Upload
dara-fitri-shafira
View
210
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sejarah
Citation preview
Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Orde Baru - Langkah-langkah
yang diambil oleh Kabinet Ampera dalam menata kembali politik luar
negeri, antara lain sebagai berikut.
a. Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September
1966 dan tercatat sebagai anggota ke-60. Sebagai anggota PBB,
Indonesia telah banyak memperoleh manfaat dan bantuan dari organisasi
internasional tersebut.
Manfaat dan bantuan PBB, antara lain sebagai berikut.
1) PBB turut berperan dalam mempercepat proses pengakuan de facto
ataupun de jure kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional.
2) PBB turut berperan dalam proses kembalinya Irian Barat ke wilayah
RI.
3) PBB banyak memberikan sumbangan kepada bangsa Indonesia dalam
bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Hubungan yang harmonis antara Indonesia dan PBB menjadi terganggu
sejak Indonesia menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB pada
tanggal 7 Januari 1965. Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB
tersebut sebagai protes atas diterimanya Federasi Malaysia sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, sedangkan Indonesia sendiri
pada saat itu sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Akibat keluar dari
keanggotaan PBB, Indonesia praktis terkucil dari pergaulan dunia. Hal
itu jelas sangat merugikan pihak Indonesia.
b. Penghentian Konfrontasi dengan Malaysia
Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia setelah diumumkan
Dwikora oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964. Tindakan
pemerintah Orde Lama ini jelas menyimpang dari pelaksanaan politik
luar negeri bebas aktif.
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia dikembalikan lagi
pada politik bebas aktif sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini
merupakan pelaksanaan dari Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966.
Indonesia segera memulihkan hubungan dengan Malaysia yang sejak
1964 terputus.
Normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia tersebut berhasil dicapai
dengan ditandatangani Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966.
Persetujuan normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia merupakan hasil
perundingan di Bangkok (29 Mei–1 Juni 1966). Perundingan dilakukan
Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Malaysia, Tun Abdul Razak
dan Menteri Utama/Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik.
Perundingan telah menghasilkan persetujuan yang dikenal sebagai
Persetujuan Bangkok. Adapun persetujuan Bangkok mengandung tiga hal
pokok, yaitu sebagai berikut.
1) Rakyat Sabah dan Serawak akan diberi kesempatan menegaskan lagi
keputusan yang telah diambil mengenai kedudukan mereka dalam
Federasi Malaysia.
2) Kedua pemerintah menyetujui memulihkan hubungan diplomatik.
3) Kedua pemerintah menghentikan segala bentuk permusuhan.
c. Pembentukan Organisasi ASEAN
Association of Southeast Asian Nations atau Perhimpunan Bangsa-
Bangsa Asia Tenggara atau dikenal dengan nama ASEAN.
ASEAN merupakan organisasi regional yang dibentuk atas prakarsa lima
menteri luar negeri negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kelima
menteri luar negeri tersebut adalah Narsisco Ramos dari Filipina, Adam
Malik dari Indonesia, Thanat Khoman dari Thailand, Tun Abdul Razak
dari Malaysia, dan S. Rajaratnam dari Singapura. Penandatanganan
naskah pembentukan ASEAN dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1967
di Bangkok sehingga naskah pembentukan ASEAN itu disebut Deklarasi
Bangkok. Syarat menjadi anggota adalah dapat menyetujui dasar dan
tujuan pembentukan ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi
ASEAN.
Keanggotaan ASEAN bertambah seiring dengan banyaknya negara yang
merdeka. Brunei Darussalam secara resmi diterima menjadi anggota
ASEAN yang keenam pada tanggal 7 Januari 1984. Vietnam diterima
menjadi anggota ASEAN ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Sementara
itu, Laos dan Myanmar bergabung dengan ASEAN pada tanggal 23 Juli
1997 dan menjadi anggota kedelapan dan kesembilan. Kampuchea
menjadi anggota ASEAN yang kesepuluh pada tanggal 30 April 1999.
ASEAN mempunyai tujuan utama, antara lain:
1) meletakkan dasar yang kukuh bagi usaha bersama secara regional
dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan
perkembangan kebudayaan;
2) meletakkan landasan bagi terwujudnya suatu masyarakat yang
sejahtera dan damai di kawasan Asia Tenggara;
3) memberi sumbangan ke arah kemajuan dan kesejahteraan dunia;
4) memajukan perdamaian dan stabilitas regional dengan menghormati
keadilan, hukum, serta prinsip-prinsip Piagam PBB;
5) memajukan kerja sama aktif dan tukar-menukar bantuan untuk
kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, teknik,
ilmu pengetahuan, dan administrasi;
6) memajukan pelajaran-pelajaran (studies) tentang Asia Tenggara;
7) memajukan kerja sama yang erat dan bermanfaat, di tengah-tengah
organisasi-organisasi regional dan internasional lainnya dengan maksud
dan tujuan yang sama dan menjajaki semua bidang untuk kerja sama
yang lebih erat di antara anggota.
Dasar kerja sama ASEAN adalah:
1) saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, integritas
teritorial, dan identitas semua bangsa;
2) mengakui hak setiap bangsa untuk penghidupan nasional yang bebas
dari ikut campur tangan, subversi, dan konversi dari luar;
3) tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing;
4) menyelesaikan pertengkaran dan persengketaan secara damai;
5) tidak menggunakan ancaman dan penggunaan kekuatan;
6) menjalankan kerja sama secara efektif.
d. Keikutsertaan Indonesia dalam Berbagai Organisasi
Internasional
Pemerintahan Indonesia masa Orde Baru juga aktif dalam beberapa
lembaga internasional, seperti berikut ini.
1) Consultative Group on Indonesia (CGI)
Sebelum pemerintah Indonesia mendapat bantuan dana pembangunan
dari Consultative Group on Indonesia (CGI) terlebih dahulu mendapat
bantuan dana pembangunan dari Inter-Governmental Group on Indonesia
(IGGI). Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) didirikan pada
tahun 1967. Tujuannya, memberi bantuan kredit jangka panjang dengan
bunga ringan kepada Indonesia untuk biaya pembangunan.
Anggota IGGI terdiri atas dua kelompok.
a) Negara-negara kreditor, seperti Inggris, Prancis, Belgia, Italia, Swiss,
Jepang, Belanda, Jerman Barat, Australia, Selandia Baru, Amerika
Serikat, dan Kanada.
b) Badan keuangan dunia baik internasional maupun regional, seperti
Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development
Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund), dan
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
IGGI berpusat di Den Haag (Belanda). Ketua IGGI dijabat oleh Menteri
Kerja Sama Pembangunan Kerajaan Belanda. Bantuan IGGI kepada
Indonesia, antara lain berbentuk:
a) bantuan proyek,
b) bantuan program,
c) bantuan pangan,
d) bantuan teknik,
e) devisa kredit (devisa yang diperoleh dari pinjaman), dan
f) grant (sumbangan atau hadiah).
Bantuan IGGI kepada Indonesia ini diberikan setiap tahun. Setiap tahun
diselenggarakan sidang IGGI untuk membahas dan mengevaluasi
pelaksanaan pembangunan Indonesia sebagai dasar pemberian bantuan
tahun berikutnya. Bantuan yang berbentuk pinjaman (devisa kredit)
bersyarat lunak dengan bunga berkisar 0–3% setahun dengan jangka
waktu angsuran berkisar 7–10 tahun.
Bantuan dari IGGI yang digunakan untuk pembangunan proyek-proyek
produktif dan kesejahteraan sosial itu, antara lain sebagai berikut.
a) Bantuan teknik, umumnya tidak diterima dalam bentuk uang, tetapi
dalam bentuk bantuan tenaga ahli, peralatan laboratorium, dan
penelitian.
b) Grant digunakan untuk biaya berbagai macam keperluan
pembangunan, misalnya untuk membeli kapal angkutan laut.
c) Devisa kredit dan bantuan pangan digunakan untuk biaya impor
barang modal, bahan baku, dan bahan makanan.
d) Bantuan proyek digunakan untuk biaya pembangunan proyek listrik,
pembangunan telekomunikasi, pengairan, pendidikan, kesehatan
(program KB), dan prasarana lainnya.
e) Bantuan program digunakan untuk biaya penyusunan program
pembangunan.
Pada tanggal 25 Maret 1992, IGGI bubar sebab Indonesia menolak
bantuan Belanda yang dianggap terlalu banyak mengaitkan pinjaman
luar negerinya dengan masalah politik di Indonesia. Sebagai
penggantinya, pemerintah Indonesia meminta pada Bank Dunia
membentuk Consultative Group on Indonesia (CGI).
CGI mengadakan sidang pertama kali di Paris, Prancis tanggal 16 Juli
1992. Sidang dihadiri oleh 18 negara dan 10 lembaga internasional yang
dipimpin oleh Bank Dunia. Anggota CGI terdiri atas negara-negara bekas
anggota IGGI (kecuali Belanda) dan lembaga-lembaga internasional.
Negara anggota CGI itu, antara lain:
a) Jepang,
b) Korea Selatan,
c) Amerika Serikat,
d) Prancis,
e) Jerman,
f) Inggris,
g) Swiss, dan
h) Belgia,
i ) Denmark,
j) Austria,
k) Kanada,
l) Italia,
m) Spanyol,
n) Finlandia,
o) Swedia,
p) Norwegia,
q) Selandia Baru.
Lembaga internasional yang ikut dalam CGI, antara lain:
a) World Bank,
b) ADB,
c) UNDP,
d) WFP,
e) UNFPA,
f) WHO,
g) FAO,
h) UNIDO,
i) ILO,
j) UNESCO,
k) UNHCR,
l) IAEA,
m) Mordic Invesment Bank,
n) IFAD,
o) IDB,
p) UNICEF,
q) Kuwait Fund
r) Saudi Fund.
2) Asia Pasific Economic Cooperation (APEC)
APEC merupakan forum kerja sama ekonomi negara-negara di kawasan
Asia dan Pasifik. APEC terbentuk pada bulan Desember 1989 di
Canberra, Australia. Gagasan APEC muncul dari Robert Hawke, Perdana
Menteri Australia saat itu.
Latar belakang terbentuknya APEC adalah perkembangan situasi politik
dan ekonomi dunia pada waktu itu yang berubah dengan cepat. Hal ini
diikuti dengan kekhawatiran gagalnya perundingan Putaran Uruguay
(masalah perdagangan bebas). Apabila perdagangan bebas gagal
disepakati, diduga akan memicu sikap proteksi dari negaranegara maju.
Indonesia, sebagai anggota APEC, mempunyai peranan yang cukup
penting. Dalam pertemuan di Seattle, Amerika Serikat (1993), Indonesia
ditunjuk sebagai Ketua APEC untuk periode 1994–1995. Sebagai Ketua
APEC, Indonesia berhasil menyelenggarakan pertemuan APEC di Bogor
pada tanggal 14–15 November 1994 yang dihadiri oleh 18 kepala negara
dan kepala pemerintahan negara anggota. Sidang APEC di Tokyo tahun
1995, memutuskan bahwa era perdagangan bebas akan mulai
diberlakukan tahun 2003 bagi negara maju dan 2010 bagi negara
berkembang.
Demikianlah Materi Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Orde Baru.
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA ERA ORDE BARUBAB I
PENDAHULUAN
Politik luar negeri Republik Indonesia merupakan suatu kebijakan yang diambil oleh
pemerintah dalam hubungannya dengan dunia internasional. Kebijakan-kebijakan yang diamksud
tentunya dalam upaya untuk perwujudan mencapaian tujuan nasional. Melalui politik luar negeri,
pemerintah memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa. Adapun
tujuan politik luar negeri Republik Indonesia adalah untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan
nasional. Tujuan tersebut memuat gambaran mengenai keadaan negara dimasa mendatang serta
kondisi masa depan yang diinginkan.
Proses pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia tersebut diawali dengan penetapan
kebijakan dan keputusan dengan mempertimbangkan beberapa hal yang didasarkan pada faktor-
faktor nasional sebagai faktor internal, serta faktor-faktor internasional sebagai faktor eksternal.Tulisan ini menitikberatkan pada politik luar negeri Indonesia pada masa
pemerintahan Indonesia di Era Reformasi, dimulai dari Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Seiring dengan perubahan periode pemerintahan yang juga membentuk politik luar negeri Indonesia, teknik dan metode diplomasi yang diterapkan juga berbeda. Dimulai dari close diplomacy hingga open diplomacy menuju total diplomacy.
Tulisan ini menyimpulkan bahwa sejak era reformasi dan globalisasi, diplomasi Indonesia memainkan peran yang esensial dan substansif dalam menghadapi tantangan di bidang sosial, ekonomi, politik yang mengancam kesatuan, integritas, dan kedaulatan Republik Indonesia.
