66
KARAKTERISTIK KANDUNGAN GIZI UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DARI SISTEM BUDIDAYA YANG BERBEDA MUHAMMAD GIGIH WIJAYA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

KARAKTERISTIK KANDUNGAN GIZI UDANG VANNAMEI … · udang vannamei dari sistem budidaya yang berbeda. Udang diperoleh dari tiga sistem budidaya yakni sistem aquapod di Bali, sistem

  • Upload
    lemien

  • View
    262

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

KARAKTERISTIK KANDUNGAN GIZI

UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DARI SISTEM

BUDIDAYA YANG BERBEDA

MUHAMMAD GIGIH WIJAYA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik

Kandungan Gizi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dari Sistem Budidaya

yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Muhammad Gigih Wijaya

NIM C34110089

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak

luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

ABSTRAK

MUHAMMAD GIGIH WIJAYA. Karakteristik Kandungan Gizi Udang

Vannamei (Litopenaeus vannamei) dari Sistem Budidaya yang Berbeda.

Dibimbing oleh MALA NURILMALA dan IRZAL EFFENDI.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakteristik kandungan gizi

udang vannamei dari sistem budidaya yang berbeda. Udang diperoleh dari tiga

sistem budidaya yakni sistem aquapod di Bali, sistem keramba jaring apung

(KJA) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, dan sistem tambak di Karawang.

Analisis yang digunakan meliputi analisis proksimat, asam amino, taurin, asam

lemak, mineral, dan astaxanthin. Asam amino non essensial tertinggi adalah

glutamat pada udang dengan sistem aquapod (Bali) sebesar 3668 mg/100 g. Total

asam lemak tertinggi pada udang sistem tambak (Karawang) sebesar 109213

mg/100 g. Taurin tertinggi yakni udang sistem aquapod (Bali) sebesar 109,69

mg/100 g. Mineral makro tertinggi adalah kalsium udang sistem KJA (Kepulauan

Seribu) sebesar 2109 mg/kg, sedangkan mineral mikro terbesar adalah seng (Zn)

yakni udang sistem aquapod (Bali) sebesar 59,01 mg/kg. Komposisi astaxanthin

tertinggi pada udang sistem Aquapod (Bali) sebesar 2,36 mg/kg. Perbedan sistem

budidaya memberi pengaruh terhadap karakteristik gizi udang vannamei yaitu

asam amino, taurin, asam lemak, mineral dan astaxanthin.

Kata kunci : Astaxanthin, karakteristik gizi, mineral, sistem budidaya, udang

vannamei (Litopenaeus vannamei)

ABSTRACT

MUHAMMAD GIGIH WIJAYA. Nutritional Characteristics of White Shrimp

(Litopenaeus vannamei) from Different Aquaculture System. Supervised by

MALA NURILMALA and IRZAL EFFENDI.

This study was aimed to determine the nutritional characteristics of white

shrimp reread in aquapod, floating net and pond system at Sangsit Bali, Thousand

Island Jakarta, and pond Karawang respectively. The analysis includes proximate

analysis, amino acid, taurine, fatty acids, minerals, and astaxanthin. The highest

non essential amino acid of white shrimp was glutamic acid from aquapod system

at 3668 mg/100 g. The highest total fatty acid shrimp from pond system was

109213 mg/100 g. The highest taurine was shrimp from Aquapod system

109.69 mg/100 g. The highest content of macro minerals was calcium from

shrimp with floating net system (2109 mg / kg), while the largest micro mineral

was zinc from shrimp with Aquapod system (59.01 mg/kg). The highest level of

astaxanthin was shrimp from Aquapod system is 2.36 mg/kg. In conclusion, the

difference of aquaculture system gave significant effect to nutritional

characteristics such as amino acid, fatty acid, taurine, mineral and astaxanthin.

Keywords : Astaxanthin, aquaculture system, mineral, nutritional characteristics,

white shrimp (Litopenaeus vannamei).

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KARAKTERISTIK KANDUNGAN GIZI

UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DARI SISTEM

BUDIDAYA YANG BERBEDA

MUHAMMAD GIGIH WIJAYA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak September sampai Juli 2015 ini ialah

Karakteristik Gizi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dari Sistem

Budidaya yang Berbeda.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penulisan karya ilmiah ini, terutama kepada:

1 Dr Mala Nurilmala SPi MSi dan Ir Irzal Effendi MSi selaku dosen

pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada

penulis.

2 Dr Asadatun Abdullah SPi MSi sebagai dosen penguji dan

Prof Dr Ir Nurjanah MS sebagai dosen perwakilan komisi pendidikan THP,

yang telah memberikan saran dan bimbingan untuk menyelesaikan tugas

akhir.

3 Prof Dr Ir Joko Santoso MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil

Perairan.

4 Dr Ir Iriani Setyaningsih MS selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil

Perairan.

5 Orang tua (Bapak Kunto Widarjono dan Ibu Hilda Widaningsih) dan keluarga

tercinta terutama kedua adik saya (Devina Novita Lestari dan Muh Satrio

Wibowo) yang tak pernah berhenti memberikan doa serta dukungan baik

moril maupun materil kepada penulis.

6 Perusahaan PT. Kemilau Bintang Timur sebagai sponsor Beasiswa Utusan

Daerah (BUD)

7 Perusahaan Tropical Ocean Prawn (TOP) yang menyediakan sampel udang di

aquapod, Bali dan membiayai pengujian analisis

8 Prof Dr Ir Kadarwan Soewardi yang menyediakan sampel udang dari tambak

di Karawang

9 Mas Widi, Qustam dan Harbin sebagai teknisi KJA di Kepulauan Seribu yang

membantu pengambilan sampel udang

10 Ir Ali Ibrahim sebagain teknisi sistem budidaya aquapod yang membantu

dalam transportasi udang vannamei

11 Teman satu bimbingan yang selalu memberikan semangat (Fitria, Aisyah,

Bram, Navisa, Asya, Ayur, Pipit, ka Lita, ka Medal, ka Yustin, ka Deden, ka

Andra, mba Nuring, mba Hilda)

12 Mas Ipul, Paqih, Mba Dilla, Mas Tio yang mebantu dalam pengujian sampel

udang

13 Keluarga besar THP 48 atas kebersamaan dan kekompakannya selama ini.

14 Sahabat Terbaik (Konita Rahman, Arif Tanugraha, Tri Ramdhani)

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk

perbaikan penelitian ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang

memerlukannya.

Bogor, Agustus 2015

Muhammad Gigih Wijaya

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix

PENDAHULUAN

Latar Belakang ............................................................................................. 1

Perumusan Masalah ..................................................................................... 2

Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2

Manfaat Penelitian ....................................................................................... 2

Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................... 2

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat ....................................................................................... 2

Sistem Budidaya .......................................................................................... 3

Bahan dan Alat ............................................................................................. 3

Prosedur Penelitian ...................................................................................... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Air Lokasi Sistem Budidaya ......................................................... 11

Komposisi Proksimat Udang Vannamei ...................................................... 11

Komposisi Asam Amino dan Taurin Udang Vannamei ............................. 12

Komposisi Asam Lemak Udang Vannamei ................................................. 15

Komposisi Mineral Makro dan Mikro Udang Vannamei ............................ 18

Komposisi Astaxanthin Udang Vannamei ................................................... 19

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan .................................................................................................. 20

Saran ............................................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20

LAMPIRAN ..................................................................................................... 23

RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 48

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik kondisi lingkungan di setiap sistem budidaya ....................... 11

2 Komposisi proksimat udang vannamei ........................................................ 12

3 Komposisi asam amino udang vannamei ..................................................... 13

4 Komposisi taurin udang vannamei .............................................................. 14

5 Komposisi asam lemak udang vannamei ..................................................... 16

6 Komposisi mineral makro dan mikro udang vannamei ............................... 18

7 Komposisi astaxanthin udang vannamei ...................................................... 19

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian ................................................................................ 4

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis statistik ANOVA data penelitian ......................................... 23

2 Tabel uji lanjut Duncan data penelitian ...................................................... 24

3 Kurva standar analisis mineral ................................................................... 31

4 Dokumentasi penelitian .............................................................................. 33

5 Perhitungan proksimat ................................................................................ 34

6 Kromatogram standar asam amino udang vannamei aquapod ................... 35

7 Kromatogram standar asam amino udang vannamei KJA ......................... 36

8 Kromatogram standar asam amino udang vannamei tambak ..................... 37

9 Kromatogram standar asam lemak udang vannamei aquapod ................... 38

10 Kromatogram standar asam taurin udang vannamei aquapod, KJA

dan tambak .................................................................................................. 40

11 Kromatogram asam amino udang vannamei aquapod ............................... 41

12 Kromatogram asam amino udang vannamei KJA ...................................... 42

13 Kromatogram asam amino udang vannamei tambak ................................. 43

14 Kromatogram asam lemak udang vannamei aquapod ............................... 44

15 Kromatogram asam lemak udang vannamei KJA ...................................... 45

16 Kromatogram asam lemak udang vannamei tambak .................................. 46

17 Kromatogram taurin udang vannamei aquapod, KJA dan tambak ............ 47

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Potensi perikanan di Indonesia yang tinggi dipengaruhi oleh wilayah

Indonesia yang sebagian besar adalah lautan. Kegiatan penangkapan tidak mampu

memenuhi kebutuhan produksi perikanan sehingga dibutuhkan adanya kegiatan

budidaya dalam rangka memenuhi permintaan konsumen. Salah satu hasil

budidaya yang banyak diminati di Indonesia adalah udang vannamei. Hal ini

dapat ditunjukkan dengan produksi udang tahun 2010 sebesar 206.578 ton yang

meningkat 20,49 % di tahun 2014 menjadi 411.729 ton (DJPB-KKP 2015).

Selama ini budidaya udang banyak dilakukan di tambak. Kecenderungan yang

terjadi dalam budidaya tambak udang, khususnya yang menerapkan teknologi

semi intensif dan intensif adalah kondisi lahan yang sempit, penggunaan bahan

bakar minyak (BBM) yang tinggi untuk memutar kincir dan aerator, dan rendah

oksigen. Dampak dari kekurangan oksigen dan lahan yang sempit menyebabkan

kondisi udang mudah mengalami stress dan akan memperlemah kondisi udang,

sehingga mudah terserang penyakit (Maulina et al. 2012). Selain menurunnya

daya dukung lahan dan serangan penyakit pada udang, belum adanya teknologi

yang menjamin kelangsungan kualitas produk dan yang paling utama adalah

penebangan hutan mangrove (Setyawan dan Winarno. 2006).

