4
1 LIPI Policy Brief : Implementasi Kebijakan MENGAPA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INDUSTRI POLICY BRIEF Implementasi Kebijakan Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, menghasilkan kajian ilmiah dibidang kebijakan dan manajemen ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. PAPPIPTEK-LIPI KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK & INOVASI ISSN : 2502 - 5015 Upaya implementasi kebijakan regulatif seperti undang-undang diawali dengan perumusan kebijakan turunan baik berupa PP (Peraturan Pemerintah), Perpres (Peraturan Presiden) ataupun Permen (Peraturan Menteri). Namun faktanya, kebijakan turunan tersebut seringkali tidak dapat dirumuskan kecuali dalam waktu yang lama. Bahkan dalam beberapa kasus, tidak terumuskan sama sekali. Potensi kegagalan implementasi seperti itu dapat terjadi pada kebijakan pengembangan teknologi industri yang terkandung dalam UU No. 3/2014 tentang Perindustrian. Sampai dengan saat ini belum satu pun Perpres dan Permen terkait dapat dirumuskan. Penelitian yang dilakukan oleh Pappiptek LIPI menunjukkan bahwa perumusan Perpres dan Permen yang diamanatkan dalam kebijakan pengembangan teknologi industri menuntut kepemimpinan langsung dari pejabat eselon 1 untuk dapat melakukan advokasi dan negosiasi serta membentuk koalisi dengan berbagai pemangku kepentingan seperti Kementerian Keuangan dan Kemenristekdikti. Di samping itu, perlu ada ketegasan pembentukan tim implementor melalui surat keputusan paling tidak pejabat eselon 1 yang memberikan penugasan khusus dan membebaskan anggota tim dari beban tugas rutin. Untuk lebih memperkuat Kementerian dalam implementasi kebijakan, patut dipertimbangkan untuk membentuk unit khusus yang bertugas dan memiliki keahlian dalam melakukan analisis dan advokasi kebijakan. Pesan Utama : Dalam upaya implementasi UU No 3/2014 yang menuntut koordinasi lintas kementerian/lembaga, keterlibatan Pejabat yang memiliki kewenangan tinggi (Eselon I) sebagai ketua tim implementor merupakan syarat utama dari keberhasilan implementasi. Perlu peningkatan profesionalitas tim penyusun kerangka regulasi dengan mengurangi beban kerja rutin sehingga dapat fokus atau meluangkan waktu lebih banyak bagi aktivititas penyusunan kerangka regulasi. Dalam Kementerian perlu dibentuk sebuah Unit Kajian Kebijakan yang memiliki tugas dan keahlian khusus pengkajian kebijakan tanpa dibebani tugas lain. No. 2017-02.PAPPIPTEK Sudah menjadi fakta yang sulit dibantah bahwa implementasi kebijakan regulatif seperti undang-undang seringkali menghadapi hambatan. Setelah undang-undang disahkan, pembuatan dan pengesahan peraturan turunan seperti PP, Perpres ataupun Permen yang diamanatkan oleh Undang-undang untuk segera dibuat dan diimplementasikan, seringkali memakan waktu yang cukup lama atau bahkan dalam beberapa kasus tidak terumuskan sama sekali. Peraturan turunan yang seyogyanya harus disahkan paling lama dua tahun setelah tanggal pengesahan undang-undang, pada prakteknya baru disahkan 4 tahun kemudian atau bahkan lebih lama. Lamanya pengesahan aturan turunan ini menyebabkan ketidakefektifan implementasi undang-undang. Di samping itu, waktu yang lama ini juga menyebabkan kehilangan momentum, karena seringkali saat yang tepat untuk implementasi menjadi terlewatkan. Pendahuluan DALAM UU NO. 3/2014 TENTANG PERINDUSTRIAN LAMBAT TERIMPLEMENTASIKAN?

KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK & INOVASI Brief... · disahkan, pembuatan dan pengesahan peraturan turunan seperti PP, Perpres ataupun Permen yang diamanatkan oleh Undang-undang untuk

Embed Size (px)

Citation preview

1 LIPIPolicy Brief : Implementasi Kebijakan

MENGAPA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INDUSTRI

POLICY BRIEF

I m p l e m e n t a s i K e b i j a k a n

Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, menghasilkan kajian ilmiah dibidang kebijakan dan manajemen ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi.

