Kebijakan Impor Pangan Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Nama : Sintia MahardikaNIM : CIA012112

Kebijakan Pengendalian Impor Pangan Indonesia

Indonesia merupakan Negara yang kaya raya, hamparan sumber daya alam yang melimpah begitu cukup untuk menghidupi seisi bangsa Indonesia bahkan untuk berswasembada kepada bangsa lain pun Indonesia memiliki potensi. Dalam sumber daya yang subur ini Indonesia tentu memiliki tanah yang subur dan sangat baik untuk memproduksi berbagai macam produk pertanian, seperti produk pertanian yang digunakan untuk bahan pangan, hal ini tentu didukung oleh warga Indonesia yang sebagian besar mata pencahariannya petani. Namun perlu kita ketahui bahwa Indonesia masih melakukan impor berbagai macam bahan pangan seperti beras, jagung, gandum, dan kedelai ke Negara lain ditengah luasnya lahan pertanian dan para petani Indonesia yang jumlahnya cukup banyak. Kenyataan bahwa seharusnya Indonesia dapat berswasembada ke Negara lain yang masih kekurangan bahan pangan ternyata malah berbalik, Indonesia justru masih mengalami kekurangan bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakatnya. Padahal menurut data yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 , produk produk pangan Indonesia agkanya cenderung over estimate, contohnya yaitu jagung, pada data yang dicatat BPS tahun 2011 tersebut produksi jagung Indonesia surplus namun dalam kenyataannya saat itu indnesia melakukan impor. Data produksi pangan yang tidak akurat ini menyulitkan Indonesia melakukan kebijakan untuk mengurangi jumlah barang yang di impor, dengan kata lain kebijakan kuota yang dikeluarkan pemerintah tidak berhasil karena kendala tersebut. Indonesia perlu melakukan suatu tindakan yang dapat memicu pertumbuhan produksi pertanian serta memberdayakan masyarakatnya, tentunya agar jumlah barang impor pun dapat dikendalikan. Untuk memperbaiki kondisi seperti ini, pemerintah harus melakukan berbagai macam kebijakan untuk mengandalikan impor komoditi pangan seperti beras, jagung, gandum, dan kedelai. Secara umum pemerintah harus lebih memberdayakan para petani Indonesia yang jumlahnya tidak sedikit, Indonesia merupakan Negara agraris dan petani berperan penting untuk mengembangkan pertanian bangsa ini, pertama Indonesia dapat melakukan kebijakan dengan lebih mengendalikan lagi peraturan daerah mengenai alih fungsi lahan pertanian karena salah satu masalah mengapa petani Indonesia yang jumlahnya banyak ini hanya menghasilkan tingkat produksi yang masih sedikit itu karena jumlah lahan pertanian Indonesia yang jumlahnya sekitar 13 juta hectare ini bila dibagi jumlah petani di Indonesia yang jumlahnya sekitar 30 juta orang, maka rata-rata lahan per petani hanya sebatas 0,3 hingga 0,4 hektare. Ukuran pertanian yang demikian masih tergolong kecil dan kurang kredibel untuk meningkatkan jumlah produksi pertanian. Maka dari itu peraturan daerah (PERDA) perlu dipertegas supaya lahan pertanian indonesia tidak semakin berkurang jumlahnya. Selain itu kebijakan alternatif yang kedua adalah Indonesia harus meningkatkan kualitas pertanian Indonesia dengan cara meningkatkan kualitas teknologi dalam proses pelaksanaan produksi pertanian, caranya dengan cara menunjang alat-alat bantu yang canggih sehingga dapat memudahkan petani melakukan proses produksi pertanian tersebut, karena dapat kita lihat bahwa perkembangan teknologi pertanian Indonesia sangat jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Negara-negara lain yang memiliki alat-alat khusus pertanian yang canggih serta dapat sangat membantu proses produksi pertanian ini, Indonesia dapat juga mencontoh system pertanian Negara maju