Kedaruratan Medis Pada Fraktur Rahang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fraktur rahang

Citation preview

KEDARURATAN MEDIS PADA FRAKTUR RAHANG

PAGE 14

KEDARURATAN MEDIS PADA FRAKTUR RAHANG

I. PENDAHULUANKedaruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang pada setiap saat dan dimana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak, kecelakaan atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara baik di rumah sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa mencegah dan membatasi cacat serta meringankan penderitaan dari penderita.

Keadaan ini selain membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang baik dari penolong dan sarana yang memadai, juga dibutuhkan pengorganisasian yang sempurna.

Fraktur rahang adalah salah satu trauma oromaksilofasial yang merupakan masalah yang sering dijumpai dewasa ini sebagai akibat berkembangnya teknologi transportasi dan industri, sehingga kecelakaan lalu lintas, kecelakaan akibat kerja maupun penganiayaan insidensinya bertambah. Trauma pada daerah ini sering disertai dengan komplikasi yang membahayakan jiwa penderita, dapat berupa obstruksi jalan napas, perdarahan, dan tingkat kesadaran yang menurun atau hilang sama sekali (Peterson, 1998; David, 1999).

Trauma oromaksila dapat mengenai daerah maksila dan mandibula. Fraktur maksila lebih jarang bila dibandingkan dengan fraktur mandibula, namun dengan bertambah cepat dan tingginya kecelakaan transportasi, insidensinya bertambah tinggi.

Rene Le Fort mengelompokkan fraktur wajah bagian tengah menjadi fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Fraktur mandibula menempati urutan kedua setelah fraktur nasal dan urutan kesepuluh dari seluruh tubuh, hal ini disebabkan mandibula merupakan bagian yang menonjol dari wajah dan bentuknya menyerupai busur panah yang tipis dan merupakan tempat perlekatan otot-otot pengunyahan sehingga mempunyai pergerakan yang lebih aktif. Beberapa penulis mengklasifikasikan fraktur mandibula, diantaranya Kruger, yang membagi menjadi simple fracture, greenstick fracture, compound fracture, comminuted fracture (Kruger, 1984).Dalam makalah ini akan dibahas tentang penanganan kegawatdaruratan medik pada trauma oromaksilofasial sebelum dilakukan penanganan definitif dari fraktur maksila dan mandibula.

II. PENANGANAN TRAUMA OROMAKSILOFASIAL

Pada umumnya penderita dengan trauma oromaksilofasial terjadi bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh yang lain (trauma multiple). Sehingga tahap-tahap penangannnya bersamaan dengan penanganan trauma yang lainnya. Adapun tahap-tahap penanganan trauma adalah sebagai berikut (Raymond, 1991):

1.Penanganan yang dilakukan sebelum dibawa ke rumah sakit

a. Mempertahankan jalan napas

b. Menghentikan perdarahan eksternal

c. Stabilisasi fraktur

d. Stabilisasi tulang belakang

e. Tranportasi cepat (Ambulatory)2. Resusitasi dan pananganan primer

a. ABC (Airway, Breathing, Circulation)b. Resusitasi cairan

c. Pemantauan

3. Diagnosis dan penanganan sekunder

a. Pemeriksaan fisik menyeluruh

b. Radiografi

c. Pemeriksaan Laboratorium

d. Resusitasi dan pemantauan lanjut

4. Perawatan Definitif

a. Pembedahan

b. Perawatan non operatif

c. Nutritional support

5. Rehabilitasi

III. PENANGANAN SEBELUM KE RUMAH SAKIT

Tujuan penanganan sebelum penderita dibawa ke rumah sakit yaitu menyelamatkan jiwa penderita sebelum mendapatkan penanganan yang lebih lanjut di rumah sakit. Penyebab kematian paling sering sebelum penderita tiba di rumah sakit adalah trauma pada otak dan sumsum tulang belakang.

Perawatan penderita cedera akut dengan faktur pada daerah wajah, pertama kali harus ditujukan pada penyelamatan jiwa dengan memperhatikan jalan nafas dan pernafasan, dan sirkulasi (Air ways, Breathing, Circulation), serta kontrol perdarahan (Kruger, 1984; Rowe, 1994).

Jalan nafas penderita dengan fraktur oromaksilofasial dapat terganggu dengan adanya sumbatan dari jalan nafas, yang dapat disebabkan oleh gigi palsu yang terdorong masuk ke jalan pernafasan, fragmen tulang, gigi yang terlepas ke daerah tenggorokan, gumpalan darah yang membeku, dinding faring yang kolaps, lidah terkulai ke belakang, sehingga menyebabkan hipoksia pada otak. Pada keadaan ini penolong dapat memberikan nafas buatan dan jika perlu dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeotomi.

