Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KARAKTERISTIK DAN KUALITAS EDIBLE FILM PATITALAS (Colocasia esculenta) SEBELUM DAN SETELAH
PENAMBAHAN KITOSAN
PRIMA AULIA PRATIWI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016/1437
KARAKTERISTIK DAN KUALITAS EDIBLE FILM PATITALAS (Colocasia esculenta) SEBELUM DAN SETELAH
PENAMBAHAN KITOSAN
PRIMA AULIA PRATIWI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016/1437
KARAKTERISTIK DAN KUALITAS EDIBLE FILM PATITALAS (Colocasia esculenta) SEBELUM DAN SETELAH
PENAMBAHAN KITOSAN
PRIMA AULIA PRATIWI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016/1437
KARAKTERISTIK DAN KUALITAS EDIBLE FILM PATI TALAS
(Colocasia esculenta) SEBELUM DAN SETELAH PENAMBAHAN
KITOSAN
SkripsiSebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi KimiaFakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
PRIMA AULIA PRATIWI1111096000049
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016/1437 H
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, 6 April 2016
Prima Aulia Pratiwi1111096000049
iv
ABSTRAK
Prima Aulia Pratiwi. Karakteristik dan Kualitas Edible Film Pati Talas(Colocasia esculenta) Sebelum dan Setelah Penambahan Kitosan di bawahbimbingan Anna Muawanah dan Sandra Hermanto.
Metode pengemasan dengan edible film saat ini sangat berkembang karenasifatnya yang biodegradable dan dapat dimakan. Salah satu bahan alam yangsering digunakan dalam pembuatan edible film adalah pati, namun kualitas patisebagai edible film masih terbilang rendah. Maka dari itu, digunakan kitosan yangmemiliki ketahanan kimia yang cukup baik serta memiliki reaktivitas yang tinggidan dapat membentuk film dan membran dengan baik. Tujuan dari penelitian iniadalah untuk mengetahui karakteristik pati talas dan mengetahui perbedaan mutuedible film berbahan dasar pati talas dengan edible film campuran pati talas dankitosan Tahap penelitian terdiri dari pembuatan pati talas, analisis fisikokimia patitalas, pembuatan edible film, dan karakterisasi edible film. Analisis fisikokimiapati talas menghasilkan kadar air tertinggi pada 6:4 sebesar 10,5±0,707%, kadargula pereduksi tertinggi pada 10:0 sebesar 23,125±0,375%. Kadar amilosa danamilopektin tertinggi pada 10:0 sebesar 14,5% dan 6,313%. Suhu gelatinisasi danviskositas tertinggi pada 10:0. Pada karakterisasi edible film, ketebalan filmmenunjukkan bahwa semakin banyak kitosan maka ketebalan semakin berkurang,kadar gula pereduksi juga semakin berkurang. Daya serap air tertinggi dimilikioleh 5:5 sebesar 100%. Analisis SEM menunjukkan bahwa semakin banyakpenambahan kitosan maka semakin rapat struktur edible film yang dihasilkan.
Kata Kunci: Edible film, pati, talas, kitosan, karbohidrat.
v
ABSTRACT
Prima Aulia Pratiwi. Characteristics and Qualities Edible Film of Taro Starch(Colocasia esculenta) Before and After Addiction of Chitosan. Under theguidance of Anna Muawanah and Sandra Hermanto.
Packaging method with edible film is really grows nowadays because it isbiodegradable and can be eaten. Starch is the one of many nature materials whichalways use to make an edible film, but the quality of starch edible film is still low.The addition of chitosan with quite good in chemical resistence and has a highreactivity is expected to form film and membrane with good quality. The purposesof this research are to know about characteristics of taro starch and also to knowabout the quality difference between edible film from taro starch and edible filmfrom mixture of taro starch and chitosan. In this research, taro starch was choosenfor the main material to make edible film. The steps are consist of manufacture oftaro starch, physicochemical analysis of taro starch, manufacture of edible film,and edible film characterizations. The highest water level is 6:4 around10,5±0,707%, the highest reducing sugar and starch level are 10:0 around23,125±0,375%, the highest amylose and amylopectin level are 10:0 around14,5% and 6,313%. The highest gelatinization temperature and viscosity is 10:0.In edible film characterization, the result of thickness analysis shows thatincreasing of chitosan composition, the thickness is lesser. Reducing sugar level isalso lesser. The highest water uptake level is 5:5 around 100%. The result of SEManalysis shows that increasing of chitosan composition, the density of ediblefilm’s structure is more better.
Keyword: edible film, starch, taro, chitosan, carbohydrate.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Karakteristik dan
Kualitas Edible Film Pati Talas (Colocasia esculenta) Sebelum dan Setelah
Penambahan Kitosan”. Salawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang setia mengobarkan jiwa,
raga, dan lainnya untuk menegakkan syi’ar Islam, yang pengaruh dan manfaatnya
hingga kini masih terasa.
Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat adanya pihak-pihak yang
telah memberikan bimbingan dan dukungannya kepada penulis. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
setinggi-tingginya, terutama kepada:
1. Anna Muawanah, M.Si selaku pembimbing I yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian.
2. Sandra Hermanto, M.Si sebagai pembimbing II yang telah membimbing dan
memberikan arahan dalam penulisan skripsi ini.
3. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
5. Dr. Hendrawati, M.Si dan Dr. Siti Nurbayti, M.Si selaku Penguji I dan
Penguji II yang telah memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini
menjadi jauh lebih baik.
6. Seluruh dosen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis selama masa perkuliahan.
7. Kedua orangtua (Sunarno dan Ika Luswara) yang selalu mendoakan,
mendukung, dan memberikan motivasi kepada penulis.
8. Sri Suci Mulyani, Anissa Nurlely, Harni Pangestika, Anita Rostianti,
Uswatun Hasanah, Tiah Maharani, Alfindah Rusanti, Fitriyaningsih, Ridhia
Hafiyyani, dan Ika Purnama Sari yang selalu memberikan semangat dan doa
untuk penulis.
9. Teman-teman Kimia UIN angkatan 2011 yang telah memberikan semangat,
doa, dan dukungan untuk penulis.
10. Seluruh laboran kimia yang terlah membantu dan memberikan bimbingan
kepada penulis selama masa penelitian.
11. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulisan skripsi ini tentunya masih terdapat banyak kekurangan, baik
dalam segi penulisan maupun pemaparan. Namun penulis berharap bahwa skripsi
ini dapat bermanfaat.
Jakarta, 6 April 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR.......................................................................................... vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
BAB I: PENDAHULUAN......................................................................................11.1. Latar Belakang ............................................................................................11.2. Rumusan Masalah.......................................................................................3
1.3. Hipotesis Masalah.......................................................................................3
1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................4
1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................................4
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................5
2.1. Pati ..............................................................................................................5
2.2. Talas (Colocasia esculenta) dan Komposisi Kimia....................................8
2.3. Edible Film................................................................................................10
2.3.1. Faktor Pembentukan Edible Film...................................................11
2.3.2. Sifat Edible Film ............................................................................12
2.4. Sifat Amilografi ........................................................................................13
2.4.1. Pengertian Sifat Amilografi ...........................................................13
2.4.2. Pengujian Sifat Amilografi ............................................................13
2.4.3. Parameter Amilografi .......................................................................... 14
2.5. Kitosan ......................................................................................................15
2.5.1. Sumber Kitosan..............................................................................16
2.5.2. Karakteristik dan Penggunaan Kitosan ..........................................17
2.6. Analisis Struktur Edible Film dengan FTIR .............................................18
ix
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN.........................................................20
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian...................................................................20
3.2. Alat dan Bahan..........................................................................................20
3.2.1. Alat.................................................................................................20
3.2.2. Bahan..............................................................................................20
3.3. Prosedur Penelitian ...................................................................................21
3.3.1. Pembuatan Pati dari Talas (Colocasia esculenta)..........................21
3.3.2. Analisis Sifat Fisikokimia Pati Talas .............................................21
1) Analisis Kadar Air...................................................................22
2) Analisis Gula Pereduksi dan Pati Total ...................................22
3) Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin...............................24
4) Analisis Amilografi .................................................................26
3.3.3. Pembuatan Edible Film ..................................................................26
3.3.4. Karakterisasi Edible Film...............................................................27
1) Uji Ketebalan Edible Film.......................................................28
2) Uji Penentuan Ketahanan Air dengan Uji Daya Serap Air
(Water Uptake) ........................................................................28
3) Analisis Gugus Fungsi dengan Menggunakan FTIR ..............29
4) Analisis Gula Pereduksi ..........................................................29
5) Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) ....................29
3.4. Diagram Alir Penelitian ............................................................................30
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................31
4.1. Pembuatan Pati Talas ................................................................................31
4.2. Sifat Fisikokimia Pati Talas-Kitosan ........................................................32
4.2.1. Analisis Kadar Air..........................................................................32
4.2.2. Analisis Kadar Gula Pereduksi dan Pati Total...............................34
4.2.3. Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin .....................................36
4.2.4. Analisis Amilografi ........................................................................37
4.3. Pembuatan Edible Film.............................................................................42
x
4.4. Karakterisasi Edible Film .........................................................................43
4.4.1. Analisis Ketebalan Edible Film .....................................................43
4.4.2. Analisis Daya Serap Air (Water Uptake) ......................................45
4.4.3. Analisis Kadar Gula Pereduksi ......................................................47
4.4.4. Analisis Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) .........48
4.4.5. Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) ...........................51
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................54
5.1. Kesimpulan ...............................................................................................54
5.2. Saran .........................................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................55
LAMPIRAN..........................................................................................................62
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Amilosa dan Amilopektin.....................................................................6
Gambar 2. Tanaman Talas (Colocasia esculenta) .................................................8
Gambar 3. Struktur Kitosan..................................................................................16
Gambar 4. Spektrum FTIR dari Pati Tapioka ......................................................19
Gambar 5. Diagram Alir Peneltian .......................................................................30
Gambar 6. Hasil Analisis Kadar Air Sampel Campuran Pati Talas-Kitosan .......33
Gambar 7. Hasil Analisis Kadar Gula Pereduksi dan Pati Total dengan Sampel
Campuran Pati Talas-Kitosan ................................................................................34
Gambar 8. Reaksi Nelson-Somogyi ......................................................................35
Gambar 9. Hasil Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin Sampel Campuran
Pati Talas-Kitosan ..................................................................................................36
Gambar 10. Grafik Analisis Amilografi Pati Talas dan Hasil Pengukuran Rapid
Visco Analyzer (RVA) ...........................................................................................38
Gambar 11. Proses Gelatinisasi Pati.....................................................................39
Gambar 12. Struktur Sorbitol ...............................................................................43
Gambar 13. Hasil Analisis Ketebalan Edible Film...............................................44
Gambar 14. Hasil Uji Daya Serap Air pada Edible Film .....................................46
Gambar 15. Reaksi Pencoklatan (Maillard Reaction) .........................................48
Gambar 16. Hasil Spektrun FTIR Sampel 10:0....................................................49
Gambar 17. Hasil Spektrum FTIR Sampel 5:5 ....................................................49
xii
Gambar 18. (a) Prediksi Ikatan Hidrogen Antara Molekul Pati Talas-Kitosan dan
(b) Skema Cross-Linking .......................................................................................51
Gambar 19. Penampang permukaan edible film (a) 10:0 dan (b) 5:5 dengan
perbersaran 5000×..................................................................................................52
Gambar 20. Penampang melintang edible film (a) 10:0 dan (b) 5:5 dengan
perbersaran 5000×..................................................................................................52
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kandungan Kimia Talas.........................................................................10
Tabel 2. Sumber Kitosan .......................................................................................17
Tabel 3. Karakteristik Kitosan...............................................................................17
Tabel 4. Penggunaan Kitosan dalam Berbagai Industri ........................................18
Tabel 5. Profil Gelatinisasi Pati Talas dari Hasil Pengukuran Rapid Visco
Analyzer (RVA) ....................................................................................................38
Tabel 6. Hasil Analisis Gula Pereduksi pada Edible Film ....................................47
Tabel 7. Hasil Analisis Kadar Air Pati Talas ........................................................64
Tabel 8. Hasil Analisis Kadar Gula Pereduksi Pati Talas .....................................65
Tabel 9. Hasil Uji Daya Serap Air pada Edible Film Pati Talas-Kitosan .............69
Tabel 10. Hasil Analisis Gula Pereduksi pada Edible Film ....................................7
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Metode pengemasan adalah suatu metode yang dilakukan untuk melindungi
bahan pangan atau olahannya agar tidak terjadi kerusakan dan mengurangi mutu
bahan pangan. Semakin hari, kemasan semakin berkembang pesat hingga semakin
praktis dan memudahkan konsumen. Salah satu jenis kemasan yang paling
berkembang saat ini adalah edible film.
Edible film adalah salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah lingkungan
dan dapat dimakan, serta tidak berdampak pada pencemaran dan kerusakan
lingkungan, karena terbuat dari bahan alam yang biodegradable. Krochta et. al.
(1994) menjelaskan komponen edible film terdiri dari hidrokoloid, lipid, dan
komposit. Hidrokoloid yang biasa digunakan adalah polisakarida dan protein.
Lipid yang biasa digunakan adalah lilin alami (beeswax, carnauba swax, parrafin
wax), asil gliserol, asam lemak serta emulsifier. Sedangkan komposit adalah
campuran hidrokoloid dan lipida. Salah satu contoh bahan alam yang paling
sering digunakan sebagai bahan dasar edible film adalah pati.
Meskipun banyak digunakan, karbohidrat kompleks ini memiliki kelemahan
tersendiri pada penggunaannya sebagai edible film, yaitu kurang bagus dalam
pengaturan migrasi uap air (Murdinah et. al., 2007). Maka dari itu diperlukan
bahan pendukung untuk meningkatkan kualitas pati sebagai edible film. Salah satu
bahan pendukung yang dapat digunakan adalah kitosan. Wini Setiani et. al. (2013)
2
menjelaskan bahwa kitosan dapat meningkatkan sifat mekanik karena dapat
membentuk ikatan hidrogen antar rantai dengan amilosa dan amilopektin dalam
pati. Kitosan memiliki gugus fungsi amina, gugus hidroksil primer dan sekunder.
Dengan adanya gugus tersebut, kitosan dianggap memiliki kereaktifan paling
tinggi karena dapat membentuk ikatan hidrogen. Sehingga kitosan dianggap
sebagai bahan pencampur yang ideal. Selain itu, Dallan et. al. (2006) menyatakan
bahwa kitosan yang merupakan turunan kitin dan polisakarida paling banyak
setelah selulosa, memiliki sifat hidrofobik serta dapat membentuk film dan
membran dengan baik.
Penelitian mengenai karakteristik pati serta penggunaannya sebagai edible
film telah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya adalah penelitian Santoso et.
al. (2011) mengenai pembuatan edible film berbahan dasar pati ganyong,
Kasfillah (2013) mengenai karakterisasi edible film dari pati biji nangka sebagai
pembungkus jenang, serta Rahmi et. al. (2012) mengenai karakterisasi edible film
dari berbagai macam umbi-umbian, serta Setiani et. al. (2013) mengenai
pembuatan edible film dari pati sukun dengan bahan pencampur kitosan.
