Kebijakan Larangan Expor Kayu Bulat

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/16/2019 Kebijakan Larangan Expor Kayu Bulat

    1/2

    Sejarah kebijakan larangan ekspor kayu bulat

    Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pertama kali diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia

    pada Mei 1980. Larangan ekspor kayu bulat pada awalnya diberlakukan secara bertahap, kemudian

    pada awal tahun 1985 ekspor kayu bulat dihentikan secara total. Kebijakan larangan ekspor kayu

    bulat ini bertujuan untuk: (a) meningkatkan perolehan devisa dari ekspor kayu olahan, (b)

    memperluas kesempatan kerja di bidang industri hasil hutan, (c) meningkatkan nilai tambah, dan (d)

    memacu perkembangan ekonomi regional.

     

    Dalam pelaksanaannya, untuk menghindari klaim internasional yang menganggap kebijakan

    larangan ekspor kayu bulat sebagainon-tariff barrier, pada tanggal 27 Mei 1992 pemerintah

    merubahnya dengan pengenaan pajak ekspor kayu bulat yang tinggi, yaitu sebesar USD 500 – USD

    4800 per m3

     kayu bulat, tergantung jenis kayu. Dengan pajak ekspor yang sedemikian tinggi, tetaptidak mungkin untuk mengekspor kayu bulat dari Indonesia, karena harga jual ekspor jauh lebih tinggi

    dibandingkan dengan harga pasar internasional. Jadi dalam kenyataannya, pengenaan pajak ekspor

    yang tinggi merupakan larangan ekspor kayu bulat yang efektif, dengan nama yang berbeda.

     

    Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 menyebabkan krisis ekonomi multi-

    dimensi di Indonesia, sehingga mengharuskan pemerintah melakukan perbaikan kebijakan ekonomi,

    terutama untuk meningkatkan penerimaan negara. Untuk mengatasi krisis ekonomi ini, lembaga

    keuangan internasional IMF berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk menandatangani 50 butir

    Nota Kesepakatan (Letter of Intent) RI-IMF pada tanggal 15 Januari 1998. Diantaranya, terdapat butir

    kesepakatan untuk memperbolehkan ekspor kayu bulat dengan mengenakan pajak ekspor sebesar

    40 persen, dan kemudian dikurangi menjadi maksimum 10 persen sebelum akhir Desember 2000 dan

    nol persen pada tahun 2003.

     

    Setelah ekspor kayu bulat berlangsung, muncul keluhan dari para pengusaha industri

    pengolahan kayu domestik, utamanya karena semakin mengalami kesulitan mendapatkan bahan

    baku kayu bulat. Disamping itu, para pengusaha tersebut juga mengeluhkan semakin maraknya

    ekspor kayu bulatillegal yang menyebabkan Cina, yang dituduh mengkonsumsi kayu bulatselundupan dari Indonesia, dapat menjual produk kayu lapis di pasar internasional dengan harga

    yang lebih murah dibandingkan dengan total biaya produksi kayu lapis di Indonesia. Sementara itu,

    kegiatan penebangan liar di hutan-hutan Indonesia sejak terjadinya krisis ekonomi semakin menjadi-

     jadi, menyebabkan laju deforestasi mencapai rata-rata 2 juta ha/thn pada periode tahun 1997-2000.

     

    Pada tanggal 8 Oktober 2001, Pemerintah Indonesia kembali melarang ekspor kayu bulat

    melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor: 1132/Kpts-II/2001 dan Menteri

    Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 292/MPP/Kep/10/2001. Tujuannya disebutkan untuk

    mencegah dimanfaatkannya kebijakan ekspor kayu bulat/bahan baku serpih oleh pelaku penebangan

  • 8/16/2019 Kebijakan Larangan Expor Kayu Bulat

    2/2

    liar (illegal logging) dan perdagangan gelap (illegal trading) yang mengancam kelestarian sumber

    daya hutan dan kerusakan lingkungan di Indonesia. Tujuan lainnya, yang tidak disebutkan dalam

    SKB tersebut namun seringkali dikemukakan oleh para pengusaha industri perkayuan dalam berbagai

    polemik mengenai pro dan kontra kebijakan larangan ekspor kayu bulat, adalah untuk lebih menjamin

    ketersediaan pasokan bahan baku kayu untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu di

    dalam negeri.

     

    Dalam SKB tersebut disebutkan bahwa penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih dari

    seluruh wilayah negara Republik Indonesia berlaku sampai batas waktu yang ditetapkan kemudian.

    Namun demikian, meskipun belum ada hasil analisis atau evaluasi kritis yang disampaikan kepada

    publik mengenai keberhasilan kebijakan tersebut dalam mengatasi penebangan liar dan

    penyelundupan kayu selama tujuh bulan sejak diterbitkannya SKB, pemerintah RI malah memperkuat

    keputusan tersebut melalui Peraturan Pemerintah No. 34, tertanggal 8 Juni 2002, tentang Tata Hutan

    dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan KawasanHutan (seperti tertulis dalam Pasal 76: Hasil hutan berupa kayu bulat dan bahan baku serpih dilarang

    untuk di ekspor).