Upload
dony-puterasriwijaya
View
33
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
karakteristik endapan batubara
Citation preview
3. Karakteristik Batubara
3.1. Evaluasi Batubara secara Fisika dan Kimia
Karakteristik batubara, dapat dinyatakan berdasarkan sifat fisika dan sifat
kimia yang dimilikinya. Karakteristik batubara yang menunjukkan sifat
fisikanya, antara lain diwakili oleh nilai kerapatan/densitas, kekerasan,
ketergerusan (grindability), kalor jenis (specific heat), fluiditas, caking
property, dan sebagainya. Di lain pihak, sifat kimia batubara ditunjukkan
dengan hasil analisis proksimat, analisis ultimat, nilai kalori, komposisi abu,
dan sebagainya. Pada analisis proksimat, biasanya dilakukan pengukuran
untuk mendapatkan nilai-nilai:
1. Kandungan air (moisture) dalam batubara.
2. Zat terbang (volatile matter) yang dilepas dalam bentuk gas saat
batubara mendapat perlakuan panas.
3. Kandungan karbon tetap (fixed carbon) dari suatu padatan dapat terbakar
yang memiliki kandungan unsur utama berupa karbon (=batubara).
4. Abu (zat oksida mineral yang terkandung dalam batubara) yang tertinggal
saat batubara dibakar.
Untuk mencari nilai kandungan unsur-unsur utama seperti karbon, hidrogen,
oksigen, nitrogen, dan belerang, dilakukan analisis ultimat. Selain unsur-
unsur tersebut, batubara juga mengandung unsur-unsur lain seperti klor,
fluor, dan lain-lain golongan halogen, serta aneka unsur logam seperti
aluminium besi, dan juga silika yang kesemuanya terkandung di dalam abu.
3.2. Sifat yang diinginkan pada batubara menurut penggunaannya
3.2.1. Sifat yang diinginkan pada Batubara Boiler
Karena batubara jenis ini sebagian besar dipakai pada boiler, maka
diinginkan yang memiliki sifat menyala dan sifat habis terbakar yang bagus.
Selain itu, diinginkan pula yang memiliki kandungan belerang, nitrogen, dan
unsur mikro beracun sesedikit mungkin. Untuk temperatur leleh abu, makin
tinggi adalah semakin baik. Kandungan abunya juga haruslah kecil, dan tak
kalah pentingnya adalah nilai kalori yang cukup.
Untuk mengetahui nilai dan performa dari sifat-sifat tersebut di atas,
dilakukan berbagai macam uji dan analisis terhadap batubara boiler :
Analisis kandungan air (moisture), berupa total moisture, surface moisture,
serta inherent atau residual moisture.
Uji ukuran butir
Uji ketergerusan (grindability), untuk menentukan nilai HGI (Hardgrove
Grindability Index) Pengukuran nilai kalori, baik berupa gross heating value
maupun net heating value
Uji sifat leleh abu (ash fusibility test) Analisis ultimat Pengukuran tahanan
listrik abu Analis proksimat Pengukuran kandungan abu Pengukuran
kandungan zat terbang (volatile matter) Penghitungan karbon tetap (fixed
carbon) Penghitungan fuel ratio Penghitungan hidrogen efektif (available
hydrogen) Pengukuran kandungan belerang, berupa total sulfur, sulfate,
pyretic sulfur, dan organic sulfur Analisis, uji, dan perhitungan terhadap
kandungan klor, komposisi abu, combustibility, slagging, fouling, erosion,
dan sebagainya.
3.2.2. Sifat yang diinginkan pada Batubara Kokas
Batubara jenis ini, umumnya dipakai pada blast furnace (tungku peleburan
pada pembuatan pig iron) sebagai bahan pereduksi besi oksida (=kokas).
Kokas yang dipakai pada blast furnace (tanur tinggi), biasanya dimasukkan
ke dalam tungku/tanur dari jarak yang cukup tinggi. Selain itu, kokas di
dalam tanur akan membentuk tumpukan yang cukup tinggi, sehingga
diperlukan kekuatan dan kekerasan yang cukup untuk dapat menahan
benturan dan tekanan saat kokas dijatuhkan maupun saat ditumpuk.
Di dalam tanur, diperlukan aliran udara yang cukup agar reaksi reduksi oleh
gas CO dapat berjalan dengan baik. Karena itu, diperlukan batubara dengan
tingkat kereaktifan yang tinggi, dan mampu untuk menjaga kondisi
temperatur yang tinggi. Dengan kata lain, pada batubara kokas dituntut
adanya sifat fluiditas/plastisitas, sifat caking/agglomerating (lekat
menggumpal), dan sifat coking (coking property) yang memadai.
Umumnya, volume tanur tinggi (blast furnace) di Jepang tergolong besar,
yaitu antara 4500-5245m3, dengan jumlah produksi pig iron (besi cor kasar)
mencapai berat 2 kali volume tanur tinggi per hari. Karena pada pembakaran
abu kokas dan bijih besi akan terbentuk slag yang harus dikeluarkan dari
tanur, maka slag ini harus memiliki viskositas yang cukup agar mudah
dikeluarkan. Berbagai macam uji dan analisis yang dilakukan terhadap
batubara kokas diantaranya: (catatan: D xxxx menunjukkan nomor standard
ASTM)
Analisis petrografi
Analisis maseral, dilakukan berdasarkan D 2799 Microscopica Determination
of vol.% of Physical Components of Coal Pengukuran tingkat refleksi,
berdasarkan D 2798 Microscopical Determination of the Reflectance of
Vitrinite Uji muai krusibel, berdasarkan D 720 Free Swelling Index Uji muai,
berdasarkan D 5515 Dilatometer Uji fluiditas, berdasarkan D 2639 Gieseler
Plastometer, dimana dilakukan pengukuran terhadap softening temperature
(1.0 DDPM) maximum fluidity temperature, resolidification temperature,
range, DDPM=dial division per minute Uji pengkokasan (metode retort,
metode can-firing) Uji sifat leleh abu, berdasarkan D 1857 Fusibility of Ash
(for reducing atmosphere, for oxidizing atmosphere), dengan mengamati
initial deformation temperature, softening temperature, hemispherical
temperature, fluid temperature Uji Roga, untuk mendapatkan nilai index
Roga Uji kuat kokas (uji ketahanan terhadap jatuh), berdasarkan D 3038
Drop Shatter Test Uji drum, dengan D 3402 Drum Test or Tumbler Test, dan
lain-lain
3.3. Metode Uji Batubara
Metode uji dan analisis yang menjadi dasar pengelompokan dan klasifikasi
batubara, ditetapkan standard-nya oleh masing-masing negara. Pada
prinsipnya, metode uji dan analisis batubara dilakukan menurut standard
yang diakui secara internasional dan disepakati oleh pihak pensuplai dan
pihak pengguna.