PAPPIPTEK-LIPI

KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK & INOVASI

ISSN : 2502 - 5015

Upaya implementasi kebijakan regulatif seperti undang-undang diawali dengan

perumusan kebijakan turunan baik berupa PP (Peraturan Pemerintah), Perpres

(Peraturan Presiden) ataupun Permen (Peraturan Menteri). Namun faktanya,

kebijakan turunan tersebut seringkali tidak dapat dirumuskan kecuali dalam waktu

yang lama. Bahkan dalam beberapa kasus, tidak terumuskan sama sekali. Potensi

kegagalan implementasi seperti itu dapat terjadi pada kebijakan pengembangan

teknologi industri yang terkandung dalam UU No. 3/2014 tentang Perindustrian.

Sampai dengan saat ini belum satu pun Perpres dan Permen terkait dapat

dirumuskan. Penelitian yang dilakukan oleh Pappiptek LIPI menunjukkan bahwa

perumusan Perpres dan Permen yang diamanatkan dalam kebijakan

pengembangan teknologi industri menuntut kepemimpinan langsung dari pejabat

eselon 1 untuk dapat melakukan advokasi dan negosiasi serta membentuk koalisi

dengan berbagai pemangku kepentingan seperti Kementerian Keuangan dan

Kemenristekdikti. Di samping itu, perlu ada ketegasan pembentukan tim

implementor melalui surat keputusan paling tidak pejabat eselon 1 yang

memberikan penugasan khusus dan membebaskan anggota tim dari beban tugas

rutin. Untuk lebih memperkuat Kementerian dalam implementasi kebijakan, patut

dipertimbangkan untuk membentuk unit khusus yang bertugas dan memiliki

keahlian dalam melakukan analisis dan advokasi kebijakan.

Pesan Utama :

►Dalam upaya implementasi UU No 3/2014 yang menuntut koordinasi l intas kementerian/lembaga, keterlibatan Pejabat yang memiliki kewenangan tinggi (Eselon I) sebagai ketua tim implementor merupakan syarat utama dari keberhasilan implementasi.

►Perlu peningkatan profesionalitas tim penyusun kerangka regulasi dengan mengurangi beban kerja rutin sehingga dapat fokus atau meluangkan waktu lebih banyak bagi aktivit i tas penyusunan kerangka regulasi.

►Dalam Kementerian perlu dibentuk

sebuah Unit Kajian Kebijakan yang memiliki tugas dan keahlian khusus pengkajian kebijakan tanpa dibebani tugas lain.

No. 2017-02.PAPPIPTEK

Sudah menjadi fakta yang sulit dibantah bahwa implementasi kebijakan regulatif seperti undang-undang seringkali menghadapi hambatan. Setelah undang-undang disahkan, pembuatan dan pengesahan peraturan turunan seperti PP, Perpres ataupun Permen yang diamanatkan oleh Undang-undang untuk segera dibuat dan diimplementasikan, seringkali memakan waktu yang cukup lama atau bahkan dalam beberapa kasus tidak terumuskan sama sekali. Peraturan turunan yang seyogyanya harus disahkan paling lama dua tahun setelah tanggal pengesahan undang-undang, pada prakteknya baru disahkan 4 tahun kemudian atau bahkan lebih lama. Lamanya pengesahan aturan turunan ini menyebabkan ketidakefektifan implementasi undang-undang. Di samping itu, waktu yang lama ini juga menyebabkan kehilangan momentum, karena seringkali saat yang tepat untuk implementasi menjadi terlewatkan.

Pendahuluan

DALAM UU NO. 3/2014 TENTANG PERINDUSTRIANLAMBAT TERIMPLEMENTASIKAN?

2 LIPI

Pengalaman implementasi UU No. 18/2002 tentang Penelitian, pengembangan dan Penerapan Iptek menunjukkan hal tersebut. UU ini mengamanatkan perumusan dan implementasi empat Peraturan Pemerintah (PP). Namun sampai dengan saat ini, baru dua PP yang telah dirumuskan dan diimplementasikan. Sementara itu, dua PP yang sangat penting bagi pengembangan Iptek Nasional dan Iptek di Industri, meskipun sudah dirumuskan namun belum dapat diimplementasikan. Kedua PP tersebut adalah PP No. 20/2005 tentang 'Alih Teknologi Kekayaan intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan', dan PP No. 35/2007 tentang 'Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Kegiatan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi'. Kedua PP ini belum dapat berjalan sampai dengan saat ini (Herdikiagung dkk, 2012) dan pada akhirnya sama sekali tidak dapat diimplementasikan. Dapat dikatakan bahwa amanat implementasi bagian penting dalam UU No. 18/2002 tidak dapat dilaksanakan.