BAB IIPEMBAHASAN
Politik luar negeri Indonesia berada dalam putaran yang sangat penting baik dari segi
geopolitik dan geo-ekonomi: Dalam tataran internasional, kawasan Asia-pasifik, Asia Timur, Asia
Selatan, ASEAN dan khususnya lingkungan domestik. Interaksi antar seluruh komponen geografis ini
kemudian menjadi faktor utama pembentuk politik luar negeri Indonesia, khususny dalam tingkat
domestik. Di awal abad 21 politik luar negeri Indonesia cenderung berubah sesuai dengan tuntutan
dunia, ditambah situasi krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia pertengahan tahun 1997,
Referandum Timor-Timur tahun 1999 yang mengubah tataran sosial, ekonomi dan politik secara
keseluruhan.
Akar permasalahan ini dapat dijelaskan dengan politik luar negeri Indonesia yang sangat
dipengaruhi oleh taraf internasional yang pada waktu itu yang kemudian diadopsi dalam tingkat politik
domestik. Ada 3 hal yang patut dicermati dalam hal ini. Pertama, kebijakan luar negeri Indonesia
dipengaruhi oleh peristiwa dan aktor dalam negeri. Politik luar negeri Indonesia mencerminkan
keyakinan dan aksi dari pembuat kebijakan dalam institusi birokratis yang dipengaruhi oleh berbagai
tingkatan dan berbagai cara, baik melalui masyarakat dan sistem internasional dimana dia
beroperasi. Interaksi ini menghasilkan perubahan dan kesinambungan dalam politik luar negeri
Indonesia. Dalam hal ini politik luar negeri mengacu pada cakupan dan sekumpulan tujuan, strategi,
dan instrument yang sipilih oleh pembuat keputusan untuk menanggapi lingkungan internasional saat
ini dan nanti.
Perubahan politik luar negeri, secara keseluruhan mengacu pada perubahan yang terjadi
pada struktur, keyakinan, dan politik masyarakat dan negara dalam sebuah sistem yang dinamis atau
dalam konteks internasional. Periode ketidakstabilan politis dan transisi akan menghasilkan sejumlah
perubahan, yang terjadi secara alamiah ataupun dipengaruhi oleh waktu dan krisis yang terjadi
(Broesamle, 1990: 460).
Di abad ke-21 Indonesia menghadapi tantangan dan peluang dalam Hubungan Internasional,
baik bilateral maupun multilateral, dan Indonesia harus bisa menjawab tantangan tersebut. Indonesia
berusaha meningkatkan politik luar negerinya baik dalam bentuk kerjasama bilateral dan multilateral
dengan negara lain. Yang lebih penting adalah Indonesia harus mampu mengatur strategi untuk
meraih keuntungan dari sejumlah peluang yang ada dan meminimalisir masalah yang terjadi dalam
hubungan luar negerinya, serta berusaha meraihnya dalam nama kepentingan nasional.
Kedua, dalam era reformasi yang telah mengubah atmosfer politik Indonesia, politik luar
negeri Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor domestik. Iklim politik menyusul kejatuhan Soeharto
mempengaruhi proses kebijakan luar negeri dalam sejumlah cara: (i) hal itu membuka perhatian dan
kritisme publik secara luas; (ii) meningkatkan jumlah dan ukuran aktor politik luar negeri; (iii) ekonomi
dan politik domestik mempengaruhi skala prioritas dan implementasi mereka.
Ketiga, peran Indonesia dalam dunia internasional akan dibentuk oleh sejumlah ekonomi dan
politik domestik yang juga dipengaruhi oleh tatanan internasional. Salah satu metode yang digunakan
untuk mencapai kepentingan nasional itu adalah teknik diplomasi. Diplomasi adalah proses
sementara politik luar negeri merupakan tujuan.
Seiring dengan perkembangan zaman ‘zeitgeist’, cakupan isu, aktor dan agenda diplomasi
dalam hubungan internasional semakin kompleks dan berkembang. Diplomasi tradisional ‘first track
diplomacy’ yang hanya melibatkan peran pemerintah dalam menjalankan misi diplomasi, tidak akan
efektif dalam rangka menyampaikan pesan-pesan diplomasi terhadap suatu negara. Oleh karena itu,
aktivitas diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik sangat dibutuhkan dalam rangka
melengkapi aktivitas diplomasi tradisional.
Close diplomacy ditinjau kembali penggunaannya di abad- 21 mengingat semakin
kompleksnya isu dan cakupan masalah yang dihadapi oleh negara bangsa. Ide menuju open
diplomacy dan total diplomacy menjadi alternatif yang digunakan untuk menjawab tantangan dan
peluang dalam kerjasama bilateral dan multilateral yang menyokong politik luar negeri Indonesia saat
ini.
Perubahan politik Luar negeri ini sejalan dengan perubahan bentuk diplomasi yang harus
dipraktekkan, mengingat terjadi reformasi dan restrukturisasi dalam fondasi kebijakan luar negeri
yang mempengaruhi pencapaian kepentingan nacional dalam taraf internasional saat ini.
Pergantian rezim Orde Baru mendorong penataan kembali politik luar negeri. Era reformasi
diiringi dengan krisis finansial yang berimbas ke segala bidang. Selama krisis finansial yang diikuti
dengan perubahan politik dan keamanan di dalam negeri, pengaruh Indonesia di ASEAN banyak
terganggu. Tapi disadari hal itu jangan sampai mengecilkan peranan Indonesia dalam
mengembangkan suatu ASEAN yang lebih tertib, kuat, dan maju.
A. ANALISIS1. Politik Luar Negeri Indonesia dari Masa ke Masa
Awalnya, kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dimulai dari tingkat domestik. Politik luar
negeri selalu dikaitkan dengan prioritas dan perkembangan politik domestik. Dengan kata lain, Politik
Luar Negeri Indonesia merupakan sebuah refleksi, perpanjangan dan perluasan politik domestik.
Dimulai sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 hingga sat ini, ekonomi domestik menjadi
stabilisator politik domestik juga, yang dipengaruhi oleh nasionalisme sebagai faktor dominan dalam
menghitung perubahan dan keberlanjutan pembuat keputusan kebijakan luar negeri Indonesia.
Nasionalisme tidak hanya menjadi semboyan pengikat multietnis di Indonesia akan tetapi sebagai
simbol yang menjadi identitas bangsa dalam tataran dunia.
Di era Soekarno, konsep politik yang mengisyaratkan adanya politik bebas aktif mengemuka.
Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif menjadi sebuah fondasi atas hubungan bilateral dan
multilateral Indonesia dengan negara-negara di dunia. Soekarno berusaha menjadi tokoh yang
mengemuka dengan memperkenalkan Indonesia sebagai salah sate negara yang patut
diperhitungkan dalam politik dunia melalui keikutsertaan Indonesia dalam sejumlah organisasi
internasional seperti PBB.
Indonesia juga terlibat dalam sejumlah konferensi tingkat internasional yang membawa
sebuah pengaruh bagi dunia, salah satunya menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika di tahun
1955. Muhammad Hatta selaku wakil presiden saat itu menilai politik luar negeri Indonesia ibarat
mendayung diantara dua karang (rowing between two reefs) menyusul konflik Perang Dingin antara
Blok Barat dan Blok Timur, saat itu konsep wawasan nusantara mulai mengemuka.
Era kepemimpinan Soeharto Indonesia masih menempatkan posisi politik luar negeri yang
bebas aktif. Indonesia ikut dalam sejumlah organisasi, dalam taraf regional seperti ASEAN (1967),
APEC (1989) dan terlibat dalam Gerakan Non-Blok, Deklarasi Juanda akhirnya berhasil
memposisikan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan UNCLOS dan ZEE. Sedikit berbeda
dengan Soekarno yang anti-barat, Soeharto mendekatkan diri dengan barat, sejumlah kebijakan dan
perumusan politik dan ekonomi barat diterapkan di Indonesia akan tetapi dikendalikan secara sistem
komando.
Ketika Rezim Soeharto jatuh sebagai hasil dari reformasi di Indonesia, Habibie menjadi
presiden yang pada saat itu isu disintegrasi mewarnai politik domestik Indonesia, Indonesia
mengalami krisis sistem diplomasi dengan keluarnya Timor-Timur dari pangkuan ibu pertiwi di tahun
1999, Indonesia menerima bantuan IMF pada masa ini.
Ketika Abdurahman Wahid menjadi presiden, situasi politik Indonesia masih memanas,
gerakan separatis dan konflik etnis muncul. Hal ini mengakibatkan stabilitas domestic terganggu yang
akhirnya secara sistematis akan berpengaruh pada pencitraan dunia internasional atas Indonesia,
akan tetapi demokrasi sipil mulai diakui saat ini.
Saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden, konflik etnis dan isu disintegrasi
masih mengemuka, akan tetapi di era ini mulai diberlakukan otonomi daerah yang dianggap dapat
menjawab ketidakseimbangan pusat dan daerah dengan sistem sentralisasi di masa pemerintahan
sebelumnya. Megawati juga sebagai peletak dasar sistem demokrasi terbuka di tahun 2004.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono maju dan terpilih menjadi presiden, arah politik luar
negeri Indonesia kembali dipetakan. Konsep politik luar negeri Indonesia bebas aktif kemudian
diterjemahkan dalam beberapa poin:
(1) konstuktivisme pola pikir;
(2) tidak akan pernah tergabung dalam Pakta militer;
(3) konektivitas dengan dunia luar;
(4) project identitas Indonesia dalam dunia internasional seperti negara dengan jumlah
penduduk terbesar ke-4 di dunia, negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, negara
dengan demokrasi terbesar ke-3 di dunia, dan sebuah negara dimana demokrasi, islam, dan
modernitas dapat digabungkan;
(5) mencerminkan sebuah nasionalisme Indonesia yang sebenarnya yaitu terbuka, percaya
diri, moderat, toleransi, dan berwawasan ke luar.
Di tengah arus globalisasi, interdependensi hingga persaingan yang semakin kuat SBY
menyatakan jika Indonesia sedang berlayar dalam putaran arus samudera yang luas (Navigating in
Turbulence Ocean).
Memasuki Orde Reformasi, terdapat perubahan fundamental dalam kebijakan luar negeri
Indonesia. Perubahan fundamental tersebut adalah perubahan pola perumusan kebijakan luar negeri
dari executive heavy kepada public heavy. Artinya jika pada dua rezim sebelumnya kebijakan luar
negeri sangat dipengaruhi oleh pemimpin yaitu presiden, dengan berkembangnya proses
demokratisasi di Indonesia, kebijakan luar negeri Indonesia tidak lagi didominasi oleh lembaga
presiden namun terbukanya kesempatan kepada publik untuk ikut serta memberikan pendapat, baik
melalui parlemen maupun melalui lembaga swadaya masyarakat.
Namun disisi lain, perubahan sistem politik kepada sistem yang demokratis ini tidak secara
langsung memberikan dampak positif pada kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam beberapa
kasus, justru pada masa inilah terjadi beberapa kegagalan diplomasi Indonesia dalam dunia
internasional seperti kegagalan diplomasi Indonesia dalam kasus Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Selain itu masih terdapat banyak permasalahan luar negeri yang dihadapi oleh Indonesia
yang pada dasarnya saat ini lebih bersifat low politic seperti perlindungan Warga Negara Indonesia
(WNI) diluar negeri, perlindungan ekonomi nasional, profil atas masalah kemiskinan,
perlindungan Hak Asasi manusia (HAM)dan kerjasama internasional.
Jika pada dua masa sebelumnya, permasalahan lebih banyak didominasi masalah inter-state
relations dengan negara sebagai tolak ukurnya, memasuki masa reformasi keterlibatan nyata publik
Indonesia juga akhirnya membawa pengaruh terhadap bidang permasalahan yang lebih mengarah
kepada transnational problemsyang banyak diwarnai dengan permasalahan pada level kelompok
atau individu.
Perubahan politik diharapkan mampu memberikan perubahan yang nyata dalam penguatan
kebijakan luar negeri Indonesia. Sehingga pada pemilu legislatif dan presiden di tahun 2009,
membawa ekspektasi yang besar terhadap kebijakan luar negeri Indonesia selanjutnya.
2. Profil Kebijakan Luar Negeri Indonesia Masa Awal Reformasi (1999-2004)
Jika pada dua rezim, Orba dan Orla, kebijakan luar negeri Indonesia lebih kepada hard and low profile, kebijakan luar negeri Indonesia dalam masa reformasi ini (setidaknya pada masa-masa awal) lebih bersifat no profile. No profile disini lebih diartikan kepada pilihan kebijakan yang cenderung tidak jelas dan berubah-ubah terutama diambil pada masa-masa awal pemerintahan era reformasi.
