Upload
doanliem
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
KEHADIRAN GEREJA DALAM SEKOLAH KATOLIK MENURUT
GRAVISSIMUM EDUCATIONIS DI SMA PANGUDI LUHUR
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Saturnius Sinaga
NIM: 031124020
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada
Kongregasi Suster Fransisikan St. Lusia
&
SMA Pangudi Luhur Yogyakarta serta semua Sekolah Katolik
Di tempat
v
MOTTO
“Sebab itu pergilah kepada segala bangsa di seluruh dunia,
jadikanlah mereka pengikut-pengikutku.
Babtislah mereka dengan menyebut nama Bapa, dan Anak, dan Roh Allah. Ajarlah
mereka mentaati semua yang sudah kuperintahkan kepadamu.”
(Mat 28: 19-20)
vi
vii
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah “Kehadiran Gereja dalam Sekolah Katolik Menurut
Gravissimum Educationis di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta”. Penulis memilih
judul ini karena penulis ingin mendalami ajaran dan pedoman pendidikan Katolik
seturut pengarahan dokumen Gravissimum Educationis. Dalam rangka mendalami
pengarahan dokumen Gravissimum Educationis, penulis juga ingin mengetahui
sejauhmana sekolah-sekolah Katolik secara khusus Sekolah SMA Pangudi Luhur
mengacu kepada dokumen tersebut. Selanjutnya penulis dapat belajar dari Sekolah
SMA Pangudi Luhur dalam usaha meningkatkan perwujudan kehadiran Gereja
dalam komunitas sekolah.
Sebagaimana pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam upaya
pembentukan pribadi manusia, Gereja pun turut memberi perhatian kepada
pendidikan. Gereja mengolah pendidikan antara lain lewat bidang persekolahan.
Sekolah dipandang sebagai tempat pewartaan iman dan pusat kegiatan demi
memajukan perkembangan manusia. Maka ada pokok-pokok penting yang
ditekankan dokumen Gravissimum Educationis berkaitan dengan pendidikan ini.
Pokok-pokok itu menantang sekolah-sekolah dalam mencapai tujuannya.
Gravissimum Educationis mengungkapkan visi dan tugas misionernya, arahnya,
identitasnya yang terletak dalam dimensi religiusnya, kehadiran guru sebagai saksi
iman dan sekolah Katolik sebagai tempat pewartaan iman.
Gambaran sekolah seperti yang dilukiskan dalam Gravissimum Educationis
tersebut, terimplikasi dalam sekolah SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Visi-misi,
tujuan maupun ciri sekolah bertitik tolak dari dokumen. Namun tetap diperlukan
peningkatan perwujudan kehadiran Gereja yang difokuskan pada peningkatan
penghayatan panggilan sebagai pendidik. Maka dalam rangka peningkatan
penghayatan panggilan sebagai pendidik, ada beberapa pemikiran yang dikemukakan
yakni studi dokumen, sarasehan, seminar tentang dokumen, retret/rekoleksi dan
katekese sebagai tindak lanjut.
viii
ABSTRACT
This title of this thesis is " Church Attendance in Catholic School According to
Gravissimum Educationis in Senior high school of Pangudi Luhur Yogyakarta". The
writer chooses this title because the writer wishes to deepen the teaching and
guidance of Catholic education pursuant the guidance of Gravissimum Educationis
document. In order to deepening guidance of document Gravissimum Educationis,
the writer also wishes to know how far Catholic schools, especially Senior High
School of Pangudi Luhur Yogyakarta’ referent to the document. Hereinafter, the
writer can learn from Senior High School of Pangudi Luhur Yogyakarta in effort to
improve Church attendance in school community.
As education represent the very important matter in the effort of personal
forming of human being, Church even also partakes in giving attention to education.
Church cultivates education for example passing in school area. School viewed as a
mission place of faith and the centre of activities for the shake of moving forward
human being growth. Hence, there are important points emphasized by the document
of Gravissimum Educationius related to education. That points challenge each school
in reaching their targets. The Gravissimum Educationis expressions its vision and its
missionaire duty, its direction, its identity are located in its religion dimension,
teachers attendance as eyewitness of faith and Catholic school as a mission place of
faith.
School description as described in the Gravissimum Educationis, implicated
in Senior High School of Pangudi Luhur Yogyakarta. Its Vision-Mission, targets and
also its distinctives have the starting points from the document. However, it is remain
to be needed the realization of improvement of Church attendance focussed at
improvement of experiencing to the full of educators’ voction. Therefor, in order to
improve their experience of vocation as educators, there are some opinions suggested
namely study of document, sarasehan, seminar about the document,
retreat/recolection and cathecese as follow-up.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan karena Kasih-Nya yang besar sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul KEHADIRAN GEREJA DALAM
SEKOLAH KATOLIK MENURUT GRAVISSIMUM EDUCATIONIS DI SMA
PANGUDI LUHUR YOGYAKARTA.
Skripsi ini diinspirasikan oleh refleksi penulis terhadap sekolah-sekolah
Katolik terutama sekolah SMA Pangudi Luhur Yogyakarta dalam menampilkan
wajah Gereja dalam komunitas sekolah. Di antara banyaknya sekolah-sekolah
Katolik yang ada di Indonesia, Sekolah Katolik perlu untuk berefleksi akan makna
kehadirannya dalam menampilkan wajah Gereja dalam komunitas sekolah
sebagaimana harapan Konsili Vatikan II yang tertuang dalam dokumen Gravissimum
Educationis. Oleh karena itu penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk membantu
mereka yang terkait dengan dunia persekolahan dalam mengelola dan
memperkembangkan sekolah agar tetap mengacu kepada pedoman dan pengarahan
dokumen. Sekaligus juga penulis memberi sumbangan pemikiran dalam upaya
peningkatan perwujudan kehadiran Gereja yang mendidik dalam komunitas sekolah.
Selain itu, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas sanata
Dharma Yogyakarta.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak secara
langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan setulus hati
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
x
1. Dr. J. Darminta., SJ selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan
perhatian, meluangkan waktu, tenaga dan membimbing penulis dengan penuh
kesabaran, memberi masukan-masukan, pengarahan dan kritikan-kritikan
sehingga penulis dapat termotivasi dalam menuangkan gagasan-gagasan dari
awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
2. Drs. Y. a. C.H. Mardiraharjo selaku dosen penguji dan pembimbing akademik
yang turut mendukung, memberi perhatian dan masukan-masukan kepada penulis
selama masa studi hingga penyusunan skripsi ini
3. Drs. F.X. Heryatno W.W., S.J., M.Ed selaku Kaprodi serta dosen penguji yang
juga turut memberi perhatian, dukungan, semangat dan sumbangan pemikiran
kepada penulis selama masa studi dan penyelesaian skripsi
4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis
selama belajar hingga selesainya skripsi ini
5. Br. Herman Yosep FIC selaku kepala sekolah SMA Pangudi Luhur Yogyakarta
yang memberikan kesempatan kepada penulis mengadakan penelitian serta
sumbangan pemikiran dalam penyelesaian skripsi ini
6. Para guru dan siswa Sekolah SMA Pangudi Luhur yang mendukung penulis
lewat kesediaan diwawancarai demi memperkuat data yang dibutuhkan penulis
7. Persaudaraan Kongregasi Suster Fransiskan St. Lusia yang memberikan
kesempatan kepada Penulis untuk menimba pengetahuan di Universitas Sanata
Dharma serta mendukung penulis selama masa studi
xi
8. Seluruh anggota komunitas St. Lusia Yogyakarta yang memberikan dukungan
dengan caranya sendiri selama penyusuna skripsi ini
9. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh karyawan
bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi
ini
10. Br. Triyono, SCJ yang selalu mendukung, dan menyemangati penulis serta
mengusahakan buku-buku demi selesainya skripsi ini
11. Fr. Yudistiro SCJ & komunitas saudara-saudara OFM yang meminjami penulis
buku-buku guna memperkaya pemikiran penulis dalam menyusun skripsi ini
12. Teman-teman mahasiswa terutama angkatan 2003/2004 yang turut mendukung
penulis dalam penyelesaian studi. Terima kasih doamu teman-teman, semoga kita
tetap saling mendukung dalam doa dan kebersamaan
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini dengan
tulus telah memberikan bantuan hingga selesainya skripsi ini. Jasa dan
kebaikanmu akan kukenang selamanya karena telah terpatri di hatiku
Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga
penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhir
kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak yang berkepentingan.
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... iv
HALAMAN MOTTO............................................................................................v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.......................................... vi
ABSTRAK........................................................................................................... vii
ABSTRACT.........................................................................................................viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI........................................................................................................ xii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang Penulisan skripsi............................................................1
B. Perumusan Masalah ................................................................................6
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................6
D. Manfaat Penulisan...................................................................................7
E. Metode Penulisan....................................................................................7
F. Sistematika Penulisan .............................................................................8
BAB II. KEHADIRAN GEREJA.........................................................................10
A. Gereja.....................................................................................................10
1. Gereja Sebagai Cahaya Dunia .........................................................10
2. Gereja Sebagai Tubuh Mistik Kristus..............................................14
3. Gereja Sebagai Umat Allah .............................................................19
4. Gereja yang Hirarkis ........................................................................23
5. Gereja yang Berziarah .....................................................................25
B. Kehadiran Gereja ...................................................................................27
1. Sebagai Sakramen Keselamatan ......................................................28
a. Latar Belakang...........................................................................28
b. Arti .............................................................................................29
xiii
c. Sebagai Sakramen......................................................................30
2. Menyatu dengan Peziarahan Manusia .............................................35
3. Mewartakan Keselamatan................................................................37
a. Sifat Misisoner Gereja ...............................................................41
b. Kegiatan Misioner Gereja ..........................................................42
4. Sebagai Cahaya yang Membawa Terang dan Pembebsan...............45
a. Diakonia.....................................................................................45
b. Koinonia.....................................................................................46
c. Kerygma.....................................................................................46
d. Lyturgia......................................................................................47
C. Berbagai Cara Kehadiran Gereja ...........................................................48
1. Media Massa ....................................................................................48
2. Ekumene ..........................................................................................50
3. Dialog...............................................................................................53
4. Pendidikan .......................................................................................54
a. Pendidikan Sebagai Cara Menghadirkan Gereja .......................56
b. Pendidikan Non Formal .............................................................56
c. Pendidikan Formal .....................................................................58
BAB III. SEKOLAH KATOLIK SEBAGAI SALAH SATU BENTUK
KEHADIRAN GEREJA MENURUT GRAVISSIMUM
EDUCATIONIS......................................................................................60
A. Sekolah Katolik......................................................................................60
1. Pengertian Sekolah Katolik .............................................................60
2. Tujuan Sekolah Katolik ...................................................................63
B. Visi Misi sekolah Katolik ......................................................................66
1. Visi Sekolah Katolik........................................................................66
2. Misi Sekolah Katolik .......................................................................68
C. Identitas Sekolah Katolik.......................................................................69
D. Dimensi Religius Sekolah Katolik.........................................................71
1. Pergumulan Kaum Muda Masa Kini ...............................................72
2. Iklim Religius Sekolah.....................................................................75
xiv
3. Kehidupan Religius Sekolah dan Karya Sekolah ............................80
a. Dalam Kehidupan Sekolah ........................................................80
b. Dalam Kebudayaan Sekolah......................................................81
E. Awam Katolik di Sekolah Sebagai Saksi Iman .....................................83
1. Peranan Guru di Sekolah Katolik ....................................................83
2. Guru Sebagai Saksi Iman.................................................................85
F. Sekolah Katolik dan Pewartaan/Kerygma .............................................88
BAB IV. SEKOLAH KATOLIK SEBAGAI KEHADIRAN GEREJA YANG
MENDIDIK DI SMA PANGUDI LUHUR YOGYAKARTA .............94
A. Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta ...............................94
1. Sejarah Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta ............94
2. Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta .........................96
3. Tujuan Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta ............101
B. Visi Misi Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta ..............105
1. Visi Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.................105
2. Misi Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta ................106
C. Identitas Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta................107
D. Peranan Guru dan Siswa di Sekolah SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta............................................................................................109
1. Peranan Guru ..................................................................................109
a. Pengajar ....................................................................................110
b. Pembimbing ..............................................................................112
c. Pendidik ....................................................................................113
d. Guru Sebagai Saksi Iman..........................................................115
2. Peranan Anak Didik........................................................................119
E. Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Sebagai Tempat Pewartaan
Iman ......................................................................................................123
BAB V. PEMIKIRAN UPAYA PENINGKATAN PENGHAYATAN PROFESI
PENDIDIK SEBAGAI PANGGILAN DI SEKOLAH KATOLIK SMA PANGUDI
LUHUR YOGYAKARTA ..................................................................................125
A. Penghayatan Panggilan Sebagai Pendidik ............................................126
xv
1. Syarat Sebagai Subyek Pendidik ....................................................126
a. Syarat Materil ...........................................................................126
b. Syarat Formal............................................................................128
2. Kualitas-Kualitas Sebagai Seorang Pendidik .................................130
a. Dewasa......................................................................................130
b. Kewibawaan..............................................................................131
c. Kekuatan Kepribadian ..............................................................131
d. Kedudukan Sosial .....................................................................132
e. Kekompakan .............................................................................132
3. Menghayati Profesi Pendidik Sebagai Panggilan ...........................133
B. Berbagai Cara Peningkatan Penghayatan Profesi Pendidik Sebagai
Panggilan .............................................................................................134
1. Kelompok Studi ..............................................................................134
2. Seminar-Seminar ............................................................................136
3. Retret dan Rekoleksi .......................................................................136
C. Katekese................................................................................................138
BAB VI. PENUTUP............................................................................................144
A. Kesimpulan ...........................................................................................144
B. Saran .....................................................................................................147
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................149
LAMPIRAN.........................................................................................................151
Lampiran 1: Pedoman Wawancara dengan Guru-Guru SMA Pangudi Luhur .... (1)
Lampiran 2: Rangkuman Hasil Wawancara ....................................................... (2)
xvi
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab terbitan
Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta: 1995.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
AG: Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7
Desember 1965.
GE: Gravissimum Educationis, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang
Pendidikan Kristen, 28 Oktober 1965.
GS: Gadium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di
dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965.
IM: Inter Mirifica, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Upaya-Upaya
Komunikasi Sosial, 4 desember 1963.
KHK: Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonica), diundangkan oleh Paus
Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983.
LG: Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja,
21 November 1964.
NA: Nostra Aetate, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Hubungan Gereja
dengan Agama-Agama Bukan Kristiani, 28 Oktober 1965.
SC: Sacrosanctum Consilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi
Suci, 4 Desember 1963.
xvii
UR: Unitatis Redintegratio, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumenisme, 21
November 1964.
C. Singkatan lain
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
LAI : Lembaga Alkitab Indonesia
MNPK : Majelis Nasional Pendidikaan Katolik
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab I akan membahas pendahuluan yang meliputi latar belakang penulisan,
rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
A. LATAR BELAKANG
Sekolah sebagai wadah diterapkannya pendidikan formal menuntut perlunya
peninjauan khusus akan kehadiran sekolah di tengah masyarakat. Sekolah merupakan
salah satu tempat menabur nilai-nilai kemanusiaan agar manusia itu memiliki
kedewasaan dalam menghadapi arus zaman yang semakin berkembang. Dengan kata
lain sekolah sebagai salah satu tempat yang sangat sesuai untuk mempersiapkan
manusia-manusia yang handal, dewasa, dan kompeten dalam menghadapi arus
perkembangan zaman yang semakin kompleks. Hal ini semakin dipertegas dalam GE
yang mengatakan demikian:
Di antara segala upaya pendidikan sekolah mempunyai makna yang istimewa. Sementara terus-menerus mengembangkan daya kemampuan akal budi, berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-peranangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami. Kecuali itu sekolah merupakan bagaikan suatu pusat kegiatan maupun kemajuan, yang serentak harus melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia (GE 5).
2
Selain memperoleh kedewasaan, handal maupun kompeten secara akademik,
tetapi juga mengetahui apa yang dimaksud dengan learning (pendidikan ke arah
mengerti kehidupan) menjadi semakin jelas. Learning merupakan suatu pendekatan
atau suatu gerak menuju pengetahuan maupun kehidupan yang menekankan inisiatif
manusia. Inisiatif ditekankan karena perkaranya adalah penguasaan sekaligus
pengamalan metode-metode baru, keterampilan-keterampilan baru, sikap-sikap baru
dan nilai-nilai baru yang diperlukan untuk hidup dalam dunia yang cepat berubah.
Dengan demikian learning merupakan proses mempersiapkan diri menghadapi
situasi-situasi baru. Proses persiapan itu dapat terjadi secara sadar maupun tidak
sadar. Biasanya lewat mengalami situasi nyata, meskipun situasi buatan atau bayang
dapat menjadi sarana. Pendidikan dalam arti itu perlu mengingat perubahan situasi
yang serba cepat dan simultan yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Hal inilah
yang menantang bagi lembaga- lembaga pendidikan untuk menemukan diri dan
peranannya secara tepat untuk ikut masuk dalam proses learning (Banawiratma, SJ
1991: 67-68).
Kenyataannya sekolah-sekolah perlu mengadakan evaluasi terhadap sumbangan
yang diberikan kepada masyarakat sebagai satu-satunya lembaga yang sangat
dipercaya oleh masyarakat. Sangatlah wajar bila muncul keprihatinan terhadap
keadaan sekolah di Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini yang tidak kurang parah
dibanding dengan keadaan sosial, politik dan ekonomi. Indonesia pada tahun terakhir
ini menduduki peringkat terakhir dalam dunia pendidikan. Dalam harian KOMPAS,
September 2001 diberitakan bahwa Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Abdul
3
Malik Fajar pun mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia
terburuk di kawasan Asia. Penilaian tersebut merupakan hasil survey Political and
Economic Risk consultancy (PERC). Dari 12 negara yang disurvey oleh lembaga
yang berkantor pusat di Hongkong itu, menyebutkan bahwa Korea Selatan dinilai
memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina,
dan Malasya. Indonesia menduduki urutan ke-12 di bawah Vietnam (Suparno, 2002:
9-10). Tentu saja hal itu disebabkan oleh banyak faktor yang menghambat
tercapainya cita-cita sekolah yang sangat luhur. Sekolah tidak lagi dapat
menampilkan perannya menghasilkan manusia dewasa di tengah masyarakat, sebab
keberadaan sekolah sudah semakin ciut di hadapan masyarakat. Sekolah-sekolah
lebih banyak berorientasi kepada kuantitas, dan politik yaitu untuk mempertahankan
kekuasaan pemerintah dan para kapitalisme. Sekolah menampilkan wajah yang
kusam di hadapan masyarakat. Dengan situasi sekolah yang memprihatinkan itu
dituntut, agar sekolah mampu memperbaiki citranya di hadapan masyarakat, supaya
tujuan didirikannya sekolah dapat pulih kembali.
Sekolah, yang memposisikan diri sebagai wadah untuk menempa manusia-
manusia dewasa, mandiri dan kompeten adalah menjadi tantangan dan sekaligus
tanggungjawab yang sangat besar. Tetapi isu kurangnya ketanggapan sekolah akan
situasi itu memang sangat nyata saat ini. Kekerasan, tawuran antar pelajar, aborsi,
narkoba, adalah ulah dari anak-anak yang duduk di bangku sekolah. Bukan berarti
melulu hanya mereka yang memakai atribut sekolah akan tetapi perlu dipertanyakan
akan kehadiran sekolah di tengah masyarakat saat sekarang masihkah menampilkan
4
citra sekolah yang sebenarnya? Kalau demikian, output dari sekolah-sekolah zaman
sekarang berarti masih perlu dipertanyakan sejauhmana sekolah tampil sebagai wadah
pendidikan yang memanusiawikan manusia muda di tengah masyarakat dan
teristimewa dalam memasuki milenium ketiga.
Melihat kenyataan dan keprihatinan yang terjadi sekarang ini, Gereja merasa
turut bertanggungjawab dalam usaha membantu untuk memperbaiki situasi sosial
masyarakat, sebab Gereja tidak dapat lepas dari sifat keterbukaannya terhadap situasi
dunia sekitarnya. Kegembiraan dan harapan serta duka yang dialami dunia adalah
kegembiraan, harapan dan duka Gereja (GS 1).
Keterlibatan Gereja tersebut terwujud lewat kehadirannya dalam dunia
pendidikan. Bagi Gereja pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas
Gereja untuk mewartakan penyelamatan Allah Bapa kepada semua manusia (GE 3).
Maka kehadiran Gereja lewat sekolah-sekolah Katolik pun tidak dapat lepas dari
kenyataan yang terjadi dalam situasi pendidikan sekarang. Sekolah Katolik turut
ambil bagian di dalam maju tidaknya masyarakat lewat kehadiran karya pendidikan.
Sekolah Katolik turut terlibat dalam membina angkatan muda menuju kedewasaan
sebab sekolah Katolik adalah wujud dari kehadiran Gereja dalam masyarakat (GE 8).
Maka Sekolah Katolik sebagai salah satu alternatif dalam mewujudkan
kehadiran Gereja di tengah masyarakat dalam dunia persekolahan perlu untuk benar-
benar memahami makna kehadirannya (GE 8). Sekolah Katolik dipanggil untuk
mewartakan Kerajaan Allah berarti menampilkan kekhatolisitasnya di tengah
masyarakat yang plural. Diharapkan mampu menciptakan situasi yang mendukung
5
proses belajar siswa, kebebasan, cinta kasih, persaudaraan serta ilmu yang diterangi
oleh Injil. Sekolah Katolik harus dibangun berdasar pada panggilannya yakni
mewartakan Kerajaan Allah dan memfokuskan diri pada visi-misi sekolah agar output
yang dihasilkan sesuai dengan cita-cita dan tujuan diadakannya sekolah.
Dengan melihat kenyataan yang terjadi dalam dunia pendidikan sekarang ini, di
mana masih banyak terdapat hal-hal yang perlu didalami baik di dalam peningkatan
mutu, serta penghayatan terhadap makna sekolah di tengah masyarakat teristimewa
sekolah Katolik, penulis turut prihatin dengan kenyataan ini. Maka di dalam
penulisan ini, penulis mencoba mengangkat masalah ini dengan mengambil judul:
“Kehadiran Gereja dalam Sekolah Katolik Menurut Gravissimum Educationis di
SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.”
Banyak cara yang dipergunakan untuk mewujudkan kehadiran Gereja di tengah
masyarakat. Tetapi penulis mencoba memfokuskan pada bagaimana sekolah Katolik
sebagai salah satu alternatif di dalam menampilkan Gereja di tengah masyarakat
dalam dunia persekolahan mampu memaknai kehadirannya sebagai Gereja yang
mendidik. Dalam hal ini sekolah tentu saja mengacu pada pembangunan sekolah
berdasar pada panggilannya yakni mewartakan Kerajaan Allah seperti cita-cita konsili
Vatikan II. Konsili suci yang tetap berpegang teguh pada tugas Gereja yang
diterimanya dari pendiri Ilahinya yakni Kristus dengan pesannya: “Pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa, Anak,
dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintaahkan kepadamu” (Mat 28: 19-20).
6
B. PERUMUSAN MASALAH
Permasalahan pokok yang ingin dibahas oleh penulis dalam skipsi ini
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi pandangan dan pengarahan Gravissimum Educationis
mengenai Sekolah Katolik
2. Sejauhmana melalui pendidikan sekolah Katolik telah menampilkan kehadiran
Gereja sebagai Gereja yang mendidik di tengah masyarakat secara khusus di
Sekolah SMA Pangudi Luhur YogyKarta?
3. Sejauh mana Sekolah-Sekolah Katolik dibangun berdasar pada Visi Misi sekolah
dalam mewartakan Kerajaan Allah?
C. TUJUAN PENULISAN
Untuk lebih jelasnya tujuan penulisan “Kehadiran Gereja dalam Sekolah
Katolik Menurut Gravissimum Educationis di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta”
adalah:
1. Mengerti dan memahami secara benar makna Sekolah Katolik sebagai kehadiran
Gereja yang mendidik seturut pengarahan dokumen Gravissimum Educationis.
2. Menyumbangkan gagasan pemikiran berdasarkan dokumen Gravissimum
Educationis bagi sekolah SMA Pangudi Luhur guna meningkatkan perwujudan
Gereja di tengah masyarakat sekolah.
7
3. Untuk memenuhi persyaratan ujian kelulusan Sarjana Strata 1 di Program Studi
Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
D. MANFAT PENULISAN
1. Secara teoritis penulis memperoleh wawasan yang luas tentang teori sekolah
Katolik sebagai kehadiran Gereja yang mendidik menurut Gravissimum
Educationis.
2. Sedangkan secara praksis, penulis dapat menjadikan teori ini menjadi dasar untuk
mendalami semangat katolisitas sekolah Katolik dalam menghadirkan Gereja di
tengah masyarakat.
3. Bagi sekolah-sekolah Katolik, teristimewa SMA Pangudi Luhur Yogyakarta dapat
menjadi bahan refleksi untuk meningkatkan penghayatan terhadap makna
kehadiran sekolah Katolik sebagai kehadiran Gereja yang mendidik.
E. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan di dalam penyusunan skripsi ini adalah
metode deskriptif analisis, yaitu mendalami dokumen Gravissimum Educationis dan
perwujudannya dalam sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Selain itu
penulis juga berusaha mengembangkan refleksi pribadi dengan buku-buku yang
mendukung dari para ahli selama penulisan skripsi ini. Akhirnya menjadi bahan
8
refleksi bagi sekolah-sekolah Katolik dalam mewujudkan kehadiran Gereja di tengah
masyarakat melalui dunia pendidikan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan ini terdiri dari beberapa bab. Masing-masing bab membahas sesuai
dengan topik yang dibahas yaitu:
Bab I berisi tentang pendahuluan. Pada bab pendahuluan ini, penulis
menuliskan latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Dalam Bab II penulis membahas tentang Kehadiran Gereja. Penulis akan
menyampaikan tentang Arti Gereja, Berbagai Cara Menghadirkan Gereja serta
Pendidikan Sebagai Sarana Menghadirkan Gereja.
Kemudian Bab III membahas tentang Sekolah Katolik Menurut Gravissimum
Educationis. Pada bagian ini dibagi lagi menjadi beberapa bagian yakni: Sekolah
Katolik, Visi-misi Sekolah Katolik, Identitas Sekolah Katolik, Dimensi religius
Sekolah Katolik, Awam Katolik di Sekolah sebagai Saksi Iman serta Sekolah Katolik
sebagai Pewartaan/Kerygma.
Selanjutnya Bab IV membahas tentang Sekolah Katolik Sebagai Kehadiran
Gereja yang Mendidik. Bahasan ini akan difokuskan kepada Sekolah Katolik SMA
Pangudi Luhur Yogyakarta. Akan dikaji sejauhmana sekolah tersebut mengacu
kepada dokumen Gravissimum Educationis dengan mempelajari pedoman kerja
sekolah tersebut. Bagian-bagian yang akan didalami dalam bahasan ini yakni:
9
Sekolah SMA Pangudi Luhur Yogyakarta dengan visi-misinya, Identitas sekolah,
Peranan Guru dan siswa serta Sekolah SMA Pangudi Luhur sebagai Tempat
Pewartaan. Dengan mengambil contoh kasus sekolah SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta, dapat diharapkan akan lebih mudah memahami kondisi sekolah Katolik
yang lain.
Pada Bab V penulis akan memberikan sumbangan Pemikiran dalam Upaya
Peningkatan Penghayatan Profesi Pendidik sebagai Panggilan. Berbagai cara yang
ditawarkan yakni: Studi bersama tentang dokumen, Sarasehan-sarasehan, Seminar,
Retret dan Rekoleksi serta Katekese sebagai tindak lanjut. Dengan demikian para
guru dapat menampilkan kekatolisitasan sekolah dan mampu menampilkan wajah
Gereja yang sesungguhnya.
Akhirnya Bab VI sebagai bagian penutup guna mengakhiri rangkaian
penulisan skripsi ini. Pada bagian ini penulis memberi kesimpulan dari karya tulis ini
serta memberikan beberapa saran untuk meningkatkan perwujudan kehadiran Gereja
di tengah masyarakat.
10
BAB II
KEHADIRAN GEREJA
Gereja dalam mewujudkan kehadirannya di tengah masyarakat tentu
mempunyai banyak cara maupun sarana yang digunakan, seperti melalui sarana
pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan, komunikasi sosial maupun dalam bentuk-
bentuk lain yang bertujuan memberi kesaksian atas kehadiran Gereja di tengah
masyarakat. Pada prinsipnya Gereja memiliki sifat terbuka terhadap semua orang
dalam menjalankan perutusannya yaitu mewartakan karya keselamatan Allah. Maka
dalam bab II ini akan dibahas tentang arti Gereja sesungguhnya, cara kehadiran
Gereja serta pendidikan sebagai salah satu cara Gereja mewujudkan kehadirannya
secara khusus dalam sekolah Katolik. Gereja memandang bahwa pendidikan sebagai
tempat yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai cinta kasih, persaudaraan
serta memperkenalkan Kristus dan ajaran-Nya di tengah masyarakat dengan tujuan
mewartakan karya keselamatan Allah Bapa kepada semua orang.
A. Gereja
1. Gereja sebagai Cahaya Dunia
Kata ‘Gereja’ berasal dari kata igreja. Kata tersebut adalah ejaan Portugis untuk
kata latin ecclesia yang berasal dari bahasa Yunani, eklesia. Yang berarti ‘kumpulan’
atau ‘pertemuan’ atau ‘rapat’. Tetapi Gereja bukan sembarang kumpulan melainkan
kelompok orang yang secara khusus (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 332).
11
Dalam terjemahan Yunani Perjanjian Lama pertemuan yang dimaksud adalah
pertemuan bangsa terpilih di hadapan Allah, terutama untuk pertemuan di Sinai, di
mana Israel menerima hukum dan dijadikan oleh Allah sebagai bangsa-Nya yang
kudus (Katekismus Gereja Katolik, 1995: 227). Kadang-kadang juga dipakai kata
jemaat atau umat untuk menyebut Gereja itu. Akan tetapi lebih sering memakai kata
gereja yakni ekklesia. Kata Yunani itu berasal dari kata yang berarti ‘memanggil’.
Gereja adalah umat yang dipanggil Tuhan. Itulah arti sesungguhnya kata Gereja.
Gereja perdana memandang diri sebagai pengganti pertemuan ini dan karena itu
menamakan diri sebagai Gereja. Di dalam Gereja Allah mengumpulkan bangsa-Nya
dari segala ujung bumi (Katekismus Gereja Katolik, 1995: 227).
Dalam situasi zaman sekarang yang menimbulkan keadaan umat manusia serba
baru, Gereja diharapkan menjadi terang dunia (Mat 5: 13-14). Gereja dipanggil untuk
menyelamatkan manusia dan memperbaharui semua ciptaan supaya diperbaharui
dalam Kristus, dan dalam Kristus semua orang menjadi satu keluarga Umat Allah
(AG 1). Dalam kontitusi tentang Gereja ditegaskan bahwa Gereja ingin menerangi
semua orang dengan cahaya Kristus, dengan mewartakan Injil kepada semua mahkluk
(Mrk 16:15). Dikatakan, Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda
dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Dalam
hal ini Gereja bermaksud menyatakan kepada umatnya yang beriman dan kepada
seluruh dunia, hakekat dan perutusannya bagi semua orang supaya semua orang
tergabung secara lebih erat berkat pelbagai hubungan sosial, teknis, dan budaya,
memperoleh kesatuan sepenuhnya dalam Kristus (LG 1).
12
Gereja meyakini “Bapa menetapkan, bahwa Ia akan mengangkat manusia untuk
ikut serta menghayati hidup ilahi. Ke situlah Ia memanggil semua manusia dalam
Putera-Nya” (Katekismus Gereja Katolik, 1995: 228). Semua orang, yang sebelum
zaman telah dipilih oleh Bapa, telah dikenal-Nya dan ditentukan-Nya sejak semula,
untuk menyerupai citra-Nya, supaya Dialah yang menjadi sulung di antara banyak
saudara (Rom 8: 29). Gereja sudah sejak awal dunia telah dipralambangkan, serta
disiapkan dalam sejarah bangsa Israel dan dalam Perjanjian Lama. Gereja didirikan
pada zaman akhir, ditampilkan berkat pencurahan Roh, dan akan disempurnakan pada
akhir zaman (LG 2, LG 4). Gereja sudah dipralambangkan sejak awal dunia
maksudnya bahwa “Dunia diciptakan demi Gereja”, demikian ungkapan orang-orang
kristen angkatan pertama (Hermas). Allah memangil manusia untuk mengambil
bagian dalam kehidupan ilahi-Nya. Keikutsertaan ini terjadi karena manusia-manusia
dikumpulkan dalam Kristus dan “kumpulan” ini adalah Gereja (Katekismus Gereja
Katolik, 1995: 229). Sedangkan Gereja disiapkan dalam Perjanjian Lama maksudnya
pengumpulan umat mulai saat dosa menghancurkan persekutuan manusia dengan
Allah dan sesama. Pengumpulan Gereja boleh dikatakan reaksi Allah atas kekacauan
yang disebabkan dosa. Persatuan kembali ini terjadi secara diam-diam dalam segala
bangsa: Allah, Bapa kita, menerima “dalam setiap bangsa… setiap orang yang takut
akan Dia dan melakukan apa yang benar” (Kis 10: 35). Persiapan jarak jauh dari
pengumpulan Umat Allah, mulai dengan panggilan Abraham, kepada siapa Allah
menjanjikan bahwa Ia akan menjadi bapa suatu bangsa besar. Persiapan langsung
13
mulai dari pemilihan Israel sebagai Umat Allah (Katekismus Gereja katolik, 1995:
229).
Maka datanglah Putera. Ia diutus oleh Bapa, yang sebelum dunia terjadi telah
memilih kita dalam Dia, dan menentukan bahwa kita akan diangkat-Nya menjadi
putera-putera-Nya (LG 3). Kemudian diperlengkapi dengan karunia-karunia, dan
yang setia mematuhi perintah-perinyah-Nya tentang cinta kasih, kerendahan hati, dan
ingkar diri, menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Allah, dan
mendirikannya di tengah semua bangsa. Gereja merupakan benih dan awal dari
kerajaan itu di dunia (LG 5). Ia tiada hentinya memelihara Gereja. Melalui Gereja Ia
melimpahkan kebenaran dan rahmat kepada semua orang (LG 8). Gereja itu serentak
merupakan: ”serikat yang dilengkapi dengan jabatan hirarkis dan Tubuh Mistik
Kristus, kelompok yang tampak dan persekutuan rohani, Gereja di dunia dan Gereja
yang diperkaya dengan karunia-karunia surgawi”. Kedua aspek itu serikat yang
dilengkapi dengan jabatan hirarkis dan tubuh Mistik Kristus merupakan satu
kenyataan yang kompleks, dan terwujud karena perpaduan unsur manusiawi dan
ilahi” (Katekismus Gereja Katolik, 1995: 232). Hal yang sama juga ditegaskan
kembali SC:
Gereja sekaligus bersifat manusiawi dan ilahi, kelihatan namun penuh
kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun
meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai
musafir. Dan semua itu berpadu sedemikian rupa, sehingga dalam Gereja apa
yang insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan
kepada yang tidak tampak, apa yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi,
dan apa yang ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang kita cari
(SC 2).
14
Kristus melaksanakan karya penebusan bagi Umat Allah yang datang dalam
kemiskinan dan penganiayaan, maka Gereja juga dipanggil untuk menempuh jalan
yang sama, supaya menyalurkan buah-buah keselamatan kepada manusia. Gereja,
kendati memerlukan upaya-upaya manusiawi untuk menunaikan perutusan-Nya,
didirikan bukan untuk mengejar kemuliaan duniawi melainkan untuk
menyebarluaskan kerendahan hati dan pengingkaran diri juga melalui teladannya.
Gereja melimpahkan cinta kasihnya kepada semua orang yang terkena oleh
kelemahan manusiawi. Dalam mereka yang miskin dan menderita Gereja mengenali
citra Pendirinya yang miskin dan menderita, berusaha meringankan kemelaratan
mereka, dan bermaksud melayani Kristus dalam diri mereka (LG 8).