Tingginya masalah yang terjadi pada tambak menuntut adanya upaya

untuk tetap memproduksi udang. Salah satu upaya yang dilakukan dalam

budidaya udang yaitu dengan kegiatan akuakultur yang dilakukan di laut atau

disebut marikultur (marine aquaculture). Marine aquaculture merupakan aktivitas

akuakultur yang dilakukan di laut lepas yang berfungsi sebagai penyedia

sumberdaya perikanan. Upaya yang dilakukan dalam budidaya udang di laut

yakni dengan sistem keramba jaring apung (KJA) dimana udang dibudidayakan di

atas permukaan laut dan sistem aquapod yakni udang dibudidayakan di laut

dengan kedalaman 15 meter. Keuntungan budidaya udang di laut yakni memiliki

lahan yang luas, efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam, ketersediaan oksigen

yang melimpah, mengurangi penggunaan BBM untuk memutar kincir,

mengurangi konflik pemanfaatan hutan mangrove dan menciptakan lapangan

pekerjaan baru (PKSPL-IPB 2006). Keuntungan dari sistem marikultur

diharapkan mampu menghasilkan udang bermutu tinggi untuk memenuhi

permintaan pasar terhadap produk perikanan.

Penelitian mengenai komposisi nutrisi udang yang dibudidayakan di

tambak telah banyak dilakukan seperti Sriket et al. (2006) mengenai perbandingan

kualitas udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih (Penaeus vannamei)

yang dibudidayakan di tambak dan penelitian Karuppasamy et al. (2013) tentang

perbandingan komposisi proksimat, asam amino, dan asam lemak

Penaeus monodon, Fenneropenaeus indicus dan Aristeus virilis, akan tetapi

penelitian tentang udang yang dibudidayakan di laut belum ada yang melaporkan.

Untuk mengetahui kualitas udang yang dibudidayakan di laut maka

diperlukan suatu penelitian yang dapat menentukan kandungan gizi udang

berdasarkan sistem budidaya yang berbeda. Informasi mengenai kualitas gizi

udang vannamei yang dibudidayakan di laut dengan sistem aquapod (Bali), KJA

2

(Kepulauan Seribu) dan tambak (Karawang) belum pernah dilakukan, sehingga

penelitian ini dilakukan untuk menentukan karakteristik gizi udang yang

dibudidayakan pada sistem budidaya yang berbeda.

Rumusan Masalah

Prospek budidaya udang vannamei cukup bagus, baik untuk pasar dalam

negeri maupun untuk ekspor. Salah satu kendala yang umum dihadapi dalam

sistem produksi yaitu menurunnya daya dukung lahan tambak yang terus

berkurang. Peluang pasar yang masih terbuka tersebut perlu mendapat dukungan,

salah satunya dengan pengembangan teknologi budidaya udang di laut dengan

sistem aquapod dan keramba jaring apung (KJA) untuk memanfaatkan lahan laut

dan meningkatkan nilai jual terhadap udang. Kegiatan budidaya udang di laut

diharapkan mampu menghasilkan udang dengan kualitas tinggi baik dari segi

kenampakan maupun nilai gizinya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakteristik kandungan gizi

udang vannamei dari sistem budidaya yang berbeda. Sistem dan lokasi budidaya

udang meliputi sistem aquapod di Bali, sistem keramba jaring apung (KJA) di

Kepulauan Seribu, dan sistem tambak di Karawang. Parameter yang diuji dalam

penelitian ini meliputi analisis proksimat, asam amino, asam lemak, taurin,

mineral, dan astaxanthin.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, membandingkan

kualitas dan karakteristik gizi udang vannamei dari sistem budidaya yang berbeda.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah preparasi dan pengujian karakteristik

udang vannamei yang terdiri dari analisis proksimat, asam amino, asam lemak,

taurin, mineral, astaxanthin, analisis data, dan penulisan laporan.

METODE PENELITIAN

Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai Juli 2015.

3

Preparasi sampel dan analisis kandungan gizi udang dilakukan di Laboratorium

Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan,

Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium

Terpadu Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sistem Budidaya

Sampel udang pada penelitian ini diperoleh dari tiga sistem budidaya yang

berbeda yakni sistem aquapod, KJA, dan tambak. Udang dengan sistem aquapod

berasal dari Sangsit Kecamatan Tabunan, Bali, udang dengan sistem keramba

jaring apung berasal dari Semak daun, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan udang

dengan sistem tambak dari Karawang, Jawa Barat. Sistem aquapod memiliki

karakteristik yaitu berupa wadah berbentuk bola dengan ukuran diameter 20 meter

berkapasitas 3600 m3 di kedalaman 15-20 meter dalam permukaan laut, serta pada

alat tersebut terdapat panel yang digunakan untuk memberikan pakan dan mampu

menahan predator yang akan memangsa biota. Sistem keramba jaring apung

adalah sarana pemeliharaan ikan atau biota air yang mengapung diatas air.

Budidaya yang dilakukan di permukaan laut dengan ukuran kantong jaring 3 x 3

meter dan disimpan pada permukaan laut sehingga mengambang dan berbentuk

kolam dengan kedalaman 1,5-2 meter. Tambak adalah kolam buatan yang berada

di kawasan pantai dan dimanfaatkan untuk sarana akuakultur. Komponen tambak

terdiri dari aerator, kincir, petak air pemasok, petak treatment dan petak tandon.

Udang yang diperoleh dari sistem budidaya aquapod, KJA dan tambak

memiliki ukuran, umur, jenis pakan, frekuensi pemberian pakan dan ukuran yang

seragam, yang membedakan hanya sistem budidaya pemiliharaan pada udang

Sistem budidaya aquapod, KJA dan tambak memiliki karakteristik lokasi, arus,

gelombang dan tekanan yang berbeda.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan yaitu udang vannamei dengan ukuran rata-

rata 15-17 cm. Bahan yang digunakan untuk analisis proksimat meliputi aquades,

H2SO4, NaOH, HCl 0,1 N, H3BO4, kertas saring, dan pelarut heksana. Bahan yang

digunakan untuk analisis asam lemak adalah NaOH 0,5 N, metanol (Merck), BF3,

NaCl jenuh, n-heksana, dan Na2SO4. Bahan yang digunakan untuk analisis asam

amino adalah natrium hidroksida, asam borat, larutan brij, Na-EDTA, metanol

(Merck), THF, Na-asetat, dan, 2-merkaptoetanol. Analisis kandungan mineral

menggunakan asam nitrat (HNO3), aquades, asam asetat, kertas saring Whatman

no 42, H2SO4, H3BO3, HCl dan garam (NaCl) 1%. Analisis astaxanthin

menggunakan aseton (Merck), petroleum eter, dan aquades. Alat yang digunakan

untuk analisis proksimat, asam amino, asam lemak dan astaxanthin yaitu cawan

porselen, oven, desikator, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung kjeldahl,

tabung sokhlet, pemanas, destilator, buret, dan tanur. Alat yang digunakan untuk

analisis asam lemak adalah homogenizer (Nissei AM-3, Tokyo, Japan), evaporator

(Eyela OSB 2100, Tokyo Rikakikai, Japan), erlenmeyer (ekstraksi asam lemak),

kromatografi gas, labu evaporator, rotary evaporator, botol vial, (HPLC) high

4

performance liquid chromatography (Waters Coorporation, Massachusetts, USA),

(GC) Gas chromatograpgy (Hitachi 263-50 GC, Tokyo, Japan) dan (AAS) atomic

absorption spektroscopy (Shimadzu tipe AA-7000, Kyoto, Japan).

Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri atas beberapa analisis meliputi analisis proksimat,

asam amino, taurin, asam lemak, mineral, dan astaxanthin. Sampel diperoleh dari

Bali, Kepulauan Seribu dan Karawang ditransportasikan menggunakan sistem

basah. Penyipanan udang dilakukan dalam freezer pada suhu -80 oC. Diagram alir

proses penelitian tahap pertama mengenai karakteristik gizi udang vannamei dari

laut dan tambak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian

Analisis Proksimat

Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein dan

kadar lemak.

Analisis Kadar Air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan adalah mengeringkan cawan porselen dalam

oven pada suhu 102-105 oC hingga diperoleh berat konstan selama 15 menit.

Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan

dibiarkan sampai suhu ruang kemudian ditimbang. Sampel udang vannamei

ditimbang seberat 5 g, selanjutnya cawan yang telah diisi sampel dimasukkan ke

dalam oven pada suhu 102-105 oC selama 6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke

Tambak (Karawang)

Udang vannamei (L. vannamei)

Aquapod (Bali) KJA (Kep Seribu)

Analisis

Proksimat (AOAC 2005)

As. Amino (AOAC 1995)

Taurin (AOAC 1995)

As. Lemak (AOAC 1995)

Mineral (AOAC 2005)

Astaxanthin (Takeungwongtrakul et al. 2013 dan

Saito Reiger 1971)

5

dalam desikator dan dibiarkan sampai suhu ruang kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar air sebagai berikut.

Kadar air (%) = B - C

B - A x 100 %

Keterangan :

A = Berat cawan porselen kosong (g)

B = Berat cawan porselen dengan sampel (g)

C = Berat cawan porselen dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Analisis Kadar Abu (AOAC 2005)

Cawan porselen dibersihkan kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu

sekitar 105 oC selama 30 menit. Cawan porselen tersebut dimasukkan ke dalam

desikator (30 menit) dan ditimbang. Sampel udang vannamei yang sudah dicacah

ditimbang sebanyak 5 g, kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen,

selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan

ke dalam tanur pengabuan pada suhu 600 oC selama 6 jam. Cawan dimasukkan ke

dalam desikator dibiarkan sampai suhu ruang kemudian ditimbang. Perhitungan

kadar abu sebagai berikut.

Kadar abu (%) = C - A

B - A x 100 %

Keterangan :

A = Berat cawan porselen kosong (g)

B = Berat cawan porselen dengan sampel (g)

C = Berat cawan porselen dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Analisis Kadar Protein (AOAC 2005)

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Tahap-tahap

yang dilakukan dalam analisis protein, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

Sampel ditimbang sebanyak 0,25 g serta 0,25 g tablet kjeltab selenium dan 3 mL

H2SO4 pekat dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL. Sampel udang

didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu

didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 mL akuades

dan 20 mL NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi. Hasil destilasi

ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL asam

borat (H3BO3) 2 % dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang

berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 10 mL dan berwarna

hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Destilat selanjutnya dititrasi

dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Volume

HCl terpakai dalam titrasi dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti

sampel. Kadar protein dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

Kadar protein (%) =mL HCl x N HCl x 14 x FK

bobot sampel (g) x 1000x 100 %

6

Keterangan :

N HCl = 0,1 N

FK = faktor konversi = 6,25

Analisis Kadar Lemak (AOAC 2005)

Sampel udang vannamei 5 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan

dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam soxhlet

Labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) disambungkan dengan

soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam soxhlet dan disiram dengan

pelarut lemak heksana. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu

dipanaskan pada suhu 80 oC menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut

didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap.