Di Jepang, diberlakukan ketentuan berdasarkan JIS (Japan Industrial
Standard). Sejak awal, sebenarnya Jepang telah berusaha menitik beratkan
standard-nya ke arah penyesuaian dengan standard internasional seperti
ISO. Dengan alasan ini, maka pada tahun 1994 telah dihapuskan apa yang
disebut equilibrium moisture basis, yang dahulunya biasa dipakai dalam
transaksi perdagangan batubara Jepang. (catatan tentang equilibrium
moisture basis: Sampel disimpan pada lingkungan dimana terdapat
kesetimbangan dengan air garam jenuh. Biasanya, air garam jenuh ditaruh
di bagian bawah desikator, sedang pada rak di atasnya, sampel disimpan
dengan menaruhnya di dalam watch glass (wadah sampel berbentuk seperti
kaca arloji)).
Berdasarkan standard JIS, pengaturan metode uji dan analisis batubara
ditetapkan sebagai berikut:
JIS M 8801: Metode uji terhadap batubara, meliputi uji ukuran butir, uji
apung-endap, uji ketergerusan (grindability), uji muai krusibel, uji kemuaian,
uji fluiditas, uji pengkokasan, uji kelelehan abu, dan uji Roga.
JIS M 8811: Metode sampling dan pengukuran kandungan air total serta
moisture untuk batubara dan kokas. JIS M 8812: Metode analisis proksimat
untuk batubara dan kokas.
JIS M 8813: Metode analisis ultimat untuk batubara dan kokas.
JIS M 8814: Metode pengukuran nilai kalori untuk batubara dan kokas.
JIS M 8815: Metode analisis abu batubara dan abu kokas.
JIS M 8816: Metode pengukuran komponen mikro (maseral) dan tingkat
refleksi batubara.
JIS M 8817: Metode penentuan bentuk keterdapatan belerang dalam
batubaraa
JIS M 8818: Metode penentuan zat-zat mineral dalam batubara
Tampilan Hasil Analisis. Untuk mempermudah perbandingan antara satu
hasil analisis dengan yang lain, maka ditetapkan basis standard dengan
persyaratan tertentu untuk setiap analisis maupun uji yang dilakukan. Basis
standard tersebut adalah:
Air dried basis
Dry basis
Dry & ash free basis
Pure coal (dry & mineral matter free) basis
Adanya tampilan air dried basis menunjukkan bahwa uji dan analisis
dilakukan dengan menggunakan sampel uji yang telah dikeringkan pada
udara terbuka, yaitu sampel ditebar tipis pada suhu ruangan, sehingga
terjadi kesetimbangan dengan lingkungan ruangan laboratorium, sebelum
akhirnya diuji dan dianalisis.
Tampilan dry basis menunjukkan bahwa hasil uji dan analisis dengan
menggunakan sampel uji yang telah dikeringkan di udara terbuka seperti di
atas, Dry & ash free basis merupakan suatu kondisi asumsi dimana batubara
sama sekali tidak mengandung air maupun abu. Adanya tampilan dry & ash
free basis menunjukkan bahwa hasil analisis dan uji terhadap sampel yang
telah dikeringkan di udara terbuka seperti di atas, lalu dikonversikan
perhitungannya sehingga memenuhi kondisi tanpa abu dan tanpa air.
Pure coal basis berarti batubara diasumsikan dalam keadaan murni dan tidak
mengandung air serta zat mineral lainnya. Kondisi ini disebut pula dengan
nama dry & mineral matter free basis.
Zat-zat mineral (%) dicari dengan menggunakan salah satu dari 3 metode
berikut ini:
Metode penentuan langsung (JIS M 8818)
Metode penggunaan berbagai macam perhitungan Nilai kandungan abu yang
didapat dari hasil analisis proksimat maupun analisis ultimat dikalikan
dengan faktor koreksi abu. Untuk batubara Jepang, faktor koreksi abu yang
umum dipakai adalah 1,08 lalu dikonversikan perhitungannya untuk
memenuhi kondisi kering.
3.4. Sampling Batubara dan Penyiapan Sampel Uji
Agar dapat melakukan analisis batubara yang akurat, maka pengambilan
sampel yang representatif (dapat mewakili keseluruhan) merupakan hal
yang amat penting. Pada prinsipnya, sampling dilakukan saat perpindahan
lot, diambil dengan jarak yang konstan pada belt conveyor atau dengan auto
sampler. Bila karena suatu hal sehingga pengambilan sampel harus
dilakukan di stockyard atau dari batubara yang telah dimuat ke dalam
kereta, maka pengambilan dilakukan pada tempat yang agak dalam dari
permukaan (± 50cm) dan sedapat mungkin dilakukan di banyak titik
sampling.
Sampel yang diambil, lalu disimpan ke dalam suatu wadah yang bersih dan
tertutup rapat, berupa kantong resin dan sebagainya. Terlebih untuk sampel
yang akan diukur kandungan airnya, maka wadahnya harus sangat rapat,
tidak menyerap kelembaban dari luar, dan terbuat dari bahan yang tidak
dapat ditumbuhi jamur, terutama pada bagian dalam dimana sampel
disimpan. Selain itu, pada kantong sampel harus dicantumkan nomor lot,
tempat sampling, tanggal sampling, dan informasi penting lainnya.
Sampel yang telah diambil, kemudian disiapkan untuk menjadi sampel uji
dengan kondisi yang tetap dapat mewakili jumlah keseluruhannya. Untuk
keperluan tersebut, sampel diremuk, digerus, dibagi, maupun diperkecil
jumlahnya. Proses pekerjaan ini disebut dengan reduksi sampel. Karena
analisis batubara biasanya dilakukan dengan jumlah sampel yang tidak
terlalu banyak, maka proses reduksi harus dilakukan dengan benar agar
didapatkan hasil analisis yang akurat. Proses reduksi dilakukan dengan salah
satu atau gabungan dari cara-cara berikut ini:
Metode reduksi inkremen (increment reduction method)
Metode reduksi dengan menggunakan Riffle Divider Metode reduksi dengan
menggunakan mesin pereduksi (alat pembagi sampel) Metode reduksi
berdasarkan proporsi masing-masing ukuran butir Metode conical quartering
(kerucut bagi empat) dan alternate shovel sebenarnya dapat pula dipakai,
tetapi karena error (kesalahan) yang dapat timbul cukup besar, lebih baik
dihindari saja
3.5. Total Moisture
Yang dimaksud dengan kandungan air total (total moisture) adalah
keseluruhan jumlah kandungan air berbagai jenis yang terdapat dalam
sampel batubara yang diambil. Pada prinsipnya, hal ini dihitung dari jumlah
penurunan berat pra pengeringan (pre-drying loss) pada temperatur 35ºC
ditambah penurunan berat pengeringan panas pada 107±2ºC.
kandungan abu pada batubara dapat dibagi menjadi kandungan abu bawaan
(inherent ash) dan kandungan serapan.
