Upload
hoangdung
View
314
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
ii
KATA SAMBUTAN
SEMINAR NASIONAL
MATEMATIKA 2017
WILAYAH
JABAR-DKI JAKARTA-BANTEN
iii
Dekan FMIPA Universitas Indonesia
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera untuk kita semua.
Atas nama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia,
dengan bangga saya mengucapkan selamat kepada semua peserta pada Seminar
Nasional Matematika 2017 yang diselenggarakan pada tanggal 11 Februari 2017 di
Universitas Indonesia, Depok. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pihak
IndoMS Pusat dan IndoMS Wilayah JABAR, Banten, dan DKI Jakarta atas
kepercayaannya kepada Universitas Indonesia dalam hal ini Departemen
Matematika FMIPA sebagai tuan rumah kegiatan sarasehan dan sosialisasi program
kerja IndoMS Pusat dan IndoMS Wilayah JABAR, Banten, dan DKI Jakarta.
Seminar Nasional ini merupakan seminar yang telah dilaksanakan secara bergantian
oleh Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran sejak 20 tahun yang lalu.
Pihak Universitas Indonesia sebagai salah satu perguruan tinggi yang menjadi
pelopor perkembangan peran ilmu pengetahuan di Indonesia tidak henti-hentinya
mendorong segenap civitas akademika, termasuk di FMIPA UI untuk menghilirkan
penelitiannya agar dapat memberikan dampak nyata pada kemajuan bangsa dan
tanah air.
Saya ucapkan terima kasih kepada para pembicara utama, peserta dan tentunya
kepada panitia pelaksana SNM 2017 ini. Semoga kegiatan ini dapat memberikan
manfaat yang besar kepada kita semua dan bangsa Indonesia.
Salam hangat,
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dekan FMIPA Universitas Indonesia
Dr. rer. nat. Abdul Haris
iv
Gubernur IndoMS JABAR, Banten, dan DKI Jakarta
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera untuk kita semua.
Atas nama Indonesian Mathematical Society (IndoMS), sebuah kebanggaan yang
besar bagi saya untuk menyampaikan selamat kepada semua peserta Seminar
Nasional Matematika (SNM) 2017 yang diadakan pada tanggal 11 Februari 2017 di
Departemen Matematika FMIPA UI, Depok.
IndoMS pada tahun ini bekerjasama dengan pihak penyelenggara lokal, mengadakan
cukup banyak aktivitas temu ilmiah di berbagai daerah di Indonesia, termasuk salah
satunya pada tahun ini yaitu SNM 2017 yang dirangkaikan dengan Sarasehan
IndoMS Wilayah JABAR, Banten, dan DKI Jakarta serta sosialisasi program kerja
IndoMS Pusat. Penyelenggaraan SNM 2017 tidak hanya merupakan program
berkelanjutan dari pihak IndoMS, Universitas Indonesia dan Universitas
Padjadjaran, namun juga merupakan sebuah kegiatan yang akan membawa peluang
besar kepada seluruh pihak yang terlibat untuk menyeminarkan dan mendiskusikan
hasil penelitian di berbagai bidang matematika.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para pembicara utama, peserta dari
berbagai daerah di Indonesia, dan panitia SNM 2017. Ucapan terima kasih
khususnya kami sampaikan kepada Departemen Matematika, FMIPA Universitas
Indonesia yang bersedia menjadi tuan rumah. Saya berharap agar SNM 2017 ini
dapat memberikan manfaat yang besar kepada kita semua.
Salam hangat,
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Gubernur IndoMS JABAR, Banten dan DKI Jakarta.
Alhadi Bustamam, Ph.D.
v
Ketua Panitia Seminar Nasional Matematika 2017
Salam sejahtera bagi kita semua.
Matematika sebagai salah satu bidang ilmu yang penerapannya
banyak digunakan di berbagai bidang, telah diterapkan pula pada
berbagai kajian dan penelitian di masalah lingkungan. Pentingnya masalah
pelestarian dan bagaimana mengatasi perubahan-perubahan fenomena lingkungan
tersebut menjadi dasar dalam penentuan tema utama pada Seminar Nasional
Matematika (SNM) 2017 ini, yakni “Peranan Matematika dalam Memahami
Fenomena Lingkungan”.
Seminar Nasional Matematika merupakan perkembangan dari Seminar Matematika
Bersama UI-UNPAD yang telah dilaksanakan sejak lebih dari 20 tahun yang lalu.
SNM merupakan salah satu forum nasional bagi para matematikawan, peminat atau
pemerhati Matematika dan para pengguna Matematika untuk saling berbagi
pengetahuan dan pengalaman terhadap hasil penelitian dan penerapan matematika di
berbagai hal. Melalui SNM 2017 diharapkan peserta yang berasal dari berbagai
perguruan tinggi dan institusi di Indonesia dapat berpartisipasi dan berkontribusi
sesuai dengan kepakaran bidang masing-masing di dalam mengatasi dan
menyelesaikan masalah lingkungan beserta berbagai fenomenanya. Makalah yang
masuk ke pihak penyelenggara meliputi berbagai bidang, seperti Analisis dan
Geometri, Aljabar, Statistika dan aplikasinya, Matematika Keuangan dan Aktuaria,
Kombinatorika, Komputasi, Pendidikan Matematika, Optimisasi, Pemodelan
Matematika dan bidang terapan lainnya.
Penyelenggara SNM 2017 memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada
berbagai pihak, antara lain Himpunan Matematika Indonesia wilayah Jabar, DKI
Jakarta, dan Banten, Program Studi Matematika Universitas Padjadjaran, serta
FMIPA UI yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam penyelenggaraan
seminar nasional ini. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada para sponsor yang telah berkontribusi dan kepada panitia SNM 2017
sehingga SNM 2017 dapat terselenggara.
Hormat kami,
Ketua Panitia SNM 2017
Bevina D. Handari Ph.D
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Panitia Seminar Nasional Matematika 2017 menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada Pimpinan Universitas, Pimpinan Fakultas, Pimpinan
Departemen, dan para sponsor, atas dukungannya dalam bentuk dana, fasilitas, dan
lain-lain, untuk terselenggaranya seminar ini.
Secara khusus Panitia Seminar Nasional Matematika 2017 menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Indonesia
2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
3. Ketua Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia
4. Ketua Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran
5. Direktur Utama PT Reasuransi Indonesia Utama
6. Rektor Universitas Gunadarma
7. Direktur Utama PT Tokio Marine Life Insurance Indonesia
8. Direktur Utama PT AIA Financial Indonesia
9. Direktur Utama PT BNI Life Insurance
10. Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan
11. Ketua Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI)
12. Direktur Utama PT Asuransi Cigna
Panitia Seminar Nasional Matematika 2017 juga mengucapkan terima kasih kepada
pembicara utama Prof. Dr. Jatna Supriatna, M.Sc (Ketua RCCC Universitas
Indonesia), Dr. Sri Purwani (Dosen Departemen Matematika FMIPA Universitas
Padjadjaran), Dr. Ardhasena Sopaheluwakan (Kepala Bidang Litbang Klimatologi
dan Kualitas Udara BMKG), para pemakalah pada sesi paralel, setiap tamu
undangan, dan seluruh peserta Seminar Nasional Matematika 2017.
vii
DAFTAR PANITIA SNM 2017
PELINDUNG
1. Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met. (Rektor Universitas Indonesia)
2. Dr. rer. nat. Abdul Haris (Dekan FMIPA Universitas Indonesia)
KOMISI PENGARAH
1. Alhadi Bustamam, Ph.D. (Gubernur IndoMS JABAR, DKI Jakarta, dan Banten,
sekaligus sebagai Ketua Departemen Matematika, FMIPA Universitas
Indonesia)
2. Prof. Dr. A.K. Supriatna (Ketua Jurusan Matematika, FMIPA Universitas
Padjadjaran)
PANITIA PELAKSANA
1. Ketua : Bevina D. Handari, Ph.D.
2. Sekretaris : Dr. Dipo Aldila
3. Bendahara : Dra. Siti Aminah, M.Kom.
4. Pendanaan : Mila Novita, S.Si., M.Si.
Dr. Titin Siswantining, DEA.
5. Acara : Nora Hariadi, S.Si., M.Si.
Dra. Ida Fithriani, M.Si.
6. Makalah dan Prosiding : Dra. Siti Nurrohmah, M.Si.
Dr. rer. nat. Hendri Murfi
7. Perlengkapan : Maulana Malik, S.Si., M.Si.
Dr. Saskya Mary Soemartojo, M.Si.
Suci Fratama Sari, S.Si., M.Si.
Gianinna Ardaneswari, S.Si., M.Si.
viii
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN .......................................................................................... ii
Dekan FMIPA Universitas Indonesia .............................................................. iii
Gubernur IndoMS JABAR, Banten, dan DKI Jakarta.................................. iv
Ketua Panitia Seminar Nasional Matematika 2017 ......................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi
DAFTAR PANITIA SNM 2017 ...................................................................... vii
DAFTAR ISI.................................................................................................... viii
PEMBICARA UTAMA .................................................................................... xi
PERANAN MATEMATIKA DALAM MEMAHAMI FENOMENA
LINGKUNGAN................................................................................................. xii
Prof. Dr. Jatna Supriatna, M.Sc ...................................................................... xii
UNDERSTANDING INDONESIAN ENVIRONMENTAL PHENOMENA,
AND IMPROVING HUMAN LIVES ............................................................ xiv
Dr. Sri Purwani .............................................................................................. xiv
PERSPEKTIF SINGKAT IKLIM DI INDONESIA: PEMODELAN DAN
STATUS PERUBAHAN IKLIM. .................................................................... xv
Dr. Ardhasena Sopaheluwakan ....................................................................... xv
SESI PARALEL ............................................................................................. 923
PENDIDIKAN ................................................................................................ 923
PENGEMBANGAN VIDEO PEMBELAJARAN MATEMATIKA
BERBASIS SCIENTIFIC APPROACH PADA MATERI LINGKARAN
KELAS VIII SMP ........................................................................................... 924
HENI PUJIASTUTI1 DAN ISNA RAFIANTI2 ............................................ 924
DESAIN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)
DENGAN TOPIK OPERASI BILANGAN BULAT PADA ANAK UMUR 9-
10 TAHUN (KELAS III SD) UNTUK MENINGKATKAN MINAT
BELAJAR PESERTA DIDIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN ..... 933
NURHIDAYAH ........................................................................................... 933
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI BERBASIS
AUGMENTED REALITY ............................................................................. 940
ix
IQBAL WAHYU SEPTIYADI1, AHMAD ZULFAKAR RAHMADI2 ....... 940
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) BERBASIS
PENEMUAN TERBIMBING BERBANTUAN MICROSOFT
MATHEMATICS PADA TOPIK TURUNAN BAGI SISWA SMA .......... 948
AAN SUBHAN PAMUNGKAS .................................................................. 948
PEMBELAJARAN BERBASIS GUIDED DISCOVERY BERBANTUAN
GEOGEBRA UNTUK MELATIH PENALARAN SISWA PADA MATERI
FUNGSI KUADRAT ...................................................................................... 954
AHMAD ZULFAKAR RAHMADI1, NOVI MURNIATI2, INDRA BAYU
MUKTYAS3.................................................................................................. 954
PENGEMBANGAN BUKU PENGAYAAN SMA TENTANG APLIKASI
TRIGONOMETRI DALAM BERBAGAI BIDANG .................................. 972
H. PARDIMIN1 DAN I NYOMAN ARCANA2 .......................................... 972
PEMBELAJARAN PECAHAN SENILAI DENGAN MENGGUNAKAN
MODEL HIMPUNAN DI KELAS VII ......................................................... 983
AL-NINDU BUNGA SABRINA1, DARMAWIJOYO2, DAN YUSUF
HARTONO3 .................................................................................................. 983
PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNRELASIONAL .. 994
SAMSUL HADI ........................................................................................... 994
PENGGUNAAN SELF REGULATED LEARNING SEBAGAI UPAYA
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR MANDIRI DAN
BERPIKIR TINGKAT TINGGI MATEMATIKA SISWA ..................... 1006
ERMA MONARISKA1 ............................................................................... 1006
DESAIN PEMBELAJARAN ASPEK PERKEMBANGAN KOGNITIF
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DENGAN MENGGUNAKAN
PERMAINAN DI TK BINAMA GLOBAL SCHOOL .............................. 1020
ROSMALIA SEPTIANA1, RATU ILMA INDRA PUTRI2, DAN YUSUF
HARTONO3 ................................................................................................ 1020
PENGARUH PENGETAHUAN MATEMATIKA UNTUK MENGAJAR
TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA ................................................... 1024
SUGILAR ................................................................................................... 1024
UPAYA PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG PERKALIAN
SISWA KELAS VII SMP PGRI 184 LEGOK MELALUI PEMBERIAN
LATIHAN DALAM BENTUK CROSS NUMBER PUZZLE ................. 1035
DAMIRA KOGOYA1, PETER JOHN2, BUDI UTAMI3 ........................... 1035
x
PENINGKATAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG CAMPURAN
SISWA KELAS III SD MELALUI MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF .............................................................................................. 1045
ASWIN SAPUTRA .................................................................................... 1045
UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI GURU MATEMATIKA DALAM
MELAKUKAN PUBLIKASI ILMIAH KEMATEMATIKAAN ............. 1052
RINA OKTAVIYANTHI1 RIA NOVIANA AGUS2 ................................ 1052
PEMBELAJARAN MATERI RATA-RATA DENGAN MENGGUNAKAN
DIAGRAM BATANG MELALUI PENDEKATAN PMRI ...................... 1059
RATIH PUSPA SARI1, DARMAWIJOYO2, YUSUF HARTONO3 ........ 1059
MENGOPTIMALKAN LONG TERM MEMORY DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH ............................... 1071
YUNITA HERDIANA1, YULIANA SELFIA EKO2, ................................ 1071
PENGARUH MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP
KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA KELAS XI SMA
NEGERI 23 KABUPATEN TANGERANG ............................................... 1080
ATIKAH MARINI1, PETER JOHN2, DAN BUDI UTAMI3 ..................... 1080
ANALISIS GEOMETRI PADA BILAH KERIS SENGKELAT ............. 1089
ARIF SUSANTO1, NOVANOLO C. ZEBUA2 .......................................... 1089
PENERAPAN FUNGSI KONTINU PADA TEOREMA INTEGRAL
RIEMANN UNTUK MENCARI SUHU RATA-RATA SUATU DAERAH
........................................................................................................................ 1105
SOEGANDA FORMALIDIN, SOFIA DEBI PUSPA, DAN KIKI A.
SUGENG .................................................................................................... 1105
KAJIAN GEOMETRI PADA MOTIF KAIN ULOS RAGI HOTANG
MASYARAKAT BATAK TOBA ................................................................ 1118
MARIA KRISTIN S. SIHOMBING 1, SCOLASTIKA LINTANG R.
RADITYANI2 ............................................................................................. 1118
KEMAMPUAN SISWA SMP KELAS VIII DALAM MEMBUAT
MASALAH MATEMATIKA BERDASAR MEDIA KORAN ................. 1126
GEORGIUS ROCKI AGASI1, YAKOBUS DWI WAHYUONO2 ............ 1126
xi
PEMBICARA UTAMA
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA 2017
xii
PERANAN MATEMATIKA DALAM MEMAHAMI
FENOMENA LINGKUNGAN
Prof. Dr. Jatna Supriatna, M.Sc
Ketua RCCC Universitas Indonesia
Abstrak: Pembangunan berkelanjutan (SDG-Sustainable Development Goal) yang
dicanangkan PBB untuk menggantikan Millenium Development Goal (MDG) sudah
dimulai sejak awal 2016 dan akan berakhir 2030. Dari 17 goal dari SDG, 10 goal
adalah traditional development, satu goal adalah kerjasama antar pemangku
kepentingan (SDG 17) dan 6 goal adalah emerging issues dalam permasalahamn
lingkungan yaitu Energi terbarukan (SDG 7), Pembangunan kota dan masyarakat
(SDG 11), Konsumsi bertanggung jawab (12), Perubahan iklim (SDG 13), Laut
dan kehidupan bawah air (SDG 14), dan Kehidupan Flora dan Fauna di darat (SDG
15). Ke enam permasalahan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan yang
baru ini tidak ada dalam target pembangunan MDG, sehingga banyak sekali
diperlukan riset untuk dapat membuat berbagai kebijakan yang berdasarkan
evidence based decision, mengadaptasikan rencana sesuai dengan kesiapan dan
ketersediaan, pembuatan berbagai computer and mathematical model
pengembangan SDG sampai 2030, mengarusutamakan SDG ke dalam rencana
pembangunan RPJM/RPJP pemerintah pusat dan daerah dan bagaimana membuat
MRV (Measuring, Reporting, Verification) dari setiap goal yang baru. Peranan
pakar matematika sangat besar dalam membantu pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan. Sebagai contoh adalah masalah perubahan iklim. Masalah perubahan
iklim adalah masalah terbesar dunia saat ini. Hasil survey Asahi Glass Foundation
(2013) tampak bahwa masalah dunia terbesar saat ini adalah perubahan iklim (20%)
dibanding dengan masalah lingkungan lainnya yang berkisar antara 10% (polusi) ,
keanekaragaman hayati (6%) dan yang lainya. Model-model matematika dan
komputer diperlukan untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kenaikan
permukaan laut, cuaca ekstrim, kesehatan, ekonomi, pertanian, flora dan fauna,
ketersediaan pakan, air dan lainnya dalam bentuk time series. Untuk MRV,
diperlukan pedoman Pelaksanaan Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi
Mitigasi dan adaptasi dari setiap program di setiap sektor pemerintah, swasta dan
xiii
juga termasuk masyarakat. Capaian Aksi Mitigasi dan adapatasi Perubahan Iklim
yang akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan hanya dapat dilakukan
apabila dilakukan oleh berbagai pakar terintegrasi termasuk pakar matematika dan
statistik. Pemerintah harus mengatur (i) tatacara Pengukuran Aksi Mitigasi adaptasi
dan Perubahan Iklim, (ii) tatacara pelaporan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim (iii) tatacara verifikasi capaian aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (iv)
tatacara penilaian. Semua pengaturan tersebut memerlukan perhitungan yang pasti
dan mendalam karena dampak dari perubahan iklim dapat menghancurkan
perekonomian, membahayakan keberadaan ekosistem manusia, dalam jangka
panjang dapat mempengaruhi peradaban dunia.
xiv
UNDERSTANDING INDONESIAN ENVIRONMENTAL
PHENOMENA, AND IMPROVING HUMAN LIVES
Dr. Sri Purwani
Departemen Matematika, FMIPA Universitas Padjadjaran
Abstract: The universe and the environment around us were created perfectly by
Alloh. However, we find a lot of damage and disaster everywhere (Ar-Rum 30:41).
This case, afflicting the environment and people of Indonesia, of course was through
a long process. Indonesia, the country with the largest ocean border in the world, has
experienced prosperity, well-being and peace in society. Understanding what the
cause and how the process of occurrence, can provide answers for future
improvements.
Human beings as part of the environment face the same thing. Various disease
emerges, afflicts human survival. Imaging Sciences as a branch of knowledge is
widely used in medical images analysis, range from disease detection, such as
Alzheimer's, asthma, cancer and so on, up to image-guided surgery. This field
involves many disciplines, hence providing opportunities for mathematicians to
conduct research collaboration with scientists from various disciplines.
Registration and Segmentation, two important processes in the analysis of medical
images, aims to find correspondence between two or more images, and attempts to
extract structures/tissues within images, respectively. Previously, both processes are
done separately. However, information from one process can be used to assist the
other, and vice versa. Therefore, we tried to combine both processes implemented
on database of MR brain images.
One of Petrovic et al. paper shows that adding structural information in their
registration stage improved the result significantly, compared to registration using
intensity alone. However, they only used little structural information. We attempted
to include more structural information/segmentation in our new methods, and
implemented groupwise registration to sets of images, consisting of tissue fraction
images, intensity image and images with other structural information. The results of
the registration were evaluated by using ground-truth annotation. It was found that
ensemble registration using structural information can give a consistent
improvement over registration using intensity alone of 25%-35%.
xv
PERSPEKTIF SINGKAT IKLIM DI INDONESIA:
PEMODELAN DAN STATUS PERUBAHAN IKLIM.
Dr. Ardhasena Sopaheluwakan
Kepala Bidang Litbang Klimatologi dan Kualitas Udara
Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG)
Abstrak: Iklim memiliki peranan penting dalam mendukung perikehidupan di bumi
ini. Memiliki pengetahuan mengenai evolusi iklim (lampau dan kini) akan
memberikan pemahaman untuk penggunaannya pada sektor yang penting, semisal
pertanian dan ketahanan pangan. Sedangkan memiliki kemampuan untuk prediksi
iklim yang akan datang, akan memberikan keunggulan untuk perencanaan strategis
pembangunan bangsa-bangsa agar perikehidupannya dapat berkelanjutan
(sustainable development).
Untuk mendapatkan deskripsi yang lengkap atas dinamika iklim di atmosfir,
melibatkan pemodelan dengan rentang skala ruang yang sangat besar, melibatkan
ukuran dari micrometer (butiran awan) hingga ribuan kilometer (planetary scale),
yang melingkupi rentang ukuran ruang hingga 10^{14} meter. Pada saat ini
pemodelan yang tersedia baru memenuhi sebagian dari skala rentang yang besar
tersebut, sehingga tantangan untuk melengkapinya masih terbuka lebar. Presentasi
ini akan memberikan beberapa highlight mengenai pemodelan iklim, karakter iklim
di Indonesia, dan perubahan iklim yang sedang terjadi
923
SESI PARALEL
PENDIDIKAN
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA 2017
924
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 924-932
PENGEMBANGAN VIDEO PEMBELAJARAN
MATEMATIKA BERBASIS SCIENTIFIC APPROACH
PADA MATERI LINGKARAN KELAS VIII SMP
HENI PUJIASTUTI1 DAN ISNA RAFIANTI2
1 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, [email protected]
2 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perkembangan zaman yang
menuntut anak didik agar dapat bersaing di abad 21 ini terutama dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan
guru di sekolah menyatakan bahwa kurangnya sumber belajar berbasis teknologi
menjadi tujuan peneliti untuk mengembangkan bahan ajar video dengan
menggunakan scientific approach pada materi lingkaran kelas VIII SMP,
dimana scientific approach ini merupakan pendekatan yang ditekankan pada
kurikulum 2013 dan video merupakan media audio visual yang memudahkan
siswa mengingat serta memahami materi. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan
prosedur penelitian dan pengembangan yang terdiri dari: 1) studi pendahuluan,
2) perencanaan penelitian, 3) pengembangan desain, 4) preliminary field test,
5) revisi preliminary field test. Pada tahap preliminary field test, dilakukan uji
ahli untuk melihat tingkat kevalidan produk, hasilnya yaitu dari uji ahli
matematika dan ahli multimedia menyatakan bahwa produk valid sehingga
boleh digunakan dengan revisi kecil, dan dari uji ahli pendidikan menyatakan
bahwa produk sangat valid sehingga sangat baik untuk digunakan. Selain itu
dilakukan uji terbatas terhadap sembilan siswa yang menyatakan layak yang
artinya produk sangat menarik untuk dipelajari atau digunakan.
Kata kunci: video pembelajaran, scientific approach, lingkaran.
1. Pendahuluan
Tujuan pendidikan nasional akan tercapai secara optimal jika dapat
mengikuti perkembangan zaman yang semakin pesat dimana menuntut anak didik
agar dapat menjawab tantangan abad 21 saat ini terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Semakin tingginya kebutuhan informasi ilmu
pengetahuan dan teknologi memberikan motivasi kepada para pendidik untuk terus
mengembangkan proses belajar mengajar dengan menggunakan media pembelajaran
yang erat kaitannya dengan teknologi informasi. Hal ini ditegaskan dalam UU
Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen telah diputuskan bahwa setiap Guru (harus)
dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan
teknologi saat ini, penggunaan media pembelajaran akan sangat membantu guru
dalam peningkatan keefektifan pembelajaran. Seperti yang dinyatakan oleh [1]
925
bahwa media pembelajaran adalah sarana pendidikan yang dapat digunakan sebagai
perantara dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dan efisiensi
dalam mencapai tujuan pengajaran. Dengan demikian guru diharapkan dapat
memanfaatkan berbagai media belajar secara efektif dan efisien dalam pembelajaran
dikelas, dengan berbagai program pembelajaran yang dapat dikembangkan.
Sebenarnya sudah banyak media yang tersedia bagi guru, namun yang penting dalam
merencanakan pembelajaran dan mengimplementasikannya dalam mengajar ialah
bagaimana menggunakan alat-alat media pendidikan ini sebagai suatu sistem yang
terintegrasi dalam pembelajaran [2]. Selain itu, beragam media juga dapat
dikembangkan oleh guru untuk membantunya dalam proses pembelajaran baik dari
media visual maupun audio-visual. Inilah yang sepatutnya dikembangkan oleh guru
sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan dapat membangkitkan
motivasi serta merangsang siswa untuk belajar sekaligus memberikan pengaruh
psikologis bagi siswa lewat interaksi-interaksi yang dibutuhkan selama proses
pembelajaran berlangsung.
Interaksi dalam pembelajaran yang berlangsung melibatkan pendidik dan
peserta didik dimana media sebagai perantara yang dapat membawa informasi dan
pengetahuan ke dalamnya. Selain itu, media juga merupakan suatu alat yang dapat
digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima pesan yang dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian, minat, dan kemauan serta perhatian siswa
sedemikian rupa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri
siswa[3]. Oleh karena itu, menurut Dick and Carey [4] pendidik harus pandai
merancang, menyusun, mengevaluasi, menganalisis hingga merevisi dan
mengembangkan media terhadap materi yang disampaikan kepada peserta didik.
Salah satu media yang dapat merangsang pikiran, perhatian dan minat
belajar adalah media audio visual atau berupa video pembelajaran. Media dengan
video jelas lebih cenderung mudah mengingat dan memahami pelajaran karena tidak
menggunakan satu jenis indra. [5] menyatakan bahwa hasil penelitian dengan
pembelajaran visual dapat menaikkan ingatan 14% menjadi 38%. Penelitian ini juga
menunjukkan hingga 200% perbaikan kosa kata ketika diajarkan dengan visual.
Bahkan waktu yang diperlukan untuk penyampaian konsep berkurang sampai 40%
untuk menambah presentasi verbal [6].
Selaras dengan hal di atas, adanya perubahan kurikulum yang berganti
menjadi kurikulum 2013 menekankan dalam penerapannya lebih kepada
pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Oleh karena itu, video pembelajaran
dirasa cocok untuk digunakan dalam proses pembelajaran matematika pada materi
lingkaran. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara pada beberapa guru di salah satu
SMP Negeri di Kota Serang yang mengatakan bahwa penggunaan bahan ajar pada
pelajaran matematika yang menggunakan teknologi informasi sudah dilakukan
seperti membuat bahan ajar dengan power point akan tetapi masih belum pernah
menggunakan bahan ajar video. Pada saat wawancara, guru memberikan saran untuk
membuat bahan ajar video dengan materi lingkaran, karena materi ini dianggap cukup
sulit oleh siswa. Pada materi lingkaran, siswa kesulitan dalam memahami konsep dan
memvisualisasikannya, sehingga video cocok digunakan untuk membantu siswa
mengatasi permasalahan tersebut ditambah bahan ajar video ini mengaitkan dengan
persoalan di kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan kurikulum 2013 bahwa guru harus
menggunakan pendekatan saintifik dalam pembelajarannya sehingga memerlukan
langkah-langkah pokok yaitu meliputi mengamati (observing), menanya
926
(questioning), menalar (associating), mencoba (experimenting), dan membentuk
jejaring (networking) [7].
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahan ajar yang ada saat ini dikembangkan
menjadi video pembelajaran yang mengacu pada Kurikulum 2013 yang berbasis
scientific approach yang di dalamnya terdapat lima komponen tahapan pendekatan
saintifik yaitu komponen mengamati, komponen menanya, komponen menalar,
komponen mencoba, dan komponen membentuk jejaring. Tujuan dari penelitian ini
yaitu untuk mengembangkan video pembelajaran dengan menggunakan scientific
approach pada materi lingkaran kelas VIII SMP yang menunjang implementasi
Kurikulum 2013. Pengembangan video pembelajaran ini tetap berpedoman pada
buku yang telah direkomendasi atau pengesahan dari dinas pendidikan untuk
mempermudah siswa dalam pembelajaran, tetapi dilengkapi menjadi bahan ajar yang
memiliki ilustrasi yang dibuat dengan media video, sehingga bahan ajar yang dibuat
dapat memotovasi siswa dalam proses pembelajaran.
2. Hasil – Hasil Utama
Media dengan menggunakan video cenderung akan lebih memudahkan
siswa dalam mengingat dan memahami pelajaran, karena tidak menggunakan satu
jenis indra, serta sebagai variasi belajar matematika yang sesuai dengan tuntutan
kurikulum 2013. Tahapan pada penelitian ini dilakukan sesuai dengan prosedur
penelitian dan pengembangan dari [8]. Dari 10 tahap penelitian pengembangan yang
ada, peneliti melakukan sampai pada tahap kelima yang terdiri dari: 1) studi
pendahuluan, 2) perencanaan penelitian, 3) pengembangan desain, 4) preliminary
field test, 5) revisi preliminary field test. Berikut penjelasannya:
1. Studi pendahuluan
Studi pendahuluan merupakan tahap awal dalam penelitian ini, hal-hal yang
dilakukan adalah menganalisis kebutuhan serta mencari studi literatur. Pada tahap ini
ditemukan bahwa:
a. Dibutuhkan bahan ajar yang menunjang implementasi Kurikulum 2013 yang
menekankan pada penerapan pendekatan saintifik.
b. Hasil studi literatur beberapa penelitian melaporkan bahwa video
pembelajaran mampu membantu siswa dalam mengingat dan memahami
materi atau konsep matematika yang dipelajari.
c. Hasil wawancara terhadap guru di salah satu SMP Negeri di kota Serang
mengatakan bahwa penggunaan bahan ajar pada pelajaran matematika yang
menggunakan teknologi informasi sudah dilakukan seperti power point akan
tetapi masih belum pernah menggunakan bahan ajar video. Materi lingkaran
dianggap cukup sulit oleh siswa sehingga video cocok digunakan untuk
membantu memvisualisasikan konsep.
2. Perencanaan penelitian
Setelah dilakukan studi pendahuluan, selanjutnya dilakukan perencanaan
penelitian yaitu dengan menetapkan tim yang membantu peneliti dengan terlebih
dahulu menetapkan kualifikasi dan bentuk-bentuk partisipasinya dalam penelitian ini.
Hasilnya, ditetapkan empat orang yang menjadi tim peneliti yang akan membantu
peneliti dalam mengembangkan Video Pembelajaran Berbasis Scientific Approach.
927
Empat orang tim peneliti yang membantu dalam proses pengembangan bahan ajar
video ini memiliki tugas sebagai berikut: pengambilan video (shooting), editing dan
rendering video.
3. Pengembangan desain
Tahap selanjutnya adalah pengembangan desain yaitu dengan merancang
desain awal sampai dengan desain Video Pembelajaran Berbasis Scientific Approach
yang siap divalidasi ahli (matematika, pendidikan matematika, dan multimedia) dan
siap diuji coba secara terbatas kepada siswa, serta mengembangkan instrumen
penelitian lainnya seperti Angket Siswa baik angket tertutup maupun angket terbuka.
Pada tahap ini, pengembangan terhadap bahan ajar tersebut berupa pendalaman
materi yang akan digunakan, pembuat konsep video secara lebih detail atau rinci
(misalnya bagian-bagian apa saja yang akan ditampilkan dalam video, apa saja isi
dalam video, ilustrasi masalah serta simulasi penyelesaian masalah, aplikasi materi
dalam kehidupan sehari-hari yang disusun dengan scientific approach), proses
perekaman video sesuai dengan konsep yang telah dibuat, pengeditan video sesuai
dengan konsep agar lebih rapi, jelas, dan menarik. Terakhir adalah proses rendering
video agar dapat dibentuk ke dalam format mp4 sebagai bahan ajar pembelajaran
matematika.
Gambar 2.1 Desain awal Video Pembelajaran Berbasis Scientific Approach
Gambar 2.1 merupakan hasil pengembangan desain awal produk Video
Pembelajaran Berbasis Scientific Approach yang terdapat pada cuplikan video.
4. Preliminary field test
Setelah tahap pengembangan desain dilakukan, selanjutnya adalah tahap preliminary
field test. Pada tahap ini dilakukan uji ahli untuk mengetahui tingkat kelayakan video
pembelajaran yang dikembangkan sebelum video pembelajaran digunakan secara
umum. Setelah produk selesai dikerjakan dan dikembangkan, pada tahap ini adalah
menguji valid tidaknya produk ke ahli yang kompeten terhadap video pembelajaran
ini. Uji ahli dilakukan oleh ahli matematika (dosen pendidikan matematika) untuk
928
menilai isi serta penyajian yang berkaitan dengan materi matematika, ahli
pendidikan (guru matematika) untuk menilai isi serta penyajian yang berkaitan
dengan istilah-istilah dalam bidang pendidikan, dan ahli multimedia (dosen
multimedia) untuk menilai isi serta tampilan dari bahan ajar video ini. Validasi
produk dilakukan dengan cara pemberian angket ke para ahli. Angket uji ahli
menggunakan skala Likert. Selain itu, pada tahap ini dilakukan pula uji coba secara
terbatas kepada beberapa siswa kelas VIII dari beberapa sekolah dengan total
keseluruhan siswa yaitu 9 subyek.
Berdasarkan data angket validasi yang diperoleh, rumus yang digunakan
untuk menghitung hasil angket dari ahli matematika, pendidikan dan multimedia
adalah sebagai berikut [9]:
𝑠 = ∑𝑥𝑖
𝑛
𝑖=1
dimana:
s = skor
∑ 𝑥𝑖𝑛𝑖=1 = Jumlah nilai jawaban validator sampai n pernyataan
Pencapaian nilai skor diperoleh dengan cara membuat kelas-kelas interval.
Skor minimal adalah n pernyataan dan skor maksimal adalah empat dikali n
pernyataan, karena penggunaan skor skala Likert yang terdiri dari 1, 2, 3, dan 4.
Selanjutnya untuk menentukan jarak atau interval dari kelas yang pertama dengan
kelas yang kedua dan seterusnya yaitu dengan mengurangi skor maksimal dan skor
minimal kemudian dibagi empat (akan dibuat empat kelas atau empat kriteria).
Hasil yang diperoleh dari uji ahli dan uji coba terbatas diantaranya:
a. Hasil Angket Uji Ahli Matematika
Uji ahli matematika dilakukan oleh dosen pendidikan matematika. Berikut
adalah kriteria tingkat kevalidan yang terdiri dari 14 pernyataan indikator berdasarkan
lima aspek yaitu aspek isi (empat pernyataan), penyajian (tiga pernyataan),
kelengkapan istilah (tiga pernyataan), rangkuman (satu pernyataan) dan kebahasaan
(dua pernyataan) dalam video pembelajaran matematika
Tabel 2.1 Kriteria Tingkat Kevalidan Video Pembelajaran Matematika Pencapaian Nilai
(skor) Kategori Validitas Keterangan
14,00 ≤ 𝑠 ≤ 24,50 Tidak Valid Tidak boleh digunakan
24,50 < 𝑠 ≤ 35,00 Cukup Valid Boleh digunakan dengan revisi besar
35,00 < 𝑠 ≤ 45,50 Valid Boleh digunakan dengan revisi kecil
45,50 < 𝑠 ≤ 56,00 Sangat Valid Sangat baik untuk digunakan
Berdasarkan uji validasi ahli matematika maka produk video pembelajaran yang
dikembangkan memiliki total skor sebesar 41, artinya memiliki kriteria valid
sehingga boleh digunakan dengan revisi kecil. Perolehan total skor diperoleh dengan
cara menjumlahkan seluruh jawaban angket yang diisi oleh ahli matematika.
929
b. Hasil Angket Uji Ahli Pendidikan
Uji ahli pendidikan dilakukan oleh guru matematika salah satu sekolah negeri di
Kota Serang. Berikut adalah kriteria tingkat kevalidan yang terdiri dari 24 pernyataan
indikator berdasarkan enam aspek, yaitu pengantar (satu pernyataan), kelayakan isi
(lima pernyataan), penyajian (sembilan pernyataan), kelengkapan istilah (tiga
pernyataan), rangkuman (satu pernyataan), dan kebahasaan (lima pernyataan) dalam
video pembelajaran matematika
Tabel 2.2 Kriteria Tingkat Kevalidan Video Pembelajaran Matematika Pencapaian Nilai
(skor) Kategori Validitas Keterangan
24 ≤ 𝑠 ≤ 42 Tidak Valid Tidak boleh digunakan
42 < 𝑠 ≤ 60 Cukup Valid Boleh digunakan dengan revisi besar
60 < 𝑠 ≤ 78 Valid Boleh digunakan dengan revisi kecil
78 < 𝑠 ≤ 96 Sangat Valid Sangat baik untuk digunakan
Berdasarkan uji validasi ahli pendidikan maka produk video pembelajaran yang
dikembangkan memiliki total skor sebesar 91, artinya memiliki kriteria sangat valid
sehingga boleh digunakan dengan revisi kecil. Perolehan total skor diperoleh dengan
cara menjumlahkan seluruh jawaban angket yang diisi oleh ahli pendidikan.
c. Hasil Angket Uji Ahli Multimedia
Uji ahli multimedia dilakukan oleh dosen jurusan matematika yang mengampu
mata kuliah multimedia. Berikut adalah kriteria tingkat kevalidan yang terdiri dari 20
pernyataan indikator berdasarkan lima aspek yaitu aspek tampilan (sembilan
pernyataan), navigasi (pernyataan), keterpaduan isi atau materi (tiga pernyataan),
kebahasaan (tiga pernyataan), dan kemudahan (satu pernyataan) dalam video
pembelajaran matematika.
Tabel 2.3 Kriteria Tingkat Kevalidan Video Pembelajaran Matematika Pencapaian Nilai
(skor) Kategori Validitas Keterangan
20 ≤ 𝑠 ≤ 35 Tidak Valid Tidak boleh digunakan
35 < 𝑠 ≤ 50 Cukup Valid Boleh digunakan dengan revisi besar
50 < 𝑠 ≤ 65 Valid Boleh digunakan dengan revisi kecil
65 < 𝑠 ≤ 80 Sangat Valid Sangat baik untuk digunakan
Berdasarkan uji validasi ahli multimedia maka produk video pembelajaran yang
dikembangkan memiliki total skor sebesar 60, artinya memiliki kriteria valid
sehingga boleh digunakan dengan revisi kecil. Perolehan total skor diperoleh dengan
cara menjumlahkan seluruh jawaban angket yang diisi oleh ahli multimedia.
Berdasarkan uji ketiga ahli, jika masing-masing skor dibuat persentasenya,
maka skor ahli matematika sebesar 41 adalah 73,21%. Sedangkan skor dari uji ahli
pendidikan dan ahli multimedia sebesar 91 dan 60 sehingga jika di persentasekan
menjadi 94,79% dan 75%. Jika di rata-ratakan maka dari uji ketiga ahli, bahan ajar
berupa video pembelajaran ini memiliki persentase 81%, artinya sudah berada diatas
indikator keberhasilan.
930
d. Hasil Angket Penilaian Respon Siswa
Uji coba skala terbatas dilakukan di beberapa sekolah di Kota Serang dan
mengambil subyek sebanyak 9 orang. Angket respon siswa yang diberikan bersifat
tertutup dan terbuka. Berikut adalah kriteria tingkat kelayakan untuk menentukan
menarik atau tidaknya video pembelajaran dari angket tertutup siswa. Aspek atau
indikator yang dilihat adalah rasa senang terhadap bahan ajar yang diberikan,
kecenderungan bertindak siswa guna memperdalam pelajaran matematika setelah
menggunakan bahan ajar, dan Pemahaman manfaat pelajaran matematika setelah
menggunakan bahan ajar.
Tabel 2.4 Kriteria Tingkat Kelayakan Produk Pencapaian Nilai
(skor) Kategori Kelayakan
10 ≤ 𝑠 ≤ 17,50 Kurang Menarik
17,50 < 𝑠 ≤ 25,00 Cukup Menarik
25,00 < 𝑠 ≤ 32,50 Menarik
32,50 < 𝑠 ≤ 40 Sangat Menarik
Tabel 2.5 Rekapitulasi Tingkat Kelayakan Produk Responden (R) Skor Kategori Kelayakan
R1 27 Menarik
R2 25 Cukup menarik
R3 25 Cukup menarik
R4 36 Sangat Menarik
R5 35 Sangat Menarik
R6 36 Sangat Menarik
R7 33 Sangat Menarik
R8 29 Menarik
R9 31 Sangat Menarik
rata-rata 30,78 Sangat Menarik
Berdasarkan angket tertutup penilaian respon siswa sebanyak 9 responden (R) maka
produk bahan ajar yang dikembangkan memiliki rata-rata sebesar 30,78 dengan
kategori Sangat Menarik. Sedangkan jika diubah ke dalam bentuk persentase menjadi
76,95%.
Setelah data hasil angket tertutup siswa dianalisis, selanjutnya yaitu
mendeskripsikan hasil angket terbuka siswa yang terdiri dari aspek tampilan,
penyajian materi, permasalahan atau contoh soal dan perasaan dalam menggunakan
video pembelajaran. Hasilnya menyatakan bahwa video pembelajaran jelas dan
menarik, alasannya karena berbeda dengan pembelajaran yang lain. Responden juga
menyatakan senang belajar dengan video pembelajaran ini karena lebih mudah
dipahami dan cepat menyerap ke otak. Selain itu responden menyatakan bahwa
penyajian materi dan contoh-contoh soal dalam video ini menarik dan sesuai dengan
materi yang diajarkan. Namun sebagian besar responden menyatakan bahwa
kekurangan dalam video pembelajaran ini yaitu kurangnya animasi.
5. Revisi preliminary field test
Berdasarkan uji ahli dan uji coba skala terbatas, ada beberapa hal yang
mengalami revisi dalam pengembangan video pembelajaran. Berikut adalah gambar
sebelum dan sesudah hasil revisi.
931
Gambar 2.2 Sebelum dan Sesudah Revisi 1 Preliminary Field Test
Gambar 2.3 Sebelum dan Sesudah Revisi 2 Preliminary Field Test
Gambar 2.4 Sebelum dan Sesudah Revisi 3 Preliminary Field Test
Gambar-gambar di atas merupakan cuplikan dalam video yang belum dan
sudah direvisi. Revisi dilakukan atas saran dari ahli serta respon siswa pada tahap
preliminary field test. Saran yang diajukan adalah judul bahan ajar haruslah diawal,
penggunaan huruf terlalu besar, warna merah dihindari. Kemudian tayangan tidak
hanya terfokus pada pemateri, tapi lebih terfokus pada siswa, dengan begitu
diharapkan pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa. Selanjutnya
menggunakan animasi atau gambar dengan warna yang menarik agar siswa lebih
termotivasi untuk mempelajari materi.
932
3. Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa video
pembelajaran matematika berbasis scientific approach pada materi lingkaran kelas
VIII SMP memiliki tingkat validitas yang terdiri dari valid dan sangat valid,
sehingga layak digunakan untuk tahap berikutnya walaupun ada revisi kecil terlebih
dahulu. Jika dipersentasekan, total persentase dari ketiga ahli yaitu sebesar 81%,
artinya sudah memenuhi indikator keberhasilan dari produk yang dikembangkan.
Selanjutnya, dari uji coba skala terbatas, respon siswa yang diberikan pembelajaran
dengan menggunakan video pembelajaran ini memberikan respon yang positif
dengan skor 30,78, artinya memiliki tingkat kelayakan yang sangat baik atau sangat
menarik bagi siswa, sehingga dapat digunakan untuk tahap berikutnya untuk uji coba
yang lebih luas lagi sebagai bahan ajar untuk membantu siswa dan guru pada proses
pembelajaran.
Pernyataan terima kasih. Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima
kasih kepada tim pengembang bahan ajar; Dinda Nabila Hanifa, Indah Noviana N,
Oula Falahiyah dan Tita Lasyah yang telah membantu dalam mengembangkan
Video Pembelajaran Berbasis Scientific Approach pada materi lingkaran kelas VIII
SMP.
Referensi
[1] Sanaky, H., 2011, Media Pembelajaran: Buku Pegangan Wajib Guru dan Dosen,
Yogyakarta, Kaukaba
[2] Sagala, S, 2010, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung, ALFABETA
[3] Saberan, R, 2012, Penggunaan Media Audio Visual dalam Meningkatkan Motivasi dan
Hasil Belajar Siswa, LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol.07 No.02: 1-19
Desember 2012, ISSN: 0216-7433
[4] Purwanti, B, 2015, Pengembangan Media Video Pembelajaran Matematika dengan
Model Assure, Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Volume 3, Nomor 1,
Januari 2015, ISSN: 2337-7623; EISSN: 2337-7615
[5] Silberman, L.M, 2009, Active Learning 101 Cara Peserta didik Belajar Aktif, Bandung,
Nusa Media.
[6] Zaenal, A, 2012, Pengembangan Media Video Pembelajaran IPA tentang Kemagnetan
pada kelas IX SMPN 1 Mojowarno Jombang, Tesis: Tidak diterbitkan
[7] Kemendikbud, 2013, Materi Pelatihan Guru Implementasi kurikulum 2013 semester II
untuk SD kelas 1, Modul Pelatihan Implementasi kurikulum 2013 semester II, Jakarta,
Kemendikbud
[8] Borg, W. and Gall,M., 1983, Educational Research: An Introduction (4th ed), New York
an London, Longman.
[9] Sa’dun, A, 2015, Instrumen Perangkat Pembelajaran, Bandung, PT Remaja
Rosdakarya Offset: Bandung
933
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 933-939
DESAIN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
(PMR) DENGAN TOPIK OPERASI BILANGAN BULAT
PADA ANAK UMUR 9-10 TAHUN (KELAS III SD)
UNTUK MENINGKATKAN MINAT BELAJAR PESERTA
DIDIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN
NURHIDAYAH
Magister Pendidikan Matematika universitas sanata dharama,
Abstrak. Matematika adalah jendela dari ilmu pengetahuan, oleh karenanya
matematika merupakan subjek yang harus dikuasai agar bisa menguasai subjek-subjek
lainnya. Akan tapi fakta dalam proses pembelajaran mengungkapkan bahwa pelajaran
matematika masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar peserta didik
di sekolah. Banyak yang beranggapan bahwa belajar matematika itu sulit,
membingungkan, tidak menyenangkan, dan membuat pusing. Sehingga seorang
pendidik dituntut mampu membawakan materi matematika agar menjadi menarik,
asyik, dan terkait dengan masalah real atau kontekstual bagi peserta didik. Jenis
penelitian ini adalah penelitian desain dengan model pendidikan matematika realistik
dengan subjek penelitian 7 orang peserta didik yang berumur 9-10 tahun setara denga
kelas 3 sekolah Dasar, yang dilakukan di jln kanigoro rt 09 rw 06 maguwoharjo, sleman
Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada tanggal 29 Nopember 2016. Hasil yang didapat
dari penelitian ini adalah Pembelajaran matematika realistik dapat menarik minat
peserta didik untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Kata kunci: Penelitian desain, pembelajaran matematika realistik, minat belajar.
1. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlakmulia, sertaketerampilan yang diperlukandirinya,
masyarakat, bangsadan Negara (UU No. 20 tahun 2003).
Untuk memenuhi tujuan pendidikan, pemerintah mengembangkan suatu
kurikulum. Kurikulum pada pendidikan dasar dan menengah wajib memuat mata
pelajaran-mata pelajaran, salah satunya adalah matematika. Matematika merupakan
salah satu matapelajaran yang memegang peranan sangat penting dalam pendidikan.
Oleh karena itu, matematika selain dapat mengembangkan penalaran logis, rasional,
dan kritis serta memberi keterampilan kepada kita, juga akan mampu menyelesaikan
berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari maupun mempelajari ilmu-ilmu
lain yang berkaitan dengan matematika.
934
Fakta dalam proses pembelajaran mengungkapkan bahwa pelajaran
matematika masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar peserta
didik di sekolah. Banyak yang beranggapan bahwa belajar matematika itu sulit,
membingungkan, tidak menyenangkan, dan membuat pusing. Peserta didik
menganggap bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang paling sulit, yang
berhubungan dengan angka-angka dan rumus. Padahal seharusnya rumus bisa
menjadi alat bantu dalam mempercepat perhitungan, bukan malah mempersulit.
Seorang pendidik dituntut mampu membawakan materi matematika agar
menjadi menarik, asyik, dan terkait dengan masalah real atau kontekstual bagi
peserta didik. Diduga dalam proses pembelajaran belum menempatkan matematika
sebagai bagian dari kehidupan atau tidak memahami apa manfaat dari pembelajaran
matematika. Proses pembelajaran akan terjadi jika pengetahuan yang dipelajari
bermakna bagi peserta didik. Menurut Freudenthal, suatu ilmu pengetahuan akan
bermakna bagi peserta didik jika proses belajar melibatkan masalah realistic. Salah
satu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada keberadaan ilmu pengetahuan
adalah Pendidikan Matematika Realistik (PMR) atau biasa disebut Realistic
Mathematics Education (RME).
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) yaitu suatu pendekatan
pembelajaran yang diawali dengan masalah realistik untuk mengarahkan peserta
didik dalam memahami suatu konsep matematika. Soedjadi (2001: 2)
mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada
dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta didik
untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan
pendidikan matematika yang lebih baik daripada masa yang telah lalu. Yang
dimaksud dengan realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati
atau dipahami peserta didik lewat membayangkan. Sedangkan yang dimaksud
dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan
sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik.
Lingkungan ini disebut lingkungan sehari-hari.
Tujuan penelitian ini adalah dengan Desain Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR) Dengan Materi Operasi Bilangan Bulat Pada Anak Umur 9 Tahun
(Kelas III Sekolah Dasar) Di Jln Kanigoro Rt 09 Rw 06 Maguwoharjo, Sleman
Yogyakarta dapat meningkatkan minat peserta didik dalam proses pembelajaran.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian desain. Sebelum
melakukan penelitian, peneliti harus merancang terlebih dahulu proses
pembelajaran yang akan dilakukan dan juga menuliskan kemungkinan-kemungkinan
yang akan muncul serta merancang solusi apa yang harus dilakukan ketika
kemungkinan-kemungkinan tersebut muncul biasa disebut hypotetical learning
trajectory (HLT). Subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah 7 orang peserta
didik yang berumur 9-10 tahun setara denga kelas 3 sekolah dasar yang berada di
sekitar kanigoro rt 09 rw 06 maguwoharjo, sleman Yogyakarta.anda.
2. Hasil – Hasil Utama
Hasil penelitian yang telah dilakukan akan langsung dibahas menurut hasil tes dan observasi langsung pada saat tes diberikan. Hasil dan pembahasan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Ikutilah langkah-langkah kerja di bawah ini !
935
1) Perhatikan disekitar kalian. Kumpulkanlah kerikil-kerikil masing-masing
5 biji.
2) Hitunglah jumlah seluruh kerikil yang ada pada ruangan tersebut !
3) Ubahlah proses penjumlahan yang telah kalian lakukan ke bentuk
perkalian. Hasil kerja peserta didik :
a) Indri
Indri menjawab 35 dengan penjelasan bahwa 5+5+5+5+5+5+5 = 35,
karena terdapat 7 peserta didik yaitu Poso, Musa, Ipan, Map, Ata, Indri dan
Lala, dengan masing-masing siwa memegang 5 biji kerikil, jawaban 35 didapat
oleh indri dengan melakukan penjumlahan menggunakan jari.
Kemudian Indri menuliskan dalam bentuk perkalian 5x7=35, hal ini
dikarenakan oleh: indri menganggap bahwa bentuk perkalian dari penjumlahan
5 biji kerikil pada semua peserta didik sebanyak 7 orang adalah 5x7=35.
Jawaban Indri termasuk pada kemungkinan yang pertama yaitu
menjumlahkan kerikil yang dimiliki oleh setiap satu orang.
b) Laila
Lala menuliskan jawaban 5+5+5+5+5+5+5 = 35. Dia mendapat jawaban 35
dengan menjumlahkan setiap dua suku, didapat 10+10+10+5 =35, hal ini
mempermudah dia intuk mejumlahkan bilangan-bilangan tersebut. Tidak
seperti indri yang menghitung menggunakan jari, laila langsung menjumlahkan
10+10+10+5=35, hal ini dikarenakan pengelompokkan dua suku yang
dilakukan oleh laila mempermudah dia dalam mengetahui jumlah keseluruhan
kerikil tersebut.
Selanjutnya, laila menuliskan dalam bentuk perkalian 5x7=35, sama
seperti jawaban indri sebelumnya. Dia menganggap bahwa bentuk perkalian
dari penjumlahan 5 biji kerikil pada semua peserta didik sebanyak 7 orang
adalah 5x7=35.
Jawaban Laila termasuk pada kemungkinan yang kedua yaitu
mengelompokkan kerikil yang dimiliki oleh setiap dua kemudian
menjumlahkannya.
c) Musa
Layaknya Indri dan laila, musa menuliskan 5+5+5+5+5+5+5 = 35 pada lembar
jawabannya. Dengan menggunakan jari tangan, musa menjumlahkan kerikil
tersebut, sehingga didapat jumlah kerikil sebanyak 37.
Selanjutnya, musa mengubah bentuk penjumlahan yang telah
dilakukannya ke dalam bentuk perkalian. Dia menuliskan dua bentuk perkalian
dari 5 kerikil yang terdapat pada 7 orangyaitu pertama 5x7=35 dan 7x5=35. Hal
ini dilakukan oleh musa karena ia ragu terhadap jawabannya.
Jawaban Musa termasuk pada kemungkinan yang pertama yaitu
menjumlahkan kerikil yang dimiliki oleh setiap satu orang.
2. Linda pergi ke minimarket untuk membeli 8 bungkus permen. Tiap bungkus
permen berisi 4 butir permen. Berapa butir jumlah seluruh permen milik Linda?
Hasil kerja peserta didik :
a) Indri
Menjawab soal tersebut, Indri menuliskan 4+4+4+4+4+4+4+4=32 pada
lembar jawabannya. Indri menjejerkan 8 bungkus permen tersebut, karena
dalam satu bungkus permen terdapat 4 butir permen maka jadilah indri
menjumlahkan satu persatu sehingga dia mengetahui seluruh jumlah permen
936
yang telah dibeli oleh Linda yaitu sebanyak 32 butir permen. Selanjutnya indri
menuliskan bentuk penjumlahan 4+4+4+4+4+4+4+4=32 ke dalam bentuk
perkalian yaitu 8x4 = 32, diduga jawaban ini muncul karena terdapat 8 bungkus
permen sehingga indri menuliskan 8 terlebih dahulu kemudian dikalikan 4
karena setiap bungkus terdapat 4 butir permen sehingga ia mendapat jumlah
seluruh permen yaitu 32 butir..
Jawaban Indri termasuk pada kemungkinan yang pertama yaitu
menjumlahkan isi permen dengan terpisah satu persatu menurut bungkusannya.
b) Laila
Pada lembar jawaban laila menulis 4+4+4+4+4+4+4+4=32. Jawaban laila
tidak berbeda dari jawaban Indri, dia mengurutkan angka empat sebanyak 8 kali
kemudian menjumlahkannya sehingga mendapatkan jawaban 32. Jawaban
tersebut didapat karena terdapat 8 bungkus permen dan masing-masing bungkus
berisi 4 butir permen sehingga jumlah seluruh permen tersebut adalah sebanyak
32 butir.
Menurut Laila bentuk perkalian dari 8 angka 4 yang dijumlahkan adalah
4 x 8 dan jika dioperasikan menghasilkan angka 32, sehingga dia menulis 4 x 8
= 32.
Untuk mendapatkan hasil 32, Laila menggunakan penjumlahan
bersusun. Dia menjumlahkan dua angka pertama sehingga mengasilkan angka
8, kemudian angka 8 tersebut dijumlahkan dengan angka 4 yang terdapat pada
urutan ketiga sehingga menghasilkan 12, begitu seterusnya hingga pada
penjumlahan suku terakhir yaitu 36 dijumlahkan dengan angka 4 yang terletak
pada urutan kesepuluh sehingga didapat hasil 40.
Disini Laila sedikit keliru karena dia menjumlahkan angka 4 sebanyak
10 kali hingga ia mendapatkan hasil penjumlahan 40, yang seharusnya dia
hanya menjumlahkan angka 4 sebanyak 8 kali sehingga jawaban yang didapat
adalah 32.
Jawaban Laila termasuk pada kemungkinan yang pertama yaitu
menjumlahkan isi permen dengan terpisah satu persatu menurut bungkusannya
c) Musa
Karena terdapat 8 bungkus permen dan setiap bungkus permen terdapat 4
butir maka Musa menuliskan 4+4+4+4+4+4+4+4=32 seperti yang terlihat pada
gambar di atas. Untuk menuliskan bentuk penjumlahan tersebut ke bentuk
perkalian musa menuliskan dua jawaban yaitu 8 x 4 = 32 dan 4 x 8 = 32. Hal
ini dilakukan oleh musa karena dia ragu akan jawabannya, sehingga dia
menuliskan keduanya, seperti yang dia lakukan sebelumnya.
Cara yang digunakan oleh musa untuk mendapat jawaban dari
penjumlahan 4+4+4+4+4+4+4+4 yaitu 32 berbeda dari teman-teman lainnya.
Cara yang Musa gunakan adalah dengan merepresentasikan angka 4 ke bentuk
lidi yaitu IIII diurutkan sebanyak 8 baris kemudian dia menghitung lidi tersebut
satu persatu hingga mendapatkan jawaban 32.
Jawaban Musa termasuk pada kemungkinan yang pertama yaitu
menjumlahkan isi permen dengan terpisah satu persatu menurut bungkusannya.
3. Jelaskan bentuk perkalian dibawah ini dengan menggunakan penjumlahan:
(1) 10 x 7
(2) 6 x 6
(3) 8 x 5
937
Hasil kerja peserta didik :
a) Indri
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut indri menulis jawabannya sebagai
berikut :
1) Untuk menjawab pertanyaan 10 x 7, indri mengurutkan bilangan 10
sebanyak 7 kemudian menjumlahkan dua sukun pertama sehingga menjapar
jawaban 20, kemudian jawaban tersebut dijumlahkan dengan suku ketiga
sehingga mendapat jawaban 30. Hal ini berlaku hingga penjumlahan terakhir
yaitu 60 dijumlahkan dengan suku ketujuh sehingga mendapat hasil akhir
yaitu 70, seprti yang terdapat pada gambar di atas.
2) Seperti cara menjawab pertanyaan sebelumnya, untuk menjawab pertanyaan
6 x 6 indri mengurutkan bilangan 6 sebanyak 6 kali, selanjutnya dia
menjumlahkan dua bilangan berdekatan yaitu 6+6 sehiingga mendapat 12.
Jawaban sebelumnya yaitu 12 dijumlahkan lagi dengan bilangan yang ketiga
yaitu 6 sehingga menjapat jawaban 18, begitu seterusya sampai pada operasi
yang terakhir yaitu 30 dijumlahkan dengan bilangan keenam yaitu 6
sehingga mendapat hasil 36.
3) Indri menjawab pertanyaan ketiga seperti cara menjawab dua pertanyaan
sebelumnya yaitu dengan mengurutkan bilangan 8 sebanyak 5 kali kemudian
mulai dengan menjumlahkan dua bilangan pertama yaitu 8+8 menghasilkan
16 selanjutkan menjumlahkan 16 dengan angka pada pada urutan ketiga
yaitu 8 sehingga menghasilkan 24, kemudian menjumlahkan angka 24
dengan bilangan keempat yaitu 8 sehingga menghasilkan 32, kemudian
angka 32 dijumlahkan dengan bialangan kelima yaitu 8 sehingga mendapat
jawaban 40. Hal ini seperti yang terdapat pada gambar di atas.
Jawaban dari Indri tidak terdapat pada lintasan belajar.
b) Laila
Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini, Laila menjawab
pertanyaan sebagai berikut :
Untuk menjawab pertanyaan yang pertama yaitu 10 x 7, indri mengurutkan
bilangan 10 sebanyak 7 kali dan menjumlahkan dengan denggunakan jari-jari
tangan, sehingga dia mendapat jawaban 70. Karena Laila melakukan
penjumlahan menggunakan tangan sehingga tidak terdapat coretan dari jawaban
yang pertama ini.
Seperti cara menjawab pertanyaan sebelumnya, untuk menjawab
pertanyaan 6 x 6 Laila mengurutkan bilangan 6 sebanyak 6 kali kemudian
menjumlahkan angka-angka tersebut menggunakan jari-jari tangan sehingga
dia mendapat hasil 36. Sama seperti jawaban yang pertama, indri
menjumlahkan dengan menggunakan jari-jari sehingga tidak terdaapat coretan-
coreta proses dia mendapatkan jawaban tersebut.
1) Laila menjawab pertanyaan ketiga seperti cara menjawab dua pertanyaan
sebelumnya yaitu dengan mengurutkan bilangan 8 sebanyak 5 kali sehingga
mendapat jawaban 40. Tapi yang membedakan dengan dua jawaban
sebelumnya pada soal ketiga ini adalah Laila tidak hanya menjumlahkan
angka 8 tersebut menggunakan tangan tapi juga dengan cara penjumlahan
bersusun. Seperti yang terlihat pada gambar di samping, ntuk selanjutnya
Laila menjumlahkan angka 8 bukan 5.
2) Laila melakukan penjumlahan bersusun, akan tetapi Laila salah dalam
menjumlahkan dua angka pertama, karena dia menjumlahkan angka 8 dan
angka 5 bukan 8 sehingga hasil penjumlahan yang didapat adalah 13, tapi
938
untuk kesalahan lain yang dia lakukan juga adalah angka yang dijumlahkan
bukan 5 angka melainkan 6 angka, hingga jawaban yang diperoleh melebihi
jawaban seharusnya. Karena Laila salah dalam menjumlahkan dua angka
pertama dan menjumlahkan 6 angka, maka hasil penjumlahan yang didapat
adalah 45, dan ini adalah jawaban yang salah.
Jawaban Laila mengarah kepada kemungkinan yang pertama, yaitu
menjumlahkan angka-angka tersebut satu persatu.
c) Musa
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut indri menulis jawabannya
sebagai berikut :
1) Untuk menjawab pertanyaan yang pertama yaitu 10 x 7, Musa mengurutkan
bilangan 10 sebanyak 7 kali yaitu 10+10+10+10+10+10+10=70 seperti yang
dapat dilihat pada gambar di atas. Untuk mendapatkan jawaban 70 Musa
mulai menjumlahkan satu persatu angka 10 tersebut, dengan menggunakan
tangan. Berbeda dengan penjumlahan pada nomor sebelumnya dia
menggambarkan lidi untuk merepresentasikan setiap angka, tapi dia tidak
melakukan halo yang sama pada jawaban ini.
