Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
KARYA AKHIR
PERBANDINGAN ANTARA LEVOBUPIVAKAIN DENGAN
BUPIVAKAIN INTRATEKAL TERHADAP ONSET DAN
DURASI BLOK SENSORIK & MOTORIK SERTA WAKTU
RESCUE ANALGETIK PADA OPERASI EKSTREMITAS
BAWAH
COMPARISON OF INTRATECHAL LEVOBUPIVACAINE
AND BUPIVACAINE IN ONSET AND DURATION OF
SENSORY AND MOTORIC BLOCK AND TIME OF
ANALGETIC RESCUE ADMINISTRATION IN PATIENT
UNDERGOING LOWER EXTREMITY SURGERY
Rozi Fadhori
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1
BIDANG STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
PERBANDINGAN ANTARA LEVOBUPIVAKAIN DENGAN
BUPIVAKAIN INTRATEKAL TERHADAP ONSET DAN DURASI BLOK
SENSORIK & MOTORIK SERTA WAKTU RESCUE ANALGETIK PADA
OPERASI EKSTREMITAS BAWAH
Karya Akhir
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Spesialis
Program Studi
Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
.
Disusun Dan Diajukan Oleh
ROZI FADHORI
Kepada
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (Sp.1)
PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Rozi Fadhori
No. Stambuk : C113212205
Program Studi : Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
Konsentrasi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran
Unhas
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya akhir yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan karya akhir ini hasil karya orang
lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 3 Maret
2017
Yang menyatakan
ROZI FADHORI
v
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Yang Maha
Kuasa dan Maha Penyayang, karena atas segala limpahan berkat, rahmat dan
karunia-Nya maka penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis
(PPDS) di Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar dan menyelesaikan karya akhir ini.
Penulis menyadari bahwa terwujudnya karya akhir ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik
tenaga, ide-ide, maupun pemikiran, serta memberi bantuan moril maupun
materil.
Pertama-tama penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
kedua orang tua penulis, ayahanda Sunari S. Kanen, SE dan Ibunda Nursiah Yusuf,
SP yang dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang terus menerus tanpa pamrih
membesarkan, mendidik, mendampingi penulis, dan memberikan dukungan
yang luar biasa baik doa maupun materil sehingga penulis dapat mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan spesialis ini dengan baik dan lancar. Kepada kakak-
adik penulis, Reza Fadhilla, S.TP, MSi, Ardha Yasmira, ST, M.Ars, semoga sukses
dalam menempuh pendidikan jenjang S3 dan terus mengabdi mendidik anak
bangsa, Rizki Akbar, dan Hari Yudha Ananta, ST. Kepada calon istriku tercinta dr.
Amelia Wijaya Agustin, terima kasih atas segala doa, dukungan dan semangatnya
yang tiada henti-hentinya memberikan motivasi selama pendidikan ini, kalian
vi
adalah penyemangat dalam menyelesaian pendidikan ini. Kepada teman-teman
seperjuangan dari Aceh yang menempuh pendidikan dokter spesialis di
Makassar, khususnya dr. Salman Al Wahaby, dr. Widyawan Syahputra, Sp.N,
M.Kes, dan dr. Fauzan BA yang telah saling mendukung untuk menyelesaikan
pendidikan ini.
Dalam kesempatan ini penulis juga menghaturkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. dr. Andi Salahuddin, Sp.An, KAR sebagai penasehat akademik dan
pembimbing penelitian, yang telah meluangkan waktunya memberikan
bimbingan dan petunjuk serta dengan ikhlas membagi ilmu dan
pengalamannya kepada penulis selama menjalani pendidikan dan
penyusunan karya akhir ini.
2. Kepala Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, Prof, Dr, dr.
Muhammad Ramli Ahmad, Sp.An, KMN, KAP, KAO, yang telah
memberikan ilmu dan pengalaman serta memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menimba ilmu di Bagian Ilmu Anestesi dan
Terapi Intensif Unhas.
3. Ketua Program Studi dr. Syafruddin Gaus, Ph.D, Sp.An, KMN, KNA,
yang telah memberikan ilmu dan pengalaman serta kesempatan
kepada penulis untuk menimba ilmu di Bagian Ilmu Anestesi dan
Terapi Intensif Unhas.
4. Para guru kami : Prof. (Em) dr. A. Husni Tanra, Ph.D, Sp.An, KIC,
KMN, dr. Borahima Lami, Sp.An, KAKV, KAO, dr. Wahyudi, Sp.An,
vii
KAP, dr. Abdul Wahab, Sp.An, Dr. dr. Syafri K. Arif, Sp.An, KIC, KAKV,
Dr. dr. Syamsul Hilal Salam, Sp.An, Dr. dr. Hisbullah, Sp.An, KIC,
KAKV, dr. Alamsyah Ambo Amin, Sp.An, KAR, KMN, Dr. dr. Andi
Takdir Musbah, Sp.An, KMN, dr. Ratnawati, Sp.An, KMN, dr. Faisal
Muchtar, Sp.An, KIC, dr. Nur surya Wirawan, M.Kes, Sp.An, KMN, dr.
Fransiscus Manibuy, Sp.An, KIC, dr. Ari Santri Palinrungi, Sp.An, dr.
Muhammad Ruum, Sp.An, M.Kes, dr. Haizah Nurdin, M.Kes, Sp.An,
KIC, dr. Madonna D. Datu, Sp.An, dr. Andi Adil, M.Kes, Sp.An, yang
telah dengan ikhlas membimbing dan membagi ilmunya kepada
penulis selama proses pendidikan.
5. Para sejawat, rekan-rekan peserta Program Pendidikan Dokter
Spesialis (PPDS) Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian tugas ini khususnya dan
selama proses pendidikan kami. Juga kepada para pegawai dan
paramedik di semua rumah sakit tempat penulis bertugas selama
pendidikan.
6. Khusus kepada para pasien dan keluarganya, baik yang menjadi
sampel penelitian maupun selain itu, yang telah dengan sabar dan
ikhlas menjadi subjek peneltian dan pembelajaran kami selama
pendidikan ini, terima kasih atas kesediaannya semoga Allah SWT
membalasnya dengan segala kemuliaan.
viii
7. Terakhir kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu yang telah memberikan bantuan dalam berbagai hal, penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya pada semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya akhir
ini. Akhir kata semoga tesis ini memberi manfaat bagi masyarakat dan
almamater tercinta, Amin ya Rabbal Alamin
Makassar, 3 Maret 2017
ROZI FADHORI
ix
x
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................ i
HALAMAN PENGAJUAN .................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA AKHIR ........................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................... v
ABSTRAK......................................................................................... ix
ABSTRACT ....................................................................................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xv
DAFTAR GRAFIK ............................................................................. xvi
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 5
C. Hipotesis Penelitian .............................................................. 5
D. Tujuan Penelitian ................................................................. 5
E. Manfaat Penelitian ............................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 8
A. Anestesi Spinal ..................................................................... 8
1. Sejarah Anestesi Spinal .................................................... 8
2. Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal ............................ 8
3. Farmakologi Anestesi Lokal .................................................... 10
4. Penyebaran Anestesi Lokal di Spinal ....................................... 15
xii
5. Bupivakain .............................................................................. 20
6. Levobupivakain …………………………………………………………………… 21
7. Efek Fisiologi Anestesi Spinal ………………………………………………. 23
8. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketinggian Blok ……………. 25
9. Faktor Lain Yang Mempengaruhi Level Blok ……………………….. 26
10. Menilai Level Blok …………………………………………………………….. 27
11. Faktor Yang Mempengaruhi Mula Kerja Blok ……………………. 27
12. Penyebaran Obat …………………………………………………………….. 28
13. Komplikasi Anestesi ………………………………………………………… 28
B. Nyeri ..................................................................................... 30
C. Kerangka Teori ...................................................................... 35
BAB III KERANGKA KONSEP ………………………………………………………….. 36
BAB IV METODE PENELITIAN .......................................................... 37
A. Desain Penelitian ................................................................. 37
B. Waktu dan Tempat Penelitan .............................................. 37
C. Populasi dan Sampel Penelitian ........................................... 37
D. Perkiraan Besar Sampel ....................................................... 38
E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi dan drop out ............................. 39
F. Ijin Penelitian dan Kelayakan Etik ........................................ 39
G. Metode Kerja ....................................................................... 40
H. Alat dan Bahan ...................................................................... 42
I. Alur Penelitian ....................................................................... 43
K. Definisi Operasional ………………………………………………………….. 45
xiii
L. Kriteria Objektif ………………………………………………………………… 47
M. Masalah Etika …………………………………………………………………. 49
N. Analisis Data ……………………………………………………………………. 49
O. Jadwal Penelitian …………………………………………………………….. 50
BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................ 51
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................... 48
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 67
A. Kesimpulan ........................................................................... 67
B. Saran .................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 68
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan sebaran jenis kelamin pada kedua kelompok…… 53
Tabel 2. Perbandingan sebaran ASA PS pada kedua kelompok ........... 54
Tabel 3. Perbandingan sebaran umur pada kedua kelompok ................ 54
Tabel 4. Perbandingan sebaran IMT pada kedua kelompok ................. 54
Tabel 5. Nilai mean onset blok pada kedua kelompok ……………………... 55
Tabel 6. Nilai mean durasi blok pada kedua kelompok ……………………... 56
Tabel 7. Nilai mean laju jantung pada kedua kelompok……………………... 57
Tabel 8. Nilai mean TAR pada kedua kelompok …………………............... 59
Tabel 9. Nilai mean waktu rescue analgetik pada kedua kelompok….. 61
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lintasan nyeri : transduksi, konduksi, transmisi,
modulasi dan persepsi. Dimodifikasi dari : Gottscalk A et
al. Am Fam Physician. 2001;63:1981 and Kehlet H et al.
AnesthAlag.1993;77:1049.
35
Gambar 2. Lintasan nyeri : transduksi, konduksi, transmisi,
modulasi dan persepsi. Dimodifikasi dari : Gottscalk A et
al. Am Fam Physician. 2001;63:1981 and Kehlet H et al.
AnesthAlag.1993;77:1049.
36
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1 : Perbandingan Mean Onset Blok Sensorik dan Motorik ……..…………….
56
Grafik 2 : Perbandingan Mean Durasi Blok Sensorik dan Motorik ……………
57
Grafik 3: Perbandingan Mean Laju Jantung Kedua Kelompok……………….. 59
Grafik 4: Perbandingan Mean waktu rescue analgetik kedua kelompok …….. 62
xv
AFTAR SINGKATAN
ACTH : Adrenocotritropic Hormone
ADH : Antidiuretic Hormone
AMPA : Amino-3-hydroxyl-5metil-4-propionic acid
ASA PS : American Society of Anesthesia Physical Status
BVM : Bag Valve Mask
CCK : Cholecystokini
CGRP : Calsitonin Gene Related Protein
CSF : Cerebro Spinal Fluid
CSS : Cairan Serebro Spinal
IMT : Indeks Massa Tubuh
KAR : Kainite Reseptor
LJ : Laju jantung
MAP : Mean Arterial Pressure
MLAC : Minimum Local Analgesic Concentration
NMDA : N-methyl-D-aspartic acid
NRS : Numerical Rating Scale
RSI : Rapid Sequence Induction
SAB : Subarachnoid
SSP : Susunan Saraf Pusat
xvi
TAR : Tekanan Arteri Rerata
TIK : Tekanan Intrakranial
WHO : World Health Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini
dapat digunakan untuk prosedur pembedahan daerah abdomen bagian bawah,
perineum dan ekstremitas bawah.1,2
Anestesi spinal dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid untuk
mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu.1,2
Anestesi spinal saat ini
masih menjadi pilihan untuk operasi-operasi singkat terutama pada ekstremitas
bawah.1 Selain mula kerja yang relatif lebih cepat serta memberikan kepuasan
dalam hal kontrol nyeri paska operasi, pasien lebih cepat pulang, biaya lebih
murah dan juga memiliki kontrol nyeri paska operasi yang baik.1
Banyak hal harus diperhatikan dalam menentukan pasien yang akan dilakukan
anestesi spinal atau tidak, meliputi kondisi pasien, farmakologi obat-obatan yang
akan digunakan, serta hal-hal yang mempengaruhi tinggi blok dan sangat berperan
dalam anestesi spinal.2,3
Anestesi regional mungkin saja membutuhkan anestesi
lokal dalam jumlah besar, sehingga resiko untuk terjadi toksisitas anestesi lokal
jauh lebih tinggi.4
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal standar yang paling sering
digunakan pada anestesi spinal. Bupivakain termasuk obat lokal anestetik
golongan aminoamida, yang mempunyai potensi kuat dengan lama kerja yang
panjang sehingga sering digunakan untuk anestesi spinal. 2
Penggunaan bupivakain selama bertahun-tahun sering dipakai pada anestesi
spinal oleh karena mula kerja yang relatif cepat 5-8 menit, serta durasi kerja yang
lama yaitu 90-150 menit serta memberikan efek blok sensorik dan motorik yang
baik, tetapi penggunaannya cenderung lebih menyebabkan cardiotoxic, ketika
secara tiba- tiba masuk ke dalam pembuluh darah.4,5
Kasus fatal terjadi berupa
henti jantung karena bupivakain telah dilaporkan oleh Albright tahun 1979, Davis
dan de Jong 1982.2,5
2
Berdasarkan kejadian tersebut serta kecenderungan bupivakain menyebabkan
cardiotoxic maka penelitian difokuskan mencari anestesi lokal baru yang
memiliki kerja yang singkat dan durasi kerja yang lama, serta tidak memiliki
kecenderungan untuk menyebabkan toksisitas. Bupivakain secara kimia dibentuk
dalam dua isomer yaitu dextrorotatory R (+) dan levorotatory L (-) dan diketahui
bahwa bentuk levorotatory L (-) lebih cenderung memiliki toksisitas yang rendah
contohnya ropivakain dan levobupivakain.4,6
Kasus kematian pasien diduga terkait pemakaian anestesi Bupivakain tidak
hanya terjadi di Lampung. Secara total, kasus Bupivakain terjadi di sembilan
rumah sakit di tujuh kota dalam tiga pekan setelah kasus di Lampung terjadi. 12
kasus terkait Bupivakain di sembilan rumah sakit di tujuh kota, yakni Pringsewu
(Lampung), Denpasar, Mataram, Padang, Aceh, Surabaya, dan Bengkulu.
Sebanyak 12 korban itu terdiri dari 6 pasien seksio sesarea, 5 pasien urologi, dan 1
pasien tindakan medis lain. Pasien itu ialah 6 perempuan dan 6 laki-laki.
Sebanyak 9 pasien di antaranya dewasa muda dan sisanya di atas usia 60 tahun.
Dari 12 kasus 2 orang selamat dan 10 orang meninggal.33
Saat ini dikenal levobupivakain yaitu obat anestesi lokal golongan amida juga
yang memiliki S(-) enantiomer menyebabkan efek toksik pada kardiovakular dan
sistim saraf pusat lebih rendah dibandingkan bupivakain serta memiliki efek poten
yang sama dengan bupivakain.39
Keuntungan levobupivakain dibandingkan bupivakain yaitu: (1)
Ketidaksengajaan masuk ke intravena tidak menyebabkan perubahan
kardiovaskular. (2) Toksisitas kardiak dan susunan saraf pusat yang lebih rendah.
(3) Potensiasi terhadap hambatan sensorik dan motorik baik. (4) Toksisitas yang
dicetuskan levobupivakain bersifat reversible. (5) Perubahan kontraktilitas kardiak
dan interval QTc pada elektrokardiogram yang kecil (6) Efek depresan yang
rendah pada elektroensefalogram. 40
Aktivitas levobupivakain menurut beberapa penelitian hampir sama
dengan bupivakain baik dari mula kerja dan durasi kerja anestesi yang
ditimbulkannya. Beberapa penelitian mencoba meneliti keunggulan dari
3
levobupivakain dibandingkan dengan bupivakain untuk mencari alternatif obat
selain bupivakain, dan para klinisi akan cenderung menggunakan levobupivakain
sehingga efek yang ditimbulkan bupivakain tidak kembali muncul.7
Penelitian yang dilakukan oleh J.F. Luck, P.D.W. Fettes dan J.A.W.
Wildsmith pada tahun 2008 membandingkan efek klinis dari bupivakain
hiperbarik, levobupivakain dan ropivakain. Dari hasil penelitian ini didapati mula
kerja ketiga obat (sampai Th10) tidak jauh berbeda yaitu bupivakain (2-5 menit),
levobupivakain (2-5 menit) dan ropivakain (2-5 menit) dengan p-value yang tidak
bermakna 0,6528. Sedangkan untuk durasi kerja anestesi (sampai pasien
mobilisasi) ropivakain memiliki durasi kerja yang singkat dibandingkan ketiganya
yaitu bupivakain 306 (243–364), levobupivakain 286 (201–389), ropivakain 218
(164–340).8
Penelitian yang dilakukan oleh Opas Vanna MD, Lamai Chumsang Bsc,
Sarinra Thongmee Med pada tahun 2006, membandingkan efektivitas klinis serta
keamanan klinis antara levobupivakain isobarik dengan bupivakain hiperbarik.
