Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
Nopember 2015
Bidang Unggulan : Ketahanan Pangan,
Kode/Nama Bidang Ilmu :153 Ilmu Hama dan
Penyakit Tanaman
LAPORAN AKHIR
HIBAH PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA
KARAKTERISTIK KOMUNITAS PARASITOID TELUR
DAN POTENSINYA SEBAGAI AGENS PENGENDALIAN
HAYATI HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING,
Schirpophaga incertulas WALKER (LEPIDOPTERA:
PYRALIDAE) PADA PERTANAMAN PADI
SAWAH DI BALI
TIM PENELITI
Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha MS (0030035703)
Prof. Ir. I Wayan Susila, MS (0029015408)
Ir. I Ketut Sumiartha, M.Agr (0013125602)
Dibiayai oleh:
DIPA PNBP Universitas Udayana
Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian
Nomor: 246-316/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, Tanggal 21 April 2015
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
Halaman Pengesahan
1. Judul Penelitian : Karakteristik Komunitas Parasitoid Telur dan
Potensinya sebagai Agens Pengendalian Hayati
Penggerek Batang Padi Kuning, Schirpophaga
Incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada
Pertanaman Padi Sawah di Bali
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, MS
b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. NIP/NIDN : 19570330 198601 1 001/0030035703 d. Pangkat/Gol : Pembina Utama/IVe e. Jabatan Fungsional : Guru Besar.
f. PS/Fakultas : Agroekoteknologi/Pertanian
g. Alamat : PS. Agroekoteknologi, Fakultas
Pertanian,Universitas Udayana Jl. PB Sudirman Denpasar h. Telepon/E-mail : 082147407777 ([email protected])
3. Jumlah anggota peneliti : 3 orang 4. Jumlah mahasiswa : 2 orang 5. Jumlah biaya yang diajukan: Rp 40.000.000,00 Denpasar, 10 Agustus 2015 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian UNUD
Ketua Peneliti,
Prof. Dr.Ir. I Nyoman Rai, MS)
Prof. Dr.Ir. I Wayan Supartha, MS)
NIP 19630515 198803 1 001 NIP 19570330 198601 1 001
Mengetahui Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Udayana
Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng. NIP 19640807 199203 1 002
iii
RINGKASAN
Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama tanaman padi
yang selalu muncul setiap musim tanam padi di Indonesia dengan resiko kerugian
yang diakibatkan mencapai 125.000 ton per musim tanam (Soejitno, 1984).
Penggerek batang padi kuning adalah spesies yang paling dominan dan
menyebabkan kerusakan paling berat di lapang (Hattori dan Siwi ,1986; Supartha,
2001). Spesies hama tersebut dapat menyerang tanaman padi pada fase vegetatif
dengan gejala sundep dan pada fase generatif dengan gejala beluk. Faktor musuh
alami seperti parasitoid, predator dan pathogen serangga sangat berpengaruh
terhadap perkembangannya di alam. Di antara musuh alami tersebut golongan
parasitoid mempunyai peranan yang paling penting di lapang, karena dapat
memarasit inangnya mulai dari stadia telur, larva dan pupa di lapang (Supartha et
al., 1993). Penggerek batang padi kuning, Schipophaga incertulas Walker adalah satu
diantara 6 jenis penggerek batang padi yang paling berbahaya dalam budidaya tanaman
padi di Bali (Indonesia). Ada tiga jenis parasitoid telur yang sangat berperan dalam
pengaturan populasi hama tersebut di alam yaitu Tetrastichus schoenobii, Telenomus
rowani, dan Trichogramma japonicum. Penelitian ini dirancang dalam tiga tahun yaitu tahun pertama ditujukan
untuk menganalisis karakteristik komunitas berdasarkan indeks keragaman,
kesamaan, dominansi dan kelimpahan populasi parasitoid telur penggerek batang
padi kuning di lapang. Selain itu penelitian juga ditujukan untuk mengganalisis
hubungan populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning dengan populasi
inangnya. Pada tahun yang sama penelitian juga ditujukan untuk
mendeskripsikan pola suksesi dan tingkat parasitisasi parasitoid telur penggerek
batang padi kuning dalam pemanfaatan inang di lapang. Untuk mendudukung
hasil penelitian lapang tersebut juga dilakukan penelitian laboratorium untuk
menganalisis respon parasitoid telur penggerek batang padi kuning terhadap
kerapatan populasi inangnya.
Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten di Bali untuk mengetahui keragaman,
kelimpahan populasi dan respons parastoid terhadap kerapatan populasi inangnya.
Penelitian ini menggunakan metode survei yang dilakukan sejak bulan Mei sampai
dengan Juli 2015. Sementara peneitian tanggap parasitoid terhadap kerapatan inang
dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Hama Terpadu, Fakultas Pertanian,
Universitas Udayana, sejak bulan Juli-Agustus 2015, dengan rancangan acak
kelompok yang terdiri dari 5 perlakuan kerapatan inang dan 10 kali ulangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa indeks keragaman parasitoid telur itu tergolong sangat
rendah di semua lokasi penelitian yang didominasi oleh populasi T. schoenobii. Berbeda
dengan indeks kesamaan dan dominansi yang tergolong sangat tinggi di semua lokasi
penelitian. Populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning didominasi oleh T.
schoenobii sejak tanaman berumur 2 mst sampai tanaman berumur 6 sampai 7 mst.
Setelah itu dominansi populasi itu digantikan oleh T. rowani dan T. japonicum.
Hubungan antara populasi kelompok telur dengan tingkat parasitisasi sangat positif,
semakin tinggi populasi kelompok telur semakin tinggi tingkat parasitisasinya.
Sementara tanggap parasitoid telur terhadap kerapatan populasi inangnya berbeda
nyata antar perlakuan kerapatan populasi inang (P<0.5). Ketiga jenis parasitoid tersebut
menunjukkan tanggap fungsional tipe-2 yaitu laju parasitisasinya semakin meningkat
sampai batas tertentu, kemudian semakin mengendur. T. schoenobii adalah spesies yang
iv
paling berperan dalam pengaturan populasi inang di alam. Dapat disimpulkan bahwa
parasitoid telur itu mempunyai potensi kuat sebagai agen pengendalian hayati penggerek
batang padi kuning di Bali. Namun demikian, T. rowani dan T japonicum mempunyai
peranan kuat setelah tanaman berumur 7 minggu setelah tanam untuk menekan populasi
telur pada saat tanaman memasuki fase generatif.
v
PRAKATA
Dengan manjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca,
Tuhan Yang Maha Esa karena berkat RahmatNya laporan ini dapat diselesaikan
sesuai dengan yang direncanakan. Laporan dengan judul “Karakteristik
Komunitas Parasitoid Telur dan Potensinya sebagai Agens Pengendalian Hayati
Penggerek Batang Padi Kuning, Schirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera:
Pyralidae) pada Pertanaman Padi Sawah di Bali” disusun berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di tiga sentra tanaman padi (endemis penggerek batang
padi kuning) yaitu Jemberana, Tabanan dan Badung berlangsung dari bulan Mei
sampai dengan Juli 2015 untuk memetakan keragaman, kesamaan, dominansi dan
kelimpahan populasi parasitoid telur di lapang termasuk pola suksesinya sejak
tanaman berumur 2 mst sampai fase generatif. Sementara penelitian labratorium
dilakukan di Laboratorium pengelolaan Hama dan Penyakit Terpadu Fakultas
Pertanian Universitas Udayana untuk mendalami tanggap parasitoid telur
terhadap kerapatan populasi telur inang penggerek batang padi kuning yang
dilakukan selama 2 bualn sampai Agustus 2015. Selama pelaksanaan dan
penyelesaian laporan penelitian ini banyak pihak yang ikut membantu terutama
Ni Made Delly Resiani (mahasiswa Doktoral, Prodi Doktor Ilmu pertanian Unud)
dan Latizio Beni da Costa Cruz (mahasiswa Jurusan Agroekoteknologi Fakultas
Pertanian Unud) dan juga beberapa petugas penyuluh pertanian lapang (PPL) di
setiap lokasi. Untuk itu, kepada yang bersangkutan penulis mengucapkan banyak
terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya semoga kerjasamanya dapat
memberi manfaat untuk pengembangan karirnya ke depan.
Penulis juga mengucapakn terimakasih dan penghargaan kepada Ketua
Jurusan Agroekoteknologi, Dekan Fakultas Pertanian dan Rektor Universitas
Udayana atas dukungannya dalam pencarian dan pencaiaran dana penelitian ini.
Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan dan keamjuan
ilmu pengetahuan dan teknologi Tanah air.
Denpasar, Nopember 2015
Penulis.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM. .............................................................................................. I
HALAMAN PENGESAHAN. ............................................................................. ii
RINGKASAN ..................................................................................................... iii
PRAKATA ........................................................................................................... v
DAFTAR ISI. ...................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ x
I. PENDAHULUAN…………………… ......................................................... 1
1.1 Latar Belakang. ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian……… ......................................................................... 3
1.2.1 Tujuan Umum ............................................................................... 3
1.2.2 Tujuan Khusus Tahun Pertama .................................................... 3
1.3 Luaran Penelitian ..................................................................................... 3
1.3.1 Luaran Umum ............................................................................... 3
1.3.2 Luaran Khusus .............................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian………. ...................................................................... 4
II. KAJIAN PUSATAKA…………………………… ................................... …5
2.1 Penggerek Batang Padi Kuning, Scirpophaga incertulas ........................ 5
2.1.1 Klasifikasi .......................................................................................... 5
2.1.2 Morfologi ........................................................................................... 6
2.1.3 Biologi ................................................................................................ 6
2.1.4 Ekologi ............................................................................................... 8
2.1.5 Gejala Serangan ................................................................................. 8
2.1.6 Pengendalian ...................................................................................... 9
2.2 Parasitoid Telur ........................................................................................ 9
2.2.1 Trichogramma japonicum Ashm ....................................................... 9
2.2.2 Telenomus rowani Gahan ................................................................. 11
2.2.3 Tetrastichus schoenobii Ferr ........................................................... 12
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan .......................................... 13
2.4 Hubungan Antara Parasitoid dan Inang ................................................. 13
2.5 Respon Parasitoid Terhadap Kepadatan Inang ...................................... 14
III. METODE PENILITIAN .............................................................................. 18
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 18
3.2 Bahan Penelitian..................................................................................... 18
3.3 Instrumen Penelitian............................................................................... 18
3.4 Prosedur Penelitian................................................................................. 18
3.4.1 Perbanyakan Serangga Inang ........................................................ 18
3.4.2 Perbanyakan Parasitoid ................................................................. 19
3.4.3 Pelaksanaan Penelitian .................................................................. 20
3.4.3.1 Penelitian Karakteristik Komunitas ............................... 20
3.4.3.2 Pola Suksesi dan tingkat Parasitisasi Parasitoid Telur ... 22
3.4.3.3 Penelitian Respon Parasitoid Telur terhadap
Kerapatan Populasi Inang ............................................. 23
vii
3.5 Analisis Data .......................................................................................... 24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 25
4.1 Karateristik Komunitas Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi
Kuning .................................................................................................... 25
4.1.1 Persentase kelompok telur terparasit ............................................. 26
4.1.2 Tingkat Parasitisasi ....................................................................... 26
4.2 Pola suksesi Populasi antar Spesies Parasitoid Telur Penggerek
Batang Padi Kuning ............................................................................... 29
4.3 Respon Parasitoid Telur Terhadap Kepadatan Populasi Inang ............. 32
V. KESIMPULAN ............................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 36
DAFTAR TABEL
Halaman
4.1 Jumlah kelompok telur yang dikoleksi dari setiap lokasi sesuai
dengan umur Tanaman ................................................................................. 25
4.2 Rerata tingkat parasitisasi parasitoid telur penggerek batang padi
kuning (%) di tiga kabupaten di Bali ........................................................... 26
4.3 Karakteristik Komunitas Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi
Kuning .......................................................................................................... 27
4.4 Indeks kesamaan jenis parasitoid telur penggerek batang padi
kuning di tiga kabupaten di Bali .................................................................. 28
4.5 Rerata kelimpahan populasi parasitoid telur penggerek batang padi
kuning (%) di tiga kabupaten di Bali .......................................................... 28
4.6 Nilai koefisien determinasi (R2) dan standar deviasi (sd) parasitoid
telur penggerek batang padi kuning untuk menentukan tipe model
tanggap fungsional ....................................................................................... 32
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga incertulas Walker)................ 5
2.2 Kelompok telur penggerek yang belum dan sudah terparasit ........................ 7
2.2.1 T. Japonicum .................................................................................. 10
2.2.2 T. Rowani ........................................................................................ 11
2.2.3 T. Schoenobii ................................................................................... 12
2.5.1 Tanggap Fungsional Tipe I ............................................................. 15
2.5.2 Tanggap Fungsional Tipe II ............................................................ 15
2.5.3 Tanggap Fungsional Tipe III ........................................................... 16
3.4.1 Bagan Perbanyakan Inang ............................................................... 19
3.4.2 Bagan Perbanyakan Parasitoid ........................................................ 20
4.1 Persentase Kelompok telur Penggerek Batang padi Kuning Terparasit
oleh Parasitoif Telur .................................................................................... 26
4.2 Indeks dominansi jenis parasitoid ............................................................... 29
4.3 Pola suksesi populasi parasitoid telurpenggerek batang padi di
kabupaten Badung ........................................................................................ 31
4.4 Pola suksesi populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning
di Kabupaten Tabanan.................................................................................. 31
4.5 Pola Suksesi populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning
di Kabupaten Jemberana .............................................................................. 32
4.6 Tanggap fungsional parasitoid telur penggerek batang padi kuning ........... 33
ix
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Karakteristik Habitat Pada Masing-Masing Wilayah Penelitian. .................. 39
2. Dokumen Mengikuti Seminar Nasional Sain dan Teknologi 2015
Hari/ Tanggal: Kamis-Jumat, 29-30 Oktober 2015 di Patrab jasa Bali
Resort & Villas Kuta Bali dengan Tema Inovasi Humaniora, Sains,
dan teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan ........................................ 41
3. Dokumen Mengikuti Kongres dan General Meating ISSAAS 2015 &
118th
JSTA International Joint Conference di Tokyo Univercity of
Agriculture November 7-9 2015 dengan Tema Agriculture Sciences
For Sustaineble Development ...................................................................... 46
4. Personil Tenaga Penelitian Beserta Kualifikasinya ....................................... 52
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggerek batang padi merupakan salah satu hama endemis yang menjadi
hama utama tanaman padi di Indonesia. Akibat serangan hama tersebut petani
menderita kerugian hasil panennya sekitar 125.000 ton per musim tanam
(Soejitno, 1984). Sejak tahun 2001-2011 luas serangan hama tersebut semakin
meningkat dan berflukstuasi di Bali dari tahun ke tahun yaitu berturut-turut
1.105; 1.672,2; 1.689,5; 1.872; 1.724,5; 2.673,5; 1.265,15; 823,55; 1.223,25 dan
763,55 ha dengan intensitas serangan ringan sampai berat (BPTPH Bali, 2011).
