29
KECEPATAN DISOLUSI I. TUJUAN PERCOBAAN Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk : 1. Menentukan kecepatan disolusi suatu zat 2. Menggunakan alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat 3. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat II.DASAR TEORI a.Kelarutan Pelarutan merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologi pelarutan obat dalam media “aqueous” merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi sistemik. Laju pelarutan obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Disolosi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorbsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam pelepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Izfilawati Z., 2009).

kecepatan disolusi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Die you leechers! DIE!

Citation preview

Page 1: kecepatan disolusi

KECEPATAN DISOLUSI

I. TUJUAN PERCOBAAN

Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk :

1. Menentukan kecepatan disolusi suatu zat

2. Menggunakan alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat

3. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat

II. DASAR TEORI

a. Kelarutan

Pelarutan merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut

dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologi pelarutan obat dalam media “aqueous”

merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi sistemik. Laju pelarutan obat dengan

kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi

dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Disolosi

merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorbsi obat-

obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan

tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam pelepasan obat dari

bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Izfilawati Z., 2009).

Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi dan

kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat dalam bentuk sediaan

padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelum diabsorpsi.

Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi dan disolusi. Kecepatan obat

mencapai sistem sirkulasi dalam proses disintegrasi, disolusi dan absorpsi, ditentukan

oleh tahap yang paling lambat dari rangkaian di atas yang disebut dengan rate limiting

step. Kecepatan pelepasan obat sediaan lepas lambat, yaitu kecepatan disolusi dianggap

selalu lebih lambat daripada kecepatan absorpsi, atau dengan kata lain kecepatan disolusi

merupakan rate limiting step. Pengaturan absorpsi sistemik obat bentuk sediaan lepas

lambat dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan disolusi. Supaya partikel padat

terdisolusi maka molekul solut pertama-tama harus memisahkan diri dari permukaan

padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan memasuki pelarut. Tergantung pada

kedua proses ini dan bagaimana cara proses transpor berlangsung maka perilaku disolusi

Page 2: kecepatan disolusi

dapat digambarkan secara fisika. Dari segi kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat

murni, ada tiga dasar model fisika yang umum.

a. Model lapisan difusi (diffusion layer model).

Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat

terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ , merupakan komponen kecepatan

negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada

permukaan padat-cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka

“liquid film – bulk film”, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien

konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan

Brown dari molekul dalam liguid film.

b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model).

Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal

ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap

adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam

membahas model ini. Proses pada antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas

kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara

difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).

c. Model Dankwert (Dankwert model).

Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi

melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair karena

terjadi pusaran difusi secara acak (Martin et al, 1990).

Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa

obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Laju disolusi suatu obat adalah

kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut dalam medianya setiap waktu

tertentu. Jadi disolusi menggambarkan kecepatan obat larut dalam media disolusi.

Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut

dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum

menggambarkan proses disolusi zat padat telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney

dalam bentuk persamaan berikut :

dM.dt-1 : kecepatan disolusi

Page 3: kecepatan disolusi

Lapisan Difusa Air

Cs

C

X=0 X=h

D : koefisien difusi

S : luas permukaan zat

Cs : kelarutan zat padat

C : konsentrasi zat dalam larutan pada waktu

H : tebal lapisan difusi

Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama proses

disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau

lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h. Bila konsentrasi zat terlarut di

dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat

diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan

disolusi dapat disederhanakan menjadi

Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama proses

disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau

lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h, seperti tampak pada gambar

berikut.

KONSENTRASI

Zat padat

Larutan

Page 4: kecepatan disolusi

Ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner di dalam mana molekul-

molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari Cs sampai C. dibelakang lapisan difusi

statis tersebut, pada harga x yang lebih besar dari h, terjadi pencampuran dalam larutan,

dan obat terdapat pada konsentrasi yang samaC pada seluruh bulk.

Pada antarmuka permukaan padat dan lapisan difusi, x=0, obat dalam bentuk padat

berada dalam keseimbangan dengan obat dalam lapisan difusi. Perbedaan, atau

perubahan konsentrasi dengan berubahnya jarak untuk melewati lapisan difusi adalah

konstan, seperti terlihat oleh garis lurus yang mempunyai kemiringan (slop) menurun.

