Upload
fairuz-angger-wibowo
View
51
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Kegiatan Usaha BPR Konvensional
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa deposito berjangka, tabungan , dan/
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
2. Memberikan kredit;
3. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito
dan/atau tabungan pada bank lain.Larangan Kegiatan Usaha BPR Konvensional
1. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam
lalu lintas pembayaran;
2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali
sebagai pedagang valuta asing (PVA);
3. Melakukan penyertaan modal;
4. Melakukan usaha perasuransian;
5. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam huruf B di atas.
Pengembangan Bank Prekreditan Rakyat (BPR)
Industri BPR diharapkan semakin efisien dan memiliki ketahanan
yang cukup dalam menghadapi gejolak krisis dan tingkat
persaingan dalam rangka meningkatkan kualitas dan jangkauan
pelayanan BPR kepada UMKM dan masyarakat di
lingkungannya. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, selama
tahun 2009 dan akan berlanjut hingga tahun 2010, BI
melakukan beberapa langkah kebijakan terkait dengan upaya
penguatan kelembagaan dan operasional BPR, meliputi:
1. Penetapan Arah Pengembangan Industri BPR
Dalam rangka mempersiapkan industri menghadapi
tantangan dan peluang pada masa depan dan mengatasi
kelemahan-kelemahan yang ada pada industri BPR serta
mendorong pengembangan sektor riil, maka perlu
ditetapkan kebijakan dan strategi pengembangan industri
BPR yang dijabarkan dalam program kerja hingga beberapa
tahun ke depan.
Kebijakan dan strategi tersebut merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Arsitektur Perbankan Indonesia yang saat
ini sedang disempurnakan. Secara umum, arah
pengembangan industri BPR ke depan dititikberatkan pada
kebijakan penguatan struktur industri BPR, kelembagaan dan
operasional BPR dalam rangka meningkatkan peran dan
kontribusi BPR sebagai community bank terhadap
pemberdayaan ekonomi di wilayah setempat dimana BPR
berlokasi. Disamping itu, penetapan arah pengembangan
industri BPR dimaksudkan untuk memberikan pedoman
dalam rangka penetapan strategi implementasi yang tepat
bagi pengembangan industri BPR yang lebih terarah.
Beberapa kebijakan mendasar yang ditetapkan, mencakup
antara lain:
a. Mempertegas definisi dan posisi BPR sebagai Community
Bank
Untuk menegaskan ciri yang spesifik dan keunggulan
komparatif BPR yang membedakannya dengan bank
umum serta memperkuat posisi BPR agar dapat lebih
optimal dalam berperan mendukung pengembangan
wilayah setempat (community development), maka
pengembangan industri BPR ke depan akan diarahkan
pada konsep BPR sebagai Community Bank.
b. Menata kembali dan memperkuat struktur industri BPR
Pengawasan dan pengaturan BPR kedepan akan
disempurnakan disesuaikan dengan kompleksitas usaha
dan resiko yang dihadapi oleh BPR. Sebagai prasyarat
untuk penerapan kebijakan tersebut maka industri BPR
dibagi dalam beberapa kelompok yang didasarkan pada
jumlah modal inti BPR yang bersangkutan. Penentuan
modal inti sebagai indikator pengelompokkan BPR
didasari atas karakteristik dari modal inti yang relatif stabil
(jika dibandingkan aset) dan mencerminkan unsur
produktivitas suatu BPR.
c. Memperkuat daya saing BPR melalui penguatan
permodalan, kompetensi SDM dan peningkatan peran
infrastruktur pendukung industri BPR.
Dalam rangka meningkatkan daya saing dan jangkauan
pelayanan BPR, penguatan kelembagaan dan
operasional BPR menjadi penting untuk dilakukan.
Kebijakan terkait dengan penguatan kelembagaan BPR
yang tercermin pada kebijakan dan pengaturan
mengenai pemenuhan ketentuan modal disetor
minimum dan persyaratan pengurus BPR.
Terkait dengan kebijakan permodalan, saat ini BI
menetapkan jumlah modal disetor minimum bagi
pendirian BPR baru sesuai dengan wilayah dimana BPR
akan didirikan. Sedangkan terhadap BPR-BPR yang telah
berdiri, BI menerapkan pentahapan pemenuhan modal
disetor minimum dalam prosentase tertentu sampai
dengan akhir tahun 2010. Ke depan, kebijakan tersebut
masih akan dipertahankan, selain tetap mengupayakan
dilakukannya konsolidasi industri BPR melalui merger,
konsolidasi dan akuisisi.