Meskipun begitu, penelitian-penelitian tersebut baru mengungkapkan
bagaimana karakteristik fisik pati sebagai edible film, dan tidak mempelajari lebih
lanjut mengenai karakteristik kimianya. Pati yang akan digunakan untuk
penelitian ini adalah talas dengan varietas Colocasia esculenta. Pemilihan talas
dilakukan karena talas merupakan tanaman yang mudah didapat dan tidak bersifat
musiman. Menurut Ermayuli (2011), talas mengandung pati kira-kira 18,2%.
3
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap awal adalah
pembuatan pati dari talas dan analisis fisikokimia, baik sebelum maupun sesudah
ditambah kitosan dalam berbagai variasi massa. Tahap berikutnya adalah
pembuatan edible film pati talas dengan berbagai macam variasi penambahan
massa kitosan. Selain itu dibuat juga kontrol negatif yaitu tanpa penambahan
kitosan. Tahapan terakhir adalah karakterisasi edible film yang dihasilkan melalui
pengujian kimia, analisis ketebalan film, analisis FTIR (Fourier Transform
Infrared Spectroscopy) dan analisis SEM (Scanning Electron Microscope).
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah karakteristik fisikokimia pati talas?
2. Bagaimana pengaruh penambahan kitosan terhadap karakteristik dan
kualitas pati talas sebagai edible film?
3. Berapakah formulasi penambahan kitosan yang menghasilkan kualitas
edible film terbaik?
1.3. Hipotesis Masalah
1. Pati talas memiliki karakteristik sifat fisikokimia pada kadar air, kadar gula
pereduksi, kadar pati total, kadar amilosa dan amilopektin, serta sifat
amilografi.
2. Penambahan kitosan mampu meningkatkan karakteristik dan kualitas pati
talas sebagai edible film.
3. Formulasi tertentu akan didapatkan untuk menghasilkan kualitas edible film
terbaik.
4
1.4. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui karakteristik dan kualitas pati talas.
2. Mengetahui perbedaan kualitas edible film yang murni terbuat dari pati talas
dengan edible film yang terbuat dari pati talas dengan tambahan kitosan.
3. Memperoleh formulasi terbaik penambahan kitosan dalam pembuatan edible
film pati talas.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan bahan edible film yang lebih ekonomis ramah lingkungan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pati
Pati atau amilum merupakan karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam
air, berwujud bubuk putih, tawar, dan tidak berbau. Pati tersusun dari dua macam
karbohidrat, amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda.
Sebagian besar pati disimpan dalam biji, umbi, akar, dan bagian dalam dari batang
tanaman sebagai cadangan makanan yang digunakan ketika tanaman mengalami
dormansi, germinasi, dan pertumbuhan. Pati merupakan senyawa terbanyak kedua
yang dihasilkan oleh tanaman setelah selulosa (Swingkels, 1985).
Sumber penghasil pati adalah biji-bijian serealia seperti jagung, gandum,
sorgum, beras, umbi seperti kentang, akar seperti singkong, dan bagian dalam dari
batang tanaman sagu. Di dalam proses pembuatan pati, pati harus dipisahkan dari
komponen-komponen pengotor lain yang bercampur, yaitu serat, protein, gula,
dan garam-garam (Swingkels, 1985)
Menurut Swingkels (1985) pati bukan merupakan senyawa homogen.
Sebagian besar, pati tersusun dari dua komponen polimer glukosa utama, yaitu:
1) Molekul dengan rantai linear yang dikenal sebagai amilosa.
Amilosa merupakan fraksi pati yang larut air, tidak larut dalam n-butanol
atau pelarut organik polar lainnya, tersusun dari rantai lurus D-glukosa yang
memiliki ikatan 1,4-α-glikosidik dengan derajat polimerisasi antara 100 – 400,
6
dan memiliki BM 4000 – 150.000. Apabila direaksikan dengan iodin, amilosa
akan memberikan warna biru tua.
2) Polimer glukosa rantai bercabang yang dikenal sebagai amilopektin.
Amilopektin adalah fraksi pati yang tidak larut dalam air, yang selain
tersusun dari rantai lurus D-glukosa yang memiliki ikatan 1,4-α-glikosidik, fraksi
ini juga memiliki ikatan 1,6-α-glikosidik. Amilopektin memiliki BM ± 500.000,
dan apabila direaksikan dengan iodin, amilopektin akan memberikan warna coklat
violet.
Gambar 1. (a) Amilosa dan (b) Amilopektin (Saunders et. al., 2011).
Pati memiliki sifat hidrokoloidal yang menyebabkan pati dapat
dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Pati memiliki peranan penting
dalam industri pengolahan pangan maupun non pangan, contohnya pada industri
kertas, lem, tekstil, permen, glukosa, dekstrosa, sirup fruktosa, dan lain-lain.
Meskipun memiliki peranan penting, pati alami seperti tapioka, pati jagung, sagu
dan pati-patian lain juga memiliki beberapa kendala apabila dipakai sebagai bahan
7
baku dalam industri pangan maupun non pangan. Apabila pati dimasak, akan
membutuhkan waktu yang lama (hingga membutuhkan energi tinggi), pasta yang
terbentuk pun keras dan tidak bening. Selain itu, pati memiliki sifat yang terlalu
lengket dan tidak tahan dengan perlakuan asam.
Menurut Pomeranz (1985), pati alami umumnya memiliki kekurangan yang
sering menghambat aplikasinya dalam proses pengolahan pangan, diantaranya
adalah:
1) Kebanyakan pati alami menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan
kemampuan membentuk gel yang tidak seragam (konsisten). Hal ini
disebabkan profil gelatinisasi pati alami sangat dipengaruhi oleh iklim dan
kondisi fisiologis tanaman, sehingga jenis pati yang sama belum tentu
memiliki sifat fungsional yang sama.
2) Kebanyakan pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi. Dalam
proses gelatinisasi pati, biasanya akan terjadi penurunan kekentalan suspensi
pati (viscosity breakdown) dengan meningkatnya suhu pemanasan. Apabila
dalam proses pengolahan digunakan suhu tinggi (misalnya pati alami
digunakan sebagai pengental dalam produk pangan yang diproses dengan
sterilisasi), maka akan dihasilkan kekentalan produk yang tidak sesuai.
3) Pati tidak tahan pada kondisi asam. Pati mudah mengalami hidrolisis pada
kondisi asam yang mengurangi kemampuan gelatinisasinya. Pada
kenyataannya banyak produk pangan yang bersifat asam dimana
penggunaan pati alami sebagai pengental menjadi tidak sesuai, baik selama
proses maupun penyimpanan. Misalnya, apabila pati alami digunakan
8
sebagai pengental pada pembuatan saus, maka akan terjadi penurunan
kekentalan saus selama penyimpanan yang disebabkan oleh hidrolisis pati.
4) Pati alami tidak tahan proses mekanis, dimana viskositas pati akan menurn
adanya proses pengadukan atau pemompaan.
5) Kelarutan pati yang terbatas di dalam air. Kemampuan pati untuk
membentuk tekstur yang kental dan gel akan menjadi masalah apabila
dalam proses pengolahan diinginkan konsentrasi pati yang tinggi namun
tidak diinginkan kekentalan dan struktur gel yang tinggi.
2.2. Talas (Colocasia esculenta) dan Komposisi Kimia
Gambar 2. Tanaman Talas (Colocasia esculenta).
(Sumber:www.discoverlife.org)
Talas (Colocasia esculenta) merupakan tanaman pangan yang termasuk
jenis herba menahun. Tanaman ini diklasifikasikan sebagai tumbuhan berbiji
(Spermatophyta) dengan biji tertutup (Angiospermae) dan berkeping satu
(Monocotyledonae). Tanaman talas memiliki variasi yang besar baik karakter
morfologi seperti umbi, daun dan pembungaan serta kimiawi seperti rasa dan
aroma tergantung varietas dan tempat talas ditanam (Hartati dan Prana, 2003).
9
Taksonomi tumbuhan talas adalah sebagai berikut:
Kingdom : PlantaeDivisi : SpermatophytaSubdivisi : AngiospermaeKelas : MonocotyledonaeOrdo : AralesFamili : AraceaeGenus : ColocasiaSpecies : Colocasia esculenta
Talas banyak dibudidayakan di Indonesia karena talas dapat tumbuh di
daerah yang beriklim tropis dan tidak terlalu memerlukan pengairan. Di Indonesia
dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai ke
pegunungan dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Talas
berbentuk silinder atau lonjong sampai agak bulat. Kulit umbi talas berwarna
kemerahan, bertekstur kasar, dan terdapat berkas-berkas pertumbuhan akar
(Onwueme, 1994).
Talas merupakan tanaman herba dengan tinggi antara 0,5 – 1,5 m. Panjang
helai daun sekitar 30 – 80 cm dan lebar dauh antara 20 – 50 cm. Panjang tangkai
daun bervariasi tergantung genotipenya, antara < 30 cm – 1,5 m.
Pemanfaatan talas sebagai bahan pangan telah banyak dikenal secara luas
seperti di daerah Papua dan Jawa. Pemanfaatan talas sebagai bahan pangan
disebabkan karena talas memiliki komponen makronutrien dan mikronutrien yang
mencukupi angka gizi. Kandungan kimia umbi talas dipengaruhi oleh varietas,
iklim, kesuburan tanah dan umur panen (Lingga et. al., 1990). Berikut adalah
kandungan kimia umbi talas per 100 gram menurut Lingga et. al. (1990).
10
Tabel 1. Kandungan Kimia Talas (Lingga, et. al., 1990).Kandungan Gizi JumlahEnergi (Kal) 120,00Protein (g) 1,50Lemak (g) 0,30Karbohidrat (g) 28,20Serat (g) 0,70Abu (g) 0,80Kalsium (mg) 31,00Fosfor (mg) 67,00Karoten (mg) 0Vitamin B1 (mg) 0,05Vitamin C (mg) 2,00Air (g) 69,20Bagian yang dapat dimakan (%) 85,00
2.3. Edible Film
Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi suatu
bahan makanan dan layak untuk dimakan karena sifatnya yang mudah
terdegradasi dan berasal dari bahan alam. Edible film ini berfungsi sebagai
penghalangan mikroba, uap air, oksigen dan perpindahan padatan dari makanan
tersebut. Edible film sangat cocok sebagai pembungkus dan pelapis produk-
produk pangan yang segar.
Bahan pembuatan Edible film dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni
Hidrokoloid, lipid, dan komposit. Edible film yang terbuat dari hidrokoloid
menjadi barrier yang baik terhadap transfer oksigen, karbohidrat, dan lipid,
sehingga potensial untuk dijadikan pengemas. Sifat film hidrokoloid umumnya
mudah larut dalam air sehingga menguntungkan dalam pemakaiannya.
Penggunaan lipid sebagai bahan pembuat film secara sendiri sangat terbatas
karena sifat lipid yang tak larut dari film yang dihasilkan. Kelompok hidrokoloid
meliputi protein dan polisakarida. Selulosa dan turunannya merupakan sumber
11
daya organik yang memiliki sifat mekanik baik untuk pembuatan film yang sangat
efisien sebagai barrier terhadap oksigen dan hidrokarbon dan bersifat barrier
terhadap uap air sehingga dapat digunakan dengan penambahan lipid.
Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat edible film adalah
protein (gel, kasein, protein kedelai, protein jagung dan gluten gandum) dan
karbohidrat (pati, alginat, pektin, gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya),
sedangkan lipid yang digunakan adalah gliserol dan asam lemak. Kelebihan dari
edible film yang terbuat dari hidrokoloid adalah memiliki kemampuan yang baik
untuk melindungi produk terhadap oksigen dan karbondioksida, serta lipid
memiliki sifat mekanik yang diinginkan meningkatkan kesatuan struktural
produk. Kelemahan film dari karbohidrat adalah kurang baik digunakan untuk
mengatur migrasi uap air, sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh
perubahan pH (Syamsir, 2008). Edible film yang diharuskan memiliki syarat mutu
seperti ketebalan sekitar 0,1 mm-0,25 mm, cukup kuat tidak seperti kertas, elastis,
dan hidrofilik (McHugh, 2001).
2.3.1.Faktor Pembentukan Edible Film
Faktor –faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan edible film antara lain:
1) Suhu
Perlakuan panas diperlukan untuk membentuk pati tergelatinisasi sehingga
terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal edible film. Suhu pemanasan
pati akan menentukan sfat mekanik edible film yang terbentuk.
12
2) Konsentrasi Pati
Konsentrasi pati memberikan konstribusi terhadap kadar amilosa dalam
larutan pati sehingga berpengaruh terhadap sifat pasta yang dihasilkan.
3) Plasticizer dan bahan aditif lain
Konsentrasi plasticizer dan bahan aditif lain yang ditambahkan ke dalam
formula film akan berpengaruh terhadap sifat film yang terbentuk.
2.3.2.Sifat Edible Film
Sifat fisik edible film meliputi sifat mekanik dan sifat penghambatan. Sifat
mekanik menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan
bahan selama pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan
kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film
tersebut. Menurut Gontard et. al. (1993) sifat film meliputi:
1) Ketebalan Film (mm)
Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi
padatan terlarut dalam larutan film dan ukuran plat pencetak. Menurut McHugh
(1993), ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan
senyawa volatil. Ketebalan rata-rata film ditentukan pengukuran pada beberapa
titik menggunakan hand micrometer pada akurasi 0,01 mm. Ketebalan film
dinyatakan dalam satuan mikrometer (μm).
2) Penentuan Kadar Air
Uji ketahanan air plastik (solubility test) merupakan pengujian berdasarkan
persen air yang diserap (water uptake) oleh plastik tersebut.
13
2.4. Sifat Amilografi
2.4.1.Pengertian Sifat Amilografi
Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk mengevaluasi produk-
produk pati. Aspek yang diperhatikan berkaitan dengan sifat rheologi pati seperti
viskositas pasa panas, variasi viskositas terhadap waktu, dan perubahan viskositas
selama dan setelah pendinginan pasta (Pomeranz dan Meloan, 1994). Sementara
aspek fisik pati yang diperiksa untuk karakterisasi pati adalah stabilitas viskositas
(Rapaille dan Vanhemelrijck, 1994).
Menurut Mulyandari (1992), sifat amilografi pati mempertimbangkan
karakteristik pati berdasarkan perubahan viskositas selama pemanasan dan
pendinginan. Viskositas pati, bersama-sama dengan pembentukan gel pati, dan
sifat kohesivitas pati adalah faktor yang dapat menjelaskan profil tekstur pati.
Komponen tekstur inilah yang disebut dengan viskoelastis atau sifat reologi pati
(Krugar dan Murray, 1979).
2.4.2.Pengujian Sifat Amilografi
Sifat pati selama pemanasan dapat diobservasi menggunakan alat yang
bernama Brabender Viscoamylograph (Rapaille dan Vanhemelrijck, 1994).
Pomeranz dan Meloan (1994) menyatakan bahwa Brabender Viscoamylograph
adalah viskometer yang dapat melakukan pencatatan terhadap perubahan
viskositas secara kontinyu. Brabender Viscoamylograph mampu mengidentifikasi
perilaku pati di bawah kondisi tertentu seperti suhu, pH, dan tekanan (Rapaille
dan Vanhemelrijck, 1994).
