Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEDUDUKAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT
UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
NURUL SHAZWANI WAJIHAH BINTI IBRAHIM
NIM: 107045203900
K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R I’ Y Y A H
P R O G R A M S T U D I J I N A Y A H S I Y A S A H
F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M
U N I V E R S I T A S I S L A M N E G E R I
S Y A R I F H I D A Y A T U L L A H
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
KEDUDUKAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT
UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Nurul Shazwani Wajihah Binti Ibrahim
NIM: 107045203900
Di Bawah Bimbingan:
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP: 195505051982031012
K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R I’ Y Y A H
P R O G R A M S T U D I J I N A Y A H S I Y A S A H
F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M
U N I V E R S I T A S I S L A M N E G E R I
S Y A R I F H I D A Y A T U L L A H
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KEDUDUKAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA
MENURUT UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2010. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada
Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah
Syari’yyah).
Jakarta, 15 Maret 2010
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH, MA, MM
NIP : 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag
(………………………..)
NIP 197210101997031008
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………………………)
NIP 197102151997032002
3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin
Suma SH,MA,MM (……………………...)
NIP 195505051982031012
4. Penguji I : Dr. Asmawi, M.Ag
(……………………...)
NIP 197210101997031008
5. Penguji II : Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M.Ag (……………………..)
NIP 150326893
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 FEBRUARI 2010 M
22 Safar 1431 H
Nurul Shazwani Wajihah Binti Ibrahim
KATA PENGANTAR
������ �� �� ������� ��������
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadrat Allah SWT, Tuhan
segenap alam karena dengan limpahan rahmat, nikmat, hidayah dan mahabbah-Nya
ke seluruh alam sehingga penulis dapat menyelesaikan kewajiban penyusunan skripsi
ini. Salawat dan salam buat Khatimul Anbiya’, junjungan besar Nabi Muhammad
SAW, ahli keluarga baginda, para sahabat, tabi’ tabi’in serta seluruh pengikut
baginda yang menyeru pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang mungkar demi
mengharap keredhaan-Nya sampai akhir zaman, semoga mendapat kejayaan dan
ganjaran di akhirat sana.
Keberhasilan penyusunan skripsi dengan segenap usaha adalah kejayaan dan
kebahagiaan istimewa yang penulis kecapi. Untuk itu, penulis persembahkan
ungkapan syukur dan terima kasih yang tidak terhingga kepada insan tercinta
Ayahanda Ibrahim bin Sa’ad dan Ibunda Hamizan binti Abdul Jalil dengan segala
curahan kasih sayang, pengorbanan dan kesabaran dalam mengasuh, mentarbiyah,
mendoakan serta memberi sokongan baik berbentuk moril maupun materil, semoga
mendapat balasan dan tergolong dikalangan mereka yang mendapat keberuntungan.
Menyadari bahwa selesainya penyusunan ini bukanlah semata-mata atas usaha
penulis sendiri, melainkan atas bantuan semua pihak baik secara langsung maupun
tidak langsung dan karena itu penulis sampaikan ucapan terima kasih tidak terhingga
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, yang merupakan
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum juga merupakan dosen pembimbing
yang selalu memberikan bimbingan, buah pikiran kritik dan saran
sepanjang proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Ketua dan
Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah, yang banyak memberikan kemudahan
administratif bimbingan akademika sejak awal perkuliahan hingga
penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan bapak Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M.Ag
selaku dosen penguji ujian munaqasyah dan juga banyak memberi
bimbingan kepada penulis sepanjang proses revisi dilakukan.
4. Seluruh pensyarah Kolej Universiti Darul Quran Islamiyyah dan Institut
Pengajian Al-Azhar terutama Bapak Rektor Al-Fadhil Ustaz Mohd Zin
bin Abd.Rahman, Ustaz Muhayyat bin H. Husin dan H. Wan Ahmadul
Badawi bin Wan Ibrahim yang banyak memberikan sokongan sehingga
penulis dapat meneruskan pengajian di bumi Indonesia.
5. Segenap bapak dan ibu dosen yang telah memberi petunjuk dan menyalurkan
ilmu yang bermanfaat kepada diri penulis dan teman-teman seperjuangan
selama menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
6. Para pemimpin dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
7. Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia atas pengawasan dan kebajikan yang
mengambil alih peran dalam menjaga seluruh mahasiswa Malaysia di
bumi Indonesia.
8. Saudara tercinta yang bersama-sama hidup dalam suka dan duka, Akak
Zunaida, Fathiyyah (angah), Zawani (alang), Wajih (abang), Rifhan,
Anwar, Fadhil Noor, Intan Nur Alisya Qistina, Naqibah dan Iswan yang
selalu menceriakan kehidupan penulis dan senantiasa terpahat di hati.
9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007 yang disayangi, senantiasa
menemani dan menaikkan semangat dalam menuntut ilmu di rantau orang,
Nor Halimah, Nurulhuda, Noorbaizura, Nor Ba’ayah, Sakinah, Ernie,
Noradilah dan suami (Zulkifli), Hazrin, Ahmad Baha, Fami, Anwar,
Shuib, Rais, Syafie, Harmila, Firdous, Muhibburrahman, Muiz, Mizi,
Aziz, Hayafizul, Kamal.
10. Senior dan junior KUDQI, IPA, APID dan KIDU, K. Salwa, K.Masyitah,
K.Hajar Harun, Ust. Baihaqi, Ust. Harun, Ust. Faizal, Syazwani, Alfiyah,
Khalil, Syamil, Farid serta teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan
di sini. Terima kasih atas kebersamaan dalam menuntut ilmu.
11. Segenap guru yang berusaha mendidik penulis dari peringkat Pra-sekolah,
Sekolah Rendah, Sekolah Menengah sehingga penulis berjaya
menempatkan diri di perguruan tinggi.
12. Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI), Kelab UMNO
Jakarta (KUJ) dan Malaysian Club UIN Jakarta (MCUJ).
13. Kerajaan Malaysia dan Pemerintah Indonesia.
14. Semua pihak yang telah menghulur bantuan secara langsung maupun tidak
langsung sepanjang penyusunan skripsi ini, semoga segala bantuan dan
niat baik diterima sebagai amal shaleh di sisi Allah SWT.
“ Akhirnya penulis menginsafi bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan
dan kelemahan, oleh karena itu kritikan dan saran yang konstruktif sangat
diperlukan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat sebagai
karya ilmiah khususnya bagi penulis dan sekalian pembaca umumnya”.
Jakarta, 7 FEBRUARI 2010 M
22 Safar 1431 H
Penulis
Nurul Shazwani Wajihah Binti Ibrahim
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 4
D. Metode Penelitian ..................................................................... 6
E. Sistematika Penulisan .............................................................. 7
BAB II TINJAUAN TEORETIS TENTANG UNDANG-UNDANG ACARA
MALAYSIA DAN INDONESIA
A. Undang-Undang Acara Malaysia ............................................... 9
B. Undang-Undang Acara Indonesia ..............................................13
C. Definisi dan Dasar Hukum ........................................................15
D. Macam-Macam Saksi ................................................................. 21
BAB III KEDUDUKAN SAKSI PERKARA PIDANA DALAM UNDANG-
UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA
A. Saksi sebagai Alat Bukti ............................................................. 26
B. Syarat-Syarat ............................................................................. 40
C. Pemeriksaan Saksi ..................................................................... 49
D. Sanksi Bagi Saksi Palsu .............................................................. 54
E. Sisi Komparatif .......................................................................... 59
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 61
B. Rekomendasi ............................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama fitrah, yang artinya seluruh ajaran Islam sesuai
dengan fitrah manusia. Karena itu, segala sesuatu yang berkenaan dengan fitrah
manusia, Islam terlebih dahulu mengaturnya dalam bentuk ajaran-ajaran Islam
atau lebih dikenali sebagai Syariat Islam.
Dengan demikian, Islam sebagai sebuah cara hidup yang universal, syumul
dan menjadi rahmat kepada seluruh alam, hadir dengan aturan-aturan yang
menjadi petunjuk untuk manusia sejagat dan dapat diaplikasikan di setiap kondisi,
masa dan tempat untuk menjaga ketertiban dan kemaslahatan bagi seluruh alam.
Termasuk dalam hukum yang telah diatur oleh Islam adalah berkenaan dengan
perundangan Islam.
Dalam perundangan Islam, undang-undang jinayah merupakan undang-
undang yang termasuk di dalamnya. Undang-undang jinayah merupakan undang-
undang yang terkait dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seseorang
yang boleh didakwa dalam tindak pidana.1
Berhubungan dalam undang-undang jinayah ini adalah pelaksanaan
kehakiman. Menurut mantan mufti Negeri Sabah, Said Ibrahim dalam
1 Said Ibrahim, Qanun Jinayah Syariah, (Kuala Lumpur: Darul Makrifah, 1996), h. 1
menentukan putusan mahkamah adalah tertakluk di bawah empat perkara yaitu:
Hakim, pendakwa dan terdakwa, ada alat bukti, melakukan sumpah.
Dalam penghakiman dan peradilan, sesuatu kasus yang dibawa ke mahkamah,
persaksian seseorang saksi bagi sesuatu keterangan sebagai bukti menyokong,
atau keterangan yang membawa penentuan adalah merupakan fakta penting bagi
seseorang hakim untuk menetapkan sesuatu kasus atau menolaknya.2
Kesaksian merupakan perkara penting yang terdapat di dalam proses
perundangan. Dengan adanya pembuktian atau kesaksian yang kuat, maka
hukuman yang tepat dan sesuai dapat diberikan. Keadilan juga dapat ditegakkan
sesuai dengan apa yang dituntut di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Ketiadaan kesaksian, dapat membuka ruang kepada unsur penipuan serta
kepalsuan. Akan tetapi, kesaksian yang telah diberikan, jika tidak diteliti, akan
memberikan kesempatan kepada orang yang tidak berakhlak untuk
mempengaruhi hakim sedangkan bukti yang diberikan itu sebenarnya tidak betul
dan tidak beretika. Karena menyadari berbagai kemungkinan itulah maka
kesaksian itu mestilah dipastikan antara benar atau salah.
Dalam proses memberikan keterangan secara keseluruhannya, para ulama
telah sepakat bahwa kesaksian merupakan unsur terpenting yang mesti diberi
perhatian di samping keterangan yang lain, di atas asas tabii manusia yang
melihat dan bercakap. Apatah lagi penekanannya diberikan oleh syara’ melalui al-
Quran dan Sunnah Rasulullah SAW apabila melibatkan isu kehakiman.
2 Ibid, h. 315
Oleh disebabkan kepentingan yang tersebut, maka kedudukan saksi harus
diambil perhatian agar tidak berlaku ketidakadilan kepada peradilan dalam
membuat sesuatu putusan perkara. Hal ini disebabkan keadilan menjadi asas
utama dalam konteks kehidupan manusia.
Keadaan ini akan menjadi masalah apabila kita melihat kepada macam-
macam manusia itu sendiri, dan ini sudah tentu akan mewujudkan kecenderungan
yang tersendiri. Jika dilihat, mereka yang punya hubungan antara satu sama lain,
tentulah akan memberikan keterangan dalam bentuk yang memihak kepada ikatan
hubungan tersebut.3
Dalam konteks dunia masa kini, pemberlakuan hukum tergantung kepada
pemerintah masing-masing negara bagi menerapkan pendapat mana yang menjadi
panutan rakyatnya dan seterusnya dirumus menjadi hukum positif di masing-
masing negara.
Di dalam Akta Keterangan Malaysia, alat bukti terbagi pada pengakuan,
kesaksian, qarinah, dokumen dan pandangan para ahli. Begitu juga jika dilihat
pada KUHAP, alat bukti yang diterima pakai ialah keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dengan demikian, jelaslah bahwa
dalam proses perundangan, keterangan sangat penting dan dalam bagian alat-alat
bukti tersebut, saksi merupakan antara bentuk yang diiktiraf oleh syarak dan
diterima dalam konteks perundangan di Malaysia juga di Indonesia.
3 Nasimah Hussin dkk, Undang-Undang Islam Jenayah, Keterangan dan Prosedur, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h.162-163
Justeru itu penulis berhasrat untuk meneliti kedudukan saksi dalam perkara
pidana yang digunakan di Malaysia dan Indonesia. Penelitian yang ingin penulis
lakukan berjudul " KEDUDUKAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA
MENURUT UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN
INDONESIA". Ia juga dapat dilihat sebagai perbandingan antara dua negara.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan kepada kedudukan saksi yang
terdapat di dalam Undang-Undang Acara Malaysia dan Indonesia, maka
persoalan yang timbul adalah seperti berikut:
1) Bagaimanakah pandangan Undang-Undang Acara Malaysia tentang
kedudukan saksi ?
