32
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan uji sensori pada kecap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ke l Bahan dan Perlakuan Aroma Warna Rasa Kekental an C1 250 gram kedelai hitam + 0,5% inokulum tempe + 1 gram cengkeh ++ + ++ +++ C 2 250 gram kedelai putih + 0,75% inokulum tempe + 1 gram cengkeh - - - - C3 250 gram kedelai hitam + 0,75% inokulum tempe + 1 batang serai + ++ +++ ++ C4 250 gram kedelai putih + 1% inokulum tempe + 1 batang serai +++ ++ +++ ++ C5 250 gram kedelai hitam + 1% inokulum tempe + 1 biji pala ++ +++ +++ +++ Keterangan: Aroma: +++ : sangat kuat Kekentalan: +++ : sangat kental ++ : kuat ++ : kental + :kurang kuat + : kurang kental Warna: +++ : sangat hitam Rasa : +++ : sangat kuat ++ : hitam ++ : kuat 1

KECAP_HYGIENA VENTY V_12.70.0161_C4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Fermentasi kecap termasuk salah satu jenis fermentasi pada substrat padat. Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Proses fermentasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat pangan sebagai akibat pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut (Winarno, 1984). Kecap adalah cairan yang berasa asin berwarna coklat gelap dengan aroma khas (Yue, 1990). Kecap dapat dibuat melalui 3 cara, yaitu fermentasi, hidrolisis asam, serta kombinasi dari fermentasi dan hidrolisis asam.

Citation preview

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan uji sensori pada kecap dapat dilihat pada Tabel 1.Tabel 1. Hasil Pengamatan KecapKelBahan dan PerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan

C1250 gram kedelai hitam + 0,5% inokulum tempe + 1 gram cengkeh++++++++

C2250 gram kedelai putih + 0,75% inokulum tempe + 1 gram cengkeh----

C3250 gram kedelai hitam + 0,75% inokulum tempe + 1 batang serai++++++++

C4250 gram kedelai putih + 1% inokulum tempe + 1 batang serai++++++++++

C5250 gram kedelai hitam + 1% inokulum tempe + 1 biji pala+++++++++++

Keterangan:Aroma:+++: sangat kuatKekentalan: +++ : sangat kental++: kuat ++: kental+:kurang kuat +: kurang kentalWarna:+++: sangat hitam Rasa : +++: sangat kuat++: hitam ++: kuat+: kurang hitam +: kurang kuat

Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa hasil uji sensori terhadap kecap dihasilkan data yang berbeda-beda. Hasil perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan perlakuan, yaitu pada kelompok C1 ditambahkan inokulum 0,5% dan 1 gram cengkeh, kelompok C2 ditambahkan inokulum 0,75% dan 1 gram cengkeh, kelompok C3 ditambahkan inokulum 0,75% dan 1 batang serai, kelompok C4 ditambahkan inokulum 1% dan 1 batang serai, serta kelompok C5 ditambahkan inokulum 1% dan 1 biji pala. Dari perbedaan perlakuan tersebut C4 memiliki aroma yang sangat kuat karena terbuat dari kedelai putih, warna kecap yang sangat hitam terdapat pada kelompok C5. Untuk rasa yang sangat kuat terdapat pada kelompok C3, C4 dan C5. Sedangkan untuk kekentalan kelompok C1 dan C5 dihasilkan kecap yang sangat kental.

18

12. HASIL DAN PEMBAHASAN

Semakin berkembangnya industri pangan, khususnya produk penyedap rasa secara fermentasi maka keberadaan kecap semakin bertambah luas. Pada praktikum fermentasi ini, yang dilakukan yaitu proses fermentasi kecap. Fermentasi kecap termasuk salah satu jenis fermentasi pada substrat padat. Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Proses fermentasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat pangan sebagai akibat pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut (Winarno, 1984). Menurut (Srikandi Fardiaz, 1988) fermentasi merupakan suatu proses enzimatik dimana enzim yang bekerja mungkin sudah dalam keadaan terisolasi yaitu dipisahkan dari selnya atau masih dalam keadaan terikat di dalam sel tersebut. Pada beberapa proses fermentasi yang menggunakan sel mikroba, reaksi enzim mungkin dapat terjadi sepenuhnya di dalam sel mikroba karena enzim yang bekerja bersifat intraselular. Pada proses lainnya reaksi enzim terjadi di luar sel karena enzim yang bekerja bersifat ekstraseluler. Fermentasi kecap, termasuk sakarifikasi pati, gula degradasi, fermentasi alkohol, proteolisis, aroma pembentukan, reaksi asam pantotenat dan Maillard. Reaksi proses batch konvensional dalam pembuatan bir kecap dimulai dengan fermentasi solid-state dari Spesies Aspergillus pada campuran kedelai dan gandum dengan rasio tertentu (Van der Sluis et al., 2001). Selama proses fermentasi aerobik selama 2-3 hari pada suhu 30 C, Aspergillus akan menghasilkan enzim ekstraseluler. Setelah itu, bahan baku yang dibentuk dicampur dengan air garam. Dalam air garam tersebut enzim Aspergillus terus menghidrolisis kedelai dan sebagai hasilnya terbentuklah kecap (Yong dan Wood, 1977).

