kasus Radiologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kasus radiologi

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangKarsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama1,2 Karsinoma nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa nasofaring. Predileksi utamanya adalah pada fossa rosenmulleri. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi di dinding atas nasofaring (basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi koanae), dan di sekitar tuba.1,2 Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat.2 Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi.2,3,5Tindakan operasi kurang dapat berperan pada penanganan karsinoma nasofaring. Tindakan pembedahan hanya terbatas pada tindakan biopsi tumor primer atau kelenjar getah bening regional pada kasus baru, residu atau kekambuhan lokal.2,4,5Radioterapi dalam pengobatan kanker nasofaring diberikan dengan tujuan untuk radioterapi kuratif atau paliatif. Radioterapi kuratif diberikan kepada pasien kanker nasofaring WHO 1, 2 dan 3 yang menunjukkan respon radiasi yang baik pada evaluasi awal, sedangkan radioterapi paliatif diberikan kepada pasien dengan metastasis. Pemantauan terhadap pemberian radioterapi harus dilakukan baik selama pelaksanaan radiasi maupun setelah radiasi.3

1.2. TujuanPada laporan kasus ini disajikan suatu kasus seorang pria 33 tahun dengan karsinoma nasofaring. Penyajian kasus ini bertujuan untuk mempelajari lebih dalam tentang pengertian, faktor risiko, gejala klinis, penatalaksanaan, dan radioterapi yang digunakan pada pasien dengan karsinoma nasofaring.

1.3 MANFAATPenulisan laporan kasus ini diharapkan dapat membantu mahasiswa kedokteran untuk belajar mengenai penatalaksanaan radioterapi pada kasus karsinoma nasofaring.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan HistopatologiNasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang terletak di belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga dahulu disebut rongga buntu atau rongga tersembunyi. Batas-batas rongga nasofaring, di sebelah depan adalah koana (nares posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah belakang adalah jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus faring dan palatum mole, dan batas lainnya adalah dua sisi lateral.6

Gambar 2.1 Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping 14

Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring Tampak Belakang 15

Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah: 61. Adenoid atau Tonsila LushkaBangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.1 Fosa Nasofaring atau Forniks NasofaringStruktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma nasofaring atau angiofibroma nasofaring.2 Torus TubariusMerupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii (ostium tuba)3 Fosa RosenmulleriMerupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius. Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan predileksi terjadinya keganasan nasofaring.

Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun 1954, Ackerman dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya.6Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat lain di nasofaring.6 Moch. Zaman mengemukakan bahwa keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada:1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid. 2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana. 3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring dan palatum molle.

2.2 EpidemiologiRas Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, negara-negara Afrika Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga penyebabnya karena memakan makanan yang diawetkan dengan nitrosamin pada musim dingin 7, 8, 9Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia, jumlahnya mencapai 60% dari jumlah keseluruhan tumor ganas daerah kepala dan leher. Di semua pusat pendidikan dokter di Indonesia dari tahun ke tahun, karsinoma nasofaring selalu menempati urutan pertama di bidang THT. Frekuensinya hampir merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus per tahun. Di RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus per tahun, Makassar 25 kasus per tahun, Palembang 25 kasus per tahun, Denpasar 15 kasus per tahun, dan di Padang sebanyak 11 kasus per tahun. Frekuensi yang tidak jauh berbeda juga ditemukan di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian tumor ganas ini merata di seluruh Indonesia. 9Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.2

2.3 PatogenesisKeganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan gen penekan tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel. 9,10