14
Brabender Viscoamylograph terdiri dari mangkok stainless steel berbentuk
silindris sebagai tempat suspensi. Mangkok tersebut dapat menampung 100 gram
pati dalam 460 ml larutan buffer. Mangkok silindris berotasi pada kecepatan 75
rpm dalam penangas air yang dipanaskan dengan listrik melalui synchronous
motor. Motor ini juga dapat melakukan pencatatan dan merupakan alat kontrol
suhu (Pomeranz dan Meloan, 1994).
Dalam mangkok tersebut terdapat tangkai besi baja (steel arm) yang
dihubungkan ke pena yang mencatat perubahan viskositas suspensi dalam
mangkok. Torque disampaikan ke tangkai besi baja sesuai dengan besar gaya
yang dihasilkan, kemudian dilakukan pencatatan dengan skala acak (Pomeranz
dan Meloan, 1994).
2.4.3.Parameter Amilografi
Parameter pengukuran sifat amilografi terdiri atas suhu pasting atau suhu
awal gelatinisasi, suhu puncak, viskositas puncak, rasio stabilitas, dan rasio
setback (Kim et. al., 1996). Sulistiyanto (1988) dan Mulyandari (1992)
menggunakan parameter amilografi seperti suhu gelatinisasi, viskositas
maksimum atau viskositas puncak, suhu maksimum atau suhu puncak, laju
peningkatan viskositas selama pemanasan dan pendinginan, dan viskositas balik.
Untuk menggambarkan kestabilan selama pemanasan digunakan stabilitas
pasta atau rasio stabilitas pasta. Stabilitas pasta (SP) adalah perbedaan viskositas
pada akhir pemanasan dengan viskositas di awal pemanasan pada suhu yang sama
(Sulistiyanto, 1988 dan Mulyandari, 1992). Sedangkan rasio stabilitas pasta
15
adalah perbandingan antara viskositas pada akhir pemanasan konstan dengan
viskositas puncak sebelum pemanasan (Kim et. al., 1996).
Sifat amilografi pati tergantung pada jenis pati, konsentrasi pati yang
digunakan, suhu pasting atau suhu awal terjadinya gelatinisasi, dan pH suspensi
(Pomeranz, 1991). Perbedaan sifat amilografi yang ditimbulkan oleh perbedaan
jenis pati erat kaitannya dengan kandungan fraksi amilosa dan amilopektin pada
pati tersebut.
2.5. Kitosan
Kitosan (poli – β – 1,4 – glukosamin) merupakan polisakarida yang terdiri
dari kopolimer glukosamin dan N – asetilglukosamin, dan dapat diperoleh dari
deasetilasi kitin (Khan et al., 2002). Kitosan memiliki struktur molekul
menyerupai selulosa dengan perbedaan yang terletak pada gugus rantai C-2
dimana gugus –OH pada C-2 digantikan dengan gugus –NH2 (Hardjito, 2006).
Kitosan merupakan turunan dari kitin yang telah mengalami deasetilasi. Menurut
Fernandez-Kim (2004), kitin dapat diperoleh dari arthropoda, jamur dan ragi,
namun menurut Kim dan Park (2001), sumber kitin yang paling penting adalah
eksoskeleton dari kepiting.
Menurut Muzzarelli (1997), kitosan memiliki sifat yang tidak larut dalam
air, memiliki ketahanan kimia cukup baik, larut dalam larutan asam tetapi tidak
larut dalam basa dan ikatan silang kitosan memiliki sifat tidak larut dalam media
campuran asam dan basa. Selain itu kitosan memiliki reaktivitas kimia yang tinggi
karena mengandung gugus OH dan gugus NH2. Sedangkan menurutku Kumar et
16
al. (2000), kitosan memiliki sifat yang lebih spesifik, yaitu dengan adanya sifat
bioaktif, biokomposit, pengkelat, antibakteria dan dapat terdegradasi.
Gambar 3. Struktur Kitosan. (Sumber: www.hindawi.com)
Menurut Setiani et. al. (2013), kitosan dapat meningkatkan sifat mekanik
karena dapat membentuk ikatan hidrogen antar rantai dengan amilosa dan
amilopektin dalam pati. Selain membentuk ikatan hidrogen, kitosan juga dapat
membentuk ikatan silang (cross-linking) dengan pati. Wurzburg (1989)
mengatakan bahwa reaksi ikatan silang (cross-linking) dapat memperkuat ikatan
hidrogen yang terbentuk sebelumnya dan berfungsi sebagai jembatan antar
molekul.
2.5.1.Sumber Kitosan
Pada tabel berikut dapat dilihat beberapa sumber kitin dan kitosan menurut
Muzzarelli (1977). Pada tabel di bawah ini, bisa dilihat bahwa sumber kitin dan
kitosan yang terbanyak adalah terdapat pada jenis udang-udangan.
17
Tabel 2. Sumber Kitosan.Sumber Jumlah (%)Jamur/Cendawan 5-20Tulang Cumi-cumi 3-20Kalajengking 30Laba-laba 38Kecoa 35Kumbang 37Ulat Sutera 44Kepiting 69Udang 70
2.5.2.Karakteristik dan Penggunaan Kitosan
Berikut adalah karakteristik kitosan.
Tabel 3. Karakteristik Kitosan Menurut Roberts (1992).No Karakteristik Ukuran1. Bentuk Partikel Serpihan Bubuk2. Massa Air <10%3. Massa Abu <2%4. Persen Deasetilisasi >70%5. Warna Larutan Jernih6. Viskositas:
Rendah <200Medium 200-799Tinggi 800-2000Ekstra Tinggi >2000
7. Berat Molekul <106
Kitosan memiliki sifat hidrofobik, yaitu dapat menahan air dalam
strukturnya dan membentuk gel secara spontan. Pembentukan gel berlangsung
pada harga pH asam dan sedikit asam, disebabkan sifat kationik kitosan. Gel
kitosan terdegradasi secara berangsur-angsur, sebagaimana halnya kitosan melarut
(Muzzarelli et. al., 1988).
18
Berikut adalah penggunaan kitosan pada beberapa industri menurut
Fernandez Kim (2000).
Tabel 4. Penggunaan Kitosan dalam Berbagai Industri (Fernandez Kim 2000).No. Industri Manfaat1. Industri
pengolahan limbahPenyerap ion logam, koagulan, protein, asam amino,dan bahan pencelup
2. Industri makanan Pengawet, penstabil makanan, penstabil warna,bahan pengental, dan lain-lain.
3. Industri pertanian Pupuk, pelindung biji dan lain-lain.4. Industri kesehatan Penyembuh luka dan tulang, pengontrol kolesterol
darah, kontak lensa, penghambat plak gigi dan lain-lain.
5. Kosmetik Pelembab (moisturizer), krim wajah, tangan, danbadan, dan lain-lain.
6. Bioteknologi Immobilisasi enzim, kromatografi, penyembuh seldan lain-lain.
2.6. Analisis Struktur Edible Film dengan Spektroskopi Fourier Transform
Infrared (FTIR)
Spektroskopi inframerah adalah satu dari sekian banyak teknik spektroskopi
yang paling umum digunakan untuk kimia organik dan anorganik. Secara
sederhana, pengukuran serapan dari perbedaan frekuensi inframerah pada sampel
yang ditempatkan pada sebuah beam inframerah. Tujuan utama analisis
spektroskopi inframerah ini adalah menentukan gugus fungsi molekul (Mulja dan
Suharman, 1995).
Teknik analisis gugus fungsi dengan FTIR ini dilakukan untuk karakterisasi
terhadap edible film. Analisis ini bertujuan untuk melihat bagaimana mekanisme
pencampuran yang terjadi pada tahap pembuatan edible film dengan melihat
gugus fungsi yang terdapat di dalam campuran tersebut (Setiani, et. al., 2013).
19
Berikut satu contoh hasil spektrum FTIR pati menurut penelitian
Wisadjodarmo et. al. (2013) menggunakan pati tapioka.
Gambar 4. Spektrum FTIR pati tapioka menurut Wisadjodarmo et. al. (2013).
Gambar di atas menunjukkan bahwa pati tapioka memiliki puncak absorbsi
O-H pada daerah 3352 cm-1. Gugus C-H yang merupakan senyawa alkana
ditemukan pada daerah 2928 cm-1.
20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dimulai dari bulan Maret 2015 – November 2015 di Pusat
Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Analisis amilografi dilakukan di Laboratorium Pengembangan Teknologi Industri
dan Biomedika (LAPTIAB) BPPT Serpong. Analisis Kadar Amilosa dilakukan di
Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor. Analisis Ketebalan dilakukan di Balai
Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) Pasar Rebo, Jakarta Selatan, dan Analisis
Scanning Electron Microscopy (SEM) dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik
(PUSLABFOR) Jakarta Selatan .
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1.Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan analitik,
peralatan alat dan gelas, eksikator, refluks, kertas saring, oven, magnetic stirrer,
penangas air, kain saring, parutan, baskom, plat kaca berukuran 20 cm x 20 cm,
mikrometer, Spektrofotometer UV-Vis merk Perkin Elmer Lambda 20,
Spektrofotometer FTIR merk Perkin Elmer Spectrum One, Rapid Viscoanalyzer
(RVA) Merk Perten 4500, dan SEM-EDS Carl-Zeiss Bruker MA EVO 10.
3.2.2.Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah talas dengan varietas
Colocasia esculenta yang diperoleh dari kios penjual hasil perkebunan yang
21
terletak di Jalan Raya Parung – Ciputat, Tangerang Selatan, kitosan komersial
(CV Biochitosan Indonesia), glukosa standar anhidrat, garam, akuades, sorbitol
(PT. Brataco), larutan Nelson A dan B, larutan arsenomolibdat, alkohol 70%,
etanol 95%, kalium iodida 30%, larutan iod, amilum 1 %, amilosa murni, dan
asam asetat 10%.
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1.Pembuatan Pati dari Talas (Colocasia esculenta)
Talas yang digunakan berupa talas berkualitas baik dan tidak mengalami
cacat, diperoleh dari sebuah kios penjualan hasil perkebunan di Jalan Parung –
Ciputat, Tangerang Selatan. Talas dikupas, kemudian dicuci dan dipotong kecil-
kecil, lalu direndam dalam air yang telah diberi garam selama satu jam. Setelah
direndam, potongan talas dicuci kembali untuk menghilangkan lendir yang
menempel. Selanjutnya potongan talas diparut dan ditambahkan air. Dengan
menggunakan kain saring, hasil parutan talas diekstrak sehingga menyisakan
ampas. Ampas kembali ditambah air dan kembali diekstrak untuk menambah
jumlah susu pati yang sebelumnya. Susu pati diendapkan selama 12 jam. Pati
yang telah terbentuk kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 50oC
selama 12 jam (Jacoeb et.al., 2014).
3.3.2.Analisis Sifat Fisikokimia Pati Talas
Setelah pati talas selesai dibuat, maka dilakukan analisis sifat fisikokimia.
Pada penelitian ini, akan dibuat sebanyak lima sampel dengan variasi massa
kitosan dicampur pada pati talas. Sampel pertama adalah perbandingan 10:0
(tanpa penambahan kitosan), kedua adalah 8:2, ketiga adalah 7:3, keempat adalah
22
6:4, kelima adalah 5:5. Analisis sifat kimia meliputi analisis kadar air, kadar gula
pereduksi, kadar pati total serta kadar amilosa dan amilopektin. Sedangkan
analisis fisik yang digunakan adalah analisis amilografi, yaitu analisis yang
ditinjau dari perubahan viskositas dari sampel selama pemanasan.
1) Analisis Kadar Air (AOAC, 1995)
Sebelum dilakukan analisis, cawan yang digunakan terlebih dahulu
dimasukkan ke dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105oC. Kemudian
dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang berat kosong cawan. Selanjutnya
sampel ditimbang sebanyak 1 gram dalam cawan yang telah diketahui beratnya.
Lalu sampel dikeringkan dengan cara dimasukkan ke dalam oven pada suhu
105oC selama 3 – 5 jam. Setelah dikeringkan, sampel didinginkan di dalam
eksikator dan ditimbang beratnya. Sampel kembali dimasukkan ke dalam oven
selama 30 menit, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Perlakuan ini terus
diulang sampai tercapai berat konstan. Kadar air dalam sampel dihitung dengan
rumus:
%Kadar Air = (Berat Cawan + Berat Sampel) − Berat AkhirBerat Sampel × 100%2) Analisis Gula Pereduksi dan Pati Total dengan Metode Nelson –
Somogyi
Pembuatan Pereaksi Nelson – Somogyi
Nelson A dibuat dengan cara mencampurkan 12,5 gram Natrium karbonat
anhidrat, 12, 5 gram Kalium natrium tartarat, 10 gram Natrium bikarbonat, dan
100 gram Natrium sulfat anhidrat dalam 350 ml akuades. Kemudian larutan
diencerkan sampai 500 ml. Nelson B dibuat dengan cara melarutkan 7,5 gram
23
CuSO4.5H2O dalam 50 ml akuades dan ditambahan 1 tetes Asam sulfat pekat.
Sebanyak 25 ml Nelson A dicampur dengan 1 ml Nelson B setiap kali digunakan.
Arsenomolibdat dibuat dengan cara melarutkan 25 gram Ammonium
molibdat dalam 450 ml akuades (larutan pertama) dan ditambah 25 ml Asam
sulfat pekat, serta melarutkan 3 gram Na2HASO4.7H2O dalam 25 akuades (larutan
kedua). Larutan kedua dituangkan ke dalam larutan pertama dan disimpan dalam
botol coklat. Terakhir, didiamkan selama 24 jam hingga larutan berubah warna
menjadi kuning.
Penyiapan Kurva Standar
Glukosa anhidrat sebanyak 5 mg dilarutkan dalam 100 ml akuades sebagai
larutan ula standar. Dari larutan tersebut dilakukan 5 kali pengenceran dengan
konsentrasi 1, 2, 3, 4, 5 mg/100 ml. Larutan yang telah diencerkan dimasukkan
ke dalam masing-masing tabung reaksi bersih yang berbeda, sementara satu
tabung diisi dengan 1 ml akuades sebagai blanko. Masing-masing tabung
ditambahkan 1 ml reagen Nelson, dan dipanaskan selama 20 menit. Setelah
dipanaskan, tabung didinginkan hingga mencapai suhu ruang, lalu ditambahkan 1
ml larutan Arsenomolibdat. Sebanyak 7 ml akuades ditambahkan ke dalam
masing-masing tabung. Sampel diukur absorbansi pada λ = 450 nm, lalu dibuat
kurva standarnya.
Analisis Kadar Gula Pereduksi
Sampel sebanyak 0,1 gram diekstrak dengan menggunakan akuades
sebanyak 10 ml, kemudian disentrifuge dan disaring. Filtrat dimasukkan ke dalam
labu ukur 100 ml dan volume ditepatkan hingga tanda tera. Kemudian sampel
24
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang bersih dan ditambahkan 1 ml pereaksi
Nelson. Sampel dipanaskan selama 20 menit, lalu didinginkan sampai mencapai
suhu kamar. Selanjutnya ditambahkan 1 ml larutan Arsenomolibdat dan 7 ml
akuades. Kemudian diukur absorbansinya pada λ = 450 nm. Setelah diukur maka
dihitung kadar gula pereduksinya. Untuk mendapatkan kadar pati total, kadar gula
pereduksi yang didapat akan dikalikan dengan faktor konversi 0,9.
3) Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin (Apriyantono et.al., 1989)
Pembuatan Kurva Standar Amilosa
Amilosa murni sebanyak 40 mg dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1M. Campuran
dipanaskan dalam air mendidih (95oC) selama 10 menit, lalu dipindahkan ke
dalam labu takar 100 ml. Lalu ditambah lagi dengan akuades dan dikocok, dan
kemudian ditepatkan hingga 100 ml dengan akuades.
Larutan yang telah di dapat diambil dengan menggunakan pipet masing-
masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan kedalam labu takar 100 ml
dan diasamkan dengan asam asetat 1 N sebanyak 0,2 , 0,4 , 0,6 , 0,8 , 1,0 ml.
Masing-masing labu takar di asamkan ditambahkan 2 ml larutan Iod 2% dan
akuades sampai garis batas. Larutan dikocok secara manual hingga merata dan
dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur serapannya dengan spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 620 nm, lalu dibuat kurva hubungan antara
kadar amilosa dengan serapannya.
25
Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin
Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar amilosa contoh. Sebanyak 100 mg
sampel ditempatkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan 1 ml
etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 M. Campuran dipanaskan dalam air mendidih
(95oC) selama 10 menit hingga terbentuk gel dan selanjutnya seluruh gel
dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Gel ditambahkan dengan akuades dan
dikocok, kemudian ditepatkan hingga 100 ml dengan akuades. Sebanyak 5 ml
larutan ampel dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml
CH3COOH 1 N, 2 ml larutan iod 0,01 N (berangsur-angsur) serta akuades sampai
tanda tera dan dikocok. Sampel tersebut dipanaskan dengan penangas air pada
suhu 30oC selama 20 menit, lalu diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-
Vis pada panjang gelombang 620 nm. Serapan yang diperoleh diplotkan pada
kurva standar untuk memperoleh konsentrasi amilosa contoh. Kadar amilosa
dhitung berdasarkan persamaan kurva standar amilosa.
(%) = × × × %Keterangan:
A = Konsentrasi amilosa sampel yang diperoleh dari kurva standar(mg/100 ml)
B = Faktor konversiC = Nilai konstanta sampel (100)D = Nilai konstanta – kadar air
Kadar amilopektin dihitung berdasarkan selisih antara kadar pati dan
amilosa.
Kadar Amilopektin = Kadar Pati (100%) – Kadar Amilosa
26
4) Analisis Amilografi (Lase, 2013)
Sifat amilografi pati talas diukur dengan Instrumen Rapid Visco Analyzer
(RVA). Sampel sebanyak ± 3 gram dilarutkan secara langsung pada akuades
sebanyak ±25 ml dalam wadah RVA (canister). Pengukuran dengan RVA
mencakup fase proses pemanasan dan pendinginan pada pengadukan konstan (160
rpm). Pada fase pemanasan, suspensi pati dipanaskan dari suhu 50oC hingga 95oC
dengan kecepatan 6oC/menit, lalu dipertahankan pada suhu tersebut selama 5
menit. Setelah fase pemanasan selesai, pasta pati dilewatkan pada fase
pendinginan, yaitu suhu diturunkan dari 95oC sampai 50oC dengan kecepatan
6oC/menit, kemudian dipertahankan suhu tersebut selama 2 menit. Parameter yang
dapat diukur antara lain viskositas puncak, viskositas pada akhir waktu ditahan
95oC atau Viskositas Pasta Panas (VPP), viskositas akhir (FV) pada akhir
pendinginan, viskositas breakdown (BD=VP-VPP), setback (SB=FV-VPP)
temperatur pasta dan suhu pada saat viskositas puncak.
3.3.3.Pembuatan Edible Film (Setiani et. al., 2013)
Tahap pembuatan edible film dilakukan untuk mengetahui pengaruh
penambahan kitosan (CV Bio Chitosan Indonesia) terhadap pati talas dan
potensinya sebagai edible film, baik dari aspek fisik maupun aspek kimia. Edible
film yang dibuat, dirancang dengan berbagai variasi massa kitosan dengan
perbandingan pati talas dengan kitosan adalah 5 : 5, 6 : 4, 7 : 3, dan 8 : 2, sesuai
dengan berat pati talas yang akan didapat. Selain itu, dibuat juga edible film tanpa
penambahan kitosan (10:0) sebagai kontrol negatif. Sebelum memasuki tahapan
pembuatan edible film, campuran pati talas dan kitosan dalam variasi massa
27
dianalisis kadar air, kadar pati total, kadar amilosa, dan amilopektin serta analisis
amilografi.
Pati ditimbang sebanyak 2 gram, dilarutkan dengan 50 ml akuades,
dipanaskan dan diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer selama 25 menit
dengan suhu sekitar 85oC, ditambahkan 2 ml larutan sorbitol 30% sebagai
plasticizer dan diaduk selama 5 menit. Kemudian larutan dituang ke atas plat kaca
berukuran 20 cm x 20 cm, dan plat dimasukkan ke dalam oven pada suhu 50oC
selama 24 jam. Plat diangkat dan didinginkan selama 20 menit. Selanjutnya film
yang sudah kering dilepaskan dari plat dan siap untuk dianalisis.
Untuk pembuatan edible film dari pati talas dengan penambahan variasi
massa kitosan, campuran pati talas dan kitosan sebanyak 2 gram dimasukkan ke
dalam beaker glass. Selanjutnya ditambahkan akuades sebanyak 50 ml dan 2 ml
larutan CH3COOH 10% untuk melarutkan kitosan. Larutan dipanaskan dan
diaduk selama 25 menit menggunakan magnetic stirrer dengan suhu sekitar 85oC.
Kemudian larutan dituang ke atas plat kaca berukuran 20 cm x 20 cm dan plat
dimasukkan ke dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam. Plat diangkat dan
didinginkan selama 20 menit. Selanjutnya film yang sudah kering dilepaskan cari
plat dan siap dianalisis
3.3.4.Karakterisasi Edible Film
Untuk karakterisasi edible film dilakukan dua analisis, yaitu analisis fisik
dan analisis kimia. Analisis fisik terdiri dari uji ketebalan edible film dan uji
ketahanan air dengan uji daya serap air (Water Uptake). Sedangkan analisis kimia
terdiri dari analisis gugus fungsi menggunakan Fourier Transform Infrared
28
Spectroscopy (FTIR), uji kadar gula pereduksi, dan uji Scanning Electron
Microscopy (SEM).
1) Uji Ketebalan Edible Film
Edible film yang dihasilkan diukur ketebalannya dengan menggunakan
mikrometer dengan akurasi 0,01 mm.
2) Penentuan Ketahanan air dengan uji Daya Serap Air (Water uptake)
(Ban et. al, 2005)
Prosedur uji ketahanan air dilakukan dengan menimbang berat awal sampel
yang akan diuji (w0), lalu dimasukkan kedalam wadah yang berisi akuades selama
10 detik. Sampel diangkat dari wadah yang berisi akuades dan air yang terdapat
pada permukaan plastik dihilangkan dengan tisu kertas, setelah itu dilakukan
penimbangan. Sampel dimasukkan kedalam wadah yang berisi akuades selama 10
detik. Kemudian sampel diangkat dan ditimbang kembali. Prosedur perendaman
dan penimbangan dilakukan kembali sampai diperoleh berat akhir sampel konstan
(Ban et al., 2005). Air yang diserap oleh sampel dihitung melalui persamaan:
(%) = − × 100%Dengan : W = berat edible film basah
W0 = berat edible film kering
29
3) Analisis Gugus Fungsi dengan Menggunakan Fourier Transform
Spectroscopy
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui proses yang terjadi pada
pencampuran apakah secara fisik atau kimia karena itu sampel tiap proses
pembuatan edible film dianalisis dengan FTIR. Untuk menganalisis edible film
menggunakan prosedur analisis sampel padat. Pertama dilakukan kalibrasi FTIR
menggunakan film polistirena. Kemudian, edible film dimasukkan kedalam
sampel holder dan dicari spektrum yang sesuai. Hasilnya akan didapatkan
spektrum gugus fungsi pati, dan bilangan gelombang dengan intensitas yang
sesuai.
4) Analisis Kadar Gula Preduksi
Analisis kadar gula pereduksi dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah
dijabarkan sebelumnya pada analisis sifat fisikokimia pati talas.
5) Analisis Scanning Electron Microscopy (Sari et.al., 2013)
Preparasi sampel diawali dengan pengeringan sampel menggunakan freeze
drying hingga kadar air mencapai 2% atau kurang. Kemudian sampel dipotong
dengan ukuran 0,5 cm × 0,5 cm. Sampel yang sudah dikeringkan ditaruh di atas
logam yang dilapisi karbon, kemudian dilakukan pelapisan emas (Au) 300Å di
dalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan pompa vakum.
Sampel yang telah dilapisi emas ditaruh di tempat sampel dalam SEM. Tembakan
elektron yang mengarah pada sampel akan direkam ke adalam monitor dan
dilakukan pemotretan.
30
3.4. Diagram Alir Penelitian
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian.
Talas
(Colocasia esculenta)
Pati Talas (10:0)Kitosan
Campuran Pati Talas danKitosan (5:5, 6:4, 7:3, 8:2)
Analisis Sifat Fisikokimia
- Kadar Air
- Kadar Gula Pereduksi
dan Kadar Pati Total
- Kadar Amilosa dan
Amilopektin
- Analisis Amilografi
Pemanasan
Pendinginan
Penambahan Larutan Sorbitol30% sebagai Plasticizer
Pemanasan denganOven pada Suhu 50oC
Selama 24 Jam.
Larutan dituang ke DalamPlat Kaca
Pendinginan Selama20 Menit.
Edible Film
Karakterisasi Edible Film
- Uji Ketebalan
- Uji Daya Serap Air
- Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR
- Kadar Gula Pereduksi
- Analisis Scanning Electron
Microscopy (SEM)
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pembuatan Pati Talas
Penelitian ini diawali dengan proses pembuatan pati talas (Colocasia
esculenta). Proses ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu pengupasan, perendaman,
pemarutan, pengendapan, pengeringan, dan pemarutan. Setelah proses
pengupasan, maka dilakukan proses perendaman dalam air garam untuk
mengurangi kandungan kalsium oksalat dalam talas. Kandungan kalsium oksalat
pada talas cukup tinggi, maka dari itu diperlukan perendaman dalam air garam
agar kandungannya berkurang dan tidak menyebabkan rasa gatal.
Perendaman dengan air garam mampu mengurangi kadar oksalat dalam
talas. Penurunan kadar oksalat ini terjadi karena adanya reaksi antara Natrium
klorida (NaCl) dengan kasium oksalat (CaC2O4). Saat NaCl dilarutkan di dalam
air, terjadi penguraian menjadi ion Na+ dan ion Cl-. Sedangkan CaC2O4 akan
terurai menjadi ion Ca2+ dan ion C2O42-. Ion-ion tersebut akan menarik ion dengan
muatan yang berbeda seperti magnet. Na+ akan mengikat ion C2O42- membentuk
natrium oksalat (Na2C2O4), sedangkan ion Cl- akan berikatan dengan ion Ca2+
membentuk kalsium klorida (CaCl2) yang mudah larut dalam air. Menurut Sakai
(1984), persamaan reaksinya adalah:
CaC2O4 + 2NaCl Na2CaO4 + CaCl2
Setelah melewati proses perendaman dengan air garam, maka kembali
dilakukan pencucian untuk menghilangkan sisa-sisa garam mineral yang masih
menempel pada talas. Proses selanjutnya adalah pemarutan. Talas dipotong-
32
potong terlebih dahulu proses pemarutan jauh lebih mudah. Pemarutan ini
bertujuan untuk memperbesar luas permukaan talas agar sari-sari pati talas keluar
jauh lebih banyak pada saat proses ekstraksi dengan air menggunakan kain saring.
Hasil ekstraksi kemudian diendapkan selama kurang lebih 24 jam.
Pengendapan ini bertujuan untuk memisahkan air dengan endapan pati agar proses
pemisahan jauh lebih mudah. Kemudian, endapan pati dikeringkan dengan
menggunakan oven pada suhu 50oC. Pemilihan suhu 50oC ini didasari dengan
kemampuan pati yang tidak tahan dengan suhu tinggi (Amien, 2013) . Setelah
dikeringkan, pati kemudian digerus hingga menjadi bubuk. Tahap selanjutnya
adalah analisis sifat fisikokimia.
4.2. Sifat Fisikokimia Pati Talas – Kitosan
Pada penelitian ini, sifat fisikokimia yang dianalisis meliputi analisis kadar
air, kadar gula pereduksi, kadar amilosa dan amilopektin, serta analisis amilografi.
4.2.1.Kadar Air
Analisis kadar air yang digunakan adalah kadar air berbasis kering
menggunakan oven, yaitu air yang diuapkan dibagi berat bahan setelah
pengeringan. Hasil pada tabel (Lampiran 2) digambarkan pada grafik sebagai
berikut.
33
Gambar 6. Hasil Analisis Kadar Air Sampel Campuran Pati Talas-Kitosan.
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi dimiliki
oleh sampel 6 : 4 dengan jumlah 10,5±0,707%, sedangkan kadar air terendah
dimiliki oleh sampel 8 : 2 dengan jumlah 6,5±0,707%. Hasil analisis kadar ini
tersebut memiliki hasil yang naik turun. Perbedaan nilai kadar air dapat
disebabkan karena proses penguapan selama pengeringan. Selain itu dapat
disebabkan oleh kelembapan udara sekitar yang berkaitan dengan tempat
penyimpanan bahan, sifat, atau perlakuan pada sampel tersebut
(Wirakartakusumah, 1981).
Kitosan merupakan polisakarida yang memiliki gugus amina dan hidroksil.
Dengan penambahan kitosan pada pati, kitosan dapat menambah jumlah gugus
hidroksil pada sampel sehingga mampu membantu pati untuk menyerap air jauh
lebih banyak. Pengeringan pada pati memiliki tujuan untuk mengurangi kadar
airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dapat dihambat.
Batas kadar air minimum di mana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15%
10
0
2
4
6
8
10
12
10:0
Kada
r Air
(%)
33
Gambar 6. Hasil Analisis Kadar Air Sampel Campuran Pati Talas-Kitosan.
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi dimiliki
oleh sampel 6 : 4 dengan jumlah 10,5±0,707%, sedangkan kadar air terendah
dimiliki oleh sampel 8 : 2 dengan jumlah 6,5±0,707%. Hasil analisis kadar ini
tersebut memiliki hasil yang naik turun. Perbedaan nilai kadar air dapat
disebabkan karena proses penguapan selama pengeringan. Selain itu dapat
disebabkan oleh kelembapan udara sekitar yang berkaitan dengan tempat
penyimpanan bahan, sifat, atau perlakuan pada sampel tersebut
(Wirakartakusumah, 1981).
Kitosan merupakan polisakarida yang memiliki gugus amina dan hidroksil.
Dengan penambahan kitosan pada pati, kitosan dapat menambah jumlah gugus
hidroksil pada sampel sehingga mampu membantu pati untuk menyerap air jauh
lebih banyak. Pengeringan pada pati memiliki tujuan untuk mengurangi kadar
airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dapat dihambat.
Batas kadar air minimum di mana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15%
10
6,5
8
10,5
10:0 8:2 7:3 6:4
Campuran Pati Talas-Kitosan (Gram)
33
Gambar 6. Hasil Analisis Kadar Air Sampel Campuran Pati Talas-Kitosan.
