Upload
muhammad-yosan
View
213
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kata Pengantar
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul ETIKA DAN MORAL DI
PERKEMBANGAN JAMAN YANG DIPENGARUHI OLEH GLOBALISASI
sebagai tugas mata kuliah Etika.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :
1. Bapak ibu kami yang telah memberikan dukungan baik berupa dukungan moral
maupun dukungan material.
2. Bapak Drs. Matias Siagian selaku Dosen pengampu mata kuliah ETIKA, atas
bimbingan dan dukungannya.
3. Semua teman – teman kami dan semua pihak yang tidak dapat kami tuliskan
satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharapkan segala bentuk saran dan kritik yang
membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah tentang etika dan
moral di perkembangan jaman yang di pengaruhi oleh globalisasi.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat sekaligus dapat menjadi inspirasi
bagi pembaca semua.
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR ........................................................................................2
DAFTAR ISI ........................................................... ..........................................3
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................................4 1.2. Tujuan Penulisan ..................................................................................5
BAB II LANDASAN TEORI 2.1.
Etika……..............................................................................................62.2.
Akhlak.................................................................................................10 2.3. Moral...................................................................................................10 BAB III PEMBAHASAN..................................................................................12
BAB IV PERMASALAHAN…………............................................................19
BAB V PENUTUP Kesimpulan .........................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA……….............................................................................38
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah
pangkatan yang menentukan corak hidup manusia. Akhlak, moral atau susila
adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila
dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran
akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran
kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri,
dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan
baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh
dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang
khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau
patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya
manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada
perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan.
Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai
pertanggung jawaban atas perbuatan itu.
Satu masalah sosial kemasyarakatan yang harus mendapat perhatian kita
bersama dan perlu ditanggulangi dewasa ini ialah tentang kemerosotan akhlak
atau dekadensi moral. Disamping kemajuan teknologi akibat adanya era
globalisasi, kita melihat pula arus kemerosotan akhlak yang semakin melanda di
kalangan sebagian pemuda-pemuda kita. Dalam surat kabar sering kali kita
membaca berita tentang perkelahian pelajar, penyebaran narkotika, pemakain
obatbius, minuman keras, penjambret yang dilakukan oleh anak-anak yang
berusia belasan tahun, meningkatnya kasus-kasus kehamilan di kalangan remaja
putri dan lain sebagainya.
Hal tersebut adalah merupakan suatu masalah yang dihadapi masyarakat
yang kini semakin marak, oleh karena itu persoalan remaja seyogyanya
mendapatkan perhatianyang serius dan terfokus untuk mengarahkan remaja kea
rah yang lebih positif, yang titik beratnya untuk terciptanya suatu system dalam
menanggulangi kemerosotan akhlak dan moral dikalangan remaja.
1.2 Tujuan
a. Mengetahui pengertian dan perbedaan dari etika, moral dan akhlak
b. Mengetahui modernisasi dan globalisasi serta dampaknya terhadap etika,
moral dan akhlak remaja
c. Mengetahui kondisi akhlak remaja saat ini dan permasalahan yang
ditimbulkan
BAB II
Landasan Teori
2.1 Etika
Pengertian Etika( Etimologi) , berasal dari bahasa Yunani
adalah“Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat
kebiasaan (custom) .Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang
merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya
“Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal
tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi
dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk
penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian
sistem nilai-nilai yang berlaku.
Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
• Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan
hidup yang lebih baik.
• Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan
tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:
• Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk
ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
• Manner dan Custom, membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan
kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human
nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatutingkah laku atau
perbuatan manusia.
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam
pokok perhatiannya; antara lain:
1 Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang
kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of
good and the nature of the right)
2 Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan
bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect
to a particular class of human actions)
3 Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral
sebagaiindividual. (The science of human character in its ideal state, and
moral principles as of an individual).
4 Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty) .
2.1.1 Macam-macam Etika
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang
tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara
moral(mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh
mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara
kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya,
dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di
dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika,
terdapat dua macam etika (Keraf: 1991: 23), sebagai berikut:
1. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku
manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu
yang bernilai.
Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya,
yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait
dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang
kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang
dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak
secara etis.
2. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya
dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan
tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini.Jadi Etika Normatif merupakan
norma- norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan
meng-hindarkan hal-hal yang buruk,sesuai dengan kaidah atau norma yang
disepakati dan berlaku di masyarakat.
Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
• Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang
khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
• Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yangmembicarakan baik
buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama.Definisi tersebut tidak
melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan
waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat
sosiologik.
• Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif,
dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku
manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta,cukup informasi,
menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif,
direktif dan reflektif.
Dalam encyclopedia Britanica, Etika dinyatakan sebagai filsafat moral,
yaitu study yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik,
buruk, benar, salah, dan sebagainya. Dari definisi etika tersebut diatas, dapat
segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut :
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan
yang dilakukan oleh manusia.
2. Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.
3. Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan
penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah
perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan
sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap
sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu pada
pengkajian system nilai-nilai yang ada.
4. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah
sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang
dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang
dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat di
kelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan
demikian etika sifatnya humoristis dan antroposentris yakni bersifat pada
pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah
aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
2.2 Akhlak
Akhlak adalah konsep abadi dari Khalik Maha Pencipta dan muthlak
mestinya dilakukan makhluk manusia yang telah diciptakan. Premis ini,
memberikan suatau kenyataan bahwa makhluk manusia mesti terikat erat dengan
Khalik sang Pencipta.
Akhlak adalah salah satu jembatan yang mendekatkankan makhluk dengan
Khaliknya. Karena itu beragama bukanlah sebuah beban. Membebaskan diri dari
ketentuan Maha Pencipta, atau membebaskan manusia dari nilai-nilai agama
(seperti paham free of values) samalah artinya menjadikan makhluk manusia
yang tidak punya makna.
Semestinya agama harus dilihat sebagai satu kebutuhan utama. Betapapun
kebutuhan materi telah dapat dipenuhi, hidup senantiasa hambar dan gersang
apabila kebutuhan im- materi (ruhanik) tidak terpenuhi.
Dari sisi ini kita melihat, bahwa manusia tanpa agam,a sama saja dengan
makhluk yang bukan manusia. Perikehidupan tanpa bimbingan agama, artinya
sama dengan peri kehidupan tidak berperikemanusiaan.