agak lebih termotivasi seperti di Swedia, Amerika dan lain sebagainya. Untuk alternative kebijakan yang ketiga Indonesia dapat lebih memberlakukan kebijakan tarif untuk Negara-negara yang ingin menginpor produknya ke Indonesia, Setiap negara tentunya akan selalu melindungi barang-barang hasil produksinya sendiri. Mereka tidak ingin barang-barang produksinya tersaingi oleh barang-barang dari luar negeri. Oleh karena itu, setiap negara akan memberlakukan kebijakan untuk melindungi barang-barang dalam negeri. Salah satunya dengan menetapkan tarif impor. Apabila tarif impor tinggi maka barang impor tersebut akan menjadi lebih mahal daripada barang-barang dalam negeri sehingga mengakibatkan masyarakat menjadi kurang tertarik untuk membeli barang impor. Hal itu akan menjadi penghambat bagi negara lain untuk melakukan perdagangan. kebijakan ini juga bertujuan untuk membatasi serta mengandalikan jumlah komoditi yang akan diimpor ke Indonesia. Secara umum pengertian tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang-barang yang melintasi batas pabean suatu Negara, Dalam pelaksanaannya, sistem atau cara pemungutan tarif bea masuk dapat dibedakan menjadi tiga yang pertama adalah Tarif ad valorem (Ad Valorem Tariff) Adalah pungutan yang didasarkan pada persentase ariff dikalikan nilai total barang yang di impor (biasanya harga c.i.f, cost, insurance, ariff), atau dirumuskan menjadi : Bea Masuk = % ariff X harga c.i.f. yang kedua yaitu Tarif Spesifik (Specific Tariff) adalah pungutan yang didasarkan pada jumlah barang yang di impor, di Indonesia system tariff ini digunakan sebelum tahun 1991. Misalnya bea masuk untuk Semen Rp 3.000 per ton, Sepatu Rp 15.000 per pasang, Piring Rp 500 per lusin, dan sebagainya, yang ke tiga adalah Tarif Campuran (Compound Tariff) adalah gabungan kedua bentuk tarif diatas, misalnya suatu barang dikenakan 10 % tarif ad valorem ditambah tarif spesific sebesar Rp 1000 per unit barang. Dan yang keempat adalah kebijakan kuota, yaitu Kuota adalah kebijakan pemerintah untuk membatasi jumlah barang yang diperdagangkan. Namun kebijakan tariff dan kuota ini tidak dapat diterapkan pada semua Negara pengimpor karena Indonesia merupakan anggota dari beberapa organisasi dunia maupun organisasi seperti ASEAN yang memiliki perturan sendiri dalam kejasama ini, seperti pada Negara-negara ASEAN, Negara-negara anggota ASEAN yang ingin mengimpor barangnya ke Indonesia bebas dari kebijakan kuota dan tariff. Namun secara khusus untuk setiap komoditi seperti beras, segara pengimpor beras terbesar bagi Indonesia adalah Vietnam, periode januari juni tahun 2013 ini beras yang di impor dari Vietnam mencapai angka 94.000 ton atau seharga US$ 52.000.000, sungguh ironi memang bila Indonesia mengimpor beras sebanyak itu padahal jika dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia memiliki potensi lebih baik dalam produksi beras, melihat luas wilayah Indonesia yang lebih besar dan tanahnya yang subur. Dalam hal ini indonesia perlu melakukan tindakan seperti Pembangunan infrastruktur fisik petanian dan pedesaan harus ditingkatkan. Infrastruktur irigasi, jalan desa, dan kecamatan selama ini mengalami kemerosotan tajam. Akibatnya disparitas harga ditingkat petani dan konsumen mencapai Rp. 1500 sampai Rp 1700/kg beras. Membaiknya infrastruktur akan mengurangi biaya produksi. Yang kedua adalah Adopsi bibit unggul yang baru sehingga produktivitas dapat ditingkatkan. Ada dua masalah disini. Pertama, dana riset terutama dalam pemuliaan tanaman masih terbatas; kedua, adopsi di tingkat petani amat lamban. Dalam hal riset pertanian mungkin sebaiknya kita berkaca pada Thailand yang rajanya memiliki