-loop parsial sapi Aceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa ternak dariGenBank
10 20 30 40 50 60 70 80 90#Bos_indicus_(GB) TT-AA-TATA G---TTCCAT AAATGCAAAG AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA- TCCCAATAAC TCAACACAGA ATTTGCACCC [ 90]#Aceh_1 ..-.--.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_2 ..-.--.... .---...... ........-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_3 ..-.--.-.. .---...... ........-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_4 ..-.--.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_5 ..-.--.... .---...... ........-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_6 ..-..-.... .---...... ........-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_7 ..-.--.... .---...... ........-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_8 ..-.--.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Bali_1 ..-..-.... .---...... ...C...... ......GC.. .......... ..C......- .TT...C.G. .......... .....T.... [ 90]#Bali_2 ..-..-.... .---...... ...C...... ......GC.. .......... ..C......- .TT...C.G. .......... .....T.... [ 90]#Madura_1 ..-.--.... .---....-. ...C...G.. ......GC.. .......... ..C......- .TT...C.G. .......... .....T.... [ 90]#Madura_2 ..-..-.... .---...... ...C...... ......GC.. .......... ..C......- .TT...C.G. .......... .....T.... [ 90]#PO_1 ..C.GC...G .GGG.A..-- -----.CC-- --....T..C C......T.. .-..GGGG.- .....T.... ...C.G.... .......... [ 90]#Pesisir_1 .A-.--.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Pesisir_2 ..-.--.... .---...... ..-.....-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Tharparkar_(GB) ..-..-.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Sahiwal_(GB) ..-..-.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Ongole_(GB) ..-..-.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Heinan_(GB) ..-..-.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Brahman_(GB) ..-..-.... .---...... ....A..... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Charolais_(GB) ..-..-.... .---...... ....A..... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Angus_(GB) ..-..-.... .---...... ....A..... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Red_Angus_(GB) ..-..-.... .---...... ....A..... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Simmental_(GB) ..-..-.... .---...... ....A..... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Bubalus_bubalis_(GB) ..-..-.... C---C....C .......... ......C... .......... C.-.T....C .TG...C... .T.....T.. C...A...T. [ 90]
134
Lampiran 8 Lanjutan
100 110 120 130 140#Bos_indicus_(GB) TAACCAAATA TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC- --A-TACA-- -CA-G-AC-- C--------- --------A- [180]#Aceh_1 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_2 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_3 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_4 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_5 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_6 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_7 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_8 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Bali_1 .......... .C..---... .......... ...---.-.. ...AC....C CC.C....-- GA.T.C..-- .CTCCAAGTG GGATAAGT.- [180]#Bali_2 .......... .C..---... .......... ...---.-.. ...AC....C CC.C....-- GA.T.C..-- .CTCCAAGTG GGATAAGT.- [180]#Madura_1 .......... .C..CAC... .......... ...---.-.. ...AC....C C-.C....-- GA.T.C..-- .CTCCAAGTG GGATAAGT.- [180]#Madura_2 .......... .C..---... .......... ...---.-.. ...AC....C C-.C....-- GA.T.C..-- .CTCCAAGTG GGATAAGT.- [180]#PO_1 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Pesisir_1 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Pesisir_2 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Tharparkar_(GB) .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Sahiwal_(GB) .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Ongole_(GB) .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Heinan_(GB) .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Brahman_(GB) .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Charolais_(GB) .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Angus_(GB) .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Red_Angus_(GB) .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Simmental_(GB) .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Bubalus_bubalis_(GB) .....T..C. ...G---... T.--...-.. -...C..C.. ...--A..T- --.--..CTC G..T.T..GG .--------- --------.T [180]
135
Lampiran 8 Lanjutan
150 160 170 180 190 200 210#Bos_indicus_(GB) -CAGA---AT GAA-T-TACC CAGG--C--A -------A-G AGGTAAT--G TACATAACAT TAATGT-AAT AAAGACATGA TATGTATATA [270]#Aceh_1 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_2 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_3 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_4 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_5 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_6 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_7 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_8 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Bali_1 -..T.-AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.-- .T.....AA. .......T.. ......-... ........A. .......... [270]#Bali_2 -..T.-AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.-- .T.....AA. .......T.. ......-... ........A. .......... [270]#Madura_1 -..T.-AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.-- .T.....AA. .......T.. ......T... ........A. .......... [270]#Madura_2 -..T.-AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.-- .T.....AA. .......T.. ......-... ........A. .......... [270]#PO_1 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. G......