8
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DALAM RANCANGAN RPPK RPPK melibatkan hampir seluruh institusi pemerintahan di tingkat pusat. Selain itu, RPPK juga menyertakan dunia usaha, kalangan petani dan nelayan, serta akademisi dan lembaga masyarakat, baik dalam penyusunannya maupun dalam proses implementasinya. Secara teoritis, “koordinasi” dan “sinkronisasi” merupakan dua perhatian utama dalam bidang kelembagaan. Khusus untuk sektor pertanian, dibutuhkan berbagai kebijakan dan strategi mulai dari kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional. Serta kebijakan mikro berupa kebijakan pengembangan infrastruktur, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, dan pengembangan organisasi petani). Lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan; telah menyebabkan belum dapat menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri perdesaan. Memperhatikan dokumen RPPK, maka kelembagaan di RPPK dapat dipilah menjadi tiga level, yaitu level di pemerintahan daerah, dan level lokal di tingkat petani. Level pemerintah daerah perlu dibedakan dengan tegas, karena dengan semangat otonomi daerah, maka kewenangan daerah telah menjadi relative besar. Pada tataran ini, kewenangan utama kelembagaan adalah dalam hal pembuatan kebijakan. Beberapa kebijakan yang perlu dirumuskan misalnya kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi berupa kebijakan untuk peningkatan investasi swasta; penataan hak, kepemilikan dan penggunaan lahan; kebijakan pewilayahan komoditas; dan kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian. Dalam analisis kelembagaan, dipelajari kelembagaan-kelembagaan formal maupun “soft institutions” seperti tata aturan, maupun struktur kekuasaan pada berbagai tingkatan. REVITALISASI KELEMBAGAAN EKONOMI PETANI

Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani

Embed Size (px)

DESCRIPTION

berisis tebntang maslah sosial di masyaratkat petani tentang interaksi dll

Citation preview

Page 1: Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DALAM RANCANGAN RPPKRPPK melibatkan hampir seluruh institusi pemerintahan di tingkat pusat. Selain itu, RPPK

juga menyertakan dunia usaha, kalangan petani dan nelayan, serta akademisi dan lembaga masyarakat, baik dalam penyusunannya maupun dalam proses implementasinya. Secara teoritis, “koordinasi” dan “sinkronisasi” merupakan dua perhatian utama dalam bidang kelembagaan.

Khusus untuk sektor pertanian, dibutuhkan berbagai kebijakan dan strategi mulai dari kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional. Serta kebijakan mikro berupa kebijakan pengembangan infrastruktur, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, dan pengembangan organisasi petani). Lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan; telah menyebabkan belum dapat menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri perdesaan.

Memperhatikan dokumen RPPK, maka kelembagaan di RPPK dapat dipilah menjadi tiga level, yaitu level di pemerintahan daerah, dan level lokal di tingkat petani. Level pemerintah daerah perlu dibedakan dengan tegas, karena dengan semangat otonomi daerah, maka kewenangan daerah telah menjadi relative besar. Pada tataran ini, kewenangan utama kelembagaan adalah dalam hal pembuatan kebijakan. Beberapa kebijakan yang perlu dirumuskan misalnya kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi berupa kebijakan untuk peningkatan investasi swasta; penataan hak, kepemilikan dan penggunaan lahan; kebijakan pewilayahan komoditas; dan kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian. Dalam analisis kelembagaan, dipelajari kelembagaan-kelembagaan formal maupun “soft institutions” seperti tata aturan, maupun struktur kekuasaan pada berbagai tingkatan.

REVITALISASI KELEMBAGAAN EKONOMI PETANISecara konseptual, tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat memainkan peran

tunggal atau ganda. Berbagai peran yang dapat dimainkan sebuah lembaga adalah sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya alam (misalnya P3A), untuk tujuan aktivitas kolektif (kelompok kerja sambat sinambat), untuk pengembangan usaha (KUA dan koperasi), untuk melayani kebutuhan informasi (kelompok Pencapir), untuk tujuan representatif politik (HKTI), dan lain-lain.

