Upload
ginanjar-saputra
View
163
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Kekuatan Mengikat Putusan Ultra Petita Mahkamah KonstitusiOleh Wongbanyumas
Putusan hakim dalam sebuah proses peradilan adalah sebagai solusi
antar benturan yang ada. Para pihak yang telah bersengketa bersepakat untuk
menyelesaikan di muka persidangan konstitusi. Ketika sudah dipasrahkan
pada sang hakim untuk memutus maka para pihak semestinya siap menerima
apapun yang diputuskan oleh hakim dan segala akibat hukum yang
ditimbulkannya. Putusan hakim konstitusi sendiri sebagai jawaban final dari
permohonan para pemohon terhadap undang-undang yang dilakukan
pengujian.
Putusan MK yang dinilai ultra petita menghadirkan banyak perbedaan
pendapat dikalangan masyarakat luas. Putusan MK dinilai tidak tepat dan
melangkahi asas hukum acara. Namun putusan telah dikeluarkan oleh MK
dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa pengujian undang-undang.
Sesuai dengan asas hukum acara yang menyajikan perdilan cepat dan biaya
ringan. MK harus segera memutus perkara yang diajukan ke muka pengadilan.
Menurut Fajar Soeroso tujuan dari suatu proses di pengadilan adalah
untuk memperoleh putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap,
sehingga mengikat secara hukum (binding) pihak-pihak yang terkait dengan
perkara. Putusan hakim selain mempunyai kekuatan pembuktian mengikat
(antara pihak yang terkait dengan perkara), tetapi juga kekuatan ke luar. Ini
sebagai bukti bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang
disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara sebagaimana diuraikan dan
dijatuhkannya putusan sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut.
[1]
Putusan MK dalam perkara PUU merupakan putusan yang
sifatnyaconstitutief artinya putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum
atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Putusan PUU dapat merubah
tatanan hukum yang berlaku. Meniadakan suat keadaan hukum dengan jalan
menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi baik secara
keseluruhan atau pada Pasal tertentu. Sedangkan menciptakan keadaaan
hukum baru tak lepas dari putusan MK sebagai negative legislator.
Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui
konstitusi MK juga mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga
terletak pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 menyatakan bahwa:“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Putusan MK bersifat final artinya putusan tersebut dapat langsung
dilaksanakan (eksekusi) serta tidak terdapat ruang untuk melakukan upaya
hukum terhadap putusan tersebut. Jika hakim konstitusi telah memutuskan
perkara pengujian maka para pihak harus menjalankan putusan tersebut baik
dari pihak pemohon (masyarakat yang merasa hak konstutusionalnya
dirugikan) maupun termohon (pemerintah bersama DPR selaku pembuat
undang-undang). Pintu untuk melakukan upaya hukum tertutup sama sekali
bagi para pihak.
Sifat final putusan MK tak lain merupakan upaya untuk menjaga wibawa
peradilan konstutusional. Sebab jika peradilan konstitusi mengakomodasi
adanya upaya hukum maka tak ubahnya peradilan umum. Pada peradilan
umum biasanya perkara yang diajukan upaya hukum terhadap putusannya
maka akan memakan waktu yang panjang sampai dengan kasus tersebut
selesai. Konsekwensinya maka para pihak akan tersandera baik waktu, tenaga,
maupun biaya. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas peradilan
yang diselenggarakan secara cepat, dan biaya ringan. Sifat final putusan juga
mengacu pada keinginan untuk segera mewujudkan kepastian hukum bagi
para pencari keadilan. Penjelasan Pasal 10 UU MK menegaskan bahwa Putusan
MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Selain bersifat final putusan MK juga bersifat mengikat (binding). Sifat
mengikat tersebut berarti putusan MK sejak diputuskan oleh hakim telah
mempunyai kekuatan hukum. UU MK menentukan bahwa sifat bindingputusan
MK melekat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya
sejak putusan tersebut keluar maka sudah berlaku dan segera dieksekusi.
Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi menjelaskan perbedaan putusan MK
dengan Mahkamah Agung (MA). Dikatakan Arsyad, putusan MK bersifaterga
omnes yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara.
