35
KEGAWATDARURATAN ORTOPEDI Adalah trauma pada muskuloskeletal dimana apabila tidak mendapat penanganan yang tepat dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut, kelumpuhan bahkan kematian. Jenisnya antara lain: 1. Open Fractures 2. Neurovascular Injuries 3. Dislocations 4. Septic Joints 5. Trauma servical dan gangguan neurologisnya 6. trauma pelvis dan perdarahannya 1. OPEN FRACTURES Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi infeksi, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without (dari luar). Fraktur terbuka suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Berikut klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo,Merkow dan Templeman (1990) : Grade I Patah tulang terbuka dengan luka < 1 cm, relatif bersih, kerusakan jaringan lunak minimal, bentuk patahan simpel/transversal/oblik. Grade II Patah tulang terbuka dengan luka > 1 cm, kerusakan jaringan lunak tidak luas, bentuk patahan simpel.

kegawat daruratan ortopedi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

emergency pada ortopedi

Citation preview

Page 1: kegawat daruratan ortopedi

KEGAWATDARURATAN ORTOPEDI

Adalah trauma pada muskuloskeletal dimana apabila tidak mendapat penanganan yang tepat

dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut, kelumpuhan bahkan kematian. Jenisnya antara lain:

1.      Open Fractures

2.      Neurovascular Injuries

3.      Dislocations

4.      Septic Joints

5. Trauma servical dan gangguan neurologisnya

6. trauma pelvis dan perdarahannya

 

1.      OPEN FRACTURES

Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka

pada kulit dan jaringan lunak sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi

infeksi, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without (dari luar). Fraktur terbuka

suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko

infeksi. Berikut klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo,Merkow dan Templeman (1990) :

Grade I       Patah tulang terbuka dengan luka < 1 cm, relatif bersih, kerusakan jaringan lunak

minimal, bentuk patahan simpel/transversal/oblik.

Grade II     Patah tulang terbuka dengan luka > 1 cm, kerusakan jaringan lunak tidak luas,

bentuk patahan simpel.

Grade III    Patah tulang terbuka dengan luka > 10 cm, kerusakan jaringan lunak yang luas,

kotor dan disertai kerusakan pembuluh darah dan saraf.

IIIA.    Patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan luas, tapi    masih bisa menutupi patahan

tulang waktu dilakukan perbaikan.

III B    Patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan lunak hebat dan atau hilang (soft tissue

loss) sehingga tampak tulang (bone-exposs)

III C    Patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh darah dan atau saraf yang hebat

 

 

 

 

Page 2: kegawat daruratan ortopedi

 

Komplikasi Open Fractures

-          Infeksi Soft tissue

-          Osteomyelitis

-          Gas gangrene

-          Tetanus

-          Crush syndrome

-          Skin loss

-          Fraktur Non-union

Penatalaksanaan

-          Kontrol perdarahan

-          Tutupi fraktur dengan sterile dressing

-          Splint

-          IV antibiotics

-          Tetanus prophylaxis

-          Anti Gas Gangrene Serum (AGGS, Clostridium perfringes)

 

2.      NEUROVASCULAR INJURIES

1.      Vascular trauma

2.      Trauma to peripheral nerves

3.      Acute compartment syndrome

  

Etiologi:

1.      Fracture : Humerus, femur

2.      Dislocation : siku dan lutut

3.      Direct/penetrating trauma

4.      Embolism

5.      Direct Compression : Cast, unconscious

Acute Compartment Syndrome

Page 3: kegawat daruratan ortopedi

            Pengenalan dan pengobatan dini sindroma kompartemen penting pada pasien trauma

untuk mencegah kematian, amputasi dini, dan disfungsi tungkai. Kegagalan mendiagnosa dan

menangani sindroma kompartemen pada pasien trauma mengakibatkan sejumlah kasus

morbiditas yang sebenarnya dapat Penyebab sindroma kompartemen beragam dan termasuk, jika

tidak dibatasi, fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera arteri, luka tembak, gigitan ular,

kompresi tungkai, dan luka bakar.

kondisi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan kompartemen osteofasial

yang tertutup mengganggu sirkulasi dan fungsi jaringan menekan pembuluh darah dan saraf

tepi Perfusi kurang, serat saraf rusak iskemia nekrosis otot.