Proses destilasi akan menyebabkan pelarut tertampung di soxhlet dan

dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Labu lemak

dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 15 menit, setelah itu labu

didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Kadar protein

dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

Kadar lemak (%) =w3-w2

w1x 100 %

Keterangan :

W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat labu kosong (g)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)

Analisis Asam Amino (AOAC 2005)

Komposisi asam amino ditentukan dengan HPLC. Perangkat HPLC dibilas

terlebih dahulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam dan syringe

yang akan digunakan harus dibilas dengan akuades. Analisis asam amino

menggunakan HPLC terdiri dari 4 tahap, yaitu preparasi sampel, pengeringan,

derivatisasi dan injeksi.

a. Preparasi sampel

Preparasi sampel dilakukan dengan menimbang sebanyak 1 g sampel dan

dihancurkan, selanjutnya ditambahkan dengan larutan HCl 6 N sebanyak

5-10 mL. Larutan tersebut dipanaskan dalam oven pada suhu 100 °C selama 24

jam. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel

agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Sampel disaring

menggunakan milipore berukuran 45 mikron.

b. Pengeringan

Hasil saringan diambil sebanyak 10 μL dan ditambahkan 30 μL larutan

pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran antara metanol, natrium

asetat, dan trimetilamin dengan perbandingan 2:2:1. Sampel dikeringkan dengan

alat pompa vakum yaitu untuk mempercepat proses dan mencegah terjadinya

oksidasi.

c. Derivatisasi

Larutan derivatisasi dibuat dari campuran antara larutan metanol,

pikoisotiosianat, dan trimetilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi

7

dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel.

Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 10 mL asetonitril

60 % dan natrium asetat 1 M lalu dibiarkan selama 20 menit. Hasil pengenceran

disaring kembali dengan menggunakan milipore berukuran 45 mikron. Larutan

derivatisasi sebanyak 30 μL ditambahkan pada hasil pengeringan.

d. Injeksi ke HPLC

Hasil saringan diambil sebanyak 20 μL untuk diinjeksikan ke dalam HPLC.

Penghitungan konsentrasi asam amino pada bahan dilakukan dengan pembuatan

kromatogram standar menggunakan asam amino standar yang telah siap pakai

yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kondisi alat HPLC saat

berlangsungnya analisis asam amino.

Merek : Waters Coorporation, Massachusetts, USA

Temperatur kolom : 38°C

Jenis kolom : Pico tag 3.9 x 150 nm colum

Kecepatan alir eluen : 0,5 mL/menit

Program : Gradien

Tekanan : 3000 psi

Fase gerak : Asetonitril 60% dan natrium asetat 1 M 40%

Detektor : UV / 272 nm

Kandungan asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus yaitu

persentase asam amino dalam 100 gram sampel.

Asam amino (%) = AC x C x BM x FP

AS x BC x 100 %

Keterangan :

AC = Luas area sampel

AS = Luas area standar

BC = Bobot sampel (g)

BM = Bobot molekul dari masing-masing asam amino

C = Konsentrasi standar asam amino

Fp = Faktor pengenceran.

Analisis Taurin (AOAC 2005)

Kandungan taurin dapat dianalisis menggunakan alat HPLC. Pada

pengujian kadar taurin, sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke

dalam tabung ukur 100 ml, kemudian ditambahkan 80 ml air suling dan 1 ml

pereaksi carrez lalu dikocok hingga homogen. Selanjutnya dilakukan pengenceran

dengan menambahkan air suling sampai tanda tera dan dikocok hingga homogen.

Kemudian larutan disaring menggunakan kertas saring whatman. Filtrat

ditampung dalam erlenmeyer dan disimpan di tempat yang gelap. Selanjutnya

dilakukan tahap derivatisasi dengan mengambil 1 mL ekstrak sampel dimasukkan

ke labu takar 10 ml, kemudian ditambahkan 1 mL buffer natrium karbonat dan

1 mL larutan dansil klorida. Setelah itu sampel didiamkan selama 2 jam lalu

dikocok dan ditambahkan 0,5 ml larutan metilamin hidroklorida kemudian

dikocok kembali hingga homogen. Hasil derivatisasi diambil sebanyak 40 µL

kemudian diinjeksikan ke dalam HPLC untuk mengetahui kandungan taurin pada

sampel. Kandungan taurin dalam bahan dapat dihitung dengan rumus:

8

Taurin (%) = Luas area sampel

Luas area standarx

C x faktor pengenceran

bobor sampel (g)

Keterangan : C = konsentrasi standar taurin (µg/mL)

Analisis Asam Lemak (AOAC 2005)

Metode analisis yang digunakan memiliki prinsip memisahkan asam

lemak (gliserida dan pospolipida) dengan cara penyabunan dan akan esterifikasi

dengan adanya BF3 sebagai katalis. Senyawa yang tidak tersabunkan tidak

dipisahkan dan akan menggangu hasil analisis. Hasil analisis akan terekam dalam

suatu lembaran yang terhubung dengan rekorder dan ditunjukan melalui beberapa

puncak pada waktu retensi tertentu sesuai dengan karakter masing-masing asam

lemak. Analisis asam lemak dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap ekstraksi,

metilasi, dan identifikasi dengan kromatografi gas.

a. Ekstraksi asam lemak

Tahap pertama dilakukan ekstraksi soxletasi untuk asam lemak, dan

ditimbang sebanyak 200 mg lemak dalam bentuk minyak.

b. Pembentukan metil ester (metilasi)

Lemak dalam bentuk minyak yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam

tabung 10 mL, ditambah 2-5 mL NaOH 0,5 N kemudian ditutup rapat dan

direfluks selama 20 menit menggunakan water bath pada suhu 80 oC.

Tabung lalu diangkat dan dibiarkan sampai dingin pada suhu ruang.

Sebanyak 2-5 mL BF3 ditambahkan, kemudian dipanaskan kembali selama

20 menit dan dinginkan pada suhu ruang. NaCl 2 mL ditambahkan dengan

2 mL heksana sambil dikocok. Tahap proses pemisahan lapisan heksana

yang berada di lapisan atas dan masukan kedalam botol eppendorf dengan

ditambahkan 0,1 g Na-sulfat, dibiarkan sampai 15 menit. Fase cair

dipisahkan dan selanjutnya diinjeksikan kedalam kromatografi gas.

c. Identifikasi asam lemak dilakukan dengan menginjeksikan metil ester pada

alat kromatografi gas dengan kondisi alat sebagai berikut.

Merk : Hitachi 263-50 GC, Tokyo, Japan

Detektor : FID (Flame Ionization Detector)

Jenis kolom : Dietilen Glikol Sukcianat (DEGS)

Panjang kolom : 30 m

Suhu awal : 150 oC

Suhu akhir : 180 oC

Suhu injektor : 200 oC

Suhu detektor : 250 oC

Suhu terprogram : 150-180 oC/ 5 oC/menit

Kenaikan : 5 oC/ menit

Gas pembawa : N2 dan H2

Kecepatan alir : 20-50 mL/ menit

Prinsip analisis komposisi asam lemak dengan kromatografi gas adalah

dengan mengubah komponen asam lemak menjadi senyawa volatil metil ester

yang akan dideteksi oleh detektor ionisasi nyala api (FID) dalam bentuk

kromatogram. Jenis dan jumlah asam lemak yang ada pada contoh dapat

diidentifikasi dengan membandingkan peak kromatogram contoh dengan peak

9

kromatogram asam lemak standar yang telah diketahui jenis dan konsentrasinya,

kemudian dihitung kadar asam lemaknya. Kadar asam lemak dihitung dengan

rumus sebagai berikut.

Asam lemak (%)=konsentrasi puncak sampel

konsentrasi total asam lemakx 100%

Analisis Mineral (AOAC 2005)

Proses pengabuan basah pada pengujian mineral Mg, Ca, K, Zn, Cu dan Fe

dilakukan dengan penimbangan sampel sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke

dalam erlenmeyer dengan ukuran 125 mL. HNO3 5 mL ditambahkan ke dalam

labu dan dibiarkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam. Labu dipanaskan

diatas hotplate selama 4 - 6 jam dengan temperatur rendah dan dibiarkan selama

semalam dalam keadaan sampel tertutup dalam ruang asam. H2SO4 pekat

sebanyak 0,4 mL ditambahkan dan dipanaskan di atas hotplate sampai larutan

lebih pekat selama ± 1 jam. HClO4 dan HNO3 ditambahkan (2:1) sebanyak 2-3

tetes, sampel tetap berada di atas hotplate hingga terjadi perubahan warna dari

coklat, kuning tua ke kuning muda selama ± 1 jam. Setelah terdapat perubahan

warna, pemanasan dilanjutkan 10-15 menit. Sampel dipindahkan, didinginkan dan

ditambahkan 2 mL akuades dan 0,6 mL HCl pekat. Larutan dipanaskan kembali

agar sampel larut (± 15 menit) kemudian dimasukan ke dalam labu takar 100 mL.

Apabila terdapat endapan, larutan disaring dalam glass wool. Hasil pengabuan

basah dianalisis menggunakan dalam Atomic Absorption Spectrophotometer

(AAS) (Shimadzu tipe AA-7000, Kyoto, Japan) untuk analisis berbagai mineral.

Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke AAS, kemudian diukur

absorbansinya atau tinggi puncak dari standar blanko dan contoh pada panjang

gelombang dan parameter yang sesuai untuk masing-masing mineral dengan

spektrofotometer. Setelah diperoleh absorbansi standar, antara konsentrasi standar

(sebagai sumbu Y) dihubungkan dengan absorban standar (sebagai sumbu X)

sehingga diperoleh kurva standar mineral dengan persamaan garis linier

y = ax + b yang digunakan untuk perhitungan konsentrasi larutan sampel.

Konsentrasi larutan sampel dihitung dengan mengalikan dengan absorbansi

contoh. Kadar mineral dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Kadar mineral ( mg 100g basis kering (bk)) (%) = ⁄Kadar mineral basis basah

(100%-%kadar air)x 100 %

Keterangan :

a = konsentrasi larutan sampel (ppm)

b = konsentrasi larutan blanko (ppm)

fp = faktor pengenceran

w = berat sampel (g).

Analisis Astaxanthin (Takeungwongtrakul et al. 2013)

Komposisi astaxanthin ditentukan dengan mengacu pada metode Saito dan

Regier (1971) dan Takeungwongtrakul et al. (2013). Sampel udang 10 g diekstrak

menggunakan 40 ml aseton dingin selama 10 menit. Sampel yang telah diekstrak

10

dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4 oC selama 5

menit. Pisahkan antara natan dan supernatan kemudian dimasukan kedalam

corong pisah dan ditambahkan 40 ml petroleum eter dan 100 ml aqades. Hasil

sampel didiamkan selama 20 menit agar terbentuk dua lapisan antara pelarut dan

astaxanthin. Lapisan petroleum eter dipindahkan ke tabung reaksi kemudian

dilakukan analisis absorbansi sampel. Absorbansi sampel dilakukan menggunakan

spektrofotometer dengan panjang gelombang 448 nm. Konsentrasi astaxanthin

ditentukan dengan metode Saito dan Regeir (1971) dengan modifikasi sebagai

berikut.

