20
Kegiatan Usaha BPR Konvensional 1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan , dan/ atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; 2. Memberikan kredit; 3. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain. Larangan Kegiatan Usaha BPR Konvensional 1. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; 2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali sebagai pedagang valuta asing (PVA); 3. Melakukan penyertaan modal; 4. Melakukan usaha perasuransian; 5. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf B di atas. Pengembangan Bank Prekreditan Rakyat (BPR) Industri BPR diharapkan semakin efisien dan memiliki ketahanan yang cukup dalam menghadapi gejolak krisis dan tingkat persaingan dalam rangka meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan BPR kepada UMKM dan masyarakat di lingkungannya. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, selama tahun 2009 dan akan berlanjut hingga tahun 2010, BI melakukan beberapa langkah kebijakan terkait dengan upaya penguatan kelembagaan dan operasional BPR, meliputi: 1. Penetapan Arah Pengembangan Industri BPR Dalam rangka mempersiapkan industri menghadapi tantangan dan peluang pada masa depan dan mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada industri BPR serta mendorong pengembangan sektor riil, maka perlu ditetapkan kebijakan dan strategi pengembangan industri BPR yang dijabarkan dalam program kerja hingga beberapa tahun ke depan. Kebijakan dan strategi tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Arsitektur Perbankan Indonesia yang saat ini sedang disempurnakan. Secara umum, arah

Kegiatan Usaha BPR Konvensional

Embed Size (px)

Citation preview

Kegiatan Usaha BPR Konvensional

1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan berupa deposito berjangka, tabungan , dan/

atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

2. Memberikan kredit;

3. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank

Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito

dan/atau tabungan pada bank lain.Larangan Kegiatan Usaha BPR Konvensional

1. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam

lalu lintas pembayaran;

2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali

sebagai pedagang valuta asing (PVA);

3. Melakukan penyertaan modal;

4. Melakukan usaha perasuransian;

5. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha

sebagaimana dimaksud dalam huruf B di atas.

Pengembangan Bank Prekreditan Rakyat (BPR)

Industri BPR diharapkan semakin efisien dan memiliki ketahanan

yang cukup dalam menghadapi gejolak krisis dan tingkat

persaingan dalam rangka meningkatkan kualitas dan jangkauan

pelayanan BPR kepada UMKM dan masyarakat di

lingkungannya. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, selama

tahun 2009 dan akan berlanjut hingga tahun 2010, BI

melakukan beberapa langkah kebijakan terkait dengan upaya

penguatan kelembagaan dan operasional BPR, meliputi:

1. Penetapan Arah Pengembangan Industri BPR

Dalam rangka mempersiapkan industri menghadapi

tantangan dan peluang pada masa depan dan mengatasi

kelemahan-kelemahan yang ada pada industri BPR serta

mendorong pengembangan sektor riil, maka perlu

ditetapkan kebijakan dan strategi pengembangan industri

BPR yang dijabarkan dalam program kerja hingga beberapa

tahun ke depan.

Kebijakan dan strategi tersebut merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari Arsitektur Perbankan Indonesia yang saat

ini sedang disempurnakan. Secara umum, arah

pengembangan industri BPR ke depan dititikberatkan pada

kebijakan penguatan struktur industri BPR, kelembagaan dan

operasional BPR dalam rangka meningkatkan peran dan

kontribusi BPR sebagai community bank terhadap

pemberdayaan ekonomi di wilayah setempat dimana BPR

berlokasi. Disamping itu, penetapan arah pengembangan

industri BPR dimaksudkan untuk memberikan pedoman

dalam rangka penetapan strategi implementasi yang tepat

bagi pengembangan industri BPR yang lebih terarah.

Beberapa kebijakan mendasar yang ditetapkan, mencakup

antara lain:

a. Mempertegas definisi dan posisi BPR sebagai Community

Bank

Untuk menegaskan ciri yang spesifik dan keunggulan

komparatif BPR yang membedakannya dengan bank

umum serta memperkuat posisi BPR agar dapat lebih

optimal dalam berperan mendukung pengembangan

wilayah setempat (community development), maka

pengembangan industri BPR ke depan akan diarahkan

pada konsep BPR sebagai Community Bank.

b. Menata kembali dan memperkuat struktur industri BPR

Pengawasan dan pengaturan BPR kedepan akan

disempurnakan disesuaikan dengan kompleksitas usaha

dan resiko yang dihadapi oleh BPR. Sebagai prasyarat

untuk penerapan kebijakan tersebut maka industri BPR

dibagi dalam beberapa kelompok yang didasarkan pada

jumlah modal inti BPR yang bersangkutan. Penentuan

modal inti sebagai indikator pengelompokkan BPR

didasari atas karakteristik dari modal inti yang relatif stabil

(jika dibandingkan aset) dan mencerminkan unsur

produktivitas suatu BPR.

c. Memperkuat daya saing BPR melalui penguatan

permodalan, kompetensi SDM dan peningkatan peran

infrastruktur pendukung industri BPR.

