Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kebudayaan
Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah ialah jamak
dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, ke-budaya-an itu dapat
diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Ada pendirian
lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, ialah bahwa kata itu adalah
suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan
dari akal.
Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus
dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi karyanya itu.
Kebudayaan merupakan keseluruhan total dari apa yang pernah dihasilkan oleh
mahluk manusia yang menguasai planet ini sejak jaman ia muncul di muka
bumi kira-kira empat juta tahun yang lalu, sampai sekarang (perkiraan waktu
munculnya manusia di muka bumi ini, adalah hasil analisa-analisa terbaru
metode potassium-argon untuk mengukur umur lapisan lapisan bumi).
(Koentjaraningrat. 1974: 19-20)
Menurut Koentjaraningrat (1980: 200-201) dalam bukunya Pengantar Ilmu
Antropologi, budaya manusia dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak
dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada dalam kepala-kepala, atau dengan
perkataan lain dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan
bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat menyatakan gagasan mereka
6
dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan
dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan.
Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam
suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan itu tidak
berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu
sistem ini sistem budaya atau cultural system. Dalam bahasa Indonesia terdapat
juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan
ini, yaitu adat, atau adat istiadat untuk bentuk jamaknya.
Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial atau social
system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan,
serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari
tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
cara kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu
masyarakat, sistem sosial itu bersifat kongkret, terjadi di sekeliling sehari-hari,
bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
Selanjutnya Koentjaraningrat (1980: 217) menganalisa 7 unsur
kebudayaan yang ditemukan semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur universal
itu, yang sekaliannya merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia
ini adalah:
1. Bahasa,
2. Sistem pengetahuan,
3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. Sistem mata pencaharian hidup,
6. Sistem religi,
7. Kesenian.
2. Tradisi
Tradisi (Bahasa Latin: tradition, atau diteruskan) atau kebiasaan, dalam
pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang relah dilakukan sejak
lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kebudayaan. Hal yang paling
7
mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke
generasi baik tertulis maupun lisan, karena adanya ini, suatu tradisi dapat
punah.
Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan, dengan tradisi sistem
kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan
suatu kebudayaan akan berakhir di saat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi
biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan tingkat efesiensinya. Efektifitas dan
efisiensinya selalu mengikuti perjalanan perkembangan unsur kebudayaan.
Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam menyelesaikan persoalan kalau
tingkat efektifitasnya dan efesiensinya rendah akan segera ditinggalkan
pelakunya dan tidak akan pernah menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja
sebuah tradisi akan pas dan cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat
pewarisnya. (Bastomi, 1984: 14)
Tradisi atau kebiasaan merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku
manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun
temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi yang telah membudaya akan
menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Tradisi dalam
pengertian sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan
menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat (Coomans, 1987:
73).
Tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari
masa lalu namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak atau
dilupakan. Disini tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa
dari masa lalu. Seperti yang dikatakan Shils (1981:12), tradisi berarti segala
sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Kriteria
tradisi dapat lebih dibatasi dengan mempersempit cakupannya. Dalam
pengertian yang lebih sempit ini tradisi hanya berarti bagian-bagian warisan
sosial khusus yang memenuhi syarat saja yakni yang tetap bertahan hidup di
masa kini (Piotr Sztompka, 2011: 69-70).
8
3. Melestarikan
Kebudayaan dapat lestari bila ada eksistensinya, maka upaya-upaya dalam
kelangsungannya diperlukan: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.
Perlindungan meliputi upaya-upaya untuk menjaga agar hasil-hasil budaya
tidak hilang atau rusak. Pengembangan meliputi upaya-upaya menggunakan
hasil-hasil budaya untuk keperluan.
Untuk pengembangan budaya lokal dapat ditempuh dengan 2 arah yaitu
dengan mempertahankan eksistensi tradisionalnya di lingkungan suku bangsa,
sehingga tetap merupakan bagian integral dari kebudayaan daerah. Dan disisi
lain perlu memperhatikan kebudayaan asing yang akan memperkaya
kebudayaan nasional dalam pengembangannya diperlukan kreatifitas di dalam
tradisi warisan peninggalan budaya dapat dipilah menjadi 2 yaitu karya-karya
budaya tangible dan intangible.
