Kebijakan Moneter - Kelompok 4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

paper tentang kebijakan moneter di indonesia

Citation preview

TEORI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Disusun oleh:

1) Cahya Budi Kurniawan

2) Tesalonika Broery Agustin

3) Yosinta Swastika

4) Yuli Setyowati

KELAS 8D DIPLOMA IV AKUNTANSI KURIKULUM KHUSUS

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

2013

BAB I

PENDAHULUAN

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengklasifikasikan kebijakan ke dalam kata benda yang antara lain bermakna rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpindan dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb. Selain itu, kebijakan juga memiliki arti sebagai pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Sedangkan moneter masuk ke dalam klasifikasi kata sifat dengan definisi mengenai, berhubungan dengan uang atau keuangan.Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kebijakan moneter sebagai semua tindakan pemerintah, bank-bank sentral, dan otoritas publik yang lain yang mempengaruhi kuantitas kredit bank; keputusan bank sentral mengenai penawaran uang agar ekonomi dapat tumbuh lebih cepat, antara alin dengan memberikan kredit lebih banyak pada system perbankan melalui operasi pasar terbuka atas dengan menurunkan persyaratan cadangan dari sistem perbankan.

Secara sederhana, kebijakaan moneter merupakan proses mengatur persediaan uang sebuah Negara untuk mencapai tujuan tertentu seperti menahan inflasi, mencapai kondisi pekerja penuh (full employment) atau lebih sejahtera. Dengan demikian, teori kebijakan moneter mempunyai hubungan yang erat dengan teori ilmu ekonomi, termasuk Teori Perilaku Konsumen, Teori Perilaku Produsen, dan Teori Keseimbangan Umum.Teori moneter ini menggunakan dasar asumsi yang sama dengan yang digunakan dalam teori ekonomi ortodoks, menanyakan hal yang sama, serta menggunakan konsep dan metode analisis yang sama. Adanya perkembangan dalam cabang Teori Ekonomi berdampak pada Ekonomi Moneter dan sebaliknya.Namun demikian, teori moeneter mempunyai kekhususan yang dimilikinya, dalam hal sejarah perkembangan, ekonomi moneter mengkhususkan pada pertanyaan tertentu dan beberapa konsep yang mempunyai pengaruh besar pada teori moneter dibandingkan cabang ilmu ekonomi lainnya.Salah satu contoh kaitan teori ekonomi dengan teori moneter adalah teori ekonomi menggunakan model untuk menyederhanakan perekonomian. Model di sini memiliki arti sebagai hubungan ekonomi dan perilaku dari para individu di dalam masyarakat terhadap perekonomian.Keseimbangan pasar uang dipengaruhi oleh faktor permintaan agregat dan penawaran agregat terhadap uang atau jumlah uang beredar. Apabila jumlah uang beredar semakin banyak, maka terjadi penurunan tingkat penghasilan dari kekayaan. Untuk mengurangi jumlah uang beredar, bank sentral perlu memberikan stimulus bagi individu untuk menyimpan uang dalam bentuk tabungan atau investasi, stimulus tersebut dapat berupa perubahan suku bunga bank. Di sinilah peran bank sentral sebagai pemilik otoritas dalam kebijakan moneter.BAB IITEORI KEBIJAKAN MONETER

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara yang umumnya bertujuan untuk menjaga dan memelihara kestabilan nilai uang dan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan guna meningkatkan taraf hidup rakyat (Aulia Pohan). Kebijakan moneter diarahkan kepada pengaturan jumlah uang beredar dalam masyarakat yang sejalan dengan perkembangan seluruh sektor ekonomi. Dengan kata lain, kebijakan moneter adalah proses dimana pemerintah, bank sentral, atau otoritas moneter suatu negara mengontrol supply uang, ketersediaan uang, dan suku bunga untuk mencapai pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Bank sentral adalah lembaga yang berwenang mengambil langkah kebijakan moneter untuk mempengaruhi jumlah uang beredar. Kebijakan moneter yang diimplementasikan oleh suatu negara bertumpu pada beragam teori moneter yang diambil oleh bank sentral yang disesuaikan dengan kondisi moneter negara tersebut agar perekonomian berjalan dengan baik.A. TEORI MONETERTeori moneter adalah berbagai pemikiran dan konsep tentang berbagai variabel moneter seperti uang, tingkat bunga, jumlah uang beredar, dan sejenisnya. Pembicaraan dalam teori moneter tidak dapat dilepaskan dari variabel ekonomi lainnya seperti inflasi, pendapatan nasional maupun nilai tukar. Teori moneter menggunakan berbagai model, khususnya model persamaan matematis dan grafik, untuk menyederhanakan fenomena di lapangan dan memudahkan penjelasannya. Model-model tersebut adalah sebagai berikut.a. Model persamaan matematis

MV = PT

dimana :

M : Jumlah uang

V : Velocity, Tingkat perputaran uang, yakni berapa kali suatu mata uangberpindah tangan

P : Harga barang

T : Volumen/Jumlah barang yang menjadi objek transaksi

b. Model Grafis

Gambar atau grafik di atas dapat meyederhanakan masalah dimana, apabila tingkat bunga keseimbangan (i0) dianggap rendah oleh sektor riil/pengusaha, maka mereka akan berlomba-lomba mengambil kredit untuk investasi, sehingga persaingan akan mendorong garis investasi naik atau bergeser ke kanan yang berakibat tingkat bunga naik menjadi (i1). Namun karena tingkat bunga tinggi, masyarakat akan berlomba-lomba untuk menabung dan akan melebihi keinginan investasi pegusaha, sehingga akan mendorong suku bunga kembali turun ke posisi semula (i0 ).

B. TEORI PERMINTAAN UANGSalah satu landasan yang menjadi dasar teori kebijakan moneter adalah aspek permintaan dan penawaran uang. Pada dasarnya nilai uang dapat diukur berdasarkan harga barang yang ada di sebuah negara. Dengan pemahaman ini, nilai uang dapat dibedakan menjadi :

a. Internal Value of Money

Menunjukkan jumlah komoditi yang dapat dibeli/diperoleh dengan sejumlah uang tertentu yang menunjukkan daya beli uang (Purchasing Power). Daya beli uang sangat ditentukan oleh harga barang tersebut, semakin tinggi hargakomoditi (barang dan jasa), maka semakin sedikit komoditi yang bisa diperoleh dengansejumlah uang, yang berarti daya beli (Purcahsing Power) akan menurun. Begitu pulasebaliknya, semakin rendah harga komoditi, maka semakin banyak jumlah komoditiyang bisa diperoleh, yang berarti daya beli uang tersebut meningkat. Kondisi ini dapatdijelaskan dengan model berikut ini.

N = 1/P

dimana :

N = Purchasing Power

P = Harga komoditi

b. External Value of Money

Menunjukkan nilai suatu mata uang bila diukur dengan mata uang dari negara lain atau disebut Exchange Rate, misalnya Rp 10.000,00 = US $ 1

Uang dicari dan dibutuhkan masyarakat sebagai alat transaksi, satuan hitung dan penyimpan nilai. Menurut Keynes, ada tiga motif seseorang menyimpan uang yaitu untuk keperluan transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi.a. Permintaan untuk transaksi

Dalam kehidupan sehari-hari, untuk memenuhi kebutuhan, setiap orang melakukan transaksi barang maupun jasa. Untuk melakukannya diperlukan uang tunai sebagai alat tukar/transaksi. Meskipun demikian, jumlah uang yang diperlukan seseorang untuk disimpan dalam rangka akan melakukan transaksi berbeda-beda bergantung pada besar kecilnya pendapatan seseorang. Begitu juga dalam skala makro, kebutuhan uang untuk transaksi bergantung dari permintaan agregat seluruh individu yang besarnya akan naik apabila pendapatan nasional juga naik.

b. Permintaan untuk spekulasi

Motif ini terutama berkaitan dengan instrumen keuangan lainnya. Permintaan terhadap uang akan meningkat apabila masyarakat melihat bahwa lebih menguntungkan memegang uang ketimbang menyimpannya dalam bentuk instrumen keuangan lain. Motif masyarakat memerlukan uang kas untuk spekulasi sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat bunga, semakin kecil keinginan masyarakat untuk memegang uang kas untuk tujuan spekulasi. Hal ini karena dengan tingginya suku bunga, biaya yang harus ditanggung masyarakat dengan memegang uang kas terlalu tinggi, sehingga masyarakat akan menguranginya. Kedua, Keynes memiliki hipotesis bahwa masyarakat memiliki anggapan akan adanya tingkat bunga normal, sehingga misalnya tingkat bunga yang saat ini ada dibawah tingkat bunga normal, maka masyarakat akan memperkirakan tingkat bunga tersebut akan segera naik ke tingkat yang normal, dan karena tingkat bunga naik, harga surat berharga akan turun sehingga masyarakat akan menjualnya, dan akibatnya keinginan untuk memegang uang kas akan naik. Contoh: apabila harga obligasi turun maka kecenderungan untuk membeli menjadi tinggi sehingga permintaan uang menurun. Menurut Milton Friedman, teori permintaan uang dapat dilihat melalui tingkah laku konsumen dan produsen dalam memenuhi kebutuhannnya. Dibandingkan instrumen keuangan lain, uang memiliki kemudahan dalam melakukan transaksi yang lebih besar. Akan tetapi instrumen keuangan memberikan keuntungan lebih besar daripada menyimpan dalam bentuk uang tunai, karena itu besar suku bunga instrumen keuangan mempengaruhi tingkat permintaan uang. Selain itu, tingkat permintaan berhubungan secara negatif dengan tingkat inflasi, karena akan mempengaruhi pilihan/kecenderungan konsumen untuk berbelanja atau tidak berbelanja.c. Permintaan uang untuk berjaga-jaga

Yaitu motif menyimpan uang untuk kebutuhan mendadak. Tingkat permintaan untuk berjaga-jaga ini relatif konstan. Menurut Keynes, masyarakat memerlukan uang kas untuk berjaga-jaga, karena :

a) Transaksi pengeluaran seringkali terjadi lebih dahulu dari penerimaan/pendapatannya;b) Pengeluaran seringkali tidak dapat diperkirakan sebelumnya;c) Penerimaan yang diharapkan tidak jadi diterima; dand) Pengeluaran yang terjadi sangat penting dan menguntungkan untuk dilakukan.Berdasarkan pendekatan real money balance, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan uang, yaitu:

pendapatan nasional; tingkat bunga; tingkat inflasi; dan permintaan sebelumnya.Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terkait tingkat permintaan uang, didapatkan kesimpulan sebagai berikut.1. Permintaan masyarakat akan uang dalam kurun waktu jangka panjang relatif stabil.