Perkembangan terakhir dalam kebi jakan industr i menunjukkan peningkatan perhatian pemerintah terhadap pengembangan teknologi dan inovasi industri. Teknologi dan inovasi industri merupakan hal penting yang perlu terus dikembangkan sebagai bagian dari upaya memperkuat struktur industri Indonesia. Dalam UU No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk mendorong pengembangan teknologi dan inovasi di industri. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari strategi pengembangan industri.

Dalam UU No. 3/2014 terdapat sejumlah pasal yang mengatur tentang hal yang terkait dengan pengembangan teknologi dan inovasi. Pasal yang dimaksud terdapat dalam BAB VI tentang PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA, Bagian keempat tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi industri, pasal 36 – 42. Dari sejumlah pasal tersebut di atas, terdapat empat pasal yang mengamanatkan pembuatan kebijakan berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peratuan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri (Permen):

i. Pasal 38 mengamanatkan pembentukan sebuah Permen tentang pengadaan Teknologi Industri;

ii. Pasal 39 mengamanatkan pembentukan sebuah Perpres tentang pengadaan teknologi industri melalui proyek putar kunci dan Permen yang mengatur tata cara pengenaan sanksi administratif;

iii. Pasal 40 mengamanatkan sebuah PP mengenai penjaminan resiko atas pemanfaatan teknologi industri;

iv. Pasal 41 mengamanatkan sebuah Permen mengenai audit teknologi industri.

Belajar dari pengalaman implementasi UU No. 8/2002, semua aspek iptek dan inovasi dalam UU tentang perindustrian ini menuntut implementasi yang baik. Faktanya sampai dengan saat ini, tiga tahun setelah UU No. 3/2014 disahkan, regulasi terkait pengembangan teknologi industri yang diamanatkan

oleh UU No. 3/2014 belum dapat terumuskan, apalagi terimplementasikan. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana realita implementasi kebijakan di instansi Pemerintah. Penelitian telah dilakukan untuk mengkaji kasus implementasi kebijakan iptek yang terkandung dalam UU No. 3/2014 tentang Perindustrian (Hidayat dkk, 2017). Jika realita implementasi kebijakan tidak dipahami, kegagalan implementasi kebijakan akan terus berulang.

Policy Brief : Implementasi Kebijakan

Metodologi

Penelitian dilakukan dengan landasan paradigma realisme kritis. Sebuah paradigma yang meyakini bahwa realitas merupakan hasil dari struktur dan mekanisme tertentu. Kemampuan mengimplementasikan suatu kebijakan dapat dipandang sebagai kemampuan dari sebuah sistem dengan struktur dan mekanisme tertentu. Literatur tentang implementasi kebijakan telah menghasilkan pengetahuan tentang struktur dan mekanisme tersebut.

Oleh karena itu, penelitian dilakukan dengan pendekatan retrodiksi yang bersifat kualitatif. Yakni sebuah pendekatan untuk memahami realita dengan menggunakan kerangka konsep yang telah dihasilkan oleh penelitian terdahulu. Dalam hal ini, penelitian menggunakan kerangka konsep yang dikembangkan oleh Metland (1995) tentang karakteristik kebijakan dan kerangka teori tata kelola dan struktur implementasi yang dikembangkan oleh Hill dan Hupe (2002). Penel i t ian terdahulu menyimpulkan bahwa upaya implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh situasi kondisi dari 5K: Konten, Konteks, Koalisi, Kapasitas dan Komitmen (Najam, 1995).

Untuk memahami proses implementasi, konten kebijakan perlu dipahami terlebih dahulu: apa tujuan kebijakan yang ingin dicapai, bagaimana kebijakan mendefinisikan masalah dan apa teori kausal yang terkandung dalam kebijakan, serta dengan metode apa kebijakan hendak menyelesaikan masalah. Komitmen dari implementor juga merupakan aspek yang penting: sejauh mana implementor berkomitmen terhadap tujuan kebijakan, teori kausal yang terkandung dalam kebijakan dan metode pencapaian tujuan kebijakan. Masih terkait implementor, kapasitas administratif dari organisasi implementor akan sangat memengaruhi proses implementasi. Selanjutnya hal yang perlu dilihat adalah konteks organisasional dan institusional yang melingkupi organisasi implementor. Konteks ini berfungsi sebagai batasan atau koridor yang membatasi implementor. Dalam upaya implementasi, implementor akan dihadapkan pada keterbatasan wewenang dan sumber daya. Terakhir, respon kebijakan dari klien dan koalisi akan sangat memengaruhi proses implementasi. Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh klien dan koalisi yang kepentingannya terhambat atau terbantu oleh kebijakan akan memengaruhi proses implementasi.