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi dimiliki
oleh sampel 6 : 4 dengan jumlah 10,5±0,707%, sedangkan kadar air terendah
dimiliki oleh sampel 8 : 2 dengan jumlah 6,5±0,707%. Hasil analisis kadar ini
tersebut memiliki hasil yang naik turun. Perbedaan nilai kadar air dapat
disebabkan karena proses penguapan selama pengeringan. Selain itu dapat
disebabkan oleh kelembapan udara sekitar yang berkaitan dengan tempat
penyimpanan bahan, sifat, atau perlakuan pada sampel tersebut
(Wirakartakusumah, 1981).
Kitosan merupakan polisakarida yang memiliki gugus amina dan hidroksil.
Dengan penambahan kitosan pada pati, kitosan dapat menambah jumlah gugus
hidroksil pada sampel sehingga mampu membantu pati untuk menyerap air jauh
lebih banyak. Pengeringan pada pati memiliki tujuan untuk mengurangi kadar
airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dapat dihambat.
Batas kadar air minimum di mana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15%
9
5:5
34
(Fardiaz, 1989). Berdasarkan hasil yang didapat, kadar air yang dimiliki cukup
baik karena telah mencapai kadar air yang aman yaitu kurang dari 15%.
Penurunan kadar air ini dipengaruhi oleh jumlah gugus hidroksil pada sampel
(Aufari, 2014). Semakin banyak gugus hidroksil yang terkandung, maka semakin
banyak pula air yang diserap.
4.2.2. Kadar Gula Pereduksi dan Pati Total
Gula pereduksi merupakan gula yang memiliki kemampuan untuk
mereduksi karena adanya gugus aldehid atau keton bebas. Gula pereduksi ini
dihasilkan dari proses hidrolisis pati, yaitu pemutusan ikatan glikosidik pada
rantai polimer dengan bantuan air. Hasil pada tabel (Lampiran 3) digambarkan
dalam grafik yaitu sebagai berikut.
Gambar 7. Hasil Analisis Kadar Gula Pereduksi dan Pati Total SampelCampuran Pati Talas-Kitosan.
Prinsip dasar yang dimiliki oleh Metode Nelson-Somogyi adalah terjadinya
reduksi komponen pereaksi Nelson oleh glukosa. Ion tembaga (II) dari pereaksi
23,125
0
5
10
15
20
25
10:0
Kada
r (%
)
34
(Fardiaz, 1989). Berdasarkan hasil yang didapat, kadar air yang dimiliki cukup
baik karena telah mencapai kadar air yang aman yaitu kurang dari 15%.
Penurunan kadar air ini dipengaruhi oleh jumlah gugus hidroksil pada sampel
(Aufari, 2014). Semakin banyak gugus hidroksil yang terkandung, maka semakin
banyak pula air yang diserap.
4.2.2. Kadar Gula Pereduksi dan Pati Total
Gula pereduksi merupakan gula yang memiliki kemampuan untuk
mereduksi karena adanya gugus aldehid atau keton bebas. Gula pereduksi ini
dihasilkan dari proses hidrolisis pati, yaitu pemutusan ikatan glikosidik pada
rantai polimer dengan bantuan air. Hasil pada tabel (Lampiran 3) digambarkan
dalam grafik yaitu sebagai berikut.
Gambar 7. Hasil Analisis Kadar Gula Pereduksi dan Pati Total SampelCampuran Pati Talas-Kitosan.
Prinsip dasar yang dimiliki oleh Metode Nelson-Somogyi adalah terjadinya
reduksi komponen pereaksi Nelson oleh glukosa. Ion tembaga (II) dari pereaksi
23,125
17,04519,335
13,79
20,813
15,34117,042
12,411
10:0 8:2 7:3 6:4
Campuran Pati Talas-Kitosan (Gram)
Kadar Gula Pereduksi Kadar Pati Total
34
(Fardiaz, 1989). Berdasarkan hasil yang didapat, kadar air yang dimiliki cukup
baik karena telah mencapai kadar air yang aman yaitu kurang dari 15%.
Penurunan kadar air ini dipengaruhi oleh jumlah gugus hidroksil pada sampel
(Aufari, 2014). Semakin banyak gugus hidroksil yang terkandung, maka semakin
banyak pula air yang diserap.
4.2.2. Kadar Gula Pereduksi dan Pati Total
Gula pereduksi merupakan gula yang memiliki kemampuan untuk
mereduksi karena adanya gugus aldehid atau keton bebas. Gula pereduksi ini
dihasilkan dari proses hidrolisis pati, yaitu pemutusan ikatan glikosidik pada
rantai polimer dengan bantuan air. Hasil pada tabel (Lampiran 3) digambarkan
dalam grafik yaitu sebagai berikut.
Gambar 7. Hasil Analisis Kadar Gula Pereduksi dan Pati Total SampelCampuran Pati Talas-Kitosan.
Prinsip dasar yang dimiliki oleh Metode Nelson-Somogyi adalah terjadinya
reduksi komponen pereaksi Nelson oleh glukosa. Ion tembaga (II) dari pereaksi
5,97
12,411
5,373
5:5
35
Nelson akan tereduksi oleh glukosa menjadi tembaga (I). Pemanasan campuran
sampel dengan pereaksi Nelson dimaksudkan untuk mempercepat reaksi dan
mempertegas warna yang menunjukkan adanya gula pereduksi, yaitu adanya
endapan merah bata yang berasal dari tembaga (I) oksida (Cu2O). Mekanisme
reaksi Nelson-Somogyi adalah sebagai berikut.
Gambar 8. Reaksi Nelson-Somogyi. (Sumber:www.expertsmind.com)
Kandungan gula pereduksi pada pati talas semakin menurun ketika semakin
banyak ditambahkan kitosan. Sampel yang memiliki kadar gula pereduksi
tertinggi adalah sampel 10:0 yaitu tanpa penambahan kitosan sebesar
23,125±0,375 %, sementara sampel yang memiliki kadar gula pereduksi terendah
adalah sampel 5:5 sebesar 5,97±0,07 %.
Menurut Hii et. al. (2012), banyaknya gugus ujung gula reduksi berbanding
lurus dengan derajat hidrolisis pati. Adanya kitosan dapat menyebabkan derajat
hidrolisis pati berkurang sehingga jumlah gula pereduksi yang dihasilkan dari
proses hidrolisis pati juga semakin berkurang.
Untuk kadar pati total, kadar pati total tertinggi dimiliki oleh sampel 10:0
yakni 20,813±0,337 % karena tidak ada penambahan kitosan di dalamnya.
Sementara sampel 5:5 memiliki kadar pati total terendah, yakni 5,373±0,064 %
36
karena jumlah massa kitosan yang ditambahkan seimbang dengan jumlah massa
pati talasnya. Hasil kadar pati di atas didapat dari pengalian kadar gula pereduksi
dengan 0,9. Angka tersebut merupakan faktor konversi yang diperoleh dari
perbandingan berat molekul pati dengan jumlah molekul gula pereduksi yang
dihasilkan.
4.2.3.Kadar Amilosa dan Amilopektin
Analisis kadar amilosa dan amilopektin merupakan salah satu analisis
terpenting untuk mengetahui bagaimana sifat fisik dari pati. Dengan mengetahui
kadar amilosa dan amilopektin, maka dapat ditentukan bagaimana sifat pati
tersebut, diantaranya mengenai tingkat kelarutan pati dalam air. Hasil pada
lampiran 7 digambarkan pada grafik sebagai berikut.
Gambar 9. Hasil Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin SampelCampuran Pati Talas-Kitosan.
Pada semua perlakuan ternyata kadar amilosa lebih tinggi daripada kadar
amilopektin. Hal ini menjadi satu karakter untuk pati talas yang membedakannya
14,5
0
2
4
6
8
10
12
14
16
10:0Kada
r Am
ilosa
dan
Am
ilope
ktin
(%)
36
karena jumlah massa kitosan yang ditambahkan seimbang dengan jumlah massa
pati talasnya. Hasil kadar pati di atas didapat dari pengalian kadar gula pereduksi
dengan 0,9. Angka tersebut merupakan faktor konversi yang diperoleh dari
perbandingan berat molekul pati dengan jumlah molekul gula pereduksi yang
dihasilkan.
4.2.3.Kadar Amilosa dan Amilopektin
Analisis kadar amilosa dan amilopektin merupakan salah satu analisis
terpenting untuk mengetahui bagaimana sifat fisik dari pati. Dengan mengetahui
kadar amilosa dan amilopektin, maka dapat ditentukan bagaimana sifat pati
tersebut, diantaranya mengenai tingkat kelarutan pati dalam air. Hasil pada
lampiran 7 digambarkan pada grafik sebagai berikut.
Gambar 9. Hasil Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin SampelCampuran Pati Talas-Kitosan.
Pada semua perlakuan ternyata kadar amilosa lebih tinggi daripada kadar
amilopektin. Hal ini menjadi satu karakter untuk pati talas yang membedakannya
14,513,6 13,4
11,6
6,313
1,741
4,002
0,811
10:0 8:2 7:2 6:4
Campuran Pati Talas-Kitosan (Gram)
Kadar Amilosa Kadar Amilopektin
36
karena jumlah massa kitosan yang ditambahkan seimbang dengan jumlah massa
pati talasnya. Hasil kadar pati di atas didapat dari pengalian kadar gula pereduksi
dengan 0,9. Angka tersebut merupakan faktor konversi yang diperoleh dari
perbandingan berat molekul pati dengan jumlah molekul gula pereduksi yang
dihasilkan.
4.2.3.Kadar Amilosa dan Amilopektin
Analisis kadar amilosa dan amilopektin merupakan salah satu analisis
terpenting untuk mengetahui bagaimana sifat fisik dari pati. Dengan mengetahui
kadar amilosa dan amilopektin, maka dapat ditentukan bagaimana sifat pati
tersebut, diantaranya mengenai tingkat kelarutan pati dalam air. Hasil pada
lampiran 7 digambarkan pada grafik sebagai berikut.
Gambar 9. Hasil Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin SampelCampuran Pati Talas-Kitosan.
Pada semua perlakuan ternyata kadar amilosa lebih tinggi daripada kadar
amilopektin. Hal ini menjadi satu karakter untuk pati talas yang membedakannya
10,2
0,811
5:5
37
dengan pati lain. Karena menurut Han (2013), pati biasanya memiliki kadar
amilopektin yang jauh lebih tinggi daripada kadar amilosanya. Sebagai contoh
penelitian Pulungan (2014) menyebutkan pati singkong memiliki kadar amilosa
sebesar 27,38% dan amilopektin sebesar 72,62%.
Kadar amilosa dan amilopektin tertinggi dimiliki oleh sampel 10:0 sebesar
14,5 % untuk kadar amilosa dan 6,313 % untuk kadar amilopektin (Gambar 8).
Kadar amilosa dan amilopektin pada 10:0 ini disebabkan karena sampel 10:0
merupakan sampel tanpa penambahan kitosan sehingga kadar amilosa dan
amilopektin masih tergolong tinggi. Sementara pada sampel 5:5, yang memiliki
kadar amilosa dan amilopektin rendah disebabkan karena semakin berkurangnya
komposisi pati karena adanya penambahan kitosan. Hal ini nantinya akan
berpengaruh pada sifat amilografi yang meliputi viskositas dan suhu gelatinisasi
yang dibutuhkan pada analisis amilografi yang akan dijelaskan pada sub bab
selanjutnya.
Tingginya kadar amilosa pada pati mempengaruhi sifat fisikokimia dari pati,
salah satunya kelarutannya terhadap air. Semakin tinggi kadar amilosanya maka
semakin besar kelarutannya terhadap air. Namun semakin rendah kadar amilosa
akan mengurangi kelarutannya terhadap air.
4.2.4.Analisis Amilografi
Selain analisis kadar amilosa dan amilopektin, analisis amilografi juga
analisis terpenting dalam menentukan sifat fisikokimia pati. Dengan analisis
amilografi, maka dapat diketahui kapan proses gelatinisasi pati telah dimulai.
Hasilnya adalah sebagai berikut.
38
Gambar 10. Grafik Analisis Amilografi Pati Talas dari Hasil PengukuranRapid Visco Analyzer (RVA).
Tabel 5. Profil Gelatinisasi Pati Talas dari Hasil Pengukuran Rapid ViscoAnalyzer (RVA).
Nilai
Parameter 10 : 0 8 : 2 7 : 3 6 : 4 5 : 5
Suhu Awal Gelatinisasi (oC) 94,50 87,20 86,35 86,30 85,50
Viskositas Puncak (cP) 520,00 428,00 375,00 355,00 339,00
Viskositas Akhir Setelah
Dipertahankan pada 95oC (cP)
384,00 357,00 322,00 336,00 332,00
Viskositas Breakdown (cP) 136,00 71,00 53,00 19,00 7,00
Viskositas Akhir (cP) 1344,00 1017,00 851,00 651,00 530,00
Viskositas Setback (cP) 960,00 660,00 529,00 315,00 198,00
Gambar dan Tabel di atas menunjukkan hasil profil gelatinisasi pati talas
(Colocasia esculenta) yang diukur dengan menggunakan Rapid Visco Analyzer
10:0
8:2
7:3
6:45:5
39
(RVA). Parameter yang diamati pada analisis ini meliputi suhu awal gelatinisasi,
viskositas maksimum atau viskositas puncak, viskositas setelah dipertahankan di
95oC, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback.
Suhu awal gelatinisasi menunjukkan suhu saat RVA mulai membaca nilai
viskositas yang menandakan proses gelatinisasi telah dimulai pada pati. Suhu
gelatinisasi ini diukur berdasarkan peningkatan viskositas pati pada proses
pemanasan dengan menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA). Mekanisme
proses gelatinisasi akan dijelaskan pada gambar 11.
Gambar 11. Proses Gelatinisasi Pati (Sumber: springerreference.com).
Pada sampel 10 : 0 yaitu sampel pati talas yang tidak ditambahkan kitosan,
memiliki suhu gelatinisasi berkisar 94,50oC. Suhu gelatinisasi yang tinggi
disebabkan oleh kandungan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan amilopektin dalam pati talas. Pati dengan kadar amilosa tertinggi
Granula pati berisi amilosa(heliks) dan amilopektin(branched).
Amilosa dan amilopektinmulai berdifusi keluardari granula.
Terjadi prosespembentukan gel di luargranula pati akibatterbentuknya ikatan silangdengan air.
Granula pati membengkakakibat adanya penambahan airdan pemanasan.
40
membutukan suhu tertinggi untuk memutuskan rantainya dan mencapai proses
gelatinisasi. Sehingga pati talas memiliki stabilitas yang baik selama pemanasan.
Namun ketika terjadi penambahan kitosan, suhu gelatinisasi mulai menurun.
Sampel 5 : 5 memiliki suhu gelatinisasi terendah, yaitu sebesar 85,50oC.
Penurunan suhu gelatinisasi pada pati ini disebabkan olehnya terjadinya proses
cross-linking antara kitosan dan pati talas, sehingga membatasi penyerapan
molekul air ke dalam granula.