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Pesisir_1 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Pesisir_2 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Tharparkar_(GB) -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Sahiwal_(GB) -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Ongole_(GB) -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Heinan_(GB) -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Brahman_(GB) -....---.. ...-.-.... T.C.--.--. -------.-. G......--. .......... ......-... ........A. .......... [270]#Charolais_(GB) -....---.. ...-.-.... T.C.--.--. -------.-. G......--. .......... ......-... ........A. .......... [270]#Angus_(GB) -....---.. ...-.-.... T.C.--.--. -------.-. G......--. .......... ......-... ........A. .......... [270]#Red_Angus_(GB) -....---.. ...-.-.... T.C.--.--. -------.-. G......--. .......... ......-... ........A. .......... [270]#Simmental_(GB) -....---.. ...-.-.... T.C.--.--. -------.-. G....G.--. .......... ......-... ........A. .......... [270]#Bubalus_bubalis_(GB) A..-.CAT.. .GTC.-.... -.CT--.CG. -------.T. G..A..C--. .......... ......-..C ..G.....A. .......... [270]
136
Lampiran 8 Lanjutan
220 230 240 250 260 270 280 390#Bos_indicus_(GB) GTACATTAAA TTATATACCC CATGCATATA AGCAAGTACA TG-AT-C-T- CTATA-A-TA GTACATAATA CATACAAT-- --T-ATTAAT [360]#Aceh_1 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.A.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_2 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_3 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_4 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_5 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_6 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_7 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_8 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Bali_1 ........C. ...C...... .......... .........T ..-.AA.-.- .C...A.-C. .......G.. ...-T...CC CC.-.---.. [360]#Bali_2 ........C. ...C...... .......... .........T ..-.AA.-.- .C...A.-C. .......G.. ...-T...CC CC.-.---.. [360]#Madura_1 ........C. ...C...... .......... .........T ..-.A-.-.- .C...G.-C. .......G.. ...-T...CC CC.-.---.. [360]#Madura_2 ........C. ...C...... .......... .........T ..-.A-.-.- .C...G.-C. .......G.. ...-T...CC CC.-.---.. [360]#PO_1 .......... .......... .......... .......... ..G..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.T.....C [360]#Pesisir_1 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Pesisir_2 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Tharparkar_(GB) .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Sahiwal_(GB) .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-.....C [360]#Ongole_(GB) .......... .......... .......... .......... ..-..-T-.- .....-.-.. .......... ....T...-- --.-...... [360]#Heinan_(GB) .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Brahman_(GB) .......... ......G... .......... .......... ..-.C-.-.- .....-G-C. .......... ....T...-- --.-...G.C [360]#Charolais_(GB) .......... ......G... .......... .......... ..-.C-.-.- .....-G-C. ..G....... ....T...-- --.-...G.C [360]#Angus_(GB) .......... ......G... .......... .......... ..-.C-.-.- .C...-G-C. .......... ....T...-- --.-...G.C [360]#Red_Angus_(GB) .......... .......... .......... .......... ..-.C-T-.- .....-.-C. .......... ....T...-- --.-...G.C [360]#Simmental_(GB) .......... ......G... .......... .......... ..-.C-.-.- .....-G-C. ..G....... ....T...-- --.-...G.C [360]#Bubalus_bubalis_(GB) ........C. ......G... .....G.... .......... .A-.A-.A.G .-..G-.-.. .......G.. ....T...-- --.-...G.. [360]
137
Lampiran 8 Lanjutan
300 310 320 330 320 350 360#Bos_indicus_(GB) TGTACATAG- TACATT-ATA ---TCAAATC CAT--CCTCA ACAACATATC T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG-CT [450]#Aceh_1 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. C.---..A.- ..C....-.. [450]#Aceh_2 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. C.---..A.- ..C....-.. [450]#Aceh_3 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. C.---..A.- .......-.. [450]#Aceh_4 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. C.---..A.- .......-.. [450]#Aceh_5 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. -.---..A.- .......-.. [450]#Aceh_6 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. ..---..A.- .......-.. [450]#Aceh_7 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. ..---..A.- .......-.. [450]#Aceh_8 .........- ......-... ---....... ...--T.... .......... .-....-... .......-.. ..---..A.- .......-.. [450]#Bali_1 C........- ......-.C. ---....... T.C--...TG .A.....G-G -----.-... --.....-.. C.---..A.- ..C...---- [450]#Bali_2 C........- ......-.C. ---....... T.C--...TG .A.....G-G -----.-... --.....-.. C.---..A.- ..C...---- [450]#Madura_1 C........- ......-.C. ---....-.. T.C--.T.-G .......G-. -----.-... --.....-.. C.---....- ..C...---- [450]#Madura_2 C........- ......-.C. ---....-.. T.C--...-G .A.....G-. -----.-... --.....-.. C.---..A.- ..C...---- [450]#PO_1 C....C...G ......T... --A..C.... .C.TC..C.. .A.......T .T....A... .....CC-.. C.CCT..A.A ..C....G.. [450]#Pesisir_1 ..G......- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. -.---..A.- ..C....-.. [450]#Pesisir_2 ..G......- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. -.---..A.- ..C....-.. [450]#Tharparkar_(GB) .........- .....C-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. ..---....- .......-.. [450]#Sahiwal_(GB) C........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-.T..-... .....C.-.. ..---....- .......-.. [450]#Ongole_(GB) .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .....C.-.. ..---....- .......-.. [450]#Heinan_(GB) .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. ..---....- .......-.. [450]#Brahman_(GB) C........- ......-..G ---......T ...--T..TG .T.GT..... .-.T..-... .TT....A.. .T---....- .......-.. [450]#Charolais_(GB) .........- ......-..G ---......T ...--T..TG .T.GT..... .-.T..-... .TT....A.. .T---....- .......-.. [450]#Angus_(GB) .........- ......-..G ---......T ...--T..TG ...GT..... .-.T..-... .TT....A.. .T---....- .......-.. [450]#Red_Angus_(GB) .........- ......-..G ---......T ...--...TG .T.GT..... .-.T..-... .TT....A.. .T---....- .......-.. [450]#Simmental_(GB) .........- ......-..G ---......T ...--T..TG .T..T..... .-.T..-..C .TT....A.. .T---....- .......-.. [450]#Bubalus_bubalis_(GB) C........- C.....--.. AG-....... ...--T.... T......G-. G---..-.-- --.....-.. .T---....- .......-.. [450]