2) Seperti jawaban pada pertanyaan sebelumnya, untuk menjawab pertanyaan
6 x 6 Laila mengurutkan bilangan 6 sebanyak 6 kali yaitu 6+6+6+6+6+6
kemudian menjumlahkan angka-angka tersebut sehingga mendapat hasil 36.
Musa mendapatkan jawaban 36 dengan cara merepresentasikan angka 6
dengan lidi sebanyak 6 batang seperti yang terlihat pada gambar di atas. Dia
menggambar 6 lidi pada satu baris dan sebanyak 6 baris kemudian
menghitung satu persatu dari lidi tersebut, sehingga dia mendapatkan 36 lidi.
3) Musa menjawab pertanyaan ketiga seperti menjawab dua pertanyaan
sebelumnya yaitu dengan mengurutkan bilangan 8 sebanyak 5 kali ddan
menjumlahkan semua bilangan 8 tersebut sehingga mendapat jawaban 40
yaitu 8+8+8+8+8=40, seperti yang terlihat pada gambar di atas.
Untuk mendapatkan jawaban 40, musa merepresentasikan angka 8 dengan
menggambarkannya dalam bentuk lidi sehingga membentuk 8 lidi, karena
terdapat 5 angka 8, maka musa menggambarkan 5 baris lidi dan pada setiap
baris terdapat 8 lidi seperti yang terlihat pada gambar di atas. Musa menghitung
lidi-lidi tersebut satu persatu sehingga mendapat 40 lidi.
Jawaban Musa mengarah kepada kemungkinan yang pertama, yaitu
menjumlahkan angka-angka tersebut satu persatu.
3. Kesimpulan
Pembelajaran matematika realistik daapat menarik minat peserta didik
dalam berperan aktif dalam proses pembelajaran. Walaupun tidak semua jawaban
dari peserta didik semuannya benar akan tetapi setidaknya peserta didik sudah
berusaha mengerjakan soal yang diberikan.
Referensi
[1] Catherin, T.F. and Maarten, D., 2001, Young Mathematicians at Work: Constructing
Multiplication and Division, Library of Congress Cataloging.
[2] Wijaya, Aryadi., 2011, Pendidikan Matematika Realistik: suatu alternatif pendekatan
pembelajaran matematika, Graha Ilmu.
939
[3] Van, J.d.A. And Gravemeijer, K. And McKenney, S. And Nieveen, N., 2006,
Educational Design Research, Routledge.
[4] Gravemeijer, Koeno., 1994, Developing Realistic Mathematics Education, Technipress.
940
Prosiding SNM 2017 Pendidikan , Hal 940 -947
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI
BERBASIS AUGMENTED REALITY
IQBAL WAHYU SEPTIYADI1, AHMAD ZULFAKAR
RAHMADI2
STKIP SURYA 1 Jl.Imam Bonjol No.88, [email protected]
2 Jl.Imam Bonjol No.88, [email protected]
Abstrak. Fokus penelitian ini adalah untuk mengembangkan bahan ajar matematika
pada materi geometri menggunakan teknologi augmented reality. Bahan ajar yang
dikembangkan merupakan visualisasi objek geometri secara virtual 3D berplatform
android. Augmented Reality merupakan konsep penggabungan objek virtual dan objek
nyata. Untuk menjalankannya, dibutuhkan marker sebagai penanda objek dua dimensi
berpola. Marker selanjutnya akan di deteksi melalui kamera handphone dan kemudian
layar handphone akan menampilkan objek 3D. Dari penelitian yang dilakukan
disimpulkan bahwa media mampu menampilkan objek 3D secara virtual dalam jarak
optimum yakni 30 cm dengan intensitas cahaya sebesar 80 Lux untuk marker berukuran
5cm x 5cm. Lebih lanjut, dari hasil yang diperoleh akan dibahas bagaimana kelayakan
bahan ajar yang dikembangkan dari segi mensimulasikan objek geometri.
Kata kunci: bahan ajar, geometri, augmented reality.
1. Pendahuluan
Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini terjadi
begitu cepat dan mempengaruhi berbagai bidang mulai dari bidang ekonomi, politik,
industri, budaya, hingga bidang pendidikan [1]. Salah satu teknologi yang sedang
berkembang ialah Augmented Reality (AR) atau yang dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan istilah realitas tertambah. Augmented Reality merupakan teknologi
yang menggabungkan objek maya 2 dimensi dan atau 3 dimensi kedalam sebuah
lingkungan nyata 3 dimensi dan memproyeksikan objek-objek tersebut secara
realtime. Teknologi AR bekerja dengan cara mendeteksi sebuah objek penanda nyata
2 dimensi (marker) kemudian memproses objek penanda tersebut dalam sebuah
sistem dan kemudian menampilkan objek maya berupa 2 dimensi ataupun 3 dimensi.
Penggunaan teknologi AR saat ini telah menyentuh berbagai bidang
termasuk bidang pendidikan. Teknologi AR yang mampu mempresentasikan objek
abstrak menjadi lebih nyata secara realtime akan menarik perhatian siswa dalam
pembelajaran. Objek-objek geometri yang abstrak seperti objek 2 dimensi dari
kubus, balok, limas, tabung, kerucut, bola dan prisma akan terlihat lebih nyata jika
dibuat dalam bentuk 3 dimensi dan di tampilkan dengan teknologi AR.
941
Di sisi lain, objek-objek geometri seringkali direpresentasikan dengan media
sederhana yang kurang menarik dalam pembelajaran. Padahal, penggunaan media
dalam pembelajaran diharapkan dapat membantu proses pembelajaran lebih visual,
interaktif, dan juga menarik. Oleh karena itu, teknologi AR yang memungkinkan
visualisasi objek secara nyata dalam bentuk 3 dimensi merupakan salah satu solusi
pengembangan bahan ajar dan media yang tepat dalam pembelajaran geometri.
Dengan teknologi AR, objek-objek geometri dapat divisualisasikan secara nyata
dalam 3 dimensi serta menarik perhatian siswa dalam pembelajaran.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknologi AR sebagai
media atau bahan ajar telah memberikan hasil yang positif pada pembelajaran.
Sebagai contoh, pada penelitian Sony Sulistyo dalam aplikasi pengenalan tata surya
menggunakan augmented reality, membuat siswa lebih tertarik serta bermanfaat
dalam penyampaian materi. Hal tersebut yang menjadikan peneliti ingin
mengembangkan sebuah media pembelajaran untuk materi geometri.
2. Hasil – Hasil Utama
2.1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 tahap penelitian dan pengembangan pendidikan Borg and Gall. Dari 10 tahap penelitian dan pengembangan Borg and Gall hanya akan diterapkan hingga tahap ke-4 saja. Keempat tahapan tersebut meliputi research and information collecting, planning, develop preliminary form a product, dan preliminary field testing [6].
Research and information collecting, atau penelitian dan pengumpulan informasi, meliputi proses yang berkaitan dengan persiapan penelitian seperti analisis kebutuhan, studi literatur dan sebagainya. Planning, atau perencanaan yang meliputi pembuatan storyboard yang menggambarkan rancangan aplikasi secara menyeluruh. Develop preliminary form a product, atau pengembangan produk awal meliputi proses pembuatan aplikasi. Preliminary field testing, atau pengujian awal yang meliputi proses validasi produk oleh ahli.
2.2. Hasil
Penelitian dilakukan dengan melalui beberapa tahapan antara lain persiapan, perancangan sistem, pembuatan aplikasi, pengujian, dan juga validasi ahli. Berikut ini hasil yang diperoleh peneliti dalam mengembangkan bahan ajar geometri dengan teknologi AR. 2.2.1. Persiapan dan Pengumpulan Data
Pada awal persiapan, peneliti melakukan pengumpulan data melalui studi literatur pada beberapa penelitian terkait teknologi AR, dan pengembangan bahan ajar matematika. Dari studi literatur diketahui beberapa poin seperti metode dan tahap pengembangan, kegunaan media, perangkat keras dan lunak, library, serta kelebihan dan kekurangan dalam penelitian terkait. Data-data tersebut mendukung proses jalannya pengembangan bahan ajar geometri yang dilakukan.
Setelah studi literatur dilakukan peneliti, selanjutnya adalah analisis
942
perangkat keras dan lunak yang mendukung serta digunakan dalam pengembangan bahan ajar dengan AR. Adapun spesifikasi perangkat keras dan lunak pada pengembangan bahan ajar yang dilakukan antara lain:
Tabel 2.1. Spesifikasi Perangkat dalam Pengembangan Bahan Ajar
Perangkat Keras Perangkat Lunak
Unity 3D: - Sistem Operasi Windows 8.1
(64 bit) - Android SDK dan Java
Development Kit (JDK) - Web GL Windows 7 SP 1 (64
bit) - Unity 3D versi 5 - Vuforia SDK - Java JDK 7 - Microsoft Word 2016 - Android versi minimal kitkat
4.4.4
Blender: - 32-bit dual core 2Ghz - 2Gb ram - 24 bits 1280x768 display - Mouse 3 tombol fungsi - OpenGL 2.1 - Laptop processor core i3 - RAM 2 Gb - Mouse 3 tombol fungsi
Dalam proses pengembangan, peneliti menggunakan perangkat android LG Nexus 5 dengan spesifikasi RAM 2GB, processor quadcore 2.4. Ghz, dan 8MP camera. 2.2.2. Pembuatan Aplikasi
Tahap pembuatan aplikasi merupakan tahapan yang mengimplementasikan rancangan atau desain yang telah dibuat. Berikut ini adalah diagram alur dalam pembuatan aplikasi AR sebagai media geometri.
Gambar 2.1. Diagram Alur Pembuatan Aplikasi
Pembuatan aplikasi dimulai dari pembuatan objek geometri 3D (kubus, balok, limas, prisma, silinder, dan bola) dengan menggunakan aplikasi blender3D. Selanjutnya, objek akan dijadikan marker lalu kemudian diunggah ke dalam vuforia. Pada vuforia, marker akan mendapat license key dan menjadi asset yang kompatibel dengan unity3D. Pada unity3D, asset akan disinkronisasi sesuai objek yang dibutuhkan dalam media. Setelah selesai, aplikasi dibangun (build) menggunakan format APK sehingga dapat diinstall pada perangkat android. Proses pembuatan
943
aplikasi dapat dilihat pada gambar 2.1. 2.2.3. Pengujian dan Validasi
Tahap pengujian media pembelajaran dilakukan untuk melihat apakah aplikasi yang dikembangkan dapat dijalankan dengan baik dan sesuai dengan sasaran. Pada tahap ini, media diuji coba dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti pencahayaan serta sudut pandang kamera terhadap marker dengan indikator jarak dan kemiringan. Nilai intensitas cahaya yang digunakan dalam uji coba adalah 78 lux (satuan cahaya), yang merupakan rata-rata keseluruhan pencahayaan yang ada di dalam ruangan. Pencahayaan mempengaruhi keberhasilan kamera memvisualisasikan objek geometri dari marker yang ada.
Sementara itu, keberhasilan visualisasi objek dari kamera diukur secara berkala dari 10 cm hingga 100 cm dengan rentang setiap nilai sejauh 5 cm. Selain itu, pengukuran juga mempertimbangkan kemiringan kamera terhadap marker untuk melihat batas maksimum marker dapat dipindai. Hasil pengujian dari media aplikasi yang dikembangkan dapat dilihat pada table 2.2.
Tabel 2.2. Hasil Pengujian Aplikasi
Intensitas
Caharya
Sudut Optimal Jarak (s)
Dalam cm
Keterangan
78 Lux
(Kategori
sedang)
10° < 𝜃 ≤ 90° 10 < 𝑠 < 80 Marker terdeteksi dengan
baik
𝑠 ≤ 10 atau 𝑠 ≥ 80 Marker tidak terdeteksi,
harus dimulai dari jarak
optimum kamera.
𝜃 ≤ 10° 10 < 𝑠 < 80 Tidak terdeteksi
𝑠 ≤ 10 atau 𝑠 ≥ 80 Tidak terdeteksi
Berdasarkan hasil selama pengujian aplikasi, diperoleh bahwa marker terdeteksi pada jarak antara 10 sampai 80 cm dengan pemindahan gambar secara langsung. Sedangkan untuk jarak kurang dari atau sama dengan 10 cm dan lebih dari 80 cm, marker tidak terdeteksi secara utuh dan juga tidak terlihat dengan jelas. Pada jarak tersebut, marker dapat dideteksi jika pada awalnya kamera diposisikan di jarak ideal kemudian digeser secara terus menerus.
Gambar 2.1. Tampilan Aplikasi Geometri
944
Gambar 2.2. Contoh Marker pada Aplikasi Geometri
Tahap selanjutnya adalah validasi dari ahli mengenai media yang dikembangkan. Validator yang akan menilai terdiri dari ahli materi, dan ahli media. Sedangkan poin yang akan dinilai dalam validasi yakni dari aspek aplikasi dan simulasi dari media yang dikembangkan. Dalam proses validasi, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket berupa pertanyaan-pertanyaan kepada ahli (responden) terkait bahan ajar yang dikembangkan. Angket validasi menggunakan skala likert dengan interval antara lain:
Tabel 2.3. Interval Skala Likert
Skor Pertanyaan Keterangan Skor
5 Sangat Setuju
4 Setuju
3 Netral
2 Tidak Setuju
1 Sangat Tidak Setuju
Adapun contoh butir pertanyaan pada lembar validator ahli untuk
penelitian ini yaitu:
Tabel 2.4. Poin Penilaian Validasi
No Indikator Skor
5 4 3 2 1
I. Aplikasi
1 Tampilan aplikasi sesuai dengan sasaran
2 Tampilan aplikasi menarik
3 Tampilan dan penggunaan aplikasi user friendly
4 Media pembelajaran aplikasi menyajikan petunjuk
yang jelas.
945
No Indikator Skor
5 4 3 2 1
5 Tata letak menu pada aplikasi baik
6 Ukuran,jenis dan warna huruf pada aplikasi sesuai
7 Aplikasi mampu mempermudah siswa memahami
objek-objek bangun ruang
II. Simulasi
8 Simulasi pada media pembelajaran mudah digunakan.
9 Simulasi pada media pembelajaran mampu
meningkatkan motivasi untuk belajar
10 Warna pada simulasi menarik dan sesuai
Skor yang diperoleh dari angket validasi oleh ahli, kemudian dikonversi untuk mengetahui kelayakan dari produk yang dikembangkan. Proses konversi nilai kelayakan produk diperoleh dengan rumus:
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 (%) =𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙× 100%
Persentase nilai kelayakan yang diperoleh kemudian direpresentasikan untuk setiap interval skor pada skala likert. Lebih lanjut, nilai tersebut akan dirujuk pada kriteria interpretasi skor sebagai berikut:
Tabel 2.6. Kriteria Interpretasi Skor
Interval Kriteria
0% - 20% Tidak Layak
21% - 40% Kurang Layak
41% - 60% Cukup Layak
61% - 80% Layak
80% - 100% Sangat Layak
2.3. Pembahasan
Proses validasi produk dinilai oleh ahli media dan materi, dimana pada penelitian ini dilekukan oleh 2 ahli media dan 1 ahli materi. Berdasarkan hasil uji validasi yang dilakukan, diperoleh beberapa saran untuk perbaikan pada aplikasi, seperti pada tabel berikut.
946
Tabel 2.7. Saran Validasi
Dari skor yang diperoleh pada angket validasi, konversi nilai dilakukan per bagian aspek yang ada dalam penilaian ahli yakni aplikasi dan simulasi. Berikut ini,
adalah hasil uji validasi dan kelayakan produk yang dilakukan berdasarkan aspek aplikasi dan simulasi.
Tabel. 2.8. Hasil Uji Validasi
Uji Validasi
Aspek Hasil Skala
Aplikasi Presentasi kelayakan produk terhadap
aspek aplikasi sebesar 83.8%
Sangat Layak
Simulasi Presentasi kelayakan produk terhadap
aspek simulasi sebesar 77 %
Layak
Berdasarkan hasil validasi ahli yang dilakukan, diketahui bahwa produk yang dikembangkan dinilai sangat layak dari segi aplikasi yang ditampilkan. Penilaian tersebut didasari beberapa indikator diantaranya tampilan dan juga kegunaan dari aplikasi dalam pembelajaran geometri. Meskipun demikian, beberapa saran dan komentar juga diberikan ahli terkait pemrosesan objek pada saat aplikasi dijalankan. Komentar seperti, objek bangun ruang kurang jelas, penggunaan warna,, serta visualisasi objek yang kurang sempurna pada jarak tertentu menjadi pertimbangan peneliti dalam mengembangkan aplikasi.
Selain itu, produk yang dikembangkan masih tergolong layak dari penilaian simulasi menurut para ahli. Hanya saja, aplikasi yang ada belum sesuai dengan rencana awal peneliti dalam mengembangkan bahan ajar geometri. Aplikasi yang telah dikembangkan masih belum dapat mensimulasikan dengan baik bangun ruang beserta jaring-jaring setiap objek geometri. Oleh karena itu, saran yang diberikan adalah untuk mengembangkan aplikasi pada fungsi simulasi dalam pembelajaran geometri secara lebih baik.
Dari beberapa saran dan penilaian yang diberikan ahli pada validasi produk, maka beberapa perbaikan perlu dilakukan peneliti dalam mengembangkan aplikasi bahan ajar geometri sebelum dapat diterapkan secara luas.
Validator Saran Keterangan
Materi Perbaiki bagian gambar bangun ruang Aplikasi
Jika memungkinkan, tambahkan
warna pada sisi bangun ruang
Lakukan Pengaturan ulang untuk
meminimalkan pergerakan gambar
pada aplikasi
Media 1 Kadang muncul bangun lain saat
antara jauh dan dekat
Aplikasi
Media 2 Kembangkan simulasinya Simulasi
947
3. Kesimpulan
Pengembangan bahan ajar11.5 geometri berbasis augmented reality
dilakukan melalui beberapa tahap mulai dari pengumpulan data hingga pada validasi
ahli. Proses validasi dilakukan untuk melihat apakah produk yang dikemb8angkan
layak untuk digunakan dalam pembelajaran menurut beberapa ahli (media dan
materi). Berdasarkan uji validasi yang dilakukan, diperoleh bahwa produk
dinyatakan “sangat layak”, dari segi aplikasi dengan persentase 83.8%. Sedangkan
pada aspek simulasi produk dinyatakan “layak”, dengan persentase 77%. Dari kedua
hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa produk layak untuk digunakan dalam proses
pembelajaran, didukung dengan penilaian yang telah dilakukan para ahli dalam
validasi.
Meskipun menurut validasi ahli produk dinyatakan layak, tetapi beberapa
komentar perbaikan perlu dilakukan peneliti seperti: tampilan objek geometri,
proses visualisasi objek, serta aspek simulasi yang kurang menonjol. Sebagai saran,
penelitian ini diharapkan dapat dilanjutkan ke tahap lebih jauh, serta menjadi
referensi bagi peneliti, guru, maupun civitas lain dalam mengembangkan
pembelajaran matematika.
Pernyataan terima kasih. Puji syukur kami panjatkan atas berkat rahmat
Allah sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
makalah ini dengan baik. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
orang tua, dosen, kaprodi, staff kemahasiswaan, serta teman sejawat
STKIP Surya yang turut membantu dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan makalah ilmiah ini. Harapannya semoga hasil pen elitian
ini dapat memberikan kontribusi penting bagi dunia pendidikan .
Referensi
[1] Hadi, S.S. 2013.Aplikasi Pengenalan Sistem Tata Surya Menggunakan
Augmented Reality Untuk Pendidikan Sekolah Dasar.
[2] Hidayat, T. 2015. Penerapan Teknologi Augmented Reality Sebagai Model
Media Edukasi Kesehatan Gigi Bagi Anak.
[3] Rosyad, P. 2014. Pengenalan Hewan Augmented Reality Berbasis Android. [4] Yudiantika, A.R., Sari, I.P., Pasinggi, E.S., & Hantono, B.S. 2013.
Implementasi Augmented Reality Di Museum : Studi Awal Perancangan
Aplikasi Edukasi Untuk Pengunjung Museum.
[5] Siltanen, S. 2012. Theory And Applications Of Marker-Based Augmented
Reality. Finland: VTT Publisher.
[6] Gall, M. D., Gall, J. P., & Borg, W.R. (2003). Educational Research An
Introduction. Pearson.
[7] Wibowo, E. J. 2013. Media Pembelajaran Interaktif Matematika untuk Siswa
Sekolah Dasar Kelas IV. Seminar Riset Unggulan Nasional Informatika dan
Komputer FTI UNSA, 75-78.
948
Prosiding SNM 2917 Pendidikan, Hal 948-953
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS)
BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING BERBANTUAN
MICROSOFT MATHEMATICS PADA TOPIK TURUNAN
BAGI SISWA SMA
AAN SUBHAN PAMUNGKAS
Jurusan Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,
Abstrak. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini menuntut guru agar
memanfaatkan dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran di kelas. Salah satu pemanfaatan
teknologi adalah dengan menggunakan software pembelajaran matematika yang diintegrasikan dalam
bahan ajar matematika yaitu lembar kerja siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan lembar
kerja siswa berbasis penemuan terbimbing berbantuan software Microsoft Mathematics. Materi yang
dibahas dalam lembar kerja ini adalah materi turunan. Sesuai dengan kurikulum yang berlaku konsep
turunan mulai dikenalkan pada siswa SMA kelas XI. Saat ini proses pembelajraan yang dilakukan
bersifat mekanistik, sehingga kurang mendorong siswa untuk melakukan penemuan sesuai dengan
prinsip kurikulum 2013. Sehingga impact yang diharapkan dalam pengembangan bahan ajar ini adalah
siswa mendapatkan pembelajaran bermakna dalam memperoleh konsep turunan secara terbimbing
melalui bantuan software Microsoft Mathematics. Model pengembangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model 4D yaitu meliputi: (1) Define, pengembang melakukan analisis masalah dan
potensi; (2) Design, pengembang membuat produk awal (prototype) atau rancangan produk yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada; (3) Development, dibagi kedalam dua kegiatan
yaitu: expert appraisal dan developmental testing; (4) Disseminate, pada tahap ini kegiatan yang
dilakukan adalah validation testing. Uji kevalidan dan kepraktisan produk dinilai oleh ahli, guru dan
siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk hasil pengembangan termasuk kategori sangat baik
menurut para ahli, praktis menururt penilaian guru dan siswa. Berdasarkan uji kevalidan dan
kepraktisan tersebut maka produk yang dikembangkan layak digunakan sebagai bahan pendukung
pembelajaran di SMA.
Kata Kunci: Lembar Kerja Siswa, Penemuan Terbimbing, Microsoft Mathematics.
1. Pendahuluan
Belajar adalah proses perubahan mental maupun sikap, dimana perubahan ini
bersifat permanen sebagai hasil dari suatu latihan atau pengalaman. Proses belajar
dalam diri siswa bersifat personal dan kontekstual, dalam artian proses belajar terjadi
dalam diri individu siswa sesuai tahap perkembangan kogntif maupun fisik dan
lingkungan belajar.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses komunikasi banyak arah
antara siswa dengan lingkungannya baik antar siswa, siswa dengan sumber belajar,
maupun dengan gurunya. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi meaningfull
learning bagi siswa apabila dilakukan dalam lingkungan yang mendukung dan
nyaman.
Berdasarkan uraian di atas, sumber belajar merupakan salah satu komponen
yang penting menunjang proses keberhasilan siswa dalam pembelajaran bermakna.
Menurut Association for Educational Communication and Technology sumber
949
belajar adalah segala sesuatu yang berupa pesan, manusia, bahan (software),
peralatan (hardware), teknik (metode), dan lingkungan yang digunakan baik secara
sendiri-sendiri atau dikombinasikan untuk memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar
[1].
Hal di atas sejalan dengan pendapat berikut yang menyatakan bahwa Learning
resources are generally understood to be texts, videos, software, and other materials
that assist students to meet the expectations for learning, as defined by provincial or
local curricula. Before a learning resource is used in a classroom, it must be
evaluated to ensure that criteria such as those for curriculum match, social
considerations and age or developmental appropriateness are met [2].
Berdasarkan pada definisi di atas, salah satu bentuk sumber belajar adalah
materi yang dikemas dalam bentuk bahan ajar (software). Materi dalam bahan ajar
harus disusun sesuai dengan karakteristik siswa, sehingga mudah dipahami dengan
baik. Interaksi antara guru dan siswa, siswa dan materi yang menghasilkan proses
pembelajaran lebih dikenal dengan istilah situasi didaktis pedagogis. Hubungan
antara pendidik-peseta didik-materi digambarkan sebagai sebuah segitiga didaktik
yang menggambarkan hubungan didaktis (HD) antara peserta didik dan materi, serta
hubungan pedagogis (HP) antara pendidik dan peserta didik serta adanya antisipasi
didaktis pedagogis (ADP) [3]. Segitiga didaktis tersebut bisa digambarkan sebagai
berikut.
Gambar 1. Segitiga Didaktis yang dimodifikasi
Berdasarkan konteks segitiga didaktis di atas, maka peran utama seorang
pendidik adalah menciptkan situasi didaktis agar tercipta proses belajar dalam diri
siswa. Selain itu, pendidik juga harus menguasi materi dan pengetahuan lain yang
mendukung agar bisa mengantisipasi respon peserta didik dengan baik. dengan kata
lain seorang pendidik perlu memiliki kemampuan untuk menciptakan hubungan
didaktis antara materi dan peserta didik sehingga tercipta proses pembelajaran yang
ideal bagi siswa.
Dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa peran materi sangat penting.
Pengembangan materi yang disusun dalam lembar kerja merupakan usaha yang bisa
dilakukan seorang guru untuk menjamin tercapainya tujuan pembelajaran yang
optimal. Lembar kerja merupakan media interaksi antara siswa dengan materi yang
dikemas dengan berbagai aktivitas-aktivitas yang terurut. Menurut [4] lembar kerja
sebagai jenis hand out yang dimaksudkan untuk membantu siswa belajar secara
terarah (guided discovery activities).
Penemuan konsep akan lebih optimal ketika siswa diberikan arahan atau
950
scaffolding baik secara verbal maupun non verbal. Dengan arahan yang jelas siswa
akan menemukan makna dibalik aktivitas yang sedang dilakukannya. Proses
penemuan dalam lembar kegiatan ini dirancang sedemikian rupa sehingga siswa
dapat menemukan pola atau aturan yang sampai pada kesimpulan tertentu dengan
bimbingan yang tercantum dalam lembar kerja tersebut.
Untuk memaksimalkan pemerolehan konsep, maka lembar kerja ini akan
diintegrasikan dengan penggunaan software microsoft mathematics. Dengan bantuan
software ini diharapkan proses penemuan yang dilakukan oleh siswa akan lebih tepat
dan optimal. Berkaitan dengan pokok bahasan turunan, pokok bahasan ini lebih
banyak menggabungkan antara tampilan grafis dengan bentuk aljabarnya. Berbeda
halnya ketika tidak menggunakan bantuan software dalam penggambaran grafik,
tentunya menghabiskan waktu yang lama dan dimungkinkan penggambaran grafik
yang kurang tepat.
Sehingga berdasarkan asumsi tersebut maka perlu dirancang bahan ajar dalam
hal ini lembar kerja siswa yang berbasis penemuan terbimbing berbantuan software
microsoft mathematics pada pokok bahasan turunan.
Berdasarkan uraian di atas, Rumusan Masalah yang diajukan dalam penelitian ini
adalah “Bagaimana mendesain lembar kegiatan siswa berbasis penemuan
terbimbing berbantuan software microsoft mathematics pada pokok bahasan
turunan di SMA?”
2. Hasil – Hasil Utama
Hasil pengembangan produk awal berupa lembar kerja siswa berbasis
penemuan terbimbing berbantuan software Microsoft mathematics menggunakan
model pengembangan 4D diuraikan sebagai berikut.
Tahap Define
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah tahap analisis potensi dan
masalah, analisis siswa, analisis konsep dan tugas. Pada tahap analisis potensi dan
masalah dilakukan pengumpulan informasi-informasi yang mendasar baik terhadap
siswa maupun guru. Analisis siswa dilakukan dengan mengkaji karakteristik dan
kebiasaan siswa. Pada tahap analisis konsep dan tugas kegiatan yang dilakukan
adalah menentukan materi pokok dan menentukan tugas yang cocok dengan materi
pokok tersebut.
Tahap Design
Tahap ini bertujuan untuk mempersiapkan rancangan produk, pada tahap ini
kegiatan yang dilakukan yaitu memilih media dan perancangan awal. Pemilihan
media berkaitan dengan penentuan media yang tepat untuk menyajikan materi.
Sedangkan pada tahap perancangan awal disusun draft lembar kerja siswa. Hasil
rancangan awal disebut draft 1. Lembar kerja siswa dikembangkan dengan tahapan
merumuskan kompetensi yang harus dikuasai siswa, penyusunan materi, dan
struktur lembar kerja. Lembar kerja yang dikembangkan pada draft 1 terdiri atas 7
aktivitas. Berikut merupakan gambar draft 1 yang telah dikembangkan.
951
Gambar 1. Contoh LKS Aturan Turunan
Gambar 2. Contoh Kolom Generalisasi
Tahap Develop
Tahap ini meliputi uji keterbacaan dan validasi ahli. Uji keterbacaan
merupakan uji coba terbatas yang melibatkan beberapa siswa untuk melihat
keterbacaan dari lembar kerja siswa tersebut. Uji coba keterbacaan dilakukan pada
siswa SMA. Hasil uji coba keterbacaan menyatakan bahwa lembar kerja siswa yang
dikembangkan dalam kategori baik.
Validasi ahli merupakan kegiatan valisasi produk sebelum diujicobakan.
Validasi dilakukan dengan cara memberikan lembar kerja siswa kepada ahli bagian
konten yaitu dosen rumpun matematika FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Hasil penilaian ahli dapat dilihat pada tabel 1.
952
Tabel 1. Hasil angket uji ahli matematika
No Aspek Penilai I Penilai II Skor (%)
1 Keakuratan konsep
dan definisi
5 4 9 90
2 Keakuratan contoh
dan kasus
4 5 9 90
3 Keakuratan istilah 4 4 8 80
4 Keakuratan notasi,
symbol, dan ikon
4 4 8 80
Total 17 17 34 85
Dari table 1 diketahui bahwa keempat aspek yang diukur rata-rata klasifikasi
penilaiannya adalah sangat baik. Sehingga secara keseluruhan, bahan ajar ini yang
telah dikembangkan termasuk kedalam kategori sangat baik dengan persentase 85%.
Sedangkan ahli pedagogi berasal dari dosen rumpun pendidikan yang berasal
dari Jurusan Pendidikan Matematika FKIP-Untirta. Berikut hasil uji ahli pendidikan.
Tabel 2. Hasil Angket Uji Ahli Pendidikan
No Aspek Penilai I Penilai II Skor (%)
1 Kelengkapan materi 4 4 8 80
2 Soal jelas dan dapat
dipahami
4 5 9 90
3 Kedalaman materi 5 4 9 90
4 Bisa digunakan secara
individu maupun
kelompok
5 5 10 100
5 Pembangkit motivasi 4 3 7 70
6 Mencari informasi 3 3 6 60
7 Mendorong rasa ingin
tahu
4 4 8 80
Total 29 30 57 81,43
Dari table di atas, diketahui bahwa ketujuh aspek yang diukur rata-rata
klasifikasi penilaiannya adalah sangat baik. Secara keseluruhan, bahan ajar yang
telah dikembangkan diketahui sangat baik dengan persentase akhir 81.43%.
3. Kesimpulan
Mengembangkan bahan ajar merupakan salah satu tugas guru agar materi
yang akan disampaikan diperoleh dengan baik dan bermakna bagi siswa. Hasil dari
pengembangan bahan ajar ini pada tahap validasi ahli menunjukkan hasil yang baik
yaitu pada kategori di atas 80%. Sehingga bahan ajar ini layak digunakan sebagai
sumber belajar pada topik turunan.
Pernyataan Terima Kasih . Terima kasih disampaikan kepada FKIP
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah mendanai penelitian ini
melalui skim Hibah Fakultas .
953
Referensi
[1] Association for Educational Communication and Technology, 1977, The definition of
educational technology, Washington DC: AECT.
[2] Educational Research Acquisition Consortium, 2008, Evaluating, Selecting, Acquiring
Learning Resources: A Guide, BC Ministry of Education.
[3] Kansanen, P, 2003, Studying the Realistic Bridge Between Instruction and Learning, An
Attempt to a Conceptual Whole of the Teaching-Studying Learning Process,
Educational Studies, Vol. 29, No. 2/3, 221-232.
[4] Surachman, Winarno, 1998, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode Teknik,
Bandung: Tarsito.
954
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 954-971
PEMBELAJARAN BERBASIS GUIDED DISCOVERY
BERBANTUAN GEOGEBRA UNTUK MELATIH
PENALARAN SISWA PADA MATERI FUNGSI
KUADRAT
AHMAD ZULFAKAR RAHMADI1, NOVI MURNIATI2, INDRA
BAYU MUKTYAS3
STKIP SURYA
1 Jl. Imam Bonjol No.88, [email protected]
2 Jl. Imam Bonjol No.88, [email protected]
3 Jl. Imam Bonjol No.88, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kesulitan dan kurangnya daya nalar siswa
dalam mempelajari materi fungsi kuadrat dan grafiknya. Akibatnya, kebanyakan siswa
hanya terpaku pada rumus saat menyelesaikan permasalahan terkait fungsi kuadrat.
Pembelajaran yang mendorong siswa untuk melakukan suatu eksplorasi dalam
menemukan konsep seperti Guided Discovery, merupakan salah satu cara untuk melatih
penalaran siswa. Geogebra merupakan salah satu media yang mendukung kegiatan
eksplorasi dalam pembelajaran fungsi kuadrat. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan
mengembangkan suatu desain pembelajaran melalui penelitian Design Research
dengan subjek penelitian kelas X IPA SMA Pramita Tangerang yang terbagi ke dalam
dua kelompok siklus. Data pada penelitian diperoleh dari lembar kerja siswa, rekaman
wawancara dan video, dan Hipotesis Lintasan Belajar(HLB). Berdasarkan analisis hasil
penelitian yang didapat, diketahui bahwa beberapa aktivitas pembelajaran dalam
lintasan belajar yang dibuat mampu mendorong siswa untuk melakukan proses
bernalar.
Kata kunci : Fungsi Kuadrat, Penalaran, Guided Discovery, GeoGebra.
1. Pendahuluan
Fungsi kuadrat merupakan salah satu materi pokok yang dipelajari dalam
matematika. Dalam pembelajarannya di sekolah, materi fungsi kuadrat menjadi
salah satu prasyarat untuk subbab sistem persamaan kuadrat yang ada di kelas X
SMA kurikulum 2013. Selain itu, fokus dari materi fungsi kuadrat lebih kepada
grafik fungsinya, mulai dari menggambarkan, menganalisis, dan menerapkannya ke
dalam permasalahan konkret. Hubungannya dengan banyak variasi permasalahan
matematika menjadikan materi fungsi kuadrat salah satu materi penting dalam
belajar matematika.
955
Kedudukan fungsi kuadrat sebagai prasyarat materi dalam pembelajaran
tidak diiringi dengan penguasaan materi yang baik dari siswa. Mayoritas siswa
mengalami kesulitan untuk menentukan konsep mana yang akan mereka gunakan
dalam menyelesaikan permasalahan berkaitan dengan fungsi kuadrat. Kesulitan
yang dialami siswa disebabkan oleh materi prasyarat sebelumnya yang belum
dikuasai yakni fungsi dan persamaan kuadrat [5]. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan pada guru matematika SMA Pramita, siswa juga mengalami kesulitan
dalam menggambarkan grafik dan menerapkan konsep fungsi kuadrat dalam
penyelesaian masalah. Akibatnya, kemampuan siswa terbatas pada hal yang bersifat
prosedural saja, sehingga tidak sesuai dengan tujuan akhir pembelajaran matematika
yakni membentuk nalar siswa [7].
Kemampuan siswa yang cenderung bersifat prosedural juga disebabkan oleh
proses pembelajaran yang tidak mendorong siswa melakukan aktivitas bernalar.
Siswa seringkali terpaku pada rumus dalam menyelesaikan permasalahan
berhubungan dengan fungsi kuadrat. Padahal, banyak aktivitas pembelajaran yang
dapat melatih siswa untuk melatih penalaran mereka dalam bernalar seperti, menarik
kesimpulan, mengevaluasi, membangun konjektur, menyusun bukti dan lain lain [8].
Lebih lanjut, aktivitas tersebut dapat dikembangkan dalam pendekatan pembelajaran
yang berpusat pada siswa untuk melatih penalaran siswa.
Secara definisi, penalaran merupakan proses berfikir yang bertolak dari
proses empirik dalam membentuk sebuah pengertian dan konsep. Kemampuan
penalaran sendiri merupakan kemampuan untuk menarik kesimpulan umum dari
data, keserupaan, atau proses yang ada [12]. Oleh karena itu, penalaran sangat
dibutuhkan untuk menumbuhkan ide-ide matematis dan menuangkannya dalam
permasalahan konkret yang diberikan selama pembelajaran matematika.
Guided discovery learning merupakan salah satu pendekatan pembelajaran
yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif secara mandiri menemukan
dan menyimpulkan persoalan melalui instruksi-instruksi yang tersusun dalam suatu
lembar aktivitas siswa. Selama pembelajaran, siswa akan diberikan stimulus lalu
diminta untuk bereksplorasi berdasarkan ide dan instruksi yang ada. Lebih lanjut,
siswa akan membuat dugaan serta melakukan percobaan mandiri untuk
menyimpulkan pemahaman mereka sendiri.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, materi fungsi kuadrat terfokus
pada menggambar dan menganalisis hingga menerapkan konsep grafik fungsi pada
persoalan yang ada. Berkenaan dengan hal tersebut, diperlukan beberapa untuk
mempermudah siswa memahami secara nalar dan melakukan eksplorasi dalam
pembelajaran. GeoGebra merupakan salah satu media interaktif yang dapat
digunakan dalam pembelajaran matematika, khususnya pada materi yang dapat
direpresentasikan secara geometris. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan GeoGebra dalam pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan
matematis siswa serta kualitas pembelajaran. Dengan bantuan GeoGebra, siswa
akan lebih mudah mengamati fakta dari grafik serta bereksplorasi dan
menyimpulkan pemahaman mereka terkait fungsi kuadrat.
Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah
mengembangkan sebuah desain pembelajaran terkait fungsi kuadrat melalui
penelitian design research pada siswa kelas X di SMA Pramita Tangerang. Selain
956
itu, penelitian ini secara umum menjawab pertanyaan bagaimana pembelajaran
berbasis guided discovery berbantuan GeoGebra dapat melatih penalaran siswa pada
materi fungsi kuadrat. Secara khusus, berdasarkan analisis hasil penelitian, pada
makalah ini akan dijelaskan beberapa aktivitas pembelajaran yang menunjukkan
proses penalaran siswa pada materi fungsi kuadrat.
2. Hasil – Hasil Utama
2.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan desain penelitian design research dengan 3 tahapan yakni preparation and design, teaching experiment, dan retrospective analysis [1]. Preparation and design, merupakan tahap dimana peneliti melakukan persiapan serta pengumpulan data terkait penelitian. Pada tahap ini, data yang dikumpulkan dapat diperoleh dari wawancara serta diskusi dengan narasumber ahli. Selain itu, pada tahap ini juga dibuat rancangan HLB awal yang akan diterapkan selama penelitian berlangsung.
Teaching experiment merupakan tahapan dimana HLB awal akan dilaksanakan. Selama penerapan rancangan pembelajaran dari HLB, teori pembelajaran berkembang lewat beberapa siklus penelitian. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi terhadap proses pembelajaran yang terjadi pada siswa. Hasil observasi tersebut diperoleh dari lembar kerja siswa, dokumentasi, maupun wawancara yang dapat menjadi acuan untu mengambengkan HLB pembelajaran selanjutnya.
Retrospective analysis merupakan tahapan dimana keseluruhan data yang dikumpulkan selama pembelajaran akan dianalisis. Selanjutnya, dalam analisis akan dibandingkan bagaimana perbedaan penerapan secara actual dengan rancangan pembelajaran yang ada di HLB. Lebih lanjut, analisis tersebut menjadi dasar dari perbaikan HLB yang akan diterapkan pada siklus berikutnya, serta pada akhirnya akan menjawab pertanyaan penelitian dan menentukan kontribusi dalam pembelajaran.
Penelitian terbagi dalam dua siklus, yaitu siklus pertama (kelompok kecil) terdiri dari 5 orang siswa dan siklus kedua (kelas besar) terdiri dari 28 siswa. Data penelitian diperoleh dari lembar aktivitas siswa, wawancara, video, dan Hipotesis Lintasan Belajar (HLB).
2.2. Hasil
Hasil dari penelitian ini berupa hipotesis lintasan belajar (HLB) mengenai materi fungsi kuadrat. Berikut akan dibahas terkait HLB mengenai fungsi kuadrat yang dirancang selama dua siklus penelitian serta aktivitas pembelajaran yang terjadi selama teaching experiment.
2.2.1. Pertemuan 1: Menggambar dan mengidentifikasi unsur grafik fungsi
kuadrat
Tujuan akhir pembelajaran pada pertemuan pertama adalah siswa mampu
mengidentifikasi unsur-unsur grafik fungsi kuadrat dan menggambarkan sketsa grafik
957
fungsi kuadrat dengan mensubstitusi titik serta menerapkannya. Kegiatan
pembelajaran terbagi dalam dua aktivitas pembelajaran antara lain:
2.2.1.1. Aktivitas 1: Menggambar grafik fungsi kuadrat secara manual.
Selama pembelajaran, siswa akan bereksplorasi mengenai bagaimana
gambar grafik fungsi kuadrat berdasarkan pengetahuan mereka terkait grafik fungsi
linier yang pernah dipelajari. Siswa akan menggambarkan grafik fungsi linier
sebelum masuk pada fungsi kuadrat.
Gambar 2.1. Contoh Grafik Fungsi Linier yang Dibuat Siswa
Setelah menggambarkan grafik fungsi linier, siswa akan diminta untuk
menggambarkan grafik fungsi kuadrat berdasarkan cara yang mereka lakukan
sebelumnya. Guru memberikan pertanyaan terkait perkiraan siswa tentang grafik
fungsi kuadrat. Beberapa siswa memberikan dugaan terkait bentuk grafik fungsi
kuadrat saat diberikan pertanyaan. Berikut salah satu dugaan siswa pada saat
percakapan berlangsung.
Peneliti : Nah, itu kan fungsinya bukan pangkat yang digambar, sekarang
coba kita gambar fungsinya kayak gini.. 𝑥2 + 2𝑥 + 1.. Ga pake
computer, kira-kira gambarnya kayak gimana?
Siswa : Kayak gini.. (mengisyaratkan dengan jari)
Peneliti :apa itu??
Siswa : melengkung..
Tidak semua siswa menggambarkan grafik fungsi kuadrat dengan benar.
Kebanyakan siswa sulit dalam menentukan gambar grafik yang simetris dari titik-
titik yang mereka ketahui. Oleh karena itu, beberapa grafik fungsi kuadrat
digambarkan dengan kurang tepat.
958
Gambar 2.2. Gambar Grafik Siswa pada LAS
Selain itu, siswa juga mengamati berbagai kemungkinan dari bentuk grafik fungsi
kuadrat melalui GeoGebra. Mereka menentukan beberapa fungsi kuadrat secara
random pada tabel di LAS sebagai acuan melakukan eksplorasi dengan GeoGebra.
Gambar 2.3. Beberapa Fungsi Kuadrat yang Ditentukan Siswa
2.2.1.2. Aktivitas 2: Mengidentifikasi titik potong, sumbu simetri, dan nilai
optimum dari grafik fungsi kuadrat.
Dari gambar grafik yang mereka buat baik secara manual dan menggunakan
GeoGebra, siswa akan mengamati unsur-unsur yang ada pada grafik fungsi kuadrat
baik dari titik potong, sumbu simetri, dan nilai optimum fungsi. Selain itu, secara
definitif, mereka menyimpulkan pada kondisi apa saja titik potong sumbu-𝑥 dan ,
sumbu simetri, serta titik optimum ada pada grafik yang telah mereka buat
sebalumnya. Untuk titik potong grafik fungsi kuadrat, siswa mendata titik potong
yang dimiliki setiap fungsi pada tabel di LAS.
959
Gambar 2.4. Contoh Hasil Eksplorasi Siswa Terkait Titik Potong Grafik Fungsi Kuadrat
Siswa diminta untuk melihat pola titik potong sumbu-𝑋 dan 𝑌 berdasarkan
koordinat titik yang diitunjukkan dan menyimpulkan syarat dari masing-masing
titik potong. Berikut ini potongan percakapan yang dilakukan siswa dan peneliti
selama pembelajaran berlangsung.
Peneliti : Dapat tidak? Dari tabel yang sudah kalian buat di titik potongnya,
ada yang sama disitu? Perhatiin gak?
Siswa : apa ya? itu ada nol, eh, tapi ini enggak sama..
Siswa L : ada nolnya?
Peneliti : oke ada nolnya , kalo dari titik potong sumbu-x nya, nol nya kapan?
Maryam : nol nya di belakang…
Peneliti : yang belakang itu apa namanya?
Siswa L : y…?
Peneliti : nah itu,jadi dia motong sumbu-x pada saat kapan?
Siswa L : pada saat y nya nol..
Peneliti : Berarti kalo titik potong sumbu-y apanya yang nol?
Siswa L : x nya nol…
Selanjutnya siswa akan menuliskan simpulan mereka pada LAS berdasarkan
eksplorasi yang dilakukan.
Gambar 2.5. Simpulan Siswa Terkait Titik Potong Grafik
Kegiatan selanjutnya, siswa akan diminta untuk mengamati tabel pada LAS
yang berisikan beberapa objek. Selanjutnya siswa diberikan instruksi untuk
menggambarkan garis pada masing-masing objek yang mengarahkan mereka
kepada sifat simetri dan unsur sumbu simetri grafik. Kemudian siswa
960
menyimpulkan pada LAS terkait objek simetri yang mereka amati pada tabel
sebelumnya.
Gambar 2.6. Contoh Simpulan Siswa Terkait Sumbu Simetri Grafik Fungsi
Kuadrat
Dari simpulan mereka terkait sumbu simetri, siswa diminta untuk
mengamati kembali grafik pada GeoGebra, kemudian menyimpulkan hubungan
persamaan sumbu simetri dengan nilai optimum yang dimiliki grafik fungsi
kuadrat. Siswa memberikan elaborasi yang baik saat menyimpulkan hasil
eksplorasi mereka terkait nilai optimum fungsi kuadrat (Gambar 2.7).
961
Gambar 2.7. Simpulan Siswa Terkait Nilai Optimum Grafik Fungsi Kuadrat
Di akhir pembelajaran siswa akan diminta mengerjakan latihan untuk
menggambar sketsa grafik fungsi kuadrat secara manual.
2.2.2. Pertemuan 2: Menentukan titik potong, sumbu simetri, dan nilai optimum
grafik fungsi kuadrat
2.2.3. Gambar 2.8. Contoh Latihan yang Dikerjakan Siswa
962
Tujuan akhir pembelajaran pada pertemuan kedua adalah siswa mampu
menjelaskan bagaimana menentukan titik potong, sumbu simetri, dan nilai optimum
dari grafik fungsi kuadrat. Kegiatan pembelajaran terbagi dalam tiga aktivitas yakni:
2.2.2.1. Aktivitas 1: Menentukan titik potong sumbu-𝑋 dan sumbu-𝑌 dari grafik
fungsi kuadrat dan hubungannya terhadap diskriminan.
Berdasarkan simpulan mengenai unsur pada grafik fungsi kuadrat, siswa
akan diminta untuk menentukan titik potong sumbu-𝑋 dan 𝑌 dari grafik fungsi
kuadrat sesuai dengan kondisi yang memenuhi pada masing-masing titik potong.
Dibawah ini merupakan percakapan yang terjadi antara peneliti dan siswa dalam
pembelajaran. Dari percakapan yang ada, terlihat bahwa peneliti terus mengarahkan
siswa dengan beberapa pertanyaan untuk mengonfirmasi pemahaman mereka.
Peneliti : kemarin kalian tau kan, syarat titik potong apa? diliat lagi LAS 1
nya..pada saat kapan dia memotong sumbu-x?
Siswa : y = 0..?
Peneliti : oke,, berarti misalkan kita mau nyari titik potong, y nya = 0..tadi
kan kuta buat grafiknya 𝑦 = 𝑥2 + 4𝑥 − 5 , kalo y nya sama dengan
nol berarti, yang kita ganti, y nya, ya gak? Berarti kita punya 𝑥2 +
4𝑥 − 5 = 0 . Nah, kalo udah bentuk kayak gini kira-kira kita
ngapain?
Siswa : Difaktorin..
Peneliti : kenapa difaktorin? Ada yang tahu gak? Pemfaktorannya untuk
dapet nilai apa?
Siswa : x..
Peneliti : terus kalo misalnya kita faktorin jadinya apa?
Siswa : (𝑥 + 5)(𝑥 − 1)
Peneliti : berarti x nya sama dengan…
Siswa ; 1 sama -5
Peneliti : nah kalo misalkan, titik potong sumbu-y ..syaratnya apa?
Siswa : x sama dengan nol…
Peneliti : berarti kalo misalkan dari fungsi ini, yang
kita ganti apa?
Siswa : x nya..
Peneliti : berarti kalo x nya kita ganti semua jadinya berapa?
Siswa : 0..+..0 -5=-5
963
Selanjutnya, siswa diminta untuk mengamati beberapa grafik yang tidak
memiliki titik potong sumbu-𝑋. Peneliti lalu memberikan petunjuk kepada siswa
terkait hubungan titik potong dan diskriminan yang dimiliki setiap fungsi kuadrat.
Kemudian siswa menghitung nilai diskriminan masing-masing fungsi kuadrat dan
menyimpulkan hubungannya terhadap grafik fungsi yang terbentuk.
Gambar 2.9. Simpulan Siswa Terkait Hubungan Grafik dan Diskriminan
2.2.2.2. Aktivitas 2: Menentukan persamaan sumbu simetri grafik fungsi kuadrat
Pada aktivitas ini, siswa akan mengamati pola persamaan sumbu simetri
yang terbentuk dari masing-masing fungsi kuadrat yang telah mereka tentukan.
Gambar 2.10. Hasil Eksplorasi Siswa Terkait Persamaan Sumbu Simetri, Nilai
Optimum, dan Titik optimum.
Siswa akan menyimpulkan bentuk umum persamaaan sumbu simetri dari percobaan
mereka dengan GeoGebra. Sebelum menyimpulkan, siswa akan melengkapi tabel
sumbu simetri dan nilai optimum pada LAS sesuai dengan grafik yang sudah
dieksplorasi sebelumnya.
Peneliti kemudian menampilkan tabel di depan kelas dan meminta siswa
untuk mengamati pola dari persamaan sumbu simetri graifk yang ada. Selanjutnya,
siswa akan menduga seperti apa persamaan umum dari sumbu simetri grafik
berdasarkan tabel yang diberikan. Siswa diarahkan untuk menentukan persamaan
sumbu simetri yang dimiliki grafik fungsi kuadrat untuk 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥2 + 𝑏𝑥 + 𝑐.
Peneliti : Coba amati 𝑓(𝑥) sama sumbu simetrinya,hubungannya apa?
Bisa gak kalian simpulin?kalo dari fungsinya, kira-kira bisa gak
964
nentuin sumbu simetrinya langsung tanpa lihat grafiknya? Kira-
kira kita bisa dapet sumbu simetri dari yang mana?
Siswa N : Dari yang b kak..
Peneliti : dari yang b? terus yang b diapain?
Siswa Y : Dibagi sama c..?
Peneliti : yakin..?
Siswa Y : Eh iya, ga mungkin ya,,
Peneliti : jadi gimana dong?
Siswa N : Kak kalo gini.. itukan yang x jadinya −1
2, itu kan 4x, jadinya
−1
4× 4..?
Peneliti : Terus yang ini (, 2𝑥2 + 𝑥 −7
3), gimana polanya?
Siswa N : itukan 2𝑥2…
Peneliti : jadi gimana kalo 2𝑥2? Kalo 𝑓(𝑥) barusan kita cari sumbu
simetri berdasarkan pendapat kalian tadi, berarti sekarang
sumbu simetrinya 𝑥 = 4 dong?
Siswa Y : ooooh, dibagi sama yang a..?
Peneliti : kita cek lagi, kalo b dibagi a, jadinya….?
Siswa N : oooh dibagi 2 juga kak..
Siswa Y : Dibagi -2 kak..
Peneliti : (cek jawabannya…) yup. Ooh, berarti kalo 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥2 +
𝑏𝑥 + 𝑐, jadinya apa? X sama dengan? Berarti yang b dibagi a
dikali −1
2??
Siswa N : 𝑥 =𝑏
𝑎×−1
2
Peneliti : Kalo dikali langsung jadinya?
Siswa Y : 𝑥 =−𝑏
2𝑎
Dari percakapan di atas, siswa terlihat aktif dalam memberikan dugaan terkait pola
persamaan sumbu simetri dari grafik fungsi kuadrat. Simpulan yang diberikan oleh
siswa selanjutnya akan dikonfirmasi oleh peneliti terkait sumbu simetri grafik fungsi
kuadrat.
2.2.2.3. Aktivitas 3: Menentukan nilai dan titik optimum grafik fungsi kuadrat.
Siswa akan menentukan bentuk umum dari nilai optimum serta koordinat
titik optimum berdasarkan hubungannya terhadap sumbu simetri yang terbentuk.
965
Siswa akan memanfaatkan simpulan mengenai nilai optimum berdasarkan
pengamatan mereka di pertemuan 1.
Peneliti : sekarang, kalo misalnya kita punya ini (𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥2 + 𝑏𝑥 + 𝑐)
sumbu simetrinya –𝑏
2𝑎 kan?
Siswa : yaa..
Peneliti : berarti nilai optimumnya gimana? Itu tugas kalian sekarang,
coba kalian substitusikan..
Siswa mensubstitusi nilai sumbu simetri ke dalam 𝑓(𝑥) lalu menentukan bentuk
umum dari nilai optimum fungsi kuadrat.
Gambar 2.11. Contoh Jawaban Siswa Terkait Nilai Optimum Fungsi Kuadrat
2.2.4. Pertemuan 3: Memahami hubungan koefisien terhadap perubahan grafik
fungsi kuadrat
Tujuan akhir pembelajaran pada pertemuan ketiga adalah siswa mampu
menjelaskan hubungan koefisien fungsi kuadrat terhadap grafik fungsi kuadrat.
Kegiatan pembelajaran terbagi dalam tiga aktivitas antara lain:
2.2.3.1. Aktivitas 1: Memahami hubungan nilai a terhadap grafik fungsi kuadrat
Siswa akan bereksplorasi menggunakan GeoGebra dengan mengubah nilai
koefisien 𝑎 pada fungsi kuadrat. Siswa melengkapi tabel sesuai dengan fungsi
kuadrat yang mereka tentukan.
966
Gambar 2.12. Contoh Beberapa Fungsi yang Digunakan Siswa dalam Eksplorasi Perubahan
Nilai 𝑎
Eksplorasi dimulai dengan 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥2 hingga 𝑎𝑥2 + 𝑏𝑥 + 𝑐, lalu siswa
menyimpulkan pengaruh terhadap grafik fungsi kuadrat dan perbedaannya. Pada
eksplorasi topik ini, siswa dengan mudah menyebutkan jika perubahan grafik
dipengaruhi besar atau kecilnya 𝑎.
Gambar 2.13. Simpulan Siswa Terkait Koefisisen 𝑎 pada Fungsi Kuadrat
2.2.3.2. Aktivitas 2: Memahami hubungan nilai b terhadap grafik fungsi kuadrat
Pada aktivitas 2, siswa diberikan salah satu fungsi kuadrat untuk
dieksplorasi nilai koefisien 𝑏 dan menyimpulkan pengaruh terhadap grafik fungsi
kuadrat. Kemudian, mereka akan melihat kembali perubahan yang terjadi terkait
hubungan koefisien 𝑏 dengan koefisien yang lain terhadap grafik fungsi kuadrat
967
Gambar 2.13. Contoh Beberapa Fungsi yang Digunakan Siswa dalam Eksplorasi Perubahan
Nilai 𝑏
P : udah ketemu?
Siswa DI : kalo plus, lebih ke kiri dari grafik sebelumnya..kalo minus,
lebih ke kanan.
P : kalo 𝑎 nya diubah juga dia jadinya ke kanan apa ke kiri?
Misalkan 𝑎 nya negative..
….
P : gimana kalo 𝑎 nya negative, b nya negative?
Siswa DI : ke kiri..
P : kalo 𝑎 negative, b positif, atau sebaliknya?
Siswa DI : kayak yang tadi dong? Ke…kanan..
P : nah jadinya gimana itu? Bisa simpulin gak? Kalo tandanya
sama gimana, kalo tandanya beda gimana?
Siswa DI : beda semua..?
P : kalo tandanya sama?
Siswa DI : kalo tandanya sama lebih ke kiri..
P : kalo beda?
Siswa DI : ke kanan..
Selanjutnya, siswa akan diarahkan untuk bereksplorasi pada nilai 𝑎 dan 𝑐, saat
nilai 𝑏 diubah pada 𝑓(𝑥). Siswa diminta untuk melengkapi tabel pada LAS untuk
melihat hubungan antara 𝑎, 𝑏, dan 𝑐 terhadap perubahan grafik fungsi kuadrat.
968
Berdasarkan eksplorasi yang siswa lakukan, siswa menyimpulkan hubungan perubahan nilai koefisien 𝑏 terhadap grafik, juga kaitannya dengan koefisien lain,
Gambar 2.14. Simpulan Siswa Terkait Hubungan 𝑏 Terhadap grafik
2.2.3.3. Aktivitas 3: Memahami hubungan nilai c terhadap grafik fungsi kuadrat
Langkah eksplorasi serupa dengan aktivitas sebelumnya. Siswa akan
mengganti nilai 𝑐 pada beberapa fungsi lalu mencatatnya di LAS. Selanjutnya siswa
akan membandingkan hubungan nilai 𝑐, dengan dua lainnya (𝑎, 𝑏) terhadap
perubahan yang terjadi pada grafik fungsi kuadrat.
Peneliti : Untuk setiap grafik yang kalian gambar, kalo nilai 𝑐 nya kalian ganti-
ganti, nanti kalo kalian amati grafiknya, bakal berpengaruh kemna?
Siswa L : Titik potong grafik..
Peneliti : titik potong apa?
Siswa L : sumbu-y..
Peneliti : Artinya kesimpulan yang bisa kalian ambil kalo missal nilai c nya kalian
ganti apa?
Siswa : titik potong.. sumbu-Y
2.3. Pembahasan
Dari hasil yang diperoleh selama dua siklus pembelajaran, terdapat beberapa
kegiatan siswa yang menunjukkan proses bernalar. Hal tersebut didasari oleh
beberapa indikator menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor
506/C/Kep/PP/2004 mengenai kemampuan penalaran siswa antara lain; mengajukan
dugaan, melakukan manipulasi matematika, menarik kesimpulan, memeriksa
kesahihan argumen, dan menemukan pola untuk membuat generalisasi. Adapun
beberapa kegiatan yang menunjukkan proses bernalar oleh siswa sebagai berikut:
2.3.1. Meggambarkan dan mengidentifikasi unsur-unsur grafik fungsi kuadrat
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada tahap ini, terbagi dalam
beberapa poin aktivitas, yakni menggambarkan grafik, mengidentifikasi unsur titik
potong, sumbu simetri, dan nilai optimum grafik fungsi kuadrat. Pada saat siswa
mengidentifikasi unsur titik potong grafik fungsi kuadrat, mereka mendata titik
potong yang dimiliki beberapa fungsi lalu melihat kesamaan dari masing-masing titik
969
potong sumbu-𝑋 dan 𝑌. Kesamaan yang dilihat siswa adalah nilai nol (0) pada ordinat
untuk sumbu-𝑋 dan absis untuk sumbu-𝑌. Selanjutnya, berdasarkan koordinat titik
yang mereka amati, siswa menyimpulkan syarat dari masing-masing titik potong
sumbu-𝑋 dan sumbu-𝑌. Selain itu, siswa juga mengamati dan menyimpulkan kembali
fungsi kuadrat yang ada untuk menentukan apakah grafik akan selalu memotong
sumbu-𝑋 atau sumbu-𝑌.
Di aktivitas lain, yakni mengidentifikasi kesimetrian grafik dan unsur sumbu
simetri, siswa mengamati kesamaan sifat pada beberapa gambar yang ditunjukkan.
Lebih lanjut, siswa menyimpulkan sifat simetris dari grafik fungsi kuadrat
berdasarkan kesamaan dengan objek lainnya. Selain itu, siswa juga memberikan
berbagai dugaan terkait pertanyaan mengenai unsur yang dimiliki grafik konsekuensi
sifat simetris seperti garis sumbu, garis simetris, titik temu, dan sebagainya.
Dari dua aktivitas pada tahap pertama pembelajaran ini, terlihat bahwa siswa
mengamati kesamaan atau pola dari objek maupun persamaan untuk membuat
simpulan secara umum. Selain itu, siswa juga mengajukan dugaan dari eksplorasi dan
pengamatan yang mereka lakukan. Berdasarkan aktivitas yang ditunjukkan, maka
siswa melakukan penalaran selama proses pembelajaran.
2.3.2. Menentukan titik potong, sumbu simetri, dan nilai optimum grafik fungsi
kuadrat
Pada saat menentukan persamaan sumbu simetri, siswa mengamati pola dari
persamaan yang ditunjukkan dari beberapa fungsi kuadrat yang telah mereka buat.
Selanjutnya, dengan pertanyaan yang diberikan, siswa memberikan dugaan mereka
terkait pola dari sumbu simetri yang terbentuk. Selama mengamati dan memberikan
dugaan, dibantu dengan pertanyaan, siswa mencermati ulang apakah pola yang
mereka duga berlaku untuk semua fungsi yang ada. Lebih lanjut, mereka kemudian
menyimpulkan persamaan sumbu simetri yang benar dari pola yang ditemukan dan
dikonfirmasi kembali melalui contoh fungsi lain.