2) Bagaimanakah pandangan Undang-Undang Acara Indonesia tentang
kedudukan saksi ?
3) Apa saja kesamaan dan perbedaan antara Undang-Undang Acara Malaysia
dan Indonesia tentang kedudukan saksi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan yang dipaparkan, maka penulisan skripsi ini
bertujuan untuk:
1) Mendapatkan sebuah pemahaman secara ilmiah tentang kedudukan saksi
dalam perkara pidana menurut Undang-Undang Acara Malaysia dan
Indonesia.
2) Menggambarkan kedudukan kesaksian dalam Undang-Undang Acara
Malaysia dan Indonesia.
3) Menemukan kesamaan dan perbedaan yang terdapat pada Undang-Undang
Acara Malaysia dan Indonesia dalam kedudukan saksi.
Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Agar penulisan ini bermanfaat dan memiliki nilai ilmiah serta sarana
memenuhi syarat meraih gelar sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan kepada masyarakat serta
organisasi yang memerlukan informasi berkaitan kesaksian dalam perkara
pidana.
3) Merupakan perkembangan ilmu bagi perundangan Malaysia dan Indonesia.
4) Dapat menjadi kaedah buat para kadi/law yang terdapat di Malaysia dan
Indonesia.
5) Menambah khazanah literature kepustakaan.
D. Metode Penelitian
Untuk memperolehi sesuatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah,
maka metode merupakan strategi utama dalam usaha untuk pengumpulan data-
data yang diperlukan bagi menjawab persoalan yang dihadapi.
Metode juga memegang peranan yang sangat penting. Ini karena, ia sangat
mempengaruhi setiap isi penulisan sampai kepada tujuan yang ingin dicapai.
Metode yang diaplikasikan dalam menjalankan penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1) Jenis Penelitian
Penelitian ini yang ditelusuri oleh penulis merupakan penelitian kualitatif
yaitu penelitian yang berupa rekabentuk tanpa menggunakan nomor.
2) Teknik Pengumpulan Data
a. Penulis menggunakan pendekatan library research yaitu penelitian yang
dilakukan dengan mengkaji buku-buku atau sumber-sumber yang berkaitan
dengan aspek-aspek permasalahan, mengambil data, meneliti dan mengkaji
literature yang ada relevansinya dengan tema skripsi ini.
b. Data primer merupakan data pelengkap yang terdiri daripada majalah, jurnal,
ensiklopedi, kamus dan sebagainya. Di dalam penelitian ini, penulis telah
menggunakan data primer sebagai bahan pelengkap bagi penulisan skripsi ini.
3) Analisa Data
a. Deskriptif yaitu data yang diperoleh dan terkaitan dengan perbedaan
kedudukan saksi dalam perkara pidana menurut Undang-Undang Acara di
Malaysia serta di Indonesia.
b. Komparatif merupakan suatu studi untuk menguraikan kedudukan saksi dalam
perkara pidana dari sudut hukum formil yaitu hukum acara yang dilaksanakan
di Malaysia serta di Indonesia.
4) Metode Penulisan
Dalam menyiapkan penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Skripsi dan Karya Ilmiah yang dikeluarkan oleh Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang
menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata
aturan penulisan skripsi ini, maka penulis telah menyusun sistematika penulisan
yang dibagi atas empat bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian
berikut:
BAB I: Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II: Dalam bab ini, penulis mendeskripsikan pembahasan yang
menghuraikan tinjauan teoretis tentang kedudukan saksi. Dengan
sub bahasannya seputar pengenalan bagi undang-undang acara di
Malaysia dan Indonesia. Selain itu, penulis meletakkan takrif, dan
dasar hukum bahwa perlunya saksi dalam memberikan pembuktian.
BAB III: Membahas kedudukan saksi dalam perkara pidana menurut undang-
undang acara Malaysia dan Indonesia. Sub bahasan yang terdapat di
dalamnya adalah kesaksian sebagai alat bukti, syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh seseorang saksi tersebut serta pemeriksaan saksi
dan sanksi yang dikenakan bagi saksi palsu.
BAB IV: Penutup. Merupakan kesimpulan yang dapat dibuat oleh penulis
berdasarkan semua bab yang telah dibahaskan di dalam skripsi ini
agar dapat menjadi sebuah pengetahuan yang berguna kepada
agama, bangsa dan negara.
BAB II
TINJAUAN TEORETIS TENTANG UNDANG-UNDANG ACARA
MALAYSIA DAN INDONESIA
Untuk mempelajari dan mengetahui sesuatu perlu dikenal latar belakang atau
sejarahnya. Terkait dengan Undang-Undang Acara di Malaysia dan Indonesia,
masing-masing mempunyai pegangan dan hukum tersendiri. Undang-Undang Acara
di Malaysia, tertuang dalam Akta4 Keterangan 1950 (Akta 56) sedangkan di
Indonesia, hukumnya tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
atau lebih dikenal dengan KUHAP. Maka dengan itu, seharusnya kita mengetahui
latar belakang sejarah lahirnya kedua-dua undang-undang ini.
A. Undang-Undang Acara Malaysia
Undang-Undang Acara di Malaysia, seperti yang telah diketahui, ia tertuang
dalam Akta Keterangan 1950 (Akta 56). Penerimaan awal Undang-Undang
Keterangan di Malaysia terkait dengan penerimaaan Islam dan implementasi undang-
undangnya dalam konteks setempat seawal abad ke-15. Melaka yang melaksanakan
undang-undang Islam melalui penggubalan5 yang telah diatur dalam Undang-Undang
4 Akta= adalah suatu undang-undang yang dibentuk atau digubal oleh Parlimen. Manakala
enakmen adalah suatu undang-undang yang dibentuk atau digubal oleh Dewan Undangan Negeri
masing-masing Negara Bagian di Malaysia dan berlaku mengikat bagi Negara Bagian tersebut selama
mana tidak bertentangan dengan Perlembagaan Persekutuan. Istilah “Ordinan” digunakan untuk Negara bagian Sarawak. Lihat Noor Aziah Mohd Awal, Pengenalan Kepada Sistem Perundangan di
Malaysia, (Selangor: International Law Book Services, 2007), h.48.
5 Penggubalan = peraturan
Kanun Melaka, mengatur undang-undang yang terkait dengan jenayah hudud, qisas,
serta takzir.6
Bagi tujuan pelaksanaannya maka sudah tentu secara logiknya undang-undang
keterangan turut diberlakukan. Jika dilihat dalam bentuk kesaksian, seperti yang
diatur dalam seksyen 37 dan 38. Dalam hal ini, seksyen 37.1 mengaturkan:
Pasal yang ketiga puluh tujuh pada menyatakan hukum saksi yang harusnya di
atas empat martabat. Pertamanya tahu ia akan halal dan haram, kedua tahu ia
akan sunat dan fardu, ketiga tahu ia akan salah dan benar, keempat tahu ia
akan baik dan jahat. Itulah harus diperbuat saksi.
Begitu juga dengan dasar umum (prosedur) dalam sesuatu tuntutan yang dibuat
oleh seseorang, semestinya memenuhi prasyaratnya termasuk soal penerimaan
sumpah sebagai bahan bukti turut dikanunkan dalam seksyen 38.7 Demikian
penjelasan tentang Undang-Undang Keterangan dan implimentasinya di Melaka.
Yang jelas ialah tiga bentuk Undang-Undang Keterangan yang disyariatkan Islam
(Ikrar, Kesaksian dan Sumpah) telah diatur dalam sistem perundangan Melaka pada
masa itu.
Walau bagaimanapun, pelaksanaan Undang-Undang Keterangan terhalang
apabila Inggris meluaskan daerah jajahannya. Dikarenakan itu, maka undang-undang
6 Lihat Hamid Jusoh, Undang-Undang Keterangan Islam dan Perkembangan
Pelaksanaannya di Malaysia, dalam Nasimah Hussin, dkk, Undang-Undang Islam: Jenayah,
Keterangan dan Prosedur, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h. 136- 138. Segala
bentuk jenayah selain di atas, hukuman yang akan dikenakan adalah atas budi bicara seseorang hakim
berasaskan semangat dan prinsip keislaman.
7 Walaupun ia lebih mementingkan aspek kanun acara, namun perkara-perkara yang terkaitan
dengan undang-undang keterangan tidak dapat dipisahkan. Dalam s.38.1, perkara yang terkait dengan
plaintif dan defendan(pendakwa dan terdakwa), manakala s.38.2 dan 38.3 terkait dengan sumpah.
S.38.4 menggariskan hukuman yang boleh dikenakan kepada saksi yang berdusta serta larangan
kepada para hakim daripada terlibat dengan korupsi.
yang terkait dengan hudud, qisas dan takzir telah dikesampingkan dan digantikan
dengan Undang-Undang Inggris melalui perjanjian dengan sultan-sultan8 serta
kehakiman dan kemudiannya disusuli secara perundangan apabila Undang-Undang
Sivil 1937 dikenalkan.
Secara khusus dalam zaman pendudukan pihak Inggris, aspek Undang-Undang
Keterangan Islam tidaklah diberi perhatian walaupun undang-undang yang terkait
dengan kekeluargaan dan jenayah telah diatur secara formil. Semuanya ini adalah
implikasi daripada penerimaan Undang-Undang Keterangan Inggris sebagaimana
yang dimuat dalam Ordinan Keterangan 1893.9
Apabila diteliti perkembangan sebelum merdeka (1957), ternyata tiada
peruntukan yang jelas yang diatur bagi tujuan undang-undang keterangan Islam,
kecuali beberapa buah negeri10
yang tertentu. Dalam hal ini, Selangor mendahului
keadaan dengan mengkanunkan Enakmen Pentadbiran Undang-Undang Islam 1952
yang merupakan penyatuan beberapa undang-undang yang terpisah sebelum itu.
Turut sama dimasukkan dalam enakmen ini ialah yang terkait dengan prinsip
Undang-Undang Keterangan Islam seperti yang diatur dalam seksyen 53, yang
8 Ibid, h. 140. Seperti Perjanjian Pangkor, 1874 untuk penguasaan Inggris di Perak. Begitu
jugalah selepas itu siri perjanjian dimateraikan.
9 Ibid.
10 Negeri = Negara bagian. Malaysia mempunyai 14 buah negeri. Selangor. Perak, Pahang
dan Negeri Sembilan dikenal sebagai Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Manakala Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu dan Johor dikenal sebagai Negeri-Negeri Melayu tidak Bersekutu. Melaka dan
Pulau Pinang termasuk di dalam Negeri-Negeri Selat. Tiga lagi negeri di Malaysia ialah Sabah,
Sarawak dan Wilayah Persekutuan.
kemudian diikuti oleh Terengganu pada tahun 1955, seksyen 33 (2) dan (3) seperti
berikut: 33 (2): Maka hendaklah dipegang seorang saksi itu supaya bercakap benar
dan hendaklah ia mengangkat ikrar sebagaimana berikut setelah ia mengaku yang
dirinya menjadi seorang saksi: “ Adalah saya …………..(nama) dengan ini mengaku
berdiri sebagai saksi di dalam perbicaraan ……... melawan ……….”. Di dalam 33
(3), ia menyatakan Jika pada fikiran Mahkamah mana-mana saksi itu dengan sengaja
telah memberi keterangan bohong dalam mana-mana perbicaraan maka bolehlah
Mahkamah memberitahu perkara itu kepada Pendakwa Raya atau wakilnya atau
sebaliknya bolehlah menjalankan segala kuasa-kuasa sebagaimana yang diberi oleh
Pasal 12 Undang-Undang Sumpah dan Ikrar Tahun 1949, kepada Majistret tingkat
pertama di dalam suatu perkara yang sedemikian, dengan senantiasa tunduk kepada
peraturan dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan pasal itu. Sebarang orang yang
dihukumkan di bawah syarat kepada pasal ini hendaklah mempunyai hak pada
mengangkat ipil seolah-olah seperti ianya telah dihukumkan di bawah Undang-
Undang Sumpah dan Ikrar yang tersebut.
Peruntukan di atas, turut diatur bahwa Undang-Undang Keterangan yang
berkuat kuasa pada masa berkaitan hendaklah dirujuk sekadar yang perlu. Dalam hal
ini Undang-Undang Keterangan yang dimaksud adalah Akta Keterangan 1950.
