Upload
vonguyet
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bintan
Pada tanggal 21 Februari 2005, kami berkumpul di terminal feri Tanah Merah.
Lalu, kami naik feri ke Bintan. Perjalanan ke sana kira-kira satu jam empat puluh lima
menit.
Pelabuhan Tanjung Pinang
Bintan adalah pulau yang paling besar di Riau. Jumlah penduduk di sana kira-kira
dua ratus ribu orang. Kebudayaannya terdiri dari kebudayaan orang-orang Melayu, orang
Cina, orang Bugis dan orang laut. Cuaca di sana sangat panas, biasanya dari 21°C sampai
32°C, karena Bintan dekat dengan katulistiwa. Bintan menjadi tempat berkunjung yang
terkenal sebab jaraknya dekat dari Singapura dan ada akomodasi untuk banyak orang.
Pulau Penyengat
Sesudah kami sampai di Bintan, kami naik sampan ke Pulau Penyengat. Dari
sana, kami bisa melihat banyak rumah di atas air.
Rumah di atas air
Pada abad ke-19, di Pulau Penyengat ada kira-kira sembilan ribu orang. Waktu itu
ada banyak buku cerita tentang pulau ini, contohnya, ‘Tuhfat al-Nafis’ karangan Raja Ali
Haji. Menurut sejarah, pada tahun 1804, Sultan Mahmud memberikan Pulau Penyengat
kepada istrinya sebagai mas kawin. Nama istrinya Raja Hamidah, dia juga adalah anak
perempuan Raja Ali Haji.
Sekarang, penduduk di pulau ini berjumlah lebih kurang tiga puluh ribu orang.
Ada enam puluh persen penduduknya bekerja sebagai nelayan, sisanya bekerja sebagai
pekebun dan petani. Lebih sedikit orang bekerja sebagai pekebun dan petani karena
menjual buah-buahan di sini untungnya hanya sedikit.
Mesjid
Mesjid Raya Sultan Riau selesai didirikan dalam tahun 1844. Mesjid ini berwarna
kuning dan hijau, karena warnanya melambangkan kebesaran. Bangunan mesjid terbuat
dari beton. Bahan perekat beton yang digunakan ini adalah dari campuran putih telur dan
kapur. Di dalam mesjid ini ada koleksi perpustakaan yang didirikan oleh Raja
Muhammad Yusuf Al Ahmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X. Buku itu mengenai agama
Islam. Waktu itu, perempuan tidak boleh masuk ke mesjid ini.
Mesjid Raya
Sekarang perempuan boleh masuk ke mesjid, tapi harus memakai baju yang
menutup bahu dan lengan dan celana panjang. Orang Islam di pulau harus berdoa
seminggu sekali di mesjid ini, dan mereka harus berdoa 5 kali sehari, mulai dari jam 5
pagi.
Makam
Sesudah berkunjung ke Mesjid Raya, kami berjalan kaki ke Makam yang terkenal
di Pulau Penyengat. Kami harus melewati rumah penduduk di Pulau Penyengat. Semua
rumahnya tidak bertingkat dan halamannya ditanami dengan pohon buah-buahan seperti
nangka, rambutan dan lain-lain.
Rumah penduduk Pulau Penyengat
Selain itu, ada beberapa keluarga juga bertenak ayam. Ayam di situ tidak serupa
dengan ayam biasa yang kami makan. Ayam yang kami makan ayam suntikan,
sedangkan ayam di Pulau Penyengat ayam kampung, bisa berjalan-jalan dan mencari
makan ke mana saja. Ayam ini namanya “ayam kampung”.
Ayam kampung
Kami juga melewati satu-satunya pembangkit tenaga listrik dan mata air di Pulau
Penyengat. Generator listrik itu mengirim listrik rumah-rumah penduduk dari sana. Kalau
generator listrik rusak, penduduk akan hidup tanpa listrik untuk beberapa hari sampai
generator listrik itu diperbaiki. Di Pulau Penyengat juga tidak ada air leding, jadi
penduduk harus bergantung kepada air dari mata air setiap hari.