Bahan pangan berprotein nabati yang sering digunakan sebagai bahan dasar proses fermentasi pangan yaitu kedelai atau jenis kacang- kacangan lain, seperti kacang tanah, kara benguk, dan kacang gude. Di antara bahan- bahan tersebut, yang paling sering digunakan sebagai bahan dasar makanan fermentasi yaitu kedelai, karena kadar proteinnya yang tinggi (Kasmidjo, 1990). Salah satu produk fermentasi berbahan dasar kedelai adalah kecap. Kecap merupakan produk cair yang berwarna coklat gelap serta memiliki rasa asin atau manis dand igolongkan dalam makanan yang memiliki rasa dan aroma menyerupai ekstrak daging. Kecap mempunyai sifat yang mudah dicerna dan diabsorbsi tubuh manusia, karena komponen-komponennya mempunyai berat molekul rendah (Kasmidjo, 1990). Sedangkan berdasarkan SNI 01-354-1994, kecap dapat dikatakan sebagai produk pangan cair yang didapatkan melalui proses fermentasi ataupun proses hidrolisis dari kacang kedelai dengan atau tanpa adanya tambahan bahan makanan lain dan tambahan yang telah diizinkan.

Kecap adalah cairan yang berasa asin berwarna coklat gelap dengan aroma khas (Yue, 1990). Kecap dapat dibuat melalui 3 cara, yaitu fermentasi, hidrolisis asam, serta kombinasi dari fermentasi dan hidrolisis asam. Dibandingkan dengan kecap yang dibuat secara hidrolisis, kecap yang dibuat dengan cara fermentasi biasanya memiliki aroma yang lebih baik. Pembuatan kecap secara fermentasi pada prinsipnya menyangkut pemecahan karbohidrat, protein serta lemak oleh aktivitas enzim kapang, khamir dan bakteri menjadi senyawa sederhana, yang menentukan rasa, aroma, dan komposisi kecap (Koswara, 1997).

Kecap memiliki komposisi gizi yang baik karena kemudahannya untuk dicerna dan diabsorbsi di dalam tubuh manusia. Hal tersebut disebabkan, karena komponen penyusun kecap memiliki berat molekul yang rendah. Protein yang terkandung dalam kecap berbentuk peptida-peptida yang sederhana dan juga asam amino. Kelarutan kecap dengan air mencapai 90%, dimana antara nitrogen amino dan nitrogen total memiliki rasio 45%. Kecap juga memiliki karakteristik kimiawi, yaitu pH antara 4,9 hingga 5 (Kasmidjo, 1990). Sedangkan menurut (Feng et al, 2013) bahwa kecap termasuk produk hasil fermentasi yang mengandung sejumlah komponen dalam bentuk flavor organik serta memiliki sifat mudah menguap/teruap. Terdapat beberapa jenis komponen yang termasuk komponen flavor seperti ester, fenol, alkohol, asam dan ada senyawa-senyawa heterosiklik. Terdapat juga komponen lain selain komponen-komponen tersebut yang sangat berkontribusi pula dalam menentukan flavor dari kecap yaitu asam amino dan asam organik. Pembentukan senyawa-senyawa tersebut terjadi pada saat proses fermentasi berlangsung.

Pada praktikum kali ini bahan dasar yang digunakan untuk pembuatan kecap yaitu kedelai kuning dan kedelai hitam dalam bentuk yang utuh atau hancur dimana sudah dihilangkan lemaknya. Kedelai bebas lemak lebih banyak dipergunakan sehingga bahan dasar karena komponen proteinnya relatif lebih tinggi (Kasmidjo, 1990). Kedelai yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kecap harus berkualitas baik yaitu bebas dan bersih dari sisa tanaman (kulit polong, kulit ari, potongan batang ataupun ranting), bebas dari benda asing seperti batu kerikil atau yang lainnya, dan kondisi biji kedelai juga tidak boleh luka (Santosa, 1994). Pada proses fermentasi kecap ini dbantu oleh adanya jamur, ragi, bakteri, ataupun bisa dengan kombinasi dari mikroorganisme (Shin et al, 2007).