Aktivitas selanjutnya, siswa menentukan bentuk umum dari nilai optimum
fungsi kuadrat. Siswa menghubungkan simpulan mengenai kondisi yang memenuhi
saat nilai optimum terpenuhi. Lalu, siswa mensubstitusikan 𝑥 =−𝑏
2𝑎 ke dalam
𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 untuk memeroleh nilai optimum 𝑦 =𝐷
−4𝑎.
Berdasarkan aktivitas di atas, terlihat jika siswa juga melakukan penalaran
dalam pembelajaran. Mereka menentukan pola serta menyimpulkan, dan meninjau
kembali kebenaran dari simpulan yang mereka dalam memberikan dugaan. Selain itu,
siswa juga melakukan manipulasi aljabar (manipulasi matematika) untuk menentukan
nilai optimum fungsi kuadrat.
2.3.3. Memahami hubungan koefisien terhadap perubahan grafik fungsi kuadrat
Tahap ini terbagi ke dalam 3 aktivitas pembelajaran. Dari ketiga aktivitas,
siswa melakukan eksplorasi masing-masing mengubah nilai 𝑎, 𝑏, dan 𝑐 pada fungsi
kuadrat. Selanjutnya, siswa menyimpulkan hubungan setiap koefisien terhadap grafik
fungsi kuadrat. Selain itu, dari beberapa pertanyaan terkait perubahan grafik dan
hubungannya dengan koefisien fungsi, siswa mencoba untuk mengonfirmasi kembali
simpulan yang mereka peroleh melalui percobaan lainnya. Sebagai contoh, pada saat
mengamati perubahan grafik saat nilai koefisien 𝑏, 𝑎, dan 𝑐 semuanya diubah.
Berdasarkan apa yang dilakukan siswa dalam pembelajaran, mereka telah
970
menunjukkan proses penalaran mulai dari melakukan percobaan, menyimpulkan
secara umum dari percobaan atau eksplorasi yang dilakukan, serta memeriksa
kembali simpulan yang mereka peroleh selama eksplorasi.
3. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya,
disimpulkan bahwa beberapa aktivitas pembelajaran yang diterapkan dapat
mendorong siswa untuk melakukan penalaran dalam belajar. Melalui pembelajaran
berbasis Guided Discovery, guru atau peneliti hanya memberikan instruksi dan
arahan kepada siswa, lalu siswa secara mandiri melakukan eksplorasi dan
menyimpulkan materi terkait fungsi kuadrat. Dari eksplorasi yang dilakukan pada
grafik fungsi kuadrat, siswa melakukan pengamatan dan menemukan kesamaan atau
pola dan melakukan generalisasi. Selain itu, melalui pertanyaan dan arahan dari guru
atau peneliti, siswa mencoba untuk memberikan dugaan serta meninjau kembali
kebenaran simpulan yang mereka peroleh. Hal tersebut menunjukkan bahwa
aktivitas pembelajaran yang dilakukan telah mendorong dan melatih siswa untuk
melakukan penalaran dalam matematika, khususnya pada materi fungsi kuadrat.
Pernyataan terima kasih. Puji syukur atas berkat dan rahmat Allah sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan makalah ini dengan baik. Ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada orang tua, saudara, dosen, kaprodi, staff, serta
teman sejawat STKIP Surya yang ikut membantu ataupun mendukung penulis secara
moril dan materil dalam rangka menyelesaikan penelitian serta penulisan makalah
ilmiah ini. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh insan
pendidik di Indonesia.
Referensi
[1] Bakker, Arthur. 2004. Design research in statistics education On symbolizing and
computer tools. Utrecht: Freudenthal Institute.
[2] Denscombe, Martyn. 2010. "The Good Research Guide: For Small-Scale Social
Research Projects." In The Good Research Guide: For Small-Scale Social Research
Projects, by Martyn Denscombe, 272-306. London: The McGraw HillCompanies.
[3] Erdee., Dolly van. 2013. "Design Research: Looking Into The Heart Of Mathematics
Education." The First South East Asia Design/Development Research (SEA-DR)
International Conference. Palembang, Indonesia: Sriwijaya University. 1-11.
[4] Germain, J. L. 2010. Guided Discovery: A Twentieth Century Model Proves Useful in
the Twenty-First Century Classroom . West Point: Dicky Suprapto.
[5] Hidayati, F. 2010. Kajian Kesulitan Belajar Suswa Kelas VII SMP Negeri 16
Yogyakarta dalam Mempelajari Aljabar. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
[6] Koeno Gravemeijer, P. C. (n.d.). Design Research from a Learning Design Perspective.
In K. G. Jan van den Akker, Educational Design Research (pp. 17-51).
[7] Mahmudi, A. 2013. Pengembangan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
[8] Ma'arif, S. 2015. Cabri II Plus untuk Mengembangkan Kemampuan Penalaran
Matematis. In S. Ma'arif, Pembelajaran Geometri Berbantu Cabri 2 Plus (Panduan
Praktis Mengembangkan Kemampuan Matematis) (pp. 255-284). Bogor: iN MEDIA.
971
[9] Olsson, J. 2014. Dynamic Software Enhancing Creative Mathematical Reasoning.
Swedia: UMEA University.
[10] Paul Eggen, D. K. 2012. Model Temuan Terbimbing. In D. K. Paul Eggen, Strategi dan
Model Pembelajaran: Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir, Edisi 6 (pp.
175-213). Jakarta: Indeks.
[11] Sinaga, O. 2015. Design Research: Mengembangkan Pembelajaran Pecahan dan
Operasi Hitung Penjumlahan Pecahan Menggunakan Model Garis Bilangan
Berdasarkan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di Kelas VII SMP
Negeri 50 Jakarta. Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Jakarta.
[12] Siswanto, R. 2014. Peningkatan Kemampuan Penalaran Dan Koneksi Matematis
Melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Berbantuan Software
Geogebra (Studi Eksperimen Di SMAN 1 Cikulur Kabupaten Lebak Propinsi Banten) .
Jurnal Pendidikan dan Keguruan, 1(2).
[13] Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
[14] Wulandari, R. 2015. Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Berbantuan
GeoGebra dengan Pendekatan Saintifik Berbasis Penemuan Terbimbing (Guided
Discovery) pada Materi Persamaan Lingkaran untuk Siswa SMA Kelas XI. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
972
Prosiding SNM 2017 Pendidikan , Hal 972 -982
PENGEMBANGAN BUKU PENGAYAAN SMA TENTANG
APLIKASI TRIGONOMETRI DALAM BERBAGAI
BIDANG
H. PARDIMIN1 DAN I NYOMAN ARCANA2
1 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, [email protected],
2 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, [email protected].
Abstrak. Pelajaran Trigonometri memerlukan program pengayaan karena selalu saja
ada siswa yang cepat mencapai standar kompetensi pelajaran yang telah ditentukan.
Pelajaran Trigonometri yang disampaikan ke siswa oleh guru lebih menekankan pada
penurunan rumus, penghapalan rumus, dan contoh aplikasinya yang hanya langsung
pada bangun segitiga, atau bangun lainnya yang dapat dipecah menjadi beberapa
segitiga. Oleh karena itu perlu adanya buku pengayaan yang isinya adalah aplikasi
trigonometri dalam berbagai bidang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian Research & Development. Rancangannya mengikuti prosedur yang
dikembangkan oleh Roblyer. Hasil penelitian adalah buku pengayaan yang diberi judul
Pengayaan Aplikasi Trigonometri untuk SMA. Buku ini sudah mengalami uji
kelayakan, dan dinyatakan layak pakai. Keistimewaan buku ini adalah terdapatnya
contoh-contoh kasus dari berbagai bidang, dan tidak hanya kasus fiktif.
Kata kunci: sinus, cosinus, vektor, pengayaan.
1. Pendahuluan
Dalam kelas matematika sering dijumpai adanya peserta didik yang lebih
cepat mencapai standar kompetensi pelajaran yang telah ditentukan. Peserta didik ini
dapat mengembangkan dan memperdalam kecakapannya secara optimal melalui
pembelajaran pengayaan. Pembelajaran pengayaan merupakan pembelajaran
tambahan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pembelajaran baru bagi
peserta didik untuk memperdalam dan memperluas pengetahuannya [1].
Trigonometri adalah cabang dari matematika yang berkaitan dengan
hubungan antara sisi dan sudut dari segitiga, dan perhitungan berdasarkan pada sisi
dan sudut tersebut [2]. Trigonometri secara luas digunakan dalam bidang astronomi,
teknik, navigasi, dan fisika [3]. Dalam bidang fisika, trigonometri dibutuhkan pada
materi tentang gelombang, optika, elektronika, dan mekanika. Pada mekanika,
trigonometri diperlukan pada materi gaya, gerak parabola, gerak harmonis dan lain-
lain. Pada vektor gaya misalnya, trigonometri dibutuhkan untuk menjumlahkan dan
menguraikan vektor. Sebagian besar eksplorasi di fisika berkaitan dengan gerak
benda melalui ruang khusus, yaitu ruang berdimensi dua. Trigonometri digunakan
untuk menghubungkan gerakan pada ruang berdimensi dua [4]. Dalam bidang
astronomi, trigonometri digunakan secara ekstensif untuk mengukur jarak benda-
benda langit [5]. Dengan demikian, belajar trigonometri seharusnyabukan hanya
untuk keperluan pelajaran trigonometri itu sendiri, tetapi juga untuk mempermudah
belajar fisika.
973
Secara umum, pemahaman matematika (termasuk trigonometri) dapat
ditingkatkan melalui latihan penerapannya pada berbagai kasus misalnya kasus-
kasus dalam bidang fisika. Demikian juga, ingatan (memory) siswa terhadap
rumus-rumus trigonometri dapat diperpanjang (prolonged) jika siswa latihan
menerapkan rumus-rumus tersebut dalam bidang lainnya [6].
Dari uraian di atas terlihat bahwa di satu pihak trigonometri kurang
diminati siswa, di lain pihak pelajaran ini sangat dibutuhkan di berbagai bidang.
Oleh karena, untuk meningkatkan minat dan kemampuan siswa, haruslah selalu
diupayakan penambahan sumber belajar yang inovatif untuk pelajaran
trigonometri; salah satu sumber belajar yang dianjurkan oleh Menteri Pendidikan
adalah buku pengayaan [1].
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengembangkan buku pengayaan
Aplikasi Trigonometri pada berbagai bidang untuk SMA, (2) mengetahui kelayakan
dari buku pengayaan yang dibuat.
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah: (1) buku pengayaan
trigonometri yang bagaimanakah yang berpotensi menantang siswa untuk
membacanya, menambah wawasan pengetahuan, meningkatkan pemahaman
konsep, dan mempermudah mengingat rumus-rumus trigonometri?, (2)
bagaimanakah kelayakan dari buku pengayaan (produk) yang dibuat?
Manfaat utama dari penelitian ini adalah tersedianya buku pengayaan
trigonometri yang menantang siswa untuk dibaca, dapat menambah wawasan
pengetahuan, menambah pemahaman konsep serta mempermudah melihat
keterkaitan antar rumus.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa lulusan SMA IPA dan
Guru Matematika SMA, diperoleh informasi bahwa materi trigonometri termasuk
salah satu pelajaran yang kurang diminati oleh siswa, akibatnya pelajaran ini terasa
sulit. Hal ini disebabkan karena materi trigonometri yang disampaikan ke siswa
lebih menekankan pada penurunan rumus, penghapalan rumus, dan contoh
aplikasinya yang hanya langsung pada bangun segitiga, atau bangun datar lainnya
yang dapat dipecah menjadi beberapa segitiga, hampir tidak ada aplikasi di bidang
selain matematika.
Trigonometri adalah cabang dari matematika yang berkaitan dengan
hubungan antara sisi dan sudut dari segitiga, dan perhitungan berdasarkan pada sisi
dan sudut tersebut [2]. Trigonometri secara luas digunakan dalam bidang astronomi,
teknik, navigasi, dan fisika [3]. Dalam bidang fisika, trigonometri digunakan pada
materi tentang gelombang, optika, elektronika, dan mekanika. Pada mekanika,
trigonometri digunakan pada materi gaya, gerak parabola, gerak harmonis dan lain-
lain. Pada vektor gaya misalnya, trigonometri digunakan untuk menjumlahkan dan
menguraikan vektor. Sebagian besar eksplorasi di fisika berkaitan dengan gerak
benda melalui ruang khusus, yaitu ruang berdimensi dua. Trigonometri digunakan
untuk menghubungkan gerakan pada ruang berdimensi [4]. Dalam bidang
astronomi, trigonometri digunakan secara ekstensif untuk mengukur jarak benda-
benda langit [5]. Dengan demikian, belajar trigonometri seharusnya bukan hanya
untuk keperluan pelajaran trigonometri itu sendiri, tetapi juga untuk mempermudah
belajar fisika.
Secara umum, pemahaman matematika (termasuk trigonometri) dapat
ditingkatkan melalui latihan penerapannya pada berbagai kasus misalnya kasus-
kasus dalam bidang fisika. Demikian juga, ingatan (memory) siswa terhadap
rumus-rumus trigonometri dapat diperpanjang (prolonged) jika siswa latihan
menerapkan rumus-rumus tersebut dalam bidang lainnya [6].
974
Dari uraian di atas terlihat bahwa di satu pihak trigonometri kurang
diminati siswa, di lain pihak pelajaran ini sangat dibutuhkan di berbagaibidang.
Oleh karena itu, supaya minat dan kemampuan siswa meningkat dalam pelajaran
trigonometri, haruslah selalu diupayakan penambahan sumber belajar yang sifatnya
inovatif; salah satu jenis sumber belajar yang dianjurkan oleh Menteri Pendidikan
adalah buku pengayaan [1].
Penelitian pengembangan ini diawali dengan analisis kebutuhan (needs
analysis). Informasi untuk analisis kebutuhan diperoleh dari guru matematika dan
alumni SMA IPA untuk menentukan materi pokok bahasan dalam pelajaran
Trigonometri yang sesuai sebagai bahan pengayaan.
Model pengembangan yang dipilih mengikuti prosedur yang disarankan
oleh Roblyer [9] yang meliputi tiga fase, yaitu: fase perancangan, fase
pengembangan buku awal, dan fase pengembangan buku dan evaluasi
Fase I (perancangan) terdiri atas lima langkah, yaitu: merumuskan tujuan
pembelajaran, memilih materi trigonometri, memilih materi pengaplikasian
trigonometri pada bidang lainnya, terutama bidang fisika, merancang sistematika
penulisan dan bentuk penyajian tulisan serta gambar, dan menentukan tim validasi
ahli dan uji coba.
Fase II (pengembangan buku awal) terdiri atas tiga langkah, yaitu: menulis
materi trigonometri, menulis materi aplikasi trigonometri pada berbagai bidang
terutama bidang, dan menulis kelengkapan buku.
Fase III (pengembangan buku dan evaluasi) terdiri atas dua langkah, yaitu:
menyusun materi menjadi buku pengayaan dan validasi.
Pada masing-masing fase selalu dilakukan revisi sebelum beralih ke fase
berikutnya. Setelah buku (produk) selesai dikembangkan dilakukan validasi produk.
Validasi produk pengembangan menggunakan rancangan pengembangan dari Dick
dan Carey [10] yang terdiri dari empat tahap, yaitu: validasi tim ahli, evaluasi
perorangan, evaluasi kelompok, dan uji-coba lapangan.
Validasi tim ahli dilakukan untuk melihat kelayakan isi (materi), kelayakan
kebahasaan, sistematika dan penyajian, serta kelayakan kegrafisan. Informasi yang
diperoleh dari tim ahli ini digunakan sebagai bahan revisi pertama.
Evaluasi perorangan bertujuan untuk mengidentifikasi dan menemukan
kesalahan-kesalahan kecil (misalnya kesalahan ketik), ukuran dan warna gambar,
bahasa dan tampilan tulisan. Hasil evaluasi ini digunakan sebagai pijakan revisi
kedua.
Evaluasi kelompok bertujuan untuk mengidentifikasi kekurangan produk
setelah dilakukan revisi yang kedua. Dalam evaluasi ini, evaluator melakukan
diskusi setelah mengisi angket secara individu. Hasil dari evaluasi kelompok
dijadikan pijakan untuk melakukan revisi lagi (revisi ketiga).
Uji coba lapangan bertujuan untuk untuk mengetahui kelayakan buku yang
dikembangkan berdasarkan penilaian dari siswa pemakai langsung buku ini, yaitu
siswa SMA IPA. Karena keterbatasan waktu, sebagai subjek uji coba adalah 10
orang siswa SMA IPA yang baru lulus. Hasil uji coba ini dipakai sebagai dasar untuk
melakukan revisi akhir.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik validasi, teknik
evaluasi, teknik uji coba, dan teknik wawancara. Instrumen yang digunakan adalah
angket validasi, angket evaluasi, dan angket uji coba serta lembar wawancara. Inti
pertanyaan pada angket pada dasarnya sama dengan inti pertanyaan pada lembar
wawancara. Hasil wawancara digunakan untuk melengkapi dan mempertegas hasil
975
yang diperoleh dari angket. Data dianalisis secara deskriptif. Analisis diawali dengan
mencari rata-rata hitung, rata-rata ideal, dan standar deviasi ideal. Rata-rata hitung
digunakan untuk mencari rata-rata nilai dari setiap sub-angket. Rata-rata ideal dan
standar deviasi ideal digunakan untuk membuat kategori baik-tidaknya rata-rata
hitung yang diperoleh. Setelah itu dilakukan pemaknaan terhadap hasil
pengkategorian.
2. Hasil – Hasil Utama
A. Hasil
Hasil penelitian ini adalah produk berupa buku Pengayaan Aplikasi
Trigonometri Untuk SMA. Pada bagian berikutnya dipaparkan tentang komponen
produk, hasil validasi ahli, hasil evaluasi perorangan, hasil evaluasi kelompok dan
hasil uji coba lapangan.
Seperti buku pada umumnya, buku pengayaan ini diawali dengan sampul,
kata pengantar, petunjuk pemakaian buku, Bab I (Pendahuluan), Bab II (Basis
Trigonometri), Bab III (Sinus dan Cosinus), Bab IV (Vektor), Bab V (Gerakan
Harmonis), dan Daftar Pustaka. Secara umum, buku ini ditulis dengan model baris-
kolom dan disertai gambar-gambar yang menarik. Contoh-contoh memang diambil
dari kasus berbagai negara dengan tujuan menambah wawasan siswa.
Pada bagian sampul tertulis judul buku yang disertai gambar-gambar tentang
aplikasi trigonometri dalam berbagai bidang, terutama pada bidang pengukuran dan
fisika (Gambar 1). Harapannya, dengan melihat gambar pada sampul maka pembaca
akan mendapat gambaran tentang isi dari buku, dan tertarik untuk membacanya. Hal
ini perlu karena bayangan siswa pada umumnya tentang trigonometri adalah
kumpulan rumus-rumus dan gambar segitiga.
Pada Bab I diuraikan tentang pengertian pembelajaran pengayaan, manfaat
pengayaan, kaitannya dengan kurikulum, jenis-jenis pembelajaran pengayaan, dan
bentuk pelaksanaan pembelajaran pengayaan. Inti dari bagian ini adalah penjelasan
tentang tidak bolehnya materi pengayaan tercantum dalam kurikulum. Walaupun
materi pengayaan tidak tercantum dalam kurikulum, materi ini tetap harus ada
kaitannya dengan kurikulum.
Pada Bab II tertulis tentang materi yang paling dasar dalam pelajaran
trigonometri, yaitu "sudut". Penulisan materi diawali dari pengertian sinar kemudian
diteruskan dengan pengertian sudut dan ukuran sudut (ukuran drajat dan radian).
Dalam perhitungan-perhitungan yang berkaitan dengan sudut, sering sekali
dilakukan perubahan ukuran sudut dari drajat ke radian dan sebaliknya. Oleh karena
itu, pada bab ini juga diuraikan tentang bagaimana cara melakukan konversi antar
sudut.
Pada Bab III diuraikan tentang hukum sinus, uraian diawali dari penjelasan
tentang aksioma kongruen pada segitiga. Uraian ditekankan pada aplikasi
trigonometri di berbagai bidang. Aplikasinya disertai dengan gambar-gambar.
Sebagai contoh adalah Gambar 2 dan Gambar 3. Gambar 2 berkaitan dengan aplikasi
hukum sinus pada kasus kebakaran, sedangkan Gambar 3 berkaitan dengan aplikasi
hukum sinus pada pengukuran jarak bumi ke bulan.
976
Gambar 1. Sampul buku (memuat gambar tentang isi buku)
Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11]
Soal
Dua stasiun penjaga hutan A dan
B berjarak 110 mil pada garis
timur-barat. Sebuah kebakaran
hutan berada pada sudut poros N 42
° E dari stasiun Barat (di A) dan
sudut poros N 15 ° E dari stasiun
timur (di B). Berapa jauh api dari
stasiun Barat? (Lihat Gambar di
samping).
Gambar 2. Hukum sinus diaplikasikan pada kasus kebakaran hutan.
977
Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11]
Soal
Pada tanggal 29 April 1976,
jam 11:35, di lakukan
pengukuran sudut elevasi dari
dua tempat yang berbeda, yaitu
sudut elevasi selama matahari
mengalami gerhana sebagian
di Bochum di Jerman bagian
atas dan di Donaueschingen di
Jerman bagian bawah. Hasil
pengukuran berturut-turut
52.6997o dan 52.7430o. Jarak
dua posisi tersebut 398 km.
Hitunglah jarak ke bulan dari Bochum pada hari tersebut, dan bandingkan
dengan nilai sebenarnya, 406.000 km. Abaikan kelengkungan bumi dalam
perhitungan ini. (Sumber: Scholosser, W., T. Schmidt-Kaler, dan E. Milone,
Tantangan Astronomi, Springer-Verlag, 1991 dalam www.aw-bc.com
/scp/lial_hornsby_schneider3e /.../LIALMC08_0321227638.pdf. Aplications
of Trigonometry).
Gambar 3. Aplikasi hukum sinus pada pengukuran jarak bulan dengan bumi
Bagian berikutnya diuraikan tentang hukum cosinus, uraian materi lebih ditekankan
pada aplikasi dari hukum ini. Contoh aplikasi disajikan pada Gambar 4 dan Gambar
5.
Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11]
Soal
Tukang pengukur tanah sering
menemui hambatan ketika
mengukur batas-batas daerah yang
luas, misalnya hambatan berupa
pohon-pohon. Salah satu teknik
yang digunakan untuk
memperoleh pengukuran yang
akurat adalah teknik "metode
segitiga".
Dalam teknik ini, segitiga
dibangun di sekitar hambatan.
Satu sudut serta dua sisi segitiga
diukur. Gambar 4. Pengukuran batas-batas terhalang pohon-pohon
Soal Untuk mengukur jarak terowongan
yang akan dibuat menembus sebuah
gunung, titik C dipilih sedemikian
sehingga dapat dicapai dari masing-
masing ujung terowongan. (Lihat
gambar). Jika AC = 3800 m, BC =
978
Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11] 2900 m, dan sudut C = 110o.
Temukan panjang terowongan. Gambar 5. Pengukuran panjang trowongongan yang akan digali.
Pada Bab IV diuraikan secara singkat tentang besaran skalar dan vektor,
sifat-sifat vektor, penjumlahan, pengurangan dan resultan vektor. Kemudian
dilanjutkan dengan komponen vektor dan perkalian titik. Beberapa aplikasi vektor
diberikan pada buku ini, diantaranya disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11]
Soal
Carilah gaya yang dibutuhkan
oleh kereta yang beratnya 50lb
untuk menjaga kereta dari
pergeseran pada jalan yang
mempunyai kemiringan 20 °
terhadap horizontal. (Asumsikan
tidak ada gesekan.)
Gambar 6. Aplikasi vektor pada gaya.
Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11]
Soal Sebuah pesawat dengan
kecepatan udara 192 mph
pada arah 121 °. Dari utara
angin bertiup (dari utara ke
selatan) dengan kecepatan
15.9 mph. Cari groundspeed
dan sudut poros dari
pesawat.
Gambar 7. Aplikasi vektor pada navigasi.
Pada Bab V (gerakan harmonis) diuraikan tentang pemodelan sistem pegas
sederhana untuk mendapatkan gerak harmonis (biasa disebut getaran harmonis).
Pada bagian ini diuraikan tentang pemodelan sistem pegas sederhana untuk
mendapatkan gerak harmonis (biasa disebut getaran harmonis). Untuk keperluan
tersebut, uraian diawali dengan beberapa istilah dalam fisika seperti massa, berat,
gaya, hukum Hooke, dan lain-lain. Gambar 7 memperlihatkan model pegas yang
dikaitkan dengan Hukum Hooke.
979
X(t) = 0 pada posisi
setimbang
X(t) < 0 pada posisi di atas setimbang
X(t) > 0 pada posisi di bawah setimbang
Gambar 7 Model pegas yang diakitkan dengan Hukum Hooke.
Sumber: Stitz, C. & Zeager, J.[4]
Ada tiga jenis gerak harmonis yang diuraikan pada buku ini, yaitu gerak
harmonis bebas redaman, gerak harmonis teredam, dan gerak harmonis dipaksakan.
Gambar 8 memperlihatkan gerak harmonis, gambar 9 memperlihatkan gerak
harmonis teredam dan Gambar 10 memperlihatkan gerak harmonis dipaksakan.
Sumber: Stitz, C. & Zeager, J.[4] Gambar 8. Contoh Grafik bebas redaman.
Sumber: Stitz, C. & Zeager, J.[4]
Sumber: Stitz, C. & Zeager, J. [4]
Gambar 9. Model getaran teredam. Gambar 10. Fenomena gerak
"dipaksa".
Buku pengayaan yang dikembangkan telah divalidasi oleh 3 ahli. Ringkasan hasil
validasi disajikan pada Tabel 1.
980
Tabel1. Ringkasan Hasil Validasi Ahli
No Aspek yang dinilai Validator Rata-rata
�̅� Kategori
V1 V2 V3
1 Kesesuaian isi 24 25 23 24 SB
2 Kebahasaan 12 15 11 12,7 SB
3 Sajian 22 25 22 23 SB
4 Kegrafisan 18 20 18 18,7 SB
Modus semua komponen SB
Keterangan: SB berarti Sangat Baik.
Rata-rata penilaian menunjukkan bahwa hasil validasi termasuk kategori sangat
baik sehingga buku pengayaan ini layak digunakan.
Evaluasi perorangan bertujuan untuk mengidentifikasi dan menemukan
kesalahan-kesalahan kecil (misalnya kesalahan ketik dan pewarnaan yang tidak
konsisten), bahasa, dan tampilan tulisan. Hasil evaluasi ini digunakan sebagai
pijakan revisi kedua.
Evaluasi kelompok bertujuan mendapatkan masukan dari orang-orang yang
terlibat langsung dalam penggunaan buku ini. Evaluasi dilakukan oleh 4 orang.
Ringkasan hasil evaluasi disajikan pada Tabel 2. Hasil evaluasi menyatakan bahwa
buku ini termasuk dalam kategori baik.
Tabel 2. Ringkasan Hasil Evaluasi Kelompok
No Aspek yang dinilai Validator Rata-rata
�̅� Kategori
E1 E2 E3 E4
1 Kesesuaian isi 19 19 20 23 20,25 B
2 Kebahasaan 13 13 9 12 11,75 B
3 Sajian 17 19 17 24 19,25 B
4 Kegrafisan 16 16 16 18 16,5 B
Modus dari semua komponen B
Keterangan: B berarti Baik.
Uji coba lapangan dilakukan terhadap 10 siswa. Ringkasan hasil uji coba
disajikan pada Tabel 3. Dari tabel ini terlihat bahwa buku ini layak digunakanuntuk
bahan pengayaan.
Tabel3. Ringkasan Hasil Uji Coba Lapangan
No Komponen �̅� Ket
1 Kesesuaian Isi 3,9 SB
2 Kebahasaan 4,4 SB
3 Sajian 4,3 SB
4 Kegrafisan 4,2 SB
Modus dari semua komponen SB
Keterangan: SB berarti sangat baik.
B. Pembahasan
Pada bagian ini dibahas tentang hasil-hasil penelilitan yang telah dipaparkan
sebelumnya. Pembahasannya meliputi pembahasan produk yang dihasilkan,
pembahasan hasil validator, pembahasan hasil evaluasi perorangan, pembahasan
hasil evaluasi kelompok, dan pembahasan uji coba lapangan.
Telah tertulis di Bab I bahwa tujuan suatu penelitian pengembangan adalah
981
menghasilkan produk pembelajaran [12]. Produk yang dihasilkan dalam penelitian
ini adalah buku pengayaan yang diberi judul “Pengayaan Aplikasi Trigonometri
untuk SMA”.
Ditinjau dari aspek isi (materi) buku pengayaan, buku ini telah memenuhi
aspek isi (materi) menurut Suherli [13], yaitu: (1) kesesuaian dengan tujuan
pendidikan, (2) kesesuaian dengan perkembangan ilmu, (3) mengembangkan
kemampuan menalar, (4) pengembangan materi bertumpu pada perkembangan ilmu
terkait.
Ditinjau dari aspek penyajian materi, buku ini telah memenuhi aspek
menurut Suherli [13], yaitu: (1) sistematika logis, (2) penyajian materi mudah
dipahami, (3) merangsang pengembangan kreatifitas, (4) penyajian isi buku
dilakukan secara populer.
Ditinjau dari jenis pembelajaran pengayaan, buku ini dapat digunakan untuk
tiga jenis pembelajaran pengayaan menurut Depdiknas [1], yang intinya adalah
eksploratori (panyajiannya berupa buku), keterampilan proses (untuk pendalaman
terhadap topik yang diminati) dan pemecahan masalah yang diberikan kepada
peserta didik yang memiliki kemampuan belajar lebih tinggi berupa pemecahan
masalah nyata.
Ditinjau dari bentuk pelaksanaan pembelajaran pengayaan, buku ini dapat
digunakan untuk empat bentuk pelaksanaan menurut Depdiknas [1], yaitu: (1)
belajar kelompok, (2) belajar mandiri, (3) pembelajaran berbasis tema, (4)
pemadatan kurikulum.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan jawaban terhadap masalah penelitian,
dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah mencapai tujuannya, yaitu:
1. Penelitian ini telah berhasil mengembangakan produk berupa buku
pengayaan yang diberi judul Pengayaan Aplikasi Trigonometri untuk SMA
2. Buku pengayaan ini berpotensi mempermudah pemahaman konsep,
meningkatkan pemahaman keterkaitan antar rumus, dan memperlama
ingatan terhadap rumus-rumus trigonometri. Karakteristik dalam buku ini
antara lain:
a) Rumus dan konsep terkait langsung dengan bidang aplikasi.
b) Contoh-contoh dan kasus berkontekstual dunia, tidak hanya kasus
fiktif.
c) Pemakaian kata dan kalimat mudah dipahami.
d) Bermanfaat untuk penambahan wawasan pengetahuan.
e) Mengembangkan kemampuan menalar.
f) Menimbulkan tantangan.
g) Menumbuhkan inspirasi dan motivasi
h) Lay out (tata letak), penggunaan font (jenis dan ukuran huruf,
Ilustrasi, grafis, gambar, dan desain tampilan menarik untuk dibaca.
3. Buku yang dikembangkan ini telah memenuhi kelayakan untuk pembelajaran
pengayaan. Kelayakan dilihat dari hasil validasi, hasil evaluasi
kelompok, hasil uji coba lapangan, dan dari aspek suatu buku
pengayaan. Dari hasil validasi, nilai rata-rata dari komponen kesesuaian
isi, kebahasaan, sajian, dan kegrafisan berturut-turut adalah 24, 12,5, 23, dan
18,7 yang semuanya termasuk kategori sangat baik (SB). Dari hasil
evaluasi kelompok, nilai rata-rata dari komponen kesesuaian isi,
982
kebahasaan, sajian, dan kegrafisan berturut-turut adalah 20,25, 11,5 19,25,
16,5 yang semuanya termasuk kategori baik (B). Dari hasil uji coba
lapangan, nilai rata-rata dari komponen kesesuaian isi, kebahasaan, sajian,
dan kegrafisan berturut-turut adalah 3,9, 4,4, 4,3, 4,2, yang semuanya
termasuk kategori sangat baik (SB). Ditinjau dari aspek buku pengayaan,
buku ini layak digunakan karena telah memenuhi aspek isi (materi),
aspek penyajian, aspek jenis pembelajaran pengayaan, aspek bentuk
pelaksanaan pembelajaran, dan aspek hubungan trigometri dengan
bidang lain.
Referensi
[1] Depdiknas. 2008. Perangkat Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pemdidikan,
KTSP SMA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Atas.
[2] The open University. 1998. Trigonometric Functions. FLAP M1.6. S570 V11. (Sumber
tidak diketemukan, tetapi file Pdf tersedia).
[3] Corral, M. 2009. Trigonometry. Lovonia, Michigan: Free Software Foundation.
[4] Stitz, C. & Zeager, J. (2013). College Trigonometry Version bc Corrected Edition.
Lakeland: Lakeland Community College Lorain.
[5] Butler, S. 2003. Notes from Trigometry. [email protected] (file pdf.)
[6] Grouws, D.A. & Cebulla, K.J. 1999. Trigonometry. Penerbit belum diketemukan (file
pdf.)
[7] DIKTI. 2005. Bahan Pelatihan Penelitian untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran.
Jakarta: DIKTI.
[8] Borg, W.R. & Gall, M.D. 1983. Educational Research, An Introduction (4Th). N.Y.:
Longman Inc.
[9] Roblyer, M. D. 1988. Instructional Design for Microcomputer Software. Hillsdale,
N.J.: Lawrence Erlbaum Associates Pub.
[10 Dick, W., & Carey, L. (1985). The Systematic Design of Instruction (2nd ed.). London:
Scott, Foresman and Company.
[11] LIALMC08. 2004. Applications of Trigonometry (LIALMC08_0321227638. QXP
2/26/04 10:52 AM Page 685).
[12] Soenarto. 2005. Metodologi Penelitian Pengembangan untuk Peningkatan Kualitas
Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
[13] Suheri, H. 2015. Teknik Menulis Buku Pengayaan. http://remediaservice.com/
mengetahui-pengertian-dan-contoh-naskah-buku-pengayaan#sthash.sa01rAGv. dpuf,
diunduh pada tanggal 12 Oktober 2017.
983
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 983-993
PEMBELAJARAN PECAHAN SENILAI DENGAN
MENGGUNAKAN MODEL HIMPUNAN DI KELAS VII
AL-NINDU BUNGA SABRINA1, DARMAWIJOYO2, DAN YUSUF
HARTONO3
Program Magister Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatra Selatan
[email protected], [email protected],[email protected]
Abstrak. Permasalahan yang terjadi adalah masih ada siswa yang masih belum bisa atau
salah mengerjakan soal – soal yang berhubungan dengan pecahan dan pecahan senilai.
Penelitian ini bertujuan menghasilkan lintasan belajar siswa dalam pembelajaran pecahan
senilai dengan menggunakan model himpunan di kelas VII. Adapun metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah design research yang tujuan utamanya untuk mengembangkan
teori bersama – sama dengan bahan ajar. Tipe design research yang dipilih adalah validation
studies dengan tujuan tipe ini adalah untuk mengembangkan atau memvalidasi teori yang
digunakan pada penelitian yang dilakukan. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah
lintasan belajar dalam pembelajaran pecahan senilai dengan menggunakan model himpunan
di kelas VII ada 3 tahap yakni memberikan nama pecahan sebagai bagian dari keseluruhan
atau kumpulan benda, menentukan pecahan yang memiliki nilai yang sama menggunakan
model himpunan, dan melalui model himpunan menemukan pecahan senilai dengan dikali
dan dibagi. Analisis retrospektif terhadap pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa
model himpunan dapat membantu siswa dalam memahami pecahan senilai.
Kata Kunci: Model Himpunan;Pecahan Senilai;PMRI
1. Pendahuluan
Whitney, Basich., et al [25] menyatakan “equivalent fractions are fractions
that have the same value”. Petit, Leird, & Marsden (2010:134) juga menyatakan “… all equivalent fractions have the same value”. Dari penjelasan ini menyatakan bahwa pecahan senilai adalah pecahan – pecahan yang mempunyai kesamaan nilai. Kesamaan nilai ini dari Musser, G.L., Burger, W.F. dan Peterson, B.E [14] menyatakan “The term equivalent parts means equivalent in some attribute, such as length, area, volume, number, or weight, depending on the composition of the whole and appropriate parts”. Sama pada luas nya, panjangnya, tergantung dari benda yang ditanyakan pecahan senilainya.
Materi yang menurut Kamii [9] akan mulai diperkenalkan di kelas IV dan kembali dipelajari di kelas VII penting dipahami siswa untuk keberhasilannya dalam perhitungan pecahan. Walle [24] menyatakan “Students cannot be successful in
984
fraction computation without a strong understanding of fraction equivalence”. Dari pendapat ini menjelaskan bahwa keberhasilan siswa pada perhitungan pecahan ditentukan dengan pahamnya siswa dengan pecahan senilai. Hal ini dikarenakan dalam perhitungan pecahan misalnya pada penjumlahan pecahan dari penyebut yang berbeda, Pemahaman pecahan senilai diperlukan untuk menyamakan bilangan penyebut. Hal ini juga sejalan dengan Petit, Leird, & Marsden [16] yang menyatakan “Understanding equivalence of fractions is crucial to a student’s ability to add and subtract fractions and to compare and order fractions”. Dari pendapat ini dapat dinyatakan bahwa memahami pecahan senilai penting agar nantinya siswa bisa mengerjakan perhitungan pecahan seperti menjumlahkan, mengurangkan, membandingkan, dan mengurutkan pecahan.
Berdasarkan Permendiknas no 22 tahun 2006 dan Silabus Pembelajaran Mapel Matematika KTSP, kompetensi dasar pada kelas IV siswa harus dikenalkan dengan konsep pecahan senilai menggunakan benda kongkret atau berupa gambar dan setelah di kelas VII siswa mendiskusikan bilangan pecahan senilai dan mengubah bentuk pecahan ke bentuk pecahan yang lain.
Namun yang terjadi, siswa masih belum bisa mengerjakan soal – soal yang berhubungan dengan pecahan senilai. Contohnya penelitian dari Septika [17] yang memperlihatkan bahwa 6 siswa yang menjadi objek penelitiannya dalam menjawab benar pada soal yang berkenaan dengan pecahan senilai setelah diberikan treatment masih belum konsisten hasilnya. Yakni test pertama siswa menjawab benar namun test kedua siswa menjawab salah atau sebaliknya. Serta berdasarkan penelitian National Assessment of Educational Progress (NAEP) dalam artikel Cramer, Post, & delMas hanya 42% dari sampel siswa kelas IV dari sekolah – sekolah di Amerika Serikat mampu membuat pecahan dari gambar yang menunjukkan pecahan senilai dan hanya 18% siswa yang bisa mengarsir persegi panjang untuk menunjukan pecahan yang diberikan [8]. Kemudian penelitian Djunaidi [5] pada siswa nya di SD N 1 Punten batu mengatakan bahwa hasil belajar siswanya tentang pecahan senilai tidak lebih dari 50% memperoleh nilai lebih dari 60. Lalu apa sebenarnya yang menjadikan siswa tidak bisa mengerjakan pecahan senilai atau yang membuat pecahan sulit?
Siswa yang tidak bisa atau salah mengerjakan soal pecahan dikarenakan (1)adanya kesalahan dalam memahami konsep. Salah satu kesalahpahaman dari Walle [24] adalah “Students think that a fraction such as
1
5 is smaller than a fraction
such as 1
10 because 5 is less than 10”. Dalam kasus ini Walle menyarankan untuk
menggunakan banyak visual dan konteks. Hal ini telah dibuktikan oleh Cramer & Henry tahun 2002 dan Siebert&Gaskin tahun 2006 bagaimana penting dan efektifnya menggunakan visual dalam menyelesaikan tugas pecahan; (2)siswa jarang memperoleh pengalaman pecahan dengan berbagai model. Seperti pernyataan Walle [24] “students often do not get to explore fractions with a variety of models and/or do not have sufficient time to connect the visuals to the related concepts. Kalau pun di buku ada penggabungan atau memanipulasi menurut Hodges, cady, & Collins tahun 2008 [24] menyatakan “Unfortunately, textbooks rarely incorporate manipulatives, and when they do, they tend to be only area models”. Kebanyakan hanya model luas (daerah) yang dijadikan contoh di sebagian buku teks. Model luas (daerah) itu contohnya seperti model bagian lingkaran, persegi panjang, persegi, kertas berpetak, dan lainnya. Padahal siswa harus bisa mengexplore pecahan di berbagai model. Karena menurut Petit, Leird, & Marsden [16] menyatakan “the importance of using models to help students to build an understanding of fraction concepts” . Hal ini sejalan dengan Walle [23] yang menyatakan pendekatan untuk membantu siswa memahami pecahan senilai adalah menyuruh mereka menggunakan model atau manipulasi untuk menemukan pecahan – pecahan yang berbeda,
985
Ada tiga model yang digunakan untuk konsep pecahan seperti yang dinyatakan Petit, Laird, & Marsden [16] “There are three different types of models that students will interact with, use to solve problems, and use to generalize concepts related to fractions—area models (regions); set models (sets of objects); and number lines. Ketiga model tersebut menurut Walle (2008:37&51) dapat membantu siswa memperjelas pecahan dan menemukan nama – nama yang berbeda dari pecahan. Zawojeski (dalam Petit, Laird, & Marsden, [16]) juga menyatakan ketiga model tersebut membantu siswa memahami tentang pecahan, mendefinisikan keseluruhan dan bagian yang sama pada pecahan.
Selama ini kebanyakan dari peneliti sebelumnya seperti Legi [11];Ullya [21];Cicilia [4], Sugiman [19];Wiryanto [27];Khuriyati [10] baru menggunakan model luas (daerah) atau garis bilangan/panjang (Pengukuran) dengan berbagai konteks dan di buku – buku siswa seperti Buku Paket Matematika SMP Kelas VII oleh Tampomas [20] dan Marsigit [13] serta Buku Paket Matematika SD oleh Madhavi,Kamal,&Adenoviria [12] juga menggunakan model luas (daerah) dan garis bilangan/panjang (Pengukuran). Padahal siswa juga perlu menggunakan semua model untuk memahami pecahan. Salah satu nya model himpunan. Model himpunan menekankan pecahan sebagai bagian dari kumpulan objek (benda) yang akan membantu siswa menemukan pecahan senilai, melihat pecahan dengan cara yang berbeda, dan membantu mendapatkan hubungan penting dengan penggunaan pecahan di dunia nyata.
Kemudian Legi [11] menyatakan bahwa Pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan soal kontekstual. Soal kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran dalam membantu siswa mengembangkan pemahaman terhadap materi pecahan yang dipelajari. CORD (dalam [26]) juga menyatakan bahwa “Suatu pengetahuan akan lebih bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dengan suatu konteks atau pembelajaran menggunakan permasalahan realistik”. Dari uraian –uraian ini bisa disimpulkan bahwa untuk memahami pecahan senilai harus menggunakan konteks dan model.
Penggunaan konteks dan model dalam proses belajar yang menjadikan pengetahuan bermakna ini perlu dicocokan dengan suatu pendekatan. Gravemeijer,&Doorman[6]; Zulkardi [28]; Van Den Heuvel-Panhuizen [22] menyatakan bahwa Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya kaitan antara konteks dengan pembelajaran sehingga dapat tercapai pembelajaran yang bermakna karna permasalahan realistik atau konteks digunakan sebagai langkah awal untuk membangun konsep matematika ada di dalam PMRI. Dan salah satu prinsip dalam PMRI juga mengisyaratkan untuk memberi kesempatan pada siswa mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan.
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, penelitian bertujuan untuk menghasilkan lintasan belajar siswa dalam pembelajaran pecahan senilai dengan menggunakan model himpunan di kelas VII.
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Design research bertipe validation studies yang tujuannya untuk mengembangkan atau memvalidasi teori yang digunakan pada penelitian yang dilakukan [2] & [3]. Menurut Gravemeijer & Cobb [7], design research terdiri dari 3 tahap yaitu (1) preparing for the experiment, (2) the design experiment, dan (3) retrospective analysis. Namun, di dalam penelitian ini, peneliti hanya sampai pada tahap the design experiment yang melibatkan 7 siswa yang memiliki kemampuan berbeda terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
986
2. Hasil dan Pembahasan a. Hasil
Pembelajaran ini didesain untuk menghasilkan lintasan belajar dalam pembelajaran pecahan senilai dengan menggunakan model himpunan. Untuk mengetahui kemampuan awal peneliti memberikan tes awal (pre test) untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa belum bisa menjelaskan pecahan A senilai dengan pecahan B. Siswa langsung mengali atau membagi untuk menemukan pecahan senilai tanpa mengetahui alasan harus dikali atau dibagi untuk menemukan pecahan senilai dari suatu pecahan.
Setelah mengetahui kemampuan awal siswa dari hasil tes awal dilakukanlah siklus 1 tahap pilot experiment. Pada tahap ini 7 siswa berpartisipasi dijadikan 3 kelompok. Masing – masing kelompok diheterogenkan kemampuannya. Peneliti sebagai guru model. Sebelum mempelajari pecahan senilai, siswa diajarkan kembali tentang pecahan sebagai bagian dari keseluruhan. Pada pertemuan pertama siswa diberikan masalah seputar “pecahan adalah bagian dari keseluruhan”. Berikut contoh permasalahan pertama dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Salah dua contoh permasalahan 1
Pada permasalahan ini, peneliti meminta siswa memberikan nama pecahan sebagai bagian dari keseluruhan dan meminta siswa menggambarkan pecahan. Untuk permasalahan ini peneliti membuat dugaan jawaban siswa, yakni :(1)Siswa mampu melihat adanya perbedaan antara benda (objek); (2)Siswa salah fokus memberi nama untuk keseluruhan; (3)Siswa mampu menghitung benda (objek) tersebut.
Hasilnya pada kelompok A mampu melihat adanya perbedaan antara objek & mampu menghitung sesuai objek yang ditanyakan
Gambar 2. Hasil Kerja Permasalahan 1 Kelompok A
987
Pada kelompok B & C mampu melihat adanya perbedaan antara objek & mampu menghitung sesuai objek yang ditanyakan namun masih ada salah fokus memberi nama untuk keseluruhan.
Gambar 3. Hasil Kerja Permasalahan 1 Kelompok B
Gambar 4. Hasil Kerja Permasalahan 1 Kelompok B
Pada pertemuan kedua, permasalahan keduannya seputar penentuan pecahan yang memiliki nilai yang sama menggunakan model himpunan. Dugaan dari peneliti untuk hasil yang akan terjadi yakni: (1)Siswa mampu mengelompokkan objek sesuai kesamaannya;(2)Siswa bingung menentukan kesamaan pada objek yang dimiliki;(3)Siswa mampu menentukan pecahan yang senilai berdasarkan dari pengelompokkan;(4)Siswa mampu melihat mana sebagai “bagian” dan mana sebagai “keseluruhan/kumpulan objek”;(5)Siswa keliru melihat yang mana sebagai “bagian” dan mana sebagai “keseluruhan/kumpulan objek”;(6)Siswa mampu menggambar objek dengan warna menjadi pembeda;(7)Siswa mampu mengelompokkan sesuai banyaknya anggota yang diminta;(8)Siswa keliru membentuk kelompok karena keliru menentukan banyaknya anggota tiap kelompok;(9)Siswa mampu membagi anggota sama banyak tiap kelompok.
Hasil jawaban untuk permasalahan kedua ini, masing – masing siswa sudah mampu. Namun, masih ada kekeliruan dalam proses menjawab permasalahan. Contohnya kelompok A & C masih ada kekeliruan dalam melihat yang mana sebagai “bagian” yang mana sebagai “keseluruhan/kumpulan objek”. Kelompok B masih ada kebingungan dalam menentukan kesamaan pada objek yang dimiliki, Berikut gambarnya.
988
Gambar 5. Hasil Permasalahan kedua Kelompok A
Gambar 6. Hasil Permasalahan kedua Kelompok C (Kiri) dan Kelompok B
(kanan)
Pada pertemuan ketiga, permasalahannya adalah melalui model himpunan didapatkan pecahan senilai dengan dikali & dibagi. Dugaan jawaban siswa dari peneliti yakni: (1)Siswa mampu menggarisi pada objek (gambar) sebagai pemisah untuk merepresentasikan pecahan;(2)Siswa bingung berapa banyak objek yang harus digariskan;(3)Siswa mampu menghitung banyaknya kelompok yang dihasilkan;(4)Siswa mampu mengelompokkan lagi dengan garis sebagai tanda pemisah antar kelompok, menghitung banyaknya kelompok yang dihasilkan;(5)Siswa mampu melihat bahwa pecahan senilai bisa dikali dan dibagi melalui model himpunan.
Hasil jawaban dari permasalahan ketiga ini tiap kelompok mampu menyimpulkan bahwa pecahan senilai bisa didapatkan dari mengali atau membagi melalui model himpunan. Namun selama proses menuju formal ini siswa masih ada kebingungan. Seperti kelompok C masih ada kebingungan menggarisi pada objek (gambar) sebagai pemisah untuk merepresentasikan pecahan dan kelompo A masih ada kebingungan berapa banyak objek yang harus digariskan.
989
Gambar 7. Hasil Permasalahan ketiga Kelompok C (Kiri) dan Kelompok A (kanan)
Sedangkan kelompok B tidak menyimpulkan bahwa pecahan senilai
bisa ditemukan dengan mengali atau membagi. Namun, selama proses penemuan pecahan senilai di permasalahan ketiga ini, siswa di kelompok B menentukan pecahan senilai dengan menambah bilangan yang sama. Sesuai definisi perkalian adalah penjumlahan yang berulang. Sehingga bisa disimpulkan kelompok B secara tersirat telah memaknai bahwa melalui model himpunan dapat diketahui pecahan senilai bisa didapat dari dikali. Berikut gambar dan ilustrasi kata - kata jawaban siswa menemukan pecahan senilai dalam bentuk formal:
Gambar 8. Salah satu Hasil Permasalahan ketiga Kelompok B
990
Guru : “oke, coba temukan pecahan senilai untuk soal bagian “A”,
kak”. Siswa : “satu per lima (sambil melihat ke atas-berpikir) satu tambah
satu dua, lima tambah lima 10” Guru : “Jadi?” Siswa : “2 per 10, bener bunda?” Guru : “Sip, kakak bener. Terus yang lainnya kak” Siswa : “2 per 4, dua tambah 2, 4. 4 tambah 4, 8. (lalu menuliskan
2 per 8)” Guru : “sip, lanjut” Siswa : “4 per 7, 4 tambah 4, 8. 7 tambah 7, 14, (lalu menuliskan 8
per 14)” Ilustrasi jawaban siswa kelompok B dalam menentukan pecahan senilai
bentuk formal Pada masalah pertama, kedua dan ketiga dapat dilihat bahwa siswa
telah memahami permasalahan pada pecahan senilai dan pembelajaran bersesuaian dengan HLT yang telah dirancang. Siswa sudah belajar untuk menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan model himpunan.
Hasil penelitian pilot experiment yang didapatkan menunjukkan Actual Learning Trajectory (ALT) yakni proses selama pembelajaran berlangsung bersesuaian dengan HLT yang telah dirancang.
b. Pembahasan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi dalam mengembangkan sebuah Local Instructional Theory (LIT) dengan mendesain serangkaian aktivitas pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memahami dan menemukan pecahan senilai dengan menggunakan model himpunan.
Pembelajaran yang didesain berdasarkan prinsip-prinsip dan lima karakteristik PMRI, yakni (a) use of contexts for phenomenologist exploration dalam mendesain pembelajaran ini dipilih konteks yang dekat dengan siswa, (b) using models and symbols for progressive mathematization penggunaan model dan simbol dalam menyelesaikan permasalahan dilakukan siswa selama proses penyelesaian masalah, (c) using student own contributin and production selama proses pembelajaan guru memberi kebebasan siswa dalam mengungkapkan dan menjawab pertanyaan, dapat dlihat dari beragam jawaban siswa dalam menyelesaikan permasalahan, (d) interactivity interaktivitas tidak terjadi antara guru dan siswa tetapi juga dengan sesama siswa bentuk interaksi ini dapat berupa diskusi, memberika penjelasan, komunikasi, koopratif dan evaluasi, (e) intertwining mathematics concept, aspect and unit maksudnya adalah matematika yang diajarkan kepada siswa akan menjadi lebih bermakna jika terkait dengan topik pembelajaran lainnya.
991
3. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan disimpulkan bahwa melalui aktivitas yang dirancang dengan menggunakan model himpunan mampu memahami dan menemukan pecahan sebagai bagian dari keseluruhan dan menemukan pecahan senilai dari objek (benda) langsung maupun dengan memanipulasi melalui gambar (siswa memahami dan menemukan pecahan senilai melalui kegiatan secara informal menuju penyelesaian secara formal).
Referensi
[1] Akker, J. Van Den, Gravemeijer, K., McKenney, S., and Nieveen, N.
(2006). Educational Design Research. London: Routledge Taylor and
Francis Group.
[2] Akker et al. (2013). Educational Design Research Part A. Enschede
Netherland: SLO
[3] Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education on
Symbolizing and Computer Tools. Amersfoort: Wilco Press.
[4] Cicilia, Yuniarti. (2011). Design Research Operasi Hitung Perkalian
Bilangan Bulat Positif dengan Pecahan Biasa Melalui Pendekatan
Matematika Realistik pada Siswa Kelas V di SD N 04 Klender Jakarta
Timur. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sains,
Teknologi, dan Kesehatan. 2(1): 553-560
[5] Djunaidi, Arif. (2012). Meningkatkan Hasil Belajar Pecahan Senilai
Melalui Pembelajaran dengan Metode Penemuan Terbimbing Pada
Siswa Kelas IV SD Negeri Punten 1 Batu. http://karya-
ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/23205. Diakses pada
24 Juli 2016
[6] Gravemeijer, K., & Doorman, M. (1999). Context problems in realistic
mathematics education: A calculus course as an example. Educational
studies in mathematics, 39(1-3): 111-129.
[7] Gravemeijer, K., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning
design perspective. In J. Van den Akker, K. Gravemeijer, S. McKenney,
& N. Nieveen, Educational Design Research (pp. 17 - 51). London and
New York: Routledge Taylor & Francis Group.
[8] Hadi, Sutarto. (2009). ADAPTING EUROPEAN CURRICULUM
MATERIALS FOR INDONESIAN SCHOOLS: A DESIGN OF
LEARNING TRAJECTORY OF FRACTION IN ELEMENTARY
DUCATION MATHEMATICS.
https://p4mriunsri.files.wordpress.com/2009/11/1s_hadi_isdde.pdf.
diakses pada 1 Februari 2016
[9] Kamii, Constance. (1994). Equivalent Fraction: An Explanation of
992
Their Difficuty and Educational Implication.
http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED372948.pdf. Diakses pada 10 Juli
2016
[10] Khuriyati, Lukluk. (2015). Desain Pembelajaran Operasi Pecahan
Menggunakan Kertas Berpetak di Kelas IV. Jurnal Pendidikan. 8(3):
62-69
[11] Legi, Mozez Y. (2008). Kemampuan Representasi Matematis Siswa SD
Kelas IV Melalui Pendidikan Matematika Realistik pada Konsep
Pecahan dan Pecahan Senilai.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=171746&val=479
5&title=Kumpulan%20Artikel. Diakses pada 13 Juli 2016
[12] Madhavi, V, Kamal, Ali Andriana,&Adenoviria. (2015). Mahir
Matematika. Jakarta Timur: Yudhistira
[13] Marsigit. (2009). Matematika SMP Kelas VII. Jakarta Timur:
Yudhistira
[14] Musser, G.L., Burger, W.F.dan Peterson, B.E. (2005). Mathematics for
elementry teacher: A contemporary approach. Hoboken, NJ: John
Wiley&Sons, Inc.
[15] Petit, M. M., Laird, R. E., & Marsden, E. L. (2010). A focus on
Fractions: Bringing Research to the Classroom. New York and
London: Routledge Taylor & Tracis Group.
[16] Permediknas no 22 tahun 2006. (-). PERATURAN MENTERI
PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22
TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
https://asefts63.files.wordpress.com/2011/01/permendiknas-no-22-
tahun-2006-standar-isi.pdf. Diakses pada 9 Juli 2016
[17] Septika, Lidya Cindi. (2013). Pendekatan Matematika Realistik
terhadap Hasil Belajar Penjumlahan Pecahan Anak Tunanetra.
https://ejournal.unesa.ac.id/article/5853/15/article.pdf. Diakses pada 9
Juli 2016
[18] Silabus Pembelajaran Mapel Matematika Kelas VII s.d IX 1-2. -.
Perangkat Pembelajaran Silabus Pembelajaran. -: -
[19] Sugiman. (2013). Desain Lintasan Belajar Pecahan Berdasarkan Teori
Beban Kognisi. KNPM V. -: 447-452
[20] Tampomas, Husein. (2006). Matematika Plus. Jakarta Timur:
Yudhistira
[21] Ullya. (2010). Desain Bahan Ajar Penjumlahan Pecahan Berbasis
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) untuk Siswa Kelas
IV Sekolah Dasar Negeri 23 Indralaya. Jurnal Pendidikan Matematika
993
4(2): 86-96
[22] Van Den Heuvel-Panhuizen, M. (2003). The didactical use of models
in realistic mathematics education: An example from a longitudinal
trajectory on percentage. Educational Studies in Mathematics. 54(1): 9-
35.
[23] Walle, Van De. (2008). Sekolah Dasar dan Menengah Matematika
Pengembangan Pengajaran. Diterjemahkan oleh Suyono. Jakarta:
Erlangga
[24] Walle, Van De. (2014). Developing Fraction Concepts.
https://www.pearsonhighered.com/vandewalle-9e-
info/assets/pdf/0133768937.pdf. Diakses pada 10 Juli 2016
[25] Whitney, Basich., et al. (2008). California Math Triumphs. USA: The
McGraw-Hill Companies.
http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=276AFF5519EA85B0A0A1
626EC2F7953B. Diakses pada 14 Agustus 2016
[26] Wijaya, Ariyadi. (2012). Pendidikan Matematika Realistik. Yogya-
karta: Graha Ilmu.
[27] Wiryanto. (2014). Representasi Siswa Sekolah Dasar dalam
Pemahaman Konsep Pecahan. Jurnal Pendidikan Teknik Elektro. 3(3):
593-603
[28] Zulkardi. (2002). Developing A Learning Environment on Realistic
Mathematics Education For Indonesian Student Teachers. Doctoral
Thesis of Twente University. Enschede: Twente University.
994
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 994-1005
PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA
UNRELASIONAL
SAMSUL HADI
Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak. Matematika unrelasional merupakan ketidakmampuan siswa
berpikir matematis dalam mengaitkan konsep yang satu dengan konsep
lainnya sebagai upaya membangun pemahaman siswa terhadap matematika.
Sedangkan pembelajaran matematika unrelasional adalah pembelajaran
matematika yang hanya menitikberatkan pada pemahaman instrumental
siswa tanpa memperhatikan pemahaman relasional dan reflektif siswa.
Pembelajaran matematika yang baik tentu memperhatikan ketiga unsur
pemahaman matematika tersebut. Jika tidak maka siswa akan kesulitan
memahami konsep matematika dengan baik. Akibatnya siswa akan memiliki
kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika yang rendah.
Selain itu persepsi negatif terhadap matematika akan terus membudaya pada
siswa. Oleh karena itu, tantangan seorang guru matematika adalah merubah
persepsi negatif siswa terhadap matematika dengan tidak menerapkan
pembelajaran matematika unrelasional. Tujuan guru melakukan perubahan
pendekatan pembelajaran adalah agar siswa dapat memahami matematika
secara utuh dalam meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan
masalah siswa.
Kata kunci. Matematika Unrelasional, Komunikasi, Pemecahan Masalah.
1. Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu pelajaran penting yang sudah
diperkenalkan pada setiap orang mulai dari sekolah dasar hingga program
doktor. Karena matematika bukan hanya sekedar pengetahuan tetapi
matematika adalah alat yang dapat membantu manusia dalam menyelesaikan
permasalahan kehidupan. Setiap aktivitas manusia selalu berkaitan dengan
matematika. Namun tidak sedikit masyarakat khususnya siswa mulai dari
sekolah dasar hingga mahasiswa doktor pun masih menganggap matematika
merupakan pelajaran yang sulit dan sukar dimengerti terutama mereka yang
tidak berkecimpung pada dunia matematika.
Begitu sulitkah matematika? Padahal matematika dalam aplikasinya
tidak seperti banyak orang atau siswa pikirkan sulit. Contoh, bagaimana orang
–orang tua, ibu-ibu di pasar, dan para pedagang memperagakan matematika
995
tanpa menggunakan alat bantu hitung kalkulator atau pun komputer, mereka
begitu lancar dan tidak kesulitan sedikitpun mendemokan kemahiran
aritmatematika mereka. Tetapi, kenapa matematika selalu dikatakan sebuah
mata pelajaran yang sulit. Perlu diingat juga bahwa tidak sedikit siswa-siswa
di Indonesia tidak lulus saat ujian nasional pada mata pelajaran matematika.
Sebagian besar dari kita dan para siswa masih menganggap matematika
menjadi momok yang menakutkan siswa ketika mengikuti sebuah tes dalam
penentuan kelulusan. Tentu, ketika kecemasan siswa dalam belajar
matematika (mathematical anxiety) mulai ada maka siswa akan terus
mengalami kesulitan dalam belajar dan memahami matematika.
Iswadi [2] bahwa berkenaan dengan banyaknya persepsi negatif dari
siswa terhadap matematika maka tidak heran kemampuan siswa-siswa
Indonesia dalam hasil tes dan survey PISA pada tahun 2015 masih tergolong
rendah. Survey ini melibatkan 540.000 siswa di 70 negara, dianalisis dan
dipublis pada 6 Desember 2016 pada web OECD di alamat
https://www.oecd.org/pisa/. Hasil survey menunjukkan bahwa peringkat satu
adalah Singapura. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dari ketiga materi
yang diujikan yakni sains, membaca,dan matematika, Indonesia berada
berturut-turut pada urutan 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi. Hasil
PISA 2015 ini menunjukkan bahwa peringkat Indonesia tidak berbeda jauh
dari tahun-tahun sebelumnya. Contohnya, pada tahun 2012 kemampuan
matematika siswa-siswi Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara.
Berkaca pada peringkat Indonesia pada hasil survey PISA di atas
menunjukkan kualitas pendidikan di indonesia masih terbilang rendah.
Padahal tujuan pendidikan nasional akan tercapai jika proses pembelajaran
yang diterapkan guru pada lingkungan belajar siswa harus efektif dan efisien.