Dalam rangka meningkatkan daya saing dan jangkauan

pelayanan BPR, penguatan kelembagaan dan

operasional BPR menjadi penting untuk dilakukan.

Kebijakan terkait dengan penguatan kelembagaan BPR

yang tercermin pada kebijakan dan pengaturan

mengenai pemenuhan ketentuan modal disetor

minimum dan persyaratan pengurus BPR.

Terkait dengan kebijakan permodalan, saat ini BI

menetapkan jumlah modal disetor minimum bagi

pendirian BPR baru sesuai dengan wilayah dimana BPR

akan didirikan. Sedangkan terhadap BPR-BPR yang telah

berdiri, BI menerapkan pentahapan pemenuhan modal

disetor minimum dalam prosentase tertentu sampai

dengan akhir tahun 2010. Ke depan, kebijakan tersebut

masih akan dipertahankan, selain tetap mengupayakan

dilakukannya konsolidasi industri BPR melalui merger,

konsolidasi dan akuisisi.

Terkait dengan persyaratan pengurus BPR, BI akan

menerapkan kebijakan yang disesuaikan dengan strata

BPR. Kebijakan tersebut atas pertimbangan bahwa

masing-masing strata BPR memiliki profil risiko

operasional yang berbeda pula, sehingga semakin tinggi

profil risiko BPR, semakin kompleks beban tugas

pengurus BPR termasuk penerapan governance dalam

pengelolaan BPR.

d. Mengupayakan pembentukan lembaga Apex sebagai

infrastruktur pendukung industri BPR

Kebutuhan industri BPR akan terbentuknya lembaga

pengayom menjadi semakin mendesak untuk

diwujudkan seiring dengan persaingan yang semakin

ketat dan tuntutan serta perubahan kebutuhan

masyarakat yang semakin beragam dan berkembang.

Apex diharapkan mampu menjembatani keterbatasan

BPR dalam mengoptimalkan peran dan kontribusinya

melalui sinergi pemberian bantuan teknis dan finansial

oleh Apex kepada BPR anggotanya.

Untuk mewujudkan hal ini, upaya yang dilakukan

diarahkan pada dua cara yaitu: Pertama, mendorong

optimalitas peran lembaga Apex yang telah terbentuk

dan sedang dalam proses pembentukan di wilayah

Sumatera Barat (oleh Bank Nagari), Bali (oleh Bank

Andara) dan Riau (oleh Bank Riau). Kedua, memfasilitasi

pembentukan lembaga Apex di wilayah-wilayah yang

lain dengan fokus utama penjajagan bank umum yang

berkantor pusat di daerah sebagai Apex bagi BPR di

wilayah setempat.

2. Peningkatan Efektifitas Pengaturan BPR

Perkembangan industri BPR yang cepat, baik dari sisi

kapasitas maupun operasional harus diimbangi dengan

ketentuan yang memiliki efektifitas yang memadai dan lebih

membumi dengan tetap memperhatikan prinsip kehatihatian

di bidang perbankan. Dalam kerangka pikir tersebut,

BI selalu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan

ketentuan BPR di lapangan untuk kemudian dilakukan

penyempurnaan terhadap ketentuan terkait. Sehubungan

dengan hal tersebut, selama tahun 2009 BI telah

menyempurnakan 2 ketentuan terkait BPR masing-masing

mengenai BMPK dan tindak lanjut penanganan terhadap

BPR dalam status pengawasan khusus (DPK). Selain itu, telah

dikeluarkan pula SE No.11/37/DKBU mengenai Penetapan

SAK ETAP (Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik) sebagai standar

akuntansi keuangan bagi BPR dengan pertimbangan:

1) Penerapan PSAK 50/55 - Instrumen Keuangan, yang

menggantikan PSAK 31, dipandang tidak sesuai dengan

karakteristik operasional BPR dan memerlukan biaya

yang besar dibandingkan dengan manfaat yang

diperoleh.

2) DSAK-IAI menyatakan bahwa SAK ETAP dapat

diberlakukan bagi entitas yang memiliki akuntabilitas

publik yang signifikan, sepanjang otoritas berwenang

mengatur penggunaan SAK ETAP dimaksud.

