Upload
akbarsp1
View
168
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menambah pengetahuan tentang penjelasan kemuhammadiyahan dan ke
indonesiaan.
1.2 Perumusan Masalah
Penjelasan kemuhammadiyahan
Penjelasan keindonesiaan
1.3 Tujuan Masalah
Mengetahui kemuhammadiyahan dan ke indonesiaan
Menjelaskan muhammadiyah dan pendidikan
1.4 Manfaat
Dapat mengetahui kemuhammadiyahan dan ke indonesiaan.
1.5 Metode Penulisan
Dalam laporan ini akan menggunakan beberapa metode yang lazim dipergunakan
antara lain:
1. Study Pustaka
Merupakan pengumpulan data yang digunakan dengan cara mempelajari dan
mengkaji permasalahan melalui buku, teoritis, dan lain-lain yang berhubungan
dengan laporan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Muhammadiyah dan Keindonesiaan
Muhammadiyah adalah organisasi islam tertua di Indonesia yang hingga
sekarang masih tetap berdiri kokoh. Muhammadiyah juga telah menunjukan kiprahnya
di dalam membangun masyarakat Indonesia di seluruh aspek kehidupan. Oleh karena
itu, banyak atribut yang dialamatkan kepada muhammadiyah. Antara lain, adalah
Muhammdiyah sebagai gerakan islam modernis, gerakan pendidikan, gerakan ekonomi,
gerakan sosial-keagamaan, gerakan pembaharu, dan bahkan sebagai gerakan politik.
Dikatakan sebagai gerakan modernis karena muhammadiyah dalam
perjalananya tidak terlalu risau dengan budaya modern dan sangat kritis terhadap tradisi
yang dianggap menyimpang dari akidah islam. Muhammdiyah juga bertujuan
mengadaptasikan ajaran-ajaran Islam kedalam kehidupan dunia modern di Indonesia,
disebut sebagai gerakan sosial-keagamaan karena Muhammdiyah memberikan
tekanan yang amat besar terhadap santunan sosial, seperti yang tampak dalam
banyaknya jumlah panti asuhan dan rumah sakit yang dimiliki Muhammdiyah.
Gerakan pendidikan yang dialamatkan kepada Muhammdiyah dapat dilihat dari
betapa besarnya lembaga pendidikan yang diselenggarakanya mulai dari TK sampai
Perguruan Tinggi. Muhammdiyah juga diberi atribut sebagai gerakan pembaharu
yang berarti senantiasa melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap ajaran islam,
sehingga selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Muhammdiyah juga disebut
sebagai gerakan politik meskipun bukan sebagai organisasi politik dan tidak
membentuk partai politik, namun memiliki pengaruh dalam kebijakan politik di
Indonesia.
A. Muhammadiyah dan Pendidikan
Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, langsung
mengkonsentrasikan kegiatan pada bidang pendidikan dan pengajaran.
Pemerintah Hindia-Belanda membatasi kegiatan pendidikan bagi pribumi.
2
Menurut Ahmad Dahlan nilai dasar pendidikan yang perlu ditegakan dan
dilaksanakan untuk membangun bangsa yang besar adalah :
1. Pendidikan Akhlak, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang
baik berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Pendidikan Individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran
individu yang utuh, yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan
jasmani, keyakinan dan intelek, perasaan dan akal, dunia dan akhirat, dan
3. Pendidikan sosial, yaitu sebagai usaha menumbuhkan kesediaan dan
keinginan hidup bermasyarakat.
Hingga sekarang konsep pendidikan tersebut masih terus dihidupkan.
Masyarakat secara luas mengidentifikasikan Muhammdiyah dengan lembaga
pendidikan. Gerakan dakwah amar makruf nahi munkarnya sangat efektif
dilakukan lewat pendidikan dan kesejahteraan sosial.
Lembaga pendidikan yang didirikan Muhammadiyah terus berkembang, bahkan boleh
dikatakan sebagai “raksasa pendidikan” dan yang bisa mengimbangi jumlah
pendidikan milik Muhammdiyah hanya negara. Tidak ada lembaga atau
organisasi lain yang memiliki lembaga pendidikan menyamai Muhammdiyah.
Lembaga pendidikan Muhammdiyah berdiri hampir di seluruh wilayah Indonesia , dari
Sabang sampai Merauke dengan jejang yang sangat beragam, mulai dati TK sampai PT.
Menurut laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Muktamar ke-45 tahun 2005 di
Malang Jawa Timur, lembaga pendidikan Muhammdiyah terdistribusi sebagai berikut :
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1. Taman Kanak-Kanak 4.218
2. Taman Kanak-Kanak dan Al-Qur’an 933
3. Sekolah Dasar 1.128
4. Madrasah Ibtidaiyah/Diniyah 1.768
5. Sekolah Menengah Pertama 1.179
6. Sekolah Menengah Umum 541
7. Sekolah Menengah Kejuruan 249
8. Madrasah Tsanawiyah 534
3
9. Madrasah Aliyah 171
10. Pondok Pesantren 79
11. Universitas 109
12. Akademi Politeknik 78
Salah satu ciri khas yang dimiliki oleh lembaga pendidikan Muhammdiyah adalah
adanya kurikulum tambahan dalam bidang keislaman. TK, SD,dan Sekolah
menengah diberi pelajaran keislaman dengan muatan yang cukup banyak, misalnya
mata pelajaran akidah, ibadah, Al-Qur’an, sejarah islam, dan
Kemuhammdiyahan. Demikian juga tingakat PT, mata kuliah studi Islam dan
Kemuhammadiyahan diajarkan secara memadai.
Majelis yang secara khusus mengurusi bidang pendidikan dalam muhammadiyah
adalah Majelis Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) dan Majelis Pendidikan
Tinggi (Dikti). Majelis Dikdasmen mengurusi lembaga pendidikan dasar dan
pendidikan menengah yang dimiliki Muhammdiyah, seperti TK, SD, MI, SMP, MTs,
SMU, MA, dan SMK. Majelis Dikdasmen secara struktural terdapat di Pimpinan
Pusat, Pimpinan Wilayah, dan Pimpinan Daerah. Sedangkan Majelis Dikti adalah
lembaga yang mengurusi lembaga pendidikan tinggi yaitu Perguruan Tingi
Muhammadiyah (PTM). Majelis ini hanya ada di Pimpinan Pusat.
Potensi gerakan Muhammadiyah untuk membangun dan mencerdaskan masyarakat
cukup besar dengan sejumlah lembaga yang relatif stabil dan terorganisasi dengan baik,
khususnya di bidang pendidikan dan lebih khusus lagi di bidang pendidikan tinggi.
Demikian pula sumber daya manusia unggulan yang berada dalam system organisasi
tersebut dengan fasilitas yang cukup memadai. Sayangnya, berbagai peluang itu belum
banyak diambil ketika gerakan ini terperangkap dalam rutinitas dan kebekuan birokrasi
amal usahanya. Namun, untuk memenuhi fungsi tersebut secara optimal, aktivitas
gerakan ini perlu mengembangkan kemampuanya dalam membaca khasanah
Islam klasik (kitab kuning) yang selama ini terlupakan akibat terperangkap di dalam
modernisasi pendidikan islam tanpa sikap kritis.
4
Dalam mukhtamar ke-44 di Jakarta, tahun 2000 program umum di bidang pendidikan
meliputi enam item, sebagai berikut :
1. Memprioritaskan pengenbangan kualitas dan misi pendidikan
Muhammdiyah di seluruh jenjang melalui perencanaan strategis yang dapat
mencapai tujuan pendidikan sebagaimana cita-cita pendiri Muhammadiyah dan
sekaligus menjadi ciri khas pendidikan Muhammadiyah sebagai institusi
pendidikan dan kebudayaan islam.
