15
Kondisi Mangrove di Pulau Halmahera Utara 201 4 MAKALAH PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE KONDISI MANGROVE DI PULAU HALMAHERA UTARA DISUSUN OLEH MUHAMMAD RIVALDI B0A013046 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN Peng. Kawasan Mangrove | Mangrove di Pulau Halmahera Utara v

Kawasan mangrove

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pulau Halmahera

Citation preview

Page 1: Kawasan mangrove

Kondisi Mangrove di Pulau Halmahera Utara 2014

MAKALAH PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE

KONDISI MANGROVE DI PULAU HALMAHERA UTARA

DISUSUN OLEH

MUHAMMAD RIVALDI

B0A013046

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

FAKULTAS BIOLOGI

UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2014

| Mangrove di Pulau Halmahera Utara v

Page 2: Kawasan mangrove

Kondisi Mangrove di Pulau Halmahera Utara 2014

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dan panjang garis pantai 81.000 km atau 18,4% dari garis pantai dunia. Dalam wilayah pantai tersebut, terdapat ekosistem mangrove sekitar 3,1 jutaha, ekosistem terumbu karang (coral reef) sekitar 6 juta ha dan ekosistem padang lamun (seagrass bed) seluas 3 juta ha.

Wilayah pesisir dan laut Indonesia sangat strategis dalam mendukung pembangunan nasioal. Wilayah ini memiliki potensi cukup besar karena mempunyai banyak sumber daya alam meliputi sumberday alam hayati maupun non hayati beserta jasa lingkungan yang dihasilkan. Bahkan wilayah pesisir khususnya dapat menjadi local strategisdalam mendukung pengembangan aktivitas ekonomi masyarakat. Hal ini tampak dari kenyataan sampai saat ini bahwa wilayah pesisir menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh adanya pemukiman penduduk, pelabuhan, kawasan industry serta sarana prasarana penunjang kehidupan lainnya.

Tingginya aktivitas manusia (antropogenik) di wilayah pesisir dan laut pada beberapa wilayah berdampak terjadinya degradasi lingkungan berupa pencemaran perairan yang ditandai dengan adanya penurunan kualitas air laut dan kerusakan ekosistem. Terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut di Indonesia menunjukan kecendrungan yang semakin mengkhawatirkan.

Undang – undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memandatkan bahwa memelihara fungsi pesisir dan laut, diperlukan upaya pengendalian kerusakan lingkungan melalui pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kerusakan ekosistem mangrouve, padang lamun dan terumbu karang.Indonesia yang mempunyai panjang pantai nomor dua di dunia setelah Kanada sebagian besar pantainya mengalami kerusakan akibat tekanan dari aktivitas manusia. Pantai yang rusak berkorelasi positif dengan kemiskinan dan kalau kemiskinan dibiarkan akan menambah tekanan terhadap kerusakan pantai. Untuk merehabilitasi pantai harus terintegrasi dan melibatkan masyarakat setempat. Salah satu cara merehabilitasi adalah memperbaiki kembali ekosistem yang ada di pantai tersebut khususnya mangrouve.

| Mangrove di Pulau Halmahera Utara 4

Page 3: Kawasan mangrove

Kondisi Mangrove di Pulau Halmahera Utara 2014

BAB IIPEMBAHASAN

Tumbuhan mangrove adalah tumbuhan yang memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi system perakarannya. Dalam hal lain, beberapa jenis mangrove berkembang dengan buah yang sudah berkecambah sewaktu masih di pohon induknya (vivipar), seperti Kandelia, Bruguiera, Ceriops dan Rhizophora.

Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting; misalnya menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002).

Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (associate asociate). Di seluruh dunia, Saenger, dkk (1983) mencatat sebanyak 60 jenis tumbuhan mangrove sejati. Dengan demikian terlihat bahwa Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi.

| Mangrove di Pulau Halmahera Utara 5

Page 4: Kawasan mangrove

Kondisi Mangrove di Pulau Halmahera Utara 2014

Manfaat Mangrove:

2.1 Mangrove Sebagai Hutan

Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusuma et al, 2003). Menurut FAO, Hutan Mangrove adalah Komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut.

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968). Dalam Bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusmana et al,2003).

Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob

Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menancapkan akarnya.

Mangrove tumbuh dan berkembang pada pantai-pantai tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada pulau di belakang terumbu karang di pantai yang terlindung (Nybakken, 1998).

