18
1 MANIFESTO KEADILAN SUBSTANTIF OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI; SEBUAH PARADOKS (Kajian Atas Beberapa Putusan MK dalam Perkara Pengujian Undang-undang) Oleh: Ali Ridho 1 Abstract The Constitutional Court of the Republic of Indonesia is an institution (high) state that one of its authority to test (judicial review) laws against the constitution. The results of these tests is the decision, in its decision the constitutional court with a substantive attempt to achieve justice through procedural rules. But the effort is that the court carefully examined there is a paradox that makes the decision even as if the less reflect the substance of justice. In addressing this, the constitutional court tried to answer it by deciding to test the law in a comprehensive and terms with the justice that is expected by the community. Keyword: Constitutional Court, substantive justice, and Court’s Dicision Pendahuluan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat. Di dalam pasal 24 C disebutkan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) secara jelas. Selain MK juga ada organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar 1945. Organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii). Dengan penyebutan tugas dan wewenang tersebut yang termaktub dalam konstitusi, maka implikasinya lembaga-lembaga yang ada dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted 1 Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII. DRAFT

Keadilan Substantif MK RI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Keadilan Substantif MK RI

Citation preview

Page 1: Keadilan Substantif MK RI

1

MANIFESTO KEADILAN SUBSTANTIF OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI;

SEBUAH PARADOKS

(Kajian Atas Beberapa Putusan MK dalam Perkara Pengujian Undang-undang)

Oleh: Ali Ridho1

Abstract

The Constitutional Court of the Republic of Indonesia is an institution (high) state that

one of its authority to test (judicial review) laws against the constitution. The results of

these tests is the decision, in its decision the constitutional court with a substantive

attempt to achieve justice through procedural rules. But the effort is that the court

carefully examined there is a paradox that makes the decision even as if the less reflect

the substance of justice. In addressing this, the constitutional court tried to answer it by

deciding to test the law in a comprehensive and terms with the justice that is expected

by the community.

Keyword: Constitutional Court, substantive justice, and Court’s Dicision

Pendahuluan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang

sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut

ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca

Perubahan Keempat. Di dalam pasal 24 C disebutkan tugas dan wewenang Mahkamah

Konstitusi (MK) secara jelas. Selain MK juga ada organ negara yang secara langsung

menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar 1945. Organ tersebut

adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis

Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil

Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii). Dengan penyebutan tugas dan wewenang

tersebut yang termaktub dalam konstitusi, maka implikasinya lembaga-lembaga yang

ada dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan

perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan

organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted

1 Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII.

DRAFT

Page 2: Keadilan Substantif MK RI

2

power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang

kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka.2

Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman,

Mahkamah Konstitusi juga bersifat independen, baik secara struktural maupun

fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-

Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari

mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang

berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan

dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat

kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hadirnya MK juga membawa harapan terwujudnya keadilan yang masih belum

„terfasilitasi‟ dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. Bahkan terbentuknya MK

menandai era baru dalam system kekuasaan kehakiman di Indonesia, beberapa wilayah

yang tadinya tidak tersentuh (untouchable) oleh hokum, sekarang dapat dilakukan oleh

MK, termasuk kewenangan-kewenangan lainnya yang diatur dalam UUD 1945 pasca

amandemen.3 Sehingga, harapanpun kembali muncul dengan hadirnya lembaga hokum

yang salah satu tugasnya menjalankan fungsi menguji konstitusionalitas undang-

undang, yaitu MK menilai dan menguji norma UU apakah berlawanan dengan

konstitusi sebagai hukum tertinggi (fundamental law). Produk hukum seperti undang-

undang, meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara demokratis, akan

tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari cita hukum dan nilai-nilai

konstitusi. Oleh karenanya dengan mengacu kepada prinsip menegakkan keadilan

substantif. penegakan keadilan dalam proses peradilan itulah yang saat ini digali MK

sedalam-dalamnya untuk mewujudkan keadilan substantif (substantive justice) di

masyarakat dan tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan undang-undang

(procedural justice).

2 Jimly Asshiddiqie, Kedudukan Mhkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan

Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar di UNS, Kamis, 2 September, 2004. Di akses

www.hukumonline.com tanggal 07 Februari 2011. 3 Bambang Sutiyoso, Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan

Kehakiman di Indoensia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, Desember 2010, hlm. 26

Page 3: Keadilan Substantif MK RI

3

Dikotomi Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural

Persoalan keadilan sejauh ini masih menjadi primadona dan elegan untuk di

diskusikan dalam ranah teori maupun parktis. Hal ini mengingat dalam ranah teori,

interpretasi terhadap keadilan sampai saat ini masih terjadi perdebatan yang tak

berkesudahan dan belum sampai pada konsesus bulat parameter keadilan yang

sesungguhnya. Hal yang lebih menarik didalam praktiknya, publik sejauh ini merasakan

dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan

prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu

sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum

yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.