C (ug/g lipid) = A448 x volume ekstraksi x dilusi

0,2 x bobot sampel dalam gram

(0,2 adalah standar astaxanthin 1 µg/mL A448)

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan perlakuan perbedaan sistem budidaya yakni aquapod, KJA dan

tambak. Analisis menggunakan 3 ulangan. Pengolahan data dilakukan dengan

menggunakan microsoft excel, perangkat lunak Statistical Package for Social

Science (SPSS) dengan analisis ragam ANOVA menggunakan selang

kepercayaan 95% (α = 0,05). Model matematika rancangan acak lengkap sebagai

berikut:

Yij = µ + τi + εij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

μ = Nilai rata-rata umum peubah yang diamati.

τi = pengaruh perlakuan ke-i.

εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

i = {1,2,3}

j = {1,2,3}

Data komposisi kimia udang vannamei yang menunjukkan pengaruh nyata,

akan dilakukan uji lanjut Duncan. Hipotesis percobaan yang digunakan adalah

sebagai berikut:

H0 : Perbedaan sistem budidaya tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap komposisi kimia udang vannamei

H1 : Perbedaan sistem budidaya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

komposisi kimia udang vannamei

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Air Lokasi Sistem Budidaya

Kondisi perairan berperan langsung terhadap segala bentuk kehidupan

biota perairan didalamnya. Setiap sistem budidaya terdapat di tiga lokasi yang

berbeda, sistem budidaya aquapod berlokasi di Bali, sistem KJA berlokasi di

Kepulauan Seribu, dan sistem tambak berlokasi di Karawang. Setiap lokasi

budidaya memiliki karakteristik kondisi lingkungan yang berbeda. Karakteristik

kondisi lingkungan setiap sistem budidaya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik kondisi lingkungan di setiap sistem budidaya

Parameter Sistem budidaya

Aquapod KJA Tambak

Suhu (oC) 29-31 30-31 30-32

Salinitas (o/oo) 32-34 31-32 21-25

DO (mg/L) 7,5-7,9 7,4-7,7 7,0-7,2

pH 8,2-8,5 7,9-8,2 7,5-7,8

Tabel 1 menunjukkan karakteristik kondisi lingkungan pada sistem

budidaya aquapod, KJA dan tambak. Nilai suhu, salinitas, DO dan pH lingkungan

budidaya aquapod berturut-turut adalah 29-31 oC, 32-34 o/oo, 7,5-7,9 mg/ L, dan

8,2-8,5. Nilai suhu, salinitas, DO dan pH lingkungan budidaya KJA berturut-turut

adalah 30-31 oC, 31-32 o/oo, 7,4-7,7 mg/ L, dan 7,4-7,8. Nilai suhu, salinitas, DO

dan pH lingkungan budidaya tambak berturut-turut adalah 30-32 oC, 21-25 o/oo,

7,0-7,2 mg/ L, dan 7,5-7,9. Kondisi kecepatan arus arus di lingkungan tambak

cenderung tenang, sedangkan kondisi arus di pada sistem aquapod dan tambak

memiliki kecepatan 0,16-0,20 m/s. Setiap sistem budidaya memiliki kondisi

lingkungan yang berbeda, hal tersebut dipengaruhi lokasi yang berbeda. Sistem

budidaya aquapod dan KJA memiliki kandungan oksigen terlaut tinggi

dibandingkan dengan sistem tambak. Hal ini disebabkan karena di laut terjadi

pencampuran dan pengadukan air laut oleh angin sehingga menyebabkan

tingginya kandungan oksigen dalam air serta suhu air laut akan berfluktuasi akibat

proses tersebut, namun berbeda dengan di tambak, oksigen pada tambak diperoleh

dari putaran kincir dan aerator yang menyebabkan kandungan oksigen dalam air

terbatas dan suhu pada tambak tidak berubah signifikan. Suhu air berfluktuasi

sesuai siklus matahari, pasang surut dan angin laut sehingga akan mempengaruhi

suhu dan oksigen terlarut yang terdapat pada air laut (Sachoermar. 2008).

Komposisi Proksimat Udang Vannamei

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi secara

kasar (crude) yang meliputi kadar air, protein, lemak, dan abu yang terdapat

dalam bahan. Ariyani et al (2007) menyatakan bahwa udang merupakan bahan

makanan yang sangat mudah rusak karena memiliki kandungan kadar air dan

12

protein yang cukup tinggi. Hasil analisis proksimat udang vannamei dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi proksimat udang vannamei

Komposisi

Udang vannamei (L. vannamei)

Aquapod (Bali)

(%bb)

KJA (Kep Seribu)

(%bb)

Tambak (Karawang)

(%bb)

Kadar air 77,19 ± 0,12 76,68 ± 0,44 78,27 ± 0,39

Kadar abu 1,00 ± 0,24 1,14 ± 0,18 0,85 ± 0,11

Kadar protein 18,84 ± 0,47 17,91 ± 0,56 18,07 ± 0,46

Kadar lemak 1,27 ± 0,04 1,30 ± 0,05 1,39 ± 0,04

Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar air dalam udang vannamei

sistem budidaya Aquapod, KJA dan tambak berturut-turut adalah 77,19 ± 0,12 %,

76,68 ± 0,44 % dan 78,27 ± 0,39 %. Hasil kadar air penelitian sebelumnya yakni

81,35 % dan 77,21 % (Sriket et al. 2006; Santoso et al. 2008). Tingginya

komposisi kadar air pada daging disebabkan oleh kemampuan bahan untuk

mengikat air yang disebut water holding capacity (WHC). Hal ini menunjukkan

bahwa udang vannamei merupakan bahan pangan yang bersifat mudah rusak

(high perishable food). Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan

daya terima, kesegaran dan daya simpan bahan tersebut. Hasil yang didapatkan

kadar abu dalam udang vannamei sistem budidaya aquapod, KJA dan tambak

berturut-turut adalah 1,00 ± 0,24 %, 1,14 ± 0,18 % dan 0,85 ± 0,11 %. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yakni 1,47% dan 0,64 %

(Sriket et al. 2006; Santoso et al. 2008).

Perbedaan kadar abu dipengaruhi oleh kandungan mineral yang terdapat

pada udang vannamei terutama pada udang yang dibudidaya di Kepulauan Seribu

dengan sistem KJA yang memiliki kadar abu tinggi dibandingkan udang

vannamei sistem tambak. Komposisi mineral yang terpadat pada setiap udang

vannamei dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan pada setiap sistem

budidaya. Wu RSS (1995) menyatakan bahwa tingginya kondisi kelarutan mineral

dipengaruhi oleh kondisi suatu lingkungan perairan. Hasil komposisi kadar

protein udang vannamei sistem budidaya aquapod, KJA dan tambak berturut-turut

adalah 18,84 ± 0,47 %, 17,91 ± 0,56 % dan 18,07 ± 0,46 %. Hasil penelitian

sebelumnya yaitu 17,43 % dan 18,8 % (Sriket et al. 2006; Santoso et al. 2008).

Kadar lemak udang vannamei sistem budidaya aquapod, KJA, dan tambak

berturut-turut adalah 1,27 ± 0,04 %, 1,30 ± 0,05 % dan 1,39 ± 0,04 %. Kadar

lemak dan kadar protein udang vannamei sistem aquapod, KJA, dan tambak

menunjukkan perbedaan tidak signifikan.

Komposisi Asam Amino dan Taurin Udang Vannamei

Hasil analisis asam amino yang terdeteksi berjumlah 17 jenis yang terdiri

dari asam amino essensial dan non essensial. Hasil analisis asam amino essensial

dan non essensial udang vannamei dapat dilihat pada Tabel 3.

13

Tabel 3 Komposisi asam amino udang vannamei

No. Asam Amino

(mg/100 g)

Udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

Aquapod (Bali) KJA (Kep Seribu) Tambak (Karawang)

Asam amino non essensial

1 Aspartat 1421 ± 23,25a 1516 ± 29,67b 1491 ± 26,73b

2 Glutamat 3668 ± 23,81a 3171 ± 55,37b 3130 ± 33,86b

3 Serina 1170 ± 38,35a 895 ± 12,66b 514 ± 41,79c

4 Glisina 615 ± 34,02a 955 ± 34,60b 767 ± 23,97c

5 Alanina 561 ± 39,27a 532 ± 8,19ab 487 ± 32,02ab

6 Tirosina 942 ± 44,96a 607 ± 32,47b 724 ± 13,05c

7 Lisina 2104 ± 21,39a 894 ± 16,70b 2518 ± 43,03c

8 Sisteina 617 ± 12,12a 280 ± 21,07b 396 ± 33,45c

9 Prolina 1741 ± 15,95a 1304 ± 27,10b 1099 ± 32,87c

Asam amino essensial

1 Histidina 559 ± 14,64a 1077 ± 29,46b 702 ± 33,50c

2 Arginina 936 ± 38,11a 1049 ± 47,84b 593 ± 38,89c

3 Treonina 940 ± 25,01a 747 ± 23,44b 594 ± 42,01c

4 Valina 1114 ± 28,15a 1124 ± 16,77a 827 ± 24,38b

5 Methionina 512 ± 47,08a 494 ± 34,02a 1636 ± 24,38b

6 Leusina 2355 ± 47,82a 1086 ± 19,66b 1880 ± 44,41c

7 Isoleusina 1006 ± 21,36a 701 ± 40,36b 917 ± 25,15c

8 Phenilalanina 583 ± 36,69a 576 ± 47,84a 499 ± 39,84a

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript menunjukkan

berbeda nyata (p<0,05).

Hasil analisis asam amino udang vannamei menunjukkan bahwa terdapat

17 asam amino yang terdiri dari 9 asam amino non essesial dan 8 asam amino

essensial. Asam amino essensial yang terdapat pada udang vannamei meliputi

histidina, arginina, treonina, valina, methionina, leusina, isoleusina dan

phenilalanina. Asam amino non essensial yang terdapat pada udang vannamei

meliputi asam aspartat, asam glutamat, serina, glisina, alanina, tirosina, lisina,

sisteina dan prolina. Hasil tersebut menunjukkan bahwa udang vannamei

mempunyai kandungan asam amino non esensial yang tinggi dan sangat

diperlukan oleh tubuh karena tubuh manusia tidak dapat menghasilkan asam

amino tersebut.