Terkait dengan persyaratan pengurus BPR, BI akan
menerapkan kebijakan yang disesuaikan dengan strata
BPR. Kebijakan tersebut atas pertimbangan bahwa
masing-masing strata BPR memiliki profil risiko
operasional yang berbeda pula, sehingga semakin tinggi
profil risiko BPR, semakin kompleks beban tugas
pengurus BPR termasuk penerapan governance dalam
pengelolaan BPR.
d. Mengupayakan pembentukan lembaga Apex sebagai
infrastruktur pendukung industri BPR
Kebutuhan industri BPR akan terbentuknya lembaga
pengayom menjadi semakin mendesak untuk
diwujudkan seiring dengan persaingan yang semakin
ketat dan tuntutan serta perubahan kebutuhan
masyarakat yang semakin beragam dan berkembang.
Apex diharapkan mampu menjembatani keterbatasan
BPR dalam mengoptimalkan peran dan kontribusinya
melalui sinergi pemberian bantuan teknis dan finansial
oleh Apex kepada BPR anggotanya.
Untuk mewujudkan hal ini, upaya yang dilakukan
diarahkan pada dua cara yaitu: Pertama, mendorong
optimalitas peran lembaga Apex yang telah terbentuk
dan sedang dalam proses pembentukan di wilayah
Sumatera Barat (oleh Bank Nagari), Bali (oleh Bank
Andara) dan Riau (oleh Bank Riau). Kedua, memfasilitasi
pembentukan lembaga Apex di wilayah-wilayah yang
lain dengan fokus utama penjajagan bank umum yang
berkantor pusat di daerah sebagai Apex bagi BPR di
wilayah setempat.
2. Peningkatan Efektifitas Pengaturan BPR
Perkembangan industri BPR yang cepat, baik dari sisi
kapasitas maupun operasional harus diimbangi dengan
ketentuan yang memiliki efektifitas yang memadai dan lebih
membumi dengan tetap memperhatikan prinsip kehatihatian
di bidang perbankan. Dalam kerangka pikir tersebut,
BI selalu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
ketentuan BPR di lapangan untuk kemudian dilakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan terkait. Sehubungan
dengan hal tersebut, selama tahun 2009 BI telah
menyempurnakan 2 ketentuan terkait BPR masing-masing
mengenai BMPK dan tindak lanjut penanganan terhadap
BPR dalam status pengawasan khusus (DPK). Selain itu, telah
dikeluarkan pula SE No.11/37/DKBU mengenai Penetapan
SAK ETAP (Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik) sebagai standar
akuntansi keuangan bagi BPR dengan pertimbangan:
1) Penerapan PSAK 50/55 - Instrumen Keuangan, yang
menggantikan PSAK 31, dipandang tidak sesuai dengan
karakteristik operasional BPR dan memerlukan biaya
yang besar dibandingkan dengan manfaat yang
diperoleh.
2) DSAK-IAI menyatakan bahwa SAK ETAP dapat
diberlakukan bagi entitas yang memiliki akuntabilitas
publik yang signifikan, sepanjang otoritas berwenang
mengatur penggunaan SAK ETAP dimaksud.
Dengan diberlakukannya SAK ETAP sebagai SAK bagi BPR
maka pedoman akuntansi atas transaksi keuangan BPR tetap
menggunakan pedoman akuntansi yang digunakan selama
ini sepanjang Pedoman Akuntansi (PA) BPR belum
diberlakukan.
3. Peningkatan Efektifitas Sistem Pengawasan BPR
Kebijakan BI dalam rangka meningkatkan efektifitas dan
efisiensi sistem pengawasan BPR diarahkan kepada hal-hal
sebagai berikut:
a. Peningkatan Kompetensi Pengawas BPR
Kompleksitas permasalahan BPR yang semakin
meningkat menuntut pengawas untuk tidak hanya
memahami bidang tugasnya secara profesional dan
memiliki ketajaman dalam melakukan analisis, tetapi juga
memiliki kemampuan dalam melakukan professional
judgement. Untuk itu, pengawas BPR perlu memiliki
pengetahuan di bidang akuntansi perbankan, menguasai
teknik-teknik pengawasan dan pemeriksaan, serta
memiliki pemahaman mengenai ketentuan perbankan.