Seyogyianya hakim mampu menjadi living interpretator yang mampu menangkap

semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-

prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan

lagi sekedar la bouche de la loi (corong undang-undang). Permasalahan sebagaimana

tergambar pada uraian tersebut agaknya memang tidak dapat dilepaskan dari dikotomi

antara keadilan substantif dan keadilan prosedural.4

Keadilan substantif di dalam Black’s Law Dictionary 7th

Edition dimaknai

sebagai : Justice Fairly Administered According to Rules of Substantive Law,

Regardless of Any Procedural Errors Not Affecting The Litigant’s substantive Rights.5

[Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa

melihat kesalahan-kesalahan procedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif

Penggugat]. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja

disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya,

apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya

sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak

melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti

hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan

substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa

4KeadilanaSubstantifadanaProblematikaaPenegakannya,adalamahttp://www.situshukum.com/k

olom/keadilan-substantif-dan-problematika-penegakannya.shkm, diakses tanggal 19 Februari 2011. 5 Bryan A. Garner, editor, Black‟s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Amerika: West Group, 1999,

hlm. 869

Page 4: Keadilan Substantif MK RI

4

keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah

memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.

Sedangkan keadilan prosedural terkait erat dengan kepatutan dan transparansi

dari proses-proses pembuatan keputusan, dan konsep keadilan prosedural ini dapat

dibedakan dengan konsep keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak-hak atau

sumber daya), dan keadilan distributir (keadilan dalam membenahi kesalahan-

kesalahan).6 Mendengarkan keterangan semua pihak sebelum membuat keputusan

merupakan salah satu langkah yang dianggap tepat untuk diambil agar suatu proses

dapat dianggap adil secara prosedural. Beberapa teori tentang keadilan prosedural

berpendirian bahwa prosedur yang adil akan membawa hasil yang adil pula, sekalipun

syarat-syarat keadilan distributif atau keadilan korektif tidak terpenuhi.

Paradoks Keadilan Substantif MK

Paradigma keadilan substantif mulai di blow up oleh MK dalam acara Refleksi

Kinerja MK 2009, jargon yang memprioritaskan subtansi keadilan itu dilontarkan

langsung oleh ketua MK, Prof. Mahfud MD. Alasan yang muncul keharusan

ditegakannya keadilan substantif karena keadilan berdasarkan hukum tidak selalu terkait

kepada ketentuan-ketentuan formal-prosedural. Hal itulah yang kemudian menjadi

acuan dalam diri hakim MK saat memberikan putusan pada setiap perkara yang masuk

ke lembaganya. Sebagai lembaga yang mengawal konstitusi (the guardian of

constitution) dan penafsir konstitusi, maka konsekwensinya ialah menjamin hak-hk

rakyat yang telah ditegaskan dlaam konstitusi. Salah satu hak yang harus dijamin adlah

rasa keadilan. Jaminan keadilan oleh UUD 1945 terdapat dalam pembukaan alinea

kedua yang menyatakan: “Dan perjuanagn pergerakan kemerdekaan Indonesia telah

sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat

Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka,

bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pengejewantahan atas nama “keadilan” juga

ditegaskan pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas

6 Keadilan Prosedural, dalam www.wikipedia.org, diaskes tanggal 19 Februari 2011

Page 5: Keadilan Substantif MK RI

5

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan

yang sama dihadapan hukum.7

Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental

yang terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek

prsedural akan di „nomorduakan‟. Secara teritik, kedalilan substantif dibagi ke dalam

empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, kedalian retributif, kedilan komutatif,

dan keadilan korektif. Kedilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu,

buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdsarkan keadilan ini, segala sesuatu

dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip

pokok dalam keadilan distributif adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan

yang sama untuk memperoleh keadilan.8

Menarik untuk dikaji adalah beberapa putusan MK yang menekankan bahwa

putusannya mengedepankan aspek keadilan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah,

apakah MK dengan komposisi sembilan hakimnya benar-benar memposisikan keadilan

substantif sebagai garda terdepan?. Wajar saja pertanyaan itu muncul mengingat hakim

di lingkungan MK juga seorang manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kekhilafan.

Pertanyaan itu muncul setidaknya memiliki beberapa alasan, pertama, parameter

keadilan yang masih menimbulkan kontroversi. Keadilan adalah pergulatan abadi

manusia, baik itu secara teoritis maupun praksis, mulai era plato sampai abad akhir

keduapuluh, persoalan keadilan tidak hentinya diperdebatkan. Immanuel Kant melihat

keadilan sebagai bagian dari kewajiban moral yang tidak bisa dipertanyakan.9 Keadilan

berpijak pada tiga prinsip, yakni tindakan yang bisa disetujui oleh semua orang,

memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan berasal dari

kebebasan. Keadilan adalah bagian dari moralitas yang tegak berdiri di dalam sanubari

manusia.