Hasil analisis menunjukkan bahwa komponen asam amino non essensial

tertinggi dimiliki oleh udang sistem aquapod adalah asam glutamat dengan nilai

3668 mg/100 g, sedangkan asam glutamat sistem KJA dan tambak berturut-turut

sebesar 3171 mg/100 g dan 3130 mg/100 g. Jenis asam amino essensial tertinggi

adalah komponen leusin pada udang sistem aquapod dengan nilai 2355 mg/100 g,

sedangkan udang sistem KJA dan tambak memiliki nilai 1086 mg/100 g dan 1880

mg/100 g. Perbedaan hasil komposisi asam amino tersebut dipegaruhi oleh sistem

budidaya yang berbeda. Tingginya komposisi aspartat berpengaruh terhadap rasa

manis pada hewan krustasea dan glisina, alanina, serina glutamat berpengaruh

terhadap rasa manis pada makanan laut (Sikorski et al. 1990). Hasil analisis asam

amino menunjukkan bahwa udang vannamei yang dibudidayakan dengan sistem

14

aquapod memiliki rasa yang lebih manis dibandingakan udang yang

dibudidayakan dengan sisten KJA dan tambak karean memiliki komposisi asam

glutamat dan aspartat lebih tinggi dibandingkan udang KJA dan tambak.

Perbedaan komposisi asam amino dapat disebabkan oleh umur, musim

penangkapan, habitat serta tahapan dalam daur hidup organisme (Litaay 2005).

Kandungan prolina pada setiap udang berbeda nyata. Udang yang

dibudidayakan dengan sistem aquapod memiliki kandungan prolina terbesar

dengan nilai 1741 mg/100 g, sedangkan udang yang dibudiayakan dengan sistem

KJA dan tambak memiliki nilai 1304 mg/100 g dan 1099 mg/100 g. Perbedaan

komposisi prolina udang vannamei dipengaruhi sistem budidaya yang berbeda,

sehingga mempengaruhi sistem osmoregulasi udang tersebut. Udang yang

dibudidayakan dengan sistem aquapod dibudidayakan di laut dengan kedalaman

15-20 meter, sehingga udang memerlukan energi yang lebih besar untuk hidup

dibawah tekanan air, arus dan salinitas air laut untuk sistem osmoregulasi.

Kondisi salinitas suatu perairan akan mempengaruhi sistem osmoregulasi pada

udang (Bishop dan Burton 1993).

Komposisi asam amino pada setiap udang vannamei dipengaruhi juga oleh

pakan yang dikonsusi oleh udang. Jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan

yang diberikan kepada udang bersifat homogen, namun komposisi asam amino

udang vannamei yang dibudidayakan di laut memiliki nilai lebih tinggi

dibandingkan udang vannamei yang dibudidayakan di tambak terutama pada

serina dan histidina. Hal tersebut dipengaruhi oleh jenis pakan alami yang terdapat

pada setiap sistem budidaya. Udang yang dibudidayakan pada sistem aquapod

berlokasi di laut dengan kedalaman 15 meter, sehingga keragaman pakai alami

seperti fitoplankton dan zooplankton akan lebih banyak dibandingkan udang

vannamei yang dibudidayakan dengan sistem KJA dan tambak. Hal ini yang

menyebabkan komposisi asam amino pada udang vannamei sistem aquapod lebih

tinggi dibandingkan komposisi asam amino udang vannamei yang dibudidayakan

pada sistem tambak. Sachoermar dan Hendiarti (2006) menyatakan bahwa

keragaman fitoplankton dan zooplankton pada suatu perairan dipengaruhi oleh

temperatur, nitrat-nitrit, silikat dan kecerahan suatu perairan.

Taurin adalah asam amino non esensial yang mengandung sulfur, tetapi

tidak termasuk kelompok protein karena tidak memiliki gugus karboksil (-COOH)

yang diperlukan untuk membentuk ikatan peptida. Pangan yang berasal dari

perairan adalah sumber utama taurin. Taurin banyak terdapat pada hewan,

terutama telur, daging dan makanan laut. Taurin pada manusia berfungsi

mempertahankan keseimbangan sel membran pada jaringan yang aktif, yakni pada

jaringan otak dan jantung. Kandungan taurin pada udang vannamei yang

dibudidayakan di lokasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi taurin udang vannamei

Taurin (mg/100 g) Sistem budidaya

Aquapod (Bali) KJA (Kep Seribu) Tambak (Karawang)

Udang vannamei 109,69 ± 3,77a 121,53 ± 2,55b 6,14 ± 0,11c

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript menunjukkan

berbeda nyata (p<0,05).

15

Data Tabel 4 menunjukkan bahwa udang vannamei dengan sistem KJA

memiliki komposisi taurin terbesar yaitu 121,53 ± 2,55 mg/100 g, sedangkan

udang vannamei dengan sistem aquapod dan tambak memiliki nilai 109,69 ± 3,77

dan 6,14 ± 0,11 mg/100 g. Perbedaan komposisi taurin pada setiap udang

dipengaruhi karena sistem budidaya yang berbeda. Udang yang dibudidayakan di

laut memiliki tingkat salinitas yang berbeda dibandingkan udang yang

dibudidayakan di tambak. Perbedaan salinitas perairan dari setiap sistem budidaya

akan mempengaruhi kondisi fisiologis udang vanname, sehingga perbedaan

salinitas tersebut akan berpengaruh terhadap sistem osmoregulasi udang.

Udang yang dibudidayakan di laut dengan sistem aquapod memiliki

tekanan yang tinggi karena udang hidup dikedalaman 15 meter, sedangkan udang

yang dibudidayakan dengan sistem KJA memiliki gelombang dan arus yang tinggi

berkisar 0,16-0,18 m/s. Akibat dari kondisi perairan yang memiliki tekanan dan

arus yang tinggi menyebabkan udang akan menghasilkan energi yang besar untuk

mampu bertahan dan bergerak melawan tekanan, arus dan gelombang yang

terdapat pada lingkungan lokasi sistem budidaya. Udang yang dibudidayakan di

tambak tidak membutuhkan energi yang tinggi karena udang berada dalam

kondisi air yang tenang dan arus yang rendah, sehingga tubuh udang akan sedikit

mengeluarkan energi untuk bertahan hidup. Hal tersebut yang menyebabkan

udang yang dibudidayakan di laut memiliki komposisi taurin yang lebih besar

dibandingkan udang yang dibudidayakan di tambak.

Smith et al. (1987) menyatakan bahwa udang akan menghasilkan taurin

yang dimanfaatkan sebagai sumber energi dan tumbuh kembang udang pada saat

juvenile serta digunakan sebagai energi untuk beradaptasi dengan lingkungan.

Udang yang dibudidayakan di laut memiliki tingkat salinitas yang berbeda

dibandingkan udang yang dibudidayakan di tambak. Perbedaan salinitas pada

setiap sistem budidaya akan mempengaruhi kondisi fisiologis udang, sehingga

akan berpengaruh terhadap sistem osmoregulasi pada udang yang menyebabkan

perbedaan komposisi taurin pada udang. Taurin digunakan oleh invertebrata laut

untuk sistem osmoregulasi di lingkungan salinitas tinggi (Schoffeniels 1976).

Taurin banyak terdapat pada hewan, terutama telur, daging dan

seafood. Taurin berfungsi mempertahankan keseimbangan sel membran pada

jaringan yang aktif, yakni pada jaringan otak dan jantung serta berfungsi

membantu metabolisme kolesterol dan mengemulsi asam empedu sehingga

meringankan beban kerja dari hati, pankreas dan kantong empedu

(Abebe dan Mozaffari 2011).

Komposisi Asam Lemak Udang Vannamei

Jenis asam lemak yang dianalisis pada udang vannamei dari sistem

budidaya aquapod, KJA dan tambak terdiri atas asam lemak laurat, miristat,

palmitat, stearat, oleat, linoleat, linolenat dan arahidonat. Hasil komposisi asam

lemak pada sampel udang yang dibudidayakan dengan sistem aquapod, KJA dan

tambak dapat dilihat pada Tabel 5.

16

Tabel 5 Komposisi asam lemak udang vannamei

Asam Lemak

(mg/100 g)

Udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

(Aquapod) Bali KJA (Kep. Seribu) Tambak (Karawang)

SAFA

Laurat (C12:0) 3758 ± 44,40a 3001 ± 16,82b 23 ± 5,03c

Miristat (C14:0) 5282 ± 37,63a 2399 ± 27,39b 1699 ± 35,04c

Palmitat (C16:0) 11161 ± 88,75a 10116 ± 54,31b 40786 ± 88,39c

Stearat (C18:0) 5954 ± 32,59a 4850 ± 21,39b 15026 ± 77,59c

Total SAFA 26155 20366 57534

MUFA

Oleat (C18:1n9) 11432 ± 34,36a 11553 ± 33,61a 34645 ± 245,87b

Total MUFA 11432 11553 34645

PUFA

Linoleat (C18:2n6) 25428 ± 93,34a 12874 ± 67,20b 15598 ± 60,87c

Linolenat (C18:3n3) 7378 ± 38,55a 10177 ± 53,14b 1446 ± 28,02c

Arakidonat (C20:4n6) 3091 ± 20,26a 3082 ± 31,32a -

Total PUFA 35897 26133 17044

Total asam lemak 73484 58052 109213

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript menunjukkan

berbeda nyata (p<0,05).

Hasil analisis asam lemak yang terdeteksi pada udang vannamei terdapat 8

jenis asam lemak. Data Tabel 5 menunjukkan bahwa asam lemak yang terkandung

dalam setiap udang vannamei terdiri dari asam lemak jenuh (SAFA) yaitu laurat,

miristat, palmitat dan stearat. Asam lemak tak jenuh (PUFA), yaitu linoleat,

linolenat dan arakidonat, serta asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) yaitu oleat.

Perbedaan sistem budidaya menyebabkan kandungan asam lemak udang

vannamei berbeda. Kandungan asam lemak tertinggi terdapat pada udang

vannamei yang dibudidayakan dengan sistem tambak yakni 109213 mg/100 g,

sedangkan udang vannamei yang dibudidayakan dengan sistem aquapod dan KJA

memilili nilai 73484 dan 58052 mg/100 g. Komposisi asam palmitat dan asam

stearat adalah komponen lemak yang paling banyak pada udang

(Sriket et al. 2006). Perbedaan rasio asam lemak yang terdapat pada setiap spesies

udang dipengaruhi oleh umur, siklus hidup, salinitas, temperatur, musim dan

lokasi geografis (Karuppasamy et al. 2013).