Khusus untuk kegiatan ekonomi, terdapat banyak lembaga perdesaan yang diarahkan sebagai lembaga ekonomi, di antaranya adalah kelompok tani, koperasi, dan Kelompok Usaha Agribisnis. Secara konseptual, masing-masing lembaga dapat menjalankan peran yang sama (tumpang tindih). Koperasi sebagai contoh, dapat menjalankan seluruh aktivitas agribisnis, mulai dari hulu sampai ke hilir.

Pengembangan Gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan aksesibilitas petani terhadap berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga penyedia sarana produksi

Page 2: Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani

pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada prinsipnya, lembaga Gapoktan diarahkan sebagai sebuah kelembagaan ekonomi, namun diharapkan juga mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Terhadap pedagang saprotan maupun pedagang hasil-hasil pertanian, Gapoktan diharapkan dapat menjalankan fungsi kemitraan dengan adil dan saling menguntungkan. Namun demikian, jika Gapoktan dinilai lebih mampu menjalankan peranannya dibandingkan dengan kios saprodi ataupun pedagang pengumpul, maka Gapoktan dapat menggantikan peranan mereka. menggantikan peranan mereka. Untuk menjalankan fungsi pemenuhan kebutuhan informasi teknologi pertanian ataupun informasi pasar, Deptan akan membenahi kelembagaan penyuluhan.

Menurut laporan Deptan (2006), sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah kelembagaan petani yang tercatat adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi tani, 10.527 koperasi tani, dan 272 P4S. Sekarang ini 375 kabupaten/kota atau 86 persen dari total kabupaten/kota mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian dalam bentuk Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/ UPTD/Kelompok Penyuluh Pertanian. Sisanya, yaitu 61 kabupaten/kota (14 %) bentuk kelembagaannya tidak jelas. Sementara itu di Kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian yang terdepan yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187 Kecamatan baru terbentuk 3.557 unit (69 %).

KONSEP DAN STRATEGI YANG DIANUT DEPTAN DALAM PENGEMBANGAN GAPOKTANTujuan utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk memperkuat

kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Deptan, 2006).

Pembentukan Gapoktan, meskipun nanti dapat saja menjadi lembaga yang mewakili kebutuhan petani sebagai representative institution, namun awal terbentuknya bukan dari kebutuhan internal secara mengakar. Ini merupakan gejala yang berulang sebagaimana dulu sering terjadi, yaitu hanya mementingkan kuantitas belaka, namun tidak berakar di masyarakat setempat. Target akhir adalah aktifnya 66.000 Gapoktan hingga tahun 2009. Ini artinya, seluruh desa di Indonesia akan memiliki sebuah Gapoktan.

Gapoktan tersebut akan senantiasa dibina dan dikawal hingga menjadi lembaga usaha yang mandiri, profesional dan memiliki jaringan kerja luas. Lembaga pendamping yang utama adalah Dinas Pertanian setempat, di mana para penyuluh merupakan ujung tombak di lapangan.

Pembentukan Gapoktan didasari oleh visi yang diusung, bahwa pertanian modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada organisasi yang dicirikan dengan adanya organisasi ekonomi yang mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian di perdesaan melalui pertanian, di antaranya adalah dengan membentuk Gapoktan (Sekjen Deptan, 2006).

Pembentukan Gapoktan didasari oleh visi yang diusung, bahwa pertanian modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada organisasi yang dicirikan dengan adanya organisasi ekonomi yang mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian di perdesaan melalui pertanian, di antaranya adalah dengan membentuk Gapoktan (Sekjen Deptan, 2006).

KONSEP PERAN GAPOKTAN DALAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERDESAAN

Page 3: Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani

Sementara itu, “Gapoktan” adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi anggotanya dan petani lainnya. Gapoktan merupakan Wadah Kerjasama Antar Kelompok tani-nelayan (WKAK), yaitu kumpulan dari beberapa kelompok tani- nelayan yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang kepentingan bersama. Dalam Kepmen tersebut, dibedakan antara Gapoktan dengan Asosiasi Petani-Nelayan. Dalam batasan ini, asosiasi adalah kumpulan petani-nelayan yang sudah mengusahakan satu atau kombinasi beberapa komoditas pertanian secara komersial.