Dari hasil penelitian mula kerja kedua obat dari segi sensorik sampai Th10 tidak
jauh berbeda yaitu levobupivakain 10 (4,3) menit dan bupivakain 7,3 (3,6) menit
dengan p-value 0,22 (p>0,05; tidak bermakna secara statistik) sedangkan untuk
blok motorik (Bromage 3) levobupivakain 7,5 (3,2) menit dan bupivakain 4,9
(2,7) menit dengan p-value 0,34 (p>0,05; tidak bermakna secara statistik). Waktu
pulih ditandai dengan dapat merasakan sensasi dermatom sakral 1 (S1)
levobupivakain 256,2 (48,1) menit dan bupivakain 215,1 (50,8) menit dengan p-
value 0,83 (p<0,05). Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa anestesi
spinal dengan 2,5 ml levobupivakain 0,5% isobarik dan 2,5 ml bupivakain 0,5%
hiperbarik memiliki potensi dan efek klinis yang sama serta efek samping yang
ditimbulkan juga tidak berarti dan sama untuk kedua obat.9
Penelitian yang dilakukan oleh Christian Glaser dkk. pada tahun 2002
membandingkan efektivitas klinis dari levobupivakain dan bupivakain. Dari hasil
penelitian didapati hasil yang berbeda (levobupivakain versus bupivakain) dari
segi mula kerja sensorik obat (11±6 versus 13±8 menit), mula kerja blok motorik
(10±7 versus 9±7 menit), durasi kerja sensorik blok (228±77 versus 237±88
4
menit), durasi kerja blok motorik (280±84 versus 284±80 menit). Kedua grup
menunjukkan penurunan denyut jantung dan mean arterial pressure yang ringan
sehingga penurunan hemodinamik ini tidak bermakna. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa efikasi kedua obat ini sama tetapi levobupivakain dinilai lebih
tidak toksik dibandingkan dengan bupivakain.10
Penelitian yang dilakukan oleh Aygen dkk. pada tahun 2012
membandingkan efektivitas klinis dari levobupivakain + fentanyl dan bupivakain
+ fentanyl. Dari hasil penelitian didapati mula kerja blok sensorik sampai Th4
lebih cepat pada grup B daripada grup L (4,8 versus 6 menit dengan p<0,05).
Waktu mencapai blok motorik (Bromage 3) juga lebih cepat pada grup B (3,4
versus 4,7 menit, p<0,05). Durasi kerja analgesia grup B lebih pendek daripada
grup L (102 versus 118 menit, p<0,05). Dari penelitian tersebut disimpulkan
bahwa mula kerja bupivakain + fentanyl jauh lebih cepat, tetapi durasi kerja
analgesia levobupivakain + fentanyl memiliki durasi kerja analgesia yang lama.
Sehingga dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa levobupivakain dapat
memberikan kualitas analgesia yang panjang dibandingkan bupivakain.11
Penelitian yang dilakukan oleh Husein dkk. pada tahun 2009
membandingkan efektivitas klinis dari tiga dosis levobupivakain yang berbeda.
Dari penelitian ini didapati waktu untuk mencapai blok sensorik Th10 dan waktu
mencapai Bromage 0 berbeda untuk ketiga grup dengan p<0,05. Waktu rata-rata
mencapai Th10 lebih rendah pada grup 1 jika dibandingkan dengan grup 2
(p<0,001). Dalam hal waktu rata-rata mula kerja sampai Bromage 0, grup 1
memiliki waktu yang lebih cepat dari grup 3 (p<0,001). Waktu rata-rata durasi
kerja analgesia jauh lebih panjang grup 1 daripada grup 2 dan 3. Dari penelitian
ini didapati levobupivakain hiperbarik lebih baik daripada yang lain serta didapati
penurunan hemodinamik yang tidak bermakna (p>0,05).12
Dari beberapa penelitian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
levobupivakain dapat menjadi obat alternatif selain bupivakain sehingga peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian untuk meneliti bagaimana onset dan durasi
blok sensorik dan motorik serta waktu rescue analgetik antara levobupivakain
5
hiperbarik 12,5 mg dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg pada operasi
ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka disusunlah rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah anestesi spinal levobupivakain hiperbarik 12,5 mg memiliki onset
blok sensorik dan motorik yang lebih cepat dibandingkan dengan bupivakain
hiperbarik 12,5 mg?
2. Apakah anestesi spinal levobupivakain hiperbarik 12,5 mg memiliki durasi
blok sensorik dan waktu rescue yang lebih lama serta durasi blok motorik
yang lebih cepat dibandingkan dengan bupivakain hiperbarik 12,5 mg?
C. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Onset blok sensorik dan motorik kelompok levobupivakain hiperbarik 12,5
mg lebih cepat dibandingkan dengan kelompok bupivakain hiperbarik 12,5 mg
pada operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.
2. Durasi blok sensorik dan waktu rescue levobupivakain hiperbarik 12,5 mg
lebih lama dibanding bupivakain hiperbarik 12,5 mg namun durasi blok
motorik levobupivakain 12,5 mg lebih cepat dibandingkan bupivakain 12,5
mg pada operasi ektremitas bawah dengan anestesi spinal.
D. TUJUAN PENELITIAN
D.1. Tujuan Umum
Membandingkan onset dan durasi blok sensorik dan motorik serta waktu
rescue analgetik antara levobupivakain hiperbarik 12,5 mg dengan bupivakain
hiperbarik 12,5 mg pada operasi ektremitas bawah dengan anestesi spinal.
6
D.2. Tujuan Khusus
a. Menilai onset blok sensorik levobupivakain hiperbarik 12,5 mg pada
operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.
b. Menilai onset blok sensorik bupivakain hiperbarik 12,5 mg pada operasi
ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.
c. Membandingkan onset blok sensorik pada kedua kelompok perlakuan.
d. Menilai durasi blok sensorik levobupivakain hiperbarik 12,5 mg pada
operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.
e. Menilai durasi blok sensorik bupivakain hiperbarik 12,5 mg pada operasi
ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.
f. Membandingkan durasi blok sensorik pada kedua kelompok perlakuan.
g. Menilai onset blok motorik levobupivakain hiperbarik 12,5 mg pada
operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.
h. Menilai onset blok motorik bupivakain hiperbarik 12,5 mg pada operasi
ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.
i. Membandingkan onset blok motorik pada kedua kelompok perlakuan.
j. Menilai durasi blok motorik levobupivakain hiperbarik 12,5 mg pada
operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.
k. Menilai durasi blok motorik bupivakain hiperbarik 12,5 mg pada operasi
ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.
l. Membandingkan durasi blok motorik pada kedua kelompok perlakuan.
m. Menilai waktu rescue analgetik levobupivacain hiperbarik 12,5 mg pada
operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi
n. Menilai waktu rescue analgetik bupivacain hiperbarik 12,5 mg pada
operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi
o. Membandingkan waktu rescue analgetik pada kedua kelompok perlakuan.
p. Menilai tekanan arteri rata-rata pada anestesi spinal dengan
levobupivakain hiperbarik 12,5 mg.
q. Menilai tekanan arteri rata-rata pada anestesi spinal dengan bupivakain
hiperbarik 12,5 mg.
r. Membandingkan tekanan arteri rata-rata pada kedua kelompok perlakuan.
7
s. Menilai laju jantung pada anestesi spinal dengan levobupivakain
hiperbarik 12,5 mg.
t. Menilai laju jantung pada anestesi spinal dengan bupivakain hiperbarik
12,5 mg.
u. Membandingkan laju jantung pada kedua kelompok perlakuan.
E. MANFAAT PENELITIAN
E.1. Manfaat Dalam Bidang Akademik
a. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan
untuk pemilihan obat alternatif untuk anestesi spinal selain bupivakain.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan
terutama ilmu anestesi.
E.2. Manfaat Dalam Bidang Pelayanan Masyarakat
a. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai
penggunaan levobupivakain hiperbarik sebagai obat untuk anestesi spinal
yang dapat digunakan dalam pembedahan.
b. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat meminimalkan biaya operasional
bagi pasien yang akan dioperasi dengan menggunakan anestesi spinal.
E.3. Manfaat Dalam Bidang Penelitian
a. Sebagai data untuk penelitian lanjutan dengan menggunakan dosis
levobupivakain hiperbarik yang berbeda atau dengan kombinasi yang
berbeda pula.
b. Sebagai data untuk penelitian lanjutan dengan menggunakan
levobupivakain hiperbarik dibandingkan obat lain untuk mula kerja obat
dan lama kerja obat anestesi spinal.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI SPINAL
A.1. Sejarah Anestesi Spinal
Anestesi spinal termasuk ke dalam teknik neuroaksial blok, yang terdiri
dari blokade spinal, kaudal, dan epidural. Blokade spinal, kaudal, dan epidural
pertama kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad ke 20.2 Blok
sentral tersebut secara luas digunakan sebelum tahun 1940 sampai meningkatnya
laporan tentang terjadinya gangguan neurologis permanen. Akan tetapi, suatu
penelitian epidemiologis yang besar tahun 1950 menunjukkan bahwa
sesungguhnya komplikasi jarang terjadi bila blok dilakukan dengan teknik yang
benar dan penggunaan obat anestesi lokal yang lebih aman.2
Anestesi atau analgesi spinal pertama diberikan pada tahun 1885 oleh
James Leonard Corning (1855-1923), yang merupakan seorang ahli saraf di New
York. Dia bereksperimen dengan kokain pada saraf tulang belakang anjing, tetapi
ketika itu dia secara tidak sengaja menembus duramater. Anestesi spinal pertama
direncanakan untuk operasi pada manusia dilakukan oleh Agustus Bier (1861-
1949) tanggal 16 Agustus 1898, di Kiel, ketika ia menyuntikkan 3 ml larutan
kokain 0,5% pada pasien 34 tahun.3,13,14
Setelah menggunakannya pada 6 pasien,
dia dan asistennya masing-masing menyuntikkan kokain ke dalam tulang
belakang pasien yang lain. Karena efektifivitasnya (anestesi spinal), maka mereka
merekomendasikan anestesi spinal untuk operasi kaki, tetapi mereka akhirnya
tidak menggunakan lagi anestesi spinal karena toksisitas kokain. Sampai saat ini
Agustus Bier dikenal sebagai bapak anestesi spinal.3,13,14
A.2. Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal
Anestesi spinal umumnya digunakan untuk prosedur bedah melibatkan
daerah abdomen bagian bawah, perineum, dan ekstremitas bawah.2,3,15-17
Meskipun teknik ini juga bisa digunakan untuk operasi abdomen bagian atas,
sebagian menganggap lebih baik untuk menggunakan anestesi umum untuk
9
memastikan kenyamanan pasien.17
Selain itu, blok ekstensif diperlukan untuk
operasi abdomen bagian atas dan cara ini mungkin memiliki dampak negatif pada
ventilasi dan oksigenasi.17
Bila dipertimbangkan untuk melakukan neuroaksial anestesi, resiko dan
keuntungan harus didiskusikan dengan pasien, dan informed consent harus
dilakukan. Mempersiapkan mental pasien adalah hal yang penting karena pilihan
teknik anestesi bergantung pada tipe pembedahan. Pasien harus mengerti bahwa
mereka akan merasa lumpuh sampai efek blokade hilang.2
Ada kontraindikasi absolut dan relatif terhadap anestesi spinal. Satu-
satunya kontraindikasi absolut adalah penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis tertentu, koagulopati darah, dan
peningkatan tekanan intrakranial.2,3,14,15-18
Kontraindikasi relatif meliputi sepsis
yang berbeda dari tempat tusukan (misalnya, korioamnionitis atau infeksi
ekstremitas bawah) dan lama operasi yang waktunya belum bisa diperkirakan.
Dari kasus yang pertama, jika pasien diobati dengan antibiotik dan tanda-tanda
vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan.2,3,18
Sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa
kembali pasien untuk mencari tanda-tanda infeksi kulit di tempat suntikan karena
dapat beresiko menyebabkan infeksi SSP akibat tindakan anestesi spinal.2,3,16
Ketidakstabilan hemodinamik pra-operasi atau hipovolemia meningkatkan resiko
hipotensi setelah tindakan anestesi spinal.3 Tekanan intrakranial yang tinggi
meningkatkan resiko herniasi unkal ketika CSF (Cerebro Spinal Fluid) hilang
melalui jarum spinal.3 Kelainan koagulasi meningkatkan resiko pembentukan
hematoma.2,3,14-18
Hal ini juga penting untuk berkomunikasi dengan ahli bedah
dalam menentukan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan operasi, sebelum
dilakukan tindakan anestesi spinal. Anestesi spinal yang diberikan tidak dapat
berlangsung lama sehingga jika durasi operasi tidak bisa diperkirakan lamanya
maka anestesi spinal tidak dapat dipergunakan pada operasi tersebut. Mengetahui
durasi operasi membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan
digunakan, penambahan seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal diperlukan
atau tidak.3
10
Melakukan anestesi spinal pada pasien dengan penyakit-penyakit
neurologi, seperti multiple sclerosis, adalah kontroversial.3,16,18
Dalam percobaan
in vitro yang menunjukkan bahwa saraf demyelinated lebih rentan terhadap
toksisitas anestesi lokal.3,18
Namun, tidak ada studi klinis yang meyakinkan dan
menunjukkan bahwa anestesi spinal dapat memperburuk penyakit neurologis yang
sudah ada.3,18
Memang nyeri perioperatif, stres, demam, dan kelelahan dapat
memperburuk penyakit, sehingga blok neuraksial bebas stress mungkin lebih
disukai untuk pembedahan.3,18
Sakit punggung kronis tidak mewakili
kontraindikasi teknik anestesi spinal, meskipun para klinisi mungkin menghindari
teknik ini karena tindakan anestesi spinal dapat menimbulkan eksaserbasi nyeri
paska operasi meskipun belum ada bukti yang saling menguatkan antara nyeri
eksaserbasi paska operasi yang diakibatkan oleh anestesi spinal.16
Pasien dengan stenosis mitral, hipertrofi idiopatik stenosis subaorta, dan
stenosis aorta, tidak toleran terhadap penurunan akut dari resistensi vaskuler
sistemik.16
Dengan demikian, meskipun tidak kontraindikasi, blok neuraksial
harus digunakan hati-hati dalam kasus tersebut.16
Penyakit jantung secara
signifikan dapat menimbulkan kontraindikasi relatif untuk anestesia ketika tingkat
sensorik mencapai lebih dari T6.3,18
Cacat parah dari kolum tulang belakang dapat
meningkatkan kesulitan dalam memasukkan obat anestesi spinal. Artritis,
kifoskoliosis, dan operasi fusi lumbal sebelumnya bukan kontraindikasi untuk
anestesi spinal.3,18
Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien dalam
menentukan kelainan anatomi sebelum melakukan anestesi spinal.3,18
A.3. Farmakologi Anestesi Lokal
Kebanyakan anestesi lokal mengikat pada saluran natrium secara
reversibel, menghambat influks natrium pada keadaan inaktif, mencegah aktivasi
saluran dan influks sementara dari natrium dalam jumlah besar akibat dari
depolarisasi membran.2,20
Hal ini tidak mengganggu potensial membran saat
istirahat atau ambang rangsang, tetapi akan memperlambat tingkat depolarisasi
jika konsentrasi anestesi lokal makin ditingkatkan.2,20,21
Aksi potensial dan
hantaran saraf tidak dimulai karena ambang rangsang tidak pernah terlewati.
11
Anestesi lokal memiliki afinitas yang besar terhadap saluran natrium yang aktif
daripada yang tidak aktif dalam keadaan istirahat.2,20,21
Dua kelompok yang berbeda dari anestesi lokal yang digunakan dalam
anestesi spinal yaitu ester dan amida ditandai dengan ikatan yang menghubungkan
bagian aromatik dan rantai menengah. Ester berisi link ester antara bagian
aromatik dan rantai menengah, contoh termasuk procaine, kloroprocaine, dan
tetracaine.2,3,16,17,20
Amida berisi link amida antara bagian aromatik dan rantai menengah,
contohnya bupivakain, levobupivakain, ropivakain, etidokain, lidokain,
mepivakain, dan prilokain. Meskipun metabolisme penting untuk menentukan
aktivitas anestesi lokal, kelarutan lemak, protein yang mengikat, dan pKa juga
mempengaruhi aktivitas.2,3,16,22
Kelarutan lemak berkaitan dengan potensi anestesi lokal. Kelarutan lemak
yang rendah menunjukkan bahwa konsentrasi yang lebih tinggi dari anestesi lokal
harus diberikan untuk mendapatkan blokade saraf.2,3,16,17,20
Sebaliknya, kelarutan
lemak yang tinggi menghasilkan anestesi pada konsentrasi rendah.3 Ikatan
terhadap protein plasma mempengaruhi durasi kerja anestesi lokal. Ikatan obat
anestesi lokal yang tinggi terhadap protein plasma menyebabkan obat tersebut
memiliki durasi kerja yang lama juga.3
Mula kerja berkaitan dengan jumlah anestesi lokal yang tersedia dalam
bentuk basa. pKa anestesi lokal adalah pH dimana bentuk-bentuk terionisasi dan
tidak terionisasi yang tersedia sama di dalam larutan, yang penting karena bentuk
terionisasi memungkinkan anestesi lokal untuk menyebar di seluruh selubung
saraf lipofilik dan mencapai saluran natrium dalam membran saraf.2,3
pKa berarti
pH pada saat 50% molekul basa bebas dan 50% molekul dengan muatan ion
positif.25
Bila ditambahkan bikarbonat, pH akan meningkat sebanding dengan
molekul basa bebas, molekul akan bebas melintasi membran akson dengan mudah
dan secara farmakologis bekerja lebih cepat.25
Sebaliknya pada pH rendah atau
asam akan lebih sedikit molekul basa bebas melintasi membran akson dengan aksi
farmakologis lebih lambat. Kebanyakan anestesi lokal mengikuti aturan bahwa
semakin rendah pKa, semakin cepat terjadinya aksi dan sebaliknya.2,3
12
Farmakokinetik anestesi lokal termasuk penyerapan dan eliminasi obat.