Selain hal tersebut, agar permasalahan yang dihadapi
BPR dapat segera diketahui dan solusi penyelesaian
dilakukan secara tepat, pengawas dituntut pula untuk
lebih mengetahui kondisi bank yang diawasi (know your
bank) dari waktu ke waktu.
Dalam rangka meningkatkan kompetensi pengawas BPR,
BI secara terencana dan berkelanjutan melakukan
peningkatan pengetahuan dan keterampilan para
pengawas BPR melalui program pelatihan Pengawas BPR
dan program sertifikasi pengawas bank. Selain itu,
peningkatan kompetensi pengawas BPR juga dilakukan
antara lain melalui pelatihan, sosialisasi, seminar/
workshop, Klinik Hukum, dan knowledge sharing.
b. Peningkatan enforcement pengawasan
Sesuai kebijakan BI, sampai dengan akhir tahun 2009
BPR harus memenuhi ketentuan:
- Persyaratan modal disetor minimum 70% sesuai
lokasi,
- Jumlah anggota direksi dan komisaris sesuai syarat
minimal,
- Anggota direksi wajib lulus sertifikasi.
Sesuai PBI No.8/26/PBI/2006 tentang BPR, apabila
ketentuan di atas tidak terpenuhi sampai dengan batas
waktu yang telah ditentukan maka akan dikenakan
sanksi yang secara efektif berlaku sejak Januari 2010.
H. Upaya Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM)
Sejak tahun 1960-an, BI telah mendorong pengembangan
UMKM melalui financial assistance (pemberian Kredit Likuiditas
Bank Indonesia) dan technical assistance. Dengan
diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009,
peran BI dalam membantu UMKM menjadi bersifat tidak
langsung.
Kebijakan BI dalam pengembangan UMKM ditujukan untuk
mendorong bank meningkatkan penyaluran kredit UMKM
(supply side) dan membantu meningkatkan elijibilitas dan
kapabilitas UMKM agar mampu memenuhi persyaratan dari
bank (demand side).
Kebijakan ini dilaksanakan melalui 3 instrumen antara lain:
1. Kebijakan Perkreditan
Untuk mendorong perbankan menyalurkan kredit kepada
UMKM, BI mengeluarkan:
- Surat Edaran No. 11/1/DPNP tanggal 21 Januari 2009
perihal Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko
untuk Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(KUMKM). Dengan ketentuan tersebut, ATMR kredit
kepada UMKM diperhitungkan lebih rendah dari kredit
kepada usaha besar, khususnya untuk kredit yang
dijamin lembaga penjamin/asuransi kredit berstatus
BUMN yang memenuhi persyaratan tertentu.
- PBI No. 11/2/PBI/2009 tanggal 29 Januari 2009 perihal
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum, yang memberikan relaksasi untuk penetapan
kualitas kredit kepada UMKM.
Terkait dengan perkembangan penyaluran kredit Mikro, Kecil
dan Menengah (MKM), sampai dengan bulan Desember
2009 terjadi net ekpansi kredit MKM sebesar Rp106,4 trilun
atau 77,56% dari total business plan tahun 2009 yang
sebesar Rp137,2 triliun. Tidak tercapainya realisasi kredit
MKM perbankan antara lain disebabkan oleh krisis keuangan
yang menjadikan penurunan permintaan ekspor. Hal ini
berdampak pada menurunnya kinerja usaha UMKM,
terutama yang menghasilkan produk berorientasi ekspor
yang kemudian berimbas pada UMKM lainnya. Akibatnya,
para pengusaha cenderung menahan eskpansi usaha dan
tidak memanfaatkan fasilitas kreditnya. Di sisi lain,
perbankan semakin selektif menyalurkan kredit dan lebih
terfokus pada upaya mengantisipasi peningkatan NPL.
Dampak krisis ini juga tercermin dari rendahnya
pertumbuhan kredit MKM secara tahunan yang hanya
16,1% menjadi Rp766,9 triliun, jauh menurun dibandingkan
tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 26,0%.
2. Pengembangan Kelembagaan
Pengembangan kelembagaan yang menunjang UMKM
antara lain meliputi:
a. Kerjasama antar Lembaga Keuangan (linkage program)
Dilakukan dengan mendorong kerjasama bank umum
dengan BPR dalam penyaluran kredit kepada UMKM.