Gambar. Pemasangan Tube Endotrakeal

a. insisi kulit

b. rawat perdarahan

c. anestesi local

d. melubangi trakea

Gambar. TrakeotomiKematian pada penderita dengan trauma oromaxillofasial juga dapat disebabkan oleh perdarahan yang tidak cepat diatasi. Perdarahan dapat terjadi secara internal maupun eksternal. Pada perdarahan internal hanya dapat diatasi di rumah sakit. Penanganan perdarahan di tempat kecelakaan diutamakan pada perdarahan eksternal. Cara mengatasinya dengan melakukan penekanan pada luka dan jika perdarahan masih berlangsung terus dilakukan pengikatan (ligasi). Perdarahan yang keluar dari hidung dapat diatasi dengan meletakan tampon di lubang hidung depan dan belakang (Hutchison, 1996).

Gambar. Penanganan Perdarahan Hidung

Pemberian cairan intravena dapat diberikan jika transportasi diperkirakan memerlukan waktu lebih dari 30 menit, atau perdarahan berat melebihi 50 cc permenit. Pergunakan cairan hipertonik (Raymond, 1991).

Sebelum penderita dibawa ke rumah sakit usahakan dilakukan stabilisasi dari frakturnya dengan cara menggunakan splint/spalk atau pengikatan. Penderita hanya boleh dipindahkan jika tidak terdapat fraktur tulang belakang atau leher. Lakukan stabilisasi fraktur tulang terlebih dahulu sebelum memindahkan pasien dengan cara menggunakan neck colar hard (penyangga leher yang kaku) dan scoop stretcher untuk fraktur tulang belakang. Untuk fraktur pada daerah oromaksilofasial dapat dilakukan dengan pengikatan dari atas kepala ke dagu (Hutchinson, 1996).IV. RESUSITASI DAN PENANGANAN PRIMER

Seringkali trauma oromaksilofasial terjadi bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh lain (trauma multiple), misalnya trauma mengenai cerebro kardiovaskuler, saraf, dada, dan anggota gerakan lainnya. Pada keadaan ini kita mendahulukan penanganan trauma yang paling mengancam jiwa.

Untuk penderita dengan trauma oromaksilofasial pendekatan awal sedikit berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernafasan dan kontrol perdarahan eksternal, sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan-keadaan itu harus ditangani lebih dahulu oleh karena mengancam jiwa penderita (Basoeseno dan Purwanto, 1996).

Gangguan jalan napas dapat dilihat dari beberapa keadaan seperti stridor (napas berbunyi), sianosis, takhipnea lebih dari 25 kali permenit, retraksi interkostal dan bernapas menggunakan otot tambahan. Gangguan jalan napas pada trauma oromaksilofasial dapat disebabkan oleh keadaan-keadaan seperti glossoptosis floating maksila pada fraktur Le Fort II dan III.

Glossoptosis pada umumnya karena fraktur mandibula segmental dan dislokasi sehingga lidah seakan-akan lepas dari organnya, akibatnya dapat terjadi gangguan napas dan mengganggu proses menelan, sehingga air ludah, darah, pecahan gigi akan terkumpul dalam rongga mulut. Pada penderita dengan gangguan kesadaran dapat menyebabkan aspirasi. Floating maksila pada fraktur maksila Le Fort II dan III dimana maksila terlepas dari segmen atas dan menyumbat jalan napas. Untuk mengatasi keadaankeadaan ini dengan cara membersihkan orofaring dari hematom, muntahan, benda-benda asing seperti gigi palsu dengan bantuan penghisap yang mempunyai lubang besar (plastik Yankauer). Pergunakan laringoskop untuk memeriksa dan membantu dalam pengisapan orofaring dari laring. Disamping itu dapat dilakukan dengan cara manual yaitu dengan menggunakan jari yang diletakkan di lateral (daerah pipi) dengan ujung jari di belakang mulut, kemudian jari mengorek ke medial dan depan untuk mengeluarkan debris. Jari jangan didorong lurus sebab mengakibatkan debris terdorong masuk ke dalam saluran pernapasan kemudian diulangi pada bagian mulut seberangnya (Hutcinson, 1996).

Untuk mengatasi obstruksi napas oleh karena floating maksila pada fraktur maksila Le Fort II dan III dimana maksila terlepas dari segmen atas dengan cara menarik maksila ke depan. Masukkan jari telunjuk dan jari tengah ke dalam mulut dan letakkan di belakang atas palatum mole, sedangkan ibu jari diletakkan di tempat gigi incisivus (Hutchinson, 1996).

Gambar : Cara mengatasi mengatasi obstruksi napas oleh karena fraktur maksila Le Fort II dan III (Hutchinson, 1996).