2.2 Mangrove Sebagai Penghasil Iklim Mikro

Kelembaban merupakan parameter iklim mikro yang berkaitan erat dengan eksistensi mangrove dan fungsi-fungsi ekologisnya. Fungsi ekologi hutan mangrove ialah mengatur iklim mikro dan menjamin kehudupan biota di dalamnya, menyerap karbon dioksida yang ada di udara, sehingga mereduksi laju peningkatan pemanasan global. Hutan mangrove menyerap separuh dari karbon

| Mangrove di Pulau Halmahera Utara 6

Page 5: Kawasan mangrove

Kondisi Mangrove di Pulau Halmahera Utara 2014

dioksida yang diproduksi manusia (Anonymous, 2009; Snedaker, 1995). Hutan mangrove berperan mengatur rantai makanan bagi organisme yang hidup di daerah pasang surut, tempat bertelur dan menetas, menjadi tempat berlindung burung-burung dan habitat reptil dan mamalia tertentu (Anonymous, 1999; Giri and Muhlhausen, 2008). Hamilton and Snedaker (1984) dalam Anonymous (2008) mengemukakan : 67 % dan Kelembaban udara merupakan parameter fisika yang memegang peran penting bagi kelangsungan hidup hutan bakau. Kelembaban udara mempengaruhi jumlah serasah yang jatuh. Serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan laut. Penebangan dan pembukaan hutan berdampak pada menurunnya kelembaban udara, mempercepat evaporasi dan mendorong terjadinya defisit kelengasan tanah dan bahaya kekeringan (Medellu dkk, 2010).

Hutan mangrove berfungsi efektif mereduksi pengaruh fluktuasi kelembaban udara laut sehingga menjamin stabilitas kelembaban dalam hutan mangrove dan kehidupan biota di dalamnya. Kapasitas hutan mangrove mengendalikan kelembaban bergantung pada lebar hutan mangrove dan kerapatan canopy mangrove (Medellu dkk, 2010).

2.3 Mangrove Sebagai Ekosistem

Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Berbagai produk dari mangrove dapat dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya: kayu bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga, kertas, kulit, obat-obatan dan perikanan . Melihat beragamnya manfaat mangrove, maka tingkat dan laju perekonomian pedesaan yang berada di kawasan pesisir seringkali sangat bergantung pada habitat mangrove yang ada di sekitarnya. Contohnya, perikanan pantai yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove, merupakan produk yang secara tidak langsung mempengaruhi taraf hidup dan perekonomian desa-desa nelayan.

Sejarah pemanfaatan mangrove secara tradisional oleh masyarakat untuk kayu bakar dan bangunan telah berlangsung sejak lama. Bahkan pemanfaatan mangrove untuk tujuan komersial seperti ekspor kayu, kulit (untuk tanin) dan arang juga memiliki sejarah yang panjang. Pembuatan arang mangrove telah berlangsung sejak abad yang lalu di Riau dan masih berlangsung hingga kini. Eksplotasi mangrove dalam skala besar di Indonesia nampaknya dimulai awal abad ini, terutama di Jawa dan Sumatera (van Bodegom, 1929; Boon, 1936), meskipun eksplotasi sesungguhnya dengan menggunakan mesin-mesin berat nampaknya baru dimulai pada tahun 1972 (Dephut & FAO, 1990).

Pada tahun 1985, sejumlah 14 perusahaan telah diberikan ijin pengusahaan hutan yang mencakup sejumlah 877.200 hektar areal mangrove, atau sekitar 35% dari areal mangrove yang tersisa (Dephut & FAO, 1990). Nampaknya produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove adalah perikanan pesisir. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan

| Mangrove di Pulau Halmahera Utara 7

Page 6: Kawasan mangrove

Kondisi Mangrove di Pulau Halmahera Utara 2014

sebagian siklus hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar, dkk, 1992 dan Burhanuddin, 1993). Kakap (Lates calcacifer), kepiting mangrove (Scylla serrata) serta ikan salmon (Polynemus sheridani) merupakan jenis ikan yang secara langsung bergantung kepada habitat mangrove (Griffin, 1985). Menurut Unar (dalam Djamali, 1991) beberapa jenis udang penaeid di Indonesia sangat tergantung pada ekosistem mangrove. Martosubroto & Naamin (dalamDjamali, 1991) mengemukakan adanya hubungan linier positif antara luas hutan mangrove dengan produksi udang, dimana makin luas hutan mangrove makin tinggi produksi udangnya dan sebaliknya.

Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Di Indonesia hal ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial seperti di perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya yang kesemuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan (Soewito, 1984). Sebaliknya, menurunnya produksi perikanan di Bagansiapiapi, dimana sebelum perang dunia II merupakan penghasil ikan utama di Indonesia bahkan sebagai salah satu penghasil ikan utama di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya (Kasry, 1984). Sebagian besar kegiatan penangkapan ikan di Indonesia berlangsung di dekat pantai.

Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh komunitas nelayan setempat dengan pola yang tradisional atau oleh nelayan modern yang datang dari kota pelabuhan besar. Pada tahun 1998 total produksi perikanan laut Indonesia adalah sekitar 3,6 juta ton yang melibatkan tidak kurang dari 478.250 keluarga (BPS, 1998).

Kondisi dan Penyebaran Mangrove di Halmahera Utara.

Di Halmahera Utara terdapat 9 jenis mangrove. Jenis mangrove yang terdapat di daerah ini antara lain  Bruguiera gymnorrhiza, Soneratia alba, Soneratia caseolaris, Rhizophora apiculata, Avicennia marina, Nypa fructicans, Acanthus ebracteatus dan Acanthus ilicifolius.

Vegetasi mangrove terdapat di desa Cera Pulau Doi, Pantai Kecamatan Tobelo, Pantai kecamatan Tobelo Tengah, Pantai Kecamatan Tobelo Selatan, dan Pantai Kecamatan Kao Utara (Terdapat tiga titik vegetasi mangrove). Kerapatan yang dimiliki vegetasi mangrove tersebut memiliki nilai yang berbeda, namun kriterianya sama.

Di desa Cera Pulau Doi terdapat 5 jenis mangrove dengan kerapatan 933 pohon per ha (termasuk criteria jarang, sedangkan berdasarkan baku mutu Lingkungan Hidup masuk kriteria rusak). Jenis mangrove yang ditemukan adalahBruguiera gymnorrhiza, Soneratia alba, Soneratia caseolaris, Rhizophora apiculata, Avicennia marina. Desa Cera adalah lokasi penambangan Mangan dan tempat pembuangan limbah berada di area mangrove, sehingga memberikan pengaruh terhadap jarangnya kerapatan mangrove di daerah ini. Walaupun di

| Mangrove di Pulau Halmahera Utara 8

Page 7: Kawasan mangrove

Kondisi Mangrove di Pulau Halmahera Utara 2014

Desa Cera cukup jarang, namun kondisi pohon mangrovenya cukup baik dan sehat.

Mangrove di pantai kecamatan Tobelo ada 1 jenis yaitu Soneratia alba. Kerapatan mangrovenya 500 pohon/ha yang termasuk kriteria jarang/rusak. Mangrove di daerah ini ukuran pohonya tidak besar dan terlihat tidak rapat.

Di pantai Tobelo Tengah ditemukan 4 jenis mangrove. Mangrove tersebut memiliki kerapatan 550 pohon/ha yang masuk dalam kriteria jarang/rusak. Jenis mangrove yang ditemukan adalah Avicennia marina, Nypa fruticans, Soneratia alba, dan Rhizophora apiculata. Adanya beberapa jenis mangrove di daerah ini membuat mangrove yang ada terlihat beragam.

Di pantai Tobelo Selatan hanya terdapat 1 jenis mangrove yaitu Soneratia alba. Kerapatan mangrove di daerah ini lebih tinggi daripada di pantai Tobelo dan Tobelo tengah yaitu 800 pohon/ha yang termasuk dalam kriteria jarang/rusak. Jarangnya mangrove memang terlihat jelas dari fisik luar.

Mangrove di pantai kecamatan Kao Utara (1270 59’ 42,89” BT dan 10 23’ 32,82” LU) memiliki jenis yang paling banyak, yaitu 7 jenis mangrove. Mangrove yang ditemukan adalah Nypa fruticans, Avicennia marina, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Soneratia alba, Acanthus ebracteatus dan Acanthus ilicifolius, dengan kerapatan yaitu 500 pohon/ha. Kerapatan ini sama dengan kerapatan mangrove di Pantai Tobelo. Kriteria mangrove yaitu jarang/rusak.