Selain itu, akan ditingkatkan kerjasama BPR dengan
Lembaga keuangan lainnya seperti Lembaga Dana
Keuangan Pedesaan (LDKP) untuk memperluas
pemberian kredit kepada usaha mikro di pedesaan.
b. Mendorong Peningkatan Peran Lembaga Penjaminan
Kredit di daerah
Dalam rangka meningkatkan kapabilitas UMKM untuk
memenuhi persyaratan bank khususnya agunan, BI
memfasilitasi pembentukan skim penjaminan kredit
UMKM di daerah yang dalam hal ini melibatkan PT.
Askrindo, BPD dan Pemda.
3. Pemberian Bantuan Teknis
Pemberian bantuan teknis, meliputi:
a. Pelatihan kepada Perbankan, Lembaga Pembiayaan
UMKM, dan Lembaga Penyedia Jasa/Business
Development Services Provider (BDSP)/Konsultan
Keuangan Mitra Bank (KKMB).
Pada tahun 2009 telah dilakukan perluasan materi
pelatihan antara lain credit scoring, selected sector
lending, making microfinance work bekerjasama dengan
lembaga internasional seperti InWent, GTZ Profi, dan
ILO, serta materi mengenai format laporan keuangan
dan business plan untuk UMKM.
b. Penyediaan Informasi
Penyediaan informasi meliputi hasil-hasil penelitian, data
statistik perkreditan, data komoditas di suatu daerah
yang potensial untuk dikembangkan dan diekspor, pola
pembiayaan komoditas yang potensial dibiayai bank, dan
informasi lain dalam rangka pengembangan UMKM.
Selain itu, BI juga menyediakan informasi database
UMKM sebagai sarana promosi UMKM dan upaya
menjembatani gap informasi perbankan terhadap
UMKM yang potensial.
Dalam rangka penyebaran informasi tersebut di atas
secara lebih luas, BI membangun Sistem Informasi
Pengembangan Usaha Kecil yang terintegrasi dalam Data
Informasi Bisnis Indonesia (DIBI), yang dapat diakses
melalui www.bi.go.id.
c. Pengembangan UMKM melalui pendekatan klaster di
KBI dan Kantor Pusat.
Pada tahun 2009, klaster yang dikembangkan antara
lain Klaster Mebel di DKI Jakarta, Klaster Meubel Rotan
dan Bordir di Jawa Tengah, KlasterPengolahan Ikan
Cakalang Fufu dan Industri Kelapa di Sulawesi Utara,
Klaster Rumput Laut, Jagung dan Kapas di Nusa
Tenggara Timur, Klaster Rumput Laut di Jawa Timur,
Klaster Jeruk Siam Barola di Banjarmasin, Klaster Emping
Melinjo di Banda Aceh dan Klaster Minyak Atsiri di
Purwokerto.
Dalam rangka mendukung kebijakan tersebut di atas, BI
melaksanakan kegiatan penelitian dan kerjasama dengan
instansi terkait.
1. Kegiatan Penelitian
Kegiatan penelitian yang dilakukan pada tahun 2009
meliputi:
a. Penelitian pola pembiayaan (lending model), terdiri
dari 3 komoditas/jenis usaha yang dibiayai dengan
pola konvensional dan 5 komoditas/jenis usaha hasil
konversi pola pembiayaan konvensional ke pola
syariah. Cakupan informasi pola pembiayaan antara
lain meliputi aspek pemasaran, aspek teknis produksi,
aspek keuangan, aspek dampak ekonomi dan
lingkungan.
b. Penelitian komoditas, produk, jasa usaha (KPJU)
unggulan UMKM, yang dahulu dikenal sebagai
Baseline Economic Survey (BLS). Pada tahun 2009
terdapat 10 Kantor Bank Indonesia (KBI) yang
melaksanakan penelitian tersebut di 9 propinsi.
c. Penelitian kredit konsumsi untuk kegiatan produktif.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh data yang
menunjukkan bahwa sekitar 50% kredit MKM
menurut jenis penggunaan adalah kredit konsumsi.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa
sekitar 40% kredit konsumsi MKM sesungguhnya
digunakan untuk kegiatan produktif.
d. Sebagai bagian dari program kerja inisiatif BI dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
2015, BI melaksanakan 2 kegiatan yang terkait
UMKM, yaitu:
- Kajian format laporan keuangan dan business
plan untuk UMKM. Hasil kajian berupa Pedoman
dan tahapan penerapan Laporan Keuangan sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK)
Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP) dan
Business Plan yang dapat dimanfaatkan oleh
UMKM dan Instansi dalam meningkatkan
kapasitasnya agar dapat lebih mudah mengakses
layanan perbankan.