Pembangkit tenaga listrik
Waktu kami sampai di makam itu, kami harus bergiliran untuk masuk ke makam
karena di sana tidak begitu luas. Kami harus menanggalkan sepatu kami sebelum masuk
ke ruang makam. Makam itu Makam Engku Putri (Raja Hamidah). Menurut sejarah,
Engku Putri adalah pemegang regalia kerajaan Riau. Bangunan makam terbuat dari
beton, dikelilingi oleh tembok di tempat yang agak tinggi.
Makam Engku Putri Raja Hamidah
Hanya batu nisan Engku Putri dan beberapa batu nisan yang lain diselimuti
dengan kain yang berwarna kuning karena mereka adalah makam keluarga raja. Makam
Engku Putri dikeramatkan oleh orang, jadi banyak orang datang ke sini untuk berdoa dan
minta bantuan. Di komplek ini terdapat juga makam tokoh terkemuka kerajaan Riau,
seperti makam Raja Abdullah YDM yang Dipertuan Muda Riau IX dan makam Raja Ali
Haji, pujangga Riau yang terkenal sebagai Bapak "Gurindam Dua Belas". Gurindam
adalah sastera seperti pantun dan sajak yang dipakai sebagai nasehat. Ia sering
dinyanyikan sebagai lagu.
Makam Raja Ali Haji
Di Pulau Penyengat juga ada makam Raja Jakfar dan makam Raja Ali tapi makam
mereka tidak sama tempatnya dengan makam Engku Puteri.
Restoran
Waktu kami semua duduk di sampan bermotor, pikiran kami sudah ada di
restoran yang kami akan pergi. Sesudah pulang dari Pulau Penyengat, tur wisata
membawa semua mahasiswa ke pinggir jalan. Di situ, ada beberapa bis sedang menunggu
kami. Cuaca di sana lebih panas kalau dibandingkan dengan Singapura, meskipun bisnya
ada AC, kami masih tetap kepanasan. Akhirnya, kami mengunjungi restoran untuk makan
siang.
Wah, rupanya suasana restoran Indonesia begitu. Musik gamelan, lukisan tentang
permandangan Indonesia dan perabotnya terbuat dari kayu. Kalau dibandingkan dengan
restoran di Singapura, restoran di Bintan kelihatan lebih tradisional dan alam. Semua
mahasiswa sudah sangat lapar sampai tidak perduli mencuci tangannya dan langsung
makan. Makanan pertama adalah sup sayur asam. Menurut tur wisata, penduduk di
seluruh Indonesia bisa masak masakan ini. Selain itu, lauknya adalah Sichuan tahu
hotplate, tempe goreng, ayam kampung goreng dan lain-lain. Kami sambil makan sambil
memberikan kommentar tentang makanannya. Kommentar seperti “Apa ini, kok tidak
pernah makan makanan begini di Singapura.” atau “ayam kampungnya enak sekali ya!”
bisa sering terdengar.
Makanan di restoran Indonesia
Sekarang semua sudah kenyang, lalu buah-buahan disajikan! Buah-buahannya
terasa manis, terutama nanasnya. Saya bertanya kepada pelayan mengapa nanas manis
sekali, dia bilang sekarang musim nanas, baru saya mengerti.
Sebelum kami mengunjungi tempat lain, pemandu wisata harus
membereskan dokumen-dokumen mahasiswa supaya nanti tidak usah repot. Sesudah
semuanya selesai, kami kembali ke bis untuk pergi ke pabrik.
Pabrik
Pabrik itu terletak di tempat yang agak jauh dari pelabuhan. Prabik itu membuat
empat produk, yaitu bunga plastik, Teh Prendjak, sos tomat dan kecap. Tapi kami hanya
bisa berkunjung ke dua bagian saja, iaitu bagian yang membuat bunga plastik dan Teh
Prendjak.
Kami mulai dari bagian bunga plastik. Mula-mula, plastik yang digunakan untuk
menggabungkan daun bunga dibuat dari butiran plastik. Butiran akan dimasukkan ke
dalam mesin dicetak dan akhirnya tangkai akan dikeluarkan.