Dari persamaan tersebut di atas, tampak beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

kecepatan disolusi suatu zat, yaitu:

1. Suhu

Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat

endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein,

koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut :

D =

Keterangan :

D : koefisien difusi

r : jari-jari molekul

k : konstanta Boltzman

ή : viskosita pelarut

T : suhu

2. Viskositas

Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai

dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan

memperbesar kecepatan disolusi.

3. pH Pelarut

pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau

basa lemah.

Untuk asam lemah

Page 5: kecepatan disolusi

Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan

demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.

Untuk basa lemah

Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan

demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.

4. Pengadukan

Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan

berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.

5. Ukuran Partikel

Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar

sehingga kecepatan disolusi meningkat.

6. Polimorfisme

Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat

yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta

stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan

disolusinya besar.

7. Sifat Permukaan Zat

Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan

adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan

pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya

bertambah.

Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:

a. Sifat fisika kimia obat.

Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan

efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan

diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air

Page 6: kecepatan disolusi

juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih

mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat

membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang

berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara

umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf,

kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk

kristal.

b. Faktor alat dan kondisi lingkungan.

Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan

perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi

kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan

semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur,

viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat

mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.

c. Faktor formulasi.

Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat

mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara

medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung

dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti

magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium

disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan

obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak

larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih

sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi (Martin et

al,1990).

Menurut sumber lain, yang mempengaruhi kecepatan disolusi terbagi menjadi tiga.

Yaitu:

a. Faktor intrinsik obat

Luas permukaan spesifik partikel

Page 7: kecepatan disolusi

Distribusi ukuran partikel

Bentuk partikel

Polimorfi

Bentuk asam, basa, garam

b. Faktor lingkungan medium

Temperatur

Viskositas cairan

Konsentrasi partikel yang terdisolusi

Kecepatan mengalirnya cairan

Komposisi medium disolusi : pH, kekuatan ionisasi, tegangan permukaan.

c. Faktor teknologi

Perbedaan metode yang digunakan dalam produksi turut mempengaruhi disolusi obat.

Demikian pula pengunaan bahan-bahan tambahan dalam produksi. Contoh bahan

tambahan yang sering digunakan pensuspensi yang akan menurunkan laju disolusi

karena kenaikan adalah kekentalan. Contoh lain adalah bahan pelicin yang bersifat

hidrofob karena mampu menolak air sehingga menurunkan laju disolusi obat

(Isfilawati Z,2009).

Penentuan kecepatan disolusi suatu zat dapat dilakukan melalui metode :

1. Metode Suspensi

Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan eksak terhadap

luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah

zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai.

2. Metode Permukaan Konstan

Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable

perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi

tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti pada metode suspensi.

Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji

disolusi tipe dayung seperti yang tercantum pada USP. Sedangkan untuk metode

Page 8: kecepatan disolusi

permukaan tetap, dapat digunakan alat seperti diusulkan oleh Simonelli dkk sebagai

berikut.

Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan

karena kecepatan disolusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi

obat di dalam tubuh. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat aktif dapat dilakukan pada

beberapa tahap pembuatan suatu sediaan obat, antara lain :

1. Tahap Pra Formulasi

Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap bahan baku obat

dengan tujuan untuk memilih sumber bahan baku dan memperoleh informasi tentang

bahan baku tersebut.

2. Tahap Formulasi

Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk memilih formula sediaan

yang terbaik.

3. Tahap Produksi

Pada tahap ini kecepatan disolusi dilakukan untuk mengendalikan kualitas sediaan

obat yang diproduksi (Martin et al,1990).

b. Asam Salisilat

Asam salisilat merupakan serbuk hablur halus putih, biasanya berbentuk jarum

halus, rasa agak manis, tajam dan stabil di udara. Bentuk sintetis warna putih dan

tidak berbau. Asam salisilat sukar larut dalam air dan dalam benzena, mudah larut

dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air mendidih dan agak sukar larut dalam

kloroform (Anonim a, 1995).