2.1. Tahapan Proses Fermentasi KecapDalam pembuatan kecap kedelai dilakukan beberapa tahapan seperti tahap perebusan biji kedelai, penjamuran/fermentasi kapang (mold fermentation), penggaraman, dan juga perebusan pada akhir. Berikut beberapa tahapan yang dilakukan dalam pembuatan kecap yaitu :a. PenyortiranPenyortiran ini bertujuan untuk memperoleh produk kecap kedelai dengan kualitas yang prima/baik. Penyortiran ini dilakukan dengan cara menyiapkan dan mensortir biji kedelai hitam atau kedelai kuning yang sudah tua.b. PencucianTujuan dari proses pencucian kedelai yaitu untuk membantu menghilangkan kotoran-kotorang yang masih menempel atau tercampur pada biji kedelai.c. Perebusan ITujuan dari proses peebusan yaitu untuk membuat dan memastikan bahwa kedelai menjadi lebih lunak dan mudah dipisahkan dari kulitnya.d. PenirisanTujuan dari proses penirisan yaitu untuk memisahkan kedelai dari air rebusan.e. PenjamuranProses penjamuran dapat dilakukan pada saat kedelai yang telah direbus di dinginkan terlebih dahulu karena apabila dalam kondisi kedelai yang masih panas, maka akan menyebabkan bibit jamur yang ditambahkan akan menjadi mati. Proses penjamuran ini penting, karena akan berpengaruh dan menentukan berhasil atau tidaknya proses pembuatan kecap. Proses penjamuran akan berakhir dengan adanya pertumbuhan jamur pada kedelai yang berwarna putih merata atau berwarna kehijau-hijauan hingga menyerupai tempe.f. PenggaramanProses penggaraman dilakukan dengan cara biji kedelai berjamur tadi dimasukkan pada larutan garam konsentrasi 20%. Pada saat direndam dengan air garam dilakukan penjemuran dengan panas matahari sambil terus diaduk-aduk/dihomogenkan agar merata antara substrat dan biakan.g. Penyaringan IPenyaringan pada tahap ini dilakukan hingga mendapatkan filtrat yang bersih yang nantinya menjadi bahan utama untuk diolah menjadi kecap.h. Perebusan II (pemasakan)Proses perebusan ini dilakukan dengan cara menambahkan air ke filtrat, lalu selanjutnya direbus hingga cairan mendidih. Perebusan ini juga ditambahkan gula dan bumbu-bumbu lain untuk penyedap. Selama proses perebusan larutan kecap harus sering diaduk dan apabila sudah tidak muncul buih maka perebusan dapat dihentikan..i. Penyaringan IIProses terakhir adalah penyaringan II, dimana dalam proses ini akan mendapatkan kecap yang lebih bersih dan siap dikonsumsi.(Santoso, 1994).

Setelah dilakukan tahapan tersebut dan dihasilkan kecap maka selanjutnya dilakukan pengujian sensori untuk mengamati atribut mutu/karakteristik dari kecap tersebut. Tahapan pembuatan kecap sendiri akan melibatkan peranan dari mikroorganisme, dimana mikroorganisme tersebut dapat tumbuh secara alami pada lingkungan yang menjadi tempat dalam pembuatan kecap ini. Pada proses fermentasi kecap digunakan kapang dan ragi (yeast) seperti Aspergillus oryzae, Aspergillus soyae, Aspergillus niger, dan Rhizopus sp serta Lactobacillus delbruckii dan juga ragi Hansenula sp (Astawan & Astawan, 1991). Pada proses pembuatan kecap ini melalui 2 tahap proses fermentasi yaitu tahap fermentasi padat (biasa disebut fermentasi koji/tempe) dan juga tahap fermentasi cair (biasa disebut fermentasi moromi). Waktu yang diperlukan untuk proses fermentasi padat dalam pembuatan kecap sekitar 3-5 hari, sedangkan pada fermentasi cair biasanya memerlukan waktu sekitar 14-28 hari (Purwoko & Noor, 2007). Pada produk kecap terdapat factor penting yang nantinya akan mempengaruhi kualitas atau mutu dari kecap, antara lain seberapa lamanya proses fermentasi dilarutan garam, varietas/jenis kedelai yang menjadi bahan baku, dan juga tentunya kemurnian biakan dari kapang. Astawan & Astawan (1991),

2.1.1. Tahap Fermentasi KojiProses fermentasi kecap diawali dengan tahap fermentasi koji terlebih dahulu. Koji merupakan pemasakan kedelai yang telah diinokulasi dengan kultur fermentasi. Selama pembuatan atau proses koji, Aspergillus oryzae S menghasilkan berbagai enzim amilase dan protease untuk memecah karbohidrat dan protein dalam kedelai (Suganuma T, 2007). Fermentasi koji menghasilkan enzim amylase untuk membebaskan gula dari substrat, sehingga memfasilitasi ragi dalam proses fermentasi. Biasanya strain A. Oryzae digunakan pada suhu 25-30 C (Sooriyamoorthy et al, 2004;. Waites et o al., 2001). Mula- mula disiapkan sebanyak 250 gram kedelai hitam ataupun putih. Untuk kelompok C1,C3 dan C5 menggunakan kedelai hitam sedangkan C2 dan C4 menggunakan kedelai putih. Kedelai tersebut kemudian direndam di dalam air selama 12 jam. Perendaman ini bertujuan memudahkan kedelai untuk menyerap air (hidrasi), sehingga akan memudahkan untuk menghilangkan kulit ari dari kedelai putih tersebut yang nanti hanya akan memerlukan waktu yang singkat karena akan lebih cepat melunak. Proses perendaman ini juga dapat meningkatkan bobot kedelai karena penyerapan air selama perendaman sehingga menjadikan dua kali lipat lebih berat (Kasmidjo, 1990). Selama proses perendaman terjadi perubahan-perubahan kimia tetapi tidak menurunan nutrisi yang banyak, kecuali perbedaan besar pada kandungan karbohidrat (Fukushima, 2003).