2.3 Moral
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu
mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai
arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata
‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena
kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan
kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti
kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan
yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik dan buruk.
Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’
dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan
bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap
perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku
dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral
bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
tidak baik.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada
dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang
“moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik
buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas
dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Kemoralan merupakan sesuatu yang berkait dengan peraturan-peraturan
masyarakat yang diwujudkan di luar kawalan individu (DorothyEmmet,1979)
mengatakan bahawa manusia bergantung kepada tatasusila,adat, kebiasaan
masyarakat dan agama bagi membantu menilai tingkahlaku seseorang.
BAB III
Pembahasan
Apabila kita menelusuri lebih mendalam, maka kita dapat menemukan
secara jelas persamaan dan perbedaan etika dan akhlak. Persamaan diantara
keduanya adalah terletak pada objek yang akan dikaji, dimana kedua-duanya
sama-sama membahas tentang baik buruknya tingkah laku dan perbuatan
manusia. Sedangkan perbedaannya sumber norma, dimana akhlak mempunyai
basis atau landasan kepada norma agama yang bersumber dari hadist dan al-
Quran.
Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama
bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku
yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia.
Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena
pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk
mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.
Para ahli dapat segera mengetahui bahwa etika berhubungan dengan
empat hal sebagai berikut:
· Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas
perbutaan yang dilakukan oleh manusia.
· Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan
filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutla, absolut dan
tidak pula universal.
· Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu
dan penetap terhadap suatu perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia,
terhormat, terhina dsb.
· Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-
rubah sesuai tuntutan zaman.
Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang
dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Dengan kata lainetika
adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang
berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral diartikan
dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum
diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar.
Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula
berbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih
banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang
tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral
secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki
perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau
rasio, sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah
norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
Dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama,
kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik
atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral
tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan
berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih
bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika
berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang
di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada
sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Namun, etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan
membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika,
moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara
selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup
manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang
berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral
dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
Dampak Modernisasi Dan Globalisasi Terhadap Akhlak, Etika,
Dan Moral Remaja
Modernisasi merupakan suatu proses transformasi dari suatu perubahan ke
arah yang lebih maju atau meningkat di berbagai aspek dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan, globalisasi yang berasal dari kata global atau globe
artinya bola dunia atau mendunia. Jadi, globalisasi berarti suatu proses masuk
ke lingkungan dunia.
Modernisasi dan globalisasi dapat memperngaruhi sikap masyarakat dalam
bentuk positif maupun negatif. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
• Sikap Positif
1) Penerimaan secara terbuka (open minded); lebih dinamis, tidak terbelenggu
hal-hal lama yang bersikap kolot
2) Mengembangkan sikap antisipatif dan selektif kepekaan (antisipatif) dalam
menilai hal-hal yang akan atau sedang terjadi.
• Sikap Negatif
1) Tertutup dan was-was (apatis)
2) masyarakat yang telah merasa nyaman dengan kondisi kehidupan masyarakat
yang ada
3) Acuh tah acuh
4) masyarakat awam yang kurang memahami arti strategis modernisasi dan
globalisasi
5) Kurang selektif dalam menyikapi perubahan modernisasi
6) Menerima setiap bentuk hal-hal baru tanpa adanya seleksi/filter
Modernisasi dan globalisasi dapat masuk ke kehidupan masyarakat melalui
berbagai media, terutama media elektronik seperti internet. Karena dengan
fasilitas ini semua orang dapat dengan bebas mengakses informasi dari berbagai
belahan dunia. Pengetahuan dan kesadaran seseorang sangat menentukan
sikapnya untuk menyaring informasi yang didapat. Apakah nantinya berdampak
positif atau negatif terhadap dirinya, lingkungan, dan masyarakat.
Untuk itu, diperlukan pemahaman agama yang baik sebagai dasar untuk
menyaring informasi. Kurangnya filter dan selektivitas terhadap budaya asing
yang masuk ke Indonesia, budaya tersebut dapat saja masuk pada masyarakat
yang labil terhadap perubahan terutama remaja dan terjadilah penurunan etika
dan moral pada masyarakat Indonesia.
Jika dilihat pada kenyataannya, efek dari modernisasi dan globalisasi lebih
banyak mengarah ke negatif. Kita dapat kehilangan budaya negara kita sendiri
dan terbawa oleh budaya barat, jika masyarakat Indonesia sendiri tidak
mempelajari pengetahuan tentang kebudayaan Indonesia dan tidak menjaga
kebudayaan tersebut. Ada baiknya budaya barat yang kita serap disaring
terlebih dahulu. Karena tidak semua budaya barat adalah baik. Jika kita terus
menerima dan menyerap budaya asing yang tidak sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia, dapat terjadi penyimpangan etika dan moral bangsa Indonesia
sendiri.
Melalui penyimpangan etika dan moral tersebut, dapat tercipta pola
kehidupan dan pergaulan yang menyimpang. Tidak hanya akibat negatif yang
dihasilkan modernisasi dan globalisasi. Proses ini juga menghasilkan akibat
positif, yaitu terciptanya masyarakat yang lebih intelek dan melek terhadap
perubahan dan perkembangan dunia.
Kondisi akhlak remaja saat ini dan permasalahan yang ditimbulkan
Berikut ini adalah beberapa fakta mengenai penurunan akhlak masyarakat
yang diadapat dari berbagai masyarakat.
· 15-20 persen dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan
hubungan seksual di luar nikah
· 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya
· Hingga Juni 2009 telah tercatat 6332 kasus AIDS dan 4527 kasus HIV
positif di Indonesia, dengan 78,8 persen dari kasus-kasus baru yang terlaporkan
berasal dari usia 15-29 tahun
· Diperkirakan terdapat sekitar 270.000 pekerja seks perempuan yang ada di
Indonesia, di mana lebih dari 60 persen adalah berusia 24 tahun atau kurang,
dan 30 persen berusia 15 tahun atau kurang
· Setiap tahun ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia di mana 20 persen
diantaranya adalah aborsi yang dilakukan oleh remaja
· Berdasarkan data kepolisian, setiap tahun penggunaan narkoba selalu naik.
Korban paling banyak berasal dari kelompok remaja, sekitar 14 ribu orang atau
19% dari keseluruhan pengguna.