Kondisi tersebut berpotensi menjadi ancaman serius terhadap usaha peningkatan
produksi beras dan program swansembada beras nasional yang sedang digalakkan
oleh pemerintah dewasa ini.
Ada enam spesies penggerek batang padi yang dilaporkan menyerang
tanaman padi di Indonesia (Suharto dan Sembiring, 2007) yaitu penggerek batang
padi kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae), penggerek
batang padi putih Scirpophaga innotata Walker (Lepidoptera: Pyralidae),
penggerek batang padi bergaris Chilo suppressalis Walker (Lepidoptera:
Pyralidae), penggerek batang padi kepala hitam Chilo polychrysus Meyrick
(Lepidoptera: Pyralidae), penggerek batang padi berkilat Chilo auricillius
Dudgeon (Lepidoptera: Pyralidae) dan penggerek batang padi merah jambu
Sesamia inferens Walker (Lepidoptera: Noctuidae). Sementara di Bali hanya
empat spesies yang ditemukan menyerang tanaman padi di lapang yaitu S.
incertulas,C. suppressalis, C. polychrysusdan S. inferens (Supartha et al, 1993).
Di antara keenam spesies tersebut hanya S. incertulas yang paling dominan dan
menyebabkan kerusakan paling berat di lapang (Hattori dan Siwi ,1986; Supartha,
2001).
Untuk menangani masalah hama tersebut pemerintah telah menetapkan
konsep dan teknologi pengendalian yang ramah lingkungan yaitu pengelolaan
hama terpadu dengan pendekatan ekologis dalam pengelolaan ekosistem tanaman
tersebut. Di dalam sistem pengelolaan hama terpadu tersebut pemanfaatan
musuh-musuh alami seperti parasitoid, predator dan entomopatogen adalah
prioritas utama (Laba, 1998). Pemanfaatan parasitoid dalam usaha pengendalian
hama terpadu di berbagai negara di dunia banyak yang melaporkan berhasil baik.
2
Menurut Supartha et al. (1993) golongan parasitoid mempunyai peranan yang
sangat penting dalam pengaturan populasi hama tanaman terutama padi di lapang.
Parasitoid tersebut dapat memarasit inangnya mulai dari stadia telur, larva dan
pupa di lapang. Menurut Kim et al. (1986) dan Supartha (2001) jenis parasitoid
telur yang umum ditemukan meyerang telur penggerek batang padi di lapang
adalah Trichogramma japonicum Ashm (Hymenoptera: Trichogrammatidae),
Telenomus rowani Gahan (Hymenoptera: Scelionidae) dan Tetrastichus
schoenobii Ferr (Hymenoptera: Eulophidae). Agus (1991) menemukan ketiga
spesies parasitoid tersebut memarasit telur penggerek batang padi kuning di
lapang sejak tanaman berumur 4 mst. Islam (1991) menemukan bahwa sekitar
41% telur penggerek batang padi kuning tersebut diparasit oleh T. rowani dan
93% oleh T. schoenobii. Berbeda dengan laporan Nurbaeti et al. (1994) bahwa
lebih dari 50%telur penggerek batang padi kuning diparasit oleh T. schoenobii,
hanya 15 - 18% oleh T. rowani dan 2-8% oleh T. Japonicum. Hasil penelitian
Laba (1998) juga menunjukkan kecenderungan proporsi parasitisasi yang sama
antara T. schoenobii, T. rowani dan T. Japonicum yaitu 71, 40 - 98 dan 20%
Kejadian sejenis juga ditemukan pada penggerek batang padi putih yang telurnya
di parasitisasi oleh parasitoid Trichogramma sp dan Tetrastichus sp. antara 7,5 -
38,0%.
Perkembangan populasi parasitoid di alam sering mengalami hambatan
biologis maupun ekologis berkaitan dengan kemampuan adaptasinya terhadap
lingkungan. Kondisi tersebut sering berdampak terhadap pola suksesi dan
kemampuannya melakukan adapasi dan parasitisasi terhadap kelompok telur
inangnya, sehingga berpengaruh juga terhadap karakteristik komunitas dan
peranannya dalam pengaturan populasi inangnya di lapang. Masing-masing
parasitoid mempunyai cara dan kemampuan adaptasi untuk melakukan parasitisasi
terhadap telur-telur inangnya (Supartha, 2001). Untuk itu, perlu dilakukan
penelitian khusus berkaitan dengan karakteristik komonitas parasitoid yang
ditunjukkan oleh indeks keragaman, kesaamaan dan dominnansi spesiesnya, serta
kelimpahan populasinya di masing-masing lokasi, dan pola suksesinya di lapang.
Untuk mendalami karakteristik masing-masing parasitoid tersebut perlu
dilakukan penelitian laboratorium untuk menilai responsnya terhadap kepadatan
populasi telur-telur inangnya yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan
masing-masing individu parasitoid dalam pengaturan populasi inang di lapang.
3
Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah
keragaman, kesamaan, dominansi dan kelimpahan parasitoid telur penggerek
batang padi kuning? (2) Bagaimanakah hubungan perkembangan populasi
parasitoid telur penggerek batang padi kuning dengan inangnya? (3)
Bagaimanakah pola suksesi dan tingkat parasitisasi parasitoid telur penggerek
batang padi kuning dalam pemanfaatan inang di lapang? (4) Bagaimanakah
respons parasitoid telur penggerek batang padi kuning terhadap kerapatan
populasi inang?
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui keberadaan parasitoid telur penggerek batang padi kuning
sebagai komponen utama pengengendalian hama penggerek batang padi kuning di
alam.
1.2.2 Tujuan Khusus tahun pertama
1. Untuk menganalisis keragaman, kesamaan, dominansi dan
kelimpahan populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning
2. Untuk mengganalisis hubungan perkembangan populasi parasitoid
telur penggerek batang padi kuning dengan populasi inangnya
3. Untuk mendeskripsikan pola suksesi dan tingkat parasitisasi parasitoid
telur penggerek batang padi kuning dalam pemanfaatan inang di
lapang?
4. Untuk menganalisis respon parasitoid telur penggerek batang padi
kuning terhadap kerapatan populasi inang
1.3 Luaran Penelitian
1.3.1 Luaran Umum
Dapat diiidentifikasi dan dideskripsikan keberadaan jenis parasitoid telur
yang berperan mengatur populasi penggerek batang padi kuning di lapang.
1.3.2 Luaran Khusus
1. Karakteristik komonitas dan pola suksesi parasitoid telur penggerek batang
padi kuning sebagai agens pengendalian hayati hama penggerek batang
padi kuning di lapang sesuai dengan fenologi tanaman inang.
4
2. Diskripsi hubungan antara dinamika populasi parasitoid telur dengan
populasi penggerek batang padi kuning di lapang sebagai dasar penetapan
parasitotid telur sebagai agens pengendalian alami hama penggerek batang
padi kuning antar ruang dan waktu
3. Deskripsi respon parasitoid telur terhadap kepadatan popualsi penggerek
batang padi kuning sebagai parasitoid potensial dalam pengaturan populasi
penggerek batang padi kuning di lapang.
4. Manuscript untuk dipresentasikan pada pertemuan ilmiah nasional atau
internasional
5. Manuscript untuk dipublikasikan di Jurnal nasional terakreditasi atau jurnal
internasional.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dipakai dasar untuk pengembangan taktik dan
strategi pengendalian hayati hama penggerek batang padi kuning.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penggerek Batang Padi Kuning S. incertulas
2.1.1 Klasifikasi
Dhuyo (2009) mengklasifikasikan penggerek batang padi kuning sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Klas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Familia : Pyralidae
Genus : Scirpophaga
Spesies : S. incertulas Walker (Gambar 2.1)
Gambar 2.1.
Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga incertulas Walker)
Penggerek batang padi kuning disebut dengan berbagai nama. Kapur
(1964) menyatakan bahwa pada tahun 1863 penggerek batang padi kuning dikenal
dengan nama Chilo incertulas Walker, Scirpophaga punctellus Zeller,
Scirpophaga minutellus Zeller dan Tipanaea bipunctifera Walker, kemudian
tahun 1864 dikenal dengan nama Chilo gratiosellus Walker dan tahun 1880
bernama Apurima gratiosella Butler. Pada tahun 1895 - 1896 dikenal dengan
nama Scirpophaga Walker dan digunakan sampai tahun 1958. Tahun 1960
dikenal dengan nama Tryporyza incertulas Walker dan tahun 1963 diberi nama
Schoenobius incertulas Walker. Tahun 1977 penggerek batang padi dikenal
dengan nama yellow rice borer atau yellow stem borer (Pathak, 1977). Tahun
6
1991 dikenal kembali dengan nama Scirpophaga incertulas Walker sampai saat
ini (Dhuyo, 2009).
2.1.2. Morfologi
Kelompok telur penggerek batang padi kuning berbentuk oval berwarna
putih kekuningan dan tertutup oleh bulu halus berwarna kecoklatan (Gambar 2.1).
Telur berukuran panjang 0,6±0,03dan lebarnya 0,43±0,02mm sedangkan
kelompok telurnya berukuran panjang 5,6±1,36dan lebar 3,37±0,7mm (Hugar et
al., 2009).