Setelah itu kedelai dicuci dan ditirskan hingga kering. Kedelai yang telah dikeringkan setelah itu dilanjutkan pada proses perebusan. Tujuan dari perebusan kedelai agar teksturnya dapat berubah menjadi lunak, merusakkan protein inhibitor yang ada, inaktifvasi zat antinutrisi yang terkandung, menghilangkan bau yang biasanya langu serta dapat membunuh bakteri yang tidak diinginkan yang ada pada permukaan kedelai tersebut (Tortora et al, 1995). Perebusan dilakukan dengan waktu yang singkat sekitar 10 menit, hal ini sesuai dengan teori (Judoamidjojo et al,1989) bahwa perebusan kedelai memerlukan waktu yang lebih singkat, karena pada saat perendaman biji kedelai telah menyerap air cukup banyak.

Gambar 1. Proses perebusan kedelai

Setelah direbus kemudian ditiriskan dan dikeringkan. Disiapkan pula tampah dan daun pisang yang telah di bersihkan terlebih dahulu dengan alkohol. Pemberian alkohol berfungsi untuk memastikan proses berjalan dengan baik tanpa adanya kontaminasi silang dari tampah maupun daun pisang yang di gunakan. Kedelai yang telah kering diletakkan di atas tampah bersih yang dialasi daun pisang. Sebelum diletakkan di atas tampah, kedelai harus dalam kondisi yang dingin dan kering. Apabila masih terkandung kadar air yang terlalu tinggi maka akan menimbulkan lendir di permukaannya. Namun, jangan terlalu dingin juga kedelainya karena menurut Atlas (1984) kondisi kedelai yang hangat setelah perebusan lebih mengoptimalkan pertumbuhan jamur di permukaan kedelai tersebut. Disisi lain kondisi tersebut mampu mengaktifkan enzim-enzim seperti proteinase dan juga enzim amilase. Dengan adanya protein-protein tersebut akan lebih memudahkan untuk jalannya proses fermentasi ini.

Gambar 3. Kedelai dikeringkan di atas tampah yang di alasi daun pisangGambar 2. Penirisan kedelai

Perlakuan selanjutnya yaitu penambahan inokulum. Kedelai yang telah kering tadi di pindahkan ke dalam besek yang telah dilapisi daun pisang. Penambhan inokulum untuk masing-masing kelompok berbeda yaitu kelompok C1 sebanyak 0,5% jumlah inokulum yang dicampurkan, kelompok C2 dan C3 sebanyak 0,75%, inokulum yang ditambahkan sedangkan kelompok C4 dan C5 sebanyak 1% inokulum yang ditambahkan. Menurut (Chancharoonpong et al, 2012) inokulum Aspergillus oryzae atau Rhizopus sp yang dicampurkan akan memproduksi enzim amilase serta enzim protease dimana masing-masing untuk memecah karbohidrat dan juga protein yang ada pada kedelai selama berlangsungnya tahap fermnetasi koji. Inokulum yang ditambahkan harus dipastikan tercampur rata pada semua kedelai. Kedelai tersebut diratakan pada besek yang sudah ada daun pisangnya, dimana tempat tersebut sudah disterilkan dengan alkohol. Setelah itu, kedelai yang telah ditaburi ragi tempe kemudian ditutup dengan menggunakan daun pisang kembali (Santoso, 1994).

Gambar 4. Kedelai di letakkan di besekGambar 5. Kedelai di beri inokulum

Gambar 6. Inokulum di ratakan Gambar 7. Kedelai di tutup dengan daun pisang

Kemudian dilanjutkan dengan proses inkubasi dalam waktu 3 hari dengan kondisi suhu ruang. Proses inkubasi yang dilakukan sesuai dengan teori (Astawan & Astawan, 1991) yakni proses inkubasi yang optimal biasanya pada suhu ruang dan dilakukan selama 3-5 hari untuk menfermentasi kedelai. Selama inkubasi 3 hari disuhu ruang, maka akan memunculkan lembaran putih seperti yang ada pada tempe karena adanya pertumbuhan kapang dari inokulum yang telah dicampurkan. Terbentuknya kapang tersebut menandakan bahwa fermentasi koji sudah berjalan dengan baik tanpa adanya kontaminasi (Sumague et al, 2008). (Wu, Yeong et al. 2010) menjelaskan bahwa adanya penambahan inokulum selama tahap fermentasi koji, maka inokulum tersebut akan memproduksi beberapa enzim seperti protease, amilase, serta ada juga enzim-enzim lainnya. Enzim yang diproduksi tersebut nantinya akan bekerja dengan menghidrolisa bahan baku yang digunakan yaitu kedelai, sehingga bentuknya akan menjadi lebih sederhana. Setelah itu, proses dapat dilanjutkan untuk masuk dalam tahap moromi.