perhatian khusus untuk ini. yang ketiga yaitu Harus ada reforma agrarian dengan fokus pemanfaatan lahan tidur dan tidak produktif. Sementara banyak petani tidak berlahan, adalah ironis jika pemerintah membiarkan peningkatan proporsi lahan yang menjadi tidak produktif. Padahal komoditi beras ini merupakan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia, untuk meningkatkan produksi beras lahan pertanian tentu perlu diperluas. Yang terakhir atau yang ke empat Perlu dilakukan rekayasa ulang kelembagaan pangan. Dengan desentralisasi, banyak penyuluh pertanian beralih profesi, sebaliknya jabatan di dinas pertanian banyak diisi orang-orang dari luar pertanian. Keadaan ini mempersulit pencapaian target produksi kemandirian pangan dapat diwujudkan. Komoditi kedua yaitu jagung, Pesatnya perkembangan usaha peternakan ayam ras di Indonesia merupakan faktor utama yang mendorong pesatnya laju permintaan jagung di pasar domestik, sehingga volume impor terus mengalami peningkatan. Menurut data yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) Negara pengimpor jagung terbesar Indonesia adalah negara Brazil , jumah impor jagung ini mencapai angka 40.080 ton atau US$ 11.600.000. Dalam upaya peningkatan produksi jagung, pemerintah saat ini mengalami dilema. Pada satu sisi peningkatan produksi berjalan lamban, sehingga sejak tahun 1998 telah terjadi kenaikan impor jagung sebanyak dua kali lipat, dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan impor ini sangat dibutuhkan, karena laju konsumsi untuk pabrik pakan ternyata lebih besar dari peningkatan produksi di dalam negeri. Namun pada sisi lain pemerintah memerlukan pertimbangan khusus apabila akan mengurangi impor melalui tarifikasi, karena upaya ini justru akan mematikan usaha peternakan di Indonesia. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat produktivitas jagung di Indonesia masih rendah. Dengan latar belakang demikian, maka upaya peningkatan produksi jagung dapat ditempuh melalui perbaikan teknologi produksi di tingkat petani. Melihat potensi yang ada bahwa hal upaya memacu produksi jagung dalam 10 tahun kedepan masih dapat dilakukan, bahkan sekalipun untuk dapat mencapai surplus (ekspor). Hal ini sangat rasional untuk dapat diwujudkan dan dicapai mengingat masih banyak lahan tidur dan lahan kering potensial yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dapat meningkatkan produksi jagung. Peluang penerapan teknologi produktivitas Bio hayati organic dan penerapan benih hibrida untuk meningkatkan produktivitas dari rata-rata 3,5 ton/ha menjadi lebih dari 6,5 ton/ha di lahan tersebut masih sangat rasional apalagi agribisnis jagung telah didukung dengan tersedia dan kesiapan stakeholder dari hulu sampai hilirnya.Yang ketiga adalah kedelai, Kedelai merupakan salah satu komoditas penting dan strategis, karena kedelai merupakan tanaman pangan yang penting untuk dikonsumsi masyarakat sehingga pemenuhannya menjadi hak asasi bagi setiap rakyat Indonesia. Kedelai dikenal sebagai makanan rakyat karena selain merupakan sumber protein nabati paling menyehatkan, kedelai juga dikenal murah dan terjangkau oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Rakyat mengolah kedelai menjadi berbagai produk pangan seperti tempe, tahu, tauco, kecap, susu dan lain-lain dengan permintaan yang selalu meningkat setiap tahunnya sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan hasil pertanian di dalam negeri dan keterbatasan produksi dalam negeri, pemerintah memenuhi dengan cara impor komoditi hasil pertanian. Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor kedelai terbesar di dunia. Setiap tahunnya jumlah kedelai yang diimpor rata-rata di atas 1 juta ton dari total kebutuhan rata-rata diatas 2 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 88 persen digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe dan tahu, 10 persen untuk pangan olahan lainnya seperti industri tepung dan pati serta sisanya sebanyak 2 persen untuk benih. Sebagian besar kedelai diimpor berasal dari Amerika, Kanada, Argentina dan Brasil. Negara pengimpor kedelai terbesar bagi Indonesia adalah Amerika Serikat, angka impor kedelai Amerika periode januari-juni 2013 ini mencapai angka 792.000 ton atau US$ 487.600.000 . Untuk mengendalikan impor kedelai pada umumnya sama seperti beras Indonesia memang perlu meningkatkan produksi dalam negerinya sendiri seperti melalui perluasan lahan pertanian kedelai, bibit unggul, dan lain sebagainya, antara lain: pertama, memperbaiki kualitas benih. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu untuk dapat bersaing dengan kedelai impor. Apabila kualitas benih sudah ditingkatkan, diharapkan mutu kedelai produksi dalam negeri juga akan meningkat. Jika mutu kedelai lokal telah bagus, maka secara otomatis pengrajin tahu dan tempe akan lebih memilihnya ketimbang kedelai impor. Disamping perbaikan kualitas benih, petani harus melakukan pemupukan tanaman sesuai aturan yang telah digariskan oleh Deptan. Untuk kedua kegiatan ini pemilihan benih yang unggul dan pemupukan sesuai aturan diperlukan bimbingan yang intensif oleh aparat Deptan. Oleh karena itu Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Deptan perlu lebih aktif mendampingi petani dalam bercocok tanam. Kebijakan yang kedua adalah dengan memberikan jaminan harga. Kebijakan ini bisa dilaksanakan, misalnya dengan memberi peran yang lebih besar kepada Perum Bulog yaitu disamping sebagai penyalur juga sebagai stabilator harga. Dengan demikian petani kedelai tidak perlu khawatir akan mengalami kerugian akibat fluktuasi harga kedelai, terutama jatuhnya harga kedelai pada musim panen. Dan kebijakan yang ketiga adalah dengan membangun jaringan terpadu antara petani dan pengrajin tahu tempe sehingga akses terhadap kedelai lokal dapat maksimal dan ketergantungan terhadap kedelai impor dapat diminimalisir.Komoditi yang ke empat adalah gandum, kebutuhan masyarakat Indonesia yang semakin meningkat akan terigu serta tanah Indonesia yang memang sulit untuk ditanami gandum menjadi beberapa penyebab mengapa Indonesia selalu mengimpor gandum dari Negara lain, Kecenderungan rakyat Indonesia yang kesehariannya mengkonsumsi banyak makanan yang berbahan dasar gandum, mengakibatkan tingkat impor gandum semakin bertambah. Keadaan ini tidak akan berubah jika tidak ada tanggapan dan perlakuan nyata baik dari pemerintah maupun rakyat Indonesia sendiri untuk lebih memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk mengurangi impor gandum tersebut. Talas merupakan salah satu produk Indonesia yang sangat luas penyebarannya di berbagai daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar terigu, meskipun energi yang terkandung didalamnya tidak setinggi kadar gizi pada gandum. Terigu berbahan dasar talas dalam pengolahannya masih membutuhkan gandum, dengan kata lain tidak 100% talas. Talas merupakan salah satu jenis tanaman penghasil umbi yang popular tumbuh di Indonesia bagian barat. Potensi akan tanaman talas yang terus bertambah setiap tahunnya dapat dikelola didalam industri tidak hanya sebagai bahan dasar terigu, namun dapat juga dikelola menjadi prodak-prodak bermutu yang dapat bersaing dipasaran, karena harganya yang mudah dijangkau masyarakat yang memiliki ekonomi menengah kebawah seiring dengan harga sembako yang naik setiap tahunnya. Terigu