· Jumlah kasus kriminal yang dilakukan anak-anak dan remaja tercatat 1.150
sementara pada 2008 hanya 713 kasus. Ini berarti ada peningkatan 437 kasus.
Jenis kasus kejahatan itu antara lain pencurian, narkoba, pembunuhan dan
pemerkosaan.
· Sejak Januari hingga Oktober 2009, Kriminalitas yang dilakukan oleh
remaja meningkat 35% dibandingkan tahun sebelumnya, Pelakunya rata-rata
berusia 13 hingga 17 tahun.
Kemorosotan akhlak di atas disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
§ Salah pergaulan, apabila kita salah memilih pergaulan kita juga bisa ikut-ikutan
untuk melakukan hal yang tidak baik.
§ Orang tua yang kurang perhatian, apabila orang tua kuran memperhatikan
anaknya, bisa-bisa anaknya merasa tidak nyaman berada di rumah dan selalu
keluar rumah. Hal ini bisa menyebabkan remaja terkena pergaulan bebas.
§ Ingin mengikuti trend, bsia saja awalmya para remaja merokok adalah ingin
terlihat keren, padahal hal itu sama sekali tidak benar. Lalu kalu sudah mencoba
merokok dia juga akan mencoba hal-hal yang lainnya seperti narkoba dan seks
bebas.
§ Himpitan ekonomi yang membuat para remaja stress dan butuh tempat pelarian.
§ Kurangnya pendidikan Agama dan moral.
Faktor-faktor di atas sebagian besar dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi. Dengan berkembang pesatnya teknologi pada zaman sekarang ini,
arus informasi menjadi lebih transparan. Kemampuan masyarakat yang tidak
dapat menyaring informasi ini dapat mengganggu akhlak. Pesatnya
perkembangan teknologi dapat membuat masyarakat melupakan tujuan utama
manusia diciptakan, yaitu untuk beribadah.
· Untuk meghindari salah pergaulan, kita harus pandai memilah dan memilih
teman dekat. Karena pergaulan akan sangat berpengaruh terhadap etika, moral,
dan akhlak.
· Peran orang tua sangat penting dalam pembentukan karakter seseorang,
terutama dalam mengenalkan pendidikan agama sejak dini. Perhatian dari orang
tua juga sangat penting. Karena pada banyak kasus, kurangnya perhatian orang
tua dapat menyebabkan dampak buruk pada sikap anak.
· Memperluas wawasan dan pengetahuan akan sangat berguna untuk
menyaring pengaruh buruk dari lingkungan, misalnya kebiasaan merokok.
Dewasa ini, orang-orang menganggap bahwa merokok meningkatkan
kepercayaan diri dalam pergaulan. Padahal jika dilihat dari sisi kesehatan,
merokok dapat menyebabkan banyak penyakit, baik pada perokok aktif maupun
pasif. Sehingga kebiasaan ini tidak hanya akan mempengaruhi dirinya sendiri,
melainkan juga orang-orang di sekelilingnya.
BAB IV
PERMASALAHAN
PROBLEMATIKA MORAL DI ERA GLOBALISASI
Akhir-akhir ini, kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai
penyimpangan moral yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Tawuran
pelajar, perkelahian antar genk, perilaku seks bebas, gaya hidup tidak beraturan
menjadi beberapa contoh kelunturan moral di kalangan generasi muda kita. Di
kalangan pejabat, praktek korupsi masih merupakan persoalan yang sangat
mengerikan di Indonesia. Masyarakat secara umum pada akhirnya kehilangan
rujukan keteladanan, sehingga krisis moral semakin meluas.
Di kalangan generasi muda, mucul fenomena genk. Hampir semua SMA
di Jakarta memiliki genk. Alasan pendirian genk pada intinya sama, yaitu
membentuk solidaritas untuk menghantam atau tawuran dengan sekolah lain.
Misalnya, di kalangan sebuah siswa SMA di Bulungan terdapat genk sekolah
yang sudah tradisi terbentuk setiap angkatan. Anggotanya adalah mayoritas
angkatan itu. Misalnya Legiun (angkatan 2003), Salvozesta (2006), Spooradiz
(2006) dan lain sebagainya. Di SMA lainnya, nama genk-nya adalah
GOR@SIX. Genk anak SMA lainnya lagi adalah Rezteam, ada pula Gazper dari
Gazper I sampai Gazper X, dan masih sangat banyak genk di berbagai SMA.
Sidik Jatmika dalam bukunya “Genk Remaja : Anak Haram Sejarah
Ataukah Korban Globalisasi ?” (2010) menyebutkan data, di antara contoh
kasus terjadi pada Desember 2009. Saat berangkat sekolah seorang pelajar
bernama AS tewas dibacok belasan pelajar. AS (15 tahun) adalah siswa kelas I
STM, ia tewas dikeroyok berlasan remaja berseragam SMA di Jl. Gunung
Sahari, Jakarta Pusat hari Rabu, 26 Desember 2009. Hasil pelacakan aparat
menunjukkan, peristiwa tersebut merupakan bentuk bentrokan antara anggota
genk Boedoet melawan Chaptoen di Kemayoran.
Di Lhokseumawe, Aceh, dua anggota genk cewek SMA terlibat
perkelahian, yang dipicu oleh rebutan cowok (31 Mei 2009). Perkelahian
disaksikan tujuh anggota genk lainnya yang memberikan support. Di
Balikpapan, seorang siswa SMP dihajar oleh lima orang kakak kelasnya dan
direkam dengan HP oleh rekan lainnya (27 Nopember 2007). Alasan merekam
adegan ini adalah meniru rekaman inisiasi Genk Motor Brigez Bandung.
Sementara itu di Kutai Kertanegara, beredar rekaman aksi kekerasan yang
diduga dilakukan oleh pelajar putri SMP. Pada rekaman perkelahian remaja
putri yang berdurasi 2 menit itu terlihat sekelompok orang berada pada suatu
tempat yang cukup lapang yang diperkirakan berlokasi di sebuah kawasan jalan
di kota Tenggarong.
“Neko-neko Dikeroyok” (NERO) adlah salah satu genk remaja putri di
Jawa Tengah yang cukup populer. Anggota genk Nero sering melakukan
penganiayaan terhadap remaja putri SMP dengan alasan, mereka tidak suka
kalau ada perempuan lain yang menyaingi dan melebihi apa yang mereka
miliki. Misalnya terkait pakaian, gaya rambut atau penampilan lainnya.