2. Gereja Sebagai Tubuh Mistik Kristus
Kata “tubuh mistik” baru dipakai dalam teologi untuk Gereja sejak kira-kira
tahun 1160. Sebelumnya istilah tubuh mistik dipergunakan untuk Ekaristi. Di situ
kata mistik hampir sama dengan sakramentil. Ekaristi adalah tubuh Kristus dalam
bentuk sakramentil. Gereja sebagai tubuh Kristus dibentuk karena tubuh Kristus yang
hadir dalam ekaristi. Oleh karena itu Gereja lama kelamaan juga disebut tubuh mistik
karena dibentuk dengan sakramen ekaristi. Thomas Aquino berkata: “tubuh mistik
Gereja” sebagai ganti tubuh mistik Kristus. Tubuh Gereja itu masih disebut mistik,
karena yang menjadikan Gereja itu suatu bebadan bukanlah pertama susunan
iurisdisnya, tetapi kesatuannya dengan Kristus yang mistik atau adikodrati. (Jacobs,
1970: 182-183).
15
Sebutan yang khas Kristiani adalah Tubuh Kristus. Paulus menjelaskan maksud
kiasan itu:
Sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak segala anggota itu,
sekalipun banyak, merupakan satu tubuh demikian pula Kristus. Sebab dalam
satu Roh kita semua, baik orang Yahudi maupun orang Yunani, baik budak
maupun orang merdeka, telah dibabtis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi
minum dari satu Roh (1 Kor 12: 12-13).
Dengan gambaran “tubuh”, Paulus mau mengungkapkan kesatuan jemaat,
kendatipun ada aneka karunia dan pelayanan (1 Kor 12: 7). Dan kesatuan itu ada
dalam Kristus: “kita yang banyak merupakan satu tubuh dalam Kristus (Jacobs, 1970:
190). Gereja itu satu. Ia menegaskan, bahwa “mata tidak dapat berkata kepada
tangan: aku tidak membutuhkan engkau” (1 Kor 12: 21). Sebab “tubuh tidak berdiri
dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota” (1 Kor 12: 14). Maka dapat ditarik
kesimpulan: “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan masing-masing adalah
anggotanya” (1Kor 12: 27). Hal yang sama juga dikatakan dalam surat kepada umat
di Roma (12: 4-5). Kesatuan dalam Kristus dikerjakan oleh Roh Kudus dan
khususnya melalui sakramen permandian. (Jacobs, 1970: 190).
Kemudian dalam surat Paulus kepada umat di Kolese dan Efesus gagasan ini
dikembangkan lebih lanjut. “Jemaat adalah tubuh Kristus, yaitu kepenuhan Dia, yang
memenuhi semua dan segala sesuatu” (Ef 1: 23). Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat
(Kol 1: 18, 24). Yang dimaksudkan bukanlah kesatuan para anggota jemaat,
melainkan kesatuan jemaat dengan Kristus. Oleh karena itu Kristus juga disebut
“kepala” Gereja (Ef 1: 22; 4: 15; Kol 1: 18). Hal itu jelas dari Ef 4: 16:
16
“Kristus adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh yang rapi tersusun dan
diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar
pekerjaan tiap-tiap anggota menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya
dalam kasih”.
Dengan gambaran tubuh mau dinyatakan kesatuan hidup antara Gereja dan
Kristus. Gereja hidup dari Kristus, dan dipenuhi oleh daya ilahi-Nya (Kol 2: 10).
Gereja menerima pertumbuhannya dari Kristus yang adalah kepala (Konferensi
Waligereja Indonesia, 1996: 335). Dari Kristuslah “berasal pertumbuhan ilahi seluruh
tubuh yang dipelihara dan ditegakkan oleh sendi dan jaminan” (Kol 2: 19). Di dalam
tubuh-Nya yaitu Gereja, Ia senantiasa menyediakan anugerah-anugerah pelayanan.
Berkat anugerah ini dan didorong oleh kekuatan-Nya, kita dapat saling melayani
supaya selamat. Dengan menegakkan kebenaran dalam cinta kasih, kita berkembang
dalam segala keadaan menuju Dia, Sang Kepala kita (Heuken, 1987: 74). Ia
menambahkan bahwa Roh Kudus yang satu dan sama dalam Kepala dan dalam
semua anggota, memberikan hidup kepada seluruh tubuh, mempersatukan dan
menggerakkannya (Heuken, 1987: 74).
Inti sari hidup Gereja sebagai tubuh Kristus adalah kesatuan dengan Kristus.
Dan kesatuan itu adalah kesatuan dalam iman dan Roh Kudus yang dinyatakan dalam
sakramen, khususnya permandian dan ekaristi (Jacobs, 1970: 190).
Gereja adalah tubuh Kristus karena mengambil bagian dalam hidup Kristus:
tekanan ada pada Kristus bukan pada tubuh. Gereja disebut tubuh Kristus karena
Kristus menghidupkan dan mempersatukan para anggotanya. Kepala Tubuh ialah
Kristus. Dialah citra Allah yang tak kelihatan, di dalam Dia segala sesuatu dijadikan.
17
Ia ada sebelum semua yang lain, dan segala sesuatu berada dalam Dia. Dialah kepala
tubuh yaitu Gereja. Ia adalah awal, Putera sulung antara mereka yang meninggal, agar
Ia unggul dalam segala-galanya (Kol 1: 15-18). Dengan kekuasaan-Nya Ia
memerintah surga dan bumi dan dengan kesempunaan serta karya-Nya yang maha
mulia Ia memenuhi seluruh Tubuh dengan segala nilai kemuliaan-Nya (Heuken,
1987: 73).
Perlu diketahui bahwa perbedaan yang ada pada Gereja dikerjakan oleh satu
Roh yang sama, yang mempergunakan semua itu demi perkembangan Gereja
seluruhnya: “Ada satu Roh yang menyebarkan bermacam-macam karunia-Nya
sekadar kekayaan-Nya dan menurut kebutuhan pelayanan bagi kemanfaatan Gereja”
(Jacobs, 1970: 191).
Paulus menyebut Gereja “Tubuh Kristus”, yang dimasudkan adalah Gereja
sebagai organisme yang hidup karena daya kekuatan Kristus. Gereja adalah tubuh
Kristus dan Kristus sebagai Kepala, hal itu berarti bahwa: Kristus dan Gereja-Nya
tidak dapat dipisahkan lagi (EF 1: 22-23), sekaligus juga dinyatakan bahwa Gereja
harus tunduk kepada Kristus (Ef 1: 22-23; 5: 23-24). Dan hidup dari Kristus (Ef 4:
15-16; Kol 1: 18) tetapi juga dicintai dan dipelihara oleh Kristus (Ef 5: 29-30).
Berdasarkan semua itu akhirnya tetap diungkapkan kesatuan tubuh (Ef 3: 6; 4: 3-4,
11-16; Kol 3: 15). Kesatuan kita dalam Kristus adalah kesatuan dalam iman dan Roh
Kudus yang mengungkapkan diri dalam sakramen: kamu telah dikuburkan bersama
Dia dalam permandian dan telah dibangkitkan bersama dengan-Nya berdasarkan
kepercayaanmu akan kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang
18
mati (Kol 2: 12); satu tubuh dan satu Roh,… satu Tuhan, satu kepercayaan, satu
permandian, satu Allah… (Ef 4: 4-6). Semakin jelas bahwa Gereja tidak merupakan
“tubuh” karena anggota-angggotanya mempunyai tubuh sehingga Gereja menjadi
lembaga sosial. Gereja adalah “tubuh” karena berupa tempat di mana hidup Kristus
disampaikan kepada kita (Jacobs, 1970: 192-193).
Peranan pokok semua anggota tubuh, semua anggota harus menjadi serupa
dengan Dia sampai Kristus terbentuk di dalam mereka (Gal 4: 19). Oleh sebab itu kita
diterima ke dalam misteri-misteri kehidupan-Nya di dunia ini. Kita disamakan dengan
Dia, bersama-sama mati dan bersama-sama bangkit, sampai bersama-sama
memerintah dengan Dia (Fil 3: 21; 1 Tim 2: 11; Ef 2: 6; Kol 2: 12). Selagi masih
berkelana di dunia dan mengikuti jejak-Nya dalam percobaan dan penindasan, kita
menggabungkan derita kita dengan derita Dia sebagaimana tubuh bergabung dengan
kepala. Kita menderita bersama Dia, agar jaya bersama Dia pula (Heuken, 1987: 75).
Dalam Kitab suci mengenai tubuh Kristus berbicara mengenai Kristus yang
mulia. Tuhan yang mulia “dengan mengaruniakan Roh-Nya secara gaib membentuk
orang beriman menjadi tubuh-Nya” (LG 6). Dia yang dalam Injil Yohanes telah
bersabda: “apabila Aku ditinggikan dari bumi, aku akan menarik semua orang datang
kepada-Ku” (Yoh 12: 32).
Dalam arti sesungguhnya, proses pembentukan tubuh baru mulai dengan
peninggian Yesus, yakni dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Tetapi bukan berarti
bahwa sabda dan karya Yesus sebelumnya tidak ada sangkut pautnya dengan
pembentukan Gereja. Tetapi Gereja berakar dalam seluruh sejarah keselamatan
19
Tuhan, dan terbentuk secara bertahap. Dalam proses pembentukan itu wafat dan
kebangkitan Kristus, beserta pengutusan Roh Kudus, merupakan peristiwa-peristiwa
yang paling menentukan (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 336). Sebelumnya
sudah ada kejadian yang amat berarti, misalnya panggilan kedua belas rasul dan
pengangkatan Petrus menjadi pemimpin mereka. “Engkaulah Petrus dan di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku” (Mat 16: 18).
Kendatipun penugasan Petrus dikaitkan secara langsung dengan Gereja, yang
sesungguhnya dibicarakan bukanlah Gereja melainkan Petrus dan perannya. Maka
akhirnya memang tidak ada satu peristiwa atau kisah yang secara khusus
menceritakan bagaimana Yesus mendirikan Gereja-Nya. Gereja berkembang dalam
sejarah keselamatan Allah. Oleh karena itu Gereja sekarang masih tetap pada
perjalanan menuju kepenuhan rencana Allah. Gereja bukan tujuan, melainkan sarana
dan jalan yang mengarah kepada tujuan yakni Allah sendiri (Konferensi waligereja
Indonesia, 1996: 337).
3. Gereja Sebagai Umat Allah
Kata Umat Allah merupakan istilah dari Perjanjian Lama yang dipakai dalam
Perjanjian Baru. Yang paling menonjol dalam sebutan ini adalah bahwa Gereja itu
umat terpilih Allah (1 Ptr 2: 9). Konsili Vatikan II sebutan “Umat Allah” amat
dipentingkan yaitu untuk menekankan bahwa Gereja bukanlah pertama-tama suatu
organisasi manusiawi melainkan perwujudan karya Allah yang konkret (LG 9).
20
Tekanan ada pada pilihan dan kasih Allah (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996:
333).
Demikianlah Ia telah memilih bangsa Israel sebagai umat-Nya: Ia mengadakan
perjanjian dengannya dan mengajarnya langkah demi langkah, dengan
mengungkapkan Diri-Nya serta kehendak-Nya dalam sejarah bangsa itu dan
dengan menguduskannya bagi Diri-Nya. Semuanya ini terjadi sebagai persiapan
dan lambang untuk suatu perjanjian yang baru dan sempurna, yang akan
diadakan dalam Kristus; pula sebagai persiapan serta lambang bagi wahyu yang
lebih lengkap dan yang akan disampaikan oleh Sabda Allah sendiri yang
menjadi manusia (Heuken, 1987: 70).
Umat Israel disebut sebagai bangsa pilihan dan Allah mengikat suatu perjanjian
yaitu: Aku akan menaruh taurat-Ku dalam batin mereka, dan mereka akan
menuliskannya dalam hati mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka
akan menjadi umat-Ku. Sebab semua akan mengenal Aku mulai dari yang terkecil
hingga yang terbesar. Itulah firman Tuhan (Yer 31: 31-34).
Mengingat bahwa Gereja adalah sebagai umat terpilih Allah yang dimulai sejak
dari bangsa Israel, Gereja adalah kelompok dinamis yang keluar dari sejarah Allah
dengan manusia. Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan, yang sudah
dimulai dengan panggilan Abraham. Dengan demikian Gereja mengalami dirinya
sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1). Sekaligus
juga Gereja itu majemuk: “Dari bangsa Yahudi maupun kaum kafir, Allah memanggil
suatu bangsa, yang bersatu padu bukan menurut daging, melainkan dalam Roh” (LG
9). Konsili Vatikan II melihat Gereja dalam rangka sejarah keselamatan, tetapi tidak
berarti bahwa Gereja hanyalah lanjutan bangsa Israel saja akan tetapi kedatangan
21
Kristus memberikan arti yang baru kepada umat Allah (Konferensi Waligereja
Indonesia, 1996: 333).
Dalam Perjanjian Lama Tuhan bersabda: “Jika kamu sungguh mendengarkan
firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta
kesayangan-Ku sendiri dari segala bangsa” (Kel 19: 5). Hubungan ini sering
dirumuskan secara singkat oleh para nabi: “Aku akan menjadi Allah mereka dan
mereka akan menjadi umat-Ku” (Yer 7: 23; 11: 4; 24: 7; 30: 33; 31: 1, 33). Kata-kata
itu diulangi lagi dalam Perjanjian Baru, “Kita adalah bait dari Allah yang hidup,
menurut firman Allah ini: Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di
tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan
menjadi umat-Ku” (2 Kor 6: 16, Ibr 8: 10; Why 21: 3). Dalam kesadaran Perjanjian
Baru hal ini justru terlaksana dalam Kristus. Dia adalah Immanuel, yang berarti Allah
beserta kita” (Mat 1: 23), “sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh
kepenuhan ke-Allah-an” (Kol 2: 9). Yohanes menjelaskan lebih lanjut: Demikianlah
kita ketahui, bahwa kita di dalam Allah dan Allah di dalam kita: kita telah
diperbolehkan mengambil bagian dalam Roh-Nya” (Konferensi Waligereja
Indonesia, 1996: 333-334).
Dari pengalaman Roh, kita mengetahui bahwa Allah ada di dalam diri kita.
Sejarah keselamatan, yang dimulai dengan panggilan Abraham, berjalan terus dan
menacapai puncaknya dalam wafat dan kebangkitan Kristus serta pengutusan Roh
Kudus. Maka Gereja bukan hanya lanjutan umat Allah yang lama, tetapi terutama
22
kepenuhannya, karena sejarah keselamatan Allah berjalan dan Allah memberikan
dengan semakin sempurna (1 Kor 15: 28).
Dalam eskatologisnya Gereja bukan hanya sebagai “Gereja musafir” tetapi
suatu gerakan yang “melalui Kristus dalam satu Roh menemukan jalan kepada Bapa”
(LG 4) yakni umat Allah. Gereja yang dipanggil dan dipersatukan dalam satu Roh itu
menjadi tanda kesatuan Kristus dengan umat-Nya. Kesatuan dengan Kristus itu bukan
pertama-tama kesatuan organisatoris, melainkan kesatuan dalam iman. Maka faham
Gereja sebagai umat Allah tidak hanya menempatkan Gereja dalam kerangka sejarah
keselamatan, tetapi sekaligus juga menghapus sifat piramidal Gereja, yang
menempatkan hirarki di atas seluruh umat (Jacobs, 1987: 24). “Satulah umat Allah
terpilih, samalah martabat para anggotanya” (LG 32).
Ciri khas Umat Allah memiliki martabat dan kemerdekaan putera-puteri Allah,
karena Roh Kudus berdiam dalam hati mereka bagaikan bait (Heuken, 1987: 72).
Jacobs menambahkan kesatuan dengan Allah serta kesucian berdasarkan kesatuan itu
adalah ciri khas dari faham umat Allah juga kerinduan akan kepenuhan ilahi (Jacobs,
1970: 224). Sebagai hukum Umat ini memiliki perintah baru, yaitu mencinta seperti
Kristus yang telah mencintai kita (Yoh 13: 34). Tujuan Umat ini adalah Kerajaan
Allah, yang telah dimulai oleh Allah sendiri di bumi, dan yang harus diperluas terus
sampai disempurnakan oleh-Nya pada akhir zaman (Heuken, 1987: 72).
Umat Allah yang kudus mengambil bagian dalam jabatan Kristus sebagai Nabi
dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentang Dia. Terutama dilaksanakan
dengan hidup beriman dan mengasihi, dan dengan mempersembahkan kepada Allah
23
kurban pujian bibir yang mengakui nama-Nya (Heuken, 1987: 72). Umat Allah
mengambil bagian dalam jabatan Kristus sebagai Raja, dengan memperluas kerajaan-
Nya yaitu Kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kekudusan dan rahmat,
kerajaan keadilan, cinta kasih, dan perdamaian. Dengan menyangkal diri dan hidup
khusus mengalahkan kerajaan dosa dalam diri mereka (Rom 6: 12). Mereka
mengabdi kepada Kristus dalam orang lain, dan mengantar saudara-saudari mereka
dengan rendah hati dan sabar ke pada Sang Raja (Heuken, 1987: 148). Sedangkan
Umat Allah mengambil bagian dalam imamat Kristus dengan melaksanakan ibadat
rohani demi kemualian Allah dan keselamatan manusia (Heuken, 1987: 145-146).
4. Gereja yang Hirarkis
Kristus Tuhan, mengadakan aneka pelayanan, untuk menggembalakan dan
mengembangkan Umat Allah dengan tujuan demi kesejahteraan Tubuh. Para pelayan,
yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani semua yang termasuk Umat Allah, dan
karena itu mempunyai martabat kristiani sejati, dengan bebas dan teratur bekerjasama
untuk mencapai kesejahteraan Tubuh dengan demikian mencapai keselamatan (LG
18).
Konsili suci mengajarkan dan menyatakan, bahwa Yesus Kristus Gembala
kekal telah mendirikan Gereja kudus, dengan mengutus para Rasul seperti Ia sendiri
diutus oleh Bapa-Nya (Yoh 20: 21). Pengganti para Rasul itu yakni, para Uskup
dikehendaki-Nya untuk menjadi gembala dalam Gereja-Nya sampai akhir zaman.
Yesus Kristus mengangkat St. Petrus menjadi ketua para Rasul supaya Episkopat itu
24
tetap satu dan tak terbagi. Dalam diri Petrus, Yesus Kristus menetapkan adanya azas
dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan. Sekaligus juga
ajaran tentang penetapan, kelestarian, kuasa dan primat kudus Imam agung dan
weweng mengajarnya yang tak dapat sesat agar diimani dengan teguh (LG 18).
Yesus memanggil dan mengangkat kedua belas murid-Nya yang kemudian
diutus untuk mewartakan Kerajaan Allah. Para rasul itu dibentuk-Nya menjadi
semacam dewan atau badan tetap. Sebagai ketua dewan diangkat-Nya Petrus. Ia
mengutus mereka pertama-tama kepada umat Israel dan kemudian kepada semua
bangsa (Rom 1: 16), supaya mereka mengambil bagian dalam kekuasaan-Nya,
menjadikan semua bangsa murid-murid-Nya, serta menguduskan dan memimpin
mereka (Mat 28: 16-20; Mrk 16: 15; Luk 24: 45-48; Yoh 20: 21-23). Dan pada hari
Pentakosta mereka diteguhkan sepenuhnya dalam perutusan (Kis 2: 1-36).
Para Uskup sebagai pengganti para Rasul menerima tugas melayani jemaat
bersama dengan para pembantu mereka yakni para imam, dan diakon. Sebagai wakil
Allah mereka memimpin kawanan yang mereka gembalakan yakni sebagai guru
dalam ajaran, imam dalam ibadat suci, dan pelayan dalam bimbingan (tri tugas
Yesus) (LG 20). Dalam menunaikan tugas itu para rasul diperkaya dengan
pencurahan Roh Kudus, yang turun dari Kristus (Kis 1: 8; 2: 4; Yoh 20: 22-23).
Dengan penumpangan tangan mereka sendiri meneruskan kurnia rohani itu kepada
para pembantu mereka. Kurnia itu sekarang ini disalurkan melalui tahbisan Uskup
(LG 21).
25
Imam Agung di Roma, sebagai pengganti Petrus menjadi azas dan dasar yang
kekal dan kelihatan bagi kesatuan para Uskup maupun segenap kaum beriman.
Masing-masing Uskup menjadi azas dan dasar bagi kesatuan Gereja khsususnya yang
terbentuk menurut citra Gereja semesta. Jadi Uskup setempat mewakili Gerejanya
sendiri, sedangkan semua Uskup bersama Paus mewakili seluruh Gereja dalam ikatan
damai, cinta kasih dan kesatuan. Semua Uskup itu wajib memajukan dan melindungi
kesatuan iman dan tata tertib yang berlaku umum bagi segenap Gereja, mendidik
umat beriman untuk mencintai seluruh Tubuh Kristus yang mistik, terutama para
anggota yang miskin serta bersedih hati, dan mereka yang menanggung penganiayaan
demi kebenaran (Mat 5: 10) dan akhirnya memajukan segala kegiatan yang umum
bagi Gereja supaya iman mereka berkembang dan cahaya kebenaran yang penuh
terbit bagi semua orang (LG 23).
5. Gereja yang Berziarah
Gereja bukan Kerajaan Allah melainkan menuju Kerajaan Allah. Gereja masih
dalam perjalanan (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 461). Van Der Heijden
menambahkan bahwa: “Gereja tidak sama dengan Kerajaan Allah, tetapi wujud
kelihatan dari Kerajaan Allah. Dengan kata lain bahwa Kerajaan Allah masih belum
penuh, Gereja masih menantikan pemenuhan Kerajaan Allah (Van Der Heijden,
1995: 14).
Untuk lebih memahami konsep Gereja yang sedang berziarah, ada tiga istilah
yang digunakan oleh Van Den Heiden. Isilah tersebut adalah:
26
Pertama, Perjalanan. Kata ini menunjuk kepada segi eskatologis keselamatan, bahwa
Gereja ada dalam proses menuju kepenuhannya.
Gereja itu baru akan mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di sorga, bila
akan tiba saatnya segala sesuatu diperbaharui (Kis 3: 21), dan bila bersama
dengan umat manusia semesta pun, yang berhubungan erat dengan manusia dan
bergerak ke arah tujuannya melalui manusia, akan diperbaharui secara sempuna
dalam kristus (LG 48).
Dalam perjalanan ini, Gereja masih mengalami jatuh bangun dan berjuang
bersama manusia yang berkehendak baik membangun Kerajaan Allah. Gereja
belumlah sempuna. Maka, LG 48 ini menegaskan bahwa Gereja baru akan mencapai
kepenuhannya dan kemuliaan di surga.
Kedua, menyongsong. Dalam pengertian ini Gereja bersikap aktif. Artinya
Gereja selalu mempersiapkan diri untuk menyongsong kedatangan Anak Manusia.
Maka kita berusaha untuk dalam segalanya berkenan kepada Tuhan (2 Kor 5:
9). Dan kita kenakan perlengkapan senjata Allah, supaya kita mampu bertahan
menentang tipu muslihat iblis serta mengadakan perlawanan pada hari yang
jahat (Ef 6: 11-13). Tetapi karena kita tidak mengetahui hari maupun jamnya,
atas anjuran Tuhan kita wajib berjaga-jaga terus-menerus, agar setelah
mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia hanya satu kali saja (Ibr 9: 27), kita
bersama dengan-Nya memasuki pesta pernikahan, dan pantas digolongkan pada
mereka yang diberkati (Mat 25: 31-46), dan supaya janganlah kita seperti
hamba yang jahat dan malas (Mat 25: 26) diperintahkan enyah ke dalam api
yang kekal (Mat 25: 41), ke dalam kegelapan di luar, tempat “ratapan dan
kertakan gigi” (LG 48).
Gereja dalam menyongsong kedatangan Anak Manusia berada dalam keteguhan
iman mendambakan “pengharapan yang membahagiakan serta pernyataan kemuliaan
Allah dan penyelamat kita yang mahaagung, Yesus Kristus” (Tit 2: 13, “yang akan
mengubah tubuh yang hina hingga menyerupai tubuh-Nya yang mulia” (Flp 3: 21),
27
dan yang akan datang “untuk dimuliakan di antara para kudus-Nya, dan untuk
dikagumi oleh semua orang beriman (LG 48).
Ketiga, Anak Manusia. Digunakan istilah Anak Manusia karena dalam tradisi
apokaliptik Yahudi, Anak Manusia adalah tokoh zaman akhir yang akan datang
menegakkan Kerajaan Allah. Jadi lebih menunjuk segi eskatologis.
B. Kehadiran Gereja
Setelah pembahasan tentang Gereja dan siapa Gereja itu, selanjutnya dalam
bahasan berikut akan dibahas mengenai bagaimana Gereja mewujudkan diri dan
hakikatnya. Gereja dalam mewujudkan hakikat dirinya tentu menampilkan wujud
yang beraneka ragam. Gereja menampilkan dirinya sebagai sakramen keselamatan,
menyatu dengan peziarahan manusia, mewartakan keselamatan dan sekaligus menjadi
kekuatan dan cahaya yang membawa terang dan pembebasan.
Tujuan kehadiran Gereja yang fundamental adalah pelayanan demi Kerajaan
Allah. Gereja ada bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk mengabdi dan melayani
proyek kerajaan Allah, yang mengatasi batas-batas kenyataan dan tindakan Gereja.
Proyek Kerajaan Allah adalah rencana Allah untuk menyalamatkan umat manusia
secara integral, yang dalam Kristus dan dengan perantaraan Roh Kudus dilaksanakan
dalam sejarah. Tujuan proyek Kerajaan Allah adalah pembebasan dan perkembangan
umat manusia secara integral. Bagi Gereja kehadiran dan perwujudan Kerajaan Allah
merupakan puncak kerinduan dan acuan semua tindakannya (Adisusanto, 2000: 13).
28
1. Sebagai Sakramen Keselamatan
Memahami Gereja sebagai sakramen keselamatan, akan bertitik tolak dari
beberapa hal berikut:
a. Latar belakang
Konstitusi Gereja LG 1 mengatakan “Gereja itu dalam Kristus bagaikan
sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh
umat manusia.” Konsili Vatikan II mengambil kata itu untuk menghindari paham
Gereja yang terlalu institusional. Dalam masa Konsili Vatikan I, Gereja terutama
dilihat sebagai organisasi dan lembaga yang didirikan oleh Kristus. Dalam pandangan
itu diberi tempat yang amat penting kepada hirarki, Paus, Uskup, dan Imam sebagai
pengganti Kristus yang harus meneruskan tugas-Nya di dunia. Konsili Vatikan II
tidak mau menonjolkan segi institusional Gereja ini, kendatipun tidak
menyangkalnya. Konsili Vatikan II, khususnya dalam konstitusi Lumen Gentium,
lebih menonjolkan misteri Gereja sebagai tempat pertemuan antara Allah dan
manusia (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 338). Dengan “misteri” tidak
semata-mata dimaksudkan “sesuatu yang penuh teka-teki”, melainkan sesuatu yang
berkaitan dengan rencana Allah, atau lebih tepatnya rencana Allah terhadap manusia.
Tentu saja “Allah” dan “manusia” adalah dua kenyataan yang mengandung banyak
hal yang tidak bisa dimengerti akan tetapi Allah ingin membangun relasi dengan
manusia dalam dunianya, di dalam dinamika ke arah persatuan yang seerat mungkin.
(Putranta, 1998: 62). Kata “misteri” ini tidak bisa dilepaskan dari kata “sakramen”.
29
Dan kedua kata ini menunjukkan inti pokok kehidupan Gereja (Konferensi
Waligereja Indonesia, 1996: 338).
b. Arti
Kata “misteri” berasal dari bahasa Yunani mysterion, dan sebetulnya sulit
diterjemahkan, sebab dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani (Septuaginta) kata itu
dipakai sebagai terjemahan untuk dua kata yang berbeda, yakni Ibrani Sod dan kata
aram raz. Yang pertama berarti dewan penasihat Tuhan (Yer 23: 18; Ayb 15: 8) yang
mengungkapkan keakraban Tuhan bagi yang takut kepada-Nya” (Mzr 25: 14). Maka
kata misteri tidak pertama-tama sesuatu yang tersembunyi, melainkan suatu rahasia
yang dibuka bagi sahabat karib. Sama halnya dengan kata Aram raz, arti pokoknya
ialah ‘rencana kerja’, yang juga hanya diberitahukan kepada orang-orang
kepercayaan (Dan 2: 22, 28, 47). Akhirnya ada kata mysterion sendiri yang dalam
bahasa Yunani profan menyatakan bahwa sesuatu “sulit ditangkap”. Maka dalam
Kitab Suci kata-kata itu dipakai untuk hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah sendiri
(Keb 2: 22). Tetapi Tuhan “tidak akan menyembunyikan rahasia-rahasia itu bagimu”
(Keb 6: 22; Sir 4: 18). Inti pokok kata “misteri” dalam Kitab Suci ialah rencana Allah
yang diwahyukan kepada manusia. Perlu disadari bahwa Tuhan memberikan
pewahyuan-Nya kepada orang terpilih, kepada sahabat karib (Konferensi Waligereja
Indonesia, 1996: 338).
Kata Yunani mysterion sama dengan kata Latin sacramentum. Dalam Kitab
Suci kedua kata ini dipakai untuk rencana keselamatan Allah yang disingkapkan
30
kepada manusia. Dalam perkembangan teologi kata “misteri” dipakai terutama untuk
menunjukkan pada segi yang ilahi (yang tersembunyi) rencana dan karya Allah,
sedangkan kata “sakramen” lebih menunjuk pada aspek insani (dan tampak).
c. Gereja sebagai Sakramen
Gereja disebut “misteri” karena hidup ilahinya, yang masih tersembunyi dan
hanya dimengerti dalam iman tetapi juga disebut “sakramen”, karena misteri Allah
justru menjadi tampak dalam Gereja. Gereja hanya menjadi bentuk lahiriah,
manusiawi, historis dari Tuhan Yesus Kristus Sang Penyelamat, yang kelihatan, yang
terdengar, yang teraba, dan tersentuh serta dirasakan oleh manusia (Martasudjita,
2003: 84). Karenanya misteri dan sakramen saling berhubungan: kalau misteri tidak
sedikit tampak (dan menjadi sakramen), maka tidak diketahui bahwa ada misteri,
tetapi kalau sakramen sudah seluruhnya terang benderang, bukan tanda kenyataan
ilahi (“misteri”) lagi (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 339). Maka dengan
tepat Konsili Vatikan II berkata: “Gereja adalah dalam Kristus bagaikan sakramen,
yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat
manusia (LG 1). Martasudjita menambahkan Gereja sebagai sakramen Yesus Kristus
berarti bahwa Gereja adalah simbol real yang menghadirkan Yesus Kristus sendiri
beserta seluruh karya penebusan-Nya bagi dunia. Gereja hanya menjadi sakramen
sejauh berhubungan dengan Yesus Kristus (Martasudjita, 2005: 84).
Gereja itu misteri dan sakramen sekaligus. Serikat yang dilengkapi dengan
jabatan hirarkis dan tubuh mistik Kristus, kelompok yang tampak dan persekutuan
31
rohani, Gereja di dunia dan Gereja yang diperkaya dengan karunia-karunia surgawi,
bukanlah sebagai dua hal, melainkan merupakan satu kenyataan yang kompleks, dan
terwujudkan karena perpaduan unsur manusiawi dan ilahi” (LG 8). Dari satu pihak
Gereja adalah “kelompok yang tampak”, “dilengkapi dengan jabatan hirarkis”, karena
hidup “di dunia”, ini semua disebut “unsur manusiawi” dan ditunjukkan dengan kata
sakramen. Tetapi sekaligus Gereja itu bermakna “ilahi”, karena merupakan “Tubuh
mistik Kristus” dan adalah “persekutuan rohani”, “yang diperkaya dengan karunia-
karunia surgawi”, itulah sebabnya disebut misteri.
Misteri dan sakramen adalah dua aspek dari satu kenyataan, yang sekaligus
ilahi dan insani, yang disebut “Gereja”. Gereja adalah “sakramen yang kelihatan,
yang menandakan kesatuan yang menyelamatkan itu” (LG 9, 48), “sakramen
keselamatan bagi semua orang, yang menampilkan dan sekaligus mewujudkan
misteri cinta kasih Allah terhadap manusia” (GS 45). Gereja tidak hanya menunjuk
pada keselamatan Allah sebagai suatu kenyataan di luar dirinya. Karya Allah oleh
Roh, sudah terwujud di dalam Gereja. Dari pihak lain “Gereja baru akan mencapai
kepenuhannya dalam kemualiaan di surga”. Namun “pembaharuan, janji yang
didambakan, telah mulai dalam Kristus, digerakkan dengan perutusan Roh Kudus,
dan karena Roh itu berlangsung terus dalam Gereja” (LG 48).
Gereja disebut sebagai sakramen bukanlah istilah itu dari lingkup ibadat, yakni
upacara-upacara sakramentil sakramen dalam ibadat. Tidak dapat dikatakan bahwa
pengertian Gereja sebagai sakramen diturunkan atau dijabarkan dari pengertian
tentang ketujuh sakramen. Sebaliknya, pemahaman tentang ketujuh sakramen itu
32
yang harus diturunkan dari pengertian tentang sakramentalitas Gereja seluruhnya.
Dan sakramentalitas Gereja hanya bisa dimengerti dalam hubungannya dengan
Kristus (Putranta, 1998: 63).
Pertama-tama haruslah dikatakan bahwa Kristuslah “Sakramen Utama”. Dalam
pribadi-Nya, hidup-Nya, sabda, perbuatan atau tindakan-Nya, Allah mewahyukan
Diri-Nya secara menyelamatkan dalam cara yang paling manusiawi dan pribadi.
Identitas Yesus dari Nasaret adalah Putera Allah (Yoh 5: 18). Setiap perjumpaan
dengan Yesus Kristus merupakan tawaran keselamatan yang efektif bila orang
menyambutnya dalam iman. Justru dalam kemanusiaan-Nyalah Yesus menjadi
perantara keselamatan (1 Tim 2: 5), bukan dalam arti “ada di antara” (=menciptakan
jarak) Allah dengan manusia, melainkan justru mendekatkan dan menghadirkan Allah
bagi manusia, sesuatu yang menuntut pertobatan dan penyerahan total dari manusia.
Dan hidup-Nya sekaligus mengejawantahkan jawaban seorang manusia yang
sepenuhnya terbuka untuk diisi oleh Allah dalam ketaatan mutlak kepada kehendak
Bapa-Nya. Kristus adalah pewahyuan cinta Bapa dan tindakan penyelamatan-Nya,
sekaligus Ia merupakan “wakil” umat manusia dalam jawaban keputraan terhadap
cinta Bapa. Fungsi keperantaraan ini bukan sesuatu yang sampingan dalam
kemanusiaan Yesus, melainkan yang hakiki (Yoh 14: 9). Dalam Yesus kesatuan
mesra Allah dengan manusia terlaksana dalam bidang “dialog keselamatan” di mana
tawaran keselamatan Allah ditangapi sepenuhnya oleh manusia, dan Allah menerima
seluruh umat manusia (2 Kor 5: 18). Putranta, (1998: 64) mengutip dalam bukunya
kata-kata Agustinus demikian: “Tidak ada sakramen Allah selain Kristus”.
33
Saat terpenting dari keperantaraan Yesus dalam keselamatan manusia adalah
peristiwa Paskah. Yesus memberikan Diri-Nya kepada Bapa sebagai ungkapan
ketaatan-Nya sebagai putera di tengah dunia manusia yang dalam semua segi
kehidupannya menolak Allah. Allah menerima pemberian diri itu dengan
membangkitkan-Nya dari maut dan memuliakan-Nya sebagai Tuhan (Kyrios).
Peninggian Yesus ini merupakan proklamasi kedudukan-Nya sebagai pengantara
keselamatan untuk semua manusia. Mulai saat itu kodrat kemanusiaan-Nya
disertakan ke dalam status kemulian-Nya sebagai Putera Allah dari kekal, dan dalam
kodrat kemanusiaan yang dimuliakan itulah Roh Kudus dilimpahkan kepada sesama
dan saudara-saudara-Nya, dan keselamatan ditawarkan bagi semua manusia dari awal
sampai akhir jaman. Karenanya perlulah bahwa Kristus dimuliakan, juga dalam
kemanusiaannya, agar bisa membagikan Roh Kudus kepada manusia. Oleh karena itu
Lumen Gentium 59 mengatakan: “Allah tidak berkenan mewahyukan sakramen
(misteri) keselamatan umat manusia secara resmi, sebelum mencurahkan Roh yang
dijanjikan oleh Kristus” (Putranta, 1998: 65).