Kebijakan luar negeri Indonesia pada awal reformasi ini sebenarnya lebih banyak ditujukan kepada perbaikan citra Indonesia kepada dunia Internasionalyang terpuruk akibat krisis ekonomi dan politik didalam negeri. Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara dengan kondisi politik domestik yang paling stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dikawasan Asia Tenggara, berubah drastis sejak krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997. Posisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat pada posisi yang terendah hingga minus, sementara itu dibidang politik telah terjadi perubahan politik drastis yaitu runtuhnya rezim Orba setelah berkuasa selama 32 tahun.
Keberhasilan kebijakan luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh dua hal.Pertama, kapasitas diplomasi, yaitu berkaitan dengan kualitas diplomasi yang dilaksanakan. Kedua, berkaitan dengan kapasitas kekuatan dalam negeri (domestic power). Dalam hal ini, kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang terpuruk akibat krisis ekonomi dan politik turut memberikan andil terhadap keberhasilan politik luar negeri Indonesia.
Pada masa pemerintahan transisi Habibie, kebijakan luar negeri Indonesia lebih mengarah kepada perbaikan citra Indonesia terutama dalam permasalahan HAM dengan kemudian mengambil kebijakan yang cukup berani dan kontroversial yaitu memberikan pilihan kemerdekaan kepada rakyat di Timor Timur yang memang pada akhir tahun 1990-an mulai dipermasalahkan oleh duniainternasional atas integrasinya ke wilayah Republik Indonesia pada tahun 1970-an.
Masih tetap fokus pada pemulihan citra Indonesia didunia internasional, Abdurrahman Wahid juga melakukan hal yang relatif sama dengan melakukan safari internasional untuk menjelaskan kondisi Indonesia kepada dunia internasional dengan tujuan mendapatkan kembali kepercayaan internasional terhadap postur politik dan ekonomi di Indonesia yang telah kembali stabil dan kondusif.
Namun hal ini jutsru menjadi bumerang di dalam negeri karena dirasa presiden terlalu sering meninggalkan urusan domestik. Selain itu gagasan berani dalam pemerintahan Wahid
berkaitan dengan politik luar negeri Indonesia adalah munculnya gagasan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan alasan negara Islam seperti Mesir telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tentu saja hal ini mendapatkan tentangan dari publik di Indonesia yang mayoritas muslim. Disisi lain juga sempat muncul gagasan untuk melakukan aliansi dengan pertahanan negara-negara Asia yang dimotori oleh China, India, Korea, Jepang dan Indonesia.
Memasuki masa Megawati, kebijakan luar negeri Indonesia masih melanjutkan usaha-usaha pendahulunya yaitu mencari dukungan dan kerjasama luar negeri. Kebijakan yang menarik adalah dengan melakukan kerjasama dengan Rusia melalui pembelian pesawat Sukhoi. Kebijakan yang lain adalah pemutusan hubungan dengan International Monetary Fund (IMF).
Pada masa Megawati ini, politik luar negeri Indonesia kembali diuji dengan adanya Bom Bali yang kemudian membawa Indonesia kepada forum internasional terkait dengan permasalahan teorisme. Namun keberhasilan pada era Megawati ini adalah dengan gaya kepemimpinan yang memberikan porsi yang lebih luas kepada Departemen Luar Negeri dengan menitik beratkan pada peran utama Menteri Luar Negeri yang dipilih dari diplomat karir, bukan dari partai seperti pada masa Wahid.
Pada masa Megawati ini juga, Departemen Luar Negeri Indonesia melakukan reformasi dan restrukturisasi sebagai respon atas perubahan politik domestik dan tantangan global. Ditengah-tengah usaha untuk membangun kembali diplomasi Indonesia, kondisi domestik yang belum benar-benar pulih, pada masa ini pula terjadi kegagalan diplomasi Indonesia dalam mempertahankan Sipadan dan Ligitan.
Dari tiga pemerintahan pasca reformasi tahun 1998 terdapat beberapa kesimpulan atas kebijakan luar negeri yang diambil.
Pertama, kebijakan luar negeri lebih diarahkan kepada pembangunan kembali citra Indonesia yang terpuruk akibat krisis ekonomi moneter tahun 1997 dan krisis politik domestik sejak runtuhnya Orde Baru tahun 1998.
Kedua, karena arah kebijakan kepada perbaikan citra maka Indonesia berusaha untuk mencari partner di dunia internasional, sehingga terkesan pemimpin negara berputar-putar mencari teman, dan kadang justru tidak fokus.
Ketiga, beberapa kebijakan sebenarnya juga diarahkan pada pelepasan ketergantungan dengan Amerika Serikat, seperti pada masa Abdurrahman Wahid yang mencoba mendekatkan diri dengan China dalam konteks ekonomi dan juga pada Megawati yang mendekatkan diri dengan Rusia dalam konteks pertahanan.
Keempat, pemerintahan yang berlangsung relatif singkat (Habibie sebagai pemerintahan transisi sekitar 2 tahun, Abdurrahman Wahid juga sekitar 2 tahun dan Megawati sekitar 3 tahun) juga cukup memengaruhi optimalisasi pencapaian tujuan politik luar negeri Indonesia. Berdasarkan kebiasaan yang terjadi, perubahan pemerintahan akan membawa perubahan kebijakan.
Kelima, kurangnya koordinasi masing-masing elemen dalam pemerintahan. Reformasi yang membawa perubahan dalam pola pemerintahan Indonesia yang desentralisasi membawa dampak pada kurangnya koordinasi antar elemen dipemerintahan baik antar departemen maupun antara pemerintah pusat dengan daerah.
Beberapa kebijakan yang berkaitan dengan luar negeri dipahami berbeda oleh beberapa departemen terkait, misalnya antara Departemen Luar Negeri dengan Departemen Perdagangan dan Perindustrian kadang-kadang dalam masalah yang sama namun memiliki persepsi yang berbeda. Selain itu, munculnya otonomi daerah juga memunculkan pandangan baru bahwa daerah berhak melakukan hubungan dengan luar negeri yang seharusnya tetap berada dibawah koordinasi Departemen Luar Negeri. Permasalahan kelima ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
3. Politik Luar Negeri Indonesia Era ReformasiMenegaskan kembali sikap bebas dan aktif dalam mengupayakan stabilitas kawasan
dan perdamaian dunia berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati, saling menguntungkan, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Menggalang solidaritas dunia demi mendukung bangsa-bangsa yang tertindasdalam merebut kemerdekaannya.
Indonesia menganut prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif.Prinsip tersebut dipahami sebagai sikap dasar RI yang menolak masuk dalam salah satu blok negara-negara adidaya; menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri; serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Akan tetapi, RI tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di kancah internasional, seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD.
Seiring perjalanan bangsa, khususnya pasca tumbangnya rezim otoriter Indonesia mencoba menata kembali kehidupan masyarakat dan sistem politik, khususnya politik luar negerinya. Berbagai upaya dilakukan untuk membangun kembali sistem ekonomi yang sempat terpuruk oleh krisis moneter pada akhir 1990an.
Prioritas utama yang dilaksanakan adalah perbaikan ekonomi. Program-program pembangunan ekonomi negara-negara berkembang seperti Milenium Development gools (MDG), merupakan gambaran orientasi politik luar negeri Indonesia yang sempat mencari bentuk pasca kejatuhan Soeharto. namun, dalam perjalananannya program MDG ini justru hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat Indonesia yang hidup miskin.
Sebaliknya beberapa kelompok jetset kembali berjaya dengan semakin terbukanya modal asing untuk merambah dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia, khsususya bidang ekonomi. Banyak kekayaan alam Indonesia yang berdasarkan undang-undang pasal 33 adalah milik masyarakat dan dikelola pemerintah demi kepentingan masyarakat, justru dikuasai dan digunakan oleh para pemodal asing.
Indonesia semakin menjadi semakin ahistoris dengan kondisi masyarakat, khususnya nasion-nasion yang sekarang mulai melihat kembali indentitasnya sebagai anggota big nation Indonesia. Politik luar negeri yang pada awalnya ditujukkan untuk memaksimalkan kepentingan nasional masyarakat sendiri, justru hanya menjadi alat bagi korporasi internasional untuk memasukkan kepentingannya di bumi pertiwi ini.
Di tingkatan global, Indonesia juga semakin serius dalam mengusahakan perdamain dunia yang diwujudkan dalam kesepakatan internasional, seperti Protokol Kyoto, Penempatan pasukan perdamain di daerah konflik, sampai usaha penanganan terorisme internasional. Namun, semua hal itu belum merefleksikan kondisi riil masyarakat Indonesia yang semakin hari, semakin tidak mandiri terhadap kedaulatan bangsa dan negaranya.
4. Peranan Politik Luar Negeri Masa Reformasi
Masa reformasi, peranan diplomasi Indonesia lebih memiliki nilai baru dibanding jaman orde
baru karena tidak ada kendala psikologis dalam menjalin hubungan diplomatis dengan negara-negara
barat yang lebih maju. Indonesia memiliki kesetaraan yang sama dalam menjalin hubungan
diplomatiknya karena sudah bicara dalam kerangka bahasan yang sama, menjunjung tinggi
demokrasi, penghormatan nilai-nilai HAM, pluralisme sehingga lebih nyaman berinteraksi dengan
negara lain. Kondisi tersebut membuat kepercayaan tinggi bagi bangsa Indonesia untuk lebih aktif
untuk merintis kerjasama antarnegara.
Peluang Indonesia sebagai role model dalam diplomasi saat ini ditunjukkan dengan Indonesia
memiliki peran sentral pada beberapa pertemuan antarnegara di tingkat regional, multilateral dan
internasional, seperti memberikan sumbang saran dalam pertemuaan negara G-20 untuk membahas
krisis keuangan global.
Selain itu, Indonesia menjadi satu-satunya negara berkembang di ASEAN yang diundang
pada pertemuan negara-negara maju atau G-8 yang dijadikan ajang pertemuan tingkat dunia khusus
para negara yang memiliki kekuatan ekonomi secara mapan.
Indonesia berusaha untuk kembali mengarahkan ASEAN, yang menjadi soko guru politik luar
negeri, ke arah cita-cita yang telah dirintis oleh para pendirinya. Indonesia berusaha memelopori kerja
sama ASEAN dari asosiasi ke arah komunitas, sebuah babak historis dalam perjalanan ASEAN.
Dalam pengembangan menuju integrasi ASEAN 2020, bertumpu pada tiga pilar Komunitas
Keamanan ASEAN, Komunitas Sosial Budaya dan Komunitas Ekonomi. Selain itu, Indonesia juga
menggagas Komunitas Keamanan ASEAN yang diharapkan dapat memampukan ASEAN menjawab
tantangan-tantangan dalam dunia yang berubah.
Diharapkan pula, di tingkat domestik keberadaan komunitas ini dirasakan manfaatnya oleh
rakyat di kawasan ASEAN sehingga kepemilikan ASEAN tidak lagi hanya dirasakan oleh pejabat
pemerintah, tetapi diperluas menjangkau rakyat. Dengan demikian dapat memperkuat rasa
kebersamaan atau we feeling antara anggota ASEAN. Selain itu, kerja sama ASEAN plus 3 (Cina,
Jepang, dan Korea Selatan) semakin diintensifkan. Demikian pula untuk Komunitas Asia Timur.
Indonesia juga membangun struktur hubungan dengan negara tetangga di sebelah timur.
Bersama Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina, Indonesia menjalin South
West Pacific Dialogue.
Agenda lain dalam politik luar negeri pada era reformasi ini berkaitan dengan pemeliharaan
persatuan dan kesatuan bangsa, pemulihan ekonomi dan penyelenggaraan politik luar negeri yang
bebas dan aktif. Penggalangan dukungan komunitas internasional untuk mengakui keutuhan NKRI
terus dilakukan. Walaupun sebagian besar negara termasuk AS, Uni Eropa dan Australia menolak
pemisahan Aceh dan Papua dari RI, tetapi hal ini harus terus diwaspadai.
Kerja sama dengan negara-negara tetangga diintensifkan untuk mencegah kasus
penyelundupan senjata, penyelundupan manusia dan barang untuk keperluan kelompok-kelompok
separatis. Upaya Indonesia memainkan peran di kawasan juga tercermin dari penyelenggaraan 50
tahun Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KTT AA) dan Peringatan 50 Tahun KAA yang dihadiri
oleh 104 negara.
Dalam tekad politik baru itu para pemimpin Asia dan Afrika menyatakan bahwa Kemitraan
Strategis Baru Asia Afrika (The New Asian-African Strategic Partnership) menjadi kerangka kerja
untuk membangun jembatan antara Asia dan Afrika.
Tiga bidang kerja sama yang akan digencarkan adalah solidaritas politik, kerja sama
ekonomi, dan hubungan sosial budaya disusun. Sebagai tindak lanjut KTT akan diadakan KTT Asia
Afrika setiap empat tahun sekali dan dua tahun sekali pertemuan tingkat menteri. Implementasi dari
kerja sama ini yang masih menjadi pertanyaan.