Butir-butir plastik
Kemudian, kami melihat bagaimana daun bunga dipotong dari kain. Mesin di
bawah menggunakan suhu yang tinggi untuk memotong kain ke bentuk daun bunga. Jadi
pekerja harus berhati-hati waktu mengerjakan tugas ini.
Mesin untuk membuat daun bunga plastik
Tangkai bunga plastik dikerjakan oleh masing-masing pekerja. Pekerja
menggunting apa-apa yang harus digunting supaya bunga plastik akan kelihatan rapi
nantinya.
Menggunting tangkai
Di mesin lain, kami bisa lihat bagaimana daun bunga yang dipotong tadi dicetak
supaya bunganya menjadi “3d”. Pekerja yang menggunakan mesin ini juga sama dengan
pekerja tadi, semua harus berhati-hati karena suhunya tinggi sekali.
Mencetak bunga
Kemudian, daun bunga yang sudah dibentuk digabungkan dengan tangkai plastik
supaya menjadi bunga yang kami lihat biasanya. Bunga ini dikumpulkan dalam keranjang
yang disediakan lalu diberikan kepada pekerja lain.
Menggabungkan daun bunga
Akhirnya, pekerja akan memasukkan bunga plastik yang sudah selesai itu ke
dalam kotak besar.
Kami mengambil kesempatan ini untuk mewawancarai salah satu pekerja
di bagian membuat bunga plastik. Agak aneh karena pekerja sedang membuat paket Teh
Prendjak di bagian bunga plastik. Di bagian itu ada banyak mesin tapi tidak semua
dipakai. Kami merasa kaget betul dan mengetahui kemudian sebabnya adalah akibat
krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Sayang sekali.
Kami mewawancarai Theresia Tuto
Membuat paket Teh Prendjak di bagian bunga plastik
Sesudah mengunjungi bagian membuat bunga plastik, kami dibawa ke bagian
yang membungkus teh yang sudah diproses.
Di bagian membungkus Teh Prendjak, kami bisa melihat teh dibungkus dalam 3
jenis karena ada yang dijual di toko-toko setempat dan ada yang untuk diekspor.
Rupanya, pekerja bilang perkerjaan mereka tidak berubah-ubah, agak membosankan
kalau harus mengerjakan kerja yang sama sepanjang tahun, tapi mereka tidak ada pilihan
yang lain.
Teh ditimbang dan dimasukkan ke dalam paket
Jenis teh dalam gambar di atas adalah teh yang dijual kepada orang setempat.
Ongkos untuk pembungkusan ini lebih murah, jadi harganya juga lebih murah kalau
dibandingkan dengan jenis pembungkusan yang lain.
Teh jenis dieksport
Selain itu, teh juga ada yang dibungkus dalam jenis ‘tea-bag’ seperti yang di
bawah, supaya mudah diminum. Biasanya jenis ini juga lebih mahal.
Teh jenis ‘tea-bag’
Waktu Belanja
Wah, cepat sekali ya, sudah jam setengah lima! Tetapi masih ada acara apa? O,
rupanya sekarang kami ada waktu bebas, boleh melakukan apa-apa saja di “Ramayana
Mall”. Kami bisa berbelanja, minum kopi dan makan kue-kue. Enak sekali!
Di antara kami, ada orang yang ingin ke toko buku untuk melihat-lihat, yang lain
ingin pergi ke salon untuk menggunting dan mencuci rambut. Kata Ibu Lucia, barangkali
harga kamus yang dijual di Indonesia lebih murah daripada di Singapura, karena uang
dollar lebih kuat kalau dibandingkan dengan uang Rupiah.
Toko buku itu luasnya paling dua belas kali lima belas meter persegi saja. Semua
buku yang dijual tidak ada dalam bahasa yang lain, hanya Bahasa Indonesia. Namun
demikian, ada macam-macam barang yang lain seperti alat tulis, majalah, buku cerita,
novel. Apa yang anda perlu, pasti bisa ditemukan di toko buku ini.