2. Memasukan fungsi kaderisasi (pengkaderan) dalam perencanaan strategis dan
penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah di seluruh jenjang untuk
menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Muhammdiyah
yaitu manusia muslin yang berakhlak mulia, cerdas, dan berguna bagi
umat dan bangsa.
3. Menyiapkan pendidikan Muhammadiyah di seluruh jenjang dalam memasuki
persaingan yang keras dan kualitatif pada era globalisasi dengan kemampuan
mengembangkan ciri khas pendidikan Islam yang dapat menjadi model
keunggulan di masa depan.
4. Pengembangan sekolah-sekolah unggulan hendaknya tidak mengarah pada
eksklusifisme dan semata-mata mengembangkan kualitas kognisi dan skil
dari subjek didik, dan
5. Khususnya mengenai Taman Kanak-Kanan Bustanul Athfal, Play-group, Taman
Pendidikan Al-Qur’an dan pendidikan informal dan nonformal lainya hendaknya
dijadikan wahana persemaian penanaman iman, akhlak/kepribadian, dan
kretifitas yang sesuai dengan dan tidak mematikan perkembangan jiwa
anak-anak.
B. Muhammadiyah dan Sosial-Budaya
Pada tahun 1917, Muhammadiyah mendirikan suatu perkumpulan yang
diberi nama “Pengajian Malam Jum’at”. Pengajian ini merupakan forum dialog
dan tukar pikiran antar keluarga dan ini merupakan forum dialog dan tukar
pikiran antar keluarga dan warga Muhammadiyah sendiri dengan anggota
masyarakat yang menaruh simpati terhadap gerakan dan tujuan muhammdiyah.
5
Dari dialog dan pembicaraan yang terus berkembang akhirnya mendorong
terbentuknya suatu satuan kerja bagi para mibaligh atau juru dakwah (da’i) yang
disebut “Korps Mubaligh Keliling”. Di samping itu dibentuk pula satuan kerja
yang diberi nama “Penyantunan dan Perbaikan Kehidupan Yatim Piatu, Fakir
Miskin dan Orang yang ditimpa Musibah/Kesusahan”, dengan tugas pokok
memberikan santunan kepada mereka yang menderita.
Berbagai pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam forum
pengajian malam jum’at, di kemudian hari menjadi latar belakang berdirinya dan
dibentuknya berbagai badan pembantu pimpinan yangs ekarang dikenal dengan
majelis atau bagian seperti korps mubaligh keliling mendorong terbentuknya
majelis tabligh. Penyantunan dan perbaikan kejidupan mendorong dibentuknya
majelis pembina kesejahteraan umat(PKU) yang mempunyai tugas :
1. Penyantunan fakir miskin dan anak-anak yatim piatu serta anak
gelandangan
2. Menyantuni orang-orang yang sakit (kesehatan). Setelah mampu
mendirikan rumah sakit pada athun 1938 pembebasan biaya
pengobatan bagi fakir miskin diusahakan, disamping membangun
rumah fakir miskin
Pada muktamar ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, peningkatan penyantunan
kaum duafa menjadi tema muktamar, setelah diketahui bahwa rakyat indonesia
masih ada 20juta yang hidup dibawah garis kemiskinan. Dalam muktamar
disepakati bahwa yang dimaksud dengan kaum duafa adalah kaum lemah, fakir
miskin yang tidak mempunyai penghasilan, tidak mampu karena lanjut usia,
cacat mental dan isik yang memerlukan santunan secara terus menerus. Secara
khusus, pengertian duafa juga mencakup kaum yang mempunyai penghasilan,
tetapi tidak mencukupi kebutuhan hidup yang layak, sehingga memrlukan
bantuan modal, pendidikana keterampilan, manajemen dan teknologi untuk
menaikan dapat taraf hidupnya.
Pendidikan kaum duafa yang selama ini telah dilaksanakan oleh muhammadiyah
perlu ditingkatkan dan diintensifkan yang ditujukan kepada prinsip “Memberi
6
kail, bukan memberi ikan” terhadap individu dan atau kelompok masyarakat
dengan mengusahakan faktor-faktor produksi yang terdiri dari :
a. Lahan
b. Modal
c. Manajemen
d. Teknologi
1. Menyantuni anak yatim
Sejak awal muhammdiyah didirikan oleh pendirinya K.H. Ahmad Dahlan
memiliki kepedulian yang besar terhadap nasib anak yatim piatu. Semula pada
setiap pengajian rutin malam jumat yang diadakan oleh ahmad dahlan selalu
mengkaji secara intensif tentang pelaksanaan firman Allah dalam Al-Qur[an
Surat Al-Maun.
Begitu besar perhatian K.H. Ahmad Dahlan terhadap Surat Al-Maun tersebut
dengan keinginan yang sangat besar untuk tidak menyandang gelar “Pendusta
Agama”. Oleh karena itu, seolah-olah penyantunan yatim piatu menjadi
persyaratan berdirinya sebuah cabang Muhammdiyah di suatu tempat. Telah
dikenal oleh umum, bahwa adanya kegiatan muhammdiyah ditandai adanya
panti asuhan yatim piatu (PAYP). Khusus PAYP putra diurusi oleh
muhammdiyah, sedangkan yang putri menjadi tanggung jawab Aisiyyah. Pada
muktamar ke-42 di Yogyakarta tahun 1990 majelis PKU telah disepakati
bersama, dikembangkan, dan dimekarkan menjadi 2 majelis dan 1 lembaga,
yaitu : Mejelis Pembina Kesejahteraan Sosial, Majelis Pembina Kesehatan, dan
Majelis Pengembangan Masyarakat dan Sumber Daya Insani. Dalam muktamar
ke-43 di Aceh tahun 1995, majelis pembina kesejahteraan sosial dikembangkan
lagi menjadi majalis pembina kesejahteraan sosial dan pengembangan
masyarakat.
Dalam buku Profil dan Direktori Amal Usaha Muhammadiyah dan Aisiyah
Bidang Sosial yang diterbitkan oleh Majelis Pembina Kesejahteraan Sosial dan
Pengembangan Masyarakat Pimpina Pusat disebutkan bahwa sampai pada tahun
7
2000 Muhammdiyah memiliki 168 panti asuhan yatim piatu dan fakir miskin,
dengan jumlah anak 7.935 anak asuh.
Selain itu, muhammdiyah juga sedang mengembangkan amal sosial berupa
program Pemberian Bantuan dan Pembinaan Anak Asuh bagi orang yang tidak
mampu. Adapun bantuan yang diberikan yang diberikan antara lain :
a. Bantuan bayaran uang SPP Sekolah
b. Bantuan uang dan alat-alat keperluan sekolah
c. Bantuan pinjaman sementara untuk menunjang usaha produktif usaha anak
asuh dan
d. Bantuan bahan pangan peningkatan gizi.
2. Mengembangkan Seni Budaya
Muhammdiyah memiliki kepedulian yang cukup terhadap kebudayaan
khususnya tentang seni, sehingga pernah memiliki lembaga yang disebut
ISBM (Ikatan Seniman dan Budayawan Muhammdiyah). Lembaga ini tidak
bisa berkembang seperti yang diharapkan, karena masih ada saja kendala-
kendala yang dihadapi baik dala diri muhammdiyah, yaitu kurangnya
dukungan dari ulama-ulama, maupun dari luar yaitu kondisi politik yang
belum kondusif. Baru menjelang muktamar muhammadiyah ke -42 di
Yogyakarta gairah seni muhammadiyah muncul kembali, dengan
ditampilkan berbagai macam kesenian untuk menyemarakkan muktamar,
salah satunya adalah Lautan Jilbab Karya Emha Ainun Najib.