Indonesia berupaya membangun citra dan menguatkan posisi diplomasi dalam taraf
kerjasama multilateral, tergabung dalam beberapa organisasi internasional tingkat global seperti PBB
dan regional seperti ASEAN. Indonesia membangun mutual trust antara negara anggota yang
tergabung dalam satu wadah organisasi multilateral itu. Lalu bagaimana dengan kerjasama bilateral
dan penguatan bargaining position Indonesia dengan negara lain? Pada praktiknya, interaksi bilateral
Indonesia dengan sejumlah negara kunci itu masih jauh dari potensi yang tersedia. Tanpa sadar,
Indonesia seperti terbawa pada arus kuat diplomasi multilateral, baik di ASEAN, APEC, maupun G-
20, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Arus kuat itu cenderung membawa Indonesia
semakin jauh dari memanfaatkan kekuatan diplomasi bilateral.
Penguatan diplomasi bilateral antara Indonesia dan suatu negara memang memerlukan
sebuah komitmen kuat yang didukung oleh kesiapan, kemauan, dan kemampuan berbagai unsur di
dalam negeri. Apalah artinya sebuah komitmen peningkatan hubungan bilateral dibuat jika unsur-
unsur di dalam negeri tidak bisa memenuhi komitmen-komitmen tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Indonesia menunjukkan perubahan yang mendasar dalam pola hubungan luar negerinya,
baik daalam tipe kerjasama dan pola aktivitasnya. Perubahan tersebut berada dalam sektor geografis
dan fungsional. Perubahan itu dilihat dalam kerjasama bilateral dan multilateralnya. Penguatan
diplomasi Indonesia dalam dunia internasional menunjukkan sebuah perkembangan yang cukup
signifikan di satu sisi, terutama dalam kerjasama multilateral, akan tetapi Indonesia masih lemah
dalam kerjasama bilateral di sisi lain. Multipolarisme dan Diplomasi publik dapat menjadi sebuah
pilihan strategis untuk menguatkan diplomasi bilateral Indonesia dalam mencapai kepentingan
nasional sesuai dengan tujuan nasional yang terdapat dalam politik luar negeri Indonesia saat ini.
Seperti telah dipahami, pelaksanaan politik luar negeri tidak akan berarti apa-apa selama masalah di
dalam negeri tidak diselesaikan.
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia
I. Pengertian Politik Luar NegeriPolitik luar negeri suatu negara merupakan refleksi atau cerminan politik dalam negeri. Politik luar negeri suatu negara akan menjadi penting untuk menentukan arah dan tujuan suatu negara dalam mempertahankan eksistensi kedaulatan di tengah-tengah pergaulan antarnegara.Tahukah Kamu?Istilah politik luar negeri sering sekali merujuk pada kebijakan luar negeri suatu negara atau pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik luar negeri tidak lepas dari bagaimana mempertahankan kepentingan nasional suatu bangsa pada tatanan hubungan internasional baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.
Dewasa ini politik luar negeri suatu negara sering dikaitkan dengan bagaimana menjaga sustainability (kelangsungan hidup) suatu negara dalam mempertahankan kedaulatan, identitas bangsa, dan kepentingan ekonomi di tengah persaingan global antarbangsa.
2. Politik Luar Negeri IndonesiaSetelah kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi negara berdaulat dan lepas dari penjajahan. Kedaulatan Indonesia yang diakui oleh negara-negara lain telah memperkuat tekat dan tujuan negara Indonesia untuk menjadi negara yang mandiri. Untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia yang baru saja diproklamirkan, Indonesia tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari negara lain. Dengan demikian, Indonesia harus menentukan kebijakan politik luar negeri yang akan menopang kepentingan negara dan bangsa dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan.Situasi perpolitikan internasional pada awal 1945 diwarnai dengan adanya Perang Dingin. Indonesia dihadapkan pilihan apakah berpihak pada Blok Barat di bawah kepemimpinan Amerika Serikat dengan ideologi liberal ataukah Blok Timur yang dikuasai oleh Uni Soviet dan sekutunya yang berpaham komunisme. Menghadapi situasi tersebut, Indonesia memutuskan untuk tidak berpihak pada salah satu blok. Indonesia memilih kebijakan luar negeri bebas aktif (independent active) dan tidak berpihak (non-alignment).
Dalam tulisan ”Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia”, Dr.
Muhammad Hattamenjelaskan pandangannya mengapa Pemerintah Indonesia telah memilih untuk tidak berpihak pada dua kekuatan dunia ketika itu dan juga tidak melakukan kebijakan luar negeri pasif dalam arena perpolitikan internasional. Muhammad Hatta secara tegas menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia bukanlah netralitas karena negara ini tidak dibangun untuk menjadi negara yang suka berperang, melainkan dibangun untuk memajukan perdamaian. Politik luar negeri Indonesia tidak berpihak pada salah satu blok tertentu dan memilih untuk mencari jalan sendiri dalam mengatasi permasalahan internasional.
Tahukah kamu?Kebijakan politik luar negeri Indonesia adalah mandiri (independent) dan aktif. Aktif dimaksud adalah berusaha dengan giat dalam memelihara perdamaian dan mengurangi ketegangan di antara dua Blok (Amerika Serikat dan Uni Sovyet), melalui usaha-usaha yang didukung semaksimal mungking oleh mayoritas anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pernyataan Muhammad Hatta tersebut disampaikan pada 2 September 1948 di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Pernyataan ini yang kemudian menjadi prinsip dasar dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dan juga
menjadi dasar pemikiran bagi banyak negara Asia Afrika dalam melakukan politik luar negeri mereka.
Secara umum, Muhammad Hatta merumuskan tujuan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dalam bukunya Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia sebagai berikut.
a. berusaha mempertahankan kedaulatan bangsa dan melindungi keselamatan negara Indonesia,
b. memperkokoh perekonomian domestik dengan cara memperoleh barang-barang luar negeri yang belum dapat diproduksi di dalam negeri demi kemakmuran rakyat,
c. mendukung perdamaian dunia karena perpolitikan internasional yang damai akan membantu Indonesia dalam membangun perekonomiannya demi kemakmuran rakyat,
d. menggalang persaudaraan dengan segala bangsa di dunia sebagai implementasi cita-cita yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Landasan Hukum Politik Luar Negeri IndonesiaLandasan hukum politik luar negeri Indonesia yang mandiri dan bebas aktif dalam melaksanakan hubungan luar negeri tidak lepas dari dasar hukum yang melandasi kebijakan luar negeri Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dasar hukum politik luar negeri Indonesia pada awal kemerdekaan didasarkan pada.
a. Undang-Undang Dasar 1945Landasan pokok politik luar negeri Indonesia dalam ketatanegaraan dan pelbagai bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan selalu berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Secara jelas Pembukaan UUD 1945 menyebutkan
”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Selanjutnya dikatakan juga
”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dalam kutipan-kutipan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dijelaskan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah anti penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Selanjutnya dijelaskan pula pada alinea selanjutnya bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang menjadi sifat aktif politik luar negeri Indonesia.
b. Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973
Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973 memuat Garis-Garis Besar Haluan Negara mengenai arah kebijakan luar negeri Indonesia. Ketetapan tersebut menjelaskan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi.
2. Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya sehingga memungkinkan negara-negara di wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri melalui pengembangan ketahanan nasional masing-masing serta memperkuat wadah dan kerja sama antara negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara.
3. Mengembangkan kerjasama untuk tujuan damai dengan semua negara dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa mengorbangkan kepentingan dan kedaulatan nasional.
c. Penjelasan Tap MPR Tahun 1973Penjelasan tentang Tap MPR Tahun 1973 merupakan upaya untuk melaksanakan Politik Luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif untuk diabdikan kepada Kepentingan Nasional. Usaha-usaha pokok yang harus dilakukan antara lain dengan.
1. memperkuat persahabatan dan mempererat kerja sama antara negara-negara dalam lingkungan ASEAN,
2. memperkuat persahabatan dan memberi isi yang lebih nyata terhadap hubungan bertetangga yang baik dengan negara lain,
3. mengembangkan setiap unsur dan kesempatan untuk memperkokoh perdamaian dan stabilitas di wilayah Asia Tenggara,
4. membina persahabatan dengan negara-negara dunia pada umumnya serta mengusahakan peranan yang lebih aktif dalam memecahkan masalah-masalah dunia di lapangan ekonomi dan politik untuk memperkuat kerja sama antara bangsa-bangsa dan perdamaian dunia,
5. bersama-sama dengan negara berkembang lainnya memperjuangkan kepentingan bersama untuk pembangunan ekonomi.
4. Sejarah dan Pelaksanaan Politik Luar Negeri IndonesiaSejarah dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan pada masa Pemerintahan Soekarno, masa Pemerintahan Soeharto (Orde Baru) dan masa Transisi Demokrasi (pascakejatuhan Presiden Soeharto).
a. Masa Pemerintahan Soekarno (1945-1966)Pada masa Pemerintahan Soekarno, politik luar negeri Indonesia dicirikan dengan upaya mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari agresi militer Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Berikut ini beberapa kejadian penting yang mempengaruhi politik luar negeri Indonesia pada masa Pemerintahan Soekarno.
1. Peletakan dasar Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 2 September 1948 bahwa Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif (an independent active).
2. Indonesia menolak untuk berpartisipasi menjadi anggota dalam organisasi regional anti komunis dan pro Barat yang digagas oleh Filipina. Organisasi tersebut adalah Southeast Asia Treaty Organanization (SEATO) dan dibentuk pada 1954 di Baguio, Philipina.
3. Indonesia mengakui Republik Rakyat China pada 1950 dan mengadakan hubungan diplomatik pada 1953.
4. Penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung yang menghasilkan Deklarasi Bandung atau disebut juga Dasa Sila Bandung.
5. Perjuangan membebaskan dan merebut kembali Irian Barat dari penjajahan Belanda pada kurun waktu 1950-an dan 1960-an.
6. Penandatanganan penyerahan Irian Barat oleh Belanda kepada Indonesia pada 15 Agustus 1963.
7. Aliansi Indonesia-China dengan membentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Pyongyang-Hanoi-Beijing dan dukungan Rusia (Uni Soviet) terhadap perjuangan Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda pada tahun 1959 hingga 1965 telah mendekatkan Indonesia kepada China.
8. Konfrontasi militer Indonesia dengan Malaysia (1963-1966) yang merupakan masa tersuram dalam kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara.
b. Masa Pemerintahan Soeharto (1966-1998)Pada masa pemerintahan Soeharto, terdapat peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi politik luar negeri Indonesia. Pada pemerintahan sebelumnya, telah banyak peristiwa yang mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Indonesia dan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Agresi Indonesia terhadap Malaysia telah menciptakan ketidakstabilan di wilayah Asia Tenggara. Pandangan Indonesia sebagai negara yang tidak memihak kepada salah satu Blok pun sirna. Hal ini dapat dilihat dari kedekatan Indonesia dengan Rusia dan China pada awal 1960-an. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari penolakan Barat dalam mendukung Indonesia memperoleh kembali Irian Barat.Dengan demikian, prioritas kebijakan luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto adalah memperbaiki citra buruk Indonesia yang telah dilakukan selama Pemerintahan Soekarno, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Tahukah kamu?Pada pemerintahan Orde Baru, Indonesia menghentikan konfrontasi militer dengan Malaysia dan mendirikan ASEAN dengan empat negara tetangga lainnya termasuk Malaysia. Indonesia selanjutnya menjalankan politik luar negeri yang lebih low profile (sederhana dan bersahaja) dan menjadi pendukung kerjasama regional yang antusias di kawasan Asia Tenggara.
Berikut ini adalah beberapa kejadian yang turut mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa Pemerintahan Soeharto.
1. Ditandatanganinya Supersemar oleh Presiden Soekarno yang memberikan legitimasi kekuasaan Soeharto dalam mengambilalih pemerintahan pada 11 Maret 1966.
2. Penghentian hubungan diplomatik Indonesia dengan China pada Oktober 1967.
3. Perbaikan hubungan diplomasi dengan negara-negara Barat dan ditinggalkannya ideologi politik luar negeri Soekarno.
4. Indonesia masuk kembali menjadi negara anggota PBB dan memperbaharui keanggotaannya pada IMF dan World Bank pada 1966.
5. Pengakuan Indonesia atas kedaulatan Singapura, yang telah terpisah dari Malaysia, pada tanggal 6 Juni 1966.
6. Perjanjian normalisasi hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia yang ditandatangani Adam Malik dan Tun Abdul Rajak di Jakarta pada 11 Agustus 1966.