2. Semakin tinggi tingkat monetisasi suatu perekonomian, peranan uang sebagai alat transaksi semakin tinggi sehingga koefisien variabel pertumbuhan ekonomi dalam persamaan permintaan uang semakin besar.

3. Semakin berkembang pasar uang dalam satu perekonomian, semakin besar pengaruh tingkat suku bunga terhadap tingkat permintaan uang.C. TEORI PENAWARAN UANGUang Kartal (C) : Uang kertas/logam yang dikeluarkan oleh otoritas moneter.

Uang Giral (D) : Simpanan milik sektor swasta domestik pada Bank Pencipta Uang Giral (BPUG) yang setiap saat dapat ditukarkan dengan uang kartal sesuai nominalnya.

Uang Kuasi (T) : Simpanan milik sektor swasta domestik pada BPUG yang dapat memenuhi fungsi-fungsi uang yaitu satuan hitung, penyimpan kekayaan dan alat pembayaran yang ditangguhkan tetapi untuk sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar.

Dari sisi penawaran ada dua hal yang menentukan jumlah penawaran uang yaitu uang primer (kewajiban otoritas moneter) dan angka pengganda uang (money multiplier).

a. Uang Primer

Uang primer adalah kewajiban moneter dari otoritas moneter kepada BPUG berupa kas BPUG dan simpanan giro BPUG pada bank sentral serta kewajiban moneter kepada sektor swasta domestik (berupa uang kartal dan simpanan sektor swasta domestik pada bank sentral). Dengan kata lain, uang primer adalah :

uang kartal (C);

simpanan giro milik sektor swasta domestik; dan alat-alat likuid yang dimiliki BPUG yang terdiri dari kas BPUG dan simpanan giro BPUG pada Bank Sentral.Uang primer merupakan inti penciptaan uang, karena tanpa uang primer, tidak akan ada uang kartal dan uang giral. Uang primer tercipta melalui transaksi antara perbankan dan bank sentral. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya uang primer adalah:

transaksi yang berkaitan dengan penerimaan/pembayaran luar negeri yang mempengaruhi perubahan tagihan luar negeri bersih dalam neraca bank sentral;

defisit APBN yang dibiayai melalui pinjaman pemerintah dan bank sentral atau sering disebut juga penciptaan uang baru; kredit langsung dari bank sentral kepada badan/lembaga tertentu; dan kredit likuiditas dari bank sentral kepada bank-bank umum.

b. Mekanisme penciptaan uang

Terjadinya uang giral dan uang kuasi dapat melalui tiga cara :

1. Melalui subtitusi

Penyetoran uang kartal untuk dimasukkan dalam rekening giro/deposito berjangka/tabungan.

2. Melalui transformasi

BPUG mendiskontokan wesel atau membeli surat berharga kemudian membukukan harga wesel yang didiskonto/surat berharga yang dibeli ke rekening giro atas nama bersangkutan atau membukukannya sebagai deposito berjangka/tabungan.

3. Melalui pemberian kredit

BPUG memberikan kredit kepada nasabahnya dan membukukan kredit yang diberikan ke rekening giro atas nama debitur.

c. Angka Pelipatgandaan Uang

Mekanisme dan penciptaan uang giral dari uang primer besarnya dipengaruhi oleh angka pelipatgandaan uang. Determinan-determinan angka pelipatgandaan meliputi empat jenis, yaitu sebagai berikut :

1. Currency ratio atau C/D, yaitu rasio uang kartal terhadap uang giral

2. Time and savings deposits ratio atau T/D, yaitu rasio deposito berjangka dan tabungan terhadap uang giral

3. Reserve ratio atau reserves requirement yang dilambangkan dengan RR/(D+T)

4. Excess reserve ratio atau ER/(D+T)Currency ratioJumlah uang yang ditahan seseorang tergantung biaya relatif atau manfaat relatif (opportunity cost) untuk penahanan uang dalam bentuk kartal atau giral. Rasio uang kartal terhadap uang giral mempunyai hubungan searah dengan biaya administrasi pemeliharaan rekening giro. Apabila biaya administrasi naik, rasio C/D naik. Sebaliknya rasio uang kartal terhadap uang giral mempunyai hubungan berlawanan arah dengan tingkat bunga rekening giro. Pada umumnya tingkat permintaan uang berhubungan positif dengan tingkat pendapatan masyarakat. Bila pendapatan naik, masyarakat akan lebih banyak menggunakan uang giral, karena lebih praktis dan aman dibanding uang kartal.

Time deposit ratio

Rasio uang kuasi terhadap uang giral berbanding terbalik dengan biaya untuk menahan uang kuasi relatif terhadap biaya menahan uang giral. Opportunity cost dari menahan uang kuasi adalah tingkat suku bunga surat berharga minus tingkat suku bunga uang kuasi. Opportunity cost penahanan uang giral adalah tingkat suku bungan surat berharga minus tingkat suku bunga uang giral. Dengan demikian rasio uang kuasi terhadap uang giral :

berbanding lurus dengan tingkat suku bunga uang kuasi, dan

berbanding terbalik dengan tingkat suku bunga uang giral.

Reserve requirement (RR) / Giro Wajib Minimum

RR dapat sewaktu-waktu diubah oleh bank sentral baik perubahan rasionya maupun komponennya. Perubahan RR akan mempengaruhi jumlah uang beredar melalui penurunan tingkat excess reserves dan angka pelipatgandaan uang.

Excess reserve ratioTingkat ER masing-masing bank berbeda, tergantung kebijakan masing-masing bank terkait likuiditas dan rentabilitasnya, walaupun juga dipengaruhi oleh kebijakan RR dari bank sentral.

D. KEBIJAKAN MONETER

Menurut Iswardono, kebijakan moneter merupakan suatu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Sehingga tujuan dari diterapkannya suatu kebijakan moneter adalah untuk mencapai keseimbangan internal, yaitu:

a. pertumbuhan ekonomi yang tinggi;b. stabilitas harga;

c. pemerataan pembangunan;dan juga keseimbangan eksternal yaitu:

a. keseimbangan neraca pembayaran; danb. kesempatan kerja.Apabila kestabilan dalam perekonomian terganggu maka kebijakan moneter dapat digunakan dalam rangka pemulihan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter akan dirasakan pertama kali oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer ke sektor riil. Kebijakan moneter berupaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan tetap menjaga kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut, bank sentral atau otoritas moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercipta kesempatan kerja yang tinggi, dan kelancaran dalam distribusi barang. Kebijakan moneter antara lain dilakukan dalam instrument-instrumen suku bunga, giro wajib minimum, intervensi di pasar valuta asing, dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas. Kebijakan moneter berhubungan dengan pengaturan uang edar di suatu negara. Pengaturan jumlah uang di masyarakat dilakukan dengan cara mengurangi atau menambah jumlah uang yang beredar. Dalam hal ini, kebijakan moneter terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Kebijakan Moneter Ekspansif (Monetary Expansive Policy), yaitu suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar dengan cara: menurunkan tingkat suku bunga; membeli surat-surat berharga; menurunkan cadangan kas; dan memberikan kredit longgar.

b. Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary Contractive Policy), yaitu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini terkenal dengan sebutan kebijakan uang ketat (tight money policy). Kebijakan ini dilakukan dengan cara: menaikkan suku bunga; menjual surat berharga; menaikkan cadangan kas; dan membatasi pemberian kredit.

Dalam menerapkan suatu kebijakan, idealnya seluruh tujuan dapat dicapai secara bersamaan. Akan tetapi pada kenyataannya ada tindakan yang menimbulkan dampak kontradiktif antara masing-masing sasaran. Contohnya apabila bank sentral menambah jumlah uang yang beredar dengan tujuan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja, namun berdampak juga terhadap meningkatnya inflasi. Sebaliknya dengan kebijakan moneter yang ketat mungkin dapat menunjang kestabilan harga namun di sisi lain dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Menyadari hal-hal yang bertolak belakang, dapat dipilih suatu alternatif untuk memprioritaskan salah satu target dengan mengabaikan target lain, ada juga alternatif untuk mengupayakan semua target tercapai walaupun tidak ada target yang tercapai secara optimal. Karena semua target sama pentingnya, maka pengambilan keputusan dalam kebijakan moneter selalu tidak mudah karena banyaknya faktor yang harus dipertimbangkan, namun demikian pengambilan keputusan tidak boleh dicampuri pertimbangan yang tidak relevan dan objektif. Oleh karena itu, dikeluarkanlah Undang-undang No. 23 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 3 tahun 2004 Tentang Bank Indonesia dimana di tetapkan tujuan Bank Indonesia adalah menjaga kestabilan harga, sehingga dalam mengambil kebijakan, BI tidak perlu kuatir akan kontradiktif dengan target lain.