Page 9: kecepatan disolusi

Asam salisilat (asam ortohidroksibenzoat) merupakan asam yang bersifat iritan

lokal, yang dapat digunakan secara topikal. Terdapat berbagai turunan yang

digunakan sebagai obat luar, yang terbagi atas 2 kelas, ester dari asam salisilat dan

ester salisilat dari asam organik. Di samping itu digunakan pula garam salisilat.

Turunannya yang paling dikenal asalah asam asetilsalisilat.

Asam salisilat mendapatkan namanya dari spesies dedalu (bahasa Latin: salix),

yang memiliki kandungan asam tersebut secara alamiah, dan dari situlah manusia

mengisolasinya. Penggunaan dedalu dalam pengobatan tradisional telah dilakukan

oleh bangsa Sumeria, Asyur dan sejumlah suku Indian seperti Cherokee.

Salisilat umumnya bekerja melalui kandungan asamnya. Hal tersebut

dikembangkan secara menetap ke dalam salisilat baru. Selain sebagai obat, asam

salisilat juga merupakan hormon tumbuhan. (Anonim b, 2009)

Struktur Asam salisilat :

III. CARA KERJA

Dibuat 10 seri larutan dengan kadar 100 mg asam salisilat dalam 10 mL air suling

Dimasukkan dalam shaker

Motor penggerak dihidupkan pada kecepatan 10 ppm

Diambil sebanyak 1 sampel dari bejana setiap selang waktu 5, 15, 20, 25, dan 30 menit

setelah pengadukan

Kadar asam salisilat terlarut dari setiap sample ditentukan dengan cara titrasi asam-basa

menggunakan NaOH 0,05 N dan indicator fenolftalen. Dilakukan koreksi perhitungan kadar

Page 10: kecepatan disolusi

yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian

larutan dengan air suling.

Dilakukan percobaan yang sama untuk kecepatan pengadukan 30 ppm. Hasil yang diperoleh

ditabelkan. Antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu dibuat kurva

untuk setiap kecepatan pengadukan (di dalam satu grafik).

IV. ALAT dan BAHAN

A. Alat

1. Tabung reaksi

2. Erlenmeyer

3. Beaker glass

4. Batang pengaduk

5. Buret

6. Shaker

7. Motor penggerak

8. Pipet tetes

B. Bahan

1. Asam salisilat

2. Air suling

3. NaOH 0,05 N

4. Phenolftalein

V. HASIL DAN PERHITUNGAN

A. Hasil

1. Pengadukan dengan Kecepatan 100 ppm

Page 11: kecepatan disolusi

No.Waktu

(menit)

Air Suling

(mL)

Asam

Salisilat (g)

NaOH

(mL)

Perubahan Warna

Sebelum Sesudah

1. 5 100 1 1,30 Bening Merah muda

2. 15 100 1 1,70 Bening Merah muda

3. 20 100 1 1,75 Bening Merah muda

4. 25 100 1 1,80 Bening Merah muda

5. 30 100 1 1,90 Bening Merah muda

2. Pengadukan dengan Kecepatan 300 ppm

No.Waktu

(menit)

Air Suling

(mL)

Asam

Salisilat (g)

NaOH

(mL)

Perubahan Warna

Sebelum Sesudah

1. 5 100 1 1,90 Bening Merah muda

2. 15 100 1 1,90 Bening Merah muda

3. 20 100 1 1,95 Bening Merah muda

4. 25 100 1 1,95 Bening Merah muda

5. 30 100 1 1,95 Bening Merah muda

B. Perhitungan

1. Konsentrasi NaOH

N = M x ek

M =

M =

M = 0,05 mol/L

= 0,05 M

2. Konsentrasi Asam Salisilat

a. Kecepatan Pengadukan 100 ppm

Menit ke-5

Diketahui : V NaOH = 1,30 mL

Page 12: kecepatan disolusi

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

V Asam Salisilat = 5 mL

Ditanya : Konsentrasi asam salisilat…….?