7. Penandatanganan pembentukan Deklarasi ASEAN di Bangkok pada 8 Agustus 1967. Kerja sama ini menandai era kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara dalam segala bidang, khususnya dalam bidang ekonomi.
c. Masa Transisi Demokrasi (1998-2004)Politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan penting setelah mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998. Dengan turunnya Soeharto dari kekuasaan selama kurang lebih tiga dasawarsa maka dimulai era reformasi atau transisi politik luar negeri Indonesia ke arah demokratisasi.Situasi ekonomi dan politik yang tidak menentu telah memperdalam krisis multi dimensi di Indonesia. Kejadian ini tentu saja telah mempengaruhi politik luar negeri Indonesia selama beberapa tahun ke depan.Politik luar negeri Indonesia pada masa transisi demokrasi dibagi dalam tiga pemerintahan, pemerintahan BJ Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan pemerintahan Megawati Soekarnoputeri.1. Masa Pemerintahan BJ Habibie (1998-1999)
Pemerintahan BJ Habibie yang menggantikan kekuasaan Presiden Soeharto dihadapkan pada tantangan dalam negeri dan luar negeri yang tidak menguntungkan kepentingan nasional. Di dalam negeri Habibie harus menghadapi tuntutan dari berbagai pihak.
Ada beberapa kejadian penting yang menjadi sorotan dalam kebijakan luar negeri, Indonesia pada masa Pemerintahan BJ Habibie, yaitu. Kelanjutan program bantuan IMF kepada Indonesia untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 miliar dolar AS pada tahun 1998. Kebijakan Habibie dalam memberikan opsi (pilihan) referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur pada akhir tahun 1998. Kekerasan yang terjadi setelah dan sebelum referendum di Timor Timur telah melemahkan legitimasi Habibie, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
2. Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)Pemerintahan Abdurrahman Wahid menjadi tonggak bersejarah dari hubungan sipil militer. Sipil berusaha menguasai militer dengan cara mengembalikan fungsi militer sebagai penjaga pertahanan negara dari ancaman negara lain. Hubungan sipil militer, yang menjadi ciri khas Pemerintahan Abdurrahman Wahid yang berasal dari sipil merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan menuju demokratisasi di Indonesia.Melemahnya peran TNI pasca kerusuhan sosial dan referendum Timor Timur pada 1999 telah mendorong politisi sipil untuk lebih berperan dalam mengatur negara. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dari kalangan sipil pasca kejatuhan Soeharto terus meningkatkan kredibilitas internasionalnya sebagai tokoh pro-demokrasi,
diantaranya dengan memberhentikan Jenderal Wiranto dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.
Tahukah kamu?Isu yang sering muncul dalam kebijakan luar negeri Indonesia pada masa Pemerintahan Wahid adalah seputar pelanggaran HAM oleh TNI di Timor Timur dan persoalan integritas teritorial Indonesia.
3. Masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputeri (2001-2004)Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid melalui proses impeachment pada sidang istimewa MPR menjadi presiden wanita pertama di Indonesia. Selama Pemerintahan Megawati proses demokratisasi berjalan dengan baik dan mulus. Salah satu yang terlihat jelas adalah kesediaan TNI untuk menarik diri dari politik dan kembali kefungsinya sebagai penjaga pertahanan negara dari ancaman negara lain. Selain itu, Megawati juga dipuji karena telah memuluskan proses pemilihan anggota DPR, DPD serta presiden yang dipilih langsung oleh rakyat pada pemilu 2004.Terdapat beberapa kejadian penting yang mempengaruhi politik luar negeri Indonesia pada masa Pemerintahan Megawati baik domestik maupun internasional, diantaranya adalah
a. serangan teroris ke gedung WTC di New York Amerika Serikat pada 11 September 2001,
b. serangan Amerika Serikat ke Afghanistan pada 2001,c. pemboman di Bali pada 2002,d. pemboman hotel JW Marriot di Jakarta pada 2003,e. penyerangan ke Irak yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris
pada 2003,f. operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM pada 2003-2004.
Peristiwa-peristiwa di atas merupakan variabel yang telah mempengaruhi dinamika politik luar negeri Indonesia dalam hubungan internasional. Pada masa Pemerintahan Megawati, politik luar negeri dan diplomasi Indonesia kembali aktif. Hal tersebut dapat dilihat dari upaya Departemen Luar Negeri dalam menata ulang diplomasi sebagai ujung tombak dalam menjaga kepentingan nasional Indonesia di luar negeri.
5. Arah Kebijakan Politik Luar Negeri IndonesiaPolitik luar negeri Indonesia pada tahun-tahun mendatang lebih ditekankan pada upaya pembangunan ekonomi. Seperti diketahui bahwa politik luar negeri merupakan refleksi dari politik dalam negeri. Akan tetapi, pada kenyataannya, politik luar negeri sering dipengaruhi oleh perkembangan situasi regional dan internasional.Hasjim Djalal dalam pidato pengukuhan Guru Besar Madya Universitas Padjajaran Bandung dalam Ilmu Hukum Internasional pada tanggal 24 Juni 1996 memberikan prediksi dan anggapan bahwa politik luar negeri Indonesia pada 25 tahun mendatang akan sangat dipengaruhi pada
a. perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan yang mungkin terjadi dalam kehidupan politik dalam negeri Indonesia,
b. perkembangan konstelasi politik regional,c. perubahan-perubahan yang terus terjadi dan yang tidak menentu di
dalam situasi dan konstelasi internasional.Selanjutnya Hasjim juga menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif akan tetap relevan dengan penekanan yang lebih pada pembangunan
ekonomi daripada retorika politik. Dengan demikian, arah kebijakan politik luar negeri Indonesia ditekankan pada upaya
a. membela kepentingan nasional dan berdasarkan pada kerja sama ketimbang konfrontasi dengan negara tetangga atau negara lain,
b. menekankan pembangunan ekonomi daripada petualangan politik,c. mendukung kebijakan dalam meredakan ketegangan dan perlucutan
senjata di tingkat regional dan global daripada membentuk persekutuan militer dan perlombaan senjata.Adapun isu-isu penting yang dapat mempengaruhi politik luar negeri Indonesia pada tahun-tahun mendatang adalah sebagai berikut.a. isu penegakan HAM khususnya di daerah-daerah konflik seperti Aceh dan Papua,b. isu lingkungan hidup seperti kerusakan hutan di Kalimantan, Sumatera, dan Papua,c. pemberantasan kelompok-kelompok radikal atau jaringan teroris domestik dan internasional yang mengatasnamakan agama dan kebencian etnis atau negara tertentu.
Aktivitas A. Jawablah pertanyaan berikut ini dengan penjelasan yang singkat, padat, dan benar.1. Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan politik luar negeri bebas aktif dan tidak berpihak kepada salah satu Blok yang dianut oleh Indonesia.
2. Dasar hukum atau landasan apa yang menjadi pedoman pembentukan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dalam menyelesaikan permasalahan internasional atau ketertiban dunia?
3. Bagaimana kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa Pemerintahan Soekarno? Jelaskan dengan singkat dan benar.
4. Dorongan apa yang melatarbelakangi Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dan digantikan oleh Wakil Presiden Habibie di tengah masa kepresidenannya yang belum selesai?
5. Prestasi apa yang telah dicapai Presiden Megawati Soekarnoputri selama masa pemerintahannya? Bagaimana situasi politik internasional ketika itu?
B. Jawablah dengan benar pertanyaan berikut ini.1. Peristiwa-peristiwa apa yang telah mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Indonesia pada Masa Pemerintahan Soekarno.
2. Uraikan berdasarkan pendapat kamu mengenai ciri pemerintahan transisi sekarang ini.
3. Bagaimana arah kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa yang akan datang? Jelaskan dengan argumentasi kamu yang tepat dan benar.
4. Apa isu-isu penting yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia pada tahun-tahun mendatang? Jelaskan dengan disertai contoh-contoh.
5. Bagaimana menurut pandangan kamu mengenai kebijakan luar negeri bebas aktif dan tidak berpihak pada salah satu blok kekuatan dunia yang dianut Indonesia. Apakah kebijakan tersebut masih relevan dengan situasi perpolitikan domestik dan internasional? Jelaskan jawaban kamu dengan disertai argumentasi yang relevan.
A. Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Masa Orde Baru (1966-1998)
8 MAR
A. Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Di dalam dokumen yang berhasil disusun oleh pemerintah yang dituangkan di
dalam Rencana Strategi Politik Luar negeri Republik Indonesia (1984-1989) antara
lain dinyatakan bahwa politik Luar negeri suatu negara hakekatnya merupakan
salah satu sarana untuk mencapai kepentingan nasional. Sedangkan di Indonesia,
jika dicermati, rumusan pokok kepentingan nasional itu dapat dicari dalam alinea
IV Pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa.
Meletusnya pemberontakan G.30.S/PKI menim-bulkan banyak korban, terutama
korban jiwa. Akibatnya muncullah berbagai tuntutan yang disponsori oleh berbagai
kesatuan aksi dengan tuntutannya yang terkenal “TRITURA” (Tri Tuntutan Rakyat),
yaitu : bubarkan PKI, turunkan harga dan reshuffle kabinet. Tuntutan pertama
dapat dipenuhi pada tanggal 12 Maret 1966. Dan segera setelah itu pada bulan Juni
sampai Juli 1966 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (setelah anggota-
anggotanya diperbaharui) menyelenggarakan Sidang Umum dengan menghasilkan
sebanyak 24 ketetapan. Salah satu ketetapan MPRS tersebut adalah Ketetapan
No.XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik
Luar Negeri RI. Di dalam ketetapan tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai
berikut :
1) Bebas-aktif, anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
2) Mengabdi kepada kepentingan nasional dan Amanat Penderitaan Rakyat.
Politik Luar Negeri Bebas Aktif bertujuan mempertahankan kebebasan Indonesia
terhadap imperialis dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya dan
menegakkan ke tiga segi kerangka tujuan Revolusi, yaitu :
1) Pembentukan satu Negara Republik Indonesia yang berbentuk Negara
Kesatuan dan Negara Kebangsaan yang demokratis, dengan wilayah kekuasaan
dari Sabang sampai Merauke.
2) Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur material dan spiritual
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu.
3) Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan
semua negara di dunia, terutama sekali dengan negara-negara Afrika dan Asia atas
dasar bekerjasama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan
kolonialisme menuju kepada perdamaian dunia yang sempurna.
Kemudian secara berturut-turut penegasan politik luar negeri yang bebas-aktif oleh
Majelis Permus-yawaratan Rakyat selalu dipertegas dalam setiap kali
menyelenggarakan sidang umum, baik Sidang Umum 1973, 1978, 1983, 1988,
1993, 1998 maupun dalam Sidang Umum MPR 1999. Penegasan politik Luar Ne-
geri Bebas-Aktif yang dituangkan di dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 Bab III
huruf B Arah Pembangunan Jangka Panjang, di sana ditegaskan : Dalam bidang
politik luar negeri yang bebas aktif diusahakan agar Indonesia terus dapat
meningkatkan peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta
menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera.
Rumusan tersebut dipertegas lagi pada bab IVD (Arah dan Kebijaksanaan
Pembangunan) huruf c bidang politik. Aparatur Pemerintah, Hukum dan Hubungan
Luar Negeri, di mana dalam hal hubungan luar negeri diatur dalam hal-hal sebagai
berikut :
1) Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan
mengabdikannya kepada Kepentingan Nasional, khususnya pembangunan ekonomi.
2) Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia
Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sehingga memungkinkan negara-negara di
wilayah ini mampu mengurus masa depannya sen-diri melalui pengembangan
ketahanan nasionalnya masing-masing, serta memperkuat wadah dan kerjasama
antara negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara.
3) Mengembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara
dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam
membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa
mengorbankan Kepentingan dan Kedaulatan Nasional.
B. Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Era Reformasi (1998-Sekerang)
Sidang Umum MPR 1999 juga kembali mempertegas politik luar negeri Indonesia.
Dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan,
huruf C angka 2 tentang Hubungan Luar Negeri, dirumuskan hal-hal sebagai
berikut:
1) Menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan
berorientasi pada kepentingan nasional, menitik beratkan pada solidaritas antar
negara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa,
menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa
dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.
2) Dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut
kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak harus dengan persetujuan lembaga
perwakilan rakyat.
3) Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu
melakukan diplomasi pro-aktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif
Indonesia di dunia internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan
terhadap warga negara dan kepentingan Indonesia, serta memanfaatkan setiap
peluang positif bagi kepentingan nasional.
4) Meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan
pembangunan nasional, melalui kerjasama ekonomi regional maupun internasional
dalam rangka stabilitas, kerjasama dan pembangunan kawasan.
5) Meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi
perdagangan bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakuan AFTA, APEC dan
WTO.
6) Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara sahabat serta
memperlancar prosedur diplomatik dalam upaya melaksanakan ekstradisi bagian
penyelesaian perkara pidana.