Selain itu putusan MK bersifat final, tidak ada lagi upaya hukum seperti
banding, kasasi dan lainnya. Sedangkan putusan MA bersifat inter partes yang
hanya mengikat para pihak bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan
umum, diperkenankan melakukan upaya hukum seperti banding, kasasi dan
lainnya.[2]
MK berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final
tersebut berarti putusan MK mau tidak mau harus dilaksanakan. Tidak
diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan MK.[3] Yang
demikian dikarenakan MK adalah pengadilan terakhir bagi masyarakat untuk
mengadukan hak konstitusionalnya.
Secara khusus MK merupakan pengadilan tunggal yang bertugas
menjaga dan mengawal konstutusi. Berbeda dengan lingkup peradilan umum
yang terdiri dari berbagai tingkatan mulai peradilan umum sampai dengan
Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi hanya terdiri dari satu lingkup
peradilan.
Miftakhul Huda menyatakan putusan MK yang menyatakan suatu ayat,
Pasal, ataupun keseluruhan undang-undang memiliki akibat sebagai berikut :
[4] Pertama, akibat hukum pengujian bersifat erga omnes, oleh karena dasar
hukum acara pengujian UU adalah menyangkut kepentingan umum. Kedua,
putusan MK memiliki kekuatan berlaku ke depan sejak diucapkan (prospective)
dan tidak berlaku surut ke belakang (retroactive).Ketiga, terikatnya semua
orang terhadap putusan MK sebagaimana ketentuan hukum acara perdata
mengandung arti positif dan negatif. Mengandung arti positif berarti semua
orang harus menganggap putusan tersebut benar (res judicata pro veritate
habetur). Dalam arti negatif dari pada kekuatan mengikat ialah hakim tidak
boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya mengenai perkara
yang sama. Keempat, dengan diucapkan putusan maka berkekuatan hukum
yang pasti atau tetap (inkracht van gewijsde) tidak ada upaya hukum apapun
untuk keberatan (Pasal 10 ayat (1) UU MK). Putusan final dan satu-satunya
membedakan dengan putusan peradilan lainnya. Kelimat, akibat hukum
putusan MK terhadap ayat, Pasal dan/atau bagian peraturan perundang-
undangan lain terkait dengan UU yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan
mengikat dan terhadap perkara yang berlangsung baik dalam proses
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan dan proses lainnya tidak
ditentukan baik dalam UU MK ataupun PMK.
Dari lima putusan MK yang dianggap ultra petita kesemuanya memiliki
kekuatan hukum yang mengikat para pihak. Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam UU MK bahwa putusan MK bersifat final and binding.Berikut ini ulasan
mengenai pelaksanaan putusan ultra petita MK:
1. Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
MK memutus bahwa keberadaan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) bertentangan dengan UUD 1945 karena
menimbulkan dualisme peradilan. Mahkamah Konstitusi memberikan
waktu tiga tahun kepada pembuat UU (DPR dan pemerintah) untuk
membentuk UU Pengadilan Tipikor yang baru. Undang-undang baru
itu harus mengatur Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-
satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi.
Putusan yang memerintahkan dibentuknya UU Pengadilan
Tipikor sampai dengan deadline 19 Desember 2009 telah
dilaksanakan oleh Pemerintah dan DPR dengan mengesahkan
Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada tanggal 29 Oktober 2009. UU tersebut
memberi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kewenanganmengadili
perkara korupsi dan menjadi bagian dari sistim peradilan Indonesia.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-I/2003
tentang Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan
Undang-Undang Ketenagalistrikan dianggap bertentangan
dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
dan undang-undang tersebut tidak berlaku. Putusan ini berjalan
efektif dan undang-undang tersebut sudah tidak berlaku. Sebagai
penggantinya DPR dan pemerintah hingga tulisan ini disusun tengah
menggodok RUU Ketenagalistrikan .