7 UUD 1945,Jakarta: Sekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 47.

8 Anang Zubaidy, Perspektif Keadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada di Mahkamah

Konstitusi, Makalah, disampaiakn pada diskusi Rutin PSHK FH UII di Yogyakarta, 14 Januari 2011. 9 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet. VIII, (Yogyakarta: Kanisius,

1995), hlm. 196.

Page 6: Keadilan Substantif MK RI

6

Sementara John Rawls melihat keadilan sebagai suatu sikap fair yang didasarkan

pada prinsip-prinsip rasional yang terukur.10

Artinya para filsuf masih berdiskusi keras

untuk memahami arti sesungguhnya keadilan, dan mencari kemungkinan penerapan di

masa yang terus berubah. Kedua, putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Konsekwensinya jelas bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap

sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (final and binding).11

Sehingga upaya hukum terhdap putusan tidak dikenal, mengingat adanya ketidak

laziman tersebut, pastinya akan berimplikasi kepada pencari keadilan.12

Persoalan ini

tentunya menimbulkan tanya bagaimana jika Mahkamah Konstitusi dalam putusannya

melakukan kesalahan fatal dan berakibat ada pihak lain yang dirugikan?.

Bagi sebagian kalangan, putusan yang final semacam itu justru tidak

mencerminkan keadilan. Alasannya, hakim berpeluang tidak luput dari kekeliruan

ataupun kekhilafan dan bahkan bersifat. Maka dari itu, setiap putusan hakim perlu

dimungkinkan untuk diadakan pemeriksaan ulang sehingga kekeliruan atau kekhilafan

yang terjadi dalam suatu putusan itu dapat diperbaiki menurut semestinya. Jadi,

idealnya memang setiap putusan hakim diberikan upaya hukum, untuk mencegah atau

memperbaiki kekeliruan dalam putusan tersebut. Upaya hukum diberikan untuk sesuatu

hal tertentu yang melawan keputusan hakim.

Ketiga, abstraknya parameter keadilan substantif. Berangkat dari perdebatan

panjang, baik dari segi teori dan praktis, nampaknya dalam memberikan ketentuan atau

ukuran konkret keadilan substantif masih belum sampai pada muaranya. Sehingga tidak

heran putusan yang dihasilkan MK menimbulkan berbagai interpretasi, sebagian

kelompok menafsirkan bahwa itu merupakan bentuk keadilan yang diharapkan oleh

masyarakat, hal ini mengingat lembaga yudisial dan penegak hukum di negeri ini tidak

ada lagi yang bisa diharapakan. Maka, MK itulah yang dirasa masih konsisten

mengedepankan nilai keadilan kepada pencari keadilan. Namum tidak bisa dipungkiri

dan wajar muncul dugaan bahwa MK dalam memutus perkaranya adalah bentuk

10

John Rawls, A Theory of Justice, (London: Oxford University Press, 1973), hlm. 156. Yang

sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). 11

Lihat penjelasan pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentan Mahkamah Konstitusi. 12

Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkmah Konstitusi,

(Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 93.

Page 7: Keadilan Substantif MK RI

7

arogansi, bahkan „kediktatoran‟ para hakim MK. Hal ini mengingat sejauh ini para

hakim MK tidak bisa di awasi oleh lembaga lain13

, dan masih debatable-nya rumusan

keadilan substantif tersebut. Apalagi ketika melihat ke depan berkenaan komposisi

hakimnya, memang sejauh ini para hakim yang duduk di lembaga negara tersebut

memiliki kapabilitas dan integritas yang dapat dipertanggung jawabkan. Namun, ke

depan kita tidak tahu siapa yang akan mengisi posisi hakim di MK. Sehingga

kekhawatiran akan adanya putusan yang semena-mena dan cenderung arogan bisa saja

muncul ketika hakimnya tidak memiliki moral dan jiwa negarawan yang baik. Oleh

karenanya, tidaklah heran ketika tuntutan dan pertanyaanpun mencuat berkaitan dengan

keadilan substantif yang di agung-agungkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Contoh putusan MK untuk melihat bagaimana keadilan substantif berusaha

ditegakan akan tetapi lazim berbenturan dengan problematika kepastian hukum

(equality) adalah putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur Jawa Timur. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kewenangan