Asam lemak jenuh (SAFA) yang terdeteksi pada udang vannamei terdapat

4 jenis yaitu laurat, miristat, palmitat dan stearat. Data Tabel 5 menunjukkan total

SAFA pada ketiga udang vannamei saling berbeda, udang sistem Aquapod

sebesar 26155 mg/100 g, udang sistem KJA sebesar 20366 mg/100 g dan udang

sistem tambak dan memiliki nilai terbesar yakni 57534 mg/100 g. Tingginya

kandungan SAFA pada udang vannamei sistem tambak didominasi oleh tingginya

kandungan palmitat yaitu 40786 mg/100 g. Sriket et al. (2006) menunjukkan

bahwa komposisi asam palmitat sebesar 21800 mg/100 g dan nilai ini

mendominasi total SAFA. Asam palmitat merupakan asam lemak lemak jenuh

yang banyak terdapat pada bahan pangan dengan komposisi 15-50% dari seluruh

asam lemak yang ada (Osman et al. 2007). Komposisi stearat udang vannamei

17

sistem aquapod, KJA dan tambak berturut-turut adalah 5954 mg/100 g, 4850

mg/100 g dan 15026 mg/100 g. Komposisi palmitat dan stearat pada setiap udang

mendominasi nilai SAFA pada setiap udang. Asam palmitat dan asam stearat

merupakan komponen lemak yang paling banyak pada udang (Sriket et al. 2006).

Asam lemak tak jenuh tunggal yang terdeteksi pada udang vannamei yaitu

asam oleat. Komposisi asam oleat udang vannamei sistem aquapod, KJA dan

tambak berturut-turut adalah 11432 mg/100 g, 11553 mg/100 g dan 34645

mg/100 g. Perbedaan komposisi asam oleat pada setiap udang dipengaruhi oleh

sistem budidaya yang berbeda. Perbedaan sistem budidaya akan mempengaruhi

suhu, tekanan, arus, salinitas, kekeruhan, lingkungan dan pakan alami yang

dikonsumsi oleh udang. Udang sistem aquapod yakni hidup di kedalaman 10-15

m akan membutuhkan energi lebih besar untuk hidup dikarenakan udang harus

bertahan dalam kondisi suhu, tekanan, salinitas dan arus air laut yang tidak

menentu, sedangkan sistem KJA udang hidup di permukaan air laut, sehingga

udang akan membutuhkan energi yang besar pula untuk bertahan hidup dari

kondisi suhu, salinitas dan aruh permukaan air laut.

Udang dengan sistem tambak memiliki komposisi asam oleat yang tinggi.

Hal ini disebabkan karena pada udang sistem tambak dimana kondisi lingkungan,

pakan, salinitas dan arus sudah diatur sedemikian rupa agar udang selalu dalam

kondisi baik serta adanya akumulasi pakan yang terdapat pada tambak, terutama

pada pakan yang tidak dikonsumsi oleh udang, sehingga udang tidak

membutuhkan energi yang besar untuk hidup. Tinggi rendahnya asam oleat pada

setiap udang diduga karena dipakai sebagai energi untuk tumbuh dan survive

dalam kondisi tertentu. Ikan membutuhkan asam lemak omega 6 dan omega 3

sebagai asam lemak esensial dalam pakannya untuk menghasilkan pertumbuhan

dan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi agar mampu bertahan hidup dalam

kondisi perairan yang tidak nyaman (Mokoginta et al. 2003).

Asam oleat adalah asam lemak tak jenuh yang paling umum dan

merupakan prekursor untuk produksi sebagian besar PUFA. Asam oleat di dalam

tubuh adalah sebagai sumber energi, sebagai zat antioksidan untuk menghambat

kanker, menurunkan kadar kolesterol dan media pelarut vitamin A, D, E, dan K.

Kekurangan asam oleat dapat menyebabkan terjadinya gangguan salah satunya

seperti penglihatan, menurunnya daya ingat serta gangguan pertumbuhan sel otak

pada janin dan bayi (Iskandar et al. 2010).

Asam lemak tak jenuh jamak yang terdeteksi pada udang vannamei yaitu

linoleat, linolenat dan arakidonat. Data Tabel 5 menunjukkan bahwa total PUFA

pada setiap udang vannamei menujukkan hasil yang berbeda. Total PUFA udang

vannamei sistem aquapod, KJA dan tambak berturut-turut adalah

35897 mg/100 g, 26133 mg/100 g dan 17044 mg/100 g. Asam linoleat merupakan

asam lemak tidak jenuh yang tidak bisa disintesis oleh tubuh, oleh sebab itu perlu

diberikan dari luar melalui makanan. Asam linoleat dalam tubuh berperan dalam

pertumbuhan, pemeliharaan membran sel, pengaturan metabolisme kolesterol dan

menurunkan tekanan darah. Komposisi linoleat tertinggi terdapat pada udang

vannamei sistem aquapod yakni 2542 mg/100 g, sedangkan linoleat terendah pada

udang vannamei sistem KJA yakni 12847 mg/100 g. Perbedaan komposisi linoleat

setiap udang diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, habitat serta

ketersediaan pakan yang dikonsumsi oleh udang. Karuppasamy et al (2013)

menyatakan bahwa perbedaan rasio asam lemak yang terdapat pada setiap spesies

18

udang dipengaruhi oleh ukuran, umur, siklus hidup, salinitas, temperatur, musim,

lokasi geografis dan ketersediaan pakan.

Komposisi Mineral Makro dan Mikro Udang Vannamei

Unsur mineral makro merupakan unsur mineral pada tubuh manusia yang

terdapat dalam jumlah yang cukup besar dan kelompok mineral makro terdiri K,

Ca, Mg, Na, S, Cl, dan P. Mineral mikro merupakan mineral yang terdapat di

dalam tubuh dalam jumlah yang kecil dan secara tetap terdapat dalam sistem

biologis (Santoso et al. 2008). Hasil analisis mineral makro dan mikro pada udang

vannamei berdasarkan sistem budidaya yang berbeda disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi mineral makro dan mikro udang vannamei

Komposisi

Udang vannamei (L. vannamei) mg/kg

Aquapod (Bali)

(%bk)

KJA (Kep Seribu)

(%bk)

Tambak (Karawang)

(%bk)

Mineral makro mg/kg

Kalium (K) 12051,27 ± 428,41a 9637,48 ± 186,61b 12280,90 ± 595,58a

Kalsium (Ca) 792,19 ± 28,45a 2109.01 ± 39.79b 652,86 ± 18,67c

Magnesium (Mg) 2029,23 ± 56,43a 1475,45 ± 17,02b 1548,47 ± 22,14c

Mineral mikro mg/kg

Seng (Zn) 59,01 ± 5,24a 31,85 ± 1,99b 55,74 ± 3,44a

Besi (Fe)

Tembaga (Cu)

4,52 ± 0,10a

28,17 ± 0,92a

1,98 ± 0,75b

33,94 ± 0,74b

2,68 ± 0,41b

15,12 ± 0,55c

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript menunjukkan

berbeda nyata (p<0,05)

Data Tabel 6 menunjukkan bahwa komposisi mineral makro kalium (K)

pada udang vannamei aquapod tidak berbeda nyata dengan udang vannamei

sistem tambak. Mineral makro terkecil adalah kalsium (Ca) pada udang vannamei

sistem tambak dengan nilai 652,86 ± 18,67 mg/kg. Komposisi mineral mikro

terbesar adalah seng (Zn) pada udang vannamei sistem aquapod yakni

59,01 ± 5,24 dan mineral mikro terendah adalah besi (Fe) pada udang vannamei

sistem KJA dengan nilai 1,98 ± 0,75 mg/kg. Udang vannamei yang dibudidayakan

pada sistem KJA memiliki kadar kalsium tertiggi yakni 2109,01 ± 39,79 mg/kg.

Perbedaan komposisi kalsium pada udang vannamei dipengaruhi oleh sistem

budidaya yang berbeda. Sriket et al. (2006) menyatakan bahwa kalsium sangat

penting untuk struktur jaringan keras, kontraksi otot, transmisi saraf dan sistem

osmoregulasi. Kalsium pada tubuh manusia berfungsi sebagai pemeliharaan

kepekaan otot dan saraf, berperan dalam pembentukan tulang dan gigi dan

mencegah keropos tulang terutama osteoporosis (Siswanti et al. 2014). Udang

vannamei sistem aquapod memiliki kadar magnesium tertinggi yakni

2029,23 ± 56,43 mg/kg, diikuti oleh udang vannamei sistem KJA dan tambak

yakni 1475,45 ± 17,02 mg/kg dan 1548,47 ± 22,14 mg/kg. Penelitian

Santoso et al. (2008) menyebutkan bahwa komposisi magnesium udang vannamei

sebesar 1737,7 ± 23,7 mg/kg. Magnesium pada tubuh manusia sangat penting

terutama sebagai sumber nutrisi yang dibutuhkan tubuh untuk sistem enzim,

membantu sistem sel dan energi metabolisme (Oksuz et al. 2009).

19

Komposisi mineral mikro tertinggi terdapat pada udang vannamei sistem

aquapod yakni seng (Zn) dengan nilai 59,01 ± 5,24 mg/kg diikuti dengan udang

sistem tambak dan KJA yakni 55,74 ± 3,44 mg/kg dan 31,85 ± 1,99 mg/kg.

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa komposisi seng pada udang memiliki

nilai 14,07 ± 0,56 mg/kg (Sriket et al. 2006). Komponen besi (Fe) tertinggi

terdapat pada udang vannamei sistem aquapod yakni 4,52 ± 0,10 mg/kg diikuti

oleh udang sistem tambak dan KJA yakni 2,68 ± 0,41 mg/kg dan

1,98 ± 0,75 mg/kg, sedangkan komponen tembaga (Cu) tertinggi terdapat pada

udang sistem KJA yakni 33,94 ± 0,74 mg/kg diikuti oleh udang sistem aquapod

dan tambak yakni 28,17 ± 0,92 mg/kg dan 15,12 ± 0,55 mg/kg. Zat besi yang

terdapat dalam tubuh manusia berfungsi sebagai pembantu zat darah merah untuk

pembawa oksigen ke jaringan paru-paru (Camara et al. 2005). Ion logam transisi,

terutama Cu dan Fe, berfungsi sebagai katalis utama untuk oksidasi. Mineral

berkontribusi untuk oksidasi otot pada udang selama penanganan, pengolahan dan

penyimpanan (Thanonkaew et al. 2006). Sumber utama mineral untuk organisme

laut adalah air laut dan pakan (Sriket et al. 2006).

Komposisi Astaxanthin Udang Vannamei

Astaxanthin merupakan kelompok pigmen yang memberikan warna

kuning, oranye dan merah yang terdapat pada kulit, cangkang dan kerangka luar

hewan air khususnya krustasea. Hasil analisis komposisi astaxanthin pada udang

vannamei dari lokasi berbeda dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Komposisi astaxanthin udang vannamei

Astaxanthin

Sistem budidaya

Aquapod (Bali)

mg/kg

KJA (Kep Seribu)

mg/kg

Tambak (Karawang)

mg/kg

Udang vannamei 2,36 ± 0,12a 2,32 ± 0,28a 2,03 ± 0,02b

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript menunjukkan

berbeda nyata (p<0,05).