Parahnya, penganiayaan tersebut mereka rekam melalui video HP kemudian
mereka sebarkan. Di Kupang Nusa Tenggara Timur, kepolisian menangkap para
anggota dua genk cewek yang terkenal suka berkelahi (17 Februari 2009).
Mereka adalah sembilan siswi anggota genk Anastasia dan tiga siswi anggota
genk Aroyo Kupang. Sementara itu 23 siswi lainnya ikut dimintai keterangan
pihak kepolisian.
Pada tahun 2010 kemarin, saya sempat membuat penelitian kecil dengan
mencari berita terkait penyimpangan moral di berbagai media massa. Betapa
terkejutnya saya, karena dengan sangat mudah saya menemukan beraneka
ragam penyimpangan moral yang dilakukan oleh kalangan pelajar, orang tua,
termasuk di kalangan pejabat negara, di kalangan anggota DPR, kepala daerah,
anggota TNI dan POLRI, bahkan di kalangan pemuka agama. Semua dari kita
telah terkena ujian moral. Bukan hanya anak muda, namun juga orang tua.
Bukan hanya masyarakat biasa, namun juga di kalangan pemimpin dan elit
bangsa.
McLuhan, seorang pemikir komunikasi, pada tahun 1964 telah
melontarkan konsepnya mengenaiThe Global Village. Namun konsep
globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun 1980-an sebagai
suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Roberston
dariUniversity of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai dianggap
sebagai suatu pengertian ekonomi. William K. Tabb dalam bukunya “Tabir
Politik Globalisasi” (2003), mengatakan bahwa definisi globalisasi merupakan
sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek dan makna.
Selanjutnya Tabb mengatakan bahwa “Istilah globalisasi berarti sebuah
proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat. Ini adalah gambaran
bagaimana kejadian dan kegiatan di satu bagian dunia memiliki akibat
signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian dunia lainnya. Ini bukan
saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling ketergantungan sosial dan
budaya dari desa global yang minum Coke dan menonton Disney“
Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa, ada hal yang
menarik terjadi dalam proses tersebut, yang oleh Naisbitt disebut sebagai
paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus
homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet
akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya
terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat
munculnya nilai-nilai budaya etnis. Hal ini juga tampak jelas dalam fenomena
berpisahnya Cekoslowakia menjadi dua negara sesuai etnis masing-masing,
yaitu Republik Ceko dan Republik Slowakia. Masalah semacam itu disadari
benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub
budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun
keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional
yang diterima sebagai puncak budaya etnis.
Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang
semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa
manusia seolah diseragamkan. Sejak dari selera makanan, minuman, musik,
film sampai kepada sarana komunikasi dan gaya hidup, masyarakat dunia telah
memiliki corak yang nyaris seragam. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi
juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubah ke arah
suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan
budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.
Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah
mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas
dalam diri individu, kelompok dan masyarakat. Untuk mengatasi persoalan
tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian yang merupakan
pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat
globalisasi. Keluarga dan masyarakat harus mempunyai identitas diri yang kuat
dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Heilbroner menyatakan bahwa “masa depan atau esok hari hanya dapat
dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan.
Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang
membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah
masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini
tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-
kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak
dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu. Dengan
kata lain manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya akan
dibawa oleh arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ke tempat yang
tidak dikenalnya. Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan di dalam
ketidakpastian atau chaos”.
Kuatnya arus globalisasi yang melanda seluruh dunia, memberikan
tantangan tersendiri terhadap pengokohan moral dalam kehidupan. Apalagi
pada kondisi dimana dunia tengah menyaksikan adanya krisis kemanusiaan.
Fenomena krisis dunia akibat globalisasi disorot dengan sangat tajam oleh
banyak ahli. Fritjof Capra (2007), misalnya, ia mengawali tulisannya dalam
buku The Turning Point dengan analisis tentang krisis global saat ini.
Menurutnya, krisis ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sepanjang
sejarah umat manusia.
Fritjof Capra menyatakan, “Pada awal dua dasawarsa terakhir abad
keduapuluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang
serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang segi-seginya
menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas
lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini
terjadi dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum
pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia” (Lihat : Fritjof
Capra, The Turning Point: Titik Balik Peradaban, Jejak, Yogyakarta, 2007).
Sinyalemen Capra di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak
kekhawatiran yang pernah disampaikan oleh banyak kalangan, tentang kondisi
krisis kemanusiaan yang tengah melanda dunia saat ini. Mengutip pernyataan
Giddens (2000), akar permasalahannya bukan terjadi dari alam, namun terjadi
dari manusia sendiri (Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga
Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000).
Keterjebakan dalam pola hidup yang serba praktis bahkan pragmatis,
pengabaian orientasi ukhrawi (akhirat) dan hanya berorientasi duniawi, telah
semakin menyeret manusia ke dalam kubangan kerakusan, ketamakan,
keserakahan, dan kesombongan. Akar-akar nilai dan keyakinan semakin
tercerabut dari jiwa manusia, bahkan akhirnya manusia hidup semata-mata
mengejar sesuatu yang bercorak pragmatis.
Dalam kondisi kemanusiaan seperti ini, kita diingatkan kembali kepada
teori lama dari Daniel Bell yang meneriakkan dengan lantang “The End of
Ideology”. Daniel Bell menekankan penolakannya terhadap kepercayaan umum
selama ini, yang menerima konsepsi menyeluruh tentang problematika sosial
budaya sebagaimana diobsesikan oleh berbagai ideologi yang merupakan cara
bertindak bagi manusia. Ideologi semacam ini menurut Bell sudah sampai pada
akhir kematiannya:Ideology, which once was a road to action, has come to be a
dead end. Masyarakat dunia diajak untuk semakin tidak meyakini ideologi,
berarti menciptakan tata kehidupan baru minus keyakinan, minus landasan dasar
dan falsafah kehidupan itu sendiri. Kendati teori ini ditolak banyak pihak, akan
tetapi esensi dari teori Daniel Bell tersebut bisa dilihat dalam kehidupan
keseharian masyarakat Indonesia yang serba praktis dan pragmatis.