Disebabkan ketiadaan peraturan khusus, maka rujukan tentang Undang-Undang
Keterangan tidak menonjol. Walau bagaimanapun, ini tergantung pada kebijaksanaan
para hakim yang berkaitan dalam merujuk kepada sumbernya. Adapun kedudukan
sebenar Akta Keterangan 1950, ia terbagi kepada tiga bagian.11
Kedudukan saksi
serta pemeriksaan saksi teletak dalam aturan yang ada pada bagian III.
B. Undang-Undang Acara Indonesia
Undang-Undang Acara Indonesia, dapat dilihat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang juga disebut sebagai KUHAP. KUHAP yang dipandang
sebagai produk nasional, merupakan penerusan dari asas-asas hukum acara pidana
yang terdapat di dalam HIR atau Ned strafvordering 1926.
Pada tanggal 1 Mei 1848, berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal tanggal
3 Desember 1847 Sbld Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau disingkat IR.
Reglemen tersebut berisi acara perdata dan acara pidana. Kemudian dengan Sbld
1941 Nomor 44 diumumkan dengan nama Herziene Inlands Reglement atau HIR.
Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu dibentuk
lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yang dahulu ditempatkan di
bawah pamongpraja.
Dalam praktik, IR masih berlaku disamping HIR di Jawa dan Madura. HIR
berlaku di kota-kota besar seperti Jakarta (Batavia), Bandung, Semarang, Surabaya,
Malang dan lain-lain sedangkan di kota lain berlaku IR.12
11 Bagian I (Kerelevanan), Bagian II (Pembuktian), Bagian III (Pengemukaan dan Kesan
Keterangan).
12 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.54.
Apabila diramu lebih mendalam, detail dan terinci walaupun IR merupakan cikal
bakal HIR, tetapi jikalau diperbandingkan, akan didapatkan perbedaan-perbedaan
yang tidak sedikit. Perbedaan telihat dalam aspek-aspek berikut:13
a. Dalam IR belum ada Badan Penuntut Umum tersendiri, dalam HIR sudah ada
meskipun belum volwaarding.
b. Regen, Patih dan Kepala Afdeeling (Residen atau Asisten Residen) dalam IR
adalah Penyidik, dalam HIR tidak.
c. Penahanan sementara yang untuk itu dalam sistem IR tidak diharuskan syarat-
syarat tertentu, menurut HIR harus selalu atas perintah bertulis.
Hukum Acara Pidana pada periode Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951
(LN Nomor 9 Tahun 1951) mulai terbentuk sejak Negara Kesatuan eksis pada tanggal
17 Agustus 1950 dan sekaligus menghilangkan dualisme struktur pengadilan dan
peradilan di Indonesia. Dengan hadirnya undang-undang ini, terciptalah suatu
unifikasi hukum untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara
semua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia berdasarkan
Pasal 1 telah dihapuskan dan tidak memberlakukan lagi sembilan buah badan
peradilan yang berlaku sebelum ini.14
13 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana( Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya ),
(Bandung: PT. Alumni, 2007), h. 35.
14 Ibid, h. 39-40. Sembilan buah badan peradilan yang belaku sebelumnya adalah Mahkamah
Justisi di Makasar dan alat Penuntut Umum padanya; Appelraad di Makasar; Appelraad di Medan;
segala PN dan Landgerecht (cara baru) dan alat Penuntut Umum padanya; segala Pengadilan
Kepolisian dan alat Penuntut Umum padanya; segala Pengadilan Magistraat (Pengadilan Rendah);
segala Pengadilan Kabupaten; segala Raad Distrik; dan segala Pengadilan Negorij di Maluku.
Manakala jika ditinjau dari aspek historis yuridis, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 disahkan pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana atau lazim disingkat menjadi istilah KUHAP.
Semenjak berlakunya KUHAP, dapatlah disebutkan lebih jauh bahwasanya mulai
tanggal 31 Desember 1981 untuk ketentuan Hukum Acara Pidana berlakulah secara
tunggal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan peraturan yang sebelumnya
berlaku dinyatakan telah dicabut. Hal ini dapat dilihat berdasarkan konsiderans huruf
d dan diktum angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang menyatakan,
bahwa:
Hukum Acara Pidana sebagai yang termuat dalam Het Herzien Inlandsch
Reglement, Stb. 1941 Nomor 44 dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor
1 Drt Tahun 1951 (LN Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai
Hukum Acara Pidana, perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-
cita hukum nasional.
Dari teks di atas, dapatlah dikatakan bahwa untuk Hukum Acara Pidana telah ada
suatu unifikasi hukum karya bangsa Indonesia sendiri sehingga sewaktu lahirnya
KUHAP, undang-undang ini sering disebut sebagai “Karya Agung”. Terlepas dari
adagium bahwa law in book tertinggal dengan perkembangan masyarakat (law in
action).
C. Definisi dan Dasar Hukum
Keterangan daripada para saksi adalah salah satu saluran bagi menetapkan hak
yang didakwa, bahkan sebagian fuqaha berpendapat kesaksian adalah hujah yang
paling kuat sekali. Dari segi bahasa ia berarti penerangan yang putus atau pasti, iaitu
kata-kata yang diucapkan hasil daripada maklumat yang diperoleh melalui
penyaksian.15
Selain itu, syahadah dari segi bahasa bermaksud “hadir” atau “naik
saksi”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kesaksian bermaksud orang yang
melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Manakala kesaksian
menurut Kamus Dewan adalah keterangan yang diberikan oleh orang yang melihat,
mengetahui dan lain-lain.
Dari sudut istilah, ia ditakrif dengan pelbagai bentuk, diantaranya adalah
pemberitahuan yang benar bagi tujuan menentukan sesuatu hak menerusi ungkapan
kesaksian yang disampaikan di dalam peradilan. Takrifnya lagi ialah satu
perkhabaran yang benar yang diberikan dalam majlis kehakiman dengan
menggunakan lafaz “asyhadu” (aku naik saksi) untuk menentukan hak atau
kepentingan bagi orang lain.16
Begitu juga dalam Seksyen 3,17
mentakrifkan syahadah sebagai apa-apa
keterangan yang diberikan di mahkamah dengan menggunakan lafaz asyhadu untuk
membuktikan suatu hak dan kepentingan.
15 Mahmud Saedon, Undang-Undang Keterangan Islam, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1990), h.55.
16 Lihat Afridah Abas, Kebolehterimaan Keterangan Dengar Cakap sebagai Satu Cara
Pembuktian Di Mahkamah Syariah, dalam Nasimah Hussin, Undang-Undang Islam(Jenayah,
Keterangan dan Prosedur), (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h.212.
17 Akta Keterangan Mahkamah Syariah (Wilayah Perskutuan)1997. Seksyen = Pasal.
Sedangkan Ansorie Sabuan memberi maksud saksi di dalam kitab Hukum Acara
Pidananya adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Dengan setiap istilah yang digunakan di atas, maka dapat diketahui bahwa
kesaksian adalah keterangan yang terkaitan dengan pancaindera, baik seseorang yang
akan memberi maklumat itu melihat, mendengar, merasa atau mengetahui.
Takrif undang-undang adalah sesuatu peraturan yang digubal oleh pemerintah
dan harus dipatuhi oleh masyarakat yang berkenaan.18
Di dalam Kamus Black,
undang-undang adalah yang diperturunkan, diperintah atau dinyatakan. Satu
peraturan atau metode yang mana fenomena atau perbuatannya saling berganding
antara satu sama lain. Ia juga perlu dipatuhi atau diikuti oleh rakyat tertakluk kepada
hukuman atau implikasi-implikasinya.
Manakala keterangan bermaksud hal atau bukti yang menjadikan sesuatu
perkara itu menjadi jelas. Menurut Akta Keterangan 1950, keterangan diberi dalam
mana-mana guaman atau tatacara baik wujud atau tidak wujudnya tiap-tiap fakta isu
dan mengenai apa-apa fakta lain yang ditetapkan baik relevan atau tidak mengenai
mana-mana fakta lain.19
18 Kamus Dewan, (Ampang:Dewan Bahasa dan Pustaka, 2005), h.1768.
19 Seksyen 5 tidak membenarkan sesiapa memberi keterangan mengenai sesuatu fakta yang
dia tidak berhak membuktikan menurut undang-undang berhubung dengan prosedur sivil.
Bagi istilah hukum pidana mengandung beberapa arti diantaranya adalah hukum
pidana merupakan kumpulan peraturan yang mengatur tingkah laku masyarakat dan
bila ada yang melanggar akan mendapat hukuman berupa pidana, yaitu suatu
hukuman yang memberikan rasa tidak enak pada si pelanggar.20
Selain itu, definisi Prof. Van Hamel yang diambil dari bukunya Inleading Studie
Ned. Strafrecht 1927, berbunyi: “hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-
aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelanggarakan ketertiban hukum
(rechtsorde) yaitu melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan
suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.”
Istilah hukum acara pidana yang diberi oleh Kansil menurut Kamus Istilah
Aneka Hukum adalah keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus ditegakkan dalam hal
terjadinya suatu pelanggaran atau bagaimana negara harus menunaikan hak pidana
atau hak menghukumnya dalam hal terjadinya pelanggaran.21
Saksi-saksi mempunyai peran yang amat penting dalam menentukan sesuatu
perkara. Oleh sebab itu, seseorang saksi tidak boleh menyembunyikan perkara-
perkara yang dipersaksikannya,dan hendaklah menyempurnakan persaksiannya
semata-mata karena Allah. Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban atau
tanggungjawab bagi seseorang.
20 Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), h.15.
21 C.S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), h. 15.
Keharusan berpegang dengan kesaksian dalam menetapkan hukuman telah
terdapat dalam beberapa nas al-Quran yang berkaitan seperti firman-Nya di dalam
surah al-Baqarah(2):283, surah an-Nisa’(4):6 dan surah at-Talaq(65):2 seperti
berikut:
���� ���☺�� !"# $%&' &()*� + �,-�� &(.☺��/0,1 23��45�6"7
⌦9���: 3���07;"< ! =���
&☺�> ,?�@;&☺�@"# A���;,B Artinya: “……dan janganlah kamu (Wahai orang-orang yang menjadi saksi)
menyembunyikan perkara yang dipersaksikan itu. dan sesiapa yang
menyembunyikannya, maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya. dan (ingatlah), Allah sentiasa mengetahui akan apa
yang kamu kerjakan.”
(Q.S. Al-Baqarah, 2:283)
"D�6"7 E9�F�@"7&� E9HEI"��J
E9�K�LM��N-�O ���'H.P�Q"7
E9HEI$;,B + +R⌧2⌧T��
���> UV�W�&� Artinya: “Kemudian apabila kamu menyerahkan kepada mereka hartanya,
maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (yang menyaksikan
penerimaan) mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (akan
segala yang kamu lakukan).”
(Q.S. An-Nisa’, 4:6)
���'H.P�O�� .X��"D YZ.',
��:!\�]- ���☺��<�O��
$%&' &()*� ^� + E9_0��M"D _`,�1
a���> �,- ,?<⌧T bc�-�"1 ���>
�dE��eN��� f�WgF& + �,-��
hiP�,1 j� k&@N("l 3Oj�
<☯�,�N1⌧n
Artinya: “Dan adakanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu (semasa
kamu merujukkan atau melepaskannya); dan hendaklah kamu (yang
menjadi saksi) menyempurnakan persaksian itu kerana Allah
semata-mata. Dengan hukum-hukum yang tersebut diberi
peringatan dan pengajaran kepada sesiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat; dan sesiapa yang bertaqwa kepada Allah
(dengan mengerjakan suruhanNya dan meninggalkan laranganNya),
nescaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar (dari segala
perkara yang menyusahkannya).”
(Q.S. At-Talaq, 65:2)
Di dalam Akta Keterangan Malaysia, alat bukti terbagi pada pengakuan,
kesaksian, qarinah, dokumen dan pandangan para ahli. Begitu juga jika dilihat pada
KUHAP, ada lima alat-alat bukti yang sah22
untuk digunakan dalam setiap
pembuktian dan putusan. Maka kedudukan saksi itu terkait dalam alat bukti bagi
melihat benar atau tidak keterangan terdakwa.
Mengikut ketentuan hukum syara’, meletakkan diri sebagai saksi bagi suatu
perkara itu adalah wajib, di mana mereka yang dipanggil untuk menghadirkan diri ke
pengadilan menjadi saksi dari pihak penuntut atau tersangka adalah “Fardhu Ain”.