Data Tabel 7 menunjukkan bahwa udang vannamei memiliki komposisi

astaxanthin yang berbeda. Udang vannamei dengan sisten Aquapod memiliki

komposisi astaxanthin terbesar yaitu 2,36 ± 0,12 mg/kg, sedangkan udang sistem

KJA dan sistem tambak memiliki nilai 2,32 ± 0,28 mg/100g dan 2,03 ± 0,02

mg/100 g. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Takeungwongtrakul et al.

(2013) bahwa kandungan astaxanthin pada udang vannamei yakni 1,80 mg/kg.

Perbedaan komposisi karotenoid astaxanthin pada setiap udang dipengaruhi

sistem budidaya yang berbeda. Udang vannamei yang dibudidayakan dengan

sistem aquapod memiliki komposisi astaxanthin yang lebih besar dibandingkan

udang vannamei sistem KJA dan tambak. Sistem budidaya yang berbeda

menyebabkan jumlah dan jenis pakan alami yang terdapat pada setiap lokasi akan

berbeda, sehingga pakan alami yang dikonsumsi udang akan berpengaruh

terhadap komposisi astaxanthin pada udang tersebut. Komposisi astaxanthin yang

terdapat pada hewan dipengaruhi oleh otot, makanan yang dimakan dan serapan

mekanisme di membran sel untuk mengatur jumlah karotenoid yang masuk

20

kedalam tubuh dan mampu dimanfaatkan sebagai energi tumbuh kembang udang

(Bjerkeng et al. 2000; Ytrestøyl et al. 2004).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem budidaya yang berbeda

mempengaruhi komposisi asam amino, taurin, asam lemak, mineral dan

astaxanthin. Udang vannamei sistem aquapod memiliki komposisi asam amino

non essensial paling tinggi seperti glutamat, serina, dan prolina yang memberikan

rasa manis pada udang, terutama pada serina memiliki perbedaan hingga dua kali

lipat. Asam linolenat (PUFA omega 3) dan taurin pada udang sistem budidaya

KJA memiliki nilai tertinggi hingga dua kali lipat. Komposisi asam lemak linoleat

(PUFA omega 6), mineral dan astaxanthin pada udang sistem aquapod memiliki

nilai tertinggi. Udang yang dibudidayakan di laut memiliki komposisi gizi lebih

baik dari udang yang dibudidayakan di tambak.

Saran

Penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan analisis kolestrol

LDL dan HDL serta analisis profil protein setiap udang dengan sistem dan

lokasi budidaya yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Abebe W, Mozaffari MS. 2011. Role of taurine in the vasculature: an overview of

experimental and human studies. American Journal Cardiovasc. 1(3): 293-

311.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of

Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington

(US): The Association of Official Analytical Chemist, Inc.

Ariyani F, Murtini JT, Indriati N, Dwiyitno, Yenni Y. 2007. Penggunaan glyroxyl

untuk menghambat mutu ikan mas (Cyprinus carpio) Segar. Jurnal Fish.

Sciencce. 9(1): 125-133.

Bishop JB, Burton RS. 1993. Amino Acid Synthesis during Hyperosmotic Stress

in Penaeus aztecus postlarvae. Comparative Biochemistry and Physiology.

106 (1): 49–56.

Bjerkeng B, Hatlen B, Jobling M. 2000. Astaxanthin and its metabolites

idoxanthin and crustaxanthin in flesh, skin, and gonads of sexually

immature and maturing arctic charr (Salvelinus alpinus (L.). Comparative

Biochemistry Physiol. 125: 395–404.

21

Camara F, Amaro MA, Barbera R, Clemente G. 2005. Comparision between

dialysis and solubility methods. Food Chemistry. 92: 481-489.

[DJPB-KKP] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan

Perikanan. 2015. Pelepasan Ikan Mas Mantap Sebagai Pendukung

Produksi Perikanan Budidaya yang Berkelanjutan [internet]. [diunduh 20

Juli 2015]. Tersedia pada: http://www.djpb.kkp.go.id

Iskandar Y, Surilaga S, Musfiroh I. 2010. Penentuan Kadar Asam Linoleat pada

Tempe secara Kromatografi Gas. Jurnal Farmasi. 3(2): 15-20.

Karuppasamy PK, Priyadarshini SSR, Ramamoorhty N, Sujatha R, Ganga S,

Jayalakshmi T, Santhanam P. 2013. Comparison of proximate, amino and

fatty acid composition of Penaeus monodon (Fabricius, 1798),

Fenneropenaeus indicus (H. Milne Edwards, 1837) and Aristeus virilis

(Bate, 1881) of Nagapattinam landing centre, Tamil Nadu. Journal of the

Marine Biological Association of India. 55(2): 5-10.

Litaay M. 2005. Peranan nutrisi dalam siklus reproduksi abalone. Oseana. 3(3):

1-7

Maulina I, Handaka AA, Riyantini I. 2012. Analisis Prospek Budidaya Tambak

Udang di Kabupaten Garut. Jurnal Akuatika. 3(1): 49-62

Mokoginta, Jusadi G, Pelawi TL. 2003. Pengaruh pemberian Daphnia sp. yang di

perkaya dengan sumber lemak yang berbeda terhadap kelangsungan hidup

dan pertumbuhan larva ikan nila (Oreochromis niloticus). Jurnal

Akuakultur Indonesia. 2(1): 1-11.

Oksuz A, Ozyilmaz A, Aktas M, Gercek G, Motte J. 2009. A comparative studi

on proximate, mineral and fatty acid compositions of deep seawater rose

shrimp (Parapenaeus longirostris, Lucas 1846) and red shrimp

(Plesioinika martina, A. Milne-Edwards, 1883). Journal of Animal and

Veterinary Advances. 8(1): 183-189.

Osman F, Jaswir I, Khaza’ai H, Hashim R. 2007. Fatty acid profiles of fin fish in

Langkawi Island, Malaysia. Journal of Oleo Science. 56(3): 107-113.

[PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Persisir dan Lautan Institut Pertanian

Bogor. 2006. Konsep Pengembangan Sea Farming di Kabupaten

Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Bogor (ID): IPB Press.

Wu RSS. 1995. The environmental impact of marine fish culture: towards a

sustainable future. Marine Polution Bulletin. 31. (4-12): 159-166.

Sachoerman IS dan Hendiarti N. 2006. Struktur komunitas dan keragaman

plankton antara perairan laut di selatan Jawa Timur, Bali dan Lombok.

Jurnal Hidrosfir. 1(1): 21-26.

Sachoerman IS. 2008. Karakteristik lingkungan perairan kepulauan seribu. Jurnal

Akuakultur Indonesia. 4(2): 109-114.

Saito A, Regier L. 1971. Pigmentation of brook trout (Salvelinus fontinalis) by

feeding dried crustacean waste. Journal of Fisheries Resource Board of

Canada. 28(4): 509–512.

Santoso J, Nurjanah, Irawan A. 2008. Kandungan dan kelarutan mineral pada

cumi-cumi loligo sp dan udang vannamei L. vanmamei. Jurnal Ilmu-ilmu

Perairan dan Perikanan Indonesia. 15(1): 7-12.

Schoffeniels E. 1976. Adaptations with respect to salinity. Biochemical Society.

Symposium. 41: 179-204.

22

Setyawan AD, Winarno K. 2006. Permasalahan konservasi ekosistem mangrove

di pesisir kabupaten rembang jawa tengah. Jurnal Biodiversitas. 7(2): 159-

163.

Sikorski ZE, Kolakowska A, Pan BS. 1990. The Nutritive Composition of The

Major Groups of Marine Food Organisms. Florida (US): CRC Press.

Siswanti T, Kurniawati N, Hapsariningsih W, Harismah K. 2014. Pembuatan

glukosa mengandung kalsium dari biji jali (Coix lachryma-jobi L) untuk

mencegah osteoporosis. Simposium Nasional RAPI XIII. FT UMS.

Smith BR, Miller GC, Mead RW. 1987. Taurine tissue concentrations and salinity

effect on taurine in the freshwater prawn Macrobracium rosenbergii

(De Man). Comparative Biochemistry and Physiology. 87(4): 907-909.

Sriket P, Benjakul S, Visessanguan W, Kijroongrojana K. 2006. Comparative

studies on chemical composition and thermal properties of black tiger

shrimp (Penaeus monodon) and white shrimp (Penaeus vannamei) meats.

Food Chemistry. 103: 1119-1207.

Takeungwongtrakul S, Benjakul S, Santoso J, Trilaksani W, Nurilmala M. 2013.

Extraction and stability of carotenoid-containing lipids from

hepatopancreas of Pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei). Journal

of Food Processing and Preservation. 39: 10-18.

Thanonkaew A, Benjakul S, Visessanguan W. 2006. Chemical composition and

thermal property of cuttlefish (Sepia pharaonis) muscle. Journal of Food

Composition and Analysis. 19: 127–133.

Ytrestøyl TG. Coral Hinostroza. B. Hatlen. Robb DHF. Bjerkeng B. 2004.

Carotenoid and lipid content in muscle of Atlantic salmon, Salmo salar,

transferred to seawater as 0+ or 1+ smolts. Comparative Biochemistry and

Physiology. 138: 29-40.

`1

LAMPIRAN

23

Lampiran 1. Hasil analisis statistik ANOVA data penelitian

Asam amino Keragaman Jumlah

kuadrat Db

Kuadrat

tengah F Sig.

Aspartat Perlakuan 14330.889 2 7165.444 10.069 .012

Error 4270.000 6 711.667

Total 18600.889 8

Glutamat Perlakuan 537444.222 2 268722.111 168.701 .000

Error 9557.333 6 1592.889

Total 547001.556 8

Serin Perlakuan 651742.889 2 325871.444 289.435 .000

Error 6755.333 6 1125.889

Total 658498.222 8

Glisin Perlakuan 173696.222 2 86848.111 88.963 .000

Error 5857.333 6 976.222

Total 179553.556 8

Alanin Perlakuan 10812.667 2 5406.333 6.156 .035

Error 5269.333 6 878.222

Total 16082.000 8

Tirosin Perlakuan 173438.000 2 86719.000 80.147 .000

Error 6492.000 6 1082.000

Total 179930.000 8

Arginin Perlakuan 337974.889 2 168987.444 96.497 .000

Error 10507.333 6 1751.222

Total 348482.222 8

Sistein Perlakuan 175866.000 2 87933.000 154.268 .000

Error 3420.000 6 570.000

Total 179286.000 8

Prolin Perlakuan 643720.222 2 321860.111 466.689 .000

Error 4138.000 6 689.667

Total 647858.222 8

Histidin Perlakuan 429993.556 2 214996.778 292.557 .000

Error 4409.333 6 734.889

Total 434402.889 8

Lisin Perlakuan 4273402.889 2 2136701.444 2476.537 .000

Error 5176.667 6 862.778

Total 4278579.556 8

Treonin Perlakuan 180428.222 2 90214.111 91.837 .000

Error 5894.000 6 982.333

Total 186322.222 8

Valin Perlakuan 170678.000 2 85339.000 126.804 .000

Error 4038.000 6 673.000

Total 174716.000 8

Metionin perlakuan 2564843.556 2 1282421.778 969.573 .000

Error 7936.000 6 1322.667

Total 2572779.556 8

24

Asam amino Keragaman Jumlah

kuadrat db

Kuadrat

tengah F Sig.