Viskositas maksimum atau viskositas puncak menunjukkan pada saat
granula pati tidak mampu menyerap air lagi. Berdasarkan grafik yang
ditampilkan, viskositas maksimum tertinggi dimiliki oleh sampel 10 : 0 yaitu
sebesar 520,00 cP, sedangkan yang memiliki viskositas maksimum terendah
adalah sampel 5 : 5 yaitu sebesar 339,00 cP. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
banyak massa kitosan yang ditambahkan, maka semakin rendah pula viskositas
maksimumnya. Jika dibandingkan dengan pati-pati yang lain, sebagai contoh
adalah pati garut dalam penelitian Faridah (2014), pati talas memiliki viskositas
maksimum yang cukup rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi viskositas
maksimum adalah kadar amilosa. Molekul amilosa memiliki kecenderungan
untuk bergabung sesamanya dengan membentuk ikatan hidrogen. Semakin tinggi
kadar amilosa yang dimiliki pati, maka semakin kuat ikatan hidrogen yang
terbentuk (Suarni, 2013).
Viskositas breakdown menunjukkan kestabilan viskositas maksimum
selama fase pemanasan. Viskositas breakdown tertinggi dimiliki oleh sampel 10 :
0 dengan jumlah 136,00 cP, sedangkan yang terendah dimiliki oleh sampel 5 : 5
41
dengan jumlah 7,00 cP. Jika nilai viskositas breakdown ditinjau melalui hasil
grafik, sampel pati talas dan kitosan tidak menunjukkan penurunan viskositas
sebagaimana pati pada umumnya. Penurunan viskositas yang besar menunjukkan
bahwa pati kurang tahan atau kurang stabil selama pemanasan (Faridah, 2014).
Dengan viskositas breakdown yang dimiliki oleh pati talas, hasil ini menunjukkan
bahwa granula pati dapat dianggap stabil selama pemanasan. Namun setelah
ditambah kitosan, viskositas breakdown semakin turun semakin bertambahnya
kitosan. Hal ini tidak sesuai dengan Kusnandar (2010) yang menyebutkan bahwa
pati yang termodifikasi ikatan silang (cross-linking) lebih tahan terhadap
pemanasan namun tidak bisa menahan laju retrogradasi.
Viskositas setback menunjukkan kemampuan retrogradasi molekul pati pada
proses pendinginan. Viskositas setback tertinggi dimiliki oleh sampel 10 : 0
sebesar 960,00 cP, sementara viskositas setback terendah dimiliki oleh sampel 5 :
5 sebesar 198,00 cP. Pada viskositas setback, atau fase pendinginan viskositas pati
mulai meningkat karena disebabkan oleh penggabungan kembali molekul-
molekul amilosa dan amilopektin melalui ikatan hidrogen. Peningkatan viskositas
selama fase pendinginan juga menunjukkan kecenderungan retrogradasi pati talas.
Kandungan amilosa yang cukup tinggi memiliki kontribusi yang besar terhadap
kecenderungan terjadinya retrogradasi pasta pati selama fase pendinginan
(Gudmundsson, 1996). Viskositas setback pati talas ini cenderung tinggi, yang
menunjukkan bahwa semakin tingginya viskositas setback yang dimiliki maka
semakin mudah pula mengalami retrogradasi. Baik viskositas breakdown maupun
viskositas setback, salah satu yang mempengaruhi kedua parameter tersebut
42
adalah adanya protein dalam pati. Menurut Lingga et. al. (1990), pati talas
memiliki kandungan protein sebesar 1,50 gram. Dengan jumlah protein yang
sedikit tersebut, menyebabkan pati memiliki nilai viskositas yang lebih besar.
Karena granula tanpa protein lebih mudah pecah dan jumlah air yang masuk ke
granula jauh lebih banyak mengakibatkan peningkatan pengembangan granula.
Sementara sampel pati yang dicampur dengan kitosan memiliki nilai viskositas
yang lebih rendah karena kitosan yang dibuat dari kulit udang yang mengandung
protein. Sehingga kemungkinan kadar protein dalam sampel tersebut bertambah
seiring bertambahnya kitosan dalam sampel.
4.3. Pembuatan Edible Film
Pembuatan edible film berbahan pati talas yang dilakukan menghasilkan
penampilan fisik yang berbeda-beda. Berdasarkan penampilan fisik yang terlihat
dari edible film, edible film 5:5 memiliki kualitas yang jauh lebih baik karena
struktur yang tidak rapuh dan tidak mudah robek jika ditarik dengan tangan.
Sementara edible film dengan kualitas yang rendah adalah edible film 10:0 karena
penampilan fisiknya yang lebih kaku dan mudah robek jika ditarik dengan tangan.
Ini menunjukkan bahwa dengan penambahan kitosan mampu mempengaruhi sifat
edible film yang dihasilkan, juga adanya penambahan sorbitol 30% sebagai
plasticizer sehingga membuat edible film lebih elastis. Hasil edible film lebih
lanjut dapat dilihat pada lampiran 4 dan karakterisasi edible film akan dibahas
disub bab berikutnya.
Sorbitol dianggap sebagai salah satu plasticizer yang efektif dalam
pembuatan edible film karena sifatnya yang hidrofilik. Sifatnya yang hidrofilik
43
dapat mengurangi ikatan hidrogen internal sehingga edible film tidak hanya jauh
lebih elastis, namun juga dapat mengimbangi sifat kitosan yang hidrofobik agar
lebih larut air. Menurut Krisna (2011), molekul plasticizer akan mengganggu
kekompakan pati, menurunkan interaksi intermolekuler dan meningkatkan
mobilitas polimer. Struktur sorbitol adalah sebagai berikut.
Gambar 12. Struktur Sorbitol (Sumber: www.drugfuture.com).
4.4. Karakterisasi Edible Film
Uji karakterisasi edible film meliputi ketebalan edible film (mm), daya serap
air (Water Uptake), kadar gula pereduksi, Fourier Transform Infrared
Spectroscopy (FTIR), dan Scanning Electron Microscopy (SEM).
4.4.1. Ketebalan Edible Film (mm)
Berikut adalah hasil analisis ketebalan edible film sesuai dengan standar
acuan ASTM D645. Pada analisis ketebalan edible film, sampel yang digunakan
hanya berjumlah dua, yaitu edible film 6:4 dan 5:5. Hal ini disebabkan kondisi
edible film 10:0, 8:2, dan 7:3 tidak memungkinkan untuk diuji sifat mekaniknya,
karena pada saat akan dilepas dari plat kaca, edible film menjadi robek dan tidak
dalam keadaan utuh. Hasil analisis berdasarkan tabel (Lampiran 9) digambarkan
dalam grafik sebagai berikut.
44
Gambar 13. Hasil Analisis Ketebalan Edible Film (mm).
Grafik di atas menunjukkan bahwa edible film campuran pati talas-kitosan
dengan perbandingan 6:4 memiliki ketebalan yang lebih tinggi dibandingkan
edible film dengan perbandingan 5:5. Edible film 6:4 memiliki ketebalan sebesar
0,111±0,0034 mm, sedangkan edible film 5:5 memiliki ketebalan sebesar
0,082±0,0017 mm.
Penurunan nilai ketebalan edible film ini kemungkinan disebabkan oleh
pengaruh nilai viskositas pada bahan campuran. Menurut Rachmawati dan
Suryani (2011), semakin tinggi viskositas, maka ketebalan edible film juga akan
meningkat, sebaliknya semakin turun viskositasnya maka ketebalan edible film
akan menurun. Karena viskositas edible film 5:5 lebih kecil dari edible film 6:4,
membuat ketebalan edible film 5:5 lebih rendah. Selain itu, penurunan nilai
ketebalan edible film ini juga bisa disebabkan oleh komposisi pati yang semakin
berkurang. Penelitian Rahardjo (2014) dengan memakai umbi kimpul sebagai
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
Kete
bala
nEd
ible
Film
(mm
)
44
Gambar 13. Hasil Analisis Ketebalan Edible Film (mm).
Grafik di atas menunjukkan bahwa edible film campuran pati talas-kitosan
dengan perbandingan 6:4 memiliki ketebalan yang lebih tinggi dibandingkan
edible film dengan perbandingan 5:5. Edible film 6:4 memiliki ketebalan sebesar
0,111±0,0034 mm, sedangkan edible film 5:5 memiliki ketebalan sebesar
0,082±0,0017 mm.
Penurunan nilai ketebalan edible film ini kemungkinan disebabkan oleh
pengaruh nilai viskositas pada bahan campuran. Menurut Rachmawati dan
Suryani (2011), semakin tinggi viskositas, maka ketebalan edible film juga akan
meningkat, sebaliknya semakin turun viskositasnya maka ketebalan edible film
akan menurun. Karena viskositas edible film 5:5 lebih kecil dari edible film 6:4,
membuat ketebalan edible film 5:5 lebih rendah. Selain itu, penurunan nilai
ketebalan edible film ini juga bisa disebabkan oleh komposisi pati yang semakin
berkurang. Penelitian Rahardjo (2014) dengan memakai umbi kimpul sebagai
0,111
0,082
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
6:4 5:5
Campuran Pati Talas-Kitosan (Gram)
44
Gambar 13. Hasil Analisis Ketebalan Edible Film (mm).
Grafik di atas menunjukkan bahwa edible film campuran pati talas-kitosan
dengan perbandingan 6:4 memiliki ketebalan yang lebih tinggi dibandingkan
edible film dengan perbandingan 5:5. Edible film 6:4 memiliki ketebalan sebesar
0,111±0,0034 mm, sedangkan edible film 5:5 memiliki ketebalan sebesar
0,082±0,0017 mm.
Penurunan nilai ketebalan edible film ini kemungkinan disebabkan oleh
pengaruh nilai viskositas pada bahan campuran. Menurut Rachmawati dan
Suryani (2011), semakin tinggi viskositas, maka ketebalan edible film juga akan
meningkat, sebaliknya semakin turun viskositasnya maka ketebalan edible film
akan menurun. Karena viskositas edible film 5:5 lebih kecil dari edible film 6:4,
membuat ketebalan edible film 5:5 lebih rendah. Selain itu, penurunan nilai
ketebalan edible film ini juga bisa disebabkan oleh komposisi pati yang semakin
berkurang. Penelitian Rahardjo (2014) dengan memakai umbi kimpul sebagai
Campuran Pati Talas-Kitosan (Gram)
45
bahan pembuat edible film mengemukakan bahwa komposisi pati yang semakin
akan meningkatkan komponen polimer penyusun edible film .
Pada penelitian Yuliani, et. al. (2012) dengan menggunakan berbagai
macam umbi-umbian, mendapatkan hasil ketebalan sekitar 0,02-0,03 mm dengan
plat 20 cm x 10 cm. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini, edible film pati
talas-kitosan jauh lebih tebal dari edible film pati ubi jalar yang dihasilkan.
Menurut Yuliani et. al. (2012), semakin tebal edible film maka semakin tinggi
kemampuannya untuk menghambat laju gas dan uap air sehingga daya simpan
jauh lebih lama. Namun apa bila terlalu tebal maka akan memengaruhi tekstur dan
rasa pada saat dimakan. Maka dari itu, edible film yang memiliki hasil ketebalan
yang lebih kecil lebih dikehendaki pemakaiannya untuk dikonsumsi bersama
makanan yang dilapisi oleh edible film tersebut.
4.4.2.Daya Serap Air (Water Uptake)
Uji daya serap air dilakukan untuk mengetahui bagaimana daya ketahanan
edible film yang dibuat terhadap air. Hasil analisis berdasarkan tabel (Lampiran 5)
digambarkan pada grafik sebagai berikut.
46
Gambar 14. Hasil Uji Daya Serap Air pada Edible Film.
Berdasarkan gambar di atas, edible film dengan perbandingan 7 : 3 memiliki
ketahanan terhadap air yang lebih besar dibandingkan dengan edible film lainnya.
Hal ini ditunjukan dengan hasil uji daya serap air yang memiliki presentase paling
kecil, yaitu 42,9% Sedangkan edible film yang memiliki presentase daya serap air
terbesar adalah edible film dengan perbandingan 5 : 5 sebesar 100%. Penelitian
sebelumnya dari Setiani (2013) dalam pembuatan edible film berbahan dasar pati
sukun dan kitosan, presentase daya serap air terkecil sebesar 212,98%. Tinggi
rendahnya daya serap air ini dipengaruhi oleh banyaknya konsentrasi pati dalam
edible film. Semakin banyak konsentrasi pati, maka semakin banyak pula
kandungan gugus hidroksil sehingga penyerapan air jauh lebih besar. Selain
dipengaruhi oleh konsentrasi pati, kadar amilosa pun turut berpengaruh dalam
kemampuan daya serap air. Amilosa merupakan fraksi terlarut dari pati, maka
semakin tinggi kadar amilosa yang terkandung, semakin mudah pula edible film
menyerap air. Menurut Nugroho (2013), kelarutan edible film merupakan faktor
10
0
2
4
6
8
10
12
10:0
Kada
r Air
(%)
46
Gambar 14. Hasil Uji Daya Serap Air pada Edible Film.
Berdasarkan gambar di atas, edible film dengan perbandingan 7 : 3 memiliki
ketahanan terhadap air yang lebih besar dibandingkan dengan edible film lainnya.
Hal ini ditunjukan dengan hasil uji daya serap air yang memiliki presentase paling
kecil, yaitu 42,9% Sedangkan edible film yang memiliki presentase daya serap air
terbesar adalah edible film dengan perbandingan 5 : 5 sebesar 100%. Penelitian
sebelumnya dari Setiani (2013) dalam pembuatan edible film berbahan dasar pati
sukun dan kitosan, presentase daya serap air terkecil sebesar 212,98%. Tinggi
rendahnya daya serap air ini dipengaruhi oleh banyaknya konsentrasi pati dalam
edible film. Semakin banyak konsentrasi pati, maka semakin banyak pula
kandungan gugus hidroksil sehingga penyerapan air jauh lebih besar. Selain
dipengaruhi oleh konsentrasi pati, kadar amilosa pun turut berpengaruh dalam
kemampuan daya serap air. Amilosa merupakan fraksi terlarut dari pati, maka
semakin tinggi kadar amilosa yang terkandung, semakin mudah pula edible film
menyerap air. Menurut Nugroho (2013), kelarutan edible film merupakan faktor
10
6,5
8
10,5
9
10:0 8:2 7:3 6:4 5:5
Campuran Pati Talas-Kitosan (Gram)
46
Gambar 14. Hasil Uji Daya Serap Air pada Edible Film.
Berdasarkan gambar di atas, edible film dengan perbandingan 7 : 3 memiliki
ketahanan terhadap air yang lebih besar dibandingkan dengan edible film lainnya.
Hal ini ditunjukan dengan hasil uji daya serap air yang memiliki presentase paling
kecil, yaitu 42,9% Sedangkan edible film yang memiliki presentase daya serap air
terbesar adalah edible film dengan perbandingan 5 : 5 sebesar 100%. Penelitian
sebelumnya dari Setiani (2013) dalam pembuatan edible film berbahan dasar pati
sukun dan kitosan, presentase daya serap air terkecil sebesar 212,98%. Tinggi
rendahnya daya serap air ini dipengaruhi oleh banyaknya konsentrasi pati dalam
edible film. Semakin banyak konsentrasi pati, maka semakin banyak pula
kandungan gugus hidroksil sehingga penyerapan air jauh lebih besar. Selain
dipengaruhi oleh konsentrasi pati, kadar amilosa pun turut berpengaruh dalam
kemampuan daya serap air. Amilosa merupakan fraksi terlarut dari pati, maka
semakin tinggi kadar amilosa yang terkandung, semakin mudah pula edible film
menyerap air. Menurut Nugroho (2013), kelarutan edible film merupakan faktor
9
5:5
47
penentu untuk melihat sifat biodegradibilitas dari sebuah edible film. Edible film
yang memiliki daya serap air yang tinggi menunjukkan bahwa edible film ini akan
mudah larut dan akan terdegradasi lebih cepat. Maka dari itu, edible film dengan
kelarutan lebih tinggi lebih di kehendaki jika pemakaiannya untuk dikonsumsi
bersama makanan yang dilapisi oleh edible film tersebut.