BNSP [1] bersesuaian dengan tujuan pendidikan nasional dalam UUD 1945,
tujuan matematika sekolah diajarkan pada siswa tertuang dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 tujuan tersebut tidak lain sebagai
berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien,
dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan
solusi yang diperoleh menggunakan matematika sebagai cara atau alat
bernalar yang dialihgunakan pada keadaan berpikir logis, kritis,
sistematis, disiplin dalam memandang, dan menyelesaikan masalah.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
996
Pada kurikulum 2013 juga menempatkan matematika merupakan
salah satu pelajaran yang memiliki alokasi waktu lebih banyak dari mata
pelajaran lainnya. Penetapan alokasi waktu ini dilakukan tanpa alasan.
Adapun beberapa alasan kenapa matematika diajarkan pada sekolah karena
secara umum tujuannya yaitu; 1) tujuan yang bersifat formal, tujuan yang
menekankan pada penalaran dan membentuk kepribadian siswa, 2) tujuan
yang bersifat material, tujuan yang menekankan pada kemampuan
memecahkan masalah dan menerapkan matematika. Dari dua tujuan ini
terlihat bagaimana matematika sangat penting bagi anak-anak saat
pembelajaran di sekolah. Selain itu juga matematika dapat membentuk
karakter siswa yang diharapkan cekatan dalam menyelesaikan permasalahan
yang ada. Selain itu juga tujuan tersebut berjalan searah dengan program
pemerintah dalam pendidikan karakter. Tetapi dalam pelaksanaannya tentu
tidak mudah karena banyaknya permasalahan yang dihadapi guru dalam
penerapan pembelajaran matematika di sekolah. Permasalahan utama yang
kita hadapi saat ini juga merupakan masalah klasik yang terus menerus terjadi
yaitu banyak pembelajaran matematika unrelasional yaitu pembelajaran
matematika yang hanya menempatkan pemahaman matematika secara
instrumental tanpa dibarengi dengan pemahaman matematika secara
relasional dan reflektif.
Mengatasi permasalahan kualitas pendidikan pada suatu negara tidak
terlepas dari menyelesaikan masalah kualitas pengajaran di negara tersebut.
Jika kualitas pengajaran di suatu negara khususnya pembelajaran matematika
sekolah jenjang SD-SMA baik maka out put pembelajaran yang dihasilkan
pada siswa juga baik. Tidak optimalnya output pembelajaran matematika di
Indonesia terjadi karena banyak pembelajaran matematika yang diterapkan
guru baik secara sadar ataupun tidak merupakan pembelajaran matematika
unrelasional. Permasalahan ini akan mengakibatkan kemampuan siswa
rendah terutama dalam pemecahan masalah siswa dan komunikasi siswa.
Sehingga guru sebagai pendidik haruslah merubah strategi pembelajaran
matematika unrelasional menjadi pembelajaran matematika relasional. Salah
satu peran guru yakni membuat suasana belajar yang membantu siswa untuk
berkembang dan tertarik dalam menumbuhkan minat siswa belajar
matematika. Russeffendi [3] menyatakan guru harus merubah cara
menyampaikan materi matematika dengan menarik agar anak-anak aktif-aktif
serta bertambah minat dan motivasi untuk belajar matematika. Misalnya guru
dapat membuat suasana belajar menarik dengan menggunakan alat peraga,
diskusi kelompok, menyajikan matematika dalam bentuk permainan-
permainan angka atau kartu karena pada dasarnya anak-anak suka bermain.
Perlu diingat bahwa matematika merupakan bahasa. Matematika
sebagai bahasa tentu sangat diperlukan dalam berkomunikasi baik secara
lisan dan tulisan. Kemampuan komunikasi matematika adalah kemampuan
siswa dalam menyampaikan suatu gagasan atau argumen baik secara lisan,
tulisan, gambar, simbol, diagram, dan menyajikan dalam suatu bentuk aljabar.
Menurut Shadiq [4] bahwa kemampuan komunikasi siswa di Indonesia juga
masih rendah padahal kemampuan komunikasi siswa merupakan bagian dari
997
tujuan pembelajaran matematika yang harus dikembangkan untuk siswa
selain kemampuan pemecahan masalah siswa. Hal ini didasarkan pada hasil
survey yang dilakukan TIMSS di Indonesia menunjukkan bahwa
pembelajaran matematika di Indonesia lebih menekankan pada keterampilan
dasar, hanya sedikit yang menekankan pada kemampuan penerapan
matematika dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi matematis siswa, dan
kemampuan bernalar matematika siswa.
Kemampuan pemecahan masalah siswa juga sangat dibutuhkan dalam
memecahkan suatu persoalan yang dihadapkan pada siswa. Pertanyaan atau
persoalan merupakan suatu masalah jika siswa tidak menguasai hukum atau
aturan-aturan matematika yang mengenai pertanyaan matematika tersebut.
Karena bagaimana mungkin suatu persoalan dapat diselesaikan siswa jika
kemampuan siswa terhadap memahami maksud pertanyaan juga rendah.
Keterampilan memecahkan masalah yang dimiliki siswa tentu berperan
dalam menafsirkan, merencanakan, dan melakukan tindakan dalam
menemukan solusi dari permasalahan tersebut.
Kenyataannya dalam proses pembelajaran, siswa akan sering
dihadapkan dalam permasalahan matematika baik yang bersifat rutin dan
non-rutin sehingga siswa dituntut dalam mencari strategi yang tepat dalam
memecahkan masalah matematika. Oleh karena itu, guru perlu meningkatkan
keterampilan siswa dalam memecahkan masalah agar siswa lebih kritis,
kreatif, dan berpikir analitis dalam menghadapi permasalahan. Kemampuan
analitis siswa juga akan berpengaruh pada proses pemecahan masalah
matematika yang akan membantu siswa dalam memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut Gagne dalam Suyitno [6] bahwa
keterampilan intelektual yang tinggi termasuk di dalamnya penalaran
matematika yaitu penalaran matematis dapat dilatih melalaui pemecahan
masalah dengan menggunakan strategi atau pendekatan pembelajaran yang
tepat.
Berdasarkan hasil observasi dan reflektif penulis terhadap
permasalahan-permasalahan matematika selama ini dari kegiatan proses
belajar baik sebagai siswa maupun pengajar. Penulis mendapatkan suatu
gambaran bahwa siswa-siswa tersebut memahami suatu matematika hanya
bersifat pemahaman instrumental bukan memahami matematika dengan
pemahaman matematika relasional dan reflektif. Misal, guru memberikan
contoh A, latihan B namun guru memberi siswa tes C. Kondisi model
pembelajaran seperti ini bentuk lain dari pembelajaran matematika
unrelasional. Mengetahui kondisi siswa-siswa tersebut dapat
mengindikasikan bahwa guru menerapkan suatu pembelajaran matematika
unrelasional di sekolah. Karena ketika siswa-siswa tersebut diminta
menjelaskan suatu permasalahan matematika yang diselesaikan maka
sekolompok anak tersebut kesulitan menjelaskan dari mana dan kenapa
penyelesaian seperti itu. Artinya siswa selama ini memahami matematika
hanya dengan pemahaman instrumental sehingga mengakibatkan siswa
mendapat pengetahuan matematika bersifat hafalan. Hal ini mengindikasikan
hasil survey PISA pada tahun 2015 sesuai dengan kenyataan yang ada.
998
Akibatnya siswa memiliki kemampuan komukasi dan pemecahan masalah
matematika rendah. Dan dapat dikatakan bahwa pendekatan yang digunakan
guru dalam pembelajaran matematika di kelas masih konvensional.
Dari permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan sebuah
kajian studi yang bersifat teoritis. Rumusan masalah dalam penulisan artikel
ini adalah bagaimana gambaran pengaruh pembelajaran matematika
unrelasional terhadap kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa
pada matematika. Batasan masalah dalam penulisan artikel ini adalah
bagaimana pengaruh pembelajaran matematika unrelasional pada
kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah anak. Sedangkan tujuan
penulisan artikel ini yaitu untuk mengetahui gambaran pengaruh
pembelajaran matematika unrelasional terhadap kemampuan komunikasi dan
pemecahan masalah siswa pada matematika. Adapun manfaat penulisan
artikel ini yaitu dapat dijadikan sebagai masukan untuk guru khususnya guru
matematika sekolah agar tidak menerapkan suatu pembelajaran matematika
unrelasional yang berpengaruh pada tingi rendahnya kemampuan komunikasi
dan pemecahan masalah siswa pada matematika.
2. Metodelogi Penulisan
Penulisan artikel ini merupakan kajian telaah pustaka berdasarkan
masalah yang ada. Sumber dan bahan kajian diperoleh penulis dengan
mengumpulkan bahan-bahan kajian yang bersesuaian dengan masalah yang
dibahas penulis dengan menggunakan teknik observasi dan reflektif penulis
berdasarkan pengalaman kegiatan proses belajar mengajar matematika baik
sebagai siswa maupun guru dalam menguatkan kajian artikel makalah ini.
3. Hasil-Hasil Utama dan Pembahasan
Berdasarkan hasil kajian permasalahan di atas diperoleh beberapa
pembahasan tentang pengaruh pembelajaran matematika unrelasional
terhadap kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa pada
matematika sebagai berikut:
3.1 Pembelajaran Matematika Unrelasional
Matematika unrelasional merupakan kemampuan berpikir
matematis siswa yang tidak dapat mengaitkan konsep yang satu dengan
yang lainnya dalam membangun pemahaman siswa akan matematika.
Pendekatan pembelajaran matematika yang hanya memperhatikan
pemahaman siswa secara instrumental tanpa memperhatikan pemahaman
anak secara relasional dan reflektif dalam matematika.
999
3.2 Pembelajaran Matematika Unrelasional Terhadap Pemahaman Siswa
Suatu pembelajaran matematika yang tidak menekankan pada
kemampuan dan pemahaman siswa secara mendalam dan secara utuh
tentang konsep-konsep matematika sehingga anak-anak kesulitan dalam
memahami matematika. Hal ini terjadi karena dalam pembelajaran guru
lebih menekankan pada pemahaman siswa secara instrumental tanpa
memperhatikan betapa pentingnya pemahaman relasional dan reflektif
siswa dalam belajar matematika.
Mungkin selama ini masih banyak guru mengira ketika
menjelaskan suatu konsep matematika di kelas dengan berbagai model,
metode, atau strategi pembelajaran sudah menjadi pengetahuan dan
siswa-siswa memahami secara utuh. Padahal faktanya tidak semua
stimulus yang diberikan guru direspon dengan baik oleh siswa di kelas
menjadi suatu pengetahuan baru yang penting dan dipahami anak. Untuk
itu pemahaman siswa baik secara instrumental, relasional, dan reflektif
dalam pembelajaran matematik juga diperhatikan secara komprehensif.
Hal ini bertujuan agar setiap informasi baru yang diperoleh anak dalam
pembelajaran matematika menjadi pengetahuan baru bagi siswa. Maka
guru harus mengetahui apa itu pemahaman instrumental, relasional, dan
relektif. Dan apa kelebihan dan kekurangannya dalam pembelajaran
matematika.
Menurut Skemp [5] bahwa pemahaman instrumental sejatinya
belum dikategorikan pemahaman (understanding), sedangkan
pemahaman relasional merupakan pengetahuan yang sudah dapat
dikatakan pemahaman (understanding).
Hal ini merujuk pada pernyataan Skemp sendiri yaitu:
“...by calling them ‘relational understanding’ and ‘instrumental
understanding’. By the former is meant what I, and probably most
readers of this article, have always meant by understanding:knowing
both what to do and why. Instrumental understanding Iwould until
recently not have regarded as understanding at all. It is what I have in
the past described as ‘rules without reasons’.
Artinya, “ ... yang disebut dengan pemahaman relasional dan
pemahaman instrumental. Yang pertama (pemahaman relasional)
menurut saya dan mungkin juga menurut pembaca dapat diartikan
memahami dua hal secara bersama-sama, yaitu apa dan mengapanya.
Pemahaman instrumental sampai saat ini belum dimasukkan pada
pemahaman secara keseluruhan. Pada masa-masa lalu hal itu dijelaskan
sebagai aturan tanpa alasan”.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat diperoleh kesimpulan
bahwa pemahaman instrumental merupakan suatu pemahaman yang
lebih mengedepankan aturan-aturan tanpa alasan sehingga siswa tidak
memperhatikan secara detail “apa dan mengapa” sedangkan pemahaman
realsional adalah suatu pemahaman yang sebenarnya pemahaman karena
1000
siswa memperhatikan secara detail aturan-aturannya beserta alasannya
seperti “apa dan kenapa”.
Pemahaman reflektif merupakan suatu pemahaman yang terdiri
dari dari kemampuan reflektif dan sikap reflektif siswa dalam
pembelajaran yang mencakup bersikap kritis dalam pemecahan masalah
sehingga proses perkembangan pribadi dan sosial siswa berkembang
dengan baik.
Untuk itulah, selain pemahaman instrumental dan pemahaman
relasional siswa, pemahaman reflektif siswa diutamakan dalam
pembelajaran. Alasannya tentu karena pengetahuan yang diperoleh siswa
dalam pembelajaran tidak serta merta harus diterima begitu saja namun
siswa harus bisa berpikir secara aktif, kritis, dan reflketif dalam
menerima pengetahuan. Tujuannya tidak lain kalau bukan untuk
meningkatkan pengetahuan dan kecerdasan (intelligence) siswa.
Beberapa kelebihan pemahaman instrumental sebagai berikut:
1. Dalam konteksnya tertentu, matematika instrumental biasanya lebih
mudah dipahami. Beberapa topik, misalnya mengalikan dua bilangan
negatif, atau pembagian oleh bilangan rasional, merupakan topik-
topik yang sulit dipahami secara relasional.
2. Reward-rewardnya lebih segera, dan lebih jelas/nyata. Adalah bagus
untuk memperoleh satu halaman jawaban-jawaban benar, dan kita
tidak harus menganggap sepi betapa pentingnya perasaan berhasil
yang murid-murid peroleh dari belajar instrumental ini.
3. Karena kurang pengetahuan yang dilibatkan, sering seseorang dapat
memperoleh jawaban benar lebih cepat dan dapat dipercaya oleh
berpikir instrumental dibandingkan dengan berpikir relational.
Adapun keterbatasan pemahaman instrumental adalah:
1. Siswa yang memiliki pemahaman instrumental mempunyai fondasi
atau dasar pengetahuan yang tidak kuat.
2. Tidak dapat meyakinkan diri sendiri dan orang lain dalam
memaparkan dari mana dan kenapa proses menghasilkan pemecahan
masalah tersebut.
Adapun kelebihan pemahaman relasional sebagai berikut:
1. Siswa yang memiliki pemahaman relasional mempunyai fondasi atau
dasar pengetahuan yang kuat.
2. Dapat meyakinkan diri dan orang lain dalam mendapatkan proses dan
hasil dari pemecahan masalah “kenapa dan dari mana”.
3. Lebih mudah diadaptasi pada tugas-tugas yang baru. Tetapi
pemahaman relasional (relational understanding), tidak hanya
mengetahui metode mana yang tepat, tetapi juga harus tahu mengapa
itu memampukannya untuk merelasikan metode itu terhadap masalah
itu dan mungkin untuk mengadaptasikan metode itu pada masalah-
masalah baru. Pemahaman relasional menuntut agar mengingat
masalah-masalah manakah yang dapat menggunakan metode dan
masalah mana yang tidak dapat kita gunakan metode itu, dan juga
1001
mempelajari suatu metode yang berbeda untuk tiap kelompok
masalah.
4. Mudah untuk diingat. Ada suatu paradoks disini, yaitu ini tidak mudah
untuk dipelajari. Namun untuk membantu siswa mudah dalam belajar
guru dapat mengajar untuk menghasilkan relational understanding
dengan melibatkan lebih banyak permasalahan konteks yang aktual.
5. Pengetahuan relasional dapat menjadi efektif sebagai suatu tujuan. Ini
merupakan suatu fakta empiris, berdasarkan kenyataan dari
eksperimen-eksperimen yang dikontrol menggunakan bahan-bahan
non matematika.
6. Skema-skema relational berkualitas organic.
Adapun keterbatasan pemahaman relasional adalah:
1. Relational understanding untuk suatu topik khusus terlalu sukar,
tetapi murid masih memerlukan topik tersebut untuk alasan-alasan
ujian.
2. Bahwa diperlukan suatu ketrampilan untuk digunakan pada pelajaran
lain (misalnya IPA), sebelum IPA itu dapat dimengerti secara rasional
dengan skema-skema yang ada pada siswa saat ini.
3. Bahwa ia seorang guru matematika junior di suatu sekolah dimana
semua pengajaran matematika lainnya adalah instrumental.
Adapun kelebihan pemahaman reflektif sebagai berikut:
1. Siswa memiliki sikap kritis yang tinggi terhadap suatu masalah.
2. Dapat mengatasi masalah dengan cepat dan mudah menentukan
strategi pemecahan masalah yang tepat.
3. Siswa dapat mengenali masalah.
4. Siswa dapat menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan
menetukan masalah yang dihadapi.
5. Dapat menghubungkan uraian-uraian hasil analisa yang satu dengan
yang lainnya.
6. Dapat membuat hipotesa atau menimbang kemungkinan jawaban-
jawaban yang mungkin.
7. Kemudian siswa dapat mempraktekkan langkah-langkah apa yang
diperlukan dalam menangani masalah tersebut.
Adapun keterbatasan pemahaman reflektif adalah:
1. Untuk membuat siswa memiliki pemahaman reflektif guru
membutuhkan waktu yang lama dan proses yang panjang.
2. Guru akan memiliki kesulitan dalam mengendalikan sikap kritis siswa
yang tinggi.
3.3 Pembelajaran Matematika Unrelasional Terhadap Kemampuan
Komunikasi dan Pemecahan Masalah Siswa.
Salah satu indikasi pembelajaran matematika unrelasional adalah
adanya kebiasaan guru meminta siswa menulis atau menyalin apa adanya
suatu solusi pemecahan masalah matematika di papan tulis. Jika budaya
siswa seperti ini terus dilakukan secara berkelanjutan maka seakan-akan
1002
guru tidak menghargai kecerdasan anak. Hal itu terjadi karena anak-anak
di kelas tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan sikap
berpikir kritis, kreativitas, kemampuan komunikasi, dan pemecahan
masalah siswa. Dampaknya anak-anak akan memahami suatu konsep
matematika hanya berupa hafalan atau memorisasi. Anak-anak juga
kesulitan mengaitkan konsep matematika yang satu dengan yang lain
dalam membentuk konsep yang baru berdasarkan skema yang telah
dimiliki anak dalam membantu memahami matematika dengan baik.
Karena siswa tidak memahami matematika sebenarnya dan tentu ketika
siswa diminta menjelaskan kembali kenapa dan dari mana solusi itu maka
siswa akan kesulitan. Akibatnya siswa-siswa akan memiliki kemampuan
komunikasi dan pemecahan masalah yang rendah.
Selain itu, guru jarang sekali menggali konsep siswa ketika
memberikan suatu permasalahan matematika. Ketika guru hanya terpaku
pada konsep siswa yang ada akan mengakibatkan konsep-konsep siswa
berdasarkan skema yang ada maka tidak akan berkembang dalam
membangun konsep baru yang membantu siswa dalam menyelesaikan
permasalahan matematika. Tantangan seorang guru adalah bagaimana
menciptakan suasana pembelajaran matematika yang tidak unrelasional
dalam pembelajaran matematika guna membantu siswa aktif, kreatif,
senang, dan paham dalam belajar matematika.
Mungkin selama ini kita pernah merasakan akibat dari
pembelajaran matematika unrelasional ketika masa sekolah mulai dari
SD-SMA. Sebagai contoh pembelajaran matematika unrelasional,
penulis memberikan beberapa persoalan matematika yang dapat
mengindikasikan siswa hanya memahami matematika yang bersifat
instrumental dan mengakibatkan kemampuan komunikasi dan
pemecahan masalah siswa rendah. Adapun beberapa persoalan yang
dijadikan penulis sebagai ilustrasi pembelajaran matematika unrelasional
sebagai berikut:
3.3.1 Contoh Kasus 1 (Soal Matematika SD)
“Tentukan luas persegi panjang yang mempunyai ukuran panjang dan
lebar berturut-turut yaitu 15 dm dan 20 cm”.
Berdasarkan masalah ini jika siswa SD kelas 5-6 yang memiliki
pemahaman matematika secara instrumental maka siswa-siswa akan
memberikan penyelesain sebagai berikut:
Dik: p = 15 dm
L = 20 cm
Dit: L ?
Maka L = p x l
L = 15 dm x 20 cm
L = 300 dm^2 atau L = 300 cm^2
Siswa-siswa akan memberikan penyelesaian seperti di atas,
karena siswa hanya memahami dalam menetukan luas persegi panjang
1003
adalah panjang x lebar. Tentu, ini akan menjadi kesalahan fatal buat
siswa jika guru tidak memberikan pemahaman yang baik dalam
pebelajaran matematika.
Berbeda halnya dengan siswa yang memiliki pamahaman
relasional dan reflektif, siswa-siswa sebelum memberikan penyelesaian
masalah di atas. Terlebih dahulu siswa-siswa memperhatikan satuan dari
ukuran panjang dan lebar dari persegi panjang. Apakah satuan-satuan
dari ukuran-ukuran tersebut sudah setara atau belum. Jika belum maka
siswa-siswa tersebut menyetarakannya. Kegiatan proses berpikir siswa
seperti ini dinamakan pemahaman siswa secara relasional dan reflektif.
Misalnya:
Dik: p = 15 dm
l= 20 cm = 2 dm
Dit: L ?
Maka L = p x l
L = 15 dm x 2 dm
L = 30 dm^2
Jadi, Luas persegi panjang di atas adalah 30 dm^2. Artinya
terdapat perbedaan yang sangat signifikan dari dua pemahaman
penyelesaian siswa yang memahami matematika secara instrumental
dengan anak-anak yang memahami matematika secara relasional dan
reflektif.
3.3.2 Contoh Kasus 2 (Soal Matematika SMA)
“Menentukan banyak solusi bilangan nonnegatif yang memenuhi
persamaan linier yang terdiri atas dua variabel atau lebih dari sebuah
persamaan linier a+b+c=3”
Berdasarkan permasalahan di atas, jika siswa yang tidak mengerti
maksud permasalahan tersebut tentu akan mengalami kesulitan dalam
pemecahan masalah dan mengkomunikasikan penyelesaian dari
permasalah tersebut. Artinya siswa harus mengerti bilangan nonnegatif
itu apa dan siapakah anggota dari bilangan tersebut yang akan memenuhi
persamaan linier a + b + c = 3.
Jika siswa yang memiliki pemahaman instrumental, maka siswa
akan memberikan penyelesaian sebagai berikut:
Anggota bilangan a, b, c yang memenuhi adalah 0,1,2, dan 3.
Maka kemungkinan banyaknya solusi persamaan di atas sebagai berikut:
1004
a b c
0 0 3
0 3 0
3 0 0
1 2 0
1 0 2
0 1 2
0 2 1
2 1 0
2 0 1
1 1 1
Artinya terdapat 10 solusi berbeda yang memenuhi persamaan linier “ a
+ b + c = 3”.
Namun bagaimana dengan persamaan linier a + b + c = 12, tentu
ini akan jadi masalah buat siswa dalam menyelesaian persoalan
persamaan linier tersebut karena membutuhkan waktu yang lama dalam
memecahkan permasalahan. Maka di sinilah peran pemahaman siswa
secara relasional dan reflektif dibutuhkan guna dapat membantu anak
dalam mengkomunikasikan dan memberikan pemecahan masalah yang
mungkin rumit bagi siswa yang memahami permasalahan tersebut secara
instrumental. Maka kontribusi guru sangat penting dalam mengarahkan
siswa berpikir kritis dan kreatif dalam memahami matematika secara
relasional dan reflektif. Jika tidak, siswa akan kesulitan dalam
meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah dalam
matematika.
Dan ketika siswa-siswa mempunyai pemahaman relasional dan
relektif maka persoalan di atas akan dipandang sebagai bentuk
permasalahan kombinasi dari 5C2. Meninjau dari solusi yang diberikan
pada tabel di atas maka anak-anak yang memahami persamaan linier “ a
+ b + c = 3” secara instrumental akan kesulitan menemukan alasan
kenapa permasalahan persamaan tersebut bentuk lain dari permasalahan
kombinasi.masalah ini tentu akan mempengarahi kemapuan komunikasi
dan pemecahan masalah siswa.
Berbeda halnya dengan siswa yang mempunyai pemahaman
relasional dan reflektif. Maka siswa dapat menyatakan solusinya sebagai
berikut:
5C2 = 5!
3!2!= 10 cara. Begitu juga dengan persamaan linier a + b + c =
12, siswa dapat menentukan banyak solusi non negatif dari persamaan
tersebut yaitu:
14C2=14!
12!2!= 91 𝑐𝑎𝑟𝑎.
Dengan demikian siswa yang memiliki pemahaman relasional
dan reflektif jauh lebih baik kemampuannya dalam mengkomunikasikan
permasalahan dan memberikan pemecahan masalah pada matematika
sekolah dibandingkan siswa yang memiliki pemahaman instrumental
saja.
1005
4. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembahasan
permasalahan di atas yaitu pembelajaran matematika unrelasional sangat
berpengaruh terhadap rendahnya kemampuan komunikasi dan pemecahan
masalah siswa pada matematika. Pemahaman matematika unrelasional
mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam mengaitkan konsep
matematika yang satu dengan yang lainnya dalam membangun konsep-
konsep baru berdasarkan skema yang ada. Selain itu, siswa hanya memiliki
pemahaman instrumental saja tanpa dibarengi dengan pemahaman relasional
dan reflektif siswa. Akibatnya, siswa yang memiliki pemahaman relasional
dan reflektif terhadap permasalahan matematika jauh lebih baik dari pada
siswa yang hanya memiliki pemahaman instrumental saja.
Referensi
[1] BNSP, 2006, Draft Final Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMA dan Mts, Jakarta,
Badan Standar Nasional Pendidikan.
[2] Iswadi, H., 2017, Sekelumit Dari Hasil PISA 2015 yang Baru Dirilis,
Diunduh pada tanggal 9 Januari 2017,[online], www. Ubaya.ac.id.
[3] Ruseffendi, 2005, Dasar-Dasar Matematika Moderen dan Komputer
untuk Guru Edisi ke-5, Bandung, Tarsito.
[4] Shadiq, F., 2009, Kemahiran Matematika, PPPTK Matematika,
Yogyakarta.
[5] Skemp, R., 2009, The Psychology of Learning Mathematics Expanded
American Edition, Newyork and London, Rouledge Taylor and
Francis Group.
[6] Suyitno, A., 2004, Dasar-Dasar Proses Pembelajaran Matematika,
Semarang, Universitas Negeri Semarang.
1006
Prosiding SNM 207 Pendidikan, Hal 1006-1019
PENGGUNAAN SELF REGULATED LEARNING
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BELAJAR MANDIRI DAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI
MATEMATIKA SISWA
ERMA MONARISKA1
1 Universitas Suryakancana, [email protected]
Abstrak. Jurnal ini memaparkan hasil penelitian tentang penggunaan Self
Regulated Learning sebagai upaya meningkatkan kemampuan belajar mandiri dan
berpikir tingkat tinggi matematika siswa. Penelitian ini menggunakan metode
campuran (mixed method) tipe embedded dengan subjek kelas VIII SMPN X
Cikalongkulon. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan menganalisis
kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi matematika siswa dengan
penggunaan Self Regulated Learning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)
penggunaan Self Regulated Learning dapat meningkatkan kemampuan belajar
mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa, (2) kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penggunaan Self Regulated
Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa, (3)
kemampuan belajar mandiri siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
penggunaan Self Regulated Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa, (4) Kemampuan analisis siswa sudah cukup baik (5) Terdapat
asosiasi yang signifikan antara kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat
tinggi siswa.
Kata kunci: Self Regulated Learning, belajar mandiri, berpikir tingkat tinggi.
1. Pendahuluan
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, manusia dituntut memiliki
kemampuan dalam memperoleh, memilih, mengelola, dan menindaklanjuti
informasi-informasi yang ada untuk dimanfaatkan dalam kehidupan yang sarat
tantangan dan penuh kompetisi. Ini semua menuntut kita memiliki kemampuan
berpikir kritis, kreatif, logis, dan sistematis. Kemampuan ini dapat dikembangkan
melalui kegiatan pembelajaran matematika karena tujuan pembelajaran matematika
menurut Depdiknas [1] adalah : (1) melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik
kesimpulan, (2) mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi,
dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin
tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba, (3) mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah, dan (4) mengembangkan kemampuan
menyampaikan informasi dan mengkomunikasikan gagasan. Dengan demikian,
1007
matematika sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dasar, memainkan peranan
strategis dalam peningkatan kualitas SDM Indonesia.
Mengingat peranannya yang sangat sentral dalam proses peningkatan
kualitas SDM, maka upaya peningkatan kualitas pembelajaran matematika,
khususnya pada tingkat pendidikan dasar, memerlukan perhatian yang serius.
Upaya ini menjadi sangat penting mengingat beberapa
menunjukkan hasil yang memuaskan [2].
Berdasarkan hasil pengamatan mengajar, selama ini proses pembelajaran
matematika masih menggunakan paradigma lama, guru masih menjadi trade center
yang memberikan pengetahuan kepada siswa, sehingga siswa tidak terbiasa dalam
membangun pengetahuannya sendiri secara aktif. Kondisi seperti ini, nyatanya
belum dapat meningkatkan kemampuan siswa khususnya pada mata pelajaran
matematika. Akibatnya, hasil akhir yang diperoleh siswa tidak sesuai dengan yang
diharapkan, bahkan nilai rata-ratanya berada dibawah KKM yang sudah ditetapkan.
Hasil survey yang dilakukan peneliti di SMPN X Cikalongkulon, siswa pada
umumnya banyak mengalami kesulitan pada pokok bahasan lingkaran, mengingat
pokok bahasan lingkaran merupakan pokok bahasan bidang geometri yang
penyelesaian permasalahannya membutuhkan tingkat kemampuan berpikir yang
tinggi, observasi awal peneliti terkait keadaan tersebut ditunjukkan dengan data rata-
rata nilai untuk pokok bahasan lingkaran di SMPN X Cikalongkulon seperti yang
tersaji dalam tabel 1 berikut :
Tabel 1 : Rata-rata Hasil Belajar Matematika Kelas VIII pada Pokok Bahasan
Lingkaran
Hasil survey yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa rendahnya hasil belajar
matematika siswa SMPN X Cikalongkulon tersebut disebabkan karena kurangnya
kemandirian belajar siswa dan rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematika siswa. Selama proses pembelajaran siswa tidak terbiasa untuk mencari
penyelesaian masalahnya sendiri, tidak mau bertanya dan cenderung bergantung
pada guru. Menyikapi keadaan tersebut, cara yang harus dilakukan adalah sejauh
mana kita membiarkan siswa berkembang sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
Siswa dituntut mampu menyelesaikan masalah sendiri dan mampu merangsang
keinginannya sendiri untuk bertindak apa yang harus dan seharusnya dilakukan.
Untuk itu siswa harus memiliki kemandirian yang muncul dari diri sendiri,
keinginan, dan motivasi siswa sendiri sehingga siswa tidak bergantung pada yang
lain dan tidak merasa dipaksa. Dengan demikian, diharapkan siswa menjadi sangat
aktif dan bersemangat untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran
sehingga setiap kegiatan dilakukan dengan keinginan untuk berkembang. Hal ini
No Tahun Jumlah Siswa KKM Rata-rata Jumlah Siswa Tuntas
(KKM ≥70)
Persentase
Ketuntasan
1 2010/2011 35 68 65.6 6 orang 17.14%
2 2011/2012 36 69 62.4 5 orang 13.89%
3 2012/2013 38 70 67.5 6 orang 15.79%
1008
sesuai dengan pendapat Sumarmo [8] bahwa kemandirian merupakan faktor yang
sangat diperlukan dalam memperbaharui keakftifan siswa. Kemandirian dapat
merangsang semangat dan keaktifan siswa dalam belajar. Dengan semangat
kemandirian yang tumbuh dari dalam diri siswa, tidak menutup kemungkinan akan
munculnya kemampuan berpikir tingkat tinggi dan hasil belajar yang baik. Apabila
siswa sudah merasa nyaman dan menyenangkan secara pribadi, siswa akan terdorong
untuk memperbaharui hasil belajarnya, dari perubahan pola kemandirian belajar
tersebut. Hal ini menjadi sangat penting mengingat bahwa salah satu karakteristik
matematika adalah memiliki objek kajian yang bersifat abstrak [7], sehingga untuk
mempelajari dan memahami matematika bukan hal yang mudah. Oleh karena itu,
dibutuhkan upaya siswa untuk mempelajari dan memahami pelajaran matematika
secara intensif sehingga pencapaian prestasi matematika siswa bisa optimal. Upaya
belajar yang dibutuhkan oleh siswa dalam mempelajari dan memahami matematika
itu adalah dengan belajar berdasarkan Self-Regulated Learning. Self-Regulated
Learning adalah upaya mengatur diri dalam belajar dengan mengikutsertakan
kemampuan metakognisis, motivasi dan perilaku aktif [9]. Siswa yang memiliki
Self-Regulated Learning akan secara aktif dalam melakukan aktifitas belajarnya [5].
Jadi, jika dirasakan siswa bahwa suatu pelajaran atau pembahasan pelajaran tidak
dimengerti oleh siswa, maka siswa akan lebih aktif untuk dapat mempelajarinya.
Seperti membuat perencanaan apa yang akan dipelajari lagi, melakukan pemantauan
terhadap hasil belajarnya, mengevaluasi hasil belajar yang diperoleh, mengulang,
mengorganisasi belajarnya, berusaha untuk mencapai prestasi yang optimal, dan
termasuk mencari bantuan pada teman, guru atau orang yang dianggap lebih
mengerti.
Penggunaan Self-Regulated Learning sebagai suatu bentuk upaya siswa
dalam memotivasi diri untuk dapat mencapai hasil yang optimal dalam belajar. Jadi
dapat dikatakan bahwa semakin baik Self-Regulated Learning, maka akan semakin
baik hasil prestasi yang dapat dicapai. Sebaliknya, jika siswa memiliki Self-
Regulated Learning yang rendah, maka kurang dapat melakukan perencanaan,
pemantauan, evaluasi pembelajaran dengan baik, kurang mampu melakukan
pengelolaan potensi dan sumber daya yang baik dan sebagainya, sehingga hasil dari
belajarnya tidak optimal, sesuai dengan potensi diri yang dimilikinya. Hal tersebut
didukung oleh hasil penelitian Marlia [3] menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh
atau peran belajar berdasarkan regulasi diri (Self-Regulated Learning) terhadap
prestasi belajar matematika siswa.
Berdasarkan penjelasan di atas banyak memberikan masukan dan
melatarbelakangi penelitian ini, oleh karena itu peneliti ingin mengetahui bagaimana
penggunaan Self Regulated Learning sebagai upaya meningkatkan kemampuan
belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan komponen-
komponen pembelajaran agar dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri dan
berpikir tingkat tinggi siswa SMP, yaitu 1) Menelaah dan menganalisis kemampuan
belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa dengan penggunaan Self Regulated
Learning, dan 2) Mendeskripsikan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat
1009
tinggi siswa antara yang menggunakan Self Regulated Learning dan siswa yang yang
pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa.
Penelitian ini bermaksud melihat hubungan sebab-akibat antara
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Self Regulated Learning dengan
peningkatan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi matematika
siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri X Cikalongkulon. Penelitian ini juga
bermaksud memeriksa asosiasi antara belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi
siswa. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN X Cikalongkulon
dengan mengambil dua kelas sebagai sampel, satu kelas sebagai kelas kontrol dan
satu lagi sebagai kelas eksperimen.
Penelitian ini mengembangkan dua macam instrumen penelitian yaitu tes
dan non tes. Tes berupa tes kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika yang
mengukur kemampuan analisis, evaluasi dan mengkreasi yang disusun dalam
bentuk uraian, dan non tes berupa skala belajar mandiri model Likert, dan observasi.
Estimasi kelayakan butir berpedoman pada Suherman dan Sukjaya [6]. Analisis
data yang dilakukan terhadap hasil penelitian ini adalah analisis terhadap data nilai
tes kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa tiap siklus, data nilai tes
kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa (pretest -postest), data hasil
skala belajar mandiri siswa, keterkaitan tes akhir kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematika dengan kemampuan belajar mandiri siswa, dan analisis kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa dengan Self Regulated Learning.
2. Hasil – Hasil Utama
Berdasarkan analisis data yang dilakukan terhadap hasil tes awal dan tes
akhir serta skala sikap siswa maka diperoleh hasil sebagai berikut.
1. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
Penggunaan Self Regulated Learning dapat meningkatkan dan melatih
kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa.
Tabel 2 : Rekapitulasi Hasil Tes
Nilai Tes Awal Siklus I Siklus II Siklus III Siklus IV Tes Akhir I Tes Akhir
II
x min 11 45 47 50 40 40 50
X 33.79 70.00 71.51 72.69 70.51 64.15 76.28
S 13.635 13.179 12.894 13.320 13.790 13.852 13.314
X maks 60 95 93 100 93 89 100
Nilai Ideal 100 100 100 100 100 100 100
Daya Serap Klasikal (DSK)
0% 71.79% 71.79% 74.36% 66.67% 38.46% 79.49%
Rekapitulasi hasil tes pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa
pada tes akhir I sebesar 64.15 menginterpretasikan bahwa kemampuan berpikir
tingkat tinggi matematika sudah cukup baik meskipun mengalami penurunan sebesar
3.35 dari tahun sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena soal yang dipergunakan
1010
berbeda dengan soal pada tahun sebelumnya. Soal tes yang dipergunakan untuk
penelitian adalah soal tes untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi
sedangkan soal yang dipergunakan pada tahun sebelumnya adalah soal biasa yaitu
soal yang tidak mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi. Oleh karena itu, untuk
mempertegas hasil penelitian agar tidak sekedar menduga-duga peneliti memberikan
tes akhir II sebagai perbandingan dan pertimbangan, tes akhir II ini berupa tes yang
sama dengan tahun sebelumnya yaitu tes yang tidak mengukur kemampuan berpikir
tingkat tinggi sehingga soalnya pun bukan soal berpikir tingkat tinggi. Berdasarkan
hasil tes akhir II diperoleh nilai maksimum 100, nilai minimum 50, dan rata-rata
76.28 yang tergolong kategori baik. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan
matematika siswa pada materi pokok lingkaran mengalami peningkatan
dibandingkan tahun sebelumnya.
Nilai rata-rata siswa pada siklus I, II, III, dan IV secara umum mengalami
kenaikan walaupun ada rata-rata nilai yang mengalami penurunan. Berdasarkan data
dan hasil observasi di lapangan, materi pada siklus I relatif lebih mudah karena
sifatnya teori, namun mulai dari siklus II sampai IV, materinya semakin sulit karena
melibatkan perhitungan dan ketepatan konsep, apalagi materi pada siklus IV, selain
melibatkan perhitungan dan ketepatan konsep juga berhubungan dengan materi-
materi lain diluar pokok materi inti seperti melibatkan konsep bangun datar dan
sudut. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, penurunan pada tes akhir I
kemampuan berpikir tingkat tinggi terjadi karena materinya mencakup materi yang
cukup luas untuk keseluruhan siklus. Sementara, materi untuk tes pada setiap siklus
cukup singkat, sedikit, dan tidak terlalu luas sehingga nilainya pun lebih baik
dibandingkan nilai tes akhir I.
Tabel 3 : Perbandingan Pencapaian Nilai Tes dari Tes Kemampuan Setiap Siklus
sampai Tes Akhir Seluruh Siklus
Nilai Kriteria Siklus I Siklus II Siklus III Siklus IV Tes Akhir I Tes Akhir II
N % N % N % N % N % N %
80%≤ N ≤ 100% Sangat
Baik 11 28.20 12 30.77 16 41.03 12 30.77 7 17.95 15 38.46
70% ≤ N < 80% Baik 15 38.46 16 41.02 11 28.20 12 30.77 6 15.38 16 41.03
60% ≤ N < 70% Cukup 4 10.26 4 10.26 5 12.82 8 20.51 11 28.21 6 15.38
0% ≤ N < 60% Kurang 9 23.08 7 17.95 7 17.95 7 17.95 15 38.46 2 5.13
Memperhatikan pencapaian nilai tes siklus I, II, III, IV, dan tes akhir seluruh
siklus, terdapat peningkatan jumlah siswa yang tuntas menurut Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM). Berdasarkan tes yang diperoleh, daya serap klasikal tes awal
sebesar 0%, tes siklus I sebesar 71.79%, tes siklus II sebesar 71.79%, tes siklus III
sebesar 74.36%, tes siklus IV sebesar 66.67%, tes akhir I sebesar 38.46%, dan daya
serap klasikal tes akhir II sebesar 79.49%. Secara umum persentase ketuntasan siswa
mengalami kenaikan walaupun persentase ketuntasan siswa di tes akhir I menurun.
2. Analisis Pretes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
Dengan menggunakan Uji Shapiro-Wilk dan Uji Levene’s diinterpretasikan
bahwa data tes kemampuan berpikir tingkat tinggi berdistribusi normal dan homogen
Selanjutnya dengan uji-t, diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan
1011
awal berpikir tingkat tinggi matematika siswa kelas eksperimen dengan kelas
kontrol.
Tabel 4 : Uji Normalitas dan Homogenitas Pretes Kemampuan Berpikir Tingkat
Tinggi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelas Shapiro-Wilk Ho Interpretasi Levene’s Sig (p) Ho Interpretasi
Eksperimen 0.256 Diterima Normal 0.735 Diterima Homogen
Kontrol 0.206 Diterima Normal
Tabel 5 : Uji Perbedaan Dua Rerata Data Pretes
Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. T df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
Pretes Equal variances assumed .116 .735 .078 76 .938 .231 2.976
Equal variances not assumed
.078 75.557 .938 .231 2.976
3. Analisis Postes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
Dengan menggunakan Uji Shapiro-Wilk dan Uji Levene’s diinterpretasikan
bahwa data tes kemampuan berpikir tingkat tinggi (postes) berdistribusi normal dan
homogen (Tabel 6). Selanjutnya dengan uji-t, diperoleh bahwa kemampuan berpikir
tingkat tinggi matematika siswa yang belajarnya memperoleh pembelajaran dengan
penggunaan self regulated learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan biasa.
Tabel 6 : Uji Normalitas dan Homogenitas Postes Kemampuan Berpikir Tingkat
Tinggi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelas Shapiro-Wilk Ho Interpretasi Levene’s Sig (p) Ho Interpretasi
Eksperimen 0.297 Diterima Normal 0.522 Diterima Homogen
Kontrol 0.342 Diterima Normal
Tabel 7 : Uji Perbedaan Dua Rerata Data Postes
Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. T Df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
Postes Equal variances assumed .413 .522 3.926 76 .000 12.026 3.063
Equal variances not assumed
3.926 75.818 .000 12.026 3.063
1012
4. Analisis Data Hasil Skala Belajar Mandiri
Data skala sikap yang telah terkumpul, dihitung dan ditabulasikan serta
dihitung rata-rata modus/median seluruh jawaban. Data yang diperoleh adalah skala
belajar mandiri dalam hal ketidaktergantungan terhadap orang lain, memiliki
kepercayaan diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku
berdasarkan inisiatif sendiri, dan memiliki kontrol diri.
Tabel 8 : Kemampuan Belajar Mandiri Kelas Eksperimen
No Waktu Pelaksanaan Modus/ Median Banyaknya Siswa (%)
1 Sebelum pembelajaran 2 60.9
2 Setelah Pembelajaran 4 62.6
Berdasarkan data hasil skala belajar mandiri siswa, bahwa sebagian besar
siswa kelas eksperimen menunjukkan kemampuan belajar mandiri yang rendah
dalam matematika sebelum pembelajaran dan sebagian besar siswa menunjukkan
kemampuan belajar mandiri yang tinggi setelah pembelajaran. Ini berarti telah terjadi
peningkatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan Self Regulated
Learning dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri siswa.
Tabel 9 : Perbandingan Kemampuan Belajar Mandiri Kelas Eksperimen dan Kelas
kontrol Setelah Pembelajaran
No Kelas Modus/ Median Banyaknya Siswa (%)
1 Eksperimen 4 65.4
2 Kontrol 3 58.4
Berdasarkan data pada tabel 9, bahwa sebagian besar siswa kelas eksperimen
menunjukkan kemampuan belajar mandiri yang tinggi, sedangkan sebagian besar
siswa kelas kontrol menunjukkan kemampuan belajar mandiri yang sedang. Ini
berarti bahwa kemampuan belajar mandiri siswa yang dalam pembelajarannya
menggunakan Self Regulated Learning lebih baik daripada siswa yang dalam
pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa.
5. Uji Keterkaitan Tes Akhir dengan Skala Belajar Mandiri Siswa
Uji keterkaitan digunakan untuk mengetahui apakah ada keterkaitan yang
signifikan antara dua variabel yaitu kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika
dengan belajar mandiri siswa pada penggunaan Self Regulated Learning. Oleh
karena itu, data yang diolah adalah data hasil tes akhir siswa kelas eksperimen yang
dalam pembelajarannya menggunakan Self Regulated Learning untuk selanjutnya
diasosiasikan dengan hasil skala belajar mandiri siswa.
1013
Tabel 10 : Korelasi Nilai Tes Akhir (Postes) dan Belajar Mandiri Siswa
Nilai_Postes Nilai_Sikap
Nilai_Postes Pearson Correlation 1 .921**
Sig. (2-tailed) .000
N 39 39
Nilai_Sikap Pearson Correlation .921** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 39 39
**Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Dari Tabel 10, diperoleh nilai probabilitas signifikansi (2-tailed) sebesar
0.000. Oleh karena nilai probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak atau terdapat asosiasi
yang signifikan antara kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika dengan
belajar mandiri siswa pada pembelajaran dengan penggunaan Self Regulated
Learning.
6. Analisis Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen
Data hasil tes kemampuan berpikir tingkat tinggi dianalisis untuk kemudian
dikonversikan ke dalam data kualitatif untuk menentukan kategori tingkat
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Tabel 11 : Distribusi Nilai Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa
Interval Nilai Frekuensi Persentase (%) Kategori
81 – 100 5 12.82 Sangat Baik
61 – 80 17 43.59 Baik
41 – 60 16 41.03 Cukup
21 – 40 1 2.56 Kurang
0 – 20 0 0 Sangat Kurang
Jumlah 39 100
Rata-rata Baik
Dari hasil analisis data tes untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat
tinggi pada tabel 11, diketahui bahwa 5 siswa (12.82%) yang termasuk dalam
kategori memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi sangat baik, dan ada 17 siswa
(43.59%) yang termasuk kategori memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi
dengan kategori baik. Ini berarti secara keseluruhan ada 22 siswa (56.41%) dari 39
siswa yang telah memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan kategori baik.
Pembahasan
1. Self Regulated Learning
Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan Self Regulated Learning
dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa.
Hal ini ditinjau dari rerata nilai siswa, daya serap klasikal dan jumlah siswa pada tes
akhir yang mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya.
1014
2. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa
Kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang
pembelajarannya menggunakan Self Regulated Learning lebih baik daripada
kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang pembelajarannya
menggunakan pembelajaran biasa. Hal ini dimungkinkan karena pembelajaran telah
merubah paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru kepada pembelajaran
yang menekankan pada keaktifan siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dengan
caranya sendiri.
3. Kemampuan Belajar Mandiri Siswa
Berdasarkan hasil angket belajar mandiri siswa dalam hal ketidaktergantung
terhadap orang lain, memiliki kepercayaan diri, berperilaku disiplin, memiliki
rasa tanggung jawab,
berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri, dan memiliki kontrol diri, kemampuan
belajar mandiri siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional menunjukkan
kemampuan belajar mandiri yang sedang/ cukup, sedangkan kemampuan belajar
mandiri siswa yang pembelajarannya menggunakan Self Regulated Learning
menunjukkan kemampuan belajar mandiri yang tinggi. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa kemampuan belajar mandiri siswa yang dalam pembelajarannya
menggunakan Self Regulated Learning lebih baik daripada siswa yang dalam
pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional.
4. Analisis Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa
Dari hasil tes kemampuan berfikir tingkat tinggi, diketahui bahwa
kemampuan analisis sudah cukup baik, sebagian besar siswa sudah mampu
menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan
informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali
pola atau hubungannya, mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan
akibat dari sebuah skenario yang rumit, dan telah mampu mengidentifikasi/
merumuskan pertanyaan.
Kemampuan siswa dalam mengevaluasi dalam kategori baik. Siswa telah
mampu memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan
menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan
nilai efektivitas atau manfaatnya. Siswa juga telah mampu membuat hipotesis,
mengkritik dan melakukan pengujian walaupun dengan cara pengujian dengan
memasukkan beberapa variabel uji.
Soal yang diberikan juga berhasil menimbulkan kemampuan mengkreasi
dengan cara membuat beberapa strategi dalam menyelesaikan masalah. Siswa dapat
membuat generalisasi suatu idea atau cara pandang terhadap sesuatu, merancang
suatu cara untuk menyelesaikan masalah dan mengorganisasi unsur-unsur atau
bagian-bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Berikut adalah beberapa soal dan jawaban siswa.
1015
Soal 1:
Lantai sebuah stadion olahraga dapat disusun bagian demi
bagian dan membentuk sebuah arena pertandingan seperti
gambar disamping ini. Tentukan luas arena tersebut.
Jawaban siswa :
Gambar 1 : Hasil Jawaban Siswa
Dari berbagai jawaban siswa pada soal 1 terlihat bahwa siswa telah mampu
menganalisis dan mengembangkan strategi untuk menemukan pola dan menemukan
rumus.
Soal 2:
Perbandingan jari-jari dua buah lingkaran adalah x : y. Tentukan perbandingan luas
kedua lingkaran tersebut. Dapatkah kamu menuliskan perbandingan tersebut dengan
kata-katamu?
Soal 3:
Gambarlah lingkaran dengan pusat A dan jari-jari 2 cm! Gambarlah lingkaran
lain dengan pusat A dan jari-jari 4 cm! Jika jari-jari lingkaran diperbesar dua kali,
apakah ukuran sudut BAC berubah?
Jawaban siswa
75 m
125 m
75 m
125 m
1016
Jawaban siswa
Gambar 2 : Hasil Jawaban Siswa
Gambar 3 : Hasil Jawaban Siswa
1017
Dari jawaban siswa untuk menyelesaikan soal 2 dan soal 3 diatas diketahui
bahwa siswa telah mampu mengevaluasi suatu pernyataan dengan memberikan
sebuah argumen. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan
menggeneralisasi rumus juga terlihat dalam beberapa contoh yang dikreasi siswa
pada soal 4 berikut ini.
Soal 4:
Ani akan membuat 2 model cincin yang dibuat dari kawat yang panjangnya 1 m.
Model cincin pertama jari-jarinya 35 mm dan model cincin kedua jari-jarinya 28
mm. Berapakah Ani akan mendapat model cincin pertama dan kedua dengan sisa
potongan kawat sedikit mungkin?
Beberapa strategi yang digunakan siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah
sebagai berikut
Gambar 4 : Hasil Jawaban Siswa
5. Asosiasi belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi
Hasil uji asosiasi menunjukkan bahwa terdapat asosiasi yang signifikan
antara kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika dengan kemampuan belajar
mandiri siswa pada pembelajaran dengan menggunakan Self Regulated Learning.
Dengan kata lain, hasil uji asosiasi ini bersifat dependen, tidak bebas dan saling
mempengaruhi. Temuan ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi [4] yang
mengatakan bahwa sikap (dalam hal ini mengenai belajar mandiri) diperkirakan
1018
berkorelasi positif dengan variabel- variabel lain, misalnya dengan prestasi belajar.
Dalam hal ini kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika.
Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa pembelajaran dengan
pendekatan Self Regulated Learning dapat memberikan sumbangan terhadap
kemampuan berfikir tingkat tinggi matematika siswa dibandingkan dengan
pembelajaran dengan pendekatan biasa. Berdasarkan hasil analisis data skala belajar
mandiri siswa, penerapan pembelajaran dengan pendekatan Self Regulated Learning
juga dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri siswa dalam hal
ketidaktergantung terhadap orang lain, percaya dengan kemampuannya sendiri,
berperilaku lebih
disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri, dan
memiliki kontrol diri. Penerapan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
Self Regulated Learning juga dapat mendukung peranan matematika sebagai wahana
untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika dan mampu
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
3. Kesimpulan
1. Penggunaan Self Regulated Learning dapat meningkatkan kemampuan belajar
mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa.
2. Kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan penggunaan Self Regulated Learning lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran biasa.
3. Kemampuan belajar mandiri siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
penggunaan Self Regulated Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pembelajaran biasa.
4. Pembelajaran menggunakan Self Regulated Learning membantu siswa dalam
melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika
siswa dalam menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi. Kemampuan analisis
sudah cukup baik, sebagian besar siswa sudah mampu menganalisis informasi
yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian
yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, mampu mengenali
serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit,
dan telah mampu mengidentifikasi/ merumuskan pertanyaan. Kemampuan siswa
dalam mengevaluasi dalam kategori baik. Siswa telah mampu memberikan
penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan
kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai
efektivitas atau manfaatnya. Siswa juga telah mampu membuat hipotesis,
mengkritik dan melakukan pengujian walaupun dengan cara pengujian dengan
memasukkan beberapa variabel uji. Soal yang diberikan juga berhasil
menimbulkan kemampuan mengkreasi dengan cara membuat beberapa strategi
dalam menyelesaikan masalah. Siswa dapat membuat generalisasi suatu idea atau
cara pandang terhadap sesuatu, merancang suatu cara untuk menyelesaikan
masalah dan mengorganisasi unsur-unsur atau bagian-bagian menjadi struktur
baru yang belum pernah ada sebelumnya.
5. Terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematika dengan belajar mandiri siswa pada pembelajaran dengan penggunaan
Self Regulated Learning.
1019
Referensi
[1] Depdiknas, 2004, Kurikulum Mata Pelajaran Matematika SMP, Jakarta,
Depdiknas.
[2] Djazuli, A., 1999, Kebijakan Strategi Konwil Jawa Barat dalam Upaya
Meningkatkan Kualitas Guru Matematika, Makalah Disajikan dalam Seminar
dan Lokakarya Nasional Kurikulum dan Pembelajaran Matematika, FPMIPA
IKIP Bandung, 6-7 Agustus.
[3] Marlia, 2005, Pengaruh Self Regulated Learning Terhadap Hasil Belajar
Matematika Siswa, Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Gajah Mada,
Yogjakarta.
[4] Ruseffendi, E.T., 2005, Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan non Bidang non
Eksakta Lainnya, Semarang, Tarsito.
[5] Schunk, D. H., 1989, Social Cognitive Theory and Self Regulated Learning, In
B. J. Zimmerman & D. H. Schunk (Eds), Self-Regulated Learning and
Academic Achievement : Theory, research, and practise (pp.83-110), New
York, Springer-Verl
[6] Suherman dan Sukjaya, 1990, Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi
Matematika, Bandung, Wijaya Kusuma.
[7] Sumardyono, 2004, Karakteristik Matematika dan Implementasinya Terhadap
Pembelajaran Matematika, Yogyakarta, Depdiknas.
[8] Sumarmo, U., 2004, Kemandirian Belajar : Apa, Mengapa dan Bagaimana
Dikembangkan pada Peserta Didik, Disampaikan pada Seminar Tanggal 8 Juli
2004 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.
6. Zimmerman, B. J., 1989, Models of self-regulated learning and academic
achievement. In B. J. Zimmerman & D. H. Schunk (Eds), Self-Regulated
Learning and Academic Achievement : Theory, research, and practise (pp.1-25),
New York, Springer-Verlag.
1020
Prosiding SNM 2017 Pendidkan , Hal 1020 -1023
DESAIN PEMBELAJARAN ASPEK PERKEMBANGAN
KOGNITIF PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DENGAN
MENGGUNAKAN PERMAINAN DI TK BINAMA
GLOBAL SCHOOL
ROSMALIA SEPTIANA1, RATU ILMA INDRA PUTRI2, DAN
YUSUF HARTONO3
1 FKIP UNSRI, [email protected]
2 FKIP UNSRI, [email protected]
3FKIP UNSRI, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan lintasan belajar anak usia dini
yang dapat membantu siswa mengembangkan aspek kognitif melalui permainan.
Metode yang digunakan adalah Design Research yang terdiri dari tiga tahap, yaitu :
desain pendahuluan (preliminary design), desain percobaan mengajar (pilot experiment
dan teaching experiment), dan analisis retrospektif. Dalam penelitian ini, serangkaian
aktivitas pembelajaran didesain dan dikembangkan berdasarkan pendekatan PMRI.
Penelitian ini melibatkan anak usia dini dengan rentang usia 4 – 5 tahun di TK Binama
Global School. Penelitian ini menghasilkan Learning Trajectory yang memuat
serangkaian proses pembelajaran anak usia dini dalam mengembangkan aspek kognitif.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan permainan
dengan pendekatan PMRI dapat membantu siswa mengembangkan aspek kognitif yang
bermanfaat di kehidupan sehari – hari siswa.
Kata kunci: Design research, PMRI, Permainan, PAUD, Kognitif.
1. Pendahuluan
Anak usia dini adalah individu yang unik dan memiliki karakteristik
tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Usia dini (0 – 6 tahun) merupakan masa
keemasan dimana stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk
perkembangan anak. Secara garis besar, Piaget [5], mengelompokkan menjadi
empat tahap kematangan kognitif pada anak, yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun),
tahap praoperasi (2-7 tahun), tahap operasi konkret (7-11 tahun) dan tahap operasi
formal (11 tahun - dewasa).
Tahap sensorimotor lebih ditandai dengan pemikiran anak berdasarkan
tindakan inderawi. Tahap praoperasi diwarnai dengan mulai digunakannya simbol-
simbol untuk menghadirkan suatu benda atau pemikiran khususnya penggunaan
bahasa. Tahap operasi konkret ditandai dengan penggunaan aturan logis dan jelas.
Tahap operasi formal dicirikan dengan pemikiran abstrak, hipotesis, deduktif serta
induktif. Tahap-tahap tersebut saling berkaitan. Urutan tahap-tahap tidak dapat
ditukar atau dibalik, karena tahap sesudahnya mengandaikan terbentuknya tahap
sebelumnya.
1021
Anak usia dini berada pada tahap operasi praoperasi, pada tahap ini anak
usia dini diharapkan untuk dapat berkembang dengan baik di segala aspek
perkembangan yaitu perkembangan moral dan nilai – nilai agama, sosial dan
emosional, bahasa, kognitif, seni dan fisik motorik. Untuk mendukung
perkembangan anak secara optimal diperlukan stimulan yang tepat.
Salah satu aspek perkembangan pada anak usia dini adalah aspek
perkembangan kognitif. Dalam aspek kognitif, terdapat beberapa perkembangan
dasar, diantaranya adalah :
1. Dapat mengenal bilangan
2. Dapat mengenal bentuk geometri
3. Dapat memecahkan masalah sederhana
4. Dapat mengenal konsep ruang dan posisi
5. Dapat mengenal ukuran
6. Dapat mengenal konsep waktu
7. Dapat mengenal berbagai pola
Perkembangan dasar di atas dapat dikategorikan dalam pembelajaran matematika
pada anak usia dini.
Pembelajaran matematika pada anak usia dini masih belum menunjukkan
perkembangan yang signifikan, menurut Nunes & Bryan [3], terdapat fenomena
anak yang memiliki kemampuan matematika yang bagus di kelas tetapi buruk di
kehidupan sehari – hari. Matematika akan menarik minat anak usia dini jika anak
usia dini menyadari pentingnya matematika sebagai penyelesaian masalah dalam
kehidupan sehari – hari.
Freudental menyatakan bahwa “Mathematics is a human activity” [6], oleh
karena itu matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia. Belajar
matematika adalah sebagai proses di mana matematika ditemukan dan dibangun oleh
manusia, sehingga di dalam pembelajaran matematika harus lebih dibangun oleh
siswa daripada diberikan oleh guru. Berdasarkan penelitian Papadakis [3],
menyatakan bahwa teknik mengajar yang menggunakan pendekatan PMRI
memberikan hasil yang signifikan terhadap perkembangan kompetensi matematika
pada anak usia dini.
Menurut Mayke [4] belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada
anak untuk memanipulasi, mengulang – ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi,
mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam - macam konsep serta pengertian
yang tidak terhitung banyaknya. Di sinilah proses pembelajaran terjadi. Anak – anak
mengambil keputusan sendiri, memilih, menentukan, mencipta, memasang,
membongkar, mengembalikan, mencoba, mengeluarkan pendapat, memecahkan
masalah, mengerjakan secara tuntas, bekerja sama dengan teman, dan mengalami
berbagai perasaan. Dengan bermain sambil belajar di dalam kelas, diharapkan dapat
membantu siswa dalam belajar melalui aktivitas siswa sehari – hari
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan strategi peserta didik usia dini dalam mengembangkan aspek
kognitif dan menghasilkan lintasan belajar peserta didik dalam pembelajaran aspek
kognitif.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian design research [1], yang
mendesain materi pembelajaran aspek perkembangan kognitif dengan pendekatan
PMRI menggunakan permainan untuk anak usia dini dengan rentang usia 4-5 tahun.
Desain pembelajaran yang dilakukan dengan mendesain dan melalui tiga tahap, yaitu
Preliminary Design, Teaching Experiment, Retrospective Analysis. Namun,
penelitian ini hanya akan sampai tahap Preliminary Design
1022
2. Hasil – Hasil Utama
Penelitian ini diadakan di TK Binama Global School Palembang. Subjek
pada penelitian ini adalah anak usia dini dengan rentang usia 4 – 5 tahun. Materi pembelajaran yang didesain pada penelitian ini adalah mengenal ukuran. Mengenal ukuran adalah salah satu dari perkembangan dasar di aspek kognitif anak usia 4 – 5 tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi peserta didik dan menghasilkan lintasan belajar peserta didik dalam pembelajaran aspek kognitif.
Pada tahap Preliminary Design, peneliti mendesain rencana pembelajaran, hypothetical learning trajectory (HLT), dan aktivitas yang akan diuji cobakan ke beberapa siswa yang bukan subjek penelitian. Rencana pembelajaran didiskusikan dengan guru kelas yang akan menjadi model dari subjek aktivitas. Dari guru tersebut didapat saran untuk perbaikan aktivitas siswa seperti pada tabel di bawah
Tabel 1 Saran guru model
RPP yang divalidasi guru model Saran guru model
Pada saat membandingkan isi air, anak maju satu per satu untuk melihat lebih jelas.