Pada prinsipnya, baik Wadah Kerjasama Antar Kelompok tani (WKAK) ataupun Asosiasi Kelompok tani, apabila sudah memiliki tingkat kemampuan yang tinggi dan telah mampu mengelola usaha tani secara komersial, serta memerlukan bentuk badan hukum untuk mengembangkan usahanya; maka dapat ditingkatkan menjadi bentuk organisasi yang formal dan berbadan hukum, sesuai dengan kesepakatan para petani anggotanya. Pengembangan Gapoktan merupakan suatu proses lanjut dari lembaga petani yang sudah berjalan baik, misalnya kelompok-kelompok tani.

Pemberdayaan Gapoktan tersebut berada dalam konteks penguatan kelembagaan. Untuk dapat berkembang sistem dan usaha agribisnis memerlukan penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun kelembagaan usaha dengan pemerintah berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing. Kelembagaan petani dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan masyarakat dan harus tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri.

Dalam hal ini, masyarakat yang tergabung dalam suatu kelompok tani dibimbing agar mampu menemukenali permasalahan yang dihadapi dan potensi yang mereka miliki, serta mampu secara mandiri membuat rencana kerja untuk meningkatkan pendapatannya melalui usahatani dan usaha agribisnis berbasis perdesaan. Tahapan selanjutnya adalah, bahwa beberapa kelompok tani dalam satu desa yang telah dibina kemudian difasilitasi untuk membentuk Gapoktan.

BERBAGAI KESALAHAN DALAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SELAMA INIBerikut diuraikan berbagai permasalahan dalam pengembangan kelembagaan, khususnya bagi kelembagaan yang tergolong ke dalam kelembagaan yang sengaja diciptakan (enacted institution), agar dapat dihindari (Syahyuti, 2003): 1. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan

horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya adalah agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka dapat meningkat. Kelompok tani misalnya adalah kelompok orang- orang yang selevel, yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya.

2. Sebagian besar kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat secara nyata. Adalah hal yang lazim, setiap program membuat satu organisasi baru, dengan nama yang khas. Jarang sekali suatu program dari dinas tertentu menggunakan kelompok-kelompok yang sudah ada.

Page 4: Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani

3. Menerapkan pola generalisasi, sehingga struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam, meniru bentuk kelembagaan usahatani padi sawah irigasi teknis di Pantura Jawa (Zuraida dan Rizal, 1993). Hal ini karena pengaruh keberhasilan pilot project Bimas tahun 1964 di Subang. Pembentukan kelembagaan kurang memperdulikan komplek hal-hal abstrak yang ada di masyarakat bersangkutan, yaitu berupa harapan, keinginan, tujuan, prioritas, norma, kebutuhan, dan lain-lain yang sering kali tidak sesuai dengan program yang diintroduksikan. Karena itulah keberhasilan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada petani pekebun lada di Lampung Utara tidak sesukses penerapan program tersebut di Subang Jawa Barat (Agustian et al., 2003).

4. Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontak-kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada social learning approach.

5. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia.

6. Pengembangan kelembagaan diyakini akan terjadi jika dukungan material cukup. Sebagai contoh, pengembangan UPJA (Unit Pelayanan Jasa Alsintan) dipahami dengan memberikan bantuan traktor, tresher, pompa air, dan lain- lain; bukan bagaimana mengelolanya dengan manajemen yang baik.

BERBAGAI PRINSIP YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERDESAAN TERMASUK GAPOKTAN Setidaknya perlu diperhatikan tiga aspek dalam pengembangan kelembagaan, termasuk Gapoktan, yaitu: 1. Konteks otonomi daerah, 2. Pengembangan kelembagaan sebagai sebuah bentuk pemberdayaan, dan 3. Kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai kemandirian lokal.