Gambar 2.3 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan 9

Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara patologis.9,10

2.4 Manifestasi KlinisGejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher, gejala mata dan gejala saraf.1. Gejala Hidung/NasofaringHarus dicurigai adanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala: 6 Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita usia lebih dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan. Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih jika terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus paranasal. Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung (epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.2. Gejala Telinga Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga terasa penuh seperti terisi air, berdengung atau gemrebeg (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan pendengaran yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada perluasan tumor atau karsinoma nasofaring ke sekitar tuba, sehingga terjadi sumbatan. 6,93. Gejala Tumor Leher Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas tumor leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan. 6,94. Gejala Mata Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan secara teliti, penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel. Jelas yang dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI yang letaknya di atas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan N.IV, sehingga menyebabkan kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikus dan N.II maka penderita dapat mengalami kebutaan. 6,95. Gejala Saraf Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa gejala subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala atau kepala terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang mengeluh sulit menelan (disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada keluhan yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika perjalanan melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf kranial disebut dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk. 6,9

2.5 KlasifikasiKarsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan gambaran radiologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM.6,9

T (Tumor Primer)T0=Tidak tampak tumorT1=Tumor terbatas pada nasofaringT2=Tumor terdapatsampai perluasan hingga parafaringT3=Tumor telah sampai ke sinus paranasalT4=Tumor telah mencapai cranialTx=Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap

N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)N0=Tidak ada pembesaran KGBN1=Terdapat pembesaran KGB unilateralN2=Terdapat pembesaran KGB limfonodi cervical dengan ukuran 6cm

M (Metastasis jauh)M0= Tidak ada metastasis jauhM1= Terdapat metastasis jauhDari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4 stadium, yaitu:a. Stadium I : T1 N0 M0b. Stadium II : T1 N0 M0, T2 N0 M0, T2 N1 M0c. Stadium III: T1 N2 M0, T2 N2 M0, T3 N0 M0, T3 N1 M0, T3 N2 M0 d. Stadium IV: IV A T4 N0 M0 atau T4 N1 M0, T4 N2 M0 IV B Any T N3 M0 IV C Any T Any N M1Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan menjadi 3 tipe menurut WHO.6,7,8,9 Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop elektron di mana karsinoma nasofaring adalah salah satu variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini mendapat dukungan lebih dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.a. Tipe WHO 1Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1 mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring, sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.b. Tipe WHO 2Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2 ini paling banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan sebagian sel berdiferensiasi baik, sehingga gambaran yang didapatkan menyerupai karsinoma sel transisional. c. Tipe WHO 3Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel kanker paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu disebut dengan limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma, dan variasi spindel.

2.6 Diagnosisa. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 6Ada sebuah patokan agar selalu ingat dan curiga akan adanya nasofaring, seperti di bawah ini:1) Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring. Lebih-lebih jika tumor terletak di bawah prosesus mastoid dan di belakang angulus mandibula.2) Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat jika: Disertai gejala hidung dan telinga Disertai gejala mata dan saraf3) Dugaan karsinoma nasofaring hampir pasti bila ada gejala lengkapBila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher ini maka kita sudah mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher merupakan perluasan atau metastase tumor induk.

b. Pemeriksaan Penunjang 1) CT scan kepala dan leher Dengan pemeriksaan ini didapatkan perluasan dan keterlibatan KGB, destruksi tulang dan dapat menentukan staging6,7,9,112) Pemeriksaan Serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan karenan spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat berkisar antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada titer 160. 93) Pemeriksaan Patologi AnatomiIni merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca tersebut atau dengan memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan massa tumor akan terlihat jelas. Biopsi tumor dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.6,8,9

2.7 PenatalaksanaanPenatalaksanaan dibedakan berdasarkan stadium kanker tersebutStadium I : RadiasiStadium II-III : KemoradiasiStadium IV dengan limfadenopati berukuran 6cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasiPemilihan terapi kanker banyak faktor yang perlu diperhatikan, antara lain jenis kanker, kemosensitifitas dan radiosensitifitas kanker, imunitas tubuh dan kemampuan pasien untuk menerima terapi yang diberikan, efek samping terapi yang diberikan. 12,13,14

2.7.1 RadioterapiSampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan KNF. Modalitas utama untuk KNF adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. 12 Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. Jumlah radiasi untuk keberhasilan melakukan radioterapi adalah 5.000 sampai 7.000 cGy 13,15 Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukuran sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tidak teraba diberikan radiasi sebesar 5000 cGy,