Dapat terjadi di ekstremitas atas, ekstremitas bawah, tangan, kaki, mata, dan abdomen.

 Penyebab:

1.      Penurunan volume kompartemen :

-          Penutupan defek fascia yang ketat

-          Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas

-          Casts, dressing atau splint

-          Pakaian militer antishock

-          Kompresi eksternal dalam waktu lama pada anggota tubuh Posisi litotomi yang lama

2.      Peningkatan tekanan struktur kompartemen:

-          Pendarahan atau pembentukan hematoma akibat trauma vaskuler atau koagulopati

-          Peningkatan permeabilitas kapiler

-          Trauma akibat fraktur atau kerusakan jaringan

-          Penggunaan otot berlebihan akibat olahraga intensif, kejang, tetanus, eklampsi

-          Luka bakar

-          Operasi ortopaedi

-          Gigitan ular

Page 4: kegawat daruratan ortopedi

-          Penurunan osmolaritas plasma akibat sindrom nefrotik

-          Injeksi obat intraarteri

-          Hipertrofi otot

Gejala klinisnya (5P):

1.      Pain (nyeri)

2.      Pallor

3.      Pulselesness

4.      Parestesia

5.      Paralisis

Terapi

1.      Terapi Medikal/non operatif

o   Singkirkan penyebab kompresi

o   O2

o   Pertahankan ekstremitas setinggi jantung

o   Konsultasi ortopedi atau bedah darurat

2.      Terapi pembedahan / operatif (apabila tekanan intrakompartemen > 30 mmHg)

fasciotomi

3.      DISLOKASI

Diagnosa umum dislokasi: Mirip dengan tanda-tanda fraktur

Anamnesis:

Persendiannya lepas/keluar dari tempatnya

Nyeri

Spasme otot

Gangguan fungsi

Pemeriksaan Fisik:

Swelling/pembengkakan

Deformitas: angulasi, rotasi, kehilangan bentuk yang normal, pemendekan

Gerakan yang abnormal

Page 5: kegawat daruratan ortopedi

Nyeri setempat

Dislokasi Sendi Panggul

  Dislokasi ke Posterior (sering)

Penderita berbaring, panggul yang terkena dalam posisi fleksi, adduksi dan rotasi Interna

  Dislokasi ke Anterior (jarang)

Penderita berbaring posisi panggul dalam keadaan ekstensi, abduksi dan rotasi eksterna

  Dislokasi ke Sentral (selalu disertai Fraktur dari Acetabulum)

Dislokasi Sendi Bahu

  Anterior (paling sering)

  Posterior lengan terkunci dalam posisi adduksi dan rotasi interna

  Inferior dimana caput humerus terperangkap dibawah cavitas glenoidales dikenal sebagai

Luxatio Erecta 

Dislokasi Sendi siku

2 tipe:

  Flexi

  Extensi

Dislokasi ke arah posterior:

  Trauma pada sendi siku dalam keadaan sedikit fleksi/truma yang menyebabkan hiper ekstensi

siku

  Sering disertai fraktur dari proc coronoideus, capitullum humerus atau caput radii

  Sendi bengkak dalam posisi semi flexi dan olecranon teraba di bagian posterior

Penatalaksanaan

Reduksi dislokasi selalu membutuhkan sedasi intravena untuk mengurangi spasme otot

pada sendi. Jika sebuah sendi tidak dapat direduksi oleh metode tertutup dengan sedasi yang

cukup, maka anestesi umum dibutuhkan. Berbagai usaha dilakukan untuk mereduksi sendi

dengan teknik tertutup di dalam ruang operasi dengan staf yang siap sedia melakukan reduksi

terbuka jika prosedur teknik tertutup ini gagal.