Untuk pembinaan kebudayaan yang diemban oleh berbagai pihak dan
masyarakat dapat dikelompokkan dalam usaha-usaha menurut sifatnya dapat
dibagi sebagai berikut:
1. Pemeliharaam, perawatan, dan pemugaran;
2. Penggalian dan pengkajian;
3. Pengemasan informasi budaya dan penyebarluasannya;
4. Perangsangan inovasi dan kreasi;
5. Perumusan nilai-nilai dan sosiologinya. (Pamerdi Giri Wiloso, 2012:
119-120)
Masyarakat bukan hanya memiliki budaya tetapi membudaya, artinya
selain nilai-nilai yang ada dilestarikan juga akan muncul niali-nilai baru. Cepat
atau lambat suatu kebudayaan akan terus bergerak maju. Selama masyarakat itu
hidup, selama itu pula budayanya akan terus berkembang. Budaya disini
dianggap sebagai nilai-nilai dan membudaya diartikan sebagai proses
menghayati, melestarikan, mengembangkan, dan melaksanakan nilai-nilai yang
berlaku. Dengan demikian, masyarakat tidak bersifat statis tetapi sebaliknya
dinamis dan itu dikarenakan adanya proses pembudayaan, yakni terus menerus
menciptakan dan mewujudkan kebudayaan. Pendidikan merupakan pranata
9
sosial dimana kebudayaan itu berkembang. Sehingga antara kebudayaan dan
pendidikan tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lain. Dimana ada
kebudayaan disitu ada pendidikan. Dimana ada pendidikan disitu ada
kebudayaan (H. Abdul Latif, 2009: 11 - 12).
4. Slametan
Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara
keagamaan yang paling umum di dunia; ia melambangkan suatu kesatuan
mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya. Handai-taulan, tetangga,
rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati,
dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama
mengelilingi satu meja dan karena itu terikat ke dalam suatu kelompok sosial
tertentu yang diwajibkan untuk tolong menolong dan bekerja sama
Slametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan
dengan suatu kejadian yang diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran,
perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama,
membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan, dan
memulai suatu rapat politik – semuanya itu bisa memerlukan slametan.
Tekanan untuk masing-masing sedikit berbeda.
Dari seluruh upacara itu di sebagian ini dilakukan dengan intens dan
meriah, sementara di bagian lainnya agak dikendorkan. Suasana kejiwaannya
mungkin berubah-ubah sekedarnya, tetapi sturktur upacara yang mendasarinya
tetap sama saja. Senantiasa ada hidangan khas (yang berbeda-beda menurut
slametan itu); dupa, pembacaan doa Islam dan pidato tuan rumah yang
disampaikan dengan bahasa Jawa tinggi yang angat resmi (yang isisnya tentu
saja berbeda-beda menurut peristiwanya); selalu terlihat tata karma yang sopan
dan sikap malu-malu, yang mengesankan bahwa sekalipun penyelenggaraan
upacara itu begitu ringkas dan tak dramatis, tetapi sesuatu yang penting sedang
berlangsung (Clifford Geertz, 1981: 13-14).
Slametan terdiri dari sekedar makan bersama menurut suatu cara atau ritus
yang pasti. Semua tetangga laki-laki dekat harus diundang. Diatas nasi yang
berbentuk kerucut (nasi tumpeng) diucapkan berkat (doa-doa) oleh modin;
10
kemudian hadirin menyantap beberapa suap nasi, lalu sisanya dibawa ke rumah
supaya istri dan anak pun memperoleh bagiannya. Slametan dapat dimengerti
sebagai ritus pemulihan keadaan slamet karena semua tetangga ikut, maka
slametan mengungkapkan di hadapan hadirin bahwa diantara para tetangga
terdapat kerukunan dan keselarasan; dan dengan demikian keadaan
ketentraman masyarakat dibaharui dan kekuatan-keuatan yang berbahaya
dinetralisirkan. Sekaligus, karena doa yang diucapkan, roh-roh lokal
dimasukkan ke dalam lingkup slametan dan mereka senang mencium sari
makanan itu. Dengan demikian slametan merupakan ritus yang mengembalikan
kerukunan dalam masyarakat dan dengan alam rohani, dan yang dengan
demikian mencegah gangguan-gangguan terhadap keselarasan kosmis (Frans
Magnis Suseno, 1991:89).