Pada muktamar ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta tersebut masalah
kebudayaan mendapat porsi perhatian yang memadai dari peserta muktamar,
dan akhirnya masuk kedalam keputusan muktamar. Hal ini bisa dilihat dalam
program muhammdiyah periode1990-1995 pada sub.E tentang Kebudayaan,
yaitu :
Meningkatkan perhatian terhadap masalah-masalah sosial budaya
seperti : kesenian, perkembangan, dan perubahan masyarakat termasuk
budaya tradisional, gaya hidup masyarakat, kepariwisataan, olah raga,dan
aspek-aspek sosial budaya lainnya yang mempengaruhi perkembangan
8
masyarakat, disertai upaya-upaya pengembangan khazanah budaya Islam,
sehingga kehadiran muhammdiyah mampu memberikan supermasi
kebudayaan ditengah pembenturan budaya-budaya duniawi dewasa ini.
Mengembangkan seni budaya profetik dan religius yang mampu
mendorong dan membangkitkan fitrah kemanusiaan dan mendekatkan
manusia keada Allah dengan simbol-simbol yang mudah diterima
masyarakat dalam kerangka dakwah Islam, dan
Memberikan panduan terhadap gaya hidup masyarakat yang makin
modern dengan kecenderungan yang pragmatis, konsumtif, materialistis, dan
hedonistik, dengan pendekatan dan simbol-simbol budaya alternatif dalam
kerangka kebudayaan sesuai budaya Islam. Untung menangani program ini
dibentuklah sebuah Majelis Kebudayaan.
Secara tegas lagi muhammdiyah juga telah memutuskan cara warganya
mengembangkan kehidupan dalam seni dan budaya. Dalam buku Pedoman
Hidup Islami Warga Muhammdiyah yang disahkan dalam Muktamar ke-44
tahun 2000 di Jakarta disebutkan sebagai berikut :
Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yan berisi ajaran yang tidak
bertentangan denga fitrah manusia, Islam bahkan menyalurkan, mengatur,
dan mengarahkan fitrah manusia untuk kemuliaan dan kehormatan manusia
sebagai makhluk Allah.
Rasa seni sebagian penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia
merupakan salah satu fitrah yang dianugrahkan Allah yang harus dipelihara
dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai dengan jiwa dan ajaran Islam.
Berdasarkan keputusn Munas Tajrih ke-22 tahun 1995 ditetapkan bahwa
karya seni hukumnya mubbah (boleh) selama tidak mengarah atau
mebangkitkan fasad(kerusakan), dlarar(bahaya), Isyyan(Kedurhakaan), dan
ba’id ‘anillah(terjauhkan dari Allah), maka pengembangan kehidupan seni
dan budaya di kalangan Muhammdiyah harus sejalan dengan etika atau
norma-norma Islam sebagaimana ditentukan Tajrih tersebut :
9
a. Seni rupa yang objeknya makhluk bernyawa seperti patung, hukumnya
mubah bila untuk kepentingan sarana pengajaran, ilmu pengetahuan, dan
sejarah
b. Serta menjadi haram bila mengandung unsur yang membawa ‘isyan
(kedurhakaan) dan kemusyrikan
c. Seni suara, baik seni vokal maupun instrumental, seni sastra, dan seni
pertunjukan pada dasarnya mubah (boleh) serta menjadi terlarang
manakala seni tersebut menjurus pada pelanggaran norma-norma agama
dalam ekspresinya baik dalam wujud penandaan tekstual maupun visual.
d. Setiap warga muhammadiyah baik dalam menciptakan maupun
menikmati seni dan budaya selain dapat menumbuhkan perasaan halus
dan keindahan juga menjadikan seni dan budaya sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai media atau sarana dakwah
untuk meembangun kehidupan yang peradaban.
e. Menghidupkan sastra Islam bagian dari strategi membangun peradaban
dan kebudayaan muslim.
Dengan keputusan tersebut Muhammadiyah telah merespon
perkembangan seni dan budaya kontemporer. Hal ini sekaligus
menjawab kritikan terhadap Muhammdiyah yang dikatakan sebagai
gerakan yang tidak apresiatif terhadap seni dan kebudayaan.
C . Muhammadiyah dan Ekonomi
Kegiatan ekonomi untuk memperkuat financial bagi sebuah organisasi, seperti
Muhammadiyah, pada hakikatnya merupakan bagian terpenting untuk memperlancar
gerakan Muhammadiyah dalam mencapai tujuannya. Di samping itu, gerakan ekonomi
persyarikatan Muhammadiyah juga akan berdampak pada pemberdayaan ekonomi
warganya, dengan upaya menciptakan lapangan kerja dan mengatasi problem
pengangguran yang semakin besar, dan angka kemiskinan yang makin membengkak
yang dapat mengancam eksistensi iman.
10
Program pembinaan ekonomi umat merupakan kepedulian sejak lama, karena
memang konstituen Muhammadiyah sejak dahulu adalah kaum pengusaha, pedagang,
dan kalangan Islam kota. Kaum wirausahawan reformis malah sejak lama merupakan
perintis perdagangan dan industri di kalangan pribumi.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo tahun 1985 Muhammadiyah
membentuk Majlis Ekonomi Muhammadiyah. Majlis tersebut pada dasarnya untuk
menanggapi masalah-masalah ekonomi nasional sebagai pandangan MUhammadiyah.
Dengan kata lain, tugasnya lebih menjurus pada advokasi. Selama 10 thn, Majlis
Ekonomi Muahammadiyah tidak memiliki kegiatan-kegiatan yang nyata dalam
pembinaan Ekonomi umat, walaupun sudah mengarah kesitu. Baru pada Mukatamar ke-
43 di Aceh nama Majlis Ekonomi Muhammadiyah dipertegas menjadi Majlis Pembina
Ekonomi. Muhammadiyah mulai mengembangkan misi membina ekonomi umat.
Program pembinaan ekonomi umat menjadi salah satu program unggulan Muktamar.
Sejak periode kepengurusan Muktamar ke-43, kegiatan Majlis Pembina
Ekonomi mulai diarahkan. Hal ini dilakukan dengan penyusunan sebuah program yang
didasarkan pada konsep misi dan visi tertentu. Pada dasarnya, Majlis Pembina Ekonomi
membina ekonomi umat melalui 3 jalur, yaitu :
1. Mengembangkan Badan Usaha Milik Muhammadiyah yang mempresentaiskan
kekuatan ekonomi organisasi Muhammadiyah;
2. Mengembangkan wadah koperasi bagi anggota Muhammadiyah; dan
3. Memberdayakan anggota Muhammadiyah di bidang ekonomi dengan
mengembangkan usaha-usaha milik anggota Muhammadiyah.
Dalam mengembangkan ekonomi itu, Muhammadiyah telah memiliki asset atau
sumberdaya yang bisa dijadikan modal. Aset pertama adalah sumber daya manusia,
yaitu anggota Muhammadiyah sendiri, baik sebagai produsen, distributor maupun
11
konsumen. Kedua, kelembagaan amal usaha yang telah didirikan, yaitu berupa sekolah,
universitas, lembaga latihan, poloklinik, rumah sakit dan panti asuhan yatim piatu.
Ketiga, organisasi Muhammadiyah itu sendiri sejak dari pusat, wilayah, daerah, cabang,
dan ranting.