Tujuan jangka panjang reduksi adalah untuk mengembalikan posisi anatomi dan fungsi

normal. Reduksi juga meringankan nyeri akut, membebaskan pembuluh darah dan ketegangan

nervus, dan bisa mengembalikan sirkulasi pada ekstremitas yang tidak terdapat pulsasi.

 

Page 6: kegawat daruratan ortopedi

4.      SEPTIC JOINT/SEPTIC ARTHRITIS

Rongga sendi  merupakan rongga yang steril berisi cairan sinovial dan bahan selular

termasuk sel darah putih, septik artritis merupakan infeksi pada rongga sendi dan biasanya

merupakan infeksi bakterial. Septik arthriris merupakan bentuk akut arthritis yang paling

berbahaya, dan merupakan kasus kegawatdaruratan pada bidang ortopedi, keterlambatan dalam

mendiagnosa dan memberikan terapi dapat menyebabkan kerusakan sendi yang menetap bahkan

dapat menyebabkan morbiditas yang nyata bahkan kematian.

Septik artritis dapat terjadi melalui invasi langsung pada rongga sendi oleh berbagai

mikroorganisme termasuk bakteri, virus, mycobacteria dan jamur. Reaktif artritis terjadi suatu

proses inflamasi steril pada sendi oleh karena suatu proses infeksi ditempat lain dari tubuh.

Kuman penyebab

Gonococcal vs nongonococcal

80% berasal dari kuman gram positif aerob (S aureus, beta-hemolytic streptococci, and

Streptococcus pneumoniae)

Etiologi

-          Kontak langsung

-          Trauma

-          Iatrogenic

-          Penyebaran hematogen

-          osteomyelitis

-          infeksi Soft tissue

Lokasi

-          Lutut - 40-50%

-          Hip- 20-25%*

*paling sering terjadi pada bayi baru lahir dan anak kecil

-          Lengan- 10%

-          Bahu, ankle, siku- 10-15%

Faktor Resiko

-          Pemakaian Sendi buatan

-          Infeksi kulit

-          Pembedahan sendi

Page 7: kegawat daruratan ortopedi

-          Riwayat Rheumatoid arthritis dan Diabetes Mellitus

-          Pengguna obat IV

-          Degeneratif

Tanda dan gejala

-          Onsetnya cepat

-          Nyeri sendi

-          Pembengkakan Sendi

-          Rasa panas di daerah sendi

-          Sendi yang Kemerahan

-          Demam

-          Penurunan Range of Motion

-          Nyeri pada saat gerakan ROM aktif maupun pasifDecreased range of motion

Pengobatan

-          Antibiotika IV

-          Drainase

-          Aspirasi berulang

-          Perlu dipertimbangkan lavage

Indikasi dilakukannya pembedahan terbuka dengan drainase

-          Kesulitan pada aspirasi sendi

-          Demam serta gejala yang menetap selama > 24 jam

-          Leukocytosis selama  >48-72 jam

-          Kultur darah atau sendi yang positif berulang >48 jam

-          Sendi buatan yang terinfeksi

Komplikasi

-          Destruksi cepat pada sendi dengan pengobatabyang tertunda (>24 jam)

-          Penyakit sendi degeneratif

-          Trauma jaringan lunak

-          Osteomyelitis

-          fibrosis  sendi

-          Sepsis

-          Kematian

Page 8: kegawat daruratan ortopedi

 

  

5. TRAUMA VERTEBRA CERVICAL

Tujuan utama dari management trauma vertebra adalah :

1. (Stabilitas vertebra bebas nyeri) Painless stable spine.

2. Mencegah komplikasi pada medula spinalis.

Gangguan stabilitas ada 2 macam

1. Gangguan stabilitas permanent :

Bila lesi atau kerusakan lewat diskus atau jaringan lunak. Dalam hal ini perlu mutlak untuk

dilakukan stabilisasi anterior, posterior atau kombinasi anterior & posterior terganutng dari

kerusakannya.

2. Gangguan stabilitas temporer :

Kerusakan lewat komponen tulang, tindakan konservatif kecuali ada pendesakan fragmmen ke

spinal canal yang menimbulkan spinal canal enroachment dengan “neorologic deficit”

a. Penanganan cidera acut cervical tanpa gangguan neurologis.