Kandungan Abu Bawaan:
Kandungan abu bawaan diperoleh dari abu yang terkandung pada tumbuh-
tumbuhan yang menjadi batubara, jumlahnya sedikit, dan sulit untuk diambil
melalui proses pemisahan. Pada batubara kilap (bright coal) atau vitrite yang
berasal dari proses pembatubaraan zat kayu pada tumbuhan, jumlah
kandungan abunya sedikit. Abu ini diduga merupakan abu bawaan (inherent
ash) yang banyak mengandung kapur dan mineral alkali (basa), sedangkan
kandungan asam silikat dan alumina-nya sedikit. Di sisi lain, batubara kusam
(dull coal) yang berupa durite (atau durain) dan fusite (atau fusain) berasal
dari serpihan kayu, kulit pohon, serbuk bunga, spora dan lain-lain yang
bercampur dengan lumpur dan pasir, lalu tersedimentasi dan mengalami
proses pembatubaraan. Karena itu, kandungan abunya banyak.
Kandungan Abu Serapan:
Kandungan abu serapan terjadi akibat adanya intrusi lumpur dan pasir saat
tetumbuhan tersedimentasi. Atau bisa pula terjadi setelah proses
pembatubaraan berlangsung, dimana akibat adanya retakan dan
sebagainya, menyebabkan lumpur dan pasir ikut tercampur masuk (intrusi).
Abu jenis ini terdistribusi secara tidak merata di dalam batubara, dan banyak
mengandung zat-zat seperti batu lanau (shale), pirit, gipsum, silikat,
karbonat, sulfat dan sebagainya, dimana kandungan asam silikat dan
alumina-nya banyak.
Kandungan abu pada batubara, mempunyai hubungan yang erat dengan
sifat-sifat batubara itu sendiri, seperti misalnya berat jenis, ketergerusan
(grindability), sifat ketahanan api dari abu (ash fusibility), nilai kalori, dan
sebagainya.
Kandungan abu dan nilai kalori dari batubara, boleh dikatakan memiliki
hubungan yang hampir linear. Selain itu, kandungan abu dan berat jenis juga
memiliki korelasi yang sangat erat, dimana bila kandungan abunya banyak,
maka biasanya berat jenisnya juga besar. Sifat ini lalu dimanfaatkan,
sehingga dikembangkan proses pemisahan berat jenis seperti pada
hydroseparation (jig) atau pada pemisahan media berat (HMS). Secara
umum, adanya kandungan abu 1% akan berpengaruh terhadap perubahan
berat jenis sebesar 0,01.
Rumus pendekatan untuk mencari nilai berat jenis batubara diberikan
sebagai berikut:
Berat Jenis Batubara = 1,25 + 0,01 Kandungan Abu (%)
3.6. Zat Terbang (Volatile Matter)
Sampel dimasukkan ke dalam krusibel bertutup, lalu sambil diupayakan agar
tidak terjadi kontak dengan udara, sampel dipanaskan dalam waktu yang
cukup singkat. Setelah itu, kehilangan massa akibat pemanasan terhadap
sampel dihitung berdasarkan persen massa, kemudian nilai tersebut
dikurangi nilai kandungan air dari analisa kuantitatif yang dilakukan
bersamaan. Hasilnya inilah yang berupa kandungan zat terbang, yang terdiri
dari unsur-unsur yang mudah menguap (volatile) di dalam batubara itu
sendiri, atau zat-zat yang terlepas ke udara akibat proses pemanasan.
Pertama-tama, sampel 1 gram dipanaskan selama 7 menit pada temperatur
900±20°C, kemudian ditimbang penurunan berat/massa-nya. Setelah itu,
dikurangi dengan nilai kandungan air untuk mendapatkan kandungan zat
terbang. Nilai kandungannya dinyatakan dengan perhitungan persen berat.
Kandungan zat terbang memiliki hubungan yang erat dengan tingkat
pembatubaraan, sehingga kadang dipakai pula sebagai acuan (index) dalam
klasifikasi batubara. Untuk batubara bituminus,
Bila batubara memiliki kandungan zat terbang yang tinggi, maka sifat
penyalaan (ignition) dan pembakaran (combustion)-nya pun baik. Akan
tetapi, hal ini juga mengandung resiko swabakar (spontaneous combustion)
yang tinggi. Hubungan antara zat terbang dan penggunaan batubara secara
umum dapat diterangkan sebagai berikut.
Bila kandungan zat terbang semakin tinggi, maka selain penyalaan dan
pembakaran batubara menjadi mudah, nyala api yang dihasilkan juga bagus
(panjang), dan pembakaran rendah NOx mudah dilakukan. Dan karena sifat
mampu terbakar habis yang dimiliki cukup tinggi, maka cocok untuk boiler.
Bila kandungan zat terbangnya sedikit, maka batubara menjadi susah untuk
dinyalakan. Selain itu, sifat pembakarannya pun jelek, dan nyala api yang
dihasilkan juga kurang bagus (pendek). Karena sifat mampu terbakar habis
yang dimiliki cukup rendah, maka kandungan zattak terbakar dalam abu
menjadi semakin banyak, sehingga tidak cocok untuk boiler. Dalam hal ini,
diperlukan desain tungku pembakaran yang tepat, yang dapat menutupi
kekurangan pada kondisi di atas. Untuk pembakaran batubara sangat halus,
idealnya berupa batubara yang memiliki kandungan zat terbang di atas 30%
pada kondisi kering dan tanpa abu (dry, ash free basis), karena mudah
dinyalakan dan mampu terbakar habis
3.6.4.Karbon Tetap (Fixed Carbon)
Kandungan karbon tetap didapatkan dari analisis tak langsung, dan dihitung
dari persamaan berikut. Dari sisa pembakaran, setelah hasilnya dikurangi
dengan kandungan abu, maka hasilnya inilah yang berupa nilai karbon tetap.
Fixed Carbon (%) = 100 – {Water (%) + Ash (%) + V.M. (%)} Antara
kandungan zat terbang dan karbon tetap terdapat korelasi yang saling
berlawanan, dalam arti bila kandungan zat terbang naik, maka nilai karbon
tetap akan turun, dan demikian sebaliknya. Secara umum, bila tingkat
pembatubaraan semakin tinggi, maka kandungan zat terbang akan semakin
turun; sebaliknya, nilai karbon tetap akan bertambah.
3.6.5. Rasio Bahan Bakar (Fuel Ratio)
Kandungan zat terbang dan karbon tetap dalam analisis proksimat,
menunjukkan kandungan efektif batubara sebagai bahan bakar. Fuel ratio
yang ditunjukkan oleh persamaan berikut ini, nilainya akan naik secara
signifikan sebanding dengan tingkat pembatubaraan yang dialami. Karena
itu, fuel ratio merupakan salah satu parameter di dalam penentuan
klasifikasi ataupun untuk menunjukkan karakteristik khusus batubara.