Mangrove di pantai kecamatan Kao Utara (1270 59’ 20.84” BT dan 10 22’ 50.84” LU) memiliki 2 jenis mangrove. Mangrove yang ditemukan adalah Soneratia alba, dan Bruguiera gymnorhiza), dengan kerapatan yaitu 800 pohon/ha. Kerapatan ini sama dengan kerapatan mangrove di Pantai Tobelo Selatan. Kriteria mangrove yaitu jarang/rusak.

Sedangkan Mangrove di pantai kecamatan Kao Utara (1270 58’ 35.69” BT dan 10 18’ 21.95” LU) memiliki 2 jenis mangrove. Mangrove yang ditemukan adalah Soneratia alba, dan Bruguiera gymnorhiza), dengan kerapatan yaitu 867 pohon/ha. Kriteria kerapatan adalah jarang dan kriteria kerusakan menurut Kepmenlh Nomor 201 tahun 2004 adalah rusak.

 Selain beberapa jenis mangrove sejati yang ditemukan juga beberapa mangrove non sejati atau mangrove ikutan, yaitu Derris trifoliate, Hibiscus tiliaceus, Ipomoea pes-caprae, Pandanus odoratissima dan Terminalia catapa. Dari kelima jenis tersebut yang paling banyak ditemukan adalah Terminalia catapa.

Kondisi vegetasi mangrove di Halmahera Utara yang masuk dalam kriteria jarang menunjukan kondisi mangrove di kawasan ini mulai mengalami kerusakan. Kerusakan mangrove tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa isu yang timbul seperti konversi mangrove menjadi pemukiman, abrasi pantai dan pencemaran (perlu penelitian lanjutan). Berkurangnya area mangrove karena makin banyaknya pemukiman, membuat kondisi mangrove menjadi jarang bahkan mendekati kerusakan. Abrasi pantai itu sendiri dapat mengerus area

| Mangrove di Pulau Halmahera Utara 9

Page 8: Kawasan mangrove

Kondisi Mangrove di Pulau Halmahera Utara 2014

mangrove yang mulai mengalami kerusakan tersebut (kriteria jarang). Hal ini memerlukan penanganan yang serius baik dari pemerintah setempat dan masyarakat, mengingat pentingnya peranan mangrove bagi masyarakat pesisir. Rekomendasi yang perlu dilakukan adalah penanaman kembali lahan mangrove.

| Mangrove di Pulau Halmahera Utara 10

Page 9: Kawasan mangrove

Kondisi Mangrove di Pulau Halmahera Utara 2014

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2009. Nature’s role in climate change. Nature Environment.

EuropianCommission

http://ec.europa.eu/environment/pubs/pdf/factsheets/cc_biodiversity.pdf

Anonymous. 2008. Mangrove managementin the Northen Territory.

http://www.nt.gov.au/nreta/wildlife/nature/pdf/mangrovess/2_mangrove_

ecosystem.pdf

Chen, J., J.S. Saunders, T.R. Crow, R. J. Naiman, K.D. Brosofske, B.L.

Brookshire, and J. F. Franklin. 1990 Microclimate forest ecosystem and

landscapeecology. BioScience: 49 (4).

Davis-Colley R.J., G. W. Payne and M. van Elswijk, 2008. Microclimate

gradients across a forest edge. National Institute of Water and

Atmospheric. Research Ltd (NIWA), New Zealand.

Giri Ch., and J. Muhlhausen, 2008. Mangrove Forest Distributions and Dynamics

in Madagascar. Sensors 2008, 8, 2104-2117 ISSN 1424-8220.

http://www.mdpi.org/sensors/papers/s8042104.pdf

Londa T., D. Mantiri, Y.Ohoitimur, Ch. Medellu, 2009. Kajian Aspek Sosial

Rencana Pengoperasian Tambang Emas Toka Tindung. Penelitian di

sembalian desa lingkar tambang.

Medellu Ch, S. Tamarol, dan Y Warouw, 2008. Laporan hasil survei pengem-

bangan pariwisata kawasan Sahenda-rumang-Mahengetang. Dinas Pari-

wisata Kabupaten Sangihe

 Snedaker, S. 1995. Mangroves and climate change in the Florida and Caribbean

region: scenarios and hypotheses. Hydrobiologia 295:43-49

| Mangrove di Pulau Halmahera Utara 11