3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-V/2006 tentang
Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Mahkamah Konstitusi meniadakan Pasal “secara melawan
hukum” karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal
melawan hukum secara otomatis sejak putusan tersebut dibacakan
dipersidangan maka secara otomatis sudah tidak berlaku. Dalam
praktiknya hakim pengadilan pidana mematuhi putusan MK. Pasal
tersebut tidak lagi dijadikan dasar hukum untuk menjerat para
koruptor.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasan Kehakiman
Putusan MK ini awalnya diajukan untuk menegasikan hakim
agung dan hakim MK dari pengawasan yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial (KY). Ternyata MK memutuskan bahwa hanya hakim
konstitusi saja tidak termasuk dalam objek pengawasan KY. Selain itu
yang paling kontroversial adalah membatalkan Pasal Pasal 34 ayat (3)
UU Kekuasaan Kehakiman yang berarti mengamputasi kewenangan
KY untuk mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi. Meskipun
putusan ini mendapat sorotan banyak pihak namun sampai dengan
saat ini putusan tersebut tetap dijalankan KY tidak menjadikan hakim
konstitusi sebagai objek pengawasannya.[5]
5. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Permohonan yang diajukan oleh pemohon pada awalnya tidak
memintakan UU ini dibatalkan. Pemohon hanya mempermasalahkan
bahwa hak korban akan diberikan bila para pelaku pelanggar HAM
mendapat amnesti. Namun MK berfikir lain bahwa dengan
dinyatakannya Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 maka
secara otomatis meniadakan ketantuan UU KKR. Pelaksanaan putusan
MK ini berjalan dengan baik meskipun banyak protes yang
dilayangkan.[6] Setelah UU KKR dibatalkan maka secara otomatis
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibubarkan.
Lima putusan tersebut semuanya memiliki kekuatan hukum dan telah
dilaksanakan eksekusi terhadap putusan tersebut. Putusan MK meskipun tanpa
memiliki perangkat pemaksa sekalipun tetap dipatuhi sebagai sebuah
keputusan hukum. Penulis melihat lantaran putusan hakim konstitusi memiliki
wibawa yang besar lantaran kewenangannya sebagai pengawal konstitusi. Hal
ini juga menjadi cerminan bahwa masyarakat Indonesia menghargai dan patuh
terhadap hukum dasar negaranya.
Kekuatan hukum putusan MK juga pernah dipertanyakan melalui sebuah
perkara. Ketika pelaksanaan pemilu tahun 2009 diajukan gugatan sengketa
hasil Pemilu di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah antara Partai Demokrat
dengan Partai Amanat Nasional. Berdasarkan putusan MK No.039/PHPU.C1-
II/2004, dengan putusan itu Partai Amanat Nasional mendapatkan satu kursi.
Partai Demokrat melanjutkan perkara ini di pengadilan umum dengan dugaan
manipulasi penggelembungan suara. Sampai pada akhirnya pengadilan negeri
kabupaten donggala memutuskan bahwa bukti-bukti yang diajukan pada dalam
sidang mahkamah konstitusi adalah hasil manipulasi dari oknum yang yang
melibatkan anggota KPUD Kabupaten Donggala.
MK lebih dahulu memutuskan perkara baru kemudian ditemukan bukti
baru oleh pengadilan umum. Namun ternyata putusan pengadilan yang terkait
dengan manipulasi data dan penggelembungan suara hasil pemilihan umum
tersebut, baik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, maupun yang
dilakukan oleh peserta pemilihan umum, tidak bisa dijadikan dasar oleh semua
pihak untuk menganulir dan menggugurkan putusan mahkamah konstitusi. Hal
ini dikarenakan putusan mahkamah konstitusi adalah putusan yang bersifat
final dan mengikat. Putusan MK tetap dilaksanakan meskipun telah terjadi
kesalahan dalam putusan tersebut.