1. Cervical sprain derajat I & II oleh karena whiplash injury. 

Pasang collar brace ± 6 mg

Ulangan dinamic foto setelah 3-6 mg post trauma

Untuk melihat adanya chronic instability

 

Kriteria untuk melihat adanya instability secara radiologis:

a. Dislokasi facet > 50%

b. Loss of paralelisme dari facet joint

c. Vertebrae body angles > 110 pada posisi flexi

Page 9: kegawat daruratan ortopedi

d. Widening interspinosus space

e. Pelebaran ADI (Atlanto Dental Interval) > 3,5 masing-masing pada dewasa dan >

5 masing-masing pada anak-anak.

f. Pelebaran body mass CI terhdap corpus cervical II (axis) > 7 masing-masing pada

foto AP

2. Dislokasi cervical spine

-                Sebaiknya dilakukan emergency closed reduction dengan atau tanpa anaesthesia,

dianjurkan tanpa anaesthesia cukup dengan premedikasi.

Keuntungannya : masih ada kontrol otot-otot leher yang dapat mencegah over stretching dari

spinal cord.

-                Reposisi dilakukan dnegan pertolongan image intensifier proyeksi lateral. Bila

fasilitas tidak ada, sebaiknya dikerjakan gradual traksi dengan pemasangan crutch field dengan

bnadul bertahap dan kontrol x-ray proyeksi lateral.

SURGERY :

Tujuan stabilisasi :

1. Stabilisasi mutlak diperlukan untuk mencegah kerusakan spinal cord akibat instability

2. Pada kondisi yang stabil, penyembuhan jaringan lunak akan lebih baik

Indikasi operasi :

-          Instability (C.I < 2)

-          Spinal canal enroachment > 30%

-          Neurologic deficit (complete/incomplete)

Waktu operasi : dianjurkan urgent dalam periode 24-48 jam bukan emergency (6-8 jam) atau late

lebih 1 minggu post trauma.

Surgical approach :

-    Anterior untuk : herniasi diskus dan burst fracture yang menimbulkan canal enroachment

tanpa posterior ligamentum instability

-    Posterior untuk : bilateral facet dislocation yang disertai putusnya posterior ligament

complex.

Page 10: kegawat daruratan ortopedi

3. Fracture of the atlas (Jefferson’s fractures) (805.01)

a.             MOI : axial loading : menghasilkan bursiting fracture os atlas dengan displacement

fragment secara sentripetal.

b.            Sign & symptoms :

- Nyeri leher bagian atas atau occipital neuralgia dan torticolis

-                Kadang-kadang tidak dapat mempertahankan kepala dalam posisi tegak (sense of

instability) kepala ditopang dengan kedua tangan

-                Deficit neurologis sangat jarang terjadi oleh karena terdapat disporporsi yang besar

antara spinal cord  dan spinal canal pada cervical bagian atas.

-                Bila terdapat kelumpuhan biasanya dalam bentuk pentaplegia yang berakibat fatal dan

penderita tidak sempat masuk rumah sakit.

c.             Diagnostik :

-                Foto standard AP (open mouth view) terjadi displacement body mass

-                Foto lateral : fraktur dari arcus posterior

-                CT-scan

d.            Therapy :

-                Konservatif dengan minerva jacket atau halo traction selama 3 bulan.

-                Operatif : bila disertai denagn ruptur ligamnet transversum      dilakukan stabilisasi

posterior dengan posterior fusion antara occipital, vertebrae cervical 1 & vertebral cervical 2

-                Rupture ligamen : transversum bisa dilihat padafoto AP terdapat “lateral

displacement” dari body mass CI terhadap C2 > 7 masing-masing.