Empat faktor yang berperan dalam penyerapan anestesi lokal di ruang
subarachnoid ke dalam jaringan saraf :
(1) Konsentrasi anestesi lokal di CSF
(2) Luas permukaan jaringan saraf terkena CSF
(3) Kadar lemak jaringan saraf
(4) Aliran darah ke saraf.2,3,20
Penyerapan anestesi lokal paling besar adalah di tempat suntikan,
konsentrasi obat tertinggi di CSF dan menurun di atas dan di bawah tempat
tersebut. Penyerapan dan penyebaran anestesi lokal setelah injeksi spinal
ditentukan oleh beberapa faktor termasuk dosis, volume, barisitas anestesi lokal,
posisi pasien serta ada tidaknya penambahan vasokonstriktor pada anestesi
lokal.2,3,20
Setelah injeksi ke daerah serabut saraf yang akan diblok, anestesi lokal
diserap ke dalam darah. Anestesi lokal golongan ester dengan cepat dihidrolisis
oleh butyrylcholinesterase dalam darah.2,3,20
Anestesi lokal golongan amida dapat
secara luas didistribusikan melalui sirkulasi. Anestesi lokal golongan amida
dihidrolisis oleh enzim mikrosomal hati dengan demikian waktu paruh obat ini
secara signifikan lebih lama dan toksisitas lebih mungkin untuk terjadi pada
pasien dengan gangguan fungsi hati.2,3,20
Kedua akar saraf dan sumsum tulang belakang mengambil anestesi lokal
setelah diinjeksikan ke dalam ruang subarachnoid.3 Makin luas permukaan saraf
yang terkena anestesi lokal maka makin besar penyerapan anestesi lokal tersebut.3
Sumsum tulang belakang memiliki dua mekanisme untuk penyerapan anestesi
lokal. Mekanisme pertama adalah dengan difusi dari CSF ke piamater dan ke
sumsum tulang belakang, yang merupakan proses yang lambat.2,3
Metode kedua
adalah serapan anestesi lokal dengan cara ekstensi ke dalam ruang dari Virchow-
Robin, yang merupakan daerah dari piamater yang dikelilingi oleh pembuluh
darah yang menembus sistem saraf pusat.3 Ruang-ruang Virchow-Robin
terhubung dengan celah perineuronal yang mengelilingi badan sel saraf di
sumsum tulang belakang dan menembus ke daerah yang lebih dalam dari sumsum
tulang belakang.3
13
Kadar lemak menentukan penyerapan anestesi lokal. Jaringan saraf yang
bermielin dalam ruang subarachnoid mengandung konsentrasi tinggi anestesi
lokal setelah injeksi.3 Semakin tinggi derajat mielinisasi, semakin tinggi
konsentrasi anestesi lokal, karena ada kandungan lemak yang tinggi dalam
myelin. Jika daerah akar saraf tidak mengandung mielin, peningkatan resiko
kerusakan saraf dapat terjadi pada area tersebut.3
Aliran darah menentukan tingkat eliminasi anestesi lokal dari jaringan
saraf tulang belakang. Semakin cepat aliran darah di sumsum tulang belakang,
semakin cepat pula anestesi yang tereliminasi.3 Hal ini sebagian dapat
menjelaskan mengapa konsentrasi anestesi lokal lebih besar di posterior sumsum
tulang belakang daripada anterior, meskipun anterior lebih mudah diakses oleh
ruang Virchow-Robin.3 Setelah anestesi spinal diberikan, aliran darah dapat
ditingkatkan atau diturunkan ke sumsum tulang belakang, tergantung pada
anestesi lokal tertentu yang diberikan, misalnya tetracaine yang dapat
meningkatkan aliran darah tetapi lidokain dan bupivakain menguranginya, serta
mempengaruhi eliminasi anestesi lokal.3
Eliminasi anestesi lokal dari ruang subarachnoid adalah dengan
penyerapan vaskular dalam ruang epidural dan ruang subarachnoid.3 Anestesi
lokal berjalan melintasi dura di kedua arah. Dalam ruang epidural, penyerapan
pembuluh darah dapat terjadi, seperti dalam ruang subarachnoid. Pasokan
pembuluh darah banyak terdapat di sumsum tulang belakang dan piamater.3
Karena perfusi pembuluh darah ke sumsum tulang belakang bervariasi, laju
eliminasi anestesi lokal juga bervariasi.2,3
Secara umum anestesi lokal memiliki beberapa karakteristik berdasarkan
farmakodinamik obat:2,3,16,20
1. Anestesi lokal khususnya memblokir serabut saraf kecil. Hal ini karena jarak
pasif propagasi impuls dalam saraf kecil yang lebih pendek. Secara umum, saraf C
yang tidak bermielin (sinyal rasa sakit) dan saraf Aδ mielin (nyeri dan suhu) yang
diblokir sebelum serabut saraf besar yang bermilein Aγ, Aβ dan Aα serat yang
lebih besar (postural, sentuhan, tekanan, dan sinyal motorik).
14
Saraf dengan frekuensi yang lebih tinggi dan lebih positif maka potensial
membran akan lebih sensitif terhadap blok anestesi lokal. Hal ini dikarenakan
muatan anestesi lokal lebih mudah berikatan dengan saluran natrium yang terbuka
dari pada saluran natrium yang tidak aktif. Hal ini karena molekul anestesi lokal
lebih mungkin untuk mengakses ke tempat pengikat di saluran natrium, dan
cenderung kurang untuk memisahkan dari tempat pengikat di saluran terbuka
natrium atau tidak aktif dibandingkan pada saat saluran natrium istirahat. Serabut
sensorik, terutama nyeri, memiliki tingkat rangsangan yang tinggi dan memiliki
durasi kerja potensial yang lebih lama dari serabut motorik, dengan demikian
lebih sensitif terhadap konsentrasi yang lebih rendah dari anestesi lokal.
2. Pada serabut saraf, serat yang terletak circumferentially pertama dipengaruhi
oleh anestesi lokal. Dalam batang saraf besar, saraf motorik biasanya terletak
circumferentially dan teraktivasi sebelum serabut saraf sensorik. Pada ekstremitas,
saraf sensorik proksimal terletak lebih circumferentially dari saraf sensorik distal.
Dengan demikian, hilangnya rasa bagian dari anggota tubuh mungkin menyebar
dari proksimal ke distal.
3. Efektivitas anestesi lokal dipengaruhi oleh pH obat. Seperti disebutkan di atas,
bentuk tidak bermuatan anestesi lokal lebih mungkin untuk menembus membran
namun bentuk yang bermuatan akan lebih aktif dalam memblokir saluran natrium.
Pada pH tinggi, sebagian besar anestesi lokal bermuatan, tetapi juga memiliki
afinitas yang lebih rendah untuk saluran natrium. Pada pH sangat rendah, ada
persentase yang lebih tinggi dari molekul bermuatan yang mengurangi efek obat
karena mereka cenderung untuk memasuki sel.
Klasifikasi serabut saraf
Tipe saraf Modality
served
Diameter(mm) Konduksi(ml/s) Mielinasi
Aα
Aα
Motor
efferent
Propriosepsi
12-20
12-20
70-120
70-120
Ya
Ya
15
Aβ
Aγ
Aδ
B
C dorsal root
C simpatetik
Sentuhan,
tekanan
Motor
efferent
(muscle
spindle)
Nyeri, suhu,
sentuhan
Serabut
otonom
preganglion
Nyeri, suhu
Serabut
otonom
postganglion
5-12
3-6
2-5
< 3
0,4-1,2
0,3-1,3
30-70
15-30
12-30
3-14
0,5-2
0,7-2,3
Ya
Ya
Ya
Beberapa
Tidak
Tidak
A.4. Penyebaran Anestesi Lokal di Spinal
CSF dari saluran vertebralis menempati (2-3 mm) dalam ruang yang
mengelilingi sumsum tulang belakang dan kauda equina, dan tertutup oleh
arachnoid. Ketika anestesi lokal disemprotkan ke dalam CSF maka
penyebarannya tergantung aliran dan arus yang dibuat oleh CSF.2,3,19
Bagian
berikutnya adalah penyebaran akibat interaksi CSF dan gravitasi. 2,3,19
Gravitasi
akan 'diterapkan' melalui posisi pasien (tidur, duduk, dll), dalam posisi horizontal,
oleh pengaruh kurva dari saluran vertebralis. Banyak faktor yang dikatakan
mempengaruhi mekanisme ini.2,3,19
16
Faktor utama dalam penyebaran anestesi lokal adalah karakteristik fisik
CSF dan cairan anestesi lokal yang disuntikkan, teknik yang digunakan serta
gambaran umum pasien. Ini saling berkaitan dalam cara yang kompleks.2,3,19
Faktor-faktor yang berperan dalam penyebaran anestesi lokal pada anestesi
spinal adalah :
1. Karakteristik anestesi lokal yang disuntikkan: barisitas, volum/dosis/konsentrasi,
suhu, viskositas, penambahan obat lain.
2. Teknik yang digunakan meliputi: posisi pasien, tempat suntikan, tipe jarum, dan
yang terakhir kateter intratekal.
3. Karakteristik pasien: umur, jenis kelamin, tinggi badan, hamil, volum CSF, berat
badan, dan anatomi tulang belakang.2,3,19
Ada beberapa definisi yang sering disalahartikan. Densitas adalah rasio
massa zat untuk volume. Ini bervariasi dengan suhu, yang harus ditentukan.
Specific Gravity adalah rasio kepadatan suatu zat dengan standar. Hal ini biasanya
berhubungan dengan larutan anestesi lokal di 200C air pada suhu 40˚C.
Sedangkan barisitas adalah analog dengan gravitasi, tetapi dinyatakan sebagai
rasio kepadatan anestesi lokal dan CSF pada suhu 37˚C.
Pada suhu 37˚C kepadatan rata-rata CSF adalah 1,0003, dengan kisaran
1,0000-1,0006 (±2 SD) g/liter. Anestesi lokal disebut hipobarik atau hiperbarik
jika barisitas dibawah 0.9990 atau di atas 1.0010.19
Semua cairan anestesi lokal
yang digunakan bebas dari cairan glukosa memiliki barisitas yang hipobarik.
Plain bupivakain memiliki barisitas dari 0.9990, yang berarti bahwa hampir sama
dengan hipobarik.2,3,16,19
Sementara berbagai teknik telah digunakan untuk mengubah barisitas
anestesi lokal, penambahan glukosa adalah satu-satunya cara yang digunakan
secara rutin. Pilihan yang biasa bagi dokter adalah antara hiperbarik atau sama
dengan atau dibawah sedikit dari CSF.2,3
Cairan hiperbarik lebih dapat diprediksi,
dengan penyebaran yang lebih besar dalam arah gravitasi dan variabilitas
kurang.19
Sebaliknya, larutan yang hipobarik menunjukkan variabilitas yang lebih
besar dalam segi efek klinis dan kurang dapat diprediksi, sehingga blok dapat
17
terlalu rendah dan tidak memadai untuk operasi atau terlalu tinggi yang
menyebabkan efek samping.2,3,19
Penyebaran dari cairan hiperbarik dapat dikaitkan dengan peningkatan
insiden efek samping kardiorespirasi, meskipun hal ini tidak selalu terjadi, dan
mungkin tergantung pada konsentrasi glukosa.19
Larutan tersedia secara komersial
mengandung glukosa hingga 8%, tetapi sebagian besar bukti menunjukkan bahwa
konsentrasi setiap lebih dari 0,8%, akan menghasilkan cairan seperti cairan
hiperbarik, tetapi dengan sedikit penyebaran jika konsentrasi glukosa adalah di
bawah dari kisaran. Larutan hiperbarik dapat dibuat dengan menambahkan 5%
dextrose ke larutan hipobarik.2,19
Densitas 5 mg/ml bupivakain, levobupivakain, dan ropivakain dalam 30 mg/ml
dekstrosa pada suhu 37˚C. Data digambarkan mean (3SD). Pengukuran dengan
DE50 densitas meter (Mettler-Toledo Laboratories, UK). Diproduksi dengan izin
Dr G.A. McLeod8
Lokal anestesi Densitas (gr/ml)
Bupivakain
Levobupivakain
Ropivakain
1,00874 (0,0026)
1,00945 (0,00016)
1,00876 (0,00027)
Volume obat suntikan juga berperan besar. Banyak penelitian yang sudah
dilakukan untuk menunjukkan efek volume berakibat gagal dalam mengubah
konsentrasi anestesi lokal, yang berakibat peningkatan dalam pemberian dosis
yang diberikan. Ketika efek volume (hingga 14 ml) diisolasi dari faktor-faktor
lain, kebanyakan studi menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan pada
penyebaran rata-rata meskipun suntikan volume yang sangat rendah (1,5-2 ml)
dapat mengurangi penyebaran.
Keprihatinan dasar yang sama berlaku untuk studi tentang efek dari dosis
yang berbeda, perubahan dalam dosis akan disertai dengan perubahan volume atau
konsentrasi. Beberapa studi yang dirancang untuk mengendalikan perubahan
18
dalam faktor-faktor lain, yang menunjukkan bahwa peningkatan dosis dikaitkan
dengan peningkatan penyebaran. Yang perlu diperhatikan adalah efeknya. Jika
tidak ada obat yang disuntikkan tidak akan ada efek, dan kelebihan dosis yang
besar (misalnya injeksi intratekal) disengaja selama blok epidural akan
menghasilkan spinal total, tapi tidak ada hubungan garis lurus diantara keduanya.
Dalam rentang dosis yang biasanya digunakan, atau peningkatan dosis sampai 50
persen, dosis yang disuntikkan akan mengakibatkan peningkatan rata-rata
penyebaran blok pada dermatom.
CSF dan anestesi lokal menunjukkan penurunan densitas dengan
meningkatnya suhu. CSF memiliki suhu tubuh inti sedangkan cairan anestesi lokal
yang diberikan berada pada suhu kamar. Konsekuensi dari efek suhu yang paling
nyata dengan cairan terlihat pada bupivakain 0,5%. Bupivakain akan menjadi
sedikit hiperbarik pada 24°C (densitas 1,0032 kg.m-3), tapi sedikit hipobarik pada
37°C (densitas 0,9984 kg.m-3).19
Bahkan perbedaan kecil seperti pada barisitas
dapat menyebabkan pola distribusi yang berlawanan, dan juga dapat menjelaskan
variabilitas yang besar dalam penyebaran bupivakain ketika disuntikkan di 'ruang'
(yang mungkin bervariasi) terhadap suhu.
Glukosa menjadi larutan yang mempengaruhi viskositas serta densitas.
Cairan lebih kental menghasilkan penyebaran rata-rata secara signifikan lebih
besar dari yang lain. Cairan plain yang jauh lebih encer daripada yang
mengandung glukosa, mungkin kurang larut dengan CSF.19
Luasnya penyebaran intratekal tidak diubah oleh anestesi lokal yang
digunakan, asalkan faktor-faktor lain dikendalikan. Cairan yang mengandung
vasokonstriktor menyebar dengan cara yang hampir sama seperti dengan yang
tidak ditambahkan dengan vasokontriktor, meskipun durasi kerja blok dapat
diperpanjang.19
Penambahan obat lain, seperti opioid atau klonidin, memiliki efek
ganda. Anestesi lokal yang dicampurkan dengan obat lain sebenarnya dapat
berubah menjadi larutan yang hipobarik tetapi efek ini kecil pengaruhnya.19
Penambahan anestesi lokal dengan opioid dapat meningkatkan waktu penyebaran
serta memperpanjang efek kerja dari anestesi lokal.2,3,16,19
19
Penyebaran anestesi lokal juga tidak terlepas dari teknik yang digunakan.
Perbedaan densitas antara CSF dan anestesi lokal yang disuntikkan adalah faktor
utama penyebaran obat di ruang tulang belakang. Hal ini terbentuk akibat dari
aktivitas gravitasi, cairan hiperbarik (tenggelam) dan hipobarik (melayang), jadi
penyebaran obat di CSF tergantung dari interaksi antara densitas obat dan posisi
pasien.2,3,16,19
Misalnya ketika menginginkan obat anestesi hiperbarik menyebar
lebih cephalad maka pasien akan dibiarkan dalam posisi head down. Jika
menginginkan penyebaran anestesi lokal hipobarik kearah caudal maka posisi
pasien harus dalam keadaan head up.