Dalam memastikan bahwa kebijakan moneter tetap pada arahnya, diperlukan suatu indikator. Indikator tersebut umumnya terdiri dari dua variabel, yakni suku bunga dan atau uang beredar.

a. Tingkat suku bunga

Kebijakan moneter menggunakan tingkat suku bunga sebagai sasaran untuk menentukan tingkat yang ideal untuk mendorong kegiatan investasi. Apabila suku bunga melampaui yang ditetapkan, bank sentral akan segera melakukan ekspansi moneter agar suku bunga turun.

b. Uang beredar (money aggregate)

Kebijakan moneter yang menggunakan money aggregate mempunyai dampak positif yaitu kestabilan harga. Apabila terjadi gejolak dalam besaran moneter bank sentral akan melakukan konstraksi atau ekspansi moneter sedemikian rupa sehingga besaran moneter akan tetap pada suatu jumlah yang ditentukan. Apabila suku bunga yang dipilih sebagai sasaran, uang beredar akan bergejolak untuk mempertahankan tingkat suku bunga yang ditetapkan. Sebaliknya apabila jumlah uang beredar yang menjadi sasaran maka tingkat suku bunga akan bergejolak sesuai kekuatan pasar.Implementasi suatu kebijakan moneter dilakukan dengan menerapkan berbagai macam instrument moneter. Berikut adalah berbagai macam instrument dalam kebijakan moneter:

a. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities) oleh bank sentral. Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).Berdasarkan tujuannya, operasi pasar terbuka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

Dynamic open market operation, yang bertujuan untuk mengubah jumlah cadangan dan monetary base; Defensif open market operation, yang bertujuan untuk mengontrol faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi jumlah cadangan dan monetary base.

b. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.c. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.d. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

e. Foreign Exchange InterventionAdalah kebijakan bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar atau likuiditas di pasar uang melalui jual beli valuta asing atau cadangan devisa.f. Politik SaneringAdalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.Interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran terhadap uang akan menentukan kondisi pasar uang seperti tercermin pada perkembangan suku bunga dan jumlah uang beredar dalam perekonomian. Perkembangan pasar uang tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi sektor riil perekonomian. Sejalan dengan mekanisme transmisi tersebut, dalam kebijakan moneter, dikenal dua pendekatan yang digunakan oleh bank sentral dalam operasi kebijakan moneter, yaitu pendekatan kuantitas (monetary targeting) dan pendekatan harga (interest rate targeting).

Dalam pendekatan monetary targeting, bank sentral akan menggunakan uang beredar sebagai sasaran operasional. Untuk mencapai tujuan akhir seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, bank sentral akan mengendalikan uang beredar. Pendekatan melalui pengendalian suku bunga (interest rate targeting) berarti bank sentral akan mengendalikan suku bunga agar perekonomian searah dengan tujuan yang ditetapkan.a. Program Moneter

Untuk melaksanakan kebijakan moneter dengan baik, otoritas perlu membuat suatu proyeksi jumlah uang beredar yang lazim disebut proyeksi moneter. Proyeksi tersebut berguna untuk memberikan informasi tentang tindakan apa yang perlu diambil agar sasaran tersebut tercapai. Proyeksi moneter dan statistik uang beredar dituangkan dalam satu tabel yang dikenal dengan tabel program moneter.

b. Proyeksi Moneter

Langkah-langkah dalam penyusunan proyeksi moneter biasanya mengikuti tahapan sebagai berikut:

Menetapkan sasaran makro perekonomian untuk suatu periode yang akan dating; Proyeksi besar permintaan masyarakat akan uang untuk kebutuhan transaksi, berjaga-jaga dan spekulasi; dan Jumlah penawaran uang akan diatur oleh bank sentral agar sasaran ekonomi makro yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan baik.

c. Pengendalian Uang Beredar

Pada hakikatnya, pengendalian uang beredar oleh bank sentral dilaksanakan dengan mempengaruhi faktor-faktor penyebab perubahan uang beredar. Faktor meliputi net foreign assets (NFA), dan net domestic assets (NDA). NDA terdiri dari Net claims on government, net claims on official entities dan net claims on private sectors serta net on other items. Pengendalian kredit perbankan dilakukan melalui pengendalian reserves bank. Dengan mengendalikan reserve bank, bank sentral mengharapkan kredit perbankan dapat diatur dan konsisten dengan sasaran pertambahan jumlah uang yang beredar. Cara-cara yang ditempuh bank sentral dalam mengendalikan reserve bank adalah sebagai berikut.a) Pertama bank sentral memperkirakan besar kecilnya kewajiban segera bank-bank.b) Memperkirakan besarnya demand for reserve bank-bank.c) Membuat proyeksi mengenai supply of reserve money.Proyeksi supply of reserve dibandingkan dengan demand for reserve, apabila terjadi excess supply bank sentral dapat menyedot kelebihan tersebut, begitu juga sebaliknya.

Perbedaan mendasar antara interest rate targeting dengan monetary targeting adalah bahwa pada interest rate targeting digunakan suku bunga sebagai sasaran operasional sedangkan pada monetary targeting uang beredar yang menjadi sasaran operasional. Dalam kebijakan moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional, bank sentral meyakini melalui perubahan suku bunga, kegiatan ekonomi dan tujuan moneter dapat dicapai.Pelaksanakan kebijakan metode ini, diawali dengan penetapan tujuan akhir seperti inflasi. Tujuan ini disesuaikan dengan permintaan agregat dan penawaran agregat. Selanjutnya perkembangan ekonomi akan dipantau, apabila bank sentral menemukan gejala munculnya tekanan inflasi yang membahayakan tujuan inflasi yang ditetapkan, bank sentral akan menaikkan suku bunga.

BAB IIIPOTRET KEBIJAKAN MONETER INDONESIA

A. Sejarah Kebijakan Moneter di IndonesiaruPada rentang waktu 1945 hingga 1949 perkembangan perekonomian Indonesia amat sangat menyedihkan. Seluruh indikator makro ekonomi dengan tiada kecualinya dengan jelas bahwa kondisi jatuhnya ekonomi teramat dalam. Penurunan produksi yang penyebab utamanya adalah hancurnya faktor-faktor produksi akibat perang. Defisit neraca perdagangan terjadi beberapa tahun, defisit anggaran belanja Republik Indonesia dan Pemerintahan Hindia Belanda (pemeintahan buatan Belanda yang dibentuk di Indonesia) juga terjadi karena sebagian besar dipergunakan untuk bidang militer yang masing-masing kepentingannya untuk berperang diantara keduanya. Sehingga saat itu penambahan volume peradaran uang yang berlebihan akibat pencetakan yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan excess demand (permintaan berlebih) dari jumlah penawaran yang tetap dan terjadi inflasi yang sangat tinggi.

Data saat itu menunjukkan bahwa volume peredaran uang telah mencapai Rp. 6 miliar untuk wilayah yang dikuasai Indonesia, sedangkan pada wilayah penguasaan Belanda jumlahnya mencapai Rp. 3,7 miliar (tahun 1949).

Pada tahun yang sama terdapat berbagai jenis mata uang yang beradar dalam masyarakat yang berbeda-beda nilai tukarnya mengakibatkan situasi moneter menjadi teramat kacau (chaos) dan membigungkan. Kebijakan-kebijakan keuangan Negara di daerah tidak banyak perbedaan dengan kebijakan daerah pendudukan Belanda. Anggaran belanja kedua pemerintahan terus-menerus defisit hanya untuk memenuhi kebutuhan perang dengan tanpa memperbaiki kondisi perekonomian yang saat itu inflasi terlampau tinggi. Kendati demikian, pada tahun itu Amerika Serikat dalam rangka melaksanakan program Marshal Plan telah bersedia menyediakan dana bagi negara-negara Eropa untuk membantu memulihkan perkonomiannya. Karena Indonesia merupakan dependent territory dari Belanda (Nederland), maka berhak menerima baik langsung atau pada kondisi tertentu. Yang menjadi syarat pemberian bantuan tersebut adalah bahwa nilai lawan dalam mata uang Indonesia (pendudukan Belanda) harus disetor ke dalam sebuah rekening E.C.A. Counterpart Fund, yang mulai diberlakukan untuk tujuan selektif. Akibat hal itu, lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan luar negeri berlangsung di bawah suatu rezim devisa, yang telah diberlakukan pada pertengahan 1940. Pangkal pokoknya dari rezim devisa tersebut adalah bahwa devisa dan emas pada prinsipnya hanya diperkenankan dimiliki oleh negara. Dampak selanjutnya adalah valuta asing yang telah diperoleh dari hasil ekspor harus diserahkan kepada dana devisa.

Ekonomi moneter daerah kekuasaan Indonesia dengan secara langsung mengalami keadaan yang pasif, dimana hanya mampu memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan politik dan militer serta mengusahakan jaminal yang sangat minimal untuk kehidupan rakyat.

1. Peredaran Mata Uang di IndonesiaJumlah uang yang telah beradar di masyarakat pada saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de jure adalah jumlah uang tersebut ditambah dengan jumlah uang yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berikut adalah jenis-jenis mata uang yang telah diedarkan oleh pemerintahan Indonesia dan beberapa jenis mata uang yang beredar di Indonesia.Oeang Republik Indonesia (ORI) merupakan uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Kepentingan pencetakan ORI adalah untuk menggantikan uang Hindia Belanda dan uang Jepang yang telah lama beredar dan berlaku di Indonesia. Saat pengeluaran ORI berjalan penuh hambatan karena rencana pembuatan yaitu pada saat pemerintahan berada di Jakarta sedangkan ketika ORI sudah dikeluarkan pemerintahan berpindah ke Yogyakarta. Dalam fungsinya sebagai alat pembayaran revolusi, ORI dapat disamakan dengan continental money (greenbacks), yang dikeluarkan oleh negara-negara koloni di Amerika Serikat. ORI juga sebagai instrument of revolution karena dipergunakan untuk administrasi negara, memperkuat kebutuhan tentara, memelihara kemanan dan ketertiban, serta mensejahterakan rakyat.Ketika ORI akan diedarkan, pemerintah menarik kedua mata uang yang saat itu beredar di masyarakat. Tetapi menjadi hal yang tidak mungkin penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang terlalu besar, maka akan terjadi kekacauan perekonomian dan kerugian bagi masyarakat. Maka dari itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menarik mata uang Hindia Belanda dan Jepang secara berangsur. Tindakan yang dilakukan pertama kali adalah pelarangan orang membawa uang tersebut lebih dari f 1000 (uang Jepang) dari daerah Keresidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Priangan ke daerah-daerah lain di Jawa dan Madura, tanpa seizing terlebih dahulu dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal ini dilakukan pada tanggal 22 Juni 1946. Dan kemudian berangsur berkurang peredarannya hingga uang-uang tersebut disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai.ORI ditandatangani oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis pada tanggal 17 Oktober 1945 dan kemudian mulai beredar pada tanggal 30 Oktober 1946. Hanya bertahan selama 3 tahun 5 bulan atau tepatnya pada bulan Maret 1950 ORI kembali ditarik dari peredaran sehingga mata uang ini yang tidak sempat disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia dibuatlah jenis mata tiap daerah oleh Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan alat pembayaran yang sah sebagaimana disebutkan penyusun pada pembahasan sebelumnya. ORI pada akhir tahun 1949 telah mencapai volume Rp 6 miliar. Pemerintah saat itu sangat menyadari bahwa kebijakan deficit financing menyebabkan perkembangan inflasi yang sangat tinggi. Tetapi pemerintah berada dalam kondisi yang dilema disebabkan kebutuhan yang sangat besar untuk perang.tindakan-tindakan perpajakan sangat tidak mungkin dilakukan karena kondisi yang sangat tidak memungkinkan.