Dengan aset seperti itu Muhammadiyah membangun kerjasama dengan berbagai
lembaga. Misalnya, dengan Departemen koperasi dan PKM. Atas dasar kerjasama itu
Muhammadiyah menghimbau pendirian koperasi-koperasi di daerah-daerah. Kini telah
terbentuk lebih dari 550 unit koperasi Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Selain koperasi, lembaga perekonomian yang telah dibentuk oleh
Muhammadiyah melalui Majlis Pembina Ekonomi adalah mendirikan PT Solar Global
Internasional (SGI). Mulanya PT menjalankan perdagangan kecil-kecilan dengan cara
komisioner di bidang hortikultura dan perikanan. PT SGI mendapat kontak dengan
sebuah perusahaan patungan Indonesia-Australia, yaitu PT Ausindo yang akan betindak
sebagai konsultan Majlis Pembina Ekonomi. Perusahaan ini telah melakukan penelitian
di Indonesia dalam budidaya ikan kerapu yang telah sukses dikembangkan di Australia.
Proyek ini sangat prospektif, sebab pemasarannya masih terbuka luas, yaitu diekspor ke
Negara-negara maju.
Potensi ekonomi Muhammadiyah telah diaktualisasikan dengan pembentukan
Baitul Mal wat Tanwil (BMT). Pada awal pendiriannya, dalam tempo dua bulan telah
terbentuk 29 unit BMT. BMT dapat dibentuk dihampir setiap kecamatan. BMT
merupakan upaya menghimpun dana dengan sistem syariah. Dengan dana yang
terkumpul tersebut, BMT dapat membantu nasabah dengan system syariah. BMT-BMT
itu selanjutnya menjadi lembaga jaringan untuk penyaluran dana dari lembaga-lembaga
lain, seperti Jaringan Pengaman Sosial.
Dapat disimpulkan bahwa, gerakan ekonomi Muhammadiyah bisa dijalankan
antara lain dengan :
1. Mendirikan koperasi di berbagai jajaran jenis koperasi sebagai sarana untuk
melakukan perkuatan ekonomi ummat:
2. Mendirikan Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) dalam berbagai
bidang jasa, perdagangan, pariwisata, perkebunan, perikanan dan lain-lain;
12
3. Lembaga keuangan untuk mendukung usaha – usaha ummat yaitu PT Modal
Ventura, Baitul Mal wa Tanwil (BMT), BPR Syariah san lain – lain;
4. Sharing dalam berbagai perusahaan yang bonafide dan kompetitif;
5. Membangun jaringan informasi bisnis, seperti memberikan berbagai penjelasan
informasi kepada warga Muhammadiyah tentang bagaimana bisnis obat, bahan
tekstil, bahan kimia, rumah makan, dan lain – lain. Informasi ini juga meliputi
bagaimana pandangan melakukan kegiatan produksi, pemasaran jaringannya,
tata niaganya dan lain – lain;
6. Membangun jaringan kerjasama bisnis dengan semua pengusaha dan koperasi
Muhammadiyah untuk saling membantu baik dari segi informasi, kiat bisnis
maupun pendanaan. Misalnya, dengan mendirikan bermacam – macam asosiasi
bisnis, seperti asosiasi Tekstil Muhammadiyah, asosiasi pengusaha tahu tempe
Muhammadiyah, asosiasi perusahaan wisata Muhammadiyah; dan
7. Melakukan pendidikan keterampilan tentang pengusaha teknologi produksi,
pengemasan, manajemen, pemasaran, dan pengembangan sampai kepada ekspor
– impor.
D. Muhammadiyah dan Politik
1. Perumusan Dasar Negara
Tokoh – tokoh Muhammadiyah telah memiliki prestasi besar dalam
mengantarkan dan mengisis kemerdekaan, Indonesia baik secara fisik maupun secara
nonfisik. Bahkan pada saat perumusan dasar Negara, tokoh – tokoh Muhammadiyah
terlibat aktif merumuskan Pancasila sebagai Dasar Negara.
Pada bulan Februari 1945 tiga orang pemimpin Bangsa Indonesia yaitu Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Ki Bagus Hadikusumo diberi kesempatan audensi
dengan Kaisar Tenno Haika di Tokyo Jepang, dengan maksud untuk berkenalan serta
menerima janji Kemerdekaan secara resmi. Sepulang dari Tokyo, mereka membentuk
Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 63
orang. Ketuanya pembesar Jepang dan dua Ketua muda yaitu Dokter Rajiman
13
Wiryodininggrat dan R Panji Soeroso. BPUPKI bersidang dari tanggal 28 Mei sampai
dengan tanggal 1 Juni 1945. Ki Bagus Hadikusumo terkenal yang paling panjang
pidatonya dan paling bersemangat dengan teks yang diketik diatas kertas kuning.
Pada sidang hari terakhir, tanggal 11 Juni 1945, Bung Karno memaparkan
konsepsinya tentang dasar Negara yang akan melandasi dalam kehidupan dan semua
kebijakan pemerintah. Intisari pidatonya kemudian dirumuskan dengan nama
“Pancasila” atau lima asasnya sebagai dasar Negara yaitu: Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi. Kesejahteraan Sosial
dan Ke-Tuhanan.
Kelima dasar Negara tersebut kemudian diperas menjadi trisila Sosio
Nasionalisme (Kebangsaan dan Kemanusiaan) Sosio Demokrasi (Demokrasi dan
Kesejahteraan) Ke-Tuhanan.
Dalam sidang – sidang selanjutnya berulang – ulang kali Bung Karno menyebut
nama Ki Bagus. Ini suatu cara bagi Soekarno untuk melunakkan kekerasan dan
keteguhan hati Ki Bagus Hadikusumo tatkala mempertahankan keyakinan yang
berdasarkan ajaran Islam. Bung Karno sampai menangis dihadapannya di luar sidang.
Panitia kecil bekerja merumuskan setelah melalui perdebatan yang seru dan mendapat
jalan kompromi – Antara unsur Islam, Nasionalis muslim dan Nasionalis sekuler: Moh
Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Soekarno, Abd. Kohar Muszakkir, Wahid
Hasyim, Abi Kusno Cokrosuyoso, dan Mr. A Maramis- disebut Piagam Jakarta.
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 esoknya Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) meneruskan rapatnya untuk mengesahkan rancangan UUD beserta
Muqadimah atau preambul UUD, dengan perubahan menurut usul – usul yang masuk
sebelum proklamasi dan sesudahnya. Sidang dipimpin oleeh Soekarno, mendapat
laporan dari tokoh Umat Kristen dari Indonesia bagian timur akan memisahkan diri dari
Republik Indonesia yang dinilainya bersifat islamistis itu, maka terjadilah perdebatan
seru antara tokoh – tokoh umat Islam dan Nasionalis Nasrani. Sehingga muncul usul
menghilangkan tujuh kata “ dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk
14
– pemeluknya “. Ki Bagus Hadi Kusumo keluar sidang dan diam ketika diminta
persetujuannya.
Kesepakatan dicapai setelah Mr. Kasman Singodimejo dengan suara rendah
menyampaikan “ demi kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia “ membujuk KI Bagus
Hadikusumo menerima untuk kata “ Ketuhanan” di tambah dengan “ Yang Maha Esa “
serta mendapat jaminan bahwa “ Ke Tuhanan Yang Maha Esa adalah “Tauhid”.
Usulan dari Ki Bagus Hadikusumo disampaikan oleh Mr. Kasman kepada
Soekarno selaku pimpinan sidang. Tidak lama kemudian sidang dibuka kembali setelah
mohon kepada Ki Bagus Hadikusumo untuk memasuki ruang sidang. Pada saat itulah
Bung Karno menjelaskan bahwa Ke-Tuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid ( dalam
Islam ).