7) Meningkatkan kerjasama dalam segala bidang dengan negara tetangga yang
berbatasan langsung dan kerjasama kawasan ASEAN untuk memelihara stabilitas,
pembangunan dan kesejahteraan.
Politik Luar Negeri di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 –
2009, dalam visi dan misi beliau diantaranya dengan melakukan usaha
memantapkan politik luar negeri. Yaitu dengan cara meningkatkan kerjasama
internasional dan meningkatkan kualitas diplomasi Indonesia dalam rangka
memperjuangkan kepentingan nasional. Prestasi Indonesia sejak 1 Januari 2007
menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dimana Republik Indonesia
dipilih oleh 158 negara anggota PBB. Tugas Republik Indonesia di Dewan
Keamanan PBB adalah :
1) Ketua Komite Sanksi Rwanda
2) Ketua komite kerja untuk pasukan penjaga perdamaian,
3) Ketua Komite penjatuhan sanksi untuk Sierra Leone,
4) Wakil Ketua Komite penyelesaian konflik Sudan,
5) Wakil Ketua Komite penyelesaian konflik Kongo,
6) Wakil Kertua Komite penyelesaian konflik Guinea Bissau.
Baru-baru ini Indonesia berani mengambil sikap sebagai satu-satunya negara
anggota tidak tetap DK PBB yang bersikap abstain ketika semua negara lainnya
memberikan dukungan untuk memberi sanksi pada Iran.
Selain itu Republik Indonesia juga dipercaya dunia untuk duduk sebagai anggota
Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang bermarkas di Jenewa. Jika tahun lalu
untuk masa tugas 1 tahun, maka sekarang Republik Indonesia terpilih untuk
periode 3 tahun hingga 2010. Saat itu dalam Sidang Majelis Umum PBB, Republik
Indonesia memperoleh dukungan 182 suara diantara 190 negara anggota yang
memiliki hak pilih. Hal ini berarti masyarakat internasional menaruh apresiasi yang
tinggi terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia. Republik Indonesia sendiri
akan memanfaatkan masa keanggotaan di Dewan HAM untuk melanjutkan
implementasi progresif berbagai komitmen yang telah disampaikan Pemerintah
Republik Indonesia sendiri. Kita semua berharap semoga semua menjadi kenyataan.
C. Peranan Indonesia dalam Percaturan Internasional
Selain itu Republik Indonesia juga dipercaya dunia untuk duduk sebagai anggota
Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang bermarkas di Jenewa. Jika tahun lalu
untuk masa tugas. Partisipasi aktif Indonesia dalam upaya mewujudkan perdamaian
dunia telah ditunjukkan dengan keikutsertaan dalam setiap Operasi Pemeliharaan
Perdamaian (OPP) PBB melalui pengiriman Konting kin meningkatnya jumlah OPP
PBB, peran serta Indonesia dalam OPP PBB selama beberapa tahun terakhir justru
mengalami penurunan. Dalam kaitan ini, dipandang perlu pembentukan suatu Pusat
OPP Nasional (National Peacekeeping Center) sebagai suatu mekanisme kerja yang
melakukan fungsi koordinatif inter-departemen secara teratur, terencana, terpadu
dan berkelanjutan dalam penyelenggaraan pelatihan personel untuk
mempersiapkan kontingen militer, polisi dan sipil dalam misi perdamaian PBB. Dan
pada November tahun 2006 Indonesia mengirim Konga ke Lebanon. Sampai
sekarang kita sudah mengirimkan pasukan Konga XXIII B ke Lebanon
1. Saat ini Indonesia menjadi anggota di lebih dari 170 organisasi internasional.
Jumlah kewajiban kontribusi Pemerintah RI sehubungan dengan partisipasinya
dalam keanggotaan pada organisasi internasional untuk tahun 2004 adalah sebesar
+ Rp. 140 milyar.
2. Dalam memberikan perlindungan dan bantuan hukum khususnya kepada TKI,
selama tahun 2004 Pemerintah telah mengadakan serangkaian perundingan untuk
mewujudkan MoU, antara lain: antara RI dan Uni Emirat Arab (UAE) mengenai
Penempatan TKI ke UAE yang menegaskan hak dan kewajiban TKI dan pengguna
jasa; RI dan Malaysia mengenai Penempatan TKI di Sektor Formal ke Malaysia yang
didasari oleh keinginan untuk menertibkan penempatan dan perlindungan TKI
sektor formal di luar negeri; serta RI dan Korea Selatan tentang pengiriman TKI ke
Korea Selatan yang mengatur proses rekrutmen, pengiriman dan pemulangan TKI.
Dalam rangka mewujudkan politik luar negeri yang bebas dan aktif itulah, maka
Indonesia memainkan sejumlah peran dalam percaturan internasional. Peran yang
cukup menonjol yang dimainkan oleh Indonesia adalah dalam rangka membantu
mewujudkan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dalam hal ini
Indonesia sudah cukup banyak pengirimkan Kontingen Garuda (KONGA) ke luar
negeri. Sampai sekarang ini Indonesia telah mengirimkan kontingen Garudanya
sampai dengan kontingen Garuda yang ke duapuluh tiga (XXIII).
Secara garis besar kontingen garuda yang telah dikirim ke luar negeri secara
berturut-turut adalah :
1) Konga I bertugas di Mesir, yang dikirim pada bulan Nopember l956, dengan
tugas mengamankan dan mengawasi genjatan senjata di Mesir.
2) Konga II dikirim pada bulan September l960 yang bertugas di Kongo. Tugas
ini diembannya sampai bulan Mei l961.
3) Konga III dikirim ke Kongo pada bulan Desember l963 sampai Agustus l964.
4) Konga IV, Konga V dan Konga VII di kirim ke Vietnam, dan bertugas mulai
bulan Januari l974.
5) Konga VI, dikirim ke Sinai, Mesir, bertugas dari bulan Agustus l973 sampai
April l974.
6) Konga VIII, ke Sinai, Mesir, pada bulan September l974.
7) Konga IX, ke Irak-Iran, pada bulan Agustus l988 sampai bulan Nopember
l990.
8) Konga X, ke Namibia, pada bulan Juni l989 sampai Maret l990.
9) Konga XI, ke perbatasan Irak-Kuwait, pada bulan April l991 sampai Nopember
l991.
10) Konga XII, ke Kamboja, pada bulan Oktober l991 sampai Mei l993.
11) Konga XIII, ke Somalia, pada bulan Juli l992 sampai April l993.
12) Konga XIV, ke Bosnia Herzegovina, bulan Nopember l993 sampai Nopember
l995.
13) Konga XV, ke Georgia, bulan Oktober l994 sampai Nopember l995.
14) Konga XVI, ke Mozambik, tahun l994.
15) Konga XVII, ke Philipina, Oktober l994 sampai Nopember l994.
16) Konga XVIII, ke Tajikistan, Nopember l997.
17) Konga XIX, yang terdiri atas XIX-1, XIX-2, XIX-3 dan XIX-4, bertugas di Siera
Leone, mulai l999 sampai 2002.
18) Konga XX, bertugas di Republik Demokratik Kongo, tahun 2005.
19) Konga XXI-XXIII , bertugas di Lebanon, 2006- sampai sekarang.
Selain pengiriman Kontingen Garuda, Indonesia juga mempunyai sumbangan yang
cukup berarti bagi penyelesaian sengketa yang terjadi di Kamboja, dengan
menyelenggarakan Pertemuan Informal Jakarta (Jakarta Informal Meeting) I dan II.
Indonesia juga menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, menjadi
anggota Badan Tenaga Atom Internasional. Salah seorang putra terbaik Indonesia
juga pernah memegang jabatan Presiden Majelis Umum PBB yaitu Adam Malik
tahun 1971.
Indonesia juga menjadi sponsor dan sekaligus tuan rumah diselenggarakannya
Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun l955; menjadi salah satu sponsor lahirnya
Gerakan Non Blok, juga sponsor lahirnya organisasi regional Asia Tenggara
“ASEAN” 8 Agustus 1967di Bangkok, Thailand.
Apa yang diraikan adalah sejumlah contoh yang menggambarkan bagaimana
peranan Indonesia di dalam percaturan internasional.
D. Pengaruh Globalisasi Terhadap Demokratisasi Sistem Politik Indonesia :
Demokratisasi Sistem Politik Luar Negeri Indonesia
Umumnya pembahasan mengenai demokratisasi lebih banyak menekankan pada
faktor-faktor domestik yang diduga akan menjadi faktor pendukung ataupun
penghambat proses demokratisasi. Keumuman ini terjadi karena beberapa alasan.
Diantaranya adalah bahwa aktor-aktor politik dalam proses demokratisasi
senantiasa berkonsentrasi untuk usaha-usaha mengkonsolidasi kekuasaannya
masing-masing. Karena itu, proses-proses politik di masa transisi cenderung
bersifat inward-looking. Selain itu, kuatnya kecenderungan untuk menganalisis
proses demokratisasi melalui lensa dinamika politik domestik juga terjadi karena
adanya anggapan bahwa pada akhirnya aktor-aktor politik domestiklah yang akan
menentukan tindakan politik apa yang akan diambil.
Akan tetapi, situasi ketidakpastian yang melingkupi setiap proses transisi politik
sebetulnya membuat sebuah negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat
mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pengaruh internasional dari
sebuah proses demokratisasi bisa terjadi dalam beberapa bentuk: contagion,
control, consent dan conditionality. Contagion terjadi ketika demokratisasi di
sebuah negara mendorong gelombang demokratisasi di negara lain. Proses
demokratisasi di negara-negara Eropa Timur setelah Perang Dingin usai dan juga
gelombang demokratisasi di negara-negara Amerika Latin pada tahun 1970-an
merupakan contoh signifikan.
Mekanisme control terjadi ketika sebuah pihak di luar negara berusaha
menerapkan demokrasi di negara tersebut. Misalnya Doktrin Truman 1947
mengharuskan Yunani untuk memenuhi beberapa kondisi untuk mendapatkan
status sebagai ‘negara demokrasi’ dan karenanya berhak menerima bantuan anti
komunisme dari Amerika Serikat.
Bentuk ketiga, consent, terjadi ketika ekspektasi terhadap demokrasi muncul dari
dalam negara sendiri karena warga negaranya melihat bahwa sistem politik yang
lebih baik, seperti yang berjalan di negara demokrasi lain yang telah mapan, akan
bisa juga dicapai oleh negara tersebut. Dengan kata lain, pengaruh internasional
datang sebagai sebuah inspirasi yang kuat bagi warga negara di dalam negara itu.
Kasus yang paling sering disebut dalam hubungannya dengan hal ini adalah
reunifikasi Jerman Timur dengan Jerman Barat. Bentuk keempat dari dimensi
internasional dalam proses demokratisasi adalah conditionality, yaitu tindakan yang
dilakukan organisasi internasional yang memberi kondisi-kondisi tertentu yang
harus dipenuhi negara penerima bantuan.
Keempat bentuk di atas menggambarkan proses outside-in, dimana dorongan
demokratisasi datang dari luar batas sebuah negara. Proses lain yang mungkin
terjadi adalah proses inside-out, yaitu proses dimana negara yang tengah
mengalami proses demokratisasi menggunakan diplomasi dan politik luar negeri
untuk mengkonsolidasikan demokrasinya. Dalam studinya mengenai bagaimana
negara-negara demokrasi baru menggunakan politik luar negerinya, Alison Stanger
menemukan bahwa proses transisi bisa dipertahankan arahnya ketika negara-
negara demokrasi baru ‘membawa dirinya lebih dekat kepada negara-negara
demokrasi yang lebih mapan.
Dua alasan bisa dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, politik luar
negeri bisa digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari
rezim autoritarian yang digantikannya. Kedua, sebagai konsekuensi dari alasan
pertama, prospek bagi kerjasama internasional, terutama dengan negara-negara
yang mapan demokrasinya akan semakin baik dan pada akhirnya memberi
kontribusi positif bagi proses konsolidasi internal.
E. Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia di Masa Transisi Demokrasi
a. Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie
Indonesia yang tengah meniti jalan menuju demokrasi mengalami kedua aspek
outside-in dan inside-outseperti dipaparkan diatas. Sampai derajat tertentu
misalnya, conditionality yang diterapkan IMF berkenaan dengan bantuan keuangan
pada masa krisis ekonomi berpengaruh baik secara langsung ataupun tidak
langsung terhadap perjalanan demokratisasi di Indonesia.
Dalam kaitannya dengan konteks inside-out, politik luar negeri Indonesia sejak
kejatuhan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 tidak dapat dilepaskan dari
perubahan politik secara masif yang mengikuti kejatuhan pemerintahan otoritarian
tersebut. Pemerintahan Habibie, yang menggantikan Suharto, merupakan salah
satu contoh tepat untuk menggambarkan pertautan antara proses demokratisasi
dan kebijakan luar negeri dari sebuah pemerintahan di masa transisi.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang
cukup serius. Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional
melalui beragam cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua
Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia.