Dikarenakan hal tersebut maka, melalui kajian teoretik dan praktik dapat
dikonklusikan bahwa menjadi seorang saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap
orang.
22 Pasal 184 ayat (1) telah menyebut lima alat-alat bukti yang sah digunakan dalam setiap
pembuktian dan putusan. Alat bukti tersebut ialah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk
dan keterangan terdakwa.
D. Macam-Macam Saksi
i. Syahadah al-Hisbah
Saksi hanya akan memberikan keterangan apabila dakwaan yang terkait
dengan hak yang disaksikannya dikemukakan dan pendakwa atau penuntut umum
memanggilnya untuk memberi keterangan.23
Syahadah al-Hisbah ini merupakan
keadaan di mana saksi itu tampil dengan sendiri dan memberi kesaksian tanpa
didahului oleh sebarang dakwaan dan tidak ada permintaan daripada mana-mana
pihak.
Sesungguhnya para fuqaha telah mentakrifkan Syahadah al-Hisbah ini dengan
bahwa ia adalah ibarat daripada pemberian kesaksian oleh saksi pada permulaan
tanpa sebarang permintaan dan dakwaan yang dikemukakan oleh mana-mana
pihak yang menuntut maupun yang mendakwa.
Kesaksian ini akan diterima pakai pada hak-hak yang terkait dengan Allah
SWT, seperti minum khamar, mencuri, merampok. Ia juga diterima pakai pada
zakat, pemerdekaan budak, wasiat dan wakaf pada fuqara’ serta maslahat
umum.24
23 Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid,
1997), h.75.
24 Ibid, h. 76.
ii. Kesaksian atas Kesaksian
Secara eksplisit, titik tolak perkara pidana adalah mencari, mendapatkan
kebenaran material dan mempertahankan kepentingan publik. Prinsip
pemeriksaan dalam persidangan sangat penting eksistensinya karena merupakan
salah satu elemen agar persidangan dinyatakan sah dan tidak diancam supaya
adanya pembatalan.25
Dalam usaha mendapatkan kesaksian, adakalanya saksi asal tidak berupaya
atau gagal memberikan kesaksian mereka atas alasan tertentu baik dikarenakan
saksi itu mati, hilang, sakit, atau dalam tawanan musuh. Dalam keadaan semacam
ini, tentulah persidangan menjadi terganggu, manakala hak orang yang bertikai
akan tersekat dan keadilan tidak dapat dicapai.26
iii. Kesaksian Dengar Cakap
Secara umumnya, setiap peradilan memerlukan keterangan kesaksian secara
langsung untuk memberikan pembuktian atau menolak sesuatu fakta persoalan.
Kesaksian dengar cakap lebih diketahui daripada difahami. Ini disebabkan
perkataan dengar cakap boleh memberikan berbagai-bagai maksud dan juga ianya
mempunyai makna yang kabur. 27
25 Lilik Mulyadi, ibid, (Bandung: PT Alumni, 2007), h. 140. 26 Lihat Afridah Abas, ibid, h. 218.
27 Ahmad Ibrahim, Al-Ahkam (Penghakiman dan Kepeguaman),(Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1997), h. 115.
Kesaksian berdasarkan dengar cakap ialah kesaksian yang diberi oleh
seseorang di hadapan hakim berdasarkan apa yang didengar oleh saksi tersebut
berkenaan sesuatu perkara yang informasinya telah tersebar luas dan diketahui.
Menurut Muhammad Zaid al-Anbani, informasi itu perlulah masyhur dan
tersebar luas serta sampai secara mutawatir kepada orang yang menjadi saksi
kepada khabar tersebut.28
Muhammad Zaid al-Anbani berpandangan pada asalnya
seorang saksi tidak harus memberikan kesaksiannya melainkan dalam perkara
yang dilihat dan dipastikannya. Berdasarkan prinsip istihsan dan keperluan, maka
ulama telah mengharuskan kesaksian melalui cara ini karena jika tidak, kebenaran
akan hilang dan keadilan tidak akan dapat ditegakkan.29
Kesaksian pada asalnya dibuat bagi perkara yang telah dilihat dan dipastikan
sendiri oleh saksi. Fuqaha telah membuat beberapa pengecualian dalam beberapa
masalah.
Mereka mengharuskan seseorang itu memberi kesaksiannya walaupun ia tidak
melihat dan tidak dapat memastikannya dalam perkara nasab, kematian, nikah,
persetubuhan dengan istri, perlantikan hakim dan wakaf. Selain enam perkara
tersebut, sebahagian ulama telah menambah tiga perkara lagi yaitu perbudakkan,
memerdekakan budak dan mahar. Kesaksian berdasarkan dengar cakap
merupakan salah satu cara memberi keterangan berdasarkan kesaksian. Cara ini
28 Mahmod Saedon, ibid, h. 93.
29 Ibid, h. 94.
bukan keterangan biasa dan bukan juga sekadar memberi keterangan berdasarkan
khabar yang didengar atau diperolehi daripada orang ramai pada tahap
keterangan, tetapi hendaklah pada tahap kesaksian.30
Walaupun prinsip ini terdapat persamaan dengan prinsip khabar mutawatir,
khabar istifadah dan khabar ahad dalam undang-undang keterangan Islam yang
telah disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam al-Turuq al-Humiah,
cara penyampaiannya disampaikan berdasarkan kesaksian, tetapi setakat
keterangan sudah cukup memadai.
iv. Saksi Mahkota
Saksi mahkota dikenal dalam praktik pengadilan di Nederland, yaitu salah
seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatan
itu, misalnya delik narkoba atau terorisme dikeluarkan dari daftar terdakwa dan
dijadikan saksi. Dasar hukumnya ialah asas oportunitas yang ada di tangan jaksa
untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang ke pengadilan baik dengan syarat
maupun tanpa syarat.
Dalam hal saksi mahkota, syaratnya ialah dia bersedia membongkar komplotan
itu. Di Italia sudah diciptakan suatu undang-undang mengenai saksi mahkota. Jika
terdakwa yang paling ringan kesalahannya dalam komplotan itu tidak dapat
dibiarkan begitu saja tanpa mendapat pidana karena perbuatannya juga dipandang
sangat serius, maka jaksa dapat berunding dengan dia jika dia bersedia
30 Ibid
membongkar jaringan komplotan itu dia akan dituntut pidana lebih ringan
dibanding teman berbuatnya.31
31 Andi Hamzah, ibid, h.271-272.
BAB III
KEDUDUKAN SAKSI PERKARA PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG
ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perkara yang telah
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal
seperti inilah yang membuatkan hak asasi manusia dipertaruhkan. Ini disebabkan, jika
seorang yang didakwakan itu telah dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan berdasarkan alat bukti yang didatangkan dan ia juga disertai dengan
keyakinan hakim, padahal ianya tidak benar. 32
Dalam peradilan, keterangan seseorang saksi bagi suatu keterangan sebagai
bukti menyokong atau keterangan yang membawa sabitan adalah merupakan fakta
penting bagi seseorang hakim untuk menjatuhkan vonis ataupun menolaknya.
Keterangan saksi dalam peradilan bukan saja menjadi alat pertimbangan bagi
hakim, malah para saksi itu juga merupakan kuasa pemutus bagi suatu perkara,
karena tiap putusan yang dibuat oleh seorang hakim, atau jemaah hakim adalah
mengikut keterangan-keterangan yang didatangkan dari para saksi dan penilaian
hakim di atas kebenaran atau kepalsuan keterangan yang telah dibuat oleh para saksi
itu.
32 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 245.
A. Saksi sebagai Alat Bukti
Syahadah merupakan kesaksian yang diberikan oleh saksi dan dianggap
pembuktian yang terkuat dalam undang-undang acara karena mengikat hakim dalam
membuat sesuatu putusan perkara.
Keterangan saksi di hadapan hakim adalah salah satu cara menetapkan hukum
yang penting dalam perundangan. Ia juga merupakan salah satu saluran untuk
menentukan hak yang didakwa. Undang-undang ini meliputi segala penyataan yang
dibenarkan atau dikehendaki oleh mahkamah yang dibuat di hadapannya oleh saksi-
saksi berhubungan dengan perkara-perkara fakta yang disiasat. Penyataan sedemikian
disebut keterangan lisan.
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling
utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput
dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara
pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya
di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Orang yang membuat tuntutan atau pendakwaan diminta untuk memberikan
keterangan atau bukti untuk menyokong tuntutan atau pendakwaan tersebut.33
33 Lihat Zulfakar Ramlee, Al-Qarinah: Pemakaiannya dalam Litigasi Mal dan Jenayah,
dalam Nasimah Hussin, dkk, Undang-Undang Islam: Jenayah, Keterangan dan Prosedur, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h.187.
Kegagalan plaintif atau pendakwa membawa alat bukti akan menyebabkan kasus
tersebut ditolak.
Keperluan mendatangkan keterangan dan alat bukti bukan saja menjadi amalan
yang telah ditunjukan oleh Nabi Muhammad SAW, dan para ulama silam bahkan kini
telah dikanunkan dan dikuatkuasakan di setiap mahkamah di Malaysia juga di
Indonesia.
Kedudukan saksi yang terdapat di dalam Undang-Undang Acara Malaysia dan
Indonesia adalah seperti berikut:
UNDANG-UNDANG KETERANGAN
1950(AKTA 56)
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA (KUHAP)
Seksyen 118: Siapa yang boleh
memberikan keterangan.
Semua orang adalah kompeten
memberi keterangan melainkan jika
mahkamah berpendapat bahwa mereka
tidak boleh memahami soalan-soalan
yang dikemukakan kepada mereka atau
tidak dapat memberi jawapan-jawapan
yang rasional kepada soalan-soalan itu
oleh karena umurnya terlalu muda,
terlalu tua, karena penyakit, baik
Pasal 162:
(1) Jika saksi sesudah memberi
keterangan dalam penyidikan
meninggal dunia atau karena halangan
yang sah tidak dapat hadir di sidang
atau tidak dipanggil karena jauh tempat
kediaman atau tempat tinggalnya atau
karena sebab lain yang berhubungan
dengan kepentingan negara, maka
keterangan yang telah diberikannya
dibacakan.
penyakit tubuh maupun penyakit otak,
atau oleh apa-apa sebab lain yang
seumpamanya.
(2) Jika keterangan itu sebelumnya
telah diberikan di bawah sumpah, maka
keterangan itu disamakan nilainya
dengan keterangan saksi di bawah
sumpah yang di ucapkan di sidang.
Seksyen 119: Saksi Bisu
(1) Seseorang saksi yang tidak dapat
bercakap boleh memberi keterangannya
dengan apa-apa cara lain yang
dengannya keterangan itu mudah
difahami, seperti misalnya, dengan
tulisan atau isyarat: tetapi tulisan dan
isyarat tersebut harus ditulis dan dibuat
dalam mahkamah terbuka.
(2) Keterangan yang diberi sedemikian
hendaklah disifatkan sebagai
keterangan lisan.
Pasal 163:
Jika keterangan saksi di sidang berbeda
dengan keterangannya yang dapat
dalam berita acara, hakim ketua sidang
mengingatkan saksi tentang hal itu
serta minta keterangan mengenai
perbedaan yang ada dan dicatat dalam
berita acara pemeriksaan sidang.
Pasal 164:
(1) Setiap kali seorang saksi selesai
memberikan keterangan, hakim ketua
sidang menanyakan kepada terdakwa
bagaimana pendapatnya tentang
Seksyen 120: Pihak-pihak dalam
guaman sivil dan istri dan suami.
(1) Dalam semua prosiding sivil, pihak-
pihak dalam guaman itu, dan suami
atau istri kepada mana-mana pihak
dalam guaman itu adalah saksi-saksi
kompeten.
(2) Dalam prosiding jenayah terhadap
seseorang, suami atau istri orng itu
adalah masing-masingnya saksi
kompeten.
(3) Dalam prosiding jenayah, tertuduh
adalah saksi kompeten bagi pihak
dirinya sendiri, dan boleh memberi
keterangan dengan cara yang sama dan
mempunyai kesan dan akibat yang
sama seperti mana-mana saksi lain;
dengan syarat bahwa, setakat mana
pemeriksaan balas itu berhubungan
dengan kebolehpercayaan tertuduh itu,
keterangan tersebut.