138
Lampiran 8 Lanjutan
370 380 390 400 410 420 430#Bos_indicus_(GB) T-AATTA--- CCATG--CCG CGTG-AAACC --AGCAACCC -GC--TAAGC AGA-G-GAT- -CCCTCTTCT --CGC-TCCG GG--CCCATA [540]#Aceh_1 .-.....--- ..-..--... ..G.G..-.. --....-... -..--..... .A.-.-..-- -.......T. --.C.-.... ..--....-. [540]#Aceh_2 .-.....--- ..-..--... ..G.G..-.. ---....... -..--..... .A.-.-..A- -.......T. --...-.... ..--....-. [540]#Aceh_3 .-.....--- ..-..--... ..G.G..-.. --........ -..--..... .A.-.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Aceh_4 .-.....--- .....--... ..G.-..-.. --C....... -..--..-.. .A.-.-...- -..-...... --.C.-.... .----..... [540]#Aceh_5 .-.....--- .....--... ..G.G..... --........ -..--..... .A.-.-...- -.......T. --...-.... ..--G..... [540]#Aceh_6 .-.....--- ..-..--... ..G.G..-.. --........ -..--..... .A.-.-...- -..-...... --...-.... ..---..... [540]#Aceh_7 .-.....--- .....--... ..G.G..-.. --........ -..--..... .A.-.-..A- -......... --...-.... ..---..... [540]#Aceh_8 .-.....--- .....--... ..G.G..-.. --........ C..--..... .A.-.-...- -......... --...-.... ..--G..... [540]#Bali_1 --.....ACC ..C..-G..- ..G.G..... --.-...... -C.-T...-A .A.A.-..-- -...C...-. TC.C.-.... ..--....G. [540]#Bali_2 --.....ACC ..C..-G..- ..G.G..... --.-...... -C.-T...-A .A.A.-..-- -...C...-. TC.C.-.... ..--....G. [540]#Madura_1 --.....ACC ..C..--..- G.G.G..... --........ -.--T..G-. .A.-.-A.-- -...C...-. --.C.-.... ..--...TG. [540]#Madura_2 --.....ACC ..C..--..- .CG.G..... --........ -.--T...-. .A.-.-A.-- -...C...-. --.C.-.... ..--....G. [540]#PO_1 .T.....--- ..C..GG... G.G.G..... CC........ -C.CC...AA .A.-AA..AA A...C...T. TC.C.-.... ..GG....A. [540]#Pesisir_1 .-.....--- ..-..--G.- ..G.G..... --.-...... -C.--..... .A.-.-..-- -.......T. --.-.-.... ..---...A. [540]#Pesisir_2 .-.....--- ..-..--G.- ..G.G..... --........ -C.--..... .A.-.-..A- -.......T. --.-.C.... ..--G...A. [540]#Tharparkar_(GB) .-.....--- .....--... ....-..... --........ -..--..... ...-.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Sahiwal_(GB) .-.....--- .....--... ....-..... --........ -..--..... ...-.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Ongole_(GB) .-.....--- .....--... ....-..... --........ -..--..... ...-.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Heinan_(GB) .-.....--- .....--... ....-..... --........ -..--..... ...-.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Brahman_(GB) .-.....--- .....--... ....-..... --........ -..--..G.. ..--.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Charolais_(GB) .-.....--- .....--... ....-..... --........ -..--..G.. ..--.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Angus_(GB) .-.....--- .....--... ....-..... --........ -..--..G.. ..--.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Red_Angus_(GB) .-.....--- .....--... ....-..... --........ -..--..G.. ..--.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Simmental_(GB) .-.....--- .....--... ....-..... --........ -..--..G.. ..--.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Bubalus_bubalis_(GB) .-G..C.--- .....--... ....-...T. --........ TT.---.G.. ..--.-...- -......... --...-.... ..--.....- [540]
139
Lampiran 8 Lanjutan
440 450 460 470 480#Bos_indicus_(GB) GACC-GTGGG GGT------- CGCTATTT-A A-TGAATTTT --ACCAGGC- -ATCT--GGT TCTTT [605]#Aceh_1 A...-.G... ..G------- .C..-...-. .-G..-.... --...-..G- -..-.-G... .T... [605]#Aceh_2 A...-.G... ..G------- .C..-...T. .-G..-.... --...-..G- -G.-.TG... .T... [605]#Aceh_3 A...-.G... ..G------- .C..-...T. .-G....... --...-..G- -..-.TG... .T... [605]#Aceh_4 A...-.G... ..-------- .C..-...-. .-G..-.... --...-..G- -..----... .T... [605]#Aceh_5 A..--.G... ..G------G .C..-...T. .-G..-.... --...-..G- -G.-.TG... .T... [605]#Aceh_6 A..--.G... ..G------- .C..-...-. .-G..-.... --C..-..G- -..-.-G... .T... [605]#Aceh_7 A..--.G... ..G------- .C..-...T. .-G..-.... --...-..G- -..-.TG... .T... [605]#Aceh_8 A..--.G... ..G------G .C..-...T. .-G..-.... --...-..G- -..-.TG... .T... [605]#Bali_1 -.TT-.G... ..G------- .C..-...T. .-G....... TA.AA.---- -..-.-G... .T... [605]#Bali_2 -.TT-.G... ..G------- .C..-...T. .-G....... TA.AA.---- -..-.-G... .T... [605]#Madura_1 -.TT-.G... ..G------G .C..-...-. .-G..-.... TC.AA.---- -..-.-G... .T... [605]#Madura_2 -.TT-.G... ..G------C .C..-...-. .-G..-.... TC.AA.---- -..-.-G... .T... [605]#PO_1 A.AA-.G... ..GGGGGGC- .C..T...T. .AG....... TT...C..GG G..-.GG... .T... [605]#Pesisir_1 A...-.G... ..-------- .C..-...T. .-G..-.... --...-..G- -..-.-G... .T... [605]#Pesisir_2 A...-.G... ..G------C .C..-...T. .-G..-.... --...C..G- -..-.GG... .T... [605]#Tharparkar_(GB) ....-..... ...------- ........-. .-........ --.......- -....--... ..... [605]#Sahiwal_(GB) ...T-..... ...------- ........-. .-........ --.......- -....--... ..... [605]#Ongole_(GB) ....-..... ...------- ........-. .-........ --.......- -....--... ..... [605]#Heinan_(GB) ....-..... ...------- ........-. .-........ --.......- -....--... ..... [605]#Brahman_(GB) A...-..... ...------- ......CC-. .-........ --.......- -....--... ..... [605]#Charolais_(GB) A...-..... ...------- ......CC-. .-........ --.......- -....--... ..... [605]#Angus_(GB) A...-..... ...------- ......CC-. .-........ --.......- -....--... ..... [605]#Red_Angus_(GB) A...-..... ...------- ......CC-. .-....C... --.......- -....--... ..... [605]#Simmental_(GB) A...-..... ...------- ......CC-. .-........ --.......- -....--... ..... [605]#Bubalus_bubalis_(GB) .T.AT..... ...------- A....C..-. .-....C... --.A...A.- -....--... ..... [605]
Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi 15802 sampai dengan 16280 dari runutan lengkap mtDNA sapi Bos indicus dari GenBank(kode akses AY126697), daerah D-loop Bos indicus utuh dari GenBank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.