Pewartaan dan perwujudan keselamatan Allah yang telah terlaksana dalam
kepenuhan peristiwa Yesus itu dilanjutkan sampai akhir jaman lewat dan dalam suatu
persekutuan yang melangsungkan struktur sakramental dari kepentaraan Yesus.
Persekutuan dibentuk oleh pencurahan Roh Kudus oleh Kristus mulia. Inilah Gereja,
sebagai persekutuan Gereja mengandung dua momen ini: pertama, Gereja adalah
persekutuan orang beriman yaitu mereka yang menyambut dan sudah mulai
menikmati keselamatan Allah yang masih menantikan penyempurnaannya; kedua,
34
untuk terus mewartakan dan mewujudkan keselamatan Kristus bagi orang-orang lain.
Jadi sakramentalitas Gereja dalam keselamatan Allah mencakup unsur “pasif” (yang
diselamatkan) dan pada waktu yang sama juga unsur “aktif” (turut menyelamatkan)
(Putranta, 1998: 65).
Dengan kata lain, Gereja adalah persekutuan dari mereka yang dikuduskan
sekaligus persekutuan yang menguduskan. Gereja dalam seluruh hidupnya
melanjutkan dialog keselamatan yang dipersonifikasi oleh Yesus Kristus. Dalam
Gereja menyatulah tindakan Allah yang menawarkan keselamatan dalam Kristus
dengan tanggapan manusia dalam iman kepada-Nya. Kristus adalah dialog antara
Allah dengan manusia yang berlangsung dalam pribadi-Nya. Gereja adalah dialog
antara Allah penyelamat dengan manusia dalam partisipasi pada Kristus, berkat
kekuatan Roh Kudus (LG 8a).
Keselamatan manusia, yang dalam Lumen Gentium 1 dirumuskan sebagai
“kesatuan mesra umat manusia dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia”
direncanakan dan dikehendaki Allah agar terlaksana bagi semua manusia tanpa
kecuali. Persatuan merupakan warna kuat dalam pandangan Konsili tentang
keselamatan yang ditandakan dan diwujudkan oleh Gereja. Lumen Gentium 2-4
berbicara tentang rencana Allah untuk mengumpulkan dan mempersatukan manusia
“di hadapan Bapa” (LG 2), “dengan Kristus” (LG 3), “dalam Roh Kudus” (LG 4),
sehingga terciptalah di antara manusia persatuan yang polanya adalah Tritunggal
Kudus: “Umat yang dipersatukan karena kesatuan Bapa, Putera dan Roh Kudus” (LG
4).
35
Dari uraian di atas semakin jelas bahwa Gereja sebagai sakramen keselamatan.
Gereja memperlihatkan karya Allah yang menyelamatkan, dan keselamatan yang
dihasilkan berupa kesatuan Allah dan manusia dan antar manusia. Gereja tampil
sebagai tanda saat hadir sebagai sekelompok orang yang mengakui karya
penyelamatan Allah dalam Roh Kudus. Gereja dalam dimensi sosial, historis, dan
yang kelihatan, menjadi sarana keselamatan Allah. Gereja dalam fungsi sebagai tanda
dan sarana tidak bersikap eksklusif, melainkan universal. Gereja harus menghadirkan
dan mengaktualkan Kristus dalam kehidupan manusia. Pengaktualan itu melalui
seluruh kegiatan Gereja dan terutama melalui pewartaan yang merupakan aktualisasi
Kitab suci karena Kitab suci, ibadat yang merupakan tanggapan iman atas pewartaan.
dapat diringkaskan dalam kelima fungsi Gereja yaitu kerygma, koinonia, diakonia,
martyria dan liturgia yang di dalamnya ada ketujuh sakramen (Van Der Heijden,
1995: 12).
2. Menyatu Dengan Peziarahan Manusia
Gereja tidak menutup diri terhadap sekitarnya, malahan Gereja terbuka kepada
semua orang dengan segala perjuangan masyarakat manusia. Dalam konsili suci
ditegaskaan demikian:
Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang,
terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan
dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatupun
yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan
mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing
oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah
menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka
36
persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan
umat manusia serta sejarahnya (GS 1).
Kesatuan Gereja dalam hubungannya dengan masyarakat manusia dalam
seluruh perjuangannya diungkapkan melalui usaha Gereja membangun dialog dengan
umat manusia mengenai pelbagai masalah yang dihadapinya. Umat manusia yang
menghadapi perkembangan zaman, yang mengakibatkan pergeseran kehidupan
beriman, kegelisahan, makna dan arah perkembangan dunia serta tanggungjawabnya
terhadap alam semesta, pun juga makna jerih payah perorangan maupun usaha
bersama serta tujuan akhir manusia. Heuken (1987: 17) menambahkan bahwa
sekarang ini umat manusia berada dalam era baru sejarahnya. Perubahan-perubahan
yang pesat semakin meluas ke seluruh bumi mempengaruhi manusia termasuk dalam
cara berpikir dan bertindak, perubahan kebudayaan dan kemasyarakatan yang
mempengaruhi hidup keagamaan manusia itu sendiri. Dengan kemampuan manusia
yang begitu luas manusia tidak selalu sanggup untuk mengendalikan kekuatannya
sehingga menguntungkan, manusia yang sering bingung tentang dirinya serta arah
yang mau dituju. Dengan situasi itu manusia terombang ambing antara kecemasan
dan harapan serta kegelisahan. Dalam situasi ini Gereja membawa terang Injil dan
menawarkan bagi umat manusia kekuatan yang menyelamatkan yang sudah diterima
oleh Gereja dari Kristus (GS 3).
Gereja dipanggil untuk mengembangkan persaudaraan dengan semua orang.
Dengan maksud utamanya adalah melanjutkan karya Kristus oleh bimbingan Roh
Kudus. sebagaimana Kristus datang ke dunia ini untuk memberikan kesaksian tentang
37
kebenaran, untuk menyelamatkan dan bukan menghakimi, untuk melayani dan bukan
untuk dilayani (Yoh 18: 37; Mat 20: 28; Mrk 10: 45), maka Gereja pun dipanggil
untuk tugas luhur itu.
Untuk melaksanakan tugas luhur itu Gereja sepanjang masa mempunyai
kewajiban untuk menelaah tanda-tanda zaman dan menafsirkan mereka dalam terang
Injil. Dengan demikian Gereja dapat memberi tanggapan yang tepat terhadap
masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia (Heuken, 1987: 190).
Gereja sebagai tanda dan sarana yang kelihatan, maka Gereja berjalan seiring
dengan seluruh umat manusia dan mengalami nasib diniawi yang sama pula. Gereja
bagaikan ragi dan jiwa masyarakat manusia yang harus diperbaharui dalam Kristus
dan diubah menjadi keluarga Allah. Gereja tidak hanya menjadi pengantar kehidupan
ilahi kepada manusia, melainkan dalam cara tertentu mencurahkan pantulan
terangnya ke atas seluruh dunia. Hal ini dilakukan oleh Gereja dengan mengangkat
martabat manusia, dengan meneguhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat manusia
serta meresapkan makna dan arti yang mendalam usaha manusia sehari-hari (Heuken,
1987: 192).
3. Mewartakan Keselamatan
Van Der Heijden (1992: 12)), mengatakan bahwa “Gereja harus menghadirkan
dan mengaktualkan Kristus dalam kehidupan manusia. Pengaktualan itu melalui
seluruh kegiatan Gereja dan terutama melalui pewartaan yang merupakan aktualisasi
Kitab suci.” Ad Gentes juga menegaskan tugas misioner Gereja adalah mewartakan
38
Injil kepada semua mahkluk. Tugas ini diterima oleh Gereja dari Pendirinya Yesus
Kristus.
Ia mengutus para rasul ke seluruh dunia, seperti Ia sendiri telah diutus oleh
Bapa (Yoh 20: 21), perintah-Nya kepada mereka: “Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan babtislah mereka dalam nama Bapa,
dan Putera, dan Roh Kudus: dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28: 19). “Pergilah ke seluruh dunia, dan
wartakanlah Injil kepada semua makhluk. (AG 5).
Dengan demikian sangat jelas bahwa tugas pokok Gereja adalah mewartakan
Kristus. Hal yang sama juga disampaikan oleh Dulles (1990: 73), “Misi Gereja adalah
mewartakan Sabda Allah ke seluruh dunia.” Ia menambahkan menurut hakikatnya
Gereja merupakan satu komunitas kerygmatis yang melalui Sabda yang
diwartakannya tetap mengenangkan perbuatan-perbuatan Allah yang mengagumkan
dalam sejarah, teristimewa perbuatan-perbuatan-Nya yang berkuasa dalam diri Yesus
Kristus. Komunitas itu terbentuk di mana saja kekuatan Roh Kudus berhembus, di
mana Sabda Allah diwartakan dan diterima dalam keteguhan iman. Maka Gereja itu
merupakan peristiwa, suatu tempat pertemuan dengan Allah (Dulles, 1990: 73).
Gereja mewartakan Sabda itu merupakan salah satu bagian dari tritugas Yesus
Kristus yakni tugas sebagai nabi, tugas imami dan tugas rajawi. Tugas nabi adalah
tugas pewartaan, tugas imami merupakan tugas pengudusan atau perayaan dan tugas
rajawi adalah tugas melayani. Dalam diri Yesus dari Nazaret, Sabda Allah tampak
secara konkret manusiawi. Penampakan itu merupakan puncak seluruh sejarah
perwahyuan Sabda Allah. Sabda itu harus menciptakan bentuk-bentuk lain yang di
dalamnya Ia bisa hadir dan berbicara dan bentuk baru itu adalah Gereja. Kristus,
39
Sabda Allah menciptakan Gereja. Ia bisa hadir dan berbicara dalam sejarah manusia.
Gereja juga merupakan jawaban atas panggilan Yesus Kristus, Sabda Allah
(Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 38). Dengan demikian Sabda Allah dan
Gereja tidak dapat dipisahkan. Sama seperti Sabda Allah itu adalah peristiwa, begitu
pula Gereja baru sungguh-sungguh Gereja bila ia menjadi peristiwa konkret (Dulles,
1990: 76).
Berkaitan dengan Gereja merupakan jawaban atas panggilan Yesus Kristus
Sabda Allah, Ebeling menegaskan bahwa kata panggilan secara tepat
mengungkapkan hubungan antara Gereja dan iman. Dengan merefleksikan gagasan
tentang panggilan orang dapat mengerti dengan baik tentang jenis persekutuan
Gereja: yaitu kebersamaan orang-orang yang sudah digerakkan oleh berita iman, yang
dipanggil dan ditantang, dan membentuk suatu kesatuan. Di mana pesan iman
didengar dan panggilan menjadi semakin kuat, di sana orang-orang dikumpulkan
bersama dan membentuk suatu gerakan, yang merupakan panggilan demi iman,
sekalipun orang-orang itu berada pada tempat, waktu dan lingkungan yang berbeda.
Orang-orang tidak berkumpul untuk sekedar mau merasakan persahabatan,
memamerkan diri sebagai orang beriman, tetapi menjawabi suatu panggilan yang
melampaui segala kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Di dalam
kebersamaan itu terdapat suatu yang belum terjangkau oleh ungkapan persekutuan
orang beriman. Sesuatu itu adalah iman itu sendiri, yaitu hal yang diperjuangkan
Yesus Kristus: panggilan untuk percaya (Dulles, 1990: 77-78).
40
Iman menjadi pengikat utama persekutuan itu. Iman dilihat sebagai jawaban
terhadap Injil yaitu pemakluman peristiwa Kristus. Injil itu dipahami bukan sebagai
suatu sistem kebenaran terumus dan abstrak, juga bukan sebagai domumen tertulis
tetapi sebagai peristiwa pewartaan itu sendiri. Jadi pewartaan Injil itu selalu dikaitkan
dengan keselamatan, sebab Ia mengundang manusia untuk mengimani Yesus Kristus
sebagai penyelamat. Pewartaan itu memaklumkan saat penyelamatan yang sudah
dekat bagi orang-orang yang beriman karena Sabda Allah yang dimaklumkan oleh
pewarta itu diresapi oleh kekuatan Allah yang empunya kekuatan. Pewartaan Gereja
yang menggema di seluruh pelosok dunia itu menghadirkan Allah yang
menyelamatkan (Dulles, 1990: 78-79).
Konsili Vatikan II tentang Gereja semakin menegaskan bahwa tujuan khas
kegiatan misioner itu mewartakan Injil dan menanamkan Gereja di tengah bangsa-
bangsa atau golongan-golongan, tempat Gereja belum berakar (AG 6). Putranta,
(1998: 76) mengatakan bahwa “Misi Gereja merupakan sesuatu yang kompleks,
karena yang disampaikannya bukanlah suatu proyek atau ajaran tertentu, melainkan
pengalaman imannya akan suatu pribadi, Yesus Kristus Penyelamat”.
Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat
dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan
tangan kami tentang firman hidup itulah yang kami tuliskan kepada kamu.
Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami
bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada
bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang
telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu
juga, supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan
kami adalah persekutuan dengan bapa dan dengan Anak-Nya Yesus Kristus (1
Yoh 1: 1).
41
Putranta (1998: 77) menambahkan: Misi Gereja adalah “Partisipasi dalam karya
keselamatan yang sedang berlangsung yang dijalankan oleh Allah tri tunggal,
khsusunya lewat perutusan Yesus dan Roh Kudus”. Misi Gereja adalah mewartakan
Injil Kerajaan Allah dan turut menjadi saksi dan tanda perwujudan awalnya di dunia.
Corak dinamis dari Kerajaan Allah juga diperlihatkan dengan kata “perwujudan
awal”, karena Kerajaan itu adalah sesuatu yang memang diwujudkan mulai dari dunia
ini, sekaligus pada hakekatnya adalah suatu yang transenden. Dalam kata “Injil”
tersirat kesadaran bahwa misi bukan pertama-tama “penyebaran agama”, melainkan
suatu warta, bahkan warta yang menggembirakan. (Putranta, 1998: 78)
a. Sifat misioner Gereja
Perutusan Gereja terlaksana dalam kegiatan karya atau kegiatan Gereja. Gereja
mematuhi perintah Kristus dan digerakkan oleh rahmat serta cinta kasih Roh Kudus,
hadir bagi semua orang dan bangsa dan kenyataannya sepenuhnya, untuk dengan
teladan hidup maupun pewartaannya, dengan sakramen-sakramen serta upaya-upaya
rahmat lainnya mengantar mereka kepada iman, kebebasan dan damai Kristus,
sehingga bagi mereka terbukalah jalan yang bebas dan teguh, untuk ikut serta
sepenuhnya dalam misteri Kristus (AG 5).
Sifat Gereja yang terbuka mewujud dalam kegiatan misioner Gereja yang hadir
bagi semua orang dan bangsa. Jacobs (1987: 31) mengatakan: “Rencana keselamatan
Allah mencakup umat manusia seluruhnya. Tetapi secara historis dilaksanakan
bertahap-tahap, mulai dengan Israel dan melalui umat Perjanjian Baru sampai ke
42
seluruh dunia”. Perutusan Gereja itu berlangsung secara dinamis dan sepanjang
sejarah menjabarkan perutusan Kristus. Fokus pewartaan kabar Gembira itu adalah
kaum miskin. Atas dorongan Roh Kristus Gereja harus menempuh jalan yang sama
seperti yang dilalui oleh Kristus sendiri, yakni jalan kemiskinan, ketaatan,
pengabdian dan pengorbanan diri sampai mati, dan dari kematian itu muncullah Ia
melalui kebangkitan-Nya sebagai Pemenang. Sebab demikianlah semua Rasul
berjalan dalam harapan (AG 5).
Sifat misioner Gereja itu terwujud dalam tugas yang dijalankan oleh Gereja
melalui Dewan para Uskup yang diketuai oleh pengganti Petrus, dan seluruh Gereja
berdoa dan bekerjasama. Tugas itu satu dan tetap sama, dimana pun dan dalam segala
situasi, meskipun menurut kenyataan tidak dilaksanakan dengan cara yang sama.
Maka perbedaan-perbedaan yang ada dalam kegiatan Gereja itu bukan muncul dari
hakekat paling dalam perutusan itu sendiri, melainkan dari pelbagai situasi tempat
perutusan itu berlangsung. Keadaan-keadaan itu tergantung dari Gereja, dari berbagai
masyarakat, golongan-golongan atau orang-orang yang dilayani perutusan itu (AG 6).
b. Kegiatan misioner Gereja
Jacobs (1987: 31) mengatakan bahwa “Misi Gereja merupakan sifat hakiki
Gereja dan tujuannya bukan pertobatan orang-orang individual, melainkan “plantatio
ecclesia” (penanaman Gereja)”. Demikian juga hukum Gereja berbicara:
Karya yang khusus misioner, ialah menanam Gereja di tengah-tengah bangsa
atau kelompok di mana Gereja tadi belum berakar, dilaksanakan oleh Gereja
terutama dengan mengutus bentara-bentara injil sampai Gereja-gereja muda itu
43
tumbuh dewasa, artinya, memiliki cukup tenaga dan sarana sendiri yang
diperlukan untuk dapat meneruskan sendiri karya evangelisasi (Kitab Hukum
Kanonik, 1991: Kan 786).
Upaya utama penanaman Gereja itu adalah pewartaan Injil Yesus Kristus.
Jacobs (1987: 31) mengatakan “Ada dua unsur pokok dalam kegiatan misi yakni
pewartaan Injil dan pembentukan Gereja setempat.” Kedua hal ini berhubungan
langsung. Sebab tanggapan terhadap pewartaan Injil adalah iman dan iman
membangkitkan komunikasi iman dan itu berarti pembentukan Gereja. Dalam upaya
menyiarkan Injil itulah Tuhan mengutus para murid-Nya ke seluruh dunia, supaya
orang-orang lahir kembali berkat sabda Allah (1 Ptr 1: 23), dan melalui baptis
digabungkan pada Gereja, yang sebagai Tubuh Sabda yang menjelma dikembangkan
dan hidup dari sabda Allah dan roti Ekaristi (AG 6). KHK (1991: Kan 787 § 2)
mengatakan: “agar orang-orang yang mereka nilai siap sedia menerima Injil diberi
pelajaran mengenai kebenaran-kebenaran iman, sedemikian rupa sehingga mereka
dapat diterima untuk dibabtis jika mereka memintanya dengan bebas”.
Dalam upaya melaksanakan kegiatan misioner Gereja, ada kalanya berbagai
situasi yang muncul. Situasi yang dimaksudkan tentu situasi permulaan atau
penanaman dan situasi kebaharuan atau keremajaan. Tetapi kegiatan misisoner Gereja
tidak berhenti melainkan Gereja-Gereja khusus yang sudah terbentuk, bertugas
melanjutkannya dan mewartakan Injil kepada kepada semua dan setiap orang, yang
masih berada di luar (AG 6).
44
Gereja dalam pelaksanaan kegiatan misionernya tetap melihat situasi setempat.
Gereja harus mempertimbangkan apakah benar-benar situasi itu memerlukan kegiatan
misionernya lagi. Dalam situasi yang sedemikian, para misionaris dapat dan harus
dengan sabar serta bijaksana sekaligus dengan kepercayaan besar, sekurang-
kurangnya memberi kesaksian akan cinta kasih dan kemurahan hati Kristus, dan
dengan demikian menyiapkan jalan bagi Tuhan serta dengan cara tertentu
menghadirkannya (AG 6). Jacobs (1987: 32) mengatakan bahwa “Gereja tidak
datang membawakan suatu bentuk kehidupan tertentu. Yang dibawa Gereja adalah
pertama-tama sikap penyerahan iman. Sikap itu harus diwujudkan menurut
pembawaan dan tradisi khas tiap-tiap bangsa, sejauh itu tidak bertentangan dengan
sikap iman itu sendiri.
Hendaknya para misionaris dengan kesaksian hidup dan perkataan mengadakan
suatu dialog yang jujur dengan mereka yang belum percaya akan Kristus agar
terbukalah bagi mereka, jalan untuk mengenal warta injili dengan cara yang
cocok dengan bakat dan kebudayaan mereka (KHK, 1991: Kan 787 § 1).
Demikianlah karena misi itu sangat perlu, maka semua orang yang telah
dibabtis dipanggil, untuk berhimpun dalam satu kawanan, dan dengan demikian
mampu serentak memberi kesaksian akan Kristus Tuhan mereka di hadapan para
bangsa (AG 6). Dalam Kitab Hukum Kanonik dikatakan demikian:
Karena seluruh Gereja dari hakikatnya bersifat misioner dan karya
evangelisasi harus dipandang sebagai tugas dasar dari umat Allah, maka
hendaknya semua orang beriman kristiani, yang sadar akan
tanggungjawabnya, mengambil bagian dalam karya misi itu (KHK, 1991: Kan
781).
45
4. Sebagai Cahaya yang Membawa Terang dan Pembebasan
Dengan mengacu kepada Gereja sebagai persekutuan orang beriman yaitu
mereka yang menyambut dan sudah mulai menikmati keselamatan Allah yang masih
menantikan penyempurnaannya dan yang akan terus mewartakan dan mewujudkan
keselamatan Kristus bagi orang-orang lain (Putranta, 1998: 65). Dan sebagaimana
tugas Gereja mewartakan keselamatan yang terwujud dalam misinya, maka Gereja
harus mampu menjadi kekuatan dan cahaya yang membawa terang serta
pemebebasan. Hal itu terlaksana dalam fungsi-fungsi Gereja, yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
• Kerajaan Allah direalisir oleh Gereja dalam cinta kasih dan pelayanan yang penuh
persaudaraan (diakonia)
• Kerajaan Allah dihayati dalam persaudaraan dan communio (koinonia)
• Kerajaan Allah diwartakan dengan pewartaan Injil (Kabar Gembira) yang
membebaskan dan bermakna (kerygma)
• Kerajaan Allah dirayakan dalam liturgi (leiturgia).
Dengan demikian dapat dikatakan dalam Gereja ditemukan pelayanan,
persaudaraan, makna dan perayaan. Empat hal ini sesuai dengan kategori
antropologis yang mendasar yakni, tindakan, hubungan, pikiran, dan selebrasi
(Adisusanto, 2000: 16).
a. Diakonia
46
Fungsi Diakonia Gereja merupakan jawaban terhadap kebutuhan manusia, yang
menemukan dirinya dalam situasi tertindas dan egois. Gereja dipanggil untuk
memberi kesaksian akan adanya suatu cara hidup baru yang didasari cinta kasih
sejati. Melalui hidupnya Gereja memberi kesaksian, bahwa mungkinlah adanya
kehidupan, dimana orang membaktikan dirinya bagi orang lain dan memiliki
keprihatinan atas orang lain (Adisusanto, 2000: 16).
b. Koinonia
Fungsi Koinonia Gereja merupakan jawaban kerinduan manusia akan
persaudaraan, perdamaian, persatuan dan komunikasi di antara umat manusia. Gereja
dipanggil untuk memberi kesaksian akan adanya kemungkinan hidup yang didasari
persaudaraan dan persatuan, seperti dicita-citakan oleh Kerajaan Allah dengan dunia
yang terpecah belah oleh egoisme, kebencian, gila hormat dan kekayaan,
penyingkiran orang-orang miskin dan lemah, orang-orang terisolir tanpa adanya
komunikasi antara seorang dengan yang lain, (Adisusanto, 2000: 16).
c. Kerygma
Fungsi Kerygma Gereja merupakan penyampaian warta pembebasan, yang
sekaligus berperan sebagai kunci penafsiran kehidupan dan sejarah umat manusia.
Dunia yang penuh dengan kemalangan, penderitaan, keburukan, dan kejahatan, tidak
jarang membuat orang putus asa atau bersikap fatalistis. Dalam menghadapi situasi
semacam ini Gereja dipanggil untuk menjadi saksi dan pembawa harapan dengan
47
mewartakan Yesus Kristus beserta kabar gembira-Nya tentang Kerajaan Allah.
Dalam Kristus Kerajaan Allah telah terwujud dan Dialah penjamin terwujudnya
Kerajaan Allah dalam diri orang-orang lain. Dengan kata lain fungsi kerygma Gereja
adalah mewartakan sabda yang membebaskan, menerangi, dan menafsirkan hidup
manusia, serta memberi harapan (Adisusanto, 2000: 17).
d. Liturgia
Fungsi liturgi Gereja merupakan tindakan-tindakan ritual dan saat-saat selebrasi
umat. Dengan selebrasi ini umat merayakan pengalaman pembebasan dan
keselamatan mereka. Liturgi menjawab kebutuhan manusia untuk merayakan
kehidupan, untuk mengakui serta mengungkapkan melalui simbol-simbol anugerah
keselamatan serta eksistensi umat yang telah ditebus dan diperbaharui (Adisusanto,
2000: 17).
Keempat fungsi Gereja di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Satu fungsi selalu memiliki serta memperlihatkan kehadiran tiga fungsi yang lain.
Contoh: dalam liturgi terungkap kesatuan umat (koinonia) dan terjadi pewartaan
(kerygma), yang harus mengarah kepada pelayanan atau yang disebut diakonia
(Adisusanto, 2000: 18).
Piet., Go (1991: 22), mengatakan: “aneka tugas Gereja tersebut di atas, saling
terjalin dan saling mempengaruhi. Misalnya: semua tugas itu dapat dan harus
mempunyai aspek pelayanan dan kesaksian, tugas pengudusan (liturgi) dan
bimbingan juga mempunyai aspek pewartaan. Lebih lanjut ia menambahkan fungsi
48
yang kelima yakni martyria, tugas memberi kesaksian. Dengan tugas memberi
kesakian dimaksudkan tanggungjawab untuk membuat Tuhan nampak lebih jelas
dalam hidup kita, “agar dunia percaya” bahwa Yesus diutus Bapa-Nya (Yoh 17: 21).
Dengan demikian kesaksian lebih merupakan aspek yang mewarnai tugas-tugas
pokok Gereja, bahkan seluruh hidup kita Piet., Go, 1991: 42).
C. Berbagai Cara Kehadiran Gereja
Gereja sebagai sakramen keselamatan Allah, dalam menghadirkan Kerajaan
Allah memiliki sikap terbuka terhadap intern dan ekstern Gereja. Allah tidak
menghendaki Gereja melayani proyek Kerajaan Allah secara tertutup dalam batas-
batas dirinya melainkan agar Gereja mewartakan Kerajaan Allah kepada semua orang
dan memberi kesaksian tentang kehadiran serta janji Kerajaan Allah baik di dalam
kalangan Gereja maupun di luar kalangan Gereja (Adisusanto, 2000: 14). Media
massa, ekumenisme, dialog, dan pendidikan adalah cara yang digunakan Gereja untuk
menyatakan dirinya di tengah masyarakat.
1. Media Massa
Gereja hadir untuk mewartakan keselamatan kepada semua orang tanpa batas-
batas tertentu. Warta keselamatan itu disampaikan kepada semua orang dengan
berbagai cara maupun sarana yang dipakai. Gereja dalam pewartaan keselamatan itu
dalam tindakan-tindakannya harus menyesuaikan dengan setiap situasi atau keadaan
setempat. Karena itulah Gereja memanfaatkan media komunikasi sosial untuk
49
menyiarkan warta keselamatan, mengajarkan dan bagaimana manusia dapat memakai
media itu dengan tepat. Konsili suci mengatakan “Gereja berhak menggunakan dan
memiliki semua jenis media itu, sejauh diperlukannya atau berguna bagi pendidikan
kristen dan bagi seluruh karyanya demi keselamatan manusia.” (IM 3).
Dalam konsili suci sangat jelas dikatakan bahwa media komunikasi itu terutama
tujuan utamanya adalah agar khalayak ramai dapat secara efektif bekerjasama demi
kesejahteraan umum, dan serentak serta lebih mudah mendukung usaha
meningkatkan kemajuan seluruh masyarakat (IM 5). Diharapkan juga agar para
pemakai media massa menjiwai media itu dengan semangat manusiawi dan kristen,
supaya menggapai sepenuhnya harapan besar masyarakat dan maksud Allah (IM 3).
Menjiwai media dengan semangat manusiawi dan kristen, maksudnya menggunakan
alat komunikasi itu sesuai dengan prinsip-prinsip komunikasi. Prinsip-prinsip
komunikasi kristen, Iswarahadi (2006) menyebutkan ada lima prinsip yakni:
komunikasi yang menciptakan komunitas, komunikasi yang mendukung partisipasi,
komunikasi yang membebaskan, komunikasi yang mendukung dan mengembangkan
kebuadayaan serta komunikasi yang bersifat profetis.
Konsili suci menghimbau agar didukung pengembangan pers yang sehat, media
cetak diterbitkan dengan maksud untuk membina, meneguhkan dan menumbuhkan
pandangan-pandangan umum selaras dengan hak azasi dan ajaran Gereja serta untuk
menyebarluaskan serta membahas dengan cermat peristiwa-peristiwa yang
menyangkut kehidupan Gereja. Konsili menanbahkan agar produksi dan penayangan
film-film menyajikan hiburan yang sehat, mengembangkan kebudayaan, dan
50
meningkatkan mutu kesenian. Siaran radio dan televisi yang bermutu yang cocok
bagi keluarga agar dikembangkan dan dengan siaran-siaran itu dapat mengundang
para pendengar dan pemirsa untuk ikut menghayati kehidupan Gereja dan
meresapkan kebenaran-kebenaran keagamaan dalam hati mereka (IM 14). “Maka dari
itu hendaklah Nama Tuhan diluhurkan oleh penemuan-penemuan baru itu, seperti
sejak semula telah dimuliakan oleh monumen-monumen kesenian, yang agung,
seturut sabda Rasul “Yesus Kristus tetap sama baik kemarin maupun hari ini dan
sampai selama-lamanya.” (IM 23).
2. Ekumene
Gereja sambil melayani Injil keselamatan kepada semua orang, berziarah dalam
harapan menuju cita-cita tanah air sorgawi mengikat kesatuan dengan umat Allah
yang dipersatukan dengan Kristus. Gereja Katolik tetap bersatu dengan Gereja di luar
Gereja Katolik. Gereja Katolik merangkul mereka dengan sikap bersaudara, sikap
hormat dan cinta kasih. Konsili suci menegaskan: “sebab mereka itu, yang beriman
akan Kristus dan dibabtis dengan sah, berada dalam suatu persekutuan dengan Gereja
Katolik, sungguhpun secara tidak sempurna” (UR 3). Tidak sempurna maksudnya
bahwa ada bermacam-macam perbedaan antara mereka dengan Gereja Katolik baik
itu menyangkut ajaran, tata tertib, maupun tata susunan Gereja. Kendatipun demikian,
Gereja Katolik melihat bahwa mereka tetap disaturagakan dalam Kristus karena
mereka dalam babtis dibenarkan dalam iman. Dalam UR 3 dikatakan demikian: “oleh
51
kerena itu mereka memang dengan tepat menyandang nama kristen, dan tepat pula
oleh putera-puteri Gereja Katolik diakui selaku saudara-saudari dalam Tuhan.”
Konsili suci mengatakan bahwa upacara-upacara agama kristen, yang
diselenggarakan dengan berbagai cara dan situasi harus diakui dapat membuka pintu
memasuki persekutuan keselamatan (UR 3). Ditambahkan lagi dalam UR 4 bahwa
semua yang dilaksanakan oleh rahmat Roh Kudus di antara mereka dapat membantu
Gereja membangun diri bahkan selalu dapat membantu untuk mencapai secara lebih
sempuna misteri Kristus dan Gereja sendiri. Maka konsili suci mengundang segenap
umat Katolik untuk mengenali tanda-tanda zaman secara aktif berperanserta dalam
kegiatan ekumenis.
Gerakan ekumenis adalah kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha yang menanggapi
bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situasi diadakan dan ditujukan
untuk mendukung kesatuan umat kristen (UR 4). Pertemuan-pertemuan umat kristen
dari berbagai Gereja yang diselenggarakan dalam suasana religius, yaitu dialog antara
tokoh Gereja untuk memberikan berbagai ajaran persekutuannya serta ciri dan
coraknya masing-masing. Dengan dialog itu semua peserta memperoleh pengertian
tentang ajaran dan perihidup antar persekutuan serta timbul penghargaan yang sesuai.
Antar persekutuan itu menjalin kerja sama dalam lingkup yang lebih luas dengan
tujuan demi kesejateraan umum. Ditegaskan lagi oleh konsili agar bila mungkin
mereka bertemu dalam doa sehati sejiwa. Sehingga mereka semua mengadakan
pemeriksaan batin tentang kesetiaan mereka terhadap kehendak Kristus mengenai
52
Gereja dan sebagai mana seharusnya menjalankan dengan tekun usaha pembaharuan
(UR 4).
Dalam kegiatan ekumenis, agar umat Katolik menunjukkan perhatian terhadap
mereka dengan mendoakan mereka, dan bertukar pandangan tentang hal ihwal
Gereja. Dan satu hal yang perlu dipegang teguh adalah agar dalam memelihara
kesatuan semua anggota Gereja sesuai dengan tugas dan kewajibannya dalam aneka
bentuk hidup rohani dan tata tertib gerejawi maupun dalam berbagai tata upacara
liturgi juga dalam mengembangkan refleksi teologis tentang kebenaran yang
diwahyukan tetap memupuk kebebasan dan cinta kasih (UR 4).
Konsili suci mengatakan bahwa “Tidak ada ekumenisme yang sejati tanpa
pertobatan batin, sebab pembaharuan hati, dari ingkar diri dan dari kelimpahan cinta
kasih yang sungguh, kerinduan akan kesatuan tumbuh dan semakin menjadi dewasa
(UR 7). Maka hendaklah dari Roh ilahi kita mohon rahmat penyangkalan diri yang
tulus, kerendahan hati dan kelemah-lembutan dalam pelayanan serta kemurahan hati
dalam persaudaraan terhadap sesama. Seperti yang diungkapkan oleh Paulus kepada
jemaat di Efesus: “Hendaklah kalian selalu rendah hati lemah lembut dan sabar.
Tunjukkan kasihmu dengan membantu satu sama lain dan berusaha sungguh-sungguh
memelihara kesatuan Roh dalam ikatan damai” (Ef 4: 2-3).
Pertobatan hati dan kesucian hidup itu yang disertai dengan doa-doa
permohonan baik peorangan maupun bersama untuk kesatuan umat kristen, harus
dipandang sebagai jiwa seluruh gerakan ekumenis. Sebab Gereja Katolik belajar dari
Yesus Sang Penyelamat yang pada malam menjelang wafat-Nya berdoa; “Supaya
53
bersatulah mereka semua” (Yoh 17: 21). Dengan demikian kehadiran Roh Kristus
selalu menyemangati semangat kesatuan Gereja-Nya.
3. Dialog
Konsili suci mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak menolak ajaran-ajaran
yang dalam agama-agama lain dianggap benar dan suci. Gereja dengan sikap hormat
merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran yang
berbeda dengan yang diyakini dan diajarkan Gereja. Dalam situasi demikian Gereja
tetap mewartakan Kristus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup (Yoh 14: 6). Dalam
Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam dia pula Allah
mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (NA 2). Maka Gereja mendorong para
putera-puterinya supaya bijaksana dan penuh kasih melalui dialog dan kerja sama
dengan para penganut agama-agama lain, memberi kesaksian tentang iman serta
perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan
rohani dan moral serta nilai-nilai sosio budaya yang terdapat pada mereka. Jadi tiada
dasar bagi setiap teori atau praktik, yang mengadakan pembedaan mengenai martabat
manusia serta hak-hak yang bersumber padanya antara manusia dan manusia, antar
bangsa dan bangsa. Gereja mengecam setiap diskriminasi antara orang-orang serta
penganiayaan yang berdasar warna kulit atau keturunan, status sosial atau agama.
Konsili suci meminta kepada umat kristiani supaya “memelihara cara hidup yang baik
di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (1 Ptr 2: 12), serta hidup dalam damai
dengan semua orang, sehingga mererka sungguh-sungguh menjadi putera Bapa di
54
sorga. Sebab kita tidak menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap
orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra kesamaan Allah, kita tidak mau
bersikap saudara. “Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah” (NA 5).
4. Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas Gereja untuk
mewartakan penyelamatan Allah Bapa kepada semua manusia dan memulihkannya
dalam Kristus. Tugas Gereja itu diterima dari Pendiri ilahinya, Kristus menjelang
kepergiannya dari dunia, dengan pesan “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku
dan babtislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka
melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28: 19-20). Hal ini
semakin ditegaskan kembali oleh dokumen tentang pendidikan yang mengatakan
demikian:
Adapun untuk melaksanakan perintah Pendirinya yang ilahi, yakni mewartakan
misteri keselamatan Allah kepada semua orang dan membaharui segalanya
dalam Kristus, Bunda Gereja yang kudus wajib memelihara perihidup manusia
seutuhnya, juga di dunia ini, sejauh berhubungan dengan panggilan sorgawi.
Maka Gereja berperan serta dalam pengembangan dan perluasan pendidikan
(GE , pendahuluan).
Konsili mempertimbangkan dengan cermat mengenai makna pendidikan yang
mahapenting di dalam kehidupan manusia dan pengaruhnya yang makin besar
terhadap kemajuan sosial dewasa ini. Pendidikan kaum muda, malah sejenisnya
pendidikan lanjutan juga bagi orang dewasa, menjadi lebih mudah dan mendesak
dalam keadaan dewasa ini (GE Pendahuluan). Karenanya Gereja menjadikan
55
pendidikan sebagai salah satu cara menghadirkan Gereja di tengah masyarakat sebab
Gereja sadar akan pentingnya peran pendidikan di dalam mengantar kaum muda
sampai kepada kedewasaan hidup.
Berkaitaan dengan pendidikan sebagai salah satu cara menghadirkan Gereja di
tengah masyarakat, Adisusanto (2000: 20), menempatkan sekolah sebagai bagian dari
lembaga dalam pelaksanaan perwujudan kehadiran Gereja. Ia mengajak agar Gereja
meninjau dan menilai kembali sekolah-sekolah, apakah Gereja melestarikan dan
memperkembangkan otonomi lembaga-lembaga sekolah? Ia juga menempatkan
pendidikan sebagai salah satu bagian pengabdian ekstern bidang kehidupan umum
oleh Gereja (Adisusanto, 2000: 21). Pendidikan menjadi salah satu kegiatan Gereja
dalam mewujudkan kehadiran Gereja yang merupakan bentuk fungsi Gereja
(Adisusanto, 2000: 22).
Sebagaimana pendidikan sebagai salah satu kegiatan Gereja dalam mencapai
tujuan kehadiran Gereja yakni terwujudnya Kerajaan Allah, maka sekolah menjadi
tempat untuk melaksanakan fungsi Gereja tersebut. Aktualisasi diri Gereja
dilaksanakan lewat fungsi Gereja dan sekolah menjadi medan pastoralnya (Piet, Go.,
1991: 21). Salah satu dari fungsi Gereja itu adalah Kerygma, yang merupakan tugas
Gereja. Dengan tugas ini Gereja mengejawantahkan dirinya, memberi makna dan
pelayanan bagi hidup manusia (Konferensi Waligereja Indonesia 1996: 382).
56
a. Pendidikan Sebagai Cara Menghadirkan Gereja
Gereja memandang bahwa pendidikan mempunyai makna yang mahapenting
dalam kehidupan manusia dan pengaruhnya yang makin besar terhadap kemajuan
sosial dewasa ini baik keagamaan, kebudayaan, kemasyarakatan, politik dan
ekonomi. Kemajuan teknologi dan penelitian ilmiah yang mengagumkan, alat
komunikasi sosial modern, memberikan kepada manusia kesempatan yang lebih
mudah untuk menikmati warisan budi dan kebudayaan rohani serta untuk lengkap-
melengkapi dengan hubungan yang erat, baik antar kelompok bangsa-bangsa maupun
antar kelompok bangsa sendiri. Oleh karena itu pendidikan menjadi hal yang sangat
mendesak untuk dimajukan dalam upaya mencapai kemajuan sosial dewasa ini (GE,
Pendahuluan). Pendidikan yang dimaksudkan menyangkut keseluruhan baik itu
pendidikan non formal maupun pendidikan formal.
b. Pendidikan non Formal
1) Keluarga
Konsili suci menegaskan bahwa keluarga adalah sekolah pertama keutamaan-
keutamaan sosial yang dibutuhkan masyarakat (GE 3). Maka para orang tua wajib
menciptakan suasana lingkungan keluarga yang dijiwai cinta kasih terhadap Allah
dan manusia. Suasana ini membantu pendidikan pribadi dan sosial anak-anak secara
utuh dan memungkinkan komunikasi iman antar anggota keluarga. Pengaruh iman
yang ditularkan orang tua kepada anak-anak lewat kesaksian hidup sehari-hari sangat
membantu perkembangan iman anak menuju kedewasaan Kristen (Ambrosia, 1994:
57
20). Pendidikan pertama-tama dan terutama termasuk tanggungjawab orang tua,
tetapi tak mungkin dilaksanakan sendiri (Piet, Go., 1992: 2)
Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat
kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Maka orangtualah yang harus
diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama. Kewajiban orang tua
menciptakan lingkup keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan
kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan
pendidikan pribadi dan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Adapun
terutama dalam keluarga kristen, yang diperkaya dengan rahmat serta
kewajiban sakramen perkawinan, anak-anak sudah sejak dini harus diajar
mengenal Allah serta berbakti kepada-Nya dan mengasihi sesama, seturut iman
yang telah mereka terima dalam babtis. Di situlah anak-anak menemukan
pengalaman pertama masyarakat manusia yang sehat serta Gereja dalam
masyarakat manusia dan umat Allah. Maka hendaklah para orang tua
menyadari, betapa pentinglah keluarga yang sungguh kristen untuk kehidupan
dan kemajuan umat Allah sendiri (GE 3).
Purwanto (1988: 85) mengatakan “Pendidikan keluarga adalah fundamen atau
dasar dari pendidikan anak selanjutnya. Hasil-hasil pendidikan yang diperoleh anak
dalam keluarga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di sekolah maupun
dalam masyarakat”. Demikianlah tidak dapat disangkal lagi betapa pentingnya
pendidikan dalam lingkungan keluarga bagi perkembangan anak-anak menjadi
manusia yang berpribadi dan berguna bagi masyarakat (Purwanto, 1988: 86).
Comenius (1592-1670) seorang ahli didaktik yang terbesar, dalam bukunya Didaktika
Magna, mengatakan: tingkatan permulaan bagi pendidikan anak-anak dilakukan
dalam keluarga yang disebutnya scola-materna (sekolah Ibu). C.G Salzmann (1744-
1811), seorang ahli penganut aliran philantropinum, mengeritik dan mengecam
pendidkan yang telah dilakukan oleh para orang tua. Dalam karangannya,
Krebsbuchlein (Buku Udang Karang). Salzman mengatakan bahwa segala kesalahan
58
anak-anak itu adalah akibat dari perbuatan pendidik-pendidiknya, terutama orang tua
(Purwanto, 1988: 86).
2) Masyarakat
Tugas pertama-tama pendidikan, yang pertama-tama menjadi tanggungjawab
keluarga, memerlukan bantuan seluruh masyarakat. Oleh sebab itu, di samping hak-
hak orang tua serta mereka, yang oleh orang tua diserahi peran serta dalam tugas
mendidik, masyarakat pun mempunyai kewajiban-kewajiban serta hak-hak tertentu,
sejauh merupakan tugas wewenangnya untuk mengatur segala sesuatu yang
diperlukan bagi kesejahteraan umum di dunia. Termasuk tugasnya dengan pelbagai
cara memajukan pendidikan generasi muda misalnya: melindungi kewajiban maupun
hak-hak para orang tua serta pihak-pihak lain yang memainkan peranan dalam
pendidikaan, dan membantu mereka sesuai dengan prinsip subsidiaritas melengkapi
karya pendidikan, sejauh dibutuhkan bagi kesejahteraan umum, mendirikan sekolah-
sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan (GE 3).
Maka diciptakan lembaga-lembaga yang membantu orang tua dalam
melaksanakan pendidikan itu. dalam GBHN-GBHN ditegaskan tanggungjawab
bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Kiranya jelas bahwa
porsi dan kualitas peranan antara subyek-subyek pendidikan ini berbeda-beda,
tetapi semuanya bertemu dalam rangka pendidikan. (Piet, Go., 1992: 2).
c. Pendidikan Formal
Piet, Go., (1992: 2) mengatakan bahwa “sekolah membantu orang tua
melaksanakan tanggungjawab atas pendidikan anak-anaknya (terutama) dengan cara
dan dalam bentuk pengajaran, dan pada gilirannya pengajaran merupakan salah satu
59
unsur penting dari pendidikan”. Ia menambahkan pengajaran berpartisipasi dalam
fungsi dan tujuan pendidikan. Akan tetapi sekolah bukan hanya mengajar, melainkan
juga diharapkan mendidik, tak hanya lewat pengajaran, melainkan melalui sikap,
perilaku keteladanan, suasana, kegiatan kemanusiaan dan keagamaan. (Piet, Go.,
1992: 3).
Di antara segala upaya pendidikan, sekolah mempunyai makna yang istimewa.
Sekolah bagaikan suatu pusat kegiatan maupun kemajuan, yang serentak harus
melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macasm perserikatan yang
memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan, dan keagamaan, masyarakat sipil dan
segenap keluarga manusia (GE 5). Sekolah sebagai sarana menghadirkan Gereja di
dalam memajukan pembentukan manusia seutuhnya, mengingat sekolah adalah pusat
pengembangan dalam penyampaian konsepsi tertentu mengenai dunia, manusia dan
sejarah.
60
BAB III
SEKOLAH KATOLIK SEBAGAI SALAH SATU BENTUK KEHADIRAN
GEREJA MENURUT GRAVISSIMUM EDUCATIONIS
Pendidikan yang benar mengiktiarkan pembinaan pribadi manusia untuk tujuan
akhirnya dan serentak untuk kepentingan masyarakat. Manusia adalah anggota
masyarakat dan manusia itu berperan serta dalam tugas-tugas kemasyarakatan. Maka
anak-anak dan remaja harus dibantu untuk mengembangkan bakat fisik, moral
intelektualnya secara harmonis untuk dapat lebih bertanggungjawab. Dalam usaha
mengembangkan bakat fisik, moral dan intelektualnya, harus dikembangkan secara
tepat dengan usaha yang berkesinambungan dalam hidupnya serta dicapai dengan
cara yang benar-benar bebas serta mampu mengatasi hambatan-hambatan dengan
jiwa besar dan tabah. Maka kepada negara dan kepada para pendidik agar berusaha
supaya angkatan muda tidak dikebiri dalam haknya yang suci yakni memperoleh
pendidikan yang layak (GE 1).
A. Sekolah Katolik
1. Pengertian Sekolah Katolik
Dokumen GE mengatakan bahwa Sekolah merupakan sarana yang terutama
bagi Gereja dalam menunaikan tugasnya di bidang pendidikan. Sekolah sebagai salah
satu bagian dari harta warisan bersama umat manusia dan yang cukup besar
maknanya untuk mengembangkan jiwa dan membina manusia (GE 4). Dokumen
61
mengatakan demikian karena konsili melihat betapa pentingnya sekolah itu, dan
maknanya yang begitu besar dalam pembentukan pribadi manusia. Ditegaskan dalam
dokumen:
Sementara terus-menerus mengembangkan daya kemampuan akal budi, berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka watak perangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami (GE 5).
Konsili suci menambahkan bahwa Sekolah merupakan suatu pusat kegiatan
maupun kemajuan yang serentak harus melibatkan keluarga-keluarga, para guru,
bermacam-macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan
dan keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia (GE 5). Jadi tujuan
utamanya adalah demi pengembangan manusia itu sendiri. Hal yang sama
disampaikan oleh Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja
Indonesia (1995: 269) yang mengatakan bahwa “Sekolah Katolik merupakan tempat
istimewa, untuk melalui perjumpaan nyata dengan pusaka warisan budaya beroleh
pendidikan integral.” Sebab sebagai lembaga Katolik, sekolah itu mengacu kepada
konsep kristiani tentang hidup yang berpusatkan Yesus Kristus, yang pada Yesus
Kristus semua nilai manusiawi menemukan kepenuhan dan kesatuannya. Sekolah
Katolik berusaha menjadi rukun hidup pembina, yang dijiwai oleh semangat Injil
kebebasan dan cinta kasih.
62
Dikatakan melibatkan keluarga-keluarga, para guru dan berbagai macam
perserikatan karena sekolah tidak dapat berdiri sendiri dalam memajukan dan
mengembangkan kaum muda untuk mencapai kemajuan hidup berbudaya,
kemasyarakatan dan keagamaan serta masyarakat sipil dan seluruh umat manusia.
Berbagai pihak harus saling mendukung dan bekerja sama dalam mencapai tujuan
yang diharapkan. Konsili suci menegaskan hal ini:
Tugas mendidik yang pada tempat pertama adalah wewenang keluarga, membutuhkan bantuan seluruh masyarakat. Maka di samping hak orang tua dan orang lain yang mereka ikutsertakan dalam tugas mendidik, negara memang mempunyai tugas dan hak tertentu, karena ia berwenang mengatur hal-hal yang dituntut demi kepentingan umum keduniawian (GE 3).
Adapun tugas negara dalam pengembangan pendidikan adalah memajukan
pendidikan angkatan muda dengan berbagai macam cara yakni melindungi tugas dan
hak para orang tua dan orang-orang yang berperan serta dalam pendidikan serta
memberikan bantuan kepada mereka. Negara berhak melengkapi karya pendidikan
dengan memperhatikan kehendak para orang tua. Hal itu terjadi apabila usaha para
orang tua tidak mencukupi. Selain itu sejauh dibutuhkan, negara mendirikan sekolah
dan lembaga sendiri (GE 3).
Konsili suci mengatakan bahwa sungguh indah tetapi berat tugas panggilan
para guru dalam menunaikan tugasnya. Para pendidik membantu para orang tua
dalam mendidik anak-anaknya. Panggilan sebagai pendidik itu memerlukan bakat-
bakat khas, budi maupun hati, persiapan yang amat seksama, dan kesediaan untuk
membaharui diri (GE 5).
63
2. Tujuan Sekolah Katolik
Sebagaimana Sekolah merupakan bagaikan suatu pusat kegiatan maupun
kemajuan, yang melibatkan komponen-komponen pendidikan, demi memajukan
hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan dan segenap keluarga manusia,
sekolah Katolik mempunyai tujuan yang jelas dan utuh. Kongregasi suci menegaskan,
beberapa tujuan sekolah Katolik yaitu untuk pendewasaan pribadi manusia dengan
pengembangan pribadi manusia dalam segala aspek dan seginya yang benar-benar
integral. Aspek intelektual, fisik, moral dan religiusnya benar-benar diarahkan ke
pembentukan dan pengembangan yang integral. Dalam arti personal maupun sosial
pendidikan mengarah kepada tujuan untuk mencapai kebahagiaan sekaligus berfungsi
sosial demi kesejahteraan masyarakat dan harus berguna bagi masyarakat. Oleh
karena itu Konsili Vatikan II menyatakan: “Tujuan pendidikan dalam arti
sesungguhnya ialah mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan
terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa
manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan
tugas kewajibannya” (GE 1). Dengan demikian sangat jelas bahwa pendidikan itu
harus mampu untuk mengembangkan pribadi manusia secara integral, untuk
mencapai kebahagiaan serta mensejahterakan masyarakat dan mengajak orang untuk
berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat dalam membangun masyarakat yang
ada. Kesejahteraan umum haruslah tetap dicita-citakan dan diusahakan dengan sekuat
tenaga oleh semua orang. Khususnya dengan pendidikan, orang akan semakin
64
disadarkan betapa hidup manusia itu harus terarah ke aspek sosial, yakni
kesejahteraan masyarakat (Sardi, 2005: 6).
Konsili suci meneguhkan bahwa pendidikan itu haruslah membuahkan dimensi
sosial yang berdaya guna bagi masyarakat, oleh konsili dikatakan demikian:
Kecuali itu hendaknya mereka dibina untuk melibatkan diri dalam kehidupan sosial sedemikian rupa, sehingga dibekali upaya-upaya seperlunya yang sunguh menunjang mereka mampu berintegrasi secara aktif dalam pelbagai kelompok rukun manusia, makin terbuka berkat pertukaran pandangan dengan seksama, dan dengan suka rela ikut mengusahakan peningkatan kesejahteraan umum (GE 1).
Pendidikan haruslah benar-benar mendukung secara tepat berkembangnya
pribadi manusia. Perkembangan itu harus diperhatikan. Konsili suci mengatakan
bahwa anak-anak dan kaum muda remaja berhak didukung, untuk belajar menghargai
dengan suara hati yang lurus nilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayati secara
pribadi, pun juga untuk makin sempurna mengenal dan mengasihi Allah (GE 1).
Sebagai konsekuensinya hak azasi mereka harus tetap terpenuhi. Dalam rangka ini
konsili menganjurkan supaya putera-puteri Gereja dengan jiwa besar
menyumbangkan jerih payah mereka di seluruh bidang pendidikan, terutama dengan
maksud agar buah hasil pendidikan dan pengajaran sebagaimana mestinya terjangkau
oleh siapa pun di seluruh dunia (GE 1). Pendidikan kristiani ini harus menjangkau
semakin luas demi integritas pribadi yang mengarah kepada kebahagiaan serta
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pendid ikan yang diharapkan dan dicita-
citakan oleh Konsili Vatikan II itu bukanlah hanya mau menekankan aspek
65
intelektualnya saja, tetapi keseluruhan aspek kehidupan diri manusia yang bermanfaat
dan sekaligus manusia yang beriman.
Apa yang ditetapkan oleh Konsili Vatikan II itu sangat tepat, dan memberikan
arah penetapan yuridis seperti dirumuskan dalam Kitab Hukum Gereja mengenai
pendidikan kristiani. Kitab Hukum Gereja mengatakan demikian:
Pendidikan yang sejati haruslah meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang meperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan para remaja hendaknya dibina sedemikian rupa sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh cita rasa tanggungjawab yang semakin sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan tepat, pun pula dapat berperan serta dalam kehidupan sosial secara aktif (KHK, 1991, kan 795).
Sardi mengemukakan hal yang sama juga, beliau mengatakan bahwa
pendidikan haruslah dapat mengembangkan diri manusia sebagai pribadi dalam
segala aspeknya, sehingga seseorang itu dapat berkembang dan tumbuh menjadi
pribadi yang integral. Aspek fisik, psikis, moral dan intelektual serta religius haruslah
berkembang seirama dengan perkembangan dalam pendidikan yang dikenyamnya.
Dengan demikian pembinaan atau formasi diri sebagai manusia yang bermartabat
dengan integritas dirinya haruslah dikembangkan, sehingga kebahagiaan sebagai
tujuan hidup manusia ini akan tercapai. Dari sini diharapkan juga kesejahteraan
masyarakat akan dapat diraihnya pula (Sardi, 2005: 9).
Dokumen Konsili Vatikan II menambahkan, tujuan pendidikan selain
pendewasaan pribadi manusia tetapi juga terutama hendak mencapai supaya mereka
yang telah dibabtis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan, dan
66
dari hari ke hari menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka
belajar bersujud menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (Yoh 4: 23),
terutama dalam perayaan liturgi supaya dibina untuk menghayati hidup mereka
sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan sejati (Ef 4: 22-24), supaya
dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan
yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (Ef 4: 13), dan ikut serta mengusahakan
pertumbuhan Tubuh Mistik. Hendaklah juga mereka menyadari panggilan mereka
dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri
mereka (1 Ptr 3: 15) serta mendukung perubahan dunia menurut tata nilai kristen
yang mengangkat nilai-nilai alamiah ke dalam wawasan yang lengkap mengenai
manusia yang ditebus Kristus dan menyumbang seluruh kepentingan masyarakat (GE
2).
Hal yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II semakin jelas dan tegas bahwa
semua orang yang telah dibabtis berhak menerima pendidikan Katolik. Dengan
tujuan pendewasaan pribadi dan sekaligus mengembangkan pengetahuan serta
penghayatan akan misteri keselamatan, menyadari panggilan hidupnya, mampu
bersaksi dan mendukung segala aktivitas dengan mengembangkan nilai-nilai kristiani
demi kesejahteraan masyarakat.
B. Visi Misi Sekolah Katolik
1. Visi Sekolah Katolik
67
Visi sebuah sekolah sangat menentukan arah dasar, sasaran yang ingin dicapai
serta tujuan kegiatan-kegiatan dan kebijakan yang akan diputuskan dalam mengelola
sebuah sekolah. Visi diharapkan dapat berfungsi sebagai dasar teologis, legitimasi
dan bahkan perutusan yang tidak hanya membenarkan dan menugaskan tetapi
menunjuk arah dasar yang harus ditempuh. Dalam hal ini visi diartikan sebagai
kemampuan untuk melihat inti persoalan, pandangan, wawasan, apa yang tampak
dalam khayal, penglihatan dan pengamatan. Dengan kata lain visi itu merupakan
kemampuan untuk melihat arah yang mau dituju atau diraih. Maka sebuah visi mutlak
penting dan jelas sehingga memberi persepsi dan deskripsi yang membantu mencapai
tujuan yang hendak dicapai. Konsili suci menegaskan bahwa visi Sekolah Katolik
adalah: “Mendidik para siswanya untuk dengan tepat guna mengembangkan
kesejahteraan masyarakat di dunia, serta menyiapkan mereka untuk pengabdian demi
meluasnya Kerajaan Allah, sehingga dengan demikian memberi teladan hidup
merasul mereka menjadi bagaikan ragi keselamatan bagi masyarakat luas” (GE 8).
Disadari bahwa sekolah Katolik dapat memberi sumbangan yang besar kepada
umat Allah untuk menunaikan misinya dan menunjang dialog dengan Gereja dan
masyarakat yang saling menguntungkan. Oleh karena itu Gereja mempunyai hak
secara bebas mendirikan dan mengurus sekolah-sekolah pada semua tingkat. Jadi para
guru hendaknya menyadari kehadiran mereka karena peran mereka sangat
menentukan dalan usaha mencapai tujuan yang hendak dicapai itu. Konsili suci
mengatakan agar para guru sebagai pendidik sungguh-sungguh disiapkan, supaya
membawa bekal ilmu pengetahuan profan maupun keagamaan yang dikukuhkan
68
dengan ijazah- ijazah semestinya, serta mempunyai kemahiran mendidik sesuai
dengan perkembangan zaman (GE 8).
2. Misi Sekolah Katolik
Sifat misioner Gereja adalah terletak pada katolisitasnya. Gereja sebagai
sakramen keselamatan bagi semua orang dan bertugas mewartakan kabar gembira
kepada semua orang pula. Demikian juga sekolah Katolik bertugas mewartakan kabar
gembira kepada semua orang karena kehadiran Gereja di bidang persekolahan nyata
secara khusus pada sekolah Katolik (GE 8). Gereja mendirikan sekolah-sekolah
karena Gereja memandang sekolah sebagai sarana istimewa untuk memajukan
pembentukan manusia seutuhnya. Mengingat sekolah juga adalah suatu pusat
pengembangan dan penyampaian konsepsi tertentu mengenai dunia, manusia dan
sejarah (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 16). Maka misi sekolah
Katolik juga harus sesuai dengan misi Gereja yaitu mewartakan Injil keselamatan
kepada semua orang. Misi membantu untuk mencapai visi yang akan dilakukan
maupun dicita-citakan.
Demikianlah konsili suci mengatakan: Misi sekolah Katolik adalah
menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta
warisan budaya yang dihimpun oleh generasi-generasi masa lalu, meningkatkan
kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu,
memupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka watak perangai
maupun kondis i hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami (GE 5).
69
Dengan demikian sekolah menjadi semacam pusat, dengan kegiatan dan
perkembangan yang harus didukung bersama oleh keluarga-keluarga, para guru serta
ragam serikat yang memajukan kehidupan kebudayaan, kewargaan dan keagamaan
dan oleh negara serta seluruh masyarakat manusia. Jadi sangat luhur dan beratlah
beban panggilan semua yang terlibat membantu orang tua dalam menunaikan tugas
dan menggantikan masyarakat manusia dalam tugas mendidik di sekolah (GE 5).
C. Identitas Sekolah Katolik
Melalui sekolah Katolik, Gereja hadir. Maka sekolah-sekolah Katolik haruslah
mengusahakan pendidikan yang integral dan mengarahkan para peserta didik untuk
menjadi manusia yang lebih manusiawi. Dengan demikian identitas sekolah Katolik
semakin jelas dan menampilkan citranya yang sebenarnya. Sekolah Katolik tidak
cukup hanya mempunyai nama baik, melainkan juga dituntut agar sekolah Katolik
memang sungguh baik. Konsili suci mengemukakan beberapa ciri sekolah Katolik
dan dalam ciri khas sekolah Katolik itu nampak semakin jelas identitas sekolah
Katolik. GE 8 menguraikan ciri khas sekolah Katolik sebagai berikut:
1. Menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah, yang dijiwai oleh semangat
Injil kebebasan dan cinta kasih
2. Membantu kaum muda supaya dalam mengembangkan kepribadian mereka
sekaligus berkembang sebagai ciptaan baru.
3. Mengarahkan seluruh kebudayaan manusia sampai kepada pewartaan keselamatan
70
4. Pengetahuan yang secara berangsur-angsur diperoleh para siswa tentang dunia,
kehidupan dan manusia diterangi oleh iman.
Dalam rangka mencapai untuk dapat menampilkan ciri khas sekolah Katolik
seperti yang disebutkan di atas, sekolah Katolik membuka diri ke arah dunia modern,
mendidik para peserta didiknya untuk tepat guna mengembangkan kesejahteraan
masyarakat di dunia ini dan menyiapkan mereka untuk pewartaan Kerajaan Allah,
sehingga dengan memberi teladan merasul mereka menjadi ragi keselamatan bagi
masyarakat luas (GE 8).
Berkaitan dengan semangat cinta kasih yang merupakan ciri khas sekolah
Katolik, Radno Harsanto dalam majalah Educare mengatakan bahwa yang mutlak
adalah Sekolah Katolik harus mengembangkan kehidupan yang berdasarkan cinta
kasih. Artinya cinta kasih itu tidak boleh hilang. Ia menambahkan, sekolah harus
merupakan perwujudan kehidupan Gerejani di mana ia hadir untuk mewujudkan
kehidupan beriman lewat sekolah. Cinta kasih sebagai ciri khas sekolah Katolik tidak
boleh hancur oleh aturan dan ketetapan. Cinta kasih harus tetap ditegakkan selama
masih ada kehidupan bersama di dalam sekolah. Maka sangat dibanggakan oleh
sekolah kalau nara didik memiliki daya juang tinggi, mempunyai kemampuan
melayani sesamanya serta bisa mewujudkan kehidupan imannya di tempat hidupnya
(Radno Harsanto, 2004: 34).
Sangatlah jelas bahwa ciri sekolah Katolik itu adalah lingkungan hidup yang
dijiwai semangat cinta kasih. Tetapi sekolah Katolik tidak boleh menutup diri, seolah
71
yang paling sempurna dalam rangka pendidikan. Sekolah Katolik mesti melihat
kepada dirinya. Sebab kebanyakan sekolah Katolik tetap dinilai sebagai sekolah yang
mahal dan belum mampu menjangkau semua orang, khususnya mereka yang miskin.
Hal inilah yang menjadi tantangan yang bagi sekolah-sekolah Katolik agar mampu
menemukan cara-cara baru demi eksisnya sekolah tersebut di tengah masyarakat
(Sardi, 2005: 17-18).
D. Dimensi Religius Sekolah Katolik
Sekolah Katolik mengusahakan cita-cita budaya dan perkembangan kaum muda
secara alamiah sama seperti sekolah lain. Yang membedakan sekolah Katolik dengan
sekolah lain adalah usahanya untuk mewujudkan suasana kekeluargaan di sekolah
yang dijiwai oleh semangat kebebasan dan cinta kasih Injili. Sekolah berusaha untuk
membimbing anak-anak muda agar perkembangan mereka masing-masing sebagai
pribadi dan sebagai ciptaan baru berkat sakramen babtis terlaksana bersama-sama.
Sekolah mengaitkan segala yang ada dalam kebudayaan manusia dengan warta
gembira keselamatan agar cahaya iman menerangi segala sesuatu tentang dunia,
tentang kehidupan dan pribadi manusia. Karena itu konsili mengatakan bahwa yang
membedakan sekolah Katolik dari sekolah lain adalah dimensi religiusnya. Dimensi
religius itu terdapat dalam suasana pendidikan, perkembangan pribadi manusia,
hubungan yang terjalin antara kebudayaan dan Injil serta penerangan segala
pengetahuan oleh cahaya iman (GE 8).
72
1. Pergumulan Kaum Muda Masa Kini
Konsili memberi perhatian yang cukup besar terhadap kaum muda. Kaum muda
menjadi sorotan utama dalam kehidupan religius terutama dalam memasuki dunia
yang mengalami perkembangan dengan segala kemajuan yang ada. GE mengatakan:
“Memang benarlah, pendidikan kaum muda, bahkan juga semacam pembinaan terus-
menerus kaum dewasa, dalam situasi zaman sekarang menjadi lebih mudah, tetapi
sekaligus juga lebih mendesak” (GE pendahuluan).
Hal yang sama berkaitan dengan kaum muda yang menjadi sorotan utama
ditegaskan kembali dalam GE 8 yang mengatakan: “Tidak kurang dari sekolah-
sekolah lainnya, sekolah Katolik pun mengejar tujuan-tujuan budaya dan
menyelenggarakan pendidikan manusiawi kaum muda”. Konsili berulangkali
menyebut kaum muda dalam dokumennya yang tertuang dalam GE. Pendidikan atau
pembinaan terus menerus itu difokuskan kepada kaum muda.
Anak-anak dan kaum remaja berhak didukung, untuk belajar menghargai suara hati yang lurus nilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayatinya secara pribadi, pun juga untuk makin sempurna mengenal dan mengasihi Allah. Maka dengan sangat konsili meminta, supaya siapa saja yang menjabat kepemimpinan atas bangsa-bangsa atau berwewenang di bidang pendidikan, mengusahakan supaya jangan sampai generasi muda tidak terpenuhi haknya yang asasi itu (GE 1).
Mengapa kaum muda menjadi sorotan utama? konsili menjelaskan bahwa kaum
muda dalam situasi sekarang mengalami perubahan-perubahan yang perlu diarahkan
sesuai dengan nilai-nilai yang sebenarnya. Perubahan-perubahan dengan kemajuan
teknologi yang pesat mengakibatkan perubahan dalam pandangan dan gaya hidup,
73
serta perkembangan industri yang memungkinkan keleluasaan memilih peluang-
peluang pendidikan serta sistem komunikasi yang semakin kompleks. Kaum muda
menyerap hasil pemilihan pengetahuan yang luas dan beragam dari segala sumber
termasuk sekolah. Tetapi mereka belum cukup mampu untuk mengatur dan
menentukan prioritas yang telah mereka pelajari. Mereka kurang bersikap kritis untuk
membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan buruk karena belum
memiliki tolok ukur agama dan moral yang diperlukan. Kaum muda belum cukup
kuat untuk setia terhadap nilai-nilai tertentu serta mengembangkan nilai-nilai tersebut
menjadi suatu cara hidup. Kecenderungan mereka adalah untuk mengikuti
kemauannya sendiri, dan menerima apa saja yang sedang populer pada zaman mereka
(Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 86).
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI melukiskan situasi kaum muda
di Asia, satu sisi gambaran kehidupan kaum muda Asia lebih negatif tetapi juga
mereka mempunyai hal-hal yang potensial. Banyak kaum muda yang hidup dalam
kondisi-kondisi yang menyedihkan, karena miskin tidak mampu membebaskan diri
dari perbudakan kebodohan, mereka terbelenggu pada hidup yang sangat dibatasi
amat kurangnya ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan. Mereka mudah terluka
oleh godaan-godaan materialisme dan konsumerime. Dengan mudah mereka menjadi
umpan ideologi, yang berpretensi menawarkan pembebasan dari kemiskinan dan
ketidakadilan. Dan karena pintu-pintu pendidikan seringkali tertutup bagi mereka,
maka kesadaran menjadi anggota masyarakat, yang sudah dirongrong oleh kondisi-
kondisi materil yang tidak layak, bahkan diperlemah. Walaupun banyak yang pernah
74
menikmati pendidikan, tetapi mereka kemudian menganggur atau kurang mendapat
pekerjaan, atau juga menyaksikan kurang adanya konsistensi antara yang mereka
pelajari di sekolah dan yang dipraktekkan serta dihargai masyarakat. Mereka mencari
supaya aman dan diterima di lingkungan teman-teman sebaya yang sering sama
bingungnya. Kecemasan akan masa depan, masa kini yang nampak tidak memberi
harapan, tekanan-tekanan lain yang mendorong mereka untuk mencari pelarian dalam
pengganti-pengganti yang justru merusak seperti narkotika, minuman keras, bunuh
diri, nafsu menimbulkan kerusakan, seks di luar nikah serta kejahatan. Inilah situasi
kaum muda secara khusus di Asia (Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI:
305-306).
Maka dengan situasi itu diharapkan sekolah harus secepat mungkin melihat
situasi keagamaan mereka untuk mengetahui proses pikiran, gaya hidup dan reaksi
mereka terhadap segala perubahan yang mereka alami. Dalam himbauan GE
ditegaskan:
Maka dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan psikologi, pedagogi dan didaktik, perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu untuk menumbuhkan secara selaras serasi bakat-pembawaan fisik, moral dan intelektual mereka. Dengan demikian mereka setapak demi setapak akan mencapai kesadaran bertanggungjawab yang kian penuh, dan kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus-menerus untuk dengan seksama megembangkan hidup mereka sendiri. sambil mengatasi hambatan-hambatan dengan kebesaran jiwa dan ketabahan hati, mereka akan mencapai kebebasan yang sejati (GE 1).
Kongregasi suci tentang pendidikan menambahkan situasi setempat
menyebabkan kebhinnekaan yang luas. Akan tetapi tetap ada ciri-ciri umum yang
dimiliki oleh kaum muda dan hal itu perlu disadari oleh mereka yang mendapat tugas
75
mendampingi mereka terutama para pendidik. Kaum muda memiliki sifat
ketidakstabilan. Di satu pihak mereka hidup dalam suatu tata dunia yang berdimensi
satu yaitu kegunaan praktis dan satu-satunya nilai adalah kemajuan ekonomi dan
teknologi. Di lain pihak kaum muda nampaknya sedang bergerak menuju ke suatu
tingkat tata dunia yang sempit dan mereka ingin lepas dari ketersempitan itu. Kaum
muda cemas akan masa depan, hal ini disebabkan oleh suatu situasi nilai-nilai
kemanusiaan kacau karena nilai-nilai tersebut tidak berakar lagi pada Tuhan.
Akibatnya kaum muda sangat takut apabila memikirkan masalah-masalah gawat
dunia: ancaman pemusnahan dengan senjata nuklir, pengangguran, perceraian,
kemiskinan, dan masalah-masalah lainnya (Kongregasi Suci untuk Pendidikan
Katolik, 1991: 86-87).
Dengan keadaan yang mereka alami tidak jarang kaum muda berpaling ke
alkohol, obat-obatan, hal-hal erotis, dan eksotis seperti yang dilukiskan di atas
mengenai keadaan kaum muda di Asia karena tidak mampu menemukan satu makna
pun dalam hidup mereka. Kaum muda mencoba untuk menemukan pelarian dari
kesepian yang mereka alami. Maka sangat dipentingkan untuk menyalurkan hal-hal
yang potensial untuk kebaikan, dan kalau memungkinkan memberikan arah yang
berasal dari cahaya iman (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 87-88).
2. Iklim Religius Sekolah
Kaum muda mendapatkan dirinya berada dalam kondisi ketidak stabilan secara
radikal. Di satu pihak mereka hidup dalam satu tata dunia yang berdimensi satu
76
ketika kriteria satu-satunya adalah kegunaan praktis dan satu-satunya nilai adalah
kemajuan ekonomi dan teknologi. Di lain pihak, kaum muda yang sama nampaknya
sedang bergerak menuju ke suatu tingkat di atas tata dunia yang sempit sehingga
mereka ingin lepas dari situasi itu. Maka pihak sekolah perlu untuk peka terhadap
keadaan yang dialami oleh kaum muda untuk dapat mengatasi persoalan mereka dan
menjawab kebutuhan mereka. Oleh karena itu, suasana yang kondusif perlu
diciptakan dalam proses pembentukan diri mereka sehingga mereka merasa
dilibatkan, dibutuhkan dan kerasan dalam proses yang dilalui. Berkaitan dengan
suasana yang kondusif ini, konsili suci menyebutnya iklim religius sekolah yaitu
lingkungan yang dijiwai semangat kebebasan injili dan cinta kasih (GE 8).
