Upload
nguyenminh
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KARAKTERISTIK DOMINANSI MONYET HITAM SULAWESI
(Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO- BATUANGUS,
SULAWESI UTARA
SAROYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Dominansi Monyet
Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Desember 2005
Saroyo
NIM B066010011
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sistem sosial monyet hitam Sulawesi
(Macaca nigra) melalui kajian karakteristik dominansi di Cagar Alam Tangkoko-
Batuangus. Penelitian dilaksanakan bulan Januari–Desember 2004. Kelompok monyet
yang diamati adalah Kelompok Rambo II (KRII) dan Kelompok Rambo I (KRI) dengan
ukuran masing-masing pada awal pengamatan sebesar 51 ekor.
Hasil pengamatan selama setahun, didapat nisbah jantan dan betina dewasa
berkisar dari 1:1,9-1:7,5. Nilai nisbah ditentukan oleh filopatri betina dan faktor migrasi
jantan. Daerah jelajah KRII seluas 232 ha, dan jelajah hariannya sepanjang 1,8-4,1 km
dengan rata-rata 3,05 ± 0,58 km. Daerah jelajah KRI seluas 119 ha, dan jelajah hariannya
sepanjang 1,7-3,3 km dengan rata-rata 2,09 ± 0,34 km.
Dominansi ditentukan melalui pengamatan interaksi agonistik pada enam jantan
KRII, enam jantan KRI, dan 14 betina KRI. Interaksi agonistik intrakelompok hanya
mencakup 1,8% dari total waktu harian. Interaksi agonistik meliputi agresi ringan sebesar
59,5% dan agresi berat sebesar 40,5%. Agresi lunak diikuti dengan rekonsiliasi sebesar
75,8% dan tingkah laku arah diri/TAD sebesar 24,2%, sedangkan agresi berat diikuti
dengan rekonsiliasi sebesar 33,3% dan TAD sebesar 66,7%. Angka rekonsiliasi pada
agresi lunak sebesar 75,8% dan pada agresi berat sebesar 33,3%. Inisiasi rekonsiliasi
dilakukan oleh individu dominan sebesar 59,5% dan 40,5% dilakukan oleh individu
subordinan.
Hierarki dominansi jantan bersifat linear sempurna. Jika terjadi ketidakseimbangan
hubungan antarjantan, hierarki dapat bersifat tidak linear. Ketidakseimbangan hubungan
antarjantan terjadi pada saat terjadi perubahan tingkah laku agresif sampai terbentuknya
hierarki baru. Hierarki dapat berubah karena faktor perubahan tingkah laku agresif jantan
dan faktor migrasi. Dengan demikian, interaksi sosial jantan bersifat asimetris yang
ditunjukkan melalui hubungan dominansi.
Hirarki dominansi betina bersifat linear tidak sempurna karena terdapatnya
beberapa hubungan segitiga. Tingkah laku menelisik pada betina tidak dipengaruhi oleh
peringkat dominansi sehingga interaksi sosial antarbetina bersifat simetris dan
menunjukkan sistem sosial egaliter atau pola dominansi yang rileks.
Koalisi dapat menurunkan peran dominansi untuk akses terhadap pakan, tempat,
dan kawin, serta dapat meningkatkan status individu dalam hierarki dominansinya.
Koalisi dapat terdiri dari 2-6 ekor monyet. Koalisi dapat bertipe konservatif jika dua
individu dominan melawan individu subordinan, tipe jembatan jika individu dominan
bekerja sama dengan individu subordinan melawan individu peringkat menengah, dan
tipe revolusioner jika individu-individu subordinan melawan individu dominan. Koalisi
berbentuk konservatif sebesar 32,3%, berbentuk revolusioner sebesar 35,5%, dan
berbentuk jembatan sebesar 32,3%.
Migrasi terjadi pada individu jantan dewasa dan individu jantan pada saat
mencapai umur dewasa. Empat jantan KRII bermigrasi ke KRI selama bulan Oktober
dan November. Pada saat migrasi terjadi, terdapat 15 ekor betina KRI sedang estrus,
sedangkan pada KRII hanya terdapat satu betina estrus. Migrasi jantan tampaknya
disebabkan ketertarikan secara seksual dengan betina yang reseptif pada kelompok lain.
Menelisik merupakan aktivitas yang mencakup 12,3% dari total waktu aktivitas
harian monyet. Betina lebih banyak menelisik jantan daripada jantan menelisik betina.
Menelisik berperan dalam: pendekatan dalam tingkah laku seksual, sarana rekonsiliasi,
ikatan sosial, mencegah tertelisik pindah tempat, dan sebagai sarana TAD. Terdapat
kecenderungan jantan dominan mendekati jantan subordinan, betina dominan mendekati
betina subordinan, dan betina mendekati jantan. Interaksi antarkelompok dapat bersifat
agonistik maupun afiliatif, bahkan terjadi perkawinan.
Tingkah laku seksual monyet hitam Sulawesi sangat bervariasi terutama tingkah
laku prakopulasi, pascakopulasi, dan durasi kopulasi. Frekuensi kawin pada jantan
dewasa tidak dipengaruhi oleh peringkat dalam hierarki dominansinya. Akses kawin
dimiliki oleh seluruh jantan dari semua kelas umur sebagai akibat dari karakter personal
Jantan-á dan strategi kawin jantan peringkat rendah. Walaupun demikian, terdapat
monopoli betina estrus oleh jantan peringkat tinggi yang juga dipengaruhi oleh faktor
kesukaan jantan oleh betina maupun faktor kesukaan betina oleh jantan. Untuk
mendapatkan akses kawin, jantan peringkat rendah menerapkan strategi dengan menjauhi
kelompok dan kawin pada saat jantan dominan lengah.
ABSTRACT
SAROYO. Dominance Characteristics of Sulawesi Crested Black Macaques (Macaca nigra) at Tangkoko-Batuangus Nature Reserve, North Sulawesi. Under the supervision of SRI SUPRAPTINI MANSJOER, RUDY C. TARUMINGKENG, DEDY DURYADI SOLIHIN, and KUNIO WATANABE.
The social system of Sulawesi macaques is considered as ‘egalitarian’. Generally, social system patterns relate to females. The aims of this study were to investigate whether ‘egalitarian’ social relationships also apply to Sulawesi crested black macaque males and the function of dominance to social interactions. For this, the male and female dominance pattern, dominance hierarchy changes, and its function to social interactions were studied. This study has been conducted on two identified and habituated groups at Tangkoko-Batuangus Nature Reserve, North Sulawesi from January to December 2004. Data were collected by focal animal sampling of six males of Rambo II, six males of Rambo I and 14 females of Rambo II. Linearity of male hierarchy was calculated with the Landau’s index of linearity (h). The dynamic of dominance hierarchy was monitored by observation of changes in the direction of agonistic interactions. Results showed that: 1) during periods with stable male relationships, the male dominance hierarchy was linear and transitive, whereas during unstable periods, it was non-linear; 2) during one year, α-male replacements occurred two times on Rambo II and one times on Rambo I; 3) the female dominance hierarchy was imperfectly linear; 4) migration process only occurred in adult and growing adult males; 5) dominance determined priority for accessing to safety and comfortable place and food; 6) coalition might play a role in decreasing domination of dominant individual; 7) to decrease agonistic frequency and intensity, the Sulawesi black macaques used several behavioral mechanisms, such as allogrooming and postconflict affiliation; 8) females groomed males more frequently than males did, grooming among females was unrelated to their ranking; 9) there was a tendency for high rank males to approach lower rank males, for high rank females to approach lower rank females and for females to approach males; 10) intergroup interaction included agonistic and affiliative interactions between the two group members and intergroup mating; and 11) natural sexual behavior was varied; 12) mating frequency of the males was not influenced by their ranking; 13) there were mate choice factors and mating strategy of lower rank to avoid intervention by high rank. From the results, it can be concluded that contrary to females that have egalitarian society, in male Sulawesi crested black macaques, the dominance hierarchy is usually linear and male relationships are non-‘egalitarian’. When defining a social system in primates, it should thus always be clear to which sex the definition is referring to. Key words: Dominance characteristics, Sulawesi crested black macaques (Macaca nigra), Tangkoko-Batuangus Nature Reserve
KARAKTERISTIK DOMINANSI MONYET HITAM SULAWESI
(Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO-BATUANGUS, SULAWESI
UTARA
SAROYO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
Judul Disertasi : Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara Nama : Saroyo NIM : B066010011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ketua
Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng Anggota
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Anggota
Prof. Kunio Watanabe, Ph.D. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Ujian Tanggal: 11-11-2005 Tanggal Ujian:
Lulus tanggal: Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini berjudul Karakteristik
Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-
Batuangus, Sulawesi Utara, berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dari bulan
Januari sampai dengan Desember 2004.
Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari peran dan bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi
Pembimbing, yaitu Ibu Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer, Bapak Prof. Dr. Rudy C.
Tarumingkeng, Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, serta Bapak Prof. Kunio
Watanabe, Ph.D. yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama persiapan,
penelitian, dan penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan pegawai, Rektor
Universitas Sam Ratulangi Manado beserta staf dan pegawai, Kepala Pusat Studi Satwa
Primata LP-IPB beserta staf dan pegawai, serta PEMDA Sulawesi Utara yang telah
memberi kesempatan dan bantuan untuk menunaikan tugas belajar di PS Primatologi SPS
IPB. Dengan selesainya penelitian di CA. Tangkoko-Batuangus, penulis menyampaikan
banyak terima kasih kepada Kepala Balai KSDA Sulawesi Utara beserta staf dan pegawai
atas bantuan dan kerjasama selama penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada
PEMKOT Bitung, Lurah, dan masyarakat Batuputih yang banyak membantu penulis
selama di lokasi penelitian. Banyak pihak telah membantu pendanaan penelitian,
sehingga penulis menyampaikan terima kasih kepada DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS,
Director of The Rufford Small Grant dan Primate Research Institute Kyoto University
atas bantuan dana untuk penelitian. Kepada keluarga, sahabat, dan mahasiswaku penulis
sampaikan terima kasih atas doa dan dorongannya.
Semoga disertasi ini bermanfaat, terutama sebagai salah satu landasan konservasi
monyet hitam Sulawesi dan pengelolaan kawasan konservasi.
Bogor, 11 November 2005
Saroyo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Boyolali pada tanggal 24 Juni 1968. Pendidikan menengah
ditempuh di SMA I Boyolali Program A2 dan lulus pada tahun 1987. Lulus pendidikan
sarjana dari Program Studi Pendidikan Biologi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1992. Melanjutkan
pendidikan Pra-S2 di Program Studi Biologi Institut Teknologi Bandung pada tahun 1993
melalui program Calon Tenaga Akademik Baru (CTAB), dilanjutkan dengan pendidikan
magister tahun 1994 pada program studi yang sama pada bidang Biologi Perkembangan
dengan beasiswa Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) dari DIKTI. Lulus
pendidikan magister pada tahun 1996. Menempuh program doktor di Institut Pertanian
Bogor pada Program Studi Primatologi pada tahun 2001 dengan nomor mahasiswa
B066010011.
Pada tahun 1996, penulis diangkat sebagai staf pengajar di Universitas Sam
Ratulangi, Manado di Fakultas Peternakan, Program Studi Ilmu Produksi Ternak. Pada
tahun 2000 penulis dipindahkan sebagai staf pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Program Studi Biologi. Beberapa kursus telah diambil, antara lain
Method in Microbiology, Natural Product Chemistry, Field Course in Primate Behavior
and Ecology Tangkoko Nature Reserve, Kursus Singkat Biologi Molekuler, Pelatihan
Penulisan Artikel Ilmiah Tingkat Nasional, Kursus Pekerti, Kursus AA, Penataran Calon
Penulis Buku Ajar Perguruan Tinggi, Tinjil Island Primate Research Project Field
Course: Primate Behavior and Ecology, Pelatihan Kiat-Kiat Penyusunan Proposal
Penelitian Berdaya Saing Tinggi dan Penelusuran Informasi Ilmiah Mutakhir.
Mulai bekerja untuk monyet hitam Sulawesi di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus
dari tahun 1998 sebagai peneliti maupun pembimbing penelitian mahasiswa. Beberapa
hasil penelitiannya telah dipublikasikan pada beberapa jurnal, yaitu Zootek, Jurnal Ilmiah
Sains, Eugenia, dan Jurnal Primatologi Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... 1 Tujuan Penelitian .................................................................................. 4 Ruang Lingkup ...................................................................................... 4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 4 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Hitam Sulawesi ........................................................... 6 Cagar Alam Tangkoko-Batuangus ....................................................... 10 Organisasi Sosial Monyet Hitam Sulawesi ......................... ............... 11 Definisi Istilah ....................................................................................... 25 MATERI DAN METODE PENELITAN Tempat dan Waktu .............................................................................. 29 Materi dan Alat ..................................................................................... 29 Metode Penelitian ................................................................................. 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kelompok ........................................................................ 45 Ukuran dan Komposisi Kelompok .................................................... 45 Pertumbuhan Kelompok .................................................................... 46 Daerah Jelajah dan Jelajah Harian ..................................................... 52 Aspek Karakteristik Dominansi ............................................................ 58 Dominansi Jantan .............................................................................. 58 Dominansi Betina .............................................................................. 71 Aspek Tingkah Laku Sosial .................................................................. 75 Peran Dominansi Terhadap Tempat .................................................. 75 Peran Dominansi Terhadap Pakan .................................................... 79 Pola Interaksi Intrakelompok ............................................................ 83 Pola Interaksi Antarkelompok ........................................................... 96 Aspek Reproduksi ................................................................................. 102 Tingkah Laku Seksual ....................................................................... 102 Peran Dominansi dalam Kawin ......................................................... 105 Pemilihan Pasangan Kawin ............................................................... 110 Strategi Kawin Jantan Peringkat Rendah .......................................... 112 SIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI ..................................... 114 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 115 LAMPIRAN ............................................................................................. 122 GLOSARIUM ........................................................................................... 130
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Perbandingan hubungan sosial primata betina keempat tipe kompetisi .............................................................................................
18
2 Tiga teori untuk menjelaskan pembentukan koalisi (Widdig 2000) .. 22 3 Komposisi KRII (Januari 2004) ........................................................... 45 4 Komposisi KRI (Juli 2004) ................................................................... 45 5 Rekapitulasi kelahiran, kematian, imigrasi, dan emigrasi KRII .......... 46 6 Komposisi KRII pada akhir pengamatan (Desember 2004) ................ 47 7 Komposisi KRI pada akhir penelitian (Desember 2004) ...................... 49 8 Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRII ...................... 51 9 Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRI ....................... 52 10 Jarak jelajah harian KRII ...................................................................... 54 11 Jarak jelajah harian KRI ....................................................................... 54 12 Karakteristik jantan dewasa KRII ........................................................ 59 13 Rekapitulasi hasil pertemuan agresif dan arah ancaman atau tunduk
pada jantan dewasa KRII ................................................................... 60
14 Hasil interaksi agonistik dan arah ancaman atau tunduk pada jantan dewasa KRI …………………………………………………………...
60
15 Dinamika hierarki jantan KRII ............................................................. 62 16 Dinamika hierarki jantan KRI .............................................................. 63 17 Komposisi individu dewasa KRII dan KRI pada bulan Oktober awal 68 18 Perbandingan lama proses migrasi pada dua jantan KRII .................... 70 19 Matriks sosiometrik hasil interaksi agresif antarbetina KRII pada
awal pengamatan (Juni 2004) ............................................................. 72
20 Matriks sosiometrik hasil interaksi agresif antarbetina KRII pada akhir pengamatan (Agustus 2004) .......................................................
