46
REFARAT KARSINOMA NASOFARING Disusun Oleh : Elies Oktaviani (05-041) Jacob Trisusilo Salean (05-045) KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT PERIODE 22 FEBRUARI – 20 MARET 2009 FAKULTAS KEDOKTERAN 1

Karsinoma Nasofaring

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Karsinoma Nasofaring

REFARAT

KARSINOMA NASOFARING

Disusun Oleh :

Elies Oktaviani (05-041)

Jacob Trisusilo Salean (05-045)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

PERIODE 22 FEBRUARI – 20 MARET 2009

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

1

Page 2: Karsinoma Nasofaring

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………..3

I. PENDAHULUAN…………………………………………………….4

II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………...5

A. DEFINISI……………………………………………………………..5

B. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI………………………………….5

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOPHARING……………………9

D. GEJALA DAN TANDA KNF…………………………………….…12

E. PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING………………...13

F. DIAGNOSIS………….……………………………………………..15

G. DIAGNOSIS BANDING……………………………………………18

H. STADIUM…………………………………………………………..20

I. KOMPLIKASI………………………………………………………21

J. PENATALKSANAAN……………………………………………...23

K. PENCEGAHAN……………………………………………………..29

III. PENUTUP……………………………………………………….30

A. KESIMPULAN..…………………………………………………….30

B. SARAN……………………………………………………………...30

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..31

2

Page 3: Karsinoma Nasofaring

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah

menolong dan memberkati kami menyelesaikan refarat ini dengan baik. Tanpa pertolongan Dia

mungkin kami tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Refarat ini disusun sebagai

syarat untuk mengikut ujian selain itu agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang

KARSINOMA NASOFARING, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai

sumber

Refarat ini memuat tentang KARSINOMA NASOFARING yang sangat berbahaya bagi

kesehatan seseorang. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing THT

yaitu dr. A. Sebayang, SpTHT, dr. Nuzwar Noer, SpTHT dan dr. Robert Hasibuan, SpTHT

beserta asistenya yang telah membimbing kami agar dapat mengerti tentang bagaimana cara

kami menyusun refarat dan mengerti tentang ilmu di bidang THT.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kami mohon untuk saran dan

kritiknya. Terima kasih.

 

 

                                                                                    Jakarta, Maret 2010

                                                                                               

 

                                                                                           Penyusun

3

Page 4: Karsinoma Nasofaring

I. PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di

antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar

tumor ganas , dengan frekwensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara,

tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat

pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti

tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,

hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring

yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.

Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data

patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair  Surabaya (1973 – 1976)

diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127

kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada

tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7

per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem,

hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring

yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis

sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan

makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.

Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegan, deteksi

dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Untuk dapat bereperan dalam hal

tersebut dokter perlu mengetahui terlebih dahulu sega aspek dai kanker nasofaring ini, meliputi

definisi, anatomi fisiologi nasofaring, epidemiologi dan etiologi, gejala dan tanda, patofisiologi,

diagnosis, komplikasi, terapi maupun pencegahanya. Penulis berusaha untuk menuliskan semua

aspek tersebut dalam tinjauan pustaka refarat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

4

Page 5: Karsinoma Nasofaring

II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISICarcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang

cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.

(DORLAND.2002)

Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial

pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di

Cina bagian selatan(DORLAND.2002)

B. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7

kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara

“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF

berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair  Surabaya

(1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang

mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta ditemukan lebih dari 100

kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus,

Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari

pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relative

sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.

Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari

penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer) dalam

symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964 (MUIR,dkk.1967), dan dari

investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua

aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta

agregasi family.

5

Page 6: Karsinoma Nasofaring

KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara berbagai Negara,

maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/10 5 di semua area.

Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden

inni tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk.

Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan

sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus meninggal dengan

jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk local

dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan timur tengah (PARKIN

dkk. 1992.2002, WATERHOUSE dkk. 1982, MUIR dkk. 1987).

Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-3:1

(PARKINdkk.2002) dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada

hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur

pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan

insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daeraj dengan

insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-59 tahun dan

menurun setelahnya (ZONG dkk.1983).

Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup

tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura,

dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah

utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai

angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah

penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan

Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco

Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring

(KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri

atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa

menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini

dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat

penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok

6

Page 7: Karsinoma Nasofaring

migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih

mengandung gen yang ‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena

pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap

sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa

penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan

(diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai

makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang

diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi

hewan percobaan.

Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat people)

yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok pada

saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik lain

adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah

masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu

(6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000).

Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah

mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti

menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap

EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium

penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya

bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit.

Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.

Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF)

jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan

virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan tetap ada

peneliti yg mencoba menghubungkannya dengan merokok , secara umum resiko terhadap KNF

pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009). ditemukan juga

bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari

mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan

7

Page 8: Karsinoma Nasofaring

terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada

mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-

style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka

mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan

sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.

Tentang factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien

KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu cintoh terkenal di Cina selatan, satu

keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita tumor

ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita

keganasan organ lain.

Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu

kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami

(Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara

terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB dapat

menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada TPA ( Tetradecanoylyphorbol

Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang

merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis

antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi cell-mediated immunity dari EBV dan

mempromosikan pembentukan KNF (genesis) (TANG dkk.1988).

Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu :

1. Bentuk ulseratif

Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa

rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan

pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan yang

nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran

histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan diferensiasi baik.

8

Page 9: Karsinoma Nasofaring

2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative

Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara tuba

eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah angguratau polipoid jarang, dijumpai

adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran histopatologik

bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.

3. Bentuk eksofitik

Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya

ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor jenis ini biasanya

tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor nini

dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam

rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOPHARING

Nasopharing berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari

tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.

Batas nasopharing:

Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif

karena tergantung dari palatum durum.

Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.

Posterior : - vertebra cervicalis I dan II

- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar

- Mukosa lanjutan dari mukosa atas

Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang

- Muara tuba eustachii

- Fossa rosenmulleri

9

Page 10: Karsinoma Nasofaring

Bangunan yang penting pada nasopharing

Ostium tuba eustachii pars pharyngeal

Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum nasi dan

nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium tuba tidak datar tetapi

menonjol seperti menara, disebut torus tubarius.

Torus tubarius

Fossa rosen mulleri

Adalah dataran kecil dibelkang torus tubarius. Daerah ini merupakan tempat

predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang mematikan nomor 1 di THT.

Fornix nasofaring

Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor

angiofibroma nasopharing

Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha

10

Page 11: Karsinoma Nasofaring

Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid akan mencapai titik

optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding superior dan dorsal nasopharing

sebelah lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh

terhadap kuman- kuman yang lewat jalan napas hidung.

Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan,

muntah, mengucapkan kata-kata etrtentu seperti hak.

Fungsi nasopharing :

Sebagai jalan udara pada respirasi

Jalan udara ke tuba eustachii

Resonator

Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena:

Gaya gravitasi

Gerakan menelan

Gerakan silia (kinosilia)

Gerkan usapan palatum molle

D. GEJALA DAN TANDA KNF

11

Page 12: Karsinoma Nasofaring

Gejala nasofaring yang pokok adalah :

1. Nasal sign :

Pilek lama yang tidak sembuh

Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan

seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu

Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.

2. Ear sign :

Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi, karena

muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri. Tekanan dalam kavum

timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.

Gangguan pendengaran hantaran

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).

3. Eye sign :

Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan gangguan

N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.

4. Tumor sign :

Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau metastase

dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.

5. Cranial sign

Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita.

Gejala ini berupa :

Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara

hematogen.

Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.

Kesukaran pada waktu menelan

Afoni

Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X,

N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:

12

Page 13: Karsinoma Nasofaring

o Lidah

o Palatum

o Faring atau laring

o M. sternocleidomastoideus

o M. trapezeus

E. PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan

termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit

seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF

merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah

cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga

berhubungan dengan KNF, yaitu

(1)Aadanya infeksi EBV,

(2) Faktor lingkungan

(3) Genetik

1) Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit

B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva

dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan

reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein

(gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3.

Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam

DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu,

sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat

dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam

masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric

Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan

13

Page 14: Karsinoma Nasofaring

beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan

virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat

mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi

transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya

perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel

kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,

EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan

virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal

tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen

tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur

protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung

N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung

karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor

necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan

menghambat respon imun lokal.

2) Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan

terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan

memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte

antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas

aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen

3) Faktor lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai

daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain

yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-

nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor

14

Page 15: Karsinoma Nasofaring

karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena

paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui

faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

F. DIAGNOSIS

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol

dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor :

1. Anamnesis / pemeriksaan fisik

Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)

2. Pemeriksaan nasofaring

Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop

3. Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis

histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim

suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat

dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring

umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).

Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke

nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan

melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan

diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang

dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian

dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat

tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan

melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.

Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan

pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.

4. Pemeriksaan Patologi Anatomi

15

Page 16: Karsinoma Nasofaring

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan

buruk.

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai

adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan

intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.

Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel

tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau

bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan

jelas.

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat

radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi

gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991,

hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma).

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi

lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

5. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang

diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada

daerah nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

16

Page 17: Karsinoma Nasofaring

a) Foto polos

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue

technique)

Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

Tomogram Lateral daerha nasofaring

Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

b) C.T.Scan

Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos

adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil

mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah

submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos.

Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan

terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T.

Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan

bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak

maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai

suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat

dinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada

tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue

technique)

Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

Tomogram Lateral daerha nasofaring

Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

17

Page 18: Karsinoma Nasofaring

6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang,

amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.

7. Pemeriksaan serologi.

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)

untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma

nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma

nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan

spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.

IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga

pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang

didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

G. DIAGNOSIS BANDING

1. Hiperplasia adenoid

Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak

hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa

jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya simetris serta

struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti tampak pada

karsinoma.

2. Angiofibroma juenilis

Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF.

Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos akan

didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluas

seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang

hanay erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari

dinding belakang sinus maksilarisyang dikenals ebgai antral sign. Karena tumor ini kaya

akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya

18

Page 19: Karsinoma Nasofaring

sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils

dengan polip hidung pada foto polos.

3. Tumor sinus sphenooidalis

Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor

sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama.

4. Neurofibroma

Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai

keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring

kea rah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.

5. Tumor kelenjarr parotis

Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam

mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada sebagian besar

kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kea rah medial yang tampak pada

pemeriksaan C.T.Scan.

6. Chordoma

Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF

pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk

membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di

daerah clivus. CT dapat membantu ,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical

bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar

tersebuts edangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.

7. Menigioma basis kranii

Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai

KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma

cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikanzat kontras dan akan

19

Page 20: Karsinoma Nasofaring

menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan

arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.

H. STADIUM

Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union

Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :

T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.

T0 : Tidak tampak tumor

T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring

T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring

T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring

T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan

N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan

N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah

melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh

M0 : Tidak ada metastase jauh

M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium II : T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0

T1,T2,T3 N1 M0

Stadium IV : T4 N0,N1 M0

Tiap T N2,N3 M0

Tiap T Tiap N M12

20

Page 21: Karsinoma Nasofaring

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari

nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat, tetapi

hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dindinglateral.

T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.

T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau keduanya).

I. PROGNOSIS

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh

beberapa faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut.

Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki dari pada perempuan

Ras Cina dari pada ras kulit putih

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh

J. KOMPLIKASI

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus

kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan

kelainan :

21

Page 22: Karsinoma Nasofaring

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada

wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas

pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

2. Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke

sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan

retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N.

XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta

gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai

gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum

mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura

palpebralis, onoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenaiorgan

tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal

ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan

bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang,

masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. 

22

Page 23: Karsinoma Nasofaring

K. PENATALKSANAAN

1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi

dengan atau tanpa kemoterapi.

Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,

karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan

dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator

linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah

nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta

klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun

tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber

radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal

pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya.

Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna

maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.

perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang

sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin.

Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan

dibeberapa negara maju.

Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose Nucleic

Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat paa khromosom “

ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus.

Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul

vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang. Pada suatu keganasan

23

Page 24: Karsinoma Nasofaring

ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis merupakan stadium yang

paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri

media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang

dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada

penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari

depan. Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi

harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk

menghindari bagian susunan saraf pusat . Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi

dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan

stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan

diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad.

Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis

kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad,

sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu

6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring

dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah

depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.

Dosis radiasi

Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu dengan

periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt 60”,

“megavoltage”orthovoltage”

Respon radiasi

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon

dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring.

Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.

24

Page 25: Karsinoma Nasofaring

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

Komplikasi radioterapi dapat berupa :

a) Komplikasi dini

Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :

- Xerostomia - Mual-muntah

- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang

diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum

- Anoreksi

- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis

yang terkena radiasi)

- Eritema

b) Komplikasi lanjut

Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :

- Kontraktur

- Penurunan pendengaran

- Gangguan pertumbuhan

-

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama

pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan

sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien

mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan

penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya bactidol,

efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan

antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti

FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan

sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti avomit, avopreg.

25

Page 26: Karsinoma Nasofaring

2. Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat

meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila

setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.

- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan

dan metastasis jauh).

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi

menjadi

1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului

pembedahan dan radiasi)

2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan bersamaan

dengan penyinaran atau operasi)

3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau

radiasi )

Efek Samping Kemoterapi

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah

secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat

yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya

infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran

cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal

yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan

mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel

26

Page 27: Karsinoma Nasofaring

normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih

dari pada sel kanker

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang

dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.

Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar

dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian

kemoterapi.

Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam

rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara

mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.

Manfaat Kemoradioterapi adalah

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil

terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan

radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa

tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.

2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap

radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki

manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar

radiasi.

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum

radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed tumor

masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,

kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal

mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan 27

Page 28: Karsinoma Nasofaring

overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.

Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat

mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).

Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan

DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang

durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or

concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan

cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan

mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan

kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh

subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang

sublethal.

Kelemahan Kemoradioterapi

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni

dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara

radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal.

Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan dengan

radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak diperpanjang,

maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian.

Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single

agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel

kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin,

5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.

3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan

nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya

28

Page 29: Karsinoma Nasofaring

kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan

pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang

dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil

diterapi dengan cara lain.

4. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-

Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

L. PENCEGAHAN

Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr

yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk

mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial

ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor

penyebab.

Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan

datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

29

Page 30: Karsinoma Nasofaring

PENUTUP

I. KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan dan

menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh.

Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu

(1)Aadanya infeksi EBV,

(2) Faktor lingkungan

(3) Genetik

Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia.

Pada stadium dini yang diberikan adalah penyinaran dan hasilnya baik.

II. SARAN

Diagnosis dini perlu diperhatikan pada pasien dewasa yang sering mimisan,

hidung tersumbat, keluhan kurang dengar, salit kepala dan penglihatan dobel.

Sebagai gejala lanjut ialah pembesaran kelenjar limfe leher dan kelumpuhan

saraf otak.

Bila dijumpai gejala seperti yang disebutkan di atas, maka sebaiknya

dilakukan pemeriksaan lengkap sampai karsinoma nasofaring dapat

disingkirkan.

Bagi para penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi

diharapkan melalukan vaksinasi virus EBV.

Diharapkan dengan meningkatkan penemuan kasus dini penangulangan

terhadap penyakit ini dapat diperbaiki. Sehingga angka kematian dapat

ditekan.

30

Page 31: Karsinoma Nasofaring

DAFTAR PUSTAKA

Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi (ed).

Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h.

146-50.

Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan: FK

USU,2002.h. 1-11.

Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81.

Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi

kombinasi/kemoradioterapi.

Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma

In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.

Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi. Jakarta: FK

UI, 1987.h. 69-82.

Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan pustaka

artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.

31