2. Dari BNI ke BIBerdasarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1946 tanggal 5 Juli 1946, Bank Negara Indonesia (BNI) ditetapkan sebagai Bank sirkulasi dan Bank sentral. Kendati demikian BNI juga sebagai Bank Umum.Dalam kondisi perekonomian Indonesia pasca proklamasi yang masih menyedihkan, BNI sebagai bank sentral dan bank sirkulasi tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai pengambil kebijakan moneter Indonesia secara maksimal. Kondisi perjuangan melawan penjajahan menyudutkan BNI untuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Walaupun sudah memenuhi wewenangnya dan berperan serta dalam penerbitan ORI, tetapi proses pengawalan moneter menjadi terbengkalai. Pengeluaran ORI dalam volume yang sangat banyak menyebabkan BNI tidak mampu mengendalikan arus inflasi yang terjadi akibat kelebihan permintaan pada jumlah penawaran yang tetap.BNI memiliki beberapa tugas dan wewenang dalam memlihara stabilitas moneter dan mengamankan pertumbuhan ekonomi. Beberapa kategorinya pekerjaan yang sangat luas tersebut termasuk kebijakan pembatasan perkreditan secara kuantitatif dan kualitatif; penetpan dan perubahan tingkat bunga; penentuan junlah uang beredar, dan yag diperkirakan diperlukan sesuai dengan pertumbuhan ekonomi tertentu. Sekali lagi, bahwa kondisi-kondisi yang penuh dengan kekacauan tugas-tugas tersebut tidajk dapat dipenuhi kecuali BNI pernah memberikan kredit ke berbagai bank-bank lain. Dalam aktivitasnya menjadi Bank Umum, BNI telah mampu menghimpun dana simpanan dari masyarakat hingga mencapai Rp 40 juta pada akhir 1947.Pembahasan tentang BNI sebagai bank sentral masuk dalam pembahsan di Konferensi Meja Bundar yang berlangsung pada tanggal 19 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan 31 Juli 2 Agustus 1949 di Jakarta. KMB menetapkan bahwa BNI ditentutak sebagai Bank Pembangunan. Ada banyak protes keras yang tujukan kepada pemerintah saat itu tentang persoalan ini. Ketidakjelasan penetapan pemerintah mengenai status BNI, BNI dengan inisiatif mengalihkan dirinya pada kegiatan ke bidang pembangunan ekonomi dan perdagangan, sehingga secara langsung fingsinya berubah menjadi murni sebagai bank umum. Penegasan status BNI sebagai bank umum melalui peraturan perundan-undangan ditetapkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 2 tahun 1955. Maka secara resmi status BNI sebagai bank sentral dan bank sirkulasi praktis bukan menjadi wewenangnya.Lahirnya Bank Indonesia (BI) merupakan kelanjutan dari penerapan undang-undang tentang nasionalisasi De Jaavasche Bank dengan pemindahan hak milik saham-saham tersebut dari tangan pemilik swasta ke tangan pemerintah. Langkah nasionalisasi De Javasche Bank bertujuan untuk membentuk satu bank sentral yang dimiliki negara Indonesia sesuai dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka dab berdaulat. Pada tanggal 10 April 1953 parlemen Indonesia telah selesai membahas dan menyetujui dari rencana Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yang diajukan pemerintah yang disertai perubahan penting lainnya. Kemudia pada tanggal 2 Juni 1953 Undang-undag tersebut diumumkan pada Lembaran Negara No. 40 dan dengan demikian telah berlaku pada tanggal 1 Juli 1953 dengan nama Bank Indonesia yang tugas dan wewenangnya serupa ketika BNI berstatus sebagai bank sentral.Setelah berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan negara terus meningkat, terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi perekonomian, lahirlah berbagai paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia.

3. Kebijakan Moeneter pada Tahun 1953-1959Setelah kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia langsung dihadapkan oleh beberapa masalah penting, termasuk masalah ekonomi. Perang kemerdekaan telah mewariskan buruknya kondisi ekonomi yang segera menjadi beban yang harus dipikul oleh republik muda ini. Jatuhnya nilai rupiah dan merosotnya kegiatan ekspor telah meningkatkan laju inflasi dan krisis devisa yang terus berlanjut, bahkan semakin memuncak pada tahun 1954. Sementara itu, pengeluaran pemerintah untuk kegiatan non pembangunan cukup besar. Hal ini berkaitan dengan usaha mengatasi ketegangan antara pusat dan daerah, gerakan separatis DI/TII, serta perseteruan dengan Belanda untuk merebut Irian Barat. Posisi devisa mulai memburuk sejak pertengahan tahun 1951. Posisi tersebut terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada bulan April-Mei 1954. Untuk memperbaiki posisi cadangan devisa, pemerintah menempuh beberapa kebijakan yang terfokus pada penggalakan kegiatan ekspor dengan memberikan kemudahan kepada beberapa eksportir. Pemerintah juga melakukan pembatasan impor secara kuantitatif pada pertengahan tahun 1954 dan tahun-tahun berikutnya. Pembatasan impor ini dilaksanakan, antara lain, dengan cara mempertinggi pungutan-pungutan tambahan atas impor. Upaya tersebut berhasil meningkatkan posisi cadangan devisa dari Rp 1,549 miliar pada kurun waktu April-Mei 1954 menjadi Rp 2,731 miliar pada akhir Maret 1955. Peningkatan tersebut juga ditunjang dengan adanya impor-impor tertentu yang dibiayai dengan kredit luar negeri.

Pada kurun waktu 1957-1958, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang semakin berat. Laju inflasi terus meningkat dan terus memperbesar tekanan terhadap posisi cadangan devisa. Secara eksternal, hal tersebut disebabkan oleh resesi di negara-negara industri yang mengakibatkan turunnya permintaan harga bahan mentah sehingga pendapatan hasil ekspor merosot. Secara internal, kondisi ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh ketegangan politik dalam negeri yang memuncak pada kurun waktu 1957-1958 serta keterlibatan Indonesia dalam konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan masalah Irian Barat. Oleh karena permasalahan tersebut, agar pemerintahan dapat terus berjalan, Bank Indonesia (BI) terus melakukan pembiayaan deficit spending pemerintah yang terus meningkat.

Pada akhir tahun 1958, beberapa negara di Eropa Barat, yang dipelopori oleh Inggris, Jerman Barat, dan Perancis, mengambil keputusan bahwa mata uang mereka convertible terhadap dollar Amerika. Keputusan itu dibarengi dengan pembubaran European Payments Union (EPU). Perkembangan tersebut menimbulkan dampak negatif bagi Indonesia yang sebelumnya secara tidak langsung ikut sertadalam Inter European Convertibility (bagian dari sistem EPU). Sejak saat itu, Indonesia masuk di pasar valuta asing Eropa Barat secara langsung.

4. Kebijakan Moneter pada tahun 1960-1965Pada periode 1960-1965, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik. Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak mengherankan, jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan investasi merosot tajam.Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah membawa perubahan mendasar pada bidang politik dan ekonomi Indonesia, termasuk pada pelaksanaan tugas dan kebijakan Bank Indonesia (BI). Kondisi perekonomian pada tahun 1959 diwarnai dengan tingginya laju inflasi, yang dipengaruhi oleh pesatnya pertambahan jumlah uang beredar sebagai akibat ekspansi dari sektor pemerintah. Untuk mengatasinya, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan pengetatan moneter berupa: Kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan kualitatif; Kebijakan devaluasi rupiah; Kebijakan sanering; dan Kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri.

a. Kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan kualitatif

Pembatasan kredit secara kuantitatif dilakukan dengan cara membatasi jumlah kredit yang dapat diberikan oleh badan-badan kredit (bank) sampai pada tingkat tertentu. Dalam rapat tanggal 8 April 1959, Dewan Moneter menetapkan bahwa bank-bank dilarang mengucurkan kredit melebihi jumlah kredit yang telah diberikan oleh bank tersebut pada akhir Agustus 1958. Bank-bank diberikan waktu tiga bulan sejak 16 April 1959 untuk menyesuaikan pemberian kreditnya. Selain itu, bank-bank juga diwajibkan menyetor 75% dari kelebihan uang tunainya ke dalam "Rekening Istimewa" di Bank Indonesia.

b. Kebijakan devaluasi rupiah

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 1959, pemerintah mendevaluasi nilai tukar rupiah dari Rp 11,40 menjadi Rp 45 per USD (basic rate). Selain itu, sistem multiple exchange rate yang sudah berlaku sejak 12 Maret 1950, berubah menjadi sistem fixed rate. Lewat Perpu No. 4 Tahun 1959 (24 Agustus 1959), yang berlaku sejak tanggal 25 Agutus 1959, sistem Bonus Ekspor (BE) yang telah diperkenalkan sejak tanggal 25 Juni 1957, dihapuskan.