(2) Penuntut umum atau penasihat
hukum dengan perantaraan hakim
ketua sidang diberi kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan kepada saksi
dan terdakwa.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak
pertanyaan yang diajukan oleh
penuntut umum atau penasihat hukum
kepada saksi atau terdakwa dengan
memberikan alasannya.
mahkamah boleh menghadkan
pemeriksaan balas itu setakat yang
difikirkan wajar, walaupun pemeriksaan
balas yang dicadangkan itu mungkin
boleh dibenarkan bagi mana-mana saksi
lain.
Pasal 165:
(1) Hakim ketua sidang dan hakim
anggota dapat minta kepada saksi
segala keterangan yang dipandang
perlu untuk mendapatkan kebenaran.
(2) Penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum dengan perantaraan
hakim ketua sidang diberi kesempatan
untuk mengajukan pertanyaan kepada
saksi.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak
pertanyaan yang diajukan oleh
penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum kepada saksi dengan
memberikan alasannya.
(4) Hakim dan penuntut umum atau
terdakwa atau penasihat hukum dengan
perantaraan hakim ketua sidang, dapat
saling menghadapkan saksi untuk
menguji kebenaran keterangan mereka
masing-masing.
Seksyen 126: Komunikasi profesional.
(1) Seseorang peguambela tidak boleh
pada bila-bila masa dibenar, melainkan
dengan persetujuan nyata kliennya,
mendedahkan apa-apa komunikasi yang
telah diberi kepadanya dalam masa dan
bagi maksud dia digunakhidmat sebagai
peguambela itu oleh atau bagi pihak
kliennya, atau menyatakan kandungan
atau keadaan sesuatu dokumen yang
telah diketahuinya dalam masa dan bagi
maksud perkhidmatan profesionalnya,
atau mendedahkan apa-apa nasihat yang
telah diberi olehnya kepada kliennya
dalam masa dan bagi maksud dia
digunakhidmat sedemikian:
Dengan syarat bahawa tiada apa-apa
jua dalam seksyen ini boleh melindungi
dari didedahkan-
(a) apa-apa komunikasi itu yang
dibuat bagi membolehkan tercapainya
Pasal 166:
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak
boleh diajukan kepada terdakwa
maupun kepada saksi.
Pasal 168:
Kecuali ketentuan lain dalam undang-
undang ini tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa
atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
b. saudara dari terdakwa atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga
mereka yang mempunyai hubungan
karena perkawinan dan anak-anak
saudara terdakwa sampai derajat
ketiga;
apa-apa maksud yang menyalahi
undang-undang;
(b) apa-apa fakta yang diketahui oleh
seseorang peguambela dalam
penjalanan perkhidmatannya
sedemikian yang menunjukkan
bahawa sesuatu jenayah atau fraud
telah dilakukan sejak dia mula
digunakhidmat.
(2) Adalah tak material sama ada
perhatian peguambela itu telah diarah
atau tidak diarahkan kepada fakta itu
oleh atau bagi pihak kliennya.
c. suami atau istri terdakwa
meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
.
Seksyen 128: Keistimewaan tidak
terlepas jika keterangan diberi
secara sukarela.
Jika mana-mana pihak dalam guaman
memberi keterangan dalam guaman itu,
sama ada atas kehendaknya sendiri atau
selainnya, maka dia tidak boleh
disifatkan dengan yang demikian itu
Pasal 169:
(1) Dalam hal mereka sebagaimana
dimaksud dalam pasal 168
menghendakinya dan penuntut umum
serta terdakwa secara tegas
menyetujuinya dapat memberikan
keterangan di bawah sumpah.
(2) Tanpa persetujuan sebagaimana
sebagai telah bersetuju terhadap
pendedahan seperti yang tersebut dalam
seksyen 126;dan jika mana-mana pihak
dalam guaman atau prosiding
memanggil mana-mana peguambela itu
sebagai saksi, dia hendaklah disifatkan
sebagai telah bersetuju terhadap
pendedahan itu hanya jika dia menyoal
peguambela itu mengenai perkara-
perkara yang mana, jika tidak karena
soalan itu peguambela itu tidak bebas
mendedahkannya.
dimaksud dalam ayat (1), mereka
diperolehkan memberikan keterangan
tanpa sumpah
Seksyen 132: Saksi tidak dikecualikan
daripada menjawab soalan atas
alasan bahawa jawapan itu akan
melibatkannya dalam jenayah.
(1) Seseorang saksi tidak boleh
dikecualikan daripada menjawab apa-
apa soalan mengenai apa-apa perkara
yang relevan dengan perkara isu dalam
sesuatu guaman, atau dalam sesuatu
Pasal 171:
Yang boleh diperiksa untuk memberi
keterangan tanpa sumpah ialah:
a. anak yang umurnya belum cukup
lima belas tahun dan belum pernah
kawin.
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa
meskipun kadang-kadang ingatannya
baik kembali.
prosiding sivil atau jenyah, atas alasan
bahawa jawapan kepada soalan itu akan
melibatkannya dalam jenayah, atau
mungkin secara langsung atau secara
tak langsung melibatkannya dalam
jenayah, atau bahawa jawapan itu akan
mendedahkan atau mungkin secara
langsung atau secara tak langsung
mendedahkan saksi itu kepada apa jua
jenis penalti atau lucuthak, atau bahawa
jawapan itu akan membuktikan atau
mungkin akan membuktikan yang dia
berhutang atau selainnya tertakluk
kepada guaman sivil oleh Kerajaan
Malaysia atau oleh mana-mana
Kerajaan Negeri atau oleh seorang lain.
(2) Tiada apa-apa jawapan yang
seseorang saksi dipaksa oleh mahkamah
supaya memberinya boleh
menyebabkan dia ditangkap atau
didakwa, atau boleh dibuktikan
Pasal 178:
(1) Jika terdakwa atau saksi bisu atau
tuli serta tidak dapat menulis, hakim
ketua sidang mengangkat sebagai
penterjemah orang yang pandai bergaul
dengan terdakwa atau saksi itu.
(2) Jika terdakwa atau saksi bisu atau
tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua
sidang menyampaikan semua
pertanyaan atau teguran kepadanya
secara tertulis kepada terdakwa atau
saksi tersebut diperintahkan untuk
menulis jawaban-jawabannya dan
selanjutnya semua pertanyaan
jawabannya harus dibacakan.
Pasal 185:
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti
ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa
terhadapnya dalam sesuatu prosiding
jenayah, kecuali pendakwaan kerana
memberi keterangan palsu melalui
jawapan itu.
(3) Sebelum memaksa seseorang saksi
menjawab sesuatu soalan yang
jawapannya akan melibatkannya dalam
jenayah atau mungkin secara langsung
atau secara tidak langsung
melibatkannya dalam jenayah,
mahkamah hendaklah menghuraikan
kepada saksi itu maksud subseksyen
(2).
terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang
sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang
berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan
sebagai suatu alat bukti yang sah
apabila keterangan saksi itu ada
hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian
atau keadaan tertentu.
Seksyen 133: Rakan sejenayah.
Seseorang rakan sejenayah adalah saksi
yang kompeten terhadap orang
tertuduh; dan sesuatu sabitan bukanlah
(5) Baik pendapat maupun rekaan,
yang diperoleh dari hasil pemikiran
saja, bukan merupakan keterangan
saksi.
tak sah di sisi undang-undang semata-
mata oleh sebab sabitan itu terbit dari
testimoni tak disokong yang diberi oleh
rakan sejenayah.
(6) Dalam menilai kebenaran
keterangan seorang saksi, hakim harus
dengan sungguh-sungguh
memperhatikan :
a. persesuaian antara keterangan saksi
atau satu dengan lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi
dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan
oleh saksi untuk memberi keterangan
yang tertentu.
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta
segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya
keterangan itu dipercaya.
Seksyen 133A. Keterangan seseorang
kanak-kanak yang masih muda.
Jika dalam sesuatu prosiding terhadap
seseorang kerana sesuatu kesalahan,
seseorang kanak-kanak yang masih
(7) Keterangan dari saksi yang tidak
disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain, tidak merupakan alat bukti,
namun apabila keterangan itu sesuai
keterangan dari saksi yang disumpah
muda yang dipanggil sebagai saksi
adalah pada pendapat mahkamah tidak
faham apa sebenarnya suatu sumpah
itu, keterangannya boleh diterima,
walaupun diberi dengan tidak
mengangkat sumpah, jika, pada
pendapat mahkamah, dia telah cukup
akal bagi membolehkan keterangannya
diterima, dan dia faham tentang
kewajipan bercakap benar; dan
keterangannya, walaupun diberi dengan
tidak mengangkat sumpah, tetapi
sebaliknya diambil dan dituliskan
menurut seksyen 269 Kanun Prosedur
Jenayah bagi Negeri-Negeri Melayu
Bersekutu hendaklah disifatkan sebagai
suatu deposisi dalam erti seksyen itu:
Dengan syarat bahawa, jika
keterangan yang diterima menurut
seksyen ini diberi bagi pihak pendakwa,
tertuduh itu tidak boleh disabitkan atas
dapat dipergunakan sebagai tambahan
alat bukti sah yang lain.
kesalahan itu melainkan jika keterangan
itu disokong dengan keterangan-
keterangan material lain yang
menyokong keterangan tersebut dan
melibatkannya.
Seksyen 134: Bilangan saksi.
Tiada apa-apa bilangan tertentu
mengenai saksi dikehendaki dalam
sesuatu kes untuk membuktikan sesuatu
fakta.
Melalui kajian teoretis dan praktik dapat dikonklusikan bahwa menjadi seorang
saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila seseorang yang
dipanggil menjadi saksi, tetapi menolak atau tidak mau hadir di depan persidangan,
saksi tersebut supaya dihadapkan ke persidangan Pasal 159 ayat (2).34
Di dalam Pasal 185 ayat (5), dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan,
yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Dalam
keterangan sak si tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau yang
disebutkan dalam ilmu hukum acara pidana adalah testimonium de auditu atau
hearsay evidence. Dalam pasal 301 ayat (1) HIR dahulu, hanya dikatakan bahwa
34 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya),
(Bandung: PT Alumni, 2007), h. 170.
keterangan saksi haruslah mengenai hal-hal dan keadaan-keadaan yang dialami,
dilihat, atau didengar olehnya sendiri.35
Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak
diterima sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu
mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia, di mana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain,
tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu tidak patut digunakan.
Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun
tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti kesaksian tetapi dapat memperkuat
keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain. Dalam Hukum
Acara Pengadilan Negeri yang ditulis oleh S.M Amin menolak kesaksian de auditu
sebagai alat bukti kesaksian yang mengatakan sebagai berikut.
Memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de auditu berarti, bahwa syarat
“didengar, dilihat atau dialami sendiri” tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh
juga dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-keterangan yang diucapkan oleh
seseorang di luar sumpah. Umpama A menceritakan kepada B, ia melihat C pada
suatu malam mencari D dengan pisau terhunus dan muka yang membayangkan
kemarahan. Keesokan harinya kedapatan mayat D terdampar di suatu jalan sepi
dengan beberapa tusukan di badan.
35 Ibid, h.260.
Dalam sidang pengadilan, dalam pemeriksaan pembunuhan atas D, maka B
didengar sebagai saksi. Ia menceritakan apa yang pernah didengarnya dari A yang
tidak didengar oleh karena telah meninggal. Ini berarti, bahwa keterangan-keterangan
yang dipergunakan untuk menciptakan bukti adalah keterangan-keterangan saksi B,
bukan keterangan A yang seharusnya didengar sebagai saksi.
Manakala di dalam Seksyen 226 Akta Prosedur Jinayah Syariah (WP) 1997 [Akta
560] menyatakan:
Dalam mana-mana prosiding di bawah Akta ini, Mahkamah hendaklah mematuhi
segala peruntukan hukum berhubung dengan bilangan, kedudukan atau kualiti
saksi atau keterangan yang dikehendaki untuk membuktikan apa-apa fakta.
B. Syarat-Syarat
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Akan tetapi, dalam hal eksepsional
sifatnya seseorang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri
sebagai saksi.
Dalam hukum Acara Pidana Islam, ada membincangkan syarat bagi
membolehkan saksi tersebut diterima dan seterusnya memberikan kesaksiannya.