Guru model membaca rencana pembelajaran dan setuju dengan aktivitas yang diadakan sudah sesuai dengan karakteristik siswa.
Kegiatan selanjutnya pada tahap ini yaitu mengujicobakan ke beberapa
siswa yang bukan subjek penelitian. Aktivitas pertama adalah siswa dapat menentukan perbandingan isi dari suatu benda. Kegiatan ini dimulai dengan guru yang mengeksplor pengetahuan siswa dengan mengenalkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam kegiatan ini, yaitu botol, gelas ukur, dan air. Siswa sangat antusias menyimak penjelasan guru dan menjawab beberapa pertanyaan guru tentang bahan – bahan yang akan digunakan dalam pembelajaran kali ini.
Gambar 1 Bahan Percobaan
Gambar 2 Aktivitas Siswa
1023
Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan, siswa terlihat antusias untuk melakukan aktivitas ini, siswa juga penasaran ingin mencoba menuangkan air. Hasil dari percobaan kali ini menunjukkan bahwa anak usia 2 - 7 tahun masih pada tahap praoperasional, anak-anak dapat memikirkan objek dan peristiwa yang berada di luar jangkauan pandangan langsung mereka. Namun, belum mampu melakukan penalaran logis seperti orang dewasa. Hal ini ditunjukkan sesuai jawaban siswa yang menyatakan bahwa air di botol yang kecil memiliki isi air lebih banyak daripada botol yang besar. Hal ini mencerminkan bahwa siswa masih memiliki kurangnya konservasi, karena siswa tidak menyadari bahwa tidak ada air yang ditambah maupun dikurang [2].
3. Kesimpulan
Penelitian ini telah sampai pada tahap Pilot Experiment (Teaching
Experiment). Aktivitas ini menarik untuk siswa, tetapi masih diperlukan beberapa
pertanyaan lagi agar siswa dapat menjawab pertanyaan guru yang mengarahkan
siswa untuk dapat membandingkan ukuran. Aktivitas pada tahap ini masih perlu
untuk direvisi untuk digunakan pada tahap selanjutnya.
Pernyataan terima kasih. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Binama
Global School yang telah mengizinkan penelitian ini dan semua pihak yang terlibat
dalam penelitian ini.
Referensi
[1] Akker,et al., 2006, Education Design Research, Routledge Taylor and Francis Group.
[2] Ormrod, Jeanne Ellis., 2009, Psikologi Pendidikan; Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang, Erlangga.
[3] Papadakis, S., Kalogiannakis, M., & Zaranis, N., 2016, Improving Mathematics
Teaching in Kindergarten with Realistic Mathematical Education, Early Childhood
Educ J, Springer.
[4] Sudono, Anggani., 2004, Sumber Belajar dan Alat Permainan (Untuk Pendidikan Anak
Usia Dini), Grasindo.
[5] Suhendi, A., dkk., 2001, Mainan dan Permainan, PT.Gramedia.
[6] Zulkardi., 2002, Developing A Learning Environment on Realistik Mathematics
Education for Indonesian Student Teachers, Twente University.
1024
Prosiding SNM 2017 Pendidikan , Hal 1024 -1034
PENGARUH PENGETAHUAN MATEMATIKA UNTUK
MENGAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA
SUGILAR
Program Sudi Pendidikan Matematika, Universitas Terbuka, [email protected]
Abstrak. Tujuan penelitian ini ialah menguji hipotesis bahwa pengetahuan
matematika untuk mengajar yang dimiliki guru, yang terdiri dari (1)
pengetahuan matematika umum (common mathematical knowledge), (2)
pengetahuan matematika wawasan (horizon mathematical knowledge), dan (3)
pengetahuan matematika khusus (speialized mathematical knowledge),
berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa. Hasil belajar siswa
dibatasi pada materi pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar. Metoda yang
digunakan ialah quasi-eksperimen dengan rancangan faktorial 23. Sampel
penelitian ini terdiri dari 63 guru dan 1217 siswa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengetahuan matematika umum, pengetahuan matematika wawasan, dan
pengetahuan matematika khusus berpengaruh positif terhadap hasil belajar
siswa dalam matematika.
Kata kunci: pengetahuan matematika umum, pengetahuan matematika khusus,
pengetahuan matematika wawasan, pembagian bilangan pecahan.
1. Pendahuluan
Untuk mengajar matematika secara efektif, seorang guru tidak hanya
dituntut untuk menguasai materi yang diajarkan saja, tetapi juga materi matematika
lain baik yang terkait langsung dengan materi yang diajarkan maupun yang tidak
terkait langsung. Delaney [1] menyatakan bahwa pengetahuan matematika untuk
mengajar mengandung pengetahuan matematika yang akan diajarkan, tetapi lebih
dari itu. Lebih lanjut, Delaney menjelaskan bahwa bagi orang yang bukan guru dapat
menjawab perkalian 35 x 25 dengan benar saja sudah cukup, tetapi bagi seorang guru
itu belum cukup. Pengetahuan matematika untuk mengajar yang dimiliki seorang
guru, menurut Lo dan Luo [2] digunakan untuk memeriksa berbagai metoda
alternatif penyelesaian, memeriksa struktur matematika, dan menilai apakah
penyelesaian tersebut dapat digeneralisasikan atau tidak.
Pengetahuan matematika untuk mengajar seperti apakah yang perlu dikuasai
oleh seorang guru yang mengajar matematika? Salah satu skema pengetahuan
matematika untuk mengajar yang banyak digunakan dalam pendidikan matematika
ialah yang diajukan oleh Ball, Thames, dan Phelps [3], seperti ditampilkan pada
Gambar 1.
1025
Gambar 1. Komponen Pengetahuan Matematika untuk Mengajar
Tujuan penelitian ini adalah menguji hipotesis bahwa, untuk materi
pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar, pengetahuan matematika umum
(PMU), pengetahuan matematika khusus (PMK), dan pengetahuan matematika
wawasan (PMW) berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Pemilihan isi
materi pembagian bilangan pecahan didasarkan pada pentingnya pemahaman
mengenai bilangan pecahan di sekolah dasar, seperti yang dinyatakan oleh Lo &
Luo [2] bahwa (1) bilangan pecahan merupakan topik yang dipandang menantang
untuk dipelajari oleh siswa dan diajarkan oleh guru, (2) penguasaan materi bilangan
pecahan merupakan prasyarat untuk mempelajari aljabar, dan (3) pembagian
bilangan pecahan melibatkan satuan pecahan yang mencakup semua konsep dan
keterampilan yang terkait dengan pecahan.
2. Kajian Pustaka
2.1 Pengetahuan Matematika Umum (PMU) untuk Mengajar
Pengetahuan matematika umum merupakan pengetahuan yang diperlukan
untuk memecahkan masalah matematika dan menjelaskan strategi penyelesaian yang
diharapkan siswa. Pengetahuan matematika umum meliputi pengetahuan
matematika yang diajarkan kepada siswa. Livy, Vale, & Herbert [4] menyatakan
bahwa pengetahuan matematika umum memungkinkan guru mengetahui
matematika yang diajarkan. Dalam kurikulum 2013 untuk SD/MI, materi bilangan
pecahan mulai diberikan untuk kelas III. Kompetensi dasar yang dituntut untuk
SD/MI dari kelas III sampai kelas VI adalah sebagai berikut ditampilkan pada Tabel
1.
Sugilar [5] mengidentifikasi kompetensi pengetahuan matematika umum
untuk mengajar pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa untuk mengajar pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar
secara efektif, guru dituntut menguasai pengetahuan matematika umum yang
meliputi (1) operasi hitung yang melibatkan berbagai bentuk pecahan (pecahan
biasa, campuran, desimal dan persen), (2) menguraikan suatu bilangan pecahan
sebagai hasil penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dua buah
pecahan yang dinyatakan dalam desimal dan persen, (3) menyelesaikan soal cerita
yang melibatkan pembagian bilangan pecahan. Hasil ini didasarkan pada metoda
Delphi yang diikuti oleh 23 pakar pendidikan matematika terhadap yang dirumuskan
dari kompetensi dasar pada kurikulum 2013 seperti tampak pada Tabel 1.
1026
Tabel 1. Kompetensi Dasar mengenai Bilangan Pecahan
pada Kurikulum 2013 untuk Kelas III –VI
Kelas Kompetensi Dasar
III Memahami konsep pecahan sederhana menggunakan benda-
benda yang konkrit/gambar, serta menentukan nilai terkecil
dan terbesar
Mengenal pecahan dan bilangan desimal, serta dapat
melakukan penambahan dan pengurangan pecahan
berpenyebut sama
IV Mengenal konsep pecahan senilai danmelakukan operasi
hitung pecahanmenggunakan benda kongkrit/gambar
Memahami pecahan senilai dan operasi hitung pecahan
menggunakan benda kongkrit/gambar
Menyatakan pecahan ke bentuk desimal dan persen
Mengurai sebuah pecahan menjadi sebagai hasil
penjumlahan atau pengurangan dua buah pecahan lainnya
dengan berbagai kemungkinan jawaban
V Memahami berbagai bentuk pecahan (pecahan biasa,
campuran, desimal dan persen) dan dapat mengubah
bilangan pecahan menjadi bilangan desimal, serta
melakukan perkailan dan pembagian
Memahami berbagai bentuk pecahan (pecahan biasa,
campuran, desimal dan persen) dan dapat mengubah
bilangan pecahan menjadi bilangan desimal
Mengurai sebuah pecahan sebagai hasil penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan pembagian dua buah pecahan
yang dinyatakan dalam desimal dan persen dengan berbagai
kemungkinan jawaban
VI Memahami operasi hitung yang melibatkan berbagai bentuk
pecahan (pecahan biasa, campuran, desimal dan persen)
Memahami dan melakukan operasi hitung yang melibatkan
berbagai bentuk pecahan (pecahan biasa, campuran, desimal
dan persen)
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [6]
2.2 Pengetahuan Matematika Khusus (PMK) untuk Mengajar
Pengetahuan matematika khusus untuk mengajar merujuk pada pengetahuan
dan keterampilan yang dibutuhkan secara unik oleh guru. Contoh pengetahuan
matematika khusus untuk mengajar matematika ialah menentukan kebenaran
penyelesaian yang tidak baku terhadap suatu masalah matematika. Untuk dapat
mengajarkan pembagian bilangan pecahan, guru juga perlu dibekali dengan materi
pembagian yang lebih luas. Olanoff [7] merangkumkan materi yang dapat diberikan
1027
kepada calon guru atau guru yang mengajar pembagian bilangan pecahan, sebagai
berikut:
• Pembagian sering diajarkan dengan menggunakan dua penafsiran, yaitu model
partitif (partitive) atau model berbagi dan model kuotitif (quotative) atau
pengurangan berulang.
• Dalam model partitif atau berbagi, masalah 20:5 dapat diartikan sebagai berbagi
20 hal di antara 5 orang dalam waktu yang bersamaan dan menentukan setiap
orang dapat berapa.
• Dalam model kuotif, pengukuran, atau pengurangan berulang, masalah 20:5
diartikan sebagai menyerahkan 5-an sampai yang dipunyai sebanyak 20 habis
semua dan menentukan berapa banyak orang yang mendapatkannya.
• Dari kedua model tersebut, banyak masalah nyata yang dapat diselesaikan dengan
model pengurangan berulang dalam mengajarkan pembagian bilangan pecahan
di sekolah dasar. Misalnya, kita memiliki 5 ½ kilogram permen, memberikan ½
kilogram untuk setiap teman, berapa teman yang mendapatkan permen? Masalah
seperti ini dapat diselesaikan melalui pengurangan berulang, yaitu mengurangi 5
½ dengan ½ sampai tidak ada yang tersisa.
• Model ketiga adalah perkalian dan faktor. Dalam model ini, pembagian
dinyatakan sebagai balikan (inverse) dari perkalian. Soal cerita menggunakan
model ini sebagai berikut: Suatu persegi panjang memiliki luas 6 ½ meter. Jika
panjang persegi panjang tersebut 3 ¼ meter, berapa lebar persegi panjang
tersebut? Masalah ini memerlukan pembagian 6 ½ dengan 3 ¼ yang memiliki
jawaban 2 meter untuk lebar persegi panjang tersebut. Pada dasarnya ini
merupakan pertanyaan, berapa yang harus dikalikan dari 3 ¼ untuk mendapatkan
6 ½?
• Pemahaman tradisional tentang balikan-dan-kalikan sebagai algoritma
pembagian lebih mudah dipahami bilamana dilihat dari model partitif pembagian.
• Untuk memahami pembagian bilangan pecahan, seseorang perlu memahami
gagasan hubungan perkalian dan pembagian, bahwa membagi dengan suatu
bilangan sama dengan mengalikan dengan kebalikan bilangan tersebut.
2.3 Pengetahuan Matematika Wawasan untuk Mengajar
Pengetahuan matematika wawasan untuk mengajar merupakan pengetahuan
matematika lanjut yang tidak secara langsung muncul secara eksplisit dalam
pengajaran matematika oleh guru di kelasnya. Menurut Jakobsen, Thames, Ribeiro,
& Delaney [8], pengetahuan matematika lanjut sebagai wawasan diperlukan oleh
guru meskipun dia mengajar di sekolah dasar. Lebih lanjut Jakobsen, Thames,
Ribeiro, & Delaney [8] menjelaskan bahwa dengan menguasai matematika lanjut
yang berkaitan dengan matematika yang diajarkannya guru tersebut akan (1)
memahami bahwa matematika yang diajarkan memiliki kaitan dengan matematika
yang lebih luas, (2) memiliki kompetensi untuk mengembangkan intuisi terkait
perenungan terhadap matematika yang diajarkannya, dan (3) memiliki sumber yang
diperlukan untuk mengenali pengetahuan matematika untuk mengajar secara lebih
luas. Meskipun demikian, pengetahuan matematika wawasan untuk mengajar belum
cukup mendapat perhatian dalam khasanah pendidikan matematika bagi guru,
sebagaimana disampaikan oleh Mosvold & Fauskanger [9]: Although horizon
mathematical content knowledge is included in the framework of MKT, and
researchers seem to agree about its importance, there is still a lack of empirical
1028
evidence both for the existence and importance of this particular aspect of teacher
knowledge.
Sugilar [10] melakukan identifikasi pengetahuan matematika wawasan untuk
mengajar pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar dan menghasilkan delapan
butir, yaitu: (1) definisi formal bilangan rasional, (2) himpunan bilangan rasional
sebagai himpunan tak terhingga dan terbilang, (3) bukti bahwa himpunan bilangan
rasional terbilang, (4) operasi dalam bilangan rasional, (5) kesamaan dua bilangan
rasional, (6) kelas ekivalen bilangan rasional dalam relasi kesamaan, (7) himpunan
bilangan rasional sebagai sebuah grup, dan (8) pembagian sebagai invers perkalian,
yaitu: dimana 𝑏 ≠ 0.
3. Metoda Penelitian
3.1 Metoda Penelitian
Metoda penelitian ini menggunakan rancangan quasi-eksperimen dengan
desain faktorial 23, yaitu tiga variabel independen, yaitu penguasaan guru terhadap
PMU, PMW, dan PMK untuk mengajar pembagian bilangan pecahan di sekolah
dasar, dengan masing-masing dua taraf tinggi dan rendah. Variabel dependen pada
penelitian ini ialah penguasaan siswa terhadap pembagian bilangan pecahan yang
diajarkan oleh guruyang memiliki n variasi taraf penguasaan terhadap PMU, PMW,
dan PMK.
Penelitian ini menggunakan rancangan quasi-experimen, bukan eksperimen
sebenarnya, disebabkan oleh keterbatasan dalam penetapan siswa kedalam
perlakuan yang tidak dapat ditetapkan secara acak karena siswa tersebut sudah
melekat pada guru tertentu. Quasi-eksperimen banyak digunakan dalam penelitian
pendidikan karena keterbatasan randomisasi subyek penelitian kedalam kelompok
perlakuan. Meskipun memiliki keterbatasan dalam hal validitas internal, quasi-
eksperimen memiliki kelebihan dalam hal generalisasi hasil penelitian (Glass &
Hopkins, [11]).
3.2 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Sebanyak 63 guru dipilih dari tiga kabupaten di provinsi Bengkulu berdasarkan
usulan dari kantor dinas pendidikan setempat untuk diberikan pelatihan ketiga
komponen pengetahuan matematika untuk mengajar.
Pada akhir pelatihan, guru-guru peserta pelatihan tersebut mendapatkan test
ketiga komponen pengetahuan matematika untuk mengajar. Pada tahap inilah
dilakukan pengukuran variabel independen.
Berdasarkan hasil test untuk tiap komponen pengetahuan matematika untuk
mengajar, guru-guru tersebut dikelompokkan kedalam kelompok guru dengan
penguasaan tinggi dan rendah untuk tiap komponen pengetahuan matematika
untuk mengajar.
Guru-guru tersebut kemudian mengajar pembagian bilangan pecahan kepada
siswanya di kelas masing-masing, dengan total jumlah siswa sebanyak 1217
siswa. Pada akhir pengajaran siswa mendapatkan test penguasaan pembagian
bilangan pecahan, yang diperoleh sebanyak 1152 skor siswa dalam tes
1
1
1
:
ba
bb
ba
b
aba
1029
pembagian bilangan pecahan. Pada tahap inilah dilakukan pengukuran variabel
dependen.
3.3 Teknik Analisis Data
Analisis data untuk menguji perbedaan perlakuan menggunakan teknik
analisis data ANOVA dengan pengaturan sel 2x2x2, yaitu setiap variabel dari tiga
variabel (PMU, PMK, dan PMW) yang diperoleh dari guru yang mengajar
matematika di sekolah dasar akan membentuk masing dua sel dengan isi sel
merupakan skor nilai hasil belajar siswa dalam pembagian bilangan pecahan.
4. Hasil Penelitian
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian
Tabel 2 terdiri dari delapan baris, yaitu 23 atau 2x2x2, yang dibentuk oleh tiga
variable dengan masing-masing dua taraf. Untuk selanjutya, setiap baris akan
dinyatakan dengan menyebutkan taraf (tinggi atau rendah) pada setiap variabel
dengan urutan PMU-PMW-PMK. Misalnya Rendah-Rendah-Rendah memiliki nilai
rata-rata 29,76. Sedangkan Tinggi-Rendah-Tinggi memiliki nilai rata-rata 34,00.
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata hasil belajar siswa pada Tinggi-
Tinggi-Tinggi, yang menunjukkanbahwa siswa tersebut diajar oleh guru yang
memiliki taraf penguasaan guru yang tinggi terhadap masing-masing ketiga
komponen pengetahuan matematika untuk mengajar, yaitu PMU, PMW, dan PMK
memberikan rata-rata hasil belajar siswa yang paling tinggi, yaitu 63,75. Sebaliknya,
rata-rata hasil belajar siswa yang paling rendah, yaitu sebesar 16,87 terdapat pada
kemlompok siswa Rendah-Tinggi_Rendah, yaitu kelompok siswa yang diajar oleh
guru dengan PMU dan PMK yang rendah, meskipun dengan PMW yang tinggi.
Dengan demikian analisis lebih lanjut perlu difokuskan pada adanya interaksi antara
PMU dan PMK dengan PMW.
Tabel 2. Hasil Belajar Siswa Berdasarkan Taraf Penguasaan Guru terhadap
Komponen PMM
PMU PMW PMK Mean Std.
Deviation
N
Rendah
Rendah Rendah 29.76 20.59 181
Tinggi 38.93 21.26 87
Tinggi Rendah 16.87 12.77 60
Tinggi 38.22 19.81 293
Tinggi
Rendah Rendah 34.22 23.94 252
Tinggi 34.00 16.57 118
Tinggi Rendah 40.21 22.04 216
Tinggi 63.75 12.43 10
Keterangan:
PMU = Pengetahuan Matematika Umum
PMW = Pengetahuan Matematika Wawasan
PMK = Pengetahuan Matematika Khusus
1030
Guru dengan PMU yang tinggi tidak serta merta memberikan nilai rata-rata
hasil belajar siswa yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru dengan PMU rendah.
Misalnya, siswa pada kelompok Tinggi-Rendah-Tinggi sebesar 34.00 justru lebih
rendah dibandingkan rata-rata nilai hasil belajar siswa yang diajar oleh guru dengan
Rendah-Rendah-Tinggi yang mencapai rata-rata 38.93. Hal ini juga menyarankan
untuk menganalisis adanya interaksi antar variabel independen.
Siswa yang diajar oleh guru yang memiliki PMK yang tinggi cederung
memiliki niai rata-rata hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
hasil belajar siswa yang diajar oleh guru dengan PMK yang rendah. Pengecualian
hanya terjadi untuk guru dengan PMU yang tinggi yang masih tetap memberikan
hasil belajar yang sedikit lebih tinggi, seperti terlihat pada kasus Tinggi-Rendah-
Tinggi dengan nilai rata-rata 34.00 dengan Tinggi-Rendah-Rendah dengan nilai rata-
rata 34.22.
Hasil analisis yang tertera pada Tabel 2 menunjukkan bahwa taraf penguasaan
guru yang tinggi terhadap masing-masing ketiga komponen pengetahuan
matematika untuk mengajar, yaitu PMU, PMW, dan PMK memberikan rata-rata
hasil belajar siswa yang paling tinggi, yaitu 63,75. Sebaliknya, rata-rata hasil belajar
siswa yang paling rendah, yaitu sebesar 16,87 dihasilkan oleh pengajaan oleh guru
dengan PMU dan PMK yang rendah, meskipun dengan PMW yang tinggi. Dengan
demikian analisis lebih lanjut perlu difokuskan pada adanya interaksi antara PMU
dan PMK dengan PMW.
Siswa yang diajar oleh guru yang memiliki PMK yang tinggi cederung
memiliki niai rata-rata hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
hasil belajar siswa yang diajar oleh guru dengan PMK yang rendah. Pengecualian
hanya terjadi untuk guru dengan PMU yang tinggi yang masih tetap memberikan
hasil belajar yang sedikit lebih tinggi, seperti terlihat pada kasus Tinggi-Rendah-
Tinggi dengan nilai rata-rata 34.00 dengan Tinggi-Rendah-Rendah dengan nilai rata-
rata 34.22.
4.2 Pengujian Efek Komponen PMM
Tabel 3 menyajikan hasil analisis untuk menguji efek penguasaan guru pada
masing-masing komponen pengetahuan matematika untuk mengajar (PMU, PMW,
dan PMK) terhadap hasil belajar siswa.
Tabel 3. ANOVA 2X2X2
Source Sum of
Squre df
Mean
Square F Sig.
PMU 15193.35 1 15193.35 35.23 0.00
PMW 3178.81 1 3178.81 7.37 0.01
PMK 18795.13 1 18795.13 43.58 0.00
PMU * PMW 15791.24 1 15791.24 36.61 0.00
PMU * PMK 337.53 1 337.53 0.78 0.38
PMW * PMK 8373.91 1 8373.91 19.42 0.00
PMU * PMW * PMK 868.79 1 868.79 2.01 0.16
Error 521463.90 1209 431.32
1031
Total 2080625.00 1217
Corrected Total 564846.45 1216
Keterangan [12]:
df = derajat kebebasan
F = statistik untuk uji beda
Sig. = signifikansi perbedaan
Corrected Total = jumlah kuadrat total
Tabel 3 menunjukkan bahwa (1) penguasaan guru pada komponen PMU
berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa (F=35.23, p<0.05), (2) PMW
yang dimiliki guru berpengaruh signifikan terhadap hasil (F=7.37, p<0.05), dan (3)
PMK yang dikuasai guru berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa
(F=43.58, p<0.05). Dari Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa terdapat interaksi antara
PMU dan PMW (F=36.61, p<0.05) dan interaksi antara PMW dan PMK (F=19.42,
p<0.01).
Efek dari PMU, PMW, dan PMK bervariasi seperti terlihat pada nilai statistik
F. Tabel 3 memperlihatkan bahwa PMK memiliki efek yang paling besar terhadap
hasil belajar siswa dibandingkan dua variabel pengetahuan matematika untuk
mengajar lainnya. Nilai F yang ditunjukkan oleh variabel PMK adalah sebesar 43.58
yang berpadanan dengan nilai effect size (ditunjukkan melalui partial eta squared)
sebesar 0.035. Ini menunjukkan bahwa derajat hubungan antara kategori penguasaan
guru dalam PMK (tinggi dan rendah) dengan skor siswa dalam hasil belajar
pembagian bilangan pecahan sebesar 0.035. Derajat korelasi atau hubungan sebesar
0.035 menunjukkan bahwa kontribusi variasi kategori guru dalam PMK untuk
mengajar pembagian bilangan pecahan ialah sebesar 3,5% terhadap variasi skor
siswa dalam hasil belajar pembagian bilangan pecahan.
Efek dari PMW untuk mengajar pembagian bilangan pecahan yang dimiliki
guru terhadap hasil belajar siswa dalam pembagian bilangan pecahan ditunjukkan
oleh nilai F sebesar 7.37. Ini merupakan besaran efek paling kecil dibandingkan efek
yang diberikan oleh dua variabel lainnya. Efek size dari PMW yang dimiliki guru
ditunjukkan oleh derajat hubungan sebesar 0.006. Ini berarti variasi kategori guru
dalam PMW berkontribusi sebesar 0.6% terhadap variasi skor hasil belajar siswa.
Meskipun kontribusi variasi kategori guru dalam PMW terhadap skor hasil belajar
siswa menunjukkan nilai yang paling kecil dibandingkan kedua variabel lain dalam
penelitian ini, namun PMW menunjukkan efek terhadap hasil belajar siswa melalui
interaksi dengan kedua variabel lain.
Efek dari PMU terhadap hasil belajar siswa pada penelitian ini ditunjukkan
oleh nilai F sebesar 35.23. Besaran ini berpadanan dengan nilai effect size sebesar
0.028. Ini menunjukkan bahwa kontribusi kategori guru dalam PMU terhadap skor
hasil belajar siswa ialah sebesar 2,8%. Ini merupakan besaran yang lebih besar dari
efek PMW tetapi lebih kecil dari efek PMU.
Berdasarkan pembahasan di atas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh positif dan signifikan dari masing-masing variabel PMU, PMK,
dan PMW yang dimiliki guru untuk mengajar matematika di sekolah terhadap hasil
belajar siswa dalam materi pembagian bilangan pecahan. Meskipun demikian,
besaran efek dari ketiga variabel tersebut, yang ditunjukkan oleh besaran kontribusi
variasi kategori dalam variabel independen terhadap variasi skor variabel dependen,
tidak ada yang melebihi 5%.
1032
4.3 Interaksi
Interaksi antara PMU dan PMW terlihat pada Gambar 2. Untuk guru dengan
PMW yang tinggi tampak bahwa PMU guru memberikan efek yang signifikan (garis
tidak putus-putus), yang memperlihatkan perbedaan hasil belajar siswa yang berbeda
mencolok antara siswa yang diajar oleh guru dengan PMU rendah dan PMU tinggi.
Sedangkan untuk guru dengan PMW rendah, perbedaan hasil belajar siswa yang
diajar oleh guru dengan PMU rendah dan tinggi menunjukkan hasil belajar siswa
yang hampir sama (garis putus-putus).
Gambar 2. Interaksi PMU dan PMW
Hasil ini menunjukkan bahwa PMU yang dikuasai guru memiliki pengaruh positif
terhadap hasil belajar siswa bilamana guru tersebut menguasai PMW pada taraf yang tinggi.
Dengan demikian, meningkatkan PMU saja belumlah cukup, perlu disertai dengan
peningkatan PMW. Ini membuktikan bahwa penguasaan guru terhadap materi matematika
yang diajarkan perlu ditunjang oleh penguasaan guru terhadap materi matematika yang
lebih lanjut untuk memberikan pengajaran yang lebih bermutu yang tercermin dari hasil
belajar siswa.
Dari Gambar 3 tampak bahwa PMK dan PMW berinteraksi dalam mempengaruhi
hasil belajar siswa. Guru dengan PMW yang tinggi dan juga PMK yang tinggi memberikan
perbedaan yang sangat besar dalam hasil belajar dibandingkan dengan guru dengan PMW
yang tinggi dan PMK yang rendah. Akan tetapi, untuk PMW yang rendah (garis putus-
putus), perbedaan tersebut tidak sebesar untuk PMW yang tinggi, meskipun tetap bahwa
siswa yang diajar oleh guru dengan PMK tinggi memiliki hasil belajar yang lebih tinggi
dibandingkan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru dengan PMK rendah.
1033
Gambar 3. Interaksi PMK dan PMW
Gambar 3 memberikan deskripsi bahwa PMK yang dimiliki guru efektif dalam
mencapai hasil belajar siswa, tetapi penguasaan guru terhadap PMW memberikan hasil
belajar siswa yang lebih baik lagi. Hasil ini menunjukkan bahwa penguasaan guru terhadap
PMK memang efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi bilamana guru tersebut
juga menguasai PMW dengan baik maka pengajaran yang dilaksanakan oleh guru tersebut
akan menghasilkan hasil belajar siswa yang lebih baik lagi.
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa PMW yang dikuasai guru memberikan
pengaruh positif dan siginifikan terhadap hasil belajar siswa. Seperti telah diperlihatkan
pada pembahasan sebelumnya, pengaruh PMW guru terhadap hasil belajar siswa tidak
sebesar pengaruh PMU maupun PMK yang dikuasai guru. Dengan perkataan lain, varabel
PMW merupakan variabel yang palng memberikan efek terkecil terhadap hasil belajar
siswa dibandingkan dengan dua variabel lainnya dalam penelitian ini. Meskipun demikian
pembahasan interaksi antar variabel independen memperlihatkan bahwa variabel PMW
memberikan efek tidak langsung terhadap hasil belajar siswa melalui interaksi dengan
variabel lainnya, yaitu variabel PMU dan PMK.
5. Kesimpulan
PMU, PMW, dan PMK untuk mengajar pembagian bilangan pecahan di
sekolah dasar yang dikuasai guru berpengaruh positif dan siginifikan terhadap hasil
belajar siswa dalam pembagian bilangan pecahan. Effect size variabel PMU, PMW,
dan PMK terhadap hasil belajar siswa masing-masing sebesar 0.035, 0.006, 0.028.
Ini berarti, variasi kategori guru dalam kategori tinggi dan rendah untuk penguasaan
PMU, PMW, dan PMK masing-masing 3.5%, 0.6%, 2,8%.
Variabel PMW merupakan variabel yang berinteraksi secara signifikan
dengan variabel PMU dan PMK untuk memberikan pengaruh terhadap hasil belajar
siswa. Guru dengan kategori PMW yang tinggi membedakan secara berarti hasil
belajar antara kelompok siswa yang diajar oleh guru dengan PMU kategori rendah
dengan kelompok siswa yang diajar oleh guru dengan PMU kategori tinggi. Hal yang
sama juga berlaku untuk variabel PMK, guru dengan kategori PMW yang tinggi
membedakan secara berarti hasil belajar antara kelompok siswa yang diajar oleh
guru dengan PMK kategori rendah dengan kelompok siswa yang diajar oleh guru
1034
dengan PMK kategori tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PMW merupakan variabel yang
meskipun tidak banyak berpengaruh langsung terhadap hasil belajar siswa, tetapi
memberikan pengaruh yang nyata melalui interaksi dengan variabel PMU dan PMK
terhadap hasil belajar siswa.
Pernyataan terima kasih . Makalah ini merupakan hasil penelitian yang
dibiayai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Terbuka (LPPM-UT). Oleh karena itu, pada kesempatan ini
disampaikan terima kasih yang sebesar -besarnya kepada pimpinan LPPM-UT
dan Rektor Universitas Terbuka.
Referensi
[1] Delaney, F.D. (2008). Adapting and using U.S. measures to study Irish teachers’
mathematical knowledge for teaching (Doctoral Dissertation). Retrieved from:
https://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/handle/2027.42/60756/sdelaney_1.pdf%3Bse
quence=1
[2] Lo, J., J. & Luo, F. (2012). Prospective Elementary Teachers’ Knowledge of Fraction
Division. J. Math Teacher Educ 5:481-500.
[3] Ball, D. L., Bass, H., Sleep, L., & Thames, M. (2005). A theory of mathematical
knowledge for teaching. Paper presented at the The Fifteenth ICMI Study: The
Professional Education and Development of Teachers of Mathematics, 15-21 May 2005,
State University of Sao Paolo at Rio Claro, Brazil. Diunduh 20 Juni 2015 dari
http://stwww.weizmann.ac.il/G-math/ICMI/log_in.html.
[4] Livy, S. L., Vale, C., & Herbert, S. (2016). Developing Primary Pre-service Teachers'
Mathematical Content Knowledge During Practicum Teaching. Australian Journal of
Teacher Education, 41(2). Accessed from:
http://dx.doi.org/10.14221/ajte.2016v41n2.10.
[5] Sugilar. (2014). Identifikasi pengetahuan matematika untuk mengajar pembagian
bilangan pecahan di sekolah dasar. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika, Program Studi Matematika, FST Program Studi Pendidikan
Matematika, FKIP Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
[6] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Kompetensi inti – Kompetensi dasar
SD. Diakses dari: http://kurikulum.kemdikbud.go.id/downloads
[7] Olanoff, Dana E. (2011). "Mathematical Knowledge for Teaching Teachers: The Case
of Multiplication and Division of Fractions", Mathematics - Dissertations. Paper 64.
[8] Jakobsen, A., Thames, M. H., Ribeiro, C. M., & Delaney, S. (2012). Using practice to
define and distinguish horizon content knowledge. In Proceeding of the 12th
International Congress on Mathematics Education, 8th-15th July, 2012 (pp. 4635 –
4644), COEX, Seoul, Korea.
[9] Mosvold, R., & Fauskanger, J. (2012). “Translating and Adapting the Mathematical
Knowledge for Teaching (MKT) Measures: The Cases of Indonesia and Norway”, The
Mathematics Enthusiast, ISSN 1551-3440, 9(1), pp.149-178.
[10] Sugilar, (2016). Identification of horizon mathematical knowledge for teaching fraction
division at elementary schools. IEJME-Mathematics Education, 11(8), 3160-3175.
[11] Glass, G. V. & Hopkins, K. D. (1996). Statistical Methods in Education & Psychology,
Third Edition. Boston: Allyn & Bacon.
[12] Howell, D.C. (2002). Factorial Anova. Diakses dari: https://www.uvm.edu
/~dhowell/gradstat/psych341/lectures/Factorial1Folder/class4.html.
1035
Prosiding SNM 2017
Pendidikan, Hal 1035-1044
UPAYA PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG
PERKALIAN SISWA KELAS VII SMP PGRI 184 LEGOK
MELALUI PEMBERIAN LATIHAN DALAM BENTUK
CROSS NUMBER PUZZLE
DAMIRA KOGOYA1, PETER JOHN2, BUDI UTAMI3
1 Pendidikan Matematika STKIP Surya, [email protected]
2 Pendidikan Matematika STKIP Surya, [email protected]
3 Pendidikan Matematika STKIP Surya, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya keterampilan berhitung
perkalian siswa kelas VII SMP PGRI 184 Legok. Sementara keterampilan berhitung
perkalian merupakan salah satu keterampilan yang penting dalam pembelajaran
matematika. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat
meningkatkan keterampilan berhitung perkalian siswa dengan cara memberikan latihan
perkalian dalam bentuk Cross Number Puzzle (CNP). CNP adalah permainan yang
serupa dengan teka-teki silang (TTS), tetapi dalam permainan ini kata-kata pada TTS
diganti dengan soal perkalian. Pemberian latihan perkalian dalam bentuk permainan
diharapkan mampu meningkatkan keterampilan berhitung perkalian siswa. Bentuk
penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari dua siklus. Setiap
siklus terdiri dari empat tahap yaitu, perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi.
Subjek penelitian ini adalah 25 siswa kelas VII A SMP PGRI 184 Legok. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian latihan perkalian dalam bentuk CNP dapat
meningkatkan keterampilan berhitung perkalian siswa. Hal ini ditunjukkan dari hasil
tes perkalian siswa yang mengalami peningkatan di setiap siklusnya. Pada tes awal
diketahui dari 25 siswa, sebanyak 20 siswa termasuk dalam kategori kurang terampil,
2 siswa cukup terampil, dan 3 siswa terampil. Pada siklus I, 88% siswa mengalami
peningkatan keterampilan berhitung perkalian dengan rincian 11 siswa berada pada
kategori kurang terampil, 8 siswa cukup terampil, dan 6 siswa terampil. Pada siklus II,
84% siswa mengalami peningkatan berhitung perkalian dengan rincian 6 siswa berada
pada kategori kurang terampil, 5 siswa cukup terampil, dan 14 siswa terampil.
Kata kunci : keterampilan berhitung perkalian, cross number puzzle (CNP).
1. Pendahuluan
Keterampilan berhitung adalah penting dalam pembelajaran matematika.
Sayangnya, masih ada siswa yang mengalami kesulitan dalam berhitung. Beberapa
guru dari sejumlah sekolah di Kabupaten Purwakarta menyatakan bahwa dalam
pembelajaran matematika masih ada siswa yang mengalami kesulitan dalam
mempelajari operasi hitung, terutama operasi hitung perkalian [3]. Hal serupa juga
ditemukan pada beberapa siswa di Kabupaten Malang yang menganggap
matematika sebagai pelajaran yang paling sulit terutama menghitung perkalian [2].
Padahal, operasi hitung perkalian diperlukan pada materi-materi lain dalam
1036
pembelajaran matematika, seperti geometri, aljabar, dan sebagainya [3].
Kesulitan berhitung perkalian juga ditemui pada siswa di SMP PGRI 184
Legok. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru matematika sekolah
tersebut, diketahui bahwa salah satu kendala yang dialami siswa dalam proses
pembelajaran adalah rendahnya keterampilan berhitung perkalian. Hasil wawancara
dengan beberapa siswa di sekolah tersebut juga menunjukkan bahwa mereka
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal perkalian. Gambar 1 menunjukkan
contoh hasil kerja siswa dari sekolah tersebut.
(a) (b)
Gambar 1. Contoh Kesalahan Berhitung Perkalian
Gambar 1(a) menunjukkan kesalahan siswa saat menghitung perkalian dasar,
yaitu saat siswa menghitung 6 × 3. Sementara pada Gambar 1(b), kesalahan yang
dilakukan ada pada prosedur perkalian yang digunakan. Guru sudah melakukan
beberapa cara untuk mengatasi masalah berhitung perkalian siswa, diantaranya
adalah
(1) mengingatkan kembali bagaimana perkalian sebelum pembelajaran materi
dimulai; (2) menghindari penggunaan kalkulator ketika menghitung; dan (3)
meminta siswa menuliskan cara perhitungan dengan lengkap ketika menjawab soal.
Hasilnya lebih banyak siswa yang ingin berhasil dalam berhitung, tetapi kemampuan
berhitung siswa secara umum belum meningkat. Untuk itu, perlu dilakukan upaya
tambahan untuk meningkatkan keterampilan berhitung perkalian siswa. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan latihan berulang dalam
bentuk permainan [1, 5, 6].
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti memfokuskan penelitian ini pada
peningkatan keterampilan berhitung perkalian siswa kelas VII A SMP PGRI 184
Legok dengan latihan perkalian dalam bentuk Cross Number Puzzle.
1037
2. Kajian Teori
A. Keterampilan Berhitung Perkalian
Keterampilan berhitung adalah kemampuan untuk menyelesaikan tugas
hitung-hitungan seperti menjumlahkan, mengurangi, mengali, dan sebagainya.
Secara spesifik, keterampilan berhitung perkalian adalah kemampuan untuk
menyelesaikan tugas perhitungan matematika pada materi perkalian.
Keterampilan berhitung perkalian mulai dipelajari siswa sejak kelas II SD.
Konsep keterampilan berhitung perkalian ini ditanamkan sebagai penjumlahan
berulang yang dimulai dari perkalian bilangan satu digit, seperti perkalian 3 × 5 atau
6 × 7, lalu perkalian bilangan dua digit dan satu digit, dua digit dan dua digit, dan
selanjutnya. Secara garis besar, tahapan tersebut juga disebutkan oleh Surya [4].
Lebih lanjut, Surya [4] membagi tahapan perkalian bilangan lebih dari satu digit
menjadi perkalian tanpa menyimpan dan perkalian dengan menyimpan. Perkalian
bilangan lebih dari satu digit tanpa menyimpan, contohnya 34 × 2. Pertama,
dihitung 3 puluhan dikali 2 satuan hasilnya 6 puluhan. Lalu, 4 satuan dikali 2 satuan
hasilnya 8 satuan, maka hasil dari 34 × 2 hasilnya 6 puluhan dan 8 satuan atau 68.
Pada proses perkalian ini, ketika mengalikan angka satuan dengan satuan diperoleh
bilangan satu digit. Hal ini mengakibatkan tidak ada yang perlu ditambahkan pada
hasil proses perhitungan selanjutnya. Dengan kata lain, tidak ada bilangan yang
disimpan. Perkalian bilangan lebih dari satu digit dengan menyimpan, contohnya
27 × 3. Pertama, dihitung 2 puluhan kali 3 satuan hasilnya 6 puluhan. Lalu, 7 satuan
kali 3 satuan hasilnya 21, 2 puluhan disimpan dan 1 satuan ditulis. Jadi hasil dari
27 × 3 adalah 8 puluhan dan 1 satuan atau 81. Pada proses perkalian ini, ketika
mengalikan angka satuan dengan satuan diperoleh hasilnya bilangan dua digit.
Angka puluhan dari bilangan ini disimpan untuk dijumlahkan dengan hasil
perhitungan pada langkah selanjutnya. Untuk contoh ini, 2 puluhan disimpan dan
kemudian dijumlahkan dengan hasil perhitungan sebelumnya, yaitu 6 puluhan.
B. Cross Number Puzzle (CNP)
Cross Number Puzzle (CNP) adalah permainan yang serupa dengan teka-teki
silang (TTS), tetapi dalam permainan ini kata-kata pada TTS diganti dengan angka,
petunjuk kata diganti dengan soal matematika dan nomor soal diganti dengan huruf
[7]. Contoh dari CNP dapat dilihat pada Gambar 2.
Aturan pengisian permainan CNP adalah sebagai berikut.
1. Setiap kotak diisi satu angka;
2. Bagian menurun diisi dari atas ke bawah;
3. Bagian mendatar diisi dari kiri ke kanan;
4. Pengisian kotak dilakukan sesuai dengan urutan nilai tempat.
Pada Gambar 2, bagian A menurun diisi bilangan 24 yang merupakan
jawaban dari soal A menurun, yaitu 6 × 4. Jawaban soal tersebut terdiri dari dua
angka, yaitu 2 dan 4, yang dituliskan pada kolom yang ditandai dengan huruf A.
Masing-masing angka tersebut ditulis pada kolom kedua baris pertama dan kolom
kedua baris kedua. Kemudian bagian A mendatar diisi bilangan 268 yang
merupakan jawaban dari soal A mendatar yaitu 67 × 4. Hasil dari soal tersebut
terdiri dari tiga angka yaitu 2, 6, dan 8, yang ditulis pada kolom yang ditandai dengan
1038
huruf A. Masing-masing angka tersebut ditulis pada kolom kedua baris pertama,
kolom ketiga baris pertama, dan kolom keempat baris pertama. Cara yang serupa
digunakan untuk mengisi kolom dan baris CNP yang lain.
A
B
C
D E
F
G
Mendatar: Menurun:
A. 67 × 4
C. 42 × 2
D. 7 × 9
F. 53 × 6
G. 9 × 5
A. 6 × 4
B. 21 × 41
C. 43 × 2
E. 2 × 19
F. 7 × 5
Gambar 2. Contoh Cross Number Puzzle (CNP)
Ketika mengisi jawaban pada CNP, jika jawaban yang dimasukkan salah,
maka mungkin akan mempengaruhi pengisian jawaban pada kolom atau baris yang
lain. Misalnya, siswa menghitung soal perkalian A mendatar dan mendapatkan hasil
264. Lalu, ketika menghitung soal perkalian B menurun, siswa mendapatkan hasil
861. Maka, akan ada dua angka berbeda yang menempati kotak yang sama, yaitu 4
dan 8. Sesuai dengan aturan yang telah disebutkan sebelumnya, dalam satu kotak
tidak boleh ada dua angka yang berbeda. Maka, siswa akan memeriksa kembali hasil
soal perkalian A mendatar dan B menurun. Jadi, latihan yang disajikan dalam bentuk
CNP memungkinkan siswa untuk mengoreksi ulang jawaban yang diperolehnya.
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas
(PTK). Secara umum setiap siklus dilaksanakan melalui 4 tahapan yaitu tahap
perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap pengamatan, dan tahap refleksi. Penelitian ini
dilaksanakan dalam 2 siklus.
Penelitian ini dilakukan di SMP PGRI 184 Legok yang beralamat di Jalan
Lapangan Bola Desa Babakan, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Provinsi
Banten. Subjek dalam penelitian ini adalah 25 orang siswa kelas VII A SMP PGRI
184 Legok tahun ajaran 2016/2017. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 3 – 20
Oktober 2016.
Data dalam penelitian ini dikelompokan menjadi dua yaitu, data utama dan
data pendukung. Data utama, yang terdiri dari hasil tes awal sebelum tindakan dan
hasil tes setiap akhir siklus, dianalisis untuk menjawab fokus penelitian. Setiap tes
2 6 8
4
1039
terdiri dari 24 soal yang harus diselesaikan siswa dalam waktu 8 menit. Adapun data
pendukung yang terdiri dari dokumentasi hasil kerja siswa pada latihan perkalian
dalam bentuk CNP dan foto selama tindakan, berfungsi sebagai bukti keterlaksanaan
penelitian.
Langkah analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui banyak siswa yang mengalami peningkatan, maka
dihitung skor tes akhir siklus dikurang skor tes awal. Siswa yang
mengalami peningkatan ditunjukkan oleh hasil yang lebih dari 0.
Selanjutnya digunakan rumus berikut untuk menghitung persentase
banyak siswa yang mengalami peningkatan.
𝑃 = ∑ siswa yang meningkat
∑ siswa yang mengikuti tes× 100%
Keterangan:
𝑃 = Persentase siswa yang mengalami peningkatan.
2. Untuk mengetahui kategori keterampilan berhitung perkalian siswa, maka
dihitung jumlah jawaban benar siswa. Selanjutnya digunakan rumus
berikut untuk menghitung persentase jawaban benar siswa.
𝑥 =∑ 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟
∑𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛× 100%
Keterangan:
𝑥 = Persentase jawaban benar.
Penentuan kategori keterampilan berhitung perkalian terlihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Kategori Keterampilan Berhitung Perkalian
Persentase jawaban benar (𝑥) Kategori keterampilan berhitung perkalian
𝑥 <50% Kurang terampil
50% ≤ 𝑥 ≤ 70% Cukup terampil
𝑥 >70% Terampil
Indikator keberhasilan siklus yang digunakan adalah tidak ada siswa yang
berada pada kategori kurang terampil atau lebih dari 70% siswa yang mengalami
peningkatan keterampilan berhitung perkalian.
4. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua siklus. Sebelum siklus I dimulai, dilakukan
tes awal untuk mengetahui keterampilan berhitung perkalian siswa. Hasil tes awal
menunjukkan bahwa terdapat 20 siswa berada pada kategori kurang terampil, 2 siswa
cukup terampil, dan 3 siswa terampil. Pemaparan terkait siklus I dan II dijelaskan
sebagai berikut.
1040
A. Siklus I
Siklus I dilaksanakan dalam 4 pertemuan. Pertemuan pertama hingga ketiga
digunakan untuk latihan berhitung perkalian menggunakan CNP. Setiap latihan
terdiri dari 3 paket soal CNP yang dilaksanakan dalam waktu 10 menit. Adapun
pertemuan keempat digunakan untuk pemberian tes akhir siklus.
CNP pada pertemuan pertama hanya memuat soal-soal perkalian tanpa
menyimpan. CNP pada pertemuan kedua hanya memuat soal-soal perkalian yang
menyimpan. CNP pada pertemuan ketiga mengandung soal perkalian tanpa
menyimpan dan dengan menyimpan. Tabel 2 menunjukkan jumlah siswa yang
mengerjakan CNP pada setiap pertemuan.
Tabel 2. Hasil Latihan CNP Siklus I
Latihan CNP 1 Latihan CNP 2 Latihan CNP 3
A B C A B C A B C
Mengerjakan 25 8 2 25 17 1 25 12 1
Tidak mengerjakan 0 17 23 0 8 24 0 13 24
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 2, diketahui bahwa walaupun
seluruh siswa mampu mengerjakan latihan soal paket A, hanya sebagian siswa saja
yang mampu mengerjakan soal paket B. Bahkan untuk soal paket C, hanya 1 atau 2
siswa saja yang mampu mengerjakannya.
Hasil tes akhir siklus I menunjukkan bahwa ada 22 siswa (88%) yang
mengalami peningkatan keterampilan berhitung perkalian. Hal ini terlihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Skor Tes Akhir Siklus I
No Kode
Siswa
Skor
Tes
Awal
Skor Tes Akhir
Siklus I Nilai
Kategori
Keterampilan
Berhitung Perkalian
Peningkatan
Keterampilan
Berhitung
Perkalian
Setelah Siklus I
1 SA 4 14 58,33 Cukup terampil 10
2 SB 12 14 58,33 Cukup terampil 2
3 SC 3 15 62,50 Cukup terampil 12
4 SD 8 20 83,33 Terampil 12
5 SE 6 5 20,83 Kurang terampil -1
6 SF 0 6 25,00 Kurang terampil 6
7 SG 10 14 58,33 Cukup terampil 4
8 SH 5 1 4,17 Kurang terampil -4
9 SI 1 0 0,00 Kurang terampil -1
10 SJ 11 18 75,00 Terampil 7
11 SK 11 15 62,50 Cukup terampil 4
12 SL 8 9 37,50 Kurang terampil 1
1041
13 SM 2 10 41,67 Kurang terampil 8
14 SN 17 24 100,00 Terampil 7
15 SO 21 24 100,00 Terampil 3
16 SP 5 9 37,50 Kurang terampil 4
17 SQ 6 12 50,00 Cukup terampil 6
18 SR 6 16 66,67 Cukup terampil 10
19 SS 3 6 25,00 Kurang terampil 3
20 ST 2 13 54,17 Cukup terampil 11
21 SU 19 24 100,00 Terampil 5
22 SV 2 9 37,50 Kurang terampil 7
23 SW 3 10 41,67 Kurang terampil 7
24 SX 13 17 70,83 Terampil 4
25 SY 3 10 41,67 Kurang terampil 7
Berdasarkan hasil tersebut maka siklus I dikatakan berhasil. Namun, data pada
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa masih ada siswa yang kurang terampil, yaitu 11
siswa. Diagram pada Gambar 3 menunjukkan jumlah siswa pada setiap kategori pada
tes awal dan tes akhir siklus I. Dari diagram tersebut, terlihat bahwa banyak siswa
pada kategori cukup terampil dan terampil mengalami peningkatan. Sementara itu,
banyak siswa pada kategori kurang terampil mengalami penurunan. Meskipun
begitu, tindakan akan dilanjutkan pada siklus II dengan beberapa perbaikan.
Gambar 3. Diagram tes awal dan tes akhir siklus I
Berdasarkan Tabel 2, hampir semua siswa tidak mengerjakan latihan CNP
paket C, sehingga jumlah paket CNP pada siklus II diubah menjadi 2 paket saja.
Selain itu, untuk memotivasi siswa agar lebih cepat dan tepat dalam menyelesaikan
soal yang ada, maka hadiah diberikan kepada siswa yang berhasil menjawab semua
latihan CNP dengan benar.
B. Siklus II
Siklus II dilaksanakan dalam 4 pertemuan. Pelaksanaan tindakan pada siklus
ini serupa dengan siklus I. Perubahan terjadi pada banyak paket CNP yang diberikan
pada setiap pertemuan dan pemberian hadiah untuk siswa yang berhasil menjawab
05
10152025
Terampil Cukup
Terampil
Kurang
Terampil
Ban
yak
Sis
wa
Kategori
Keterampilan Berhitung Perkalian Siswa
Tes Awal
Tes Akhir Siklus I
1042
semua soal latihan dengan benar.
Data Tabel 4 menunjukkan jumlah siswa yang mengerjakan CNP pada setiap
pertemuan.
Tabel 4. Hasil Latihan CNP Siklus II
Latihan CNP 1 Latihan CNP 2 Latihan CNP 3
A B A B A B
Mengerjakan 25 20 25 12 25 19
Tidak mengerjakan 0 5 0 13 0 6
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 4, diketahui bahwa seluruh siswa
mampu mengerjakan latihan soal paket A. Namun tidak seluruh siswa mampu
mengerjakan soal paket B. Selain itu, pengamatan juga dilakukan terhadap tes akhir
siklus II. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 5.
Hasil tes akhir siklus II menunjukkan bahwa ada 21 siswa (84%) yang
mengalami peningkatan keterampilan berhitung perkalian. Jadi, tindakan pada siklus
II dapat dikatakan berhasil. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa adanya perubahan
yang dialami siswa pada skor tes akhir siklus I dan skor tes akhir siklus II yang
berpengaruh pada kategori keterampilan berhitung perkalian siswa. Namun, masih
ada 9 siswa yang tetap berada pada kategori kurang terampil. Hal tersebut dapat
dilihat pada Gambar 4.
Tabel 5. Skor Tes Akhir Siklus II
No Kode
Siswa
Skor
Tes
Awal
Siklus
II
Skor Tes
Akhir
Siklus II
Persentase
jawaban
benar (%)
Kategori
Keterampilan
Berhitung Perkalian
Peningkatan
Keterampilan
Berhitung
Perkalian
Setelah Siklus II
1 SA 14 23 95,83 Terampil 9
2 SB 14 17 70,83 Terampil 3
3 SC 15 22 91,67 Terampil 7
4 SD 20 22 91,67 Terampil 2
5 SE 5 5 20,83 Kurang terampil 0
6 SF 6 7 29,17 Kurang terampil 1
7 SG 14 22 91,67 Terampil 8
8 SH 1 6 25,00 Kurang terampil 5
9 SI 0 9 37,50 Kurang terampil 9
10 SJ 18 23 95,83 Terampil 5
11 SK 15 23 95,83 Terampil 8
12 SL 9 11 45,83 Kurang terampil 2
13 SM 10 11 45,83 Kurang terampil 1
14 SN 24 23 95,83 Terampil -1
15 SO 24 20 83,33 Terampil -4
16 SP 9 16 66,67 Cukup terampil 7
1043
17 SQ 12 16 66,67 Cukup terampil 4
18 SR 16 24 100,00 Terampil 8
19 SS 6 11 45,83 Kurang terampil 5
20 ST 13 19 79,17 Terampil 6
21 SU 24 23 95,83 Terampil -1
22 SV 9 10 41,67 Kurang terampil 1
23 SW 10 20 83,33 Terampil 10
24 SX 17 18 75,00 Terampil 1
25 SY 10 11 45,83 Kurang terampil 1
Gambar 4. Diagram tes awal, tes akhir siklus I, dan tes akhir siklus II.
Diagram pada Gambar 4 menyajikan data banyak siswa dalam setiap kategori
dari tes awal, tes akhir siklus I, dan tes akhir siklus II. Berdasarkan diagram tersebut,
terlihat bahwa banyak siswa yang berada pada kategori terampil mengalami
peningkatan baik pada siklus I atau siklus II. Sebaliknya, banyak siswa pada kategori
kurang terampil mengalami penurunan baik pada siklus I atau siklus II.
C. Pembahasan
Berdasarkan hasil pada siklus I dan siklus II maka diperoleh informasi sebagai
berikut.
1. Terdapat 88% siswa yang mengalami peningkatan keterampilan berhitung
perkalian pada siklus I.
2. Terdapat 84% siswa yang mengalami peningkatan keterampilan berhitung
perkalian pada siklus II.
3. Terdapat peningkatan jumlah siswa pada kategori terampil yaitu dari 3 menjadi
6 siswa pada siklus I dan dari 6 menjadi 14 siswa pada siklus II.
4. Terdapat penurunan jumlah siswa pada kategori kurang terampil yaitu dari 20
menjadi 11 siswa pada siklus I dan dari 11 menjadi 9 siswa pada siklus II.
Peningkatan keterampilan berhitung perkalian ini diakibatkan oleh latihan
berulang menggunakan CNP. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan
oleh Baroody, Steel, dan Funnel, yaitu keterampilan berhitung perkalian dapat
ditingkatkan dengan melakukan latihan secara berulang [6]. Hasil wawancara
dengan beberapa siswa SMP PGRI 184 Legok mengungkapkan bahwa siswa malas
0
5
10
15
20
25
Terampil Cukup
Terampil
Kurang
Terampil
Ban
yak
Sis
wa
Kategori
Keterampilan Berhitung Perkalian Siswa
Tes Awal
Tes Akhir Siklus I
Tes Akhir Siklus II
1044
mengerjakan latihan berulang dalam bentuk biasa. Namun, hasil pengamatan selama
tindakan menunjukkan bahwa siswa tidak malas mengerjakan latihan berulang
dalam bentuk CNP. Ini artinya CNP juga mempunyai peranan dalam peningkatan
keterampilan berhitung perkalian siswa.
Selain itu, data penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada siswa yang
mengalami penurunan kategori. Sebagian besar siswa mengalami peningkatan
kategori, sedangkan sebagian lainnya tetap. Pada akhir siklus II, masih terdapat 9
siswa yang tetap pada kategori kurang terampil. Hal ini mungkin diakibatkan oleh
beberapa hal seperti ketidakpahaman pada konsep perkalian dasar. Namun
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan penyebab utamanya.
5. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terjadi
peningkatan keterampilan berhitung perkalian secara signifikan dan tidak ada siswa
yang mengalami penurunan kategori. Dengan demikian, penerapan latihan perkalian
dalam bentuk CNP berhasil meningkatkan keterampilan berhitung perkalian siswa
kelas VII A SMP PGRI 184 Legok.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan saran sebagai berikut.
1. Latihan perkalian dalam bentuk CNP dapat diterapkan pada kelompok siswa
lain yang mayoritas berada pada kategori kurang terampil.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab utama dari
tidak berubahnya keterampilan berhitung perkalian siswa yang berada pada
kategori kurang terampil.
Referensi
[1] Kurniawan, D., 2014, Pembelajaran Terpadu Tematik (Teori, Praktik, dan
Penilaian), Bandung, CV. Alfabeta.
[2] Lestari, S., 2014, Pembelajaran kontekstual bermedia objek nyata pada
perkalian dan pembagian untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar, Jurnal
Pendidikan Sains, Volume 2 No.4 (2014), 238-249.
[3] Rahayu, P., D., 2015, Implementasi dan pengembangan model permainan
Funtastic Ganbatte dan Bingo Matematika untuk meningkatkan keterampilan
operasi hitung perkalian, Jurnal Penelitian Pendidikan, Volume 15 No.2
(2015), 15-23.
[4] Surya, Y., 2013, Modul Pelatihan Gasing SD Bagian 1, Tangerang, PT.Kandel.
[5] Ulfa, A., 2015, Peningkatan Hasil Belajar Bilangan Romawi Melalui Metode
Permainan Susun Bilangan dan Teka-Teki Silang Siswa Kelas IV SDN
Kembaran Candimulyo Magelang, Skripsi, Yogyakarta, Magelang.
[6] Wong, M. D., 2007, Improving Basic Multiplication Fact Recall For Primaru
School Students, Mathematics Education Research Journal, Volume 19 No.1
(2007), 89-106.
[7] WorksheetWorks, 2002, Cross Number Puzzle,
www.worksheetworks.com/puzzles/crossnumber.html.
1045
Prosiding SNM 2017
Pendidikan, Hal 1045-1051
PENINGKATAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG
CAMPURAN SISWA KELAS III SD MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF
ASWIN SAPUTRA
Universitas Indraprasta PGRI
Jl. Raya Tengah No. 80, Kel. Gedong, Kec. Pasar Rebo Jakarta Timur
Abstrak. Dari hasil observasi awal, diperoleh gambaran bahwa siswa di SDN Kapuk Muara 01
memiliki kecerdasan yang beragam. Hal ini dapat menjadi dasar untuk mengembangkan perangkat
pembelajaran yang dapat mengakomodir gaya belajar dan penguasaan konsep matematika siswa.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui implementasi model pembelajaran kooperatif siswa,
mengetahui pengaruh implementasi model pembelajaran kooperatif siswa, dan mengetahui penguasaan
konsep matematika siswa.Penelitian ini menggunakan desain penelitian true experimental dengan
randomized pretest-postest control group design. Penelitian ini dilaksanakan di kelas III semester ganjil
SDN Kapuk Muara 01 dengan alamat Jalan Raya Kapuk Muara No. 9, Kel. Kapuk Muara, Kec.
Penjaringan Jakarta Utara Tahun Pelajaran 2016/2017 pada bulan September sampai Desember 2016.
Penelitian dilakukan untuk topik operasi hitung campuran. Populasi dalam penelitian ini adalah kelas
III yang berjumlah 32 siswa. Metode pengumpulan data dengan tes. Sebelum diberi perlakuan
dilakukan pretes dan setelah diberi perlakuan dilakukan postes. Hasil penelitian menunjukkan adanya
pengaruh yang positif antara model pembelajaran kooperatif terhadap penguasaan konsep matematika
siswa. Rerata hasil penguasaan konsep matematika lebih tinggi dari pada sebelum diberi perlakuan.
Kata kunci: Pembelajaran, Kooperatif, Operasi Hitung Campuran.
1. Pendahuluan
Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas adalah salah satu cara dalam
mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang diamantkan dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam hal mewujudkan bakat-bakat
yang dibawa manusia sejak lahir, sehingga manusia memiliki keterampilan yang
dapat digunakan untuk menghidupi dirinya. Pendidikan inilah yang diharapkan akan
menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas.
1046
Pendidikan yang bermutu merupakan salah satu prioritas utama dalam
pembangunan nasional. Pendidikan yang menghasilkan perubahan sikap dan tingkah
laku manusia baik yang berupa pengetahuan maupun keterampilan akan membawa
kemajuan suatu bangsa. Pentingnya pendidikan inilah yang menuntut adanya proses
pendidikan yang optimal sehingga menghasilkan pendidikan yang bermutu.
Berikut ini data pengujian tingkat kemampuan kognisi siswa yang
terstandarisasi dilakukan oleh Programe for International Student Assessment
(PISA).