Larva yang baru menetas berwarna hijau kekuningan dan kepalanya
berwarna gelap. Larva instar kedua, ketiga dan keempat berwarna putih krim dan
kepalanya berwarna hitam. Larva terdiri dari lima instar. Larva instar akhir
berwarna putih kotor dengan panjang tubuh 19,9±0,30mm.Pupa berwarna coklat
gelap. Panjang tubuhnya 12.61 ±1,30mm (Hugar et al., 2009).
Imago penggerek batang padi kuning mempunyai ukuran panjang tubuh
berkisar antara 13-16 mm. Imago jantan berukuran lebih kecil dari betina dengan
sayap berwarna kuning jerami. Pada imago betina, sayap depannya memiliki
bintik hitam (Gambar 2.1), sedangkan pada imago jantan bintik tersebut berwarna
kecoklatan atau tampak samar-samar (Reissig et al., 1986; Hugar et al.,
2009).Panjang sayap jantan saat membuka berukuran 21 mm dan yang betina
berukuran 30 mm (Kalshoven, 1981)
2.1.3. Biologi
Imago penggerek batang padi kuning aktif pada malam hari antara pukul
19.00-22.00 dan siang hari bersembunyi di bawah daun tanaman padi. Imago
tertarik cahaya dan mempunyai daya terbang yang kuat berkisar antara 6-10 km.
Aktivitas imago penggerek mencapai puncaknya pada suhu 21,6 - 30,60
C, pada
kelembapan nisbi 82,7% di daerah tropis (Kalshoven, 1981). Perkembangan hama
tersebut dapat terus terjadi apabila terdapat pertanaman padi pada tiap musim
tanam. Agus (1991) menyatakan bahwa sesaat setelah imago muncul, segera
berkopulasi dan siap meletakkantelur. Kopulasi hanya terjadi sekali tetapi
peletakan telur dapat berlangsung tiga sampai lima hari. Peletakan telur
berlangsung berkisar antara 10-35 menit dalam bentuk kelompok-kelompok.
Kelompok telur diletakkan pada bagian ujung daun bendera, pada permukaan atas
7
daun dekat pucuk atau pada permukaan bawah daun. Agus (1991) juga
menyatakan bahwa banyaknya telur per kelompok bervariasi tergantung dari
daerahnya (Gambar 2.2). Di Indonesia banyaknya telur per kelompok berkisar
antara 50-150 butir, sedangkan di Filipina antara 36-95 butir. Kalshoven (1981)
melaporkan bahwa seekor imago betina mampu bertelur sebanyak 200-300 butir,
sementara Pathak (1977) hanya 100-200 butir dan Hugar et al. (2009)
adalah159,3±39,8 butir .
Telur-telur sebelum menetas berubah warna menjadi gelap dengan bintik
hitam (Agus,1991). Kalshoven (1981) menyatakan bahwa stadium telur berkisar
antara 4-5 hari dengan suhu optimum untuk penetasan telur antara 25 -320
C
pada kelembapan nisbi 85%, sedangkan Hugar et al. (2009) menemukan bahwa
lama stadium telur 6,5 hari.
Larva yang baru menetas membuat dua sampai tiga lubang pada bulu sisik
kelompok telur atau dari dasar kelompok telur dengan melubangi daun padi.
Larva tersebut akan menggerek jaringan daun atau seludang daun sebelum masuk
ke arah titik tumbuh. Perkembangan larva berlangsung antara 22-43 hari pada
suhu optimum sekitar 17-350
C (Wijaya, 1992), sedangkan menurut Hugar et al.
(2009) periode larva berlangsung selama 28,7± 1.10hari. Sesaat sebelum
membentuk pupa, larva instar akhir membuat lubang keluar pada ruas pangkal
batang dekat permukaan tanah atau air. Lubang tersebut kemudian ditutupi dengan
benang sutera. Stadium pupa beragam, berkisar antara 8-14 hari (Soehardjan,
1976) dan 8,6± 0,49hari (Hugar et al., 2009).
Gambar 2.2
Kelompok telur penggerek yang belum (a) dan sudah terparasit (b)
Sumber : Chakraborty, 2012
B
a b
8
Imago muncul dari bagian tanaman padi setinggi 12,5 cm dari permukaan
air. Kemampuan hidupnya berkisar antara 5-7 hari (Kalshoven, 1981). Hugar et
al. (2009) menyatakan bahwa rata-rata kemampuan hidup imago betina adalah
68,3± 3,07 jam dan 59,0± 0,71 jam untuk imago jantan. Total siklus hidupnya
adalah 42,8± 1,73 hari.
2.1.4 Ekologi
Populasi penggerek batang padi sangat dipengaruhi oleh keadaan musim.
Pada curah hujan tinggi serangga hama banyak yang mati. Demikian juga pada
suhu dan kelembaban tinggi penggerek batang padi tidak dapat bertahan
hidup.Meningkatnya populasi penggerek batang padi di suatu daerah dapat
disebabkan oleh tersedianya tanaman padi secara terus-menerus.Umur tanaman
juga mempengaruhi tingkat populasi hama penggerek batang padi. Larva
penggerek batang padi lebih menyukai tanaman padi muda dibandingkan dengan
tanaman padi tua. Menurut Israel (dalam Supartha et al., 1991), kondisi tanaman
pada fase generatif secara anatomis mempunyai jaringan sklerenkim lebih tebal,
ikatan vaskuler lebih rapat dan batang lebih keras sehingga larva penggerek
batang padi sering mengalami kegagalan dalam menggerek. Kandungan nutrisi
tanaman pada fase generatif juga menurun sehingga cenderung kurang disukai
oleh larva.
Perubahan beberapa cara bercocok tanam padi juga berpengaruh terhadap
populasi hama. Perubahan tersebut seperti jarak tanam, penggunaan varietas baru
dan pemupukanmempengaruhi perkembangan populasi hama dan tingkat
kerusakan dari waktu ke waktu (Wijaya, 1992).
2.1.5 Gejala Serangan
Gejala serangan yang ditimbulkan oleh penggerek batang padi dikenal
dengan sundep dan beluk. Penyebabnya dapat di identifikasi setelah mencabut
dan membuka bagian tanaman yang terserang. Larva yang baru menetas membuat
lubang pada sisik bulu yang menutupi kelompok telur. Larva menggerek dan
memakan bagian dalam batang sambil memotong titik tumbuhnya.
Gejala sundep terjadi apabila hama menyerang padi fase vegetatif. Pangkal
daun muda terpotong,daun akan layu kemudian mengering dan mudah sekali
untuk dicabut. Sedangkan gejala beluk terjadi pada fase generatif yakni waktu
tanaman padi mulai bunting atau berbunga sehingga malai akan terpotong. Malai
9
menjadi hampa dan berwarna putih serta berdiri tegak akibat terhambatnya
mineral dari dalam tanah yang akan digunakan untuk proses fotosintesis (Dhuyo,
2009).
2.1.6 Pengendalian
Pengendalian penggerek batang padi dilakukan dengan berbagai cara. Cara
terbaik untuk memenuhi harapan tersebut adalah dengan PHT yaknicara
pengendalian secara terintegrasi dan ramah lingkungan. Pengendalian hayati
merupakan satu komponennya (Untung, 2002). Pengendalian hayati merupakan
fenomena alamiah yakni pengaturan kelimpahan serangga hama oleh musuh alami
(Kartosuwondo, 1995). DeBach (1971) menyatakan bahwa pengendalian hayati
adalah aktivitas parasitoid, predator dan patogen dalam mengendalikan kepadatan
populasi hama.
Kartosuwondo (1995) menyatakan bahwa pengendalian hayati mempunyai
beberapa kelebihan antara lain mempunyai selektivitas yang tinggi, organisme
yang digunakan sudah ada di alam, tidak menimbulkan hama baru, hama tidak
menjadi resisten dan tidak menghasilkan pengaruh samping yang buruk seperti
halnya penggunaan insektisida. Namun demikian, pengendalian hayati
mempunyai beberapa kekurangan antara lain kemampuan agen hayati menekan
populasi hama terbatas, pencarian agen hayati yang tepat cukup rumit, tidak
semua agen biotik dapat dibiakkan di laboratorium, pengendalian hayati
memerlukan waktu yang lama dan penerapan cara pengendalian hayati
membutuhkan tenaga yang terampil.
2.2 Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi
Menurut Supartha (2001), musuh alami yang sering dijumpai berasosiasi
dengan hama penggerek batang padi adalah dari golongan parasitoid telur yaitu,
Trichogrammajaponicum Ashm (Hymenoptera: Trichogrammatidae), Telenomus
rowaniGahan (Hymenoptera: Scelionidae) dan Tetrastichus schoenobii Ferr
(Hymenoptera: Eulophidae).
2.2.1.Trichogrammajaponicum Ashm
Daerah sebarannya mencakup Madagaskar, Indonesia, Malaysia, India
Filipina, Thailand, Cina, Jepang dan beberapa daerah di Amerika (Kalshoven,
1981).
Menurut Kalshoven (1981), parasitoid telur T. japonicum(Gambar 2.2.1)
diklasifikasikan sebagai berikut:
10
Kingdom : Animalia
Philum : Arthropoda
Klas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Familia : Trichogrammatidae
Genus : Trichogramma
Spesies : T. japonicum Ashm.
Gambar 2.2.1
T. japonicum (Foto: Sumiartha)
Parasitoid T. japonicum mengalami metamorfosis sempurna dan
merupakan parasitoid dengan ukuran imago terkecil dari ketiga spesies parasitoid
telur penggerek batang padi. Panjang badannya kurang lebih satu mm. Panjang
sayap 0,8 mm dengan rambut pada sisinya. Imago jantan pada bagian ujung
antena memiliki rambut seperti sisir, sedangkan imago betina tidak. Imago T.
japonicum mampu mendeteksi peletakan telur penggerek dengan radius 10 meter
(Trichoplus, 2000)
Telur diletakkan kira-kira 24-48 jam setelah imago parasitoid muncul
(Agus, 1991). Budana (1996) menyatakan bahwa satu hari setelah telur
diletakkan, telur akan menetas menjadi larva. Masa peneluran memerlukan waktu
singkat yakni 1,53 hari. Stadium larva berlangsung selama 4 hari. Larva
T.japonicum terdiri dari tiga instar (Agus, 1991). Memasuki fase pupa, larva
terlebih dahulu mengalami fase prapupa.Fase prapupa T. japonicum terdiri atas
fase eonimfa dan pronimfa yang memerlukan waktu 1 -2 hari. Pupa berwarna
putih kekuningan dengan bentuk agak memanjang, terdapat penyempitan pada
11
bagian toraks. Pupa berukuran antara 0,44 - 0,62 mm. Siklus hidup parasitoid T.
japonicum berkisar antara 7 - 9 hari (Agus, 1991).
2.2.2.Telenomus rowaniGahan
Penyebarannya meliputi negara Cina, Indonesia, India, Jepang, Malaysia,
Thailand, Filipina, Pakistan dan Kamboja (Agus, 1991).Kalshoven (1981)
mengklasifikasi T.rowaniadalah sebagai berikut (Gambar 2.2.2) :
Kerajaan : Animal
Philum : Arthropoda
Klas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Familia : Scelionidae
Genus : Telenomus
Spesies : Telenomus rowani Gahan.
Gambar 2.2.2
T. rowani(Foto: Sumiartha)
T. rowani berwarna hitam kecoklatan dengan panjang tubuh kurang lebih
2 (dua) mm. Sayap datar sepanjang 0,28 mm terletak pada toraks. Antena
berbentuk menyiku, pada ujung antena betina membesar sedangkan pada imago
jantan ujungnya simetris. Parasitoid ini tergolong dalam parasitoid solitaria yaitu
parasitoid yang hanya meletakkan satu telur pada inang dan berkembang sampai
dewasa(Kalshoven, 1981).
Seekor imago betina memproduksi telur sekitar 143-275 butir (Clausen,
1940). Stadium telur kurang lebih 9 jam (Budana, 1996).Telur T. rowani
diletakkan pada inang yang berumur 1 -2 hari. Larva berwarna putih susu,
12
berukuran panjang antara 0,69-0,76 mm. Stadium larva berlangsung selama 6-7
hari.Pupa berwarna kehitaman, berukuran 0,65 - 0,76 mm dengan caput, toraks,
abdomen dan tungkai yang sudah tampak. Stadium pupa berlangsung selama 3-4
hari, kemudian dilanjutkan dengan stadium imago.Imago jantan muncul terlebih
dahulu daripada betina. Umur imago jantan berkisar antara 1-3 hari dan betina 3 -
5 hari (Agus, 1991).