Syarat saksi tersebut dibagikan kepada dua jenis yaitu syarat penerimaan dan syarat
penyampaian.36
36 Mahmud Saedon, Undang-Undang Keterangan Islam, ( Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, 1990), h.63.
a) Syarat Penerimaan37
Syarat penerimaan kesaksian atau terkenal dengan syurut al-tahammul ialah
syarat yang wajib ada semasa seseorang itu menerima keterangan saksi. Syarat
tersebut ialah seperti berikut: Berakal dan Melihat.
b) Syarat Penyampaian
Agar keterangan saksi boleh diterima maka seseorang saksi itu hendaklah
memenuhi syarat yang wajib ada padanya semasa penyampaian atau ketika
memberikan keterangan tersebut. Syarat tersebut adalah Islam, sempurna akal,
baligh, adil, kuat ingatan, tiada tohmah, bermaruah, merdeka, boleh berkata-kata
serta melihat.
Akta Undang-Undang Keterangan Malaysia dan KUHAP Indonesia tidak
menggariskan Islam sebagai syarat wajib yang perlu ada pada tiap saksi karena dalam
duduk perkara pidana, ia tidak menganut keagamaan. Maka dengan itu, Akta
Undang-undang Keterangan 1950, telah menggariskan beberapa syarat yang harus
ada pada tiap orang yang menjadi saksi bagi membolehkan mereka memberi
keterangan. Syarat-syarat yang digariskan adalah:
a. Sempurna Akal
Seksyen 118: Semua orang adalah kompeten memberi keterangan melainkan
jika mahkamah berpendapat bahwa mereka tidak boleh memahami soalan-soalan
yang dikemukakan kepada mereka atau tidak dapat memberi jawaban-jawaban
yang rasional kepada soalan-soalan itu oleh karena umurnya terlalu muda, terlalu
37 Ibid , h.64-65.
tua, karena penyakit, baik dikarenakan penyakit tubuh atau penyakit otak, atau
oleh apa-apa sebab lain yang seumpamanya.
Dalam Seksyen 87(5) memperuntukkan bagi seseorang yang mempunyai
ingatan yang lemah atau yang pelupa atau mengidap hilang kewarasan akal
adalah berwibawa untuk memberikan keterangan akan tetapi tidak berwibawa
untuk memberikan kesaksian.
b. Boleh Berkata-kata
Saksi haruslah orang yang boleh berkata-kata, akan tetapi jika berhadapan
dengan saksi yang bisu, ia boleh diterima isyaratnya dalam urusan-urusan yang
khusus dengannya sahaja karena darurat. Bagi pendapat Imam Malik dan Imam
Syafii berkata, saksi bisu boleh diterima jika isyaratnya itu dapat difahami
maksudnya.38
Di karenakan itu, maka seksyen 119 (1): telah memperuntukan undang-
undang bagi orang bisu yaitu:
Seksyen 119 (1): Seseorang saksi yang tidak dapat bercakap boleh memberi
keterangannya dengan apa-apa cara lain yang dengannya keterangan itu
mudah difahami, seperti misalnya, dengan tulisan atau isyarat; tetapi tulisan
itu mestilah ditulis dan isyarat itu dibuat dalam mahkamah terbuka.
38 Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid,
1997), h.96-97.
Seksyen 88 (1) : Seseorang saksi yang tidak dapat bercakap dibolehkan untuk
memberikan keterangannya mengikut apa-apa cara yang menjadikannya boleh
difahami seperti dengan tulisan atau dengan isyarat.
Seksyen 88 (2): Keterangan yang disebut dalam subseksyen (1) hendaklah
diberikan didalam mahkamah terbuka.
c. Keterangan seseorang kanak-kanak yang masih muda diterima pakai.
Seksyen 133A: menetapkan jika dalam sesuatu prosiding terhadap seseorang
karena sesuatu kesalahan, seseorang kanak-kanak yang masih muda yang
dipanggil sebagai saksi adalah pada pendapat mahkamah tidak faham apa
sebenarnya suatu sumpah itu, keterangannya boleh diterima, walaupun diberi
dengan tidak mengangkat sumpah, jika, pada pendapat mahkamah, dia telah
cukup akal bagi membolehkan keterangannya diterima, dan dia faham tentang
kewajiban berkata benar; dan keterangannya, walaupun diberi dengan tidak
mengangkat sumpah, tetapi sebaliknya diambil dan dituliskan menurut
seksyen 269 Kanun Prosedur Jinayah bagi Negeri-Negeri Melayu Bersekutu39
hendaklah disifatkan sebagai suatu deposisi.
Pasal 171 KUHAP: menerangkan bahwa terdapat pengecualian pada orang
tertentu untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah, yaitu:
39 “Negeri” dapat disamakan sebagai Negara Bagian. Umumnya, Negara Bagian di Malaysia
dapat dibagi kepada Negeri-Negeri Melayu Bersekutu, Negeri-Negeri Melayu Tidak Bersekutu dan Negeri Selat. Negara bagian yang diklasifikasikan sebagai Negeri-Negeri Melayu Bersekutu adalah
Selangor, Pahang, Perak dan Negeri Sembilan, yaitu Negeri-Negeri Melayu yang mendapat intervensi
Residen secara langsung semasa periode penjajahan Inggris di Tanah Melayu. Manakala Negeri-
Negeri Melayu Tidak Bersekutu, adalah Kedah, Perlis, Terengganu, Kelantan,dan Johor. Negeri-
Negeri Selat terdiri daripada Pulau Pinang dan Melaka.
i. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin ;
ii. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur
lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila
meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut
psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji
dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai
sebagai petunjuk saja.
d. Pihak-pihak dalam guaman sivil dan istri dan suami sebagai saksi kompeten
menurut seksyen120 (2) dan (3).
Seksyen120 (2) dalam prosiding jinayah terhadap seseorang, suami atau istri
orang itu adalah masing-masingnya saksi kompeten. Manakala bagi seksyen (3)
menetapkapkan dalam prosiding jinayah, tertuduh adalah saksi kompeten bagi
pihak dirinya, dan boleh memberi keterangan dengan cara yang sama dan punyai
implikasi dan akibat yang sama seperti mana-mana saksi lain; dengan syarat
bahwa, setakat mana pemeriksaan balas itu berhubung dengan kebolehpercayaan
tertuduh itu, mahkamah boleh menghadkan pemeriksaan balas itu setakat yang
difikirkan wajar, walaupun pemeriksaan balas yang dicadangkan itu mungkin
boleh dibenarkan bagi mana-mana saksi lain.
Di dalam KUHAP, telah ditentukan bahwa kelurga sedarah atau semenda, serta
saudara-saudara dari terdakwa sampai derajat ketiga juga suami dan istri terdakwa
baik keduanya masih bersama atau telah bercerai, maka kesaksiannya tidak boleh
digunapakai.
Kekecualian seseorang daripada menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168:
i. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
ii. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu
atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan
dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
iii. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
Pasal 160 ayat 3, mengatur bahwa tiap-tiap saksi yang ingin memberi keterangan
akan dikenakan sumpah. Ini dikarenakan pengucapan sumpah itu merupakan syarat
mutlak.
Pasal 185 ayat (4) mengatakan bahwa keterangan beberapa saksi yang berdiri
sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu
alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang
lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu.
Ini dinamai kesaksian berantai (kettingbewijs), yang tersebut juga dalam Pasal
300 ayat (2) HIR. Menurut S.M Amin, kesaksian berantai ada dua macam, yaitu
sebagai berikut.
1. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi, dalam satu perbuatan.
2. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi, dalam beberapa perbuatan.
Contoh bagi kasus kesaksian pertama: Seorang saksi menerangkan bahwa ia
melihat si A (terdakwa) pada jam 12.00 tengah hari tanggal 1 Mei 1993
berjalan di Jalan Tebet Barat Raya, Jakarta. Saksi kedua menerangkan bahwa ia
melihat si A (terdakwa) masuk ke pekarangan rumah nomor 4 di jalan tersebut
pada kira-kira jam 12.00. Saksi ketiga menerangkan bahwa ia melihat si A
(terdakwa) menunggu dan naik taksi jam 13.00 tanggal 1 Mei 1993 di tepi
Jalan Tebet Barat Raya, Jakarta sambil membawa sebuah televisi.
Keterangan-keterangan para saksi tersebut yang berdiri sendiri-sendiri tersebut
berantai, dan menjadi bukti bahwa si A telah mencuri sebuah televisi kepunyaan si C
di rumah nomor 4 Jalan Tebet Barat Raya, Jakarta yang melaporkan kepada polisi
bahwa ia telah kehilangan televisi di rumah tersebut kira-kira pada jam 12.30 tanggal
1 Mei 1993.
Menurut KUHAP,“ keterangan satu saksi bukan saksi ”, hanya berlaku pada
pemeriksaan biasa dan pemeriksaaan singkat, tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat.
Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut.“ Dalam
acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah ”.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence”
keterangan saksi, agar ia mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu
diperhatikan bebrapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi.
Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang
memiliki nilai ketentuan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai
berikut:
a) Harus mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sebagian saksi tidak
diharuskan mengucapkan sumpah seperti yang ditentukan di dalam Undang-
Undang Keterangan Malaysia seksyen 133A dan KUHAP pasal 171.
b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti.
Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa
yang dijelaskan di dalam Seksyen 47 (1)40
menjelaskan bahwa keterangan lisan
hendaklah diberikan secara langsung, iaitu:
a) Jika ia merujuk kepada fakta yang boleh dilihat, maka ia mestilah
keterangan saksi yang mengatakan dia telah melihat fakta itu;
b) Jika ia merujuk kepada fakta yang boleh didengar, maka ia mestilah
keterangan saksi yang mengatakan dia telah mendengar fakta itu;
40 Enakmen Keterangan Mahkamah Syariah (Perak), 2004.
c) Jika ia merujuk kepada fakta yang boleh ditanggap melalui apa-apa
deria rasa yang lain atau dengan apa-apa cara lain, maka ia mestilh keterangan
saksi yang mengatakan dia telah menanggapnya dengan deria rasa itu.
KUHAP juga menjelaskan perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal
1 angka 27, menentukan,
i. Yang saksi lihat sendiri;
ii. Saksi dengar sendiri;
iii. Dan saksi alami sendiri;
iv. Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu
harus yang dinyatakan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan
yang terdapat di dalam pasal 185(1).
d) Keterangan bilangan saksi.
Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang
terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat
bukti. Jika dilihat pada seksyen 134, ia tidak menkhususkan kuantiti saksi akan
tetapi pada pasal 185(2) telah dinyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja
belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis”.
C. Pemeriksaan Saksi41
Keterangan daripada para saksi merupakan aspek penting dalam menghadapi
perbicaraan sesuatu perkara. Tanpanya, maka tuntutan yang dibuat oleh seseorang
plaintif atau penafian yang dibuat oleh seseorang responden tidak akan memberikan
apa-apa makna.
Ketiadaan keterangan atau alat bukti boleh membuka ruang kepada unsur
kepalsuan dan penipuan. Begitu juga, keterangan yang diberikan itu, jika tidak di
dalami, akan memberikan kesempatan atau peluang kepada orang yang tidak
berakhlak untuk mempengaruhi hakim sedangkan alat bukti yang diberikan itu
sebenarnya tidak betul dan tidak beretika.42
Karena menginsafi kepelbagaian kemungkinan itu, maka sesuatu keterangan atau
bukti mestilah dipastikan baik ia benar atau sebaliknya dan dikarenakan menyadari
hakikat kepentingan yang tersebut itu, maka kedudukan saksi perlulah diambil
perhatian agar tidak berlaku ketidakadilan kepada mahkamah dalam membuat sesuatu
putusan.43
Salah satu aspek yang perlu diambil kira ialah pemeriksaan saksi. Dari segi
perundangan, pemeriksaan saksi merupakan pemeriksaan terhadap kejujuran
seseorang saksi yang didatangkan oleh pihak pendakwa. Kebolehpercayaan ini
41 “Pemeriksaan saksi” dalam ungkapan Bahasa Inggeris dikenali sebagai examination of
witness atau secara umumnya lebih dikenali dengan testimoni saksi.
42 Lihat Hamid Jusoh, Tazkiyah Al-Syuhud, dalam Nasimah Hussin, dkk, Undang-Undang
Islam: Jenayah, Keterangan dan Prosedur, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h.
161-162.
43 Ibid
penting bagi memastikan agar tidak timbul sebarang keraguan terhadap diri saksi
tersebut.