Mahkamah Konstitusi untuk menyidangkan perkara pelanggaran pemilihan kepada

daerah tidak diatur. Namun, karena Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa mereka

menemukan bukti adanya pelanggaran pilkada, Mahkamah Konstitusi berhak

mengambil keputusan tentang pelanggaran itu sekalipun harus menabrak UU

Mahkamah Konstitusi sendiri. Sebagai justifikasi untuk kesiapan MK menabrak

undang-undang, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud, M.D. menggunakan argumentasi

dengan kalimat, “Karena itu, kita bikin terobosan. Tidak lagi melaksanakan undang-

undang, tetapi melaksanakan UUD 1945, yaitu menjamin tegaknya demokrasi dan

hokum’.14

Permasalahannya kemudian adalah apakah penafsiran dan keputusan hukum MK

itu legitimate? Ini merupakan pertanyaan yang debatable. Merujuk pada kenyataan

hukum bahwa putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding), apapun

keputusan hukumnya akan menjadi legitimate karena tidak ada upaya hukum lagi untuk

mengubahnya. Alahasil, banyak pihak menilai MK sebagai lembaga superbodi, tidak

ada lembaga lain yang bisa mengontrol keputusan-keputusannya. Sekalipun menabrak

13

Lihat selengkapnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. 14

Jawa Pos, Tanggal 3 Desemeber 2008

Page 8: Keadilan Substantif MK RI

8

kepastian hukum. Kepastian hukum pun makin rancu. Sebab, putusan MK itu bisa

menjadi preseden bahwa pelanggaran pilkada di masa datang bisa langsung dikirimkan

ke MK, menjadi bagian dari materi yang bisa diajukan gugatan (legal action) ke MK.

Tak perlu lagi melalui jalur panwaslu untuk diproses di pengadilan negeri.15

Terlepas dari itu semua, bahwa dalam implementasinya harus digunakan asas

prioritas, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir

barulah kepastian hukum. Sungguhpun dalam perkembangan selanjutnya, dengan

semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern, pilihan prioritas yang sudah

dibakukan kadang-kadang justru bertentangan dengan kebutuhan hukum dalam kasus-

kasus tertentu, sebab bisa jadi kemanfaatan lebih diprioritaskan ketimbang keadilan dan

kepastian hukum atau mungkin dalam kasus tertentu kepastian hukumlah yang lebih

diprioritaskan ketimbang kemanfaatan dan keadilan.

Beberapa Putusan MK; Cermin Lembaga Pengawal Demokrasi dan Penegak

Keadilan Substantif

Salah satu tugas hakim mahkamah konstitusi adalah mengkonstituir atau

memutuskan perkara yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Hakim terlebih

dahulu harus mengkontantir peristiwanya, kemudian dilanjutkan dengan mengkualifisir

peristiwa hukumnya, sebelum pada akhirnya harus mengkonstituir atau memutus

perkaranya. Pada dasarnya putusan hakim adalah suatu pernyataan yang dibuat oleh

hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dalam

persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara

para pihak.16

Tujuan dari putusan tersbut tidak lain adalah untuk mewujudkan aspek keadilan,

kepastian, dan kemanfaatan. Karena idealnya, putusan harus memuat tiga unsur yaitu

keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit), dan kemanfaatan

15

Problematika Menegakan Keadilan Substantif, dalam http://gp-ansor.org/7409-

10122008.html, diakses tanggal 19 Februari 2011. 16

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty Yogyakarta, 1989), hlm.

175

Page 9: Keadilan Substantif MK RI

9

(Zwechtmassigkeit).17

Dalam hal putusan untuk mewujudkan keadilan ini pula hakim

mahkamah konstitusi memiliki kewenangan ataupun peluang untuk merealisasikannya.

Karena dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 UU Mahkamah Konstitusi di tegaskan

bahwa mahkamah kosntitusi memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan

alat bukti dan keyakinan hakim.18

Artinya kans mahkamah konstitusi dalam

mewujudkan nilai luhur tersebut sangatlah besar, mengingat salah satu kewenangannya

adalah memutus perkara yang di ajukan kepadanya. Upaya melahirkan putusan yang

adil tersebut berusaha di konkretkan oleh mahkmah konstitusi melalui putusan dalam

perkara pengajuan undang-undang yang merupakan salah satu kewenangannya

berdasarkan pasal 50 sampai pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi.

Sebagai gambaran dalam mengkaji putusan mahkamah konstitusi yang dirasa

telah merepresentasikan keadilan substantif, maka penulis perlu memberikan koridor

pembahasan dalam paper ini agar tidak mengalami perluasan pembahasan yang tidak

fokus dan menghindari kesimpangsiuran penyajian. Penulis hanya akan memaparkan

beberapa putusan mahkamah konstitusi yang telah di judicial review-kan oleh para

pihak dan telah di putus, serta satu perkara yang masih dalam persidangan akan tetapi

sudah ada putusan sela. Harapannya dari pemaparan itulah nantinya dapat diberikan

penilaian apakah putusan MK sudah mengedepankan nilai keadilan substantif yang

menjadi ekspektasi publik.

Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi terhadapa pengakuan atas hak pilih eks

PKI (Register No. 011-017/PUU-I/2003). Melalui putusan yang disampaikan secara

terbuka untuk umum pada hari Selasa, 24 Februari 2004, MK mengabulkan

permohonan perkara pengujian Undang- undang No. 12/2003 tentang pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD dan DPRD dan menyatakan Pasal 60 huruf g UU No. 12 / 2003

tersebut bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Alasan dan argumentasi mengapa para pemohon menolak Pasal 60 huruf g

Undang-undang Pemilu bahwa keanggotaan pada suatu organisasi terlarang sebelum

organisasi itu dilarang bukanlah suatu cacat dalam hukum maupun konstitusi, sehingga

pelarangan yang semata-mata berdasarkan pada itu dan tidak didukung oleh alasan yang

17

Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu

Pengantar, (Liberty, Yogyakarta, 1990), hlm. 15. 18

Lihat UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 10: Keadilan Substantif MK RI

10

kuat sesuai hukum melalui pengadilan adalah diskriminasi, berdasarkan pandangan

politik adalah pelanggaran hak asasi manusia.19

Hal senada juga disampaikan oleh ahli,

Prof. Dr. Frans Magnis Suseno, S.J yang memberi keterangan pada pokoknya bahwa

PKI dan organisasi lain termasuk yang disebut langsung maupun tidak langsung terlibat

dalam gerakan 30 September dinyatakan terlarang dalam TAP MPRS Nomor

XXV/MPRS/1966. Bahwa andaikan TAP tersebut mempunyai kedudukan hukum yang

sah, tetapi pelarangan terhadap Anggota PKI untuk memilih dan dipilih tetap tidak

berdasar karena bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia.

Dalam petitumnya MK memandang ketentuan seperti pasal 60 huruf g tidak lagi

relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional.20

Meskipun keterlibatan PKI dalam

peristiwa G-30 S yang juga di amini oleh banyak kalangan, dan TAP MPRS No.

XXY/1966 masih berlaku, akan tetapi sebagai sesama warga negara Indonesia,

sungguhpun mereka yang bekas anggota PKI harus diperlakukan sama dengan warga

negara lainnya tanpa diskriminasi. Sungguhpun implikasi putusan ini menimbulkan pro

dan kontra di kalangan masyarakat. Tetapi putusan MK ini telah mengurangi isolasi

politik selama puluhan tahun terhadap eks PKI.21

Hal yang terpenting dalam putusan

tersebut adalah upaya MK dalam menyetarakan hak dan kewajiban konstitusional warga

negara Indonesia yang juga di jamin dalam konstitusi, putusan ini juga merupakan

terobosan untuk menghilangkan diskriminasi yang di „haramkan‟ baik dalam UUD 1945

maupun instrumen HAM internasional.

Kedua, Perkara No.3/PUU-VII/2009 tentang Penghitungan Tahap Kedua

Konstitusional Bersyarat, Konstitusionalitas Parliamentary Threshold 2,5%,

Presidential Threshold 20% dan Pemisahan Jadwal Pemilu.22

Para Pemohon

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh

berlakunya undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

19

Lihat selengkapnya Putusan Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003. 20

Lihat www.hukumonline.com, diakses tanggal 16 Februari 2011 21

Bambang Sutyoso, Op. Cit, hlm. 111 22

Pasal yang di judicial review-kan di antaranya pasal 50 ayat (1), huruf g, 214 huruf a, huruf b,

huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10/2008. Lihat Ringkasan Permohonan Perkara Registrasi Nomor

131/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD “Ketidakpastian Hukum norma-

norma UU Pemilu Legislatif”,

hlm.7.AAtauadiaksesamelaluiahttp://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resume_Permohonan%20p

erkara%20131%20UU%20Pemilu%20Lgislatif.pdf. diakses tanggal 16 Februari 2011.

Page 11: Keadilan Substantif MK RI

11

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemohon juga mendalilkan telah terjadi

kesewenang-wenangan oleh pembentuk undang-undang, pembentuk undang-undang

tidak mendasarkan perumusan ketentuan pasal pada prinsip-prinsip negara hukum dan

konstitusi, melainkan hanya berdasar argumen kekuasaan semata. Atas dalil pemohon

tersebut dengan berbagai pertimbangan hukumnya, Permohonan judicial review atas

undang-undang a quo dikabulkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitus dan

menyatakan undang-undang a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Urgensi putusan tersebut secara implisit menjelaskan bahwa suatu pasal harus

ditafsirkan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), tetap

konstitusional sepanjang tidak mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan

ringan (culpa levis) dan kejahatan politik dalam pengertian perbuatan yang

sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke overtuiging)

yang dijamin dalam negara hukum yang demokratis. Nampaknya putusan ini

memprioritaskan atas jaminan hak asasi manusia untuk terus di nomor satukan dalam

konteks kebebasan berekspresi dan aspirasi.