5. Merti Dusun/Bersih Dusun
Bersih dusun merupakan salah satu kearifan lokal yang masih lestari
sampai saat ini. Kearifan lokal yang merupakan warisan baik para leluhur kini
menambah khazanah kebudayaan bangsa. Bersih Dusun memiliki penanaman
berbeda-beda tergantung lokasi pelaksanaannya. Di daerah pegunungan sering
dinamakan labuhan gunung yang bisa dilihat di Gunung Merapi. Di daerah
pantai sering dinamakan labuhan laut atau sedekah laut. Sedangkan daerah
pertanian, dinamakan Merti Dusun atau Rasulan atau Sedekah Bumi atau
Bersih Dusun. Setiap penamaan di daerah pertanian ini memiliki makna dan
harapan tersendiri.
Di pedesaan Jawa yang bercorak pertanian Bersih Dusun dapat dikatakan
sebagai upacara wajib. Sebelum masuknya agama Islam, Bersih Dusun
digunakan sebagai sarana untuk memuja Dewi Sri “Dewi Pangan” dan Dewa
Sadana “Dewa Sandang”. Selain itu juga digunakan sebagai penghormatan
kepada Para Leluhur dan Para Dayang agar tidak marah. Kemarahan mereka
mampu mendatangkan pagebluk yang menyengsarakan masyarakat
(www.aktual.com/bersih-dusun-mitos-atau-modal-sosial/, Diakses: Kamis, 9
Juni 2016, 14:31).
11
Merti Desa atau bersih desa pada hakikatnya merupakan sebuah kegiatan
yang menjadi simbol rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa atas segala karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berupa
apa saja seperti rezeki, keselamatan atau juga kesalarasan dan ketentraman.
Lebih dari itu, merti desa juga merupakan sebuah wadah di mana para
penduduk bisa membina tali silaturahmi, saling menghormati, serta saling
tepa selira. Seperti diketahui bersama bahwa ketiga hal tersebut sudah mulai
jarang terkespresikan di dalam masyarakat. Padahal terlepas dari berbagai
kemudahan teknologi yang bisa mempermudah tali silaturahmi misalnya,
sebagai makhluk sosial sejatinya kita perlu berinterksi dan bertemu
langsung dengan masyarakat lainnya.
Selain sebagai manifestasi rasa syukur kepada Yang Maha Esa, Merti
Desa juga merupakan sebuah perwujudan keselarasan hubungan manusia
dengan alam. Selama hidupnya manusia telah hidup berdampingan dengan
alam dan mengambil banyak materi dari alam. Namun demikian, pemanfaatan
itu tidak boleh terlepas dari tata cara sehingga bisa menimbulkan eksploitasi
berlebihan terhadap alam. Padahal dalam haki- katnya manusia dan alam
saling melengkapi (Pratoyo, 2013:37).
Di Jawa pada waktu tertentu, lazimnya setahun sekali, dirayakan upacara
Merti Desa, yang juga disebut Bersih Desa, Memetri, Nyadranan, Suran,
Selikuran, Majemukan, Memuli, Angrowakake para leluhur. (Rachmat
Subagya, 1981: 131). Menurut Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981: 110) slametan bersih
desa berhubungan dengan pengudusan perhubungan dalm ruang, dengan
merayakan dan memberikan batas-batas kepada salah satu dasar kesatuan
territorial struktur sosial orang Jawa – desa. Apa yang ingin dibersihkan dari
desa itu tentu saja adalah roh-roh yang berbahaya. Ini dilakukan dengan
mengadakan slametan, dimana hidangan dipersembahkan kepada danyang desa
(roh penjaga desa) di tempat pemakamannya. Di desa yang kuat santrinya
slametan bersih desa itu bisa berlangsung di masjid dan seluruhnya terdiri dari
para pembaca doa Muslimin. Di desa-desa yang tak bermakam danyang, atau
12
letaknya tidak baik letaknya, upacara itu bisa diselenggarakan di rumah kepala
desa. Setiap keluarga di desa itu diharuskan menyumbangkan makanan dan
setiap kepala keluarga yang sudah dewasa harus ikut serta dalam slametan ini.