Tempat penyuntikan yang lebih tinggi juga meningkatkan kemungkinan
penyebaran obat kearah cephalad dibandingkan pada tingkat yang lebih
rendah.2,3,19
Jenis jarum yang digunakan, sudut dan arah jarum spinal awalnya
dinilai mempengaruhi tingkat penyebaran, tetapi efek ini dinilai tidak bermakna
dan dinilai tidak ada pengaruhnya.19
Sebelumnya banyak yang menganggap
bahwa barbotage dianggap dapat meningkatkan penyebaran anestesi lokal pada
anestesi spinal, tetapi ternyata hal ini tidak terbukti.19
Penyuntikan yang cepat
dapat meningkatkan penyebaran, tetapi efek ini lebih besar pada anestesi lokal
yang hipobarik.19
Bagaimana dengan karakteristik pasien, apakah mempengaruhi
penyebaran obat. Pada usia yang lebih tua penyebaran dinilai lebih cepat, hal ini
dimungkinkan karena pada pasien tua mungkin telah terjadi perubahan anatomi,
neurofisiologi, serta kardiovaskular.2,19
Belum ada penelitian yang membuktikan
hubungan tinggi badan dengan penyebaran obat anestesi lokal.19
Berat badan
awalnya dinilai memiliki hubungan dengan penyebaran obat, hal ini secara teoritis
akibat adanya penumpukan lemak di epidural sehingga menekan serta mengurangi
produksi CSF, tetapi hasil penelitian terhadap masalah ini masih kontroversial.19
Jenis kelamin mempengaruhi dalam densitas CSF. Pada pria densitas CSF
akan mengurangi barisitas dari anestesi lokal.19
Kehamilan dan pasien yang
memiliki tekanan intraabdominal yang tinggi juga berpengaruh terhadap
penyebaran obat. Pasien yang memiliki tekanan intraabdomen yang tinggi akan
mengurangi volume CSF dan menyebabkan anestesi lokal lebih cenderung mudah
20
menyebar ke cephalad.2,3,19
Pada pasien hamil sensitivitas saraf meningkat oleh
karena progesteron juga dibantu oleh lordosis lumbal serta perubahan pada
volume dan densitas CSF.19
Hal yang sangat penting mempengaruhi penyebaran obat adalah anatomi
dari tulang belakang. Kelainan anatomi ini bahkan dapat membuat blok menjadi
gagal. Misalnya skoliosis, susah untuk penyebaran blok yang merata bahkan
dengan berbaring (lateral).19
Kifosis berat atau kifoskoliosis dihubungkan dengan
penurunan volume CSF dan sering mengakibatkan level anestesi yang lebih tinggi
daripada yang diperkirakan, terutama dengan teknik hipobarik dan penyuntikan
yang cepat.2,19
A.5. Bupivakain
Bupivakain adalah derivat mevicaine yang tiga kali lebih kuat dari
asalnya. Nama kimia obat ini 1-butyl-N-[2,6-dimethylphenyl] piperidine-2-
carboxamide. Bupivakain memiliki mula kerja yang cepat (5-10 menit) dengan
durasi kerja analgesia (90-150 menit).2,3,16,17
Untuk mula kerja bupivakain
isobarik dan hiperbarik sebagian penelitian ada yang menyebutkan bupivakain
hiperbarik memiliki mula kerja yang cepat serta durasi kerja yang lama
dibandingkan dengan isobarik dan begitu juga sebaliknya, sebagaian penelitian
yang lain mengatakan bahwa bupivakain isobarik memiliki mula kerja yang cepat
serta durasi kerja yang lama.24
Dalam hal ini mula kerja dan durasi obat bekerja
tentu dipengaruhi banyak faktor yaitu: umur, tinggi badan, CSF, barisitas, teknik
penyuntikan, dan sebagainya. Karena banyak faktor yang berpengaruh, sehingga
mengenai mula kerja dan durasi kerja perlu penelitian lebih lanjut.
Obat ini dipakai pertama sekali tahun 1963.24
Obat ini tersedia di dalam
sediaan 5 mg/ml, dengan konsentrasi 0,75% dengan 8,25 % dekstrose ataupun
tanpa dekstrose serta konsentrasi 0,5% dengan atau tanpa dekstrose.2,3,16
Pada
tahun-tahun terakhir ini bupivakain menjadi sering dipakai untuk operasi-operasi
abdomen bagian bawah, baik yang isobarik ataupun yang hiperbarik. Kualitas
blok motorik yang ditimbulkannya tidak terlalu baik tetapi kualitas sensorik
21
bloknya jauh lebih baik sehingga obat ini sangat ideal sebagai analgesi paska
operasi.16
Prinsip kerja bupivakain dengan cara sama dengan mekanisme yang
telah diuraikan sebelumnya yaitu menghambat permeabilitas membran sel
terhadap natrium sehingga mencegah terjadinya hantaran saraf disepanjang
serabut saraf. Eliminasi bupivakain terjadi melalui hati dan paru-paru.24
Bupivakain memiliki daya ikat yang tinggi terhadap protein plasma (95,6%), dan
memiliki nilai pKa yang tinggi pula yaitu 8,2.2,24
Telah dilaporkan terjadinya henti
jantung pada penggunaan bupivakain. Kejadian ini terjadi jika bupivakain dalam
dosis besar masuk secara tidak sengaja ke dalam pembuluh darah sehingga obat
ini sebenarnya kurang direkomendasikan pada pasien yang akan dilakukan
anestesi epidural.16
Obat ini dikenal bekerja cepat, tetapi lambat untuk
tereliminasi. Obat ini dapat menyebabkan henti jantung dikarenakan dapat
berikatan dengan saluran natrium di otot jantung. Mekanisme lain yang dapat
dipercaya menyebabkan henti jantung adalah kemampuan obat ini mengganggu
konduksi antara atrium-ventrikel, depresi kontraktilitas otot jantung, dan efek
yang tidak langsung terhadap susunan saraf pusat.16
Sehingga efek depresi otot
jantung menyebabkan para klinis mencari obat alternatif yang kerjanya hampir
sama atau lebih baik dari bupivakain.
A.6. Levobupivakain
Levobupivakain adalah obat anestesi lokal yang termasuk golongan amida
(CONH-) yang memiliki atom karbon asimetrik dan isomer Levo (-).25
Levobupivakain merupakan alternatif menarik selain bupivacaine untuk anestesi
spinal oleh karena obat ini menghasilkan subarachnoid blok dengan karakteristik
sensorik dan motorik yang lebih lama serta recovery seperti bupivacaine.28
Levobupivakain memiliki pKa 8,2. Ikatan dengan protein lebih dari 97% terutama
pada asam α1 glikoprotein dibandingkan pada albumin, sedangkan ikatan protein
dengan bupivakain 95%. Hal ini berarti kurang dari 3% obat berada bebas dalam
plasma.25,26
Fraksi konsentrasi yang kecil ini dapat berefek pada jaringan lain yang
menyebabkan efek samping dan manifestasi toksik. Pada pasien hipoproteinemia,
22
sindrom nefrotik, kurang kalori protein, bayi baru lahir dengan sedikit kadar
protein, menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma tinggi sehingga efek toksik
terlihat pada dosis rendah.25
Dalam sediaan komersil levobupivakain tersedia dalam konsentrasi 0,5% 5
mg/ml, untuk levobupivakain 0,5% plain memiliki mula kerja yang cepat yaitu 4-
8 menit dengan durasi kerja anestesi 135-170 menit.3 Mekanisme aksi sama
dengan bupivakain atau obat anestesi lokal lain. Apabila MLAC (Minimum Local
Analgesic Concentration) tercapai, obat akan melingkupi membran akson
sehingga memblok saluran natrium dan akan menghentikan transmisi impuls
saraf.2,3
Metabolisme obat terjadi di hepar oleh enzim sitokrom P450 terutama
CYPIA2 dan CYP3A4 isoforms. 25,26
Cara pemberian melalui spinal, epidural,
blok saraf perifer, dan infiltrasi. Penggunaan intravena sangat terbatas karena
beresiko toksik.25,26
Bersihan obat dalam plasma akan menurun bila terjadi
gangguan fungsi hepar. Konsentrasi untuk menimbulkan efek toksik pada jantung
dan saraf lebih kecil pada levobupivakain daripada bupivakain. Batas keamanan
1,3 berarti efek toksik tidak akan terlihat sampai konsentrasi 30%.25,26
Levobupivakain menimbulkan depresi jantung lebih sedikit dibandingkan
bupivakain dan ropivakain.25,26
Gejala toksisitas sistem saraf pusat pada
bupivakain lebih tinggi rata-rata 56,1 mg dibandingkan levobupikacain 47,1
mg.25,26
Levobupivakain dapat digunakan untuk subarachnoid, epidural, blok
pleksus brakialis, blok supra dan infra klavikuler, blok interkostal dan interskalen,
blok saraf perifer, blok peribulber dan retrobulber, infiltrasi lokal,
analgesi
obstetri, pengelolaan nyeri setelah operasi, pengelolaan nyeri akut dan kronis.
25,26
Dosis tunggal maksimum yang digunakan 2 mg/kgbb dan 5,7 mg/kgbb (400mg)
dalam 24 jam.25,26
Sama dengan efek samping obat anestesi lainnya, diantaranya
hipotensi, bradikardi, mual, muntah, gatal, nyeri kepala, pusing,
telinga
berdenging, gangguan buang air besar, dan kejang.25,26
Levobupivakain toksisitasnya lebih kurang dibandingkan dengan
bupivakain. Dosis letal levobupivakain 1,3-1,6 kali lebih tinggi dibandingkan
bupivakain, sehingga keuntungannya adalah lebih aman dibandingkan bupivakain.
Penelitian in vitro membuktikan dengan levobupivakain resiko kardiotoksisitas
23
yang rendah dibandingkan dengan dexbupivakain dan atau bupivakain, termasuk
rendahnya efek atau rendahnya potensi pada memblok saluran kalium kardiak
pada status terinaktivasi; memblok saluran natrium kardiak; mengurangi angka
depolarisasi maksimal, memperlama konduksi atrioventrikuler; dan
memperlambat durasi interval QRS. Perbedaan antara kedua obat tersebut
terhadap kontraktilitas kurang konsisten, namun levobupivakain tampaknya tidak
memperburuk kondisi ini. Percobaan pada hewan, levobupivakain hanya sedikit
dan kurang memperberat gangguan kardiak, khususnya aritmia ventrikular. Pada
manusia, levobupivakain intravena (dosis rata-rata 56 mg) menyebabkan
kurangnya efek inotropik negatif daripada bupivakain (dosis 48 mg). Pada studi
lain dengan pemberian intravena, peningkatan maksimum rata-rata pada
QTcinterval secara signifikan lebih kurang dengan levobupivakain dibandingkan
dengan bupivakain (3 vs 24 msec) pada sukarelawan yang menerima > 75mg.7
Resiko yang rendah terhadap toksisitas sistem saraf pusat dengan
levobupivakain dibandingkan dengan dexbupivakain dan/atau bupivakain juga
telah dilaporkan, termasuk kurangnya tendensi untuk menyebabkan apnea dan
tingginya dosis konvulsif (levobupivakain 103 mg vs bupivakain 85 mg) studi
pada hewan. Sedangkan pada manusia, 64% yang mendapat bupivakain intravena
(dosis rata-rata 65,5mg) dibandingkan dengan 36% yang mendapat
levobupivakain (67,7mg) mengalami gangguan sistem saraf sentral atau perifer.
Levobupivakain intravena 40 mg menyebabkan sedikit perubahan penekanan
sistem saraf perifer pada EEG dibandingkan pemberian bupivakain 40 mg.7
A.7. Efek fisiologi anestesi spinal
a. Sistem kardiovaskuler
Efek fisiologis yang paling penting dan terprediksi adalah hipotensi yang
diperkirakan memiliki angka kejadian 16-33%. Efek yang paling menonjol adalah
hipotensi yang disebabkan dilatasi vena, dilatasi kapiler post arteriolar, penurunan
curah jantung sebagai akibat dari penurunan aliran darah balik dan
bradikardia.27,28,29
24
Pada pasien-pasien yang beresiko tinggi seperti orang usia lanjut dan pada
mereka yang dengan disfungsi organ dimana mekanisme autoregulasinya
abnormal, suatu penurunan tekanan darah yang ringan sekalipun haruslah
dihindari. Hipotensi yang berat bisa mengakibatkan aritmia, blok jantung, iskemia
dan kolaps jantung. 27,28,29
b. Sistem Saraf
Serabut otonom (diperantarai oleh serabut C) merupakan yang paling
sensitif dan diblok paling cepat diikuti oleh serabut sensoris dan kemudian serabut
motoris. Pemulihan berlangsung secara berlawanan meskipun berbagai penelitian
menyimpulkan kembalinya aktifitas otonom sebelum sensoris. Akibat perbedaan
sensitivitas dari serabut saraf terhadap anestesi lokal, level otonom dua segmen
lebih tinggi dari pada level sensoris, dan level sensoris lebih tinggi dua segmen
dari level motorik. Hal ini disebut perbedaan blokade dan segmen dimana salah
satu modalitasnya terblok dan yang lainnya tidak disebut zona blokade diferensial.
Level otonom dinilai dengan suhu, sensoris dengan pin prick dan motoris dinilai
dengan skala Bromage. 27,28,29
c. Sistem respiratoris
SAB yang rendah tidak memberikan efek pada ventilasi. Volume tidal,
volume semenit, tekanan oksigen arteri, dipertahankan dengan baik pada individu
normal. Ventilasi pada pasien-pasien dengan cadangan respirasi yang kurang,
seperti pasien obesitas dan pasien PPOK dapat terjadi kelainan yang bermakna
pada fungsi respirasi jika blok cukup tinggi pada tingkat abdominal dan otot
interkostal bawah. 27,28,29
d. Sistem gastrointestinal
Tonus vagal yang tidak terinhibisi karena blokade simpatis dari Th5-L1
menghasilkan kontraksi usus dengan peristaltik aktif. Hal ini membantu untuk
anestesi general pada operasi laparoskopi. 27,28,29
e. Traktus urinarius
Anestesi neuroaksial pada blok level lumbal dan sakral memblok baik
simpatis maupun parasimpatis ke buli-buli. Hal ini mengakibatkan retensi urin
sampai blok menghilang.28
25
f. Sistem metabolik dan neuroendokrin
Manipulasi operasi membangkitkan respon stress sehingga menyebabkan
peningkatan Adrenocotritropic hormone (ACTH), kortisol, epinefrin, norepinefrin
dan antidiuretic hormone (ADH) sebagaimana aktivasi dari sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Hal ini memicu terjadinya hipertensi intra dan pasca
bedah, takikardia, hiperglikemia, katabolisme protein, penghambatan respon imun
dan fungsi renal yang berubah. Teknik anestesi neuroaksial dapat secara utuh atau
parsial menghambat respon ini jika diinisiasi sebelum operasi dan dilanjutkan
setelah operasi. 27,28,29
A.8. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketinggian blok
a. Dosis obat
Secara umum, semakin tinggi dosis yang digunakan, semakin tinggi level
blok. Bupivakain merupakan anestesi lokal yang paling sering digunakan,
meskipun lidokain, tetrakain, prokain, ropivakain dan levobupivakain juga
tersedia. Kadang-kadang vasokonstriktor seperti epinefrin ditambahkan ke dalam
anestesi lokal untuk memperpanjang masa kerjanya.. Larutan hiperbarik, isobarik
dan hipobarik dapat dipilih sebagai obat untuk anestesi spinal. Larutan hiperbarik
yang sering digunakan karena penyebarannya lebih efektif dan lebih mudah
dikontrol oleh ahli anestesi. Efek anestesi yang diinginkan adalah blok transmisi
sinyal saraf menuju dan dari area yang diinginkan. Sinyal sensoris dari sisi yang
terblok akan menghilangkan nyeri dan sinyal motoris untuk membatasi area
pergerakan, sehingga menghasilkan analgesia dan paralisis pada area
tersebut.27,28,29
Anestesi spinal terbatas untuk prosedur pada struktur dibawah abdomen
atas. Pemberian obat anestesi spinal pada level yang lebih tinggi dari abdomen
atas akan mempengaruhi kemampuan bernapas akibat kelumpuhan otot respirasi
interkostal, atau bahkan diafragma pada kasus total spinal yang disertai penurunan
26
kesadaran, demikian juga kemampuan tubuh untuk mengontrol denyut jantung
melalui serabut akselerator jantung. 27,28,29
b. Umur
Umur pasien juga dapat mempengaruhi level blok yang diinginkan. Pada
usia lanjut rongga subarachnoid lebih sempit dan obat anestesi lokal cenderung
menyebar ke arah cephalad, sehingga dosis obat anestesi lokal harus
dikurangi.27,28,29
c. Barisitas
Barisitas menunjukkan densitas dari substansi yang dibandingkan dengan
cairan serebral spinal manusia. Dengan kata lain, barisitas dari larutan obat
anestesi adalah berat jenis relatif terhadap CSS tersebut. Barisitas digunakan pada
anestesia untuk menentukan perlakuan pada obat terutama arah penyebaran pada
ruang intratekal. Cairan hiperbarik lebih padat dari pada CSS, sedangkan cairan
hipobarik kurang padat dibandingkan dengan CSS. Secara umum, semakin tinggi
level injeksi, semakin tinggi level blok. Meski demikian, jika cairan hiperbarik
disuntikkan kepada pasien pada posisi kepala lebih dibawah (head down), akan
menyebar ke arah cephalad, dan sebaliknya larutan hipobarik akan mengalir ke
arah kaudal. Hal yang sama akan terjadi ketika pasien berbaring posisi lateral
dekubitus, cairan hiperbarik akan mengarah ke sisi yang tidak bebas sedangkan
cairan hipobarik akan mengarah ke sisi yang bebas. Dengan anatomi spinal yang
normal, lengkungan apeks torakolumbal adalah Th4. Jika pasien dalam posisi
supine, hal ini seharusnya membatasi penyebaran cairan hiperbarik dan level blok
hingga dibawah Th 4.27,28,29
d. Posisi
Seperti yang telah dijelaskan ketinggian level anestesi tergantung dari
posisi pasien. Jika pasien duduk selama 3 - 4 menit setelah penyuntikan cairan
hiperbarik ke dalam regio lumbar, hanya saraf lumbar dan sakral yang terblok.