4. Fracture os odontoid 805.02 (3)

a. MOI : kejatuhan benda berat dikepala kil

b. Sign & symptoms :

-                Nyeri pada setiap pergerakan leher

-                Nyeri pada leher bagian belakang : occipital neuralgia

-                Torticolis dan occipito cervical instability

-                Neurologic deficit akibat ternagsangnya n. occipitalis mayor dan menimbulkan

occipital neuralgia atau rasa tebal pada daerah occipital

Page 11: kegawat daruratan ortopedi

-                Penyulit : pentaplegia akibat penekanan batang otak oleh odontoid            berakhir

dengan kematian.

c. Diagnostik :

-                Foto proyeksi AP / lat

-                Tomografi AP/lat

-                Kalau perlu dikejakan dinamic x-ray untuk memastikan ada tidaknya instability

Pada proyeksi lateral : terjadi instability bila ADI > 3,5 mm pada dewasa, ADI > 5 mm pada

anak-anak.

Pada foto proyeksi open mouth menurut Anderson & Alanzo dibagi 3 type :

Type I : fracture diujung odontoid

Type II : fracture dibasis odontoid : paling sering terjadi non union

Type III : fracture ditubuh C2 (body of C2) (805.02) (8)

d. Therapy :

-                Konservatif : immobilisasi dengan crutch field, kemudian dilanjutkan dengan minerva

jacket selama 2-3 bulan.

-                Operatif : bila terdapat instability C1 & C2

 

6. TRAUMA PELVIS DENGAN PERDARAHAN 

Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa.

Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim dengan

fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi

tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya

darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan

fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis

berkekuatan-tinggi rangkaian besar.

Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan intervensi yang

cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis membutuhkan sebuah pendekatan

multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan

Page 12: kegawat daruratan ortopedi

seseorang dengan cedera multipel, penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah

ortopedi ikut terlibat dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini

oleh ahli bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan untuk

membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat pembentukan manuver

penyelamatan-hidup. Sebuah pemahaman seksama terhadap sumber perdarahan potensial dan

kesadaran akan pilihan pengobatan adalah penting bagi semua dokter yang terlibat.

 

ANATOMI

Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua

tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-tulang

innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca; di

bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai

penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.

Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh struktur

ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentumsacroiliaca

posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari

tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca

posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari

sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan

ligamentum sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan

dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat

yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber

ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan

stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum

dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum

iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista

iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus lumbalis ke lima

sampai ke ala ossis sacri.

 

Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada pelvis

anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran pelvis. Arteri

Page 13: kegawat daruratan ortopedi

tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri

iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri

glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara

langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri

umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri

hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis

dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-

vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2).

Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola

fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah

mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.

 

EVALUASI PASIEN

Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi karena

kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama yang menyebabkan disrupsi

cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan

terhadap cedera-cedera ini, 60-80% pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki

hubungan lain dengan cedera muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan

8% berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis.

Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko kematian, Adult Respiratory

Distress Sybdrome, dan kegagalan organ multipel. Hipotensi terkait dengan trauma tumpul

mungkin disebabkan sejumlah penyebab, termasuk kompromi hipovolemik, septik, kardiak atau

neurologis. Pencarian yang cepat dan sistematik terhadap sumber hipotensi harus dilakukan.

Syok hemoragik merupakan penyebab tersering hipotensi pada pasien trauma tumpul. Seorang

pasien dapat menjadi hipotensif akibat kehilangan darah terkait dengan satu lokasi perdarahan

atau kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan. Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan tube

torakostomi akan mendeteksi kemunculan dan beratnya kehilangan darah intratorakal.

Pemeriksaan fisik abdomen mungkin tidak terlalu jelas pada pasien yang tidak responsif. Namun,

rongga intraabdomen harus dikecualikan sebagai kemungkinan sumber perdarahan pada pasien

yang tidak stabil secara hemodinamik. Evaluasi emergensi paling sering dibuat dengan

Page 14: kegawat daruratan ortopedi

pemeriksaan sonografi abdominal terfokus untuk trauma atau focused abdominal sonography for

trauma/FAST.

Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab kehilangan

darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif dari fraktur pelvis itu sendiri

luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan fraktur pelvis, perdarahan mayor muncul pada

lokasi non-pelvis. Meskipun demikian, fraktur pelvis harus dipertimbangkan diantara berbagai

lokasi paling mencolok perdarahan yang signifikan pada pasien yang tidak stabil secara

hemodinamik, terutama sekali ketika usaha awal untuk mengontrol perdarahan dari sumber lain

gagal menstabilkan pasien. Pada kasus-kasus dugaan perdarahan fraktur pelvis, stabilisasi pelvis

sementara harus segera terjadi selama evaluasi dan resusitasi awal. Stabilisasi sementara dapat

terdiri atas pengikat pelvis atau lembaran sederhana yang dibungkuskan dengan aman

disekeliling pelvis dan diamankan dengan pengapit kokoh.

Hebatnya kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan menilai pulsasi,

tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi ATLS dari American College of

Surgeons berguna untuk memahami manifestasi sehubungan dengan syok hemoragik pada orang

dewasa (tabel 1). Volume darah diperkirakan 7% dari berat badan ideal, atau kira-kira 4900 ml

pada pasien dengan berat badan 70 kg (155 lb). 

Tabel 1. Klasifikasi Perdarahan ATLS

K

elas

Rata-

rata

Kehilangan

Darah (mL)

Volu

me Darah

(%)

Tanda dan Gejala

Umum

Kebutuhan

Resusitasi

I < 750 < 15 Tidak ada perubahan

denyut jantung, pernafasan dan

tekanan darah

Tidak ada

I

I

750 –

1500

15 –

30

Takikardi dan

takipnoe; tekanan darah

sistolik mungkin hanya

menurun sedikit; sedikit pnoe;

tekanan darah sistolik

mungkin hanya menurun

Biasanya

larutan kristaloid

tunggal, namun

beberapa pasien

mungkin

membutuhkan

Page 15: kegawat daruratan ortopedi

sedikit; pengurangan

pengurangan output urin (20-

30 mL/jam)

transfusi darah

I

II

1500 –

2000

30 –

40

Takikardi dan takipnoe

yang jelas, ekstremitas dingin

dengan pengisian-kembali

kapiler terlambat secara

signifikan,menurunnya

tekanan darah sistolik,

menurunnya status mental,

menurunnya output urin (5-15

mL/jam)

Seringnya

membutuhkan

transfusi darah

I

V

> 2000 > 40 Takikardia jelas,

tekanan darah sistolik yang

menurun secara signifikan,

kulit dingin dan pucat, mental

status yang menurun dengan

hebat, output urin yang tak

berarti

Perdarahan

yang membahayakan-

jiwa membutuhkan

transfusi segera

Perdarahan kelas 1: kehilangan darah <15% dari total volume darah, mendorong pada tidak

adanya perubahan terukur pada kecepatan jantung atau pernafasan, tekanan darah, atau tekanan

nadi dan membutuhkan sedikit atau tidak adanya perawatan sama sekali.

Perdarahan kelas 2 : kehilangan darah 15-30% volume darah (750-1500 ml), dengan tanda-tanda

klinis termasuk takikardia dan takipnoe. Tekanan darah sistolik mungkin hanya sedikit menurun,

khususnya ketika pasien berada pada posisi supinasi, akan tetapi tekanan nadi menyempit. Urin

output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien dengan perdarahan kelas 2 biasanya

dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja, namun beberapa pasien mungkin membutuhkan

transfusi darah.

Perdarahan kelas 3 : kehilangan 30-40% (1500-2000 ml) volume darah. Perfusi yang tidak

adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3 mengakibatkan tanda takikardia dan takipnoe,

ekstremitas dingin dengan pengisian kembali kapiler yang terhambat secara signifikan, hipotensi,

Page 16: kegawat daruratan ortopedi

dan perubahan negatif status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume

kehilangan darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah

sistemik. Resusitasi pasien-pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah sebagi tambahan

terhadap pemberian larutan kristaloid.