Tabel 1 Posisi Indonesia dalam hasil tes kemampuan kognisi dibanding
dengan beberapa Negara terseleksi tahun 2012
(sumber: Diambil dari makalah Prof. Dr. Muljani A. Nurhadi pada seminar
nasional peningkatan pembelajaran berdasarkan hasil penelitian di LPMP
Jakarta )
Apabila dibandingkan dengan empat kelompok Negara yang lain. Vietnam,
Thailand, Malaysia, dan Brazilia, capaian rerata skornya di atasnya. Di Indonesia
relatif belum ada, terbukti dengan naiknya presentase perolehan skor per tahun
Indonesia sangat rendah, yaitu hanya 0,7 % dan 2,3 % masing-masing untuk
pelajaran bidang matematika dan membaca, sementara untuk IPA bahkan turun 1,9
%. Bandingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Brazilia yang memperoleh kenaikan
presentase skor bidang matematika masing-masing 1 : 8 : 1 dan 4,1 %. Rendahnya
nilai hasil belajar siswa juga terjadi pada siswa terutama pada pembelajaran
matematika. Sebagai contohnya, saat guru memberikan ulangan harian kebanyakan
siswa salah mengoperasikan perhitungan aljabar.
Akibatnya lebih dari 70 % siswa belum tuntas belajar dengan rerata ulangan
harian kurang dari batas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 70. Hal ini dapat
diketahui dari hasil rerata nilai ulangan harian sebagai berikut:
1047
Tabel 2 Rerata hasil ulangan harian materi operasi hitung campuran
Tahun Pelajaran Jumlah siswa Rerata nilai
2013 / 2014 31 50
2014 / 2015 32 52
Sumber: Daftar Nilai Guru kelas III SDN Kapuk Muara 01 Jakarta Utara
Diduga, faktor yang menyebabkan hasil belajar siswa dikarenakan guru
dalam menerangkan materi matematika kurang menarik perhatian siswa sebab guru
cenderung menggunakan metode ceramah atau pembelajaran secara konvensional
sehingga mengakibatkan sebagian siswa bersikap pasif selama proses belajar
mengajar berlangsung. Hal itu menjadikan kondisi belajar mengajar tidak kondusif
yang dapat menimbulkan tidak adanya minat belajar siswa terhadap pelajaran
matematika dan berakibat pada hasil belajar yang diperoleh siswa cenderung rendah.
Keadaan ini merupakan hal yang harus diperhatikan mengingat pentingnya
mata pelajaran Matematika dalam menyiapkan siswa untuk mampu memecahkan
permasalahan, salah satunya dengan memiliki kemamapuan penguasaan konsep
matematika. Penguasaan materi-materi Matematika merupakan hal yang mutlak
sehingga dapat dipahami dalam diri siswa untuk kemudian akhirnya mampu
memecahkan permasalahan.
Slavin (1995:5) mendefinisikan, bahwa model pembelajaran kooperatif
secara ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan
memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan
konsep-konsep itu dengan temannya.
Slavin (dalam Arends, 1997) menelaah penelitian-penelitian pada semua
tingkat kelas dan meliputi bidang studi bahasa, geografi, ilmu sosial, sains,
matematika, bahasa inggris, menunjukkan bahwa kelas kooperatif hasil belajar
akademik yang signifikan lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol.
Penelitian yang sama oleh Johnson dkk. (1991) dalam meta amalisis mengenai
pembelajaran kooperatif dengan 158 studi, terungkap bahwa dari delapan model
pembelajaran kooperatif, Learning Together, Academic Controversy, STAD, TGT,
Group Investigation, Jigsaw, TAI, CIRC, secara signifikan meningkatkan prestasi
belajar.
Berdasakan paparan di atas, dapat dibuat judul “Upaya Perbaikan
Penguasaan Konsep Matematika Siswa Kelas III di SDN Kapuk Muara 01 melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD”. Penelitian ini dilakukan karena perlu
adanya peningkatan kemampuan penguasaan konsep siswa dalam pembelajaran
matematika, maka salah satu tujuan pembelajaran matematika yaitu memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan menerapkan konsep
atau algoritma secara luwes, akurat, dan mampu memecahkan permasalahan yang
berkaitan dengan operasi hitung campuran .
2. Hasil – Hasil Utama
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penelitian tindakan kelas ini dilakukan
dalam dua siklus. Pelaksanaan prosedur penelitian yang akan dilakukan sebagai
berikut:
2.1 Tahapan Pelaksanaan Siklus I
2.1.1 Tahap perencanaan tindakan
1048
Dalam tahap perencanaan tindakan pada siklus ini, kegiatan yang
dilakukan adalah:
2.1.1.1 Guru menyusun silabus yang berkaitan dengan materi operasi
hitung campuran
2.1.1.2 Guru merancang skenario pembelajaran yang dapat digunakan
dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD
2.1.1.3 Merancang alat pengumpul data berupa tes dan digunakan untuk
mengetahui penguasaan konsep siswa yang berkaitan dengan
materi operasi hitung campuran.
2.1.2 Tahap pelaksanaan tindakan
2.1.2.1 Siswa diberikan penjelasan umum tentang tujuan penelitian
tindakan kelas sesuai dengan rancangan yang telah direncanakan,
baik mengenai pengumpulan data maupun kegiatan-kegiatan
yang lain. Kegiatan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah
memberikan penjelasan secara umum tentang pokok bahasan
yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD agar menstimulasi rasa ingin tahu siswa,
mendorong siswa yang belum aktif untuk aktif dalam mengikuti
pembelajaran, mengamati dan mencatat siswa yang
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, mengumpulkan hasil
pengujian yang diperoleh siswa dalam mengerjakan tugas , dan
menganalisis haisl tes yang diberikan setelah siswa diajar dengan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
2.1.2.2 Guru mengajar sesuai dengan skenario pembelajaran klasikal
yang telah dirancang dan mencatat kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh masing-masing siswa.
2.1.2.3 Guru memberikan evaluasi pada siswa untuk mengetahui
pemahaman siswa berkaitan dengan materi operasi hitung
campuran.
2.1.3 Tahap observasi tindakan
Mengamati dan mencatat semua kejadian yang terjadi pada saat siswa
mengikuti pembelajaran dan menanyakan pada siswa yang kurang aktif
dalam pembelajaran tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
2.1.4 Tahap refleksi
Menganalisis hasil pekerjaan siswa dan hasil observasi yang dilakukan
pada siswa guna menentukan langkah berikutnya. Membuat
pengelompokkan siswa berdasarkan pada hasil yang didapatkan siswa
pada evaluasi yang dilakukan.
Tabel 1 Nilai Tes Siklus I
Interval Nilai Frekuensi Presentasi
30-39 4 12,5%
40-49 4 12,5%
50-59 7 21,8%
60-69 8 25%
70-79 3 9,3 %
80-89 4 12,5 %
90-99 2 6,25 %
Jumlah 32 100%
1049
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan selama kegiatan siklus I,
siswa kurang memahami soal mengenai Materi operasi hitung campuran. Siswa
kesulitan untuk menentukan menyelesaikan setiap tipe soal yang diberikan. Hal ini
dikarenakan kurang pahamnya siswa. Diskusi kelompok juga belum berjalan efektif
dan masih banyak siswa yang kurang aktif saat berdiskusi dengan teman dalam
kelompoknya. Maka langkah berikutnya mengulang materi mengenai operasi hitung
campuran, agar ditindak lanjuti ke siklus II
2.2 Tahapan Pelaksanaan Siklus II
2.2.1 Tahap perencanaan tindakan
2.2.1.1 Mempersiapkan fasilitas dan sarana yaitu dengna membuat
kelompok siswa dengan penyebaran siswa yang menguasai
materi awal yaitu materi yang telah disampaikan pada siklus
I.
2.2.1.2 Membuat pengurus pada masing-masing kelompok yang
fasilitator, pencatat, juru bicara, dan pengatur waktu.
2.2.1.3 Membuat bahan ajar yang akan disampaikan pada masing-
masing kelompok untuk didiskusikan
2.2.2 Tahap pelaksanaan tindakan
2.2.2.1 Memberikan penjelasan tentang pokok bahasan operasi
hitung campuran yang akan dipelajari serta menjelaskan
kegiatan yang akan dilaksanakan berkaitan dengan
pengajaran dalam teknik menstimulasi siswa untuk belajar
bersama dalam kelompok
2.2.2.2 Siswa yang telah menguasai materi awal disiklus I diminta
memimpin pembahasan bahan ajar yang diberikan. Bahan
ajar yang diberikan berisi tugas memecahkan masalah tindak
lanjut dari siklus I.
2.2.2.3 Memberi kesempatan kepada masing-masing kelompok
untuk menyajikan hasil diskusi.
2.2.2.4 Pembahasan materi ajar yang siswa dalam satu kelas
mengalami kesulitan atau pun salah dalam apersepsinya.
2.2.2.5 Mengevaluasi siswa untuk mengetahui kemampuan siswa
dalam menguasai pengerjaan soal operasi hitung campuran.
2.2.3 Tahap observasi tindakan
2.2.3.1 Guru mencatat hasil-hasil yang diperoleh siswa serta
mencatat kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam
mengerjakan masalah yang berkaitan dengan bahan ajar yang
diberikan.
2.2.3.2 Guru mencatat kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa
dalam menyelesaikan masalah pada bahan ajar yang
diberikan.
2.2.4 Tahap refleksi
Membuat inventarisasi kesulitan yang dilakukan siswa dalam
menyelesaiakan masalah pada bahan ajar yang diberikan serta mendata
siswa yang telah mampu menyelesaikan soal evaluasi dan mampu
mendapatkan nilai di atas standar KKM.
1050
Tabel 2 Nilai Tes Siklus II
Interval Nilai Frekuensi Presentasi
30-39 2 6,25 %
40-49 0 0%
50-59 0 0%
60-69 12 37,5 %
70-79 10 31,25%
80-89 5 15,625%
90-99 3 9,3%
Jumlah 32 100%
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan selama siklus II, diskusi
kelompok berjalan aktif, suasana di kelas juga tertib dan tenang karena hampir
seluruh siswa aktif berdiskusi dalam kelompoknya. Motivasi belajar siswa juga
meningkat dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini.
Pembahasan
Pada perencanaan guru menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
Kemudian menentukan pokok bahasan tentang operasi hitung campuran. Dalam
pelaksanaan tindakan proses pembelajaran sesuai skenario yang telah dibuat.
Kegiatan observasi mengacu pada lembar observasi. Pada tahap yang terakhir yaitu
refleksi, yakni melakukan evaluasi dan membahas hasil evaluasi tersebut dan
mencermatinya.
Sesuai langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu:
menyampaikan materi yang akan didiskusikan, dibagi menjadi beberapa kelompok
belajar, masing-masing kelompok diberi materi untuk didiskusikan, membimbing
jalannya diskusi, mempresentasikan hasil diskusi, dan pemberian penghargaan
pembelajaran matematika. Untuk mengetahui nilai siswa pada siklus I dapat dilihat
pada tabel satu di atas
Berdasarkan tabel dua di atas, dapat diketahui terdapat perbaikan atau
peningkatan yang baik pada penguasaan konsep matematika siswa karena dari 32
siswa hanya terdapat tiga siswa yang nilai di bawah KKM yaitu dua siswa dengan
interval nilai 30-39 dan satu siswa dengan nilai 63 dan sisanya memperoleh nilai di
atas KKM.
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dilaksanakan telah mampu
menumbuhkan dan meningkatkan motivasi belajar sehingga penguasaan konsep
matematika siswa kelas III meningkat pula. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Eminingsih (2013) yang menyatakan bahwa, model pembelajaran kooperatif tipe
STAD mampu meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP.
Tanggapan siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD cukup
beragam, tetapi hampir semuanya menyatakan bahwa mereka menyukai model
belajar mengajar ini, hal ini dilakukan oleh melalui pertanyaan guru saat bertanya
kepada para siswa di kelas. Selain itu dengan penerapan model ini, secara garis besar
siswa merasakaan, yaitu:
1. Siswa dapat semakin berinteraksi dengan guru dalam aktif bertanya,
menyangga suatu pendapat ataupun mengoreksi kekeliruan guru dalam
menjelaskan.
2. Siswa menjadi lebih bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai
seorang pelajar.
3. Siswa bertambah kemampuan kognitifnya, paham akan materi yang
disampaikan guru.
1051
4. Siswa juga lebih aktif bekerja sama menghadapi kesulitan-kesulitan belajar
matematika dengan saling membantu satu sama lainnya
Berdasarkan hasil di atas, secara keseluruhan penelitian tindakan kelas
mengenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, pada pelajaran matematika
kelas III materi operasi hitung campuran dapat dikatakan berhasil. Karena pada akhir
penelitian kriteria keberhasilan yang ditetapkan telah terpenuhi, yaitu dapat
meningkatkan hasil belajar siswa sesuai dengan KKM yang ditentukan.
3. Kesimpulan
Dari penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan pada siswa kelas III
SDN Kapuk Muara 01 ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dengan membawa siswa aktif dalam pembelajaran akan dapat
meningkatkan kemampuan operasi hitung campuran.
2. Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan model yang efektif untuk
menyampaikan materi operasi hitung campuran
3. Hasil penelitian ini bisa menjadi contoh bagi Guru yang melaksanakan
PTK, jika masalah yang dihadapi relatif sama.
Referensi
[1] Eminingsih. 2013. Peningkatan Hasil Belajar Matematika melalui pembelajaran
kooperatif tipe STAD pada siswa kelas VII E SMP Negeri 3 Batang. Lembar
Ilmu Kependidikan, 42 (1): 30-35
[2] Muljani, A. Peningkatan pembelajaran berdasarkan hasil penelitian. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional LPPM UNINDRA , Jakarta, 14 Desember
2013
[3] Sugiyono, 2015. Metode Penetian Tindakan Komprehensif. Bandung: Alfabeta
[4] Widyantini, T. 2008. Penerapan Pendekatan Kooperatif STAD dalam
Pembelajaran Matematika SMP. Yogyakarta: P4TK Matematika
1052
Prosiding SNM 2017 Pendidikan , Hal 1052 -1058
UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI GURU
MATEMATIKA DALAM MELAKUKAN PUBLIKASI
ILMIAH KEMATEMATIKAAN
RINA OKTAVIYANTHI1 RIA NOVIANA AGUS2
1,2 Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Serang Raya, Jl. Raya Serang-Cilegon Km. 5 (Taman Drangong), Serang-Banten
Abstrak. Studi ini merupakan tahap pertama dari rangkaian penelitian inisiasi
peningkatan publikasi ilmiah guru matematika di lingkungan Yayasan
Pendidikan Informatika (YPI) Serang sebagai upaya pengembangan
profesionalisme guru. Masalah dasar yang dihadapi guru matematika yang
menjadi fokus kajian tahap pertama ini yaitu rendahnya motivasi guru
matematika dalam melakukan publikasi ilmiah. Penyebab hal tersebut salah
satunya adalah kesulitan mengintisari sumber bacaan kematematikaan
berbahasa Inggris yang meliputi artikel jurnal dan textbook. Upaya untuk
mengatasi masalah dalam studi ini terdiri atas dua aspek yaitu (1) konten materi
melalui pengenalan istilah matematika (mathematical terms) berbahasa Inggris,
dan (2) metode kegiatan berupa pendampingan pelatihan (in house training).
Data yang digunakan untuk mengevaluasi studi tahap pertama ini meliputi
lembar observasi kegiatan, angket motivasi guru, dan wawancara. Secara umum
dari perolehan data ditemukan bahwa pengenalan istilah matematika melalui in
house training memberikan pengaruh dan respon positif sebagai upaya
meningkatkan motivasi guru matematika melakukan publikasi ilmiah.
Kata kunci : in house training, mathematical terms, motivasi guru matematika,
pengembangan profesionalisme guru, publikasi ilmiah guru
1. Pendahuluan
Guru sebagai tenaga pendidik memiliki peranan krusial dalam membangun
pengetahuan peserta didik. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa jabatan guru
sebagai pendidik merupakan jabatan profesional [1]. Lebih jauhnya, keberadaan
guru tidak hanya membantu peserta didik dalam memperoleh kemampuan-
kemampuan yang mudah diajarkan dan mudah diteskan, tetapi lebih penting dari itu
yakni (1) melatih cara berpikir (ways of thinking) yang meliputi kreativitas
(creativity), berpikir kritis (ciritical thinking), pemecahan masalah (problem-
solving), dan pengambilan keputusan (decision making); (2) mengajar cara bekerja
(tools for working) termasuk bagaimana memroses informasi dan
mengomunikasikannya melalui teknologi (information and communication
technologies); (3) menyontohkan cara menjadi warga negara yang baik (skills
around citizenship) dan mendukung kehidupan peserta didik baik secara personal
maupun sosial [2][3]. Keberhasilan hal-hal tersebut sedikit banyak ditentukan oleh
1053
guru, khususnya bergantung pada kualitas kompetensi pedagogik yang dimiliki guru
itu sendiri. Kualitas inilah yang menjadi salah satu faktor penentu meningkatnya
student achievement [4][5]. Untuk mendukung hal tersebut, mengembangkan
kompetensi pedagogik dan profesionalisme guru adalah program yang perlu
dilakukan.
Ivanenko dkk. (2015) dan TTAC (2011) menyebutkan salah satu komponen
dasar dalam pengembangan kompetensi guru dalam sains (competency in science)
sebagai bentuk kegiatan profesionalisme (professional activities) adalah dengan
mengembangkan kemampuan penelitian guru (developing teachers’ research skills)
[6][7]. Adapun kemampuan-kemampuan guru yang diharapkan akan berkembang
dan mendukung profesionalismenya melalui proses meneliti, diantaranya yaitu
searching, processing, analyzing, assimilating, integrating-applying information
and knowledge, reflecting dan assessing [7][8]. Proses-proses tersebut ditegaskan
Schieb & Karabenick (2011) dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kredibilitas dan profesionalisme guru [9]. Kegiatan meneliti yang
dilakukan oleh guru memiliki output penulisan karya ilmiah yang merupakan salah
satu tugas guru profesional. Menulis karya ilmiah tidak hanya diperlukan guru untuk
kenaikan jabatan melainkan sebagai sarana meningkatkan kualitas pengelolaan kelas
dan memperbaiki kualitas mengajar yang berimplikasi pda meningkatnya prestasi
peserta didik. Dengan melakukan penelitian, menuliskannya dalam bentuk karya
ilmiah dan mempublikasikannya merupakan wujud nyata keterlibatan dan kontribusi
guru dalam pengembangan IPTEK.
Berkenaan dengan menulis karya ilmiah, Timperley dkk. (2007)
mengungkapkan bahwa poin ini merupakan proses kompleks dari pengembangan
kompetensi guru yang harus dilalui [10]. Perlu motivasi tiggi, energi besar dan
komitmen penuh untuk membiasakan menulis karya ilmiah [11]. Proses kompleks
yang tidak dibiasakan inilah yang menjadi salah satu penyebab tidak termotivasinya
guru-guru dalam melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah, khususnya guru
matematika. Pernyataan tersebut didukung oleh data awal yang dilakukan tim
penulis pada guru-guru Matematika di lingkungan Yayasan Pendidikan Informatika
(YPI) Serang, Banten. Berdasarkan hasil angket dan wawancara studi pendahuluan
yang dilakukan tim penulis, diketahui bahwa hanya 27% guru matematika di
lingkungan Yayasan Pendidikan Informatika (YPI) yang pernah melakukan
penelitian, 20% guru yang menuliskan hasil penelitiannya dalam bentuk karya
ilmiah, dan 7% guru yang melakukan publikasi. Penyebab yang melatarbelakangi
hal tersebut diantaranya adalah (1) kurangnya pemahaman mengenai teknik dan
prosedur meneliti dan menulis karya ilmiah, lebih spesifik diketahui bahwa guru
matematika terhambat pada memahami sumber tulisan seperti jurnal dan textbook;
dan (2) sedikitnya program pelatihan kepenulisan karya ilmiah yang diikuti guru
matematika. Dua aspek ini yang mendukung lemahnya motivasi guru matematika di
lingkungan Yayasan Pendidikan Informatika (YPI) Serang, Banten dalam meneliti,
menulis karya ilmiah dan mempublikasikannya. Oleh karena itulah, perlu dilakukan
upaya untuk membantu meningkatkan motivasi guru matematika dalam melakukan
publikasi ilmiah kematematikaan melalui in house training pengenalan istilah-istilah
matematika.
Rumusan masalah dalam kajian ini adalah (1) bagaimana gambaran
pemahaman dan motivasi guru dalam mengikuti kegiatan in house training
pengenalan istilah-istilah matematika terhadap penulisan karya ilmiah, dan (2)
1054
bagaimana respon dan tanggapan guru dalam kegiatan in house training. Evaluasi
dilakukan dengan mengambil data melalui observasi kegiatan, pengisian angket dan
wawancara. Adapun tahapan kegiatan secara umum dalam studi ini dapat dilihat
pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Bagan Tahapan Kegiatan
2. Hasil – Hasil Utama
Populasi penelitian ini adalah guru-guru matematika di sekolah-sekolah jenjang SMP sederajat dan SMA sederajat yang berada pada lingkungan Yayasan Pendidikan Informatika (YPI) Serang, Banten. Diambil sampel secara acak tiga sekolah dengan jumlah guru matematika yang berpartisipasi dalam studi ini sebanyak 15 orang. Dari ke-15 orang guru matematika tersebut diperoleh data sebesar 73% belum pernah melakukan penelitian, 80% belum pernah menulis karya ilmiah, dan 93% belum pernah melakukan publikasi ilmiah dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Berikut keterangan sampel dalam studi ini.
Tabel 1. Distribusi Sampel Penelitian
Sekolah
Penelitian Menulis Karya Ilmiah Publikasi Karya
Ilmiah
Pernah Belum
Pernah Pernah
Belum
Pernah Pernah
Belum
Pernah
SMA
Informatika 1 2 1 2 0 3
SMK
Informatika 0 5 0 5 0 5
SMP
Informatika 3 4 2 5 1 6
Persentase 27% 73% 20% 80% 7% 93%
Kegiatan in house training ini terbagi ke dalam tiga tahap yaitu (1) analisis kebutuhan dan proses persiapan, (2) pelaksanaan kegiatan in house training, dan (3) evaluasi kegiatan. Pada tahap analisis kebutuhan diperoleh data bahwa 67% guru matematika belum memahami teknik dan prosedur meneliti dan menulis karya ilmiah, 87% belum pernah mengikuti kegiatan pelatihan atau pendampingan yang berhubungan dengan meneliti dan menulis karya ilmiah, dan 100% guru menyetujui bahwa perlu diadakannya pendampingan yang berkelanjutan dalam melakukan penelitian maupun penulisan karya ilmiah. Tabel 2 berikut merupakan rekapitulasi angket kebutuhan guru matematika untuk diadakannya kegiatan in house training.
Mul
Analisis kebutuhan
dan proses
persiapan
Proses
kegiatan in
house training
Evaluasi
kegiatan dan
luaran
Seles
1055
Tabel 2. Rekapitulasi Angket Kebutuhan Kegiatan In House Training
No Pertanyaan Pilihan Jawaban
Ya Tidak
1 Apakah Bapak/ Ibu mengetahui urgensi meneliti dan
menulis karya ilmiah? 87% 13%
2 Apakah Bapak/ Ibu memahami tentang teknik dan
prosedur meneliti dan menulis karya ilmiah? 33% 67%
3
Apakah Bapak/ Ibu pernah mengikuti kegiatan
pelatihan atau pendampingan penulisan karya
ilmiah?
13% 87%
4
Apakah lembaga Bapak/ Ibu memasilitasi kegiatan
pelatihan atau pendampingan penulisan karya
ilmiah?
0 100%
5
Apakah Bapak/ Ibu membutuhkan kegiatan
pelatihan atau pendampingan dalam hal penelitian,
penulisan dan publikasi karya ilmiah?
100% 0
Lebih spesifik pada konten matematika, tim penulis memperoleh data bahwa 80% guru matematika kesulitan dalam memahami istilah matematika (mathematical terms) yang terdapat dalam jurnal maupun textbook. Oleh karena itu, konten materi dalam program in house training ini salah satunya adalah pengenalan istilah matematika berbahasa inggris dan penggunaannya.
Tahap kedua dalam studi ini yaitu pelaksanaan kegiatan in house training yang dilakukan empat kali pertemuan dengan sebaran materi tersaji pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Sebaran Materi Kegiatan In House Training
Tanggal Materi In House Training Jenis Kegiatan In House Training
Teori Praktik Mandiri Terpusat
5 Desember
2016
Pemaparan tentang urgensi
dan teknik meneliti, menulis
karya ilmiah dan publikasi √ - - √
12
Desember
2016
Latihan membuat karya tulis
ilmiah - √ √ -
19
Desember
2016
Pengenalan istilah
matematika (mathematical
terms) berbahasa inggris
pada jurnal dan textbook
√ - - √
26
Desember
2016
Latihan penggunaan istilah
matematika (mathematical
terms) berbahasa inggris ke
dalam artikel karya ilmiah
- √ √ -
Tahap ketiga yaitu mengevaluasi kegiatan sekaligus menjawab rumusan masalah yang menjadi fokus dalam studi ini. Untuk menjawab rumusan masalah dilakukan pengambilan data melalui lembar observasi kegiatan dan pengisian angket motivasi.
Tabel 4 merupakan tinjauan tim penulis mengenai pemahaman materi guru per pertemuan kegiatan. Dari nilai rata-rata pada tabel 4 dapat digambarkan secara umum bahwa pemahaman materi guru matematika pada kegiatan in house training terbilang baik pada pertemuan kesatu dan kedua dengan nilai persentase 68.5% dan
1056
73.5%. Persentase terbesar pada pertemuan kesatu diperoleh ketika guru mampu mengungkapkan kembali tujuan dan manfaat dari kegiatan penelitian. Tim penulis mencatat sebagian besar jawaban guru mengenai tujuan dan manfaat meneliti adalah sebagai kewajiban guru dalam mendapatkan sertifikat pendidik. Hal yang perlu diluruskan adalah bahwa kegiatan penelitian guru tidak hanya bermanfaat sebagai penambah nilai kum pada proses sertifikasi pendidik, namun lebih dalam dari itu sebagai wujud pembaharuan pengetahuan dan mengembangkan IPTEK.
Pada pertemuan kedua, persentase terbesar terlihat ketika guru dapat menyebutkan secara umum teknik dan prosedur publikasi. Tim penulis mencatat beberapa guru menyebutkan konferensi dan jurnal sebagai media untuk melakukan publikasi karya ilmiah. Nilai rata-rata persentase terendah diperoleh pada pertemuan ketiga dan keempat yaitu sebesar 45%. Persentase terendah ditemukan ketika guru mendapati kesulitan membedakan penggunaan istilah matematika yang memiliki kesamaan arti pada pengucapan namun berbeda arti dalam simbil, contohnya adalah simbol perkalian. Beberapa guru menggunakan cross ‘x’ dan beberapa yang lain menggunakan dot ‘.’. Tim penulis meluruskan bahwa penggunaan dot pada perkalian yang melibatkan satuan vektor. Rendahnya persentase pada pengenalan dan penggunaan istilah matematika berbahasa inggris menjadi catatan penting bagi tim penulis untuk menelusuri lebih lanjut mengenai faktor penyebab dan cara menanggulanginya pada penelitian lanjutan.
Tabel 4. Persentase Hasil Observasi Pemahaman Materi Kegiatan Persentase Pemahaman Per Pertemuan
Pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3 & Pertemuan 4
Guru dapat
mengungkapkan
kembali tujuan dan
manfaat meneliti
Guru dapat menyebutkan
secara umum teknik dan
prosedur meneliti
Guru dapat menyebutkan beberapa
istilah matematika berbahasa inggris
dalam jurnal dan textbook
87% 67% 60%
Guru dapat
mengungkapkan
kembali tujuan dan
manfaat menulis karya
ilmiah
Guru dapat menyebutkan
secara umum teknik dan
prosedur menulis karya
ilmiah
Guru dapat mengungkapkan arti dari
istilah matematika berbahasa inggris
dalam jurnal dan textbook
67% 67% 47%
Guru dapat
mengungkapkan
kembali tujuan dan
manfaat publikasi
Guru dapat menyebutkan
secara umum teknik dan
prosedur publikasi
Guru dapat membedakan
penggunaan istilah matematika yang
memiliki kesamaan arti pada
pengucapan namun berbeda arti
dalam simbol, contoh: simbol
perkalian menggunakan cross ‘x’
atau dot ‘.’
67% 93% 33%
Guru dapat
mengklasifikasi jenis
penelitian, karya ilmiah
dan publikasi
Guru dapat membuat
karya ilmiah baik
berdasarkan penelitian
yang pernah dilakukan
ataupun studi literatur
Guru dapat menggunakan istilah
matematika berbahasa inggris yang
sesuai dalam artikel karya ilmiah
53% 67% 40%
Persentase Rata-rata Per Pertemuan
68.5% 73.5% 45%
Persentase Rata-rata keseluruhan
62.3%
1057
Tabel 5 menggambarkan persentase hasil pemahaman dan motivasi guru berdasarkan tinjauan personal masing-masing guru. Data pada tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata pemahaman dan motivasi guru matematika dalam kegiatan in house training pengenalan istilah matematika (mathematical terms) sebagai upaya menunjang penelitian, penulisan dan publikasi ilmiah kematematikaan untuk pengembangan profesionalisme guru cukup besar yaitu mencapai 80.8%.
Tabel 5. Persentase Hasil Angket Pemahaman dan Motivasi
No Aspek yang diamati Pilihan Jawaban
Ya Tidak
1
Pemaparan urgensi dan teknik meneliti, menulis karya ilmiah
dan publikasi melalui kegiatan in house training membuat
saya mengetahui dan memahami tujuan dan manfaatnya
dalam mendukung pengembangan profesionalisme saya
sebagai guru
87% 13%
2 Melalui kegiatan in house training saya dapat mengetahui
klasifikasi jenis penelitian, karya ilmiah dan publikasi 93% 7%
3 Saya dapat belajar menyusun suatu penelitian, menuliskannya
dalam karya ilmiah dan mempublikasikannya 67% 33%
4
Kegiatan in house training ini membuat saya lebih memahami
teknik dan prosedur yang harus dilakukan dalam merancang
suatu penelitian, menulis karya ilmiah dan publikasi
87% 13%
5 Melalui in house training saya mengetahui penggunaan istilah
matematika berbahasa inggris dalam jurnal maupun textbook 93% 7%
6
Pengenalan dan pemaparan istilah matematika berbahasa
inggris dapat membantu saya dalam penulisan karya ilmiah
kematematikaan
67% 33%
7
Melalui in house training saya dapat membuat karya ilmiah
kematematikaan menggunakan istilah matematika berbahasa
inggris yang saya temui dalam jurnal maupun textbook
67% 33%
8
Dengan mengetahui tahapan-tahapan dalam meneliti, menulis
karya ilmiah dan publikasi, saya dapat menerapkannya sendiri
dan mengembangkan sesuai kebutuhan
80% 20%
9
Belajar membuat karya ilmiah kematematikaan dengan
praktik langsung melalui in house training ini memberi saya
motivasi lebih untuk mengembangkan profesionalisme saya
sebagai guru
67% 33%
10
Kegiatan in house training pengenalan istilah matematika
berbahasa inggris perlu diselenggarakan di sekolah untuk
meningkatkan motivasi guru matematika melakukan publikasi
dan sebagai upaya mendukung pengembangan
profesionalisme guru
100% 0
Rata-rata 80.8% 19.2%
Dari peraihan persentase angket pemahaman dan motivasi pada tabel 5 di atas, tim penulis memperhatikan bahwa kegiatan in house training memberikan dampak positif bagi guru dalam membangun budaya meneliti, menulis dan melakukan publikasi karya ilmiah yang dapat mendukung pengembangan profesionalisme guru. Namun yang masih menjadi catatan tim penulis adalah masih kurangnya pemahaman yang berhubungan dengan penggunaan istilah kematematikaan. Hal ini menjadi pertimbangan dan koreksi tim penulis dalam menyusun kegiatan in house training lanjutan yang dapat memasilitasi dan mengoptimalkan peningkatan pemahaman yang berhubungan dengan istilah matematika berbahasa inggris.
1058
3. Kesimpulan
Berdasarkan hasil-hasil utama yang telah diuraikan pada poin dua melalui
pembahasan lembar observasi dan pengolahan angket pemahaman, dapat
disimpulkan bahwa:
a. Pemahaman dan motivasi guru dalam mengikuti kegiatan in house
training pengenalan istilah-istilah matematika terhadap penulisan karya
ilmiah memiliki persentase rata-rata yang cukup baik yaitu 62.3%.
b. Respon dan tanggapan guru dalam kegiatan in house training untuk
mendukung pengembangan profesionalisme guru memiliki persentase
rata-rata yang cukup besar yaitu 80.8%.
Tantangan dan kajian selanjutnya yaitu bagaimana menginisiasi
peningkatan publikasi ilmiah guru matematika di lingkungan Yayasan
Pendidikan Informatika (YPI) Serang sebagai upaya pengembangan
profesionalisme guru dan merancang instrumen untuk tujuan tersebut.
Referensi
[1] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
[2] OECD, 2011, Preparing Teachers and Developing School Leaders for 21st Century,
OECD Publishing.
[3] Caena, F., 2013, Supporting Teacher Competence Development, European
Commission.
[4] Mizell, H., 2010, Why Professional Development Matters, Learning Forward USA.
[5] Guerriero, S., 2013, Teachers’ Pedagogical Knowledge and the Teaching Profession,
OECD Publishing.
[6] Ivanenko, N.A., Mustafina, G.M., Sagitova, V.R. et. Al., 2015, Basic Components of
Developing Teachers’ Research Competence as a Condition to Improve Their
Competitiveness, Review of European Studies, Vol. 7 (4), 221-227, doi:
10.5539/res.v7n4p221.
[7] Teacher Training Advanced Centre (TTAC), 2011, Standars of Professional
Competencies Required of Teachers, General Directorate of Education Spanish.
[8] Mahar, S., 2006, Teachers as Researchers, Department of Education and Early
Childhood Development Victoria.
[9] Schieb, L.J., & Karabenick, S.A., 2011, Teacher Motivation and Professional
Development: A Guide to Resources, Motivation Assessment Program University of
Michigan.
[10] Timperley, H., Wilson, A., Barrar, H., & Fung, I., 2007, Teacher Professional Learning
and Development, Ministry of Education New Zealand.
[11] Han, J. & Yin, H., 2016, Teacher Motivation: Definition, Research Development and
Implications for Teachers, Cogent Education, Vol. 3, 1-18, doi:
10.1080/2331186X.2016.1217819.
1059
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 1059-1070
PEMBELAJARAN MATERI RATA-RATA DENGAN
MENGGUNAKAN DIAGRAM BATANG MELALUI
PENDEKATAN PMRI
RATIH PUSPA SARI1, DARMAWIJOYO2, YUSUF HARTONO3
1FKIP UNSRI, Mahasiswa Magister Pend. Matematika, [email protected]
2Universitas Sriwijaya, [email protected] 3Universitas Sriwijaya, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan lintasan belajar yang dapat
membantu siswa dalam mempelajari materi rata-rata dengan menggunakan diagram
batang melalui pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).
Metode yang digunakan adalah design research yang melalui tiga tahapan, yaitu:
preliminary design, the design experiment dan the retrospective analysis. Namun
penelitian ini hanya menunjukkan hasil pada tahap the design experiment, khususnya
pada tahapan pilot experiment. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu
melalui wawancara, rekaman video dan foto, tes tertulis, serta catatan lapangan.
Penelitian ini melibatkan 6 orang siswa di kelas VI yang terdiri dari siswa dengan
kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa
diagram batang dapat mendukung siswa untuk mengembangkan pengetahuan mereka
tentang konsep rata-rata. Seluruh strategi yang siswa temukan, gambarkan dan
diskusikan menunjukkan bagaimana kontribusi siswa dapat digunakan untuk
membantu pemahaman awal mereka tentang konsep rata-rata.
Kata kunci: Diagram Batang, Rata-Rata, Design Research, PMRI
1. Pendahuluan
Pembelajaran statistika penting bagi siswa karena statistika diterapkan
secara luas dalam berbagai disiplin ilmu, misalnya ilmu alam, bisnis dan industri, Bakker [1]. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari topik ini. Dalam statistika terdapat istilah ukuran pemusatan. Ukuran pemusatan data terdiri dari rata-rata (mean), median, dan modus. Menurut Permendikbud No. 24 Tahun 2016 [2], materi ukuran pemusatan data tunggal diajarkan di kelas VI. Adapun pokok bahasan dalam artikel ini yaitu rata-rata (mean).
Penelitian-penelitian sebelumnya di antaranya, penelitian oleh Lestariningsih, Putri & Darmawijoyo [3] yang merancang pembelajaran menggunakan konteks Legenda Pulau Kemaro dengan pendekatan PMRI serta Putria, Putri & Mulyono [4] menggunakan lego block untuk menemukan konsep rata-rata. Assagaf [5] mengemukakan bahwa kebanyakan guru mengajarkan konsep rata-rata dengan cara tradisional, dengan fokus pada perhitungan tetapi tidak pada pemahaman konsep. Selain itu, pembelajaran cenderung mengikuti definisi dan permasalahan yang diberikan dalam buku teks tanpa diuraikan lebih pada pengembangan pemahaman siswa tentang konsep.
1060
Berdasarkan permasalahan di atas, diperlukan cara belajar yang menarik dan bermakna bagi siswa. Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran ini yaitu Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). PMRI merupakan adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME). Dalam PMRI, titik awal dari pembelajaran matematika harus berdasarkan pengalaman nyata kehidupan sehari-hari siswa dan menggunakan situasi kontekstual. [6].
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana lintasan belajar dapat membantu siswa dalam mempelajari materi rata-rata dengan menggunakan diagram batang melalui pendekatan PMRI. Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan lintasan belajar yang dapat membantu siswa dalam mempelajari materi rata-rata denganmenggunakan diagram batang melalui pendekatan PMRI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah design research. Menurut
Gravemeijer & Cobb [7], terdapat tiga tahap dalam design research yaitu:
preliminary design, the design experiment dan the retrospective analysis. Namun,
di dalam penelitian ini, peneliti hanya sampai pada tahap the design experiment,
khususnya pada tahapan pilot experiment yang melibatkan enam orang siswa
dengan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
2. Hasil – Hasil Utama
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 157 Palembang dengan melibatkan enam orang siswa kelas VI (bukan subjek penelitian pada tahap teaching experiment) yang terdiri dari dua orang siswa yang memiliki kemampuan tinggi, dua orang siswa yang memiliki kemampuan sedang, dan dua orang siswa yang memiliki kemampuan rendah. Penelitian ini sudah melalui dua tahapan dari tiga tahapan dari design research, yaitu persiapan untuk penelitian atau desain awal (preliminary design) dan desain percobaan (the design experiment) yang dilaksanakan pada siklus pilot experiment. Pilot experiment bertujuan untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dan mengumpulkan data untuk mendukung penyesuaian rencana lintasan belajar.
Pada tahap preliminary design, dilakukan kajian literatur tentang statistika khususnya rata-rata, pembelajaran statistika pada Kurikulum 2013 untuk SD, pendekatan PMRI, dan design research sebagai dasar untuk merumuskan dugaan awal dalam pembelajaran rata-rata. Peneliti juga mengobservasi siswa di kelas yang akan menjadi teaching experiment serta berdiskusi dengan guru matematika yang menjadi guru model untuk mengetahui lebih jauh mengenai kondisi siswa dan kondisi kelas. Hasil dari observasi dan diskusi tersebut, diketahui bahwa guru mengajarkan materi rata-rata dengan cara memberikan penjelasan materi dan rumusnya, memberikan contoh soal lalu siswa mengerjakan soal-soal latihan secara individu dan tidak ada diskusi antar siswa di dalam kelas. Selain itu, peneliti menyusun serangkaian aktivitas siswa untuk mencapai konsep rata-rata dari tahap informal ke tahap formal.
Selanjutnya peneliti menelusuri kemampuan awal siswa dengan melakukan wawancara tentang hal-hal yang berkaitan dengan rata-rata dan mengadakan tes awal. Hasil tersebut digunakan peneliti sebagai bahan dalam mendesain aktivitas untuk siswa. Setelah itu, peneliti mendesain Hypothetical Learning Trajectory (HLT) sebagai gambar alur pembelajaran materi rata-rata dengan menggunakan diagram batang melalui pendekatan PMRI. Berikut HLT yang sudah dirancang oleh peneliti.
1061
Gambar 1. Hypothetical Learning Trajectory (HLT) Selain HLT, peneliti merancang perangkat pembelajaran yang mendukung
berupa tes awal (pre test), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), panduan guru, lembar aktivitas siswa, lembar observasi dan tes akhir (post test). Setiap aktivitas menguraikan tujuan pembelajaran, pengetahuan awal siswa, deskripsi kegiatan belajar, konjektur berpikir siswa, dan refleksi dari aktivitas yang dilakukan. Hasil desain ini dibahas dengan guru matematika atau guru model kemudian diterapkan dalam studi pendahuluan (pilot experiment).
Pada tahap pilot experiment, peneliti mengujicobakan lembar aktivitas materi rata-rata yang sudah peneliti desain pada tahap preliminary design. Pada tahap ini, peneliti bertindak sebagai guru bersama dengan enam orang siswa kelas VI. Nama-nama siswa dalam tahap pilot experiment dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Daftar nama siswa pada tahap pilot experiment
No. Nama Siswa Kemampuan
1
2
3
4
5
6
RA
NI
SNA
DAA
NSE
NR
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Rendah
Rendah
Pada tahap pilot experiment ini, peneliti mengobservasi dan menganalisis
hal-hal yang terjadi pada serangkaian aktivitas HLT yang dilaksanakan. Aktivitas tersebut antara lain: mengumpulkan data, menyajikan data, menggambar tumpukan persegi, memotong dan menyambung batang pada diagram batang, menentukan rata-rata dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan rata-rata dari data tunggal.
Siswa diberikan dua buah lembar aktivitas untuk dua kali pertemuan. LAS 1 bertujuan siswa dapat menentukan rata-rata dan LAS 2 bertujuan siswa dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan rata-rata dari data tunggal. Berikut diuraikan hasil yang diperoleh dari ujicoba bersama siswa.
Dari aktivitas 1 pada LAS 1, siswa melakukan permainan gasing untuk mengumpulkan data berupa waktu lamanya gasing berputar. Enam orang siswa dibentuk menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari dua orang siswa. Setiap kelompok melakukan pemutaran gasing sebanyak tiga kali. Gambar 2 menunjukkan siswa sedang bermain gasing dan melakukan pengukuran waktu dengan melihat gerakan putaran detik pada jam.
Hypothetical Learning Trajectory
Siswa dapat
menyajikan
data ke dalam
tabel
Siswa dapat
menentukan
rata-rata
Siswa dapat
menyelesaikan
masalah yang
berkaitan
dengan rata-
rata dari data
1062
Gambar 2. Siswa bermain gasing dan melakukan pengukuran waktu Selanjutnya siswa menyajikan data yang diperoleh dari permainan memutar
gasing sebanyak tiga kali ke dalam tabel. Data yang diperoleh dari permainan memutar gasing dapat digunakan siswa untuk membantu belajar tentang tabel dan diagram batang. Setiap kelompok memiliki data yang berbeda. Pada tahap pilot experiment ini, terlihat bahwa siswa berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi mampu untuk menyajikan data yang dikumpulkannya sendiri. Permainan gasing ini merupakan tahap informal (konteks) pada pendekatan PMRI. Salah satu hasil jawaban siswa dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Salah satu jawaban siswa pada aktivitas penyajian data Setelah menyajikan data ke dalam tabel, siswa mengerjakan aktivitas 2 pada
LAS 1. Pada aktivitas 2 ini, siswa diarahkan menentukan rata-rata dengan teori fair share. Hal ini penting bagi guru untuk mengetahui bagaimana membantu siswa untuk memahami rata-rata sebagai pembagian sama rata (as a fair share) dan sebagai sebuah poin yang seimbang (as a balance point). [8].
Siswa menggambar tumpukan persegi berdasarkan catatan waktu lamanya gasing berputar untuk putaran ke-1, putaran ke-2 dan putaran ke-3 dalam satuan detik yang diperoleh dari permainan gasing pada aktivitas 1. Satu persegi mewakili satu detik putaran gasing. Jadi, tingginya atau panjangnya tumpukan disusun berdasarkan lamanya gasing berputar. Aktivitas membuat gambar tumpukan atau susunan persegi berdasarkan lamanya gasing berputar dalam satuan detik bisa menstimulus siswa
1063
untuk memperoleh kemampuan dalam memahami diagram batang. Kemudian siswa diminta untuk menemukan cara agar tingginya tumpukan-tumpukan persegi tersebut menjadi sama tinggi atau jumlah perseginya menjadi sama banyak. Aktivitas memodelkan pengukuran waktu ke dalam gambar tumpukan persegi ini merupakan tahapan model of pada pendekatan PMRI. Hasil jawaban siswa dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Salah satu jawaban siswa pada aktivitas menggambar tumpukan persegi Dari hasil diskusi dan pekerjaan siswa, terdapat jawaban yang berbeda
seperti yang ditunjukkan pada gambar 5. Meskipun siswa tidak menyusun persegi bertumpuk ke atas atau ke samping seperti gambar 4, jawaban siswa tersebut tetap benar, karena siswa mampu membagi banyaknya persegi menjadi sama banyak. Hal ini dapat dilihat pada sisa satu persegi dari putaran ke-1 dan putaran ke-2 yang membuat siswa memiliki ide untuk membaginya menjadi tiga bagian kemudian dipindahkan ke tumpukan persegi pada putaran ke-3 sehingga ditemukan rata-ratanya bernilai 22 2 3⁄ . Hasil jawaban siswa ditunjukkan pada Gambar 5.
1064
Gambar 5. Jawaban siswa yang berbeda pada aktivitas menggambar tumpukan persegi
Selanjutnya, dari aktivitas 3 pada LAS 1 siswa menyajikan kembali strategi
yang ditemukan pada aktivitas 2. Ada tiga permasalahan yang diajukan kepada siswa dalam aktivitas ini. Pertama, siswa diminta untuk menyajikan ulang data hasil permainan gasing sebanyak tiga kali putaran ke dalam diagram batang kemudian mengubah tinggi semua batang menjadi sama tinggi. Kedua, mereka diminta mengisi tabel yang didesain mengacu pada konsep rata-rata. Dalam permasalahan ketiga, siswa diminta untuk membuat kesimpulan berdasarkan tabel yang telah dibuat. Berikut diuraikan jawaban siswa.
Siswa menyajikan data yang diperoleh pada aktivitas 1 ke dalam diagram batang. Siswa memotong dan menyambungkan batang pada diagram batang untuk membuat tinggi batang-batang tersebut menjadi sama tinggi. Aktivitas memodelkan pengukuran waktu ke dalam diagram batang ini merupakan tahapan model for pada pendekatan PMRI. Hasil jawaban siswa dapat dilihat pada Gambar 6.
1065
Gambar 6. Salah satu jawaban siswa pada aktivitas memotong dan menyambung batang
Berdasarkan Gambar 6, siswa memotong batang pada batang ke-1 sebanyak
7 satuan dan memindahkannya ke batang yang ke-3. Kemudian siswa juga memotong batang untuk putaran gasing ke-2 sebanyak 7 satuan dan menyambungnya pada batang ke-3 sehingga tinggi ketiga batang tersebut sama rata. Aktivitas ini merupakan lanjutan dari aktivitas sebelumnya yang menstimulus siswa menemukan rata-rata dalam menggambar tumpukan persegi sehingga sama tinggi setinggi 17 tumpukan persegi. Hal ini berarti siswa menemukan nilai rata-rata lamanya ketiga gasing berputar adalah 17 detik. Strategi ini menunjukkan kemampuan siswa lebih formal daripada sebelumnya karena mereka tidak perlu membuat satuan persegi seperti pada aktivitas 2.
Setelah menemukan strategi diagram batang yang telah dibuat agar tinggi setiap batangnya menjadi sama rata, siswa diminta untuk menarik kesimpulan dari aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan. Siswa melengkapi tabel hasil penemuannya berupa data lama dan data baru dari batang pada diagram batang sebelum dan setelah tinggi batangnya dibuat sama rata. Hasil jawaban siswa dapat dilihat pada Gambar 7.
1066
Gambar 7. Salah satu jawaban kesimpulan siswa Untuk permasalahan kedua dan ketiga, mampu diselesaikan oleh siswa
dengan tepat. Dari jawaban siswa tersebut, semua kelompok sudah mampu menyimpulkan makna dari rata-rata. Aktivitas mengisi tabel merupakan jembatan antara tahap informal menuju tahap formal dalam pembelajaran. Kemampuan siswa untuk menarik kesimpulan dari tabel menjadi sarana untuk menemukan kembali rumus untuk menentukan rata-rata kemudian digunakan bagi siswa untuk memecahkan masalah pada LAS 2. Hal ini merupakan tahapan formal pada pendekatan PMRI.
Pada pertemuan kedua, siswa diberikan LAS 2 untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan materi rata-rata dari data tunggal. Terdapat empat butir soal. Soal pertama, siswa diminta untuk mencari rata-rata menggunakan diagram batang sedangkan soal nomor dua, siswa diminta untuk mencari rata-rata menggunakan rumus formal. Hasil jawaban siswa dapat dilihat pada Gambar 8.
1067
Gambar 8. Salah satu jawaban siswa soal nomor 1 LAS 2
Gambar 9. Salah satu jawaban siswa soal nomor 2 LAS 2
Berdasarkan Gambar 8 dan Gambar 9, diketahui bahwa siswa mampu
menghitung rata-rata baik dengan menggunakan diagram batang maupun rumus. Siswa tidak menemui kesulitan saat mengerjakan dua buah soal tersebut. Namun, beberapa siswa masih sedikit mengalami kebingungan ketika menyelesaikan soal nomor satu dengan menggunakan diagram batang karena masih terpacu pada rumus.
Selanjutnya soal nomor tiga dan empat, siswa menyelesaikan permasalahan materi rata-rata dari data tunggal. Untuk kedua soal ini, siswa diperbolehkan menjawab dengan menggunakan diagram batang ataupun rumus. Hasil jawaban siswa ditunjukkan pada Gambar 10.
1068
Gambar 10. Salah satu jawaban siswa soal nomor 3 LAS 2 Siswa diberikan permasalahan berupa jika data lama ditambah dengan satu
data baru, maka berapakah rata-ratanya. Dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa siswa menyelesaikan permasalahan dengan tepat. Siswa tersebut mampu menyelesaikan dengan dua cara. Siswa bisa menjumlahkan data baru dengan jumlah dari data yang lama, lalu dibagi dengan banyaknya data baru. Terlihat bahwa siswa tidak mengalami kesulitan dalam membagi dua buah bilangan bulat yang menghasilkan bilangan desimal.
Selanjutnya, untuk soal nomor 4 pada LAS 2, siswa menyelesaikan permasalahan dengan dua cara yang berbeda. Siswa dengan kemampuan tinggi dan sedang mengerjakan soal tersebut menggunakan rumus formal seperti pada Gambar 11 (a). Namun, siswa dengan kemampuan rendah, memecahkan permasalahan dengan bantuan diagram batang seperti pada Gambar 11 (b). Jawaban-jawaban siswa ditunjukkan pada Gambar 11.
1069
(a)
(b)
Gambar 11. Salah satu jawaban siswa soal nomor 3 LAS 2
Berdasarkan uraian di atas, secara umum diketahui bahwa permainan gasing
memiliki peran penting dalam mendukung proses belajar statistika. Permainan gasing dapat menjadi titik awal dalam membantu siswa memahami konsep-konsep dasar dalam statistika. Permainan gasing sangat menarik bagi siswa sehingga mereka mengikuti serangkaian aktivitas yang dirancang dengan sangat antusias, sehingga permainan menjadi konteks yang realistis bagi siswa.
1070
Selain itu, siswa dapat belajar bagaimana untuk mengumpulkan data mereka sendiri dan mereka dapat menggunakan data mereka sendiri. Terakhir, siswa juga dapat menunjukkan bagaimana menemukan rata-rata dari suatu data. Lintasan belajar materi rata-rata dilakukan mulai dari pengembangan kemampuan siswa dari data yang diperoleh dari bermain gasing (tahap informal) sampai ke tahap formal yaitu siswa dapat menentukan rata-rata.
3. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa HLT yang telah diterapkan dalam penelitian ini telah menjadi lintasan belajar yang dapat membantu siswa dalam mempelajari materi rata-rata dengan menggunakan diagram batang melalui pendekatan PMRI. Adapun hal-hal dalam lintasan belajar pada penelitian ini yang dapat membantu siswa antara lain sebagai berikut: a. Pengalaman dalam belajar yang bermakna dan menyenangkan yang diberikan
yaitu aktivitas menyajikan data yang diperoleh dari permainan gasing. b. Strategi dalam menemukan konsep rata-rata melalui diagram batang.
Dengan demikian, lintasan belajar yang telah diimplementasikan dalam penelitian ini merupakan salah satu bentuk kontribusi positif dalam pembelajaran rata-rata menggunakan diagram batang dengan pendekatan PMRI.
Pernyataan terima kasih. Penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada seluruh pihak yang memberikan dukungan, Prof. Dr. Ratu Ilma, M.Si selaku Ketua Prodi Magister Pendidikan Matematika, Dr. Darmawijoyo selaku dosen pembimbing 1, Dr. Yusuf Hartono selaku dosen pembimbing 2, serta rekan-rekan Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya angkatan 2015. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Universitas Indonesia yang memberikan kesempatan untuk mempublikasikan artikel ini.
Referensi
[1] Bakker, A., 2004, Design Research in Statistics Education on Symbolizing and
Computer Tools.Utrecht University.
[2] Permendikbud No. 24 Tahun 2016. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Matematika
SD/MI. http://www.gurupembelajar.net/2016/07/permendikbud-no-24-tahun-2016-
tentang.html. Diakses pada 30 September 2016.
[3] Lestariningsih, Putri, R. I. I., & Darmawijoyo, 2012, The Legend of Kemaro Island for
supporting students in learning average. IndoMS. J.M.E, 203-212.
[4] Putria, A., Putri, R. I. I., & Mulyono, B., 2015, Pembelajaran Matematika pokok bahasan
rata-rata hitung menggunakan pendekatan PMRI di kelas VII. Jurnal Pendidikan
Matematika, Vol 9, No (2).
[5] Assagaf, S. F., 2014, Developing The 5th Grade Students’ Understanding Of The
Concept Of Mean. Tesis. UNESA-Utrecht University.
[6] Zulkardi, 2002, Developing A Learning Enviroment on Realistics Mathematics
Education for Indonesian Student Teacher. Disertasi. Enschede: University of Twente.
[7] Gravemeijer, K. & Cobb, P., 2013, Design Research From A Learning Design
Perspective. In T. Plomp, N. Nieveen. (Ed.): Educational Design Research (pp.72-133).
Enschede: SLO.
[8] Franklin, C. A. & Mewborn, D. S., 2007, Contemporary Curriculum Issues: Statistics in
the Elementary Grades: Exploring Distributions of Data. Teaching Children
Mathematics. 14 (August 2008): 10–16.
1071
Prosiding SNM 2017 Pendidikan , Hal 1071 -1079
MENGOPTIMALKAN LONG TERM MEMORY DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH
YUNITA HERDIANA1, YULIANA SELFIA EKO2,
1 Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, [email protected]
2 Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, [email protected]
Abstrak. Long term memory pada hakikatnya merupakan tempat penyimpanan
pengetahuan secara permanen dan mempunyai kapasitas yang tidak terbatas.
Kurang optimalnya long term memory pada siswa menyebabkan informasi yang
diterimanya samar-samar atau bahkan mudah dilupakan. Hal tersebut seringkali
mempersulit siswa dalam belajar matematika yang dihadapkan pada materi -
materi terkait yang telah dipelajari sebelumnya. Pada pembelajaran matematika
di sekolah, hubungan antara kerja memori dengan kemampuan matematika
siswa cenderung diabaikan. Padahal ini sangat berguna dalam membantu guru
untuk menentukan strategi yang akan digunakan pada berbagai materi
matematika. Informasi-informasi yang telah disimpan pada short term memory,
jika dengan menggunakan startegi yang tepat dapat meningkatkan daya ingat
bagi siswa pembelajar visual maupun auditori, yang selanjutnya akan tersimpan
pada long term memory. Oleh karena itu, tantangan seorang guru dalam
mendesain sebuah pembelajaran matematika adalah mengupayakan strategi agar
informasi yang disampaikan dalam pembelajaran matematika dapat disimpan
dalam long term memory secara baik, pemahaman mendalam, serta dalam jangka
waktu yang lama.
Kata kunci: Long term memory, pembelajaran matematika, strategi mengajar
1. Pendahuluan
Sudah menjadi wacana yang sangat umum bahwa banyak siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Jika diperhatikan dalam
pembelajaran di dalam kelas, ketika siswa diberikan penjelasan tentang suatu topik,
mereka akan menyatakan mengerti. Namun pada saat mengerjakan soal, banyak
siswa yang masih melakukan kesalahan. Debora, Mustangin &Irawati [1]
memaparkan penyebab kesulitan belajar. Jika dianalisa penyebabnya, maka Brucker,
Davis, dan Nederson mengelompokkan penyebab kesulitan belajar menjadi lima
faktor, yaitu: (1) Faktor Fisiologis, (2) Faktor Sosial, (3) Faktor Emosional, (4)
Faktor Intelektual, dan (5) Faktor Pedagogis.
Faktor kesulitan belajar yang pertama, yaitu faktor fisiologis berkaitan
dengan keadaan fisik siswa, seperti siswa yang sering sakit-sakitan, gangguan
pendengaran, penglihatan ataupun pengucapan sedikit banyaknya akan
menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam belajar. Selanjutnya faktor kedua,
yaitu faktor sosial, sudah kenyataan yang tidak dapat dibantahkan jika orang tua dan
1072
masyarakat sekeliling berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan siswa
sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah cerminan masyarakat dan
anak adalah gambaran orang tuanya. Oleh karena itu peranan orang tua, guru dan
masyarakat sangat menentukan dalam memotivasi siswa. Ketiga, faktor kejiwaaan
merupakan faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa yang
berkaitan dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) siswa untuk belajar
secara bersungguh-sungguh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang dapat
mempelajari suatu mata pelajaran dengan baik akan menyenangi pelajaran tersebut,
dan sebaliknya. Maka tindakan seorang guru dapat mempengaruhi perasaan dan
emosi siswanya. Keempat, faktor intelektual berkaitan dengan kurangnya tingkat
kecerdasan siswa. Para guru harus meyakini bahwa setiap siswa mempunyai tingkat
kecerdasan berbeda. Ada siswa yang sangat sulit menghapal sesuatu, ada yang sangat
lamban menguasai materi tertentu, ada yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat
dan juga ada yang sangat sulit membayangkan dan bernalar. Faktor penyebab
kesulitan belajar siswa mengenai intelektual ini yang akan penulis minimalisir
melalui pengoptimalan long term memory siswa. Faktor yang terakhir, yaitu faktor
pendidikan berkaitan dengan belum mantapnya lembaga pendidikan, baik dari
sistem, sarana, dan prasarananya.
Adapun kesulitan-kesulitan belajar yang dialami siswa yang ditulis oleh
Widdiharto [2], setelah memahami konsep, hal-hal yang sering terjadi pada siswa
adalah: tidak memahami, samar-samar, segera lupa atau lupa sebagian, atau sangat
tidak memahami. Kesulitan-kesulitan yang terjadi tersebut sangat berkaitan dengan:
1. Ketidakmampuan memberi nama singkat atau nama teknis,
2. Ketidakmampuan menyatakan arti istilah yang menandai konsep,
3. Ketidakmampuan mengingat,
4. Ketidakmampuan memberikan contoh konsep tertentu,
5. Kesalahan klasifikasi, dan
6. Ketidakmampuan mendeduksi informasi berguna dari suatu konsep.
Dari kesulitan-kesulitan belajar di atas, tidak semuanya dapat dijawab dengan
mengoptimalkan faktor intelektual yang diproses di belahan otak kiri saja. Ada
beberapa kesulitan yang dapat diselesaikan dengan mengoptimalkan fungsi kerja
otak kiri dan otak kanan secara sinergis. Dalam pembelajaran di sekolah yang terjadi
bahwa keduanya tidak diperlakukan seimbang. Garner [3] menyatakan bahwa sistem
sekolah lebih banyak mengajar, mengetes, memaksa, dan menghargai kemampuan
verbal, logika, matematika. Hal tersebut menunjukkan sekolah hanya
mengembangkan belahan otak kiri. Harus diketahui bahwa belahan otak kiri hanya
berhubungan dengan memori kerja (sort term memory), dan belahan otak kananlah
yang berhubungan dengan memori jangka panjang (long term memory). Sehingga
informasi yang dikelola oleh belahan otak kanan tersimpan dalam waktu yang lama
dan dapat diingat kembali ketika dibutuhkan. Pembelajaran konvensional yang
selama ini digunakan, dimana guru sebagai aktor utama yang aktif, dan siswa sebagai
penonton yang pasif merupakan salah satu contoh pembelajaran yang tidak
melibatkan otak kanan. Pembelajaran dengan otak kanan, menjadikan siswa sebagai
aktor utama, siswa yang aktif mencari, menemukan, dan mengolah informasi
menjadi ilmu pengetahuan.
Selain itu, menurut Keeler dan Swanson [4] dalam pembelajaran matematika
di sekolah guru cenderung mengabaikan hubungan antara kerja memori dengan
kemampuan matematika siswa. Padahal ini sangat berguna dalam membantu guru
dalam menentukan strategi yang akan digunakan pada berbagai materi matematika
yang akan diajarkan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Webster [5] yang memaparkan
1073
bahwa informasi-informasi yang telah disimpan pada short term memory, jika
dengan menggunakan strategi yang tepat meningkatkan daya ingat bagi siswa
pembelajar visual maupun auditori, yang selanjutnya akan tersimpan pada long term
memory. Oleh karena itu penulis melakukan studi literatur dan penelitian untuk
mengupayakan pengoptimalan long term memory siswa dalam pembelajaran
matematika di sekolah.
2. Hasil – Hasil Utama
Diagram 1. Cara Kerja Memori
Diagram sistem pemrosesan informasi yang paling mendasar ini kemudian
dikenal dengan Modal Model yang dipaparkan oleh Brunning, Scraw, Norby, &
Ronning [6]. Diagram ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh J. Anderson (Teori
ACT), A. Baddeley (Klasifikasi memori pekerja) dan K. Ericcson (Pengembangan
keahlian/ekspertis). Karakter dan fungsi dari masing-masing bagian sistem kognitif
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Memori Penginderaan (Sensory Memory)
Memori penginderaan adalah komponen paling pertama yang menerima
informasi. Untuk memberikan persepsi dan identifikasi awal informasi yang
diterima, memori ini mengubah informasi dalam bentuk signal-signal stimulus.