Kebijakan ini mempengaruhi lalu lintas pembayaran luar negeri. Angka rata-rata pendapatan ekspor tahun 1959 jauh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun masih berada di bawah tahun angka rata-rata tahun 1954-1956. Selain itu, tindakan ini juga memaksa dilakukannya revaluasi pada pos kekayaan emas dan devisen yang ada pada Dana Devisen BI dan bank-bank devisen lainnya. Dari seluruh tambahan uang sebesar Rp 13.988 juta yang ditimbulkan oleh sektor luar negeri, bagian terbesar didapat dari pos kekayaan emas dan devisen yang telah mengalami mutasi tambahan sebesar Rp 12.350 juta.

c. Kebijakan Sanering

Sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi. Kebijakan sanering, yang mulai berlaku pada 25 Agustus 1959, adalah sebagai berikut:

1) Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100 (Perpu No.2 Tahun 1959, 24 Agustus 1959). Penukaran uang kertas ini harus dilakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 Tahun 1959, 25 Agustus 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang akibat pemberlakuan Perpu No. 2 di atas, tidak akan diperhatikan pada perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus 1959).

2) Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp 25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959).

Tindakan sanering ini telah membawa beberapa pengaruh di bidang moneter. Mulai dari berkurangnya uang beredar, meningkatnya keuntungan pemerintah sebesar Rp 8.521 juta (dari penurunan nilai uang kertas bank Rp 1.000 dan Rp 500, menurut tindakan moneter tertanggal 25 Agusutus 1959 (Perpu No. 2 Tahun 1959), yang digunakan untuk mengurangi ketekoran kas pemerintah, sampai menurunkan tingkat likuiditas bank-bank. Akibatnya bank tidak bisa memberikan kredit kepada perusahaan untuk kegiatan ekspor, impor, produksi, dan distribusi, sehingga berakibat pada kenaikan harga barang dan biaya hidup tahun 1959. Tindakan yang dianggap gagal ini, ternyata dilakukan pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI, sehingga Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri pada presiden.

d. Kebijakan Devisa

Melalui PP No. 42 Tahun 1959 tentang Pungutan Ekspor (PUEKS) dan Pungutan Impor (PUIM), untuk setiap ekspor yang dilakukan berdasarkan Kontrak Valuta yang ditutup pada atau setalah 25 Agustus 1959, dikenakan PUEKS sebesar 20% dari harga penjualan menurut kurs baru (USD 1 = Rp 45). Pembayaran PUEKS harus dilakukan pada saat penyerahan valuta asing yang bersangkutan. Bila ekspor dilakukan secara konsinyasi, PUEKS dibayarkan saat hasil konsinyasi telah ditransfer ke Indonesia atau setelah penyerahan formulir yang ditandatangani oleh pihak pabean. Selain itu, pihak konsinyatir juga sudah harus menarik wesel dan dokumen perkapalan telah diterima oleh bank. PUEKS dikenakan pula terhadap konversi valuta asing ke rupiah di bidang invisible, seperti transfer valuta asing, dan penyerahan emas kepada dana devisa atas dasar Rp 49.203,95 untuk setiap kilogram emas murni.

PUIM, pada hakekatnya, dapat disamakan dengan Tambahan Pungutan Impor (TPI). Besarnya PUIM ditetapkan 0% untuk barang golongan I, 25% untuk golongan II, 50% untuk golongan III, 100% untuk golongan IV, 150% untuk golongan V, dan 200% untuk golongan VI. Penggolongan ini ditetapkan oleh pemerintah. Dengan pemberlakuan peraturan ini, maka pemerintah menghapuskan kewajiban importir untuk membayar uang jaminan (prepayment) pada saat mengajukan permohonan ijin impor kepada bank. Ketentuan mengenai PUEKS dan PUIM dicabut melalui Perpu No. 32, No. 33 dan No. 34 Tahun 1960 tentang penggunaan mata uang rupiah dalam lalu lintas pembayaran luar negeri. Peraturan-peraturan ini juga menetapkan untuk ekspor hasil bumi ke luar Daerah Pabean Indonesia dikenakan bea keluar sebesar 10% dari harga f.o.b berdasarkan nilai kurs USD 1 = Rp 45. Barang impor dibagi dua golongan, yaitu golongan I untuk barang-barang penting bagi perekonomian dan golongan II untuk barang-barang lain yang masih dibutuhkan. Untuk impor dikenakan TPI menurut kurs USD 1 = Rp 200. Penjualan devisa oleh bank-bank untuk jasa-jasa tertentu ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan dikenakan pajak transfer sebesar 100% dari nilai lawan (dalam rupiah) terhadap mata uang asing yang bersangkutan menurut kurs dasar rupiah.

5. Kebijakan Moneter pada Tahun 1966-1983Peristiwa Supersemar 11 Maret 1966 dan pembubaran PKI pada 12 Maret 1966 adalah tonggak kelahiran Orde Baru. Selanjutnya, pada tanggal 25 Juli 1966 telah dibentuk Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Tugas pokok Kabinet Ampera adalah melaksanakan program stabilisasi dan rehabilitasi yang berkonsentrasi pada pengendalian inflasi, pencukupan penghidupan pangan, rehabilitasi prasarana ekonomi, peningkatan ekspor, dan pencukupan kebutuhan sandang. Dalam mewujudkan program kerjanya, Kabinet Ampera membagi pelaksanaan tugas dalam jangka pendek dan jangka panjang. Program jangka pendek yaitu program stabilisasi dan rehabilitasi, meliputi peraturan tentang penyesuaian tarif dan harga, serta penyempurnaan sistem bonus ekspor. Sementara, program jangka panjang meliputi program pembangunan dengan skala prioritas sektor pertanian, prasarana dan industri pertambangan dan minyak. Dalam periode ini, kebijakan moneter dirumuskan oleh dewan moneter dan dikeluarkan oleh pemerintah, serta untuk selanjutnya dilaksanakan oleh BI.

Sampai dengan tahun 1967, Indonesia menerapkan sistem kontrol devisa yang ketat. Hal ini sesuai dengan UU No. 32/1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa yang menetapkan bahwa devisa yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia dikuasai oleh negara. Konsekuensinya, eksportir wajib menjual devisa hasil ekspor pada bank devisa yang selanjutnya dijual lagi ke BI. Selain itu, warga negara atau badan hukum Indonesia juga wajib mendaftar dan menyimpan surat berharga dalam valuta asing yang dimilikinya di bank devisa pemerintah.

Kebijakan ini, di satu pihak ternyata cukup berhasil dalam mengisolasikan perekonomian nasional terhadap pengaruh eksternal. Tapi di pihak lain, kebijakan ini telah menciptakan pasar gelap valuta asing. Nilai tukar rupiah di pasar valuta asing jauh di atas harga yang ditetapkan pemerintah. Oleh sebab itu, sejak tahun 1967, secara berangsur-angsur kontrol devisa mulai dikurangi lewat UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Tujuan UU ini adalah menarik masuknya modal asing untuk pembiayaan investasi dalam negeri.

Setelah kembali menjadi anggota IMF, Indonesia berharap memperoleh persetujuan penjadualan kembali utang-utang luar negeri dan perolehan utang baru untuk pembiayaan pembangunan. Maka pada awal orde baru ini, dilakukan beberapa pertemuan dengan negara-negara kreditur yang di antaranya melahirkan Paris Club dan IGGI sebagai lembaga yang kerap mendukung dana pembangunan Indonesia. Sebagai langkah awal di bidang moneter, pemerintah mengambil langkah untuk merangsang kegiatan menabung dan menggerakkan dunia usaha melalui kebijakan di bidang penghimpunan dana dan perkreditan. Berkaitan dengan itu, pemerintah memperkenalkan Program Deposito Berjangka dengan suku bunga tinggi dan dengan jaminan BI kepada bank-bank pemerintah disertai subsidi bunga. Langkah tersebut diikuti dengan Program Tabungan Berhadiah 1969 pada bank-bankpemerintah dan beberapa bank swasta. Pada 20 Agustus 1971, untuk merangsang kegiatan menabung, BI memprakarsai gerakan tabungan nasional melalui Program Tabanas dan Taska sebagai pengganti Program Deposito Berjangka (1968) dan Program Tabungan Berhadiah pada 1969. Kedua program ini dinilai lebih baik dari program sebelumnya, antara lain karena berskala gerakan nasional.Melalui Program Pemerintah (PP) No. 16/1970 pemerintah melonggarkan pengawasan devisa dan membuka kembali kesempatan bagi masuknya penanaman modal swasta asing. PP tersebut juga memberikan kebebasan perdagangan valuta asing dan menyederhanakan sistem dan prosedur lalu lintas devisa. Masih melalui PP yang sama, BI diberi tugas untuk melaksanakan pengawasan lalu lintas devisa, dan Biro Lalu Lintas Devisa (BLLD) diintegrasikan ke dalam BI pada 1 Januari 1971. Devisa yang berasal dari hasil ekspor dalam ketentuan Devisa Umum wajib dijual kepada Bank Indonesia dengan kurs yang berlaku di bursa valuta asing. Dengan demikian, BI dapat mengawasi lalu lintas devisa dan posisi cadangan devisa. Kemudian, pada Agustus 1971, pemerintah memberlakukan sistem devisa bebas dan ketentuan nilai tukar tetap serta mendevaluasi rupiah dari Rp 378 per USD menjadi Rp 415 per USD untuk melakukan penyesuaian rupiah terhadap USD yang mengalami depresiasi terhadap valuta-valuta beberapa negara Eropa dan Jepang.

