14
Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Oleh Wongbanyumas Putusan hakim dalam sebuah proses peradilan adalah sebagai solusi antar benturan yang ada. Para pihak yang telah bersengketa bersepakat untuk menyelesaikan di muka persidangan konstitusi. Ketika sudah dipasrahkan pada sang hakim untuk memutus maka para pihak semestinya siap menerima apapun yang diputuskan oleh hakim dan segala akibat hukum yang ditimbulkannya. Putusan hakim konstitusi sendiri sebagai jawaban final dari permohonan para pemohon terhadap undang-undang yang dilakukan pengujian. Putusan MK yang dinilai ultra petita menghadirkan banyak perbedaan pendapat dikalangan masyarakat luas. Putusan MK dinilai tidak tepat dan melangkahi asas hukum acara. Namun putusan telah dikeluarkan oleh MK dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa pengujian undang- undang. Sesuai dengan asas hukum acara yang menyajikan perdilan cepat dan biaya ringan. MK harus segera memutus perkara yang diajukan ke muka pengadilan. Menurut Fajar Soeroso tujuan dari suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga mengikat secara hukum (binding) pihak-pihak yang terkait dengan perkara. Putusan hakim selain mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang terkait dengan perkara), tetapi juga kekuatan ke luar. Ini sebagai bukti bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara sebagaimana diuraikan dan dijatuhkannya putusan sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut.[1]

Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah KonstitusiOleh Wongbanyumas

Putusan hakim dalam sebuah proses peradilan adalah sebagai solusi

antar benturan yang ada. Para pihak yang telah bersengketa bersepakat untuk

menyelesaikan di muka persidangan konstitusi. Ketika sudah dipasrahkan

pada sang hakim untuk memutus maka para pihak semestinya siap menerima

apapun yang diputuskan oleh hakim dan segala akibat hukum yang

ditimbulkannya. Putusan hakim konstitusi sendiri sebagai jawaban final dari

permohonan para pemohon terhadap undang-undang yang dilakukan

pengujian.

Putusan MK yang dinilai ultra petita menghadirkan banyak perbedaan

pendapat dikalangan masyarakat luas. Putusan MK dinilai tidak tepat dan

melangkahi asas hukum acara. Namun putusan telah dikeluarkan oleh MK

dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa pengujian undang-undang.

Sesuai dengan asas hukum acara yang menyajikan perdilan cepat dan biaya

ringan. MK harus segera memutus perkara yang diajukan ke muka pengadilan.

Menurut Fajar Soeroso tujuan dari suatu proses di pengadilan adalah

untuk memperoleh putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap,

sehingga mengikat secara hukum (binding) pihak-pihak yang terkait dengan

perkara. Putusan hakim selain mempunyai kekuatan pembuktian mengikat

(antara pihak yang terkait dengan perkara), tetapi juga kekuatan ke luar. Ini

sebagai bukti bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang

disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara sebagaimana diuraikan dan

dijatuhkannya putusan sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut.

[1]

Page 2: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

Putusan MK dalam perkara PUU merupakan putusan yang

sifatnyaconstitutief artinya putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum

atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Putusan PUU dapat merubah

tatanan hukum yang berlaku. Meniadakan suat keadaan hukum dengan jalan

menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi baik secara

keseluruhan atau pada Pasal tertentu. Sedangkan menciptakan keadaaan

hukum baru tak lepas dari putusan MK sebagai negative legislator.

Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui

konstitusi MK juga mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga

terletak pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pasal 24C ayat

(1) UUD 1945 menyatakan bahwa:“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Putusan MK bersifat final artinya putusan tersebut dapat langsung

dilaksanakan (eksekusi) serta tidak terdapat ruang untuk melakukan upaya

hukum terhadap putusan tersebut. Jika hakim konstitusi telah memutuskan

perkara pengujian maka para pihak harus menjalankan putusan tersebut baik

dari pihak pemohon (masyarakat yang merasa hak konstutusionalnya

dirugikan) maupun termohon (pemerintah bersama DPR selaku pembuat

undang-undang). Pintu untuk melakukan upaya hukum tertutup sama sekali

bagi para pihak.