140
Lampiran 9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi Aceh
10 20 30 40 50 60 70 80 90#Bos_indicus_(GB) TT-AA-TATA G---TTCCAT AAATGCAAAG AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA- TCCCAATAAC TCAACACAGA ATTTGCACCC [ 90]#Aceh_1 ..-.--.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_2 ..-.--.... .---...... ........-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_3 ..-.--.-.. .---...... ........-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_4 ..-.--.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_5 ..-.--.... .---...... ........-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_6 ..-..-.... .---...... ........-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_7 ..-.--.... .---...... ........-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Aceh_8 ..-.--.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]
100 110 120 130 140#Bos_indicus_(GB) TAACCAAATA TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC- --A-TACA-- -CA-G-AC-- C--------- --------A- [180]#Aceh_1 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_2 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_3 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_4 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_5 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_6 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_7 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Aceh_8 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]
150 160 170 180 190 200 210#Bos_indicus_(GB) -CAGA---AT GAA-T-TACC CAGG--C--A -------A-G AGGTAAT--G TACATAACAT TAATGT-AAT AAAGACATGA TATGTATATA [270]#Aceh_1 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_2 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_3 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_4 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_5 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_6 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_7 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Aceh_8 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]
141
Lampiran 9 Lanjutan
220 230 240 250 260 270 280 290#Bos_indicus_(GB) GTACATTAAA TTATATACCC CATGCATATA AGCAAGTACA TG-AT-C-T- CTATA-A-TA GTACATAATA CATACAAT-- --T-ATTAAT [360]#Aceh_1 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.A.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_2 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_3 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_4 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_5 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_6 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_7 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Aceh_8 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]
300 310 320 330 320 350 360#Bos_indicus_(GB) TGTACATAG- TACATT-ATA ---TCAAATC CAT--CCTCA ACAACATATC T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG-CT [450]#Aceh_1 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. C.---..A.- ..C....-.. [450]#Aceh_2 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. C.---..A.- ..C....-.. [450]#Aceh_3 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. C.---..A.- .......-.. [450]#Aceh_4 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. C.---..A.- .......-.. [450]#Aceh_5 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. -.---..A.- .......-.. [450]#Aceh_6 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. ..---..A.- .......-.. [450]#Aceh_7 .........- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. ..---..A.- .......-.. [450]#Aceh_8 .........- ......-... ---....... ...--T.... .......... .-....-... .......-.. ..---..A.- .......-.. [450]
370 380 390 400 410 420 430#Bos_indicus_(GB) T-AATTA--- CCATG--CCG CGTG-AAACC --AGCAACCC -GC--TAAGC AGA-G-GAT- -CCCTCTTCT --CGC-TCCG GG--CCCATA [540]#Aceh_1 .-.....--- ..-..--... ..G.G..-.. --....-... -..--..... .A.-.-..-- -.......T. --.C.-.... ..--....-. [540]#Aceh_2 .-.....--- ..-..--... ..G.G..-.. ---....... -..--..... .A.-.-..A- -.......T. --...-.... ..--....-. [540]#Aceh_3 .-.....--- ..-..--... ..G.G..-.. --........ -..--..... .A.-.-...- -......... --...-.... ..--...... [540]#Aceh_4 .-.....--- .....--... ..G.-..-.. --C....... -..--..-.. .A.-.-...- -..-...... --.C.-.... .----..... [540]#Aceh_5 .-.....--- .....--... ..G.G..... --........ -..--..... .A.-.-...- -.......T. --...-.... ..--G..... [540]#Aceh_6 .-.....--- ..-..--... ..G.G..-.. --........ -..--..... .A.-.-...- -..-...... --...-.... ..---..... [540]#Aceh_7 .-.....--- .....--... ..G.G..-.. --........ -..--..... .A.-.-..A- -......... --...-.... ..---..... [540]#Aceh_8 .-.....--- .....--... ..G.G..-.. --........ C..--..... .A.-.-...- -......... --...-.... ..--G..... [540]
142
Lampiran 9 Lanjutan
440 450 460 470 480#Bos_indicus_(GB) GACC-GTGGG GGT------- CGCTATTT-A A-TGAATTTT --ACCAGGC- -ATCT--GGT TCTTT [605]#Aceh_1 A...-.G... ..G------- .C..-...-. .-G..-.... --...-..G- -..-.-G... .T... [605]#Aceh_2 A...-.G... ..G------- .C..-...T. .-G..-.... --...-..G- -G.-.TG... .T... [605]#Aceh_3 A...-.G... ..G------- .C..-...T. .-G....... --...-..G- -..-.TG... .T... [605]#Aceh_4 A...-.G... ..-------- .C..-...-. .-G..-.... --...-..G- -..----... .T... [605]#Aceh_5 A..--.G... ..G------G .C..-...T. .-G..-.... --...-..G- -G.-.TG... .T... [605]#Aceh_6 A..--.G... ..G------- .C..-...-. .-G..-.... --C..-..G- -..-.-G... .T... [605]#Aceh_7 A..--.G... ..G------- .C..-...T. .-G..-.... --...-..G- -..-.TG... .T... [605]#Aceh_8 A..--.G... ..G------G .C..-...T. .-G..-.... --...-..G- -..-.TG... .T... [605]
Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi 15802 sampai dengan 16280 dari runutan lengkap mtDNA sapi Bos indicus dari GenBank(kode akses AY126697), daerah D-loop Bos indicus utuh dari GenBank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.
143
Lampiran 9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi Bali
10 20 30 40 50 60 70 80 90#Bos_indicus_(GB) TT-AA-TATA G---TTCCAT AAATGCAAAG AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA- TCCCAATAAC TCAACACAGA ATTTGCACCC [ 90]#Bali_1 ..-..-.... .---...... ...C...... ......GC.. .......... ..C......- .TT...C.G. .......... .....T.... [ 90]#Bali_1 ..-..-.... .---...... ...C...... ......GC.. .......... ..C......- .TT...C.G. .......... .....T.... [ 90]
100 110 120 130 140#Bos_indicus_(GB) TAACCAAATA TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC- --A-TACA-- -CA-G-AC-- C--------- --------A- [180]#Bali_1 .......... .C..---... .......... ...---.-.. ...AC....C CC.C....-- GA.T.C..-- .CTCCAAGTG GGATAAGT.- [180]#Bali_1 .......... .C..---... .......... ...---.-.. ...AC....C CC.C....-- GA.T.C..-- .CTCCAAGTG GGATAAGT.- [180]
150 160 170 180 190 200 210#Bos_indicus_(GB) -CAGA---AT GAA-T-TACC CAGG--C--A -------A-G AGGTAAT--G TACATAACAT TAATGT-AAT AAAGACATGA TATGTATATA [270]#Bali_1 -..T.-AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.-- .T.....AA. .......T.. ......-... ........A. .......... [270]#Bali_1 -..T.-AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.-- .T.....AA. .......T.. ......-... ........A. .......... [270]
220 230 240 250 260 270 280 290#Bos_indicus_(GB) GTACATTAAA TTATATACCC CATGCATATA AGCAAGTACA TG-AT-C-T- CTATA-A-TA GTACATAATA CATACAAT-- --T-ATTAAT [360]#Bali_1 ........C. ...C...... .......... .........T ..-.AA.-.- .C...A.-C. .......G.. ...-T...CC CC.-.---.. [360]#Bali_1 ........C. ...C...... .......... .........T ..-.AA.-.- .C...A.-C. .......G.. ...-T...CC CC.-.---.. [360]
300 310 320 330 320 350 360#Bos_indicus_(GB) TGTACATAG- TACATT-ATA ---TCAAATC CAT--CCTCA ACAACATATC T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG-CT [450]#Bali_1 C........- ......-.C. ---....... T.C--...TG .A.....G-G -----.-... --.....-.. C.---..A.- ..C...---- [450]#Bali_1 C........- ......-.C. ---....... T.C--...TG .A.....G-G -----.-... --.....-.. C.---..A.- ..C...---- [450]
370 380 390 400 410 420 430#Bos_indicus_(GB) T-AATTA--- CCATG--CCG CGTG-AAACC --AGCAACCC -GC--TAAGC AGA-G-GAT- -CCCTCTTCT --CGC-TCCG GG--CCCATA [540]#Bali_1 --.....ACC ..C..-G..- ..G.G..... --.-...... -C.-T...-A .A.A.-..-- -...C...-. TC.C.-.... ..--....G. [540]#Bali_1 --.....ACC ..C..-G..- ..G.G..... --.-...... -C.-T...-A .A.A.-..-- -...C...-. TC.C.-.... ..--....G. [540]
440 450 460 470 480#Bos_indicus_(GB) GACC-GTGGG GGT------- CGCTATTT-A A-TGAATTTT --ACCAGGC- -ATCT--GGT TCTTT [605]#Bali_1 -.TT-.G... ..G------- .C..-...T. .-G....... TA.AA.---- -..-.-G... .T... [605]#Bali_1 -.TT-.G... ..G------- .C..-...T. .-G....... TA.AA.---- -..-.-G... .T... [605]
Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi 15802 sampai dengan 16280 dari runutan lengkap mtDNA sapi Bos indicus dari GenBank(kode akses AY126697), daerah D-loop Bos indicus utuh dari GenBank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.