- Kajian mengenai prasyarat pembentukan credit
rating system untuk UMKM. Hasil kajian berupa
laporan yang memaparkan mengenai fungsi dari
lembaga pemeringkat UMKM sebagai salah satu
infrastruktur untuk mendorong akses keuangan
UMKM, serta prasyarat yang dibutuhkan untuk
pembentukan credit rating system untuk UMKM.
2. Kerjasama BI dengan Pemerintah dan Pihak-pihak terkait.
a. Kerjasama dengan ILO dan GTZ
Dilaksanakan dalam rangka Pemetaan dan
Identifikasi Kebutuhan Peningkatan Kapasitas
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dilakukan di
3 (tiga) wilayah, yaitu Jawa Tengah, D. I. Yogyakarta
dan Jawa Timur.
b. Sebagai counterpart dalam Komite Kebijakan
Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan
Koperasi dalam rangka mensosialisasikan dan
meningkatkan penyaluran Kredit Usaha Rakyat
(KUR). Peranan BI antara lain memberikan masukan
mengenai kriteria untuk perluasan Bank Pelaksana
KUR, penyusunan SOP serta dalam penyusunan
Addendum II MoU KUR.
c. Kerjasama dengan Pemerintah.
BI bekerjasama dengan Kementerian Keuangan,
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM)
mengeluarkan Keputusan Bersama yang
ditandatangani pada tanggal 7 September 2009
tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan
Mikro. Sasaran strategi ini adalah beralihnya
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang belum
berbadan hukum menjadi Bank Perkreditan Rakyat
atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa, atau
lembaga keuangan lainnya. BI berperan dalam
memberikan konsultasi kepada LKM yang akan
menjadi BPR/BPRS sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam pendirian dan perizinan BPR/BPRS.
Bentuk kerjasama lainnya pada tahun 2009 adalah
penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara
BI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan
dalam rangka penyusunan Lending Model dan
pelatihan, serta nota kesepahaman dengan
Kementerian Pertanian dan Kementerian Koperasi
dan UKM untuk penyelenggaraan pelatihan.
I. Biro Informasi Kredit Indonesia
Fungsi BIK
Fungsi utama BIK adalah menghimpun dan menyimpan data
perkreditan, mempertukarkan dan mendistribusikannya sebagai
informasi debitur dalam rangka mendukung pelaksanaan fungsi
intermediasi lembaga keuangan. BIK dapat meminimalkan
kesenjangan informasi (asymmetric information) antara penyedia
dana (kreditur) dan penerima dana (debitur), serta tersedia
informasi yang komprehensif dan akurat mengenai eksposur
kredit dan kelayakan calon debitur sehingga dapat
mempermudah dan mempercepat proses penyediaan dana
kepada masyarakat dan dapat menurunkan risiko kredit
bermasalah di kemudian hari.
Fungsi BIK bagi internal BI sebagai pendukung pelaksanaan
pengawasan bank dan untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan secara keseluruhan. Informasi yang menyeluruh atas
kualitas, jenis dan penyebaran kredit bermanfaat dalam
melakukan monitoring langkah-langkah yang diambil oleh
industri keuangan dalam mitigasi risiko kreditnya.
Penyelenggaraan BIK diharapkan mampu mendorong disiplin
pasar sehingga akan tercipta budaya kredit yang sehat dan
efisien yang pada akhirnya akan bermuara pada pencapaian
stabilitas sistem keuangan, pertumbuhan sektor riil serta
pertumbuhan ekonomi Indonesia secara luas.
Operasional BIK
Dalam melaksanakan fungsinya BIK menggunakan dan
mengelola sebuah sistem dengan nama Sistem Informasi Debitur
(SID). Sistem tersebut dipergunakan untuk menghimpun dan
menyimpan data fasilitas penyediaan dana yang disampaikan
oleh seluruh Pelapor SID yang terdiri dari seluruh Bank Umum,
BPR dengan kriteria tertentu serta Lembaga Keuangan Non
Bank1.