Gambar 8. Kedelai diinkubasi

2.1.2. Tahap Fermentasi MoromiTahap selanjutnya setelah fermentasi koji yaitu fermentasi moromi. Moromi sebagai bahan dasar kecap manis merupakan hasil fermentasi garam dari kedelai yang menggunakan kapang Aspergillus sp. Ekstrak moromi dalam pembuatan kecap mengandung peptida atau protein nabati yang telah terakumulasi dengan asam-asam lemak dan gula sebagai hasil dari aktifitas kapang Aspergillus sp yang memberi cita rasa kecap sedap, namun juga spesifik dengan kandungan nutrisi yang tinggi. Ekstrak moromi mengandung zat gizi lengkap dengan asam-asam aminonya. Keberhasilan fermentasi moromi sangat menentukan kualitas kecap yang dihasilkan. Moromi merupakan fermentasi lanjutan setelah fermentasi padat (Aspiyanto & Susilowati 2002). Pada tahap ini, hasil kedelai yang telah menjadi tempe dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil lalu dikeringkan. Pengecilan ukuran bertujuan untuk memudahkan selama proses pengeringan berlangsung dan membantu pelepasan filamen dengan mudah. Pengeringan dilakukan pada dehumidifier selama 2-4 jam. Pengeringan diperlukan dalam proses ini, karena akan membantu penghilangan kapang yang tumbuh dan melekat menutupi semua permukaan kedelai.

Gambar 9. Kedelai telah menjadi tempe (C1-C5)

Gambar 10. Pengecilan ukuran

Gambar 11. Pengeringan di dehumidifier

Setelah dikeringkan kemudian kedelai diletakkan di dalam toples dengan menambahkan larutan garam 20%. Konsentrasi garam 20% ini mampu mencegah kedelai dari kontaminan yang tidak diinginkan karena dengan adanya kadar garam yang jumlahnya tinggi maka tekanan osmotik yang ada juga tinggi sehingga akan menarik air keluar dari bahan pangan tersebut. Tujuan dari perendaman kedelai dengan menggunakan larutan garam yaitu untuk menimbulkan rasa asin serta sebagai medium selektif dalam pencegahan pertumbuhan mikroba merugikan meskipun terkadang masih ada kemungkinan pertumbuhan dari khamir dan juga bakteri yang diperlukan untuk flavor. Tujuan lain dari proses perendaman ini yaitu untuk mengubah bentuk terlarut dari komponen protein dalam biji kedelai dengan enzim protease yang dihasilkan dari A.oryzae. Perendaman dalam larutan garam dilakukan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa sederhana hasil hidrolisis pada tahap fermentasi oleh jamur ini. Pada saat proses perendaman akan tumbuh bakteri halofilik secara spontan. Dengan adanya bakteri halofilik akan membantu terbentuknya flavor yang khas pada kecap (Astawan & Astawan, 1991). Garam ini merupakan salah satu jenis bahan pembantu dalam bahan pangan yang paling penting dalam pengawetan pangan. Berbagai fungsi garam selain sebagai bahan pengawet juga untuk menghilangkan sejumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme.

Gambar 12. Penambahan larutan garam

Faktor-faktor yang mempengaruhi tahap fermentasi moromi yaitu suhu, nutrisi, pH dan oksigen. Masing-masing jenis mikroba mempunyai suhu optimum untuk pertumbuhan. Mikroba membutuhkan nutrisi untuk kehidupan dan pertumbuhannya yang meliputi sumber karbon, sumber nitrogen, sumber energi dan faktor pertumbuhan (mineral dan vitamin). Nutrisi tersebut digunakan untuk membentuk energi dan menyusun komponen sel. PH medium merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi aktifitas dari mikroba dan kematian dari mikroorganisme. Inokulum yang ditambahkan juga mempengaruhi hasil moromi yang di dapat, karena semakin tinggi konsentrasi inokulum yang di tambahkan maka semakin banyak pula miselium yang di dapatkan. Hal tersebut karena yeast yang bekerja pada tahap ini semakin banyak. Pada umumnya proses pembuatan moromi secara spontan. Pada proses fermentasi secara spontan, jenis mikroba yang tumbuh sangat banyak dan sulit dikontrol (Aspiyanto & Susilowati 2002). Pangan yang difermentasi dapat memperbaiki nilai nutrisi. Pada proses fermentasi moromi prinsipnya adalah kerja proteolisis. Degradasi protein/asam amino tidak hanya berpengaruh pada nilai nutrisi tetapi juga berpengaruh terhadap karakteristik rasa dan flavor yang disebabkan pembentukan senyawa aromatik (Yanfang & Wenyi 2009).

Selanjutnya kedelai didiamkan dalam rendaman selama 1 minggu dengan pengadukan dan pemaparan sinar (penjemuran). Pada proses perendaman ini harus sering diaduk agar larutan garam dapat homogen menyentuh permukaan substrat dan memberikan udara untuk merangsang pertumbuhan khamir dan bakteri (Kasmidjo, Tortora et al (1995). Semakin lama proses perendaman dan penjemuran ini, warna dari larutan garam akan berubah semakin kecoklatan. Hal tersebut dikarenakan adanya reaksi browning yang terjadi antara gugus amino (protein) yang bereaksi bersama senyawa yang termasuk gula pereduksi. Pada tahapan moromi dan juga tahapan koji masih dapat terjadi kontaminasi yang disebabkan oleh adanya bakteri Bacillaceae, sehingga segala prosesnya harus dilakukan secara higienis (Peppler & Perlman, 1979). Setelah 1 minggu di rendam dan dilakukan pengeringan selama 1 jam setiap harinya, maka selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memperoleh filtratnya saja. Menurut Santoso (1994), filtrat yang didapatkan tersebut masuk dalam tahap pemasakan dengan penambahan bumbu-bumbu ataupun bahan lainnya. Bahan utama dalam pembuatan kecap yaitu gula jawa, bunga pekak, kayu manis, laos dan ketumbar. C1 Ketumbar halus yang ditambahkan berfungsi agar dapat terhomogenisasi dengan larutan kecap (Astawan & Astawan, 1991). Terdapat pula bahan atau bumbu tambahan untuk masing-masing kelompok yaitu C1 dan C2 ditambah cengkeh, C3 dan C4 ditambah batang sereh sedangkan C5 ditambahkan pala.