Memindahkan pasien dari posisi duduk ke posisi supine segera setelah
penyuntikan maka penyebaran larutan akan lebih ke arah cephalad. Pasien dapat
juga berganti posisi menjadi lateral dekubitus jika menginginkan blok unilateral
27
(cairan hiperbarik akan pindah ke posisi operasi jika pasien diposisikan secara
tepat).27,28,29
A.9. Faktor lain yang mempengaruhi level blok
Beberapa faktor yang mempengaruhi level blok antara lain : volume CSS,
kelengkungan spinal, volume obat, tekanan intra abdominal, arah jarum, tinggi
pasien, kehamilan, posisi pasien, daerah insersi, berat badan, anatomi spinal dan
jenis kelainan.27
A.10. Menilai level blok
Tes pinprick atau swab alkohol dapat dipakai untuk menilai ketinggian
blok sensoris, sementara penilaian blok simpatis dapat dilakukan dengan sensasi
suhu pada kulit, sedangkan skala Bromage dapat digunakan untuk mengevaluasi
blok motoris.27,28,29
A.11. Faktor-faktor yang mempengaruhi mula kerja blok
Faktor-faktor yang mempengaruhi mula kerja obat anestesi lokal adalah
pH, kecepatan obat berdifusi menembus perineurium dan obat-obat adjuvan
seperti larutan natrium bikarbonat dan garam hidroklorida.
pKa adalah suatu senyawa dimana bentuk ion dan non ion ada dalam
keseimbangan. Mula kerja obat anestesi lokal tergantung dari konsentrasi non ion
yang larut dalam lemak dan bentuk ion yang larut dalam air. Obat anestesi lokal
pada pKa mendekati pH fisiologis mempunyai konsentrasi non ion yang lebih
tinggi, yang dapat melalui membran sel saraf, sehingga mula kerja akan lebih
cepat.27,28,29
Setelah obat anestesi lokal disuntikkan, terjadi peningkatan pH larutan
oleh proses penyangga jaringan, yang akan mengubah menjadi bentuk non ion
yang lebih mudah larut dalam lemak, sehingga lebih mudah menembus membran
lipid untuk masuk ke dalam sel. Di dalam sel sebagian obat akan mengalami
ionisasi kembali. Dalam bentuk ion inilah, dari dalam sel obat akan masuk ke
28
dalam kanal natrium kemudian obat akan berinteraksi dengan reseptor pada kanal
natrium, sehingga menghambat aliran masuk natrium, lalu terjadi hambatan pada
konduksi impuls. Mula kerja obat anestesi lokal juga berhubungan dengan
kecepatan difusi melalui perinerium, yaitu obat harus menembus jaringan
pengikat yang bukan jaringan saraf.27,28,29
A.12. Penyebaran obat
Penyebaran obat ke sistem saraf pusat (SSP) dalam CSS ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu kelarutan dalam lemak, aliran darah lokal, dan luas
permukaan jaringan yang berinteraksi dengan obat.
Sifat-sifat obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan yang ideal
adalah memberikan blok sensorik dan motorik yang kuat, mula kerja yang cepat,
pemulihan blok motorik yang cepat setelah pembedahan sehingga mobilisasi
segera dapat dimulai, dapat ditoleransi dalam dosis yang tinggi dan resiko
toksisitas sistemik yang rendah.27,28,29
A.13. Komplikasi Anestesi
Sesak nafas
Keluhan sesak nafas setelah anestesi neuraksial dapat terjadi. Penyebab
paling sering adalah hipotensi yang menyebabkan hipoperfusi batang otak,
sehingga penilaian dan penanganan tekanan darah perlu dilakukan. Penyebab
lainnya yaitu blok proprioseptif thorak, blok parsial otot abdomen dan interkostal,
dan posisi rekumben yang meningkatkan tekanan abdomen terhadap diafragma.
Gangguan signifikan respirasi jarang terjadi, karena blok neuraksial jarang
mempengaruhi nervus servikalis yang mengkontrol diafragma.41
Jika pasien kehilangan kemampuan berbicara, menggenggam erat, dan
saturasi oksihemoglobin turun (gejala anestesi spinal tinggi), anestesi umum
intubasi rapid sequence induction (RSI) dengan penekanan krikoid dilakukan
untuk ventilasi dan melindungi paru dari aspirasi cairan lambung.41
Hipotensi
29
Definisi hipotensi masih kontroversial, namun peneliti menerima definisi
berikut: (1) penurunan tekanan darah sistolik >20% nilai basal atau (2) tekanan darah
sistolik <100 mmHg. Anestesia neuraksial menyebabkan hipotensi saat blok saraf
simpatis, yang mengontrol tonus otot polos vaskuler. Blok simpatis preganglionik
menyebabkan peningkatan kapasitansi vena, menggeser sebagian besar volume darah
ke dalam splanknik dan ekstremitas bawah sehingga menurunkan aliran balik ke
jantung. Juga terjadi penurunan resistensi pembuluh darah pre dan pasca kapiler.
Luasnya blok simpatis dan derajat hipotensi yang terjadi ditentukan oleh onset dan
penyebaran blok neuraksial sehingga hipotensi jarang terjadi pada anestesia epidural
karena onset blok lebih lambat.41
Mual dan muntah
Mual dan muntah dapat terjadi karena disebabkan oleh multifaktor, secara
garis besar faktor-faktor ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 faktor yaitu:
1. Faktor pasien, meliputi umur, jenis kelamin, kegemukan, riwayat
motion sickness, terlambatnya pengosongan lambung dan riwayat
merokok.
2. Faktor preoperatif yang meliputi puasa, kecemasan, alasan
pembedahan dan obat premedikasi. Puasa yang terlalu lama pada
persiapan operasi elektif dan pemberian makanan sebelum operasi
dapat meningkatkan kejadian mual muntah. Stres psikologi dan
kecemasan sebelum operasi menjadi predisposisi terjadinya mual
muntah. Operasi yang berhubungan dengan kehamilan dan
gastrointestinal akan meningkatkan resiko mual muntah.
Pemberian obat premedikasi seperti opioid seperti morfin dan
petidin meningkatkan sekresi gastrik, mengurangi motilitas usus
dan menghambat pengosongan lambung.
3. Faktor intraoperatif, meliputi faktor anestesi, teknik anestesi dan
faktor pembedahan. Alasannya adalah penurunan aliran darah
serebral sebagai konsekuensi terjadinya hipotensi. Alasan lainnya
berhubungan dengan level blok yang dicapai, karena terjadi
30
peningkatan level blok yang dicapai, atau karena penarikan
struktur peritonial selama operasi karena level blok yang yang
dicapai, karena terjadi peningkatan level blok yang dicapai, atau
karena penarikan struktur peritonial selama operasi karena level
blok yang tidak adekuat
Menggigil
Menggigil intraoperatif dan pascaoperatif disebabkan oleh karena
vasodilatasi sehingga terjadi penguapan panas, anestesi spinal juga menghambat
pelepasan katekolamin sehingga akan menekan produksi panas akibat
metabolisme (Atkinson dkk., 1992). Menggigil dapat berpotensi menimbulkan
beberapa skuele antara lain meningkatkan aktifitas otot yang akan meningkatkan
konsumsi oksigen dan produksi CO2, hipertensi, takikardi, peningkatan cardiac
output, pelepasan katekolamin, dan peningkatan tekanan intraokuli. Menggigil
selama anestesi spinal dapat dicegah dengan mempertahankan suhu ruang operasi
optimal, pemberian selimut, memakai penghangat infus, pemberian pethidin 25
mg atau klonidin 150 mcg intravena. Pethidin menjadi agen yang paling efektif
secara konsisten.41
B. NYERI
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau
berpotensi untuk itu, atau yang digambarkan seperti itu. Respon individu terhadap
nyeri sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh faktor genetik, latar belakang
budaya, usia dan jenis kelamin.30
Selama pembedahan berlangsung terjadi kerusakan jaringan tubuh yang
menghasilkan suatu stimulus noksius. Selanjutnya saat pasca bedah, terjadi respon
inflamasi pada jaringan tersebut yang bertanggung jawab terhadap munculnya
stimulus noksius. Kedua proses yang terjadi ini, selama dan pasca bedah akan
31
mengakibatkan sensitisasi susunan saraf sensorik. Pada tingkat perifer, terjadi
penurunan nilai ambang reseptor nyeri (nosiseptor), sedangkan pada tingkat
sentral terjadi peningkatan eksitabilitas neuron spinal yang terlihat dalam
transmisi nyeri.31
Perubahan sensitisasi yang terjadi pada tingkat perifer dan sentral ini
memberikan gejala khas pada nyeri pasca bedah. Ditandai dengan gejala
hiperalgesia (suatu stimulus noksius lemah yang normal menyebabkan nyeri saat
ini dirasakan sangat nyeri) dan gejala allodinia (suatu stimulus lemah yang
normal tidak menyebabkan nyeri kini terasa nyeri) serta prolonged pain (nyeri
menetap walaupun stimulus sudah dihentikan).30,31
Nyeri pasca bedah merupakan prototipe dari suatu nyeri akut. Antara
kerusakan jaringan (sumber rangsang nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi,
terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologis yang disebut “nosiseptif”.
Terdapat 4 proses yang terjadi pada nosiseptif :
1. Proses transduksi, merupakan proses pengubahan rangsang nyeri menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima di ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa
rangsang fisik (tekanan), suhu, atau kimia. Segera setelah terjadi kerusakan
jaringan, ujung saraf sensorik seketika terpapar oleh sejumlah produk kerusakan
sel dan mediator inflamasi yang memicu aktivitas nosiseptif. Inflammatory soup
ini mencakup prostaglandin, proton, serotonin, histamin, bradikinin, purin,
sitokin, eicosanoids, dan neuropeptida yang bekerja pada reseptor spesifik pada
saraf sensorik dan juga memiliki interaksi yang penting. Awal kerusakan dan
inflamasi menyebabkan serabut C dan A- mengalami perubahan yang disebut
sensitisasi, peningkatan aktivitas nosiseptor yang normalnya “tenang” dan
perubahan aktivitas ion channels dan reseptor membrane. Proses transduksi ini
dapat dihambat oleh NSAID.30,31,32
2. Proses konduksi, merupakan penyaluran aksi potensial dari ujung
nosiseptif perifer melalui serabut saraf bermielin dan tidak bermielin hingga ujung
presinaptik. Ujung presinaptik kemudian berhadapan dengan interneuron dan
second order neuron. Interneuron dapat memfasilitasi atau menghambat transmisi
sinyal ke second order neuron. Proses ini dapat dihambat oleh obat anestetik
32
lokal.30,31
Aksi potensial yang berlangsung dari perifer ke badan sel berjalan
melalui serabut saraf aferen, sedangkan yang berjalan sebaliknya berjalan melalui
serabut saraf eferen. Serabut saraf sensoris berdiameter paling besar, yaitu serabut
A beta, umumnya merupakan serabut non noksius yang mempersarafi struktur
somatic pada kulit dan sendi. Serabut saraf nosiseptif A delta yang bermielin tipis
dan serabut C yang tidak bermielin, mempersarafi kulit dan organ visceral.
Serabut A delta menghantarkan “first pain”, dengan onset yang cepat (kurang
dari 1 detik), mudah terlokalisir, dan sensasi nyeri tajam. Persepsi nyeri ini
member sinyal adanya kerusakan yang nyata dan atau yang berpotensi rusak
sehingga orang dapat mengetahui tempat terjadinya kerusakan dan memberikan
respon reflex menghindar. Serabut C tidak bermielin, dikenal sebagai serabut
nosiseptif polimodal high threshold, berespon terhadap kerusakan mekanis, kimia
dan suhu. Serabut saraf tersebut bertanggung jawab terhadap persepsi second-
pain, yang memiliki onset lambat (detik hingga menit) dan digambarkan sebagai
sensasi terbakar yang difus, tertusuk, yang kadang berlangsung lama dan mungkin
berkembang menjadi lebih tidak nyaman.30,31,32
3. Proses transmisi, merupakan penyaluran isyarat listrik yang terjadi mulai
dari ujung presinaptik untuk kemudian dilanjutkan ke post sinaptik untuk
diteruskan ke supra spinal. Ujung saraf proksimal serabut saraf masuk kedalam
kornu dorsalis medulla spinalis dan bersinap dengan sel second-order neuron.
Impuls noksius dari nosiseptor perifer akan diteruskan ke neuron presinaptik. Di
neuron presinaptik impuls ini akan mengakibatkan Ca+
masuk kedalam sela
melalui kanal Ca+ yang akan merangsang ujung presinaptik melepaskan
neurotransmitter seperti glutamate dan substan P. Ujung presinaptik A delta
dilepaskan neurotransmitter golongan asam amino seperti glutamate dan aspartat,
sedangkan dari ujung presinaptik serabut C dilepaskan selain asam amino juga
dilepaskan neurotransmitter golongan peptida seperti substan P (neurokinin),
calsitonin gene related protein (CGRP), dan cholecystokini (CCK).
Neurotransmitter seperti glutamate dan substan P yang dilepaskan di presinaptik
akan berperan pada transmisi sinaptik dan depolarisasi neuronal cepat. Asam
amino seperti glutamate dan aspartat akan melakukan aktivasi terhadap reseptor
33
amino-3-hydroxyl-5metil-4-propionic acid (AMPA) dan reseptor kainite (KAR).
Reseptor AMPA mengikat glutamate yang menyebabkan aktivasi reseptor,
membuka kanal dan memungkinkan perpindahan ion Na+ kedalam
sel.meningkatnya perpindahan ion natrium akan menyebabkan depolarisasi
second order neuron dan memungkinkan sinyal noksius berpindah secara cepat ke
lokasi supraspinal untuk membentuk persepsi. Pada stimulus noksius frekuensi
tinggi yang terus menerus akan menyebabkan reseptor AMPA dan KAR
merangsang reseptor N-methyl-D-aspartic acid (NMDA). Reseptor NMDA
memegang peranan pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme yang
disebut wind up, yaitu melakukan fasilitasi sehingga terjadi sensitisasi
sentral.30,31,32
4. seperti pada mekanisme yang disebut wind up, yaitu melakukan fasilitasi
sehingga terjadi sensitisasi sentral.30,31,32
Gambar 1. Lintasan nyeri : transduksi, konduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
Dimodifikasi dari : Gottscalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63:1981 and Kehlet H
et al. AnesthAlag.1993;77:1049.
34
5. Proses modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgetik endogen
yang dihasilkan oleh tubuh dengan isyarat nyeri yang masuk di medulla spinalis.
Analgetik endogen (enkefalin, endorfin, serotonin) dapat menahan impuls nyeri
pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu posterior sebagai pintu dapat
terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen
tersebut. Terdapat 3 sistem yang berperan pada proses ini yaitu opioid,
noradrenergic dan serotonergik. Aktivasi dari sistem ini akan meningkatkan
modulasi inhibisi pada daerah kornu dorsalis terutama sistem opioid yang akan
menghambat transmisi nosisepsi. Pada proses inilah opioid memegang peranan
penting dalam penanganan nyeri pascabedah.30,31,32
6. Persepsi, hasil akhir dari interaksi yang komplek dari proses transduksi,
transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu proses subyektif
yang dikenal sebagai persepsi nyeri.30,31,32
Gambar 2. Lintasan nyeri : transduksi, konduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
Dimodifikasi dari : Gottscalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63:198 and Kehlet H
et al. AnesthAlag.1993;77:1049.