Sifat final putusan MK tak lain merupakan upaya untuk menjaga wibawa

peradilan konstutusional. Sebab jika peradilan konstitusi mengakomodasi

adanya upaya hukum maka tak ubahnya peradilan umum. Pada peradilan

umum biasanya perkara yang diajukan upaya hukum terhadap putusannya

Page 3: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

maka akan memakan waktu yang panjang sampai dengan kasus tersebut

selesai. Konsekwensinya maka para pihak akan tersandera baik waktu, tenaga,

maupun biaya. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas peradilan

yang diselenggarakan secara cepat, dan biaya ringan. Sifat final putusan juga

mengacu pada keinginan untuk segera mewujudkan kepastian hukum bagi

para pencari keadilan. Penjelasan Pasal 10 UU MK menegaskan bahwa Putusan

MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum

tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Selain bersifat final putusan MK juga bersifat mengikat (binding). Sifat

mengikat tersebut berarti putusan MK sejak diputuskan oleh hakim telah

mempunyai kekuatan hukum. UU MK menentukan bahwa sifat bindingputusan

MK melekat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya

sejak putusan tersebut keluar maka sudah berlaku dan segera dieksekusi.

Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi menjelaskan perbedaan putusan MK

dengan Mahkamah Agung (MA). Dikatakan Arsyad, putusan MK bersifaterga

omnes yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara.

Selain itu putusan MK bersifat final, tidak ada lagi upaya hukum seperti

banding, kasasi dan lainnya. Sedangkan putusan MA bersifat inter partes yang

hanya mengikat para pihak bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan

umum, diperkenankan melakukan upaya hukum seperti banding, kasasi dan

lainnya.[2]

MK berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final

tersebut berarti putusan MK mau tidak mau harus dilaksanakan. Tidak

diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan MK.[3] Yang

demikian dikarenakan MK adalah pengadilan terakhir bagi masyarakat untuk

mengadukan hak konstitusionalnya.

Page 4: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

Secara khusus MK merupakan pengadilan tunggal yang bertugas

menjaga dan mengawal konstutusi. Berbeda dengan lingkup peradilan umum

yang terdiri dari berbagai tingkatan mulai peradilan umum sampai dengan

Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi hanya terdiri dari satu lingkup

peradilan.

Miftakhul Huda menyatakan putusan MK yang menyatakan suatu ayat,

Pasal, ataupun keseluruhan undang-undang memiliki akibat sebagai berikut :

[4] Pertama, akibat hukum pengujian bersifat erga omnes, oleh karena dasar

hukum acara pengujian UU adalah menyangkut kepentingan umum. Kedua,

putusan MK memiliki kekuatan berlaku ke depan sejak diucapkan (prospective)

dan tidak berlaku surut ke belakang (retroactive).Ketiga, terikatnya semua

orang terhadap putusan MK sebagaimana ketentuan hukum acara perdata

mengandung arti positif dan negatif. Mengandung arti positif berarti semua

orang harus menganggap putusan tersebut benar (res judicata pro veritate

habetur). Dalam arti negatif dari pada kekuatan mengikat ialah hakim tidak

boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya mengenai perkara

yang sama. Keempat, dengan diucapkan putusan maka berkekuatan hukum

yang pasti atau tetap (inkracht van gewijsde) tidak ada upaya hukum apapun

untuk keberatan (Pasal 10 ayat (1) UU MK). Putusan final dan satu-satunya

membedakan dengan putusan peradilan lainnya. Kelimat, akibat hukum

putusan MK terhadap ayat, Pasal dan/atau bagian peraturan perundang-

undangan lain terkait dengan UU yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan

mengikat dan terhadap perkara yang berlangsung baik dalam proses

penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan dan proses lainnya tidak

ditentukan baik dalam UU MK ataupun PMK.

Dari lima putusan MK yang dianggap ultra petita kesemuanya memiliki

kekuatan hukum yang mengikat para pihak. Hal ini sesuai dengan ketentuan

Page 5: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

dalam UU MK bahwa putusan MK bersifat final and binding.Berikut ini ulasan

mengenai pelaksanaan putusan ultra petita MK:

1. Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

MK memutus bahwa keberadaan Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor) bertentangan dengan UUD 1945 karena

menimbulkan dualisme peradilan. Mahkamah Konstitusi memberikan

waktu tiga tahun kepada pembuat UU (DPR dan pemerintah) untuk

membentuk UU Pengadilan Tipikor yang baru. Undang-undang baru

itu harus mengatur Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-

satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi.