Fuel Ratio = Fixed Carbon (%) / Volatile Matter (%)
Umumnya, nilai fuel ratio untuk masing-masing kelompok batubara diberikan
sebagai berikut:
Brown coal atau Lignite Kurang dari 1
Batubara Bituminus 1-4 Antrasit Lebih dari 4
3.7. Analisis Ultimat (analisis unsur)
Analisis ultimat terhadap batubara, ditetapkan dan diatur di dalam standard
JIS M 8813, dan terbagi atas 5 buah kandungan unsur, yaitu (abu) karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, dan belerang. Bila dibandingkan dengan heavy
oil, persentase kandungan karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen dalam
batubara sangat berbeda. Untuk heavy oil, kandungan hidrogen meliputi
kira-kira separuhnya, sedangkan oksigen dan nitrogen hampir tak ada sama
sekali. Berlawanan dengan itu, di dalam batubara terkandung oksigen sekitar
10% dan nitrogen 1- 3%. Untuk mengetahui struktur kimia ataupun
karakteristik batubara, analisis ultimat memiliki peranan yang sangat
penting.
3.7.1. Karbon dan Hidrogen
Penentuan kandungan karbon dan hidrogen, dapat dilakukan dengan
metode Liebig ataupun metode temperatur tinggi Scheffeld. Kedua metode
ini, menggunakan sampel sebanyak 0,1~0,5 gram yang dimasukkan ke
dalam pipa pembakaran (combustion pipe), lalu dibakar. CO2 maupun H2O
yang terjadi, lalu diserap dengan menggunakan pipa absorpsi. Dari
penambahan berat yang terjadi, lalu dihitung persentase kandungan karbon
dan hidrogen.
Karbon merupakan parameter yang penting untuk menunjukkan tingkat
pembatubaraan, dan persentase kandungan karbon C% dihitung dalam
kondisi kering dan bebas abu (dry, ash free basis).
Pada saat terjadi pembakaran, semua oksigen di dalam batubara dianggap
bereaksi dengan hidrogen membentuk air. Hidrogen yang tersisa, yang
merupakan hidrogen di dalam batubara yang siap dimanfaatkan secara
efektif, disebut dengan available hydrogen, dan dicari dari persamaan
berikut ini:
Available Hydrogen (%) = Hydrogen (%) – Oxygen (%) / 8
Available hydrogen memiliki hubungan dengan tingkat pembatubaraan. Bila
tingkat pembatubaraan semakin tinggi, oksigen akan semakin berkurang,
dan akibatnya available hydrogen akan naik. Nilai ini menjadi maksimum
pada kandungan karbon sekitar 85%. Setelah itu, pada zona antrasit,
kandungan oksigen maupun hidrogen akan turun, sehingga available
hydrogen juga turun. Available hydrogen digunakan dalam perhitungan
teoritis mengenai jumlah udara dan nilai kalori pada pembakaran.
3.7.2. Nitrogen
Penentuan kandungan nitrogen dilakukan dengan metode Kjeldahl atau
metode semi-mikro Kjeldahl. Di dalam batubara, terdapat kandungan
nitrogen sekitar 0,5~2,0%. Pada saat terjadi pembakaran, sebagian nitrogen
dalam batubara akan berubah menjadi NOx dan dilepas ke udara, sehingga
berpengaruh terhadap lingkungan. Rasio/persentase perubahan ini sangat
tergantung kepada kondisi persenyawaan dalam batubara dan kondisi
pembakarannya itu sendiri. Sebenarnya tidak terdapat hubungan yang
khusus antara kandungan nitrogen di dalam batubara dengan tingkat
pembatubaraan, namun terdapat kecenderungan bahwa kandungan nitrogen
cukup tinggi untuk batubara berasap, dan sedikit untuk batubara antrasit.
3.7.3. Oksigen
Penentuan kandungan oksigen tidak dilakukan secara langsung, akan tetapi
dihitung dari persamaan berikut ini: O (%) = 100 – {C (%) + H (%) + S (%) +
N (%) + ash (%) 100 / (100-water)}
Dengan memperhatikan persamaan di atas, kita bisa mengetahui bahwa
kesalahan pengukuran terhadap kandungan berbagai unsur dan abu akan
sangat berpengaruh terhadap hasil perhitungan kandungan oksigen. Karena
itu, boleh dikatakan bahwa tingkat reliabilitas-nya sebagai hasil analisis
adalah rendah.
Di dalam batubara, oksigen terdapat dalam bentuk gugus hidroksil,
karboksil, karbonil, eter, dan sebagainya. Karena gugus karbonil dan eter
memiliki temperatur penguraian antara 350~500°C, maka batubara yang
memiliki kandungan oksigen cukup banyak biasanya memiliki
kecenderungan untuk mempunyai kandungan zat terbang yang banyak pula.
3.7.4. Belerang Total (Total Sulfur)
Belerang total, merupakan nilai penjumlahan dari belerang dalam abu (sulfur
in ash) [dahulu disebut non-combustible sulfur] dan belerang terbakar
(combustible sulfur). Atau dapat pula dikatakan sebagai penjumlahan antara
nilai belerang inorganik dan belerang organik.
S (%) = Stotal (%) 100 / [100-water (%)] – Sin ash (%) (dry basis)
Yang dimaksud dengan sulfur in ash adalah persentase kandungan belerang
di dalam abu hasil analisis abu, dimana sampel dibakar menjadi abu dengan
kondisi pengujian tertentu.
Yang dimaksud dengan combustible sulfur adalah nilai yang didapat sebagai
hasil pengurangan total sulfur dengan sulfur in ash.
Di dalam batubara, kandungan belerang total biasanya antara 0.1-2%,
namun untuk brand produk tertentu, kadang dijumpai pula kandungan
belerang lebih dari 3%.
Di dalam standard JIS, penentuan kandungan belerang dilakukan dengan
metode Eschka atau metode pembakaran temperatur tinggi (high-
temperature combustion).
Bentuk ikatan belerang yang terdapat di dalam batubara, menurut standard
ISO, diukur dalam bentuk belerang inorganik berupa belerang sulfat (sulfate
sulfur) dan belerang pirit (pyritic sulfur), serta belerang organik (organic
sulfur).
Yang dimaksud dengan belerang sulfat adalah belerang dalam batubara
yang membentuk senyawa sulfat. Sampel diekstraksi dengan menggunakan
asam klorida (hydrochloric acid) encer, lalu gugus sulfat dalam larutan
diukur.
Yang dimaksud dengan belerang pirit adalah belerang dalam batubara yang
terdapat dalam bentuk pirit atau markasit. Pertama-tama, sampel diekstraksi
dengan menggunakan asam klorida encer. Setelah itu, diekstraksi lagi
dengan menggunakan asam nitrat encer, dan kemudian diukur kandungan
besi di dalam larutannya. Dari situ, baru dihitung kandungan belerangnya.
Yang dimaksud dengan belerang organik adalah belerang yang berikatan
dengan zat batubara, dan nilainya dihitung sebagai hasil pengurangan
kandungan belerang sulfat dan belerang pirit terhadap kandungan belerang
total.