72
21 Rekapitulasi pendekatan antarjantan KRII ........................................... 76 22 Hasil uji pakan pada enam jantan KRII ................................................ 80 23 Interaksi agonistik antarindividu KRII ................................................. 84 24 Hasil pengamatan koalisi ...................................................................... 88 25 Rekapitulasi pendekatan KRII .............................................................. 94 26 Perkawinan antarkelompok KRI dan KRII .......................................... 100 27 Tingkah laku seksual dan variasinya ................................................... 103 28 Rekapitulasi variasi tingkah laku kawin ............................................... 104 29 Rekapitulasi frekuensi kawin jantan KRII ............................................ 106 30 Monopoli terhadap betina subur oleh jantan.......................................... 109
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Monyet hitam Sulawesi ............................................................................ 6 2 Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi perebutan . ........................... 16 3 Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi pertandingan ....................... 17 4 Peta lokasi penelitian ................................................................................ 30 5 Pertumbuhan KRII selama tahun 2004 ................................................... 47 6 Daerah jelajah KRII dan KRI ................................................................... 53 7 Tipe-tipe vegetasi pada daerah jelajah KRII dan KRI ............................... 55 8 Hubungan segitiga antarjantan KRII ......................................................... 61 9 Migrasi jantan dewasa yang teramati selama penelitian .......................... 65 10 Dinamika dalam hierarki dominansi betina dewasa KRII pada awal pengamatan (Juni) dan akhir pengamatan (Agustus) ...............................
74
11 Pergeseran daerah jelajah KRII selama tahun 2004 .................................. 77 12 Interaksi antara KRII dan KRII pada daerah interseksi ............................ 98
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Dinamika dalam hierarki dominansi KRII .............................................. 122 2 Dinamika dalam hierarki dominansi KRI ................................................ 125 3 Proses migrasi jantan KRII ..................................................................... 127 4 Frekuensi menelisik silang antarindividu dewasa KRII ........................... 129
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sulawesi termasuk salah satu pulau dalam daerah Wallacea. Daerah Wallacea
adalah daerah peralihan antara Zoogeografi Oriental dan Zoogeografi Australia (Coates
dan Bishop 2000). Satwa Sulawesi merupakan yang paling khas di seluruh Indonesia
terutama di antara mammalia. Dari 127 spesies mammalia asli, 62% bersifat endemik
(Whitten et al. 1987). Monyet (genus Macaca) adalah satwa khas Oriental yang daerah
penyebarannya sampai di Sulawesi (Bynum 1999). Nenek moyang monyet Sulawesi
menyeberang ke Pulau Sulawesi pada pertengahan Plestosen dari Pulau Kalimantan atau
Jawa (Whitten et al. 1987). Pada saat ini terdapat enam spesies monyet endemik
Sulawesi, yaitu M. nigra, M. nigrescens, M. hecki, M. tonkeana, M. maura (M. maurus),
dan M. ochreata (Groves 2001), atau tujuh spesies menurut Fooden (1969 dalam Bynum
1999) dengan tambahan M. brunnescens.
Penelitian tentang aspek sosial monyet Sulawesi belum banyak dilakukan, kecuali
untuk M. maurus. Beberapa penelitian tentang aspek sosial pada M. maurus, antara lain:
organisasi sosial (Watanabe dan Matsumura 1996), afiliasi pascakonflik (Matsumura
1996), hubungan dominansi rileks antarbetina (Matsumura 1996), faktor-faktor yang
mempengaruhi proksimitas antaranggota kelompok selama makan, bergerak, dan istirahat
(Matsumura dan Okamoto 1997), serta sejarah hidup dan demografi (Okamoto et al.
2000).
Sistem sosial monyet dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan pola
dominansinya, yaitu sistem sosial egaliter dan sistem sosial despotik (Hemelrijk 1999).
Pada sistem sosial egaliter, keuntungan dalam memanfaatkan sumber tersebar merata
pada semua peringkat dan interaksi sosialnya bersifat simetris (Matsumura 1998,
Hemelrijk 1999). Pada sistem sosial despotik, keuntungan dalam memanfaatkan sumber
secara kuat dimiliki oleh individu peringkat tinggi, dengan interaksi sosial bersifat
asimetris (Matsumura 1998, Hemelrijk 1999). Penelitian pada M. maurus oleh
Matsumura (1998) didapatkan hasil bahwa hubungan sosial antarbetina dewasa bersifat
egaliter atau mempunyai pola dominansi rileks.
Hubungan sosial monyet Sulawesi betina dikategorikan sebagai dominansi rileks
atau sistem sosial egaliter seperti pada monyet Barbary (M. sylvanus), monyet bonnet (M.
radiata), dan monyet stumptail (M. arctoides) (Matsumura 1998). Hubungan sosial yang
berbeda, yang disebut despotik ditemukan pada sistem sosial monyet Jepang (M. fuscata),
monyet Rhesus (M. mullata), dan beruk (M. nemestrina) (Matsumura 1998).
Masyarakat egaliter atau despotik pada satwa primata umumnya ditentukan dari
interaksi antarbetina. Sistem sosial M. nigra (monyet hitam Sulawesi) betina bilamana
termasuk sistem sosial egaliter seperti pada M. maurus atau despotik belum banyak
diketahui. Sistem sosial monyet hitam Sulawesi jantan bilamana mempunyai pola yang
sama atau berbeda dengan sistem sosial pada betina juga belum banyak diketahui.
Demikian juga jika monyet hitam Sulawesi mempunyai sistem sosial seperti pada monyet
Sulawesi lainnya, karakteristik dominansi pada monyet hitam Sulawesi juga masih harus
diteliti. Oleh karena itu studi yang mendalam tentang sistem sosial monyet hitam
Sulawesi, terutama tentang pola dominansi menjadi sangat penting.
Monyet hitam Sulawesi menempati habitat hutan hujan tropis primer dan sekunder
di beberapa lokasi di semenanjung utara Pulau Sulawesi dan beberapa pulau satelitnya
(Lee dan Kussoy 1999, Supriatna dan Wahyono 2000). Penelitian Reed et al. (1997) pada
tahun 1994 selama enam minggu pada Kelompok Rambo (97 ekor), menunjukkan bahwa
dominansi pada jantan berbentuk linear dan transitif di antara enam jantan dewasa.
Frekuensi dan intensitas agresi di antara jantan berkorelasi kuat dengan jarak peringkat.
Jantan dari seluruh peringkat secara signifikan menunjukkan pula tingkat agresivitas yang
lebih tinggi terhadap betina, yang reseptif secara seksual dibandingkan dengan betina
pada fase yang lain. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa monyet hitam
Sulawesi jantan mempunyai organisasi sosial yang sama dengan kelompok banyak
jantan-banyak betina seperti pada spesies Macaca lainnya.
Ukuran kelompok monyet hitam Sulawesi pada saat ini tidak sebesar pada tahun
1994. Berdasarkan penelitian O’Brien dan Kinnaird (1997) yang dilakukan pada tahun
1994, ukuran kelompok berkisar 27-97 ekor. Pada penelitian pendahuluan (Saroyo
2002a), ukuran Kelompok Rambo I dan Kelompok Rambo II berkisar 50-60 ekor.
Kelompok kecil yang disebut Kelompok Gila mempunyai ukuran 13 ekor. M. maurus
mempunyai ukuran kelompok yang lebih kecil, yaitu 20-30 (Matsumura 1998).
Penelitian aspek dominansi pada spesies lain, misalnya pada monyet Jepang (M.
fuscata) didapatkan hasil bahwa hierarki di antara individu dewasa dan remaja dari kedua
jenis kelamin bersifat linear sempurna (Chaffin et al. 1995). Hasil yang sama juga
didapatkan pada monyet Rhesus (M. mullata) dan monyet stumptail (M. arctoides)
(Chaffin et al. 1995).
Umumnya penelitian tentang dominansi terkonsentrasi pada jantan dewasa
dibandingkan dengan pada betina dewasa (Chalmer 1980). Secara umum, pada satwa
primata yang menunjukkan sifat dominansi, jantan dewasa mempunyai peringkat
dominansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina dewasa, dengan kekecualian
pada talapoin (Miopithecus talapoin) (Chalmer 1980) dan Lemur (Rowe 1996).
Dominansi pada betina lebih terkait dengan kesempatan untuk mendapatkan pakan dan
keberhasilan dalam reproduksi (Matsumura 1998, Range dan Noe 2002). Betina yang
lebih dominan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pakan yang lebih banyak
daripada betina yang kurang dominan, terutama untuk sumber pakan yang terbatas
(Chalmer 1980). Betina peringkat tinggi mempunyai angka kelahiran dan angka
kesintasan anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina peringkat yang lebih
rendah (Chalmer 1980).
Dominansi merupakan kedudukan yang penting dalam tingkah laku sosial, karena
keuntungan didapat oleh individu peringkat tinggi, seperti prioritas untuk akses kawin,
pakan, dan tempat aman (Hemelrijk 1999). Perbedaan dalam akses terhadap kawin ini
akan mengakibatkan hanya beberapa jantan peringkat tinggi saja yang dapat melakukan
kawin dengan betina yang secara seksual reseptif. Akibatnya hanya beberapa jantan saja
yang menyumbangkan sumber genetik untuk generasi berikutnya. Walaupun demikian,
karena jantan dan betina peringkat tinggi mempunyai sifat morfologi dan tingkah laku
yang unggul atau superior (Napier dan Napier 1985, Reed et al. 1997), maka perkawinan
dengan induk yang secara morfologi dan tingkah laku unggul akan menurunkan anak-
anak dengan gen yang unggul juga (Reed et al. 1997).
Perbedaan ukuran kelompok pada kondisi habitat di Cagar Alam Tangkoko-
Batuangus kemungkinan akan berpengaruh terhadap karakteristik dominansi monyet
hitam Sulawesi. Oleh karena itu masalah tersebut menarik untuk diteliti.
Tujuan Penelitian
1) Mengkaji karakteristik dominansi sebagai dasar dalam penentuan sistem sosial
monyet hitam Sulawesi.
2) Menentukan peran dominansi dalam berbagai interaksi sosial monyet hitam Sulawesi.
Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif bidang tingkah laku satwa primata
di alam. Salah satu ciri penelitian ini adalah tidak dapat dibuat hipotesis dan apabila
dipaksakan maka hipotesisnya akan berbetuk sangat umum (Suratmo 2002). Penelitian
ini dititikberatkan pada salah satu aspek sistem sosial monyet hitam Sulawesi, yaitu aspek
karakteristik dominansi. Aspek pendukung yang juga diamati meliputi karakteristik
kelompok yang mencakup ukuran dan komposisi kelompok, pertumbuhan kelompok,
serta daerah jelajah dan jelajah harian. Aspek peran dominansi dalam interaksi sosial
monyet meliputi aspek tingkah laku sosial dan aspek reproduksi. Luaran penelitian
diharapkan dapat dijadikan rekomendasi bagi otoritas manajemen kawasan konservasi
dan organisasi yang bergerak dalam bidang konservasi ex-situ.
Manfaat Penelitian
1) Menambah informasi tentang karakteristik dan peran dominansi dalam berbagai
interaksi sosial sebagai dasar dalam penentuan sistem sosial monyet hitam Sulawesi.
2) Dasar dalam pengelolaan populasi monyet hitam Sulawesi melalui pengelolaan
tingkah laku kelompok, terutama yang berkaitan dengan sistem sosial bagi otoritas
manajemen CA Tangkoko-Batuangus dan kawasan konservasi lainnya di Sulawesi
Utara dan lembaga/organisasi konservasi ex-situ dalam pengelolaan kelompok,
sehingga kelestarian spesies ini dapat dipertahankan.
Kerangka Pemikiran
Permasalahan: - Ada tidaknya perubahan sistem sosial dengan
berubahnya ukuran kelompok - Sistem sosial jantan sama atau berbeda dengan
sistem sosial pada betina - Karakteristik dominansi pada M. nigra
Analisis dan evaluasi hasil didasarkan pada kajian teoritis dan fakta di lapangan.
Koleksi Data: - Pola dominansi
- Peran dominansi dalam interaksi sosial
Jantan Betina
Penyimpulan
Sistem sosial monyet Sulawesi dikategorikan sebagai sistem sosial egaliter
- Penelitian serupa banyak dilakukan pada M. maurus
- Pada M. nigra jantan dilakukan oleh Reed et al. pada tahun 1994 pada kelompok Rambo (97 ekor) selama enam minggu
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Monyet Hitam Sulawesi
Klasifikasi
Monyet hitam Sulawesi atau dalam bahasa lokal disebut yaki (Gambar 1)
merupakan satu dari enam jenis monyet Sulawesi. Monyet Sulawesi meliputi dare (M.
maura/maurus), yaki (M. nigra), dihe (M. nigrescens), dige (M. hecki), boti (M.
tonkeana), hada (M. ochreata) (Groves 2001).
Gambar 1 Monyet hitam Sulawesi
Menurut Corbet dan Hill (1992) serta Collinge (1993), monyet hitam Sulawesi
dimasukkan ke dalam Bangsa Primates, Suku Cercopithecidae, Marga Macaca, dan Jenis
Macaca nigra. Pemberian nama yang salah untuk jenis ini, misalnya Celebes black ape
didasarkan pada warna rambutnya yang hitam dan tanpa ekor yang terlihat jelas. Dalam
bahasa daerah, monyet ini disebut yaki (Tonsea, Bacan), wolai (Tondano), dan bolai
(Mongondow) (Supriatna dan Wahyono 2000).
Penyebaran
Monyet hitam Sulawesi tersebar di semenanjung utara Pulau Sulawesi di sebelah
timur Sungai Onggak Dumoga dan Gunung Padang yang berbatasan dengan penyebaran
M. nigrescens (Groves 2001). Di Sulawesi Utara, monyet ini dapat dijumpai di CA
Tangkoko-Batuangus, CA DuaSudara, SM Manembonembo, Kotamobagu, dan
Modayak. Monyet ini juga ditemukan di CA Gunung Lokon, CA Gunung Ambang, CA
Tanggale, Pulau Manado Tua, dan Pulau Talise (Lee dan Kussoy 1999, Supriatna dan
Wahyono 2000). Monyet ini telah diintroduksi ke Pulau Bacan di Maluku Utara dan
populasinya lebih banyak dibandingkan dengan populasi aslinya. Penelitian oleh
Rosenbaum et al. (1998) didapatkan hasil bahwa kerapatan monyet hitam Sulawesi di
Cagar Alam Gunung Sibela di Pulau Bacan mencapai 170,3 ekor/km2, sedangkan di
hutan yang sudah terganggu mencapai 133,4 ekor/km2.
Pertelaan
Monyet hitam Sulawesi mempunyai ciri tubuh yang mudah dibedakan dengan jenis
lainnya. Panjang tubuh betina dewasa 445-550 mm dan pada jantan dewasa 520-570 mm,
ekor sepanjang 25 mm (Rowe 1996). Bobot tubuhnya 7-15 kg (Supriatna dan Wahyono
2000). Rambut yang menutupi seluruh tubuh berwarna hitam kelam, namun bagian
belakang (punggung) dan paha berwarna lebih terang dibandingkan dengan bagian lain
(Bynum 1999, Supriatna dan Wahyono 2000). Wajah berwarna hitam dan tidak
ditumbuhi rambut. Moncong jauh lebih menonjol dibandingkan dengan monyet Sulawesi
lainnya. Kepala mempunyai jambul merupakan ciri khas monyet tersebut. Warna tubuh
betina dan monyet muda sedikit pucat bila dibandingkan dengan jantan dewasa. Bantalan
tungging berbentuk suboval dan terbagi secara sempurna (Bynum 1999). Pantat
membengkak merah pada monyet betina menandakan bahwa satwa tersebut sedang estrus
(Rowe 1996, Kinnaird 1997). Kematangan seksual pada betina dicapai pada umur 49
bulan, siklus estrus sepanjang 36 hari, kebuntingan selama 174-196 hari, umur pertama
melahirkan 65 bulan, interval kelahiran 18 bulan, dan lama hidup dapat mencapai 18
tahun (Rowe 1996). Bayi berambut putih pada wajah, lengan, dan bagian bawah badan.
Warna ini akan berubah perlahan-lahan menjadi hitam sebelum umur empat sampai enam
bulan (Kinnaird 1997). Indeks intermembran sebesar 94 dan bobot otak dewasanya
mencapai 94,4 g (Rowe 1996).
Ekologi
1. Habitat
Monyet hitam Sulawesi hidup di hutan tropis primer dan sekunder (Rowe 1996) di
Sulawesi Utara. Mereka dapat dijumpai pada hutan primer atau sekunder dataran rendah
hingga dataran tinggi sampai 2.000 dpl (Supriatna dan Wahyono 2000). Ular python
(Python reticulatus) merupakan predator alaminya (Kilner 2001).