Putusan yang memerintahkan dibentuknya UU Pengadilan

Tipikor sampai dengan deadline 19 Desember 2009 telah

dilaksanakan oleh Pemerintah dan DPR dengan mengesahkan

Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi pada tanggal 29 Oktober 2009. UU tersebut

memberi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kewenanganmengadili

perkara korupsi dan menjadi bagian dari sistim peradilan Indonesia.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-I/2003

tentang Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002

tentang Ketenagalistrikan

Undang-Undang Ketenagalistrikan dianggap bertentangan

dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

Page 6: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

dan undang-undang tersebut tidak berlaku. Putusan ini berjalan

efektif dan undang-undang tersebut sudah tidak berlaku. Sebagai

penggantinya DPR dan pemerintah hingga tulisan ini disusun tengah

menggodok RUU Ketenagalistrikan .

3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-V/2006 tentang

Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Mahkamah Konstitusi meniadakan Pasal “secara melawan

hukum” karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal

melawan hukum secara otomatis sejak putusan tersebut dibacakan

dipersidangan maka secara otomatis sudah tidak berlaku. Dalam

praktiknya hakim pengadilan pidana mematuhi putusan MK. Pasal

tersebut tidak lagi dijadikan dasar hukum untuk menjerat para

koruptor.

4. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang

Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

Tentang Kekuasan Kehakiman

Putusan MK ini awalnya diajukan untuk menegasikan hakim

agung dan hakim MK dari pengawasan yang dilakukan oleh Komisi

Yudisial (KY). Ternyata MK memutuskan bahwa hanya hakim

konstitusi saja tidak termasuk dalam objek pengawasan KY. Selain itu

yang paling kontroversial adalah membatalkan Pasal Pasal 34 ayat (3)

UU Kekuasaan Kehakiman yang berarti mengamputasi kewenangan

Page 7: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

KY untuk mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi. Meskipun

putusan ini mendapat sorotan banyak pihak namun sampai dengan

saat ini putusan tersebut tetap dijalankan KY tidak menjadikan hakim

konstitusi sebagai objek pengawasannya.[5]

5. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Permohonan yang diajukan oleh pemohon pada awalnya tidak

memintakan UU ini dibatalkan. Pemohon hanya mempermasalahkan

bahwa hak korban akan diberikan bila para pelaku pelanggar HAM

mendapat amnesti. Namun MK berfikir lain bahwa dengan

dinyatakannya Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 maka

secara otomatis meniadakan ketantuan UU KKR. Pelaksanaan putusan

MK ini berjalan dengan baik meskipun banyak protes yang

dilayangkan.[6] Setelah UU KKR dibatalkan maka secara otomatis

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibubarkan.

Lima putusan tersebut semuanya memiliki kekuatan hukum dan telah

dilaksanakan eksekusi terhadap putusan tersebut. Putusan MK meskipun tanpa

memiliki perangkat pemaksa sekalipun tetap dipatuhi sebagai sebuah

keputusan hukum. Penulis melihat lantaran putusan hakim konstitusi memiliki

wibawa yang besar lantaran kewenangannya sebagai pengawal konstitusi. Hal

ini juga menjadi cerminan bahwa masyarakat Indonesia menghargai dan patuh

terhadap hukum dasar negaranya.

Kekuatan hukum putusan MK juga pernah dipertanyakan melalui sebuah

perkara. Ketika pelaksanaan pemilu tahun 2009 diajukan gugatan sengketa

hasil Pemilu di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah antara Partai Demokrat

Page 8: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

dengan Partai Amanat Nasional. Berdasarkan putusan MK No.039/PHPU.C1-

II/2004, dengan putusan itu Partai Amanat Nasional mendapatkan satu kursi.

Partai Demokrat melanjutkan perkara ini di pengadilan umum dengan dugaan

manipulasi penggelembungan suara. Sampai pada akhirnya pengadilan negeri

kabupaten donggala memutuskan bahwa bukti-bukti yang diajukan pada dalam

sidang mahkamah konstitusi adalah hasil manipulasi dari oknum yang yang

melibatkan anggota KPUD Kabupaten Donggala.

MK lebih dahulu memutuskan perkara baru kemudian ditemukan bukti

baru oleh pengadilan umum. Namun ternyata putusan pengadilan yang terkait

dengan manipulasi data dan penggelembungan suara hasil pemilihan umum

tersebut, baik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, maupun yang

dilakukan oleh peserta pemilihan umum, tidak bisa dijadikan dasar oleh semua

pihak untuk menganulir dan menggugurkan putusan mahkamah konstitusi. Hal

ini dikarenakan putusan mahkamah konstitusi adalah putusan yang bersifat

final dan mengikat. Putusan MK tetap dilaksanakan meskipun telah terjadi

kesalahan dalam putusan tersebut.