Demi kesatuan dan Persatuan serta tercapainya negara kesatuan meliputi seluruh
wilayah Indonesia ( Hindia – Belanda ) maka umat Islam bersedia berkorban yang
bersedia menerima hilangnya tujuh kata prinsip tersebut. Karena itu mantan Menteri
Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara menamakan “Pancasila adalah hadiah terbesar
yang diberikan oleh umat Islam kepada Republik Indonesia”. Pernyataan ini
disampaikan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta tahun 1985.
Dalam sejarah politik Indonesia, Pancasila pernah dijadikan sebagai satu –
satunya asas bagi seluruh organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Secara
resmi pemerintah menetapkan Pancasila sebagai “ Asas Tunggal “ untuk Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) dicetuskan secara resmi pada bulan Agustus 1982, dan
Rancangan UNdang – Undang (RUU)-nya disetujui oleh DPR tanggal 31 Mei 1983.
Semua organisasi kemasyarakatan harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya
asas.
Muhammadiyah tidak ada persoalan dalam menerima tunggal Pancasila sebagai
satu – satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam rangka untuk
memenuhi ketentuan Undang – Undang no.8 tahun 1985 tentang keormasan. Sikap ini
didasarkan pada Kepribadian Muhammadiyah dalam Sifat MUhammadiyah butir ke-5
yang berbunyi :”Mengindahkan segala hokum, undang-undang, peraturan serta dasara
dan falsafah Negara yang sah” Juga terdapat dalam butir ke 9 yang berbunyi: “
15
membantu pemerintah serta berkerjasama sengan golongan lain dalam memelihara dan
membangun Negara untuk mencapai masyrakat yang adil dan makmur yang diridhai
Allah.
Setelah lahirnya UU tersebut barulah muhammadiyah menyelenggarakan
muktamar ke 41 tahun 1985. hasil terpenting adalah keputusan muktamar tentang
perubahan anggaran dasar dengan ditetapkanya pancasila sebagai asas organisasi
muhammadiyah. Asas ini tercantum dalam pasal 2 anggaran dasar muhammadiyah,
dengan terlebih dahulu ditegaskan identitas muhammadiyah dalam pasal 1 ayat 1 bahwa
muhammadiyah adalah organisasi gerakan islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar
yang beraqidah islam dan bersumber pada al-quran dan sunnah . disamping itu, pada
bagian penjelasan dinyatakan bahwa penerimaan muhammadiyah terhadap pancasila
sebagai asas adalah dengan pengertian bahwa sila ketuhanan yang maha esa adalah
keimanan kepada allah dan tauhid.
Dalam muktamar yang sangat bersejarah itu pimpina pusat muhammadiyah
menugaskan Drs. Lukman Harun untuk menjelaskan kepad peserta muktamar mengenai
hal-hal yang telah dilakukan dan dicapai oleh pimpinan pusat muhammadiyah sejak
dicetuskanya gagasan asas pancasila sampai keluarnya undang-undang. Begitupun
Prof.Dr.Ismail Suny ditugaskan menjelaskan tentang materi UU no.8 tahun 1985.
penjelasan- penjelasan ini disampaikan dalam sidang pleno gabungan hari ahad malam
tanggal 8 desember 1985 bertempat di pendopo mangkunegaran , yang dihadiri oleh
semua peserta muktamar . muktamar ke 41 di surakarta memutuskan muhammadiyah
menerima pancasila sebagai asas organisasi.
Seiring dengan perubahan social politik di Indonesia muhammadiyah juga
melakukan perubahan-perubahan sikap yang cukup mendasar . salah satunya adalah
perubahan anggaran dasar.
Pada muktamar ke 44 tahun 2000 muhammadiyah merubah anggaran dasarnya,
dan menjadi islam sebagai asas organisasi. Dalam bab I tentang nama, identitas, dan
tempat kedudukan pasal 1 ayat 2 berbunyi : “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam
dan Dakwah Amar ma’ruf nahi munkar, berasaskan islam dan bersumber pada al-
16
quran dan as-sunnah “. Dengan demikian sejak tahun 2000 muhammadiyah kembali
berasaskan islam.
2. Sikap Politik Muhammadiyah
Sejak berdiri Muhammadiyah lebih memusatkan perhatiannya pada kerja-kerja
konkrit di bidang dakwah, santunan social dan kemanusiaan sebagai realisasi dari
keimanan para anggotanya kepada Allah. Ada pun melibatkan diri kedalam politik
secara langsung memang bukan menjadi target utamanya, kecuali Muhammadiyah
Sumatra Barat pada tahun 1930-an. Oleh karena itu, tampilnya beberapa kader
persyarikatan dalam politik praktis dalam jumlah yang agak besar merupakan fenomena
baru di Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai gerakan islam memang tidak punya hubungan formal
dengan partai-partai itu karena dilarang oleh keputusan muktamar 1971 dan keputusan-
keputusan lainnya. Muhammadiyah tidak bisa dijadikan subordinasi kekuatan-kekuatan
politik yang ada karena pengalaman masa lampaunya yang tidak terlalu baik. Karena
demikian, apakah Muhammadiyah memandang politik praktis tidak penting untuk
dimasuki? Dalam pandangan Muhammadiyah berpolitik itu penting, tetapi
Muhammadiyah tidak melibatkan diri secara organisatoris, cukup kader-kader
Muhammadiyah yang berbakat saja yang terjun ke dalamnya dengan catatan mereka
tetap membawa misi dakwah Muhammadiyah dalam partai manapun, yaitu doktrin
amar ma’ruf nahi munkar dijadikan acuan utama dalam berpolitik.
Dalam perjalanan sejarah Muhammadiyah belum pernah terjun dalam politik
praktis atau menjadi partai politik, tetapi tokoh-tokoh Muhammadiyah ikut membidani
lahirnya partai politik. Hal ini bias dilihat dalam uraian berikut ini :
17
Tahun 1938 beberapa tokoh Muhammadiyah misalnya K.H Mas Mansyur, H. Farid
Ma’ruf, dan Kahar Mudzakir ikut mendirikan partai politik yang bernama “Partai
Politik Islam” (PII) di Solo.
Pada waktu membentuk MIAI (Majlis Islam al-A’la Indonesia) pada tahun
1937dan Masyumi 1943 dan 1945, Muhammadiyah sebagai bagian utama dari kekuatan
umat yang menonjol telah turut aktif dalam kegiatan politik. Muhammadiyah
ditempatkan sebagai anggota istimewa dalam Masyumi bersama organisasi-oranisasi
islam lainnya. Tahun 1945, Muhammadiyah bersama tokoh organisasi lainnya
menngadakam Muktamar Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta. Dalam
muktamar ini disepakati untuk mendirikan partai politik baru yang bernama “Majlis
Syura Muslimin Indonesia” (Masyumi) sebagai satu-satunya partai politik bagi umat
Islam. Namun, mulai tahun 1947, partai dan golongan umat Islam pendukung Masyumi
ada yang menyatakan keluar, misalnya PSII. Tahun 1952 Nahdhatul Ulama (NU)
menyusul keluar dari Masyumi, dan masing-masing menjadi partai politik sendiri.
Muhammadiyah yang sejak awal menjadi “anggota istimewa” Masyumi karena ikut
membidani lahirnya partai ini, namun sejak tahun 1959 Masyumi meniadakan
keanggotaan Masyumi sehingga orang-orang Muhammadiyah menjadi anggota
Masyumi secara pribadi-tidak membawa nama Muhammadiyah. Hal ini sangat
mendukung keberadaan atau eksistensi Muhammadiyah sebagai oraganisasi dakwah
amar ma’ruf nahi munkar yang dapat berkiprah luas tidak hanya dalam bidang politik.