Lokasi salon di samping toko buku, namanya “Johnny Andrean”. Menurut ibu-
ibu, salon ini terkenal di seluruh Indonesia karena tukang guntingnya mahir sekali.
Johnny Andrean adalah orang yang mendirikan perusahaan ini, dia juga ada beberapa
institusi untuk siswa belajar bagaimana menggunting rambut.
Kami semua memandangi harganya yang tertulis di luar salon dan tidak bisa
percaya apa yang kami lihat. Mana mungkin harga untuk menggunting dan mencuci
rambut hanya lima dollar Singapura saja? Tentu kami semua mau ke salon, sebab kami
bisa mencantikkan diri dan tidak usah kuatir tentang harganya. Seandainya Singapura
juga begitu, saya akan pergi ke salon setiap minggu!
Jam tangan sudah menunjukkan ke jam enam, semua mahasiswa dan ibu
berkumpul di kafe di lantai dua. Kami makan sambil ngomong-ngomong tentang
pengalaman hari itu. Meskipun semua orang sudah capai dan ingin istirahat, tetapi tetap
gambira.
Pengalaman Kami
Sok Huan
Menurut saya Tanjung Pinang tidak sebagus dalam bayangan saya sebelum
berkunjung ke sana. Dulu, saya kira di Tanjung Pinang tidak ada pusat berbelanja, kotor,
dan tidak aman. Sebaliknya, Tanjung Pinang tidak hanya ada mobil, tetapi juga ada
beberapa pabrik dan pusat berbelanja yang cukup besar.
Waktu kami pergi ke Pulau Penyengat, kami harus naik sampan ke sana. Naik
sampan asyik sekali karena saya tidak pernah naik sampan. Kehidupan di Pulau
Penyengat jauh lebih sederhana daripada kehidupan di Singapura. Lagipula, di sana tidak
ada mobil, air leding dan hanya ada satu sekolah untuk anak-anak. Setelah melihat
kehidupan di Pulau Penyengat, saya merasa penduduk di Singapura lebih beruntung
karena mereka ada air leding dan listrik yang lancar.
Saya juga mengalami kejadian yang lucu waktu saya membeli barang-barang di
toko buku. Harga barang-barang saya berjumlah 187 500 rupiah. Ketika saya membayar,
saya memberikan uang kepada kasir toko buku, tetapi dia berkata “Uang tidak cupkup!”.
Saya merasa bingung sekali. Saya tidak mengerti mengapa dia tidak mau menerima uang
saya. Tiba-tiba saya mengerti situasi itu. Rupanya saya yang bersalah, karena saya hanya
memberikan 20 000 rupiah kepada kasir toko buku. Saya merasa sangat malu lalu cepat-
cepat memberikan uang 200 000 rupiah kepada dia. Kejadiaan ini terjadi karena ini
pertama kali saya berkunjung ke Indonesia, apalagi uang Indonesia amat besar, semuanya
dalam ribuan. Saya tidak akan melupakan kejadiaan ini.
Mungkin saya akan berkunjung ke Batam lain kali karena barang-barang dan
makanan yang dijual di Indonesia murah sekali. Saya juga mau coba menggunting
rambut saya di salon “Johnny Andrean” yang sangat terkenal di Indonesia.
Dulcia
Saya mengira hidup di Pulau Penyengat dan Bintan ada perbedaan yang besar.
Hidup di Pulau Penyengat sederhana dan terasa pelan. Di sana hanya ada kebutuhan yang
dasar, tidak ada tempat berbelanja atau komputer. Sebaliknya, kehidupan di Bintan lebih
cepat karena ada kompetisi. Meskipun Bintan hanya di seberang laut dari Pulau
Penyengat, kehidupan antara Bintan dan Pulau Penyangat amat berbeda.
Saya merasa feri ke Bintan terlalu lama sampai kepala saya pusing. Tetapi saya
senang mengunjungi tempat-tempat di Bintan dan Pulau Penyengat, terutamanya pabrik
bunga plastik. Di sana saya bisa melihat bagaimana orang-orang membuat bunga plastik,
menarik sekali! Jadi saya membeli bunga plastik sebagai oleh-oleh untuk ibu saya. Saya
juga membeli banyak barang-barang dari tempat berbelanja, ada kamus, pakaian, tas dan
indo-mee karena ibu merekomendasikan indo-mee kepada kami.