Mahfud MD mempunyai pendapat tersendiri mengenai putusan hakim

MK yang bersifat final dan mengikat.[7] Menurut Mahfud putusan MK bersifat

final dan mengikat karena perkara yang diajukan ke MK oleh masyarakat

masalahnya harus segera dilaksanakan, tak bisa ditunda. Mahfud

menginginkan MK memberikan pelayanan prima kepada seluruh rakyat

Indonesia tanpa harus menunda perkara atau berlama-lama menuntaskan

sebuah perkara. Mengenai resiko putusan yang mungkin saja mengandung

salah dan cacat menurutnya putusan tersebut tetap dimungkinkan ada. Hal

tersebut tak lepas dari fakta bahwa hakim konstitusi adalah manusia biasa

namun putusan MK tetap final dan mengikat. alasan yang disebutkan oleh

Mahfud adalah:

Page 9: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

1. Pilihan vonis itu tergantung pada perspektif dan teori yang dipakai hakim.

2. Hukmul haakim yarfa’ul khilaaf. (putusan hakim menyelesaikan

perbedaan)

3. Tidak ada alternatif yang lebih baik untuk menghilangkan sifat final.

Sesungguhnya putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap karena MK

merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Tidak diadakan upaya

hukum lanjutan atas putusan hakim baik upaya hukum biasa maupun luar

biasa. Putusan MK juga bersifat mengikat, tak hanya para pihak (inter partes)

namun seluruh warga negara Indonesia. Para tokoh yang menjadi arsitek

kelahiran MK menginginkan MK sebagai sebuah lembaga yang berwibawa. Hal

ini tercermin dalam salah satu syarat hakim konstitusi yakni seorang

negarawan.

MK adalah pelaku kekuasaan kehakiman tunggal yang tidak membawahi

peradilan manapun atau berada di bawah peradilan manapun. MK hanya

tunduk pada ketentuan konstitusi sebagai rule of the game dalam kehidupan

ketatanegaraan. Perkara ketatanegaraan menuntut putusan yang cepat demi

menjamin kepastian hukum. Meskipun demikian hakim konstitusi tidak boleh

melupakan keadilan sebagai roh sebuah putusan pengadilan. Sekali hakim

membaca putusan dan mengetok palu maka tertutuplah segala upaya hukum

dan para pihak harus menjalankan putusan tersebut secara sukarela.

[1] Fajar Laksono “Mustahil, PK atas Putusan Mahkamah Konstitusi”, 2 Februari 2010. http://fajarlaksonosoeroso.blogspot.com/2010/02/mustahil-pk-atas-putusan-mk.html

[2] “Putusan MK Bersifat Erga Omnes” 19 Mei 2010.http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4044

Page 10: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

[3] Mengenai upaya hukum terhadap putusan MK terdapat wacana yang dilontarakan oleh Suko Wiyono, Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang. Menurutnya putusan MK dapat diajukan peninjauan kembali (PK). Putusan yang dapat diajukan PK menurut Suko adalah mengenai kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Argumentasi tersebut dinilai kurang tepat lantaran Suko hanya melihat Pasal dalam UU MK secara parsial.

[4] Miftahul Huda “Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”. 30 Juni 2009. http://miftakhulhuda.wordpress.com/2009/06/30/%E2%80%9Cultra-petita%E2%80%9D-dalam-pengujian-undang-undang/

[5] Menurut Busyro Muqoddas putusan MK yang menganulir fungsi pengawasan KY akan berdampak pada pelemahan semangat untuk memberantas korupsi. Semangat pembentukan UU KY adalah sebagai lembaga yang mengawasi kinerja hakim. Sebab pintu korupsi pada lembaga peradilan adalah pada hakim itu sendiri. Sehingga ketika hakim MK tidak dapat diawasi oleh MK muncul kesan hakim MK tidak dapat disentuh oleh pengawasan. Lihat dalam tulisan “Komisi Yudisial Nasibmu Kini” Majalah Figur edisi X/TH. 2007

[6] Protes terhadap putusan ini banyak dilayangkan oleh aktivis LSM. Salah satunya adalah Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M. Zen. Menurut Patra, UU KKR tidak melanggar konstitusi. Menurut Patra, gagasan KKR itu diadopsi oleh UUD, jadi tidak beralasan jika dikatakan tidak mengikat secara keseluruhan. Lihat dalam position paper ELSAM “Ketika Prinsip Kepastian Hukum Menghakimi Konstitusionalitas Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu (Pandangan kritis atas putusan MK dan implikasinya bagi penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu)” yang dapat diunduh dalam laman www.elsam.or.id