Tingginya harga minyak bumi di pasar internasional pada tahun 1973 mendatangkan pendapatan yang cukup besar bagi pemerintah. Hal ini memungkinkan pemerintah memacu kegiatan pembangunan ekonomi dan melaksanakan program pemerataan pembangunan lewat penyediaan kredit likuiditas, termasuk pemberian kredit untuk mendorong kegiatan ekonomi lemah. Tetapi, pengucuran deras kredit perbankan tersebut mengakibatkan uang beredar meningkat dalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya, tingkat inflasi 1973/1974 melonjak tajam menembus angka 47%.

Untuk mengatasi tingginya inflasi, pada tanggal 9 April 1974, pemerintahmelancarkan program stabilisasi. Di bidang moneter, program ini tertuang dalamkebijakan moneter secara langsung melalui langkah-langkah berikut: (1) menetapkan batas tertinggi (pagu) pertambahan pemberian pinjaman dan tagihantagihan serta aktiva lainnya yang pengaruh moneternya sama dengan pemberian pinjaman; (2) menaikkan suku bunga pinjaman secara selektif dan mempertahankan suku bunga pinjaman berprioritas tinggi seperti Bimas, Kredit Investasi Kecil (KIK), dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP); (3) menaikkan persentase likuiditas minimum untuk deposito berjangka dan tabungan dalam rupiah, dan menaikkan cadangan wajib valuta asing bank-bank pada BI; (4) menaikkan suku bunga deposito berjangka INPRES dan untuk pertama kalinya mengadakan deposito berjangka waktu 18 bulan dan 24 bulan; (5) menaikkan suku bunga Tabungan Pembangunan Nasional (TABANAS); (6) melarang bank-bank pemerintah menerima deposito berjangka INPRES yang dananya berasal dari luar negeri; (7) memperketat pelaksanaan pembatasan pemasukan dana dari luar negeri untuk perbankan maupun untuk perusahaan-perusahaan pemerintah; (8) mengharuskan wajib lapor dan simpanan wajib tanpa bunga pada BI sebesar 30% untuk pinjaman luar negeri tertentu bagi perusahaan swasta dan lembaga keuangan bukan bank.

Program stabilisasi yang dilakukan oleh pemerintah pada 1974 tersebut sangat berperan dalam menurunkan laju inflasi dari 47,40% pada 1973/1974 menjadi 21% pada 1974/1975. Hal ini memberi peluang Pemerintah untuk menurunkan suku bunga deposito dan kredit jangka pendek terutama ekspor dan perdagangan dalam negeri pada Desember 1974 guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi kelonggaran tersebut justru menimbulkan tekanan inflatoir sehingga mengakibatkan lemahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri karena nilai rupiah menjadi over valued. Maka pada 15 November 1978 pemerintah mengambil kebijakan yang dikenal dengan KNOP 15 yang mendevaluasi Nilai Rupiah sebesar 33,6% dari Rp 415 per USD menjadi Rp 625 per USD. Selain itu dalam sistem nilai tukar, dianut sistem nilai tukar mengambang terkendali dengan mengaitkan mata uang Rupiah dengan sekeranjang mata uang mitra dagang utama. Pemerintah akan melakukan intervensi jika nilai tukar Rupiah bergerak melebihi batas atas atau batas bawah dari kisaran yang telah ditentukan.

6. Kebijakan Moneter pada Tahun 1983-1997

Memasuki awal periode 1982/1983 perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat terutama disebabkan oleh menurunnya harga minyak di pasaran dunia dan berlanjutnya resesi ekonomi dunia yang berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian dalam negeri. Daya saing produk Indonesia menurun karena nilai rupiah over valued akibat tingginya laju inflasi dibandingkan dengan negara pesaing atau negara rekanan dagang utama Indonesia, maka pertumbuhan ekonomi semakin menurun tajam dan defisit neraca pembayaran cukup besar. Untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia, maka ditempuh beberapa kebijakan pengendalian moneter yang menuju ke arah mekanisme pasar. Kebijakan tersebut diawali dengan mendevaluasi nilai tukar rupiah pada 30 Maret 1983 dari Rp 702,50 menjadi Rp 970 per USD guna mengembalikan daya saing Indonesia. Selanjutnya, diambil langkah deregulasi di bidang keuangan dan moneter berupa Paket Kebijakan 1 Juni 1983 dengan maksud utama untuk mendorong kemandirian dunia perbankan.Kebijakan 1 Juni 1983 atau lebih dikenal dengan PAKJUN 83 merupakan awal deregulasi sektor moneter yang dimaksudkan untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi perkembangan perbankan yang lebih sehat di masa mendatang. Deregulasi perbankan ini berkaitan dengan sektor perkreditan dan pengerahan dana.Dari sisi moneter, inti dari kebijakan tersebut adalah: (1) Kebebasan pada bank pemerintah untuk menetapkan suku bunga deposito. Sebelumnya, suku bunga deposito ini masih diatur oleh Bank Indonesia; (2) Ketentuan pagu kredit, yang sebelumnya digunakan sebagai salah satu instrumen intervensi langsung, dihapuskan. Sebagai gantinya, pemerintah menggunakan instrumen tidak langsung yaitu penentuan cadangan wajib, operasi pasar terbuka (OPT), fasilitas diskonto, dan moral suasion. Hasilnya, selain telah meningkatkan simpanan masyarakat di bank, Paket Juni 1983 (PAKJUN 83) telah memberikan kontribusi positif terhadap kestabilan moneter, yang sejak saat itu pengendalian moneter lebih mengutamakan penggunaan instrumen tidak langsung. Dari segi pengendalian uang beredar, kebijakan deregulasi 1 Juni 1983 ini telah mengubah mekanisme dan piranti pengendalian moneter. Pemerintah tidak lagi melakukan intervensi langsung dalam mengendalikan kebijakan moneter. Untuk keperluan operasi pasar terbuka (open market operation), sejak bulan Februari 1984 Bank Indonesia menerbitkan instrumen moneter berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan menyediakan fasilitas diskonto.

SBI merupakan instrumen moneter tidak langsung yang diadakan untuk menyedot kelebihan uang beredar di masyarakat jika kondisi moneter terlalu ekspansif. Perbankan dapat memanfaatkan kelebihan likuiditas yang dimiliki dengan membeli SBI jika dana tersebut tidak dipinjamkan ke masyarakat. Sebaliknya, untuk menambah uang beredar (ekspansi), sejak tanggal 1 Februari 1985, Bank Indonesia menerbitkan pula instrumen OPT baru berupa Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Untuk tahap awal, jenis SBPU yang diperdagangkan terbatas pada surat sanggup (aksep/promes) dan wesel. Instrumen ini digunakan dalam rangka pelaksanaan pemberian kredit dan pinjaman antar bank. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1984 cukup meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi inflasi terus melaju cukup tinggi akibat devaluasi rupiah dan naiknya harga BBM pada awal tahun 1984. Pada saat itu, beberapa bank tertentu bergantung pada dana Pasar Uang Antar Bank (PUAB), sehingga BI bermaksud mengurangi ketergantungan bank-bank terhadap PUAB dengan menetapkan batas maksimum bank untuk memperoleh dana di PUAB serta menyediakan Fasilitas Kredit Khusus (FKK) dengan jangka waktu satu tahun. Merosotnya harga minyak internasional sampai USD 10 per barel pada bulan Agustus 1986, menyebabkan defisit neraca pembayaran Indonesia semakin membengkak. Pasalnya, ekonomi Indonesia sangat bergantung pada ekspor minyak. Untuk menghindari kondisi yang semakin buruk, pada tanggal 12 September 1986, pemerintah kembali melakukan tindakan devaluasi rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 31%. USD 1 yang semula Rp 1.134, disesuaikan menjadi Rp 1.644. Selain itu, untuk mendorong pemasukan modal dan dana dari luar, pemerintah menghapus ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia. Setelah beberapa kali devaluasi itu dilakukan, terlihat peningkatan yang cukup berarti pada penerimaan ekspor, khususnya dari sektor non migas. Namun, pada periode-periode berikutnya, penerimaan ekspor menurun akibat tidak realistisnya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Di lain pihak, masyarakat sudah trauma terhadap kebijakan devaluasi yang terus dilakukan pemerintah. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan pasar. Untuk menghindari ekspektasi negatif masyarakat, sejak tahun 1986 pemerintah menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang (managed floating exchange rate). Dengan sistem ini, nilai tukar rupiah diambangkan terhadap beberapa mata uang negara mitra dagang utama Indonesia. Pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan kisaran (spread) tertentu, sedangkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi ketika kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah yang ditetapkan.Pada tahun 1987, perekonomian Indonesia masih menghadapi kesulitan. Pengaruh pasar minyak yang belum menentu memberi kontribusi cukup besar bagi peningkatan defisit neraca pembayaran dan penerimaan pemerintah. Kondisi ini dipersulit oleh semakin turunnya harga berbagai komoditi ekspor tradisional Indonesia di pasaran. Sementara itu, terjadi spekulasi di pasar valuta asing pada awal tahun 1987/1988 yang cukup mengganggu stabilitas moneter. Menghadapi kondisi sulit ini, pada bulan Juni 1987, pemerintah bersama Bank Indonesia melakukan pengetatan moneter yang biasa dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I. Suku bunga SBI, fasilitas diskonto, dan tingkat rediskonto (gadai ulang) SBPU dinaikkan. Sebaliknya, pagu SBPU secara bertahap diturunkan. Pemerintah juga menginstruksikan pengalihan dana milik beberapa badan usaha milik negara (BUMN) pada perbankan untuk ditempatkan pada SBI. Tindakan yang dikenal sebagai Gebrakan Sumarlin I ini mengakibatkan kontraksi moneter secara drastis.Selanjutnya dalam Pelita V perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan yang membaik dengan angka pertumbuhan 5,7% dalam 1988 yang melebihi target rata-rata pertumbuhan 5%. Untuk menjaga kelangsungan pembangunan selain dari sumber penghasilan minyak, maka dirasakan perlu digali sumber dana dari dalam negeri dengan meningkatkan ekspor non-migas. Guna mendukung hal itu, pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi di Bidang Moneter, Keuangan dan Perbankan pada 27 Oktober 1988 (Pakto 1988). Sebagai kelanjutan dari Pakto 1988 dikeluarkan kebijakan Paket Maret 1989 dan Paket Januari 1990 guna mendukung pengendalian inflasi dan memperkuat struktur perkreditan. Kebebasan yang diberikan oleh Pakto 1988 telah menyebabkan ekspansi kredit perbankan yang berlebihan dan kurang selektif. Untuk menahan situasi tersebut pada Maret 1991 pemerintah mengambil langkah Pengetatan Moneter II yang dikenal dengan Gebrakan Sumarlin II. Pengetatan moneter pada 1987 dan 1991 mengekang laju inflasi hingga secara berangsur turun menjadi 4,9% pada 1992. Tetapi suku bunga deposito naik menjadi rata-rata 27% per tahun dan menyebabkan cost of fund perbankan dalam negeri menjadi mahal, sehingga banyak pengusaha dalam negeri mencari dana ke luar negeri yang relatif lebih murah. Untuk mengatasi beban Debt Service Ratio (DSR) akibat meningkatnya pinjaman komersial tersebut dilakukan pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) dengan BI sebagai koordinator. Namun demikian penerimaan PKLN dapat mempengaruhi stabilitas moneter sehingga pada 20 Nopember 1991 diambil kebijakan dalam ketentuan Posisi Devisa Netto, penyempurnaan fasilitas swap dan pemberian kredit dalam valuta asing.Pada 1995/1996 kegiatan investasi dan konsumsi di Indonesia semakin marak sehingga menyebabkan kenaikan pertumbuhan pada beberapa sektor ekonomi (konstruksi dan industri). Peningkatan itu diikuti dengan memanasnya suhu perekonomian yang tercermin dalam laju inflasi yang mencapai 8,9%. Untuk menghadapi hal tersebut, Bank Indonesia segera mengambil beberapa langkah pengendalian moneter. Di bidang perkreditan diberlakukan pembatasan pemberian kredit dan pemenuhan SPBU-KUK bagi bank-bank. Sedangkan di bidang devisa, digariskan kebijakan untuk menahan dampak negatif arus modal jangka pendek. Sementara guna memenuhi meningkatnya permintaan domestik serta meningkatkan ekspor non migas, pemerintah bersama Bank Indonesia mengambil langkah-langkah melalui Deregulasi Juni 1996 yang meliputi peningkatan efisiensi sektor produksi dan peningkatan ekspor non migas dan pengamanan dalam pinjaman luar negeri. Akhirnya secara umum pada periode deregulasi ini pinjaman luar negeri sektor swasta terus meningkat. Sehingga pada Juli 1996 Bank Indonesia menerbitkan Yankee Bond, untuk menciptakan benchmarking yang dapat membantu memperoleh syarat pinjaman luar negeri yang lebih lunak. Dengan langkah tersebut beban pembayaran dan resiko dari pinjaman dapat dikurangi.7. Kebijakan Moneter Periode1997 - 1999

Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang sendi-sendi ekonomi dan politiknasional. Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan likuiditas yang luar biasa akibat hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB). Sebagai lender of the last resort BI harus membantu mempertahankankestabilan sistem perbankan dan pembayaran untuk mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot tajam, pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI (SBI)serta pengetatan anggaran Pemerintah. Ternyata kebijakan tersebut menyebabkan suku bunga pasar uang melambung tinggi dan likuiditas perbankan menjadi kering yang menimbulkan bank kesulitan likuiditas. Segera setelah itu masyarakat mengalami kepanikan dan kepercayaan mereka terhadap perbankan mulai menurun.Maka terjadi penarikan dana perbankan secara besar-besaran yang sekali lagi menimbulkan kesulitan likuiditas pada seluruh sistem perbankan. Akibatnya system pembayaran terancam macet dan kelangsungan ekonomi nasional tergocang. Untuk itu pada Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk membantu program pemulihan krisis diIndonesia. Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI pertama yang merupakan program pemulihan krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan akan menjamin pembayaran kembali kepada para deposan. Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggukarena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Pada 15 Januari 1998 Pemerintah mempercepat program stabilisasi dan reformasi ekonomi dengan LoI kedua. LoI kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang mencakup program stabilisasi Rupiah, pembekuan 7 bank dan penempatan nya pada BPPN serta penyelsaian hutang swasta dengan Pemerintah sebagai mediator. Kemudian LoI keempat pada 25 Juni 1998 yang mencakup revisi atas target-target ekonomi dan penyediaan Jaringan Pengaman Sosial (JPS).Selain mengatasi krisis moneter, pemerintah juga juga membantu menyelesaikan pinjaman luar negeri sektor swasta. Diantaranya pemerintah membentuk TimPenyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) yang menghasilkan kesepakatan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 tentang penyelesaian utang luar negeri swasta. Masih dalam upaya yang serupa, pemerintah membentuk INDRA (Indonesian Restructuring Assets) yang bertugas melindungi debiturIndonesiadari resiko perubahan nilai tukar pada jumlah hutangnya. Kemudian pada 9 September 1998 pemerintah membentuk Prakarsa Jakarta untuk menyediakan akses bagi perusahaan agar dapat mendaptkan modal baru guna menggerakkan kembali usahanya. Langkah tersebut diambil sebagai bagian dari program restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan.Kasus BLBIUntuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%. Akibat kondisi ini bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort. Ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI.Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup memenuhinya. Penyimpangan BLBI dimulai saat BI berikan dispensasi kepada bank-bank umum utk mengikuti kliring, meski rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan ke semua bank tanpa melakukan pre-audit utk mengetahui apakah bank itu benar-benar butuh bantuan likuiditas & sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI. Berikut kronologis kebijakan tersebut.

a) 11 JULI 1997: Pemerintah RI memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8%) menjadi 304 (12%), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat.

b) 14 AGUSTUS 1997: Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dlm jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke BI, tingkat suku bunga & deposito melonjak drastis krn bank berebut dana rakyat.

c) 1 SEPTEMBER 1997: BI menurunkan suku bunga SBI sebanyak 3 kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yg mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.

d) 3 SEPTEMBER 1997: Sidang Kabinet Terbatas Bid. Ekonomi, Keuangan & Pembangunan, Produksi & Distribusi berlangsung di Bina Graha, dipimpin langsung Soeharto. Hasilnya: pemerintah akan bantu bank sehat yg alami kesulitan likuiditas. Bank 'sakit', akan dimerger/likuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

e) 1 NOVEMBER 1997: 16 bank dilikuidasi.

f) 26 DESEMBER 1997: Gubernur BI Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus alami saldo debit akibat tekanan penarikan dana nasabah. Soedradjad usul: "mengganti saldo debit dgn Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Khususg) 27 DESEMBER 1997: Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997, ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi BI utk mengganti saldo debit bank dengan SBPU Khusus agar tidak banyak bank yg tutup dan dinyatakan bangkrut.

h) 10 APRIL 1998: Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998.

i) MEI 1998: BLBI yg dikucurkan ke 23 bank capai Rp 164 triliun, dana penjamin antarbank Rp 54 triliun, biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank. Yakni BDNI Rp 37,039 triliun; BCA Rp 26,596 triliun; Danamon Rp 23,046 triliun; dan BUN Rp 12,067 triliun.

j) 4 JUNI 1998: Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).

Pada tanggal 21 Agustus 1998, pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan dengan ancaman pidana jika tidak dilaksanakan. Namun, waktu tenggat berlalu begitu saja tanpa adanya pelunasan, bahkan sanksi pun tak dijatuhkan. Hingga saat ini kasus ini belum terselesaikan.8. Kebijakan Moneter pada Tahun 1999-2005

Perkembangan ekonomi Indonesia pada periode ini mulai membaik, karena banyak faktor positif yang mulai berpengaruh. Faktor-faktor tersebut meliputi: perkembangan ekonomi internasional yang cukup baik, perkembagan sosial politik dalam negeri, terutama pada periode Presiden Megawati, yang cukup kondusif serta situasi moneter yang cukup stabil. Membaiknya perekonomian Indonesia sejak 1999 tidak terlepas dari kebijakan umum Pemerintah dan juga kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia. Kebijakan moneter yang ditempuh pada periode reformasi ini adalah kebijakan yang ketat untuk menyerap kelebihan likuiditas agar tidak menahan tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah. Kebijakan tersebut dilakukan melalui OPT, intervensi Rupiah di pasar uang Rupiah dan Sterilisasi di pasar valuta asing. Sesuai UU No. 23/1999 Bank Indonesia diwajibkan menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian sasaran moneter. Tapi hanya terbatas pada inflasi yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter yang disebut sebagai Inti Inflasi atau Core Inflation. UU No. 24/2000 tentang lalu lintas devisa dan nilai tukar telah menetapkan sistem devisa bebas. BI mengatur pemantauan dan pelaporan kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukan oleh bank dan LKBB. Ketetapan tersebut berlaku mulai 28 April 2000 bagi bank dan LKBB serta 28 Maret 2002 bagi perusahaan bukan lembaga keuangan. Pada periode ini pemerintah berhasil menjadwalkan kembali utang luar negeri dan mengakhiri kerjasama dengan IMF. Untuk mengurangi beban pembayaran utang luar negeri berdasarkan pertemuan Paris Club II, 13 April 2000 telah disetujui penjadwalan kembali utang luar negeri Indonesia. Sedangkan kerjasama dengan IMF dalam rangka pelaksanaan program rehabilitasi dan reformasi akan berakhir pada akhir 2003. Hingga saat itu posisi pinjaman Indonesia kepada IMF pada akhir 2002 menjadi USD 8,9 Miliar. Sehubungan dengan akan berakhirnya kerjasama dengan IMF pada 22 April 2002 pemerintah membentuk Tim Kajian Strategis Pasca Kerjasama dengan IMF yang memberikan empat opsi kepada pemerintah. Dari keempat opsi yang diajukan oleh tim, pemerintah menyetujui opsi kedua, yaitu Post Program Monitoring (PPM) dengan IMF.