Gambar 13. Penyaringan untuk memperoleh filtrat

Tahap pemasakan mula-mula yaitu dengan memasak filtrat yang telah di saring tadi sebanyak 250 ml dan di tambahkan 750 ml air hingga mendidih. Setelah itu gula jawa di masukkan dan diaduk hingga mencair dan merata seluruhnya. Setelah itu, semua bumbu yang sudah disiapkan dapat langsung dicampurkan menjadi satu dengan larutan kecap. Waktu dihentikannya proses pemasakan adalah pada saat larutan kecap tersebut terasa sudah cukup kental hingga menyerupai kecap komersial. Penambahan gula jawa ini akan membantu dalam peningkatan viskositas serta juga memunculkan flavor yang khas pada kecap. Menurut Kasmidjo (1990), semua bumbu yang di tambahkan nantinya akan berkaitan dengan tekstur dan rasa akhir dari kecap yang dihasilkan.

Gambar 15. Proses pemasakanGambar 14. Penambahan air

Gambar 16. Bahan tambahan

2.2. Hasil Uji Sensori KecapBerdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada praktikum ini, didapatkan hasil uji sensori yang berbeda-beda karena terdapat perlakuan yang berbeda pula dari masing-masing kelompok. Pengujian secara sensori memang sebenarnya kurang begitu akurat sebab bersifat subjektif. Hal tersebut dikarenakan uji sensori hanya berdasarkan panelisnya, sehingga tiap nilainya bergantung pada keakuratan panelis tersebut. Perlakuan yang dilakukan yaitu pada kelompok C1 dengan ditambahkan inokulum 0,5% dan gula jawa, bunga pekak, laos, ketumbar, kayu manis dan 1 gram cengkeh. Untuk kelompok C2 dengan ditambahkan inokulum 0,75% dan gula jawa, bunga pekak, laos, ketumbar, kayu manis dan 1 gram cengkeh. Untuk kelompok C3 dengan ditambahkan inokulum 0,75% dan gula jawa, bunga pekak, laos, ketumbar, kayu manis dan batang sereh yang diikat dan digeprek. Kelompok C4 dengan ditambahkan inokulum 1% dan gula jawa, bunga pekak, laos, ketumbar, kayu manis dan batang sereh yang diikat dan di geprek. Sedankan kelompok C5 dengan ditambahkan inokulum 1% dan gula jawa, bunga pekak, laos, ketumbar, kayu manis dan biji pala yang di geprek dan di parut. Selama proses pembuatan kecap tersebut, kelompok C2 tidak menghasilkan produk kecap. Hal ini di karenakan kedelai yang di gunakan sudah terkontaminasi dan berbau busuk setelah proses inkubasi. Kemungkinan selama proses tidak dilakukan secara aseptis dan hieginis. Pengujian sensori ini melibatkan 4 atribut yang perlu diamati, yaitu dari segi warna, aroma, rasa, dan kekentalan. Kontaminasi tersebut terjadi karena suatu keadaan atau kondisi terdapat bahan pencemar yang terjadi karena tidak dilakukan, tidak disengaja atau karena ketidaktahuan.

Gambar 17. Hasil produk kecap C1, C3, C4 dan C5

Atribut pertama yang diuji sensori yaitu warna. Warna yang dihasilkan dari masing-masing kelompok berbeda. Kelompok C1 dihasilkan warna yang kurang hitam, sedangkan C3 dan C4 dihasilkan warna yang hitam. Untuk C5 dihasilkan warna yang sangat hitam. Munculnya warna hitam yang dihasilkan kecap bersumber dari penambahan gula jawa saat proses pemasakan. Selain itu dikarenakan bahan tambahan lainnya yang berpengaruh. Hal ini juga di dukung dengan teori (Peppler & Perlman, 1979), bahwa semakin lama proses perendaman dan penjemuran kedelai dalam larutan garam, maka warna dari larutan garam akan berubah semakin kecoklatan. Hal tersebut dikarenakan adanya reaksi browning yang terjadi antara gugus amino (protein) yang bereaksi bersama senyawa yang termasuk gula pereduksi. warna coklat kehitaman yang umumnya menjadi warna khas kecap tercipta dari adanya penambahan sejumlah bumbu khususnya penambahan gula. Jenis gula yang terdapat dalam kecap ini antara lain glukosa, galaktosa, maltosa, xilosa, arabinosa dan komponen gula alkohol yaitu gliserol dan manitol (Kasmidjo, 1990).