Leusin Perlakuan 2468748.222 2 1234374.111 797.228 .000

Error 9290.000 6 1548.333

Total 2478038.222 8

Isoleusin Perlakuan 147949.556 2 73974.778 81.660 .000

Error 5435.333 6 905.889

Total 153384.889 8

Phenilalanin Perlakuan 13094.889 2 6547.444 3.761 .087

Error 10444.667 6 1740.778

Total 23539.556 8

Lampiran 2 Tabel uji lanjut Duncan data penelitian

Asam Amino

Aspartat

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 1

aquapod 3 1421.33

tambak 3 1490.67

KJA 3 1515.67

Sig. 1.000 .295

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Glutamat

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 1

tambak 3 3130.33

KJA 3 3171.33

aquapod 3 3668.00

Sig. .255 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Serin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

tambak 3 513.67

KJA 3 894.67

aquapod 3 1170.00

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

25

Glisin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

aquapod 3 615.33

tambak 3 767.33

KJA 3 955.00

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Tirosin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

KJA 3 606.67

tambak 3 723.67

aquapod 3 941.67

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Arginin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

tambak 3 593.33

aquapod 3 936.33

KJA 3 1049.00

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Sistein

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

KJA 3 280.00

tambak 3 396.00

aquapod 3 617.00

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Prolin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

tambak 3 1099.33

KJA 3 1304.33

aquapod 3 1740.67

Sig. 1.000 1.000 1.000

26

Histidin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

aquapod 3 558.67

tambak 3 701.67

KJA 3 1077.00

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Lisin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

KJA 3 894.00

aquapod 3 2104.33

tambak 3 2518.00

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Treonin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

tambak 3 594.33

KJA 3 746.67

aquapod 3 940.33

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Valin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 1

tambak 3 826.67

aquapod 3 1113.67

KJA 3 1123.67

Sig. 1.000 .654

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Metionin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 1

KJA 3 494.33

aquapod 3 512.33

tambak 3 1635.67

Sig. .567 1.000

27

Leusin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

KJA 3 1085.67

tambak 3 1879.67

aquapod 3 2355.33

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Isoleusin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

KJA 3 701.00

tambak 3 917.33

aquapod 3 1006.33

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Phenilalanin

Perlakuan N

Besar alfa

= 0,05

1 1

tambak 3 499.00

KJA 3 576.00

aquapod 3 583.33

Sig. .054

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Asam Lemak

Laurat

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

tambak 3 22.67

KJA 3 2331.00

aquapod 3 3758.00

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

28

Miristat

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

tambak 3 1699.00

KJA 3 2399.33

aquapod 3 5282.33

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000

Palmitat

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

KJA 3 10115.67

aquapod 3 11160.67

tambak 3 40785.67

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000

Stearat

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

KJA 3 4849.67

aquapod 3 5954.33

tambak 3 15026.33

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Oleat

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 1

aquapod 3 11432.33

KJA 3 11553.33

tambak 3 34645.33

Sig. .345 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Linoleat

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

KJA 3 12904.00

tambak 3 15598.33

aquapod 3 25428.33

Sig. 1.000 1.000 1.000

29

Linolenat

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

tambak 3 1445.67

aquapod 3 7378.33

KJA 3 10176.67

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Arakidonat

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 1

tambak 3 .00

KJA 3 3082.00

aquapod 3 3091.00

Sig. 1.000 .597

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Astaxanthin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 1

tambak 3 2.0333

KJA 3 2.3267

aquapod 3 2.3600

Sig. 1.000 .354

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Taruin

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

tambak 3 6.1333

aquapod 3 109.6867

KJA 3 121.5300

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

30

Mineral

Kalium

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 1

KJA 3 9637.4833

aquapod 3

12051.266

7

tambak 3

12280.896

7

Sig. 1.000 .544

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Magnesium

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

KJA 3 1475.4500

tambak 3 1548.4700

aquapod 3 2029.2367

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Kalsium

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

tambak 3 652.8567

aquapod 3 792.1900

KJA 3 2109.0133

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Seng

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 1

KJA 3 31.8500

tambak 3 55.7433

aquapod 3 59.0100

Sig. 1.000 .332

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

31

Tembaga

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 3 1

Tambak 3 15.1233

aquapod 3 28.7133

KJA 3 33.9367

Sig. 1.000 1.000 1.000

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan.

a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Besi

Perlakuan N Besar alfa = 0,05

1 2 1

KJA 3 1.9800

Tambak 3 2.6800

aquapod 3 4.5200

Sig. 0.136 1.000

Lampiran 3. Kurva standar analisis mineral

Kurva standar kalsium (Ca)

Kurva standar magnesium (Mg)

Kurva standar Kalium (K)

y = 0.056x + 0.0316R² = 0.9993

0

0.5

1

0 5 10 15 20

Ab

s

Konsentrasi standar

Series1

Linear (Series1)

y = 1.201x + 0.1017R² = 0.9964

0

0.5

1

1.5

0 0.5 1

Ab

s

Konsentrasi standar

Series1

Linear (Series1)

y = 0.4954x + 0.0259R² = 0.9993

0

0.5

1

1.5

0 1 2 3

Ab

s

Konsentrasi standar

Series1

Linear (Series1)

32

Kurva standar seng (Zn)

Kurva standar tembaga (Cu)

Kurva standar besi (Zn)

Perhitungan komposisi mineral

Jenis logam Nilai regresi Abs standar Hasil Panjanga

gelombang (nm)

Kalium y= 0,4954 + 0,0259

0,1152 11879,82

766 0,2241 11735,13

0,4297 12538,85

Magnesium y=1,201x + 0,1017

0,1836 1964,08

285 0,3347 2061,52

0,6116 2062,11

kalsium y=0,056x + 0,0316

0,1415 774,17

422 0,2525 777,41

0,4814 824,19

Seng y= 0,2772x-0,0086

0,0987 60,33

213 0,2176 63,46

0,3828 53,24

Tembaga y=0,554x + 0,0029

0,1252 27,70

324 0,2627 29,51

0,4927 28,29

Besi y=0,0554x + 0,0029

0,0123 4,64

248 0,0248 4,46

0,0479 4,46

y = 0.2772x - 0.0086R² = 0.9994

0

0.5

1

0 1 2 3 4

Ab

s

Konsentrasi standar

Series1

Linear (Series1)

y = 0.1095x + 0.0425R² = 0.9992

0

0.5

1

0 2 4 6 8

Ab

s

Konsentrasi standar

Series1

Linear (Series1)

y = 0.0554x + 0.0029R² = 0.9972

0

0.05

0.1

0.15

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Ab

s

konsentrasi standar

Series1

Linear (Series1)

33

Lampiran 4. Dokumentasi penelitian

Gambar 1 Sampel udang vannamei Gambar 2 Preparasi sampel

Gambar 3 Alat HPLC Gambar 4 Alat AAS

Gambar 5 Spektrofotometer UV-vis Gambar 6 Sampel astaxanthin

Gambar 7 Pemisahan astaxanthin Gambar 8 Preparasi sampel udang

34

Lampiran 5 Contoh perhitungan proksimat udang vannamei

Perhitungan kadar air

Kadar air (%) = B-C

B-A ×100%

Kadar air (%) = 28,1732-24,3151

28,1732-23,1734 ×100%

Kadar air (%) = 77,16%

Keterangan: A = Berat cawan kosong (g)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (g)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)

Perhitungan kadar abu

Kadar abu (%) = C-A

B-A ×100%

Kadar abu (%) = 10,4505-10,4354

28,1732-23,1734 ×100%

Kadar abu (%) = 0,75%

Keterangan: A = Berat cawan porselen kosong (g)

B = Berat cawan dengan sampel (g)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Perhitungan kadar protein

Kadar Protein (%) = (mL HCl)×N HCl ×14,007

mg contoh ×faktor koreksi alat ×100%

N (%) = 20× 0,1×14×6,25

1,0167 × 1000 ×100%

N (%) = 18,93 %

Perhitungan kadar lemak

Kadar lemak (%) = W3-W2

W1 ×100%

Kadar lemak (%) = 105,7301-105,6613

5,0287 ×100%

Kadar lemak (%) = 1,36%

Keterangan: W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat labu lemak kosong (g)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)

35

Lampiran 6 Kromatogram standar asam amino udang vannamei aquapod

36

Lampiran 7 Kromatogram standar asam amino udang vannamei KJA

37

Lampiran 8 Kromatogram standar asam amino udang vannamei tambak

38

Lampiran 9 Kromatogram standar asam lemak udang vannamei

39

40

Lampiran 10 Kromatogram standar taurin udang vannamei aquapod, KJA dan

tambak

41

Lampiran 11 Kromatogram asam amino udang vannamei aquapod

42

Lampiran 12 Kromatogram asam amino udang vannamei KJA

43

Lampiran 13 Kromatogram asam amino udang vannamei tambak

44

Lampiran 14 Kromatogram asam lemak udang vannamei aquapod

45

Lampiran 15 Kromatogram asam lemak udang vannamei KJA

46

Lampiran 16 Kromatogram asam lemak udang vannamei tambak

47

Lampiran 17 Kromatogram taurin udang vannamei aquapod

48

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekalongan, pada tanggal 18 Agustus 1993. Penulis

merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Kunto

Widarjono dan Ibu Hilda Widaningsih serta mempunyai satu saudara perempuan

dan satu saudara laki-laki yang bernama Devina Novita Lestari dan Muhammad

Satrio Wibowo.

Pendidikan formal penulis ditempuh di Bogor dimulai dari TK Asri tahun

1998-1999, kemudian dilanjutkan di SDN Pengadilan 5 Bogor tahun 1999 sampai

2005. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di SMPN 1 Bogor hingga tahun

2008. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di SMAN 10 Bogor dan tamat

pada tahun 2011.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Teknologi Hasil

Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui

jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) pada tahun 2011. Selama mengikuti

perkuliahan penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil

Perairan sebagai Wakil Ketua Himasilkan pada 2012-2013 dan Divisi PSDM pada

2013-2014. Penulis peraih PKM-KC didanai Dikti 2013-2014 dan PKM-K 2014-

2015.