Pada proses pembakaran, kandungan belerang dalam batubara akan
berubah menjadi gas SO2 dan SO3. Selain menjadi penyebab terjadinya
polusi udara, gas-gas ini juga menjadi penyebab terjadinya korosi terhadap
permukaan penghantar panas pada boiler. Karena itu, kandungan belerang
total pada batubara boiler sebaiknya kurang dari 1% Sekarang ini, hampir
semua peralatan pembakaran berskala besar telah dilengkapi dengan
fasilitas desulfurisasi. Kandungan belerang di dalam kokas, dapat menjadi
penyebab berbagai masalah di dalam proses pembuatan besi (misalnya besi
menjadi getas dan rapuh). Karena itu, batubara yang digunakan dituntut
untuk memiliki kandungan belerang tidak lebih dari 0,6%. Penalti yang
dikenakan terhadap kelebihan kandungan belerang setiap 0,1% adalah USD
0,60 per ton
3.7.5. Klor
Kandungan klor di dalam batubara, biasanya berkisar antara 0,01~0,02%,
dan kebanyakan terdapat sebagai NaCl, KCl, dan sebagainya. Senyawa-
senyawa ini, pada temperatur 1400-1500°C akan berbentuk uap. Akan
tetapi, pada zona temperatur antara 900~1000°C, senyawa tersebut akan
kembali ke bentuk cair dan dalam kondisi sebagai leburan/lelehan. Selain
menjadi penyebab korosi temperatur tinggi dan temperatur rendah di dalam
boiler, dan juga fouling oleh natrium dan kalium, klor juga berpengaruh atas
terjadinya korosi pada peralatan desulfurisasi asap buangan.
3.8. Nilai Kalori
Nilai kalori merupakan panas yang dilepaskan saat unit kuantitas batubara
terbakar sempurna. Nilai kalori ini dibagi menjadi 2, yaitu: Gross Calorific
Value, Hg Net Calorific Value,
Hn Yang dimaksud dengan gross calorivic value adalah nilai kalori total, dan
nilai ini adalah nilai yang diperoleh dari hasil analisis. Di dalam nilai tersebut,
terkandung pula nilai kalor laten (= panas tersembunyi) dari uap air yang
terbentuk akibat pembakaran kandungan air dan hidrogen dalam batubara.
Akan tetapi, pada pembakaran sebenarnya dengan menggunakan boiler dan
sebagainya, uap air ini dilepaskan begitu saja lewat cerobong asap tanpa
proses kondensasi, sehingga pada hakikatnya kalor laten tersebut tidak
dapat dimanfaatkan.
Yang dimaksud dengan net calorific value adalah nilai kalori murni, yaitu
setelah dikurangi dengan nilai kalor laten-nya. Nilai ini tidak tergantung
kepada hasil pengukuran, dan hanya ditentukan berdasarkan persamaan
berikut:
Hn = Hg – 600 (9H + W) [kcal/kg]
Di sini, H adalah kandungan hidrogen pada kondisi equilibrium moisture (kg),
dan W adalah kandungan air (kg). Batubara boiler yang biasa dipakai saat
ini, banyak yang memiliki nilai Hg antara 6000-7000 kcal/kg.
3.9 Ketergerusan (Grindability)
Ketergerusan merupakan sifat mudah-sulitnya batubara untuk diremuk atau
digerus. Besar kecilnya nilai ketergerusan ini, dinyatakan dengan suatu
indeks yang disebut Hardgrove Grindability Index atau HGI. Semakin kecil
nilai HGI, berarti semakin sulit penggerusannya; dan begitu pula sebaliknya.
Pertama-tama, sampel digerus dan diayak hingga ukuran tertentu, yaitu
antara 1190~ 590µm. Setelah itu, 50g sampel dimasukkan ke dalam alat uji
ketergerusan Hardgrove bersama dengan 8 buah bola. Setelah diputar
sebanyak 60 kali, lalu diayak dengan ayakan 75µm (200 mesh). Undersize
product (hasil lolos ayakan) yang diperoleh lalu ditimbang, dan
disubstitusikan ke persamaan berikut: HGI = 13 + 6,93W
dimana W adalah berat undersize product (dalam gram) pada ayakan 75µm.
Hubungan antara ketergerusan dengan tingkat pembatubaraan:
Nilai maksimum HGI untuk batubara Jepang, diperoleh pada batubara
dengan kandungan karbon 86% (daf basis). Untuk batubara bituminus luar
negeri (impor dari luar Jepang), nilai maksimumnya didapat pada kandungan
karbon sekitar 90%.
Secara umum, diketahui bahwa caking coal merupakan batubara yang paling
mudah digerus, sedangkan brown coal atau lignite merupakan batubara
yang paling susah digerus. Tentu saja hal ini tergantung pula kepada
struktur batubara maupun banyak-sedikit kandungan abunya.
HGI umumnya dinyatakan dalam rentang bilangan antara 30~120. Untuk
batubara yang dipakai pada pembangkit listrik (steam coal), batubara
digerus terlebih dahulu menjadi partikel halus sebelum dimasukkan ke
dalam boiler. Bila batubara terlalu keras, yang berarti nilai HGI kecil, maka
akan menurunkan performa dari mesin penggerus (mill). Dengan kata lain,
bila nilai HGI semakin rendah, maka diperlukan daya yang lebih besar bagi
mesin penggerus. Karena itu, para pengguna (user) banyak yang
menetapkan nilai HGI di atas 45 untuk batubara
yang mereka beli. Batubara yang saat ini dipakai di Jepang, kebanyakan
memiliki nilai HGI skitar 50.
3.10. Temperatur Leleh Abu
Saat batubara dibakar, maka abu dan kandungan inorganik lain akan
meleleh. Lelehan ini lalu akan menempel dan mengeras di permukaan
penghantar panas pada tungku membentuk klinker. Adanya klinker ini akan
menyebabkan berbagai masalah, seperti penurunan daya hantar panas
maupun daya ventilasi. Titik leleh abu mempunyai hubungan yang erat
dengan pembentukan klinker. Bila titik lelehnya rendah, maka klinker akan
mudah terbentuk. Titik leleh abu, umumnya berada pada kisaran
1000~1500°C, dan idealnya bernilai 1300°C ke
atas.
Pengukuran titik leleh abu, dilakukan sebagai berikut. Batubara yang telah
terbakar habis menjadi abu, lalu digerus hingga berukuran lebih kecil dari
200 mesh, lalu dibentuk menjadi piramida segitiga (limas segitiga). Bentuk
piramida segitiga ini lalu dimasukkan ke dalam tungku listrik (electric
furnace), lalu temperatur tungku dinaikkan. Perubahan terhadap bentuk
piramida segitiga akibat kenaikan temperatur lalu diamati dan dicatat.
Temperatur dimana piramida segitiga mulai mengalami perubahan bentuk
dinamakan titik pelunakan (softening point). Temperatur saat menjadi
bentuk setengah bola, dinamakan titik leleh (melting point). Ketika
temperatur terus dinaikkan sehingga akhirnya abu meleleh mengalir,
dinamakan titik alir.