144
Lampiran 9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi Madura
10 20 30 40 50 60 70 80 90#Bos_indicus_(GB) TT-AA-TATA G---TTCCAT AAATGCAAAG AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA- TCCCAATAAC TCAACACAGA ATTTGCACCC [ 90]#Madura_1 ..-.--.... .---....-. ...C...G.. ......GC.. .......... ..C......- .TT...C.G. .......... .....T.... [ 90]#Madura_2 ..-..-.... .---...... ...C...... ......GC.. .......... ..C......- .TT...C.G. .......... .....T.... [ 90]
100 110 120 130 140#Bos_indicus_(GB) TAACCAAATA TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC- --A-TACA-- -CA-G-AC-- C--------- --------A- [180]#Madura_1 .......... .C..CAC... .......... ...---.-.. ...AC....C C-.C....-- GA.T.C..-- .CTCCAAGTG GGATAAGT.- [180]#Madura_2 .......... .C..---... .......... ...---.-.. ...AC....C C-.C....-- GA.T.C..-- .CTCCAAGTG GGATAAGT.- [180]
150 160 170 180 190 200 210#Bos_indicus_(GB) -CAGA---AT GAA-T-TACC CAGG--C--A -------A-G AGGTAAT--G TACATAACAT TAATGT-AAT AAAGACATGA TATGTATATA [270]#Madura_1 -..T.-AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.-- .T.....AA. .......T.. ......T... ........A. .......... [270]#Madura_2 -..T.-AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.-- .T.....AA. .......T.. ......-... ........A. .......... [270]
220 230 240 250 260 270 280 290#Bos_indicus_(GB) GTACATTAAA TTATATACCC CATGCATATA AGCAAGTACA TG-AT-C-T- CTATA-A-TA GTACATAATA CATACAAT-- --T-ATTAAT [360]#Madura_1 ........C. ...C...... .......... .........T ..-.A-.-.- .C...G.-C. .......G.. ...-T...CC CC.-.---.. [360]#Madura_2 ........C. ...C...... .......... .........T ..-.A-.-.- .C...G.-C. .......G.. ...-T...CC CC.-.---.. [360]
300 310 320 330 320 350 360#Bos_indicus_(GB) TGTACATAG- TACATT-ATA ---TCAAATC CAT--CCTCA ACAACATATC T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG-CT [450]#Madura_1 C........- ......-.C. ---....-.. T.C--.T.-G .......G-. -----.-... --.....-.. C.---....- ..C...---- [450]#Madura_2 C........- ......-.C. ---....-.. T.C--...-G .A.....G-. -----.-... --.....-.. C.---..A.- ..C...---- [450]
370 380 390 400 410 420 430#Bos_indicus_(GB) T-AATTA--- CCATG--CCG CGTG-AAACC --AGCAACCC -GC--TAAGC AGA-G-GAT- -CCCTCTTCT --CGC-TCCG GG--CCCATA [540]#Madura_1 --.....ACC ..C..--..- G.G.G..... --........ -.--T..G-. .A.-.-A.-- -...C...-. --.C.-.... ..--...TG. [540]#Madura_2 --.....ACC ..C..--..- .CG.G..... --........ -.--T...-. .A.-.-A.-- -...C...-. --.C.-.... ..--....G. [540]
440 450 460 470 480#Bos_indicus_(GB) GACC-GTGGG GGT------- CGCTATTT-A A-TGAATTTT --ACCAGGC- -ATCT--GGT TCTTT [605]#Madura_1 -.TT-.G... ..G------G .C..-...-. .-G..-.... TC.AA.---- -..-.-G... .T... [605]#Madura_2 -.TT-.G... ..G------C .C..-...-. .-G..-.... TC.AA.---- -..-.-G... .T... [605]
Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi 15802 sampai dengan 16280 dari runutan lengkap mtDNA sapi Bos indicus dari GenBank(kode akses AY126697), daerah D-loop Bos indicus utuh dari GenBank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.
145
Lampiran 9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi PO
10 20 30 40 50 60 70 80 90#Bos_indicus_(GB) TT-AA-TATA G---TTCCAT AAATGCAAAG AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA- TCCCAATAAC TCAACACAGA ATTTGCACCC [ 90]#PO_1 ..C.GC...G .GGG.A..-- -----.CC-- --....T..C C......T.. .-..GGGG.- .....T.... ...C.G.... .......... [ 90]
100 110 120 130 140#Bos_indicus_(GB) TAACCAAATA TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC- --A-TACA-- -CA-G-AC-- C--------- --------A- [180]#PO_1 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]
150 160 170 180 190 200 210#Bos_indicus_(GB) -CAGA---AT GAA-T-TACC CAGG--C--A -------A-G AGGTAAT--G TACATAACAT TAATGT-AAT AAAGACATGA TATGTATATA [270]#PO_1 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. G......--. .......... ......-... .......... .......... [270]
220 230 240 250 260 270 280 290#Bos_indicus_(GB) GTACATTAAA TTATATACCC CATGCATATA AGCAAGTACA TG-AT-C-T- CTATA-A-TA GTACATAATA CATACAAT-- --T-ATTAAT [360]#PO_1 .......... .......... .......... .......... ..G..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.T.....C [360]
300 310 320 330 320 350 360#Bos_indicus_(GB) TGTACATAG- TACATT-ATA ---TCAAATC CAT--CCTCA ACAACATATC T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG-CT [450]#PO_1 C....C...G ......T... --A..C.... .C.TC..C.. .A.......T .T....A... .....CC-.. C.CCT..A.A ..C....G.. [450]
370 380 390 400 410 420 430#Bos_indicus_(GB) T-AATTA--- CCATG--CCG CGTG-AAACC --AGCAACCC -GC--TAAGC AGA-G-GAT- -CCCTCTTCT --CGC-TCCG GG--CCCATA [540]#PO_1 .T.....--- ..C..GG... G.G.G..... CC........ -C.CC...AA .A.-AA..AA A...C...T. TC.C.-.... ..GG....A. [540]
440 450 460 470 480#Bos_indicus_(GB) GACC-GTGGG GGT------- CGCTATTT-A A-TGAATTTT --ACCAGGC- -ATCT--GGT TCTTT [605]#PO_1 A.AA-.G... ..GGGGGGC- .C..T...T. .AG....... TT...C..GG G..-.GG... .T... [605]
Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi 15802 sampai dengan 16280 dari runutan lengkap mtDNA sapi Bos indicus dari GenBank(kode akses AY126697), daerah D-loop Bos indicus utuh dari GenBank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.