Atribut kedua yang diuji sensori yaitu aroma, dimana dihasilkan perbedaan aroma kecap pada beberapa kelompok. Aroma kecap yang dihasilkan oleh kelompok C1 dan C5 sama yaitu kuat, pada kelompok C3 aroma yag dihasilkan kurang kuat sedangkan pada kelompok C4 dihasilkan aroma yang sangat kuat. Aroma kecap dipengaruhi oleh senyawa alkohol serta senyawa aromatik yang dihasilkan oleh khamir selama proses fermentasi moromi (Tjahjadi et al, 2004). Munculnya aroma yang dihasilkan dari kecap ini juga di dukung dengan teori Santoso (1994) bahwa aroma didapatkan melalui penambahan bumbu saat proses pemasakkan berlangsung dan juga adanya sejumlah komponen yang bersifat volatil yang dihasilkan saat berlangsungnya proses fermentasi kecap. Adapun beberapa jenis yang termasuk dalam komponen bersifat volatil, seperti 15-alkohol alfatik dan juga aromatik, 14-aldehid alfatik, 14-ester, 9-keton alifatik dan juga lakton, 12-turunan benzen, 9-asam lemak, 5-senyawa furan, 18-terpenoid, 3-pirazin, 1-tiazol, 1-piridin, dan juga 2 komponen mengandung sulfur. Selain itu, aroma kecap timbul karena adanya reaksi kimiawi yang terjadi selama proses pemanasan hingga dihasilkan komponen-komponen nitrogen seperti arginin, kadaverin, putresin, histidin dan amonia. Komponen-komponen ini bila membentuk senyawa garam dengan asam glutamat akan menyebabkan flavor yang enak. Demikian pula arginin, histidin, lisin, putresin dengan asam suksinat juga dapat menyebabkan flavor yang di hasilkan enak (Tortora et al., 1995). Menurut Apriyantono & Gono (2004) menyebutkan bahwa ada pengaruh dari jumlah penambahan inokulum yang dapat mempengaruhi aroma kecap yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah inokulum yang di tambahkan maka didaptkan aroma yang kuat sebab kandungan komponen volatil ikut bertambah. Hasil yang kurang sesuai yaitu kelompok C3 dimana jumlah inokulumnya hanya 0,75% tetapi menghasilkan aroma yang kurang kuat bila di bandingkan dengan C1 yaitu dengan inokulum 0,5% menghasilkan aroma yang kuat. Ketidaksesuaian yang terjadi dapat dipicu oleh beberapa hal, seperti pengaruh waktu fermentasi dan penambahn bumbu saat pemasakan dimana bisa menutup aroma yang dihasilkan oleh komponen volatile. Tahapan utama yang berpengaruh terhadap flavor kecap adalah pada saat proses pemanasan bahan mentah (kedelai), fermentasi koji, fermentasi moromi termasuk saat aging dan pasteurisasi (Nunomura & Sasaki1993).

Atribut ketiga yang diuji sensori yaitu rasa, dimana dihasilkan perbedaan rasa kecap pada beberapa kelompok. Rasa kecap yang dihasilkan oleh kelompok C1 yaitu kuat. Sedangkan kelompok C3, C4 dan C5 di hasilkan rasa kecap yang sangat kuat. Menurut Rahayu et al. (2005), bakteri asam laktat saat proses fermentasi akan tumbuh sehingga mampu mempengaruhi rasa manis kecap yang dihasilkan ini. Saat berlangsungnya fermentasi larutan garam, pH akan menurun karena sebagai akibat proses metabolisme dari bakteri asam laktat dengan menghasilkan asam laktat. Terjadinya penurunan pH akan mampu memberi pada pertumbuhan ragi. Rasa khas pada kecap akan muncul dari ragi yang tumbuh. Menurut Judoadmijojo (1989), komponen terbesar kecap manis adalah karbohidrat, terutama sukrosa, glukosa dan fruktosa. Tingginya kadar gula pada kecap manis disebabkan adanya penambahan gula dalam proses pembuatannya. Sehingga rasa kecap yang dihasilkan sangat manis. Selain itu, selama proses fermentasi moromi mikroorganisme yang ditambahkan akan memfermentasi gula sederhana dan asam amino menjadi asam laktat, asam asetat, dan asam suksinat. Asam laktat dan asam suksinat merupakan komponen yang menyebabkan rasa sedap pada kecap (Tjahjadi et al., 2004).

Kemudian atribut yang terakhir diuji sensori adalah segi kekentalan, dimana dihasilkan perbedaan kekentalan kecap pada beberapa kelompok. Kelompok C1- C3 menghasilkan kecap yang kurang kental dan kelompok C4-C5 menghasilkan kecap yang kental. Rahayu et al. (2005) menambahkan, bahwa proses pemasakan juga mempengaruhi kekentalan dari kecap. Apabila semakin lama proses pemasakan kecapnya, maka sejumlah air akan teruapkan sehingga membuat kecap semakin kental.

Adanya perbedaan aroma, rasa, warna, serta kekentalan dari kecap yang dihasilkan masing-masing kelompok ini dapat dipengaruhi oleh kondisi dan jenis kedelai putih yang digunakan (Muangthai et al., 2007). Kemungkinan ini dapat terjadi karena tempat pembelian kedelai putih masing-masing kelompok berbeda-beda, sehingga tidak bisa mengetahui apakah jenis kedelai putih ini sama atau tidak. Selain itu perbedaan yang dihasilkan dari kelompok C1-C5 di karenakan penambahan inokulum yang tidak sesuai. Sehingga semakin tinggi inokulum yang ditambahkan maka akan menghasikan aroma, rasa, warna dan trksture.