Pertama adalah UU no.5/1998 mengenai Pengesahan Convention against Torture
and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan UU
no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the Elimination of All Forms of
Racial Discrimination 1965. Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil
mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja.
Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie
yang pendek tersebut.
Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi
perhatian masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi
yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya
legitimasi dari kalangan domestik. Hubungan Habibie dengan lembaga
International Monetary Fund (IMF) dapat dijadikan ilustrasi yang menarik dalam
hal ini. Sebelumnya, IMF mendesak Suharto untuk menghentikan proyek
pembuatan pesawat Habibie yang berbiaya tinggi pada bulan Januari 1998, tepat
ketika suhu politik dan keberlangsungan pemerintahan Suharto sedang
dipertanyakan. Akan tetapi, belakangan ketika ia berkuasa, Habibie mendapatkan
kembali kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia.
Kedua lembaga tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk
mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan
tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar.
Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik
tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian
kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi
kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi
menuju demokrasi dimulai.
Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar
negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan
pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur
menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama
mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran
untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal
ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan
menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai
solusi final atas masalah Timor Timur.
Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat
yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998
kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan
memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa
surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan
nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun,
Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan
di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya
otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah
dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie
sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus
karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak
konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap
sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur
merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto,
panglima TNI pada masa itu.
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun
domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam
pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan
refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada
tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen
nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin
Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk
memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya,
citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal
sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi
segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
b. Masa Pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid
Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi
menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama
terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur
seperti di uraikan diatas juga menjadi contoh penting yang memperlihatkan
keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal
(diplomasi dan politik luar negeri).
Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara
pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power
struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari
usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya.
Entry point yang digunakan oleh presiden Wahid adalah persoalan Timor Timur.
Komisi khusus yang dibentuk oleh PBB menyimpulkan bahwa kerusuhan di Timor
Timur setelah referendum 1999 direncanakan secara sistematis. Lebih jauh Komisi
tersebut menyatakan dengan jelas bahwa TNI dan milisi pro integrasi merupakan
dua pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut.
Dengan laporan sedemikian, sangat mungkin sekjen PBB akan memberi
rekomendasi pada Dewan Keamanan untuk membentuk pengadilan internasional
untuk mengadili pejabat TNI yang dinilai bertanggung jawab, termasuk Wiranto.
Pada saat yang hampir bersamaan, KPP HAM yang dibentuk presiden Wahid untuk
menginvestigasi peristiwa di Timor Timur pasca referendum juga melaporkan
temuannya bahwa TNI dan milisi melakukan pelanggaran HAM serius di Timor
Timur dan merekomendasikan Jaksa Agung untuk memeriksa anggota TNI yang
terlibat, termasuk Wiranto.
Menyikapi laporan ini, Wahid menyatakan dari Davos saat ia menghadiri World
Economic Forum bahwa ia akan meminta Wiranto mundur dari jabatan Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan dalam kabinetnya. Wiranto menyatakan
penolakannya untuk mundur dari kabinet dan akibatnya memunculkan spekulasi
kemungkinan kudeta oleh TNI.
Spekulasi ini antara lain muncul karena sebelumnya duta besar Amerika Serikat
untuk PBB Richard Holbrook mengungkapkan kekhawatiran pemerintah AS bahwa
TNI tidak mendukung investigasi atas kasus pelanggaran di Timor Timur dan
bahkan mempersiapkan pengambil alihan kekuasaan. Untuk menolak kecurigaan
ini, para kepala staff dari semua angkatan memberi pernyataan bahwa TNI tidak
memiliki rencana untuk menjatuhkan pemerintahan Wahid. Bahkan Panglima
Daerah Militer Jakarta ketika itu, Mayor Jenderal Ryamizard Ryacudu menyatakan
bahwa TNI tetap loyal kepada presiden Wahid sebagai panglima tertinggi. Bahkan
ia memberi pernyataan menarik yaitu:
TNI could have toppled the government of former President Habibie over the East
Timor issue. We were able to stage a coup at that time out of our deep sorrow that
the president wanted to let go of East Timor at the expense of our sacrifice to keep
the territory of Indonesia for years.
Pada akhirnya, keputusan untuk memberhentikan Wiranto mendapat dukungan
penting dari ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais dan ketua
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Akbar Tanjung. Patut diingat bahwa presiden
Wahid secara terus menerus menggunakan kredibilitasnya di dunia internasional
sebagai tokoh pro-demokrasi untuk mendapatkan dukungan atas berbagai
kebijakannya mengenai TNI ataupun penanganan kasus separatisme yang
melibatkan TNI. Keputusan pemberhentian Wiranto, misalnya, diungkapkan kepada
publik ketika Sekjen PBB Kofi Annan berada di Jakarta. Bahkan dalam konferensi
persnya di istana presiden setelah bertemu Wahid, Kofi Annan menyatakan bahwa
‘the decision [onWiranto] has proven that Indonesia had taken on responsibility to
ensure that those responsible for the atrocities in East Timor would be made
accountable’.
Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya
yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik
dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk
dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia
seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.
c. Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri
Seperti pendahulunya Abdurrahman Wahid, Megawati juga secara ekstensif
melakukan kunjungan ke luar negeri. Sebagai presiden, Megawati antara lain
mengunjungi Rusia, Jepang, Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis
Umum PBB, Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia,
Libya, Cina dan juga Pakistan. Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai
kunjungannya tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai
lawatan tersebut. Diantaranya adalah kontroversi pembelian pesawat tempur
Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati
ke Moskow.
Selain berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri Indonesia selama
masa pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa nasional
maupun internasional. Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika
Serikat, pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003,
penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan Ingrris dan juga operasi
militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa variabel yang
mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.
ariabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang
melawan terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam
kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai
perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi, seiring
dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan momentum
untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi
aktif pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan
diplomasi di masa pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh struktur yang
memadai dan substansi yang cukup. Di masa pemerintahan Megawati, Departemen
Luar Negeri (Deplu) sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia telah melakukan
restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor
domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami bahwa diplomasi
tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional
Indonesia keluar, tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan
perkembangan dunia luar ke dalam negeri.
Restrukturisasi ini sangat tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu
cepat, terutama setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Perubahan cepat ini memaksa setiap negara untuk mampu beradaptasi dan
mengelola arus perubahan tersebut.
1. F. Demokrasi dan Politik Luar Negeri di Masa Transisi: Mencari Benang
Merah
Tidak bisa ditolak bahwa demokratisasi dan perubahan politik mendalam terus
berlangsung di semua aspek sosial politik di Indonesia. Perubahan tersebut bahkan
menyentuh bidang diplomasi dan politik luar negeri yang selama ini dianggap
murni merupakan kewenangan penuh pihak eksekutif. Di masa pemerintahan Orde
Baru yang otoritarian, konsultasi antara pemerintah dengan DPR dan kalangan
publik mengenai kebijakan luar negeri dan diplomasi hanya terjadi dalam level yang
sangat minimal. Karena itu, perumusan kebijakan diplomasi dan politik luar negeri
yang melibatkan semakin banyak aktor akan membuka kemungkinan bahwa setiap
kebijakan dalam dua bidang tersebut akan merepresentasikan kepentingan nasional
secara lebih luas.
Sementara itu, kritik terhadap politik luar negeri sebuah pemerintahan transisi,
sebagaimana dialami ketiga pemerintahan yang diuraikan diatas, adalah hal yang
umum terjadi. Seperti ditulis Neil Malcom dan Alex Pravda dalam bukunya
Democratization and Russian Foreign Policy (1999), partai oposisi selalu
menjadikan politik luar negeri sebagai target karena ia merupakan arena terbuka
yang proses perumusannya dilihat sebagai monopoli pemerintah yang berkuasa.
Akibatnya, mudah diidentifikasi kekuatan atau kelemahan politisnya.
Sementara itu, realitas kontemporer kita yang merupakan buah dari proses
demokratisasi memperlihatkan bahwa sentra kekuasaan telah mengalami
diversifikasi. Konsekuensinya, terjadi perubahan dalam berbagai proses
pengambilan keputusan, termasuk dalam bidang politik luar negeri. Berkaitan
dengan hal ini, adalah penting bagi Deplu untuk menyadari bahwa ia bukanlah satu-
satunya instrumen diplomasi. Karena, input-input untuk sebuah kebijakan menjadi
amat beragam, baik isi ataupun sumbernya.
Sebagai contoh, berseberangannya pendapat antara pihak pemerintah dan
beberapa pihak di DPR dalam negosiasi masalah Aceh dengan GAM merupakan
fenomena sehat dalam bidang diplomasi sebuah negara yang demokratis. Robert
Putnam (1993) menyebutnya sebagai’double-edged diplomacy’[21], yaitu adanya
keharusan mereka yang terlibat dalam proses diplomasi untuk menyadari bahwa
diplomasi selalu memiliki dua dimensi: dalam dan luar negeri. Di dalam negeri,
langkah diplomasi dan kebijakan luar negeri secara imperatif harus mendapatkan
persetujuan sebanyak mungkin aktor politik, salah satunya adalah pihak legislatif.
Akan tetapi, pada saat yang sama, aktor-aktor politik di dalam negeri juga harus
menyadari bahwa dalam bidang diplomasi dan politik luar negeri, setiap kebijakan
juga penting untuk selalu memperhatikan harapan atas peran yang dinantikan dari
negara tersebut oleh negara-negara lain, baik dalam konteks regional ataupun
global.
Indonesia, pada level ASEAN, berkali-kali menjalankan peran sebagai pihak yang
mencoba menjembatani konflik di kawasan Asia Tenggara. Indonesia aktif
membantu mencari solusi damai dalam persoalan Spratly Island di Laut Cina
Selatan yang diklaim oleh beberapa negara ASEAN dan luar ASEAN, aktif
membantu penyelesaian konflik Kamboja, dan juga dalam isu domestik di Filipina
Selatan.
Peran tradisional ini kembali dimunculkan ketika Indonesia mengajukan konsep
pembentukan ASEAN Security Community (ASC). Fakta bahwa proposal ASC
datang dari Indonesia memperlihatkan bahwa politik luar negeri Indonesia
merupakan refleksi atas perubahan politik dalam negeri menuju kearah yang lebih
demokratis. Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang selalu menempatkan
penyelesaian konflik dengan cara damai sebagai pilihan utama.
ASC merupakan refleksi yang menempatkan diplomasi sebagai first-linerpertahanan
negara di masa damai. ASC yang digagas Indonesia tersebut bertujuan membentuk
sebuah masyarakat Asia Tenggara yang bersepakat untuk menjauhi penggunaan
kekerasan atau instrumen militer dalam menyelesaikan konflik. Karena itu, apabila
Indonesia tidak mampu secara konsisten menempuh jalan damai untuk
menyelesaikan persoalan di Aceh, bukan tidak mungkin Indonesia akan terjebak
dalam praktek standar ganda, yakni selalu mendorong penyelesaian damai dalam
persoalan yang dialami negara tetangga, namun menempuh cara kekerasan dalam
menghadapi persoalan dalam negeri sendiri. Praktek standar ganda semacam ini
yang akan memberi citra buruk di luar negeri.
Karena itu, aktor-aktor politik di luar Deplu harus menerima informasi yang cukup
dan perlu memahami bahwa situasi damai dan stabil di kawasan Asia Tenggara
sepenuhnya bersesuaian dengan kepentinganIndonesia. Situasi damai dan stabil
hanya akan dicapai apabila penyelesaian konflik secara damai, tanpa kekerasan,
telah disepakati menjadi norma bersama. Dan Indonesia telah menunjukan diri
sebagai penganjur penyelesaian damai dalam berbagai konflik di kawasan Asia
Tenggara sebagaimana dicontohkan di atas.
Pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri akan menjadi dorongan
untuk pencitraan diri sebagai negara demokratis di dalam negeri. Pengalaman
transisi demokrasi di negara-negara Eropa Timur seperti Hongaria dan Polandia
memperlihatkan bahwa pencitraan diri sebagai negara demokratis melalui politik
luar negeri dapat memberi dorongan substansial bagi proses konsolidasi di dalam
negeri.
Preseden baik telah dicapai dalam sikapIndonesiasaat menolak aksi unilateralisme
dalam isu Irak. SikapIndonesiadalam forum internasional konsisten dengan sikap
sebagian besar masyarakatIndonesiayang menolak perang. Bahkan melalui
diplomasi publiknya, Deplu bersama-sama elemen masyarakat dan tokoh agama
aktif mengkampanyekan suara anti perang dan memilih prinsip multilateralisme.
Dalam isu Irak tersebut semakin terlihat bahwa suara publik kian menjadi elemen
penting dalam politik luar negeriIndonesia.