Bersih desa selalu diadakan pada bulan Sela, bulan kesebelas Tahun
Kamariah, tetapi masing-masing desa mengambil hari yang berbeda-beda
sesuai dengan tradisi setempat. Perayaan itu agak berbeda-beda tergantung ada
anggapan orang tentang karakteristik pribadi danyang desanya.
6. Nilai-nilai Pendidikan
a. Pengertian Pendidikan
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran bagi peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, ahlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara (H. Abdul Latif, 2009: 7).
Pendidikan adalah proses pemartabatan manusia menuju puncak optimasi
potensi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dimilikinya. Pendidikan adalah
proses membimbing, melatih, dan memandu manusia terhindar atau keluar dari
kebodohan dan pembodohan. Pendidikan adalah metamorfosis perilaku menuju
kedewasaan sejati. Pendidikan juga dapat didefinisikan sebagai proses elevasi
yang dilakukan secara kontinyu dengan sifat yang adaptif dan nirlimit atau
tiada akhir (Sudarwan Danim, 2011: 2).
Pendidikan merupakan aktivitas atau proses sosial yang esensial yang
memungkinkan generasi muda hidup eksis dalam kompleksitas sosial,
modernisasi ekonomi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Brubacher (1969) dalam Sudarwan Danim (2011: 4) mendefinisikan
pendidikan sebagai suatu proses pengembangan potensi dasar manusia yang
berkaitan dengan moral, intelektual, dan jasmaninya untuk mencapai tujuan
hidup dalam kerangka sistem sosial. Nor Syam (1981) dalam Sudarwan Danim
(2011: 4) mendefinisikan pendidikan sebagai aktivitas dan usaha manusia
13
untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi
pribadinya, yaitu rohani (piker, karsa, rasa, cipta, dan budi nurani) dan jasmani
(panca indera serta ketrampilan-ketrampilan).
Pada dasarnya pendidikan secara umum memiliki tugas suci dan mulia,
yaitu memberdayakan umat manusia sehingga mampu mengaktualisasikan
dirinya secara penuh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Pendidikan
memegang tugas mentransformasikan individu-individu menjadi manusia
sejati, yakni manusia sempurna yang mampu menggali kecerdasan-
kecerdasannya untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah hidupnya.
Kecerdasan-kecerdasan disini mengasumsikan berbagai jenis kecerdasan yang
diperlukan sebagai mahluk yang berjiwa yang berbeda dengan mahluk lainnya
(H. Abdul Latif, 2009: 3 - 4).
Tujuan pendidikan tidak terlepas dari pendidikan yang berada di dalam
konteks kehidupan masyarakat. Pendidikan adalah produk suatu masyarakat
tertentu. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan
masyarakat yang memilikinya. Dengan kata lain, tujuan atau visi pendidikan
adalah kongruen dengan visi masyarakat dimana pendidikan itu berada. Karena
proses pendidikan mengandalkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat
maka dengan sendirinya proses pendidikan adalah penghayatan dan
perwujudan nilai-nilai tersebut. Dengan sifatnya yang terbuka, yakni
masyarakat membuka diri terhadap perubahan, maka nilai-nilai tersebut berupa
nilai-nilai yang hidup maupun nilai-nilai baru yang dihasilkan dari inovasi.
Proses pendidikan merupakan persemaian dari kehidupan moral suatu
masyarakat itu sendiri (H. Abdul Latif, 2009: 11).
b. Nilai-nilai Pendidikan
Nilai-nilai pembentuk karakter (Sri Narwanti, 2011: 29 - 30) yang
bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional
menurut Dinas Pendidikan Nasional ada 18, yaitu:
1) Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran tehadap pelaksanaan ibadah agama
lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
14
2) Jujur: perilaku yang dilaksanakan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.