2.2.3 Tetrastichus schoenobiiFerr
Kalshoven (1981) mengklasifikasi T. schoenobiisebagai berikut (Gambar
2.2.3):
Kerajaan : Animal
Filum : Arthropoda
Klas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Familia : Eulophidae
Genus : Tetrastichus
Spesies : T. schoenobii Ferr.
Gambar 2.2.3
T. schoenobii(Foto: Sumiartha)
Parasitoid telur T. schoenobii berwarna biru, hijau metalik atau hijau
terang. Caput pendek tumpul dengan rambut halus dan occeli oval. Antena
berwarna coklat kehitaman memiliki delapan segmen. Mulut bagian bawah
13
berwarna coklat mengkilat. Thorak berwarna cerah dan lembut, terdapat sayap
depan dan sayap belakang berbentuk pedang dengan pinggir melengkung.
Abdomen bulat silindris dengan delapan ruas. Ovipositor berwarna coklat
kekuningan, sangat pendek dan tebal. Tungkainya berwarna kuning dengan tarsus
bersegmen empat. Daur hidupnya berlangsung selama kurang lebih 14 hari
(Kalshoven, 1981).
Seekor imago betina T. schoenobii mampu memproduksi 10-60 butir telur.
Telur–telur tersebut akan menetas setelah berumur 1-2 hari. Larva berbentuk
silindris memanjang. Perkembangan larva T. schoenobii terjadi di dalam telur
inang. Seekor larva parasitoid T. schoenobii dalam menyelesaikan satu siklus
hidupnya membutuhkan tiga telur inang. Stadium larva berlangsung selama 7 hari,
kemudian larva dewasa membentuk pupa. Stadium pupa berlangsung selama 6
hari, selanjutnyamuncul imago 1 - 2 hari berikutnya (IRRI, 1998).
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Parasitoid dan
Inang
Parasitoid dan inang dapat hidup dan berkembang biak dengan baik jika
faktor-faktor yang mendukung perkembangannya memenuhi syarat. Menurut
Berryman (1981), faktor-faktor tersebut meliputi faktor dalam (instrinsik) dan
faktor luar (ekstrinsik). Faktor dalam (instrinsik) terdiri dari (a) ketahanan genetik
yakni keadaan dimana serangga mampu menciptakan ketahanan secara alami
sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis inang atau
makanannya, yang akhirnya mampu mempertahankan hidupnya, (b) kemampuan
beradaptasi yaitu sejauh mana serangga tersebut mampu beradaptasi dengan
perubahan-perubahan iklim pada lingkungan sekitarnya. Faktor luar (ekstrinsik)
terdiri dari faktor makanan, faktor iklim dan faktor manusia yakni sejauh mana
tindakan atau campur tangan manusia yang dilakukan seperti manipulasi tanaman
inang, pergiliran varietas yang berkaitan dengan inang parasitoid ataupun
pengendalian menggunakan pestisida.
2.4 Hubungan antara Parasitoid dan Inang
Keefektifan musuh alami dalam mengendalikan populasi hama dapat
diukur dari daya predatisme atau parasitismenya. Berdasarkan daya predatisme
atau parasitisme tersebut dapat dinilai kemampuan musuh alami dalam mengatur
keseimbangan populasi mangsa dan inangnya. Musuh alami yang efektif dicirikan
14
oleh (a) daya mencari yang tinggi, terutama pada saat populasi inang rendah; (b)
kekhususan terhadap inang atau mangsa (sifat monofag bermakna lebih efektif);
(c) potensi berkembangbiak tinggi (potensi berkembangbiak dicirikan oleh
keperidian dan fertilitas yang tinggi serta siklus hidup yang pendek); (d) kisaran
toleransi terhadap lingkungan lebar serta kemampuan memangsa terhadap
berbagai instar inang (DeBach, 1971).
2.5 Respon Parasitoid Terhadap Kepadatan Inang
Hubungan kemampuan memarasit parasitoid dengan kepadatan populasi
inang merupakan aspek penting dalam usaha pengendalian hayati.Hubungan
tersebut sangat bertalian dengan keefektifan parasitoid dalam mengatur
keseimbangan populasi inang. Hassel dan Waage (1984) mengemukakan bahwa
keefektifan parasitoid dicerminkan oleh tanggapnya terhadap kepadatan inang.
Demikian juga Doutt (1973) yang menyatakan bahwa salah satu ukuran untuk
menentukan keefektifan suatu parasitoid dalam pengendalian hayati adalah
tanggapnya terhadap kepadatan inang yang dikenal dengan tanggap fungsional.
Istilah tanggap fungsional pertama kali diperkenalkan oleh Solomon untuk
menyatakan perubahan jumlah mangsa yang diserang oleh predator pada
kerapatan populasi mangsa per satuan waktu pada tahun1949 (Sharov, 1996).
Hassell (1986) mengemukakan bahwa tanggap fungsional adalah laju parasitisme
per individu parasitoid meningkat terhadap peningkatan kepadatan inang.Hassel
(1986) juga mengemukakan bahwa tanggap fungsional merupakan komponen
yang sangat esensial dalam dinamika interaksi antara parasitoid dan inang,
karena dapat memberikan gambaran mengenai potensi parasitoid tersebut dalam
mengendalikan populasi inangnya.
Menurut Holling (1959) tanggap fungsional dibedakan atas tiga tipe
umum. Tipe I yaitu jumlah inang terparasit meningkat secara linear sampai batas
maksimum inang terparasit kemudian mendatar sejalan dengan peningkatan
kepadatan inang (Gambar 2.5.1).
Tipe I biasanya ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti laba-
laba. Jumlah lalat yang terperangkap pada jaring laba-laba sebanding dengan
kerapatan populasi lalat.Pada tipe II atau tanggap fungsional hiperbolik yaitu
jumlah inang terparasit meningkat sejalan dengan tingkat kepadatan inang
(Gambar 2.5.2).
15
Gambar 2.5.1
Tanggap Fungsional Tipe I (Holling,1959)
Tanggap tipe III atau tanggap fungsional sigmoid yaitu jumlah inang
terparasit sedikit pada kepadatan populasi rendah kemudian meningkat sejalan
dengan tingkat kepadatan inang sampai batas maksimum yang mampu diparasit
dan akhirnya konstan pada tingkat kepadatan selanjutnya (Gambar 2.5.3).
Gambar 2.5.2
Tanggap Fungsional Tipe II (Holling,1959)
Penelitian tanggap fungsional parasitoid Trichogramma sp terhadap
bakteri Wolbachia telah dilakukan oleh Farrokhi et al. (2010). Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa parasitoid Trichogramma sp mempunyai respon
fungsional tipe II terhadap kerapatan bakteri Wolbachia. Penelitian tanggap
fungsional parasitoid telur Trichogramma sp juga dilakukan oleh Kafil et al.
(2008) terhadap Trichogrammabrassicae pada inang tiruannya, telur ngengat
gabah Sitotroga cerealella (Olivier) pada temperatur dan kelembaban yang
berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa respon fungsional parasitoid T.
brassicae adalah tipe II pada suhu 25°C dan tipe-3 pada suhu 20 dan 30°C. Hasil
Jum
lah
In
ang
Ter
par
asit
Tanggap Tipe I
Kepadatan Inang
Jum
lah I
nan
g T
erp
aras
it
Kepadatan Inang
Tanggap Tipe II
16
penelitian Novri et al. (2004) menunjukkan bahwa tanggap fungsionalparasitoid
Eriborus argenteopilosus (Cameron) terhadap hama Crocidolomia pavonana
(Fabricius)pada suhu 25 dan 30°Cmenunjukkan tanggap fungsional tipe III.
Gambar 2.5.3
Tanggap Fungsional Tipe III (Holling,1959)
Hidrayani et al. (2009) menemukan bahwa parasitoid Hemiptarsenus
varicornis (Girault) menunjukkan tanggap fungsional tipe II terhadap Liriomyza
huidobrensis (Blanchard). Penelitian tanggap fungsional Menochilus
sexmaculatus terhadap Aphis gossypii pada beberapa umur tanaman cabai
dilakukan oleh Novri et al. (2012). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada
tanaman cabai umur 2 minggu M. sexmaculatus mempunyaitanggap fungsional
tipe I terhadap A. gossypii, sedangkan umur 4, 6 dan 8 minggu adalah tanggap tipe
III. Wang dan Ferro (1998) menemukan bahwa Trichogramma ostriniae
mempunyai tanggap fungsional tipe II terhadap Ostrinia nubilalis (Hubner) pada
suhu 20°C dan tanggap tipe III pada suhu 27 °C.Hasil penelitian Jones (2003)
pada parasitoid Aphidius colemani (Viereck) terhadap perbedaan suhu
menunjukkan bahwa parasitoid A. colemani (Viereck) mempunyaitanggap
fungsional tipe II pada suhu 14 - 26°C.
Jum
lah I
nan
g T
erp
aras
it
Kepadatan Inang
Tanggap Tipe III
17
III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di 2 (dua) lokasi, yakni di lapang dan
laboratorium. Penelitian di lapang dilaksanakan di 3 (tiga) kabupaten/kotadi Bali
yakni Badung (Lampiran 1), Tabanan dan Jembrana, masing-masing 3 (tiga)
subak per kabupaten). Lokasi tersebut dipilih karena merupakan daerah sentra
padi yang endemik penggerek batang padi dengan luas serangan lebih tinggi
dibandingkan dengan lokasi lain di Bali untuk tujuan melihat karateristik
komonitas dan pola suksesi parasitoid tersebut di lapang.
Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hama
Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Udayana, untuk melihat hubungan antara
populasi parasitoid dengan inangnya dan respon parasitoid telur penggerek batang
padi kuning terhadap kepadatan inangnya. Penelitian dilakukan selama satu
musim tanam mulai dari bulan Mei sampai dengan Agustusr 2015.
3.2 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi imago
penggerek batang padi kuning, kelompok telur penggerek batang padi kuning,
parasitoid telur penggerek batang padi kuning, benih padi Varietas Ciherang,
KOH 10%, pupuk organik padat, cair, pupuk kimia urea dan NPK Phonska serta
alkohol.
3.3 Instrumen Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tabung reaksi,
tabung gelas, kurungan kasa millar, gunting, ember plastik, cangkul, penangkap
ngengat, sprayer, tabung gelas, counter, preparat, jarum serangga, spait, kantong
plastik, thermohigrometer, altimeter, mikroskop binokuler, pinset, kapas, kain
kasa, tissue, petridish, meteran, kamera, loup, penggaris, ajir, kertas hvs, kamera
dan pulpen.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Perbanyakan Serangga Inang
Serangga inang (kelompok telur penggerek batang padi kuning) untuk
penelitian laboratorium diperoleh dengan cara mengumpulkan imago betina
penggerek batang padi kuning dari lapang, kemudian dibiakkan di rumah kasa
menggunakan ember plastik ukuran tinggi 30 cm dan diameter 60 cm yang berisi
18
tanaman padi segar untuk peletakkan telur-telurnya. Tanaman padi yang
digunakan adalah tanaman padi Varietas Ciherang. Untuk menghindari imago
keluar, setiap tanaman di sungkup dengan sungkup milar berbentuk silinder
dengan ukuran tinggi 130 cm dan diameter 60 cm yang terbuat dari kain kasa
disangga bambu. Pada dinding sungkup dipasang resleting sepanjang 20 cm
(untuk inokulasi imago). Kelompok telur yang dihasilkan selanjutnya diambil
dengan cara memotong daun padi tersebut dengan panjang kurang lebih 3 cm dan
digunakan untuk keperluan penelitian. Kegiatan seperti di atas dilakukan
berulang-ulang sampai semua bahan kegiatan penelitian terpenuhi (Gambar 4.1).