Politik Luar Negeri RI pada Orde Baru (Soeharto)
OPINI | 09 January 2013 | 12:24 Dibaca: 4833 Komentar: 0 0
Era Orde Baru merupakan salah satu rezim pemerintahan yang terlama di Indonesia. Yaitu berlangsung selama kurun waktu tiga dekade, dari tahun 1968 hingga tahun 1998. Rezim ini secara kontinyu dipimpin oleh Jenderal Soeharto yang dipilih oleh MPRS untuk menempati posisi Presiden RI yang sebelumnya dijabat oleh Ir. Soekarno. Sehingga kemudoian secara otomatis, Soeharto menjadi pimpinan tertinggi dalam politik luar negeri Indonesia selama era Orde Baru.
Politik luar negeri pada Orde Baru banyak dianggap sebagai antitesa dari politik luar negeri Orde Lama yang bersifat high profile, revolusioner dan tegas. Pada era ini, sifat dan sikap politik luar negeri ndonesia mengalami sejarah dinamika yang panjang. Soeharto sebagai putra dari garis pertahanan NKRI memiliki karakter kepemimpinan yang mengutamakan visi dan misi jangka panjang. Ia terkenal pandai dalam hal mengatur strategi, detail dan cerdas dalam mengolah kesempatan. Berbeda dengan Soekarno yang hangat dan populer, Soeharto cenderung muncul
sebagai sosok yang formal dan tidak hangat dalam bergaul. Hal ini justru menjadikan tindakan yang diambil Soeharto dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia cenderung efisien dan tidak pandang bulu. Gaya kepemimpinannya sangat terpusat dan banyak mengerahkan militer sebagai garda utama. Hal ini kemudian membawa pada sistem kenegaraan yang cenderung otoriter dan tersentralisasi. Pada tahun 1965 hingga 1980-an, politik luar negeri Indonesia cenderung bersifat low profile tanpa banyak manufer namun konsisten. Namun ketika memasuki pertengahan 1980-an hingga 1998, politik luar negeri Indonesia kembali menunjukkan sifat high profile yang aktif namun tidak menentu[1].
Banyak perubahan arah yang dilakukan Soeharto terkait politik luar negeri Indonesia terutama melalui sisi pendekatan yang dipilih. Sejumlah kebijakan yang konfrontatif yang dulu banyak diambil pada era Orde Lama kemudian dialihkan menjadi kebijakn yang cenderung bersahabat. Dimulai dengan penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia – Malaysia pada 11 Agustus 1966 di Jakarta. Kemudian dilanjutkan dengan aktifnya kembali keanggotaan Indonesia di PBB dan pemberian usulan tentang pembentukan sebuah hubungan persahabatan di antara negara- negara di Asia Tenggara dalam sebuah forum kerjasama bernama ASEAN. Meskipun pada awalnya terdapat keraguan dari beberapa negara seperti Malaysia dan Filipina terhadap usulan Indonesia ini, namun pada akhirnya mereka setuju sehingga dapat terbentuklah ASEAN seperti yang saat ini berdiri.
Soeharto banyak melakukan perbaikan hubungan luar negeri Indonesia terutama dengan pihak Barat. Pemerintahan Orde Baru yang mendukung pembangunan ekonomi menyadari kebutuhan akan bantuan dan dukungan dari negara- negara Barat. Sehingga profil keras yang muncul pada rezim sebelumnya diganti dengan profi yang lebih lunak dan bersahabat dengan negara-negara Barat. Hasilnya, pemerintah Orde Baru mendapatkan dukungan dari berbagai negara Barat yang lebih diarahkan kepada pembangunan ekonomi dalam negeri. Pertengahan tahun 1980-an kemudian menjadi momen dimana Indonesia berhasil menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dikawasan Asia Tenggara. Bahkan Indonesia sempat disebut sebagai the next asian tiger dalam pembangunan ekonomi akibat dominasinya di kawasan Asia Tenggara dan juga dalam kerjasama ASEAN. Pendekatan low profile ini juga mengubah citra Indonesia menjadi negara yang bersahabat dan dapat dipercaya. Tak pelak kemudian sejumlah prestasi pernah diraih Indonesia berkaitan dengan politik luar negeri, antara lain ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI), ketua Gerakan Non Blok dan Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).
Namun di sisi lain, Indonesia justru membekukan hubungan dengan negara- negara komunis terutama China berkaitan dengan peristiwa G 30 S PKI yang kelam di akhir masa kepemimpinan Soekarno. Walaupun demikian pada tahun 1990, Indonesia membuka kembali hubungan dengan China karena alasan ekonomi[2]. Kebijakan ini diambil untuk meredam sentiment dalam negeri terhadap komunis dan juga membuka hubungan baik dengan Barat. Hal ini berkaitan erat dengan kepentingan nasional Indonesia pada saat itu, yaitu untuk menciptakan stabilitas nasional dari segi ekonomi dan politik, kesejahteraan rakyat, penyelesaian hutang- hutang luar negeri dan melakukan pembangunan nasional yang sempat tertinggal pada rezim sebelumnya. Jika pada era Orde Baru politik luar negeri lebih focus pada ranah global, maka pada era Orde Baru focus politik luar negeri secara bertahap bergerak dari ranah regional kemudian ke ranah global. Instrumen yang sering digunakan untuk memenuhi kepentingan nasional ialah investasi swasta, diplomasi untuk bantuan dan dukungan asing, perdagangan bebas, kekuatan militer dan daya tahan regional[3]. Pada tahap
ini, Indonesia secara konsisten dan dengan tenang menunjukkan kemajuan yang pesat dalam segi ekonomi dan pembangunan.
Sayangnya, sikap low profile dalam kebijakan politik ternyata tidak terjadi di dalam negeri. Pemerintahan Soeharto memiliki sikap yang sangat tegas dan keras terhadap rakyat Indonesia dan menyebabkan demokrasi mati di dalam negeri. Sentralisasi dalam pemerintahan terjadi dan lambat laun memicu banyak perpecahan di tubuh NKRI. Terjadi banyak gerakan separatis seperti di Timor- Timur, Aceh dan Irian Jaya yang disikapi dengan gerakan represif dari militer. Hal inilah yang kemudian menjadi hambatan dalam perkembangan politik luar negeri Indonesia pada era Orde Baru. Diplomasi professional yang awalnya sudah konsisten dijalani Indonesia kemudian bergeser menjadi security diplomacy yang menempatkan tokoh- tokoh militer sebagai duta besar negara. Pada titik inilah militer benar- benar banyak berperan dalam politik lyar negeri Orde Baru yang kemudian menjadi high profile.
Secara umum, keberhasilan yang berhasil diraih dalam era Orde Baru antara lain:
1. Perbaikan citra Indonesia sebagai negara yang stabil secara ekonomi dan politik
2. Perbaikan citra Indonesia sebagai negara yang bersahabat dan tidak konfrontatif
3. Indonesia berhasil menginisiasi berdirinya organisasi regional Asia Tenggra, ASEAN
4. Indonesia berhasil meraih posisi ketua di Organisasi Konferensi Islam (OKI), Gerakan Non Blok dan Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).
5. Perbaikan hubungan luar negeri Indonesia dengan negara- negara Barat dan negara- negara tetangga
6. Banyak dukungan ekonomi yang mengalir ke dalam negeri sehingga tercipta stabilitas ekonomi nasional
Hambatan yang kemudian muncul pada masa Orde Baru antara lain:
1. Isu disintegrasi nasional memicu pada instabilitas politik
2. Kurangnya kepercayaan internasional terhadap Indonesia yang sudah stabil membuat proses perbaikan citra berjalan bertahap
3. Demokrasi yang masih tersendat di dalam negeri
4. Terdapat gesekan- gesekan horizontal yang ditekan secara represif dengan kekuatan militer
Sebelumnya kita sudah membahas Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Dalam Negeri Pada Pemerintahan Orde Baru
Langkah-langkah yang diambil oleh Kabinet Ampera dalam menata kembali politik luar negeri, antara lain sebagai berikut.
a. Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan tercatat sebagai anggota ke-60. Sebagai anggota PBB, Indonesia telah banyak memperoleh manfaat dan bantuan dari organisasi internasional tersebut. Manfaat dan bantuan PBB, antara lain sebagai berikut.
1. PBB turut berperan dalam mempercepat proses pengakuan de facto ataupun de jure
kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional.
2. PBB turut berperan dalam proses kembalinya Irian Barat ke wilayah RI.
3. PBB banyak memberikan sumbangan kepada bangsa Indonesia dalam bidang ekonomi,
sosial, dan kebudayaan.
Hubungan yang harmonis antara Indonesia dan PBB menjadi terganggu sejak Indonesia menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB pada tanggal 7 Januari 1965. Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB tersebut sebagai protes atas diterimanya Federasi Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, sedangkan Indonesia sendiri pada saat itu sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Akibat keluar dari keanggotaan PBB, Indonesia praktis terkucil dari pergaulan dunia. Hal itu jelas sangat merugikan pihak Indonesia.
b. Penghentian Konfrontasi dengan Malaysia
Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia setelah diumumkan Dwikora oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964. Tindakan pemerintah Orde Lama ini jelas menyimpang dari pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif.
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia dikembalikan lagi pada politik bebas aktif sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini merupakan pelaksanaan dari Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966. Indonesia segera memulihkan hubungan dengan Malaysia yang sejak 1964 terputus. Normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia tersebut berhasil dicapai dengan ditandatangani Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966. Persetujuan normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia merupakan hasil perundingan di Bangkok (29 Mei–1 Juni 1966).
Perundingan dilakukan Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Malaysia, Tun Abdul Razak dan Menteri Utama/Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik. Perundingan telah menghasilkan persetujuan yang dikenal sebagai Persetujuan Bangkok. Adapun persetujuan Bangkok mengandung tiga hal pokok, yaitu sebagai berikut.
1. Rakyat Sabah dan Serawak akan diberi kesempatan menegaskan lagi keputusan yang telah
diambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
2. Kedua pemerintah menyetujui memulihkan hubungan diplomatik.
3. Kedua pemerintah menghentikan segala bentuk permusuhan.
c. Pembentukan Organisasi ASEAN
Association of Southeast Asian Nations atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau dikenal dengan nama ASEAN. ASEAN merupakan organisasi regional yang dibentuk atas prakarsa lima menteri luar negeri negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kelima menteri luar negeri tersebut adalah Narsisco Ramos dari Filipina, Adam Malik dari Indonesia, Thanat Khoman dari Thailand, Tun Abdul Razak dari Malaysia, dan S. Rajarat-nam dari Singapura. Penandatanga-nan naskah pembentukan ASEAN dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok sehingga naskah pembentukan ASEAN itu disebut Deklarasi Bangkok.
Syarat menjadi anggota adalah dapat menyetujui dasar dan tujuan pembentukan ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi ASEAN. Keanggotaan ASEAN bertambah seiring dengan banyaknya negara yang merdeka. Brunei Darussalam secara resmi diterima menjadi anggota ASEAN
yang keenam pada tanggal 7 Januari 1984. Vietnam diterima menjadi anggota ASEAN ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Sementara itu, Laos dan Myanmar bergabung dengan ASEAN pada tanggal 23 Juli 1997 dan menjadi anggota kedelapan dan kesembilan. Kampuchea menjadi anggota ASEAN yang kesepuluh pada tanggal 30 April 1999. ASEAN mempunyai tujuan utama, antara lain:
1. meletakkan dasar yang kukuh bagi usaha bersama secara regional dalam mempercepat
pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan perkembangan kebudayaan;
2. meletakkan landasan bagi terwujudnya suatu masyarakat yang sejahtera dan damai di
kawasan Asia Tenggara;
3. memberi sumbangan ke arah kemajuan dan kesejahteraan dunia;
4. memajukan perdamaian dan stabilitas regional dengan menghormati keadilan, hukum, serta
prinsip-prinsip Piagam PBB;
5. memajukan kerja sama aktif dan tukar-menukar bantuan untuk kepentingan bersama dalam
bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi;
6. memajukan pelajaran-pelajaran (studies) tentang Asia Tenggara;
7. memajukan kerja sama yang erat dan bermanfaat, di tengah-tengah organisasi-organisasi
regional dan internasional lainnya dengan maksud dan tujuan yang sama dan menjajaki
semua bidang untuk kerja sama yang lebih erat di antara anggota.
Dasar kerja sama ASEAN adalah:
1. saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, integritas teritorial, dan identitas
semua bangsa;
2. mengakui hak setiap bangsa untuk penghidupan nasional yang bebas dari ikut campur
tangan, subversi, dan konversi dari luar;
3. tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing;
4. menyelesaikan pertengkaran dan persengketaan secara damai;
5. tidak menggunakan ancaman dan penggunaan kekuatan;
6. menjalankan kerja sama secara efektif.