3) Toleransi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda
dengan dirinya.
4) Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
5) Kerja keras: perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6) Kreatif: berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7) Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8) Demokratis: cara berfikir, bersikp, dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9) Rasa ingin tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10) Semangat kebangsaan: cara berfikir, bertindak, dan berwawasan
yang menempatkan kepentingna bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
11) Cinta tanah air: cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa.
12) Menghargai prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuai yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
15
13) Berahabat/Komunikatif: tindakan yang memperhatikan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14) Cinta damai: sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadirannya.
15) Gemar membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16) Peduli lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
17) Peduli sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin member bantuan
pada orang lain masyarakat yang membutuhkan.
18) Tanggung jawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara
dan Tuhan Yang Maha Esa.
7. Etika Jawa
Etika Jawa menurut Franz Magnis Suseno (1991: 227) dalam bukunya
Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa
dikemukakan bahwa tuntutan-tuntutannya berdasarkan dua anggapan dasar
tentang struktur realitas seluruhnya yang erat hubungannya satu sama lain:
pertama, bahwa kedudukan dan kegiatan setiap manusia dalam dunia telah
ditentukan oleh takdir, dan kedua, bahwa manusia dengan segala kehendak dan
tindakannya pada hakekatnya tidak dapat mengubah perjalanan dunia seisinya
yang telah ditakdirkan itu. Namun di lain pihak, apabila manusia dengan
kelakuannya mengganggu keselarasan dalam masyarakat dan alam, ia juga
mengganggu keselarasan dalam kosmos hal mana membawa bahaya-bahaya
bagi yang bertindak itu sendiri dan bagi seluruh masyarakat. Atas dasar
pengandaian-pengandaian itu etika Jawa menuntut agar individu menyesuaikan
diri dengan tuntutan-tuntutan keselarasan masyarakat; atas dasar suara hati pun
atas nama tanggung jawab moral ia jangan membangkang, karena ia akan
16
memasukkan masyarakat ke dalam bahaya. Keunggulan prinsip-prinsip
keselarasan dijamin oleh masyarakat Jawa dengan suatu jaringan aturan
kelakuan sosial, psikologis, dan teoritis normatif, sehingga individu yang
melanggar prinsip-prinsip itu akan ditegur oleh masyarakat, merasa malu dan
mengerti bahwa semestinya jangan bertindak demikian (karena tindakan
macam itu misalnya merupakan tanda pamrih).
Ada dua kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa, yaitu prinsip
kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip kerukunan bertujuan untuk
mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan
semacam itu disebut rukun. Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”,
“tenang tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam
maksud untuk saling membantu”.
Keadaan rukun terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan
damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana
tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat
dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam rukun
tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokan tetap. Suasana seluruh
masyarakat seharusnya bernapaskan semangat kerukunan.
Perlu diperhatikan dua segi dalam tuntutan kerukunan. Pertama, dalam
pandangan Jawa masalahnya bukan penciptakan keadaan keselarasan sosial,
melainkan lebih untuk tidak menggaggu keselarasan yang diandaikan sudah
ada. Dalam perspektif Jawa ketenangan dan keselarasan sosial merupakan
keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama tidak diganggu.
Prinsip kerukunan terutama bersifat negatif: prinsip itu menuntut untuk
mencegah segala cara kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan
ketenangan dalam masyarakat. Rukun berarti berusaha untuk menghindari
pecahnya konflik-konflik.
Kedua, prinsip kerukunan pertama-tama tidak menyangkut suatu sikap
batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam pergaulan.
Yang diatur adalah permukaan hubungan-hubungan social yang setara. Yang
17
perlu dicegah ialah konflik-konflik yang terbuka (Franz Magnis Suseno 1991:
39 - 40).
Prinsip hormat adalah bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan
membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai
dengan derajat dan kedudukannya. “Apabila dua orang bertemu, terutama dua
orang Jawa, bahasa, pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan suatu
pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan
social yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan
tata karma yang sesuai, dengan mengambil sikap hormat atau kebapaan yang
tepat, adalah amat penting”.