146
Lampiran 9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi Pesisir
10 20 30 40 50 60 70 80 90#Bos_indicus_(GB) TT-AA-TATA G---TTCCAT AAATGCAAAG AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA- TCCCAATAAC TCAACACAGA ATTTGCACCC [ 90]#Pesisir_1 .A-.--.... .---...... .......... .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]#Pesisir_2 ..-.--.... .---...... ..-.....-. .......... .......... .........- .......... .......... .......... [ 90]
100 110 120 130 140#Bos_indicus_(GB) TAACCAAATA TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC- --A-TACA-- -CA-G-AC-- C--------- --------A- [180]#Pesisir_1 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]#Pesisir_2 .......... ....---... .......... ....-..-.. ...--....- --.-....-- -..-.-..-- .--------- --------.- [180]
150 160 170 180 190 200 210#Bos_indicus_(GB) -CAGA---AT GAA-T-TACC CAGG--C--A -------A-G AGGTAAT--G TACATAACAT TAATGT-AAT AAAGACATGA TATGTATATA [270]#Pesisir_1 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]#Pesisir_2 -....---.. ...-.-.... ....--.--. -------.-. .......--. .......... ......-... .......... .......... [270]
220 230 240 250 260 270 280 290#Bos_indicus_(GB) GTACATTAAA TTATATACCC CATGCATATA AGCAAGTACA TG-AT-C-T- CTATA-A-TA GTACATAATA CATACAAT-- --T-ATTAAT [360]#Pesisir_1 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]#Pesisir_2 .......... .......... .......... .......... ..-..-.-.- .....-.-.. .......... ........-- --.-...... [360]
300 310 320 330 320 350 360#Bos_indicus_(GB) TGTACATAG- TACATT-ATA ---TCAAATC CAT--CCTCA ACAACATATC T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG-CT [450]#Pesisir_1 ..G......- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. -.---..A.- ..C....-.. [450]#Pesisir_2 ..G......- ......-... ---....... ...--..... .......... .-....-... .......-.. -.---..A.- ..C....-.. [450]
370 380 390 400 410 420 430#Bos_indicus_(GB) T-AATTA--- CCATG--CCG CGTG-AAACC --AGCAACCC -GC--TAAGC AGA-G-GAT- -CCCTCTTCT --CGC-TCCG GG--CCCATA [540]#Pesisir_1 .-.....--- ..-..--G.- ..G.G..... --.-...... -C.--..... .A.-.-..-- -.......T. --.-.-.... ..---...A. [540]#Pesisir_2 .-.....--- ..-..--G.- ..G.G..... --........ -C.--..... .A.-.-..A- -.......T. --.-.C.... ..--G...A. [540]
440 450 460 470 480#Bos_indicus_(GB) GACC-GTGGG GGT------- CGCTATTT-A A-TGAATTTT --ACCAGGC- -ATCT--GGT TCTTT [605]#Pesisir_1 A...-.G... ..-------- .C..-...T. .-G..-.... --...-..G- -..-.-G... .T... [605]#Pesisir_2 A...-.G... ..G------C .C..-...T. .-G..-.... --...C..G- -..-.GG... .T... [605]
Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi 15802 sampai dengan 16280 dari runutan lengkap mtDNA sapi Bos indicus dari GenBank(kode akses AY126697), daerah D-loop Bos indicus utuh dari GenBank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.
147
Lampiran 10 Jumlah Nukleotida sapi Aceh, Bali, Madura, PO, dan Pesisir setelahdisejajarkan dengan nukleotida Bos indicus (GenBank)
Bangsa sapi Jumlah nukleotidaBos indicus (Nellore) (GB) 479Aceh 1 472Aceh 2 473Aceh 3 475Aceh 4 467Aceh 5 476Aceh 6 471Aceh 7 474Aceh 8 478Bali 1 508Bali 2 508Madura 1 501Madura 2 499PO 514Pesisir 1 469Pesisir 2 475Tharparkar (GB) 479Sahiwal (GB) 479Ongole (GB) 479Heinan (GB) 479Brahman (GB) 479Charolais (GB) 479Angus (GB) 479Red Angus (GB) 479Simmental (GB) 479Bubalus bubalis (GB) 484
148
Lampiran 11 Komposisi Nukleotida sapi Aceh dan sapi pembanding
Sapi T C A G A + T C + Gsapi Aceh(n = 8)
Aceh 1 26,5 23,9 36,4 13,1 62,9 37Aceh 2 26,8 23,7 35,9 13,5 62,7 37,2Aceh 3 26,9 23,6 36,2 13,3 63,1 36,9Aceh 4 26,8 24,0 36,8 12,4 63,6 36,4Aceh 5 27,1 22,7 36,3 13,9 63,4 36,6Aceh 6 26,8 23,1 36,7 13,4 63,5 36,5Aceh 7 26,8 23,0 36,9 13,3 63,7 36,3Aceh 8 27,0 22,8 36,6 13,6 63,6 36,4
Rataan 26,84 23,35 36,48 13,31 63,31 36,66sapi Bali(n = 2)
Bali 1 26,2 24,0 37,4 12,4 63,6 36,4Bali 2 26,2 24,0 37,4 12,4 63,6 36,4
Rataan 26,20 24,00 37,40 12,40 63,60 36,40sapi Madura(n = 2)
Madura1 26,5 24,4 35,5 13,6 62,0 38,0Madura2 26,1 24,6 36,9 12,4 63,0 37,0
Rataan 26,30 24,50 36,20 13,00 62,50 37,50sapi PO(n = 1)
PO 25,50 26,30 32,30 16,00 57,80 42,30sapi Pesisir(n = 2)