Putusan yang sejatinya meminta kejelasan pada MK atas ketidakpastian hukum

norma-norma UU Pemilu Legislatif memang selaras dengan jaminan hak asasi manusia

yang termaktub dalam konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi. Pasal 28D ayat (1)

menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Ini

merupakan pijakan dasar dan perintah konstitusi untuk menjamin setiap warga Negara,

termasuk orang yang tidak mampu, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar

hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan dengan baik. Posisi dan

kedudukan seseorang didepan hokum (the equality of law) menjadi sangat penting

dalam mewujudkan tatanan system hukum serta rasa keadilan masyarakat.

Ketiga, Kasus uji materil UU KPK dengan Pemohon Bibit-Chandra (Perkara

No.133/PUU-VII/2009), menarik untuk dicermati adalah berkaitan putusan sela yang di

lakukan oleh Mahakmah Konstitusi. Seperti kita ketahui bahwa MK sebelum

menjatuhkan Putusan Akhir menyatakan menunda pelaksanaan berlakunya Pasal 32

ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Page 12: Keadilan Substantif MK RI

12

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni pemberhentian Pimpinan Komisi

Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana

kejahatan, sampai ada putusan akhir Mahkamah terhadap pokok permohonan.

Permohonan uji materi tersebut dimohonkan oleh Bibit Samad dan Chandra Hamzah.

Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pertama kalinya menetapkan putusan sela

terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berikut isi dari Putusan Sela MK:23

Mengabulkan permohonan provisi para Pemohon untuk sebagian;

Sebelum menjatuhkan Putusan Akhir, menyatakan menunda pelaksanaan

berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

yakni pemberhentian Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi

terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, sampai ada putusan akhir

Mahkamah terhadap pokok permohonan a quo;

Menolak permohonan provisi untuk selain dan selebihnya.

Putusan sela terhadap judicial review atas Undang-Undang a quo memiliki tujuan yaitu

kepentingan mendesak untuk melindungi hak konstitusional warga negara. Namun perlu

dicatat bahwa putusan tersebut hanya secara administrasi saja yakni penundaan

penerapan pasal yang diujikan di MK.

Meskipun putusan sela kurang dikenal dalam hukum beracara di lingkungan

MK, namun MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

”......Oleh karenanya, meskipun dalam UU MK tidak dikenal putusan provisi

dalam perkara pengujian undang-undang, seiring dengan perkembangan kesadaran

hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka

memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, Mahkamah memandang

perlu menjatuhkan putusan provisi dalam perkara a quo dengan mendasarkan pada

aspek keadilan, keseimbangan, kehati-hatian, kejelasan tujuan, dan penafsiran yang

23

aPutusanaSelaaMK,adalamahttp://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_Per

kara%20Nomor%20133.PUU-VII.2009,%2029%20oktober%202009.pdf, diakses tanggal 16 Februari

2011.

Page 13: Keadilan Substantif MK RI

13

dianut dan telah berlaku tentang kewenangan Mahkamah dalam menetapkan putusan

sela”.24

Mahkamah juga memberikan pertimbangan bahwa relevansi dan signifikansi

diterbitkannya putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD

adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia apabila suatu norma

hukum diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan

padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam

putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah

kemungkinan kerugian konstitusional para Pemohon apabila menjadi terdakwa karena

diberhentikan (tetap) oleh Presiden padahal dasar hukum atau pasal undang-undang

tentang itu sedang diperiksa dalam pengujian terhadap UUD 1945 di Mahkamah.

Subtansi putusan tersebut menjelaskan pasal 32 ayat (1) huruf (c) Undang-

Undang No. 30 Tahun 2002 tidak hanya bertentangan dengan asas pra-duga tidak

bersalah (presumption of innocence) melainkan juga bertentangan dengan hak setiap

orang atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta hak atas

perlakuan yang sama di depan hukum dan kepastian hukum yang adil, karena ketentuan

pemberhentian secara tetap tersebut menyimpang dari ketentuan pemberhentian

pimpinan lembaga Negara independen lainnya yang mensyaratkan adanya Putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.25

Pasal tersebut juga merupakan ketentuan

yang berlebihan dan tidak proporsional dan bertentangan dengan asas proporsionalitas

dalam pembatasan hak asasi manusia sebagaimana di atur dalam Pasal 28J ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan

keseimbanagan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan negara .