Dengan diberlakukannya SAK ETAP sebagai SAK bagi BPR

maka pedoman akuntansi atas transaksi keuangan BPR tetap

menggunakan pedoman akuntansi yang digunakan selama

ini sepanjang Pedoman Akuntansi (PA) BPR belum

diberlakukan.

3. Peningkatan Efektifitas Sistem Pengawasan BPR

Kebijakan BI dalam rangka meningkatkan efektifitas dan

efisiensi sistem pengawasan BPR diarahkan kepada hal-hal

sebagai berikut:

a. Peningkatan Kompetensi Pengawas BPR

Kompleksitas permasalahan BPR yang semakin

meningkat menuntut pengawas untuk tidak hanya

memahami bidang tugasnya secara profesional dan

memiliki ketajaman dalam melakukan analisis, tetapi juga

memiliki kemampuan dalam melakukan professional

judgement. Untuk itu, pengawas BPR perlu memiliki

pengetahuan di bidang akuntansi perbankan, menguasai

teknik-teknik pengawasan dan pemeriksaan, serta

memiliki pemahaman mengenai ketentuan perbankan.

Selain hal tersebut, agar permasalahan yang dihadapi

BPR dapat segera diketahui dan solusi penyelesaian

dilakukan secara tepat, pengawas dituntut pula untuk

lebih mengetahui kondisi bank yang diawasi (know your

bank) dari waktu ke waktu.

Dalam rangka meningkatkan kompetensi pengawas BPR,

BI secara terencana dan berkelanjutan melakukan

peningkatan pengetahuan dan keterampilan para

pengawas BPR melalui program pelatihan Pengawas BPR

dan program sertifikasi pengawas bank. Selain itu,

peningkatan kompetensi pengawas BPR juga dilakukan

antara lain melalui pelatihan, sosialisasi, seminar/

workshop, Klinik Hukum, dan knowledge sharing.

b. Peningkatan enforcement pengawasan

Sesuai kebijakan BI, sampai dengan akhir tahun 2009

BPR harus memenuhi ketentuan:

- Persyaratan modal disetor minimum 70% sesuai

lokasi,

- Jumlah anggota direksi dan komisaris sesuai syarat

minimal,

- Anggota direksi wajib lulus sertifikasi.

Sesuai PBI No.8/26/PBI/2006 tentang BPR, apabila

ketentuan di atas tidak terpenuhi sampai dengan batas

waktu yang telah ditentukan maka akan dikenakan

sanksi yang secara efektif berlaku sejak Januari 2010.

H. Upaya Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

(UMKM)

Sejak tahun 1960-an, BI telah mendorong pengembangan

UMKM melalui financial assistance (pemberian Kredit Likuiditas

Bank Indonesia) dan technical assistance. Dengan

diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009,

peran BI dalam membantu UMKM menjadi bersifat tidak

langsung.

Kebijakan BI dalam pengembangan UMKM ditujukan untuk

mendorong bank meningkatkan penyaluran kredit UMKM

(supply side) dan membantu meningkatkan elijibilitas dan

kapabilitas UMKM agar mampu memenuhi persyaratan dari

bank (demand side).

Kebijakan ini dilaksanakan melalui 3 instrumen antara lain:

1. Kebijakan Perkreditan

Untuk mendorong perbankan menyalurkan kredit kepada

UMKM, BI mengeluarkan:

- Surat Edaran No. 11/1/DPNP tanggal 21 Januari 2009

perihal Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko

untuk Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

(KUMKM). Dengan ketentuan tersebut, ATMR kredit

kepada UMKM diperhitungkan lebih rendah dari kredit

kepada usaha besar, khususnya untuk kredit yang

dijamin lembaga penjamin/asuransi kredit berstatus

BUMN yang memenuhi persyaratan tertentu.

- PBI No. 11/2/PBI/2009 tanggal 29 Januari 2009 perihal

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank

Umum, yang memberikan relaksasi untuk penetapan

kualitas kredit kepada UMKM.

Terkait dengan perkembangan penyaluran kredit Mikro, Kecil

dan Menengah (MKM), sampai dengan bulan Desember

2009 terjadi net ekpansi kredit MKM sebesar Rp106,4 trilun

atau 77,56% dari total business plan tahun 2009 yang

sebesar Rp137,2 triliun. Tidak tercapainya realisasi kredit

MKM perbankan antara lain disebabkan oleh krisis keuangan

yang menjadikan penurunan permintaan ekspor. Hal ini

berdampak pada menurunnya kinerja usaha UMKM,

terutama yang menghasilkan produk berorientasi ekspor

yang kemudian berimbas pada UMKM lainnya. Akibatnya,

para pengusaha cenderung menahan eskpansi usaha dan

tidak memanfaatkan fasilitas kreditnya. Di sisi lain,

perbankan semakin selektif menyalurkan kredit dan lebih

terfokus pada upaya mengantisipasi peningkatan NPL.