Penolakan teori Daniel Bell tersebut diantaranya datang dari Sidney Hook,
seorang intelektual terkemuka Amerika. Hook menyatakan ketidaksetujuannya
terhadap pandangan yang menganggap bahwa dengan perkembangan iptek yang
makin maju, ideologi akan ‘habis’. Pandangan Hook itu disampaikan dalam
dialognya bersama sejumlah ahli di Indonesia tahun 1975, sekalian menanggapi
terbitnya buku “The End of Ideology” (1960) tulisan bekas muridnya, Daniel
Bell. Bagi Hook, ideologi merupakan sebuah kekuatan yang hebat. Ia
mencontohkan perbedaan media massa di Amerika Serikat dengan di Uni
Soviet.
Di Amerika Serikat, pers bisa menjatuhkan seorang Presiden, sementara
di Uni Soviet pers bisa dibungkam oleh penguasa Negara yang kekuasaannya
jauh di bawah presiden. Hal yang membedakan keduanya adalah pada ideologi
pers yang mereka anut. Ini menandakan ideologi tidak mati, justru realitas pada
zaman sekarang menunjukkan kebutuhan masyarakat dan Negara akan sebuah
ideologi yang jelas dan kuat sebagai panduan menjawab tantangan zaman.
Inilah gambaran sebab-sebab krisis, bahwa manusia telah menciptakan
krisisnya sendiri, dan ternyata nilai kemanusiaan terkubur di balik gemerlapnya
kemajuan sains dan teknologi. Sisi spiritualitas dan moralitas semakin pudar
dan bahkan bisa terkikis habis, oleh pragmatisme dan materialisme. Tingkah
laku, budi pekerti luhur dan moralitas sudah terlumpuhkan oleh budaya hidup
instan yang menghendaki kesenangan dan pencapaian tujuan dengan
menghalalkan segala cara. Nilai moral semakin ditinggalkan oleh masyarakat
Indonesia, yang dengan alasan modernitas telah berpaling dari ikatan budaya
Indonesia, menuju kepada budaya global yang tidak seluruhnya sesuai dengan
watak serta jatidiri bangsa yang religius.
Sayidiman Suryohadiprojo menjelaskan, pengertian modernitas berasal
dari perkataan “modern”; dan makna umum dari perkataan modern adalah
segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari
modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa
lampau. Yang dimaksudkan peradaban modern adalah peradaban Barat yang
terbentuk setelah bangsa-bangsa Eropa melampaui masa Abad Pertengahan.
Perkataan “modern” di sini adalah “Eropa centris” atau “Barat centris” karena
sepenuhnya bersangkutan dengan kehidupan bangsa-bangsa di Eropa bahkan di
Eropa Barat.
Peradaban yang modern menghasilkan kehidupan baru yang maju berkat
ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi di pihak lain juga mengakibatkan
kesengsaraan dan penderitaan yang besar. Kapitalisme menimbulkan
kesengsaraan bagi para buruh dan petani, sedangkan imperialisme dan
kolonialisme menyebabkan penderitaan yang parah sekali bagi bangsa-bangsa
Asia dan Afrika Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman,
Persoalan memang terjadi dalam spektrum yang sangat luas. Ambruknya
moral di kalangan remaja hanyalah dampak saja dari peroalan moral para elit
dan pemimpin bangsa. Sayidiman Suryohadiprojo (2003) menengarai kondisi
bangsa sekarang, disamping kemiskinan dan kesengsaraan yang diderita rakyat
ada segolongan orang yang kaya raya sehingga amat menonjol perbedaan dalam
kehidupan, dimana kebanyakan rakyat yang sengsara dan segolongan kecil saja
yang kaya, Harapan Untuk Masa Depan Bangsa Indonesia Tercinta,
“Hal itu diperberat lagi oleh perilaku golongan orang yang tanpa malu-
malu memperkaya diri dengan cara yang tidak sah dan merugikan kepentingan
negara dan bangsa. Bahkan Reformasi pada tahun 1998 tidak berhasil
menghilangkan perilaku KKN itu dan malahan makin merajalela meliputi
pejabat eksekutif maupun legislatif yang seharusnya justru mewakili
kepentingan rakyat. Semangat perjuangan yang tertuju kepada kemuliaan
negara dan bangsa hampir tidak ada, kalaupun ada semangat perjuangan maka
itu adalah untuk memperkaya diri pribadi, keluarga atau golongan kecilnya”,
tulis Sayidiman.
Sujarwadi menengarai berbagai ekspresi masyarakat yang terjadi dewasa
ini menunjukkan betapa berat tekanan yang dihadapi publik dari waktu ke
waktu, yang ini tampak dari beberapa bentuk gerakan masyarakat: eksklusivitas
yang meluas, mutual distrust yang semakin parah, inequality frustration yang
mendalam, dan disengagement yang akut. Gerakan eksklusivitas muncul dalam
bentuk pengabaian atas keberadaan atau bahkan pemisahan diri dari masyarakat
umum, baik dengan parameter etnis, agama, golongan, dan berbagai parameter
gaya hidup. Selain dalam bentuk aliran agama yang tidak jarang bersifat sesat,
gerakan fundamentalisme, juga kelompok hedonis dalam berbagai tipe yang
memisahkan diri dan merupakan counter culture atas tata aturan yang berlaku
umum. Fenomena yang diangkat oleh Sujarwadi di atas dengan jelas
menggambarkan betapa moral semakin memudar pada berbagai kelompok
masyarakat di Indonesia saat ini.
Lebih lanjut Sujarwadi menjelaskan, mutual distrust muncul sebagai
bentuk ketidakpuasan yang terjadi dalam hubungan yang bersifat horisontal
maupun vertikal. Konflik etnik, agama atau kelas di berbagai tempat telah
melahirkan ketidakpercayaan satu sama lain, seperti yang terjadi di Papua,
Ambon, Poso, Aceh, dan lingkungan sosial lain. Inequality frustration terjadi
dalam bentuk perasaan diperlakukan tidak adil oleh golongan yang berada di
atas sehingga cenderung mengambil “jalan pintas” dengan membakar tempat
ibadah, membakar fasilitas publik, penjarahan, dan perampokan. “Jalan pintas”
inilah yang mengancam terbangunnya niat baik dan cita-cita mulia sebuah
pembangunan.