Perhitungan :

VNaOH x MNaOH = Vasam salisilat x Masam salisilat

1,3 mL x 0,05 M = 5 mL x Masam salisilat

Masam salisilat = 0,013 M

Menit ke-15

Diketahui : V NaOH = 1,70 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

V Asam Salisilat = 5 mL

Ditanya : Konsentrasi asam salisilat…….?

Perhitungan :

VNaOH x MNaOH = Vasam salisilat x Masam salisilat

1,70 mL x 0,05 M = 5 mL x Masam salisilat

Masam salisilat = 0,017 M

Menit ke-20

Diketahui : V NaOH = 1,75 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

V Asam Salisilat = 5 mL

Ditanya : Konsentrasi asam salisilat…….?

Perhitungan :

VNaOH x MNaOH = Vasam salisilat x Masam salisilat

1,75 mL x 0,05 M = 5 mL x Masam salisilat

Masam salisilat = 0,0175 M

Menit ke-25

Diketahui : V NaOH = 1,80 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

V Asam Salisilat = 5 mL

Ditanya : Konsentrasi asam salisilat…….?

Perhitungan :

Page 13: kecepatan disolusi

VNaOH x MNaOH = Vasam salisilat x Masam salisilat

1,80 mL x 0,05 M = 5 mL x Masam salisilat

Masam salisilat = 0,018 M

Menit ke-30

Diketahui : V NaOH = 1,90 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

V Asam Salisilat = 5 mL

Ditanya : Konsentrasi asam salisilat…….?

Perhitungan :

VNaOH x MNaOH = Vasam salisilat x Masam salisilat

1,90 mL x 0,05 M = 5 mL x Masam salisilat

Masam salisilat = 0,019 M

b. Kecepatan Pengadukan 300 ppm

Menit ke-5

Diketahui : V NaOH = 1,90 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

V Asam Salisilat = 5 mL

Ditanya : Konsentrasi asam salisilat…….?

Perhitungan :

VNaOH x MNaOH = Vasam salisilat x Masam salisilat

1,90 mL x 0,05 M = 5 mL x Masam salisilat

Masam salisilat = 0,019 M

Menit ke-15

Diketahui : V NaOH = 1,90 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

V Asam Salisilat = 5 mL

Ditanya : Konsentrasi asam salisilat…….?

Perhitungan :

VNaOH x MNaOH = Vasam salisilat x Masam salisilat

1,90 mL x 0,05 M = 5 mL x Masam salisilat

Masam salisilat = 0,019 M

Page 14: kecepatan disolusi

Menit ke-20

Diketahui : V NaOH = 1,95 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

V Asam Salisilat = 5 mL

Ditanya : Konsentrasi asam salisilat…….?

Perhitungan :

VNaOH x MNaOH = Vasam salisilat x Masam salisilat

1,95 mL x 0,05 M = 5 mL x Masam salisilat

Masam salisilat = 0,0195 M

Menit ke-25

Diketahui : V NaOH = 1,95 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

V Asam Salisilat = 5 mL

Ditanya : Konsentrasi asam salisilat…….?

Perhitungan :

VNaOH x MNaOH = Vasam salisilat x Masam salisilat

1,95 mL x 0,05 M = 5 mL x Masam salisilat

Masam salisilat = 0,0195 M

Menit ke-30

Diketahui : V NaOH = 1,95 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

V Asam Salisilat = 5 mL

Ditanya : Konsentrasi asam salisilat…….?

Perhitungan :

VNaOH x MNaOH = Vasam salisilat x Masam salisilat

1,95 mL x 0,05 M = 5 mL x Masam salisilat

Masam salisilat = 0,0195 M

VI. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, dilakukan uji kecepatan disolusi yang bertujuan untuk

menentukan kecepatan disolusi suatu zat, menggunakan alat penentuan kecepatan

Page 15: kecepatan disolusi

disolusi suatu zat, dan menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan

disolusi suatu zat.

Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat

terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Kecepatan disolusi suatu zat dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu, viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran

partikel, polimorfisme, dan sifat permukaan zat (Tim Penyusun, 2009). Pada praktikum

ini, faktor yang diperhatikan dalam uji kecepatan disolusi adalah faktor pengadukan.