4.4.3.Kadar Gula Pereduksi
Analisis selanjutnya adalah analisis kadar gula pereduksi pada edible film.
Analisis dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan pada kadar gula
pereduksi sampel setelah dijadikan edible film, dan dibandingkan dengan nilai
kadar gula pereduksi sebelum dijadikan edible film. Berdasarkan tabel dan
perhitungan (Lampiran 6) maka dibuat grafik dengan hasil sebagai berikut.
Sampel Kadar Gula Pereduksi (%)
10:0 2,86±1,155
8:2 2,7±0,818
7:3 Tidak Terdeteksi
6:4 Tidak Terdeteksi
5:5 0,16±0,075
Tabel 6. Hasil Analisis Kadar Gula Pereduksi pada Edible Film.
Berdasarkan pada tabel 6 dibandingkan dengan hasil analisis gula
pereduksi yang dilakukan sebelum proses pembuatan edible film, kadar gula
pereduksi yang terkandung pada sampel mengalami penurunan secara signifikan.
Kadar gula pereduksi tertinggi dimiliki oleh sampel 10:0 sebesar 2,86±1,155 %,
48
sementara kadar gula pereduksi terendah dimiliki oleh sampel 7:3 dan 6:4 karena
tidak terdeteksi. Tidak terdeteksinya kadar gula pereduksi menandakan bahwa
kadar gula pereduksi sudah tidak terdeteksi saat pembacaan absorbansi dengan
Spektrofotometer UV-Vis. Terdapat kemungkinan bahwa gula-gula reduksi telah
bereaksi dengan gugus amina dari asam amino yang terkandung pada pati talas
dan kitosan, yang disebut sebagai reaksi pencoklatan (Maillard Reaction) dengan
mekanisme reaksi sebagai berikut.
Gambar 15. Maillard Reaction (Sumber: food-info.net).
Hasil ini dapat dikatakan tidak sesuai dengan pendapat Sutrisno (2014)
yang mengatakan bahwa adanya pemanasan dan pengeringan akan meningkatkan
kadar gula pereduksi pada suatu bahan. Menurut Sutrisno (2014), pemanasan dan
pengeringan akan mengurangi kadar air pada bahan sehingga gula pereduksinya
meningkat. Selain itu kandungan sukrosa mengalami inversi saat pemanasan.
Sukrosa yang merupakan gula non pereduksi, saat mengalami pemanasan bersama
asam, akan terhidrolisis menjadi gula invert yaitu glukosa dan fruktosa.
4.4.4.Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)
Analisis karakteristik edible film selanjutnya adalah analisis Fourier Transform
Infrared Spectroscopy (FTIR). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana struktur dari edible film berdasarkan komposisi kimia serta melihat
Melanoidin
49
perbedaan antara edible film tanpa penambahan kitosan dan dengan penambahan
kitosan. Berikut adalah hasil analisis gugus fungsi edible film dengan
menggunakan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR).
Gambar 16. Hasil Spektrum FTIR Sampel 10:0.
Gambar 17. Hasil Spektrum FTIR Sampel 5:5
4000.0 3000 2000 1500 1000 450 .0-8.0
-5
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
6063.5
cm-1
%T
pknap
pkn
3955.41
3163.68
2924.66
2154.32
1646.30
1567.23
1431.29 1137.18
935.10
887.58
865.99
758.45641.48
4000.0 3000 2000 1500 1000 450 .0-8.0
-5
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
64.8
cm-1
%T
3366.07 2931.90
2134.63
1639.671558.63
1411.431153.83
1035.90
942.41891.43
871.41
759.71703.05
658.59615.71587.07
C-HO-H
C-H
O-H
Ikatan Glikosidik
Ikatan Glikosidik
N-H
N-H
50
Analisis gugus fungsi dengan FTIR, dilakukan terhadap dua sampel yaitu
sampel 10:0 dan sampel 5:5. Analisis ini dilakukan untuk melihat apakah muncul
gugus baru dalam edible film campuran pati talas-kitosan dengan edible film
murni pati talas. Pada daerah spektrum FTIR sampel 10:0, ikatan O-H
ditunjukkan pada daerah serapan 3163,68 cm-1 dan ikatan C-H ditunjukkan pada
daerah serapan 2924,66 cm-1. Daerah serapan 1567,28 cm-1 menunjukkan gugus
N-H dan daerah serapan 935,10 cm-1 menunjukkan ikatan glikosidik.
Pada sampel 5 : 5, di mana pati talas telah dicampur oleh kitosan, daerah
serapan mulai bergeser ke daerah serapan yang lebih tinggi. Kehadiran kitosan
ditunjukkan pada daerah serapan O-H yang bergeser, dari 3163,68 cm-1 menjadi
3366,07 cm-1. Daerah serapan yang bergeser karena adanya gugus O-H yang
terdapat pada kitosan, sehingga menambah gugus O-H yang berasal pati. Begitu
pula juga daerah serapan C-H yang bergeser dari 2924,66 cm-1 menjadi 2931,50
cm-1 dan gugus N-H bergeser dari 1567,28cm-1 menjadi 1558,63 cm-1. Selain itu,
daerah serapan untuk ikatan glikosidik juga bergeser. Untuk ikatan glikosidik
bergeser menjadi 942,41 cm-1 dengan serapan yang lemah. Melemahnya serapan
untuk ikatan glikosidik disebabkan karena kehadiran asam asetat. Selain menjadi
pelarut untuk melarutkan kitosan, asam asetat juga berperan sebagai katalis yang
dapat memutuskan ikatan ikatan glikosidik pada amilosa dan amilopektin
(Situmorang et. al., 2014). Prediksi ikatan hidrogen dan skema cross-linking yang
terjadi antara amilosa, amilopektin dan kitosan digambarkan pada gambar 18.
51
(a)
(b)Gambar 18. (a) Prediksi ikatan hidrogen antar molekul pati talas-kitosan
(Setiani, 2013) dan (b) Skema Cross-linking (Smiley danJackson, 2000)
4.4.5.Scanning Electron Microscopy (SEM)
Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) bertujuan untuk melihat
struktur permukaan serta melintang dari edible film dengan membandingkan
perbedaan antara edible film dengan atau tanpa penambahan kitosan. Berikut
adalah hasil analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) pada sampel campuran
pati talas-kitosan 10:0 dan 5:5.
52
Gambar 19. Penampang permukaan edible film campuran pati talas-kitosan (a)10:0 dan (b) 5:5 dengan perbesaran 5000×.
Dapat dilihat bahwa permukaan edible film pada sampel 10:0 dan 5:5
memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Pada sampel 10:0, terlihat bahwa
komposisi edible film tampak renggang dan tak padat karena tidak ada
penambahan kitosan. Sementara pada sampel 5:5, terlihat bahwa komposisi
edible film jauh lebih padat karena penambahan kitosan. Menurut Setiawan et. al.
(2015), semakin tinggi konsentrasi kitosan yang ditambah, maka semakin tinggi
pula tingkat kerapatan partikelnya.
Gambar 20. Penampang melintang edible film campuran pati talas-kitosan (a)10:0 dan (b) 5:5 dengan perbesaran 500×.
53
Penampang melintang edible film 10:0 memiliki banyak lubang-lubang kecil
yang menunjukkan bahwa komposisi edible film tampak renggang dan tidak
homogen. Sedangkan pada edible film 5:5 memperlihatkan penampang melintang
edible film yang jauh lebih halus dengan jumlah lubang yang jauh lebih sedikit
dari edible film 10:0. Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen antara
kitosan dan pati talas yang membuat pori membran semakin berkurang, sehingga
permukaan melintang edible film terlihat jauh lebih halus. Hasil analisis SEM
pada edible film ini menunjukkan bahwa penambahan mampu mempengaruhi
komposisi struktur permukaan edible film menjadi jauh lebih baik.
54
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Berdasarkan hasil penelitian, pati talas memiliki sifat fisikokimia yaitu
memiliki kadar air sebesar 10±0,707%, kadar gula pereduksi sebesar
23,125±0,375%, kadar amilosa sebesar 14,5% dan amilopektin sebesar
6,313%. Berdasarkan analisis amilografi, pati talas memiliki kemampuan
stabilitas yang baik pada pemanasan.
2. Penambahan kitosan mampu memengaruhi karakteristik dan kualitas pati
talas sebagai edible film. Semakin besar penambahan kitosan, semakin baik
pula kualitas edible film yang dihasilkan. Sampel edible film terbaik
berdasarkan analisis ketebalan, analisis daya serap air dan analisis SEM
adalah sampel 5 : 5.
3. Formulasi penambahan kitosan yang menghasilkan kualitas edible film
terbaik adalah penambahan 50% berat kitosan dari berat pati talas.
5.2. Saran
Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan pengujian lanjutan sifat fisik
edible film yang dihasilkan melalui uji kelenturan, kuat tarik, kecepatan degradasi
dan daya simpan terhadap cemaran mikroba jika edible film ini diaplikasikan
terhadap makanan sehingga diperoleh kualitas edible film yang lebih baik dan
berpotensi sebagai kemasan ramah lingkungan dimasa mendatang.
55
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of AnalyticalChemist. Washington, DC.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto.1989. Petunjuk Laboratorium : Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi.Bogor: IPB.
ASTM. 1991. Annual book of ASTM standards Volume ke-8. Philadelphia:American Society for Testing and Material.
Aufari, M. Afif, Sia Robianto, dan Renita Manurung. 2013. Pemurnian CrudeGlycerine Melalui Bleaching dengan Menggunakan Karbon Aktif. JurnalTeknik Kimia, Vol. 02(1).
Baharudin. 2007. Morfologi dan Properti Campuran Karet Alam/PP yangDivulkanisasi Dinamik dalam Internal Mixer. Jurnal Institut TeknologiSepuluh November. Vol:11.
Basuki, Karty Enny, Jariyah, dan Dhenok Dwi Hartanti. 2014. KarakteristikEdible Film dari Pati Ubi Jalar dan Gliserol. Rekapangan Vol.8(2): 128-135.
Billmeyer, F.W.Jr. 1971. Text Book of Polimer Science. New York: JohnWilley and SonsInc.
Brautlecht, C. A. 1993. Starch, Its Sources production and Uses. Book DivisionReinhold Publishing Corporation, New York.
Bremner, T. dan A. Rudin. 1993. Peroxide Modification of Linear-Low DensityPolyethylene : A Comparison of Dialkyl Peroxide. J Appl Polym Sci.Vol. 49:795-798.
Christianty, M. U. 2009. Produksi Biodegradable Plastic Melalui PencampuranPati Sagu Termoplastis dan Compatibilized Linier Low DensityPolyethylene. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Corradini E, A.J.F Carvalho, A.A.D Curvelo, L.H.C Mattoso. 2007. Preparationand Characterization of Thermoplastic Starch/Zein Blends. Mat Res 10(3).
Damayanti, D. 2003. Teknologi Proses Pembuatan dan KarakterisasiBiodegradable Plastik dari Bahan Campuran Polipropilen dan Tapioka.Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
56
Djasmasari W. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Perombak fenol dariEkosistem Air Hitam Kalimantan Tengah.http://www.icbb.org/indonesia/penelitian/penelitian04. htm.
Dubois, M., K.A Gilles, J.K Hamilton, P.A. Rebers dan F Smith. 1959.Colorimetric Method for Determination of Sugar and Related Substance.J. Anal. Chem 28 (3) : 350-356.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: IPB
Fayt L, P. Hadjiandreou dan P. Teyssie. 1985. Immicible Polymer Blends. JPolym Sci 23:337.
Flieger MM, A. Kantorova, T. Prell, Rezenka dan J. Votruba. 2003.Biodegradable Plastics From Renewable Sources. J Folia Microbiol48(1):22-44.
Gontard N, Guilbert, dan J.L Cuq. 1993. Water and Glicerol as Plasticizer effectMechanical and water Vapor barrier properties of an edible Wheat GlutenFilm. J Food Sci 58 (1): 206-211.
Gudmundsson, M., dan A.C. Eliasson. 1996. Starch: Physicochemical andFunctional Aspects dalam Eliasson A.C., Carbohydrates in Food. NewYork: Marcel Dekker Inc.
Hammer, C.F. 1971. Macromolecules. Polym Blends. 4(69).
Hasbullah. 1985. Pengaruh Jenis Kapang, Kadar Air dan Proses InkubasiLanjutan pada Fermentasi Onggok Tanpa Gelatinisasi Pati. Skripsi.Fakultas Teknologi Pertanian – IPB, Bogor.
Herawan, Dwi Cindy, dan Fransiska Widhi Mahatmani. 2015. Sintesis EdibleFilm dari Pati Kulit Pisang dengan Penambahan Lilin Lebah (Beeswax).Indonesia Journal of Chemistry Science Vol. 4(2):148-151.
Hii, Siew Ling, Joo Shun Tan, Tau Chuan Ling, dan Arbakariya Bin Ariff. 2012.Pullulanase: Role in Starch Hydrolysis and Potential Industrial Applications.Enzyme Research. Vol: 2012: 1-14.
Huang, S. J. dan P. G. Edelman. 1995. An Overview of Biodegradable Polymersand Biodegradation of Polymers. Di dalam G. Scoot dan D. Gilead (eds.).Degradable Polymers : Principles and Applications. Chapter 2. New York:
Chapman and Hall.
Huneault MA dan H. Li. 2007. Morphology and Properties of CompatibilizedPolyactide/Thermoplastic Starch Blends. Polym 48:270-280.
57
Idemat. 1998. Thermoplastic Starch (TPS).http://www.matbase.com/material/polymers/agrobased/thermoplastic-starchtps/properties.
Ishiaku US, K.W Pang, W.S Lee dan Z.A.M Ishak. 2002. Mechanical Propertiesand Enzymic Degradation of Thermoplastic and Granular SagoStarch Filled Poly (ε caprolactone). Europe Polym J 38:393-401.
Julianti E. dan Nurminah M. 2006. Teknologi Pengemasan.http://library.usu.ac.id/download/fmipa/kimia-Juliati.pdf.
Kalambur S dan Rizvi SSH. 2006. An Overview of Starch-Based Plastic BlendsFrom Reactive Extrusion. J Plast Film Sheet 22:39-58.
Kemas, U.C, E.I. Nep, A.A. Agbowuro, dan N.A. Ochekpe. 2012. Effect ofChemical Modification on The Proximate Composition of PlectranthusEsculentus Starch and Characterization Using FTIR Spectroscopy. WorldJournal of Pharmaceutical Research. Vol. 1(5): 1234-1249.
Kirk, R.E. dan D.F. Othmer. 1996. Encyclopedia of Chemical Technology, 4th
edition vol 19. John Willey and Sons Inc, New York.