Disengagement atau ketidakpedulian telah menjadi bagian penting dari ekspresi
sosial publik sebagai respons atas ketidakpastian yang dialami. Sikap ini juga
merupakan pernyataan tentang hilangnya harapan masyarakat akan terjadinya
perbaikan dalam hidup mereka. Bentuk-bentuk ekspresi masyarakat tersebut
merupakan tanda perlunya perenungan yang seksama tentang orientasi
pembangunan nasional selama ini.
Untuk bisa keluar dari krisis kemanusiaan ini, hal yang harus ditempuh
adalah perbaikan dari akarnya. Manusia harus hidup dalam kondisi yang
berkeseimbangan antara sisi lahiriyah dan batiniyah, sisi fisik dan spiritual, sisi
intelektual dan moral, sisi materi dan ruhani. Keseluruhan sisi dalam kehidupan
harus dioptimalkan untuk menjadikan keseimbangan, sehingga tidak berpotensi
menyimpang akibat meninggalkan sisi-sisi yang penting dalam diri manusia,
yaitu ruhani atau spiritual dan moral. Bagi bangsa Indonesia yang terkenal
religius, sesungguhnya telah memiliki jawaban atas persoalan kemanusiaan
yang dihadapi akibat globalisasi tersebut.
Wahana pengembalian nilai-nilai kebaikan yang paling efektif adalah
melalui keluarga dan masyarakat. Bagi bangsa Indonesia, keluarga adalah
ikatan yang terbentuk secara pimordial dengan sangat kuat pada seluruh
anggotanya. Membentuk keluarga adalah salah satu tradisi dan budaya luhur
bangsa Indonesia, yang telah terjadi sejak zaman dulu secara turun temurun.
Pembentukan keluarga merupakan potensi budaya, yang pada prakteknya di
Indonesia dikemas sesuai dengan tuntunan agama, dan diatur oleh negara.
Melalui keluarga, berbagai nilai kebaikan sangat efektif ditumbuhkembangkan
dan dibudayakan sejak dini.
Proses interaksi dalam keluarga bercorak sangat intensif dan melibatkan
ikatan emosi antara satu dengan yang lainnya. Ada peran dan tanggung jawab
yang jelas dalam keluarga, dimana suami, isteri dan anak-anak saling
menempatkan diri pada posisi masing-masing secara tradisional. Dalam konteks
seperti ini, orang tua memiliki peran sentral untuk menciptakan suasana
kebaikan atau ketidakbaikan dalam keluarga. Ayah dan ibu memiliki kewajiban
melakukan pembinaan kepada anak-anak agar menjadi anak-anak yang baik,
berbakti kepada orang tua, bergaul dengan positif di tengah masyarakat dan
pada akhirnya berguna bagi nusa dan bangsa.
Dengan demikian, penanaman nilai-nilai moral sangat tepat dilakukan
melalui keluarga, dan dimulai dari keluarga. Karena dalam keluarga tersebut,
pembinaan sudah mulai terjadi sejak anak belum lahir, yaitu saat masih
berbentuk janin dalam kandungan. Hal seperti ini tidak terjadi di sekolah atau
lembaga pendidikan formal, dimana pendidikan dimulai pada usia yang telah
ditentukan. Apabila keluarga mampu merawat, membangun, dan menumbuhkan
moral kepada seluruh anggotanya, akan menjadi pondasi yang kokoh dalam
memperbaiki moral bangsa dan negara Indonesia. Sebaliknya, apabila keluarga
tidak melakukan penanaman moral kepada seluruh anggotanya, maka akan
melahirkan generasi bermasalah yang justru menjadi beban bagi masyarakat,
bangsa dan negara.
Sayidiman Suryohadiprojo menyatakan, pendidikan sudah harus dimulai
sejak bayi masih dalam kandungan. Berbagai usaha dilakukan agar dapat
dikomunikasikan kepada si calon bayi hal-hal yang menjadikannya nanti
manusia yang baik dan bermutu. Dalam kebudayaan lokal di Indonesia, seperti
di Jawa, ada tradisi berupa macam-macam upacara untuk melakukan
komunikasi itu. Setelah lahir bayi perlu diurus dengan sebaik-baiknya agar tetap
hidup. Pemberian air susu ibu (ASI) merupakan hal yang penting dan diakui
manfaatnya oleh ilmu pengetahuan.
Selain ASI penting dilihat dari sudut makanan dan fisik bayi, pemberian
ASI juga ada hubungannya dengan faktor mental, seperti penanaman disiplin
pada bayi. Seperti memberikan ASI pada waktu tertentu dan tidak sembarang
waktu, umpama saja untuk menghentikan bayi menangis. Dengan tumbuhnya
kebiasaan tentang waktu menerima ASI dan tidak pada waktu lain pada bayi
terwujud kebiasaan mengikuti aturan orang lain. Demikian pula keteraturan
waktu dan cara mandi menimbulkan pada bayi dasar untuk hidup teratur nanti.
Selain keluarga, penanaman nilai moral juga sangat efektif dilakukan
dalam kehidupan masyarakat. Seluruh anggota keluarga pada dasarnya adalah
anggota dari sebuah kelompok masyarakat. Dengan demikian, terjadi suasana
hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara keluarga dengan
masyarakat. Kumpulan dari keluarga yang berkualitas, akan melahirkan
masyarakat yang berkualitas. Sebaliknya, masyarakat yang berkualitas akan
membentuk dan menguatkan keluarga yang berkualitas. Tidak dapat dipisahkan
antara keluarga dengan masyarakat, kendati tidak bisa didefinisikan dengan
“mana ayam mana telur”. Kedua lembaga ini jelas memiliki keterkaitan yang
sangat kuat dalam memberikan pengaruh satu kepada yang lainnya.
Apabila moral dalam keluarga dan masyarakat berhasil dimantapkan,
akan menjadi jawaban ampuh menghadapi krisis kemanusiaan yang ditimbulkan
oleh peradaban modern dan globalisasi saat ini. Kemajuan Indonesia di masa
yang akan datang, bertumpu kepada keberhasilan melakukan pemantapan moral
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat seluruhnya. Ketertinggalan ilmu
pengetahuan dan teknologi mudah dikejar oleh Indonesia, keterbelakangan
ekonomi bisa diatasi dengan berbagai program yang dirancang para ahli, namun
keruntuhan moral merupakan petaka yang sangat pantas ditangisi. Telah banyak
orang pandai, namun tidak memiliki landasan moral yang memadai.