Prinsip hormat berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam
masyarakat teratur secara hirarkis, bahwa keteraturan hirarkis itu bernilai pada
dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan
membawa diri sesuai dengannya. Pandangan itu sendiri berdasarkan cita-cita
tentang suatu masyarakat yang teratur baik, dimana setiap orang mengenal
tempat dan tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh
masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu hendaknya
diakui oleh semua dengan membawa diri sesuai dengan tata karma sosial
(Franz Magnis Suseno 1991: 60).
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan yang diambil penulis adalah dari skripsi Natalia
Tri Andyani jurusan Pendidikan Sosisologi dan Antropologi, Universitas
Negeri Semarang tahun 2013 yang berjudul “Eksistensi Tradisi Saparan Pada
Masyarakat Desa Sumberejo Kecamatan Ngablak, Kabupaten Semarang”
yang membahas tentang bagaimana kegiatan Saparan dilaksanakan di desa
Sumberejo Kecamatan Ngablak dengan memaparkan sebab-sebab masyarakat
desa Sumberejo masih melakukan Saparan serta eksistensi Saparan di desa
Sumberejo dengan fokus 3 klarifikasi perayaan tradisi Saparan yaitu secara
komunal, individu dan hiburan.
Perbedaan penelitian yang akan ditulis oleh peneliti adalah apabila dalam
skripsi Natalia berfokus pada perayaannya, peneliti akan memfokuskan pada
18
nilai pendidikan yang terkandung dalam upacara merti dusun di Dusun Karang
Padang.
Selain itu juga penulis mengambil penelitian yang relevan dari skripsi
yang ditulis oleh Hamzah Safi’i Saifudin Fakultas Usluhudin Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2009, yang berjudul “Tradisi
Upacara Merti Dusun di Dusun Mantup, Baturetno, Banguntapan, Bantul
(Studi Perspektif Pergeseran Tradisi)”. Dalam skripsi ini Hamzah membahas
mengenai pergeseran makna simbolik dalam pelaksanaan tradisi merti dusun
baik itu sebelum adanya pergeseran maupun sesudah terjadi pergeseran.
Clifford Geertz (1981) juga menjadi penelitian yang relevan bagi peneliti
karena dalam bukunya yang berjudul “Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa” membahas struktur masyarakat Jawa dan bagaimana pola-
pola, makna, kepercayaan, dan segala yang berhubungan dengan agama dan
kemistisan di dalam kehidupan Jawa yang dilakukan oleh masyarakat
Mojokuto termasuk di dalam bukunya membahas tentang slametan dan merti
desa.
Jurnal “Makna Tradisi Saparan bagi Mayarakat Dusun Mulungan
Kelurahan Nogosaren Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang” Rabu, 20
Januari 2016, yang ditulis oleh Widodo, Tri Widiarto dan Wahyu Purwiyastuti
menjadi penelitian yang relevan bagi peneliti karena membahas bagaimana
makna-makna pendidikan yang terdapat merti dusun yang hampir sama dengan
penelitian ini. Bila dalam jurnal tersebut membahas tentang 6 nilai pendidikan
dalam tradisi Saparan, peneliti akan membahas 11 nilai-nilai pendidikan yang
terdapat pada tujuan pendidikan nasional yakni Religius, Jujur, Toleransi,
Disiplin, Kerja Keras, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Bersahabat/Komunikatif,
Cinta Damai, Peduli Lingkungan, dan Tanggung Jawab.
Skripsi yang ditulis oleh AA Ihyauddin Al-Mahali, Jurusan Tarbiyah,
Program Studi Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri Salatiga
tahun 2012 yang berjudul “Nilai-nilai pendidikan Islam yang Terkandung
dalam Merti Desa (Studi di Dusun Bawang Tukang Kec. Pabelan Kab.
Semarang” juga menjadi penelitian yang relevan bagi penulis dimana dalam
19
skripsi Ihyauddin membahas tentang nilai-nilai pendiidkan islam di dalam
merti desa, sementara penulis membahas nilai-nilai pendidikan nasional dan
penerapan nilai-nilai pendidikan dalam merti dusun kepada masyarakat..