Dampak krisis ini juga tercermin dari rendahnya

pertumbuhan kredit MKM secara tahunan yang hanya

16,1% menjadi Rp766,9 triliun, jauh menurun dibandingkan

tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 26,0%.

2. Pengembangan Kelembagaan

Pengembangan kelembagaan yang menunjang UMKM

antara lain meliputi:

a. Kerjasama antar Lembaga Keuangan (linkage program)

Dilakukan dengan mendorong kerjasama bank umum

dengan BPR dalam penyaluran kredit kepada UMKM.

Selain itu, akan ditingkatkan kerjasama BPR dengan

Lembaga keuangan lainnya seperti Lembaga Dana

Keuangan Pedesaan (LDKP) untuk memperluas

pemberian kredit kepada usaha mikro di pedesaan.

b. Mendorong Peningkatan Peran Lembaga Penjaminan

Kredit di daerah

Dalam rangka meningkatkan kapabilitas UMKM untuk

memenuhi persyaratan bank khususnya agunan, BI

memfasilitasi pembentukan skim penjaminan kredit

UMKM di daerah yang dalam hal ini melibatkan PT.

Askrindo, BPD dan Pemda.

3. Pemberian Bantuan Teknis

Pemberian bantuan teknis, meliputi:

a. Pelatihan kepada Perbankan, Lembaga Pembiayaan

UMKM, dan Lembaga Penyedia Jasa/Business

Development Services Provider (BDSP)/Konsultan

Keuangan Mitra Bank (KKMB).

Pada tahun 2009 telah dilakukan perluasan materi

pelatihan antara lain credit scoring, selected sector

lending, making microfinance work bekerjasama dengan

lembaga internasional seperti InWent, GTZ Profi, dan

ILO, serta materi mengenai format laporan keuangan

dan business plan untuk UMKM.

b. Penyediaan Informasi

Penyediaan informasi meliputi hasil-hasil penelitian, data

statistik perkreditan, data komoditas di suatu daerah

yang potensial untuk dikembangkan dan diekspor, pola

pembiayaan komoditas yang potensial dibiayai bank, dan

informasi lain dalam rangka pengembangan UMKM.

Selain itu, BI juga menyediakan informasi database

UMKM sebagai sarana promosi UMKM dan upaya

menjembatani gap informasi perbankan terhadap

UMKM yang potensial.

Dalam rangka penyebaran informasi tersebut di atas

secara lebih luas, BI membangun Sistem Informasi

Pengembangan Usaha Kecil yang terintegrasi dalam Data

Informasi Bisnis Indonesia (DIBI), yang dapat diakses

melalui www.bi.go.id.

c. Pengembangan UMKM melalui pendekatan klaster di

KBI dan Kantor Pusat.

Pada tahun 2009, klaster yang dikembangkan antara

lain Klaster Mebel di DKI Jakarta, Klaster Meubel Rotan

dan Bordir di Jawa Tengah, KlasterPengolahan Ikan

Cakalang Fufu dan Industri Kelapa di Sulawesi Utara,

Klaster Rumput Laut, Jagung dan Kapas di Nusa

Tenggara Timur, Klaster Rumput Laut di Jawa Timur,

Klaster Jeruk Siam Barola di Banjarmasin, Klaster Emping

Melinjo di Banda Aceh dan Klaster Minyak Atsiri di

Purwokerto.

Dalam rangka mendukung kebijakan tersebut di atas, BI

melaksanakan kegiatan penelitian dan kerjasama dengan

instansi terkait.

1. Kegiatan Penelitian

Kegiatan penelitian yang dilakukan pada tahun 2009

meliputi:

a. Penelitian pola pembiayaan (lending model), terdiri

dari 3 komoditas/jenis usaha yang dibiayai dengan

pola konvensional dan 5 komoditas/jenis usaha hasil

konversi pola pembiayaan konvensional ke pola

syariah. Cakupan informasi pola pembiayaan antara

lain meliputi aspek pemasaran, aspek teknis produksi,

aspek keuangan, aspek dampak ekonomi dan

lingkungan.

b. Penelitian komoditas, produk, jasa usaha (KPJU)

unggulan UMKM, yang dahulu dikenal sebagai

Baseline Economic Survey (BLS). Pada tahun 2009

terdapat 10 Kantor Bank Indonesia (KBI) yang

melaksanakan penelitian tersebut di 9 propinsi.