Gambar 3.4.1
Bagan Perbanyakan Serangga Inang
3.4.2 Perbanyakan Parasitoid
Parasitoid telur yang digunakan dalam penelitian laboratorium diperoleh
dari hasil perbanyakan. Asal parasitoid tersebut diperoleh dari kelompok-
kelompok telur penggerek terparasit yang didapat dari pertanaman padi di
lapangan. Telur-telur tersebut dimasukkan ke dalam tabung gelas (panjang 10 cm
diameter 1,5 cm) lalu ditutup dengan kapas yang terbungkus kain kasa halus.
Selanjutnya dibiarkan beberapa hari hingga muncul parasitoid dewasa (Gambar
4.2).Parasitoid tersebut diidentifikasi dan diambil beberapa pasang dan
ditempatkan pada tabung gelas lainnya yang sudah berisi kelompok telur
penggerek batang padi (inang) hasil biakan sebelumnya untuk perbanyakan
selanjutnya. Parasitoid tersebut diberi pakan berupa larutan madu 10% (madu:air
= 1:9) yang diserapkan pada segumpal kapas dan dimasukkan ke dalam tabung
gelas. Hasil perbanyakan inilah yang digunakan dalam penelitian laboratorium.
19
Telur PBPK dari lapang Telur dalam tabung
gelas
Imago Parasitoid
Telur PBPK Imago parasitoid
Telur PBPK terparasit
Gambar 3.4.2
Bagan Perbanyakan Parasitoid
3.4.3. Pelaksanaan Penelitian
3.4.3.1 Penelitian Karateristik Komonitas
Metode Pengambilan Sampel. Penelitian karakteristik komonitas dan pola
suksesi populasi parasitoid dilakukan dengan metode survey dengan mengambil
kelompok telur penggerek batang padi kuning per minggu secara purposive
random sampling dalam luasan 2.5 hektar yang terbagi dalam lima
tempek/munduk/wilayah di masing-masing subak. Sampel diambil pada tanaman
umur 2 – 8 mgg dengan cara memotong daun padi yang berisi telur penggerek
batang padi kuning sepanjang 3 (tiga) cm, kemudian dimasukkan ke dalam tabung
plastik, diberi label lokasi serta tanggal pengambilannya dan di bawa ke
laboratorium untuk dipelihara dan identifikasi lebih lanjut.
Metode Pengamatan. Pengamatan dimulai sehari setelah pengambilan
sampel sampai tidak ada lagi parasitoid yang muncul. Pengamatan meliputi
banyaknya kelompok telur yang terparasit, jenis parasitoid yang muncul,
banyaknya larva penggerek dan imago parasitoid yang muncul.Kelompok telur
yang tidak menetas terlebih dahulu dihilangkan rambut-rambutnya, kemudian
direndam dengan KOH 10% sebanyak 3 cc selama 24 jam untuk kemudian
20
dilakukan diseksi di bawah mikroskop.Larva penggerek dan imago parasitoid
yang masih tertinggal dalam telur dicatat.
Identifikasi Parasitoid. Identifikasi parasitoid dilakukan dengan
menggunakan kunci determinasi serangga. Identifikasi parasitoid juga dilakukan
dengan cara membandingkan dengan spesimen kunci yang telah ada di
laboratorium. Identifikasi parasitoid dilakukan dengan menggunakan mikroskop
binokuler secara bertahap sesuai dengan sampel kelompok telur yang diambil dari
lapangan.
Peubah yang Diamati. Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi
persentase kelompok telur yang terparasit, keragaman, kesamaan, dominansi,
kelimpahan, tingkat parasitasi parasitoid dan nisbah betina parasitoid. Keragaman
jenis parasitoid dianalisis dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener,
kesamaan jenis dengan indeks Sorensen (Southwood, 1980), dominansi dengan
indeks dominansi dan tingkat parasitisasi dengan model Rauf (Rauf, 2000) dengan
rumus sebagai berikut:
Indeks keragaman Shannon-Wiener :
H’ = - (ni/N) log (ni/N)
Keterangan :
H’ = Indeks keragaman Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu
Nilai indeks
:< 1,5 : Keragaman Rendah
1,5 – 3,5 : Keragaman Sedang
>3,5 : Keragaman Tinggi
Indeks kesamaan Sorensen :
IS =
Keterangan:
IS = Indeks Sorensen
a = Jumlah jenis di lokasi a
b = Jumlah jenis di lokasi b
c = Jumlah jenis yang sama yang terdapat di lokasi a dan b
21
Indeks dominansi :
s
D = ∑ [ ni/N ]2
i=1
Keterangan:
D = Indeks dominansi simpson
ni = Jumlah individu genus ke-i
N = Jumlah total individu
S = Jumlah jenis
Kelimpahan populasi parasitoid:
Kelimpahan (K): populasi spesies a di lokasi
populasi semua spesies ang ditemukan di lokasi X 100%
Tingkat parasitisasi parasitoid
A.
B.
Keterangan
P = Tingkat parasitasi
A = Banyaknya imago T. japonicum yang muncul
B = Banyaknya imago T. japonicum yang tidak muncul
C = Banyaknya imago T. rowani yang muncul
D = Banyaknya imago T. rowani yang tidak muncul
E = Banyaknya imago T. schoenobii yang muncul
F = Banyaknya imago T. schoenobii yang tidak muncul
G = Banyaknya larva penggerek yang muncul
H = Banyaknya larva penggerekyang tidak muncul
3.4.3.2. Pola suksesi Populasi Antar Spesies
Pola suksesi populasi antar spesies dihitung berdasarkan data
perkembangan populasi setiap spesies parasitoid menurut fenologi tanaman inang
. Perkembangan populassi itu dilukiskan dalam grafik perkembangan populasi
masing-masing parasitoid sesuai dengan fenologi tanaman.
0.5(A+B) P(T.japonicum) = x 100% (G+H)+0.5(A+B)+(C+D)+3(E+F)
(C+D) P(T.rowani ) = x 100% (G+H)+0.5(A+B)+(C+D)+3(E+F) 3(E+F) P(T.schoenobii) = x 100% (G+H)+0.5(A+B)+(C+D)+3(E+F)
22
3.4.3.3. Penelitian Respon Parasitoid Telur Terhadap Kepadatan Populasi
Inang
Penelitian bertujuan untuk mengetahui respon parasitoid telur penggerek
batang padi kuning terhadap peningkatan jumlah populasi inang. Perlakuan
berupa kerapatan jumlah inang (K) = kelompok telur penggerek batang padi
kuning yang belum terparasit dan jenis parasitoid (P). Kerapatan jumlah inang (K)
terdiri dari 3 (tiga) level yakni K1= 1 kelompok telur , K2= 2 kelompok telur dan
K3= 3 kelompok telur, masing-masing diulang sebanyak 10 (sepuluh) kali.
Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan menginokulasikan sepasang
parasitoid ke masing-masing kerapatan kelompok telur inang yang diuji Setelah
24 jam parasitoid dikeluarkan dan masing-masing kelompok telur tersebut
diambil, dimasukkan ke dalam tabung gelas lain dan diletakkan secara terpisah
untuk mengetahui responnya.
Data respon parasitod didasarkan pada jumlah parasitoid yang muncul
pada masing-masing perlakuan. Model yang digunakan adalah :
TtaX
Y=
1 + a ThX
Nilai a dan Th di hitung berdasarkan transformasi model sebagai berikut:
Y/X= -aThY + aTh
Keterangan:
Y = Jumlah Inang Terparasit
X = Kepadatan Populasi Inang
Tt = Jumlah Waktu yang Tersedia
a = Laju (koefisien) pencarian inang
Th = Waktu yang diperlukan untuk memarasit satu inang (Sumber: Varley
et al., 1973 dalam Supartha 1991)
Peubah yang diamati adalah (1) laju parasitisasi terhadap peningkatan
populasi inang.
23
3.5 Analisis Data
Data-data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan penelitian yang
dilaksanan. Penelitian pola suksesi dianalisis dengan menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK). Penelitian karakteristik komonitas dan respon parasitoid
terhadap kepadatan inang dianalisis sesuai dengan rumus yang telah ditentukan
(rumus indeks keragaman, kesamaan, dominasi, kelimpahan dan tanggap
fungsional).Apabila komponen yang di uji menunjukkan perbedaan nyata maka
dilanjutkan dengan uji BNT taraf 5%.Hubungan kelimpahan populasi dengan
tingkat parasitasi parasitoid dianalisis dengan analisa korelasi (Gomez dan
Gomez, 1995). Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel, gambar maupun
grafik,
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karateristik Komunitas Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning
Hasil survey untuk memetakan karakteristik komunitas parasitoid telur
tesebut disajikan dalam Tabel 4.1. Ada 15 subak yang disurvei yang terdiri dari
lima subak di setiap kabupaten. Di setiap lokasi itu dilakukan pengambilan
kelompok telur setiap minggu secara periodik kemudian dibawa ke laboratorium
untuk dibiakkan. Berdasarkan hasil biakan itu diketahui jenis dan jumlah
parasitoid yang muncul dari telur penggerek batang padi kuning yang selanjutnya
dijadikan dasar untuk menghitung persentase kelompok telur terparasit, tingkat
parasitisasi, indeks keragaman jenis, indek kesamaan jenis, indeks dominansi dan
kelimpahan populasi di setiap lokasi.
Tabel 4.1.
Jumlah kelompok telur yang dikoleksi dari setiap lokasi sesuai dengan umur
tanaman
Lokasi Penelitian
Jumlah kelompok telur yang diperoleh sesuai umur
tanaman padi (minggu/kelompk)
II III IV V VI VII VIIi IX
KAB. BADUNG
Subak Ayung (Mengwi) 123 110 98 94 80 89 73 73
Subak Munggu
(Mengwi) 102 102 94 87 81 84 74 71
Subak Lip-lip (Kuta
Utara) 102 98 90 83 81 83 75 75
Subak Umedesa (Kuta 93 91 89 82 82 76 74 74
Subak Cemagi
(Mengwi) 87 93 86 81 72 74 71 71
KAB. TABANAN
Subak Seronggo (Krbt) 111 98 98 95 89 89 82 73
Subak Sakeh (Tabanan) 113 100 97 92 86 89 72 72
Subak Nyitdah
(Tabanan) 97 101 92 83 83 87 77 71
Subak Gadon (Kediri) 106 99 99 89 82 81 77 70
Subak Kediri 101 98 89 83 80 84 72 72
KAB. JEMBERANA
Subak Yeh Buah (Mdy) 97 98 86 84 80 83 80 78
Subak Yeh Embang 93 90 83 80 81 74 79 75
Subak Tegal Wani
(Ngr) 88 85 82 78 71 79 71 71
Subak Tegal Jati (Ngr) 85 85 80 78 75 78 74 74
Subak Berawan Tangi
(Melaya) 83 82 78 76 72 73 70 70
25
4.1.1. Persentase kelompok telur terparasit,
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan parasitoid di lapangan
telah mampu memarasit kelompok telur inang sebesar 90.14% di Tabanan,
83.06% di Badung dan 78.04% di Jemberana.. Gambar 4.1. menunjukkan bahwa
rataan kelompok telur terparasit paling tinggi terjadi di kabupaten Tabanan dan
disusul Badung dan Jemberana. Karakteristik Komunitas parasitoid telur yang
berasosiasi dengan penggerek padi kuning terdiri atas tiga spesies yaitu
Tetratichus schonobii, Telenomus rowani dan Trichogramma japonicum, dengan
indeks keragaman rendah, dan indeks kesamaan sama dengan 100, dan
kelimpahan tinggi yang didominasi oleh salah satu spesies yaitu T. Schunobii
(Tabel 4.3; 4.4.; 4.5; Gambar 4.1.)
Gambar 4.1.
Persentase Kelompok telur Penggerek Batang padi Kuning Terparasit oleh
Parasitoif Telur
4.1.2 Tingkat Parasitisasi
Kehadiran ketiga jenis parasitoid telur penggerek batang padi kuning di
lokasi penelitian (Badung, Tabanan, dan Jembrana) menunjukkan variasi yang
tercermin dari beberapa variabel yang diamati. Kehadiran patasitoid telur di
setiap lokasi yang bervariasi di setiap lokasi dan setiap waktu sesuai dengn
umur tanaman (Gambar 4.1). Jumlah telur terparasit teringgi terjadi di
Kabupaten Tabanan kemudian disusul oleh Badung dan Jemberana (Tabel 4,2).