Dampaknya kepandaian yang dimiliki justru menjadi potensi destruktif yang
merugikan bangsa dan negara tercinta.
Tentu saja hal ini merupakan sebuah tantangan berat yang harus dijawab
oleh segenap komponen bangsa. Tidak banyak waktu kita miliki, sebelum krisis
kemanusiaan semakin menjadi-jadi dan berubah menjadi petaka kemanusiaan
yang bisa mengubur sejarah sebuah negara bernama Indonesia. Prof. Dr. Edi
Setiyono dari Universitas Indonesia dalam ceramahnya di Lemhannas RI,
tanggal 5 Oktober 2010 menyatakan bahwa “tidak ada bentuk akhir dari sebuah
negara”. Pernyataan ini dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa kondisi negara
itu sangat dinamis dan sangat mungkin mengalami perubahan bahkan yang
sangat ekstrem. Beliau menunjukkan contoh runtuhnya Uni Soviet dan
pecahnya negara-negara yang bergabung dalam blok Uni Soviet. Kendati
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah menjadi “harga mati” bagi
bangsa Indonesia, namun hal itu harus diperjuangkan secara terus menerus.
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd. mengawali tulisannya dalam buku
“Pendidikan Berbasis Masyarakat” (2009) dengan menguraikan sejumlah
keprihatinan akan kondisi moral bangsa. Menurutnya, dewasa ini banyak pihak
menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan moral pada lembaga
pendidikan formal. Tuntutan ini muncul dilatarbelakangi oleh dua kondisi.
Pertama, bangsa Indonesia saat ini sepertinya telah kehilangan karakter yang
telah dibangun berabad-abad. Keramahan, tenggang rasa, kesopanan, rendah
hati, suka menolong, solidaritas sosial dan sebagainya yang merupakan jati diri
bangsa seolah hilang begitu saja. Kedua, kondisi lingkungan sosial dewasa ini
diwarnai oleh maraknya tindakan barbarisme, vandalisme, baik fisik maupun
nonfisik, adanya model-model korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) baru,
hilangnya keteladanan pemimpin, sering terjadinya pembenaran politik dalam
berbagai permasalahan yang jauh dari kebenaran universal, serta larutnya
semangat berkorban bagi bangsa dan negara.
Pendidikan moral bisa disamakan pengertiannya dengan pendidikan budi
pekerti. Pendidikan moral merupakan pendidikan nilai-nilai luhur yang berakar
dari agama, adat-istiadat dan budaya bangsa Indonesia dalam rangka
mengembangkan kepribadian supaya menjadi manusia yang baik. Secara
umum, ruang lingkup pendidikan moral adalah penanaman dan pengembangan
nilai, sikap dan perilaku sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur. Di antara nilai-nilai
yang perlu ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lapang, berhati
lembut, beriman dan bertakwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung
jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu,
menghargai karya orang lain, rasa kasih sayang, rasa malu, rasa percaya diri,
rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, sportif, taat
asas, takut bersalah, tawakal, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, dan ulet. Jika
anggota masyarakat telah memiliki karakter dengan seperangkat nilai budi
pekerti tersebut, diyakini ia telah menjadi manusia yang baik.
Zaim Elmubarok dalam bukunya “Membumikan Pendidikan Nilai”
(2009) berkeyakinan bahwa sentral pendidikan nilai adalah keluarga.
Menurutnya, keluarga adalah satu-satunya sistem sosial yang diterima di semua
masyarakat, baik yang agamis maupun yang non-agamis. Sebagai lembaga
terkecil dalam masyarakat, keluarga memegang peran yang sangat penting
dalam kehidupan sosial umat manusia. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa
keluarga adalah tahap pertama lembaga-lembaga penting sosial dan dalam
tingkat yang sangat tinggi, ia berkaitan erat dengan kelahiran peradaban,
transformasi warisan dan pertumbuhan serta perkembangan umat manusia.
Secara keseluruhan, semua tradisi, keyakinan, sopan santun, sifat-sifat individu
dan sosial, ditransfer lewat keluarga kepada generasi-generasi berikutnya.
Zaim juga menanggap keluarga merupakan batu pondasi setiap
masyarakat besar manusia, dimana semua anggotanya memiliki peran mendasar
dalam memperkokoh hubungan-hubungan sosial dan pengembangan serta
penguatan di semua aspeknya. Untuk itu, semua usaha guna memperkuat
bangunan keluarga, akan membuka peluang untuk pertumbuhan jasmani dan
rohani yang sehat, dan pengokohan nilai-nilai moral di tengah masyarakat.
Teori ini sangat relevan dengan kenyataan sosial yang berlaku di Indonesia,
bahwa lembaga keluarga merupakan modalitas sosial yang sudah terbangun
sejak lama dan selalu dijaga hingga sekarang.
Para pakar meyakini bahwa keluarga adalah lingkungan pertama dimana
jiwa dan raga anak akan mengalami pertumbuhan dan kesempurnaan. Untuk
itulah keluarga memainkan peran yang amat mendasar dalam menciptakan
kesehatan kepribadian anak dan remaja. Tentu saja status sosial dan ekonomi
keluarga di tengah masyarakat berpengaruh pada pola berpikir dan kebiasaan
anak. Dengan demikian, berdasarkan bentuk dan cara interaksi keluarga dan
masyarakat, anak akan memperoleh suasana kehidupan yang lebih baik, atau
sebaliknya, akan memperoleh efek yang buruk darinya.
Dalam pendidikan moral secara konvensional, untuk membentuk moral
yang baik dari seseorang, diperlukan latihan dan praktek yang terus menerus
dari individu, sebagaimana diungkap oleh John Moline sebagaimana dikutip
Lickona, “as Aristotle taught, people do not naturally or spontaneously grow up
to be morally excellent or practically wise. They become so, if at all, only as the
result of a lifelong personal and community effort” (lihat : T.
Lickona, Educating for Character, How Our Schools Can teach Respect and
Responsibility, Bantam Books, New York, 1992). Hal ini menunjukkan
pentingnya pemantapan nilai-nilai moral dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat secara kontinyu, terus menerus dan berkesinambungan.
Moralitas dalam diri seseorang dapat berkembang dari tingkat yang
rendah ke tingkatan yang lebih tinggi seiiring dengan kedewasaannya.