Konsili suci mengemukakan bahwa “salah satu ciri sekolah Katolik adalah
menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah yang dijiwai oleh semangat Injil
kebebasan dan cinta kasih” (GE 8). Ciri khas sekolah Katolik ini merupakan dimensi
religius dari sekolah Katolik juga. Tekanan yang dikemukakan oleh konsili adalah
suasana yang dijiwai Injil kebebasan dan cinta kasih. Konsili memandang iklim
sekolah yang dijiwai oleh semangat Injil kebebasan dan cinta kasih merupakan hal
yang perlu oleh karena menciptakan iklim sekolah yang kondusif akan mendukung
terjadinya proses belajar mengajar di sekolah. Iklim sekolah adalah hubungan
interaksi yang terjadi di sekolah dengan sejumlah komponen-komponen yang
berbeda-beda dengan menciptakan kondisi yang cocok untuk suatu proses
pendidikan. Maka unsur-unsur yang diperlukan dalam mengembangkan visi iklim
sekolah untuk dilaksanakan adalah personilnya, ruang, waktu, hubungan, pengajaran,
77
studi dan macam kegiatan lainnya (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991:
91).
Iklim sekolah yang dimaksudkan adalah lingkungan yang dijiwai oleh Roh
cinta kasih dan kebebasan. Cinta kasih itu adalah Allah (1 Yoh 4: 8) dan dalam Roh
Allah ada kemerdekaan (2 Kor 3: 17). Maka konsili mengajak di sekolah Katolik,
setiap orang hendaknya sadar akan kehadiran Yesus “Sang Guru” yang selalu hadir
menyertai setiap perjalanan hidup manusia. Semangat Injil hendaknya nampak dalam
cara berpikir dan hidup secara kristen yang menjiwai segi-segi iklim pendidikan
(Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 91-92).
Dalam menciptakan iklim sekolah itu tanggungjawab pertama terletak pada
guru, secara perorangan maupun secara kelompok. GE 8 mengatakan demikian:
“Hendaklah para guru menyadari, bahwa terutama peranan merekalah yang
menentukan bagi sekolah Katolik, untuk dapat melaksanakan rencana-rencana dan
usaha-usahanya”. Dalam menciptakan iklim sekolah sebagaimana yang diharapkan,
dilaksanakan melalui perayaan-perayaan nilai-nilai kristiani dalam Sabda dan
sakramen, dalam perilaku perorangan, dalam hubungan antar pribadi yang akrab dan
serasi dan dalam kesediaan untuk melayani. Melalui kesaksian hidup sehari-hari itu
para siswa akan merasakan keunikan lingkungan tempat mereka pernah
mempercayakan masa muda mereka. Sekolah juga perlu menciptakan suasana
kekeluargaan yang menyenangkan dan membahagiakan. Dan apabila suasana
kekeluargaan kurang didapatkan di rumah, maka sekolah dapat berbuat banyak untuk
78
mengisinya sehingga siswa kerasan untuk belajar di sekolah (Kongregasi Suci untuk
Pendidikan Katolik, 1991: 92).
Kongregasi suci tentang pendidikan mengatakan bahwa hal pertama yang dapat
membantu menciptakan lingkungan yang menyenangkan adalah fasilitas fisik yang
memadai yang meliputi: ruang kelas, olah raga dan rekreasi, juga ruang staf dan
ruang-ruang pertemuan guru dan orang tua, kerja kelompok dan kegiatan-kegiatan
lainnya (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 92).
Konsili suci memandang bahwa sekolah adalah sebagai sebuah komunitas
bukan lagi sebagai lembaga. Hal itu menggambarkan pandangan Gereja menurut
Lumen Gentium, Gereja dilukiskan sebagai Umat Allah. Diharapkan setiap orang
yang terlibat langsung dalam sekolah yakni guru, kepala sekolah, staf administratif,
dan karyawannya menciptakan sebuah komunitas sekolah. Sementara orang tua
adalah tokoh sentral, karena mereka adalah pelaku-pelaku alamiah dan tugas mereka
yang tak tergantikan dalam pendidikan anak-anak. Demikian juga agar siswa-siswa
menjadi bagian dari komunitas karena mereka harus menjadi pelaku-pelaku aktif
dalam pendidikan mereka sendiri (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991:
94).
Dengan menciptakan sebuah komunitas sekolah, sekolah Katolik memiliki
identitas yang jelas, tidak hanya sebagai suatu kehadiran Gereja di masyarakat, tetapi
juga sebagai sarana asli dan tepat dari Gereja. Sekolah menjadi tempat pewartaan
Injil, kerasulan otentik dan kegiatan pastoral. Dengan demikian melalui sekolah
Katolik, Gereja lokal mewartakan Injil, mendidik dan membantu pembentukan gaya
79
hidup yang sehat dan bersih secara moral di kalangan anggota-anggotanya. Maka
kehadiran akan sekolah Katolik akan sangat dibutuhkan kalau kita
mempertimbangkan hal yang disumbangkan sekolah Katolik bagi pengembangan
misi umat Allah, bagi dialog antara Gereja dan komunitas manusia dan bagi
pengamanan terhadap kebebasan suara hati (Kongregasi Suci untuk Pendidikan
Katolik, 1991: 94-95).
Bapa suci, Paulus VI mengatakan bahwa sekolah Katolik membantu dalam
mencapai tujuan ganda: “dari hakikatnya membimbing laki- laki dan wanita ke arah
kesempurnaan manusia dan kesempurnaan kristen, sekaligus menolong mereka
manjadi matang dalam iman (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 95).
Sekolah Katolik yang menciptakan sebuah komunitas harus juga menciptakan
iklim komunitas dan kemitraan. Sebab semakin para anggota komunitas pendidikan
menumbuhkan kesediaan untuk bekerjasama, maka akan semakin banyak buah karya
yang dihasilkan. Tujuan pendidikan yang menjadi prioritas utama akan tercapai
berkat kerjasama serta para anggota komunitas sesuai dengan peranannya masing-
masing yang dijiwai oleh Roh kebebasan dan cinta kasih Injili. Dengan kerjasama
yang terjalin dalam komunitas sekolah akan membantu mengatasi kesulitan yang
dihadapi sekolah dalam pencapaian tujuan. Selain iklim komunitas dan kemitraan
juga perlu menciptakan iklim percaya dan terbuka kepada orang tua siswa.
Maksudnya adalah agar sekolah-sekolah dasar hendaknya menciptakan iklim
kehidupan keluarga dengan suasana hangat dan mesra. Maka dibutuhkan supaya para
pendidik meningkatkan kerjasama yang erat dan tetap dengan orang tua siswa. Sebab
80
keterpaduan antara sekolah dan rumah merupakan persyaratan pokok bagi kelahiran
dan perkembangan potensi anak-anak dalam salah satu situasi termasuk keterbukaan
mereka terhadap agama (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 96).
3. Kehidupan Religius Sekolah dan Karya Sekolah
a. Dalam kehidupan sekolah
Dalam dokumen yang berbicara tentang dimensi religius sekolah dikatakan
bahwa yang membedakan sekolah Katolik dengan sekolah lainnya adalah bahwa
sekolah Katolik menimba inspirasi dan kekuatannya dari Injil. Hal ini merupakan
perbedaan hakiki dengan sekolah lainnya dalam kegiatan-kegiatan sekolah yang
beragam. Contohnya, pekerjaan sekolah yang diterima sebagai kewajiban dan
dilakukan dengan kemauan baik, berani dan tangguh dalam kesulitan, menghargai
guru, loyal dan cinta kepada sesama, jujur, toleran dan baik dalam segala hubungan.
Hal ini mencerminkan harapan yang hendak dicapai oleh konsili, sebab dalam GE
dikatakan: “Pengetahuan yang secara berangsur-angsur diperoleh para siswa tentang
dunia, kehidupan dan karya manusia disinari oleh terang iman” (GE 8). Jadi proses
pendidikan bukan semata-mata kegiatan manusia, tetapi merupakan suatu perjalanan
kristiani asli menuju kesempurnaan. Siswa akan menemukan juga kehendak Allah
dalam kerja dan dalam hubungan dengan sesama manusia. Mereka akan belajar dari
Sang Guru yang menggunakan waktu muda-Nya untuk berkarya dan berbuat baik
bagi semua (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 101).
81
Demikian juga dengan karya intelektual yang dilakukan oleh para siswa harus
dilihat sebagai bagian dari keterlibatan Allah. Meskipun hidup kristen terdiri dari
mencintai Allah dan melakukan kehendak-Nya namun karya intelektual erat terlibat.
Cahaya iman kristen mendorong untuk mengatahui semesta alam sebagai ciptaan
Allah. Allah menyalakan cinta kepada kebenaran yang tidak akan puas dengan
pengetahuan atau pendapat yang dangkal, membangkitkan rasa kritis untuk lebih
senang mengkaji pernyataan-pernyataan dari pada menerima secara buta serta
mendorong akal budi untuk belajar dengan cermat dengan metode yang tepat, dan
bekerja dengan rasa tanggungjawab. Allah juga menganugerahkan kekuatan untuk
menerima pengorbanan dan ketekunan yang diperlukan oleh kerja intelektual
(Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 101).
b. Dalam kebudayaan sekolah
GE mengatakan bahwa merupakan ciri sekolah Katolik juga untuk
mengarahkan seluruh kebudayaan manusia sampai kepada pewartaan iman. Iman dan
kebudayaan saling berhubungan dan keduanya diarahkan agar sesuai dan sejalan
dengan cita-cita Injil (GE 8). Kongregasi suci tentang pendidikan juga mengatakan
hal yang sama bahwa perkembangan intelektual dan pertumbuhan sebagai seorang
kristen maju bersama-sama dan saling melengkapi. Semakin siswa masuk ke jenjang
yang lebih tinggi, menjadi keharusan sekolah untuk menolong siswa menyadari
bahwa ada hubungan antara iman dan kebudayaan manusia. Dunia kebudayaan
manusia dan dunia keagamaan bukan dua garis pararel yang tidak pernah bertemu,
82
melainkan titik temu kedua hal itu dibangun dalam pribadi manusia. Dan untuk
memadukan kedua bidang itu merupakan tugas semua yang terlibat dalam komunitas
sekolah dengan peran masing-masing sesuai dengan kecakapan profesionalnya
(Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 102). Berarti hal yang ditegaskan
dalam GE semakin jelas bahwa iman dan kebudayaan tidak dapat berjalan sendiri
melainkan harus diarahkan hingga sampai kepada pewartaan keselamatan.
Para siswa akan dibantu mencapai sintesis antara iman dan kebudayaan yang
perlu bagi pematangan iman. Dengan demikian iman yang matang akan dapat
mengenal dan menolak nilai kebudayaan yang mengancam martabat manusia dan
berlawanan dengan Injil. Iman harus mengilhami tiap kebudayaan sebab iman yang
tidak menjadi kebudayaan adalah iman yang tidak diterima sepenuhnya, tidak
menyatu dan tidak dihayati dengan setia. Tetapi perlu diketahui bahwa masalah
agama dan iman tidak semua dipecahkan secara sempurna oleh studi akademis
(Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 103).
Siswa yang mampu menemukan keserasian iman dan ilmu pengetahuan, dalam
kehidupan profesional di masa yang akan datang akan lebih mampu menempatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pelayanan kepada manusia dan pelayanan
kepada Allah. Hal ini merupakan suatu cara untuk memberikan kembali kepada Allah
semua yang telah diberikan-Nya kepada manusia. Ditambahkan lagi agar sekolah
Katolik dengan guru-guru yang mengajar bidang studi lain seperti Biologi,
antropologi sosiologi dan filosofi, memberikan peluang memberikan gambaran
lengkap mengenai pribadi manusia, termasuk dimensi religiusnya. Agar para siswa
83
dibantu untuk melihat pribadi manusia sebagai ciptaan hidup yang mempunyai kodrat
fisik dan spiritual; bahwa manusia itu memiliki jiwa yang tidak dapat mati, dan
membutuhkan penebusan. Dengan demikian siswa secara bertahap akan sampai pada
pemahaman lebih dalam tentang segala yang terkandung dalam konsep “pribadi”:
akal dan kemauan, kebebasan dan perasaan, kemampuan menjadi pelaku aktif dan
kreatif, mahkluk yang dianugerahi hak dan kewajiban, mampu mengadakan
hubungan antar pribadi serta dipanggil untuk misi khusus di dunia (Kongregasi Suci
untuk Pendidikan Katolik, 1991: 103-104).
E. Awam Katolik di Sekolah Sebagai Saksi Iman
1. Peranan Guru di Sekolah
GE menyampaikan beberapa hal penting berkaitan dengan peran guru di
sekolah. GE menghimbau agar para guru di sekolah menyadari peranan mereka dan
bahkan peranan merekalah yang menentukan bagi sekolah Katolik untuk dapat
melaksanakan rencana-rencana serta usaha-usaha yang hendak dicapai sekolah (GE
8). Tujuan, visi maupun misi sekolah dapat terlaksana terutama oleh peranan para
guru di sekolah karena itu GE 8 menyebutkan beberapa hal sehubungan dengan
peranan guru di sekolah antara lain:
1. Agar para guru disiapkan, supaya membawa bekal ilmu pengetahuan profan
maupun keagamaan yang dikukuhkan dengan ijazah-ijazah semestinya (GE 8c)
2. Mempunyai kemahiran mendidik sesuai dengan perkembangan dan penemuan
modern (GE 8c)
84
3. Hendaklah cinta kasih menjadi ikatan timbal balik antara sesama guru maupun
antara siswa dengan guru serta dijiwai oleh semangat merasul (GE 8c)
4. Hendaknya mereka memberi kesaksian tentang Kristus Sang Guru yang
ditunjukkan melalui perihidup dan tugas mengajar (GE 8c)
5. Hendaklah mereka tahu bekerja sama dengan semua pihak dan terutama dengan
para orang tua (GE 8c)
6. Bersama orang tua hendaklah para guru dalam seluruh pendidikan memperhatikan
perbedaan jenis serta panggilan khas pria maupun wanita dalam keluarga dan
masyarakat sesuai dengan yang ditetapkan oleh Sang Pencipta (GE 8c)
7. Hendaknya para guru berusaha membangkitkan pada siswa kemampuan bertindak
secara pribadi (GE 8c)
8. Dan ketika siswa sudah tamat sekolah hendaklah para guru tetap mendampingi
dengan nasehat-nasehat, sikap yang bersahabat, maupun melalui perkumpulan
yang dijiwai semangat gerejawi (GE 8c)
Kedelapan poin penting di atas, oleh konsili merupakan hal yang sangat penting
untuk disadari oleh mereka yang terlibat langsung di sekolah. Konsili mengatakan
bahwa pelayanan guru-guru itu sungguh-sungguh merupakan kerasulan yang
memang perlu dan benar-benar menjawab kebutuhan jaman sekarang dan sekaligus
juga merupakan pengabdian yang sejati kepada masyarakat (GE 8).
Dari uraian yang disampaikan oleh GE tersebut semakin jelas bahwa mereka
yang menjabat sebagai guru mempunyai peran yang cukup kompleks dan berat.
85
Penghayatan terhadap sebuah panggilan sebagai pendidik yang memberi kesaksian
tentang Kristus Sang Guru. Dengan kata lain konsili menyebutkan guru adalah
sebagai saksi iman (GE 8). Dikatakan oleh GE demikian:
Maka sungguh indah tetapi berat jugalah panggilan mereka semua, yang untuk membantu para orang tua menunaikan kewajiban mereka sebagai wakil-wakil masyarakat, sanggup menjalankan tugas kependidikan di sekolah-sekolah. Panggilan itu memerlukan bakat-bakat khas budi maupun hati, persiapan yang amat seksama, kesediaan tiada hentinya untuk membaharui dan menyesuaikan diri (GE 8).
2. Guru Sebagai Saksi Iman
Konsili mengatakan bahwa guru di sekolah adalah sebagai saksi iman.
“Hendaknya guru memberi kesaksian tentang Kristus sebagai Guru satu-satunya
melalui perihidup dan tugas mengajar mereka” (GE 8). Berkaitan dengan
penghayatan panggilan guru sebagai saksi iman, hal ini difokuskan kepada para
awam Katolik di sekolah. Para kaum awam menjadi sorotan utama dalam hal ini.
Memang tidak secara eksplisit hal itu dilontarkan oleh konsili tetapi dalam dokumen
dikatakan kaum awam menjadi saksi iman. Dalam GE yang disebutkan adalah para
guru atau pendidik. Religius maupun biarawan-biarawati yang berkarya di sekolah
tidak dibicarakan lebih dalam mengenai pembedaan dengan para guru yang hadir di
sekolah tetapi dokumen berbicara kepada para pendidik. Namun dalam hal ini kaum
awam menjadi fokus utama sebab mereka terlibat langsung di tengah masyarakat dan
memberi kesaksian di tengah masyarakat. Dasar paling dalam mengenai peranan
awam dipandang positif dan memperkaya Gereja yaitu dasar teologisnya. Citra kaum
awam telah banyak diuraikan dalam konsili vatikan II terutama dalam kostitusi
86
dogmatis tentang Gereja dan dekrit tentang kerasulan awam (Kongregasi Suci untuk
Pendidikan Katolik, 1991: 44).
Ditambahkan lagi oleh kongregasi suci yang mengatakan kaum awam,
“mencari kerajaan Allah dengan melibatkan diri dalam urusan duniawi dan
mengaturnya sesuai kehendak Allah”. Mereka hidup di tengah-tengah kegiatan dan
jabatan dunia serta dalam situasi hidup keluarga dan hidup kemasyarakatan yang
biasa (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 46-47).
Terlebih dalam mengemban tritugas Yesus yang diperoleh oleh setiap orang
sejak dari babtisan. Setiap orang kristen, siapapun itu mempunyai tugas yang sama
dalam Gereja. Berkat babtisannya ia mengemban tugas sebagai imam, nabi dan raja.
Tritugas Yesus yang mereka emban ini mengharuskan mereka untuk melaksanakan
tugas itu dengan pengabdian kepada umat. Maka setiap awam yang dalam tugas-tugas
imamat, nabi dan raja dan kerasulan mereka, merupakan partisipasi dalam tugas
penyelamatan Gereja sendiri (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 46).
Maka awam katolik yang berkarya di sekolah bersama setiap orang yang hadir
di sana mengemban tugas sesuai dengan panggilan mereka. Panggilan untuk menjadi
suci dan melaksanakan tugas kerasulan bagi semua orang. Oleh karena itu diharapkan
agar mereka sambil menjalankan tugas khasnya di tengah masyarakat, dan dibimbing
oleh semangat Injil mereka dapat menyumbangkan pengudusan dunia dari dalam
laksana ragi. Dengan demikian mereka dapat memperkenalkan Kristus kepada orang
lain, terutama dengan kesaksian hidupnya yang menyinarkan iman, harapan, dan cinta
kasih (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 46-47).
87
Membaharui tata dunia dengan merasukkan inspirasi kristiani merupakan
peranan khusus awam. Tugas mereka adalah menyehatkan lembaga- lembaga dan
situasi dunia, apabila nampaknya merangsang kepada perilaku dosa. Kaum awam
harus mewartakan amanat Injil melalui tutur kata dan memberikan kesaksian tentang
amanat tersebut dalam perbuatan mereka. Dengan demikian kehadiran Gereja dan
Sang Penyelamat oleh Gereja terlaksana (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik,
1991: 47).
Konsili suci memberikan perhatian khsus kepada panggilan menjadi seorang
pendidik. Guru dimengerti sebagai pendidik yaitu orang yang membantu membentuk
pribadi-pribadi manusia. Tugas guru itu lebih dari sekedar memindahkan
pengetahuan tetapi juga sebagai pendidik. Maka dalam pembentukan pribadi manusia
yang utuh, yang merupakan tujuan pendidikan harus mencakup pengembangan segala
kemampuan manusiawi siswa, sekaligus persiapan ke arah kehidupan profesional,
pembentukan kesadaran etis, dan sosial, kesadaran transenden dan pendidikan agama.
Maka setiap sekolah dan setiap pendidik di sekolah harus berusaha membentuk
pribadi-pribadi yang mantap dan bertanggungjawab yang sanggup memilih secara
bebas dan benar. Dengan demikian menyiapkan kaum muda semakin membuka diri
terhadap kenyataan dan membentuk dalam diri mereka ide yang jelas tentang arti
hidup (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 51).
Berkaitan dengan keterlibatan kaum awam di sekolah menjadi saksi iman,
dalam hal ini seolah-olah yang hadir di sekolah itu melulu kaum awam, tetapi kaum
religius juga turut terlibat dalam bidang pendidikan bahkan kebanyakan sekolah-
88
sekolah Katolik dikelola oleh para religius. Namun kaum awamlah yang lebih banyak
berkiprah dalam lingkungan sekolah mengingat pertambahan kaum awam Katolik
yang berkarya di bidang pendidikan. Hal ini bertepatan juga dengan penurunan secara
mencolok jumlah imam dan biarawan-biarawati yang membaktikan diri pada
pengajaran. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya panggilan dan oleh
kebutuhan mendesak dengan kebutuhan kerasulan yang lain (Kongregasi Suci untuk
Pendidikan Katolik, 1991: 45).
F. Sekolah Katolik dan Pewartaan/Kerygma
Dari uraian di atas setelah panjang lebar berbicara mengenai sekolah, sangat
jelas bahwa konsili suci sangat memberi perhatian besar terhadap pendidikan demi
perkembangan pribadi manusia itu secara utuh. Konsili mengajak agar para pihak
yang terlibat dalam pendidikan itu sungguh-sungguh mampu memperhatikan hal-hal
yang mendukung proses pendidikan itu seperti suasana pendidikan, pergumulan
kaum muda serta dimensi religius dari kehidupan karya sekolah. Sekolah merupakan
sarana yang tepat untuk mencapai dan memajukan pengembangan pribadi manusia.
Gereja mendirikan sekolah-sekolah, karena Gereja memandang sekolah sebagai
sarana istimewa untuk memajukan pembentukan manusia seutuhnya, mengingat
sekolah adalah pusat pengembangan dan penyampaian konsepsi tertentu mengenai
dunia, manusia, dan sejarah. GE bagian pendahuluan mengatakan:
Adapun untuk melaksanakan perintah pendirinya yang ilahi, yakni mewartakan misteri keselamatan kepada semua orang dan membaharui segalanya dalam Kristus, Bunda Gereja yang kudus wajib memelihara perihidup manusia
89
seutuhnya, juga di dunia ini sejauh berhubungan dengan panggilan surgawinya. Maka Gereja berperan serta dalam pengembangan dan perluasan pendidikan (GE pendahuluan).
Dengan keterlibatan Gereja dalam dunia persekolahan maka konsili suci
menetapkan berbagai prinsip dasar tentang pendidikan Katolik secara khusus di
sekolah-sekolah. Di mana prinsip-prinsip itu masih perlu dijabarkan oleh panitia
khusus pendidikan sesudah konsili dan diterapkan dalam berbagai situasi daerah
setempat (GE pendahuluan).
Sekolah Katolik merupakan bagian dari tugas penyelamatan Gereja oleh karena
tujuan Gereja adalah melayani umat manusia sampai kepada kepenuhan dalam
Kristus. Maka evangelisasi yang merupakan tugas Gereja sangat penting, artinya
Gereja harus mewartakan kabar gembira tentang penebusan kepada semua orang,
membuahkan ciptaan-ciptaan baru dalam Kristus lewat pembabtisan, dan melatih
manusia agar hidup sebagai anak-anak Allah secara sadar. Oleh konsili sangat
menekankan pentingnya pewartaan misteri keselamatan itu untuk semua orang tanpa
terkecuali (GE pendahuluan). Lebih lanjut GE menegaskan keterlibatan Gereja
dalam dunia pendidikan menjadi hal yang penting, sebab sekolah adalah tempat yang
tepat bagi Gereja mewartakan kabar gembira keselamatan bagi semua orang
teristimewa dalam komunitas sekolah. Hal ini semakin dipertegas oleh konsili suci
dalam dokumen GE yang mengatakan demikian:
Pendidikan termasuk tugas Gereja bukan hanya karena masyarakat pun harus diakui kemampuannya menyelenggarakan pendidikan, melainkan karena Gereja bertugas mewartakan jalan keselamatan kepada semua orang, menyalurkan kehidupan Kristus kepada umat beriman, serta tiada hentinya penuh perhatian membantu mereka supaya mampu meraih kepenuhan hidup (GE 3).
90
Dokumen sangat menekankan bahwa Gereja wajib menyelenggarakan
pendidikan, supaya seluruh hidup anak didik diresapi semangat Kristus. Dan Gereja
sangat mendukung agar penyempurnaan pribadi manusia seutuhnya terlaksana,
kesejahteraan umum atau kesejahteraan masyarakat terjamin dan dunia ini dapat
berkembang lebih manusiawi (GE 3).
Dalam menunaikan tugas Gereja mendidik, Gereja memperhatikan segala
upaya yang mendukung, tetapi terutama upaya-upaya khas bagi Gereja. Upaya khas
yang dimaksudkan ialah pendidikan kateketis yang menyinari dan meneguhkan iman,
menyediakan santapan bagi hidup menurut semangat Kristus, mengantar kepada
partisipasi yang sadar dan aktif dalam misteri liturgi, dan membangkitkan semangat
dalam kegiatan merasul (GE 4).
Konsili suci menambahkan bahwa Gereja sangat menghargai dan berusaha
meresapi dengan semangatnya serta mengangkat upaya-upaya lain, termasuk harta
warisan bersama umat manusia, dan yang cukup besar maknanya untuk
mengembangkan jiwa dan membina manusia. Upaya-upaya lain itu antara lain,
upaya-upaya komunikasi sosial, kelompok-kelompok yang bertujuan
mengembangkan badan dan jiwa, himpunan-himpunan kaum muda, dan terutama
sekolah (GE 4). Di antara segala upaya pendidikan itu sekolah mempunyai makna
istimewa karena terus-menerus mengembangkan daya kemampuan akal budi, dan
berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang
cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-
91
generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa
untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun persahabatan antara para siswa
yang beraneka watak-perangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap
saling memahami (GE 5). Sarana sekolah menjadi yang terutama, konsili memandang
bahwa sekolah merupakan bagaikan suatu pusat kegiatan maupun kemajuan, yang
serentak harus melibatkan keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang
memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaaan, masyarakat sipil dan
segenap keluarga manusia (GE 5).
Berkaitan dengan pewartaan kabar gembira yang diperuntukkan bagi semua
orang, oleh Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI: 267 mengatakan:
“supaya pewartaan Injil bersifat integral, harus mencakup pengembangan
kebudayaan, pengembangan manusiawi dan pembebasan. Pendidikan merupakan
pengantara budaya, yang membawa kepada pengembangan manusiawi dan
pembebasan. Tanpa pendidikan pewartaan Injil tidak lengkap”. Pendidikan yang
memanusiawikan dan membebaskan itu menjadi pendidikan yang mewartakan Injil,
pendidikan untuk evangelisasi bila mencakup hubungan hakiki dengan misteri
keselamatan dan kehidupan Gereja. Oleh karena itu pendidikan Katolik terdiri dari
pendidikan pada taraf kebudayaan (evangelisasi kebudayaan) dan pada tingkat iman
(pendidikan dalam iman). Dengan demikian Gereja setempat dapat berinkarnasi,
mempribumi dan berinkulturasi sepenuhnya serta mengantar manusia dan masyarakat
kepada pengembangan dan pembebasan yang lebih penuh. Dalam upaya mewujudkan
evangelisasi kebudayaan dan pendidikan dalam iman itu Gereja mengutamakan cinta
92
kasih terhadap kaum miskin. Karena pendidikan merupakan upaya istimewa bagi
pengembangan manusiawi dan dan pembebasan. Kesamaan mendasar mengenai hak-
hak, martabat dan kebebasan hanya dapat dijamin, kalau mereka yang paling
berkekurangan, yang paling mudah terluka diutamakan (Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI: 269).
Gereja berusaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan untuk evangelisasi
khususnya dengan mendirikan sekolah-sekolah sendiri. Sebab sekolah Katolik
merupakan tempat istimewa untuk melalui perjumpaan nyata dengan pusaka warisan
budaya beroleh pendidikan integral. Sebagai lembaga pendidikan Katolik sekolah itu
mengacu kepada konsep Kristiani tentang hidup yang berpusatkan pada Kristus,
pada-Nya semua nilai manusiawi menemukan kepenuhan dan kesatuannya. Sekolah
Katolik berusaha menjadi rukun hidup pembina yang dijiwai oleh semangat
kebebasan dan cinta kasih (Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI: 269-
270).
Misi Gereja mewartakan Injil melalui sekolah Katolik dapat dijalankan secara
memadai melalui komitmen perorangan maupun bersama anggota keluarga besar
sekolah. Oleh karena itu hendaklah dijalankan tiap usaha untuk meningkatkan
partisipasi efektif para pelajar, guru-guru, para orangtua, staf tata usaha dan para
alumni dalam karya sekolah-sekolah Katolik. Maka sangat dianjurkan seperti yang
dikatakan di atas mengenai iklim religius sekolah agar sekolah Katolik berusaha
menciptakan rukun hidup yang edukatif, dijiwai oleh semangat Injil kebebasan dan
cinta kasih, yang memungkinkan pelaksanaan partisipasi dan tanggungjawab
93
bersama. Dengan demikian sekolah Katolik menjadi tempat perjumpaan bagi orang-
orang beriman, tempat anak-anak dan kaum muda dapat menjumpai Kristus sebagai
Sang Pembebas yang sepenuhnya, Juru selamat, Manusia bagi sesama, dan belajar
menghayati nilai-nilai Kristiani untuk kehidupan (Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI: 273).
94
BAB IV
SEKOLAH KATOLIK
SEBAGAI KEHADIRAN GEREJA YANG MENDIDIK
DI SMA PANGUDI LUHUR
Gambaran Sekolah seperti yang diuraikan dalam bab sebelumnya, akan
didalami lagi dalam bahasan berikut. Cita-cita Sekolah, Tujuan maupun Visi Misi
sekolah serta dimensi religius sekolah akan dikaji dalam bahasan ini. Sejauhmana
gagasan-gagasan yang dimunculkan oleh dokumen Gravissimum Educationis
tersebut terimplementasi dalam sekolah-sekolah Katolik. Dalam hal ini akan
difokuskan kepada Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.
Untuk mengetahui terwujudnya gagasan-gasasan yang dikemukakan dalam
dokumen Gravissimum Educationis tersebut, dalam bahasan ini akan didalami dan
dipelajari buku Pedoman Kerja SMA Pangudi Luhur 2006 dan Data Sekolah 2007.
Maka untuk memperkuat data yang telah diperoleh, dilaksanakan wawancara dengan
para guru, Kepala Sekolah, maupun siswa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Sekolah adalah sarana pewartaan iman semakin nampak dan nyata dalam sekolah-
sekolah Katolik.
A. SEKOLAH KATOLIK SMA PANGUDI LUHUR
1. Sejarah Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur
95
Gereja mempunyai harapan istimewa terhadap pendidikan. Dikatakan bahwa
pendidikan sebagai lahan yang subur untuk pembinaan generasi muda dan pewartaan
iman. Peranan Pendidikan tersebut sekaligus merupakan suatu sikap ambil bagian
dalam karya keselamatan Kristus untuk mengantar para siswa kepada cita-cita yang
luhur. Dilatarbelakangi oleh harapan Gereja terhadap peranan pendidikan tersebut,
maka Dewan Provinsi Kongregasi Bruder FIC di Indonesia menyelenggarakan
pembinaan secara intensif kepada generasi muda dengan tujuan untuk kemajuan
Gereja, masyarakat dan bangsa (Program Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta,
2007). Salah satu wujud yang ditampilkan adalah hadirnya Sekolah SMA Pangudi
Luhur Yogyakarta yang berdomisili di Jl. P. Senopati No. 18 Yogyakarta. Sekolah
SMA Pangudi Luhur ini tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta dan tempatnya yang
strategis, mudah dijangkau dan aman serta sejuk karena dilengkapi dengan ruangan
yang berAC.
Pada awalnya SMA Pangudi Luhur Yogyakarta dikenal dengan SGA (Sekolah
Guru Atas). Berdiri bulan April 1942 yang dikelola oleh imam-imam Yesuit.
Kemudian pada tanggal 9 Agustus 1952 sekolah ini diserahkan kepada Bruder-bruder
FIC yang berpusat di Jl. Sutomo No 4 Semarang. Gedungnya saat ini digunakan SD
Pangudi Luhur. Sedang gedung SMA Pangudi Luhur yang saat ini dipakai adalah
gedung SMP Pangudi Luhur yang sekarang sudah pindah ke Timoho. Menurut data
sekolah (2007), sejarah berdirinya SMA pangudi Luhur secara kronologis dapat
diuraikan sebagai berikut:
96
• Tahun 1942 berdirinya sekolah dengan nama SGA khusus untuk Putra dan
dikelola Imam-Imam Yesuit.
• Tahun 1952 SGAK menempati gedung di Jl. Senopati no 16 Yogyakarta milik
Bruder FIC
• Tahun 1965 SGAK resmi menjadi milik Yayasan Pangudi Luhur.
• Tahun 1973 SGAK berubah menjadi SPG dan menerima siswa putri
• Tahun 1987 SPG menempati gedung Jl. Senopati no 18 Yogyakarta
• Tahun 1989 SPG berubah fungsi menjadi SMA Pangudi Luhur
• Tahun 1992 SMA Pangudi Luhur dengan status disamakan
• Tahun 1997 SMA berubah menjadi SMU
• Tahun 1999 SMU menerima status disamakan
• Tahun 2003 SMU berubah menjadi SMA kembali
• Tahun 2005 menerima akreditasi A dari BAN.
2. Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur
Dalam bahasan ini akan diuraikan mengenai sekolah sebagaimana yang
diungkapkan dalam Program Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta (2007). Sekolah
SMA Pangudi Luhur merupakan tempat mewujudkan komunitas iman dengan cara
menempatkan Tuhan Sang Guru Sejati sebagai pusat hidup baik dalam upaya
membangun persaudaraan sejati maupun dalam menunaikan tugas karya
mendampingi kaum muda. Sekolah SMA Pangudi Luhur merupakan tempat
97
pembinaan kaum muda menuju pribadi yang dewasa, beriman, berpengetahuan,
terampil, bermartabat, berbudi pekerti luhur serta terbuka menghadapi tantangan
zaman (Program Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, 2007).
Dikatakan merupakan tempat mewujudkan komunitas iman kerena sekolah
tersebut ingin sungguh-sungguh mendampingi kaum muda agar kaum muda memiliki
pribadi yang utuh dalam semua aspeknya. Pribadi yang dewasa, beriman,
berpengetahuan, terampil, bermartabat, berbudi pekerti serta siap mengahadapi
tantangan zaman. GE menyebutnya pendewasaan pribadi manusia dan makin
menyadari misteri keselamatan dan kurnia iman (GE 2). Sekolah SMA Pangudi
Luhur, dalam melaksanakan seluruh karyanya berdasar pada iman akan Yesus Sang
Guru. Iman akan Yesus Sang Guru akan memberi Roh-Nya menyemangati seluruh
anggota komunitas sekolah. Sehingga makin mampu menciptakan persaudaraan
sejati. Hal ini disebut dalam GE menciptakan rukun persahabatan (GE 5).
Para Bruder FIC pun memandang pentingnya peranan pendidikan itu sehingga
mereka mendirikan sekolah sebagai salah satu tempat untuk menyelenggarakan
pembinaan secara intensif generasi muda. Sekolah dimengerti sebagai tempat maupun
sarana yang tepat untuk mengembangkan kaum muda. Dalam hal ini SMA Pangudi
Luhur menggunakan kata lahan yang subur untuk pembinaan generasi muda
(Program Kerja SMA Pangudi Luhur, 2007). Lahan yang subur berarti tempat yang
baik dan sehat, dapat tumbuh dengan baik (KBBI, 1991: 967).