c. Penelitian kredit konsumsi untuk kegiatan produktif.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh data yang

menunjukkan bahwa sekitar 50% kredit MKM

menurut jenis penggunaan adalah kredit konsumsi.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa

sekitar 40% kredit konsumsi MKM sesungguhnya

digunakan untuk kegiatan produktif.

d. Sebagai bagian dari program kerja inisiatif BI dalam

menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

2015, BI melaksanakan 2 kegiatan yang terkait

UMKM, yaitu:

- Kajian format laporan keuangan dan business

plan untuk UMKM. Hasil kajian berupa Pedoman

dan tahapan penerapan Laporan Keuangan sesuai

dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK)

Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP) dan

Business Plan yang dapat dimanfaatkan oleh

UMKM dan Instansi dalam meningkatkan

kapasitasnya agar dapat lebih mudah mengakses

layanan perbankan.

- Kajian mengenai prasyarat pembentukan credit

rating system untuk UMKM. Hasil kajian berupa

laporan yang memaparkan mengenai fungsi dari

lembaga pemeringkat UMKM sebagai salah satu

infrastruktur untuk mendorong akses keuangan

UMKM, serta prasyarat yang dibutuhkan untuk

pembentukan credit rating system untuk UMKM.

2. Kerjasama BI dengan Pemerintah dan Pihak-pihak terkait.

a. Kerjasama dengan ILO dan GTZ

Dilaksanakan dalam rangka Pemetaan dan

Identifikasi Kebutuhan Peningkatan Kapasitas

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dilakukan di

3 (tiga) wilayah, yaitu Jawa Tengah, D. I. Yogyakarta

dan Jawa Timur.

b. Sebagai counterpart dalam Komite Kebijakan

Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan

Koperasi dalam rangka mensosialisasikan dan

meningkatkan penyaluran Kredit Usaha Rakyat

(KUR). Peranan BI antara lain memberikan masukan

mengenai kriteria untuk perluasan Bank Pelaksana

KUR, penyusunan SOP serta dalam penyusunan

Addendum II MoU KUR.

c. Kerjasama dengan Pemerintah.

BI bekerjasama dengan Kementerian Keuangan,

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian

Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM)

mengeluarkan Keputusan Bersama yang

ditandatangani pada tanggal 7 September 2009

tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan

Mikro. Sasaran strategi ini adalah beralihnya

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang belum

berbadan hukum menjadi Bank Perkreditan Rakyat

atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa, atau

lembaga keuangan lainnya. BI berperan dalam

memberikan konsultasi kepada LKM yang akan

menjadi BPR/BPRS sesuai dengan ketentuan yang

berlaku dalam pendirian dan perizinan BPR/BPRS.

Bentuk kerjasama lainnya pada tahun 2009 adalah

penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara

BI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan

dalam rangka penyusunan Lending Model dan

pelatihan, serta nota kesepahaman dengan

Kementerian Pertanian dan Kementerian Koperasi

dan UKM untuk penyelenggaraan pelatihan.

I. Biro Informasi Kredit Indonesia

Fungsi BIK

Fungsi utama BIK adalah menghimpun dan menyimpan data

perkreditan, mempertukarkan dan mendistribusikannya sebagai

informasi debitur dalam rangka mendukung pelaksanaan fungsi

intermediasi lembaga keuangan. BIK dapat meminimalkan

kesenjangan informasi (asymmetric information) antara penyedia

dana (kreditur) dan penerima dana (debitur), serta tersedia

informasi yang komprehensif dan akurat mengenai eksposur

kredit dan kelayakan calon debitur sehingga dapat

mempermudah dan mempercepat proses penyediaan dana

kepada masyarakat dan dapat menurunkan risiko kredit

bermasalah di kemudian hari.

Fungsi BIK bagi internal BI sebagai pendukung pelaksanaan

pengawasan bank dan untuk menjaga stabilitas sistem

keuangan secara keseluruhan. Informasi yang menyeluruh atas

kualitas, jenis dan penyebaran kredit bermanfaat dalam

melakukan monitoring langkah-langkah yang diambil oleh

industri keuangan dalam mitigasi risiko kreditnya.

Penyelenggaraan BIK diharapkan mampu mendorong disiplin

pasar sehingga akan tercipta budaya kredit yang sehat dan

efisien yang pada akhirnya akan bermuara pada pencapaian

stabilitas sistem keuangan, pertumbuhan sektor riil serta

pertumbuhan ekonomi Indonesia secara luas.