Pesisir 1 26,4 23,5 37,3 12,8 63,7 36,3Pesisir 2 26,3 23,8 36,4 13,5 62,7 37,3
Rataan 26,35 23,65 36,85 13,15 63,2 36,80Bos indicus (GenBank)(n = 5)
Bos indicus (Nellore) 26,9 23,6 37,0 12,5 63,9 36,1Tharparkar 26,7 23,8 37,0 12,5 63,7 36,3Sahiwal 26,7 23,8 37,0 12,5 63,7 36,3Ongole 27,1 23,4 37,0 12,5 64,1 35,9Heinan 26,9 23,6 37,0 12,5 63,9 36,1
Rataan 26,86 23,64 37,00 12,50 63,86 36,14Bos taurus (GenBank)(n = 5)
Brahman 28,0 22,8 35,9 13,4 63,9 36,2Charolais 28,2 22,5 35,7 13,6 63,9 36,1Angus 27,8 23,0 35,9 13,4 63,7 36,4Red Angus 28,0 22,8 36,3 12,9 64,3 35,7Simmental 28,0 22,8 35,7 13,6 63,7 36,4
Rataan 28,0 22,78 35,90 13,38 63,90 36,16Keterangan: n = jumlah sampel, sapi PO satu sampel
149
Lampiran 12 Jarak genetik menggunakan metode 2 parameter Kimura pada sapi Aceh dengan sapi Bali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa-bangsa sapi Bosindicus, Bos taurus dari GenBank
[ 1] Bos indicus (GB)[ 2] Aceh 1; [3] Aceh 2; [4] Aceh 3; [5] Aceh 4; [6] Aceh 5; [7] Aceh 6; [8] Aceh 7; [9] Aceh 8[10] Bali 1; [11] Bali 2[12] Madura 1; [13] Madura 2[14] PO[15] Pesisir 1; [16] Pesisir 2[17] Tharparkar (GB); [18] Sahiwal (GB); [19] Ongole (GB); [20] Heinan (GB)[21] Brahman (GB); [22] Charolais (GB); [23] Angus (GB); [24] Red Angus (GB); [25] Simmental (GB)[26] Bubalus bubalis (GB)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 261 0,00002 0,0202 0,00003 0,0228 0,0025 0,00004 0,0177 0,0025 0,0050 0,00005 0,0177 0,0025 0,0050 0,0000 0,00006 0,0202 0,0050 0,0025 0,0025 0,0025 0,00007 0,0202 0,0050 0,0075 0,0025 0,0025 0,0050 0,00008 0,0177 0,0025 0,0050 0,0000 0,0000 0,0025 0,0025 0,00009 0,0202 0,0050 0,0075 0,0025 0,0025 0,0050 0,0050 0,0025 0,0000
10 0,1194 0,0963 0,0993 0,0991 0,0991 0,1021 0,1019 0,0991 0,1021 0,000011 0,1194 0,0963 0,0993 0,0991 0,0991 0,1021 0,1019 0,0991 0,1021 0,0000 0,000012 0,1197 0,1025 0,1055 0,1053 0,1053 0,1083 0,1082 0,1053 0,1083 0,0254 0,0254 0,000013 0,1167 0,0937 0,0966 0,0965 0,0965 0,0994 0,0993 0,0965 0,0994 0,0126 0,0126 0,0177 0,000014 0,1072 0,0845 0,0873 0,0873 0,0873 0,0901 0,0901 0,0873 0,0901 0,1526 0,1526 0,1715 0,1650 0,000015 0,0305 0,0101 0,0126 0,0126 0,0126 0,0151 0,0151 0,0126 0,0151 0,1019 0,1019 0,1139 0,1049 0,0901 0,000016 0,0279 0,0075 0,0100 0,0101 0,0101 0,0126 0,0126 0,0101 0,0126 0,0991 0,0991 0,1110 0,1021 0,0873 0,0025 0,000017 0,0025 0,0228 0,0254 0,0202 0,0202 0,0228 0,0228 0,0202 0,0228 0,1225 0,1225 0,1228 0,1197 0,1101 0,0331 0,0305 0,000018 0,0075 0,0280 0,0306 0,0254 0,0254 0,0280 0,0280 0,0254 0,0280 0,1225 0,1225 0,1228 0,1197 0,0985 0,0384 0,0358 0,0101 0,000019 0,0075 0,0280 0,0306 0,0254 0,0254 0,0280 0,0280 0,0254 0,0280 0,1225 0,1225 0,1228 0,1197 0,1101 0,0384 0,0358 0,0101 0,0101 0,000020 0,0000 0,0202 0,0228 0,0177 0,0177 0,0202 0,0202 0,0177 0,0202 0,1194 0,1194 0,1197 0,1167 0,1072 0,0305 0,0279 0,0025 0,0075 0,0075 0,000021 0,0552 0,0770 0,0799 0,0743 0,0743 0,0772 0,0770 0,0743 0,0715 0,1440 0,1440 0,1476 0,1413 0,1496 0,0880 0,0852 0,0580 0,0524 0,0580 0,0552 0,000022 0,0552 0,0770 0,0799 0,0743 0,0743 0,0772 0,0770 0,0743 0,0715 0,1504 0,1504 0,1541 0,1476 0,1559 0,0880 0,0852 0,0580 0,0580 0,0580 0,0552 0,0050 0,000023 0,0497 0,0713 0,0742 0,0686 0,0686 0,0715 0,0713 0,0686 0,0658 0,1472 0,1472 0,1476 0,1444 0,1527 0,0822 0,0795 0,0524 0,0524 0,0524 0,0497 0,0050 0,0050 0,000024 0,0497 0,0713 0,0742 0,0686 0,0686 0,0715 0,0713 0,0686 0,0715 0,1440 0,1440 0,1476 0,1413 0,1496 0,0822 0,0795 0,0524 0,0524 0,0469 0,0497 0,0152 0,0152 0,0152 0,000025 0,0552 0,0770 0,0799 0,0743 0,0743 0,0772 0,0770 0,0743 0,0715 0,1504 0,1504 0,1541 0,1476 0,1559 0,0880 0,0852 0,0580 0,0580 0,0580 0,0552 0,0101 0,0050 0,0101 0,0204 0,000026 0,1470 0,1718 0,1751 0,1687 0,1687 0,1720 0,1718 0,1687 0,1654 0,2113 0,2113 0,2148 0,2113 0,2559 0,1812 0,1781 0,1501 0,1501 0,1501 0,1470 0,1601 0,1667 0,1601 0,1667 0,1667 0,0000
Keterangan : GB = GenBank
150
Lampiran 13 Hasil blast sekuens sapi Aceh (479 nt) pada situs NCBI
151
Lampiran 14 Nomor akses sekuens daerah D-loop utuh Bos indicus, Bos taurus,dan Bubalus bubalis dari GenBank pada situs NCBI yangdigunakan untuk membentuk pohon filogeni