2. Pakan
Seperti pada jenis monyet lain, monyet hitam Sulawesi termasuk omnivor. Monyet
ini memakan berbagai bagian tumbuhan, mulai dari daun, pucuk daun, bunga, biji, buah,
dan umbi, serta beberapa jenis serangga, moluska, dan invertebrata kecil. Terdapat lebih
dari 145 jenis buah yang dimakan. Di CA Tangkoko-Batuangus, sekelompok monyet
sering ditemukan di tepi laut untuk mencari moluska sebagai salah satu sumber pakannya
(Supriatna dan Wahyono 2000). Pohon ara merupakan salah satu sumber pakan bagi
monyet yang paling melimpah. Di CA Tangkoko-Batuangus dan CA DuaSudara terdapat
45 jenis. Buah ara merupakan 20 persen dari total pakan monyet (Kinnaird 1997).
Beberapa jenis serangga yang dimakan monyet ini meliputi tawon, rayap, ulat dalam
gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang (Saroyo 2002b).
3. Tingkah Laku
Monyet hitam Sulawesi merupakan spesies diurnal, terestrial, dan arboreal yang
kadang-kadang disebut semiarboreal (Rowe 1996, Supriatna dan Wahyono 2000).
Lokomosi terutama secara kuadrupedal (Rowe 1996), walaupun cara bergerak monyet ini
sangat bervariasi, dari menggunakan kedua kakinya (bipedal), menggantung (brakiasi),
ataupun memanjat (Supriatna dan Wahyono 2000). Daerah jelajahnya seluas 114-320 ha,
dan jelajah hariannya dapat mencapai 5 km (Supriatna dan Wahyono 2000). Berdasarkan
penelitian pendahuluan (Saroyo 2002b, Saroyo et al. 2004b), Kelompok Rambo II di CA
Tangkoko-Batuangus mempunyai daerah jelajah yang cukup sempit yaitu 59 ha dan jarak
jelajah hariannya 2.839 ± 423,6 m. Monyet hitam Sulawesi aktif pada siang hari
(diurnal), dan sore hari menjelang tidur mereka memilih tumbuhan yang rimbun. Tidur
dilakukan pada tajuk tinggi pepohonan yang ditinggalkan menjelang matahari terbit
untuk segera turun mencari makan. Monyet ini menghabiskan setengah waktunya di
tanah dan setengahnya lagi di pepohonan dengan bergelantungan dari satu pohon ke
pohon lain untuk mencari makan (Kinnaird 1997).
Status Konservasi
Monyet hitam Sulawesi dilindungi oleh Pemerintah RI dengan SK Menteri
Pertanian 29 Januari 1970 No. 421/Kpt/um/8/1970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991
No. 301/Kpts-II/1991 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 (Supriatna dan Wahyono
2000). Dalam daftar yang dikeluarkan IUCN, spesies ini digolongkan sebagai satwa
genting dan dicantumkan dalam Appendix II CITES (Supriatna dan Wahyono 2000).
Berdasarkan kecenderungan hilangnya hutan, status spesies ini perlu diubah menjadi
kritis (Lee et al. 2002).
Populasi
Habitat monyet hitam Sulawesi telah banyak mengalami penyusutan akibat
penebangan dan pembukaan lahan perkebunan (Lee et al. 2001). Saat ini mereka telah
kehilangan 60% habitatnya dari 12.000 km2 menjadi 4.800 km2, dan hanya menempati
areal seluas 2.750 km2 dalam kawasan konservasi (Supriatna dan Wahyono 2000).
Berdasarkan penelitian Lee dan Kussoy (1999), kerapatan populasi monyet hitam
Sulawesi di Tangkoko sebesar 58,0 ekor/km2, di Pulau Talise 21,5 ekor/km2, di
Manembonembo (22,8 ekor/km2), dan di Manado Tua 34,0 ekor/km2.
Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya, populasi monyet hitam
Sulawesi di CA Tangkoko-Batuangus telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Penelitian MacKinnon dan MacKinnon pada tahun 1978, kerapatan populasi monyet di
CA Tangkoko-Batuangus-DuaSudara sebesar 300 ekor/km2, dan berdasarkan penelitian
Sugardjito et al. pada tahun 1988, kerapatannya menjadi 76 ekor/km2 (Rosenbaum et al.
1998). Penelitian Rosenbaum et al. pada tahun 1994 menunjukkan bahwa kerapatan
populasi monyet sebesar 66,7 ekor/km2 (Rosenbaum et al. 1998). Berdasarkan hasil
survei Kyes et al. (2002) pada tahun 1999-2002, kerapatannya sebesar 39,8 ekor/km2.
Cagar Alam (CA) Tangkoko-Batuangus
Sulawesi Utara mempunyai beberapa kawasan perlindungan, baik cagar alam,
taman nasional, maupun suaka margasatwa. CA Tangkoko-Batuangus terletak di
Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Kawasan ini ditetapkan sebagai
cagar alam berdasarkan GB No. 6 Stbl 1919, tanggal 12 Februari 1919 (KSDA Sulawesi
Utara). Luas cagar alam ini 3.196 ha, terletak pada 1o30’ -1o34’N dan 125 o10’ -125o81’E
(Sunarto et al. 1999). Sebagian dari wilayahnya digunakan sebagai daerah wisata alam,
dan sampai saat ini belum diketahui pengaruh kegiatan tersebut terhadap kehidupan
monyet. Beberapa kelompok monyet, seperti KRII dan KRI mempunyai daerah jelajah
yang melalui daerah Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih (Saroyo 2002a). CA
Tangkoko-Batuangus menyatu dengan CA DuaSudara, TWA Batuangus, dan TWA
Batuputih. Luas keempat kawasan ini 8.718 ha (KSDA Sulawesi Utara 2002).
CA Tangkoko-Batuangus meliputi beberapa tipe habitat (Whitten et al. 1987,
Saroyo 2003b) sebagai berikut ini.
1) Pantai, yaitu formasi barringtonia, meliputi tumbuhan: Barringtonia asiatica
(bitung), Pandanus sp. (pandan), Callophyllum soulattri (nyamplung), Morinda
citrifolia (mengkudu daun besar), Morinda bracteata (mengkudu daun kecil), Cycas
rumphii (pakis haji), Terminalia catappa (ketapang), Hibiscus tiliaceus (waru laut),
Ixora sp. (soka/suwing), Erythrina sp. (dadap), Pongamia pinnata (lakehe), Leea
indica (momaling biasa), Kleinhovia hospita (bintangar), dan Barringtonia
acutangula (salense).
2) Hutan sekunder dengan pohon khas Cocos nucifera (kelapa), Mangifera indica
(mangga), Macaranga sp. (binunga), dan Tectona grandis (jati).
3) Semak-semak yang tersusun atas Imperata cylindrica (alang-alang), Saccharum
spontaneum (glagah), Eupatorium odoratum, Lantana camara (tembelekan), Piper
aduncum (sirih hutan), dengan diselingi pohon Macaranga sp. (binunga), dan Melia
azedarach (mindi/bugis).
4) Semak-semak lain yang tersusun atas rumput Cyrtococcum oxyphyllum yang hampir
tertutup oleh Piper aduncum (sirih hutan), Melia azedarach (mindi/bugis),
Macaranga sp. (binunga), Lantana camara (tembelekan), Pterospermum
diversifolium (wolo daun besar), Alstonia sp. (kayu telur), Laportea sp. (kemaduh),
dan Tectona grandis (jati).
5) Hutan primer dengan berbagai jenis pohon, yang menyolok antara lain Ficus sp.
(ara), Leea indica (momaling biasa), Palaquium amboinense (nantu), Ardisia sp.
(kayu anoa), Eugenia sp. (gora hutan), Garuga floribunda (kayu kambing),
Dracontomelum dao (rao), Livistona rotundifolia (woka), dan Baringtonia
acutangula (salense).
6) Di atas ketinggian 800 m sudah merupakan vegetasi pegunungan.
Organisasi Sosial Monyet Hitam Sulawesi
Bangsa Primates merupakan salah satu Bangsa dalam Kelas Mammalia yang hidup
dalam suatu kelompok sosial. Hidup bersosial memberikan beberapa keuntungan untuk
akses terhadap pakan, proteksi terhadap predator, akses untuk kawin, dan mempermudah
dalam pemencaran keturunan (Collinge 1993). Beberapa terminologi berikut merujuk
pada Collinge (1993). Suatu Kelompok Sosial tersusun dari satwa-satwa yang
berinteraksi pada suatu basis reguler. Primata mampu mengenal satu dengan yang lain
dan menggunakan lebih banyak waktu dengan anggota kelompoknya. Struktur Sosial
menunjukkan bentuk fisik kelompok berkaitan dengan kelompok umur dan jenis kelamin,
serta hubungan interaksi satu dengan lainnya. Organisasi Sosial merupakan ekspresi
yang lebih inklusif yang secara umum digunakan untuk mendeskripsikan beberapa aspek
kelompok sosial, yang meliputi distribusi spasial, komposisi kelompok, serta hubungan
sosial dan fisik di dalam kelompok. Perbedaan utama struktur sosial dan organisasi sosial,
bahwa organisasi sosial juga mencakup komponen tingkah laku.
Berdasarkan sistem klasifikasi sosioseksual, struktur sosial monyet hitam Sulawesi
termasuk kelompok banyak jantan-banyak betina. Di alam, monyet hitam Sulawesi
hidup dalam kelompok besar, yaitu 20-70 ekor (Supriatna dan Wahyono 2000). Mereka
hidup dalam kelompok dengan nisbah (rasio) jantan dan betina dewasa 1:3,4 (Rowe
1996). Nisbah jantan dan betina ini merupakan fungsi dari pola emigrasi jantan dan
filopatri betina (Napier dan Napier 1985). Filopatri betina berarti bahwa betina tetap
berada dalam kelompok kelahirannya. Masyarakat monyet ini berpusat pada keluarga
betina, sementara jantan keluar dari kelompok kelahirannya (Matsumura 1998).
Interaksi Sosial
Tingkah laku sosial monyet hitam Sulawesi sangat terorganisir dan kompleks.
Jantan membentuk hierarki kekuasaan. Jantan paling dominan ditandai dengan ukuran
tubuh besar dan paling kuat memegang prioritas dalam mendapatkan pakan dan pasangan
(Kinnaird 1997). Betina dewasa menanggung sebagian besar tugas membesarkan anak,
sehingga jantan sempat membersihkan segala parasit dari rambut tubuh mereka dan
membantu kaum betina memperkuat ikatan sosial dengan anggota lainnya. Kaum remaja
melewatkan waktu dengan berjumpalitan dan berkejar-kejaran atau bergumul dengan
sebayanya. Meringis lebar merupakan senyuman mengajak bermain-main bukan
menantang berkelahi (Kinnaird 1997).
Interaksi sosial dibedakan menjadi dua tipe dasar yaitu kompetitif (antagonistik)
dan kooperatif (positif atau afiliatif). Beberapa penelitian tentang interaksi sosial
antaranggota kelompok pada satwa primata, antara lain: dominansi pada monyet Jepang
(M. fuscata) (Chaffin et al. 1995), hubungan dominansi betina dewasa pada monyet
Jepang di alam (Nakamichi et al. 1995), hubungan proksimitas pada monyet Jepang
(Nakamichi 1996), dominansi pada monyet Assam (M. assamensis ) (Bernstein dan
Cooper 1999), menelisik, ikatan sosial, dan agonistik pada monyet Rhesus (M. mullata)
(Matheson dan Bernstein 2000), dan hubungan kekeluargaan dan dominansi betina pada
sooty mangabey (Cercocebus atys) (Range dan Noe 2002). Penelitian tentang tingkah
laku sosial jantan dan hierarki dominansi pada monyet hitam Sulawesi di CA Tangkoko-
Batuangus telah dilakukan pada tahun 1994 selama enam minggu (Reed et al. 1997) pada
suatu kelompok besar (97 individu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dominansi
pada jantan berbentuk linear dan transitif di antara enam jantan dewasa. Frekuensi dan
intensitas agresi di antara jantan berkorelasi kuat dengan jarak peringkat. Jantan dari
seluruh peringkat secara signifikan menunjukkan pula tingkat agresivitas yang lebih
tinggi terhadap betina yang secara seksual reseptif daripada terhadap betina pada fase
yang lain. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa jantan monyet hitam
Sulawesi mempunyai organisasi sosial yang sama dengan pada spesies Macaca lainnya
(Reed et al. 1997).
1. Interaksi Kompetitif (Antagonistik)
Jika hewan hidup dalam kelompok yang stabil, pesaing superior secara konsisten
unggul terhadap pesaing inferior (Collinge 1993). Pasangan individu tersebut mempunyai
hubungan dominansi. Hubungan dominansi dapat diukur melalui hasil perkelahian dalam
pertemuan agresif antara dua individu atau arah sikap mengancam atau tunduk. Agresi
mencakup agresi ringan (mengancam dengan membuka mulut, mengancam dengan suara,
menerjang) dan agresi berat (mengusir, menendang, mencakar, menggigit) (Perry 1996).
1.1. Hierarki Dominansi
Menurut Martin dan Bateson (1999), pada banyak spesies primata, hubungan di
antara sepasang individu berbentuk asimetris. Satu individu secara konsisten akan
mengusir individu lain pada saat mereka berkompetisi untuk suatu sumber yang
bermanfaat, misalnya pakan, tempat, atau kawin, atau secara sederhana satu individu
menghindar pada saat mereka bertemu. Jika sejumlah kejadian dicatat untuk setiap
pasangan dalam kelompok, seringkali menjadi jelas bahwa satu individu cenderung untuk
mengusir seluruh individu lainnya, sedangkan individu lain akan diusir yang lainnya.
Keseluruhan susunan individu dominan dan subordinan dalam kelompok dikenal sebagai
hierarki dominansi (Martin dan Bateson 1999). Dominansi merupakan hal penting
dalam tingkah laku sosial pada spesies hewan yang hidup berkelompok dengan
keuntungan yang lebih besar diperoleh oleh individu yang mempunyai peringkat tinggi,
misalnya akses untuk kawin, pakan, dan lokasi yang aman. Satwa primata hidup dalam
suatu kelompok, sehingga harus bersaing satu dengan yang lain dari waktu ke waktu
untuk akses terhadap sumber-sumber di atas. Kompetisi ini menghasilkan kemantapan
dalam hierarki dominansi yang mencakup perbedaan tingkah laku individu berdasarkan
jenis kelamin, ukuran, umur, status, dan kekerabatan (Swindler 1998).
Terdapat beberapa bentuk hierarki dominansi. Jika seluruh individu dalam
kelompok dapat disusun dalam urutan dominansi yang pasti (misalnya C dominan
terhadap A, A dominan terhadap D, D dominan terhadap E, dan E dominan terhadap B),
maka hierarki dominansinya linear (Martin dan Bateson 1999). Dalam kenyataan, hanya
beberapa hierarki ini yang linear sempurna. Kadang-kadang dominansi balik dapat
terjadi, jika subordinan mengalahkan individu yang secara normal lebih dominan (Martin
dan Bateson 1999). Lebih jauh untuk hierarki linear sempurna, seluruh hubungan diad
harus asimetris. Pada beberapa kelompok, dua atau lebih individu dapat mempunyai
status yang sama. Pada hierarki linear sempurna, seluruh kemungkinan hubungan triad
harus transitif (jika A dominan terhadap B dan B dominan terhadap C, maka A harus
dominan terhadap C) (Martin dan Bateson 1999).
Pada saat ini kelompok monyet di CA Tangkoko-Batuangus tidak sebesar pada
tahun 1994. Kelompok Rambo telah terfragmentasi menjadi dua kelompok yang lebih
kecil, yaitu KRI (±60 ekor) dan KRII (51 ekor) (Saroyo 2002a). Pola dominansi betina
pada monyet hitam Sulawesi digolongkan sebagai nepotistik-toleran (Slater 2002). Pola
ini berarti bahwa betina bersifat filopatri dan terdapat kerjasama antarkerabat dalam
kompetisi.
1.2. Pola Dominansi
Pola dominansi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu despotik dan egaliter.