K.H.A.R Fachrudin ( Ketua PP Muhammadiyah tahun 1968-1990), pernah menyatakan
bahwa “Muhammadiyah tidak buta politik, tetapi Muhammadiyah bukan partai politik.
Muhammadiyah tidak mencampuri soal-soal politik, tetapi apabila soal-soal politik
mendesak urusan agama Islam, maka terpaksalah Muhammadiyah bertindak menurut
kemampuannya dan menurut irama dan nada Muhammadiyah”. Politik yang diperankan
Muhammadiyah, menurut Dr. Amien Rais, bukan low politic melainkan high politic.
Tanggal 19 Oktober 1964, Muhammadiyah ikut juga membidani lahirnya Sekber
Golkar (cikal bakal Golongan Karya). Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan
Karya) ditandatangani oleh 97 organisai, dari Muhammadiyah yang menandatangani
adalah Drs. Lukam Harun. Dalam Mukernas yang diselenggarakan pada tanggal 9-11
Desember 1965 di Cipayung Bogor, terbentuklah Dewan Pimpinan Harian Sekber
18
Golkar, H. Muhammad Muwardi dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah duduk sebagai
pengurus harian.
Berdasarkan Keputusan Presiden No.70 Tahun 1968, Tanggal 20 February 1968,
disahkan berdirinya “Partai Muslimin Indonesia” atau lebih dikenal “Parmusi”.
Muhammadiyah sebagai pendukung yang besar lahirnya partai ini, selain al-Jamiatul
Washliyah, persatuan Islam, Nahdhatul Ulama, Matlaul Anwar, SNH, KBIM, PUI, Al-
Ittihadiyah, Probisi, PGAIRI, HSBI, PII, Al-Irsyad, dan Wanita Islam. Bahkan dalam
kepengurusan Parmusi tokoh-tokoh Muhammadiyah duduk sebagai ketua umum dan
sekretaris umum, masing-masing adalah H. Djamawi Hadikusumo dan Lukman Harun.
Selanjutnya, Presiden Soeharto pada tahun 1970 mengadakan penyederhanaan
partai politik menjadi tiga, yakni partai-partai Islam menjadi satu kelompok-yang
kemudian bernama PPP ( Partai Persatuan Pembangunan), partai-partai nasional dan
Kristen/Katolik menjadi satu kelompok- yang kemudian bernama PDI (Partai
Demokrasi Indonesia) dan Sekber Golkar menjadi GOLKAR. Untuk penamaan PPP
merupakan usulan dari Lukman Harun (tokoh Muhammadiyah), karena tujuannya
adalah untuk mempersatukan potensi umat Islam dalam satu wadah.
Melihat lintasan sejarah diatas, jelaslah bahwa Muhammadiyah belum pernah dan
tidak akan pernah menjadi partai politik. Hal ini diperkuat oleh hasil Keputusan
Muktamar Muhammadiyah ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang, yang isinya antara lain
:
Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang
kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan
dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun;
Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya, dapat tidak memasuki
atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menimpang dari Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku dalam
Persyarikatan Muhammadiyah.
Untuk lebuh memantapkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam
setelah pemilihan umum 1971, Muhammadiyah melaksanakan amar ma’ruf nahi
19
munkar secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia seperti halnya
terhadap partai-partai politik dan organisasi-organisasi lainnya; dan
Untuk lebih mengingatkan partisipasi Muhammadiyah dalam melaksanakan
pembangungan nasional, mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah
untuk menggariskan kebijaksanaan dan mengambil langkah-langkah dalam
pembangungan ekonomi, social, dan mental spiritual.
Hubungan Muhammadiyah dengan kehidupan politik berkaitan dengan konsep
Muhammadiyah tentang dakwah dan kehidupan social. Pandangan demikian dapat
dilihat dalam Rumusan Kepribadian Muhammadiyah yang disusun dan disahkan pada
Muktamar setengah abad 1962 di Jakarta, sebagai mana disinggung di muka.
Konsepsi Muhammadiyah dalam kepribdian Muhammadiyah diatas merupakan
rekonstruksi dinamika Muhammadiyah dalam sejarah. Rumusan tersebut menyatakan
bahwa politik dalam pengertiannya yang luas merupakan sub system dari gerakan
dakwah.
Rumusan mengenai masalah dakwah dan politik dalam struktur pemikiran
Muhammadiyah dapat dimasukkan sebagai bagian dari konsepsi Muhammadiyah
tentang teori dan strategi keperjuangannya.
Sebagaimana telah diuraikan, sesuai dengan kedudukan pemikiran tersebut, mka
pemikiran ini bersifat kondisional. Dengan demikian maka ia akan berubah dan
berkembang sesuai dengan kondisi kehidupan social pada suatu saat.
Kedudukan demikian menyebabkan perilaku politik Muhammadiyah tampak di
permukaan seperti berubah-ubah. Namun demikian jika ditelusuri secara mendalam
perubahan tersebut teteap berada dalam satu alur konsep yang tetap sebagai upaya
pengemban tata kehidupan social diatas prinsip ajaran islam.
Lahirnya Orde-Baru, merupakan era baru kehidupan social politik di Indonesia
sebagai koreksi total terhadap system kehidupan sebelumnya (Orde-Lama).
Muhammadiyah selalu berperan aktif dalam setiap kebijakan politik yang diambil oleh
Orde Baru, selama kebijakan itu menyangkut kehidupan agama. Misalnya,
Muhammadiyah aktif menumpas pemberontakan PKI, ikut memberikan sumbangan
20
pikiran berdasarkan ajaran Islamterhadap usulan pemerintah kepada DPR tentang
Rancangan Undang-Undang Perkawinan. Dalam hal ini Muhammadiyah mengirimkan
pendapatnya kepada Presiden sebagai beriut :
Menurut penelitian Pimpinan Muhammadiyah, materi dan RUU Perkawinan
tersebut adalah sangat bertentangan dengan aturan pernikahan bagi umat Islam
sebagaimana termaktubsecara gambling dalam Al-Qur’anul Karim dan Hadist-Hadist
Nabi SAW.
Pimpinan Muhammadiyah merasa amat prihatin terhadap pertanggung jawaban kita
bersama kepada Allah apabila RUU Perkawinan tersebut jadi diajukan kepada DPR.
Selain itu msih banyak sumbagan pikiran Muhammadiyah terhadap kebijakan Orba,
antara lain, pedoman penyiaran agama dn bantuan luar negeri terhadap kegiatan
keagamaan di Indonesia, masalah aliran kepercayaan, masalah Asas Tunggal, RUU
Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, dan kebijakan politik lainnya.
Salah satu upaya pemerintah dilakukan melalui kerjasama pemimpin nonformal
seperti Ulama kedalam wadah Mjlis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga keagamaan ini
semula merupakan organisasi yang bersifat regional yang dikembangkan pemerintah
sebagai upaya konsolidasi ulama di berbagai daerah rawan politik seperti Jawa Barat
dan Aceh. Badan tersebut oleh pemerintah diharapkan mampu mengendalikan dan
meredamkan konflik pemerintah dan umat Islam. Keberhasilan Majlis Ulama tersebut
dalam ikut mencari penyelesaian konflik Agama dan daerah mendorong pemerintah
membentuk Majlis Ulama Indonesia. Berdasarkan keputusan Menteri Agama tahun
1975 dibentuk badan diatas, kemudian diikuti oleh pembentukn badan serupa di seluruh
propinsi dan kabupaten.