Pemeriksaan saksi merujuk juga kepada satu bentuk pemeriksaan yang dijalankan
oleh mahkamah bagi memastikan baik keterangan seseorang saksi yang terkaitan itu
boleh diterima atau tidak serta bertujuan untuk mengisytiharkan saksi itu adil atau
sebaliknya.44
Ini bagi memastikan bahwa hakim tidak terperangkap dalam menerima
keterangan daripada saksi yang fasiq. Walau bagaimanapun, harus diingat bahwa
sekiranya seseorang saksi itu telah diketahui akan keadilannya, maka pemeriksaan
saksi ini tidak lagi diperlukan.
Di Malaysia, dapat dilihat melalui Akta Keterangan 1950 yang terkandung dalam
seksyen 135 hingga 166, yang secara keseluruhannya merujuk kepada pemeriksaan
saksi tentang fakta yang disaksikan atau yang didengar atau diingati oleh para saksi.
Berdasarkan seksyen 135, susunan bagaimana saksi-saksi dikemukakan dan
diperiksa hendaklah menurut undang-undang dan amalan yang ada pada masa itu
berhubung dengan acara sivil dan jinayah masing-masing, dan sekiranya tiada
undang-undang sedemikian, maka susunan itu hendaklah menurut budi bicara
mahkamah.
Manakala dalam seksyen 137, terkait dengan pemeriksaan utama, pemeriksaan
balas, pemeriksaan semula. Dalam subseksyen:
44 Ibid, h.164.
1) Pemeriksaan seseorang saksi oleh pihak yang memanggilnya hendaklah disebut
pemeriksaan utamanya.
2) Pemeriksaan seseorang saksi oleh pihak lawan hendaklah disebut pemeriksaan
balasnya.
3) Jika seseorang saksi telah diperiksa oleh pihak yang telah memanggilnya, maka
pemeriksaan itu hendaklah disebut pemeriksaan semulanya.
Dalam seksyen 138 diatur mengenai susunan pemeriksaan dan arahan bagi
pemeriksaan semula. Jika dilihat dalam seksyen 138 (1), saksi-saksi hendaklah mula-
mula diperiksa utama, kemudiannya diperiksa ulang jika pihak lawan
menghendakinya, kemudian diperiksa ulang lagi oleh pihak yang memanggil para
saksi tersebut.
Dalam hal pemeriksaan saksi ini juga dapat dilihat, apabila sesuatu soalan
yang berhubungan dengan sesuatu perkara yang tidak relevan dengan guaman atau
prosiding perkara itu, maka mahkamah dapatlah memutuskan baik saksi itu boleh
dipaksa menjawab soalan itu atau tidak.
Pemeriksaan saksi juga telah ditentukan dalam Pasal 160 KUHAP bahwa
yang pertama-tama didengar keterangannya, adalah korban yang menjadi saksi. Satu
hal yang perlu diperhatikan adalah ketentuan dalam pasal itu yang mengatakan bahwa
saksi, baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa, yang
tercantum dalam surat perlimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau
penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi
tersebut.
Di muka penyidik, saksi diperiksa dengan tidak diangkat sumpah, kecuali
apabila melihat ada cukup alasan untuk diduga bahwa saksi tersebut tidak akan hadir
dalam pemeriksaan di pengadilan.
Misalnya jika ada kekhuwatiran bahwa saksi itu dalam pemeriksaan dimuka
pengadilan kelak tidak akan dapat hadir karena ia akan meninggal dunia atau akan
keluar negara untuk waktu yang lama. Dalam hal yang sedemikian, maka saksi
diperiksa dengan disumpah terlebih dahulu. Apabila ternyata saksi tersebut tidak
dapat hadir di muka pengadilan, maka berita acara pemeriksaan saksi yang telah
disumpah terlebih dahulu itu cukup dibaca di muka pengadilan, dan keterangan itu
disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di
dalam sidang.45
Dalam hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji, KUHAP masih
mengikuti peraturan lama (HIR), di mana ditentukan bahwa pengucapan sumpah
merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti. Dalam Pasal 160 ayat
(3) KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
45 Ansorie Sabuan,dkk, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 1990), h. 110.
Pasal 162 ayat (1) mengatur bahwa jika saksi sesudah memberi keterangan
dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir
di sidang, atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya
atau karena sebab lain yang berhubung dengan kepentingan negara, maka keterangan
yang telah diberikannya itu dibacakan.
Manakala ayat (2) menyatakan jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan
di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi
di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Seorang saksi dalam memberikan keterangan dalam satu proses sidang, tidak
mengecualikannya daripada menjadi seorang terduga atau tersangka yang melakukan
tindak pidana. Jika dilihat pada persidangan perkara pidana, dalam usaha mencari
kebenaran materiel, tidak jarang ditemukan bahwa sebenarnya saksi tersebut
ditenggarai mempunyai indikasi juga sebagai pelaku tindak pidana.46
Berdasarkan keadaan seperti ini, terhadap saksi yang sedemikian ada dua
polarisasi penyelesaiannya. Pertama, Majelis Hakim bisa secara langsung
mengeluarkan “Penetapan” dengan titik tolak berdasarkan Pasal 108 ayat (3),
bahwa pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui
tentang terjadinya tindak pidana wajib melaporkan kepada penyidik. Dalam
konteks ini, argumentasi yang dikemukakan bahwa hakim dapat dikategorisasikan
sebagai pegawai negeri sesuai dengan pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
46 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana(Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya),
(Bandung: PT. Alumni, 2007), h.176.
2004. Kedua, bahwa karena locus dan tempus delicti hal ini tidak di muka
persidangan, kemudian untuk tidak melanggar asas “dominus litis”, Hakim Ketua
Sidang lalu memerintahkan Panitera Pengganti mencatat kasus tersebut dalam
berita acara sidang dan kemudian ditandatangani oleh hakim serta Panitera
Pengganti
D. Sanksi Bagi Saksi Palsu
Apa yang diharapkan dan dituntut undang-undang daripada seorang saksi, tidak
lain daripada keterangan yang sebenar-benarnya. Akan tetapi, sebagai saksi dan
manusia biasa mungkin dipengaruhi oleh motivasi yang sulit diketahui hakim.
Mungkin saja saksi mempunyai kepentingan pribadi dalam perkara yang sedang
diperiksa, sehingga membuat dia cenderung memberi keterangan palsu. Namun,
kadang-kadang bagaimanapun pandainya menyusun kata-kata palsu, sering
kepalsuan itu tidak dapat disembunyikan.47
Saksi adalah asas utama bagi seseorang hakim untuk memutuskan sesuatu
putusan dan menjatuhkan sesuatu hukuman. Oleh yang demikian, ditangan saksilah
terletak menang atau kalah pendakwa dalam sesuatu kasus atau perkara yang dibawa
ke mahkamah.
Ia merupakan senjata bagi pendakwa ini dikarenakan apabila saksi itu benar,
maka menanglah pendakwa itu mengikut jalan kebenaran. Dan apabila saksi itu tadi
47 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 195.
memberikan keterangan yang dusta, maka menangnya pendakwa itu secara dusta dan
salah.48
Adakalanya didapati para saksi menarik balik penyaksian mereka, ini memberi
makna dengan sendirinya mereka mendustakan keterangan penyaksian yang mereka
berikan, atau mereka mendakwa telah tersalah dalam memberikan penyaksian.
Dalam Seksyen 19149
telah diperuntukkan bagi siapa yang memberi keterangan
palsu:
Barang siapa, yang terikat di sisi undang-undang oleh suatu sumpah, atau oleh
apa-apa peruntukan undang-undang yang nyata supaya menyatakan hal yang
sebenarnya, atau yang terpaksa di sisi undang-undang supaya membuat suatu
akuan atas apa-apa perkara, membuat sesuatu kenyataan yang palsu, dan yang ia
sama ada ketahui atau percayai sebagai palsu, atau yang ia tidak percaya sebagai
benar, adalah dikatakan memberi keterangan palsu.
Dengan huraian 1: suatu kenyataan baik dibuat secara lisan atau dengan jalan lain
adalah termasuk dalam arti seksyen ini.
Manakala huraian 2: suatu kenyataan palsu berkenaan dengan kepercayaan orang
yang membuat kenyataan itu termasuk dalam arti seksyen ini, dan seseorang
boleh jadi melakukan kesalahan memberi keterangan palsu dengan menyatakan
bahwa ia percaya suatu perkara yang ia tidak percaya atau dengan menyatakan
bahwa ia ketahui sesuatu perkara yang ia tidak ketahui.
48 Idris Ahmad, Fiqh Syafii, (Kuala Lumpur: Pustaka Antara Sdn Bhd, 1995), h.552.
49 Kanun Keseksaan Akta 574.
Jikalau para saksi itu mengakui di atas tuduhan atau dakwaan bahwa keterangan
mereka itu adalah palsu, maka hakim akan mengenakan ke atas mereka hukuman
keseksaan yang setimpal dan gantian yang sewajarnya. Sebaliknya jika mereka
mengingkari tuduhan itu, sedangkan yang mendakwa atau yang membuat tuduhan itu
mempunyai bukti di atas pengakuan mereka, maka hakim hendaklah mendengar
keterangan saksi yang mendakwa.50
Memberi keterangan palsu adalah di antara dosa-dosa besar dan Allah melarang
keras berdasarkan firmannya yang bermaksud:
���0�o,F.p"7 q☯.pr�� g��-
�� ����Fs
���0�o,F.p�� qoE�"<
R�tX� Artinya: “Maka jauhilah kekotoran syirik yang disebabkan oleh
penyembahan berhala, serta jauhilah perkataan yang dusta.”
(Q.S. Al-Hajj, 22:30)
Menurut pengarang Subulussalam, bahwa sah bagi hakim menghukum mengikut
zahirnya apabila yang mendakwa itu bohong dan saksi-saksinya dusta asal dengan
hukum itu tidak menghalalkan perkara yang haram. Dalam surah An-Nisa’, ayat 85
menyatakan sebagai berikut:
�u- .v⌧2.*%w Mx&@ ⌧2⌧j \x�\y�&�
�:!,1 3Oj� A;�Wz,5 xH�{�]- � �,-�� .v⌧2.*%w \x&@ ⌧2⌧j
\x&|r�&} �:!,1 3Oj� kN2�T
&(�U�]- ! ,?<⌧T�� =� +�$#,
h�k:T O:��⌧� �Fe�J�-
50 Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid,
1997), h. 113.
Artinya: “Sesiapa yang memberikan syafaat yang baik nescaya ia akan
memperoleh bahagian (pahala) daripadanya; dan sesiapa yang memberikan
syafaat yang buruk, nescaya ia akan mendapat bahagian (dosa) daripadanya. dan
(ingatlah) Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.”
(Q.S. An-Nisa’ , 4:85)
Sanksi yang akan dikenakan bagi mana-mana saksi yang memberikan atau
membuat keterangan palsu di dalam sesuatu perbicaraan adalah penjara selama tujuh
tahun beserta denda. Ini bertepatan dengan seksyen 193.
Seksyen 193 menyatakan barang siapa dengan sengaja memberi keterangan palsu
pada mana-mana tingkat pembicaraan kehakiman, atau dengan sengaja cipta
keterangan palsu bagi maksud digunakan pada mana-mana tingkat pembicaraan
kehakiman, hendaklah diseksa dengan penjara selama tempoh yang boleh sampai
tujuh tahun, dan boleh juga dikenakan denda.
Dengan yang demikian, apabila terdapat penerimaan atau penolakan keterangan
dengan cara yang tak wajar, maka tidak ada alasan bagi melakukan perbicaraan yang
baru atau pengakasan putusan dalam mana-mana perkara. Ini berdasarkan seksyen
167.
Begitu juga dalam Pasal 163 KUHAP, telah ditentukan bahwa dalam hal yang
demikian, hakim ketua sidang mengingatkan saksi mengenai hal itu serta meminta
keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan
di sidang.51
51 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2004), h.239
Karena pelbagai motivasi dan kepentingan, tidak jarang pula keterangan seorang
saksi diberikan dengan tidak sebenarnya dan saksi tersebut diduga melakukan
“sumpah palsu”. Dalam praktik, terhadap hal ini Hakim Ketua Sidang
memperingatkan saksi agar menarik balik keterangan palsunya.52
Hakim Ketua berkuasa bagi memperingatkan secara bersungguh-sungguh kepada
saksi supaya mendatangan keterangan yang sebenarnya dan memberi peringatan
tentang ancaman pidana yang akan dikenakan sekiranya saksi tersebut memberi
keterangan palsu. Sepertimana yang telah diatur dalam pasal 174 ayat (1), apabila
keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan
dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang
sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya
apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
Terhadap hal ini, pasal 174 ayat (4), jika perlu Hakim Ketua Sidang
menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana
terhadap saksi itu selesai.