[7] Bahan Kuliah Hukum dan Konsitusi via Video Conference untuk Mahasiswa S3 FH UNS, 1 April 2009

Akibat Hukum Putusan Mahkamah KonstitusiOleh Wongbanyumas

Sebagaimana putusan peradilan pada umumnya putusan peradilan konstitusi di MK juga mempunyai akibat hukum. Untuk putusan pengujian undang-undang bentuk putusannya adalah declarator constitutief. Artinya putusan MK dapat menciptakan suatu keadaan hukum baru atau meniadakan suatu kedaan hukum. Posisi yang demikian menempatkan MK sebagai negative legislator. Putusan MK mempunyai tiga kekuatan yakni kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial.

Page 11: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

1. Kekuatan Mengikat

Sebuah putusan pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Para pihak yang telah menyerahkan perkaranya pada pengadilan berarti menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili. Konsekuensi yang timbul adalah pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan hakim. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan.

MK mendapatkan dukungan publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terutama memutus pengjian undang-undang. Meskipun demikian tak jarang MK mengeluarkan putusan yang dianggap aneh dan revolusioner dalam dunia peradilan. Ada yang mendukung dan sepakat dengan putusan MK. Adapula yang menentang putusan MK dengan dalih tidak mempunyai kekuatan hukum. Beberapa kalangan mempertanyakan mengenai kekuatan hukum yang dimiliki oleh subuah putusan MK.

Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi MK juga mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat. MK berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut berarti putusan MK mau tidak mau harus dilaksanakan. Tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan MK. Yang demikian dikarenakan MK adalah pengadilan terakhir bagi masyarakat untuk mengadukan hak konstitusionalnya.

Sifat final tersebut berarti bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat mengikat putusan MK berbeda dengan putusan peradilan pada umumnya. Jika di peradilan umum putusan hanya mengikat bagi para pihak berperkara (interpartes) maka putusan MK juga mengikat bagi semua orang dan badan hukum yang ada di Indonesia. Sehingga putusan MK dikatakan sebagai negative legislator yang bersifat erga omnes. Mengenai kekuatan mengikat putusan MK kita dapat menengok kembali pada Pasal 10 UU MK bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final.

Kekuatan hukum yang mengikat memiliki arti positif maupun negatif. Sebuah putusan bersifat mengikat dalam arti positif yakni bahwa apa yang telah diputuskan hakim harus dianggap benar dan tidak dimungkinkan pembuktian

Page 12: Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi

lawan. Mengikat dalam arti negatif, artinya bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama.

2.Kekuatan Pembuktian

Dalam proses pengadilan akan membutuhkan alat bukti sebagai sarana penemuan fakta dan kebenaran. Sebuah putusan pengadilan, khususnya putusan MK memiliki kekuatan pembuktian. Dalam Pasal 60 UU MK menyatakan setiap muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian putusan MK tersebut merupakan sebagai lat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh kekuatan hukum yang pasti.

Kekuatan hukum pasti yang terdapat dalam putusan MK ada dua sisi yakni positif dan negatif. Sisi positif adalah bahwa apa yang diputus oleh hakim dianggap telah benar sehingga tidak diperlukan pembuktian. Sedangkan sifat negatifnya adalah hakim tidak diperbolehkan memutus perkara yang pernah diajukan sebelumnya. Putusan pengadilan yang isinya menghukum dan telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara mengenai peristiwa yang telah terjadi.

3.Kekuatan Eksekutorial

Putusan MK dimaksudkan sebagai perbuatan hukum pejabat negara untuk mengakhiri sengketa yang akan menidakan atau menciptakan hukum. Sehingga diharapkan putusan MK tak hanya untaian kata yang tertulis di atas kertas. Kekuatan eksekutorial putusan MK adalah ketika putusan itu diumumkan.

MK adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Konstitusi sebagai dasar dan pedoman paraktik ketatanegaraan harus ditaati sebagai dasar hukum bernegara. Kewenangan MK untuk menguji apakah suatu undang-undang telah memenuhi syarat konstitusional diadakan melalui konstitusi. Sehingga MK dalam setiap putusannya mengandung nilai hukum yang mesti ditaati dan langsung dapat dieksekusi.

Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap putusan MK yang membatalkan dalam pengujian undang-undang ditempatkan pada berita negara.