Perbedaan antara keduanya, pada pola despotik keuntungan yang besar diperoleh oleh
individu dengan peringkat tinggi, sementara pada pola egaliter keuntungan terdistribusi
relatif merata (Hemelrijk 1999). Jika kompetisi antarkelompok rendah, atau resiko
predasi tinggi, dominan mempunyai lebih banyak kesempatan dalam menggunakan
sumber secara despotik (sangat protektif). Hal ini akan menyebabkan anggota kelompok
menunjukkan sedikit toleransi terhadap subordinan, menghasilkan hierarki dominansi
yang jelas dan umumnya merupakan masyarakat despotik. Sebaliknya, jika kompetisi
antarkelompok tinggi dan resiko predasi rendah, maka individu dominan akan lebih
toleran terhadap subordinan, untuk mencegah mereka meninggalkan kelompok dan
masuk ke kelompok lain. Pola hubungan yang kurang kompetitif ini akan menghasilkan
masyarakat yang lebih toleran dan hubungan dominansi lebih egaliter (Hemelrijk 1999).
Hasil penelitian yang sangat baik tentang peringkat, keberhasilan dalam reproduksi,
dan dispersal telah dilakukan pada monyet Rhesus (M. mullata) di alam oleh Berard
(1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan reproduksi pada jantan
anggota tetap kelompok dan peringkat tinggi menurun selama periode penelitian. Di
pihak lain terjadi peningkatan keberhasilan dalam perkawinan pada jantan emigran dari
tahun ke tahun. Walaupun peringkat seekor jantan anggota tetap kelompok tersebut
meningkat, tetapi keberhasilan dalam perkawinanya menurun. Jantan peringkat tinggi
harus memutuskan untuk tetap tinggal dalam kelompok tetapi mempunyai keberhasilan
dalam perkawinan rendah, atau bermigrasi ke kelompok lain menjadi peringkat rendah
tetapi keberhasilan dalam perkawinannya tinggi.
Aspek dominansi pada betina kurang mendapatkan perhatian untuk diteliti
(Chalmer 1980). Secara umum, pada primata yang menunjukkan sifat dominansi, jantan
dewasa mempunyai peringkat dominansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina
dewasa, dengan kekecualian pada talapoin (Miopithecus talapoin). Dominansi pada
betina lebih terkait dengan kesempatan untuk mendapatkan pakan dan keberhasilan
dalam reproduksi (Koenig 2002). Betina yang lebih dominan mempunyai kesempatan
untuk mendapatkan pakan yang lebih banyak daripada betina yang yang kurang dominan,
terutama untuk sumber pakan yang terbatas. Betina dengan peringkat tinggi mempunyai
angka kelahiran dan angka kesintasan anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina
yang mempunyai peringkat lebih rendah (Chalmer 1980).
Penelitian hubungan sosial antarbetina pada monyet capuchin muka putih (Cebus
capucinus) oleh Perry (1996) diperoleh hasil yaitu betina membentuk hierarki dominansi
linear yang stabil; betina dewasa lebih banyak menggunakan waktunya dalam
proksimitas dengan betina dewasa lain daripada dengan jantan dewasa; mereka saling
menelisik dengan betina lain dua kali lebih banyak daripada yang dilakukan dengan
jantan; betina cenderung menelisik kepada yang lebih dominan. Pada langur hanuman
(Semnopithecus entellus) yang mempunyai sistem sosioseksual berpusat pada jantan
tunggal, hubungan hierarki betina menunjukkan ketidakstabilan, inkonsisten,
individualistik, dan angka koalisi agonistik rendah (Borries 1993).
1.3. Tipe Kompetisi
Kompetisi untuk suatu sumber dibedakan menjadi dua tipe dasar, yaitu
Kompetisi perebutan atau kompetisi tidak langsung dan kompetisi pertandingan atau
kompetisi langsung (http://life.bio.sunysb.edu/bio359/ 4_26_02.html). Kompetisi
perebutan terjadi jika hewan harus berbagi sumber yang terbatas tetapi tidak mempunyai
cara untuk membatasi akses individu lain terhadap sumber tersebut. Seluruh individu
dalam kelompok bersama-sama akan mengalami pengurangan pakan. Efek kompetisi tipe
ini akan meningkat dengan meningkatnya ukuran kelompok (Gambar 2). Kompetisi tipe
ini untuk pakan terjadi jika ketersediaan pakan sangat sedikit dan sangat jarang.
Gambar 2 Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi perebutan (K = ukuran kelompok kecil; S = ukuran kelompok sedang; B = ukuran kelompok besar)
Kompetisi pertandingan terjadi jika individu yang lebih kuat dapat membatasi
akses individu yang lebih lemah untuk suatu sumber
(http://life.bio.sunysb.edu/bio359/4_26_02.html). Kompetisi tipe ini terjadi karena
terdapatnya perbedaan kemampuan berkompetisi antarindividu. Individu dominan
mempunyai akses yang lebih besar terhadap sumber (Gambar 3). Kompetisi tipe ini
terjadi jika pakan tersebar tidak merata. Sebagai contoh, pohon kecil yang sedang
berbuah merupakan sumber yang menyebabkan rejim kompetisi tipe pertandingan.
Gambar 3 Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi pertandingan (K = ukuran kelompok kecil; S = ukuran kelompok sedang; B = ukuran kelompok besar) Terdapat empat tipe kombinasi yang menghasilkan tipe masyarakat yang berbeda (http://life.bio.sunysb.edu/bio359/4_26_02.html). Untuk lebih jelasnya, Tabel 1 di bawah menunjukkan perbandingan hubungan sosial primata betina pada keempat tipe kompetisi.
1) Jika kompetisi perebutan intrakelompok lebih penting daripada kompetisi
pertandingan, akan menghasilkan masyarakat tipe dispersal-egaliter. Masyarakat
tipe ini ditemukan pada monyet howler, monyet bajing Costa Rica, dan gorilla.
2) Jika kompetisi pertandingan intrakelompok lebih penting daripada kompetisi
perebutan intrakelompok dan kompetisi pertandingan interkelompok, akan
menghasilkan masyarakat yang despotik. Pada masyarakat tipe ini, betina cenderung
untuk membentuk aliansi dengan sanak dan kerabatnya. Tipe ini terutama terjadi
pada primata frugivor dan mereka disebut residen-nepotistik. Sebagai contoh,
misalnya pada monyet (Macaca), baboon, dan monyet capuchin.
Tabel 1 Perbandingan hubungan sosial primata petina keempat tipe kompetisi (http://life.bio.sunysb.edu/bio359/4_26_02.html)
Kategori Rejim kompetitif Respon sosial Pertandingan
intrakelompok Pertandingan interkelompok
Filopatri betina
Peringkat betina
Dispersal-Egaliter
Rendah Rendah Tidak Egaliter
Residen-Egaliter
Rendah Tinggi Ya Egaliter
Residen-Nepotistik
Tinggi Rendah Ya Nepotistik dan despotik
Residen-Nepotistik-Toleran
Tinggi Tinggi Ya Nepotistik dan toleran
3) Pada beberapa spesies, kompetisi pertandingan interkelompok dapat lebih penting
daripada kompetisi intrakelompok. Akibatnya hubungan antaranggota kelompok
menjadi lebih egaliter dan kurang nepotistik. Tipe masyarakat seperti ini disebut
residen-egaliter. Sebagai contoh, misalnya guenon, monyet patas, dan langur
hanuman.
4) Pada beberapa spesies, kompetisi pertandingan interkelompok dan intrakelompok
sama pentingnya, akan menghasilkan masyarakat residen-nepotistik-toleran.
1.4. Pemilihan Pasangan Kawin
Pemilihan pasangan kawin didefinisikan sebagai pola tingkah laku pada satu jenis
kelamin yang dapat meningkatkan probabilitas perkawinan fertil dengan individu tertentu
pada jenis kelamin yang berbeda (Soltis et al. 1997). Hasil penelitian Soltis et al. (1997)
menunjukkan terdapat pemilihan betina oleh jantan dan pemaksaan seksual jantan oleh
betina pada M. fuscata. Proksimitas betina terhadap jantan dan agresi jantan terhadap
betina berkorelasi dengan peningkatan keberhasilan perkawinan. Kebanyakan agresi
jantan dihasilkan dari peningkatan lama waktu dalam proksimitas oleh betina, dan
sebagian disebabkan oleh pemaksaan seksual (Soltis et al. 1997).
2. Interaksi Kooperatif (Positif, Afiliatif)
2.1. Rekonsiliasi (Reuni)
Selama dua dekade terakhir, penelitian tentang manajemen konflik pada hewan
yang hidupnya berkelompok terfokus pada reuni pascakonflik atau rekonsiliasi. Individu-
ividvidu yang bertengkar segera melakukan tingkah laku afiliasi setelah konflik agresif
(de Wall 2000; Aureli 2002). Kejadian lain pada pascakonflik adalah terdapatnya koaliasi
pihak ketiga pascakonflik yang didefinisikan sebagai kontak afiliatif pascakonflik antara
individu-individu yang bertengkar dan individu-individu di sekitarnya (Call et al. 2002).
Rekonsiliasi pada satwa primata, suatu interaksi afiliatif pascakonflik di antara
individu yang bertengkar mempunyai dua fungsi: (1) untuk memperbaiki kerusakan
hubungan karena agresi, dan (2) untuk mereduksi ketidakpastian pascakonflik dan
tekanan pada individu tersebut (Kutsukake dan Castles 2001). Hipotesis terintegrasi
untuk rekonsiliasi terkait dengan fungsi tersebut melalui argumentasi bahwa kerusakan
hubungan karena agresi akan menyebabkan tekanan yang tinggi, sehingga menimbulkan
usaha untuk berekonsiliasi untuk menurunkan tekanan tersebut (Kutsukake dan Castles
2001).
Beberapa hipotesis telah diajukan oleh beberapa ahli tingkah laku. Beberapa studi
mengindikasikan bahwa rekonsiliasi berfungsi untuk memperbaiki kerusakan hubungan
sosial karena agresi (hipotesis perbaikan hubungan) (Kutsukake dan Castles 2000).
Sebagai contoh, rekonsiliasi akan mengurangi kemungkinan korban agresi mengalami
serangan berikutnya yang dilakukan oleh penyerang pertama atau individu lain, serta
meningkatkan toleransi untuk sumber pakan (Kutsukake dan Castles 2000).
Pada kenyataannya agresi tidak selalu diikuti oleh rekonsiliasi. Beberapa peneliti
berusaha menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya rekonsiliasi. Mereka
mengemukakan bahwa kualitas hubungan individu yang bertengkar merupakan faktor
penting untuk menentukan terjadinya rekonsiliasi. Rekonsiliasi sering terjadi mengikuti
agresi di antara individu yang bertengkar. Individu-individu tersebut mempunyai
hubungan dengan nilai biologis yang tinggi, suatu fungsi keuntungan kebugaran yang
dapat dihasilkan dari hubungan tersebut (hipotesis nilai hubungan) (Kutsukake dan
Castles 2000). Sebagai contoh, pada beberapa spesies monyet yang membentuk
masyarakat ikatan betina yang didasarkan pada unit matrilineal, interaksi agresif di antara
individu yang berkerabat lebih sering diikuti rekonsiliasi dibandingkan dengan pada
individu yang tidak berkerabat. Bukti eksperimen yang juga mendukung hipotesis ini,
rekonsiliasi secara dramatis meningkat mengikuti peningkatan nilai hubungan di antara
pasangan monyet ekor panjang (Cord dan Thurnheer 1993).
Fungsi rekonsiliasi yang lain berperan untuk mereduksi tekanan pascakonflik.
Pada satwa primata terdapat tingkah laku arah diri/TAD seperti menggaruk, menelisik
diri, dan menguap berkaitan dengan situasi tertekan (Cord dan Thurnheer 1993). Sebagai
contoh, proksimitas oleh individu yang dominan dapat meningkatkan laju TAD pada
monyet ekor panjang dan olive baboon (Papio anubis), sedangkan menelisik silang dapat
mereduksi TAD dan detak jantung pada tertelisik. Oleh karena itu, proksimitas dalam
rekonsiliasi menyebabkan reduksi ketidakpastian dan menurunkan kondisi tertekan (Cord
dan Thurnheer 1993).
Aureli (1997) mengajukan hipotesis terintegrasi untuk rekonsiliasi. Beberapa
studi menunjukkan bahwa agresivitas tidak hanya berpengaruh pada korban, pada
penyerang juga akan meningkatkan TAD. Ini membuktikan bahwa kondisi tertekan
pascakonflik tidak terbatas pada korban, tetapi juga dialami oleh penyerang.
Sebagaimana terjadi pada korban, pada penyerang juga terjadi penurunan laju TAD pada
rekonsiliasi (Aureli 1997).
Tidak semua spesies satwa primata menunjukkan terjadinya afiliasi pascakonflik.
Pada sebagian besar spesies Cercopithecine yang hidup dalam kelompok sosial
kompleks, mereka membentuk afiliasi (Call et al. 2002). Pada red-bellied tamarin
(Saguinus labiatus), agresi yang terjadi tidak merusak hubungan antaranggota kelompok,
sehingga rekonsiliasi tidak diperlukan (Schaffner dan Caine 2002).
2.2. Aliansi atau Koalisi
Konflik di antara dua individu hewan sering kali diinterpretasikan sebagai
kompetisi terhadap sumber yang terbatas (Widdig et al. 2000). Hasil interaksi agresif
pada masyarakat primata sering kali dipengaruhi oleh intervensi pihak ketiga (Collinge
1993). Aliansi dibentuk saat satu individu luar membantu dalam bertahan atau
menyerang. Pada monyet, baboon, dan chimpanzee, seekor individu yang sedang konflik
dapat melihat sekilas ke individu lain untuk membantu melawan pihak musuh. Frekuensi
aliansi bergantung pada struktur sosial spesies yang bersangkutan dan faktor terkait
lainnya, seperti umur, kondisi reproduksi, dan hubungan individual.
Terdapat beberapa tipe aliasi tergantung pada hasilnya. Aliansi spesifik sumber
ditemukan pada baboon savana di alam bebas (Collinge 1993). Jantan tua dan jantan
peringkat rendah sering membentuk koalisi untuk mengusir hewan dominan yang sedang
kopulasi dengan betina estrus. Koalisi ini bersifat resiprok terhadap kesempatan untuk
kawin. Pada masyarakat banyak jantan-banyak betina, misalnya pada monyet Jepang
dan monyet Rhesus, betina membentuk matrilineal yang besar bekerja sama dalam
interaksi agonistik. Pada spesies dengan jantan tetap berada dalam kelompok
kelahirannya (filopatri), seperti chimpanzee dan monyet colobus merah, jantan-jantan
yang berkerabat bekerja sama melawan individu dominan atau untuk berkompetisi dalam
akses terhadap betina estrus. Aliansi antara jantan dan betina terjadi terutama pada saat
musim kawin dalam konteks pasangan kawin. Istilah aliansi xenofobik menunjukkan
bahwa seluruh anggota kelompok bersama-sama mempertahankan teritorialnya dari
kelompok lain (Collinge 1993).
Berdasarkan fungsinya, terdapat dua penjelasan: (1) intervensi dapat bersifat
altruistik atau (2) menguntungkan salah satu pihak saja (Widdig et al. 2000). Tingkah
laku altruistik berkaitan dengan pengeluaran oleh pemberi/altruist (misalnya waktu,
energi, resiko luka, dan pembalasan) dan keuntungan bagi penerima/resipien (misalnya
akses terhadap sumber yang terbatas dan kurangnya perlukaan dalam perkelahian)
(Widdig et al. 2000).
Pembentukan koalisi dapat dijelaskan melalui tiga teori, yaitu seleksi sanak,
altruisme resiprok, dan kooperasi (Widdig et al. 2000). Teori seleksi sanak
memprediksi bahwa individu-individu yang mendukung kerabat akan meningkatkan
kebugaran secara tidak langsung karena mereka membagi gennya dengan resipien.
Seleksi diharapkan memberikan keuntungan di antara sanak, individu-individu yang
berkerabat dekat, pengeluaran/ongkos yang rendah oleh altruist, dan keuntungan yang
besar pada penerima. Terdapat bukti bahwa seleksi ini terjadi pada satwa primata
(misalnya M. fuscata, M. radiata, dan Papio cynocephalus) meskipun pemencaran jantan
dapat mengurangi ketersediaan sanak. Sebagai contoh, monyet Rhesus jantan lebih suka
bergabung dengan jantan saudaranya yang lebih tua dan membentuk koalisi (Widdig et
al. 2000).