Titik leleh abu batubara, selain dipengaruhi oleh komposisi abu, juga
ditentukan oleh suasana gas (sifat oksidasi atau reduksi). Biasanya, nilainya
berkisar antara 1000~1500°C. Bila di dalam kandungan abu terdapat unsur-
unsur bersifat asam seperti asam silikat (SiO2) dan alumina (Al2O3), maka
titik lelehnya akan tinggi. Namun bila banyak mengandung unsur-unsur basa
seperti oksida besi (Fe2O3), kapur (CaO), magnesia (MgO), oksida basa
(Na2O, K2O) dan sebagainya, maka titik lelehnya rendah. Secara umum, bila
nilai perbandingan antara keduanya, yang dinyatakan dengan B/A, memiliki
nilai mendekati 1, maka terdapat kecenderungan bahwa titik lelehnya akan
rendah.
Rasio B/A = (Fe2O3+CaO+MgO+Na2O+K2O) / (SiO2+Al2O3+TiO2)
Selain itu, titik leleh dalam suasana gas reduksi seperti CO, H2, dan
sebagainya, akan menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan suasana
asam. Umumnya, perbedaan titik leleh ini dapat mencapai 50~100°C.
3.11. Komposisi Abu
Komposisi abu batubara berbeda-beda tergantung kepada jenis
batubaranya. Untuk batubara Jepang, komposisinya tak jauh berbeda
dengan mineral lempung (clay minerals), dengan kandungan utama berupa
silika dan alumina. Umumnya, komposisi abu batubara Jepang terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut: SiO2: 40~60% Al2O3: 15~35% TiO2: 1~2%
Fe2O3: 5~25% CaO: 1~15% MgO: 0,01~0,1%
Analisis kimia terhadap Si, Fe, Al, Ca, Mg, dan S dilakukan dengan metode
gravimetri dan volumetri, sedangkan untuk P dilakukan dengan metode
absorpsiometri dan volumetri. Sebagai referensi, analisis terhadap Ni, Ti, dan
V dilakukan dengan metode absorpsiometri, sedangkan Na dan K dilakukan
dengan analisis nyala (flame analysis) dan metode absorpsiometri atom
(atomic absorptiometry).
Namun sekarang ini, makin banyak yang menggunakan peralatan fluoresensi
sinar X (fluorescent X-ray device) untuk melakukan analisis secara sekaligus.
Analisis komposisi abu seperti yang disebutkan di atas, merupakan faktor
penting dalam memprediksi slagging, fouling, electric dust collection, high-
temperature corrosion, dan denitrification catalyst degradation. Catatan: Bila
dilakukan proses pemisahan berat jenis, biasanya kandungan zat bersifat
basa dalam abu produk yang lebih ringan akan meningkat.
3.12. Ukuran Butir
Metode pengukurannya, telah ditetapkan di dalam standard JIS M 8801.
Untuk sampel batubaranya, dipakai jumlah keseluruhan dari gross sample.
Sampel ini dikeringkan, lalu diayak dengan menggunakan ayakan yang telah
ditentukan. Setelah itu, butiran yang tertinggal di atas masing-masing
ayakan ditambah dengan yang lolos ayakan terkecil ditimbang satu persatu,
lalu dituliskan persentase berat masing-masing terhadap keseluruhan
sampel.
Di antara ukuran ayakan yang telah ditetapkan dalam
JIS Z 8801, penentuan ayakan yang akan dipakai diserahkan kepada pihak
yang berkepentingan. Ukuran ayakan untuk ayakan jala-jala (net): 125mm,
106, 90, 75, 63, 53, 45, 37.5, 31.5, 26.5, 22.4, 19, 16, 13.2, 11.2, 9.5, 8, 6.7,
5.6, 4.75, 4, 3.35, 2.8, 2.36, 2, 1.7, 1.4, 1.18, 1mm. 850µm, 710, 600, 500,
425, 355, 300, 250, 212, 180, 150, 125, 106, 90, 75, 63, 53, 45, 38, 32, 25,
20µm.
Untuk ayakan plat/lempeng, ditetapkan secara terpisah.
4. Uji dan Analisis terhadap Batubara Kokas
4.1. Analisis Petrografi
Bila kita perhatikan permukaan batubara dengan lebih seksama, akan
terdapat bagian-bagian yang mengkilap dengan struktur berbentuk garis-
garis (belang) yang berlapis-lapis. Struktur batubara yang tampak dengan
mata telanjang semacam ini, dibagi menjadi 2 dengan sebutan batubara
kilap (bright coal) dan batubara kusam (dull coal). Struktur yang dengan
mata telanjang tampak merata dan sama sekalipun, bila dilihat dengan
mikroskop akan terlihat tersusun dari struktur yang lebih halus lagi.
Komponen struktur yang halus tersebut, dinamakan maseral (maceral).
Maseral dibagi menjadi 11 jenis, dimana akhirannya menyandang nama [nit]
(nite). Maseral yang di bawah mikroskop menunjukkan karakteristik yang
sama, digolongkan lagi menjadi 3 kelompok maseral (maceral group).
Metode analisis maseral:
a. Sampel: 850-74µm, kira-kira 10g
b. Pembuatan Briket: Sampel yang telah digerus diambil sebanyak 2g dan
dicampur dengan resin poliester. Kemudian dengan mesin pembuat briket,
dibuat briket yang memiliki luas permukaan poles/gosok (polishing area)
400mm2 atau lebih. Permukaan sampel kemudian digosok/diampelas, lalu
dilihat di bawah mikroskop.