3 LIPI

Tabel 1. Kondisi 5K dalam implementasi UU No. 3/2014 di bidang teknologi

Dengan menggunakan teknik wawancara dan Focus Group Discussion serta analisis konten dokumen kebijakan, peneliti berupaya memahami kondisi 5K dari upaya implementasi kebijakan teknologi industri yang terkandung dalam UU No. 3/2014.

Policy Brief : Implementasi Kebijakan

Hasil dan Kesimpulan Penelitian

Pada saat ini, di penghujung tahun 2017, upaya implementasi UU No. 3/2014 di bidang pengembangan teknologi masih dalam tahap perencanaan institusi dan prosedur. Keempat kerangka regulasi yang diamanatkan oleh UU No. 3/2014 terkait teknologi belum satu pun yang disahkan. Meskipun masih masih diragukan oleh sejumlah responden penelitian, pada akhir tahun 2017 ini, rancangan Perpres proyek putar kunci dan rancangan Permen audit teknologi ditargetkan untuk dapat disahkan. Namun, meskipun kedua rancangan ini telah disahkan, untuk masuk ke dalam tahap start-up masih diperlukan beberapa keputusan Menteri atau petunjuk yang lebih operasional.

Dilihat dari karakteristik implementasinya, Perpres proyek putar kunci dan Permen Penjaminan resiko termasuk kategori implementasi politis dimana potensi konflik antar pemangku kepentingan cukup tinggi dan moda yang tepat untuk tata kelola implementasi adalah moda persuasi. Permen pengadaan teknologi termasuk kategori implementasi administratif dan permen audit teknologi masuk kategori implementasi eksperimental. Moda tata kelola implementasi yang tepat untuk keduanya adalah moda otoritas.

Sejak pergantian pimpinan di Kemenperin dan dalam konteks ”paradigma” minimalisasi regulasi dari pemerintahan Presiden Jokowi, dirasakan ada konteks yang menekan komitmen implementasi UU No. 3/2014 di bidang teknologi. Hal ini tercermin dari penurunan intensitas kegiatan penyusunan kerangka regulasi dan juga penurunan anggaran kegiatan penyusunan kerangka regulasi.

Perlu peningkatan profesionalisasi tim yang mengemban tugas penyusunan kerangka regulasi turunan UU No. 3/2014. Profesionalisasi dapat dilakukan dengan mengurangi beban kerja rutin agar dapat lebih fokus dan meningkatkan kapasitas mereka dalam analisis kebijakan dan penguasaan materi kebijakan.Secara lebih rinci, kondisi implementasi UU no 3/2014 dalam hal 5K (Konten, Konteks, Koalisi, Komitmen dan Kapasitas) dapat dilihat dalam Tabel 1.

1. Substansi kebijakan yang relatif baru (belum ada contoh sebelumnya) menuntut implementor untuk terus menerus mencari dan mencoba formulasi kebijakan yang tepat dan karenanya memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai pada formulasi regulasi. Draft yang ada saat ini merupakan konsep yang sudah banyak mengalami perubahan dari konsep awal. Sementara itu, konteks paradigma pemerintah yang meminimalisasi regulasi memberikan tekanan untuk lebih ketat dalam mengeluarkan regulas i dan pada gi l i rannya menurunkan komitmen penyusunan regulasi. Konteks “permintaan akan terbentuknya kebijakan regulatif” yang rendah telah menyebabkan rendahnya dorongan pada implementor untuk segera menyusun kebijakan. Pada saat yang bersamaan, perlu ada peningkatan kapasitas para implementor dalam hal konten kebijakan dan manajemen proses kebijakan terutama dengan membebaskan mereka dari beban pekerjaan rutin.

2. Substansi kebijakan pengembangan teknologi dipandang kurang ”seksi” sehingga keterlibatan klien dan pemangku kepentingan kurang intensif. Hal ini juga menyebabkan kurangnya rasa kepemilikan dari pihak terkait dan pada gilirannya tidak mendorong komitmen.

3. Implementasi yang lebih bersifat politis karena menuntut advokasi dan negosiasi dengan berbagai pemangku kepentingan seperti Kementerian Keuangan, Kemenristekdikti dan Kementerian lainnya menuntut pembentukan koalisi dengan berbagai pemangku kepentingan tersebut. Namun saat ini koalisi belum ter-

bentuk. Hal ini karena kapasitas politis untuk melakukan advokasi membangun koalisi masih perlu ditingkatkan. Pada situasi seperti ini diperlukan keterlibatan langsung pejabat dengan kewenangan tinggi (Eselon 1).