Pada altruisme resiprok, pemberi berperan memberikan pengeluaran dan tanpa
keuntungan segera, tetapi pemberi menerima keuntungan pada masa mendatang dari
penerima. Jika keuntungan untuk penerima lebih besar daripada pengeluaran oleh
pemberi, kedua pihak memperoleh kebugaran langsung untuk periode waktu yang lama
meskipun tidak berhubungan lagi (Widdig 2000). Sebagai contoh, Pasangan baboon
jantan yang tidak berkerabat memperoleh kesempatan untuk mengawini betina estrus.
Tabel 2 Tiga teori untuk menjelaskan pembentukan koalisi (Widdig 2000)
Tingkah laku altruistik Tingkah laku mandiri
seleksi sanak keuntungan untuk penerima
(sanak)
pengeluaran oleh pendukung
kebugaran tidak langsung bagi pendukung (segera)
altruisme resiprok keuntungan untuk penerima
(bukan sanak)
pengeluaran oleh pendukung
kebugaran langsung bagi pendukung (ditunda)
Kooperasi Keuntungan untuk penerima
(bukan sanak) dan pendukung
Tidak ada pengeluaran oleh pendukung
kebugaran langsung bagi pendukung (segera)
Pada teori kooperasi, pendukung bukanlah pemberi karena menerima keuntungan
langsung dari ikatan dengan individu yang tidak berkerabat (Widdig 2000). Chimpanzee
jantan mendapatkan keuntungan saat membantu individu yang tidak berkerabat melawan
individu lain, sehingga dapat menaikkan peringkat individu tersebut (Widdig et al. 2000).
Perbandingan tiga teori untuk menjelaskan pembentukan koalisi tersebut dapat dilihat
pada Tabel 2.
Berdasarkan pada hierarki dominansi, aliansi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
(1) tipe konservatif, (2) tipe jembatan, dan (3) tipe revolusioner
(http://life.bio.sunysb.edu/bio359/4_26_02. html). Pada aliansi tipe konservatif, dua
individu dominan melawan individu subordinan. Pada aliansi tipe jembatan, individu
dominan bekerja sama dengan individu subordinan melawan individu peringkat
menengah. Pada aliansi tipe revolusioner, individu-individu subordinan melawan
individu dominan.
2.3. Menelisik
Menelisik didefinisikan sebagai tindakan mengambil kotoran atau lainnya dari
rambut dan kulit dengan menggunakan jari atau gigi (Rasmussen 1993). Menelisik
merupakan bentuk komunikasi sentuhan yang secara intensif sudah dipelajari karena
mempunyai peranan yang menonjol dalam kehidupan harian kebanyakan spesies primata
(Collinge 1993). Di samping berfungsi untuk membersihkan kulit dan rambut dari
kotoran dan parasit, menelisik juga berperan dalam interaksi sosial dalam berbagai
konteks, misalnya dalam hal induk menenangkan bayinya, pasangan kawin untuk sinyal
memulai kawin, persaudaraan, dan untuk rekonsiliasi. Menelisik oportunistik terhadap
hewan dominan merupakan strategi yang sering digunakan oleh hewan subordinan
sebagai sarana untuk membagi keuntungan aspek dominansi (Collinge 1993).
Menelisik mencakup manipulasi oral dan manual pada kulit dan/atau rambut
(Cooper dan Berstein 2000). Menelisik dapat dilakukan untuk diri sendiri (menelisik diri)
dan dapat dilakukan untuk pasangan sosialnya (menelisik silang) (Chalmer 1980). Jika
dilakukan untuk diri sendiri, menelisik berfungsi untuk membuang ektoparasit atau untuk
membersihkan dan mempertahankan permukaan tubuh. Menelisik untuk fungsi ini sudah
diamati pada monyet ekor singa (M. silenus), lemur ekor cincin (Lemur catta), monyet
hitam Sulawesi (M. nigra), dan monyet bonnet (M. radiata) (Chalmer 1980). Menelisik
sosial, di samping berfungsi seperti menelisik diri, juga untuk mempererat ikatan sosial.
Menelisik sosial dapat berfungsi sebagai pembayaran oleh individu subordinan sebagai
sarana dalam perjumpaan agonistik dengan individu dominan pada saat yang akan datang
(Cooper dan Berstein 2000). Penelitian pada monyet Rhesus (M. mullata), mereka sering
menelisik segera setelah terlibat perkelahian (Chalmer 1980). Pada M. arctoides,
menelisik dapat mereduksi kecenderungan bagi tertelisik untuk berjalan. Dengan
demikian menelisik berfungsi untuk meningkatkan imobilitas (efek plikatori) (Chalmer
1980).
Berdasarkan hipotesis ikatan sosial (Cooper dan Berstein 2000), betina sebagai
anggota tetap dalam kelompok matrifokal saling menelisik satu sama lain dan dengan
anak-anak lebih sering daripada antarjantan dan antara jantan dan anak-anak. Sebaliknya,
jantan menelisik betina lebih sering dan lebih lama daripada betina menelisik jantan.
Jantan dan betina lebih sering menelisik anak-anak daripada sebaliknya. Anak-anak lebih
lama menelisik yang lebih tua daripada sebaliknya. Penelitian pada monyet Assam (M.
assamensis), menelisik lebih berfungsi dalam memantapkan dan memelihara ikatan sosial
afiliatif daripada sebagai mekanisme spesifik untuk kawin dan fungsi resiprok (Cooper
dan Berstein 2000).
2.4. Pendekatan
Pendekatan mencakup frekuensi pendekatan dan arah pendekatan (Chaffin et
al 1995). Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan non-agonistik per jam observasi
fokus. Pendekatan didefinisikan sebagai pergerakan satu individu untuk jarak yang
tercapai tangan terhadap individu lain dari berbagai arah.
Hasil pendekatan dibuat skor sebagai positif/netral jika salah satu dari diad
melakukan kontak tubuh positif (menelisik, berimpitian, atau kontak non-agonistik
lainnya), atau duduk dalam jangkauan tangan selama 10 detik (pendekatan netral). Tanpa
pendekatan jika penuju meninggalkan proksimitas dalam 10 detik dan tidak membuat
kontak. Pendekatan negatif jika tertuju menjauh, ancaman gigi oleh salah satu partisipan,
dan atau ancaman oleh tertuju. Jika penuju mengancam, perjumpaan diberi skor sebagai
ancaman. Arah pendekatan adalah tendensi pendekatan oleh dominan vs. subordinan
yang ditunjukkan dengan indeks atas/bawah (Chaffin et al. 1995).
Definisi Istilah
1. Aspek karakteristik kelompok
1) Ukuran kelompok: jumlah individu dalam suatu kelompok (Chalmer 1980).
2) Komposisi kelompok: jumlah individu setiap kelompok umur dan jenis kelamin
pada suatu kelompok (Chalmer 1980).
3) Pertumbuhan kelompok: perubahan ukuran kelompok selama waktu tertentu
karena faktor natalitas, mortalitas, dan migrasi (Alikodra 2002).
4) Daerah jelajah: luas area yang dijelajahi monyet (kelompok monyet) selama hidup
kelompok tersebut (Collinge 1993).
5) Jelajah harian: jarak yang ditempuh monyet (kelompok monyet) dalam satu hari
(Collinge 1993).
2. Aspek Karakteristik Dominansi
1) Dominansi: kemampuan untuk mengintimidasi individu lain dalam suatu konflik
dan kemampuan untuk mendapatkan prioritas yang lebih untuk akses terhadap
berbagai sumber, seperti pakan, ruang, dan kawin (Collinge 1993, Bramblett
1994). Individu yang memperoleh akses terhadap sumber lebih banyak
dibandingkan dengan individu lain disebut dominan, sedangkan yang memperoleh
akses lebih sedikit disebut subordinan (Collinge 1993).
2) Sistem sosial despotik: sistem sosial dengan keuntungan dalam memanfaatkan
sumber secara kuat dimiliki oleh individu peringkat tinggi, dengan interaksi sosial
bersifat asimetris (Matsumura 1998, Hemelrijk 1999).
3) Sistem sosial egaliter: sistem sosial dengan keuntungan dalam memanfaatkan
sumber tersebar merata pada semua peringkat dan interaksi sosialnya bersifat
simetris (Matsumura 1998, Hemelrijk 1999).
4) Hierarki dominansi: keseluruhan susunan individu dominan dan subordinan dalam
kelompok (Martin dan Bateson 1999).
3. Aspek tingkah laku sosial
1) Tingkah laku agonistik: tingkah laku yang berkaitan dengan agresi (Collinge
1993). Dalam tingkah laku agresif, individu dibedakan menjadi dua, yaitu
penyerang dan korban. Agresi mencakup agresi ringan (ancaman dengan membuka
mulut, ancaman dengan suara, serangan mendadak) dan agresi berat (mengusir,
memukul, mencakar, menggigit) (perry 1996, Matsumura 1998).
2) Frekuensi agresi: frekuensi ancaman dan serangan per jam (Chaffin et al. 1995).
Mengancam didefinisikan sebagai menatap dengan berbagai tingkah laku yang
menyertainya, seperti membuka mulut, merendahkan kepala, telinga diarahkan ke
belakang, vokalisasi deheman. Terjangan kurang dari dua meter dimasukkan
sebagai mengancam Menyerang mencakup mengusir, menampar atau menggigit,
atau menggigit dengan ganas. Menggigit dengan ganas didefinisikan sebagai
menggigit non-ritual dan intensitasnya tinggi, diberi skor jika tingkah laku agresif
ini dilakukan dengan gerakan kepala yang berulang menghasilkan luka pada
lawan.
3) Rekonsiliasi: afiliasi yang dilakukan oleh penyerang dan korban segera setelah
terjadinya konflik (Kutsukake dan Castles 2001).
4) Tendensi berekonsiliasi: tendensi pihak pertama untuk berasosiasi dengan pihak
kedua, diukur sebagai persentase dari pasangan yang berasosiasi (Chaffin et al.
1995).
5) Aliansi/koalisi: kerjasama dalam agresi oleh dua individu atau lebih dalam
menghadapi pihak ketiga (Perry 1996). Koalisi kadang-kadang terjadi pada dua
individu yang mengusir atau menunjukkan muka mengancam dengan mulut
terbuka terhadap individu ketiga. Secara umum, partner koalisi berada dalam
kontak fisik satu sama lain mengancam pihak ketiga. Mereka berdampingan,
berangkulan, atau melakukan suatu punjian. Punjian didefinisikan sebagai satu
atau lebih individu berdiri di atas kepala yang lain, menatap/mengancam individu
lain. Anggukan didefinisikan sebagai seekor monyet memajukan kepalanya ke
arah partner koalisi dan kemudian menatap atau mengancam lawan; anggukan
merupakan tingkah laku umum yang digunakan untuk merekrut partner.
6) Pada aliansi tipe konservatif: dua individu dominan melawan individu subordinan
(http://life.bio.sunysb.edu/bio359/4_26_02. html).
7) Aliansi tipe jembatan: individu dominan bekerja sama dengan individu subordinan
melawan individu peringkat menengah (http://life.bio.sunysb.edu
/bio359/4_26_02.html).
8) Aliansi tipe revolusioner: individu-individu subordinan melawan individu dominan
(http://life.bio.sunysb.edu/bio359/4_26_02. html).
9) Menelisik: tindakan mengambil kotoran atau lainnya dari rambut dan kulit dengan
menggunakan jari atau gigi (Rasmussen 1993). Menelisik merupakan bentuk
komunikasi sentuhan yang secara intensif sudah dipelajari karena mempunyai
peranan yang menonjol dalam kehidupan harian kebanyakan spesies primata
(Collinge 1993). Individu yang menelisik individu lain disebut penelisik,
sedangkan individu yang ditelisik (resipien) disebut tertelisik (Chalmer 1980).
Penelisikan yang dilakukan sendiri disebut menelisik diri, sedangkan yang
dilakukan untuk individu lain disebut menelisik silang (Chalmer 1980).
10) Pendekatan: pergerakan satu individu untuk jarak yang tercapai tangan terhadap
individu lain dari berbagai arah (Martin dan Bateson 1999). Individu yang
mendekati disebut penuju, sedangkan individu yang didekati disebut tertuju.
Pendekatan disebut positif jika salah satu dari diad melakukan kontak tubuh positif
(penelisikan, berimpitian, atau kontak non-agonistik lainnya). Pendekatan disebut
netral jika diad duduk dalam jangkauan tangan selama 10 detik. Pendekatan
disebut negatif jika tertuju menjauh, ancaman gigi oleh salah satu partisipan, dan
atau ancaman oleh tertuju. Tanpa pendekatan terjadi jika penuju meninggalkan
proksimitas dalam 10 detik dan tidak membuat kontak (Martin dan Bateson 1999).
11) Arah pendekatan: tendensi untuk mendekati individu dominan versus subordinan,
ditunjukkan sebagai indeks atas/bawah (Chaffin et al. 1995).
4. Aspek reproduksi
1) Pemilihan pasangan kawin: pola tingkah laku pada satu jenis kelamin yang dapat
meningkatkan probabilitas perkawinan fertil dengan individu tertentu pada jenis
kelamin yang berbeda (Soltis et al. 1997).
2) Gangguan: gangguan terhadap aktivitas kawin oleh anak dari induk yang sedang
kawin (Dixson 1977).
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus (Gambar 4),
Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara, dari bulan Januari-Desember
2004.
Materi dan Alat
Materi Penelitian
Materi penelitian adalah Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) Kelompok
Rambo II (KRII) sebesar 51 ekor dan Kelompok Rambo I (KRI) sebesar 51 ekor di CA
Tangkoko-Batuangus.
Alat Penelitian
Alat untuk penelitian meliputi: binokuler, pita, jam, stop watch, lembar pengamatan, senter, penghitung (counter) tangan, kamera, alat ukur, kompas, dan alat perekam.
Metode Penelitian
Mengingat besarnya ukuran kelompok dan banyaknya aspek yang diteliti,
pengambilan data dibantu oleh seorang staf teknisi dari Balai KSDA Manado, dua orang
jagawana Resort KSDA Tangkoko, dan empat orang mahasiswa Universitas Sam
Ratulangi. Tingkah laku didasarkan pada pengamatan interaksi antarindividu. Agar
monyet tidak terganggu dengan kehadiran peneliti, maka dilakukan habituasi sebelum
pengambilan data. Habituasi dilakukan dengan mengikuti kelompok target setiap hari
sampai kelompok tersebut tidak terganggu lagi dengan kehadiran peneliti. Habituasi
terhadap KRII dilaksanakan pada awal bulan Januari selama tiga hari. Kelompok ini
sudah sangat terhabituasi dan sering digunakan dalam penelitian dan sering diikuti turis,
sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk menghabituasinya. KRI memerlukan
waktu yang lebih lama. Identifikasi kelompok dan habituasi sudah dimulai pada bulan
Mei, dan baru setelah enam minggu kelompok ini menjadi terhabituasi dengan peneliti.
Prinsip pengamatan interaksi adalah who does what to whom. Dengan demikian langkah
berikutnya setelah habituasi, identifikasi setiap individu-target berdasarkan ciri-ciri
khasnya dan pemberian nama berdasarkan ciri-ciri khas tersebut, sehingga mudah diingat.
Identifikasi jantan dewasa KRII dilakukan pada awal bulan Januari, sedangkan jantan
dewasa KRI dilakukan pada bulan Juli.
Gambar 4 Peta lokasi penelitian
Karakteristik Kelompok
1. Ukuran dan Komposisi Kelompok
Ukuran kelompok diperoleh dengan menghitung seluruh anggota KRII dan KRI.
Penghitungan dilakukan secara reguler setiap bulan, sehingga diperoleh juga gambaran
pertumbuhan kelompok. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan penghitung
tangan pada saat kelompok monyet menyeberang jalan atau pada saat turun dari pohon
tidur. Penghitungan dilakukan selama minimal 10 kali dan jumlah tertinggi ditetapkan
sebagai ukuran kelompok yang bersangkutan.
Komposisi kelompok diperoleh dengan identifikasi seluruh anggota kelompok (51
ekor untuk KRII dan 51 ekor untuk KRI) menurut umur dan jenis kelaminnya.