Bruning et al [6] mengatakan bahwa penelitian menunjukkan bahwa memori ini
menahan signal-signal tersebut untuk memberikan persepsi dan identifikasi dalam
waktu yang sangat pendek (kurang dari satu mikro detik) dan signal tersebut akan
segera hilang dari memori ini karena datangnya signal-signal stimulus berikutnya.
Memori penginderaan merupakan suatu sistem yang terdiri dari penerima
atau penerus informasi (sense registers). Penerima informasi dikenal dengan alat
pengindera, seperti mata (untuk melihat dan menerima pandangan/informasi visual),
telinga (untuk mendengar dan menerima suara/informasi auditori), hidung (untuk
membau), lidah (untuk merasa) dan kulit (untuk meraba). Meskipun setiap alat
pengindera tersebut mempunyai kemampuan yang berbeda, sebagian besar peneliti
lebih memfokuskan pada penglihatan dan pendengaran.
Ada tiga proses yang terjadi ketika memori pengindera menerima suatu
informasi: perhatian, persepsi atau pengenalan pola dan pemberian makna. Perhatian
adalah langkah pertama yang dilakukan oleh memori pengindera untuk mendeteksi
dan memperhatikan datangnya suatu stimulus. Seseorang memberikan perhatian
terhadap suatu informasi dengan mengalokasikan muatan kognitif terhadap
informasi tersebut. Pemberian perhatian terhadap datangnya suatu informasi dapat
1074
terjadi secara otomatis (tidak sadar) maupun secara sadar (disengaja), tergantung dari
pengetahuan awal yang tersedia di memori jangka panjang. Pengetahuan awal (prior
knowledge) adalah informasi yang sebelumnya telah dipelajari dan disimpan di
memori jangka panjang.
Di dalam memori penginderaan, informasi yang dipilih (diperhatikan)
diuraikan menjadi sinyal-sinyal yang akan dipersepsikan dengan mengenali polanya,
tanpa perlu memahami maknanya, menggunakan pengetahuan awal. Pengetahuan
awal ini dapat berupa prototype, analisis bentuk atau deskripsi suatu bentuk.
Pengetahuan awal ini menentukan bagaimana memori pengindera mempersepsikan
suatu stimulus. Apabila perhatian untuk mengindera stimulus tersebut ditingkatkan,
maka alat pengindera akan mengumpulkan lebih banyak informasi yang berkaitan
dan mengabaikan informasi yang tidak berkaitan. Kemudian, sistem ini akan
mengirimkan ke sistem memori berikutnya (working memory) untuk memberikan
dan mengorganisasikan makna informasi tersebut. Memori penginderaan tidak
berfungsi untuk mempelajari informasi, tetapi memperhatikan informasi dan
mengenali polanya.
Implikasi dari fungsi memori penginderaan ini dalam pembelajaran
matematika, antara lain: (1) memori pengindera hanya dapat mengolah informasi
dalam jumlah terbatas, sehingga penyajian materi pembelajaran perlu didesain
sedemikian sehingga informasi-informasi kunci dapat diterima oleh siswa dengan
baik; (2) memori penginderaan dapat menerima informasi dari kelima alat indera,
sehingga mengkombinasikan sajian informasi, misalnya, visual (tertulis) dan verbal,
dapat meningkatkan jumlah informasi yang mampu diterima oleh memori
pengindera.
2. Working Memory (Memory Pekerja)
Ketika saat ini kita sedang memikirkan suatu informasi, maka kita sedang
menghadirkan informasi tersebut di memori pekerja. Memori pekerja sebelumnya
dikenal dengan memori jangka pendek (short term memory). Secara fungsi, memori
ini bertugas untuk mengorganisasikan informasi, memberi makna informasi dan
membentuk pengetahuan untuk disimpan di memori jangka panjang, sehingga
disebut memori pekerja. Secara kapasitas, memori ini hanya dapat menyimpan
(menahan) informasi dalam waktu pendek, sehingga disebut memori jangka pendek.
Bahwa memori pekerja mempunyai kapasitas yang terbatas, yaitu sekitar 5
sampai dengan 9 elemen informasi dalam satu waktu, telah ditunjukkan oleh Schaye
dan Rywick [7]. Dalam penelitiannya, Miller menyajikan kata-kata yang susunanya
tidak bermakna dan kemudian meminta responden untuk menyatakannya kembali.
Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar responden hanya mampu mengingat
antara lima sampai dengan sembilan kata. Bruning et al [6] memaparkan bahwa
penelitian yang sama diulang oleh Peterson dan Peterson pada tahun 1959
menyatakan bahwa banyaknya informasi yang dapat ditahan oleh memori pekerja
akan semakin menurun setelah beberapa waktu. Dengan kata lain, memori pekerja
kita mempunyai keterbatasan kapasitas dan durasi dalam mengolah informasi secara
simultan.
Jika memori jangka panjang tidak cukup mempunyai pengetahuan awal
yang menjadi prasyarat untuk memaknai dengan tepat informasi yang sedang diolah,
maka memori pekerja akan kesulitan memberikan makna dan mengkonstruksi
pengetahuan tersebut sebagai pengetahuan. Dengan kata lain, memori pekerja
kelebihan beban memahami permasalahan. Namun, jika terdapat pengetahuan
prasayarat yang cukup untuk mengolah informasi yang sedang dihadirkan, maka
memori pekerja akan menjadi mudah mengolah informasi tersebut. Dengan kata lain,
1075
memori pekerja mempunyai cukup kapasitas untuk memahami permasalahan
sehingga ada ruang di memori perkerja yang dapat digunakan untuk mengkonstruksi
penyelesaian permasalahan tersebut.
Implikasi dari fungsi memori pekerja dalam mendesain metode
pembelajaran matematika, antara lain: (1) perlu memahami tingkat kekompleksan
materi yang akan dipelajari atau banyaknya informasi yang akan disampaikan; (2)
perlu mengetahui tingkat pengetahuan awal siswa yang akan mempelajari materi
yang disampaikan; (3) meminimalkan jumlah dari beban kognitif intrinsik dan
ekstrinsik; dan (4) memfasilitasi proses yang meningkatkan beban kognitif
konstruktif yaitu akuisisi dan konstruksi skema pengetahuan.
3. Long Term Memory (Memori Jangka Panjang)
Sweller [8] mengatakan bahwa memori jangka panjang diasumsikan sebagai
tempat penyimpanan pengetahuan secara permanen, karena pengetahuan dapat
ditahan di dalam memori ini dalam waktu lama. Memori ini juga mempunyai
kapasitas yang tidak terbatas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kemampuan kita
untuk menyimpan informasi sejak lahir sampai akhir hayat. Ketika kita merasa sulit
menyimpan atau mengingat informasi, yang menjadi masalah bukan kapasitas
memori jangka panjang kita terbatas. Namun, kapasitas memori pekerja yang
terbatas dalam proses kognitif meyimpan pengetahuan atau memanggil
pengetahuan.
Bruning et al [6] menjelaskan bahwa memori ini dapat menyimpan pengetahuan
deklaratif, prosedural dan kondisio. Pengetahuan tersebut tersimpan dalam bentuk
skema. Bagaimana informasi diproses sangat tergantung dari posisi skema-skema
pengetahuan di dalam memori jangka panjang ini. Susunan skema di memori jangka
panjang menggambarkan kemampuan seseorang di suatu bidang. Seorang ahli dalam
bidang tertentu akan mempunyai susunan skema yang baik di dalam memorinya,
sehingga memudahkannya untuk mentransfer ke materi baru atau penyelesaian
masalah.
Implikasi dalam mendesain metode pembelajaran matematika antara lain (1)
materi pembelajaran disajikan secara hirarkis; (2) pengetahuan disimpan secara baik
sehingga pemahaman mendalam; dan (3) memfasilitasi automatisasi skema yaitu
pengetahuan yang telah disimpan perlu dilatih berulang-ulang agar dapat
dimunculkan di memori pekerja secara otomatis ketika menyelesaikan suatu
permasalahan, karena pengetahuan yang dihadirkan secara otomatis tidak
menambah beban di memori pekerja.
Manusia cenderung mengingat hal-hal yang aneh, ganjil, lucu atau ekstrim.
Oleh karena itu jika ingin mengingat sesuatu, dicoba sebisa mungkin untuk
mengaitkan dengan gambaran yang lucu atau aneh. Ini adalah ingatan yang
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ingatan yang kuat. Lebih dari 60% otak
digunakan untuk pemrosesan visual. Membuat diagram, grafik, sketsa, warna atau
garis bawah sangat membantu. Orroso, Lussier& Swanson [9] memaparkan bahwa
untuk meningkatkan kinerja dalam belajar matematika terutama pada pemecahan
masalah strategi-strategi yang digunakan guru yang memberikan instruksi verbal
maupun visual sangat membantu dalam pemecahan masalah, dalam proses siswa
membuat diagram maupun menemukan kata kunci dari permasalahan yang
diberikan.
Adapun penelitian berkaitan dengan upaya meningkatkan long term memory
siswa di sekolah ini dilakukan di salah satu sekolah menengah pertama yang ada di
Kabupaten Bandung Barat, dengan sampel dua pada jenjang kelas VII yang masing
masing kelas berjumlah 40 siswa pada materi bangun datar. Berikut gambar hasil
1076
kerja siswa pada materi belah ketupat.
Gambar 1 Gambar 2
Pada materi keliling dan belah ketupat ini, pada Gambar 1 siswa diberikan soal
cerita mengenai bangun belah ketupat yang dapat ia alami/jumpai pada kehidupan
nyatanya. Hal ini dimaksudkan agar siswa merasakan bahwa matematika sangat
dekat dan erat kaitannya dengan kehidupannya sehari-hari. Kemudian dengan
berbekal pengetahuan mengenai segitiga, siswa diajak untuk mengkontruksikan
rumus dari luas belah ketupat ini (Gambar 2). Tentu saja guru sebelumnya telah
melakukan apersepsi mengenai bangun segitiga pada awal pembelajaran. Apersepsi
dimaksudkan agar siswa mampu mengingat kembali apa yang telah ia pahami
mengenai segitiga, sehingga ia dapat menggunakan informasi-informasi mengenai
segitiga yang telah ia pahami tersebut dalam membentuk konsep bangun belah
ketupat ini.
Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5
Sama halnya dalam bangun belah ketupat, pada bangun trapesium ini siswa
juga diberikan soal cerita yang berkaitan dengan kehidupan nyata (Gambar 3).
Kemudian dengan membuat trapesium sama kaki ataupun trapesium siku-siku, siswa
diminta menghitung luas trapesium melalui pendekatan dua buah segitiga. Hal ini juga
dimaksudkan agar siswa melakukan pengulangan mengenai materi segitiga dan
membangun sendiri konsep mengenai trapesium didalam skema pikirannya (Gambar
4). Kemudian, setiap kegiatan pembelajaran setelah siswa menemukan dan
membangun konsep pemahaman materinya sendiri, siswa diberikan latihan-latihan
yang bersifat pengulangan dan soal-soal pemecahan masalah (Gambar 5). Setelah itu,
siswa dapat menerapkan langkah-langkah pemecahan masalahnya sendiri, berdiskusi,
1077
menulis, berbicara, ataupun mempresentasikan hasilnya didepan kelas.
Oleh karena itu, ketika hendak mendesain sebuah pembelajaran matematika,
guru sebaiknya mempertimbangkan beberapa hal yang ada pada siswa dan mengacu
pada proses berpikir. Adapun pembelajaran yang mampu mengoptimalkan Long
Term Memory System seyogyanya mengakomodasi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Fakta Baru
Pada fase ini berlangsung proses “eksplorasi”. Siswa menemukan fakta,
kemudian mengkonstruksikannya sehingga menjadi sebuah konsep/ pendekatan
kontekstual penting sekali. Dalam hal ini, pembelajaran dapat dikemas dengan
pengelolaan kelas dalam kegiatan individu ataupun kelompok. Pada tahap ini,
informasi telah diterima oleh indera siswa, direspon oleh otak sebagai koneksi-
koneksi antar sel-sel otak.
2. Mengulang
Fase ini adalah mengulang kegiatan eksplorasi sebagaimana pada tahap
menemukan fakta baru. Jika memungkinkan, kegiatan ini sebaiknya dilakukan
secara individu, karena justru pada tahap ini terjadi proses mempertahankan
koneksi-koneksi yang terjadi antara sel-sel pada otak siswa.
3. Menyandikan
Menyandikan merupakan tahap yang paling penting. Karena pada konsep yang
telah didapat, diwujudkan dalam sebuah atau beberapa bentuk sandi. Bentuk
sandi yang dapat digunakan adalah sandi visual, sandi audio, sandi fisik/
kinestetik, ataupun sandi verbal.
4. Menyimpan
Menyimpan adalah mempertahankan koneksi-koneksi pada sel-sel otak. Tahap
ini adalah mengimajinasikan simbol—simbol yang telah dibuat, semakin sering
mengimajinasikannya, semakin permanen simbol itu tersimpan di dalam otak.
Pada awalnya sebaiknya guru sesering mungkin mengkondisikan proses ini di
dalam kelas walaupun dilakukan hanya beberapa saat ketika mengawali sebuah
pembelajaran. Pada akhirnya siswa akan dapat melakukannya sendiri sebagai
pola belajar di rumah ataupun di sekolah.
5. Mengingat
Mengingat adalah tahap memanggil sandi ketika dihadapkan pada sebuah
persoalan yang harus diselesaikan. Pada saat siswa menemukan sebuah
persoalan, mereka akan mengaitkan dengan fakta yang telah mereka temukan
sebelumnya, kemudian mengimajinasikan sandi yang telah mereka miliki.
6. Menyelesaikan Masalah
Pengambilan memori jangka panjang, sama seperti penyimpanan memori
jangka panjang, mungkin melibatkan proses-proses konstruktif. Siswa sering
mengambil hanya sebagian dari informasi yang telah disimpan sebelumnya dan
kemudian mengisi kesalahan berdasarkan apa yang logis atau konsisten dengan
pengetahuan yang ada dan keyakinan tentang diri mereka sendiri atau tentang dunia
pada umumnya.
Meskipun proses konstruktif mungkin bertanggung jawab untuk banyak
kesalahan dalam apa yang diingat, konstruksi biasanya memfasilitasi pengambilan
memori jangka panjang. Ketika ingatan tentang suatu peristiwa tidak lengkap, siswa
dapat mengisi rincian berdasarkan apa yang masuk akal.
1. Kekuatan kesan dan pengaruh informasi selanjutnya
Kadang-kadang ingatan siswa tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan mereka
sebelumnya tetapi juga oleh informasi yang disajikan beberapa saat setelah
mereka pelajari apa pun yang mereka ambil. Secara umum, ini adalah hal yang
1078
baik. Siswa harus terus-menerus memperbarui pengetahuan dan pemahaman
mereka sebagai informasi baru masuk.
2. Membangun sepenuhnya pemahaman baru
Pengambilan konstruktif memungkinkan siswa untuk menghasilkan informasi di
luar apa yang mereka simpan secara khusus. Konstruksi seperti membutuhkan
waktu lebih lama daripada pengambilan informasi lama.
3. Mengingat pemahaman sebelumnya
4. Pemantauan diri selama mengingat
Aspek regulasi diri yang dikenal sebagai self-monitoring, di mana siswa
mengamati dan menilai perilaku mereka sendiri. Tampaknya bahwa siswa-siswa
juga akan terlibat dalam self-monitoring yang lebih bersifat kognitif ketika
mereka mengambil informasi dari memori jangka panjang. faktanya, mereka
merefleksikan pengetahuan lama mereka dalam upaya untuk menentukan
apakah mereka sedang mengingat sesuatu secara akurat atau tidak akurat
5. Perhatian penting dalam penyelidikan ingatan manusia
Kadang-kadang memori manusia cukup akurat. Tapi di lain waktu ingatan
seseorang dapat serius membelok atau bahkan benar-benar palsu. Dan rasa
seseorang dari keyakinan tentang memori tidak selalu merupakan indikasi yang
baik dari seberapa akurat memori sebenarnya.
Menurut Ormrod [10] ada beberapa cara yang relevan tentang bagaimana
memaksimalkan pemanggilan dan meminimalkan lupa di dalam pembelajaran yaitu:
1. Jangan pernah asumsikan bahwa sekali sudah cukup untuk informasi yang
penting.
2. Ajarkan siswa untuk membuat petunjuk pengingat mereka sendiri untuk hal-hal
yang perlu mereka ingat.
3. Bila detil-detil sulit diisi secara logis atau dapat dengan mudah saling bertukar
pastikan siswa mempelajarinya dengan baik.
4. Tujuan taksonomi dapat berguna sebagai pengingat dari berbagai cara di mana
siswa dapat diminta untuk memikirkan dan menerapkan apa yang telah mereka
pelajari.
5. Berikan petunjuk pemanggilan bila perlu.
6. Berikan siswa waktu untuk memikirkan dan merumuskan respon terhadap
pertanyaan yang menantang.
7. Penilaian kelas secara signifikan mempengaruhi penyimpanan dan pengambilan.
3. Kesimpulan
Upaya mengoptimalkan long term memory siswa dalam pembelajaran
matematika di sekolah, diantaranya:
1. Menekankan konsep
Memori yang akan bertahan lama dalam long term memory yakni konsep yang
disampaikan dengan cara sering mengulang-ulang konsep tersebut dengan
mengaitkannya dengan materi lain.
2. Menerapkan pembelajaran kooperatif learning
Siswa secara langsung menerapkan prosedur dari sebuah penyelesaian masalah
matematik, siswa berdiskusi, menulis, berbicara dan menerapkan langkah-
langkah penyelesaian masalah matematika dengan cara mereka sendiri.
3. Menerapkan pembelajaran dengan pendekatan realistik
1079
Melalui pendekatan reallistik, guru banyak melibatkan siswa dalam dunia nyata,
dengan begitu siswa akan lebih mudah memahami materi matematika dengan
karakter abstraknya melalui wujud nyata (konkrit).
4. Latihan dan tugas berkelanjutan
Tugas dan latihan yang diberikan kepada siswa merupakan upaya sadar untuk
menciptakan proses pengulangan sebuah konsep sehingga tersimpan lebih lama
dalam long term memory.
Referensi [1] Debora, A., Mustangin & Irawati, S., 2009, Mengoptimalkan Memori Jangka Panjang
Siswa SMPN 1 Pajarakan dalam Memaknai Konsep Garis Singgung Persekutuan Dua
Lingkaran dengan Penyandian, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika UNY. p-21, pp. 336-360, isbn: 978-979-16353-3-2.
[2] Widdiharto, R., 2008, Diagnosa Kesulitan Belajar Matematika SMP dan Alternatif
Proses Remidinya, P4TKMatematika.
[3] Gardner, H., 2013, Kecerdasan Majemuk (Teori dalam Praktek), Interaksara.
[4] Keeler, M.L and Swanson, H.L., 2001, Does Strategy Influence Working Memory in
Children with Mathematical Disabilities?, Journal of Learning Disabilities, Vol. 34 No.
5, pp. 418-434, doi: 002221940103400504.
[5] Webster, R.E., 1990, Short-Term Memory in Mathematics- Proficient and Mathematics-
Disable Students as a Function of Input-Modality/Output-Modality Pairing, The Jurnal
of Special Education, Vo. 14 No. 1, pp. 67-78, doi: 002246698001400107.
[6] Bruning, R. H., Scraw, G. J., Norby, M. N., & Ronning, R. R., 2004, Cognitive
Psychology and Instruction. 4th Edition, Ohio: Prentice Hall.
[7] Schaye, P. and Rywick, T., 1974, Use Of Long-Term Memory In Impression Formation,
Psychological Reports, Vol. 34. Pp. 939-945, Stale Universiry of New York College.
[8] Sweller, J., 2005, Implications of cognitive load theory for multimedia learning. In R.
Mayer (Ed.), Cambridge handbook of multimedia learning (pp. 19–30), Cambridge
University Press, doi:10.1017/CBO9780511816819.003.
[9] Orosco, M.J., Lussier, C.M. & Swanson, H.L., 2015), Cognitive Strategies, Working
Memory, and Growth in Word Problem Solving in Children with Math Difficulties,
Journal of Learning Disabilities, Vol. 48 No. 4, pp. 339-358, doi:
10.1177/0022219413498771.
[10] Ormrod, J. E., 2008, Human Learning, 6th edition, Boston: Pearson.
1080
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 1080-1088
PENGARUH MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING
TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS
SISWA KELAS XI SMA NEGERI 23
KABUPATEN TANGERANG
ATIKAH MARINI1, PETER JOHN2, DAN BUDI UTAMI3
1 Pendidikan Matematika STKIP Surya, [email protected]
2 Pendidikan Matematika STKIP Surya, [email protected]
3 Pendidikan Matematika STKIP Surya, [email protected]
Abstrak. Kemampuan penalaran matematis adalah kecakapan dalam berpikir dengan
cara mengaitkan fakta-fakta yang sudah ada dengan langkah-langkah tertentu untuk
menarik suatu kesimpulan [3, 10, 12]. Kemampuan penalaran matematis berperan
penting karena siswa yang memiliki kemampuan ini, akan mampu menghubungkan ide-
ide matematika bahkan mengembangkannya [2]. Namun dari hasil wawancara dengan
salah satu guru kelas XI SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang terungkap bahwa
kemampuan penalaran matematis siswa belum merata. Guru tersebut menyatakan
bahwa dibutuhkan suatu upaya untuk memperbaiki kemampuan penalaran matematis
siswa. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan penalaran
matematis siswa adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang memiliki
karakteristik yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis yaitu model
guided discovery learning [5, 10]. Model pembelajaran tersebut memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menerka, menggunakan intuisinya, menyelidiki dan
menarik kesimpulan untuk menemukan pengetahuan baru sehingga mampu melatih
kemampuan penalaran matematis siswa [11]. Jenis penelitian yang digunakan adalah
eksperimen semu dengan desain prates-pascates yang tidak ekuivalen. Populasi dari
penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang dengan
pemilihan sampel secara cluster random. Pengumpulan data dilakukan dengan
memberikan soal prates dan pascates berupa soal uraian. Berdasarkan hasil uji statistik
inferensial diketahui bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang
menggunakan model guided discovery learning lebih tinggi daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
Kata kunci : kemampuan penalaran matematis, model guided discovery learning
1. Pendahuluan
Kemampuan penalaran matematis sangat penting dalam proses
pembelajaran matematika di sekolah. Ketika siswa memiliki kemampuan ini, siswa
akan mampu menghubungkan ide-ide matematika bahkan mengembangkannya
sehingga mereka akan menyukai matematika [2]. Lebih lanjut disebutkan bahwa
ketika siswa tidak memiliki kemampuan penalaran matematis, kemungkinan besar
siswa akan memandang ide-ide matematika sebagai sekumpulan fakta yang terpisah
dan metode yang harus dihafalkan [2]. Pentingnya kemampuan penalaran matematis
1081
terlihat juga dari ditetapkannya kemampuan ini sebagai salah satu standar proses
yang harus diketahui, dimiliki, dan digunakan siswa di sekolah dalam memperoleh
dan menggunakan pengetahuan matematis [8].
Kemampuan penalaran matematis penting untuk dimiliki, tetapi kemampuan
penalaran matematis siswa di SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang masih rendah.
Hal tersebut terlihat dari hasil kerja beberapa siswa yang mengerjakan soal-soal yang
membutuhkan kemampuan penalaran matematis untuk menyelesaikannya. Gambar
1.1 menunjukkan contoh hasil kerja siswa terkait beberapa soal tersebut.
a. Adi sedang membuat kode yang terdiri dari satu angka dan satu huruf. Adi menggunakan
angka 5, 6, 7, 8 dan 9. Ternyata kode yang telah dibuat Adi ada 35 kode dan semuanya
tidak ada yang sama. Setiap huruf yang digunakan harus berpasangan dengan seluruh
angka yang digunakan Adi. Jadi ada berapa huruf yang Adi gunakan untuk menyusun
kode tersebut?
b. Terdapat 52 kartu remi. Pada
pengambilan pertama peluang terambilnya satu kartu wajik adalah 1
4. Jika tidak dilakukan
pengembalian maka pada pengambilan kedua peluang terambilnya satu kartu sekop
adalah 1
4. Sehingga peluang terambil kedua kartu adalah
1
4×
1
4=
1
16. Apakah pernyataan
tersebut sudah tepat? Kemukakan alasan kalian dan perbaikilah pernyataan tersebut!
Gambar 1.1 (soal a) menunjukkan kesalahan siswa dalam menggunakan
aturan perkalian pada materi peluang. Pada soal tersebut siswa mengalikan
banyaknya angka yang dipilih dengan banyaknya kode yang terbentuk dari pasangan
angka dan huruf yang dipilih. Siswa seharusnya membagi banyaknya kode yang
terbentuk dari pasangan angka dan huruf yang dipilih dengan banyaknya angka yang
dipilih untuk menemukan banyaknya huruf yang dipilih. Solusi dari soal tersebut
seharusnya 35
5= 7 huruf. Gambar 1.1 (soal b) menunjukkan kesalahan siswa dalam
menilai argumen matematika pada soal peluang. Pada soal tersebut siswa menuliskan
bahwa peluang terambilnya satu kartu wajik pada pengambilan kedua tetap 1
4.
Seharusnya peluangnya adalah 13
51 karena pada pengambilan kedua jumlah kartu remi
Gambar 1.1 Soal dan jawaban siswa
Sumber: Dokumen Pribadi
1082
tersebut sudah berkurang 1. Solusi dari soal tersebut seharusnya adalah 1
4×13
51=
13
204.
Rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa di SMA tersebut juga didukung
oleh hasil wawancara dengan salah satu guru matematika yang mengajar di sekolah
tersebut. Guru tersebut mengatakan bahwa masih dibutuhkan bimbingan untuk
meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan penalaran matematis siswa di SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang
perlu untuk ditingkatkan.
“Reasoning mathematically is a habit of mind, and like all habits, it must be
developed through consistent use in many contexts” [8]. Hal tersebut berarti
kemampuan penalaran matematis harus dikembangkan dengan cara digunakan
secara terus menerus dalam berbagai konteks. Dibutuhkan peran guru untuk menjaga
kekonsistenan dalam mengembangkan kemampuan penalaran matematis dalam
banyak konteks pembelajaran di sekolah. Untuk menunjang peran guru tersebut
dibutuhkan sebuah model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
penalaran matematis, yaitu model pembelajaran yang memiliki karakteristik serupa
dengan kemampuan penalaran matematis [8]. Jadi, diperlukan model pembelajaran
yang tepat untuk mengembangkan kemampuan penalaran matematis siswa.
Discovery learning adalah salah satu model pembelajaran yang
dikembangkan berdasarkan pandangan bahwa pengetahuan baru dibangun
berdasarkan pengalaman [5]. Discovery learning terbagi menjadi dua jenis, yaitu
pure discovery learning dan guided discovery learning. Pure discovery learning
adalah pembelajaran penemuan tanpa adanya petunjuk dan arahan, sedangkan
guided discovery learning adalah pembelajaran penemuan dengan pemberian
petunjuk dan arahan [14]. Discovery learning memiliki karakteristik utama yaitu (1)
mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan,
dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3) kegiatan untuk
menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada [4].
Menggabungkan pengetahuan yang sudah ada untuk menarik suatu kesimpulan
merupakan bagian dari proses bernalar [5]. Oleh karena itu, model guided discovery
learning cocok diterapkan untuk melatih kemampuan penalaran siswa.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan
menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang
memperoleh model guided discovery learning lebih tinggi dibandingkan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
A. Kemampuan Penalaran Matematis
Kemampuan penalaran dan matematika adalah dua hal yang saling berkaitan
erat. Matematika dipahami melalui penalaran, adapun penalaran dipahami dan
dilatih melalui belajar matematika [1]. Kemampuan penalaran dapat didefinisikan
sebagai kecakapan dalam berpikir dengan cara mengaitkan fakta-fakta yang sudah
ada dengan menggunakan langkah-langkah tertentu untuk menarik suatu kesimpulan
[3, 10, 12]. Untuk mengukur kemampuan tersebut dibutuhkan indikator penalaran
matematis. Pada penelitian ini indikator kemampuan penalaran matematis yang
diukur adalah kemampuan siswa dalam membuat dan menyelidiki dugaan
matematika serta mengembangkan dan menilai argumen dan bukti matematis dengan
benar [8].
1083
B. Model Guided Discovery Learning
Model guided discovery learning merupakan model pembelajaran yang
mengharuskan siswa untuk membuat sebuah konjektur dari hasil analisis masalah
dan menarik sebuah kesimpulan berdasarkan hasil eksplorasi siswa sendiri dengan
guru sebagai pembimbing siswa [1, 11]. Penerapan model guided discovery learning
dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan
untuk berpikir bebas karena langkah data collection, data processing, verification,
dan generalization dalam model tersebut mengajak siswa untuk melakukan proses
penalaran dan berpikir secara mandiri [5]. Secara garis besar, langkah-langkah
penerapan model guided discovery learning yang digunakan adalah (1) guru
memberikan suatu situasi yang mengandung masalah yang harus dipecahkan, (2)
guru meminta siswa menyusun konjektur dari hasil analisis masalah yang dilakukan
siswa dan memeriksa konjektur yang telah dibuat siswa, (3) guru membimbing siswa
menyusun, memproses, mengorganisir dan menganalisis data yang relevan terhadap
masalah yang ada melalui pertanyaan yang mengarahkan pada proses penemuan, (4)
guru meminta siswa memeriksa kebenaran konjektur yang mereka buat, (5) guru
membantu siswa menggeneralisasi hasil temuannya.
C. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa digunakan oleh
guru di sekolah dengan karakteristik proses pembelajaran berpusat pada guru dan
proses pemerolehan pengetahuan dilakukan secara langsung bukan melalui
penemuan. Pembelajaran serupa terjadi di SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan hasil wawancara salah satu guru di sana, proses pembelajaran di
sekolah dimulai dengan memberikan informasi terkait materi yang diajarkan terlebih
dahulu. Kemudian setelah siswa mengerti materi yang diajarkan, siswa akan
diberikan soal-soal yang berkaitan dengan materi yang diajarkan.
D. Rancangan dan Bahan
Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu. Desain penelitian yang
digunakan adalah desain prates-pascates yang tidak ekuivalen. Pada kelas
eksperimen, siswa akan diberikan prates kemudian dilakukan proses pembelajaran
selama empat kali pertemuan menggunakan model guided discovery learning, dan
terakhir diberikan pascates. Pada kelas kontrol, siswa akan diberikan prates yang
sama kemudian dilakukan proses pembelajaran secara konvensional dengan durasi
waktu yang sama, dan diakhiri dengan diberikan pascates yang sama juga.
Rancangan desain penelitian [13] dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Desain Penelitian
X : perlakuan (pembelajaran guided discovery learning).
T1X, T1 : Prates pada kelompok eksperimen dan kontrol
T2X, T2 : Pascates pada kelompok eksperimen dan kontrol
T1X X T2X
T1 - T2
1084
E. Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI di SMA Negeri 23
Kabupaten Tangerang dengan sampel kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan
XI IPA 3 sebagai kelas kontrol.
F. Instrumen
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah
1. Soal Prates dan Pascates
Soal prates dan pascates terdiri dari 5 soal uraian. Soal prates dan
pascates digunakan untuk mengukur apakah terjadi peningkatan
kemampuan penalaran matematis siswa setelah diberikan perlakuan.
2. Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan sebagai feedback untuk peneliti. Lembar
ini digunakan untuk mengetahui kesesuaian pembelajaran yang
dilakukan dengan rancangan pembelajaran yang telah dibuat. Lembar
observasi ini terdiri dari lembar observasi untuk siswa dan juga untuk
guru/peneliti.
G. Teknik Analisis Data
Data yang dianalisis adalah nilai normalized change. Nilai tersebut digunakan untuk
melihat karakteristik perubahan nilai prates dan pascates. Adapun rumus normalized
change [6] sebagai berikut:
𝑐 =
{
𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 − 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠
100 − 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 > 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠
𝐷𝑎𝑡𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 = 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 = 100 𝑎𝑡𝑎𝑢 0
0 𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 = 𝑝𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 − 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠
𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 < 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠
Keterangan:
𝑐 ∶ nilai normalized change
Data normalized change yang digunakan dianalisis dengan uji rata-rata dua sampel.
Uji rata-rata dua sampel ini dilakukan untuk mengetahui apakah peningkatan
kemampuan penalaran matematis kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol.
Untuk menentukan jenis uji rata-rata dua sampel yang akan digunakan dilakukan uji
prasyarat, yakni uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dilakukan untuk
mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Uji homogenitas bertujuan
untuk mengetahui apakah variansi pada kelas kontrol dan kelas eksperimen sama
atau tidak.
2. Hasil –Hasil Utama
Proses pembelajaran pada kelas eksperimen dilakukan dengan menerapkan
model guided discovery learning, sedangkan pada kelas kontrol dilakukan secara
konvensional. Pada proses pembelajaran kelas eksperimen siswa berperan aktif
dalam menemukan pengetahuan terkait materi lingkaran berdasarkan hasil
eksplorasi siswa sendiri dengan bantuan guru sebagai pembimbing. Lembar kerja
siswa (LKS) diberikan untuk membantu siswa dalam melakukan proses penemuan.
1085
Sementara itu, pada proses pembelajaran kelas kontrol, siswa memperoleh
pengetahuan terkait materi lingkaran dari penjelasan yang diberikan guru. Penjelasan
diberikan dengan memanfaatkan masalah yang sama dengan yang digunakan pada
kelas eksperimen.
Gambar di atas adalah tampilan radar kapal perang Indonesia. Titik-titik pada radar
tersebut melambangkan kapal-kapal asing yang berada di wilayah perairan Indonesia.
Menteri kelautan Susi Pudjiastuti menegaskan bahwa kapal-kapal tersebut adalah kapal
asing yang mengambil ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Ibu Susi memerintahkan
untuk menenggelamkan kapal-kapal tersebut. Tetapi kapal perang Indonesia hanya
mampu menembakkan misil sejauh 5 km ke segala arah. Jika kapal perang Indonesia
tidak berpindah, apakah seluruh kapal yang terlihat di radar dapat ditenggelamkan?
Berikan alasan kalian. Kemudian gambarkan dan tentukan persamaan yang mewakili
jangkauan maksimal misil kapal perang tersebut.
Penelitian ini dilakukan sebanyak enam kali pertemuan. Pertemuan pertama
dimulai dengan memberikan soal tes sebelum dilakukan proses pembelajaran
(prates). Kemudian, pada empat pertemuan lainnya dilakukan pengajaran terkait
materi lingkaran. Adapun pertemuan terakhir, digunakan untuk memberikan soal tes
setelah proses pembelajaran dilakukan (pasca tes). Materi yang diajarkan pertama
kali adalah merumuskan persamaan lingkaran yang berpusat di (𝑎, 𝑏) dengan jari-
jari 𝑟 dan menentukan pusat dan jari-jari lingkaran yang persamaannya diketahui.
Pada pertemuan selanjutnya, materi yang dibahas adalah menentukan persamaan
lingkaran yang memenuhi kriteria tertentu dan menentukan posisi garis terhadap
lingkaran. Sementara pada pertemuan ketiga, siswa diajarkan menentukan
Gambar 2.1 Permasalahan siswa pertemuan dua.
Sumber: Dokumen Pribadi
1086
persamaan garis singgung yang melalui suatu titik pada lingkaran. Terakhir, pada
pertemuan keempat dibahas tentang bagaimana menentukan persamaan garis
singgung yang gradiennya diketahui. Gambar 2.1 menunjukkan salah satu masalah
yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Rata-rata hasil prates, pascates, dan normalized change dari kelas
eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 2.1. Berdasarkan data pada tabel
tersebut, terlihat bahwa rata-rata normalized change dari kelas eksperimen lebih
tinggi dibandingkan kelas kontrol. Sementara simpangan baku dari normalized
change kelas eksperimen lebih rendah dibanding kelas kontrol. Artinya, secara
deskriptif, peningkatan kemampuan penalaran matematis di kelas eksperimen lebih
tinggi dan homogen dibandingkan di kelas kontrol. Untuk menunjukkan kebenaran
dari hal ini, dilakukan uji statistik lebih lanjut.
Tabel 2.1 Hasil Tes
Kelompok Prates Pascates Normalized Change
Kontrol Rata-rata 1,31 49,31 0,49
Simpangan 1,04 17,62 0,18
Banyak Siswa 34 34 34
Eksperimen Rata-rata 0,85 56,49 0,56
Simpangan 0,91 13,49 0,13
Banyak Siswa 31 31 31
Selanjutnya data normalized change kelas eksperimen dan kelas kontrol di
uji normalitas menggunakan uji Lilliefors. Hipotesis yang digunakan adalah:
𝐻0: Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal
𝐻𝑎: Data berasal dari populasi yang tidak berdistibusi normal
Kriteria pengujian normalitas adalah apabila 𝐿maks ≥ 𝐿tabel maka 𝐻0 ditolak.
Berdasarkan hasil pengolahan data normalized change kedua kelas diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel 2.2 Uji Normalitas Data Normalized Change
Kelas 𝐿maks 𝐿tabel Kesimpulan
Eksperimen 0,133 0,161 𝐻0 diterima
Kontrol 0,127 0,153 𝐻0 diterima
Berdasarkan Tabel 2.2 dapat dilihat bahwa perbandingan nilai 𝐿maks dan 𝐿tabel pada
kelas eksperimen dan kelas kontrol berturut-turut adalah 0,133 < 0,161 dan
0,127 < 0,154, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai normalized change kedua
kelas berdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan uji homogenitas. Kriteria pengujian pada uji
homogenitas ini adalah apabila 𝐹hitung ≥ 𝐹tabel, maka 𝐻0 ditolak. Hipotesis yang
digunakan adalah:
𝐻0: nilai normalized change kelas kontrol dan kelas eksperimen bervariansi
homogen
𝐻𝑎: nilai normalized change kelas kontrol dan kelas eksperimen tidak bervariansi
homogen
1087
Hasil analisis menunjukkan bahwa 𝐹hitung(1,726) < 𝐹tabel(1,795). Artinya, nilai
normalized change kelas eksperimen dan kelas kontrol bervariansi homogen atau
seragam.
Data normalized change yang berdistribusi normal dan bervariansi homogen
kemudian diuji rata-rata dua sampel menggunakan uji t. Berikut hasil dari uji t
dengan hipotesis.
𝐻0: 𝜇1 = 𝜇2
𝐻𝑎: 𝜇1 > 𝜇2
Keterangan: 𝜇1: rata-rata nilai normalized change kelompok eksperimen
𝜇2: rata-rata nilai normalized change kelompok kontrol
Kriteria 𝐻0 ditolak ketika nilai 𝑡hitung ≥ 𝑡tabel uji satu pihak.
Hasil analisis menunjukkan bahwa 𝑡hitung(2,317) > 𝑡tabel uji satu pihak (1,670).
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan
penalaran matematis siswa yang menggunakan model guided discovery learning
lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
3. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah dijelaskan di atas, peneliti
dapat menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa
kelas XI SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang yang belajar menggunakan model
guided discovery learning lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar
secara konvensional. Peneliti juga memiliki beberapa saran dalam penelitian ini,
yaitu:
1. Model guided discovery learning dapat diterapkan sebagai alternatif model
pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis.
2. Untuk menerapkan model guided discovery learning dalam suatu penelitian,
hendaknya peneliti menggunakannya terlebih dahulu pada materi
sebelumnya agar pembelajaran ketika penelitian dilakukan dapat berjalan
sesuai dengan rancangan proses pembelajaran.
Referensi
[1] Bani, A., 2011, Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik
Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pembelajaran Penemuan Terbimbing, SPS
UPI, Bandung, Jurnal Penelitian Pendidikan Edisi Khusus No.1, pp. 12-20.
[2] Brodie, K., 2010, Teaching Mathematical Reasoning in Secondary School Classroom.
London: Springer.
[3] Departemen Pendidikan Nasional., 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, Jakarta, PT Gramedia.
[4] Hendriana, H. & Soemarmo, U., 2014, Penilaian Pembelajaran Matematika, Bandung,
PT Refika Aditama.
[5] Hosnan, M., 2014, Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21
Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta, Ghalia Indonesia.
[6] Marx, J. D. & Cummings, K., 2007, Normalized Change, American Journal Physics,
pp. 87-91.
[7] Muharom, T., 2014, Pengaruh Pembelajaran Dengan Model Kooperatif Tipe Student
Teams Achievement Terhadap Kemampuan Penalaran Dan Komunikasi Matematik
1088
Peserta Didik Di SMK Negeri Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya, Jurnal Pendidikan
dan Keguruan.
[8] National Council of Teachers of Mathematics, 2000, Principles and Standards for
School Mathematics, United States of America, The National Council of Teachers of
Mathematics, Inc.
[9] National Council of Teachers of Mathematics, 2003, NCATE/NCTM Program
Standards 2003 Programs fo Initial Preparation of Mathematics Teachers. [Online]
Available at: http://www.nctm.org/Standards-and-Positions/CAEP-Standards
[Accessed 27 Agustus 2016].
[10] Nurdalilah, E. S. d. D. A., 2013, Perbedaan Kemampuan Penalaran Matematika Dan
Pemecahan Masalah Pada Pembelajaran Berbasis Masalah Dan Pembelajaran
Konvensional Di SMA Negeri 1 Kualuh Selatan, Jurnal Pendidikan Matematika
PARADIKMA, pp. 109-119.
[11] Purnomo, Y. W., 2011, Keefektifan Model Penemuan Terbimbing Dan Cooperative
Learning Pada Pembelajaran Matematika, Jurnal Kependidikan, pp. 23-33.
[12] Shadiq, F., 2004, Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi, Yogyakarta,
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika.
[13] Siswono, T. Y. E., 2010, Penelitian Pendidikan Matematika, Surabaya, Unesa
University Press.
[14] Tuovinen, J. E. & Sweller, J., 1999, A Comparison of Cognitive Load Associated with
Discovery Learning and Worked Examples, Journal of Education Psychology, pp. 334-
341.
[15] Zulfa, F. S., Yerizon & Amalita, N., 2014, Pengaruh Penerapan Metode Penemuann
Terbimbing terhadap Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas XI IPA SMA
Negeri 1 Padang Panjang, Jurnal Pendidikan Matematika, pp. 1-4.
1089
Prosiding SNM 2017 Pendidikan , Hal 1089 -1104
ANALISIS GEOMETRI PADA BILAH KERIS
SENGKELAT
ARIF SUSANTO1, NOVANOLO C. ZEBUA2
1 Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
2 Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
Abstrak. Indonesia merupakan negara yang terdiri berbagai macam suku, ras,
agama, dan adat istiadat serta cara berpikir yang berbeda, hal tersebut merupakan
indikator perbedaan budaya yang ada. Setiap kebudayaan memiliki ciri khas masing-
masing, salah satunya ialah budaya Yogyakarta. Selain menjadi kota pelajar,
Yogyakarta merupakan salah satu kota budaya dengan keanekaragamaan budaya yang
menjadi ciri khasnya. Salah satu hasil karya seni budaya yang masih ada dan bertahan
hingga saat ini adalah keris. Keris diyakini sebagai produk budaya Indonesia asli yang
memiliki berbagai macam jenis, salah satunya keris Sengkelat sekaligus merupakan
bahan kajian dalam penelitian ini. Salah satu filsafat dalam dunia pendidikan
matematika ialah Etnomatematika, yang berarti aktivitas matematika di dalam budaya
tertentu. Penelitian ini mengkaji unsur-unsur matematika di dalam keris Sengkelat
sehingga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pendidik
matematika di Yogyakarta. Lebih khusus lagi penelitian ini melihat kandungan
Geometri yang digunakan oleh seorang empu dalam membentuk bilah keris Sengkelat.
Analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan dan mengeksplorasi hasil wawancara
dan observasi terhadap keris Sengkelat. Hasil penelitian ini adalah terdapat unsur
geometri pada bilah keris Sengkelat tersebut sehingga diharapkan dapat digunakan
pendidik dalam membantu konstruksi awal konsep geometri di kelas.
Kata kunci: Geometri, Keris Sengkelat, Etnomatematika.
1. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terdiri berbagai macam suku, ras, agama,
dan adat istiadat serta cara berpikir yang berbeda, hal tersebut merupakan indikator
perbedaan budaya yang ada. Salah satu pusat kebudayaan yang ada di Indonesia
yaitu adalah Yogyakarta. Selain menjadi kota pelajar, Yogyakarta merupakan salah
satu kota budaya yang ada di Indonesia. Keanekaragaman budaya yang ada menjadi
ciri khas daerah Yogyakarta. Salah satu hasil karya seni budaya yang masih ada dan
bertahan hingga saat ini adalah keris. Karya ini merupakan bentuk dari seni kriya,
dikarenakan keris memiliki syarat akan makna dan filosofi dari bentuk sampai
pada kegunaannya. Jenis keris sangat banyak, salah satunya ialah keris sengkelat luk
13. Kyai Sengkelat adalah keris pusaka luk tiga belas yang diciptakan pada jaman
Majapahit (1466 – 1478), yaitu pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi
(Brawijaya V) karya Mpu Supa Mandagri. Menurut Yuwono [5] keris hingga kini
dikenal dunia sejak diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya non bendawi
manusia pada tahun 2005.
1090
Hasrinuksmo [1] mengatakan bahwa keris diyakini sebagai produk budaya
Indonesia asli. Sejarah mencatat bahwa walaupun nenek moyang bangsa Indonesia
umumnya pernah memiliki kepercayaan animisme-dinamisme, hingga masuknya
agama Hindu dan Budha, tidak pernah ditemukan bukti-bukti bahwa budaya keris
berasal dari India atau negara lain. Jika pada candi-candi yang ada di pulau Jawa
ditemui relief yang menggambarkan adanya senjata menyerupai keris, maka pada
relief candi-candi di India tidak ada senjata yang menyerupai keris. Bahkan senjata
yang berpamor pun tidak pernah ditemukan dalam sejarah budaya bangsa India.
Bentuk senjata yang serupa dengan keris pun tidak pernah ada di negara itu.
Salah satu keahlian dari olah kebatinan orang Jawa pada umumnya adalah
mereka masih menganggap keris sebagai benda pusaka yang dikeramatkan. Oleh
karena itu bentuk keris maupun kelengkapannya selalu dikaitkan dengan nilai–nilai
filsafat kehidupannya. Ungkapan falsafah yang terkenal ialah warangka manjing
curiga atau sebaliknya curiga manjing warangka, kemudian jumbuhing kawulo lan
Gusti, yang artinya tataran jiwa manusia sudah menyatu dengan penciptaNya. Dalam
hal ini, apabila tataran berpikir seseorang sudah memiliki tingkat kesadaran yang
menunjukkan bahwa ia mengerti tentang esensi dan hakekat hidup, dan mampu
merefleksikannya dengan tindakan kearifan, maka kondisi tersebut dapat
diasosiasikan sebagai warangka manjing curiga, atau sebaliknya curiga manjing
warangka, yang dinyatakan melalui simbol keris dalam keadaan tersarung.
Keris juga kerap dikaitkan sebagai simbol tertentu yang berkaitan dengan
harkat hidup orang Jawa, mulai dari simbol kewibawaan, simbol kebijaksanaan,
hingga simbol kehidupan, dan keangkaramurkaan. Keris memiliki multifungsi: pada
jaman dahulu ada keris yang difungsikan sebagai sarana untuk mendapatkan
penglaris, pengasihan, dan juga sebagai simbol kekuasaan. Sebagai simbol
kekuasaan, hal tersebut dapat terlihat pada gambaran raja-raja Jawa, dan pahlawan-
pahlawan Jawa yang selalu membawa keris di saat acara-acara penting. Keris
memang telah mengalami pergeseran fungsi utamanya. Keris sudah tidak lagi
menjadi senjata andalan, karena sekarang keris telah menjadi karya seni yang
bernilai tinggi dan pantas untuk dikoleksi, bahkan tidak sedikit pula orang yang
menekuni ilmu, sejarah, dan nilai-nilai filosofis keris, dan tidak sedikit juga yang
menjadikan keris sebagai barang komoditi. Melihat tingkat kepentingan nilai jual
keris sebagai barang komoditi maka memerlukan perawatan, warangan. Faktanya
proses ini banyak orang masih belum dapat mengoptimalkan jumlah warangan
sehingga biaya yang dikeluarkan cukup besar mengingat harga dua juta per-ons.
Keris bagi orang Jawa sebagai pelengkap bagi orang laki-laki, bahkan orang
bisa dikatakan hidup sempurna jika ia memiliki keris dan empat ketentuan lainnya.
Tentang hal ini, Seketaris Paguyuban Pencinta Keris Merkikarta Yogyakarta, bapak
Mujiono mengatakan bahwa pada zaman dahulu seorang laki-laki Jawa disebut
sempurna jika ia memiliki rumah atau wismo sebagai tempat domisili atau lambang
wilayah, istri atau wanito sebagai penerus keturunan, keris (curiga) sebagai lambang
kekuatan atau kejantanan, kuda (turonggo) sebagai lambang kedudukan atau
kekuasaan, dan burung (kukilo) sebagai lambang pemenuhan rasa seni dan
keindahan karena pada waktu itu kicau burung dapat memenuhi rasa ketenteraman.
Persamaan kata dan perubahan penyebutan untuk keris seperti kadga (senjata
tajam lurus), kris (menghunus), patrem (keris kecil), suduk (menusuk), dhuwung
(meningkatkan derajat, wibawa, dan kehormatan), curiga (pikiran tajam, cerdas,
wawasan luas), wangkingan (dipakai dipinggang), memperlihatkan perubahan dan
perkembangan aspek non bendawi dari keris, mulai dari mencari hidup,
mempertahankan hidup sampai tuntunan hidup. Aspek non bendawi (intangible)
1091
lainnya dari keris mencakup aspek sejarah, tradisi, fungsi, kedudukan, teknik tempa,
falsafah, simbol, mistik, dan aspek kerahasiaan (sandi). Sandi (aspek kerahasiaan)
dan teknik tempah menjadi salah satu aspek matematika yang ada di keris.
Matematika menjadi salah satu ilmu yang selalu hadir disetiap aspek kehidupan.
Tidak dapat dipungkiri matematika menjadi salah satu aspek yang membuat keris
terlihat indah. Namun hal ini belum banyak diketahui banyak kalangan masyarakat.
Bahkan seorang empu pembuat keris tidak menggunakan matematika secara
terperinci dalam pembuatan keris. Hal ini selaras dengan hasil wawancara dengan
Empu Sungkowo Harumbrojo mengatakan dalam pembuatan keris hanyalan
menggunakan ilmu titen.
Ilmu titen (dalam basa jawa) artinya cermat atau teliti. Ilmu titen ini yang
selalu digunakan para empu dalam pembuatan keris. Padahal cermat dan ketelitian
merupakan bagian atau seni dalam matematika yang selama ini tidak disadari oleh
banyak orang. Matematika sangatlah penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Oleh karena itu dalam pendidikan formal, matematika merupakan salah satu mata
pelajaran wajib yang sudah diajarkan sejak dini, [4]. Melihat hal tersebut pelajaran
ini mulai diajarkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, salah satu materi
yang diajarkan adalah materi geometri. Geometri merupakan ilmu tentang titik,
garis, bidang dan benda-benda ruang serta sifat-sifatnya, ukuran-ukurannya dan
hubungan dengan yang lain. Konsep Geometri ada pada benda yang dapat kita lihat
dalam kehidupan sehari-hari. B. Konsep Geometri pada tingkat Sekolah Menengah
1. Lingkaran Definisi:
Lingkaran adalah kumpulan titik-titik pada garis lengkung yang mempunyai jarak
yang sama terhadap pusat lingkaran. Garis lengkung tersebut kedua ujungnya
saling bertemu membentuk daerah lingkaran
(luas lingkaran).[3]
Unsur-unsur Lingkaran:
Gambar 1 Unsur-unsur Lingkaran
Rumus:
Luas Lingkaran
𝑙⨀ = 𝜋𝑟2
Keliling Lingkaran
𝑘⨀ = 2𝜋𝑟 = 𝜋𝑑
Luas Juring
𝑙𝑗 =𝛼
3600× 𝑙⨀
Panjang busur
𝑝𝑏 =𝛼
3600× 𝑘⨀
Luas Tembereng
𝑙𝑡 = 𝑙𝑗 − (1
2𝑟2𝑠𝑖𝑛(𝛼))
1092
2. Segitiga Definisi:
Bangun yang dibentuk dengan menghubungkan tiga buah titik P1, P2, P3 yang
tak segaris (sebagai titik sudutnya) dengan ruas-ruas garis P1 P2, P2 P3 dan
P3 P1; titi-titik tersebut merupakan puncak-puncak segitiga dan ruas-ruas
garisnya merupakan sisi segitiga melihat panjang sisi-sisinya. [2]
Unsur-unsur Segitiga:
Rumus: Luas segitiga
𝑙 △=1
2𝑠1𝑠2𝑠𝑖𝑛(𝛼)
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam
terkait dengan analisis geometri berupa luas dan keliling untuk mengoptimalkan
penggunaan warangan dalam keris sengkelat.
2. Hasil – Hasil Utama
A. Bentuk Keris Sengkelat Keris Sengkelat adalah keris berluk 13 yang diciptakan pada jaman Majapahit (1466 – 1478), yaitu pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) karya Mpu Supa Mandagri. Keris sengkelat memiliki sejarah dalam penamaan Sengkelat yaitu ketika Sunan Kalijaga memesan keris pada Empu Supa keris luk 17 (jumlah rakaat sholat), namun jadinya luk 13. Beliau kecewa (Jawa:
sengkel), sehingga keris diberi nama sengkelat yang masih digunakan sampai saat
Gambar 2 Unsur-unsur Segitiga
Gambar 3 Bagian-bagian Keris Sengkelat
1093
ini. Keris sengkelat yang kami gunakan memiliki pamor wos wutah yang artinya ketentraman dan keselamatan bagi pemiliknya serta dimudahkan rezekinya. Adapun bentuk dan bagian-bagian keris seperti gambar 3.
Dalam penelitian kami, keris sengkelat yang dibahas ialah pada bagian bilah keris. Analisis perhitungan kami dibatasi dari ujung keris sampai pangkal ganja keris. Namun pada analisis ujung keris ada sedikit error dikarenakan bentuk ujung keris berbeda keruncingannya tergantung tangguh (zaman) keris saat dibuat. Keris Sengkelat yang kami gunakan dalam penelitian ini tergolong keris muda karena dilihat dari usia keris yang belum lama, sehingga pada ujung keris yang kami analisis menggunakan pendekatan yang mendekati dengan bentuk aslinya.
B. Analisis Geometri pada Keris Sengkelat
Batasan masalah:
1. Bentuk keris pada penelitian ini diasumsikan berdimensi dua (bangun datar).
2. Bilah keris pada penelitian ini dibatasi dari ujung bilah hingga ujung ganja
dan pangkal bilah (pada Gambar 3).
3. Perhitungan pada ujung bilah diasumsikan seperti pembuatan pada zaman
Majapahit.
4. Pada penelitian ini menghitung panjang keliling dan luas bilah.
Dalam penelitian ini, kami menggunakan program Geogebra dalam
membantu analisis data. Adapun langkah-langkah penelitian ini sebagai berikut: 1. Menggambar dan mengukur keris Sengkelat
Dalam langkah ini kami mengambar dan mengukur keris Sengkelat dengan cara menjiplak keris aslinya supaya mendapatkan gambar yang presisi. Keris yang kami selesaikan ialah bagian bilah keris. Alat dan bahan yang kami gunakan yaitu pensil, penggaris, kertas, dan tali.
2. Gambar dikaji dalam program Geogebra
Program Geogebra menjadi salah satu program yang digunakan dalam
menganalisis data. Hasil gambar dan ukuran keris Sengkelat dimasukan
kedalam program Geogebra kemudian didekati beberapa bangun datar seperti
lingkaran dan segitiga.
Gambar 4 Proses menggambar Keris Sengkelat
1094
Analisis luas permukaan Keris Sengkelat menggunakan pendekatan Geometri yang
kami lakukan berdasarkan tiap luas Luk dari keris tersebut. Berikut ini kami sajikan
hasil perhitungan luas setiap luk sebagai berikut:
1. Luk 13
Luk 13 merupakan bagian keris paling ujung. Tampak seperti gambar di
Gambar 6.
Gambar 6 Ilustrasi luk 13
Pada luk 13 terdapat beberapa bidang datar yaitu tembereng, segiempat dan
segitiga. Untuk menentukan luas keris pada luk 13 sebagai berikut:
Luas luk 13 = Luas tembereng 1 + Luas tembereng 2 + Luas segitiga siku-siku +
Luas segiempat
Gambar 5 Proses analisis Keris Sengkelat
1095
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas tembereng 1 diperoleh dari:
Luas lingkaran
= 𝜋𝑟2
= 𝜋 × 3.4423828962
= 37.24285714 𝑐𝑚2 Luas Juring
= 𝛼
3600× 𝑙⨀
=30.35∘
360∘× 37.24285714 𝑐𝑚2
= 3.139779762 𝑐𝑚2
Luas Segitiga
=1
2𝑟2𝑠𝑖𝑛(𝛼)
=1
2(3.442382896 𝑐𝑚)2𝑠𝑖𝑛(30.35∘)
= 2.993789252 𝑐𝑚2 Luas Tembereng 1
= luas juring – luas segitiga
= 3.139779762 𝑐𝑚2
−2.993789252 𝑐𝑚2
= 0.14599051 𝑐𝑚2
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas tembereng 2 diperoleh dari:
Luas lingkaran
= 𝜋𝑟2
= 𝜋 × 5.3065996652
= 88.50285714 𝑐𝑚2 Luas Juring
=𝛼
3600× 𝑙⨀
=49.08∘
360∘× 88.50285714 𝑐𝑚2
= 12.06588952 𝑐𝑚2
Luas Segitiga
=1
2𝑟2𝑠𝑖𝑛(𝛼)
=1
2(5.306599665 𝑐𝑚)2𝑠𝑖𝑛(49.08∘)
= 10.63919825 𝑐𝑚2 Luas Tembereng 2
= luas juring – luas segitiga
= 12.06588952 𝑐𝑚2
−10.63919825 𝑐𝑚2 = 1.426691277 𝑐𝑚2
Gambar 8 Tembereng 2
Gambar 7 Tembereng 1
1096
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas segitiga siku-siku diperoleh dari:
Luas segitiga siku-siku
=1
2𝑠1𝑠2𝑠𝑖𝑛(𝛼)
=1
2× 0.6 × 1.7 × 𝑠𝑖𝑛(90∘)
= 0.51 𝑐𝑚2
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas segiempat diperoleh dari:
Luas segitiga 1
=1
2𝑠1𝑠2𝑠𝑖𝑛(𝛽)
=1
2× 2.12 × 2.37 × 𝑠𝑖𝑛(13.92∘)
= 0.604352095 𝑐𝑚2 Luas segitiga 2
=1
2𝑠2𝑠3𝑠𝑖𝑛(𝛾)
=1
2× 2.37 × 4.41 × 𝑠𝑖𝑛(31.33∘)
= 2.71726659 𝑐𝑚2 Luas Juring
=𝛼
3600× 𝑙⨀
Luas Segitiga
=1
2𝑟2𝑠𝑖𝑛(𝛼)
=1
2(6.79337913 𝑐𝑚)2𝑠𝑖𝑛(17.99∘)
= 7.126736802 𝑐𝑚2 Luas Tembereng
= luas juring – luas segitiga
= 7.248113889 𝑐𝑚2
−7.126736802 𝑐𝑚2 = 0.121377087 𝑐𝑚2
Luas segiempat
= Luas segitiga 1 + Luas segitiga 2
− Luas Tembereng
= 0.604352095 𝑐𝑚2
+2.71726659 𝑐𝑚2
−0.121377087 𝑐𝑚2
Gambar 9 Segitiga siku-siku pada luk 13
1097
=17.99∘
360∘× 145.0428571 𝑐𝑚2
= 7.248113889 𝑐𝑚2
= 3.200241599 𝑐𝑚2
Maka, Luas luk 13 = Luas tembereng 1 + Luas tembereng 2 + Luas segitiga siku-siku + luas segiempat
= 0.14599051 𝑐𝑚2 + 1.426691277 𝑐𝑚2 +
0.51 𝑐𝑚2 + 3.200241599 𝑐𝑚2
= 5.282923386 𝑐𝑚2
2. Luk 12
Luk 12 merupakan bagian keris di bawah daerah luk 13. Tampak seperti gambar
di Gambar 11.
Gambar 11 Ilustrasi luk 12
Pada luk 12 terdapat beberapa bidang datar yaitu tembereng dan segiempat. Untuk
menentukan luas keris pada luk 12 sebagai berikut:
Luas luk 12 = Luas tembereng 3 + Luas segiempat
Gambar 10 Segiempat 1
1098
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas tembereng 3 diperoleh dari:
Luas lingkaran
= 𝜋𝑟2
= 𝜋 × 4.0755367742
= 52.20285714 𝑐𝑚2 Luas Juring
= 𝛼
3600× 𝑙⨀
=38.37∘
360∘× 52.20285714 𝑐𝑚2
= 5.563954524 𝑐𝑚2
Luas Segitiga
=1
2𝑟2𝑠𝑖𝑛(𝛼)
=1
2(4.075536774 𝑐𝑚)2𝑠𝑖𝑛(38.37∘)
= 5.155223727 𝑐𝑚2 Luas Tembereng 3
= luas juring – luas segitiga
= 5.563954524 𝑐𝑚2
−5.155223727 𝑐𝑚2
= 0.408730797 𝑐𝑚2
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas segiempat diperoleh dari:
Luas segitiga 1
=1
2𝑠1𝑠2𝑠𝑖𝑛(𝛽)
=1
2× 2.68 × 2.91 × 𝑠𝑖𝑛(31.96∘)
= 2.064058039 𝑐𝑚2 Luas segitiga 2
=1
2𝑠2𝑠3𝑠𝑖𝑛(𝛾)
Luas Segitiga
=1
2𝑟2𝑠𝑖𝑛(𝛼)
=1
2(2.2627417 𝑐𝑚)2𝑠𝑖𝑛(51.13∘)
= 1.993143917 𝑐𝑚2 Luas Tembereng
= luas juring – luas segitiga
= 2.285429841 𝑐𝑚2
−1.993143917 𝑐𝑚2
Gambar 12 Tembereng 3
1099
=1
2× 2.91 × 1.95 × 𝑠𝑖𝑛(25.19∘)
= 1.207594212 𝑐𝑚2 Luas Juring
=𝛼
3600× 𝑙⨀
=51.13∘
360∘× 16.09142857 𝑐𝑚2
= 2.285429841 𝑐𝑚2
= 0.292285924 𝑐𝑚2 Luas segiempat
= Luas segitiga 1
+ Luas segitiga 2
− Luas Tembereng 3
= 2.064058039 𝑐𝑚2
+1.207594212 𝑐𝑚2
−0.292285924 𝑐𝑚2
= 2.979366326 𝑐𝑚2
Maka, Luas luk 12 = Luas tembereng 3 + luas segiempat
= 0.408730797 𝑐𝑚2 + 2.979366326 𝑐𝑚2
= 3.388097123 𝑐𝑚2
3. Luk 1
Luk 1 merupakan bagian keris bawah. Tampak seperti gambar di Gambar 14.