Operasional BIK

Dalam melaksanakan fungsinya BIK menggunakan dan

mengelola sebuah sistem dengan nama Sistem Informasi Debitur

(SID). Sistem tersebut dipergunakan untuk menghimpun dan

menyimpan data fasilitas penyediaan dana yang disampaikan

oleh seluruh Pelapor SID yang terdiri dari seluruh Bank Umum,

BPR dengan kriteria tertentu serta Lembaga Keuangan Non

Bank1.

Data dimaksud kemudian diolah untuk menghasilkan output

berupa informasi debitur yang mencakup seluruh data

penyediaan dana yang diterima oleh debitur (mulai 1 rupiah ke

atas) dengan kondisi lancar dan bermasalah serta historis

pembayaran yang dilakukan oleh debitur tersebut dalam kurun

waktu 24 bulan terakhir. Dengan demikian, informasi debitur

yang dihasilkan ini dapat memberikan gambaran mengenai

exposure kredit, performance dan kualitas kredit dari debitur

yang bersangkutan.

Selain digunakan oleh Pelapor SID, informasi debitur dapat

diminta pula oleh debitur dan pihak lain dalam rangka

pelaksanaan Undang-undang. Permintaan oleh debitur

dilakukan dengan tujuan untuk memantau kualitas kreditnya

serta untuk memantau kebenaran pelaporan yang dilakukan

oleh Pelapor SID.

Progress BIK pada tahun 2009

Sepanjang tahun 2009, BI telah melakukan berbagai langkah

strategis untuk pencapaian visi BIK yaitu:

a. Peningkatan Kualitas Data

Upaya peningkatan kualitas data dilakukan melalui kegiatan:

- Absensi secara periodik terhadap pelaporan untuk

memastikan bahwa laporan disampaikan secara tepat

waktu;

- Pembersihan data duplikat;

- Pemberian teguran atas kesalahan pelaporan;

- Pemeriksaan terhadap beberapa Bank untuk memastikan

kepatuhan terhadap ketentuan SID;

- Kegiatan pelatihan kepada petugas Pelapor;

- Kegiatan evaluasi SID kepada Pelapor;

- Peningkatan layanan help-desk.

b. Penyempurnaan Sistem dan Aplikasi

Tujuan utama penyempurnaan sistem dan aplikasi adalah

untuk meningkatkan performance sistem dan kualitas data

SID. Pada tahun 2009 telah mulai dilaksanakan proyek

optimalisasi SID jangka pendek yaitu meliputi analisa dan

assessment awal aplikasi SID, desain sistem, pengembangan

dan penyempurnaan sistem, penyempurnaan infrastruktur

serta pengujian aplikasi hasil optimalisasi. Hasil dari kegiatan

optimalisasi SID jangka pendek ini direncanakan akan

diimplementasikan pada tahun 2010.

Selain itu, dilakukan pula upaya memperlancar proses

pembersihan duplikasi data melalui proyek optimalisasi Alat

Bantu Pengendalian Data (Atulida) yang ditargetkan akan

selesai pada semester I tahun 2010.

Untuk memperoleh gambaran menyeluruh terhadap

kesiapan BIK menuju kondisi ideal yang dicita-citakan, pada

Tahun 2009 ini juga telah dilakukan assessment menyeluruh

terhadap BIK oleh credit bureau expert.

c. Perluasan Cakupan Pelapor

Selama tahun 2009 diupayakan penambahan jumlah Pelapor

dari Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) bekerjasama

dengan Bapepam LK melalui sosialisasi kepada LKNB

khususnya Perusahaan Pembiayaan mengenai manfaat SID

untuk mendukung operasional pembiayaan. Sosialisasi ini

cukup berhasil dengan bergabungnya 6 LKNB menjadi

Pelapor SID selama tahun 2009. Untuk masa yang akan

datang, BI dan Bapepam LK akan menitikberatkan kepada

penambahan Pelapor SID dari LKNB yang bergerak di bidang

corporate finance.

d. Penyempurnaan Ketentuan Pelaksanaan SID

Untuk mendukung perkembangan operasional SID serta

peningkatan perlindungan kepada debitur, sepanjang tahun

2009 dilakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap

Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang SID. Adapun

penyempurnaan PBI dimaksud ditargetkan akan selesai di

tahun 2010, dan akan diikuti dengan penyempurnaan

terhadap ketentuan pelaksanaannya.

e. Pemberian Layanan informasi Debitur

Akses masyarakat terhadap informasi debitur dapat melalui

Gerai Info di BI atau secara isidentil dalam beberapa event

khusus, seperti Festival Ekonomi Syariah 2009 dan Pekan

Raya Jakarta 2009. Selain itu, dapat pula dilakukan secara

on-line melalui web site BIK, meskipun pengambilan output

masih harus dilakukan melalui Gerai Info di BI.

f. Edukasi kepada Masyarakat

Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan

keberadaan dan fungsi BIK serta untuk meningkatkan

kesadaran akan pentingnya menjaga kualitas kredit, BI

melakukan program edukasi masyarakat melalui kegiatan

sosialisasi di beberapa daerah, serta pembuatan web site

Biro Informasi Kredit.