Bukan saja saya senang pergi ke Bintan, saya juga bisa belajar lebih banyak
tentang orang Indonesia dan kebudayaannya. Kalau ada kesempatan, saya mau ke sana
lagi!
Diana
Waktu saya dengar Ibu Lucia mengatakan,“Dua minggu yang akan datang, kita
akan mengunjungi Pulau Bintan untuk mewawancarai penduduk yang tinggal di sana”,
saya merasa bingung. Sekarang kami semua mahasiswa, mengapa masih ada “excursion”
seperti anak-anak dari SMA atau SMP? Saya kira kelas Bahasa Indonesia tidak berbeda
dengan pengalaman ke Indonesia untuk berkomunikasi dengan orang setempat dalam
Bahasa Indonesia. Tetapi, sesudah pulang dari Bintan, saya baru menyadari anggapan itu
adalah salah.
Naik fery makan waktu hampir empat jam, bukan main lamanya! Tetapi
penduduk di Pulau Penyengat dan Bintan kelihatan ramah sekali, tersenyum terus pada
kami. Saya orang Indonesia, pertama kali ke Tanjung Pinang dan pengalaman saya
adalah pengalaman yang sangat berarti. Walaupun Tanjung Pinang tidak begitu bersih
serupa Singapura dan cuacanya sangat panas, tetapi pemandangannya indah dan
budayanya menarik juga. Menurut saya, bukan berkunjung ke pabrik, tempat belanja atau
ke tempat turis seperti makam di Pulau Senyengat yang asyik, tetapi percakapan di antara
mahasiswa dalam Bahasa Indonesia yang membuatkan pengalamannya luar biasa dan
asyik.
Sejak kunjungan ini, saya merasa puas dengan negara saya yang menarik. Kalau
berliburan lagi, saya akan mengajak teman-teman bermain di sana dan berbelanja di sana,
tidak mahal dan juga aman.
Hue Won
Sesudah ke Bintan dan Pulau Penyengat, saya bisa mengerti objektif atau maksud
dari kunjungan ini. Ibu mau kami betul-betul melihat bagaimana kehidupan orang
Indonesia di tempat yang tidak serupa dengan kota. Kami merasa bahagia sekali tinggal
di negara yang lengkap dengan fasilitas seperti air leding dan listrik. Selain itu, kami bisa
mengalami naik angkutan yang lain seperti feri dan bis yang tidak mempunyai AC, bukan
saja mobil mewah. Penduduk di Singapura kebanyakan orang Cina, jadi kami tidak
terbuka dengan kebudayaan orang lain. Kami dapat berkunjung ke mesjid dan makam
orang Muslim. Menarik sekali dan kami juga berlajar bagaimana menghormati
kebudayaan suku lain. Pabrik yang kami kunjungi juga memberi pengetahuan yang baru
untuk kami. Tidak pernah kami pergi ke pabrik, kami bisa tahu bahwa krisis ekonomi
pada tahun 1997 telah mempunyai pengaruh yang negatif sekali terhadap ekonomi
Indonesia. Mesin yang tidak dipakai, pekerja yang harus bikin apa yang bukan pekerjaan
mereka biasanya, tapi mereka tidak mengeluh karena kalau mereka bisa tetap bekerja,
mereka sudah merasa mereka adalah orang yang bahagia.
Waktu di Bintan yang paling saya suka adalah makanan yang berbeda dari biasa
karena makanan yang dibeli di Singapura biasanya makanan Cina, amat membosankan.
Perubahan ini cukup bagus. Tapi saya tidak tahu apakah saya bisa makan makanan orang
Indonesia setiap hari. Selain itu, sebab nilai uang yang berbeda, orang Singapura bisa
menikmati uang Singapura di Bintan. Mahasiswa berbelanja dengan senang sekali dan
pulang dengan gembira walaupun kami capai sekali.