Pertama kali Majlis Ulama Indonesia Pusat dipimpin oleh Prof.Dr. HAMKA (tokoh
Muhammadiyah) sampai denga tahun 1980 ketika HAMKA mengundurkan diri. Setelah
HAMKA roda orgsnisasidikendalika oleh KH Hasan Basri (alumni Mu’alimin
Muhammadiyah Yogyakarta dan tokoh Muhammadiyah).
Sikap Muhammadiyah terhadap lahirnya MUI dan MU di daerah-daerah dapat
dilihat dengan duduknya HAMKA dan Hasan Basri sebagai ketua. Demikian pula
halnya dengan ketua-ketua MUI daerah yang sebagian besar anggota Muhammadiyah
21
dinyatakan dalam hasil Raker pimpinan tingkat Pusat yag menyatakan agar
Muhammadiyah di seluruh daerah menjalin hubungan sebaik-baiknya dengan anggota
yang duduk dalam Majlis Ulama tersebut.
3. Muhammadiyah dan Politik Era Reformasi
Sebagai mana setiap kelompok dan organisasi masyarakat, Muhammadiyah pun
tidak pernah spenuhnya lepas dari proses politik. Berdasarkan pertimbangan kelanjutan
eksistensidan kerukunan internal organisasi menyebabkan Muhammadiyah mengambil
sikap netral secara umum, kecuali dalam tugasnya menegakkan akidah Islam. Untuk itu
Muhammadiyah sebagai lembaga masyarakat tidak melibatkan diri kepada segala
kekuatan politik. Malah juga tidak terlibat dalam posisi kekuasaan Negara. Akan tetapi,
untuk menjamin hak warganya, maka Muhammadiyah membebaskan mereka untuk
berkiprah di dalam organisasi politik apapun yang sah, termasuk posisi kenegaraan.
Sikap politik yag diambil Muhammadiyah sejak pertengahan tahun 1970-an itu
ternyata memang berhasil memelihara eksistensi dan keutuhan organisasi dari intervensi
penguasa dan pemerintahyang berwatak otoriter dan selalu bernafsu untuk
mengkooptasi segala kelompok masyarakat guna menjamin kekuasaannya dengan jalan
memperkuat diri ataupun melumpuhkan lawan. Muhammadiyah selamat dari tekanan,
intimidasi, dan penaklukan penguasa yang berakar kepada golongan militer dan birokrat
sipil selama lebih dari tiga decade sehingga kiprahnya di dalam bidang pendidikan,
kesehatan, dan kesejateraan dapat berlanjut dan berkembang. Penguasa dan pemerintah
memperlakukan Muhammadiyah sebagai partner kerja yang aman dalam artian tidak
membawa ancaman bagi stabilitas kekuasaannya.
Memang ada sebagian tokoh Muhammadiyah yang menyatakan bahwa tatkala
konstalasi kekuasaan masyarakat dan Negara seperti itu mengalami perubahan secara
mendasar lewat demokratisasi segenap aspek kehidupan yang bergejolak melalui
reformasi total, politik Muhammadiyah bermotif mempertahankan eksistensi dan
keutuhan organisasi seperti itu pastilah tidak sesuai lagi. Muhammadiyah didorong
merubah sikap dan tingkah laku politiknya sepadan dengan perkembangan lingkungan
22
strategisnya, supaya memperoleh manfaat yang sebesaribesarnya, baik bagi
organisasinya maupun warganya.
Pada siding Tawir Muhammadiyah 1998 di Semarang Amin Rais kembali
mengusulkan Muhammadiyah melakukan “Ijtihad Politik” agar mendirikan partai
politik. “Ijtihad Poitik” ini pada dasarnya secara aklamasi “diterima” oleh peserta
siding, mengingat situasi politik nasional memang sangat memungkinkan bagi
Muhammadiyah berpartisipasi politik secara lebih konkrit.
Meskipun demikian, Muhammadiyah akhirnya secara organisasi tidak memutuskan
untuk membentuk partai politik. Amin Rais sendiri dalam Sidang Tanwir
Muhammadiyah 1998 telah memberikan prinsip-prinsip yang harus dipegang manakala
warga Muhammadiyah akan terlibat langsung dalam politik praktis. Pertama, sampai
kapanpun Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik. Kedua, secara
kelembagaan Muhammadiyah tidak akan mendirikan partai politik. Ketiga, jika warga
Muhammadiyah akan memimpin sebuah partai politik hendaknya tidak
mengatasnamakan organisasi, tetapi dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Penegasan
Amien Rais ini dikukuhkan kembali dengan surat resmi Pimpinan Pusat
Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah tetap menjaga jarak yang sama dengan semua
partai politik, dan Muhammadiyah tidak berafiliasi kepada salah satu partai politik.
Membaca pergumulan Muhammadiyah dan politik memang memerlukan
klarifikasi mengenai konsep politik itu sendiri. Pada ranah yang lebih luas politik
diartikan sebagai segala aktivitas yang memiliki tujuan dan keberkaitan dengan
perjuangan kekuasaan, baik dalam tingkat system Negara maupun masyrakat.
Sementara itu, pada tingkatan yang khusus, politik disamakan dengan perjuanganmeraih
kekuasaan melalui partai politik, yang dikenal dengan politik praktis. Dalam pandangan
yang lazim dan meluas di masyarakat, konsep politik sering dipahami dalam pandangan
yang kedua ini, yakni politik sebagai kegiatan partai untuk meraih kedudukan politik
dalam pemerintahan.
Dalam kondisi tertenru Muhammadiayah mengambil sikap politik yang jelas dalam
ranga ibadah dan dakwahnya di lingkungan yang lebih luas. Sidang Tanwir
Muhammadiyah I di Denpasar Bali tahun 2002 dan di Makasar tahun 2003 dengan tegas
23
memberikan rekomendasi kepada putra terbaik Muhammadiyah untuk melanjutkan
proses reformasi di Indonesia ini. Sidang pleno diperluas yang diselenggarakan di
Yogyakarta pada bulan Februari tahun 2004, memutuskan beberapa hal yang berkenaan
dengan Pemilihan Umum, Pemilihan Presiden, dan Wakil Presiden Indonesia yang
diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004, adalah sebagai berikut:
a. Pemilu 2004
Pemilu tahun 2004 merupakan momentum penting bagi rakyat Indonesia untuk
melakukan perubahan kehidupan politik dan kepemimpinan nasional yang benar-benar
mampu memecahkan krisis, mengagendakan reformsi, dan menentukan arah masa
depan bangsa.
Segenap kekuatan nasional secara bersama-sama dituntut tanggung jawab dan
kiprah yang optimal untuk mensukseskan dan menentukan kualitas hasil Pemilu 2004
sebagai komitmen untuk penyelamatan nasional dan kondisi krisis dan
kemerosotankehidupan nasional di tubuh bangsa dan Negara ini. Usaha penyelamatan
nasional itu merupakan bentuk dan komitmen memelihara dan melangsungkan
keberadaan Negara Republik Indonesia dari segala penyakit dan ancaman nasional
sekaligus bangkit sebagai Negara dan bangsa yang maju serta berperadaban tinggi.
Muhammadiyah sebagai salah satu pilar bangsa terpanggil untuk berada di barisan
reformasi dan penyelamatan nasional dengan menyukseskan Pemilu 2004 dan
mengharapkan agar seluruh potensi rakyat benar-benar dapat mengikuti proses
demokrasi tersebur secara kritis dan penuh pertanggungjawaban moral.