35
C. KERANGKA TEORI
Tranduksi
Transmisi
Modulasi
Persepsi
SAB
Blok sensorik
Blok motorik
Hipotensi
Bradikardia
Mual
Muntah
Menggigil
Pruritus
Konduksi
Blok kanal Natrium
Depolarisasi menurun
Aksi potensial (-)
Levobupivakain
hiperbarik 12,5 mg Stimulus nyeri
Bupivakain
hiperbarik 12,5mg
pH &pKa
pKa
Kadar obat di
membran sel saraf
Basa ionisasi
Hambatan penghantaran
saraf
36
BAB III
KERANGKA KONSEP
Keterangan :
Variabel bebas Variabel tergantung
Variabel kendali Variabel antara
Tranduksi
Konduksi
Transmisi
Modulasi
Persepsi
Onset blok
sensorik &
motorik
Pembedahan
dengan anestesi
spinal pada
ektremitas bawah
BUPIVAKAIN
HIPERBARIK 12,5 mg
Umur
IMT
ASA PS
Jenis kelamin
Barisitas
Posisi
Durasi blok
sensorik
&motorik
Tekanan
arteri
rata-rata
Laju
jantung
LEVOBUPIVAKAIN
HIPERBARIK 12,5 mg
Blok kanal Na
Efek
samping
Waktu
rescue
analgetik
37
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara
random tersamar ganda (Randomized double blind clinical trial ).
B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
B.1. Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar, RS Univ. Pendidikan Unhas dan RS jejaring daerah Makassar.
B.2. Waktu Penelitian
Dilakukan mulai bulan November 2016 sampai dengan sampel terpenuhi.
C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah pasien yang akan menjalani pembedahan
ektremitas bawah dengan anestesi spinal di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar, RS universitas Hasanuddin, dan jejaringnya.
Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi dan setuju untuk ikut dalam penelitian yang diambil dengan
metode consecutive sampling.
38
D. PERKIRAAN BESAR SAMPEL
Dengan menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis analitik
numerik berpasangan.
n = 2 {(Zα+Zᵦ) x s}2
d2
dimana:
Zα dan Zᵦ adalah derivat baku normal untuk Zα (tingkat kesalahan tipe I) dan Zᵦ
(tingkat kesalahan tipe II)
Pada penelitian ini ditetapkan α=0,05 atau tingkat kemaknaannya 95%,
dan β=0,20 atau tingkat ketajaman (power) 80%. Nilai Zα dan Zᵦ dilihat pada
tabel dimana α=0,05 adalah 1,960 dan β =0,20 adalah 0,842.
s = simpang baku yang diharapkan
d = beda durasi blok motorik yang diharapkan
nilai s ditetapkan berdasarkan pengamatan dari hasil penelitian sebelumnya.
nilai d ditetapkan oleh peneliti (8,5).
Dengan rumus tersebut didapatkan:
n = 2 {(1,960 + 0,842) X 9,8}2
8,52
n1=n2= 20,87=21
n total = 42
Ditambah dengan kemungkinan drop out sebesar 10% = 42+4 = 46
Jadi besar sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 46, dimana 23
sampel untuk kelompok LB dan 23 sampel untuk kelompok B.
39
E. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI DAN DROP OUT
1. Kriteria Inklusi
a. Bersedia ikut dalam penelitian
b. Pasien yang akan menjalani pembedahan elektif dan emergency
c. Usia 18-60 tahun
d. Status fisik ASA I-II
e. Operasi ekstremitas bawah
f. BMI 18 - 34 kg/cm2
g. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawatnya
2. Kriteria Ekslusi
a. Pasien menolak ikut serta dalam penelitian .
b. Kontraindikasi anestesi spinal.
c. Pasien alergi dengan obat yang akan dilakukan penelitian.
3. Kriteria Drop Out
a. Tidak adanya blok motorik ataupun sensorik setelah penyuntikan yang pertama.
b. Pasien yang akan menjalani operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal
<1 jam.
c. Pasien membutuhkan analgetik tambahan.
F. IJIN PENELITIAN DAN ETHICAL CLEARANCE (KELAYAKAN ETIK)
Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta keterangan kelayakan
etik (ethical clearance) dari komisi etik penelitian biomedis pada manusia
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Semua penderita yang memenuhi
kriteria inklusi diberi penjelasan secara lisan dan menandatangani lembar
persetujuan untuk ikut dalam penelitian secara sukarela. Bila karena suatu alasan,
penderita berhak mengundurkan diri dari penelitian ini.
40
G. METODE KERJA
Alokasi Subjek
Subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua
kelompok :
a. Kelompok LB, yaitu kelompok yang mendapatkan levobupivakain 0,5%
isobarik 12,5 mg 2,5 cc + dextrose 40% 0,5 cc pada operasi ekstremitas
bawah dengan anestesi spinal.
b. Kelompok B, yaitu kelompok yang mendapatkan bupivakain 0,5%
hiperbarik 12,5 mg 2,5 cc + Aquadest 0,5 cc pada operasi ekstremitas
bawah pasien dengan anestesi spinal.
Cara Kerja
1. Sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok dan dilakukan
randomisasi tersamar ganda. Kelompok LB akan mendapat
levobupivakain 0,5% isobarik 12,5 mg 2,5 cc + dextrose 40% 0,5 cc,
sedangkan kelompok B mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg
2,5 cc + Aquadest 0,5 cc.
2. Setelah pasien tiba di ruang tunggu kamar bedah, pasien diperiksa ulang
terhadap identitas, diagnosis, rencana tindakan pembiusan dan akses infus
(pastikan telah terpasang infus dengan kateter intravena 18G, threeway,
dan aliran infus lancar).
3. Sebelum pasien memasuki kamar operasi, disiapkan mesin anestesi yang
dihubungkan dengan sumber oksigen. Juga disiapkan set alat intubasi,
Endotrakheal Tube (ETT), dan obat-obat gawat darurat injeksi seperti
epinefrin, sulfas atrofin, efedrin, dan deksametason. Kemudian pasien
dibawa memasuki kamar operasi, dipasang alat pemantau (monitoring)
pada tubuh pasien dan dicatat data mengenai tekanan darah, laju nadi, dan
laju nafas.
4. Kemudian pasien pada kedua kelompok diberikan preloding cairan Ringer
Laktat sebanyak 10 ml/kgbb, 15 menit sebelum anestesi spinal.
5. Anestesi spinal dilakukan dengan posisi lateral dekubitus menggunakan
jarum spinal ukuran 25G. Segera setelah injeksi spinal, pasien di posisikan
41
supine dengan bantal di bawah kepala dan diberikan O2 lewat nasal kanul
2-3 L/min. Akhir injeksi anestesi lokal adalah waktu untuk mengukur
onset blok sensorik dan blok motorik, blok sensorik dinilai menggunakan
test pin prick sesuai dermatoanalgesia dan blok motorik di nilai dengan
menggunakan skala bromage. Onset blok sensorik diobservasi setiap 1
menit dimulai dari selesai injeksi obat anestesi lokal sampai blok sensorik
maksimal dicapai. Onset blok motorik diobservasi setiap 1 menit mulai
dari selesai injeksi obat anestesi lokal hingga dicapai skala bromage 3.
6. Durasi blok sensorik diukur tiap 15 menit hingga dicapai regresi dua
segmen sampai. Durasi blok motorik diukur dengan cara yang sama
dengan blok sensorik.
7. Kemudian tekanan arteri rata-rata dan laju jantung diukur setiap 3 menit
sampai 30 menit (T0 – T8) setelah dilakukan anestesi spinal. Tekanan arteri
rata-rata diukur dengan metode non invasif dan laju jantung dicatat sesuai
dengan electrocardiogram pada monitor. Bila terjadi hipotensi (TAR <
20% dari TAR basal), diberikan efedrin 5 - 10 mg bolus. Bila terjadi
bradikardi (LJ < 50 kali/menit) diatasi dengan diberikan sulfat atropin 0,5
mg dengan dosis maksimum 2 mg. Pasien juga dimonitor untuk semua
efek tambahan selama pembedahan dicatat kejadian blok motorik,
hipotensi, bradikardi, pruritus, menggigil, dan depresi nafas.
Bila terjadi efek samping maka :
a. Bila terjadi mual - muntah pascabedah diberikan ondansetron 0,1
mg/kgbb mg.
b. Bila terjadi pruritus diberikan diphenhydramine 25 mg i.m.
c. Bila terjadi hipotensi diberikan suatu dosis efedrin 5-10 mg.
d. Bila terjadi bradikardi diberikan sulfat atropin 0,5 mg dengan dosis
maksimum 2 mg.
8. Waktu rescue analgetik dihitung setelah injeksi anestesi spinal sampai
diberikannya analgetik pertama saat NRS ≥ 4.
42
H. ALAT DAN BAHAN
H.1. Alat yang digunakan
a. Alat monitor, EKG, tekanan darah non invasif otomatis (Dash/GE)
b. Abbocath 18G (Terumo ®)
c. Syringe 3 ml (Terumo ®)
d. Syringe 5 ml (Terumo ®)
e. Jarum spinal 25G (Terumo ®)
f. Laringoskop set (Macinthos)
g. Pipa endotrakea sesuai ukuran (Rusch ®)
h. Infus set (Terumo ®)
i. Pencatat waktu (Stopwatch)
j. Alat tulis dan formulir penelitian
H.2. Bahan yang digunakan
a. Cairan Ringer Laktat
b. Bupivakain hiperbarik 0,5% (Marcaine heavy ®, decain )
c. Levobupivakain isobarik 0,5% (Chirocain ®)
d. Efedrin
e. Sulfas Atropin
f. Epinefrin
g. Dextrose 40%
43
I. ALUR PENELITIAN
Pasien yang sesuai kriteria penelitian
Anestesi spinal
Penilaian:
Onset dan durasi blok sensorik
Onset dan durasi blok motorik
Waktu rescue analgetik
Tekanan arteri rata-rata
Laju jantung
Efek samping
Pengolahan data dan pelaporan
Preloading RL 10 ml/kgBB, SAB
dengan levobupivakain hiperbarik
12,5 mg ( levobupivakain 0,5%
isobarik 2,5 ml + dextrose 40%
0,5ml
Randomisasi
Operasi ekstremitas bawah
Preloading RL 10 ml/kgBB, SAB
dengan bupivakain hiperbarik
12,5 mg ( bupivakain 0,5%
hiperbarik 2,5 ml + Aquadest 0,5
ml
Kelompok LB Kelompok B
44
J. Identifikasi Variabel
a. Levobupivakain hiperbarik 12,5 mg
b. Bupivakain hiperbarik 12,5 mg
c. Umur
d. Jenis kelamin
e. ASA PS
f. Indeks massa tubuh
g. Barisitas
h. Operasi ekstremitas bawah
i. Onset blok sensorik
j. Onset blok motorik
k. Durasi blok sensorik
l. Durasi blok motorik
m. Waktu rescue analgetik
n. Tekanan arteri rata-rata
o. Laju jantung
2. Klasifikasi Variabel
a. Berdasarkan jenis variabel
1. Variabel kategorikal : Jenis kelamin, ASA PS
2. Variabel numerikal : Umur, indeks massa tubuh, barisitas, mula kerja
blok sensorik, lama kerja blok sensorik, mula kerja blok motorik, lama
kerja blok motorik, tekanan darah, laju jantung.
b. Berdasarkan peran dan fungsi variabel
1.Variabel bebas : Levobupivakain hiperbarik, bupivakain
hiperbarik
2. Variabel tergantung : Onset blok sensorik, durasi blok sensorik,
onset blok motorik, durasi blok motorik,
waktu rescue analgetik, tekanan arteri rata-
rata, laju jantung
3. Variabel antara : Pembedahan dengan anestesi spinal pada
operasi ektremitas bawah
45
4. Variabel kendali : Umur, ASA PS, jenis kelamin, indeks
massa tubuh, barisitas, posisi
K. DEFINISI OPERASIONAL
1. Kelompok L
Levobupivakain adalah obat anestesi lokal yang termasuk golongan amida
(CONH-) yang memiliki atom karbon asimetrik dan isomer Levo (-).
Levobupivakain merupakan alternatif selain bupivakain untuk anestesi spinal oleh
karena obat ini menghasilkan subarachnoid blok dengan karakteristik sensorik
dan motorik yang sama serta recovery seperti bupivakain. Levobupivakain
hiperbarik 12,5 mg adalah levobupivakain isobarik 0,5 % 2,5 cc yang dicampur
dengan dextrose 40% 0,5 cc.
2. Kelompok B
Bupivakain adalah derivat mevikain yang tiga kali lebih kuat dari asalnya.
Nama kimia obat ini 1-butyl-N-[2,6-dimethylphenyl] piperidine-2-carboxamide.
Bersifat lebih kardiotoksik daripada levobupivakain. Bupivakain hiperbarik 12,5
mg adalah bupivakain hiperbarik 0,5 % 2,5 cc yang dicampur dengan aquadest 0,5
cc.
3. Dextrose 40%
Dextrose 40% adalah sediaan dextrose 40% (40 gr/100cc) yang
ditambahkan 0,5 ml ke levobupivakain isobarik 0,5% untuk membuat
levobupivakain isobarik 0,5% menjadi hiperbarik.
4. Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah suatu cara untuk menimbulkan atau menghasilkan
hilangnya sensasi nyeri dengan blok sensorik dengan pin prick test, blok motorik
dengan tes angkat kaki atau bromage scale test, blok otonom ditandai dengan
berkurang atau hilangnya sensasi suhu dengan cold test dengan jalan memberikan
sejumlah obat anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid dan memiliki efek
samping hipotensi, penurunan tekanan darah, laju jantung, tekanan arteri rata-rata,
mual muntah, dan reaksi alergi.
5. Barisitas
46
Barisitas adalah gravitasi spesifik suatu obat dibandingkan dengan CSF.
Hiperbarik jika barisitas obat lebih besar daripada CSF dan dikatakan hipobarik
jika sebaliknya.
6. Onset blok sensorik
Onset blok sensorik adalah waktu antara dimulai suntikan obat anestesi
spinal pada subarachnoid sampai timbul analgesia mencapai blok sensorik
(pinprick test) di level Th10.
7. Onset blok motorik
Onset blok motorik adalah waktu antara dimulai suntikan obat anestesi spinal
pada subarachnoid sampai terjadi blok motorik dengan bromage scale 3.
8. Durasi blok motorik
Durasi blok motorik adalah waktu terjadi blok motorik dengan bromage
scale 3 sampai terjadinya regresi blok motorik dengan nilai bromage scale 0.
9. Lama operasi
Waktu yang dibutuhkan mulai dari insisi pertama sampai jahitan terakhir.
10. ASA PS
Penilaian status fisik pasien untuk menilai resiko anestesi dan pembedahan
berdasarkan kriteria American Society of Anesthesia Physical Status (ASA PS).2
11. Umur
Usia pasien sesuai tanggal lahir yang tercantum di status pasien yang
dikonfirmasikan dengan pasien.
12. Jenis kelamin
Jenis kelamin sesuai yang tercantum di status pasien yang dikonfirmasikan
dengan pasien.
13. IMT
Indeks massa tubuh yang diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badan
pasien dengan rumus BB/TB2.
14. Durasi blok sensorik
47
Durasi blok sensorik adalah saat pasien sudah mencapai mula kerja
sensorik yang dinilai dengan rangsangan nyeri (pinprick test) Th10 sampai regresi
dua segmen.
15. Waktu regresi dua segmen (two segmen regression)
Waktu regresi dua segmen (two segmen regression) adalah waktu untuk
mengukur durasi kerja dari spinal anestesi. Dihitung saat blok sensorik turun dari
Th10 ke Th12 dihitung tiap 15 menit dengan menggunakan pinprick test.
16. Efek samping obat
Efek samping obat adalah efek negatif yang muncul selama penggunaan
obat, seperti: hipotensi, mual dan muntah, toksisitas obat (kejang dan henti
jantung).
17. Laju jantung
Laju jantung yang diukur dengan monitor elektrik.
18. TAR (Tekanan Arteri Rerata)
TAR diukur dengan menggunakan tensimeter elektrik pada sebelum
dilakukan anestesi spinal dan dibandingkan selama operasi.
19. Waktu rescue analgetik
Rentang waktu yang dinilai mulai saat selesai injeksi obat anestesi lokal
kedalam ruang subarachnoi sampai diberikan rescue analgetik. Rescue diberikan
bila NRS ≥ 4.
L. Kriteria Objektif
1. Umur dinyatakan dalam tahun.
2. ASA PS 1 : pasien sehat dan normal. Sehat, tidak merokok, tidak minum atau
pengguna alkohol ringan.