B. Pelaksanaan Kebijakan Moneter di IndonesiaSebagai pelaksana kebijakan moneter, Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.1. Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia

Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework(ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer(base money)sebagai sasaran kebijakan moneter.Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secaraforward looking, artinya perubahanstancekebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional,stancekebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhioutputdan inflasi.Dengan telah dilepaskannya sistem nilai tukar dengan band intervensi nilai tukar (crawling band) di tahun 1997, Bank Indonesia memerlukan jangkar nominal (nominal anchor) baru dalam rangka menjalankan kebijakan moneter. Jangkar nominal adalah variabel nominal (seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar) yang ditargetkan secara eksplisit oleh bank sentral sebagai dasar/patokan bagi pembentukan harga lainnya. Misalnya kalau nilai tukar dijadikan target, maka inflasi luar negeri akan menjadi inflasi domestik.Mengapa kebijakan moneter memerlukan jangkar nominal? Karena tanpa adanya jangkar nominal, tidak ada kejelasan kemana kebijakan moneter akan diarahkan sehingga masyarakat tidak memiliki pedoman dalam membuat ekspektasi inflasi. Ibarat kapal yang mengapung di lautan tanpa kejelasan kearah mana kapal dilabuhkan. Sebaliknya, dengan adanya jangkar nominal masyarakat akan membuat ekspektasi inflasi yang diperlukan dalam kalkulasi usahanya sesuai dengan jangkar nominal tersebut. Dengan mengumumkan sasaran inflasi dan Bank Indonesia secara konsisten dapat mencapainya akan meningkatkan kredibilitas kebijaan moneter yang pada gilirannya ekspektasi inflasi masyarakat sesuai dengan sasaran yang ditetapkan BI.Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan ITF.

ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan sasaran inflasi secara eksplisit masyarakat akan memahami arah inflasi. Sebaliknya dengan sasaranbase money, apalagi jika hubungannya dengan inflasi tidak jelas, masyarakat lebih sulit mengetahui arah inflasi kedepan.

ITF yang memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan moneter sesuai dengan mandat yang diberikan kepada Bank Indonesia.

ITF bersifatforward lookingsesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukantime lag.

ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong kredibilitas kebijakan moneter. Aspek transparansi dan akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan aspek-aspekgood governancedari sebuah bank yang telah diberikan independensi.

ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar,outputdan inflasi. Sebaliknya, ITF merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejumlah variabel informasi tentang kondisi perekonomian.Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah informasi yang dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan. Jika proyeksi inflasi sudah tidak kompatibel dengan sasaran, Bank Indonesia melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki. Misalnya jika proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan cenderung melakukan pengetatan moneter.Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi inflasi danoutlookke depan serta keputusan yang diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan penjelasan kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi sesuai dengan sasarannya.

2. Transmisi Kebijakan Moneter di IndonesiaTujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah.Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag).Time lagmasing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.3. Operasi MoneterDalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga). Stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate). Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari suku bunga pasar uang jangka pendek yang merupakan sasaran operasional kebijakan moneter. Sejak 9 Juni 2008, BI menggunakan suku bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB) overnight sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. PUAB atau Pasar Uang Antar Bank adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank dengan Bank Lainnya.Agar pergerakan suku bunga PUAB tidak terlalu melebar dari anchor-nya (BI Rate), Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil melalui pelaksanaan operasi moneter (OM).Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT merupakan kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga PUAB o/n. Sementara instrumen Standing Facilities merupakan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka membentuk koridor suku bunga di PUAB. OPT dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia, sementara Standing Facilities dilakukan atas inisiatif bank.

a. Instrumen Operasi Moneter1) Operasi Pasar TerbukaKegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT) meliputi:

a) Absorpsi Likuiditas: Penerbitan SBI

Term Deposit

Reverse Repo

Penerbitan SBISb) Injeksi Likuiditas: Transaksi Repo

erikut ini adalah tabel jenis instrumen OPT dan dampaknya terhadap likuiditas serta karakteristiknya :

Keterangan:- VRT (Variable Rate Tender)- FRT (Fixed Rate Tender)- FX (foreign exchange)- SBI (Sertifikat Bank Indonesia)- SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah)- SUN (Surat Utang Negara)

2) Standing FacilitiesStanding facilities meliputi: Penyediaan dana rupiah (lending facility)

Dilakukan dengan mekanisme repurchase agreement (repo) surat berharg

Penempatan dana rupiah oleh bank di Bank Indonesia (deposit facility)

Dilakukan dengan menempatkan dana rupiah oleh bank secara berjangka di Bank IndonesiaBerikut adalah tabel jenis instrumen standing facilities dan dampaknya terhadap likuiditas serta karakteristiknya:Keterangan : FASBIS (Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah)

3) Kegiatan Operasi Moneter Syariah (OMS)

Operasi Moneter Syariah adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. Tujuan dari Operasi Moneter Syariah adalah: mencapai target operasional pengendalian operasi moneter syariah d.r. mendukung pencapaian akhir kebijakan moneter BI;

target operasional berupa kecukupan likuiditas perbankan syariah atau variabel lain yang ditetapkan BI.

Kegiatan Operasi Moneter Syariah (OMS) dilakukan dalam bentuk antara lain:

OPT Syariah; dan Standing Facilities Syariah.

Sesuai dengan Pasal 26 UU Perbankan Syariah No.21 Tahun 2008 dan PBI tentang OMS Pasal 4 No.10/36/PBI/2008, kegiatan-kegiatan tersebut harus memenuhi prinsip syariah yang dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas fatwa (MUI - DSN) yang berwenang.

b. Proyeksi LikuiditasUntuk menentukan berapa jumlah likuiditas yang harus diserap (absorpsi) maupun disediakan (injeksi) dalam rangka menjaga keseimbangan supply dan demand, Bank Indonesia melakukan estimasi kebutuhan likuiditas perbankan sehingga dapat ditetapkan target operasi moneter setiap harinya. Estimasi likuiditas perbankan dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor otonom (autonomous factor) seperti operasi keuangan Pemerintah dan mutasi uang kartal.Efektivitas operasi moneter berbasis suku bunga tidak terlepas dari adanya informasi yang handal dan sama kepada seluruh pelaku pasar, sehingga tercipta persepsi yang sama untuk mencapai tujuannya, yaitu terbentuknya suku bunga yang wajar. Oleh karena itu, sejak Oktober 2008 Bank Indonesia mulai mengumumkan kondisi likuiditas perbankan kepada pelaku pasar dan masyarakat sebanyak dua kali setiap harinya melalui website Bank Indonesia, BI-SSSS dan sarana lainnya. Dengan adanya informasi mengenai kondisi likuiditas, diharapkan dapat membantu treasury bank dalam mengelola kebutuhan likuiditasnya dan meningkatkan efektifitas pelaksanaan Operasi Moneter.

Pengumuman proyeksi likuiditas meliputi 2 (dua) materi utama yaitu:

1) Proyeksi Total Likuiditas TersediaProyeksi Total Likuiditas adalah perkiraan ketersediaan likuiditas rupiah di pasar dan merupakan hasil proyeksi dari net perubahan faktor otonomus yang berperan dalam menambah/mengurangi ketersediaan likuiditas rupiah. Ketersediaan likuiditas rupiah antara lain dipengaruhi oleh net aliran masuk/keluar uang kartal dari/ke sistem perbankan dan mutasi rekening pemerintah di Bank Indonesia, net instrumen OperasiMoneter jatuh waktu, dan net perubahan saldo giro perbankan di Bank Indonesia.2) Proyeksi Excess ReserveProyeksi Excess Reserve adalah perkiraan selisih antara saldo giro perbankan di Bank Indonesia dengan kewajiban pemeliharaan Giro Wajib Minimum (GWM).

BAB IVPENUTUPPerkembangan dunia moneter Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia sendiri.Uang, selain sebagai alat tukar dan alat pembayaran, juga menjadi simbol kedaulatan Negara Indonesia.Pada masa awal kemerdekaan, uang yang beredar secara de jure adalah jumlah uang yang beredar pada saat itu ditambah dengan uang yang dicetak pemerintah Indonesia. Hal ini menyebabkan terjadinya excess demand pada permintaan agregat dengan tingkat penawaran yang tetap sehingga menyebabkan pada saat itu perekonomian Indonesia mengalami inflasi yang tinggi.

Perubahan penawaran dan permintaan agregat berpengaruh terhadap volatilitas nilai tukar rupiah. Bank Indonesia, dalam hal ini adalah otoritas moneter Indonesia, menganutfree floating dan kerangka kerja inflation targeting framework yang mana tidak menargetkan atau menyatakan nilai tukar tertentu antara rupiah dengan mata uang lain, namun menjadikan tingkat inflasi sebagai target sehingga stabilitas nilai tukar rupiah dapat terjaga. Hal ini merupakan tujuan tunggal Bank Indonesia sebagaimana yang dinyatakan dalam profilnya sehingga Bank Indonesia dapat memfokuskan diri dalam mencapai target tersebut karena dalam prakteknya seringkali antarkebijakan moneter berdampak kontradiktif dengan target yang ingin dicapai dari masing-masing kebijakan.Dalam menjalankan fungsinya, Bank Indonesia tidak dapat bekerja sendiri.Meskipun Undang-Undang Pokok Bank Indonesia mengamanatkan indepedensi Bank Indonesia, namun dalam menjalankan tugasnya Bank Indonesia masih tergantung dengan pemerintah Indonesia.Indepedensi di dalam interdependensi diperlukan dalam perumusan kebijakan moneter Bank Indonesia berkaitan dengan target-target yang ingin dicapai pemerintah Indonesia, seperti dalam hal pertumbuhan ekonomi.Koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dengan pemerintah dalam meramu kebijakan ekonomi perlu ditingkatkan.Pemerintah sebagai penggerak roda pemerintahan mengarahkan dan m