Identifikasi dilakukan dengan mengamati ciri-ciri khas setiap individu secara seksama
dengan menggunakan binokuler. Ciri-ciri yang digunakan dalam identifikasi meliputi
ukuran tubuh (besar, kecil), warna rambut, bentuk bagian-bagian tubuh, kecacatan,
bekas-bekas luka pada muka, tangan, kaki, telinga, dan bagian tubuh lainnya, bercak pada
muka dan telinga, dan tingkah laku. Setelah identifikasi dilakukan, setiap bulan dilakukan
sensus untuk seluruh anggota kelompok, sehingga dapat diketahui jika terjadi imigrasi
atau emigrasi antarkelompok.
Pengamatan komposisi kelompok pada KRII dilakukan pada awal penelitian (bulan
Januari) dan akhir penelitian (bulan Desember). Untuk KRI, pengamatan dilakukan pada
bulan Juli dan Desember secara tidak kontinyu.
Pengelompokan umur didasarkan pada fase perkembangan individu yaitu bayi,
anak, remaja, dan dewasa (Chalmers 1982). Ciri-ciri masing-masing fase didasarkan pada
ciri-ciri yang dideskripsikan oleh Altman (1981) dan penelitian pendahuluan yang sudah
dilakukan (Saroyo 2002a). Perkiraan umur didasarkan pada ciri-ciri fisik dan studi
pustaka pada beberapa penelitian pada monyet hitam Sulawesi maupun monyet Sulawesi
lainnya (Okamoto et al. 2000). Keempat kelompok umur tersebut dirinci sebagai berikut
ini.
1) Kelompok bayi (berumur 0-1 tahun). Bayi mempunyai muka berwarna putih, warna
yang membedakannya dengan kelompok umur lain. Warna muka putih ini digunakan
sebagai pedoman dalam menetapkan fase bayi. Rentang umur bayi dimulai dari
waktu lahir, diasuh oleh induknya, sampai dengan masa sapihan. Penentuan jenis
kelamin dilakukan dengan mengamati organ genitalia luar. Bayi jantan mempunyai
penis yang panjang bila dibandingkan dengan ukuran tubuhnya, sehingga sangat
mudah diamati.
2) Kelompok anak yaitu fase yang dimulai setelah bayi sampai sebelum dewasa.
Individu pada kelompok ini biasanya sudah disapih dan tidak lagi dibawa induknya,
serta mempunyai fase reproduksi yang belum matang. Umumnya kelompok umur ini
lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain. Penentuan jenis kelamin
dilakukan dengan mengamati organ genitalia luarnya.
3) Kelompok remaja mempunyai ukuran tubuh sedikit lebih besar dibandingkan
dengan ukuran tubuh anak dan sedikit lebih kecil kecil dibandingkan dengan pada
yang dewasa. Terdapat dimorfisme seksual pada ukuran tubuhnya, yaitu jantan lebih
besar daripada betina. Pada jantan remaja, warna rambut pada bahu dan tangan mulai
menunjukkan warna seperti dewasa yaitu hitam terang. Ukuran tubuhnya kira-kira di
antara jantan anak besar (atau betina dewasa) dengan jantan dewasa. Karakteristik
seks sekundernya belum berkembang sempurna. Skrotum mulai membesar, dan
biasanya memisahkan diri dari kelompok anak, tetapi belum bergabung dengan
kelompok dewasa. Pada betina remaja, ukuran tubuh mendekati ukuran dewasa tetapi
puting susu masih pendek seperti pada jantan dan berwarna putih. Tanda lain adalah
mulainya tanda-tanda estrus tetapi siklusnya belum teratur. Umur jantan remaja
berkisar 5-7 tahun, sedangkan betina remaja berkisar 4-5 tahun.
4) Kelompok dewasa ditunjukkan dengan pertumbuhan tubuh yang penuh dan
kematangan reproduksi. Pada monyet hitam Sulawesi, jantan mencapai kedewasaan
setelah berumur kira-kira 7-8 tahun, sedangkan betina kira-kira 5 tahun. Pada jantan,
dewasa ditunjukkan dengan perkembangan penuh pada organ genitalia dan
karakteristik seks sekunder. Skrotum jantan dewasa mempunyai ukuran yang besar
dan berwarna merah. Warna rambut pada bahu dan tangan berwarna hitam terang.
Ukuran tubuh jantan dewasa lebih besar dibandingkan dengan pada betina. Secara
praktis, betina dewasa adalah individu yang sudah menunjukkan ciri-ciri estrus
dengan pembengkakan daerah ischial, sedang hamil, atau sudah pernah melahirkan
dan secara mudah dapat dibedakan dengan betina fase sebelumnya dengan melihat
warna puting susunya. Pada betina dewasa, puting susu panjang dan sering
menggantung, serta berwarna pink.
2. Pertumbuhan Kelompok
Pertumbuhan kelompok diamati pada KRII dan KRI. Data diambil dengan
menghitung dan melakukan sensus terhadap seluruh anggota kelompok setiap bulan atau
pada saat-saat tertentu, sehingga dapat ditentukan natalitas, mortalitas, dan migrasi
anggota kelompok tersebut. Sensus dilakukan pada saat kelompok menyeberang jalan
atau pada saat turun dari pohon tidur minimal 10 kali dan jumlah terbesar ditetapkan
sebagai ukuran kelompok. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah individu pada setiap
kelompok umur dan jenis kelamin. KRII diamati dari bulan Januari-Desember, sedangkan
KRI dari bulan Juli-Desember. Berdasarkan penghitungan total individu setiap bulan
untuk KRII dan KRI dapat ditentukan pertumbuhan kelompok tersebut. Berdasarkan
pengamatan komposisi kelompok setiap bulan dapat ditentukan keberadaan setiap
individu anggota kelompok. Pertumbuhan kelompok dapat ditentukan berdasarkan
kelahiran, kematian, emigrasi, serta imigrasi.
3. Daerah Jelajah dan Jelajah Harian
Daerah jelajah dan jelajah harian ditentukan melalui pemetaan daerah jelajah,
habituasi kelompok, dan pengukuran luas daerah jelajah dan panjang jelajah harian.
Pemetaan daerah jelajah dilakukan dengan pembuatan jalur-jalur dengan arah 220o atau
tegak lurus dengan jalan dari Kelurahan Batuputih menuju Pos II sampai Pantai Batu
sepanjang 2.400 m. Jarak jalur satu dengan jalur berikutnya adalah 100 m. Setiap jalur
dibuat sepanjang 1.300 m dan setiap selang 25 m pada jalur tersebut diberi tanda nama
jalur dan jarak titik tersebut dari jalan dengan menggunakan pita (misalnya A-0, A-25, A-
50, A-75, dan seterusnya). Penamaan jalur sebagai berikut: tepat di belakang Pos II diberi
nama Jalur C; dari belakang Pos II ke arah Kelurahan Batuputih berturut-turut adalah
Jalur B, A, a, b, c, d, e, f, g, dan h; sedangkan dari belakang Pos II ke arah Pantai Batu
berturut-turut adalah Jalur D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, dan Q.
Agar kelompok terbiasa dengan peneliti, maka dilakukan habituasi dengan terus
mengikuti pergerakan kelompok tersebut sampai tidak merasa terganggu dengan
kehadiran peneliti. Setelah kelompok terhabituasi, tahap berikutnya mengikuti pergerakan
monyet selama 21 hari. Pergerakan kelompok dipetakan pada kertas milimeter sesuai
dengan titik-titik atau jalur-jalur yang dilewati. Penentuan luas daerah jelajah dan jarak
jelajah harian dilakukan dengan estimasi jarak pada peta dan estimasi berdasarkan
pengukuran di lapangan. Luas jelajah harian ditetapkan berdasarkan jelajah terluar yang
dilalui kelompok, sedangkan jarak jelajah harian didasarkan pada pergerakan anggota
yang berada di tengah-tengah kelompok.
Jelajah harian yang dipetakan pada kertas milimeter setiap hari digabungkan, dan
jelajah terluarnya merupakan daerah jelajah selama periode pengamatan. Pengukuran
jelajah harian KRII dilaksanakan pada bulan Februari dan bulan Maret; sedangkan untuk
KRI dilaksanakan pada bulan Juli, Agustus, dan Oktober. Jarak jelajah harian diestimasi
di kertas milimeter dan rata-rata selama periode pengamatan merupakan rata-rata jarak
jelajah harian. Luas daerah jelajah diestimasi dari gambar yang dihasilkan berdasarkan
gabungan dari gambar-gambar jelajah harian dan hasil pengamatan pada waktu lainnya
yang dilakukan pada saat mengikuti kelompok monyet.
Aspek Dominansi
Dominansi ditentukan melalui pengamatan interaksi agonistik (Chalmes 1982) yang
mencakup sikap dan sinyal agonistik. Jumlah individu jantan yang diamati sebanyak
enam ekor pada KRII dan enam ekor pada KRI. Pengamatan tingkah laku agonistik
dilakukan dengan focal sampling dengan metode perekaman secara kontinyu (Matsumura
1998, Martin dan Bateson 1999). Pengamatan focal untuk setiap jantan dilakukan selama
lima hari. Setelah diketahui bahwa pesaing superior selalu unggul, pengamatan focal
setiap jantan dilakukan selama satu hari. Individu yang terlibat dalam interaksi agonistik
dapat dibedakan menjadi individu penyerang dan individu korban. Penyerang
menunjukkan tingkah laku agresif, misalnya mengejar, menggigit, mengancam,
mencakar, dan sebagainya. Korban menunjukkan tingkah laku tunduk, misalnya ekspresi
takut, lari, atau diam (Matsumura 1998).
Dinamika dalam hierarki dominansi jantan KRII diikuti dari bulan Januari-
Desember, sedangkan untuk KRI diikuti dari bulan Agustus-Desember dengan
mengamati perubahan hierarki dan migrasi jantan. Pengamatan dinamika dominansi KRII
dilakukan secara kontinyu, sedangkan untuk KRI tidak secara kontinyu. Pengamatan
dinamika dominansi untuk KRI dilakukan pada 3-8 Agustus, Akhir September, 7-8
Oktober, dan akhir November, dan akhir Desember.
Metode pengambilan data untuk interaksi agonistik betina sama seperti pada
metode untuk dominansi jantan. Pengamatan focal untuk setiap betina dilakukan selama
dua hari pada 14 betina dewasa KRII. Untuk mengamati dinamika dalam hierarkinya,
pengamatan dilaksanakan dalam dua periode, yaitu bulan Juni (30 hari) dan Agustus (31
hari). Total interaksi agonistik antarbetina pada bulan Juni sebanyak 91 kali dan pada
bulan Agustus sebanyak 105 kali. Data agonistik di antara betina diambil jika kedua
betina tersebut berada pada jarak lebih dari satu meter dengan jantan dan betina lain
untuk menghindari intervensi atau pengaruh individu lain, sehingga hasil interaksi
agonistik benar-benar mencerminkan peringkat dominansinya.
Proses migrasi jantan diamati pada enam jantan dewasa dan tiga jantan remaja KRII
serta enam jantan dewasa dan seekor jantan remaja KRI dengan menggunakan ad libitum
sampling atau focal sampling terhadap seluruh jantan dewasa dan remaja kedua
kelompok tersebut. Jika terdapat jantan yang menunjukkan tanda-tanda akan melakukan
migrasi, maka jantan tersebut diikuti secara focal sampling dan pengamatan tingkah laku
dilakukan secara ad libitum sampling.
Sebelum dilakukan analisis terhadap linearitas dominansi, terlebih dahulu
dilakukan penghitungan angka agresi (Martin dan Bateson 1999). Persentase yang
diperoleh merupakan persentase aktivitas agresif dari total aktivitas hariannya. Dari hasil
pengamatan interaksi agonistik, dihitung frekuensi setiap individu sebagai pemenang dan
sebagai korban dalam suatu tabel untuk menentukan peringkat setiap individu. Linearitas
dominansi ditentukan dengan menggunakan Indeks linearitas dari Landau (h) dengan
rumus:
12 n
h = Σ (va – ½ (n – 1))2 n3-n a=1
dengan n adalah jumlah individu dalam kelompok dan va adalah jumlah individu yang
didominasi individu a. Rentang indeks dari 0,0 sampai 1,0, dengan nilai 1,0 menunjukkan
linearitas sempurna. Nilai h lebih besar dari 0,9 secara umum menunjukkan hierarki
linear kuat.
Dinamika dalam hierarki dominansi ditentukan setiap kali terjadi pergantian
peringkat hierarki berdasarkan dominansinya, serta dengan mengevaluasi perubahan-
perubahan dalam tingkah laku agonistik jantan dan betina dewasa dan proses migrasi
jantan untuk menentukan faktor-faktor penyebab terjadinya pergeseran hierarki. Hierarki
ditentukan melalui penyusunan peringkat individu berdasarkan hasil interaksi agonistik
antarindividu target yang mencakup sikap dan sinyal agonistik.
Dari hasil pengamatan proses migrasi jantan, ditentukan lama waktu yang
diperlukan untuk keluar dari kelompok, masuk kelompok baru, dan masa transisi setelah
keluar kelompok dan sebelum masuk kelompok baru sebagai individu soliter atau
membentuk kelompok uniseksual jantan dengan jantan soliter lainnya. Data lain yang
dikumpulkan meliputi interaksi jantan migran dengan anggota kelompok yang
ditinggalkan maupun kelompok yang akan dimasukinya.
Aspek Tingkah Laku Sosial
1. Peran Dominansi terhadap Tempat
Dominansi terhadap tempat diamati pada empat jantan dewasa dan dua jantan
remaja KRII bersamaan dengan pengamatan pendekatan dari tanggal 11-19 September.
Data yang diamati mencakup arah pendekatan (dominan ke subordinan atau subordinan
ke dominan) dan respon tertuju. Metode pengumpulan data yang digunakan dengan
mencatat semua tingkah laku pendekatan antarjantan di atas dan respon individu yang
didekati pada saat kelompok berhenti dan beristirahat di atas tanah, sehingga pengamatan
dapat dilakukan dengan mudah. Selama periode pengamatan didapatkan 29 data
pendekatan.
Data arah dan frekuensi pendekatan disusun dalam suatu tabel frekuensi yang
menunjukkan pasangan setiap individu dan respon tertuju. Pengusiran individu
subordinan oleh individu dominan yang bukan karena akses terhadap pakan dan kawin,
tetapi terhadap lokasi menunjukkan peran dominansi terhadap tempat.
Dominansi antarkelompok terhadap tempat diamati dengan memetakan pergeseran
jelajah harian KRII terhadap KRI setiap bulannya selama setahun dan pengamatan ad
libitum sampling terhadap interaksi kedua kelompok. Pengamatan interaksi mencakup
interaksi agonistik dan afiliatif setiap pertemuan kedua kelompok untuk menentukan
peringkat dominansi antarkelompok. Data diambil sebanyak 10 kejadian pertemuan untuk
setiap bulannya. Pengamatan juga dilakukan pada saat penelitian pendahuluan pada
pohon Ficus sp. Di E-1050 sebanyak tiga kejadian. Selain itu diamati pula kondisi
habitat, terutama masa berbuah untuk jenis-jenis pohon buah (terutama Ficus spp. dan
Dracontomelum dao) untuk setiap bulan, sehingga dapat ditentukan faktor-faktor
penyebab pergeseran jelajah tersebut. Penentuan masa berbuah dilakukan dengan
mengamati waktu berbunga, berbuah, buah masak, dan buah habis pada lokasi-lokasi
yang biasa didatangi kelompok monyet.