Rencana Pengembangan BIK Tahun 2010

Pengembangan BIK pada tahun 2010 masih merupakan lanjutan

program tahun 2009 yaitu menitikberatkan pada peningkatan

kualitas data, pembenahan pada sistem dan aplikasi SID,

meminimalisasi duplikasi data, penambahan jumlah pelapor

LKNB, peningkatan layanan informasi debitur, dan penyusunan

cetak biru BIK.

Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan

usaha dengan izin Bank Indonesia. BPR hanya dapat

didirikan dan dimiliki oleh :

1) warga negara Indonesia;

2) badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya

warga negara Indonesia;

3) Pemerintah Daerah; atau4) dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam

angka 1), 2),dan 3)

Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling

sedikit sebesar:

1) Rp.5 miliar untuk BPR yang didirikan di wilayah DKI

Jakarta,

2) Rp.2 miliar untuk BPR yang didirikan di wilayah

ibukota provinsi di pulau Jawa dan Bali dan di wilayah

Kabupaten atau Kotamadya Bogor, Depok,

Tangerang dan Bekasi;

3) Rp.1 miliar untuk BPR yang didirikan di ibukota

provinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan di wilayah

pulau Jawa dan Bali di luar wilayah sebagaimana

disebut dalam angka 1) dan 2);

4) Rp.500 juta untuk BPR yang didirikan di wilayah lain

di luar wilayah sebagaimana disebut dalam angka

1), 2) dan 3).

Kepengurusan BPR Konvensional

Kepengurusan BPR terdiri dari Direksi dan Komisaris.

Anggota Direksi dan Dewan Komisaris wajib memenuhi

persyaratan :

kompetensi;

integritas; dan

reputasi keuangan.

1) Dewan Komisaris

Jumlah anggota Dewan Komisaris sekurangkurangnya

2 orang.

Paling sedikit 50% anggota Dewan Komisaris

wajib memiliki pengetahuan dan atau

pengalaman di bidang perbankan.

Anggota Dewan Komisaris hanya dapat

merangkap jabatan sebagai komisaris paling

banyak pada 2 BPR atau BPRS lain

Anggota Dewan Komisaris BPR dilarang menjabat

sebagai anggota Direksi pada BPR, BPRS dan atau

Bank Umum.

Anggota Dewan Komisaris wajib melakukan rapat

Dewan Komisaris secara berkala, paling sedikit 4

(empat) kali dalam setahun.

Dalam hal diperlukan oleh BI, anggota Dewan

Komisaris wajib mempresentasikan hasil

pengawasan terhadap BPR.

2) Direksi

Anggota Direksi paling sedikit berjumlah 2 orang.

Anggota Direksi wajib memiliki pendidikan formal

paling rendah setingkat D-3 atau Sarjana Muda

atau telah menyelesaikan paling sedikit 110 SKS

dalam pendidikan S-1.

Paling sedikit 50% dari anggota Direksi wajib

memiliki pengalaman sebagai pejabat di bidang

operasional perbankan paling singkat selama 2

tahun, atau telah mengikuti magang paling

singkat selama 3 bulan di BPR dan memiliki

sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi pada

saat diajukan sebagai anggota Direksi.

Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan

dari lembaga sertifikasi.

Sesuai PBI No. 8/26/PBI/2006 tentang BPR, seluruh

anggota Direksi memiliki sertifikat kelulusan

paling lambat tanggal 31 Desember 2008.

Anggota Direksi dilarang memiliki hubungan

keluarga dengan anggota Direksi lainnya dan/

atau anggota Komisaris dalam hubungan sebagai

orang tua, anak, mertua, menantu, suami, istri,

saudara kandung atau ipar.

Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan

sebagai anggota Direksi atau pejabat eksekutif

pada lembaga perbankan, perusahaan atau

lembaga lain. Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.

Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper

Test)

Bank Umum Konvensional dan BPR Konvensional

Penilaian kemampuan dan kepatutan pada Bank Umum

dan BPR dilakukan oleh BI terhadap :

a. Calon Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan calon

pengurus;

b. PSP dan pengurus; dan

c. Pejabat eksekutif bank dan pemimpin kantor Kantor

Perwakilan (KPW) Bank Asing, dalam hal terdapat

indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan:

dalam perumusan kebijakan dan kegiatan

operasional yang mempengaruhi kegiatan usaha

bank; dan atau

atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan

dalam kegiatan operasional bank atau KPW Bank

Asing.

Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP dan

PSP dilakukan untuk menilai integritas dan kelayakan

keuangan. Sementara penilaian terhadap calon

pengurus, pengurus dan pejabat eksekutif dilakukan

untuk menilai integritas, kompetensi dan reputasi

keuangan.

Persyaratan integritas bagi calon PSP dan calon pengurus

meliputi :

a. memiliki akhlak dan moral yang baik;

b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan

perundang-undangan;

c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap

pengembangan operasional bank yang sehat;

d. tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus (DTL).

Faktor integritas bagi PSP, pengurus dan pejabat

eksekutif yaitu tidak pernah dilakukannya tindakantindakan

baik secara langsung maupun tidak langsung

berupa :

a. perbuatan rekayasa atau praktik-praktik perbankan

yang menyimpang dari ketentuan perbankan;

b. perbuatan menolak memberikan komitmen dan atau

tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati

dengan BI dan atau Pemerintah;

c. perbuatan yang memberikan keuntungan secara

tidak wajar kepada pemilik, pengurus, dan atau

pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi

keuntungan bank; dan atau

d. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di

bidang perbankan

Khusus bagi pengurus dan pejabat eksekutif, selain

penilaian faktor integritas tersebut di atas juga

ditentukan bahwa yang bersangkutan tidak pernah

melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak

langsung berupa perbuatan yang tidak independen.

Persyaratan kelayakan keuangan bagi calon PSP antara

lain meliputi :

a. persyaratan kemampuan keuangan;

b. pemenuhan persyaratan administratif, antara lain

namun tidak terbatas pada persyaratan mengenai :

tidak termasuk dalam daftar kredit macet

tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi

atau komisaris yang dinyatakan bersalah

menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit

dalam jangka waktu 5 tahun sebelum dicalonkan;

dan

bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan

dan likuiditas bank.

c. tidak memiliki hutang yang jatuh tempo dan

bermasalah.

Faktor kelayakan keuangan bagi PSP, yaitu :

a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet;

b. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan

bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan

pailit; dan atau

c. kemampuan untuk memenuhi komitmen dalam

mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas bank.

Persyaratan kompetensi bagi calon pengurus :

a. Bagi calon anggota Komisaris

pengetahuan di bidang perbankan yang memadai

dan relevan dengan jabatannya; dan atau

pengalaman di bidang perbankan.

b. Bagi calon anggota Direksi

pengetahuan di bidang perbankan yang memadai

dan relevan dengan jabatannya. Bagi calon

anggota direksi BPR wajib memiliki sertifikat

kelulusan dari lembaga sertifikasi;

pengalaman dan keahlian di bidang perbankan

dan atau bidang keuangan; dan

kemampuan untuk melakukan pengelolaan

strategis dalam rangka pengembangan bank yang

sehat

Persyaratan kompetensi bagi pengurus dan pejabat

eksekutif meliputi :

a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai

dan relevan dengan jabatannya ; dan

b. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan

atau bidang keuangan; dan

c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis

dalam rangka pengembangan bank yang sehat.

Persyaratan reputasi keuangan bagi calon pengurus

meliputi :

a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet; dan

b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi

atau komisaris yang dinyatakan bersalah

menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit

dalam jangka waktu 5 tahun sebelum dicalonkan.

Persyaratan reputasi keuangan bagi pengurus dan

pejabat eksekutif meliputi :

a. tidak tercantum dalam daftar kredit macet; dan atau

b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi

atau komisaris yang dinyatakan bersalah

menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit.

Hasil akhir penilaian terhadap calon PSP dan calon

pengurus diklasifikasikan menjadi 2 predikat yaitu : Lulus

dan Tidak Lulus. Sementara penilaian terhadap PSP,

pengurus dan pejabat eksekutif diklasifikasikan menjadi

3 predikat yaitu : Lulus, Lulus Bersyarat dan Tidak Lulus.

Pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus dilarang

menjadi :

a. PSP dan memiliki saham lebih dari 10% pada Bank

Umum atau BPR; dan atau

b. Pengurus dan atau pejabat eksekutif pada Bank

Umum dan atau BPR.

HAL 77