Dari uraian tentang sekolah serta tugas yang hendak dituntaskan sekolah seperti
yang terungkap di atas, semakin jelas bahwa sekolah sangat penting. Sekolah
98
mempunyai peranan penting terhadap pembinaan kaum muda. Kaum muda menjadi
fokus perhatian demi mengembangkan Gereja, masyarakat dan bangsa (Program
Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, 2007). Hal ini sesuai sebagaimana yang
diungkapkan dalam dokumen GE. GE mengatakan bahwa Sekolah merupakan sarana
yang terutama bagi Gereja dalam menunaikan tugasnya di bidang pendidikan.
Sekolah sebagai salah satu bagian dari harta warisan bersama umat manusia dan
cukup besar maknanya untuk mengembangkan jiwa dan membina manusia (GE 4).
Dengan mengetahui sekolah serta cita-cita yang ingin diwujudkan seperti yang
diungkapkan di atas, boleh dikatakan bahwa ternyata sekolah SMA Pangudi Luhur
tidak jauh beda dengan hal yang dikemukakan dalam dokumen GE. Terlihat dengan
jelas bahwa sekolah SMA Pangudi Luhur tetap mengacu kepada dokumen tentang
Pendidikan Kristen.
Sekolah SMA Pangudi Luhur menerjemahkan sekolah sebagaimana yang
dikatakan dalam dokumen Gravissimum Eduationis yakni mengembangkan jiwa dan
membina manusia (GE 4). Sementara pribadi yang dewasa dimaksudkan sebagai
pribadi yang berkualitas tinggi, beriman, berpengetahuan, terampil, bermartabat,
berbudi luhur dan terbuka menghadapi tantangan zaman (Program Kerja SMA
Pangudi Luhur Yogyakarta, 2007).
Demikian pun Sekolah SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, hadirnya sekolah ini
karena sekolah dianggap sangat penting dengan maknanya yang besar dalam
pembentukan pribadi manusia yang utuh. Hadirnya sekolah SMA Pangudi Luhur
untuk menanggapi situasi zaman yang membutuhkan wadah untuk menempa generasi
99
muda menjadi pribadi yang sempurna (Sejarah berdirinya sekolah SMA Pangudi
Luhur dalam Program kerja SMA Pangudi Luhur, 2007). Dengan demikian sekolah
menjadi suatu pusat kegiatan untuk memajukan hidup berbudaya dan bermasyarakat
serta beriman yang tentu saja melibatkan peran serta para guru, masyarakat, orang tua
maupun pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan. Sekolah SMA Pangudi Luhur
mengacu kepada pedoman-pedoman dan ajaran yang dituangkan dalam dokumen.
Konsili suci mengatakan bahwa Sekolah merupakan suatu pusat kegiatan maupun
kemajuan yang serentak harus melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-
macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan
keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia (GE 5).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Departemen Dokumentasi dan
Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia (1995: 269) yang mengatakan bahwa
“Sekolah Katolik merupakan tempat istimewa, untuk melalui perjumpaan nyata
dengan pusaka warisan budaya beroleh pendidikan integral.” Sebab sebagai lembaga
Katolik, sekolah itu mengacu kepada konsep kristiani tentang hidup yang berpusatkan
Yesus Kristus, yang pada Yesus Kristus semua nilai manusiawi menemukan
kepenuhan dan kesatuannya. Sekolah Katolik berusaha menjadi rukun hidup
pembina, yang dijiwai oleh semangat Injil kebebasan dan cinta kasih (Departemen
Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia 1995: 269).
Untuk semakin menekankan sumbangan sekolah dalam pembentukan pribadi
manusia, dokumen menjelaskan bahwa sekolah itu demikian penting dan maknanya
100
yang begitu besar dalam pembentukan pribadi manusia. Dalam dokumen ditegaskan
demikian:
Sementara terus-menerus mengembangkan daya kemampuan akal budi,
berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian
yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh
generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai,
menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun
persahabatan antara para siswa yang beraneka watak perangai maupun kondisi
hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami (GE 5).
Dalam pendampingan peserta didik yang melibatkan para guru, masyarakat,
orang tua dan pemerintah diwujudkan dalam hubungan baik dari pihak sekolah
dengan pihak yang terlibat. Hal itu terungkap dari hasil wawancara dengan kepala
sekolah maupun para guru. Sekolah menjalin hubungan kerjasama secara khusus
dengan para orang tua karena orang tua dianggap lebih mengenal dan mengetahui
situasi anak. Para guru mengungkapkan: “sangat baik kalau kita menjalin kerjasama
yang baik dengan para orang tua”. Berbagai pihak harus saling mendukung dan
bekerja sama dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Dan teristimewa juga sesama
guru yang hadir di sekolah, agar materi pelajaran berkelanjutan. Mereka
menambahkan, dalam mendampingi anak perlu kerjasama dengan sesama guru.
Dengan demikian, kesulitan yang dihadapi oleh para guru tidak terlalu berat serta
dapat ditangani dengan baik (Lampiran 2: Rangkuman hasil wawancara hal 5).
Dalam menjalin kerjasama dengan para orangtua murid, sekolah mempunyai
kesempatan untuk mengundang para orang tua hadir di Sekolah. Sekolah memberikan
alokasi waktu dan dana khusus untuk meningkatkan hubungan kerjasama dengan
101
orang tua siswa (Program Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, 2007). Bahkan
dengan adanya sarana informasi yang semakin canggih saat ini sangat memudahkan
untuk mengetahui keadaan anak yang bersangkutan (Lampiran 2: Rangkuman hasil
wawancara hal 5). Semua itu dilakukan oleh pihak sekolah, karena pihak sekolah
menyadari bahwa orang tua siswa berkewajiban membantu penyelenggaraan
pendidikan termasuk juga dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling (Program
kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, 2007).
Dalam membantu pihak sekolah mendampingi peserta didik, tanggapan para
orang tua sangat positif. Para orang tua cukup bersedia dengan segala aturan yang
berlaku di sekolah. Baik menyangkut pendanaan, maupun dalam mendidik anak.
Sehingga dalam pemenuhan sarana pra saranapun lebih mudah, asal arah dana yang
dialokasikan jelas dan tepat. Selain bekerjasama dengan para orang tua siswa, para
guru juga mempunyai jiwa pengabdian yang kuat serta mudah bekerjasama. Jadi
semua sumbangan itu merupakan hal yang turut mendukung terlaksanaannya
pendampingan terhadap generasi muda (Lampiran 2: Rangkuman hasil wawancara
hal 5).
3. Tujuan Sekolah SMA Pangudi Luhur
Sekolah SMA Pangudi Luhur mempunyai tujuan seperti yang dirumuskan oleh
konsili. Adapun tujuan Sekolah SMA Pangudi Luhur sebagaimana yang tertuang
dalam Program Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, 2007 adalah sebagai berikut:
102
a. Menghasilkan peserta didik yang dapat diterima di Perguruan Tinggi yang
bermutu dan mampu menentukan pilihan sesuai dengan bakat dan kemampuan
peserta didik. Dalam dokumen GE 1 & 2 menyebutnya sebagai pendewasaan
pribadi manusia.
b. Menghasilkan peserta didik yang beriman dan bersikap profesional tanpa
membedakan agama, ras, suku, dan tingkat sosial. Dalam dokumen GE 2
menyebutnya mencapai kedewasaan penuh. Kedewasaan penuh maksudnya
supaya mereka yang telah dibabtis langkah demi langkah makin mendalami
misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah
mereka terima. Kemudian supaya mereka belajar bersujud kepada Allah Bapa
dalam Roh dan kebenaran (Yoh 4: 23), terutama dalam perayaan liturgi supaya
mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam
kebenaran dan kekudusan sejati (Ef 4: 22-24). Serta ikut serta mengusahakan
pertumbuhan mistik.
c. Menghasilkan peserta didik yang mempunyai kemampuan berorganisasi dan
bermasyarakat. Dokumen menyebutnya sebagai sumbangan mereka terhadap
kesejahteraan segenap masyarakat. Maksudnya mereka yang didik mencapai
kedewasaan iman, menyadari panggilan mereka dan melatih diri untuk memberi
kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka, nilai-nilai yang baik (1 Ptr
3: 15). Serta mendukung perubahan dunia menurut tata nilai kristen. Dengan
demikian nilai-nilai kodrati akan ditampung dalam perspektif menyeluruh manusia
103
yang telah ditebus oleh Kristus. Hal itu merupakan sumbangan bagi kesejahteraan
segenap masyarakat (GE 2)
d. Menciptakan hubungan baik antara sekolah dengan orang tua, alumni, masyarakat
sekitar, sekolah lain, dan perguruan Tinggi maupun lembaga-lembaga lainnya
e. Melanjutkan dan mengembangkan sistem pemeliharaan seluruh sarana fisik yang
dimiliki sekolah agar tetap terpelihara, bersih dan rapi.
f. Selain kelima tujuan di atas, Sekolah SMA Pangudi Luhur juga tetap mengacu
kepada tujuan Pendidikan Menengah Umum yakni meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut (PP RI no. 19 tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan pasal 26 ayat 2).
Dari uraian tentang tujuan sekolah SMA Pangudi Luhur di atas, sangat jelas
bahwa pendidikan itu harus mampu untuk mengembangkan pribadi manusia secara
integral. Selain itu untuk mencapai kebahagiaan serta mensejahterakan masyarakat
dan mengajak orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat dalam
membangun masyarakat. Hal ini sesuai dengan gagasan yang diungkapkan oleh
Martino Sardi dalam bukunya, seminar tentang pendidikan, 2005. Kesejahteraan
umum haruslah tetap dicita-citakan dan diusahakan dengan sekuat tenaga oleh semua
orang. Khususnya dengan pendidikan, orang akan semakin disadarkan betapa hidup
manusia itu harus terarah ke aspek sosial, yakni kesejahteraan masyarakat (Sardi,
2005: 6).
104
Mengacu kepada tujuan sekolah SMA Pangudi Luhur di atas, boleh dikatakan
bahwa Sekolah SMA Pangudi Luhur mengamini tujuan sekolah sebagaimana yang
dimuat dalam dokumen Gravissimum Educationis. Konsili suci menjelaskan bahwa
pendidikan itu haruslah membuahkan dimensi sosial yang berdaya guna bagi
masyarakat, oleh konsili dikatakan demikian:
Maka dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan, psikologi, pedagogi
dan didaktik, perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu untuk
menumbuhkan secara luas serasi bakat pembawaan fisik, moral dan intelektual
mereka. Dengan demikian mereka setapak demi setapak akan mencapai
kesadaran bertanggungjawab yang kian penuh, dan kesadaran itu akan tampil
dalam usaha terus-menerus untuk dengan seksama mengembangkan hidup
mereka sendiri. Sambil mengatasi hambatan-hambatan dengan kebesaran jiwa
dan ketabahan hati, mereka akan mencapai kebebasan yang sejati. Hendaklah
seiring dengan bertambahnya umur mereka menerima pendidikan seksualitas
yang bijaksana. Kecuali itu hendaknya mereka dibina untuk melibatkan diri
dalam kehidupan sosial sedemikian rupa, sehingga dibekali upaya-upaya
seperlunya yang sungguh menunjang mereka mampu berintegrasi secara aktif
dalam pelbagai kelompok rukun manusia, makin terbuka berkat pertukaran
pandangan dengan seksama, dan dengan suka rela ikut mengusahakan
peningkatan kesejahteraan umum (GE 1).
Sardi mengemukakan bahwa pendidikan harus dapat mengembangkan diri
manusia sebagai pribadi dalam segala aspeknya, sehingga seseorang itu dapat
berkembang dan tumbuh menjadi pribadi yang integral. Aspek fisik, psikis, moral dan
intelektual serta religius haruslah berkembang seirama dengan perkembangan dalam
pendidikan yang dikenyamnya. Dengan demikian pembinaan atau formasi diri
sebagai manusia yang bermartabat dengan integritas dirinya haruslah dikembangkan,
sehingga kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia ini akan tercapai. Dari sini
diharapkan juga kesejahteraan masyarakat akan dapat diraihnya pula (Sardi, 2005: 9).
105
B. Visi Misi Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur
1. Visi Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur
Dalam mengelola sebuah sekolah visi sangat menentukan arah dasar, sasaran
yang ingin dicapai serta tujuan kegiatan-kegiatan dan kebijakan yang akan
diputuskan. Visi juga diharapkan dapat berfungsi sebagai dasar teologis, legitimasi
dan bahkan perutusan yang tidak hanya membenarkan dan menugaskan tetapi
menunjuk arah dasar yang harus ditempuh. Maka sebuah visi mutlak penting dan
jelas sehingga memberi persepsi dan deskripsi yang membantu mencapai tujuan yang
hendak dicapai. Demikianpun dengan sekolah SMA Pangudi Luhur, visi menjadi
penunjuk untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai sekolah. Visi sekolah SMA
Pangudi Luhur adalah mewujudkan komunitas iman dengan cara menempatkan
Tuhan Sang Guru sebagai pusat hidup dalam upaya mengembangkan persaudaraan
sejati serta menanggung karya bersama dalam pendampingan kaum muda menuju
pribadi yang dewasa, beriman, berpengetahuan, terampil, bermartabat, berbudi luhur
dan terbuka menghadapi tantangan zaman (Program Kerja SMA Pangudi Luhur,
2007).
Dengan mempelajari visi sekolah SMA Pangudi Luhur di atas, boleh dikatakan
bahwa visi sekolah Katolik yang tertuang dalam GE tersebut ditindaklanjuti oleh
Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur. Dengan pribadi yang dewasa, beriman dan
berpengetahuan, terampil, berbudi luhur serta terbuka terhadap tantangan zaman
sudah merupakan sasaran yang akan dicapai. Dengan demikian mereka akan menjadi
pribadi yang siap pakai, unggul dalam bidang akademik maupun unggul dalam
106
bidang karakter. Unggul dalam bidang karakter maupun dalam bidang akademik akan
menjadi teladan hidup merasul bagi masyarakat seperti visi sekolah Katolik yang
diungkapkan dalam dokumen GE 8. Mendidik para siswa guna mengembangkan
kesejahteraan masyarakat di dunia serta menyiapkan mereka untuk pengabdian demi
meluasnya Kerajaan Allah.
2. Misi Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur
Misi sebuah sekolah merupakan implementasi dari visi sekolah yang hendak
dicapai. Maka untuk mencapai visi sekolah seperti yang diungkapkan di atas, sekolah
SMA Pangudi Luhur mengupayakan usaha-usaha konkret dengan merumuskan misi
sekolah sebagai berikut: membantu, mendampingi siswa menemukan potensi yang
dimiliki untuk dikembangkan secara optimal serta melatih siswa mandiri,
bertanggungjawab, bermartabat dan berbudi luhur, menghargai, menghormati
sesamanya dan menerima diri sebagai pribadi yang unik sehingga menjadi pribadi
dewasa (Program Kerja SMA Pangudi Luhur, 2007).
Dengan rumusan yang diuraikan di atas, boleh dikatakan bahwa misi Sekolah
SMA Pangudi Luhur tidak persis sama dengan misi sekolah Katolik menurut
dokumen GE. Dalam dokumen GE dirumuskan demikian:
Sementara terus-menerus mengembangkan daya kemampuan akal budi
berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian
yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang dihimpun oleh
generasi-generasi masa lalu, meningkatkan kesadaran akan tata nilai,
menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun
persahabatan antara para siswa yang beraneka watak perangai maupun kondisi
hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami (GE 5).
107
Kendatipun terlihat ketidaksamaan antara misi sekolah SMA Pangudi Luhur
dengan misi yang dirumuskan dalam dokumen, tetapi fokus utama yang dicapai
adalah demi tercapainya pribadi manusia yang dewasa. Dan segala upaya yang
dilakukan sekolah semata-mata demi perkembangan pribadi manusia untuk memiliki
pengetahuan, keterampilan, kemandirian, bertanggungjawab, dan menghormati
sesama (Program Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, 2007).
C. Identitas Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur
Sekolah SMA Pangudi Luhur mempunyai ciri khas yang membedakan sekolah
tersebut dengan sekolah-sekolah lain. Hal itu disampaikan juga oleh para guru serta
para siswa SMA Pangudi Luhur Yogyakarta dalam wawancara 12 Mei 2007. Adapun
ciri-ciri sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur adalah lebih mengacu kepada ciri
menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah yang dijiwai oleh semangat
kebebasan Injili dan cinta kasih. Walaupun ciri lainnya tetap tidak diabaikan. Dalam
Data Sekolah (2007) disebutkan beberapa ciri sekolah SMA Pangudi Luhur sebagai
berikut:
1. Setiap pagi ada pendarasan mazmur dan renungan yang dipimpin seorang guru
maupun siswa secara bergantian
2. Pada jam 12.00 WIB adalah kebiasaan sekolah SMA Pangudi Luhur untuk
mendoakan doa Malaikat Tuhan
3. Doa mengakhiri jam pelajaran ketika hendak pulang sekolah
108
4. Selain itu setiap bulan ada misa kudus di Gereja Kidul Loji maupun di sekolah,
misa kudus awal dan akhir tahun ajaran, perayaan Natal dan Tahun baru, Paskah,
serta pada saat pesta pelindung
5. Pendalaman iman dan kitab suci setiap hari Jumat
6. Kemudian kelas X dan XI ada kegiatan rekoleksi setelah mid-semester dan UAS.
7. Dan untuk kelas XII ada kegiatan Retret selama 4 hari di tempat yang sudah
ditentukan sebelumnya.
8. Sarana pra sarana yang mendukung untuk kegiatan keagamaan atau pendalaman
iman misalnya ruang doa yang dilengkapi dengan meja Altar dan
perlengkapannya, organ, kitab suci, dan buku ibadat lainnya.
Kesempatan-kesempatan yang tersedia itu bertujuan demi mendukung
perkembangan iman peserta didik. Dan semua usaha itu merupakan cara sekolah
untuk membantu menciptakan suasana sekolah yang dijiwai oleh semangat Injil
kebebasan dan cinta kasih. Hal ini sesuai dengan GE 8, yakni menciptakan
lingkungan hidup bersama yang dijiwai semangat Injil kebebasan dan cinta kasih.
Para guru mengatakan bahwa suasana keakraban dan persaudaraan di sekolah SMA
pangudi Luhur patut dibanggakan dan dipertahankan. Mereka menambahkan bahwa
suasana persaudaraan itu merupakan salah satu faktor yang membuat peserta didik
semakin banyak yang tertarik untuk sekolah di tempat tersebut. Persaudaraan yang
terjalin itu sangat kuat mengikat hubungan baik antar siswa maupun sesama guru
serta antara guru dengan siswa. Para siswa juga mengungkapkan hal yang sama yakni
pengalaman keakraban dengan teman-temannya serta dengan para gurunya. Mereka
109
mengatakan bahwa mereka mengalami situasi yang berbeda saat mereka duduk di
bangku SMP di Yayasan lain, di mana suasana sekolah yang lebih bersifat
individualis serta para gurunya yang otoriter. Sementara dalam sekolah yang mereka
tempati, peserta didik merasa lebih bebas mengungkapkan pengalaman mereka ketika
mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar berlangsung (Lampiran 2:
Rangkuman hasil wawancara hal 6).
Berkaitan dengan ciri sekolah Katolik yang dijiwai oleh semangat Injil
kebebasan dan cinta kasih, sekolah SMA Pangudi Luhur juga punya kebiasaan
mengadakan kegiatan untuk saling mengoreksi satu sama lain. Kegiatan ini biasanya
diadakan sekali seminggu. Dalam kesempatan ini mereka membicarakan hal-hal yang
terkadang membuat ganjil suasana kebersamaan. Sehingga dengan pemecahan yang
ditempuh melalui kegiatan itu, semakin membantu mereka untuk memperlancar
komunikasi satu sama lain. Sekolah menyediakan waktu ± 30 menit. Kegiatan ini
lazim disebut dengan correctio fraterna (Lampiran 2: Rangkuman hasil wawancara
hal 5).
D. Peranan Guru dan Siswa di Sekolah SMA Pangudi Luhur
1. Peranan Guru di Sekolah
Dalam sekolah SMA Pangudi Luhur, guru menjadi pelaku utama dalam
pendidikan. Berlangsungnya tujuan, visi maupun misi sekolah, merupakan usaha para
guru serta kerjasama dengan pihak-pihak lain (Lampiran 2: Rangkuman hasil
110
wawancara hal 3). Hal ini sesuai dengan gagasan yang diungkapkan dalam GE. GE
mengatakan bahwa peranan guru di sekolah adalah hal yang menentukan bagi sekolah
Katolik untuk dapat melaksanakan rencana-rencana serta usaha-usaha yang hendak
dicapai sekolah (GE 8).
Oleh karena para guru menjadi pelaku utama dalam pendidikan, maka dalam
tata tertib guru butir 20, dijelaskan bahwa para guru wajib mengembangkan
pengetahuan dan wawasannya demi meningkatkan profesi yang sesuai dengan
tuntutan masyarakat (Program Kerja SMA Pangudi Luhur 2007). Lebih lanjut
disebutkan beberapa peranan guru di sekolah yakni:
a. Pengajar
Sekolah SMA Pangudi Luhur menyadari bahwa peranan guru penting dalam
seluruh proses belajar mengajar. Terutama menyangkut kesiapan guru dalam tugas
mengajar. Maka sekolah mengusahakan agar guru-guru di sekolah SMA Pangudi
Luhur memiliki bekal yang memadai dalam tugas mengajar mereka. Hal ini sesuai
dengan himbauan dokumen GE yakni agar para guru disiapkan, supaya membawa
bekal ilmu pengetahuan profan maupun keagamaan yang dikukuhkan dengan ijazah-
ijazah semestinya, mempunyai kemahiran mendidik sesuai dengan perkembangan dan
penemuan modern GE 8). Dalam usaha memperoleh guru yang benar-benar siap,
baik dalam ilmu profan maupun keagamaan, sekolah SMA Pangudi Luhur dalam
penerimaan guru yang akan mengajar selalu diseleksi (Lampiran 2: Rangkuman hasil
wawancara hal 5).
111
Kepala sekolah mengatakan bahwa untuk guru yang akan mengajar di sekolah
ini harus melalui seleksi yang cukup tinggi. Hal senada diugkapkan oleh para guru di
sekolah tersebut. Dalam proses seleksi diberikan kesempatan kepada calon guru
untuk melewati masa training selama satu tahun. Apabila sesuai dengan harapan
sekolah maka mereka diangkat menjadi guru honor. Dan selanjutnya beberapa tahun
kemudian sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Yayasan, mereka diangkat
menjadi guru tetap Yayasan. Sebaliknya apabila calon guru yang bersangkutan tidak
sesuai dengan yang diharapkan maka akan segera didrop out dari sekolah tersebut
(Lampiran 2: Rangkuman hasil wawancara 5 ).
Sesuai dengan peranan guru di sekolah berkaitan dengan kesiapan guru dalam
kependidikan Samana, (1994: 13) mengatakan setiap spesialisasi tenaga kependidikan
itu perlu berkualifikasi profesional, perlu dikoordinasikan secara kompak agar jasa
kependidikannya terhadap peserta didik menjadi optimal, berimbang serta utuh, dan
mempribadi. Perlu juga untuk menjalin kerjasama dengan banyak pihak, karena
membutuhkan jasa dari berbagai tenaga ahli sebab mengingat kegiatan kependidikan
itu bersifat kompleks. Maka demi kemudahan terbentuknya kerjasama antara tenaga
kependidikan yang ada dalam satu sekolah, para calon guru perlu dibekali dengan
seperangkat pengetahuan, ketrampilan keguruan, sikap keguruan, yang berhubungan
dengan spesialisasi keguruannya. Tidak boleh dilupakan juga bahwa seperangkat
pengetahuan lainnya sangat dibutuhkan misalnya, administrasi pendidikan,
bimbingan konseling, teknologi pengajaran, dan inovasi pendidikan yang
112
memudahkan terjadinya koordinasi produktif antar guru dengan staf sekolah lainnya
(Samana, 1994: 13).
b. Pembimbing
Selain peranan guru sebagai pengajar di Sekolah, guru juga berperan sebagai
pembimbing. Semua guru punya peranan dalam membimbing peserta didik. Walau
guru-guru yang ada di sekolah SMA Pangudi Luhur telah mempunyai tugas masing-
masing sesuai dengan bidang studi yang mereka ampu, akan tetapi mereka tetap
terlibat dalam membimbing peserta didik. Karena tugas mereka sebagai guru adalah
juga membimbing peserta didik (Lampiran 2: Rangkuman hasil wawancara hal 3).
Dalam uraian tugas personel pelaksana layanan bimbingan juga dijelaskan
beberapa tugas para guru berkaitan dengan membimbing peserta didik. Secara singkat
ditegaskan bahwa semua guru turut ambil bagian dalam membimbing anak didik,
baik itu sebagai kepala sekolah, guru mata pelajaran, wali kelas, dan guru
pembimbing yang ada di sekolah tersebut. Seperti tugas guru mata pelajaran dalam
membimbing peserta didik disebutkan bahwa mereka mempunyai tugas membantu
pemasyarakatan layanan bimbingan kepada siswa, membantu guru pembimbing
mengidentifikasi kasus siswa, berpartisipasi dalam kegiatan khusus menangani
masalah siswa. Demikian juga dengan para guru lainnya, yang semuanya didukung
dengan adanya kerjasama di antara para guru tersebut (Program Kerja SMA Pangudi
Luhur Yogyakarta, 2007).
113
c. Pendidik
Dalam mengutamakan betapa pentingya peranan guru dalam proses pendidikan,
guru tidak saja siap dalam wawasan dan pengetahuan tetapi juga siap dalam
kepribadian. Sebab seorang pendidik harus memiliki kepribadian yang utuh. Dalam
tata tertib guru butir 21 dikatakan “setiap guru mempunyai suatu kewajiban untuk
meningkatkan keselarasan, keserasian, keseimbangan rohani dan jasmani sehingga
terwujud penampilan pribadi yang mendukung dalam tugas mengajarnya” (Program
Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, 2007). Samana, menegaskan: Guru tidak
hanya mengajar ilmu sebanyak-banyaknya tetapi juga guru berperan sebagai
pendidik. Ia menambahkan guru sebagai tenaga kependidikan di sekolah mempunyai
eksistensi, guru sebagai pendidik profesional. Hal itu disebabkan oleh peranan guru
yang sangat dipentingkan. Ia menegaskan:
Kondisi masyarakat yang semakin maju, yang ditandai kadar rasionalisasi
dalam berkarya, yang mengutamakan efisiensi, yang menuntut disiplin sosial
yang tinggi terhadap warganya, yang berorientasi pada mutu (baik dalam proses
maupun hasil kerja), yang semakin menuntut kemampuan bekerja sama atau
berorganisasi di antara warganya, dan yang semakin menuntut warganya untuk
menguasai ilmu serta teknologi dalam segala bidang kehidupannya, semakin
gamblang bahwa masyarakat modern tersebut memerlukan sekolah dan atau
guru. Dengan kata lain, dalam kondisi masyarakat modern tersebut, jelaslah
bahwa orang tua (sepandai apa pun) tidak mampu membimbing anak-anaknya
dalam semua segi persiapan hidupnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa fungsi
sosial sekolah dan atau guru dalam masyarakat modern tersebut semakin
penting (Samana, 1994:13).
Komisi Pendidikan KWI MNPK dalam dokumen “Awam Katolik di Sekolah
sebagai Saksi Iman”, hal yang sama ditegaskan perhatian khusus kepada panggilan
menjadi seorang pendidik. Guru dimengerti sebagai pendidik yaitu orang yang
114
membantu membentuk pribadi-pribadi manusia. Tugas guru itu lebih dari sekedar
memindahkan pengetahuan tetapi juga sebagai pendidik. Maka dalam pembentukan
pribadi manusia yang utuh, yang merupakan tujuan pendidikan harus mencakup
pengembangan segala kemampuan manusiawi siswa, sekaligus persiapan ke arah
kehidupan profesional, pembentukan kesadaran etis, dan sosial, kesadaran transenden
dan pendidikan agama. Maka setiap sekolah dan setiap pendidik di sekolah harus
berusaha membentuk pribadi-pribadi yang mantap dan bertanggungjawab yang
sanggup memilih secara bebas dan benar. Dengan demikian menyiapkan kaum muda
semakin membuka diri terhadap kenyataan dan membentuk dalam diri mereka ide
yang jelas tentang arti hidup (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 51).
Dalam mengembangkan segi keilmuan para guru, sekolah SMA Pangudi Luhur
memberi kesempatan kepada para guru untuk mengikuti pembekalan-pembekalan
maupun studi bersama. Misalkan pertemuan dengan guru-guru yang ada dalam satu
Yayasan per bidang studi. Sekolah juga menerima lulusan yang benar-benar memiliki
kompetensi yang dilengkapi dengan izasah yang memadai seperti pada umumnya
lulusan SI. Sementara dalam memperkembangkan kepribadian guru, sekolah
memberi kesempatan kepada para guru untuk menimba kekuatan baru. Kegiatan yang
lazim mereka lakukan adalah mengadakan rekoleksi dan retret. Kegiatan ini
dilakukan sekali setahun bersama para guru lain yang berada dalam satu Yayasan
Pangudi Luhur (Program kerja SMA Pangudi Luhur, 2007). Hal itu diakui oleh para
guru di sekolah tersebut. Boleh dikatakan bahwa dalam pembinaan kepribadian
maupun bidang akademik, para guru selalu mendapat kesempatan yang memadai.
115
Dan antara guru satu dengan yang lain saling bekerja sama, terbuka serta saling
bertukar pikiran (Lampiran 2: Rangkuman hasil wawancara hal 5).
Kesempatan yang diperoleh para guru dalam mengembangkan kepribadian
maupun dalam bidang keilmuan merupakan bekal kesiapan mereka dalam mengajar.
Dengan demikian, sebagaimana yang dikatakan oleh konsili bahwa panggilan
menjadi guru adalah merupakan pengabdian karenanya juga perlu untuk sungguh-
sungguh disiapkan. Karena pelayanan guru-guru itu sungguh-sungguh merupakan
kerasulan yang memang perlu dan benar-benar menjawab kebutuhan jaman sekarang
dan sekaligus merupakan pengabdian yang sejati kepada masyarakat (GE 8).
Panggilan sebagai guru harus dihayati secara sungguh-sungguh. Sebab
panggilan sebagai pendidik merupakan sikap memberi kesaksian tentang Kristus
Sang Guru. Dengan kata lain konsili menyebutkan guru adalah sebagai saksi iman
(GE 8).
d. Guru Sebagai Saksi Iman
Dalam Program Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta dikatakan bahwa
Tuhan Sang Guru adalah sebagai pusat hidup. Karena menjadi pusat hidup berarti
segala-galanya tergantung kepada Tuhan Sang Guru sekaligus juga menjadi tugas
mewartakan kasih-Nya. Maka menjadi guru berarti menjadi saksi yakni saksi akan
Kristus Sang Guru. Lewat pelayanan Kristus menjadi fokus yang dihadirkan.
Berkaitan dengan penghayatan panggilan guru sebagai saksi iman, guru-guru yang
berada di sekolah SMA Pangudi luhur mengalami jatuh bangun. Hal ini terungkap
116
dari pengalaman para guru yang mengajar di sekolah tersebut (Lampiran 2:
Rangkuman hasil wawancara hal 3). Menjadi saksi iman itu harus menunjukkan
sikap-sikap antara lain:
1) Dewasa dan bertanggungjawab
Selain dari ungkapan para guru di sekolah SMA pangudi Luhur, dalam tata
tertib guru juga ditekankan agar para guru sungguh-sungguh menampilkan dirinya
sebagai pendidik. Dijelaskan demikian: setiap guru sanggup mengutamakan contoh
sebagai pendidik. Contoh sebagai pendidik itu yakni teratur bekerja dan teratur
membagi waktu, rapi berpakaian, sopan dalam tata bahasa, tegas dalam mengambil
keputusan, bersikap sebagai pribadi dewasa dan bertanggungjawab, tulus, guyub
dalam kerjasama dengan rekan-rekan sekerja serta memiliki disiplin. Dengan kata
lain para guru sebagai pendidik dihimbau agar menjadi ragi dan terang bagi
lingkungannya (Program Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, 2007).
2) Belajar dari Yesus Sang Guru
Para guru di sekolah SMA Pangudi Luhur mengatakan: panggilan sebagai guru
adalah panggilan yang sungguh-sungguh mau belajar dari Yesus Sang Guru. Menjadi
seorang guru tidak cukup hanya mentransfer ilmu kepada peserta didik, tetapi harus
dapat menghayati panggilannya sebagai pendidik yaitu mendidik anak. Mendidik
anak dimaksudkan membentuk anak menjadi pribadi yang baik. Dalam diri anak
sudah tertanam nilai-nilai yang baik maka tugas guru adalah mengusahakan agar
117
nilai-nilai yang baik itu ditingkatkan. Sementara nilai yang kurang baik diarahkan
kepada nilai yang baik (Lampiran 2: Rangkuman hasil wawancara 4).
3) Pemberian diri secara total
Oleh karena pengaruh globalisasi, peserta didik cenderung terbawa arus
sehingga mereka ingin selalu hidup enak, nikmat, dan semua serba instan. Sementara
dalam proses belajar perlu berkonsentrasi dan usaha dalam belajar. Dengan situasi itu
kehadiran guru sangat dibutuhkan yakni guru yang benar-benar mau mendampingi
serta menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga siswa dapat belajar dengan
baik. Dalam proses belajar tidak cukup hanya hadir secara fisik tetapi juga secara
mental maupun secara keseluruhan pribadi siswa. Dengan maksud supaya pelajaran
dapat diterima dengan baik dan anak berpartisipasi serta aktif di dalam kelas
(Lampiran 2: Rangkuman hasi wawancara hal 4).
4) Sabar dan tidak membeda-bedakan
Dalam menghayati panggilan sebagai guru, seorang guru harus menanamkan
nilai-nilai humaniora. Setiap bidang studi diharapkan mampu menyampaikan pesan
moral kepada peserta didik. Tidak hanya tugas guru bidang studi agama, tetapi lewat
belajar apapun di sekolah harus mampu menanamkan nilai-nilai yang dapat
membentuk anak yang baik. Misalkan, melalui sebuah cerita atau naratif, seperti
cerita tentang hewan. Lewat cerita ini seorang guru harus dapat mengambil pesan
moral yang kemudian diolah serta dikaitkan dengan pengalaman siswa. Ataupun
118
melalui belajar vocabulary, grammer, dan lain-lainnya. Semua itu dapat dihubungkan
dengan kegiatan sebagai pendidik dalam pembentukan sikap anak. Kesabaran pun
mutlak perlu agar kehadiran itu sungguh-sungguh menampilkan guru sebagai
pendidik yang bersedia dan hadir bagi anak didik. Dalam situasi seperti itu kita
menjadi saksi kehadiran Yesus Sang Guru dalam hidup kita. Sikap untuk membeda-
bedakan peserta didik, antara yang pintar dengan yang bodoh, yang cantik maupun
jelek, yang kaya dengan yang miskin harus dijauhi (Lampiran 2: Rangkuman hasil
wawancara hal 4).
5) Mendengarkan peserta didik
Para guru mengatakan bahwa menjadi guru yang baik adalah guru yang mau
belajar, melihat dan mendengarkan peserta didik serta para rekan guru lainnya.
Mereka mengatakan, dengan mau mendengarkan siswa, akan lebih mudah mengenal
dan mendekati serta masuk kepada pengalaman peserta didik. Memang menyadarkan
siswa yang terkadang nakal dan menjengkelkan, tidaklah mudah pasti memerlukan
proses. Dan dalam proses itu perlu adanya kesabaran, tidak semudah membalik
tangan. Maka dengan terbuka terhadap siswa dan mau masuk ke pengalamn mereka,
semua dapat diatasi. Dalam hal ini kerjasama dengan guru lain tentu saja tidak
diabaikan (Lampiran 2: Rangkuman hasil wawancara hal 4).
Dengan ungkapan yang dilontarkan oleh para guru di atas, semakin jelas bahwa
panggilan sebagai guru adalah merupakan panggilan yang luhur. Bahkan sangat
sesuai dengan tugas yang diterima dari Yesus sejak dari babtisan. Setiap orang
119
kristen, siapapun itu mempunyai tugas yang sama dalam Gereja. Berkat babtisan
semua orang mengemban tugas sebagai imam, nabi dan raja. Tritugas Yesus yang
mereka emban ini mengharuskan mereka untuk melaksanakan tugas itu dengan
pengabdian kepada umat. Maka setiap awam yang dalam tugas-tugas imamat, nabi
dan raja dalam kerasulan mereka, merupakan partisipasi dalam tugas penyelamatan
Gereja sendiri (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 46).