Perdarahan kelas 4 : kehilangan darah > 40% volume darah (> 2000 ml) mewakili perdarahan

yang mengancam-jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia, tekanan darah sistolik yang

tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang menyempit atau tekanan darah diastolik yang

tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat, dan status mental sangat tertekan. Urin

output sedikit. Pasien-pasien ini membutuhkan transfusi segera untuk resusitasi dan seringkali

membutuhkan intervensi bedah segera.

Praktek menggenggam crista iliaca dalam mencari instabilitas teraba, kurang sensitivitas

dan spesifitasnya dan jarang memberikan informasi yang tidak dapat diperoleh dari radiografi

pelvis anteroposterior tunggal. Disrupsi posterior mencolok pada pelvis biasanya jelas pada

posisi pandangan ini ketika pelvis mengalami fraktur. Pandangan dalam dan luar terhadap pelvis,

yang dapat memberikan informasi lebih tentang kemunculan dan lokasi cedera cincin posterior,

harus diperoleh hanya setelah pasien mencapai stabilitas hemodinamik. CT sangat berharga

untuk menjelaskan instabilitas cincin posterior. Protokol CT cepat untuk evaluasi trauma

abdomen bisa meliputi potongan scan melewati sacrum dan persendian sacroiliaca. Informasi

dari studi ini sering membantu manajemen awal langsung karena hal tersebut dapat membantu

dalam menjelaskan besarnya cedera cincin posterior. Bagaimanapun, CT-scan berkepanjangan

pada pasien hipotensif akut harus dihindari. Tambahan CT-scan potongan-tipis mungkin

diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut fraktur pelvis atau acetabulum, namun hanya setelah

pasien distabilkan.

Pencitraan CT pelvis dipertinggi-kontras, yang sering dilakukan pada pasien trauma yang

stabil secara hemodinamik, adalah sebuah teknik non-invasif yang telah terbukti cukup akurat

dalam menentukan munculnya atau hilangnya perdarahan pelvis yang berkelanjutan. Dalam

sebuah studi yang membandingkan metodologi ini dengan temuan angiografi pelvis, CT

mendeteksi perdarahan pada 16 dari 19 pasien yang mengalami cedera vaskuler atau ekstravasasi

yang diperlihatkan oleh angiografi, untuk sensitivitas sebesar 84%. Hasil angiografi pelvis

adalah negatif pada 11 pasien, dan tidak ada pasien yang memiliki bukti perdarahan pada CT-

scan preangiografi. Dua lokasi ekstravasasi agen-kontras diidentifikasi oleh pencitraan CT pada

Page 17: kegawat daruratan ortopedi

dua pasien yang tidak menunjukkan perdarahan pada angiografi, dengan spesifitas 85% untuk

deteksi perdarahan. Keakuratan CT secara keseluruhan untuk menentukan adanya atau hilangnya

perdarahan pada studi ini adalah 90%.

SISTEM KLASIFIKASI DAN NILAI PROGNOSTIK

Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis

berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah tekanan

yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk memberikan

tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan

manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi

fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya

dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada

seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal

dkk.

Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi

anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi

(CM). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada

meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC

disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis

pubis. Ada cedera “open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya

ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC

dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah

iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.

Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi

benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta

pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah

besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera

LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.

Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis

mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur

pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah.

Page 18: kegawat daruratan ortopedi

Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah

menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan mortalitas.

Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana meningkatnya angka APC.

Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-

jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk

menemukan bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC,

dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama,

pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan

transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%.

Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan

pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis

yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada

pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang teridentifikasi paling

umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera kepala tertutup. Pada kontras,

penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien dengan cedera APC merupakan kombinasi

cedera pelvis dan viseral. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali pola

fraktur pelvis dan arah tekanan cedera yang sesuai dapat membantu tim resusitasi mengantisipasi

kebutuhan transfusi cairan dan darah sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan

pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi agar

tidak menjadi perdarahan yang berat.

 

METODE PENATALAKSANAAN

Military Antishock Trousers

Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat memberikan

kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan ekstremitas bawah melalui

tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an, penggunaan MAST dianjurkan untuk

menyebabkan tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi.

Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan

sindroma kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun masih

berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah digantikan oleh

penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.