Tabel 4.2.
Rerata tingkat parasitisasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning (%) di
tiga kabupaten di Bali
Lokasi Tingkat parasitisasi parasitoid (%)
T. japonicum T. rowani T. schoenobii
Kabupaten Badung 8,31 a 23,69 b 59,28 B
Kabupaten Tabanan 4,94 b 16,46 c 69,11 A
Kabupaten Jembrana 6,01 a 27,77 a 45,10 C
70
75
80
85
90
95
Kabupaten. Badung Kabupaten Tabanan Kabupaten Jembrana
Per
sen
tase
kel
om
po
k t
elu
r
terp
ara
sit
(%)
Lokasi Penelitian
26
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom sama menunjukkan
perbedaan tidak nyata pada uji BNT taraf 5%
Kejadian itu berdampak pula terhadap kelimpahan populasi dan tingkat
parasitisasi parasitoid telur terhadap inangnya. Diduga kuat bahwa kejadian itu
mempunyai hubungan erat dengan factor lingkungan (factor ekstriksik parasitoid)
selain sifat genetis (factor intriksik) setiap individu parasitoid yang berinteraksi
dengan lingkungannya. Banyak faktor lingkungan yang secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh terhadap kejadian itu seperti suhu, kelembaban, curah
hujan termasuk juga perilaku petani dalam system budidaya mereka. Kisaran
suhu dan kelembaban di lapang berkisar antara 22-30°C dan 78-88%, sementara
suhu dan kelembaban optimal yang diperlukan oleh parasitoid adalah 25°C dan
85% (Widyarti, 2003). Perilaku petani setempat berkenaan dengan implementasi
teknologi pergiliran tanaman dan penggunaan insektisida juga mempunyai
pengaruh langsng maupun tidak langsung terhadap kehidupan parasitoid di
lapang. Ada hubungan yang erat antara pergiliran tanamann dengan kelimpahan
populasi parasitoid di lapangan (r = -0,938**) dan pestisida (r =-0,923** ) serta
suhu (r = 0,974**) dan kelembaban (0,997**).
Tabel 4.3.
Karakteristik Komunitas Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning
Karakteristik Komunitas Umur Tanaman Minggu Setelah tanam (MST)
2 3 4 5 6 7 8
KABUPATEN
BADUNG
Jumlah specimen 70 70 70 70 70 70 70
Jumlah spesies (jenis) 3 3 3 3 3 3 3
Indeks Keragaman (H') 0.38 0.366 0.412 0.412 0.443 0.33 0.336
Indeks Kesamaan (S) 100 100 100 100 100 100 100
KAB. TABANAN
Jumlah spesimen 70 70 70 70 70 70 70
Jumlah spesies (jenis) 3 3 3 3 3 3 3
Indeks Keragaman (H') 0.204 0.259 0.263 0.316 0.331 0.377 0.356
Indeks Kesamaan (S) 100 100 100 100 100 100 100
KAB. JEMBERANA
Jumlah specimen 70 70 70 70 70 70 70
Jumlah spesies (jenis) 3 3 3 3 3 3 3
Indeks Keragaman (H') 0.387 0.392 0.372 0.405 0.433 0.345 0.358
Indeks Kesamaan (S) 100 100 100 100 100 100 100
Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Supartha et al. (2003)
sebelumnya bahwa kelimpahan populasi parasitoid sangat ditentukan oleh
kemampuan adaptasi individu masing-masing parasitoid terhadap inang dan
dukungan lingkungannya selama berinteraksi dengan inangnya seperti kualitas
27
nutrisi inang dan hambatan biofisik dari tanaman inang yang mempengaruhi
perilaku pencarian dan peneluran parasitoid pada inang. Selain itu praktek
bercocok tanam seperti intensitas penyemprotan dan penggunaan jenis pestisida
yang berspektrum luas oleh petani juga memberi pengaruh yang besar terhadap
kehidupan parasitoid di lapang.
Tabel 4.4.
Indeks kesamaan jenis parasitoid telur penggerek batang padi kuning di tiga
kabupaten di Bali
Lokasi Kabupaten
Badung
Kabupaten
Tabanan
Kabupaten
Jembrana
Kabupaten Badung - 100% 100%
Kabupaten Tabanan 100% - 100%
Kabupaten Jembrana 100% 100% -_
Hasil analisis kesamaan jenis (Tabel 4.3.; 4.4) di ketiga lokasi
menunjukkan tidak ada perbedaan. Jumlah jenis parasitoid yang ditemukan di
ketiga lokasi sama persis dengan lokasi lainnya. Peristiwa itu diduga kuat karena
adanya kesamaan habitat antar lokasi (Table 4.3). Namun demikian ada perbedaan
yang nyata antara jenis dan kelimpahan parasitoid yang dominan di masing-
masing lokasi (kabupaten). T. schoenobii mendominasi di Kabupaten Tabanan
dan Badung, sementara di Kabupaten Jemberana didominansi oleh T. rowani.
(Tabel 4.3; 4.5). Diduga kuat peristiwa tersebut disebabkan oleh sifat biologi
parasitoid (faktor intrnksik), faktor lingkungan, dan teknologi budidaya yang
diterapkan di masing-masing lokasi penelitian (factor ekstrinksik). Dugaan itu
diperkuat oleh hasil analisis korelasi yang dilakukan terhadap hubungan antara
dominansi dengan faktor-faktor yang berpengaruh. Faktor pergiliran tanaman dan
intensitas perlakuan insektisida berkorelasi negatif (r = -0,818*;-0,985**)
sementara suhu dan kelembaban nisbi udara sekitar berkorelasi positif (r = 0,883*;
dan 0,947**) terhadap perkembangan populasi T. schoenobii. Sementara itu
faktor intensitas perlakuan insektisida berkorelasi negatif (r = **;- 0,936**)
sementara factor pergiliran tanaman, suhu dan kelembaban nisbi udara sekitar
berkorelasi positif (r = 0,949; 0,981**; 0,999**) terhadap perkembangan populasi
T. rowani.
Tabel 4.5.
Rerata kelimpahan populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning (%) di
tiga kabupaten di Bali
Lokasi Kelimpahan populasi parasitoid (%)
T. japonicum T. rowani T. schoenobii
Kabupaten Badung 23,86 A 32,65 B 43,49 B
Kabupaten Tabanan 14,53 C 27,61 B 57,86 A
Kabupaten Jembrana 19,75 B 46,83 A 33,41 C
28
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom sama
menunjukkan perbedaan tidak nyata pada uji BNT taraf 5%
Gambar 4.2.
Indeks dominansi jenis parasitoid
4.2. Pola suksesi Populasi antar Spesies Parasitoid Telur Penggerek Batang
Padi Kuning
Ketiga jenis parasitoid telur itu sudah berada pada ekosistem tanaman padi
sejak pengamatan pertaman pada saat tanaman berumur 2 minggu stelah tanamm
(MST), yang populasinya dinominasi oleh T. Schonobii pada fase vegetatif dan
sejak tanaman berumur 6 mst (menjelang fase generatif) digantikan oleh populasi
T. Rowani (Gambar 4.3; 4.4). Pola suksesi parasitoid telur penggerek batang padi
kuning di ketiga kabupaten secara umum didominansi oleh T. schoenobii pada
fase vegetatif dan T. rowani pada fase generatif pertumbuhan tanaman padi.
Supartha (2001) menyatakan bahwa dominansi T. schoenobii pada fase vegetatif
pertanaman padi tersebut disebabkan oleh tingginya daya pemencaran parasitoid
tersebut dalam pencarian dan penemuan pertanaman baru. Selain itu kemampuan
parasitoid T. Schoenobii yang membutuhkan lebih dari dua inang untuk
menyelesaikan fase larvanya berpengaruh terhadap tingkat parasitisasinya
terhadap telur inang. T. schoenobii menunjukkan tingkat parasitisasi paling tinggi
pada fase awal atau fase vegetatif pertumbuhan tanaman padi dibandingkan fase
generatif, sehingga menyebabkan banyaknya telur inang yang terparasit oleh
parasitoid tersebut. T. schoenobii cenderung lebih memilih untuk mencari
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
Kab. Badung Kab. Tabanan Kab. Jembrana
Ind
eks
Do
min
ansi
T.japonicum T. rowani T.schoenobii
29
tanaman baru yang populasi telur inang yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tua yang kondisi telur inangnya sudah mulai menurun. Kondisi itu biasanya
dimanfaatkan oleh parasitoid T. rowani sehingga parasitoid itu menunjukkan
dominansi di ketiga kabupaten tersebut mulai pengamatan ke- 6 hingga ke-8 atau
umur tanaman 7 dan 8 MST. Pada pengamatan tersebut umur tanaman telah
memasuki fase generatif. Menurut Israel, 1976 (yang dikutip oleh Supartha,1991),
kondisi tanaman padi pada fase generatif secara anatomis mempunyai jaringan
sklerenkim lebih tebal, vaskuler lebih rapat, batang lebih keras, dan kandungan
nutrisi rendah. Pada kondisi tersebut daun tanaman lebih kaku dan tajam sehingga
imago penggerek batang padi akan lebih susah dalam melakukan peletakkan
telurnya. Akibatnya akan berdampak terhadap rendahnya populasi inang. Tingkat
parasitisasi parasitoid T. rowani pada pengamatan tersebut cenderung stabil
meskipun jumlah inang sudah menurun. Kondisi itu masih dapat dimanfaatkan
oleh ke du jenis parasitoid terakhir karena pola pemanfaatan inangnya lebih
efisien yaitu satu ekor keturunan T. rowani hanya membutuhkan satu telur inang
di bandingkan dengan T. schoenobii. Walaupun demikian dominansi awal
parasitoid di suatu lokasi pertanaman padi juga ditentukan oleh sumber invasi
awal, jarak invasi dan waktu invasi parasitoid ke loksi baru tersebut (Supartha,
2001).
Gambar 4.3.
Pola suksesi populasi parasitoid telurpenggerek batang padi di Kabupaten
Badung
Rendahnya dominansi parasitoid T. japonicum dalam penelitian ini diduga
kuat karena pengaruh factor lingkungan antara lain curah hujan dan angina
kencang. Supartha (2001) menyatakan tingginya curah hujan dan angin kencang
dapat menjadi penyebab menurunnya peran parasitoid terutama untuk parasitoid
berukuran tubuh kecil seperti T. japonicum, namun kondisi tersebut masih dapat
ditoleransi oleh T. schoenobii dan T. rowani yang memiliki ukuran tubuh lebih
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 7 8
Kel
imp
ah
an
Po
pu
lasi
Pa
ra
sito
id (
%)
Pengamatan ke-
T. japonicum T. rowani T. schoenobii
30
besar. Factor penting yang berpengaruhn adalah kemampuannya untuk bertahan
hidup. Agus (1991) menyatakan bahwa kemampuan hidup T. japonicum jauh
lebih pendek yakni 1-2 hari dibandingkan T. rowani dan T. schoenobii dengan
lama hidup masing–masing 3-6 hari dan 3-11 hari. Hal tersebut berarti apabila
dalam jangka waktu paling lama 2 hari T. japonicum tidak menemukan inang
akibat tekanan fisik tersebut maka parasitoid ini tidak dapat melangsungkan
hidupnya.
Gambar 4.4.
Pola suksesi populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning di Kabupaten
Tabanan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2 3 4 5 6 7 8
Kel
imp
ahan
Po
pula
si (
%)
Pengamatan ke -
T. japonicum T. rowani T. schoenobii
31
Gambar 4.5.
Pola Suksesi populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning di
Kabupaten Jembrana
4.3. Respon Parasitoid Telur Terhadap Kepadatan Populasi Inang
Berdasarkan Tabel 4.6. ketiga paratoid telur penggerek batang padi
kuning mempunyai respon fungsionnal (tipe-2) terhadap peningkatan populassi
inang. Ketiga parasitoid telur itu secara individu tingkat parasitisainya meningkat
seirama dengaan peningkatan kerapatan populasi inang.
Tabel 4.6.