Kehadiran para guru yang memberikan diri sepenuhnya kepada peserta didik
dalam Sekolah SMA Pangudi Luhur boleh dikatakan terwujud sebagaimana yang
dikatakan oleh Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik. Membaharui tata dunia
dengan merasukkan inspirasi kristiani merupakan peranan khusus awam. Justru
dengan mampu menjadi guru yang mau melalui proses bersama dengan siswa dengan
dibimbing oleh Allah, di situlah tugas mereka sungguh benar-benar menjadi pendidik.
Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik mengatakan tugas guru adalah
menyehatkan lembaga-lembaga dan situasi dunia, apabila nampaknya merangsang
kepada perilaku dosa. Kaum awam harus mewartakan amanat Injil melalui tutur kata
dan memberikan kesaksian tentang amanat tersebut dalam perbuatan mereka. Dengan
demikian kehadiran Gereja dan Sang Penyelamat oleh Gereja terlaksana (Kongregasi
Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 47).
2. Peranan Anak didik
Dalam Pedoman Kerja SMA Pangudi Luhur dijelaskan bahwa siswa adalah
peserta didik yang berhak menerima pengajaran, pelatihan, layanan bimbingan serta
120
konseling (Program Kerja SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, 2007). Anak didik
berperan serta ambil bagian dan aktif berpartisipasi dalam seluruh kegiatan belajar
mengajar. Siswa terlibat aktif untuk menciptakan komunitas sekolah yang dijiwai
oleh semangat Injil kebebasan dan cinta kasih. Sebab terciptanya suasana
kekeluargaan dan persaudaraan merupakan usaha anak didik juga (Lampiran 2:
Rangkuman hasil wawancara hal 4).
Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa peserta didik mempunyai peranan
dalam pendidikan di sekolah sesuai dengan potensi-potensi mereka. Anak didik
dalam suatu proses pendidikan tidaklah sama dengan bahan baku yang dimasukkan
ke dalam sebuah pabrik untuk menghasilkan sesuatu barang. Anak didik juga bukan
sebuah kertas putih yang siap ditulisi. Anak didik dalam proses pematangan menuju
pribadi dewasa dalam pelaksanaannya harus dijalankan dengan pendekatan yang tepat
dan berbeda-beda (Yusuf, 1986: 39).
Yusuf (1986: 39) mendefenisikan: anak didik adalah anak yang sedang
bertumbuh dan berkembang baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi
perkembangan mental. Pertumbuhan yang dimaksud adalah perubahan yang terjadi
dalam diri anak didik secara wajar yang menyangkut keadaan jasmaniah seperti
bertambah tinggi dan bertambah besar, sedangkan perkembangan menyangkut
jasmaniah dan rohaniah. Maka oleh konsili dikatakan “hendaklah seiring dengan
bertambahnya umur mereka menerima pendidikan seksualitas yang bijaksana.
Kecuali itu hendaknya mereka dibina untuk melibatkan diri dalam kehidupan sosial
sehingga dibekali upaya-upaya seperlunya yang sungguh menunjang mereka untuk
121
mampu berintegrasi secara aktif dalam kelompok rukun manusia, makin terbuka
berkat pertukaran pandangan dengan seksama serta ikut dengan sukarela
mengusahakan peningkatan kesejahteraan umum (GE 1).
R.M Liebert, R.W. Paulus dan G.D. Strauss dalam Yusuf (1986: 39)
mengemukakan bahwa perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan
dan kemampuan pada satu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan
lingkungan. Dan dalam hal pertumbuhan dan perkembangan, tiap-tiap individu
memerlukan bantuan orang lain. Teristimewa pendidik untuk membimbing
pertumbuhan dan perkembangan pada tiap tingkat sesuai dengan tugas perkembangan
tiap-tiap anak (Yusuf, 1986: 39).
Mengenai tugas perkembangan ini, Havighurst mengemukakan sebagai berikut:
“Tugas-tugas dalam perkembangan adalah tugas-tugas yang timbul pada atau kira-
kira pada masa perkembangan tertentu dalam kehidupan seseorang yang bilamana
berhasil menimbulkan kebahagiaan dan akan diharapkan pula pada tugas
perkembangan berikutnya. Tugas-tugas perkembangan itu bersumber pada
kematangan fisik, rangsangan dan tuntutan dari masyarakat dan norma-norma pribadi.
Dengan demikian pendidik harus memahami irama perkembangan masing-masing
anak pada tiap-tiap tingkat perkembangan dan umur sehingga memungkinkan
pemberian bantuan yang tepat dan berdaya guna (Yusuf, 1986: 39-40).
Ph. A. Khonnstamm dalam Yusuf (1986: 41), menyebutkan tahapan-tahapan
perkembangan dan tiap-tiap tahapan/masa perkembangan itu mempunyai ciri khas
yang berbeda-beda. Cepat atau lambatnya irama perkembangan masing-masing anak
122
menyebabkan pula terjadinya perbedaan perorangan (individu differences) pada anak-
anak. Tahapan perkembangan itu sebagai berikut: (1) Masa bayi 0,0-1,6 disebut masa
vital, (2) Masa kanak-kanak 1,6-7,0 disebut masa estetika. (3) Masa anak sekolah 7,0-
12,0 disebut masa intelek, (4) Masa puber 12,0-18,0 dan masa adoselen 18,0-21,0.
masa puber dan masa adoselen disebut juga dengan masa sosial. Perkembangan tiap-
tiap diri individu dipengaruhi oleh kematangannya dalam aktivitas yang diikutinya.
Kesiapan/kematangan adalah merupakan motivasi dari dalam diri anak didik untuk
berperan serta dalam suatu aktifitas. Kekuatan dari dalam ini akan menimbulkan
reaksi yang responsif dan sekaligus akan menerima pendekatan yang bersifat
persuasif. Belajar dan latihan akan membantu pada perkembangan anak didik dalam
mewujudkan kesiapan/kematangannya. Peranan belajar/latihan ini kemudian diikuti
oleh pengalaman, akhirnya mengembangkan kematangan, dalam membentuk anak
didik (Yusuf, 1986: 41).
Berkaitan dengan peranan anak didik dalam suatu aktivitas ditentukan oleh
seberapa jauh partisipasi aktif dari anak didik yang diberikan oleh pendidik. Peran
aktif anak didik di lain pihak dipengaruhi oleh kemampuan anak didik sendiri dalam
mencernakan bahan yang diberikan pendidik sehingga memungkinkan interaksi
edukatif dalam situasi pendidikan yang menantang terarah dan bermakna (Yusuf,
1986: 40-41).
Yusuf menambahkan bahwa pengalaman anak didik adalah fenomena yang
sangat menentukan partisipasinya. Anak yang sudah berpengalaman akan lebih
mudah memecahkan suatu masalah dibandingkan dengan anak lain yang belum
123
berpengalaman. Dapat dikatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik
untuk kegiatan berikutnya (Yusuf, 1986: 40-41).
Dengan uraian di atas, menjadi jelas sebagaimana yang ditegaskan dalam
dokumen. GE mengatakan bahwa semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun,
berdasarkan martabat mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat
diganggu-gugat atas pendidikan. Pendidikan sudah merupakan hak azasi setiap orang.
Maka siswa mempunyai hak untuk mendapatkan pengajaran, dan karenanya hak
mereka janganlah dikebiri melainkan diusahakan agar haknya yang suci itu terpenuhi.
Mereka perlu dibantu untuk menumbuhkan secara selaras dan serasi bakat
pembawaan fisik, moral dan intelektual mereka. Dengan demikian mereka setapak
demi setapak akan mencapai kesadaran bertanggungjawab yang kian penuh dan
kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus menerus untuk dengan seksama
mengembangkan hidup mereka sendiri (GE 1).
E. Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur Sebagai Tempat Pewartaan Iman
Keterlibatan Gereja dalam dunia pendidikan menjadi hal yang penting, sebab
sekolah adalah tempat yang tepat bagi Gereja mewartakan kabar gembira
keselamatan bagi semua orang teristimewa dalam komunitas sekolah. Maka
sebagaimana pentingnya sekolah sebagai pewartaan iman, demikian juga dengan
kehadiran Sekolah SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Berdirinya Sekolah SMA
Pangudi Luhur dilatarbelakangi oleh harapan Gereja akan peran pendidikan sebagai
lahan yang subur untuk pembinaan generasi muda dan pewartaan iman Dengan
124
demikian keterlibatan Sekolah dalam karya keselamatan Kristus manjadi nyata
dengan mengantar siswa sampai kepada cita-cita yang luhur (Program Kerja SMA
Pangudi Luhur, 2007).
Dalam visi Sekolah Katolik SMA Pangudi Luhur hal yang sama diungkapkan.
Sekolah Katolik merupakan sarana pewartaan, ditegaskan demikian:
Sekolah SMA Pangudi Luhur Yogyakarta merupakan tempat mewujudkan
komunitas iman dengan cara menempatkan Yesus Sang Guru sejati sebagai
pusat hidup dalam upaya membangun persaudaraan sejati, serta menanggung
karya bersama dalam pendampingan kaum muda menuju pribadi dewasa,
beriman, berpengetahuan, terampil, bermartabat, berbudi pekerti luhur dan
terbuka mengahadapi tantangan zaman (Pedoman Kerja SMA Pangudi Luhur,
2007).
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Sekolah SMA Pangudi Luhur
mangamini apa yang dikatakan oleh konsili mengenai sekolah yakni sebagai sarana
Gereja dalam mewartakan karya keselamatan Kristus. Sekolah SMA Pangudi Luhur
menjadi tempat pewartaan iman kepada peserta didik beserta komunitas sekolah
keseluruhan. Hal ini semakin dipertegas oleh konsili suci dalam dokumen GE yang
mengatakan demikian:
Pendidikan termasuk tugas Gereja bukan hanya karena masyarakat pun harus
diakui kemampuannya menyelenggarakan pendidikan, melainkan karena Gereja
bertugas mewartakan jalan keselamatan kepada semua orang, menyalurkan
kehidupan Kristus kepada umat beriman, serta tiada hentinya penuh perhatian
membantu mereka supaya mampu meraih kepenuhan hidup (GE 3).
Lebih lanjut dokumen itu menekankan bahwa Gereja wajib menyelenggarakan
pendidikan, supaya seluruh hidup anak didik diresapi semangat Kristus. Dan Gereja
sangat mendukung agar penyempurnaan pribadi manusia seutuhnya terlaksana,
125
kesejahteraan umum atau kesejahteraan masyarakat terjamin dan dunia ini dapat
berkembang lebih manusiawi (GE 3). Dalam bagian pendahuluan, hal yang sama juga
diungkapkan:
Adapun untuk melaksanakan perintah pendirinya yang ilahi, yakni mewartakan
misteri keselamatan kepada semua orang dan membaharui segalanya dalam
Kristus, Bunda Gereja yang kudus wajib memelihara perihidup manusia
seutuhnya, juga di dunia ini sejauh berhubungan dengan panggilan surgawinya.
Maka Gereja berperan serta dalam pengembangan dan perluasan pendidikan
(GE pendahuluan).
Dalam menunaikan tugas Gereja mendidik, Gereja memperhatikan segala
upaya yang mendukung, terutama upaya-upaya khas bagi Gereja. Upaya khas yang
dimaksudkan ialah pendidikan kateketis yang menyinari dan meneguhkan iman,
menyediakan santapan bagi hidup menurut semangat Kristus, mengantar kepada
partisipasi yang sadar dan aktif dalam misteri liturgi, dan membangkitkan semangat
dalam kegiatan merasul (GE 4).
126
BAB V
PEMIKIRAN UPAYA PENINGKATAN PENGHAYATAN
PROFESI PENDIDIK SEBAGAI PANGGILAN
DI SEKOLAH KATOLIK SMA PANGUDI LUHUR
Dalam Bab V ini akan difokuskan pada pemikiran peningkatan penghayatan
panggilan sebagai pendidik. Peningkatan penghayatan panggilan sebagai pendidik ini
menjadi sangat penting karena sebagai seorang pendidik perlu untuk masuk kepada
hakikat maupun karakter sebagai pendidik. Pendidik harus tumbuh dan berkembang
sesuai dengan karakternya sebagai pendidik. Dan dalam upaya peningkatan
pengahayatan panggilan sebagai pendidik itu dapat ditempuh dengan bermacam cara.
Untuk menanggapi pengarahan Gravissimum Educationis dan berdasarkan
keadaan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta bahasan ini lebih difokuskan pada
pemikiran upaya peningkatan panggilan sebagai pendidik. Sengaja ditentukan pada
batas pemikiran, karena isi dokumen sangat penting dan upaya peningkatan
penghayatan panggilan sebagai pendidik dihadapkan kepada sekolah sebagai
lembaga. Sekolah sebagai sebuah lembaga, tentu saja sudah punya kegiatan
peningkatan penghayatan panggilan sebagai pendidik. Dan dari sejumlah kegiatan
penghayatan panggilan sebagai pendidik, sekolah telah melakukan kegiatan rekoleksi,
maupun retret. Selain itu sekolah juga biasa mnyelenggarakan kegiatan diskusi
maupun saling bertukar pikiran antar guru sesama bidang studi yang ada dalam satu
Yayasan Pangudi Luhur. Maka berdasarkan dokumen yang telah ditelaah, uapaya
127
peningkatan pengahayatan panggilan sebagai pendidik akan terbatas pada
kemungkinan dan refleksi.
A. Penghayatan Panggilan Sebagai Pendidik
1. Syarat Sebagai Subyek Pendidikan
GE 8 menghimbau “hendaknya para guru menyadari, bahwa terutama peranan
merekalah yang menentukan bagi sekolah katolik, untuk dapat melaksanakan
rencana-rencana dan segala usaha yang hendak dicapai sekolah. Oleh karena itu,
sebagai subyek pendidikan mereka perlu untuk menyadari syarat-syarat untuk dapat
berperan sebagai pendidik (Nashir , 1979: 57).
Nashir mengemukakan dua syarat untuk dapat berperan sebagai pendidik yakni
syarat materil dan syarat formal. Lebih lanjut ia menjelaskan kedua syarat tersebut,
yakni:
a. Syarat materil
Syarat materil adalah sikap jiwa sebagai pendidik yakni kesadaran subyek sebagai
apa dan siapa dia, dan dengan kekuatan batin menunjukkan pengaruhnya kepada anak
didik, menyampaikan tindakan dan pengarahan jiwa ke arah tujuan. Dan itu harus
beresonansi dengan jiwa si anak (Nashir, 1979: 57).
GE mengatakan: “memang sungguh indah dan beratlah panggilan sebagai
pendidik. Panggilan itu memerlukan bakat-bakat khas, budi, maupun hati, menuntut
persiapan yang amat seksama dan kesediaan untuk terus menerus untuk pembaharuan
dan penyesuaian diri” (GE 5). Nashir juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa
128
tugas mendidik itu adalah suatu yang sulit dan halus. Ia menambahkan pendidik
diharapkan mampu seolah meraba hatinya sendiri dan hati anak didiknya. Dalam
kesadarannya ia hendaknya dapat merasakan suatu gerak bahwa gelombang jiwanya
memang diterima oleh alat penerima jiwa anak didik sebagai layaknya pemancar
radio pada gelombang yang sama (Nashir, 1979: 57).
Nashir (1979: 57), mengatakan adanya kontak riil yaitu kasih sayang dimana
jiwa dengan jiwa itu beresonansi. Memang keadaan yang ideal sebagai pendidik tidak
selalu dapat dikembangkan oleh tiap-tiap orang sebagai pendidik. Tetapi dengan
penyadaran diri dan instropeksi akhirnya secara halus akan mengetahui situasi-situasi,
momen-momen, saat-saat seorang menjadi merosot kepribadiannya. Ia menyebutkan
ada lima lapis yang tetap jalan/bergerak dalam diri manusia berkaitan dengan
penyadaran atau intropeksi diri yakni:
• Lapis anorganis= benda mati yaitu isi perut yang menjaga keseimbangan
• Lapis vegetatif= tumbuh-tumbuhan, yaitu zat-zat dan badan kita yang tumbuh
terus, sehingga badan diri kita setahun yang lampau umpamanya, bukanlah diri
kita (badan kita) waktu kini
• Lapis animal, dimana kita dikuasai oleh gerak-gerak otomatis yang tak disadari
• Lapis human, dimana gerak-gerik itu disenter oleh lampu jiwa yang menyadari,
menerangi, mengukur dan menilai (konsientia, insan kamil, hati nurani)
• Lapis absolut, yaitu kesadaran yang lebih luas yang menembus keluasan yang
tidak hanya bersifat lingkungan terbatas.
129
Dalam hal inilah peranan yang paling sulit dari pada jiwa seorang pendidik.
Praktis dia sebetulnya harus mendidik diri, harus conscientious, untuk bisa secara
konsisten menjaga kondisi kemurnian jiwa yang bisa memberi pengaruh positif
secara pedagogis (Nashir, 1979: 58).
b. Syarat formal
Syarat-syarat formal ialah kedudukan-kedudukan yang di dalamnya terkandung
fungsi mendidik. Adalah suatu ketidak-klopan antara syarat formil dan syarat materil,
bila kita melihat pengaruh-pengaruh pedagogis itu antara pendidik dan anak didik
tidak cocok atau malah terbalik. Malah bukannya dari orang dewasa momen-momen
pedagogis yang diimbaskan sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas, bahkan anak
kecil yang memberikan pengaruh-pengaruh pedagogis. Sebaliknya orang yang
kedudukannya mendidik, tidak selalu bersifat mendidik. Namun beban mengisi nama
itu dengan isi yang benar tentu terletak pada orang-orang yang telah diberi nama
sebagai pendidik (Nashir, 1979: 58-59).
Maka untuk mengantisipasi situasi seperti yang dikemukakan oleh Nashir
tersebut diperlukan kualitas-kualitas sebagai seorang pendidik. Menjadi pendidik
berarti pula mempunyai kelebihan dan karena kelebihannya itu seseorang bernama
pendidik. Kelebihannya itu terletak di dalam kualitasnya. Tetapi perlu disikapi agar
penggunaan istilah kelebihan, tidak menyebabkan seorang pendidik terlalu berpegang
teguh kepada kelebihannya, seolah-olah ia sudah tahu benar bahwa memang ada
kelebihannya itu dan tahu seberapa besar. Hal ini sering merupakan kepicikan
130
pendidik, sehingga tidak jarang pendidik bersifat menekan kemajuan dan
perkembangan anak didiknya (Nashir, 1979: 60).
Nashir mengemukakan kelebihan-kelebihan pendidik yakni kelebihan dalam
tanggungjawabnya. Pendidik harus bertanggungjawab dalam tiap-tiap sikap, tindakan
dan perbuatannya sendiri dan juga ikut mempertanggungjawabkan segala sesuatu dari
pihak si anak. Anak yang di bawah didikannya adalah di bawah pengasuhnya. Di
bawah tanggungjawab ini ia mempunyai hal untuk mengontrol, menghukum dan
menguasai. Jelas hal ini akan berbahaya apabila tidak digunakan pada tempat, situasi
dan kondisi. Karena itu alat-alat batin itu dipahami dan dipelajari dengan sebaik-
baiknya. Sehingga tidak sampai dipergunakan dengan cara eksessif merusak anak
didik (Nashir, 1979: 37).
Kelebihan dalam tingkat kedewasaan pun menjadi kelebihan pendidik. Baik itu
kematangan fisik dengan usia yang lebih dewasa maupun kualitas dari segi-segi
kecerdasan, kepandaian, kesosialan dan budi pekerti. Kelebihan dalam kekuatan
kepribadian. Seorang pendidik tentu mempunyai kepribadian yang lebih kuat
kemauannya untuk memungkinkan mampu memberikan pengaruh kepada anak
didiknya. Nashir menegaskan hal yang diuraikan itu demikian: bahwa pendidik
memanifestasikan kelebihannya dalam bentuk bimbingan dan asuhannya, sedangkan
anak didik memanifestasikan pengakuan kelebihanya itu dalam bentuk kepatuhannya
berdasarkan kehendaknya sendiri yang bebas (Nashir, 1979: 37).
Pola senioritas (kesesepuhan) yang tradisional membawa komplikasi-
komplikasi kejiwaan kepada generasi muda. Maka tejadilah “generatio gap”, jurang
131
kejiwaan antara generasi tua dengan generasi muda. Akibat dari keadaan ini timbul
problematika pedagogis yakni si tua terlalu lamban menghayati perkembangan
manusia, sehingga pada waktu-waktu yang tidak patut lagi, ia masih berpegang pada
kelebihan-kelebihannya. Selanjutnya si muda yang amat cepat berkembangnya segera
“mendurhaka”, menyinggung pola-pola senioritas tradisionil orang tua, sehingga
orang tua menjadi kaget. Kemudian si orang muda yang tidak mau mendurhaka, tapi
merasa kekangan senioritas, memperkembangkan kepribadian terpecah jiwa, bermuka
dua, munafik dan hypokritis (Nashir, 1979: 60-61).
2. Kualitas-Kualitas Sebagai Seorang Pendidik
Berdasarkan gambaran di atas, dalam proses kejiwaan dituntut suatu kualitas:
tact, kebijaksanaan, keluwesan pandangan, bahwa hidup ini suatu eftafette
kemanusiaan bersiasat. Nashir (1979: 61) mengatakan seorang pendidik perlu
memiliki kualitas yang merupakan keharusan yakni kedewasaan, kewibawaan,
kekuatan kepribadian, kedudukan sosial ekonomi dan kekompakan sesama pendidik
dalam satu tim.
a. Dewasa
Nashir memberi defenisi kedewasaan adalah istilah relatif untuk menunjukkan
tahap partisipasi kepribadian seseorang sudah diterima dalam masyarakat. Tentu saja
dilihat kematangan umur dan kedewasaan fisik. Tetapi kedewasaan yang dimasudkan
di sini lebih- lebih pada kedewasaan dalam berpikir, yakni mampu menjawab
132
persoalan secara bertanggungjawab, dewasa dalam pegetahuan, dewasa dalam
perasaan (mengontrol dan mengenadikan perasaannya), serta dewasa dalam tingkah
laku (Nashir, 1979: 62).
b. Kewibawaan
Mendidik dengan jiwa kasar akan memperkosa jiwa yang dididik. Anak
manusia dan manusia lain yang perlu dididik bukanlah robot yang boleh dan
dijadikan “semau gue”. Sikap jiwa kasar akan membangkitkan kekasaran pada objek
yang dididik. Maka sikap pendidik harus demokratis, lebih conscientious, lebih
mawas diri, merasakan betul kehendaknya secara halus resonansi antara jiwa
pendidik dengan anak didik. Dalam hubungan dengan subyek, anak didik diangkat
menjadi subyek menjadi sesama hidup, anggota setaraf dalam dalam kehidupan,
bukan menjadi obyek yang bergaya robot, tetapi subyek yang ingin hidup, mandiri,
mengejar kemajuan yang pada tingkat pertama memerlukan bantuan orang lain yang
disebut sebagai pendidik (Nashir, 1979: 65).
c. Kekuatan kepribadian
Kekuatan kepribadian sebaga i bagian dari kualitas sebagai pendidik. Nashir
mengemukakan bahwa orang harus menunjukkan kediriannya, arti dirinya di tengah
masyarakat. Seorang dengan kepribadiannya= personality sendiri dianggap orang
yang mandiri, dewasa dan diperhitungkan di tengah masyarakat, karena tidak lebur di
tengah massa masyarakat. Ia mempunyai warna sendiri, tidak takut menjadi pusat
133
perhatian, ikut menyumbang masyarakat dengan karya dan pendapat yang baru yang
menggugah masyarakat, yang mendidik masyarakat (Nashir, 1979: 65-66).
d. Kedudukan sosial
Kedudukan sosial atau status sosial membentuk pola kepribadian seseorang
sebagaimana juga pola-pola kepribadian memberi pengaruh kepada kedudukan
sosialnya. Maka diperlukan kecerdasan IQ untuk memperkembangkan kemampuan
berperan sesuai dengan statusnya. Status sosial yang bersangkutan dengan kedudukan
ekonomi, otomatis memberi pengaruh pada sikap pribadi individu. Si miskin merasa
lebih tertekan, si kaya merasa lebih bebas. Untuk nilai perjuangan, kepribadian yang
maju jadi unggul, banyak berasal dari kelompok-kelompok yang lebih sulit secara
relatif. Pribadi-pribadi itu menjadi unggul karena ia ditantang oleh kesulitan dan
rintangan tapi ia mampu mengatasi tantangan itu. Untuk itu agama berperan
membangkitkan daya juang pada pribadi-pribadi dalam kondisi ekonomi lemah
(Nashir, 1979:70).
e. Kekompakan
Istilah lain dari kekompakan adalah teamwork, keserasian kerja. Yang berarti
keserasian yang terjadi pada beberapa orang yang terikat dalam suatu tugas yang
sama. Teamwork ini dimaksudkan untuk dapat memperlancar jalannya fungsi
mendidik yang mengalami kesulitan. Kemampuan berkomunikasi yang menjadi
syarat. Nashir manambahkan perlunya usaha-usaha untuk terus menerus
134
meningkatkan usaha terjalinnya dialog dengan baik yakni dengan belajar,
meningkatkan pengetahuan, membaca buku, membiasakan berdiskusi untuk
mendapatkan rumus atau kesimpulan bersama. Tentu saja tidak dilepaskan sikap
penguasaan diri, tenang berpikir dan sabar (Nashir, 1979:71).
3. Menghayati Profesi Pendidik Sebagai Panggilan
Penghayatan secara kongkret suatu panggilan guru di sekolah Katolik
memerlukan pendidikan yang tepat, baik di bidang keprofesionalan maupun
keagamaan. Terutama sekali hal itu menuntut pendidik agar memiliki kepribadian
dengan kematangan hidup rohani yang diungkapkan dalam kehidupan kristen yang
mendalam. “Panggilan itu”, kata konsili Vatikan II yang berbicara tentang para
pendidik, menuntut persiapan yang amat seksama”. Karena itu para guru hendaknya
dilatih dengan bimbingan khusus, sehingga mereka dapat diperkaya dengan
pengetahuan sekuler dan agama yang dijamin tepat dan dapat dilengkapi dengan
ketrampilan mendidik yang mencerminkan penemuan-penemuan zaman modern (GE
8).
Kebutuhan akan pendidikan yang memadai sering dirasakan sangat mendesak
dalam bidang keagamaan dan kerohanian. Maka perlu kesadaran yang tidak terbatas
pada keprofesionalan tetapi juga kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan
merupakan pelaksanaan dari suatu panggilan. Dengan demikian akan membantu
mereka mempertimbangkan keadaan pribadinya dalam bidang yang begitu pokok
bagi pelaksanaan sepenuhnya dari panggilan mereka sebagai pendidik. Hal yang
135
dipertaruhkan begitu sangat penting sehingga kesadaran akan hal itu akan merupakan
dorongan kuat untuk melaksanakan usaha-usaha yang diperlukan, yaitu mendapatkan
apa saja yang selama ini barangkali kurang dalam pendidikan, dan memelihara secara
memadai semua yang telah didapat (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik,
1991: 72)
Menjalani panggilan sebagai pendidik, pendidikan agama tidak berakhir dengan
selesainya pendidikan dasar. Pendidikan agama harus menjadi bagian dari pelengkap
dari pendidikan keprofesionalan seseorang. Dengan demikian harus seimbang dengan
iman yang dewasa, kebudayaan manusia dan panggilan khusus awam. Berarti
pendidikan agama harus diarahkan ke pengudusan pribadi maupun tugas kerasulan
karena hal itu merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam panggilan
kristen (Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1991: 73).
Pendidik juga perlu untuk mengikuti perkembangan pendidikan sebab
panggilan seorang pendidik meminta kesediaan secara terus menerus untuk memulai
lagi dan menyesuaikan. Kalau kebutuhan untuk mengikuti perkembangan
berlangsung terus-menerus maka pendidikan harus lestari. Kebutuhan itu tidak
terbatas pada pendidikan keprofesian, kebutuhan itu mencakup pendidikan agama dan
pada umumnya pengembangan pribadi seutuhnya (Kongregasi Suci untuk Pendidikan
Katolik, 1991: 75)
B. Berbagai Cara Peningkatan Penghayatan Panggilan Sebagai Pendidik
1. Kelompok Studi
136
Mengingat pentingnya dokumen yang memuat pedoman-pedoman maupun
ajaran-ajaran tentang pendidikan, maka diantara para guru perlu untuk mengetahui isi
dokumen tentang pendidikan. Dokumen akan memberi pemahaman dan arah yang
sangat jelas terhadap peranan para guru sebagai pendidik. Maka dalam hal ini studi
tentang dokumen merupakan tawaran demi peningkatan penghayatan panggilan
sebagai pendidik. Hal ini dapat dilaksanakan dengan kelompok-kelompok studi.
Studi dokumen ini akan memperlengkapi serta memperkaya pemahaman para
guru sebagai pendidik. Studi dokumen akan memberi sumbangsih kepada sesama
guru sehingga mengantar para guru kepada refleksi akan peranan kehadiran mereka
sebagai pendidik. Dengan berani berefleksi, para guru akan selalu membenahi diri
baik itu menyangkut guru sebagai pengajar, pembimbing, pelatih dan sekaligus
sebagai pendidik. Dengan demikian, makna kehadiran mereka sangat penting dan
memberi pengaruh terhadap peserta didik.
Sumber-sumber atau bahan studi sangat dimungkinkan dari dokumen tentang
pendidikan kristen atau yang dikenal dengan Gravissimum Educationis. Selain itu
dokumen lain yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik
yakni dokumen tentang sekolah Katolik, Awam Katolik di Sekolah sebagai saksi
iman serta Dimensi religius pendidikan. Semua dokumen yang disebutkan itu
berbicara tentang ajaran dan pedoman Gereja tentang pendidikan Katolik.
Pelaksanaan studi tentang dokumen ini sangat mungkin sebab sekolah selalu
memberi kesempatan kepada para guru untuk mengadakan kegiatan untuk saling
bertukar pikiran dan berdiskusi. Maka bahan-bahan yang dimuat dalam dokumen
137
sangat tepat menjadi bahan diskusi demi perkembangan serta peningkatan
penghayatan panggilan sebagai pendidik. Dengan demikian mereka semakin
menampakkan kehadiran Gereja lewat kesaksian hidup dan tugas mengajar mereka.
Para guru akan memberi kesaksian akan Kristus Sang Guru yang menyelamatkan
semua orang.
2. Seminar-seminar
Selain studi tentang dokumen, merupakan tawaran juga seminar tentang
dokumen maupun sarasehan-sarasehan. Seminar-seminar yang lazim dilakukan
dewasa ini merupakan cara yang tepat. Sebab dengan seminar yang dilakukan tidak
terlalu menyita waktu peserta seminar, mengingat para peserta juga memiliki
kesibukan masing-masing. Tetapi peserta akan dibekali hal-hal yang berguna bagi
pembentukan diri mereka terutama dalam tugas mengajar mereka.
Kendatipun studi kelompok, seminar-seminar, maupun sarasehan menjadi
tawaran, namun untuk pelaksanaan kegiatan ini, semua tergantung kepada sekolah
sebagai lembaga pendidikan. Akan tetapi hal ini menjadi pemikiran aga r dokumen
dikenal oleh para guru dan juga demi peningkatan penghayatan panggilan sebagai
pendidik. Upaya sosialisasi dokumen harus selalu diperhatikan sekolah sebagai
lembaga pendidikan.
3. Retret dan Rekoleksi
138
Istilah retret dan rekoleksi sudah biasa kita dengar. Malahan kegiatan retret dan
rekoleksi sudah lazim dilaksanakan jemaat secara khusus para religius dan imam
diosesan. Rekoleksi berasal dari kata recollection, yang dimengerti sebagai usaha
untuk memperkembangkan kehidupan iman atau hidup rohani. Sementara retret
berasal dari kata Perancis yakni la retraite yang berarti pengunduran diri, menyendiri,
menyepi, menjauhkan diri dari kesibukan sehari-hari, meninggalkan dunia ramai.
Dalam bahasa Indonesia biasa disebut khalwat yang juga berarti mengasingkan diri
ke tempat sunyi (Mangunhardjana, 1985: 7).
Yang dilakukan dalam rekoleksi mirip dengan hal yang dilakukan dalam retret.
Kita meninjau karya Allah dalam diri kita, cara kerja serta bimbingan-Nya dan
tanggapan kita terhadap karya Allah itu. Seperti dalam retret bahan yang diolah dalam
rekoleksi diambil dari pengalaman hidup yang sudah dijalani sebelumnya
(Mangunhardjana, 1985: 18). Maka sebagaimana sekolah mempunyai kebiasaan
mengadakan retret maupun rekoleksi sekali setahun, sangatlah baik kalau kegiatan ini
terus ditingkatkan. Kegiatan rekoleksi maupun retret akan menggugah hati para
peserta, dalam hal ini para guru akan tugas dan makna kehadiran mereka sebagai
pendidik. Selain mereka menyadari akan besarnya kasih Tuhan kepada mereka,
mereka juga akan merenungkan tanggapan mereka terhadap kasih Tuhan itu melalui
tugas mengajar mereka.
Setelah merenungkan kasih Tuhan serta tanggapan mereka terhadap kasih
Tuhan tersebut, mereka pasti akan memperoleh kekuatan rohani. Selain kekuatan
rohani mereka akan membangun niat-niat yang menghantar mereka pada
139
pengahayatan panggilan sebagai pendidik. Untuk bahan permenungan dapat
digunakan dari dokumen, sebagaimana arahan dokumen tentang ajaran dan pedoman
pendidikan Katolik. Dengan demikian hidup mereka akan selalu berpusat pada
Kristus Sang Guru.
C. Katekese
Berbagai cara yang telah diuraikan di atas, akan menghantar para guru kepada
penghayatan panggilan sebagai pendidik. Hidup panggilan sebagai pendidik akan
memberi makna yang dalam kepada peserta didik. Akan tetapi dalam rangka
meningkatkan penghayatan panggilan sebagai pendidik, kegiatan katekese dapat
menjadi tindak lanjut. Dalam hal ini katekese mempunyai ciri hakiki yakni dialog
partisipatif, memaknai yang dipahami, reflektif dan evaluatif. Dengan melaksanakan
ciri hakiki dari katekese tersebut, akan membantu para guru meningkatkan
penghayatan mereka dalam tugas panggilan sebagai pendidik.
Setelah langkah- langkah maupun berbagai cara peningkatan penghayatan
panggilan di atas ditempuh, teristimewa lewat studi bersama akan memberi
sumbangan terhadap pelaksanaan katekese. Katekese akan berjalan baik kalau
didahului studi bersama. Sumbangan pemikiran dari masing-masing peserta studi
kelompok akan memperkaya wawasan masing-masing peserta dan memberi
pemahaman yang utuh terhadap dokumen. Selanjutnya, yang dipikirkan bersama,
yang dipelajari, yang diketahui dan yang didalami menjadi bahan permenungan bagi
140
masing-masing peserta. Jadi bukan soal pemikiran dan pengetahuan akan tetapi
diinternalisasi dan akhirnya ke praktek hidup sehari-hari.
Groome, dalam Heryatno (2006: 3), merumuskan hakikat dan tujuan katekese
yakni “to inform, form and trasform christian persons and communities as
apprentices to Jesus for God’s reign in the word”. Dapat dikatakan bahwa hakikat
dan tujuan katekese sebagai gerakan mengkomunikasikan harta kekayaan Gereja
supaya dapat membentuk dan membantu jemaat memperkembangkan imannya pada
Yesus Kristus baik secara personal maupun komunal demi terwujudnya Kerajaan
Allah di tengah kenyataan dunia. Lebih lanjut ia menjelaskan:
1. To inform (mengkomunikasikan)
Jemaat merasa rindu, lapar dan haus akan sabda Allah. Mereka membutuhkan
harta kekayaan iman Kristen untuk memaknai pengalaman pergulatan hidup mereka
dan memperkembangkan kerohanian dan spiritualitas mereka. Yang mereka
butuhkan bukan sekedar isi atau tambahan informasi melainkan ilham untuk
mendasari tindakan dan memaknai pergulatan hidup mereka. Prosesnya tidak lagi
bersifat dogmatis yang transmisif, tekanannya juga bukan bersifat kognitif melainkan
komunikatif dan partisipatif, semacam proses home making. Dalam proses semacam
itu jemaat diharapkan menyikapi komunikasi harta kekayaan iman Kristiani sebagai
mitra untuk berefleksi dan dialog (Heryatno, 2006: 3).