Mahfud MD mempunyai pendapat tersendiri mengenai putusan hakim
MK yang bersifat final dan mengikat.[7] Menurut Mahfud putusan MK bersifat
final dan mengikat karena perkara yang diajukan ke MK oleh masyarakat
masalahnya harus segera dilaksanakan, tak bisa ditunda. Mahfud
menginginkan MK memberikan pelayanan prima kepada seluruh rakyat
Indonesia tanpa harus menunda perkara atau berlama-lama menuntaskan
sebuah perkara. Mengenai resiko putusan yang mungkin saja mengandung
salah dan cacat menurutnya putusan tersebut tetap dimungkinkan ada. Hal
tersebut tak lepas dari fakta bahwa hakim konstitusi adalah manusia biasa
namun putusan MK tetap final dan mengikat. alasan yang disebutkan oleh
Mahfud adalah:
1. Pilihan vonis itu tergantung pada perspektif dan teori yang dipakai hakim.
2. Hukmul haakim yarfa’ul khilaaf. (putusan hakim menyelesaikan
perbedaan)
3. Tidak ada alternatif yang lebih baik untuk menghilangkan sifat final.
Sesungguhnya putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap karena MK
merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Tidak diadakan upaya
hukum lanjutan atas putusan hakim baik upaya hukum biasa maupun luar
biasa. Putusan MK juga bersifat mengikat, tak hanya para pihak (inter partes)
namun seluruh warga negara Indonesia. Para tokoh yang menjadi arsitek
kelahiran MK menginginkan MK sebagai sebuah lembaga yang berwibawa. Hal
ini tercermin dalam salah satu syarat hakim konstitusi yakni seorang
negarawan.
MK adalah pelaku kekuasaan kehakiman tunggal yang tidak membawahi
peradilan manapun atau berada di bawah peradilan manapun. MK hanya
tunduk pada ketentuan konstitusi sebagai rule of the game dalam kehidupan
ketatanegaraan. Perkara ketatanegaraan menuntut putusan yang cepat demi
menjamin kepastian hukum. Meskipun demikian hakim konstitusi tidak boleh
melupakan keadilan sebagai roh sebuah putusan pengadilan. Sekali hakim
membaca putusan dan mengetok palu maka tertutuplah segala upaya hukum
dan para pihak harus menjalankan putusan tersebut secara sukarela.
[1] Fajar Laksono “Mustahil, PK atas Putusan Mahkamah Konstitusi”, 2 Februari 2010. http://fajarlaksonosoeroso.blogspot.com/2010/02/mustahil-pk-atas-putusan-mk.html
[2] “Putusan MK Bersifat Erga Omnes” 19 Mei 2010.http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4044
[3] Mengenai upaya hukum terhadap putusan MK terdapat wacana yang dilontarakan oleh Suko Wiyono, Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang. Menurutnya putusan MK dapat diajukan peninjauan kembali (PK). Putusan yang dapat diajukan PK menurut Suko adalah mengenai kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Argumentasi tersebut dinilai kurang tepat lantaran Suko hanya melihat Pasal dalam UU MK secara parsial.
[4] Miftahul Huda “Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”. 30 Juni 2009. http://miftakhulhuda.wordpress.com/2009/06/30/%E2%80%9Cultra-petita%E2%80%9D-dalam-pengujian-undang-undang/
[5] Menurut Busyro Muqoddas putusan MK yang menganulir fungsi pengawasan KY akan berdampak pada pelemahan semangat untuk memberantas korupsi. Semangat pembentukan UU KY adalah sebagai lembaga yang mengawasi kinerja hakim. Sebab pintu korupsi pada lembaga peradilan adalah pada hakim itu sendiri. Sehingga ketika hakim MK tidak dapat diawasi oleh MK muncul kesan hakim MK tidak dapat disentuh oleh pengawasan. Lihat dalam tulisan “Komisi Yudisial Nasibmu Kini” Majalah Figur edisi X/TH. 2007
[6] Protes terhadap putusan ini banyak dilayangkan oleh aktivis LSM. Salah satunya adalah Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M. Zen. Menurut Patra, UU KKR tidak melanggar konstitusi. Menurut Patra, gagasan KKR itu diadopsi oleh UUD, jadi tidak beralasan jika dikatakan tidak mengikat secara keseluruhan. Lihat dalam position paper ELSAM “Ketika Prinsip Kepastian Hukum Menghakimi Konstitusionalitas Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu (Pandangan kritis atas putusan MK dan implikasinya bagi penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu)” yang dapat diunduh dalam laman www.elsam.or.id
[7] Bahan Kuliah Hukum dan Konsitusi via Video Conference untuk Mahasiswa S3 FH UNS, 1 April 2009
Akibat Hukum Putusan Mahkamah KonstitusiOleh Wongbanyumas
Sebagaimana putusan peradilan pada umumnya putusan peradilan konstitusi di MK juga mempunyai akibat hukum. Untuk putusan pengujian undang-undang bentuk putusannya adalah declarator constitutief. Artinya putusan MK dapat menciptakan suatu keadaan hukum baru atau meniadakan suatu kedaan hukum. Posisi yang demikian menempatkan MK sebagai negative legislator. Putusan MK mempunyai tiga kekuatan yakni kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial.