Fraktur corpus mandibula bilateral atau fraktur simfisis dapat menyebabkan insersi lidah jatuh ke belakang ada saat penderita tidur terlentang, hal ini menyebabkan penutupan pada orofaring. Cara mengatasinya dengan melakukan retraksi lidah dengan benang yang dijahitkan transversal di daerah dorsum lidah, kemudian meletakkan tarikan benang tersebut ke wajah samping dengan bantuan plester (Hutchinson, 1996).

Gambar : Cara mengatasi obstruksi napas pada fraktur mandibula bilateral (Hutchinson, 1996).Pemberian pernafasan dapat menggunakan sungkup (Face Mask) atau kanula hidung. Pada fraktur wajah penggunaaan sungkup tidak dimungkinkan sehingga pemberian oksigen melalui hidung segera dilakukan. Jika dengan cara tersebut belum mencukupi dilakukan intubasi melalui mulut atau hidung, dan diberikan oksigen 100%. Kadang-kadang pada trauma oromaksilofasial yang luas intubasi tidak dapat dilakukan sehingga diperlukan trakeostomi. Intubasi dan trakeostomi hanya dapat dilakukan pada penderita yang tidak sadar.

Perdarahan dari fraktur oromaksilofasial dapat terjadi perdarahan pada rongga mulut, hidung, sinus paranasalis, nasofaring (dari basis cranii) atau perdarahan dari hidung (fraktur nasalis, fraktur maksila).

Penanganan perdarahan eksternal pada trauma oromaksilo fasial sudah harus dilakukan saat sebelum tiba di rumah sakit. Jika belum dilakukan, hendaknya dilakukan bersamaan dengan penanganan jalan nafas. Penjepitan pembuluh darah secara acak harus dihindari karena dapat membahayakan pembuluh darah balik dan saraf.Perdarahan yang banyak bisa mengakibatkan syok hipovolemik. Untuk cukup atau tidaknya aliran darah dapat diketahui dengan memperhatikan keadaan-keadaan seperti tensi yang menurun, denyut nadi yang melemah, nafas yang cepat, dan perabaan pada daerah akral dari ektremitas. Resusitasi cairan dapat diberikan sesuai dengan keadaan klinis. Tabel di bawah ini menunjukkan pengelolaan syok hipovolemik (perdarahan).

Kl IKl IIKl IIIKl IV

Perdarahan %

cc< 15

75015 30

800-150030 40

1500-2000> 40

>2000

Tensi : Sistolik DiastolikNNN//// // / atau 0

NadiPengisian

KapilerSedikit

N100-120

lambat(>2 detik)120, kecil

lambat(>2 detik)>120, lemah

- (tidak tampak)

NapasNNCepat(>20 x/menit)Cepat (>20 x/menit)

Urine (cc/jam)>3020-3010-200-10

Tangan/kakiNpucatpucatPucat,dingin

MukaNpucatpucatPucat,abu-abu,berkeringat

KesadaranNGelisahGelisah,mengacau,

menurunMenurun,tidak sadar (koma)

Terapi cairanRinger laktat (RL)

Pengganti plasma

(PP)

Darah

Oksigen2,5 L

-

-

1,5 L1,5 L

1,0 L

-

2,0 L1,0 L

0,5 L

1-1,5 L

3,0 L1,0 L

1,0 L

2,0 L

6 L

Sumber: Fonseca and Wolker, 1991

Apabila darah belum tersedia pada kelas III dan IV sementara dapat diganti dengan tambahan 0,5 L (PP) dan 2,0 L (RL) untuk kelas III, 1,0 L (PP) dan 3,0 L (RL). Keberhasilan terapi dapat dilihat dari perbaikan gejala klinik tersebut di atas (kesadaran, denyut nadi, napas, muka, tangan/kaki, tensi dan urine). Menghentikan perdarahan mutlak harus dilakukan.

V. DIAGNOSA DAN PENANGANAN SEKUNDER

Setelah obstruksi saluran nafas dan perdarahan dapat diatasi maka dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital dan status neurologis, paling tidak mengenai tingkat kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan tempat. Pembukaan mata merupakan alat pemeriksaan yang berharga untuk menentukan tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan kemampuan pasien membuka matanya jika diberi stimulus tertentu termasuk stimulus yang menyakitkan apabila diperlukan. Durasi amnesia pasca trauma merupakan indikator yang baik untuk menunjukkan tingkat kerusakan otak apabila ada.Skala koma dari Glasgow untuk evaluasi cedera kepala

SkorMata (E)Variabel (V)Motorik (M)

1Respon -Respon -Respon -

2Terbuka karena rangsang sakitTidak dipahamiEkstensi (decerebrate)

3Terbuka bila diperintahTidak tepatFleksi (decorticode)