c. Pengukuran: Sampel yang telah digosok lalu dinaikkan ke atas dudukan
obyek (sample holder) yang bisa digeser ke 4 penjuru, kemudian dipasang di
bawah mikroskop. Dudukan tersebut lalu dihubungkan ke alat pencacah
(point count). Sambil menekan tombol counter, dudukan sampel digeser
untuk melihat maseral di dalam partikel batubara. Point counter berfungsi
untuk mencacah jumlah maseral tanpa harus melepaskan pengamatan dari
mikroskop Pengukuran/pencacahan dilakukan terhadap keseluruhan
permukaan sampel, dengan persyaratan dan kondisi sebagai berikut
d. Persyaratan dan Kondisi Pencacahan: Mikroskop: dilengkapi alat
penerangan pemantul cahaya (illuminator) Pembesaran: 200 kali atau lebih
oil immersion (gliserin) Jarak pergeseran sampel (arah horisontal):
0,3~0.5mm (arah tegak lurus) 0,5~1mm Titik pengukuran: 500 titik lebih
e. Komponen Analisis:
Vitrinite: Telinite, Collinite, dan lain-lain Exinite: Sporinite, Cutinite, dan lain-
lain Inertinite: Micrinite, Fusinite, dan lain-lain Mineral matter (mm) dicari
dengan persamaan berikut: mm = 100{(1,08A+0,55S)/2,8} / [{100 –
(1,08A+0,55S)}/1,35 + (1,08A+0,55S)/2,8]
f. Perhitungan: Persentase kandungan masing-masing maseral dihitung
dengan persamaan berikut. Kandungan (vol%) = [(cacah tiap maseral) /
(jumlah cacah semua maseral)] x 100
4.2. Rasio Pantulan Rata-rata
4.2.1. Pengukuran RasioPantulan
Dengan mikroskop yang sama seperti yang digunakan pada analisis struktur
(analisis petrografi), dipasang alat pengukur pantulan tipe tabung
fotoelektrik, dan cahaya dilewatkan filter polarisasi terlebih dahulu sebelum
menerangi sampel. Pantulan cahaya dari permukaan filter, setelah melewati
filter akan berupa cahaya monokrom (umumnya dengan panjang gelombang
= 546±5nm). Setelah diarahkan ke tabung fotoelektrik, tegangan listrik yang
terjadi lalu dibaca dari alat pencatat. Yang perlu diingat adalah bahwa
diameter bidang pengamatan saat melakukan pengukuran diatur mewakili
jarak 20µm. Pengukuran biasanya dilakukan dalam kondisi tercelup minyak
(oil immersion). Rasio pantulan (reflectance) ditentukan dengan
membandingkannya terhadap material standard (kaca standard). Kaca
standard diletakkan di bawah mikroskop, lalu fokusnya diatur. Setelah listrik
untuk masing-masing peralatan dinyalakan, tunggu sampai jarum pada alat
pencatat menjadi stabil. Setelah stabil, catat nilai saat itu (VS1). Setelah itu,
ganti kaca standard dengan sampel batubara. Dengan metode pencacahan,
catat intensitas cahaya pantulan (VA) dari masing- masing vitrinite di
permukaan gosok briket. Dengan cara ini, setelah melakukan pengukuran
terhadap kira-kira 25 titik, sampel batubara diganti lagi dengan kaca
standard. Catat nilai VS2 saat itu. Tingkat pantulan dihitung dari persamaan
berikut R0 (%) = rasio pantulan kaca standard (RS) (VA rata-rata)/(VS1-S2
rata-rata)
4.3. Uji Muai
4.3.1. Metode Uji Muai – metode Button
Sebagai salah satu metode untuk menilai sifat caking batubara secara
mudah, di Jepang digunakan apa yang disebut Button Number (BN). Button
number disebut juga dengan free swelling index (FSI), crucible swelling
number (CSN), atau crucible button index (CBI). Di dalam ISO maupun ASTM,
standard yang hampir sama juga diberlakukan. Metode ini termasuk mudah,
dan merupakan satu hal penting dalam menyatakan sifat caking suatu
batubara. Seperti diketahui, sifat caking merupakan suatu parameter yang
dipakai dalam metode klasifikasi batubara internasional.
Metode pengukuran dilakukan melalui prosedur sebagai berikut. Pertama-
tama, sampel yang telah dikeringkan di udara terbuka (air dried) diambil
seberat 1g, lalu dimasukkan ke dalam krusibel. Krusibel bersama sampel
kemudian dipanaskan dengan gas atau tungku listrik, sehingga dalam 1
menit 30 detik temperatur mencapai 800±10°C, dan setelah 2 menit 30
detik temperatur mencapai 820±5°C. Setelah dingin, coke button yang
terbentuk lalu dibandingkan dengan profil standard, dan dijadikan indeks
Button. Profil standard merupakan angka dari 1 sampai 9, dengan inkremen
(kenaikan) sebesar 1/2. Semakin tinggi angkanya, semakin kuat sifat caking
yang dimiliki.
Penentuan tingkat caking berdasarkan button index adalah sebagai berikut:
9 – 6,5 caking kuat
6 – 4,5 caking sedang
4 – 2,5 caking lemah
2 – 1 tidak bersifat caking
4.3.2. Uji Muai – metode Dilatometer
Pada metode ini, serbuk batubara dimasukkan ke dalam suatu wadah
dengan bentuk tertentu, lalu dipadatkan. Setelah itu, padatan serbuk
batubara tersebut dimasukkan ke dalam tungku dan dipanaskan. Perubahan
bentuk yang terjadi akibat pemanasan ini, kemudian diamati. Dalam
klasifikasi batubara internasional, metode ini dipakai untuk menentukan sifat
pengkokasan.
Setelah diangin-anginkan dan kering, sampel yang telah digerus hingga
berukuran kurang dari 0,150 mm diambil sebanyak 10 gram, lalu dicampur
air sebanyak 1 ml. Dengan menggunakan alat (wadah), sampel dibentuk
sesuai ukuran yang ditetapkan (diameter minimum 6mm, berbentuk tongkat
sepanjang 60 mm dengan 1/50 bagian berupa taper), lalu dipadatkan
dengan memberikan tekanan. Di atas sampel diletakkan piston langsing-
panjang (berat 150 gram) yang memiliki pen di bagian ujungnya.
Temperatur tungku listrik dinaikkan dengan kecepatan 3°C/menit, dan
setelah mencapai 300°C, retort dimasukkan ke dalam tungku. Kondisi
penyusutan dan pemuaian sampel secara otomatis dicatat oleh alat pencatat
berdasarkan gerakan naik-turun piston, dan bersamaan dengan itu,
dilakukan pencatatan terhadap temperatur. Temperatur pelunakan
(softening temperature), T1(°C) Temperatur susut maksimum (maximum
contraction temperature), T2 (°C) Temperatur muai maksimum (maximum
dilatation temperature), T3 (°C) Rasio susut maksimu (maximum
contraction), a (%) Rasio muai maksimum (maximum dilatation), b (%) Rasio
muai total (total dilatation), a+b (%) Rasio muai total sebanyak 50~200%
dianggap standard. Bila terlalu tinggi, maka akan menyebabkan retakan
(crack), sehingga kekuatan kokas menurun. Angka minus berarti tidak bagus
sama sekali.
4.4. Uji Fluiditas
Bila batubara kokas (caking coal) dipanaskan, maka pada temperatur sekitar
400°C akan mulai melunak. Bila temperatur pemanasan terus naik, batubara
kokas akan meleleh mengeluarkan gas dan tar. Bila temperatur naik menjadi
sekitar 500°C, maka lelehan plastis tadi akan kembali mengeras membentuk
kokas. Karakteristik pelunakan dan pelelehan hingga menjadi bentuk yang
plastis, berbeda untuk tiap- tiap batubara. Untuk menerangkan keadaan
seperti di atas, digunakan istilah fluiditas. Untuk mengetahui tingkat fluiditas
batubara, di Jepang biasanya digunakan uji Gieseler Plastometer. ASTM juga
memakai uji tersebut.
Pada uji Gieseler plastometer, sampel digerus hingga berukuran di bawah
425µm, lalu dikeringkan di udara terbuka. Setelah itu, 4,5g sampel
dimasukkan ke dalam krusibel dengan menggunakan batang pengaduk, lalu
dipasang pada sebuah dudukan. Kemudian, sampel dipadatkan dengan cara
meletakkan pemberat 10 kg di atasnya dan ditekan selama 15 menit.