2. Peran Dominansi terhadap Pakan
Dominansi terhadap pakan diamati pada lima jantan dewasa, tiga jantan remaja, dan
14 betina dewasa KRII dari tanggal 18 Maret sampai dengan 26 Mei. Data diambil pada
saat kelompok makan sumber-sumber pakan yang terbatas, antara lain pohon atau
tumbuhan sumber pakan dengan kuantitas yang kecil, misalnya kelapa yang jatuh, dan
madu. Data diambil berdasarkan urutan makan. Selain dilakukan pada saat penelitian,
data dominansi terhadap pakan juga diambil dari penelitian pendahuluan yang telah
dilakukan terhadap jantan dewasa. Pada penelitian pendahuluan (Saroyo 2002a) telah
dilakukan uji pakan terhadap enam jantan dewasa pada bulan Januari 2002. Uji pakan
dilakukan pada saat dua jantan dewasa berdekatan. Sepotong kelapa dilemparkan di
antara dua jantan tersebut dan diamati individu yang mengambil pakan. Ulangan
dilakukan sebanyak lima kali untuk setiap pasangan jantan. Urutan makan atau monopoli
terhadap sumber-sumber pakan yang terbatas menunjukkan peranan dominansi terhadap
pakan. Dari data uji pakan dapat ditentukan frekuensi setiap pasangan individu dalam
mengambil dan diam pada saat diberikan pakan.
Dominansi antarkelompok terhadap pakan diamati pada daerah interseksi antara
KRII, KRI, dan Kelompok Air Bersih (KAB). Data diambil dengan menggunakan ad
libitum sampling dengan mengamati aktivitas dan tingkah laku semua anggota kelompok
yang memanfaatkan pohon yang sedang berbuah sebagai sumber pakan monyet serta
peringkat dominansi antarkelompok tersebut.
3. Rekonsiliasi
Pengamatan tentang rekonsiliasi dilakukan selama 50 hari dari tanggal 22 Maret
sampai dengan 10 Mei pada KRII. Observasi interaksi pascakonflik dilakukan selama 10
menit segera setelah terjadinya konflik antarindividu. Interaksi dan tingkah laku setelah
10 menit diabaikan. Pengambilan data dilakukan dengan mengikuti kelompok dan jika
terjadi konflik, maka dilakukan pengamatan terhadap individu-individu yang terlibat
tersebut selama 10 menit. Selama interaksi agonistik, dilakukan identifikasi terhadap
individu penyerang dan korban, serta bentuk agresi yang digunakan (mengancam,
menyerang, mengusir lebih dari dua menit, mendorong, bentuk-bentuk kontak fisik lain,
dan menggigit). Pengamatan dilakukan terhadap enam jantan dewasa, 14 betina dewasa,
tiga jantan remaja, dan satu betina remaja KRII. Total pengamatan interaksi pascakonflik
sebanyak 222 kali.
Rekonsiliasi yang dimaksud adalah afiliasi yang dilakukan oleh penyerang dan
korban segera setelah terjadinya konflik. Interaksi afiliatif mencakup menelisik silang,
berimpitan, bersentuhan, kecapan bibir dua arah, menaiki, kontak mulut, bermain, dan
panggilan perkawanan.
Jika tidak terjadi rekonsiliasi, maka dilakukan pengamatan tingkah laku masing-
masing individu. Pengamatan tingkah laku arah diri (TAD) meliputi menggaruk,
menelisik diri, dan goyangan badan.
Analisis untuk rekonsiliasi dilakukan secara deskriptif untuk menentukan:
individu (penyerang dan korban) yang menginisiasi rekonsiliasi dan peringkat dalam
hierarki dominansi kedua pihak yang terlibat konflik. Jika tidak terjadi rekonsiliasi, maka
ditentukan bentuk-bentuk tingkah laku arah diri (TAD) untuk masing-masing individu.
4. Koalisi
Koalisi/aliansi diamati jika dua atau lebih individu bekerjasama untuk melawan
individu lain. Individu yang diamati sebanyak enam jantan dewasa, 14 betina dewasa,
tiga jantan remaja, satu betina remaja, dan delapan anak KRII sebanyak 31 kejadian dari
tanggal 11 Mei-6 November. Data aliansi diambil jika proses aliansi, individu yang
terlibat, dan interaksi pascakonflik atau rekonsiliasi dapat ditentukan dengan pasti.
Aliansi yang terlalu kompleks atau tidak jelas individu yang terlibat dalam interaksi
pascakonflik diabaikan. Setiap individu yang terlibat dalam koalisi diidentifikasi untuk
menentukan peringkat dalam hierarki dominansi dalam kelompok tersebut.
Hasil pengamatan koalisi (aliansi) akan dianalisis secara deskriptif untuk
menentukan: jumlah individu yang terlibat, bentuk agresi (ringan/berat), bentuk
aliansinya, faktor penyebab, dan afiliasi pascakonflik dari sebagian individu yang terlibat
dalam koalisi.
5. Menelisik
Prinsip pengamatan tingkah laku menelisik adalah menentukan identitas individu
penelisik dan individu tertelisik. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan scan
sampling (Collinge 1993, Martin dan Bateson 1999). Individu yang diamati meliputi lima
jantan dewasa dan 15 betina dewasa KRII pada bulan Agustus. Scan sampling dilakukan
pada setiap jam dengan durasi 10 menit dan interval satu menit.
Penghitungan angka menelisik sosial didasarkan pada hasil pengamatan aktivitas
harian. Persentase yang diperoleh merupakan persentase aktivitas menelisik dari total
aktivitas harian. Frekuensi setiap individu sebagai penelisik disusun dalam suatu tabel.
Dari tabel tersebut dapat dianalisis frekuensi sebagai penelisik atau tertelisik berdasarkan
peringkat dominansi.
Untuk menguji perbedaan frekuensi sebagai penelisik antarbetina dan antara
jantan dan betina digunakan Uji Wilcoxon (Sokal dan Rohlf 1996). Langkah-langkah
pengujian dilakukan sebagai berikut ini.
1. Menghitung selisih n pasang pengamatan.
2. Mengurutkan angka selisih dari yang terkecil sampai yang terbesar tanpa
memperhatikan tandanya.
3. Menjumlahkan urutan positif dan negatif secara terpisah. Jumlah nilai yang harga
mutlaknya lebih kecil, dilambangkan dengan Ts, dibandingkan dengan nilai dalam
tabel (Tt).
4. Interpretasi hasil:
Jika Ts > Tt, maka terima H0,
Jika Ts < Tt, maka terima H1.
5. Untuk ukuran contoh besar (n > 50) digunakan rumus:
dengan Ts seperti yang dimaksud di atas. Nilai ts dibandingkan dengan tabel student t.
Interpretasi hasil:
Jika ts > tt, maka terima H1,
Jika ts < tt, maka terima H0.
6. Pendekatan
Pengamatan pendekatan dilakukan dari tanggal 11-19 September. Data yang
diamati mencakup arah pendekatan (dominan ke subordinan atau subordinan ke dominan)
dan respon tertuju. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mencatat
semua tingkah laku pendekatan antarindividu dan respon individu yang didekati pada saat
kelompok berhenti dan beristirahat di atas tanah, sehingga pengamatan dapat dilakukan
dengan mudah.
Individu yang diamati meliputi dua jantan dewasa, dua jantan remaja, dan 15 betina
dewasa KRII. Total pengamatan pendekatan antarjantan dilakukan sebanyak 29 kali,
antarbetina sebanyak 386 kali, dan antara jantan dan betina sebanyak 119 kali.
Hasil interaksi pendekatan dibuat skor: positif jika salah satu dari pasangan (diad)
melakukan kontak tubuh positif (menelisik, berimpitian, atau kontak non-agonistik
lainnya), netral jika keduanya duduk dalam jangkauan tangan selama 10 detik
(pendekatan netral), negatif jika tertuju menjauh, ancaman gigi oleh salah satu partisipan,
dan atau ancaman oleh tertuju, dan tanpa pendekatan jika penuju meninggalkan
proksimitas dalam 10 detik dan tidak membuat kontak. Jika penuju mengancam,
perjumpaan diberi skor sebagai ancaman (Chaffin et al. 1995).
Arah Pendekatan adalah tendensi pendekatan oleh individu dominan versus
subordinan dan ditunjukkan dengan indeks atas/bawah. Jumlah pendekatan ke peringkat
lebih tinggi dibagi jumlah satwa disebut u, dan pendekatan ke peringkat lebih rendah
dibagi jumlah dewasa disebut d. Indeks = (u-d)/(u+d). Indeks 0 menunjukkan bahwa arah
pendekatan tidak tergantung pada peringkat. Indeks positif menunjukkan terdapatnya
tendensi untuk mendekati satwa dominan, sedangkan indeks negatif menunjukkan
terdapatnya tendensi untuk mendekati satwa subordinan (Chaffin et al. 1995).
7. Pola Interaksi Antarkelompok
Pola interaksi antarkelompok diamati pada seluruh anggota KRII sebanyak 51 ekor
dan KRI sebanyak 51 ekor pada saat kedua kelompok tersebut bertemu. Pengamatan
dilakukan di dalam daerah interseksi. Data diambil dengan menggunakan ad libitum
sampling dengan mencatat seluruh kejadian interaksi yang terjadi di antara anggota-
anggota kedua kelompok, yang mencakup interaksi agonistik maupun interaksi afiliatif
pada seluruh anggota kedua kelompok di daerah interseksi. Data perkawinan
antarkelompok meliputi: lokasi, waktu pengamatan, identifikasi individu yang terlibat
dalam perkawinan, dan frekuensi dari total perkawinan antara jantan KRII dan betina
KRI, serta antara jantan KRI dan betina KRII. Pengamatan perkawinan antarkelompok
diamati pada lima betina KRI, dua betina KRII, dua jantan dewasa KRI, dua jantan
dewasa KRII, satu jantan remaja KRI, tiga jantan remaja KRII, dan lima jantan anak
KRII selama 15 hari dari tanggal 7 Oktober sampai dengan 8 November.
Data hasil pengamatan dengan ad libitum sampling dideskripsikan untuk
menunjukkan terjadinya interaksi agonistik dan afiliatif antaranggota kedua kelompok,
serta strategi yang dilakukan oleh jantan-jantan migran antarkedua kelompok. Khusus
interaksi perkawinan antarkelompok, hasil pengamatan disusun dalam suatu tabel yang
menunjukkan lokasi, durasi, individu yang terlibat, serta pendeskripsian tingkah laku
spesifik seperti terdapatnya faktor kesukaan atau pemilihan pasangan kawin dan strategi-
strategi yang dilakukan oleh individu-individu yang terlibat.
Aspek Reproduksi
1. Tingkah Laku Seksual
Tingkah laku seksual diamati pada KRII. Untuk mengumpulkan seluruh informasi
tingkah laku seksual digunakan ad libitum sampling. Setelah keseluruhan tingkah laku
seksual diinventarisasi, dilakukan pembagian tingkah laku seksual menjadi tiga tahap,
yaitu tingkah laku prakopulasi, tingkah laku kopulasi, dan tingkah laku pascakopulasi.
Pengumpulan data urutan tingkah laku kawin dilakukan dengan menggunakan focal
sampling dengan mengikuti betina yang sedang estrus di antara 14 betina dewasa selama
22 hari dari tanggal 18 Maret sampai dengan 8 April. Jumlah pengamatan focal untuk
tingkah laku kawin sebanyak 105 kali.
Hasil pengamatan disusun dalam suatu tabel yang mencakup urutan, variasi tingkah
laku kawin, frekuensi kejadian, dan gangguan-gangguan yang terjadi selama tingkah laku
seksual terjadi. Dari tabel tersebut kemudian dilakukan analisis secara deskriptif.
2. Peran Dominansi dalam Kawin
Dominansi dalam kawin diperoleh bersamaan dengan pengambilan data pemilihan
pasangan kawin dan tingkah laku kawin. Data dominansi dalam kawin diamati pada
enam jantan dewasa, tiga jantan remaja, dan delapan jantan anak yang mencakup
frekuensi kawin dan monopoli terhadap betina, serta fase estrus betina pada saat kawin
terjadi. Data frekuensi kawin diambil dari data pengamatan tingkah laku kawin yang
dilaksanakan selama 22 hari dari tanggal 18 Maret sampai dengan 8 April. Data monopoli
terhadap betina estrus diambil dari data penelitian pendahuluan sebanyak dua kejadian
dan data selama penelitian sebanyak delapan kejadian selama 20 minggu dari tanggal 5
April sampai dengan 26 Agustus.
Peran dominansi dalam kawin mencakup frekuensi kawin setiap jantan serta
monopoli jantan terhadap betina estrus. Data hasil pengamatan focal untuk tingkah laku
kawin disusun dalam suatu tabel frekuensi. Hasil pengamatan dideskripsikan untuk
menjelaskan perbedaan dalam frekuensi kawin untuk setiap peringkat hierarki jantan,
serta peran strategi-strategi yang dilakukan untuk menghindari intervensi jantan peringkat
tinggi dalam aktivitas seksual jantan peringkat rendah.
3. Pemilihan Pasangan Kawin
Pemilihan pasangan kawin dilaksanakan selama 49 hari dari tanggal 8 April sampai
dengan 26 Mei pada KRII. Pengambilan data untuk pemilihan pasangan kawin dilakukan
dengan focal sampling dan metode perekaman secara kontinyu (Martin dan Bateson
1999), dengan mengikuti betina yang sedang estrus dari pohon tidur sampai kembali ke
pohon tidur berikutnya. Jumlah betina yang diamati sebanyak delapan ekor betina yang
mengalami estrus selama periode penelitian. Durasi pengamatan untuk setiap betina
dimulai pada saat betina tersebut mulai menunjukkan gejala estrus sampai dengan
hilangnya gejala estrus. Data yang dikumpulkan meliputi identitas individu jantan yang
melakukan kawin dengan betina tersebut.
Pengamatan selanjutnya, menentukan pemilihan waktu kawin oleh jantan
berdasarkan fase estrus betina. Fase estrus betina dibagi menjadi beberapa tahap
berdasarkan ukuran pembengkakan seksual. Tingkat pembengkakan didasarkan pada
penampakan dan dibagi menjadi tahap-tahap seperti yang dikemukakan oleh Dixson
(1977), yaitu datar, membengkak, bengkak penuh, dan mengempis. Data yang
dikumpulkan berupa identitas individu jantan yang mengawini betina tersebut serta tahap
estrus betina.
Selama pengamatan tingkah laku seksual dan peran dominansi dalam kawin,
diamati pula strategi jantan dan betina peringkat rendah untuk mendapatkan akses kawin
dengan mengamati tingkah laku jantan-jantan peringkat rendah yang mengikuti betina
estrus bersamaan dengan pengamatan tingkah laku kawin dan monopoli betina estrus
(delapan kejadian).
Data yang diperoleh selama periode pengamatan yang mencakup tingkah laku
pemilihan betina oleh jantan maupun pemilihan jantan oleh betina dianalisis secara
deskriptif. Untuk menentukan terdapatnya faktor kesukaan jantan terhadap betina tertentu
diamati pada saat terdapat dua betina dengan fase estrus berbeda yang sedang melakukan
sodoran pantat terhadap seekor jantan. Jika jantan memilih kawin dengan betina yang
tidak estrus atau betina selain fase bengkak penuh daripada dengan betina fase bengkak
penuh, maka terdapat faktor pemilihan betina oleh jantan. Faktor kesukaan betina
terhadap jantan tertentu juga
ditunjukkan oleh betina yang meninggalkan jantan pasangannya dan menuju jantan lain
untuk kawin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kelompok
Ukuran dan Komposisi Kelompok
Komposisi kelompok didasarkan pada jenis kelamin dan umur. Kelompok umur dibedakan menjadi: bayi, anak, remaja, dan dewasa. Komposisi kelompok KRII dan KRI disajikan pada Tabel 3 dan 4 di bawah.
Tabel 3 Komposisi KRII pada bulan Januari 2004
Jenis Kelamin (ekor) Kel. Umur
Jantan Betina
Nisbah
Jantan:Betina
Bayi 1 -
Anak 22 4
Remaja 3 1
Dewasa 6 14 1: 2,3
Jumlah 32 19
Tabel 4 Komposisi KRI pada bulan Juli 2004
Jenis Kelamin (ekor) Kel. Umur
Jantan Betina
Nisbah
Jantan:Betina
Bayi 2 -
Anak 15 4
Remaja 1 3
Dewasa 6 20 1: 3,3
Jumlah 24 27
Dari kedua tabel di atas, nisbah jantan dan betina dewasa berkisar dari 1:2,3
sampai dengan 1:33. Menurut Rowe (1996) nisbah jantan dan betina dewasa jenis ini
sebesar 1:3,4. Nisbah antara jantan dan betina dewasa merupakan hasil dari proses
filopatri betina serta proses migrasi jantan. Yang dimaksud dengan filopatri betina adalah
bahwa betina tetap berada dalam kelompok kelahirannya. Migrasi jantan mencakup
proses imigrasi dan emigrasi. Menurut Napier dan Napier (1985) filopatri betina dan
emigrasi jantan merupakan faktor penentu nisbah jantan dan betina. Berdasarkan hasil
pengamatan pada monyet hitam Sulawesi, faktor imigrasi juga harus diperhitungkan
sebagai penentu nisbah karena proses ini juga berlangsung dan menentukan jumlah jantan
dewasa.