Nilai koefisien determinasi (R2) dan standar deviasi (sd) parasitoid telur
penggerek batang padi kuning untuk menentukan tipe model tanggap fungsional
Persamaan T. japonicum T. rowani T. schoenobii
koefisien
determinas
i (R2)
Standa
r
deviasi
(sd)
koefisien
determinas
i (R2)
Standa
r
deviasi
(sd)
koefisien
determinas
i (R2)
Standa
r
deviasi
(sd)
Linier 0,867 0,029 0,894 0,021 0,863 0,028
Logaritmik 0,979 0,011 0,990 0,006 0.987 0,011
Eksponensia
l
0,840 0,207 0,895 0,103 0,925 0,032
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4 5 6 7 8
Kel
imp
ahan
Po
pula
si (
%)
Pengamatan ke-
T. japonicum T. rowani T. schoenobii
32
Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan populasi
inang semakin banyak telur yang terparasit sampai pada batas maksimum inang
yang mampu diparasit kemudian mendatar sejalan dengan kerapatan populasi
inang. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa ketiga parasitoid telur penggerek
batang padi kuning secara fungsional tanggap terhadap peningkatan kerapatan
inang. Nilai koefisien determinasi (R2) tertinggi dan standar deviasi (sd) terendah
diperoleh pada persamaan logaritma yakni masing-masing R2= 0,979; 0,990 dan
0,978 dan sd= 0,011; 0,006; 0,011 untuk T. japonicum, T. rowani, dan T.
schoenobii (Tabel 4.6). Berdasarkan hasil tersebut, tipe tanggap fungsional
mengikuti tipe tanggap II. Hal itu juga terlihat pada Gambar 4.5.
Gambar 4.6
Tanggap fungsional parasitoid telur penggerek batang padi kuning
Kurva tampak meningkat dengan laju peningkatan yang semakin
mengendur terhadap peningkatan kerapatan inang. Hasil analisis terhadap nilai
laju pencarian inang (a) dan lama penanganan inang (Th), mendapatkan T.
japonicum, T. rowani, dan T. schoenobii mempunyai nilai laju pencarian inang (a)
dan lama penanganan inang (Th) masing-masing sebesar 0,307; 0,292 dan 0,251
serta 0,716; 0,364 dan 0,254.
Tanggap fungsional ketiga jenis parasitoid tersebut menunjukkan tanggap
fungsional tipe II, yakni kurva meningkat dengan laju peningkatan yang semakin
mengendur terhadap peningkatan kerapatan inang. Poole (1974) menyatakan
y = 7.377ln(x) - 17.184
R² = 0.9796
y = 6.0457ln(x) - 8.7541
R² = 0.9903
y = 7.0181ln(x) - 6.096
R² = 0.9781
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Jum
lah t
elur
terp
aras
it (
buti
r)
Kerapatan inang (butir)
33
bahwa parasitoid yang mempunyai tanggap fungsional tipe II disebut bertautan
padat negatif dan tidak dapat memberikan pengaruh untuk menstabilkan populasi
inang. Pada kerapatan inang rendah parasitoid tidak segera menemukan inang.
Waktu yang tersedia tidak dapat digunakan secara efektif untuk menemukan
inang. Pada kerapatan inang tinggi parasitoid lebih mudah menemukan inang
karena interval penemuan inang lebih singkat. Waktu yang dibutuhkan pada
kerapatan inang tinggi jauh lebih singkat dibandingkan dengan kerapatan inang
rendah. Supartha (1991) menyatakan bahwa peletakkan telur yang lebih banyak
pada kerapatan populasi inang tinggi disebabkan jumlah kairomon yang
dihasilkan lebih tinggi sehingga dapat merangsang gerakan ovipositor dan
aktivitas parasitisasi. Dengan demikian parasitoid dapat melakukan peletakkan
telur yang lebih banyak dibanding pada kerapatan populasi inang rendah.
Dikaitkan dengan nilai pendugaan parameter laju pencarian (a) dan lama
penanganan inang (Th), T. schoenobii lebih singkat memarasit telur penggerek
batang padi kuning dibanding T. japonicum dan T. rowani masing-masing 0,254;
0,716 dan 0,364. Kecilnya lama penanganan inang (Th) T. schoenobii
menunjukkan bahwa parasitoid ini memiliki kesempatan atau waktu yang lebih
banyak untuk memarasit inang. Nilai laju pencarian (a) T. japonicum lebih tinggi
dibanding T. schoenobii dan T. rowani yakni 0,307; 0,292 dan 0,251. Nilai laju
pencarian (a) bernilai 0,307 berarti percepatan laju pencarian meningkat sebesar
0,307 butir/jam pada setiap peningkatan jumlah inang. Tingginya nilai laju
parasitisasi (a) T. japonicum pada telur penggerek batang padi kuning disebabkan
oleh ukuran tubuh dan panjang ovipositor yang dimiliki T. japonicum. T.
japonicum merupakan parasitod yang memiliki ukuran tubuh terkecil dan
ovipositor terpendek. Kondisi ini memungkinkan T. japonicum lebih gampang
memasukkan dan menusukkan ovipositornya. Kartohardjono (1995) menyatakan
bahwa nilai a terkait dengan nilai Th. Walaupun nilai a lebih kecil tetapi nilai Th
besar, maka jumlah telur yang terparasit akan lebih banyak. Berdasarkan data
tersebut di atas T. schoenobii lebih tanggap memarasit dibanding T. japonicum.
34
V. KESIMPULAN
1. Karakteristik Komunitas parasitoid telur yang berasosiasi dengan penggerek
padi kuning terdiri atas tiga spesies yaitu Tetratichus schonobii, Telenomus
rowani dan Trichogramma japonicum, dengan indeks keragaman rendah, dan
indeks kesamaan sama dengan 1, dan kelimpahan tinggi yang didominasi oleh
salah satu spesies yaitu T. schunobii,
2. Ketiga jenis parasitoid telur itu sudah berada pada ekosistem tanaman padi
sejak tanaman berumur 2 minggu stelah tanam, yang populasinya dinominasi
oleh T. Schonobii pada fase vegetatif dan sejak tanaman berumur 6 mst
(menjelang fase generatif) digantikan oleh populasi T. rowani. Keberadaan
parasitoid di lapang telah mampu memarasit kelompok telur inang sebesar
90.14% di Tabanan, 83.06% di Badung dan 78.04% di Jemberana. Tingkat
parasitisasi tertinggi ditunjukkan oleh T. schoenobii diusul olek T. rowani dan T.
japonicum
3. Ketiga paratoid telur penggerek batang padi kuning mempunyai respon fungsionnal
(tipe-2) terhadap peningkatan populassi inang. Ketiga parasitoid telur itu secara
individu tingkat parasitisainya meningkat seirama dengaan peningkatan kerapatan
populasi inang
4. Ketiga paratoid telur penggerek batang padi kuning mempunyai respon
fungsional (tipe-2) terhadap peningkatan populassi inang. Ketiga parasitoid
telur itu secara individu tingkat parasitisainya meningkat seirama dengan
peningkatan kerapatan populasi inang
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan teriakasih kepada rector melalui Ketua LPPM Unud atas
bantuan dana yang diberikan untuk terlaksanakan penelitian ini melalui dana
DIPA PNBP Universitas Udayana Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan
Pelaksanaan Penelitian Nomor: 246-31/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, Tanggal 21
April 2015.
35
DAFTAR PUSTAKA
Agus, N. 1991. Biologi Parasitoid Telur Trichogramma sp. (Hymenoptera:
Trichogrammatidaedan Telenomus sp. (Hymenoptera: Scelonidae) pada
Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker
(Lepidoptera: Pyralidae). (Tesis). Bogor: IPB.88 h.
Berryman, A.A. 1981. Population System. New York: A General Press.
BPTPH Bali.2011. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH)
Provinsi Bali, 2012. LaporanPelaksanaan Kegiatan Balai Proteksi
Tanaman Pangan Tahun Anggaran 2011/2012.
Budana, IG. 1996. Pengaruh Lama Simpan Telur Nezara viridula L. (Hemiptera:
Pentatomidae) Terhadap Aspek Biologi Parasitoid Telenomus sp.
(Hymenoptera: Scelonidae). (Skripsi).Denpasar: Universitas Udayana. 72
h.
Chakraborty, K. 2012.Relative composition of egg parasitoid species of yellow
stem borer, Scirpophaga incertulas Walker in paddy field at Uttar
Dinajpur, West Bengal, India.Current Biotica.1: 42-52.
Clausen, C.P. 1940. Enthomophagous Insects.New York-London.McGraw-Hill,
Book Company, Inc. 688 p.
DeBach, P. 1971. The Scope of Biological Control. In:DeBach P., editor.
Biological Control of Insect Pests and Weed. London: Chapman and Hall.
Dhuyo, A.R. 2009. Integrated Control Of Yellow Rice Stem borer
Scirpophagaincertulas (Walker) (Lepidoptera:Pyralidae).
(Dissertation).Department of Zoology University of Sindh, Jamshoro,
Pakistan.123 p.
Doutt, R.L. 1973. Biological Characteristic of Entomophagous Adults.Biological
Control of Insect Pest and Weeds. London. Chapman and Hall LTD.
Farrokhi, S.,A. Ashouri, J. Shirazi,H. Allahvari,M.E. Huigens. 2010.
AComparative Study on the Functional Response of Wolbachia- Infected
and Uninfected Forms of the Parasitoid Wasp Trichogramma brassicae .J.
Insect Sci.10: 167.
Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian.
(Syamsudin, E., Baharsyah, J.S., Pentj.). Jakarta: Universitas Indonesia
Press. 698 h.
Hattori, I dan S.S. Siwi. 1986. Rice stem borers in Indonesia. J. Agric. Sci. l: 20
:25-26.
Hassel, M.P., J.K. Waage. 1984. Host-parasitoid population interactions. Ann.
Rev. Entomol. 29: 89-114.
Hassell, M.P. 1986. Parasitoid And Population Regulation. Insect
Parasitoids.Edited by J. Wage and D. Greathead.Academic Press.
Hidrayani., A. Rauf, S. Sosromarsono, U. Kartosuwondo. 2009. Preferensi dan
Tanggap Fungsional Parasitoid Hemiptarsenus varicornis
36
(Girault)(Hymenoptera: Eulophidae) Pada Larva Lalat Penggorok Daun
Kentang. J. HPT Tropika. 9: 15-21.
Holling, C.S. 1959. Some characteristic of simple types of predations and
parasitism.Can. Entomol. 91: 385-398.
Hugar, S. V. M., I. Naik, M. Manjunatha.2009. Comparative Biology of Yellow
Stem Borer, Scirpophaga incertulas Walker in Aerobic and Transplanted
Rice.Mysore. J. Agric. Sci.43: 439-443.
IRRI (International Rice Research Institute). 1998. “Tetrastichus schoenobii
Ferriere”. http://www.knowledgebank.irri.org. disitir tanggal 16 Juni
2008.
Islam, Z. 1991. Parasitic efficiencies of two egg parasitoids of the rice yellow
stem borer Scirpophaga incertulas (Lepidoptera: Pyralidae) in
Bangladesh. Bangladesh J. Entomol. 1: 51-57.
Jones, D.B. 2003. Fuctional response of an introduction parasitoid and indigenous
parasitoid on greenbug at four temperature. Envir. Entomol 32:425-432
Kafil, M., M. Moezipour, H. Allahyari. 2008. Functional response of
Trichogramma brassicae at different temperatures and relative humidities.
Bulletin of Insectology. 61: 245-250
Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Jakarta. PT. Ichtiar
Baru-van Hoene Press. 701 p.
Kapur, A.P. 1964. Taxonomy of the rice stemborer. The Major Insect Pest of the
Rice Plants.IRRI. Baltimore, Maryland . John Hopkins Press.
Kartohardjono, A. 1995. Beberapa Aspek Biologi Tetrastichus Schoenobii Ferr.
(Hymenoptera; Pyralidae) Parasitoid Penggerek Batang Padi, Scircophaga
spp. (Lepidotera; Pyralidae). (Disertasi). Bogor. Instetut Pertanian Bogor.
68 H
Kartosuwondo, U. 1995. Prinsip-prinsip Pengendalian Hayati.Pelatihan
Pemanfaatan dan Pengelolaan Agansia Hayati. Kerjasama antara
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman dengan Fakultas Pertanian IPB.