Muhammadiyah mengajak segenap kekuatan nasional untuk melaksanakan dan
berpartisipasi dalam Pemilu tersebut secara kritis, demokratis, juju, damai, dan sesuai
nurani untuk perbaikan bangsa. Perlu dihindari hal-hal yang merusak agenda nasional
tersebut politik uang, perilaku politik yang kotor, kekerasan, dan menghalalkan segala
cara yang menghancurkan snedi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kepada setiap pihak diminta untuk menerima hasil Pemilu dengan sikap lapang
hati, ksatria, dan sikap positif sebagai wujud dan perilaku politik demokratis dan
bermoral tinggi. Khusus kepada warga Muhammadiyah diharapkan agar berpartisipasi
aktif dalam Pemilu sebagai wujud dari ibadah dalam kehidupan bermasyarakat,
24
berbangsa, dan bernegara yang membawa rahmat bagi alam semesta. Warga
Muhammadiyah juga diminta mengembangkan sikap yang cerdas, aktif,
mengedepankan akhlak mulia, dan mampu menyelesaikan masalah-masalah dengan
sebaik-bakiknya dalam menghadapi dinamika kehidupan politik dan pelaksanaan
Pemilu 2004.
b. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Muhammadiyah memandang bahwa Pemilu 2004 yang salah satu diantaranya
melaksanakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung merupakan
langkah penting yang bagi perkembangan demokrasi dan kehidupan di era
reformasi. Kesempatan emas tersebut dapat digunakan sebagai momentum
perubahan untuk kelanjutan reformasi dan penyelamatan bangsa.
Muhammadiyah sesuai dengan keputusan Sidang Tanwir di Denpasar tahun
2002 dan Tanwir Makasar 2003 menyampaikan sikap sebagai berikut :
1. Mendukung spenuhnya langkah Prof.Dr.H.Amien Rais selaku kader terbaik dan
mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta tokoh reformasi untuk
memperjuangkan kelanjutan reformasi dan penyelamatan bangsa dalam
pemilihan Presiden pada Pemilu 2004.
2. Presiden Indonesia yang diharapkan terpilih dalam Pemilu 2004 untuk
memperjuangkan kelanjutan reformasi dan penyelamatanbangsa adalah tokoh
yang reformis, bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme),
menyelenggarakan tata pemerintahan yang baik, memiliki visi kebangsaan yang
luas, tegas, dan berwibawa dalam membawa bangsa ke tengah pergaulan
internasional, mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, dn memajukan
kehidupan bangsa menuju ke masa depan yang lebih baik.
3. Meminta kepada warga Muhammadiyah dan mengajak kepada masyarakat untuk
mendukung terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden yang dapat mengemban
amanat reformasi serta penyelamatan bangsa.
25
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Kesimpulan
1. Amal usaha yang menjadi trade mark Muhammadiyah adalah lembaga
pendidikan dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi menyebar ke seluruh
pelosok tanah air.
2. Ahmad Dahlan meletakkan tiga fondasi atau dasar pendidikan, yaitu pendidikan
akhlak, individu, dan social.
3. Ciri khusus pendidikan Muhammadiyah terletak pada kurikulum keislaman dan
kemuhammadiyahan.
4. Kepribadian Ahmad Dahlan terhadap masalah-masalah social terutama fakir
miskin dan mustad’afin yang semakin menderita hidupnya, diwujudkan dalam
bentuk mendirikan Panti Asuhan Anak Yatim. Selain itu, Muhammadiyah juga
mengembangkan seni budaya yang Islami.
5. Muhammadiyah juga ikut mengembangkan bidang ekonomi dengan dimilikinya
BUMM (Badan Usaha Milik Muhammadiyah), koperasi Muhammadiyah, BMT,
dan BPRS.
6. Muhammadiyah sejak awal terlibat aktif dalam persoalan kebangsaan dan
kenegaraan, misalnya ikut serta dalam perumusan dasar Negara. Sikap politik
Muhammadiyah telah jelas, bahwa Muhammadiyah tidak berpolitik praktis,
namun dalam kondisi tertentu harus mengambil sikap politik yang jelas,
misalnya melenyapkan penjajah, menumpas PKI, mengusulkan kepada
pemerintah untuk memasukkan nilai-nilai Islam dalam Undang-undang.
7. Dalam era reformasi, Muhammadiyah ikut mendorong terwujudnya
pemerintahan yang bersih, melakukan gerakan moral untuk memberantas KKN,
dan terlibat aktif menyukseskan Pemilu Presiden secara langsung pada tanggal 5
Juli 2004. Selain itu, Muhammadiyah memberikan dorongan kepada Putra
26
Terbaik Muhammadiyah, Amien Rais, untuk melanjutkan reformasi di Indonesia
dengan menjadi Presiden RI.
8. Negara yang sah” Juga terdapat dalam butir ke 9 yang berbunyi: “ membantu
pemerintah serta berkerjasama sengan golongan lain dalam memelihara dan
membangun Negara untuk mencapai masyrakat yang adil dan makmur yang
diridhai Allah.
9. Setelah lahirnya UU tersebut barulah muhammadiyah menyelenggarakan
muktamar ke 41 tahun 1985. hasil terpenting adalah keputusan muktamar
tentang perubahan anggaran dasar dengan ditetapkanya pancasila sebagai asas
organisasi muhammadiyah. Asas ini tercantum dalam pasal 2 anggaran dasar
muhammadiyah, dengan terlebih dahulu ditegaskan identitas muhammadiyah
dalam pasal 1 ayat 1 bahwa muhammadiyah adalah organisasi gerakan islam dan
dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang beraqidah islam dan bersumber pada al-
quran dan sunnah . disamping itu, pada bagian penjelasan dinyatakan bahwa
penerimaan muhammadiyah terhadap pancasila sebagai asas adalah dengan
pengertian bahwa sila ketuhanan yang maha esa adalah keimanan kepada allah
dan tauhid.
10. Dalam muktamar yang sangat bersejarah itu pimpina pusat muhammadiyah
menugaskan Drs. Lukman Harun untuk menjelaskan kepad peserta muktamar
mengenai hal-hal yang telah dilakukan dan dicapai oleh pimpinan pusat
muhammadiyah sejak dicetuskanya gagasan asas pancasila sampai keluarnya
undang-undang. Begitupun Prof.Dr.Ismail Suny ditugaskan menjelaskan tentang
materi UU no.8 tahun 1985. penjelasan- penjelasan ini disampaikan dalam
sidang pleno gabungan hari ahad malam tanggal 8 desember 1985 bertempat di
pendopo mangkunegaran , yang dihadiri oleh semua peserta muktamar .
muktamar ke 41 di surakarta memutuskan muhammadiyah menerima pancasila
sebagai asas organisasi.
11. Seiring dengan perubahan social politik di Indonesia muhammadiyah juga
melakukan perubahan-perubahan sikap yang cukup mendasar . salah satunya
adalah perubahan anggaran dasar.
27
12. Pada muktamar ke 44 tahun 2000 muhammadiyah merubah anggaran dasarnya,
dan menjadi islam sebagai asas organisasi. Dalam bab I tentang nama, identitas,
dan tempat kedudukan pasal 1 ayat 2 berbunyi : “Muhammadiyah adalah
Gerakan Islam dan Dakwah Amar ma’ruf nahi munkar, berasaskan islam dan
bersumber pada al-quran dan as-sunnah “. Dengan demikian sejak tahun 2000
muhammadiyah kembali berasaskan islam.
28
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Sudarno Shobron, M. Ag. Studi Kemuhammadiyahan.
29