Pada luk 1 terdapat beberapa bidang datar yaitu tembereng dan segiempat.
Untuk menentukan luas keris pada luk 1 sebagai berikut:
Luas luk 1 = Luas tembereng 14 + Luas segiempat +Luas segitiga (biru)
Gambar 13 Segitempat 2
Gambar 14 Ilustrasi luk 1
1100
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas tembereng 14 diperoleh dari:
Luas lingkaran
= 𝜋𝑟2
= 𝜋 × 6.7424031322
= 142.8742857 𝑐𝑚2 Luas Juring
= 𝛼
3600× 𝑙⨀
=31.58∘
360∘× 142.8742857 𝑐𝑚2
= 12.53324984 𝑐𝑚2
Luas Segitiga
=1
2𝑟2𝑠𝑖𝑛(𝛼)
=1
2(6.742403132 𝑐𝑚)2𝑠𝑖𝑛(31.58∘)
= 11.90344109 𝑐𝑚2 Luas Tembereng 3
= luas juring – luas segitiga
= 12.53324984 𝑐𝑚2
−11.90344109 𝑐𝑚2
= 0.629808753 𝑐𝑚2
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas segiempat 13 diperoleh dari:
Luas segitiga 1
=1
2𝑠1𝑠2𝑠𝑖𝑛(𝛽)
=1
2× 3.67 × 6.42 × 𝑠𝑖𝑛(42.33∘)
= 7.933119742 𝑐𝑚2 Luas segitiga 2
=1
2𝑠2𝑠3𝑠𝑖𝑛(𝛾)
=1
2× 6.42 × 4.92 × 𝑠𝑖𝑛(23.24∘)
= 6.231735991 𝑐𝑚2 Luas Juring
Luas Segitiga
=1
2𝑟2𝑠𝑖𝑛(𝛼)
=1
2(5.6 𝑐𝑚)2𝑠𝑖𝑛(31.58∘)
= 12.38123924 𝑐𝑚2 Luas Tembereng
= luas juring – luas segitiga
= 14.27751111 𝑐𝑚2
−12.38123924 𝑐𝑚2 = 1.896271875 𝑐𝑚2
Luas segiempat
= Luas segitiga 1 + Luas segitiga 2
− Luas Tembereng 3
Gambar 15 Tembereng 14
1101
=𝛼
3600× 𝑙⨀
=31.58∘
360∘× 98.56 𝑐𝑚2
= 14.27751111 𝑐𝑚2
= 7.933119742 𝑐𝑚2
+ 6.231735991 𝑐𝑚2
−1.896271875 𝑐𝑚2
= 12.26858386 𝑐𝑚2
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas segitiga (biru) diperoleh dari:
Luas segitiga 1
=1
2𝑠1𝑠2𝑠𝑖𝑛(𝛽)
=1
2× 5.45 × 4.46 × 𝑠𝑖𝑛(36.41∘)
= 7.213823658 𝑐𝑚2
Luas Juring
=𝛼
3600× 𝑙⨀
=39.65∘
360∘ × 71.40571429 𝑐𝑚2
= 7.864546032 𝑐𝑚2
Luas Segitiga
=1
2𝑟2𝑠𝑖𝑛(𝛼)
=1
2(4.766550115 𝑐𝑚)2𝑠𝑖𝑛(39.65∘)
= 7.248772225 𝑐𝑚2 Luas Tembereng
= luas juring – luas segitiga
= 7.864546032 𝑐𝑚2
−7.248772225 𝑐𝑚2 = 0.6157738065 𝑐𝑚2
Luas segitiga (biru)
= Luas segitiga 1
− Luas Tembereng 3
= 7.213823658 𝑐𝑚2
−0.6157738065 𝑐𝑚2
= 6.598049852 𝑐𝑚2
Maka, Luas luk 1 = Luas tembereng 14 + Luas segiempat + Luas segitiga
(biru)
= 0.629808753 𝑐𝑚2 + 12.26858386 𝑐𝑚2 +
6.598049852
= 19.49644246 𝑐𝑚2 4. Luk 11-2
Luk 11-2 merupakan bagian tengah keris yang memiliki bentuk menyerupai luk
12, maka hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 1.
Gambar 16 Segiempat 13
Gambar 17 Segitiga (biru)
1102
Tabel 1 Luas luk 2 - 12
Analisis keliling permukaan Keris Sengkelat menggunakan pendekatan
Geometri yang kami lakukan berdasarkan tiap panjang sisi Luk dari keris
tersebut. Berikut ini kami sajikan hasil perhitungan keliling keris seperti pada
Tabel 2.
Gambar 18 Penomoran busur
Penjelasan hasil perhitungan keliling Keris Sengkelat melalui Tabel 2.
Keterangan:
Angka 1 – 28 menunjukkan
urutan busur lingkaran yang
membentuk Model Keris
Sengkelat.
Titik merah menunjukkan
perpotongan 2 lingkaran dan
garis Keris Sengkelat.
1103
Tabel 2 Keliling Penampang Bilah
Dari dua perhitungan di atas diperoleh luas penampang bilah 75.21 cm2 dan
keliling penampang bilah 71.96 cm. Hasil tersebut diperoleh dari analisis geometri
pada bilah keris dengan menggunakan pendekatan beberapa bangun datar.
Perhitungan bilah dibagi per-luk untuk memudahkan dalam perhitungan dan
penjelasan. Melalui hasil perhitungan luas penampang keris Sengkelat dapat menjadi
bahan pertimbangan jumlah warangan yang digunakan untuk membersihkan keris.
Sampai saat ini pengguna keris belum mengetahui jumlah yang pasti sehingga perlu
diadakan penelitian mengenai hal tersebut.
3. Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan:
1. Bentuk Keris Sengkelat dihasilkan oleh gabungan tali busur pada setiap
lingkaran yang tersusun sedemikian sehingga membentuk luk penyusun bentuk
keris.
2. Panjang busur diperoleh dari perpotongan dua/tiga lingkaran di dua titik tertentu
sesuai dengan bentuk asli Keris Sengkelat.
3. Keliling bilah keris diperoleh dari penjumlahan 28 busur.
4. Luas permukaan Keris Sengkelat dapat ditentukan menggunakan bangun datar
berupa 14 buah temberang dan 28 buah segitiga.
5. Unsur lingkaran yang digunakan dalam perhitungan luas permukaan Keris
Sengkelat ialah luas tembereng dan luas segiempat. Luas tembereng diperoleh
1104
dari pengurangan luas juring dan segitiga, luas segiempat diperoleh dari
penjumlahan dua segitiga dikurangi luas tembereng.
6. Luas bilah Keris Sengkelat yang diperoleh adalah 75.21 cm2.
7. Keliling bilah Keris Sengkelat yang diperoleh adalah 71.96 cm.
8. Luas penampang Keris Sengkelat pada penelitian ini dapat menjadi sumber
acuan mengenai penggunaan secara optimal warangan dalam membersihkan
keris.
Pernyataan terima kasih. Kami megucapkan terima kasih kepada:
1. Program Studi Magister Pendidikan Matematika yang mendukung untuk ikut
berpartisipasi dalam Seminar Nasional Matematika Universitas Indonesia.
2. Bapak Dr. M. Andy Rudhito, S.Pd sebagai Ketua Program Studi Magister
Pendidikan Matematika.
3. Bapak Prof. Dr. St. Suwarsono sebagai pembimbing Etnomatematika.
Referensi
[1] Hasrinuksmo, B. & Lumintu, S. 1988. Ensiklopedi Budaya Nasional Keris
dan Senjata Tradisional Indonesia Lainnya. Jakarta: Cipta Adi Pustaka.
[2] Kerami, D. 2003. Kamus Matematika (cetakan 3). Jakarta: PT. Penerbitan dan
Penerbitan Balai Pustaka
[3] Nugroho, H. & Meisaroh, L. 2009. Matematika SMP dan MTS kelas VIII.
Departemen Pendidikan Nasional: PT. Pelita Ilmu.
[4] Soedjadi, R. dkk. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta :
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Dapertemen Pendidikan Nasional.
[5] Yuwono &Teguh, Y. 2011. Keris Naga (Latar Belakang Penciptaan, Fungsi,
Sejarah, Teknologi, Estetis, Karakteristik dan Makna Simbolis). Jakarta:
Badan Pengembangan Sumber Daya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif.
1105
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 1105-1117
PENERAPAN FUNGSI KONTINU PADA TEOREMA
INTEGRAL RIEMANN UNTUK MENCARI SUHU RATA-
RATA SUATU DAERAH
SOEGANDA FORMALIDIN, SOFIA DEBI PUSPA, DAN KIKI A.
SUGENG
Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia, Depok, 16424,
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak. Matematika memiliki peranan yang cukup besar dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi saat ini, baik dari segi keilmuan matematika maupun dari segi terapannya. Fungsi kontinu
dan integral Riemann merupakan konsep dasar dalam matematika. Meskipun konsep ini merupakan
konsep dasar, akan tetapi konsep ini dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah sehari-hari.
Seperti yang sudah diketahui oleh setiap matematikawan, syarat suatu fungsi terintegralkan Riemann
pada suatu selang tertutup [𝑎, 𝑏] haruslah fungsi yang kontinu atau kontinu sepotong-sepotong. Pada
makalah ini dibahas aplikasi dari jumlahan Riemann (Riemann Sum) untuk mencari suhu rata – rata
suatu daerah.
Kata kunci : fungsi kontinu, Riemann Integrable, Riemann Sum, interval tertutup
1. Pendahuluan
Tokoh-tokoh matematika yang berperan dalam perkembangan kalkulus diantaranya
yaitu Newton dan Leibniz. Kedua tokoh ini berhasil mengembangkan teorema
fundamental dan mampu mengungkapkan hubungan yang erat antara antiderivative
dengan suatu integral tertentu. Hubungan ini dikenal dengan Teorema Dasar
Kalkulus. Selanjutnya Bernhard Riemann memberi definisi tentang integral tentu
dan sumbangannya ini sering disebut sebagai Integral Riemann. Pada tahun 1850
Riemann menemukan metode yang tepat untuk mencari luas di bawah kurva dengan
metode penjumlahan dan proses limit. Meskipun terdapat beberapa jenis teori
integral tetapi teori Riemann memberikan inspirasi dalam pembentukan integral lain
serta kontribusinya dalam penerapan ilmu matematika [2].
Definisi konsep Riemann Integrability dapat diperluas dari fungsi bilangan riil pada
interval tertutup di ℝ ke dalam fungsi bilangan kompleks dan di ℝ𝑛. Jenis-jenis
fungsi yang digunakan dalam Rieman Integrability diantaranya adalah fungsi tangga
(step function), fungsi kontinu, dan fungsi monoton. Namun pada makalah ini hanya
disajikan integral Rieman di bilangan riil dan difokuskan pada teorema Riemann
integrable yang memiliki fungsi kontinu dan terbatas. Dengan kata lain jika fungsi
1106
𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ kontinu di interval tertutup ,a b , maka f merupakan fungsi
Riemann integrable di ,a b . Metode pembuktian yang digunakan adalah dengan
menggunakan teorema kontinu seragam sebagai akibat dari fungsi yang kontinu di
himpunan kompak ,a b .
Aplikasi Jumlahan Riemann cukup banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu penerapannya yaitu untuk mencari suhu rata-rata suatu daerah dengan
syarat f kontinu dan tertutup di ,a b . Berdasarkan Mitchell [4] diperoleh ide untuk
melihat aplikasi dari jumlahan Riemann. Pada makalah ini akan disajikan data suhu
udara tiap bulan di DKI Jakarta tahun 2011-2014. Selanjutnya dari data tersebut akan
dibandingkan suhu rata – rata pada subinterval yang berbeda-beda dengan
menggunakan metode jumlahan Riemann (Rieman Sum). Selain itu, data suhu udara
di DKI Jakarta dari tahun 2011-2014 akan diinterpretasikan dalam bentuk polinomial
untuk mendapatkan informasi serta memperkuat hasil data apakah suhu rata-rata
yang dihasilkan sesuai dengan perhitungan Jumlahan Riemann ataukah tidak.
2. Hasil – Hasil Utama
2.1 Fungsi Kontinu
Definisi 2.1.1. [2,3]. Misalkan 𝐴 ⊆ ℝ, 𝑓: 𝐴 → ℝ dan .c A f dikatakan kontinu di
c jika diberikan sebarang 0 terdapat 0 sedemikian sehingga jika x adalah
sebarang titik pada A memenuhi x c maka ( ) ( ) .f x f c
Definisi 2.1.2. [2,3].Misalkan 𝐴 ⊆ ℝ dan 𝑓: 𝐴 → ℝ, f dikatakan kontinu seragam
(uniformly continuous) pada A jika untuk setiap 0 terdapat ( ) 0
sedemikian sehingga jika ,x u A adalah sebarang bilangan yang memenuhi
( )x u maka ( ) ( ) .f x f u
Definisi 2.1.3. [2,3].Misalkan 𝐼 ≔ [𝑎, 𝑏] ⊆ ℝ adalah interval dan misalkan
𝜑: [𝑎, 𝑏] → ℝ adalah fungsi tangga (step function) jika memiliki sebuah bilangan
berhingga pada nilai-nilai yang berbeda, dimana setiap nilai diasumsikan dengan
satu atau lebih subinterval pada ,a b .
Definisi 2.1.4. [3]Sebuah himpunan K dikatakan kompak jika termuat di dalam
gabungan sebuah koleksi G pada himpunan buka, maka himpunan tersebut
juga termuat di dalam gabungan beberapa bilangan berhingga pada himpunan .
Teorema 2.1.5. [2]
Jika suatu fungsi f kontinu pada himpunan kompak K , maka f kontinu seragam
di K .
Teorema 2.1.6. (Heine-Borel Theorem) [2]
Suatu sub himpunan di ℝ𝑝 disebut kompak jika dan hanya jika sub himpunan itu
1107
tertutup dan terbatas (bounded).
2.2. Integral Riemann
Definisi 2.2.1. [2]. Misalkan : ,I a b adalah interval tutup yang terbatas di ℝ dan
0 1 1: ( , ,..., , )n nP x x x x adalah partisi pada I sedemikian hingga
0 1 1... n na x x x x b (3)
Norma (atau mesh) partisi P yang dinyatakan dengan P merupakan panjang dari
subinterval terbesar yang terbagi kedalam partisi , .a b Kita notasikan partisi P
dengan 1
1 1,i i i
P x x . Kemudian didefinisikan
1 0 2 1 1: max , ,..., n nP x x x x x x (3)
Definisi 2.2.2. [3]. Partisi dari Interval (Tagged Partition) adalah jika suatu titik it
yang dipilih dari setiap subinterval 1,i i iI x x , untuk 1,2,...,i n sehingga titik-
titiknya disebut tag pada subinterval iI dengan himpunan pasangan terurut
1
11
: , ,i i ii
P x x t
dan P
merupakan subset dari sebuah partisi.
Definisi 2.2.3. (Jumlahan Riemann). [2,3]. Misalkan P
adalah subset dari sebuah
partisi. Jumlahan Riemann pada sebuah fungsi 𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ yang berkorespondesi
ke P
1
1
( ; ) : ( )( )n
i i i
i
S f P f t x x
(5)
Definisi 2.2.4. (Fungsi Terintegral Riemann atau Riemann Integrable). [2.3].
Sebuah 𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ dikatakan fungsi terintegral Riemann pada ,a b jika terdapat
suatu 𝐿 ∈ ℝ sedemikian hingga untuk setiap 0 terdapat 0 sehingga jika
P
adalah subset partisi dari ,a b dengan P
maka
( ; )S f P L
(2)
Himpunan seluruh fungsi integral Riemann pada ,a b dinotasikan dengan
, .a b Integral Riemann pada f atas ,a b jika ,f a b dan L adalah
unik dapat ditulis dengan
1108
b
a
L f atau ( )
b
a
f x dx (2)
Teorema 2.2.5. (Squeeze Theorem). [2]. Misalkan 𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ, ,f a b jika
dan hanya jika untuk setiap 0 terdapat fungsi dan di ,a b dimana
( ) ( ) ( )x f x x untuk setiap ,x a b sedemikian sehingga
( ) .
b
a
2.3. Teorema Keterintegralan Fungsi Kontinu [3].
Jika 𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ kontinu di interval tertutup ,a b , maka , .f a b
BUKTI:
Berdasarkan teorema Heine-Borel, sub himpunan tertutup dan terbatas pada ,a b
merupakan sub himpunan kompak di ℝ. Selanjutnya, karena f adalah fungsi
kontinu di himpunan kompak ,a b maka f adalah kontinu seragam di ,a b .
Akibatnya diberikan sebarang 0 terdapat 0 sedemikian sehingga jika
, ,u v a b dan u v maka f u f vb a
dengan b a adalah
konstan.
Misalkan 1
n
i iP I
adalah partisi sehingga P . Pandang i iu I adalah
suatu point dimana f memiliki nilai minimum pada iI dan i iv I adalah suatu
point dimana f memiliki nilai maksimum pada iI . Selanjutnya misalkan adalah
step function yang didefinisikan sebagai ix f u untuk 1,i ix x x
1,2, , 1i n dan nx f u untuk 1,n nx x x dan didefinisikan
dengan cara yang sama dengan menggunakan titik iv sebagai pengganti dari iu
sehingga
i if u f x f v
f x , untuk semua ,x a b
Perhatikan bahwa:
1109
1
1
1
1
1
1
0
b n
i i i i
ia
n
i i
i
n
i i
i
f v f u x x
x xb a
x xb a
b ab a
Dalam hal ini diperoleh:
b
a
Berdasarkan squeeze theorem maka , .f a b
Terbukti bahwa Jika 𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ kontinu di interval tertutup ,a b , maka
, .f a b □
Berikut ini disajikan contoh untuk setiap fungsi kontinu konstan pada interval
tertutup ,a b terletak di , .a b Perhatikan contoh berikut.
Misal diberikan suatu fungsi kontinu konstan f x k untuk setiap ,x a b . Jika
11
, ,n
i i ii
P x x t
adalah sembarang partisi dari ,a b , maka jelas bahwa
1
1
1
1
1 0 2 1 1
1 0 2 1 1
:n
i i
i
n
i i
i
n n
n n
S f P k x x
k x x
k x x x x x x
k x x x x x x
k b a
Untuk setiap 0 , pilih 1 sehingga jika P maka
: 0S f P k b a
Karena 0 adalah sebarang maka dapat disimpulkan bahwa ,f a b dan
b b
a a
f x dx kdx k b a
1110
2.4. Langkah-Langkah Penyelesaian Jumlahan Riemann
Berikut ini merupakan langkah-langkah untuk mencari nilai rata-rata dengan
menggunakan umlahan Riemann:
Langkah 1. Misal f fungsi kontinu pada interval tertutup ,a b . Kita mulai dengan
membagi ,a b menjadi n subinterval yang sama dengan partisi titik-titik
1 2, , , nx x x .
Langkah 2. Maka rata-rata dari
1
1
1nn
k
k
f x f xf f x
n n
(1)
Langkah 3. Selanjutnya perhatikan bahwa
b ax
n
1 1.
b a x
n n b a b a
Langkah 4. Dengan melakukan subtitusi balik pada persamaan (1) maka diperoleh
Rata-rata dari 1 1
1n n
k k
k k
xf f x f x x
b a b a
. [1]
2.5. Penerapan Jumlahan Riemann untuk Mencari Suhu Rata-Rata Suatu
Daerah
Berikut ini disajikan data dari suhu di DKI Jakarta pada tahun 2011-2014 dan
perhitungan suhu rata-rata di DKI Jakarta dengan mempartisi data tersebut menjadi
setiap sebulan sekali, 4 bulan sekali, 8 bulan sekali, dan 12 bulan sekali. [1].
Tabel 1. Suhu di DKI Jakarta Tahun 2011-2014
Tahun Bulan ke- Suhu Maksimum Suhu Minimum Suhu Rata-Rata
2011
1 32.6 23.4 27.3
2 33.2 23.6 27.4
3 34.8 24 27.9
4 34 24.2 28.6
5 34.4 24 28.8
6 33.6 24.6 28.7
7 33.2 24 28.3
8 34.6 24 28.8
9 34.8 24 29
10 35.2 24 29.2
11 35.4 24 28.9
12 35 24 28.9
2012
1 31.2 24.6 27.3
2 32.1 25 27.9
1111
3 32.1 24.8 28
4 32.4 25.3 28.1
5 32.7 25.3 28.3
6 32.7 25 28.4
7 32.6 24.5 27.9
8 33.3 24.4 28.1
9 33.6 24.8 28.5
10 34 25.2 29.1
11 32.8 25 28.1
12 32.5 25 28
2013
1 32.6 22.6 26.9
2 34 22.8 27.9
3 35.2 24 28.8
4 34.6 24 28.7
5 35 23.4 28.7
6 33.5 23 27.3
7 33.5 23 27.3
8 35 22.4 28.6
9 35.4 24.2 29
10 35.8 22.4 29.4
11 35 23.4 28.5
12 35 23 27.7
Tahun Bulan ke- Suhu Maksimum Suhu Minimum Suhu Rata-Rata
2014
1 33 23 26.6
2 32.8 22.8 26.6
3 34.4 23.9 28
4 35.2 23.2 28.8
5 35.2 25 29.3
6 34.4 24.2 28.6
7 34.2 23.4 28
8 34.6 24 28.7
9 37 24 29.2
10 36.8 25 29.8
11 36 23.8 29.4
12 34.8 24.1 28.1
1112
a. Perhitungan Suhu Rata-Rata dengan Partisi Setiap 1 Bulan Sekali
Gambar 1. Grafik Suhu Rata-Rata Setiap Sebulan Sekali
Berdasarkan grafik di atas, pada tahun 2011-2014 dan partisi bulan ke-
1,2,3, ,48 dengan subinterval 48 1 1 48n , maka suhu rata-rata setiap
tahunnya adalah
1 (2) (3) 48 1359.428.32
48 48
f f f ff
b. Perhitungan Suhu Rata-Rata dengan Partisi Setiap 4 Bulan Sekali
Gambar 2. Grafik Suhu Rata-Rata Setiap 4 Bulan Sekali
Berdasarkan grafik di atas, tahun 2011-2014 dan partisi bulan ke- 1,5,9, ,45
dengan subinterval 45 1
1 124
n
, maka suhu rata-rata setiap tahunnya adalah
1 (5) (9) 45 338.928.241
12 12
f f f ff
1113
c. Perhitungan Suhu Rata-Rata dengan Partisi Setiap 8 Bulan Sekali
Gambar 3. Grafik Suhu Rata-Rata Setiap 8 Bulan Sekali
Berdasarkan grafik di atas, tahun 2011-2014 dan partisi bulan ke-
1,9,17,25,33,41 dengan subinterval41 1
1 68
n
, maka suhu rata-rata setiap
tahunnya adalah
1 (9) (17) (25) (33) 41 169.828.3
6 6
f f f f f ff
d. Perhitungan Suhu Rata-Rata dengan Partisi Setiap 12 Bulan Sekali
Gambar 4. Grafik Suhu Rata-Rata Setiap 12 Bulan Sekali
Berdasarkan grafik di atas, tahun 2011-2014 dan partisi bulan ke- 1,13,25,37
dengan subinterval 37 1
1 412
n
, maka suhu rata-rata setiap tahunnya adalah
1 (13) (25) 37 108.127.025
4 4
f f f ff
Dari hasil perhitungan dengan mempartisi data menjadi setiap sebulan sekali, 4 bulan
1114
sekali, 8 bulan sekali, dan 12 bulan sekali diperoleh hasil yaitu pencarian nilai rata-
rata terbaik adalah pengambilan rata-rata suhu setiap tahunnya. Dengan kata lain,
untuk subinterval yang semakin banyak atau n akan diperoleh hasil yang
semakin baik seiring dengan semakin besarnya subinterval yang diambil dari interval
tertutup ,a b dan fungsi kontinu f . Rata–rata 𝑓 = lim𝑛→∞
1
𝑏−𝑎∑ 𝑓(𝑥𝑘)∆𝑥 =𝑛𝑘=1
1
𝑏−𝑎∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥𝑏
𝑎 dengan ∆𝑥 =
𝑏−𝑎
𝑛 . [4]
2.5. Pencarian Suhu Rata-Rata melalui Integral Tentu
Sebelum mencari suhu rata-rata dengan menggunakan integral tentu, maka akan
dicari polynomial interpolasi dari titik – titik suhu setiap 4 bulan sekali dengan
menggunakan Maple 13 (lihat Tabel 1). Adapun langkah – langkah yang dilakukan;
1. Subtitusi 12 titik ke dalam curve plotting dengan x-axis adalah bulan dan y-axis
adalah suhu di bulan tersebut.
2. Dengan menggunakan Polynomial Interpolation yang ada di menu, akan
dihasilkan polinomial dengan degree 11.
3. Selanjutnya masih dengan menggunakan program yang sama akan dicari hasil
integral fungi polinomial interpolasi dari 4 bulan sekali dan akan diperoleh hasil
rata – rata suhu 4 bulan sekali.
Gambar 5. Perhitungan dengan bantuan software
Tabel 2. Perbandingan suhu rata – rata
Partisi Hasil Jumlahan Riemann
12 bulan sekali 27.025
8 bulan sekali 28.3
4 bulan sekali 28.24
1 bulan sekali 28.32
Aproksimasi Integral (Fungsi
dari interpolasi polynomial 4
bulan sekali)
28.22
1115
Berikut merupakan grafik perbandingan suhu rata-rata, suhu
maksimum dan suhu minimum Kota Jakarta.
Gambar 5. Grafik Perbandingan Suhu Rata-Rata Kota Jakarta
Gambar 6. Grafik Perbandingan Suhu Maksimum Kota Jakarta
1116
Gambar 7. Grafik Perbandingan Suhu Minimum Kota Jakarta
3. Kesimpulan
Berikut merupakan kesimpulan yang diperoleh dari makalah ini, yaitu:
a. Pencarian nilai rata-rata terbaik adalah ketika pengambilan subinterval yang
semakin banyak atau n . Hasil semakin baik seiring dengan semakin
besarnya subinterval yang diambil dari interval tertutup ,a b dan fungsi kontinu
f .
b. Hasil integral dari polinomial yang diperoleh berdasarkan data untuk mencari
suhu rata-rata suatu daerah sesuai dengan perhitungan suhu rata-rata dengan
menggunakan Jumlahan Riemann.
c. Berdasarkan grafik dapat dikatakan bahwa suhu maksimum di DKI Jakarta dari
tahun 2011-2014 terjadi pada bulan September 2014 yaitu bulan ke-45 yang
mencapai 37 . Fadli[1] menjelasakan bahwa hal ini disebabkan oleh pengaruh
radiasi matahari dan angin timur dari Australia. Suhu udara DKI Jakarta
dikatakan normal jika dalam kondisi tertentu maksimal 34C dan cuaca
dikatakan ekstrem bila suhu udara mencapai 37 . Sehingga dapat disimpulkan
bahwa suhu di DKI Jakarta mencapai suhu ekstrem pada tahun 2014 yaitu bulan
ke-45.
d. Selama tahun 2012 suhu minimum terendah terjadi pada bulan Agutus yaitu
sebesar 24.4C dan suhu maksimum tertinggi pada bulan Oktober yaitu 34C.
Jika dibandingkan dengan suhu minimum terendah tahun 2013 terjadi pada bulan
Agustus yaitu sebesar 24.4C dan suhu maksimum tertinggi pada bulan Oktober
yaitu 35.8C. Dan juga jika dibandingkan dengan suhu minimum terendah tahun
2014 terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 22.8C dan suhu maksimum
tertinggi pada bulan Oktober yaitu 37C. Maka dapat dikatakan bahwa pada
tahun 2012-2014 suhu rata-rata di Provinsi DKI Jakarta telah terjadi peningkatan
baik suhu minimum maupun suhu maksimum. Hal ini menunjukan bahwa telah
adanya peningkatan perubahan iklim di DKI Jakarta dalam kurun waktu selama
3 tahun.
1117
Referensi
[1] Badan Pusat Statistik. Suhu Minimum, Rata-Rata, dan Maksimum Tahun 2000-2013,
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1347 (diakses tanggal 19 Desember
2016).
[2] Bartle, Robert G., 1964, The Elements of Real Analysis. Second Edition. John Wiley &
Sons, Inc.
[3] Bartle, Robert G., dan Donald R. Sherbert., 2000. Introduction to Real Analysis, Third
Edition, John Wiley & Sons, Inc.
[4] Mitchell., 2002, Application of Riemann Sum and the FTC: Net Distance Travelled,
math.hws.edu/~mitchell/Math131S13/Day08Handout.pdf (diakses pada tanggal 19
Desember 2016).
1118
Prosiding SNM 2017 Pendidikan , Hal 1118 -1125
KAJIAN GEOMETRI PADA MOTIF KAIN ULOS RAGI
HOTANG MASYARAKAT BATAK TOBA
MARIA KRISTIN S. SIHOMBING1, SCOLASTIKA LINTANG
R. RADITYANI2
1 Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
2 Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
Abstrak. Masalah yang sering dijumpai dalam pembelajaran matematika saat
ini adalah lemahnya penalaran pemecahan masalah kontekstual. Hal ini
dikarenakan pendidik seringkali kurang memberi makna pada setiap materi
dalam pembelajaran matematika. Pendidik kurang menunjukkan dan
menghubungkan peran matematika dalam aktivitas kehidupan sehari -hari.
Padahal tanpa disadari, matematika terlibat di dalam setiap aspek dan aktivitas
kehidupan bahkan dalam aspek budaya. Selain itu, adanya krisis budaya yang
dialami oleh anak-anak Indonesia di generasi ini merupakan suatu masalah yang
perlu untuk diperhatikan pula oleh para pemerhati pendidikan. Salah satu upaya
yang dilakukan adalah mengkaji aspek matematika pada budaya tertentu.
Penelitian ini secara khusus membahas aspek geometri pada motif kain ulos
Ragi Hotang masyarakat Batak Toba. Hasil penelitian menunjukkan adanya
aspek geometri yang meliputi simetri lipat, geometri transformasi (reflektif dan
translasi), kekongruenan, dan kesebangunan pada motif kain ulos Ragi Hotang.
Kata kunci: geometri transformasi, ulos ragi hotang, analisis geometri.
1. Pendahuluan
Banyak permasalahan yang muncul ketika seseorang membahas
matematika. Permasalahan yang muncul saat ini adalah lemahnya pemecahan
masalah yang kontekstual. Hal ini dikarenakan siswa tidak dapat memaknai
pembelajaran matematika yang diberikan oleh pendidiknya. Selain itu, permasalahan
krisis budaya yang melanda anak bangsa juga sudah harus mulai untuk diberi
perhatian. Kecanggihan teknologi sekarang ini mengakibatkan bergesernya makna
kebudayaan yang dimiliki dengan masuknya beraneka ragam kebudayaan dari luar
yang dapat ditemukan langsung oleh setiap anak.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengkaji aspek matematika
pada budaya tertentu. Hal ini dapat membantu siswa menemukan keterkaitan antara
matematika dengan permasalahan kontekstual khususnya budaya. Banyak penelitian
tentang etnomatematika telah dilakukan untuk mewujudkan tujuan ini (selengkapnya
lihat [1-6]). Diantara penelitian – penelitian tersebut terdapat beberapa penelitian
yang serupa dengan penelitian ini, antara lain penelitian yang dilakukan oleh
1119
Zayyadi [6] dengan judul “Eksplorasi Etnomatematika pada Batik Madura“.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan konsep – konsep matematika
apa saja yang terdapat pada motif batik Madura dan pemanfaatannya dalam
pebelajaran matematika. Hasil penelitian ini berupa konsep - konsep matematika
yang terdapat pada motif kain batik Madura, yaitu garis lurus, garis lengkung, garis
sejajar, simetri, titik, sudut, persegi panjang, segitiga, lingkaran, jajargenjang, dan
konsep kesebangunan. Konsep – konsep matematika pada motif batik Madura
tersebut kemudian dimanfaatkan untuk memperkenalkan dan memahami konsep
matematika melalui budaya lokal. Penelitian serupa lainnya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Pradanti dan Maria Rettian [4] dengan judul “Geometri Transformasi
dalam Motif Batik Kawung“. Penelitian ini bertujuan mengkaji aspek matematika
pada budaya Yogyakarta, yaitu aspek geometri transformasi pada proses penyusunan
motif batik kawung. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa bentuk unsur motif
kawung Yogyakarta dapat didekati dengan bangun datar elips horisontal. Proses
penyusunan motif batik kawung dilakukan dengan merotasikan elips terhadap suatu
titik pusat dengan sudut putar 45°, 90°, 180° dan 270°. Aspek matematis yang
digunakan tersebut termasuk dalam kategori aktivitas fundamental mendesain
(designing).
Pada penelitian ini dipilih salah satu budaya pada masyarakat Batak Toba
yaitu mengenai kain ulos. Hal ini karena kain ulos merupakan salah satu dari budaya
kesenian yang melekat pada masyarakat Batak Toba, namun jarang dieksplorasi dan
dikaji dari sudut pandang matematikanya. Dikatakan sebagai sesuatu yang melekat
dalam kehidupan masyarakat Batak Toba adalah karena masyarakat Batak
khususnya Batak Toba memiliki kebiasaan mengenakan ulos, baik pada waktu
menghadiri pesta-pesta adat, waktu menghadiri atau melawat orang yang berduka
atau dalam aktivitas hidupnya sehari-hari, Vergouwen [10].
Ulos memberi gambaran dan ciri orang Batak Toba dalam kebudayaannya
yang khas sebagai salah satu suku di Indonesia yang selalu mengikuti adat-istiadat,
tradisi turun temurun, Sihombing [8]. Ulos adalah semacam kain khusus yang
ditenun dengan motif-motif tersendiri. Motif dan warna-warna kain itu mengandung
arti yang khusus pula dan tidak dapat dipakai sembarang secara adat, Tambunan [9].
Selain itu, pemilihan kain ulos sebagai objek dalam penelitian adalah ingin
memperkenalkan keberadaan kain ulos sebagai salah satu dari kesenian kain
tradisional Indonesia selain yang sudah dikenal sampai ke kancah internasional yaitu
kain batik.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dibuat suatu penelitian yang
berjudul Kajian Geometri pada Motif Kain Ulos Masyarakat Batak Toba. Pada
penelitian ini dibahas mengenai aspek matematika pada budaya kain ulos dan
bagaimana penerapannya dalam pembelajaran matematika di sekolah. Dengan
adanya hasil kajian ini diharapkan peserta didik dapat semakin mampu
menyelesaikan masalah-masalah kontekstual matematika dan sekaligus sebagai
salah satu upaya untuk melestarikan budaya lokal. Hal ini karena masalah
kontekstual yang diberikan mengandung unsur-unsur budaya lokal itu sendiri. Aspek
geometri yang dimaksud diantaranya adalah:
1120
1.1. Transformasi
Transformasi adalah mengubah setiap koordinat titik (titik-titik dari suatu
bangun) menjadi koordinat lainnya pada bidang dengan suatu aturan tertentu,
Wirodikromo [11].
1.1.1. Refleksi
Refleksi adalah suatu transformasi yang memindahkan tiap titik pada bidang
dengan menggunakan sifat bayangan cermin dari titik-titik nyang akan dipindahkan,
Wirodikromo [11].
1.1.2. Translasi
Translasi adalah memindahkan setiap titik pada bidang menurut jarak dan
arah tertentu, Wirodikromo [11].
1.2. Kekongruenan
Kongruen adalah suatu keadaan dimana dua bangun atau lebih memiliki
ukuran dari tiap segmen garis yang bersesuaian sama dan bentuk bangun yang sama,
Setia[7].
1.3. Kesebangunan
Dua bangun atau lebih dikatan sebangun apabila bentuknya sama, tetapi
ukurannya berbeda. Besar dari panjang segmen garis dari dua bangun atau lebih yang
bersesuaian memiliki perbandingan dan skala yang sama, Setia[7].
2. Hasil – Hasil Utama
Pada penelitian ini akan dipaparkan aspek geometri yang terkadung dalam
jenis ulos ragi hotang dan ulos sedum, sebagai berikut:
2.1. Ulos Ragi Hotang
Berdasarkan penyusunan motif tenunnya, ragi hotang memiliki tiga bagian,
yaitu atas, bawah dan tengah. Bagian atas dan bawah ini di anyam secara bersamaan
dengan motif yang sama juga, sedangkan bagian tengah ragi hotang ini tenun
terpisah, Sihombing [8]. Motif tenun yang terkandung pada bagian tengah ragi
hotang ini juga terdiri dari tiga bagian, yaitu samping kiri, kanan dan tengah. Bentuk
motif ragi hotang ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Ulos Ragi Hotang
1121
2.1.1. Bagian Atas dan Bawah
Berikut adalah gambar bagian atas dan bawah Ulos Ragi Hotang:
Gambar 2. Motif Tenun Keseluruhan Ulos Ragi Hotang Atas dan Bawah
Bila di perbesar bagian ini terdiri dari beberapa motif seperti:
Gambar 3. Motif Tenun Pada Bagian Atas dan Bawah Ulos Ragi Hotang
2.1.2. Bagian Tengah
Berikut adalah gambar bagian tengah Ulos Ragi Hotang:
Gambar 4. Motif Tenun Ulos Ragi Hotang Tengah
2.1.2.1. Bagian Kiri dan Kanan
Tidak terdapat motif tenun pada bagian kiri dan kanan Ulos Ragi Hotang,
seperti yang disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 5. Ulos Ragi Hotang Bagian Kanan dan Kiri
1122
2.1.2.2. Bagian Tengah
Bila Bagian tengah Ulos Ragi Hotang diperbesar, maka akan diperoleh
motif-motif sebagai berikut:
Gambar 6. Motif Tenun Pada Bagian Tengah Ulos Ragi Hotang
2.2. Konsep Matematika Pada Kain Ulos Ragi Hotang
Mencermati motif ulos ini secara seksama, maka dapat ditemukan adanya
beberapa konsep matematik di dalamnya yang belum disadari selama ini. Konsep-
konsep Matematika tersebut antara lain konsep simetri, transformasi (refleksi dan
translasi), kekongruenan, dan kesebangunan. Adapun kajian mengenai konsep-
konsep matematika pada motif Ulos diuraikan sebagai berikut.
2.2.1. Konsep Simetri
Konsep simetri yang dimaksudkan di sini adalah simetri lipat. Bila Ulos
Ragi hotang ini di bentangkan, maka kita akan dapat melihat konsep simetri di
dalamnya sebagai berikut:
Gambar 7. Motif Ulos Simetris
Gambar 7 menunjukkan adanya motif simetris pada Ulos Ragi Hotang dan
garis tebal menunjukkan sumbu simetris yang terbentuk di dalamnya. Sumbu I
terletak sepanjang setengah dari lebar kain Ulos Ragi Hotang (35 cm), yaitu tepat
pada ukuran lebar 17,5 cm, sedangkan Sumbu II terletak sepanjang setengah dari
panjang kain Ulos Ragi Hotang (196 cm), yaitu tepat pada ukuran panjang 98 cm.
2.2.2. Konsep Transformasi
Pada motif Ulos Ragi Hotang terdapat pula konsep transformasi, seperti
refleksi, translasi,rotasi, dan dilatasi. Kajian mengenai konsep-konsep ini pada motif
Ulos Ragi Hotang diuraikan sebagai berikut.
1123
2.2.2.1. Konsep Transformasi Refleksi
Selain dengan menggunakan konsep simetri kain Ulos Ragi Hotang juga
memiliki konsep reflektif di dalamnya. Dengan cara sederhana motif ulos ini diambil
sebagian (a) dan (b) kemudian di reflektifkan dengan C1, C2 dan C3 debagai cermin:
Gambar 8. Motif Ulos Reflektif
2.2.2.2. Konsep Translasi
Konsep lain yang digunakan pada motif Ulos Ragi hotang adalah translasi,
konsep ini dilihat karena ada persamaan motif ulos yang terbentuk akibat adanya
pergeseran. Motif (a) di geser sebesar sekian satuan hingga diperoleh a’, sebagai
berikut:
Gambar 9. Motif Ulos Translasi Pada Motif I
Gambar 10. Motif Translasi Pada Motif II
Gambar 11. Motif Translasi Pada Motif VI
1124
2.2.3. Konsep Kekongkruenan
Selain konsep simetri dan transformasi, pada motif Ulos Ragi hotang juga
terdapat konsep lain yaitu konsep kekongruenan. Salah satu cara untuk menunjukkan
bahwa terdapat konsep kekongruenan pada motif Ulos Ragi hotang adalah dengan
cara-cara dicerminkan, digeser, atau diputar. Sehingga dengan proses tersebut, akan
nampak motif ulos lainnya pada posisi lain yang memiliki ukuran dan bentuk yang
sama dengan motif semula.
Gambar 17. Motif Kongruen Pada Ulos Ragi Hotang
2.2.4. Konsep Kesebangunan
Karena pada motif Ulos Ragi hotang terkandung konsep dilatasi, yang
merupakan konsep yang sejalan dengan kesebangunan. Maka pada motif Ulos Ragi
Hotang ini juga terdapat konsep kesebangunan. Hal ini dapat dilihat dengan
mencermati Gambar 14. dan Gambar 16. yang diperbesar dengan ukuran yang
sebanding.
Berdasarkan yang sudah dipaparkan di atas maka dapat dilihat bahwa motif
Ulos Ragi Hotang memiliki beberapa konsep matematis di dalamnya yaitu konsep
Simetri yaitu simetri lipat, Transformasi yang meliputi refleksi, translasi, rotasi dan
dilatasi serta konsep kekongkruenan dan kesebangunan.
2.3. Pembahasan Hasil Analisis
Pada bagian analisis mengenai beberapa aspek matematika geometri pada
kain Ulos Ragi Hotang menunjukkan bahwa etnomatematika telah ada, tumbuh, dan
berkembang pada kebudayaan seni kain ulos Batak Toba. Aspek matematika
geometri yang telah dianalisis di atas, merupakan sebagian kecil dari banyaknya
konsep atau aspek matematika formal yang diterapkan dalamm kehidupan sehari-
hari manusia.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan menalar dan pemecahan masalah
kontekstual peserta didik, kita dapat menggunakan aspek geometri pada kain ulos
untuk membantu peserta didik mengasah kemampuannya dalam hal menalar dan
membantu peserta didik untuk mengaitkan konsep-konsep matematika dalam
kehidupannya. Dengan begitu pembelajaran matematika di kelas dalam mencapai
hasil yang optimal dan yang terpenting adalah menjadi lebih bermakna. Selain itu,
dengan memasukkan budaya dalam pembelajaran matematika dapat menjadi salah
satu upaya melestarikan kebudayaan lokal yang nyaris tertelan oleh derasnya
kemajuan teknologi.
1125
3. Kesimpulan
3.1. Kesimpulan
Matematika pada kain Ulos Ragi Hotang, yaitu konsep matematika materi
geometri yang meliputi simetri lipat, geometri transformasi (reflektif, translasi,
rotasi, dan dilatasi), kekongruenan, dan kesebangunan.
Aspek matematika pada kain ulos yang diterapkan dalam pembelajaran
matematika diwujudkan dalam pemberian soal yang mengandung masalah-masalah
kontekstual materi geometri transformasi.
3.2. Saran
3.2.1. Bagi penelitian selanjutnya dapat mengkaji aspek-aspek matematika
yang terdapat pada motif kain ulos jenis lainnya.
3.2.2. Bagi penelitian selanjutnya dapat mengkaji aspek matematika yang
terdapat pada budaya-budaya lokal lainnya, sehingga keterkaitan
antara matematika dan budaya dapat lebih jelas terlihat.
Referensi
[1] Albanese, V. & Francisco, J. P. 2015. Enculturation with Ethnomathematical
Microprojects: From Culture to Mathematics. Journal of Mathematics & Culture 9(1).
1-11.
[2] Clanche, P. & Bernard, S., etc. 2006. Ethnomathematics and Mathematics Education.
Proceedings of the 10th International Conggress of Mathematics Education Copenhagen.
Italia: Tipografia Editrice Pisana snc.
[3] Francois, K. 2010. The Role of Ethnomathematics with Mathematics Education.
CERME 6 1517-1526.
[4] Pradanti, P. & Maria, R. A. S. 2016. Geometri Transformasi dalam Motif Batik Kawung.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016, p-ISSN : 2550-0384; e-
ISSN : 2550-0392.
[5] Rosa, M. & Orey, D. C. 2011. Ethnomathematics: the cultural aspek of mathematics.
Revista Latinoamericana de Etnomatematica, 4(2) 32-54.
[6] Zayyadi, M. 2017. Eksplorasi Etnomatematika pada Batik Madura. ΣIGMA 2(2) 35-40.
[7] Setia, B. 2011. Buku Pelajaran Matematika SMP Kelas IX. Kementrian Pendidikan
Nasional.
[8] Sihombing, T. M.. 1977. Filsafat Batak Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat-Istiadat.
Medan: Balai Pustaka.
[9] Tambunan, E. H. 1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba Dan
Kebudayaannya. Bandung: Tarsito.
[10] Vergouwen, J. C. 1986. Masyatakat Dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka
Azet.
[11] Wirodikromo. 2007. Buku Pelajaran Matematika SMA Kelas XII. Jakarta: Erlangga
1126
Prosiding SNM 2017 Pendidikan , Hal 1126 -1136
KEMAMPUAN SISWA SMP KELAS VIII DALAM
MEMBUAT MASALAH MATEMATIKA BERDASAR
MEDIA KORAN
GEORGIUS ROCKI AGASI1, YAKOBUS DWI WAHYUONO2
1Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
2 Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma, [email protected]
Abstrak. Dewasa ini pembelajaran matematika masih menjadi suatu momok
yang berat. Pengajaran yang hanya terfokus pada rumus membuat matematika
sangat jauh dari dunia nyata. Kurikulum 2013 mengajak untuk belajar dengan
cara yang lebih baik. Scientific approach merupakan kekhasan pada kurikulum
2013 dengan penekanan bahwa siswa belajar 7 M (Mengamati, Menanya,
Mencoba,Mengumpulkan Informasi, Menalar, Mengkomunikasikan dan Mena
rik Kesimpulan). Masalah nyata merupakan sarana yang cukup penting
digunakan pada pendekatan ini. Problem posing merupakan suatu pendekatan
yang dapat diupayakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
bermatematika. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat kemampuan siswa
dalam membuat masalah yang berkaitan dengan matematika. Penyajian masalah
melalui media koran tentang fenomena penambangan pasir. Penelitianini
merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan Studi kasus. Subjek dalam
penelitian ini adalah siswa kelas viii SMP Pangudi Luhur Srumbung, Magelang,
Jawa tengah sebanyak 21 siswa yang dibagi menjadi 4 kelompok. Hasil
penelitian ini menunjukkan siswa-siswi mampu membuat permasalahan
matematika berdasar media koran. Permasalahan dibuat dalam beberapa
pertanyaan. Pertanyaan yang dibuat cukup banyak namun belum mendalam.
Semua kelompok sudah mampu membuat pertanyaan matematika dengan
tingkat kesulitan yang berbeda.
Kata kunci : Problem posing, Masalah matematika, Media koran
1. Pendahuluan
Pada jaman yang sudah semodern ini hasil belajar matematika masih belum
sesuai harapan. Salah satu penyebab rendahnya hasil belajar pada matematika karena
siswa masih menganggap bahwa matematika itu sangat sulit dan jauh dari kenyataan.
Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, karena memang karakteristik pada matematika
yaitu bersifat abstrak. Akibat karakteristik ini, banyak siswa banyak siswa
menganggap bahwa matematika merupakan momok yang sangat menakutkan.
Sriyanto, (2007) menyatakan bahwa matematika seringkali dianggap momok
menakutkan dan sebagai pelajaran yang sulit oleh sebagian siswa [5].
Russefendi, (1991) menyatakan bahwa pelajaran matematika bagi siswa
pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, dianggap sebagai
1127
ilmu yang sukar dan ruwet [5]. Selain itu Abdurrahman (2003) mengatakan bahwa
dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang
studi yang dianggap paling sulit oleh para siswa, baik siswa yang tidak mempunyai
kesulitan belajar maupun terutama bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar [5].
Pelaksanaan kurikulum 2013 mengajak semua pihak untuk lebih
bersemangat dan optimis akan tercapainya suatu pendidikan yang lebih baik.
Kurikulum 2013 lebih menekankan pada dimensi pedagogik modern yang dalam
proses pembelajaran menggunakan scientific approach atau pendekatan ilmiah.
Pendekatan ilmiah dipercaya sebagai salah satu jembatan yang baik untuk
meningkatkan perkembangan dan pengembangan sikap. Selain itu keterampilan dan
pengetahuan peserta didik dalam proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah ini
akan semakin berkembang. Dalam konsep pendekatan ilmiah yang disampaikan
oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dijabarkan minimal ada 7 (tujuh)
kriteria. Ketujuh kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat
dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu ; bukan sebatas kira – kira,
khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru – siswa terbebas
dari prasangka yang serta – merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang
menyimpang dari alur berpikir logis.
3. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat
dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan
mengaplikasikan materi pembelajaran.
4. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam
melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi
pembelajaran.
5. Mendorong dan menginspirasi siswa dalam memahami, menerapkan, dan
mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon
materi pembelajaran.
6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan.
7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, tetapi menarik
sistem penyajiannya.
Proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah tersebut
merupakan perpaduan antara proses pembelajaran yang semula terfokus pada
eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya,
menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan [2]. Meskipun ada yang
mengembangkan lagi menjadi mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengolah
data, mengkomunikasikan, menginovasi dan mencipta. Namun, tujuan dari beberapa
proses pembelajaran yang harus ada dalam pembelajaran ilimiah sama, yaitu
menekankan bahwa belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di
lingkungan sekolah dan masyarakat. Selain itu, guru cukup bertindak
sebagai fasilitator ketika anak/siswa/peserta didik mengalami kesulitan, serta guru
bukan satu – satunya sumber belajar. Sikap tidak hanya diajarkan secara verbal,
tetapi melalui contoh dan keteladanan.
Problem posing adalah pembelajaran yang menekankan pada pengajuan
soal/masalah oleh siswa. Oleh karena itu, problem posing dapat menjadi salah satu
alternatif untuk mengembangkan berpikir matematis atau pola pikir matematis.
Menurut Suryanto (1998:3) merumuskan soal/masalah merupakan salah satu dari
tujuh kriteria berpikir atau pola berpikir matematis. Sistem berpikir matematis di sini
1128
dapat diartikan : memahami, keluar dari kemacetan, mengidentifikasi kekeliruan,
meminimumkan pekerjaan berhitung, meminimumkan pekerjaan menulis, tekun,
siap mencari jalan lain ketika diperlukan, dan membentuk soal [1].
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan problem posing merupakan kegiatan
penting dalam pembelajaran matematika. NCTM (National Council of Teachers of
Mathematics) merekomendasikan agar dalam pembelajaran matematika, para siswa
diberikan kesempatan untuk mengajukan soal/masalah sendiri [6]. Selain itu
menurut Cars untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal/masalah dapat
dilakukan dengan cara membiasakan siswa mengajukan soal/masalah [1].
Sedangkan Suryanto (dalam [7]) menjelaskan bahwa ada tiga macam
pemahaman problem posing, yaitu:
1. perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan
beberapa perubahan agar lebih sederhana sehingga soal tersebut dapat
diselesaikan.
2. perumusan soal-soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang
akan diselesaikan menekankan pada pengajuan oleh siswa.
3. pengajuan soal dari informasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika,
atau setelah kegiatan penyelesaian.
Pada tataran pelaksanaan juga dikenal tiga jenis model problem posing berdasarkan
situasinya, yaitu :
1. Situasi problem posing bebas, yaitu siswa diberikan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai
acuan untuk mengajukan soal.
2. Situasi problem posing semi terstruktur, yaitu siswa diberikan situasi atau
informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan
mengkaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan
konsep tertentu.
3. Situasi problem posing terstruktur, yaitu siswa diberi soal atau
penyeselesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut siswa
diminta untuk mengajukan soal baru.
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka peneliti melakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui kemampuan mengajukan masalah matematika dari siswa SMP
berdasarkan pada media koran. Situasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
situasi problem posing yang bebas yaitu siswa disajikan masalah nyata kemudian
diminta untuk membuat permasalahan matematika tanpa dibatasi.
2. Hasil – Hasil Utama
Penelitian ini diawali dengan mengajak siswa untuk membaca suatu surat kabar
tentang kondisi lingkungan sekitar. Masalah yang diangkat pada berita ini adalah
tentang penambangan pasir. Peneliti membagi kertas kosong dan memberikan berita
untuk mereka baca. Waktu yang diberikan untuk memahami maksud berita sekitar
10 menit. Setelah itu, peneliti membagi siswa dalam 4 kelompok dan meminta siswa
untuk mengerjakan tugas yang diberikan yaitu membuat soal matematika
berdasarkan berita yang diberikan.
1129
Tabel 1. Hasil Penelitian siswa.
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4
Soal yang dibuat ada 5 Semua pertanyaan
menggunakan kata berapa Pertanyaan yang dibuat
cukup sederhana namun
untuk menjawab pertanyaan
tersebut diperlukan informasi
yang langsung dan cukup
banyak Pada pertanyaan nomor 2
sebenarnya sudah lebih tepat
kalau itu termasuk soal
kompleks karena
penyelesaian yang dibuat
tidak bisa langsung
menggunakan rumus
matematika biasa namun
harus mengetahui banyak
info
Soal yang
dibuat ada 5 Semua
pertanyaan
menggunakan
kata berapa Penyelesaian
yang dibuat
cukup
sederhana
Soal yang dibuat
ada 5
2 dari 3 soal
sudah
menggunakan
pemisalan
Kelima soal
masih
menggunakan
kata berapa
Soal yang dibuat
ada 5
1 dari 5 soal
menggunakan kata
bagaimana sebagai
pertanyaaan
Ada 1 soal yang
sederhana untuk
ditanyakan namun
untuk
menjawabnya
diperlukan
informasi yang
cukup banyak.
Ada 7 soal yang dibuat
namun ada 1 soal yang ditulis
dua kali
Satu soal yang tertulis dua
kali tersebut kurang tepat jika
dimasukkan kategori soal
cerita, namun penyelesaian
yang dibuat cukup menarik.
Hanya 5 soal yang sudah
memakai pemisalan
Ada 5 soal yang
dibuat
Semua soal
sudah
memberikan
tambahan
informasi
sebagai solusi
penyelesaian
Tingkat
kesulitan dalam
penyelesaian
soal cerita ini
cukup beragam
Ada 5 soal yang
dibuat
Ada 1 soal yang
sudah
menggunakan
fungsi sebagai
perbandingan
hasil data
Ada soal yang
memberikan
banyak informasi
untuk
penyelesaiannya
Ada 5 soal yang
dibuat
Setiap soal diberi
satu informasi
untuk membentu
penyelesaian soal
Permasalahan yang
dibuat cukup
sederhana untuk
penyelesaiannya
Ada 5 soal yang dibuat
Permasalahan yang dibuat
kurang menunjukkan bentuk
kompleksitasnya
(ditunjukkan dari pertanyaan
yang ingin dicari)
Ada 5 soal yang
dibuat
Informasi banyak
namun
penyelesaian
cukup mudah
Beberapa soal
menggunakan
informasi
sebelumnya untuk
menanyakan
permasalahan lain.
(tidak ada) Ada 5 soal yang
dibuat
Satu soal sudah
menggunakan kata
mengapa sebagai
pertanyaannya
Ada 1 soal yang
penyelesaiannya
cukup sulit karena
harus mencari
banyak informasi
1130
Gambar 1. Permasalahan yang dibuat untuk setiap kelompok [4]
Gambar 2. Soal sederhana kelompok 1
1131
Gambar 3. Soal cerita sederhana kelompok 1
Gambar 4. Soal kompleks kelompok 1
Gambar 5. Soal sederhana kelompok 2
1132
Gambar 6. Soal cerita sederhana kelompok 2
Gambar 7. Soal kompleks kelompok 2
1133
Gambar 8. Soal sederhana kelompok 3
Gambar 9. Soal cerita sederhana kelompok 3
1134
Gambar 10. Soal sederhana kelompok 4
Gambar 11. Soal cerita sederhana kelompok 4
Gambar 12. Soal kompleks kelompok 4
1135
3. Analisa
Berdasar data-data yang sudah disajikan di atas, pada bagian ini akan dilihat
pekerjaan kelompok. Jika dilihat sekilas kemampuan siswa dalam
kemampuannya mengajukan permasalahan matematika dapat dikatakan baik.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya permasalahan dan ragam dari permasalahan
yang mereka ajukan. Terlebih-lebih mereka sudah dapat mengklasifikasikan
permasalahan tersebuta dalam kategori yang diminta oleh peneliti. Kategori
tersebut yaitu soal sederhana, soal cerita sederhana dan soal kompleks. Setiap
kategori siswa diminta membuat minimal 5 soal. Sebelum menyuruh siswa
untuk mengerjakan, peneliti juga memberi contoh hasil setiap soal yang
dimaksud. Peneliti memberi contoh yang termasuk soal sederhana seperti apa,
soal cerita sederhana seperti apa dan soal kompleks seperti apa. Setelah
menjelaskan peneliti baru memperbolehkan siswa untuk mengerjakan. Waktu
yang diberikan oleh peneliti sekitar 45 menit.
Pada proses pengerjaannya siswa mulai membuat permasalahan matematika
berdasarkan 3 kategori. Semua kelompok mampu membuat permasalahan pada
kategori soal sederhana dengan mudah. Hal ini disebabkan banyak dari anggota
kelompok sudah membuat soal kategori tersebut pada pengerjaan mereka
sehingga mereka hanya perlu berdiskusi dari bahan yang sudah ada. Seperti
kelompok 3 mereka langsung membagi tugas dengan setiap kelompok
menuliskan satu permasalahannya kedalam tugas kelompok. Sedangkan pada
kelompok 2, mereka mendiskusikan hasil pengerjaan tiap anggota sebelumnya
kepada kelompok.
Ketercapaian secara individu di sini juga diimbangi ketercapaian karena
kerja kelompok. Dengan berinteraksinya siswa dalam kelompok semakin
mengembangkan kemampuan mereka dalam mengajukan masalah matematika.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Fitria Ismail, (2013) dalam
hasil penelitiannya yang mengungkapkan “......sehingga proses pembelajaran
berjalan dengan baik, interaksi guru dengan siswa, siswa dengan siswa terlihat
baik, selain itu siswa dapat berinteraksi dan bekerja sama dalam kelompok” [4].
Apa yang sudah dicapai oleh individu semakin terlihat saat mereka diminta
mengelompokkan atau mengkategorikan permasalahan matematika yang
mereka temukan ke dalam 3 kategori yang sudah ditentukan, Pada proses ini
siswa semakin dituntut kreativitasnya karena mereka harus memilah-milah
permasalahan yang tepat sesuai kategori yang ada.
4. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pada dasarnya siswa mampu
membawa permasalahan nyata ke dalam permasalahan matematika. Hasil dari
penelitian ini adalah siswa mampu mengamati keadaan alam disekitar SMP PL yang
berasal dari koran dan membawanya kedalam masalah matematika. Selain itu siswa
mampu memaknai masalah itu sendiri dan mampu menggunakan matematika itu
dengan baik. Namun karena hal ini masih cukup baru untuk siswa maka pembiasaan
ini memang tidak mudah untuk mengajak siswa membuat permasalahan matematika
untuk dibagi menjadi 3 kategori soal yaitu soal sederhana, soal cerita sederhana dan
soal kompleks. Sebagian besar masih kesulitan dalam membuat soal kompleks.
Masih terdapat beberapa siswa mengalami kesulitan dalam mengubah masalah dunia
1136
nyata kedalam bentuk masalah matematika. Permasalahan yang dibuat oleh setiap
kelompok sudah cukup baik, mulai muncul kata “bagaimana” dan “mengapa”
sebagai pertanyaan mereka. Namun masih masih banyak menggunakan kata
“berapa”.
Saran dari penelitian ini adalah bisa membandingkan penelitian yang
berkelompok dengan yang individu. Dari hasil itu bisa dibandingkan apakah
hasilnya sama atau ada perbedaan. Hal terakhir yang menjadi saran adalah dapat
dikembangkan pembuatan permasalahannya namun siswa dilarang membuat kata
“berapa” agar lebih mengasah dan memperkaya siswa dalam hal pebuatan masalah
yang berhubungan dengan matematika yang diambil dari alam sekitar.
Referensi [1] Abdussakir., 2009, Pembelajaran Matematika dengan Problem Posing,
https://abdussakir.wordpress.com/2009/02/13/pembelajaran-matematika-dengan-
problem-posing/, (akses 8 November 2016)
[2] Atsnan, M.F. dan Rahmita Yuliana Gazali., 2013, Penerapan Pendekatan Scientific
dalam Pembelajaran Matematika SMP Kelas VII Materi Bilangan (Pecahan) ,
Penguatan Peran Matematika dan Pendidikan Matematika untuk Indonesia yang Lebih
Baik, FMIPA UNY, Yogjakarta, PROSIDING, ISBN : 978 – 979 – 16353 – 9 – 4.
[3] Fitria Ismail., 2013, Deskripsi Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad
Dalam Pembelajaran Matematika Di Kelas V SDN 6 Bulango Selatan Kabupaten Bone
Bolango, Jurnal Penelitian Kualitatif, Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan
Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Gorontalo,
[4] Penambangan pasir Merapi 'ancam' lingkungan.
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150609_majalah_merapi_pasi
r [5] Raudatul Husna dkk., 2013, Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan
Komunikasi Matematik Melalui Pendekatan Matematika Realistik pada Siswa SMP
Kelas VII Langsa, Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan alam, Universitas Negeri Medan (UNIMED), 20221 Medan,
Sumatera Utara, Indonesia Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor
2, hal 175-186.
[6] Silver, E.A. & Cai, S., 1996, An Analysis of Arithmetic Problem Posing by Middle
School Students, Journal for Research in Mathematics Education. 27: 521-539.
[7] Vera Dewi K.O., 2014, Peningkatan Pemahaman Kemampuan Matematik dan Sikap
Positif Terhadap Matematika Siswa SMP Nasrani 2 Medan Melalui Pendekatan
Problem Posing , Jurnal Saintech Vol. 06 – No 04- Desember 2014, hal : 93 – 105.