Mahkamah Konstitusi dalam yurisdiksi ini juga menegaskan akan pentingnya

perlindungan hak asasi manusia (HAM), pijakan yang di pakai jelas yaitu Pasal 28D

ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia. Sehingga sudah seharusnya tidak ada atau tidak diberikan sanksi atau

hukuman dalam bentuk diberhentikan sementara atau diberhentikan sebelum proses

24

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pengajuan Judicial Review UU No. 30 Tahun

2002 Tentang KPK Terkait dengan Status Pimpinan KPK (Putusan No. 133/PUU-VII/2009). 25

Sebagai perbandingan Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK)

Page 14: Keadilan Substantif MK RI

14

hukumnya berakhir dengan adanya putusan bersalah yang telah berkekuatan hukum

tetap. Apabila ada seseorang yang di nyatakan bersalah seeblum ada putusan pengadilan

yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka hal itu

dapat dianggap sebagai pelanggaran atas asas praduga tidak bersalah (presumption of

innocence).

Asas pra duga bersalah yang dianut oleh Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-

Undang 30/2002 sesungguhnya mengandung sebuah keniscayaan menuju keadaan

diskriminatif dan kesewenang-wenangan dimana orang-orang dari kategori yang sama,

yakni para pejabat negara seperti para Hakim Konstitusi, anggota Komnas Hak Asasi

Manusia, para pejabat Bank Indonesia, anggota Polri, para anggota Kejaksaan yang

memperoleh perisai perlindungan asas pra duga tidak bersalah dapat membuka peluang

untuk diperlakukan sewenang-wenang oleh aparatur negara. Keadaan yang membuka

peluang bagi terjadinya perlakuan sewenang-wenang dan diskriminatif oleh aparat

negara itulah yang ingin dicegah melalui asas persamaan di hadapan hukum dan

pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pola seperti itulah yang berusaha dijadikan dasar MK dalam memutus Perkara

No.133/PUU-VII/2009.

Persamaan kedudukan di hadapan hukum (Equality before the Law) dan

pemerintahan merupakan asas yang fundamental dalam kehidupan masyarakat

bernegara hukum. Keberadaan hukum menjadi tidak masuk akal bila ada perlakuan

hukum yang tidak sama terhadap subjek hukum dan objek hukum yang sama. Orang

atau kelompok dari klasifikasi atau kategori yang sama harus memperoleh perlakuan

hukum yang sama. Itulah ynag dikenal sebagai pedoman hukum berlaku umum. Oleh

karenannya dengan berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang 30/2002

menunjukkan adanya diskriminasi perlakuan antara Pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi selaku pejabat negara dengan pejabat negara lainnya, sehingga dengan

demikian penulis berpendapat bahwa berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-

Undang a quo adalah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945.

Keempat, sengketa Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu Umum Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah Kabupaten Konawe Utara (PHPUD) dibawah register

191/ PHPU.D-VIII/2010. Bahwa pemohon keberatan adalah tiga pasangan calon kepala

Page 15: Keadilan Substantif MK RI

15

daerah (Kada) dan wakil kepala daerah (Wakada) yang mendalilkan dua hal, yakni

pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana, yang sama sekali tidak menyoal hasil

perhitungan suara sebagaimana ketentuan pasal 106 ayat (2) UU tersebut di atas. Bila

hakim MK mendahulukan asas kepastian hukum, maka berdasarkan ketentuan pasal

tersebut, maka MK akan menyatakan bahwa permohonan pemohon keberatan error in

objecto, dan harus tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Tetapi walhasil,

justru MK membuat putusan sela sebelum kemudian membuat putusan akhir. Putusan

sela tersebut antara lain adalah : Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten Konawe Utara untuk melakukan pemungutan suara ulang dalam Pemilukada

Konawe Utara Tahun 2010 di desa/kelurahan : (1) Desa Bandaeha, Kecamatan Molawe;

(2) Desa Tondowatu dan Desa Motui, Kecamatan Sawa; (3) Desa Wawolesea, Desa

Lemobajo, Desa Basule, Desa Waworaha, Desa Lametono, dan Desa Toreo, Kecamatan

Lasolo; (4) Desa Polora Indah, Kecamatan Langgikima; dan (5) Kelurahan Lembo,

Kecamatan Lembo.26

Putusan MK untuk kasus ini tidak bersifat final, tetapi putusan sela sebelum

nanti akan membuat putusan akhir. Apa sesungguhnya yang diinginkan MK dengan

membuat putusan seperti ini?. Kalau kepastian hukum yang diprioritaskan, sudah pasti

tidak, karena ketentuan tersebut di atas dikesampingkan. Tujuan di jatuhkannya putusan

sela tersebut ialah sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara, dan sementara itu

diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua

belah pihak. Menurut Sudikno Mertokusukumo yang menyatakan putusan sela

merupakan putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang

bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah

satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.27

Jelas bahwa adanya putusan sela semata

untuk kepentingan bersama agar terwujudnya keadilan yang menjadi tujuan hukum.