Data dimaksud kemudian diolah untuk menghasilkan output
berupa informasi debitur yang mencakup seluruh data
penyediaan dana yang diterima oleh debitur (mulai 1 rupiah ke
atas) dengan kondisi lancar dan bermasalah serta historis
pembayaran yang dilakukan oleh debitur tersebut dalam kurun
waktu 24 bulan terakhir. Dengan demikian, informasi debitur
yang dihasilkan ini dapat memberikan gambaran mengenai
exposure kredit, performance dan kualitas kredit dari debitur
yang bersangkutan.
Selain digunakan oleh Pelapor SID, informasi debitur dapat
diminta pula oleh debitur dan pihak lain dalam rangka
pelaksanaan Undang-undang. Permintaan oleh debitur
dilakukan dengan tujuan untuk memantau kualitas kreditnya
serta untuk memantau kebenaran pelaporan yang dilakukan
oleh Pelapor SID.
Progress BIK pada tahun 2009
Sepanjang tahun 2009, BI telah melakukan berbagai langkah
strategis untuk pencapaian visi BIK yaitu:
a. Peningkatan Kualitas Data
Upaya peningkatan kualitas data dilakukan melalui kegiatan:
- Absensi secara periodik terhadap pelaporan untuk
memastikan bahwa laporan disampaikan secara tepat
waktu;
- Pembersihan data duplikat;
- Pemberian teguran atas kesalahan pelaporan;
- Pemeriksaan terhadap beberapa Bank untuk memastikan
kepatuhan terhadap ketentuan SID;
- Kegiatan pelatihan kepada petugas Pelapor;
- Kegiatan evaluasi SID kepada Pelapor;
- Peningkatan layanan help-desk.
b. Penyempurnaan Sistem dan Aplikasi
Tujuan utama penyempurnaan sistem dan aplikasi adalah
untuk meningkatkan performance sistem dan kualitas data
SID. Pada tahun 2009 telah mulai dilaksanakan proyek
optimalisasi SID jangka pendek yaitu meliputi analisa dan
assessment awal aplikasi SID, desain sistem, pengembangan
dan penyempurnaan sistem, penyempurnaan infrastruktur
serta pengujian aplikasi hasil optimalisasi. Hasil dari kegiatan
optimalisasi SID jangka pendek ini direncanakan akan
diimplementasikan pada tahun 2010.
Selain itu, dilakukan pula upaya memperlancar proses
pembersihan duplikasi data melalui proyek optimalisasi Alat
Bantu Pengendalian Data (Atulida) yang ditargetkan akan
selesai pada semester I tahun 2010.
Untuk memperoleh gambaran menyeluruh terhadap
kesiapan BIK menuju kondisi ideal yang dicita-citakan, pada
Tahun 2009 ini juga telah dilakukan assessment menyeluruh
terhadap BIK oleh credit bureau expert.
c. Perluasan Cakupan Pelapor
Selama tahun 2009 diupayakan penambahan jumlah Pelapor
dari Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) bekerjasama
dengan Bapepam LK melalui sosialisasi kepada LKNB
khususnya Perusahaan Pembiayaan mengenai manfaat SID
untuk mendukung operasional pembiayaan. Sosialisasi ini
cukup berhasil dengan bergabungnya 6 LKNB menjadi
Pelapor SID selama tahun 2009. Untuk masa yang akan
datang, BI dan Bapepam LK akan menitikberatkan kepada
penambahan Pelapor SID dari LKNB yang bergerak di bidang
corporate finance.
d. Penyempurnaan Ketentuan Pelaksanaan SID
Untuk mendukung perkembangan operasional SID serta
peningkatan perlindungan kepada debitur, sepanjang tahun
2009 dilakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap
Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang SID. Adapun
penyempurnaan PBI dimaksud ditargetkan akan selesai di
tahun 2010, dan akan diikuti dengan penyempurnaan
terhadap ketentuan pelaksanaannya.
e. Pemberian Layanan informasi Debitur
Akses masyarakat terhadap informasi debitur dapat melalui
Gerai Info di BI atau secara isidentil dalam beberapa event
khusus, seperti Festival Ekonomi Syariah 2009 dan Pekan
Raya Jakarta 2009. Selain itu, dapat pula dilakukan secara
on-line melalui web site BIK, meskipun pengambilan output
masih harus dilakukan melalui Gerai Info di BI.
f. Edukasi kepada Masyarakat
Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan
keberadaan dan fungsi BIK serta untuk meningkatkan
kesadaran akan pentingnya menjaga kualitas kredit, BI
melakukan program edukasi masyarakat melalui kegiatan
sosialisasi di beberapa daerah, serta pembuatan web site
Biro Informasi Kredit.