ASA PS 2 : pasien dengan gangguan sistemik ringan. Penyakit ringan dengan
tanpa gangguan fungsional yang substantif. Contohnya perokok, peminum alkohol
ringan, wanita hamil, obesitas, ( 30 < BMI < 40 ), DM/ HT terkontrol, penyakit
paru ringan.2
3. IMT dinyatakan dalam satuan kg/m2.
48
4. Onset blok sensorik dinilai dalam menit.
5. Onset blok motorik dinilai dalam menit.
6. Durasi blok motorik dinilai dalam menit.
7. Durasi blok sensorik dinilai dalam menit.
8. Lama operasi dinyatakan dalam menit.
9. Tekanan Arteri Rerata (TAR) 2,34
Hipotensi : TAR < 20% dari TAR basal
Normotensi : TAR ± 20% dari TAR basal
Hipertensi : TAR > 20% dari TAR basal
10. Laju jantung (LJ) 2,34
Takikardi > 100 kali/menit
Normal 50-90 kali/menit
Bradikardi <50 kali/menit
11. Nilai bromage scale 2,34
Nilai 0 : Penderita dapat mengangkat kedua tungkai bawah
Nilai 1 : Penderita tidak dapat mengangkat kedua tungkai
bawah tetapi masih dapat melakukan fleksi sendi lutut
Nilai 2 : Penderita tidak dapat melakukan flexi sendi lutut
Nilai 3 : Penderita tidak dapat menggerakkan seluruh kaki
12. Test Pinprick
positif (+) bila masih ada sensasi nyeri yang dirasakan penderita
negatif (-) bila tidak ada lagi sensasi nyeri yang dirasakan oleh penderita
13. Waktu rescue analgetik dinyatakan dalam menit.
14. Skor Mual 35
0 : Tidak mual
1 : mual
15. Skor Muntah 35
0 : Tidak muntah
49
1 : muntah
16. Skor Pruritus 35
0 : Tidak ada pruritus
1 : Ada pruritus
17. Skor Menggigil 36
0 : tidak ada menggigil
1 : ada terjadi menggigil
M. MASALAH ETIKA
a. Pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat, serta resiko dari
hal yang akan terkait dengan penelitian. Penelitian ini aman dilaksanakan pada
manusia karena obat ini sudah lama digunakan dan banyak diteliti sebagai anestesi
lokal yang sesuai dengan pembedahan yang akan dilakukan pembiusan dengan
anestesi spinal. Pada penelitian ini dosis obat yang digunakan adalah dosis
terapeutik. Selain itu penelitian dengan jenis obat yang sama sudah sering
dilakukan pada pusat-pusat pendidikan. Kemudian pasien diminta mengisi
formulir kesediaan menjadi subjek penelitian.
b. Bila timbul depresi napas pada pasien oleh karena blok tinggi maupun total
spinal, maka diberikan bantuan napas dengan Bag Valve Mask (BVM) dengan
Tidal Volume 6-8 ml/kgbb. Jika terjadi efek toksik akibat masuknya anestesi lokal
maka akan dilakukan tindakan resusitasi terhadap pasien, yaitu:
• Jika timbul hipotensi akibat anestesi spinal maka dilakukan pemberian efedrin 5
mg - 10 mg (0,1-0,2 mg/kgbb) intravena dan infus cepat Ringer Laktat.
• Jika timbul henti jantung yang disangka akibat toksisitas anestesi lokal maka
dilakukan resusitasi jantung dan paru serta diberikan sediaan lipid 20% bolus 1,5
mg/kgbb intravena selama 1 menit dilanjutkan dengan infus berkelanjutan 0,25
mg/kgbb/menit intravena.
N. ANALISIS DATA
a. Setelah data yang diperlukan telah terkumpul, kemudian data tersebut diperiksa
kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah. Data
50
dikumpulkan ke dalam master tabel dengan menggunakan software Microsoft
Office Excel 2007. Setelah data semua lengkap kemudian data diolah dengan
menggunakan SPSS 20.
b. Data numerik dari hasil akan ditampilkan dalam mean dan SD (Standar
Deviasi). Data demografi untuk uji proporsi menggunakan uji Chi Square,
sementara untuk data interval digunakan uji Kolmogorov Smirnov untuk uji
kenormalan. Jika normal menggunakan uji T independent, jika tidak normal
menggunakan uji Mann Whitney.
c. Interval kepercayaan 95% dengan nilai p<0,05, dianggap bermakna secara
signifikan
O. JADWAL PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan mulai November 2016 sd sampel terpenuhi.
P. PERSONALIA PENELITIAN
a. Pelaksana : dr. Rozi Fadhori
b. Pembimbing : Dr. dr. Andi Salahuddin, Sp.An
c. Pembantu pelaksana : Peserta PPDS Anestesiologi UNHAS dan
perawat RS Wahidin, RS UNHAS dan Rs
jejaring Makassar
51
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar dan RS jejaring
Makassar pada periode November 2016- Februari 2017. Dilakukan terhadap 46
pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan pada ekstremitas bawah dengan
teknik anestesi spinal yang bersedia mengikuti penelitian dan memenuhi kriteria
inklusi. Terbagi dalam dua kelompok secara acak agar variasi individu terbagi
merata pada kedua kelompok. Selanjutnya kelompok yang menerima anestesi
spinal levobupivakain hiperbarik 12,5 mg disebut Kelompok LB dan kelompok
yang menerima anestesi spinal bupivakain hiperbarik 12,5 mg disebut Kelompok
B. Penelitian bertujuan untuk membandingkan efek obat anestesi intratekal antara
levobupivakain dengan bupivakain dimana kedua obat anestesi lokal yang secara
farmakologis memiliki karakteristik yang sama yaitu sama-sama golongan amida
serta memiliki barisitas yang sama sehingga kedua obat ini layak untuk
dibandingkan.
A. Karakteristik Sampel
Karakteristik sampel penelitian kedua kelompok yang meliputi sebaran
jenis kelamin, ASA PS, umur, dan IMT pada kedua kelompok dapat dilihat pada
Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4 berikut.
Tabel 1. Perbandingan sebaran jenis kelamin pada kedua kelompok
Variabel Kelompok LB (n=23) Kelompok B (n=23)
P* n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 16 69,6 15 65,2 0,753
Perempuan 7 30,4 8 34,8
*Uji Chi square, P < 0,05 dinyatakan bermakna.
52
Tabel 2. Perbandingan sebaran ASA PS pada kedua kelompok
Variabel Kelompok LB (n=23) Kelompok B (n=23)
P* n % n %
ASA PS
I 16 69,6 18 78,3 0,502
II 7 30,4 5 21,7
*Uji Chi square, P < 0,05 dinyatakan bermakna.
Tabel 3. Perbandingan sebaran umur pada kedua kelompok
Variabel Kelompok LB (n=23) Kelompok B (n=23)
P* n % n %
Umur
< 30 tahun 5 21,7 6 26,1 0,720
≥ 30 tahun 18 78,3 17 73,9
*Uji Chi square, P < 0,05 dinyatakan bermakna.
Tabel 4. Perbandingan sebaran IMT pada kedua kelompok
Variabel Kelompok LB (n=23) Kelompok B (n=23)
P* n % n %
IMT
BB Normal 12 52,2 11 47,8
0,291 BB Lebih 9 39,1 12 52,2
Obes 2 8,7 0 0,0
*Uji Chi square, P < 0,05 dinyatakan bermakna.
Pada Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4 terlihat bahwa tidak ditemukan
perbedaan yang bermakna (P ≥ 0,05) pada perbandingan sebaran jenis kelamin,
ASA PS, umur, dan IMT kedua kelompok, sehingga data dapat dinyatakan
53
homogen secara statistik. Frekuensi ASA PS, jenis kelamin, umur dan IMT
dianalisa dengan menggunakan uji Chi-Square dimana jika (P < 0,05) dinyatakan
bermakna. (Syarat penggunaan chi square meliputi jumlah total sampel penelitian
> 40, tanpa melihat nilai harapan, dengan semua nilai harapan > 5 dan data
disajikan dalam bentuk tabel 2x2, maupun bukan 2x2).
B. Onset Blok Sensorik Dan Motorik
Onset blok sensorik dan motorik setelah anestesi spinal Kelompok LB dan
Kelompok B dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 1.
Tabel 5. Nilai mean onset blok pada kedua kelompok
Variabel Kelompok N Mean SD P
Onset Blok Sensorik (menit) LB 23 1,37 0,396
0,061 B 23 1,56 0,269
Onset Blok Motorik (menit) LB 23 2,73 0,283
0,057 B 23 2,54 0,371
*Uji Independent T, P < 0,05 dinyatakan bermakna.
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa tidak terdapat perbandingan yang
bermakna secara statistik (P ≥ 0,05) pada mean onset blok sensorik dan mean
onset blok motorik kedua kelompok. Mean onset blok ini diuji dengan
menggunakan uji T tidak berpasangan dimana (P < 0,05) dinyatakan bermakna.
(Uji T tidak berpasangan digunakan karena data mean onset blok sensorik dan
motorik merupakan data interval dan berdistribusi normal dimana syarat distribusi
normal adalah P ≥ 0,05 (nilai P dapat dilihat pada lampiran 3)).
54
Grafik 1. Perbandingan Mean Onset Blok Sensorik dan Motorik
Pada Grafik 1 dapat dilihat bahwa mean onset blok sensorik untuk
kelompok LB lebih cepat dibandingkan kelompok B, walaupun dengan
perbandingan yang tidak bermakna. Sementara mean onset blok motorik untuk
kelompok LB lebih lama dibandingkan kelompok B, walaupun dengan
perbandingan yang tidak bermakna.
C. Durasi Blok Sensorik Dan Motorik
Durasi blok sensorik dan motorik setelah anestesi spinal Kelompok LB dan
Kelompok B dapat dilihat pada Tabel 6 dan Grafik 2.
Tabel 6. Nilai mean durasi blok pada kedua kelompok
Variabel Kelompok N Mean SD P
Durasi Blok Sensorik (menit) LB 23 192,30 12,349
0,000 B 23 138,09 12,993
Durasi Blok Motorik (menit) LB 23 280,22 15,580
0,047 B 23 289,17 14,089
55
*Uji Independent T, P < 0,05 dinyatakan bermakna.
Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa terdapat perbandingan yang bermakna
secara statistik (P < 0,05) pada mean durasi blok sensorik dan durasi onset blok
motorik kedua kelompok. Mean durasi blok ini diuji dengan menggunakan uji T
tidak berpasangan dimana (P < 0,05) dinyatakan bermakna. (Uji T tidak
berpasangan digunakan karena data mean durasi blok sensorik dan motorik
merupakan data interval dan berdistribusi normal dimana syarat distribusi normal
adalah P ≥ 0,05 (nilai P dapat dilihat pada lampiran 4)).
Grafik 2. Perbandingan Mean Durasi Blok Sensorik dan Motorik
Pada Grafik 2 dapat dilihat bahwa mean durasi blok sensorik untuk
kelompok LB lebih lama dibandingkan kelompok B, dengan perbandingan yang
bermakna. Sedangkan mean durasi blok motorik untuk kelompok LB lebih cepat
dibandingkan kelompok B, juga dengan perbandingan yang bermakna.
56
D. Laju Jantung
Laju jantung selama anestesi spinal Kelompok LB dan Kelompok B dapat
dilihat pada Tabel 7 dan Grafik 3.
Tabel 7. Nilai mean laju jantung pada kedua kelompok
Variabel Kelompok N Mean SD P
Laju Jantung T0 LB 23 78,30 11,519
0,761 B 23 79,35 11,582
Laju Jantung T1 LB 23 76,78 11,870
0,279 B 23 73,43 8,607
Laju Jantung T2 LB 23 75,26 8,807
0,122 B 23 70,96 9,688
Laju Jantung T3 LB 23 75,13 12,219
0,266 B 23 71,04 10,293
Laju Jantung T4 LB 23 71,26 7,846
0,364 B 23 69,04 8,531
Laju Jantung T5 LB 23 73,04 7,737
0,139 B 23 69,87 6,504
Laju Jantung T6 LB 23 70,43 7,051
0,404 B 23 68,61 7,650
Laju Jantung T7 LB 23 69,39 12,901
0,202 B 23 65,52 6,222
Laju Jantung T8 LB 23 69,70 7,594
0,087 B 23 66,35 5,149
*Uji Independent T, P < 0,05 dinyatakan bermakna.
Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa perbandingan laju jantung kedua
kelompok tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (P ≥ 0,05) pada
semua waktu pengukuran, yaitu T0, T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7, dan T8. Mean
laju jantung kedua kelompok ini diuji dengan menggunakan uji T tidak
berpasangan dimana (P < 0,05) dinyatakan bermakna. (Uji T tidak berpasangan
digunakan karena data laju jantung merupakan data interval dan berdistribusi
normal dimana syarat distribusi normal adalah P ≥ 0,05 (nilai P dapat dilihat pada
lampiran 5)).
57
Grafik 3. Perbandingan Mean Laju Jantung Kedua Kelompok
Berdasarkan Grafik 3 dapat dilihat bahwa mean laju jantung untuk
kelompok LB tinggi dibandingkan kelompok B hampir di seluruh waktu
pengamatan, dengan perbandingan yang tidak bermakna.
E. TAR
TAR selama anestesi spinal Kelompok LB dan Kelompok B dapat dilihat
pada Tabel 8 dan Grafik 4.
Tabel 8. Nilai mean TAR pada kedua kelompok
Variabel Kelompok N Mean SD P
TAR T0 LB 23 87,04 4,497
0,603 B 23 87,78 5,045
TAR T1 LB 23 87,26 3,360
0,821 B 23 87,65 7,529
TAR T2 LB 23 77,83 5,060
0,906 B 23 77,52 11,131
TAR T3 LB 23 81,13 10,691
0,469 B 23 84,00 15,498
TAR T4 LB 23 78,87 7,570 0,938
58
B 23 78,70 7,558
TAR T5 LB 23 73,26 9,649
0,735 B 23 72,43 6,528
TAR T6 LB 23 70,30 8,065
0,479 B 23 71,96 7,619
TAR T7 LB 23 72,43 6,639
0,851 B 23 72,09 5,775
TAR T8 LB 23 69,22 5,427
0,212 B 23 71,43 6,416
*Uji Independent T, P < 0,05 dinyatakan bermakna.
Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa perbandingan TAR kedua kelompok
tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (P ≥ 0,05) pada semua
waktu pengukuran, yaitu T0, T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7, dan T8. Mean TAR
kedua kelompok ini diuji dengan menggunakan uji T tidak berpasangan dimana (P
< 0,05) dinyatakan bermakna. (Uji T tidak berpasangan digunakan karena data
TAR merupakan data interval dan berdistribusi normal dimana syarat distribusi
normal adalah P ≥ 0,05 (nilai P dapat dilihat pada lampiran 7)).
Grafik 4. Perbandingan Mean TAR kedua kelompok
59
Berdasarkan Grafik 4 dapat dilihat bahwa mean TAR kedua kelompok
berimpit hampir di seluruh waktu pengamatan, dengan perbedaan yang tidak
bermakna.
F. Waktu Rescue Analgetik
Waktu rescue analgetik selama anestesi spinal Kelompok LB dan Kelompok
B dapat dilihat pada Tabel 9 dan Grafik 5.
Tabel 9. Nilai mean waktu rescue analgetik pada kedua kelompok
Variabel Kelompok N Mean SD P
Waktu Rescue Analgetik LB 23 453,04 27,167
0,062 B 23 438,91 22,761
*Uji Independent T, P < 0,05 dinyatakan bermakna.
Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna secara statistik (P ≥ 0,05) pada perbandingan waktu rescue analgetik
kedua kelompok. Mean waktu rescue analgetik kedua kelompok ini diuji dengan
menggunakan uji T tidak berpasangan dimana (P < 0,05) dinyatakan bermakna.
(Uji T tidak berpasangan digunakan karena data waktu rescue analgetik
merupakan data interval dan berdistribusi normal dimana syarat distribusi normal
adalah P ≥ 0,05 (nilai P dapat dilihat pada lampiran 8)).
60
Grafik 5. Perbandingan Mean waktu rescue analgetik kedua kelompok
Berdasarkan Grafik 5 dapat dilihat bahwa mean waktu rescue analgetik
kelompok LB, yaitu 453,04 menit lebih lama dibandingkan dengan mean rescue
analgetik kelompok B, yaitu 438,91 menit, walaupun dengan perbedaan yang
tidak bermakna.
61
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan pada 46 orang pasien yang menjalani operasi
ekstremitas bawah dengan anestesi spinal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok
yang masing-masing terdiri dari 23 orang. Kelompok pertama atau kelompok LB
mendapat levobupivakain hiperbarik 12,5 mg dan kelompok kedua atau B
memperoleh bupivakain hiperbarik 12,5 mg. Penelitian ini menggunakan dua obat
anestesi lokal yang secara farmakologis memiliki karakteristik yang sama yaitu
sama-sama golongan amida serta memiliki barisitas yang sama sehingga kedua
obat ini layak untuk dibandingkan.
Levobupivakain dan bupivakain adalah obat anestesi lokal golongan
amida. Levobupivakain memiliki S (-) enantiomer dari bupivakain, memblok saraf
sama poten dengan bupivakain dan menghasilkan blok sensorik dan motorik yang
sama pula namun dengan dosis letal yang lebih rendah dibandingkan
bupivakain.39
Keuntungan levobupivakain dibandingkan bupivakain yaitu (1)
Ketidaksengajaan masuk ke intravena tidak menyebabkan perubahan
kardiovaskular. (2) Batas aman dosis letal 78% lebih besar untuk dapat
menyebabkan kematian. (3) Toksisitas kardiak dan susunan saraf pusat yang lebih
rendah. (4) Potensiasi terhadap hambatan sensorik dan motorik baik. (5)
Toksisitas yang dicetuskan levobupivakain bersifat reversibel. (6) Perubahan
kontraktilitas kardiak dan interval QTc pada elektrokardiogram yang kecil. (7)
Efek depresan yang rendah pada elektroensefalogram.40
Karakteristik sampel kedua kelompok meliputi umur, IMT, jenis kelamin, dan
ASA PS. Tidak terdapat perbedaan secara bermakna (p>0,05) pada tabel 1-4
sehingga karakteristik dari 46 sampel penelitian dinyatakan homogen.