Mengenai pasal 224 (1), saksi,ahli atau jurubahasa yang menurut undang-undang,
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus
dipenuhinya, maka mereka diancam dalam perkara pidana, penjara paling lama
sembilan bulan. Manakala bagi saksi yang menarik diri atau mencabut keterangannya
52 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya),
(Bandung: PT. Alumni, 2007), h.175-176.
di muka persidangan, berlakulah ketentuan yang telah diatur dalam pasal 185 ayat (1)
dan (6).
Kebanyakan fuqaha berpandangan, hakim hendaklah memberi hukuman ta’zir ke
atas orang yang telah memberikan kesaksian palsu, apabila ternyata di sisinya bahwa
saksi itu telah memberi keterangan palsu dengan sengaja.
Adapun bentuk ta’zir dan kadarnya mengikut kepada budi bicara hakim. Menurut
al-Mawardi di dalam kitab Adab al-Qadhi, jika hakim membuat pilihan untuk
hukuman cambuk, maka cambukan tersebut tidak boleh melebihi daripada sepuluh
kali cambuk menurut mazhab Hanbali dan bagi mazhab Syafi’i, tidak boleh melebihi
daripada tiga puluh sembilan kali. Hakim juga tidak boleh menjatuhkan hukuman
yang berbentuk al- Muthlah yakni penghinaan.
E. Sisi Komparatif
Kesaksian menurut Undang-Undang Keterangan dan KUHAP, semestinya
mempunyai kesamaan serta perbedaannya. Walau tidak banyak perbedaannya,
penulis akan cuba untuk mencari dan dapat dilihat seperti berikut:
1) Persamaan
Dari sudut persamaan, kesaksian merupakan antara lima alat bukti yang sah
untuk diterima pakai dan digunakan di dalam pengadilan. Empat alat bukti yang
lain adalah pengakuan, qarinah, dokumen dan pandangan para ahli.
Selain itu, kanak-kanak di bawah umur dibolehkan untuk menjadi saksi.
Kesaksian mereka merupakan kesaksian di bawah sumpah. Penerimaan
kesaksian bagi kanak-kanak yang di bawah umur, telah diatur di dalam seksyen
133A dan pasal 171.Kesaksian orang gila diterima pakai sekiranya kenyataan
mereka selari dengan perkara yang dibicarakan di dalam peradilan.
Mengenai sanksi yang dikenakan kepada para saksi yang memberi keterangan
palsu, Undang-Undang di Malaysia dan Indonesia telah menetapkan penjara
sebagai hukuman.
2) Perbedaan
Perbedaan antara Undang-Undang Acara Malaysia dan Indonesia tidak
banyak yang dapat diuraikan. Walaupun sistem perundangannya berbeda,
Malaysia yang menggunakan sistem Common Law dan Indonesia menggunakan
sistem Eropa Kontinental, akan tetapi sudut perbedaannya hanya dapat dilihat
pada seksyen 134 dan pasal 185 (2) berkenaan bilangan saksi, seksyen120 (2) dan
(3) serta pasal 168 berkenaan suami atau istri dalam memberikan keterangan
saksi.
Walaupun secara asasnya keterangan de auditu tidak diterima, tetapi beberapa
pengecualian diiktiraf karena keterdapat desakkan atau memudahkan. Di
Malaysia, keterangan ini boleh didapati dalam seksyen 32, manakala di Indonesia
dalam pasal 185 (5), ia tidak diterima sebagai alat bukti.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah diteliti kedudukan saksi yang terdapat di dalam Undang-Undang
Keterangan juga yang terdapat di dalam KUHAP, penulis akan memberikan beberapa
kesimpulan bagi pembahasan dari penulisan ilmiah ini antara lain:
1. Kedudukan saksi dalam perkara pidana telah diatur dalam Undang-Undang
Keterangan Malaysia 1950 mulai dari seksyen 118 hingga 166. Secara
kesimpulannya, dari segi pengenalan, saksi boleh diterima apabila seseorang itu
melihat, mendengar atau telah menanggapi sesuatu perkara melalui mana-mana
deria rasa yang ia miliki. Berkenaan dengan kuantiti saksi, undang-undang ini
tidak meletakkan bilangan yang khusus bagi membuktikan sesuatu perkara.
Mengenai keterangan saksi yang diberikan oleh orang yang bisu atau tidak
sempurna otaknya, mahkamah berpendapat keterangan mereka masih boleh
diterima selama mana kenyataan tersebut masih bisa difahami. Undang-Undang
Keterangan juga telah mengatur berkenaan suami dan istri orang itu adalah
masing-masing merupakan saksi yang kompeten. Selain itu, terdapat ancaman
bagi mana-mana saksi yang telah mendatangkan keterangan secara palsu. Sanksi
yang dikenakan adalah penjara selama tempoh yang boleh sampai pada tujuh
tahun beserta denda.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diberlakukan di Indonesia,
telah mengatur tentang kedudukan kesaksian bermula dari pasal 185. Di dalam
KUHAP, diatur bahwa keterangan daripada seorang saksi tidak memberi makna
bahwa terdakwa itu telah bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Manakala keterangan yang diambil daripada saksi yang tidak
disumpah, ia tidak merupakan alat bukti. Akan tetapi, apabila keterangan tersebut
sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah, maka ia dapat digunakan sebagai
alat bukti tambahan. Selain itu, KUHAP juga telah menentukan bahwa kelurga
sedarah atau semenda, serta saudara-saudara dari terdakwa sampai derajat ketiga
juga suami dan istri terdakwa baik keduanya masih bersama atau telah bercerai,
maka kesaksiannya tidak boleh didengar dan mereka ini perlulah mengundurkan
diri sebagai saksi. Bagi sanksi saksi yang memberikan keterangan secara dusta,
mereka diancam dalam perkara pidana, penjara paling lama sembilan bulan. Ini
karena mereka tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang
harus dipenuhinya.
3. Komparasi yang telah dilakukaan bagi kedudukan saksi dalam perkara pidana
menurut undang-undang yang digunakan di Malaysia dan di Indonesia, dapat
dikonklusikan dari sisi persamaan dan perbedaan. Jika dilihat dari segi
persamaan, keterangan saksi merupakan alat bukti yang sah bagi menetapkan
sesuatu perkara. Keterangan saksi didatangkan dari pihak penuntut. Selain itu,
keterangan saksi kanak-kanak yang dibawah umur boleh diterima dalam
keterangan di bawah sumpah bagi undang-undang di kedua negara tersebut.
Manakala dari segi perbedaannya pula, bagi Undang-Undang Keterangan, suami
serta istri merupakan saksi yang kompeten sedang dalam KUHAP, suami dan
istri, masing-masing diminta untuk mengundurkan diri daripada memberikan
kesaksian.
4. Walaupun undang-undang acara Malaysia dan Indonesia tidak sepenuhnya
bersumberkan Hukum Islam, akan tetapi ia masih tidak melanggar Hukum Islam
dan masih menggunakan serba sedikit tindak pidana Hukum Islam, berdasarkan
kedudukan saksi dalam mejadi alat bukti serta kuantiti saksi yang digunakan
minimal dua orang seperti yang digunakan di dalam Hukum Islam.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas dan melihat sudut pandang urgensi dari eksistensi
saksi dalam alat bukti, maka penulis merekomendasikan:
1. Sanksi terhadap mereka yang melakukan atau memberikan kesaksian palsu,
hendaklah ditingkatkan bagi membanteras atau mengurangkan kasus seumpama
ini dari berleluasa. Hal ini dikarenakan penulis merasakan implikasi dan impak
yang akan dilalui serta dirasai oleh tersangka amat kuat jika para saksi
mendatangkan kesaksian palsu yang apalagi boleh menjatuhkan kredibilitas
tersangka sedangkan ia tidak melakukan perkara tersebut. Penulis juga merasakan
masih rendahnya denda yang dikenakan bagi mereka yang melanggar hukum.
DAFTAR PUSTAKA
al-Quran al-Karim
Abd Majid, Mahmood Zuhdi. Bidang Kuasa Jenayah Mahkamah Syariah di
Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001.
A Adjis, Chairil, dan Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah. Jakarta: Graha Pena, 2007.
Ahmad, Idris. Fiqh Syafii. Jil. II. Kuala Lumpur: Pustaka Antara Sdn Bhd, 1995.
Ahmadi, Abu, dan Idris Abd Fatah. Fikih Islam Lengkap. Jakarta: Rineka Cipta,
2004.
Al-Mawardi. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Penerjemah Fadli Bahri. Jakarta:
Darul Falah, 2006.
Al-Ruhaily, Ruway’i. Fiqhu Umar Ibnu Khattab Muwadzinan bi Fiqhi Al-syhuri Al-
Mujtahidin. Penerjemah A.M Basalamah. Fikih Umar 2. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1994.
Aziz, Abdul, dkk. Fatwa-fatwa Terkini. Jil.I. Jakarta: Darul Haq, 2005.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
--------------. KUHP&KUHAP, cetXIII. Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Hc M.L Hulsman. Sistem Peradilan Pidana (dalam Perspektif Perbandingan
Hukum). Jakarta: CV Rajawali, 1984.
Ibrahim, Ahmad, dkk. Al-Ahkam Penghakiman dan Kepeguaman. Jil.V. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997.
Ibrahim, Said. Qanun Jinayah Syar’iyah. Kuala Lumpur: Darul Ma’rifah, 1996.
Ismail, Paizah. Undang-Undang Jenayah Islam. cet.IV. Malaysia: Tradisi Ilmu
Sdn. Bhd, 2003.
Jawatankuasa Pendidikan,Dakwah dan Pelaksanaaan Syariah Negeri Terengganu,
Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah (Hudud dan Qisas). Terengganu:
Urusetia Penerangan Kerajaan Negeri Terengganu, 2002.
Jaya, Juanda. Halangan-Halangan Pelaksanaan Syariah Islam. Selangor: Maktabah
Al- Qardhawi, 1998.
Jusoh, Hamid. “Undang-Undang Keterangan Islam dan Perkembangan
Pelaksanaannya di Malaysia”. Dalam Nasimah Hussin, dkk. Undang-
Undang Islam Jenayah, Keterangan dan Prosedur. Jil.XIII. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007.
Kamal, Abu Malik. Shahih Fiqh Sunnah. Jil.V. Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006.
Karjadi, M dan Soesilo R. Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana dengan
Penjelasan Resmi dan Komentar (serta Peraturan Pemerintah R.I No.27
tahun1983 tentang Pelaksanaannya). Bogor: Politia, 1988.
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang. Akta Keterangan1950 (Akta 56) hingga 25
January 2008. Selangor: ILBS, 2008.
--------------. Kamus Undang-Undang. Selangor: ILBS, 2008.
--------------. Kanun Keseksaan (Akta 574) hingga 25 January 2008. Selangor:
ILBS, 2008.
--------------. Kanun Prosedur Jenayah (Akta 593) hingga 25 January 2008.
Selangor: ILBS,2008.
Muhammad, Taqiyuddin Abu Bakar. Kifayatul Akhyar. cet.II. Penerjemah
Syarifuddin Anwar dan Mishbah Musthafa, Kelengkapan Orang Soleh.
Surabaya: Bina Iman.
Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana (normatif, teoritis, praktik dan
permasalahannya). Bandung: PT Alumni, 2007.
Prodjodikoro,Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung:
Refika Aditama, 2003.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Abu Usamah Fakhtur. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jil.XIII. cet.II. Penerjemah Nor Hasanuddin. Jakarta:
Pena Pundi Aksara, 2007.
Sabuan, Ansorie, dkk. Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa, 1990.
Saedon, Mahmud. Undang-Undang Keterangan Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1990.
Shaleh, Qamaruddin, dkk. Ayat-Ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Quran.
Bandung: CV Penebit Diponegoro, 2006.
Suparni, Niniek. Tindak Pidana Subversi (Suatu Tinjauan Yuridis). Jakarta: Sinar
Grafika,1991.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. cet.III. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Waluyadi. Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003.
Yaacob, Abdul Monir. Tinjauan Kepada Perundangan Islam. cet.II. Kuala Lumpur:
Institut Kefahaman Islam Malaysia, 1996.
Zaidan, Abdul Karim. Sistem Kehakiman Islam( Prinsip-Prinsip Pendakwaan dan
Pembuktian). Jil.II. Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid. 1997.