Rencana Pengembangan BIK Tahun 2010
Pengembangan BIK pada tahun 2010 masih merupakan lanjutan
program tahun 2009 yaitu menitikberatkan pada peningkatan
kualitas data, pembenahan pada sistem dan aplikasi SID,
meminimalisasi duplikasi data, penambahan jumlah pelapor
LKNB, peningkatan layanan informasi debitur, dan penyusunan
cetak biru BIK.
Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan
usaha dengan izin Bank Indonesia. BPR hanya dapat
didirikan dan dimiliki oleh :
1) warga negara Indonesia;
2) badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya
warga negara Indonesia;
3) Pemerintah Daerah; atau4) dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam
angka 1), 2),dan 3)
Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling
sedikit sebesar:
1) Rp.5 miliar untuk BPR yang didirikan di wilayah DKI
Jakarta,
2) Rp.2 miliar untuk BPR yang didirikan di wilayah
ibukota provinsi di pulau Jawa dan Bali dan di wilayah
Kabupaten atau Kotamadya Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi;
3) Rp.1 miliar untuk BPR yang didirikan di ibukota
provinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan di wilayah
pulau Jawa dan Bali di luar wilayah sebagaimana
disebut dalam angka 1) dan 2);
4) Rp.500 juta untuk BPR yang didirikan di wilayah lain
di luar wilayah sebagaimana disebut dalam angka
1), 2) dan 3).
Kepengurusan BPR Konvensional
Kepengurusan BPR terdiri dari Direksi dan Komisaris.
Anggota Direksi dan Dewan Komisaris wajib memenuhi
persyaratan :
kompetensi;
integritas; dan
reputasi keuangan.
1) Dewan Komisaris
Jumlah anggota Dewan Komisaris sekurangkurangnya
2 orang.
Paling sedikit 50% anggota Dewan Komisaris
wajib memiliki pengetahuan dan atau
pengalaman di bidang perbankan.
Anggota Dewan Komisaris hanya dapat
merangkap jabatan sebagai komisaris paling
banyak pada 2 BPR atau BPRS lain
Anggota Dewan Komisaris BPR dilarang menjabat
sebagai anggota Direksi pada BPR, BPRS dan atau
Bank Umum.
Anggota Dewan Komisaris wajib melakukan rapat
Dewan Komisaris secara berkala, paling sedikit 4
(empat) kali dalam setahun.
Dalam hal diperlukan oleh BI, anggota Dewan
Komisaris wajib mempresentasikan hasil
pengawasan terhadap BPR.
2) Direksi
Anggota Direksi paling sedikit berjumlah 2 orang.
Anggota Direksi wajib memiliki pendidikan formal
paling rendah setingkat D-3 atau Sarjana Muda
atau telah menyelesaikan paling sedikit 110 SKS
dalam pendidikan S-1.
Paling sedikit 50% dari anggota Direksi wajib
memiliki pengalaman sebagai pejabat di bidang
operasional perbankan paling singkat selama 2
tahun, atau telah mengikuti magang paling
singkat selama 3 bulan di BPR dan memiliki
sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi pada
saat diajukan sebagai anggota Direksi.
Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan
dari lembaga sertifikasi.
Sesuai PBI No. 8/26/PBI/2006 tentang BPR, seluruh
anggota Direksi memiliki sertifikat kelulusan
paling lambat tanggal 31 Desember 2008.
Anggota Direksi dilarang memiliki hubungan
keluarga dengan anggota Direksi lainnya dan/
atau anggota Komisaris dalam hubungan sebagai
orang tua, anak, mertua, menantu, suami, istri,
saudara kandung atau ipar.
Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan
sebagai anggota Direksi atau pejabat eksekutif
pada lembaga perbankan, perusahaan atau
lembaga lain. Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test)
Bank Umum Konvensional dan BPR Konvensional
Penilaian kemampuan dan kepatutan pada Bank Umum
dan BPR dilakukan oleh BI terhadap :
a. Calon Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan calon
pengurus;
b. PSP dan pengurus; dan
c. Pejabat eksekutif bank dan pemimpin kantor Kantor
Perwakilan (KPW) Bank Asing, dalam hal terdapat
indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan:
dalam perumusan kebijakan dan kegiatan
operasional yang mempengaruhi kegiatan usaha
bank; dan atau
atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan
dalam kegiatan operasional bank atau KPW Bank
Asing.
Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP dan
PSP dilakukan untuk menilai integritas dan kelayakan
keuangan. Sementara penilaian terhadap calon
pengurus, pengurus dan pejabat eksekutif dilakukan
untuk menilai integritas, kompetensi dan reputasi
keuangan.
Persyaratan integritas bagi calon PSP dan calon pengurus
meliputi :
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan;
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap
pengembangan operasional bank yang sehat;
d. tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus (DTL).
Faktor integritas bagi PSP, pengurus dan pejabat
eksekutif yaitu tidak pernah dilakukannya tindakantindakan
baik secara langsung maupun tidak langsung
berupa :
a. perbuatan rekayasa atau praktik-praktik perbankan
yang menyimpang dari ketentuan perbankan;
b. perbuatan menolak memberikan komitmen dan atau
tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati
dengan BI dan atau Pemerintah;
c. perbuatan yang memberikan keuntungan secara
tidak wajar kepada pemilik, pengurus, dan atau
pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi
keuntungan bank; dan atau
d. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di
bidang perbankan
Khusus bagi pengurus dan pejabat eksekutif, selain
penilaian faktor integritas tersebut di atas juga
ditentukan bahwa yang bersangkutan tidak pernah
melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak
langsung berupa perbuatan yang tidak independen.
Persyaratan kelayakan keuangan bagi calon PSP antara
lain meliputi :
a. persyaratan kemampuan keuangan;
b. pemenuhan persyaratan administratif, antara lain
namun tidak terbatas pada persyaratan mengenai :
tidak termasuk dalam daftar kredit macet
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi
atau komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit
dalam jangka waktu 5 tahun sebelum dicalonkan;
dan
bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan
dan likuiditas bank.
c. tidak memiliki hutang yang jatuh tempo dan
bermasalah.
Faktor kelayakan keuangan bagi PSP, yaitu :
a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet;
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit; dan atau
c. kemampuan untuk memenuhi komitmen dalam
mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas bank.
Persyaratan kompetensi bagi calon pengurus :
a. Bagi calon anggota Komisaris
pengetahuan di bidang perbankan yang memadai
dan relevan dengan jabatannya; dan atau
pengalaman di bidang perbankan.
b. Bagi calon anggota Direksi
pengetahuan di bidang perbankan yang memadai
dan relevan dengan jabatannya. Bagi calon
anggota direksi BPR wajib memiliki sertifikat
kelulusan dari lembaga sertifikasi;
pengalaman dan keahlian di bidang perbankan
dan atau bidang keuangan; dan
kemampuan untuk melakukan pengelolaan
strategis dalam rangka pengembangan bank yang
sehat
Persyaratan kompetensi bagi pengurus dan pejabat
eksekutif meliputi :
a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai
dan relevan dengan jabatannya ; dan
b. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan
atau bidang keuangan; dan
c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis
dalam rangka pengembangan bank yang sehat.
Persyaratan reputasi keuangan bagi calon pengurus
meliputi :
a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet; dan
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi
atau komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit
dalam jangka waktu 5 tahun sebelum dicalonkan.
Persyaratan reputasi keuangan bagi pengurus dan
pejabat eksekutif meliputi :
a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet; dan atau
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi
atau komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit.
Hasil akhir penilaian terhadap calon PSP dan calon
pengurus diklasifikasikan menjadi 2 predikat yaitu : Lulus
dan Tidak Lulus. Sementara penilaian terhadap PSP,
pengurus dan pejabat eksekutif diklasifikasikan menjadi
3 predikat yaitu : Lulus, Lulus Bersyarat dan Tidak Lulus.
Pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus dilarang
menjadi :
a. PSP dan memiliki saham lebih dari 10% pada Bank
Umum atau BPR; dan atau
b. Pengurus dan atau pejabat eksekutif pada Bank
Umum dan atau BPR.
HAL 77