Mula kerja obat anestesi lokal sangat ditentukan oleh nilai pKa-nya dimana
semakin rendah nilai pKa semakin cepat mula kerjanya. Anestesi lokal dengan
nilai pKa mendekati pH fisiologis akan mempunyai konsentrasi basa non ionisasi
yang lebih tinggi yang bisa melewati membran sel-sel saraf dimana mula kerjanya
akan berlangsung sangat cepat. pKa menjelaskan jumlah obat anestesi lokal yang
62
ada dalam bentuk non ionisasi aktif pada pH jaringan. Di dalam saraf akson
bupivakain terpisah ke dalam bentuk non ionisasi dan ionisasi. Bentuk ionisasi
membuat hambatan channel natrium dari dalam dan mencegah depolarisasi
dengan mencegah masuknya natrium secara cepat melalui membran sel akson.
pKa didefinisikan sebagai pH dimana bagian yang terionisasi dan tidak terionisasi
berada pada konsentrasi yang sama. Karena bupivakain merupakan basa lemah,
dimana pH-nya hampir mendekati pH fisiologik 7,4, pKa 8,2 maka akan memiliki
lebih banyak molekul dalam keadaan terionisasi, bentuk yang larut dalam lemak.
Dan untuk bentuk yang tidak terionisasi harus melewati membran aksonal untuk
“memulai blok. Dengan banyaknya fraksi yang tidak terionisasi tentunya akan
semakin banyak juga obat anestesi lokal yang bekerja, sehingga onset yang
didapatkan juga lebih cepat. Faktor lain yang mempengaruhi onset adalah dosis
dan konsentrasi obat anestesi yang digunakan, serta tipe dari serabut saraf yang di
blok.2,29,38
Dari hasil penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan
untuk rerata onset blok sensorik dengan p-value >0,05 (p=0,061) dengan makna
bahwa kedua obat memiliki mula kerja sensorik yang sama pada penelitian ini.
Demikian juga dengan onset blok motorik dengan p-value >0,05 (p=0,057)
dengan makna bahwa kedua obat memiliki mula kerja blok motorik yang hampir
sama. Hasil yang tidak berbeda dalam hal mula kerja sensorik disebabkan karena
kedua obat merupakan obat dengan golongan yang sama yaitu amida dan dengan
mekanisme kerja anestesi lokal yang sama serta memiliki nilai pH dan pKa yang
hampir sama.
Durasi obat anestesi lokal dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi:
1. Dosis, semakin tinggi dosis yang digunakan maka durasi blok anestesi akan
semakin lama.
2. Farmakokinetik obat anestesi lokal, meliputi :
- Ikatan dengan protein plasma (obat dengan ikatan protein yang lebih tinggi
memiliki durasi blok yang lebih lama),
- Metabolism obat, golongan ester di metabolise oleh enzim
pseudocholinesterase dan amida di metabolism di hepar oleh enzim
mikrosomal. Ester mempunyai durasi yang lebih singkat sedangkan amida
63
memiliki durasi yang lebih lama. Bupivakain dan levobupivakain
merupakan golongan amida.
3. Penambahan obat-obat vasokonstriktor, vasokonstriktor dapat menurunkan
absorbsi sistemik dari obat-obat anestesi lokal yang pada akhirnya dapat
memperpanjang durasi blok.37
Dari hasil penelitian yang kami lakukan didapatkan bahwa levobupivakain
hiperbarik 0,5% 12,5 mg memiliki durasi sensorik (regresi dua segmen) yang
lebih lama 192,30 menit dibandingkan dengan bupivakain hiperbarik 0,5% 12,5
mg 138,09 menit yang berbeda bermakna dengan p-value >0,05 (p=0,000) namun
bupivakain memiliki durasi motorik yang lebih lama 289,17 menit dibandingkan
dengan levobupivakain 280,22 menit yang juga berbeda bermakna dengan p-
value >0,05 (p=0,047). Data ini menunjukkan bahwa durasi sensorik
levobupivakain hiperbarik 12,5 mg lebih lama dari bupivakain hiperbarik 12,5 mg
namun durasi motorik levobupivakain hiperbarik 12,5 mg lebih singkat
dibandingkan dengan bupivakain hiperbarik 12,5 mg. Durasi blok sensorik lebih
lama pada levobupivakain hal ini dikarenakan levobupivakain memiliki pH 7,4
dan pKa 8,1 dengan ikatan protein lebih dari 97%, sedangkan bupivakain
memiliki nilai pH 7,4 dan pKa 8,2 dengan ikatan protein pada bupivakain 95%.
Anestesi spinal mempengaruhi kardiovaskuler secara tidak langsung, melalui
blokade terhadap system saraf simpatis. Efek blokade neuroaksial pada system
kardiovaskuler tergantung pada seberapa tinggi blok simpatis yang dicapai,
semakin tinggi blok simpatis yang dicapai maka insiden hipotensi dan bradikardia
semakin meningkat. Faktor-faktor resiko yang dapat meningkatkan insiden
hipotensi pada anestesi spinal adalah ketinggian blok lebih dari torakal 5, usia tua,
tekanan darah sistolik basal kurang dari 120 mmHg, kombinasi anestesi spinal
dengan anestesi umum, dan injeksi obat anestesi diatas interspace lumbal 2-3.
Maksimum penurunan tekanan arteri rata-rata terjadi pada 30 menit pertama
setelah injeksi obat anestesi. Faktor-faktor resiko meningkatnya insiden bradikardi
adalah ketinggian blok lebih dari torakal 5, laju jantung basal kurang dari 60
kali/menit, pemanjangan interval PR dan pasien yang mendapatkan terapi beta
bloker.29
Pada penelitian ini didapatkan hasil perubahan tekanan darah dan laju
64
jantung dengan nilai rata-rata p>0,005, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
secara bermakna pada kedua kelompok.
Dari waktu rescue analgetik atau durasi kerja analgesia obat
levobupivakain dibandingkan dengan bupivakain dinilai dengan menggunakan
NRS (numerical rating scale). Dari hasil penelitian ini walaupun waktu rescue
analgetik pada kelompok levobupivakain hiperbarik lebih lama dibandingkan
bupivakain hiperbarik berbeda namun tidak berbeda bermakna.
Levobupivakain tampaknya menjadi alternatif yang menarik untuk
digunakan sebagai anestesi spinal. Manfaat yang didapat dari pemberian
levobupivakain sebagai obat anestesi lokal yaitu efek toksisitasnya terhadap
kardiovaskuler dan susunan saraf pusat yang rendah sehingga aman bila ada
ketidaksengajaan masuk ke intravena tidak menyebabkan perubahan
kardiovaskular dengan batas aman dosis letal lebih besar dari bupivakain untuk
dapat menyebabkan kematian. Selain keuntungan toksisitasnya yang lebih rendah,
levobupivakain memiliki waktu pulih hambatan motorik yang lebih cepat
dibandingkan bupivakain sehingga dapat mempercepat mobilisasi pasien, dan
tercapai kriteria pemindahan pasien yang lebih cepat dengan efek samping
minimal.
Masih banyak faktor yang mempengaruhi hasil penelitian, hal ini
dikarenakan oleh karena untuk mula kerja dan durasi obat bekerja banyak
dipengaruhi banyak faktor yaitu: umur, tinggi badan, CSF, barisitas, teknik
penyuntikan, dan sebagainya. Karena banyak faktor yang berpengaruh sehingga
mengenai mula kerja dan durasi kerja perlu penelitian lebih lanjut.
65
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Onset blok sensorik dan motorik levobupivakain hiperbarik 12,5 mg tidak
berbeda bermakna dengan bupivakain hiperbarik 12,5 mg.
2. Durasi blok sensorik levobupivakain hiperbarik 12,5 mg lebih lama
dibandingkan dengan bupivakain hiperbarik 12,5 mg dengan perbedaan waktu
54,21 menit.
3. Durasi blok motorik bupivakain hiperbarik 12,5 mg lebih lama dengan
perbedaan waktu 8,95 menit.
4. Waktu rescue analgetik levobupivakain hiperbarik 12,5 mg tidak berbeda
bermakna dengan bupivakain hiperbarik 12,5 mg.
5. Tidak ditemukan adanya hipotensi dan penurunan laju jantung yang berbeda
bermakna pada penelitian ini dan tidak ditemukan kejadian mual muntah serta
menggigil.
7. Levobupivakain memiliki keunggulan dibandingkan bupivakain disamping efek
kardiotoksik yang lebih rendah juga unggul dalam efek sensorik yang lebih lama
dan efek motorik yang lebih cepat sehingga dapat mempercepat mobilisasi pasien.
B. SARAN
4. Levobupivakain dapat digunakan sebagai obat spinal alternatif selain
bupivakain dan sebaiknya disediakan dalam sediaan hiperbarik.
5. Perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar untuk
memperkuat validitas hasil penelitian.
66
DAFTAR PUSTAKA
1. Cadena FA, Arboleda LFG, Jordan JH, Mantilla JHM, Cardenas CS, Ordonez
R, Llinas P. Spinal anesthesia using 0,75% hyperbaric levobupivacaine for
outpatient knee arthroscopy: Randomized double blind study comparing three
different doses. Rev. Vol. Anest. 2011;38(4):471-85
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. Clinical
Anesthesiology. 4thedition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books:
2006, 151-52, 263-75
3. Hadzic A, NYSORA. Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain
Management. NYSORA. The McGraw-Hill Companies. 2007
4. Udelsmann A, Silvia WA, Dreyer E. Hemodynamic Effect of Ropivacaine and
Levobupivacaine Intravenous Injection in Swines. Acta Cirugica Brasileria. 2009;
24(4):296-302
5. Krikava I, Jarkovsky J, Stourac P, Novakova M, Sevcik P. The Effects of
Lidocaine on Bupivacaine-Induced Cardiotoxicity in the Isolated Rate Heart.
Physiol. Res. 2010; 59 (Suppl. 1):65-9
6. Parpaglioni R, Frigo MG, Lemma A, Sebastian M, Barbati, Celleno D.
Minimum Local Anesthesthic Dose (MLAD) of Intratechal Levobupivacaine and
Ropivacaine for Cesarean Section. Anesthesia. 2006;61:110-5
7. Foster RH, Markhamm A, Levobupivacaine a review of its
pharmacology and use as a local anaesthetic. 2000;59:551-79
8. Luck JF, Fettes PDW, Wildsmith JAW. Spinal Anaesthesia for Elective
Surgery: a comparison of hyperbaric solutions of racemic bupivacaine,
levobupivacaine, and ropivacaine. British Journal of Anaesthesia. 2008;(5):
705–10
9. Chumsang L, Thongmee S. Levobupivacaine and Bupivacaine in Spinal
Anesthesia for Transurethral Endoscopic Surgery. J Med Assoc Thai.
2006;89(8):1133-9
67
10. Glaser C, Marhofer P, Zimpfer G, Heinz MT, Sitzwolf C, Kapral S, et al.
Levobupivacaine versus Racemic Bupivacaine for Spinal Anesthesia.
2002;(94):194-8
11. Trukmen A, Moralar DG, Ali A, Alitan A. Comparison od The Anesthetic
Effects of Intratechal Levobupivacaine + Fentanyl and Bupivacaine + Fentanyl
During Cesarean Section. MEJ Anesth. 2012;21(4):577-82
12. Sen H, Sizlan A, Ates F, Dree K, Dere L, Gundu L, Ozkan S, Dagli.
Comparison of Three Different Doses of Intratechal LevobupivacaineIn
Urological Surgery. 2009;26(3):214-9
13.Anonim.SpinalAnesthesia.http://en.wikipedia.org/wiki/Spinal_anaesthesia#cite
_note-Bier 4. 2013
14. IFNA. Indications and Contraindications for Regional Anesthesia.
International Federation of Nurse Anesthetist. www.ifna-int.org. 2009: 1-6
15. IFNA. Spinal Anesthesia. International Federation of Nurse Anesthetist.
www.ifnaint. org. 2009:1-8
16. Miller R, Pardo MC. Basic of Anesthesia. 6th Ed. Philadelphia. Elseiver.
2007:111-4
17. Urman RD, Ehrenfeld JM. Pocket Anesthesia. Philadelphia. Lippincott
WiIliams & Wilkin’s, 2009:92-104
18. Hadzic A. Text Book of Regional Anesthesia and Pain Management. China.
The McGraw-Hill Companies. 2007:Chapter 13
19. Hocking G. Spinal Anesthetics Spread. Anesthesia UK. 2006
20. Marshall R. Local Anesthetics. Departemen Of Pharmacology College of
Medicine. University of Illinois at Chicago.2009:1-5
21. Heavner JE. Local Anesthetics. Department of Anesthesiology and
Physiology, Texas Technology University Health Sciences Center, Lubbock,
Texas, USA. 2007:1-7
22. Anesthesia UK. The Psycochemcial of Local Anesthetics. Anesthesia UK.
2009
23. Liu SS, McDonald SB. Current Issues in Spinal Anesthesia. American Society
of Anesthesiologists, Inc. Lippincott Williams & Wilkin’s, Inc. 2001;94(5):1-19
68
24. Wibowo B. Uji Klinis Perbandingan Mula Serta Durasi kerja Antara
Bupivacaine 0,5% 12,5 mg Hiperbarik dan Isobarik Pada Anestesi Spinal,
UNDIP, 2008:1-101
25. Setiabudi A. Perbandingan Ekspresi Sel T CD4+ di Jaringan Sekitar Luka
dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivacaine pada Nyeri Pasca Insisi Studi
Imunohistokimia pada Tikus Wistar. UNDIP. 2001:1-75
26. Arias MG. Levobupivacaine: A long acting local anaesthetic, with less cardiac
and neurotoxicity. Update.anesthesiologists.org. 2007:1-3
27. John F. Butterworth IV, David CM. Spinal, epidural & caudal blocks in
morgan & mikhail’s clinical anesthesiology. 5th
edition. New York: Mc Graw-
Hill, 2013;952-90.
28. Gustaffsson LL, Dchildt B, Jacobsen K. Adverse effects of extradural and
intrathecal opiates. Br J Anesth 1993;71:738-40.
29.Wong CA. Physiologic effects of neuroaxial anesthesia in spinal and epidural
anesthesia. New York: Μgraw-Hill, 2007;119-37.
30. Frizelle H. Mechanism of postoperative pain-nociceptive in postoperative pain
management: an evidence-based guide to practice. Philadelphia: Saunder Elseiver,
2006;27-33.
31. The American Society of Anesthesiologist task force on acute pain
management. Practice guidelines for acute pain management in the perioperatif
setting. Br J Anesth 2004;100:1574-81.
32. Tanra AH, Rehatta NM, Musbah MT. Lintasan nyeri. Dalam: Penatalaksanaan
nyeri. Edisi 1. Makassar: Bagian ilmu anestesi perawatan intensif dan manajemen
nyeri fakultas kedokteran universitas hasanuddin. 2013;2-10.
33. Lusia Kus Anna. Kematian akibat Anestesi Bupivakain muncul di 9 rumah
sakit. Harian KOMPAS. 29 April 2016; 1.
34. Doger,C. Effects of intratecal bupivacaine and bupivacaine plus sufentanil in
elderly patients undergoing transurethral resection.Nig J Clin Prac, 2014: 17:149-
153
69
35. Gupta,S. Intratechal sufentanil or fentanyl to low dose bupivacaine in
endoscopic urological procedures. J Anesth Clin Pharm. 2013: 21:509-515
36. Kim,SY. Comparison of intrathecal fentanyl and sufentanil in low-dose dilute
bupivacaine spinal anaesthesia for transurethral prostatectomy. British J Anesth.
2009: 103 (5): 750-4
37. Yudaf A. Regional anesthesia and anesthesia tecniques in: short textbook of
anesthesia. Second edition. India: Academa publisher, 2004;105-11.
38. Stoelting RK, Hillier CS. Pharmacology and physiology in anesthetic practice.
4th
edition. Philadelphi: Lippincot Williams and Wilkins, 2006;190-8.
39. McClellan, KJ., Spencer, CM. 1998. Levobupivacaine. Drugs 56: 355-62
40. Gristwood, R.W. 2002. Cardiac and CNS toxicity of Levobupivacaine:
Strength of evidence for advantage over bupivacaine. Drug 25(3): 153-63
41. Tsen, L.C. 2009. Anesthesia for Cesarean Delivery. In: Chestnut, D.H.,
Polley, L.S., Tsen, L.C., Wong, C.A., editor. Chestnut’s Obstetric Anesthesia:
principles and Practice, 4th
Ed. Philadelphia. Mosby Elsevier. p.521