Kesimpulan

26

Penegakan Keadilan Substantif Ala Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Sengketa Hasil

Pemilukada Konawe, dalam

http://kendariekspres.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=9810, diakses tanggal 18

Februari 2011 27

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan

Praktek, Cet ke-X, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 46-57

Page 16: Keadilan Substantif MK RI

16

Hadirnya Mahkamah Konstitusi telah menjadikan harapan baru bagi para insan

pencari keadilan, aspek yang belum bisa tersentuh dalam ranah yudisial, seperti judicial

review akhirnya dapat terfasilitasi di lembaga independen tersebut. Lewat kewenangan

menguji UU terhadap UUD, MK menjadi penjamin terpenuhinya hak konstitusional

warganegara serta melindungi warganegara dari UU buatan legistator yang dapat

menimbulkan kerugian konstitusional

Sebagai wujud konkret atas kepercayaan masyarakat terhadapnya, maka melalui

jargon keadilan subtantif mahkamah konstitusi berupaya mewujudkan keadilan yang

hakiki melalui putusan-putusannya. Akan tetapi dalam teori dan praksisnya, nampaknya

persoalan keadilan substantif tersebut masih mengalami paradoksial, sehingga tidak bisa

dinegasiakan munculnya “asumsi negatif” terhadapnya. Dalam menjawab keraguan

tersebut, MK melalui beberapa putusannya mulai memberikan bukti nyata bahwa

putusan yang di hasilkan melalui majelis hakim merupakan cerminan keadilan yang

selama ini di harapkan oleh masyarakat Indonesia. Setidaknya putusan tersebut telah

merepresentasi bahwa MK bukan hanya bersuara, tetapi bukti konkret juga berusaha di

hadirkana dalam ranah publik.

Daftar Pustaka

A. Garner, Bryan, editor, 1999, Black’s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Amerika: West

Group.

Huijbers,Theo, 1995, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet. VIII, Yogyakarta:

Kanisius.

Mertokusumo, Sudikno, 1989, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty.

___________, 1990, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.

Rawls, John, A Theory of Justice, 1973, terjemahan, London: Oxford University Press.

Retnowulan, Sutantio dan Oeripkartawinata, Iskandar, 2005, Hukum Acara Perdata

dalam Teori dan Praktek, Cet ke-X, Bandung: Mandar Maju.

Sutiyoso, Bambang, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkmah

Konstitusi, Yogyakarta: UII Press.

Page 17: Keadilan Substantif MK RI

17

Asshiddiqie, Jimly, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan

Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar di UNS, Kamis, 2 September

2004.

Sutiyoso, Bambang Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan

Kehakiman di Indoensia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, Desember 2010,

Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

Zubaidy, Anang, Perspektif Keadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada di

Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaiakn pada diskusi Rutin PSHK FH UII di

Yogyakarta, 14 Januari 2011.

Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-

undang (PUU) UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-

undang (PUU) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004

tentang Komisi Yudisial

Putusan No. 133/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-undang (PUU) No. 30

TAHUN 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Putusan MK Pasal 60, dalam www.hukumonline.com, diakses tanggal 16 Februari 2011

KetidakpastianaHukumaNormaaUUaPemiluaLegislatif,adalamahttp://www.mahkamah

konstitusi.go.id/Resume/resume_Permohonan%20perkara%20131%20UU%20Pe

milu%20Lgislatif.pdf. diakses tanggal 16 februari 2011.

PutusanaSelaaMK,adalamahttp://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidan

g_Perkara%20Nomor%20133.PUU-VII.2009,%2029%20oktober%202009.pdf,

diakses tanggal 16 Februari 2011.

Penegakan Keadilan Substantif Ala Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Sengketa

Hasil

Page 18: Keadilan Substantif MK RI

18

PemilukadaaKonawe,adalamahttp://kendariekspres.com/index2.php?option=com_

content&do_pdf=1&id=9810, diakses tanggal 18 Februari 2011.

Jawa Pos, Tanggal 3 Desemeber 2008

Problematika Menegakan Keadilan Substantif, dalam http://gp-ansor.org/7409-

10122008.html, diakses tanggal 19 Februari 2011

Keadilan Prosedural, dalam www.wikipedia.org, diaskes tanggal 19 Februari 2011

KeadilanaSubstantifadanaProblematikaaPenegakannya,adalamahttp://www.situshuku

m.com/kolom/keadilan-substantif-dan-problematika-penegakannya.shkm,diakses

tanggal 19 Februari 2011.