4Terbuka spontanbingungGerakan tidak spesifik

5Bercakap-cakapMenunjukan tempat yang sakit

6Bisa melakukan perintah

Tingkat keparahan kerusakan otak dilihat dari durasi amnesia pasca traumaKurang dari 5 menit ( sangat ringan

5-60 menit ( ringan

1-24 jam ( sedang

1-7 hari ( parah

1-4 minggu ( sangat parah

lebih dari 4 minggu ( ekstrim

Sumber : Purwanto dan Basoeseno, 1996

Pemeriksaan dilanjutkan pada leher dan kepala. Luka-luka pada wajah dicatat mengenai lokasinya, panjangnya, kedalamannya, dan kemungkinan terlibatnya struktur dibawahnya seperti saraf dan glandula.

Bagian yang mengalami abrasi dan konduksi dicatat. Edema fasial diobservasi dan dievaluasi karena dapat merupakan tempat yang terkena benturan trauma atau merupakan tanda adanya kerusakan struktur dibawahnya misalnya hematom, fraktur atau keduanya. Untuk pemeriksaan saraf-saraf kranial yaitu nervus kelima sampai dengan ketujuh dites untuk mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien mengangkat alisnya dan meretraksi sudut mulut? Dapatkah bola matanya digerakkan bebas atau apakah pupilnya bereaksi sinar dan berakomodasi?

Pemeriksaan wajah bagian tengah dapat dilakukan dengan cara manual atau digital adalah dengan memalpasi dimulai dari superior ke inferior. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial dari lingkaran supraorbital secara bilateral. Os nasal dan sutura nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang lingkaran supraorbital menuju sutura zigomatico frontalis. Jaringan lunak yang menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi penyimpangan. Bagian yang mengalami nyeri tekan dan baal juga dicatat karena dapat menunjukkan adanya fraktur atau cedera pada saraf. Pada bagian mandibula dilihat relasi terhadap maksila. Apakah ada pergeseran atau tidak. Dapat juga dengan memerintahkan pasien untuk melakukan gerakan tertentu. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari procesus condylaris sampai ke simfisis mandibula. Untuk pemeriksaan rongga mulut yang dilihat pertama kali adalah oklusi. Dapatkah gigi dioklusikan seperti biasa? Dataran oklusi dari maksila dan mandibula diperiksa kontinuitasnya dan adanya step deformitas. Perlu diperhatikan bila terjadi fraktur maksila berat dengan dislokasi kraniofasial dan cedera lempeng kribiformis dapat disertai keluarnya cairan jernih dari lubang hidung dan telinga atau faring yang dikenal dengan cairan cerebrospinal (Kurger, 1984;Schultz, 1988;Pedersen, 1988).

Gambar. Pemeriksaan Fraktur secara bimanual (Schultz, 1988)

Pada pemeriksaan radiologi diperlukan waters view, oklusal foto bila memungkinkan, panoramik foto, Caldwell, CT scan koronal wajah dapat memberikan informasi yang baik pada fraktur maksila sagital. Sedangkan CT scan aksial dapat mendeteksi fraktur pada lempeng pterigoidalis (Kruger, 1984; Schultz, 1988; Rowe, 1994).

Setelah pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan didukung oleh pemeriksaan radiografi dan laboratorium dilakukan maka dilanjutkan dengan proses diagnosa dan tindakan perawatan definitif.

VI. KESIMPULAN

1. Trauma oromaksilo fasial dapat menyebabkan kematian jika dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas dan perdarahan yang banyak.

2. Sebelum melakukan perawatan fraktur perlu diperhatikan keadaan darurat medik yang harus ditangani lebih dulu.

3. Penanganan ABC merupakan dasar dalam resusitasi penderita yang mengalami trauma.

4. Setelah tindakan resusitasi dilakukan dan respon penderita membaik selanjutnya dilakukan pemeiksaan tanda-tanda vital dan status neurologis untuk menentukan tingkat kesadaran. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan leher dan kepala dan jika diperlukan pemeriksaan radiografi.VII. DAFTAR PUSTAKA

Agus Purwadianto & Budi Sampurna. Kedaruratan Medik. 2000. Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Edisi Revisi

Fonseca, R.J. Robert. V.W. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma 2nd ed. Vol 1, W.B. Saunders Company. Philadelphia

Raymond and Wolker, 1991, Oral and maxillofacial Trauma. Vol I, W.B. Saunders Company, Philadelphia, Co

Hutchinson and Skinner, 1996, ABC of Major Trauma 2nd ed BMJ Publishing Group, London

Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: drg. Purwanto, drg. Basoeseno, EGC. Jakarta.

Schultz, 1988. Facial Injuries. 3th ed. Year book medical publisher. London.