4. Konteks paradigma pemerintahan ramping telah menyebabkan sulitnya upaya pembentukan unit baru di Kementerian. Padahal, dalam upaya implementasi kebijakan regulatif, pembentukan unit khusus yang memiliki keahlian dan tugas khusus untuk melakukan analisis dan advokasi kebijakan sangat diperlukan. Karena pada prakteknya, tugas ini tidak bisa dilakukan secara bersamaan dengan tugas beban kerja rutin yang dialami para implementor.

KONTEN KONTEKS, KLIEN & KOALISI

KAPASITAS KOMITMEN

1. Substansi

kebijakan relatif

baru

Paradigma “Minimalisasi Regulasi” Permintaan akan

terimplementasinya

kebijakan kurang -->

tekanan terhadap

implementor

Kapasitas analitis perlu ditingkatkan, perlu profesionalisasi

Terjadi tekanan konteks minimalisasi regulasi yang menekan komitmen untuk

implementasi

2. Substansi kebijakan kurang “seksi”; Klien dan pemangku kepentingan kurang terlibat

Kurangnya rasa

kepemilikan dari pihak

terkait--> tidak ada

dorongan pada

komitmen

3. Lebih bersifat implementasi politis

Koalisi belum terbangun, karena kapasitas politis untuk membangun koalisi masih perlu

ditingkatkan

Komitmen dari pihak terkait sulit diperoleh

4. Menghindari

pembentukan organisasi/unit baru

Unit baru

diperlukan untuk meningkatkan kapasitas

4 LIPI

Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

(PAPPIPTEK)Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Gd. A (PDII) LIPI lt. 4Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta 12710

e-mail: [email protected]. (021) 5225206, Faks. (021) 5225206

Herdikiadung, D. (2012). Pemetaan Legislasi Iptek Dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi pada Sistem Inovasi nasional. Teknovasi Indonesia, 1(1).

Hill, M. J., & Hupe, P. L. (2002). Implementing public policy: Governance in theory and practice. Sage politics texts. London, Thousand Oaks, Calif.: SAGE.

Matland, R. E. (1995). Synthesizing the Implementation Literature: The Ambiguity-Conflict Model of Policy Implementation. Journal of Public Administration Research and Theory, 5(2), 145–174.

Najam, A. (1995). Learning from the Literature on Policy Implementation: A Systmic Perspective. International Institute of Applied System Analysis.

Hidayat, D., Asmara, A.Y., & Zulhamdani, M. (2017). Studi Kapasitas Administratif & Kapasitas Kebijakan di sektor Iptek: Studi Kasus Implementasi Kebijakan Terkait Iptek dalam UU No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Laporan Seri Penelitian Pappiptek LIPI No. 2017-01-01-0004

PenulisDudi Hidayat | A Yuka Asmara | M. Zulhamdani

Pandangan yang dikemukakan dalam kertas kebijakan ini adalah pendapat individu dari penulis dan tidak menyiratkan pandangan lembaga dari PAPPIPTEK-LIPI.

Kelemahan utama sistem implementasi adalah ketiadaan tindakan yang diperlukan untuk mengelola proses kebijakan dan relasi inter-organisasional. Untuk penyusunan Permen audit teknologi dan Permen pengadaan teknologi, perlu segara melakukan hal berikut melalui Surat Keputusan Menteri:Ÿ Memperjelas dan mempertegas tanggung jawab tim

implementor, Ÿ Memperjelas tugas dan kompetensi yang diperlukanŸ Memastikan ketersediaan sumber daya (input)

Untuk Perpres proyek putar kunci dan Permen Penjaminan resiko, hal yang perlu segera dilakukan adalah hal berikut:Ÿ Memperjelas dan mempertegas diskresi bagi tiap

pemangku kepentinganŸ Mewujudkan kemitraan (partnership) membangun koalisi

Hal-hal yang disampaikan di atas menuntut komitmen dari pejabat tinggi. Komitmen yang perlu diwujudkan dengan kepemimpinan langsung dalam tim implementor. Di samping itu, perlu peningkatan profesionalitas tim penyusun kerangka regulasi dengan mengurangi beban kerja rutin dan dapat fokus atau meluangkan waktu lebih banyak bagi aktivititas penyusunan kerangka regulasi. Hal ini perlu ditegaskan dengan pembuatan Surat Keputusan tentang pembentukan Tim. Di samping itu, perlu meningkatkan kapasitas analitis dan politis (advokasi dan komunikasi) dari anggota tim melalui pelatihan.

Policy Brief : Implementasi Kebijakan

Rekomendasi Kebijakan Daftar Pustaka