Page 19: kegawat daruratan ortopedi

Pengikat dan Sheet Pelvis

Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan pada

awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi. Lembaran

terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif,

dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan. Tekanan

sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat

pelvis mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien

dengan cedera APC (gambar 4).

Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis

(pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol tekanan

Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan fraktur pelvis

disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin berkontribusi pada deformitas

pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki

bersama-sama, dan hal ini dapat memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan

kompresi melingkar.

Fiksasi Eksternal

Fiksasi Eksternal Anterior Standar

Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi pada

resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek

menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor.

Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien,

menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi

volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah

menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open book” mengarah pada peningkatan tekanan

retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi

dapat meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.

C-Clamp

Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior yang

adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan disrupsi posterior

signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang

diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp

Page 20: kegawat daruratan ortopedi

memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian

yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya

harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur

menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara

cedera APC.

Angiografi

Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan darah

berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan agresif.

Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan

<10%. Pada satu seri terbaru, angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah

fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi

paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh

penulis membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera

VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan

bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak

stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif

(58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas hemodinamik

persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada

studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis

pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk menganjurkan “embolisasi bersifat lebih-dulu”,

menekankan bahwa jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri

tersebut harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi

bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif pada arteri

iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan multipel dan menyembunyikan cedera

arteri yang disebabkan oleh vasospasme.

Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk memperbaiki hasil

akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam 3 jam sejak kedatangan

menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih besar secara signifikan. Studi lain menemukan

bahwa angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka

ketahanan hidup. Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi

iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena

Page 21: kegawat daruratan ortopedi

dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah

lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian

angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan

hidup.

Balutan Pelvis

Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai hemostasis

langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih

dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang

diikuti dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah.

Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman

ditangani menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga

efektif dalam mengontrol perdarahan arteri.

Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal – telah

diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal

melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan

peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat

dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat

untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi

angiografi yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat

dari kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten ketika

balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi ini membutuhkan

embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa balutan secara cepat

mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi emergensi.

Resusitasi Cairan

Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai

dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge) kanula intravena harus dibangun

secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus

diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika

respon tekanan darah yang cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai

Page 22: kegawat daruratan ortopedi

darah tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch

untuk tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti itu

dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara keseluruhan

memiliki tipe dan crossmatch membawa resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi, namun juga

butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika respon infus

kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter tambahan cairan

kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal non crossmatch

(yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa

kemungkinan terjadi kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol

perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan.

Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa

Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan sejumlah

besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis. Karenanya, semua pasien

yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP).

Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian

volume.

Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi, dan

koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk darah untuk

resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko

independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan

bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih

agresif, dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk

mencegah kemajuan koagulopati dini.

Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai intervensi akhir jika

koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap disamping pengobatan lainnya. Ini

merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard dkk melakukan sebuah studi multicenter

dimana pasien trauma berat yang menerima 6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada

baik pengobatan rFVIIa atau plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara

signifikan berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan

ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.

EVALUASI STATUS RESUSITASI

Page 23: kegawat daruratan ortopedi

Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan tanda-

tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama fase akut

resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan termasuk tekanan darah normal,

menurunnya denyut jantung, urin output yang cukup (≥ 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral

(CVP) normal. Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan

yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat digunakan

untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat. Semua ini

menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan basa digunakan bergantian, satu-

satunya perbedaan untuk menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan

basa diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini

secara rutin diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan

resusitasi yang tidak mencukupi.

 

DAFTAR PUSTAKA:

1. Anonim.2010.www.usuhs.mil/fap/resources/eit/

OrthopedicEmergencies andUrgencies.ppt. diunduh 15 September 2012

2. Mansjoer, Arif. et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

FKUI

3. Bucholz, RW. et al : Orthopaedic Decision Making, Toronto BC, Decker, 1894

4. Prijambodo B. : Penatalaksanaan Cedera Cervical, MOI Vol. 21 No. 2 Des. 92, p. 55-67