1. Kekuatan Mengikat
Sebuah putusan pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Para pihak yang telah menyerahkan perkaranya pada pengadilan berarti menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili. Konsekuensi yang timbul adalah pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan hakim. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan.
MK mendapatkan dukungan publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terutama memutus pengjian undang-undang. Meskipun demikian tak jarang MK mengeluarkan putusan yang dianggap aneh dan revolusioner dalam dunia peradilan. Ada yang mendukung dan sepakat dengan putusan MK. Adapula yang menentang putusan MK dengan dalih tidak mempunyai kekuatan hukum. Beberapa kalangan mempertanyakan mengenai kekuatan hukum yang dimiliki oleh subuah putusan MK.
Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi MK juga mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat. MK berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut berarti putusan MK mau tidak mau harus dilaksanakan. Tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan MK. Yang demikian dikarenakan MK adalah pengadilan terakhir bagi masyarakat untuk mengadukan hak konstitusionalnya.
Sifat final tersebut berarti bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat mengikat putusan MK berbeda dengan putusan peradilan pada umumnya. Jika di peradilan umum putusan hanya mengikat bagi para pihak berperkara (interpartes) maka putusan MK juga mengikat bagi semua orang dan badan hukum yang ada di Indonesia. Sehingga putusan MK dikatakan sebagai negative legislator yang bersifat erga omnes. Mengenai kekuatan mengikat putusan MK kita dapat menengok kembali pada Pasal 10 UU MK bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final.
Kekuatan hukum yang mengikat memiliki arti positif maupun negatif. Sebuah putusan bersifat mengikat dalam arti positif yakni bahwa apa yang telah diputuskan hakim harus dianggap benar dan tidak dimungkinkan pembuktian
lawan. Mengikat dalam arti negatif, artinya bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama.
2.Kekuatan Pembuktian
Dalam proses pengadilan akan membutuhkan alat bukti sebagai sarana penemuan fakta dan kebenaran. Sebuah putusan pengadilan, khususnya putusan MK memiliki kekuatan pembuktian. Dalam Pasal 60 UU MK menyatakan setiap muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian putusan MK tersebut merupakan sebagai lat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh kekuatan hukum yang pasti.
Kekuatan hukum pasti yang terdapat dalam putusan MK ada dua sisi yakni positif dan negatif. Sisi positif adalah bahwa apa yang diputus oleh hakim dianggap telah benar sehingga tidak diperlukan pembuktian. Sedangkan sifat negatifnya adalah hakim tidak diperbolehkan memutus perkara yang pernah diajukan sebelumnya. Putusan pengadilan yang isinya menghukum dan telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara mengenai peristiwa yang telah terjadi.
3.Kekuatan Eksekutorial
Putusan MK dimaksudkan sebagai perbuatan hukum pejabat negara untuk mengakhiri sengketa yang akan menidakan atau menciptakan hukum. Sehingga diharapkan putusan MK tak hanya untaian kata yang tertulis di atas kertas. Kekuatan eksekutorial putusan MK adalah ketika putusan itu diumumkan.
MK adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Konstitusi sebagai dasar dan pedoman paraktik ketatanegaraan harus ditaati sebagai dasar hukum bernegara. Kewenangan MK untuk menguji apakah suatu undang-undang telah memenuhi syarat konstitusional diadakan melalui konstitusi. Sehingga MK dalam setiap putusannya mengandung nilai hukum yang mesti ditaati dan langsung dapat dieksekusi.
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap putusan MK yang membatalkan dalam pengujian undang-undang ditempatkan pada berita negara.