2. To form (membentuk)
141
Proses catechetical education berusaha membentuk inti hidup dan jati diri
jemaat sehingga iman mereka betul-betul menjadi poros kehidupan. Melalui
komunikasi harta kekayaan iman dan penafsirannya, katekese berusaha menempa
kedalaman hidup jemaat. Kedalaman hidup mencakup sikap dasar, kesadaran,
keyakinan dan pandangan atau nilai hidup. Usaha ini juga berarti mewujudkan proses
pembentukan (formasi) yang utuh yang mencakup seluruh dimensi kehidupan
manusia. Karena itu, di sini ditekankan pentingnya peranan umat untuk secara aktif
menagmbil bagian di dalam proses itu. Formasi mencakup proses sosialisasi umat ke
dalam hidup berkomunitas dan edukasi yang berlangsung secara terus-menerus.
Sosialisasi atau edukasi diwujudkan antara lain melalui partisipasi dan komunikasi
(Heryatno, 2006: 4).
3. To transform (memperkembangkan)
Point ini menekankan life long conversion (pertobatan terus-menerus) atau
semper reformanda (senantiasa berkembang). Perkembangan merupakan proses
dinamis yang senantiasa berlangsung sepanjang hidup sehingga jemaat semakin
menjadi lebih Katolik. Perkembangan atau pertobatan jemaat yang bersifat utuh akan
memberi sumbangan penting di dalam membangun hidup Gereja dan menata hidup
bersama di masyarakat sehingga setiap orang secara bebas dapat menjadi dirinya
yang sejati. Dengan kata lain, pertobatan utuh jemaat harus menjadi berkat positif
bagi persaudaraan dan kesejahteraan bersama. General Directory for Chatecesis-
GDC, 69 menegaskan pentingnya pertobatan (metanoia) seumur hidup. Dalam iman
142
Kristiani, pertobatan juga merupakan karya Allah dan tidak dapat dipisahkan dari
relasinya dengan hidup komunitas (Heryatno, 2006: 4).
4. Persons and communities (jemaat secara personal dan komunal)
Perlu disadari bahwa iman Kristiani tidak menganut paham individualisme dan
komunalisme. Penting juga dingat iman merupakan tanggungjawab pribadi, sungguh
bersifat personal tetapi sekaligus komunal. Allah mengasihi dan memanggil setiap
orang dengan nama masing-masing (Yes 45: 4). Sumbangan dan peranan pribadi
umat bersifat unik dan tidak tergantikan, tetapi masing-masing tidak berdiri sendiri,
yang satu lepas dari yang lain. Masing-masing anggota berbeda-beda di dalam
karunia, tugas dan panggilan, tetapi semuanya tetap secara bersama membentuk satu
tubuh (1 Kor 12: 21).
Iman pribadi berkembang dalam komunitas. Maka ditekankan pentingnya
kesatuan bukan di dalam bentuk keseragaman melainkan di dalam perbedaan. Tubuh
memiliki anggota yang bermacam-macam, tetapi semuanya merupakan bagian utuh
dari satu tubuh yang tidak lagi dapat dipisah-pisahkan (1 Kor 12: 12-13). Koinonia
terwujud di dalam komunitas dalam relasi yang akrab, saling membutuhkan,
membantu dan memperkaya. Sebagai persekutuan umat beriman, jemaat saling
membutuhkan untuk saling berkembang di dalam iman. Iman akan Yesus Kristus
meskipun merupakan tanggungjawab pribadi secara hakiki bersifat komuniter. Tak
mungkin jemaat berkata Christ Yes dan sebaliknya Churc No. Kita makin beriman
143
dan mencintai Yesus di dalam komunitas. Cinta kepada Yesus tidak dapat dipisahkan
dari cinta kepada sesama jemaat dalam komunitas (Heryatno, 2006: 4-5).
5. As apprentices to Jesus (menjadi cantrik, magang atau murid Yesus)
Menjadi murid-murid Yesus dapat ditempuh melalui berbagai cara, tetapi yang
pokok adalah mengikuti jalan Yesus dan meneladani sikap serta semangat hidup-Nya.
Menjadi murid Yesus berarti berjalan di belakang Yesus, setia mengikutinya dengan
bersedia memanggul salib dan meninggalkan egoisme pribadi yang sempit (Luk 9:
22-24). Jalan mengikuti Yesus adalah dengan mengasihi, mengimani Yesus sebagai
Mesias dan Tuhan. Yesus adalah segalanya, Tuhan, sahabat, gembala yang baik,
penolong, penebus dan penyelamat (Heryatno, 2006: 5).
6. Demi Kerajaan Allah di dunia sebagai meta purpose
Kerajaan Allah dipahami sebagai kehendak dan karya Allah untuk
menyelamatkan umat manusia. Kitab Suci Perjanjian Lama menggambarkan Allah
yang menghendaki agar semua manusia hidup di dalam damai sejahtera (shalom).
Umat terpilih mengimani Allah, setia melaksanakan kehendak-Nya. Kerajaan Allah
dipahami sebagai anugrah dan karya Allah tetapi juga sebagai undangan bagi manusia
supaya menjadi pejuang-pejuang demi kesejahteraan hidup bersama. Karena itu dapat
dinyatakan Kerajaan Allah sekaligus karya Allah dan tanggapan manusia.
Dalam seluruh hidup-Nya, Yesus mewartakan sekaligus mewujudkan Kerajaan
Allah. Kerajaan Allah menjadi pusat pewartaan dan karya-Nya. Karena itu,
144
terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah menjadi inti dari segala tujuan pastoral Gereja.
Terwujudnya Kerajaan Allah harus merasuki dan meresapi seluruh proses
penyelenggaraan katekese dan kenyataan (segala bidang dan segi) semua orang
Kristen (Heryatno, 2006: 6).
Dengan hakikat katekese seperti yang diuraikan di atas, dalam seluruh proses
katekese yang diadakan akan menghantar para guru kepada pengalaman iman. dengan
pengalam-pengalamn iman yang mereka peroleh mendorong mereka untuk
membentuk komunitas iman (The Faith Community). Dengan semikian visi sekolah
ingin mewujudkan komunitas iman akan tercapai.
145
BAB VI
PENUTUP
Pada bagian akhir karya tulis ini penulis akan menyimpulkan keseluruhan
isi skripsi. Selain itu penulis juga akan memberikan saran yang kemungkinan
berguna untuk peningkatan terwujudnya kehadiran Gereja di Sekolah Katolik.
A. Kesimpulan
Menampilkan wajah Gereja di tengah masyarakat adalah suatu usaha yang
harus dilakukan terus-menerus. Gereja dalam perwujudannya dengan berbagai
cara dan teristimewa melalui pendidikan harus benar-benar menciptakan
komunitas iman yang dijiwai oleh semangat Injil kebebasan dan cinta kasih.
Karena pendidikan itu sangat penting dan maknanya yang begitu besar dalam
pembentukan pribadi dewasa manusia. Dengan adanya pendidikan, diharapkan
mampu untuk mengembangkan Gereja sebab tujuan pendidikan adalah
mengembangkan iman umat dengan makin menyadari kurnia iman yang mereka
terima, mendalami misteri Allah dan supaya manusia itu belajar bersujud
menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran dan akhirnya mewujudkan
komunitas iman (The Faith community).
Melalui sekolah Gereja hadir. Gereja menampilkan dirinya yang istimewa
merangkul semua orang untuk sampai kepada keselamatan. Kendatipun banyak
perbedaan dan keragaman tetapi dalam Gereja semua orang menjadi satu dalam
146
ikatan cinta Allah dan membentuk satu tubuh. Oleh karena itu keselamatan Allah
teruntuk bagi setiap orang. Maka melalui pendidikan, Gereja harus menampilkan
dirinya yang sebenarnya yakni mewartakan keselamatan. Sekolah-sekolah Katolik
menjadi sarana utamanya. Karena itu sekolah-sekolah Katolik haruslah
mengusahakan pendidikan yang integral dan mengarahkan peserta didik untuk
menjadi manusia yang lebih manusiawi. Tetapi ciri khasnya adalah menciptakan
lingkungan hidup bersama di sekolah yang dijiwai semangat Injil kebebasan dan
cinta kasih, dan membantu kaum muda supaya dalam mengembangkan
kepribadian mereka sekaligus berkembang menjadi ciptaan baru.
Termasuk ciri sekolah Katolik juga mengarahkan seluruh kebudayaan
manusia akhirnya kepada pewartaan keselamatan dan pengetahuan yang diterangi
oleh iman. Dalam rangka itu sekolah Katolik harus membuka diri ke arah dunia
modern, mendidik peserta didiknya untuk tepat guna mengembangkan
kesejahteraan masyarakat dan menyiapkan mereka untuk pewartaan kerajaan
Allah. Dengan memberi teladan hidup merasul mereka menjadi bagaikan ragi
keselamatan bagi masyarakat luas.
Untuk mencapai tujuan demi mengembangkan pribadi manusia itu, yang
menjadi bagaikan ragi keselamatan, pendidikan Katolik haruslah diusahakan
secara professional. Artinya pendidikan itu haruslah ditangani secara khusus
menurut kaidah keahlian yang tepat. Yang harus professional itu adalah
penyelenggara pendidikan atau pengelola seperti Yayasan dan sekaligus orang
yang bekerja secara langsung dalam pendidikan itu yakni guru dan tenaga
administrasi. Dan dalam penyelenggaraan pendidikan itu haruslah terencana
147
secara matang, sistematis serta tujuan utama harus digariskan secara tepat.
Perkembangan pribadi manusia yang integral dan berjuang demi kesejahteraan
umum masyarakat.
Ternyata sebagaimana harapan konsili yang tertuang dalam dokumen
Gravissimum Educationis, yakni sekolah sebagai sarana utama menghadirkan
Gereja karena maknanya yang maha penting, demikian juga dengan sekolah SMA
Pangudi Luhur Yogyakarta. Sekolah SMA Pangudi Luhur Yogyakarta adalah
salah satu model kehadiran Gereja dalam dunia persekolahan. Sekolah tersebut
terus menerus mengusahakan agar sekolah sungguh-sungguh menampilkan
kehadiran Gereja di dalam komunitas sekolah. Hal itu terwujud dalam usaha
mencapai tujuan sekolah yang dijiwai oleh semangat Injil kebebasan dan cinta
kasih. Teristimewa oleh mereka yang terlibat langsung dengan kependidikan
tersebut.
Para guru di sekolah SMA Pangudi Luhur menjadi penggerak hadirnya
Gereja di tengah komunitas sekolah. Lewat pemberian diri mereka yakni yang
dijiwai oleh semangat pengabdian, dan berguru pada Kristus Sang Guru. Dalam
seluruh prospek kegiatan mengajar guru di sekolah, mereka mengutamakan
suasana persaudaraan yang merupakan dimensi religius sekolah serta
mengusahakan agar pengetahuan dan kebudayaan diterangi oleh iman. Dari hasil
pengamatan penulis terhadap data-data, program kerja SMA Pangudi Luhur serta
pengalaman para guru maupun siswa, boleh dikatakan harapan konsili terhadap
sekolah tercapai. Sekolah sebagai salah satu wujud kehadiran Gereja dalam dunia
persekolahan.
148
B. Saran
Pada akhir dari tulisan ini penulis akan memberikan saran. Semoga saran-
saran ini dapat digunakan sebagai cambuk, pemicu, untuk perkembangan sekolah.
Dengan demikian sekolah sungguh-sungguh menjadi kehadiran Gereja di dalam
komunitas sekolah. Hal ini lebih- lebih tertuju kepada para guru sebagai tenaga
yang terkait langsung dengan kegiatan pendidikan.
Saran ini dimaksudkan untuk menyadarkan sekolah supaya sekolah
sungguh-sungguh menjadi sarana pewartaan. Dengan demikian sekolah sebagai
suatu wadah pembentukan pribadi manusia menjadi nyata dalam menghadirkan
diri Gereja yang sebenarnya. Dengan mampu menampilkan wajah Gereja di dalam
komunitas sekolah, berarti perintah Yesus terhadap para murid-Nya tercapai yakni
mewartakan keselamatan kepada semua orang yang merupakan misi Gereja.
Adapun saran-saran itu adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan dan mempertahankan kerjasama dengan semua orang yang
terlibat dalam komunitas sekolah, para guru, kepala sekolah, tenaga
administratif, tata usaha, siswa maupun karyawan (GE 5)
2. Meningkatkan dan mempertahankan hubungan kerjasama dengan para orang
tua siswa sebagai pendidik utama dalam pembentukan pribadi siswa (GE 5, 6,
8)
3. Meningkatkan penghayatan semangat Injil kebebasan dan cinta kasih yang
menjadi ikatan persaudaraan komunitas sekolah dalam semangat pelayanan
149
4. Kesetiaan pada tujuan pendidikan Katolik seturut cita-cita dokumen Konsili
Vatikan II
5. Mempertahankan dan mengembangkan berbagai aspek yang ada dalam sekolah
Katolik
6. Mempertahankan nama baik sekolah, serta meningkatkan nilai-nilai baik yang
sudah dimiliki sekolah (GE 1)
7. Mengusahakan adanya pelaksanaan kegiatan untuk memperdalam dokumen
baik dengan studi dokumen maupun seminar tentang dokumen pendidikan
kristen.
8. Berangkat dari pengalaman, sekolah-sekolah lain terutama sekolah Yayasan St.
Lusia dapat belajar dari Sekolah SMA Pangudi Luhur Yogyakarta
Demikianlah saran-saran dari penulis, kiranya bermanfaat bagi lembaga
sekolah maupun bagi para guru di sekolah Katolik. Semoga dengan pemikiran
upaya peningkatan pengahayatan panggilan sebagai pendidik seperti yang
tertuang dalam bab V di atas semakin membantu para guru meningkatkan
penghayatan panggilan mereka sebagai pendidik.
150
DAFTAR PUSTAKA
A. PUSTAKA UTAMA Konsili Vatikan II. (1991). Deklarasi Tentang Pendidikan Kristen. Jakarta: Grasindo.
(Dokumen asli diterbitkan tahun 1965). Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik. (1991). Sekolah Katolik. Jakarta:
Grasindo. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1977). Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik. (1991). Awam Katolik di Sekolah: Saksi-
saksi Iman. Jakarta: Grasindo. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1982). Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik. (1991). Dimensi Religius Pendidikan di
Sekolah Katolik: Pedoman untuk Refleksi dan Pembaharuan. Jakarta: Grasindo. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1988).
Data Sekolah SMA Pangudi Luhur. (2007). Yogyakarta: Yayasan Pangudi Luhur Cabang Yogkarta.
Program Kerja SMA Pangudi Luhur. (2007). Yogyakarta: Yayasan Pangudi Luhur Cabang Yogyakarta.
B. PUSTAKA PENDUKUNG Adisusanto, F. X. (2000). Katekese dalam Konteks Pastoral Gereja. Seri Puskat 370.
Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat. Ambrosia, M., Sr. (1994). Dimensi Pastoral Diakonia. Seri Pastoral No. 6.
Yogyakarta: pusat Pastoral. Banawiratma, J. B. (1991). Iman, Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta:
Kanisius. Bert Van Der Heijden. (1994-1995). Beberapa pedoman Pembacaan dan Penafsiran
Kitab suci untuk Khotbah dan Renungan Pribadi. Uraian Tesis-Tesis Bacaloreat FTW. Yogyakarta.
Dulles, Averry. (1990). Model-Model Gereja. Yogyakarta: Nusa Indah. Heryatno Wono Wulung, F. X. (2006). Pendidikan Agama Katolik III. Diktat Mata
Kuliah. Yogyakarta: IPPAK-USD. Heuken, Adolf. (1987). Katekismus Konsili Vatikan II. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Hofman, Ruedi. (1987). Gereja dan Mass Media. Yogyakarta: Kanisius. Iswarahadi. (2006). Pendidikan Agama Katolik Audio Visual III: Komunikasi
Membangun Persahabatan. Diktat Mata Kuliah. Yogyakarta: IPPAK-USD. Jacobs, Tom. (1970). Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium Mengenai Gereja.
Yogyakarta: Kanisius. ----------- (1987). Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta: Kanisius. Katekismus Gereja Katolik. (1995). Edisi Indonesia: Provisi Gerejani Ende, 1995.
(Embuiru Herman, Penerjemah). Ende: Arnoldus.
151
Konferensi Wali Gereja Indonesia. (1996). Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarya: Kanisius.
Konsili Vatikan II. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II (R. Hardawiryana, Penerjemah). Jakarta: Obor. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1966).
Mangunhardjana, A. M. (1985). Membimbing Rekoleksi. Yogyakarta: Kanisius. Martasudjita, E. (2003). Sakramen-Sakramen Gereja. Yogyakarta: Kanisius Martino, Sardi. (2005). Tantangan Pendidikan Katolik di Masa Mendatang. Seminar
tentang Pendidikan 22-23 Oktober 2005. Bhumiksara Rukun Lokal Purwokerto.
Muri, Yusuf. A. (1982). Pengantar Pendidikan. Indonesia: Ghalia. Nashir, Ali. M. (1979). Dasar-Dasar Ilmu Mendidik. Jakarta: Mutiara. Paul, Suparno. dkk (2002). Reformasi Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Piet, Go. (1991). Pastoral Sekolah. Malang: Dioma Putranta, C. (1998). Pewarta Kerajaan Allah. Seri Puskat 357-360. Yogyakarta:
Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat. Purwanto, Ngalin. M. (1988). Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis. Bandung:
Remadja Karya. Samana, M. A. (1994). Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius. Harsanto, Radno. (2004). Cinta Kasih Mutlak Menjadi Ciri Khas Sekolah Katolik.
Educare, no. 2/I/Mei 2004, hh 34. Yohanes Paulus II (1991). Kitab Hukum Kanonik. (terjemahan V. Kartosiswoyo,
dkk). Jakarta: Sekretariat MAWI dan OBOR.
(1)
Lampiran 1: Pedoman Wawancara dengan Guru-Guru dan Siswa SMA Pangudi Luhur Yogyakarta (12 Mei 2007)
I. Pedoman Pertanyaan Untuk Wawancara A. KEPALA SEKOLAH 1. Sudah berapa lama Br bertugas di sekolah SMA Pangudi Luhur ini? 2. Dari pengamatan Br sekian tahun hadir di sekolah ini, apa cara-cara yang
dilakukan oleh guru-guru di sini untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif?
3. Apakah usaha guru-guru di sini sudah maksimal menurut Br dalam tugas mengajar mereka?
4. Seberapa besar rerata prosentasi kehadiran Guru dalam tugas mengajar? 5. Bagaimana hubungan guru dengan para orang tua serta pemerintah dalam
membantu mendampingi siswa? 6. Bagaimana hubungan orang tua dengan para alumni? 7. Apa saja peranan guru dalam sekolah ini? 8. Apa yang khas dari sekolah pangudi Luhur ini sehingga siswanya terus
menerus bertambah & punya nama di tengah masyarakat? 9. Apa kira-kira yang membedakan Sekolah Pangudi Luhur dengan sekolah
lainnya? 10. Sejauhmana Sekolah Pangudi Luhur mengacu kepada pedoman dan aturan
yang diberlakukan oleh KWI? 11. Apa usaha sekolah terhadap mereka yang kurang mampu di bidang
ekonomi? 12. Bagaimana dengan siswa yang beragama Katolik, apakah mereka mendapat
perhatian khusus dalam pendampingan perkembangan iman mereka? B. GURU 13. Sudah berapa lama Anda mengajar di sekolah SMA Pangudi Luhur ini? 14. Bagaimana pengalaman Anda selama mengajar di SMA Pangudi Luhur ini? 15. Apa cara-cara yang Anda tempuh dalam upaya menciptakan iklim belajar
yang baik? 16. Bagaimana Anda menghayati panggilan sebagai Guru di SMA Pangudi
Luhur ini? 17. Sejauhmana kerja sama Anda dengan para orang tua siswa dalam
mengembangkan pribadi anak didik? 18. Apa kekhasan dari Sekolah Pangudi Luhur ini, yang membedakan sekolah
ini dengan sekolah lainnya? 19. Apakah sekolah ini tidak terkesan elit di tengah masyarakat? Susah
dijangkau yang kurang mampu? C. SISWA 20. Apa yang mendorong Anda sehingga Anda masuk ke sekolah ini? 21. Apa yang khas menurut pengalaman Anda selama belajar di sekolah ini? 22. Bagaimana pengalaman dengan guru-guru yang mengajar di sekolah ini?
(2)
Lampiran 2: Rangkuman Hasil Wawancara II. Rangkuman Hasil Wawancara
Pelaksanaan wawancara ini dilakukan pada tanggal 12 Mei 2007. Subyek wawancara yakni para guru maupun siswa yang ada di sekolah SMA Pangudi Luhur yogyakarta. Maksud dari wawancara ini lebih fokus pada pengumpulan data-data serta mendukung data yang sudah diperoleh lewat Pedoman Kerja sekolah maupun data sekolah 2007.
A. Kepala Sekolah
Br. Herman, FIC telah telah berkecimpung di bidang pendidikan selama 53 tahun. Dan sekarang beliau menjabat sebagai kepala sekolah di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta (± 4 tahun). Br. Herman, FIC menyebutkan bahwa hubungan antara sesama para rekan guru dalam Sekolah SMA Pangudi Luhur terjalin dengan baik, akrab, kerjasama dan saling mendukung satu dengan yang lain. Demikian juga dengan antar siswa maupun siswa dengan para guru. Br. Herman mengatakan bahwa guru-guru yang ada di Sekolah SMA Pangudi Luhur patut dibanggakan dalam hal mengusahakan kerjasama maupun dalam menciptakan persaudaran. Para rekan guru sangat suka bekerja keras serta saling mengunjungi satu dengan yang lain.
Dalam mengusahakan suasana belajar di kelas, para guru cukup proaktif dan mereka hadir sepenuhnya. Mereka memiliki sikap pengabdian serta pemberian diri sepenuhnya. Terbuka terhadap masukan orang lain serta mau berusaha keras. Hadir tepat waktu dan boleh dikatakan prosentasi kehadiran mereka rata-rata 99 %. Apabila guru tidak hadir, tentu saja karena ada alasan tertentu atau hal yang sangat penting. Mereka harus mendapat izin dari kepala sekolah maupun wakil kepala sekolah.
Sebagaimana sebuah lembaga pendidikan, Sekolah SMA Pangudi Luhur dalam prospek mencapai tujuan sekolah selalu mengacu kepada dokumen yakni pendidikan Kristen. Hal itu terlaksana sebagaimana dengan anjuran atau pedoman dari MNPK. Kemudian diterjemahkan dalam Yayasan Pangudi Luhur hingga ke Sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Pangudi Luhur. Tujuan, visi maupun misi dari sekolah SMA Pangudi Luhur selalu bertitik tolak dari pedoman pendidikan yang dianjurkan oleh KWI.
Berkaitan dengan Sekolah Katolik yang terkesan elit, Br. Herman menanggapi bahwa komentar seperti itu ada dan sudah biasa. Sekarang tergantung dari orang-orang yang memberi komentar. Kalau dikatakan sekolah Katolik elit, harus dilihat dari situasi dan tempat. Kalau memang sekolah itu butuh sarana prasarana yang memadai dan hal itu menuntut demi pembelajaran, tidak ada salahnya. Sekolah akan mengusahakan yang terbaik dan pasti akan dipenuhi. Tentu saja juga didukung dengan tempatnya yang memadai dan barangkali berada di pusat kota. Didukung lagi dengan keadaan sekolah yang siswanya antara kelas menengah ke atas. Bukan berarti sekolah SMA Pangudi Luhur tidak menerima siswa dari kalangan yang kurang mampu. Ada pertimbangan lain apabila mereka yang hadir di sekolah ini adalah dari kalangan yang kurang mampu. Di satu sisi
(3)
mereka akan mengalami kesulitan dalam proses belajar maupun dalam menjalin relasi dengan sesama siswa. Mereka akan mengalami beban psikologis. Daya tangkap merekapun akan beda dengan siswa lainnya. Selain itu pembicaraan antar mereka pun akan berbeda. Misalkan, mereka yang sudah biasa bergaul dan pandai main internet, sementara yang lainnya sangat jarang bahkan ketinggalan dengan teknologi yang canggih, maka akan terjadi perbedaan yang mencolok. Tetapi bagaimana pun sekolah tetap merangkul mereka yang yang kurang mampu. Sebab misi para Bruser FIC adalah “option for the poor”. Kendatipun misi itu ada, para Br FIC memberi solusi lain untuk membentu mereka yang kurang mampu. Mereka mengarahkan kepada sekolah-sekolah kejuruan. Sekolah kejuruan akan membantu mereka untuk mempermudah memperoleh kerja. Bagi mereka yang masuk SMA diharapkan akan melanjut ke jenjang yang lebih tinggi.
Siswa-siswa Sekolah SMA Pangudi Luhur 99 % beragama Katolik, selebihnya beragama Kristen dan Islam serta Budha. Maka dalam pelaksanaan pendidikan Agama tidak mengalami kesulitan. Mereka yang berada di luar agama Katolik dengan sendirinya dapat mengikuti kegiatan keagamaan Katolik tanpa ada unsur paksaan. Apabila mereka kurang bersedia untuk terlibat, sekolah tetap menghargai kebebasan mereka. Namun dari pengalaman selama ini, mereka justru senang dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan sekolah. Kata-kata sumbang seperti mengkristenkan ataupun katolisasi, sekolah tidak pernah berbuat demikian. Sekolah sangat menjunjung tinggi kebebasan mereka dalam memilih agamanya.
Terjalinnya kerjasama yang baik antar para guru serta pengabdian yang sungguh-sungguh, Br. Herman menambahkan bahwa itu semua karena disemangati oleh spiritualitas Kristen yakni Yesus sendiri. Sebagaimana spiritualitas Yesus yang dihidupi para Br. FIC ditampilkan lewat pelaksanaan karya-karya mereka. Kesaksian yang ditampilkan akan memberi pengaruh bagi mereka yang dilayani. Sehinga para guru pun disemangati oleh spiritualitas yang sama. Br. Herman menambahkan bahwa saya mengajar di sini bukan membawakan diri saya sendiri tetapi menampilkan hidup para Bruder FIC. Jadi dalam hal ini saya harus hidup sesuai dengan semangat FIC. Penghayatan terhadap spiritualitas Kristen akan mendorong para guru untuk lebih giat dalam tugas mereka. Sehingga tugas guru sebagai penentu utama tercapainya cita-cita sekolah dapat terwujud. Menjadi pesan kepala sekolah kepada para rekan guru agar mereka sungguh-sungguh memberi diri dengan sepenuhnya dan mengatakan baik tidaknya sekolah itu adalah tergantung para guru.
Br. Herman mengatakan bahwa tidak terlalu banyak mengalami hambatan dalam mendampingi peserta didik. Kalaupun ada, lebih pada hal-hal kecil. Diantara para guru masih ada yang kurang peka, dan harus dikomando. Mengalami kekurangan tenaga, misalkan soal kebersihan. Akan tetapi semua kesulitan dapat dilalui dengan baik karena kerjasama yang terjalin dengan rekan guru lainnya.
B. Guru
Bagi guru-guru di sekolah SMA Pangudi Luhur, peranan guru adalah mengajar, mendidik, mendampingi serta melatih anak didik. Panggilan menjadi
(4)
guru adalah panggilan sebagai pendidik, yang sungguh-sungguh mendidik peserta didik. Tugas guru bukan hanya mentransfer ilmu sebanyak-banyaknya akan tetapi mendidik anak didik. Mendididik anak adalah membantu anak didik, dari yang kurang baik menjadi baik dan selanjutnya yang baik dipertahankan dan dikembangkan. Mengingat perkembangan zaman yang semakin pesat dan perkembangan teknologi yang semakin canggih, anak cenderung terbawa arus. Mereka ingin hidup enak, nikmat, serba instan dan kurang sabar maka dalam hal ini dibutuhkan guru yang benar-benar mau mendampingi anak didik dengan penuh kesabaran.
Dengan situasi siswa yang cenderung hidup serba enak dan kurang sabar, serta butuh konsentrasi dalam belajar, guru harus berusaha untuk menciptakan suasana pendidikan yang kondusif agar peserta didik merasa kerasan serta dapat berkonsentrasi. Ibu Yos Wahyu mengatakan bahwa dalam belajar itu tidak cukup hanya hadir fisiknya saja melainkan harus hadir sepenuhnya dan perlu konsentrasi. Sehingga mereka dapat menerima pelajaran dengan baik serta dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran tersebut.
Para guru di SMA Pangudi Luhur adalah guru yang harus bisa mendidik anak tentang nilai-nilai humaniora. Membentuk anak didik untuk menghidupi nilai-nilai moral. Guru bidang studi tidak hanya mengajarkan pemngetahuan saja tetapi juga aspek moralnya. Bidang studi apapun bisa memberikan pesan moral entah itu melalui narasi, vocabulary, maupun grammmer. Semua dapat diarahkan demi pembentukan sikap anak, tutur Ibu Yos Wahyu. Jadi guru harus berusaha untuk menjadi guru yang benar-benar memberikan diri sepenuhnya. Siswa tidak cukup hanya mengerti dan mengetahui tetapi harus bisa menghubungkan dengan kenyataan hidup sehari-hari sehingga pengetahuan benar-benar menjadi milik siswa.
Menjalani panggilan sebagai guru, perlu untuk berefleksi dan bertanya bagaimana supaya bisa menjadi guru yang baik. Maka perlu untuk melihat dan mendengar. Dengan banyak melihat dan mendengar, maka akan memperoleh banyak masukan berkaitan dengan tugas-tugas sebagai guru serta dalam pembentukan diri. Guru harus bisa menjadi teladan karena guru menjadi pusat perhatian. Dalam bersikap, tutur kata, berpakaian, guru akan menjadi teladan. Jadi mengahayati panggilan sebagai guru tidak semudah membalik tangan, harus berani melalui proses yang tentu proses itu tidak selalu mudah. Dalam mendampingi siswa juga perlu adanya pendekatan, baik itu siswa yang baik maupun yang nakal serta menjengkelkan. Dengan pendekatan yang dilakukan diharapkan semakin mudah mengenal siswa dan masuk ke pengalaman siswa. Sebagai guru jangan membuat asing di hadapan siswa tetapi menjadi bagian dari siswa dengan demikian akan mudah masuk ke dalam diri siswa.
Seorang guru perlu untuk memiliki sikap konsekuen dan tegas. Kalau “tidak” dengan satu orang anak, harus juga “tidak” dengan anak lain. Hal ini dimaksudkan agar guru tidak terkesan membeda-bedakan ataupun plinplan. Guru harus mempunyai sikap yang tegas dan jujur. Seorang guru juga harus merangkul semua siswa, baik itu yang kristiani maupun yang bukan kristiani. Oleh sebab itulah Sekolah Katolik diminati dan karena Sekolah Katolik hadir untuk semua orang.
(5)
Hubungan antar guru terjalin kerjasama yang baik dan saling mendukung. Masing-masing guru mempunyai tugas baik yang berhubungan dengan akademik serta yang berhubungan dengan penanganan siswa. Tetapi kendatipun demikian, masing-masing guru dapat menjalin kerjasama karena sadar akan pentingnya tugas mereka dalam mendampingi anak didik. Para guru menyadari bahwa tujuan utama mereka adalah demi menghantar anak didik memperoleh pribadi yang lebih dewasa. Dalam menjalin kerjasama itu, mereka saling terbuka sehingga dalam penyampaian materi terhadap anak didik dapat berkelanjutan. Suasana kekeluargaan menyemangati mereka sehingga tidak merasa sendirian atau jalan sendiri-sendiri.
Dalam pembentukan pribadi para guru, sekolah memberi kesempatan untuk memperdalam hidup rohani mereka setiap tahunnya. Sekali setahun ada rekoleksi para guru dan sekali dua tahun ada retret. Selain kegiatan kerohanian pendalaman iman juga diadakan di sekolah. Pengembangan para guru dalam bidang akademik maupun wawasan dan pengetahuan, mereka diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan seminar, maupun diskusi bersama dengan sesama guru bidang studi dalam Yayasan Pangudi Luhur. Dalam penerimaan guru yang mengajar di sekolah tersebut menjalani seleksi yang ketat agar benar-benar menjadi calon guru yang bermutu. Calon guru akan melalui masa training yang kemudian diseleksi dan apabila cocok dan pantas sebagai guru, akan segera diangkat menjadi guru tetap sebagaimana ketentuan yang berlaku dan apabila tidak sesuai dengan harapan maka akan di drop out.
Para guru di SMA Pangudi Luhur menjalin relasi yang baik dengan para orang tua siswa. Dalam mendampingi anak didik, mereka sela lu berkontak dengan orang tua siswa. Misalkan, ketika siswa tidak hadir di sekolah, guru akan mencari tahu tentang keadaan siswa. Kadang kala ada kegiatan yang dikenal dengan “home visit” yang diadakan sekolah. Cara lain adalah sekolah mempunyai kesempatan untuk memanggil orangtua untuk berdialog dengan sekolah.
Sementara dalam hubungan dengan para alumni, para guru di sekolah tetap menjalin relasi yang baik serta dekat. Para alumni tidak merasa segan untuk hadir di sekolah mereka merasakan ikatan persaudaraan yang baik. Para alumni tidak segan-segan untuk mengungkapkan perasaan mereka kepada para guru. Misalkan, ketika mereka diterima di sebuah perguruan tinggi ataupun dikala mereka telah berhasil. Tenaga para alumni juga tetap dibutuhkan seperti mendampingi kegiatan tae kwondo dan chiliders.
Dalam menciptakan suasana maupun hubungan peserta didik, para guru memberi kesempatan kepada siswa untuk berkreasi, bebas berekspresi, serta diberi kepercayaan. Dalam kegiatan pendalaman iman yang diadakan sekali seminggu per tiap kelas, guru dan murid tidak ada pembedaan, semua mendapat giliran untuk mendapat tugas. Guru pun selalu terbuka terhadap persoalan siswa. Merupakan kebiasaan sekolah juga untuk mengadakan “correctio fraterna” demi memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa sehingga hubungan satu dengan yang lain dapat terjalin dengan baik. Semua ini merupakan hal penunjang dalam proses pembelajaran.
(6)
C. Siswa Ketika beberapa orang siswa ditanyakan soal motivasi mereka memilih
sekolah SMA Pangudi Luhur menjadi tempat mereka menimba ilmu, mereka memberi tanggapan yang bermacam-macam. Ada yang mengatakan bahwa tertarik untuk sekolah di SMA Pangudi Luhur, ada yang karena disuruh orang tuanya, ada karena memang sekolahnya terkenal sehingga ingin bergabung di sekolah tersebut. Ada juga yang mengatakan karena suasana kekeluargaannya yang terkenal baik. Merekapun ingin mengalami semua motivasi mereka itu. Ternyata setelah mereka menjalani dan bergabung dengan para guru dan siswa lainnya, mereka mengalami suasana yang saling mendukung serta kerjasama yang baik.
Selain motivasi di atas, ada juga karena tertarik dengan arsitekturnya yang kuno, aneh dan menarik. Ada karena memperoleh kesan, siswa SMA Pangudi Luhur ramah dan bersahabat. Semua motivasi awal ini menarik mereka untuk terus menjalani panggilan mereka sebagai siswa sekolah SMA Pangudi Luhur. Dari pengalaman yang telah mereka alami itu, mereka mengatakan bahwa sekolah di SMA Pangudi Luhur menyenangkan. Guru-guru terbuka untuk tempat bercurhat, kendatipun tidak semuanya. Guru mengerti dengan situasi siswa dan merangkul siswanya. Para guru memberi kebebasan kepada siswa sehingga siswa tidak merasa takut ketika berhadapan dengan guru. Ah…. yang jelas sekolah SMA Pangudi Luhur berbeda dengan sekolah yang pernah aku alami kendatipun sama-sama sekolah Katolik, tutur seorang siswa.
Selain pengalaman di atas, beberapa siswa juga mengatakan bahwa mereka puas dengan sarana belajar yang disediakan sekolah. Kendatipun biaya sekolah cukup mahal dan elit. Siswa sadar akan semua itu karena sekolahpun berani menyediakan sarana kendatipun cukup mahal. Sekolah SMA Pangudi Luhur adalah sekolah yang dilengkapi dengan ruang AC dan sarana pra sarana lainnya yang mendukung proses belajar mengajar.