Kim H.S,. E.A. Heinrichs, P. Mylvaganam. 1986. Egg parasitism of Scirpophaga
incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) by hymenopterous parasitoids
in IRRI rice fields. Korean J. of Plant Protection.25: 37-40.
Laba, IW. 1998. Prospect of egg parasitoids as natural enemies of rice stem
borer.Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. J. Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. 17: 14-22.
Novri, N. T., Habazar, R. Syahni, B. Sahari, D. Buchori . 2004.Functional
Response of the Parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) to
Crocidolomia pavonana (Fabricius) under Different Temperature.J.
Hayati. 12: 17-22.
Novri, N.T., Q. Syuhadah.2012. Tanggap fungsional Menochilus sexmaculatu
Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Aphis gossypii (Glover)
(Homoptera: Aphididae) pada umur tanaman cabai berbeda.J. EntomolInd.
9: 23-31.
37
Nurbaeti, B., E. Soenaryo, Waluyo. 1994. Parasitism of Egg Parasitoid of Yellow
Rice Stem (YRSB) Scirpophaga Icertulas Walker (Lepidoptera;
Pyralidae). Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Pen.Tan. 4: 270-
276.
Pathak. 1977. Insect Pests of Rice. International Rice Research Institute (IRRI).
Poole, R. W. 1974. An Introduction to Quaatitative Ecology. International Student
Edition. McGrawHill Kogakusha, Ltd. Tokyo. 532p.
Rauf, A. 2000. Parasitisasi Telur Prnggerek Batang Padi Putih Scirpophaga
innotata (Walker)(Lepidoptera: Pyralidae), Saat Terjadi Ledakan Di
Kerawang Pada Awal 1990-an. Buletin HPT. 12: 1-10
Reissig, W.H., E.A. Heinrichs, J. A. Listinger, K. Moody, L. Fiedler, T.W. Mew,
A.T. Barrion. 1986. Ilustrated Guide to Integrated Pest Management in
Rice in Tropical Asia. Los Banos, Laguna, Philipines. International Rice
Research Institute (IRRI). 411 p.
Sharov A. 1996. Functional and numerical response. http://www.ento.
vt.edu/~sharovPopEcol/lec10/funcreso.html. disitir tanggal 28 Okt 2002.
Soehardjan, M. 1976. Dinamika Populasi Penggerek Batang Padi Kuning
Tryporiza incertulas Walker. (Disertasi). Bandung. Institut Teknologi
Bandung. 62 h.
Soejitno, J. 1984. Hubungan Tingkat Infestasi Larva Penggerek Batang Padi
Kuning Tryporyza incertulas Walker (Lepidoptera : Pyralidae) dengan
Tunas Terserang dan Kehilangan Hasil Padi. (disertasi). Bogor. Institut
Pertanian Bogor. 164 h.
Southwood TRE. 1980. Ecological Methods with Particular Referense to study of
insect Population. Champman and Hill. London.
Suharto, H. danH. Sembiring. 2007. Status Hama Penggerek Batang Padi
diIndonesia. Apresisai Hasil Penelitian Padi. Balai Besar
PenelitianTanaman Padi. 10 h.
Supartha, IW. 1991. Perilaku dan Parasitisme Lysiphlebus testaceipes (Cresson)
(Hymenoptera: Aphididae) Terhadap Kutu Daun, Aphis craccivora Koch
(Homomptera: Aphididae) Pada Empat Jenis Tanaman Kacang-
kacangan. (Tesis). Bogor. Institut Pertanian Bogor. 70 h.
Supartha, IW., IN. Wijaya, K. Sumiartha, IG. A. Gunadi., W. Adiartayasa, C.
Rai, IG. N. Ngurah Bagus, IM. M. Adnyana. 1993. Faktor – Faktor yang
Berpengaruh terhadap Perkembangan Hama Penggerek Batang Padi pada
Pertanaman Padi di Daerah Bali. Laporan Penelitian Hibah Bersaing
Perguruan Tingggi I. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. 70 h.
Supartha, IW. 2001. Kelimpahan Populasi dan Peranan Parasitoid Telur dalam
Pengaturan Populasi Penggerek Padi Kuning pada Pertanaman Padi Sawah
di Bali. Agritop. (J. Agric. Sci). 20: 75-79.
Trichoplus. 2000. Trichogramma Wasps. http//www.trichoplus.com. disitir
tanggal 16 Juni 2008.
Untung, K. 2002. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi ke-2 Yogyakarta:
Gajah Mada University Perss. 266 hal.
38
Wang, B., D.X. Ferro. 1998. Functional responses of Trichogramma ostriniae
(Hymenoptera: Trichogrammatidae) to Ostrinia nubilalis (Lepidoptera:
Pyralidae) under laboratory and field conditions. Environ Entomol.: 752-
758.
Widyarti, N.A.P. 2003. Tanggap Fungsional Telonomus remus (Hymenoptera:
Scelionidae) Pada Suhu yang Berbeda. (Tesis). Bogor. Imstetut Pertanian
Bogor. 73 h.
Wijaya, IN. 1992. Serangan dan Musuh Alami Penggerek Batang Padi pada
Persawahan Tanam Serentak dan Tidak Serentak di Kabupaten Badung
Provinsi Bali.(Tesis).Bogor. Institut Pertanian Bogor. 53 h.
39
LAMPIRAN
Lampiran 1. Karakteristik Habitat Pada Masing-Masing Wilayah Penelitian.
A. BADUNG
Secara geografis Kabupaten Badung terletak antara 8o14’20”- 8
o50’52”
Lintang Selatan dan 115o05’03”- 115
o26’51” Bujur Timur dengan luas wila ah
418,52 km2 atau sekitar 7,43% dari daratan Pulau Bali, terbagi atas 6 kecamatan
yakni Petang, Abiansemal, Mengwi, Kuta Utara, Kuta dan Kuta Selatan.
Kabupaten Badung mengalami 2 musim yakni musim hujan dan musim kemarau,
kisaran suhu udara antara 23,4 oC-31,5
oC dengan kelembaban berkisar antara
77%-84%. Ketinggian tempat di Kabupaten Badung dimulai dari 0-2.075 mdpl
(Badung Dalam Angka, 2014).
Dilihat dari penggunaan lahan, luas wilayah Kabupaten Badung tersebut di
bagi menjadi 2 yakni lahan pertanian dan bukan pertanian masing-masing seluas
28.465 dan 13,387 km2. Lahan pertanian dibedakan lagi menjadi lahan sawah (
irigasi) dan lahan bukan sawah (Tegal/kebun,tambak dan hutan rakyat) dengan
Jenis tanah latosol (Badung Dalam Angka, 2014).
Pembangunan pertanian di Kabupaten Badung diupayakan untuk
peningkatan produktivitas melalui diversifikasi tanaman meliputi padi, jagung, ubi
kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, sayur-sayuran dan
buah, kelapa, kopi arabika dan robusta, cengkeh, jambu mete, kapok dan coklat
(Badung Dalam Angka, 2014).. Lebih lanjut pola tanam yang diterapkan
khususnya pada lahan sawah dominan padi-padi-palawija dengan dosis
pemupukan urea 2 ton/ha, melakukan pergiliran varietas, pengairan basah kering
dan pemakaian pestisida dalam usaha taninya
B. TABANAN
Kabupaten Tabanan terletak di bagian selatan pulau Bali pada posisi
8o14’30”- 8
o30’07” Lintang Selatan dan 114
o54’52”- 115
o12’57” Bujur Timur
dengan luas wilayah 839,33 km2 atau sekitar 14.90% dari luas Provinsi Bali dan
terbagi dalam 10 kecamatan yakni Selemadeg, Kerambitan, Tabanan, Kediri,
Marga, baturiti, Penebel, Pupuan, Selemadeg Barat dan Selemadeg Timur.
Keadaan topografi Kabupaten Tabanan digambarkan dengan dataran tinggi di
bagian utara yang merupakan wilayah pegunungan dan dataran rendah di bagian
selatan yang berupa daerah pantai dengan ketinggian antara 0-2.276 mdpl.
(Tabanan Dalam Angka, 2014).
Bila dilihat dari penggunaan lahan, sekitar 221,84 km2 Kabupaten
Tabanan merupakan lahan persawahan dan 671,49 km2 bukan lahan sawah.,
dengan jenis tanah latosol. Kabupaten Tabanan merupakan salah satu sentra
produksi tanaman pangan di Bali dengan jenis komoditas padi, palawija (jagung,
40
kacang hijau, ketela pohon, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai), sayur dan buah-
buahan (Tabanan Dalam Angka, 2014). Rincian lebih lanjut pola tanam yang
diterapkan khususnya pada lahan sawah dominan padi-padi-palawija dengan dosis
pemupukan urea 2 ton/ha, melakukan pergiliran varietas, pengairan basah kering
dan pemakaian pestisida dalam usaha taninya.
C. JEMBRANA
Secara geografis, Kabupaten Jembrana terletak pada posisi i8o09’30”-
8o28’02” Lintang Selatan dan 114
o25’53”- 114
o56’38” Bujur Timur dengan luas
wilayah 839,33 km2 atau sekitar 14.90% dari luas Provinsi Bali dan terbagi dalam
5 kecamatan yakni Melaya, Negara. Jembrana. Mendoyo dan Pekutatan.Topografi
daerah Jembrana digambarkan dengan membentangnya pegunungan disebelah
utara yang memanjang dari barat ke timur.dengan ketinggian antara 0-700 mdpl
(Jembrana Dalam Angka, 2014).
Dilihat dari penggunaan lahan, lahan di Kabupaten jembrana dibagi dalam
2 kategori yakni lahan pertanian dan lahan bukan pertanian masing-masing seluas
6.811 dan 51.537 km2. Lahan sawah dibedakan lagi menjadi lahan sawah irigasi
dan lahan sawah tadah hujan. Sebagian besar petani di Jembrana mempunyai
kegiatan pokok di sub sektor pertanian tanaman pangan yakni padi, palawija
(jagung, ubj kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau), hortikultura
(kacang panjang, cabai, mentimun, semangka, alpukat, mangga, rambutan,
duku/langsat, jeruk,durian, jambu air, jambu biji, pisang,nenas, sirsak, sawo,
papaya, salak) dan tanaman perkebunan seperti kelapa, kopi, cengkeh, kakao dan
panili (Jembrana Dalam Angka, 2014).
41
Lampiran 2. Dokumen Mengikuti Seminar Nasional Sain dan Teknologi 2015
Hari/ Tanggal: Kamis-Jumat, 29-30 Oktober 2015 di Patrab jasa Bali
Resort & Villas Kuta Bali dengan Tema Inovasi Humaniora, Sains,
dan teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan
42
43
44
45
46
Lampiran 3. Dokumen Mengikuti Kongres dan General Meating ISSAAS 2015 &
118th
JSTA International Joint Conference di Tokyo Univercity of
Agriculture November 7-9 2015 dengan Tema Agriculture Sciences
For Sustaineble Development
47
48
49
Lampiran 5.
50
51
52
Lampiran 4. Personalia Penelitian
1. Nama Lengkap : Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, MS
NIP/NIDN : 195703301986011001/0030035703
Fakultas/P.S : Pertanian/Agroekoteknologi
Status dalam Penelitian/Pengabdian*) : Ketua
2. Nama Lengkap : Prof. Ir. I Wayan Susila, MS
NIP/NIDN : 195401291986011001/0029015408
Fakultas/P.S : Pertanian/Agroekoteknologi
Status dalam Penelitian/Pengabdian*) : Anggota
3. Nama Lengkap : Ir. Ketut Sumiartha, M.Agr
NIP/NIDN : 195612131983031002/0013125602
Fakultas/P.S : Pertanian/Agroekoteknologi
Status dalam Penelitian/Pengabdian*) : Anggota
Bukit Jimbaran, 5 Nopember 2015
(Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, MS)
(Prof. Ir. I Wayan Susila, MS) (Ir. Ketut Sumiartha, M.Agr.)
53
Lampiran 7. Catatan Harian Kegiatan Penelitian
54
Lampiran 8. Catatan Rincian Penggunaan Dana Penelitian