Pengujian kecepatan disolusi dilakukan terhadap asam salisilat dalam air. Rumus

molekul adalah C7H6O3 dan rumus strukturnya sebagai berikut (Anonim c, 1979):

Dari rumus struktur di atas, terlihat bahwa asam salisilat memiliki gugus polar dan

gugus nonpolar. Gugus polar dari asam salisilat adalah gugus –OH dan gugus nonpolar

pada asam salisilat adalah gugus cincin benzen. Struktur tersebut menyebabkan asam

salisilat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut non polar. Namun,

karena memiliki gugus polar dan nonpolar sekaligus dalam satu gugus, asam salisilat

sukar larut dengan sempurna pada pelarut polar saja atau pelarut nonpolar saja. Asam

salisilat sukar larut pada air yang merupakan pelarut polar dan benzena yang merupakan

pelarut nonpolar, tetapi mudah larut pada etanol dan eter yang merupakan pelarut

semipolar (Anonim a, 1995).

Metode yang digunakan dalam penentuan kecepatan disolusi adalah metode

suspensi, dimana serbuk asam salisilat dimasukkan ke dalam air tanpa melakukan

pengontrolan eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu

tertentu dan kadar zat yang larut ditentukan. Alat yang digunakan adalah pengaduk

(shaker) yang berupa Stirrer SS 2. Percobaan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan

kecepatan pengadukan yang berbeda untuk mengetahui pengaruh kecepatan pengadukan

terhadap kecepatan disolusi.

Proses penentuan kecepatan disolusi asam salisilat dalam air diawali dengan

menimbang asam salisilat sebanyak 1 gram yang kemudian dimasukkan ke dalam beaker

dan ditambahkan dengan 100 mL air suling. Beaker diletakkan di bawah shaker dan

Page 16: kecepatan disolusi

motor penggerak dinyalakan dengan kecepatan 100 ppm. Larutan diambil sebanyak 5

mL pada menit ke-5, 15, 20, 25, dan 30. Setiap pengambilan 5 mL larutan dari beaker,

diimbangi dengan penambahan 5 mL air suling ke dalam beaker agar volume larutan

konstan. Proses ini diulangi dengan mengubah kecepatan pada shaker menjadi 300 ppm.

Kadar asam salisilat yang larut ditentukan dengan titrasi menggunakan NaOH 0,05

N sebagai pentiter dan phenolphthalein 3 tetes sebagai indikator. Pada titik akhir titrasi,

warna larutan asam salisilat akan berubah dari bening menjadi merah muda. Pada titik

akhir titrasi, jumlah mol asam salisilat sama dengan jumlah mol NaOH. Reaksi yang

terjadi selama proses titrasi adalah sebagai berikut.

Asam Salisilat + NaOH Natrium Salisilat + H2O

Pada pengadukan dengan kecepatan 100 ppm, volume NaOH yang dibutuhkan

untuk menitrasi larutan asam salisilat dan kadar asam salisilat yang diperoleh dari

perhitungan dapat dilihat pada tabel berikut.

No.Waktu

(menit)

NaOH

(mL)

Kadar Asam Salisilat

(M)

Perubahan Warna

Sebelum Sesudah

1. 5 1,30 0,013 Bening Merah muda

2. 15 1,70 0,017 Bening Merah muda

3. 20 1,75 0,0175 Bening Merah muda

4. 25 1,80 0,018 Bening Merah muda

5. 30 1,90 0,019 Bening Merah muda

Sedangkan, pada pengadukan dengan kecepatan 300 ppm, volume NaOH yang

dibutuhkan untuk menitrasi larutan asam salisilat dan kadar asam salisilat yang diperoleh

dari perhitungan adalah sebagai berikut.