Sebagai alternatif, pemadatan dapat dilakukan dengan memberikan
pemberat statis seberat 9 kg, kemudian ke atasnya dijatuhkan pemberat 1
kg dari ketinggian 11,4 cm sebanyak 3 kali. Sampel kemudian dipasang di
dalam metal bath, yang sebelumnya telah dipanaskan terlebih dahulu.
Pemanasan sampel dilakukan dengan kecepatan 3±0,1°C/menit, dan tiap 1
menit penunjukan temperatur serta jarum dial gauge dibaca. Pengukuran
dilakukan sampai jarum penunjuk berhenti berputar. Hasil pengukuran akan
menampilkan data sebagai berikut: Temperatur pelunakan (softening
temperature) [°C], yaitu temperatur saat jarum penunjuk mencapai 1,0
DDPM (dial division per minute). Temperatur fluiditas maksimum (maximum
fluidity temperature) [°C], yaitu temperatur saat jarum penunjuk mencapai
angka maksimum. Temperatur pengerasan kembali (resolidification
temperature) [°C], yaitu saat jarum penunjuk berhenti. Rentang fluiditas
(fluidity range) [°C], yaitu selisih antara temperatur pelunakan dan
temperatur resolidifikasi Fluiditas maksimum (maximum fluidity) DDPM,
yaitu tingkat fluiditas saat jarum penunjuk mencapai angka maksimum.
Bila nilai fluiditas maksimumnya tinggi, maka dikatakan bahwa fluiditasnya
bagus; dan bila nilai fluiditas maksimumnya rendah, berarti fluiditasnya
jelek. Secara umum, bila kandungan zat terbang (volatile matter)-nya tinggi,
maka fluiditasnya juga semakin baik. Pada kandungan zat terbang sekitar
40%, diperoleh fluiditas yang paling baik. Melewati angka tersebut, fluiditas
kembali turun secara drastis. Fluiditas batubara kokas dalam negeri
(Jepang): Tingkat fluiditas yang tinggi serta rentang fluiditas yang lebar
terutama ditunjukkan oleh batubara Mike. Selain itu, batubara Yubari serta
Nishi Kyushu juga termasuk bagus. Di bawahnya, terdapat batubara Sorachi
yang memiliki tingkat fluiditas yang lebih rendah serta rentang yang lebih
sempit. Fluiditas batubara impor: L American coal, Canadian coal, Australian
strong-caking coal, dan Australian weak-caking coal menunjukkan fluiditas
yang rendah, sedangkan M American coal, Australian medium-volatile coal,
Kailan coal, dan Poland coal termasuk batubara yang memiliki fluiditas cukup
baik.
4.5. Uji Kuat Kokas
4.5.1. Metode Small-Retort
Sampel dalam jumlah yang cukup banyak dikarbonisasi, lalu kokas yang
terbentuk diuji kekuatannya untuk melihat sifat pengkokasan yang terjadi.
Pada standard JIS, diatur tentang metode karbonisasi sampel seberat 1,5 kg.
Pertama-tama, sampel sebanyak 1,5 kg dicampur air sebanyak 180 ml
(12%), kemudian diaduk sampai merata. Setelah itu, sampel dimasukkan ke
dalam retort dan permukaannya diratakan. Diatasnya kemudian diletakkan
papan asbes setebal 3~4 mm, dan ditindih lagi dengan pemberat 5±0,5 kg.
Retort kemudian dimasukkan ke dalam tungku listrik yang sebelumnya telah
dipanaskan terlebih dahulu. Proses pemanasan berlangsung selama 2 jam
pada temperature 700±10°C. Setelah 2 jam, tegangan dinaikkan hingga
temperatur mencapai 1050±10°C dalam waktu 90~100 menit. Setelah
temperatur yang ditentukan tercapai, aliran listrik dimatikan. Retort
kemudian dikeluarkan dan didinginkan pada suhu kamar. Setelah itu, kokas
dikeluarkan, dan semua bongkahan berukuran 15 mm atau lebih digunakan
sebagai sampel untuk uji kekuatan. Hasil 3 kali pengujian lalu dirata-rata
hingga satu angka desimal, dan digunakan sebagai indeks kekuatan retort-
kecil (Small-Retort Strength Index)
4.5.2. Metode Pembakaran Kaleng (Can-Firing)
Pada metode ini, batubara sampel dimasukkan ke dalam kaleng (can)
minyak dan sebagainya, lalu dikarbonisasi di dalam tungku (furnace)
bersamaan dengan kegiatan operasi sehari-hari. Kokas sampel yang terjadi
dianggap sebagaimana layaknya kokas yang dihasilkan bersama-sama dari
tungku. Kokas sampel tersebut lalu diuji untuk melihat sifat
pengkokasannya. Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama-
tama, ambil gross sample sebanyak 100 kg atau lebih, lalu diremuk hingga
ukuran 10 mm atau kurang. Sampel yang telah diperkecil ukurannya
tersebut lalu diaduk merata, dan direduksi hingga menjadi kurang lebih 41
kg (berat kering). Kemudian sampel dicampur air secukupnya sehingga
kandungan air totalnya menjadi sekitar 10%, lalu diaduk merata. Setelah itu
sampel dibagi menjadi 3 bagian, dan masing-masing dimasukkan secara
hati-hati ke dalam kaleng isi 18 liter. Kaleng lalu dijatuhkan 1 kali dari
ketinggian 300 mm, kemudian ditutup. Di permukaan samping kaleng,
dibuat lubang secukupnya agar gas yang nanti terbentuk dapat lewat
dengan mudah. Selain itu, kaleng diikat dengan kawat agar nanti pada saat
mengeluarkan dari tempat pembakaran, kaleng tidak terguling. Sebelum
menambahkan batubara ke dalam tungku karbonisasi, 3 buah kaleng sampel
dimasukkan berjajar terlebih dahulu ke bagian dasar tungku yang memiliki
temperatur merata. (pada tungku pengkokasan, kaleng dimasukkan dengan
mesin pendorong kira-kira 1,5m ke arah dalam di dasar tungku). Setelah
proses karbonisasi selesai, dan api sudah mati, kokas dikeluarkan. Dari
dalam tumpukan kokas yang terjadi, kaleng diambil lalu dibuka, dan kokas
yang ada di dalamnya dikeluarkan.
Kokas dari dalam kaleng tersebut, lalu dipakai sebagai sampel untuk uji
kekuatan dan uji kualitas lainnya. Uji kekuatan dilakukan dengan mengacu
pada standard JIS K 2151 poin 5 (uji jatuh/ drop shatter test) atau poin 6 (uji
putar-jatuh/ tumbler test). Pengujian dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali,
lalu diambil nilai rata-rata. Untuk uji kekuatan, nilai rata-rata diambil hingga
1 angka desimal dan dinyatakan sebagai indeks kekuatan kokas pada can-
firing. Untuk uji kualitas yang lain, pelaporan hasil dan sebagainya dilakukan
berdasarkan standard JIS yang telah ditentukan.