Lawrence Kohlberg (1976) menggambarkan tiga tingkatan moralitas yang
dikaitkan dengan perspektif sosial yang meliputi preconventional, conventional,
danpost conventional atau principled. Pada tingkat preconventional (tingkatan
moralitas yang paling rendah) perspektif sosial moralitas seseorang
menunjukkan bahwa dirinya merupakan individu yang kongkrit. Oleh karena
itu, perilaku resiprokal sangat penting bagi orang yang berada dalam tingkat
moralitas ini. Dalam tingkatan moralitas ini kita sering menjumpai perilaku
seseorang dengan penalaran yang menunjukkan perspektif sosial seperti:
karena dia menyakiti saya, maka dia ganti saya sakiti; karena dia mencuri milik
saya, maka saya juga berhak mencuri milik dia; karena orang-orang eksekutif
ada yang korupsi mengapa saya sebagai wakil rakyat tidak boleh korupsi?
Karena suami selingkuh, maka isteripun juga bisa selingkuh, dan lain
sebagainya. Pola berpikir moral seperti ini tentu bisa dilakukan secara kolektif
yang kemudian mencerminkan suatu moralitas bangsa.
Pada tingkatan conventional, perspektif sosial yang ditonjolkan pada tingkatan
moralitas ini ialah pentingnya seseorang menjadi anggota masyarakat yang baik.
Oleh karena itu perilaku orang yang berada pada tingkatan ini akan memiliki
alasan-alasan, misalnya apakah masyarakat mengijinkan; pentingnya bagi
seseorang untuk memiliki loyalitas pada orang, kelompok, dan otoritas
pemegang kekuasaan; dan pentingnya memiliki kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain dan masyarakat secara luas. Oleh karena itu kalkulasi
moral pada tingkatan ini dapat dijelaskan kurang lebih sebagai berikut: orang
tidak baik melakukan korupsi karena perbuatan itu melawan hukum, merugikan
masyarakat, dan juga merugikan orang lain. Orang tidak boleh mencuri di toko
karena memiliki alasan moral: mencuri itu melawan hukum, merugikan penjaga
dan pemilik toko, kalau semua orang mencuri tata aturan masyarakat akan
kacau balau.
Akhirnya, pada tingkatan post conventional (tingkat penalaran moral
yang paling tinggi, yang hanya bisa dicapai ketika seseorang telah mencapai
paling tidak usia 24 tahun), lebih mementingkan nilai-nilai moral yang bersifat
universal. Dalam tingkatan ini orang mulai mempertanyakan mengapa sesuatu
dianggap benar atau salah atas dasar prinsip nilai moral yang universal yang
kadang-kadang juga bisa bertentangan dengan kepentingan masyarakat secara
umum. Jika seseorang merasa dengan suatu peraturan tidak sejahtera, maka
orang-orang yang ada pada tingkatan ini mulai bertanya mengapa peraturan itu
tidak diubah saja
Pada hakikatnya peraturan adalah untuk kesejahteraan manusia, ketika
dengan peraturan itu manusia tidak sejahtera, maka sebaiknya peraturan itu
yang seharusnya diubah. Dalam tahapan ini alasan moral yang universal paling
dominan. Orang tidak melakukan korupsi bukan karena takut dengan hukum,
dengan jaksa, polisi, dan lain sebagainya, tetapi dia tidak melakukannya karena
korupsi itu memang tidak pantas dilakukan oleh siapapun karena melanggar
prinsip moral seperti kejujuran, mencederai kepercayaan orang lain, tidak sesuai
dengan nurani, harkat, dan martabat kemanusiaan.
BAB VPENUTUP
A. Kesimpulan
Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa
etika, moral, akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari suatu
perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua
istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang
baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriah.
Perbedaan antara etika, moral dan akhlak adalah terletak pada sumber
yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika
penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan
susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada
akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah KITAB
SUCI.
Namun demikian etika, moral, dan akhlak tetap saling berhubungan dan
membutuhkan. Uraian tersebut diatas menunjukkan dengan jelas bahwa etika,
moral berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif
diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia.
Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan
petunjuk di kitab suci dan hadits. Dengan kata lain jika etika, moral berasal dari
manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Perbedaaan antara akhlak, moral, dan etika adalah terletak pada sumber
yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Pada etika, penilaian
baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral berdasarkan
kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang
digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah kesadaran akan diri sendiri
yang dilandasi dengan pendidikan agama.
2. Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan ke
arah yang lebih maju atau meningkat di berbagai aspek dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan globalisasi adalah suatu proses masuk ke lingkungan
dunia, dimana semua informasi dari berbagai belahan dunia dapat diakses
dengan mudah dan cepat. Kedua hal ini dapat memberi pengaruh positif dan
negatif tergantung pada kemampuan masyarakat untuk menyaring informasi
tersebut.
3. Berdasarkan fakta yang ada, dapat dilihat bahwa terjadi kemerosotan nilai
akhlak, seperti tingkat kriminalitas yang tinggi, tingkat aborsi yang tinggi, dan
lain-lain. Jika hal-hal seperti ini tidak diperbaiki, hal ini akan menyebabkan
rusaknya generasi masyarakat di masa yang akan datang. Sehingga tidak
mungkin zaman akan berganti lagi seperti zaman jahiliyah dahulu.
4. Untuk mencegah dan atau memperbaiki kemorosotan akhlak ini, ada
berbagai macam solusi yang dapat dilakukan seperti yang telah disebutkan di
atas. Namun pada dasarnya, semua solusi tersebut mengarah pada pemahaman
dan pengamalan yang sebenarnya pada kesadaran akan diri sendiri yang
dilandasi dengan pendidikan agama.
.
DAFTAR PUSTAKA
· Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar. 2003. Mengenal Etika dan Akhlak Islam.
Lentera. Jakarta
· Bakry, Oemar. 1981. Akhlak Muslim. Angkasa. Bandung
· Halim, Ridwan. 1987. Hukum Adat Dalam Tanya Jawab. Ghalia
Indonesia. Jakarta
· Ilyas, Yunahar. 1991. Kuliah Akhlak. Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam. Yogyakarta
· Kusumamihardja, Supan dkk. 1978. Studia Islamica.Pt Giri Mukti Pasaka.
Jakarta.
http://www.sayidiman.suryohadiprojo.com 31 Januari 1994).
www.Wikipedia.com
http://www.imm.or.id, 5 Mei 2008).