No.Waktu

(menit)

NaOH

(mL)

Kadar Asam Salisilat

(M)

Perubahan Warna

Sebelum Sesudah

1. 5 1,90 0,019 Bening Merah muda

2. 15 1,90 0,019 Bening Merah muda

Page 17: kecepatan disolusi

3. 20 1,95 0,0195 Bening Merah muda

4. 25 1,95 0,0195 Bening Merah muda

5. 30 1,95 0,0195 Bening Merah muda

Dari kedua tabel di atas, terlihat bahwa konsentrasi asam salisilat pada pengadukan

dengan kecepatan 100 ppm lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi pada

pengadukan dengan kecepatan 300 ppm. Hal ini disebabkan karena kecepatan

pengadukan mempengaruhi tebal lapisan difusi. Sehingga, pengadukan yang cepat

mampu mengurangi tebal lapisan difusi dengan cepat yang menyebabkan kecepatan

disolusi zat (asam salisilat) dalam pelarutnya (air suling) meningkat.

Selain kecepatan pengadukan, lama pengadukan juga dapat mempengaruhi

kecepatan disolusi. Hubungan antara lama pengadukan dengan konsentrasi asam salisilat

yang diperoleh adalah sebagai berikut.

Dari grafik di atas, terlihat bahwa konsentrasi asam salisilat pada pengadukan

dengan kecepatan 100 ppm semakin lama semakin meningkat. Sedangkan, konsentrasi

asam salisilat pada pengadukan dengan kecepatan 300 ppm hanya mengalami

peningkatan sekali, yaitu pada menit ke-20. Hal ini disebabkan karena pada pengadukan

dengan kecepatan 100 ppm, laju disolusi asam salisilat dalam air lambat sehingga waktu

yang dipelukan untuk menjenuhkan asam salisilat lebih lama. Karenanya konsentrasi

Page 18: kecepatan disolusi

asam salisilat dalam air semakin lama semakin meningkat. Jika percobaan dilanjutkan,

maka konsentrasi asam salisilat semakin lama akan meningkat hingga tercapai keadaan

jenuh dan konsentrasinya akan tetap karena kelarutan asam salisilat dalam air tebatas.

Pada pengadukan dengan kecepatan 300 ppm, konsentrasi asam salisilat dalam air

tidak banyak mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan karena laju disolusi yang

besar sehingga mempercepat tercapainya kondisi dimana asam salisilat telah jenuh

sehingga konsentrasi asam salisilat tidak banyak mengalami peningkatan. Dari sini dapat

dilihat bahwa semakin cepat pengadukan semakin besar laju disolusi, begitu pula

semakin lama dilakukan pengadukan semakin besar pula laju disolusi.

VII.KESIMPULAN

1. Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut

dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu.

2. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat adalah faktor

pengadukan

3. Pengadukan dengan kecepatan 300 ppm menghasilkan konsentrasi asam salisilat yang

lebih besar dibandingkan pada kecepatan 100 ppm karena pengadukan yang semakin

cepat akan memperbesar laju disolusi.

4. Pada pengadukan dengan kecepatan 100 ppm, semakin lama pengadukan

menghasilkan konsentrasi asam salisilat yang semakin besar karena semakin lama

pengadukan yang, semakin besar pula laju disolusi.

5. Pada pengadukan dengan kecepatan 300 ppm, konsentrasi asam salisilat hanya

mengalami peningkatan sekali karena ada kemungkinan larutan asam salisilat yang

terbentuk telah jenuh.

Page 19: kecepatan disolusi

DAFTAR PUSTAKA

Anonim a. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta : Departemen

Kesehatan Republik Indonesia

Anonim b. 2009. Asam Salisilat

Available at : http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_salisilat

Opened at: 13 November 2009

Anonim c. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Kedua. Jakarta : Departemen Kesehatan

Republik Indonesia

Anonim d. 2009. Kecepatan disolusi.

Available at : http://Otetatsuya’sblog.html

Opened at: 30 Oktober 2009

Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta : Penerbit

Universitas Indonesia

Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta : Penerbit

Universitas Indonesia

Tim Penyusun. 2009. Petunjuk Praktikum Farmasi Fisika. Bukit Jimbaran : Jurusan

Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Underwood, A. L, dan Day, R. A. 1981. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keempat.

Surabaya : Penerbit Erlangga