berbahan talas merupakan salah satu alternatif membangun perekonomian bangsa, mengembangakan sumberdaya yang ada secara maksimum untuk menciptakan bangsa yang mandiri. Banyak metode yang diperlukan dalam pengolahan terigu tersebut, sebab ada upaya untuk meningkatkan gizi yang terkandung didalam terigu tersebut. Seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang meningkat, kerap sekali masyarakat mengelola talas hanya sebagai makanan ringan bahkan ketika pasca panen talas terbuang begitu saja. Sedikit sekali masyarakat yang mau mengelola talas sebagai industri rumah tangga, perhatian dan kretivitas dari masyarakat yang kecil merupakan gambaran yang sangat konkret untuk lebih memanfaatkan talas sebagai sumber energi kedua setelah beras, karena tingkat konsumsi terigu di Indonesia yang semakin meningkat menuntut masyarakat termasuk kaum pelajar khususnya untuk lebih mengembangkan wawasan serta pengembangan kreativitas dalam pengelolahan sumberdaya untuk menciptakan produk bermutu sebagai sumber energi masyarakat, serta dengan memanfaatkan talas sebagai bahan dari terigu ini sangat dapat mengurangi impor gandum dan memberdayakan sumberdaya yang selama ini terabaikan dan kurang dilihat olah masyarakat.Dari keempat komoditi tersebut pada umumnya kita dapat menakgkap bahwa inti dari kebijakan pengendlian impor pangan Indonesia dapat dilakukan melalui kekayaan yang dimiliki Indonesia sendiri atau dengan kata lain yaitu dengan memanfaatkan serta memberdayakan sumberdaya milik Indonesia sendiri, Indonesia dapat melakukan peningkatan produksi melalui perluasan lahan pertanian pangan dan membangunkan kembali lahan tidur di Indonesia, lalu dengan cara meningkatkan teknologi petanian untuk memudahkan pencapaian targen produksi, kemudian dengan cara melakukan benih unggul, serta lebih bekerjasama antasa petani dan industry dalam negeri yang mengolah bahan baku pangan tersebut agar akses komunikasi dapat dengan mudah dilakukan , dan banyak cara lain yang dapat dilakukan Indonesia untuk mengendalikan impor pangan ini. Yang terpenting adalah Indonesia harus bersatu untuk bekerjasama dalam usaha yang dilakukan pemerintah, karena usaha atau kebijakan apapun yang dikeluaran pemerintak untuk pengandalian impor pangan ini tidak akan berhasil tanpa partisipasi yang baik dari masyarakat sebagai subyek kebijakan itu sendiri.

Sumber : Arifin, Bustanul.2001.Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia. Jakata: Erlangga. Milan, A. Husni. "Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia." .Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia .2.(2004). http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART02-2a.pdf (accessed November 27, 2013). Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta:LP3ES. http://www.ut.ac.id/html/suplemen/espa4216/33.html http://www.setkab.go.id/-10022-.html http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/12/05/26/m4mavr-kritis-jumlah-lahan-pertanian-di-indonesia http://bbppketindan.bppsdmp.deptan.go.id/ http://finance.detik.com/read/2013/11/04/091733/2402859/4/indonesia-impor-jagung-rp-385-miliar-dalam-sebulan http://www.anneahira.com/pupuk-hayati.htm http://finance.detik.com/read/2013/08/20/082447/2334699/4/indonesia-masih-getol-impor-beras-dari-5-negara-ini http://finance.detik.com/read/2013/08/30/134410/2345206/4/ri-impor-kedelai-untuk-tahu-tempe-ini-negara-asalnya http://www.deptan.go.id/index1.php http://bkp.deptan.go.id/berita-198-kebijakan-stabilisasi-harga-pangan-20022012.html http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/118840 http://m.merdeka.com/uang/dahlan-klaim-punya-cara-baru-kurangi-impor-gandum.html