Penyelenggaraan otonomi daerah ditekankan pada dua aspek yang sesungguhnya merupakan prinsip dasar kemandirian lokal, yaitu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya, dan mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang yang tercipta. Pengembangan Gapoktan sebagai salah satu komponen kelembagaan perdesaan, saling terkait secara fungsional dengan konsep otonomi daerah, pemberdayaan, dan kemandirian lokal.

SIKAP YANG HARUS DIBANGUN UNTUK PENGEMBANGAN GAPOKTANUntuk pengembangan Gapoktan, maka strategi yang diterapkan semesti- nya tidak

mengulangi lagi kesalahan-kesalahan masa sebelumnya. Berbagai strategi yang semestinya ditempuh adalah:

Pertama, kelembagaan adalah sebuah opsi, bukan keharusan. Apapun kelembagaan yang akan diintroduksikan di perdesaan, mestilah terlebih dahulu merumuskan apa kegiatan yang akan dijalankan, baru kemudian dipilih apa wadah yang dibutuhkan. Jadi, rumuskan dulu aktivitasnya, lalu tentukan wadahnya.

Page 5: Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani

Kedua, sediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan kelembagaan. Pihak pelaksana mesti mampu menyesuaikan diri dengan kelembagaan petani yang akan dikembangkan. Kesalahan selama ini adalah karena menganggap bahwa permasalahan kelembagaan ada di tingkat petani belaka, bukan pada superstrukturnya, padahal mungkin permasalahan (dan sumber permasalahan) ada pada pelaksana. Satu hal yang harus digarisbawahi sebagaimana sudah sering diingatkan adalah, agar pihak pelaksana menyediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan sampai cukup mandiri. Masa tahun anggaran yang satu tahun tidak akan cukup untuk menumbuhkan Gapoktan menjadi mandiri.

Ketiga, perlu dihindari sikap yang memandang desa sebagai satu unit interaksi sosial ekonomi yang otonom dan padu. Meskipun Gapoktan bekerja dalam satu unit desa, namun perlu dibangun jejaring sosial (social network) dengan Gapoktan lain. Relasi yang dibangun bukan bersifat hierarkhis- administratif, namun lebih ke fungsional-ekonomi. Dalam hal peran Gapoktan sebagai lembaga pemasaran, maka relasi jangan membatasi diri hanya dengan lembaga formal. Relasi dengan para pelaku tata niaga, yang cenderung menerapkan suasana nonformal, perlu dibina dengan menerapkan prinsip saling menguntungkan dan keadilan.

Keempat, Gapoktan lebih banyak berperan di luar aktivitas produksi atau usahatani, karena kegiatan tersebut telah dijalankan oleh kelompok-kelompok tani serta petani secara individual. Untuk terlibat dalam mekanisme pasar, maka Gapoktan harus merancang diri sebagai sebuah kelembagaan ekonomi dengan beberapa karakteristiknya adalah mengutamakan keuntungan, efisien, kalkulatif, dan menciptakan relasi-relasi yang personal dengan mitra usaha.

Kelima, Gapoktan hanyalah salah satu komponen dalam pengembangan kelembagaan masyarakat perdesaan. Lebih khusus lagi, Gapoktan hanya bergerak di bidang pertanian. Dengan demikian, pengembangan Gapoktan haruslah berada dalam kerangka strategi yang lebih besar. Gapoktan hanyalah alat atau wadah untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Sebagaimana dijelaskan di atas, maka pembentukan dan pengembangan Gapoktan haruslah berada dalam konteks semangat otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat dan penumbuhan keman- dirian lokal.

NAMA :

1. Atikah Wulansari (135040201111281)2. Siti Mursidah (135040201111291)3. Krisna Admin Nababan (135040201111318)4. Massayu Nessya K (135040201111384)5. Eva Natalina Napitupulu (135040201111433)6. Rivaldi Akbar Pahlevi (135040207111003)7. Dedi Horasio Hutabalian (135040207111021)