Koswara, S. 2013. Teknologi Pengolahan Umbi-Umbian Bagian I: PengolahanUmbi Talas. Southeast Asian Food and Agriculture Science and Technology(SEAFAST) Centre Research and Community Service Institution BogorAgriculture University. http://seafast.ipb.ac.id
Krisna, D. 2011. Pengaruh Regelatinisasi dan Modifikasi Hidrotermal TerhadapSifat Fisik pada Pembuatan Edible Film dari Pati Kacang Merah (Vignaangularis Sp.). Thesis. Magister Teknik Kimia Universitas Diponegoro.Semarang.
Latief, R. 2001. Teknologi kemasan Plastik Biodegradabel.http://www.hayati_ipb.com/users/rudyct/individu 2001/rindam_latief.htm
Mehta AK, dan D. Jain. 2007. Polymer Blends and Alloys Part-I Compatibilizer-aGeneral Survey. www.plusspolymers.com. \
Miller, G.L. 1959. Use of Dinitrosalicylic Acid Reagen for Determination ifReducing Sugar. J. Anal. Chem. 31 (3).
Nikazar M, B. Safari, Bonakdarpour dan Z. Milani. 2005. Improving theBiodegradability and Mechanical Strength of Corn Starch-LDPE BlendsThrough Formulation Modification. Iranian Polym J. 14(12): 1050-1057.
58
Nolan-ITU. 2002. Environment Australia : Biodegradable Plastics - Developmentand Environment Impact. Melbourne : Nolan-ITU Pty Ltd.
Nugroho, A.A, Basito, dan R.B Kantri. Kajian Pembuatan Edible Film Tapiokadengan Pengaruh Penambahan Pektin Beberapa Jenis Kulit Pisang TerhadapKarakteristik Fisik dan Mekanik. Jurnal Teknosains Pangan Vol. 2(1):73-79.
Amin, Nur Azizah. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilasi Terhadap Sifat FisikokimiaPati Tapioka Termodifikasi. Skripsi. Fakultas Pertanian UniversitasHasanuddin Makassar.
Ong D. A. H. T. dan Charoenkongthum K. 2002. Termal Properties and MoistureAbsorption of LDPE/Banana Starch Bio-Composite Films. J. Metals, Mat.& Min. Vol. 12 (1): 1-10.
Park HM, S.R Lee, S.R Chowdhury, T.K Kang, H.K Kim, S.H Park dan C.S Ha.2002. Tensile Properties, Morphology and Biodegradability of BlendsStarch with Various Thermoplastics. J Appl Polym Sci (86) : 2907 – 2915.
Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Second Edition.Academic Press, Inc. New York, USA.
Pranamuda, H. 2001. Pengembangan Plastik Biodegradable Berbahan Baku PatiTropis. http://www.std.ryu.titech.ac.jp/~Indonesia/zoa/paper/pf/makalahhardaning pdf.
Rahardjo, Budi, Warkoyo, Djagal Wiseso Marseno, dan Joko Nugroho WahyuKaryadi. 2014. Sifat Fisik, Mekanik, dan Barrier Edible Film Berbasis PatiUmbi Kimpul (Xanthosoma sagittifolium) yang Diinkorporasi denganKalium Sorbat. Agritech Vol. 34(1): 72-81
Rohaeti E, N.M Surdia, C.Y Radiman, E. Ratnaningsih. 2002. Sintesis Poliuretandari Amilosa-Peg400-Mdi dan Biodegradasinya MenggunakanPseudomonas aeruginosa http:// pkukmweb. Ukm.my /~kimia/ukmitb2002/abstrakitb/eli_abs.htm.
Sailaja RRN. dan M. Chanda. 2001. Use of Maleic Anhydride-GraftedPolyethylene as Compatibilizer for HDPE-Tapioca Starch Blends : Effecton MechanicalProperties. J Appl Polym Sci Vol. 80(6): 863-872.
Sakai, W.S dan Hanson, M,. Mature Raphid and Raphid idioblast structure inplants of the edible aroid genera Colocasia, Alocasia and Xanthosoma,Ann. p. 38-739.
Sari, Ratna Paramitha, Septia Tri Wulandari, dan Dyah Hesti Wardani. 2013.Pengaruh Penambahan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Terhadap
59
Karakteristik Edible Film Pati Ganyong (Canna edulis kerr.). JurnalTeknologi Kimia dan Industri. Vol. 2(3): 82-87.
Sathe, S. K. dan Salunkhe. 1981. Isolation, Partial Characteristic and Modificationof The Great Northern Bean (Phaseolus vulgaris) Starch. J. Food Sci. Vol.46 (2) : 617 – 621.
Satiawiharja, B. 1982. Production of Fungal Pectinase by Solid StateFermentation Using Tapioca Waste. UN/FAO International FoodTechnology Training Center, Central Food Technologycal ReserchInstitute, India.
Saunders, Jessica, David B. Levin, and Martha Izydorczyk. 2011. Limiations andChallenge for Wheat-Based Bioethanol Production. Canada: University ofManitoba.
Schnabel, W. 1981. Polymer Degradation, Principles and Particle Application.New York: MacMillan Publ.Co., Inc.
Shujun W, Y Jiugao, Y. Jinglin. 2005. Preparation and Characterization ofCompatible Thermoplastic Starch/Polyethylene. Polym Degrad Stab47(2): 165-173.
Sidney, L. dan J. Dubois. 1977. Plastic Product Design Engineering, Hand Book,Van Nostrand Reinhold Company, America.
Situmorang, Harrison, dan H. Hendra S. Ginting. 2014. Kajian Awal PembuatanFilm Plastik (Bahan Plastik Pengemas) dari Pati Batang Ubi Kayu. JurnalTeknik Kimia USU. Vol. 3(1):27-31.
SNI. 1992. Standar Nasional Indonesia 01-2891 : Analisis Kadar Air dan KadarAbu. Departemen Perindustrian, Jakarta.
Spink, W.P. dan W.F. Waychoff. 1958. Plasticizers. Di dalam Modern PlasticEncyclopedia Issue. 1958. New York: Hildrent Press, Inc.
Stevens MP. 2007. Polymer Chemistry. Iis Sopyan, penerjemah. Jakarta: PTPradnya Paramita.
Surdia T dan S. Saito. 1985. Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta : PT. PradnyaParamita.
Suarni, I.U. Firmansyah, dan M. Aqil. 2013. Keragaman Mutu Pati BeberapaVarietas Jagung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol: 32(1).
60
Suryani, N.I. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Selulosa Diasetat dari Serat BatangPisang Raja Bulu (Musa paradisiaca var Sapientum). Skripsi. DepartemenKimia Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Airlangga.
Sutrisno, C.D.N. 2014. Pengaruh Penambahan Jenis dan Konsentrasi Pasta(Santan dan Kacang) Terhadap Kualitas Produk Gula Merah. Jurnal Pangandan Argoindustri. Vol. 2(1): 97-105.
Teixeira, E.M., AL De Roza, A.J.F Carvalho dan A.A.S Curvelo. 2001.Comparative Study of Thermoplastic Starches Obtained fromIndustrialized Cassava Starch, Native Cassava and CassavaBagasse. Carbohydr Polym 45(3):189-194.
Teixeira, E.deM., D. Pasquini, A.A.S. Curvelo, E. Corradini, M.N. Belgacem, danDufresne. 2009. Cassava Bagasse Cellulose NanofibrilsReinforcedThermoplastic Cassava Starch. Carbohyd Polym 78(3):422-431.
Theresia, V. 2003. Aplikasi dan Karakterisasi Sifat Fisik-Mekanik PlastikBiodegradable dari Campuran LLDPE dan Tapioka. Skripsi. Fateta, IPB,Bogor.
Thomas DJ, W.A Atwell. 1999. Starches. Minnesota: The American Associationof Cereal Chemist Inc.
Tjiptadi, W. 1985. Telaah Kualitas dan Kuantitas Limbah Industri Tapioka SertaCara Pengendaliannya di Daerah Bogor dan Sekitarnya. Disertasi. FakultasPasca Sarjana Teknologi Industri Pertanian, IPB, Bogor.
Winarno, F.G, K. Tsujimura,S.L.J Betty, Machfud dan E.G. Said. 1979. StudiUbi Kayu di Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Bogor: IPB
Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and WaterAbsorption in Rice. PhD Disertation. Madison: University of Wisconsin.
Wisadjodarmo, Lies.A., Sri M., dan S. Illah. 2013. Pembuatan dan KarakterisasiPlastik Biodegradable dari Campuran Polipropilena dan Pati Tapioka.Pusat Penerapan dan Pengkajian Teknologi Material BPPT. Hal. 3.
Yulianti, Rahmi, dan Erliana Ginting. 2012. Perbedaan Karakteristik Fisik EdibleFilm dari Umbi-Umbian dengan Penambahan Plasticizer. PenelitianPertanian Tanaman Pangan Vol. 31(2): 131-136.
61
Zhang QX, Z.Z Yu, X.L Xie, K. Naito dan Y. Kagawa. 2007. Preparation andCrystalline Morphologi of Biodegradable Starch/ClayNanocomposites. Polym 48(24);7193-7200.
62
(Lampiran 1)
Gambar Keterangan
Perendaman talas yang sudah
dikupas dengan air garam untuk
menghilangkan kalsium oksalat
(CaC2O4).
Talas yang sudah diparut untuk
memperkecil luas permukaan
sebelum proses ekstraksi.
Proses ekstrasi pati talas dengan air.
Hasil pengendapan pati talas selama
24 jam.
63
Endapan pati talas yang sudah
dipisah dari air.
Hasil pati talas yang sudah
dikeringkan menggunakan oven
dengan suhu 50oC selama 12 jam.
Hasil berupa bubuk berwarna coklat.
64
(Lampiran 2)
Tabel 7. Hasil Analisis Kadar Air dengan Menggunakan Metode Oven.
No.Campuran Pati
Talas - Kitosan
Berat
Cawan
Kosong
(Gram)
Berat Pati
(Gram)
Berat Akhir
(Gram)
Kadar Air
(%)
1. 10 : 024,25
125,14
10±1,41422,19 23,10
2. 8 : 218,04
118,97
6,5±0,70716,72 17,66
3. 7 : 320,60
121,51
8±1,41421,29 22,22
4. 6 : 413,98
114,88
10,5±0,70716,43 17,32
5. 5 : 512,70
113,60
9±1,41415,02 15,94
Kadar air sampel dihitung dengan rumus:% Kadar Air = (Berat Cawan + Berat Sampel) − Berat AkhirBerat Sampel × 100%Contoh perhitungan:
1. 10 : 0 (a)% Kadar Air = (24,25 + 1)gram − 25,14 gram1 gram × 100%= 11%2. 10 : 0 (b)% Kadar Air = (22,19 + 1)gram − 23,10 gram1 gram × 100%= 9 %
Rata-rata: 10 %Standar Deviasi: ± 1,414
65
(Lampiran 3)
Tabel 8. Hasil Analisis Kadar Gula Pereduksi dengan Metode Nelson-Somogyi.
Sampel Absorbansi Konsentrasi(ppm)
Kadar GulaPereduksi
(%)
Kadar Pati Total(%)
10 : 0 0,888 22,86 23,125±0,375 20,813±0,3370,909 23,39
8 : 2 0,673 17,41 17,045±0,516 15,341±0,4640,644 16,68
7 : 3 0,739 19,08 19,335±0,36 17,402±0,3240,759 19,59
6 : 4 0,584 15,16 13,79±1,937 12,411±1,7440,476 12,42
5 : 5 0,223 6,02 5,97±0,07 5,373±0,0640,219 5,92
Contoh Perhitungan
1. 10 : 0 (a)0,888 = 0,0395 − 0,01480,9028 = 0,0395= 22,86 ppm
y = 0,039x - 0,014R² = 0,998
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
0 10 20 30 40 50
Abso
rban
si
Konsentrasi (ppm)
Kurva Standar Glukosa
Linear ()
66
2. 10 : 0 (b)0,909 = 0,0395 − 0,01480,9238 = 0,0395= 23,39 ppmRata-rata Konsentrasi: 23,125 ppm
Kadar gula pereduksi (%):23,1251 = 23125 ⋰ 10100 ⋰ 10 × 100%= , %Standar Deviasi: ±0,375
Kadar pati total = Kadar Gula Pereduksi × 0,9= 23,125 % × 0,9 = , %Standar Deviasi: ±0,337
67
(Lampiran 4)
Gambar Sifat Fisik
Sampel 10 : 0
- Berwarna coklat- Rapuh- Tidak elastis- Mudah robek
Sampel 8 : 2
- Berwarna coklat- Rapuh- Tidak elastis- Mudah robek
Sampel 7 : 3
- Berwarna coklat- Tidak rapuh- Agak elastis- Tidak mudah robek
68
Sampel 6 : 4
- Berwarna coklat- Tidak Rapuh- Elastis- Tidak mudah robek
Sampel 5 : 5
- Berwarna coklat- Tidak rapuh- Lebih elastis- Tidak mudah robek
69
(Lampiran 5)
Tabel 9. Hasil Uji Daya Serap Air pada Edible Film Pati Talas – Kitosan.
Sampel Berat Awal(gram)
Berat Akhir(gram)
Daya Serap Air(%)
10 : 0 0,05 0,08 70±14,142%0,05 0,09
8 : 2 0,05 0,10 87,5±8,839%0,08 0,14
7 : 3 0,07 0,10 46,45±5,02%0,06 0,09
6 : 4 0,05 0,08 50±7,071%0,05 0,07
5 : 5 0,06 0,12 100±0 %0,05 0,10
Daya Serap Air dihitung dengan menggunakan rumus:(%) = − × 100%Dengan : W = berat edible film basah
W0 = berat edible film keringContoh Perhitungan
1. 10 : 0 (a)(%) = 0,08 − 0,050,05 × 100%= 60%
2. 10 : 0 (b)
(%) = 0,09 − 0,050,05 × 100%= 80%
Rata-rata: 70%Standar Deviasi: ±14,142
70
(Lampiran 6)
Tabel 10. Hasil Analisis Kadar Gula Pereduksi pada Edible Film.
Sampel Absorbansi Konsentrasi(ppm)
Kadar Gula Pereduksi(%)
10 : 00,063 1,171
2,86±1,1550,153 3,740,151 3,68
8 : 20,095 2,08
2,7±0,8180,149 3,630,106 2,4
7 : 3 Tidak Terdeteksi
6 : 4 Tidak Terdeteksi
5 : 50,025 0,08
0,16±0,0750,030 0,230,028 0,12
y = 0,035x + 0,022R² = 0,992
00,20,40,60,8
11,21,41,6
0 10 20 30 40 50
Abso
rban
si
Konsentrasi (ppm)
Kurva Standar Glukosa
Linear ()
71
Contoh Perhitungan
1. 10 : 0 (a)0,063 = 0,035 − 0,0220,041 = 0,0395= 1,171 ppm2. 10 : 0 (b)0,153 = 0,035 − 0,0220,131 = 0,035= 3,74 ppm3. 10 : 0 (c)0,151 = 0,035 − 0,0220,129 = 0,035= 3,68 ppm
Rata-rata Konsentrasi: 2,86 ppm
Kadar gula pereduksi (%):2,861 = 286 ⋰ 10100 ⋰ 10 × 100%= , %Standar Deviasi: ±1,155
72
(Lampiran 7)
72
(Lampiran 7)
72
(Lampiran 7)
737373
747474
757575
767676
777777
787878
79
(Lampiran 8)
80
81
(Lampiran 9)
82
83
84