3. KESIMPULAN Pembuatan kecap melalui 2 tahapan fermentasi, yaitu tahap fermentasi koji dan fermentasi moromi. Tahap awal adalah fermentasi koji, dimana akan didapat dengan proses pencampuran kedelai dan juga inokulasi. Tahap kedua yaitu fermentasi moromi, dimana moromi sebagai bahan dasar pembuatan kecap manis yang merupakan hasil fermentasi garam dari kedelai yang menggunakan kapang Aspergillus sp. Inokulum yang digunakan yaitu Aspergillus oryzae atau Rhizopus sp. Semakin tinggi inokulum yang di tambahkan maka akan berpengaruh terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur. Berdasarkan aroma, warna, rasa dan kekentalan produk kecap kelompok C5 lebih bagus dibandingkan kelompok lainnya. Aroma, warna, rasa dan kekentalan yang baik dihasilkan dari kedelai hitam bila di bandingkan dengan kedelai putih.

Semarang, 24 Juni 2015 Asisten Dosen,Praktikan,Hygiena Venty V- Abigail Sharon E12.70.0161- Frisca Melia

184. DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, A dan Gono D. Y. (2004). Perubahan Komponen Volatil Selama Fermentasi Kecap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. VOl XV, No 2.

Astawan, M. & Astawan W. M. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New York.

Chancharoonpong, C; Hsieh, Pao-Chuan; & Sheu, Shyang-Chwen. (2012). Enzyme production and growth of Aspergillus oryzae S. on soybean koji fermentation. APCBEE Procedia 00 (2012) 000000.

Feng J., Zhan X.-B., Zheng Z.-Y., Wang D., Zhang L.-M., Lin C.-C. (2013). New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food Sci., 31: 292305.

Fukushima, D. (2003). Industrialization of Fermented Soy Sauce Production Centering Around Japanese Shoyu.

Judoamidjojo, R. M., Gumbira Said, E. dan Hartoto, L. 1989. Biokonversi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe : mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Koswara, S. (1997). Mengenal makanan tradisional hasil olahan kedelai. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 8 (2): 75-76.

Muangthai, P.; P. Upajak; and W. Patumpai. (2007). Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean.KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2

Nunomura N, Sasaki M. 1986. Soy sauce. dalam Reddy N, Pierson. MD, Solunke, DK (ed). Legume-based Fermented Foods. Florida: CRC Pr Inc

Peppler, H. J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology, Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.

Purwoko, Tjahjadi & Noor Soesanti Handajani. (2007). Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus. Biodiversitas Volume 8 No 2 Halama 223-227.

Rahayu, E.; R. Indrati; T.utami; E. Harmayani & M.N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi Food & Nutition. Collection. PAU Pangan & Gizi. Yogyakarta.

Tjahjadi et al. (2004). Kadar Karbohidrat, Lemak, dan Protein pada Kecap dari Tempe. Bioteknologi 1 (2):48-53, Nopember 2004 ISSN:0216-6887.

Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Shin, R.; Momoyo, S.; Takeo, M. and Nobuyuki, S. (2007). Improvement of Experimentally Induced Hepatic and Renal Disorders in Rats using Lactic Acid Bacteria-fermented Soybean Extract (BiofermenticsTM). Oxford Journals Volume 6(3): p 357-363.

Sooriyamoorthy, S., K. Silva, M. Gunawardhane and C. Liieperuma, 2004. Isolation and identification of indigenous Aspergillus oryzae for saccharification of rice starch. Trop. Agric. Res., 16: 121-127.

Suganuma T, Fujita K, Kitahara K. Some distinguishable properties between acid-stable and neutral types of a-amylase from acidproducing koji. J Biosci Bioeng 2007;104:353-62.

Sumague, M. J. V; Reynaldo C. M.; Erlinda I. D; Ernesto V.C.; and Ninfa P. R. (2008).Predisposing Factors Contributing to Spoilage of Soy Sauce by Bacillus circulans.Philippine Journal of Science 137(3) : 105-114.

Tortora, G. J.; R. Funke & C. L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Van der Sluis, C., J. Tramper and R.H. Wijffels, 2001. Enhancing and accelerating flavour formation by salt-tolerant yeasts in Japanese soy-sauce processes. Trends Food Sci. Technol., 12(9): 322-327.

Winarno, F. G. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.Wu, Ta Yeong, Mun Seng Kan, Lee Fong Siowand Lithnes Kalaivani Palniandy.(2010). Effect of temperature on moromi fermentation of soysauce with intermittent aeration.African Journal of Biotechnology Vol. 9(5), p. 702-706.

Yong, F.M. and B.J.B. Wood, 1977. Biochemical changes in experimental soy sauce Moromi. Int. J. Food Sci. Technol., 12(3): 263-273.

Yue Xu (Yiao Hsu), 1990. Advances in the Soy Sauce Industry in China. J. Ferment. Bioeng., 70: 434-439.

195. LAMPIRAN

5.1. Laporan Sementara5.2. Jurnal

21