No. Spesies Kode akses mtDNA1 Nellore (Bos indicus) AY126697 D-loop2 Tharparkar (Bos indicus) AY378137 D-loop3 Sahiwal (Bos indicus) L27732 D-loop4 Ongole (Bos indicus) AY378135 D-loop5 Heinan (Bos indicus) DQ166132 D-loop6 Brahman (Bos taurus) AF409058 D-loop7 Charolais (Bos taurus) AY676858 D-loop8 Angus (Bos taurus) AY676871 D-loop9 Red Angus (Bos taurus) DQ520591 D-loop10 Simmental (Bos taurus) AY521119 D-loop11 Murrah (Bubalus bubalis) AF475218 D-loop12 Banteng (Bos javanicus) AB077315 Cyt.b13 Bali (Bos javanicus) AB077314 Cyt.b14 Indonesia Native (Bos indicus) AB077313 Cyt.b15 Nellore (Bos indicus) AY126697 Cyt.b16 Simmental (Bos taurus) AY521055 Cyt.bKeterangan: alamat http://www.ncbi.nlm.nih.gov/GenBank/index.html
152
Lampiran 15 Sekuens nukleotida primer mikrosatelit yang digunakan untukpenelitian
Marker Ukuran(bp)
Kromo-som
Sekuens primer (F dan R) Annea-ling oC
Warna Literatur
CSSM66 180-200 14 ACACAAATCCTTTCTGCCAGCTGAAATTTAATGCACTGAGGAGCTTGG
55/52-64
NED Armstrong et al.(2006); Sodhiet al ., 2006
CSRM60 182-202 10 AAGATGTGATCCAAGAGAGAGGCAAGGACCAGATCGTGAAAGGCATAG
55/52-64
VIC Armstrong et al.(2006); Sodhiet al ., 2006
ILSTS006 281-299 7 TGTCTGTATTTCTGCTGTGGACACGGAAGCGATCTAAACG
55/52-64
FAM Armstrong et al.(2006); Sodhiet al ., 2006
ILSTS005 181-185 10 GGAAGCAATGAAATCTATAGCCTGTTCTGTGAGTTTGTAAGC
52-64 FAM Bishop et al.(1994), Sodhiet al ., 2006
BM2113 123-143 2 GCTGCCTTCTACCAAATACCCCTTCCTGAGAGAAGCAACACC
55 VIC Armstrong et al.(2006)
BM1824 180-192 1 GAGCAAGGTGTTTTTCCAATCCATTCTCCAACTGCTTCCTTG
58 PET Bishop et al.(1994); Radkoet al . (2005)
BM1818 258-272 23 AGCTGGGAATATAACCAAAGGAGTGCTTTCAAGGTCCATGC
55/52-64
PET Armstrong et al.(2006); Sodhiet al ., 2006
INRA63 190-209 18 ATTTGCACAAGCTAAATCTAACCAAACCACAGAAATGCTTGGAAG
55 PET Armstrong et al.(2006)
INRA35 102–114 16 ATCCTTTGCAGCCTCCACATTGTTGTGCTTTATGACACTATCCG
55-65/52-64
NED Vaiman et al.(1994); Sodhiet al ., 2006
INRA005 240-246 12 CAATCTGCATGAAGTATAAATATCTTCAGGCATACCCTACACC
55-65 FAM Bishop et al.(1994); Pandeyet al . (2006)
ETH255 141-159 9 GATCACCTTGCCACTATTTCCTACATGACAGCCAGCTGCTACT
57 NED Bishop et al.(1994); Pandeyet al . (2006)
ETH10 212-224 5 GTTCAGGACTGGCCCTGCTAACACCTCCAGCCCACTTTCTCTTCTC
55/52-64
NED Armstrong etal . (2006);Sodhi et al.,2006
HEL13 177-197 11 TAAGGACTTGAGATAAGGAGCCATCTACCTCCATCTTAAC
55 FAM Armstrong et al.(2006)
HEL9 143-167 8 CCCATTCAGTCTTCAGAGGTCACATCCATGTTCTCACCAC
55/52-64
PET Armstrong et al.(2006); Sodhiet al ., 2006
HEL5 149-165 21 GCAGGATCACTTGTTAGGGAAGACGTTAGTGTACATTAAC
55 VIC Bishop et al.(1994); Pandeyet al .(2006)
HEL1 100-114 15 CAACAGCTATTTAACAAGGAAGGCTACAGTCCATGGGATT
55 FAM Bishop et al.(1994); Pandeyet al . (2006)
Keterangan: PET = warna merah, VIC = warna hijau, FAM = warna biru, NED = warnakuning
153
Lampiran 16 Indeks Garza-Williamson hasil uji heterozigositas hitung (observed) dan heterozigositas harapan (expected) pada sapi Aceh,Bali, Madura, PO dan Pesisir
Lokus Aceh Bali Madura PO Pesisir Rataan SDBM1818 0,42308 0,33333 0,18182 0,26667 0,28571 0,29812 0,08877INRA005 0,54545 0,66667 1,00000 0,44444 0,44444 0,62020 0,23118CSRM60 0,40000 0,55556 1,00000 0,40000 0,22222 0,51556 0,29540BM2113 0,42105 0,33333 0,15385 0,23077 0,57143 0,34209 0,16335HEL5 0,47619 0,30769 0,00000 1,00000 1,00000 0,55678 0,43916HEL9 0,48148 0,40000 0,23077 0,26667 0,36364 0,34851 0,10139HEL13 0,42105 0,42857 1,00000 0,40000 0,40000 0,52992 0,26309INRA63 0,53846 0,30769 0,66667 0,33333 0,28571 0,42637 0,16795INRA35 0,27027 0,11765 1,00000 0,15789 0,15385 0,33993 0,37340HEL1 0,13725 0,66667 1,00000 0,40000 0,66667 0,57412 0,32391ETH225 0,48000 0,44444 0,08696 0,28571 0,28571 0,31657 0,15628ETH10 0,12308 0,44444 0,66667 0,66667 0,60000 0,50017 0,22952CSSM66 0,43478 0,31579 0,09524 0,15789 0,19048 0,23884 0,13586BM1824 0,30435 0,29412 0,16667 0,23077 0,66667 0,33251 0,19480ILSTS006 0,41379 0,38462 0,18182 0,40000 0,28571 0,33319 0,09845ILSTS005 0,41176 0,33333 0,13333 0,33333 0,27273 0,29690 0,10391Rataan 0,39263 0,39587 0,25638 0,33161 0,37966 0,35123 0,05894SD 0,12067 0,13683 0,20900 0,12515 0,16598 0,15153 0,03666