Pertumbuhan Kelompok
Pertumbuhan kelompok diamati pada KRII dan KRI. Untuk KRII, pertumbuhan
kelompok diamati selama satu tahun. Pada awal pengamatan (Januari 2004),
ukuran KRII sebesar 51 ekor. Selama satu tahun terdapat 13 kelahiran, dua kematian,
tiga imigrasi, dan tujuh emigrasi. Dengan demikian ukuran kelompok pada akhir
pengamatan (Desember 2004) sebesar 58 ekor. Rekapitulasi perubahan ukuran dan
komposisi KRII selama satu tahun disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 5. Komposisi
KRII pada akhir penelitian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 5 Rekapitulasi jumlah kelahiran, kematian, imigrasi, dan emigrasi pada KRII selama tahun 2004
Bulan
Kelahiran (ekor)
Kematian (ekor)
Imigrasi (ekor)
Emigrasi (ekor)
Ukuran Kelompok
(ekor) Januari - - - - 51 Februari - - - - 51 Maret - - - - 51 April - - - - 51 Mei 4 (1• , 3• ) 1 (• anak) - - 54 Juni - - - 1 (• ) 53 Juli 4 (4• ) - - - 57
Agustus - - - 2 (• ) 55 September 2 (• ) - - - 57 Oktober 2 (1• , 1• ) 1 (• bayi) - 2 (• ) 56
November 1 (• ) - 2 (• ) 59 Desember - - 1 (• ) 2 (• ) 58
Jumlah 13 2 3 7 58
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa selama satu tahun terjadi 13 kelahiran
(empat ekor jantan dan sembilan ekor betina) atau sebesar 25,49% dari total individu
kelompok pada awal pengamatan, dua kematian (seekor betina anak dan seekor betina
bayi) atau 3,92% dari total individu awal, tiga kali jantan dewasa masuk kelompok atau
5,88% dari total individu awal, dan tujuh kali jantan dewasa keluar kelompok atau
13,73%dari total individu awal. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, filopatri betina dan
migrasi jantan baik imigrasi maupun emigrasi menentukan nisbah jantan dan betina
dewasa dalam kelompok tersebut.
PERTUMBUHAN KELOMPOK
32 32 32 32 33 32 32 30 32 31 33 32
19 19 19 19 21 21 25 25 25 25 26 26
0
10
20
30
40
50
60
70
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Bulan
Jum
lah
(Eko
r)
BetinaJantan
Gambar 5 Pertumbuhan KRII selama tahun 2004
Kelahiran (natalitas) terjadi pada bulan Mei-November. Jika dilihat pertumbuhan
kelompok hanya pada KRII saja seakan-akan terdapat musim kawin, tetapi jika diamati
pada KRI pada bulan-bulan tersebut justru tidak terdapat kelahiran. Sebanyak 65,22%
betina mengalami estrus. Hal ini berbeda dengan KRII yang sebagian besar betinanya
(73,33%) sedang mengasuh bayi dan hanya sedikit yang menunjukkan tanda-tanda estrus.
Tabel 6 Komposisi KRII pada bulan Desember 2004
Jenis Kelamin (ekor) Kel Umur
Jantan Betina
Nisbah
Jantan:Betina
Bayi 4 9
Anak 21 2
Remaja 4 -
Dewasa 3 15 1:5
Jumlah 32 26
Kematian (mortalitas) secara alami disebabkan faktor kecelakaan, umur, dan
serangan predator. Kematian betina anak terjadi karena serangan predator. Pada tubuh
individu tersebut ditemukan bekas-bekas cakaran, tetapi tidak ada luka yang besar.
Kemungkinan individu ini diserang oleh biawak (Varanus salvator). Kematian betina
bayi disebabkan tertimpa cabang pohon yang menyebabkan atap tengkorak pecah,
sehingga otak terdedah. Peristiwa ini terjadi pada tanggal bulan Agustus pada saat terjadi
angin selatan yang cukup kencang. Bayi mampu bertahan selama hampir dua bulan
dalam kondisi yang lemah karena tidak mampu lagi makan dan berjalan jauh dan baru
mati pada akhir bulan November. Pada perut bayi terdapat empat lubang bekas gigitan.
Kemungkinan luka ini disebabkan gigitan biawak. Bayi yang mati ini dibawa induknya
selama satu hari saja, dan pada hari berikutnya sudah tidak dibawa.
Pada KRII terdapat enam ekor jantan melakukan emigrasi, yaitu Yoko (jantan
yang baru memasuki umur dewasa), Perot, Ompong, Kiting, Patchy, dan Blacky. Yoko
keluar dari KRII dan menjadi soliter sebelum masuk ke KRI. Perot keluar dari kelompok
dan masuk ke KG sampai akhirnya bergabung dengan KRI. Ompong terpisah dari
kelompok dan tidak pernah masuk kembali ke KRII yang akhirnya juga bergabung
dengan KRI. Kiting dan Patchy pernah keluar dari KRII dan bergabung dengan KRI.
Kiting beberapa kali masuk ke KRI dan kembali lagi ke KRII, tetapi pada akhirnya
kembali bergabung dengan KRI. Berbeda dengan Kiting, setelah masuk ke KRI Patchy
kembali lagi ke KRII. Blacky merupakan Jantan-á KRII yang keluar dari kelompok
karena diusir oleh Rawing yang menggantikannya sebagai Jantan-á. Rawing adalah satu-
satunya jantan luar yang melakukan imigrasi ke KRII. Rawing pernah menjadi Jantan-á
KRII pada tahun 2003 (Saroyo et al. 2004a).
Pada penelitian pendahuluan pada KRII (Saroyo 2002a) selama empat bulan
pengamatan terdapat dua jantan bayi mati, yaitu seekor karena jatuh dari pohon tidur dan
yang satunya tidak diketahui penyebabnya. Kedua bayi yang mati tersebut dibawa
induknya selama tiga hari. Berbagai studi menunjukkan bahwa angka mortalitas berbeda
pada setiap kelompok umur, dan biasanya tinggi pada fase bayi. Kematian bayi
merupakan faktor utama dalam pengontrolan ukuran kelompok (Chalmer 1980).
Pada bulan April terdapat seekor betina dewasa KRI yang mati karena dibunuh
oleh seekor ular piton (Phyton reticulatus). Pada awal pengamatan (Juli 2004), ukuran
KRI sebesar 51 ekor. Selama enam bulan terdapat sembilan jantan yang masuk dan empat
jantan yang keluar kelompok, tanpa ada kelahiran dan kematian. Dengan demikian pada
akhir penelitian (Desember), ukuran kelompok menjadi 56 ekor dengan komposisi seperti
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Komposisi KRI pada bulan Desember 2004
Jenis Kelamin (ekor) Kel Umur
Jantan Betina
Nisbah
Jantan:Betina
Bayi - -
Anak 17 4
Remaja 1 -
Dewasa 11 23
1:2,1
Jumlah 29 27
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran kelompok untuk KRII dan KRI
pada akhir pengamatan mengalami pertumbuhan jika dibandingkan dengan awal
pengamatan dan masih pada kisaran 50-60 ekor. Ukuran kedua kelompok ini dari tahun
1998-2004 stabil pada kisaran tersebut, walaupun tekanan terhadap kelestarian spesies ini
di CA Tangkoko-Batuangus dan CA Duasudara di dekatnya sangat besar, terutama
perburuan untuk konsumsi dan perusakan habitat. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal
berikut ini.
1) Angka reproduksi yang tinggi
Pengamatan jumlah kelahiran selama setahun pada KRII didapatkan 13 kelahiran,
yang terdiri dari empat jantan dan sembilan betina dari 51 ekor anggota kelompok.
Dengan demikian angka kelahiran kelompok ini sebesar 25,5%. Selama empat bulan
penelitian pendahuluan (Saroyo 2002a) terdapat empat kelahiran (empat bayi jantan)
dari 51 ekor anggota KRII atau sebesar 23,5% dalam setahun. Jumlah kematian
selama setahun sebesar dua ekor atau 3,9%. Jumlah jantan yang masuk ke kelompok
sebesar tiga atau 5,9%, sedangkan jumlah jantan yang keluar dari kelompok sebesar
tujuh ekor atau 13,7%. Satu-satunya faktor yang tidak diketahui adalah angka
perburuan. Selama penelitian dilaksanakan, aktivitas perburuan terhadap kedua
kelompok ini tidak terjadi. Hal ini disebabkan aktivitas penelitian yang dilaksanakan
mengharuskan mengikuti kelompok hampir setiap hari, sehingga aktivitas perburuan
terjadi di tempat lain. Aktivitas perburuan yang tinggi terjadi pada bulan Desember
dan Januari pada saat masyarakat melaksanakan beberapa pesta adat yang biasanya
menyediakan menu satwa liar, termasuk monyet. Dengan demikian ukuran kelompok
ini dipertahankan pada kisaran 50-60 ekor melalui mekanisme kelahiran dan imigrasi
yang menambah jumlah anggota, kematian, emigrasi, dan perburuan yang
mengurangi jumlah anggota kelompok.
2) Aktivitas wisata alam
CA Tangkoko-Batuangus berbatasan langsung dengan Taman Wisata Alam (TWA)
Batuputih dan sampai sekarang tidak ada batas yang jelas antara kedua kawasan
konservasi ini. Aktivitas wisata alam yang seharusnya hanya dilaksanakan di TWA
telah jauh meluas ke cagar alam. Walaupun demikian, terdapat keuntungan langsung
dari aktivitas wisata ini terhadap keamanan tempat-tempat yang sering dikunjungi
wisatawan, terutama untuk kelestarian KRII dan KRI. Aktivitas wisata mancanegara
mencapai puncaknya pada setiap bulan Juli-September. Biasanya perburuan terhadap
kedua kelompok ini terjadi pada bulan-bulan lain dan pada tempat-tempat yang
jarang dikunjungi wisatawan pada saat kelompok monyet menjelajahi tempat-tempat
tersebut.
3) Peran Kelompok Pemandu Wisata Alam Tangkoko
Di Kelurahan Batuputih, perkampungan yang paling dekat dengan TWA
Batuputih dan CA Tangkoko terdapat organisasi masyarakat yaitu Kelompok
Pemandu Wisata Alam Tangkoko. Kelompok ini bersama-sama dengan jagawana di
Resort KSDA Tangkoko-Duasudara menyelenggarakan kegiatan wisata alam.
Dengan keterlibatan beberapa anggota masyarakat lokal ini, masyarakat mulai
merasakan manfaat langsung keberadaan kawasan konservasi di daerah tersebut.
Dengan kerjasama seperti ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya pelestarian
monyet sebagai salah satu satwa khas di TWA dan cagar alam. Selain itu, kelompok
pemandu ini juga berperan sebagai mediator penyebaran pesan-pesan konservasi
kepada anggota masyarakat lain dan mereka selalu dilibatkan dalam kegiatan-
kegiatan patroli dan pengontrolan api jika terjadi kebakaran di kawasan konservasi.
Kemungkinan manajemen kawasan seperti ini dapat menjadi contoh pengelolaan
kawasan konservasi di tempat lain untuk melibatkan masyarakat lokal dengan tetap
memperhatikan aspek-aspek konservasi dan keutuhan kawasan.
Dengan terjadinya peningkatan umur dari remaja menjadi dewasa dan proses
migrasi jantan akan menyebabkan perubahan dalam nisbah jantan dan betina dewasa.
Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRII diikuti dari tahun 2001 pada saat
penelitian pendahuluan (Saroyo 2002a, 2004a). Hasil penghitungan nisbah jantan dan
betina dewasa KRII disajikan pada Tabel 8. Untuk dinamika dalam nisbah jantan dan
betina dewasa untuk KRI disajikan pada Tabel 9.
Tabel 8 Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRII selama penelitian pendahuluan dan tahun 2004
Tanggal Jumlah • Dewasa
(ekor)
Jumlah • Dewasa
(ekor)
Nisbah Keterangan
April 2001 4 17 1:4,3 April 2002 6 17 1:2,8 Agustus 2003 4 17 1:4,3 Januari 2004 6 14 1:2,3 25 Juli 2004 5 15 1:3,0 1 • keluar, 1 •
tumbuh dewasa 10 Agustus 2004 4 15 1:3,8 1 • keluar 17 Agustus 2004 5 15 1:3,0 1 • masuk 28 Agustus 2004 4 15 1:3,8 1 • keluar 31 Agustus 2004 3 15 1:5,0 1 • keluar 11 September 2004 4 15 1:3,8 1 • masuk 14 September 2004 3 15 1:5,0 1 • keluar 18 September 2004 4 15 1:3,8 1 • masuk 7 Oktober 2004 3 15 1:5,0 1 • keluar 8 Oktober 2004 2 15 1:7,5 1 • keluar 18 Oktober 2004 3 15 1:50 1 • masuk 19 Oktober 2004 2 15 1:7,5 1 • keluar 23 Oktober 2004 3 15 1:5,0 1 • masuk 24 Oktober 2004 2 15 1:7,5 1 • keluar 6 November 2004 3 15 1:5,0 1 • masuk 13 November 2004 4 15 1:3,8 1 • masuk 15 November 2004 3 15 1:5,0 1 • keluar 19 November 2004 4 15 1:3,8 1 • masuk 22 Desember 2004 3 15 1:5,0 1 • masuk, 2 •
keluar
Hasil pengamatan pada penelitian pendahuluan (Saroyo 2002a), nisbah jantan dan
betina dewasa pada KRII sebesar 1:2,8; sedangkan menurut Rowe (1996) sebesar 1:3,4.
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian didapatkan hasil bahwa nisbah jantan
dan betina dewasa pada KRII berkisar dari 1:2,3 sampai dengan 1:7,5 sedangkan pada
KRI berkisar dari 1:1,9 sampai dengan 1:4,0.
Tabel 9 Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRI (Juli-Desember)
Tanggal Jumlah • Dewasa
(ekor)
Jumlah • Dewasa
(ekor)
Nisbah Keterangan
Juli 2004 5 20 1:4,0 Agustus 2004 5 20 1:4,0 September 2004 10 20 1:2,0 5 • masuk 7 Oktober 2004 11 23 1:2,1 1 • masuk, 3 •
tumbuh dewasa 8 Oktober 2004 12 23 1:1,9 1 • masuk 6 November 2004 11 23 1:2,1 I • keluar 13 November 2004 10 23 1:2,3 I • keluar 15 November 2004 11 23 1:2,1 1 • masuk 18 November 2004 10 23 1:2,3 I • keluar 22 Desember 2002 11 23 1:2,1 2 • masuk, 1 •
keluar
Dengan demikian kisaran nisbah jantan dan betina dewasa pada monyet hitam
Sulawesi selama penelitian sebesar 1:1,9-1:8. Nilai ini menunjukkan bahwa nisbah jantan
dan betina dewasa sangat bervariasi bergantung pada beberapa faktor, yaitu kematian
individu dewasa, migrasi jantan, dan pertumbuhan individu dari remaja menjadi dewasa.
Daerah Jelajah dan Jelajah Harian
Penyebaran monyet hitam Sulawesi di CA Tangkoko-Batuangus mencakup tepi
pantai sampai puncak Gunung Tangkoko yang mempunyai ketinggian 1.109 m dpl.
Mereka tersebar pada daerah jelajah yang saling berselingkupan. Daerah jelajah monyet
mencakup berbagai tipe vegetasi. Sebagai contoh, KRII mempunyai daerah penyebaran
yang mencakup tipe vegetasi pantai, hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, dan
padang ilalang (Saroyo 2002b, Saroyo et al. 2003b). Daerah jelajah dan jelajah harian
diamati pada KRII dan KRI. Daerah jelajah diukur sampai akhir penelitian, sedangkan